Pencarian

Pendekar Banci 2

Pendekar Banci Karya Sd Liong Bagian 2


Mendengar kata-kata 'Pelana mustika? itu, serempak bangkitlah semangat sekalian orang.
"Nama yang indah benar", seru Hong Ing dalam hati. Walaupun sudah berusaha untuk melongok keluar tetapi karena berada di bawah kolong pembaringan, Hong Ing tak dapat melihat jelas orang-orang yang berada dalam ruang tengah itu. Karena hendak memperebutkan pelana beruang salju, orang-orang itu tentu akan bertempur. Dan pertempuran antara tokoh-tokoh aneh yang berkepandaian sakti seperti mereka itu, tentu sangat menarik hati.
Timbul seketika keinginan Hong Ing untuk menyembul dari kolong pembaringan, agar ia dapat menikmati pertempuran itu dengan jelas. Tetapi tiba-tiba ia teringat akan permintaan dari si pemuda. Ah, aku harus mentaati kesanggupanku kepadanya. Pikirnya. Dan apa boleh buat, terpaksa ia mendekam di bawah kolong pembaringan lagi.
Hampir setengah hari harus mendekam dibawah kolong Hong Ing rasakan kakinya linu. Kedua kakinya yang ditekuk itu terasa kesemutan. Maka pelahan-lahan sekali, ia berusaha untuk menjulurkan kakinya ke belakang.
"Uh .. ia rasakan ujung kakinya menyentuh segumpal benda yang empuk sekali. Cepat ia berpaling untuk melihatnya.
Jika ia tak berpaling dan mau menganggap bahwa benda empuk itu sebuah bantal, tentu ia masih tenang-tenang menikmati pertempuran seru antara tokoh-tokoh sakti itu.
Tetapi karena ia berpaling maka matanyapun segera mendelik, semangatnya seperti terbang. Hampir ia tak percaya apa yang disaksikan saat itu. Sebuah ekor yang panjang bergoyang-goyaug menyapu mukanya. Dan ia cepat dapat mengetahui apakah benda yang menyerupai ekor itu.
Memang kerena gopoh, ia terus saja menuruti permintaan si pemuda untuk menyusup ke bawah kolong pembaringan. Ia tak mau memeriksa lebih dulu bagaimana keadaan pembaringan itu. Dan memang ia tak mempunyai kesempatan lagi untuk memeriksanya. Dan pula ia tak menduga sama sekali bahwa di bawah kolong pembaringan akan terdapat sebuah benda lunak yang memiliki ekor panjang.
Sekarang ia baru tahu dengan pasti bahwa benda lunak berekor panjang itu tak lain adalah seekor.... harimau gembong!
Sedang saat itu sambil menahan serbuan Hwat-tiong-hi, nenek Cendrawasih-Tutulpun berseru pula:
"Siapa saja jangan bergerak sembarangan. Jika berani melanggar, akulah si nenek tua ini yang pertama akan menghajarnya!"
Sudah tentu si limbung Hwat - tiong - hi tak sudi menurut. Ia menggerung keras, menjulurkan lengannya seraya menebar-katupkan jari-jarinya untuk mencengkeram tongkat si nenek.
Nenek Cendrawasih-Tutul tak mengira sama sekali bahwa orang limbung itu dapat bergerak begitu rupa. Ia segera memutar-balikkan tongkat dan menggelincirkan ke samping.
Hwat-tiong-hi tertipu. Terkamannya luput dan melihat tongkat itu bergeliatan di sampingnya ia terus membalikkan tangannya untuk menyambar lagi.
Tetapi saat itu nenek Cendrawasih-Tutul segera bertindak. Ia mengisi dada Hwat-tiong-hi yang tak terlindung dengan tusukan tongkat keperut orang itu.
Duk, walaupun tidak terluka tapi tusukan tongkat si nenek itu dapat juga membuat Hwat-tiong-hi jatuh terjerembab. Nenek Cendrawasih-Tutul menyorong ujung tongkat ke bawah pantat Hwat-tiong-hi dan berteriak :
"Pergilah !" Tubuh Hwat-tiong-hi terangkat dan terlempar keluar, bum ...
Si limbung Malaekat-tolol leletkan lidah dan bersungut-sungut : "Tidak boleh bergerak, tak apa! takut apa, sih !"
Baru dia mengucap begitu, tiba-tiba terdengar orang menjerit keras dan ruangan seperti dilanda angin keras. Sebuah benda hitam loncat menerjang orang-orang itu. Untung mereka dapat menghindar ke samping. Bum .... benda itu terbanting ke lantai. Astaga, kiranya si linglung Hwat-tiong-hi.
Menyusul terdengar suara seseorang berseru di luar pondok :
"Sahabat baik sekalian, karena sudah datang kemari mengapa tak mau beristirahat dulu!"
Nadanya nyaring sekali bagai halilintar meletus, penuh dengan pancaran tenaga- dalam yang dahsyat.
Sekalian orang yang berada dalam ruang itu adalah tokoh-tokoh sakti dalam dunia persilatan. Cepat mereka dapat mengetahui bahwa orang itu memiliki tenaga-dalam yang hebat.
Rupanya diantara orang-orang itu, hanya si pemuda yang cepat dapat mengetahui bahwa pendatang itu bukan lain adalah pemilik pondok disitu. Pada saat perhatian sekalian orang sedang tertumpah pada orang itu, diam-diam si pemuda menyelinap ke kamar tidur lalu berguling ke bawah kolong pembaringan.
Sesaat setelah mengetahui bahwa yang mendekam dibawah kolong itu bukan lain seekor harimau buas, Hong Ing seperti orang yang melihat hantu. Memang, kalau di tengah hutan atau di gunung bertemu dengan seekor harimau buas, ia tak takut.
Tetapi saat itu beda sekali keadaannya, Sekali harimau itu meraung, orang-orang di ruang tengah segera akan mengetahui dirinya.
Menilik kata-kata si limbung Malaekat-tolol tadi, jelas bahwa ketujuh orang itu datang sendiri-sendiri tanpa persepakatan. Tetapi tujuan mereka sama, hendak merebut pelana kuda yang terbuat dari kulit beruang salju itu. Karena tahu bahwa dia yang membawa pelana itu maka mereka bertujuh tentu akan mengejar dan mencari dirinya.
Maka walaupun berdekatan dengan seekor harimau buas, ia tak takut, ia lebih takut apabila sampai ketahuan oleh ketujuh orang itu. Jelas mereka itu bukan orang baik. Kalau sampai benda itu jatuh ke tangan mereka, ia tak puas.
Sekalipun begitu, ia kuatir juga harimau itu akan menerkamnya. Paling tidak, binatang itu akan mengaum keras sehingga ketujuh orang itu mengetahui tempat persembunyiannya.
Maka terpaksa ia berpaling dan memandang lekat-lekat pada binatang itu. Dengan begitu ia tak sempat melibat ramai-ramai di ruang tengah lagi.
Raja hutan itupun balas memandangnya. Anehnya binatang itu tak bergerak, bahkan bernapas keras-keraspun binatang itu tak berani.
Hong Ing heran sekali. Begitu menyusup ke bawah kolong, pemuda itu terus merapat ke tubuh Hong Ing. Sudah tentu Hong Ing terkejut dan mengisar ke samping.
Tiba-tiba pemuda itu memegang pinggang Hong Ing seraya berbisik : "Nona Ing, jangan bergerak"
Hong Ing makin terkejut. Ia merasa risih sekali karena pinggangnya dipegang seorang pemuda. Tetapi karena ia tahu bahwa pemuda itu tak bermaksud buruk, maka iapun diam saja.
"Di bawah kolong pembaringan ini terdapat seekor harimau besar", katanya.
"Kutahu" sahut si pemuda, "kemungkinan pondok itu tempat kediaman Raja-binatang Siang Beng. Harimau itu tentu piaraannya"
Hong Ing terkejut, "Raja binatang Siang-Beng ?" tegasnya.
"Benar" sahut si pemuda, "pada setiap gunung ternama dia tentu memiliki sebuah rumah pondok. Sewaktu-waktu ia datang, ia tentu menginap di pondok itu."
"Cianpwe itu memang seorang tokoh aneh nomor satu di dunia." kata Hong Ing, "duapuluh tahun lamanya namanya termasyhur di dunia persilatan. Tetapi mungkin jarang ada orang yang pernah melihat mukanya."
"Saat ini mungkin dia sudah berada di luar pondok" kata si pemuda.
Selagi kedua anak muda itu berbincang-bincang, keadaan dalam ruang tengah telah terjadi perubahan. Sejak Hwat-tiong-hi dilempar ke dalam ruang dan terdengar pemilik pondok berseru, menyusul seorang bertubuh tinggi besar, tangan dan kakinya besar, segera masuk ke dalam ruang.
Dia seorang lelaki pertengahan umur yang amat bersahaja. Mukanya terdapat beberapa bekas terutulan hitam. Sebenarnya orang yang berwajah bintik-bintik hitam, tentu jelek. Tetapi orang itu sebaliknya bahkan memiliki suatu daya perbawa yang kuat. Pakaiannyapun sederhana, gerak-geriknya amat santai. Tetapi langkahnya amat perkasa sekali. Begitu masuk sepasang matanya menjalang lebar kemudian cepat mengatup lagi.
"Ah, sungguh jarang sekali saudara berkunjung kemari. Silahkan duduk, silahkan duduk' serunya dengan penuh keramahan.
Hwat-tiong-hi yang linglung, saat itu walaupun tidak menderita luka tetapi tulangnya terasa sakit juga karena dibuat bal-balan dilontar keluar lalu dilempar lagi kedalam ruangan. Limbung sekalipun pikirannya tetapi ia tahu juga bahwa yang dihadapinya kali ini adalah seorang sakti yang tak boleh dibuat main-main. Maka iapun duduk dengan patuh.
Nenek Cendrawasih-Tutul deliki mata dan membentak : "Siapa engkau ?"
Orang itu tersenyum. "Sudah berpuluh tahun aku mengasingkan diri, apa gunanya nama lagi bagiku ?" sahutnya tenang-tenang.
Nenek itu selalu tinggal di pulau Lo-to Laut Timur dan jarang sekali keluar. Kali ini karena mendengar dari seorang yang kebetulan datang ke pulau Lo-to, mengatakan bahwa dunia persilatan dewasa ini telah berbangkit perhatiannya akan sebuah rahasia besar maka nenek itu segera tinggalkan pulau kediamannya.
Nenek Cendrawasih-Tutul melihat bahwa pendatang baru itu memiliki ilmu silat yang tinggi tetapi ia tak tahu siapakah orang itu? Membanggakan diri mempunyai kepandaian sakti maka nenek itupun segera mendengus :
"Jika begitu apakah engkau yang memiliki rumah gubuk ini ?"
Orang itu mengangguk dan mengiakan.
"Bagus, karena pemiliknya sudah datang, urusan tentu mudah diselesaikan." kata nenek Cendrawasih-Tutul " ada seorang budak perempuan yang hendak kami kejar. Dia tiba disini terus lenyap. Aku hendak menggeledah pondok ini mencarinya."
"Kalau mau menggeledah kita sama-sama menggeledah. Kalau engkau sendiri yang akan menggeledah, tidak bisa!" serempak orang-orang itupun berseru menentang.
Wajah pemilik pondok itu agak berobah cahayanya. Tetapi cepat ia tenang kembali dan berkata dengan ramah :
"Apabila saudara-saudara hendak beristirahat disini, sudah tentu kuterima dengan senang hati. Tetapi Kalau hendak menggeledah ..."
"Bagaimana? Tidak boleh?" tukas nenek Cendrawasih-Tutul.
Lelaki pertengahan umur itu mengangguk: "Ya!"
Si nenek serentak menghujamkan tongkatnya ke lantai lalu memandang sejenak kepada orang-orang itu, serunya:
"Hari ini hanya seorang saja yang akan menggeledah. Siapa yang tak tunduk, silahkan bicara!"
"Bum.." ia menghentakkan tongkatnya lagi ke lantai lalu menerjang orang itu dengan menyebatkan tongkatnya. Tetapi orang itu hanya tertawa lalu menyambar tongkat si nenek.
Sekalian orang terkejut sekali. Nenek Cendrawasih-Tutul dengan ilmu permainan tongkat Gelombang-samudera, termashur sekali di dunia persilatan. Gerakan tongkatnya tadipun bukan olah-olah dahsyatnya. Tetapi hanya sekali gerakkan tangan, orang itu sudah dapat menangkapnya. Enak dan santai sekali sambaran tangannya itu.
Nenek itu tak kurang kejutnya bahkan lebih terkejut dari orang-orang itu. Memang ia tahu bahwa orang itu tak boleh dibuat main-main. Karenanya ia gunakan tujuh bagian tenaga untuk menyerang.. Tetapi begitu tongkatnya tertangkap, tenaganyapun ikut lenyap.
Takut kalau orang itu akan melancarkan serangan tenaga-dalam, si nenek buru-buru lepaskan tongkatnya dan terus loncat ke belakang.
Sejak menyelesaikan ilmu permainan tongkat Gelombang-samudera baru pertama kali itu si nenek lepaskan tongkatnya.
Sejenak membobot tongkat dengan tangannya, orang itupun berseru: "Ah, betapa beratnya."
Ia letakkan tongkat itu di atas meja, kemudian berkata dengan tenang-tenang:
"Kuulangi kata-kataku tadi. Apabila saudara-saudara hendak beristirahat disini, sudilah memandang mukaku dan jangan menggeledah pondok ini."
Mendengar ucapan itu, Hong Ing dan si pemuda tersenyum girang.
Ketujuh orang yang berada di ruang pondok itu tokoh-tokoh sakti yang kepandaiannya berimbang satu sama lain. Begitu si nenek menderita kekalahan, keenam orang yang lain terbeliak.
Setelah diam beberapa saat, siorang pendek pemikul batu tiba-tiba berseru : "Silahkan kalian menyingkir. Aku hendak meminta pelajaran dari tuan rumah!"
Wut, ia mengayunkan batu yang berada dipikulan kiri, sambaran anginnya telah mendesak orang-orang itu menyingkir ke sudut ruang. Kemudian orang pendek itu song-songkan batu ke muka, menggempur pemilik rumah.
Tetapi pemilik pondok itu hanya tertawa hambar, serunya: "Ah, mengapa harus bertempur?"
Begitu tangan kanannya menjulur, ia segera mencengkeram ujung batu yang beratnya tak kurang dari tigaratus kati itu.
Orang pendek terkejut sekali. Serentak ia goyangkan batu yang di kanan. Tiba-tiba pemilik rumah melepaskan cengkeramannya. Bum, kedua batu saling beradu keras. Si pendek rasakan bahunya kesemutan.
"Permisi, aku hendak pergi" serunya terus loncat keluar, Rupanya karena tahu tak mungkin dapat melawan tuan rumah, orang pendek itu terus ngacir pergi. Ketika orang-orang memandang keluar, ternyata si pendek sudah berada lima tombak jauhnya.
Kedua orang katepun menyusul ikut memberi hormat : "Kami berdua saudara, kagum sekali atas kepandaian anda yang begitu sakti. Maaf, kami tak berani mengganggu lebih lama."
Habis berkata kedua orang kate itupun segera ngacir pergi.
Nenek Cendrawasih-Tutul membawa tongkatnya, Hwat-tiong hi menyeret si Malaekat-Tolol dan Lu Kong Cu menggenggam kipasnya, satu demi satu meninggalkan pondok itu.
Hong Ing dapat menghela napas longgar. Pada lain saat pemiiik pondok itu bertepuk tangan dua kali. Seketika harimau itupun mengaum dan menerobos keluar.
"Tetamu dibawah kolong pembaringan, mengapa tak lekas keluar, mau tunggu apa lagi?" tiba-tiba pemilik pondok itu berseru.
Hong Ing dan pemuda itu merah mukanya. Mereka segera keluar dan menghaturkan terima kasih kepada pemilik pondok itu.
Orang itu tertawa hambar.
"Hanya soal sekecil itu, masakan perlu dipikirkan" katanya seraya mengelus-elus kepala harimau yang mendekam dibawah kakinya.
Harimau itu seekor harimau yang besar sekali, bulunya hitam mulus, mengkilap dan tampak buas sekali. Tetapi ternyata amat jinak.
Tiba-tiba Hong Ing bertanya : "Adakah cianpwe ini yang di dunia persilatan disebut sebagai..."
"Tak usah banyak tanya !" tukas pemilik pondok itu. Hong Ingpun tak berani bicara lagi.
Kemudian pemilik pondok itu berkata kepada si pemuda :
"Anda mempunyai piaraan seekor burung kakaktua putih, entah apakah hubungan anda dengan Bu Wi lhama, kepala kuil Ko-liong-si di Sujwan?"
Sekali bertanya orang sudah tahu akan asal usulnya, terpaksa pemuda itu tak dapat mengelabuhi lagi dan berkata dengan hormat :
"Aku orang she Cong nama Tik, murid dari beliau ..."
Orang itu mengangguk. "Bagi seorang anak muda yang penting harus berhati lurus dan sungguh-sungguh. Bermulut manis, lincah bicara, mencari kesempatan, bukanlah suatu perbuatan yang tepat. Namamu Cong Tik. Tik berarti berbudi, seharusnya orangnya sesuai dengan namanya."
Merah padam muka Cong Tik mendengar semprotan halus dari pemilik pondok itu. Diam-diam ia mengakui bahwa perbuatannya selama ini memang kurang baik. Tetapi heran, mengapa orang itu dapat mengetahuinya ?
Tetapi urusan kali ini memang sangat penting sekali. Terpaksa harus bertindak begitu. Karena itu ia anggap nasehat pemilik pondok itu sebagai angin lalu saja. Walaupun mulut mengiakan tetapi hatinya mencemoh.
Pemilik pondok itu beralih memandang Hong Ing beberapa saat. Tetapi Hong Ing ikut tak senang karena orang itu berani mendamprat halus kepada Cong Tik. Segera ia mengajak Cong Tik untuk segera tinggalkan tempat itu.
Waktu kedua anak muda itu pamitan pemilik pondokpun tak mau menahan lebih lama. Ia hanya mengucap sepatah kata kepada Hong Ing, seolah-olah memberi nasehat :
"Yang berwarna kuning itu, belum tentu emas. Loyangpun kuning warnanya."
Sekeluarnya dari pondok, Hong Ing tertawa dingin :
"Hm, Raja-binatang Siang Beng itu juga seorang yang jual lagak mengelabuhi orang. Ketika aku menyelundup masuk kedalam kamar bukunya, buku-buku yang memenuhi kamar itu hanya lukisan saja bukan buku sesungguhnya. Paling-paling hanya terdapat sebuah kitab Ih King saja. Dan walaupun lebih tua, tetapi dia tak sungkan sama sekali kepada kita. Begitu bertemu muka terus memberi petuah. Apanya sih kita ini ?"
Mendengar Hong Ing mengeritik pemilik pondok itu, Cong Tikpun segera memberi tambahan beberapa kata mendukung pernyataan Hong Ing.
"Tetapi akupun hendak bertanya kepadamu juga" kata Hong Ing sesaat kemudian, "mengapa engkau pura-pura mati? Apakah gunanya pelana kulit beruang salju yang berhias mutiara itu?"
Seketika seri wajah Cong Tik agak berobah. Untung karena hari masih gelap, Hong Ing tak dapat melihatnya. Beberapa saat kemudian baru Cong Tik berkata :
"Berikanlah pelana itu kepadaku!"
Sambil menyerahkan pelana itu, Hong Ing menjelaskan : "Mutiara pada pelana itu...." belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya, sekonyong-konyong Cong.Tik berteriak :
"Nona Ing, awas, jangan bergerak!"
Hong Ing tercengang. Hanya beberapa detik atau Cong Tik sudah mencelat sejauh dua tiga tombak.
Bermula Hong Ing mengira Cong Tik tentu melihat sesuatu yang berbahaya sehingga menyuruh ia (Hong Ing) diam jangan bergerak. Siapa tahu ternyata begitu mendapat pelana, pemuda itu terus hendak melarikan diri. Ia menipu Hong Ing dengan teriak peringatan supaya jangan bergerak, kemudian terus loncat beberapa tombak dari tempat Hong Ing. Dengan gunakan ilmu ginkang tinggi, hanya dalam beberapa lompatan saja pemuda itupun sudah lari jauh sekali.
Hong Ing termangu-mangu sampai beberapa saat. Ketika menyadari apa yang terjadi, ia masih berusaha untuk memanggil pemuda itu. Tetapi yang menjawab hanya angin saja.
Ia mendongkol karena dikelabuhi melek-melek oleh Cong Tik. Tetapi entah bagaimana, ia masih belum percaya sungguh kalau Cong Tik benar-benar hendak menipunya. Serentak ia terus lari mengejar. Tetapi pemuda itu sudah tak tampak lagi bayangannya.
Setelah semalam suntuk berputar-putar dalam hutan belantara, Hong Ingpun tak tahu lagi saat itu ia berada dimana. Yang tampak hanya puncak gunung dan tebing terjal di sekeliling penjuru. Mau tak mau ia mulai gelisah juga. Untuk mengisi perutnya yang kosong, terpaksa ia mencari buah-buahan.
Sambil duduk makan buah, ia termenung-menung. Tiba-tiba ia teringat akan tiga butir mutiara yang masih disimpannya. Karena iseng dan nganggur, ia mengeluarkannya.
Waktu mencengkeram pelana sehingga ketiga butir mutiara itu putus, ia tak memperhatikan benda itu. Tetapi kini karena nganggur dan iseng, ia memeriksanya dengan teliti.
Dilihatnya pada belakang setiap butir mutiara itu terdapat huruf-huruf kecil. Sedemikian kecil dan lembut huruf-huruf itu diukir sehingga kalau tidak diperhatikan dengan sungguh-sungguh, tentu sukar dibaca.
Ukiran berjumlah tiga huruf, berbunyi: Cek-bi - san. Cek artinya Ungu. Bi berarti Alis dan San artinya gunung.
Hong Ing yang cerdas otaknya cepat dapat mengetahui bahwa sekian banyak orang rebut-ribut hendak merampas pelana kuda itu, tentulah karena dalam pelana kulit beruang salju itu terdapat rahasia. Jika mutiaranya, tidak begitu berharga dan tidaklah akan membangkitkan selera sekian tokoh-tokoh sakti untuk mendapatkannya. Jelas yang mereka inginkan tentu tulisan yang berada dibelakang mutiara itu.
Hong Ing merenung lebih lanjut. Karena jumlah mutiara itu duapuluh satu butir, maka tulisannyapun tentu duapuluh satu huruf. Tetapi ia berani memastikan bahwa diantara sekian banyak huruf itu, yang paling penting ialah yang saat itu berada ditangannya. Karena ketiga huruf itu menyebut tentang nama sebuah tempat, sebuah gunung. Tanpa mengetahui tempatnya, mana mungkin orang akan mencari tahu tempat rahasia itu?
Diam-diam Hong Ing girang sekali mendapat penemuan itu. Diam-diam ia memutuskan, kalau tak dapat mencari Cong Tik, ia akan kembali ke guha Siau-yau-tong dan menanyakan soal itu kepada suhunya tentang rahasia dari pelana beruang salju.
Cong Tik tentu akan mengetahui tentang hilangnya ketiga butir mutiara pada pelana itu. Dia kelak tentu akan menuju ke Hun-lam untuk mencarinya di guha Siau-yau-tong.
Demikian ia segera menentukan rencananya. Dua hari berkeliaran dalam hutan itu akhirnya ia berhasil keluar dari hutan. Ah, tahu-tahu dia sudah berada di perbatasan Holam.
Saat itu ia berjalan kaki karena kuda kurus masih ditambatkan pada batu besar. Tetapi untuk mencari kuda itu, sukar sekali. Ia tak tahu lagi jalannya.
Setelah menyusur sebuah jalanan akhirnya ia tiba disebuah kota.
Sudah sejak beberapa hari ia tak makan nasi. Kota itu ramai sekali. Jalan penuh dengan orang berjalan hilir mudik. Pada kedua tepi jalan penuh dengan orang berjualan nasi dan warung-warung. Bau arakpun berhamburan menusuk hidung.
Hong Ing terangsang nafsunya. Ketika ia hendak melangkah masuk kesebuah rumah makan tiba-tiba terdengar suara kuda meringkik-ringkik dari arah samping.
Cepat ia berpaling. Seorang pemuda berpakaian bagus tengah menuntun seekor kuda kurus. Kuda itu mogok tak mau jalan walaupun pemuda itu berusaha untuk menariknya kuat-kuat.
"Binatang, kalau tak mau jalan, terpaksa akan kusembelih engkau!" teriak pemuda itu marah.
Astaga ! Kuda kurus itu bukan lain adalah kuda yang dititipkan Cong Tik kepadanya. Dan hai, kuda kurus itu memandang kepada Hong Ing seperti hendak minta bantuan kepadanya.
Melihat itu cepat Hong Ing menghampiri dan menuding pemuda berpakaian bagus :
"Hai, kuda ini milikku, dari mana engkau mencurinya!"
Saat itu orang berkerumun untuk melihat si pemuda menarik kuda kurus yang mogok. Melihat seorang nona memaki pemuda itu, orang-orangpun tertawa gelak-gelak.
"Tuh lihat, mungkin nona itu sudah sinting" seru orang-orang itu. "Bagaimana mungkin Tan kongcu mencuri kudanya ?"
"Mungkin karena melihat Tan kongcu seorang lemah maka dia berani menghinanya" seru seorang pula.
"Ho, rupanya sih cantik, tetapi mengapa orangnya begitu tinggi ?"
"Hai, lihatlah lehernya. Dia mempunyai buah kerongkongan seperti anak laki ?"
Pecahlah gelak tawa dari orang-orang itu.
Hong Ing marah sekali. Tetapi ia tak tahu siapa yang mengolok-olok dirinya itu. Maka ia menumpahkan kemarahannya kepada pemuda berpakaian bagus itu saja.
"Eh, mengapa engkau membisu saja? Apakah engkau kira dengan membisu engkau akan bebas?" serunya kepada pemuda itu.
Pemuda berpakaian bagus itu berputar diri dan deliki mata kepada Hong Ing. Tampaknya dia terkejut tetapi gembira.
Melihat walaupun pakaiannya bagus tetapi wajah pemuda itu seorang yang jujur, diam-diam Hong Ing menyesal karena telah menuduh pemuda mencuri kudanya. Tetapi Hong Ing tak mau mengakui kesalahannya.
"Baiklah, asal engkau mau mengembalikan kuda itu kepadaku, urusanpun takkan kutarik panjang lagi" katanya.
Sampai beberapa saat pemuda berpakaian bagus itu memandang Hong Ing.
"Nona salah faham" katanya, "walaupun kuda ini amat kurus dan malas, tetapi dia seekor kuda sakti yang dapat menempuh perjalanan seribu lie dalam satu hari. Tadi aku membelinya kembali dengan harga tiga ribu perak. Mengapa nona mengatakan aku mencurinya".
Hong Ing tertegun. Sebenarnya ia tak mempunyai minat terhadap kuda sekurus itu.
Ia hendak pulang ke Hun-lam, suatu perjalanan jauh yang memerlukan seekor kuda tegar. Ia tahu sesungguhnya kuda kurus itu pernah dicobanya dan ternyata memang seekor kuda luar biasa yang sehari dapat berlari sampai seribu lie. Dilihatnya pemuda berpakaian bagus itu belum tentu kenal kuda. Asal dia mengajaknya setori, mungkin pemuda itu tentu mengalah dan memberikan kuda kepadanya.
Tetapi waktu mendengarkan pemuda itu telah mengeluarkan sebanyak tiga ribu perak untuk membeli kuda itu, terang kalau pemuda itu mengerti soal kuda. Untuk menyuruhnya mengalah, mungkin sukar.
"Tak peduli engkau mengeluarkan uang atau mencurinya, pokok kuda itu harus engkau serahkan kepadaku. Kalau tidak, hm, aku .. " Hong Ing berhenti sejenak untuk mencari kata-kata, kemudian melanjutkan : "aku tentu akan bertindak .."
Beberapa orang yang berkerumun melihat ramai-ramai itu tertawa gelak-gelak : "Ha.., ha.., gadis itu sungguh tak kenal aturan!"
Tetapi pemuda itu tak menggubris Hong Ing. Ia segera mengangkat tangan memberi isyarat agar orang-orang itu jangan gaduh. Rupanya dia seorang pemuda yang berpengaruh dalam kota itu. Orang-orang itupun diam tak berani ramai-ramai lagi.
"Hai, engkau mau menyerahkan atau tidak?" teriak Hong Ing pula.
Tenang-tenang pemuda itu menjawab : "Kalau nona memang menghendaki, akupun tak keberatan untuk memberikan. Tetapi tahukah nona apa nama kuda ini dan berasal dari mana?"
Dengan tertawa berseri, Hong Ing menjawab: "Sudah tentu tahu, kuda itu disebut Pemburu-petir!"
Si pemuda mengangguk : "Benar ! Lalu dari manakah asalnya, dan semula milik siapa?"
Hong Ing tertegun. "Berasal dari daerah yang menghasilkan kuda dan pemiliknya semula ialah aku!" serunya.
Pemuda itu tertawa hambar.
"Kali ini nona salah." katanya, "Pemilik semula dari kuda itu bukan nona. Pemiliknya saat ini berada di rumahku. Aku setuju untuk memberikan kuda itu kepada nona tetapi harus mendapat persetujuan dari yang empunya. Bagaimana kalau nona singgah di rumahku menemuinya ?"
Memang Hong Ing tak mempunyai pengalaman dalam dunia persilatan. Dia tak mengetahui sama sekali bagaimana keadaan pemuda berpakaian bagus itu. Mengira bahwa kepandaiannya tentu cukup menghadapi pemuda itu, ia tak takut. ?Pemuda itu tentu akan mempersiapkan anak buah atau konco-konconya untuk menggertak aku. Tetapi takut apa?? Pikir Hong Ing.
"Baik", katanya, "Aku memang pemiliknya yang aseli. Hendak kulihat bagaimana tampang muka orang yang berani mengaku-aku milikku itu."
Habis berkata Hong Ing terus menepuk leher kuda kurus. Kuda itu meringkik keras lalu berjalan. Kedua anak muda itu mengikutinya.
Setelah melalui sebuah lorong, di sebelah depan tampak sebuah pagar tembok yang tinggi. Di dalam pagar tembok itu tampak beberapa bangunan gedung yang megah. Pintu besar yang bercat warna hitam, dijaga oleh dua buah singa batu yang tingginya lebih dari orang. Di atas pintu, tergantung empat buah lentera lampion. Setiap lampion bertuliskan sebuah huruf. Keempat huruf itu lengkapnya berbunyi : "Gedung keluarga Tan merayakan pernikahan."
"Aha, ternyata kalian sedang mengadakan pesta pernikahan. Sungguh kebetulan sekali, aku dapat minum arak pengantin. Tetapi siapa yang jadi pengantinnya?"
"Aku" .sahut pemuda itu.
Hong Ing terkesiap dan memandangnya beberapa jenak,pikirnya : "Oh, makanya dia mengenakan pakaian sebagus itu, kiranya dia jadi pengantin. Sungguh kebetulan sekali, biasanya pada waktu berhajat mengadakan pernikahan orang tentu akan berbuat kebaikan dan menginginkan selamat. Kalau aku cari gara-gara mereka tentu takut dan menyerahkan kuda itu"
Selekas pemuda itu berseru maka pintupun dibuka. Delapan orang bujang berdiri dengan hormat memandang pemuda itu dengan pandang mata terkejut. Si pemuda melangkah masuk dengan menuntun kuda kurus sedang Hong Ing mengikuti dari belakang.
Hong Ing terbelalak ketika melihat bahwa di ruang besar sudah penuh dengan orang. Mereka duduk dan bicara asyik sekali.
Jika melihat tetamu duduk di tempat perjamuan, tentulah Hong Ing takkan terkejut. Yang menyebabkan dia kaget itu bukan lain ialah karena yang pertama-tama dilihatnya itu si orang tua pendek pemikul batu. Saat itu si pendek tengah mengangkat cawan arak. Begitu melihat Hong Ing, orang pendek itupun terkejut juga, cawan araknya segera diletakkan kembali.
Hong Ing cepat mencengkeram baju pemuda itu dan bertanya dengan bisik-bisik :
"Siapakah orang tua pendek itu?"
"O, dia?" sahut si pemuda, "Dia orang she Ciok namanya Liu Seng, seorang pendekar tersembunyi dari Lam-ciang."
Ciok-liu-seng atau Batu-bintang-meluncur, suatu nama yang ganjil dan mengejutkan Hong Ing. Serentak ia teringat sesuatu yang didengarnya dari orang. Ciok Liu Seng si batu bintang meluncur itu memang hebat sekali kepandaiannya. Seorang diri dia menghadapi orang-orang Kong-tong-pay dan dapat membunuh Kong-tong Su-mo atau Empat iblis dari partai Kong-tong-pay.
"Ih .. " diam-diam Hong Ing mengkeret nyalinya. Rasanya lebih baik ia tak menemui pemilik kuda itu saja. Tetapi ia masih sayang kepada kuda kurus itu.
Setelah menimang, akhirnya ia berkata kepada pemuda berpakaian bagus itu :
"Begini sajalah. Tak perlu engkau menanyakan kepada si pemilik kuda itu tetapi pinjamkanlah kuda kurus itu kepadaku untuk dua tahun, kelak tentu kukembalikan lagi. Mau ?"
Pemuda itu tertawa. "Nona" katanya, "Telah kukatakan tadi. kalau kuda itu milikku, tentu kuberikan kepadamu. Walaupun aku telah mengeluarkan uang sebanyak itu tetapi karena pemiliknya itu sudah lama kehilangan kudanya, maka layaklah kalau dikembalikan kepadanya. Bila mau pinjam, bagaimana kalau aku yang mengatakan kepada pemilik itu?"
Diam-diam Hong Ing merasa bahwa pemuda itu seorang yang jujur. Betapapun ia hendak membujuknya, tentu tak mau. Dan pemuda itu tak pernah marah walaupun ia (Hong Ing) mengatakan apa saja.
Akhirnya terpaksa Hong Ing mengikuti pemuda itu masuk. Ruangan itu besar dan luas sekali. Sebuah layar merah yang dipasang di tengah ruang itu bertuliskan sebuah huruf HI (bahagia) yang besar.
Tetapi anehnya berpuluh lilin sebesar lengan orang yang berjajar di kedua tepi meja, hanya tinggal sisa puntungnya saja. Hanya dua buah lilin besar yang masih panjang.
Memang lilin sebesar itu, jangankan dapat menyala dua hari, bahkan kuat bertahan menyala sampai puluhan hari. Selama penerangan lilin-lilin itu masih belum padam berarti perjamuan masih berlangsung.
Tak habis keheranan Hong Ing melihat keadaan dalam ruang itu. Ia melirik pada pemuda itu. Rupanya pemuda itu tahu apa yang dikandung hati Hong Ing. Ia memberi senyum rawan dan terpaksa mencekal tangan Hong Ing sebagai isyarat supaya nona itu jangan takut.
Begitu melangkah masuk, maka tetamu-tetamu yang berada dalam ruang itu segera menyapa kepada pemuda itu. Merekapun mencurahkan pandang kepada Hong Ing dengan pandang mata keheranan.
Hong Ing sempat memperhatikan bahwa tetamu-tetamu yang berada dalam ruang itu tampak segar semangatnya dan gagah. Ia tahu bahwa mereka tentu tokoh-tokoh persilatan. Kecuali si pendek Ciok Liu Seng itu, Hong Ing tak kenal semua dengan tetamu-tetamu yang lain.
Saat itu baru datang rasa sesal dalam hati Hong Ing mengapa sampai salah lihat kepada pemuda berpakaian bagus itu. Menilik gelagat, bukan saja kuda kurus takkan diperolehnya bahwa rupanya ia tentu akan menghadapi kesulitan dari si pendek Ciok Liu Seng yang matanya terus menerus memandang kepadanya saja.
Setelah memberi anggukan kepala kepada para tetamu, pemuda itu berkata : "Nona Ing, bagaimana kalau sekarang kita menemui pemilik kuda itu ?"
Berada dalam ruang itu, sebenarnya Hong Ing sudah seperti duduk diatas jarum. Maka tawaran si pemuda segera disambutnya dengan baik.
Ia mengikuti pemuda itu keluar dari ruang besar dan setelah melintasi sebuah serambi yang panjang dan sebuah taman bunga di halaman belakang, tibalah ia disebuah hud-tong atau ruang sembahyang yang kecil.
Samar-samar ia mendengar suara bok-hi (alat kayu yang diketuk paderi di waktu sembahyang).
Hong Ing hentikan langkah, "Mengapa engkau membawa ke ruang sembahyang ini?"
Pemuda itu tertawa. "Pemilik kuda kurus dan pedang yang terselip di pinggangmu itu, berada dalam ruang sembahyang ini. Silahkan masuk." katanya.
Hong Ing meragu sejenak tetapi akhirnya ia melangkah masuk juga. Tampak seorang paderi tua berwajah ramah sedang duduk diatas sebuah permadani bundar. Paderi itu pejamkan mata sambil mengetuk-ketuk bok-hi.
Pemuda itu serempak berlutut di hadapan paderi tua dan berseru :
"Suhu, Hong Ing sudah kembali!"
Paderi tua itu membuka mata dan memandang Hong Ing lalu berkata pelahan-lahan:
"Engkau memang bukan anak murid rumah agama. Karena Hong Ing sudah pulang, kalian boleh segera menjadi suami isteri!"
Pertama kali mendengar pemuda itu mengatakan 'Hong Ing sudah kembali', Hong Ing terbeliak kaget. Ia merasa tak kenal dengan pemuda itu mengapa pemuda itu tahu namanya?
"Ah, mungkin dia menggunakan bahasa daerah Holam sini, dan aku tak dapat menangkap jelas" pikir Hong Ing sesaat kemudian, "mungkin juga itu namanya sendiri. Bukankah nama Hong Ing itu banyak juga dan bukan aku sendiri?"
Tetapi ia dengar paderi tua itu mengatakan supaya 'Hong Ing' segera menjadi suami isteri dengan pemuda itu. Eh, apa-apaan ini?
Pemuda itu menghaturkan terima kasih lalu terbangkit.
"Suhu, Hong Ing mengatakan kalau suka akan kuda Pemburu-petir dan pedang Thian-liong kiam itu. Suhu, berikanlah kepadanya!"
Paderi tua itu merenung beberapa saat. "Kuda itu sih tak apa." katanya sesaat kemudian, "tetapi pedang Thian-liong-kiam itu benda, yang harus engkau miliki. Bagaimana dapat diberikan orang? Dengarkanlah, aku hendak memberimu empat perkataan!"
Pemuda itu serta merta terus berlutut lagi.
"Thian-liong-kiam, kedua ketiga keempat. Pedang masih, jaya. Pedang lenyap, binasa !" seru paderi tua itu.
Hong Ing tak mengerti apa yang diucapkan paderi tua itu. Melirik kepada si pemuda, dilihatnya wajah pemuda itu mengerut gelap tetapi tetap menganggukkan kepala dan menjawab kepada paderi tua:
"Murid mengerti."
Diam-diam Hong Ing memaki. Sandiwara apakah yang dilakukan paderi tua dengan pemuda itu. Untung didengarnya paderi tua itu tak keberatan untuk memberikan kuda kurus kepadanya. Ia merasa tiada guna hendak memiliki pedang Thian-liong-kiam itu karena ia memang tak dapat bermain pedang. Tetapi ia tak mau menyerahkan begitu saja pedang itu kepada si paderi tua atau pemuda berpakaian bagus itu. Pedang itu adalah barang titipan dari Cong Tik. Sudah tentu ia harus mengembalikan kepada Cong Tik juga.
Saat itu si pemuda sudah berdiri lagi lalu menarik lengan Hong Ing diajak keluar. Begitu keluar dari ruang sembahyang itu, si pemuda menghela napas.
"Hong Ing, kali ini sungguh beruntung. Suhu telah meluluskan untuk menyerahkan si Pemburu-petir kepadamu. Tentang pedang.... ah kelak milikku atau milikmu itu sama juga. Perlu apa harus dipisah?" kata pemuda itu dengan nada dan sikap yang mesra sekali seraya tangannya masih mencekal lengan Hong Ing.
Hong Ing marah sekali. Ia meronta melepaskan tangannya dan mendamprat:
"Hah, kentut apa yang engkau hembuskan?"
Pemuda itu menghela napas dan tegak tertegun seperti patung..
Hong Ing melihat pemuda itu bukan seorang pemuda yang bangor (nakal). ?Ah, ia tentu seorang limbung, tak perlu kulayani lebih lama?. Pikirnya.
"Kuda kuminta, pedang juga kuminta." katanya sambil banting-banting kaki,"Terus terang kukatakan kepadamu. Kedua benda itu memang bukan punyaku tetapi benda titipan dari seseorang. Bagaimana mungkin tak kukembalikan kepadanya ?"
Pemuda itu membelakakkan mata. "Hong Ing.."
"Benar" tukas Hong Ing, dan masih ada sebuah pertanyaanku lagi. "Bagaimana engkau tahu kalau aku bernama Hong Ing?"
Pemuda itu gelengkan kepala, menghela napas, serunya:
"Hong Ing, engkau tentu letih. Lekaslah engkau beristirahat dulu. Besok pagi kita bicara lagi, mau ?"
Hong Ing benar-benar seperti berada dalam kabut keanehan yang tebal. Apa yang dikatakan, selalu dijawab pemuda itu dengan lain maksud. Ia heran tetapi geram juga.
"Letih sih tidak, hanya lapar. Aku ingin makan" akhirnya dengan mengkal ia menjawab.
"O, baik, baik, mari kembali dulu ke kamarmu nanti kita bicara lagi" seru pemuda itu dengan gopoh.
"Astaga!" diam-diam Hong Ing terkejut dalam hati. "Aku mempunyai kamar dalam gedung ini?"
"Aneh aneh sekali."
Dunia sudah gila, pemuda itu sudah gila. Atau apakah aku sendiri yang gila ?
Tetapi ia merasa tidak gila. Ia tak kenal pemuda itu. Iapun belum pernah datang ke gedung situ, mengapa ia dikatakan suruh kembali ke kamarnya ?
Hong Ing tersenyum geli dan mengkal. Akhirnya ia memutuskan untuk mengikuti pemuda itu. la hendak melihat bagaimana perkembangannya lebih lanjut dari peristiwa gila yang dihadapinya itu......
-o0^DW^Agus Ekanto^0o- Jilid 3 Mempelai urung. Betapa kejut Hong Ing ketika melihat kamar itu indah sekali seperti kamar pengantin.
Empat bujang muda sudah menanti di dalam kamar. Begitu melihat Hong Ing masuk, serempak mereka berseru :
"Nona sudah pulang, selamat datang nona." Rupanya keempat bujang itu masih hendak bicara lagi tetapi pemuda itu memberi isyarat mata kepada mereka. Dan merekapun diam.
Hong Ing tak mengerti apa yang mereka katakan tetapi diapun juga tak peduli lagi. Cepat ia suruh mereka siapkan hidangan. Cepat sekali bujang-bujang itu bekerja. Hanya dalam beberapa kejab mereka sudah mengantar hidangan dan minuman yang lezat.
Hong Ingpun tak sungkan-sungkan lagi segera dimakannya dengan lahap. Pemuda itu hanya duduk di samping memandangnya tak berkedip.
Karena terus-menerus dipandang, Hong Ing merasa risih dan melengking tak senang : "Eh, mengapa engkau memandang aku saja?"
Pemuda itu menghela napas.
"Hong Ing engkau .. " ia gelengkan kepala dan beralih kata-kata : "Baiklah, aku akan keluar. Beristirahat dulu, besok pagi akan kujengukmu kemari lagi."
Pemuda itu terus berbangkit, melangkah keluar. Tiba di ambang pintu, masih berpaling lagi dan memandang beberapa jenak kepada Hong Ing.
"Setan, mengapa dia memandang aku dengan mata bersinar-sinar?" dengus Hong Ing dalam hati. "huh, tak malu .. "
Bermula ia kira pemuda itu seorang tolol, tetapi kini baru ia mengetahui kalau pemuda itu tergila-gila kepadanya.
Setelah pemuda itu lenyap, baru ia bertanya kepada salah seorang bujang :
"Hai, apakah majikanmu itu seorang pemuda sinting?"
Keempat bujang muda itu tertawa. Salah seorang segera menyahut :
"Memang selama beberapa bulan ini, tingkah laku kongcu (tuan) seperti orang linglung. Tetapi ia jadi begitu karena nona!"
"Jangan ngaco belo!" bentak Hong Ing.
Keempat bujang muda itu ketakutan.
Kecurigaan Hong Ing makin lama makin besar. Setelah makan ia rebahkan diri di atas ranjang gading.
Pikirannya melayang. Ia merenungkan, apa yang dialaminya hari itu. Bertemu dengan pemuda berpakaian bagus yang menuntun seekor kuda kurus. Ia menuduh pemuda itu mencuri kuda kurus yang dititipkan oleh Cong Tik. Lalu diajak pulang ke rumah pemuda berpakaian bagus itu, diajak menghadap guru dari pemuda itu dan guru itu meluluskan untuk memberikan kuda kurus kepadanya. Terakhir ia diajak kekamar indah situ dan disambut oleh bujang muda.
Lalu ia teringat, bagaimana wajah pemuda itu berseri girang ketika bertemu dengannya dijalan. Bagaimana mata pemuda itu terus-menerus memandangnya ketika dalam kamar. Betapa ramai dan penuh tetamu-tetamu yang berkumpul di rumah pemuda itu. Dan betapa mata setiap tetamu memandangnya lekat-lekat ketika ia masuk ke dalam ruang.


Pendekar Banci Karya Sd Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Memang saat itu ia tak menghiraukan dan tak memperhatikan tingkah laku si pemuda berpakaian bagus.
Ah, ia teringat akan ucapan dari nenek Cendrawasih-Tutul yang pernah memaki 'paderi pencuri' dan ilmu pedang Thian-Liong-kiam.
Serentak ia mendapat kesimpulan bahwa kuda dan pedang itu, tentu sebuah pusaka yang tiada nilainya sehingga menimbulkan kegemparan dunia persilatan dan tokoh-tokoh silat segera berbondong-bondong hendak merebutnya.
Ia bingung untuk menduga, siapakah yang dimaki nenek Cendrawasih-Tutul sebagai paderi pencuri itu. Guru dari pemuda itu atau paderi Poan Poan yang aneh itu.
"Aneh, aneh" kata Hong Ing, "aku harus memecahkan keanehan ini. Kalau tidak aku tentu selalu tetap terbungkus dalam kabut keheranan saja. Mumpung pemuda itu tak disini, aku akan bertanya kepada gurunya, agar urusan ini terang."
Setelah bulat keputusannya, ia segera bangun dan mendorong pintu. Belum lagi kaki melangkah, kedua wanita tadi tampak sedang bicara. Yang seorang wajahnya marah, yang seorang tengah memberi penjelasan kepadanya.
Begitu melihat Hong Ing, wanita yang marah itu segera membentak :
"Lekas masuk kembali ke kamar, jangan coba melarikan diri lagi! Engkau sudah cukup mencelakai anakku. Ah, tak tahu Su Ciau itu banyak nian gadis yang cantik ia tolak, tetapi malah suka pada seorang gadis yang seliar itu. Sebagai seorang ibu lalu aku harus bertindak bagaimana?"
Wanita yang satu memberi nasehat : "Taci, karena Su Ciau sudah suka, ya biarkanlah saja. Nona Cin masih muda dan cantik. Kalau palahan-lahan dididik, tentu jadi baik juga."
Melihat wanita yang umurnya lebih tua dan sedang marah kepadanya itu, Hong Ing mendongkol. Apalagi ketika mendengar wanita itu memaki sebagai seorang gadis liar, Hong Ing lebih marah lagi.
Ketika ia hendak mendamprat didengarnya wanita yang satu itu menyebut nama nona Cin.
"Eh, kalau begitu dia bukan memaki diriku.'' pikir Hong Ing, "salah faham ini namanya."
Ia teruskan langkahnya hendak keluar tetapi wanita yang marah tadi cepat ulurkan tangannya merintangi.
"Mau kemana lagi engkau?" tegurnya.
Betapapun kesabaran Hong Ing, tetapi karena diperlakukan begitu kasar, ia segera angot penyakitnya.
"Huh, aku hendak kemana saja, apa pedulimu."
Wanita itu mendengus kemudian berkata kepada wanita yang lebih muda:
"Coba engkau dengar, apa tidak muntah darah aku nanti!"
Wanita yang lebih muda itu beralih memberi nasehat kepada Hong Ing :
"Nona Cin, engkau harus kasihan kepada Su Ciau. Janganlah pergi, kembalilah ke dalam kamar lagi."
"Kalian mau menyingkir atau tidak?" bentak Hong Ing, "siapa yang engkau panggil nona Cin itu ? Aku orang she Ui !"
Habis berkata ia terus hendak menerobos di tengah kedua wanita itu, tetapi baru ia bergerak, wanita yang lebih tua tadi wajahnya mengerut gelap lalu melangkah maju dan hadangkan tangannya.
Dalam keadaan begitu, tiada jalan lain bagi Hong Ing kecuali harus turun tangan. Memandang muka si pemuda pakaian bagus yang dipanggil Su Ciau itu, ia dorongkan tangannya pelahan, menjamah lengan wanita yang agak tua. Lalu pancarkan sedikit tenaga-dalam untuk mendorongnya.
Dengan tenaga dorongan itu, ia percaya wanita itu tentu akan terdorong mundur sampai tujuh-delapan langkah kebelakang. Tetapi wanita itu hanya tertawa dingin. Tubuhnya sedikitpun tak berguncang.
Kejut Hong Ing bukan kepalang. Segera ia menyadari bahwa wanita itu mengerti ilmu silat juga. Serentak Hong Ingpun girang. Dengan begitu ia dapat menggunakan kekerasan kepada wanita itu tanpa takut dikata kalau dia seorang yang mengerti ilmu silat, menghina seorang wanita setengah tua yang lemah.
Setelah menyalurkan tenaga-dalam ke lengan, segera Hong Ing mendorong lebih kuat.
Tangan Hong Ing masih melekat pada lengan si wanita. Pada saat ia mendorong itu, ia rasakan lengan wanita itu licin sekali sehingga tangannya tergelincir ke bawah. Tetapi wanita itupun ikut menurunkan lengannya ke bawah dan tiba-tiba mencengkeram pergelangan Hong Ing dan membentak :
"Pergilah!" Bagai sebuah layang-layang putus tali, Hong Ing terlempar masuk ke dalam kamar lagi dan terus jatuh ke atas ranjang. Cepat ia loncat bangun.
Bum ... pintu tiba-tiba ditutup dari luar.
Saat itu ia mulai agak terang pikirannya. Rupanya pemuda pakaian bagus yang bernama Tan Su Ciau itu mencintai seorang gadis yang wajahnya mirip dengan dia (Hong Ing). Tetapi entah bagaimana, gadis itu telah melarikan diri. Oleh karerna itu Tan Su Ciau lantas menganggap bahwa Hong Ing itu adalah gadis yang dicintainya.
Agaknya nona yang dicintai Su Ciau seorang nona yang sinting maka Su Ciaupun tak mau menjelaskan hal itu kepadanya ketika bertemu dijalan.
Su Ciau dengan kata-kata yang lembut menipunya (Hong Ing) pulang ke rumah agar pelahan-lahan dapat diberi penjelasan.
?Ya, kecuali begitu rasanya tiada lain kesimpulan lagi dari peristiwa gila yang sedang dialaminya itu.? Pikir Hong Ing.
Tetapi dalam dunia, orang yang wajahnya mirip satu sama lain, sukar didapat. Dan lagi bukankah nona itu orang she Cin dan dia she Ui ?
Ya, namanya memang sama-sama Hong Ing, tetapi she-nya lain.
Hong Ing gelisah dan ingin lekas-lekas menjernihkan peristiwa itu. Tetapi pintu tentu dijaga orang, kemungkinan kedua wanita yang salah satu adalah mamah dari Su Ciau.
"Huh, tak apa-apa" dengusnya, "dari pintu tidak dapat, aku masih bisa keluar dari jendela."
Membuka jendela ternyata di luar jendela penuh juga dengan orang. Apabila ia loncat keluar jendela tentu cepat menarik perhatian orang.
"Sial ....!" akhirnya ia mengutuk, "terpaksa aku menunggu sampai malam nanti."
Karena hati kesal dan pikiran mendongkol, ia terus rebah diatas ranjang tanpa membuka pakaiannya. Tak berapa lama, iapun jatuh pulas.
Ketika bangun ia dapatkan sudah tengah malam. Ia segera melangkah ke pintu. Dari celah-celah lubang pintu melongok ke luar, ternyata kedua wanita itu masih tetap menjaga. Mereka mengambil kursi dan duduk di muka pintu. Tangannya masing-masing mencekal sebatang senjata aneh. Tangkainya panjang dan ujungnya terbentuk bunga emas sebesar mangkuk. Tepian bunga itu tajam sekali. Tetapi putik bunga terbuat dari emas putih. Apabila diperiksa dengan teliti, ternyata putik itu merupakan sebuah pipa yang berlubang tengahnya.
Melihat senjata itu seketika menjeritlah Hong Ing dalam hati :
"Sam Hoa niocu!" Menurut kata orang, senjatanya yang berbentuk seperti tangkai bunga itu luar biasa saktinya. Bahkan tangkainya itu dilengkapi dengan alat rahasia yang dapat menghamburkan jarum emas sehalus bulu kerbau. Senjata itu khusus untuk menghancurkan tenaga-dalam orang. Sam Hoa niocu itu terkenal sebagai wanita yang galak. Ah, tak nyana kalau wanita itu mamah dari Tan Su Ciau.
Hong Ing harus melepaskan harapannya untuk keluar dari pintu. Ia segera menghampiri jendela. Didorongnya jendela itu pelahan - lahan. Di luar gelap sekali. Cepat ia loncat kearah bingkai jendela lalu memutus terali besi dengan pedangnya.
"Ih mengapa dalam kamar seperti ada suara aneh?" tiba-tiba Sam Hoa niocu berseru.
Hong Ing gugup. Kalau wanita itu keburu masuk, ia tentu tak dapat meloloskan diri lagi. Ia tak berani berayal, terus gunakan gerakan Menanam-berambang-terbalik, ia segera melambung ke atas wuwungan rumah. Ia mendekam dan melihat ke sekeliling penjuru.
Kebun bunga dibagian belakang itu terletak di sebelah timur. Tampak di ruang sembahyang dari suhu Su Ciau masih menyala lampunya. Segera ia apungkan tubuh melayang ke bawah dan terus menuju ke kebun bunga di belakang.
Baru melangkah masuk pintu rembulan (bundar bentuknya) dari kebun bunga itu, tiba-tiba sesosok bayangan hitam menyongsongnya. Orang itu tubuhnya pendek gemuk.
Belum orang pendek itu tiba, setiup angin keras telah melanda Hong Ing sehingga ia terpaksa menghindar ke samping lalu memutar pedang Thian-liong-kiam maju kemuka.
Walaupun di tempat yang gelap tetapi pedang Thian-liong-kiam itu memancarkan sinar yang berkilau-kilauan.
Begitu melihat sinar pedang Thian-liong-kiam, orang pendek itupun terkesiap. Tetapi pada lain saat tiba-tiba Hong Ing rasakan pandang matanya gelap dan entah benda apa yang melingkupinya, tahu-tahu tangannya terasa kesemutan dan terpaksa ia harus melepaskan genggamannya. Pedang Thian-liong-kiam sudah berpindah ke tangan orang itu.
Bukan kepalang kejut Hong Ing. Ia segera merentang tangan hendak menyerang orang itu.
Tanpa pedang Hong Ing malah dapat menggunakan ilmu pukulan dari Siau Yau cinjin yang disebut Thian-jiong-ciang atau pukulan Bintang-berputar.
Ilmu pukulan itu ciptaan Siau Yau cinjin sendiri ketika ia memandang peredaran bintang di langit. Dengan memperhatikan letak dan perpindahan bintang-bintang itu, akhirnya Siau Yau cinjin dapat menyelami suatu ilmu pukulan yang penuh dengan gerak perubahan lihay dan tak terduga-duga. Ilmu pukulan yang diciptakan itu terdiri dari duapuluh delapan jurus. Sesuai dengan letak kedudukan bintang di langit.
Sebenarnya setelah tenaga-dalam mencapai tataran yang tinggi, barulah dapat mempelajari ilmu pukulan itu dengan sempurna.
Tetapi ilmu lwekang Hong Ing masih setengah matang. Adalah karena memaksa, maka akhirnya Siau Yau cinjin memberikan ilmu pukulan itu kepadanya.
Kata pertapa sakti itu, walaupun sepintas pandang gerak-gerakannya hampir sama, tetapi harus cepat dilancarkan dan harus mendahului untuk menindas gerakan lawan.
Karena tangannya menjulur ke muka, dada Hong Ing tak terjaga. Mudah dimasuki pukulan orang. Tetapi memang jurus Bintang-berputar itu memang mempunyai tujuh buah perubahan. Apabila lawan mengira kalau terbuka kesempatan untuk menyerang, dia tentu akan kecele.
Tetapi ternyata lawan tak kena dikelabuhi. Ia tak mau memasuki kesempatan yang terbuka itu melainkan mundur dan berputar-putar seperti angin lesus. Tahu-tahu dia sudah berada di belakang Hong Ing.
Karena serangannya luput, cepat Hong Ingpun menyadari bahwa lawan memiliki ilmu gin-kang istimewa yang disebut Kian-gun-toa-na-ih-hwat atau Perputaran-dunia.
"Ciok Liu Seng, engkau punya malu atau tidak?" serentak Hong Ing melengking karena tahu siapa penyerangnya itu.
Tetapi orang itu hanya tertawa dingin dan tak mau menyahut.
Waktu Hong Ing berputar kebelakang, ternyata orang itu sudah berada setombak lebih jauhnya. Tampak tubuhnya menjulur tinggi pendek. Ah, ternyata ia sudah memanggul pikulannya lagi.
Apa yang diduga Hong Ing itu memang tepat. Perampas pedang Thian-liong-kiam bukan lain adalah si Bintang-meluncur Ciok Liu Seng.
Walaupun tahu tak dapat melawan, tetapi Hong Ing tak mau mundur. Ia loncat menyerbu lagi.
Wut, wut ... Berturut-turut ia lepaskan dua buah pukulan.
Begitu ditarik, begitu dilontarkan lagi, sehingga dalam waktu sekejab mata, ia sudah lancarkan empat buah pukulan. Itulah salah sebuah jurus dari ilmu pukulan Thian-jiu-ciang-hwat yang disebut Toa hwe-su-hui atau Api-besar-berhamburan-empat-pen juru.
Ilmu pukulan Thian-jiu-ciang-hwat terdiri dari duapuluh delapan jurus. Setiap jurus diberi nama menurut peredaran bintang.
Sesuai dengan namanya, jurus Toa-hwe-su-hui itu, bila bertempur dengan musuh, dapat dilancarkan beruntun-runtun sampai duapuluh kali pukulan. Bila tenaga dalamnya kuat, pasti akan dapat memancarkan pukulan yang dahsyat.
Jika keduapuluh delapan jurus ilmu pukulan Thian-jiu-ciang-hwat itu dilancarkan sampai habis, tenaga pukulannya akan mengurung lawan dalam lingkungan dinding angin tenaga-dalam yang ketat. Dan sesaat lagi, musuh tentu rubuh.
Sayang ilmu tenaga-dalam Hong Ing jauh lebih rendah sekali dari Ciok Liu Seng. Selekas Hong Ing melancarkan empat buah pukulan, Ciok Liu Sengpun segera mengguncangkan bahunya dan melayanglah batu besar yang dipikulnya itu ke arah Hong Ing.
Bukan hanya tak dapat menghantam lagi, pun Hong Ing harus menarik pulang tangannya. Tapi gerakannya kalah cepat dengan batu.
Karena tak dapat menghindar, apa boleh buat, Hong Ing terpaksa memukul lagi.
"Aduh .. !" ia menjerit kesakitan.
Ciok Liu Seng gugup. Ia kuatir teriakan Hong Ing itu akan menarik kedatangan orang, maka cepat ia berputar tubuh dan ayunkan batu pada pikulannya sebelah kiri untuk membentur Hong Ing lagi.
Batu yang sebesar anak kerbau, hanya seperti senjata liu-sing-tui (bandringan besi) tampaknya. Pada hal si pendek Ciok Liu Seng hanya menggoyangkan bahunya saja.
Hong Ing menghindar ke samping tetapi terlambat lagi. Punggungnya terasa sakit sekali sehingga matanya berkunang-kunang dan rubuhlah ia. Ternyata punggungnya telah termakan ayunan batu.
Cepat Ciok Liu Seng menghampiri dan bertanya dengan berbisik : "Budak perempuan, dimana engkau sembunyikan mutiara mustika itu?"
Dada Hong Ing terasa sesak sekali seperti tertindih batu besar. Segumpal darah, mengalir dari ujung mulutnya.
Melihat si pendek Ciok Liu Seng tetap tak mau melepaskan dirinya, Hong Ing mengangkat muka dan dengan gunakan seluruh sisa tenaganya ia semburkan darah dalam mulutnya ke muka Ciok Liu Seng.
"Huak ... " Ciok Liu Seng menyurut mundur selangkah. Dilihatnya beberapa batang obor mendatangi. Tentulah orang-orang dalam gedung sudah mendengar rebut-ribut disitu. Begitu pula suara bok-hi dalam ruang sembahyang itupun berhenti. Sebagai gantinya terdengar suara orang membaca doa.
Si pendek itu segera menyadari bahwa perbuatannya itu telah diketahui dan membangkitkan kemarahan orang. Karena sudah berhasil merampas Thian-liong-kiam, lebih baik ia melarikan diri saja.
Wut, sekali enjot tubuh, ia melayang sampai satu tombak dan hinggap pada sebuah batu gunung-gunungan. Dari situ ia loncat lagi melampaui pagar tembok.
Marah sekali Hong Ing melihat si pendek hendak melarikan pedang Thian-liong-kiam. Sebelum ia sempat bertindak, tiba-tiba terdengar suara orang yang hiruk pikuk. Diantaranya terdengar Sam Hoa niocu melengking nyaring. Suaranya paling menonjol diantara orang-orang lainnya.
"Su Ciau, lihatlah budak perempuan itu!"
Belum resmi masuk menjadi keluarga Tan, sudah mengacau begitu rupa. Besok tentu lebih gila lagi" seru Sam Hoa niocu.
"Mah, maukah engkau jangan berpikir yang tidak-tidak" seru Su Ciau.
Hong Ing tidak habis mengerti, mengapa begitu sial. Sudah menderita luka berat, masih menerima dampratan. Pada hal ia tak tahu sama sekali. Bahkan sebelumnya tak kenal kepada mereka.
Diam-diam ia menyesali dirinya sendiri mengapa bertindak gegabah. Karena melihat pemuda Su Ciau itu tampak lemah maka ia berkeras menuduhnya sebagai pencuri kuda Pemburu-petir. Kalau tidak kecantol dalam peristiwa itu, tentulah sekarang ia sudah menyebrang bengawan Huang-ho.
Tetapi apa boleh buat. Nasi sudah menjadi bubur. Ia harus menghadapi kenyataan saat itu.
Ia paksakan diri untuk duduk.
Saat itu dari dalam rumah sembahyang muncul si paderi tua. Begitu melihat Hong Ing rnenumprah di tanah dalam keadaan terluka berat, paderi tua itu segera rangkapkan kedua tangan dan berseru :
"Siancay ! Siancay!"
Pada saat itu Su Ciau dan mamahnyapun tiba ditempat itu. Begitu melihat wajah Hong Ing pucat seperti kertas, bibirnya mengumur darah, Su Ciau cepat berjongkok untuk memegang tubuh Hong Ing :
"Hai, mengapa engkau ? Siapa yang melukaimu?"
"Lepaskan aku" seru Hong Ing karena pemuda itu memegangnya. Tetapi ia tak mampu berkutik. Terpaksa ia membiarkannya saja.
"Hong Ing ... kekasihmu itu orang she apa?'' tanyanya kepada si pemuda.
Su Ciau tersenyum rawan. "Ah, Hong Ing, lagi-lagi engkau begitu. Hong Ingku ini sudah tentu she Cin."
Apa yang diduga Hong Ing ternyata benar. Jelas dalam peristiwa itu telah terselip suatu kesalahan faham yang lucu. Pemuda itu menganggap Hong Ing seperti kekasihnya yang juga kebetulan bernama Hong Ing. Dengan begitu, jelas Hong Ing kekasihnya itu berwajah mirip dengan aku. Pikirnya.
"Lepaskan tanganmu dulu, nanti aku terangkan." kata Hong Ing, "aku bukan she Cin tetapi she Ui. Engkau salah faham."
Bukannya menurut melepaskan cekalannya, bahkan Su Ciau malah membelai-belai rambut Hong Ing seraya menghiburnya :
"Hong Ing, kalau engkau suka mendengarkan penjelasanku, engkau tentu takkan penasaran lagi kepadaku."
Sam Hoa niocu yang berada disamping hanya tertawa dingin dan ewa.
Karena saat itu masih merasakan sakit dan tenaganya lemah, Hong Ing tak mempunyai selera untuk berbicara panjang lebar menjelaskan kesalahan faham itu kepada Su Ciau. Terpaksa ia hanya deliki mata kepada pemuda itu.
"Su Ciau, lekas bawa dia ke dalam rumah sembahyang supaya beristirahat. Aku terlambat sedikit sehingga dia sampai menderita luka yang cukup parah" seru paderi tua itu.
Ketika mendengar kata-kata suhunya, dua butir airmata menitik turun dari pelapuk Su Ciau. Melihat itu diam-diam Hong Ing menganggap bahwa nona yang bernama Cin Hong Ing itu sungguh besar sekali rejekinya. Begitu besar cinta Su Ciau kepada kekasihnya itu. Ah, kiranya nona Cin itu bukan gadis sinting. Tentu ada sebabnya mengapa ia sampai melarikan diri. Pikirnya.
Hong Ing membiarkan saja Su Ciau mengangkat tubuhnya. Dan seketika itu Sam Hoa niocu-pun segera memerintahkan orang-orang itu.
"Mari kita pergi serunya!"
Orang-orang itu ternyata para tetamu yang berada di ruang perjamuan. Merekapun segera menurut permintaan nyonya rumah dan kembali ke tempat masing-masing lagi untuk beristirahat.
Setelah membawa masuk Hong Ing ke dalam rumah sembahyang, Su Ciau merebahkannya di meja.
Pederi tuapun segera singsingkan lengan jubahnya. Dengan tangannya yang kurus, ia memegang pergelangan tangan Hong Ing untuk memeriksa denyut jantungnya. Paderi tua itu kerutkan dahi dan mendesis pelahan.
"Suhu, bagaimana ?" Su Ciau terkejut, "apakah lukanya tak berbahaya ?"
"Lukanya memang tak berbahaya" kata paderi tua itu. "kali ini turun gunung, aku membekal beberapa butir pil mujijat, tetapi .. "
Tiba-tiba ia berpaling kearah Hong Ing : "Tolong tanya, bagaimana hubungan nona dengan Siau Yau cinjin dari guha Siau-yau-tong digunung Ke-tiok-san wilayah Hun lam itu ?"
"Suhuku", sahut Hong Ing.
Su Ciau terkejut. "Hong Ing, mengapa Siau Yau cinjin itu engkau aku sebagai suhumu? Bukankah engkau murid dari Hian-li Lim Sam Kho ?"
Hong Ing terbeliak dan deliki mata kepada pemuda itu : "Jangan ngaco tak keruan!"
"Su Ciau", tiba-tiba paderi itu berseru gopoh, "lekas bebaskan dia, kita telah keliru sangka terhadapnya."
"Salah sangka?" Su Ciau mengulang, "siapakah dia ? Suhu, mungkin suhu yang keliru. Masakan aku tak kenal dengan Hong Ing. Kutahu, Hong Ing marah kepadaku .. Hong Ing, apakah engkau benar-benar hendak memutuskan tali cinta kepadaku?"
Dengan wajah bersungguh, paderi tua itu berkata : "Su Ciau, ilmu tenaga-dalam dari setiap partai dan perguruan, aku tahu semua. Engkau harus percaya omonganku."
Su Ciau seperti orang yang takut kehilangan kekasih. Sesaat kemudian baru ia berkata : "Murid tahu, Tetapi suhu .. "
"Walaupun nona itu menderita luka parah tetapi hawa-murni dalam tubuhnya tetap tak berhenti. Jelas itulah hasil ilmu tenaga dalam istimewa dari Siau Yau cinjin. Tak mungkin salah lagi".
Su Ciau membelalakkan kedua matanya, mulutnya mendesis.
"Nona, apakah engkau juga bernama Hong Ing?" akhirnya meluncurlah kata-kata dari mulut pemuda itu.
Melihat pemuda itu terlongong kecewa, Hong Ing mengangguk pelahan.
"Ya, dan aku orang she Ui, bukan she Cin"
Su Ciau menghela napas panjang. Berputar tubuh ia terus hendak berlalu. Tetapi paderi tua cepat mencegahnya.
"Su Ciau, aku hendak bicara kepadamu."
Tetapi pemuda itu seolah tak mendengar dan lanjutkan melangkah keluar. Rupanya Peristiwa yang dialami itu sangat menggoncangkan pikirannya sehingga ia seperti, orang yang kehilangan diri."
"Su Ciau ", tiba-tiba paderi tua membentak keras.
Su Ciau melonjak kaget. Cepat ia berputar tubuh dan menyahut : "Apakah yang suhu hendak pesan kepada murid ?"
Paderi tua menghela napas.
"Su Ciau, engkau terlalu terpengaruh, oleh asmara. Dikuatirkan engkau sukar untuk mendalami pelajaran dari perguruan kami", kata paderi tua itu.
Su Ciau berlinang-linang "Suhu, aku rela semua ilmu kepandaianku lenyap asal Hong Ing dapat berada di sampingku untuk selama-lamanya", sahutnya.
Tergerak hati Hong Ing mendengar pernyataan pemuda itu. Namun ia sendiri heran, mengapa ia tak mempunyai perasaan tertarik hati kepada seorang pemuda. Bahkan terhadap Cong Tik yang berwajah cakap, berbudi halus dan tutur bahasa yang sopan, ia senang melihat. Ya, hanya terbatas melihat dan berkawan tetapi suatu perasaan yang lebih dari itu, ia tak memiiiki. Ingin ia seperti Su Ciau yang menumpahkan segenap jiwa raga kepada kekasihnya, bahkan rela tak mempunyai ilmu silat daripada harus berpisah dengan kekasih itu. Tetapi ia heran, mengapa tak mempunyai perasaan sedemikian terhadap seorang pemuda.
Ia heran dan heran. Dan karena merasa heran, urat-uratnyapun agak tegang, lukanya terasa sakit, kepala pening lagi dan hampir ia hendak muntah.
Rupanya paderi itu tahu juga akan perubahan tubuh Hong Ing. Cepat ia mengeluarkan pil dan meminumkan kepada Hong Ing. Hong Ing merasakan pil itu sangat harum. Setelah meminumnya, iapun merasakan tubuhnya enak.
"Pelajaran ilmu tenaga-dalam dari guha Siau-yau-tong itu memang aneh. Apabila menderita luka, tak dapat disembuhkan dengan segala macam obat apa saja. Tetapi harus disembuhkan dengan menyalurkan tenaga-dalam itu sendiri. Sayang anak perempuan ini belum cukup tinggi kepandaiannya. Walaupun sudah kuberinya sebutir pil Jit-hoan-leng-tan, tetapi hanya dapat menjamin keselamatannya sampai empatpuluh sembilan hari saja. Setelah empatpuluh sembilan hari, apabila lukanya kambuh lagi, memang repot. Dia tentu tak mampu menggunakan tenaga-dalamnya sendiri untuk mengobatinya."
Su Ciau hanya berulang-ulang mengiakan saja tetapi pikirannya tak memperhatikan pesan suhunya.
Melihat itu diam-diam Hong Ing gemas. Tadi begitu mati-matian pemuda itu memperhatikannya. Tetapi kini setelah tahu bahwa dia bukan Hong Ing sang kekasih, pemuda itu terus berubah dingin sikapnya.
Hong Ing masih belum terlepas dari sifat kekanak-kanakannya. Apalagi pembawaan sifatnya memang nakal dan lincah. Diam-diam ia hendak mengolok-olok pemuda yang gila asmara itu.
Saat itu Su Ciau berdiri tak jauh dari tempatnya. Cepat ia menarik ujung baju pemuda itu. Sudah tentu Su Ciau berpaling. Tiba-tiba Hong Ing memberinya sebuah kedipan mata dan tertawa.
Walaupun saat itu Su Ciau sudah tahu bahwa Hong Ing yang dihadapinya itu bukan Hong Ing kekasihnya, tetapi wajah keduanya seperti pinang dibelah dua. Melihat Hong Ing bermain mata kepadanya, seketika Su Ciau ternganga mulutnya karena gembira. Sesaat ia lupa bahwa Hong Ing itu bukan kekasihnya. Dalam pandang mata dan pikirannya, Hong Ing itu adalah Hong Ing jantung hatinya. Hati Su Ciau sesaat merasa bahagia sekali. Ia hendak bicara tetapi suhunya sudah mendahului.
"Segala apa adalah hasil dari perbuatanmu sendiri. Jika kuminta engkau mengantarkan nona ini ke guha Siau-yau-tong agar lukanya disembuhkannya oleh Siau Yau cinjin sendiri, maukah engkau ?"
Tadi betapa hancur dan kecewa hati Su Ciau demi mengetahui bahwa Hong Ing itu bukan nona yang dicintainya. Tetapi ketika Hong Ing memberinya sebuah 'kerlipan mata' Su Ciau jadi lupa daratan. Ia mengira kalau Hong Ing itu adalah kekasihnya. Maka mendengar pertanyaan suhunya, serempak tanpa banyak pikir lagi, Su Ciau terus menerima baik.
Pemuda itu lupa bahwa hari itu adalah hari pernikahannya dengan Hong Ing nona yang dicintainya itu. Para tetamu sudah datang, tetapi mempelai perempuan masih belum dapat diketemukan perginya.
Kecuali terpikat sekali dengan lirikan mata yang mesra dari Hong Ing tadi, Su Ciaupun memang tak percaya bahwa dalam dunia terdapat sepasang insan yang begitu mirip sekali wajahnya. Diam-diam ia menduga dan mengharap agar Hong Ing yang sekarang ini, benar-benar Hong Ing kekasihnya.
Juga ia ingin dapat menghibur kekecewaan hatinya dalam perjalanan ke Hun lam yang ribuan li jauhnya itu.
"Baiklah suhu, murid bersedia melakukan titah suhu", katanya.
"Baik" kata paderi tua itu, "tak boleh berlambat-lambat, saat ini juga engkau harus berangkat. Tak perlu kalian merasa asing satu sama lain dan jangan saling curiga-mencurigai. Naiklah bersama di punggung kuda Pemburu-petir. Su Ciau, kalau dalam empatpuluh sembilan hari engkau tak mampu mengantarkan dia tiba di guha Siau-yau-tong, berarti jiwanya hilang di tanganmu."
Su Ciau tahu bahwa suhunya itu seorang yang tinggi budi pekertinya. Tak mungkin dia akan bicara yang tak nyata. Apa yang dikatakan itu tentu sungguh-sungguh. Seketika timbullah rasa ingin melindungi kepada Hong Ing yang dianggapnya memang Hong Ing kekasihnya yang lari itu. Sudah tentu ia takkan membiarkan Hong Ing sang kekasih sampai binasa. Cepat ia membungkuk dan membopong Hong Ing.
Setelah minum pil dari paderi tua, Hong Ing merasakan tubuhnya sudah lebih enak, Melihat Su Ciau hendak membopongnya, ia malu sekali dan buru-buru berseru : "Tak usah, aku dapat berjalan sendiri"
Demikian keduanya segera minta diri kepada paderi tua dan terus menuju ke istal kuda. Setelah mengeluarkan kuda kurus Pemburu-petir, keduanya segera naik ke punggung binatang itu terus mencongklangkan ke arah selatan.
Heran Hong Ing melihat mengapa Su Ciau tak mau pamitan kepada mamahnya. Ia segera menanyakan hal itu kepada si pemuda.
"Hong Ing, perlu apa engkau membicarakan mamahku?" jawab Su Ciau.
Sudah tentu Hong Ing makin tak habis mengerti. Diam-diam ia cari pikiran bagaimana untuk mengorek keterangan dari mulut pemuda itu tentang keluarganya sehingga hubungannya dengan Sam Hoa niocu begitu dingin. Padahal wanita itu adalah ibunya.
Memang hebat sekali si kurus Pemburu-petir itu. Pada waktu fajar menyingsing kuda itu sudah dapat mencapai jarak enampuluhan lie. Diam-diam Su Ciau memperhitungkan. Asal tiada aral melintang di tengah perjalanan, lebih kurang sebulan saja, ia tentu sudah dapat mencapai wilayah Hun-lam. Longgarlah hatinya.
Bahkan kuatir karena kuda itu terlalu cepat larinya sehingga menambah sakit pada luka Hong Ing. Su Ciaupun menekan kendali agar binatang itu agak lambat larinya.
Hong Ing duduk di depan dan Su Ciau di belakangnya. Diam-diam pemuda itu heran, mengapa secara tiba-tiba saja, sang kekasih itu berobah menjadi anak murid Siau Yau cinjin.
"Hong Ing, kutahu engkau adalah murid kesayangan Hian-li- Lim Sam Kho. Kini baru kuketahui bahwa ternyata gurumu itu dua orang", karena tak dapat menahan keinginan tahunya, Su Ciau mulai bertanya.
Pun Hong Ing juga ingin mencari tahu bagaimana keadaan keluarga Su Ciau itu. Apa boleh buat, terpaksa ia harus bermain sandiwara, pura-pura mengaku benar-benar sebagai Hong Ing gadis yang menjadi kekasih hati Su Ciau itu.
"Ya, ya, aku sendiri juga lupa, mengapa begitu? Setitikpun aku tak ingat lagi peristiwa lampau yang kualami", sahut Hong Ing dengan nada ramah.
Su Ciau menghela napas. "Ah, tetapi untung ada sebuah hal yang masih engkau ingat," katanya.
"Hal apa ?" Hong Ing terbeliak. Su Ciau beringsut maju untuk merapatkan tubuhnya pada Hong Ing.
"Namamu sendiri," bisiknya ke dekat telinga Hong Ing.
Hong Ing tertawa. Sejenak berpikir ia berkata : "Maukah engkau menceritakan semua peristiwa yang lalu kepadaku lagi?"
Kembali Su Ciau menghela napas.
"Hong Ing, memang aku yang salah." Katanya, "sehingga engkau sampai tak tahu berada di mana selama belasan hari itu. Mungkin karena menderita rasa sedih yang menggoncangkan hatimu engkau sampai lupa diri. Ah, perlu apa harus menceritakan peristiwa-peristiwa yang menyedihkan itu lagi?
Setelah menghadap Siau Yau cinjin supaya menyembuhkan lukamu, kita nanti berkelana keseluruh penjuru dan tak perlu kembali ke Holam lagi. Apakah engkau setuju ?"
Melihat pemuda itu tak menyangsikan lagi dan menganggap dirinya itu sebagai Cin Hong Ing kekasihnya, makin timbullah keinginan (Ui) Hong Ing untuk mengetahui hal-hal yang menyangkut hubungan antara Su Ciau dengan ibunya, Sam Hoa niocu.
"Kalau engkau tak mau menceritakan, aku akan menjadi orang she Ui lagi" katanya.
Su Ciau gugup : "Ya, ya, aku akan mengatakan, Hong Ing. Apakah engkau sungguh tak ingat lagi ?"
"Lekas ceritakan, jangan omong yang tak berguna" tukas Hong Ing.
Setelah terpukau beberapa saat, Su Ciaupun berkata : "Hal itu sudah terjadi empatpuluh hari yang lalu. Pada malam itu ... "
Lalu Su Ciau mulai menuturkan apa yang telah terjadi. Pada malam itu rumah keluarga Tan penuh dikunjungi tetamu dan dihias dengan warna warni lentera lampion. Boleh dikata kota disitu ikut gempar karena merayakan hari pernikahan Su Ciau putera dari Tan Kiat seorang jago silat kenamaan yang bergelar Pat-pi-kim-kong atau Malaekat-delapan-lengan.
Walaupun sudah sepuluh tahun lebih Tan Kiat meninggal dunia tetapi dia mempunyai banyak sekali sahabat-sahabat dalam dunia persilatan. Apalagi isteri kedua, Sam Hoa niocu, juga tergolong pendekar wanita sangat terkemuka dalam dunia persilatan. Sedang mempelai lelaki sendiri, Tan Su Ciau juga luas pergaulannya. Su Ciau berguru pada paderi Tay To dari gunung Bhut-to di Ciat kang. Seorang paderi yang berilmu tinggi.
Mempelai perempuan bernama Cin Hong Ing. Nona mempelai itu bersama dengan gurunya, Hian-li Lim Sam Kho, juga pendekar-pendekar wanita yang cemerlang dalam dunia persilatan.
Pernikahan itu benar-benar suatu peristiwa yang menggemparkan dunia persilatan. Dua bulan sebelumnya sudah mulai diadakan persiapan. Tetamu-tetamupun berdatangan dari segala penjuru. Mereka hendak menghadir upacara yang penting ialah malam dimana kedua mempelai itu akan bersembahyang kepada langit dan bumi. Kemudian menghaturkan arak kebahagiaan kepada para tetamu.
Ruang besar telah disiapkan dengan sebuah meja dan dua buah lilin besar. Dinding dihias dengan kain layar yang bertuliskan huruf raksasa berbunyi HI.
Malam pengantin, memang merupakan peristiwa yang paling bahagia dalam sejarah kehidupan seseorang. Menjadi pusat perhatian orang, dilayani dan diiringi oleh para pengiring, ditaburi bunga-bunga dan didudukkan pada kursi kehormatan.
Menjadi mempelai adalah ibarat menjadi raja. Demikian kata orang.
Demikian pula dengan Tan Su Ciau. Wajah pemuda itu berseri-seri bahagia dan bangga ketika duduk bersanding di sisi mempelai perempuan.
Mempelai perempuan, Cin Hong Ing, sesungguhnya memang cantik, apalagi waktu jadi pengantin dan dirias, wajahnya semakin cantik cemerlang.
Su Ciau terlongong-longong memandang mempelai perempuan itu. Dan ketika pada cermin kaca Cin Hong Ing melihat bagaimana pemuda yang bakal menjadi suaminya itu memandangnya sedemikian rupa, diam-diam Cin Hong Ing merasa syahdu dalam hati.
Walaupun belum sungguh menjadi suami isteri, tetapi kedua pasangan itu sudah saling cinta. Mereka merasa bahagia sekali.
Pada saat Cin Hong Ing hendak minta Su Ciau keluar dari kamar, untuk menemani tetamu-tetamu yang berada di ruang besar, tiba-tiba Sam Hoa niocu muncul. Dengan wajah gusar dan gopoh ia segera menerobos masuk ke dalam kamar pengantin dan berseru : "Su Ciau!"
"Mah, kenapa?" Su Ciau terkejut.
Sambil menyembunyikan tangan kanan ke belakang tubuh, tiba-tiba Sam Hoa niocu ulurkan tangan kiri untuk memegang lengan Su Ciau lalu membentaknya:
"Su Ciau, siapakah orang itu"
Su Ciau tahu bahwa mamah tirinya itu, walaupun perangainya keras dan galak, tetapi amat baik kepadanya dan memperlakukan Su Ciau sebagai puteranya sendiri.
Agar Su Ciau diterima sebagai murid dari paderi Tay To, Sam Hoa niocu mengajak Su Ciau menghadap paderi itu dan berlutut sampai tiga hari lamanya baru paderi itu mau melanggar peraturan perguruannya ialah menerima seorang murid bukan dari kalangan agama.
"Mah, siapa yang mamah maksudkan?" tanya Su Ciau.
Sam Hoa niocu tertawa dingin. Tangan kanannya tiba-tiba dijulurkan dan tahu-tahu dia sudah menggenggam senjata yang paling diandalkannya yakni sam-hoa-khik atau trisula tiga kuntum bunga. Tiga bunga yang berada di ujung trisula berputar-putar keras hingga menimbulkan deru angin yang keras.
Wanita itu menunjuk kepada Hong Ing yang tengah berhias pada cermin, serunya :
"Yang kukatakan adalah dia!"
Su Ciau tertegun. "Mah, engkau ini bagaimana? Bukankah bukan pertama kali ini engkau melihat Hong Ing? "
Sam Hoa niocu tertawa dingin, "Tetapi kuyakin engkau tentu belum tahu siapakah sesungguhnya dia itu."
Su Ciau makin terlongong.
Pada saat itu Cin Hong Ingpun berbangkit. Wajahnya berobah tegang. Sambil mencabut tusuk kundai pada sanggul rambutnya, ia kerutkan alis lalu menyurut mundur dua langkah.
Sam Hoa niocu makin marah. Dipandangnya Hong Ing lekat-lekat. Rupanya kedua orang itu akan berkelahi.
"Mah, Hong Ing, apakah yang telah terjadi ?" seru Su Ciau terkejut heran.
Sam Hoa niocu hanya tertawa dingin.
"Budak tolol! Engkau masih dikelabuhi mentah-mentah. Tanya padanya, dia tentu tahu jawabannya", kata Sam Hoa niocu seraya menyiak tubuh Su Ciau terus menusuk Hong Ing.
Saat itu Hong Ing sudah dihiasi sebagai seorang mempelai perempuan. Sudah tentu ia tak membawa senjata apa-apa. Dalam gugup, cepat ia menyambar tubuh seorang budak lalu dilemparkan ke arah Sam Hoa niocu.
Sam Hoa niocu ulurkan tangan kiri untuk menyambuti bujang perempuan itu lalu digeletakkan di atas pembaringan.
Setelah mendorong si bujang perempuan, cepat-cepat Hong Ingpun melolos pakaian mempelai. Tringl iapun mencabut pedang. Sekali hentakkan, pedang itu berhamburan memancarkan ratusan sinar untuk menyongsong serangan Sam Hoa niocu.
Sam Hoa niocu berteriak keras, Trisula Sam hoa-khik segera diputar deras dalam jurus Boh-sing-te-gwat atau Menyandang-bintang-mengenakan-topi-rembulan.
Su Ciau terkejut sekali ketika kedua orang itu akan bertempur. Pedang yang digunakan Hong Ing adalah pedang Thian-liong-kiam pemberian dari suhu Su Ciau. Tajamnya bukan alang kepalang. Kuatir kalau melukai mamahnya, Su Ciau cepat menyambar dua buah kursi lalu dibenturkan ketengah kedua wanita itu.
Brak, brak ... kedua kursi itu hancur berkeping-keping ketika terbabat kedua senjata yang aneh. Dan menggunakan kesempatan dikala mereka berhenti bertempur, Su Ciau loncat untuk melerai di tengah-tengah mereka.
"Menyingkirlah, dia hendak melarikan diri", bentak Sam Hoa nicou.
Bukan sehari dua hari Su Ciau kenal pada Cin Hong Ing. Ia pikir mamahnya tentu mendengar kata-kata yang tak sedap. Tetapi entah di mana, mungkin di rumah salah seorang kawannya.
Karena mamahnya itu berangasan dan galak, maka tentulah dia perlu datang ke kamar pengantin untuk menyelesaikan. Tentulah hal itu hanya karena disebabkan oleh salah faham saja.
Saat itu Cin Hong Ing sudah berpakaian sebagai pengantin, tak mungkin ia dapat menyelinap pergi tinggalkan gedung itu.
"Mah, tak nanti dia akan lari," katanya menenangkan perasaan Sam Hoa niocu.
Tapi baru berkata begitu, tiba-tiba Su Ciau merasakan dari belakang seperti berkesiur setiup angin. Cepat ia berpaling dan astaga ... Ternyata Cin Hong Ing memang sungguh-sungguh pergi Loncat ke luar dari jendela, Cin Hong Ing terus melambung ke atas wuwungan rumah.
Dengan menggerung marah, Sam Hoa niocu loncat ke jendela. Dilihatnya nona itu sudah berada di wuwungan rumah.
Cressss.... Karena tak keburu untuk mengejar Hong Ing yang saat itu sudah siap hendak melayang turun ke bawah, Sam Hoa niocu terus menekan tangkai senjatanya. Sesaat terdengar seperti api dimasukkan ke dalam air, maka putik ketiga kelopak bunga-emas itu segera memancarkan serangkum jarum emas yang besarnya menyerupai bulu kerbau.
Melihat ibu tirinya menggunakan jarum beracun yang ganas, Su Ciau terkejut, ia tahu bahwa hal itu hanya timbul karena kesalahan faham. Memandang ke atas, ia melihat Hong Ing sedang mencondongkan tubuhnya. Entah karena terkena jarum emas beracun itu atau tidak.
Dengan terhuyung-huyung Cin Hong Ing terus melenyapkan diri.
Su Ciau terkejut sekali. Bergegas ia mengikuti mamahnya, Sam Hoa niocu, mengejar keluar. Tiba di istal kuda, tampak dua ekor kuda telah menderita luka dan rebah di tanah. Saat itu barulah Su Ciau mengetahui bahwa Cin Hong Ing telah melarikan kuda kurus Pemburu-petir.
Kini baru jelaslah persoalannya. Cin Hong Ing telah mencuri pedang Thian-liong-kiam dan kuda Pemburu-petir. Dua benda yang menjadi milik dari paderi Tay To.
Adalah karena melihat Su Ciau itu seorang pemuda yang jujur maka Tay To hweshio mau menerimanya sebagai murid. Sesungguhnya hal itu sudah melanggar peraturan perguruannya. Karena hanya orang-orang yang menjadi penganut agama Hud-kau boleh diterima sebagai murid.
Tetapi Su Ciau memang berbakat bagus. Tay To sayang sekali kepada pemuda itu dan menurunkan seluruh kepandaiannya kepada Su Ciau. Bahkan muridnya itupun juga diberi pedang Thian-liong-kiam dan kuda Pemburu-petir. Saat itu Sam Hoa niocu dan Su Ciau termangu-mangu. Keduanya tahu bahwa kuda Pemburu-petir itu seekor kuda yang sakti larinya. Percuma mereka hendak mengejar Hong Ing.
Sesaat kemudian barulah Su Ciau meminta keterangan kepada Sam Hoa niocu :
"Mah, sebenarnya apakah yang telah terjadi? tanyanya.
Sam Hoa niocu tertawa dingin.
"Sebelumnya telah kukatakan kepadamu bahwa Hian-li Lim Sam Kho itu bukan manusia baik. Muridnya menikah, dia tak mau datang. Itu saja sudah mencurigakan. Dan kini pusaka kitapun telah hilang. Tahukah engkau ?"
Su Ciau terbeliak. "Apa hubungannya dengan Hong Ing, mah?" tanyanya pula.
"Bujang perempuanku dengan mata kepala sendiri melihat bahwa gadis itulah yang mencurinya".
Tetapi karena sudah terjirat dalam jaring asmara, maka Su Ciau menghibur mamahnya dengan kata-kata yang setengahnya hendak melindungi Hong Ing.
"Ah, benda itu sih tak ada harganya. Kalau Hong Ing memang menyukai, biarlah diambilnya. Perlu apa kita rebut-ribut ?"
Karena marahnya, wajah Sam Hoa niocu sampai pucat lesi.
"Jika engkau anak kandungku sendiri, saat ini engkau tentu sudah kubunuh!" seru wanita itu dengan gemetar seraya terus berputar tubuh dan dengan napas terengah-engah melangkah keluar.
Begitu keluar ke ruang besar, para tetamupun ternyata sudah tahu akan peristiwa yang telah terjadi.
Tegak menghadap para tetamu maka Su Ciaupun segera mengangkat bicara dengan nada yang serius.
"Para paman dan sahabat-sahabat sekalian yang terhormat. Mamahku dan calon mempelai perempuan telah timbul salah faham. Karena marah, calon mempelai perempuan telah tinggalkan rumah ini. 'Tetapi hal itu adalah urusan dalam rumah tanggaku. Harap sekalian tetamu tetap menghadiri perjamuan dan silahkan menikmati apa yang kami persembahkan. Dan maaf, apabila terdapat pelayanan yang kurang memuaskan dan kesalahan-kesalahan, sudilah kiranya paman, sahabat dan para tetamu yang terhormat, memberi maaf. Barang siapa yang meninggalkan medan perjamuan ini, dapat kuanggap seperti tak memandang muka Su Ciau".
Sudah tentu sekalian tetamu tertegun mendengar ucapan tuan rumah yang juga mempelai lelaki itu. Terpaksa mereka menurut, demi menghormat nama baik keluarga Tan.
Lenyapnya Cin Hong Ing sudah empatpuluh hari lamanya. Lilin-lilin dalam ruang perjamuan sudah beberapa kali diganti yang baru. Walaupun sudah terlalu lama harus tinggal di gedung keluarga Tan. Tetapi karena ikut prihatin atas kemalangan yang menimpa Su Ciau, terpaksa para tetamu itu tinggal terus di rumah Su Ciau.
Selama empatpuluh hari, tiap hari Su Ciau keluar untuk menyelidiki berita-berita dan jejak Hong Ing tetapi selama itu Hong Ing lenyap bagai ditelan bumi.
Adalah pada hari itu, tiba-tiba ia melihat seorang pemuda cakap dan gagah muncul di kota situ dengan mengendarai seekor kuda kurus.
Su Ciau terkejut. Jelas kuda kurus itu adalah si kuda Pemburu-petir miliknya. Segera ia menyongsong pemuda itu dan menanyainya.


Pendekar Banci Karya Sd Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemuda itu mengatakan bahwa kuda itu ditemukan di dalam hutan. Mendengar itu. Su Ciau diam-diam girang. Ia tak mau menceritakan tentang peristiwa Hong Ing dengan kuda itu kepada pemuda cakap. Ia hanya mengeluarkan tiga ribu tail perak, diberikan kepada pemuda itu dan menyatakan ia hendak membeli kuda kurus yang dinaiki si pemuda.
Pada masa itu, harga barang-barang amat rendah. Tigaribu tail perak merupakan jumlah uang yang besar sekali. Keluarga Tan memang kaya, bagi Su Ciau, uang tigaribu tail perak, bukan apa-apa.
"Bagaimana potongan muka pemuda itu?" tiba-tiba (Ui) Hong Ing menyela pertanyaan.
Setelah Su Ciau memberi gambaran tentang wajah dan perawakan pemuda cakap itu, diam-diam Hong Ing tahu bahwa yang dimaksudkan pemuda itu tentulah pemuda yang menitipkan pelana kulit beruang salju dan pedang Thian-liong-kiam kepadanya itu. Tentulah pemuda itu Cong Tik.
Setelah membeli kuda kurus, waktu itu Su Ciau terus hendak menuntunnya pulang. Tetapi tiba-tiba di tengah jalan ia bertemu dengan (Ui) Hong Ing yang marah-marah dan menuduhnya sebagai pencuri kuda.
"Saat itu aku girang sekali karena sudah dapat menemukan engkau", kata Su Ciau mengakhiri ceritanya. Ia masih menganggap bahwa Ui Hong Ing itu adalah Cin Hong Ing. "Tetapi saat itu engkau bersikap aneh sekali kepadaku, seolah-olah engkau tak kenal lagi kepadaku dan tetap menuduh aku seorang pencuri. Kupikir karena engkau masih marah atau karena engkau menderita kegoncangan batin akibat cekcok dengan mamah, maka engkau bingung dan berobah sikapmu. Maka saat itu kuminta engkau datang ke rumah. Kupikir, perlahan-lahan tentu dapat kujelaskan kepadamu sehingga kemarahanmu reda dan engkaupun tenang kembaji".
"O" desah Hong Ing setelah mendengar selesai cerita Su Ciau. Tetapi masih ada beberapa hal ia belum jelas.
Soal itu segera ditanyakan kepada Su Ciau, apa sebabnya pada hari berdua mempelai hendak bertemu, tiba-tiba Sam Hoa niocu marah-marah dan bertengkar dengan mempelai perempuan.
"O, kebetulan sekali", kata Su Ciau, "akupun justeru hendak bertanya kepadamu, apakah gunanya engkau mengambil benda itu?"
Pertanyaan itu membuat Hong Ing terkesiap sejenak ia berpaling ke belakang dan deliki mata kepada Su Ciau.
"Engkau ngaco belo lagi! Barang apa yang kuambil ?" serunya.
Su Ciau tertawa. "Ah, anggap saja aku akan melanjutkan ceritaku lagi. Mamah marah-marah kepada mempelai perempuan karena nona mempelai itu telah mengambil pusaka dari keluarga Tan yang sudah dimiliki selama beberapa keturunan."
"Pusaka apakah itu sehingga mamahmu sampai begitu marah ?" tanya Hong Ing.
"Sebenarnya barang itu tak berharga dibicarakan," sahut Su Ciau, "tetapi kakek moyangku sejak tujuh turunan yang lalu pernah meninggalkan pesan. Apabila anak- cucunya hendak mengangkat nama dalam dunia persilatan, haruslah memiliki benda itu. Kemudian setelah anak cucunya melihat benda itu tiada suatu ciri yang istimewa, merekapun menganggap benda itu tak ada pengaruh apa-apa. Mungkin hanya sekedar pesanan biasa dari seorang tua yang hendak menjelang kematian. Tetapi sekalian demikian, demi menghormat pesanan leluhur, kami menganggap benda itu sebuah benda yang keramat dan berharga. Bahkan pada saat menutup mata, ayahkupun menegaskan soal benda itu kepadaku".
Mendengar Su Ciau hanya omong seenaknya sendiri, Hong Ing melengking marah :
"Ih, engkau ini memang aneh. Masakan bicara saja harus melingkar-lingkar tak keruan. Apakah sebenarnya benda itu ?"
"Ah, hanya sebuah pelana kuda dari kulit beruang salju", sahut Su Ciau tenang.
"Pelana beruang salju ?" Hong Ing melengking kaget.
Su Ciau gembira. Segera ia memeluk tubuh Hong Ing :
"Ah, Hong Ing, akhirnya engkau teringat juga. Tetapi apa guna engkau mengambil pelana itu?
Sudah tentu Hong Ing tak merasa mengambil pelana itu. Bahkan ia juga tak tahu apa gunanya benda itu.
"Lepaskan !"' teriaknya dengan kemalu-maluan.
"Mengapa, Hong Ing?" Su Ciau terkejut, "bukankah kita sudah terangkap sebagai suami isteri ?" Hong Ing makin jengah. Diam-diam ia memaki Su Ciau seorang pemuda yang gila cinta atau dibutakan oleh cinta.
"Aku tak dapat bernapas", serunya dengan mendongkol. Terpaksa Su Ciaupun melepaskan karena kuatir sang kekasih itu marah.
Diam-diam Hong Ing menimang dalam hati. Peristiwa yang dialami Su Ciau itu memang aneh sekali. Siapakah sesungguhnya gadis yang bernama Cin Hong Ing itu? Mengapa rupanya sangat mirip sekali dengan dirinya sehingga Su Ciau sampai tak dapat membedakan ?
Pikiran Hong Ing melamun lebih lanjut. Jika teringat bahwa dirinya sudah sebatang kara. Bagaimana asal usul dirinya, iapun tak tahu. Siau Yau cinjin tak mau memberitahu.
"Apakah gadis Cin Hong Ing mempunyai hubungan darah dengan aku ?" akhirnya tibalah Hong Ing pada suatu dugaan begitu. Serentak rasa keinginannya untuk mengetahui rahasia gadis Cin Hong Ing makin meluap.
Merenungkan cerita Su Ciau tadi, ia merasa ada sesuatu yang ganjil. Cepat ia menanyakannya.
"Aneh ceritamu itu. Kalau dia benar-benar suka kepadamu tetapi mengapa menginginkan sekali akan pelana beruang salju itu, mengapa setelah mendapatkan benda itu, dia tak terus meninggalkan rumahmu ? Mengapa setelah mamahmu mengetahui hal itu, baru dia melarikan diri ?"
Saat itu tiba-tiba timbul suatu pikiran baru dalam hati Su Ciau. Dia mulai meragu adakah Hong Ing yang membonceng kuda bersamanya itu, benar-bebar Cin Hong Ing nona mempelainya. Atau 'Hong Ing? nona yang lain.
Pemikiran itu timbul ketika mendengarkan pertanyaan Hong Ing saat itu. Iapun segera menjawab sekenanya saja.
"Aku juga tak tahu," katanya, "sebenarnya Hong Ing itu juga mencintai aku. Mungkin dalam peristiwa itu terselip suatu kesalahan faham!"
Karena tak dapat mengorek keterangan lebih lanjut, diam-diam Hong Ingpun merancang lain siasat. Ia hendak menanyakan kepada suhunya tentang asal usul pelana bulu beruang salju itu.
Demikianlah mereka tiba di perbatasan Ciat-kang. Setelah menyeberangi sungai Hok-jun-kiang. haripun sudah gelap. Empat penjuru puncak gunung tertutup kabut. Mereka memperhitungkan bahwa dalam empatpuluh sembilan hari, tentu dapat mencapai tempat tujuan. Maka tak perlulah harus menempuh perjalanan siang malam. Merekapun segera mencari rumah penginapan di kota yang terdekat.
Rumah penginapan itu tampaknya kecil dan kurang bersih. Tetapi ketika masuk ternyata cukup dalam dan luas. Mempunyai kamar lebih dari dua puluh buah. Su Ciau dan Hong Ing masing-masing memakai kamar sendiri-sendiri.
Selama menempuh dalam perjalanan beberapa hari ini, Hong Ing makin mempunyai keinginan untuk mengetahui tentang diri nona pengantin yang kebetulan bernama Cin Hong Ing dan wajahnya mirip dengan dia. Walaupun belum pernah berjumpa muka tetapi entah bagaimana, ia mulai memperhatikan nona itu.
Kemudianpun menimang bahwa untuk menyelidiki diri nona Cin Hong Ing itu, satu-satunya jalan hanyalah harus bertanya kepada Cong Tik, si pemuda cakap itu. Pemuda itulah yang menitipkan tiga buah benda kepadanya : pelana bulu beruang salju, pedang Thian-liong-kiam dan kuda kurus Pemburu-petir.
Merenungkan kuda kurus, tiba-tiba pikirannya terhenyak. Ia ingat bahwa iapun mempunyai kuda kurus mirip dengan itu. Dan kuda kurus itupun mempunyai kegemaran yang sama dengan kuda kurus Pemburu-petir. Tidak suka makan rumput tetapi hanya mau makan nasi dan daun kobis saja.
Ketika ia pergi karena kuatir menimbulkan suara, maka kuda kurus itupun ditinggalnya.
Entah bagaimana sekarang dengan kuda itu. Memikirkan kudanya yang kurus itu, diam-diam ia menyesal mengapa tak dibawanya saja turun gunung.
"Tetapi ah. kuda itu terlalu kurus dan makannya minta istimewa. Kalau kebetulan berada di hutan, dia tentu tak dapat kucarikan nasi. Ah, sudahlah, memang lebih baik kutinggalkan saja. Suhu tentu akan memperhatikan kuda itu." katanya menghibur hatinya sendiri.
Sebenarnya setelah mengalami beberapa peristiwa aneh dalam perjalanan itu, Hong Ing sudah memutuskan untuk pulang ke Hun-Lam saja. Tetapi karena ia telah mencopet ?tiga butir? mutiara pada pelana kulit beruang salju, terpaksa ia pertangguhkan dulu. Dan secara tak terduga-duga ia telah mengalami peristiwa baru lagi di rumah Tan Su Ciau.
"Ah, Cong Tik tentu akan mencari aku ke Siau-yau-tong selekas dia mengetahui tentang hilangnya "ketiga butir mutiara itu" pikirnya.
Karena memikirkan hal itu, sampai setengah malam belum juga Hong Ing dapat tidur. Kamarnya itu dekat dengan kamar yang dipakai Su Ciau. Saat itu sudah menjelang tengah malam. Tiba-tiba dia mendengar bunyi yang ganjil dari kamar Su Ciau.
Ketika ia mendengarkan dengan seksama, ia makin tertarik. Kiranya suara itu berasal dari orang tidur yang kepalanya dibungkus dengan selimut dan tengah mengingau atau mengimpi.
Diam-diam Hong Ing geli. Begitu besar cinta Su Ciau kepada Cin Hong Ing, begitu keras pemuda itu memikirkan nona pengantinnya sehingga sampai tidurpun ia berbicara dalam mimpinya.
Hong Ing tak mau menghiraukan pemuda itu lagi. Iapun segera pejamkan mata dan tak berapa lama segera jatuh pulas.
Keesokan harinya ketika bangun, ternyata hari sudah tinggi. Cepat Hong Ing loncat bangun menyisir rambut lalu membuka pintu.
Ternyata jongos sudah menunggu di muka pintu kamarnya. Begitu melihat Hong Ing, jongos itu menghela napas longgar.
"Ah, nona sudah bangun," serunya, "aku justeru hendak mengetuk pintu kamar nona".
"Kenapa ?" tegur Hong Ing.
Jongos tertawa. "Nona seorang diri menyewa sebuah kamar dan sampai siang begini belum bangun. Kami kuatir terjadi apa-apa pada diri nona."
"O" Hong Ing mendesah dan menganggap hal itu memang sudah menjadi peraturan dalam rumah penginapan disitu.
Tetapi sesaat kemudian ia terkejut. Apa maksudnya jongos itu mengatakan bahwa dia seorang tetamu wanita sendirian. Gila! Bukankah ia menginap bersama Su Ciau, mengapa dikatakan hanya seorang diri ?
"Apakah Tan kongcu sudah bangun ?" tanyanya.
Jongos itu terbeliak, "Tan kongcu siapa ?"
"Pemuda yang datang bersama aku semalam. Dia mengambil kamar bertanda, Hian" kata Hong Ing.
Seketika wajah jongos itupun pucat, "Nona, karena sudah siang hari begini, aku sih tak kaget. Tetapi andaikata nona mengajukan pertanyaan semacam itu pada malam hari, tentu aku sudah pingsan".
"Enyah!", karena jongos itu tak keruan omongannya, Hong Ing mengusirnya dan ia terus menuju ke kamar yang dipakai Su Ciau. "Nona, harap jangan mengganggu kamar itu", teriak jongos tadi.
Hong Ing berpaling. Dilihatnya jongos itu pucat sekal dan gemetar.
"Aneh, aku hendak mencari Tan kongcu, mengapa tak boleh ?" lengking Hong Ing.
"Nona, jangan bergurau", seru jongos itu, "Tan kongcu siapa yang hendak engkau cari ?"
"Yang tadi malam datang bersama aku !" teriak Hong Ing yang rupanya tak sabar lagi.
Ribut-ribut antara Hong Ing dengan jongos itu menimbulkan kejut pemilik rumah penginapan yang bersama beberapa jongos segera menghampiri.
Mendengar keterangan Hong Ing, merekapun saling berpandangan. Beberapa saat kemudian baru pengurus rumah penginapan maju dan memberi hormat kepada Hong Ing.
"Nona, maafkan apabila kami tak mengerti olok-olok nona. Jelas semalam nona hanya datang seorang diri, masakan nona mengatakan kalau bersama seorang Tan kongcu ?"
Bermula Hong Ing terkesiap. Ia bersangsi apakah ia tengah bermimpi saat itu. Kemudian ia menyadari bahwa rumah penginapan itu jelas sebuah penginapan hitam.
"Bagus" ia tertawa dingin, "kalian kira aku mudah kalian permainkan, bukan ?"
Cepat ia berayun maju dan menyambar lengan pemilik penginapan itu.
Hong Ing tahu bahwa sebagai murid dari Tay To hweshio. tentulah Su Ciau mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi. Bahwa Su Ciau telah hilang lenyap tiada berbekas, Hong Ing mempunyai kesimpulan bahwa pengurus rumah penginapan itu tentu seorang tokoh silat yang lihay. Jika tidak, tak mungkin dapat menculik Su Ciau. Bahkan kemungkinan pengurus rumah penginapan itu seorang ko-jiu atau jago kelas satu dari golongan hitam.
Setelah memperhitungkan hal itu maka sekali serang, Hong Ingpun segera gunakan jurus Khi-jong-gu-tou, salah sebuah jurus yang hebat dalam ilmu silat Thian-jiu-ciang-hwat.
Seleka telapak tangan menyentuh lengan orang, ia terus mengganti dengan gerak mencengkeram. Begitu berhasil mengcengkeram terus dilemparkan keluar.
Ternyata pengurus penginapan tak mengerti ilmu silat sama sekali. Ia menjerit-jerit kesakitan dan tubuhnya melayang sampai beberapa meter lalu roboh tak bersuara lagi.
Hong Ing terkejut, serunya : "Hai, mana pemilik rumah penginapan ini? lekas keluar kesini! Orang-orang golongan Hitam, aku kenal semua. Bahkan Malaekat-tolol Sim Yong Kan itu adalah murid keponakanku. Kalian orang-orang macam begitu, masakan tak mau tunduk kepadaku?"
Saat itu kawanan jongos yang datang bersama kuasa penginapan itu tegak terpukau.
Tiba-tiba seorang lelaki tua keluar. Sembari berjalan orang tua itu berkata :
"Aku situa ini adalah pemilik penginapan di sini. Kesalahan apakah yang telah dilakukan oleh orang-orangku, harap nona suka memberi maaf."
Melihat orang tua itu berjalan dengan lemah dan napas terengah, tahulah Hong Ing kalau orang tua itu seorang yang lemah dan tak mengerti ilmu silat.
Diam-diam Hong Ing menyesal karena telah menganiaya seorang yang tak mengerti ilmu silat sebagai si kuasa penginapan tadi. Ia tak mau lagi berbuat begitu terhadap pemilik penginapan yang sudah tua itu.
Ia berkata dengan tenang :
"Semalam aku datang bersama Tan kongcu untuk menginap disini. Tetapi pagi ini mereka mengatakan kalau aku hanya datang seorang diri. Apakah tidak menjengkelkan hati ?"
Orangtua itu terbeliak. "Eh, bagaimana nona dapat berkata begitu! Kemarin malam akupun menyaksikan- sendiri kalau nona datang sendirian. Tak ada yang dikatakan Tan kongcu itu".
Hong Ing marah lagi, "Hm, kiranya engkau juga manusia busuk!" dengusnya terus hendak menyambar orang tua itu. Tetapi sebelum tangan Hong Ing bergerak, orang tua itu sudah jatuh sendiri.
Hong Ing cepat berputar tubuh dan bum... secepat itu pula ia menghantam pintu dari kamar bertanda Hian yang tadi malam dipakai Su Ciau.
Walaupun setengah bulan yang lalu menderita luka karena dibentur dengan pikulan batu oleh si pendek Ciok Liu Seng, tetapi berkat minum pil Jit-hoan-leng-tan dari Tay To hweshio yang mujarab sekali, tenaga-dalam Hong Ing masih cukup penuh. Andaikata Hong Ing tak punya ilmu tenaga-dalam Thian-jiu-kang dari Siau Yau cinjin yang istimewa dan tersendiri alirannya, tentulah ia sudah sembuh. Karena pil Jit-hoan-leng-tan itu dibuat selama duapuluh tahun oleh paderi Tay To yang mengumpulkan berbagai daun obat istimewa sebagai ramuan.
Karena tubuh Hong Ing sudah memiliki dasar-dasar ilmu tenaga-dalam Thian-jiu-kang yang istimewa itu maka pil Jit-hoan-leng-tan hanya mampu melindungi dirinya selama empatpuluh sembilan hari saja. Selewatnya waktu itu, lukanya tentu akan kambuh lagi.
Karena marah, Hong Ing telah menggunakan sembilan bagian dari tenaganya untuk menghantam. Pintu berderak-derak hendak roboh. Sekali lagi Hong Ing menyusuli dengan sebuah tendangan, daun pintu itupun tumbang seketika.
Jongos terlongong-longong, Hong Ing sendiri terlongong ketika melihat keadaan dalam kamar itu.
Sebuah kamar kosong yang penuh dengan gelagasi dan debu/kotoran yang tebal. Jelas kamar itu sudah lama tak dipakai orang.
Dan yang paling mengejutkan Hong Ing ialah, di tengah kamar itu terdapat sebuah peti mati yang penuh debu tebal.
Hong Ing tercengang. Jelas ia masih ingat bahwa tadi malam Su Ciau telah memilih kamar yang bertanda Hian itu. Bahkan pemuda itu sebelum masuk tidur telah menganggukkan kepala kepadanya. Tetapi mengapa kamar itu kosong melompong dan berisi dengan sebuah peti mati ?
Hong Ing benar-benar kehilangan faham.
"Nona, kuminta nona jangan membuka kamar itu", kata jongos penginapan, "empat tahun yang lalu, seorang nona menginap sendirian disini. Keesokan harinya, dia mati menggantung diri dengan meninggalkan tulisan supaya kami menaruh peti matinya dalam kamar ini. Katanya, nanti tentu akan datang orang yang akan mengambil peti matinya. Tetapi sampai empat tahun lamanya, bukan saja tak ada orang yang datang mengambil, bahkan tiap kali sering terjadi rebut-ribut karena muncul setan. Tindakan nona ini tentu akan menyebabkan malam nanti kita harus ketakutan!"
Serentak teringatlah Hong Ing akan bunyi aneh dalam kamar sebelah. Ia kira suara itu berasal dari Su Ciau yang tengah mengingau dalam mimpinya. Apakah suara itu berasal dari setan peti mati itu.
Membayangkan setan, diam-diam Hong Ing bergidik. Ia mundur selangkah dan berkata seorang diri, "Aneh, lalu dimanakah tadi malam Su Ciau tidur? Apakah aku benar-benar datang seorang diri?"
Ia hampir kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri. Dicobanya pula untuk memandang ke dalam kamar itu. Ah. tampaknya memang sebuah kamar kosong yang sudah lama tak pernah ditinggali orang.
Akhirnya dengan penuh keheranan, ia bertanya :
"Taruh kata aku memang datang sendirian, tapi apakah aku naik seekor kuda kurus?"
Saat itu si pemilik penginapanpun sudah bangun sendiri. Mendengar pertanyaan si nona. ia segera menyahut :
"Tadi malam ketika datang, nona seperti menderita luka. Bahkan berjalan saja nona sangat perlahan sekali. Bagaimana mungkin nona membawa seekor kuda kurus ?"
Seketika timbul kecurigaan Hong Ing, jangan-jangan pemilik penginapan itu memang telah menculik Su Ciau dan merampas kuda kurus. Tetapi ia mendapat kesan bahwa pemilik rumah penginapan dan kawanan jongos disitu, seperti bukan orang-orang golongan kaum hitam.
Saat itu Hong Ing benar-benar bingung memikirkan. Sampai beberapa saat, tetap ia belum dapat memecahkan persoalan yang aneh itu. Karena hatinya bingung, iapun tak mempunyai selera untuk makan. Setelah membayar rekening penginapan ia segera melangkah keluar.
Di jalan raya banyak orang berjalan hilir mudik. Jauh di sebelah muka tampak sungai Hok-jun-kiang yang dikelilingi alam yang permai.
"Ah, jelas aku tidak bermimpi" katanya dalam hati. Tetapi tak putus herannya, mengapa dalam waktu semalam saja, Su Ciau dan kuda kurus itu sudah menghilang tak ketahuan jejaknya. Dan mengapa pemilik penginapan serta jongos-jongos dengan serius mengatakan bahwa ia hanya datang seorang diri ke rumah penginapan itu ?
Andaikata ia manceritakan peristiwa itu kepada orang, dikuatirkan orang tentu tak percaya. Bahkan orang tentu menganggapnya sedang mengingau.
Saat itu ia berjalan pelahan-lahan. Lukanya masih belum sembuh. Jika ia tinggal terlalu lama di kota itu, tentu lukanya akan kambuh lagi. Lebih baik ia pulang sendiri ke guha Siau yau-tong. Setelah lukanya sembuh, baru ia akan menyelidiki lagi peristiwa yang aneh itu.
Segera ia membeli seekor kuda lalu menuju ke selatan. Selama dalam perjalanan, ia tak mengalami peristiwa suatu apa.
Kuda yang dibelinya itu sudah tentu tak mampu menyaingi kecepatan lari si kuda kurus Pemburu-petir. Sudah tentu ia tak dapat cepat-cepat menempuh perjalanan. Tiba di perbatasan Hun-lam, ia menghitung waktunya sudah berjalan empatpuluh hari.
Gunung Ke-tiok-san terletak di dekat telaga Ji-hay (Gun-beng-ti). Walaupun jaraknya hanya empatratus li, tetapi jalanan penuh dengan gunung dan puncak yang sukar dilalui. Apabila tak menempuh perjalanan siang dan malam, mungkin dalam sembilan hari lagi ia tentu tak dapat mencapai tempat itu.
Saat itu barulah Hong Ing menyesal karena ilmu kepandaiannya masih rendah tetapi ia berani turun gunung tanpa memberitahu kepada gurunya.
Tetapi memang aneh sekali perangainya. Walaupun selama turun gunung itu ia menghadapi peristiwa yang berbahaya tetapi ia gembira juga. Semakin aneh peristiwa yang dideritanya, semakin besar kegembiraan hatinya. Di samping itu iapun mengikat perkenalan dengan beberapa orang antara lain pemuda cakap, Cong Tik.
Gema Di Ufuk Timur 1 Kupu Kupu Salju Karya Felice Cahyadi Memburu Iblis 1
^