Pencarian

Benci Tapi Rindu 1

Benci Tapi Rindu Cinta Dibawa Mati Karya Sd Liong Bagian 1


Benci Tapi Rindu atau Cinta Dibawa Mati
Saling Bunuh - Saling Mencintai
Saduran : SD Liong Sumber DJVU : Dewi KZ & Aditya
(Buku Sumbangan anelinda-store.com , trims yee)
Editor : Sumahan Final Editor & Ebook oleh : Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ http://dewikz.com
http://kang-zusi.info/ Daftar Isi : Benci Tapi Rindu atau Cinta Dibawa Mati
Daftar Isi : Pengantar : Jilid 01 Gelora Remaja Jilid 02 Malang2 Putung Sarang harimau. Jilid 03 KENALKAN Nona atau Nyonya. Ngo-hoa-tin. Pertempuran Jilid 04 KENALKAN Tin-tik-pang Jilid 05 KENALKAN. Pemuda Aneh Nenek berbisa-naga Pulau aneh Jilid 06 KENALKAN Rawa Naga Memilih Jodoh Jilid 07 KENALKAN Naga jahat Membunuh naga Jilid 08 KENALKAN Pertemuan Jilid 09 KENALKAN Mati demi cinta Malam bidadari Jilid 10 KENALKAN Dua harimau berkelahi Jatuhnya seorang Raksasa Jilid 11 KENALKAN Menurutkan suara hati Penasaran Jilid 12 KENALKAN Dua saingan bertemu Jilid 13 KENALKAN Berebut Pusaka Jilid 14 KENALKAN. Buah terlarang Retak kembali Jilid 15 KENALKAN -^dwkz^smhn^- Pengantar : CINTA itu buta. Datangnya dari mata terus ke hati. Mata bertatap mata, hati bertaut hati dan cincinpun melingkar di jari. Sehidup semati....
Tetapi mata adalah buta, hati itu mati. Hanya pikiran yang melek dan hidup.
Dimana pikiran mulai terbuka, matapun melihat, hati merasa. Dan kadang, banyak kali, pikiran lebih terang dan tertumbuklah perasaan dengan kenyataan. Ledakan kenyataan sering menghancurkan dinding perasaan.
Namun Cinta itu abadi selama manusia masih muncul di panggung kehidupan dunia.
S.D. Liong No: Pol. /Sen/Intel/Pam/V/1981 Kejari: Surakarta, ..-5-1981.
-^dwkz^smhn^- Jilid 01 Gelora Remaja Pemandangan alam di wilayah Kanglam pada musim semi, memang amat menawan mata. Rumputnya menghijau, bunga-bunga bermekaran, burung berkicau. Seluruh alam, seolah bergembira ria.
Saat itu hari sudah malam ketika dua penunggang kuda tengah mencongklangkan kuda, membelah jalan kecil yang membentang di sepanjang tepi terusan sungai sebelah timur telaga Thay-ou atau Telaga Agung.
Penunggangnya, yang seorang anak muda dan yang seorang anak perempuan. Si pemuda bertubuh tinggi kekar, cakap parasnya. Si pemudi bertubuh langsing ramping, cantik rupawan.
Ternyata mereka sudah menempuh perjalanan selama sepuluh hari, menyusur pantai terusan sungai menuju ke selatan.
Permukaan telaga berkilau-kilauan laksana lautan perak ditingkah sinar matahari. Sawah dan ladang membentang luas, sungai, dan payau silang membujur. Keindahan alam daerah Kanglam, telah membuat cewek itu kesengsam dan berulang kali menghambur pujian.
Tetapi si pemuda tetap membisu. Alisnya mengerut dalam, seolah sedang memikirkan sesuatu.
Tiba2 cewek itu menyanyi:
Pohon berbunga, burung berkicau
Bangau terbang melayang di danau
Angin berhembus, surya berkilau
Alun seruling mengiring nelayan pulang
"Tar, tar...." Cewek itu ayunkan cemetinya ke udara. Setelah kudanya lari beberapa tombak, ia berseru tertawa, "Suko, orang mengatakan bahwa rakyat selatan naik perahu, rakyat utara naik kuda...."
"Kiranya kata2 itu memang tepat," lanjut pula dara itu walaupun si pemuda tak memberi tanggapan, "lihatlah, tidakkah seperti bintang2 bertaburan di langit, perahu2 yang sedang bermuara di terusan sungai itu? Setiap orang tentu naik perahu, hanya kita berdua ini yang tolol. Mengapa dibawah udara yang begini terik, kita harus menyiksa diri naik kuda?"
Habis berkata dara itu mengusap dahinya dengan lengan baju. Dari nada kata2nya, dia tak senang, namun pemuda itu tetapi berdiam diri saja. Jangan lagi menyahut, bahkan tanpa berpaling ke arah sumoaynya yang sedang memandang ke sebelah timur, dia terus mencongklangkan kudanya berlari lebih cepat.
Karena terletak di daerah selatan maka iklim wilayah Kanglam itu panas. Di musim panas, hawanya cukup menyengat. Dara itu mengenakan pakaian katun tebal, bercelana panjang dan mengenakan kain ikat pinggang. Hampir dikata, dari leher sampai keujung kaki, terbungkus rapat. Dia naik kuda di tempat terbuka, sudah tentu seperti di bakar rasanya. Karena itu dia selalu mengomel saja di sepanjang jalan.
Karena pemuda yang dipanggil suko (engkoh seperguruan) itu sampai sekian lama tak menyahut, dara itu mendongkol.
"Ji-suko, "teriak dara itu menukas, "tahun ini engkau umur berapa? Engkau ini seorang anak muda atau orang tua? Hm, toh sudah kukatakan, jangan panggil aku siau-sumoay (adik kecil), mengapa tetap memanggil begitu saja? Apa memangnya engkau hendak mengolok aku? Panggil saja su-moay, jangan pakai embel2 siau segala. Aku kan bukan anak kecil lagi!"
"Apa engkau kira aku ini anak kecil?"
Mendengar dirinya diomeli, pemuda itu diam2 mengeluh dalam hati, "Ah. mengapa suhu suruh cewek ini menemani aku ke daerah selatan hmmm...."
Tetapi walaupun hatinya mengeluh, mulut tetap terkancing rapat. Dia tak mau adu lidah dengan dara itu. Mereka melanjutkan perjalanan tanpa bicara satu sama lain. Kuda mereka mencongklang pesat sehingga debu mengepul tinggi. Beberapa pejalan kaki maupun pedagang2 yang naik perahu sama memandang kearah kedua mudi itu.
Jalan yang mereka lintasi itu membujur lempang ke terusan sungai. Telaga Thay-ou mempunyai banyak sekali aliran sungai. Lalu dibuat lagi sebuah susukan air atau terusan sungai, sehingga pengangkutan barang dan lalu lintas kebanyakan menggunakan jalan air karena lebih leluasa. Sedikit sekali orang menempuh perjalanan dengan naik kuda.
Karena jalan air merupakan sarana lalu lintas yang vital maka jalanan di darat tak begitu penting. Itulah sebabnya maka jalan yang ditempuh kedua anak muda itu tidak berapa lebar, hanya tiba cukup untuk dilalui dua tiga ekor kuda yang berjalan berbareng.
Tak lama kemudian kota Sou-ciu yang indah sudah tampak. Kini di jalanan pun makin ramai dengan pejalan2. Kuatir membentur orang kedua kakak-beradik seperguruan itu lambatkan lari kudanya.
Melihat selama dalam perjalanan tadi, sukonya tak mau bicara, dara itu merasa, mungkin dia telah berlaku tak sopan terhadap sang suko. Segera ia tertawa dan menegur. "Ji-suko, "serunya, "maukah engkau membuka mulutmu yang terkancing rapat itu? Ya, kuminta dengan sangat agar engkau mau bicara."
Tiba2 pemuda itu berseru, "Angin berhembus dan matahari cerah, kita lantas ikut bergembira?"
Mendengar ji-suko (kakek seperguruan nomor dua) mengulang syairnya tadi, dara itu girang sekali, ia tertawa.
"Ji-suko, syair itu adalah untuk mendamba pujian akan keindahan alam daerah Kanglam. Indah bukan? Biar kudeklamasikan sekali lagi, ya?"
"Itulah syair gubahan Ji Goan Kiat dari ahala Song, siapa yang tak tahu? Sudahlah, tak usah engkau perdengarkan lagi" kata pemnda itu.
Mendapat sentilan halus, merahlah muka si dara. Ia cibirkan mulut, balas mendamprat, "Ji-suko, engkau ini tonggak atau manusia? Selera menikmati keindahan alam, sedikitpun engkau tak punya. Hanya berkelahi saja yang engkau ketahui"
Dengan susah payah ia mencari akal agar suko-nya mau bicara. Tetapi begitu membuka mulut ternyata kata-kata sukonya itu begitu dingin. Kare.....
Tadi dengan susah payah ia mencari akal bagaimana supaya sukonya mau bicara. Tapi ternyata begitu sukonya membuka mulut, eh.... nadanya begitu sinis sekali. Karena tak dapat melampiaskan kemendongkolan hatinya, dara itu menggajulkan ujung sepatunya ke perut kuda.
"Binatang, mengapa engkau tak lekas lari! "serunya geram.
Kuda dara itu seekor kuda bulu kuning. Ternyata kuda bulu kuning itu mempunyai perasaan yang peka. Dia tahu akan perangai nonanya. Sepakan dara itu ditanggapi kuda kuning, bahwa nona majikannya tentu mempunyai urusan penting sehingga menyuruhnya lari cepat. Kuda itupun segera tancap gas, lari secepat angin.
"Siau-somoay, apa engkau sudah gila?" buru2 pemuda itu meneriaki karena kuatir kuda si dara akan menerjang orang yang berada di jalanan.
Cepat dia kempitkan kedua kakinya ke perut kuda. Kudanya berbulu merah, disebut Co-hong-ma atau kuda bulu merah. Juga bukan kuda sembarangan. Selekas merasa perutnya di jepit, kuda itu tahu kalau majikannya menghendaki dia lari keras. Kuda itu terus kabur.
Si dara berpaling dan tertawa mengejek, "Ji-suko, kalau engkau mampu mengejar aku, engkau baru seorang jago yang jempol, "dara itu mencambuk kuda kuning sehingga kuda itu terus mencongklang makin kencang.
"Hm, engkau hendak memanaskan hatiku, ya? Awas, jangan sampai menubruk orang. Tempat begini bukan tempat bersendau gurau," teriak pemuda itu.
"Memang, aku memang sengaja hendak membakar hatimu supaya marah. Apakah engkau berani menelan aku?" gadis itu malah melengking seperti menantang.
Setelah mengejar beberapa saat, pemuda itu dapat mendekati, pikirnya, "Tugasku kali ini untuk mengurus suatu pekerjaan besar. Suhu telah menyerahkan gagal atau berhasilnya urusan ini dan keselamatan siau-sumoay kepadaku. Tetapi dia seorang cewek yang cerewet, bagaimana dapat diajak berunding untuk mengerjakan urusan ini, Hm, jika tak diberi sedikit pengajaran, dara itu tentu masih centil saja."
Setelah mengambil keputusan, tiba2 tubuhnya melayang ke udara. Ketika melayang turun, tepat pada saat itu kuda kuning yang dinaiki si dara berada dibawahnya.
"Haiiiiit...." sekonyong-konyong pemuda itu menggembor keras, ulurkan tangan menyambar geraham si kuda. Kuda itu terkejut, meringkik keras dan mengangkat kaki depannya tegak keatas....
"Gila....! teriak si dara seraya mencekal kendali kencang2 sehingga dia tak sampai terlempar jatuh.
Karena gerahamnya dicengkeram keras2, mulut kuda itu sampai berdarah. Binatang itu meringkik dengan kerasnya dan menyepak kalang kabut.
Untuk menguasainya, terpaksa si dara menarik kendali keras? sehingga kuda itu makin kesakitan, kelabakan dan binal tak keruan. Dara itu pontang panting dibuatnya.
Melihat itu diam2 si pemuda tertawa dalam hati. Ia lepaskan cengkeramannya dan menggeliat melayang ke tepi jalan untuk melihatnya. Walaupun sudah ngotot sampai mandi keringat, namun dara itu tetap belum berhasil menguasai kudanya.
"Siau-sumoay, ada kalanya binatangpun tak mau dihina orang. Apalagi manusia" si pemuda tertawa lalu menjambret kendali.
Tenaga pemuda itu memang luar biasa kuatnya. Sekali cekal, kuda itu tak dapat berkutik lagi.
Dara itu malu dan marah. "Siapa suruh engkau turun tangan? Apa engkau keisengan"
"Tar...." cambuk segera diayunkan ke tangan pemuda itu.
Tetapi cepat pemuda itu menyambar ujung cambuk dan membentaknya, "Hem, engkau berani memukul aku?"
Dengan menggunakan sedikit tenaga, dia hendak merampas cambuk dan memberi sedikit pengajaran kepada sumoaynya.
Tetapi diluar dugaan, dara itu juga keras mengembara keluar.
Tapi waktu mendengar sukonya memanggil namanya, ia menjadi gembira. Kemarahan seperti awan tertiup angin. Ia mengiakan dan terus mencemplak kudanya.
"Tunggu!" tiba2 seorang penonton tampil ke muka dan berseru.
Pemuda tadi terkesiap. Ia berpaling dan dilihatnya yang berseru itu juga seorang anak muda berparas cakap, mengenakan pakaian ringkas warna kuning seperti seorang persilatan. Pinggangnya menyelip sebatang golok toa-to yang bertangkai emas. Sikapnya gagah sekali.
Tahu kalau berhadapan dengan seorang anak muda yang berilmu, buru2 si pemuda tadi memberi hormat. "Mohon tanya, siapakah saudara? Apakah saudara hendak bicara dengan aku?" tanyanya.
Pemuda baju kuning itu memandang si pemuda dari ujung kaki sampai keatas kepala, lalu tertawa. "Sahabat, menilik dandananmu, engkau tentu orang dari daerah utara, bukan?"
Pemuda yang naik kuda itu terkesiap. Ia menganggap pemuda baju kuning itu terlalu kasar. Sikapnyapun kurang sopan. "Kalau benar, lalu bagaimana?" sahutnya.
Pemuda baju kuning tertawa gelak2. "Makanya engkau suka menghina kaum wanita"
"Ha, ha, orang utara memang hanya pandai menghajar isteri saja, suka unjuk kegarangan dihadapan orang perempuan, ha, ha, benar tidak?"
Pada waktu bertanya yang terakhir itu, pemuda baju kuning sengaja berpaling kearah orang2 yang sedang berkerumun disekeliling menonton.
"Benar, benar!" teriak penonton2 itu.
Ada beberapa orang yang kenal siapa pemuda baju kuning itu malah menambah minyak kedalam api, serunya, "Ciau-ya, tuh dia juga membawa pedang. Entah jagoan mana ya? Engkau tempur dia sajalah!"
Mandengar itu pemuda berkuda tetap tenang, ujarnya, "Sahabat, aku datang ke Kanglam ini se-kali2 bukan hendak mencari permusuhan. Harap suka memberi jalan, maukah?"
Pemuda baju kuning menengadahkan kepala, tertawa terbahak-bahak. Sejenak ia melirik kepada si dara.
"Didepan orang banyak, engkau berani memukul seorang gadis," serunya tertawa mengejek, "kalau didaerah utura mungkin saja tak ada orang yang mempedulikan tingkah lakumu itu. Tetapi sayang, sekarang engkau berada didaerah selatan. Kalau tak kuberimu hajaran, bagaimana pertanggungan-jawabku kepada gelar yang kusandang sebagai Kang-lam-kim-to-thay-poh? Lekas turun, mari kita bermain-main beberapa jurus saja!"
Kang-lam-to-thay-poh artinya Malaikat golok-emas dari daerah Kanglam. Dan sehabis menantang, pemuda baju kuning itupun segera mencabut pedangnya.
Pemuda berkuda kerutkan alis, berpikir, "Kim to-thay-poh? Mengapa tak pernah kudengar nama semacam itu? Ditilik dari romannya yang cakap, tentulah dia bukan jago sembarangan. Tetapi ah, perlu apa aku harus bertengkar dengan orang semacam itu?"
"Sumoay, mari kita lanjutkan perjalanan," serunya kepada si dara.
"Budak busuk, apa engkau takut?" tiba2 Kim to-thay-po berseru bahkan malah terus membabat kaki belakang kuda pemuda itu.
Kejut pemuda itu bukan alang kepalang untuk menangkis jelas sudah tak keburu lagi. Dan kuda bulu merah kesayangannya itu tentu akan menderita cacat.
"Tarrrr...." Sekonyong-konyong si dara ayunkan cambuk untuk melibat golok pemuda baju kuning, "Kacung karang ajar, jangan gila-gilaan engkau!" serunya.
Si dara terus kerahkan tenaga untuk menarik golok orang tetapi diluar dugaan ternyata pemuda baju kuning itu kuat sekali menahan goloknya. Malah dengan kecepatan yang mengagumkan, tangan kirinya sudah mencengkeram punggung si dara.
"Nona kecil, silahkan turun. Mari kita omong-omong dengan ramah tamah dulu. Perlu apa harus berkelahi," serunya dengan tertawa.
Dengan suatu gerak yang indah dan tangkas, pemuda baju kuning itu menurunkan tubuh si dara dari pelana kuda.
Sorak sorai terdengar bergemuruh dari mulut sekalian penonton. Mereka memuji kepandaian pemuda baja kuning.
Tetapi dara itu malu bukan main. Ia membentak geram, "Kacung kurang ajar, engkau lepaskan tidak?"
Pemuda baju kuning tertawa gelak-gelak. "Nona kecil," serunya, "aku kan membelamu. Aku paling benci kalau melihat orang laki menghina wanita."
Ia lepaskan tangannya dan kembali tertawa. "Asal engkau tak memaki aku, tentu akan kuberimu kesempatan untuk melampiaskan kemarahanmu," katanya.
Setelah meronta lepas, si dara terus menghantam dan memaki, "Kutu busuk! Dia adalah suko-ku sendiri. Siapa yang suruh engkau usil, lihat tinjuku ini!"
Tetapi kepandaian pemuda baju kuning jauh lebih hebat dari si dara. Entah bagaimana caranya ia bergerak, sekali balikkan tangan, tahu-tahu lengan si dara sudah dapat dicekalnya.
"Mengapa air susu engkau balas dengan air tuba? Kutolong engkau tetapi sebaliknya engkau malah mementung kepalaku?" seru pemuda baju kuning dengan tertawa mengakak.
Mendapat godaan begitu macam, merah padamlah wajah si dara. Dengan kuat ia meronta lalu menyurut mundur beberapa langkah. Ketika ia berpaling kearah sukonya, dilihatnya sang suko sudah turun dari kuda dan tegak di tepi jalan mengawasi kejadian itu dengan dingin.
"Semua lelaki di dunia ini mata keranjang," ia mendamprat dalam hati dan terus mencabut pedang. Kemudian berseru kepada si pemuda baju kuning, "Hai, bocah busuk baju kuning, ayo, majulah!"
"Eh, apakah engkau benar-benar hendak berkelahi?" seru pemuda baju kuning.
Selama sepuluh hari berjalan bersama sukonya, si dara itu hanya melihat telaga, sungai, bunga, rumput, terusan sungai dan jalan-jalan yang penuh debu. Yang dijumpai dalam perjalanan iu hanya kaum pedagang dan orang-orang biasa. Tak pernah selama itu ia bersua dengan kaum persilatan
Dara itu seorang anak perempuan yang cerdas tangkas. Tetapi tabiatnya suka usil. Bahwa saat itu dia dapat bertemu dengan seorang pemuda yang diduga tentu seorang persilatan, sudah tentu dia gembira sekali. Tubuh dan tangannya sudah kaku karena selama dalam perjalanan dia tak pernah berlatih. Maka kesempatan itu tak disia-siakannya. Segera ia pasang kuda-kuda.
"Ah, kiranya asal usul nona sedemikian hebat," serunya, "aku yang rendah sungguh berlaku kurang ajar."
Rupanya si dara tak tahu kalau dirinya sedang diolok-olok. Dia malah tertawa cekikikan, "Tahu tidak engkau, siapakah gelar ayahku?" serunya dengan bangga.
Sudah tentu perut pemuda baju kuning itu seperti dikocok-kocok namun ia sabarkan diri dan berkata, "Harap nona suka memberitahukan."
"Sin-kun-poan-koan si Pena-sakti. Pernahkah engkau mendengar nama itu?" seru si dara pula.
Diluar dugaan ternyata Han Ciang si pemuda baju kuning gemetar mendengarnya. "O, kiranya engkau ini puterinya?" serunya.
Hui Kun si dara centil tertawa mengikik, ujarnya, "Apa engkau ketakutan?"
"... Wut" tiba2 ia menusuk dada Han Ciang.
Melihat serangan itu cukup hebat, pemuda baju kuning Han Ciang gerakkan kim-to uutuk menusuk jalan darah Kian-keng hiat pada bahu si dara.
Jurus yang digunakan Han Ciang itu cukup ganas. Baru2 Hui Kun miringkan tubuh untuk menghindar, teriaknya, "Kim-to-thay-po, mengapa engkau hendak mengadu jiwa dengan aku?"
Tetapi wajah pemuda baju kuning tampak membesi. Tanpa berkata apa2, ia menabas lagi.
Setelah menangkis beberapa kali, Hui Kun tampak kewalahan, la terdesak dan main mundur. Sukonya yang selama itu hanya meiihat di samping, diam2 terkesiap dalam hati. "Thay-po macam apa ini? Begitu mendengar nama suhu lantas berobah menjadi ganas. Apakah dia mempunyai ganjelan dengan suhu?" pikirnya.
Ia coba mengingat apa pesan suhunya. Tetapi seingatnya, belum pernah selama ini suhunya. pernah mengatakan tentang seorang yang bernama Kang-lam kim to-thay-po, Giau Han Ciang.
Tetapi ia tak dapat melamun lama2 karena dilihatnya Hui Kun makin terdesak dan sudah mandi keringat. Berulang kali sumoaynya itu menjerit-jerit, menandakan kalau ia tak dapat bertahan lebih lama lagi. Cepat ia melangkah maju.
"Trinnnngg...." tiba2 terdengar dering senjata beradu keras. Rupanya benturan itu begitu kerasnya sehingga Hui Kun kesakitan tangannya dan hampir saja pedangnya terlepas.
"Bagus, Ciau-ya, biarlah jago utara itu tahu rasa!" diantara tepuk sorak dari para penonton terdengar orang berseru begitu.
Tetapi ada juga orang yang berseru mencegah, "Sudahlah, sudahlah. Terhadap seorang budak perempuan masakan begitu bengis."
Ada juga orang yang tertawa gelak2 dan berseru, "Karena bertempur, bertemulah jodoh. Dara itu cantik sekali, jangan-jangan Ciau-ya menaruh hati kepadanya, hah?"
"Ciau-ya kaya dan berpengaruh. Ilmu silatnya tinggi, wajah cakap. Dia menjadi pujaan setiap lelaki, menjadi incaran setiap gadis. Di air orang she Tan tetapi di darat orang she Ciau. Jika budak perempuan itu berhasil menggaetnya, wah, sungguh besar sekali rejekinya," kata lain orang lagi.
Saat itu pemuda tadi hendak melangkah untuk membantu sumoaynya. Tiba2 ia mendengar kata2 dari orang yang terakhir tadi tentang diri Han Ciang. Ia tertegun dan berpaling kearah penonton tadi.
Dari sikap dan nada kata2 mereka yang membicarakan pertempuran itu, terang kalau mereka berdiri di fihak Ciau Han Ciang.
Ia berpaling kearah gelanggang lagi. Ternyata jalannya pertempuran telah berubah. Dengan menggertek gigi dara Hui Kun menarikan pedangnya untuk menyerang jalan darah berbahaya pada tubuh lawannya. Indah dan luar biasa benar permainan pedang Hui Kun itu. Dalam sepuluh jurus saja, ia berhasil merubah situasi, dari yang terdesak menjadi yang mendesak.
Semua penonton berobah kaget wajahnya. Ada yang berbisik-bisik kepada kawannya, "Eh, ilmu pedang apa yang dimainkan dara itu?"
Ternyata memang dalam ilmu silat tangan kosong dara Hun Kun masih kurang. Tetapi dalam ilmu pedang, ia memang mempunyai latihan yang boleh dibanggakan. Dengan mengandalkan kebesaran nama ayahnya, ia malang melintang di daerah utara. Kaum persilatan daerah itu merasa segan dan mengalah kepadanya.
Sejak kecil Hui Kun sudah keliwat manja dan sifatnya suka menang sendiri. Maka betapalah marahnya saat itu ketika ia didesak oleh pemuda baju kuning yang bernama Han Giang. Dengan kerahkan semangat dan perhatian, ia segera mengeluarkan ilmu pedang simpanan yang yang disebut Ang-tik-kim-go-kiam-hwat atau ilmu pedang Buaya-kuning-ditelaga-Ang-tik.
Ayah Hui Kun bernama Ku Pin, satu-satunya tokoh pedang sakti yang masih hidup dalam jaman itu. Ia mempunyai riwayat hidup yang hebat. Dan riwayat itu nanti dalam akhir cerita ini akan dapat pembaca ketahui.
Tentang apa sebab ia mengutus muridnya yang nomor dua dan puteri kesayangannya ke daerah selatan, nantipun pembaca akan tahu.
Ilmu pedang Ang-tik-kim-go-kiam-hwat yang dimiliki Ku Pin itu terdari dari 72 jurus. Ilmu pedang itu diciptakannya ketika ia tengah memancing di telaga Ang-tik-ou (Thay-ou) Merupakan ilmu pedang yang jarang terdapat tandingannya,
Han Ciang si pemuda baju kuning, benar2 kerupukan sekali menghadapi serangan pedang yang bertubi-tubi dan seperti hujan mencurah derasnya. Belum sebuah jurus selesai, jurus berikutnya sudah melancar.
Han Ciang memang berkepandaian tinggi. Tetapi selama itu belum pernah ia berhadapan dengan ilmu pedang yang sedemikian luar biasanya. Pandang matanya mulai berbinar-binar dan kepalapun agak pusing. Tanpa terasa kakinyapun main mundur.
Sebaliknya kini si dara Hui Kun lah yang tertawa gelak-gelak. Dalam kalah, dapat merebut kemenangan. Iapun merasa bangga. Ia mencuri kesempatan untuk melirik kearah sukonya. Suko-nya tentu akan gembira dan memberi pujian, pikirnya.
Ji-suko atau kakak seperguruan yang nomor dua itu bernama Lau Lam Tian. Walaupun dalam urutan dia termasuk murid nomor dua dari Ku Pin tetapi dalam ilmu kepandaian yang dipelajari dari gurunya, dia nomor satu.
Melihat sumoaynya mengeluarkan ilmu pedang Ang-tik-kim-go-kiam-hwit, Lam Tian kerutkan alis. Suhunya telah memberi pesan wanti-wanti. Jika tak terpaksa sekali, jangan sampai mengeluarkan ilmu pedang itu.
Sebenarnya dalam menciptakan ilmu pedang itu, Ku Pin tak barmaksud hendak menjagoi dunia persilatan. Ilmu pedang itu hanya diciptakan untuk menghadapi seseorang. Dan ilmu pedang itu hanya ia turunkan kepada muridnya yang nomor dua, murid yang disayangi. Dan juga kepada puteri tunggalnya, Ku Hui Kun.
Ku Pin mempunyai delapan murid. Tetapi tak seorangpun dari mereka yang pernah menyaksikan ilmu pedang itu, kecuali La m Tian.
Melihat Hui Kun memainkan dengan lancar, Lam Tian merasa tak mudah untuk mencegahnya lagi. Sepintas ia malah teringat akan jurus terakhir dari ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat itu.
Kala itu suatu malam dari musim rontok tahun yang lalu. Sin-kun-poan-koan Ku Pin sehabis melingkarkan pedangnya ke kanan kiri, sekonyong-konyong berdiri tegak.
"Inilah jurus yang terakhir dari ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat," serunya, "ilmu ini kaya dengan jurus yang indah. Tak mudah untuk mempelajarinya. Tetapi jika kalian dapat meyakinkan sampai enam tujuh bagian saja, di daerah Kanglam dan Kangpak, mungkin tak ada orang yang mampu menandingi. Tian-ji, Hui-ji, cobalah kalian mainkan," katanya kepada Lam Tian dan Hui Kun.
Lam Tian dan Hui Kun tampil dengan pedangnya. Menurutkan petunjuk sang guru, mereka segera memainkan dengan pelahan-lahan. Sambil mengawasi gerakan kedua anak muda itu, mulut Ku Pin tak henti-hentinya menguraikan rahasia keindahan dan keganasan ilmu pedang yang sakti itu. Sampai terang tanah barulah kedua anak muda itu hentikan latihannya!
Saat itu dengan wajah serius berkatalah Ku Pin, "Tian-ji, Hui-ji, kalian harus berlatih dengan sungguh2. Setiap hari harus berlatih baru ada hasilnya, Ilmu pedang itu kuciptakan dalam waktu delapan tahun empat bulan. Untuk menguasainya, jelas tak mungkin dalam waktu sehari dua hari. Dengarlah, setelah kalian dapat menahankan dengan sempurna, jika tak terancam bahaya atau sebelum mendapat ijinku, kalian tak boleh memamerkan ilmu pedang itu disembarang tempat. Mengerti?"
"Mengapa?" tanya Hui Kun heran.
"Lakukan pesanku ini, tak usah tanya sebabnya," sahut ayahnya.
"Yah, kalau begitu perlu apa engkau ajarkan ilmu pedang itu kepadaku?" Hui Kun yang centil membantah.
Seketika berobahlah wajah ayahnya, "Budak hina, engkau berani membangkang perintah ayah," bentaknya.
Sebagai puteri tunggal, memang Hui Kun amat manja dan disayang seperti mustika. Selama ia tak pernah melihat wajah ayahnya begitu bengis dan membentaknya sedemikan keras. "Yah.... aku...."
"Tak usah banyak bicara lagi! Siapa yang berani membangkang perintahku, kembalikanlah ilmu pedang itu kepadaku!" cepat Ku Pin menukas makin bengis.
Apa yang dimaksud dengan mengembalikan ilmu pedang itu adalah istilah dari kaum persilatan yang berarti, si murid harus memotong kedua belah tangannya untuk diserahkan kepada sang guru.
Melihat sikap sang ayah yang mendadak saja begitu galak, terbanglah semangat Hui Kun. Airmatanya berlinang-linang. Untung Lam Tian seorang pemuda yang cerdas, buru2 ia menarik tangan sang sumoay diajak tampil ke hadapan Ku Pin. "Suhu, kami berdua telah mendengar jelas dan akan menjunjung perintah suhu," katanya.
Ku Pin lambaikan tangannya, "Bagus, kalian boleh beristirahat.
Dengan hormat Lam Tian mengiakan lalu memimpin sang sumoay diajak keluar.
"Tunggu!" tiba2 Ku Pin berseru memanggil mereka.
Kedua anak muda itu buru2 hentikan langkah dan berpaling.
"Apakah suhu hendak memberi perintah lagi?" tanya Lam Tian.
"Tian-ji, jawablah. Pada waktu kuajarkan engkau ilmu pedang itu, apakah ada orang yang mengetahui?" tanya Ku Pin.
"Suhu hanya mengajarkan pada kami berdua. Toa-suko dan sam-sute serta lain-lain sute tak tahu semua," sahut Lam Tian.
"Apakah engkau tahu maksudku?" tanya Ku Pin pula.
Lam Tian mengatakan tak tahu dan minta penjelasan.
Ku Pin menghela napas, "Mengapa ilmu pedang itu hanya kuajarkan pada kalian berdua, sudah tentu ada maksudnya. Tujuanku menciptakan ilmu pedang itu, tak lain hanyalah karena hendak kutujukan pada seseorang. Aku terpaksa harus menciptakan ilmu pedang itu untuk mengalahkannya. Selama aku masih hidup, aku tentu akan mencarinya," katanya, lalu menghela napas lagi.
"Tetapi sebagaimana angin dan awan, nasib manusiapun tak berketentuan," katanya pula, "apa bila sebelum aku berhasil mencarinya aku sampai tertimpa sesuatu yang tak diinginkan maka tugas yang belum selesai itu akan kuserahkan kepada kalian berdua."
Mendengar itu Lam Tian dan Hui Kun terkesiap kaget.
"Yah, siapakah orang itu? Mengapa ayah hendak mencarinya? Apakah engkau mempunyai dendam permusuhan dengan dia?" tanya Hui Kun.
Ku Pin membisu. Angin berhembus meniup jenggotnya yang menjulai panjang. Jago tua itu makin keren sikapnya.
Beberapa saat kemudian baru kedengaran ia berkata, "Hun-ji, soal itu lebih baik sekarang ini engkau tak perlu tahu dulu. Apabila sudah tiba saatnya, ayah tentu akan menceritakan kepadaku agar engkau mengetahui bahwa di dunia ini ternyata terdapat seorang wanita yang amat ganas."
"Wanita?" Hui Kun menegas.
"Hui-ji. harap kalian keluar. Tinggalkan aku seorang diri. Aku hendak mengheningkan pikiran sampai tiga hari," kata Ku Pin.
Sejak itu benar juga Ku Pin menyekap diri dalam ruang rahasia selama tiga hari. Lam Tian dan sumoaynya keluar dengan membawa teka teki mengenai suhunya mereka.
Siapakah gerangan wanita ganas itu.
Ku Pin bergelar Sin-kun-poan-koan. Tindak-tanduknya selama ini selalu baik dan lurus.
Demikianlah pada saat itu dikala Lam Tian menyaksikan pertempuran sumoaynya dengan Han Giang, tiba'2 saja Lam Tian terkenang akan peristiwa yang dialaminya ketika masih di perguruan. Dan tiba2 pula saat itu ia teringat akan pesan wanti2 dari suhunya: "Siapa dari kalian yang berani melanggar perintahku itu, akan kuminta kembali ilmu yang kuajarkan kepada kalian...."
Tanpa terasa keringat Lam Tian bercucuran deras.
"Tiiiing...." tiba2 terdengar suara gemerincing nyaring. Lam Tian tersentak kaget dari lamunannya. Dilihatnya pada pertempuran itu telah terjadi perobahan lagi. Kini Kim-to-thay-po Ciau Han Ciang tampak membolang-balingkan goloknya menjadi sebuah tembok golok. Serangan pedang Hui Kun yang luar biasa gencarnya itu, terpancang diluar tembok golok.
Dengan menyandang gelar Kim-to-thay-po atau Malaikat-golok-emas, sudah tentu Ciau Han Ciang mempunyai keistimewaan. Ia memang kaget setengah mati menerima serangan ilmu pedang Hui Kun yang begitu luar biasa. Karena bingung dan tak dapat menduga isi atau kosongnya serangan lawan, terpaksa ia bertahan diri.
Segera ia memainkan ilmu golok pelindung diri dari perguruannya. Dan segera pula tubuhnya seperti dibungkus oleh sinar golok. Sedemikian rapat sinar golok itu membungkus tubuhnya sehingga andaikata ditimpa hujan, air hujan itu tak nanti dapat menerobos mengenai tubuhnya.
Seperti yang dikatakan diatas, ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat ciptaan jago tua Ku Pin itu, memang hebat tiada tandingan. Tetapi mengapa Hui Kun tak mampu merubuhkan lawannya? Soalnya adalah, baik ilmu pedang maupun ilmu golok, kesemuanya harus dimainkan dengan tenaga lwekang (tenaga dalam). Makin tenaga lwekang orang yang memainkan itu makin hebat, perbawa ilmu pedang itupun makin hebat. Jika Lwekang kurang tinggi, betapa hebat dan indah ilmu pedang atau ilmu golok itu, pun tetapi hasilnya tak memadai atau tak seperti yang diharapkan.
Hui Kun baru dua tiga bulan mempelajari ilmu pedang itu. Untuk meyakinkan dengan sempurna sebuah ilmu pedang, harus memerlukan waktu yang lama, kadang sampai beberapa tahun. Maka kalau Hui Kun tak dapat menerobos 'dinding golok ' dari Han Ciang, memang dapat dimaklumi. Karena tak dapat mengembangkan permainan pedangnya, Hui Kun mulai mengucurkan keringat dingin.
Melihat itu Lam Tian gelisah. Kalau peristiwa Hui Kun menggunakan ilmu pedang simpanan itu akan didengar suhunya, bagaimanakah ia nanti akan membela sumoaynya?
Juga diam2 Lam Tian mulai kuatir. Dengan disertai seorang sumoay yang kepandaiannya masih begitu dangkal, bagaimana sumoaynya itu nanti akan dapat membantunya dalam menunaikan tugas yang diterima dari suhunya itu?
Bermula dengan mengeluarkan ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat, Hui Kun mengira kalau dalam sepuluhan jurus ia tentu dapat menyelesaikan pertempuran. Siapa tahu, setengah jam telah berlalu dan ternyata jangankan dapat melukai, sedang menyentuh ujung baju lawan saja ia tak mampu.
Mau tak mau Hui Kun jadi bingung. Seketika Tiba2 dara itu bersuit nyaring dan permainan pedangnyapun mendadak berobah. Gerakan pedangnya kini serba cepat dan lincah sekali. Dari samping menyerang maju, ujung pedang disodokkan untuk menutuk lambung Han Ciang.
Han Ciang terkejut dan tak berani berlaku ayal. Cepat ia lintangkan golok untuk menutup serangan si dara. Tapi diluar dugaan, tutukan Hui Kun itu hanya suatu gerak serangan kosong. Tiba2 ujung pedangnya dijungkatkan keatas terus dijungkirkan untuk memapas lengan kiri Han Gang. Pada saat Han Ciang menangkis tadi, ujung pedang Hui Kun sudah terpisah tiga inci dari sasarannya.
"Hm, kalau sumoay gunakan jurus To-kwa-kim-go, tak nanti pertempuran sampai berlarut seratusan jurus" diam2 Lam Tian membatin seraya kerutkan alis.
Dia kuatir Hui Kun akan berlaku ganas. Karena saat itu sumoaynya sedang melancarkan jurus To-kwa-kim-go. Dan apabila jurus itu selesai, lengan kiri Han Ciang pasti akan kutung. Buru2 Lam Tian siapkan sebatang hui-to atau golok terbang yakni senjata rahasia yang berbentuk seperti paser. Dia akan menolong Han Ciang apabila pemuda itu sampai terancam bahaya maut.
Tetapi diluar dugaan sekonyong-konyong Han Ciang berseru keras dan entah bagaimana cara dia bergerak, tahu2 tangan kirinya sudah dapat mencengkeram pedang si dara. "Lepas!" bentaknya.


Benci Tapi Rindu Cinta Dibawa Mati Karya Sd Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekali dorong, Hui Kun pun terhuyung-huyung ke belakang dan pedangnya berpindah ke tangan Han Ciang. Saking kejutnya, Hai Kun sampai ter-longong2.
"Mengapa dia berani mengambil resiko akan putus tangannya untuk menangkis seranganku itu, "demikian yang menjadi keheranan Hui Kun.
Setelah merebut pedang, Han Ciang tertawa gelak2. Tangan kirinya tetap utuh tak menderita luka sedikitpun juga.
Memang Hui Kun tak tahu rahasianya, mengapa Han Ciang berani melakukan itu. Ternyata pemuda itu memang memakai sarung tangan yang terbuat dari baja lemas yang tak mempan ditabas senjata. Dengan memakai alat pelindung itu, sudah tentu Han Ciang tak kuatir kehilangan lengannya dan berani menangkis pedang si dara.
"Wut...." Han Ciang timpukkan pedang dari Hui Kun itu ke sebatang pohon yang tumbuh di tepi jalan.
"Cret...." pedang menyusup batang pohon, tangkai pedang bergetar-getar keras.
"Nona Ku, engkau menyerah kalah atau tidak?"
Hui Kun tertawa mengejek, "Siapa yang menyerah kalah kepadamu?"
Kembali terdengar gemuruh suara para penonton yang memuji kepandaian Ciau Han Ciang.
Mereka gembira sekali melihat Han Ciang dapat menundukkan dara liar tetapi lihay, dari daerah utara.
Mendengar itu bukan main marah dan malu Hui Kun. Berpaling kearah sukonya, ia berseru, "Ji-suko, jika engkau tetap tak mau turun tangan, lihat saja kalau nanti aku sudi mempedulikan engkau lagi."
"Aduh mak, mempelai perempuan kalah lalu muring2 dan suruh mempelai laki membantu," kembali para penonton bertepuk tangan mengejek.
Lam Tian kerutkan alis lalu membentak keras, "Ayo, kalian enyah semua!" Ia terus melesat menerjang rombongan penonton itu. Beberapa penonton yang tak sempat menghindar, segera terlempar sampai beberapa meter jauhnya,
"Ayo, siapa lagi yang masih tak mau pergi!" teriak Lam Tian seraya merentang kedua tangan untuk mendorong dan menampar mereka yang membandel.
Seketika disana sini terdengar suara mengaduh kesakitan dan bubarlah penonton2 yang iseng itu. Siapa yang ayal lari tentu kena disambar Lam Tian terus dilemparkan kedalam terusan sungai.
"Blungg...." air sungai muncrat sampai beberapa meter tingginya setiap kali sesosok tubuh terlempar kedalamnya.
Di terusan sungai saat itu terdapat beberapa belas perahu yang tengah berlabuh.
Ada beberapa tukang perahu yang semula kepingin menyaksikan ramai2 itu, melihat Lam Tian mengamuk, mereka buru2 mengayuh perahunya jauh2.
Orang2 yang dilemparkan Lam Tian kedalam terusan sungai itu merangkak keatas daratan lagi. Mereka basah kuyup seperti tikus kecemplung minyak alias tili-tili. Dengan terbirit-birit mereka terus melarikan diri.
Melihat itu Hui Kun tertawa cekikikan. Separoh dari kemarahannya serasa dapat disalurkan keluar. Sebaliknya Giau Han Ciang tertawa mengejek, serunya, "Gagah benar anda menghadapi orang2 yang tak bisa apa2 seperti mereka. Tetapi entah bagaimanakah kepandaian yang sesungguhnya dari anda itu?"
Tanpa menyahut Lam Tian enjot tubuh, melambung keatas. Tangan kirinya diulurkan untuk mencabut pedang Hui Kun yang tertancap di batang pohon lalu diserahkan kembali kepada sumoay-nya seraya berbisik, "Ayo, jalani"
"Ih, pergi? Masakan begitu mudah?" seru Han Ciang.
"Engkau masih apalagi? Apakah kita harus bertempur?" bentak Lam Tian dengan keras. Rupanya dia muak melihat sikap pemuda baju kuning itu.
Ciau Han Ciang tertawa dingin, "Ha, kalau tak mau bertempur, pun tak mengapa. Asal engkau tinggalkan sumoaymu itu kepadaku."
Sebenarnya Lam Tian tak mau berkelahi. Maka sejak tadi dia selalu diam dan menahan kesabaran. Tetapi demi mendengar kata2 yang kelewat kurang ajar dari pemuda baju kuning itu, seketika meluaplah amarahnya.
"Orang she Ciau, jika engkau masih ngoceh tak keruan, jangan salahkan aku tak kenal kesopanan," bentaknya.
"Aku bukan bermaksud menantangmu. Harap jangan salah paham," kata Han Ciang seraya terus berpaling kearah Hui Kun lalu berkata, "Nona, bukan maksudku hendak mematahkan tangkai bunga liu, tetapi apa mau dikata. Ayahmu itu adalah musuh besar dari keluargaku marga Ciau di Souciu. Jika engkau tak mau menyerah, silakan pergi ke Sou-ciu."
"Apa? Musuh besar?" teriak Hui Kun.
"Ah, jangan nona berlagak pilon. Sepuluh tahun yang lalu Sin-pit-poan-koan Ku Pin telah mengadu biru di Sou-ciu dan telah menghajar ayahku. Peristiwa itu telah tersiar luas diseluruh dunia persilatan. Masakan engkau masih tak tahu?" sahut Han Ciang dengan nada dingin.
"O, pantas, pantas," seru Hui Kun.
"Pantas bagaimana?" Han Ciang terbeliak.
"Waktu kukatakan siapa ayahku, wajahmu terus berobah seperti orang mau berak. Hm, kiranya ada peristiwa begitu," ujar Hui Kun.
Bagi Hui Kun yang suka usil, soal menuntut balas memang paling digemari.
"Bagus," serunya serentak, "pepatah mengatakan 'kalau musuh lama saling bertemu, matanya tentu akan menyala'. Aku bersedia ke Sou-ciu. Ayahmu adalah jago yang sudah dikalahkan ayahku, masakan ayahmu tak boleh kalah satu kali lagi!"
"Bagus, itu memang yang kuharap," seru Han Giang.
Secepat loncat keatas kuda, Hui Kun terus mau kue Han Ciang ke Sou-ciu. Sudah tentu Lam Tian kelabakan. Dari pembicaraan Han Ciang tadi, ia mendapat kesan bahwa urusan bakal berlarut panjang.
Kini diketahui bahwa Han Ciang bukan hanya seorang pemuda usil yang karena ingin mengunjukkan ilmu kepandaian dan ingin sok jagoan, lalu usil mencari gara2. Tetapi pemuda baju kuning ternyata putera dari Ciau Toa To itu memang mempunyai dendam permusuhan dengan suhunya.
Diam2 ia mengeluh. Belum tugas yang diberikan suhunya dapat diselesaikan, sekarang di tengah jalan ia mendapat urusan lagi. Jika tak menerima ajakan pergi ke Sou-ciu, tentu pihak keluarga Ciau, menganggapnya lemah atau takut. Tetapi kalau pergi kesana, berarti akan menghambat waktu. Ia tak tahu sampai kapan urusan dendam itu dapat diselesaikan.
Memikir sampai beberapa saat, belum juga Lam Tian dapat memutuskan. Tiba2 ia seperti di sadarkan.
"Eh, mengapa aku lupa. Bakankah perjalananku ke telaga Thay-ou ini tentu juga harus melalui Sou-ciu juga? Tetapi mengapa suhu tak menyebut-nyebut tentang permusuhannya dengon keluarga Ciau Toa To? Kalau begitu, tentu suhu tak menghendaki aku melibatkan diri dalam dendam dengan Ciau Toa To. Ya, lebih baik kalau aku melanjutkan menyelesaikan tugas yang diberikan suhu itu saja," pikirnya.
Setelah menemukan keputusan, cepat dia mencemplak kudanya dan berseru, "Sumoay, ayo kita berangkat."
Dia kuatir kalau si dara tak mau menurut, Lam Tian terus menyambar geraham mulut kuda sumoaynya yang terus ditarik dan dibentaknya. Kedua ekor kuda bulu kuning dan merah, terus men congklang pesat dan dalam sekejab saja kedua suheng dan sumoay itu sudah jauh.
Ciau Han Ciang terkejut. Cepat diapun lari dan loncat keatas kudanya lalu mencongklangkan mengejar.
"Hai, sahabat, ucapanmu tadi kata2 dari manusia atau hanya kentut anjing saja!" teriaknya.
Diam2 Lam Tian menertawakan pemuda itu. "Hm, kalau mengejar aku, berlatihlah sepuluh tahun lagi," batinnya.
Ia keprak kudanya lagi. Sekejab saja, Hau Ciang sudah ketinggalan jauh di belakang dan lewat beberapa saat kemudian, sudah tak kelihaian bayangannya lagi.
"Ji-suko, engkau benar2 tak punya nyali. Orang telah berkelahi mati-matian, tetapi engkau dingin2 saja melihati," Hui Kun mulai ber-sungut2.
"Kita diperintah suhu ke Thay-ou. Selama tugas belum selesai, janganlah kita cari perkara lain," sahut Lam Tian.
"Cari perkara, katamu? Apakah urusan dendam dari ayah itu juga termasuk urusan lain?" bantah Hui Kun dengan menakal.
"Sumoay, ketika turun gunung, apa kata suhu?" balas Lam Tian dengan nada bengis.
"Ya, terserah saja kepadamulah," akhirnya Hui Kun mengalah juga.
"Terima kasih."
"Tetapi kali ini terpaksa aku tak menurut engkau. Aku hendak mencari rumah orang she Ciau itu untuk menghajar mereka sampai cindil abangnya," celetuk Hui Kun.
Lam Tian gelengkan kepala. Dia tak mau meladeni lagi. Beberapa waktu kemudian, tibalah mereka di kota Sou-ciu.
Sou-ciu merupakan sebuah kota besar di daerah Kanglam. Penduduknya penuh sesak, kotanya ramai sekali.
Kala itu sang surya mulai condong ke barat. Haripun mulai gelap. Hui Kun mengajak sukonya mencari rumah penginapan.
"Rumah penginapan yang mana?" tanya Lam Tian.
Si dara menunjuk ke arah sebuah rumah makan besar yang terletak di ujung jalan dan bertanya, "Bagaimana kalau yang itu saja?"
Diam sejenak, Lam Tian gelengkan kepala. Ia kuatir nanti Han Ciang akan menyusul kesitu maka ia tak mau mencari rumah penginapan yang besar dan ramai melainkan mencari losmen yang agak sepi dibagian barat kota. Ia mendaftarkan diri dengan nama lain dan meminta dua buah kamar.
Jongos mengira kalau kedua muda mudi itu tentang sepasang temanten baru maka ia mengharapkan akan mendapat pesanan hidangan yang istimewa. Tetapi ketika Lam Tian menerimakan nota pesanan yang ternyata hanya meminta hidangan yang biasa saja, pelayan itu cibirkan bibir dan ngacir dengan langkah ogah-ogahan.
"Ji-suko, mengapa kita datang ke Sou-ciu dengan cara seperti pencuri? Bukan saja langkah kita ini harus dirahasiakan, pun bahkan makan daging sapi saja tak boleh. Hm, aku kecewa ikut engkau," Hui Kun mengomel panjang pendek.
Dia jebikan mulut dan duduk mengambek di kursinya.
"Di air orang she Tan, di daratan orang she Ciau, masih ingatkah engkau?" sahut Lam Tian, "yang menguasai perairan Thay-ou itu orang she Tan dan yang bersimaharajalela di kota Sou-ciu ini orang she Ciau, yaitu Ciau Toa To. Dia berkepandaian tinggi dan berpengaruh besar. Jangan memandang rendah!"
Hui Kun tak menyahut. Tetapi dara itu memang terus cari2 saja. Ia mendapatkan kamar yang akan dipakainya itu sempit dan kotor. Ia merasa kegerahan dan kembali muring2.
Tetapi Lam Tian tak menghiraukan. Beberapa saat kemudian, jongos muncul dengan membawa hidangan yang dipesan tadi. Setelah meletakkan hidangan, jongos itu terus ngeloyor pergi tanpa permisi.
"Tuh lihat, betapa kurang ajar jongos itu. Hm, jika engkau tak mau menghajarnya, aku yang akan turun tangan melabraknya," Hui Kun marah-marah.
Habis berkata ia terus loncat hendak menghajar jongos itu. Tetapi Lam Tian cepat menarik lengannya dan membentak pelahan, "Siau-sumoay, engkau dengar kata atau tidak?"
"Engkau mau lepaskan lenganku atau tidak?" Hui Kun balas berteriak.
"Kalau engkau mau mendengar kata, tentu kulepas. Jika tidak mau, akupun takkan melepaskan," kata Lam Tian.
"Tidak mau, tidak mau!" dara itu melengking.
Lam Tian menganggap dengan cara halus tak dapat mengatasi sumoaynya yang bengal. Akhirnya dia hendak mencoba dengan cara keras.
"Siau-sumoay, apakah engkau sungguh tak mau menurut kata?" serunya dengan tertawa.
Dengan dicengkeram baju belakangnya, Hui Kun tak dapat berkutik. Ia makin penasaran.
"Engkau mau apa?" ia menantang.
"Apakah engkau mau menerima atau tidak?" Lam Tian menegas.
Tiba2 Hui Kun menjerit keras.
Lam Tian tertawa, "Kalau jongos sampai mendengar dan datang kemari, engkan tentu malu, lho!"
Hui Kun berhenti berteriak. Tangan kanan Lam Tian masih mencengkeram kencang, sedang tangan kirinya menjemput daging dan arak. Ia makan sendirian dengan lahapnya.
"Hai, perutku sudah keroncongan, apa engkau masih tak mau melepaskan?" Hui Kun menjerit.
"Takkan kulepaskan, silakan engkau berdaya sendiri," sahut Lam Tian.
Ia meluruskan tangan kanannya yang mencekal si dara sehingga dara itu tak dapat mencapai meja.
Dengan komat kamit, hidangan di meja dihabiskan sendiri oleh Lam Tian. Perut Hui Kun terdengar berkerucukan.
"Engkau mau menurut kata atau tidak?" kembali Lam Tiam menegas dengan tertawa.
"Tidak!" seru Hui Kun makin keras.
Lam Tian terbahak-bahak, "Baik, malam ini engkau tidur dengan berdiri, aku duduk menemanimu, ya?" Ia menampar-nampar perutnya seperti orang yang kekenyangan.
Beberapa kali Hui Kun coba meronta tetapi tangan sukonya seperti sebuah jepitan baja yang keras. Betapapun dia rnengerah tenaganya, tetap tak dapat berkutik.
"Siau-sumoay, jika engkau hendak lepas dari cekalanku, ada dua macam caranya. Pertama, engkau boleh berteriak sekeras-kerasnya. Nanti tentu ada orang datang melawat kemari. Nah, saat itu terpaksa tentu kulepaskan. Bagus tidak cara itu?"
"Huh!" mulut Hui Kun menyembur dan tiba-tiba ia berteriak, "Kena!"
Dara itu mengayunkan pukulan tetapi ternyata ia terpisah satu meter dari sukonya. Pukulannya hanya melayang lewat muka Lam Tian.
Lam Tiam tertawa geli, "Anggap saja aku terkena pukulanmu. Tapi yang menderita tetap engkau sendiri. Jangan bersikap tolol, asal selanjutnya engkau mendengar kataku, sekarang segera kulepaskan."
"Engkan kelewat menghina aku. Awas, kalau pulang tentu kulaporkan ayah," kata Hui Kun.
"Silakan," sahut Lam Tian, "lihat saja beliau akan mendamprat siapa, aku atau engkau. Ai, ya, karena ternyata engkau tak suka dengan cara yang pertama, sekarang boleh coba saja dengan cara yang kedua. Tak usah engkau menjawab tetapi cukup dengan menganggukkan kepala sebagai pernyataan engkau menerima permintaanku untuk selanjutnya engkau akan mendengar kata-kataku. Setelah itu baru kulepaskan. Jika tidak, hm, biarlah bergadang sampai pagi. Lihat saja, siapa yang tahan menderita, aku atau engkau."
Hui Kun mengerut diam. Karena tak berdaya untuk melepaskan diri lagi terpaksa ia tundukkan kepala dan berkata, "Baiklah, aku meluluskan, huh, apa engkau masih tak mau melepaskan?"
"Bagus, begitulah," seru Lam Tian seraya lepaskan cengkeramannya.
Dengan murka Hui Kun deliki mata kepada sukonya itu. Karena perut sudah keliwat merintih rintih, tanpa menghiraukan nasi sudah dingin dan arakpun hanya tinggal sisa saja, ia terus menyerbu hidangan sampai ludas.
Melihat itu diam2 Lam Tian tak tega karena telah menghukumnya. Tetapi apa boleh buat. Terhadap seorang dara yang keras kepala seperti Hui Kun, rasanya sesekali harus diberi pil pahit juga.
Setelah Hui Kun selesai makan, Lam Tian jantas mengantari secawan teh panas.
"Hoaa, mulia sekali hati budimu," Hui Kun tertawa mengejek, "ai, tetapi seri baginda, apakah patik diperkenankan minum teh ini?"
"Memang untukmu," sahut Lam Tian.
Setelah meneguk teh, semangat Hui Kun segar kembali. Diam2 dia mencari akal bagaimana hendak membalas perbuatan sukonya tadi.
Lam Tian berbangkit untuk menutup jendela.
"Sumoay, malam ini kita harus lekas2 tidur untuk memulihkan semangat agar besok pagi kita sudah segar kembali untuk melanjutkan perjalanan. Orang she Tan di perairan, orang she Ciau di daratan. Ilmu air dari kawanan telaga Thay-ou itu memang hebat sekali. Ketua mereka bernama Tan Theng Kau, mahir menggunakan sebatang kayuh besi. Dia gagah perkasa sekali,"
"Siang2 ayah sudah memberi tahukan hal itu kepadaku. Tak usah engkau menyanjungnya setinggi langit begitu," Dengus Hui Kun.
"Segala apa harus berhati-hati. Kita baru pertama ini keluar ke dunia persilatan. Kita sendiri mendapat kesukaran, itu sih tak soal. Tetapi nama baik dari ayahmu yang begitu semarak selama berpuluh tahun, jangan sampai kita cemarkan."
"Jangan berkotbah yang merawankan hati. Ah, lebih baik engkau ceritakan hal2 yang menyenangkan hati saja. Hatiku sedang pepat, nih," sungut Hui Kun.
"O, kalau begitu ceritakan dong, biar aku ikut merasakan."
"Yang enak engkau, yang kesal aku."
"Mengapa?" "Aku bercerita panjang lebar sampai mulutku linu, engkau hanya enak enakan saja mendengarkan." sahat Hui Kun.
"Lha, habis?" "Apa engkau berani bertanding main catur?" tanya Hui Kun terus mengeluarkan seperangkat biji tio-ki atau catur.
Biji2 tio-ki itu terbuat dari pada gading, harganya mahal sekali.
"Eh, dari mana engkau mendapatkan alat2 catur itu?" Lam Tian heran.
"Sudahlah, jangan ingin tahu saja. Pokoknya kita main," tukas Hui Kun.
Lam Tian terpaksa melayani. Demikian kedua saudara seperguruan itu sambil main catur sambil minum teh.
Dalam ilmu silat, Lam Tian memang lebih unggul. Tetapi dalam main catur, dia bukan tandingan Hui Kun. Dalam beberapa langkah saja, Hui Kun berhasil menyusup biji kuda dan (benteng) dan Bau (meriam) ke kubu lawan dan menghabiskan biji2 catur Lam Tian sepuas-puasnya.
Lam Tian tak berdaya sama sekali. Dia hanya dapas bertahan, tak mampu balas menyerang.
Sambil 'memakan' sebuah biji Ki dari suko-nya, Hui Kun tertawa gelak2, "Baginda, apakah kudamu boleh kuambil? "Cret" dia terus menyambar biji kuda Lam Tian.
Dua tiga langkah lagi, kembali Hui Kun tertawa mengejek, "Baginda, apakah Gajahmu yang pincang itu boleh kumakan?" Ia terus mengangkat biji Bau (meriam) tetapi tak mau menggasak biji gajah.
Lam Tian peras otak tapi tak berhasil meloloskan biji caturnya, Akhirnya ia berseru,. "Makanlah, mengapa engkau tak jadi makan?"
"Sebelum baginda mengijinkan masakan aku berani sembarangan memakan? Jika engkau tak mengangguk, aku tak berani menggasak," sahut si dara.
Lam Tian tertawa getir dan terpaksa menganggukkan kepala. Biji Gajahnya segera diambil Hui Kun selalu mengejeknya dengan minta ijin dan menyebut baginda.
"Aku memikirkan kepentinganmu tetapi ternyata engkau sakit hati dan membalas dendam kepadaku," batin Lam Tian.
Dalam set itu, sejak mulai sampai pertengahan, Hui Kun menang angin. Langkah2 selanjutnya dikuasai Hui Kun hingga sukonya tak berdaya sama sekali.
Hui Kun kegirangan. Dengan tertawa ha-ha, ha-ha, hi-hi, ia tak mau. lekas2 menghabiskan biji Raja dari sukonya, melainkan sengaja memberindili atau memakannya satu demi satu sampai habis.
"Ada kalanya para penjual kecil dan orang-orang di jalanan itu tak boleh di pandang rendah. Wanitapun demikian juga," Hui Kun menertawakan.
Tahulah Lam Tian bahwa kata2 itu ia yang mengucapkan. Sekarang Hui Kun hendak menggunakan kata2 itu untuk memukulnya alias senjata makan tuan. Namun ia tak punya waktu untuk adu mulut karena ia tengah mencurahkan pikiran untuk menangkis serangan biji catur Hui Kun yang saat itu tengah mengancam 'Raja' nya.
Melihat dahi sang suko mengerut dalam, Hui Kun kembali tertawa, "Baginda, apakah aku boleh membantumu?"
Sekonyong konyong Lam Tian meniup padam lilin dan masukkan biji catur kedalam lengan bajunya.
Hui Kun marah dan mengejek, "Huh, tak bisa menang terus main curang?"
"Ssst," bisik Lam Tian, "ada tetamu malam datang, jangan bersuara!"
Hui Kun gugup dan serentak mencabut senjatanya.
"Tak usah gugup, kita lihat saja siapa yang datang nanti" Lam Tian tersenyum.
Dengan berindap-indap keduanya menghampiri jendela dan berjongkok dibawahnya. Dari celah-celah jendela itu mereka mengintip keluar. Tapi di bawah cahaya rembulan yang terang benderang, dduar kamar tak tampak bayangan orang sama sekali.
"Ji-suko, karena kalah main catur, engkau terus mengolok-olok aku dengan sandiwara ini, bukan?" Hui Kun menuduh.
Lam Tian menunjuk kearah pagar tembok, ujarnya, "Siapa membohongi mu, lihatlah itu!"
Menurut arah yang ditunjuk suko, benar juga Hui Kun melihat sesosok tubuh orang tengah mendekam diatas pagar tembok. Orang itu diam seperti patung.
"Bagus, biar aku yang meringkusnya." kata Hui Kun terus akan loncat keluar jendela.
"jangan," cepat2 Lam Tian mencegah, "musuh diam, kita tak boleh bergerak. Sumoay, masih ingatkah engkau akan pelajaran dalam permainan catur tadi?"
Pendatang yang tak dikenal itu memang lihay sekali. Sedikitpun dia tak mengeluarkan gerak yang bersuara sehingga Hui Kun tak dapat mendengar sama sekali.
"Ji-suko memang lihay," diam2 ia mengagumi Lam Tian, "sayang orangnya kelewat kukuh sekali. Orangnya masih muda tetapi hatinya seperti orang tua. Sama sekali tak kenal seni keindahan. Jauh bedanya dengan toa-suko."
Toa-suko yang dimaksudkan itu bernama Un Tiong Bing. Orangnya ganteng dan supel atau pandai bergaul, ramah tamah terhadap wanita. Hui Kun suka kepadanya. Karena kebetulan toa suko-nya itu sedang pergi ke Shoatang, maka tak dapat ikut dengan mereka. Jika dia ada, tentulah Hui Kun tak sampai cekcok dengan ji-sukonya.
Karena tetamu malam itu tak bergerak, Lam Tianpun tinggal diam juga. Saat itu Hui Kun berada di sampingnya. Begitu dara itu bergerak untuk mengintip keluar, terangkum hawa wangi telah menyampok hidung Lam Tian.
Sejak dalam perjalanan, baru pertama kali itu Lam Tian duduk rapat dengan sumoanya. Tanpa disadari ia berpaling memandang sumoaynya....
"Buk", tiba2 terdengar suara benda membentur tembok. Ketika Lam Tian berpaling memandang keluar ternyata diatas pagar tembok itu sudah tambah lagi dengan seorang lain.
Tanpa menghiraukan sukonya yang tengah memandang kepadanya, Hui Kun berbisik, "Tuh tambah seorang lagi. Baginda, bagaimana kita harus bertindak?"
Karena dirinya selalu disebu 'baginda', Lam Tian geli2 mendongkol.
"Setan usil, belum tentu orang itu akan menyeterui kita. Tunggu dulu bagaimana sikap mereka baru kemudian kira bertindak. Sekarang jangan kita sembarangan bergerak dulu."
Dengan balas mendamprat 'setan usil' kepada sumoaynya, Lam Tian duga Hui Kun tentu akan membalasnya juga. Tetapi diluar dugaan "baginda, patik menurut."
Tiba2 terdengar orang yang mendekam di pagar tembok itu bertanya dengan bisik2 kepada kawannya, "Bagaimana?"
"Sam-suheng telah menyelidiki dengan jelas. Ada di loteng kamar nomor delapan," sahut yang ditanya.
"Baik, akan kulaporkan," seru orang pertama itu seraya terus loncat turun dan menghilang.
Kamar nomor delapan adalah kamar yang di tempati Lam Tian. Diam2 pemuda itu membatin, "Hm, setan alas dari mana itu berani mengganggu aku?"
Cepat dia mendorong jendela dan berseru, "Hai setan jahat, jangan lari!"
"Wuut" Dia terus loncat keluar jendela dan loncat keatas pagar tembok.
Pada lain saat dia sudah kembali dan terus loncat masuk kedaiam kamar, "Buukk" tahu2 dia melemparkan sesosok tubuh manusia.
"Setan usil, periksa dia!" serunya.
Hui Kun terkejut. Cepat sekali sukonya bergerak. Hanya dalam beberapa kejab saja, sukonya sudah dapat membekuk orang yang berani datang menyelidiki kamarnya.
Hui Kun mengiakan dan mulai menanyai orang itu, "Hai, siapa engkau ini? Besar sekali nyalimu, ya, berani menyelidiki kami!"
Orang itu coba kerahkan tenaga meronta dan Lam Tianpun melepaskannya. "Hm, jangan coba melarikan diri dan jawablah pertanyaan nona besar ini."
Karena dalam kamar itu lampunya padam, orang itupun tak dapat melihat siapa dan bagaimana orang yang mengaku nona besar itu dan si apa pula yang membekuknya tadi.
Di kota Sou-ciu, dia termasuk seorang tokoh yang ada nama juga. Kepandaiannya istimewa tetapi sama sekali dia tak mengira kalau semudah itu orang sudah dapat meringkusnya seperti seekor ayam saja.
"Bukankah engkau budak she Lau yang hendak mengurus perkara ke daerah selatan?" seru orang itu dengan nyaring.
"Huh. mengapa engkau tak menjawab pertanyaanku tadi?" bentak Hui Kun marah.
"Tring" ia cabut pedang dan terus dijujukan ke tenggorokan orang.
Rupanya orang itu mempunyai tiang andalan yang lihay maka dia tak gentar menghadapi ancaman Hui Kun. Dia malah tertawa dingin, "Mengapa disini gelap sekali?" Lalu ia nyalakan korek dan menyulut lilin.
Seketika tampaklah bagaimana, wajah orang itu. Dia bermuka hitam, bengis kelihatannya. Dengan tertawa mengekeh dia berkata garang. "Orang she Lau dan she Ku. tuanmu ini adalah murid kelima dari keluarga Ciau di Sou-ciu. Aku seorang lelaki jantan she Kiang nama Kan bergelar Kim-to-pa-cu si Golok-emas-macan-tutul.
Lam Tian tenang2 saja mendengarkan, ujarnya, "Memang sudah kuduga begitu. Sahabat, caramu membuat penyelidikan memang hebat sekali, sampai tempat tinggalkupun dapat engkau ketahui dengan jelas."
"Hm, kiranya engkau sudah menyadari." dengus Kiang Han.
Lam Tian tertawa gelak2. "Tetapi aku tak tahu, perlu apa engkau begitu susah payah menyelidiki diriku? Silakan jawab!"
Karena tahu orang itu anak murid Ciau Toa To, Lam Tianpun tak mau menghina. Dan karena Lam Tian bersikap sopan, orang itupun tak berani bersikap garang lagi.
"Lau-heng," serunya tertawa, "suhu bukan mencari engkau tetapi dia!" kata Kiang Han seraya menunjuk Hui Kun.
"Aku?" seru Hui Kun, "bagus, nonamu hendak minta pelajaran barang beberapa jurus saja, apakah engkau bersedia?"
"Sring" Hui Kun terus layangkan pedangnya, "Tring...."Kiang Han menangkis dengan goloknya.
Seketika itu Kian Han rasakan tangannya kesemutan. Diam2 dia terkejut dan gentarlah nyalinya.
Ih.... beberapa kejab kemudian, dengan jurus Boan-long-ci-liong atau Naga-menampar ombak, ujung pedang Hui Kun dapat menggurat sebuah luka memanjang pada lengan kiri Kiang Han.
Boan-liong-ci-liong merupakan salah sebuah jurus maut dari ilmu pedang Ang-tik-kim-go-kiam-hwat. Kian Han hanya biasa2 saja kepandaiannya. Sudah tentu tak dapat menangkis. Rupanya pertempuran dengan Kim-to-thay-po Ciau Han Ciang si pemuda baju kuning tadi, telah memberi pelajaran kepada Hui Kun. Semula dia hanya keluarkan jurus2 biasa, kemudian setelah terdesak barulah ia mengeluarkan jurus2 ilmu pedang To-kwa-kim-go untuk merebut kekalahannya dengan kemenangan. Dengan pengalaman itu, Hui Kun tak mau memberi kemurahan pada setiap lawan termasuk pada si wajah hitam Kiang Han saat itu.
Kian Han tertegun. Tiba2 ia menggembor keras. Dengan nekad ia julurkan goloknya lurus ke muka dan mengeluarkan jurus ilmu golok yang disebut Gan-lok-ping-sat atau Burung-belibis-jatuh-ditanah-pasir-datar, untuk memikat lawan.
Pada saat Hui Kun menangkis dengan pedang Kiang Han segera akan gunakan jurus Heng-soh-cian-kun (Menyapu-ribuan-tentara), Dalam jurus itu sudah 30 tahu lamanya Kiang Han telah meyakinkan. Maka dia yakin tentu akan dapat memukul lepas pedang lawan.
Melihat itu Lam Tian segera berseru memperingatkan sumoaynya, Tapi sebaliknya Hui Kun malah membentaknya dengan murka, "Siapa suruh engkau banyak mulut!"
Memang benar, Hui Kun telah gerakkan pedang untuk menangis. Girang Kiang Han bukan kepalang. Ia kira si dara telah termakan tipunya. Tetapi siapa tahu, ternyata Hui Kun memang sengaja berbuat begitu.
Kiang Han terus jungkatkan golok ke lengan Hui Kun sembari membentak, "Lepas!"
Tetapi Hui Kun menyambut dengan tertawa mengejek. Tangan dibalikkan, selekas gigir pedang melekat pada gigir golok lawan, dengan gunakan tenaga-dalam 'lekat', ia menarik pedangnya ke be lakang. Waktu Kiang Han menjorok ke muka, bluk . ... Hui Kun menyongsongkan. tinju kirinya ke dada lawan. '
Dua tiga kali menderita kekalahan, marahlah Kiang Han. Ia loncat ke belakang dan terus angkat goloknya lagi hendak menyerang tetapi tiba2 lengannya dicengkeram orang, "Kiang-heng, jangan diteruskan lagi."
Kiang Han rasakan lengan kiri dan dadanya sakit sekali, Saking marahnya ia sampai tak dapat bicara.
"Mana kubalut lukamu," Lam Tian merobek lengan bajunya dan membalut lengan kiri Kiang Han yang tergurat pedang Hui Kun.
Dalam membalut itu diam2 Lam Tian gembira, pikirnya, "Kali ini sumoay hanya gunakan tenaga luar untuk melukainya, bagus...."
Sementara Kiang Han mulai dapat mengomel panjang pendek menyumpahi dara itu. Lam Tian tak menghiraukannya. Ia berpaling dan memberi senyuman kepada sang sumoay.
Hui Kun tertawa dingin, "Ciau Toa To membanggakan diri tiada lawan lawannya di dunia. Tetapi muridnya ternyata begini geblek. Ha, ha, inilah yang dikata 'bertemu muka, lebih gamblang dari mendengar namanya'. Hai, bung, katamu engkau ini muridnya yang nomor lima, bukan?"
Kian Han naik pitam dan terus hendak menyerbu lagi. Tiba2 Lam Tian tertawa dan berseru, "Sahabat yang diluar, kalau mau lihat pertunjukkan, silakan masuk, mengapa main sembunyi saja?"
Habis berseru secepat kilat dia melesat ke pintu belakang dan membukanya, "Bluk...."
"Bum...." sesosok tubuh rubuh.
Ternyata diluar pintu belakang terdapat seorang yang mengintai. Karena pintu dibuka begitu mendadak dan cepat, orang itu menjorok ke muka dan dengan tepat sekali jatuh menimpali Kiang Han. "Bluk, bluk", keduanya jatuh ke lantai tumpang tindih.
"Hi, hi, hi, hi...." Hui Kun tertawa mengikik karena geli sekali.
Kiang Han loncat bangun. Wajahnya marah seperti kepiting direbus, bentaknya, "Lo-liok, mengapa engkau datang kemari?"
Kiranya orang yang dipanggil Lo-liok itu adalah murid nomor enam dari Ciau Toa To. Namanya Tio Piau. Ia merangkak bangun dan balas membentak dengan marah juga, "Lo-ngo, engkau datang akupun datang. Kita sekalian mendapat perintah dari suhu supaya datang kemari. Mengapa engkau heran?"
"Manusia yang tak tahu adai!" bentak Kian Han seraya menahas dengan goloknya. Tio Piau cepat menangkis dengan goloknya juga. Begitulah keduanya, saudara seperguruan itu, berkelahi sendiri.
"Anak murid Ciau Toa To sungguh tak keruan macamnya," Lam Tian geleng2 kepala. Ia segera melerai ke tengah dengan rentangkan kedua tangannya ke kanan dan kiri, "sudahlah, jangan berkelahi. Bukankah kalian ini orang sendiri?"
Saat itu kedua saudara seperguruan itu telah bertempur dengan beringas. Mereka saling membacok. Tetapi entah bagaimana, ketika kedua golok mereka hampir mengenai tubuh Lam Tian, golok mereka menggelincir kebawah. Kedua tangan Lam Tian keras laksana jeruji besi sehingga kedua orang tadi tersiak mundur.
Setelah tersiak, Kiang Han dan Tio Piau mengambil napas sejenak. Setelah itu terus hendak bertempur lagi.
"Tuh kawanmu datang lagi," tiba2 Lam Tian berseru,
Tepat pada waktu ia berkata begitu, pintu bergedobrakan keras dan terpentang lebar. Dua orang menerobos masuk dan terus memencar diri ke kanan dan ke kiri. Gerak gerik mereka jauh berlainan dengan Kiang Han dan Tio Piau.
Lam Tian mengangkat tangan memberi hormat. "Kalian berdua tentulah anak murid pilihan dari Gau lo-cianpwe. Mohon tanya siapakah nama kalian yang terhormat."
Orang yang disebelah kiri memelihara kumis pendek, berusia pertengahan umur dan bertubuh kokoh kekar. Ia deliki mata kearah Kiang Han. Kiang Han tundukkan kepala tak berani beradu pandang.
Kemudian orang itu balas memberi hormat kepada Lam Tian, ujarnya, "Maaf, mengganggu ketenangan saudara. Aku adalah murid pertama dari keluarga Gau. Namaku Liok Hun Ko. Dan ini sam-suteku bernama Ui Cun It"
Dari nadanya ying lantang, jelas kalau orang she Liok itu memiliki lwekang tinggi.
Lam Tian segera menghaturkan maaf bahwa sumoaynya telah bercekcok dengan putera Ciau Toa To.
"Kami berdua mempunyai urusan penting sehingga tak sempat berkunjung untuk menghaturkan maaf kepada Ciau kongcu. Tolong saudara sampaikan maaf kami kepada kongcu. Lain hari kami tentu mengunjunginya."
Ui Gun It bermuka brewok. Dari wajahnya yang keras, terang kalau ia bukan orang lemah. Dengan menengadahkan kepala, dia tertawa. "Lau-heng, engkau sengaja hendak mengaburkan pembicaraan seperti orang berkentut," katanya lalu berpaling ke arah Hui Kun dan berseru, "Nona, harap ikut kami."
Bermula Hui Kun tak memandang mata kepada Ciau Toa To Tetapi demi melihat anak muridnya itu garang2, mau tak mau diam2 dia gentar juga, "Aku tak mau ke sana," serunya.
"Mau tak mau, suka tak suka, engkau harus pergi. Suhuku telah memberi perintah. Siapa yang berani membangkang?" teriak Kiang Han.
"Ciau kongcu kami bukan orang sembarangan. Masakan karena seorang budak perempuan seperti macammu saja, dia sudi mengerahkan anak-buahnya datang kemari? Keluargamu mempunyai permusuhan besar dengan keluarga Ciau, jangan engkau berlagak pilon," Tio Piau ikut-ikutan menghardik.
Lam Tian tertawa dingin. "Ngo-te dan Liok-te, maukah engkau menutup mulutmu?" serunya..
Kiang Han dan Tio Piau melongo dan tak berani bercuwit lagi.
"Lau-heng, urusan ini tak ada sangkut pautnya dengan engkau. Kami kaum keluarga Ciau di Sou-ciu, menarik garis tajam antara budi dan dendam," kata Liok Hun Ko lebih lanjut kepada Lam Tian.
Lam Tian tertawa gelak2, "Hebat benar kiranya Ciau Toa To itu karena hendak mengumbar kemarahannya terhadap seorang dara."
Semua murid Ciau Toa To patuh sekali kepada gurunya. Mendengar dampratan Lam Tian, kontan Ui Cun It lantas membentaknya, "Sahabat, bicaralah dengan sopan sedikit."
Memang Ciau Han Giang telah melaporkan tentang keadaan Lam Tian. Itulah sebabnya maka Ciau Toa To sampai mengutus lima orang muridnya untuk menghadapi pemuda itu.
Saat itu Liok Hun Ko mendengar derap kaki diatas rumah. Tahulah dia bahwa ji-sutenya yang bernama Lui Yan dan si-sutenya yang bernama Ku Tek telah datang.
"Lau-heng, bukannya aku hendak menghina pada anak perempuan. Tapi perintah suhu tak dapat dibantah. Nona itu harus ikut kepadaku. Bila Lau-heng tak senang, heh, heh, silakan bertindak," kata Liok Hun Ko.
"Ji-suko, tolong engkau gebar mereka pergi. Kelak aku tentu akan mau mendengar kata kepadamu," teriak Hui Kun.
Lam Tiah tersenyum, pikirnya, "Hm, bukankah engkau yang membuat gara-2 sendiri?" Tetapi dia berpikir lagi, "Kabarnya keluarga Gian di Sou-ciu itu terdiri dari tiga orang saudara. Murid meresa berpuluh-puluh orang, anak buahnyapun sampai berjumlah ribuan. Mereka menguasai daerah pantai telaga Thay-ou. Mereka telah membagi kekuasaan dengan kaum Tak-tik-bun, di perairan telaga sehingga menimbulkan persekutuan yang terkenal 'She Tan di air. she Giau di darat?. Aku sih tak takut kesana. Tetapi bagaimana dengan sumoay? Apabila sampai terjadi sesuatu dengan dirinya, bagaimana aku hendak mempertanggung jawabkan kepada suhu?"
Setelah mengambil keputusan, dia tertawa. "Liok heng" serunya, "terima kasih atas peringatanmu. Baik, marilah kita main2 sebentar di luar"
"Bagus" seru Liok Hun Ko seraya memberi isyarat kepada sekalian suteaya untuk mengikutinya keluar.
"Ji-suko, apakah engkau mampu mengatasi mereka?" karena cemas Hui Kun berbisik menanyai sukonya.
Lam Tian tertawa. Ia menjabat tangan su-moaynya dan memberi pesan, "Engkau lihat saja dari jendela ini, jangan ikut turun tangan. Kalau aku menang, jangan bersorak memuji. Tetapi kalau aku sampai kalah, engkau harus lekas2 pulang, mengerti?"
Biasanya Hui Kun bersikap tawar terhadap ji-sukonya itu. Walaupun tidak membenci tetapipun tidak menyukainya. Tetapi pada saat itu, ketika mengetahui ji-sukonya mau adu jiwa untuk dirinya, Hui Kun merasa berterima kasih dan girang,
"Suko, jangan takut, engkau tentu menang. Aku tahu dengan pasti," serunya memberi semangat.
"Lau Lam Tian, lekas keluar, jangan jual mahal seperti perawan pingit," seru Ui Cun It dari luar.
Kiang Han tertawa mengejek, "Orang kan lagi berjabat tangan mengambil selamat berpisah. Sam-suheng, jangan ganggu adegan mereka"
"Bukan ambil selamat berpisah, melainkan hendak meninggalkan pesan terakhir," kata Tio Piau seraya tertawa gelak?.
Baru nada suaranya berhenti, tahu2 sesosok bayangan melesat dan Lam Tian sudah berdiri tegak di tengah halaman seraya menantang, "Hayo, keluarkanlah senjatamu, siapa yang hendak maju dulu!"
Murid2 keluarga Ciau terkesiap kaget.
"Bagaimana? jika satu persatu tak berani, boleh maju berbareng saja," kembali Lam Tian menantang.
Dari tempat yang gelap sana terdengarlah suara orang tertawa, "Kata2 yang jumawa sekali. Biarlah aku, Ku Lo Tek, nyalakan obor untuk melihat, apakah engkau ini mempunyai tiga kepala enam lengan!"
"Sret" Dia lantas benar2 menyulut obor.
Lam Tian timpukkan sebuah biji catur dengan tangan kiri, "Wut...." Sudah padam seketika.
"Nah, Ku Lo Tek silakan lihat sepuas-puasmu!" seru Lam
Mendadak ia mementang kedua tangannya dan menerjang ke tempat gelap itu.
"Bum, bum, bluk" Sesosok tubuh sudah dilemparkan ke halaman. Siapa lagi tubuh itu kalau bukan Ku Lo Tek...." seru Liok murid ke empat dari Ciau Toa To tadi.
Melihat itu, Liok Hun Ko segera memberi komando untuk menyerbu Lam Tian. Kiang Han dan Tio Piau menyerang dari kanan kiri. Sedangkan Ui Cun It menerjang dari.........
Lam Tian tertawa gelak2 "Ui Cun It, engkau bermulut besar, aku Lau Lam Tian mengagumimu. Tentang kedua saudara itu, rupanya tergolong orang kasar dan jahat. Aku tak punya urusun dengan mereka"
"Wut, wut", dari ujung yang gelap itu, berdesinganlah beberapa buah biji catur. Kiang Han dan Tio Piau berjingkrak tetapi rupanya sudah kasip.
"Bluk, bluk, bluk..." bahu kiri mereka terkena biji catur. Mereka berkaok-kaok kesakitan.
Ui Cun It marah sekali. Kim-tonya diputar gencar. Tapi baru dia berhasil menyampok empat lima biji catur, sebuah biji catur menyambar mukanya. Buru2 dia tundukkan kepala tapi tak urung ujung jidatnya termakan sebuah biji catur juga. Jidatnya tumbuh sebuah telur biru.
Lam Tian ter-gelak2, serunya, "Ui Cun It, engkau sendiri yang minta, jangan salahkan orang."
Diam2 Ui Cun It terkejut dan membatin. "Kalau saja jalan darahnya sampai kena tertimpuk, ia pasti celaka".
Ia tak berani lanjutkan serbuannya dan berseru "Seorang...... mau berbuat gelap kiranya..... Orang she..........."
"......suheng, membentak hanya berkaok2 saja?"


Benci Tapi Rindu Cinta Dibawa Mati Karya Sd Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kiang Han dan Tio Piau tak puas mendengar suhengnya nomor tiga. Dan mereka terus menyerbu ke ujung sana.
"Go. Liok-te...." teriak Liok Hun Ko.
Tapi sudah terlambat. Sebelah ujung gelap sana terdengar suara bergedebukan dari benda yang jatuh. Sesaat kemudian hening lagi.
Diam2 Liok Hun Ko kucurkan keringat dingin. Tiba2 terdengar Lam Tian tertawa dan susul menyusul dia lemparkan tubuh kedua orang tadi.
"Ji-te, maju!" tiba2 Liok Hun Ko berseru mengajak Ui Cun It menyerbu.
Dengan lintangkan golok melindungi bagian tubuh yang berbahaya, mereka setapak demi setapak melangkah maju ke arah tempat yang gelap itu.
Ketika Lam Tian merobohkan tiga orang murid Ciau Toa To tadi, karena gembira tanpa disadari Hui Kun bertepuk tangan kegirangan. Ia baru gelagapan ketika ada sesosok bayangan menerjang masuk dari jendela dan terus menutuk jalan darahnya.
Saat itu Lam Tianpun sudah unjuk diri. Setelah menampar dengan kedua tangannya dia berseru, "Liok toako, bukankah tadi kita sudah berjanji? Jika aku kalah, engkau bofeh membawa su-moayku. Tapi bila engkau yang kalah, selama tiga hari ini pihakmu tak boleh mengganggu pihakku"
"Tiga hari?" seru Liok Hun Ko dengan heran.
"Terus terang saja kuberi tahu kepadamu, bahwa kepergianku ke telaga Thay-ou ini adalah karena hendak mengurus suatu hal yang penting. Urusan itu kira-2 akan memakan waktu tiga hari. Setelah tiga hari, aku tentu berkunjung ke gedung keluarga Ciau untuk minta hidangan teh" kata Lam Tian.
Kata2 itu telah membuat Liok Hun Ko merasa terhina. Dia membentak, "Budak hina, engkau berani tak memandang mata kepadaku?"
Seruan itu ditutup dengan sebuah tebasan dalam jurus Thay-san-ya-ting atau Gunung-Thay-san menindih-puncak.
Istilah 'minta hidangan teh' itu berarti akan minta pertanggungan jawab pada orang yang bersalah. Kalau tak yakin menang, tentu tak nanti Lam Tian mengucapkan kata-kataku. Itu berarti suatu hinaan bagi pihak rombongan murid keluarga Ciau. Sebagai seorang yang congkak, sudah tentu Liok Hun Ko tak kuat mendengar hinaan semacam itu.
Serangan orang she Liok itu jauh bedanya dengan permainan Kiang Han dan Tio Piau. Ternyata Liok Hun Ko mempunyai ilmu lwekang yang cukup tinggi dan ilmu permainan golok yang lihay. Lam Tian tak berani berayal. Ia menangkis dengan sebuah pukulan, Liok Hun Ko cepat jungkirkan ujung golok kebawah dan mengarah lengan kiri orang.
"Lihat golokku!" bentak Ui Cun It yang lantas membarengi loncat menabas.
Lam Tian tenang saja melayani mereka. Ia tetap gunakan tangan kosong untuk menempur golok mereka. Setelah gebrak itu berlangsung, tahulah Lam Tian akan kekuatan lawannya.
Ui Cun It memang memiliki gerakan yang indah tetapi hanya merambang atau terapung. Jauh dengan toa-suhengrya Liok Hun Ko yang tenang dan mantap. Segera Lam Tian mengerti bagaimana harus menghadapi mereka. Ia hanya pusatkan perhatiannya kepada Liok Hun Ko saja sedikitpun tak menghiraukan Ui Cun It.
Sudah tentu Ui Cun It marah. Ia kembangkan permainannya lebih hebat lagi untuk mengincar bagian tubuh lawan yang berbahaya. Menjelang jurus yang kesepuluh, ia melihat sebuah kesempatan terbuka. Dengan tak mensia-siakan waktu, ia cepat membabat pinggang lawan.
"Bagus," diam-2 Lam Tian bersorak dalam hati. Setelah berkelit untuk menghindari golok, secepat kilat ia ulurkan tangan kiri untuk menyambar senjata itu.
"Sam-te, hati-hatilah!" tergopoh-gopoh Liok Hun Ko meneriaki Ui Cun It, Dan karena tak keburu menolong lagi, terpaksa diapun ayunkan golok membabat pinggang lawan dari samping.
Dia mengharap mudah-mudahan gerakannya itu dapat menolong sam-sutenya.
-^dwkz^smhn^- Jilid 02 Malang2 Putung Lam Tian menggunakan ilmu Toa-kin-na-jiu atau merebut senjata dengan tangan kosong. Dia memang tak mau menimbulkan dendam permusuhan yang meluas.
"Lepas!" begitu tangan berhasil menjepit golok Ui Cun It, ia segera membentaknya.
Ui Cun It terkejut karena goloknya macet di tengah jalan dan seketika itu iapun rasakan tangannya kesakitan. Terpaksa ia lepaskan goloknya.
Selekas dapat merebut golok lawan, sebat sekali Lam Tian balikkan tangan untuk menangkis golok Liok Hun Ko
"Triiiing...." Bunga api meletik dan Liok Hun Ko rasakan tangannya lunglai karena ditekan oleh sebuah arus tenaga yang kuat. Goloknya tak dapat dikuasai lagi dan pindah ke tangan Lam Tian.
Setelah berhasil merebut golok kedua lawannya, Lam Tian berseru, "Liok toako, orang persilatan selalu pegang janji, nih, terimalah golokmu!"
Lam Tian lemparkan kedua golok rampasannya itu kepada yang empunya. Kalau Ui Cun It gopoh menyambuti, tidak demikian dengan Liok Hun Ko. Tenang2 saja dia menyanggapi lalu berkata, "Lam-heng, walaupun senjataku terlepas tapi sebenarnya aku belum merasa kalah. Mari, aku hendak minta pelajaranmu yang lebih hebat lagi."
Kiranya bermain dengan golok itu tak sama dengan permainan pedang. Ilmu pedang mengutamakan kelemasan dan ketangkasan, sebaliknya ilmu permainan golok berpokok pada kekerasan. Setiap kali menyerang harus dari muka. Ui Cun It tadi telah menabas dari samping. Ini keliru. Dan ternyata memang mudah saja Lam Tian menyengkelitnya.
Sebenarnya Liok Hun Ko tahu akan hal itu namun karena hendak menolong sam-sutenya, terpaksa dia melanggar peraturan. Akibatnya, iapun menderita kekalahan. Itulah sebabnya maka dia masih tak puas dengan kekalahan itu.
Lam Tian tahu akan isi hati orang she Liok itu. Ia mengambil putusan tak mau kepalang tanggung. Sudah terlanjur basah, biarlah ia mandi sekali. Leb:h baik ia keluarkan kepandaian yang asli untuk memberi hajaran agar kesombongan anak murid Ciau Toa To itu dapat dipatahkan. Ia maju dan ulurkan tangan untuk menyambar lengan Liok Hun Ko.
"Orang she Lau, mengapa engkau tak mau memakai senjata?" teriak Liok Hun Ko sembari menyurut mundur selangkah.
"Nanti saja pada waktu aku minta hidangan teh ke rumah keluarga Ciau," sahut Lam Tian.
"Budak busuk, lihat golokku!" teriak Ui Cun It yang lantas maju menyerang lagi.
"Aku paling segan memegang golokmu itu," seru Lam Tian sembari timpukkan tiga buah biji catur kearah tiga bagian jalan-darah ditubuh Ui Cun It. Satu pada jalan darah Sim-ih-hiat di dada, satu pada Jiok-ti-hiat di lengan dan yang satu mengarah pada tangkai golok Ui Cun It.
Ui Cun It terkejut dan buru2 miringkan tubuh untuk menghindar biji catur yang pertama. Kemudian ulurkan tangan untuk menangkap biji catur yang kedua. Dua buah biji catur itu berhasil ia atasi. Tetapi biji catur yang ketiga, ia tak berdaya menangkisnya.
"Trang..." Tepat sekali biji catur itu mengenai tangkai golok. Seketika tangannya tak kuat mencekalnya lagi dan jatuhlah goloknya untuk yang kedua kalinya ke tanah.
Kejadian itu berlangsung pada saat Liok Hun Ko menyurut mundur tadi. Liok Hun Ko pun segera menghantam dengan tangan kirinya.
"Bagus, aku hendak menguji lwekangmu," kata Lam Tian dalam hati seraya dorongkan tangan kirinya.
"Brak...." Begitu kedua telapak tangan mereka beradu, Liok Hun Ko terpental sampai satu tombak jauhnya. Hampir saja dia rubuh, dadanya terasa sesak. Kini barulah Liok Hun Ko terbuka matanya bahwa kepandaian anak muda itu terpaut jauh sekali dengan dia.
Tidak demikian dengan Ui Cun It yang tolol. Begitu memungut goloknya ia terus hendak maju menyerang lagi. Tapi buru2 di cegah oleh Liok Hun Ko. Setelah itu Liok Hun Ko berpaling ke arah Lam Tian dan memberi Hormat. "Lau-heng benar2 lihay, aku mengaku kalah," katanya.
Lam Tian menghaturkan maaf. Memang dia tak menghendaki pertempuran itu berlarut panjang karena ia memikirkan keadaan sumoynya. Habis berkata, cepat dia loncat kembali kedalam kamarnya. Tapi baru sang kaki menginjak tanah segera ia termangu kaget.
Ternyata kamar itu sudah kosong melompong. Biji dan papan catur masih terletak diatas meja tapi Hui Kun sudah tak kelihatan batang hidungnya lagi. Diluar halaman sana rombongan anak murid Ciau Toa To ribut2 sedang berbantah sendiri.
"Toh kalau pulang kita tentu didamprat suhu, mengapa tak mau adu jiwa dengan budak itu?" Kiang Han muring-muring.
Tapi dengan suara keren Liok Hun Ko membentak, "Ayo, semua ikut aku pulang. Jangan banyak omong lagi?"
"Hm, kiranya engkau sendiri juga jeri makanya kita sampai dihina orang" Ui Cun It tertawa mengejek suhengnya yang pertama.
"Siapa berani membangkang perintahku?" Liok Hun Ko berteriak marah. Kemudian dia berkata lagi dengan suara berbisik {Kutanggung suhu takkan mendamprat kalian, ayo kita pulang!"
Pada lain saat terdengar anak murid Ciau Toa To itu susul menyusul loncat keluar pagar tembok. Saat itu kedengaran Ui Cun It berseru, "Orang she Lau, jangan lupa tiga hari lagi!"
Karena gelisah dengan hilangnya Hui Kun, Lam Tian tak mau mempedulikan ejekan Ui Cun It. Duduk diatas kursinya, ia mulai memikir-mikir kemana gerangan perginya Hui Kun itu. Ia tahu akan perangai sang sumoay yang bengal dan centil. Ia segera mencari kemana-mana barangkali Hui Kun main sembunyi. Tapi dari sudut ke sudut, naik loteng turun loteng, dari puncak rumah sampai ke titian dan di serambi, lorong maupun istal kuda, tetap dia tak dapat menemukan sumoay-nya.
Lam Tian gelisah bukan kepalang. Saking bingungnya ia sampai memanggil pelayan dan membentaknya, "Hai, engkau sembunyikan dimana sumoayku itu?"
Waktu Lam Tian sedang bertempur dengan rombongan mund Ciau Toa To tadi, pemilik dan pengurus rumah penginapan itu beserta semua pelayannya sama ketakutan dan menyingkir jauh2. Tapi si pelayan rupanya gemar melihat ramai2. Diam2 dia balik ke dalam rumah penginapan lagi dan mencuri lihat apa yang terjadi. Tetapi sungguh lacur. Ternyata dia malah kepergok dengan Lam Tian yang terus meringkusnya.
"Tuan, ampunilah jiwaku. Aku tak punya mata sehingga tak menghormat kepada tuan. Biarlah sekarang aku menjura dihadapan tuan," pelayan itu meratap-ratap minta dikasihani.
"Jangan ngaco belo! Pokoknya, engkau sembunyikan dimana sumoayku itu? Kalau tak mau memberitahu, jangan tanya dosamu," bentak Lam Tian.
"Bum..." Ia hantamkan tangan kirinya ke atas meja hingga meja itu hancur berkeping-keping.
Pelayan pucat seperti mayat. "Aku sungguh tak menyembunyikan orang, tidak menyembunyikan emas perak, pun tak pernah menyembunyikan wanita. Jika aku sampai bohong, biarlah ditumpas langit dan bumi," pelayan itu bersumpah.
Melihat kesungguhan sikap orang, redalah kemarahan Lam Tian. Ia lepaskan si pelayan dan berkata dengan suara ramah, "Siau-ji, apa engkau pernah melihat sumoyku?"
Kata 'siau-ji' adalah sebutan untuk pelayan hotel atau rumah penginapan. Kalau dia sudah dipanggil 'lo-ji'.
"Adakah engkau melihat suatu bayangan dari lubang jendela maupun dari lain tempat yang loncat masuk kedalam kamarku?" tanya Lam Tian pula.
Pelayan itu berpikir sejenak, sahutnya, "Benar, aku melihatnya!"
"Apa? Lekas katakanlah, "teriak Lam Tian dengan gugup.
"Tadi kulihat ada dua sosok bayangan loncat keluar dari mulut jeudela terus loncat ke atas puncak rumah. Ya, tak salah, mataku tidak rabun. Mereka benar2 loncat keatas puncak rumah" kata si pelayan.
"Dua sosok bayangan?" Lam Tian kerutkan alis.
Pelayan mengangguk, "Benar, orang yang di muka menarik orang yang dibelakangnya. Dan tampaknya orang yang dibelakang itu menurut saja. Orang yang di muka itu sungguh lihay. Sekali enjot tubuh, ia membawa orang di belakangnya itu naik keatas puncak rumah".
"Bagaimana keadaan orang yang dibelakang itu?" tanya Lam Tian dengan terkejut.
"Tubuhnya kecil langsing, terpaut banyak dengan orang yang di maka. Mungkin dia itu sumoay tuan."
Lam Tian merenung beberapa jenak. Tiba-tiba dia menampar pipinya sendiri, "Lam Tian engkau sungguh goblok. Engkau termakan tipu muslihat 'memancing harimau tinggalkan gunung' dari musuh."
Sebat sekali ia segera loncat keluar jendela. Tapi di luar kecuali rembulan yang bersinar terang dan angin malam yang berhembus sejuk, tak tampak barang suatu bayangan apapun juga.
Lam Tian bersuit keras dan melayang turun. Pelayan memburunya dan dari jendela ia berteriak keras2, "Hai, tuan tetamu, engkau belum menyelesaikan rekening penginapan dan makanan. Tunggu dulu."
Dalam keadaan secemas itu mana Lam Tian mau menghiraukan si pelayan lagi. Ia loncat melalui pagar tembok dan berlari ke jalan. Tiba2 dia terkesiap, "Dimana desa Ciau-ke-cung itu?" tanyanya sendiri.
Saat itu sudah tengah malam buta. Untuk bertanya kepada orang, terang tak mungkin. Akhirnya ia ambil putusan balik kembali ke rumah penginapan lagi saja. Disana dia akan minta keterangan kepada si pelayan.
Baru dia hendak bergerak tiba2 di ujung jalanan sebelah muka tampak melesat keluar sesosok bayangan manusia.
"Sahabat, apakah engkau hendak cari perkara pada keluarga Ciau?" orang itu tertawa melengking.
Ah. ternyata dia seorang wanita. Dari nada suaranya yang merdu dan lidahnya yang berlogat So-ciu, terang kalau dia itu seorang wanita cantik.
Lam Tian tertegun lalu melesat maju. "Benar, mengapa engkau tahu?" sahutnya.
Bayangan langsing itu melengking pula, "Coba engkau terka!" Dalam berkata kata itu ia sudah meluncur dua tombak jauhnya.
Diam diam Lam Tian memuji akan gin-kang orang yang begitu tinggi. Ia memburu dan meneriakinya, "Sahabat, tunggu dulu."
"Sahabat? Huh, siapa yang menjadi sahabatmu? Menilik engkau sudah sebesar itu, masa sebutan saja tak mengerti" orang itu berseru dan kembali tubuhnya menggelincir dua tombak jauhnya.
Timbul rasa aneh dalam hati Lam Tian. "Baik, nona, maukah engkau menunggu aku? Aku hendak bicara kepadamu," serunya.
Bayangan langsing itu tertawa. "Nah, begitu baru benar. Tapi kalau engkau suruh aku menunggu, itu berabe. Kepandaianmu hebat. Sekali marah engkau dapat mengharap enam orang murid keluarga Ciau. Jika engkau dapat mengejar aku, hendak bicara apa, akupun tentu mendengarkan," sahutnya.
Lam Tian tertawa keras. "Ah, itu mudah saja" Segera ia kerahkan lwekang dan gunakan gin-kang untuk mengejarnya.
Rupanya bayangan langsing itu memang sengaja hendak mengolok-olok. Bermula dia diam saja. Begitu Lim Tian hampir dekat, ia lantas meluncur pesat seperti anak panah terlepas dari busurnya. Dan lagi2 dia sudah berada dua tombak jauhnya.
"Bagus, memang tak sukar, ya?" dia berpaling dan tertawa mengejek.
Nada tawanya yang merdu, benar2 menggetarkan hati Lam Tian. Kala itu rembulan remang tertutup awan. Karena gelap maka tak dapatlah Lam Tian melihat bagaimana wajah orang itu. Tetapi dari raut wajahnya yang bagai telur pipih itu, teranglah tentu cantik sekali.
Dalam ilmu ginkang atau meringankan tubuh, Lam Tian sudah tergolong jago kelas satu di dunia persilatan memang jarang terdapat tandingannya. Tetapi ternyata dara cantik itu lebih uuggul. Entah bagaimana caranya bergerak, hanya tampak pinggangnya yang bergeliat dan tahu2 nona itu sudah meluncur dua tombak jauhnya.
Lam Tian mengkal juga. Dia terus tancap gas mengejarnya mati-matian. Beberapa kali dia dapat mencapai dekat sehingga dapat mendengar pernapasan si nona. Tetapi begitu mulutnya hendak mengejek, tahu2 nona itu sudah mencelat dua tombak lagi.
Lam Tian memantas-mantas pedang dan memeriksa kantong am-gi (senjata rahasia). Dia mempertimbangkan uatuk menggunakan senjata rahasia untuk menghentikan nona itu.
"Siluman." diam2 Lim Tian menyumpahi karena dipermainkan.
Nona itu berpaling dan menertawakannya. Aduh, mak. Belum pernah selama ini Lam Tian di perlakukan orang seperti itu. Saat itu benar2 dia merasa dianggap sebagai seorang anak kecil. Dan lebih kekhi lagi karena yang mempermainkannya itu hanya seorang dara cantik.
Merah padam muka Lam Tian. Ia hendak marah tetapi kepada siapakah ia harus marah. Kepada nona itu? Ah, kalau nona itu memang memiliki ilmu gin-kang yang sakti, kan bukan salah nona itu,
Lalu siapakah yang harus disalahkan? "Ah, aku, aku, aku.... ya, aku sendiri yang salah, mengapa dulu tak belajar ilmu ginkang dengan sungguh-sungguh". Ia menyesali dirinya sendiri.
Lam Tian memang seorang pemuda yang jujur dan sportif. Kalau bertanding kalah, dia tak menyesali atau dendam kepada lawan tetapi menyesali dirinya sendiri mengapa tidak belajar dengan giat. Dan karena memiliki kebiasaan berpikir secara begitu maka dia selalu mencambuk dirinya untuk belajar lebih keras lagi.
Beberapa saat kemudian, awan buyar dan rembulanpun kembali memancarkan sinar yang gilang gemilang. Kini nona itu tak mau berpaling ke belakang lagi, melainkan terus lari kencang.
"Nona, aku tak dapat mengejarmu, tunggulah! Aku benar2 hendak bicara kepadamu, penting sekali," seru Lam Tian.
Nona itu tertawa melengking. "Siapa yang bilang engkau tak bersungguh-sungguh?"
Namun sekalipun mulut menjawab begitu, namun kaki dara itu tetap lari kencang. Karena ditutup angin malam, rambut nona itu terurai sehingga tampak makin cantik.
Lam Tian terkejut ketika hidungnya tertampar angin yang berbau harum. Semangat pemuda itu seperti melayang-layang.....
-^dwkz^smhn^- Sarang harimau. Tiba2 Lam Tian teringat. Sumaynya hilang dan tugasnya ke daerah selatan belum selesai. Ah, celaka. Mengapa dia malah main kejar mengejar dengan seorang nona yang tak diketahi asai usulnya?
Walaupun pikirannya sudah menyadari, tetapi entah bagaimana hatinya seperti kena pesona. Pikiran mau balik kembali tetapi sang kaki tetap lari terus, ah.....
Entah berselang berapa lama, sekonyong-konyong nona itu melesat dan lenyap ditempat gelap.
"Hai, jangan main-main nona, engkau dimana?" teriak Lam Tian yang sangat terkejut sekali.
Tapi sampai tiga empat kali ia ulangi teriakannya, tetap tiada penyahutan sama sekali. Aneh, kemana dara itu?
Ketika mengangkat muka memandang ke depan, dia terkejut. Ternyata di sebelan muka sana terdapat sebuah rumah gedung yang tinggi. Sebuah papan nama terpampang di ambang pintu. Dan ketika Lam Tian memandang huruf2 yang tertulis pada papan itu, ia terbeliak kaget sekali.
Huruf itu berbunyi.... "Ciau-ke-cung atau gedung perkampungan keluarga Ciau".
"Ah, kiranya nona itu hendak menunjukkan jalan kepadaku," sesaat kemudian baru ia menyadari apa yang dilakukan dara tadi.
Tetapi siapakah gerangan nona itu? Mengapa dia menunjukkan jalan? Benar2 Lam Tian tak mengerti tindakan dan maksud dara itu.
Ia termangu-mangu dan menghela napas dalam-dalam. Seieiah menenangkan perasaan ia melangkah maju.
"Bum..." Ia hantam daun pintu yang besar dari gedung itu.
"Siapa?" teriak seorang dari dalam.
Lam Tian meraba-raba pedangnya dan memeriksa kantong am-gi (senjata-rahasia). Ia menyadari bahwa saat itu dia berada di mulut sarang harimau. Dia tak berani lengah.
"Anak murid Ang-tik-kiu-pay Lau Lam Tian, mohon menghadap pada cung-cu," serunya dengan suara lantang.
"Hm," terdengar orang dari dalam itu mendengus, lalu menyahut, "Apakah membawa kartu kunjungan?"
"Tidak!" jawab Lam Tian.
Orang dari dalam itu hina, "Kalau tak membawa kartu kunjungan, pintu takkan kubuka."
"Apakah itu sudah menjadi peraturan?" tanya Lam Tian.
"Ya." "Baik," Lam Tian berseru geram, "kalau engkau tak mau membuka, aku dapat membukanya sendiri."
Orang di sebelah dalam itu kembali tertawa, "Budak busuk, kalau engkau memang punya kepandaian, mengapa tak menerobos masuk dari jendela saja. Mengapa engkau berkeras hendak mendobrak pintu?"
"Baik, tetapi di mana tuan majikanmu?" seru Lam Tian.
"Di ruang nomor tiga."
Lam Tian tak mau berbantah lagi. Dia segera enjot tubuh melayang ke atas genteng. Setelah memandang ke sekeliling penjuru, ia mendapat kesan bahwa gedung kediaman keluarga Ciau itu memang sangat luas sekali. Serambi ruangannya, loteng dan paviliunnya sangat megah dan mewah laksana sebuah istana.
"Hm, inilah hasil perbuatan kotor dari Ciau Toa To. Rumahnya saja sudah seharga tak kurang dari limaratus ribu tail," diam2 Lam Tian menimang dalam hati.
Pada lain saat matanya segera tertumbuk akan ruang nomor tiga yang dikatakan orang tadi. Ternyata ruang itu merupakan ruang tengah dari gedung. Dan ternyata pula disitu kelihatan penuh dengan, bayangan orang yang dapat dilihat karena ditingkah oleh sinar lampu yang terang benderang.
Dalam berapa loncatan saja, Lam Tian sudah tiba di luar ruang itu. Dengan gin-kangnya yang tinggi, ia dapat membuka genteng tanpa menimbulkan sedikit suarapun juga. Kemudian dia selundupkan kepalanya ke bawah dan kaitkan kakinya pada rusuk rumah.
Memandang ke bawah ia melihat dalam ruang itu terdapat beberapa belas orang yang tengah berkerumun. Ada yang duduk, ada yang berdiri.
Diantara mereka dengan cepat Lam Tian dapat mengenali bahwa Liok Hun Ko juga ada. Pemuda itu berdiri di sebelah kiri. Wajahnya muram. Disebelahnya berjajar Ui Cun It, Ku Tek dan kawan-kawan. Mereka telah mendapat hajaran dari Lam Tian, Ada yang kepalanya terluka. ada yang tangan dan kakinya.
Di tengah ruang terdapat sebuah kursi yang diduduki oleh seorang lelaki berwajah angker. Dari matanya yang memandang lekat2 pada Liok Hun Ko dan kawan-kawannya, serta dadanya yang berombak-ombak naik turun, jelas orang itu marah besar.
Liok Hun Ko dan kawan-kawan tundukkan kepala tak berani memandangnya. Lam Tian tak kenal siapa orang itu. Tetapi di tilik bahwa di belakangnya terdapat seorang pengawal yang berdiri dengan mencekal sebatang golok besar bertangkai emas murni, Lam Tian menduga kalau orang itu tentulah Ciau Toa To sendiri.
"Kalian telah menculik sumoayku tetapi kalian marah2 dan meringis-ringis. Hah, apakah kalian hendak bermain sandiwara dihadapanku?" kata Lam Tian dalam hati.
Setelah mengambil ketetapan, ia ayun tubuhnya ke bawah dan terus menerjang jendela dengan jurus Kek-cu-hoan-sim atau Burung-merpati-berbalik-tubuh.
"Plek..." Ia berdiri tegak di lantai laksana sebatang daun kering yang tak bersuara.
"Murid kedua dari ketua partai Ang-tik-kiu-pay Ku Pin, menghadap dengan hormat," serunya nyaring.
"Wut, wut, wut..." tiga batang kim-to segera melayang kearahnya berbareng itu terdengar Ui Cun It berseru, "Kutu busuk, engkau berani datang kemari?"
Lam Tian dorongkan kedua tangannya dan ketiga batang golok itupun tersiak ke samping. Kemudian dia tertawa mengejek "Ciau Toa To, beginilah cara engkau menyambut tetamu?"
Ciau Toa To bertepuk tangan. Walaupun Ui Cun It, Kiang Han dan Tio Piau masih meluap-luap kemarahannya namun setelah mendengar suara tepukan itu, mereka tak berani membangkang dan mundur.
Kini Ciau Toa To memandang kepada pemuda tetamunya itu dengan seksama. Matanya berkilat-kilat memancarkan api.
"Mata orang ini lihay sekali. Entah bagaimana dengan kepandaiannya," diam2 Lam Tian menimang.
Tiba2 Ciau Toa To berpaling kebelakang dan memanggil Liok Hun Ko, muridnya yang kesatu. Setelah Liok Hun Ko menyahut, Ciau Toa To bertanya, "Apakah ini yang kalian sebut2 sebagai Lau Lam Tian itu?"
Liok Hun Ko mengiakan. "Mengapa dia datang kemari?" tanya Ciau Toa To pula.
"Rupanya hendak memamerkan kepandaiannya pada Ciau-ke-cung," sahut Liok Hun Ko dengan berbisik.
"Huh, kantong nasi!" damprat Ciau Toa To dengan pelahan.
Liok Hun Ko yang kena damprat, merah padam mukanya lalu menyurut mundur tak berani bicara lagi.
Ciau Toa To segera perintah orang-orangnya supaya menyingkirkan meja kursi yang berada dalam ruang situ. Kemudian dia bertepuk tangan. Pengawal yang membawa golok bertangkai emas, segera tampil ke muka dan menyerahkan golok itu kepada Ciau Toa To. Ciau Toa To mencabut golok dan orang itupun segera mundur membawa kerangkanya.
Lam Tian memperhatikan gerak gerik orang she Ciau itu. Diam2 dia tertawa geli dalam hati, "Hm, Ciau Toa To benar2 seorang pemain sandiwara yang ulung."
Sembari mainkan goloknya, berserulah Ciau Toa To dengan garang, "Lau Lam Tian. sekalipun engkau lihay tetapi kami, orang Ciau ke-cung tak sudi dipermainkan orang. Sumoaymu melukai muridku, soal itu sudah tak kutarik panjang. Tetapi tengah malam engkau berani masuk kemari dan unjuk kegarangan. Hm, cabutlah senjatamu dan marilah unjukkan kepandaianmu yang engkau peroleh dan perguruanmu Ang-tik-ou itu."
Ang-tik-ou adalah nama sebutan bagi telaga Thay-ou pada jaman dulu.
Mendengar itu Lau Lam Tian tertegun, pikirnya, "Sumoayku yang mereka culik, mengapa dituduh memukul anak muridnya? Aku kemari hendak meminta sumoayku mengapa didakwa unjuk kegarangan? Ha, ha, Ciau Toa To ini sungguh pintar bermain sandiwara."
Sekalipun dalam hati menertawakan tetapi Lau Lam Tian tak mau melupakan pada kesopanan. Dia memberi hormat dengan kedua tangannya dan tertawa. "Ciau lo-cianpwe, kedatanganku kemari ini sekali-kali bukan hendak unjuk kegarangan melainkan karena sebuah urusan penting. Harap lo-cianpwe jangan salah paham."
"Ho, engkau sungguh pandai berpura-pura. Hm, jika bukan hendak unjuk kegarangan, apa maksud kedatanganmu ini?" seru Ciau Toa To dengan marah.
Dalam hati diam2 Lam Tian balas mendamprat tuan rumah itulah, yang berpura-pura. Namun mulutnya berkata lain, "Kedatanganku kemari tak lain karena hendak mohon kepada lo-cianpwe agar untuk sementara waktu ini suka membebaskan sumoayku Ku Hui Kun. Nanti setelah kami sudah menyelesaikan tugas, tentulah kami akan datang menghadap lo-cianpwe lagi untuk menerima hukuman."
Ciau Toa To melotot mata dan menengadahkan kepala tertawa sinis, "Bebaskan dia? Ha, ha, Ku Pin hanya mampu mengajarkan segala macam ilmu kepandaian cakar kucing. Tak heran kalau muridnya dapat dirubuhkan orang."
Ia tertawa lalu berseru lagi dengan marah, "Lau Lim Tian, jangan ngomong seenakmu sendiri itu, rupanya engkau hendak mengagulkan kepandaianmu untuk menghina pada keluarga Giau, bukan?"
"Tidak! Murid lo-cianpwe yang nomor dua, Lui Yan, telah menculik sumoayku. Maka kedatanganku kemari tak lain hanya hendak mohon lo-cianpwe suka melepaskannya," sahut Lam Tian.
Karena marahnya, gundu mata Ciau Toa To seperti terbalik, bentaknya, "Budak kecil, sumoaymu telah melukai muridku sampai parah dan engkau masih berani datang mendesak aku, hm!"
Saking marahnya dia sampai tak dapat melanjutkan kata-katanya lagi. Jika tak mengingat kedudukannya sebagai seorang tua, tentu dia sudah menyerang anak muda itu.
Melihat sikap orang begitu bersungguh-sungguh, diam2 Lam Tian meragukan tuduhannya. Tapi kapan dan bagaimana Hui Kun sampai melukai Lui Yan?
Liok Hun Ko maju selangkah dan berseru keras. "Lam Tian, engkau tuduh ji-suteku Lui Yan menculik sumoaymu, tapi mana buktinya?"
"Engkau telah gunakan siasat 'memancing harimau tinggalkan gunung'. Ketika kalian mengurung aku, Lui Yan tak kelihatan. Ini bukti pertama. Dalam bertempur, beberapa kali engkau memanggil ji-sutemu, tapi dia tak kedengaran menyahut. Apakah ini bukan suatu isyarat menyuruhnya menculik sumoayku? Inilah bukti yang kedua," kata Lim Tian.
Sejenak berhenti. Lam Tian, melanjutkan lagi "Menurut keterangan pelayan rumah penginapan sumoayku telah ditawan oleh seorang lelaki yang bertubuh tinggi besar. Nah, siapa lagi orang itu kalau bukan Lui Yan! Aku, Lau Lam Tian, bukan manusia yang suka menuduh orang secara serampangan. Liok Hun Ko apakah engkau masih dapat menyangkal keteranganku ini?"
Wajah Liok Hun Ko mengerut sangsi dan kepalanyapun mengangguk pelahan.
"Bagus karena engkau sudah mengakui, harap serahkan sumoayku dan segala urusan habis sampai disini saja. Jika tidak, meskipun darahku harus membasahi bumi So-ciu, tetap aku hendak menghadapi jago2 disini."
"Baik!" teriak Ciau Toa To yang terus menahan dengan golok kim-tonya.
"Tring", dengan tangkas Lam Tian menangkis dengan pedangnya. Benturan itu telah membuat Ciau Toa To mengagumi kekuatan lawannya. Menarik kim-tonya dia segera menahas kearah kepala Lam Tian.
Tahu menghadapi seorang jago tua, Lam Tian tak berani berlaku ayal. Benturan senjata tadi lelah membuat tangannya kesemutan. Jelas tenaga lawan lebih kuat tiga kali lipat dari dirinya. Untuk menghadapi jago tua seperti itu, dia harus gunakan ketangkasan saja. Tidak boleh adu kekerasan.
Demikian setelah menentukan rencana, segera Lam Tian dengan kecepatan yang luar biasa tusukkan ujung pedangnya ke tangan orang.
"Ho, jurus Ceng-thing-tiam-cui dari Ku Pin itu mana mampu melukai aku?" seru Ciau Toa To.
"Blek" ia tamparkan kim-tonya pada batang pedang Lam Tian, lalu mendorongkan ke samping dan tiba2 tangan kirinya menghantam dada anak muda itu, "Lihat pukulanku!"
Saat itu dada Lam Tian memang tak terjaga. Karena menghindari adu kekerasan maka tak dapatlah dia menarik pedangnya untuk menangkis. Namun dia tak kehilangan akal. Sedikit menarik pedangnya, ia terus menekankannya pedang pada golok. Dengan meminjam tenaga tekanan itu, ia loncat mundur ke belakang.
Hanya dengan ketenangan dan pikiran, dapatlah Lam Tian terhindar dari bahaya. Namun sekalipun begitu, angin pukulan Ciau Toa To masih terasa menampar ke mukanya. Tanpa terasa ia berseru memuji, "Pukulan yang lihay!"
Sebenarnya Ciau Toa To berwatak perwira. Sayang dia berangasan. Tidak seperti Lok Hun Ko yang licin dan banyak akal. Sejak adu lidah dengan Lam Tian tadi, ia merasa memang ada hal2 yang mencurigakan dalam urusan itu. Tetapi belum sempat dia membuat analisa, suhunya sudah keburu menyerang Lam Tian sehingga ia tak sempat mengurus lagi.
Tetapi setelah Lam Tian loncat mundur, Liok Hun Ko pun cepat tampil ke muka dan berseru, "Tunggu dulu!"
"Engkau mau apa?" tegur Ciau Toa marah.
"Suhu, ijinkan murid bicara sebentar dengan budak itu," sahut Liok Hun Ko. Setelah itu ia berpaling kepada Lam Tian, "Lam Tian, apakah engkau tetap dengan tuduhanmu?"
"Bukankah engkau sudah mengakuinya?" Lam Tian balas bertanya.
"Yang separoh kuakui."
"Apa yang engkau maksudkan?"
"Bukankah engkau menjatuhkan dua tuduhan?"
"Ya." "Nah, yang satu memang benar. Bahwa aku memang menggunakan siasat 'memancing harimau tinggalkan gunung.' Tetapi aku menyangkal dan tak merasa menculik sumoaymu," kata Liok Hun Ko.
Lam Tian tertawa mengejek, "Habis kemana perginya sumoayku itu? Setelah memukul Lui Yan, ia lantas lenyap, begitukah maksudmu?"
"Akan kuperlihatkan seseorang kepadamu," kata Liok Hun Ko yang lantas menghampiri Ui Cun It. Setelah membisikinya, Ui Cun It lantas keluar.
Tak lama kemudian masuklah Ui Cun It dengan memapah seorang yang tangan dan kakinya dibalut kain putih. Rupanya tulangnya telah dipatahkan orang dengan ilmu Hun-kin-jo-kut atau Mencerai-urat-menggeser-tulang.
"Lam Tian, inilah ji-suteku Lui Yan. Hmm, lihatlah keadaannya. Apa dia yang menculik sumoaymu atau sumoaymu yang menghajarnya. Coba engkau jawab!" tegur Liok Hun Ko dengan tajam.
Lam Tian terbelalak. Diam2 ia merasa heran lalu hertanya, "Liok-heng, aku tak kenal dengan ji-sutemu. Tolong tanya, bagaimana ilmu kepandaiannya kalau dibanding dengan engkau?"
"Setali dengan tiga wang," sahut Liok Hun Ko.
"Kalau begitu, sekarang juga kukatakan, bukan sumoayku yang melakukan hal itu. Hai, Lui-heng, apakah engkau benar dilukai oleh sumoayku atau engkau jatuh tergelincir sendiri?"
Lui Yan deliki mata, kerut wajahnya berkerenyutan dan dadanya terengah-engah. Rupanya dia hendak bicara.
"Aku sudah menanyainya. Dia dilukai oleh seorang budak perempuan. Siapa lagi budak perempuan itu kalau bukan sumoaymu?" tukas Ciau Toa To, "hm, jangan engkau berlagak pilon lagi. Rakyat Ciau-ke-cun bukan bangsa tikus!"
Habis berkata jago tua itu lantas bertepuk tangan dan memberi perintah supaya Lam Tian ditangkap. Lebih kurang dua tigapuluh anak muridnya mencabut senjata dan mengurung Lam Tian.
Pada saat itu, Lam Tian hanya dapat menghela napas panjang. Tugasnya ke telaga Thay-ou belum selesai, sumoaynya telah diculik orang dan akibatnya, dendam permusuhan lama antara gurunya dengan keluarga Ciau, hangat lagi.
Tapi itu masih belum apa2. Yang lebih celaka lagi yalah, sumoaynyapun dituduh melukai orang. Suatu hal yang mustahil akan dapat dilakukan Hui Kun terhadap seorang jago silat seperti Lui Yan. Makin merenungkan hal itu makin mendidihlah darahnya. Segera ia mainkan pedangnya dengan gencar untuk melawan keroyokan lawan.
"Tring, tring, tring...." beberapa kali kim-to dapat dipentalkan ke udara dan di sana sini terdengar jerit erang kesakitan. Dalam beberapa detik saja, tiga empat anak murid Ciau Toa To dapat dilukai tangan atau kakinya.
Memang dengan kepandaian yang dimilikinya tak sukar bagi Lam Tian untuk menyapu kawanan orang-2 keluarga Ciau itu. Tetapi ternyata jumlah mereka makin lama makin bertambah banyak. Bahkan penduduk perkampungan Ciau-ke-cung ikut mengepung Lam Tian dengan membawa tombak dan pentung.
Pertempuran itu berjalan ramai sekali. Ui Cun It dan kawan-kawannya yang pernah menerima hajaran Lam Tian, kini merasa mendapat kesempatan untuk melampiaskan kemarahannya. Liok Hun Ko memberi komando kepada sekalian sutenya untuk mengepung rapat, jangan sampai Lam Tian dapat lolos lagi.
Lam Tian menyadari akan bahaya yang dihadapinya saat itu. Sekali Ciau Toa To ikut maju ia pasti celaka. Itulah sebabnya maka ia tak berani membunuh, melainkan gunakan ilmu tutukan dan ilmu pedang biasa saja untuk merubuhkan pengeroyoknya.
Beberapa kali terlintas dalam benaknya untuk kabur saja. Tetapi bagaimana dengan sumoay-nya nanti? In tak mau menimbulkan kemarahan Ciau Toa To tetapi dia pun tak mau kalau sampai ditertawai mereka. Ia merasa serba salah.
Selagi pertempuran masih berlangsung seru, sekonyong-konyong diatas atap rumah terdengar suara orang tertawa lunak yang merdu. Lam Tian terkesiap. Rasanya ia sudah pernah mendengar nada tawa itu.
Tiba2 ia teringat sesuatu dan secepat itu ia lantas gunakan gerak It-ho-jong-thian atau burung-ho-menembus-langit. Sekali enjot kaki, dia melayang dua tombak keatas, lalu menggeliat menerobos keluar dari jendela.
Ternyata telinga Ciau Toa To lebih tajam dari telinga Lam Tian. Ia tertawa nyaring. "Budak busuk, itulah sumoaymu datang!"
Vladd Game Over 2 Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton Kisah Pendekar Bongkok 4
^