Pencarian

Gema Di Ufuk Timur 1

Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana Bagian 1


Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Trilogi Blambangan Buku Kedua
Karya : Putu Prana Darana
Ebook ini dibuat berdasarkan file DJVU BBSC di
http://rapidshare.com/files/268931895/TB02-GemaDiUfukTimur-
Buku01.7z.html http://rapidshare.com/files/268932246/TB02-GemaDiUfukTimur-
Buku02.7z.html Ebook PDF by Dewi KZ http://kangzusi.com/ atau http://dewi.0fees.net/
Penerbit PT Gramedia Tahun 1989
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
I. LUKA DAN DUKA Mentari tetap saja melayang. Karena janjinya pasti. Angin
dan badai tetap juga berhembus menerpa bumi. Kehidupan
berjalan terus. Semua... berjalan terus tanpa bisa dihalangi
oleh siapa pun. Juga kehidupan. Peperangan tak bisa
menghentikannya. Dia berjalan terus seperti roda ajaib yang
tidak pernah berhenti. Walau mereka yang bernapas dan
hidup, sudah sampai titik batas akhir.
Demikian pula Yistyani berjalan terus membawa luka dan
duka. Bahunya sebelah kiri robek oleh tembakan Kompeni di
Banyu Alit. Bahkan dalam perjalanan pulang ke Raung ini, dua
pengawalnya tertembak mati. Tinggal dua orang lagi. Pedih
dan perih dari luka yang tak terobati secara baik itu ia bawa
terus berjalan. Menempuh jarak yang jauh. Melintasi belantara
dan jurang-jurang, dan bukit-bukit.
Duka pun menusuk-nusuk hatinya sepanjang perjalanan.
Duka kehilangan semua harta, kedudukan, dan cita-cita akibat
perang. Bahkan yang nilainya lebih berharga dari semua itu,
kehilangan suami, kekasih, dan sahabat-sahabatnya. Namun
dengan kesadaran tinggi ia berusaha menindas semua duka
itu. Ia harus mempertahankan semangat untuk tetap hidup
dan sampai di Raung. Wilis, anaknya, sekarang menjadi
pemimpin di Raung. Ia merasa perlu menjumpai anaknya itu.
Ia akan ceritakan semua pengalaman perang Blambangan ini
sebagai pelajaran berharga.
Anaknya masih terlalu muda untuk menjadi seorang
pemuka yang mampu memimpin suatu negara. Karena, itu
pula ia harus menumpahkan segala pengetahuannya sebagai
tambahan pesangon bagi anak itu. Seorang pemimpin tanpa
pesangon cukup tak ubahnya katak dalam tempurung. Ah,
jarak yang memisahkannya dengan Raung masih terlalu jauh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dan itu harus dikalahkan dengan melewati banyak ketegangan
dan bahaya. Yang telah dilewatinya membawa korban dua
orang pengawalnya. Mati oleh tembakan laskar Madura yang
ternyata menjaga ketat Hutan Kepanasan. Kini mereka harus
berjalan ke barat untuk menghindar dari daerah yang dikuasai
laskar Madura dan Kompeni. Tentunya mereka akan
berhadapan dengan belantara yang mungkin saja belum
pernah diinjak manusia. Pohon-pohon besar menjulang tinggi
dan berdaun lebat. Sinar mentari tidak mampu menembus
sela dedaunan. Dan bukan mustahil bila hutan itu merupakan
sarang nyamuk. Bukan cuma nyamuk, tapi juga binatang buas lainnya.
Yistyani berdoa dalam hati agar tidak bersua ular puspakajang
yang sering melingkar di cabang pohon-ponon besar begitu. Ia
pernah menyaksikan keganasan seekor ular puspakajang yang
memangsa kambing dengan sekali telan. Penghuni hutan lain
yang tak kalah menakutkan adalah beberapa jenis harimau.
Yistyani mengerti benar bahwa di hutan ini masih ada harimau
gembong serta macan kumbang yang hitam dan mampu
memanjat pohon dengan amat lincah. Namun ia tidak takut.
Karena ia masih dapat membela diri dengan menggunakan
senapannya. Demikian pula jika bersua dengan rombongan
banteng. Mungkin saja ia masih berkesempatan memanjat
ponon. Tapi jika bersua ular yang warnanya sering menyatu
dengan cabang pohon yang ditempatinya itu" Untuk menjaga
hal itu maka ia sering memperhatikan cabang-cabang sambil
terus berjalan. Bukan untuk memperhatikan keindahan alam.
Bukan pula langit dan burung-burung. Tapi ular.
Kegelisahan Yistyani bukan terbatas soal-soal itu saja. Tapi
juga khawatir tersesat dan tidak bisa mencapai Raung
sebelum persediaan makanan habis. Kelaparan menimbulkan
ketakutan tersendiri. Betapa ngerinya jika ia mati kelaparan
seperti anjing kurap. Dalam kelaparan banyak kemungkinan
bisa terjadi. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Yistyani mulai memperhitungkannya. Ia berulang menoleh pengawalnya. Tubuh mereka
dibasahi peluh. Bahan makanan yang mereka pikul masih kelihatan berat. Kain dan
ikat kepala kedua pengawal itu kelihatan lusuh. Yistyani hampir tidak mampu lagi
mengingat, Berapa hari sudah mereka menempuh perjalanan. Ia sadar bahwa mereka
telah keluar dari jalan yang semestinya.
Tiba-tiba saja rasa iba pada kedua pengawalnya
menyelimuti hati Yistyani. Mukanya tidak bercahaya dan kumisnya tidak terawat.
Tanpa banyak berpikir maka ia memerintahkan keduanya berhenti.
"Ada apa, Yang Mulia?" tanya Gonar.
"Taruhlah dulu bebanmu. Kita istirahat," jawab Yistyani.
Kedua orang itu meletakkan ubi kayu dan dendeng daging babi serta perbekalan
sedikit peluru yang mereka pikul ke tanah. Lega rasanya. Setelah menggerak-
gerakkan bahu ke kiri dan kanan, mereka mencari tempat duduk.
"Kita tidak tahu apakah tempat ini aman atau tidak.
Karenanya tetap waspadalah! " Yistyani memperingatkan.
Mereka membenarkan peringatan Yistyani. Sekalipun yang memperingatkan seorang
wanita namun mereka tetap patuh, karena mereka tahu Yistyani bekas menteri
cadangan negara. "Bagaimana dengan luka Yang Mulia?" Buang kini yang bertanya.
"Sudah agak baik. Darah sudah berhenti mengalir."
"Syukurlah. Hyang Maha Ciwa masih menyertai kita." Gonar ikut senang. Senyuman
mulai membayang di wajahnya. Entah sejak kapan senyuman menghilang dari bibirnya
yang tebal itu. Angin bertiup tertahan dahan-dahan tua. Dedaunan bergerak seirama alunan angin.
Namun begitu angin tetap Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
saja menerobos sela dahan dan kayu untuk membantu
menyusutkan peluh mereka. Bahkan lebih dari itu,
mendatangkan rasa kantuk. Yistyani berusaha keras mengusir
rasa kantuknya. Kantuk yang menyerang karena kelelahan.
Buang dan Bonar pun berusaha. Namun rasa kantuk itu tak
mau berdamai. Maka mereka minta izin Yistyani untuk tidur
barang sebentar. "Tidurlah! Aku akan berjaga. Tapi usahakan jangan terlalu
larut! Ingat?" Suara Yistyani keibuan.
"Kami akan berusaha, Yang Mulia."
Mereka mengambil keputusan tidur sambil duduk beradu
punggung. Lutut mereka tekuk dan peluk dengan tangan dan
dijadikan tumpuan kepala mereka yang tertunduk. Yistyani
memperhatikan sambil menghela napas. Tentu ia tak berdaya
mencegah kantuk mereka. Beberapa bentar kemudian ia
beringsut mencari tempat duduk. Agak jauh dari tempat
mereka tidur, di bawah pohon rindang, Yistyani duduk sambil
membersihkan senapan yang berlaras panjang.
Mentari bergeser terus ke barat. Dalam hati Yistyani berdoa
agar malam segera tiba. Bagi mereka istirahat malam lebih
aman. Tiba-tiba matanya memperhatikan sekawanan burung
kecil yang terbang seperti ketakutan. Barangkali ada harimau
lewat" Ia tajamkan mata dan telinganya. Lagi... Kini kawanan
elang ketakutan. Naluri keprajuritan membuatnya berlari cepat
membangunkan kedua pengawalnya.
"Ada apa" Ada apa, Yang Mulia?" Buang gugup. Detak
jantung mereka mengencang.
"Musuh!" Napas Yistyani terengah.
"Ha" Musuh?" Keduanya melompat sambil menyambar
senapan dan panah mereka.
"Drubiksa!" Buang mengumpat. "Mereka tidak mau berhenti memburu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Siapa kalah akan terus diburu dan dibunuh." Yistyani mengajak mereka mencari
tempat persembunyian yang aman.
Mereka berlari dari balik pohon ke pohon lain sambil mengendap-endap. Kemudian
menenggelamkan diri dalam semak. Berhenti sambil menunggu apa yang bakal
terjadi. Namun beberapa bentar kemudian gerombolan semut merah dan nyamuk mulai
berdatangan mengusik. Kawanan serigala lari dengan ekor melengkung ke bawah menutupi kemaluan mereka.
Takut dan marah. Tapi tidak berani melawan. Karena itu hanya menyalak saja.
Menyalak merupakan satu bentuk perlawanan tersendiri. Karena wilayah dan hak
mereka dijamah oleh manusia. Beberapa bentar kemudian terdengar suara derak
ranting patah terinjak kaki-kaki yang berat. Kaki bersepatu. Jantung Yistyani
berdebar keras. Ah... jika luka ini pulih, pastilah tidak seberat ini aku
menanggung aniaya. Aku akan melawan semampu dapat.
Ketiganya makin merapatkan tubuh ke tanah. Berulang Yistyani membuat gerakan,
luka di bahunya tersentuh rerumputan dan menimbulkan rasa nyeri.
"Tahan diri! Jangan menembak jika tak terpaksa."
"Ya. Tapi Yang Mulia jangan terlalu banyak bergerak-gerak.
Agar mereka tidak curiga," sahut Gonar.
Sekali lagi Yistyani menyesali lukanya. Dalam hati ia berdoa, agar Hyang Durga
melindunginya. Sambil terus menahan rasa sakit. Dan... beberapa bentar kemudian
mereka melihat kembali burung-burung malio terbang tergopoh-gopoh. Ayam hutan
pun berhenti berkokok. Sesaat setelah itu rombongan serdadu Belanda dan Madura
muncul. Dengan gagah dan senjata di tangan mereka berjalan berdua-dua sambil
mengamati kiri-ka-nan. Tiap gerak akan mereka curigai. Yistyani tidak tahu topi
bundar di atas kepala mereka itu terbuat dari bahan apa. Ada dua orang dari tiga
puluh orang itu yang bertopi tinggi. Berwarna merah dan pada bagian mukanya
diberi penutup seperti serambi kecil yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berwarna hitam. Itu barangkali yang dinamakan pet. Di atas
penutup muka yang kecil itu ada hiasan seperti bunga tebu
berwarna kuning emas. Mereka adalah opsir.
Ketiga orang itu menahan napas sambil terus mengintai
tiap gerakan tentara Belanda dan laskar Madura itu. Kesalahan
kecil akan membawa mereka pada kematian. Yistyani tak
dapat menangkap makna pembicaraan mereka. Riuh tanpa
makna. Keringat dingin meleleh di pori-pori ketiga orang itu.
Bahkan Yistyani terpaksa menggigit bibir bawahnya sambil
mengernyitkan dahi karena menahan sakit. Luka-lukanya
digigit nyamuk. Ia tidak berani melakukan gerakan apa pun.
"Yah... Dewa Bathara!" Yistyani berdesah lega kala barisan Kompeni dan Madura
berlalu. Pelan-pelan ketiga orang itu
bangkit. Dengan segera mereka membunuh semut-semut
merah yang merubung tubuh mereka. Entah sudah berapa
lama mereka menahan rasa sakit, pedih, panas, serta gatal.
"Semut-semut jahanam!" Gonar mengumpat. Setelahnya
mereka meneruskan perjalanan dengan mengambil arah
menyimpang ke barat. Sebab jika mereka mengambil arah
berlawanan dari pasukan tadi jangan-jangan masih ada lagi
rombongan Kompeni yang menyusul. Setelahnya mereka
kembali menerobos hutan. Tidak tampak lagi kupu-kupu
terbang di sekeliling mereka. Namun mereka sering
menjumpai sarang lebah yang menggandul di cabang-cabang
pohon. Tentu saja lebah-lebahnya juga berkerumun tak
terhitung jumlahnya. Kala senja mulai datang, Yistyani
meminta Buang dan Gonar mengambil madu di salah satu
sarang lebah itu. Dengan tanpa membantah mereka kembali
meletakkan beban. Buang segera mencari ranting kayu
sedang Gonar melihat-lihat mana sarang yang penuh
madunya. Tentu saja perbuatan Gonar itu mencurigakan kawanan
lebah yang didekatinya. Tak pelak lagi beberapa sudah mulai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyengat tubuh Gonar. Tapi lelaki itu tidak mengacuhkan.
Seolah tak terasa apa-apa. Kendati sengatan itu menimbulkan
bengkak di beberapa bagian tubuhnya. Kata orang-orang tua
sengatan lebah bisa menjadi obat sakit linu-linu.
Beberapa bentar kemudian Buang menyusulnya dengan
membawa beberapa pokok ranting. Untuk mengurangi
perlawanan kawanan lebah yang akan diambil, sarangnya
perlu diasapi dulu. Gonar menemukan sarang yang penuh
madu. Dan kebetulan sekali pohon sonokembang yang
ditempati sarang itu sudah roboh. Apa penyebabnya tidak
terpikirkan oleh keduanya. Sementara mereka berusaha
mengambil sarang lebah itu Yistyani tetap mengawasi sambil
bersiaga dari beberapa jarak.
Ternyata tidak mudah memungut sarang lebah. Namun
demikian karena pengalaman, Gonar dan Buang mampu
mengusir lebah itu dengan aman dan tidak menimbulkan
perlawanan yang seru. Setelah lebih dahulu mereka
memindahkan sarang itu ke dalam kain mereka dengan cara
mengasapi kawanan lebah itu. Anak-anak lebah yang masih
merupakan set menjadi makanan yang nyaman bagi ketiga
orang itu. Madu benar-benar menyegarkan tubuh mereka.
Kekuatan mereka pulih seperti sediakala.
"Kita mencari tempat yang aman untuk istirahat."
"Hamba mendengar deru air. Kita berhadapan dengan
sungai," Gonar berkata sambil membuang sarang lebah yang
usai diisap madunya. Dan ketiganya memasang telinga. Tapi
tetap melangkah ke depan.
"Jika demikian kita tersesat. Kita harus menyeberang
sungai ini. Kira-kira ini Kali Setail. Mudah-mudahan sesampai
di barat sungai kita akan dapat berjalan dengan aman," ujar
Yistyani. Ia berjalan di belakang. Dan sering menoleh untuk
mengamati perjalanan mereka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ternyata benar. Mereka sampai di sebuah sungai.
Tebingnya berbatu-batu dan curam. Mereka berhenti untuk
mengamati keadaan. Bahkan Yistyani memerintahkan Buang
dan Gonar menyelidiki sekitarnya, kalau-kalau ada laskar
musuh yang berkemah di situ. Tapi keduanya kembali
melaporkan bahwa keadaan aman. Maka Yistyani memutuskan
untuk beristirahat. Bianglala menghias ufuk barat. Gunung Raung, Gunung
Sukep, Gunung Pendil, dan Gunung Merapi tampak berjajar di
kejauhan. Seperti anak-anak raksasa yang berlomba berebut
tinggi. Walau akhirnya dimenangkan oleh Gunung Raung.
Yistyani memandang deretan gunung-gunung itu sambil
mengeluh. Perjalanan mereka masih jauh. Kemudian ia
tertunduk memandangi sungai. Tebingnya dalam dan berbatu-
batu. Demikian pun dasarnya. Airnya jernih dan berbuih-buih


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena seringnya berbenturan dengan batu besar yang
mencoba menghalangi lajunya arus air itu. Dan benturan yang
tiada henti-hentinya itu menimbulkan suara mendayu-dayu.
Sementara kedua pengawalnya membuat perapian, Yistyani
menuruni tebing. Kejernihan itu mengundangnya. Sudah
beberapa hari ia tidak mandi. Mandi bukan sekadar
menyegarkan badan. Tapi juga menghilangkan daki dan debu.
Dengan bahu terluka begitu memang agak susah. Namun
sampai juga. Ia cari tempat yang dalam dan terlindung.
Sebelum mencebur ia sempatkan becermin. Cakar burung
membayang samar di kedua sisi kelopak mata. Ketuaan mulai
mengintip di perjalanan usianya. Ketuaan yang tidak mungkin
dapat dibendung oleh siapa pun.
Setelah melepas kain ia segera menceburkan diri. Ah,
betapa sejuknya. Dengan perlahan ia membersihkan lukanya.
Hampir kering. Ia menyebut dalam hati untuk mengucap
syukur. Kemudian dengan perlahan juga ia membersihkan
daki. Sudah sekian lama ia tidak merawat tubuhnya.
Kesegaran membawanya pada kealpaan. Lupa waktu, lupa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
keadaan, lupa tempat. Keremangan tiba. Dan ia dikejutkan
suara tembakan yang menggema di tebing-tebing. Lagi
sebuah letusan dan disusul letusan yang lain.
Tentu itu bukan perbuatan Gonar dan Buang yang sedang
berburu rusa atau babi. Mereka belum pernah segegabah itu.
Tentu ada bahaya yang sedang datang. Dalam keadaan
terpaksa mereka menembak untuk memberi isyarat pada
Yistyani yang tak sempat mereka beri tahu dan untuk
membela diri. Bangkit dan cekatan ia mengikatkan kainnya
serta menyambar senapannya.
Namun belum lagi lima langkah ia beranjak, sebuah tawa
panjang menggema di tebing. Pantul-memantul di kesunyian
senja. Yistyani menoleh ke arah datangnya suara tawa itu.
Seorang tinggi besar berkumis bapang berdiri di atas sebuah
batu besar di tebing itu. Sedang di kiri-kanan orang itu berdiri
juga beberapa anggota laskar Madura dan Kompeni dengan
senapan di tangan. Semua mata memandang Yistyani yang
telanjang dada dengan berbinar. Orang tinggi besar berkulit
sawo ma- T tang itu pastilah orang Blambangan. Walau ia
mengenakan pakaian hitam-hitam seperti layaknya orang
Madura. "Ha... ha... ha... ha... Yang Mulia Menteri Cadangan
Negara" Ha... ha... ha..." Orang itu mengejek. "Akan lari ke mana?"
Yistyani menajamkan matanya sambil bergerak mundur
setapak demi setapak. Yistyani mencoba mengingat-ingat.
Ternyata Sarmanja, seorang pedagang yang dulu pernah
ditolak perizinannya karena bersekongkol dengan Martana.
Sekarang menjadi orang kepercayaan Belanda dan Madura.
"Masih juga ayu. Lupa dengan aku?" Orang itu tertawa lagi
sambil berkacak pinggang. Beberapa saat kemudian memilin
kumisnya. Dengan sigap melompat dari batu besar tempatnya
berdiri. Melangkah mendekati Yistyani diikuti oleh lainnya.
Napas Yistyani memburu. Cuma satu isi senapannya. Ah...
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan luka di bahunya maka ia tak mungkin melawan
mereka dengan pedang. "Tidak perlu melawan. Wong Agung Wilis sudah kalah.
Lateng sudah dikuasai Kompeni. Menyerah saja dan menjadi
istriku." Sarmanja ketawa lagi.
Yistyani tidak menjawab. Tapi terus bergerak mundur
sementara Sarmanja dengan tujuh orang pengawalnya maju
terus. "Sekali lagi. Menyerahlah! Sayangilah nyawamu dan
wajahmu. Mari kubawa ke Lateng untuk menjadi istriku."
Yistyani meludah. Keremangan kini menguasai jagat.
Sebentar lagi bayang-bayang pun tiada. Napas Yistyani kian
terengah-engah. Deru air di belakangnya kini bukan lagi
mendayu. Semakin ia mundur semakin dalam. Yang terdengar
kini suara air yang terhempas di bebatuan. Tentunya air
terjun, katanya dalam hati.
"Berhenti!" Sarmanja berteriak. "Dibelakangmu ada air terjun. Aliran sungai ini
turun. Jika jatuh kau akan hancur!
Berhenti!" Wanita itu tak lagi mampu berpikir panjang. Lateng sudah
kalah. Maka tiada pilihan lain kecuali mati. Air di kakinya
mengalir kian deras. Seakan menyeretnya. Kini ditatapnya
dada Sarmanja baik-baik. Tidak boleh luput, pikirnya.
Tiba-tiba Yistyani membuat gerakan seperti terpeleset
jatuh. Ia merintih seolah minta tolong. Sarmanja dengan para
pengawalnya terbahak-bahak.
"Sudah kubilang..." Sarmanja melompat maju. Yistyani
membuat gerakan sedikit lagi seperti hanyut oleh derasnya
arus. Namun sebenarnya ia justru berlindung di balik sebuah
batu besar. Sarmanja kini berlari untuk menolongnya. Namun
setelah jarak mereka dekat benar, sedang para pengawal
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
masih tertawa di kejauhan, sebuah letusan membuat tubuh
Sarmanja terpental dan roboh tanpa nyawa.
Semua pengawal terkejut. Kemudian memburu dan
menembak. Dan Yistyani sudah tiada karena sudah
menghanyutkan dirinya untuk kemudian terhempas bersama
air. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
II. SEJUMPUT HARAPAN Gelegar meriam sudah berhenti. Namun belum berarti perang usai. Kota Lateng
memang sepenuhnya sudah dikuasai Kompeni. Demikian juga kota-kota besar
Blambangan lainnya. Kawula dengan bertekuk lutut dan kepala tertunduk diharuskan menyambut pasukan
Kompeni dan Madura yang berbaris memasuki kota-kota terbesar Blambangan. Umbul-
umbul Jingga tidak boleh berkibar lagi. Sebagai gantinya
bendera merah-putih-biru mengangkasa.
Tiap kekalahan harus dibayar mahal. Sekalipun sebagian
satria Blambangan boleh sedikit berbangga karena mereka
melawan. Melawan! Kala barisan itu memasuki bumi
Blambangan masih tercium bau anyir. Bau darah satria dan
pahlawan Blambangan. Dan beberapa hari setelah menguasai
ibukota, VOC segera menyusun dan membenahi
pemerintahan. Tapi lain di kota, lain pula di desa. Walau di beberapa desa
memang masih tampak bekas-bekas peperangan. Sawah
belum lagi ada yang menghijau. Kedai juga belum ada yang
buka. Pohon-pohon yang pernah ditumbangkan di jalan-jalan
masih belum disingkirkan. Bunga-bunga hampir tiada lagi.
Tiap orang masih seperti dalam mimpi. Mimpi buruk. Perang
singkat yang memakan korban banyak. Mereka tidak perlu
menghormat pasukan musuh. Karena musuh masih
membenahi kota-kota besar yang direbutnya. Terutama Lo
Pangpang dan Lateng. Lebih mencekam lagi bagi seluruh
kawula, bahkan juga orang-orang Raung yang terluput dari
perang itu, ialah berita tentang hilangnya Wong Agung Wilis.
Ada yang memberitakan bahwa ia mati. Tapi setelah perang
usai, tiada mayat Wong Agung Wilis di antara tumpukan
mayat yang berserak di hampir seluruh bagian kota Lateng.
Ada sebagian yang menceritakan bahwa patih Blambangan itu
tertembak di Lateng, tapi muksa atau hilang dari pandangan
para pengawalnya sebelum rebah ke bumi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sekalipun begitu ada juga desa-desa yang tidak terjamah
oleh perang, walau mereka juga mengirimkan putra-putranya
untuk ikut bertempur. Salah satu di antara beberapa desa itu
ialah desa Sempu. Suatu desa yang rupanya baru saja
dibangun. Penduduknya belum sebanyak desa-desa lain di
Blambangan. Entah berapa jarak desa itu dengan Lateng. Tapi
letaknya di sebelah barat daya Lateng.
Rumah-rumah yang berdiri di kiri-kanan jalan selebar dua
depa tidak begitu besar. Tampaknya dibangun secara acak.
Tidak ada yang berdinding kayu seperti umumnya rumah-
rumah kawula Blambangan. Belum ada sawah di sekitar
perkampungan itu. Rupanya penduduk masih mulai membuka
ladang dan menanam ubi jalar, jagung, ketela, dan kacang-
kacangan. Tanaman yang bisa berbuah dalam tiga bulan.
Di penghujung deretan rumah-rumah itu ada sebuah rumah
yang besarnya dua kali lebih besar dari lainnya. Namun
bentuknya sama seperti lainnya. Juga dindingnya terbuat dari
gedek (dinding yang terbuat dari anyaman bambu). Tiangnya
dari bambu. Demikian pula atapnya dari ilalang. Dalam rumah
yang berada di tepi hutan itu cuma ada satu bilik untuk tidur.
Sedang satu lagi ruangan besar yang bisa digunakan untuk
berbagai macam kegiatan. Tidak sama seperti kebanyakan
rumah Blambangan, rumah ini berjendela.
Sebuah tempat duduk ditempatkan di tepi ruangan yang
lebar. Berhadapan dengan tempat duduk itu hamparan tikar
pandan yang cukup banyak. Sedang tempat duduk itu sendiri
dibikin dari bambu. Kursi bambu. Jika orang melihat, di
belakang rumah itu ada jalan setapak menembus rimba
belantara. Demikian pula di sebelah kanan rumah itu. Terdapat bukit
batu dan padas. Rumput pahitan menjalar subur di sela
bebatuan. Dan setiap hari rumah itu kelihatan sepi. Karena
memang penghuninya cuma dua orang gadis. Sayu Wiwit dan
Mas Ayu Prabu. Kala siang hari mereka jarang sekali di rumah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Teman sekampung mereka tidak tahu ke mana mereka pergi.
Mereka tak pernah diberi tahu kegiatan kedua gadis itu.
Namun karena kebaikan hati keduanya yang sering menolong
penduduk di sekitarnya maka mereka menjadi segan. Bahkan
apa saja yang diperintahkan kedua gadis itu pasti mereka-
lakukan. Penduduk sendiri selalu datang pada kedua orang itu jika
ada kesulitan apa-apa. Dan hampir tidak ada kesulitan yang
tidak bisa diatasi jika Mas Ayu Prabu atau Sayu Wiwit turun
tangan. Karenanya pula mereka tak segan membiarkan anak-
anak remaja ataupun yang sudah menjelang dewasa menjadi
murid kedua gadis itu. Dua orang gadis yang memiliki wibawa
seperti bidadari. Pada umumnya mereka tak berani bertatap pandang
dengan Mas Ayu Prabu. Ah... mata gadis itu, desis seorang
pemuda desa Sempu. Seperti bintang timur. Apalagi dilindungi
oleh alis yang seperti gambar bulan tanggal satu serta bulu
mata yang lentik. Lesung pipit selalu menghias pipinya yang
seperti buah tomat dibelah itu, jika ia sedang tersenyum.
Apalagi jika ia tertawa. Barisan mutiara berderet di sela kedua
bibir tipis yang merekah seperti warna kulit manggis terbelah.
Lehernya jenjang bergaris-garis samar dihiasi kalung emas
yang tidak pernah dimiliki oleh sudra. Rambutnya hitam-pekat
sangat berlawanan dengan warna kulitnya yang seperti kulit
buah duku.. Susunya tegak disangga kutang rantai emas,
menunjukkan gadis ini seorang ksatria. Telanjang dada sampai
pusarnya. Sebagai pengikat kain penutup bagian bawah
tubuhnya adalah sutera putih yang dililitkan pada pinggang.
Keris terselip menyilang di depan perutnya.
Berbeda dengan Mas Ayu Prabu, rambut Sayu Wiwit lebih
ikal. Kulit agak sawo matang.Tanpa lesung pipit di pipi. Namun
di atas sebelah kanan bibirnya ada tahi lalat kecil seperti titik
hitam yang membuatnya lebih menarik. Wajahnya tampak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
lebih periang dan senyumnya murah. Cara mereka berpakaian
hampir sama. Pagi itu Sayu Wiwit pergi mendahului Mas Ayu Prabu.
Sedang Mas Ayu Prabu masih ingin membaca Weda yang
belum terselesaikan. Penduduk desa Sempu sudah sejak tadi
pergi ke ladang. Kicau burung masih juga riuh walau mentari
sudah mulai naik. Anak-anak kecil ramai bermain di jalan-
jalan. Saat begitu tiba-tiba saja telinga Mas Ayu Prabu
menangkap suara derap kuda. Ia tajamkan telinganya. Makin
dekat. Dari arah hutan di belakang rumahnya.
Bergegas ia keluar dan dari halamannya ia meneriaki anak-
anak supaya segera bersembunyi. Tak ayal seperti anak-anak
ayam yang berlarian mencari perlindungan di bawah sayap
induknya, anak-anak kecil itu masuk rumah. Sebentar
kemudian bersama-sama dengan ibu mereka menghilang
dalam semak belukar. Orang-orang Sempu sudah dilatih oleh
Mas Ayu Prabu untuk mencurigai semua dan segala.
Juga lelaki yang di ladang. Segera hilang tanpa bekas.
Sedang Ayu Prabu dengan tenang menyiapkan senapannya
menyongsong ke arah suara derap kuda. Makin dekat. Dan
kian lamban langkah kuda itu. Ayu Prabu juga kian masuk
dengan senapan teracung. Keringat dingin mulai membasahi
telapak tangannya. Sampai saat dua ekor kuda tersembul di
hadapannya. "Berhenti!" perintahnya dengan bahasa Blambangan.
Seorang wanita muda melompat turun.
"Ampuni hamba, Yang Mulia," Sayu Wiwit menyembah, "tak biasanya kita membawa
kuda ke sini. Tapi sekarang terpaksa.
Hamba menemukan seorang wanita yang terluka parah di
pusaran air Kali Setail."
"Ah... kamu membuatku terkejut." Mas Ayu Prabu menarik
napas panjang sambil menjauhkan telunjuk dari pelatuk
bedilnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Maafkan hamba...."
"Masih hidup?" "Hamba sudah mengeluarkan semua air yang ada dalam perut wanita ini. Jika kita
bertindak cepat ada kemungkinan masih bisa ditolong. Walau mungkin paru-parunya
sudah mengisap..." Ayu Prabu tidak mendengar kelanjutan kata-kata Sayu Wiwit. Karena ia sudah
mengajak membawa wanita yang tertelungkup di punggung kuda itu ke gubuk mereka.
Dan Mas Ayu terpekik lirih demi menurunkan wanita itu.
"Yang Mulia Yistyani...," desisnya perlahan. Sekuat tenaga keduanya mengusung
Yistyani masuk ke gubuk untuk kemudian mereka baringkan di tempat tidur yang
terbuat dari bambu. Bilik tempat mereka kini ditempati oleh Yistyani.
"Pergi, kembalikan kuda itu ke kandangnya! " bisik Mas Ayu memerintah. Wiwit
melaksanakan setelah berhamba lebih dulu. Sesaat kemudian Ayu Prabu meniup
seruling dengan nada tinggi. Ternyata merupakan isyarat bagi orang-orang yang
bersembunyi untuk keluar dan keadaan dinyatakan aman.
Beberapa lama setelahnya suasana menjadi kembali ceria.
Anak-anak terdengar bermain di jalan-jalan. Mas Ayu sempat menengok mereka.
Anak-anak yang telanjang bulat pada berlarian. Riang. Tidak ingat lagi apa yang
baru terjadi. Juga tak ingat ketegangan. Tak juga peduli pada debu yang
menyelimuti mereka. Bahkan tidak jarang dari mereka yang dikejar-kejar oleh


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lalat karena sejak kemarin tidak mandi. Atau barangkali ada yang berbau anyir
karena lendir yang menggantung tebal di bawah hidung mereka. Ada juga yang
berdiri saja mengawasi teman-temannya sambil menggigit jari di bawah pohon
mahoni. Mungkinkah aku dulu seperti mereka" tanya Mas Ayu dalam hati. Tapi ia
tidak sempat Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengawasi mereka lama-lama. Teringat pada Yistyani yang
terkapar tanpa daya di pembaringan.
Dirabanya tubuh itu. Panas. Ah... panas tinggi. Kemudian ia
bergesa mengambil kain yang tidak terpakai lagi, mencelupnya
ke dalam air. Dan ditaruhnya di atas kepala Yistyani.
Diamatinya luka di bahu sebelah kiri Yistyani. Rupanya sobek
karena peluru. Mungkin inilah sebabnya Yistyani menjadi
pingsan. Luka itu robek lagi karena benturan dengan benda
keras. Dibersihkannya luka itu. Setelahnya ia mencari daun
lamtoro dan kunyit, ditumbuknya menjadi satu. Kemudian ia
membubuhkan bubukan lamtoro dan kunyit itu ke luka
Yistyani. Sedang ia sibuk memikirkan bagaimana cara untuk segera
membuat Yistyani sadar, Sayu Wiwit telah tiba kembali.
"Terima kasih, Wiwit, kau telah menyelamatkannya...."
"Cuma kebetulan saja. Hamba pikir Hyang Maha Dewa
sendirilah yang mengerjakan segala sesuatunya. Hamba cuma
pelaku saja." Sayu Wiwit tersenyum.
"Jika kita berhasil menolong beliau, maka ini akan sangat
berarti bagi kawula di Blambangan."
"Ya, kita harus berusaha dan berdoa." Tanpa janji mereka
melangkah bersama menuju ke bilik. Dan juga sama-sama
mengulurkan tangan. Meraba tubuh Yistyani. Seorang di
kepala dan seorang lagi di leher.
"Masih ada harapan," Sayu Wiwit berbisik sambil terus
memperhatikan tubuh Yistyani. Sebentar kemudian
memegang pergelangan tangannya. Sedang Ayu Prabu
memperhatikannya dengan saksama. Sayu Wiwit kemudian
mengambil kayu cendana dan mendekatkannya pada hidung
Yistyani. Beberapa bentar. Tapi belum juga membawa
kemajuan. Yistyani tetap tergolek seperti boneka. Sementara
Ayu Prabu memijit-mijit kepala Yistyani.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Barangkali sudah sejak tadi malam tak sadarkan diri.
Untunglah sekarang napasnya sudah mulai teratur," ujar Sayu
Wiwit lagi. "Sebaiknya kita berdoa. Kita membaca Lokananta
(mantra pelebur dosa) untuk beliau."
Keduanya segera menyiapkan perapian. Menyiapkan dupa
dan kayu setanggi. Setelah semuanya siap, mereka segera
duduk di hadapan pembaringan Yistyani dengan membakar
kemenyan, kayu setanggi dan dupa. Segera saja bau-bau
wangi menusuk hidung. Ruangan yang tidak seberapa luasnya itu mulai penuh asap
putih yang mengepul dan mengitari isi ruangan. Pelan sekali
asap putih gumpal demi gumpal melayang ke atas. Mentok di
langit-langit, turun lagi, mentok lagi di dinding. Beredar-edar
diiringi nyanyian Lokananta yang keluar dari mulut mungil
kedua gadis itu. Bau harum dupa dan kayu setanggi
bercampur bau kemenyan merangsang hidung Yistyani.
Merasuk terus masuk mempengaruhi saraf membuat Yistyani
merintih untuk yang pertama. Ini membuat kedua gadis itu
kian bersemangat menyanyikan doa mereka. Ternyata Hyang
Maha Dewa mendengar doa mereka.
Berdoa. Itulah usaha terakhir mereka. Doa merupakan
pelarian dari keputusasaan manusia. Di saat semua daya
sudah tiada, maka manusia cenderung mencari gegayutan.
Gegayutan pada apa saja. Jika perlu pada sesuatu yang belum
pernah dikenalnya sekalipun. Bahkan pada kegaiban. Alam
gaib. Alam yang tak pernah terselidiki oleh manusia. Dan jika
mereka memperoleh apa yang mereka maui, mereka akan
mempercayai bahwa hasilnya itu merupakan mukjizat.
Beberapa bentar lagi Yistyani mulai menggeliat. Menambah
semangat kedua gadis itu. Mendoa. Makin keras. Makin
merdu. Sampai akhirnya Yistyani membuka matanya. Dalam
hati mereka bersorak. Tapi doa mereka belum habis.
Sementara Yistyani menenangkan hatinya. Sebagai brah-mani
ia cepat tahu ada suara yang menyanyikan Lokananta
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
untuknya. Namun sampai mereka selesai berdoa ia tetap tidak
mampu memperoleh tenaganya kembali.
"Di manakah aku?" Pertanyaan pertama muncul kala ia
melihat dua gadis itu berdiri di sampingnya.
"Yang Mulia tidak perlu memikirkan di mana Yang Mulia
berada kini. Yang Mulia perlu istirahat. Jika sudah sembuh
tentu yang Mulia akan tahu di mana Yang Mulia berada kini."
"Ah... terima kasih." Yistyani berusaha memperbaiki letak
kepalanya sendiri. Tapi masih juga belum mampu. Kedua
gadis itu serempak menolongnya. Dengan mata sayu Yistyani
berusaha mengenali mereka. Namun ingatannya belum pulih.
Maka ia bertanya lagi. "Dengan siapakah aku berhadapan?"
"Tentu Yang Mulia tidak ingat pada hamba," Mas Ayu
menjawab. "Hamba adalah Ayu Prabu, anak Wong Agung
Wilis." "Hyang Dewa Ratu! Anakkukah ini?" Yistyani terkejut.
"Hamba, Yang Mulia. Anak Ibu Tantrini."
"Yah... Dewata masih menolong aku," rintih Yistyani. "Lalu siapakah yang satu
ini?" "Dia... Sayu Wiwit. Anak Dang Culas yang mati dibunuh
oleh Bapa Anti. Dang Culas adalah seorang brahmana yang
tinggal di Pangpang. Beliau tidak setuju Bapa Anti bekerja
sama dengan Mas Anom menjual negeri kita pada Belanda.
Namun Bapa Anti yang sebenarnya murid Dang Culas tidak
mau dengar gurunya. Bahkan suatu hari Bapa Anti mulai
kurang ajar dan meminta Wiwit sebagai putri satu-satunya
Dang Culas untuk dipersembahkan pada Blanke, komandan
Kompeni." "Sekali orang hidup dalam pengkhianatan, untuk
seterusnya dia akan berjalan dalam pengkhianatannya"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Yistyani mulai mampu berkata-kata. Sementara itu Sayu Wiwit
menumbuk beras dan kencur. Setelah itu disedu dengan air
dan meminumkan jamu itu pada Yistyani. Setelahnya seluruh
tubuh Yistyani diolesi dengan ampas bubukan beras kencur.
"Biar cepat segar kembali, Yang Mulia."
"Terima kasih, Wiwit." Yistyani ingin lebih tahu tentang
Sayu Wiwit. Nama "Sayu" tentunya ada makna tertentu.
"Yah... seperti sudah diceritakan tadi oleh Yang Mulia Mas
Ayu Prabu, maka tambahannya cuma serentetan cerita yang
kurang menyenangkan. Namun bila Yang Mulia suka
mendengar pula maka... baiklah hamba akan cerita." Sayu
Wiwit menarik napas panjang. "Cuma saja jika bercerita nanti
hari cepat menjadi sore," Gadis itu bercanda. Disambut tawa
oleh Yistyani dan Ayu Prabu. Setelah itu mulailah Sayu Wiwit
bercerita sambil meneruskan mengoles tubuh Yistyani.
"Lenyapnya Yang Mulia Wong Agung Wilis dari bumi
Blambangan ternyata membawa akibat yang amat buruk bagi
kawula. Apa yang bisa dilakukan kawula" Kecuali
mengharapkan perbaikan nasib. Hadirnya laskar Bali saat itu
dianggap bisa memberikan perlindungan untuk kawula. Tapi
harapan tidak pernah menjadi kenyataan. Laskar Bali
membawa kekecewaan bagi hampir seluruh kawula
Blambangan. Kami semua tahu perjuangan Yang Mulia
Paramesywari dan Yang Mulia sendiri. Tapi karena kita
memang tidak memiliki laskar yang cukup kuat untuk
melindungi kawula maka kita tak berdaya melihat segala ulah
mereka. "Di bawah pimpinan Panigro dengan penunjuk jalan Bapa
Anti, Kompeni masuk ke Blambangan. Laskar Bali porak-
poranda sampai kemudian Yang Mulia Wong Agung Wilis tiba-tiba muncul kembali di
Blambangan. Semua orang bersukacita. Semua orang
mengikuti beliau menggempur Kompeni. Kita ingat waktu itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
adalah bulan Palguna. Kalau hamba tidak salah ingat hari itu
adalah tanggal 27 Palguna (kira-kira sama dengan tanggal 12
Maret. Catatan pihak Belanda menyebutkan gerangan Wilis
Sebagai 12 Maret 1768) .Dan Blambangan menang.
"Namun kita semua masih ingat beberapa bulan berikutnya
yaitu bulan Jita, Kompeni mulai menang kembali. Bahkan pada
tanggal 3 bulan jita (kira-kira tanggal 18 Mei. Sebab Belanda
mencatat tanggal 18 Mei 1768 VOC membakar kota Lateng).
Kompeni membakar semua sawah di Lateng sementara berita
yang kita dengar Wong Agung terkepung dalam kota. Api
menjalar terus ke dalam kota dan karena laskar kita kelaparan
maka beberapa hari setelah pembakaran itu Wong Agung
diberitakan gugur. "Kemenangan mereka adalah mimpi buruk bagi kita.
Termasuk hamba. Bapa Anti mempunyai tugas baru. Di
samping harus memberi makan laskar Madura dan Kompeni,
ia juga harus mempersembahkan gadis-gadis sebagai pelepas
lelah. Harga suatu kekalahan tidak hanya dibayar dengan
harta benda dan nyawa. Tapi juga kerusakan moral dan
akhlak. Terlebih lagi musnahnya suatu peradaban.
"Orang tidak menghargai brahmana lagi. Orang suka
semua yang dibawa oleh bangsa bule ini. Dan hamba tidak
rela menjadi budak. Apalagi budak nafsu. Blambangan boleh
mereka kuasai. Tapi hamba tidak pernah kalah. Bapa Anti
menyeret Bapa Culas gurunya sendiri. Dan Bapa meneriaki
hamba supaya pergi sebelum beberapa butir peluru mencabut
nyawanya. Hamba mengintip dari belukar. Ah, Bapa telah
berlumuran darah. Sebentar kemudian rebah di tanah.
Beberapa murid lainnya juga harus mati. Sedang kaum wanita
diseret. Entah dibawa ke mana. Yang tersisa mengikut hamba
di sini. "Secara kebetulan hamba berjumpa Yang Mulia Mas Ayu
Prabu yang sedang mengintai peperangan. Semua heran
seorang wanita muda mengintai peperangan. Tapi itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kenyataan. Menarik perhatian hamba. Setelah peperangan
usai kami bergabung dan membangun perkampungan ini.
Yah... perkampungan kecil."
Sayu Wiwit selesai bercerita. Mas Ayu Prabu
memerintahkannya juga menghentikan tangannya yang
memijit Yistyani. Setelah itu Mas Ayu Prabu menyodorkan sirih
dan kapur. Gembira sekali Yistyani menerima kinangan itu.
Sudah beberapa lama ia tidak sempat berkinang.
"Jadi Raung sudah tahu kekalahan kita?" tanya Yistyani
sambil mengunyah sirih, pinang, dan kapur yang diracik
menjadi satu. Ia Seperti mendapat kekuatan baru setelah
menelan air liurnya sendiri yang mengandung cairan kinang
itu. Matanya tampak mulai bersinar kembali.
"Sudah," Mas Ayu Prabu menjawab. "Kami sudah tahu
Pramesywari gugur. Kami dengar Yang Mulia tertembak.
Tetapi kami tidak tahu kelanjutan nasib Yang Mulia. Juga
nasib Ramanda, Wong Agung Wilis."
"Jika demikian mengapa bala bantuan tidak datang?"
"Siapa bilang begitu?" kilah Ayu Prabu. "Sebelum Ayahanda mengepung Banyu Alit,
Kanda Mas Sratdadi dan Mas Ramad
menghancurkan Wijenan, Pangpang, dan bahkan Jember.
Peperangan ada di mana-mana. Cuma kita kalah dalam
persenjataan dan jumlah pasukan. Kita dikeroyok dari Madura,
Pasuruan, Sedayu, dan sebagian lagi Mataram serta Belanda
sendiri. Itu sebabnya Tuan Baswi memerintahkan kami
mundur." "Ah... mereka terlalu kuat."
"Ya. Apalagi dibantu oleh orang-orang Blambangan sendiri
yang sudah berpaling pada mereka." Mas Ayu gemas. Ia
menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Sementara
Wiwit duduk di pembaringan Yistyani sambil terus mengelus
dagunya. Atau kadang mempermainkan dua ujung kukunya
sehingga mengeluarkan bunyi tik-tik pelan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ah... dalam setiap zaman selalu ada orang-orang yang
menganggap bangsanya sendiri sebagai tabung kosong
melompong yang perlu di si. Dan diisi dengan semua yang
datangnya dari asing. Sekalipun harus dibayar dengan amat
mahal. Coba saja kalian meniti masa lalu kita dengan
membaca lontar. Maka kita akan tahu bahwa kita sendiri
sebenarnya guci yang sarat dengan ratna manikam."
Kedua gadis itu mendengar dengan amat saksama. Dan
mereka kian gembira. Ingatan Yistyani kian pulih.
"Sayang, banyak orang menutup mata. Apa sebab"
Barangsiapa yang mementingkan diri sendiri maka ia akan
menutup mata dan telinga pada kenyataan. Mereka tak
mampu menggunakan kekayaan yang ada. Jangankan
menggunakan. Menghargai pun tidak mampu. Siapa yang
tidak menghargai miliknya sendiri maka ia juga tak akan
menggunakannya. Dan yang paling menyedihkan ialah jika
kelak guci itu digali dan dimanfaatkan oleh mereka yang
sebenarnya tidak berhak."
Untuk kesekian kalinya kedua gadis itu mengangguk-
angguk. Yistyani mempunyai wawasan ke. depan yang cukup
jauh. Ah... inilah brahmani. Keduanya menjadi iri pada
pengetahuan yang dimiliki Yistyani. Beberapa bentar lagi Ayu
Prabu menghidangkan makanan. Keduanya tidak biasa makan
siang di rumah. Namun mereka memiliki banyak persediaan
makanan. Tak ada beras pada mereka. Cuma ubi jalar, daging
rusa yang sudah dikeringkan, daging babi hutan, atau hasil
buruan lainnya. Sementara itu Sayu Wiwit membersihkan tubuh Yistyani
dengan air hangat. Dan setelah makan, Yistyani diberi waktu
beristirahat. Dan keduanya pergi sampai senja hari. Apa yang
mereka kerjakan" Yistyani tidak tahu. Sebelum pergi tidur
kedua gadis itu meminta Yistyani menceritakan
pengalamannya sejak meninggalkan Lateng.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Yah... kita telah kalah," Yistyani memulai sambil menarik napas panjang. Ia
duduk di pembaringan sambil bersandar ke
dinding. Menatap lampu-lampu minyak yang menerangi
ruangan. Sementara itu bintang-bintang di luar berkelap-kelip
seperti mata penari. Angin bertiup perlahan menggerakkan
ranting dan daun. Tak jarang pula menembus dinding gedek
rumah kecil itu untuk menggoyangkan api pelita. Melambai


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengundang kegaiban di hati tiga wanita itu. Ditambah desir
yang membelai rambut dan tengkuk mereka. Namun Yistyani
tetap saja meneruskan kisahnya. Dan pada saat ceritanya
sampai pada perjumpaannya dengan Sarmanja, kedua gadis
itu terkikik-kikik. "Kenapa tertawa?"
"Yang Mulia masih cantik," Sayu Wiwit bercanda. "Wajar jika Sarmanja tergila-
gila." "Ah... cuma lelaki rakus yang tak tahu diri saja. Sudah
berapa umurku?" Yistyani tersenyum. Tanpa sadar tangannya
bergerak membetulkan letak rambutnya yang tertiup angin.
Tapi bagaimanapun juga hatinya sedikit kembang. Ia hampir
merasa pasti masih memiliki sisa-sisa kecantikan. Andaikata
tidak malu tentulah ia pergi untuk becermin.
"Tidak pernah ada perondaan Kompeni masuk ke sini?"
tanya Yistyani menutup ceritanya.
"Belum pernah. Kenapa tanya demikian?" Ayu Prabu balik
bertanya. "Apakah kau tidak sadar bahwa sekalipun Blambangan
mereka kuasai kita belum kalah?"
"Ya." "Karena itu mereka selalu memburu kita. Agar kita sujud di
kaki mereka. Jika tidak tentu kita harus mereka bunuh. Nah,
hidup adalah mengalahkan dan dikalahkan____"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
III ARUS BARU Bintang-gemintang tak pernah berhenti bersinar. Setiap
malam ia muncul di ufuk timur dan tenggelam di ufuk barat.
Ia berkelip di atas gunung dan lembah, sungai dan samudra.
Ia menerangi binatang buas di hutan, binatang melata di
rawa, ternak dan unggas serta burung-burung malam di
udara. Karena itu kehidupan di Blambangan juga tidak pernah
berhenti. Walau tanpa Wong Agung Wilis, tanpa
Mangkuningrat. Dan kekuasaan beralih ke tangan VOC
(Vereenigde Oostindiscbe Companie: maskapai dagang
Belanda di Hindia) Memang pada mulanya Gubernur Jenderal
Van der Para tidak tertarik terhadap tanah semenanjung timur
itu. Tapi setelah saingan dagang VOC, mulai menjamah
dengan perdagangan candu dan senjatanya, maka berubahlah
pikirannya. Sekalipun ia seorang gubernur jenderal, tetap saja
ia juga manusia yang hidup di atas gaji. Gaji sebagai imbalan
jasanya. Itu sebabnya ia menyerbu Blambangan. Untuk
membuktikan bahwa ia berjasa pada VOC. Pada modal
raksasa. Gaji" Yah... uang! Karena ada uang ada VOC. Karena uang
ada manusia yang menipu dan " ditipu. Ada yang diperintah
dan memerintah. Karena uang ada orang yang menyediakan
diri jadi sundal ataupun pembunuh. Dan demi uang VOC harus
mengatur jalannya kehidupan di Blambangan. Memang VOC
mengeluarkan banyak biaya untuk menggaji pasukan dan
pegawai. Tapi semua itu dilakukan untuk memperoleh uang
yang lebih banyak lagi. Demi sempurnanya pengelolaan modal itu maka VOC perlu
membentuk pemerintahan di Blambangan. Karena itu
gubernur Surabaya, Johanis Vos memerintahkan Mayor
Colmond menjabat sebagai penguasa sementara di
Blambangan. Sebagai orang yang paling berkuasa di
Blambangan, dan paling dipercaya oleh gubernur, maka
Colmond menentukan Lo Pangpang sebagai tempat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kedudukannya. Tentu dalam angannya sudah tercanang
rencana untuk dapat mengemban tugas yang dibebankan di
atas pundaknya itu. Colmond mengirimkan temannya Mayor Van Coopa Groen
ke Surabaya terlebih dahulu. Karena Van Coop sakit keras.
Apakah yang menyebabkan ia sakit" Tidak ada yang tahu.
Yang jelas ia sering mengalami panas tinggi. Dingin sebentar,
panas lagi. Kadang menggigil. Dan jika panas meradang, Van
Coop berteriak-teriak seperti orang ketakutan. Ia panggil
nama istrinya, papanya, dan mamanya. Anak buahnya ikut
takut. Sebelum diberangkatkan ke Surabaya Coop hampir
setiap hari menangis. "Ia didatangi arwah orang-orang Blambangan yang
dibunuhnya," ujar Kopral Meneerlijk pada Sersan Van Bozgen.
"Apa kamu bilang, Kopral" Didatangi arwah orang
Blambangan" Mana bisa bangkai-bangkai itu bangun lagi?"
Sersan Bozgen tidak percaya. Ia berulang kali memandang
rumah Van Coop. Kebetulan mereka berdua yang ditugaskan
menjaga komandan yang sedang sakit itu.
Meneerlijk duduk membelakangi rumah itu sambil
membersihkan laras bedilnya.
"Tidak percaya, Sersan" Buktinya dia sakit ngomel terus.
Dan selama perang di sini prajurit kita lebih banyak yang mati
bukan karena perang. Ingat zaman Komandan Blanke" Tiga
ribu orang cuma tersisa tiga puluh. Bukan karena peluru
musuh, Sersan." "Aa... Kopral jangan bicara yang tidak-tidak. Kita harus
waspada dan selalu berdoa. Jangan karena kita menang, kita
lalu bertindak semau-mau. Lihat itu mayor kita, lupa daratan.
Ia tidak kenal lagi dengan dosa. Tidak pernah sembahyang. Di
mana pun kita tidak boleh lupa Tuhan." Sersan itu mondar-
mandir dengan senjata di tangan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apa hubungannya perang dengan doa, Sersan" Kita kotor
dan najis. Tapi Sersan masih juga bicara soal Tuhan. Sersan
seperti malaikat. Saya hanya bisa berdoa di gereja. Lain tidak,
Sersan." Sersan Bozgen terdiam. Apalagi saat itu Mayor Colmond
mendatangi mereka. Segera mereka berdiri tegak seperti
patung, kemudian memberi penghormatan. Dan senjata
mereka diangkat dengan laras ke atas dan ditempatkan tepat
di depan mereka. Setelah membalas penghormatan mereka
Mayor Colmond memberi tahu bahwa Van Coop segera
diberangkatkan ke Surabaya melalui laut.
Setelah memberangkatkan Van Coop ke Surabaya, tugas
Colmond adalah membenahi pemerintahan. Maka di
kediamannya, ia berunding dengan beberapa anak buahnya
untuk menentukan siasat yang terbaik dalam menjalankan
pemerintahan, Rumahnya terletak di pinggir jalan raya yang
menghubungkan Lateng dengan Panarukan. Halamannya
selebar dua ratus depa, sedang panjangnya kurang-lebih tiga
ratus depa. Cukup luas memang. Pagar batu bata mengelilingi
luas halaman. Dan pos penjagaan ditempatkan di gerbang
masuk halaman itu. Jarak antara jalan raya dengan pendapa
rumahnya kurang-lebih seratus depa. Di kiri-kanan jalan
masuk ke gedungnya ditanami pohon kenari. Belum rimbun
memang. Karena masih tiga-empat bulan saja umur
pepohonan itu. Juga umur gedung yang ditempati Colmond
itu. Gedung itu dikerjakan oleh ratusan tangan orang-orang
Madura dan Blambangan. Tentunya dengan pengawasan.
Bentuknya meniru kediaman Gubernur Jenderal di Jakarta.
Dindingnya dari batu bata dan dilapis begitu halus serta dicat
kapur putih. Orang Blambangan tak pernah mimpi bahwa di
Pangpang akan berdiri gedung semacam itu...
Meskipun penyelesaian bangunan belum usai, namun siang
itu Colmond bersama beberapa pembantunya sedang berada
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
di bangsal yang memang disediakan sebagai bagian dari
bangunan itu. Bangsal yang menghadap halaman luas yang
rencananya akan dijadikan taman. Jika Van Der Para di
Batavia boleh berjalan-jalan di taman dengan ditemani oleh
para selirnya kenapa para gubernur dan residen tidak boleh
melakukan hal yang sama" Bukankah mereka juga
membutuhkan keenakan dalam hidup"
Sebuah kursi berukir didatangkan dari Pasuruan sebagai
tempat duduk Colmond. Di depannya ada meja yang
berukuran satu setengah depa kali tiga depa. Di kiri-kanan
meja ada beberapa kursi yang diduduki oleh para
pembantunya. Deretan sebelah kiri duduk Letnan Van
Beglendeen dan Sersan Ge Dank. Sedang sebelah kanan meja
tampak Sersan Bozgen, Kopral Badeloens, dan Kopral
Meneerlijk. Dua orang pribumi berdiri di kiri-kanan Colmond
sambil mengipasi orang tinggi besar berambut dan berkumis
pirang itu. Yang mengipasi Van Der Para di Batavia pastilah
dua wanita pribumi pilihan. Mungkin saja anak-anak bupati
atau putri raja Jawa yang takluk pada VOC. Di Blambangan
belum. Nanti juga akan begitu jika pemerintahan sudah
mapan, pikir Colmond. Udara Blambangan terlalu panas buat
Colmond. "Kita akan memulai lembaran baru bagi kehidupan kita.
Dengan jatuhnya Blambangan ke tangan kita berarti habislah
sudah wilayah Mataram. Dan VOC akan lebih kaya dari
Mataram sendiri. Ha... ha... ha...," Colmond memulai. Setelah
itu tangan kanannya memungut sebuah kipas yang terbuat
dari kulit rusa. Walau dikipasi dari kiri dan kanan ia masih
merasa gerah. Sampai-sampai keringat mengalir di jidat dan
turun ke dahinya yang berwarna merah jambu itu.
"Ya. Lalu apa yang harus kita kerjakan, Mayor?" tanya
Letnan Beglendeen sambil menggaruk tangan kanannya yang
berbulu kuning dengan jari-jari tangan kiri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mayor Colmond menatap muka anak buahnya itu. Kedua
belah alisnya yang tebal dan pirang itu menyatu. Sedang
kedua ekor alis itu tertarik ke atas. Kemerut di dahi ditambah
bibir lebar mengatup rapat di bawah hidung yang berbentuk
seperti jambu mente. Tampaknya seperti orang yang selalu
mengejan. "Kenapa Letnan bertanya begitu" Tentu kita membenahi
pemerintahan. Agar kita bisa mengangkut hasil bumi dengan
mudah maka kita harus membangun sarananya. Dan kita
membangun benteng-benteng baru untuk memperkuat
kedudukan kita." "Kita tidak bisa hanya menggunakan orang-orang Madura,"
Kopral Badeloens memberikan pendapat, "sebab tenaga
mereka juga kita gunakan untuk berperang jika sewaktu-
waktu pribumi melakukan perlawanan."
"Betul!" Colmond menoleh pada Badeloens. Masih muda.
Tapi perutnya agak buncit. Untuk ukuran Eropa tentunya
Badeloens termasuk kerdil. "Karena itu kita akan
menggunakan tenaga pribumi. Mereka harus kasih makan dan
membangun benteng buat kita."
Kini Colmond menoleh pada dua orang yang sedang
mengipas-ngipas di belakangnya. Mereka tak mengerti bahasa
Belanda. Juga tak mengerti makna tolehan itu. Dalam
ketidaktahuan mereka mengipas makin kuat. Sebentar
kemudian suara Letnan Beglendeen menarik perhatian
Colmond. "Jika demikian kita harus menggunakan tenaga pribumi
untuk memerintah pribumi sendiri."
"Satu pemikiran yang bagus, Letnan Beglendeen. Tapi kita
tidak boleh membiarkan penguasa pribumi itu membangun
tentara. Pokoknya kita harus berusaha agar mereka tidak bisa
melawan.' Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jika demikian maka ada baiknya kita angkat seorang bupati agar bisa membantu
kita. Seperti Surabaya,"
Beglendeen menyarankan lagi. Sementara itu yang lain hanya diam.
"Tidak boleh cuma satu. Blambangan ini wilayahnya cukup luas. Jika di bawah
perintah satu orang dan kemudian orang itu memberontak maka seluruh Blambangan
akan ikut memberontak. Karenanya kita akan angkat dua orang tumenggung.
Blambangan kita bagi dua. Sebelah utara akan beribukota di La Pangpang ini, dan
selatan beribukota di Lateng. Gubernur Yohanis Vos pasti akan menyetujui
pendapat kita. Juga angkat dua pembantu tumenggung yang di Mataram biasa diberi
pangkat patih. Aha... mereka akan menerima gaji dari VOC. Jadi mereka adalah
pegawai kita. Yang kita angkat dan berhentikan."
"Apakah Mayor sudah menemukan orang yang mungkin bisa kita percaya" Kita tidak
boleh sembarang tunjuk."
"Akh... benar juga, Letnan. Tapi... kita masih ingat pada Bapa Anti yang dulu
datang ke Surabaya itu?"
"Jika kita angkat dia maka orang-orang Blambangan tak akan mau percaya padanya.
Mereka tentu tidak suka pada Bapa Anti itu. Sebab tentu dia yang dianggap
penunjuk jalan sehingga kita dapat mematahkan Wong Agung Wilis. Nah...
jangan lupa Wong Agung Wilis sangat berpengaruh di sini.
Semua orang Blambangan dengar setiap kata-katanya,"
Beglendeen memperingatkan lagi. Sersan Badeloens dan lainnya menganggguk-angguk.
Membenarkan. Mayor Colmond pun mengerutkan dahinya. Sebentar kemudian ikut
mengangguk-angguk lemah. Tapi cuma beberapa anggukan dia berhenti dan mengelus
jidatnya. Colmond tak habis mengerti, bagaimana caranya Wong Agung Wilis mempengaruhi
kawula Blambangan. Bahkan menurut laporan mata-mata, Wong Agung Wilis mampu
menggerakkan laskarnya walau dengan tanpa gaji. Gila! Tanpa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
uang dan paksaan. Ucapan Wong Agung dianggap ucapan
dewa! Orang merasa dirinya mulia andaikata bisa
melaksanakan perintah Wong Agung. Ah... tapi mereka tetap
dungu. Wong Agung Wilis tertangkap dan sekarang dalam
pelayaran ke Pulau Edam di Kepulauan Seribu. Mengapa orang
semacam itu diperdewakan" Colmond melecehkan dalam hati.
Wong Agung Wilis sudah tak mampu membela diri sendiri.
Apalagi Blambangan. Angin bertiup lagi dari pelataran. Tapi tetap belum
menyejukkan yang sedang berunding. "Sedang mentari
semakin meninggi. Tiba-tiba Colmond menemukan akal.
Bukan Bapa "Anti calon pemimpin Blambangan. Tapi
setidaknya orang itu bisa dimintai pendapat siapa yang bisa.
Dan ia memandangi anak buahnya. Mereka sudah membuka
kancing baju sehingga tampak bulu lebat memenuhi tiap dada
anak buahnya. Yang agak tidak menyenangkannya ialah bau
ketiak mereka mulai tercium di permukaan hidungnya. Tapi ia
sendiri j:idak dapat mengusir mereka. Karena ketiaknya juga
sudah berkeringat. Jangan jangan ketiaknya sendiri yang
berbau. "Siapa di antara kalian yang bisa bicara Blambangan?"
Colmond tiba-tiba bertanya.
Bozgen dan Ge Dank mengangkat tangan bersama.
Colmond senang. Ia perlu juga belajar sedikit-sedikit.
Kemudian ia juga menganjurkan pada seluruh anak buahnya
agar belajar bahasa Blambangan walau tidak sempurna.


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sedang pada Ge Dank ia perintahkan agar memanggil Bapa
Anti. Ia akan melibatkan banyak orang Blambangan sendiri
untuk kepentingan VOC. Cukup lama mereka harus menunggu kedatangan Bapa
Anti. Walau Ge Dank berkuda. Dan memang yang namanya
menunggu selalu tidak menyenangkan. Apalagi ditambah
dengan kegerahan. Melengkapi kejengkelan. Colmond
berulang berdiri untuk menengok jalan raya. Sementara yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
lain tidak berani bergerak. Mematung di kursinya. Dua orang
pengipas Colmond tidak tahu makna umpatan yang keluar dari
mulut Colmond. Mengumpat pada kelambanan Ge Dank, pada
gerahnya udara, pada tumbuhan di sekitar rumah yang tidak
cepat besar dan rimbun. Mengumpat pada semua dan segala
sebagai pelampiasan kejengkelan.
Akhirnya umpatan yang membuat anak buahnya terpatri di
kursinya masing-masing itu berhenti juga. Ge Dank masuk ke
ruangan itu dengan seorang yang telanjang dada dan
berdestar. Agak kurus dan tinggi. Bermata kuyu dengan kumis
tidak teratur. Di beberapa bagian kumis itu sudah mulai
tercampur warna putih. Gelang akar hitam menghias
pergelangan tangan kanan orang itu. Bapa Anti.
"Silakan duduk. Bapa Anti?" Colmond bertanya dalam
bahasa Belanda dan diterjemahkan oleh Bozgen.
"Benar, Tuan," Orang itu memberi penghormatan. Setelah
itu mencari-cari tempat duduk dengan matanya. Tapi tak ada,
karena kursi yang tersedia sudah diduduki oleh Ge Dank. Mau
tak mau ia harus duduk di lantai tanah. Pembangunan gedung
belum selesai. Ia ngelesot di hadapan Colmond. Harga sebuah
kerja sama atau kekalahan" Namun Bapa Anti tidak
mempersoalkannya. Apalagi Colmond segera menyambung
pembicaraannya. "Kami datang karena Bapa Anti pergi ke Surabaya. Dan
VOC ingin bekerja sama dengan orang-orang Blambangan.
Tidak seperti orang-orang Bali. Mengerti?" Colmond
memandang dengan matanya yang biru. Bahkan kini
tersenyum. Bozgen terus menerjemahkan.
"Ya. Mengerti, Tuan." Bapa Anti tidak mengerti apa
kelanjutan kata-kata Colmond. Dia mendengar dan terus
mendengar. "Tapi sayang Wong Agung Wilis datang menyerbu kami. Ia
malah membagi-bagikan uang Bali. Sedikitnya dua ribu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sembilan ratus tujuh puluh orang Kompeni mati di sini. Belum
biaya yang kami keluarkan. Begitu banyak. Tapi kami masih
mau bersabar dan membantu kamu serta orang-orang
Blambangan." "Ya, Tuan. Kami minta maaf." Bapa Anti tidak berani
memandang wajah Colmond. "Mas Anom yang kau usulkan menjadi tumenggung tak
juga berani menghadapi Wilis. Katanya akan setia pada
Belanda, tapi setelah Wong Agung Wilis datang ia pergi
meninggalkan tugasnya."
"Semua orang takut pada Wong Agung Wilis, Tuan."
"Takut" Ha... ha... ha... Ada apa dengan orang itu" Bukan
setan dan bukan Tuhan. Kenapa takut?"
Untuk pertama kali Bapa Anti mendengar istilah Tuhan.
Bukan dewa. Hatinya berdesir. Tapi ia tak mampu
membantah. "Wong Agung Wilis adalah ksatria yang mewakili dewa.
Semua orang harus tunduk padanya."
"Itu penipuan, Bapa Anti. Toh dia kalah... Nah, sekarang
aku tuntut janjimu di hadapan gubernur Surabaya bahwa kau
akan membantu r Kompeni sepenuhnya. Aa... ya, kami akan
angkat kau menjadi pegawai yang dibayar oleh Kompeni."
"Apa yang harus kami kerjakan?"
"Dengar. Kami hanya ingin menjaga agar Blambangan tidak
diserbu lagi oleh Bali. Kami tidak ingin memerintah. Karena itu
kami ingin menyerahkan pemerintahan ini pada orang
Blambangan sendiri." Colmond berhenti sebentar. Mengipasi
mukanya. Kemudian memandang anak buahnya. Sekilas
mereka tampak tersenyum. Beg-lendeen yang tidak pernah
senyum itu pun turut senyum. Ia juga kagum pada akal
Colmond. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Adakah orang yang layak memerintah Blambangan"
Jangan kau sendiri, Bapa Anti. Kau tetap sahabat Kompeni.
Kau juga akan tetap dibayar."
Bapa Anti mengerutkan keningnya. Matanya memandang jauh. Mengingat-ingat.
"Bukan hanya bayaran. Kau pernah ke Surabaya, kan"
Sudah pernah lihat noni-noni" Ahai, kau juga akan dapat hadiah noni yang cantik
bila kau ingin." Masih juga belum menjawab Bapa Anti. Tapi matanya menjadi berbinar demi
mendengar kata noni-noni. Ah... ia ingat di Surabaya dulu. Dari kejauhan ia
lihat seorang noni naik kuda dengan gaun putih, pinggang ramping, dan rambut
kuning seperti emas... Orang Blambangan akan kagum jika ia beristri noni kelak.
Maka ia berjanji akan menghubungi orang yang akan ia usulkan itu.
"Bukan cuma satu orang, Bapa Anti. Tapi empat orang.
Satu orang menjabat tumenggung di Pangpang. Dan satu orang menjadi patihnya.
Satu orang menjadi tumenggung di Lateng. Satu orang lagi menjadi patihnya.
Kau... jadi penasihat kami."
"Blambangan dipecah?"
"Untuk memudahkan pekerjaan saja, Bapa Anti."
Bapa Anti mengangguk-angguk. Tapi tetap tunduk.
"Apakah kau punya gambaran siapa-siapa orangnya?"
Untuk beberapa jenak Bapa Anti berdiam lagi.
Pikirannya berputar dari satu wajah ke wajah yang lain.
Dari satu nama ke nama yang lain. Tiba-tiba dia ingat beberapa satria tak
ternama di kalangan pemerintahan Blambangan zaman Wong Agung Wilis. Karena
memang mereka dari turunan para selir. Bukan selir raja tentunya. Selir Bagus
Tuwi sebagai pangeran. Berdarah satria namun tak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pernah memiliki hak seluas satria lainnya. Hanya karena
mereka anak selir. Atau karena memang mereka tak memiliki
karya dan darma yang menonjol demi Blambangan maka
mereka tak pernah dihormati. Atau mungkin saja karena
mereka tak mendapat kesempatan untuk menunjukkan karya
dan darma mereka. Maka setelah agak lama Colmond menunggu, Bapa Anti
menjawab juga. "Ada. Kami telah memperoleh gambaran mengenai orang-
orangnya. Walaupun demikian kami akan berunding dulu.
Apakah mereka sanggup."
"Siapa mereka itu?"
"Semua adalah keluarga bangsawan. Mereka adalah
Sutanegara, Suratruna, Wangsengsari, dan Jaksanegara. Dan
kebetulan dua orang yang terakhir ini tinggalnya memang di
Pangpang." "Ahai, bagus. Besok suruh mereka bertemu aku. Sekarang
kau boleh pulang. Tapi jangan lupa besok ajak mereka datang
kemari. Katakan biaya hidup mereka beserta anak-istri akan
ditanggung Kompeni. Tidak usah ikut-ikutan miskin seperti
pengikut Wong Agung Wilis. Tahu?"
"Baik, Tuan." "Letnan Beglendeen, berangkat ke Surabaya! Lapor pada
Gubernur Vos tentang yang kaudengar ini!"
"Siap, Mayor." Semua memberi hormat.
0oo0 Esok harinya kediaman Colmond lebih ramai dari hari
sebelumnya. Ada empat orang tamu, bangsawan pribumi.
Colmond tak menduga sama sekali bahwa mereka akan
membawa pengawal bersenjata. Padahal pada saat
Blambangan dikalahkan, persenjataan mereka dilucuti. Jika
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
demikian, masih banyak orang Blambangan yang menyimpan
senjata api" Dari mana mereka mendapatkannya" tanya
Colmond pada diri sendiri. Melihat kenyataan itu Colmond
buru-buru memerintahkan Badeloens menyiapkan tujuh puluh
empat anak buahnya serta laskar Madura yang tersisa. Dan
memerintahkan Ge Dank dan Meneerlijk untuk melarang para
pengawal ikut masuk tempat perundingan.
Sutanegara datang paling awal. Menurut ukuran
Blambangan orang ini bertubuh tinggi besar. Hampir seperti
orang Eropa. Kulitnya kuning dan hidungnya seperti jambu
monyet. Sabuknya terbuat dari emas dihubungkan dengan
selempang kain hitam bersulam benang emas, yang dipasang
mulai dari perut sebelah kanan naik bersilang lewat dada kiri,
bahu, turun lagi ke perut belakang sebelah kanan lewat
punggungnya. Keris terselip di punggung dan condong ke
kanan. Telanjang dada. Sedang bagian bawah tubuhnya
tertutup celana dan kain batik. Mengenakan gelang emas di
pergelangan tangan kanannya. Sepasang hinggai pada kedua
pergelangan kakinya. Kepalanya tertutup destar berwarna
merah soga. Keraguan menyertainya meninggalkan para pengawal dan
melewati barisan Kompeni. Namun Bapa Anti segera
menyongsong dan melenyapkan keraguan hatinya. Sesaat
kemudian Su-ratruna disertai tujuh pengawal. Orang ini
sebenarnya masih keponakan Tumenggung Singamaya dari
Sumberwangi. Tak seberapa tinggi. Pakaiannya sama dengan
Sutanegara. Cuma badannya lebih gempal dan rambutnya
lebih hitam. Waktu pengawalnya dilarang masuk ia
membangkang. "Kami diundang. Bukan datang menghadap. Hak kami
membawa pengawal," katanya geram.
"Benar, Tuan." Ge Dank berusaha menyabarkan. "Kami
mengundang Tuan untuk berunding. Bapa Anti sudah di
dalam. Juga Tuan Sutanegara. Lihat, itu pengawal mereka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jika kami izinkan Tuan masuk membawa pengawal, maka
mereka akan membuat kegaduhan." Dank berkali-kali
menunjuk rombongan pengawal Sutanegara yang sedang
duduk-duduk di pinggir jalan. "Apa kata mereka nanti jika
kami pilih kasih. Bukan kami tak menghargai Tuan. Tapi kami
menghendaki agar perundingan berjalan tenang."
Suratruna pun mengalah. Apalagi ketika saat itu
Jaksanegara juga datang dengan cuma tiga pengawal dan
menyerahkan pengawalnya pada Ge Dank. Ia bersama
Jaksanegara masuk ke tempat perundingan. Bapa Anti berdiri
menyambutnya. Colmond cuma berdiri dari tempat duduknya
dan menyilakan duduk. Terakhir yang masuk adalah
Wangsengsari. Dia lebih tua dari keempat bangsawan yang
hadir di situ. Dan ia membawa pengawal terbanyak. Lima
belas orang. Kemerut terlukis di pipinya. Otot-otot nampak
jelas menonjol di kedua tangannya. Di sudut matanya yang
memerah itu tampak gambar cakar burung jika tertawa.
Usianya telah lima puluhan.
Setelah Bapa Anti menjelaskan bahwa semua sudah hadir
Colmond segera memulai. "Terima kasih, Tuan-tuan sudi menghadiri undangan kami.
Mudah-mudahan perundingan ini akan berjalan baik. Yah...
sebelumnya kami minta maaf. Undangan kami begitu
mendadak. Tidak heran jika Tuan-Tuan curiga dan membawa
pengawal." Colmond tersenyum. Gigi yang putih berbaris rapi
di sela bibirnya. Kumisnya juga terurus rapi kendati berwarna
pirang. Jauh berbeda dengan Bapa Anti atau orang
Blambangan lainnya yang berkinang. Gigi mereka dihiasi tiga
warna. Kuning gading bercampur hitam dan merah.
"Tidak apa, Tuan. Kami juga berterima kasih Tuan sudi
mengundang kami." Wasengsari mencoba menembus batas
kekakuan. Ketiga temannya memandang dengan tersenyum.
"Ada di antara Tuan-tuan yang bisa Belanda?" tanya
Colmond yang diterjemahkan oleh Bozgen.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kami sedang belajar. Baru bisa sedikit," Jaksanegara yang menjawab.
"Bagus. Jika Tuan-tuan mau belajar, artinya Tuan-tuan
punya niat untuk bekerja sama, to" Kami sendiri akan belajar
bahasa Blambangan demi lancarnya kerja sama kita."
"Terima kasih, Tuan," mereka menjawab bersama.
"Tentunya Bapa Anti sudah bercerita tentang tujuan kami
mengundang Tuan-tuan, bukan" Jadi kami tak perlu
mengulangi maksud kami to?"
"Ya, Tuan, kami sudah mengerti."
"Ha... ha... ha... bagus, bagus...."
Keempat tamu itu berikut Bapa Anti ikut tertawa. Walau
mereka sama sekali tak mengerti I makna tawa itu. Namun
tiba-tiba mata Colmond terbeliak. Ia mencium bau yang
kurang sedap berbareng dengan suara tawa mereka. Maka ia
buru-buru mengambil kipas yang tergeletak di meja. Sambil
mengumpat dalam hati ia menggoyang-goyangkan kipas tepat
di muka hidungnya. Ia tidak bermaksud mengusir kegerahan.
Tapi bau tidak sedap mendatangkan aniaya tersendiri. Maka ia
bermaksud mempercepat jalan- j nya perundingan itu.
"Nah... begini, Tuan-tuan. Kami bermaksud mengangkat
Tuan-tuan menjadi pegawai VOC. Tuan-tuan akan menerima
gaji sehingga Tuan-tuan tidak perlu susah-susah. Kami tidak
akan mengusik kekayaan Tuan-tuan. Bukankah Belanda
datang untuk melindungi kekayaan Tuan-tuan dari keganasan
orang Bali"' "Benar!" Wangsengsari yang memiliki kebun kelapa dan
sawah yang luas itu berkata cepat. Disusul oleh Jaksanegara
dan kemudian baru yang lain ikut mengiakan.
Itulah yang ditunggu oleh Colmond sebagai hamba VOC.
Semua hamba VOC sudah terlatih secara baik menggunakan
siasat. Siasat kekuasaan! Yang ada dalam kepala Colmond
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ialah bagaimana cara menjadikan Blambangan tumpuan
kaki VOC, sehingga setiap orang Belanda boleh menginjak
bahu bahkan kepala orang Blambangan. Sebaliknya para satria
Blambangan, yang tak pernah mengenal peta dan siasat
kekuasaan yang tanpa batasan itu, dengan tanpa sesadarnya
menyediakan diri sebagai landasan berpijak sepatu Kompeni
Belanda. Tanpa sesadar mereka, secara sendiri ataupun
bersama, mereka terlibat dalam usaha menjadikan
Blambangan dengan seluruh isinya milik orang lain, bangsa
lain. Juga diri mereka sendiri menjadi milik VOC.
"Jadi Tuan-tuan sanggup?" Colmond menegaskan.
"Sanggup," Jaksanegara bicara lebih dulu sementara yang
lain masih bertimbang. Dan kesanggupan Jaksanegara
mengejutkan lainnya. Terutama Suratruna. Namun ia ragu


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyatakan pendapatnya. "Bagus," Colmond tidak menunggu jawaban lainnya. "Jika demikian kita akan
menulis surat perjanjian bahwa Tuan-tuan
setuju bekerja sama dengan Kompeni dan membantu
Kompeni." "Surat macam apa itu, Tuan?" Untuk pertama kali
Sutanegara mengajukan pertanyaan. "Orang Blambangan
tidak biasa menulis surat perjanjian segala. Jika kami berjanji,
maka janji itu akan kami bawa mati."
"Ha... ha... ha... Maafkan, Tuan Sutanegara, bukan kami
tidak percaya. Tapi untuk laporan ke atasan kami. Karena
surat perjanjian itu pula dasar VOC mengangkat Tuan-tuan
sebagai pegawai dan Tuan akan mendapat gaji. Jangan
tersinggung dulu." Colmond tertawa lagi. Dan mau tak mau
mereka harus menyetujui tekanan Colmond agar mereka
menulis surat perjanjian. Walau yang menulis Bozgen. Ditulis
dalam bahasa Belanda kemudian diterjemahkan ke bahasa
Blambangan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Nah... sekarang kita adakan pembagian tugas.
Blambangan ini akan dibagi menjadi dua. Jadi dibutuhkan dua tumenggung dan dua
orang patih. Blambangan Utara dengan ibukota Lo Pangpang. Maksud kami, Tuan
Wangsengsari yang lebih tua dan tinggal di Pangpang menjadi tumenggung, sedang
Tuan Jaksanegara menjadi patih. Sedangkan Blambangan Selatan beribukota di
Lateng. Kami pikir Tuan Sutanegara lebih tua maka sebaiknya Tuan menjabat
tumenggung di Lateng, sedang Tuan Suratruna menjabat patih Lateng."
"Jika itu dianggap bijaksana oleh Kompeni maka kami setuju." Lagi, Jaksanegara
mendahului lainnya. "Setuju" Ha... ha... ha... Bagus." Colmond berdiri dan memberikan salam pada
mereka. "Dalam waktu dekat Tuan-tuan akan menerima surat pengangkatan dari
Batavia. Selamat." "Terima kasih," ujar tiap orang yang disalami. Setelah selesai semua mereka
duduk lagi. "Kita akan merayakan persahabatan kita ini. Setuju" Kita mengundang seluruh
kawula untuk ikut pesta. Kami juga perlu hiburan setelah tegang berperang
melawan Wong Agung Wilis. Bapa Anti siapkan pesta ini. Tuan-tuan, semua setuju?"
"Kawula masih tegang dan takut," Sutanegara keberatan.
"Justru itu," Colmond bertahan, "kita berusaha memberi kedamaian di hati mereka.
Dengan pesta itu kita membuktikan pada kawula Blambangan bahwa keamanan sudah
mantap. Mereka tidak perlu takut bekerja di sawah dan membuka kedai-kedai. Pokoknya kami
ingin menunjukkan pada mereka bahwa Kompeni mampu menjadi penjaga keamanan bagi
Blambangan. Pesta itu juga perlu untuk saling mendekatkan diri antara pasukan
kami dengan orang-orang Tuan.
Mengerti?" "Masuk akal," Jaksanegara menyetujui.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tapi kami minta waktu sedikitnya tujuh hari untuk
menyiapkan semuanya," Bapa Anti meminta.
Colmond menyetujui. Sedang Jaksanegara dan
Wangsengsari berjanji akan membantu dengan sepenuh
tenaganya. "Tugas kami adalah menjaga keamanan di Blambangan.
Tugas kami menenteramkan Blambangan. Tapi sebaliknya
Blambangan menyiapkan perumahan bagi kami, benteng-
benteng bagi pasukan Kompeni. Dan... menjamin makan
pasukan kami. Ini tugas Tuan-tuan. Nah... pertemuan kita
selesai dan kita akan bertemu lagi nanti tujuh hari kemudian."
Tiada sempat empat orang itu mengajukan pendapat,
walau mungkin saja keberatan terhadap tugas yang
dibebankan pada mereka. Tapi mereka adalah pegawai.
Setinggi apa pun pangkatnya, mereka tetap pegawai yang
tidak berhak membantah atasan. Apa pun keberatan hati,
mereka harus t mengiakan. Uang telah membeli hak mereka
untuk mengutarakan pendapat. Lebih dari itu keberadaan
mereka. 0oo0 Bapa Anti menjadi sibuk. Dia pikir mencari kepercayaan
seperti yang telah diterimanya dari Mayor Colmond tidak
mudah. Memang kepercayaan tidak datang begitu saja. Untuk
bisa mendapatkan kepercayaan seseorang haruslah menanam
budi terlebih dahulu. Kepercayaan hampir seperti anugerah. Di
mana ada karya di sana ada anugerah. Karena memang salah
satu hukum kehidupan adalah timbal-balik. Tapi benarkah ada
timbal-balik" Timbal-balik tentunya berdasarkan sesuatu yang seimbang.
Alam memang membutuhkan keseimbangan. Bahkan alam
selalu berusaha menjaga keseimbangannya sendiri. Gunung
meletus, banjir, dan banyak lagi hal-hal serupa, sebenarnya
adalah salah satu cara alam untuk mempertahankan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
keseimbangannya. Alam suka akan keseimbangan itu. Tapi
manusia" Manusia lebih suka pada keenakan. Dan barang
siapa suka akan keenakan pribadi dia akan meninggalkan
keseimbangan. Bapa Anti tidak pernah menyadari hal ini. Ia
memburu keenakan. Lepas dari laskar Bali. Tapi
bagaimanapun ia merasa bahwa ia membawa arus baru bagi
kehidupan semua kawula Blambangan. Maka ia menghubungi
para bekel (lurah) agar membantu mengirimkan orang-
orangnya untuk mendirikan tarup (semacam tenda terbuka
beratap ilalang. Bangunan ini sifatnya sementara dan
digunakan hanya untuk upacara-upacara) di halaman
kediaman Colmond yang luas itu. Sebagian lagi ditugaskan
mencari penari dan penabuh angklung yang terbaik. Dan
berita pesta itu disebarkan ke seluruh penjuru Blambangan.
Bapa Anti membagikan mata uang Belanda pada para bekel
dan- menyatakan uang Blambangan dan uang Bali tidak
berlaku. Orang menilai betapa murah hatinya Bapa Anti.
Betapa baiknya Kompeni. Itu mendorong keinginan mereka
untuk datang pada pesta nanti. Laki-perempuan, tua dan
muda. Apalagi diumumkan oleh Bapa Anti akan ada
pertunjukan menari dari penari-penari kenamaan yang
didatangkan dari seluruh penjuru Blambangan.
Berita yang menjalar tentang pembagian Blambangan
menjadi dua wilayah dengan cepat sampai di telinga Mas Ayu
Prabu. Dan tentu saja merupakan tugasnya untuk mengetahui
lebih banyak. Ia segera memerintahkan Sayu Wiwit untuk
mengerahkan anak buahnya.
"Tugas kita cuma mencari berita. Belum ada perintah apa
pun kecuali itu. Karena itu, Wiwit, jangan kau sendiri
berangkat. Masih banyak orang lain yang bisa
mengerjakannya." "Hamba, Yang Mulia."
Yistyani sudah mulai bisa berjalan. Setiap hari ia melatih
diri agar dapat pulih seperti sediakala. Hatinya tetap ingin
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bergabung dengan anaknya di Raung. Ia merasa kurang
berarti tinggal bersama kedua gadis yang ternyata memiliki
tugas khusus, yaitu menguping semua peristiwa di
Blambangan untuk kepentingan Raung. Jika aku di sini terus,
maka aku akan menjadi beban mereka.
Sekilas ia teringat pada kedua pengawalnya yang ia tinggal
mandi dulu. Matikah mereka" Sayu Wiwit tidak menemukan
mayat mereka. Tidak mungkin mayat mereka dibawa oleh
musuh. Biasanya mayat selalu ditinggal begitu saja. Atau
mungkin saja dilahap oleh serigala-serigala" Atau dimakan
burung-burung pemakan bangkai"
Ah... betapa malangnya nasib mereka. Kasihan. Apakah
secara kodrati manusia sama dengari anjing maka mereka
juga harus mati seperti anjing kurap"
Bukan cuma di Sempu berita yang dibawa Bapa Anti itu
berkumandang. Tapi juga di Pakis. Sebuah daerah perdikan
pada zaman Sri Danureja, ayah Mangkuningrat, berkuasa.
Daerah itu dikuasai Wiraguna, masih keluarga dekat
Mangkuningrat. Wiraguna sebenarnya adalah sepupu
Danureja. Namun sekarang daerah perdikan Pakis dikuasai
oleh Mas Bagus Puri, putra pertama Pangeran Wiraguna.
Karena usianya sudah lanjut, maka ia dibantu oleh adiknya,
Mas Rempek. Seorang yang berkulit kuning dan berhidung
mancung. Kumis terawat rapi. Tahi lalat sebesar biji kedelai
menghias pangkal hidung sebelah kanan, serasi dengan alis
hitam yang tebal. Membuat wajahnya makin ganteng.
Dadanya berbulu melengkapi keperkasaannya sebagai lelaki.
Menjadi tumpuan iri hati pria lainnya. Mengundang pesona
bagi banyak perempuan. Keluarga Pakis merupakan keluarga yang bersatu. Tiap
kebijakan Rempek dalam memerintah daerah perdikan itu tak
pernah meninggalkan permufakatan dengan semua
saudaranya. Sebab di samping Mas Rempek masih ada
saudara lain ibu, Mas Suratman yang sudah meninggal. Dia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dulu termasuk narapraja Blambangan zaman Mangkuningrat.
Tapi karena menerima suap dari Martana, pedagang yang
ditangkap Wong Agung Wilis, dan kemudian mengawini gadis
pemberian Martana yang bernama Lam Thai Ning yang
kemudian dijuluki Dewi Lam, tentu saja ia didepak oleh Wilis.
Dengan menyembunyikan sakit hati yang mendalam ia
kembali ke Pakis. Tidak satu pun saudaranya yang berani
membela dan melawan keputusan Wong Agung Wilis.
Ketiga saudara lainnya yang juga berlainan ibu dengan
Bagus Puri, Mas Ayu Nawangsurya, Mas Ayu Rahminten, dan
Mas Ayu Patih, adalah orang-orang yang tak pernah
memberikan pendapat dalam persidangan keluarga. Berbeda
dengan kebanyakan saudara lelakinya, Mas Rempak adalah
pengagum Wong Agung Wilis. Pernah ia berbincang dengan
orang itu walau tidak sering. Tapi itu cukup. Dan ia pikir
pandangannya tidak keliru. Karena banyak kawula
Blambangan yang berpendapat sama dengannya.
Ketika siang itu Rempek sedang berbincang dengan Mas
Bagus Puri, terdengarlah derap kuda mendekati rumah
mereka. Pengawal melaporkan bahwa Jaksanegara dan Bapa
Anti ingin menghadap. Bagus Puri menyuruh pengawal
memperkenankan mereka naik ke pendapa.
Jaksanegara iri ketika sampai di pintu gerbang rumah besar
milik kepala tanah perdikan itu. Seperti tak terusik oleh
perang. Tidak satu batu pun yang gempil. Dinding daerah
perdikan itu masih utuh. Demikian pula pagar batu halaman
yang hampir sebesar istana Mangkuningrat di Lateng. Apalagi
ketika ia melangkah ke dalam. Jalan antara gapura ke
pendapa nampak terawat rapi. Kiri-kanan ditanami kembang
pacar yang beraneka warna. Merah, putih, kuning, dan ungu.
Di pinggir pendapa juga dikelilingi bunga sedap malam. Belum
lagi deretan mawar dan melati bahkan juga kembang lain
yang mengundang kedamaian bagi tiap hati.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Menurut Bapa Anti, Pakis memang tidak terusik perang.
Sebab ketika laskar gabungan Kompeni, Madura, Pasuruan,
dan Sidayu yang menopang laskar Mas Anom masuk ke
Blambangan, Mas Ngalit dan Bagus Puri menyongsong mereka
dengan mengibarkan bendera putih. Kini barangkali istana
Pakis merupakan bangunan terutuh di seluruh wilayah
Blambangan. Apalagi setelah ia naik ke pendapa. Dalam hati ia tidak
mengerti bagaimana bisa laskar Bali tidak menjarah-rayah
kekayaan keluarga ini, padahal hampir semua tempat dijarah.
Untuk ini Bapa Anti juga yang lebih tahu dari Jaksanegara.
Keluarga Mas Bagus Puri adalah keturunan dekat Sri Tawang
Alun. Yang masih berhubungan darah dengan raja-raja Bali.
Tentu saja Pakis tidak akan diusik. Perabotan di pendapa itu
masih lengkap dengan hiasan dan ukiran emas serta perak.
Cuma Mas Rempek yang berdiri menyambut dan
mempersilakan mereka duduk. Mas Bagus Puri tetap saja
duduk di sebuah kursi kayu hitam berukir. Dan untuk mereka
berdua disediakan dua kursi tanpa sandaran. Kursi yang
terbuat dari kayu hitam. "Selamat datang, Yang Mulia," Rempek menghormat
Jaksanegara. Ia sudah dengar pengangkatannya menjadi patih
Pangpang. Sedangkan Pakis masuk wilayah Pangpang.
"Terima kasih. Dirgahayu, Yang Mulia," balas Jaksanegara.
"Sangat mengejutkan," Bagus Puri juga menghormat.
"Maafkan kami, menghadap tanpa memberi tahu lebih
dulu," Jaksanegara mencoba merendahkan diri.
"Kami sangat senang menerima Yang Mulia. Ah... suatu
kehormatan besar," Rempek tertawa ramah. Semua ikut
tertawa. "Apalagi kunjungan Yang Mulia Patih... tentu ada
yang sangat penting."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya... ya... memang sangat penting," Bapa Anti mendahului
Jaksanegara. "Kami tahu bahwa Yang Mulia Mas Bagus Puri
adalah sesepuh keturunan Tawang Alun yang tersisa, maka
kami perlu mohon doa restu agar kami diberi kesempatan
membangun Blambangan. Demi Sri Prabu Tawang Alun Sorga
(Sorga di belakang nama seseorang mengartikan bahwa orang
tersebut telah mangkat karena tua atau sakit)"
"Terima kasih. Siapa pun berhak membangun tanah
kelahirannya. Siapa pun berhak mempersembahkan karya dan
darmanya. Asal itu tulus. Tidak semata-mata kepentingan
pribadi saja." "Keadaan memaksa kita untuk mengadakan perubahan dan
pembaharuan. Karena itu hamba datang kemari untuk
membicarakan pembaharuan di Blambangan ini. Kita sekarang
bekerja sama dengan Kompeni Belanda seperti halnya
Madura, Surabaya, dan daerah lain di bumi Nusantara ini"
Rempek memandang Mas Bagus Puri yang kelihatannya
terkejut mendengar itu. Kedua orang itu belum memberikan
jawaban. "Kerja sama ini berlaku untuk seluruh wilayah Blambangan.
Termasuk Pakis," Jaksanegara menegaskan.
"Termasuk Pakis?" Rempek terkejut.
"Ya. Termasuk Pakis. Tak ada lagi daerah perdikan. Karena
Blambangan tidak berhak menentukan apakah suatu daerah
dijadikan perdikan atau tidak. VOC yang berhak."
Muka Rempek seketika menjadi gelap. Alisnya tertarik ke
atas. Membuat matanya melebar. Dadanya kembang-kempis
menahan gejolak. Sedang Bagus Puri mendadak pucat.
Dikuatkan oleh warna alis, kumis, dan rambut yang putih.
Bibirnya yang berwarna ungu itu bergetar. Tapi cuma sesaat.
Pengalaman serta usia cepat menurunkan darah yang naik ke
ubun-ubun.

Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Rempek," katanya kemudian, "panggil seluruh saudara!
Mereka harus tahu perubahan ini."
Dengan mata berkilat tajam Rempek yang masih muda itu berdiri. Darahnya
mendidih. Kehormatannya tersinggung.
Darah Tawang Alun dipermalukan oleh datangnya kaum kulit putih. Semua pewaris
tahta Blambangan tak seorang pun berani melakukannya. Bahkan mereka melindungi
kebebasan tanah perdikan ini. Tidak pernah dipungut upeti ataupun pajak.
"Panggil semua saudaraku! " perintah Rempek pada kepala pengawal dengan suara
berat. "Cepat! Berkudalah! Katakan pada mereka bahwa ada perkara yang amat
penting." Tidak biasa Rempek bicara pada pengawal seperti itu.
Kelihatan beringas. Namun kepala pengawal itu tidak berani bertanya. Ia segera
membagi lima orang anak buahnya berkuda menuju lima arah.
Sambil menunggu saudara-saudaranya tiba di pendapa, Rempek tidak kembali ke
pendapa. Ia harus melampiaskan rasa marahnya di luar. Ia tidak ingin kakaknya
yang sudah tua itu melihat kemarahannya. Juga demi kesopanan, tidak boleh tamu-
tamu itu melihatnya sedang marah. Maka ia
memutuskan berjalan-jalan di taman. Dan secara kebetulan ia bersua dengan seekor
kucing yang sedang mengintai kucing lainnya. Mengendap-endap. Rupanya mereka
adalah sepasang kekasih yang hendak bercengkerama. Memadu kasih dengan meminjam
tempat milik penguasa Pakis. Melihat itu kemarahan Rempek seperti disulut saja.
Apalagi setelah sepasang kekasih itu bergelut disertai suara meraung-raung,
menyakitkan telinga Rempek. Secepat kilat Rempek mencabut kerisnya dan melompat,
membabat dua ekor kucing yang sedang mabuk asmara itu. Sesaat mereka mengeong-
ngeong keras, sambil melotot pada Rempek. Namun keduanya segera mampus tanpa
ampun. Rempek tertawa lirih. Kerisnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengandung racun. Tidak satu pun makhluk yang mampu
bertahan dari racun kerisnya.
Andaikata bukan di Pakis, ingin ia membungkam mulut
kedua orang itu. Seperti membungkam mulut kucing tadi. Tapi
ini di Pakis yang selama ini menjadi daerah damai. Bali yang
ganas itu pun tak pernah mengusik. Kini Belanda! Belanda!
Keparat! Setelah menyarungkan kembali kerisnya ia berbalik.
Mengumpat dan mengumpat sambil melangkah pelan-pelan ke
pendapa. Bersamaan dengan itu Mas Talip dan Mas Ngalit
memasuki gapura. Mereka tidak turun di gardu penjagaan.
Setelah menerima penghormatan, mereka terus berkuda
sampai di depan pendapa. Masih sangat muda tampaknya kedua orang itu. Tapi
kegagahan sudah membayang di perawakan mereka. Kumis
juga masih samar-samar. Rambut mereka ikal. Sedang
pakaian mereka tidak berbeda dengan Rempek atau satria
Blambangan lainnya. Keduanya naik ke pendapa dan segera
memberi penghormatan pada Bagus Puri sebagai kakak tertua
mereka. Kemudian pada kedua tamu di hadapan kakak
mereka. Jaksanegara kagum. Itu menunjukkan bahwa Pakis
sudah dengar pengangkatannya menjadi patih di Pangpang.
Sesaat lagi menyusul tiga orang gadis turun dari kuda masing-
masing dan memasuki pendapa itu juga. Sekali lagi, mata
Jaksanegara memancarkan kekaguman. Mas Ayu
Nawangsurya, yang tertua dari ketiga gadis itu. Berkulit
kuning, rambutnya terurai sampai ke bawah pinggul. Dan
rata-rata ketiga gadis itu berkulit kuning. Kaki mereka nampak
mulus dihiasi oleh binggal emas yang bergiring-giring.
Menunjukkan bahwa mereka tak pernah turun ke sawah.
Suara giring-giring dan kain batik % yang membungkus ketat
tubuh bahagian bawah mengiringi tiap langkah mereka. Buah
dada mereka biarkan terbuka tanpa penutup apa pun. Kutang
yang berupa rantai emas bukan untuk menutupi putik susu.
Tapi sekadar penjaga agar susu yang montok itu tidak terlalu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
goyang saat mereka berjalan. Buah dada lambang keindahan
dan kesuburan wanita Ciwa.
Setelah semuanya duduk, Bagus Puri segera memberi
penjelasan. Maksudnya agar mereka semua siap menghadapi
perubahan yang sedang terjadi di Blambangan. Dan Pakis
tentunya. "Pemerintahan Wong Agung Wilis sudah berakhir...," Bagus
Puri mengakhiri penjelasannya. "Kalian harus menerima apa
adanya. Ingat! Kita tak berhadapan dengan sesama darah
Tawang Alun lagi. Kita berhadapan dengan Belanda.". Suara
Bagus Puri bergetar. Entah menahan getaran-getaran jiwanya
atau barangkali karena ketuaan, semua tidak mengerti.
"Kita tidak pernah kalah," Rempek tidak terima.
"Ya... tapi kita tak ikut berperang. Kita jauh-jauh sudah
mengibarkan bendera putih begitu mereka masuk," lagi Bagus
Puri menerangkan. "Leluhur kita yang membangun negeri ini. Untuk kita!
Untuk anak-cucu kita! Bukan untuk orang lain," tiba-tiba
Nawangsurya ikut bicara. Jaksanegara memandangnya.
Jantungnya berdegup. Pikirannya berlarian ke mana-mana.
"Benar, Nawangsurya. Tapi marilah kita berpikir...," Bagus Puri memperingatkan.
"Sebenarnya siapakah yang lebih
berhak di sini" Mangkuningrat sendiri mengundang Belanda.
Beliau pergi ke Batavia. Mangkuningrat Anumerta (istilah bagi
yang sudah tewas dalam peperangan, atau dibunuh). Ingat"
Siapa lagi sesudah itu" Wong Agung Wilis" Yah... orang paling
disegani di seluruh Blambangan. Ditakuti di seluruh bumi
Semenanjung. Orang yang berlidah dewa itu" Memiliki laskar
puluhan, sekali lagi... puluhan ribu, dengan bedil dan meriam,
tak kuasa membendung tentara Belanda. Apalagi kita. Apa
kekuatan yang bisa kita andalkan?"
"Jadi kita sudah kalah dengan tanpa melawan?" Rempek
masih sengit. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kita harus menyadari hal ini, Rempek," Bagus Puri berkata.
"Kita harus belajar melihat dan menerima kenyataan."
"Ada hal yang tidak pernah kita sadari. Alam dengan kodratnya selalu mengadakan
pemilihan atas isi alam itu," kini Mas Ngalit yang berkata. "Jika kita tidak
mampu bertahan terhadap jalannya pemilihan yang dilakukan oleh kodrat itu, maka
kita akan tergilas. Kodrat berjalan seperti roda sebuah rata (kereta perang)
Rempek, jika kita tak mau menghindari roda itu maka kita akan tergilas. Wong
Agung Wilis tergilas. Ia menentang kodrat. Dan jika roda itu berjalan maka
setiap kali kita tidak terpatok oleh satu cara dan keadaan. Kita harus mengikuti
perkembangan yang menuju pada kemajuan zaman."
"Benar, Yang Mulia," Bapa Anti ikut memberikan wawasan.
Jaksanegara masih menjadi pendengar saja. Karena perhatiannya sedang tertuju
pada ketiga wanita itu. Saling memiliki kelebihain.
Sementara itu semua orang lain memperhatikan Bapa Anti.
"Kami tahu perubahan suatu tatanan tidak akan semulus seperti yang kami impikan.
Sebab ini menyangkut kehidupan banyak orang. Tatanan kehidupan ini berarti
menyangkut juga perniagaan. Menyangkut perut banyak orang." Bapa Anti diam
sebentar. Ia pandangi tiap orang. Mas Ngalit dan Mas Talip tampaknya memberikan
dukungan. Tapi ia tak mampu menjajagi yang lain.
"Belanda lebih maju dari kita. Bahkan menang segalanya.
Apa sebab" Sebab mereka tidak terpatok seperti kita. VOC
adalah perkumpulan perniagaan. Bukan negara. Tapi mampu memberi kebahagiaan,
kekayaan bagi negerinya. Kumpulan niaga. Apa yang dihasilkan semasa Yang Mulia
Wong Agung Wilis" Penggantungan para punggawa dan pedagang-pedagang besar yang
ingin memberi kemakmuran pada kawula Blambangan. Nah, Kompeni lain, Yang Mulia.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mereka akan menjamin keamanan negeri kita. Mereka akan
mengajari kita bagaimana menjadi bangsa yang maju," Bapa
Anti makin bersemangat. Tangannya berkali-kali bergerak-
gerak di mukanya tiap kali ia memberi penegasan terhadap
kata-katanya. "Nah... apa kataku?" Bagus Puri mendorong. "Kompeni,
yah, Kompeni datang untuk membawa kebaikan. Untuk
kebaikan tentu saja kita akan membayar harganya."
"Tidak ada harga yang akan kita bayarkan!" Jaksanegara
memperoleh bahan. "Kompeni malah membagikan uang untuk
kita." Jaksanegara tersenyum sambil menoleh Bapa Anti. Yang
ditoleh mengerti. Dan buru-buru permisi untuk mengambil
bungkusan yang tertinggal di sanggurdi. Sementara Bapa Anti
pergi Jaksanegara melanjutkan. "Hamba malah digaji. Digaji
dengan uang Belanda. Dan sebentar lagi uang Bali dan uang
Blambangan tidak laku di sini."
"Uang Blambangan tidak laku di Blambangan sendiri?" Mas
Ayu Rahminten bertanya. "Ya! Itu ketentuan Gubernur Vos dari Surabaya. Untuk
menyerasikan Blambangan dengan negeri-negeri lain."
Jaksanegara tersenyum. Ia tatap gadis itu dengan pandangan
binal. Berbunga hatinya mendengar suara Rahminten yang
merdu. Tapi gadis itu tak berkata lagi. Bahkan melempar
pandangnya ke tempat lain.
"Dengan kata lain, siapa yang menolak VOC akan kelaparan
dan teraniaya?" Rempek berkata lirih, seperti pada diri sendiri.
"Tepat!" Kini Jaksanegara tertawa ramah. Sementara itu
Bapa Anti sudah tiba kembali. Burung-burung tidak terdengar
bercanda di luar pendapa. Juga ayam dan bebek tidak muncul
untuk bermain-main di pelataran. Bapa Anti kemudian
menyerahkan sebongkah bungkusan pada Mas Bagus Puri.
Semua orang memandangnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hadiah dari Tuan Colmond. Mayor Colmond," ujarnya.
"Uh... berat sekali...." Bagus Puri gemetaran. Rempek
menolong dan menaruh bungkusan itu di depan kaki Bagus
Puri. "Itu untuk seluruh keluarga di Pakis," Jaksanegara
menerangkan. "Terima kasih. Sampaikan pada Mayor...."
"Kami akan sampaikan. Tapi kami juga minta ketegasan
tentang kerja sama dengan Kompeni ini. Maksud kami Pakis
menjadi salah satu wilayah Blambangan Utara. Semua di
bawah VOC." Kembali mereka terdiam. Mereka semua tahu, Jaksanegara
datang cuma berdua. Tapi jika ditolak, akan datang kembali
dengan ribuan serdadu Kompeni. Inikah perubahan tatanan
itu" Juga pemilihan alam. Dan semua yang telah dicanangkan
oleh Bapa Anti bukan untuk ditolak. Perubahan untuk
membawa kemakmuran bagi seluruh kawula. Mengapa harus
ditampik" Pembangunan jalan-jalan raya dan loji-loji untuk
mempercantik kota-kota besar Blambangan harus ditolak"
Juga benteng-benteng bagi pelindung kawula Blambangan
dari perampokan Bali atau Bugis apa harus dimusuhi" Semua
baik. Demi kemajuan Blambangan. Tidak seperti Wong Agung
Wilis yang tertutup dan terbelakang.
"Agar lebih mempererat persahabatan kita, maka hamba
bersedia mengangkat salah seorang keluarga Pakis ini untuk
menjadi wakil hamba di Pangpang," Jaksanegara berjanji.
"Baiklah," Bagus Puri menghela napas panjang, "kami
menurut. Rempek, kau aku tunjuk mewakili kami!"
"Hamba?" Rempek terkejut. Wajahnya sedikit memerah.
Tanpa sadar meraba kumisnya.
"Tidak ada jeleknya kita ikut menegakkan kembali
Blambangan. Semua cara boleh ditempuh."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Rempek tertunduk. Mengalah.
"Jika demikian, Mayor Colmond memohon kehadiran para
Yang Mulia pada pesta yang akan diadakan tiga hari tiga
malam. Kita semua bisa saling memperkenalkan diri. Dan kita
akan tahu sahabat-sahabat kita dari luar Blambangan. Kita
akan punya banyak teman dari luar negeri. Tidak seperti masa
lalu." "Kami akan hadir," tegas Rempek.
"Satu lagi, permintaan hamba, mohon Yang Mulia semua
tak akan terkejut jika ada perubahan tatacara pengambilan
sumpah jabatan di Pangpang nanti. Mungkin saja tidak seperti
masa lalu. Karena tak ada brahmana Ciwa yang bersedia
melantik pejabat VOC, maka mungkin kami akan dilantik
dengan cara igama Islam. Nah, jika kami menolak itu, maka
tidak akan ada pribumi yang memerintah di Blambangan. Kami
tidak perlu persoalkan," Jaksanegara menerangkan lagi
sebelum berdiri. Rempek sudah tahu hal itu. Demikian pun yang lain.
Karenanya mereka tak perlu terkejut. Ini juga termasuk salah
satu arus baru yang harus diterima. Juga oleh seluruh kawula
Blambangan. Wangsengsari, Jaksanegara, Sutanegara,
ataupun Suratruna harus dilantik dengan cara igama Islam.
Benarkah tidak ada pandita yang bersedia" Atau memang
tatanan baru itu tidak memberlakukan peranan pandita" Ah,
arus yang dibawa bangsa asing ternyata harus dikunyah oleh
setiap orang____ Bendera tiga warna, merah-putih-biru menghias jalan-jalan
kota Pangpang. Juga umbul-umbul berwarna-warni. Yang tak
boleh dikibarkan adalah umbul-umbul Jingga dengan gambar
kepala anjing hitam atau lambang Sonangkara. Blambangan
tak boleh mengibarkan benderanya sendiri. Colmond tidak
pernah tahu arti bendera orang Blambangan. Yang tahu
adalah Bapa Anti atau orang-orang Blambangan sendiri. Dan
memang. Colmond belum pernah melarang. Tapi orang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Blambangan sendiri yang melarang. Karena mereka takut.
Orang Blambangan takut melihat benderanya berkibar di
angkasa Blambangan. Janur-jemanur dirangkai mendampingi bendera dan umbul-
umbul. Gardu penjagaan didirikan di tiap penghujung jalan
raya dan tikungan-tikungan. Gardu-gardu itu dijaga oleh tiga
orang. Satu orang Blambangan sisa laskar Mas Anom, dua
orang laskar Madura, atau laskar Sidayu atau laskar Pasuruan,
bahkan laskar Surabaya. Sementara itu kawula Blambangan
yang tinggal di Lo Pangpang dan sekitarnya berbondong
membanjiri alun-alun di depan halaman kediaman Mayor
Colmond. Untuk pertama kali di Blambangan, pelantikan
penguasa dilakukan di bawah langit dengan disaksikan oleh
kawula dan mentari. Wajah para pemimpin yang disebut
namanya itu tak asing bagi mereka. Yang asing adalah
tatacara-nya. Tatacara yang berlaku di Blambangan asing bagi
Blambangan sendiri. Tapi toh mereka berbondong, tua-muda,
besar-kecil, laki-perempuan, ingin menyaksikan yang asing.
Setiap yang baru selalu mendapat perhatian baru pula.
Di alun-alun kawula melihat beberapa tarup besar dihias
janur dan kain warna-warni. Tangan orang JJlambangan yang
menghiasnya. Deretan angklung, gendang, dan gong serta
kenong juga berderet siap untuk ditabuh seusai upacara dan
memasuki acara pesta. Sedang di belakang rumah Colrrjond
tampak asap putih tiada putus-putusnya mengepul ke


Gema Di Ufuk Timur Trilogi Blambangan Buku Kedua Karya Putu Prana Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

angkasa. Bau daging bakar yang gurih menusuk hidung.
Daging kambing, babi, dan sapi dimasak untuk kepentingan
pesta. Ribuan kati beras yang harus dipersembahkan oleh
para bekel demi kepentingan pesta ini. Juga kambing, babi,
dan sapi. Semua diambil dari kawula melalui para bekel untuk
menjamu tamu asing dan pasukan yang menjaga
ketenteraman kawula Blambangan. Sedang kawula yang
mencium bau gurih itu cuma menelan ludah dan mendengar
nyanyian perut mereka. Atau harus memenangkan amukan
cacing penguasa perut. Perang membuat mereka harus
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menghemat persediaan makanan. Makanan harus diulur agar
cukup sampai pada masa panen mendatang.
Cuma puluhan orang bule yang ikut berjaga-jaga di seputar
tempat pesta itu. Sebagian besar pasukan Madura. Meskipun
begitu Belanda tidak pernah meninggalkan kewaspadaan.
Mereka sudah kenyang dengan pengalaman merampas dan
menduduki milik orang. Dan mereka juga berpengalaman
mempertahankan hasil rampasannya itu. Dan kebiasaan itu
berubah menjadi naluri. Mereka berusaha agar tidak alpa.
Kealpaan yang membawa kekalahan semua raja-raja Jawa dan
Nusantara lainnya. Dan VOC senang dengan kealpaan orang
lain. Karena mereka memang hidup dari kealpaan orang lain.
Kian naik mentari kian penuh orang berdiri di tepi alun-
alun. Ada yang gelisah dan ada pula yang tenang. Tenang
karena kebetulan mereka mendapat tempat teduh di bawah
pohon yang tak ikut dibabat kala membangun alun-alun itu.
Namun yang kebetulan tidak berada di bawah pohon harus
merelakan kulit mereka dibakar mentari. Untuk para satria
disediakan tempat duduk dalam tarup. Ada yang membawa
serta istri mereka, namun ada pula yang datang sendiri.
Berbeda dengan ksatria Blambangan, maka para adipati atau
perwakilan wilayah VOC lainnya di Jawa Timur yang diundang
untuk menyaksikan upacara itu mengenakan baju hitam dan di
bagian dada dihias dengan benang-benang emas.
Cuma utusan Madura saja yang mengenakan destar
dengan ujungnya naik ke atas. Pada umumnya ujung destar
turun ke bawah. Warna-warni destar mereka. Ada yang hitam
dengan kembang-kembang putih. Ada yang coklat dengan
kembang-kembang hitam, ada yang merah dengan kembang-
kembang coklat tua. Cara memasang keris pun berbeda-beda.
Ada yang di belakang. Ada yang di depan. Namun kawula
tidak melihat satu pun perwakilan dari Bali. Ini juga
merupakan hal baru. Juga mereka tak melihat satu pun
brahmana duduk di bangku kehormatan. Sebagai gantinya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mereka melihat seorang berjubah putih dengan serban putih
di kepalanya. Orang Blambangan tidak pernah mengenalnya,
karena memang dia bukan orang Blambangan. Tapi orang
Batu Ampar Madura. Para undangan sudah siap. Bahkan tidak sedikit yang selalu
mengayunkan kipasnya karena gerah.
Mas Bagus Puri dengan seluruh kerabatnya sudah duduk di
antara para undangan. Mas Ngalit tidak henti-hentinya
mengagumi pakaian serta tatacara baru yang dibawa oleh
Kompeni melalui Bapa Anti. Pada ketikanya orang Blambangan
akan berpakaian sama dengan mereka. Sebaliknya para tamu
juga kagum terhadap mereka. Terutama terhadap putri-putri
Blambangan. Semua dengan dada telanjang. Mata para
serdadu VOC melotot menelan ludah.
Beberapa bentar kemudian terdengar suara peluit dan
sangkakala ditiup. Letnan Beglendeen yang baru saja tiba dari
Surabaya berdiri menghadap para tamu. Pakaiannya hitam
dengan tanda bintang emas di lehernya. Di pundaknya ada
tanda pangkat, celananya berwarna putih. Topinya seperti
periuk, terbuat dari kain beludru berwarna merah dengan
pinggiran kuning emas. Tepat di atas dahinya ada simbol yang
juga berwarna kuning emas bergambar pedang bersilang
dengan bedil. Sebentar kemudian Beglendeen bertindak
sebagai komandan upacara meminta kepada Sutanegara,
Wangsengsari, Suratruna serta Jaksanegara berdiri di depan
mimbar yang sudah disediakan. Keempat orang itu masih
berbusana seperti biasanya satria Blambangan.
Setelah itu Beglendeen nampak mencabut pedang di
pinggangnya dan menempelkan punggung pedang ke
bahunya. Berlari ke pendapa kediaman Colmond untuk
melapor bahwa upacara siap dimulai.
"Kerjakan!" perintah Gubernur J. Vos yang berkenan
menghadiri upacara dan menjadi inspektur upacara itu.
Beglendeen balik kanan dan dengan gerakan yang kaku
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seperti wayang kulit, ia kembali berlari ke tengah-tengah
lapangan. Setelah tepat di tengah lapangan ia menghadap
pada beberapa regu pasukan Belanda dan pasukan tentara
gabungan Madura, Sidayu, Pasuruan, serta Surabaya, yang
sudah disiapkan di tengah lapangan untuk mengikuti upacara
pelantikan Tumenggung Blambangan. Mereka disiapkan.
Setelahnya Vos diiringi Mayor Colmond, dengan pakaian
kebesaran yang sangat aneh menurut orang Blambangan,
berjalan ke panggung yang disediakan. Orang ini pun
mengenakan topi merah darah yang terbuat dari bahan
semacam laken. Sedang bajunya hitam juga terbuat dari
bahan beludru. Dari pangkal leher sampai pangkal perutnya
berbaris menurun melalui dadanya kancing emas sebanyak
delapan buah. Entah berapa gram beratnya. Tentu orang tidak
sempat menimbangnya. Berapa lagi yang tertera di pundak"
Juga bintang-bintang yang berbaris di leher bajunya" Tak ada
yang tahu kecuali perancang modenya. Atau barangkali
penjahitnya. Celana putih dan bersabuk, serta pedang panjang
tergantung di pinggang kirinya, berkilau ditimpa sinar mentari.
Muka Vos merah jambu, dihiasi kumis pirang. Hidungnya
sungguh-sungguh macung seolah paruh burung betet.
Perutnya agak buncit. Sedang baju bagian belakang
memanjang menutupi pantat. Terkesan seperti baju Dewa
Narada di wayang kulit. Beglendeen mengeluarkan aba-aba agar semua orang
berdiri. Kemudian aba-aba sekali lagi mengguntur,
memerintahkan semua memberi hormat pada J. Vos. Sedang
pasukan penghormatan memberi penghormatan dengan cara
mengangkat senjata mereka di depan tubuh yang berbaris
kaku. Vos membalas dengan mengangkat tangan di pelipisnya
sambil memutar badan ke segala penjuru. Beberapa bentar
kemudian Vos diiringi Beglendeen berjalan memeriksa barisan.
Semua orang masih harus dalam keadaan menghormat
padanya. Sangkakala berbunyi mengiringi langkahnya yang
diatur sedemikian rupa supaya nampak anggun dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berwibawa. Kembali ke tempat semula, aba-aba
penghormatan selesai. Benar-benar tatacara baru bagi
Blambangan. Kini keempat orang yang hendak dilantik itu diperintahkan
maju ke depan J. Vos dengan sikap sempurna. Pengambilan
sumpah pun dimulai. Kawula Blambangan berdesakan maju.
Sedikitnya melongokkan kepala. Bersamaan dengan itu, orang
yang berjubah putih dengan serban putih di kepalanya, turun
dari tarup kehormatan. Kemudian berdiri di depan keempat
orang yang terlantik itu. Sambil mengangkat tangannya ke
atas kepala keempatnya ia mulai berdoa. Dan keempat orang
itu harus menirukan. Walau mereka belum mengerti
maknanya. Ya, mereka belum mengerti makna doa yang
mereka ucapkan sendiri. Karena mereka memang belum
pernah belajar untuk mengerti bahasa Arab.
"Auuzhu bil ahi minasy syaithaanirrojim..." keempat orang
itu menirukan secara bersama pembukaan doa oleh imam.
Dan kemudian di sambung oleh rentetan doa Al Fatihah yang
belum juga dipahami maknanya oleh semua orang yang
terlantik itu. Disambung lagi dengan Kalimat Syahadat serta
doa Shalawat Nabi. Kemudian diam beberapa bentar. Imam itu memperhatikan
wajah keempat orang di depannya yang menjadi tegang. Ia
tidak tahu penyebab ketegangan mereka. Barangkali saja
terlalu lama di bawah terik mentari. Jangankan para satria,
para kawula juga memperhatikan. Rasanya mereka sedang
terombang-ambing oleh gelombang. Bahkan bagi Sutanegara,
merasa seperti berdiri di atas sebuah mata pusaran. Dilihatnya
di kejauhan Mas Rempek bersama saudara-saudaranya duduk
berderet. Seolah merupakan arus tersendiri. Di lain pihak,
mata para pembesar VOC dan sekutunya, yang merupakan
arus baru. Semua tertumpu padanya. Bertemu dalam dirinya
dan menjadi sebuah mata pusaran.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Apalagi setelah sampai pada kalimat berikutnya. Serentet
janji setia pada pemerintahan VOC. Pada Kompeni! Aku telah
jadi salah satu punggawa Kompeni! Apa artinya ini" Aku mulai
kehilangan kebebasanku. Jika aku menentang maka nasibku
akan buruk. Setiap orang yang menyertakan kekuatan senjata
dalam pemerintahannya, pasti dapat berbuat banyak untuk
memaksakan kehendaknya. Demikian pula tentunya Mayor
Colmond. Ketegangannya menjadi lengkap kala pengambilan
sumpah selesai. Dan kepada keempat tersumpah itu diberi
baju seperti para adipati Jawa lainnya. Inikah ganjaran
sebagai pembaharu" Dengan pakaian baru yang masih asing
itu maka Sutanegara merasa diri akan menjadi orang asing di
negerinya sendiri. Atau memang setiap pembaharu harus
menjadi orang asing di tanah kelahirannya sendiri"
Baju berwarna hitam dengan untaian benang-benang emas
di leher dan dadanya itu kini menjadi milik mereka berempat.
Kancingnya tidak berjumlah delapan seperti milik Johanis Vos
atau Colmond. Tapi cukup empat. Di belakangnya tidak
panjang. Tapi justru sedikit di atas pinggang. Sengaja
dirancang seperti itu untuk mempermudah pemiliknya
menyelipkan keris di punggungnya. Demikian pula kepada
para istri mereka,-dilarang telanjang dada di depan umum.
Tapi harus mengenakan kemben. Ini juga tatanan baru di
Blambangan. Setelah itu mereka harus mendengar pesan Vos yang
disampaikan dengan bahasa Jawa. Sudah pintar orang itu
berbahasa Jawa" Setiap pejabat " VOC memang harus
mengerti Jawa. Karena mereka harus berhadapan dengan
raja-raja Jawa selama ditempatkan di Jawa. Tidak kurang-
kurang dari mereka yang lebih pintar dibanding orang Jawa
sendiri. Karena memang mereka punya banyak waktu untuk
belajar dan mengamati. Sebaliknya orang Jawa sendiri terlalu
sibuk mencari makan dan membayar upeti.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Usailah upacara, ketika kata-kata Johanis'Vos habis. Kedua
tumenggung dan patihnya yang baru dilantik itu
diperkenankan bersalaman dengan semua tamu. Semuanya
senyum-senyum. Memberikan ucapan selamat. Selamat
bekerja dan selamat.... Capek juga tangan mereka membalas
jabatan tangan itu. Dan setelah itu semua dipersilakan duduk.
Para pembesar Kompeni dipersilakan mengambil makanan
terlebih dulu. Setelahnya baru para satria pribumi.
Suratruna pun mengalami seperti Sutanegara. Aniaya itu
menjadi amat terasa justru saat perjamuan makan. Sebelum
mengambil makanan ia sempatkan melirik tamu Surabaya.
Ternyata mereka cuma mengambil telur rebus sebagai lauk.
Atau sate kambing. Padahal banyak makanan yang lebih lezat.
Demikian pula yang dari Madura, Pasuruan, dan Probolinggo.
Liurnya menitik demi melirik Rempek dan rombongannya
menyantap babi bakar yang menjadi makanan kesukaannya.
Ingin juga ia mengambil. Ah... mata banyak orang tertuju
padaku. Kini ia harus menyesuaikan diri....
Kawula masih belum bubar. Mereka ingin bersemuka
dengan penguasa baru yang akan memimpin mereka.
Setidaknya dalam hati mereka merekah sebuah harapan,
dengan penyerahan kekuasaan kepada para satria
Blambangan sendiri, maka laskar asing akan segera pergi.
Mereka sudah kenyang memberi makan laskar asing dari
sebelum zaman Wong Agung Wilis. Hidup di bawah
pengawasan asing, tidak pernah membawa ketenteraman bagi
mereka. Mana harus menyembunyikan ternak, mana harus
menyembunyikan -harta lainnya. Bahkan yang lebih sulit lagi
adalah menyembunyikan para wanita muda dan perawan.
Apakah harapan mereka akan terpenuhi" Setiap gerak
keempat penguasa baru itu tak pernah lepas dari mata
kawulanya. Mereka melihat betapa penguasa mereka sibuk
membungkuk-bungkuk tiap kali berpapasan dengan pejabat
lain. Menyesuaikan diri dengan kebiasaan baru. Di mata
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kawula, ah... betapa satria gagah seperti Suratruna telah
berubah menjadi siput. Betapa jauh bedanya t dengan
Tumenggung Singamaya, kakeknya dulu. Karena sibuk
membungkuk-bungkuk itu barangkali mereka tak sempat
bersemuka dengan kawulanya. Jangankan bersemuka,
melambai saja tak sempat. Bahkan bersenyum saja tidak! bisik
seorang pada lainnya. Tak seperti ketika Wong Agung Wilis
dilantik menjadi patih Blambangan dulu. Sehabis pelantikan ia
keluar istana dan membalas lambaian tangan seluruh kawula
yang berbaris di seputar alun-alun Lateng. Inikah
pembaharuan" "Sstt... jangan bicara begitu! Itu namanya masih ingat-
Cermin Alam Gaib 2 Pendekar Naga Putih 53 Pasukan Pembunuh Setan Dari Biara 2
^