Pembunuh Berdarah Dingin 2
Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin Bagian 2
kedudukannya, mewakilinya untuk memenuhi janji yang telah kami sepakati bersama
pada lima belas tahun silam!"
Panji menarik kepalanya dengan kekagetan yang tidak
sempat disembunyikannya. Meskipun ia tidak tahu-menahu tentang janji yang telah
dibuat Ki Arja Wiguna dengan ketiga kakek itu, namun ia maklum betul apa arti
ucapan Penyabit Kepala. Sebenarnya, kalau ia mau, tidak sulit baginya untuk
mengelak dan menyanggah ucapan Penyabit Kepala itu. Akan tetapi, ia tidak bisa
dan juga tidak mau. Mana mungkin ia akan membiarkan Suranti menghadapi ketiga
kakek itu seorang diri. Apalagi gadis itu baru saja kehilangan orang-orang yang
dicintainya. Jiwa Suranti jelas tengah mengalami guncangan
hebat. Tengah didera kesedihan, dan rasa penasaran karena belum tahu dan belum
mempunyai gambaran tentang
pembunuh ayah dan tunangannya. Panji maklum bagaimana
perasaan gadis itu, yang semuanya tergambar jelas di
wajahnya. Dan Panji tidak ingin menambah penderitaan
Suranti. Apalagi ketika ia menoleh, dilihatnya gadis itu tengah memandangnya.
Menyerahkan jawabannya kepada
dirinya. Akan tetapi, tentu saja Panji tidak ingin melangkahi gadis itu. Biar
bagaimanapun, dalam urusan itu ia termasuk orang luar.
"Sebenarnya aku tidak berhak untuk mencampuri
urusan ini lebih jauh lagi," kata Panji kemudian sambil menatap ketiga kakek di
depannya berganti an. "Akan tetapi, di sini masih ada keturunan Ki Arja Wiguna.
Artinya, Suranti-lah yang berhak memutuskannya. Aku tak ingin
dianggap lancang dan sok gagah. Jadi, terserah Suranti. Tapi apa pun
keputusannya, aku akan menerimanya," lanjut Panji. Sambil berkata demikian,
Panji menoleh dan menatap ke arah gadis itu.
Tapi Suranti tidak segera mengambil keputusan.
Meskipun sebenarnya ada perasaan atau keinginan di
hatinya untuk melihat bagaimana Panji menghadapi ketiga kakek sakti itu, namun
ada juga kekhawatiran kalau-kalau Panji akan mendapat celaka. Dan, Suranti tidak
ingin Panji terluka di tangan ketiga kakek sakti itu. Apalagi kalau sampai
tewas, ia akan merasa berdosa. Dan ia tidak ingin dikejar-kejar rasa bersalah.
"Tidak," geleng Suranti akhirnya. "Aku tidak bersedia jika Panji harus
dilibatkan ke dalam persoalan antara kalian dengan ayahku," lanjutnya, yang
kemudian menatap Panji dengan sorot menyesal. "Maaf, Panji. Bukan berarti aku
meremehkan kepandaianmu. Itu sama sekali tidak pernah
terlintas dalam hati maupun pikiranku. Cuma saja, selain aku, Ayah masih
mempunyai pewaris ataupun keturunan
lainnya. Orang itu adalah kakakku, putra ayahku. Rasanya, dialah orang yang
lebih berhak untuk menggantikan
kedudukan Ayah."
"Kalau begitu, mengapa kau tidak suruh kakakmu itu segera keluar menemui kami?"
Penyabit Kepala langsung saja berkata. Tampaknya ia sudah tidak sabar ketika
mendengar penuturan Suranti. Kalau benar Ki Arja Wiguna masih
mempunyai seorang putra, tentu saja ia merasa lebih setuju untuk menghadapinya,
ketimbang Panji yang cuma orang
luar. Dan pendapat Penyabit Kepala ternyata tidak berbeda
dengan Iblis Kembar Tongkat Kuning. Dua orang kakek
kembar ini pun lebih condong untuk menghadapi keturunan Ki Arja Wiguna daripada
Panji. Sebab, tujuan mereka
memang hendak mengalahkan ilmu-ilmu Ki Arja Wiguna.
Ilmu-ilmu yang pernah membuat mereka menjadi pecundang.
"Sayangnya, sudah lebih dari satu tahun, Malintang, kakakku
itu dititipkan Ayah kepada salah seorang sahabatnya," jawab Suranti dengan nada menyesal. Penyabit Kepala dan Iblis
Kembar Tongkat Kuning tentu saja merasa kecewa sekali. Harapan yang baru saja
muncul, segera lenyap kembali.
"Katakan, kepada siapa kakakmu itu dititipkan" Kami akan
mendatanginya,"
Maloya berkata menunjukkah ketidaksabaran hatinya. Akan tetapi, Maloya jadi kecewa ketika melihat Suranti
menggelengkan kepala.
Sebenarnya Suranti bukan tidak tahu di mana
kakaknya berada. Tapi ia tidak ingin membuat kakaknya
terkejut dengan kedatangan Penyabit Kepala dan Iblis
Kembar Tongkat Kuning. Suranti ingin memberitahukan
kakaknya lebih dulu. Agar bisa mempersiapkan diri dengan lebih baik. Maka ia
terpaksa berdusta. Suranti minta waktu tiga puluh hari untuk mencari kakaknya.
Dan kelak akan menemui mereka bertiga di tempat yang kemudian mereka
sepakati bersama.
Penyabit Kepala dan Iblis Kembar Tongkat Kuning
mengangguk setuju. Mereka percaya kalau gadis itu tidak akan mengingkari
janjinya. Maka, meskipun dengan hati
agak kecewa, akhirnya merelakan pergi meninggalkan tempat itu.
Panji dan Suranti mengiringi kepergian tiga orang
kakek itu dengan pandang matanya. Dan mereka masih
menatap ke depan, meskipun sosok Penyabit Kepala dan Iblis Kembar Tongkat Kuning
sudah tidak kelihatan lagi. Lama mereka sama terdiam sampai akhirnya Panji
memecah keheningan di antara mereka.
"Rasanya aku juga harus pergi," ujar Panji pendek.
Mengangguk tipis kepada Suranti. Lalu, tanpa menunggu
jawaban lagi, Panji segera melesat meninggakan Suranti, yang hanya bisa
memandangi sosok pemuda penolongnya
yang semakin jauh itu.
Lama Suranti termenung di tempatnya dengan kepala
terangguk-angguk. Bayangan Panji sudah tidak nampak lagi.
Lenyap di kejauhan, di antara batang-batang pohon besar.
Dan setelah sadar dari keadaannya, Suranti memutar
tubuhnya. Melangkah menuju rumahnya untuk berkemas-
kemas, ia harus segera mencari Malintang. Kakaknya, untuk memberitahukan bencana
yang telah menimpa keluarga
mereka. 4 Lama Suranti berdiri memandangi bangunan tempat
di mana selama belasan tahun ia bernaung. Satu persatu, kenangan masa kanak-
kanaknya yang manis dan penuh
dengan kebahagiaan, hadir di pelupuk matanya. Masa-masa yang sangat indah, yang
penuh dengan canda dan tawa, yang tak mungkin bisa dilupakannya meski sampai
kapan pun! Tapi sekarang...
Suranti menghela napas. Ada kenyerian yang menusuk hatinya, saat semua kenangan itu melintas di
benaknya. Membuat Suranti tiba-tiba merasa nelangsa.
Merasa diri tidak lagi mempunyai arti. Semua sudah berlalu.
Masa telah berubah. Ayah dan tunangannya, yang merupakan bagian dari kenangan manis itu pun sudah tidak ada lagi. Yang tersisa
cuma tinggal kenangan dan goresan luka yang menimbulkan dendam kesumat di
hatinya. "Semua ini harus kubalas...!" Tanpa sadar Suranti menggeram dengan mengepal
tangan kuat-kuat. Sepasang
matanya yang biasanya bersinar-sinar penuh kebahagiaan dan semangat hidup, kini
yang terlihat cuma kilatan api dendam. Di depan makam ayah dan kekasihnya,
Suranti bersumpah untuk membalas semua kekejian itu. Tidak
peduli kendati untuk itu ia harus mengorbankan nyawanya!
Sekali lagi, sebelum memutar tubuh dan meng
ayunkan langkahnya, dipandanginya bangunan itu.
Disusutnya dua titik air mata yang mengalir turun di
atas pipinya yang putih dan halus itu. Dan dengan
menguatkan hatinya, Suranti pun mulai bergerak menuruni lereng gunung. Akan
tetapi, baru kira-kira sekitar seratus tombak, Suranti sudah menghentikan
langkahnya. Ada
sesuatu yang menarik perhatiannya. Membuat keningnya
berkerut. Ditundanya perjalanannya. Karena ia merasa
tertarik dengan benda yang berada di atas rerumputan, di dekat semak-semak.
Benda itu sebenarnya tidak bisa dibilang menarik.
Kalau di tempat lain, sudah pasti tidak akan ada yang
memperhatikannya. Jangankan melihat, sedang melirik pun orang pasti tidak akan
melakukannya. Siapa orangnya yang mau peduli dengan selembar kain hitam" Dan
Suranti pun pasti tidak akan tertarik kalau saja benda itu tergeletak di tanah,
di tengah keramaian sebuah pekan. Bahkan jika kain hitam itu adanya di tengah
jalan desa pun, tidak akan
ditolehnya! Dan itu sudah pasti!
Akan tetapi, yang membuat Suranti merasa tertarik,
karena kain hitam itu adanya di lereng gunung. Padahal Suranti tahu betul kalau
daerah itu sangat jarang dilalui orang, ia sudah belasan tahun tinggal di
sekitar daerah itu.
Dan sudah hafal betul dengan liku-likunya. Jadi, tidak heran kalau kain hitam
itu bisa membuatnya tertarik. Dan kain itu sendiri bukan dari bahan kasar,
melainkan kain sutera. Kain yang tidak mungkin dikenakan orang-orang desa.
Suranti mengulurkan tangannya, meraih kain sutera
hitam itu. Sewaktu mengangkat dan membentangnya di
depan wajahnya, kerutan di kening Suranti jadi semakin banyak. Dan, kalau
tadinya ia cuma sekadar ingin tahu saja, maka sekarang hatinya benar-benar
tertarik! Bukan cuma bentuknya saja yang seperti sebuah kantung, tapi juga
terdapat dua buah bolongan, yang seolah sengaja dibuat untuk mata. Tentu saja
Suranti menjadi semakin tertarik.
Diperkirakannnya
kalau kain itu digunakan untuk menyembunyikan wajah agar tidak bisa dikenali. Orang-
orang jahat biasa menggunakannya sebagai topeng penutup kepala dan wajah. Hanya
dua matanya saja yang kelihatan.
Cukup lama Suranti meneliti kain sutera hitam
berupa kerudung itu. Kain itu masih kelihatan baru, hingga timbul dugaan bahwa
ada orang yang sengaja membuangnya.
Dan menurut perkiraannya, orang itu pasti habis melakukan kejahatan.
Dan tiba-tiba saja wajah Suranti menegang. Dadanya
berdebar keras, hingga membuat dengus napasnya mengalir berat. Bahkan kedua
tangannya yang memegang kerudung
sutera hitam itu sampai gemetar.
"Mungkinkah
kerudung sutera hitam ini ada hubungannya dengan kematian Ayah dan tunanganku?"
mendadak saja pikiran itu melintas di benak Suranti. Dan menurutnya hal itu
bukan tidak mungkin. Suranti jadi
teringat bagaimana sewaktu ia pulang, ayahnya sudah
dikuburkan orang. Siapa yang telah menguburkan mayat
ayahnya" Kalau si pembunuh yang melakukannya, jelas
tidak mungkin! Lalu, bagaimana dengan Rakai, tunangannya" Mengapa Rakai terbunuh di ruang rahasia"
Berbagai pertanyaan yang baginya merupakan sebuah
misteri itu, membuat Suranti berpikir keras.
Dicobanya untuk merangkaikan kejadian-kejadian
yang mengakibatkan tewasnya kedua orang yang dicintainya itu.
Mungkinkah ayahnya dibunuh lebih dulu, yang
kemudian si pembunuh memaksa Rakai untuk menguburkan
mayatnya" Lalu, di bawah ancaman si pembunuh, Rakai
dipaksa untuk menunjukkan ruang rahasia tempat penyimpanan pusaka-pusaka leluhur mereka. Dan setelah
tiba di ruang rahasia, Rakai pun dihabisi nyawanya.
Kemudian pembunuh itu pergi dengan membawa pusaka-
pusaka leluhur mereka.
"Ah, tapi itu hampir tidak mungkin!" Suranti membantah rangkaian kejadian yang dibuatnya itu. "Aku kenal betul bagaimana
watak Rakai. Dia pasti lebih suka mati daripada menunjukkan ruang rahasia itu!"
Dan Suranti jadi termenung. Diperhatikannya
kerudung kain sutera hitam yang masih dipegangnya itu, sementara pikirannya
terus berputar mencari jawaban. Ada keyakinan dalam dirinya bahwa kerudung kain
sutera hitam itu mempunyai kaitan dengan bencana yang menewaskan
ayah dan tunangannya.
"Hm..., ada baiknya benda ini kusimpan," gumam Suranti akhirnya mengambil
keputusan. "Siapa tahu kelak akan ada gunanya," Suranti segera memasukkan
kerudung kain hitam itu ke dalam buntalan pakaiannya. Kemudian
melanjutkan perjalanannya. Menuruni lereng dengan
Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setengah berlari, la ingin cepat-cepat bertemu dengan
kakaknya, untuk kemudian bersama-sama
mencari si pembunuh. Tapi, terlebih dulu ia akan menemui gurunya.
Untuk minta izin, dan agar gurunya tidak mencemaskannya.
Kepada gurunya ia berjanji akan kembali dalam tujuh hari.
Akan tetapi, ketika tiba di tempat kediaman gurunya,
Suranti menjadi terkejut dan sekaligus heran. Gurunya
ternyata tidak berada di tempat. Tiga hari yang lalu setelah kepergiannya
gurunya pergi bersama seorang pemuda.
Demikian penjelasan seorang penduduk sewaktu Suranti
menanyakan tentang gurunya itu.
"Tahukah Paman, ke mana kira-kira Guru pergi?"
tanya Suranti dengan rasa ingin tahu, karena hal itu tidak biasanya. Sepanjang
pengetahuannya selama ia belajar ilmu sastra gurunya boleh dibilang hampir tidak
pernah pergi jauh. Jadi, tidak heran kalau Suranti ingin tahu lebih jelas, ke
mana gurunya itu pergi dan bersama siapa.
Tapi, dengan wajah menyesal petani tua itu menggeleng. "Mereka pergi ke arah utara. Cuma itu yang aku tahu, Nona," jawabnya
kemudian. Suranti cuma bisa mengangguk-angguk. Dan setelah
mengucapkan terima kasih, ia pun beranjak pergi. Sebelum meninggalkan rumah
gurunya, Suranti menuliskan pesan
agar gurunya tidak perlu mencarinya, karena ia hendak
menemui kakaknya. Baru setelah itu Suranti melanjutkan perjalanannya menuju arah
utara. Bukan hendak menyusul gunanya, melainkan untuk mencari seorang tokoh yang
berjuluk Camar Laut. Suranti tidak tahu jelas di mana tokoh itu tinggal. Yang ia
tahu, kepada tokoh berjuluk Camar Laut itulah
kakaknya berguru. Ayahnya menghendaki agar Malintang memperdalam ilmu meringankan tubuhnya. Dan
Camar Laut adalah satu di antara sekian tokoh yang ilmu meringankan tubuhnya
sudah sangat terkenal.
*** Panji baru saja meninggalkan perbatasan sebuah
desa. Namun sesuatu yang dilihatnya agak janggal, membuat Panji
memperlambat langkahnya. Dua orang yang berpapasan jalan dengannya, telah menarik perhatiannya.
Membuatnya menaruh curiga. Dan perasaan itu membuat
mata Panji menelitinya dengan lebih jauh lagi.
Dua lelaki yang berpapasan dengan Panji itu memang
bisa menarik perhatian siapa saja. Mereka adalah lelaki tua, berumur kira-kira
enam puluh lima tahun, dan seorang
pemuda berusia sekitar dua puluh tiga tahun. Tapi bukan perbedaan usia mereka
yang membuat Panji merasa tertarik.
Itu bukanlah suatu pemandangan yang aneh, dan tidak
pantas membuat orang menaruh curiga. Akan tetapi, wajah dan sikap lelaki tua
itulah yang telah menarik perhatian Panji.
Wajah lelaki tua itu nampak pucat seperti orang yang
menyimpan ketakutan. Sikapnya terlihat selalu gugup,
dengan sepasang mata senantiasa bergerak-gerak gelisah.
Sementara si lelaki muda menunjukkan wajah garang. Lebih-lebih
sewaktu melihat ada seorang pemuda yang memperhatikannya. Sepasang matanya langsung melotot,
menyiratkan ancaman kepada Panji. Tentu saja Panji jadi semakin tertarik, dan
berusaha mencari cara untuk mengetahui ada apa sebenarnya di antara kedua orang
itu. "Maaf," sapa Panji yang akhirnya bergerak mendekati kedua lelaki itu. Si pemuda
semakin melotot, sementara si lelaki tua nampak semakin ketakutan, Tapi Panji
tidak mempedulikannya. Ia kembali melanjutkan kata-katanya,
"Kelihatannya Orang Tua itu sakit" Ayahmukah, atau kakekmu" Dan, kurasa kalian
harus segera mencari tabib."
Si lelaki tua nampak semakin gelisah. Panji tahu
kalau lelaki tua itu ingin sekali untuk menjawab pertanyaannya, tapi ia kelihatan sangat takut kepada
pemuda di sampingnya. Bahkan wajahnya kemudian meringis menahan sakit, karena pemuda itu sudah mencengkeram lengannya kuat-kuat. Dan itu semakin
menambah kecurigaan Panji. Semakin merasa yakin bahwa
ada apa-apa di antara kedua lelaki itu.
"Hei!" si pemuda menatap Panji dengan sinar matanya yang tajam dan barkilat-
kllat. "Sebaiknya kau lanjutkan saja perjalananmu dan jangan campuri urusan
orang lain! Kecuali kalau kau memang bermaksud hendak mencari penyakit!"
sentaknya kemudian, dengan kegeraman yang ditahan-tahan.
Panji mencoba tersenyum ramah. Lalu, dengan tetap
tenang, dibalasnya tatapan pemuda itu. "Sobat, aku bermaksud baik. Sama sekali tidak terlintas dalam benakku untuk mencari
penyakit. Dan kalaupun aku mau tahu
tentang urusan kalian, itu karena aku merasa kasihan
dengan lelaki tua yang..."
"Banyak bacot!" kata-kata Panji langsung dipotong si pemuda, yang kemudian
menerjang dengan sebuah tamparan keras. Sambaran anginnya yang menderu, membuat
Panji agak terkejut. Pemuda berpakaian serba hitam ternyata
bukan orang sembarangan. Cepat Panji menggeser tubuhnya, sambil memiringkan
kepala, hingga serangan itu tidak
mengenai sasarannya.
Tak menyangka kalau serangannya dapat dielakkan
lawan, pemuda berpakaian serba hitam, yang bukan lain dari Malintang ini,
menjadi semakin geram. Penasaran bukan
main hatinya. Serangan itu dilakukan dengan cepat. Orang yang mampu
menghindarinya pun sangat sedikit sekali. Tapi, pemuda berpakaian serba putih
itu ternyata mampu
melakukannya. Hal itu benar benar tidak pernah disangkanya! "Hm..., pantaslah kau demikian usil. Kiranya kau
memiliki kepandaian juga," ujar Malintang seraya meneliti sosok Panji dengan
penuh selidik. "Kelihatannya kau bukan orang dari daerah ini. Nada bicaramu
kudengar agak asing.
Siapa kau" Dan apa tujuanmu datang ke daerah ini?"
tanyanya kemudian.
"Namaku Panji. Dan kedatanganku ke daerah ini
cuma sekadar untuk meluaskan pengalaman," jawab Panji tenang
sambil memasang sikap waspada. Kepandaian pemuda itu cukup berbahaya. Dan kelengahan sedikit saja, bukan mustahil jika
pemuda itu akan mempergunakannya.
Malintang mengangguk-angguk
kepala. Tarikan bibirnya demikian sinis. Begitu juga dengan sorot matanya.
Sangat merendahkan sekali. Namun, Panji tetap tenang.
Tidak mempedulikan sikap yang penuh ejekan pemuda itu.
Dan tetap pada sikap semula, meskipun pemuda berpakaian serba
hitam itu kemudian melangkah dan mengitari tubuhnya. Malintang seperti tengah menaksir-naksir
kekuatan lawannya.
"Hyahhh...!" Mendadak saja Malintang mengeluarkah bentakan pendek. Dari samping,
begitu menghentikan gerak langkahnya,
Malintang langsung melompat sambil melontarkan tiga pukulan beruntun, yang mengancam tiga jalan darah kematian di
tubuh Panji. Namun Panji sudah waspada sejak semula. Maka,
ketika Malintang menyerangnya, Panji langsung melangkah mundur dua tindak. Tiga
pukulan maut itu disambutnya
sekaligus! Plak! Plak! Dukkk!
Baik Panji maupun Malintang sama-sama terjajar
mundur sebanyak empat langkah. Tenaga mereka ternyata
berimbang. Akan tetapi, baik Panji maupun Malintang sama-sama maklum kalau
masing-masing belum mengerahkan
tenaga sepenuhnya. Dan sementara keduanya menyiapkan
diri untuk melanjutkan pertarungan, lelaki tua yang bersama Malintang, yang
bukan lain dari Empu Darna, segera saja menepi, menjauhi arena pertarungan.
Seperti yang dilakukan sebelumnya, ketika per-
tarungan berlanjutpun, Malintang kembali berada di pihak penyerang. Berbeda
dengan sebelumnya, karena sadar bahwa Panji ternyata bukan pemuda sembarangan,
dan mampu mengimbangi kekuatannya, Malintang lebih meningkatkan
serangan-serangannya, ia tidak mau main-main lagi, dan ingin mengakhiri
pertarungan sesegera mungkin.
Dan, kali ini Panji baru benar-benar dibuat terkejut.
Serangan-serangan yang dilancarkan Malintang, yang jauh lebih hebat dari
sebelumnya, sempat juga membuat Panji kerepotan. Malintang ternyata memiliki
ilmu yang beragam, yang membuat Panji merasa kesulitan untuk menebak ke
mana arah serangan pemuda berpakaian serba hitam itu.
Malintang memang sengaja selalu merubah gerakannya.
Sehingga, dalam belasan jurus saja Malintang sudah dapat menguasai arena.
Mendesak Panji dengan gerak ilmu silatnya yang campur aduk.
Bukkk! Pukulan itu demikian telak menghantam iga kanan
Panji. Itu terjadi setelah Malintang menyerang selama lebih dari dua puluh lima
jurus. Malintang tertawa berkakakan.
Tampaknya hasil serangannya itu telah membuat hatinya
puas. Ia tidak segera melanjutkan. Seolah sengaja memberi kesempatan kepada
lawan untuk mempersiapkan diri.
Hendak menunjukkan kemenangannya, dan bahwa dirinya
mempunyai tingkatan lebih tinggi.
Panji yang merasakan iga kanannya seperti dihantam
sabongkah batu, menanggapi sikap takabur lawan dengan
senyum. Tapi Panji mengakui bahwa pemuda berpakaian
serba hitam yang menjadi lawannya itu memang benar-benar hebat. Ilmu-ilmu
beragam yang dimiliki lawannya begitu ganas dan membingungkan, yang bahkan mampu
menerobos benteng pertahanannya. Padahal jarang sekali ada tokoh yang mampu melakukannya.
Tapi pemuda itu ternyata
mampu. Malah telah membuat dirinya kecolongan.
"Itu cuma sekadar peringatan pertama. Baru untuk
kelancangan matamu saja. Belum untuk kelancangan mulutmu dan sikapmu yang sok mau tahu itu," kata
Malintang sambil berkacak pinggang, menatap Panji dengan sorot mata penuh
ejekan. "Sekali saja bagiku rasanya sudah lebih dari cukup, Sobat. Tidak akan ada kedua
kail atau pun selanjutnya,"
sahut Panji seraya menggeleng dan tersenyum.
Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lalu melangkah maju beberapa tindak sambil mengerahkan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Dan seketika itu juga, lapisan kabut bersinar
putih keperakan pun segera menyelimuti
tubuhnya. Malintang tercengang untuk sesaat lamanya. Namun,
ia segera menyadari sikapnya. Cepat ditutupinya dengan tertawa keras, hingga
tubuhnya berguncang.
"Memang tidak akan ada kedua kail atau pun
selanjutnya,", lanjut Malintang. Masih dengan nada penuh kesombongan. "Karena
untuk yang berikutnya kau akan segera enyah ke akhirat!" Dan, begitu ucapannya
selesai, tubuhnya langsung melesat ke depan. Terdengar suara
mengaung tajam dari sebilah pedang yang entah kapan
dicabutnya, tahu-tahu saja telah barada dalam genggaman tangan kanannya. Dengan
pedang itulah Malintang menerjang Panji.
Namun, Panji yang telah mempersiapkan dirinya,
dapat menyambut serangan-serangan Malintang dengan
sangat baik. Dengan kecepatan menakjubkan, Panji berkelebatan di antara sinar pedang lawan. Tak satu pun serangan Malintang yang
mengenai tubuhnya. Bahkan ketika Malintang semakin meningkatkan serangannya,
Panji malah berhasil menyarangkan sebuah pukulannya.
Desss...! Bagai didorong tangan raksasa, Malintang merasakan
tubuhnya terhempas ke belakang. Akan tetapi, sewaktu Panji mengejar, Malintang
masih sempat juga membabatkan
pedangnya dengan gerak datar untuk melindungi diri.
Namun, hal itu tidak banyak berguna. Panji, yang sambil bergeser mundur
selangkah, mengirimkan sebuah tendangan ke arah pergelangan tangan Malintang
yang memegang pedang. Membuat Malintang terpekik. Dan pedangnya pun
lepas dari genggaman. Terpental jauh tanpa dapat dicegahnya lagi. Sedangkan pada
saat itu juga, Panji sudah melepaskan dua pukulan untuk menyusuli tendangannya.
Bukkk! Desss...!
Dan, tanpa ampun lagi, Malintang terpental deras.
Melayang di udara sampai lebih dari tiga tombak, yang
akhirnya terbanting ke tanah dengan kerasnya. Demikian kuat pukulan yang
dilontarkan Panji, hingga membuat
Malintang muntah darah!
Meskipun merasakan bagian dalam dadanya nyeri dan
panas bagai terbakar, namun Malintang memaksa diri
bangkit berdiri. Dan ketika melihat Panji tidak berbuat apa-apa
tidak menghampirinya hanya berdiri sambil memandangnya, Malintang memutar tubuhnya. Terus melesat pergi tanpa mempedulikan Empu Darna, yang
semula hendak dipaksanya untuk membacakan kitab-kitab
hasil curiannya.
Panji tidak berusaha mengejar. Hanya memandangi
sosok pemuda berpakaian serba hitam itu, yang semakin
jauh dan samar. Dalam hatinya ia berharap agar pemuda itu bisa
menyadari kesalahannya dan kemudian memperbaikinya.
*** "Kejar dia, Anak Muda! Jangan biarkan manusia
keparat itu lolos!"
Teriakan itu berasal dari mulut Empu Darna.
Membuat Panji menoleh dengan kening dikerutkan. Ditatapnya lelaki tua itu, yang tengah berlari menghampirinya sambil menunjuk-nunjuk sosok Malintang, yang semakin jauh dan
samar. "Tidak mengapa, Kek," ujar Panji seraya tersenyum,
"Mudah-mudahan setelah apa yang dialaminya hari ini akan membuatnya jera."
"Tapi..., pemuda itu adalah manusia durjana yang
tidak kenal budi! Dia... dia telah membunuh orang yang merawat dan mendidiknya
sejak kecil! Dan..., malah telah mencuri pusaka-pusaka orang yang telah
mengangkatnya sebagai anak sendiri!" Empu Darna seperti berusaha menjelaskan
sesuatu kepada Panji. Namun, karena kegugupannya, keterangannya malah membingungkan Panji.
Apa yang dikatakannya tidak begitu jelas dan terpatah-patah.
"Tenang dulu, Kek, tenang dulu," Panji mencoba untuk menenangkan Empu, Darna,
yang saat itu masih saja menunjuk-nunjuk
ke arah tempat lenyapnya sosok Malintang. "Jelaskan semuanya dengan tenang. Sebab apa yang kau katakan itu
malah membuat aku menjadi bingung."
Empu Darnna menggeleng-gelengkan
kepalanya. Wajahnya mencerminkan penyesalan yang dalam, ia tidak
menyalahkan Panji. Justru menyesali diri sendiri, yang tak bisa berlaku tenang,
ia memang bukan ahli silat. Malah tidak mengerti sama sekali tentang ilmu silat.
Lain halnya kalau bicara soal keris dan sastra. Boleh dibilang Erripu Darna
adalah jagonya. Jarang yang bisa menandinginya dalam dua hal itu. Jadi, tidak
heran kalau dia mampu menguasai
perasaannya, yang saking tegang dan bernafsunya, hingga apa yang dikatakannya
malah menjadi tak jelas.
"Dia... pemuda keparat itu...."
"Mulailah dari awal, Kek," potong Panji, yang sambil tersenyum, dipegangnya bahu
Empu Darna. Empu Darna segera menarik napas beberapa kali.
Kemudian dihempaskannya panjang-panjang.
Sesaat, ditatapnya wajah pemuda di depannya, yang didengarnya
mengaku bernama Panji.
"Pemuda itu bernama Melintang..."
"Melintang..."!" Panji mengulang nama itu, yang tanpa sadar telah memotong
kalimat Empu Darna.
"Apa kau pernah mendengar namanya?" tanya Empu Darna sambil menatap wajah Panji,
yang dilihatnya tengah mengerutkan kening. Empu Darna maklum kalau Panji
sedang berusaha untuk mengingat-ingat. Maka ia pun tidak berkata
apa-apa lagi. Menunggu sampai Panji bisa mengingatnya. "Hm... ya, ya, aku ingat sekarang!" ujar Panji sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Aku pernah mendengar seorang gadis bernama Suranti menyebut nyebut nama
Malintang....!"
"Apakah yang kau maksud Suranti putri Ki Arja
Wiguna"!" Kali ini Empu Darna yang memotong ucapan Panji.
Heran juga hatinya ketika mendengar Panji menyebut nama Suranti. Empu Darna
heran, kapan dan bagaimana Panji bisa mengenal Suranti. Gadis itu adalah
muridnya. Dan sepanjang yang ia tahu, Suranti belum pernah bercerita tentang
pemuda bernama Panji padahal Suranti sangat terbuka dengannya. Boleh dibilang, hampir tidak ada yang tidak diketahuinya tentang
Suranti. "Benar, Kek," jawab Panji cepat. "Kalau aku tidak salah ingat, aku juga
mendengar Suranti berkata tentang ayahnya yang bernama Ki Arja Wiguna. Sayangnya
aku tidak sempat berkenalan dengan beliau. Ki Arja Wiguna tewas
dibunuh orang. Mengenai siapa pembunuhnya, Suranti pun tidak mengetahuinya.
Menurutnya, sewaktu pulang, ia
menemukan tunangannya telah menjadi mayat. Sementara
ayahnya sudah dimakamkan orang," lanjutnya, yang kemudian menceritakan tentang pertemuannya dengan Suranti. "Tepat sekali!" tukas Empu Darna. "Mau tahu siapa pembunuhnya?" tanyanya
kemudian seperti berteka-teki.
"Pembunuhnya
adalah Malintang!"
lanjutnya setelah dilihatnya Panji mengangguk.
"Malintang..."!" Tentu saja Panji heran bukan main.
Ditatapnya mata Empu Darna dalam-dalam, seolah ia hendak mencari kebenaran di
mata kakek itu. Tapi ia tahu kalau Empu Darna tidak berbohong. Hanya saja ia
masih tidak mengerti, bagaimana seorang anak bisa sampai tega membunuh ayahnya sendiri" Sungguh sulit baginya untuk
menerima hal semacam itu.
"Malintang bukanlah anak kandung Ki Arja Wiguna.
Aku tahu betul hal itu," jelas Empu Darna, seolah mengerti apa yang ada dalam
pikiran Panji. "Mungkin itu pula sebabnya mengapa dia sampai tega membunuh Ki
Arja Wiguna, selain hendak menguasai pusaka-pusaka leluhur
sahabatku itu. Malintang sendiri yang mengatakannya
kepadaku. Aku sendiri dipaksa untuk menuruti segala
kemauannya. Dia mengancam akan menyiksaku dengan
siksaan yang katanya akan sangat menyakitkan sekali. Aku akan dibuatnya mati
tidak hidup pun tidak. Ketika aku tetap berkeras menolak, ancamannya segera
dibuktikan, yang
hanya dengan sentuhan jari-jari tangannya saja, sudah
membuat seluruh tubuhku nyeri bukan main. Akhirnya aku menyerah.
Berjanji akan membantunya untuk menterjemahkan isi kitab yang dicurinya dari Ki Arja
Wiguna." "Keji sekali...!" desis Panji, yang merasa geram setelah mendengar penuturan
Empu Darna. "Tapi, mungkin ia masih mempunyai alasan lain, hingga sampai tega
melakukan semua kekejian itu, Kek."
"Entahlah," Empu Darna menggeleng. "Yang pasti, sekarang aku sangat membutuhkan
pertolonganmu, Panji.
Aku sangat khawatir dengan keselamatan Suranti. Dia harus segera diberitahu
tentang kejadian yang sebenarnya."
"Tentu, Kek, tentu," jawab Panji seraya mengangguk-anggukkan
kepala. "Akan kuusahakan mencegahnya. Mungkin saat ini ia sudah pergi untuk mencari Malintang.
Sebab, beberapa hari yang lalu, sebelum kami berpisah, Suranti mengatakan hendak
mencari Malintang." Lalu Panji menceritakan tentang tantangan tiga orang tokoh
sesat, musuh Ki Arja Wiguna yang datang untuk menagih janji.
"Kalau tentang mereka aku sama sekali tidak tahu,"
Empu Darna menggeleng. "Tapi, jika benar Suranti hendak mencari Malintang, ia
pasti menuju ke utara. Kau bisa
mendahuluinya, Panji. Temuilah seorang tokoh berjuluk
Camar Laut. Dia tinggal di sebuah bangunan tua di selatan pantai barat," pinta
Empu Darna kemudian. Menatap Panji dengan pandangan penuh permohonan.
"Baiklah, Kek," jawab Panji. "Akan kulakukan sebaik-baiknya. Mudah-mudahan saja
Suranti mau percaya dengan keteranganku. Sebab, seperti yang kau bilang, Suranti
hanya tahu bahwa Malintang adalah kakak kandungnya. Rahasia
itu cuma Malintang dan Ki Arja Wiguna yang tahu."
Empu Darna mengangguk maklum. Ia sadar bahwa
tugas yang diberikannya kepada Panji memang bukan
pekerjaan yang mudah. Apalagi jika mengingat bahwa Panji adalah seorang
pendatang. Jadi, bukan mustahil kalau
Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suranti tidak akan bisa menerima penjelasan Panji dengan begitu saja.
"Tapi, percayalah, Kek. Aku akan berusaha agar
Suranti mau mendengar serta percaya dengan semua
keteranganku," kata Panji lagi, yang merasa tidak tega sewaktu dilihatnya wajah
murung Empu Darna.
Empu Darna menarik napas lega. Mengucapkan
terima kasih sampai berkali-kali, sebelum akhirnya mereka berpisah. Empu Darna
menuju ke selatan, sebaliknya Panji menuju ke utara.
5 Berkat petunjuk Empu Darna, dalam waktu kurang
dari dua hari, Panji pun tiba di daerah pantai barat. Di daerah itu, nama Camar
Laut ternyata sangat terkenal,
hingga tidak sulit baginya untuk menemukan tempat
kediaman tokoh itu.
Tapi, setibanya di tempat kediaman Camar Laut,
timbul keheranan di hati Panji. Untuk beberapa saat
lamanya. Panji cuma berdiri sambil mengawasi bangunan tua itu. Demikian sunyi
kelihatannya. Seperti tidak berpenghuni.
Tidak ada yang keluar menyambutnya, kecuali keheningan yang menghampar.
"Camar Laut memang sangat jarang sekali keluar.
Bahkan belakangan ini, sudah lama sekali tidak ada yang pernah melihatnya."
Kata-kata itu tiba-tiba terngiang di telinga Panji. Jawaban seorang nelayan
separo baya, yang memberitahukan tempat kediaman Camar Laut, sewaktu ia
bertanya. Panji mengangguk-angguk
sesaat. Kemudian, diayunkan langkahnya memasuki halaman bangunan. Kembali tidak ada yang menyambutnya selain keheningan.
Tapi, sebelum ia melangkah lebih jauh, tiba-tiba saja
telinganya menangkap suara langkah dari arah belakangnya.
Cepat Panji memutar tubuhnya untuk melihat orang yang
datang ia berharap yang datang adalah salah seorang dari penghuni bangunan tua
itu. "Hei, mengapa kau bisa berada di tempat ini"! Apa yang kau lakukan di tempat
ini. Panji"!" tegur orang yang baru datang, setelah tersadar dari
keterkejutannya. Dan sambil berkata demikian, kakinya dilangkahnya menghampiri
Panji. "Menunggumu," jawab Panji singkat. Panji tidak merasa kaget. Sebab,
kedatangannya ke tempat itu memang dengan tujuan untuk menunggu kedatangan orang
itu, yang bukan lain dari Suranti.
"Menungguku"!" Suranti membelalakkan matanya yang bagus. "Untuk apa?" tanyanya,
yang tak dapat lagi menahan keheranan hatinya.
"Untuk menyampaikan berita yang sangat penting,"
jawab Panji. "Banyak sekali yang akan kuceritakan kepadamu."
"Berita tentang apa?"
"Tentang semua yang berhubungan dengan kematian
ayah dan tunanganmu. Juga tentang Malintang, kakakmu,"
jawab Panji sambil menatap wajah Suranti lekat-lekat. Dan seperti apa yang
diduganya, wajah Suranti nampak memucat.
Bibirnya bergetar, tanda bahwa Suranti tengah terguncang.
Apa yang dikatakan Panji memang sangat mengejutkan sekali baginya.
"Apa maksudmu, Panji?" tanya Suranti akhirnya, setelah ia mulai dapat menguasai
perasaannya. Dan Panji mendengar adanya kecurigaan dalam nada suara Suranti.
Begitu juga pada sorot matanya. Tapi Panji tidak merasa heran. Wajar saja
baginya jika Suranti malah mencurigainya.
Itu memang sudah diperhitungkannya. Karena Suranti
memang belum begitu mengenalnya. Belum tahu jelas asal usulnya.
"Tentu saja untuk menolongmu, Suranti," jawab Panji ringan dan sambil tersenyum.
"Mengapa kau hendak menolongku"
Bukankah sewaktu di Gunung Bakau sudah kujelaskan semuanya
kepadamu" Aku tidak ingin melibatkanmu ke dalam
persoalan keluargaku. Aku masih mempunyai seorang kakak yang bisa membantuku
untuk menyelesaikannya. Apa kata-kataku waktu itu masih kurang jelas bagimu?"
Jawaban Panji malah
membuat Suranti memberondongnya
dengan pertanyaan-pertanyaan yang nadanya sangat tidak enak
sekali bagi telinga Panji.
Tapi Panji tidak merasa tersinggung. Panji maklum
kalau Suranti ingin menyelesaikan bencana yang menimpa ayah dan tunangannya
tanpa bantuan orang luar. Itu karena Suranti belum tahu tentang kakaknya.
"Malihtang
memang bisa menyelesaikan semua bencana yang menimpa ayah dan tunanganmu, Suranti.
Karena dialah dalang dari semua kekejian itu!"
"Panji!" Suranti memekik dengan wajah merah padam.
Tampak jelas dalam sorot matanya, betapa kata-kata Panji itu telah membuat
kemarahannya terbangkit. Dan hanya
karena mengingat bahwa Panji pernah menyelamatkan
nyawanya sajalah, maka Suranti masih menahan diri.
"Pergilah, Panji," kata Suranti kemudian, dengan kemarahan yang ditahan-tahan.
"Dan jangan campuri lagi urusan keluargaku."
"Sudah kuduga kalau kau tidak akan mempercayai
kata-kataku," ujar Panji dengan perlahan. Lalu mengayun langkah seperti hendak
menuruti permintaan Suranti. Dan ketika lewat di samping gadis itu, Panji
berkata lirih, "Entah kalau Empu Darna yang mengatakannya...."
Suranti tersentak kaget. Suara Panji memang tidak
keras. Tapi, apa yang dikatakan Panji, bagi Suranti tak ubahnya dengan ledakan
halilintar. Sangat mengejutkan
sekali. "Beberapa hari lalu, secara kebetulan aku berpapasan dengan dua orang laki-laki.
Kemudian aku tahu bahwa
mereka adalah Malintang dan Empu Darna, orang tua yang mengajarkanmu ilmu
sastra," lanjut Panji, mempergunakan kesempatan selagi Suranti terdiam. Setelah
itu Panji diam.
Menunggu tanggapan Suranti.
"Kalau masih ada yang ingin kau katakan, jelaskanlah semuanya, Panji. Jangan
bikin kepalaku pusing!" Suranti menggeleng-gelengkan kepalanya. Demikian lemah
suaranya, seperti yang dirasakannya pada sekujur tubuhnya saat itu.
Kata-kata Panji membuat jiwanya kembali terguncang.
Membuat kedua kakinya gemetar, seolah tak lagi sanggup menahan berat tubuhnya.
Dan Suranti pun melorot, jatuh terduduk di tanah.
Panji mendekat, duduk di samping Suranti. Lalu,
seperti apa yang dipaparkan Empu Darna, Panji pun
menceritakan semuanya kepada Suranti, termasuk alasan
perbuatan Malintang menurut dugaan Empu Darna.
"Tidak mungkin! Tidak mungkiiin...!" pekik Suranti dengan kepala digeleng-
gelengkan. Menundukkan kepala dan menutup wajah dengan kedua tangannya.
Terdengar suara
isak-tangis yang ditahan-tahan. Ya, Suranti menangis.
Menangis dengan sedihnya. Menangisi nasibnya yang malang. Apa yang dipaparkan Panji benar-benar membuat
hatinya terpukul. Dan kalau saja semua cerita itu Panji dapat bukan dari Empu
Darna, ia pasti tidak akan percaya. Tapi semua
itu atas suruhan gurunya. Orang tua yang disayanginya, yang sangat bisa dipercaya. Empu Darna
bukanlah seorang pendusta. Suranti tahu betul tentang
bagaimana watak gurunya itu.
"Di dunia ini. segala sesuatu bisa saja terjadi," ujar Panji
lirih, seperti berkata kepada dirinya sendiri. "Menangislah, Suranti. Menangislah sepuas hatimu, karena tangis bisa mengurangi
beban yang menghimpit dadamu."
Puas menumpahkan segala kesedihan hatinya, Suranti menyusut air matanya. Ditariknya napas berulangulang, sebelum akhirnya
menoleh dan menatap Panji.
"Aku hendak menemui Camar Laut," katanya singkat.
Kemudian melompat bangkit. Dan tanpa menunggu lagi,
Suranti segera melesat masuk ke dalam bangunan tua itu.
Tanpa berkata apa-apa, Panji segera mengikuti
langkah gadis itu. Berdua mereka memeriksa seluruh bagian dalam bangunan,
sewaktu mendapati ruangan tengah yang
kosong dan kotor, seperti tidak berpenghuni. Akan tetapi, mereka tidak menemukan
Camar Laut, kecuali tulang-tulang manusia yang berserakan di bagian belakang
bangunan. Tidak tahan dengan bau busuk yang memenuhi
ruangan itu, buru-buru Suranti keluar. Sedangkan Panji masih bertahan untuk
tetap berada di ruangan itu. Di atas kepala salah satu kerangka di dinding
ruangan Panji menemukan guratan-guratan yang cukup dalam. Guratan itu merupakan sebaris
kalimat, yang menjelaskan kepada Panji tentang kerangka-kerangka yang berserakan
di ruangan itu.
Kalimat itu berbunyi :
Malintang, manusia laknat! Kelak kau akan mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatanmu!
Panji mengangguk-anggukkan kepala. Setelah itu
baru ia meninggalkan ruangan. Dihampirinya Suranti yang ternyata masih
menunggunya. "Salah satu dari kerangka di dalam ruangan itu
adalah Camar Laut," ujar Panji, yang lalu menjelaskan tentang tulisan yang
didapatinya di salah satu dinding ruangan. "Kalau dilihat dari keadaan kerangka-
kerangka itu, kurasa kejadiannya sudah lebih dari setahun "
"Tapi, mengapa Kakang Malintang melakukannya?"
Suranti menggelengkan kepalanya, ia masih belum bisa
mengerti, mengapa Malintang melakukah semua kekejian itu.
"Aku juga tidak tahu," sahut Panji. "Mungkin juga seperti apa yang terjadi
dengan ayahmu."
"Mengambil pusaka-pusaka maksudmu?" ujar Suranti menegasi.
Panji mengangguk pelan. "Dan dari dua kejadian ini, kurasa
mungkin Malintang hendak menguasai dunia persilatan. Hendak menjadikan dirinya jago tak terkalahkan.
Dan untuk keinginannya itu, jalan satu-satunya yang pating singkat, adalah
dengan mencuri pusaka-pusaka tokoh-tokoh terkenal, yang kemudian akan
dipelajarinya," ujar Panji mengutarakan dugaannya. Dan nampaknya dugaan itu bisa
diterima Suranti.
"Kalau begitu, kita harus mencarinya, sebelum ia
berhasil menguasai semua ilmu dari pusaka-pusaka curiannya!" kata Suranti dengan penuh semangat.
Panji menganguk. Dan sebentar kemudian, keduanya
pun sudah bergerak meninggalkan tempat kediaman Camar
Laut. Mereka memang belum mendapatkan petunjuk tentang di mana adanya Malintang.
Tapi hal itu tidak mengurangi semangat mereka. Terutama Suranti. Meskipun semua
bukti-bukti jelas-jelas mengarah kepada Malintang, namun Suranti ingin mendengar
sendiri dari mulut kakaknya itu, yang
setelah sekian tahun, baru hari itu ia tahu bahwa Malintang bukanlah kakak
kandungnya. *** "Mengapa kau menaruh perhatian besar pada Raja
Sesat, Panji" Bukankah seharusnya kau lebih mengutamakan pencarian Malintang" Menurutku, untuk
saat-saat sekarang ini, sebaiknya kita kesampingkan saja dulu perbuatan Raja
Sesat. Persoalan yang satu saja belum kita temukan titik terangnya, sekarang kau
sudah mau menambahnya dengan persoalan lain. Atau... mungkin kau sudah tidak ingin
membantuku lagi?"
Suranti mengungkapkan rasa penasaran di hatinya,
ketika mereka baru saja selesai membersihkan tubuh di
sebuah aliran sungai. Dari nadanya, Panji tahu kalau Suranti tidak senang dengan
Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
apa yang pernah diutarakannya itu.
Panji memang merasa tertarik dengan apa yang dilakukan Raja Sesat. Bukan cuma
sekali didengarnya, tapi sudah
beberapa kali. Itu sebabnya ia merasa tertarik dan meng-utarakannya kepada
Suranti tentang keinginannya untuk
menyelidiki Raja Sesat.
Selama menempuh perjalanan yang lebih kurang
sebelas hari, setelah mereka meninggalkan tempat kediaman Camar Laut di beberapa
desa yang mereka singgahi, Panji merasa tertarik dengan berita-berita tentang
Raja Sesat. Meskipun orang-orang di beberapa kedai yang mereka
singgahi berbicara dengan suara hampir berbisik, namun Panji merasa terusik
untuk ikut mendengarkannya. Tentu saja tanpa sepengetahuan mereka yang sedang
bercerita. Panji tahu kalau cerita itu sudah diberi bumbu ditambah-tambah agar kedengaran
lebih seru. Tapi yang jelas, cerita mereka tentang Raja Sesat, yang melakukan
penculikan terhadap beberapa orang pujangga, telah menyita perhatiannya. Sehingga, ia terus mendengarkan dengan
penuh perhatian.
Apa yang dilakukan Panji memang bukan tanpa
alasan. Sebab hal itu mengingatkannya pada Empu Darna
dan Malintang. Malintang pernah menculik Empu Darna,
yang kemudian digagalkannya, Malintang menculik Empu
Dama dengan tujuan untuk menterjemahkan tulisan kuno di dalam kitab-kitab yang
dicurinya. Dan ingatan tentang perbuatan Malintang inilah yang membuat Panji
menaruh perhatian kepada Raja Sesat. Tapi ia belum menjelaskan alasannya itu kepada
Suranti. Itu karena Panji tidak mau terburu-buru. Ia tidak ingin Suranti kecewa,
karena belum tentu perbuatan Raja Sesat ada hubungannya dengan
Malintang. Tapi, ketika mendengar nada bicara Suranti, akhirnya Panji memutuskan
untuk mengungkapkan alasan
keinginannya itu.
Suranti mengangguk-angguk
sewaktu mendengar alasan Panji. Hatinya merasa lega, karena ia khawatir kalau-kalau Panji sudah
merasa bosan membantunya, setelah
selama beberapa hari mereka belum juga mendapatkan berita tentang Malintang. Dan
ketika sudah merasa tidak tahan untuk terus menyimpan pikiran yang mengganjal
hatinya itu, Suranti pun mengungkapkannya. Dan, alangkah senang
hatinya ketika mendengar jawaban Panji. Tapi ia juga merasa malu karena sudah
menduga yang bukan-bukan.
"Maafkan kebodohanku, karena sudah berpikiran
yang bukan-bukan tentang dirimu, Panji," kata Suranti, usai mendengar penjelasan
Panji. "Lupakanlah, Suranti," ujar Panji tersenyum, yang kemudian melemparkan
pandangannya ke kaki langit sebelah barat "Sebentar lagi hari gelap. Sebaiknya
kita melanjutkan perjalanan. Mudah-mudahan di sebelah depan sana kita
akan menjumpai sebuah perkampungan. Bosan juga rasanya selalu menginap di
hutan," canda Panji seraya tertawa pelan.
"Takut lama-lama jadi orang hutan?" sambut Suranti yang kemudian disusul dengan
kekehnya. Panji yang sudah bangkit berdiri cuma tersenyum menanggapi gurauan
itu, seraya mengulurkan tangan yang langsung disambut Suranti.
Sebentar kemudian, mereka sudah berlarian, berlomba
dengan waktu yang mulai terselimut keremangan.
Harapan Panji ternyata terkabul. Saat keremangan
semakin memekat, dari kejauhan terlihat cahaya-cahaya
pelita, yang menerangi bagian depan rumah-rumah penduduk. Segera saja Panji dan Suranti bergegas. Dan saat malam mulai jatuh,
mereka berdua sudah memasuki desa.
Desa itu ternyata cukup luas dan penduduknya pun
terbilang padat, sehingga Panji dengan mudah dapat
menemukan penginapan. Panji segera menyewa dua buah
kamar ketika melihat penginapan itu cukup bersih.
"Malam ini aku bermaksud menyelidiki tempat
kediaman Raja Sesat," ungkap Panji kepada Suranti, saat mereka baru saja selesai
makan. "Kau tidak perlu ikut. Tapi bukan berarti aku meremehkan kepandaianmu,
aku cuma hendak melihat-lihat keadaan. Setelah itu aku akan kembali."
"Mengapa tidak bersama-sama saja?" Suranti masih menunjukkan keberatan hatinya.
"Nanti, setelah aku mendapatkan kepastian bahwa
Raja Sesat memang mempunyai hubungan dengan Malintang," jawab Panji dengan nada yang tidak ingin dibantah.
Tahu kalau Panji tidak akan merubah keputusannya lagi, Suranti akhirnya mengangguk.
Diikuti Panji, Suranti beranjak bangkit dari du-
duknya. Lalu melangkah menuju kamarnya. Panji mengikuti sampai di pintu.
Kemudian kembali ke tempat duduknya
sambil mengawasi pintu kamar Suranti. Panji memang belum yakin Suranti akan
menuruti kata-katanya. Cukup banyak ia mengenal gadis-gadis seperti Suranti. Di
depannya saja kelihatannya menurut, tapi dalam hatinya memberontak, yang
kemudian akan menyusulnya begitu ia pergi.
Tapi Suranti ternyata berbeda dengan gadis-gadis
yang pernah dikenalnya. Cukup lama Panji duduk mengawasi, namun pintu kamar Suranti tetap tertutup rapat.
Tampaknya gadis itu memang benar-benar mempercayai
kata-katanya. Padahal tidak seluruh kata-katanya benar.
Panji bermaksud untuk menyelidiki dan bukan sekadar
melihat-lihat saja. Dan sebenarnya, memang ia merasa khawatir jika Suranti ikut
bersamanya. Salah-salah gadis itu hanya akan menghambat gerakannya saja.
Panji masih menunggu beberapa saat lagi, untuk
meyakinkan bahwa Suranti benar-benar tidak bermaksud
menyusulnya. Setelah merasa pasti, barulah Panji meninggalkan penginapan itu. Bergerak menerobos kegelapan malam yang hanya
diterangi sinar bulan sepotong. Dari
beberapa penduduk yang ditanyainya di dalam perjalanan, Panji mengetahui letak
tempat kediaman Raja Sesat.
Sehingga, kendati pun bergerak dalam keremangan malam, Panji dapat memperkirakan
arahnya dengan benar.
Tengah Panji bergerak hati-hati di antara bayangan
pepohonan, tiba-tiba telinganya menangkap adanya suara orang yang sedang
bertarung. Panji merasa tertarik. Cepat ia bergerak ke arah suara pertarungan
berasal. Tidak berapa lama kemudian, di sebuah tempat yang agak terbuka,
dilihatnya sebuah pemandangan yang tidak menyenangkan hatinya.
Sebuah ketidakadilan sedang berlangsung. Empat orang
lelaki tengah mengeroyok seorang perempuan. Panji dapat memperkirakan bahwa
perempuan yang tengah dikeroyok
empat laki-laki itu masih muda. Panji menilainya berdasarkan bentuk tubuh serta suara teriakannya.
Suara perempuan itu melengking bening. Gerakan-
gerakannya cukup gesit. Sambaran-sambaran pedang di
tangannya pun menunjukkan tenaga yang cukup kuat
Namun, meskipun begitu, Panji segera dapat menilai bahwa perempuan itu tidak
akan bisa memenangkan pertarungan.
Keempat lelaki pengeroyoknya terlalu tangguh baginya. Panji dapat menilai
suasana pertarungan setelah menyaksikannya selama lebih-kurang lima jurus.
"Aiii...!"
Mendadak saja perempuan itu menahan jeritnya.
Jatuh terpelanting ke tanah. Panji tentu saja menjadi kaget.
Tidak menyangka akan terjadi hal seperti itu. Perempuan itu jatuh bukan karena
serangan lawan. Panji tahu pasti itu.
Perempuan itu jatuh seperti telah menginjak atau pun
terantuk sesuatu. Itu yang diperkirakan Panji. Akan tetapi, Panji tidak mau lagi
membuang-buang waktu. Tidak mau
berlama-lama memikirkan apa yang menyebabkan terjatuhnya perempuan itu. Ia sudah melompat keluar dari tempat
persembunyiannya. Perempuan itu harus segera
ditolongnya. Terlambat sedikit saja, bukan mustahil kalau perempuan itu akan
tewas dengan tubuh tercacah empat
senjata pengeroyoknya.
"Hiaaattt...!"
Dengan disertai sebuah lengkingan panjang yang
menggetarkan jantung, Panji melayang ke tengah arena. Dua tangannya diayunkan
bergantian, membuat keempat lelaki yang sedang tertegun oleh lengkingannya
menjadi semakin terkejut. Dan sebelum mereka sadar, tahu-tahu saja senjata
mereka telah kena dirampas Panji, yang langsung melemparkannya ke semak-semak. Dan sebelum keempat
laki-laki sadar bahwa senjata mereka telah dirampas orang, Panji sudah
melepaskan tendangan berputar. Empat laki-laki itu menjerit. Tubuh mereka
berpelantigan mencium tanah.
Sementara itu, Panji yang sudah mendaratkan kakinya di samping perempuan yang dikeroyok, segera
mengulur tangannya. Menarik bangkit dengan satu sentakan perlahan. Panji
merasakan tubuh perempuan itu lemah.
Seperti orang yang kehabisan tenaga. Pakaian gadis itu terkoyak di beberapa
tempat. Meskipun tidak ada luka yang berarti, namun Panji makl?rn kalau
perempuan itu telah cukup lama bertarung. Diam-diam timbul kekaguman di dalam
hatinya. Seorang perempuan yang bukan saja cantik, tapi
juga memiliki semangat dan daya tahan yang mengagumkan, pikir Panji yang dalam hatinya memuji
perempuan itu. 6 Ketika melihat keempat pengeroyok itu sudah bangkit
dan tengah bergerak menghampirinya, segera saja Panji
membawa perempuan itu ke tempat yang aman menyandarkannya
pada sebatang pohon. Kemudian, dihampirinya keempat lelaki yang langsung saja mengepungnya. "Dasar pemuda tolol! Rupanya kau sengaja malam-
malam berkeluyuran mencari penyakit!" Lelaki di sebelah depan Panji berteriak
memaki. Dan tanpa menunggu
sahutan, langsung saja ia melompat sambil melepaskan
sebuah pukulan lurus ke wajah Panji.
Serangan lelaki pertama belum lagi tiba dekat, dan
tiga kawannya sudah berlompatan susul-menyusul,
menyerbu Panji dengan serangan-serangan yang tidak bisa dianggap
remeh. Mereka
Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ternyata rata-rata memiliki kepandaian di atas lumayan.
Akan tetapi, hanya dengan geseran-geseran langkah
dan liukan tubuhnya, dengan tanpa kesulitan, semua
serangan itu dapat dielakkannya. Malah, saat itu juga Panji langsung mengirimkan
serangan balasan dengan tamparan-tamparan yang menerbitkan sambaran angin
menderu, yang juga menebarkan hawa dingin menusuk! Ya, Panji memang
sudah mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' -nya.
Dan, hasilnya pun segera terbukti. Empat pengeroyok
itu, yang sepertinya tidak pernah menyangka sebelumnya, terperangah dengan wajah
memucat. Mereka terkesima. Tak sempat
lagi untuk berpikir. Dan tahu-tahu, mereka merasakan tubuh mereka bagai dihantam bongkahan es.
Seketika itu juga, tubuh mereka melayang-layang di udara, untuk kemudian
terhempas ke tanah. Begitu keras mereka terbanting, hingga masing-masing
menggeliat, merasakan tulang-tulang tubuh seperti patah. Erangan dan rintihan
pun tak dapat lagi mereka tahan.
"Enyahlah dari hadapanku sebelum aku berubah
pikiran!" ancam Panji seraya memandangi keempat wajah lelaki itu satu persatu.
Bukannya buru-buru minggat, keempat lelaki itu
malah saling bertukar pandang. Sepertinya belum percaya dengan
pendengaran sendiri. Dan baru ketika Panji mengulangi ucapannya, mereka langsung mengambil langkah seribu. Lari terbirit-
birit bagai dikejar setan.
*** "Terima kasih atas kesediaan Tuan menolongku,"
sambil berucap demikian, perempuan ini segera menjatuhkan diri di bawah kaki
Panji. Tentu saja Panji terkejut. Cepat diraihnya tubuh perempuan itu dan
diangkatnya bangkit.
"Jangan terlalu dilebih-lebihkan, Nona," ujar Panji seraya menggeleng pelan.
"Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling tolong-menolong."
"Terima kasih," ucap perempuan itu lagi. "Aku, Maliani, tidak akan melupakan
kebaikan Tuan."
Panji tersenyum sambil menggeleng. "Ingat, Maliani, bukan aku yang menyuruhmu
untuk tidak melupakan,"
ujarnya yang kemudian tertawa pelan. Dan Maliani tak dapat lagi menahan tawanya
demi mendengar kelakar penolongnya.
"Akan kuingat itu," timpal Maliani kemudian.
Dengan masih tetap tersenyum, Panji mengangkat
pundaknya. "Tapi sebaiknya yang perlu kau ingat, adalah jangan terlalu sering
bermalam di dalam hutan. Apalagi kau seorang perempuan. Cantik lagi. Itu bisa
memancing orang untuk berbuat jahat," kata Panji, setelah memperkenalkan
namanya. "Aku tidak sedang bermalam, dan mereka pun bukan
penjahat-penjahat biasa," Maliani menyanggah dugaan Panji.
Membuat Panji mengerutkan kening. Melihat sikap Panji
seperti itu, Maliani segera menambahkan, "Mereka adalah begundal-begundalnya
Raja Sesat. Sedangkan Raja Sesat
sendiri, adalah salah satu dedengkot golongan hitam yang paling kejam dan paling
ditakuti di daerah ini."
"Lalu, bagaimana kau sampai bisa bentrok dengan
mereka?" tanya Panji, yang tentu saja menjadi heran ketika mendengar
penjelasan Maliani. Kalau Maliani sudah mengenal Raja Sesat, mengapa nekad mencari penyakit"
"Beberapa waktu lalu, lewat kaki-tangannya, Raja
Sesat telah membunuh keluargaku," jawab Maliani, membuat Panji mengangguk-
angguk. Baru ia mengerti mengapa
Maliani sampai begitu nekad bentrok dengan kaki-tangan Raja Sesat yang terkenal
itu. "Lalu, kau hendak menuntut balas" Kau satroni
tempat kediaman Raja Sesat, yang lalu tertangkap basah dan dikejar kaki-
tangannya, begitu?" tebak Panji, berdasarkan rekaan
dan pengalaman-pengalamannya.
Dan Maliani ternyata mengangguk. Membenarkan rekaan Panji.
"Aku sudah putus asa, Panji," ujar Maliani lemah, dan dengan kepala tertunduk.
"Kematian Ayah, ibu dan adikku, membuat hidupku terasa hampa. Dan, satu-satunya
yang membuat aku bisa bertahan hidup sampai saat ini, hanyalah keinginan untuk
membunuh Raja Sesat. Itu sebabnya
mengapa aku nekad menyatroni tempat kediaman Raja
Sesat." "Tapi apa yang kau lakukan itu sama saja dengan
bunuh diri. Bukan mustahil kalau kau akan tewas sebelum sempat
berhadapan dengan Raja Sesat," ujar Panji menyayangkan tindakan Maliani yang tanpa perhitungan itu.
"Jadi menurutmu aku harus diam saja, begitu?"
sentak Maliani seraya mengangkat kepalanya. Ditatapnya wajah Panji lekat-lekat.
Jelas sekali betapa sepasang matanya memancarkan rasa penasaran yang dalam.
"Haruskah aku membiarkan arwah keluargaku bergentayangan dengan
membawa rasa penasaran" Tidak, Panji. Aku tidak ingin mereka mengutukku. Dan aku
lebih baik mati daripada hidup menjadi anak yang tak berbakti!"
"Kau keliru, Maliani. Bukan itu yang kumaksud,"
geleng Panji sambil tersenyum masam.
"Lalu?" tuntut Maliani sambil masih tetap menentang tatapan Panji.
"Pikirkan dulu untung-ruginya,
baik-buruknya. Jangan terburu nafsu mengambil keputusan. Sebab, dengan menurutkan hati yang
terbakar dendam, hanya akan
mencelakakan diri kita sendiri," lanjut Panji memberikan pandangannya, yang juga
merupakan nasihat. Tapi, Maliani malah menanggapinya dengan dengusan sinis.
"Kalau kau sendiri yang mengalaminya, pasti kau
tidak akan berkata seperti itu. Tindakanmu pasti tidak akan berbeda jauh
denganku. Malah mungkin kau akan langsung melabrak Raja Sesat secara terang-
terangan. Tidak harus pikir-pikir dulu, dan tidak lagi menimbang-nimbang."
Sangat tidak enak sekali nada ucapan Maliani. Tampaknya ia tidak bisa menerima
pandangan Panji. Malah ia seperti tersinggung.
"Ya, ya, mungkin aku memang akan berbuat seperti
itu." Merasa tidak ada gunanya berdebat, akhirnya Panji mengalah. Terdengar
helaan napasnya yang panjang. "Tapi sebaiknya kita lupakan saja apa yang sudah
terjadi. Dan yang jelas, aku akan membantumu dengan sekuat tenaga.
Tentu saja jika kau tidak merasa keberatan."
Dan, wajah kelam Maliani mendadak saja menjadi
cerah. Senyumnya pun mengembang perlahan. Begitu
gembira hati Maliani ketika mendengar apa yang diucapkan Panji.
Hampir ia tidak mempercayai pendengarannya.
Sehingga, saking girangnya, Maliani sampai lupa diri. Tubuh Panji langsung
dipeluknya erat-erat. Karuan saja Panji menjadi gelagapan. Bagaimanapun ia
adalah seorang laki-laki biasa, yang tidak jauh berbeda dengan laki-laki
lainnya. Pelukan Maliani membuat Panji merasakan darahnya seketika berdesir.
Namun, Panji bukanlah jenis laki-iaki yang suka
memanfaatkan keadaan. Dengan kekuatan batinnya, ditekannya letupan gairah yang dirasakan menyentak dadanya. Dan dengan perlahan, didorongnya tubuh Maliani, agar gadis itu tidak
merasa tersinggung.
"Mari kita lihat bagaimana keadaan tempat tinggal Raja
Sesat," ujar Panji kemudian. Berusaha untuk mengalihkan perhatian Maliani agar tak begitu memperhatikan perbuatannya.
Maliani mengangguk. Kemudian, dengan menerobos
keremangan malam, mereka pun bergerak menuju tempat
kediaman Raja Sesat.
*** Di dalam kamar penginapan, Suranti mendengar
adanya suara langkah kaki yang mendekati jendela. Sejak memasuki kamar, Suranti
memang belum bisa memejamkan
matanya sekejap pun. Kepergian Panji membuat pikirannya tak
bisa tenang. Sulit baginya untuk menepiskan kekhawatirannya. Karena, dari apa yang didengarnya selama dalam perjalanan, Raja
Sesat adalah salah satu dedengkot golongan hitam yang paling terkenal, yang
selain sangat kejam, juga memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Itu yang
membuatnya tak bisa tenang tinggal di dalam kamarnya.
Ketika mendengar suara langkah yang mendekati
jendela, Suranti menjadi waspada. Perlahan, diulurkan
tangannya menjangkau pedang yang berada di atas meja
kecil di samping kanan tempat tidur. Dengan hati-hati dan tanpa mengeluarkan
bunyi, dihunusnya pedang itu. Suasana di dalam kamar yang gelap sangat
membantunya. Lampu kamar itu memang sudah dimatikannya sejak ia masuk.
"Suranti...!" Tiba-tiba saja, dari luar jendela terdengar suara orang memanggil
dengan bisikan yang ditekan
serendah mungkin. Dan, Suranti mendadak tegang. Dadanya berdebar keras, membuat
deru napasnya sulit untuk
dikuasai. Mengalir deras sampai nyaris berupa dengusan.
"Sss... siap... pa...?" Suranti bertanya dengan suara terpatah-patah. Gugup dan
seperti orang tercekik lehernya.
Ya, Suranti memang merasa gugup dan tegang bukan main.
Karena ia seperti mengenal suara itu. Suara yang rasanya tak asing bagi
telinganya. "Aku kakakmu, Malintang...," terdengar suara orang di luar jendela menyahuti.
Deg! Jawaban itu membuat jantung Suranti seperti
berhenti berdetak. Meskipun memang sudah menduga
sebelumnya, tak urung Suranti terkejut juga. Ia tidak
menyahut. Ketegangan dan keterkejutan membuat ia kehilangan kata-kata. Suasana menjadi hening beberapa
saat. "Suranti," suara di luar jendela kembali berlanjut, memecah keheningan yang
mengantarai mereka. "Aku tahu, mungkin kau sudah mendengar berita tentang aku.
Tapi, kalau kau masih percaya padaku, masih mengakui aku
sebagai kakakmu, ketahuilah, bahwa semua yang kau dengar sama sekali tidak
benar. Semua adalah ulah Raja Sesat.
Manusia jahat itulah yang telah menyebar fitnah!"
Suara Malintang berhenti. Suranti tetap membisu, ia
masih sulit untuk mengatasi perasaan hatinya yang terguncang. Bagaimanapun, Malintang adalah kakaknya.
Orang yang menjadi bagian dari kenangan masa lalunya yang manis. Orang yang
selalu menjaga dan menyayanginya sejak ia kecil! Dan, meskipun ia tidak pernah
membantah segala tuduhan yang dijatuhkan kepada Malintang, namun jauh di dasar
hatinya ia masih belum percaya sepenuhnya. Belum bisa percaya kalau Malintang
sampai tega membunuh ayah dan tunangannya.
"Suranti...." Karena Suranti belum juga bersuara, belum juga menanggapi
ucapannya, Malintang kembali
memanggil dengan suara lirih. "Apakah kau lupa siapa Raja Sesat itu sebenarnya"
Ia adalah musuh bebuyutan ayah kita, Suranti! Tapi, karena ia tidak berani
berhadapan langsung dengan Ayah, maka digunakannya cara lain. Aku difitnahnya,
yang maksudnya tak lain adalah untuk memecah belah
keluarga kita. Malah, guruku sendiri, Camar Laut dan
petayan-pelayannya, dibantai habis oleh Raja Sesat. Lalu disebarkannya fitnah,
bahwa akulah pelaku dari semua
Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kekejian itu. Dan akibatnya, aku bukan saja dimusuhi tokoh-tokoh
golongan putih. Malah pihak kerajaan pun memburuku. Sehingga ruang gerakku menjadi sempit. Aku
tidak bisa lagi bebas berkeliaran. Setiap langkahku selalu diintai maut. Aku
terpaksa main kucing-kucingan dengan mereka. Kecuali malam hari, aku tidak
berani keluar. Itupun aku harus tetap waspada. Sebab, setiap saat nyawaku bisa
saja melayang."
Malintang menghentikan ceritanya. Menarik napas
berat berulang-ulang. Suranti mendengarnya dengan jelas, tapi ia tetap
membungkam. Pikirannya masih buntu.
Batinnya bergejolak. Peperangan antara percaya dan tidak, berkecamuk hebat. Yang
bisa dilakukannya cuma diam, diam dan diam. Sedikit banyak penuturan Malintang
memang telan membuat hatinya tersentuh. Apa yang dikatakan
Malintang tentang Raja Sesat, memang pernah ia dengar dari ayahnya. Sehingga ia
mulai meragukan cerita yang didapat Panji dan Empu Darna. Apa yang dikatakan
Malintang memang bukan mustahil terjadi Raja Sesat memfitnah
kakaknya untuk memecah-belah keluarganya.
Panji Sakti 7 Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Bara Diatas Singgasana 28
kedudukannya, mewakilinya untuk memenuhi janji yang telah kami sepakati bersama
pada lima belas tahun silam!"
Panji menarik kepalanya dengan kekagetan yang tidak
sempat disembunyikannya. Meskipun ia tidak tahu-menahu tentang janji yang telah
dibuat Ki Arja Wiguna dengan ketiga kakek itu, namun ia maklum betul apa arti
ucapan Penyabit Kepala. Sebenarnya, kalau ia mau, tidak sulit baginya untuk
mengelak dan menyanggah ucapan Penyabit Kepala itu. Akan tetapi, ia tidak bisa
dan juga tidak mau. Mana mungkin ia akan membiarkan Suranti menghadapi ketiga
kakek itu seorang diri. Apalagi gadis itu baru saja kehilangan orang-orang yang
dicintainya. Jiwa Suranti jelas tengah mengalami guncangan
hebat. Tengah didera kesedihan, dan rasa penasaran karena belum tahu dan belum
mempunyai gambaran tentang
pembunuh ayah dan tunangannya. Panji maklum bagaimana
perasaan gadis itu, yang semuanya tergambar jelas di
wajahnya. Dan Panji tidak ingin menambah penderitaan
Suranti. Apalagi ketika ia menoleh, dilihatnya gadis itu tengah memandangnya.
Menyerahkan jawabannya kepada
dirinya. Akan tetapi, tentu saja Panji tidak ingin melangkahi gadis itu. Biar
bagaimanapun, dalam urusan itu ia termasuk orang luar.
"Sebenarnya aku tidak berhak untuk mencampuri
urusan ini lebih jauh lagi," kata Panji kemudian sambil menatap ketiga kakek di
depannya berganti an. "Akan tetapi, di sini masih ada keturunan Ki Arja Wiguna.
Artinya, Suranti-lah yang berhak memutuskannya. Aku tak ingin
dianggap lancang dan sok gagah. Jadi, terserah Suranti. Tapi apa pun
keputusannya, aku akan menerimanya," lanjut Panji. Sambil berkata demikian,
Panji menoleh dan menatap ke arah gadis itu.
Tapi Suranti tidak segera mengambil keputusan.
Meskipun sebenarnya ada perasaan atau keinginan di
hatinya untuk melihat bagaimana Panji menghadapi ketiga kakek sakti itu, namun
ada juga kekhawatiran kalau-kalau Panji akan mendapat celaka. Dan, Suranti tidak
ingin Panji terluka di tangan ketiga kakek sakti itu. Apalagi kalau sampai
tewas, ia akan merasa berdosa. Dan ia tidak ingin dikejar-kejar rasa bersalah.
"Tidak," geleng Suranti akhirnya. "Aku tidak bersedia jika Panji harus
dilibatkan ke dalam persoalan antara kalian dengan ayahku," lanjutnya, yang
kemudian menatap Panji dengan sorot menyesal. "Maaf, Panji. Bukan berarti aku
meremehkan kepandaianmu. Itu sama sekali tidak pernah
terlintas dalam hati maupun pikiranku. Cuma saja, selain aku, Ayah masih
mempunyai pewaris ataupun keturunan
lainnya. Orang itu adalah kakakku, putra ayahku. Rasanya, dialah orang yang
lebih berhak untuk menggantikan
kedudukan Ayah."
"Kalau begitu, mengapa kau tidak suruh kakakmu itu segera keluar menemui kami?"
Penyabit Kepala langsung saja berkata. Tampaknya ia sudah tidak sabar ketika
mendengar penuturan Suranti. Kalau benar Ki Arja Wiguna masih
mempunyai seorang putra, tentu saja ia merasa lebih setuju untuk menghadapinya,
ketimbang Panji yang cuma orang
luar. Dan pendapat Penyabit Kepala ternyata tidak berbeda
dengan Iblis Kembar Tongkat Kuning. Dua orang kakek
kembar ini pun lebih condong untuk menghadapi keturunan Ki Arja Wiguna daripada
Panji. Sebab, tujuan mereka
memang hendak mengalahkan ilmu-ilmu Ki Arja Wiguna.
Ilmu-ilmu yang pernah membuat mereka menjadi pecundang.
"Sayangnya, sudah lebih dari satu tahun, Malintang, kakakku
itu dititipkan Ayah kepada salah seorang sahabatnya," jawab Suranti dengan nada menyesal. Penyabit Kepala dan Iblis
Kembar Tongkat Kuning tentu saja merasa kecewa sekali. Harapan yang baru saja
muncul, segera lenyap kembali.
"Katakan, kepada siapa kakakmu itu dititipkan" Kami akan
mendatanginya,"
Maloya berkata menunjukkah ketidaksabaran hatinya. Akan tetapi, Maloya jadi kecewa ketika melihat Suranti
menggelengkan kepala.
Sebenarnya Suranti bukan tidak tahu di mana
kakaknya berada. Tapi ia tidak ingin membuat kakaknya
terkejut dengan kedatangan Penyabit Kepala dan Iblis
Kembar Tongkat Kuning. Suranti ingin memberitahukan
kakaknya lebih dulu. Agar bisa mempersiapkan diri dengan lebih baik. Maka ia
terpaksa berdusta. Suranti minta waktu tiga puluh hari untuk mencari kakaknya.
Dan kelak akan menemui mereka bertiga di tempat yang kemudian mereka
sepakati bersama.
Penyabit Kepala dan Iblis Kembar Tongkat Kuning
mengangguk setuju. Mereka percaya kalau gadis itu tidak akan mengingkari
janjinya. Maka, meskipun dengan hati
agak kecewa, akhirnya merelakan pergi meninggalkan tempat itu.
Panji dan Suranti mengiringi kepergian tiga orang
kakek itu dengan pandang matanya. Dan mereka masih
menatap ke depan, meskipun sosok Penyabit Kepala dan Iblis Kembar Tongkat Kuning
sudah tidak kelihatan lagi. Lama mereka sama terdiam sampai akhirnya Panji
memecah keheningan di antara mereka.
"Rasanya aku juga harus pergi," ujar Panji pendek.
Mengangguk tipis kepada Suranti. Lalu, tanpa menunggu
jawaban lagi, Panji segera melesat meninggakan Suranti, yang hanya bisa
memandangi sosok pemuda penolongnya
yang semakin jauh itu.
Lama Suranti termenung di tempatnya dengan kepala
terangguk-angguk. Bayangan Panji sudah tidak nampak lagi.
Lenyap di kejauhan, di antara batang-batang pohon besar.
Dan setelah sadar dari keadaannya, Suranti memutar
tubuhnya. Melangkah menuju rumahnya untuk berkemas-
kemas, ia harus segera mencari Malintang. Kakaknya, untuk memberitahukan bencana
yang telah menimpa keluarga
mereka. 4 Lama Suranti berdiri memandangi bangunan tempat
di mana selama belasan tahun ia bernaung. Satu persatu, kenangan masa kanak-
kanaknya yang manis dan penuh
dengan kebahagiaan, hadir di pelupuk matanya. Masa-masa yang sangat indah, yang
penuh dengan canda dan tawa, yang tak mungkin bisa dilupakannya meski sampai
kapan pun! Tapi sekarang...
Suranti menghela napas. Ada kenyerian yang menusuk hatinya, saat semua kenangan itu melintas di
benaknya. Membuat Suranti tiba-tiba merasa nelangsa.
Merasa diri tidak lagi mempunyai arti. Semua sudah berlalu.
Masa telah berubah. Ayah dan tunangannya, yang merupakan bagian dari kenangan manis itu pun sudah tidak ada lagi. Yang tersisa
cuma tinggal kenangan dan goresan luka yang menimbulkan dendam kesumat di
hatinya. "Semua ini harus kubalas...!" Tanpa sadar Suranti menggeram dengan mengepal
tangan kuat-kuat. Sepasang
matanya yang biasanya bersinar-sinar penuh kebahagiaan dan semangat hidup, kini
yang terlihat cuma kilatan api dendam. Di depan makam ayah dan kekasihnya,
Suranti bersumpah untuk membalas semua kekejian itu. Tidak
peduli kendati untuk itu ia harus mengorbankan nyawanya!
Sekali lagi, sebelum memutar tubuh dan meng
ayunkan langkahnya, dipandanginya bangunan itu.
Disusutnya dua titik air mata yang mengalir turun di
atas pipinya yang putih dan halus itu. Dan dengan
menguatkan hatinya, Suranti pun mulai bergerak menuruni lereng gunung. Akan
tetapi, baru kira-kira sekitar seratus tombak, Suranti sudah menghentikan
langkahnya. Ada
sesuatu yang menarik perhatiannya. Membuat keningnya
berkerut. Ditundanya perjalanannya. Karena ia merasa
tertarik dengan benda yang berada di atas rerumputan, di dekat semak-semak.
Benda itu sebenarnya tidak bisa dibilang menarik.
Kalau di tempat lain, sudah pasti tidak akan ada yang
memperhatikannya. Jangankan melihat, sedang melirik pun orang pasti tidak akan
melakukannya. Siapa orangnya yang mau peduli dengan selembar kain hitam" Dan
Suranti pun pasti tidak akan tertarik kalau saja benda itu tergeletak di tanah,
di tengah keramaian sebuah pekan. Bahkan jika kain hitam itu adanya di tengah
jalan desa pun, tidak akan
ditolehnya! Dan itu sudah pasti!
Akan tetapi, yang membuat Suranti merasa tertarik,
karena kain hitam itu adanya di lereng gunung. Padahal Suranti tahu betul kalau
daerah itu sangat jarang dilalui orang, ia sudah belasan tahun tinggal di
sekitar daerah itu.
Dan sudah hafal betul dengan liku-likunya. Jadi, tidak heran kalau kain hitam
itu bisa membuatnya tertarik. Dan kain itu sendiri bukan dari bahan kasar,
melainkan kain sutera. Kain yang tidak mungkin dikenakan orang-orang desa.
Suranti mengulurkan tangannya, meraih kain sutera
hitam itu. Sewaktu mengangkat dan membentangnya di
depan wajahnya, kerutan di kening Suranti jadi semakin banyak. Dan, kalau
tadinya ia cuma sekadar ingin tahu saja, maka sekarang hatinya benar-benar
tertarik! Bukan cuma bentuknya saja yang seperti sebuah kantung, tapi juga
terdapat dua buah bolongan, yang seolah sengaja dibuat untuk mata. Tentu saja
Suranti menjadi semakin tertarik.
Diperkirakannnya
kalau kain itu digunakan untuk menyembunyikan wajah agar tidak bisa dikenali. Orang-
orang jahat biasa menggunakannya sebagai topeng penutup kepala dan wajah. Hanya
dua matanya saja yang kelihatan.
Cukup lama Suranti meneliti kain sutera hitam
berupa kerudung itu. Kain itu masih kelihatan baru, hingga timbul dugaan bahwa
ada orang yang sengaja membuangnya.
Dan menurut perkiraannya, orang itu pasti habis melakukan kejahatan.
Dan tiba-tiba saja wajah Suranti menegang. Dadanya
berdebar keras, hingga membuat dengus napasnya mengalir berat. Bahkan kedua
tangannya yang memegang kerudung
sutera hitam itu sampai gemetar.
"Mungkinkah
kerudung sutera hitam ini ada hubungannya dengan kematian Ayah dan tunanganku?"
mendadak saja pikiran itu melintas di benak Suranti. Dan menurutnya hal itu
bukan tidak mungkin. Suranti jadi
teringat bagaimana sewaktu ia pulang, ayahnya sudah
dikuburkan orang. Siapa yang telah menguburkan mayat
ayahnya" Kalau si pembunuh yang melakukannya, jelas
tidak mungkin! Lalu, bagaimana dengan Rakai, tunangannya" Mengapa Rakai terbunuh di ruang rahasia"
Berbagai pertanyaan yang baginya merupakan sebuah
misteri itu, membuat Suranti berpikir keras.
Dicobanya untuk merangkaikan kejadian-kejadian
yang mengakibatkan tewasnya kedua orang yang dicintainya itu.
Mungkinkah ayahnya dibunuh lebih dulu, yang
kemudian si pembunuh memaksa Rakai untuk menguburkan
mayatnya" Lalu, di bawah ancaman si pembunuh, Rakai
dipaksa untuk menunjukkan ruang rahasia tempat penyimpanan pusaka-pusaka leluhur mereka. Dan setelah
tiba di ruang rahasia, Rakai pun dihabisi nyawanya.
Kemudian pembunuh itu pergi dengan membawa pusaka-
pusaka leluhur mereka.
"Ah, tapi itu hampir tidak mungkin!" Suranti membantah rangkaian kejadian yang dibuatnya itu. "Aku kenal betul bagaimana
watak Rakai. Dia pasti lebih suka mati daripada menunjukkan ruang rahasia itu!"
Dan Suranti jadi termenung. Diperhatikannya
kerudung kain sutera hitam yang masih dipegangnya itu, sementara pikirannya
terus berputar mencari jawaban. Ada keyakinan dalam dirinya bahwa kerudung kain
sutera hitam itu mempunyai kaitan dengan bencana yang menewaskan
ayah dan tunangannya.
"Hm..., ada baiknya benda ini kusimpan," gumam Suranti akhirnya mengambil
keputusan. "Siapa tahu kelak akan ada gunanya," Suranti segera memasukkan
kerudung kain hitam itu ke dalam buntalan pakaiannya. Kemudian
melanjutkan perjalanannya. Menuruni lereng dengan
Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setengah berlari, la ingin cepat-cepat bertemu dengan
kakaknya, untuk kemudian bersama-sama
mencari si pembunuh. Tapi, terlebih dulu ia akan menemui gurunya.
Untuk minta izin, dan agar gurunya tidak mencemaskannya.
Kepada gurunya ia berjanji akan kembali dalam tujuh hari.
Akan tetapi, ketika tiba di tempat kediaman gurunya,
Suranti menjadi terkejut dan sekaligus heran. Gurunya
ternyata tidak berada di tempat. Tiga hari yang lalu setelah kepergiannya
gurunya pergi bersama seorang pemuda.
Demikian penjelasan seorang penduduk sewaktu Suranti
menanyakan tentang gurunya itu.
"Tahukah Paman, ke mana kira-kira Guru pergi?"
tanya Suranti dengan rasa ingin tahu, karena hal itu tidak biasanya. Sepanjang
pengetahuannya selama ia belajar ilmu sastra gurunya boleh dibilang hampir tidak
pernah pergi jauh. Jadi, tidak heran kalau Suranti ingin tahu lebih jelas, ke
mana gurunya itu pergi dan bersama siapa.
Tapi, dengan wajah menyesal petani tua itu menggeleng. "Mereka pergi ke arah utara. Cuma itu yang aku tahu, Nona," jawabnya
kemudian. Suranti cuma bisa mengangguk-angguk. Dan setelah
mengucapkan terima kasih, ia pun beranjak pergi. Sebelum meninggalkan rumah
gurunya, Suranti menuliskan pesan
agar gurunya tidak perlu mencarinya, karena ia hendak
menemui kakaknya. Baru setelah itu Suranti melanjutkan perjalanannya menuju arah
utara. Bukan hendak menyusul gunanya, melainkan untuk mencari seorang tokoh yang
berjuluk Camar Laut. Suranti tidak tahu jelas di mana tokoh itu tinggal. Yang ia
tahu, kepada tokoh berjuluk Camar Laut itulah
kakaknya berguru. Ayahnya menghendaki agar Malintang memperdalam ilmu meringankan tubuhnya. Dan
Camar Laut adalah satu di antara sekian tokoh yang ilmu meringankan tubuhnya
sudah sangat terkenal.
*** Panji baru saja meninggalkan perbatasan sebuah
desa. Namun sesuatu yang dilihatnya agak janggal, membuat Panji
memperlambat langkahnya. Dua orang yang berpapasan jalan dengannya, telah menarik perhatiannya.
Membuatnya menaruh curiga. Dan perasaan itu membuat
mata Panji menelitinya dengan lebih jauh lagi.
Dua lelaki yang berpapasan dengan Panji itu memang
bisa menarik perhatian siapa saja. Mereka adalah lelaki tua, berumur kira-kira
enam puluh lima tahun, dan seorang
pemuda berusia sekitar dua puluh tiga tahun. Tapi bukan perbedaan usia mereka
yang membuat Panji merasa tertarik.
Itu bukanlah suatu pemandangan yang aneh, dan tidak
pantas membuat orang menaruh curiga. Akan tetapi, wajah dan sikap lelaki tua
itulah yang telah menarik perhatian Panji.
Wajah lelaki tua itu nampak pucat seperti orang yang
menyimpan ketakutan. Sikapnya terlihat selalu gugup,
dengan sepasang mata senantiasa bergerak-gerak gelisah.
Sementara si lelaki muda menunjukkan wajah garang. Lebih-lebih
sewaktu melihat ada seorang pemuda yang memperhatikannya. Sepasang matanya langsung melotot,
menyiratkan ancaman kepada Panji. Tentu saja Panji jadi semakin tertarik, dan
berusaha mencari cara untuk mengetahui ada apa sebenarnya di antara kedua orang
itu. "Maaf," sapa Panji yang akhirnya bergerak mendekati kedua lelaki itu. Si pemuda
semakin melotot, sementara si lelaki tua nampak semakin ketakutan, Tapi Panji
tidak mempedulikannya. Ia kembali melanjutkan kata-katanya,
"Kelihatannya Orang Tua itu sakit" Ayahmukah, atau kakekmu" Dan, kurasa kalian
harus segera mencari tabib."
Si lelaki tua nampak semakin gelisah. Panji tahu
kalau lelaki tua itu ingin sekali untuk menjawab pertanyaannya, tapi ia kelihatan sangat takut kepada
pemuda di sampingnya. Bahkan wajahnya kemudian meringis menahan sakit, karena pemuda itu sudah mencengkeram lengannya kuat-kuat. Dan itu semakin
menambah kecurigaan Panji. Semakin merasa yakin bahwa
ada apa-apa di antara kedua lelaki itu.
"Hei!" si pemuda menatap Panji dengan sinar matanya yang tajam dan barkilat-
kllat. "Sebaiknya kau lanjutkan saja perjalananmu dan jangan campuri urusan
orang lain! Kecuali kalau kau memang bermaksud hendak mencari penyakit!"
sentaknya kemudian, dengan kegeraman yang ditahan-tahan.
Panji mencoba tersenyum ramah. Lalu, dengan tetap
tenang, dibalasnya tatapan pemuda itu. "Sobat, aku bermaksud baik. Sama sekali tidak terlintas dalam benakku untuk mencari
penyakit. Dan kalaupun aku mau tahu
tentang urusan kalian, itu karena aku merasa kasihan
dengan lelaki tua yang..."
"Banyak bacot!" kata-kata Panji langsung dipotong si pemuda, yang kemudian
menerjang dengan sebuah tamparan keras. Sambaran anginnya yang menderu, membuat
Panji agak terkejut. Pemuda berpakaian serba hitam ternyata
bukan orang sembarangan. Cepat Panji menggeser tubuhnya, sambil memiringkan
kepala, hingga serangan itu tidak
mengenai sasarannya.
Tak menyangka kalau serangannya dapat dielakkan
lawan, pemuda berpakaian serba hitam, yang bukan lain dari Malintang ini,
menjadi semakin geram. Penasaran bukan
main hatinya. Serangan itu dilakukan dengan cepat. Orang yang mampu
menghindarinya pun sangat sedikit sekali. Tapi, pemuda berpakaian serba putih
itu ternyata mampu
melakukannya. Hal itu benar benar tidak pernah disangkanya! "Hm..., pantaslah kau demikian usil. Kiranya kau
memiliki kepandaian juga," ujar Malintang seraya meneliti sosok Panji dengan
penuh selidik. "Kelihatannya kau bukan orang dari daerah ini. Nada bicaramu
kudengar agak asing.
Siapa kau" Dan apa tujuanmu datang ke daerah ini?"
tanyanya kemudian.
"Namaku Panji. Dan kedatanganku ke daerah ini
cuma sekadar untuk meluaskan pengalaman," jawab Panji tenang
sambil memasang sikap waspada. Kepandaian pemuda itu cukup berbahaya. Dan kelengahan sedikit saja, bukan mustahil jika
pemuda itu akan mempergunakannya.
Malintang mengangguk-angguk
kepala. Tarikan bibirnya demikian sinis. Begitu juga dengan sorot matanya.
Sangat merendahkan sekali. Namun, Panji tetap tenang.
Tidak mempedulikan sikap yang penuh ejekan pemuda itu.
Dan tetap pada sikap semula, meskipun pemuda berpakaian serba
hitam itu kemudian melangkah dan mengitari tubuhnya. Malintang seperti tengah menaksir-naksir
kekuatan lawannya.
"Hyahhh...!" Mendadak saja Malintang mengeluarkah bentakan pendek. Dari samping,
begitu menghentikan gerak langkahnya,
Malintang langsung melompat sambil melontarkan tiga pukulan beruntun, yang mengancam tiga jalan darah kematian di
tubuh Panji. Namun Panji sudah waspada sejak semula. Maka,
ketika Malintang menyerangnya, Panji langsung melangkah mundur dua tindak. Tiga
pukulan maut itu disambutnya
sekaligus! Plak! Plak! Dukkk!
Baik Panji maupun Malintang sama-sama terjajar
mundur sebanyak empat langkah. Tenaga mereka ternyata
berimbang. Akan tetapi, baik Panji maupun Malintang sama-sama maklum kalau
masing-masing belum mengerahkan
tenaga sepenuhnya. Dan sementara keduanya menyiapkan
diri untuk melanjutkan pertarungan, lelaki tua yang bersama Malintang, yang
bukan lain dari Empu Darna, segera saja menepi, menjauhi arena pertarungan.
Seperti yang dilakukan sebelumnya, ketika per-
tarungan berlanjutpun, Malintang kembali berada di pihak penyerang. Berbeda
dengan sebelumnya, karena sadar bahwa Panji ternyata bukan pemuda sembarangan,
dan mampu mengimbangi kekuatannya, Malintang lebih meningkatkan
serangan-serangannya, ia tidak mau main-main lagi, dan ingin mengakhiri
pertarungan sesegera mungkin.
Dan, kali ini Panji baru benar-benar dibuat terkejut.
Serangan-serangan yang dilancarkan Malintang, yang jauh lebih hebat dari
sebelumnya, sempat juga membuat Panji kerepotan. Malintang ternyata memiliki
ilmu yang beragam, yang membuat Panji merasa kesulitan untuk menebak ke
mana arah serangan pemuda berpakaian serba hitam itu.
Malintang memang sengaja selalu merubah gerakannya.
Sehingga, dalam belasan jurus saja Malintang sudah dapat menguasai arena.
Mendesak Panji dengan gerak ilmu silatnya yang campur aduk.
Bukkk! Pukulan itu demikian telak menghantam iga kanan
Panji. Itu terjadi setelah Malintang menyerang selama lebih dari dua puluh lima
jurus. Malintang tertawa berkakakan.
Tampaknya hasil serangannya itu telah membuat hatinya
puas. Ia tidak segera melanjutkan. Seolah sengaja memberi kesempatan kepada
lawan untuk mempersiapkan diri.
Hendak menunjukkan kemenangannya, dan bahwa dirinya
mempunyai tingkatan lebih tinggi.
Panji yang merasakan iga kanannya seperti dihantam
sabongkah batu, menanggapi sikap takabur lawan dengan
senyum. Tapi Panji mengakui bahwa pemuda berpakaian
serba hitam yang menjadi lawannya itu memang benar-benar hebat. Ilmu-ilmu
beragam yang dimiliki lawannya begitu ganas dan membingungkan, yang bahkan mampu
menerobos benteng pertahanannya. Padahal jarang sekali ada tokoh yang mampu melakukannya.
Tapi pemuda itu ternyata
mampu. Malah telah membuat dirinya kecolongan.
"Itu cuma sekadar peringatan pertama. Baru untuk
kelancangan matamu saja. Belum untuk kelancangan mulutmu dan sikapmu yang sok mau tahu itu," kata
Malintang sambil berkacak pinggang, menatap Panji dengan sorot mata penuh
ejekan. "Sekali saja bagiku rasanya sudah lebih dari cukup, Sobat. Tidak akan ada kedua
kail atau pun selanjutnya,"
sahut Panji seraya menggeleng dan tersenyum.
Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lalu melangkah maju beberapa tindak sambil mengerahkan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Dan seketika itu juga, lapisan kabut bersinar
putih keperakan pun segera menyelimuti
tubuhnya. Malintang tercengang untuk sesaat lamanya. Namun,
ia segera menyadari sikapnya. Cepat ditutupinya dengan tertawa keras, hingga
tubuhnya berguncang.
"Memang tidak akan ada kedua kail atau pun
selanjutnya,", lanjut Malintang. Masih dengan nada penuh kesombongan. "Karena
untuk yang berikutnya kau akan segera enyah ke akhirat!" Dan, begitu ucapannya
selesai, tubuhnya langsung melesat ke depan. Terdengar suara
mengaung tajam dari sebilah pedang yang entah kapan
dicabutnya, tahu-tahu saja telah barada dalam genggaman tangan kanannya. Dengan
pedang itulah Malintang menerjang Panji.
Namun, Panji yang telah mempersiapkan dirinya,
dapat menyambut serangan-serangan Malintang dengan
sangat baik. Dengan kecepatan menakjubkan, Panji berkelebatan di antara sinar pedang lawan. Tak satu pun serangan Malintang yang
mengenai tubuhnya. Bahkan ketika Malintang semakin meningkatkan serangannya,
Panji malah berhasil menyarangkan sebuah pukulannya.
Desss...! Bagai didorong tangan raksasa, Malintang merasakan
tubuhnya terhempas ke belakang. Akan tetapi, sewaktu Panji mengejar, Malintang
masih sempat juga membabatkan
pedangnya dengan gerak datar untuk melindungi diri.
Namun, hal itu tidak banyak berguna. Panji, yang sambil bergeser mundur
selangkah, mengirimkan sebuah tendangan ke arah pergelangan tangan Malintang
yang memegang pedang. Membuat Malintang terpekik. Dan pedangnya pun
lepas dari genggaman. Terpental jauh tanpa dapat dicegahnya lagi. Sedangkan pada
saat itu juga, Panji sudah melepaskan dua pukulan untuk menyusuli tendangannya.
Bukkk! Desss...!
Dan, tanpa ampun lagi, Malintang terpental deras.
Melayang di udara sampai lebih dari tiga tombak, yang
akhirnya terbanting ke tanah dengan kerasnya. Demikian kuat pukulan yang
dilontarkan Panji, hingga membuat
Malintang muntah darah!
Meskipun merasakan bagian dalam dadanya nyeri dan
panas bagai terbakar, namun Malintang memaksa diri
bangkit berdiri. Dan ketika melihat Panji tidak berbuat apa-apa
tidak menghampirinya hanya berdiri sambil memandangnya, Malintang memutar tubuhnya. Terus melesat pergi tanpa mempedulikan Empu Darna, yang
semula hendak dipaksanya untuk membacakan kitab-kitab
hasil curiannya.
Panji tidak berusaha mengejar. Hanya memandangi
sosok pemuda berpakaian serba hitam itu, yang semakin
jauh dan samar. Dalam hatinya ia berharap agar pemuda itu bisa
menyadari kesalahannya dan kemudian memperbaikinya.
*** "Kejar dia, Anak Muda! Jangan biarkan manusia
keparat itu lolos!"
Teriakan itu berasal dari mulut Empu Darna.
Membuat Panji menoleh dengan kening dikerutkan. Ditatapnya lelaki tua itu, yang tengah berlari menghampirinya sambil menunjuk-nunjuk sosok Malintang, yang semakin jauh dan
samar. "Tidak mengapa, Kek," ujar Panji seraya tersenyum,
"Mudah-mudahan setelah apa yang dialaminya hari ini akan membuatnya jera."
"Tapi..., pemuda itu adalah manusia durjana yang
tidak kenal budi! Dia... dia telah membunuh orang yang merawat dan mendidiknya
sejak kecil! Dan..., malah telah mencuri pusaka-pusaka orang yang telah
mengangkatnya sebagai anak sendiri!" Empu Darna seperti berusaha menjelaskan
sesuatu kepada Panji. Namun, karena kegugupannya, keterangannya malah membingungkan Panji.
Apa yang dikatakannya tidak begitu jelas dan terpatah-patah.
"Tenang dulu, Kek, tenang dulu," Panji mencoba untuk menenangkan Empu, Darna,
yang saat itu masih saja menunjuk-nunjuk
ke arah tempat lenyapnya sosok Malintang. "Jelaskan semuanya dengan tenang. Sebab apa yang kau katakan itu
malah membuat aku menjadi bingung."
Empu Darnna menggeleng-gelengkan
kepalanya. Wajahnya mencerminkan penyesalan yang dalam, ia tidak
menyalahkan Panji. Justru menyesali diri sendiri, yang tak bisa berlaku tenang,
ia memang bukan ahli silat. Malah tidak mengerti sama sekali tentang ilmu silat.
Lain halnya kalau bicara soal keris dan sastra. Boleh dibilang Erripu Darna
adalah jagonya. Jarang yang bisa menandinginya dalam dua hal itu. Jadi, tidak
heran kalau dia mampu menguasai
perasaannya, yang saking tegang dan bernafsunya, hingga apa yang dikatakannya
malah menjadi tak jelas.
"Dia... pemuda keparat itu...."
"Mulailah dari awal, Kek," potong Panji, yang sambil tersenyum, dipegangnya bahu
Empu Darna. Empu Darna segera menarik napas beberapa kali.
Kemudian dihempaskannya panjang-panjang.
Sesaat, ditatapnya wajah pemuda di depannya, yang didengarnya
mengaku bernama Panji.
"Pemuda itu bernama Melintang..."
"Melintang..."!" Panji mengulang nama itu, yang tanpa sadar telah memotong
kalimat Empu Darna.
"Apa kau pernah mendengar namanya?" tanya Empu Darna sambil menatap wajah Panji,
yang dilihatnya tengah mengerutkan kening. Empu Darna maklum kalau Panji
sedang berusaha untuk mengingat-ingat. Maka ia pun tidak berkata
apa-apa lagi. Menunggu sampai Panji bisa mengingatnya. "Hm... ya, ya, aku ingat sekarang!" ujar Panji sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Aku pernah mendengar seorang gadis bernama Suranti menyebut nyebut nama
Malintang....!"
"Apakah yang kau maksud Suranti putri Ki Arja
Wiguna"!" Kali ini Empu Darna yang memotong ucapan Panji.
Heran juga hatinya ketika mendengar Panji menyebut nama Suranti. Empu Darna
heran, kapan dan bagaimana Panji bisa mengenal Suranti. Gadis itu adalah
muridnya. Dan sepanjang yang ia tahu, Suranti belum pernah bercerita tentang
pemuda bernama Panji padahal Suranti sangat terbuka dengannya. Boleh dibilang, hampir tidak ada yang tidak diketahuinya tentang
Suranti. "Benar, Kek," jawab Panji cepat. "Kalau aku tidak salah ingat, aku juga
mendengar Suranti berkata tentang ayahnya yang bernama Ki Arja Wiguna. Sayangnya
aku tidak sempat berkenalan dengan beliau. Ki Arja Wiguna tewas
dibunuh orang. Mengenai siapa pembunuhnya, Suranti pun tidak mengetahuinya.
Menurutnya, sewaktu pulang, ia
menemukan tunangannya telah menjadi mayat. Sementara
ayahnya sudah dimakamkan orang," lanjutnya, yang kemudian menceritakan tentang pertemuannya dengan Suranti. "Tepat sekali!" tukas Empu Darna. "Mau tahu siapa pembunuhnya?" tanyanya
kemudian seperti berteka-teki.
"Pembunuhnya
adalah Malintang!"
lanjutnya setelah dilihatnya Panji mengangguk.
"Malintang..."!" Tentu saja Panji heran bukan main.
Ditatapnya mata Empu Darna dalam-dalam, seolah ia hendak mencari kebenaran di
mata kakek itu. Tapi ia tahu kalau Empu Darna tidak berbohong. Hanya saja ia
masih tidak mengerti, bagaimana seorang anak bisa sampai tega membunuh ayahnya sendiri" Sungguh sulit baginya untuk
menerima hal semacam itu.
"Malintang bukanlah anak kandung Ki Arja Wiguna.
Aku tahu betul hal itu," jelas Empu Darna, seolah mengerti apa yang ada dalam
pikiran Panji. "Mungkin itu pula sebabnya mengapa dia sampai tega membunuh Ki
Arja Wiguna, selain hendak menguasai pusaka-pusaka leluhur
sahabatku itu. Malintang sendiri yang mengatakannya
kepadaku. Aku sendiri dipaksa untuk menuruti segala
kemauannya. Dia mengancam akan menyiksaku dengan
siksaan yang katanya akan sangat menyakitkan sekali. Aku akan dibuatnya mati
tidak hidup pun tidak. Ketika aku tetap berkeras menolak, ancamannya segera
dibuktikan, yang
hanya dengan sentuhan jari-jari tangannya saja, sudah
membuat seluruh tubuhku nyeri bukan main. Akhirnya aku menyerah.
Berjanji akan membantunya untuk menterjemahkan isi kitab yang dicurinya dari Ki Arja
Wiguna." "Keji sekali...!" desis Panji, yang merasa geram setelah mendengar penuturan
Empu Darna. "Tapi, mungkin ia masih mempunyai alasan lain, hingga sampai tega
melakukan semua kekejian itu, Kek."
"Entahlah," Empu Darna menggeleng. "Yang pasti, sekarang aku sangat membutuhkan
pertolonganmu, Panji.
Aku sangat khawatir dengan keselamatan Suranti. Dia harus segera diberitahu
tentang kejadian yang sebenarnya."
"Tentu, Kek, tentu," jawab Panji seraya mengangguk-anggukkan
kepala. "Akan kuusahakan mencegahnya. Mungkin saat ini ia sudah pergi untuk mencari Malintang.
Sebab, beberapa hari yang lalu, sebelum kami berpisah, Suranti mengatakan hendak
mencari Malintang." Lalu Panji menceritakan tentang tantangan tiga orang tokoh
sesat, musuh Ki Arja Wiguna yang datang untuk menagih janji.
"Kalau tentang mereka aku sama sekali tidak tahu,"
Empu Darna menggeleng. "Tapi, jika benar Suranti hendak mencari Malintang, ia
pasti menuju ke utara. Kau bisa
mendahuluinya, Panji. Temuilah seorang tokoh berjuluk
Camar Laut. Dia tinggal di sebuah bangunan tua di selatan pantai barat," pinta
Empu Darna kemudian. Menatap Panji dengan pandangan penuh permohonan.
"Baiklah, Kek," jawab Panji. "Akan kulakukan sebaik-baiknya. Mudah-mudahan saja
Suranti mau percaya dengan keteranganku. Sebab, seperti yang kau bilang, Suranti
hanya tahu bahwa Malintang adalah kakak kandungnya. Rahasia
itu cuma Malintang dan Ki Arja Wiguna yang tahu."
Empu Darna mengangguk maklum. Ia sadar bahwa
tugas yang diberikannya kepada Panji memang bukan
pekerjaan yang mudah. Apalagi jika mengingat bahwa Panji adalah seorang
pendatang. Jadi, bukan mustahil kalau
Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suranti tidak akan bisa menerima penjelasan Panji dengan begitu saja.
"Tapi, percayalah, Kek. Aku akan berusaha agar
Suranti mau mendengar serta percaya dengan semua
keteranganku," kata Panji lagi, yang merasa tidak tega sewaktu dilihatnya wajah
murung Empu Darna.
Empu Darna menarik napas lega. Mengucapkan
terima kasih sampai berkali-kali, sebelum akhirnya mereka berpisah. Empu Darna
menuju ke selatan, sebaliknya Panji menuju ke utara.
5 Berkat petunjuk Empu Darna, dalam waktu kurang
dari dua hari, Panji pun tiba di daerah pantai barat. Di daerah itu, nama Camar
Laut ternyata sangat terkenal,
hingga tidak sulit baginya untuk menemukan tempat
kediaman tokoh itu.
Tapi, setibanya di tempat kediaman Camar Laut,
timbul keheranan di hati Panji. Untuk beberapa saat
lamanya. Panji cuma berdiri sambil mengawasi bangunan tua itu. Demikian sunyi
kelihatannya. Seperti tidak berpenghuni.
Tidak ada yang keluar menyambutnya, kecuali keheningan yang menghampar.
"Camar Laut memang sangat jarang sekali keluar.
Bahkan belakangan ini, sudah lama sekali tidak ada yang pernah melihatnya."
Kata-kata itu tiba-tiba terngiang di telinga Panji. Jawaban seorang nelayan
separo baya, yang memberitahukan tempat kediaman Camar Laut, sewaktu ia
bertanya. Panji mengangguk-angguk
sesaat. Kemudian, diayunkan langkahnya memasuki halaman bangunan. Kembali tidak ada yang menyambutnya selain keheningan.
Tapi, sebelum ia melangkah lebih jauh, tiba-tiba saja
telinganya menangkap suara langkah dari arah belakangnya.
Cepat Panji memutar tubuhnya untuk melihat orang yang
datang ia berharap yang datang adalah salah seorang dari penghuni bangunan tua
itu. "Hei, mengapa kau bisa berada di tempat ini"! Apa yang kau lakukan di tempat
ini. Panji"!" tegur orang yang baru datang, setelah tersadar dari
keterkejutannya. Dan sambil berkata demikian, kakinya dilangkahnya menghampiri
Panji. "Menunggumu," jawab Panji singkat. Panji tidak merasa kaget. Sebab,
kedatangannya ke tempat itu memang dengan tujuan untuk menunggu kedatangan orang
itu, yang bukan lain dari Suranti.
"Menungguku"!" Suranti membelalakkan matanya yang bagus. "Untuk apa?" tanyanya,
yang tak dapat lagi menahan keheranan hatinya.
"Untuk menyampaikan berita yang sangat penting,"
jawab Panji. "Banyak sekali yang akan kuceritakan kepadamu."
"Berita tentang apa?"
"Tentang semua yang berhubungan dengan kematian
ayah dan tunanganmu. Juga tentang Malintang, kakakmu,"
jawab Panji sambil menatap wajah Suranti lekat-lekat. Dan seperti apa yang
diduganya, wajah Suranti nampak memucat.
Bibirnya bergetar, tanda bahwa Suranti tengah terguncang.
Apa yang dikatakan Panji memang sangat mengejutkan sekali baginya.
"Apa maksudmu, Panji?" tanya Suranti akhirnya, setelah ia mulai dapat menguasai
perasaannya. Dan Panji mendengar adanya kecurigaan dalam nada suara Suranti.
Begitu juga pada sorot matanya. Tapi Panji tidak merasa heran. Wajar saja
baginya jika Suranti malah mencurigainya.
Itu memang sudah diperhitungkannya. Karena Suranti
memang belum begitu mengenalnya. Belum tahu jelas asal usulnya.
"Tentu saja untuk menolongmu, Suranti," jawab Panji ringan dan sambil tersenyum.
"Mengapa kau hendak menolongku"
Bukankah sewaktu di Gunung Bakau sudah kujelaskan semuanya
kepadamu" Aku tidak ingin melibatkanmu ke dalam
persoalan keluargaku. Aku masih mempunyai seorang kakak yang bisa membantuku
untuk menyelesaikannya. Apa kata-kataku waktu itu masih kurang jelas bagimu?"
Jawaban Panji malah
membuat Suranti memberondongnya
dengan pertanyaan-pertanyaan yang nadanya sangat tidak enak
sekali bagi telinga Panji.
Tapi Panji tidak merasa tersinggung. Panji maklum
kalau Suranti ingin menyelesaikan bencana yang menimpa ayah dan tunangannya
tanpa bantuan orang luar. Itu karena Suranti belum tahu tentang kakaknya.
"Malihtang
memang bisa menyelesaikan semua bencana yang menimpa ayah dan tunanganmu, Suranti.
Karena dialah dalang dari semua kekejian itu!"
"Panji!" Suranti memekik dengan wajah merah padam.
Tampak jelas dalam sorot matanya, betapa kata-kata Panji itu telah membuat
kemarahannya terbangkit. Dan hanya
karena mengingat bahwa Panji pernah menyelamatkan
nyawanya sajalah, maka Suranti masih menahan diri.
"Pergilah, Panji," kata Suranti kemudian, dengan kemarahan yang ditahan-tahan.
"Dan jangan campuri lagi urusan keluargaku."
"Sudah kuduga kalau kau tidak akan mempercayai
kata-kataku," ujar Panji dengan perlahan. Lalu mengayun langkah seperti hendak
menuruti permintaan Suranti. Dan ketika lewat di samping gadis itu, Panji
berkata lirih, "Entah kalau Empu Darna yang mengatakannya...."
Suranti tersentak kaget. Suara Panji memang tidak
keras. Tapi, apa yang dikatakan Panji, bagi Suranti tak ubahnya dengan ledakan
halilintar. Sangat mengejutkan
sekali. "Beberapa hari lalu, secara kebetulan aku berpapasan dengan dua orang laki-laki.
Kemudian aku tahu bahwa
mereka adalah Malintang dan Empu Darna, orang tua yang mengajarkanmu ilmu
sastra," lanjut Panji, mempergunakan kesempatan selagi Suranti terdiam. Setelah
itu Panji diam.
Menunggu tanggapan Suranti.
"Kalau masih ada yang ingin kau katakan, jelaskanlah semuanya, Panji. Jangan
bikin kepalaku pusing!" Suranti menggeleng-gelengkan kepalanya. Demikian lemah
suaranya, seperti yang dirasakannya pada sekujur tubuhnya saat itu.
Kata-kata Panji membuat jiwanya kembali terguncang.
Membuat kedua kakinya gemetar, seolah tak lagi sanggup menahan berat tubuhnya.
Dan Suranti pun melorot, jatuh terduduk di tanah.
Panji mendekat, duduk di samping Suranti. Lalu,
seperti apa yang dipaparkan Empu Darna, Panji pun
menceritakan semuanya kepada Suranti, termasuk alasan
perbuatan Malintang menurut dugaan Empu Darna.
"Tidak mungkin! Tidak mungkiiin...!" pekik Suranti dengan kepala digeleng-
gelengkan. Menundukkan kepala dan menutup wajah dengan kedua tangannya.
Terdengar suara
isak-tangis yang ditahan-tahan. Ya, Suranti menangis.
Menangis dengan sedihnya. Menangisi nasibnya yang malang. Apa yang dipaparkan Panji benar-benar membuat
hatinya terpukul. Dan kalau saja semua cerita itu Panji dapat bukan dari Empu
Darna, ia pasti tidak akan percaya. Tapi semua
itu atas suruhan gurunya. Orang tua yang disayanginya, yang sangat bisa dipercaya. Empu Darna
bukanlah seorang pendusta. Suranti tahu betul tentang
bagaimana watak gurunya itu.
"Di dunia ini. segala sesuatu bisa saja terjadi," ujar Panji
lirih, seperti berkata kepada dirinya sendiri. "Menangislah, Suranti. Menangislah sepuas hatimu, karena tangis bisa mengurangi
beban yang menghimpit dadamu."
Puas menumpahkan segala kesedihan hatinya, Suranti menyusut air matanya. Ditariknya napas berulangulang, sebelum akhirnya
menoleh dan menatap Panji.
"Aku hendak menemui Camar Laut," katanya singkat.
Kemudian melompat bangkit. Dan tanpa menunggu lagi,
Suranti segera melesat masuk ke dalam bangunan tua itu.
Tanpa berkata apa-apa, Panji segera mengikuti
langkah gadis itu. Berdua mereka memeriksa seluruh bagian dalam bangunan,
sewaktu mendapati ruangan tengah yang
kosong dan kotor, seperti tidak berpenghuni. Akan tetapi, mereka tidak menemukan
Camar Laut, kecuali tulang-tulang manusia yang berserakan di bagian belakang
bangunan. Tidak tahan dengan bau busuk yang memenuhi
ruangan itu, buru-buru Suranti keluar. Sedangkan Panji masih bertahan untuk
tetap berada di ruangan itu. Di atas kepala salah satu kerangka di dinding
ruangan Panji menemukan guratan-guratan yang cukup dalam. Guratan itu merupakan sebaris
kalimat, yang menjelaskan kepada Panji tentang kerangka-kerangka yang berserakan
di ruangan itu.
Kalimat itu berbunyi :
Malintang, manusia laknat! Kelak kau akan mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatanmu!
Panji mengangguk-anggukkan kepala. Setelah itu
baru ia meninggalkan ruangan. Dihampirinya Suranti yang ternyata masih
menunggunya. "Salah satu dari kerangka di dalam ruangan itu
adalah Camar Laut," ujar Panji, yang lalu menjelaskan tentang tulisan yang
didapatinya di salah satu dinding ruangan. "Kalau dilihat dari keadaan kerangka-
kerangka itu, kurasa kejadiannya sudah lebih dari setahun "
"Tapi, mengapa Kakang Malintang melakukannya?"
Suranti menggelengkan kepalanya, ia masih belum bisa
mengerti, mengapa Malintang melakukah semua kekejian itu.
"Aku juga tidak tahu," sahut Panji. "Mungkin juga seperti apa yang terjadi
dengan ayahmu."
"Mengambil pusaka-pusaka maksudmu?" ujar Suranti menegasi.
Panji mengangguk pelan. "Dan dari dua kejadian ini, kurasa
mungkin Malintang hendak menguasai dunia persilatan. Hendak menjadikan dirinya jago tak terkalahkan.
Dan untuk keinginannya itu, jalan satu-satunya yang pating singkat, adalah
dengan mencuri pusaka-pusaka tokoh-tokoh terkenal, yang kemudian akan
dipelajarinya," ujar Panji mengutarakan dugaannya. Dan nampaknya dugaan itu bisa
diterima Suranti.
"Kalau begitu, kita harus mencarinya, sebelum ia
berhasil menguasai semua ilmu dari pusaka-pusaka curiannya!" kata Suranti dengan penuh semangat.
Panji menganguk. Dan sebentar kemudian, keduanya
pun sudah bergerak meninggalkan tempat kediaman Camar
Laut. Mereka memang belum mendapatkan petunjuk tentang di mana adanya Malintang.
Tapi hal itu tidak mengurangi semangat mereka. Terutama Suranti. Meskipun semua
bukti-bukti jelas-jelas mengarah kepada Malintang, namun Suranti ingin mendengar
sendiri dari mulut kakaknya itu, yang
setelah sekian tahun, baru hari itu ia tahu bahwa Malintang bukanlah kakak
kandungnya. *** "Mengapa kau menaruh perhatian besar pada Raja
Sesat, Panji" Bukankah seharusnya kau lebih mengutamakan pencarian Malintang" Menurutku, untuk
saat-saat sekarang ini, sebaiknya kita kesampingkan saja dulu perbuatan Raja
Sesat. Persoalan yang satu saja belum kita temukan titik terangnya, sekarang kau
sudah mau menambahnya dengan persoalan lain. Atau... mungkin kau sudah tidak ingin
membantuku lagi?"
Suranti mengungkapkan rasa penasaran di hatinya,
ketika mereka baru saja selesai membersihkan tubuh di
sebuah aliran sungai. Dari nadanya, Panji tahu kalau Suranti tidak senang dengan
Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
apa yang pernah diutarakannya itu.
Panji memang merasa tertarik dengan apa yang dilakukan Raja Sesat. Bukan cuma
sekali didengarnya, tapi sudah
beberapa kali. Itu sebabnya ia merasa tertarik dan meng-utarakannya kepada
Suranti tentang keinginannya untuk
menyelidiki Raja Sesat.
Selama menempuh perjalanan yang lebih kurang
sebelas hari, setelah mereka meninggalkan tempat kediaman Camar Laut di beberapa
desa yang mereka singgahi, Panji merasa tertarik dengan berita-berita tentang
Raja Sesat. Meskipun orang-orang di beberapa kedai yang mereka
singgahi berbicara dengan suara hampir berbisik, namun Panji merasa terusik
untuk ikut mendengarkannya. Tentu saja tanpa sepengetahuan mereka yang sedang
bercerita. Panji tahu kalau cerita itu sudah diberi bumbu ditambah-tambah agar kedengaran
lebih seru. Tapi yang jelas, cerita mereka tentang Raja Sesat, yang melakukan
penculikan terhadap beberapa orang pujangga, telah menyita perhatiannya. Sehingga, ia terus mendengarkan dengan
penuh perhatian.
Apa yang dilakukan Panji memang bukan tanpa
alasan. Sebab hal itu mengingatkannya pada Empu Darna
dan Malintang. Malintang pernah menculik Empu Darna,
yang kemudian digagalkannya, Malintang menculik Empu
Dama dengan tujuan untuk menterjemahkan tulisan kuno di dalam kitab-kitab yang
dicurinya. Dan ingatan tentang perbuatan Malintang inilah yang membuat Panji
menaruh perhatian kepada Raja Sesat. Tapi ia belum menjelaskan alasannya itu kepada
Suranti. Itu karena Panji tidak mau terburu-buru. Ia tidak ingin Suranti kecewa,
karena belum tentu perbuatan Raja Sesat ada hubungannya dengan
Malintang. Tapi, ketika mendengar nada bicara Suranti, akhirnya Panji memutuskan
untuk mengungkapkan alasan
keinginannya itu.
Suranti mengangguk-angguk
sewaktu mendengar alasan Panji. Hatinya merasa lega, karena ia khawatir kalau-kalau Panji sudah
merasa bosan membantunya, setelah
selama beberapa hari mereka belum juga mendapatkan berita tentang Malintang. Dan
ketika sudah merasa tidak tahan untuk terus menyimpan pikiran yang mengganjal
hatinya itu, Suranti pun mengungkapkannya. Dan, alangkah senang
hatinya ketika mendengar jawaban Panji. Tapi ia juga merasa malu karena sudah
menduga yang bukan-bukan.
"Maafkan kebodohanku, karena sudah berpikiran
yang bukan-bukan tentang dirimu, Panji," kata Suranti, usai mendengar penjelasan
Panji. "Lupakanlah, Suranti," ujar Panji tersenyum, yang kemudian melemparkan
pandangannya ke kaki langit sebelah barat "Sebentar lagi hari gelap. Sebaiknya
kita melanjutkan perjalanan. Mudah-mudahan di sebelah depan sana kita
akan menjumpai sebuah perkampungan. Bosan juga rasanya selalu menginap di
hutan," canda Panji seraya tertawa pelan.
"Takut lama-lama jadi orang hutan?" sambut Suranti yang kemudian disusul dengan
kekehnya. Panji yang sudah bangkit berdiri cuma tersenyum menanggapi gurauan
itu, seraya mengulurkan tangan yang langsung disambut Suranti.
Sebentar kemudian, mereka sudah berlarian, berlomba
dengan waktu yang mulai terselimut keremangan.
Harapan Panji ternyata terkabul. Saat keremangan
semakin memekat, dari kejauhan terlihat cahaya-cahaya
pelita, yang menerangi bagian depan rumah-rumah penduduk. Segera saja Panji dan Suranti bergegas. Dan saat malam mulai jatuh,
mereka berdua sudah memasuki desa.
Desa itu ternyata cukup luas dan penduduknya pun
terbilang padat, sehingga Panji dengan mudah dapat
menemukan penginapan. Panji segera menyewa dua buah
kamar ketika melihat penginapan itu cukup bersih.
"Malam ini aku bermaksud menyelidiki tempat
kediaman Raja Sesat," ungkap Panji kepada Suranti, saat mereka baru saja selesai
makan. "Kau tidak perlu ikut. Tapi bukan berarti aku meremehkan kepandaianmu,
aku cuma hendak melihat-lihat keadaan. Setelah itu aku akan kembali."
"Mengapa tidak bersama-sama saja?" Suranti masih menunjukkan keberatan hatinya.
"Nanti, setelah aku mendapatkan kepastian bahwa
Raja Sesat memang mempunyai hubungan dengan Malintang," jawab Panji dengan nada yang tidak ingin dibantah.
Tahu kalau Panji tidak akan merubah keputusannya lagi, Suranti akhirnya mengangguk.
Diikuti Panji, Suranti beranjak bangkit dari du-
duknya. Lalu melangkah menuju kamarnya. Panji mengikuti sampai di pintu.
Kemudian kembali ke tempat duduknya
sambil mengawasi pintu kamar Suranti. Panji memang belum yakin Suranti akan
menuruti kata-katanya. Cukup banyak ia mengenal gadis-gadis seperti Suranti. Di
depannya saja kelihatannya menurut, tapi dalam hatinya memberontak, yang
kemudian akan menyusulnya begitu ia pergi.
Tapi Suranti ternyata berbeda dengan gadis-gadis
yang pernah dikenalnya. Cukup lama Panji duduk mengawasi, namun pintu kamar Suranti tetap tertutup rapat.
Tampaknya gadis itu memang benar-benar mempercayai
kata-katanya. Padahal tidak seluruh kata-katanya benar.
Panji bermaksud untuk menyelidiki dan bukan sekadar
melihat-lihat saja. Dan sebenarnya, memang ia merasa khawatir jika Suranti ikut
bersamanya. Salah-salah gadis itu hanya akan menghambat gerakannya saja.
Panji masih menunggu beberapa saat lagi, untuk
meyakinkan bahwa Suranti benar-benar tidak bermaksud
menyusulnya. Setelah merasa pasti, barulah Panji meninggalkan penginapan itu. Bergerak menerobos kegelapan malam yang hanya
diterangi sinar bulan sepotong. Dari
beberapa penduduk yang ditanyainya di dalam perjalanan, Panji mengetahui letak
tempat kediaman Raja Sesat.
Sehingga, kendati pun bergerak dalam keremangan malam, Panji dapat memperkirakan
arahnya dengan benar.
Tengah Panji bergerak hati-hati di antara bayangan
pepohonan, tiba-tiba telinganya menangkap adanya suara orang yang sedang
bertarung. Panji merasa tertarik. Cepat ia bergerak ke arah suara pertarungan
berasal. Tidak berapa lama kemudian, di sebuah tempat yang agak terbuka,
dilihatnya sebuah pemandangan yang tidak menyenangkan hatinya.
Sebuah ketidakadilan sedang berlangsung. Empat orang
lelaki tengah mengeroyok seorang perempuan. Panji dapat memperkirakan bahwa
perempuan yang tengah dikeroyok
empat laki-laki itu masih muda. Panji menilainya berdasarkan bentuk tubuh serta suara teriakannya.
Suara perempuan itu melengking bening. Gerakan-
gerakannya cukup gesit. Sambaran-sambaran pedang di
tangannya pun menunjukkan tenaga yang cukup kuat
Namun, meskipun begitu, Panji segera dapat menilai bahwa perempuan itu tidak
akan bisa memenangkan pertarungan.
Keempat lelaki pengeroyoknya terlalu tangguh baginya. Panji dapat menilai
suasana pertarungan setelah menyaksikannya selama lebih-kurang lima jurus.
"Aiii...!"
Mendadak saja perempuan itu menahan jeritnya.
Jatuh terpelanting ke tanah. Panji tentu saja menjadi kaget.
Tidak menyangka akan terjadi hal seperti itu. Perempuan itu jatuh bukan karena
serangan lawan. Panji tahu pasti itu.
Perempuan itu jatuh seperti telah menginjak atau pun
terantuk sesuatu. Itu yang diperkirakan Panji. Akan tetapi, Panji tidak mau lagi
membuang-buang waktu. Tidak mau
berlama-lama memikirkan apa yang menyebabkan terjatuhnya perempuan itu. Ia sudah melompat keluar dari tempat
persembunyiannya. Perempuan itu harus segera
ditolongnya. Terlambat sedikit saja, bukan mustahil kalau perempuan itu akan
tewas dengan tubuh tercacah empat
senjata pengeroyoknya.
"Hiaaattt...!"
Dengan disertai sebuah lengkingan panjang yang
menggetarkan jantung, Panji melayang ke tengah arena. Dua tangannya diayunkan
bergantian, membuat keempat lelaki yang sedang tertegun oleh lengkingannya
menjadi semakin terkejut. Dan sebelum mereka sadar, tahu-tahu saja senjata
mereka telah kena dirampas Panji, yang langsung melemparkannya ke semak-semak. Dan sebelum keempat
laki-laki sadar bahwa senjata mereka telah dirampas orang, Panji sudah
melepaskan tendangan berputar. Empat laki-laki itu menjerit. Tubuh mereka
berpelantigan mencium tanah.
Sementara itu, Panji yang sudah mendaratkan kakinya di samping perempuan yang dikeroyok, segera
mengulur tangannya. Menarik bangkit dengan satu sentakan perlahan. Panji
merasakan tubuh perempuan itu lemah.
Seperti orang yang kehabisan tenaga. Pakaian gadis itu terkoyak di beberapa
tempat. Meskipun tidak ada luka yang berarti, namun Panji makl?rn kalau
perempuan itu telah cukup lama bertarung. Diam-diam timbul kekaguman di dalam
hatinya. Seorang perempuan yang bukan saja cantik, tapi
juga memiliki semangat dan daya tahan yang mengagumkan, pikir Panji yang dalam hatinya memuji
perempuan itu. 6 Ketika melihat keempat pengeroyok itu sudah bangkit
dan tengah bergerak menghampirinya, segera saja Panji
membawa perempuan itu ke tempat yang aman menyandarkannya
pada sebatang pohon. Kemudian, dihampirinya keempat lelaki yang langsung saja mengepungnya. "Dasar pemuda tolol! Rupanya kau sengaja malam-
malam berkeluyuran mencari penyakit!" Lelaki di sebelah depan Panji berteriak
memaki. Dan tanpa menunggu
sahutan, langsung saja ia melompat sambil melepaskan
sebuah pukulan lurus ke wajah Panji.
Serangan lelaki pertama belum lagi tiba dekat, dan
tiga kawannya sudah berlompatan susul-menyusul,
menyerbu Panji dengan serangan-serangan yang tidak bisa dianggap
remeh. Mereka
Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ternyata rata-rata memiliki kepandaian di atas lumayan.
Akan tetapi, hanya dengan geseran-geseran langkah
dan liukan tubuhnya, dengan tanpa kesulitan, semua
serangan itu dapat dielakkannya. Malah, saat itu juga Panji langsung mengirimkan
serangan balasan dengan tamparan-tamparan yang menerbitkan sambaran angin
menderu, yang juga menebarkan hawa dingin menusuk! Ya, Panji memang
sudah mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' -nya.
Dan, hasilnya pun segera terbukti. Empat pengeroyok
itu, yang sepertinya tidak pernah menyangka sebelumnya, terperangah dengan wajah
memucat. Mereka terkesima. Tak sempat
lagi untuk berpikir. Dan tahu-tahu, mereka merasakan tubuh mereka bagai dihantam bongkahan es.
Seketika itu juga, tubuh mereka melayang-layang di udara, untuk kemudian
terhempas ke tanah. Begitu keras mereka terbanting, hingga masing-masing
menggeliat, merasakan tulang-tulang tubuh seperti patah. Erangan dan rintihan
pun tak dapat lagi mereka tahan.
"Enyahlah dari hadapanku sebelum aku berubah
pikiran!" ancam Panji seraya memandangi keempat wajah lelaki itu satu persatu.
Bukannya buru-buru minggat, keempat lelaki itu
malah saling bertukar pandang. Sepertinya belum percaya dengan
pendengaran sendiri. Dan baru ketika Panji mengulangi ucapannya, mereka langsung mengambil langkah seribu. Lari terbirit-
birit bagai dikejar setan.
*** "Terima kasih atas kesediaan Tuan menolongku,"
sambil berucap demikian, perempuan ini segera menjatuhkan diri di bawah kaki
Panji. Tentu saja Panji terkejut. Cepat diraihnya tubuh perempuan itu dan
diangkatnya bangkit.
"Jangan terlalu dilebih-lebihkan, Nona," ujar Panji seraya menggeleng pelan.
"Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling tolong-menolong."
"Terima kasih," ucap perempuan itu lagi. "Aku, Maliani, tidak akan melupakan
kebaikan Tuan."
Panji tersenyum sambil menggeleng. "Ingat, Maliani, bukan aku yang menyuruhmu
untuk tidak melupakan,"
ujarnya yang kemudian tertawa pelan. Dan Maliani tak dapat lagi menahan tawanya
demi mendengar kelakar penolongnya.
"Akan kuingat itu," timpal Maliani kemudian.
Dengan masih tetap tersenyum, Panji mengangkat
pundaknya. "Tapi sebaiknya yang perlu kau ingat, adalah jangan terlalu sering
bermalam di dalam hutan. Apalagi kau seorang perempuan. Cantik lagi. Itu bisa
memancing orang untuk berbuat jahat," kata Panji, setelah memperkenalkan
namanya. "Aku tidak sedang bermalam, dan mereka pun bukan
penjahat-penjahat biasa," Maliani menyanggah dugaan Panji.
Membuat Panji mengerutkan kening. Melihat sikap Panji
seperti itu, Maliani segera menambahkan, "Mereka adalah begundal-begundalnya
Raja Sesat. Sedangkan Raja Sesat
sendiri, adalah salah satu dedengkot golongan hitam yang paling kejam dan paling
ditakuti di daerah ini."
"Lalu, bagaimana kau sampai bisa bentrok dengan
mereka?" tanya Panji, yang tentu saja menjadi heran ketika mendengar
penjelasan Maliani. Kalau Maliani sudah mengenal Raja Sesat, mengapa nekad mencari penyakit"
"Beberapa waktu lalu, lewat kaki-tangannya, Raja
Sesat telah membunuh keluargaku," jawab Maliani, membuat Panji mengangguk-
angguk. Baru ia mengerti mengapa
Maliani sampai begitu nekad bentrok dengan kaki-tangan Raja Sesat yang terkenal
itu. "Lalu, kau hendak menuntut balas" Kau satroni
tempat kediaman Raja Sesat, yang lalu tertangkap basah dan dikejar kaki-
tangannya, begitu?" tebak Panji, berdasarkan rekaan
dan pengalaman-pengalamannya.
Dan Maliani ternyata mengangguk. Membenarkan rekaan Panji.
"Aku sudah putus asa, Panji," ujar Maliani lemah, dan dengan kepala tertunduk.
"Kematian Ayah, ibu dan adikku, membuat hidupku terasa hampa. Dan, satu-satunya
yang membuat aku bisa bertahan hidup sampai saat ini, hanyalah keinginan untuk
membunuh Raja Sesat. Itu sebabnya
mengapa aku nekad menyatroni tempat kediaman Raja
Sesat." "Tapi apa yang kau lakukan itu sama saja dengan
bunuh diri. Bukan mustahil kalau kau akan tewas sebelum sempat
berhadapan dengan Raja Sesat," ujar Panji menyayangkan tindakan Maliani yang tanpa perhitungan itu.
"Jadi menurutmu aku harus diam saja, begitu?"
sentak Maliani seraya mengangkat kepalanya. Ditatapnya wajah Panji lekat-lekat.
Jelas sekali betapa sepasang matanya memancarkan rasa penasaran yang dalam.
"Haruskah aku membiarkan arwah keluargaku bergentayangan dengan
membawa rasa penasaran" Tidak, Panji. Aku tidak ingin mereka mengutukku. Dan aku
lebih baik mati daripada hidup menjadi anak yang tak berbakti!"
"Kau keliru, Maliani. Bukan itu yang kumaksud,"
geleng Panji sambil tersenyum masam.
"Lalu?" tuntut Maliani sambil masih tetap menentang tatapan Panji.
"Pikirkan dulu untung-ruginya,
baik-buruknya. Jangan terburu nafsu mengambil keputusan. Sebab, dengan menurutkan hati yang
terbakar dendam, hanya akan
mencelakakan diri kita sendiri," lanjut Panji memberikan pandangannya, yang juga
merupakan nasihat. Tapi, Maliani malah menanggapinya dengan dengusan sinis.
"Kalau kau sendiri yang mengalaminya, pasti kau
tidak akan berkata seperti itu. Tindakanmu pasti tidak akan berbeda jauh
denganku. Malah mungkin kau akan langsung melabrak Raja Sesat secara terang-
terangan. Tidak harus pikir-pikir dulu, dan tidak lagi menimbang-nimbang."
Sangat tidak enak sekali nada ucapan Maliani. Tampaknya ia tidak bisa menerima
pandangan Panji. Malah ia seperti tersinggung.
"Ya, ya, mungkin aku memang akan berbuat seperti
itu." Merasa tidak ada gunanya berdebat, akhirnya Panji mengalah. Terdengar
helaan napasnya yang panjang. "Tapi sebaiknya kita lupakan saja apa yang sudah
terjadi. Dan yang jelas, aku akan membantumu dengan sekuat tenaga.
Tentu saja jika kau tidak merasa keberatan."
Dan, wajah kelam Maliani mendadak saja menjadi
cerah. Senyumnya pun mengembang perlahan. Begitu
gembira hati Maliani ketika mendengar apa yang diucapkan Panji.
Hampir ia tidak mempercayai pendengarannya.
Sehingga, saking girangnya, Maliani sampai lupa diri. Tubuh Panji langsung
dipeluknya erat-erat. Karuan saja Panji menjadi gelagapan. Bagaimanapun ia
adalah seorang laki-laki biasa, yang tidak jauh berbeda dengan laki-laki
lainnya. Pelukan Maliani membuat Panji merasakan darahnya seketika berdesir.
Namun, Panji bukanlah jenis laki-iaki yang suka
memanfaatkan keadaan. Dengan kekuatan batinnya, ditekannya letupan gairah yang dirasakan menyentak dadanya. Dan dengan perlahan, didorongnya tubuh Maliani, agar gadis itu tidak
merasa tersinggung.
"Mari kita lihat bagaimana keadaan tempat tinggal Raja
Sesat," ujar Panji kemudian. Berusaha untuk mengalihkan perhatian Maliani agar tak begitu memperhatikan perbuatannya.
Maliani mengangguk. Kemudian, dengan menerobos
keremangan malam, mereka pun bergerak menuju tempat
kediaman Raja Sesat.
*** Di dalam kamar penginapan, Suranti mendengar
adanya suara langkah kaki yang mendekati jendela. Sejak memasuki kamar, Suranti
memang belum bisa memejamkan
matanya sekejap pun. Kepergian Panji membuat pikirannya tak
bisa tenang. Sulit baginya untuk menepiskan kekhawatirannya. Karena, dari apa yang didengarnya selama dalam perjalanan, Raja
Sesat adalah salah satu dedengkot golongan hitam yang paling terkenal, yang
selain sangat kejam, juga memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Itu yang
membuatnya tak bisa tenang tinggal di dalam kamarnya.
Ketika mendengar suara langkah yang mendekati
jendela, Suranti menjadi waspada. Perlahan, diulurkan
tangannya menjangkau pedang yang berada di atas meja
kecil di samping kanan tempat tidur. Dengan hati-hati dan tanpa mengeluarkan
bunyi, dihunusnya pedang itu. Suasana di dalam kamar yang gelap sangat
membantunya. Lampu kamar itu memang sudah dimatikannya sejak ia masuk.
"Suranti...!" Tiba-tiba saja, dari luar jendela terdengar suara orang memanggil
dengan bisikan yang ditekan
serendah mungkin. Dan, Suranti mendadak tegang. Dadanya berdebar keras, membuat
deru napasnya sulit untuk
dikuasai. Mengalir deras sampai nyaris berupa dengusan.
"Sss... siap... pa...?" Suranti bertanya dengan suara terpatah-patah. Gugup dan
seperti orang tercekik lehernya.
Ya, Suranti memang merasa gugup dan tegang bukan main.
Karena ia seperti mengenal suara itu. Suara yang rasanya tak asing bagi
telinganya. "Aku kakakmu, Malintang...," terdengar suara orang di luar jendela menyahuti.
Deg! Jawaban itu membuat jantung Suranti seperti
berhenti berdetak. Meskipun memang sudah menduga
sebelumnya, tak urung Suranti terkejut juga. Ia tidak
menyahut. Ketegangan dan keterkejutan membuat ia kehilangan kata-kata. Suasana menjadi hening beberapa
saat. "Suranti," suara di luar jendela kembali berlanjut, memecah keheningan yang
mengantarai mereka. "Aku tahu, mungkin kau sudah mendengar berita tentang aku.
Tapi, kalau kau masih percaya padaku, masih mengakui aku
sebagai kakakmu, ketahuilah, bahwa semua yang kau dengar sama sekali tidak
benar. Semua adalah ulah Raja Sesat.
Manusia jahat itulah yang telah menyebar fitnah!"
Suara Malintang berhenti. Suranti tetap membisu, ia
masih sulit untuk mengatasi perasaan hatinya yang terguncang. Bagaimanapun, Malintang adalah kakaknya.
Orang yang menjadi bagian dari kenangan masa lalunya yang manis. Orang yang
selalu menjaga dan menyayanginya sejak ia kecil! Dan, meskipun ia tidak pernah
membantah segala tuduhan yang dijatuhkan kepada Malintang, namun jauh di dasar
hatinya ia masih belum percaya sepenuhnya. Belum bisa percaya kalau Malintang
sampai tega membunuh ayah dan tunangannya.
"Suranti...." Karena Suranti belum juga bersuara, belum juga menanggapi
ucapannya, Malintang kembali
memanggil dengan suara lirih. "Apakah kau lupa siapa Raja Sesat itu sebenarnya"
Ia adalah musuh bebuyutan ayah kita, Suranti! Tapi, karena ia tidak berani
berhadapan langsung dengan Ayah, maka digunakannya cara lain. Aku difitnahnya,
yang maksudnya tak lain adalah untuk memecah belah
keluarga kita. Malah, guruku sendiri, Camar Laut dan
petayan-pelayannya, dibantai habis oleh Raja Sesat. Lalu disebarkannya fitnah,
bahwa akulah pelaku dari semua
Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kekejian itu. Dan akibatnya, aku bukan saja dimusuhi tokoh-tokoh
golongan putih. Malah pihak kerajaan pun memburuku. Sehingga ruang gerakku menjadi sempit. Aku
tidak bisa lagi bebas berkeliaran. Setiap langkahku selalu diintai maut. Aku
terpaksa main kucing-kucingan dengan mereka. Kecuali malam hari, aku tidak
berani keluar. Itupun aku harus tetap waspada. Sebab, setiap saat nyawaku bisa
saja melayang."
Malintang menghentikan ceritanya. Menarik napas
berat berulang-ulang. Suranti mendengarnya dengan jelas, tapi ia tetap
membungkam. Pikirannya masih buntu.
Batinnya bergejolak. Peperangan antara percaya dan tidak, berkecamuk hebat. Yang
bisa dilakukannya cuma diam, diam dan diam. Sedikit banyak penuturan Malintang
memang telan membuat hatinya tersentuh. Apa yang dikatakan
Malintang tentang Raja Sesat, memang pernah ia dengar dari ayahnya. Sehingga ia
mulai meragukan cerita yang didapat Panji dan Empu Darna. Apa yang dikatakan
Malintang memang bukan mustahil terjadi Raja Sesat memfitnah
kakaknya untuk memecah-belah keluarganya.
Panji Sakti 7 Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Bara Diatas Singgasana 28