Pencarian

Benci Tapi Rindu 5

Benci Tapi Rindu Cinta Dibawa Mati Karya Sd Liong Bagian 5


Memang pada saat itu Ceng Ih datang bersama Lam Tian. Dan apa yang terjadi telah diceritakan di bagian muka tadi. Setengah jam kemudian, Hek-liong-kui-bo datang dengan muring-muring: "Sukomu datang!"
Hui Kun minta agar suko-nya itu disuruh datang ke situ tapi Hek-liong-kui-bo mengelak: "Biarkan ia merasakan siksaan dulu diserang barisan ular."
"Kau kejam! "teriak Hui Kun.
"Kalau tidak kejam masakan aku digelari Kui-bo," jawab wanita itu.
Saat itu terdengar teriakan Lam Tian ketika bertempur dengan monyet dan binatang buas. Beberapa kali Hui Kun minta supaya Hek-liong-kui-bo jangan bikin susah pada suko-nya. Tapi Kui-bo dingin-dingin saja sampai pada suatu saat terdengar Ji Yan datang. Girang hati Hui Kun bukan kepalang. Ia tak menguatirkan lagi keselamatan suko-nya dan minta Kui-bo melanjutkan ceritanya.
Hek-liong-kui-bo merenung sejenak, lalu berkata: "Aku berkenalan padanya bukan di atas panggung pertempuran. Ai, masa yang lampau seperti asap yang tak berbekas. Puteri yang kuperoleh darinya kuberi nama Cai Yan (seperti asap)"
"Apa? Apa katamu?" Hui Kun berteriak kaget.
Hok-liong-kui-bo menghela napas: "Nona yang membantu suko-mu di sana itu, ya: Ji Yan itu adalah saudaramu tunggal ayah lain ibu."
Mata Hui Kun terpentang lebar dan mulutnya melongo. Ia segera menanyakan hal itu pada Hek-liong-kui-bo, Demikianlah selagi Lam Tian mati-matian bertempur melawan barisan ular, Hek-liong-kui-bo melanjutkan kisah hidupnya.
Selagi orang ramai membicarakan dirinya, Ku Pin yang masih berada di atas panggung, mendengarnya juga. Ia tertawa dan berseru lantang: "Apa yang kupertunjukkan, hanyalah kepandaian yang tak berarti. Aku, Ku Pin. sudah berumah tangga, masakan aku boleh dalam pemilihan jodoh ini. Harap saudara-saudara jangan menertawakan." Habis berkata ia loncat turun.
Juga berikutnya yang maju adalah Ciam bersaudara yang bergelar Holam-song-poh. Biasanya mereka kalau bertempur tentu maju dua orang, tapi karena yang menyambut adalah A Si, terpaksa Ciam Seng Ti suruh adiknya yaitu Ciam Seng Kiong yang maju. Juga she Ciam itu seorang ahli ilmu pedang Thay-kek-kiam, apalagi ia memakai pokiam (pedang pusaka). Dalam seratus jurus saja A Si sudah terdesak. Melihat A Si segera akan kalah, Ih Ih cari akal untuk membantunya. Ia melolos pedangnya yang pendek lalu loncat ke atas panggung "Ciam-ya. tunggu dulu!"
"Ada apa Ih Ih?" Seng Kiong hentikan permainannya.
"Ciam-ya. bukan aku si budak kecil ini banyak mulut. Tapi kau dapat menangkan A Si karena mengandalkan pokiammu itu!"
"Kalau begitu, biarlah kuganti lain pedang!" Seng Kiong marah-marah.
"Tak usah, pakailah pedangku ini," seru Ih Ih lalu mengangsurkan pedangnya. Dara itu cukup tahu, dengan pedang pendek ilmu permainan Thay-kek-kiam takkan membahayakan. Seng Kiong mendengus. Di hadapan sekian banyak jago-jago persilatan terpaksa ia menerimanya juga.
"Ciam toaya, kau akan membantu ji-ya? Tapi ji-ya belum kalah lho!" seru Ih Ih kepada Ciam Seng Ti. Memang cerdik sekali budak itu, Ia tahu bahwa kedua saudara Ciam itu, yang tua mahir dalam ilmu pedang Pat-sian-kiam, yang muda ahli dalam ilmu pedang Thoy-kek-kiam. Pat-sian-kiam khusus menggunakan pedang pandek, sebaliknya Thay-kek-kiam paling tepat menggunakan pedang panjang. Belum belum Ih Ih sudah mencegah agar Seng Ti jangan maju.
Seng Kiong marah sekali. Ia menyambar pedang pendek kepunyaan Ih Ih teras menyerang A Si. Tapi pertempuran kali itu berobah situasinya. Kekuatan mereka berimbang. Selagi Ciam Seng Ti ragu-ragu untuk ikut campur tangan, sekonyong-konyong golok A Si mencelat ke udara. Berbareng dengan itu muncullah seorang nona jelita.
"Ciam tayhiap, maafkan," seru si jelita itu yang bukan lain adalah Wan Hian Kwan sendiri.
Seng Kiong tersipu-sipu merah mukanya. Bagaimana siocia itu dapat menerbangkan golok A Si dan bagaimana caranya ia muncul di panggung situ, sungguh tak diketahuinya sama sekali. Ia malu pada dirinya sendiri.
Munculnya Wan Hian Kwan, ratu kembang dari Sociu itu telah menggemparkan seluruh hadirin. Gelar Ratu-cantik bagi Wan Hian Kwan memang tepat sekalj. Tubuhnya langsing ramping, sepasang matanya bundar bercahaya jernih, bibirnya laksana delima merekah. Dalam pakaian warna putih dari sutera Sociu yang tersohor, mahal dengan ikat pinggang merah darah, Hian benar-benar cantik seperti bidadari, Kalau tadi dalam menghadapi A Si kedua saudara she Ciam itu garang sekali, sekarang demi melihat munculnya Hian Kwan, mereka tegak kesima seperti patung. Diam-diam Hian Kwan menertawakan mereka.
"Cianpwe berdua konon mempunyai ilmu pedang yang tiada tandingannya di dunia. Aku ingin sekali mendapat pelajaran," kata Hian Kwan.
Ciam Seng Ti gelagapan dan buru-buru menyahut: "Kepandaian kami itu tak berarti sama sekali, masakan kami berani memberi pelajaran pada Wan siocia, pendekar wanita yang jarang terdapat tandingannya."
Beberapa orang yang berada di bawah panggung sama menyoraki kedua saudara she Ciam yang merengek-rengek seperti orang perempuan itu. Malah ada seorang pemuda bermuka putih cakap dan lalu loncat ke atas panggung dan mendorong kedua saudara Ciam itu: "Karena kalian berdua sayang akan membikin sakit tangan Wan siocia, maka silakan minggir saja."
Ternyata pemuda cakap itu bernama Cia Sian Kak, anak murid dari partai Hu-yong-kiam-bun di gunung Bin-san. Ia seorang jumawa yang mengira bahwa ilmu pedang Hu-yong-kiam itu tiada lawannya di dunia.
"Tentu nona sudah mendengar tentang nama Hu-yong-kiam. Mari, tak usah malu-malu," katanya seraya melolos pedang.
Diam-diam Wan Hian Kwan jemu dengan tingkah laku orang yang congkak itu. Ia ambil putusan untuk membikin malu orang itu. Ia segera minta sepasang pedang dari Ih Ih.
Bermula Hian Kwan hanya mengunjukkan permainan biasa saja. Malah dalam sebuah benturan, sengaja Hian Kwan pentalkan pedangnya ke samping. Cia Sian Kak menjadi makin bangga dan tak mau gunakan tenaga penuh. Adalah ketika pada lain benturan pedangnya hampir saja jatuh, barulah ia gelagapan dan sadar bahwa Hian Kwan hendak mempermainkan dirinya.
Ia segera mengerahkan seluruh tenaga tapi belas, tiba-tiba jelita itu lemahkan perlawanannya. Sian Kak kendorkan permainannya, Hian Kwan unjuk kekerasan tapi kalau Sian Kak keras, nona itu kendor. Bingung Sian Kak memikirkan. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk menutuk salah satu jalan darah nona itu tak usah melukainya.
Ia kesangsian sekali dengan paras si jelita, hingga dalam bertempur itu ia selalu peringas peringis mengawasi wajah Hian Kwan saja. Dalam suatu kesempatan ia segera gunakan jurus yang paling istimewa dari ilmu pedang Hu-yong-kiam, yalah yang disebut siang-kong-tium-cui (sepasang naga memain air).
"Lepaskan!" serunya. Wan Hian Kwan benar-benar harus melepaskan sepasang pedangnya. Sian Kak makin kegirangan. Ia menghaturkan maaf kepada si nona.
"Cia tayhiap benar-benar lihay, tapi entah apakah suka memberi pelajaran padaku dalam ilmu tangan kosong?" kata Wan Hian Kwan.
Tersipu-sipu si jumawa itu mengiakan. Beberapa hadirin yang ahli dalam ilmu silat tahu bahwa kekalahan Wan Hian Kwan itu hanya buatan saja. Terang kepandaian jelita itu lebih unggul dari lawan. Diam-diam mereka kuatir Hian Kwan akan mengajar babak belur pada si gila basa.
Dalam bertempur dengan tangan kosong itu sengaja Sian Kak merapat ke dekat si jelita. Pada jurus yang keduabelas, tiba-tiba sepasang tangan Hian Kwan menekan pundak Sian Kak. Inilah kesempatan yang bagus. Secepat kilat Sian Kak menyambar tangan si jelita itu terus ditariknya: "Nona, bagaimana ilmu kin-na-ciu dari Bin-san?" Ia hendak menarik Hian Kwan ke dalam pelukannya.
"Hebat benar!" sahut Hian Kwan dengan tertawa. Tiba-tiba terdengar Sian Kak mengerang dan Hian Kwan tertawa: "Ayah juga mengajarkan ilmu kin-na-ciu, entah bagaimana, ya?"
Dari ditarik berbalik menarik, malah seperti menjunjung anak kecil saja, Hian Kwan mengangkat tubuh Sian Kak ke udara, terus diputar-putar dengan cepatnya. Beberapa kali Sian Kak gunakan ilmu cian-kin-tak untuk membuat berat tubuhnya, tapi tenaganya entah lari kemana. Para hadirin bersorak dan tertawa gelak-gelak.
Setelah beberapa putaran lagi. sekonyong-konyong Sian Kak rasakan ulu hatinya sakit, Hian Kwan telah menutuk urat nadinya lalu melemparkannya ke udara. Ketika meluncur turun terus dikebut dengan lengan bajunya hingga jago dari Bin-san itu melayang ke bawah panggung. "Bum", ia tak dapat berkutik lagi. Buru-buru Wan Thian Cik menolongnya dan menghaturkan maaf.
Setelah kehirukan suasana reda, di panggung kembali menjadi tegang. Holam-song-pah dengan pedang terhunus mengepung Wan Hian Kwan di tengah-tengah. Sekonyong-konyong dari bawah panggung melayang seorang pemuda yang buntung sebelah kakinya, Pemuda buntung itu menyuruh kedua saudara Ciam turun kerena salah seorang dari mereka sudah beristeri. Menurut peraturan, orang yang sudah beristeri tak boleh ikut. Tetapi kedua saudara itu menolak, mereka tetap hendak minta pelajaran pada Wan Hian Kwan.
Akhirnya Wan Hian Kwanlah yang melerai, suruh si pemuda buntung itu turun dulu, biar ia melayani Holam song-pah itu.
"Nona Wan, silakan menghunus senjatamu, kata kedua saudara itu"
"Senjata? Ha, ha, Tok-thui tayhiap, maukah kau menolong aku mencarikan sebatang dahan tho-hoa," kata Wan Hian Kwan kepada si pemuda buntung tadi.
Pemuda itupun mengiakan dan terus lari ke dalam hutan pohon tho, memetik sebatang dahan dan terus melemparkannya ke atas panggung. Dahan pohon tho itu sebenarnya lemas, tapi di tangan si pemuda buntung, benda itu dapat meluncur ke atas sampai empat lima tombak tingginya. Dari situ dapat diketahui betapa kepandaian pemuda itu.
"Wangi benar!" Hian Kwan membau dahan itu, membuangi daun-daunnya kemudian setelah memperingatkan kedua lawannya supaya siap, ia lalu menyerang Ciam Seng Ti. Kedua saudara itu marah. Pula sebagian dari hadirin menganggap Hian Kwan kelewat menandang rendah lawan.
"Kau kelewat menghina aku!" bentak Seng Ti yang terus hendak menyambar dahan, tapi sekonyong-konyong dahan itu lenyap dan tahu-tahu Seng Kiang mendengus lalu loncat mundur. Ternyata ia diserang oleh Wan Hian Kwan.
Kedua saudara itu segera menjalankan serangannya yang teratur. Mereka mengepung Wan Hian Kwan dari muka dan belakang. Tapi sampai duapuluh jurus, kedua saudara itu tetap tak mampu melukai si jelita.
"Baiklah, aku akan mengalah sampai tiga-puluh jurus," Wan Hian Kwan tertawa sambil berlincahan menghindari serangan.
Betapa gencar dan serunya kedua jago itu lancarkan serangannya, tetap tak dapat mengapa-apakan Hian Kwan. Sebenarnya dalam berlincahan itu diam-diam Hian Kwan mempelajari permainan pedang lawannya. Selewatnya tigapuluh jurus itu, dapatlah sebagian besar ia mengetahui kelemahan lawan.
Sambil menyelinap keluar dari kepungan, berserulah Hian Kwan: "Jiwi, sekarang tibalah giliranku!" Ia segera tusukkan dahan lemas itu kepada Seng Ti.
Karena tadi berulang kali menabas dahan tapi tak berhasil, maka Seng Tipun menginsyafi kelihayan Hian Kwan. Ia pura-pura menangkis lalu berputar tubuh dan pergi. Kepergiannya itu adalah untuk memberi kesempatan kepada adiknya.
"Giam cianpwe, apa kau tak mau menangkis?" Hian Kwan tertawa seraya menusuk ulu punggung Seng Ti. Berbareng itu Seng Kiongpun maju menusuk punggung Hian Kwan. Tapi rupanya jelita itu tak menghiraukan, ia teruskan tusukannya,
Ciam Seng Ti mengira kalau adiknya sudah menyerang tentulah kwan akan batalkan serangan nya juga. Siapa tahu tiba-tiba ia rasakan punggung dilekati sebuah benda. Dalam kagetnya ia terus loncat ke muka tapi tak urung baju di bagian punggungnya sudah robek. Habis menusuk, dengan sehatnya Hian Kwan segera menangkis tusukan pedang Seng Kiong.
Lagi-lagi Hian Kwan mempermainkan mereka. Pada waktu Seng Ti menyerang ia sambar dengan tangannya dan ketika Seng Kiong menyerang ia adu pedang Seng Ti dengan adiknya itu. Sudah tentu mereka gelagapan, sebaliknya para hadirin tertawa terpingkal-pingkal.
Akhirnya Hian Kwan melayani mereka dengan kelincahannya yang mengagumkan. Dua macam ilmu pedang yang dibanggakan oleh Holam-song-pah itu ternyata dibuat bermain-main saja oleh jelita lihay dari kota Sociu itu. Saking lelahnya kedua jago itu sampai tersengal-sengal napasnya seperti kerbau yang menarik muatan berat.
Pada detik-detik kekalahan kedua saudara Ciam itu sudah terbayang mata, tiba-tiba dari bawah panggung melayang naik seseorang.
"Nona Wan, bolehkah aku meminta giliranku sekarang?" kata orang itu sambil melerai di tengah mereka.
Sebenarnya dengan sudah dapat merobekkan baju Ciam Seng Ti dan mencungkil jatuh kopiah Ciam Seng Kiong itu, Hian Kwan dapat dikata menang. Maka ketika ada orang melerai, iapun tak mau ngotot. Ternyata orang itu si pemuda kaki buntung tadi.
"Terima kasih atas pemberianmu dahan pohon ini," kata Hian Kwan sambil mengembalikan benda itu.
"Walaupun tiada berguna lagi, tapi dahan pohon bunga ini masih wangi. Bolehkah kusimpan dahan ini untuk tanda mata?" tanya si pemuda buntung.
Wajah Wan Hian Kian merah dadu, bisiknya: "Jika barang itu boleh dibuat tanda peringatan, silakan ambil."
Pemuda buntung menghaturkan terima kasih.
-^dwkz^smhn^- Jilid 07 KENALKAN Hati wanita memang sukar diduga. Seorang gadis yang diagungkan sebagai ratu kecantikan, seharusnya mendapat jodoh dengan seorang pemuda yang cakap dan rupawan. Tetapi pada kenyataannya banyak wanita cantik yang lebih suka dipersunting pria yang tua, yang sudah beristeri ataupun duda.
Demikian yang terjadi pada diri Wan Hian Kwan, ratu kecantikan dari kota So-ciu. Banyak jago-jago yang sakti yang cakap, dia tak senang tetapi malah kecantol dengan seorang pria yang sudah beristeri.
Aneh? Tidak. Kalau tidak begitu takkan terlahir ucapan 'hati wanita itu sukar diduga?
Cinta bagi seorang wanita adalah ibarat nyawa. Kalau cinta itu dihianati, nyawapun akan di-pertaruhkannya....
-^dwkz^smhn^- Dalam pada itu kedua jago dari Holam tadi pun memberi hormat kepada Wan Hian Kwan si pemuda buntung lalu turun panggung.
Bercerita sampai di sini, Hek-liong-kui-bo berhenti.
"Lalu bagaimana, ya bagaimana?" karena terpikat sekali Hui Kun dengan tak sabar mendesak.
Hek-liong-kui-bo mendongak memandang awan yang bertebaran di langit. Beberapa kali ia menghela napas. Bertanyalah Hui Kun: "Kui-bo, siapakah pemuda buntung itu?"
"Dia, dia adalah suamiku," sahut Hek- liong-kui-bo dengan nada rawan.
"Bukankah tadi kau mengatakan bahwa kau menikah dengan ayahku dan Ho Ji Yan itu adalah ciciku dari lain mamah?" tanya Hui Kun.
Hek Liong-kui-bo menghela napas pula, ujarnya: "Ah. kau ini anak yang pelupa benar. Tadi kubilang bahwa terikatnya aku dengan ayahmu itu bukan karena pertandingan di atas panggung. Ikatan itu sebenarnya...."
"Sebenarnya bagaimana?" desak Hui Kun.
Mulut Kui-bo komat kamit seperti hendak berkata tapi ragu-ragu. Akhirnya berkatalah juga ia dengan pelahan sekali. "Minggat! tahukah kau arti kata-kata itu?"
Wajah gadis itu kemerah-merahan dan mengangguk. Kemudian ia bertanya pula: "Kalau begitu kau tentu dikalahkan oleh pemuda buntung itu lalu diambil isteri?"
"Bukan begitu, sebaliknya aku yang menjatuhkannya, kemudian dinikahkan padanya," sahut Hek-liong-kui-bo.
"Masakan di dunia terdapat hal yang seganjil itu?" Hui Kun membantah.
"Mengapa tidak ada? Kalau tidak ada, masakan aku dapat dikawinkan padanya?" balas Hek-liong-kui-bo.
Hut Kun minta agar Kui-bo suka menceritakan tentang hal itu. Hek-liong-kui-bo pun melanjutkan pula ceritanya:
Setelah mendapat dahan pohon tua, pemuda buntung itu lalu turun dari panggung. Sejak saat itu tiada orang yang berani naik ke atas panggung lagi. Ya. memang jago-jago yang mengukur dirinya kalah dengan pemuda buntung itu, tak berani coba-coba unjuk diri. Saat itu matahari sudah mulai condong ke barat. Karena sampai setengah harian tak ada jago yang naik ke panggung lagi, maka ayah lalu menunda pertandingan itu. Malamnya ia, menjamu para tetamu. Karena itu bukan bagianku, maka aku bersama Ih Ih lalu kembali ke dalam kamarku. Belum lagi kubuka pintunya, dari dalam kamar kudengar seperti ada suara napas orang. Kurangajar, siapa yang berani masuk ke dalam kamar itu?"
"Siapakah dia? Sungguh besar sekali nyalinya!" teriak Hui Kun.
"Jangan begitu bernafsu, dengarlah dengan sabar nanti tentu tahu sendiri. Kusuruh Ih Ih menjagai pintu, kemudian aku sendiri memutar ke belakang kebun dan mengintip dari bawah jendela. Kamarku itu mempunyai sebuah jendela yang menghadap ke kebun bunga di belakang. Tak peduli siapa yang masuk dalam kamar itu, nanti tentu kuhajar. Dengan melolos pedang segera aku melongok ke dalam."
"Siapakah itu?" serentak Hui Kun bertanya.
"Begitu aku melongok, kulihat seorang lelaki yang bertubuh tinggi besar tegak berdiri membelakangi jendela tempat persembunyianku. Ia tengah menikmati sebuah lukisan pemandangan alam yang tergantung di dinding. Mulutnya berbisik memuji. Hal itu berbalik membuat gembira hatiku. Ah, jika orang itu benar memuja lukisan itu, takkan kuapa-apakan karena lukisan itu akulah yang melukisnya sendiri"
"Siapakah sebenarnya orang itu?" kembali Hui Kun mengajukan pertanyaan.
Hek-liong-kui-bo tak mempedulikan dara itu dan melanjutkan ceritanya: "Aku hanya melihat punggungnya tak dapat melihat airmukanya. Saat itu tak kuketahui siapakah orang itu. Tapi dari pakaian dan gerak geriknya, kuyakin dia tentu bukan orang sembarangan. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ia berbalik diri...."
"Kalau begitu kau tentu melihatnya?" tanya Hui Kun.
Hek-liong-kui-bo tersenyum tawar, suatu hal yang jarang terjadi pada wajahnya yang menyeramkan itu, Saat itu orang tentu jemu dan muak melihat senyumannya. Tapi pada duapuluh tahun yang lalu, senyumannya itu telah menjatuhkan entah berapa puluh lelaki-lelaki gagah.
"Kau duga siapakah dia itu? Aku sendiri pun tak tahu. Karena berputarnya itu secara mendadak sekali, aku sampai terkejut dan cepat menarik kepalaku hingga kami tak dapat berpandangan muka. Mengapa? Itu waktu aku sendiri tak tahu sebabnya sekarang baru kuketahui kalau hal itu terdorong oleh pembawaan gadis remaja yang malu-malu. Di luar jendela aku tak berani bergerak. Rencana untuk menghajar orang itu, entah apa sebabnya telah hilang lenyap."
"Nak, kuberi tahu padamu. Para dara remaja yang sedang mencari pacar itu tentu merasa segala apa yang dicintai itu kelihatan indah dan menyenangkan. Apakah dia itu jelek atau tolol, baginya tetap bagus. Ia laksana seekor burung di musim semi, sebentar terbang ke pohon sana sebentar terbang kepohon sini. Baik pohon tho-hoa maupun beringin, semua dianggapnya bagus. Mengertikah kau?"
Hui Kun mengangguk: "Benar, karena itulah kau lalu menikah dengan pemuda buntung itu? Ya, orang yang di dalam kamarmu itu tentu lah dia."
"Tidak! Jangan Sembarang menerka. Kudengar derap kaki orang itu mondar-mandir di dalam kamar. Kemudian ia melangkah ke muka jendela untuk menghirup hawa segar dan berkata seorang diri: "Sudah lewat petang hari, mengapa ia belum datang? Apakah ia disuruh ayahnya mengawini kawanan manusia tak berguna itu dalam perjamuan?" Nada suaranya lemah lembut dan kuduga orangnyapun tentu demikian. Saat itu aku mengumpat di ujung tembok dengan hati berdebar-debar, seolah-olah aku seorang pencuri dan dia pemilik kamar itu. Tak lama, ia kembali dan duduk di meja toiletku, menghela napas pelahan-lahan. Ia menjemput dos pupurku dan menciumnya. Kemudian ia memegang lain benda lagi dengan mesranya."
Sampai di situ mata Hek-liong-kui-bo berlinang-linang. Ia teringat masa-masa yang bahagia. Kemudian katanya: "Nak, kaukira siapakah orang itu? Dia adalah ayahmu!"
Hui Kun terkejut sampai tersentak bangun: "Dia? Ketika itu ia sudah beristeri mamahku, mengapa masih masuk ke dalam kamar seorang gadis? Kui-bo, apa ia berbuat tak senonoh kepadamu?"
"Sama sekali tidak. Ayahmu seorang ksatria perwira, Adalah karena itu aku suka padanya. Ai, sudahlah jangan memotong ceritaku. Di atas meja toiletku itu terdapat sebuah cermin. Tiba-tiba ayahmu melihat dari dalam cermin itu sebuah kepala dan sepasang mata yang berkilau-kilauan tengah memandang kepadanya. Dari cermin itulah untuk pertama kali aku berpandangan dengan ayahmu. Dari situlah kulihat wajah ayahmu yang cakap.
Saking kagetnya ia sampai menjatuhkan botol minyak rambutku. Mendengar suara itu Ih Ih menerobos masuk dan berseru kepadaku, "Siocia, apa kau tak kena apa2?" Tiba2 ia melihat ayahmu. Setelah tercengang-cengang sampai sekian saat barulah ia dapat menegurnya, "Ku tayhiap, kau.... cari apa di sini?"
Baru saat itu kuketahui kalau dia adalah ketua Ang-tik-pang yang tadi memukul Ciau Toa To serta Go Tek Sian. Seketika dinginlah hatiku dan aku segera loncat masuk, suruh Ih Ih mengusirnya pergi."
"Mengapa, apa kau tak suka padanya?" kembali Hui Kun memutus.
Hek-liong-kui-bo menghela napas, ujarnya, "Siapa suruh dia sudah beristeri? Ih Ih memberitahukan kepadaku bahwa Ku Pin itu sudah menyatakan punya isteri, jadi tak berhak turut dalam pertandingan lagi. Ai, bocah tolol, apakah benar2 karena itu aku lalu membencinya? Pada saat itu Ih Ih pun ragu2 melakukan perintahku. Tiba2 ayahmu berdiri, karena kibaran lengan bajunya kembali ia membikin pecah sebuah doos pupurku. Ia meringis dan merah mukanya.
"Malam hari begini mengapa Ku tayhiap masuk ke kamarku?" tanyaku. Ayahmu merah mukanya, mulutnya tergagu-gagu tak dapat bicara.
"Ku tayhiap, apakah kau hendak bertanding? Hmm, benar, karena kau merasa tak berhak naik ke panggung maka kau unjuk kepandaianmu di sini. Silakan melolos senjata," kataku dengan dingin.
Ayahmu telah mendapatkan kembali ketenangannya. Ia melihat aku lalu memandang Ih Ih, kemudian memberi hormat, ujarnya: "Sio-cia, memang perbuatanku masuk kemari ini tidak patut. Karena kau tak mengijinkan aku bicara, maka akupun akan mengundurkan diri. Hanya saja, ular naga itu...."
"Naga apa?" tanyaku.
Ayahmu menyahut lebih baik tak menerangkan. Ia memberi hormat terus berlalu. Aku terlongong-longong memikirkan kejadian itu. Kupikir, ia bukan datang bermaksud.... tetapi ah, mengapa dia tak bilang pada ayahku tetapi masuk ke dalam kamarku? Bagaimana dia termangu-mangu memandangi lukisanku dan barang2 dikamarku tadi, kembali terbayang di pikiranku. Karena dia memuja diriku, aku dapat memaafkan perbuatannya itu.
Semalam aku tak dapat tidur. Wajah ayahmu terbayang-bayang dalam hatiku. Ah, jika dia belum beristeri, tentu aku akan memilihnya...."
"Hek-liong-kui-bo meneruskan ceritanya: "Hari kedua pertandingan itu dilanjutkan. Beberapa jago baru, datang juga. Tapi sampai lima orang jago dapat kujatuhkan. Ayahmu tak: mau naik panggung. Kutunggu sampai tengah hari, ia tak kelihatan muncul. Malah ketika kuperhatikan di antara para hadirin, ia tak berada di situ. Waktu makan siang, kuajak ayah ke dalam kamar dan kutanyakan bagaimana anggapannya tentang diri Ku Pin. Ayah mengatakan tak kenal. Lalu kutanyakan lagi bagaimana kepandaian Ku Pin itu dibanding dengan aku, ayah mengatakan berimbang. Kemudian ia bilang, kalau Ku Pin sudah pergi, alasannya karena hendak menghadapi seekor naga jahat.
Dengan keterangan ayah itu jelaslah sudah, bahwa kalau Ku Pin sampai berani masuk ke dalam kamarku, bukan lain ialah hendak meminta bantuanku. Diam-diam aku berjanji dalam hati. Kalau ada kesempatan, aku tentu akan membantunya."
"Sepasang pedang membunuh naga, ah, sungguh suatu pertempuran yang jarang terjadi di dunia persilatan. Kui-bo, lekas teruskan ceritamu!" pinta Hui Kun.
"Karena dalam hari kedua itu tiada orang yang dapat mengalahkan aku, maka akhirnya ayah mengumumkan bahwa pertandingan itu hanya terbatas sampai tiga hari saja. Pun syaratnya ia perlunak, ialah barangsiapa yang dapat bertanding seri dengan aku sampai seratus jurus, bolehlah dianggap menang.
Semua orang mencari pada si pemuda buntung, tetapi ternyata orang itu duduk jauh2, seolah-olah tak menghiraukan kejadian di sekelilingnya. Tiba2 sesosok tubuh melayang ke atas panggung. Ternyata dia adalah Ciong Put Ji yang bergelar Sam-hay siansing."
"Untuk hadiah yang berharga, tentu bakal ada orang yang berani. Nona Wan, apakah syarat ayahmu itu boleh dirobah?" tanyanya
"Waktu kutanya, dia mengatakan, dari seratus jurus turun menjadi limapuluh jurus saja."
Aku menertawakannya: "Limapuluh tetap masih kebanyakan. Bagaimana kalau kuganti menjadi tiga jurus saja? Kau bergelar Sam-hay (tiga celaka). Jika kau dapat bertahan, itu baru cocok dengan gelaranmu."
Ciong Put Ji girang setengah mati. Sekalian hadirin terkesiap. Selihay-lihay Wan Hian Kwan, mereka anggap tak nanti mampu menjatuhkan Ciong Put Ji dalam tiga jurus saja. Ada orang yang sayang kalau sampai si jelita jatuh di tangan orang she Ciong lalu menyerukan supaya tiga jurus itu diganti menjadi tigapuluh jurm. Sampai2 Wan Thian Cik sendiri juga turut kerutkan keningnya. Namun ia tak dapat merobah apa yang sudah dijanjikan sang puteri itu.
Ciong Put Ji melolos sepatunya dan membaukan pada hidung. Serentak semangatnya menyala dan lancarkan serangan pertama Ping-poh-ceng-hun.
Hian Kwan mengisar ke samping dan berseru: "Tahan! Put Ji siansing, apa ini senjatamu?"
Ciong Put Ji mengangkat sepasang sepatunya yang butut dan berbau itu ke atas dan menjawab, "Ya, benar Jika melawan bangsa keroco tentu ku beri makan dengan sepatu wangi ini, tapi terhadap siocia, masakan aku berani." Tiba2 ia menjerit karena teringat bahwa jurus pertama sudah berlangsung.
"Nona Wan, jurus pertama dapat kau hindari, semua orang tahu. Nona, jangan sombong kau!'' seru orang itu.
Wan Hian Kwan muak dengan orang yang menyebalkan itu. Diam2 ia ambil keputusan hendak memberi hajaran yang setimpal. Ia meminta Ih Ih memberikan sepatunya. Sepasang pedang ia masukkan dan sebagai gantinya kini ia menggunakan sepasang sepatu kepunyaan Ih Ih.
"Put Ji siansing, silakan menyerang!" Put Ji siansing menyerang dalam jurus poh-poh-kn-seng. Dua tangannya berbareng menyerang seperti supit, yang atas menghantam kepala yang bawah menghantam janggut. Itu adalah pukulan istimewa yang diciptakan sendiri. Entah sudah berapa banyak kociu yang dapat dijatuhkan dengan pukulan itu. Hian Kwan tertawa geli. Tangan kirinya menangkis ke atas dan kemudian diteruskan menamparkan sepatu yang dipegangnya itu ke dada orang.
"Mati aku, mati aku!" tiba2 Put Ji berteriak. Entah bagaimana ketika ditangkis oleh Hian Kwan ia serasa lumpuh tenaganya, keringat dingin mencucur deras.
Kelemahan dari jurus poh-poh-seng itu adalah bagian dada. Kebetulan pada saat itu dada Ciong Put Ji terbuka. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Hian Kwan. Untung nona itu masih kenal kasihan. Pada saat Ciong Put Ji sudah tak berdaya, Hian Kwan angkat tangannya ke atas hingga Ciong Put Ji sempat untuk mendak ke bawah hingga tangan Hian Kwan hanya mengenai bagian bahu.
"Ah, malu, malu! Jika nona tak kenal kasihan, aku temu sudah remuk," diam-diam ia membatin. Tapi selagi ia kegirangan tahu-tahu pipi kanannya ditampar oleh Hian Kwan, sakitnya bukan alang kepalang.
"Put Ji siansmg, masih ada sejurus lagi!" seru Hian Kwan.
Karena pipinya begap merah, wajah Ciong Put Ji tampak lucu, apalagi ia meringis ketakitan dan ah, malunya bukan main ketika para hadirin menyorakinya.
"Toa-siocia, hari ini aku tak bersemangat. Masih ada satu jurus, titip dulu. Hihi, sampai berjumpa lagi!" habis berkata terus hendak loncat turun tapi tahu-tahu punggungnya ditarik Hian Kwan.
"Put Ji siansing, mengapa buru-buru?"
Ciong Put Ji berpaling dan tertawa meringis, "Berkelahi atau tidak? Orang kuno mengajarkan, tidak berkelahi itu adalah peribadi baik, sesuai dengan ajaran nabi. Mengapa kau berkeras hendak berkelahi?"
Hian Kwan kasihan juga, tapi ia minta keterangan apakah orang she Ciong itu sudah mengaku kalah.
"Seorang lelaki berani menang berani kalah. Mengapa takut mengaku kalah?" sahut Ciong Put Ji.
"Baik, tapi aku minta tolong carikan seseorang."
"Siapa?" Hian Kwan tak menyahut, tiba-tiba ia mendorong orang itu: "Put Ji siansing, sampai berjumpa lagi!"
Ciong Put Ji merasa leher baju belakang seperti diselipi sebuah benda tapi ia tak berani memeriksa. Tanpa menghiraukan cemohan orang, ia lalu ngeloyor ke kakus. Waktu mengambil benda itu ternyata secarik kertas yang tak bertulisan melainkan terdapat lukisan sebatang pit-emas. Setelah memikir bolak balik, barulah ia tahu kalau yang dimaksud nona itu tentulah Ku Pin. Gelaran Ku Pin yalah Sin-pit-poan-koan atau si Pena Emas. Buru2 ia tinggalkan tempat itu untuk mencari ketua Ang-tik-pay itu.
Sementara dalam pertandingan itu, tak ada lagi jago yang berani naik ke atas panggung. Malam itu kembali Wan Thian Cik menjamu tamu-tamunya. Wan Thian Cik mencari puterinya di kamar dan marah2. Ia tahu apa yang diperbuat Hian Kwan dalam bertanding dengan Ciong Put Ji tadi. Hian Kwan terus terang mengaku bahwa pilihannya jatuh pada Ku Pin. Mendengar itu Wan Thian Cik marah sekali. Masakan orang yang sudah beristeri akan dipilih menjadi suami? Namun Hian Kwan tak dapat melupakan Ku Pin. Semalam suntuk ia tak dapat tidur.
Dalam pertandingan pada besok paginya, si pemuda buntung naik ke atas panggung. Ternyata dia adalah putera tunggal dari tay-haksu Ciu Ting, mamanya Ciu Bing. Dia adalah seorang pemuda yang pandai sastera dan ilmu silat. Tergolong seorang pemuda gentlemen nomor satu di kota raja. Ada uang ada pengaruh, siapa orangnya yang tak kepincut padanya. Hanya sayang, sebelah kakinya buntung...."
"Ya, mengapa kakinya buntung?" Hui Kun juga merasa sayang.
"Ceritanya panjang, ia memberitahukan padaku, pada waktu itu...." tiba-tiba Hek-liong-kui-bo berhenti, matanya terbeliak: "Hui-ji, ji-sukomu sudah menerjang ke dalam lingkungan Tok-liong-tham." Iapun mengatakan bahwa Ji Yan dan Lam Tian sedang menunggu tali di ayunan. Tapi Hui Kun minta agar ceritanya dilanjutkan.
Hek-liong-kui-bo meraba wajahnya yang rusak itu, kemudian tertawa dingin: "Melanjutkan cerita? Hm, Ku Pin telah mencelakakan aku sedemikian rupa, mengapa tak kubalas kepada muridnya? Tunggulah, aku hendak ke sana dulu."
Hui Kun hendak mencegah tapi wanita itu sudah melesat pergi ke tepi rawa dan mendamprat Ji Yan. Setelah Ji Yan dengan tali berayun datang, ia segera memeluk mamahnya: "Mah, apa kau keberatan dengan kedatangan Lam Tian? Mana adik Hui?"
"Tuh ia di sana. Berikan tali itu padaku"
Begitu menerimanya, Hek liong-kui-bo kerahkan lwekang untuk meremasnya, kemudian diayunkan ke arah Lam Tian. Dan sebagaimana diceritakan di atas tadi, ketika Lam Tian berayun, ternyata di tengah rawa tali itu putus. Jadi yang mencelakakan dia bukan Ji Yan tetapi Hek-liong- kui-bo.
Kalau Hek-liong-kui-bo tertawa gelak-gelak, adalah Ji Yan diam-diam menyalahkan dirinya sendiri mengapa sampai lengah. Dalam gugupnya ia lalu mencabut sebatang pohon kecil terus dilemparkan ke bawah rawa. Cepat dan tepat sekali lemparannya itu hingga sebelum kaki Lam Tian menyentuh air pohon itu sudah tiba lebih dulu. Girang Lam Tian bukan kepalang. Dengan meminjam tenaga pijakan pada kayu itu, ia apungkan tabuhnya ke atas sampai tiga tombak. Tiga empat kali ia harus ulangi turun-naik itu. Setelah timbangan berat tubuhnya berkurang, Ji Yanpun sudah dapat melemparkan tali rotan kepadanya. Dengan bantuan rotan itu dapatlah Lam Tian naik lagi ke atas.
Sebelah mata dari Hek-liong-kui-bo yang menakutkan itu memandang lekat-lekat pada Ji Yan, kerut wajahnya menampilkan kemarahan hebat. Tetapi Ji Yan berkata dan merayunya: "Mah...."
Hek-liong-kui-bo mendengus terus putar tubuhnya berlalu.
Saat itu Hui Kun menyusul datang:' 'Ji-suko apa kau tak kena apa-apa?"
Lam Tian mengatakan dirinya tak kurang suatu apa. Kemudian Hui Kun meminta kepada Hek-liong-kui-bo agar jangan mencelakakan ji-sukonya lagi karena pemuda itu tak bersalah apa-apa.
"Ho, kau juga melindunginya," kata Hek-liong-kui-bo.
Hui Kun berseru keras-keras: "Siapa yang kau benci itu? Lau Lam Tian? Kalau memang ada kepandaian, tunggulah ayahku nanti, mengapa menumpahkan kemarahanmu kepada seorang angkatan muda? Hmm, ketika kau menjadi Ratu-kembang Sociu, toh Lau Lam Tian be!um lahir. Dengan membunuhnya apakah kau dapat memulihkan wajahmu lagi? Apakah kau dapat menghimpaskan dendammu yang lampau?"
Kata-kata anak dara itu telah membuat Hek-liong-kui-bo bungkam. Kata Hui Kun pula: "Rupanya kau masih bernafsu hendak membunuh orang, lebih baik kau bunuh aku saja. Aku adalah puteri Ku Pin, lebih tepat menjadi sasaranmu daripada Lam Tian. Ayo, bunuhlah aku!" Dara itu acungkan tubuhnya ke dekat Kui-bo.
Tetapi Hek-liong- kui-bo mendorongnya lalu tinggal pergi malah.
Kini tertinggal Lam Tian, Ji Yan dan Hui Kun. Ji Yan dan Hui Kun saling berpandangan dengan perasaan yang sukar dilukiskan. Sesaat kemudian Lam Tian teringat akan Ho Hong Lu yang kena ditutuk jalan darahnya itu. Ia minta Ji Yan menolongnya.
"Siapa?" tanya Ji Yan.
"Hong Lu itu adalah engkohmu!" kata Lam Tian.
Mendengar itu Jt Yan melonjak kaget dan lekas-lekas hendak mengambil tali ayunan. Tiba-tiba dari tepian sang sesosok tubuh datang dan memanggul Hong Lu. Orang itu ternyata Ceng Ih. Buru-buru nona itu meneriaki Lam Tian supaya datang ke situ.
"Kau panggul dia dan berayun dulu ke sana, baru nanti lemparkan lagi tali rotan itu ke mari," karena teringat akan perbuatan Lam Tian mencari surat.
Ceng Ih tetap bersikap dingin kepadanya. "Silakan kau berayun ke sana dulu, nanti aku menyusul dengan memanggul anak muda ini," kota Lam Tiam.
"Wah, kau sungguh jempol, kalau Hek-liong-kui-bo menghajarmu aku tak mau membantumu lagi."
"Ceng Ih, apakah kau masih marah?"
"Benda milik seorang anak perempuan masakan orang lelaki berani mencurinya. Kalau tidak marah kepadamu habis marah kepada siapa?"
"Terserah saja mau marah atau tidak. Sekarang mari kita bicara dengan sungguh-sungguh. Kau masih hutang sebuah hal kepadaku. Jika kau tak mau membayarnya, aku tak mau membantumu lagi.
"Hutang apa aku kepadamu?" tanya Ceng Ih keheranan.
"Sudah dua kali aku membantumu. Sesuai dengan perjanjian kita, seharusnya kau mencium aku dua kali," kata Lam Tian.
Ceng Ih mundur selangkah dan berseru marah: "Kapan kau membantu aku?"
"Aku telah menghajar Hong Lu yang mencuri senjatamu. Dia sekarang pingsan dan kau suruh aku menggendongnya, ini yang kedua. Apakah kedua bantuan ini tak kau anggap?" sahut Lam Tian.
Ceng Ih terkesiap, tapi karena dilihat oleh Ji Yan dan Hui Kun, malu juga ia. "Hutang dulu, besok kita perhitungkan lagi," katanya.
"Tapi harus pakai bunga lho!" Lam Tian mengoloknya.
"St, jangan keras-keras bicara, celaka kalau didengar mereka," bisik Ceng Ih.
"Hutang dan bunganya boleh dihapus asal selanjutnya kau tak marah-marah padaku lagi." ujar Lam Tian.
Didesak begitu terpaksa Ceng Ih mengiakan. Lam Tianpun segera menyilakan nona itu melintasi rawa lebih dulu.
Kini ketiga nona, Ji Yan, Hui Kun dan Ceng Ih memandang ke arah tepi sana di mana tampak Lam Tian sedang sibuk menutuk jalan darah Hong Lu. Tak berapa lama Hong Lu loncat bangun.
"Tuh lihat, bagaimana hebat kepandaian suko-ku!" seru Hui Kun.
Tapi Ceng lh menyeletuk: "Jangan keburu bergirang dulu. Mereka tadi habis berkelahi, masakan begitu gampang mau ke mari."
Dan memang benar, Lam Tian dan Hong Lu bersiap memasang kuda-kuda pula. Karena jaraknya jauh, hanya Ji Yan yang dapat mendengar pembicaraan kedua pemuda itu dengan jelas. Ternyata Hong Lu menantang Lam Tian bertanding lagi dalam ilmu menutuk.
"Ho-heng, kau mempunyai tiga kasalahan, tahu tidak?" ujar Lam Tian.
Hong Lu tertawa: "Pertama, menyuap tukang perahu supaya membawa kau ke pulau ini. Kedua diam-diam memutus tali supaya kau tak dapat kembali ke pantai. Yang ketiga, memikatmu supaya masuk ke dalam gunung agar sumoaymu ditangkap orang. Ketiga kesalahan itu memang tak boleh diberi ampun. Marilah kita bertempur."
"Bagus." seru Lam Tian, "kemarin aku kalah bertanding dengan pukulan, sekarang biarlah kita beradu dengan senjata"
"Baik, pertandingan di dalam kuburan kemarin belum ada kesudahannya, mari sekarang kita selesaikan," sahut Hong Lu lalu melolos rantai bandringannya dan segara menyilakan Lam Tian memulai dulu.
"Apa kau tak jeri pada Kim go-kiam-hwat?"
Hong Lu tersirap darahnya namun lahirnya ia tenang-tenang menyahut: "Jika kau gemar menggunakan ilmu pedang itu, aku mengaku kalah. Tetapi sebelum bertempur, memang belum dapat dipastikan. Ha, apakah kau tak takut dilihat oleh ibuku?"
Lam Tian tak menyahut melainkan suruh Hong Lu segera mulai lebih dulu. Bermula Hong Lu mengalah, tetapi karena Lam Tian tetap tak mau, terpaksa ia mulai menyerang dulu. Rantai bandringan perak mengaum di udara dan melayang turun. Lam Tian loncat ke sebelah kiri Hong Lu dan dengan gerak sin-go-yang-ki, ia tusuk jalan darah ciangbun-hiat di rusuk orang,
Yang paling ditakuti Hong Lu memang jurus sin-go-yang-ki itu. Ia hendak merencanakan hendak menggubat pedang lawan untuk ditariknya jatuh. Tapi Lam Tian sudah merobah jurus itu dengan gerak to-kwa-kim-go, dari atas membabat ke bawah pada lengan kiri lawan. Serangan itu hebat dan ganas sekali. Karena tak berdaya menghindar lagi. maka Hong Lu lelah lancarkan serangan nekad, ia hantam belakang kepada orong. Kalau lengannya nanti terbabat kutung, pun kepala Lam Tian pasti bonyok pula.
"Kau hebat benar saudara Ho!" seru Lam Tian seraya batalkan serangan karena harus menghindari hantaman lawan. Hong Lu kemerah-merahan mukanya dan menyatakan kalau Lam Tian yang lebih lihay.
"Terus terang saja, kehebatan ilmu pedang kim-go-kiam-hwat itu terletak pada cepatnya menyesuaikan gerakan lawan, Siapa yang bergerak lebih dulu tentu akan dikuasai. Ho-heng, sekarang bagaimana dengan seranganku ini? Lam Tian sambil menusuk.
Hong Lu menangkis dengan rantai lalu sambarkan bandriugan ke hidung lawan.
"Bagus!" seru Lim Tian sambiil memutar tubuh maju dua langkah dan hantamkan kepalan kirinya ke dada Hong Lu.
"Kalau beradu tinju, kaulah yang menderita," Hong Lu tersenyum dan kerahkan tenaga untuk menyongsongkan tinjunya.
"Ho-heng, aku bukan orang tolol. Sayang dengan tinjumu yang sia-sia ini," Lam Tian tertawa sambil mundur.
"Krak" karena kelewat bernapsu, Hong Lu tak sempat menarik pulang tinjunya. Sebatang pohon kena dihantamnya, terlempar roboh dengan akarnya. Ketiga nona menyaksikan pertempuran itu perasaan berlain-lainan. Hui Kun mengharap sukonya yang menang agar pamor perguruannya naik.
Walaupun tak bermusuhan dengan Lam Tian dan tak ada hati dengan Hong Lu, tapi karena Ang-tik-bun (partai Lam Tian) dan Tin-tik-bun (partai Ceng Ih) itu bermusuhan, maka Ceng Ih mengharap Lam Tian yang kalah. Yang istimewa adalah Ji Yan. Yang satu adalah orang yang disukainya, sedang yang satu adalah saudara tunggal ibu lain ayah, siapa yang menang baginya tak menyenangkan juga. Ia berharap agar kedua pemuda itu damai saja.
Dalam pada itu dia-diam Hong Lu memuji kehebatan ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat. Serangan Lim Tian seperti hujan lebat mencurah. Untung kerena memiliki ilmu ginkang yang tinggi dapatlah Hong Lu menghindar. Namun, sekalipun begitu ia tetap kalah angin.
Sebaliknya Lam Tian diam-diam girang karena sudah membayangkan kemenangan. Tapi untuk menangkan lawan, iapun tak dapat hanya menang angin saja.
Pun Hui Kun tak kepalang girangnya. Di sana ia membanggakan tentang ilmu pedang Kim go-kiam-hwat, jurus ini bagaimana, jurus itu bagaimana pula.
Ceng Ih sebal mendengarnya: "Kalau becus ke sana saja menempurnya. tak usah mengobrol di sini."
Dalam partai Tin-tik-pang, hanya Tan Ceng Ih itu saja yang paling dibenci Hui Kun, maka iapun lalu menantang Ceng Ih berkelahi. Ceng Ih meraba pinggangnya tapi ternyata golok yang dicuri Hong Lu itu masih berada pada pemuda itu. Merahlah mukanya.
Tapi karena Hui Kun menertawakannya, marahlah Ceng Ih: "Budak, apakah kau kira aku tak sanggup melayanimu dengan tangan kosong?"
"Wut" ia lalu menampar Hui Kun.
Sambil mengelak, Hui Kun tertawa dingin: "Terus terang mengapa tempo hari aku terdesak, oleh karena tak leluasa mengeluarkan Kim-go-kiam-hwat. Apa kau kira aku tak mampu mengalahkanmu? Hmm, sedangkan Hek-lion-kui-bo saja jeri terhadap kim-go-kiam-hwat, apalagi kau seorang budak hina!" Habis berkata ia lalu guna kan jurus koay-go-tho-sia untuk menusuk.
Ji Yan tadi telah menyaksikan bagaimana dengan ilmu pedang kim-go-ktam-hwat Lam Tian dapat menghajar monyet besar. Kuatir kalau Ceng Ih sampai terluka, buru-buru ia menghadang dan menyingkirkan ujung pedang Hui Kun. Ia menasehati supaya Hui Kun jangan berkelahi.
Sebaliknya Hui Kun malah salah mengerti "Bukannya kau memaki dia sebaliknya kau mendamprat aku. Apakah kau hendak membantunya?"
"Aku tak membantu siapa-siapa. Kalau kau memang hendak berkelahi, silakan!" akhirnya Ji Yan berseru.
"Baik, kaulah yang mengatakan sendiri!" seru Hui Kun sambil gunakan jurus koay-go-tho-sip lagi untuk menusuk Ceng Ih.
"Adik Ceng, jangan membalas" seru Ji Yan.
Dan Ceng Ih mendengar kata, tak mau menangkis atau menghindar.
Hui Kun terkesiap. Uiung pedang yang sudah tiba di dada baju Ceng Ih, terpaksa ditariknya lagi: "Mengapa kau diam saja?"
"Karena aku taat pada cici Ji Yan," sahut Ceng Ih.
"Moaymoay, kalau ingin membunuhnya, silakanlah, mengapa tak jadi?" tanya Ji Yan kepada Hui Kun.
Hui Kun mendengus dan berkata: "Mengapa aku harus membunuhnya, ia bukan musuh besarku!"
Ji Yan tertawa: "Itulah! Memang tak ada perlunya kalian berkelahi. Lebih baik kita pikirkan daya bagaimana untuk melerai kedua orang bertempur itu!"
"Benar, biar aku ke sana!" seru Hui Kun lalu menyambar rotan dan hendak melayang ke tepi sana.
Rawa itu lebarnya berpuluh tombak, meskipun dengan bantuan rotan tapi hanya sampai di tengah saja dan masih harus gunakan tenaga untuk meloncat.
Ji Yan yang tahu sampai dimana kepandaian Hui Kun, maka buru-buru ia mencegahnya dan mengatakan biar ia saja yang ke sana. Tapi Hui Kun tetap mau pergi. Ia lalu berayun dengan rotan. Cemas Ji Yan tak terkira, kalau Hui Kun sampai jatuh ke dalam rawa pasti akan menjadi mangsa ular. Ji Yan berusaha untuk menghalangi namun Hui Kun tetap tak mau.
Selagi mereka berbantah, tiba-tiba dari belakang terdengar suara orang: "Hm, mengapa kalian ribut2 itu?"
Waktu Ji Yan berpaling menengok orang itu, Hui Kun gunakan kesempatan itu untuk berayun ke tepi sana. J i Yan mengeluh dan minta tolong pada orang yang datang itu: "Mah, tolonglah dia, lekas!"
Ternyata yang datang itu adalah Hek-liong-kui-bo, katanya: "Jangan ribut, adikmu itu tentu mampu mencapai tepi sana!"
Begitu lepaskan rotan, Hui Kun lalu mencelat ke udara dan melayang turun di tepi sana. Melihat itu Ji Yan dan Ceng Ih mengusap keringat di dahinya, seperti orang yang terlepas dari tindihan batu berat. Tapi pada lain kejab mereka harus berdebar lagi karena di sana Lam Tian dan Hong Lu memasuki pertempuran yang seru sekali hingga tak kelihatan bayangannya lagi.
Tiba-tiba Hui Kun melayang ke tengah. Hong Lu mengira kalau Lam Tian dan Lam Tian mengira kalau Hong Lu. Kedua pemuda itu segera sama melontarkan pukulan. Inilah yang menggelisahkan hati Ji Yan bahkan Ceng Ihpun ikut cemas juga.
"Ha, kalian ribut apa lagi? Hui-ji tak nanti mati, lihat sajalah!" Hek-liong-kui-bo melengking.
Ketika kedua nona itu memandang, ternyata Hui Kun melayang balik sehingga membuat Lam Tian dan Hong Lu terkesiap. Kini mereka tahu siapa yang datang, dan merekapun berhenti hantam-hantaman.
Saat itu Hui Kun sudah melayang kembali ke tempat Ji Yan. Serta merta Ji Yan memeluknya: "Adikku, kau tak kena apa-apa to?"
Demi mendengar nada Ji Yan tergetar cemas, terharulah Hui Kun. Ia mengatakan tak kurang suatu apa. Setelah itu Ji Yan minta ijin kepada Hek-liong-kul-bo hendak melerai kedua pemuda itu.
"Biarkan saja, peduli apa dengan dua anak lelaki busuk itu," kata Kui-bo.
"Ma, kalau dua ekor harimau berkelahi tentu ada salah satu yang terluka. Jika tak dipisah tentu bakal terjadi perkara jiwa," bantah Ji Yan.
Hek-liong-kui-bo mendampratnya:
"Jangan mempedulikan, kau ini memang budak yang banyak cingcong. Hem, berulang kali kau selalu membantu budak she Lau itu, apakah kau suka padanya? Di dunia ini tak ada lelaki yang baik, tahu! Ayo, kamu semua ikut aku kembali kedalam goha lagi, siapa yang berani membantah tentu kuputuskan tulangnya."
Walaupun menyuruh Ji Yan tak mempedulikan, tapi diam-diam Hek-liong-kui-bo mencuri lihat pertempuran itu. Diam-diam ia kagum atas ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat. Kalau muridnya saja sudah begitu hhay apalagi Ku Pin. Diam2 ia cemas juga tapi pada lain saat ia menghibur dirinya. Duapuluh satu tahun lamanya ia menyekap diri di pulau terpencil itu untuk menciptakan ilmu pukulan Tok-liong-ciang, masakan tak dapat mengalahkan Kim-go-kiam-hwat.
Rupanya Ji Yan dapat menebak isi hati ibunya itu, "Ma, lebih baik kita duduk di sini saja, jangan kembali ke dalam goha," katanya. Tapi Hek-liong-kui-bo tetap berkeras hendak ke sana karena hendak melanjutkan ceritanya kepada Hui Kun.
Hui Kun ternyata seorang dara yang cerdas juga. Ia memandang pada Ji Yan dan Ji Yan pun menganggukkan kepala. Lalu berkatalah Hui Kun: "Kui-bo, ceritamu itu tegang dan menarik sekali. Kalau dituturkan di tempat yang sesunyi seperti di sini, rasanya tepat sekali. Kalau di tempat goha gelap tentu kurang menegangkan hati orang."
Kui-bo tertawa dan menerima baik alasan itu. Ia segera suruh ketika nona itu duduk.
"Nanti dulu, Kui-bo. Biar kuambilkan kursi untukmu" seru Hui Kun yang lalu menghampiri sebuah batu karang besar. Sekali hantam, pecahlah karang itu menjadi dua. Yang satu diberikan kepada Kui-bo, yang satu untuk duduk sendiri.
Ceng Ih dan Ji Yan terkejut, hanya tiga hari tak berjumpa mengapa sekarang Hui Kun begitu lihay sekali. Kiranya itulah khasiat buah aneh pemberian Hek-liong-kui-bo yang dimakan Hui Kun tempo hari sehingga seperti berganti tulang baru. Hanya Kui-bo yang mengetahui hal itu.
Hek-liong-kui-bo pun segera mulai bercerita lagi.
"Pemuda kaki buntung itu she Ciu namanya Bing, putera tunggal dari tay-haksu Ciu Ting. Dia pandai dalam ilmu sastera dan ilmu silat serta gemar akan musik, main catur dan seni lukis. Termasuk seorang pemuda pilihan dari kota-raja. Munculnya di panggung telah menimbulkan kegemparan. Dia termasyhur sebagai kociu nomor satu di kota-raja. Ilmu permainan tongkatnya menggetarkan dunia persilatan...."
"Ilmu permainan tongkat? Jadi dengan tongkat yang dibuat berjalan itu ia menernpur orang?" lagi-lagi Hui Kun memutus.
"Kau memang budak cerewet, kalau tak pandai berrnain tongkat, masakan ia menjagoi kota-raja," Kui-bo mendampratnya dan suruh nona itu mendengar saja jangan memutus-mutus cerita. Demikianlah Kui-bo melanjutkkan ceritanya sambil diam-diam mencuri lihat permainan Kim-go-kiam-hwat dari Lam Tian.
Ternyata Ciu Bing itu tetap gunakan dahan yang-liu pemberian Hian Kwan. Ia mengatur rencana bagaimana supaya capat melayani Hian Kwan sampai seratus jurus dan mengambilnya sebagai isteri.
Hian Kwan yang sudah jatuh hati pada Ku Pin, tak mau mumberi hati lagi kepada Ciu Bing. Ia menyerangnya dengan hebat. Lewat pada jurus ketigapuluh, Hian Kwan telah dapat mengatasinya. Diam-diam ayahnya mengeluh, apakah puterinya itu tak setuju dengan putera seorang pembesar tinggi itu. Dari gerak gerik Hian Kwan, tahulah Thian Cik bahwa puterinya itu diam-diam jatuh hati pada Ku Pin, Ia mengambil keputusan hendak membantu secara diam-diam pada Ciu Bing.
Kesempatan itu datang ketika Hian Kwan lancarkan dua buah serangan yang istimewa, pedangnya memapas dahan pohon dan pedang yang satunya dibuat menusuk pundak. Di luar dugaan Ciu Bing gunakan dahan kayu untuk menabas pedang Hian Kwan. Semua hadirin yang terdiri dari tokoh-tokoh persilatan mengira kalau Ciu Bing sudah gila. Bahkan Wan Thian Cik diam-diam sudah siapkan senjata rahasia untuk memberi pertolongan pada putera pemhesar itu. Tapi entah bagaimana, tiba-tiba Hian Kwan menarik pulang pedangnya sambil mundur selangkah sedang Ciu Bing tertawa.
Kembali mereka berdua bertempur lagi. Bahwa Ciu Bing mainkan dahan kayu itu dalam permainan seperti pukulan tangan kosong, Wan Thian Cik sudah tahu. Tapi ia merasa heran mengapa puterinya begitu jeri kalau berbenturan dengan dahan itu. Berulang kali Ciu Bing terancam jiwanya, tapi setiap kali ia dapat membuat Hian Kwan mundur dengan hanya membenturkan dahan kayunya kepada pedang si nona. Dengan begitu Ciu Bing seolah-olah mempunyai senjata ampuh untuk melindungi dirinya.
Akhirnya tahulah Wan Thian Cik apa sebabnya: "Oh, kiranya Hwan Kian tak mau merusakkan dahan kayu pemberiannya sendiri itu. Orang she Ciu itu sungguh pintar mencari kelemahan orang." Dengan kesimpulan itu, Wan Thian Cik mempunyai kesan tak baik terhadap Ciu Bing yang dianggapnya orang licin.
Hian Kwan bernapsu sekali untuk menjatuhkan pemuda buntung itu dalam seratus jurus agar pertandingan itu lekas berakhir dan tak ada orang yang berani naik panggung lagi.
Begitulah dalam sebuah kesempatan, ia segera pasang siasat. Ia menusuk dengan pedang di tangan kiri, begitu Ciu Bing hendak menangkis dengan dahan kayu. nona itu secepat kilat gerakkan pedang di tangan kanannya untuk membabat tongkat Ciu Bing.
"Cret" tongkat terbabat sampai rompal, tapi tetap tak putus.
Ternyata tongkat itu terbuat dari kayu liang-hwa-bok yang keras sekali. Sekalipun begitu karena Hian Kwan gunakan tenaga penuh, Ciu Bing pun terhuyung huyung mundur beberapa langkah. Secepat kilat Hian Kwan loncat mengembangkan pedang dan tahu-tahu lengan Ciu Bing berhias dengan sebuah luka. Tanpa dapat ditahan lagi, dahan pohonnya itupun jatuh ke bawah.
Hian Kwan telah mengeluarkan ilmu simpanan. Betapapun tangguhnya Ciu Bing tetap ia tak dapat menghindar lagi. Ia dikalahkan tepat pada jurus ke delapanpuluh satu.
Wan Thian Cik buru-buru loncat ke atas panggung untuk menghaturkan maaf pada Ciu Bing. Setelah mengantar Ciu Bing turun dari panggung, Wan Thian Cik bertanya kepada hadirin siapa lagi yang ingin naik panggung. Pertanyaan itu tiada orang yang menyahut.
Karena sudah tiga hari tetap tak ada jago yang dapat mengalahkan Hian Kwan maka Wan Thian Cik segera hendak mengumumkan pembubaran panggung itu. Tapi tiba-tiba diluar terdengar suara hiruk pikuk dan masuklah serombongan nelayan. Mereka membunyikan genderang dan berteriak-teriak: "Wan lo-enghiong, tolonglah.... Mahluk itu sungguh mengeringkan sekali. Besarnya seperti sebuah bukit, sekali goyangkan ekornya, perahuku telah terlempar sampai puluhan tombak...."


Benci Tapi Rindu Cinta Dibawa Mati Karya Sd Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikian jerit teriakan para nelayan meminta pertolongan kepada Thian Cik. Wan Thian Cik turun dari panggung dan menemui mereka. Ternyata para nelayan itu datang dengan membawa berita yang menggemparkan, yakni di perairan telaga Thay-ou telah muncul seekor ular besar sekali. Beberapa perahu nelayan telah disapu hancur....
-^dwkz^smhn^- Naga jahat Hadirin terkejut, beberapa orang menyangsikan berita itu, Tapi nelayan-nelayan itu dengan sumpah kerak keruk menyatakan bahwa hal itu memang sungguh.
"Badan binatang itu hitam mulus, bersisik sebesar meja, giginya runcing seperti golok dan yang paling menakutkan ialah sinar matanya yang memancarkan warna hijau. Bermula kami kira seekor sin-liong (naga malaekat), tapi ternyata seekor koay-hong, (naga siluman). Dan dugaan kami itu diperkuat oleh seorang lelaki tak dikenal yang mengatakan bahwa naga itu adalah tok-liong (naga berbisa).
"Kami segera kerahkan seluruh penduduk desa, tapi demi mendengar bunyi genderang, mahluk ganas itu merayap ke daratan. Golok, batu dan segala senjata tajam telah kami hantamkan tapi sia-sia saja. Dua ratus orang desa kami, serempak menghadapinya, tapi ah. binatang itu terlalu hebat dan ganas. Ada orang yang coba mendekatinya dan membacok ekornya, tapi sekali goyangkan ekornya, orang itu terlempar sampai beberapa puluh meter ke udara. Dalam pertempuran itu. kami kehilangan lima puluhan orang. Kami patah nyali dan melarikan diri. Untung ia tak dapat mengejar sehingga kami dapat selamat tiba di sini. Tapi perumahan di desa kami telah hancur berantakan semua.
"Kami melarikan diri ke atas gunung, bermula ada orang yang mengusulkan supaya menempur lagi binatang itu, tapi orang yang tak dikenal tadi mencegah. Demikian setelah meratakan perkampungan kami, binatang itupun kembali masuk ke dalam air lagi. Setelah menunggu hampir setengah hari, barulah kami berani pulang. Tak sebuah genting rumahpun yang masih utuh. Tiba-tiba ada orang yang teringat akan lelaki tak dikenal tadi. Tapi waktu dicari, ternyata orang itu sudah menghilang"
"Apakah orang itu bukan seorang lelaki yang begini," tanya Hian Kwan sambil menggambarkan dengan tangan. Nelayan itu mengiakan. Para nelayan itu memohon bantuan Wan Thian Cik. Demi mengingat penderitaan rakyat, jago tua itupun meluluskan. Ia perintahkan untuk memberi makan pada nelayan-nelayan pengungsi itu.
"Saudara-saudara sekalian, membasmi naga jahat itu adalah tugas kita kaum persilatan. Mari kita beramai-ramai menghadapi binatang ganas itu," kata Wan Hian Cik kepada sekalian orang gagah.
Ada beberapa orang yang mengusulkan supaya Wan Thian Cik meyebir seruan ke seluruh dunia persilatan agar dapat menghimpun lebih banyak tenaga. Tapi rupanya jugo tua tak setuju mengingat binatang itu harus lekas-lekas dibasmi.
Selagi ayahnya berunding dengan para orang gagah, adalah Hian Kwan kembali ke dalam kamarnya. Setelah bertempur selama tiga hari, ia agak lelah juga. Tiba-tiba Ih Ih masuk dengan membawa minuman kolesom, Melihat nonanya termangu-mangu, budak itu segera memberitahukan tentang perundingan yang dilakukan oleh Wan Thian Cik dengan para orang gagah untuk menaklukkan naga. Ia menanyakan adakah nonanya besok pagi juga ikut atau tidak.
"Pergi atau tidak, apa sangkut pautnya dengan kau?" kata Hian Kwan. Budak itu tertawa dan menyatakan bahwa jika nonanya pergi, pastikah mengajaknya.
"Tidak, aku tak pergi," kata Hian Kwan kemudian. Budak itu ingin sekali melihat ramai-ramai orang gagah menempur naga. Ia merengek-rengek minta supaya Hian Kwan mau pergi, Akhirnya Hian Kwan meluluskan juga dan menyuruh budak itu keluar.
Tiba-tiba budak yang sudah melangkah keluar pintu itu berpaling ke dalam dan berseru: "Nona, memang seharusnya nona pergi, di sana nanti nona tentu dapat melihat dia. Dia datang kemari bukan karena hendak turut dalam pertandingan, melainkan untuk urusan naga itu. Mungkin saat ini ia sedang mondar mandir di tepi telaga mencari akal untuk menghadapi binatang itu."
Hian Kwan tergetar hatinya. Kemudian ia suruh budak itu lekas pergi. Ia berbangkit dan berkata seorang diri: "Ih Ih benar, dia datang bukan untuk turut dalam pertandingan merebut aku. Mengapa aku paksa Ciong San Hay untuk mencarinya?"
Tapi pada lain saat ia mencemaskan diri Ku Pin yang tentu binasa jika seorang diri menghadapi naga jahat itu. Cepat ia mengambil sepasang pedang dan loncat keluar jendela terus berlari menuju ke tepi telaga. Dilihatnya Sepanjang tepi telaga itu terang benderang disinari berpuluh obor. Di balik sebuah batu karang besar, ada suara orang bercakap-cakap. Hian Kwan yang tajam telinganya segera mengetahui bahwa yang bercakap-cakap itu adalah Ciong Put Ji dan Ku Pin.
Ternyata Ciong Put Ji tengah membujuk supaya Ku Pin suka menjumpai Hian Kwan. tapi Ku Ping mengatakan saat itu tiada tempo. Ciong Put Ji mengeluh Kalau Ku Pin tak mau pergi, pasti ia (Ciong Put Ji) celaka tentu akan dicabut jiwanya oleh Hian Kwan.
"Jangan ngaco belo menghina nona Wan. Bilang pada nona, kalau ia ingin berjumpa denganku supaya datang kemari saja," akhirnya Ku Pin memberi keputusan.
Ciong Pu Ji tetap tak mau pergi Diam-diam ia mengeluh dan memaki Ku Pin sebagai orang yang tak bertanggung jawab, berani memasuki kamar Hian Kwan tapi tak mau menjumpainya.
Ku Pin menghela napas: "Kalau kau tak berani menyampaikan kata-kataku, bilang saja kalau tak ketemu aku. Mengapa kau begitu tolol?"
Gong Put Ji girang, tapi ia masih menegas lagi. Melihait itu Ku P n sebal, Ciong Put Ji dicengkeram terus jdidoiong sampai terhuyung-huyung keluar dari balik itu. Hian Kwan buru-buru berlindung ke belakang sebatang pohon jangan kelihatan. ''
Ciong Put Ji tetap gelisah. Kalau tugasnya itu gagal. Hian Kwan tentu akan melaksanakan pukulannya ketiga yang masih dititipkan padanya itu. Akhirnya ia mendapat pikiran yaitu minta Ku Pin supaya menulis saja jawabannya itu.
"Baiklah, ambilkan secarik kertas," Ku Pin tertawa.
Jawaban itu membuat Ciong Put Ji melongo. Mina ia msmbawa kertas tulis. Akhirnya Ku Pin minta sebilah papan kayu atau sekerat pohon. Setelah Ciong Put Ji mencarikan sepotong dahan pohon, maka Ku Pin gunakan jari tengah untuk menggurat.
Tiba-tiba terdengar bunyi kelotekan dari tongkat berjalan. Hian Kwan tersirap, ia tahu itulah Ciu Bing si pemuda buntung. Dan memang benar begitu. Ciu Bing berloncatan dengan tongkatnya. Meskipun kaki kirinya buntung, tapi jalannya tak kalah cepat dengan seorang jago silat tangguh.
"Nona Wan, kau dimana?" serunya sampai berulang kali. Hian Kwan malu kalau sampai ketahuan Ku Pin dan Ciong Put Ji. Maka iapun lalu melayang ke puncak pohon untuk bersembunyi.
"Ah, kiranya jiwi. Si.... lupa aku siapa nama saudara yang mulia ini?" demikian Ciu Bing menutupi kekikukannya demi kepergok dengan Ku Pin dan Ciong Put Ji. Memang, tengah malam mencari seorang gadis, itu sungguh kurang pantas.
"Oh, kiranya Ciu kongcu," seru Ku Pin dan Ciong Put Ji. Merekapun mempersilakan putera pembesar itu duduk. Bermula Ciu Bing hendak berlalu tapi ditahan oleh Ku Pin yang menanyakan keperluan pemuda buntung itu mencari Wan Hian Kwan.
Dengan kemalu-maluan Ciu Bing memberi keterangan bahwa hendak minta pelajaran barang beberapa jurus dari nona Wan itu, "Apakah kau tahu di mana ia?" tanyanya.
Ku Pin mengatakan tak tahu. Kemudian ia guratkan jarinya ke batang pohon dan suruh Ciong Put Ji membawanya pergi. Karena ada Ciu Bing maka orang she Ciong itupun tak berani banyak bicara lagi dan terus angkat kaki.
Ciu Bing memuji-muji keperwiraan Ku Pin yang seorang diri hendak menempur naga. Ciu Bing sendiri menyatakan akan ikut serta dalam gerakan menghancurkan binatang itu yang dipelopori oleh Wan Thian Cik, "Besok mereka akan tiba ke mari," katanya.
Namun Ku Pin hanya dingin2 saja menyambut. Diam2 Hian Kwan di tempat persembunyiannya merasa heran mengapa Ku Pin sebaliknya tak girang dengan adanya bantuan dari rombongan orang gagah itu.
"Ku tayhiap, aku hendak bertanya kepadamu, entah kau sudi mendengarkan tidak," tiba2 Ciu Bing berkata. Ku Pin terkesiap tapi segera ia menyatakan bersedia.
"Marilah kita bicara dengan hati terbuka, Ku tayliiap. Apakah kau suka pada nona Wan?"
Pertanyaan Cia Bing itu membuat Ku Pin tercengang tak dapat menyahut. Sedang Hian Kwan yang berada di puncak pohonpun tergetar hatinya dan segera pasang telinga.
"Bagaimana, apakah pertanyaan itu sukar dijawab? Kita adalah kaum persilatan, seharusnya berterus terang saja," kata Ciu Bing setelah sampai sekian saat Ku Pin tak menyahut.
Ku Pin tertawa gelak-gelak serunya: "Ciu kongcu, coba kau terka bagaimana?"
"Apa sukarnya? Kau suka padanya!" tegas2 Ciu Bing menuduh.
"Bagaimana tandanya?" tanya Ku Pin.
"Sederhana sekali. Mendengar rombongan orang gagah akan datang besok pagi, kau kelihatan tak senang. Mengapa? Karena nona Wan tak dapat datang sendirian atau mungkin tak datang. Pendeknya, kau tak mempunyai kesempatan untuk berjumpa empat mata dengan dia. Ha, ha, benar tidak?"
Hian Kwan berbahagia. Ia harap Ku Pin mengakui tuduhan itu. Tapi ia agak kecewa karena Ku Pin tak menyahut melainkan tertawa saja.
"Bagaimana, apa kau mengakui secara diam-diam? Ha, aku masih mempunyai lain bukti yang tak dapat disangkal," kata Ciu Bing.
Ku Pin mempersilakannya. "Dengan diam2 kau masuk ke kamar nona Wan dan menjamah-jamah barang-barangnya, ha, ha, tentunya kau tahu benda2 itu milik seorang nona. Gerak gerikmu semacam itu, masakan dapat mengelabuhi mata orang," kata Ciu Bing.
Tiba2 Ku Pin berobah wajahnya, "Jadi kau melihatnya?"
"Ah, apakah kau masih menyangkal?"
Nyaring sekali Ku Pin menyahut: "Baik, mengapa aku takut memberitahukan kepadamu? Ia, aku suka padanya, dikalbuku ia seorang pendekar wanita yang hebat. Aku kagum padanya, aku junjung tinggi padanya."
Tegang regang Ku Pin meluncurkan pengakuannya. Ciu Bing kejut hatinya, sebaliknya Hian Kwan dilanda kegirangan. Kalau tak malu ingin sekali ia berlari mendapatkan Ku Pin dan menyatakan perasaan hatinya.
"Bulankah nona Wan membuka panggung pertandingan karena hendak mencari jodoh? Kau suka padanya dan ia suka padumu, itu sudah cukup. Ku tayhiap, kau cakap dan gagah, sudah sepantasnya nona Wan suka padamu. Sebaliknya aku, hanya seorang yang berkaki buntung," akhirnya Ciu Bing memberi selamat kepada Ku Pin.
Ku Pin tertawa, "Ctu kongcu, dengan begitu kaupun mengakui kalau suka padanya?"
"Benar, aku suka padanya dan ingin membawa pulang ke kota raja menjadi menantu dari seorang pembesar tinggi. Kalau tidak, masakan jauh2 aku datang ke Sociu," jawab Ciu Bing.
"Mengapa kau tak melaksanakan rencanamu? Sebagai putera dari seorang tay-haksu, masakan Wan lo-enghiong menolak pinanganmu?" kata Ku Pin. Untuk itu Ciu Bing mengatakan kekecewaannya karena nona Wan tak suka padanya.
Sebagai bukti ia menerangkan tentang tak dihajarnya Ciong Put Ji oleh Hian Kwan karena nona itu minta tolong Ciong Put Ji untuk mencarikan Ku Pin. Ciu Bing mengharap, apabila kelak Ku Pin merayakan hari pernikahannya dengan Hian Kwan, hendaknya jangan lupa mengundangnya juga.
Sampai di sini Hek-liong-kui-bo berhenti sejenak, tapi Hui Kun yang sabar segera bertanya: "Kui-bo, kau toh akhirnya menikah dengan Ciu Bing mengapa pada waktu itu kau tak suka padanya?"
"Manusia berdaya, Allah berkuasa. Pernikahan dengan Ciu Bing itu rupanya sudah ditakdirkan. Ah, sebaiknya kau dengarkan saja ceritaku nanti," kata Kui-bo. Tapi tiba-tiba ia berseru marah: "Ha, Ji Yan, kau sembunyi di mana?"
Ternyata selagi Kui-bo asyik bercerita, diam-diam Ji Yan telah melayang ke tepi sebelah sana untuk melerai Lam Tian dan Hong Lu. Kedua pemuda itu rupanya menurut dan ikut Ji Yan kembali ke tempat Hek-liong-kui-bo. Maka Kui-bo mendamprat Ji Yan dan Ceng Ih memaki Hong Lu yang mencuri senjatanya. Pemuda itu tertawa saja dan mengembalikan si nona.
"Kebetulan sekali kau datang ji-suko. Kui-bo tengah menuturkan cerita tentang diri ayah. Lekas duduk dan mendengarkan," kata Hui Kun. Tapi sebaliknya Kui-bo lalu menjerit gusar: "Riwayatku tidak didengarkan untuk kaum lelaki. Budak busuk, pergilah jauh, kalau berani mencuri dengar, awas jiwamu!"
Lam Tian gentar dan terpaksa menyingkir Jauh. Sebaliknya Hong Lu hanya mengikik tertawa saja.
"Hai, apakah kau tuli? Apa kau bukan lelaki? Kaupun juga enyah sana!" bentak Kui-bo. Hong Lu tahu akan perangai ibunya, maka iapun tak berani membantah.
"Ma, kiranya aku kan tak perlu pergi?" tanya Ji Yan.
Hek-hong-kui-bo tertawa dingin, "Asal kau tak secara menggelap membantu orang luar, itulah sudah cukup. Ku Pin begitu jahat tak heran kalau melahirkan seorang anak seperti kau."
Ji Yan diam saja dan duduk.
"Kui-bo, kalau cici Ji Yan itu puteri dari ayahku, mengapa tak memakai she Ku?" tanya Hui Kun.
"Budak hina, tutup mulutmu!" bentak Kui-bo dengan merah padam.
"Baik, baik, Kui-bo jangan marah. Aku si budak hina akan menutup mulut," Hui Kun tertawa. Kata-katanya itu secara tak disengaja telah menyentuh perasaan Kui-bo. Ya, mengapa Ji Yan tidak memakai she Ku atau she Ciu, itu memang ada riwayatnya. Ia mendongak ke langit dan meng hela napas: "Nah, jangan ribut-ribut. Hukum karma, ada akibat tentu ada sebab. Ku Pin dan Ciu Bing manusia jahat, tapi Wan Hian Kwan juga bukan orang baik-baik!"
Kemudian ia melanjutkan ceritanya....
"Demikianlah ketika Ku Pin mendengar kata-kata Ciu Bing segera ia tertawa: "Ciu kongcu, apa kau sungguh2 hendak menunggu undanganku?"
Pada waktu Ciu Bing mengiakan, tiba2 Ku Pin berbangkit dan berseru: "Baik, mari kita bertanding dulu baru nanti bicara lagi."
"Mengapa?" tanya Ciu Bing.
"Kau sudah tahu, mengapa pura2 bertanya lagi!" sahut Ku Pin lalu menghantam pundak kiri Ciu Bing: "Lihat serangan!"
Ciu Bing menangkis dengan tangan kanan, sedang tongkat di tangan kiri ditutukkan ke dada orang.
"Bagus!" teriak Ku Pin seraya menghantam dengan sepasang tangannya. Debu bertebaran ke udara.
Tahu bagaimana kelihayan lawan, Ciu Bing-pun segera kedua tangannya untuk menyongsong. Pada waktu dua pasang tangan berbentur, terdengarlah suara keras dan masing2 tersurut mundur tiga langkah. Begitulah mereka bertempur seru. Dalam tigapuluh jurus Ciu Bing masih dapat mengimbangi Ku Pin, tapi selewatnya itu, ia segera terdesak mundur.
"Ku Pin, aku tak menantangmu, jangan kau kelewat menghina orang!" teriak Ciu Bing.
"Kata-katamu lebih melukai hatiku daripada senjata tajam. Kalau tak kuberi sedikit hajaran, kau tentu belum tahu kelihayan Ku Pin."
"Baik. apa kau kira aku benar2 takut padamu?" seru Ciu Bing yang serentak melambung ke udara sambil kemplangkan tongkatnya. Itulah ilmu tongkat Leng-hun-koay-ciang yang menjagoi dunia persilatan.
Ku Pin tahu selatan. Buru-buru ia loncat ke belakang.
Memang hebat sekali permainan tongkat dari Ciu Bing itu. Tapi Ku Pin pun bukan jago sembarangan. Sepintas pandang kekuatan mereka berimbang, tapi dalam anggapan Hian Kwan, Ku Pin lah yang akan menang. Dalam gerakan dan ke lincahan, memang Ciu Bing lebih, berbahaya, tapi dalam posisi Ku Pin lebih tenang dan yakin. Makin bertempur makin gagah.
Benar juga, setelah lewat seratus jurus, napas Ciu Bing mulai terengah-engah.
"Buntung, kau kalahlah!" diam-diam Hian Kwan menghela napas.
Dalam sebuah kesempatan Ku Pin berhasil memegang tongkat Ciu Bing dan mendorongnya kuat-kuat. Ciu Bing dan tongkatnya segera terlempar sampai satu tombak dan jatuh ke tanah.
Kuatir kalau kedua orang itu akan meneruskan pertempurannya, Hian Kwan bermaksud hendak keluar melerai, tapi tiba2 Ciu Bing tampak berbangku dan tertawa: "Ku Pin, apakah kau hendak berkelahi lagi?"
"Tak perlu!" "Apa karena aku kalah?" tanya Ciu Bing.
Ku Pin hanya mendengus, "Ya, siapa suruh kau iseng. Entahlah, jangan membuat panas hatiku lagi!"
"Aku hanya minta arak pernikahanmu, mengapa dituduh iseng? Masakan seorang pangcu seperti kau, begitu pelit dengan arak temanten?" Ciu Bing tertawa.
"Aku sudah berumah tangga, mana dapat menikah lagi? Hm, kau manusia licin, bukannya tak tahu melainkan memang hendak mengolok-olok aku," sahut Ku Pin.
Ciu Bing tertawa girang, "Ku Pin, apa kau sungguh tak berhasrat memperisterikan Hian Kwan?"
"Ciu Bing, jangan terus mendesak aku saja. Aku bukan lelaki yang mata keranjang," sahut Ku Pin.
"Bagus, tapi mengapa kau katakan suka dan kagum serta menjunjung tinggi padanya? He, heh, jangan pura-puralah. Ceraikan saja isterimu dan menikahlah dengan Hian Kwan. Kalau tidak, kau tentu terserang penyakit rindu nanti."
"Kusuka, kukagum, kujunjung pedangnya, itulah sebuah hal. Mengambilnya sebagai isteri itu hal lain lagi. Mengapa kau campur adukkan kedua hal itu? Kalau kau masih cerewet saja, terpaksa tentu aku mencabut pedangku nanti," Ku Pin gusar sekali.
Ciu Bing berjanji tidak akan mengolok lagi, tapi ia tetap mengatakan bahwa Ku Pin adalah pasangan yang tepat bagi Hian Kwan.
Sementara dirinya sendiri, ia merasa hanya sebagai seorang cacat yang tiada harganya: Ku Pin membesarkan hati putera pembesar itu supaya jangan putus asa. Demikianlah keduanya masih melanjutkan tanya jawab dan saling menganjurkan. Celakanya Hian Kwan yang kala itu sedang bersembunyi di balik sebuah batu karang. Hampir saja ia tak dapat menahan isak tangisnya demi mendengar sikap Ku Pin terhadap dirinya. Diam-diam ia lalu pulang.
Pada waktu Ciong Put Ji datang menyampaikan surat kayu dari Ku Pin, Hian Kwan mencengkeram baju orang she Ciong itu lalu dilemparkan keluar jendela kamar.
Kebetulan Ih Ih yang berada di kebun menunggu kedatangan nonanya, karena melihat ada sesosok tubuh terlempar ke tanah, ia lalu menghampiri. Dipungutnya potongan kayu tadi dan setelah dperiksanya ia buru-buru lari mendapatkan Hian Kwan di dalam kamarnya. Ternyata tulisan pada kayu itu penting sekali artinya. Tapi untuk itu baik kita tunda dulu dan mengikuti lagi Ku Pin yang sedang bercakap-cakap dengan Ciu Bing di tepi telaga.
Ternyata mereka omong-omong sampai menjelang terang tanah. Diam-diam Ku Pin tunduk akan kepandaian Ciu Bing. Tentang rencana membunuh naga, pun Ciu Bing mengemukakan siasat yang tepat, yaitu harus menyerang bagian mata binatang itu supaya buta. Kalau buta tenaganya tentu berkurang. Ku Pin memuji pendapat Ciu Bing itu. Tak berapa lama kemudian Wan Thian Cik beserta rombongan orang gagah dan nelayan-nelayan datang.
Setelah Ciu Bing memperkenalkan Ku Pin pada jago tua itu, maka Wan Thian Cik pun segera mengatur rencana. Ternyata tapun mempunnyai pendapat sama dengan Ciu Bing, yaitu harus membuat buta dulu mata naga itu. Demikianlah ia segera membagi orang-orang menjadi tiga tora bongan. Rombongan pertama dipimpin oleh kedua saudara Ciam. Hanya karena kedua saudara jago itu tak pandai berenang, maka Ong Ah Si membantunya. Rombongan kedua dikepalai oleh Ku Pin dan Ciu Bing. Sedang rombongan ketiga dipimpin sendiri oleh Wan Thian Cik.
Tigapuluh buah perahu laju dipergunakan untuk keperluan itu. Wan Thian Cik telah mempersiapkan rangsum untuk dua hari. Demikianlah iring-iringan perahu itu segera berlayar menuju ke tengah telaga.
Ku Pin tampak gagah sekali ketika tegak berdiri di atas perahunya yang menyongsong angin itu. Ciu Bing sendiri diam-diam mengiri dan menyesali nasibnya yang malang. Ciu Bing yang jeli matanya segera mengetahui bahwa kerut wajah Ku Pin itu menampilkan kedukaan. Segera Ciu Bing menanyakan sebabnya.
"Ciu kongcu tentu tak mengetahui bahwa walaupun aku ini resminya sudah beristeri tapi sebetulnya belum pernah mengenyam kebahagiaan hidup sebagai suami isteri," sahut Ku Pin dengan pelahan.
"Aneh, mengapa begitu?" ujar Ciu Bing. Namun Ku Pin hanya menghela napas dan termangu-mangu memandang permukaan air.
Ciu Bing pun tak berani mengusiknya.
Begitulah, berlayar tak berapa lama tiba2 terdengar orang memekik, "Naga, naga, binatang itu timbul ke atas air!"
Perahu-parahupun sepera memecah diri. Ku Pin menyuruh orangnya untuk menurunkan layar. Kemudian ia tanyakan kepada anak perahu, dimana beradanya naga itu Satelah mengetahui arah letaknya maka Ku Pin pun segera memberi komando supaya melepaskan panah, paser, senjata rahasia dan lembing untuk menyerang bagian mata binatang itu. Tiba-tiba ombak yang bergulung sebesar rumah mendampar datang dan menggenangi bagian dapur perahu.
Tiba-tiba Ku Pin memanggil Ciu Bing supa ya datang kepadanya. Ternyata Ku Pin minta pemuda buntung itu untuk bersiap-siap dengan senjata rahasianya. Ketika binatang itu mendampar dekat, serentak Ku Pin berseru lanrang: "Kayuh mendakati binatang itu, lekas, lekas!"
Setelah rombongan perahu menghampiri ke dekat naga, maka Ku Pinpun diam-diam berdoa mohon restu kepada Allah agar diberkati dapat membasmi binatang yang mencelakai rakyat itu.
Segera hujan panah seperti hujan mencurah ke arah si naga. namun binatang itu tak kena apa-apa. Ku Pin pun sudah siap dengan Kim-pitnya.
Di antara ratusan anak panah itu, adalah sebatang kim-pit dari Ku Pin yang paling tepat. Kim-pit itu dapat mengenai kelopak mata si naga. Walaupun bagi si naga, kim-pit itu hanya sebagai jarum, namun sakit juga. Binatang itu mengaum dan menamparkan ekornya hingga menimbulkan gelombang dahsyat. Sebuih perahu yang berada dekat padanya, hancur seketika.
"Terus, hantam terus!" Ku Pin yang siap pula dengan empatbelas kim-pit. Ia tetap mengikuti gerak-gerik si naga yang bergeliatan dengan marahnya itu. Setelah menentukan arah, segera ia ayunkan sepasang tangannya. Empatbelas batang kim-pit serempak melayang ke arah mata kiri naga itu. Naga itu kibaskan kepalanya dan kim-pit itupun mencelat ke mana-mana. Naga itu meringkik dan melingkar-lingkar hingga ratusan biji senjata rahasia yang ditujukan padanya sama terpental semua.
Setelah dua kali melingkar, tiba-tiba naga itu meluncur ke perahu Ku Pin.
"Lari, lekas!" baru Ku Pin memberi komando pada anakbuahnya, tahu-tahu ekor naga itu sudah menghantam perahunya hingga hancur. Untung dalam detik-detik berbahaya itu Ku Pin dapat loncat ke lain perahu.
Tiba-tiba terdengar orang memanggil namanya: "Ku heng.... tolong...."
Ku Pin cepat lemparkan tali dan menarik orang itu yang ternyata Ciu Bing adanya. Dia kehilangan sebuah tongkatnya. Tepat pada saat itu naga kembali menamparkan ekornya. Sebuah perahu lagi terhantam pecah. Melihat itu Ciu Bing mengusulkan lebih baik mundur, namun Ku Pin menolak. Ia sudah bertekad bulat untuk menghancurkan naga itu.
Celakanya saat itu timbul angin puyuh yang meniup dari utara. Gelombang besar mengayunkan perahu naik turun sehingga oleng. Ciu Bing dan beberapa ko-ciu sampai berdiri pun tak dapat. Ku Pin cepat bertindak. Ia loncat ke tiang layar yang diombang ambingkan oleh angin. Kemudian dengan gerak yan-cu-co-cui atau burung walet menerjang air, ia menggelincir ke puncak tiang dan menghamtam layarnya. Pada saat layar putus dibawa angin, nagapun kedengaran meringkik keras dan bergeliatan hebat. Pada hidung ular besar itu seperti ada benda berkilat-kilat, rupanya terkena senjata rahasia. Dua buah perahu terbalik oleh gelombang besar dan menyusul ada sebuah perahu pula yang hancur terpukul ekor naga. Baik jago-jago silat yang lihay maupun para nelayan yang sudah berpengalaman, mau tak mau merasa ngeri juga dengan keadaan saat itu.
Tiba-tiba dari arah timur tampak iring-iringan perahu mendatangi. Cepat sekali perahu-perahu itu sudah tiba. Anak buah perahu Ku Pin segera membunyikan terompet pertandaan, dan di jawab oleh perahu itu. Ternyata rombongan perahu yang dipimpin Ku Pin itu paling banyak hanya tinggal tiga buah saja. Kiranya yang datang itu adalah rombongan Wan Thian Cik. Melihat keadaan perahu Ku Pin yang mengenaskan itu. Wan Thian Cik menghela napas.
Wan Thian Cik suruh orang memasang layar baru pada perahu Ku Pin kemudian mengajaknya mencari naga tadi. Ciu Bing usul, lebih baik tunggu saja, binatang itu tentu akan datang ke situ. Untuk itu Wan Thian Cik menanyakan pendapat Ku Pin.
"Berlayar! Sekalipun tak berjumpa dengan binatang itu tapi kita tentu dapat menolong kawan-kawan yang kecemplung dalam air," kata Ku Pin. Wan Thian Cik setuju dan segera perintahkan berlayar. Tapi berlayar sampai dua tiga li jauhnya, mereka tak dapat melihat bayangan binatang itu. Mereka teruskan mencari orang-orang yang kecemplung tadi, tapi sampai matahari terbenam ternyata tak berhasil. Malam itu terpaksa mereka bermalam di sebuah pulau kosong.
Sambil mengerati sebatang dahan pohon, Ku Pin memikir-mikir daya untuk menghancurkan makhluk ganas itu. ambil keputusan, hanya dengan mengorbankan diri barulah binatang itu dapat di basmi. Setelah runcing, diberikannya dahan itu kepada Ciu Bing untuk dipakai. Setelah mencobanya dan dapat digunakan, Ciu Bing menghaturkan terima kasih.
Malamnya selagi Wan Thian Cik berunding dengan para orang gagah cara menghadapi naga, Ku Pin seorang diri berjalan-jalan ke puncak bukit. Ia berbaring di atas sebuah karang memandang bintang-bintang di langit. Tiba-tiba terdengar suara tongkat dan tahu-tahu Ciu Bing sudah berada di sampingnya. Ternyata pemuda itu juga tak dapat tidur. Ia turut berbaring di sebelah Ku Pin dan bercakap-cakap.
"Ku-heng, sejak tadi kuperhatikan wajahmu seperti mengandung keresahan. Kalau tak keberatan, silakan memberitahukan kepadaku," kata Ciu Bing.
"Besok pagi adalah hari kematianku. Jika aku mati, tolong kau berikan benda ini kepada isteriku di Ang-tik-ou," kata Ku Pin sambil mem berikan sebuah mainan kelinci dari batu giok.
Ciu Bing terkesiap: "Ku-heng, besok pagi jika tak dapat melawan naga, bukan hanya kau melainkan kita semua akan mati, mengapa kau katakan begitu? Malah menilik kepandaianmu kilat dan berenang yang tinggi, kebanyakan bukan kau tetapi akulah yang mati, Harap kau simpan lagi benda ini, rasanya aku tak nanti mempunyai kesempatan untuk mengerjakan pesanmu itu"
"Besok hanya aku sendiri yang mati, lain orang tak nanti mati, jangan kuatirlah," kata Ku Pin dengan tegas.
"Mengapa?" "Telah kupikirkan suatu siasat untuk menundukkan binatang itu dan untuk itu aku harus mati," sahut Ku Pin.
"Bolehkah aku mengetahui bagaimana siasatmu ini?"
"Maaf, sekarang aku belum dapat mengatakan."
"Oh, kalau begitu kau terlalu memandang rendah kepadaku. Benda ini harap simpan saja lagi, aku tak dapat melakukan pesanmu," kata Ciu Bing.
Ku Pin mengatakan bahwa sekalipun ia menerangkan siasat itu, tak nanti Ciu Bing dapat mengerjakan karena tak pandai berenang. Tetapi Ciu Bing tetap ingin mengetahui. Akhirnya Ku Pin mau juga menerangkan dengan syarat Ciu Bing tak boleh memberitahukan kepada lain orang karena dikuatirkan orang akan menghalangi rencananya itu.
Ciu Bing mengiakan dan malah berbangkit memberi hormat kepada Ku Pin yang dianggapnya sebagai pahlawan rakyat. Ku Pin terpaksa berbangkit juga untuk membalas hormat. Kemudian ja menerangkan rencananya. Ciu Bing berjan ji apabila ia sendiri tak mati, tentu akan melakukan pesan Ku Pin itu.
Keesokan harinya.... Wan Hian Kwan si nona cantik dan pandai dalam ilmusilat itu sangat menguatirkan nasib ayahnya. Oleh karena itu bergegas ia menyusul ayahnya ke pulau kosong. Sebaliknya, Wan Thian Cik tak menghendaki puteri tunggalnya itu datang ke situ. Tetapi dikarenakan banyak orang, iapun sungkan untuk mendamprat anaknya.
-^dwkz^smhn^- Membunuh naga Selama mendampingi ayahnya itu Hian Kwan tampak diam saja. Ia tak rnau memandang sama sekali kepada Ku Pin dan tak suka banyak bicara. Sekalian orang diam2 heran melihat sikap jelita itu. Hanya Ciu Bing sendiri yang tertawa riang.
Wan Thian Cik segera menyalakan api unggun. Rombongan ketiga yang dipimpin oleh kedua saudara Ciam segera dapat melihat pertandaan itu dan berlayar datang. Kini sama sekali ada duapuluh dua buah perahu yang berkumpul di pulau itu Pada waktu mereka mulai bergerak lagi, Wan Thian Cik menyuruh putrinya naik di dalam perahunya gelengkan kepala dan naik di perahu.... Ciu Bing.
Ku Pin tercengang dan diam2 mencari Cong Put Ji, katanya: "Ciong Sam-hay, apakah surat kayu itu sudah kau berikan kepadanya? Bilang terus terang, kalau tidak, awas batang kepalamu."
Gong Put Ji meringis dan menceritakan apa yang dialaminya. Tapi ia menambahkan bahwa Ih Ih telah memungut kayu itu dan diserahkan Kepada Hian Kwan. Ku Pin mengancamnya, tak boleh bilang kepada orang lain. Kalau sampai bocor ia akan membunuh orang she Ciong itu.
Dua puluh dua perahu itu dipecah menjadi tiga rombongan yang berlayar menurut formasi ujung tombak. Wan Thian Cik mengatur rombongan seperti berikut: Ketika rombongan itu berlayar di kanan, tengah dan kiri. Jika melihat naga harus membunyikan tiga kali suara terompet yang memanjang. Penyerangannya harus diarahkan pada bagian mata binatang itu. Nanti malam mereka harus balik berkumpul di pulau itu lagi.
Dalam perahu yang termasuk sayap kanan, Ku Pin berdiam diri. Tiba-tiba ketika mendongak, di antara kabut tebal yang menutupi permukaan telaga, ia melihat sepasang mata bening memandangnya. Pada lain kejab, sinar mata itu padam dan orangnyapun menghilang. Ku Pin tergetar hatinya. Jelas dilihatnya sepasang mata itu berlinang-linang mengandung airmata. Diam-diam ia menghela napas....
"Hian Kwan, memang kita berdua ini merupakan pasangan yang setimpal. Tetapi nasib menentukan kita begini. Jika kita berjumpa pada tiga tahun yang lalu, di kala aku belum beristeri, tentu semuanya akan beres..... ah, mengapa kita berjumpa terlambat...." demikian ia melamun jauh. Kemudian membayangkan sesuatu: "Tetapi aku telah memasang siasat, yang tak memungkinkan kau terlepas dari tanganku. Ha, si buntung itu akhirnya tentu akan menggigit jari." Sampai di sini tertawalah Ku Pin dengan riang gembira.
Tiba2 dari perahu Wan Thian Cik terdengar terompet ditiup panjang sampai tiga kali. Ku Pin terkejut dan sadar dari lamunannya. Ia segera perintahkan anakbuahnya bersiap-siap.
Hian Kwan dan Ciu Bing berada dalam rombongan perahu yang di tengah. Hian Kwan duduk seorang diri di buritan sambil mencekal sebatang seruling. Desir angin melambaikan rambutnya, membuat Hian Kwan tampak makin cantik sekali. Ciu Bing makin kesengsam dan berserulah ia: "Nona Wan, apakah kau gemar meniup seruling?"
Hian Kwan termangu-mangu tak menghiraukan pertanyaan itu. Ih Ih menyahut: "Ciu kongcu, nona pandai ilmu silat dan sastera, sajak dan musik. Dan iapun juara menyulam dari Sociu."
"Menyulam?" Cui Bing mengulangi heran.
"Ya, masakan ahli pedang tak dapat menyulam? Coba jawab, apakah kau kira permainan sepasang pedang toa-siociaku, loya yang mengajarnya?"
Waktu Ciu Bing mengatakan bahwa Wan Thian Cik yang memberi pelajaran ilmu pedang itu kepada puterinya, Ih Ih menyatakan bukan. Hian Kwan menciptakan ilmu pedangnya itu berdasarkan ilmu menyulam. Dalam tanya jawab selanjutnya, Ih Ih menerangkan bahwa Hian Kwan tidak suka pada Ciu Bing tetapi jatuh hati kepada Ku Pin.
Setelah bujang itu pergi, Ciu Bing termenung dalam penasaran. Dalam gemasnya ia mengeluarkan mainan kelinci giok kepunyaan Ku Pin dan dibuat main2. Tiba2 pikirannya melayang ke suatu hal dan berserulah ia seorang diri, "Bagus, bagus, harus begitu. Ku Pin, bagaimana licin siasatmu namun akhirnya si jelita itu tetap akan kumiliki. Kau tentu akan mundur teratur nanti."
Sebagai seorang yang cerdas, ia segera dapat mengungkap siasat Ku Pin. Dan ia ambil keputihan dengan menurutkan siasat Ku Pin itu ia hendak menyisiasatinya.
Tiba2 terdengar suara dahsyat dan anakbuah perahu berteriak teriak mengatakan naga itu keluar lagi di permukaan air. Ciu Bing loncat ke atas buritan perahu, dilihatnya ular besar itu berkeliaran di atas air dengan gembira. Sedang Hian Kwan dilihatnya tengah main seruling, sedikitpun tak mengacuhkan munculnya naga itu.
Tiga rombongan perahu segera berbaris berjajar menuju ke tempat naga itu. Wan Thian Cik baru pertama kali itu melihat seekor ular naga. Betapapun besar nyalinya, tak urung ia keder juga. Segera ia lepaskan tiga batang panah api sebagai tanda untuk orang-orang bersiap. Ketika panah api itu pecah berhamburan di udara, naga itu tiba-tiba menyelam masuk ke dalam air.
"Ah, kiranya naga itu takut pada api," serentak timbul pikiran pada Ciu Bing. Iapun segera menyalakan sebatang obor, kemudian mengambil seutas tali. Ih Ih heran dan menanyakan. Jawaban Ciu Bing hanya singkat, "Untuk menaklukkan naga itu!"
Kembali terdengar suara gempar dan muncratnya gelombang besar. Ternyata naga itu muncul lagi. Begitu Wan Thian Cik memberi komando untuk menyerang, maka ratusan senjata rahasia hong-ciok, tok-kiong, hui-to dan lain-lain menghujani mata binatang itu. Mereka adalah jago2 silat yang lihay, timpukannya tentu tepat sekali. Tetapi ternyata satupun tak ada yang mengenai sasarannya. Wan Thian Cik juga lepaskan beberapa biji senjata rahasia, pun semuanya meleset. Jago tua itu penasaran sekali. Ia segera membidikkan tiga batang anakpanah sebesar ibu jari. Gagah perkasa sekali tampaknya jago tua itu hingga sekalian orang gagah merasa kagum.
"Hahhh," teriak jago tua itu sambi lepaskan anak panah pertama. Menyusul yang kedua dan ketiga. Ia telah mengeluarkan ilmu memanah yang paling diandalkan. Selama ini belum pernah gagal. Tapi naga itu bergeliatan hingga menerbitkan gelombang besar dan karena perahu Wan Thian Cik bergoyang-goyang maka bidikannyapun terpengaruh. Anak panahnya itu hanya mengenai sebelah bawah dari mata si naga.
"Jahanam!" teriak jago tua itu dengan putus asa. Sebaliknya kini naga itu mulai bergerak dan sekalian orang sama kuatir.
"Jahanam, jangan kurang ajar!" tiba2 terdengar suara dari buritan perahu. Sambil memutar seutas tali, ia suruh anakbuahnya mendayung perahu mendekati binatang itu. Setelah jaraknya kurang lebih tiga tombak, ia lemparkan tali itu sehingga tepat melibat tanduk si naga. Dengan bersuit keras, orang itu mengerahkan seluruh tenaganya untuk menarik. Dia bukan lain adalah Ku Pin....
-^dwkz^smhn^- Jilid 08 KENALKAN Sekali lagi soal Cinta. Cinta itu buta, kata orang. Karena mata-hati itu lain dengan mata-pikiran.
Mata-pikiran memandang dan pikiran. Mata-hati menatap dan merasa. Antara pikir dengan rasa, jalin menjalin tetapi kadang tentang menentang.
Pikiran, mendasarkan kepada kenyataan. Perasaan, berlandas pada rasa-hati yang mengantarkan suka dan cinta, dendam dan benci.
Manakala pancaran mata-hati itu lebih kuat gelombangnya maka hapus dan padamlah segala sinar terang dari mata-pikiran.
Wan Hian Kwan, ratu kembang yang membuat setiap pria bersedia bersujud dibawah telapak kakinya, ternyata tercuri hatinya oleh seorang pria yang sudah beristeri....
-^dwkz^smhn^- Rupanya naga itu sengaja hendak bergurau. Ia menyemburkan air ke arah perahu Ku Pin sehingga semua anak buahnya basah kuyup. Kemudian ia menyeretnya. Ku Pin yang tegak laksana tiang besi tak dapat didongkel, tetapi perahunya turut terseret. Beberapa kejab, naga itu sudah meluncur jauh dengan membawa perahu itu.
Semua orang gagah kaget dan heran mengapa Ku Pin senekad itu. Tapi Wan Thian Cik percaya kalau Ku Pin tentu dapat mengatasi. Tiba-tiba Hian Kwan berbangkit dan dengan wajah pucat ia berseru: "Ku Pin, mengapa kau cari mati?" Segera ia perintahkan awak perahu untuk mengembangkan layar dan mengejar.
Ciu Bing heran dan sekalian anak perahu sama ragu-ragu.
Tiba-tiba Ciu Bing berteriak: "Jangan gelisah, tuh lihat Ku Pin kembali!"
Ketika semua orang memandang, ternyata naga itu kembali dengan masih menyeret perahu Ku Pin. ilmu kian-kin-tui Ku Pin, kepandaian membuat berat badan benar-benar mengagumkan semua orang gagah.
"Ku Pin, apa kau sudah gila?" teriak Hian Kwan yang segera sia-sia memerintahkan anak-buahnya memberi pertolongan.
Tiba-tiba Ku Pin bersuit keras, begitu naga itu mendongakkan kepala, Ku Pin segera apungkan dirinya melayang ke atas kepala si naga. Semua orang menjerit kaget. Hian Kwan pun tegang sekali. Ia mengawasi gerak gerik Ku Pin dengan tak berkedip. Ia segera insyaf ketika melihat Ku Pin merayap menghampiri binatang itu. Kini sekalian orang berbalik girang dan bersorak-sorak memberi dorongan semangat.
Tiba-tiba naga itu menyelam. Sekalian orang berceriak kaget dan mengira Ku P n tentu celaka. Tapi pada lain saat naga itu muncul kembali dengan Ku Pin masih tetap di tempatnya. Semua orang berteriak riuh rendah. Ada beberapa orang nyalakan obor supaya naga itu takut, tapi dilarang oleh Wan Thian Cik.
"Oh, Allah, terima kasih!" diam-diam Hian Kwan berdoa dalam hati.
Ku Pin kembali bergerak. Dengan gunakan ilmu lwekang bik-hou-yu-jiang (cicak merayap tembok), cepat sekali ia sudah sampai di bagian hidung dan terus merayap naik ke bawah mata. Rupanya binatang itu gatal matanya dan bergeliatan kian kemari lalu menyelam ke dalam air lagi. Sepenanak nasik lamanya baru binatang itu muncul lagi. Kali ini sekalian orang sama melonjak-lonjak kegirangan demi melihat Ku Pin tak kurang suatu apa, Hian Kwan begitu tegang sampai mengepal kencang-kencang tangan Ih Ih.
Perjuangan Ku Pin menghadapi naga itu akan tercatat dalam lembaran sejarah persilatan sebagai peristiwa yang mengagumkan.
Beaar Ku Pin tak apa-apa, tapi ia terperosok kembali ke ujung hidung si naga lagi. Melihat itu Giam Sing. Ti tak sabar lagi. Iapun lontarkan seutas tali ke arah tanduk naga, Thian Cik mencegahnya, karena orang she Ciam itu tak pandai berenang. Ciam Sing Ti pun menurut.
Ku Pin berjongkok di ujung hidung si naga, ia biarkan binatang itu bergeliatan kian kemari. Tak berapa lama kemudian tiba-tiba ia mencabut pedang dan berteriak keras menyuruh semua perahu menyingkir jauh, Walaupun heran tapi semua orangpun menurut juga. Setelah itu Ku Pin menusukkan pedangnya ke celah-celah sisik si naga, Binatang itu bersuara kesakitan dan darahpun membasahi air. Ia kibas-kibaskan ekornya. Sebuah perahu yang terlambat menyingkir segera terpukul pecah.
Naga itu menyelam lagi dan beberapa saat kemudian baru muncul. Kejut sekalian orang tak kepalang karena Ku Pin tiada berada di ujung hidung binatang itu lagi. Hian Kwan bercucuran airmata dan Ciu Bing pun kesima.
Sekonyong-konyong Wan Thian Cik berseru: "Dia masih di situ, kalian lihat tidak? Dia di atas alis naga! Ketika sekalian orang mengawasi, memang benar Ku Pin berdiri dengan tubuh berguncangan di bagian alis. Yang disebut alis itu sebenarnya hanya beberapa lembar bulu yang tumbuh di atas pelupuk mata si naga. Dalam girangnya Hian Kwan menepuk-nepuk bahu Ih Ih dan memuji setinggi langit pada Ku Pin.
Memang perbuatan Ku Pin itu selain memerlukan kecerdikan juga harus mempunyai ketabahan yang luar biasa. Ku Pin berseru supaya perahu-perahu menyingkir lebih jauh lagi.
"Dengan sebatang pedang menaklukkan naga. Sungguh Ku Pin yang gagah, Ku Pin yang perkasa!" Wan Thian Cik berseru memuji dan perintahkan semua perahu menyingkir sampai beberapa ratus tombak.
Ku Pin bersuit nyaring, pedang pusaka diputar dan ditusukkan ke mata si naga. Ia tahu apa akibatnya nanti. Binatang yang kesakitan itu tentu akan mengamuk dan jiwa Ku Pin sendiri tentu terancam. Setelah menusuk, secepat kilat ia timpukkan tujuh batang kim-pit ke sebelah mata si naga yang satunya lagi. Berhasil tidaknya binatang itu dibasmi memang hanya tergantung pada detik-detik itu. Dan ternyata Ku Pin telah berhasil menunaikan tugasnya....
Naga mengaum dahsyat dan berontak sekuat kuatnya. Karena menahan kesakitan hebat kedua matanya buta, naga itu seperti kalap. Telaga seolah-olah diaduk-aduk olehnya. Ia meluncur ke arah sebuah pulau karang. Sebuah karang besar hancur dilanggarnya, kemudian menerjang ke rombongan perahu. Untung anakbuah perahu-perahu itu mahir semua dan dapat menyingkir tepat pada waktunya. Hanya ada dua buah perahu yang karena jaraknya dekat sekali dengan naga itu, telah terjungkir balik. Naga itu seperti kerasukan setan terus maju saja, menerjang apa saja yang menghalanginya. Tak berapa alam kemudian, binatang itupun lenyap dari pemandangan.
Wan Thian Cik mengumpulkan anggota rombongannya. Ternyata ia kehilangan delapan buah perahu dan enambelas orang. Yang luka-luka ada duapuluh tiga orang. Dalam musyawarah di atas perahu, Wan Thian Cik menerangkan bahwa pembutaan mata naga itu hanya baru langkah pertama. Tahap yang kedua yalah harus membunuhnya supaya jangan mengganggu perahu-perahu rakyat. Ciam Sing Ti menunjang sepenuhnya maksud Jago tua itu.
"Bagaimana dengan Ku Pin?" tiba-tiba ada orang bertanya.
Yang bertanya itu ternyata Hian Kwan. Sekalian orang gagah ramai membicarakan diri orang itu. Mereka menyebut-nyebut Ku Pin sebagai pahlawan pembunuh naga.
"Tapi di mana dia sekarang?" tanya Hian Kwan pula.
Untuk itu ada beberapa orang yang mengatakan, tadi telah melihat ada sebuah titik hitam melayang jatuh ke dalam air. Mereka yakin bahwa itu tentulah Ku Pin. Pun Wan Thian Cik juga sependapat bahwa Ku Pin tentu selamat, maka diputuskan sambil memburu naga itu sekalian dapat mencari jejak Ku Pin.
Begitulah mereka mulai mencari lagi. Hasilnya, mereka telah dapat menemukan ke enambelas orang yang hilang tadi berupa bangkai dan yang terluka.
Selagi orang sibuk, kembali suara dingin dari Hian Kwan menyeletuk . "Mana Ku Pin?"
Dengan suara haru Wan Thian Cik menerangkan: "Semua orang sudah berusaha keras, tetapi hanya dia yang tak diketemukan...."
Mendengar itu pecahlah tangis Hian Kwan. Ia memandang jauh ke arah telaga dan berdoa dalam hati: "Ku Pin, apakah terjadi sesuatu pada dirimu? Mengapa ayah bicara dengan terputus-putus? Ah, Ku Pin, Ku Pin. Kau adalah pujaanku. Meskipun kau telah gugur, namun semangat dan keperwiraanmu membela kepentingan rakyat, tetap hidup abadi. Seratus tahun, seribu tahun, bayanganmu akan tetap terukir dalam sanubariku. Laut mungkin kering dan batu mungkin hancur, tetapi bayanganmu takkan pudar dalam hatiku...."
Setelah puas menguras airmata, diam2 ia bersumpah bahwa kelak ia tentu akan menyusul Ku Pin di dalam perut naga. Kemudian ia meniup seruling untuk melepaskan perasaan hatinya. Wan Thian Cik menghibur puterinya itu dengan mengatakan bahwa Ku Pin yang gagah perkasa itu tentu tak nanti binasa.
"Yah, engkau tak tahu bahwa aku...."
"Anakku, ayah sudah tahu bahwa kau suka pada Ku Pin. Peribadinya memang perwira, ayah pun tak keberatan atas pilihanmu. Tetapi seharusnya kau tahu bahwa dia sudah beristeri. Seharusnya kau tahu pula bahwa rasa suka itu adalah sebuah hal dan menikah itu sebuah hal lain. Tak boleh karena terdorong rasa suka lalu membabi buta menikah dengan orang yang sudah beristeri. Hal ini bukan saja aku menentang, pun Ku Pin sendiri juga tak setuju. Itu berarti akan dikutuk oleh dunia."
Merah pipi Hian Kwan mendengar nasehat ayahnya itu. Ia minta ayahnya suka memperhatikan nasibnya. Melihat sang puteri sadar, Wan Thian Cik girang: "Jangan gelisah, mengapa ayah sampai mendirikan panggung pertandingan itu tak lain hanya demi untuk Kepentinganmu. Dunia bukan sedaun kelor, masih banyak pemuda yang mencocoki idam-idamanmu."
"Aku tak percaya, yah."
"Tak percaya apa?" seru Wan Thian Cik.
"Tak percaya bahwa Ku Pin tak setuju menikah padaku. Dia suka, kagum dan menjunjung diriku. Yah, di dunia ini sukar untuk mendapat orang yang tahu hati kita, bukan?"
Waktu Wan Thian Cik menanyakan, Hian Kwan memberi keterangan bahwa ia mendengar sendiri pembicaraan antara Ku Pin dengan Ciu Bing.
Seketika marahlah Wan Thiatn Cik: "Jadi kau berani mencuri dengar pembicaraan orang lelaki? Hmm, tidak punya susila sama sekali."
Hian Kwan tak takut. Malah dengan suara berbisik meminta: "Oleh karena itulah aku hendak meminta ayah mengurus kepentinganku itu, yaitu mendayakan cara bagaimana supaya Ku Pin menceraikan isterinya dan menikah padaku. Dia suka padaku berarti ia tak menyukai istrinya. Perlu apa suami isteri yang tak punya lagi rasa kecintaan itu?"
"Budak hina dina!" teriak Wan Thian Cik dengan gusar. Tapi demi memandang wajah puterinya yang meminta dikasihani itu, lemaslah hati jago tua itu. Akhirnya ia menyatakan nanti apabila sudah dapat menemukan Ku Pin, hal itu akan dibicarakan lagi.
Ternyata malam itu Hian Kwan tak dapat tidur. Ia keluar berjalan-jalan. Di setiap kemah tentu masih terdengar para nelayan ramai membicarakan peristiwa siang tadi. Karena asyiknya, mereka sampai tak mendengar Hian Kwan sudah melayang ke sebuah perahu. Tapi ternyata di situ terdapat seorang yang tidur. Orang itu tajam sekali telinganya, segera ia terjaga demi mendengar Hian Kwan datang. Ternyata dia adalah Ciu Bing. Hian Kwan minta supaya pemuda buntung itu jangan bicara keras-keras yang dapat membangunkan anakbuah perahu.
Hian Kwan menerangkan bahwa ia tak dapat tidur dan minta putera pembesar itu menemaninya mengobrol. Begitulah mereka duduk berjajar-di atas sebuah tiang perahu. Ciu Bing coba menghibur hati nona itu dengan mengatakan bahwa besok pagi Ku Pin tentu dapat diketemukan. Tapi Hian Kwan sudah menyelanya bahwa setiap orang turut prihatin atas kejadian yang menimpa diri Ku Pin.
"Ciu kongcu, apabila naga itu muncul lagi, aku mempunyai cara untuk menguasainya," kata Hian Kwan.
Ciu Bing heran dan buru-buru menanyakan, "Dengan seruling ini. Tapi karena belum kuketahui dengan pasti dapat atau tidak, maka harus dicoba dahulu," kata Hian Kwan.
Ciu Bing mendengus dan diam2 ia menyangsikan.
Sekonyong-konyong di pesisir tampak ada sesosok bayangan berkelebat. Dalam sekejab saja bayangan itu sudah menghilang di balik batu karang. Hian Kwan dan Ciu Bing berbareng memuji bebatnya ilmu gin-kang orang itu. Malah rasanya tak kalah dengan Wan Thian Cik.
Segera Hian Kwan bertanya siapakah gerangan orang itu.
"Siapa? Mana kutahu. Kecuali ayahmu siapa lagi yang memiliki gin-kang sehebat itu," kata Ciu Bing menjawab pertanyaan Hian Kwan.
Tapi diam2 ia sudah mengetahui siapa kiranya orang itu.
Hian Kwan cepat ajak Ciu Bing untuk mengejarnya. Ketika tiba di barisan batu karang, ternyata dilihatnya orang itu menyusup di antara karang-karang seperti hendak cari tempat sembunyi.
"Sahabat, siapa kau?" teriak Hian Kwan. Namun tiada penyahutan dan orang itu tetap lari terus.
Hian Kwan makin curiga dan mengejarnya. Rupanya orang itu tahu kalau dikejar, maka iapun tancap gas. Walaupun ilmu gin-kang Hian Kwan itu jarang yang menandingi, tetapi ternyata tak mampu mengejarnya. Orang itu menyusup ke dalam sebuah hutan di lamping gunung. Hian Kwan mencari kian kemari dengan sia-sia. Waktu Ciu Bing menyusul datang dan menanyakan, Hian Kwan hanya gelengkan kepala saja. Ia menyatakan keheranan mengapa orang itu sedemikian pesat gerakannya. Apa boleh buat, ia ajak Ciu Bing pulang.
Karena rangsum yang dibawa Wan Thian Cik hanya cukup untuk dua hari saja, maka hari itu sudah habis. Ia suruh beberapa nelayan untuk mencari ikan. Tapi nelayan-nelayan itu mengatakan sejak munculnya naga jahat, ikan-ikan di situ habis semua. Ciam Sing Ti mengusulkan supaya cari binatang hutan saja. Ia memimpin belasan orang berburu di hutan. Hian Kwan sengaja turut dalam perburuan itu tapi diam-diam ia mencari jejak orang yang misterius tadi. Selagi ia memperhatikan keadaan di sekeliling lamping gunung, lagi-lagi terdengar suara ketukan tongkat.
"Menjemukan benar," Hian Kwan menyumpahi orang itu yang tak lain Ciu Bing lagi.
Ciu Bing menegurnya tapi dijawab oleh si nona bahwa ia sedang mencari sepasang kelinci yang menyusup ke dalam liang.
"Ayahmu menyuruhmu pulang karena perahu hendak berangkat lagi. Pekerjaan berburu kelinci cukup serahkan pada mereka saja," kata Ciu Bing.
Hian Kwan mendongkol dan suruh pemuda buntung itu menyampaikan pada ayahnya bahwa ia (Hian Kwan) tak ikut.
"Kalau begitu kau tak mau menolong Ku Pin? Bukankah kau kucurkan airmata atas lenyapnya?" kata Ciu Bing.
Gemetar tubuh Hian Kwan mendengar kata-kata yang menusuk perasaan itu. la deliki mata pada putera pembesar itu. Tapi pada lain saat ia merasa kelewat bersikap dingin kepada pemuda itu. Akhirnya ia turut pulang juga.
Memang Hian Kwan mempunyai kecurigaan terhadap bayangan aneh itu. Ia tak percaya bahwa Ku Pin binasa dan bayangan aneh itu kebanyakan tentulah Ku Pin. Ia melamun dan melamun. Ya, memang hati yang dirundung rindu itu selalu merangkai segala macam lamunan.
Setelah Ciam Sing Ti pulang dengan hasil perburuannya yang cukup untuk dimakan beberapa hari, maka berangkatlah rombongan perahu. Tiga hari mereka berlayar dan mencari pulau demi pulau, namun Ku Pin tetap tak kelihatan bayangannya. Pada hari keempat semua perahu berkumpul pula di tengah telaga. Mereka sama melaporkan tentang usaha mereka yang tak berhasil. Walaupun masih bersangsi tapi karena memang tak dapat menemukan Ku Pin, maka Wan Thian Cikpun memerintahkan penyelidikan dihentikan. Beramai-ramai rombongan perahu pulang ke So-ciu lagi.
Setelah beristirahat sehari di rumah Wan Thian Cik, maka sekalian orang gagahpun segera minta diri. Nelayan-nelayan itupun pulang kembali ke perkampungannya.
"Usahaku mendirikan panggung pertandingan ini. tujuannya ialah hendak mencari pasangan untuk anakku" tetapi demikian dengan terharu Wan Thian Cik menyatakan kesal hatinya ke pada Ciu Bing, satu-satunya tetamu yang ditahannya.... "ternyata sia-sia saja" kata jago tua itu lebih lanjut.
"Puteri lo enghiong itu cantik dan berilmu tinggi. Rasanya bukan karena ia keras kepala melainkan karena kaum persilatan itu sebenarnya tak dapat memenuhi idam-idamannya," kata Ciu Bing.
"Ah, kongcu dengan merendah diri. Seperti diri kongcu sendiri, adalah seorang pemuda yang serba guna, ilmu sastera dan ilmu silat tiada yang menandinginya."
Mendengar pujian itu giranglah hati Ciu Bing. Ia menyatakan bahwa memang dalam ilmu sastera ia mahir, tapi sayang ilmu silatnya tak selihay Hian Kwan.
"Kongcu adalah putera seorang pembesar tinggi. Kiranya baiklah menuntut ilmu sastera saja untuk meneruskan pekerjaan ayah kongcu. Mengapa perlu belajar silat dan menceburkan diri di dunia persilatan?" tanya tuan rumah.
Ciu Bing menerangkan bahwa memang ia gemar dengan ilmu silat. Tapi apa yang diperolehnya selama ini hanya kulitnya yang tiada berharga saja. Ketika pembicaraan beralih soal ilmu silat, Cui Bing menggunakan kesempatan itu untuk menyanjung puji Wan Thian Cik sebagai jago nomor satu. Wan Thian Cik bangga juga dan dalam dimabuk girang ia ajak kongcu buntung itu untuk menguji kepandaian di kebun belakang.
Girang Ciu Bing bukan kepalang. Kedatangannya di daerah selatan itu, sebenarnya hendak pamer kepandaian, siapa tahu akhirnya ia dijatuhkan Ratu-kembang dari Sociu. Hatinya pedih tak terkira. Bahwa Wan Thian Cik mengajaknya mengadu kepandaian itu berarti jago tua itu hendak memberi pelajaran padanya.
Dari bujang sampai pada majikan segenap isi rumah Wan Thian Cik mengerti ilmu silat semua. Tapi jago tua itu mempunyai silat aneh, ialah tak mau menerima murid.
Ketika tiba di kebun belakang ternyata Hian Kwan tak tampak. Kamar nona itu terletak di sebelah kiri kebun itu. Dalam sebuah kesempatan, Ciu Bing telah mencuri pandang ke arah kamar Hian Kwan. Dari tirai jendela, tampak dalam kamar itu ada sesosok tubuh tengah berjalan mondar mandir. Diam diam Ciu Bing mengeluh: "Ah, ia tengah melamunkan Ku Pin."
"Ciu kongcu, kau hendak memakai senjata apa?" tanya Wan Thian Cik.
Ciu Bing gelagapan dan mengatakan hendak memakai tongkatnya sendiri saja. Tongkat itu adalah pemberian Ku Pin.
Dewa Pengasih 2 Pendekar Bloon 1 Neraka Gunung Bromo Ninja Merah 3
^