Pencarian

Benci Tapi Rindu 2

Benci Tapi Rindu Cinta Dibawa Mati Karya Sd Liong Bagian 2


Dan jago tua itu terus mendahului Lam Tian, mencelat keluar jendela.
Liok Hun Ko dan kawan2 berusaha untuk merintangi Lam Tian tetapi dengan kebutkan lengan bajunya, Lam Tian sudah berada diatas atap.
Saat itu langit berhias bintang kemintang Awan putih berarak-arak bertebaran di langit. Sedang rembulanpun bersinar gilang gemilang, angin berkesiur lembut. Cuaca cerah. Tetapi diluar rumah tak tampak barang sesosok bayangan apapun juga.
"Hm, Lau Lam Tian, hebat benar kaki sumoaymu itu," dengus Ciau Toa To.
"Bagaimana lo-cianpwe tahu kalau dia itu sumoayku?" sahut Lam Tian.
Ciau Toa To tertegun. Sedang Lam Tian diam-diam menimang dalam hati. Suara tadi jelas adalah suara dari si nona yang telah menunjukkan jalan kepadanya tadi. Mengapa nona itu aneh sekali gerak geriknya. Siapakah dia? Demikian pertanyaan yang mengisi benak Lam Tian.
Sambil menerangkan bentuk perawakan nona misterius itu, bertanyalah Lam Tian kepada tuan rumah, "Lo-cianpwe, maafkan kelancanganku. Tetapi apakah dalam keluarga lo-cianpwe terdapat nona yang seperti itu?"
"Jangan ngaco belo, lihat golokku!" bentak Ciau Toa To seraya menabas.
Karena serangan itu luar biasa cepatnya mau tak mau Lam Tian harus menangkis. Baru ia melayani beberapa jurus, dari bawah tampak belasan sosok bayangan orang melayang keatas atap rumah. Mereka datang dari empat penjuru. Melihat itu Lam Tian menyadari kalau dirinya terancam bahaya. Dengan kerahkan tenaga dia menyiak golok Ciau Toa To lalu loncat turun.
"Ai, apa boleh buat, biarlah sumoay di tawan mereka dulu. Setelah tugasku ke Thay-ou selesai, rasanya masih belum terlambat untuk membuat perhitungan kepada mereka lagi. Kurasa merekapun tak nanti berani berbuat apa2 terhadap sumoay. Apalagi, apakah sumoay benar2 ditawan keluarga Ciau, juga belum dapat dipastikan," pikirnya.
Dengan kerahkan gin-kang dalam beberapa kejab saja, ia sudah beberapa puluh tombak jauhnya dari gedung keluarga Ciau. Ketika berpaling dan tak tampak Ciau Toa To mengejar, longgarlah hatinya.
Tapi baru ia membiluk beberapa tikungan jalan, dari sebelah muka berkelebat keluar sesosok bayangan. Sambil tertawa mengikik, bayangan itu lari pesat.
"Hai, apakah itu bukan si nona yang misterius? Hm, jika tak dapat mengejarnya, kecewa sekali aku menjadi murid Ang-tik-bun,"
Kali ini Lam Tian betul2 membulatkan tekad. Sekali empos semangat, ia lantas tancap gas sepenuhnya. Larinya laksana anak panah lepas dari busurnya.
Rupanya nona itu tak mengira sama sekali kalau ginkang anak muda itu ternyata sehebat itu. Sedikitpun ia tak berani berayal. Lam Tian sudah tiba di belakangnya, Sebelum merapat, Lam Tian sudah ulurkan tangan menjambret punggung baju si nona.
"Bret...." baju nona itu kena dijambretnya.
Sudah tentu kejut si nona bukan alang kepalang. Sejak keluar kari perguruan, ia anggap ilmu gin-kangnya tiada yang melawan. Jangankan hanya jago picisan, sedang golongan ko-jiu (jago lihay) pun tak dapat mengimbangi gin-kangnya.
Setelah terkesiap sejenak cepat nona itu mendapat pikiran. Ia berpaling dan mendamprat "Lau Lam Tian, engkau benar2 manusia kurang ajar sekali!"
Sebenarnya setelah tangan kiri dapat menjambret baju si nona. Lam Tian sudah bersiap-siap hendak menggunakan gerak Toa-kin-na-jiu untuk membekuk nona itu. Tapi demi mendengar dampratan si nona, ia menjadi terkesiap. Lebih terkejut lagi demi mendapatkan cengkeramannya itu tetah merobekkan baju si nona dan seketika tampaklah punggungnya yang putih mulus.
"Maaf, nona, aku sungguh tak sengaja," serunya dengan tersipu-sipu sembari lepaskan cengkeramannya.
Baru ia mengucap begitu si nona sudah melesat sepuluh tombak jauhnya. Di sana sembari lari ia mengomel panjang pendek.
"Lau Lam Tian, engkau sungguh keliwat menghina orang. Lihat saja nanti, tentu mendapat pembalasan!" katanya.
Lam Tian menyesali dirinya. Bukan menyesal karena telah merobekkan punggung baju sino-na, melainkan karena mentah-mentah telah melepaskan burung yang sudah berada di tangannya. Terang tak nanti dia mampu mengejar si nona itu lagi.
Apa boleh buat, terpaksa ia hanya dapat mengantongi robekan baju itu. Katanya seorang diri, ''Dengan bukti ini, jika lain hari berjumpa lagi, tak nanti engkau dapat lolos."
Ia ayunkan langkah menuju ke pantai telaga. Pada saat matahari baru mulai menyingsing di ufuk timur, tibalah sudah ia di pantai telaga Thay-ou.
Air yang meriak sisir di permukaan telaga pa da pagi hari, amat menarik pandangan mata. Lam Tian tegak berdiri dt pesiar telaga sambil menikmati alam telaga Thay-ou yang indah.
Telaga Thay-ou atau telaga Agung, luasnya meliputi area 36.000 bahu. Ujung di seberang muka seolah-olah tak tampak. Terpesona dengan kebesaran alam telaga itu, Lam Tian berdendang memuji, "Bebas luas tiada berujung. Di tengahnya, penuh dengan gunung putih."
Tiba2 ia mendengar bunyi air tersiak. Sebuah perahu meluncur keluar dan gelombang kabut yang membungkus permukaan telaga itu.
Tukang perahu yang mengenakan baju rumput dan topi rumput, sembari mainkan kayuh, memberi salam kepada Lam Tian, "Selamat pagi, tuan."
Setelah membalas salam selamat pagi, bertanyalah Lam Tian, "Perahumu itu perahu tangkap ikan atau untuk mengangkut penumpang?"
"Dua-duanya boleh. Jika tuan suka, bolehlah kuantarkan tuan pesiar mengelilingi telaga Thay-ou ini. Hanya dua tahil perak ongkosnya, murah sekali," kata si tukang perahu.
"Baik, bawalah perahumu kemari," kata Lam Tian.
Tukang perahu tertawa, "Tuan, sejak kecil aku dibesarkan di telaga ini dan menuntut penghidupan sebagai tukang perahu. Segala macam orang telah kujumpainya. Kulihat engkau ini memiliki ilmu kepandaian yang lihay. Silakan tuan loncat kemari saja, daripada aku haru membuang waktu mengayuh ke tempat tuan situ."
Lam Tian menepuk-nepuk sarung pedangnya. Sambil tertawa ia segera enjot kakinya melayang ke atas perahu. Sekalipun perahu itu diinjak oleh tubuh Lam Tian yang berpuluh-puluh kilo beratnya, namun karena gin-kangnya sudah mencapai tingkat tinggi, maka sedikitpun perahu itu tidak oleng.
"Hebat!" seru si tukang perahu. Ia pun segera mengayuh perahunya menuju ke tengah telaga.
Setelah memandang lekat2 kepada si tukang perahu, berserulah Lam Tian dengan tertawa, "Sahabat, tulang belulangmu juga keras sekali."
Tukang perahu tak menyahut, beberapa saat kemudian ia menunduk ke bagian tengah perahunya dan berkata, "Tuan, pakaianmu basah kuyup semua, kalau kena angin tentu sakit nanti. Di sebelah dalam terdapat perapian, silakan tuan memanasi diri."
Kabut telaga Thay-ou memang lembab. Orang yang berada di tengah kabut itu tentu seperti kena hujan gerimis. Lam Tian mengucap terima kasih lalu masuk ke dalam ruang perahu. Memang benar, dalam ruang itu terdapat sebuah perapian. Diatasnya sebuah wajan yang berisi seekor ikan le-hi (semacam ikan tawes). Ikan le-hi merupakan hasil keluaran istimewa dari telaga Thay-ou. Ikan dalam wajan itu berdesir-desir menyiarkan bau harum.
Setelah menanggalkan pakaian luar, Lim Tian lalu memanggangnya di atas perapian.
"Hai, bung, apakah engkau punya arak?" serunya kepada tukang perahu.
"Ada, ada, makan ikan le-hi dengan arak, memang tak ada yang melawan nikmatnya." sahut si tukang perahu.
Setelah montang manting semalam suntuk, Lam Tian merasa lapar sekali. Ia lemparkan lima tahil perak kepada tukang perahu.
"Mana araknya? Ikan lehi berikan juga kepadaku," serunya.
"Ikan sih boleh tapi tidak araknya. Kecuali jika engkau orang she Lau, itu lain lagi perkaranya." sahut tukang perahu.
Lam Tian tersentak kaget, serunya, "Apa katamu? Aku ini justeru orang she Lau. Hai, tukang perahu, mengapa engkau kenal kepadaku?"
Tukang perahu itu tertawa gelak2 lalu lemparkan perak tadi kepada Lam Tian lagi, ujarnya, "Karena engkau orang she Lau, sudah tentu arak akan kuhidangkan. Angkatlah papan perahu, didalamnya terdapat sebuak gentong berisi arak wangi. Boleh engkau ambil semualah."
Waktu Lam Tian mengangkat papan lantai ruang perahu itu, memang benar disitu terdapat sebuah gentong tanah liat yang tersumbat rapat. Begitu sumbatnya dibuka, serangkum bau wangi segera menyampok hidung Lam Tian. Hm, segentong arak ternama dari Siau-hin yang tersimpan lama.
Seperti mendapat durian runtuh, demikian kata pepatah apabila orang mendapat keuntungan secara tiba2, Demikian Lam Tian segera menuangnya dalam sebuah mangkuk. Begitu diciumnya, ia segera tak henti-hentinya memuji. Secepat kilat dia terus hendak meneguknya.
Tetapi tiba2 terlintaslah sesuatu dalam pikirannya, "Uh, gerak gerik tukang perahu ini mencurigakan. Tentu bukan tukang perahu biasa. Dia berkeliaran di telaga ini, jika bukan anak murid kaum Tan-tik-bun, tentulah kaki tangan mereka. Rasanya arak ini tentu mengandung racun. Baiklah, biar kucobanya."
Ia tertawa dan berseru, "Tukang perahu, selamanya aku tak pernah minum arak tanpa kawan. Masuklah engkau kemari dan mari kita bersama-sama minum."
Dari luar terdengar tukang perahu tertawa mengejek, "Lau Lam Tian, kalau engkau sudah berani masuk ke sarang harimau, mengapa tahu minum arak saja? Engkau kira aku mencampurkan obat kedalam arak itu? Ha, ha, kalau aku memang mau membunuhmu, adalah semudah orang membalikkan telapak tangannya. Perlu apa harus meracunirnu dengan arak?"
Panas telinga Lam Tian mendengar ejekan tukang perahu itu. Tapi kalau dipikir memang benar juga sumbar tukang perahu itu. Cukup dengan membalikkan perahunya, tentulah ia (Lam Tian) akan tenggelam dalam air. Ia tak mengerti sama sekali ilmu berenang.
Dulunya suhunya, Ku Pin, mendirikan partai Ang-tik-pay dan termasyhur sekali. Kemudian dia membubarkan partai perkumpulannya dan mengasingkan diri di Sou-pak. Disitu barulah dia menerima Lam Tian sebagai murid. Karena itu apa yang diberikan suhunya kepada Lam Tian hanyalah ilmu silat yang dipakai di daratan saja. Ilmu silat di air tidak diberikan. Itulah sebabnya maka waktu masuk ke gedung keluarga Ciau, Lam Tian menyebut dirinya sebagai murid partai Ang-tik-pay yang lama.
Menyadari akan keadaan dirinya, Lam Tian hanya ganda tertawa saja, lalu dia coba'2 menjilat arak. Ah, tak ada rasa obat apa2, demikian pikirnya. Lalu diapun meneguknya dan makan ikan le-hi.
Karena saat itu pakaiannya sudah kering maka iapun memakainya lagi dan terus keluar.
Kabutpun sudah menipis buyar tersapu sinar matahari yang gilang gemilang. Wajah telaga itu-pun berganti baru. Waktu memandang ke arah tukang perahu ternyata orang sudah berganti pakaian ringkas sepsrti yang lazim dipakai orang persilatan, warna hijau. Sebatang golok menyelip di pinggangnya. Kini dia bukan lagi si tukang perahu yang mengenakan baju dan topi rumput, melainkan berobah menjadi seorang persilatan yang gagah.
Saat itu perahu sudah berada di pusar telaga. Di sebelah muka tampak berserakan pulau besar kecil laksana zamrud mutu manikam yang berhamburan diatas permadani biru. Pulau-pulau itu ber jumlah tak kurang dari sembilanpuluh satu buah.
"Lau Lam Tian, bagaimana, apakah arak itu beracun?" tukang perahu tertawa.
Lam Tian memberi hormat, sahutnya. "Harap saudara suka maafkan atas kepicikanku. Tolong tanya siapa nama saudara yang mulia?"
"Aku orang she Tan, nama Su."
"Tan di air, Ciau di darat. Apakah saudara ini ketua Tin-tik-bun?" tanya Lam Tian.
"Mana orang semacam diriku yang berkepandaian begini rendah mampu menjadi tho-cu (ketua) perkumpulan kami? Aku hanya menjabat sebagai tho-cu kelima. Itupun sebenarnya tak sembabat dengan kepandaianku," jawab Tan Su.
Diam2 Lam Tian terkejut. Suhunya telah menerangkan bahwa cong-thocu (ketua umum) dari Tin-tik-bun yang bernama Tan Ping itu, mempunyai bawahan sebanyak tujuh orang tho-cu. Dengan Tan Ping mereka merupakan delagan ko-jiu (jago lihay) yang terkenal. Selain Tan Ping sendiri, boleh dikata Tan Su yang paling tinggi kepandaiannya.
Lam Tian tak mengira sama sekali bahwa baru saja menginjak daerah perairan telaga, ia sudah bertemu dengan jago kedua dari Tin-tik-bun. Diam2 ia siap waspada.
"Maaf, tadi aku sudah tak mengetahui kalau ngo-thocu. Aku diutus suhu untuk menghadap cong-thocu. Sukalah kiranya saudara membawa aku ke sana," katanya.
"Ya, memang sudah kuketahui jauh2, tak usah banyak omong," sahut Tan Su.
Ia lantas mengayuh. Perahu yang menyongsong arus itu tiba2 membelok tajam hingga miring ke sebelah. Setelah itu meluncur lagi dengan laju.
"Tan thocu, bukankah sekarang ini engkau hendak mengantar aku ke Sik-san?" tanya Lam Tian.
Sik-san atau gunung timah, adalak markas besar dari partai Tik-tik-bun, merupakan pulau yang paling besar dari telaga Thay-ou. Lebih kurang seratusan li jauhnya dari kota Sou- ciu.
Tan Su tertawa gelak2, serunya, "Lusa ke Sik-san rasanya belum terlambat. Sekarang kita menuju ke Tong-thing-san dulu," sahut Tan Su.
"Mengapa?" tanya Lam Tian terkejut.
Tan Su tak menyahut melainkan kembangkan hidungnya dan tertawa, "Wangi, wangi sekali."
Lam Tian terbeliak dan bertanya, "Apanya yang wangi?"
"Barang yang berada dalam bajumu itu. Apakah itu bukan tanda mata dari Ji hujin?" sahut Tan Su, Tangannyapun terus diulurkan ke dada Lam Tian.
Lam Tian mendorongnya dan berseru nyaring, "Apa itu Ji hujin? Aku tak mengerti sama sekali."
Tan Su tertawa mengekeh, "Setiba di Tong-thing-heng, rejekimu sungguh besar!"
Lam Tian melongo mendengar olok-olok itu. Ia merogoh kedalam baju dan mengambil keluar robekan punggung baju si nona yang tak dikenalnya itu. Serangkum hawa wangi segera menyerbak hidung.
"Apakah ini yang engkau maksudkan benda itu?" tanyanya dengan tertawa getir.
"Ha, jangan berlagak pilon. Semalam ketika engkau menyatroni Ciau-ke-cung, siapakah yang menunjukkan jalan? Ha, ha, bocah baik, Ji hujin telah tertarik kepadamu, apakah engkau tak tahu?"
"Tan-heng, bicaralah yang sopan sedikit. Ji-hujin, hm isteri siapa dia itu?" teriak Lam Tian.
Dikatai begitu keras oleh Lam Tian, Tan Su tak marah. Bahkan sebaliknya malah tertawa mengekeh.
"Sudah tentu isteri dari toako-ku. Ilmu silat-nya lihay sekali, sampai toako agak jeri kepadanya. Jika bertemu dengannya, jangan bicara dan bersikap keras. Kalau ia sampai marah dan mengajak engkau berkelahi, jiwamu pasti amblas," kata Tan Su.
Lam Tian mendongak ke langit dan bersuit keras. Tiba2 ia buang robekan baju itu dan berseru lantang, "Tan Su, aku tak mau ke Tong-thing-san, antarkanlah aku ke Sik-san!"
Perjalanan Lam Tian memang banyak mengalami rintangan. Bermula bertemu dengan Kim-to-thay-po Ciau Han Ciang. Lalu sumoaynya hilang dan kemudian sekarang akan berhadapan dengan Ji hujin. Ini sungguh menjengkelkan.
Sebenarnya dia hendak langsung berhadapan dengan ketua Tan Ping saja. Sumoaynya dibebaskan atau dia akan meminta dengan kekerasan. Kalau berhasil, dia dapat merebut sumoaynya. Kalau tidak, biarlah ia pertaruhkan jiwanya.
Karena jengkel dan gelisah, tanpa terasa Lam Tian telah tumpahkan isi hatinya dengan suatu gerak untuk mengunjuk kepandaian.
Tanpa terasa ia unjukkan kepandaian. Robekan baju tadi adalah benda yang tipis dan ringan. Tapi ditangannya, benda itu berobah menjadi sebuah senjata yang hebat. Robekan baju itu melayang dan menghantam tali temali layar. Tali2 putus seperti, tertabas pisau dan rubuhlah kain layarnya.
Melihat itu berobahlah air muka Tan Su, pikirnya, "Anak yang masih begitu muda, ternyata mempunyai lwekang yang hebat. Rasanya ia tentu dapat menimpukkan daun dan bunga untuk melukai orang,"
Karena layarnya putus, perahupun berkurang lajunya. Tan Su mengayuh perahu dan tertawa mengekeh, "Lau Lam Tian, terus terang kukasih tahu, aku memang diperintahkan Ji hujin untuk mengantar kau ke Tong-thing-san. Ia hendak bicara padamu."
"Semalam cukup sudah ia mempermainkan aku, aku tak ingin menemuinya," jawab Lam Tian.
"Di dunia ini siapakah yang berani membantah perintah Ji hujin? Jangan bersitegang leher, lebih baik kau datang ke Tong-thing-san dulu dan nanti bicara lagi disana," kata Tan Su.
"Kalau ia hendak bicara padaku, bukankah ia bisa pergi ke tempat cong-thocu sana. Kalau suruh aku ke Tong-thing-san, apakah pantas? Tan-heng, kau ini bagaimana, mendengar kata-kataku atau menurut perintahnya?" makin lama Lam Tian makin marah. Malah ia sudah lantas mencabut pedangnya.
"Budak kecil, apa engkau kira aku takut ke padamu?" Tan Su pun marah dan juga menghunus goloknya.
Lara Tian merasa tak ada lain jalan lagi. Jika hendak ke Sik-san, satu-satunya cara yalah menundukkan dulu pemimpin kelima ini. Maka tanpa ayal lagi, dia segera menusuk.
"Tring", Tan Su menangkis dengan goloknya. Tetapi seketika itu ia rasakan tangannya kesemutan. Waktu memeriksa goloknya, ternyata sudah rompal. Dan lebih kaget lagi, ia melihat dua buah jari tangan kiri Lam Tian sudah merangsang untuk menutuknya. Terpaksa dia menghantam dan cepat loncat keatas payon perahu.
"Mau lari kemana engkau" teriak Lam Tian yang menyusul loncat keatas.
Tetapi secepat kilat Tan Su sudah membabat kaki Lam Tian. Dalam saat itu Tan Su memang lebih menang posisi karena Lam Tian masih melayang di udara. Selain berkepandaian tinggi, tho-cu kelima dari partai Tin-tik-bun itu memang berotak cerdas.
Karena kedua kakinya masih melayang di udara, Lam Tian tak punya tempat berpijak untuk pinjam tenaga, pun untuk menghindar juga tak mungkin. Tetapi dia adalah murid kesayangan dari Ku Pin. Dalam keadaan bahaya, ia tak gugup. Ia jejakkan kaki kirinya untuk mencari keseimbangan tubuh, kemudian kaki kanannya menendang.
"Bluuuung..." golok Tan Su kena tertendang jatuh kedalam air. Sekali berjumpalitan Lam Tian berdiri tegak di payon ruang perahu, terus mengirim Sebuah bogem mentah ke dagu orang.
Begitu golok terlepas, dengan sebat Tan Su segera menyambar kayuh dan menyabat kaki Lam Tian. Tiba2 terkilas dalam pikiran Lam Tian bahwa ia tak boleh mencemplungkan Tan Su, karena perlu memakai tenaganya untuk mendayung perahu. Tinju yang sudah diulurkan itu, ditarik lagi dan tepat sekali kesompokan dengan kayuh Tan Su tadi. Dengan cepat ia menyambar kayu pengayuh itu dan membentak, "Putus!"
Entah bagaimana caranya tetapi gentakan itu telah membuat kayuh putus menjadi dua potong.
"Tan Su, karena engkau sudah tak punya senjata, itu tak adil. Sekarang mari kita bertempur dengan galah saja," seru Lam Tian. Diapun lantas menyarungkan pedangnya dan bersiap dengan galah kayu.
Dalam gebrak permulaan tadi, Tan Su sudah menyadari bahwa lawan lebih lihay dari dirinva. Terang ia tidak mungkin dapat mengalahkannya. Secepat memutar otak segera ia mendapat akal.
"Bagus, kita bertempur dengan senjata galah dan payon ruang perahu ini menjadi gelanggangnya. Nah, ayo, kita mulai." serunya. Iapun segera mulai mainkan galah menurut jurus2 ilmu permainan golok.
Demikian keduanya lalu bertempur dengan galah. Dalam sekejab saja, mereka sudah bertempur sampai 13-an jurus. Sebenarnya galah adalah kayu yang mudah patah. Tetapi walaupun mereka bertempur seru dengan loncat berlincahan diatas payon ruang perahu, namun galah mereka tetap tak kena apa2. Ini menandakan bahwa mereka sama2 memiliki ilmu ginkang yang tinggi,
Namun bagaimanapun juga, Lam Tian tetap lebih unggul dari Tan Su. Dalam beberapa kejab saja, galahnya berobah menjadi segulung sinar yang mengelilingi tubuh Tan Su. Malah sambil mainkan galah dengan tangan kiri, dua buah jari tangan kirinyapun bergerak memagut-magut seperti ular yang menunggu kesempatan untuk memagut tubuh orang.
Repot memang tampaknya Tan Su. Sembari harus menangkis serangan galah, diapun masih harus bersiaga menjaga tutukan jari lawan. Diam2 diapun sudah mengambil keputusan. Begitu ada kesempatan, ia akan loncat kedalam air. Apabila didalam air, sudah jelas tentulah dia yang akan menang.
Tapi Lam Tian tak bodoh. Ia tahu apa yang dikandung dalam hati Tan Su. Maka galahnya tetap dibolang-balingkan sedemikian rupa untuk menjagai lawan dari empat penjuru agar tak dapat loncat kedalam air.
"Ha, ha, ha." beberapa saat kemudian dia tertawa gelak2, "Tan Su, Tan Su, engkau sudah kalah!"
Tan Su hanya mendengus saja dan bertempur terus. Tapi beberapa jurus kemudian ia lemparkan galahnya dan berseru nyaring, "Ya, benar, aku mengaku kalah I"
Lam Tian terkesiap. Karena lawan sudah mengaku kalah maka diapun tak mau menyerang terus. Ia juga lemparkan galahnya dan tertawa.
"Ah, kita kan hanya main2 saja, tak ada yang kalah dan menang sesungguhnya, Baiklah, tolong Tan-heng antarkan aku ke Sik-san...."
Baru Lam Tian berkata begitu tiba2 Tan Su sudah menjotos dadanya dan berteriak, "Lihat pukulanku ini!"
"Apa?" teriak Lam Tian terkejut. Karena tak sempat menghindar, terpaksa ia menangkis, Tetapi karena kuatir nanti melukai orang maka ia hanya gunakan tiga bagian tenaganya saja.
Diiuar dugaan dengan meminjam tenaga benturan tangan itu, Tan Su terus ayunkan tubuh loncat ke dalam air.
"Byurrrr..." "Celaka, aku termakan tipu bangsat itu," diam2 Lam Tian mengeluh ketika dilihatnya Tan Su menyelam dalam air. Untuk menyusulnya, jelas dia tak mampu karena tak pandai berenang. Apa boleh buat, ia hanya mondar mandir diatas geladak perahu menunggu perkembangan selanjutnya.
Beberapa saat kemudian tiba2 Tan Su muncul di atas permukaan air dan tertawa mengejek, "Lam Tian, engkau hendak ke Tong-thong-san atau ke Liong-ong-hu?"
Liong-ong-hu artinya istana dari Liong (naga) si raja laut. Permukaan air berbuih dan beriak-riak keras. Pada lain saat kepala Tan Su meng hilang lagi. Tiba2 perahu itu menjadi oleng kian kemari malah miring sedemikian rupa hingga Lam Tian hampir tercebur ke dalam air.
Lam Tian benar2 bingung sekali. Ia tahu kalau Tan Su yang melakukannya dari bawah air. Kalau perahu itu sampai dijumpalitkan, ia tentu akan tercebur dalam air, celaka....
"Tan Su, aku menyerahlah," akhirnya terpaksa ia berseru, "terserah saja bagaimana engkau hendak mengatur aku."
Tan Su muncul diatas permukaan air lagi dan berseru, "Tetapi apakah engkau takkan ingkar janji?"
"Aku bukan bangsa manusia macam begitu," sahut Lam Tian.
"Bagus," seru Tan Su dan entah bagaimana caranya, tahu2 dia apungkan tubuh melayang ke dalam perahu lagi, pakaiannya basah kuyub.
Melihat itu diam2 Lam Tian memuji ilmu air dari orang itu. Tanpa banyak bicara, Tan Supun lantas menyambung tali temali layar yang putus tadi. Begitu diputar, perahu segera melaju ditiup angin.
"Tan thocu," kata Lam Thian, "mengapa Ji hujin bersusah payah mencari aku? Apakah maksudnya? Aku belum kenal kepadanya, masakan...."
"Ha, ha, ha," Tan Su tertawa mengerat omongan Lam Tian, "engkau tak punya dendam permusuhan kepadanya masa dia hendak membikin perhitungan dengan engkau? Mengapa dia mencari engkau, hi, hi. Hi...."
Setelah tertawa mengikik, tiba2 Tan Su menutup mulutnya lalu mengemudikan arah perahunya. Wajahnya mengerut ejek.
Lam Tian menduga perjalanan ke Tong-thingsan ini tentu akan menghadapi hal-hal yang kurang enak. Tapi karena sudah sampai begitu jauh, apa boleh buat, terpaksa dia menurut saja. Pikirnya, tak apa bertemu muka dengan Ji hujin dari ketua Tin-tikbun itu.
Berselang sejam lamanya, disebelah muka tampak sebuah pulau yang penuh dengan hutan lebat. Tembok yang bercat merah dari sebuah bangunan gedung, samar-samarpun sudah kelihatan mencuat.
"Apakah sudah sampai?" tanya Lam Tian.
"Benar," Tan Su mengiakan.
"Kabarnya thocu dari Tin-tik-bun itu lihay sekali kepandaiannya. Namanya menggetarkan dunia persilatan sebagai seorang ketua partai perguruan yang amat diindahkan. Tetapi mengapa ia mempunyai seorang ji-hujin?" tanya Lam Tian.
Ji-hujin artinya isteri kedua.
"Seorang lelaki mempunyai dua tiga orang isteri bukanlah sesuatu yang aneh. Engkau ini memang masih hijau," sahut Tan Su.
Lam Tian terdiam. Selintas terbayanglah nona aneh yang mengolok-oloknya semalam itu. Perawakannya langsing ramping, rambutnya panjang terurai tertiup angin, menimbulkan suatu gambaran yang mempesonakan sekali. Ah, siapa kira nona yang secantik itu ternyata hanya menjadi isteri muda dari ketua Tin-tik-bun. Tanpa disadari, timbullah pikiran kecewa dalam hatinya.
"Hai!" tiba2 Tan Su berteriak sembari timpukkan tangannya ke udara. Sebatang anakpanah kedengaran mendesing-desing di udara.
Lam Tian tersentak kaget dari lamunan.
Dari sebelah muka sana, tampak muncul sebuah perahu kembang meluncur datang. Di haluan perahu nampak tiga gadis tegak berjajar-jajar. Mereka sama mengenakan pakaian warna hijau.
"Ngo-ya," teriak salah seorang dari ketiga gadis itu, "harap kemudikan perahumu menuju ke hulu sungai Tho-hoa-ke. Mari ikutlah padaku."
Menilik dandanannya ketiga gadis itu seperti bujang pelayan. Tetapi Tan Su begitu mengindahkan kepada mereka. Dia terus memutar haluan perahu mengikuti perahu kecil itu.
Diam diam Lam Tian menimang dalam hati, "Kalau semua anak buah Tin-tik-bun tunduk pada Ji-hujin, bagaimanakah nanti Ji-hujin itu akan memperlakukan dirinya?"
Perahu kembang di sebelah muka itu meluncur dengan pesat sehingga dengan susah payah barulah Tan Su dapat mengikuti.
"Hm, kalau bujang pelayannya saja sudah begitu lihay, apalagi nyonya majikannya. Ah, tidak mengherankan kalau cong-thocu Tin-tik bun sendiri juga takut kepada Ji-hujin," pikir Lam Tian.
Setelah melalui sebuah muara, mereka masuk ke sebuah anak sungai. Disitu barulah perahu Jcem bang menggunakan tiga batang galah untuk mendayung. Anak sungai itu kecil alirannya tetapi derasnya bukan main.
Sepanjang menyongsong aliran anak sungai tak henti-hentinya air membawa tebaran bunga tho-hoa yang berguguran dari batangnya. Memang di sepanjang kedua tepi anak sungai itu penuh di tumbuhi dengan jajaran pohon2 tho. Itulah sebabnya maka anak sungai itu diberi nama Tho-hoa-ke.
Sepintas pandang tampaknya permukaan anak sungai itu seperti sebuah permadani merah yang merentang panjang.
Dibuai oleh harum bunga tho dan kicau burung yang seolah menyambut kedatangannya, pikiran Lam Tian melayang-layang ke suatu dunia lain yang penuh keindahan dan ketenangan.
"Tan-heng, apakah ini yang disebut sungai Tho-hoa-ke?" tanyanya kepada Tan Su.
Tan Su tertawa asam dan mengangguk lalu memberikan sebatang galah minta Lam Tian bantu mengayuh.
Lam Tian menyambut. Dengan menggunakan Iwekang yang kuat, dalam dua tiga kali mengayuh saja dapatlah Lam Tian mengejar perahu kembang disebelah muka.
"Apa yang hujin katakan bahwa Lau toaya itu memiliki ilmu yang tinggi, ternyata benar," seorang gadis pelayan itu bertepuk tangan tertawa.
"Tutup mulutmu!" bentak seorang kawannya. "Ceng Ceng, hujin bukan saja memuji kepandaian Lau toaya itu lihay, pun orangnya juga cakap, engkau dengar tidak?" kata gadis pelayan tadi.
"Ping Ping, jangan ngaco belo, lekas kayuh cepat2" kembali kawannya yang dipanggil Ceng Ceng itu membentaknya.
Tetapi rupanya gadis yang bernama Ping Ping itu masih penasaran mengomel panjang pendek. Untung gadis pelayan nomor tiga, Biau Biau namanya, cepat melerai mereka.
Beberapa saat kemudian, kedua perahu yang menempuh aliran air itu tiba pada sebuah tempat di mana terdapat serumpun pohon bunga heng-hoa yang menyiarkan bau semerbak. Disitulah mereka berlabuh.
"Tetamu agung, silakan naik ke darat" seru Ceng Ceng mempersilakan Lam Tian dengan suara yang lembut.
Merah muka Lam Tian dibuatnya. Ia tertegun karena dipanggil ?tetamu agung' itu.
Tan Su mendorongnya dan tertawa sinis, "Tolol, mengapa tak lekas2 naik ke darat. Apa mau minta kembali ke Sou-ciu?"
Gadis pelayan Ping Ping datang dengan menuntun seekor kuda putih. Dengan hormat ia segera mempersilakan Lam Tian menaiki kuda itu.
Sampai sebesar itu Lim Tian tak pernah bergaul dengan gadis kecuali dengan sumoaynya, si centil Hui Kun. Kini pada waktu berhadapan dengan kaum gadis yang cantik, walaupun mereka itu hanya gadis pelayan, tetapi mau tak mau ia mengucurkan keringat dingin juga. Terpaksa ia menurut.
"Hendak kalian bawa kemana aku ini?" tanyanya setelah naik di pelana kuda putih.
Gadis Biau Biau menuntun kuda itu dan menyahut sembari tertawa, "Sudah tentu ke pesanggrahan Heng-hoa-ceng-sip, kan hujin sudah menunggu lama!"
Lam Tian terkejut tetapi tak dapat mengutarakan apa2. Setelah membiluk beberapa tikungan, harum bunga makin keras.
"Biau Biau, apakah nyonya majikanmu tinggal disini sepanjang tahun?"
"Kalau ada urusan penting baru ia datang ke Sik-san. Jika tidak, ia memang lebih senang tinggal disini," sahut Biau Biau.
"Apakah Tan pangcu sering datang kemari?" tanya Lam Tian pula.
Biau Biku gelengkan kepala. "Disini merupakan daerah terlarang bagi kaum lelaki. Apakah engkau tadi tak mempethatikan Ngo-ya (pemimpin kelima yakni Tan Su)? Meskipun dia menjadi pemimpin kelima, tetapi juga tak berani menginjak disini. Loya juga demikian"
"Habis bagaimana aku ini?" tanyanya.
"Engkau terkecuali," sahut Ping Ping.
Diam2 Lam Tian memaki. Namun karena ingin mengetahui, ia tanyakan juga apa keperluan Ji-hujin memanggilnya.
"Soal itu, silakan bertanya sendiri kepada hujin," sahut Ping Ping.
Karena tak dapat mengorek keterangan, Lam Tian hanya menghela napas. "Biau Biau, disini merupakan daerah kedewian. Orang luar tak boleh datang. Tentunya kaum wanita juga dilarang, bukan?"
"Tidak," cepat Ping Ping mendahului Biau Biau, "tadi pagi hujin datang dengan membawa seorang gadis."
"Siapa?" serentak Lam Tian bertanya karena teringat sesuatu.
Ping Ping tertawa. Tapi baru ia mau menyahut, sudah dibentak Ceng Ceng yang menyuruhnya diam.
Ping Ping leletkan lidah. Tiba2 ia menunjuk ke muka dan berseru, "Lau toaya, itu sudah sampai!"
Dalam pada itu diam2 Lam Tian curiga, jangan-jangan gadis yang dibawa Ji-hujin itu adalah sumoay-nya. Serentak iapun teringat akan keterangan Ciau Toa To bahwa yang melukai Lui Yan itu seorang perempuan. Ah, siapa lagi yang dapat menghajar Lui Yan kalau bukan seorang wanita berkepandaian tinggi seperti Ji-hujin. Kemudian iapun teringat lebih lanjut bahwa Ji hujin telah beberapa kali membayanginya, seakan-akan semalam suntuk wanita itu tak meninggalkannya. Ketika ia berhantam dengan kelima murid Tan Ping, kemungkinan besar wanita itu tentu berada di sekitarnya juga.
Tengah pikiran Larn Tian merangkai-rangkai atau tiba2 Biau Biau menyadarkannya, "Lau toa-ya, silakan turun."
Lam Tian dapatkan dirinya saat itu berada di sebuah pondok kecil yang mungil.
Seorang wanita cantik jelita menyambut keluar dengan senyum tertawa merdu. "Ah, sungguh suatu kehormatan besar Lau tayhiap sudi berkunjung kemari. Silakan masuk minum teh," serunya.
Belum mendengar suaranya, Lam Tian sudah kesampok dengan bau yang harum semerbak. Buru-buru dia turun dari kudanya. Dengan tundukkan kepala tersipu-sipu ia memberi hormat.
"Kita belum saling mengenal, mengapa hujin memanggil aku kemari?" katanya.
Wanita itu tertawa, "Janganlah Lau tayhiap begitu sungkan. Mari, mari silakan masuk dulu."
Ketiga gadis pelayan tadi segera membawa Lam Tian masuk ke dalam sebuah ruangan yang indah. Lam Tian dipersilahkan duduk di sebuah kursi bercat merah. Tak lama Ceng Ceng keluar membawa hidangan teh yang istimewa yani teh kelopak bunga kui-hoa dan liong-yan. Setelah itu iapun keluar.
Lam Tian meneguknya. Seketika ia rasakan semangatnya menjadi segar dan barulah dia berani mengangkat muka memandang ke depan.
Dilihatnya kini nyonya rumah sudah berganti pakaian warna merah. Suatu warna yang makin menambah menonjol kecantikannya. Hanya saja sifat kekanak-kanakannya masih belum hilang. Ya, memang umur nyonya itu paling banyak baru 20-an tahun.
Lam Tian memberi hormat dan berkata, "Kali ini Cayhe datang ke selatan...."
'Cayhe' artinya: aku yang rendah.
"Cukup, cukup," cepat si cantik sudah menukas dengan tertawa cerah, "jangan kelewat merendah diri. Baiklah kita bicara secara bebas saja, bagaimana?"
"Hujin, perkenanlah cayhe...."
Kembali nyonya cantik itu memutusnya, "Lau Lam Tian, semalam bagaimana engkau memanggil aku? Masakan engkau sudah lupa?"
Merah wajah Lam Tian, pikirnya, "Semalam aku belum tahu siapa dirimu. Apa salahnya kupanggil 'nona'? Kini setelah tahu kalau engkau isteri Tan pangcu, ah, mengapa engkau tak mau dipanggil hujin? Habis bagaimana panggilannya?"
Geli nyonya cantik itu melihat kebimbangan Lam Tian, ujarnya, "Lau Lam Tian, panggil saja Ji Yan, itulah nama kecilku. Aku sebenarnya orang she Ho"
"Itu.... itu mungkin kurang baik, "sahut Lam Tian.
Ho Ji Yan tertawa, "Ilmu silatmu tinggi tapi nyalimu kecil. Panggil aku Ji Yan, siapa yang berani menentang? Hm, jika engkau tetap memanggil hujin, aku tak sudi menghiraukan lagi."
Lam Tian bukan bangsa pengecut. Ia tak takut kepada nyonya rumah itu dan segera menerima perbaik.
"Baiklah, Ho Ji Yan, sekarang aku hendak minta orang kepadamu!"
"Apa? Apa katamu?" seru Ji Yan dengan wajah berobah.
"Hm, jangan pura2 pilon, dong. Kalau tidak berbuat, masakan wajahmu berobah. Baik, aku hendak berpura-pura juga. Coba saja engkau berani mengapakan sumoayku itu" pikir Lam Tian.
Namun dia tak mau menumpahkan kemarahannya dan segera berganti nada yang tenang.
"Ah, tidak apa2," katanya, "Semalam ketika aku datang kepada Ciau Toa To untuk min........."
Ho Ji Yan tertawa melengking, "Hatimu hendak menuduh aku tetapi mulutmu bilang tak tahu. Engkau ini memang...."
"Karena engkau sendiri sudah mengaku, baiklah sekarang aku hendak minta keterangan, mengapa engkau begitu ngotot membantu aku?" tanya Lam Tian.
"Aku benci sekali kepada Ciau jenggot itu. Kutunjukkan engkau tempat tinggalnya supaya engkau bertempur padanya, ha, ha, bukankah ramai sekali?"
"Ciau jenggot?" ulang Lam Tian.
"Tua bangka itu dengan mengandalkan ilmu goloknya, menamakan dirinya sebagai Ciau Toa To, Ciau si Golok-besar. Hm, boleh2 saja dia menyebut dirinya begitu. Tetapi masa dia memaksa orang suruh memanggilnya begitu juga. Ha, ha, aku tetap akan memanggilnya sebagai Ciau jenggot. Ketika didalam rapat besar antara golongan Ciau dengan golongan Tan, didepannya kupanggil Ciau jenggot sehingga saking marahnya dia sampai berjingkrak2. Tan Ma-cu sendiri tak berani mengatai aku, masa si Ciau jenggot itu berani kepadaku?"
"Tan Ma-cu? Siapa Tan Ma-cu itu?" Lam Tian terkejut.
Ji Yan tertawa, "Tan Ping itu bopeng mukanya. Orang2 memanggilnya Tan pangcu tetapi kupanggilnya Tan Ma-cu (Tan si Bopeng). Bukannya aku menghina tetapi salahnya dia sendiri mengapa bermuka bopeng."
Lam Tian tertawa gelak2. Ia anggap Ji Yan itu wajar sekali. Tan Ping sudah berumur 50-an tahun tapi masih gemar paras cantik.
Tiba2 Ji Yan tertawa dan beralih lebih dekat, ujarnya, "Lam Tian. engkau memikir apa?"
Lam Tian terpesona dengan kecantikan nyonya itu tapi segera ia teringat akan pantangan pergaulan pria-wanita. Tak mau ia tercemar namanya, Segera ia kisarkan kursinya sampai dua tiga meter jauhnya.
"Sungguh lihay!" Ji Yan memuji kepandaian anakmuda itu.
"Ha Ji Yan, maksudmu menunjukkan aku ke perkampungan Ciau itu, bukankah karena hendak melibat ramai-ramai?" seru Lam Tian.
"Bagaimana pendapatmu?"
"Tahukah siapa yang hendak kuminta dari Ciau Toa To itu?" tanya Lam Tian pula.
"Sumoaymu!" sahut Ji Yan.
Lam Tian serentak berbangku dan berseru keras, "Bagus, apa yang hendak kuminta kepada Ciau Toa To itu, sekarang hendak kuminta kepadamu."
"Hay, Lam Tian, aku sampai kaget hampir setengah mati. Mau engkau bicara pelahan sedikit?" Ji Yan tertawa.
"Asal engkau serahkan sumoayku, tak apa aku akan membisu," sahut Lam Tian.
Tenang2 Ji Yan berbangkit dan menghampiri ke muka Lam Tian. Diulurkan tangannya untuk menepuk bahu Lam Tian, "Jangan naik pitam, duduklah lagi yang baik."
Pelahan saja tampaknya tepukan itu namun Lam Tian rasakan seperti ditindih oleh tenaga besar tak kurang dari seribu kati. Buru2 ia kerahkan tenaganya. Tapi dia hanya memperhatikan bagian atas dan lengah menjaga bagian bawah.
"Bluk" sekali kaki Ji Yan mengait, tepelantinglah Lam Tian duduk kembali di kursinya.
"Lam Tian, bagaimana engkau tahu kalau aku menawan sumoaymu?" seru Ji Yan dengan tertawa.
"Kalau tidak, perlu apa engkau menunjukkan aku ke perkampungan Ciau? Engkau tawan dulu sumoayku baru engkau menunjukkan tempat tinggal Ciau Toa To, benar tidak?"
Ji Yan mengangguk, "Benar, jika tak pergi ke perkampungan Ciau, masa engkau mengikuti aku kemari!"
"Mengikuti engkau?" Lam Tian menegas.
"Dikata mengikuti juga boleh, dikata menekan juga boleh, atau menipu juga boleh. Pokok engkau toh sudah datang kemari walaupun dengan alasan apa saja, itu bukan soal" Ji Yan tertawa.
Dengan marah berbangkitlah Lam Tian lagi dan berseru keras, "Ho Ji Yan, cayhe hendak minta dua buah keterangan."
"Kuminta engkau bicara pelahan, tetapi engkau malah menggembor keras. Engkau ini memang bandel. Baiklah, mau bilang apa, silakan bilang."
"Pertama, bagaimana dengan keadaan sumoayku? Engkau bunuh atau masih kau tawan?" tanya Lam Tian.
"Sekarang dia sedang tidur pulas di ranjangnya. Habis menempuh perjalanan selama sepuluh hari, sudah selayaknya kalau ia beristirahat. Engkau ini rupanya tak punya kasihan sedikitpun kepada orang," sahut Ji Yan.
Lam Tian meringis. Jika berhadapan dengan seorang pria, tentu Lam Tian sudah menamparnya.
"Apa masih ada yang kedua?" Ji Yan mengejek.
"Katakan dulu, omonganmu tadi sungguh atau tidak?" kata Lam Tian.
Ji Yan mendengus pelahan. "Hm, kalau aku berkata sungguh, tentu sungguh2. Jika aku berbohong tentu tidak sungguh2. Hm, kalau engkau menyebut sumoay-sumoay itu, rasanya kalian tentu akrab sekali. Masa aku tega membikin cacat dirinya?"
Merah muka Lam Tian mendapat sentilan begitu. Diam2 dia mengeluh. Berhadapan dengan seorang wanita muda yang begitu centil, ia benar2 merasa bohwat (tobat).
Sebaliknya Ji Yan diam2 geli melihat sikap anak muda yang mati kutu itu. "Ayo, duduklah lagi, maukah?" serunya.
Kuatir kalau ditepuk bahunya lagi, Lam Tian pun duduk.
"Ho Ji Yan, yang kedua itu sederhana sekali. Apa maksudmu menyiasati aku supaya datang kemari?"
Walaupun tiap patah yang terakhir itu diucapkan dengan tegas, namun tak urung hati Lam Tian bergoncang juga. Dari Tan Su dan Ping Ping tadi, dia telah dapat mengungkap maksud nyonya kedua dari ketua Tin-tik-pay itu. Diam2 Lam Tian kuatir apa yang diduganya itu memang benar bahwa nyonya cantik itu jatuh hati kepadanya.
Tapi diluar dugaan, dingin-dingin saja Ji Yan tertawa, "Kudatangkan engkau kemari ini, bukan bermaksud apa-apa. Kutahu bahwa engkau adalah jago pilihan dari Ang-tik-kiu-pay angkatan kedua. Telah kulihat bagaimana engkau menempur enam orang murid kaum Tik-tik-pay. Memang hebat sekali kepandaianmu itu. Maka hendak kuundang engkau supaya bermalam disini untuk menguji kepandaian dengan aku."
Mendengar itu Lam Tian menghela napas longgar seperti orang yang terlepas dari himpitan berat. Tapi teringat akan dugaannya yang tidak2 tadi, iapun jengah sendiri. Untuk menutupi malu, buru2 ia menegas, "Benarkah begitu?"
"Engkau setuju tidak?" Ji Yan balas bertanya.
Lam Tian terdiam. -^dwkz^smhn^- Jilid 03 KENALKAN SUMPAH adalah janji. Janji berjanji kehormatan diri, ikrar sang hari. Memang tampaknya mudah untuk mengucap sumpah atau janji yang hanya terdiri dari beberapa patah kata. Tetapi untuk melaksanakan secara konsekwen, bukanlah mudah.


Benci Tapi Rindu Cinta Dibawa Mati Karya Sd Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sumpah sering tergiur oteh rangsang harta benda, pangkat kekuasaan yang menghancurkan imam. Ataupun tekanan dan ancaman yang meruntuhkan nyali.
Maka janganlah mudah mengucap sumpah atau janji kalau tidak beriman sekokoh baja, tidak bernyali seperti singa.
Hanya insan seperti Lau Lam Tian baru layak mengucap sumpah untuk melaksanakan pesan gurunya. Karena baginya, sumpah itu adalah jiwa raga taruhannya.
-^dwkz^smhn^- Nona atau Nyonya. Banyak perasaan yang terhambur dalam helaan napas. Ada orang menghela napas karena merasa sayang, karena kecewa, karena bersedih, karena putus asa, karena kehilangan daya. Tetapi ada juga orang menghela napas karena merasa longgar hatinya. Orang yang begitu termasuk Lau Lam Tian.
Dia menghela napas karena hatinya serasa longgar mendengar kata2 Ho Ji Yan, wanita cantik yang statusnya menjadi isteri dari ketua Tin-tik-pay.
Apa yang diduganya tadi ternyata tak benar dan oleh karena itu diam2 dia merasa malu dalam hati.
"Apakah benar begitu maksudmu?" ia segera menegas untuk menutup rasa malunya.
"Engkau setuju atau tjdak?" balas Ji Yan.
"Menguji kepandaian adalah hal biasa. Ya, aku setuju saja. Kepandaianmu jelas lebih tinggi dari aku, harap engkau suka memberi petunjuk," sahut Lam Tian.
"Engkau suka berterus terang. Aku suka dengan orang yang begitu. Baik, sekarang juga kita boleh mulai. Nah, loloslah senjatamu," kontan Ji Yan menantang.
"Mari kita bicara dulu. Dalam menguji kepandaian ini, siapa yang kena tertutuk, akan dianggap kalah. Baik kalah maupun menang, sumoayku itu harus kuajak tinggalkan tempat ini," kata Lam Tian.
"Hm, budak laki itu berhati tinggi sekali. Jika tak dapat menangkan dia, aku tak mau jadi orang she Ku," pikir Ji Yan.
Aneh, benar2 aneh, mengapa Ji Yan mengaku orang she Ku? Apakah Ho Ji Yan itu sebuah nama palsu?
Dalam persoalan itu, memang menyangkut suatu peristiwa balas dendam yang berliku2. Agar tidak membingungkan, untuk sementara kita tinggalkan dulu hal itu. Nanti pembaca akan dapat mengetahui sendiri dalam cerita selanjutnya.
Begitulah Ji Yan segera mencabut sebuah senjata aneh dari pinggangnya. Sebuah bandul emas yang diikat dengan rantai perak atau yang disebut Gm-lian-kim-thui.
Nampaknya seperti sebuah perhiasan tetapi kalau dimainkan mempunyai gaya yang istimewa sekali. Orang sering mengabaikan. Demikian seperti Lam Tian. Dia mengira Ji Yan tentu akan menggunakan pedang. Siapa tahu kalau hanya memakai sebuah hiasan yang berbentuk seperti bandul. Memang dalam dunia persilatan terdapat bentuk senjata seperti itu ialah yang disebut Liu-sing-jui atau Bandringan-berantai.
Diam2 Lam Tian geli. Iapun mencabut pedang dan berseru, "Ho Ji Yan, apa katamu?"
"Dengan sudah mencabut senjataku, berarti aku menerima baik syaratmu tadi, perlu apa engkau masih ribut lagi?" balas Ji Yan tertawa.
Lam Tian mengetahui kalau berhadapan dengan seorang wanita yang cerdik licin maka dia harus berhati-hati. Dengan hati2 ia segera memasang kuda-kuda dan mempersilakan, "Hujin, silakan menyerang!"
"Apa? Engkau masih memanggil hujin lagi?" teriak Ji Yan dengan gusar.
Tapi Lam Tianpun marah juga, serunya, "Ji Yan, jika engkau tak lekas2 mulai, aku tak ada waktu meladenimu lagi."
Ji Yan itu seorang nona yang aneh perangainya. Dari marah sebaliknya ia malah tertawa mengikik. "Baik, baiklah, tuan muda. Jangan berlagak seperti seorang sauya (tuan muda)," seru Ji Yan, sekali tangannya menggentak, bandringan emas itupun mengaung di udara seraya berseru, "Lihat serangan!"
Lam Tian kalah dalam hal ilmu ginkang dengan Ji Yan maka dia hanya mengandalkan kepandaiannya bermain senjata untuk menghadapi nona itu. Begitu ia menangkis dengan pedang, bandringan Ji Yanpun terpental dan serempak de ngan itu Lam Tian terus balas menyerang, "Awas Berangan!"
Ji Yan hanya ganda tertawa. Bandringan yang terpental kesisi itu tak keburu ditarik kembali maka ia gunakan tangan kiri untuk mendorong pedang lawan hingga terpental sampai setengah meter ke samping. Dengan begitu seimbanglah. Bandingannya tersiak kesamping tetapi pedang Lam Tian juga terpental. Karena bandringan itu diikat dengan rantai, sedang pedang itu sebuah senjata yang kaku.
Diam2 Lam Tian terkejut. Tak kira kalau seorang nona yang tampaknya begitu lemah, ternyata memiliki tenaga yang sedemikian dahsyat. Buru2 dia keluarkan ilmu pedang perguruannya dan terjadilah pertempuran yang seru.
Dalam beberapa kejab saja, pertempuran sudah mencapai lima enampuluh jurus. Kalau Ji Yan makin lama makin bersemangat, adalah Lam Tian makin lama makin harus berhati-hati. Pada lain saat tiba-tiba bandringan emas berkilat menyambar ke muka Lam Tian. Lam Tian girang dibuatnya.
"Apakah engkau hendak main2 ini? Masa gunakan bandringan memukul dari sebelah muka?" pikirnya.
Memang bandring itu tepatnya harus digunakan untuk menyerang dari samping. Ini untuk memudahkan gerakan menghindar kalau musuh hendak menangkisnya. Orang yang menyerang dengan bandring dari muka, kalau bukan karena yakin tenaganya lebih kuat dari Ji Yan, tentu tak mau berbuat begitu karena resikonya mudah disambar lawan.
Secepat kilat tangan kiri Lam Tian menghantam untuk menundukkan perbawa serangan lawan. Pedang diselipkan dibawah ketiak, kemudian tangan kanannya digunakan untuk menyambar. Ia percaya pasti akan dapat menangkap bandringan orang.
Tetapi diluar dugaannya, sekonyong-konyong bandringan itu lenyap sehingga sambarannya mengenai angin. Suatu hal yang selama ini belum pernah mengalami. Ketika mengeliarkan pandang untuk mencari dimana bandringan itu, ternyata di sana Ji Yan tertawa mengikik sambil mencekal bandringannya.
"Wut..." kembali bandringan itu melayang dari sebelah muka lagi.
Kali ini Lam Tian berlaku hati2. Ia menghindar ke samping lalu menabas rantai bandringan itu dengan pedangnya.
Ho Ji Yan tertawa, "Rantai kan tidak berdosa padamu, mengapa hendak engkau tabas?" Sekali tangannya menggentak, rantai dan bandringan sudah kembali ke tangan Ji-Yan.
"O, makanya bandringan itu seperti punya mata, bergerak pergi datang dengan bebas. Kiranya ia dapat menguasai dengan sempurna," diam2 Lam Tian berkata dalam hati.
Di dunia persilatan orang yang dapat memainkan liu-sing-jui dengan mahir, bukan sedikit jumlahnya. Permainan yang diunjukkan Ji Yanpun tak begitu menakjubkan. Rasa jeri Lam Tianpun berkurang.
"Ji Yan, coba engkau serang." serunya dengan tertawa.
''Baik," sahut Ji Yan seraya ayunkan bandringannya lagi
Kali ini Lam Tian akan menyambarnya untuk mencoba kekuatan lawan. Secepat menarik pulang pedangnya, ia lantas menyambar dengan kedua tangannya.
"Uh...." secepat itu pula bandringanpun menghilang.
"seratus kali kuhantam, jika engkau mampu menangkapnya, aku mengaku kalah," seru Ji Yan.
Lam Tian tak mau kalah. Dengan lantang dia menyahut, "Hantamlah seratus kali, kalau engkau mampu menyentuh pakaianku, aku akan mengaku kalah!"
"Bagus!" teriak Ji Yan sembari menarikan lagi bandringannya dengan lincah. Menyabat lalu disendai balik, selekas disendai lalu disabatkan pula. Yang diarah adalah jalan darah2 berbahaya pada tubuh lawan.
Lam Tian tetap hendak menyambarnya. Memang dia dapat menampar bandringan itu supaya melengkung ke samping. Tetapi untuk menyambarnya, sukar sekali.
Demikian cepat sekali Ji Yan sudah lancarkan seratus kali serangan dan Lam Tianpun juga telah mencoba menyambarnya sampai seratus kali. Tetapi sama2 tak berhasil.
"Lam Tian, kepandaianmu hebat sekali karena engkau mampu menghadapi seratus kali seranganku. Sungguh tak kecewa sebagai murid utama dari Ang-tik-kiu-pay angkatan kedua!" seru Ji Yan setelah menghentikan bandulannya.
"Kita sama2 serie, tak usah memuji. Pertandingan ini berakhir sampai disini, bukan?" tanya Lam Tian.
"Masih banyak. Masa engkau tak menghendaki sumoaymu? Nih, hati-hatilah!" Ji Yan menutup peringatannya dengan menyerang lagi.
Lam Tian berdiri pada jarak dua meter. Sedang panjang rantai itu hanya satu meter maka Lam Tian geli melihat tindakan Ji Yan. Ia berdiri diam saja dan tertawa, "Ai, engkau mau mempertunjukkan permainan apa lagi?"
Baru dia berseru begitu, tahu-tahu bandringan sudah tiba di bawah hidungnya. Kejut Lam Tian bukan kepalang. Dengan berseru keras ia terpaksa condongkan tubuhnya ke belakang dalam gerak Kun-te-ho-lo atau Buli2-terguling-ditanah. Setelah itu dilanjutkan pula dengan gerak Le-hi-ta-ting atau Ikan-lehi-melenting.
Setelah dengan susah payah, barulah ia dapat terhindar dari serangan itu dan tegak berdiri lagi. Ketika memandang ke muka, didapatinya Ji Yan mencekal bandringannya sembari tertawa mengikik.
Lam Tian deliki mata karena heran.
"Kun-te-ho-lou dan Le-hi-ta-ting, hi, hi, bagaimana rasanya dengan pertunjukan yang engkau mainkan itu?" Ji Yan tertawa berseru.
Lam Tian masih terlongong-longong dan kaget. Ia merasa seperti lolos dari lubang jarum.
"Tolol," seru Ji Yan "kuberitahu kepadamu. Rantai bandringanku ini terbuat daripapa campuran logam yang istimewa. Lemas tetapi keras, dapat menjulur maju dan menyurut mundur. Kalau menjulur dapat mencapai jarak empat meter. Nah, catatlah baik2 agar nanti jangan engkau menderita kerugian lagi!"
Kini barulah Lam Tian mengerti duduk persoalannya. Tertawalah dia untuk menutup malunya. "Baik, tentu kucatatnya!" serunya.
Dia terus melolos sabuk kulitnya dan mengguratnya dengan kuku jari yang disaluri tenaga dalam, seperti orang yang membuat catatan.
"Hm, engkau hendak memamerkan kepandaian," pikir Ji Yan tertawa.
"O, engkau hendak mencatat? Tulisanmu tentu bagus, mana kasih lihat kepadaku," serunya.
Lam Tian anggap Ji Yan itu seorang nona yang lapang hati maka diapun memberikan sabuk itu kepadanya.
Setelah menerima dan memeriksa sebentar, Ji Yan mengebutkannya.
"Tarrrr..." Tiba2 sabuk yang terbuat dari kulit kerbau masak itu, berhamburan menjadi beratus keping2 kecil, menyerupai kawanan kupu2 yang terbang di udara.
"Hai, jangan merusak sabukku," teriak Lam Tian.
"Engkau kan cukup menyimpan catatan saja," Ji Yan tertawa sembari lemparkan sekeping kulit sabuk kepada anak muda itu.
Ketika menyambuti, Lam Tian berseru dengan suara tertawa, "Hujin, sungguh hebat sekali kepandaianmu. Cayhe tak dapat menandingi. Harap kembalikan sumoay-ku dan cayhe akan segera minta diri."
Kiranya pada keping kutungan sabuk yang diterima Lam Tian itu terdapat beberapa gurat huruf yang berbunyi, "Senjata Ji Yan dapat mencapai empat meter panjangnya."
Lam Tian tak merasa menulisnya. Jelas yang menulis itu adalah Ji Yan. Disamping memiliki ilmu tenaga dalam yang hebat, pun cara Ji Yan menyalurkannya sangat tepat dan cermat. Bagian yang diperlukan masih tetap utuh, sedang yang tak diperlukan dihancur leburkan.
Lam Tian menghela napas. Seumur hidup baru pertama kali itu dia menyaksikan hal semacam itu. Sedang Ji Yan hanya tertawa sembari geleng 2 kepala.
"Lam Tian, karena belum ada yang kalah dan menang, engkau tak boleh pergi dulu," kata nyonya cantik itu.
Lam Tian menimang-nimang. Dalam ilmu lwekang, jelas dia kalah. Dalam ilmu gin-kang, tadipun tak menang. Lalu apa yang dapat ia lakukan? Ah, tiba-tiba ia teringat akan ilmu pedang yang dimilikinya. Ya, hanya dengan ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat kiranya barulah dia mempunyai peluang besar untuk menundukkan si cantik. Tapi suhunya pesan wanti2, tak boleh sembarangan menggunakannya. Ia bingung memikirkan bagaimana hendak menyelesaikan soal yang dihadapinya saat itu.
"Ji Yan, apakah engkau benar2 tak mau melepaskan sumoayku?" tanyanya.
"Bukan hanya dia, pun juga engkau!" seru Ji Yan.
Berobahlah wajah Lam Tian seketika. Berputar tubah dia terus lari....
"Hai. hendak lari kemana engkau!" tegur Ji Yan.
Saat itu Lam Tian sudah mencapai diluar pintu, dia menyahut, "Biar kulihat sumoay dulu. Lalu kita cari lapangan kosong untuk bertempur sampai kalah atau menang."
"Kalau mau menjenguk sumoaymu, toh tak perlu mesti lari begitu rupa!" seru Ji Yan seraya mengejar.
Saat itu Lam Tian sudah melintasi serambi dan keluar dari pondok kediaman Ji Yan. Di sebelah muka terdapat sebuah taman, disitu terdapat sebuah gedung. Pikirnya, tentulah disitu ditempati orang.
Sambil berjalan, Lam Tian berteriak-teriak memanggil Ping Ping, "Ping Ping, tunjukkan aku jalan, Engkau dimana?"
Kuatir kalau Lam Tian menerobos masuk ke dalam kamar dan merampas orang maka sekali enjot kaki, Ji Yan pun sudah melayang di hadapannya.
Diam2 Lam Tian geli juga.
Tiba2 Ping Ping si bujang gadis, lari keluar, "Tuan hendak memberi pesan apa?"
Lam Tian cepat hendak mencekal bujang itu tapi ternyata sebagaimana tiap penduduk dari Thong-ting-san, pun Ping Ping juga tinggi ilmu silatnya. Sembari menghindar ia berteriak, "Eh, mau apa tuan ini?"
Luput menerkam, Lam Tian sudah menyusuli dengan tangan kirinya. Ping Ping tak sempat menghindar dan kena tertutuk badannya, terus dicekal Lam Tian.
"Hm, untuk menangkap seorang budak perempuan saja begini susahnya, Ji Yan itu benar-benar seorang wanita yang sakti," gerutu Lam Tian dalam hati.
Bermula Ji Yan terkesiap tetapi pada lain saat dia segera tahu apa maksud Lam Tian menangkap Ping Ping.
"Lam tayhiap yang gagah, bagus, bagus, kiranya engkau juga dapat menggunakan akal licik semacam itu" ia tertawa mengejek.
Lam Tian tak menghiraukan ejekan orang, serunya. "Kembalikan sumoayku, nanti kubebaskan pelayanmu ini. Kita tukar menukar secara adil. Ji Yan, apa katamu?"
"Huh, masakan seorang cian-kim siocia (gadis terhormat) sama nilai dengan seorang budak pelayan? Tolol benar dia," pikir Ji Yan.
Tetapi pada lain saat dia berpikir lagi, "Sudahlah, jika Ku Hui Kun tak kubebaskan dan kubiarkan dibawanya tentulah dia akan menuduh aku seorang egois."
Ia segera suruh Lam Tian menunggu sebentar, kemudian masuk kedalam rumah itu. Beberapa saat kemudian Ji Yan keluar lagi bersama seorang nona. Mereka berjalan sembari tertawa-tawa. Ah, siapa lagi nona itu kalau bukan Ku Hui Kun yang tampak segar bugar dan riang gembira.
"Sumoay, apa engkau tak kena apa-apa?" seru Lam Tian dengan gembira.
"Lau tayhiap, siasatmu hebat benar. Ya, aku kagum sekali. Sumoaymu sudah keluar, kurasa pelayanku tak perlu engkau kempit dibawah ketiakmu lagi, kan?" Ji Yan tertawa.
Wajah Lam Tian kemerah-merahan. Masa seorang pemuda, menangkap seorang pelayan muda begitu rupa, dikepit dibawah ketiak.
Hui Kun yang tak tahu persoalan, kontan marah, "Hai, ji-suko, mengapa engkau tawan seorang pelayan muda? Lekas lepaskan!"
Tersipu-sipu Lam Tian mendorong Ping Ping kepada Ji Yan. Setelah dibuka jalan darahnya oleh sang majikah. Ping Ping membisiki: "Hujin, bolehkah kukumpulkan anggauta barisan Ngo-hoa-tin untuk menangkapnya?"
"Tak usah, engkau boleh pergi. Suruh mereka menjaga di pos masing-masing saja. Aku dapat mengatasi sendiri," sahut Ji Yan.
Ping Ping mengiakan dan segera pergi. Kiranya pelayan perempuan di Thong-ting-san itu tak kurang dari seratusan jumlahnya. Mereka dilatih oleh Ji Yan sendiri. Selain diberi pelajaran ilmu silat, pun diajar dalam latihan sebuah barisan yang disebut Ngo-hoa-tin atau barisan Panca-bunga.
Lima Bunga merupakan sebuah barisan yang hebat bukan kepalang. Jago manapun yang coba-coba hendak menyelundup kesitu, tentu akan menderita kekalahan.
Karena maksud tujuannya hanya mencari Hui Kun dan setelah mengetahui bahwa Ji Yan tak mengandung maksud buruk terhadap sumoaynya maka serta merta Lam Tian memberi hormat kepada nyonya rumah.
"Hujin, sampai berjumpa lagi...." Lam Tian segera menarik sumoaynya untuk diajak pergi.
Ji Yan pura2 menampar tapi Lam Tian yang siang2 sudah bersiap, cepat membentak dan balas menghantam.
Ji Yan tertawa gelak2 seraya menyurut mundur. "Eh, mengapa engkau begitu tegang seperti berhadapan dengan musuh besar? Ha, ha, silakan membawa pergi sumoay-mu, tak ada yang akan menghalangi," serunya.
Seperti membawa sebutir mutiara, Lam Tian mengepal tangan sumoaynya dan diejak pergi. Tapi diluar dugaan Hui Kun menolak, "Ji-suko, di-sini menyenangkan sekali, lebih baik jangan terburu-buru pergi dulu."
Lam Tian terkesiap tetapi terus menarik tangan sumoaynya. Setengahnya seperti memaksa. Tapi baru beberapa langkah, tampak Ji Yan sudah menghadang di tengah jalan dengan senyum tertawa.
"Hah. mau apa lagi engkau?" tegur Lam Tian.
"Tak apa-apa," sahut Ji Yan.
"Apa mau menahan sumoayku?"
"Kalau ia mau pergi, silakan. Tetapi engkau harus tetap tinggal disini!"
"Apa? Engkau hendak ingkar janji?" seru Lam Tian.
"Siapa bilang aku ingkar janji?"
"Mengapa engkau hendak menahan aku?"
"Aku tadi mengatakan, kalau sumoaymu hendak pergi, silakan. Tetapi kapankah aku mengatakan kalau aku meluluskan engkau pergi?"
"Bagus, rupanya engkau sengaja hendak membikin susah aku. Apakah kesalahanku?"
"Tak perlu marah, marahpun tak berguna. Tinggallah dulu disini. Sebelum pertandingan kita selesai, tak nanti engkau dapat meninggalkan tempat ini." kata Ji Yan.
"Tring". Lam Tian menghunus pedangnya, kemudian sambil memimpin tangan Hui Kun, dia terus mengajaknya lari.
Ji Yan tak mengejar melainkan membiarkannya saja dengan tertawa.
Makin lama suara tawa Ji Yan makin jauh tak kedengaran lagi. Tetapi alangkah kejut Lam Tian ketika didapatinya bahwa jalanan yang menuju ke sungai Beng-hoa-ke, tertutup rumput dan bunga merah, Tak ada jalanan lagi.
Lam Tian tak putus asa. Setelah mencari kian kemari sampai beberapa waktu, barulah dia menemukan sebuah jalanan kecil. Dia terus menyusur jalan itu tetapi ah, lagi2 buntu.
Lam Tian menghela napas, Apa boleh buat, terpaksa dia berusaha untuk menerobos kesana sini dan akhirnya ia melihat sebuah atap rumah dan hai.... itulah pondok tempat tinggal Ji Yan tadi,
"O, kalian sudah kembali? Selamat datang berkunjung ke pondokku!" Sambut Ji Yan dengan tertawa.
Lam Tian tertegun. Hatinya gundah sekali. Sebaliknya Hui Kun malah bertepuk tangan kegirangan, "Luar biasa sekali, cici Yan. Jalanan apakah yang seaneh itu?"
Lam Tian meringis mendengar panggilan su-moaynya terhadap Ji Yan, Ia heran mengapa mendadak sontak Hui Kun sudah begitu intim dengan Ji Yan.
"Adik Hui, itulah yang dinamakan barisan Ngo-heng-tin. Tanpa petunjuk kita, tak mungkin seorang dapat keluar dari sini. Jiko-mu keras kepala hendak pergi. Bukankah sekarang percuma saja?" sahut Ji Yan.
Lam Tian menghela napas. Ada kepandaian, adu tenaga, adu mulut, dia kalah semua dengan nyonya muda itu. Ketika diperhatikan memang kedua nona itu, Ji Yan dan Hai Kun, seperti pinang dibelah dua. Bedanya hanya Ji Yan lebih tua tiga tahun dari Hui Kun. Mereka mirip benar dengan sepasang saudara.
Diam2 Lam Tian sempat memperhatikan bahwa kedua anak perempuan itu mempunyai ciri yang aneh. Kalau Ji Yan sebelah pipi kanannya ada lekukan atau lesung pipit, Hui Kun juga mempunyai lekukan pipi kanannya.
"Bagaimana Lam Tian, apakah engkau tak lari lagi?" tiba2 Ji Yan menegur, "kalau begitu, ayuh, lolos senjatamu dan disini juga kita main-main!"
"Wut" tanpa memberi kesempatan orang menyahut lagi, bandringanpun sudah melayang. Lam Tian terpaksa menangkis dengan pedangnya. Mereka segera bertempur seru.
Yang mengherankan tetapi menjengkelkan hati Lam Tian adalah sikap dan ulah tingkah sumoaynya. Betapa tidak? Dalam menyaksikan pertempuran itu, Lam Tian sempat melirik dan mendengar tepuk dan sorak dari Hui Kun. Anehnya, sikap kegirangan Hui Kun itu bukan diperuntukkan kepadanya tetapi untuk Ji Yan. Kalau Ji Yan mengeluarkan jurus yang indah, Hui Kun berteriak memuji-muji. Tetapi sebaliknya kalau dia (Lam Tian) menggunakan jurus yang bagus, memang Hui Kun juga memuji tetapi tidak segirang kalau dara itu memuji kepada Ji Yan.
"Gila anak ini," dengus Lam Tian dalam hati.
Dia heran mengapa sumoaynya hanya menonton saja. Kalau saat itu Hui Kun mau membantunya, jelas Ji Yan tentu dapat ditundukkan.
Cepat sekali seratus jurus sudah berlangsung. Dalam hal Iwekang, keduanya memang berimbang. Dalam hal ketangkasan tangan, Lam Tian lebih unggul. Tetapi dalam ilmu gin-kang, Ji Yan lebih menang beberapa tingkat.
Menurut penilaian, Ji Yanlah yang menang angin. Apalagi ia memakai rantai bandringan yang dapat menjulur surut. Karena harus berhati-hati, Lam Tian seperti kalah angin. Tetapi hanya seperti atau seolah-olah saja. Karena kalau dikata dia kalah, itu masih tenalu dini untuk menarik kesimpulan.
Lam Tian adalah murid pertama dari Ang-tik-kiu-pay angkatan kedua. Kalau kepandaiannya tak lihay, tak nanti suhunya akan mengutusnya ke telaga Thay-ou. Suhunya sudah memperhitungkan bahwa kepandaian Lam Tian, lebih atas dari Tan Ping.
Setengah jam kemudian, pertempuran berjalan seratus jurus lagi. Namun tetap belum ada yang menang dan kalah. Lam Tian yakin bahwa apabila dia mau mengeluarkan ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat, keadaan tentu berobah. Tetapi dia tak berani melanggar perintah suhunya. Beberapa kali dia hendak mengeluarkan ilmu pedang itu tetapi terpaksa dia tahankan.
Pada saat itu Lam Tian membabat dengan pedangnya. Itulah jurus Heng-ko-hui-yan atau burung-meriwis-melayang-dilembah, salah sebuah jurus yang indah dari ilmu pedang Ang-tik-kiam-hwat. Sederhana tetapi mengandung tiga gerak perobahan.
"Bagus," teriak Ji Yan seraya lengkungkan pinggang dan menyabatkan bandringannya.
Begitu berbenturan, Ji Yan cepat menarik bandringannya dan mendesak maju untuk menghantam. Tetapi hantaman itu ternyata hanya suatu gerak ancaman kosong karena setelah Lam Tian terkesiap, Ji Yan terus menyurut mundur.
Walaupun dengan sekuat tenaga menabas, namun Lam Tian dapat menyisihkan senjata lawan. Diam2 Lam Tian gentar juga dalam hati. Cepat dia gunakan siasat. Tangan kanan menghantam, tangan kiri cepat menyambar lengan Ji Yan. Tetapi karena tepat pada saat itu Ji Yan menyurut mandur maka sambaran Lam Tianpun luput. Dia loncat menerjang tetapi Ji Yan sudah menyambutnya dengan ayunan bandringan.
Tetapi Lam Tian juga tak kalah tangkasnya. Cepat dia menyambar dan kali ini berhasil. Kini keduanya sama2 mencekal kedua ujung rantai.
Keduanya sama2 mengeluarkan jurus2 yang istimewa. Ji Yan memperhitungkan begitu luput menyambar, Lam Tian tentu akan menerjang maju lagi maka iapun segera menyambut dengan bandringan. Jika lain orang tentu tak mungkin dapat menghindar dari bandringan yang datangnya secara tak terduga-duga itu. Siapa tahu Lam Tianpun sudah membuat persiapan, Setelah mengetahui rantai itu dapat menjulur surut, maka diluar dugaan diapun tidak mau menghindar melainkan menyambarnya.
Lam Tian memang cepat berpikir dan lincah bertindak. Perhitungannya tepat sekali.
-^dwkz^smhn^- Ngo-hoa-tin. Selama ini baru pertama kali itu Ji Yan mengalami rantai bandringannya dapat disambar lawan. Ia terkejut dan cepat salurkan lwekang untuk menggempur lawan.
Kembali Ji Yan termakan siasat. Ternyata cekalan tangan Lam Tian itu tidak mengandung tenaga dalam. Ji Yan terkejut sekali tapi cepat dia dapat mengerti siasat lawan. Kalau dia menggempur dengan lwekang, lawan pasti akan meminjam tenaganya untuk mengembalikan gempuran itu.
"Kurang ajar lu," dengus Ji Yan dalam hati. Tak mau dia tertipu. Dengan tertawa mengejek iapun segera menarik pulang lwekangnya lagi.
Hui Kun yang melihat di samping tak tahu permainan mereka. Dilihatnya mereka itu tetap sama2 mencekal ujung rantai tetapi tak tahu kalau mereka tidak mau adu lwekang.
Memang sekali keduanya beradu Iwekang, sukar untuk terlepas. Tetapi sekalipun tidak adu Iwekang merekapun tetap saling mencekal rantai dan tak mau melepaskannya.
Dipihak Ji Yan, kalau dia sampai melepaskan rantai, jelas rantai dan bandringannya tentu akan dapat direbut Lam Tian. Sebaliknya di pihak Lam Tian, kalau dia lepaskan cekalannya, diapun kuatir Ji Yan akan menghajarnya dengan bandringan. Maka dalam keadaan sama2 memperhitungkan posisi masing2) keduanya tak mau saling melepaskan cekatannya,
"Hai mengapa, kalian itu? Kalau mau berkelahi berkelahilah. Mau gontokan, gontokanlah sepuas-puasnya. Kalau diam saja, lebih baik tepuk pantat tinggalkan gelanggang saja," seru Hui Kun yang tak sabar lagi.
Tetapi mereka tak mau mengacuhkan ocehan Hui Kun. Diam2 mereka saling mengawasi gerak gerik lawan sembari diam2 mencari jalan bagaimana mengakhiri kemacetan itu. Tetapi sampai beberapa saat, tampaknya mereka tak melihat suatu kesempatan untuk mecairkan kebekuan itu. Diam2 mereka jadi bingung. Apakah mereka harus bertahan begitu sampai magrib?
"Hai, apakah kalian ini hendak main sandiwara? Hayo, lanjutkan pertempuran lagilah. Jangan berhenti begitu rupa," teriak Hui Kun sembari tertawa terus maju menghampiri.
Ji Yan dan Lam Tian serentak-timbul pikiran, "Bagus, terpaksa sekali ini kita menyalahimu,"
Hui Kun mencekal rantai dan diguncang-guncangkan, "Ayo, bertempur lagi, keluarkan jurus2 yang mengagumkan"
Tiba2 terdengar teriakan keras dan melengking dan bagaikan layang2 putus, Hui Kun terlempar ke belakang. Kiranya yang berteriak tadi adalah Lam Tian dan Ji Yan yang sama2 menggerakkan lwekangnya. Sudah tentu Hui Kun tak tahan. Akibatnya ia yang menjadi korban.
Untung dengan sigapnya Lam Tian segera menarik pulang lwekangnya, sedang Ji-Yan pun cepat2 merebut rantai dari Hui Kun, dengan demikian Hui Kun tak sampai menderita hebat.
"Hai, mengapa kalian berani memukul aku? Hm, kau bukan sukoku dan kau bukan cici-ku," Hui Kun yang tak mengerti bahwa dirinya dijadikan jembatan pemutus pertandingan itu, marah besar.
"Siau-sumoay, maaf, maaf," seru Lam Tian.
"Adik Hui, jangan marah padaku. Kesemuanya ini adalah gara2 suko-mu. Nanti kuceritakan padamu sebuah cerita, tanggung kau tentu akan girang," kata Ji Yan.
Sesaat Hui Kun baru reda amarahnya. Ia percaya akan keterangan Ji Yan. Dengan geram ia deliki mata pada Lam Tian.
Diam2 Lam Tian mengeluh. "Lam Tian, bagaimana dengan pertandingan tadi?" tanya Ji Yan.
"Tetap serie, tak ada yang menderita apa2," sahut Lam Tian.
"Apa engkau tak ingin mengalahkan aku?" tanya Ji Yan pula.
"Aku kuatir selamanya tak punya kesempatan begitu," jawab Lam Tian.
"Ah, tidak begitu. Engkau tetap punya kepandaian untuk mengalahkan aku."
Lam Tian hanya menggeleng. Hatinya mendongkol sekali. Ia tahu Ji Yan tentu mengejek dirinya.
"Hm, perempuan ini congkak benar," katanya dalam hati, "baiklah, akan kucoba untuk memancing keterangan dari mulutnya, apa yang diketahui tentang kepandaian yang kumiliki yang dapat mengalahkannya itu."
Diam2 pula ia mengasah otak bagaimana dapat membawa lari sumoaynya dari situ. Baginya ada dua rintangan yang harus dihadapi. Pertama, ia harus mampu mengalahkan Ji Yan. Kedua, ia harus dapat menerobos keluar dan jalanan misterius disitu. Tetapi taruh kata ia dapat keluar, pun dia tak punya perahu.
Pikir-pikir, jalan satu-satunya hanyalah berusaha untuk mengalahkan wanita itu dulu baru nanti yang lain-2 dapat diusahakan.
"Ilmu kepandaian apa yang kumiliki, bilanglah!" serunya kepada Ji Yan.
"Ku Losu dari Ang-tik-pay punya sebuah ilmu istimewa yang tiada tandingan di dunia. Tapi selama setengah harian bertempur tadi, engkau tetap tak mau mengeluarkannya, ya atau tidak?" Ji Yan tertawa.
Mendengar itu gemetarlah tubuh Lam Tian.
"Lam Tian, keluarkanlah ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat, aku tentu bukan tandinganmu. Mengapa engkau tak mau?" seru Ji Yan pula.
"Apakah engkau mendesak aku supaya meng gunakan ilmu pedang itu?" Lam Tian menegas.
"Siapa yang mendesakmu? Tetapi apakah engkau tak ingin tinggalkan tempat ini?"
Timbul kecurigaan Lam Tian mengapa Ji Yan mendesaknya begitu. Tentu 'ada udang di-balik batu'. Pikirnya.
Tiba2 Hui Kun membisikinya, "Ji-suko, karena ia ingin berkenalan dengan ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat, mengapa engkau keberatan? Sekali dapat memenangkan dia, pamor perguruan kita tentu akan menjulang naik."
"Tidak," sahut Lam Tian, "suhu telah pesan wanti2. Aku tak berani melanggar. Sekalipun kita harus mati disini tetap aku tak mau mengingkari pesan suhu."
"Benar2 kuat sekali imanmu. Tak kecewa Ku lo-kunsu mengutusmu ke selatan," Ji Yan tertawa memuji.
"Hm, tetapi mengapa engkau tahu nama ilmu pedang itu?" tanya Lam Tian.
"Apa yang dimakan suhumu dalam ulang-tahunnya yang ke 60 tempo hari, akupun tahu semua. Apalagi tentang ilmu pedang yang diciptakannya itu," jawab Ji Yan.
"Mengapa engkau begitu memperhatikan suhu? Apakah engkau...."
"Terus terang saja kuberitahu kepadamu. Bahwa tujuan suhumu menciptakan ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat itu tak lain adalah untuk menghadapi seorang wanita. Dan wanita itu ada hubungannya dengan aku dan aku lalu mengambil keputusan untuk membantunya. Ia adalah...." tiba2 Ji Yan hentikan kata-katanya.
Hui Kun dan Lam Tian saling bertukar pandang.
"Ia, siapakah wanita itu?" tanya Lam Tian.
"Kalian tak perlu tahu karena toh tak berguna. Pendek kata, aku harus membantunya, tak peduli harus mendaki gunung golok atau harus kehilangan batang kepala. Lam Tian, jika engkau tetap tak mau mengunjukkan ilmu pedang itu, jangan harap engkau dapat tinggalkan pulau ini," kata Ji Yan.
Mata nyonya muda itu berapi-api memancarkan hawa pembunuhan.
Melihat itu seram juga hati Lam Tian.
"Ho Ji Yan, jika engkau ingin mengetahui rahasia ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat itu, silakan saja mencari suhuku di telaga Ang-tik-ou, mengapa harus menekan aku?" sahut Lam Tian.
"Enak saja engkau bicara, hm, asal ketemu Ku Pin tentu akan kubunuhnya. Dia jago nomor satu di dunia tapi bandot nomor satu di kolong langit," suara Ji Yan kedengaran gemetar.
Mendengar ayahnya dimaki-maki, lenyaplah seketika rasa persahabatan Hui Kun terhadap Ji Yan selama beberapa hari ito.
"Ji Yan mengapa engkau memaki ayahku?" teriaknya seraya terus mencabut pedang dan menusuk dada Ji Yan.
"Jangan!" Lam Tian berseru mencegah sembari menghampiri.
Dengan santai Ji Yan dapat menghindari. Hui Kun hendak menusuk lagi tetapi dapat ditahan Lam Tian yang lantas memberi kisikan supaya sang sumoay jangan gegabah karena Ji Yan rupanya bermusuhan dengan suhunya.
Ji Yan menengadah melihat awan di langit dengan terlongong-longong. Sejenak kemudian ia menghela napas. "Lau Lam Tian dan adik Hui, aku tak bermaksud hendak melukai atau menawan kailan di pulau ini. Tapi aku harus memberitahukan rahasia ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat itu kepadanya maka aku terpaksa hendak meminta bantuan kalian. Asal kalian memberitahukan rahasia ilmu pedang itu, kita tak usah bertanding lagi dan kalian boleh bebas dari sini."
Lam Tian menduga Ji Yan tentu mempunyai rahasia dengan suhunya dan dalam hubungan itu tentu terselip tentang wanita yang dimaksudkan Ji Yan tadi. Bagi Ku Pin, wanita itu tentu dianggap jahat tetapi bagi Ji Yan ia itu seorang wanita yang berbudi. Wanita itulah kunci dari rahasia yang aneh itu. Wanita itu tentu mempunyai dendam permusuhan besar dengan suhu Lam Tian.
Ji Yan gelengkan kepala. Beberapa saat kemudian ia berkata lagi, "Banyak bicara, tiada berguna. Kata-kataku sampai disini saja. Kalian boleh mempertimbangkan, mau memberi tahu rahasia ilmu pedang itu atau menggunakan ilmu pedang itu untuk bertempur melawan aku. Harus memilih salah satu, tak ada syarat yang lain lagi. Nanti sebelum magrib, kasih tahulah kepadaku. Aku lelah sekali, tak dapat menemani kalian lebih lama...."
Tanpa menghiraukan sang tetamu, Ji Yan lantas masuk kedalam rumah. Lam Tian hanya terlongong-longong saja tak tahu apa yang harus dilakukan.
"Ji-suko, kita berdua gunakan Kim-go-kiam-hwat untuk menghajarnya sampai luka parah. Lihat saja apa ia rnasih dapat memberitahu rahasia ilmu pedang itu kepada si wanita," tiba-tiba Hui Kun melengking geram.
Lam Tian gelengkan kepala. "Ia tentu sudah siap sedia menghadapi kita. Kim-ga-kiam-hwat agaknya tak dapat mengapa-apakannya," katanya,
"Habis, apakah kita mandah mati konyol di sini?"
Lam Tiam mengajak sumoaynya duduk berunding. Keduanya duduk dibawah sebatang pohon kui-hoa.
Hui Kun menceritakan pengalamannya, "Ji Yan memang busuk. Setelah melukai Lui Yan, ia lantas menawan aku kemari. Ia berbahasa taci adik kepadaku. Hmm, kiranya ada maksud hendak mengorek keterangan tentang rahasia ilmu pedang kita. Sungguh tak tahu malu."
"Ji-suko, apakah ia juga akrab sekali kepadamu?" tiba-tiba pula Hui Kun teringat sesuatu dan bertanya.
Marah muka Lam Tian dan menegur sumoaynya jangan bicara yang tidak2. Hui Kun lalu alihkan pembicaraan, mengajak sukonya untuk coba2 mencari jalan lagi tetapi Lam Tian hanya menggeleng, "percuma, tanpa petunjuknya, tak mungkin kita dapat keluar dari sini."
"Kalau begitu kita beritahukan rahasia ilmu pedang itu saja," seru Hui Kun.
Lam Tian tundukkan kepala tak menyahut. Tengah ia merenung tiba2 Ping Ping datang membawa sebuah penampan hidangan dan mempersilakan kedua anak muda itu makan.
"Nanti malam hujin tentu akan mengajakmu bertempur, Lau tayhiap, engkau harus makan supaya ada tenaga."
Seketika menyahutlah Lam Tian, "Ping Ping, kasih tahu pada hujin, terima kasih atas perhatiannya tetapi sekalipun tak makan aku masih sanggup berkelahi. Ha, ha. bilang kepadanya bahwa-nanti malam aku bersedia menggunakan ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat!"
"Ji-suko, engkau....."
"Jangan banyak omong, aku dapat membawa diri," Lam Tian cepat memutus omongan sumoaynya.
Setelah menunggu kedua anak muda itu selesai makan barulah Ping Ping pergi. Saat itu barulah Hui Kun menanyakan sukonya.
"Ah, itu hanya suatu siasat agar kita dapat melarikan diri," jawab Lam Tian.
"Melarikan diri? Bagaimana kita mampu keluar dari barisan pat-tin-tho itu?" Hui Kun menegas.
"Kuingat apa yang pernah diceritakan suhu ketika beliau tersesat di padang pasir. Sampai beberapa hari, ia tak dapat mencari jalan, kemudian ia mendapat akal ialah tak mau mencari jalan pada siang hari melainkan pada malam hari. Malam hari dengan bantuan bintang Pak-kek-sing (bintang Utara), ia mengambil arah ke utara dan akhirnya berhasil keluar. Sekarang sudah hampir gelap, bintang Utara segera keluar. Kita dapat mencontoh suhu, masa tak dapat keluar dari Thong-ting-san ini," menerangkan Lam Tian.
"Bagus, bagus!" Hui Kun berteriak kegirangan.
"St, jangan keras2, kalau sampai kedengaran olehnya, tentu gagal rencana kita nanti," Lam Tian memperingatkan.
Ketika malam tiba, benar juga muncul sebuah bintang yang cemerlang di sebelah utara Lam Tian segera mengajak sumoaynya menuju ke utara menurut arah letak bintang itu. Mereka melintasi bukit, lembah dan jurang. Entah sudah berapa lama mereka berjalan itu tetapi tetap saja mereka belum dapat keluar dan apa yang dilaluinya tetap itu-itu saja.
"Thong-tin-san ini merupakan sebuah teluk. Luasnya hanya ratusan li. Kalau kita terus menuju ke utara tentu akan tiba di pinggir laut," baru Lam Tian berkata begitu, disebelah muka terdapat sebuah puncak gunung yang tegak menggagah....
"Bagaimana nih?" tanya Hui Kun.
"Naik saja keatas!" sahut Lam Tian.
Tiba2 Hui Kun menunjuk ke arah puncak, "Ji-suko, lihat siapakah itu?"
Ketika Lam Tian memandang ke muka, kejutnya bukan kepalang. Seorang nona berpakaian merah dan mengurai rambut tampak berdiri dengan tertawa riang. Karena membelakangi sinar rembulan, maka wajahnya tak kelihatan. Tapi diam-diam Lam Tian sudah mengeluh.
"Kita jalan mengitari saja, jangan naik keatas," kata Hui Kun. Tapi Lam Tian menyatakan kalau sudah terlambat karena sudah ketahuan wanita itu.
"Lalu bagaimana?" tanya Hui Kun pula. "Terpaksa harus menempurnya," sahut Lam Tian.
"Gunakan Kim-gogkiam-hwat?"
"Jangan!' seru Lam Tian.
Baru mereka mendaki beberapa langkah, hidung mereka tersampok bau harum. Ternyata di situ terdapat sebuah hutan pohon tho-hoa.
Kedengaran wanita itu tertawa gelak2. "Lau tayhiap, nona Ku, jika tak menampik, mari kita bertempur. Malam terang benderang, angin berkesiur nyaman. Bertempur di hutan tho-hoa di tepi telaga sungguh romantis sekali, bukan?"
Siapa nona itu, kalau bukan Ho Ji Yan yang saat itu mengenakan kimono warna merah dengan ikat pinggang putih.
Lam Tian memandang keempat penjuru dan ternyata hanya tampak ombak yang mendampar pesisir. Ternyata disitu memang tepi laut sebelah utara. Di bawah pantai sana terdapat empat lima buah perahu.
Betapa geram hati Lam Tian, dapat dibayangkan. Setelah bersusah payah setengah malam, ternyata pada saat2 hampir berhasil mencapai tujuan, lagi2 harus menghadapi kegagalan pula.
Ji Yan melolos rantai bandnngan dan segera menariknya.
"Lau tayhiap, engkau sungguh pintar memilih puncak Tho-hoa-hong sini. Sambil bertempur kita dapat menikmati pemandangan telaga Thay-ou di malam hari."
Sepatahpun Ji Yan tak mencemoh tentang tindakan Lam Tian yang hendak melarikan diri itu sehingga Lim Tian menjadi kemalu-maluan sendiri. Cepat ia mencabut pedang dan berseru nyaring, "Baik, harap hujin suka memberi petunjuk"
Ji Yan melancarkan dua buah serangan tapi Lam Tianpun menbalasnya tiga kali. Pada jurus yang kesepuluh, tiba2 Ji Yan loncat keluar dari gelanggang dan tegak memandang Lam Tian.
"Kita berhenti bertempur? Bagus, silakan" seru Lam Tian.
Tiba2 wajah Ji Yan yang berseri, berganti dengan kemarahan. "Lam Tian, engkau gunakan Kim-go-kiam-hwat? Hm, karena engkau menjilat ludah, jangan salahkan aku kalau berlaku kejam!"
Sekali bertepuk tangan, muncullah tigabelas gadis berpakaian aneka ragam dengan mencekal pedang.
"Bentuk barisan Ngo-hoa-pat-bun-tin!" seru Ji Yan.
Cepat ketigabelas gadis itu berpencar dalam bentuk sebuah barisan. Lam Tian terkepung ditengah-tengah.
Sembari bergeliat melesat keluar dari barisan, Ji Yan berseru lantang, "Lam Tian, karena engkau segan mengeluarkan Kim-go-kiam-hwat maka akupun enggan menemanimu. Barisan Ngo-hoa-pat-bun-tin ini bagai rumpun bunga nan cantik harum, lemah gemulai. Jka engkau mampu menerobos keluar, engkau benar-benar lihay!"
Ia bertepuk pelahan memberi komando kepada barisan itu.
Diantara ketigabelas gadis pelayan itu, hanya tiga orang yang dikenal Lam Tian, ialah Ceng Ceng, Ping Ping dan Biau Biau.
Barisan itu terdiri dari dua lapisan. Lapisan yang dalam, beranggauta lima orang, dipimpin Ceng Ceng. Rupanya itulah barisan Ngo-hoa-tin atau barisan Lima Bunga.
Sedang lapisan luar, terdiri dari delapan gadis yang dipelopori oleh Ping Ping dibagian muka dan dikawal oleh Biau Biau dibelakang. Mereka berjajar menjaga di delapan penjuru. Rupanya itu lah yang disebut Pat-bun-tin atau barisan Delapan Pintu.
Lam Tian pusatkan perhatiannya siap menghadapi. Ilmu kepandaiannya memang tinggi tetapi baru pertama kali itu ia menghadapi sebuah barisan. Diperhatikannya kelima gadis yang merupakan lapisan dalam itu berjalan mengelilinginya dengan gerak kaki yang cepat dan ringan. Sedangkan delapan orang dari lapisan luar tetap diam tak bergerak.
Lam Tian tahu akan kepandaian dirinya. Ia memperhitungkan untuk menjatuhkan barisan itu diperlukan 10-an jurus. Karena Ceng Ceng yang menjadi kepala barisan maka kepandaian gadis itu tentu melebihi keempat kewannya yang lain.


Benci Tapi Rindu Cinta Dibawa Mati Karya Sd Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau Ceng Ceng kujatuhkan, barisan tentu kacau karena tiada kepalanya lagi," Lam Tian menimang-nimang. Dengan tajam ia segera menatap gadis pelayan itu.
Tampak kelima gadis pelayan itu mempercepat langkahnya sehingga mereka merapat satu sama lain seperti selembar benang yang panjang. Karena mereka mengenakan pakaian warna warni yang berbeda satu dengan yang lain maka sepintas menyerupai sebuah bianglala.
Ceng Ceng mamakai baju hijau maka mudah dikenal. Begitu bayangan hijau berkelebat didepan mata, Lam Tian cepat menusuk ke punggung,
"Lan Hoa" tiba2 diluar barisan terdengar suara seruan nyaring. Lan-hoa artinya bunga anggrek.
Tampaknya Ceng Geng tak mengacungkan sama sekali akan ancaman itu. Adalah Lam Tian sendiri yang terperanjat karena ulu punggung dan kedua rusuknya tersambar oleh hawa dingin dari senjata pedang.
Lam Tian terkesiap. Kalau ia teruskan tusukannya, iapun bakal tertusuk. Terpaksa ia balikkan pedang untuk menghalau serangan dari belakang itu. Tapi belum lagi pedangnya sempat membentur tiga pedang yang menyerangnya itu, Ceng Ceng sudah berbalik tubuh dan menahas lengan kanan Lam Tian. Serangan itu datangnya diiuar dugaan dan cepatnya bukan kepalang.
"Cret....". Kerena saat itu tangan Lam Tian sedang menghantam ke belakang maka ia tak dapat menangkis tabasan Ceng Ceng. Satu-satunya jalan, ia harus mengisar tubuh. Memang dengan gerak itu dia dapat menyelamatkan lengannya tetapi tak urung lengan bajunya kena terpapas kutung juga.
Sejak turun dari gunung, baru pertama kali itu Lam Tian menderita hinaan semacam itu. Malu, kecewa dan terkejutlah ia. Keringat dingin membasahi tubuh dan diam2 dia mengeluh.
Sementara saat itu kelima gadis pelayan kembali sudah bergerak-gerak mengitarinya, lebih lincah dan cepat dari tadi. Hijau, meiah, kuning, ungu dan biru, seolah-olah campur menjadi satu, sukar untuk dibedakan lagi sehingga sukar baginya untuk mengarah Ceng Ceng.
Lam Tian gelisah disamping diam2 mengagumi. Memang tepat sekali kalau Ho Ji Yan membanggakan barisannya, karena memang barisan itu bukan olah-olah hebatnya, sukar dibobol.
Tiba2 terdengar Ji Yan memberi perintah supaya barisan bubar. Seketika ketigabelas gadis pelayan itu berhamburan tegak berjajar dibelakang Ji Yan.
"Lau tayhiap, bagaimana dengan barisan Ngo-hoa-pat-bun-tin?" tanya Ji Yan dengan tertawa mengejek.
Lam Tian diam saja karena malu. Melirik kepada Hui Kun, dilihatnya sang sumoay juga ter-longong2 saja.
"Hm, suhumu Ku Pin begitu merahasiakan sekali ilmu pedang ciptaannya. Coba lihat dengan barisanku tadi. Hanya sepersepuluh bagian saja yang engkau ketahui tapi engkau sudah kewalahan. Jadi kalau dibanding dengan ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat tentu bukan apa-apanya," kembali Ji Yan mengejek.
"Ho Ji Yan, jangan berkokok dulu. Sekali ilmu pedang Kim-go-kiani-hwat keluar, segala macam Ngo-hoa atau Liok-hoa dan segala macam barisan tetek-bengek, pasti akan tersapu," Hui Kun penasaran karena ayahnya dihina.
"Apakah betul begitu, kelak kita buktikan saja," sahut Ji Yan, "sekarang aku hanya akan bertanya, Lau Lam Tian, engkau mau pegang janji atau tidak untuk hal yang sudah engkau janjikan?"
Lam Tiam kembali terdesak. Kalau tetap tak mau mengeluarkan ilmu pedang itu, tentulah Ji Yan tak mau sudah. Sebaliknya kalau mengeluarkan, ia takut kepada suhunya.
"Ho Ji Yan, mengapa engkau tak mengajarkan barisanmu itu kepada wanita yang engkau bela itu, agar digunakan terhadap ayahku tetapi sebaliknya engkau malah ngotot memaksa orang memberitahu rahasia ilmu pedang itu?" kembali Hui Kun mendamprat.
"Ketahuilah, kepandaian wanita itu tidak dibawah Ku Pin. Walaupun Ku Pin menggunakan ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat, tak nanti dia mampu menyentuh selembar bulu rambut wanita itu. Tetapi wanita itu memang berwatak aneh. Walaupun ia tahu kalau Ku Pin tak mungkin mampu berbuat apa2 dengan ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat itu, namun ia hendak mengimbangi Ku Pin, akan menghadapi Ku Pin dengan menggunakan ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat itu juga. Jelaskah kalian sekarang?" tanya Ji Yan.
Mendengar itu tiada lain pilihan lagi bagi Lam Tian. Serentak dia berseru, "Baik, anggaplah engkau yang menang dalam pertandingan ini. Sekarang biar kuberitahukan rahasia ilmu pedang itu."
"Engkau mau menghapus permusuhan menjadi persahabatan, bagus, bagus sekali!" setu Ji Yan kegirangan.
"Jangan keburu bergirang dulu, ada syaratnya," seru Lam Tian.
Wajah Ji Yan berobah gelap, ujarnya, "Ada syaratnya? Apa?"
"Engkau bilang ada wanita yang bersumpah hendak mengetahui ilmu pedang itu. Tetapi aku tak percaya. Yang menginginkan rahasia itu apa bukan engkau sendiri? Syaratku ialah, suruh wanita itu keluar bertemu aku dan mengatakan kepadaku. Jika sampai aku tak mau memberitahukan rahasia ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat itu kepadanya, aku bukan orang she Lau!"
Mendengar itu, marah Ji yan bukan terkira. Teriaknya, "Lau Lam Tian, kuharap engkau bicara yang genah."
"Benar, benar!" seru Hui Kun, "Ho Ji Yan, yang menghendaki ilmu pedang itu kan bukan engkau, mengapa engkau begitu ngotot? Lekas panggil wanita itu untuk berkenalan dengan kita!"
"Jelas kalian tahu bahwa wanita itu tidak berada disini, mengapa kalian bicara tak keruan begitu macam? Apakah kalian hendak memaksa supaya aku menghimpun barisan Ngo-hoa-pat-bun-tm lagi?" seru Ji Yan.
Merasa menang berdebat, besarlah hati Lam Tian, serunya, "Hujin, sejak kita naik ke Sik-san, tak pernah kita mengganggu engkau. Sebaliknya engkaulah yang memaksa kita datang kemari, maka yang iseng itu adalah engkau sendiri!"
Alis Ji Yan mengerut dan serentak berseru, "Siapkan barisan Ngo-hoa-tin!"
Lam Tian menertawakan, "Sekalipun engkau susun barisan golok tetap takkan menolong. Aku hanya bersedia memberitahukan rahasia ilmu pedang itu kepada wanita yang engkau maksudkan itu, tetapi tidak kepadamu!"
Ji Yan marah sekali. Tiba2 Ceng Ceng berlarian datang, "Hujin, merpati datang. Thay-hujin (nyonya besar) tentu kirim surat!'' ia menuding ke udara.
"Aku sudah tahu! Siapa suruh engkau banyak mulut!" bentak Ji Yan sehingga budak itu terkesiap lalu buru2 mundur.
Ji Yan bersuit dan dari udara melayang turun seekor burung merpati putih. Burung itu hinggap di telapak tangan Ji Yan. Dari kaki burung itu, ia mengambil segulung kertas lalu dibacanya.
"Siapakah yang dimaksud thay-hujin itu?" diam2 Hui Kun bertanya dalam hati.
Karena ia berdiri tak jauh dari Ji Yan, ia lalu berusaha untuk coba melirik dan mencuri lihat.
Selesai membaca tiba2 Ji Yan tertawa gelak-gelak. Disimpannya surat itu kedalam baju lalu mengelus-elus merpati itu, "Manis, ya aku sudah tahu semua, pulanglah....."
Dipetiknya sekuntum bunga tho-hoa lalu diikatkan pada kaki burung itu. Rupanya itu merupakan surat balasan dari Ji Yan. Burung merpati segera terbang ke udara dan lenyap dari pemandangan.
"Lau tayhiap, nona Ku, apakah kalian hendak ke Sik-san?" tiba-tiba nada Ji Yan berobah ramah.
"Ya, sudah berkali-kali kukatakan," sahut Lam Tian.
Ji Yan bertanya lagi kapan mereka berangkat. Lim Tian bermula agak heran dengan perobahan sikap nyonya itu. Tapi diapun segera mengatakan kalau sekarang juga hendak berangkat,
"Baik,* jawab Ji Yan yang lantas perintahkan Ceng Ceng supaya sediakan perahu. Tiba di tepi laut, Ceng Ceng lepaskan sebatang panah api ke udara. Apinya berobah menjadi lingkaran berbentuk bunga tho-hoa yang indah. Beberapa saat kemudian tampak sebuah perahu meluncur datang.
Ji Yan mempersilakan kedua tetamunya naik perahu. Ia katakan perahu itu amat cepat, dalam semalam saja tentu sudah tiba di Sik-san.
"Terima kasih atas budi hujin. Kelak apabila ada rejeki, kita pasti berjumpa lagi," kata Lam Tian.
Ji Yan tertawa manis dan mengicupkan matanya beberapa kali, "Tentu, tiga hari lagi kita tentu akan berjumpa lagi."
Lam Tian tak mengerti apa yang dimaksud tetapi dia segera mengajak sumoaynya berangkat.
"Adik Hui, apakah engkau marah kepadaku?" tanya Ji Yan kepada Hui Kun.
Sebenarnya Hui Kun mendongkol kepadanya. Tetapi entah bagaimana suara Ji Yan itu seperti membawa pengaruh sehingga tanpa disadari Hui Kun mengangguk, ujarnya, "Tidak, aku tidak dapat marah kepadamu."
"Begitulah baru adikku yang manis. Ah, hampir saja aku lupa akan sebuah hal," kata Ji Yan.
"Hal apa?" tanya Hui Kun.
Ji Yan melolos sabuk pinggang yang terbuat dari bahan sutera putih lalu diikatkan pada pinggang Hui Kun.
"Dengan memakai sabuk pinggangku ini, seluas dua tiga ratus li di daerah telaga Thaycu, tak nanti ada yang berani mengganggumu." katanya.
Dilihatnya sabuk itu tak bertuliskan apa2 melainkan disulam sebuah gambar kupu-kupu yang sedang terbang. Hui Kun mengucap terima masih, Di kala hendak berpisah, tampaknya Ji Yan berat sekali. Hui Kun tak tahu mengapa Ji Yan bersikap begitu sayang kepadanya. Tetapi karena orang bersikap begitu, iapun tergerak juga hatinya.
"Selama hidup 23 tahun, baru pertama kali ini aku bertemu dengan seorang wanita yang seaneh itu," kata Lam Tian dikala berlayar.
Hui Kun pun menceritakan bagaimana ketika ditutuk jalan darah dan ditawan Ji Yan, ia kira kalau akan disiksa. Siapa tahu wanita itu malah memperlakukannya sebagai seorang adik.
"Memang wajahnya mirip sekali dengan engkau," kata Lam Tian.
"Benar, kata2 Lau tayhiap memang tepat!" tiba2 dari buritan perahu terdengar seseorang tertawa. Berbareng itu muncul dua orang gadis ke dalam ruang perahu, Yang seorang juru mudi dan yang satu juru layar,
"Siapa nama kalian, mengapa kenal kepadaku?" tanye Latn Tian.
"Aku bernama Jui Jui dan ini Ki Ki. Kami adalah pelayan hujin, sudah tentu kenal kepada tetamunya yang tetamunya yang terhormat," sahut Jui Jui si gadis juru mudi.
"Waktu mendengar kata2 'tetamu terhormat', Lam Tian seperti diingatkan. Buru2 dia salin pakaian yang sudah kutung lengannya itu.
Hui Kun juga tiba2 teringat sesuatu dan bertanya kepada Jui Jui, "Bukankah hujin majikanmu itu mempunyai seorang thay-hujin?"
"Ya, benar, mengapa nona Ku tahu?" Jui Jui balas bertanya.
Hui Kun Hanya mengangguk dan bertanya pula, "Dimana tempat tinggal thay-hujin? Apakah juga di pulau ini?"
Ternyata Jui Jui merasa menyesal karena telah kelepasan omong sedang Ki Ki deliki mata ke padanya sehingga Jui Jui diam saja. Lam Tian mencium sesuatu yang tak beres, dia segera ajak sumoaynya ke buritan perahu. D situ dia menegur Hui Kun mengapa bertanya soal itu.
"Ji-suko, tahukah engkau siapa wanita yang berkeras hendak mendapatkan ilmu pedang kita itu?" tanya Hui Kun.
Lam Tian gelengkan kepala.
"Dia adalah yang disebut thay-hujin itu atau ibu kandung dari Ho Ji Yan sendiri," kata Hui Kun.
"Bagaimana engkau tahu? Apakah Ji Yan memberitahu kepadamu?" tanya Lam Tian terkejut,
Hui Kun tertawa, "Kucuri lihat surat yang dibawa merpati pos itu," katanya, "engkau tahu apa yang ditulisnya?"
"Mana aku tahu?"
"Meskipun tidak seluruhnya dapat kubaca tapi ada kata2 yang berbunyi begini ... "tak usah gunakan kekerasan, ibumu mempunyai siasat bagus. Besok lusa pagi2, kirimlah perahu untuk menyambut aku di Siau-thong-ting" Surat itu bertanda tangan.... 'dari mama Wan'"
"O...." "Ji-suko. Ho Ji Yan mempunyai seorang ibu yang tinggal di Siau-thong-ting. Ia tahu kalau kita dipikat ke Thong-ting-san. Pun tahu juga kalau puterinya tentu akan gunakan kekerasan terhadap kita...." kata Hui Kun.
-^dwkz^smhn^- Pertempuran Pada saat itu Lam Tian melihat jui Jui dan Ki Ki pura2 mengemasi layar tetapi sebenarnya hendak pasang kuping mendengarkan. Seketika dia tarik lengan baju Hui Kun.
Rupanya Hui Kun tahu juga lalu tempelkan mulutnya kedekat telinga sukonya dan berbisik-bisik, "Karena wanita itu sudah mempunyai rencana bagus, maka ia suruh Ji Yan lepaskan kita. Benar tidak, suko?"
"Memang begitulah tampaknya," kata Lam Tian, "ini berarti perjalanan kita akan terbenam dalam urusan budi dendam para angkatan tua. Memang runyam," kabut Lam Tian.
Dia merangkaikan sikap Ji Yan yang membenci suhunya dan memuji kecerdasan Hui Kun.
Sejak turun gunung baru pertama kali itu Hui Kun mendengar sang suko memujinya. Diam2 dia gembira dan mengusulkan pergi Siu-thong-ting, "Kita lihat saja bagaimana rencana wanita itu," katanya.
"Itu berarti kita masuk kedalam perangkap dan menyerahkan rahasia ilmu pedang kita kepadanya. Ha, ha, tolol betul engkau ini," saat itu Lam Tian mencelanya.
"Lalu bagaimana kalau menurut pendapatmu?" Hui Kun mulai merajuk.
"Sekarang ini tak boleh kita pikirkan yang tidak2. Apa itu hujin, thay-hujin, Ho Ji Yan dan rahasia ilmu pedang. Semua harus kita kikis habis dari pikiran kita. Kita harus berani masuk kedalam Tin-tik-pang untuk menunaikan tugas yang diberikan suhu kepada kita," sahut Lam Tian.
"Tidak, menurut pendapatku, lebih baik kita coba2 menyelidiki Siau-thong-ting saja," bantah Hui Kun.
Atas pertanyaan Lam Tian maka Hui Kun lalu menerangkan, "Sederhana saja. Kalau Ho Ji Yan itu isteri muda dari Tan Ping maka wanita tua yang tinggal di kiau-thong-ting im tentulah mertua dari Tan Ping. Karena itu maka anak buah Tin-tik-pang sama mengindahkan wanita itu."
"Hm," desah Lam Tian.
"Kalau Ji Yan saja sudah begitu lihay," kata Hui Kun pula, "tentulah wanita itu tentu lebih sakti. Tugas kita kali ini mau tak mau tentu terlibat dengan partai2 persilatan. Selain sudah menerjunkan diri kedalam lingkaran itu kita harus berusaha sekuat-kuatnya. Lebih dulu kita menuju ke Siau-thong-ting menjumpai wanita itu untuk menyelesaikan soal rahasia ilmu pedang. Setelah itu baru kita tunaikan tugas kita dengan tenang. Ini berarti menyelesaikan urusan dalam lebih dulu, baru kemudian urusan luar. Jelasnya lagi, singkirkan dulu panah gelap baru kita hadapi tombak yang datang secara terang."
Lam Tian terpaksa mengakui alasan itu cukup baik. Lewat beberapa saat baru dia bertanya, "Apakah panah gelap tentu dibidikkan kepada kita?"
"Surat yang diterima Ji Yan itu berbunyi, besok lusa pagi kirimlah perahu untuk menjemput aku di Siau-thong-ting.... Ha, mengapa dia harus keluar ke Siau-thong-ting? Apakah bukan karena hendak menghadapi kita? Semua orang tahu siapa Suma Ciau (seorang tokoh terkenal dalam sejarah Sam Kok jaman dulu). Mungkin hanya seorang Lam Tian saja yang tak tahu, lucu!" Hui Kun menutup bisikannya dengan tertawa keras.
Lam Tian tengah ditertawakan sang su-moay. Tetapi karena kali ini Hui Kun mempunyai aiasan kuat, terpaksa dia tak dapat membantahnya. Tapi tetap dia merasa gelisah. Masa baru keluar dari sarang harimau sudah terus mau masuk kedalam lubang buaya?
Tiba2 terdengar suara letusan keras sehingga Hui Kun kaget dan buru2 bertanya kepada si gadis juru.nudi.
Sembari menunjuk ke utara, Jui Jui tertawa, "Kita merampas kapal dagang. Tuh lihat tiga buah perahu besar telah terbakar, betapa indahnya!"
Ketika memandang kearah yang ditunjukkan, Hui Kun dan Lam Tian memang melihat tiga buah perahu besar sedang dimakan api. Asapnya mengepul tinggi. Di sebelah timur dari perahu-perahu yang terbakar itu tampak empat buah perahu besar sedang meluncur pergi. Belasan perahu sekoci dalam formasi tiga baris, sedang mengejarnya.
Saat itu hari menjelang terang, kabut pagi sudah mulai buyar. Ternyata perahu laju yang ditumpangi Lam Tian itu dalam setengah malam saja sudah tinggal dua tiga puluh li dari Sik-san.
"Bagus, bagus, kambing gemuk itu berani menyusup masuk ke perairan Thay-ou seperti tak memandang mata kepada kita. Ha, ha, memang pantas dibakar," seru Jui Jui berseru sembari bertepuk tangan kegirangan.
Tiba2 Ki Ki mengeluh, "Engkau barangkali buta, bukan? Yang terbakar itu adalah perahu kita. Yang melarikan diripun perahu kita. Sedang yang mengejar itu adalah perahu pemerintah!"
Kejut Jui Jui bukan kepalang. Seketika ia melambung ke tiang perahu. Setelah mengawasi beberapa jenak dia berseru, "Benar, yang itu adalah perahu2 Jit-thauleng."
Ia loncat turun dan berunding dengan Ki Ki. "Bagaimana, apakah kita tak sebaiknya lekas pulang melapor kepada hujin?" katanya.
"Engkau memang tolol, sini kan lebih dekat dengan Sik-san? Mengapa harus jauh2 pulang," semprot Ki Ki.
"Kalau begitu kita lapor saja pada thay-hujin, ayo, lekas!" seru Jui Jui.
Ki Ki melirik ke arah Lam Tian dan Hui Kun sembari jebikan bibir. Tapi rupanya Jui Jui tak mengerti. Tatap ia gelisah dan mengomel, "Hm, jauh tak mau, dekatpun enggan. Apakah kita harus minta bantuan orang tuar?"
"Apakah aku dan engkau tak dapat maju perang? Sia-sia saja hujin memberi pelajaran kepadamu," sahut Ki Ki.
Ia cepat membalikkan haluan perahu dan berputar ke arah timur laut. Saat itu kabut turun hingga gelap lagi.
Ki Ki suruh Jui Jui membunyikan terompet dari kerang laut. Dalam pada itu Ki Ki sendiri terus menurunkan layar hingga jalannya perahu menjadi pelahan. Kini dia mulai mengayuh.
Diam2 Lam Tian mengagumi kecerdasan gadis jurumudi itu dan timbullah seketika rasa simpathi nya. Ia menawarkan diri untuk bantu mengayuh, Ki Ki tertawa menghaturkan terima kasih.
"Ada perahu mendatangi, entah perahu siapa?" tiba2 ia berseru pelahan.
Jui Jui meniup terompetnya. Nadanya sebentar panjang, sebentar pendek, namun dalam bungkusan kabut tebal itu tiada balasan apa2.
Akhirnya Jui Jui lepaskan trompetnya dan mencabut pedangnya, "Perahu pemerintah!"
Mendengar itu Ki Kipun lepaskan kayuh dan mencabut pedang bersiap-siap. Benar kedua gadis pelayan itu memang cukup tinggi kepandaian silatnya tetapi mereka belum pernah menghadapi musuh, pengalamannya masih hijau.
Melihat itu Hui Kun menanyakan bagaimana pendapat sukonya membantu atau tidak.
"Sudah tentu kita bantu dulu mereka untuk mengundurkan perahu pemerintah," kata Lam Tian, "setelah itu baru kita dapat berlayar lancar dan merebut hati mereka."
"Hai, siapa disebelah muka, apakah Tin Wan ketujuh?" tiba2 terdengar teriakan keras dari dalam gumpalan kabut.
"Benar, kami membentur karang, lekas tolongi," sahut Lam Tian. Beberapa saat kemudian, sebuah perahu pemerintah muncul dari lapisan kabut.
Kiranya pada permulaan ahala Beng, muncul seorang bahari (pelaut) yang cemerlang yaitu Sam Po thaykam The Ho atau Sam Po tayjin. Ia pernah membentuk sebuah armada untuk mengarungi tujuh samudera. Setelah itu pemerintah Beng mempunyai kapal perang, setiap kapal diberinya nama dan nomor.
Begitu perahu itu dekat, Lam Tian berseru keras sembari melayang ke buritan perahu itu. Perahu pemerintah itu mempunyai empat limapuluh awak perahu, dipimpin oleh seorang bu-koan (perwira). Karena gelap perwira hu tak dapat melihat tampang Lam Tian dan mengira kalau Lam Tian itu seorang awak kapal Tin Wan nomor 7.
"Bagaimana dengan Tin Wan ketujuh? Apakah tidak tenggelam?" seru perwira itu.
Tapi tiba2 dadanya kesemutan karena tertutuk jalan darahnya oleh Lam Tian. Menyusul dengan sebuah tendanganpun melayang hingga perwira itu terlempar kedalam ruang perahu.
Sudah tentu para awak kapal terkejut sekali dan menyerbu Lam Tian. Lam Tian mainkan kaki dan tangannya
"Blung, blung, blung..." hampir separoh dari jumlah awak kapal itu sudah terlempar kedalam air.
Saat itu Jui Jui dan Ki Ki pun menyusul datang dan membabat mareka. Jui Jui hendak melepas api tapi dicegah oleh Lam Tian.
"jangan, bukankah lebih baik kalau kita rampas perahu ini saja?" serunya.
Melihat kelihayan Lam Tian berempat, para awak kapal tak berani melawan lagi. Begitulah Jui Jui dan Ki Ki segera membalikkan haluan kapal itu menuju ke timur laut. Dalam berlayar itu karena tak dapat berenang, Hui Kun agak jeri tetapi Ki Ki menghiburnya supaya jangan kuatir.
Dalam pada itu kabutpun mulai buyar dan permukaan telaga kembali terang. Tampak empat buah perahu kaum Tin-tik-bun sedang dikejar dan diserang dari delapan jurusan oleh perahu pemerintah. Beribu batang panah dilepaskan kearah keempat perahu itu. Pihak Tin-tik-bun rupanya keteter.
"Tan Cun, lekas menyerah!" terdengar seruan nyaring dari sebuah kapal besar kepunyaan pemerintah. Meskipun perahu besar itu terpisah berpuluh tombak, tapi suara teriakan itu nyaring an jelas sekali.
"Tak nyana dalam tentara Beng juga terdapat panglima yang begitu lihay lwekangnya, tak kalah dengan aku," diam2 Lam Tian membatin.
Jui Jui menerangkan bahwa yang disebut Tan Cun itu adalah pemimpin nomor tujuh mereka. Ia minta Lam Tian lekas memberi pertolongan.
Dari salah sebuah perahu Tan-tik-bun, berpuluh panah api melayang ke udara. Melihat itu, kembali Jui Jui mendesak, "Itulah panah pertandaan dari Tan jit-ya. Dari sini ke Sik-san masih ada 30-an li. Dalam tempo setengah jam bala bantuan pasti tak dapat datang. Lau tayhiap, tolong engkau bantu kami menahan musuh."
Sebenarnya Hui Kun hendak menggunakan kesempatan itu untuk menanyakan perihal diri si wanita thay-hujin. Tapi pada lain saat ia batalkan niatnya karena tak layak berbuat begitu.
"Bakar perahu ini!" tiba2 Lam Tian berseru.
"Mengapa?" Jui Jui berseru kaget.
"Tahukah engkau siapa pemimpin pasukan laut pemerintah Beng itu?" tanya Lam Tian.
Jui Jui gelengkan kepala.
"Kita bakar perahu ini untuk memikat perhatian mereka. Tangkap penjahat harus meringkus kepalanya. Kalau kubekuk pemimpinnya, awak kapal mereka tentu kacau balau. Dengan begitu Tan jit-ya kalian pasti dapat tertolong," Lam Tian menjelaskan.
Ki Ki memuji siasat anak muda itu. Cepat ia mulai menyulut api. Lam Tian masuk kedalam ruang perahu dan membuka jalan darah perwira tadi.
"Perahu ini akan kami bakar. Kalau tak mau menjadi babi panggang, lekaslah engkau lari. Hidup atau mati, tergantung pada nasibmu sendiri," kata Lam Tian.
Perwira itu pucat wajahnya. Dia terus loncat kedalam air.
Api dengan lekas berkobar besar. Dalam sekejab saja tiang pasak (besar) pun sudah rubuh di makan api. Tanpa diperintah lagi, para awak perahu segera berebutan loncat kedalam air. Tiba2 ketiga kapal pemerintah itu berputar haluan meluncur datang,
"Siapakah yang datang itu? Apakah bukan toa-thauleng (pemimpin besar) Tan Ping sendiri." panglima Beng itu berteriak dari kapalnya.
Lam Tian memberi isyarat kepada ketiga nona kawannya supaya loncat ke arah kapal musuh itu. Sedang dia sendiripun lantas ayun tubuhnya melayang ke kapal besar yang dinaiki panglima Beng.
Tetapi baru dia menginjak geladak kapal, segulung tenaga yang kuat sekali telah mendorongnya.
"Ah, siapakah tuan ini? Hebat benar tenagamu," kata Lam Tian sembari menghindar ke samping.
Ternyata yang berdiri menghadang dihadapan Lam Tian itu seorang lelaki tua berjenggot panjang, mata berapi-api. Dia bercekak pinggang dan menyelip sebatang pedang. Disekelilingnya berdiri ratusan awak kapal dalam sikap siap tempur.
"Engkau bukan Tan Ping?" tegur lelaki tua itu setelah sejenak menatap Lain Tian.
"Aku memang hanya seorang thaybak kecil dari Tin-tik-bun," sahut Lam Tian.
"Hmn, kepandaianmu hebat sekali, masa engkau hanya seorang kerucuk saja. Aku Hui-thian-jong-liong bukan anak kecil yang dapat engkau kelabuhi," lelaki tua itu mendengus.
Mendengar gelar Hui-thian-jong-liong atau Naga-hijau-terbang-diangkasa, barulah Lam Tian menyadari.
Hui-thian-jong-liong itu sebenarnya bernama Teng Thong, ciang-bun-jin atau ahliwaris dari perguruan aliran Pat-sian-kiam di wilayah Siam-say. Kepandaiannya hebat dan merajai daerah Sepak. Paling akhir ini menjabat sebagai Cong-kausu atau pelatih dari pasukan bhayangkara istana raja Beng.
Sebenarnya dia tinggal di kotaraja dan baru pertama kali itu datang ke daerah selatan memimpin operasi di laut. Sudah tentu Lam Tian tak berani memandang rendah.
Baru dia hendak memberi hormat, tiba2 terdengar suara berkeretekan keras. Hui-thian-jong-liong berobah wajahnya. Cepat ia menyambar sebatang galah besi terus loncat ke samping kapal.
Ternyata Hui Kun setelah berunding dengan Jui Jui dan Ki Ki mengambil putusan tak mau tinggalkan perahu. Perahu sudah terbakar, daripada tenggelam dengan sia2, lebih baik tabrakkan saja pada kapal musuh. Melihat ancaman itu sudah tentu awak kapal pemerintah menjadi kaget setengah mati. Untuk memutar haluan harus memerlukan waktu, jelas tentu tak sempat lagi.
"Brukkkkk...." Terdengar bunyi yang keras dan guncangan yang hebat ketika kedua perahu itu berbentur. Kayu, merupakan bahan yang mudah terbakar. Begitu disambar lidah api, kapal kayu itupun segera terbakar.
Memang tubrukan keras itu mengakibatkan perahu Hui Kun terpental mundur. Tetapi akibatnya masih dapat membentur kapal Hui-thian-jong-liong Teng Thong.
Kapak Setan Kubur 1 Bartimaeus 4 The Ring Of Solomon Karya Jonathan Stroud Rumpi Kala Hujan 1
^