Pencarian

Perserikatan Naga Api 10

Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp Bagian 10


Bersamaan dengan menyebarnya be?rita kematian Cian Sin-wi, tersebar pula berita tentang keberanian dan ke?gagahan Tong Wi-hong dan adiknya yang telah berhasil merampas Cian Ping da?ri tangan orang-orang Hwe-liong-pang. Timbul pula harapan di kalangan kaum liok-lim (rimba hijau), bahwa pemimpin baru Tiong-gi Piau-hang ini akan ber?sikap lebih "lunak" dari pendahulunya. Selama kepemimpinan Cian Sin-wi sudah sering kaum rimba hijau ini menelan "pil pahit" dari Tiong-gi Piau-hang.
Menjelang tengah hari, mendadak muncul serombongan tetamu yang cukup menarik perhatian.
Tamu-tamu itu terdiri dari lima orang yang semuanya berpakaian sera?gam prajurit Kerajaan Beng. Dan me?nilik seragamnya yang agak mentereng, dapat disimpulkan bahwa ke lima orang itu bukan prajurit-prajurit dari kesa?tuan biasa, melainkan dari pasukan Khusus yang hanya terdapat di Ibukota, seragam mereka jauh lebih gagah dari prajurit-prajurit biasa, sedang sikap merekapun menunjukkan bahwa mereka lebih tangguh dari prajurit-prajurit biasa.
Pemimpin dari rombongan kecil prajurit Kerajaan itu adalah seorang anak muda berumur kira-kira duapuluh empat atau duapuluh lima tahun, bertu?buh tegap kuat, berwajah angker dan berwibawa. Di pinggang kirinya ter?gantung sebatang golok.
Pada jaman pemerintahan Kaisar Tong-ceng itu, pada umumnya kaum prajurit atau pejabat Kerajaan kurang disenangi oleh orang-orang dari ka?langan persilatan, sebab umumnya prajurit Kerajaan itu dianggap sebagai penindas-penindas rakyat. Tetapi Tiong gi piau-hang bukan aliran persilatan melainkan suatu perusahaan dagang, se?hingga mau tidak mau huoungan dengan pihak pembesar negeri harus terpeliha?ra baik demi kelancaran usaha. Keda?tangan pembesar-pembesar tentara untuk memberi hormat kepada Cian Sin-wi bukanlah hal yang aneh, tetapi kemun?culan serombongan prajurit dari Pasukan Khusus di Ibukota benar-benar di luar dugaan dan cukup menarik perhatian.
Tong Wi-hong yang bertindak mewakili Tiong-gi Piau-hang, segera me?nyambut keluar begitu mendengar tentang datangnya rombongan Pasukan Khusus itu. Begitu berhadapan dengan pemimpin rombongan prajurit itu, terkejutlah Wi-hong. Serunya, "Ki... kira?nya Ting...ting Tay-jin."
Perwira muda yang memimpin rom?bongan prajurit itu tersenyum dan ber?kata, "Saudara Tong, ayahmu dan ayahku bersaudara angkat, kenapa kau memanggil tay-jin kepadaku? Hendaknya kau tidak terlalu sungkan. Oh, ya, aku sudah mendengar berita tentang pengangkatanmu sebagai pemimpin baru Tiong gi Piau-hang. Aku mengucapkan selamat."
Sikap perwira muda yang dipanggil "Ting Tay-jin" itu ternyata begitu akrab dan hangat, berbeda dengan sikap orang-orang Kerajaan pada umumnya. Se?baliknya ternyata Wi-hong menanggapi sikap Ting Tay-jin itu dengan dingin dan tawar sekali. Beberapa tokoh Tiong gi Piau-hang yang melihat sikap Wi-hong itu diam-diam merasa cemas bahwa sikap Wi-hong itu akan membawa kesulitan besar di kemudian hari.
Sikap kaku Tong Wi-hong itu sebe?narnya punya alasan tersendiri. Wi-hong ingat kejadian kira-kira dua tahun yang lalu, ketika ia mening?galkan rumah Cian Sin-wi tanpa pamit gara-gara pertengkaran dengan Song Kim waktu itu. Di luar kota Tay-beng, Wi-hong dicegat oleh musuh besarnya, yaitu Te-yong Tojin, yang hendak mem?bunuhnya. Lalu muncul pula saat itu si paman angkat Ting Ciau-kun. Tetapi sang paman ini bukan hendak menolong Wi-hong, malahan berkomplot dengan Te?-yong Tojin hendak membunuh Wi-hong bersama-sama. Untung saat itu Wi-hong dapat diselamatkanoleh Hong-koan Hweshio dan Oh Yu-thian.
Kini Wi-hong bersikap dingin dan tidak bersahabat, karena perwira muda yang berdiri di hadapannya itu bukan lain adalah Ting Bun, putera Ting Ciau kun.
Hanya dengan mengingat kedudukannya sekarang sebagai pemimpin Tiong gi Piau-hang, maka Wi-hong tidak berani bersikap kasar kepada rombongan Ting Bun itu. Demi basa-basi iapun mempersilahkan Ting Bun dan rombongannya untuk masuk ke ruang tengah dan bersembahyang di depan peti jenazah Cian Sin-wi.
Ting Bun adalah seorang yang bersifat jujur dan berjiwa terbuka, dengan setulus hati dia bersembahyang di depan jenazah Cian Sin-wi, karena diapun mengagumi kebesaran Cian Sin-wi. Tetapi sikap Tong Wi-hong yang begitu tawar itu membuat Ting Bun merasa tidak enak sendiri. Kedatangannya ke gedung Tiong-gi Piau-hang itu sebenarnya hendak menanyakan pula beberapa masalah yang bersangkut paut dengan tugasnya sebagai perwira Pasukan Khusus, tetapi sikap Wi-hong membuat Ting Bun terpaksa membatalkan niatnya.
Ting Bun dan keempat pengiringnya tidak lama di gedung Tiong-gi Piau-hang itu. Setelah mengucapkan ikut berduka-cita dan menghormat sekali lagi ke peti jenazah, merekapun berpamitan dan berlalu dari situ.
Begitu kelima orang itu pergi menggerutulah Wi-hong, "Heran sekali, orang she Ting itu ternyata masih punya muka juga untuk menemui aku. Benar-benar bermuka tebal."
Can Lo-toa yang kebetulan berdiri di dekat Wi-hong dan mendengar gerutunya itu lalu bertanya, "Kehadiran lima orang prajurit dari Pasukan Khusus Kerajaan Beng itu memang sang?at di luar dugaan. Entah ada hubungan apa antara mereka dengan Cong-piau-thau, kenapa nampaknya sudah saling mengenal?"
Terhadap orang tua yang pernah menjadi kepercayaan Cian Sin-wi ini, Wi-hong tidak sanggup untuk ber?bohong. Katanya, "Perwira muda itu bernama Ting Bun. Ayahnya yang bernama Ting Ciau-kun adalah saudara angkat dari mendiang ayahku, jadi ayah Ting Bun itu adalah paman angkatku. Tetapi Ting Ciau-kun itu justru sangat tega mengincar nyawaku hanya karena ingin memiliki sejilid kitab ilmu pedang Soat-san-pay yang dikiranya selalu kubawa. Paman Can, coba pikir, pantaskah paman angkat seperti itu dihormati?"
Can Lo-toa mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu berkata, "Seorang ang?katan tua yang tidak menghargai martabatnya sendiri dan sama sekali tidak pantas untuk dihormati. Kata pepatah, harimau tidak beranak anjing dan anjing tidak beranak harimau. Tetapi pepatah ini tidak berlaku seluruhnya untuk setiap orang."
Wi-hong mengerutkan alisnya. "Apa maksud paman Can?" tanyanya.
Sahut Can Lo-toa dengan hati-hati, "Maaf, Cong-piau-thau, menurut pendapatku, perwira muda Ting Bun tadi agaknya adalah seorang jujur dan mem?punyai sifat-sifat ksatria. Dan menurut pandangan mata tuaku, dia nam?paknya bukan jenis manusia yang suka berlaku licik."
Wi-hong menarik napas, "Hemm, pandangan mata bisa mengelabuhi. Dulu ketika aku dan adikku masih terlunta lunta di dunia persilatan, kami segera mencari Ting Ciau-kun dengan harapan akan mendapat naungan sementara, dan orang she Ting itupun menerima kami berdua dengan muka yang manis serta sikap yang luar biasa ramahnya. Siapa tahu di balik sikapnya itu dia hanya?lah seekor serigala berbulu domba. Aku tidak ingin tertipu untuk kedua kalinya."
Rupanya Can Lo-toa segan berdebat lagi dengan pemimpinnya itu, terpaksa ia hanya mengangguk-anggukkan kepala?nya.
Dalam pada itu, seorang penerima tamu telah melaporkan tentang datang?nya seorang tamu lagi. Wi-hong dan Can Lo-toa segera menyambut keluar.
Tamu yang datang kali ini ternya?ta adalah seorang muda pula, seusia dengan Wi-hong dan bermuka tampan pula. Pakaiannya terdiri dari bahan-bahan yang mahal, penampilannya secara kese?luruhan menyatakan bahwa dia adalah seorang yang kaya raya.
Munculnya anak muda hartawan itu-pun tidak terlalu mengherankan sebab Tiong-gi Piau-hang sudah terlalu se?ring berhubungan dengan kaum harta?wan yang biasanya minta dikawalkan har?ta bendanya. Namun aneh, Tong Wi-hong justru punya kesan tersendiri terhadap anak muda hartawan itu seperti su?dah pernah dikenalnya, begitu pula ge?rak-geriknya. Sayang sekali Wi-hong sudah lupa bilamana dan di mana ia pernah melihatnya.
Selesai bersembahyang di depan peti jenazah Cian Sin-wi, anak muda hartawan itu segera mendekati Tong Wi-hong dan berkata sambil tersenyum ramah, "Tong Cong-piau-thau, jika Cong-piau-thau punya sedikit waktu, sudikah Cong-piau-thau meluangkan sedikit wak?tu untuk berbicara denganku?"
Sekali lagi Wi-hong mengamat-ama?ti tamu-tamunya itu, dan kembali ia menemukan satu keistimewaan dari tamu muda ini. Sinar matanya tajam berkilat kilat, menandakan bahwa anak muda har?tawan ini memiliki tingkatan tenaga dalam yang cukup hebat ! Wi-hong heran bukan main, sebab biasanya kalau anak hartawan itu sulit untuk "jadi" di da?lam kalangan dunia persilatan, sebab biasanya mereka kurang tekun berlatih dan terlalu dimanja dalam kemewahan. Tetapi anak muda yang berdiri di de?pan Wi-hong itu agaknya merupakan sua?tu perkecualian.
Sahut Wi-hong tidak kurang hormat?nya, "Silahkan tuan berbicara, aku akan mendengarkannya."
Anak muda hartawan itu menam?pilkan sikap serba salah, lalu berka?ta sambil tertawa canggung, "Maaf, Cong-piau-thau, barangkali aku ter?lalu rewel, tetapi aku mohon dengan sangat agar bisa berbicara hanya empat mata dengan Cong-piau-thau."
"Apakah urusannya begitu penting?!"
"Sangat penting, bahkan menyangkut urusan pribadi Cong-piau-thau sen?diri. Urusan ini menyangkut seseorang yang sangat dekat hubungannya dengan Cong-piau-thau."
Tanpa sadar Wi-hong menjadi semakin tertarik kepada anak muda hartawan yang aneh itu. Tanyanya, "Siapakah orang itu?"
Anak muda hartawan itu menjawab dengan kalem, sepatah demi sepatah ka?ta tanpa meninggalkan senyuman ramah?nya, "Tong Wi-siang."
Jika ada halilintar meledak di pinggir telinga Wi-hong, barangkali tidak sekaget ketika mendengar nama itu. Cepat ia memanggil Can Lo-toa supaya mendekat, lalu pesannya kepada orang tua itu, "Paman Can, tolong kau gantikan tugasku sebentar untuk menyambut para tetamu, aku akan berbica?ra dengan saudara ini tentang sesuatu yang sangat penting. Jangan sekali-ka?li kurang menghormat kepada tetamu."
Melihat Cong-piau-thaunya yang begitu bersungguh-sungguh itu, heran juga perasaan Can Lo-toa, agaknya te?tamu muda yang aneh itu memang meru?pakan orang penting bagi Cong-piau-thaunya. Tetapi Can Lo-toa tidak ba?nyak bertanya lagi dan langsung mene?rima tugas itu.
"Kita akan berbicara di ruangan belakang," kata Wi-hong kepada anak muda hartawan itu, lalu ia melangkah mendahului sambil menggandeng tangan anak muda itu. Ketika Wi-hong bertemu dengan seorang pelayan yang sedang berada di halaman tengah, Wi-hong se?gera berkata kepada pelayan itu, "He, kau, kau panggillah nona A-lian dan suruhlah dia menyusul aku ke ruangan kitab di sebelah timur. Ada hal yang sangat penting yang harus dibicarakan."
Anak muda hartawan itu menurut saja tangannya ditarik Wi-hong sampai ke ruangan kitab sebelah timur, yang letaknya memang di bagian belakang dari gedung besar itu. Tidak lama kemudian kedua orang muda itu telah duduk berhadap-hadapan di ruangan itu, muka Wi-hong nampak tegang menanti berita apa yang akan dibawa oleh tamunya itu.
Sebelum kedua orang itu mulai berbicara, terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa menuju ruangan itu, lalu pintu didorong dari luar dan masuklah Wi-lian dengan wajah tegang pula. Sebenarnya gadis itu hendak langsung bertanya kepada kakaknya tentang urusan penting apa yang dimaksud, tetapi ketika melihat adanya seorang tetamu muda yang belum dikenalnya juga sedang berada dalam ruangan itu, terpaksa Wi-lian mengurungkan maksudnya untuk bertanya.
Di luar dugaan Wi-hong maupun Wi-lian, pemuda hartawan itu menyambut kedatangan Wi-lian dengan senyum ramah dan panggilan yang sangat akrab, "Selamat bertemu, A-lian, lupakah kau kepadaku?"
Tentu saja kakak beradik itu sangat heran melihat sikap anak muda hartawan itu, sebab panggilan "A-lian" hanya diucapkan oleh orang-orang yang telah akrab dengan gadis itu. Tetapi kenapa pemuda itu bersikap demikian pula? Apa maksud tujuannya?
"Siapakah saudara ini?" tanya Wi-hong.
Anak muda hartawan itu tertawa, "Ternyata kau juga lupa kepadaku, A-hong, padahal kita adalah satu kampung halaman. Aku adalah sahabat dekat kakak kalian, A-siang, dan dulu sering juga aku bermain-main di rumah kalian. Kau tentu masih ingat kepada Siangkoan Hong, yang rumahnya di pinggir pertigaan jalan yang hanya satu-satunya pertigaan di An-yang-shia itu."
"Siangkoan Hong!" seru Wi-hong sambil menepuk pahanya. "Pantas ketika kau datang tadi aku merasa pernah mengenalmu. Kiranya kau adalah Siangkoan Hong yang sering juga dipanggil A-hong, sehingga nama panggilan kita adalah sama!"
Anak muda hartawan itu tertawa. "Betul," sahutnya.
Wi-hong ingat bahwa kakaknya punya teman-teman yang terdiri dari anak-anak muda berandalan, sama berandalnya dengan Wi-siang sendi?ri, yang sering membuat keonaran di An-yang-shia dan bahkan sering pula mengacau sampai ke Lam-cang. Dan salah satu dari anak-anak muda berandalan teman kakaknya itu kini sedang duduk di depannya, meskipun sekarang Siangkoan Hong nampaknya tidak meng?esankan lagi sifat-sifat bengalnya yang dulu. Meskipun demikian hati Wi-hong berdesir juga ketika melihat bahwa samar-samar di jidat Siangkoan Hong terlihat selapis tipis warna kehitam-hitaman yang hampir tak terlihat, menandakan bahwa sekarang Siangkoan Hong telah membekal ilmu sesat yang lihai. Selain itu dilihatnya mata Siangkoan Hong kadang-kadang bersinar sinar aneh, seakan-akan berubah warna menjadi kehijau-hijauan seperti mata kucing. Kesan anak muda berandalan sudah tak terlihat lagi pada diri Siangkoan Hong, digantikan dengan ke?san seorang tokoh silat yang lihai dan aneh !
Tong Wi-hong menenangkan debaran jantungnya, lalu katanya dengan mencoba bersikap seakrab mungkin, "Ya, kau-pun sering dipanggil A-hong, sehingga orang sering keliru jika memanggil ki?ta berdua."
Sementara itu, Wi-lian yang sudah tidak sabaran itu segera menim?brung, "A-hong, tadi kau mengatakan bahwa ada urusan penting. Urusan apakah itu?"
Wi-hong tersenyum kepada adiknya itu, sahutnya, "Siangkoan Hong membawa berita tentang kakak kesayanganmu yang bengal itu."
Hampir-hampir Wi-lian melompat dari kursinya karena terkejutnya. "Be?rita tentang A-siang? Benarkah itu? Tidak sedang bermimpikah aku?" serunya dengan perasaan meluap.
Siangkoan Hong agaknya cukup memahami kerinduan kakak beradik itu. Katanya, "Aku tahu kalian sangat rindu kepada A-siang. Tetapi bukan kalian saja yang rindu kepadanya, namun kakak kalian itupun sangat rindu kepada kalian, kedua adiknya itu."
"Di manakah dia sekarang? Bagaimanakah keadaannya? Sehat-sehatkah dia?" desak Wi-lian dengan pertanyaan bertubi-tubi.
Jawaban Siangkoan Hong ternyata agak menimbulkan kekecewaan, "Tentang dimanakah beradanya dia sekarang, maaf, aku dipesan oleh A-siang agar ti?dak memberitahukan untuk sementara waktu. Tetapi tentang keadaannya, kalian boleh berlega hati bahwa dia dalam keadaan sehat tak kurang suatu apapun. Dia bergembira ketika mendengar bahwa adik-adiknya telah tumbuh menja?di pendekar-pendekar yang gagah perka?sa. Kalian jangan kecewa bahwa aku ti?dak memberitahukan tempatnya, tetapi A-siang berkata bahwa tidak lama lagi dialah yang akan menemui kalian, se?bab diam-diam ia selalu memperhatikan gerak-gerik kalian."
Benar-benar jawaban yang kurang memuaskan, tetapi sedikit banyak dapat juga memuaskan dahaga kerinduan Wi-hong dan Wi-lian kepada kakak mereka yang tadinya telah dianggap hilang itu. Te?tapi merekapun merasa agak heran bahwa Siangkoan Hong yang nampaknya sudah berilmu tinggi itu ternyata masih mau disuruh oleh Tong Wi-siang, lalu en?tah bagaimanakah keadaan Wi-siang saat itu?
Sementara itu Siangkoan Hong ber?kata lagi, "Aku mengerti bahwa kalian tidak puas akan jawabanku ini, tapi memang hanya itulah yang dapat kujawab, aku tidak berani melanggar pesan A-si?ang tentang apa yang boleh dikatakan dan apa yang tidak boleh dikatakan kepada kalian. Tapi itu bukan berarti A-siang tidak percaya kepada kalian. Bukan begitu, A-siang hanyalah terbentur pada suatu kesulitan yang be?lum bisa diatasinya sehingga terpaksa masih menyimpan beberapa rahasia terhadap kalian. Nah, kalian tentu dapat memakluminya bukan? Selain itu, aku membawa sebuah pesan dan sebuah pertanyaan untuk kalian, yang berasal dari A-siang."
"Sebuah pesan dan sebuah perta?nyaan dari A-siang?"
Siangkoan Hong mengangguk-anggukan kepalanya, "Ya. Pesannya kepada kalian memusuhi suatu golongan, hendaknya kalian dapat membedakan bah?wa dalam golongan itu sendiri ada orang yang baik dan ada orang yang jahat, jangan dipukul rata saja. Begitulah pesannya kepada kalian."
"Pesan yang aneh," kata Wi-lian sambil tertawa. "Ada-ada saja A-siang ini. Tentu saja dalam bertindak apapun kami akan membedakan yang baik dan yang jahat, tidak main hantam kromo saja."
Siangkoan Hong tersenyum sambil menarik napas, "Pesan itu memang sangat sederhana, tetapi yang A-siang kuatirkan adalah jika kalian terbawa oleh arus dendam kalian sehingga pesan itu akan sulit kalian laksanakan. Tetapi baiklah tidak usah kita bicarakan lagi pesan itu, akupun sudah cukup puas dapat menyampaikan pesan A-siang kepada kalian, sedang pelaksanaan pesan itu terserah kepada kalian sendiri. Sekarang A-siang juga akan mengajukan sebuah pertanyaan kepada kalian, dan mengharapkan jawaban tegas kalian."
"Apa pertanyaannya?" desak Wi-hong dan Wi-lian penuh minat. Namun diam diam dalam hati kakak beradik itupun heran karena kakak mereka bertindak begitu penuh rahasia.
Siangkoan Hong memandang tajam-tajam muka Wi-hong dan Wi-lian secara bergantian. Hilanglah senyum ramahnya yang terlihat sejak tadi, suaranya pun begitu bersungguh-sungguh dan mengandung tekanan, "Inilah pertanyaannya. Jika suatu saat A-siang mengobarkan pertempuran besar untuk melaksanakan cita-citanya menjunjung tinggi martabat marga Tong, maukah kalian berdiri di pihaknya?"
Jantung Wi-hong maupun Wi-lian bagaikan berhenti berdenyut ketika mendengar pertanyaan itu, samar-samar mereka mulai merasa bahwa dibalik semua kejanggalan itu tentu sedang berlangsung suatu yang dahsyat. Mereka tidak dapat segera menjawab pertanyaan itu. Mereka sudah cukup mengenal kakak mereka sebagai tukang membuat onar di An-yang-shia, dan sekarang entah apa lagi yang dimaksudkan dengan mengobarkan pertempuran besar untuk menjunjung martabat marga Tong itu? Suatu kekacauan lagikah?
Melihat kakak beradik itu sangat ragu-ragu dalam menjawab, Siangkoan Hong menarik napas dalam-dalam, katanya dengan nada agak menyesal, "Memang pertanyaan ini sangat sulit untuk dijawab. Namun andaikata kalian sebagai adik-adiknya memahami apa yang terkandung sebagai isi hati ka?kak kalian yang luhur itu, maka aku yakin bahwa kalian tanpa ragu-ragu la?gi pasti akan berdiri di pihaknya."
"Cita-cita apakah sebenarnya yang sedang dikandung oleh A-siang?" tanya Wi-lian menjajagi.
Sahut Siangkoan Hong, "A-siang merasa sangat berdosa besar, sebab ke?lakuannya telah menyebabkan seluruh keluarga Tong yang tadinya hidup ten?teram itu menjadi berantakan. Dia ber?tekad kuat akan menebus kesalahannya di masa lampau itu. Dia akan mengang?kat derajat keluarga Tong setinggi mungkin, sehingga mencapai martabat yang paling tinggi yang paling dimung?kinkan untuk seorang manusia."
Hati Wi-hong dan adiknya bergetar mendengar perkataan Siangkoan Hong itu. Sesaat ruangan itu dicengkam oleh ketegangan, hanya jantung ka?kak beradik she Tong itulah yang ber?gemuruh dalam rongga dadanya masing masing. Kemudian terdengar suara Wi hong bertanya dengan suara yang masih agak gemetar, "A-hong, a... apakah...kesehatan A-siang cu... cukup baik? Maksudku...maksudku kesehatan pikir?annya?"
Muka Siangkoan Hong tiba-tiba berobah jadi dingin membesi, sepasang matanyapun tiba-tiba bersinar kehijau-hijauan seperti mata harimau. Si?kap lemah lembutnya yang tadi telah lenyap, digantikan dengan geraman kemarahan, "He, kau menuduh A-siang sudah miring otaknya? Tegakah kau menuduh kakakmu sendiri dengan tuduhan semacam, itu? Gilakah kalau seseorang itu mempunyai cita-cita yang tinggi? Gilakah kalau seorang laki-laki, apalagi merupakan anak laki-laki tertua dalam keluarganya itu, ingin mengangkat derajat keluarganya setinggi-ting?ginya?"
Wi-hong menghembuskan napas untuk mengurangi kepepatan dadanya, lalu ta?nyanya, "Maafkan aku, aku tidak menu?duh A-siang sekeji itu. Tetapi, apakah yang dimaksud oleh kakakku itu ialah ingin menjadikan dirinya sebagai... sebagai...Kaisar?"
Jawaban Siangkoan Hong sangat te?gas, "Ya, kalian jangan kaget, tetapi justru harus bangga punya kakak se?tinggi itu cita-citanya. Itu bukan se?suatu yang gila bukan? Aku kagum kepadanya, karena dialah lelaki sejati yang berani mendobrak semua rintangan untuk mencapai cita-citanya. A-hong, kau sebagai seorang yang gemar memba?ca buku-buku kuno tentu pernah memba?ca tentang riwayat raja-raja besar ja?man dahulu. Kau tentu ingat akan Tio Khong-in, seorang pengembara tanpa tempat tinggal yang akhirnya men?dirikan dinasti Song dan menjadi Kaisar pertama dari dinasti itu? Ingat?kah kau akan Temuchin, gembala miskin yang di hari tuanya berhasil mendiri?kan Kerajaan Goan yang menyatukan se?luruh dunia, dan dia sendiri kemudian bergelar Jengis Khan, rajadiraja yang tiada tandingannya? Ingatkah kau akan seorang pendeta cacad dan miskin ber?nama Cu Goan-ciang yang kemudian ber?hasil mendirikan dinasti Beng dan ber?gelar Beng-thay-cou itu? Nah, sejarah menyajikan contoh yang cukup banyak. Ketahuilah bahwa keadaan A-siang saat ini jauh lebih kokoh dari Tio Khong-in, Temuchin maupun Cu Goan-ciang ketika mereka memulai pergerakan besar mere?ka. Aku yakin, dan aku mendukungnya sepenuh hati, bahwa A-siang pasti akan mencapai apa yang dicita-citakan?nya."
Wi-hong dan Wi-lian hanya bungkam saja "diberondong" perkataan Siangkoan Hong yang bersemangat dan berapi-api itu.
Tanya Wi-lian kemudian, "Kau ka?takan bahwa keadaan A-siang lebih ba?ik dari Tio Khong-in segala, sebenar?nya bagaimanakah keadaannya sekarang? Ceritakanlah sebenarnya, supaya kami dapat menilai bahwa perjuangannya itu benar-benar berpijak kepada kenyataanya itu atau cuma sekedar mimpi di siang hari bolong."
Siangkoan Hong tertawa dingin, "Aku dipesan untuk tidak mengatakannya sekarang. Untuk sementara waktu bolehlah kalian anggap bahwa A-siang itu gila atau bermimpi di siang hari bolong, tetapi kalian akan melihat buktinya kelak bahwa dia bisa mewujudkan cita-citanya. Nah, kalian belum menjawab pertanyaannya yang tadi. Dimanakah kalian berpihak? Di pihak kakak kalian atau di pihak musuh-musuhnya?"
"Masalah ini sulit diputuskan da?lam sekejap mata, tapi membutuhkan waktu berpikir yang panjang," sahut Tong Wi-hong. "Bagaimana aku bisa memutuskan tentang suatu masalah yang belum aku ketahui dengan jelas?"
Agaknya Siangkoan Hong tidak dapat menahan perasaannya. Tanpa sadar ia menghentakkan kakinya dengan marah dan tahu-tahu di lantai yang diinjaknya itu "tercetaklah" sebuah bekas telapak kaki yang dalamnya hamper satu jari ! terkesiaplah Wi-hong dan Wi-lian menyaksikan pameran kekuatan yang hebat itu, karena ubin di ruangan itu terbuat dari batu hitam yang keras sekali. Kepandaian seperti itu agaknya cukup pantas untuk disejajarkan dengan "sepuluh tokoh" jaman itu. Wi-hong dan adiknya juga heran melihat tingkat kepandaian Siangkoan Hong yang begitu tinggi. Dua tahun yang lalu, ketika Siangkoan Hong masih dikenal sebagai anak berandalan di An-yang-shia, meskipun ia gemar berkelahi namun ilmu silatnya masih termasuk kelas kambing. Kenapa kini dalam waktu dua tahun saja telah meningkat begitu hebat? Bahkan telah melebihi Wi-hong dan adiknya yang selama dua tahun ini telah berlatih begitu keras.
Siangkoan Hong nampaknya sangat bangga ketika melihat kakak beradik itu kaget melihat kepandaiannya. Kata?nya sambil tertawa, "Maaf, aku kurang dapat mengendalikan diri sehingga tanpa sengaja telah merusakkan lantai ruangan ini. Tetapi hal ini sekaligus ingin kujadikan tolok ukur agar kalian dapat menilai kepandaian A-siang saat ini. Kepandaian yang kuperlihatkan tadi masih beberapa ting?kat di bawah kepandaian yang dimiliki A-siang saat ini. Kepandaian A-siang sekarang sudah sulit diukur lagi tingginya."
"Berguru di manakah dia?" tanya Wi-hong.
Siangkoan Hong menjawab, "Di jaman ini tidak ada seorang tokohpun yang cukup pantas untuk menjadi gurunya. Ia hanya menemukan suatu penemuan aneh di suatu tempat yang diraha?siakan."
Wi-hong berkata sambil menarik napas, "Aku ikut bersyukur dan bergem?bira untuk nasib baiknya, bahkan aku dan adikku minta tolong kepadamu untuk menyampaikan rasa bahagia kami ini kepadanya. Tentang cita-cita besarnya itu, aku memang belum dapat memutuskannya sekarang. Suatu ketika aku ingin berbicara sendiri dengannya, dan tidak tertutup kemungkinannya kami akan mendukung cita-citanya itu. Jika cita-citanya itu memang membawa kese?jahteraan bagi umat manusia."
Siangkoan Hong nampak kurang puas dengan jawaban yang kurang tegas itu, tetapi apa boleh buat, ia memang tidak bisa memaksakan kehendaknya dengan be?gitu saja.
"Baik, akan aku sampaikan ja?wabanmu ini kepada A-siang," kata Siangkoan Hong akhirnya. "Aku memang tidak bisa memaksa kalian. Jika kalian kelak memutuskan untuk memihak kepada A-siang, tentu ia akan gembira sekali. Sebaliknya ia akan bersedih hati jika harus berhadapan dengan adik-adiknya sendiri sebagai musuh."
Jawab Wi-hong sambil mengerutkan alisnya, "Aku sebenarnya kurang meng?erti akan jalan pikiran kakakku itu. Kenapa dia sampai berpikiran bahwa kami kakak beradik akan saling berhadapan sebagai musuh? Akupun sama se?kali tidak ingin menghadapinya seba?gai musuh, begitu pula A-lian juga tidak ingin, karena kami bertiga adalah saudara-saudara seayah dan seibu, di?lahirkan dari rahim seorang perempuan yang sama."
"Aku sendiri meskipun hanya orang luar, juga tidak ingin melihat kalian kakak beradik ini akan berbaku hantam," kata Siangkoan Hong. "Nah, kupersilahkan kalian memikirkan hal ini ba?ik-baik, dan aku sekarang akan berpa?mitan dulu."
Siangkoan Hong segera bangkit berdiri lalu berjalan keluar. Tong Wi-hong sendiri mengantarkannya sampai ke pintu depan.
Demikianlah, pada hari itu Wi-hong telah bertemu kembali dengan dua orang kenalan lamanya dengan membawa kenang?an yang berbeda-beda pula. Ting Bun yang mengingatkannya kepada Ting Ciau kun dan menimbulkan ketidak senang?nya kepada si paman angkat itu, kemudian pertemuan dengan Siangkoan Hong yang membawa berita tentang kakaknya yang hampir-hampir dianggap hilang itu. Tetapi berita tentang kakaknya itu justru menimbulkan kesan kekaburan dan diliputi kabut rahasia yang tebal.
Para tetamu yang datang melayat pada hari itu jauh lebih banyak di?bandingkan dengan hari-hari sebelum?nya. Kota bernilai sejarah Tay-beng yang biasanya hanya dikunjungi oleh kaum kutu buku atau kaum pelancong yang ingin menikmati peninggalan-peninggalan bersejarah, kini dipenuhi dengan manusia-manusia dunia persila?tan yang rata-rata bertampang keras dan garang. Rumah-rumah penginapan telah penuh, bahkan tidak sedikit yang terpaksa malam itu harus tidur di emperan rumah orang. Banyak di antara pelayat itu benar-benar ingin memberi penghormatan terakhir kepada Cian Sin-wi, karena pernah menerima budi ba?iknya atau karena pernah mengenalnya, tetapi juga tidak sedikit yang hanya ingin melihat ramai-ramai orang ber?kumpul.
Jumlah pelayat yang luar biasa itu membuat Tong Wi-hong sebagai pe?mimpin Tiong-gi Piau-hang merasa bang?ga, tetapi sekaligus juga merasa beta?pa beratnya beban yang terpanggul di pundaknya. Ia menyadari akan kebesa?ran dan kejayaan Tiong-gi Piau-hang, dan berarti Tong Wi-hong juga harus berhasil mempertahankan kejayaan itu, bahkan kalau perlu membuatnya bertambah jaya.
Keesokan harinya, upacara pema?kaman Cian Sin-wi berjalan dalam sua?sana khidmat, megah dan lancar. Peti jenazah Cian Sin-wi diangkut dengan sebuah kereta yang berlapis kain belacu putih dan ditarik oleh dua ekor ku?da berbulu putih pula. Tong Wi-hong, Cian Ping dan para pemimpin cabang Tiong-gi Piau-hang berjalan kaki dan mengawal di samping kereta, mereka se?mua berpakaian belacu putih pula dan kepalanya juga diikat dengan kain pu?tih. Sedangkan iring-iringan pelayat memanjang ke belakang sampai beberapa li panjangnya. Bahkan ketika kereta jenazah sudah mencapai sebuah bukit di luar kota Tay-beng, di mana liang lahat sudah disiapkan, ekor dari iring iringan pelayat itu masih berada di dalam kota Tay-beng.
Wi-lian berjalan di belakang ke?reta, bersama dengan beberapa orang Tiong-gi Piau-hang yang telah dikenalnya. Hari itu terpaksa Wi-lian ha?rus menanggalkan kesenangannya memakai pakaian berwarna merah, dan digantinya dengan warna putih tanda ber?kabung. Tepat pada saat iringan jenazah mendaki ke atas bukit, tiba-tiba Wi-lian mendengar ada seseorang yang memanggil namanya.
Ketika ia menoleh, nampaklah bahwa orang yang memanggilnya itu ter?nyata adalah seorang anak muda yang berpakaian seragam perwira Pasukan Khusus Kerajaan Beng. Perwira muda itu bukan lain adalah Ting Bun.
Tong Wi-lian bagaikan tertegun ketika melihat anak muda itu. Selama dua tahun ini Wi-lian belum pernah sekejappun melupakan anak muda yang menarik hatinya ini. Tetapi sekarang Wi lian menjadi sangat kecewa ketika melihat anak muda itu mengenakan seragam prajurit Kerajaan Beng, seragam yang tidak disenanginya.
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 19 "Oh, kiranya Ting Toako," sahut Wi-lian dengan suara tawar, menyata?kan perasaan kecewanya. "Sungguh ti?dak pernah kuduga kalau Toako akhir?nya menjadi seorang hamba Kaisar."
Perasaan Ting Bun cukup peka, dia dapat menangkap perkataan Wi-lian yang kecewa itu. Jawab Ting Bun sam?bil menarik napas, "Adik Lian, kau ki?ra aku bangga mengenakan seragam ini? Jika kau tahu apa yang mengganjal da?lam hatiku, kuharap kau tidak ber?sikap sedingin ini lagi kepadaku."
Tidak dapat dipungkiri, sebenar?nya perasaan Wi-lian bergejolak juga ketika bertemu dengan Ting Bun ini. Meskipun gadis itu tidak menyukai orang-orang yang memakai pakaian seragam Kerajaan Beng, namun gadis itu tidak dapat menutup telinganya untuk mendengarkan kata-kata Ting Bun se?lanjutnya, "Adik Lian, aku menjadi se?orang prajurit Kerajaan adalah karena terpaksa benar-benar, bahkan aku mera?sa hal ini terjadi di luar kemauanku sendiri. Entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu ayahku telah menghubungi be?berapa orang panglima yang menjadi ke?nalannya, dan mencarikan kedudukan buat aku, aku sendiri tidak tahu per?buatan ayahku itu sampai tahu-tahu aku mendapat surat panggilan untuk ma?suk tentara dan langsung mendapat pangkat perwira. Jadi aku menjadi pra?jurit ini bukan keinginanku sendiri namun keinginan ayahku. Adik Lian kau dapat memahami kesulitanku bukan?"
"Hemm, paham sekali," kata Wi-li?an dengan suara yang masih tetap dingin. Wi-lian masih belum bisa melu?pakan bahwa kehancuran keluarga Tong Di An-yang-shia adalah karena orang-o?rang berseragam hamba Kerajaan yang menyalah-gunakan kekuasaannya.
Ting Bun benar-benar terpukul oleh sikap dingin Wi-lian itu, namun dia nekad berkata terus, "Tetapi, jika kau tidak menyukai seragamku ini, se?ketika itu juga aku akan melepaskan semua kedudukanku, aku tidak peduli lagi bagaimana akibatnya. Ayah sudah terlalu sering memaksakan kehendaknya kepadaku dan menindas pikiran bebasku, kini aku akan mencari kebebasanku sen?diri."
Kalimat yang terakhir inilah yang membuat Wi-lian menggerakkan kepala?nya untuk menoleh ke samping, memandang wajah Ting Bun yang berjalan di sampingnya itu. Dilihatnya wajah ser?aut yang tampan, tetapi sekaligus ju?ga memancarkan kejantanan dan kewibawaan. Alisnya yang tebal itu menaungi sepasang matanya yang bundar bening, memancarkan ketulusan hatinya. Beta?papun juga, Wi-lian masih mengagumi wajah itu.
"Aku bersungguh-sungguh," kata Ting Bun menegaskan. "Aku muak dengan dengan keterikatanku kepada kedudukanku yang sama sekali tidak sesuai de?ngan suara hati kecilku. Aku ingin bebas menentukan jalan hidupku sendiri, bebas seperti kalian ini."
Akhirnya Wi-lian menundukkan kepalanya karena tidak tahan membalas tatapan mata Ting Bun yang memancarkan kesungguhan hatinya itu. Kata Wi-lian kemudian, "Aku agaknya masih mempercayai Toako. Jika Toako memang masih sudi membina hubungan baik dengan keluarga kami, maka Toako memang harus melepaskan kedudukanmu sebagai perwira Kerajaan. Kami keluarga Tong telah mengalami kehancuran di tangan orang-orang yang menamakan diri penjaga-penjaga ketertiban yang berseragam prajurit, sehingga setiap kami melihat orang berseragam prajurit, timbullah kenangan buruk masa lalu."
Ting Bun nampak gembira sekali mendengar perkataan gadis itu, dan sedikitpun tidak nampak penyesalannya bahwa dia akan kehilangan kedudukannya yang oleh sebagian besar masyarakat dianggap sebagai kedudukan yang "empuk" itu. Katanya dengan bersemang?at, "Terima kasih bahwa kau masih mem?percayai aku. Begitu upacara pema?kaman ini selesai, akan segera kusu?ruh pengawal-pengawalku itu untuk pu?lang ke Pak-khia sambil membawa surat permohonanku untuk mengundurkan diri."
Wi-lian ikut senang mendengar keputusan itu, tetapi ia masih bertanya, "Tetapi apakah kau tidak akan menga?lami kesulitan dengan Panglima-pang?lima atasanmu?"
Ting Bun tersenyum sinis, "Ter?hadap semua kaki tangannya Kaisar Cong-ceng, segumpal perak atau sekan?tung uang akan membuat semua kesulit?an menyingkir jauh-jauh."
Suasana yang kaku antara Ting Bun dengan Wi-lian kini sudah mencair. Mereka menjadi akrab kembali seperti dulu, yaitu sebelum Wi-lian dan kakak?nya "diculik" oleh Rahib Hong-koan dari rumah Ting Ciau-kun. Meskipun kea?kraban itu telah pulih, namun mereka membatasi diri untuk tidak bercakap cakap secara berlebihan, sebab beta?papun juga mereka sedang berada di tengah-tengah suasana berkabung dari suatu upacara pemakaman.
Dalam percakapan berikutnya Ting Bun berkata, "Adik Lian, kedatanganku ke Tay-beng bersama rombongan praju?rit ini sebenarnya bukan suatu hal yang kebetulan saja. Aku sebenarnya diberi tugas untuk memimpin satu regu prajurit pilihan untuk memburu orang-orang Hwe-liong-pang. Meskipun aku su?dah berniat untuk meninggalkan tugasku yang menjemukan ini, namun aku masih bertanggung-jawab untuk ke?selamatan setiap orang anggauta re?guku. Beberapa hari yang lalu, aku sengaja memecah-mecah reguku menjadi beberapa kelompok kecil, untuk mela?cak jejak orang-orang Hwe-liong-pang yang katanya berkeliaran di sekitar tempat ini. Ketika kelompok-kelompok kecil kami berkumpul kembali, ternyata kurang satu kelompok yang tidak me?nampakkan diri sampai waktu yang ditentukan...."
Wi-lian tersenyum karena sudah tahu kelanjutan kata-kata itu. Tukas?nya, "Regumu yang tidak muncul kem?bali itu tentu terdiri dari tiga orang dipimpin seorang perwira setengah tua yang berjenggot kambing dan bernama Ong Lian?"
Ting Bun tidak terlalu kaget men?dengar ucapan Wi-lian itu, katanya, "Sudah dalam dugaanku. Ketika aku men?dengar kabar bahwa calon menantu Cian Lo-eng-hiong dan adiknya sedang menge?jar orang-orang Hwe-liong-pang ke arah padang perdu, aku sudah memikir?kan kemungkinan bertemu dengan regu Ong Lian itu, karena regu itu kutugaskan pula ke arah yang sama dengan arah pengejaran kalian."
Kata Wi-lian, "Mereka bernasib malang. Dengan kedua tanganku sendiri inilah aku menguburkan mayat-mayat mereka."
Ting Bun menarik napas, "Hal ini-pun sudah dalam dugaanku, hanya saja aku belum berani memastikan. Jika kelompok Ong Lian itu selamat tak kurang suatu apa, tentunya mereka sudah bergabung dengan regu induk sejak beberapa hari yang lalu, sebab tugas mereka hanya untuk melacak jejak orang orang Hwe-liong-pang dan bukan untuk menempurnya."
Sementara Wi-lian dan Ting Bun berjalan sambil bercakap-cakap perla?han, kereta jenazahpun sudah tiba di dekat liang lahat. Dalam suasana yang khidmat dan penuh kemegahan, peti je?nazah Cian Sin-wi diturunkan ke dalam liang lahat. Cian Ping dengan sikap yang sangat tabah melihat jenazah ayahnya itu menuju tempat peristiraha?tannya yang terakhir. Gadis itu tidak menangis, meskipun matanya merah, ia lebih banyak mengepalkan tinjunya dan mengertakkan giginya. Banyak para pelayat yang diam-diam mengagumi kekerasan hati dan ketabahan gadis itu.
Setelah liang lahat ditutup dengan tanah, Tong Wi-hong sebagai wakil Tiong-gi Piau-hang maupun keluarga Cian lalu tampil untuk mengucapkan terima kasih kepada para pelayat. Da?lam ucapan terima kasihnya itu dia tidak lupa menekankan pentingnya sikap bersatu dari semua ksatriya un?tuk menghadapi Hwe-liong-pang yang semakin meraja-lela. Tetapi seruan per?satuannya itu menghadapi sikap kurang bersemangat dari para pendengarnya. Siapapun terlalu kecut hatinya untuk memperlihatkan permusuhan dengan Hwe-liong-pang secara terang-terangan, se?bab masa itu nama Hwe-liong-pang ma?sih begitu ditakuti ibarat nama hantu yang paling mengerikan.
Upacara pemakaman itupun akhir?nya selesai. Bukit kecil yang tadinya bagaikan tertutup lautan manusia itu, perlahan-lahan mulai menjadi sunyi kembali. Tinggal gundukan-gundukan ta?nah yang tersebar di sana-sini, di mana di dalamnya terdapat tulang-belu?lang manusia. Dan hari itu gundukannya bertambah satu lagi, ta?nahnya masih merah, di dalamnya berba?ring untuk selama-lamanya seseorang yang pernah sangat disegani di seluruh Kang-pak pada masa hidupnya.
Wi-hong dan Cian Ping masih be?lum beranjak dari samping kuburan Ci?an Sin-wi. Beberapa puluh langkah dari mereka, nampaklah Wi-lian dan Ting Bun juga belum pergi dan sedang berteduh di bawah sebuah pohon rindang. Dan tidak jauh pula masih kelihatan para pemimpin cabang Tiong-gi Piau-hang juga belum pergi, menunggu giliran untuk bersembahyang di depan makam.
Sementara menunggu Cian Ping ber?sembahyang di depan makam ayahnya, Tong Wi-hong mengedarkan pandangannya dan alisnyapun berkerut kurang senang ketika melihat adiknya nampak begitu akrab dengan Ting Bun. Wi-hong bukan?nya tidak tahu bahwa antara adiknya dengan Ting Bun itu terjalin rasa sa?ling mencinta, namun jika Wi-hong ingat akan tindakan ayah Ting Bun (Ting Ciau Kun) bersama dengan Te-yong Tojin ketika hendak membunuhnya itu, rasanya Wi-hong tidak rela jika adik?nya harus berjodoh dengan Ting Bun.
"Perlahan-lahan dan dengan cara halus aku harus memisahkan mereka," demikian tekad Wi-hong di dalam ha?tinya. "Ada cukup banyak murid-murid Soat-san-pay yang masih bujangan, ber?wajah tampan, berilmu tinggi dan ber?budi luhur. Suatu saat akan kuperkenalkan mereka kepada A-lian, agar A-lian tahu bahwa Ting Bun bukan satu satunya laki-laki di dunia ini yang pantas menjadi jodohnya."
Selesai Cian Ping bersembahyang, maka yang lain-lainnyapun bergiliran satu persatu bersembahyang pula. Setelah itu, maka rombongan itupun mening?galkan bukit pekuburan itu. Ting Bun ikut bergabung dalam rombongan itu, meskipun sikap Wi-hong terhadap dirinya masih begitu tawar dan dingin. Ting Bun mengira bahwa pakaian seragamnyalah yang membuat Wi-hong jadi tidak suka kepadanya, karena itu se?makin teballah tekad Ting Bun untuk meletakkan sama sekali jabatan perwira?nya. Ting Bun rela kehilangan segala-galanya, tapi sedikitpun tidak rela kehilangan Wi-lian.
Ketika rombongan kecil itu mulai memasuki kota Tay-beng, maka Ting Bun memisahkan diri dari rombongan. Kata?nya ia akan pulang dulu untuk menemui anggauta-anggauta regunya, mengurus pemulangan anak buahnya ke Pak-khia sambil membawakan surat pengunduran diri Ting Bun, setelah itu Ting Bun berjanji akan selalu mendampingi Wi-lian.
Ketika mendengar janji Ting Bun itu, Wi-hong hanya menjawab dengan di?ngin, "Kami keluarga Tong adalah kelu?arga yang miskin dan tidak punya apa-apa, kami tidak berani membuat repot Ting Tay-jin untuk mengikuti kami."
Ting Bun menarik napas dan beru?saha untuk memaklumi sikap Wi-hong itu. Setelah memberi salam perpisahan sekali lagi, ia segera memisahkan diri.
Begitu bayangan tubuh Ting Bun semakin menjauh, Wi-lian lalu berkata kepada kakaknya dengan nada teguran halus, "A-hong, tidak seharusnya kau bersikap begitu menyakiti hatinya. Dia sudah berjanji akan melepaskan ke?dudukannya sebagai perwira Kerajaan, dan itu kukira sudah cukup untuk meng?etahui kesungguhannya dalam membina hubungan baik dengan kita."
Sahut kakaknya, "Hemm, seragam dan jabatan mudah untuk dilepaskan, tetapi sifat asli yang sudah menulang-sungsum tidak mudah dihapuskan."
Wi-lian mengerutkan keningnya, "Apa maksudmu?"
"Adikku, suatu saat akan kuceritakan sebuah peristiwa yang kualami kepadamu, tetapi waktunya tidak seka?rang," kata Wi-hong. "Setelah mende?ngar cerita itu, kuharap kau dapat berpikir dengan jernih dan mungkin pandanganmu selama ini kepada keluar?ga Ting akan mengalami perubahan."
Wi-lian tidak membantah lagi se?telah melihat sikap kakaknya yang be?gitu bersungguh-sungguh. Wi-lian paham betul akan tabiat kakaknya yang cermat itu, tanpa alasan yang kuat tidak mungkin ia menuduh sembarangan kepada orang lain. Lagi pula Wi-lian berusaha menahan diri agar tidak berteng?kar dengan kakaknya yang baru beberapa hari berkumpul lagi itu. Tetapi hati?nya merasa cemas, jangan-jangan Ting Bun benar-benar sejelek yang diduga oleh kakaknya?
Dengan selesainya urusan pema?kaman Cian Sin-wi, maka Tong Wi-hong mulai memikirkan urusan-urusan lain?nya. Pikirannya mulai melayang ke ko?ta kelahiran yang sangat dirindukan?nya, An yang-shia, kota kecil mungil yang indah di tepi danau Po-yang-ou itu. Di sana sudah menanti dua macam pekerjaan baginya. Menemukan makam ayahnya, dan membalas sakit hati kelua?rga kepada Cia To-bun.
Ketika Wi-hong mengutarakan tuju?annya untuk pergi ke An-yang-shia ke?pada adiknya, adiknya langsung saja menyambutnya dengan gembira. Bahkan wi-lian berkata pula, "Letak kota Lam-cang tidak jauh dari An-yang-shia, ki?ta bisa menuju pula ke Lam-cang sete?lah tugas menghajar Cia To-bun sele?sai."
"Untuk apa ke Lam-cang?" tanya kakaknya.
"A-hong, ingatkah kau bahwa Cia To-bun dalam memusuhi keluarga kita itu tidak bertindak sendirian, me?lainkan didukung oleh Cong-tok (Panglima Wilayah) Kiang-se yang ber?nama Thio Ban-kiat itu? Nah, Cia To-bun akan kita hajar, Thio Ban-kiat-pun harus menerima sedikit bayaran. Selain itu, di Lam-cang akan terjadi pula suatu peristiwa yang menarik perhatian."
"Peristiwa apa?"
"Pertemuan lengkap kaum Hwe-liong pang, di mana akan dihadiri mulai da?ri pucuk pimpinan sampai anggauta pa?ling rendah, nah, kukira inilah kesempatan paling baik untuk menilai sam?pai di mana kekuatan Hwe-liong-pang yang sesungguhnya. Kudengar pertemuan kaum Hwe-liong-pang ini dimaksudkan untuk menandingi Eng-hiong-tay-hwe (pertemuan agung para pendekar) yang akan diselengagarakan di Siong-san."
"Aku setuju," jawab Wi-hong tan?pa berpikir lagi. "Anggap saja kita membantu kaum pendekar dengan jalan mengintip kekuatan pihak musuh, agar kaum pendekarpun dapat menentukan tindakan sesuai dengan keadaan."
Rencana itu segera diberitahukan kepada tokoh-tokoh Tiong-gi Piau-hang lainnya. Ternyata Cian Ping menyatakan ingin ikut, sebab gadis itu tidak akan betah lagi jika harus kesepian seorang diri di gedung yang besar itu sementara ayahnya sudah tidak ada lagi. Tong Wi-hong tidak keberatan akan keinginan Cian Ping itu. Bahkan Wi-hong berharap kegembiraan Cian Ping akan dapat dipulihkan kembali dengan melihat pemandangan indah sepanjang jalan.
"Jika enci Ping kelak melihat da?nau Po-yang-ou yang terletak tidak jauh dari rumah kami, di An-yang-shia, aku yakin enci Ping tidak akan melu?pakannya seumur hidup," kata Wi-lian kepada Cian Ping.
"Kuharap saja kau tidak membual," sahut Cian Ping sambil tertawa.
Para tokoh-tokoh Tiong gi Piau-hang tidak dapat merintangi kemauan sang pemimpin baru itu, terpaksa mere?ka hanya memesankan agar hati-hati dan menyelesaikan segala urusan de?ngan waktu sesingkat-singkatnya. Per?siapan untuk suatu perjalanan yang jauhpun telah disiapkan, tiga ekor ku?da yang tegar dan sehat serta perbe?kalannyapun sudah siap. Cian Ping tidak lupa menyiapkan sepasang hau-thau kau (kaitan kepala harimau) yang ukurannya agak lebih kecil dan lebih ringan dari kepunyaan ayahnya. Senja?ta itu memang dirancang oleh ayahnya sendiri, disesuaikan dengan kodrat Ci?an Ping sebagai seorang perempuan yang tenaganya tidak sekuat laki-laki. Se?dangkan Wi-hongpun menyiapkan pedangnya.
Wi-lian tidak menyiapkan senjata apa-apa, sebab senjata yang paling diandalkannya adalah pukulan dan tendangannya sendiri.
Dalam pada itu, para pemimpin cabang-cabang Tiong-gi Piau-hang dari berbagai kota itupun telah berpamitan untuk kembali ke kotanya masing-masing untuk menjalankan tugasnya. Rumah yang besar dan megah itu jadi semakin sepi. Tinggal Can Lo-toa dan beberapa pembantu kepercayaan Cian Sin wi lainnya yang berkedudukan sebagai pelaksana semua urusan Tiong-gi Piau hang selama Wi-hong tidak ada di Tay beng.
Dan rumah gedung itu jadi se?makin bertambah sepi ketika keesokan harinya Wi-hong, Wi-lian dan Cian Ping pergi pula meninggalkan rumah. Sebelum pergi, mereka sempat menerima macam-macam nasehat dan petunjuk dari Can-Lo-toa.
Pesan Can Lo-toa, "Dari Tay-beng sampai ke An-yang-shia, jika kita me?lewati jalan besar, maka kita akan me?lewati dua kota di mana ada cabang Tiong-gi Piau-hang kita, yaitu di Kiang-leng dan di kota kecil Bu-sek. Jika Cong-piau-thau membutuhkan bantu?an, kedua cabang itu akan dengan se?nang hati membantu Cong-piau-thau."
"Aku berharap tidak sampai membu?at mereka repot," kata Wi-hong sambil melompat ke atas punggung kudanya. "Nah, selamat tinggal paman Can. Kuha?rap kau menjaga diri baik-baik."
Cian Ping dan Wi-lianpun berpa?mitan kepada orang tua itu.
-o0^DwKz-Hendra^0o- UDARA yang cerah pada pagi hari itu membuat cerah pula wajah ketiga orang penunggang kuda yang ma?sih muda itu. Semua kesedihan dan ke?ruwetan yang dialami secara bertubi-tubi dalam beberapa hari ini telah terlupakan, yang terbayang adalah ma?sa depan yang penuh perjuangan tetapi menggairahkan. Begitu Wi-hong dan kedua kawan seperjalanannya itu keluar dari pintu gerbang kota Tay-beng sebelah selatan, merekapun segera memacu kudanya masing-masing seakan-akan berlomba. Mereka mengambil jurusan tenggara.
"Semoga dalam perjalanan ini kita akan dapat pula menemui jejak si berandalan itu," kata Wi-lian kepada kakaknya. "Berita yang dibawa oleh Siangkoan Hong itu agak kabur dan membingungkan, tetapi aku tetap percaya bahwa pada suatu ketika A-siang akan menemui kita."
Sahut Wi-hong sambil tertawa, "A-siang tidak pernah berhenti membuat kita kebingungan. Entah keonaran apa lagi yang sedang dia rencanakan sekarang, kuharap semoga saja ia sudah jera dengan peristiwa An-yang-shia dua tahun yang lalu itu."
Cian Ping ikut menimbrung perca?kapan kakak beradik itu, "Aku sudah kenal A-hong dan A-lian, tetapi entah bagaimana dengan kakak kalian yang bernama A-siang itu?"
Sahut Wi-lian, "Kakak kami yang tertua itu berwajah agak mirip dengan A-hong, hanya saja ia agak bercambang dan tubuhnya lebih tinggi sedikit da?ri A-hong. Jika A-hong suka menengge?lamkan diri dalam tumpukan buku-buku?nya sehingga mendapatkan julukan kutu-buku, maka A-siang ini justru lebih suka keluyuran di luar rumah bersama dengan kawan-kawannya, dan kadang-ka?dang pulang ke rumah dengan wajah babak-belur karena habis berkelahi."
Semakin membicarakan kakaknya, semakin berkobarlah rasa rindu Wi-lian kepada kakaknya itu. Katanya lebih lan?jut, "A-siang memang seorang anak le?laki yang nakal dan bengal bukan main, sehingga ayah dan ibupun semakin pusing kepala memikirkannya. Orang-orang di seluruh An-yang-shia barangkali tak seorangpun yang tidak jengkel kepada A-siang, tetapi A-siang sangat sayang kepadaku. Sering ia menangkapkan kupu-kupu atau menangkapkan burung untukku atau mengajakku memancing ke tengah danau Po-yang-ou. Semua orang boleh membencinya, tapi aku tetap merin?dukannya."
Gadis yang garang seperti macan betina jika berhadapan dengan lawan lawannya itu, kini tiba-tiba matanya menjadi basah ketika membicarakan so?al kakaknya itu. Ucapnya dengan suara bergetar, "Semoga kami semua kakak beradik segera dapat berkumpul kem?bali."
"Aku akan ikut berdoa buat kali?an," kata Cian Ping dengan tulus. "Ji?ka A-hong dan A-lian memujinya se?bagai anak baik, akupun percaya dia benar-benar orang baik. Bahkan aku percaya dia juga akan bersikap baik kepadaku, seperti juga adik-adiknya yang manis-manis ini."
Wi-hong dan Wi-lian memandang Ci?an Ping dengan pandangan mata yang pe?nuh dengan rasa terima kasih. Kata Wi-hong, "Terima kasih, adik Ping, A-siang pasti akan bersikap baik kepadamu pu?la. Akupun sangat rindu kepadanya, meskipun dulu ia sering menjitak kepalaku."
Demikianlah percakapan itu hanya berkisar tentang diri A-siang. Agaknya Wi-hong dan Wi-lian begitu rindu kepa?da kakak mereka, sehingga pembicaraan merekapun tidak bergeser dari kenangan masa lalu yang begitu mengesankan. Mereka mengenang bagaimana dulu mereka bertiga kakak beradik telah bermain hujan-hujanan sehingga basah kuyup, dan ketiga-tiganya dihukum oleh ayah mereka untuk berdiri menghadap tembok sehari suntuk. Teringat pula bagaima?na A-siang sampai menjadi babak-belur seluruh tubuhnya, gara-gara membela A-hong yang dikeroyok oleh anak-anak lain sebayanya, dan masih banyak kenangan masa kanak-kanak lainnya yang tak mudah dilupakan.
Kota Tay-beng kini sudah jauh tertinggal di belakang mereka, bahkan hutan cemara yang merupakan tempat di mana Wi-hong hampir mati dibunuh oleh Te-yong Tojin dan Ting Ciau-kun juga telah mereka lewati. Mereka sudah melewati pula beberapa buah pedesaan berpenduduk sedikit yang nampak tenteram sekali.
Ketika mereka mulai mengambah ja?lan yang sepi, di mana kanan kirinya hanya terdapat lereng-lereng hutan ce?mara atau perladangan penduduk, tiba-tiba dari arah belakang mereka ter?dengar suara derapan kaki kuda yang menyusul mereka.
Ketika Wi-hong menoleh, nampak?lah ada seorang penunggang kuda agaknya sedang berusaha untuk menyusul mereka. Penunggang kuda di belakang itu adalah seorang anak muda berumur kira-kira duapuluh empat tahun, ber?wajah keras dan berwibawa, mengenakan pakaian ringkas berwarna biru laut de?ngan potongan yang sederhana tapi gagah, dan di pinggangnya tergantung sebatang golok bersarung besi. Dialah Ting Bun.
Timbullah rasa tidak senang Tong Wi-hong melihat anak Ting Ciau-kun ini, "Mau apa orang she Ting ini me?nyusul kita?"
Wi-lian berkata kepada kakaknya, "A-hong, kau sekarang adalah seorang Cong-piau-thau yang dihormati orang, kuharap kau dapat bersikap bijaksana dalam menghadapi setiap orang. Meski?pun mungkin kau punya prasangka buruk kepada Ting Bun tetapi sebelum hal itu dibuktikan dengan kuat maka kau tidak boleh bersikap kurang adil."
Bahkan sikap Cian Ping juga sama dengan Wi-lian, "Perkataan adikmu itu tidak ada salahnya kau turuti, A-hong. Ayah pernah berkata semasa hidupnya, bahwa kejayaan Tiong-gi Piau-hang se?lama ini bukan hanya mengandalkan ke?kuatan senjata tetapi juga mengan?dalkan pergaulan yang luas dengan se?mua orang."
Dalam pada itu Ting Bun telah berhasil menyusul mereka. Kata anak muda itu sambil menyeka keringat di dahinya, "Huh, hampir saja aku keting?galan, aku tidak melihat keberangkatan kalian dari kota Tay-beng. Ketika aku tanyakan ke gedung Tiong-gi Piau-hang, paman tua itu mengatakan bahwa kalian telah berangkat, maka buru-buru saja aku menyusul ke arah sini."
Sikap Ting Bun begitu hangat dan akrab, kata-katanyapun meluncur be?gitu lancar tanpa canggung-canggung, bahkan ia pura-pura tidak melihat sikap Wi-hong yang dingin dan tawar itu. Diam-diam Tong Wi-lian semakin kagum akan kelapangan dada anak muda she Ting ini, tetapi entah ada ma?salah apakah sampai kakaknya bersikap sedingin itu kepada Ting Bun? Selama ini kakaknya belum menceritakan apa-a?pa.
Sementara itu Wi-hongpun mene?rima kedatangan Ting Bun itu dengan sikap yang resmi dan sama sekali tidak akrab, katanya, "Ting Tay-jin (tuan pembesar she Ting), terima kasih atas perhatianmu kepada kami. Tetapi kami tidak ingin merepotkan Tay-jin."
Mendengar sebutan "tay-jin" diu?capkan berkali-kali dengan diberi te?kanan suara, Ting Bun hanya menarik napas saja. Katanya, "A-hong, kuharap sebutan yang tidak enak itu tidak kau gunakan lagi. Ayahmu dan ayahku ber?saudara angkat, kenapa tidak kita gu?nakan saja sebutan yang lebih akrab di antara kita?"
Masih mendingan jika Ting Bun tidak menyebut-nyebut tentang per?saudaraan angkat ayah mereka, namun begitu Ting Bun menyebutnya, kema?rahan Wi-hong justru berkobar semakin hebat. Katanya sambil tertawa sinis, "Bersaudara angkat? Ha-ha-ha, kau jangan bergurau, Ting Tay-jin...."
Kata-kata Wi-hong itu mendadak terputus oleh suara Wi-lian dengan suara yang hampir menjerit karena ma?rah pula, "A-hong! Kau terlalu tidak menghargai maksud baik orang lain!"
Wi-hong terkejut dan menghentikan tertawanya, dia sama sekali ti?dak menduga kalau adiknya bisa bersikap sekeras itu. Ia cukup paham akan tabiat adiknya itu, dan dia paham bahwa saat itu adiknya sudah sampai kepada batas kesabarannya. Wi-lian berhati keras, bahkan sama kerasnya dengan kakak tertuanya, Tong Wi-siang, dan jika gadis itu sampai tersinggung maka dia bisa saja melampiaskan kemarahannya dengan berbuat di luar dugaan. Dia bisa membuat onar seperti Tong Wi-siang juga membuat onar!
Melihat adiknya mulai bersikap marah, terpaksa Wi-hong berusaha mengalah dengan melunakkan suaranya. Tapi nadanya masih tetap dingin dan mengandung ketidak-senangan hatinya, "Baiklah, Ting... Ting-heng (saudara Ting) sudi merepotkan dirinya untuk melakukan perjalanan bersama kita. Sebelumnya kuucapkan terima kasih."
Kata Ting Bun sambil tersenyum kecut, "Tidak perlu Tong-heng bersikap demikian sungkan kepadaku. Ba?rangkali memang aku yang kurang tahu diri berhadapan dengan seorang Cong-piau-thau yang begitu dihormati di Kang-pak."
Ucapan tajam Ting Bun itu segera disanggah oleh Wi-hong, "Apa artinya kedudukan Cong-piau-thau dengan diban?dingkan perwira kesayangan Kaisar?"
"Aku bukan kuku garudanya Cong ceng lagi!" potong Ting Bun.
"Jubah gampang dilepaskan, watak sulit dirubah," bantah Wi-hong.
Selapang-lapangnya hati Ting Bun dan sesabar-sabarnya sifatnya, tetapi darah mudanya mulai menjadi panas juga karena terus menerus diberondong de?ngan ucapan-ucapan yang menyakitkan hati dari wi-hong itu. Tetapi ia ma?sih mampu mengendalikan diri. Bahkan timbul tekadnya untuk menunjukkan mak?sud baiknya, tekadnya dalam hati, "Hem, kau ingin kupaksa kau untuk melihat pribadiku yang sebenarnya tidak sehina yang kau duga."
Maka sindiran Wi-hong yang tera?khir itu tidak dijawabnya, didiamkan?nya saja, sebab Ting Bun percaya bahwn kebenaran kenyataan pada akhirnya pas?ti akan muncul dan memporak-porandakan tuduhan-tuduhan sebelumnya. Ce?pat atau lambat.
Sampai di situ tidak ada lagi yang bisa diperdebatkan. Tong Wi-hong-pun terpaksa menyerah dan membiarkan Ting Bun ikut dalam rombongannya kare?na ia tidak punya alasan kuat untuk mengusir Ting Bun. Mengusir dengan ke?kerasan bisa saja dilakukan oleh Wi hong, tetapi entah bagaiman sikap adiknya nanti.
Dengan masuknya Ting Bun ke dalam rombongan itu, maka jumlah rombongan menjadi empat orang. Antara Wi-hong dan Ting Bun masih terdapat kekakuan suasana yang menjadi sekat di antara mereka, tetapi Ting Bun tidak begitu menghiraukannya. Anak muda itu berku?da di sebelah belakang, berjajar dan bercakap-cakap dengan Wi-lian.
Karena perjalanan dilakukan ti?dak dengan terburu-buru, maka setiap harinya mereka hanya dapat menempuh jarak beberapa puluh li. Dan itupun kadang-kadang diselingi jika mereka berhenti dan beristirahat di tempat tempat yang pemandangannya indah.
Pada hari yang ke empat keberangkatan mereka, tibalah rombongan kecil itu di sebuah simpang tiga yang sa?ngat ramai lalu-lintasnya. Jika mereka mengikuti jalan yang lurus ke depan, maka dalam jarak 10 li lagi mereka akan memasuki kota Kiang-leng, sesuai dengan batu petunjuk jalan yang dita?nam di tepi jalan. Sedang jika membe?lok ke arah kiri akan menuju ke kota An-peng. Simpang tiga itu bukan saja ramai dengan orang berlalu-lalang, ta?pi juga ramai karena ada sebuah per?kampungan kecil yang hidup.
Karena terletak di persimpangan yang menghubungkan tiga buah kota be?sar, maka perkampungan di simpang tiga itu cukup ramai dan lengkap, meskipun jumlah penghuninya tidak lebih dari duapuluh rumah. Di situ ada rumah-rumah makanan dan arak yang berdiri ber?deret-deret di pinggir jalan, ada pu?la rumah-rumah peristirahatan yang meskipun sederhana tetapi banyak di?singgahi oleh para musafir yang kele?lahan.
"Kita akan melepaskan lelah se?bentar di sini," kata Wi-hong.
Selama perjalanan itu, seolah-o?lah Wi-hong telah menjadi pemimpin rombongan kecil itu, dan yang lain-lainnyapun tidak menunjukkan ke?beratannya. Maka kali inipun tidak ada seorangpun yang membantah kei?nginan Wi-Hong yang ingin beristirahat di simpang tiga yang ramai itu. Ting Bun juga tidak membantah, sebab ia se?dang berusaha mengembangkan hubungan sebaik mungkin dengan Wi-hong. Apala?gi karena rombongan kecil itu telah merasakan pula betapa haus dan lelahnya mereka setelah melakukan perjalanan jauh.
Mereka memilih sebuah warung arak kecil yang kelihatan bersih dan rapi. Setelah mereka menambatkan kuda dan melangkah masuk, si pemilik wa?rung itu telah menyambutnya dan mempersilahkan duduk kepada tamu-tamunya. Warung kecil itu ternyata hampir teri?si penuh oleh para pengunjung yang ra?ta-rata bertampang orang dari jauh. Untung masih ada sebuah meja dengan empat kursi yang terletak dekat dengan jendela, maka Tong Wi-hong dan kawan-kawannyapun segera menempati meja itu. Senjata-senjata tajam yang mereka ba?wa segera dilepas dan disandarkan ke dinding.
Ketika mereka sedang menunggu da?tangnya makanan dan minuman yang mere?ka pesan, tiba-tiba dari jalan arah ke kota An-peng terdengar suara gemu?ruh derap kaki kuda, ringkik kuda, dan berderak-deraknya roda kereta di atas jalan yang berbatu. Maka nampak?lah sebuah rombongan sebuah perusahaan pengawalan, namun entah dari perusahaan mana sebab belum terlihat benderanya.
Wi-hong menjadi tertarik perhati?annya dan memperhatikan rombongan itu. Tiba-tiba dia melihat pada kereta yang paling depan ada berhiaskan sehelai bendera kecil segitiga berwarna putih, dan di tengah-tengahnya tersulam de?ngan gambar sebuah hati berwarna ku?ning emas. Itulah bendera Tiong-gi Piau-hang.
Melihat rombongan Tiong-gi Piau hang di tempat itu tidak mengherankan bagi Wi-hong, sebab tempat itu sudah dekat sekali dengan kota Kiang-leng, dan di kota itu ada cabang Tiong-gi Piau-hang yang cukup besar. Namun yang mengejutkan Wi-hong adalah ketika melihat keadaan rombongan Tiong-gi Piau-hang itu ternyata begitu berantakan! Para piau-su (pengawal) dalam rombongan itu berjumlah kira-kira duapuluh orang tetapi semuanya dalam keadaan luka-lu?ka dan berwajah lesu seperti baru saja mengalami kekalahan berat dalam pertempuran. Ada yang dibalut kepala?nya, ada yang dibalut kakinya dan sebagainya. Bahkan ada yang tidak mampu menunggang kuda namun berbaring di dalam kereta barang, entah luka parah entah sudah mati.
Ternyata banyak orang-orang yang di pinggir jalanpun menjadi tertarik melihat rombongan Tiong-gi Piau-hang yang nampak begitu konyol itu. Seorang tamu dalam warung arak, yang duduknya tidak jauh dari meja wi-hong, langsung memberikan komentarnya, "Tiong-gi Piau hang selama ini malang-melintang di wilayah Kang-pak tanpa tandingan, kenapa sekarang bisa mengalami nasib begitu buruk?"
Temannya yang duduk satu meja dengannya segera menyahut sambil menarik napas, "Ibarat roda yang berputar, tidak selamanya berada di atas tetapi suatu ketika akan terjungkir juga ke bawah. Kudengar berita katanya baru saja Cian Sin-wi dibunuh oleh orang-orang Hwe-liong-pang karena tidak mau tunduk kepada kemauan Hwe-liong-pang. Dan kini agaknya cabang-cabangnya di kota-kota lainpun sudah mulai ditentukan nasibnya oleh pihak Hwe-liong-pang."
Sementara itu Wi-hong telah hi?lang napsu makan minumnya ketika me?nyaksikan hal itu. Dipandangnya Cian Ping, Wi-lian dan Ting Bun bergantian, lalu katanya, "Kalian teruskan dulu makan dan minum kalian di sini sambil mengawasi keadaan. Aku akan mendahului kalian ke Kiang-leng untuk me?lihat apa yang sedang terjadi atas ca?bang itu."
Kata Ting Bun menawarkan jasa ba?iknya, "Biarlah aku ikut denganmu, A-hong, meskipun kepandaianku tidak tinggi tetapi barangkali dapat mem?bantumu."
Sikap Wi-hong tawar-tawar saja menghadapi uluran tangan Ting Bun itu, katanya, "Maaf, ini adalah urus?an dalam tubuh Tiong-gi Piau-hang sen?diri. Kau tidak perlu merepotkan di?ri untuk ikut campur."
Ting Bun yang hampir saja bangkit dari kursinya itu lalu meletakkan kem?bali pantatnya di atas kursi. Katanya sambil menarik napas, "Maaf, mungkin aku memang terlalu lancang."
Ucapan Ting Bun itu cukup menyentuh perasaan Wi-hong juga. Bahkan di dalam hati kecilnya Wi-hong sudah merasa bahwa sikapnya kepada Ting Bun selama ini memang agak keterlaluan dinginnya. Betapapun bencinya ia kepada Ting Ciau-kun, namun betapapun harus diingat bahwa Ting Bun bukan Ting Cia kun. Tetapi Wi-hong yang keras kepala itu tidak menggubris lagi perasaannya. Dengan tergesa-gesa ia bangkit berdiri dan menyandang pedangnya, dan se?saat kemudian ia telah berpacu di atas punggung kudanya untuk menyusul rombongan Tiong-gi Piau-hang yang kocar kacir tadi.
Begitu Wi-hong sudah berlalu, Cian Ping berkata kepada Ting Bun dengan sikap menyesal, "Ting Toa-ko, harap kau tidak menjadi kecil hati atas sikap A-hong itu."
Sahut Ting Bun sambil tertawa dipaksakan, "Ah, aku berusaha melupakan semuanya dan tidak menyimpannya dalam hati. Aku tahu pikirannya se?dang ruwet dan penuh beban sehingga mempengaruhi ketenangannya dalam ber?sikap. Tetapi dulu aku mengenalnya sebagai seorang anak muda yang mudah me?nyadari kesalahan dirinya sendiri dan cukup berani untuk mengakui kesalahan?nya. Dan aku yakin sifat itu masih ada pada dirinya."
Cian Ping nampak lega melihat sikap Ting Bun itu. Katanya, "Kau ada?lah seorang yang penuh pengertian dan berpikiran lapang. Berbahagialah ke?lak gadis yang menjadi pendampingmu."
Ketika mengucapkan "gadis yang menjadi pendampingmu" itu diam-diam Cian Ping menggerakkan kakinya di ba?wah meja untuk menendang kaki Wi-lian. Wi-lian yang sedang meneguk tehnya itu menjadi terkejut sehingga terbatuk batuk, mukanyapun berubah menjadi merah.
Sedangkan Ting Bun sendiri menja?di salah tingkah karena dia tahu ge?rak-gerik Cian Ping di bawah meja itu. Rupanya kaki Cian Ping tadi tanpa di?sadari telah menyentuh sedikit kaki Ting Bun!
Dengan sikap yang agak kikuk, Ting Bun mencoba membelokkan arah pem?bicaraan, "Entah pihak mana yang ber?nyali begitu besar sehingga berani memusuhi Tiong-gi Piau-hang di wilayah Kiang-leng ini?"
Pertanyaan Ting Bun itu sebenar?nya tidak memerlukan jawaban, sebab siapapun tentu tahu bahwa antara Tiong gi Piau-hang dengan Hwe-liong-pang te?lah terbentang jurang permusuhan yang lebar. Ting Bun sendiri juga tidak me?merlukan jawaban, dia hanya bicara asal bicara saja untuk menghilangkan salah tingkahnya.
Sahut Cian Ping, "Kemungkinan besar ini adalah perbuatan orang-orang Hwe-liong-pang, karena mereka telah bertekad untuk menghancurkan Tiong-gi Piau-hang sama sekali yang dianggapnya tidak mau tunduk kepada kemauan mereka. Dulu mereka hanya menyerang pusat Piau-hang di Tay-beng, dan kini mereka agaknya mulai menyerang cabang kami yang terpencar-pencar."
Ting Bun menganggukkan kepala?nya, katanya, "Aku secara pribadi tidak mempunyai permusuhan dengan Hwe-liong-pang. Tetapi aku telah mendengar bahwa apa yang mereka lakukan selama ini selalu melanggar tata tertib dunia persilatan dan bertindak sewe?nang-wenang di luar batas-batas perikemanusiaan, jika dibiarkan terus menerus tentu akan menggelisahkan ma?syarakat."
Baru saja Ting Bun selesai de?ngan ucapannya, tiba-tiba dari arah pintu masuk warung makan itu terdengar orang tertawa mengejek, dan disusul dengan kata-kata, "Ha-ha-ha, seekor ti?kus kecil seperti inipun juga berani menentang kekuasaan Hwe-liong-pang ka?mi yang jaya?"
Ting Bun dan kawan-kawannya ter?kejut dan menoleh ke arah pintu masuk, bahkan semua pengunjung warung makan itupun serentak menoleh ke arah yang sama untuk melihat siapa yang berbicara itu.
Dari pintu masuk itu muncullah berturut-turut tujuh orang lelaki. Yang paling depan adalah seorang lelaki bertubuh ceking yang sebelah matanya cacad dan ditutup dengan kain hitam, bentuk bibirnya menandakan bahwa orang ini memiliki sifat yang kejam luar biasa, dan tangan orang ini menjinjing sebatang tombak pendek yang mata tombaknya bergerigi seperti rahang serigala, yang melangkah di belakang si mata satu ini berturut-turut adalah Song Kim si murid murtad serta Han Toan si bekas bajak laut, kedua orang ini tentu saja sudah dikenal oleh Cian Ping dan Wi-li?an. Selanjutnya muncul pula empat orang lelaki yang berpakaian sama dan bahkan mukanyapun mirip satu sama lain, tentunya mereka berempat adalah bersaudara. Keempat orang itu masing masing, gerak-gerik mereka menunjuk?kan bahwa mereka agaknya ahli-ahli da?lam perkelahian jarak dekat.
Begitu tujuh orang itu melangkah masuk ke dalam warung arak, maka para tetamu lain yang tahu gelagat dan ti?dak senang keributan segera membayar harga makanannya masing-masing dan bu?ru-buru meninggalkan tempat itu.
Tetapi buat Cian Ping, Wi-lian dan Ting Bun yang bernyali besar itu, penampilan pendatang-pendatang baru itu sama sekali tidak menggentarkan mereka. Mereka bertiga tetap makan minum dengan tenangnya, bahkan Cian Ping telah dengan berani telah memelo?totkan matanya kepada Song Kim dengan penuh dendam kesumat.
Dipandang semacam itu, Song Kim ngeri juga. Tetapi di luarnya dia justru bersikap tertawa-tawa sambil ber?kata, "Selamat bertemu kembali, adik Ping, kau nampak kurus sekarang teta?pi kecantikanmu tidak berkurang sedikitpun. Eh, kenapa kau memandangku dengan cara yang begitu menakutkan?"
Cian Ping telah meraih sepasang hau-thau-kaunya yang disandarkan di dinding, sahutnya dingin, "Manusia berhati binatang dan berjantung anjing, kau masih punya muka untuk menemui aku?"
Song Kim menyahut masih dengan cengar-cengir, "Kenapa tidak berani menemuimu? Aku sama sekali tidak rela kau diperisteri oleh bocah she Tong keparat itu. Kudengar kabar dia telah diangkat menjadi Cong-piau-thau menggantikan ayahmu, hem, tapi sebentar lagi dia hanya akan memimpin sebuah Piau-hang yang berantakan dan bang?krut."
Air muka Cian Ping seketika berubah hebat mendengar ucapan Song Kim itu. Semakin yakinlah Cian Ping bahwa kerusakan Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng itu adalah hasil ulah orang orang Hwe-liong-pang. Karena kaget dan marahnya, untuk sementara Cian Ping malahan bagaikan terkunci mulutnya, tidak mampu berkata-kata sepatah katapun.
Song Kim dan rombongannya tertawa kesenangan melihat ucapan mereka telah mengenai sasarannya, bahkan Song Kim melanjutkan, "Itu hanya sebagai contoh bahwa siapapun yang berlagak sok pahlawan dan tidak mau tunduk ke?pada kami, akan kami babat habis sam?pai ke akar-akarnya."
Wi-lian yang berdarah panas itu tidak tahan mendengar ucapan takabur itu. Ejeknya, "Membabat habis sampai ke akar-akarnya? Hemm, aku sedikitpun tak percaya. Masakah Hwe-liong-pang kalian punya kekuatan sehebat itu?"
Song Kim mengalihkan perhatiannya kepada Wi-lian, lalu katanya sambil tersenyum sinis, "aku tahu kau adalah seorang murid Siau-lim-pay yang berke?pandaian tinggi, ketika di padang perdupun aku sudah melihat bagaimana kau membunuh Cong Yo dan Cong Hun. Te?tapi kau jangan terlalu bangga dengan kepandaianmu itu. Jika kau tahu siapa orang-orang yang datang bersama dengan aku ini, maka kau akan menyesal bahwa kau bersikap begitu sombong."
Dan tanpa diminta lagi, dengan sikap bangga Song Kim menyebutkan te?man-temannya itu lengkap dengan julukan-julukannya. Lebih dulu ia menunjuk si mata satu yang membawa tombak duri pandan itu, katanya, "Kuperkenalkan yang ini adalah Tong-cu dari Jai-ki-tong (Kelompok Panji Coklat) dalam Pang kami bernama Mo Hui dan berjulukan Hong-long-cu (Si Serigala Gila). Dan keempat bersaudara ini tentu per?nah pula kau dengar namanya yang meng?getarkan, mereka inilah yang berjuluk Lam-gak-su-koay (Empat Siluman Gunung Lam-gak) yang kini telah bergabung dengan Hwe-liong-pang kami."
Air muka Wi-lian sama sekali ti?dak pernah berubah mendengar julukan-julukan seram itu bahkan jawabnya dengan santai, "Aku memang pernah men?dengar nama-nama itu. Kabarnya si anjing gila itu mahir ilmu tombak yang diberinya nama Sha-cap-lak-hong-long-cio-hoat (Tigapuluh enam Jurus Ilmu Tombak Serigala Gila), entah il?mu tombaknya benar-benar hebat atau hanya untuk menakut-nakuti anak-anak kecil saja?"
Baru saja Wi-lian mengatupkan mu?lutnya sehabis mengeluarkan kata-kata ejekan itu, sudah menggereng dengan marahnya dan menendang meja yang ada di depannya itu sehingga mencelat ke samping. Lalu bagaikan seekor seriga?la kelaparan dia melompat, dan ujung tombak gigi serigalanya telah membesat ke arah lambung Wi-lian. Agaknya si serigala gila bermata satu ini seo?rang pemarah yang tidak tahan ejekan Wi-lian yang tajam tadi. Dia memang seorang yang jarang menggunakan mulut?nya untuk bicara, namun lebih siap un?tuk senantiasa menghujamkan tombaknya ke tubuh korban-korbannya.
Serangan kilat itu disebut jurus Ya-long-tiau-kan (Serigala Liar Melom?pati Parit), serangannya cepat dan ganas luar biasa. Cian Ping dan Ting Bun sampai menjerit serempak, "A-lian, awas!"
Namun peringatan itu sebenarnya tidak perlu bagi murid Rahib Hong-tay itu, sebab bersamaan dengan datangnya serangan itu tubuh wi-lian telah "terbang" ke atas, dan dalam keadaan melompat itu ia melancarkan tendangan Sin-liong-pa-bwe (Naga Sakti Mengibaskan Ekor) yang dengan tepat sekali mengenai pundak Mo Hui.
Terdengar si mata satu ini meraung sekali lagi, namun raungannya kali ini adalah raung kesakitan. Ia merasakan pundaknya bagaikan tertimpa reruntuhan bukit, dan tubuhnya terlempar ke samping menimpa seperangkat meja kursi.
Dengan tenangnya Wi-lian duduk kembali di kursinya, meneguk kembali tehnya, dan berkata kepada Song Kim sambil tertawa, "Wah, hebat sekali te?manmu yang kau bangga-banggakan itu ya? Nah, siapa lagi ingin mencoba? Barangkali keempat orang siluman kecil ini?"
Bahwa seorang Tong-cu dalam Hwe liong-pang bisa dirobohkan dengan sekali gebrakan saja oleh Wi-lian, hal itu cukup mencengangkan Song Kim dan teman-temannya. Sesungguhnya Mo Hui tidak selemah itu, bahkan dapat digolongkan tokoh tangguh dalam dunia persilatan, hanya saja dia terlalu ge?gabah dan memandang rendah kepada Wi-lian sehingga harus mengalami pil pa?hit macam itu. Serangan Mo-hui yang menakutkan tadi juga kurang perhitung?an, hanya bisa menakut-nakuti orang yang bernyali kecil, tapi bagi ahli silat yang bersikap tenang akan ter?lihat banyak sekali kelemahannya.
Kini, meskipun Lam-gak-su-koay telah ditantang secara terang-terangan, tapi tidak berani langsung menja?wab tantangan itu, mereka agaknya tidak ingin mengalami nasib buruk seperti Tong-cu mereka.
Dalam pada itu Mo Hui dengan tertatih tatih telah bangkit dari reruntuhan meja kursi yang dijatuhi tubuhnya ta?di. Mukanya yang biasanya dingin dan pucat itu sekarang telah berubah menjadi merah membara, pandangan mata?nya yang hanya satu itupun memancarkan keinginan membunuhnya yang menggi?dikkan hati.
Teriaknya, "Bunuh mereka semuanya. Jangan seorangpun dibiarkan dengan tubuh yang utuh! Akan kukirim mayat-mayat mereka ke Kiang-leng supaya orang-orang Tiong-gi Piau-hang di sana menggigil ketakutan!"
Tujuh orang Hwe-liong-pang itupun segera berlompatan mengitari Wi-lian bertiga dengan senjatanya masing-masing. Song Kim siap dengan tombak panjangnya yang bergagang besi itu, Han Toan dengan Toya ce-bi-kun (toya setinggi alis) yang terbuat dari pe?runggu, sedangkan masing-masing Lam gak-co-koay telah memegang sepasang belati pendek di kedua belah tangan masing-masing.
Cian Ping bertigapun segera mempersiapkan diri karena tidak berani memandang remeh lawan-lawan mereka! Cian Ping sudah siap dengan sepasang hau-thau-kaunya, Ting Bun dengan golok Toan-bun-to (golok penghadang pintu) sementara Wi-lian tidak memegang sen?jata apapun sebab gadis itu agaknya lebih percaya kepada tangan kakinya.
Pemilik warung arak itu menjadi ketakutan ketika melihat tamu-tamunya sudah berhadapan dan siap bertempur. Dengan menggigil ketakutan ia menyem?bunyikan dirinya di ruangan belakang, sementara itu di matanya sudah terba?yang bahwa semua meja, kursi, mangkuk dan barang-barang modal lainnya akan hancur berantakan tanpa sisa.
Wi-lian agaknya masih punya pikiran untuk tidak menghancurkan wa?rung arak itu. Tiba-tiba ia berseru kepada Cian Ping dan Ting Bun, "Ter?jang ke luar pintu! Kita akan mencari tempat yang cukup luas untuk menghajar bangsat-bangsat Hwe-liong-pang ini!"
Namun Mo Hui telah menghadang ge?rakan Wi-lian, sambil berteriak ganas ia menikamkan tombaknya ke leher Wi-lian. Ketika gadis itu menggunakan gerakan menunduk untuk menghindari serangan tombaknya, cepat Mo Hui memutar tombaknya dan mencoba menggunakan gerigi pada mata tombaknya untuk meng?oyak punggung Wi-lian. Tetapi murid Rahib Hong-tay itu terlalu tangkas untuk dipecundangi hanya dalam segebrakan saja. Selicin belut selincah kupu-kupu dia berhasil menyelinap ke samping sambil menyodorkan sebuah hantaman keras ke dagu Mo Hui denga jurus Wan-kiong-sia-tiau (Pentang Bu?sur Memanah Rajawali). Gerakan setang?kas itu memaksa Mo Hui harus melompat mundur kembali supaya dagunya tidak berantakan terhantam lawan.
Ting Bun dan Cian Ping juga tidak dapat menerobos keluar dengan mu?dah, sebab lawan-lawannya tidak mem?biarkannya berbuat sesuka hati. Ting Bun seorang diri harus meladeni ke?royokan Lam-gak-su-koay yang ganas itu, begitu pula Cian Ping terdesak dalam menghadapi keroyokan Song Kim dan Han Toan. Anak gadis Cian Sin-wi itu bukannya berhasil mendekati pintu, namun malahan terdesak semakin ke bagian dalam warung itu.
Melihat hal itu, Wi-lian bertindak cepat untuk menolong kawan-ka?wannya. Lebih dulu ia memaksa Mo Hui mundur kelabakan setelah dicecar de?ngan serangkaian serangan hebat. Sete?lah itu Wi-lian melompat secepat kilat kepada Han Toan dan langsung diluncur?kan sebuah tendangan ke pinggang bekas bajak laut itu. Han Toan terkesiap, senjata toya perunggunya terlalu berat untuk digerakkan dengan lincah untuk melindungi bagian yang diserang itu, maka tendangan Wi-lian itu tak ampun lagi mendarat telak di lambungnya, langsung melemparkannya menubruk din?ding dan membuat Han Toan pingsan se?ketika itu juga.
Rontoklah keberanian Song Kim me?lihat keperkasaan Tong Wi-lian itu. Terpaksa dia harus menyingkir mundur dan membiarkan Wi-lian untuk berga?bung dengan Cian Ping dan menerobos ke pintu keluar.
Di dekat pintu keluar, Ting Bun sedang keripuhan menghadapi empat pasang belati yang dimainkan oleh Lam-gak-su-koay secara cepat dan mahir itu. Sebatang golok yang dimainkan Ting Bun itu ternyata justru sangat merepotkan jika dimainkan di tempat yang sesak dengan meja dan kursi itu, apalagi lawan-lawannya itu agaknya sangat mahir berkelahi dalam jarak pendek. Terpaksa untuk sementara wak?tu Ting Bun hanya bersikap bertahan serapat-rapatnya, namun tak urung pundak dan lengannya sempat tergores juga oleh senjata lawan sehingga meng?eluarkan darah.
Tong Wi-lian tidak mempedulikan Mo Hui yang memburunya dari belakang itu. Gadis itu sudah memperhitungkan, bahwa jika dirinya menerjunkan diri langsung untuk membantu Ting Bun, ma?ka Mo Hui pasti tidak akan leluasa me?nyerangnya karena terhalang oleh teman temannya sendiri.
Dengan perhitungan semacam itu Wi-lian tanpa pikir panjang lagi langsung "menyusup" ke dalam arena per?tempuran yang rapat antara Ting Bun dengan Lam-gak-su-koay itu. Tindakan gadis yang berani itu sempat menggoncangkan hati Lam-gak-su-koay. Salah seorang dari Lam-gak-su-koay yang menja?di bimbang, langsung saja menjadi korban pertama Wi-lian, terpental ke?luar arena dengan gigi depan rontok semua !
"Ting Toako, cepat terjang keluar !" teriak Wi-lian.
Ting Bun juga melihat kesempatan itu. Sesaat selagi kepungan Lam-gak-su-koay menjadi agak kacau, maka Ting Bun telah menerobos keluar pintu sam?bil membolang-balingkan goloknya, ta?pi sebuah goresan kecil sempat juga "hinggap" di punggungnya.
Dalam pada itu Mo Hui telah me?nerjang kepada Cian Ping, namun Tong Wi-lianlah yang menghadapi amukan serigala gila bermata satu itu. Sambil mendorong pundak Cian Ping ke sampingi wi-lian berteriak, "Cici Ping, kaupun cepat keluar, jangan merisaukan aku!"
Cian Ping yang bertarung gigih itupun menyahut, "Kau tidak boleh ber?tempur seorang diri di sini !"
Sambil tetap melayani serangan Mo Hui yang gencar luar biasa itu, Wi-lian menyahut, "Tidak perlu Cici menguatirkan aku. Telah Cici lihat sen?diri bahwa monyet Hwe-liong-pang ini tidak dapat berbuat apa-apa kepada aku."
Dasar memang seorang gadis yang cerdik, dalam satu perkataan saja Wi-lian sekaligus punya dua tujuan. Per?tama, ucapan itu bertujuan untuk me?yakinkan Cian Ping agar gadis itu se?baiknya menerjang keluar. Kedua, ucapan itu bermaksud memanaskan hati orang-orang Hwe-liong-pang, terutama Hong-long-cu Mo Hui yang berangasan itu, agar kemarahan mereka terpan?cing. Dalam asas ilmu silat dikenal suatu pelajaran yang sangat umum, bah?wa orang yang dikuasai oleh kemarahan akan kehilangan sebagian dari kecermatannya, dan dengan demikian berarti menguntungkan lawannya. Maka Wi-lian mencoba mengalahkan Mo Hui dengan le?bih dulu mengobarkan kemarahannya.
Cian Pingpun cukup cerdik untuk memahami maksud Wi-lian itu, maka sam?bil mendesak Lam-gak-su-koay yang ting?gal tiga itu, Cian Ping ikut berkata untuk menambahkan "minyak", "Baiklah kalau begitu. Tolong kau buka kain hitam yang menutupi mata kiri anjing gila itu, aku ingin melihat di balik kain hitam itu ada biji matanya atau cuma sarang kecoak!"
Sahut menyahut antara Cian Ping dan Wi-lian itu memang berhasil mem?buat dada mo Hui serasa hampir mele?dak. Sambil mengertakkan giginya ia menghamburkan tigapuluh enam jurus ilmu tombaknya tanpa kenal kasihan, sambil berteriak penuh kebencian, "Ga?dis-gadis sombong! Akan kuhancur-leburkan tubuh kalian !"
Dalam pada itu, Song Kim yang bersenjatakan tombak panjang dan berat itu, pertempuran di tempat yang luas akan lebih menguntungkan dirinya. Di tempat yang luas ia akan dapat mengembangkan ilmu tombak kebanggaannya. Namun karena Song Kim tidak dapat melewati pintu, maka ia melompat saja lewat jendela.
Begitu sepasang kakinya menginjak halaman luar, Ting Bun telah siap me?nyambutnya dengan sengit. Maka bertempurlah kedua anak muda itu. Baik Song Kim maupun Ting Bun adalah anak-anak muda yang sama-sama berdarah pa?nas, dan ternyata gaya bertempur merekapun sama persis, yaitu sama-sama ce?pat dan keras. Tombak besi Song Kim maupun golok Ting Bun sama mengeluarkan desing-desingan keras yang menggi?dikkan hati. Meskipun Ting Bun telah mengalami luka, namun hanya luka-luka ringan yang untuk sementara tidak menghalangi gerak-geriknya yang ga?rang.
Di bagian dalam warung arak itu, Wi-lian bertempur melawan Mo Hui sam?bil bergeser ke arah pintu. Ia beradu punggung dengan Cian Ping yang mema?inkan sepasang kaitannya dengan lin?cah cepat sehingga Lam-gak-su-koay yang sudah biasa mengepung lawan-lawannya dari segala penjuru itu kini mau tidak mau jadi mati kutu. Per?mainan sepasang belati mereka jadi ra?gu-ragu dan tidak bisa dikembangkan sepenuhnya.
"A-lian mari kita kerahkan tenaga sebab Ting Toako sudah terluka," kata Cian Ping.
Karena bertempur dengan menghadap ke arah halaman luar,maka Cian Pinglah yang dapat melihat keadaan Ting Bun yang agak menguatirkan itu, meskipun anak muda itu masih berta?rung dengan gigihnya.
Seruan Cian Ping itu ternyata se?cara tidak langsung telah membawa akibat buruk bagi orang-orang Hwe-li?ong-pang, sebab hal itu berarti mengisyaratkan agar si macan betina dari Siau-lim-pay itu berkelahi lebih sungguh-sungguh lagi. Dan begitu Wi-lian menggeram sambil meningkatkan kecepatannya, maka lagi-lagi seorang dari Lam-gak-su-koay mengerang kesakitan karena lututnya telah tertendang patah oleh Wi-lian.
"Bangsat-bangsat Hwe-liong-pang jika kalian cukup tahu diri, cepatlah menggelinding pergi dari hadapanku," gertak Wi-lian.
Saat itu pihak Hwe-liong-pang sudah berkurang dengan tiga orang yang tidak dapat melanjutkan pertempuran dan ketiga orang itu semuanya adalah korban dari Wi-lian, yang pertama adalah Han Toan yang saat itu belum juga siuman dari pingsannya, kemudian dua orang dari Lam-gak-su-koay yang sudah terluka dan tidak dapat ber?kelahi lagi. Yang masih berani menghadapi Wi-lian kini hanya Mo Hui serta dua orang sisa Lam-gak-su koay.
Dua orang sisa lam-gak-su-koay yang masih mengeraskan kepala itupun sebenarnya sudah susut semangat tempurnya. Andaikata mereka tidak sungkan kepada Mo Hui, mereka lebih suka ngacir meninggalkan gelanggang untuk menyelamatkan diri.
Tetapi Mo Hui justru bersikap ke?balikannya dari anak buahnya yang sudah patah semangat itu. Mo Hui sudah biasa berlaku ganas dan sewenang-we?nang kepada siapapun, dia sudah sangat senang jika melihat calon korbannya sampai terkencing-kencing ketakutan, apalagi kalau kemudian ia menyiksa korban-korbannya dengan tangannya sendiri. Dalam Hwe-liong-pangpun dia dihormati dan disegani. Tapi Mo Hui benar-benar penasaran karena sekian lama bertempur ia belum juga dapat me?nundukkan seorang gadis muda tak ber?senjata. Bahkan sambil bertempur dengannya, gadis lawannya itu masih sem?pat pula melakukan "kerja sambilan" dengan mempreteli anak buahnya satu persatu. Maka dengan mengeraskan kepala terpaksa Mo Hui bertempur terus, bahkan telah cenderung menjadi gelap.


Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebaliknya Wi-lian sendiri bukan seorang gadis yang bersifat terlalu sa?bar. Sifatnya keras, bahkan lebih keras dari Wi-hong yang laki-laki itu. Mendengar bahwa Ting Bun telah terluka, gadis itu tidak menahan diri la?gi, seluruh kepandaiannya yang didapa?tnya di Siong-san telah dihamburkannya keluar tanpa sisa. Ujung ja?ri-jarinya yang telah dilatih dengan direndam pasir panas itu tidak kalah berbahayanya dengan ujung senjata ta?jam manapun juga, sedang tendangan kakinya yang cepat dan keras itu pas?ti bisa merontokkan tulang-tulang kor?bannya apabila dikenainya.
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 20 Dalam pada itu Cian Ping telah berhasil menerobos pintu keluar. Cian ping sadar bahwa keadaan Wi-lian tidak perlu dikuatirkan meskipun ber?tempur seorang diri, sebab Cian Ping sudah tahu betapa tingginya ilmu ca?lon iparnya itu. Yang membutuhkan bantuan dengan segera justru adalah Ting Bun yang mulai diganggu oleh luka-lukanya.
Dengan terjunnya Cian Ping untuk membantu Ting Bun, maka Song Kim sege?ra mulai merasakan desakan hebat kedua lawannya itu. Ting Bun saja sudah begitu "keras" dan sukar ditundukkan, apa lagi kini ditambah dengan Cian Ping yang berkelahi dengan ganas karena ingin membalaskan kematian ayahnya.
Di dalam warung arak, Mo Hui sudah hampir kehilangan seluruh pikiran jernihnya. Dia yang biasa disanjung dan ditakuti, benar-benar tidak siap untuk menerima kekalahan. Dia tidak penasaran andaikata harus kalah di tangan tokoh-tokoh ternama yang duduk dalam deretan "sepuluh tokoh puncak", tetapi ke manakah mukanya akan disem?bunyikan apabila ia sampai kalah dari seorang gadis remaja yang tidak bersenjata? Mimpipun dia tidak pernah membayangkan hal itu, dan hal itu pu?lalah yang membuat Mo Hui bertempur dengan kalap bagaikan kerasukan setan.
Sayang seribu sayang, biarpun dia bertempur dengan gila-gilaan, ta?pi kali ini si Hong-long-cu benar-benar telah membentur tembok baja. Tong Wi-lian tidak tergeser sejengkalpun, meskipun Mo Hui sudah dibantu oleh dua orang sisa Lam-gak-su-koay. Kedua orang tokoh Lam-gak ini sudah tidak bersemangat lagi dalam bertempur, me?reka senantiasa memasang kupingnya kalau-kalau pemimpin mereka menyuruh un?tuk mundur.
Pertempuran baik yang terjadi di dalam warung arak maupun di halaman luar warung arak itu ternyata dengan mudah telah memancing datangnya ba?nyak penonton, karena tempat itu cukup ramai dilewati orang yang berlalu-lalang. Di halaman luar warung arak itu kini sudah terbentuk suatu lingkaran manusia yang berjubel seperti menon?ton adu jago.
Di antara para penonton yang ber?desakan itu ada seorang rahib yang bertubuh tinggi tegap, kepalanya gun?dul dan usianya kurang lebih limapuluh tahun. Ia memakai jubah pendeta berwarna abu-abu yang sudah lusuh dan hampir tak diketahui lagi warna aslinya, sedang tangannya menjinjing sebatang tongkat hitam sepanjang satu depa. Berkali-kali ia tersenyum senyum sambil mengangguk-anggukkan ke?pala gundulnya, setiapkali ia melihat Cian Ping dan Ting Bun berhasil mende?sak Song Kim. Dan ia lebih gembira la?gi ketika melihat bagaimana perkasa?nya Wi-lian bertempur melawan Mo Hui dan dua orang sisa Lam-gak-su-koay.
"Anak itu mengalami kemajuan pe?sat," desisnya seorang diri.
Tiba-tiba terlihat dinding wa?rung arak itu jebol karena diterjang suatu benda dari dalam warung, dan ternyata setelah diamat-amati "benda" yang menjebolkan dinding warung itu bukan lain adalah satu orang lagi da?ri Lam-gak-su-koay yang "terbang" ka?rena tendangan Wi-lian. Dengan demiki?an ke "empat siluman Lam-gak" itu tinggal satu orang saja yang masih men?dampingi Mo Hui, sedangkan yang tiga orang sudah bergelimpangan tak berdaya.
Dalam pada itu Wi-lian telah me?rasa bosan bertempur dalam warung arak itu, lagipula ia merasa kasihan kepa?da pemilik warung yang barang-barang modalnya telah hancur semua itu. Tanpa dapat dirintangi oleh lawan-lawannya lagi ia segera melompat keluar pintu, sedangkan Mo Hui dan seorang sisa Lam-gak-sukoay itupun memburunya keluar.
Sekarang pertempuran di halaman luar warung arak itu bertambah ramai karena bertambah orangnya, sedang penontonpun semakin berjubel. Namun nam?paknya tidak ada seorangpun di antara penonton yang mau melibatkan diri, se?bab para penonton mengetahui bahwa urusan itu ada sangkut-pautnya dengan Hwe-liong-pang, perkumpulan yang di?takuti itu. Hanya rahib berjubah lu?suh itu sajalah yang secara terang-te?rangan memihak Wi-lian dan kawan-kawannya, dan tidak segan-segan memper?dengarkan pujiannya setiap kali Wi-li?an menampakkan jurus yang bagus.
Jalannya pertempuran itu kini be?nar-benar berat sebelah. Song Kim su?dah terang terdesak terus oleh Cian Ping dan Ting Bun. Muka Song Kim sudah merah dan licin dengan keringat. Di sebelah lain, meskipun wi-lian berke?lahi dengan tangan kosong dan dikero?yok oleh dua orang lelaki bersenjata, tetapi justru Wi-lianlah yang mende?sak lawannya dengan bengis.
Dalam hati Wi-lian sudah bertekad-bulat untuk menghajar habis-habisan orang Hwe-liong-pang ini di ha?dapan umum, agar pamor mereka turun dan tidak berani bertindak sewenang wenang lagi di dunia persilatan. Te?tapi Wi-lian juga sama sekali tidak berniat membunuh seorangpun, kecuali jika keadaan sangat memaksa. Agaknya ajaran cinta kasih agama Buddha yang ditanamkan oleh Rahib Hong-tay ke ha?ti muridnya itu telah begitu meresap dalam hati sang murid, sehingga ia se?nantiasa berusaha menaklukkan lawan tanpa membunuhnya.
Tetapi menghadapi Mo Hui yang bertarung seperti serigala gila itu benar-benar sangat menyulitkan Wi-lian untuk menaklukkannya tanpa membunuh. Mo Hui yang sangat marah dan malu itu agaknya benar-benar sudah bosan hidup, dia sudah tidak ingat lagi pertahanan diri sendiri, yang ada dalam pikir?annya hanyalah membunuh dan membunuh. Meskipun berkali-kali ia roboh oleh tendangan atau pukulan Wi-lian, namun setiap kali pula ia bangkit kembali dan bertarung secara gila-gilaan.
Sebaliknya orang terakhir dari Lam-gak-su-koay itu agaknya akan pan?jang umur, karena dia bertempur dengan cara yang paling aman buat dirinya. Dia hanya berlari-lari berputar-putar, dan ia menyerang begitu ada kesempa?tan, habis itu ia melompat mundur dan berputar-putar lagi menantikan ke?sempatan selanjutnya. Cemoohan dan tertawa mengejek dari para penonton yang mengerumuni tempat itu tidak di?gubrisnya sama sekali, yang penting ia menjaga jangan sampai mengalami na?sib seperti tiga orang saudaranya. Di?am-diam Wi-lian kasihan juga melihat orang ini, yang nampaknya sudah kehi?langan semangat tempurnya.
Tengah pertempuran berlangsung dengan ramai, dimeriahkan pula oleh "lawakan" orang Lam-gak-su-koay itu, tiba-tiba terlihat sesosok bayangan merah berkelebat cepat melewati kepa?la para penonton. Tahu-tahu dalam lingkaran pertempuran itu kini telah mun?cul seorang lelaki bertubuh tinggi ku?rus, berwajah runcing dan licik seperti ular, rambutnya kemerah-merahan. Jubahnya berwarna merah darah dan tangannya menjinjing sebatang tongkal besi panjang yang ujungnya dibentuk seperti kepala ular.
Banyak di antara penonton itu yang merupakan perantau dunia persilatan yang cukup berpengalaman. Maka munculnya si jubah merah itu langsung disambut dengan seruan terkejut dari beberapa orang, "Ang-mo-coa-ong (Raja Ular Berambut Merah) !"
Pendatang baru ini memang bukan lain adalah Tang Kiau-po, tokoh golongan hitam yang terkenal dari Thay-san itu.
Belum hilang debaran kaget para penonton, kembali sesosok bayangan berwarna hitam telah melayang masuk ke tengah gelanggang bagaikan seekor burung gagak besar saja. Kali ini yang muncul adalah seorang manusia pendek yang tingginya hanya separuh dari manusia biasa, namun ukuran besar kepalanya justru dua kali lipat dari ukuran orang biasa. Si pendek ini me?makai pakaian serba hitam, di pung?gungnya tersandang sebentuk senjata yang mirip sabit dan berwarna keungu-unguan, menandakan bahwa senjata itu direndam dengan racun yang keras.
Kembali terdengar seruan kaget dari para penonton, terutama yang per?nah menjelajah wilayah Barat, "Itu dia Sebun Say !"
Dengan demikian kini di tengah gelanggang pertempuran itu telah mun?cul dua orang tokoh yang berkedudukan tinggi dalam Hwe-liong-pang, yaitu ke?dudukan sebagai Su-cia (duta) yang ke?dudukannya lebih tinggi dari Tong-cu (Kepala Kelompok). Bukan hanya itu yang menggemparkan penonton, namun ju?ga kenyataan bahwa kedua tokoh yang baru muncul itu namanya sama-sama ter?cantum dalam deretan nama "Sepuluh tokoh sakti" yang diakui di jaman itu. Sebun Say menduduki urutan ke delapan dan Tang Kiau-po pada urutan ke sepu?luh.
Melihat bahwa Song Kim telah terdesak hebat, Tang Kiau-po langsung sa?ja turun tangan dengan mengayunkan tongkat kepala ularnya untuk menangkis golok Ting Bun dan sepasang kaitan Cian Ping. Ting Bun dan Cian Ping tidak sanggup menahan benturan dengan tokoh dari Thay-san itu, maka dengan suara berdentang nyaring ter?pentallah golok dan sepasang kaitan itu ke udara.
Sebun Say juga tidak mau kalah gaya dari rekannya itu. Ia menyela be?gitu saja ke arah Mo Hui yang tengah didesak Wi-lian itu, sambil mementangkan kedua lengannya. Perhitungan Sebun Say, kedua orang yang tengah ber?tempur itu tentu akan terpelanting dan orang yang melihatpun akan menga?gumi kekuatannya. Tetapi perhitungan Sebun Say itu ternyata gagal seba?gian. Mo Hui memang terpental sampai bergulingan oleh dorongannya itu, te?tapi Wi-lian hanya terhuyung dua lang?kah dan setelah itu tegak kembali de?ngan perkasanya.
Bahkan gadis ini sempat mengejek, "Oh, kiranya si cebol dari Jing-hay ini. Kiranya setelah malam itu kau dihajar oleh paman Liu kau belum juga jera dan masih punya nyali berkeliaran di Tiong-goan ini?"
Ucapan ini tepat mengenai kele?mahan Sebun Say, dan membuat muka si pendek ini seketika menjadi merah seperti kepiting direbus, kekalahannya di tangan Liu Tay-liong pada per?tempuran di luar kota Kay-hong itu cu?kup membuat Sebun Say merasa malu dan berharap sedikit mungkin orang yang mengetahuinya, namun kini Wi-lian te?lah "mengumumkan"-nya di depan orang banyak, tentu saja kemarahan Sebun Say meluap seketika. Bentaknya bengis, "Gadis liar, jaga mulutmu!"
Tetapi Sebun Say belum juga turun tangan. Agaknya masih ada juga harga dirinya sebagai tokoh ternama untuk tidak berkelahi melawan seorang gadis muda di depan umum.
Dalam pada itu Tang Kiau-po telah memandang Mo Hui dan kawan-kawannya sambil mendengus dingin, "Kawanan kan?tong nasi yang tak berguna minggirlah kalian!"
Dengan muka tertunduk tersipu-si?pu Mo Hui dan kawan-kawannya segera menepi dari tengah gelanggang itu. Si?sa Lam-gak-su-koay yang tinggal seorang itu lalu berusaha mengumpulkan teman-temannya yang terluka dan menco?ba menolongnya. Ternyata Han Toan menderita luka dalam yang cukup parah, sedang salah seorang anggauta Lam-gak-su-koay yang lain malahan tidak ter?tolong lagi jiwanya, yaitu orang yang ditendang Wi-lian sampai menjebol din?ding tadi. Agaknya tendangan Wi-lian itu terlampau keras, sehingga meng?akibatkan beberapa helai tulang rusuk?nya patah ke dalam dan melukai jan?tung. Dengan demikian mulai saat itu "empat siluman Lam-gak" itu berkurang hanya tinggal "tiga siluman" saja, itupun dengan pamor yang sudah ter?cuci habis-habisan.
Di tengah-tengah gelanggang, Wi?-lian berdiri dengan gagahnya di?dampingi oleh Ting Bun dan Cian Ping yang sudah tidak bersenjata lagi. Mes?kipun yang mereka hadapi adalah dua orang gembong golongan hitam yang tak terkira ganasnya, namun ketiga orang muda itu tetap tenang dengan tekad bu?lat yang terbayang di wajah mereka. Banyak di antara para penonton yang mengagumi keberanian orang-orang muda itu, tetapi tidak seorangpun berani membantu mereka. Bahkan tidak sedikit pula para penonton yang diam-diam meninggalkan tempat itu, mereka adalah orang-orang yang masih "punya urusan" dengan kedua gembong Hwe-liong-pang itu, dan mereka merasa lebih aman per?gi diam-diam sebelum dilihat oleh ke?dua gembong itu.
Sikap Tang Kiau-po dan Sebun Say nampak begitu sombong sekali, mereka menganggap bahwa nyawa Wi-lian dan ka?wan-kawannya seakan sudah dalam geng?gaman mereka. Namun karena ditonton oleh sekian puluh pasang mata, maka kedua tokoh golongan hitam ini ingin menunjukkan "keluhuran budi" mereka. Sambil tertawa-tawa dingin Ang-mo-coa-ong .Tang Kiau Po berkata, "Kalian sekarang adalah ibarat ikan dalam ja?ring, semua jalan keluar sudah tertu?tup bagi kalian. Tetapi kami bersedia mengampuni kalian bertiga, asalkan ka?lian bersedia minta maaf sambil ber?lutut dan berjanji tidak akan mengu?sik semua urusan Hwe-liong-pang kami lagi. Kukira syarat ini cukup ringan bukan?"
Tanpa gentar sedikitpun Cian Ping memperdengarkan tertawa mengejeknya, "Hem, jadi kalian sebagai kaum tua yang seharusnya dihormati ini ternya?ta tanpa malu-malu telah menjungkir balikkan kenyataan? Tanya dulu kepada anak buahmu siapakah yang mulai mengu?sik lebih dulu? Hwe-liong-pang atau Tiong-gi Piau-hang? Bahkan ayahkupun telah gugur oleh pengeroyokan licik Hwe-liong-pang kalian!"
Ting Bun juga ikut berkata lantang, "berbicara soal minta maaf, kalianlah yang seharusnya minta maaf kepada kami. Entah berapa banyak kaum persilatan yang kalian rugikan, entah berapa banyak nyawa yang melayang di tangan kalian!"
Diam-diam banyak penonton yang mengangguk-angguk menyetujui ucapan Ting Bun itu, namun tak seorangpun cu?kup berani untuk menyatakan dukungannya secara terang-terangan.
Sedangkan Sebun Say telah mem?bentak dengan berangnya, "Bocah bermu?lut lancang, kau rupanya sudah bosan hidup?"
Ting Bun yang berwatak keras itu ternyata tidak kalah beringasnya da?lam menjawab, "Setan cebol, kau ingin menggunakan kekuatanmu untuk menindas yang lemah dan bertindak sewenang-wenang? Kau boleh malang-melintang dan ditakuti orang di wilayah Jing-hay dan Kam-siok, tetapi ketahuilah bahwa aku tidak gentar seujung rambutpun kepadamu!"
Di hadapan orang sekian banyak Sebun Say telah dicaci-maki dan ditantang terang-terangan seperti itu tentu saja darahnya langsung naik ke kepala. Selangkah demi selangkah ia melangkah ke arah Ting Bun dengan ta?tapan mata yang seram, "Bagus, kau sendiri yang menginginkan kematianmu!"
Ting Bun juga sudah siap untuk bertempur sampai kekuatan terakhir, mati hidupnya sudah tidak dipikirkan lagi. Namun ternyata Wi-lian dan Cian Ping juga cukup setia kawan dan tidak mau membiarkan kawan seperjalanannya dibunuh begitu saja. Serentak kedua gadis itu pun mempersiapkan diri untuk menggabungkan tenaga dengan Ting Bun.
Melihat itu Sebun Say menjadi tertegun dan langkahnyapun menjadi ra?gu-ragu. Ting Bun dan Cian Ping berke?pandaian sedang-sedang saja dan tidak perlu terlalu diperhitungkan, tetapi Wi-lian lain lagi bobotnya. Macan be?tina dari Siau-lim-pay itu pernah ber?kelahi dengan Sebun Say di luar kota Kay-hong, dan saat itu Sebun Say mera?sakan betapa tangguh dan gigihnya gadis itu. Kini juga ketiga orang muda itu hendak maju bersama-sama, maka Sebun Say merasakan betapa tangguh dan gigihnya gadis itu. Kini juga ketiga orang muda itu hendak maju bersama-sa?ma, maka Sebun Say harus membuat per?hitungan baru lagi. Bagi Wi-lian ber?tiga tidak perlu malu untuk menge?royok, sebab mereka berhadapan dengan angkatan tua yang terkenal. Sebalik?nya jika Sebun Say sampai tidak mampu menundukkan ketiga lawannya itu, akan runtuhlah pamornya selama ini.
Dalam keadaan serba salah itu mau tidak mau Sebun Say harus berusaha un?tuk melibat konconya, Ang-mo-coa-ong. Sambil berpura-pura tertawa meng?ejek Sebun Say berkata kepada Tang Kiau-po, "Saudara Tang, lihatlah tikus tikus kecil ini hanya dengan sedikit kepandaian saja hendak unjuk gigi di de?pan kita. Hayolah kita lemaskan otot-otot kita sebentar."
Tang Kiau-po dapat memahami mak?sud hati rekannya itu. Maka dia pun me?nancapkan tongkatnya ke tanah sambil menyahut, "Dasar monyet-monyet ini memang tidak tahu diri, membuat tanganku jadi ikut gatal pula. Saudara Sebun, hayo kita mulai."
Demikianlah dua orang tokoh terkenal yang sama-sama duduk dalam urutan "Sepuluh tokoh sakti" itu ternyata tanpa sungkan-sungkan lagi telah ber?siap-siap untuk berkelahi melawan ti?ga orang muda belia yang pantas menja?di anak mereka. Sebenarnya, jauh di dasar hati kedua tokoh itu ada rasa iri melihat bakat ketiga orang muda itu, terutama Wi-lian. Tang Kiau-po dan Sebun Say menganggap bahwa jika ketiga orang muda itu dibiarkan hidup terus, mereka akan menjadi duri dalam daging di kemudian hari. Apala?gi Sebun Say sudah berkali-kali menda?pat malu dan ia ingin menebus keka?lahannya.
Namun sebelum kedua orang tokoh tua itu turun tangan untuk melak?sanakan niat jahatnya, tiba-tiba dari tengah-tengah kerumunan penonton ter?dengarlah suatu suara bernada mengejek, "Dua tua bangka yang tidak tahu malu! Dua tua hendak menganiaya anak-anak muda!"
Baik Ang-mo-coa-ong maupun Sebun Say serempak berubah mukanya mendengar cacian itu. Mata Ang-mo-coa-ong berki?lat-kilat seperti mata seekor ular yang marah, dan memandang ke arah keru?munan penonton dari mana suara ejekan tadi berasal. Bentaknya, "Siapa manu?sia yang sudah bosan hidup ini?"
Ternyata cukup hanya dengan pandang?an matanya yang kejam itu Ang-mo-coa-ong sudah berhasil "menyibakkan" kerumunan para penonton yang dipandangnya. Ba?nyak yang menyingkir dari arah pandang?an itu karena ngeri melihat sepasang mata yang dahsyat itu. Dan begitu para penonton menyingkir, maka terlihatlah orang yang telah berbicara tadi.
Orang itu ternyata seorang bertubuh tinggi tegap, berkepala gundul, berju?bah pendeta Buddha berwarna abu-abu lusuh dan tangannya menjinjing sebatang tongkat bambu hitam yang meng?kilap seperti besi dan panjangnya le?bih kurang satu depa. Dengan tegarnya ia berdiri menantang pandangan mata Ang-mo-coa-ong tanpa perasaan gentar sedikitpun, bentuk tubuhnya kokoh ba?gaikan batu karang yang tak goyah oleh hantaman ombak samudera.
Terkejutlah Tang Kiau-po dan Se?bun Say ketika melihat kemunculan ra?hib dekil ini. Kedua tokoh golongan hitam ini serempak menyebut sebuah na?ma, "Siau-lim-hong-ceng (rahib gila dari Siau-lim), kiranya kau !"
Sedangkan Wi-lian dan Ting Bun juga serempak memanggil dengan pang?gilan yang lebih akrab, "Pek-hu (uwak)!"
Seperti telah diketahui, rahib ini saling mengangkat saudara dengan Tong Tian (ayah Wi-lian) dan Ting Ciau kun (ayah Ting Bun), sehingga sepantas?nyalah kalau Wi-lian dan Ting Bun me?manggilnya "uwak". Meskipun Rahib Hong-koan ini sangat membenci sifat-sifat licik Ting Ciau-kun, namun ter?hadap Ting Bun rahib ini justru punya penilaian lain, sebab ia tahu bahwa Ting Bun tidak sama dengan ayahnya. Bahkan Hong-koan Hwesio berpendapat bahwa Ting Bun masih tetap punya sifat sifat ksatria dan kejujuran yang tidak dibuat-buat.
"Pang kami sendiri yang terhambat kare?na ulah anak-anak muda ini dengan hak apa kau ikut campur?"
Hong-koan Hwesio tertawa terba?hak-bahak, "Ha-ha-ha, pintar sekali kau memutar balikkan kenyataan. Ter?bunuhnya Cian Sin-wi di Tay-beng itu apakah bukan karena pokal kalian yang menyuruh anak buah kalian untuk mela?kukannya? Kemusnahan perguruan Sin-hou-bun sampai memakan korban ratusan jiwa itu apakah juga bukan pokal kalian? Hemm, urusan Hwe-liong-pang kalian adalah juga urusan setiap anggauta du?nia persilatan yang cinta damai, itulah hakku untuk ikut campur!"
"Pendeta gila!" gertak Ang-mo-coa ong kehabisan sabar. "Kuperingatkan kau agar menjaga keselamatanmu sen?diri, kalau tidak kau bakal menyesal seumur hidup!"
Dengan langkah santai Hong-koan Hwesio melangkah ke tengah arena sam?bil memutar-mutar tongkat bambu hi?tamnya. Ditudingnya Sebun Say dan Tang Kiau-po sambil memaki, "Percuma saja kalian dihormati oleh dunia persila?tan sebagai tokoh-tokoh sakti angka?tan tua. Tindakan kalian yang sangat tidak tahu malu ini benar-benar mirip dengan tindakan para buaya darat kecil kecilan!"
Bila disuruh bertempur satu la?wan satu, baik Tang Kiau-po maupun Se?bun Say akan berpikir beberapa kali sebelum melawan rahib aneh itu. Te?tapi kini kedua tokoh Hwe-liong-pang ini tidak merasa gentar lagi sebab me?reka berdua orang, sedangkan Hong-koan Hwesio hanya seorang diri. Bahkan Sebun Say menunjukkan kegarangannya dengan membalas memaki, "Kau si keledai gundul inilah yang tidak tahu malu! Kami sedang membereskan urusan dalam."
Sahut Siau-lim-hong-ceng tidak kalah garangnya, "Peringatan ini kubalikkan untuk kalian saja. Ku?anjurkan kalian cepat-cepat menyingkir pergi dari sini bersama tikus-tikus kecil pengikut kalian itu. Kalau ti?dak, jangan salahkan kalau tongkatku tak kenal ampun!"
"Kau sendirian dan kami berdua, kenapa berani bicara begitu takabur?" kata Sebun Say.
"Siapa bilang aku seorang diri?'' kata Hong-koan Hwesio dengan nada menggoda.
Sebun Say terkejut mendengar ja?waban rahib sinting itu. Ia lalu meno?leh ke arah kerumunan penonton dan be?rusaha menutupi sikap gelisahnya yang mulai timbul, timbul dugaan Sebun Say bahwa rahib sinting itu datang bersa?ma seorang kawannya. Jika benar, dan kawannya itu juga seorang rahib Siau-lim-pay yang bernama depan "hong" maka persoalannya bukan persoalan ringan lagi. Dunia persilatan tahu bahwa rata-rata rahib-rahib angkatan "hong" adalah tokoh-tokoh sakti yang tidak da?pat dibuat gegabah. Meskipun di antara rahib-rahib tua Siau-lim-pay itu hanya dua orang yang tercantum namanya dalam "Sepuluh tokoh" namun tidak ber?arti lainnya boleh diabaikan saja, me?reka tidak tercantum bukan karena kurang lihai melainkan karena jarang muncul di depan umum. Siapapun tahu bahwa Siau-lim-pai dapat diumpamakan "kubangan naga dan gua harimau."
Rahasia Iblis Cantik 7 Mahesa Kelud - Delapan Surat Kematian Romantika Sebilah Pedang 9
^