Pencarian

Benci Tapi Rindu 11

Benci Tapi Rindu Cinta Dibawa Mati Karya Sd Liong Bagian 11


"Kematian Ku hujin yang aneh ini, tentu di kira aku yang mencelakai. Ah, ditilik dari hubungan kita, orang tentu mencurigai diriku. Jika tak kubikin terang urusan ini, aku tentu tetap tertuduh"
Sebelah memikir-mikir, ia lalu mengambil sebutir pil dan dimasukkan ke mulut Ku hujin. Kemudian ia panggil Tan Ping dan kawan-kawannya masuk.
"Ciu hujin, apa yang telah terjadi?" Tan Ping terkejut sekali melihat Ku hujin sudah menjadi mayat.
"Itulah maka kuundang kalian menyaksikan arwah Ku hujin kembali," kata Hian Kwan
"Apa itu arwah dapat kembali? Ciu hujin, apa kau bergurau? Ai, bagaimana nanti? Ku hujin ini bukan orang sembarangan. Suaminya, Ku Pin, itu sih tak mengapa, tetapi si imam It Yap itu.... ah, kalau orang menuduh Tan Ping yang mencelakainya, sungguh celaka diriku."
Hian Kwan diam saja. Tan Ping dan kawan-kawan seperti duduk di atas jarum, tetapi mereka tak berani meninggalkan tempat itu.
Dua jam kemudian tiba-tiba terdengar mulut Ku hujin menjerit. Ai, ia benar-benar tersadar dan dapat duduk. Saking takutnya, Tan Ping tersentak loncat ke udara. Ia memang tak tahu bahwa Hian Kwan mempunyai pil Huan-hun-tan yang dapat menghidupkan orang mati untuk beberapa saat. Pil dari Hian Kwan itu merupakan pil pusaka keluarga Wan. Kekuatannya istimewa sekali, dapat menghidupkan orang mati sampai tiga jam.
"Hai, kalian enyah semua!" teriak Ku hujin demi melihat sekian banyak orang di dalam ruangan.
Hian Kwanpun memberi isyarat supaya Tan Ping dan kawan-kawan menyingkir keluar dulu. Tan Ping menurut, tetapi mereka tetap mencuri dengar dan mengintai dari luar.
Ku hujin minta supaya Hian Kwan mengambilkan mustika kelinci yang sudah pecah di lantai itu. Setelah diambilkan, Ku hujin memandang mustika itu dengan terlongong-longong. Kemudian ia menanyakan pada Hian Kwan dari mana memperoleh benda itu dan siapa yang memberinya.
"Bukan Ku Pin yang langsung memberikan kepadaku tetapi kepada Ciu Bing. Ia minta tolong Ciu Bing menyerahkan benda ini kepadamu. Peristiwa ini terjadi pada satu tahun yang lalu."
"Apa coba tuturkan kejadian itu sejelasnya. Ini menyangkut jiwa seseorang," kata Ku hujin.
Setelah mendengar penuturan Hian Kwan, Ku hujin menghela napas: "Ciu hujin, aku hampir saja menuduh kau. Ah, rupanya memang diriku sudah ditakdirkan mati. Tahukah kau apa sebabnya aku meninggal secara mendadak?"
Sudah tentu Hian Kwan menyatakan tak tahu. Ku hujin menempelkan pecahan mustika itu kedadanya: "Aku terkena racun. Tiada obat di dunia yang dapat menyembuhkan. Racun itu berasal dari mustika kelinci ini. Racun itu apabila kena air, baru bekerja. Dan jika sudah masuk ke tenggorokan, baru orang itu mati.... Meskipun Ku Pin bukan pembunuh langsung, tetapi hampir sama. Aku benci padanya tapi juga mencintainya. Setelah aku mati, kau dapat...."
Ku hujin berhenti untuk membatukkan napasnya yang sesak. Buru-buru Hian Kwan menanyakan apa yang dimaksud Ku hujin..
"Jangan kau berhubungan lagi dengan dia. Kau meluluskan?" dengan susah payah Ku hujin berkata.
Keadaan yang begitu mengenaskan, telah mengetuk hati nurani Hian Kwan. Seketika itu juga ia menyatakan kesediaannya. Tetapi Ku hujin masih belum percaya dan minta Hian Kwan mengangkat sumpah.
"Kalau aku sampai berhubungan lagi dengan dia.... biarlah aku mati diganyang ular jahat dan mayatku tak utuh lagi," demikian Hian Kwan bersumpah.
Ku hujin tersenyum puas: "Terima kasih, terima kasih. Aku akan berangkat dengan hati tenang."
Tiba-tiba nyonya itu teringat sesuatu, tanyanya: "Jadi dalam persekutuan kita tempo hari ialah: kesatu, tidak saling bermusuhan. Kedua, membasmi semua lelaki jahat di seluruh dunia dan yang ketiga, kau belum mengatakan. Apakah itu?"
"Yang ketiga merupakan kesediaanku untuk melakukan sebuah permintaanmu. Mendaki gunung golok, terjun ke laut api, aku tentu meluluskan," kata Hian Kwan.
Mata Ku hujin yang sudah pudar tiba-tiba berkilat-kilat lagi, serunya: "Baik, kuminta kau menerima Hong Lu sebagai anakmu. Mereka semua bukan manusia baik, aku tak tega menyerahkan anak itu kepada mereka."
Hian Kwan terkejut sekali: "Ini...."
Ku hujin menghela napas, ujarnya: "Didiklah baik-baik anak itu dan anggaplah sebagai puteramu sendiri.... Tentang Hui Kun tak usah kau pikiri, ia mempunyai ayah yang dapat merawatnya...."
Bibir nyonya itu masih bergerak-gerak, tapi sudah tak dapat berkata lagi. Dan Hian Kwan rasakan tangan nyonya itu sudah membeku seperti es. Ku hujin sudah meninggal sungguh-sungguh. Hian Kwan terharu dan menangis: "Pergilah, ku rela kau pergi."
Tiba-tiba pintu terbuka dan masuklah Tan Ping dan kawan-kawannya. Tan Ping memuji-muji kehebatan obat pil Hoan-hun-tan.
"Ciu hujin, kami semua telah mendengar, kau memang bukan pembunuh Ku hujin," kata Tan Gong.
"Juga bukan kita," kata Ciau.
"Toako, bagaimana tindakan kita sekarang. Menguburnya atau menunggu kedatangan Ku Pin?" tanya Tan Hwat.
"Aah, bukankah Ku Pin sudah mati kelelap?" seru Tan Cong.
Tan Ping tertawa gelak-gelak: "Kalau begitu, tunggu saja It Yap, dia juga...." Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena Hian Kwan sudah melemparkannya ke luar pintu.
"Siapa yang berani menghina Ku hujin, tentu kubunuh. Begitupun namaku. Ayo, kalian keluar semua. Jika tak kupanggil jangan masuk." Bentak Hian Kwan terus tamparkan bajunya kepada Tan Cong. Tan Hwat dan kawan-kawannya terbirit-birit lari keluar.
Hian Kwan menutupi jenazah Ku hujin dengan selimut dan menjaga di sisinya,
Tujuh hari tujuh malam Hian Kwan menggadangi jenazah Ku hujin. Ia tak keluar dari kamar dan tak makan tak minum. Ia terlongong-longong terbenam dalam lautan pikiran. Dengan minum pil Hoan-hun-tan itu, mayat Ku hujin dapat bertahan sampai sepuluhan hari tak rusak.
Pikiran Hian Kwan resah tak keruan. Setempo ia teringat akan perjalanan hidupnya selama ini, tentang Leng Giok sin-ni yang hendak membunuh naga dan tentang Ku Pin yang tak ketahuan jejaknya itu. Selama berada dalam kamar itu, Tan Piig tak berani mengganggu usik Hian Kwan.
Akhirnya pada hari ke tujuh. Hian Kwan teringat akan nasib ayahnya. Ia ambil keputusan hendak menyelidiki keadaan markas Tin-tik-pang. Begitulah ia segera keluar dari kamar dan melakukan penyelidikan. Tetapi hasilnya sia-sia belaka. Diam-diam Hian Kwan mengagumi juga kelihayan Tan Ping dalam hal ilmu Ngo-heng-pat-kwa.
"Wan Thian Cik tidak ada di sini percuma saja kau membuang tenaga," tiba-tiba terdengar seruan orang dari belakang.
Hian Kwan terkejut dan hendak menghantam ke belakang tapi pada lain saat ia batalkan niatnya. Ia tahu orang itu tentu lihay sekali. Tadi sama sekali ia tak mengetahui gerak geriknya. Kiranya orang yang memiliki ginkang sedemikian tingginya, hanya Leng Giok dan It Yap. Dan karena nada orang itu menandakan orang lelaki, cepat ia dapat menduga tentu It Yap.
"Totiang, lama kita tak berjumpa," serunya sambil memutar tubuh. Dan memang benarlah dugaannya itu. Hian Kwan meminta keterangan lebih lanjut pada imam itu.
"Wan lo-enghiong tiada di sini. Jika hendak menolongnya, harap pergi ke gunung Sik-san di pesisir utara Thay-ou" kata It Yap.
"Benarkah? Mengapa? Apakah takut padaku?" tanya Hian Kwan.
"Tan Ping si bopeng itu menang licin sekali. Ia tahu Tin-tik-pang sini sempit, maka setengah bulan yang lalu ayahmu dipindah ke Sik-san. Selain takut padamu, juga kepada Kim-hui-say Ciu Bing tayjin!"
Marah Hian Kwan disindir begitu, tegurnya: "Apa maksudmu datang ke mari? Apakah sengaja hendak menyampaikan berita itu kepadamu?"
It Yap tertawa: "Aku hendak menjenguk Ku hujin, tetapi ia sudah meninggal."
Hian Kwan mengejeknya: "Dengan begitu bukankah bebanmu menjadi ringan? Apakah kau tak berduka atas kematiannya?
"Selama tujuh hari tujuh malam aku selalu berada di dekat jenazahnya. Wanita yang suaminya tak menghiraukan sebaliknya merayu lain wanita, rasanya mati lebih baik. Dapat terlepas dari penderitaan batin, ha!" sahut It Yap.
Merah padam muka Hian Kwan, la mencabut sepasang pedangnya dan mendampratnya: "It Yap. sudah lama aku hendak mencarimu. Nah, sekarang marilah kita mengadu jiwa!"
It Yap buru-buru menolaknya: "Mengapa? Apa karena kau anggap aku menghinamu? Ha, ha, kita sama-sama sekualitet!
"It Yip, aku hendak membalaskan sakit hati ayahku, Meskipun bukan tandinganmu, tetapi kau tetap hendak mengadu jiwa padamu."
"Seorang pendekar wanita yang pantas diindahkan! Baik, jika kau hendak memberi pelajaran padaku, marilah kita pergi ke lain tempat, jangan mengganggu yang punya rumah di sini."
"Jangan banyak omong, lihat serangan!" teriak Hian Kwan sambil menusuk. It Yap tundukkan kepala menghindari dan tertawa: "Anak itu menunggu aku di luar, terpaksa kuharap Ciu hujin suka mengalah."
"Anak?" "Ya Ho Hong Lu!" sahut It Yap.
Hian Kwan teringat akan permintaan Ku hujin: "Baik, tunjukkan jalannya!" ia ambil putusan hendak melihat anak itu!
Mendengar itu, It Yap unjukkan tertawa iblis dan terus lari. Ternyata Hian Kwan dibawa ke sebuah hutan kecil yang lebat.
Melihat senyum iblis dari si imam, Hian Kwan curiga dan menanyakan tentang Hong Lu. It Yap mengatakan anak itu dititipkan pada seorang keluarga petani yang tinggal sepuluhan li jauhnya.
"Saat ini dia sedang tidur nyenyak, tak mungkin kau dapat membangunkan. Di hutan sini tiada orangnya sama sekali."
Hian Kwan terkejut dan mengeluh dalam hati. Ia tersadar kalau ditipu si imam. Tiba-tiba ia menunjuk ke belakang It Yap: "Bohong, siapa bilang tak ada orang lain, tu tengoklah ke belakang siapa dia!"
It Yap tertawa mengejek "Kau kira aku dapat kau tipu? Ha, ha, kau mengatakan hendak membalas sakit hati, nah silakan turun tangan, mengapa belum mulai?"
Dari nadanya Hian Kwan insyaf bahwa imam itu tak mengandung maksud baik. Ia tak takut dibunuh si imam, tetapi ia gentar tentang perbuatannya yang lain. Secepat kilat ia memutar tubuh dan lari sekencang-kencangnya, Tapi si imam cepat sudah menyusulnya dan malah terus merangkulnya.
"Kurang ajar, It Yap kau sungguh tak tahu malu" Hian Kwan gunakan jurus Ki-liam-jui-gak untuk menusuk tenggorokan dan perut orang.
Tapi dengan tertawa imam itu kebutkan lengan bajunya dan dapat menyingkirkan serangan Hian Kwan. Kemudian ia merayu: "Hian Kwan, sudah lama kurindu padamu, apa tidak, ketika dalam pertandingan mencari menantu tempo hari, ketika aku masuk ke dalam kamarmu, kau memandang aku dengan sinar mata yang penuh kemesraan? Ah, mengapa kita harus bertempur? Lebih baik kita bercakap-cakap dengan gembira. Hian Kwan, coba pikirlah, dalam hal apa saja aku kan lebih unggul dari Ku Pin"
"Cret", sewaktu si imam melayang-layang semangatnya dalam buaian asmara.
Secepat kilat Hian Kwan menurut tenggorokannya. Jika sedikit cepat lagi Hian Kwan bergerak, It Yap tentu binasa. Tapi karena perasaannya mengalami kegoncangan, tangannya agak gemetar dan gerakannya kurang cepat. Leher It Yap terluka tapi bagian samping. Walaupun kesakitan, namun tak sampai membahayakan jiwa si imam.
"Baiklah, karena kau melukai orang, hm, coba lihat saja nanti!" si imam galagapan. Ia terus angsurkan tangan kiri untuk merebut senjata orang.
Hian Kwan insyaf kalau kena ketangkap hidup-hidup, lebih menderita daripada menerima kematian. Ia biarkan pedang kanan dicengkeram lawan, tapi pedang kiri dibabatkan ke pinggang si imam. Di luar dugaan, sekali kebutkan lengan baju, It Yap-berhasil melemparkan sepasang pedang Hian Kwan di udara. Menyusul imam itu pentang kedua lengannya untuk mendekap sang mangsa.
"Bum", Hian Kwan menjotos dada sehingga tubuh si imam bergoyang-goyang.
Tetapi It Yap tak mau mundur malah menutuk jalan darah kia-keng-hiat di pundak Hian Kwan. Hian Kwan turunkan pundak untuk menghindar, tapi ternyata gerakan It Yap tadi hanya gertakan kosong karena pada saat itu ia memutar kedua tangannya dan memeluk si jelita.
"Lepaskan tidak!" Hian Kwan menjerit.
Tetapi dengan cengar-cengir imam itu merayunya, "Hian Kwan, ah, manis. Betapa kurindu padamu. Turutlah aku atau nanti terpaksa kubunuh kau."
Walaupun kedua lengannya terpeluk kencang, tapi jari Hian Kwan masih bebas. Ia segera menutuk beberapa jalan darah berbahaya dari si imam tapi tubuh si imam itu laksana baja yang lemas. Bahkan mempunyai tenaga dalam memantalkan tutukan jari.
"Hian Kwan, percuma saja. Kawin dengan aku It Yap tojin, tak akan merosot derajatmu."
Imam itu turut hendak membuka pakaian Hian Kwan dan karena tangannya kendor, Hian Kwan menyodok lambungnya dengan sikut. It Yap lepaskan pelukannya terhuyung-huyung beberapa meter. Hian Kwan loncat berlari sekencang-kencang nya. Tapi tetap kalah cepat dengan gerakan It Yap yang sekali loncat sudah dapat menubruk pinggang Hian Kwan lagi. Hian Kwan jatuh dan kesempatan itu tak disia-siakan It Yap untuk menguasainya.
"It Yap, kau manusia binatang...." hanya sekian yang dapat diucapkan Hian Kwan, saking meluap amarahnya, ia pingsan....
Entah sudah berapa lama ia tak sadar, ketika teringat ia mendengar suara senjata beradu. Tampak tiga sosok bayangan tengah bertempur seru. Malam gelap sekali sehingga ia tak jelas siapa ketiga orang itu. Ketika angin meniup, ia merasa kedinginan dan oh.... ternyata pakaiannya compang camping tak keruan. Malunya bukan kepalang.
"Libat dulu dia, aku hendak menolorg wanita busuk itu!" teriak salah seorang dari mereka. Menyusul terdengar suara berkeletakan dari tongkat yang berjalan.
"Hmm, bagus sekali perbuatanmu, Hian Kwan!" orang itu mendengus seraya tutukkan tongkatnya membuka jalan darah Hian Kwan.
Setelah itu menutup tubuh Hian Kwan dengan bajunya.
"Aku tak tahan, lekas datang kemari!" teriak salah seorang yarg masih bertempur.
Orang yang memakai tongkat tadi mengiakan. Sedang Hian Kwan duduk untuk mengemasi pakaiannya. Ketika berdiri kakinya masih lemas. Ia paksakan diri menghampiri ke tempat pertempuran. Ternyata tiga orang yang bertempur itu ialah It Yap, Tiau Ho Hong dan Ciu Bing, suaminya sendiri.
"Tiau congkwan jangan kasih lepas penjahat ini!" Ciu Bing berseru geram.
"Ya, sudah tentu. Kita nanti gantung imam cabul ini di kota raja!" sahut Ho Hong sambil pergencar golok bergigi gerajinya.
Karena isterinya dicemarkan, marah Ciu Bing bukan kepalang. Ia keluarkan seluruh kebisaannya. Mereka bertiga bertempur dengan seru. Ketika menerima dua buah hantaman Hian Kwan, sebenarnya It Yap sudah terluka, apalagi ia telah menghamburkan nafsu, maka tenaganyapun berkurang.
Ia hanya dapat bertahan saja.
Kelemahan itu diketahui oleh pihak lawan. Ho Hong dan Ciu Bing hendak memeras habis tenaga lawan untuk kemudian ditangkap hidup-hidup. Sejak ikut Ciu Bing keluar, belum pernah Ho Hong mendapat lawan yang tangguh. Maka kalau kali ini ia dapat menjatuhkan seorang tokoh macam It Yap, namanya tentu akan menjulang tinggi. Karena Ho Hong dan Ciu Bing sama bertempur sengit, dalam seratus jurus saja It Yap sudah kalah angin. Ciu Bing berhasil menutukkan ujung tongkatnya ke jalan darah pundak dan siku lengan It Yap. It Yap menggerung, disambarnya tongkat Ciu Bing terus didorongnya sehingga Ciu Bing terpental sampai dua tombak jauhnya.
Tiau Ho Hong adalah seorang kociu dari kota raja, kepala dan pasukan istana kim ih wi. Muridnya saja banyak yang terkenal di dunia persilatan. Kepandaian Ho Hong itu hanya di bawah Hui Sim taysu, Leng Giok sinni, It Yap dan Wan Thian Cik.
Melihat Ciu Bing dilukai, Ho Hong hantamkan goloknya.
"Cret" lengan kiri It Yap terbabat katung-kating hampir putus. It Yap menggerung keras dan lontarkan sebuah hantaman dahsyat. Karena tak keburu menghindar, terpaksa Ho Hong menangkis. Ia gunakan ilmu silat Hong-bun-cui-kui-kun untuk menyedot tenaga pukulan lawan. Tetapi begitu tangan mereka saling berbentur, Ho Hong rasakan tangannya seperti terlekat dengan tangan si imam. Cepat ia salurkan lwekang untuk menahan, namun gemetar juga tubuhnya karena lwekang It Yap itu memancarkan hawa dingin.
Setelah dapat mengatasi Ho Hong, It Yap lalu menyeretnya menuju ke tempat Hian Kwan. Asal ia dapat menutuk jalan darah Hian Kwan lagi, mudahlah nantinya untuk membunuh Ho Hong dan Ciu Bing.
Melihat dirinya hendak diserang, Hian Kwan loncat menghindar. Tapi belum lagi kakinya menginjak tanah, pahanya terasa kesemutan dan jatuhlah ia. Kiranya It Yap tadi melihat ada seonggok batu kerikil di dekat situ. Ia ayunkan kaki menendang tumpukan kerikil itu. Beberapa kerikil melayang lepat mengenai betis Hian Kwan. Ilmu menendang untuk menutuk jalan darah itu, apalagi mengarah sasaran di malam gelap, sungguh tiada bandingannya.
It Yap melemparkan Ho Hong lalu menerjang Hian Kwan dan menutuk jalan darahnya lagi. Karena empat buah jalan darahnya tertutuk, Hian Kwan tak dapat berkutik lagi. It Yap memperhitungkan, apabila ia sampai mati, tak mungkin ada orang yang mampu membuka jalan darah Hian Kwan.
Ho Hong yang mencelat sampai tiga tombak itu dapat berdiri dengan kedua kakinya: Dami melihat Hian Kwan dalam bahaya, ia loncat membabat pinggang It Yap dengan jurus hui-yan-tho-ci.
"Tiau congkoan, akan kubuat main-main dulu kau, baru nanti kurobek-robek dagingmu," It Yap tertawa mengekek.
Dan begitu gerakkan lengannya yang tinggal satu itu, Ho Hong segera terkurung dalam lingkaran pukulan. Dan pada lain kejab, Ho Hong kena di tinjunya sampai pusing tujuh keliling.
Hian Kwan tak berdaya untuk menolong. Paling-paling ia hanya dapat mengawasi seorang tokoh kelas satu disiksa oleh It Yap. Tiba-tiba Ho Hong menjerit keras. Lengan kirinya kena dipatahkan oleh It Yap.
"Ada ubi ada talas, ada budi tentu dibalas...." baru It Yap mengejek begitu sekonyong-konyong Ho Hong hantamkan goloknya.
"Bluk, bum...." It Yap berhasil menjotos dada, Ho Hong sampai muntah darah, tapi Ho Hong pun dapat menabas pinggang It Yap sampai berlumuran darah. Keduanya sama-sama mundur tiga langkah. Ho Hong terluka parah tapi It Yap lebih parah lagi.
It Yap salurkan lwekang ke lengannya dan sambil menggerung keras ia loncat menghantam dada Ho Hong. Pukulan itu dilancarkan dengan seluruh sisa tenaganya. Anginnya sampai kedengaran menderu-deru. Ho Hong mengeluh dan meramkan mata menunggu kematian.
Pada saat-saat berbahaya itu. tiba-tiba sesosok tubuh kecil melayang turun dari pohon dan berteriak: "Yah, jangan membunuhnya, jangan membunuhnya!"
Itulah Hong Lu. Ia menubruk dan memeluk pinggang It Yap. Bukan saja It Yap, pun Ho Hong ikut terkejut juga.
"Hong-ji, mengapa kau? Enyah lekas!" bentak It Yap. Tangannya yang kiri sudah invalid, sedang tangan kanannya yang sedang diangkat keatas tadi diturunkan untuk menjambret punggung baju anaknya, hendak dilemparkan.
Kesempatan itu tak disia-siakan Ho Hong. Dengan menggembor sekeras-kerasnya ia hantamkan kedua tangannya
"Bum...." dada It Yap termakan dan bersama Hong Lu ia terlempar sampai satu tombak lebih. It Yap bersuit keras. Kuatir Hong Lu terluka, diletakkan anak itu hati-hati ke tanah. Tapi secepat itu Ho Hong sudah maju lagi dan menyusul sebuah pukulan. Pukulan itu dilancarkan dengan sepenuh tenaganya. Ho Hong tak mau memberi kelonggaran lagi.
It Yap tertawa gelak-gelak: "Bagus, Tiau congkoan, kau bertempur dengan bagus sekali. Kau berhasil membunuh jago nomor satu di dunia. Kuhaturkan selamat kepadamu!"
Habis tertawa, It Yap terkulai ke tanah.
Hong Lu ketakutan dan menjerit: "Yah.... ayah...."
"Hong-ji, jangan menangis, ayahmu...."
"Yah, kau bagaimana? Kau takkan maninggal, bukan?" Hong Lu menangis dan menggoncang-goncangkan tubuh ayahnya,
"Hampir mati. Hong-ji sebelum aku meninggal, kau harus mendengar perintahku."
Setelah Hong Lu mengiakan, It Yap berkata: "Begitulah baru seorang anak baik. Kau bawa aku.... tidak, bawa saja ia kemari. Tubuhku terlalu berat, mungkin kau tak kuat,"
"Bluk", tiba tiba kedengaran benda jatuh ke tanah. Kiranya itu Ho Hong. Ternyata setelah berhasil merobohkan It Yap, kerena kuatir si imam masih dapat membalas, Ho Hong tahankan dirinya berdiri. Setelah mendengar kata-kata It Yap tadi, ia menjadi lega karena imam itu terang sudah tak berdaya lagi, Dan ia sendiripun lalu rubuh.
Hong Lu sebenarnya enggan mengerjakan perintah ayahnya tadi. Sewaktu It Yap menodai Hian Kwan, walaupun belum mengerti tapi Hong Lu tak senang melihat perbuatan ayahnya itu. Dan ketika ayahnya hendak membunuh Ho Hong, ia lalu turun dari tempat persembunyiannya untuk mencegah. Ia teringat akan kebaikan Ho Hong ketika ia jadi pelayan kecil di rumah makan tempo hari. Namun mau tak mau ia lakukan perintah ayahnya untuk membawa Hian Kwan ke dekat sang ayah.
"Hian Kwan, aku tak punya tenaga lagi untuk membuka jalan darahmu. Aku segera akan mati, mungkin ini sebagai penebus kesalahanku kepadamu. Ha, ha. aku seorang jago nomor satu di dunia, bukan rubuh di tangan ayahmu juga tidak di tangan Leng Giok sin-ni, sebaliknya mati di tangan putraku sendiri. Ha, ha, memang nasib menentukan demikian. Ada kalanya kita manusia memang tak dapat mengelakkan," kata It Yap.
"Itulah karena kejahatanmu sudah lewat takaran. Dari mana kau beroleh anak itu? Dia yang seharusnya tak dilahirkan, tetapi dilahirkan. Kau yang seharusnya tak mati, tetapi mati. Hm, kalau kau mati di tangan anak itu, sudah selayaknya," Hian Kwan tertawa dingin.
It Yap tertawa mengekeh: "Sungguh tepat sekali ucapanmu. Tetapi bagaimana dengan dirimu? Dengan Ku Pin? He, he, jika toh aku tak mendapat balasan yang baik, kelak kalianpun tak akan meninggal secara baik-baik."
Mau tak mau menggigil juga hati Hian Kwan
Kembali It Yap tertawa keras, tiba-tiba ia mencengkeram kedua tangan Hian Kwan, serunya: "Hian Kwan, dengan kau berada di sampingku, aku dapat mati meram. Berteriaklah, suruh suami mu menolong kau, suruh Ku Pin menolongmu, ha, ha, ha, ha!"
Hian Kwan ngeri mendengar suara tertawa yang seram itu. Ia hendak meronta tapi tak dapat. Satu-satunya yang dapat ia lakukan, hanyalah mancaci maki sepuas-puasnya.
Sekonyong-konyong It Yap berteriak keras: "Dengan kematianku ini, dunia kehilangan seorang enghiong. Sayang, sungguh sayang!" Kakinya menjulur dan habislah riwayat seorang jago silat sakti, seorang imam cabul dan seorang pengganggu wanita!
Hian Kwan yang kedua tangannya masih erat-erat dicengkeram tangan It Yap, ketakutan sekali. Sementara Hong Lu yang melihat ayahnya mati, menangis gerung-gerung. Pada saat itu, di hutan situ menggeletak empat orang. Yang dua pingsan, satu tak dapat berkutik dan satu mati.
Entah sudah berapa lama Hong Lu lepaskan tangisnya. Baru setelah sinar matahari menerangi dalam hutan, suasana di situ agak terang. Hian Kwan kasihan dan menghiburnya: "Hong Lu, sudahlah, jangan menangis. Maukah kau melakukan sebuah permintaanku?"
Hong Lu mengiakan. Ternyata Hian Kwan minta anak itu supaya membuka tangan ayahnya yang mencengkeram. Tetapi ketika ia menyentuh tangan ayahnya yang sudah kaku dingin, Hong Lu jeri juga. Hian Kwan menganjurkannya jangan takut. Namun berulang kali anak itu coba membuka cengkeram tangan ayahnya, tetap tak berhasil.
"Menyingkirlah, biar kulakukan," tiba-tiba terdengar ssorang berseru dari beiakang.
Ternyata itu Ciu Bing. Ketika tersadar, ia melihat kedua tangan Hian Kwan dicengkeram tangan It Yap. Segera ia mencabut pedang Hiau Kwan terus dipapaskan. Hong Lu menjerit tapi cepat dilempar pergi oleh Ciu Bing. Sedang Hian Kwan yang menyaksikan pemandangan begitu ngeri tak tahan dan pingsan. Ketika tersadar ternyata kutungan tangan It Yap tadi sudah hilang. Demikianpun mayatnya. Mungkin dilempar ke dalam hutan oleh Ciu Bing. Ho Hong sudah kelihatan berjalan mondar mandir untuk menyalurkan napas. Rupanya ia telah diberi obat oleh Ciu Bing.
Melihat suaminya, Hian Kwan cepat-cepat meneriaki supaya menolongnya. Tapi Ciu Bing tertawa dingin: "Menolongmu? Ha, ha, ini namanya dunia terbalik. Aku segera akan membunuhmu. Sekali kutusuk dadamu, akan kukirim kau menyusul imam cabul itu,"
"Apa kau tak melihat dia...."
"Wanita hina, kau masih berani banyak mulut. Aku tak mengucapkan It Yap, melainkan hendak mengatakan tentang diri Ku Pin. Apa kau hendak melihatnya?" habis berkata Ciu Bing lalu ngacir dan tak lama kemudian ia menjinjing sesosok tubuh orang terus dilemparkan ketanah:
"Wanita hina, nih Ku Pin mu! Mengapa tak kau sambut sehangat-hangatnya?" Ciu Bing mengejek.
Memang orang itu Ku Pin. Pakaiannya compang-camping. mukanya begap-begap dan kedua tangannya lemas terkulai, rupanya dipatahkan orang Dia tak dapat berkutik karena beberapa jalan darahnya tertutuk. Ternyata setelah lima hari berada di pulau Hek-mo-san, dia ditolong oleh sebuah perahu. Penumpangnya bukan lain justeru Ciu Bing dan Ho Hong, Mereka bertemour, tapi karena dikeroyok dua, akhirnya Ku Pin kalah juga. Ciu Bing menyiksa musuhnya itu sampai puas. Dan untuk melampiaskan sakit hatinya, ia membawa juga ke Tin-tik-pang untuk mencari Hian Kwan. Dan secara kebetulan mereka melalui hutan kecil tadi. Di situ mereka melihat perbuatan biadab dari It Yap terhadap Hian Kwan. Dan bagaimana nasib It Yap, telah dituturkan tadi.
"Ku Pin, kau minta mati secara bagaimana? Bilanglah lekas, aku enggan banyak bicara dengan seorang manusia serigala seperti kau!" seru Ciu Bing.
Ku Pin seolah-olah tak menghiraukan ancaman Ciu Bing. Ia saling berpandangan dengan Hian Kwan. Ciu Bing makin menyala amarahnya, bentaknya: "Ku Pin, aku hendak membunuh isteriku itu lebih dulu. Harap kau memberi usul. Sekaligus membunuhnya atau ditusuk beberapa kali?"
"Ciu Bing, aku adalah It-bin-hu-jin, kau berani membunuh aku?" Hian Kwan tertawa sinis.
"Mengapa tidak berani?" teriak Ciu Bing.
"Tiau congkoan, Jika ada orang berani membunuh seseorang yang mendapat anugerah gelaran dari kaisar, apakah itu tak melanggar undang-undang?" tanya Hian Kwan kepada Ho Hong.
"Ini.... ini...." Ho Hong menyahut terputus-putus.
Hian Kwan tertawa nyaring: "Ciu Bing, silakan turun tangan lekas. Tiau congkoan juga seorang menteri kerajaan yang menerima gelaran agung. Undang-undang tentu akan menuntut. Tiau congkoan dapat menjadi saksi atas kematianku."
Ciu Bing marah sekali dan terus menusuk tapi cepat disambar Ho Hong "Ciu tayjin, lebih baik membawanya pulang ke kota raja. Jika hukum keluarga Tay-haksu sudah cukup keras, tak perlu lagi melaporkan kepada kerajaan."
"Ha, Tiau Ho Hong, lagi-lagi kau unjukkan lagu lama. Hm, sekarang ini kita berada di dunia persilatan atau di kota raja?" Ciu Bing marah-marah.
"Sudah tentu berada di dunia persilatan. Di kota raja harus mengindahkan perintah kaisar, di dunia persilatan harus menurut omonganku Leng Giok sin-ni!" tiba-tiba Leng Ciok muncul di situ.
Pakaiannya compang-camping, wajahnya penuh dengan luka cakaran dan langkahnya sempoyongan. Keadaannya tak kalah buruk dengan Ku Pin.
Ho Hong dan Ciu Bing tersentak kaget. Sebaliknya Hong Lu menjadi kegirangan dan bertepuk tangan: "Penolong datang, penolong datang. Sin-ni, tolonglah Wan lihiap ini!"
Sin-ni menyemprot anak itu karena tak mau ikut padanya tetapi turut pada ayahnya. Kemudian ia melolos pedang dan bertanya kepada Ciu Bing.
"Itu urasan keluargaku, kau tak berhak turut campur," sahut Ciu Bing.
"Siapa yang sudi mengurusi soal rumah tanggamu. Hm, apakah kalian berdua yang membinasakan It Yap?" tegur Leng Ciok.
"Kalau ya lalu bagaimana?" sahut Ciu Bing.
"Jika begitu kalian harus maju ke mari. Siapa suruh kalian membunuh It Yap?"
Diam-diam Ciu Bing dan Ho Hong mengeluh. Merekapun mencabut senjata. "Lo-cianrwe, memang kami berdua yang membunuh It Yap. Apakah kau hendak menuntut balas? Bukankah It Yap bentrok dengan kau? Karena kami berdua telah malenyapkan manusia macam It Yap, seharusnya kau berterima kasih. Mengapa hendak mengajak bertempur?" kata Ciu Bing.
"Siapa sudi mendengar ocehanmu, seorang buntung. Lihat serangan!" Ia lalu mengebutkan Hud-tim kepada Ciu Bing dan Ho Hong.
Ia tak puas karena Ciu Bing dan Ho Hong telah membunuh It Yap. Yang berhak melenyapkan It Yap, hanyalah dirinya.
Tongkat Ciu Bing kena dilibat hud-tim. Dan sekali gentak, ia hendak mencabut tongkat itu dari tangan Ciu Bing. Tapi pada saat itu Ho Hong sudah menyerang dari belakang. Kalau pada biasanya, tongkat Ciu Bing tentu kena terampas oleh Leng Giok. Tapi pada saat itu Leng Giok tengah menderita luka berat, tenaganyapun berkurang. Ternyata ia balikkan tangannya menghalau serangan Ho Hong.
Leng Giok telah berhasil mendapatkan si naga jahat. Dalam pertempuran yeng sengit, karena tak pandai berenang akhirnya Leng Giok menderita kekalahan juga. Tapi naga itupan termakan beberapa kebutan hud-tim Leng Giok. Akhirnya Leng Giok terpaksa mundur teratur.
Pertempuran antara Leng Giok dikeroyok Ciu Bing dan Ho Hong itu sudah berjalan sampai lima enampuluh jurus. Leng Giok sukar mengalahkan mereka, tetapi merekapun tak mudah lolos dari sambaran hud-tim Leng Giok. Jika Leng Giok tak terluka, tentu dengan cepat ia dapat mengalahkan Ciu Bing berdua.
Hian Kwan menimbang dalam hati. Jika Leng Giok sampai kalah, binasa atau terluka, tentu tak ada lagi otang yang mampu membuka jalan darahnya. Ketika berpaling dilihatnya Ku Pin tengah memandangnya dengan mesra. Hian Kwan tergerak hatinya. Ia suruh Hong Lu memindahkan dirinya ke samping Ku Pin.
"Ku Pin, kita segera akan mati. Matipun harus bersama-sama," kata Hian Kwan.
Ku Pin ulurkan tangannya untuk mencekal tangan Hian Kwan: "Hian Kwan, terima kasih."
"Isterimu sudah meninggal dunia, tahukah kau?"
Ku Pin terkejut, serunya: "Dia sudah meninggal? Kapan?"
Hian Kwan menuturkan apa yang telah terjadi. Habis itu Hian Kwan menanyakan apakah Ku Pin masih ingat kepada Hui Kun.
"Dia puteriku yang paling kusayang!" Ku Pin mengangguk.
Atas pertanyaan Hian Kwan, Ku Pin menerangkan bahwa ia tak tahu di mana beradanya Hui Kun sekarang, "Apakah ia berada di Tin-tik-pang?" Ku Pin meminta perjelasan.
"Tidak ia berada di.... tapi, ah, tiada guna kukatakan karena kita berdua toh bakal lekas mati."
"Apa? Bukankah anak itu berada di Ang-tik-pang? Masakan ia...." Ku Pin terperanjat sekali.
Hian Kwan lagi-lagi menceritakan tentang Hui Kun yang sekarang dirawat Ih Ih.
"Ai, mengapa begitu? Ia baru berumur dua tahun, mana dapat bersebaran di dunia persilatan?" seru Ku Pin. Dia ganas, tetapi terhadap puterinya, ia mencintai mati matian.
"Kita berdua menderita luka parah. Pagi atau sore jiwa kita mungkin melayang. Kau hanya memikirkan Hui Kun saja, tetapi bagaimana dengan orok yang berada di dalam perutku ini? Bukankah ini juga darah dagingmu?" tegur Hian Kwan.
Ku Pin menghela napas: "Ah, apa daya? Dosa kita sudah bertumpuk-tumpuk, Tuhan memberikan kita...."
"Bum", tiba-tiba terdengar tubuh terbanting di tanah. Ternyata Leng Giok menghantam Ciu Bing sampai mencelat tiga tombak dan roboh tak berkutik lagi. Ho Hong menggerung, ia menyerang nikoh tua itu.
"Sibuntung itu kalau tidak mati tentu terluka berat. Tinggal kau seorang!" habis mengejek, Leng Giok putar hud-timnya sedemikian rupa hingga Ho Hong tak mampu mengeluarkan jurus-jurus permainannya lagi. Terpaksa kepala kim-ih-wi itu loncat mundur dengan tinggalkan goloknya. Leng Giok tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba ia lemparkan hud-tim dan golok rampasannya lalu menyerang dengan tangan kosong.
"Ayo, brewok, tempo hari kita belum menyelesaikan pertandingan kita, seratus jurus, akan kuberi keringanan padamu. Jika dalam dua puluh jurus aku tak mampu mengalahkan kau, aku akan mencebur ke dalam telaga," seru Leng Giok.
Dan memang ia tak sombong. Sekali gebrak saja, ia sudah menang angin. Ho Hong terpaksa gunakan ilmu silat Hong-bun-su-kui-kun. Melihat itu Leng Giok menghela napas. Habis semuanya. Habis menempur Ciu Bing lalu menempur Ho Hong, ini berarti Leng Giok tentu kehabisan tenaga. Sekalipun dapat merubuhkan Ho Hong, tapi nikoh itu tentu tak mampu membuka keempat jalan darahnya yang tertutuk. Lebih-lebih jalan darah itu yang menutuk It Yap. Hian Kwan tiada mempunyai harapan lagi, Namun ia masih menghibur Ku Pin supaja jangan menguatirkan Hui Kun: "Jangan kuatir Ih Ih cukup bertanggung jawab."
Dalam saat-saat yang begitu tragis, kedua insan yang terjalin dalam asmara berliku-liku itu, saling berpandangan. Membayangkan semua kejadian yang lampau, mereka semua menghela napas.
Tiba-tiba terdehgar suara benda jatuh. Ternyata Ho Hong termakan sebuah pukulan Leng Giok sehingga jatuh muntah darah. Leng Giok tertawa nyaring. Bernada kemenangan tapi tercampur rintihan kekalahan. Ku Pin dan Hian Kwan ngeri mendengarnya. Habis tertawa, Leng Giok menghampiri dan mencekal tangan Hong Lu lalu duduk di tanah.
"Setan cilik, sudahkah kau melihat kepandaianku? Kedua orang itu kebanyakan tentu mati," katanya sambil menuding ke arah Ciu Bing dan Ho Hong.
"Sin-ni, kau bunuh juga aku!" Hong Lu menangis tersedu-sedu mengenangkan dirinya yang sudah sebatang kara.
Leng Giok tertawa dan mengelus elus kepala Hong Lu: "Aku tak bermaksud membunuh, siapa pun takkan membunuhmu. Siapa yang berani berbuat begitu, akan menjadi musuhku. He, he, siapa berani?" Ia melirik kepada Ku Pin hingga Ku Pin tersirap darahnya.
"Aku tak punya ibu bapa, perlu apa hidup di dunia?" kata Hong Lu.
"It Yap bukan ayahmu dan Ku hujin bukan ibumu. Jangan kenangkan mereka lagi. Mereka mati berarti dunia ini bersih. Mereka bukan manusia. He, he, mereka semua syaitan-syaitan."
Ucapan yang sengaja diperkeras itu, membuat Ku Pin dan Hian Kwan gemetar. Tangan mereka yang tadinya saling bergandengan, dilepaskan. Leng Giok lanjutkan makiannya, tetapi mereka tak berdaya untuk pergi. Mereka tak dapat berkutik, tubuhnya saling merapat.
Leng Giok tak kepalang tanggung. Ia memaki-maki tokoh-tokoh sejarah. Dari raja-raja seperti Han Ko-cou, Lau Pang sampai Gu Goan-ciang pendiri kerajaan Beng. Menteri-menteri yang cerdik pandai seperti Khong Beng dan Thia Cu, juga tak terluput dari amuk makiannya. Bagi Leng Giok mereka itu bukan manusia, melainkan bangsa syaitan. Kemudian giliran tokoh-tokoh persilatan jaman dahulu, antara lain Tat Mo cousu pendiri Siau-lim-pay, Thio Sam Hong pendiri Bu-tong-pay dan lain-lain sampai tokoh-tokoh pada jaman itu antaranya Wan Thian Cik dan lain-lain, dikoreknya habis-habisan. Satu-satunya tokoh yang luput dari makian Leng Giok ialah Hui Sim taysu, paman guru dari Wan Thian Cik.
Puas memaki tiba-tiba Leng Giok terdiam seperti patung.
Hian Kwan terkejut, serunya: "Mati?"
Mendengar itu Hong Lu menangis. 'Digoncang-goncangkannya tubuh nikoh itu: "Sin-ni, bangunlah!"
"Percuma, dia sudah mati!" kata Ku Pin.
Mendengar itu Hong Lu berguling-guling di tanah menangis gerung-gerung. Hian Kwan menghela napas: "Ku Pin, ia sudah mati dan kita berduapun tiada harapan hidup lagi." Kemudian dengan suara lembut ia suruh Hong Lu tinggalkan tempat itu.
"Pergi? Ke mana kau suruh aku pergi?" Hong Lu mengusap airmatanya.
Hian Kwan menyuruh anak itu menuju ke lembah Leng-cwan-ko, yaitu goha tempat tinggal Hian Kwan. Hong Lu mengiakan karena iapun sudah tahu tempatnya.
"Cabutlah tusuk kundai di rambutku ini dan berikan nanti kepada Ih Ih. Ia tentu akan memeliharamu baik-baik." kata Hian Kwan.
Hong Lu melakukan perintah itu. Kemudian ia menanyakan tentang Hian Kwan sendiri.
"Tak usah hiraukan diriku, pergilah sendiri. Kepalamu yang kecil itu banyak jago-jago silat yang tak kuat melawan. Jangan takut, pergilah," sahut Hian Kwan.
Setelah memberi hormat empat kali kepada jenazah Leng Giok sin-ni dan memberi hormat kepada Ku Pin dan Hian Kwan, ia segera minta diri dengan menangis.
Malam itu dilewati dengan penuh kesunyian. Sampai pagi berganti malam lagi (jadi satu hari satu malam), Ho Hong dan Ciu Bing tetap tak berkutik. Leng Giok masih duduk seperti patung, entah mati entah hidup. Duapuluh empat jam lamanya Ku Pin dan Hian Kwan barada dalam keadaan hidup tidak, matipun tidak.
"Aku tak mau mati, aku tak bisa mati. Ku Pin. mari kita berusaha!" tiba-tiba Hian Kwan berseru. Ku Pin tersentak dari impiannya.
"Aduh.... perutku sakit sekali, mati aku!" kembali Hian Kwan mengerang kesakitan.
Tiba-tiba pada lain saat ia berkata: "Tidak, kita harus cari daya. Dapatkah kau gunakan Im-yang-ngo-coan?"
Ku Pin menghela napas "Bisa sih bisa, tapi aku tak dapat berkutik, begitupun kau. Masakan kau lupa? Ai, jika saat ini muncul seekor serigala, kita tentu dimangsanya tanpa dapat melawan."
"Benar, memang kalian harus mati! Tetapi aku si nikoh tua ini tak akan mati!" tiba-tiba terdengar sebuah suara dan tahu-tahu Leng Giok loncat bangun.
Sambil melemaskan kaki tangannya, nikoh itu berkata seorang diri: "Ah, tak apa-apa. Lwekang Im-yang-ngo-coan memang hebat. Sejak lahir sampai mau mati ini, aku selalu mengandalkan lwekang itu."
Ternyata selama duapuluh empat jam itu, ia salurkan lwekang dan berhasil mengobati dirinya sendiri. Girangnya bukan kepalang ketika didapati dirinya tak kurang suatu apa.
"Lo-cianpwe, hendak kemana kau?" teriak Ku Pin.
"Sin-ni, apakah lwekangmu sudah pulih sama sekali?" tanya Hian Kwan.
Leng Giok tertawa gelak-gelak: "Aku hendak menaklukkan naga, aku hendak menaklukkan naga! Binatang itu memukul jatuh Kim-gin-ho-lou ke dalam telaga. Aku harus mengambilnya!" Sambil berlari ia tertawa: "Wan Hian Kwan, jangan harap aku mau menolongmu. Ha, ha, kalian boleh tunggu kedatangan malaekat elmaut!"
Pada lain saat nikoh tua itu sudah lenyap dari pandangan.
"Ku Pin, kita tak boleh mati dengan sia-sia. Kita harus cari daya!" kata Hian Kwan. Namun Ku Pin hanya menghela napas tak dapat herbuat apa-apa.
Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan munculnya seorang lelaki tinggi kurus. Ku Pin terkejut. Orang itu hebat sekali ginkangnya. Sekonyong-konyong orang itu berjongkok. Lebih dulu meraba Ciu Bing lalu meraba Ho Hong kemudian menghela napas. Ia mengucap doa keagamaan dan pelahan-lahan berjalan menghampiri datang. Ia meraba punggung Ku Pin dan punggung Hian Kwan.
"Sosiok-cou, kiranya kau!" tiba-tiba Hian Kwan teringat dan segera berseru tetapi tertampar oleh serangkum tenaga hingga mulutnya tak dapat bicara. Beberapa kejab kemudian, ia dan Ku Pin rasakan tubuhnya enak, darah mengalir dan napasnya lancar. Jalan darah mereka yang tertutuk, satu demi satu terbuka lagi.
Di bawah penerangan sinar rembulan, Hian Kwan jelas melihat wajah yang bersih dari orang tua itu. Diam-diam ia girang tapi tak berani buka suara karena kuatir mengganggu orang yang tengah meramkan mata memberi saluran lwekang.
"Omitohud, kalian sudah tak kena apa-apa," tiba-tiba orang itu yang ternyata seorang paderi berseru.
Hian Kwan dan Ku Pin dapat sembuh dari 'mati selama duapuluh empat jam'. Hian Kwan buru-buru menghaturkan terima kasih tapi paderi itu sudah melesat pergi. Diam-diam Hian Kwan malu. Ia duga karena tahu dirinya berbuat jinah maka paderi yang menjadi paman gurunya itu, tak mau menerima hormatnya..
Ternyata Ho Hong dan Ciu Bing memang sudah mati. Hian Kwan membuat liang untuk mengubur mereka. Waktu ia berpaling mencari Ku Pin yang tadi masih beristirahat di atas batu, ternyata sudah menghilang.
Kiranya diam-diam Ku Pin telah tinggalkan tempat itu. Ia menuju ke Tin-tik-pang dan mencari rumah obat. Setelah mengobati lukanya, ia lalu menyerbu ke Tin- tik-pang. Menerobos masuk dari pintu besar, ia bunuh setiap orang yang dijumpainya. Untuk derita siksaan yang diterimanya dari Ciu Bing, kini ia tumpahkan amarahnya pada orang-orang Tin-tik-pang.
Markas Tin-tik-pang geger. Tan Ping bermula marah marah dan mencaci maki Ciau Toa To. Ia kira orang she Ciau itu yang mengacau. Tapi demi melihat si pengacau itu Ku Pin, kejutnya bukan kepalang.
"Mana jenazah isteriku?" teriak Ku Pin yang tanpa tunggu penyahutan sudah menerjang Tan Ping. Tan Hwat dan Tan Ciau menghadang, tapi malah mereka yang kena diringkus latu saling dibenturkan kepalanya. Memang walaupun menderita luka, tapi kekuatan Ku Pin masih jauh melebihi kawanan bajak she Tan.
Ku Pin tahu bagaimana kwalitet Tan Ping. Jika tak menggunakan cara tekanan itu, tentu tak mungkin akan mengambil pulang jenazah Ku hujin. Ia ancam Tan Hwat dan Tan Ciau supaya menunjukkan jalan, jika tidak mereka akak dibunuh. Karena tak berdaya, kedua orang itupun membawa Ku Pin ke kamar tempat Ku hujin. Lebih dulu ia tutuk jalan darah kedua orang itu lalu dilemparkan keluar, kemudian dengan membawa jenazah istehnya ia loncat dari pagar belakang dan terus pulang. Dua tiga puluh li berlari, tiba-tiba ia mendengar suara riuh. Ketika berpaling, dilihatnya markas Tin-tik-pang terbakar. Ia menghela napas karena tahu yang membakar itu tentulah Hian Kwan. Ini sebagai pembalasan dari perbuatan Tan Ping dan kawan-kawannya yang telah membakar gedung keluarga Wan tempo hari.
Memang benarlah dugaannya itu. Setelah selesai mengubur Ciu Bing dan Ho Hong, Hian Kwan juga menuju ke Tin-tik-pang. Ia bakar markas mereka. Tan Ping marah. Ia perintahkan anakbuahnya memadamkan api dan menangkap orang yang melakukan pembakaran itu. Tiba-tiba muncul Tan Su bersama Tan Hwat dan Tan Ciau.
"Apa Ku Pin yang melepas api?" tegur Tan Ping. Tan Hwat gelengkan kepala.
"Habis siapa?" tanya Tan Ping pula.
Hian Kwan tertawa gelak-gelak: "Aku, Tan bopeng! Kejahatan itu akhirnya terbalas. Dengan obor ini tentu kubakar kau sampai mampus!"
Hian Kwan seperti orang gila. Rambutnya terurai kusut dan mengamuk dengan sepasang pedangnya. Banyak sekali anak buah Tin-tik-pang yang dibinasakan.
"Perempuan busuk, kau berani melepas api? Apa tak takut ayahmu terbakar hidup-hidupan?" teriak Tan Ping.
"Tidak takut, tidak takut, jangan coba membohongi aku lagi!" Hian Kwan tertawa mengejek. Ia teringat keterangan It Yap yang menyatakan bahwa ayahnya sudah dipindah ke gunung Sik-san. Hian Kwan terus mengamuk. Siapa yang dijumpai tentu dibunuh.
Sebenarnya Tan Ping berdelapan saudara itu jeri. Tetapi karena Hian Kwan menyerbu datang terpaksa mereka melawannya. Kalau mau Hian Kwan dapat membunuh mereka tapi karena masih perlu mencari ayahnya, ia hanya akan melukai mereka saja.
Bangunan markas Tin-tik-pang yang dibangun menurut formasi Ngo-heng-pat-kwa oleh Tan Ping, dalam beberapa menit saja sudah hancur dimakan api. Anak buah Tin-tik-pang banyak yang mati dan lari kocar kacir.
"Hian Kwan, bunuh saja kami ini, ayo" teriak Tan Ping dengan hati yang ngenas.
"Kau punya anak isteri, aku tak mau membunuhmu. Lihatlah, mereka keluar!"
Tan Ping berpaling dan melihat Tan Ing dan Tan Kiat tengah melindungi isterinya (Tan Ping) menerobos keluar dari lautan api.
Dengan rnengempos Ceng Ih, isteri Tah Ping itu memaki-maki. Tiba-tiba sebuah tiang besar ambruk menjatuhi isteri Tan Ping. Tan Ping kaget dan meneriakinya supaya cepat lari, tapi nyonya itu malah lemas kakinya tak dapat berjalan. Tan Ping tak berdaya lagi menolong isterinya.
Tiba-tiba sesosok tubuh melesat dan dengan sepasang pedang menyontek tiang besar itu ke udara. Kemudian ia dorong nyonya Tan Ping ke muka Tan Ping seraya berseru: "Bopeng, hati-hatilah pada Ciau Toa To, dia hendak mencelakai kau secara gelap. Sampai ketemu" kata orang itu yang bukan lain adalah Hian Kwan dan rerus melesat pergi tapi cepat dihadang Tan Ping: "Mengapa kau memberilahu padaku? aku tak mau menerima budimu"
"Siapa sudi memberi budi padamu? Aku ke pingin membunuhmu!"
"Mengapa kau menolong isteriku?"
"Aku menolong atau membunuh, peduli apa kau. Jika kau mau melakukan pembalasan, aku siap menunggu!" Hian Kwan melesat pergi.
Tan Ping kertek gigi. Diam-diam ia sakit hati dan timbul rencananya untuk melakukan pembalasan di kemudian hari. Karena markasnya hancur dan anak buahnya berantakan, Tan Ping ajak ketujuh saudaranya yang terluka berat dengan keluarganya pindah ke Sik-san. Di sana ia mendirikan lagi markas dan mengumpulkan anak buah. Tujuh bulan lamanya ia kirim orang untuk menyelidiki jejak Ku Pin dan Hian Kwan, namun sia-sia saja. Kedua orang itu entah lenyap kemana. Hal ini menyebabkan Tan Ping tak enak makan tak pulas tidur.
Selama tujuh bulan itu dunia persilatan seperti istirahat. Tiba-tiba kalangan persilatan digemparkan dengan sebuah berita tentang munculnya Ku Pin dan Hian Kwan. Dan begitu muncul, kedua orang itu lalu bertempur sampai tiga hari. Dalam pertempuran itu Ku Pin unjuk kegagahan dan berhasil menggurat muka dan lengan Hian Kwan. Hian Kwan lari dengan membawa kekalahan.
Demikian Hek-liong-kui-bo mengakhiri ceritanya. Cerita yang memasan waktu lebih dari tiga bulan. Anak-anak muda yang mendengarnya seperti turut merasakan sendiri, semua kejadian itu. Ho Ji Yan malas-malasan berdiri menutup jendela. Sedang dengan deliki mata kepada Ceng Ih, Hui Kun menyeletuk sengit: "Kui-bo, bagaimana rencana busuk dari Tan bopeng itu. Siapa yang hendak dicelakainya. Ayahkukah? Atau kau?"
Dalam anggapan Hui Kun. Ho Ji Yan itu tacinya tunggal ayah lain ibu, sedang Ho Hong Lu itu tunggal ibu lain ayah. Lau Lam Tian itu sukonya. Hanya Tan Ceng Ih (anak perempuan Tan Ping) tergolong orang luar. Maka ia bicara tanpa sungkan-sungkan lagi.
Ceng Ih mendengus: "Kui-bo, dalam pandanganmu, Ku Pin yang paling jahat atau.... atau lain orang?" Sebenarnya ia hendak mengatakan ayahnya (Tan Ping) tapi dirobah dengan kata 'lain orang?
"Sudah tentu si Tan bopeng yang paling jahat. Kepandaiannya rendah tapi main tipu muslihat licik mencelakai orang!" sahut Hui Kun.
"Budak kecil, kau berani memaki ayahku? Lihat nanti!"
"Aku tetap memaki, Tan bopeng.... Tan bopeng.... Tan bopeng, ha, ha, apa kau berani membunuh aku?" Hui Kun menertawakannya.
Dengan marahnya Ceng Ih segera membacok dengan gin-to, tetapi ditangkis Hui Kun sambil menertawakan lagi: "Ayahmu adalah pecundang dari ayahku. Masakan aku takut padamu?"
"Ayo, duduk semua!" bentak Kui-bo yang kemudian menyuruh Ji Yan melucuti senjata mereka. Memang diantara anak muda itu, Ji Yan lah yang paling tinggi kepandaiannya. Waktu ia meminta supaya mereka serahkan senjatanya masing2, terpaksa kedua dara itu menurut.
"Dalam ingatanku, sebenarnya tiada yang baik. Siapa yang paling jahat, siapa yang agak mendingan, biarlah nanti angkatan kemudian yang akan menilainya. Ceritaku masih belum selesai, kalian jangan ramai-ramai. Dia dan aku masih akan mengadakan pertempuran yang terakhir. Telah ku tunggunya selama sepuluh tahun. Begitu dia datang, akupun tiada tempo lagi untuk bercerita"
Para anak murid terkejut. Jadi kalau Ku Pin datang, segera akan terjadi pertempuran hebat lagi. Kecuali Ceng Ih, Hui Kun dan ketiga anak-muda lainnya itu sedikit banyak mempunyai ikatan darah dengan Kui-bo dan Ku Pin. Habis siapa yang akan mereka bantu nanti?
Ini benar-benar soal sulit. Taruh kata mereka tak membantu tenaga tapi toh dalam hati mereka mempunyai keinginan. Siapa yang dipujikan kalah dan siapa yang dipujikan menang. Bagi kedua pemuda sudah jelas. Hong Lu yang sejak kecil tak disukai Ku Pin sudah tentu memujikan supaya Ku Pin kalah. Sedang Lam Tian sudah tentu mengharap suhunya (Ku Pin) yang menang.
Sebaliknya kedua gadis itu agak sulit. Sebelum mendengar cerita Kui-bo, Ji Yan selalu membela ibunya (Kui-bo) dan membenci Ku Pin (ayahnya). Tapi setelah riwayat yang sebenarnya, pandangannyapun berobah. Ia setuju dengan ucapan Kui-bo, orang-orang angkatan tua itu tidak ada yang baik. Ia benci Ku Pin pun benci pada Kui-bo. Apalagi setelah mengetahui sebab musabab mengapa ia dipaksa menikah dengan Tan Ping, ia benci pada semua orang di dunia ini. Ia menerima warisan perangai dari kedua orangtuanya, memandang semua orang dengan rasa kebencian.
Hui Kun kebalikannya. Ia cinta ayahnya dan cinta juga pada Kui-bo. Ia anggap perjalanan hidup orang-orang tua itu lebih banyak dikasihani daripada dibenci. Ia berwatak wajar dan bersih. Memandang orang dan dunia dari sudut kasih sayang.
"Pada waktu kubakar markas Tin-tik-pang. tiba-tiba perutku terasa sakit. Buru-buru aku pulang ke Leng-cwan-ko. Ih Ih dan Hui Kun tak kurang suatu apa. Dan tak lama kemudian Hong Lu pun tiba. Begitulah kutunggu Ku Pin di situ.
Tetapi tiga bulan lamanya, dia tetap tak muncul. Heran, apakah dia mendapat kecelakaan diperjalanan? Padahal ia tentu mencari Hui Kun dan Hong Lu. Kandunganku makin besar dan perangaikupun makin berangasan. Sedikit kesalahan saja, Ih Ih tentu kulabrak. Kasihan dara itu. Dengan setia ia tetap mendampingi aku. akhirnya pada suatu hari, Ku Pin datang juga. Kuserahkan Hui Kun, karena anaknya. Tetapi Hong Lu tak kuberikan karena ia anak Ku hujin yang diserahkan padaku. Dia tertawa gelak-gelak dan mengatakan bukan kedua anak itu yang dimaukan tetapi diriku. Ai, dia memang...."
"Akhirnya kami hidup berkumpul lagi sampai tiga bulan lamanya. Ya, masa itu benar-benar masa yang paling bahagia dalam hidupku. Kami berdua hidup rukun, siang malam bermain-main dan bergelak tawa. Karena Leng-cwan-ko itu amat pelik letaknya, orang luar tiada tahu sama sekali. Dan timbullah berita di dunia persilatan bahwa kami berdua hilang lenyap".
Habis berkata Kui-bo melolos sabuk sutera putih di pinggang Hui Kun. Ketika ditebarkan ke atas, ternyata terdapat tulisan yang berbunyi: 'Di malam purnama raya, dengan mabuk pesiar malam. Selembar sutera Sociu ini, kupersembahkan kepada Hian Kwanku.?


Benci Tapi Rindu Cinta Dibawa Mati Karya Sd Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kui-bo membelai selendang dan terkenang akan masa itu. Beberapa saat kemudian ia berkata: "Dua hari sebelum malam cap-go-meh, tiba-tiba dia melenyapkan diri. Aku sungguh terkejut."
"Ke mana perginya?" tanya Hui Kun.
Kui-bo tertawa: "Dia tahu Cap-go-meh itu adalah tepat hari lahirku, maka ia sengaja perj.i ke Sociu membeli selendang sutera ini. Ketika pulang. tepat pada malam cap-go-meh. Diapun membeli baryak arak wangi. Dan malam itu kami minum sampai mabuk. Dia mengucapkan selamat padaku dengan menuangkan belasan cawan arak untukku. Meskipun kami acapkah bentrok dan bahkan berkelahi, tetapi pada hari itu aku benar-benar merasa mesra sekali padanya. Habis minum, kami berjalan-jalan menikmati rembuian purnama.... siapa tahu.... siapa tahu...."
Berkata sampai di situ, mata Kui-bo pancarkan api, wajahnya beringas dan sikapnya tegang sekali hingga tak dapat melanjutkan kata-katanya. Pemuda pemudi itu tak berani bertanya.
Beberapa jenak kemudian, baru Kui-bo berkata pula: "Pada malam itulah, timbul nafru kebinatangannya. Dan mulai malam itu, kecintaanku terhadap Ku Pin lenyap sama sekali. Selanjutnya aku tetap membencinya. Hm, sejak itu jika bertemu dengannya aku temu menyerangnya mati-matian. Meskipun berpuluh kali ia minta maaf, tapi kutolak tegas. Ku Pin, Ku Pin, kau adalah yang paling jahat diantara orang jahat."
"Bagaimana? Bagaimana dia menyalahimu?" tak tahan lagi Hui Kun tinggal diam.
"Bukan aku melainkan Ih Ih. Hmm, dirangsang oleh nafsu kebinatangannya, ia mencemarkan kehormatan Ih Ih setelah bujang itu ditutuk jalan darahnya. Ih Ih seorang dara yang baru berumur empat belasan tahun. Ia seorang gadis yang lembut tapi keras hatinya. Ia tak menangis. Tapi begitu turun dari pembaringan ia lalu menyambar pedang dan menutuk Ku Pin. Karena mendengar suara gaduh, aku lalu keluar. Hm, begitu melihat aku, manusia anjing itu lari terbirit-birit. Kurebut pedang Ih Ih lalu kukejar Ku Pin. Saat itu baru kusadari bahwa Ku Pin itu seorang lelaki rendah. Bermula kukira ia cinta padaku dengan setulus hati, maka betapa perbuatannya yang lalu tetap kumaafkan dan kuterima kembali. Karena yang kurindukan yalah cinta yang murni.... kini baru kusadari sampai dimana ukuran cintanya kepadaku itu. Cintanya itu hanya terdorong nafsu belaka! Kumakinya dan kuserangnya. Dia meratap minta ampun dengan mengatakan bahwa perbuatannya itu dilakukan tanpa disadari karena pengaruh arak. Aku tak mau mendengar alasannya lagi. Kukatakan, kalau dia memang menyesal, mengapa tidak bunuh diri saja? Dengan cengar cengir, ia merasa apakah aku tak merasa kehilangan kalau dia mati? Dan mengatakan pula bahwa Ih Ih itu toh hanya seorang bujang mengapa aku membelanya mati-matian?"
Hek-liong-kui-bo melanjutkan ceritanya lagi: "Kutempur lagi dia sampai ratusan jurus. Tiba-tiba ia mendapat kesempatan dan melarikan diri. Karena lelah, aku tak dapat mengejarnya. Aku terpaksa pulang. Begitu mendorong pintu kamar, kejutku bukan alang kepalang. Ih Ih sudah menggantung diri di tiang penglari. Aku menjerit keras dan jatuh pingsan. Ketika tersadar, ternyata sudah siang hari. Kurasakan perutku sakit. Karena memeras tenaga bertempur Ku Pin, kandunganku goncang dan bayiku keluar satu bulan lebih pagi. Ia adalah Ho Ji Yan, anak haram hasil hubunganku dengan Ku Pin"
Mendengar itu merahlah wajah Ho Ji Yan. Ia jengah dan menyingkir tak mau mendengarkan lagi. Pun Hui Kun yang merasa ayahnya begitu rendah budi, juga menyingkir.
"Sekarang yang mendampingi aku hanya Hui Kun dan Hong Lu memang anak baik, dialah yang memasak nasi dan teh. Sepuluh hari setelah aku melahirkan anak, diam-diam Ku Pin datang. Coba terka apa maksud kedatangannya itu! Apa ia datang hendak merawat aku? Tidak sama sekali! Dia datang karena hendak membawa pergi Hui Kun secara diam-diam.
Setelah badanku kuat. aku segera membawa Hong Lu untuk mengejar Ku Pin, aku telah bersumpah tak mau hidup di satu kolong langit dengan Ku Pin lagi."
"Rupanya ia tahu juga tentang niatku itu, maka dia lalu membubarkan Ang-tik-pang dan dengan membawa Hui Kun serta muridnya, menyingkir ke lain tempat. Tetapi masakan dia dapat lolos dari pengejaranku? Pada suatu hari kami berjumpa lagi di Jong-ciu. Kali ini kami bertempur sampai tiga hati tiga malam, Kesudahannya aku menerima dua buah tusukan pedang dan kalah. Tapi dia tetap pindah lagi ke lain tempat, entah ke mana. Terpaksa aku pulang ke Leng-cwan-ko. Setelah Yan-ji besar, aku mencarinya lagi. Tiga tahun aku menetap di Leng-cwan-ko. Hong Lu sudah berumur sembilan tahun dan Ji Yan tiga tahun."
"Di bawah pimpinanku, kepandaian silat Hong Lu makin bertambah maju. Sejak berumur dua tahun, Ji Yan sudah kuajari ilmu silat. Tiga tahun kemudian aku mencari jejak Ku Pin lagi. Secara kebetulan kami berjumpa di Celam di perbatasan Kwitang. Hm, tak kira kepandaian bangsat itu maju sekali. Aku tak berdaya mencegah dia meloloskan diri. Timbul dalam ingatanku. Kalau dia bisa berlatih keras masakan aku tidak dapat? Akhirnya aku mencari tempat sunyi dan berlatih rajin-rajin."
"Tiga tahun kemudian, kurasa kepandaianku bertambah maju. Maka mulailah kucari Ku Pin lagi. Tetapi waktu dua tahun kuhabiskan tetap tak dapat menjumpainya. Makin pesat kemajuan ilmu silatku, masih buruk perangaiku. Aku benci kepada semua orang lelaki di dunia. Setiap bertemu dengan pria yang bisa silat, tentu kuajaknya berkelahi. Ada yang terluka berat dan ada juga yang kubinasakan, Sepuluh tahun lamanya aku malang melintang di dunia persilatan. Entah sudah berapa jumlahnya jago-jago yang binasa di tanganku. Aku tak peduli apakah ia seorang ksatrya baik atau bangsa penjabat. Sepasang saudara Sim dari Holam yang termasuk golongan baik. juga kubunuh. Mengapa? Entahlah, aku sendiri tak tahu. Setiap membunuh orang, rasa kebencian dalam hatiku agak longgar. Tetapi kemudian bukannya makin tipis, malah perasaan benci itu makin tebal. Ciong Put Ji sebenarnya seorang sahabatku, tetapi begitu dia memberitahukan padaku tentang berita dari Ku Pin, segera kubunuhnya juga. Mengapa aku seganas itu? Setelah kurenungkan, mungkin karena aku belum dapat membunuh Ku Pin. Jika sudah kubunuhnya, mungkin rasa benci dalam hatiku itu tentu lenyap."
"Ada satu kali, kubunuh juga ketua partai Long-bun-pay yang bersama Moh Thian-san, akibatnya seluruh keluarga rumahnya sama bunuh diri. Itulah yang pertamakali aku mempunyai rasa menyesal. Tak seharusnya aku membunuh seorang jago tua yang sudah berumur delapanpuluhan tahun. Untuk menebus dosa, kucacah mukaku sendiri. Sejak itu. setiap kali aku kesalahan membunuh orang baik, tentu kugurat mukaku satu kali, sebagai tanda penyesalanku. Tetapi hanya menyesal di mulut, karena aku tetap mengganas terus, Guratan di mukakupun makin bertambah. Dan setelah penuh lalu giliran lengan dan pahaku. Keganasanku itu telah menggemparkan dunia persilatan. Mereka memberi sebuah gelaran padaku yakni Hek-liong-kui-bo. Ya, memang dari seorang manusia aku berobah menjadi syaitan. Dari seorang wanita cantik, aku berobah menjadi kuntilanak (hantu perempuan). Gelaran itu tepat sekali!"
Mendengar itu, sekalian anakmuda sama berdiri bulu romanya. Diam-diam Lam Tian membenarkan apa yang dikatakan suhunya bahwa Hek-liong-kui-bo itu adalah wanita yang paling jahat di dunia.
Hek-liong-kui-bo melanjutkan pula: "Tentang gelaranku Hek-liong-kui-bo itu, kuperoleh karena aku berhasl menundukkan naga jahat di telaga Thay-ou. Naga itu dapat kuhalau ke dalam rawa Tok-liong-than. Rawa ini tingginya ada seratusan tombak, tak mungkin naga itu dapat merayap naik. Dasar rawa merupakan air mati. Binatang itu tak dapat berenang ke mana-mana memangsa orang. Ini adalah satu-satunya perbuatan baik yang kulakukan sepanjang hidupku."
"Tidak, kaupun pernah menolong isteri Tan Ping dan Hui Kun sumoay serta merawat Hong Lu suheng sampai besar. Apakah ini bukan kebaikan?" tanya Lam Tian.
Tawar-tawar saja Kui-bo menyahut: "Jika aku kenal kebaikan mana aku memperoleh gelaran Kui-bo, Hm, memang isterinya aku yang menolong, tapi tahukah kalian bagaimana Tan Ping membalas aku?"
Sebaliknya Hui Kun minta supaya Kui-bo menceritakan cara bagaimana ia dapat menundukkan si naga jahat itu. Kui-bo menerangkan bahwa binatang itu tak dapat ditundukkan dengan kekerasan melainkan dengan cara halus. Ia gunakan nada seruling untuk menjinakkannya.
Kemudian Kui-bo menyambung lagi penuturannya tentang Tan Ping: "Tan bopeng itu membalas air susu dengan air tuba padaku. Ketika aku pergi mencari jejak Ku Pin, diam-diam si bopeng mencari jejak Ku Pin, diam-diam si bopeng mencuri masuk dari pintu belakang. Hm, itu juga kelengahanku sendiri. Dia menculik Yan-ji. Aku marah sekali dan ajak Hong Lu menyerbu Sik-san"
"Mengapa Tan bopeng menculik cici Yan?" tanya Hui Kun.
"Karena hendak menggunakan Yap-ji sebagai pegangan menekan aku. Aku tak berani membunuhnya karena mengingat jiwa Yan-ji Apalagi aku tak paham akan ilmu Ngo-heng-sut. Tiga malam baru aku berhasil mendapatkan Tan bopeng. Dia mengadakan tawaran, jiwa harus diganti jiwa, kalau tidak harus menurut lain cara yang diusulkan."
Berkata sampai di sini mata Kui-bo berkilat-kilat, ujarnya: "Hm, dia juga manusia binatang. Pada waktu Yan-ji berumur empat belas tahun dengan tipu muslihat yang licin ia berhasil menodai anak itu. Saking marahnya, isteri Tan Ping sampai meninggal. Sejak itu Yan-ji menjadi isterinya. Dia sudah berumur limapuluhan tahun, sedang Yan-ji baru empat belas tahun...."
"Brak", tiba-tiba Lam Tian menggebrak meja dan berseru sengit: "Kui-bo, mengapa kau begitu sabar?"
Kini giliran Ceng Ih yang menyingkir karena malu mendengar ayahnya ditelanjangi boroknya. Ia menghampiri Ji Yan. Ketika melihat Ji Yan berlinang-linang airmata, Ceng Ih segera menghiburnya: "Cici Yan, aku hendak bertanya padamu. Aku dan budak she Ku itu memanggilmu cici, semestinya umurmu lebih besar. Tapi menurut penuturan Kui-bo tadi, ternyata kau lebih muda. Mengapa?"
Ji Yan kucurkan airmata: "Aku adalah ibu tirimu, masakan aku tak sungkan mengatakan lebih muda dua tahun dari kau?"
Ceng Ih menghela napas: "Hampir sepuluh tahun kita hidup bersama, sungguh celaka aku ini, tak mengerti sama sekali penderitanmu," Kemudian ia meminta maaf kepada Ji Yan atas perbuatan yang tak senonoh dari ayahnya itu.
"Kuingat tiap tiga hari Kui-bo tentu mengajar kita ilmu silat. Ia hanya menghajar sedikit kepadaku tetapi sangat memperhatikan sekali padamu. Kuingat ia sering memperingatkan kau supaya jangan melupakan seseorang. Bila ilmu silatmu sudah tinggi, kau disuruh membunuhnya...."
Mendengar ucapan Ceng Ih, terkesiaplah Ji Yan. Bertanya pula Ceng Ih: "Apakah orang itu ayahku?"
Ji Yan diam saja. "Mengapa tak kau bunuh?" tanya Ceng Ih pula. Ji Yan tertawa getir dan menggeleng. Masih Ceng Ih mendesak ingi dengan pertanyaan apakah kelak Ji Yan tetap akan membunuh ayahnya (Tan Ping).
Ji Yan menutup mukanya dengan tangan dan terus lari. "Hai, cici Yan, ke mana kau?" teriak Ceng Ih. Ternyata pedih sekali hati Ji Yan ketika didesak dengan pertanyaan-pertanyaan oleh Ceng Ih. Ia tak mau berhenti lagi walaupun diteriaki berulang kali oleh Ceng Ih.
Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dari dua tigapuluh tombak jauhnya. Tetapi cepat sekali dia sudah tiba di hadapan Ji Yan.
"Siapa kau?" tegur Ji Yan. Tetapi orang itu sudah melesat lagi dua tigapuluh tombak. Ji Yan terkesiap ketika ia melirik orang itu, kiranya seorang tua yang berwajah bersih dan berjenggot pendek dan matanya berapi-api.
"Lo-cianpwe, ada apakah kau? Siapa yang hendak kau cari?" Ji Yan buru-buru loncat menghampiri.
"Kau she Tan atau she Hu?" orang itu balas bertanya.
"Kau jawab dulu!" seru Ji Yan.
"Aku orang she Ku!"
Mendengar itu telinga Ji Yan serasa mengiang-ngiang, matanya pudar, hampir pingsan. Orang itu tak mau menghiraukan, berputar diri terus pergi.
"Jangan pergi, harap jangan pergi!" teriak Ji Yan.
Orang itu bukan lain Ku Pin ayahnya sendiri.
Nada Ji Yan yang mengandung isak itu membuat Ku Pin tergerak hatinya. Ia menghela napas: "Apa kau benar Yan-ji, namamu Ho Ji Yan? Kau adalah anakku sendiri!"
Walaupun bicara begitu tapi Ku Pin tetap berjalan.
"Yah.... yah.... jangan ke sana!" Ji Yan menangis. Dengan susah payah baru mulutnya menyebut 'ayah'. Dan begitu Ku Pin lambatkan jalannya, iapun lari memburunya: "Yah, jangan mencarinya, jangan mencarinya lagi,"
"Mengapa?" suara Ku Pin dingin sekali.
Ji Yan menubruk dan memeluk sepasang kaki ayahnya, menangis: "Yah, mamah menantimu. Jika kau ke sana, tentu akan sama-sama terluka, sama-sama meninggal. Yah jangan pergi, kuminta kau jangan pergi ke sana!"
"Yan-ji. tahukah kau mengapa mamahmu berjerih payah melatih ilmu pukulan tok-liong-ciang? Ia menawan Hui Kun, kau tahu apa sebabnya? Ia menunggu aku sudah sepuluh tahun. Bagaimana aku dapat mengecewakan harapannya?"
"Yah, tak usah kau sana. Pulang sajalah ke Ang-tik-pang. Adik Hui dan Lau Lam Tian nanti tentu kuantarkan pulang."
Ku Pin menghela napas: "Yan-ji, mamahmu telah bersumpah tak mau hidup di satu langit dengan aku. Budi dendam yang berliku-liku selama duapuluh tahun ini, kalau tidak hari ini diselesaikan, mau tunggu kapan lagi?"
"Duapuluh tahun telah lalu, yah, Hui Kun dan sudah begini besar. Apakah kesalahan yang lalu tetap tak dapat dihapus? Yah, kaupun sudah berusia lima puluhan tahun." Ji Yan setengah meratap.
Ku Pin pelahan-lahan menyingkirkan tubuh puterinya, serunya dengan keras: "Ia yang menghendaki aku mati, akupun harus mati, akupan harus mati! Yan-ji, jangan coba menasehati aku!" Ia terus lari,
Ji Yan ambil putusan, bagaimanapun ia harus menghentikan pertempuran itu. Sambil menangis, ia menyusul jejak ayahnya. Say-cu-lim diatur menurut formasi Ngo-heng-sut. Lau Lam Tian dan Hui Kun pernah kesasar dan entah sudah berapa banyak jago-jago yang tersesat di situ. Kesemuanya itu hasil ciptaan Kui-bo sendiri.
Rupanya Ku Pin hendak menuju ke pondok tempat tinggal Kui-bo, tapi karena tak paham jalanan, ia sudah merasa makin dekat tapi sebenarnya malah makin jauh. Diam-diam Ji Yan girang. Atas perintah Kui-bo, Ji Yan telah meminta pelajaran ilmu Ki-bun-ngo heng-sut pada Tan Pin, lalu diberikan kepada mamahnya. Kui-bo lalu membangun Say-cu-lim menurut bentuk Ki-bun-ngo-heng-sut. Dan Ji Yan sendiri juga membentuk barisan Ngo-pat-ang-bun-tin, terdiri dari tiga belas bujang wanita yang berkepandaian tinggi. Ketika Lam Tian berada di Thong-ting-san, ia pernah dikalahkan oleh barisan itu.
Ku Pin kesasar tiba di tepi rawa Tok-liong-than. Ji Yan tetap mengikutinya. Ku Pin berpaling dan menanyakan tempat itu. Waktu Ji Yan menyebut nama rawa itu, Ku Pin terpetar hatinya.
"Di mana mamahmu?" tanyanya. Ji Yan menyahut tak tahu. Tapi Ku Pin tetap minta puterinya membawa dia ke sana.
"Yah, lebih baik kau pulang saja. Dalam sepuluh tahun ini kepandaian mamah makin hebat. Jika bertempur kukuatirkan...."
"Kau takut apa? Takut aku kalah?" Ku Pin tertawa dingin,
"Kukuatir kau membunuhnya!"
Ku Pin tertawa keras. Kumandangnya sampai memenuhi angkasa.
"Ku Pin, jangan kegirangan dulu, nanti tentu kukirim kau ke Tok-liong-than!" tiba-tiba sebuah suara bernada berat terdengar.
Ji Yan terkejut. Dilihatnya Hok-liong-kui-bo muncul. Matanya yang tinggal satu tampak berkilat-kilat memandang Ku Pin.
"Bagus, ketawaku telah mengundangnya keluar," pikir Ku Pin yang lalu mencabut pedang dan berseru: "Hian Kwan, ayo mulai."
Selama sepuluh tahun lebih, entah mereka sudah bertempur berapa kali. Masing-masing tahu sampai di mana kepandaian lawan. Tapi kini berlainan. Pertama, mereka sudah lima tahunan tidak bertempur. Kedua, mereka sama tahu kalau masing-masing telah menciptakan ilmu silat baru.
Hek-liong-kui-bo tenang-tenang saja tak mau menyerang dulu. Tiba-tiba terdengar derap kaki. Hong Lu, Lam Tian, Hui Kun dan Ceng Ih beramai-ramai muncul. Melihat wajah suhunya tegang sekali, Lam Tian tak berani-menghadap.
Hanya Hui Kun yang berani berseru girang: "Yah, kau kiranya datang juga!"
Ia terus berlari hendak merangkul ayahnya tapi dibentak Ku Pin dan didorong sampai dua tiga tombak jauhnya. Belum lagi suara bentakan Ku Pin itu berhenti, Kui-bo sudah loncat menerjang: "Aku ingin mendapat pelajaranmu ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat!"
Karena habis mengeluarkan hawa dalam (membentak). Ku Pin tak berani menangkis, ia miringkan tubuh lalu loncat ke samping. Kepandaian Kui-bo sudah mencapai tingkat sempurna. Pukulannya luput, di tengah jalan ia sudah menarik tangannya. Ia sudah memperhitungkan tindakan Ku Pin. Ia robah pukulannya menjadi tabasan. Ini mau tak mau Ku Pin harus menyambuti. Seketika Ku Pin rasakan dadanya sesak tersambar angin keras. Buru-buru ia gunakan jurus Ou-te-kiam-go membabat kaki, Hek-liong-kui-bo loncat menghindar, kemudian menjotos kearah dada. Ku Pin kembali gunakan salah sebuah ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat untuk menangkis. Tapi kali ini ia terkejut. Bukan tenaga keras yang menyambar, melainkan tenaga Im yang lemas.
Ternyata ilmu pukulan Tok-liong-ciang itu terdiri dari dua macam, dengan tenaga keras dan dengan tenaga lunak. Sudah tentu Ku Pin tak menyangka sama sekali. Untung ilmu pedang Kim go-kiam-hwat itu bisa keras bisa lunak. Ku Pin cepat merobah dengan jurus Koay-go-tho-sip (kura-kura aneh julurkan lidah). Jurus ini lunak sekali. Dengan lunak untuk menghadapi lunak, Hak-liong-kui-bo terpaksa merobah permainannya.
Pertempuran dari dua tokoh lihay itu, lain daripada yang lain. Pedang lawan pukulan tangan kesong. Debu tercampur kabut mengepul tinggi. Yang tampak hanya dua sosok bayangan beterbangan kian ke mari dengan menimbulkan angin keras
Ji Yan beberapa kali hendak maju menghentikan pertempuran tapi setiap kali ia dipaksa mundur oleh sambaran angin keras.
Sekonyong-konyong salah satu dari bayangan itu terlempar ke arah rawa. Jika menilik perawakannya yang tinggi besar, tentulah Ku Pin. Hui Kun dan Lam Tian menjerit karena kaget serta lari menolong. Ketika tiba di tepi rawa, tampak Ku Pin membentang tali panjang vang terpasang di tepi rawa. Dia tertawa keras: "Hian Kwan, aku berlatih sepuluh tahun toh masih kena pukulanmu. He, he. sungguh lihay. Apa nama jurus pukulanmu tadi?" Sembari berkata ia berayun ke tepi seberang sana lalu berayun lagi kembali ke tepi sini.
Dari dalam kabut terdengar dengusan Hek-liong-kui-bo: "Kau tak mati, itu sudah hebat. Mari, ke marilah, kukirim kau ke akhirat dengan pukulan Ciau-tik-ciam-liong!"
"Ciau-tik-ciam-liong? Ha, ha, bagus nian nama itu!" seru Ku Pin seraya menyerbu ke dalam kabut.
Terdengar angin menderu-deru lagi. Mereka mulai bertempur.
Tiba-tiba Ji Yan memberi isyarat supaya Lam Tian dan Hui Kun datang kepadanya: "Kita harus cari akal untuk menghentikan pertempuran mereka. Adik Hui, kau biasanya cerdas!"
Hui Kun merenung beberapa jenak lalu berkata: "Kita harus gunakan racun untuk melawan racun. Kita tempelkan pedang ke leher kita, kemudian menyerukan mereka supaya berhenti. Jika tidak mau, kita akan bunuh diri beramai-ramai. Masakan mereka tak menurut?"
Ji Yan dan Lam Tian setuju. Mereka segera cabut senjata. Tiba-tiba terdengar jeritan mengaduh dari Hek-liong-kui-bo. Rupanya ia tertusuk pedang. Pertempuran makin sengit.
"Lekas, lekas, jangan membuang waktu!" teriak Ji Yan.
Sekonyong-konyong Kui-bo dan Ku Pin loncat keluar dari dalam kabut. Wajah mereka bersenyum seri, seolah-olah tak ada apa-apa.
Melihat itu Ceng Ih girang: "Mereka sudah damai, kita pun tak usah meneruskan rencana kita!"
"Hm, apa kau kira Kui-bo masih dapat hidup? Yan-ji, Hong-ji, ke marilah!" dengan bengis Kui-bo berseru.
Ku Pin memandang Ji Yan dengan sorot mata berarti. Iapun memanggil Lam Tian dan Hui Kun. Ujarnya: "Aku termakan sebuah pukulannya, tak dapat hidup sampai besok pagi. Kalian harus mendengar pesanku."
Bermula Hui Kun mengira kalau mereka hentikan pertempuran. Ia tak nyana kalau mereka ternyata telah menggunakan serangan maut.
"Yah, bilanglah, kami tentu melaksanakan pesanmu," sahut Hui Kun dengan pilu,
"Bagus, begitulah baru seorang anak baik. Kalian dengarkanlah. Tan bopeng telah menodai anakku Yan-ji, sakit hati ini harus dibalas. Tugas ini kuletakkan di atas bahu kalian. Kelak dikemudian hari kalian harus meratakan markas Tin-tik-pang. Begitu, baru aku dapat meram di alam baka."
"Mengapa kau tak suruh cici Yan saja yang melakukan pembalasan?" tanya Hui Kun.
"Ini ada alasannya. Kelak kalian tentu mengerti. Jangan sampai kalian memberitahukan pesanku kepada Yan-ji. Ingat baik-baik."
"Dan apa masih ada lagi?" tanya Hui Kun.
Ku Pin menatap Lam Tian, tertawa: "Sukomu yang kedua ini terhadap Yan-ji.... hal itu tak dapat mengelabui mataku. Kelak kau harus membantu sukomu untuk melaksanakan idam-idamannya. Kecuali itu, toasuko menunggumu di rumah. Dia sudah memohon kepadaku dan aku pun sudah meluluskan. He, he, orang-orang tua melakukan kesalahan, anak keturunannya tak boleh menurut jejak mereka."
Ucapan itu membuat Lam Tian merah padam. Namun hatinya bahagia. Sebaliknya Hui Kun berkerut dahi, sikapnya tawar. Ia suka kepada Lam Tian dan benci pada toasuko Un Tang Bing. Tetapi pesan seorang tua yang diucapkan pada detik-detik kematiannya, tak berani ia membantah.
"It Yap tojin, Ciu Bing dan Tiau Ho Hong adalah golongan ko-jiu. Mayat mereka dikubur di luar daerah Tin-tik. Kalian boleh memindahkan ke lain tempat supaya dikubur baik-baik. It Yap dipindah ke tepi Ang-tik-ou, Ciu Bing dan Ho Hong ke kota raja." kata Ku Pin.
"Kalau begitu It Yap dikubur di samping kuburan mamah?" Hui Kun menggerutu.
"Ini suatu cara menghormat kepada cianpwe ko-jiu. Kalian tak boleh ingkar. Sebenarnya itu termasuk bagianku, sayang karena terus-menerus meyakinkan ilmupedang, aku sampai tak sempat mengerjakan hal itu."
"Yah. apakah kau tak benci pada mereka lagi?" kembali Hui Kun bertanya.
Wajah Ku Pin berobah dan membentaknya: "Kau mau menurut perintah ayah atau tidak? Hm, bilanglah!"
Hui Kun ketakutan dan mengiakan. Tetapi ia tetap heran mengapa ayahnya memesan begitu.
"Urusan partai kita telah kuserahkan pada toasukomu. Kalian harus menurut perintahnya, menjadi orang baik. Jangan meniru perbuatan tak genah dari ayahmu. Dan ingatlah pesanku ini: barangsiapa yang memainkan cinta, tentu akan menerima akibatnya yang tak baik."
Lam Tiam bercucuran airmata. Tiba-tiba Hui Kun bertanya pula: "Yah, apakah hari ini kau tentu binasa?"
Ku Pin mengangguk. "Di mana kan menghendaki dikubur? Di sini atau di Ang-tik-pang?"
Ku Pin tertawa gelak-gelak mendengar pertanyaan puterinya itu. Sahutnya: "Orang seperti diriku ini tiada tempat yang pantas untuk mengubur. Tak usah kau pikirkan hal itu, kami sudah memilih kuburan yang paling tepat."
Ia tertawa seram hingga Lam Tian ngeri dibuatnya. Tiba-tiba Hek-liong-kui-bo muncul sambil memimpin Hong Lu dan Ji Yan. Ia tertawa mengekeh: "Ku Pin, apakah kau sudah menyelesaikan pesanmu?"
"Sudah dan kau bagaimana?"
"Apa yang hendak kupesankan? Ha, ha, aku hanya ingin berpesan sesuatu pada Hui Kun. Hui Kun, mari kemari ikut aku!" lalu ia mendahului masuk ke dalam kabut. Tak lama kemudian tampak Hek-liong-kui-bo sudah berjalan keluar pula sambil menggandeng tangan Hui Kun serta serunya kepada Ku Pin: "Kutinggalkan sebuah warisan berharga, yakni kitab ilmu pukulan Tok-liong-ciang, semoga Yan-ji dan Hong-ji mendapat manfaat besar. Kelak jika bertempur, mereka tentu dapat mengalahkan murid-muridmu Un Tang Bing dan Lau Lam Tian!"
"Jangan omong berlebihan. Anak-anak itu mungkin tak seperti kau dan aku, sekali bertempur sampai dua puluh tahun!"
"Apakah kau yakin akan hal itu? Ha, ha, baiklah, mari kita selesaikan jurus kita yang terakhir!"
Ku Pin terkesiap. Apakah Kui-bo memesan Hong Lu dan Ji Yan supaya menyambung permusuhan Tapi ia tak sempat lagi untuk menyelidiki dan terpaksa bersiap-siap.
Setelah mendengar pesan terakhir dari ibunya, Ji Yan tak mau mencegah pertempuran itu lagi. Dengan berlinang-linang airmata ia tundukkan kepala, pikirannya melayang-layang.
"Ku Pin, sambutilah!" tiba-tiba Kui-bo loncat ke udara dan hantamkan sepasang tangannya kepada Ku Pin.
Ku Pin tertawa gelak-gelak dan berseru: Anak-anakku, selamat tinggal!"
Iapun dorongkan sepasang tangannya menyam buti. Plak, setelah berbenturan, tangan mereka melekat satu sama lain.
"Ku Pin tempo hari aku pernah bersumpah di hadapan isterimu. Jika aku sampai terpikat lagi olehmu, aku akan binasa ditelan ular, tubuhku hancur lehur. Ku Pin, puaskah kau dengan sumpahku itu?"
"Puas, terima kasih. Hian Kwan, mari kita loncat turun!" Ku Pin hendak menyeret tangan Kui-bo diajak terjun ke dalam rawa. Tetapi Kui-bo menariknya kembali.
Mata Kui-bo yang tinggal satu itu memancar mesra, nadanyapun lemah lembut: "Ku Pin, ini ucapanku yang terakhir. Aku benci padamu tetapi juga cinta. Tahukah kau?"
Ku Pin tersenyum: "Sudah tentu aku tahu. Akupun begitu terhadapmu: Aku benci tetapi cinta juga padamu."
"Apakah setelah aku menjadi siluman begini, kau masih tetap mencintai?"
"Sudah barang tentu! Sejak aku berjumpa padamu, cintaku padamu pada saat ini, adalah yang paling mendalam. Hian Kwan, sudahlah, kita telah memilih tempat peristirahatan. Sejak saat ini, takkan ada lagi orang yang berani mengganggu kita. Biarlah kita beristirahat dengan tenang untuk selama-lamanya."
"Bagus, kita takkan berpisah selama-lamanya," seru Kui-bo.
Keduanya sama-sama bergerak. Dua sosok bayangan melayang ke udara. Dengan bergandeng an tangan kedua kekasih itu loncat ke dalam rawa Tok-liong-than....
Hong Lu berlima menjerit. Mereka lari menghampiri tepi rawa dan melongok ke bawah. Di antara kabut beracun yang menutupi dasar rawa, tampak dua sosok tubuh meluncur turun. Dari besar menjadi kecil, kecil menjadi tak kelihatan lagi. Ku Pin dan Hian Kwan sudah mencapai dasar rawa.
Tiba-tiba tampak air bergolak-golak. Seekor naga hitam pentang mulutnya dan cakarnya menari naik turun, lalu lenyaplah bayangan tadi. Tak lama kemudian airpun tenang dan naga itupun menghilang. Yang masih kelihatan hanya busa-busa di permukaan air.
Hanya jerit tangis dari anak-anak muda itu mengantarkan keberangkatan orang tua mereka....
Hong Lu dan Lam Tian menghela napas. Kata Lam Tian: "Dua tokoh ternama telah mengubur diri di perut naga, sungguh membuat orang pilu!"
"Memang mereka mempunyai perjalanan hidup yang berliku-liku. Masing-masing mempunyai dosa, masing-masing mempunyai kebaikan dan akhirnya datanglah saat-saat penyelesaiannya. Yang pria mati untuk wanita, si wanita mati untuk pria. Ah, walaupun hidup mereka berlumuran dosa, tapi pada saat kematiannya mereka telah mengunjukkan keperwiraan, memandang kematian seperti pulang ke rumah. Ini sungguh patut dikenang selama-lamanya," kata Hong Lu.
"Kentut, kentut! Ku Pin dan Hian Kwan memang pantas mati, apanya yang patut dikenang?" tiba-tiba terdengar suara orang mengejek.
Ketika anak-anak muda itu berpaling, kiranya seorang tua entah bilamana datangnya tahu-tahu muncul di tengah kabut. Pakaiannya tak keruan, rambutnya terurai panjang seperti orang yang sudah belasan tahun tak potong rambut. Sepasang matanya berkilat-kilat dan wajahnya mengulum senyum ejek.
"Siapa cianpwe ini? Mengapa datang kemari?" tegur Ji Yan.
"Kalian adalah musuh-musuhku, masakan tak kenal padaku?" sahut orang aneh itu.
Adalah setelah mengawasi dengan teliti, Lam Tian dan Hong Lu segera mengenali orang itu.
"Oh, kiranya paman Kwe Ciang. Ai kiranya kau tak mati?" teriak mereka.
Kwe Ciang tertawa mengejek: "Jika tak menyaksikan kematian Ku Pin dan Hian Kwan yang ngeri, bagaimana aku dapat mati dengan meram? Ha, ha, ha!"
Dan hanya sekejab saja orang tua itu telah menghilang pula di tengah kabut tebal.
TAMAT Vladd Game Over 1 Golok Sakti Karya Chin Yung Terbang Harum Pedang Hujan 3
^