Pencarian

Benci Tapi Rindu 4

Benci Tapi Rindu Cinta Dibawa Mati Karya Sd Liong Bagian 4


Giok Ceng bersuit nyaring dan melayang mundur. Dadanya dirasakan sakti sekali. Kini tahulah dia bahwa anak muda itu masih memberi kemurahan, Tetapi sebagai seorang pemimpin partai, sudah tentu dia tak mau menelan malu karena dikalahkan seorang anak muda saja. Dia tetap hendak mengadu jiwa dengan Lam Tian.
Lam Tian kerutkan alis dan tiba2 menusuk. Giok Ceng berusaha hendak menghindar tetapi kasip. Tiba-2 matanya silau, tusukan Lam Tian itu dirobah menabas keatas untuk mengarah lengan Giok Ceng. Imam itu sudah kenyang pengalaman. Dalam keadaan berbahaya, dia tak gugup. Pedang diturunkan dan "trang...." kedua pedang mereka beradu keras sampai mengeluarkan letikan api.
Lam Tian tidak berhenti sampai disitu saja. Secepat kilat dia luncurkan pedangnya ke bawah untuk memapas pergelangan tangan lawan. Sudah tentu Giok Ceng tak berdaya lagi menghadapi serangan kilat yang datangnya tak terduga-duga itu. Terpaksa dia lepaskan pedangnya untuk menolong pergelangan tangannya.
"Totiang, maaf!" seru Lam Tian.
Pemimpin Bo-san itu pucat wajahnya. Dia berdiri tegak seperti patung. Diam2 Lam Tian membatin, "Imam ini benar2 hebat. Aku terpaksa harus menggunakan dan jurus dari Kim-go-kiam-hwat baru dapat menundukkannya."
Setelah imam Bo-san ito kalah mata majulah Tan Ping ke tengah gelanggang, serunya, "Giok Ceng totiang, bagaimana dengan janji kita?"
Sepasang biji mata Giok Ceng terbalik. Tanpa menghiraukan Tan Ping dia mencabut sebatang badik (Belati) lalu deliki mata pada Lam Tian, "Hari ini aku jatuh ditanganmu, kalau mau bunuh, silakan bunuh!"
Lam Tian memberi hormat kepada imam itu. "Mana aku berani berbuat begitu, totiang. Karena totiang mengalah maka aku beruntung menang Kuharap totiang suka mentaati perjanjian, membuka kembali aliran sungai."
Giok Ceng tertawa rawan, "Bagiku, budi dan dendam itu tentu kuingat selama-lamanya. Benar malam ini aku tak kena apa2 tetapi ketiga suteku terluka berat. Dendam itu tak dapat kulupakan. Lain hari kelak kita akan membuat perhitungan untuk itu."
Habis berkata dia lantas memotong sebuah jari kelingking kirinya dan berseru nyaring, "Lau Lam Tian, dengarkanlah. Kita telah mengikat permusuhan. Lain hari kalau berjumpa, tentu akan seperti jariku ini, jika bukan engkau tentu aku."
Lam Tian tak mengira kalau maksudnya hendak mendamaikan urusan itu malah menimbulkan permusuhan pada orang. Diam2 menyesallah mengapa dia berbuat begitu kelewatan terhadap tokoh macam Giok Ceng.
Dengan menahan kesakitan, Giok Ceng ajak sute-sutenya tinggalkan ruangan itu. Tan Ping lekas2 memburunya, "Tentang urusan sungai...."
"Sudahlah, imam Bo-san bukan bangsa yang mencla-mencle. Orang undanganmu itu sepuluh kali lebih lihay dari engkau, ha, ha....! "
Tan Ping suruh toa-thaubak mengantarkan tetamu itu tapi Giok Ceng menolak. Ucapan terakhir dari Giok Ceng tadi membuat Tan Ping merah padam. Ia mengagumi anak muda itu tetapipun membencinya, la memberi hormat sekedarnya kepada Lam Tian tapi tak mengatakan apa2. Pernyataan terima kasih semacam itu, disambut Lam Ttan dengan diam juga.
"Hai, budak kecil, kalau punya kepandaian, keluarkanlah, jangan main menghindar saja," di sana kedengaran Hui Kun marah2 karena merasa dipermainkan oleh pemuda cantik itu.
"Baik, partai disana sudah selesai. Hebat benar sukomu itu. Dua tiga jurus saja dia sudah dapat mengalahkan musuhnya yang kuat. Kita disinipun harus meramaikan juga," sahut si pemuda cantik.
"Sret, sret, sret...." cepat ia merobah permainan goloknya dan melancarkan tiga kali serangan yang lihay.
Hui Kun tak dapat menangkis dan buru2 mundur seraya memanggil sukonya. Tetapi baru Lam Tian hendak datang menolong, tiba2 Tan Ping sudah meneriaki pemuda cantik itu, "Ceng-ji, berhentilah, jangan berlaku kurang hormat!"
"Uh, tak dapat melawan terus panggil suko-mu suruh membantu, ha, ha, malu ah," pemuda cantik itu mengejek.
"Kurang ajar, akan kuhajar engkau!" Hui Kun berteriak kalap terus putar pedangnya dengan gencar. Ia akan gunakan ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat.
Melihat itu Lam Tian terkejut. Dengan panggilan Ceng-ji tadi, teranglah kalau pemuda itu tentu anak atau keponakan dari Tan Ping.
Tetapi baru dia hendak mencegah, ternyata Hui Kun sudah menyerang dengan jurus Kim-go-hi-pi. Tahu serangan itu lihay sekali, pemuda itu pun buru2 menangkis.
"Sumoay, jangan gunakan serangan itu!" teriak Lam Tian terus loncat ke tengah kedua orang itu. Ia dorong pelahan tubuh Hui Kun. Tapi pada saat itu, karena tak menduga Lam Tian bakal menyela datang, si pemuda sudah tak menarik goloknya. Golok itu menabas lengan Lam Tian.
Pemuda itu terkejut tetapi diluar dugaan Lam Tian secepat kilat sudah menyambar tangkai golok si pemuda. Bukan kepalang kejut Lam Tian, ketika mencekal tangan si pemuda ternyata tangan itu halus dan lunak sekali.
"Setan!" ia membentak dan mendorong pemuda itu sampai tersurut mundur lima langkah.
Pemuda itupun kemerah-merahan mukanya. "Lau toako, aku tak mengganggu engkau mengapa engkau memusuhi aku?" serunya.
Lam Tian memberi hormat, "Siau-ko, walau pun ilmu silatmu tinggi tapi rasanya tak perlu mempermainkan seorang anak perempuan lemah."
Pemuda itu tertawa mengikik, "Dialah yang mengejar-ngejar aku dulu, masa aku yang salah? Sumoaymu itu cantik tetapi sayang kepandaiannya dangkal. Mengapa engkau tak mau mengajar dia supaya di luaran dia tak gampang dihina orang?"
Mendengar dirinya dikatakan mengejar si pemuda itu, marahlah Hui Kun, "Ji-suko, menyingkirlah, biar kuhajar mulutnya!"
"Lau toako, lihatlah, bukankah dia yang melibat aku?" seru si pemuda.
Lam Tian tertegun tak dapat berkata. Tiba2 Tan Ping tertawa gelak2, "Ceng-ji, engkau baru saja pulang dari pesiar sampai beberapa hari lamanya. Burung kakaktuamu itu tentu akan mati kelaparan. Mengapa engkau tak lekas2 memberinya makan?"
"Ah ya, celakalah, hampir lupa aku," si pemuda melengking terus memberi hormat kepada para tetamu lalu masuk ke dalam.
"Masakan seorang lelaki gemar piara burung dan anjing, hmm, tidak malu." Hui Kun masih penasaran dan lampiaskan kemengkalan hatinya.
"Jangan salah paham, nona Ku. Anakku perempuan itu sejak kecil ditinggal mati ibunya. Karena kelewat kumanjakan, sekarang ia menjadi rusak!" kata Tan Ping.
"Apa? Kau katakan ia anak perempuanmu?" tanya Hui Kun dengan kaget.
Lam Tianpun jaga terkesiap.
Tan Ping tertawa, "Biarlah sekalian tetamu mengetahui bahwa puteriku yang bernama Ceng Ih itu benar2 tidak 'ceng' (tenang). Sejak kecil ia ikut aku berkelana di dunia persiltaan. Ia gemar berpakaian cara lelaki dan gemar berkelana juga. Entah sudah berapa kali ia mendatangkan kesulitan2 kepadaku. Ha, ha, ia rusak karena kelewat manjanya."
"Oh, kiranya begitu," kata Lam Tian.
Tan Ping kembali menghaturkan maaf atas kekurang ajaran puterinya tadi. Pada saat itu barulah Hui Kun teringat akan kata-kata Ki Ki yang menyuruh berhati-hati menghedipi puteri Tan Ping, Kini baru ia mengetahui apa yang dimaksudkan oleh kedua bujang itu. Tadi jelas puteri Tan Ping yang bernama Ceng Ih itu menaruh perhatian pada Lam Tian. Diam-diam Hui Kun tak senang hatinya. Memang demikianlah perangai gadis-gadis. Walaupun Hui Kun cinta pada toa-sukonya yang bernama Un Tan Bing, tapi ia suka juga kepada ji-sukonya Lam Tian itu. Ia tak senang kalau ada lain gadis menyukai ji-suko-nya itu.
Untuk menghormat tuan rumah Lam Tian terpaksa memuji puteri tuan rumah yang dikatakan berkepandaian tinggi. Tan Ping hanya ganda tertawa dan mengucapkan kata-kata merendah.
Tiba2 terdengar orang berseru nyaring: "Tan toa-thauleng, urusan kita berdua belum beres, apakah kau lupa?"
Ternyata yang berseru itu adalah Sin Bun-san, ketua Ciat-pak, Memang karena asyik bercakap-cakap dengan Lam Tian, Tan Ping sudah melupakan kelima raksasa Ciat-pak itu. Buru-buru Tan Ping memberi hormat, ujarnya: "Sin-heng, kita adalah orang sendiri, gampang berunding,"
"Memang bagimu gampang karena setelah aliran sungai dibuka, kau segera dapat memelihara su-say-le-hi lagi. Sebaliknya sawah-sawahku tetap kering," seru Sn Bun-san.
"Itu kan mudah. Segera selekasnya pihak Bo-san membuka aliran sungai, akupun segera mengalirkan sungai ke Ciat-pak," sahut Tan Ping.
Kiranya Tan Ping membendung hulu sungai ke Ciat-pak ilu, adalah suatu siasat untuk menekan pihak Bo-san.
"Urusan kita bagaimana dihubungkan dengan pihak Bo-san? Kalau mau membuka lekas buka, kalau tidak pun boleh. Masakan aku disuruh tunggu urusanmu dengan Bo-san sudah selesai. Kalau imam itu mengingkari janjinya, bukanlah kita akan mati hidup-hidupan?" seru Sin Bun-san.
Karena urusan dengan Bo-san sudah selesai tanpa menanggung resiko apa-apa (karena dendam pihak Bo-san itu beralih pada Lam Tian), maka kini Tan Ping merasa bebas. Seketika timbul kecongkakannya: "Sin Bun-san, bicaralah yang sopan. Di sini bukan Ou-ciu!"
Tan Hwat menganggap tak perlu lagi bermusuhan dengan pihak Ciat-pak. Buru-buru ia menyusuli kata-kata dengan ramah: "Toako, Sin taoko, segala apa bisa dirunding dengan cara damai, tak perlu kiranya saling ngotot."
Sin Bun-san tak mau mendengar nasehat Tan Hwat, ia gebrak meja dan berseru nyaring: "Tan Ping, kau kelewat menghina orang. Kau menghendaki bagaimana, silakan mengatakan."
Sebenarnya Tan Ping tak terlalu memandang mata pada pihak Ciat-pak. Melihat orang keras, iapun unjuk kekerasan juga: "Kau bersikap keras, masakan aku tak dapat? Hm, jika menghendaki kubuka sumber air itu, kasihlah selaksa tail mas buat ongkos upacaranya baru nanti kita berunding lagi"
Mendengar itu kelima raksasa Ciat-pak serempak mencabut senjatanya dan loncat ke tengah gelanggang.
"Tan Ping, apakah omonganmu itu sungguh-sungguh?" tanya Sin Bun-san
"Kalau ya. lalu bagaimana? Hm, jika kau dapat menangkan anakku perempuan, kuanggap kau jempol, tak usah melawan ayahnya lagi," sahut Tan Ping.
Karena dihina begitu rupa, Sin Bun-san berkaok-kaok seperti orang gila.
"Nanti dulu, aku hendak omong," raksasa kedua Oh Cun tiba-tiba berseru.
"Bicaralah!" kata Tan Ping.
"Sekarang ada Lau tayhiap sebagai juru pemisah. Baik kita dengarkan pertimbangannya. Jika ia bertindak adil seperti terhadap pihak Bo-san tadi, kita terima. Tapi jika tidak, sekalipun kami berlima harus kehilangan batang kepala, tetap tak mudah dihina orang."
"Ya, silakan Lau tayhiap memberi pertimbangan," seru Sin Bun-san.
Melihat Tan Ping plintat piintut dan menutup aliran sungai orang, Lam Tian segera tak sungkan lagi: "Aku membantu kebenaran bukan membantu orang. Tindakan Tan Toa-thauleng itu, aku tak setuju. Akan membuka aliran sungai atau tidak, harap toa-thauleng menimbang masak2"
"Ku pangcu menyuruh kau datang kemari untuk membantuku atau memberi nasehat? Hm, bilanglah!" seru Tan Ping,
"Setelah musuh besar hilang, kau lalu melupakan budi. Tan Ping, pantaskah kau disebut orang gagah?" Hui Kun yang tak sabar melihat sikap Tan Ping segera campur mulut.
"Sekalipun sukomu tak membantu aku, pun kelima imam itu takkan dapat berbuat apa-apa kepadaku. Hm. jika hujinku turun tangan, gunung Bo-san itu tentu rata dengan tanah," sahut Tan Ping,
"Cici Ho mungkin tak sudi membantu kau," teriak Hui Kun.
Mendengar isterinya dipanggil cici, Tan Ping tak senang. Ia tetap berkeras kepala walaupun berulang kali Lam Tian dan Tan Hwat menasehatinya. Kembali kelima raksasa Gat-pak itu berteriak-teriak menantang berkelahi.
Kali ini Lam Tian tak mau turun tangan. Permusuhannya dengan pihak Bo-san tadi merupakan pelajaran baginya. Ia merenung cari akal. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada Ho Hong Lu yang sejak tadi duduk diam di ujung ruangan. Seketika timbul pikirnya, serunya; "Baiklah, jangan gaduh. Sekarang kita harus minta pertimbangan dari Ho tayhiap."
Lam Tian percaya pemuda gagah itu tentu akan tampil ke muka, siapa tahu tenang-tenang saja Hong Lu menyahut enggan: "Maaf, kedatanganku ke mari bukan untuk berkelahi atau untuk menjadi juru pendamai."Habis berkata ia tampak merenung diri tak menghiraukan ramai-ramai d? tengah gelanggang itu.
"Lalu untuk apa kau datang ke mari?" tanya Tan Ping yang tak begitu kenal pada pemuda itu.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa: "Yah, kau turut saja omongan Lau toako itu, jangan menyalahi orang" Karena itulah Tan Ceng Ih yang kini berganti pakaian perempuan dari kain sulaman kembang. Telinganya memakai anting-anting, rambutnya terurai ke bahu. Benar-benar ia seorang perawan yang cantik.
"Huh, anak perempuan tahu apa? Lekas masuk ke dalam kamar lagi!"
"Yah, bukan aku yang bilang tetapi cici Ji Yan," Ceng lh membantah.
Seketika berobahlah wajah Tan Ping: "Apa? Kapan kau berjumpa padanya?"
"Tadi sore. Cici Ji Yan bilang ada seorang pemuda she Lau datang ke Sik-san hendak mendamaikan perselisihan. Aku disuruh lekas-lekas pulang memberitahu padamu," menerangkan Ceng Ih. Kemudian ia mengatakan lebih lanjut bahwa ayahnya harus menurut pada Lau tayhiap itu, tak boleh membantah. "Kau mau menurut atau tidak, itu terserah padamu"
Ternyata Ceng Ih hanya lebih muda satu dua bulan dari Ji Yan. Mereka baik sekali hubungannya. Karena tak leluasa memanggil 'mama', maka Ceng Ih menyebut cici kepada Ji Yan. Untuk itu Ji Yan tak berkeberatan.
Tan Ping takut kepada Ji Yan, Apa yang dikatakan oleh isterinya, tentu diturutnya. Mendengar pesan yang disampaikan oleh Ceng Ih itu, terpaksa Tan Ping mengiakan: "Baiklah, Tan Hwat, besok pagi kau ajak para anak buah untuk membuka bendungan sungai itu."
Tan Hwat girang mengiakan. Kembali Tan Ping memberi hormat kepada kelima raksasa Ciat-pak: "Sin toako, sekarang urusan kita kan sudah beres."
Sin Bun-san hanya mendengus, tanpa membalas hormat ia dulu ajak sute-sutenya berlalu. Karena hari sudah malam, maka Tan Ping coba mencegahnya dan suruh bermalam di situ, Tapi Sin Bun-san dan kawan-kawan tak mau. Terpaksa ketua Tin-tik-bun itu mengantar sendiri sampai ke pintu.
Diam-diam Lam Tian geli melihat orang yang takut bini itu, Pun Hui Kun juga menahan ketawanya. Pada saat itu Ceng Ih menyuguhkan secawan teh kepada Lam Tian: "Silakan minum, Lau toako. agar semangatmu pulih."
Lam Tian menyambuti tapi ketika ia berpaling dan tampak Hui Kun bermuka asam, buru-buru ia angsurkan teh itu kepada sumoaynya.
"Sumoay, aku tak haus, silakan kau yang minum," ujarnya.
Karena hanya Liam Tian yang disuguhi dan ia dianggap sepi oleh Ceng Ih, Hui Kun tak senang. Ia letakkan cawan teh itu di meja lagi dan berkata: "Aku juga tak haus. Tak usah kita minum."
Ceng Ih tak senang, dengusnya: "Baik, kalau kalian tak mau minum, biar kuberikan kepada ayah saja. Aku memang tak punya siausumoay tapi untung masih punya ayah."
Hui Kun tak mau kalah, segera ia balas mengejek: "Hm, ayahmu itu seorang yang tak tahu budi. Sukoku telah membantunya mengundurkan musuh, sebaliknya ayahmu bukannya berterima kasih melainkan hendak menjepitnya dengan alat press. Nanti kalau pulang dan kuberitahukan kepada ayahku, beliau tentu akan membuat perhitungan pada ayahmu itu."
Mendengar di depan orang banyak ayahnya dihina, Ceng Ih marah dan terus hendak menimpuk Hui Kun dengan cawan teh tadi. Tapi tahu-tahu cawan yang sudah diangkat ke atas itu lenyap dengan tiba-tiba. Sebagai gantinya terdengarlah suara ketawa ringan: "Nona Tan, ayahmu masih di luar mengantar tetamu. Kalau dingin, teh ini tak sedap diminum. Maaf, aku lancang memintanya."
Ceng Ih memuji ketangkasan orang itu. Ketika berpaling ternyata yang merebut cawan tehnya itu adalah Ho Hong Lu si pemuda tampan.
"Aku bernama Ho Hong Lu, salah seorang sahabat ayahmu, Sering kedengar ayahmu mengatakan. ia mempunyai seorang gadis yang cantik dan nakal. Ternyata memang benar. Ilmu silat nona memang hebat, aku kagum sekali," kata Hong Lu sembari menjura.
Bahwa Hoa-tang-hui-hong yang termasyhur itu seorang pemuda yang tampan dan gagah, telah membuat Ceng Ih kesima sehingga lupa membalas hormat. Sesaat kemudian baru ia tersadar dan tersipu-sipu mempersilakan pemuda itu minum. Sekali teguk Hong Lu menghabiskan teh itu. Ia memuji kepandaian si nona menyedu teh yang istimewa. Ceng Ih seorang gadis yang suka dipuji. Ia kegirangan sekali dan tertawanlah hatinya akan gaya pemuda itu. Kemarahannya kepada Hui Kun tadipun lenyap tak berbekas lagi.
Lam Tian diam-diam girang. Kuatir kalau sumoaynya cari urusan lagi, buru-buru ia ajak menyingkir. Tinggal Hong Lu yang terperangkap dalam 'seni minum teh'.
-^dwkz^smhn^- Nenek berbisa-naga Tak berapa berapa lama datanglah Tan Ping. Ia segera suruh menyiapkan perjamuan. Selagi orang sama makan-minum, tiba2 Tan Ping menyeletuk: "Saudara2, maaf dalam perjamuan ini tak ada hiburan suatu apa. Hanya akan kupertunjukkan seseorang pada saudara2."
Ia suruh seorang toa-ihaubak membawa orang yang dimaksudkan itu keluar. Seorang yang diikat badannya segera digusur keluar.
"Ciu ciangkun, perbuatanmu suka memeras rakyat dapat kubiarkan. Tapi bahwasanya kau berani coba2 menyerbu telaga Thay-ou ini, sungguh tak dapat kuberi ampun lagi. Nah, bilanglah, bagaimana kau menghendaki kematianmu?"
Jendral pemerintah Beng itu tundukkan kepala tak menyahut.
Kata Tan Hwat: "Rasanya tak perlu banyak bicara dengan orang semacam dia, lebih baik tabas saja."
"Itu terlalu enak baginya. Saudara2, siauli (anak perempuanku) akan mempertunjukkan sebuah permainan untuk Ciu ciangkun. Jika ada kekurangannya, harap saudara-saudara suka memberi petunjuk," kata Tan Ping.
Ceng Ih cepat mengeluarkan tiga batang hui-to (pisau terbang) yang dijepit di jarinya: "Ho tayhiap. Lau tayhiap, sukalah memberi petunjuk."
Kemudian ia berseru pula: "Ciu ciangkun, hari-hatilah!"
Sekali tangannya mengayun, maka melayanglah ketiga batang hui-to itu ke arah tiga bagian dari tubuh Ciu ciangkun. Jendral itu ngeri sampai tak berani membuka matanya. "Wut, wut", sebuah hui-to menyambar sepasang alisnya sampai kelimis, sedang yang sebatang lagi menyambar kopiah berikut segumpal rambutnya. Timpukannya tepat sekali dan yang istimewa, hanya rambut alis dan kepala yang tercukur tapi kulitnya sama sekali tfidak lecet.
Sementara hui-to yang ketiga meluncur kencang ke tenggorokan jendral itu.
"Kejam sekali," diam2 Hong Lu mengutuk sambil diam2 lepaskan sebuah senjata untuk memukul jatuh hui-to tersebut.
Sejak datang di Tin-tik-pang, baru pertama kali itu Hong Lu mengunjukkan permainan senjatanya. "Trinng..." tepat sekali hui-to yang sudah hampir mengenai tenggorokan sang jendral itu
Semuanya orang yang ada di situ terkejut. Lebih-lebih Ceng Ih. "Apa kau...." teriak nona itu dengan suara tak lampias.
Hong Lu menarik kembali senjatanya. Kiranya itulah sebuah bandringan kecil dari perak yang diikat dengan seutas rantai mas.
"Nona Tan, perlu apa membunuh orang semacam itu? Lebih baik kasih ampunlah!" seru pemuda itu sambil loncat memungut ketiga batang hui-to dan diserahkan kepada Ceng Ih.
Tan Ping memuji kepandaian Hong Lu, kemudian berkata, "Ciu ciangkun, apakah kelak kau masih berani mengadu biru ke telaga ini?"
Dalam saat seperti itu, hilanglah keangkeran jendral itu. Dengan suara gemetar ia berjanji tak berani melakukan lagi. Tan Ping pun segera suruh orangnya untuk melepaskan jendral itu dan memberinya sebuah perahu kecil untuk pulang.
Perjamuan itu tengah malam baru berakhir. Ketika Lam Tian masih gulak-gulik di pembaringannya, tiba2 kedengaran jendela kamarnya diketuk orang.
Cepat ia membuka jendela dan ternyata Tan Ceng Ih yang di luar itu.
"Aku tak dapat tidur, apakah kau suka menemani omong-omong?" sahut nona itu atas pertanyakan Lam Tian.
"Silakan masuklah!" kata Lam Tian.
Ceng Ih tak mau dan mengajaknya berjalan-jalan. Karena belum ngantuk, Lam Tian menurutinya. Ternyata Ceng Ih telah membawanya ke sebuah telaga kecil yang di tengahnya terdapat gunung-gunungan buatan, dikelilingi oleh pohun yang-liu. Dari pantai ke gunung-gunungan itu jaraknya kira2 lima enam tombak. Tanpa menyeberang dengan perahu, tak mungkin dapat mencapai kesana. Kesanalah Ceng Ih mengajak, tapi Lam Tian menolak karena tak dapat menyeberang.
"Lihatlah!" serta memungut tiga potong papan dari bawah pohon. Indah sakali cara ia melemparkan ke tengah telaga sehingga papan2 itu satu sama lain jaraknya dua tombak. Kemudian nona itu loncat ke papan kesatu, kedua, ketiga dan terus ke gunung-gunungan.
"Ilmu ginkang nona sungguh hebat," seru Lam Tian memuji sambil meniru contoh Ceng Ih.
"Nona Tan, maafkan, kulihat kepandaianmu lebih tinggi dari ayahmu, entah siapakah gurumu?" tanya Lam Tian setelah mereka duduk..
"Ketahuilah, guruku bukan lain adalah cici Ji Yan sendiri. Kupanggil cici tapi sabenarnya ia adalah ih-thay-thay (gundik) ayahku. Kepandaiannya tinggi, orangnya cantik...."
"Oh, kiranya dia," tukas Lam Tian
"Apa? Kau kenal juga padanya?" seru Ceng Ih keheranan:
Dengan singkat Lam Tian menceritakan perkenalannya. Habis mendengar berkatalah Ceng Ih: "Kau harus berterima kasih kepadaku karena aku telah membantumu."
"Membantu apa?" tanya Lam Tian.
"Masakan kau lupa akan urusan tadi ketika kau menghadapi perselisihan antara ayah dengan orang Ciat-pak? Jika tak kukatakan cici Ji Yan yang menyuruh, masakan ayah mau mundur?"
Kini Lam Tian baru tahu kalau sebenarnya nona itu tadi membohongi ayahnya. Lebih lanjut nona itu menerangkan bahwa sudah hampir tiga bulan ini ia tak berjumpa dengan Ji Yan. Setiap ada persoalan dengan ayahnya, asal menyebut nama Ji Yan, tentulah ia dapat menggertak ayahnya.
"Mengapa ayahmu begitu takut padanya?" tanya Lam Tian.
"Katanya dulu ayah pernah menyalahi padanya maka sampai sekarang ia tetap takut. Tapi salah dalam hal apa, akupun tak jelas. Ah, perlu apa mengomongkan mereka, lekas kau haturkan terima kasih kepadaku saja," kata Ceng Ih.
Walaupun dalam hati merasa heran mengapa seorang nona cantik semacam Ji Yan menikah dengan Tan Ping yang bopeng, namun ia anggap kata-kata Ceng Ih tadi memang benar.
"Kau suruh aku berterima kasih cara bagaimana? Suruh masuk ke dalam air atau ke dalam api?"
Ceng Ih tertawa: "Siapa suruh kau masuk ke dalam api? Kau sudah punya pacar belum?"
Mendengar itu Lam Tian merah telinganya. Ia tundukkan kepala tak menyahut.
"Sudah punya belum?" kembali nona itu mengulangi pertanyaannya.
Lam Tian tak mengira sama sekali kalau seorang nona berani bertanya begitu. Terpaksa ia gelengkan kepala dan mengatakan belum.
"Bagus, kalau begitu ciumlah aku" serunya sambil sodorkan mukanya.
"Apa-apaan ini?" teriak Lam Tian.
"Hm, kau seorang lelaki tinggi besar dan gagah, mengapa mencium seorang anak perempuan saja mesti ketakutan apalagi disuruh masuk ke daiam api. ha. Ha. tolol, anggap saja kau mencium adikmu sendiri. Ya. memang kaum lelaki pikirannya kotor, hatinya tidak lapang," Ceng Ih menertawakannya.
Merah muka Lam Tian dibuatnya, Kalau seorang anak perempuan begitu bebas, masakan ia tak berani. Dan iapun menciumnya.
"Bagus, begitulah! Lau toako, mari kita berjanji. Setiap kali aku membantumu, kau harus mencium aku. Jika kau yang membantu, akupun akan menciummu."
Lam Tian mengiakan dan tertawalah Ceng Ih. Tiba-tiba ia mengeluarkan sebuah kantong berwarna merah, katanya: "Lau toako, baguskah ini?"
"Apa itu? Siapa yang memberimu?"
"Siapa suruh Ho Hong Lu itu mengganggu hui-toku. Sekarang ia harus kehilangan muka karena kuserobot kantongnya. Coba saja lihat besok pagi kalau kukembalikan barang ini, ia malu tidak," kata Ceng Ih dengan geram.
"Tapi kau sendiri memang kelewatan, Ia sebenarnya bermaksud baik kepadamu. Kita kaum persilatan tak boleh sembarangan membunuh orang".
"Mana kau tahu. Hui-toku itu ada dua macam. Yang satu tajam, gunanya untuk mengundurkan musuh, yang satu tumpul, hanya untuk menggertak orang saja. Yang kutimpukkan ke arah tenggorokan pembesar tadi adalah yang jenis kedua. Kalau ia ketakutan terkencing-kencing, kan lucu sekali. Masakan Hoa-tang-hui-hong itu berani mengganggu permainanku, hm...."
Kini baru Lam Tian tahu. Diam-diam ia puji kelapangan dada nona itu. "Ai, kantong ini disulam dengan gambar naga hitam. Sulamannya bagus sekali, tentu buatan anak perempuan. Entah dari mana Ho Hong Lu memperolehnya," kata Ceng Ih.
Lam Tian minta pinjam untuk melihatnya. Ketika memijat, ternyata di dalam kantong itu seperti berisi sesuatu. Timbul seketika pikirannya, untuk melihat benda itu, tapi pada lain saat terkilas dalam hati kalau hal itu tak patut.
Tiba-tiba di pinggir telaga tampak sebuah bayangan orang. Buru-buru Lan Tian berbisik: "Hai, ada orang datang, siapakah dia?"
"Ho Hong Lu, entah mengapa dia datang ke mari," sahut Ceng Ih.
"Tentu hendak mencari kantongnya ini. Tak usah menunjukkan kepadanya," kata Lam Tian.
Ceng Ih mengiakan. Ia lalu mengajak pemuda itu bersembunyi di balik sebuah batu.
Hong Lu tampak mondar mandir di tepi telaga, setempo ia kedengaran menghela napas. Dalam kesempatan itu Lam Tian diam-diam merogoh ke dalam kantong dan berhasillah ia menemukan segulung kertas merang. Buru-buru ia menutup kantong itu lagi dan mengembalikan kepada Ceng Ih. Ia tahu bahwa perbuatan itu memang tak layak, tapi demi untuk memecahkan selubung diri Hong Lu yang serba misterius itu, terpaksa ia melakukannya juga.
"Celaka ia datang ke mari," tiba-tiba Lam Tian berseru pelahan demi dilihatnya Hong Lu berloncatan di atas ketiga keping papan tadi.
Ya, kalau pemuda itu sampai menanyakan perihal kantong kepada Ceng Ih, tentulah perbuatan Lam Tian akan terbuka.
Dalam saat-saat yang kritik, memang sering menimbulkan pikiran yang baru. Sekonyong-konyong Lam Tian memeluk Ceng Ih dan merayunya nyaring-nyaring: "Adikku manis, mari kucium lagi."
"Cup...." ia mencium pipi nona itu.
Sudah tentu Ceng Ih kaget dan cepat-cepat menolaknya: "Hai, apa-apaan kau ini!"
Saat itu baru saja Hong Lu injakkan kakinya digunungan palsu. Demi mendengar ada sepasang pria wanita tengah bercumbu-cumbuan, ia tak mau mengganggu dan terus balik berloncatan di atas papan. Dan begitu mencapai pantai telaga iapun terus ngacir pergi.
Lam Tianpun segera lepaskan pelukannya dan menghaturkan maaf. Tetapi Ceng Ih mengambul: "Kau seorang rendah akhlak, aku tak mau bermain dengan kau lagi.
Lam Tian hendak menjelaskan tapi nona itu sudah berloncatan lagi ke pantai telaga. Apa boleh buat Lam Tianpun terpaksa pulang ke kamarnya.
Baru ia nyalakan lampu dan hendak menuju ke tempat tidur, tiba-tiba dari belakang terdengar suara orang: "Lau-heng, sudah lama kutunggumu di sini."
Lam Tian terkesiap dan berpaling. Kiranya Ho Hong Lu sudah duduk di atas sebuah kursi dalam kamarnya situ. Lam Tian tercengang.
"Maaf, karena tak tahu kalau Lau-heng ada hubungan dengan Tan-toathau, maka aku sampai lancang," kata Hong Lu pula.
Lam Tian merah mukanya "Apakah kedatangan Ho-heng ke mari untuk urusan ini?"
"Mengapa Lau-heng sibuk hendak mengambil pedang? Tolong tanya hendak digunakan kepada siapa?"
"Sudah tentu kepadamu!"
Hong Lu tertawa: "Tantangan kita itu baru berlaku besok siang, perlu apa terburu-buru sekarang?"
"Aku ingin bertanya. Pertama, mengapa kau diam-diam masuk kemari? Kedua, mengapa kau memusuhi aku?" tanya Lam Tian.
"Kedua-duanya itu mempunyai hubungan, Masukku kemari ini karena hendak mencari sesuatu barang. Dan ini ada sangkut pautnya dengan pertanyaanmu yang kedua itu. Lau-heng, karena kau sudah menjamah kantongku itu tentulah kau sudah mengerti tentang hal yang kedua itu. mengapa kau perlu bertanya lagi?" sahut Hong Lu.
Lam Tian mengerling ke sekeliling kamarnya. Memang barang-barang di situ morat marit, tentu Hong Lu yang menggeledahnya untuk mencari kantong itu. Lam Tian ambil keputusan hendak mengetahui apa isi gulungan kertas itu karena ia anggap Hong Lu itu seorang yang plintat plintut, maka ia pun pura-pura tak mengerti: "Kantong? Aku tak tahu sama sekali tentang kantong apa yang Ho-heng maksudkan itu. Harap Ho-heng kembali ke kamar sendiri, aku hendak beristirahat. Besok pagi kita berjumpa lagi dalam pertempuran."
Kening Hong Lu tampak mengerut, tapi pada lain saat ia tertawa dan minta diri. Begitu didengarnya Lam Tian menutup pintu kamarnya, iapun segera loncat ke atas genteng dan lari pergi.
Di dalam kamarnya Lam Tian segera membuka gulungan kertas itu. Kertasnya berwarna biru dan terdapat lukisan sebuah kait perak dan tulisannya berbunyi demikian:
"Diberitahukan kepada puteraku Hong Lu. Kini Ku Pin mengutus muridnya Lim Tian dan puterinya Ku Hui Kun ke telaga Thay-ou untuk menyelesaikan permusuhan kaum Tin-tik-bun. Ku Pin tak termaksud baik. Bertahun tahun ia menciptakan ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat, selain mempunyai cita-cita untuk menjagoi dunia persilatan pun yang terutama diperuntukkan menghadapi aku. Dia menyuruh anak muridnya ke daerah selatan ini sama sekali bukan terbit dari tugas mulia kaum persilatan, melainkan hendak memata-matai jejak ibumu ini. Baiklah aku turutkan siasatnya itu dengan cara begini: Pergilah ke Tin-tik-bun, usahakanlah supaya Lam Tian mau mengeluarkan ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat dan perhatikan ilmu pedang itu. Aku percaya dengan kepandaian yang kuturunkan kepadamu, kau tentu dapat melaksanakan pesanku ini. Budak Lam Tian itu cukup lihay, jangan sekali-kali kau membanggakan dirimu dan sebagainya. Tertanda: Ibu Wan Si.
Selesai membaca, Lam Tian terbeliak. Kini tahulah apa sebabnya Hong Lu menantangnya berkelahi. Teringat pula ia kepada He Ji Yan yang dengan berbagai cara hendak memaksanya agar mengeluarkan ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat. Rupanya nona itu juga mempunyai tugas serupa dengan Hong Lu. Pun surat hari yang diterima Ho Ji Yan itu juga bertanda tangan. Ibu Wan Si. Kalau begitu Ho Ji Yan dengan Ho Hong Lo itu tentu bersaudara. Tapi mengapa Tan Ping tak kenal dengan pemuda Hong Lu itu? Adakah secara kebetulan kalau ibu Ji Yan dan ibu Hong Lu itu sama-sama orang she Wan?
Berbicara tentang saudara, rasanya Hui Kun itu lebih pantas menjadi saudara Ji Yan daripada Hong Lu. Demikian pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam benak Lam Tian. Kini ia hanya mengetahui akan suatu hal yani bahwa yang dikatakan suhunya sebagai wanita yang berhati kejam itu bukan lain yalah ibu Wan dari Hong Lu. Suhunya menciptakan ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat adalah untuk menghadapi wanita itu.
"Ah, peduli apa dengan hubungan mereka. Yang terang, karena Hong Lu hendak memakan aku mengeluarkan ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat, aku tak nanti mau ditipunya," akhirnya ia mengambil kesimpulan.
Tiba-tiba ia teringat akan Hui Kun. Ia percaya sumoaynya itu tentu jelas akan persoalan yang dihadapinya. Ia pasti tahu bahwa ayahnya menciptakan ilmu pedang Kim-go-kiam hwat adalah untuk menghadapi wanita itu.
Maka pada saat itu juga Lam Tian menemui Hui Kun, ia berikan surat itu kepada sumoaynya untuk dibaca.
Alangkah kejut Hui Kun demi membaca surat itu, serunya: "Suko, dari mana kau memperoleh surat ini?"
"St, bacalah dulu sampai selesai baru nanti kita berunding lagi," sahut Lam Tian.
Habis membaca, berkatalah Hui Kun: "Sekarang makin jelas bagaimana sikap wanita she Wan itu kepada kita. Ia begitu membenci ayah maka tak heran kalau ayah mengatakan ia seorang wanita yang paling ganas."
"Coba kau ingat apakah hurufnya sama dengan surat yang diterima Ji Yan tempo hari itu," kata Lam Tian.
Hui Kun gelengkan kepala tak ingat karena ia tak dapat melihat dengan jelas surat Ji Yan itu. Lam Tian kecewa, disimpannya lagi surat itu lalu menuturkan pengalamannya. Sudah tentu hal-hal yang dapat menimbulkan kemarahan sang sumoay tentang dirinya dengan Ceng Ih itu, tak diceritakan.
"Ji-suko, menurut pendapatmu bagaimana kita harus bertindak?" tanya Hui Kun selang beberapa saat kemudian.
"Karena tugas yang diberikan suhu sudah selesai, maka apakah tidak lebih baik kalau kita lekas-lakas pulang saja? Tentang janjiku mengadakan pertempuran dengau Ho Hong Lu besok pagi, janganlah dianggap lagi. Ini bukan berarti bahwa aku takut kepadanya, tetapi demi menjaga jangan sampai bocornya ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat sebelum dipergunakan pada saatnya yang tepat. Kita tahu apa maksud Ho Hong Lu menantang bertempur dengan aku. Tak lain ialah untuk memaksa aku memainkan ilmu pedang Kim-go-kiam kwat, sehingga dia dapat menyelidiki kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam Kim-go-kiam-hwat itu," kata Lam Tian.
Setelah berpikir beberapa jenak, akhirnya Hui Kun menyetujui pendapat sukonya itu.
Demikian Lam Tian segera balik kembali ke kamarnya sendiri untuk tidur.
Hanya setengah jam Lam Tian tidur, ternyata hari sudah terang tanah.
Seorang thaubak mengetuk pintu kamarnya. Lam Tian bergegas turun dari tempat tidurnya kemudian membukakan pintu.
Demi mengetahui bahwa yang mengetuk pintu itu tadi seorang thaubak, Lam Tian meminta supaya diantarkan ke tempat toathauleng Tan Ping.
Tan-thaubak itu gelengkan kepala: "Saat ini toa-thauleng sedang berlatih, tiada seorangpun yang diperbolehkan menemuinya."
Lam Tian hendak pergi ke sana sendiri tapi dicegah oleh si thaubak yang mengatakan lebih baik pemuda itu menunggu dulu saja. Begitu sudah selesai latihannya, thaubak itu segera akan memberitahukan kepada toa-thauleng. Diam-diam Lam Tian geli melihat tingkah laku Tan Ping yang begitu tegas memberi peraturan.
Setengah jam kemudian, Hui Kun datang dan bersamaan waktu Tan Ping pun juga muncul.
Kepada pemimpin Tin-tik-bun itu Lam Tian minta pamit hendak pulang. Ia minta supaya tuan rumah bersedia memberi sebuah perahu.
"Lau-heng, aneh sekali ini. Semalam Ho tayhiap itupun juga minta pamit. Dan sekarang Lau-heng. Ada apakah ini? Lalu bagaimana dengan tantangan kalian kemarin itu. Apakah ada perobahan tanggalnya?" tanya Tan Ping agak heran.
Lam Tan terkesiap demi mendengar berita bahwa Ho Hong Lu telah meninggalkan tempat itu lebih dulu Pada lain saat ia segera menerangkan: "Aku sebenarnya tak mempunyai sesuatu dendam permusuhan dengan Ho tayhiap. Persoalan di sini telah selesai, maka aku harus lekas-lekas pulang untuk memberi laporan kepada suhu."
Tan Ping mengangguk dan tiada alasan lagi baginya untuk menahan tetamunya. Ia segera suruhan orangnya untuk menyediakan sebuah perahu layar,
Demikianlah singkatnya, kedua anak muda itu sudah berada dalam perahu yang membawanya pulang....
-^dwkz^smhn^- Pulau aneh "Suko, dari Sik-san pulang ke rumah toh kita dapat mengambil jalan daratan, mengapa kau ambil jalan air?" tanya Hui Kun.
Diam2 Lam Tian memuji ketelitian sumoay-nya itu tapi ia membantah dugaan sang sumoay kalau ia sengaja mengambil jalan air agar dapat berjumpa dengan Ho Ji Yan. Ia menjelaskan mengapa ia mengambl jalan air itu bahwa sebenarnya ia bermaksud hendak membikin beres perhitungan dengan kaum Ciau.
"Oh, kiranya begitu. Ya, kuingat sekarang. Ciau Han Ciang pernah mengatakan bahwa keluarganya adalah musuh bebuyutan dari ayahku. Memang kita harus ke sana untuk membasmi Ciau Toa-to itu," kata Hui Kun.
"Ya, sekurang-kurangnya kita dapat mengetahui apa sebab suhu mengikat permusuhan dengan mereka," sahut Lam Tian.
"Memang musuh2 ayah itu banyak sekali. Wanita she Wan, Tan Ping Ho Hong Lu dan lain-lain. Bahkan apabila menyebut nama ayah, Ho Ji Yan pun tentu menggigit giginya. Tentu kau masih ingat pada malam itu Ji Yan pernah berkata bahwa jika berjumpa dengan ayah, ia tentu akan membunuhnya. Ia memaki ayah sebagai seorang kociu nomor satu tapipun sebagai seorang pengrusak wanita nomor satu. Mungkin hal itu ada benarnya."
"Hus, sumoay, jangan memaki suhu di belakangnya!" Lam Tian membentaknya.
Hui Kun kemerah-merahan mukanya. Ia merasa telah kelepasan omong. Tapi memang dalam batinnya ia mulai menaruh persangkaan kepada diri ayahnya,
Perahu meluncur dengan lajunya. Entah sudah berapa jumlah pulau2 kecil yang dilaluinya. Memang apa yang disohorkan bahwa telaga Thay-ou kaya dengan pulau itu, nyata adanya. Habis melalui sebuah, di depan sudah ada lagi sebuah. Saat itu angin dari tenggara meniup kencang. Untung kedua tukang perahu yang mengantar Lam Tian itu cekatan sekali. Walaupun menyongsong angin, perahu tetap laju.
"Eh, tukang perahu, berapa lama lagi kita dapat tiba di So-Ciu?" tanya Lam Tian.
Tukang perahu yang duduki di buritan tertawa mengejek: "So-ciu?" Tapi kawannya yang berada di haluan perahu deliki mata kepadanya dan buru2 menyahut: "Lau tayhiap, karena menempuh angin, terpaksa kita harus menggunakan waktu sehari semalam."
"Jadi besok pagi baru tiba di sana?" menegas Lam Tian.
Tukang perahu itu mengangguk: "Benar, tetapi mengapa Lau tayhiap buru2, bukankah lebih baik kalau berputar-putar menikmati pemandangan alam Thay-ou yang indah dahulu?"
"Makan waktu berapa lama, ya?" tanya Lam Tian.
"Thay-ou yang luasnya tigapuluh enamribu ceng (satu ceng: 100 bau), paling sedikit sepuluhan hari, paling lama setengah tahun, baru dapat komplit betul," sahut si tukang perahu.
Mendengar itu Lam Tian mengatakan tak usah pesiar saja dan hendak lekas-lekas menuju So-ciu.
"Terserah pada Lau tayhiap. Hanya nanti malam kita singgah di Say-cu-lim, sebuah pulau indah yang tak boleh dilewatkan. Lau tayhiap dan nona Ku tak boleh melewatkan kesempatan itu," bujuk si tukang perahu.
"Kalau harus singgah, kan besok malam baru tiba di Sociu?" tanya Lam Tian.
"Hanya setengah jam saja. Tayhiap berdua naik ke daratan dan kami berisirahat di perahu," kata si tukang perahu.
"Tak perlu. Kalau kalian cape, boleh beristirahat," kata Lam Tian.
Tukang perahu itu agak kecewa, katanya kepada sang kawan, "Lo-cit, mana orangnya kalau lewat di Say-cu-lim tak singgah bermain-main?"
"Mengapa kau memaksa orang yang tak suka?" balas kawannya.
Begitulah mereka mendayung lagi. Menjelang malam, mereka memutar haluan menuju ke sebuah gundukan pulau kecil. Mungkin itu yang dinamakan pulau Say-cu-lim (hutan singa). Benar juga mereka singgah disitu. Si tukang perahu mulai menanak nasi.
Si Lo-cit itu tertawa dingin, "Bulan yang lalu aku mendapat perintah dari toa-thauleng mengantar seorang tetamu ke Sociu. Waktu lewat di sini sudah tengah malam. Tetapi tetamu itu memaksa aku singgah di Say-cu-lim sini. Aku tak mau tapi ia lalu memberi segenggam uang perak dan menghendaki singgah sebentar saja."
"Kalau begitu kau kaya, ha, ha, sayang seumur hidup aku tak pernah mengenyam rejeki begitu. Sebaliknya aku yang membujuk tapi orang tak menggubrisnya," sahut si tukang perahu.
"Melihat tumpukan benda kuning dan perak itu sudah tentu aku menurut. Dengan langkah lebar ia lalu naik ke daratan, setengah jam kemudian baru kembali...."
"Ah, kau benar-benar beruntung sekali:" tukas si tukang perahu.
"Sudah tentu. Ku tegur dia mengapa begitu lama baru kembali, belum habis aku bicara ia sudah lantas lemparkan setumpuk benda kuning emas. Dia bilang setelah pesiar di pulau Say-cu-lim yang mempunyai sembilan tikungan dan tiga-belas lekukan, matipun puas."
Demikian kedua tukang perahu itu saling bertanya jawab dengan diseling gelak tawa. Kesemuanya itu terang ditujukan untuk mangili hati Lam Tian. Lam Tian marah dan tetap tak mau ke sana. Dirogohnya sekeping uang emas dan dilemparkan ke geladak, serunya: "Hai. bung, aku lapar, cukupkah uang emas itu untuk dua mangkuk nasi?"
"Lau tayhiap, rupanya kau marah, aku bukannya menyindir kau," sahut si tukang perahu.
"Lau tayhiap adalah bintang penolong dari kaum kami, mana kami berani terima uang tayhiap. Nasi ini nanti boleh kau ambil semua, hanya maaf sayurnya tidak enak," kata si tukang perahu yang satunya.
Mendengar itu Lam Tian agak reda kamarahannya. Ia memandang ke sekeliling penjuru dan tiba-tiba matanya menuju ke arah Say-cu-lim. Kembali kedua tukang perahu itu memuji-muji tentang keindahan alam pulau itu. Pulau itu mempunyai banyak tikungan, barang siapa masuk tentu kesasar. Hanya orang yang berilmu tinggi dapat keluar lagi. Kalau hanya jago biasa saja, tentu tak mampu.
Mendengar itu diam-diam Lam Tian tergerak hatinya. Malah Hui Kun sudah lantas menyelutuk: "Bisa masuk tak bisa keluar, ha, ha, mereka tentu mati. Aku tak percaya!"
"Tapi ada caranya supaya tidak mati!" kata si Lo-cit.
Atas pertanyaan Hui Kun, orang itu menerangkan bahwa orang yang hendak ke sana harus membawa tali. Ujung tali diikat pada pohon di pantai, sisanya sambil berjalan terus diulur. "Sembilan kali tigabelas tikungan atau sama dengan harus membelok seratus tujuhbelas lekukan, mana orangnya yang tak puyeng? Hanya dengan menurutkan tali yang direntang itu barulah ia dapat kembali ke pantai lagi." kata Lo-cit.
"Benarkah itu?" serentak Hui Kun berbangku dan memandang ke arah pulau, tapi ia tak melihat tikungan-tikungan itu.
"Kalau nona tak percaya, silakan mencobanya. Turunlah ke daratan dan naik ke batu karang besar, tentu akan melihatnya."
"Baik," seru Hui Kun sambil terus hendak loncat turun.
Lo-cit buru-buru mencegahnya: "Nanti dulu, boleh melihat tetapi jangan sekali-kali masuki ke tikungan-tikungan itu!"
Hui Hun mendengus dan Lo-cit buru-buru menerangkan lagi: "Sungguh mati, selamanya belum pernah ada orang yang masuk ke pulau itu tanpa membawa tali. Selama aku di sini, hanya pernah melihat seorang jago lihay yang dapat keluar masuk ke pulau itu dengan bebas. Bukan aku memandang remeh, tapi bagai untuk keselamatan nona, lebih baik meminta gulungan tali saja."
Dan malah tukang perahu satunya segera memberikan segulung tali kepada Hui Kun: "Apa yang dikatakan Lo-cit itu memang benar, lebih baik nona membedal tali ini."
Hui Kun menolaknya: "Siapa sudi kau ajari?"
"Wut", ia sudah melayang dua tombak dan berdiri di atas sebuah batu karang besar.
Lo-cit gelagapan: "Lau tayhiap, bagaimana kepandaian nona Ku itu? Kalau sampat kena apa-apa, kamilah yang akan dihukum toa-thauleng...."
"Biarlah." sahut Lam Tian. mengambil gulungan tali, katanya: "Kalian tunggu di sisi,"
Girang hati Lo-cit bukan kepalang. Ia menyatakan bersedia menunggu di situ untuk menyiapkan hidangan malam.
Cepat Lam Tian sudah dapat menyusul Hui Kun. Sambil menunjuk ke muka, Hui Kun mengatakan bahwa keadaan pulau itu memang seram tampaknya. Kabut membungkus tebal hingga bagaimana yang dikatakan tikungan-tikungan itu tak kelihatan sama sekali. Yang kelihatan hanya beberapa batang pohon siong tua yang akarnya melingkar-lingkar. Melihat itu bukan saja Hui Kun, Lam Tian sendiripun tergerak hatinya. Mereka berjalan maju.
Baru balasan langkah tiba-tiba Hui Kun berteriak. "Ada apa?" tanya Lam Tian.
"Ji-suko, lebih baik kita ikatkan ujung tali itu pada pohon dulu," kata Hui Kun.
Lam Tian menurut. Sambil berjalan, mereka mengulur tali.
Diam-diam Hui Kun merasa seram maka ia selalu merapat di samping sukonya. Makin kedalam makin tebal kabutnya sehingga tak kelihatan apa-apa Jagi.
Tiba2 terdengar suitan aneh yang berkumandang sampai ke lembah.
Hui Kun makin mengkirik dan menanyakan pada sukonya.
"Jangan takut, itu tentu suara bangsa kera," sahut Lam Tian.
Serangkum angin meniup, membuyarkan beberapa gumpal kabut. Dari buyaran awan itu mereka tahu bahwa di sebelah muka adalah sebuah karang curam, di bawahnya terdapat sebuah hutan bunga yang beraneka warna dan aneh bentuknya. Entah bunga apa itu tapi baunya wangi sekali. Sekejab kemudian kabutpun kembali merapat dan mereka tak dapat melihat apa-apa lagi.
"Kita naik ke karang itu atau tidak?" tanya Hui Kun.


Benci Tapi Rindu Cinta Dibawa Mati Karya Sd Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Coba saja apakah tali ini cukup panjangnya," sahut Lam Tian.
Ternyata ia baru menggunakan sepertiga bagian dan mereka sudah menempuh dua ratusan tombak jauhnya. Mereka berjalan dengan hati2 sekali dan tahu2 sudah tiba di bawah karang itu. Menyusur jalanan di samping karang itu mereka terhadang oleh sebuah jurang yang dalam sekali. Kurang sedikit hampir saja Lam Tian tergelincir, untung ia tangkas sekali da pat memegang sebuah batu.
"Suko, kau tak apa2 bukan?" tanya Hui Kun.
"Beginilah jadinya kalau selalu menuruti kau," sahut Lam Tian.
Mengetahui sang suko agak marah, Hui Kun menyesal juga dan mengajaknya balik. Tapi begitu mereka tiba di pantai, kejutnya bukan kepalang. Perahu tadi sudah menghilang.
Lam Tian mengeluh. "Tuh lihatlah, mereka meluncur di sana!" seru Hui Kun sambil menunjuk ke tengah telaga.
"Hai, mengapa kau tinggalkan aku?" Lam Tian berteriak keras.
Namun tukang perahu tinggal diam saja. Pada lain saat malah kedengaran mereka tertawa gelak-gelak.
"Celaka, kita termakan tipu mereka," kata Lam Tian.
Hui Hun mengajak sukonya berenang menyusul, tapi Lam Tian menjawab tak mungkin. Ia mengomeli sang sumoay yang dikatakan selalu ingin menunjukkan kesombongan saja.
Karena bersalah, Hui Kun diam saja dan ketika ingat bahwa mereka tertinggal di sebuah pulau kosong yang menyeramkan. Hui Kun menitikkan dua tetes airmata dan sesenggukan.
Melihat itu Lam Tian kasihan juga: "Sudahlah sumoay, jangan takut, ada aku di sini. Segala apa dapat diusahakan."
"Usaha apa lagi? Hu, hu, Tan Ping memang bangsat berani melempar kita ke mari. Tanpa beras tanpa apa-apa, bukankah kita akan mati?" Hui Kun menyumpah panjang pendek.
Lam Tian menghiburnya, Tiba-tiba ia mendapat akal: "Jangan kuatir, besok pagi kita tebang pohon untuk membuat rakit. Kalau dulu Tat Mo dapat menyeberang sungai dengan sebatang alang-alang, masakan kita tak dapat melintasi telaga ini dengan rakit."
"Mudah saja kau bilang, tapi apakah kau dapat berlayar?" tanya Hui Kun.
"Tidak bisa pun harus bisa. Mudah-mudahan dapat berjumpa dengan perahu kaum Tin-tik bun, akan kuhajar mereka dan kupenggal leher Tan Ping," kata Lam Tian dengan geramnya.
Hui Kun gembira atas pernyataan sukonya itu. Ia ajak sukonya bercakap-cakap menanti datangnya fajar. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara tertawa mengekeh yang aneh sekali. Lam Tian loncat dan memandang kesekeliling penjuru, tapi tak melihat barang sebuah bayangan apa-apa.
Waktu ia menanyakan kepada sang sumoay nona itu tertawa girang, "Bagus, ada orang di pulau ini, kita ketolongan," Ia terus hendak mencari ke arah datangnya suara itu tapi cepat Lam Tian mencegahnya.
Kembali terdengar suara tertawa aneh itu, bahkan lebih keras lagi. Seram sekali nadanya hingga Lam Tian dan Hui Kun sampai bergidik. Hui Kun menjerit ketakutan dan Lam Tianpun menghiburnya: "Jangan takut, besok pagi aku akan masuk ke sana mencari makhluk aneh itu."
Melihat ketabahan hati sukonya itu rasa takut Hui Kun berangsur-angsur mereda. Setelah hatinya kembali tenang, rasa kantuknya tiba....
-^dwkz^smhn^- Jilid 06 KENALKAN Kecantikan memang idam-idaman dari setiap wanita. Menjadi kebanggaan hidup wanita. Tiada hal yang membuat marah dan menyakiti hati seorang wanita dari kata-kata yang mengatakan 'engkau tidak cantik, engkau jelek'.
Tetapi kebalikannya Wan Hian Kwan, ratu kembang dari kota So-ciu yang secantik bidadari turun di dunia, malah merusakkan wajahnya sendiri dan menjadi Hek-liong-kui-bo atau Nenek-iblis-naga hitam.
Kata orang, paras cantik itu memang suatu berkah. Tetapi nyatanya wanita2 yang cantik selalu dirundung nasib malang.
Hek-liong-kui-bo salah seorang korban....
-^dwkz^smhn^- Malam itu Hui Kun tidur dengan menggelendot di bahu suko-nya. Pikiran Lam Tianpun melayang-layang. "Seumur hidup aku hanya berkenalan dengan tiga orang gadis, Ho Ji Yan, Tan Ceng Ih dan Hui Kun. Mereka ketiga-tiganya cantik dan muda belia. Ceng Ih lapang dada suka berterus terang. Ho Ji Yan memiliki daya tarik yang kuat, lemah-lemah keras dan keras tapi lemah. Dalam ilmu silatpun ia jarang terdapat tandingannya. Sayang ia sudah menjadi isteri orang. Ah, Tan Ping itu sungguh manusia yang beruntung sekali."
Tiba-tiba Hui Kun menguap dan berkata, "ji-suko, mengapa kau tak tidur?"
Dibawah pancaran sinar rembulan, wajah nona itu tampak cantik sekali. Hampir saja Lam Tian tak dapat mengendalikan keinginannya untuk memberi ciuman, tapi pada lain kilas ia teringat, "Ah, ia adalah kepunyaan toa-suko, aku tak boleh berlaku tak senonoh."
Ia melolos bajunya dan diselimutkan pada Hui Kun. Ternyata dara itu sudah tidur pulas,
Malam itu sampai tiga kali suara ketawa aneh tadi terdengar. Seperti nada orang, pun seperti suara setan, setempo seperti suara lelaki, setempo seperti suara orang perempuan. Tapi karena Lam Tian tak mau tinggalkan sumoay-nya, makhluk aneh itupun tak dapat berbuat apa2.
Keesokan harinya ketika Hui Kun bangun, dilihatnya sang suko datang dengan membawa buah-buahan. Habis makan Hui Kun lalu ajak suko-nya masuk ke sebelah dalam lagi, tapi Lam Tian suruh ia menunggu sampai nanti tengah hari dimana kabut sudah mulai tipis. Kini perhatian mereka beralih pada makhluk yang bersuara aneh itu.
Tengah hari Hui Kun akan bergerak, sekalipun Lam Tian mencegahnya, namun ia tetap tidak mau. Dengan terpaksa Lam Tian menuruti. Terlebih dulu mereka ikatkan ujung tali pada sebatang pohon dan mulailah mereka untuk turun ke dasar lembah. Di dasar lembah kabut lebih tebal lagi. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba Hui Kun menjerit:
"Hai, talinya habis."
Ia gerakkan tali itu dan astaga, tali yang diikat pada pohon sebelah atas tadi meluncur ke bawah. Ujung tali seperti bekas disayat pisau, Kejut Lam Tian tak terkira. Ia yakin, suara aneh itu tentu berasal dari orang dan orang itu bermaksud hendak mencelakai mereka.
Hui Kun lemparkan tali dan muring-muring: "Ji-suko, bagaimana sekarang?"
"Bermula kukira kalau Tan Ping yang menjebloskan kita di pulau kosong ini, ternyata memang ada orang yang menipu kita ke mari," kata Lam Tian.
Karena sudah dalam keadaan begitu, Lam Tian ajak sang sumoay teruskan perjalanannya. Mereka siap dengan menghunus pedangnya.
"Hai, siapa saudara ini? Mengapa menyuruh kami datang ke mari? Silakan unjuk diri, jangan main sembunyi saja," Lam Tian berseru nyaring.
Seruan Itu disambut dengan suara tertawa aneh. Dengan memimpin tangan sumoay-nya, Lam Tian segera menyerbu ke arah suara itu. Tiba-tiba di sebelah muka tampak sinar di dalam bungkusan kabut. Tapi ketika Lam Tian tiba di sana, sinar api itupun hilang.
Tiba-tiba Hui Kun berseru: "Hai, apakah itu?"
"Rupanya sebuah pintu," kata Lam Tian setelah memandang ke arah yang ditunjuk su-moaynya. Ia ajak sumoay-nya menghampiri. Ternyata itulah sebuah lubang dari kuburan, atau lebih tepat dikatakan guna tanah. Lubang yang sempit sekali itu hanya cukup dimasuki oleh satu orang saja. Kedua anak muda itu saling berpandangan.
Selagi mereka bersangsi, tiba-tiba dari dalam guha itu berkelebat sinar api dan terdengarlah suara tertawa:
"Karena kalian sudah tiba di sini mengapa tak masuk minum teh? Apakah takut kalau Hek-liong-kui-bo akan membunuhmu?"
"Bagus, kiranya kau Ho Hong Lu!" teriak Lam Tian sambil menerobos masuk. Dalam sinar api yang tak begitu terang cahayanya, tegak menyambut Hon-tang-hui-hong Ho Hong Lu. Tadi yang bersuara memang dia. Kiranya dari Sik-san pemuda itu lalu datang ke situ.
Tempat itu merupakan sebuah kamar batu yang luas. Di empat penjuru berjajaran peti mati, hawanya lembab.
"Apakah hanya kau saja, mana sumoaymu?" tanya Hong Lu.
Lam Tian berpaling ke belakang dan kejutnya bukan kepalang. Entah kapan tahu-tahu pintu lubang tadi telah tertutup rapat. Ia tak takut terhadap Hong Lu tapi bagaimana dengan Hui Kun yang berada di luar?
"Hm, bagus Hong Lu. Kau hendak memaksa aku mengeluarkan ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat? Nah. Biar kutunjukkan padamu!" Lam Tian tertawa dingin. Ia benci kepada Hong Lu yang telah menjebaknya ke pulau situ. Sekali enjot sang kaki ia lalu menyerbu Hong Lu dan menusuk tenggorokannya.
"Hebat!" seru Hong Lu sambil melangkah mundur.
Lam Tian terus mendesak maju tapi tiba-tiba bumi yang dipinjaknya itu melesek ke bawah dan orangnyapun turut terjerumus.
Lubang jebakan itu dalamnya satu tombak lebih. Di sebelah atas kedengaran Hong Lu tertawa mengejek dan hendak menutup lubang dengan sebuah batu besar. Memang hal itu sudah diduga lebih dulu oleh Lam Tian. Maka selekas kakinya menginjak dasar lubang, ia lalu loncat lagi ke atas dan dengan gunakan sepenuh tenaganya ia dorong batu itu.
"Krek", batu yang beratnya tak kurang dari tiga empat ratus kati itu terkisar dan Lam Tianpun segera menerobos ke luar dari sela-selanya. Begitu berada di luar, iapun segera mendorong Hong Lu hingga yang tersebut belakangan itu terpaksa mundur menghindar.
Hong Lu kesima melihat tenaga si anak muda yang sedemikian hebatnya.
"Hong Lu, kalau ingin melihat Kim-go-kiam-hwat, bolehlah. Mengapa harus menjebloskan aku ke dalam lubang?" damprat Lam Tian dengan murkanya.
Hong Lu diam-diam kemalu-maluan. Pada lain saat Lam Tian menyerangnya dengan jurus Ou-te-ciam-go atau kura-kura menyelam ke dasar telaga. Untuk itu Hong Lu mendorong dengan tangan kiri lalu mundur dan tangan kanannya segera ayunkan bandringannya.
Sebenarnya kepandaian Hong Lu lebih unggul dari Lan Tian. Tetapi karena ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat ampuh sekali, maka Hong Lu pun melayaninya dengan hati-hati sekali. Dalam kemarahannya Lam Tian telah mainkan pedangnya sedemikian gencar sehingga betapapun Hong Lu berusaha untuk bertahan tetap ia terdesak,
"Hong Lu. kau hendak memaksa aku mengeluarkan Kim-go-kiam-hwat. Sekarang terkabullah keingininanmu itu" Lam Tian tertawa menghina.
Yang diejek diam saja karena harus curahkan perhatiannya untuk menangkis serangan orang.
Dalam ruangan kubur yang seram dengan penerangannya yang samar2 itu, kedua pemuda itu bertempur dengan serunya. Sampai pada jurus yang ketigapuluh, tiba2 di luar terdengar derap kaki orang berkejar-kejaran mendatangi.
"Pengemis tua perempuan, mengapa kau kejar aku? Aku tak sudi menghiraukanmu!" teriak seseorang yang bukan lain adalah Hui Kun.
"Bilanglah, apa kau ini anak perempuan Ku Pin?" sahur sebuah suara orang tua yang bernada parau-parau tajam.
"Hai, pengemis perempuan, mengapa kau mencekal aku? Lekas lepaskan!" kembali Hui Kun menjerit.
Serangkum tertawa mengekeh terdengar, makin lama makin jauh. Masih kedengaran Hui Kun menjerit-jerit, "Kalau kau berani meng-apa-apa-kan aku, ayah tentu akan meremukkan tulang-tulangmu."
"Kalau ia datang, itulah bagus sekali!" sahut suara aneh itu. Sehabis itu tak kedengaran suara apa-ana lagi.
Lam Tian menduga bahwa yang dimaki oleh Hui Kun sebagai pengemis tua perempuan itu, tentulah Hek-liong-kui-bo atau Wanita Iblis si Naga Hitam. Ia tahu Hui Kun bukan lawan wanita iblis itu. Karena memikirkan keselamatan sang sumoay, permainan Lam Tian menjadi kendor.
Dan kesempatan itu digunakan sebaik-baiknya oleh Hong Lu untuk merobah situasi. Kini dialah yang menguasai lawan. Hanya karena ingin mencuri lihat permainan Ktm-go-kiam-hwat, ia tak mau lekas-lekas turunkan tangan jahat, hanya mendesak Lam Tian sedemikian rupa hingga anak muda itu terpaksa harus mengeluarkan Kim-go-kiam-hwatnya.
Lam Tian gelagapan dan pusatkan pikirannya lagi. Tiba2 ia robah permainannya dengan menggunakan ilmu pedang dari perguruan, yani Ang-tik Kiam-hwat.
"Lam Tian, apa kau mau cari mampus? Dengan ilmu pedang biasa itu kau tentu bukan tandinganku!" seru Hong^ Lu.
"Coba sajalah!'' sahut Lam Tian.
Hong Lu mengambil keputusan tak mau membunuh lawan karena ia anggap hal itu tak ada gunanya. Adalah karena ia memikir-mikir itu, tenaganyapun berkurang. Lam Tian bukan jago sembarangan. Begitu lawan agak kendor, ia segera gunakan lagi Kim-go-kiam-hat sehingga jalannya pertarungan berobah menguntungkan baginya.
Mau tak mau terpaksa Hong Lu memuji kesaktian ilmu pedang itu. Lam Tian baru memperoleh setengah sempurna, namun sudah begitu hebat. Apalagi kalau Ku Pin sendiri yang memainkan, tentu dada tandingannya lagi. Ia segera ayunkan bandringannya ke muka untuk menghantam hidung Lam Tian. Lam Tian lebih dulu hantamkan tangan kirinya untuk mengurangi jalannya bandringan itu, kemudian menyambarnya dengan tangan. Seratus kali menyambar tentu seratus kali kena. Lam Tian percaya bahwa gambarannya itu tentu berhasil, siapa tahu tiba2 bandringan itu menghilang. Ia melongo dan ketika memperhatikan ternyata bandringan itu sudah kembali di tangan Hong Lu lagi.
"Tunggu!" seru Lam Tian demi teringat sesuatu.
"Lau-heng hendak memberi petunjuk apa?" tanya Hong Lu.
"Apa hubunganmu dengan Ho Ji Yan, isteri Tan Ping?"
"Aku tak kenal padanya dan belum pernah bertemu," sahut Hong Lu.
"Apakah bukan saudaramu?"
Hong Lu mengatakan bahwa ia tak punya saudara. Lam Tian merasa heran karena jelas bahwa permainan bandringan lawannya itu persis dengan Ho Ji Yan. Tiba2 dari luar kembali terdengar derap kaki mendatangi.
Kembali Hui Kun dikejar-kejar oleh si wanita iblis. "Hai, budak, hendak lari ke mana kau?" seru wanita itu.
Hui Kun tertawa, "Lo-cianpwe, jangan marah, maukah kita duduk sambil beromong-omong?"
Mendengar itu Lam Tian segera lancarkan tiga buah serangan Kim-go-kiam-hwat yang lihay. Selekas Hong Lu terdesak mundur, ia segera meng hantam batu yang menyumpat pintu guha itu terus menerjang keluar. Ternyata di luar gelap2 saja tiada barang seorang manusia.
"Siau-sumoay, di mana kau?" serunya, namun sampai sekian saat tetap tiada penyahutan apa-apa. Kembali ia ulaugi sampai dua kali, pun tetap sunyi2 saja. Terpaksa ia berjalan mencarinya sambil berteriak-teriak memanggil Hui Kun.
Rupanya Hek-liong-kui-bo itu licik sekali. Ia tetap tak mau unjuk diri. Lam Tian bingung memikirkan, entah kemana ia harus mencari su-moaynya itu. Akhirnya ia duduk, entah sampai berapa lama. Ia sendiri bingung, apakah saat itu sudah malam atau masih siang, karena suasana di situ hanya gelap saja.
Tiba2 dari arah belakang terdengar derap kaki mendatangi. Dari tindakan kaki, ia tahu kalau orang itu bukan Hek-liong-kui-bo atau Ho Hong Lu atau Hui Kun. Lam Tian siap sedia, begitu orang mendekati ia lalu menghantamnya. Tapi ketika tangannya menyentuh sebuah tubuh yang lunak, kejutnya bukan kepalang. Terang itulah seorang perempuan. Maka buru-buru ia menarik pulang tangannya.
"Ho toako, jangan menakuti aku. Kau tentu tak mengira kalau aku menyusul ke mari ha, ha, lekas kembalikan golokku," orang itu tertawa.
"Ai, kukira siapa, ternyata nona Tan," seru Lam Tian dengan girang.
Memang yang datang itu adalah Ceng Ih. Ceng Ih heran mengapa Lam Tian juga berada di situ. Tapi baru Lam Tian hendak menerangkan, nona itu buru-buru menyetopnya: "Nanti dulu, maukah kau membantu aku?"
"Membantu apa?" tanya Lam Tian.
Ceng Ih menerangkan bahwa tempo hari Hong Lu memasuki kamarnya, mengambil kembali kantungnya dan golok perak Ceng Ih. Dengan gemasnya diam-diam Ceng Ih mengikuti jejak pemuda itu ke pulau situ. Habis menuturkan mendadak Ceng Ih mencium pipi Lam Tian. Sudah tentu anak muda itu gelagapan, tanyanya: "Ha, bilakah aku menyanggupi permintaan bantuanmu?"
"Lho, mengapa kau tidak mau membantu?" Ceng Ih balas bertanya.
Kini tahulah Lam Tian persoalannya. Ia duga setelah memeriksa kantong dan tak mendapatkan suratnya, Hong Lu tentu mengintip dikala ia (Lam Tian) bersama Hui Kun merundingkan surat itu. Karena tahu bahwa surat itu jatuh di tangan Lam Tian, maka Hong Lu lalu mengupah tukang prabu supaya menipu Lam Tian dan Hui Kun ke pulau situ. Saat itu Lam Tian tak enak untuk mengakui perbuatannya mencuri surat Hong Lu, maka terpaksa ia mengiakan permintaan membantu pada Ceng Ih.
"Tapi kaupun harus lebih dulu membantu aku," kata Lam Tian kemudian.
Ceng Ih mengiakan tapi lebih dulu ia minta dicium. Lam Tian menurut, lalu bertanya: "Apakah kau tahu siapa nama Hek-liong-kui-bo itu?"
"Dia adalah ibu dari Ho Ji Yan. Setiap orang di Thay-ou tahu semua," jawab Ceng Ih.
"Oh, kalau begitu Hok- liong-kui-bo itu adalah yang menyebut dirinya ibu Wan, ibu dari Ho Ji Yan dan juga Ho Hong Lu. Tanda naga hitam pada kantong Hong Lu itu adalah pertandaan wanita itu. Tapi anehnya mengapa Hong Lu dan Ji Yan tak kenal mengenal?" pikir Lam Tian.
"Apakah nama pulau ini Say-cu-lim?" tanya Lam Tian pula.
"Say-cu-lim? Aku belum pernah mendengar nama itu. Di sini adalah pulau Siau-teng-thing-san." Ceng Ih menerangkan. "Ini tempat kediaman Thay hujin Hek-liong-kui-bo, tak jauh letaknya dari Tou-tong-thing-san tempat tinggal cici Ji Yan."
Kini baru Lam Tian sadar bahwa dirinya ditipu mentah-mentah oleh si tukang perahu tadi. Dalam keadaan begitu, terpaksa ia minta Ceng Ih supaya membawanya menemui Hek-liong-kui-bo. Tanpa banyak bicara lagi. Ceng Ih segera mengajak anak muda itu.
"Sepanjang tahun, di Siau-tong-thing-san sini selalu ditutupi kabut tebal. Kalau orang mau melintasi, sebenarnya mudah saja. Maju lima langkah lalu belok ke kiri tiga langkah, demikian seterusnya. Menurut cara itu walaupun mata ditutup, tanggung kau takkan membentur batu atau pohon," demikian Ceng Ih mengajarnya.
Lam Tian berjalan bersama si nona menurut cara yang diajarkan itu. Benar juga ia tak menemui halangan suatu apa. Tiba-tiba di sebelah depan tampak sebuah gedung istana yang terang benderang ditimpa cahaya matahari.
"Tuh tempat tinggalnya, hati-hatilah, ia bertabiat aneh sukali." kata Ceng Ih. "Tapi pada suatu waktu ia merupakan seorang yang paling baik di dunia ini, Asal kau dapat mengenal perangainya, ia tentu suka padamu," katanya lebih lanjut.
Dalam pada bicara itu, keduanya sudah memasuki rumah gedung itu. Hanya anehnya, gedung yang sedemikian besarnya itu ternyata sepi-sepi saja. Tiada barang seorang pelayan yang kelihatan.
Mereka langsung masuk dan tiba di sebuah taman bunga. Di situ Ceng Ih berhenti.
"Kui-bo, aku membawa seorang tetamu kemari. Kau berada di mana? Di goha Ok-cua-tong atau di rawa Tok-liong-tan?"
Lam Tian heran mengapa Ceng Ih memanggil wanita itu dengan sebutan Kui-bo.
Kata Ceng Ih: "Ia memang paling senang kalau dipanggil Kui-bo. Jika kau memanggilnya Thay hujin atau panggilan lainnya, ia tentu marah."
Suara tertawa mengekeh terdengar dan muncullah seseorang: "Budak busuk, perlu apa kau datang kemari?"
Melihat perwujutan orang itu hampir saja Lam Tian tersurut mundur. Seorang wanita tua yang berambut putih, berdiri tak tetap dengan sebuah tongkat. Wajahnya begitu menyeramkan sekali. Matanya yang satu melotot keluar dan yang lain cekung ke dalam. Hidungnya penyok hanya tinggal lubangnya saja. Mulutnya perot ke atas, giginya hitam dan runcing. Pipi kiri penuh dengan guratan luka-luka dan pipi kanan penuh dengan terotolan lubang. Ya, boleh dikata seluruh mukanya tiada yang utuh. Ia lebih banyak menyerupai seorang iblis daripada insan manusia.
"Beginikah wajah seorang tokoh sakti nomor satu di dunia? Beginikah ibu Ho Ji Yan yang cantik jelita itu?" demikian tak habis-habisnya Lam Tian bertanya-tanya dalam hati.
Tiba2 Ceng Ih menariknya diajak memberi hormat kepada wanita itu: "Kui-bo, anak datang kemari dengan membawa seorang tetamu bernama Lau Lam Tian yang ingin mengunjungimu. Selain itu aku hendak menumpahkan kegemasanku kepada seorang budak she Ho...."
"Ho, jadi kaulah Lau Lam Tian? Baik, Hong Lu mengatakan kalau ilmu silatmu tinggi dan Yan-ji mengatakan kalau kelakuanmu baik. Berilmu tinggi dan berkelakuan baik, itulah seorang ksatria nomor satu di dunia, he, he, benar tidak?"
Karena tak pernah mendengar tentang uraian semacam itu, Lam Tian hanya terlongong-longong diam saja. Bahkan Ceng Ih pun tampak tercengang. Ia mengocah sendiri:
"Hong-ji.... Yan-ji.... ha, bagaimana ini?"
"Budak hina, Ho Hong Lu itu memang puteraku, masakan kau tak tahu?" seru wanita itu.
Sebenarnya Ceng Ih hendak membantah bahwa Kui-bo belum pernah mengatakan hal itu kepadanya, tapi serta tahu perangai orang, iapun tinggal diam saja. Namun ia tetap heran bahwa Hoa-tang-hui-hong Ho Hong Lu itu ternyata putera wanita itu.
"Budak hina, ilmu silatnya baik dan perangai-nyapun baik, hanya satu yang tidak baik, tahukah kau?" tanya Kui-bo kepada Ceng Ih.
"Tidak punya nyali besar," sahut Ceng Ih.
Mendengar itu Lam Tian merah mukanya.
"Hai, budak busuk, mengapa kau tak bicara, apakah gagu? Hmm, terimalah pukulanku ini," seru Kui-bo lalu menghantam Lam Tian.
Untung sejak menginjak gedung itu Lam Tian selalu siap sedia. Cepat ia buang tubuhnya ke belakang. Tapi ketika turun ke tanah, kakinya akan menginjak tanaman bunga. "Ah, ini tentu pohon Kui-bo, tak boleh aku menginjaknya," pikirnya lalu menggeliat ke samping dan turun ke taruh tepat di sisi sekerumun bunga.
"Bagus!" Hek-long-kui-bo berseru memuji. Untuk itu buru2 Lam Tian ucapkan kata2 merendah diri.
"Budak busuk, siapa yang memuji kepandaianmu. Hm, kau tak tega menginjak tanaman bungaku, budi hatimu baik, paling tidak lebih bagus dari suhumu. Hm, perlu apa kau datang kemari?" teriak wanita itu.
Melihat wanita itu tak sebengis tadi, nyali Lam Tian tambah besar, sahutnya: "Hek-liong-kui-bo, aku hendak minta tanya, mengapa kau menjebak aku kemari?"
Sebelah mata Kui-bo yang menonjol itu terbeliak, "Menjebak? Hm, itu urusan Hong-ji, aku peduli apa?"
"Bukan urusanmu? Dengarlah, kau harus menuruti siasat mereka. Datanglah ke Tin-tik-bun dan jebak supaya Lau Lam Tian mengeluarkan Kim-go-kiam-hwat.... ha, apakah surat itu bukan kau yang menulis? Bukankah kata 'jebak' itu kau yang suruh?" Ia keluarkan surat itu dan dipamerkannya.
Hek-liong-kui-bo tertegun tak dapat berkata apa2. Hanya hidungnya kedengaran mendengus pelahan dan kerut wajahnya berberenyutan. Hanya karena mukanya itu penuh dengan cacahan luka, maka bagaimana mimiknya, sukar diketahui.
"Hong ji, kau manusia yang tidak berguna...." tiba2 ia menjerit dan melesat pergi.
"Lau Lam Tian, dari mana kauperoleh surat itu?" tanya Ceng Ih.
Pertanyaan itu membuat Lam Tian merah mukanya. Terpaksa ia menerangkan dengan sejujurnya.
"Kembalikan surat itu kepadaku!" Ceng Ih marah dan hendak meminta kembali surat itu.
"Ini menjadi bukti yang kuat untuk menelanjangi kejahatan Hek-liong-kui-bo. Bolehkah aku meminjam barang satu dua hari saja?" kata Lam Tian.
Ceng Ih merebut surat itu dan mendampratnya: "Budak hina, aku memperlakukan kau baik2 tetapi kau berani dengan diam2 mencuri barang dibadanku, hm, bagus benar perbuatanmu itu!"
Lam Tian tertawa getir, "Bukan di badanmu, melainkan di dalam kantong itu...."
"Plak" Ceng Ih menampar muka pemuda itu dan memakinya pula, "Siapa percaya omonganmu.... hm, aku tak sudi menghiraukan kau lagi!" Ia terus masuk ke dalam rumah.
Panas dan marahlah Lam Tian dibuat permainan oleh wanita itu. Ia hunus pedangnya dan menantang, "Hek-liong-kui-bo, keluarlah!" Tetapi sampai sekian saat tiada penyahutan.
Lam Tian melangkah masuk. Baru memasuki pintu, ia terkejut. Kiranya ruangan situ tiang tiang dan pilarnya diberi gambar dan ukiran, dindingnya pun sangat indah sekali. Hanya anehnya, di situ tiada perabotannya sama sekali, Lam Tian teruskan langkah. Entah sudah berapa banyak serambi dan ruangan yang dimasukinya. Sampai akhirnya tibalah ia di halaman belakang. Kembali ia terkejut. Halaman itu luas sekali, penuh kabut, pohon, gunung-gunungan palsu, batu karang, goha dan bukit. Kesemuanya itu bukan ciptaan alam melainkan buatan orang belaka. Berada di situ seperti memasuki hutan sesungguhuya. Malah samar-samar dalam kabut itu terdengar aum binatang buas.
Tiba-tiba di kakinya seperti ada benda bergerak-gerak. Lam Tian menginjaknya tapi benda itu dapat melejit. Ketika dilihatnya ternyata seekor ular belang kecil yang hijau warnanya. Kepala ular itu berbentuk segitiga dan lidahnya bercabang, merupakan jenis ular yang paling berbisa.
"Hok-liong-kui bo, keluarlah, aku hendak bicara padamu!" teriak Lam Tian.
"Budak busuk, kau punya kaki tidak? Mengapa tak masuk sendiri?" wanita iblis itu melengking.
Sebenarnya ia berada pada jarak jauh. Tapi bagi Lam Tiam suara itu terasa dekat sekali. Lam Tian menduga, wanita itu tentu berada pada jarak seratus tombak jauhnya: "Baik aku segera, datang, jangan kau sembunyi," serunya.
Baru ia hendak siap menerjang, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa: "Lam Tian, lama kita tak berjumpa, apa kau baik-baik saja?"
Diam-diam Lam Tian girang, ia paham benar dengan nada suara itu. "Ho Ji Yan, kau juga datang kemari?" serunya.
"Ya aku baru saja datang," sahut Ji Yan.
Lam Tian memperkirakan bahwa jarak nona itu kira-kira seratusan tambah. Kalau begitu Hek-liong-kui-bo itu tentu berada pada jarak duaratusan tombak.
"Yan-ji, jangan bantu padanya," Hek-liong-kui-bo mendengus.
"Mah, jangan membikin susah padanya," seru Ji Yan.
"Mengapa kau turut campur urusan ini?" teriak Kui-bo.
Sekati lagi Ji Yan meminta: "Mah, lebih baik kau keluar, jangan suruh dia yang masuk."
Hek-liong-kui-bo tertawa sinis: "Budak busuk, jika mau mencari sumoaymu, masuklah ke mari Tetapi ingatlah, setiap tempat di sini penuh dengan perkakas rahasia. Kalau tak hati-hati, tentu amblas jiwamu!"
"Terima kasih," sahut Lam Tian terus ayunkan langkah.
Kedengaran Hek-liong-kui-bo menghela napas: "Sebenarnya perkakas-perkakas rahasia di sini kubuat untuk menyambut kedatangan Ku Pin. Dia tak datang tapi suruh muridnya yang datang. Inilah sudah takdir. Sebaiknya kubinasakan dulu murid kesayangannya itu."
Walaupun berbicara sendiri dengan berbisik dalam jarak seratus tombak, suara Hek-liong-kui-bo itu terdengar jelas juga. Karena dirinya ditentukan akan mati, marahlah Lam Tian. Ia maju selangkah demi selangkah, tapi selama itu di sebelah timur tiada kedengaran suara Ji Yan lagi. Larikah nona itu meninggalkannya?
Baru beberapa meter berjalan, tiba tiba entah dari mana datangnya, sebuah batu besar melayang jatuh dari udara. Lam Tian tak mau menyingkir melainkan dorongkan kedua tangannya untuk menyambutnya. Baru batu itu hancur, seekor monyet besar menyerangnya. Lam Tian song-songkan dengan sebuah pukulan tapi binatang itu dapat menghindar dan balas memukul. Lam Tian terkejut, masakan monyet mengerti ilmu silat. Karena tertegun ia sampai lupa menangkis, maka terpaksa gunakan gerak it-ho-jong-thian ia loncat ke udara. Luput menghantam Lam Tian, monyet itu menghantam roboh sebatang pohon besar.
Selagi masih di udara, dalam suasana yang gelap itu tahu-tahu ia rasakan mata sebelah kiri disentuh dengan benda keras. Ia mengeluh karena ternyata matanya itu hendak dipatuk oleh seekor burung besar yang aneh bentuknya. Buru-buru ia menampar dengan pedangnya. Beberapa lembar bulu burung aneh itu kena terpapas.
Begitu turun di tanah, kembali monyet besar itu menyerangnya. Terpaksa Lam Tian melayani sampai dua tiga jurus. Celakanya, burung aneh itupun turut mengeroyoknya menyambar dari udara.
Sampai belasan jurus tetap Lam Tian tetap belum mampu menjatuhkan monyet lawannya itu. Di samping tangannya yang kuat, pun monyet itu lincah sekali. Kepandaiannya berkelahi tak kalah dengan seorang kojiu kelas satu.
Beberapa detik kemudian, Lam Tian sudah mandi keringat. Lebih celaka dia ketika bumi yang diinjaknya, saat itu tiba-tiba amblong. Sigap sekali Lam Tian apungkan dirinya ke udara sampai dua tombak. Sehabis menghajar burung, ia lalu meluncur turun.
Tapi demi memandang ke bawah, iapun menjerit kaget, keringat dingin bercucuran menggidikkan bulu kuduknya.
Kiranya lubang jebakan yang terbuka tadi penuh dengan ribuan ekor ular berbisa. Lam Tian terpaksa keluarkan kepandaiannya sungguh-sungguh untuk menghadapi barisan ular. Ia putar pedangnya sedemikian rapatnya.
"Ganas benar wanita iblis itu. Sekalipun suhu datang kemari, rasanya juga sukar menghadapi serangan tiga macam binatang sebuas ini," diam-diam Lam Tian menimang.
Dari kelincahannya maupun gerak kakinya yang sedikitpun tak sampai menginjak ular. Lam Tian duga monyet itu tentu sudah mendapat latihan yang istimawa. Lewat beberapa saat kemudian, walaupun tak sampai kalah namun Lam Tian mulai lelah juga.
"Cilaka, apakah aku ditakdirkan mati di sini?" diam-diam ia mengeluh.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa yang empuk merdu nadanya. Itulah suara Ho Ji Yan. Siang malam Lam Tian tak pernah lupa memikirkan nona cantik itu. Munculnya nona itu telah membangkitkan semangatnya kembali.
"Suhu, maaf, aku terpaksa sekali lagi melanggar perintahmu," seru Lam Tian. Ia segera robah permainannya dalam ilmu pedang Kim-go kiam-hwat. Dengan ilmu pedang itu ia menghancurkan barisan ular.
"Benar, gunakan Kim-go-kiam-hwat. Bereskan dulu monyet itu lalu usir burung pelatuk, kemudian baru barisan ular. Berkelahi yang sungguh2. Kalau lengah, jangan harap bisa menangkan ketiga binatang itu," seru Ji Yan.
"Ji Yan, apakah kau sungguh datang kemari hendak membantu aku?" tanya anak muda itu.
Ji Yan tertawa, lalu katanya: "Jangan pikir yang tidak-tidak, turut nasenatku dulu baru setelah lolos dari bahaya kita bicara lagi."
Lam Tian mengiakan, lalu keluarkan seluruh Kim-go-kiam-hwat yang terdiri dari tujupuluh dua jurus. Ia serang monyet itu dengan jurus To-kwa-kim-go dan berhasil memapas segumpal kulit binatang itu. Ketika si burung menyambar, ia sambut dengan hantaman. Burung itu terpental sampai beberapa tombak di udara. Setelah itu Lam Tian teruskan dengan menghantam si monyet. Bintang itu tak keburu menghindar, ia terkena pukulan dan menjerit kalangkabut. Karena melihat si monyet kalah, burung itupun tak berani menyambar turun lagi. Sekarang Lam Tian curahkan tenaganya untuk membabat barisan ular. Dalam beberapa kejab ia telah berhasil membunuh dua tiga puluh ekor ular.
"Hek-liong-kui-bo, jika kau tak panggil pulang ular-ularmu yang jahat ini, tentu akan kubasmi sampai habis," teriaknya. Tapi sampai sekian lamanya ti?da peny?hutan.
"Tak usah ribut, basmi terus saja. Baik gunakan Te-tong-kiam-hwat," Ji Yan mengisikinya.
Lam Tian menurut dan memakai Te-tong-kiam-hwat sebagai ilmu pedang bergelundungan di tanah. Tubuh dan pedangnya seolah-olah melekat jadi satu. Setiap ekor ular yang dekat tentu diganyang. Karena amukan itu, kawanan ular lari berserabutan kemana-mana.
"Bagus, jangan turun tangan lagi dan jalanlah." bisik Ji Yan.
Tapi Lam Tian yang sudah mabuk darah, tak mau mendengar kata lagi. Ia ambil keputusan menghabiskan kawanan binatang jabat itu agar kelak suhunya tak usah mengalami cedera lagi.
Tiba-tiba terdengar suara seruling yang nyaring sekali. Mendengar itu kawanan ular menyerbu lagi dalam dua rombongan yang terdiri dari barisan ular belang. Lam Tian kembali mengamuk. Bunyi seruling makin keras dan kedua barisan ular itu menyerang lagi dengan lebih ganas. Tiba-tiba entah darimana datangnya, tahu-tahu muncul pula sebuah barisan ular belonteng. Lam Tian terkepung di tengah. Kedengaran Ji Yan menghela napas. Pada saat itu barulah Lam Tian menyesal karena tadi sudah tak mendengar kata nona itu.
Sekalipun Lam Tian sudah merasa capai tangannya namun barisan ular itu tiada habis. Diam-diam Lam Tian mengeluh, lalu robah siasat. Ia perkecil lingkaran pedangnya sampai hanya satu tombak luasnya. Dan ia hanya bertahan tak mau menyerang lagi. Dia cari akal. Tiba2 ia teringat: "Ular itu hanya bangsa binatang. Gerakan mereka semata-mata hanya tergantung komando seruling itu. Yang meniup tentulah wanita iblis itu. Jika kuserang wanita itu, kawanan ular tentu dengan sendirinya akan kacau balau."
Serentak ia menjemput tiga batang hui-to terus ditmipukkan ke arah datangnya suara seruling itu.
"Jika timpukanku ini berhasil, aku sungguh harus meminta maaf kepada Ji Yan. Tetapi jika gagal, jiwaku sendiri tentu habis." Tetapi pada lain kian ia teringat lagi: "Hek-hong-kui-bo berada di sebelah barat pada jarak seratus tombak. Mungkin peniup seruling itu bukan dia," pikir Lam Tian.
Terdengar suara jeritan mengaduh, terang kalau peniup seruling itu terkena. Serulingnya jatuh ke tanah dan siraplah suaranya. Berbareng itu barisan ularpun menjadi kacau. Ular belang, ular hijau dan ular belonteng itu berseliweran gasak-gasakan sendiri. Lam Tian tak sia-siakan kesempatan itu. Ia loncat ke muka dan tiba di sebuah rumpun bunga. Di situ tampak seorang terkulai di tanah. Dia bukan lain ialah Ho Hong Lu. Lam Tian tak pedulikan orang itu, ia jemput seruling dan meniup semau-maunya. Suara seruling yang tak keruan nadanya itu telah membuat kacau balau barisan ular. Kini mereka saling gigit-gigitan sendiri.
"Budak busuk, kau berani membunuh ular piaraanku?" tiba2 dari sebelah barat terdengar Hek-liong-kui-bo berseru.
"Siapa suruh keluarkan kawanan ular untuk membunuh aku?" sahut Lam Tian yang terus meniup seruling lagi.
Sesosok tubuh berkelebat dan merebut seruling itu terus dilemparkan kembali kepada Ho Hong Lu.
"Jangan mengacau lagi, ikutlah padaku!" kata orang itu yang bukan lain adalah Ji Yan.
Diam2 Lam Tian heran mengapa kedua saudara itu tak saling kenal satu sama lain. Sebenarnya Hong Lu itu lebih unggul dari Lam Tian. Tetapi secara kebetulan sekali ia tadi terkena jalan darahnya hingga tak dapat berkutik.
"Apakah masih ada lain rintangan lagi?" tanya Lam Tian sambil mengikuti Ji Yan.
Nona itu menjawah masih banyak. Sudah tentu Lam Tian menjadi bergidik dan, siapkan pedangnya.
"Apakah kau tak dapat lebih dekat padaku?" tanya Ji Yan.
Sudah tentu Lam Tian girang sekali. Tak usah diulang lagi ia terus melangkah maju merapat nona itu.
Selama dalam perjalanan itu, banyak kali terdengar aum binatang buas dan beberapa macam makhluk aneh yang mengintai, tapi mereka tak berani menyerang dan menghadang. Kini tahulah Lam Tian apa sebab Ji Yan minta ia supaya dekat merapat kepadanya. Diam2 anak muda itu berterima kasih kepada Ji Yan.
Ji Yan diam dan tampak merengut.
"Apakah kau marah kepadaku? Mengapa?" tanya Lam Tian.
"Siapa suruh kau tak mengindahkan kata-kataku. Jika aku tak berada di sampingmu, mamah tentu mengeluarkan tok-liong (naga) untuk menyerangmu," kata Ji Yan.
"Naga?" tanya Lam Tian.
"Ya, sepuluh Lam Tianpun tak nanti mampu melawannya. Sekali binatang itu keluar, belum mau masuk kembali kalau belum mendapat korban manuna. Aku sendiripun takut padanya. Binatang itu hanya takut pada mamah seorang," menerangkan Ji Yan.
"Sebenarnya aku juga tak berani melawan Kui-bo. Aku hanya ingin meminta sumoayku. Kalau sumoayku sudah dilepaskan, akupun segera akan pulang," kara Lam Tian.
-^dwkz^smhn^- Rawa Naga Dalam bercakap-cakap itu entah sudah berapa banyak tikungan yang mereka lalui. Kini mereka tiba di sebuah tempat yang lain dari tadi. Sebuah aliran sungai dengan airnya yang bening, di atasnya terbentang sebuah jembatan kecil terbuat dari bambu. Pohon2 tumbuh di sekeliling penjuru. Jauh sekali bedanya dengan tempat yang penuh kabut seperti tadi itu. Di sebelah muka terdapat sebuah rawa dengan airnya yang kehitam-hitaman warnanya. Sebuah papan batu terletak di tepiannya.
Papan batu itu bertuliskan tiga huruf: ?Tok-liong-tham' (Rawa naga berbisa).
"Rawa naga?" Lam Tian berseru kaget.
"Rawa itu amat dalam sekali dan sudah ratusan tahun naga itu tinggal disitu. Adalah pada hari itu mamah dapat menundukkan dan menggunakannya untuk menghadapi seseorang, yaitu suhumu Ku Pin. Hm, suhumu sungguh tak tahu diri. Masakan ilmu pedang Kim-go-kiam-hwatnya dapat melawan ular naga," kata Ji Yan.
Lam Tian tahu bahwa ciptaan ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat itu bukan ditujukan untuk melawan ular naga. Iapun tak tahu pula bahwa Hek-liong-kui-bo itu memelihara ular naga. Maka ia anggap kata2 Ji Yan itu hanya sebagai ejekan saja yang mengatakan bahwa Ku Pin tentu kalah. Diam-diam Lam Tian tak senang hatinya.
Ji Yan berhemi di tepi rawa. Tiba2 seutas tali rotan melayang ke arahnya. Ketika Ji Yan menyambuti, disana kedengaran Kui-bo berseru "Yan-ji, apa kau tahu, apa dosamu membawa buduk busuk itu kemari?"
"Mah, yang jahat adalah Ku Pin. Orang she Lau ini tidak tahu apa2, kau...."
"Tutup mulutmu! Aku jemu mendengar kau mengatakan Lau Lam Tian itu baik. Hai, Lam Tian, kalau berani, kemarilah kau!" Kui-bo menukas omongan Ji Yan, kemudian berseru kepada Lam Tian.
"Siaplah, lihat bagaimana caraku ini," Ji Yan membisiki si anak muda.
Ia pegang erat-erat rotan itu dan ayunkan tubuhnya melayang ke tepi sana. Kedua tepi rawa itu paling sedikit jaraknya ada lima enam tombak. Betapapun lihaynya, tak nanti orang mampu melompatnya.
Setelah tiba di tepi sana, Ji Yan ayunkan tali rotan itu kembali ke tempat Lam Tian, siapa lalu menyambar dan memeriksanya. Besarnya hanya sama dengan tali kecil. Bagi Ji Yan yang bertubuh kecil, tentu tidak menjadi soal. Tetapi bagaimana dengan dirinya (Lam Tian) yang bertubuh tinggi besar itu? Apakah tali sekecil itu kuat dibuat gandulan? Kalau di tengah jalan sampai putus, bukankah ia akan jatuh ke dalam rawa? Ia bersangsi beberapa saat. Di sebelah sana Kui-bo menertawakannya, sedang Ji Yan memberi isyarat tangan suruh dia jangan takut.
Ah, masakan Ji Yan hendak mencelakai diriku? Demikian dengan pertimbangan itu, Lam Tian segera ayunkan diri. Di tengah jalan tiba2 terdengar suara "krek". Celaka, tali rotan itu benar-benar putus! Seketika pucatlah wajah Lam Tian, "Mati aku sekarang!" ia menjerit dalam hati dan meluncur turun ke dalam rawa.
Hek-liong-kui-bo tertawa gelak-gelak.
Dalam meluncur turun itu Lam Tian coba memandang ke bawah. Gelap gulita terbungkus kabut, hanya riak air yang terdengar. Benar2 dasar rawa itu tak dapat diketahui berapa dalamnya. Samar2 tampak bayangan dari seekor ular besar. Beberapa kali ia coba mengerahkan lwekang tetapi selalu gagal untuk menahan meluncurnya sang tubuh.
"Ho Ji Yan, bagus benar perbuatanmu!" diam-diam ia memaki.
Dalam saat2 menghadapi maut itu, pikiran Lam Tian melayang, teringat akan segala kejadian dan hal2 yang dialaminya. Bayangan dari ke tiga gadis: Hui Kun, Ceng Ih dan Ji Yan, silih berganti membayangi benaknya. Kemudian wajah ngeri dari Hek-liong-kui-bo, pada lain saat wajah suhunya. Tetapi segera Lam Tian memaki dirinya sendiri: "Aku segera akan mati. mengapa mengenangkan orang2 yang berbudi dan yang jahat itu? Tapi hm, mengapa Ji Yan mencelakai aku?"
Pada detik kakinya sudah hampir menginjak permukaan air, barulah ia hentikan lamunannya itu. Apakah Ho Ji Yan sungguh hendak mencelakai dia? Apakah pemuda gagah itu akan binasa dimakan ular naga? Hal itu nanti pembaca ketahui. Untuk sementara ini kita tangguhkan dulu dan sekarang marilah beralih pada persoalan: "Apakah Hek-liong-kui-bo itu benar2 wanita yang paling ganas seperti yang dikatakan Ku Pin? Dan apakah Ku Pin itu seperti yang dituduhkan Ji Yan, pengrusak wanita nomor satu di dunia? Karena inti cerita ini berkisar pada mereka, maka marilah kita ajak pembaca menyusuri riwayat mereka dulu.
Ketika tadi Lam Tian dan Hong Lu bertempur di dalam ruang kubur, di sebelah luar Hui Kun tengah main udak-udakan dengan Hek-liong-kui-bo. Sebenarnya Hong Lu menjebak Lam Tian ke pulau itu dan menempurnya di ruang kubur, sekali-kali bukan hendak memancing ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat, melainkan karena hendak mengambil kembali suratnya yang dicuri Lam Tian. Hong Lu takut kalau dimarahi Hek-liong-kui-bo karena kehilangan surat itu.
Dengan berbagai cara dan siasat, Hui Kun berusaha hendak melarikan diri namun tetap tak dapat lepas dari cengkeraman Hek-liong-kui-bo.
"Pengemis tua, apakah kau sungguh hendak menangkap aku?" melengkinglah dara nakal itu.
"Masakan aku sudi bergurau dengan kau!" sahut wanita iblis.
Hui Kun meronta sekuat-kuatnya tapi tak kuasa berkutik. Ia menghantam tapi tinjunya serasa memukul papan baja. Yang sakit bukan si wanita melainkan ia sendiri. Sekali lagi ia coba menutuk jalan darah tiong-ting-hiat, tetapi jarinya serasa masuk ke dalam gundukan kapas sehingga lumpuhlah tenaganya.
"Sudah puas? Hm, karena kau anak perempuan dari Ku Pin, sudah sepuluh tahun lebih kita tak berjumpa. Biarlah kupandang wajahmu, siapakah yang lebih cantik, Ji Yan atau engkau?" kata Hek-liong kui-bo.
Ia merogoh ke dalam laju, rupanya hendak mengambil batu api. Tapi sampai sekian saat tak dapat menemukan.
Hui Kun tertawa, "Aku membawa batu api, asal kaulepaskan tentu kuberikan padamu."
"Hm, kau hendak mengingusi aku? Kali ini jangan mimpi," Kui-bo tertawa mengejek, lalu mengangkat tubuh Hui Kun ke atas dengan tangan kanan sedang tangan kirinya merogoh kedalam baju si dara.
"Nak, sekarang kau sudah besar," kata wanita iblis itu setelah mendapat batu api.
Dianggap sebagai anaknya, marahlah Hui Kun, "Pengemis tua, mengapa kau katakan sepuluh tahun tak berjumpa? Kau seorang siluman, seorang makhluk aneh, siapa sudi kau panggil 'anak'?"
"Plak", Kui-bo memberi sebuah tamparan, "Budak hina dina, kau manusia yang tak tahu budi. Kau dibesarkan dengan air tetekku dan dalam pangkuanku, mengapa aku tak berhak memanggilmu 'anak'? Hmm!"
Rupanya wanita itu terkenang akan masa yang lampau, ia menghela napas sebentar lalu memaki-maki lagi, "Suruh Ku Pin kemari, hm, dia adalah ayahmu, tahukah kau? Hm, suruhlah dia datang kemari untuk menikmati rasanya pukulan Tok-liong-ciangkun?"
Nadanya penuh denyan getar kemarahan dan kalap. Hui Kun sampai berdiri bulu tengkuknya dan bergemeteran. Beberapa saat kemudian terdengar Hek-liong-kui-bo berkata dengan nada sabar: "Aku yang asuh kau sampai besar, masakan aku tega membunuhmu. Jangan takut, tak nanti kucabut jiwamu."
Hui Kun setengah meragu. Tapi menilik suara wanita itu begitu lemah lembut, tergerak jugalah hatinya. Ia diam saja. Tiba-tiba Hek-liong-kui-bo menyulut api dan menyuluhi muka Hui Kun, ujarnya: "Masih serupa dengan semasa kanak-kanak, cantik jugalah. Hui-ji, apakah kau tak ingat padaku? Aku adalah ibu Wan-toanio yang merawat kau sampai besar."
Getaran hati telah memaksa Hui Kun memandang wanita itu. Tapi demi melihat wajahnya, hampir saja ia menjerit ketakutan. Apakah di dunia terdapat seorang insan yang sedemikian ngeri wajahnya? Saking tak kuat menahan ngerinya, Hui Kun menjerit dan tak ingat diri lagi. Ketika sadar, ia dapatkan dirinya berbaring mebagai selimut dalam sebuah ruangan yang bersih. Ia loncat bangun, dilihatnya di situ tak ada seorang jua pun.
"Haa, mana orangnya? Aku.... aku dimana?" Setelah menjerit berulang-ulang barulah wanita buruk itu datang dengan membawa senampan buah, ujarnya: "Nak, jangan takut, aku takkan mencelakaimu. Makanlah buah ini, nanti tubuhmu tentu kuat."
Saat itu Hek-liong-kui-bo memakai kerudung muka,rupanya ia tak mau Hui Kun ketakutan lagi. Wanita iblis yang tak takut kepada siapapun itu ternyata mempunyai rasa keibuan terhadap Hui Kun.
Hui Kun masih takut, tak mau makan buah itu. Kemudian bertanyalah ia: "Kau.... kau, bagaimana aku harus memanggilmu?"
"Kau seharusnya memanggilku 'mamah', tidak, lebih baik panggil Wan-toanio, ah juga tidak, panggilah Hek-liong-kui-bo sajalah!"
"Aku sama sekali tak punya mamah seperti ini. Baiklah kupanggil Hek-liong-kui-bo. Sekarang seharusnya kau lepaskan aku, biar kuajak ji-suko tinggalkan daerah iblis ini. Buah, akupun tak mau memakannya," kata Hui Kun.
"Mau lari? Setelah datang kemari kalian hendak lari?" nada Hek-liong-kui-bo beiobah dalam.
"Mengapa tak boleh?" teriak Hui Kun sam bil terus menyambar kerudung muka wanita itu.
Di bawah sinar matahari, wajah wanita itu makin tampak jelas. Hui Kun paksakan diri untuk menguasai kegoncangan hatinya dan menantang "Lihat aku tak takut padamu."
"Siapa suruh kau takut? Kubilang kalian tak boleh pergi, kalau tak percaya, boleh coba," sahut Hek-liang-kui-bo terus melangkah pergi.
Sebenarnya perut Hui Kun lapar sekali. Dijemputnya buah itu, aneh, jambu bukan jambu, jeruk bukan jeruk, warnanya merah kehijau-hijauan, entah buah apa itu. Tapi ketika digigitnya ternyata manis sekali. "Ah, Kui-bo tak bohong, buah ini lezat sekali!"
Ia segera menghabiskan buah itu sampai sepuluh buah lebih, Setelah kenyang, ia segera berjalan mengitari gedung itu. Maksudnya hendak keluar, tapi sampai setengah jam lamanya ia tetap berada dalam lingkungan gedung itu saja. Ia tetap tak menyerah dan yang terakhir tibalah ia di halaman belakang. Melihat keadaan di situ menyerupai hutan dengan segala macam binatang buasnya, Hui Kun tak berani berjalan lagi.
"Budak hina, apa kau masih memikirkan lari, kesinilah!" tiba-tiba terdengar suara Hek-liong-kui-bo.
"Kau dimana?" sahut Hui Kun
"Toa-oh-oh, bawalah nona itu ke mari," teriak Hek-long-kui-bo.
Ternyata yang dipanggil Toa-oh-oh itu adalah si monyet besar yang pernah bertempur dengan Lam Tian.
Karena monyet itu mendapat perintah Hek-liong-kui-bo. Hui Kun pun tak takut. Dengan serta merta ia ikut binatang itu menyusup maju ke dalam gumpalan kabut tebal. Sering ia tak dapat melihat monyet itu, tapi dengan mengikuti baunya, dapatlah Hui Kun mengikuti binatang itu.
"Hidungmu tajam benar" Hek-liong-kui-bo tertawa, "ketahuilah bahwa di sini tempat bermacam-macam binatang buas dan berbisa. Sekalipun seorang lihay macam ayahmu, tak nanti dia dapat keluar dengan hidup dari sini, ha. ha"
Memang apa yang dikatakan wanita iblis itu beaar. Ngeri Hui Kun melihat pemandangan di sepanjang jalan yang dilaluinya. Hanya karena dibawa oleh Toa-oh-oh. maka segala binatang buas itu tak berani mengganggunya. Setelah tiba di rawa Tong-liong-thai. monyet itu ketakutan dan berputar diri terus lari.
"Hek-liong-kui-bu, kau hendak mengapakan diriku? Suruh aku mati kelaparan di sini atau dijadikan umpan naga?" teriak Hui Kun.


Benci Tapi Rindu Cinta Dibawa Mati Karya Sd Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dua-duanya tidak. Tapi apakah sekarang kau sudah menurut? Hui-ji, sukakah kau mendengar cerita?" seru Hek Long-kui-bo.
Mendengar cerita? Hmm, dalam keadaan dan tempat yang sedemikian mengerikan itu mana Hui Kun ada minat mendengar segala macam cerita? Ia celingukan memandang kian kemari untuk mencari kesempatan lari.
Tiba-tiba tampak sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Hek-liong-kui-bo sudah muncul di hadaoannya. Dingin-dingin wanita iblis itu berkata: "Budak kecil, duduklah!"
"Aku tak mau duduk, kau mau apa?
"Apakah kau minta mampus saja?"
Hui Kun tertawa: "Tadi kau bilang takkan membunuh aku, mengapa kau jilat ludahmu lagi? Baik, karena kau hendak menjilat ludah, sebaiknya lempar saja aku ke dalam rawa itu agar kau tak perlu cape-cape lagi."
Mata Hek-liong-kui-bo tertarik akan sabuk sutera putih yang melilit di pinggang Hui Kun, tanyanya: "Itu adalah kepunyaan Yan-ji mengapa kau pakai?"
"Tempo hari Ho Ji Yan telah memberikan barang ini kepadaku dan menyatakan bahwa dalam daerah setuas tigaratus li, tak nanti ada orang yang berani mengganggu aku. Siapa tahu, ha, mamahnya membangkang."
Hek-liong-kui-bo adalah seorang iblis wanita yang telah banyak menumpahkan darah manusia, Ia bilang hitam tentu hitam, tak ada orang yang berani membantahnya. Siapa tahu saat itu ia dibikin meringis oieh seorang dara yang nakal.
"Hui-Ji, aku bukannya hendak mengganggumu. Duduklah, akan kututurkan sebuah cerita kepadamu," akhirnya ia berkata.
"Aku tak mau mendengarkan, kau mau apa?" dara itu menyentil.
Mata iblis wanita yang melolor itu mendelik, saking gusarnya ia sampai tak dapat bicara. Hui Kun memang cerdik. Setelah mengetahui bahwa wanita itu tak nanti membunuhnya, maka ia selalu menantangnya saja.
Hek-liong-kui-bo kedengaran menghela napas, ujarnya: "Hui-ji, tahukah kau apa sebab Yan-ji memberimu sabuk sutera itu?"
"Tidak tahu" sahut Hui Kun dengan tetap kaku,
"Lepaskan dulu sabuk sutera itu," kata Kui-bo.
Entah bagaimana kali ini Hui Kun menurut.
"Hadapkan sabuk itu ke arah matahari dan lihatlah apa yang tampak di situ," kembali Hok-hong-kui-bo memerintahnya.
"Apa-apaan ini?" mulai Hai Kun bersungut, namun diturutnya juga perintah itu.
Ketika memeriksa dengan teliti, ternyata di situ terdapat selarik huruf kecil-kecil yang berbunyi. ?Pada malam purnama dimabuk arak berjalan-jalan tengah malam, sabuk dari sutera Sociu Ini, kupersembahkan untuk Hian Kwan'
Tak ada tanda tangan dari penulisnya tapi jelas diketahui Hui Kun bahwa huruf-huruf itu adalah buah tulisan ayahnya sendiri.
"Apa?" teriaknya dengan kaget.
"Kau tahu siapa Hian Kwan itu? Manusia atau iblis?" tanya Kui-bo.
Mata Hui Kun terbelalak tak dapat menjawab pertanyaan itu.
"Aku adalah Hian Kwan itu. Aku ini sebenarnya orang she Wan, bernama Hian Kwan. Mengertikah kau sekarang?" kembali Hek-liong-kui-bo berkata, kali ini dengan suara nyaring.
Bagaimana gelapnya pikiran Hui Kun, sampai saat itu tentu dapat meraba bagaimana hubungan ayahnya dengan wanita iblis itu. Tentu bukan hubungan biasa. Pada waktu Hek-liong-kui-bo menyuruh duduk, maka duduklah Hui Kun pada sebuah batu besar, matanya tertuju pada dasar rawa Tok-hong-tham yang dalam sekali.
"Nak, kau tahu siapa yang menjinakkan ular naga dalam rawa ini?" kembali Hek-liong-kui-bo berkata dengan nada lembut.
Mendengar itu Hui Kun buka matanya lebar-lebar untuk mengawasi ke dasar rawa.
Ternyata samar-samar seperti ada bayangan seekor ular raksasa. Tanpa terasa tertariklah perhatiannya.
"Siapa yang tahu? Apakah dia tak dapat loncat keluar?" tanyanya.
"Dapat kalau kuperintahkan," kata Kuibo.
Hui Kun terkesiap, sedang Hek-liong-kui-bo termenung-menung. Beberapa saat kemudian kedengaran ia berkata seorang diri: "Itu adalah kejadian pada duapuluh tahun yang lampau. Ketika itu kudengar di telaga Thayco muncul seekor ular naga. Orang dan perahu yang dihancurkan entah sudah berapa banyaknya. Aku lalu mengambil keputusan untuk membasminya.... Siapa tahu, ai, peristiwa hina itu merupakan nasib yang sudah digariskan.... hm, dia, di telaga Thay-cu aku berjumpa dengan dia"
"Dia, siapakah dia itu?" tukas Hui Kun.
Hek-liong-kui-bo mendongak ke langit, sampai sekian saat ia termenung. Tiba-tiba ia loncat dan memeluk sebatang pohon besar. Ia menangis tersedu-sedu, Loncatan Hek-liong-kui-bo tadi telah menerbitkan angin keras sehingga tubuh Hui Kun bergoyang-goyang. Kalau ia tak lekas mencengkeram lekukan batu, tentulah ia sudah terlempar ke dalam jurang. Keringat dingin mengucur dan buru-buru ia berdiri. Tapi serta dilihatnya Hek-liong-kui-bo menangis begitu sedih, Hui Kunpun turut tersentuh hatinya. Ia menghampiri dan mengelus-elus bahu wanita itu serta menghiburnya: "Kui-bo, jangan menangis. Aku bersalah padamu bukan?"
Hek-liong-kui-bo hentikan tangis, mendongak ke langit dan meraung keras: "Oh. Tuhan, mengapa kau perjumpakan aku padanya?"
"Wut" ia menghantam dan robohlah pohon besar itu jatuh ke dalam rawa. Dua tiga menit kemudian baru terdengar suara air tertimpa benda. Dari situ dapat diketahui sampai di mana dalamnya rawa itu.
Wajah ngeri dari Hek-liong-kui-bo makin menonjol seram, urat-uratnya makin tegang, memancarkan kebencian, kecewa, kemarahan dan kedukaan yang hebat. Jika tadi ia tak menghantam pohon hingga hawa amarahnya tak dapat keluar, entah apa yang akan terjadi.
Hui Kun ngeri melihatnya. Ia memandang terlongong-lonyong kepada wanita itu. Hek-liong-kui-bo menghela napas dan berkata: "Air mataku sudah kering. Jika duapuluh tahun berselang, semasa aku masih remaja seperti kau, tentu aku menangis sepuas-puasnya. Hem, kau menertawakan aku, ya?"
Mendengar wanita itu sudah bernada sabar nyali Hui Kun tambah besar lagi, sahutnya: "Kui-bo, bukan aku mencelamu, tetapi apakah wajahmu dulu serupa dengan sekarang ini?"
Seketika tampak urat-urat di wajah wanita itu tegang iagi, tapi pada lain kejab mulai kendor dan tenang kembali, ujarnya: "Coba kau terka!"
"Perlu apa harus menerka? Dahulu kau tentu cantik sekali seperti cici Ji Yan itu."
Mendengar pujian itu Hek-liong-kui-bo merasa sedap hatinya. Ia menghela napas: "Benar, duapuluh tahun yang lalu aku adalah wanita tercantik di Sociu. Tapi sekarang, ah, mungkin wanita yang terjelek di dunia."
"Apa sebab kau berobah begini?" tanya Hui Kun.
"Ada orang yang merusak wajahku ini," sahut Kui-bo.
Sebagai seorang wanita, Hui Kun dapat me rasakan kepedihan dan kamarahan yang diderita Kui-bo. Serentak bertanyalah ia: "Siapakah orang itu? Apa udah kau bunuh?"
Tapi pada lain kejab ia teringat bahwa Kiu-bo membenci sekali kepada ayahnya. Jangan-jangan yang merusak wajah wanita itu adalah ayahnya. Diam-diam Hui Kui menggigil dan tak berani bicara lagi. Pun Hek-liong-ku-bo terdiam. Kaum wanita suka pada kecantikan, itulah sudah memang kodrat pembawaan alam. Bagi seorang wanita, segala apa ia dapat mengalah. Hanya tentang kecantikan wajah yang akan dibelanya mati-matian. Saat itu simpati Hui Kun lebih banyak tercurah pada wanita jelek itu, sebaliknya rasa suka pada ayahnya makin menurun.
"Kui-bo, memang dia yang jahat. Tapi sebagai seorang yang sudah ada umur, tentulah kalian tak begitu mempersoalkan tentang kecantikan lagi. Nanti kalau pulang biarlah kudamprat ayah untukmu," kata Hui Kun dengan lemah lembut.
Hui Kun mengira kalau Kui-bo tentu terhibur, siapa kira wanita itu tertawa sinis: "Siapa bilang ia yang melakukan? Yang merusak wajahku ini bukan siapa-siapa melainkan aku sendiri!"
"Mengapa?" Hui Kun menjerit kaget.
"Karena dia dan untuk diriku juga. Nak, masakan kau tak tahu?" sahut Kui-bo. Hui Kun terbeliak matanya dan gelengkan kepala.
"Kau menghendaki aku mengenangkan peristiwa duapuluh tahun yang lampau itu? Ah, kejadian yang telah lampau itu laksana awan berlalu. Dari bagian mana aku harus menceritakan?" kata Hek-liong-kui-bo.
Setelah merenung beberapa saat. mulailah ia menuturkan riwayat hidupnya yang tragis itu....
-^dwkz^smhn^- Memilih Jodoh Duapuluh empat tahun yang lalu, aku adalah Ratu Kembang dari kota Sociu yang tersohor kaya dengan wanita-wanita cantik.
Karena pusing memikirkan mencarikan jodoh untukku, maka ayahku Wan Thian Cik telah memutuskan mengadakan pertandingan silat. Siapa yang dapat mengalahkan aku, akan dinikahkan dengan aku.
Ayahku adalah pemimpin kaum persilatan daerah Kanglam, maka perjamuan itu telah dihadiri oleh seluruh jago-jago silat dan orang-orang terkemuka di kota Sociu dan daerah Kanglam. Diantaranya tampak hadir Ciau Toa-to, Hui-thian-jong-liong Teng Thong dari partai Pat-sian-kiam di Siamsay, dua saudara Liu yang gagah, si kurus Ciong Put Ji yang aneh tingkah lakunya, Tok-kak Go Tek Sian yang kalau menilik orangnya masih muda seperti seorang pelajar tentu tak mengira kalau ia seorang benggolan bajak laut yang termasyhur. Dua saudara she Cian yang bergelar Ho-lam-song-pah. Ciu Beng seorang pemuda berkaki satu, putera dari Ciu tayhaksu di kota raja. Di samping itu masih banyak jago-jago lihay lainnya yang tak begitu kukenal namanya.
Pemuda yang menghadapi jago-jago itu hanyalah kepada bujang lelaki keluarga Wan yang bernama Ong A Si dan Ih Ih seorang bujang yang masih dara. Dari bujang sampai pada kepala keluarga Wan dan puterinya itu, semua pandai ilmu silat.
Berturut-turut majalah kedua saudara she Liu tapi dapat dikalahkan oleh kepala bujang, A Si. Hui-thian-jong-liong dengan congkak tampil ke muka, tapi akhirnyapun harus menelan kekalahan dari kepala bujang keluarga Wan itu.
Ih Ih tak mau ketinggalan, waktu itu karena berebut hendak bertanding dengan A Si dua orang juga yakni Go Tek Sian si benggolan bajak dan Cio Toa To berhantam sendiri. Tiba-tiba seorang dara baju hijau muncul dengan tertawa-tawa.
"Siocia datang, siocia datang!" Para hadirin yang berada di bawah panggung sama berteriak gempar.
"Ya, memang cantik sekali," diantaranya hadirin itu ada seorang lelaki memuji dengan suara pelahan. Tapi ternyata lwekangnya hebat sehingga semua hadirin mendengar seruannya itu.
"Benar, benar, memang cantik sekali!" teriak meraka.
Begitu tiba di bawah panggung, dara itu ayunkan tubuhnya ke atas panggung. Kembali para hadirin berteriak memuji kelihayan dara itu. Kedatangan dara itu menyebabkan kedua jago yang sedang ngotot tadi, jadi berhenti.
Ternyata Cio Toa To dan Go Tek Sian itu hendak menyelesaikan urusan mereka tiga empat tahun yang lalu. Karena hal itu tak ada sangkut pautnya dengan tujuan pertandingan, maka Ih Ih itu menghalau mereka katanya: "Siocia melarang kalian bikin ribut di sini. Kalau hendak menyelesaikan urusan pribadi, silakan keluar sana."
Betapa marah Cio Toa To demi diketahui dara itu bukan nona Wan, melainkan bujang pelayannya. Ia tak mau menghiraukan lagi. Sudah tentu Ih Ih marah dan menantangnya, namun Cio Toa To taK mau melayani. Ih Ih kewalahan dan berseru minta tolong pada hadirin.
Seorang lelaki gagah meloncat ke atas panggung dan memberi nasehat kepada Cio Toa To, tapi yang tersebut belakangan ini malah menantangnya. Tenang sekali orang itu menyahut: "Kita tak bermusuhan, mengapa harus mengadu jiwa dengan senjata tajam?"
Cio Toa To berkaok-kaok kalap, terus menabas orang itu. Tapi dengan tenangnya orang itu merebut anak kecil yang dibawa Cio Toa To. Anak itu bernama Co Hun Ciang, putera tunggal dari Cio Toa To. Ke mana saja ia pergi, anaknya tentu dibawa. Karena kaget, anak itu menangis keras..
Sambil membujuk anak itu supaya jangan menangis, orang itu melayani serangan Cio Toa To. Enak saja rupanya ia menghadapi Toa To yang membanggakan dirinya sebagai Toa-to atau siraja golok itu. Hadirin kaget dan kagum, tetapi mereka tak kenal siapa orang itu. Bahkan Wan Thian Cik yang sudah berkecimpung dalam dunia persilatan selama berpuluh tahun, tak tahu juga siapa dia. Ia kagum juga melihat kelihayan orang itu.
"Awas!" tiba-tiba orang itu berseru dan seketika Cio Toa To lepaskan goloknya. Menyusul orang itu berseru lagi: ''Nih terimalah anakmu!" Sebelum Cio Toa To tahu apa yang terjadi, tahu-tahu ia sudah dipeluk anaknya lagi.
Golok Cio Toa To yang dibikin jatuh oleh orang itu, meluncur ke arah Go Tek Sian yang saat itu sedang bertempur melawan A Si. Buru-buru Go Tok Sian tangkiskan pedangnya, tapi golok itu terlalu kuat datangnya. Pedang orang she Go itu putus jadi dua.
Gerakan yang satu kali dapat mengalahkan dua orang itu, mendapat sambutan hangat dari Wan Thian Cik, Ih Ihpun menghaturkan terima kasih kepada orang itu: "Terima kasih atas bantuau tayhiap. Mohon tanya siapa nama tayhiap, siocia tentu akan datang menghaturkan terima kasih."
Orang itu membalas hormat, sahutnya tertawa: "Ah, jangan kelewat menjunjung, Aku yang rendah ini bernama Ku Pin."
Mendengar itu diantara hadirin terdengar ada yang berseru: "Oh, kiranya ketua Ang-tik-pang, Ha, ha, tak perlu kita naik panggung, puteri Wan-loenghiong tentu akan direbutnya."
Sampai di situ Hek-liong-kui-bo sudah bercerita sampai satu jam lebih. Hui Kun terpikat sekali dan menyeletuk: "Oh, kiranya ayah juga ikut dalam pertandingan itu. Apakah ia berhasil mendapatkan kau?"
''Hu-ji, jangan putuskan omonganku. Dia tak mau naik panggung bertempur dengan aku. Ia biarkan aku mengalahkan kawanan jago-jago. Ya, ia tinggal diam saja tak mau naik panggung," kata Hek-liong-kui-bo.
Mendengar pada waktu itu ayahnya amat lihay dan diindahkan orang, giranglah Hui Kun. Ia mendesak supaya Hek-liong kui-bo teruskan ceritanya. Tapi Kui- bo diam saja. Tiba-tiba ia berbangkit: "Budak Ceng Ih itu datang ke mari, tunggu dululah"
Jaka Pesolek Penangkap Petir 2 The Jungle Book Karya Rudyard Kipling Melati Tujuh Racun 1
^