Pencarian

Perserikatan Naga Api 9

Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp Bagian 9


Sementara itu dua saudara kembar dari Shoa-tang itu nampak tenang-te?nang saja menggerogoti daging bakar mereka. Meskipun mereka tidak berbica?ra apapun, namun jelas bahwa sikap me?reka ada di pihak An Siau-lun dan Han Toan.
Song Kim menghadapi semuanya itu dengan gigi gemeretak menahan amarah. Ia menyadari bahwa dirinya telah mendapat kemajuan ilmu silat yang ber?arti sejak menjadi murid Tang Kiau po dari Thay-san itu, namun ia ragu-ragu jika harus bertempur mela?wan keempat kawannya itu, sebab keem?pat orang itupun bukan anak-anak kema?rin sore dalam urusan berkelahi. Si kembar Cong Yo dan Cong Hun itu meru?pakan bekas begal-begal yang cukup ditakuti di wilayah Shoa-tang, entah berapa banyak nyawa manusia yang te?lah melayang dibawah Pukulan Pasir Besi mereka. Sedangkan An Siau-lun dan Han Toan juga punya riwayat hidup yang tidak kalah menggetarkannya, sebab mereka juga bekas bajak-bajak laut di Lautan Timur yang cukup tang?guh pula. Menghadapi mereka berempat sekaligus, jelas Song Kim akan mengha?dapi kesulitan besar.
Sesaat lamanya Song Kim menjadi ragu-ragu. Ia harus memilih kehilangan Cian Ping yang bertahun-tahun dirindukannya itu, atau harus kehilangan keempat orang kawannya yang akan be?rubah sebagai lawan? Betapapun jahatnya hati Song Kim, tapi apakah ia akan sampai hati melihat gadis yang telah dikenalnya sejak kecil itu akan dijadikan bahan pesta pora, seperti kambing gemuk di tengah kawanan serigala?
Begitulah keadaan menjadi te?gang. Empat pasang mata yang buas se?dang menatap ke arah mata Song Kim un?tuk menantikan keputusan anak muda itu. Namun keempat orang itupun tidak berani terlalu memojokkan Song Kim, sebab merekapun masih cukup menyegani guru Song Kim. Hanya saja gadis secan?tik Cian Ping memang sudah pantas diperebutkan dengan sedikit menyerempet bahaya.
Dalam pada itu, meskipun tubuh Cian Ping tidak dapat bergerak karena tertotok, namun telinganya tetap dapat mendengar semua pembicaraan orang-o?rang yang menculiknya itu. Maka bergidiklah Cian Ping kalau mengenang na?sib mengerikan yang bakal dialaminya. Diam-diam ia berharap agar Song Kim tetap kokoh dengan pendiriannya, agar orang-orang itu terus bertengkar dan kalau perlu biarlah berkelahi dan saling bunuh sendiri. Selama ini Cian Ping hanya mengharap agar daya kerja totokan atas tubuhnya semakin berku?rang sehingga ia akan punya kesempatan untuk melarikan diri dari tangan iblis iblis itu.
Ternyata harapan Cian Ping itu terkabul. Song Kim benar-benar adalah seorang anak muda yang berhati keras. Setelah berpikir, terdengarlah ja?wabannya yang keras, "Aku adalah lelaki yang punya harga diri. Aku mencintai gadis itu dan aku akan memperta?hankannya. Murid-murid Gunung Thay-san bukanlah pengecut-pengecut yang takut mati."
Jawaban yang keras itu memancing tanggapan yang keras pula. Han Toan yang berwatak keras itu menyahut de?ngan suara hampir berteriak, "Tidak usah menyebut-nyebut nama perguruanmu untuk mencoba menakut-nakuti kami! Ka?lau kami berlima membunuhmu sekarang juga dan melenyapkan mayatmu, maka gurumu si ular keropos itu tidak akan tahu nasib apa yang menimpa dirimu. Dan kami dapat membohonginya dengan mengarang cerita tentang kematianmu. Nah, Song Kim, pikirkan ba?ik-baik."
Namun Song Kim justru telah me?lompat berdiri sambil menyambar tombak panjangnya, sahutnya nekad, "Gadis ini akan tetap kupertahankan ! Persetan apapun yang terjadi !"
Mata Han Toanpun telah menjadi merah, ia maju selangkah sambil membentak, "He, kau menantang kami ?!"
Di saat suasana sudah berkembang menjadi begitu panas, dan hampir saja pecah baku hantam antara orang-orang Hwe-liong-pang sendiri, tiba-tiba da?ri kejauhan terdengar suara teriakan, "Bangsat-bangsat Hwe-liong-pang! Ja?ngan harap malam ini kalian lolos da?ri tanganku!"
Jika pada permulaannya kalimat itu masih terdengar agak jauh puluhan tombak maka pada akhir kalimatnya sudah terdengar dekat, hanya beberapa langkah saja dari tempat orang-orang Hwe-liong-pang itu. Jelas orang yang membentaknya itu punya kecepatan bergerak yang mengejutkan.
Hal itu cukup menyadarkan orang Hwe-liong-pang dari pertengkaran antara mereka sendiri. Dengan sigapnya mereka segera mempersiapkan dirinya masing-masing untuk menghadapi yang mendatangi itu.
Terlihatlah dua sosok tubuh me?layang datang dengan cepatnya, sea?kan-akan jatuh dari langit begitu sa?ja. Dan tahu-tahu di tempat itu telah berdiri seorang anak muda dan seorang gadis. Si pemuda berpakaian serba pu?tih, meskipun agak kusut namun cukup tampan, dan tangannya membawa seba?tang pedang. Sedangkan si gadis tidak membawa senjata sepotongpun, namun wa?jahnya menampakkan kepercayaan kepada diri sendiri yang begitu besar. Mere?ka bukan lain adalah Tong Wi-hong dan adiknya.
Kemunculan Tong Wi-hong di tempat itu membuat Song Kim terkejut bagai?kan melihat hantu di siang hari bolong. Bagaimana Tong Wi-hong yang telah "dipertemukan" dengan Au-yang Siau-hui dan Au-yang Siau-pa itu kini masih tetap segar bugar tak kurang suatu apapun?
Sedangkan bagi Cian Ping, kemun?culan Wi-hong itu bagaikan kemun?culan sang dewa penolong yang selalu dirindukannya. Namun hatinya merasa kurang enak juga, ketika melihat mun?culnya Wi-hong itu dengan didampingi seorang gadis ayu berusia sebaya dengannya.
"Siapakah gadis yang muncul ber?sama-sama dengan A-hong itu?" demiki?an Cian Ping bertanya-tanya dalam ha?tinya. "Kelihatannya hubungannya de?ngan A-hong cukup rapat juga."
Dalam pada itu Wi-hong tidak da?pat lagi menahan kemarahannya yang sudah beberapa hari dipendam dalam hatinya itu. Sambil mengacungkan pedang?nya ia melangkah maju dan membentak Song Kim, "Murid durhaka yang tidak tahu membalas budi! Gurumu memperlakukan kau bagaikan putera sendiri, ta?pi kau si hati binatang ini telah membalasnya dengan tindakan yang paling keji. Sekarang bersiaplah untuk mene?rima kematianmu !"
Sebaliknya Song Kimpun mendidih darahnya ketika bertemu dengan saing?an asmaranya yang dibencinya sejak be?berapa tahun yang lalu itu. Song Kim menganggap bahwa ia diusir oleh gu?runya adalah adalah gara-gara Wi-hong, dan hubungannya dengan Cian Ping pu?tus beberapa tahun. Suara Song Kimpun kini bergetar menahan perasaan dendam, "Hem, agaknya nasibmu cukup baik se?hingga kau berhasil lolos dari tangan Au-yang Tong-cu dan adik sepupunya itu. Tapi yakinkah bahwa saat ini kau tidak akan lolos lagi, dan mayatmu akan terkapar tak terkubur di tengah padang perdu ini !"
"Tong Wi-hong tidak sendiri," ti?ba-tiba terdengar suara seorang ga?dis, yang suaranya halus tetapi meng?andung kewibawaan.
Orang-orang Hwe-liong-pang itu serentak menolehkan kepala mereka ke?pada Wi-lian. Mereka menjadi sangat heran melihat gadis yang tidak ber?senjata itu bersikap demikian berani dan nampaknya sangat percaya kepada dirinya sendiri. Sedangkan dalam hati Cian Ping mendadak saja timbul rasa tidak sukanya kepada gadis itu.
"Siapa kau!" Song Kim membentak Wi-lian dengan garangnya. Song Kim berharap bahwa sikapnya yang garang itu akan membuat Wi-lian ketakutan.
"Aku adalah nenekmu," sahut Wi-lian acuh tak acuh, sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
Tiba-tiba terdengar Han Toan ter?tawa, katanya, "Aku kini tidak ingin berebut gadis she Cian itu lagi. Dasar rejeki nomplok, sekarang aku sudah me?lihat gantinya yang lebih hangat dan segar."
Wi-lianpun bersiap-siap ketika melihat orang she Han itu melangkah mendekatinya sambil menjinjing toya perunggunya. Nampaknya orang-orang Hwe-liong-pang itu memandang enteng kepada Wi-lian, dan hal mana cukup membuat Wi-lian jadi gatal tangan untuk menghajar lawan-lawannya itu agar mengenal kelihaiannya.
-o0^DwKz-Hendra^0o- "HATI-HATILAH, Han Toan," tiba-ti?ba An Siau-lun memperingatkan kawan-kawannya. "Aku menjadi curiga kepada gadis ini. Apakah kalian sudah mendengar dari rekan-rekan kita dari kelompok Ui-ki-tong dan Ang-ki-tong, bahwa di Kay-hong telah muncul seor?ang gadis yang hanya dengan tangan ko?song saja sanggup melukai dua orang hu tong-cu dari Ui-ki dan Ang-ki-tong?"
Han Toan agak tertegun mendengar peringatan kawannya itu. Tapi ia tetap melangkah maju sambil menjawab peringatan An Siau-lun itu, "Aku memang pernah mendengar berita itu, tapi kau tidak perlu merasa kuatir. Memang orang-orang Ui-ki dan Ang-ki yang tidak becus bekerja, lalu mereka sengaja me?nyebarkan berita bohong katanya lawan berkepandaian sangat tinggi. Tapi aku tidak percaya gadis ini bisa berbuat banyak, paling-paling mencubit dan menggigit."
Sementara itu Song Kim telah mu?lai membuka pertempuran. Disertai se?buah pekik nyaring yang penuh dengan napsu membunuh, ia mulai menyerang. Bagaikan seekor naga yang sedang mur?ka, ujung tombaknya mematuk secepat kilat ke dada Wi-hong.
Wi-hongpun mengimbangi serangan ganas itu dengan tepat. Cepat ia meng?geser langkah ke samping, pedangnya dengan tidak kalah cepatnya telah mem?balas menusuk jalan darah jing-ling-hiat di lengan Song Kim.
Song Kim tidak menduga bahwa Wi-hong dapat bergerak secepat itu. Bah?kan kecepatan yang ditunjukkan Wi-hong itu hampir menyamai kecepatan guru Song Kim yang baru, Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po. Cepat Song Kim melompat ke belakang, sambil membatin, "Pantas bocah ini bisa lolos dari tangan Tong-cu dan Hu-tong-cu kami, kiranya anak ini memang jauh lebih hebat dari dua tahun yang lalu."
Tong Wi-hong yang telah dibakar api dendam oleh kematian Cian Sin-wi itu, kini telah merangsak dengan ganas tanpa kenal ampun. Jika Song Kim mun?dur dua langkah, Wi-hongpun maju dua langkah. Pedangnya berkilauan dengan jurus Pek-coa-sam-hian (Ular Putih Muncul Tiga Kali). Seketika itu juga Song Kim merasakan matanya menjadi ka?bur oleh kilauan pedang lawan, sebab dilihatnya lawannya seakan-akan meme?gang tiga batang pedang yang dige?rakkan serempak. Yang mana serangan asli, yang mana serangan palsu sulit?lah dibedakan. Sekali lagi Song Kim dipaksa melompat mundur dengan gugup.
Melihat Song Kim terdesak, mau tidak mau rekan-rekan Hwe-liong-pang harus melupakan pertengkaran di anta?ra mereka sendiri. Cong Yo segera mulai bergerak membantu Song Kim. Tela?pak tangannya yang terlatih dan mampu menghancurkan setumpuk batu merah itu kini diayunkan untuk menggebrak teng?kuk Wi-hong. Dari sudut lain, saudara kembarnyapun ikut turun tangan dengan melancarkan sebuah tendangan "pisau kaki" yang kuat ke lambung Wi-hong.
Serbuan penjahat kembar dari Shoa-tong itu tidak dapat dianggap re?meh, sebab keduanya ternyata menunjuk?kan tingkatan ilmu yang tidak berse?lisih jauh dengan Song Kim. Kini dengan dikepung bertiga, jelaslah Wi-hong harus memeras keringat untuk meng?alahkan mereka.
Namun demikian, dengan semangat untuk membalaskan dendam Cian Sin-wi, Tong Wi-hong meladeni ketiga orang la?wannya itu dengan gagah berani. Ia ju?ga tidak berani lengah kepada penjahat kembar dari Shoa-tang itu, sebab mes?kipun sepasang penjahat itu tidak ber?senjata tetapi kepalan dan tendangan mereka bagaikan martil-martil besi yang bisa meluluh-lantakkan tulang-be?lulang lawannya. Di samping itu, ilmu tombak Song Kim juga tidak dapat dia?baikan, semenjak mengangkat guru kepa?da Tang Kiau-po, Song Kim telah mem?permantap dan memperkaya jurus-jurus ilmu tombaknya. Dan kini nampaklah tombaknya itu bagaikan seekor naga yang sedang menari-nari di angkasa dengan dahsyatnya.
Wi-lian mengamat-amati jalannya pertarungan satu lawan tiga itu dengan penuh perhatian. Ia merasa gembira me?lihat bahwa ilmu silat kakaknya telah meningkat berlipat ganda dibandingkan dua tahun yang lalu. Tetapi dalam menghadapi tiga orang lawan tangguh dari Hwe-liong-pang, kedua pihak hanya dapat mempertahankan kedudukan "sama kuat" saja.
"Aku harus segera turun tangan," kata gadis itu dalam hatinya.
Dalam pada itu An Siau-lun dan Han Toan juga tidak habis mengerti, kenapa gabungan kekuatan antara Song Kim dan kedua orang she Cong itu ternyata ti?dak dapat menyelesaikan lawan dengan cepat?
Kedua penjahat itu tersentak ka?get ketika mendengar Wi-lian telah me?nantangnya, "He, kenapa kalian hanya menjadi penonton saja? Buat apa senja?ta itu kalian bawa? Hendak kalian loakkan?"
"Maksudmu, apakah kami berdua orang laki-laki ini harus bertempur me?lawanmu?" tanya Han Toan sambil cengar cengir. Sedangkan An Siau-lun bersikap lebih hati-hati, dan dengan waspada ia memperhatikan gerak-gerik gadis yang berani itu.
Agaknya Wi-lian lebih dulu ingin menghajar Han Toan yang memuakkannya itu. Dan orang she Han itu jadi terke?jut bukan main ketika tiba-tiba me?lihat Wi-lian berkelebat cepat ke arahnya. Begitu cepatnya sehingga tubuh gadis itu hanya berujud segumpal bayangan yang menerjangnya, secara nalu?riah Han Toan mengangkat toya perung?gunya untuk membela dirinya.
Tapi tubuh gadis itu seperti see?kor burung camar yang bermain-main di atas gelombang samudera, begitu lincah tiba-tiba ia melejit ke sebelah lain dari tubuh lawannya. Dan begitu sepasang tangannya ikut bergerak pu?la, terdengarlah Han Toan menjerit, di?susul suara pipi digampar beberapa kali.
Sewaktu Wi-lian melayang mundur kembali, mana nampaklah bahwa Han To?an sudah "berganti rupa". Kini sepa?sang pipinya bengkak membiru seperti martabak hangus, bibirnya berdarah dan juga membengkak hampir dua kali lipat dari ukuran aslinya. Dan ketika ia membuka mulutnya maka berlompatanlah empat buah gigi dari mulutnya.
Selama kejadian itu berlangsung, An Siau-lun hanya berdiri sambil melo?ngo di tempatnya, tanpa kuasa me?nolongnya. Hampir-hampir tidak percaya menyaksikan bahwa kawannya itu ditampar pulang balik tanpa mampu me?nangkis atau menghindar sedikitpun oleh seorang gadis remaja. Gerakan ga?dis itu yang begitu cepat benar-benar telah mempesonanya.
Kata An Siau-lun kemudian, kepa?da Han Toan, "Sudah kuperingatkan ke?padamu, kau pasti tidak mengalami na?sib seburuk ini jika kau cukup berhati hati. Dan akupun yakin bahwa gadis inilah yang membantu Hong-ho-sam-hiong ketika hendak dibunuh oleh orang-orang Ui-ki dan Ang-ki-tong."
Ucapan An Siau-lun itu mengingat?kan Wi-lian akan peristiwa di kota Kay-hong, di mana Hong-ho-sam-hiong bertiga terbunuh tanpa tertolong la?gi, maka seketika itu juga menggelegaklah darah gadis itu. Tanpa banyak bicara lagi, iapun menyerang An Siau-lun dengan sebuah "tendangan sabit" yang cepat dan keras ke arah leher An Siau-lun.
An Siau-lun memang lebih berhati-hati dari Han Toan, dan ia sudah was?pada sejak tadi. Maka begitu tendangan Wi-lian datang, cepat dia meng?endapkan tubuhnya untuk menghindar, bersamaan dengan itu goloknyapun digu?nakan untuk membabat kaki Wi-lian yang bertumpu ke tanah. Namun gadis itu justru melompat ke atas dan me?nendangkan lagi kakinya ke batok kepa?la lawannya.
Tanpa An Siau-lun sempat menarik goloknya, tahu-tahu tendangan lawan sudah meluncur begitu dekat dan be?gitu sebat ke kepalanya. Hanya ada sa?tu jalan, yaitu membanting diri dan bergulingan menjauhi lawannya. Dia berhasil menyelamatkan diri, namun ke?ringat dingin telah membasahi pung?gungnya. Hampir saja ubun-ubunnya pe?cah berantakan terkena tendangan ma?can betina Siau-lim-pay yang perkasa itu.
Dalam pada itu, Han Toan menjadi sangat murka karena telah dipermalukan begitu hebat oleh gadis itu, maka dengan beringasnya ia maju kembali. Dengan sebuah sapuan keras toya perunggunya, ia bermaksud mematah?kan kaki gadis itu supaya bisa ditang?kapnya hidup-hidup dan kemudian akan dipermainkannya sesuka hati.
Demikianlah, sebuah ajang per?tempuran baru telah "dibuka" di te?ngah padang perdu yang sepi itu. Wi-lian hanya dengan mengandalkan kekua?tan jari-jari tangannya serta kecepa?tan tendangan dan kelincahannya, telah menghadapi dua serangkai bekas bajak laut yang bersenjata golok Tan-to dan toya Ce-bi-kun itu.
Tadinya An Siau-lun dan Han Toan berharap, bahwa dengan gabungan kekuatan mereka berdua tentu paling tidak akan dapat mendesak gadis lawannya itu. Tetapi mereka terkejut bukan kepalang setelah menemui kenyataan bahwa mere?ka bagaikan membentur sebuah tembok baja, karena gadis itu begitu tang?guhnya. Wi-lian bukan cuma bertahan, tetapi juga mampu memberondongkan serangan-serangan terarah yang membuat kedua lawannya harus menyelamatkan diri dengan sibuknya.
Kedua bekas bajak Laut Kuning itu akhirnya menjadi marah juga. Akhirnya terdengar suara An Siau-lun kepada kawannya, "Han Toan, kukira su?lit sekali untuk menangkap hidup-hidup gadis ini. Kini biarlah kita tidak usah ragu-ragu lagi andaikata senjata senjata kita merobek kulitnya atau me?remukkan tulang belulangnya, asal jangan sampai kita dihina tidak becus menghadapi seorang perempuan."
"Betul, akupun tidak berselera lagi kepada kecantikannya. Aku kini hanya ingin mencincang tubuhnya untuk melampiaskan kemarahanku!" sahut Han Toan.
Begitulah kedua bekas bajak laut itu kini tidak ragu-ragu lagi dalam memainkan senjata mereka, sebab mere?ka telah menyingkirkan niat mereka un?tuk menangkap Wi-lian hidup-hidup.
Kini mereka benar-benar telah ber?kelahi dengan ganas dan diwarnai oleh nafsu membunuh yang berkobar-kobar, biarpun lawan mereka adalah seorang gadis cantik yang usianya pantas un?tuk menjadi keponakan mereka.
Golok tan-to di tangan An Siau-lun berputar kencang menggulung la?wannya seperti sebuah baling-baling yang dihembus badai, menyebarkan udara kematian yang menggidikkan perasaan. Dan permainan golok yang hebat itu ma?sih digabungkan dengan gaya permainan toya Ce-bin-kun Han Toan yang dapat diumpamakan sehebat pusaran air yang siap untuk menghisap, menggulung dan membinasakan lawannya.
Menghadapi dua orang lawan yang bertempur dengan penuh kemarahan itu, Wi-lian bertindak semakin hati-hati dan cermat. Dalam hatinya diam-diam ia juga memuji ketangkasan lawan-lawannya, sebab sebagai anggauta biasa Hwe-liong-pang saja mereka sudah begitu tangguh, lalu kira-kira entah bagaima?na kepandaian para pemimpinnya, terutama Hwe-liong-pang-cu sendiri? Tidak mengherankan kalau Siau-lim-pay sampai merasa perlu untuk menyebarkan eng-hiong-tiap kepada para ksatrya dunia persilatan untuk merundingkan perkem?bangan ini. Dengan munculnya Hwe-liong pang, agaknya memang keamanan dunia persilatan bagaikan "telur di ujung tanduk".
Tetapi gadis itu sedikitpun tidak merasa gentar, ia masih tetap percaya bahwa kepandaiannya akan dapat menga?tasi kedua lawannya itu, meskipun mungkin ia harus dipaksa memeras ke?ringat sampai puluhan jurus. Bahkan timbul niatnya untuk membinasakan ke?dua lawannya ini sama sekali, karena hal itu sedikit banyak akan mengurangi kekuatan Hwe-liong-pang. Selain itu juga agar secepatnya ia bisa mem?bantu kakaknya yang sedang menghadapi tiga orang lawan.
Memang saat itu Tong Wi-hong pun sudah basah kuyup dengan keringat, ka?rena menghadapi tiga orang lawannya itu benar-benar memerlukan pengerahan seluruh kepandaiannya. Apalagi selama dua hari dua malam ini Wi-hong dalam keadaan kelelahan dan kurang merawat keadaan tubuhnya, sehingga keadaan tubuhnyapun tidak sesegar lawan-la?wannya. Akhirnya Wi-hong dipaksa untuk mengakui kenyataan bahwa mustahil ia dalam keadaan seperti itu akan dapat mengalahkan musuh.
Namun bagaimanapun juga Wi-hong tetap bertempur dengan gigihnya, se?hingga Song Kim, Cong Hun dan Song Yo juga dipaksa untuk memeras keringat secara habis-habisan. Jika Wi-hong menyerang, maka gerak pedangnya ba?gaikan seekor ular sakti yang mengge?liat, meliuk dan mematuk dengan ganas?nya. Tetapi kepungan lawan-lawannya bagaikan benteng besi yang makin lama makin menyempit dan menggencetnya.
Ternyata Wi-hong bukan seorang pemuda berotak buntu. Menghadapi kea?daan yang kurang menguntungkan bagi dirinya itu, ia akhirnya mengambil ke?putusan untuk mengambil kedudukan ber?tahan saja sambil mencoba "mengambil napas". Ia hanya akan membela diri sa?ja, sambil menunggu sampai musuh-mu?suhnya berbuat kesalahan sendiri.
Dalam pada itu Song Kim telah mengutuk habis-habisan di dalam ha?tinya, karena ia ternyata tidak dapat segera membereskan orang yang diben?cinya sampai ke tulang sungsum itu. Meskipun kadang-kadang Wi-hong nampak terdesak, tapi jalannya pertempuran itu entah masih harus berapa lama la?gi untuk membunuh Wi-hong? Tadinya Song Kim mengira bahwa setelah dirinya mendapat gemblengan dari guru barunya, maka ilmu silatnya telah me?ningkat pesat sehingga Wi-hong tentu akan dapat dikalahkannya tanpa banyak susah payah, apa lagi dengan bantuan dua saudara she Cong yang cukup tang?guh pula. Namun yang terjadi di hadapan matanya sekarang ini benar-benar sesuatu yang sangat menjengkelkan. Se?telah bertarung ratusan jurus, ternyata masih belum nampak gejala-gejala Wi hong akan kalah. Memang anak muda she Tong itu kadang-kadang berlompatan mundur untuk menghindari "banjir" serangan lawannya, tapi itu tidak ber?arti kalah.
Bukan hanya Song Kim, tetapi sepasang penjahat dari Shoa-tang itu ju?ga mulai menjadi gondok karena menemui perlawanan setangguh itu. Beberapa ka?li kedua saudara itu berhasil mendesak Wi-hong, dan mereka mengira bahwa pertempuran akan segera berakhir tapi ternyata lawan mereka berhasil memperbaiki dirinya dan kembali sang?gup meneruskan perlawanannya.
Bahkan setelah wi-hong dapat me?mulihkan ketenangannya dan memusatkan diri hanya kepada pertahanannya, maka ia nampak semakin ulet dan tangguh. Sedangkan lawan-lawannya yang semakin naik darah itu jadi semakin kalap dan bernafsu, dan tanpa sadar mereka te?lah menghamburkan tenaganya jauh le?bih cepat dari Wi-hong.
"Anak gila ini entah kesurupan demit dari mana," gerutu Cong Hun di dalam hatinya. "Di Tay-beng dia ber?hasil melepaskan diri dari kakak bera?dik sepupu Au-yang yang ganas seperti setan itu, dan kini tampaknya kami bertigapun tidak akan bisa berbuat terlalu banyak kepadanya."
Dan ketika Cong Hun menoleh ke lingkaran pertempuran antara Wi-lian dengan kedua lawannya, maka hati Cong Hun menjadi kecut ketika melihat ba?gaimana dua orang rekannya itupun mengalami kesulitan besar melawan Wi-lian.
Langit di ufuk timur semakin ce?rah, selubung gelap malam bagaikan ter?singkap oleh cahaya merah keemasan yang begitu gemilang. Cahaya fajar yang begitu lembut dan indah telah muncul.
Tetapi segala keindahan fajar di tengah padang perdu itu dipersetankan begitu saja oleh tujuh orang manusia yang sedang mempertarungkan nyawa di tempat itu. Pancaindera dan perasaan mereka tertutup sama sekali dari ke?indahan sinar surya yang keemasan, ki?cau unggas liar yang bagaikan nyanyi?an dewata atau gemerisik lembutnya re?rumputan. Yang ada di dalam pikiran mereka hanyalah semboyan "membunuh atau dibunuh", tidak ada pilihan yang ketiga. Dendam dan kebencian telah membutakan manusia-manusia lemah itu.
Sejalan dengan munculnya sang surya yang merambat sejengkal demi se?jengkal ke puncak langit itu, maka ma?kin panas pula jalannya pertempuran itu. Jurus-jurus mematikan dikeluarkan semua, dicoba keampuhannya mela?wan jurus-jurus lawan yang juga mematikan. Bentakan-bentakan yang mengan?dung kemarahan dan kebencian terdengar mengoyak-oyak dan menodai kesyahduan pagi yang indah itu. Semua yang bertempur telah berubah menjadi mahluk-mahluk haus darah dan mabuk dendam.
Dalam keadaan tubuh yang belum bisa bergerak sedikitpun karena tertotok, Cian Ping menyaksikan jalannya pertempuran yang sengit itu, perasaannya tegang bukan main. Dapatkah kekasihnya dan temannya itu mengalahkan lawan-lawannya? Ataukah Song Kim kawan-kawannya yang akan merebut kemenangan, sehingga dirinya akan mengalami nasib yang sangat buruk dengan menjadi barang permainan dari orang-orang Hwe-liong-pang?
Ketika Cian Ping mengamat-amat pertarungan antara Wi-lian melawan ke?royokan An Siau-lun dan Han Toan, timbullah keheranan Cian Ping melihat gadis yang dicemburuinya itu justru berhasil mendesak kedua lawannya. Padahal kedua orang bekas bajak laut itu adalah penjahat-penjahat yang garang dan ditakuti, namun kini tak berkutik menghadapi seorang gadis remaja yang bertempur tanpa senjata!
Diam-diam Ciang Ping mulai ber?pikir dalam hati, "Alangkah hebatnya teman A-hong ini, entah dimana A-hong berkenalan dengannya? Apabila gadis itu berhasil merobohkan kedua lawannya, maka ia akan bertempur ber?pasangan dengan A-hong, alangkah serasinya, dan aku di sini hanya bisa meringkuk tak berkutik tanpa mampu ber?buat apa-apa."
Rupanya sedikit banyak Cian Ping mulai dipengaruhi perasaan bersaing dengan gadis yang belum dikenalnya itu. Ia tidak sudi kelak akan diang?gap sebagai gadis yang tidak punya guna. Keinginan untuk berbuat sesuatu itu telah mendorong Cian Ping untuk mengerahkan tenaga dalamnya untuk men?dobrak jalan darahnya yang buntu kare?na tertotok itu. Daya kerja totokan itu memang sudah hampir habis dan semakin melemah, maka ketika Cian Ping menyalurkan tenaganya untuk mendobrak beberapa kali, akhirnya terbukalah ja?lan darah yang tadinya buntu itu! Te?tapi untuk mengakali lawannya, gadis itu masih pura-pura terbaring tak ber?daya, padahal ia sedang membiarkan otot-ototnya yang kaku itu agar melemas kembali.
Maka terkejutlah orang-orang Hwe-liong-pang itu ketika melihat Cian Ping kemudian melompat bangun dengan garangnya. Song Kim cukup mengenal sampai di mana tingkat kepandaian puteri bekas gurunya itu. Meskipun kepandaian Cian Ping belum bisa disejajarkan dengan Wi-hong maupun gadis yang satunya lagi itu, tetapi tingkat ilmu yang dimiliki Cian Ping lebih dari cukup untuk mengubah keseimbangan pertempuran yang tengah berlangsung itu. Bebasnya Cian Ping bukan meru?pakan pertanda yang baik bagi orang-orang Hwe-liong-pang.
Karena agak terganggu perhatian?nya oleh bebasnya Cian Ping, hampir saja tenggorokan Siong Kim tertusuk tembus oleh pedang Wi-hong. Untunglah ia masih sempat menggunakan gerak Hong-hong-tiam-thau (Burung Hong Mengang?guk), selain itu juga karena kedua saudara Cong menolongnya tepat pada waktunya.
Setelah bebas, Cian Ping kini be?nar-benar merasa mendapat kesempatan untuk melampiaskan semua perasaannya yang terpendam selama ini. Sejak di?culik dari rumahnya, gadis itu merasa kebebasannya hilang dan perasaannya sangat tertekan, meskipun orang-orang Hwe-liong-pang itu belum sempat ber?buat sesuatupun yang menodai dirinya. Meskipun demikian gurauan dan perca?kapan orang-orang Hwe-liong-pang itu sempat membuat dirinya marah dan jijik, apalagi kalau mengingat bahwa orang-orang inilah yang telah mem?bunuh ayahnya.
Cian Ping segera me?mungut sebatang kayu sepanjang lengan dan sebesar lengan orang dewasa pula. Dengan "senjata" itulah ia menghantam kepala Song Kim yang sangat dibencinya itu, sambil berteriak marah.
Ikut sertanya Cian Ping dalam ge?langgang pertempuran itu sempat mem?buat Song Kim dan kawan-kawannya ter?pecah perhatiannya. Song Kim sendiri harus cepat-cepat melompat mundur sam?bil menundukkan kepalanya, karena tidak mau kepalanya pecah oleh pukulan yang dipegang Cian Ping.
Mundurnya Song Kim sama dengan bobolnya kepungan atas diri Tong Wi-hong. Dengan serangan pedangnya yang gencar dan bertubi-tubi, Wi-hong ber?hasil memaksa kedua saudara Cong itu berlompatan mundur dengan kacau balau. Kesempatan itu segera digunakan oleh Wi-hong untuk mendekati Cian Ping.
"Adik Ping, kau tidak apa-apa?" tanyanya.
Cian Ping tidak begitu menghiraukan pertanyaan itu. Dengan keben?cian dan kemarahan yang meluap-luap ia memburu Song Kim sambil berteriak, "Manusia berjantung anjing! Manusia tidak kenal budi! Aku bersumpah tidak sudi hidup bersama-sama denganmu di bawah satu kolong langit !"
Song Kim yang biasanya bersikap garang itu kini menjadi gugup dan ke?cut hati menghadapi kemarahan gadis itu. ia berlompatan mundur dengan nge?rinya, sambil mencoba menenangkan ga?dis itu, "Adik Ping, coba kau dengar dulu penjelasanku...."
Namun gadis yang sedang kalap itu terus mengejarnya, serunya dengan suara yang agak terisak, "Siapa sudi adikmu? Hubungan kita sudah putus. Kau adalah seorang murid yang tidak tahu membalas budi. Ingatkah kau sia?pa yang telah membesarkan dan merawat?mu sejak kecil, dengan kasih sayang seperti kepada anak laki-lakinya sen?diri? Bukankah ketika itu kau hampir mati kelaparan di pinggir jalan?"
Menyusul dengan ucapannya itu, kayu di tangan Cian Ping telah disodokkan kembali ke ulu hati Song Kim. Si bekas kakak seperguruan ternyata hanya menghindar saja dan tidak berani menangkis atau membalas menyerang, ru?panya kuatir kalau membuat gadis she Cian itu bertambah marah.
Sebagai puteri tunggal Cian Sin-wi, tokoh yang disegani di wilayah Kang-pak, maka Cian Ping sudah mempelajari ilmu silat sejak umur 10 tahun, dasar ilmu silatnyapun cukup kuat. Ma?ka begitu serangan yang pertama dapat dihindari Song Kim, gadis itu menyu?sulkan serangan berikutnya dengan me?mutar kayunya dan menghantam ke lam?bung Song Kim dengan derasnya.
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 17 Melihat Song Kim hanya berlompa?tan menghindar dan tidak berani membe?ri perlawanan sama sekali, orang-o?rang Hwe-liong-pang lainnya menjadi sangat mendongkol. Cong Hun yang te?ngah megap-megap di bawah tekanan Wi hong itu segera berteriak, "Song Kim, jangan cengeng! Cepat bereskan gadis itu dan bantu kami!"
Han Toan dan An Siau-lun berdua yang juga sama kelabakannya dengan re?kan-rekannya dari Shoa-tang, juga ikut berseru kepada Song Kim, "Song Kim, ini adalah pertempuran mati hi?dup! Jangan anggap lagi gadis itu se?bagai calon isterimu !"
Dalam pada itu Song Kim masih sa?ja "diburu" oleh Cian Ping dengan po?tongan kayunya itu. Nampaknya Song Kim masih ragu-ragu dalam menentukan sikap terhadap gadis yang masih dicin?tainya itu, bahkan seruan dari teman-temanya tadi tidak digubrisnya sama sekali.
Cong Hun akhirnya kehabisan kesa?baran melihat kebimbangan Song Kim itu. Secara nekad ia tiba-tiba melompat keluar dari gelanggangnya, dan tanpa bertanya kepada Song Kim apakah setuju atau tidak, ia langsung mener?jang Cian Ping.
Cian Ping yang mengetahui akan datangnya serangan itu, segera memutar tubuhnya dan mengemplangkan kayu?nya ke kepala Cong Hun, sambil mem?bentak, "Kau penjahat bermuka jelek inipun harus mampus juga!"
Tanpa menahan laju tubuhnya, Cong Hun menyahut dingin, "Lihat saja siapa yang bakalan mampus, kau atau aku!" Tangan kanannya menangkis kayu itu, dan dengan tangan kirinya ia mem?balas menyodok ulu hati Cian Ping se?kuat tenaga. Jelas bahwa Cong Hun bermaksud membinasakan Cian Ping sekali gebrak, agar Song Kim bisa "dibebas?kan" dari ikatan perasaannya.
Penjahat dari Shoa-tang ini me?mang lihai, kayu yang dipegang oleh Cian Ping itu langsung patah menjadi dua begitu bersentuhan dengan tangannya, remuk menjadi serpihan-serpihan, sementara tangan kirinya siap mengan?tar Cian Ping ke alam kematian.
"Cong Hun!" seru Song Kim terke?jut.
Saat itu Tong Wi-hong sedang men?desak Cong Yo yang kini bertempur seorang diri itu. Wi-hong juga melihat bahaya yang mengancam Cian Ping, tetapi jaraknya jauh dan paling tidak memerlukan dua kali lompatan un?tuk menolong kekasihnya itu. Dada Wi hong berdesir hebat membayangkan se?bentar lagi kekasihnya itu akan roboh dengan tulang-tulang remuk.
Namun tidak boleh dilupakan bahwa tiga langkah di dekat Cian Ping masih ada Tong Wi-lian yang tengah mengung?guli kedua lawannya itu. Melihat Cian Ping terancam bahaya, cepat Wi-lian meninggalkan lawan-lawannya, dan de?ngan segenap kecepatannya ia melompat untuk langsung menyerang punggung Cong Hun dengan tusukan jari-jarinya. Agaknya Wi-lian menggunakan akal "menggempur Gui untuk menolong Tio", suatu siasat untung-untungan yang diharapkan akan dapat memaksa musuh untuk menyelamatkan dirinya lebih dulu.
Akal itu memang membuahkan hasil juga agaknya. Begitu Cong Hun men?dengar ada bentakan di belakang pung?gungnya, mengertilah dia bahwa biar pun ia bisa membunuh Cian Ping namun dirinya sendiripun akan mampus di tangan gadis tak dikenalnya itu.
Karena Cong Hun masih sayang nya?wa, terpaksa ia menarik serangannya dan menjatuhkan diri ke samping dan bergulingan untuk menyelamatkan diri.
Wi-hong dan Wi-lian merasa lega bukan main setelah melihat bahwa Cian Ping belum tersentuh oleh pukulan maut si burik itu, meskipun nyawanya baru saja lolos dari lubang jarum. Se?baliknya orang-orang Hwe-liong-pang juga menghembuskan napas lega melihat Cong Hun juga berhasil menyelamatkan diri, meskipun dengan cara yang agak konyol.
Sesaat pertempuran sengit itu terhenti. Semua orang berusaha mene?nangkan jantungnya sehabis detik-de?tik yang mendebarkan tadi.
Kesempatan itu segera digunakan oleh Wi-lian untuk melompat mendekati Cian Ping sambil menyerahkan pedang?nya, "Adik Ping, pakailah pedangku!"
Dengan ragu-ragu Cian Ping mene?rima pedang itu dari tangan Wi-hong, sambil bertanya, "Lalu kau sendiri bagaimana?"
Sahut Wi-hong, "Tidak usah kuatir. Ketika aku bertempur seorang diri melawan Co-siang-hui-mo Au-yang Siau-hui serta adik sepupunya itu, akupun hanya bertangan kosong saat itu. Dan kukira monyet-monyet ini tidak lebih hebat dari kakak beradik se?pupu itu."
Han Toan mendidih darahnya mendengar ucapan Wi-hong yang agaknya me?mang sengaja untuk memanaskan hati itu. Seperti seekor macan kelaparan Han Toan menubruk Wi-hong, toya pe?runggunya menghantam kepala Wi-hong. Kali ini Han Toan bekerja sama dengan Song Kim yang menyerang lambung Wi-hong dengan tombak panjangnya.
Kini Wi-hong hanya dengan ber?tangan kosong harus menghadapi dua ma?cam gaya bertempur yang sama-sama berbahaya. Sebagai bekas bajak laut yang berkelana di lautan, maka gerak-gerak ilmu silat Han Toan agaknya diilhami oleh gerakan-gerakan gelombang lautan, sebaliknya tombak panjang Song Kim mengutamakan gerakan menikam dan menggores yang berubah-rubah secepat kilat dengan puluhan perubahan tak terduga.
Tetapi Wi-hong tidak menjadi berkecil hati menghadapi dua lawan yang garang ini. Ia menilai bahwa ilmu tombak Song Kim agak lebih berbahaya dibandingkan dengan ce-bi-kunnya Han Toan yang lugu dan hanya mengutamakan kekuatan itu. Tetapi ilmu tombak Song Kim itu secara keseluruhan masih ka?lah beberapa tingkat dibandingkan de?ngan ilmu cengkeraman jari maut Au-yang Siau-hui yang pernah diha?dapinya. Bahkan dibandingkan dengan Au-yang Siau-pa dengan golok bulan sabit?nya itupun Song Kim belum tandingan?nya. Padahal Wi-hong pernah sanggup mengimbangi keroyokan kakak beradik sepupu dari Su-coan itu, maka kini ke?royokan Song Kim dan Han Toan itu jus?tru terasa lebih ringan dari pada per?tempuran yang tadi.
Dengan ringan dan lincahnya Wi-hong berlompat-lompatan di antara sambaran-sambaran maut kedua senjata lawannya, mirip sekali dengan seekor burung camar yang bermain-main dengan riang gembira di atas gelombang laut?an. Tetapi Wi-hong tidak hanya meng?hindari saja, ia membalas pula dengan ilmu silat tangan kosong aliran Soat-san-pai yang disebut Hui-soat-sin-ciang (Pukulan Sakti Salju Terbang). Gaya pukulannya melayang ringan, benar-be?nar mirip salju yang diterbangkan angin, tetapi tidak berarti tidak mengandung kekuatan sebab pukulan ini sanggup membelah sebutir batu sebesar kepala manusia.
Rupanya baik Song Kim maupun Han Toan juga menyadari kelihaian pukulan Soat-san-pai ini. Merekapun tidak berani bertindak gegabah dalam mengha?dapinya.
Dalam pada itu, si kembar Cong Hun dan Cong Yo yang sudah jera berha?dapan dengan Wi-hong, kini memilih Wi-lian sebagai lawan mereka. Dalam ang?gapan kedua saudara kembar ini, Wi-li?an sebagai seorang gadis tentu lebih ringan untuk dilawan.
Namun setelah pertarungan berja?lan beberapa jurus, mulailah kedua saudara kembar ini berubah anggapan. Lawan mereka ternyata adalah macan be?tina Siau-lim-pai yang kepandaian mau?pun kegarangannya tidak berada di ba?wah Wi-hong. Kedua saudara kembar itu mulai merasakan betapa beratnya meng?hadapi gadis bertangan kosong itu.
Yang paling santai adalah An Siau lun. Selagi keempat rekannya harus berjuang mati-matian menghadapi la?wan-lawan berat, maka An Siau-lun sen?diri telah mendapat seorang lawan yang paling ringan, yaitu Cian Ping. Meskipun gadis itu kini telah ber?senjata pedang, tetapi ia tetap tidak bisa berbuat banyak dalam menghadapi An Siau-lun yang lebih kuat dan lebih berpengalaman dalam banyak pertempur?an itu.
Yang agak menolong Cian Ping ada?lah kekerasan hatinya sendiri. Setiap kali Cian Ping merasa telapak tangan?nya nyeri apabila pedangnya berbentur?an dengan golok tan-to An siau-lun, tetapi sambil mengertak gigi ia terus melawan dengan gigihnya. Setiap kali ia membayangkan kembali tubuh ayahnya yang telah bergelimpangan di kubangan darahnya sendiri, dan setiap kali pu?la kekuatannya bagaikan tumbuh berli?pat ganda. Itulah kekuatan dendam.
Menghadapi gadis yang keras hati dan nekad ini, mau tidak mau An Siau-lun harus berhati-hati dan tidak berani mengharapkan kemenangan ter?lalu cepat. Apalagi karena gadis ini berkelahi hanya beberapa langkah dari Wi-hong yang nampaknya sudah mulai mengungguli lawan-lawannya.
Panas matahari terasa semakin hangat di permukaan kulit, dan se?makin menghangatkan darah dari orang orang yang sedang dimabuk darah itu. Kini bukan cuma keringat yang meleleh di tubuh mereka, namun titik-titik darahpun mulai nampak di pakaian mereka.
Tong Wi-lian mulai tidak sabar lagi dengan jalannya pertempuran yang dianggap lamban dan berlarut-larut itu. Ia ingin segera mengakhirinya, maka dikerahkannya seluruh kemampu?annya untuk mendesak lawan-lawannya. Ilmu silat Pek-ho-kun (Silat Bangu Pu?tih) dan Coa-kun (Silat Ular) yang pa?ling digemarinya dan telah dilatihnya dengan matang itu kini dikeluarkannya. Selama berguru di Siong-san, Wi-lian mengulangi jurus-jurus dari kedua ma?cam ilmu silat itu sampai ratusan kali setiap harinya. Tidak mengherankan kalau kedua saudara kembar she Cong itu kemudian merasa menyesal bah?wa mereka telah memilih lawan ini. Te?tapi sudah terlanjur bertempur, apa boleh buat, mereka terpaksa meng?eraskan kepala untuk memperpanjang umur sedetik demi sedetik, sambil me?nunggu datangnya suatu pertolongan.
Ketika Wi-lian bertarung dalam puncak kemampuannya, maka keadaan ke?dua saudara Cong itu memang payah se?kali. Untuk membela diri saja mereka sudah repot bukan main, apalagi untuk membalas menyerang. Kadang-kadang ke?duanya harus berjungkir balik atau bergulingan dengan konyol dan sama se?kali tidak sesuai dengan tingkah-laku sehari-hari mereka yang begitu garang. Jika kedua saudara itu masih bisa ber?tahan sampai saat itu, itu hanyalah karena terdorong oleh perasaan takut mati yang kini begitu menghantui mere?ka.
Ketika Wi-lian semakin memperce?pat gerakannya, lawan-lawannya se?makin bingung. Satu atau dua kali tendangan dan pukulan gadis itu mulai mengenai tubuh lawan-lawannya. Biarpun bukan tendangan yang telak namun cukup kuat untuk membuat bekas-bekas matang biru di kulit lawan-lawannya dari Shoa-tang itu.
"Tidak masuk akal kalau gadis ini begitu lihai," gerutu Cong Hun pe?nasaran. "Barangkali gadis ini sedang kesurupan jin penunggu padang perdu ini."
Wi-lian mendengar pula gerutuan lawannya itu. Ia tertawa mengejek dan berkata, "Apanya yang tidak masuk akal? Memang kalian berdua inilah yang tidak becus."
Gadis itu bukan cuma mengejek na?mun juga sempat mendaratkan sebuah tendangan ke wajah Cong Yo, dengan se?buah gerakan manis yang disebut Coan sin-teng-kak (Memutar Tubuh Sambil Me?nendang). Untung bahwa tendangan itu tidak terlalu telak, sebab ketika Wi-lian menendang ia juga sedang meng?hadapi serbuan Cong Hun pada waktu yang bersamaan. Meskipun tidak telak, toh cukup membuat dua buah gigi depan Cong Yo harus berpisah dengan pemilik?nya, sehingga Cong Yo mengaduh-aduh sambil menekap mulutnya.
Kedua orang bekas begal dari Shoa tang itu akhirnya menyadari kenyataan bahwa gadis itu benar-benar membahaya?kan bagi jiwa mereka. Maka mereka mu?lai memberi isyarat dengan saling mengedip mata, untuk mulai bersama-sama menggunakan jurus gabungan yang selama ini belum menemui tandingannya.
Tiba-tiba saja kedua saudara kem?bar itu melompat dan mengambil jarak yang cukup jauh dari lawannya. Kini sepasang penjahat itu berdiri tegak dengan pundak sejajar, masing-masing memasang kuda-kuda Tiang-ma. Bedanya, kalau Cong Hun berdiri dengan kaki kanan di depan, maka sebaliknya si saudara kembar berdiri dengan kaki kiri yang di depan. Sepasang tangan mereka, membentuk seperti cakar harimau yang siap di sisi tubuh masing-masing. Itu?lah jurus gabungan ciptaan saudara kembar itu, yang diberi nama dengan nama yang keren, yaitu Siang-hou-keng-thian-hok-te (Sepasang Harimau Menge?jutkan Langit dan Membalik Bumi).
Namun dalam pandangan Wi-lian se?bagai murid Siau-lim-pay, jurus ga?bungan saudara Cong itu tidak lain ha?nya menjiplak dan menggubah Hau-kun (Silat Harimau) dari Siau-lim-pay Cabang Utara. Wi-lian sendiri tidak bisa memainkan ilmu silat itu, karena hanya cocok untuk kaum lelaki yang bertenaga besar, tetapi Wi-lian per?nah melihat salah seorang rahib Siau-lim memainkan ilmu silat itu. Ilmu silat itu memang tergolong ilmu "keras" yang lihai. Kini kedua sauda?ra Cong itu telah menggubahnya, entah sampai di mana perubahannya kalau di?bandingkan dengan aslinya?
Kata Wi-lian setelah melihat sikap lawan-lawannya itu, "Hemm, kira?nya kalian adalah murid-murid murtad dari Siau-lim Utara. Perbuatan busuk kalian benar-benar telah mencoreng keluhuran nama perguruan Siau-lim, kare?na itu hari ini juga biarlah aku mewa?kili perguruan untuk membersihkan diri dari cecunguk-cecunguk jahat ma?cam kalian ini."
Cong Hun dan Cong Yo agak gentar mendengar ucapan Wi-lian yang angker itu. Untuk menutupi hati mereka yang mulai merasa kecut, mereka membuka serangan lebih dulu. Dibarengi dengan teriakan keras seperti harimau meraung mereka serempak menerkam ke depan. Empat buah telapak tangan berbentuk cakar harimau telah menggempur berba?gai bagian tubuh yang mematikan dari lawannya.
Diam-diam terkejut juga Wi-lian setelah merasakan betapa hebat perbawa yang terkandung dari gerakan itu, terutama terasa benar kekuatan tenaga yang dikandung dalam gerakan itu. Ka?rena merasa tidak mampu melawannya se?cara keras lawan keras, wi-lian cepat melakukan lompatan Yan-cu-hoan-sin (Walet Membalikkan Badan) dan ia meng?hindar ke belakang sampai enam tombak lebih.
Namun jurus gabungan Siang-hou-keng-thian-hok-te itu agaknya punya berbagai perubahan gerak. Begitu ge?brakan pertama luput, mendadak sepa?sang orang kembar itu serempak memen?car ke kiri dan kanan, dan pada detik berikutnya mereka telah melancarkan dua tendangan geledek ke arah Wi-lian dari dua sudut yang berbeda.
"Hebat," diam-diam Wi-lian me?muji dalam hatinya. "Cerdas juga bang?sat-bangsat ini dalam mengolah suatu ilmu silat."
Sekali lagi murid rahib Hong-tay ini dipaksa mundur ke belakang. Namun di saat ia melayang mundur itulah ma?ka matanya yang tajam telah melihat suatu titik kelemahan pada lawan-la?wannya. Bukan kelemahan pada jurusnya atau ilmunya, tetapi kelemahan pada manusianya. Titik kelemahan itu me?mang terlalu kecil dan hampir tidak terlihat sama sekali, hanya orang-orang bermata tajam sajalah yang dapat melihatnya.
Meskipun sudah melihat kelemahan lawan, tidak berarti Wi-lian langsung dapat menggempurnya sesuka hati. Pada saat gadis itu sedang merancang suatu akal untuk menggempurnya, maka kedua lawannyalah yang telah menggempur le?bih dulu dengan serangan-serangan yang bagaikan badai dahsyatnya. Terpaksa kali Wi-lian harus mundur kembali.
Titik kelemahan yang dilihat oleh Wi-lian itu ada pada diri Cong Hun, terutama jika sedang melakukan tendangan berpasangan. Ada selisih ke?cepatan antara Cong Hun dengan sauda?ra kembarnya, dan meskipun selisih ke?cepatan itu nampaknya kurang berarti, tetapi jelas membuka suatu peluang lemah pada jurus gabungan itu.
Sedangkan kedua orang kembar itu belum tahu kalau Wi-lian sudah mengintai titik lemah mereka. Mereka masih saja mabuk kemenangan karena berhasil mendesak gadis itu. Dengan garangnya mereka mendesak maju pula, lebih dulu mereka menggempur dengan aneka ragam pukulan dari kanan kiri secara berpa?sangan, tujuannya adalah untuk membingungkan lawan. Setelah nantinya la?wan bingung, barulah mereka akan se?rempak melepaskan tendangan yang ber?sifat "menggunting" yang agaknya meru?pakan gerakan inti dari jurus gabung?an itu.
Wi-lian berpura-pura kebingungan dalam menangkis dan menghindari aneka ragam pukulan itu, namun ia sengaja tidak mau mundur untuk mencoba memak?sakan pertarungan jarak dekat dengan lawan-lawannya. Sambil bertahan, diam-diam Wi-lian berjaga-jaga terhadap tendangan lawan, sebab ia merasa ham?pir pasti bahwa rangkaian pukulan itu akan ditutup dengan tendangan berpa?sangan yang bersifat menggunting.
Dugaan Wi-lian ternyata tepat. Begitu kedua saudara Cong itu melihat lawan sudah "tersudut", serempak mere?ka memutar tubuh dan melancarkan tendangan hau-bwe-tui (Tendangan Buntut Macan) dari kiri dan kanan, siap un?tuk menghancurkan batok kepala Wi-li?an.
Kedua saudara Cong itu memperhi?tungkan bahwa lawannya tentu akan me?lompat mundur lagi seperti tadi. Na?mun dugaan mereka kali ini telah mele?set. Wi-lian tidak melompat mundur te?tapi justru menyelinap maju dengan gerakan selicin belut, dan hilang pula kesan-kesan gugup pada diri gadis itu. Seketika itu juga kedua saudara Cong itu jadi kelabakan, kerjasama me?reka menjadi agak macet, karena kedu?dukan lawan seperti itu sama sekali tidak pernah diperhitungkan ketika me?reka bersama-sama melatih jurus ga?bungan itu.
Dalam keadaan bingung itulah ke?dua saudara Cong bertindak sendiri-sen?diri dan sama sekali tidak dalam kerja?sama lagi. Cong Yo melancarkan jotosan Wan-kiong-sia-tiau (Merentang Bu?sur Memanah Elang) untuk memaksa Wi-lian mundur dan menempati kedudukan semula.
Tetapi gadis itu telah menempati kedudukan bagus, mana mau ia melepas?kannya begitu saja? Wi-lian tidak me?nangkis jotosan lawan, bahkan menyeplos di antara tubuh-tubuh lawannya, dan ketika kakinya sudah menginjak "pintu" (istilah silat) Say-mui maka tubuhnya sudah berada di belakang tubuh Cong Hun yang tidak setangkas saudaranya. Kedua orang kembar itu menjadi kalang-kabut dan hampir saja mereka saling hantam sendiri karena perkembangan tak terduga itu.
"Awas di belakangmu!" Cong Yo berseru kepada saudara kembarnya. Ia sendiri tidak bisa langsung menyerang Wi-lian, sebab terhalang oleh badan saudara kembarnya. Namun ia masih be?rusaha juga untuk menyerang dari atas dengan jalan melompati kepala Cong Hun.
Kini jurus gabungan Siang-hou-keng-thian-hok-te yang sangat dibang?ga-banggakan itu pada hakekatnya sudah berantakan, karena sepasang bandit kembar itu sudah bertempur sendiri-sen?diri, dan tentu saja daya gempur mereka menjadi jauh lebih merosot dibandingkan ketika masih bekerjasama tadi.
Semangat Wi-lian berkobar hebat begitu melihat siasatnya berhasil mengacaukan lawan. Gadis perkasa itu masih sempat menghindari gempuran Cong Yo dari atas, dan tanpa memberi kesempatan kepada lawan-lawannya untuk bergabung kembali, Wi-lian telah melancarkan tendangan kao-tui (Tendangan Setinggi Kepala) ke arah dagu Cong Hun. Dengan siku tangannya Cong Hun masih mencoba untuk menghantam tempurung lutut Wi-lian, itulah suatu daya tangkisan yang khas dari Siau-lim-pai Cabang Utara.
Namun Wi-lian sudah memperhitung?kan kemungkinan itu. Kaki kanan yang menendang tinggi itu cepat ditarik dan diganti dengan tendangan rendah ke sambungan lutut lawannya. Perubahan gerak Wi-lian begitu cepat dan tak terduga, maka Cong Hun tidak sempat berbuat apa-apa lagi untuk menyelamatkan kakinya. Maka terdengarlah jeritan yang menyayat hati, Cong Hun roboh dengan persendian lutut yang te?lah patah.
Bukan main terkejut Cong Yo melihat saudaranya telah berhasil diro?bohkan. Secepat kilat ia membabatkan telapak tangannya ke leher Wi-lian dengan jurus Tay-hong-sau-hun (Badai Menyapu Mega). Tapi hanya dengan sedikit memiringkan kepalanya, Wi-lian berhasil lolos dari serangan hebat itu.
"Kaupun akan segera menerima bagianmu !" seru Wi-lian.
Sambil membentak Wi-lian melancarkan salah satu gerakan silat dari Pek-ho-kun kesayangannya. Jari-jari tangannya dirangkapkan membentuk seperti mata lembing dan langsung mencocor ke leher Cong Yo. Dengan jari-jari yang telah terlatih menusuk-nusuk pasir panas itu, jika tenggorokan Cong Yo dapat dikenainya maka tak pelak lagi pasti akan mampus.
Cong Yo berusaha menghindari serangan yang maha cepat itu, namun suratan nasibnya agaknya telah mentakdirkan bahwa ia harus mengakhiri hidupnya saat itu juga. Gerakan tangan Wi-lian terlalu cepat. Ketika mengenai leher Cong Yo ternyata tidak merobek kulit dan menembusnya, hanya meninggalkan sebuah cekungan berwarna matang biru. Namun karena tepat mengenai saluran napas Cong Yo, maka jagoan dari Shoa-tang itu pun mampus seketika.
"Ganti jiwa saudaraku!" Cong Hun yang telah patah lututnya itu meraung dengan kalap ketika melihat saudara kembarnya telah gugur. Secara nekad ia melompat memeluk kaki Wi-lian se?kuatnya dan menggigit betis gadis itu sehingga berdarah.
Melihat "jurus" semacam itu, teringatlah Wi-lian akan pertempuran hebat di Kay-hong antara Hong-ho-sam-hiong melawan Tan Han-ciang, dan Wi-lian merasa ngeri ketika mengingat bahwa muka Tan Han-ciang telah "berkurang" sebagian karena digigit oleh lawannya.
Kini Wi-lian mengalaminya sendiri, jika ia tidak dapat segera mengatasi keadaan, maka sebentar lagi segumpal daging betisnya pasti akan "dimakan" mentah-mentah oleh Cong Hun yang sedang kalap itu.
Terpaksa Wi-lian harus menguat?kan hati untuk bertindak agak kejam, apalagi kalau mengingat bahwa orang she Cong itu adalah seorang penjahat yang telah begitu banyak merugikan ma?syarakat. Dengan telapak tangannya Wi-lian sekuat tenaga menghantam jalan darah Pek-hwe-hiat di ubun-ubun Cong Hun yang merupakan jalan darah kematian. Cong Hun hanya menggelepar sekali dan setelah itu nyawanyapun terbang menyusul saudara kembarnya.
Kematian sepasang penjahat dari Shoa-tang itu telah menggoncangkan ha?ti orang-orang Hwe-liong-pang itu. Mereka sudah kenal bagaimana tangguhnya kedua saudara kembar bermuka burik itu, terutama dengan Pukulan pasir Besinya, tetapi sungguh sulit dipercaya bahwa hari ini mereka terbantai di tangan seorang gadis berumur duapuluh tahun!
Bukan orang-orang Hwe-liong-pang saja yang terkejut, namun Wi-hong pun tidak menduga kalau adiknya ternyata telah menjadi gadis selihai itu. Ta?dinya Wi-hong sendiri sudah merasakan betapa beratnya menghadapi sepasang saudara kembar itu.
Di antara orang-orang Hwe-liong pang itu An Siau-lun adalah yang pa?ling cerdik, tapi sekaligus juga pa?ling pengecut. Ia tahu pasti bahwa ke?seimbangan pertempuran itu kini sudah berbalik, sekarang pihak Hwe-liong-panglah yang terancam bahaya keka?lahan. Maka si pengecut itu merasa ti?dak ada gunanya bertempur lebih lan?jut, salah-salah malah bisa ikut tama?sya ke akherat seperti si kembar itu. Maka tanpa ragu-ragu lagi An Siau-lun mendadak melompat keluar dari gelang?gang pertempuran dan lari terbirit-bi?rit secepat angin. Sedikitpun tidak dihiraukannya rasa setia kawan dengan rekan-rekannya yang masih menghadapi musuh.
Song Kim dan Han Toan menjadi sangat marah melihat sikap pengecut rekan mereka itu. Merekapun sebenar?nya ingin lari juga bila keadaannya memungkinkan, tetapi sayang kesempa?tan untuk itu tidak ada sedikitpun ba?gi mereka. Wi-hong nampaknya sama se?kali tidak berniat untuk melepaskan atau mengampuni kedua lawannya ini, te?rutama kepada Song Kim yang telah sam?pai hati mengkhianati gurunya yang telah memeliharanya sejak kecil itu.
Namun orang-orang yang masih ber?ada di gelanggang pertempuran itu tib?a-tiba dikejutkan oleh suara jeritan ngeri di kejauhan. Suara jeritan An Siau-lun, lalu nampaklah An Siau-lun kembali ke tempat itu lagi namun ha?nya batok kepalanya saja, tanpa tu?buhnya.
Kepala An Siau-lun yang masih me?neteskan darah itu dijinjing dengan tangan oleh seorang lelaki bertubuh kurus bermuka panjang seperti kuda dan pucat seperti mayat. Rambutnya berwarna merah kekuning-kuningan dan ter?jurai panjang sampai ke pundak, jubah?nya juga berwarna merah darah. Tangan kirinya menjinjing batok kepala An Siau-lun, sedang tangan kanannya men?jinjing sebatang tongkat besi panjang yang ujungnya diukir dengan bentuk ke?pala ular.
Begitu melihat munculnya orang ini, Song Kim segera berseru dengan gembira, "Suhu !"
Sedangkan Han Toanpun cepat mem?beri salam kepada orang itu, "Selamat bertemu, Tang Su-cia (duta she Tang) !"
Pendatang baru ini ternyata ada?lah seorang tokoh dari Gunung Thay-san yang sudah lama namanya cukup terke?nal. Dialah Tang Kiau-po yang bergelar Ang-mo-coa-ong (Raja Ular Berambut Me?rah). Dia duduk pula dalam urutan se?puluh manusia sakti jaman itu, meski?pun hanya menduduki urutan paling bun?cit, yaitu nomor sepuluh. Namun tokoh persilatan yang manapun tidak berani memandang rendah kepada tokoh ini.
Baik Tong Wi-hong maupun Tong Wi-lian terkesiap menyaksikan munculnya tokoh hebat ini, apalagi karena tokoh ini agaknya sudah bergabung dengan Hwe liong-pang. Wi-hong dan Wi-lian sudah diberi keterangan oleh gurunya masing-masing tentang ciri-ciri dari sepuluh tokoh sakti di Tiong-goan, karena itu merekapun langsung tahu dengan siapa mereka sedang berhadapan, karena Ang mo-coa-ong memang punya ciri-ciri yang cukup menyolok.
Tang Kiau-po tertawa dingin dan angkuh menyambut ucapan hormat Song Kim dan Han Toan itu. Sinar matanya yang licik dan tajam seperti ular itu menyapu berkeliling. Dilihatnya mayat sepasang saudara Cong masih tergele?tak di situ, dan ketika pandangan ma?tanya menatap Wi-hong dan Wi-lian ma?ka nampaklah sinar berapi-api memancar dari sepasang mata si raja ular itu.
Sebagai seorang angkatan muda, Wi-hong mencoba bersikap sesuai de?ngan tata-krama dunia persilatan. Ia memberi hormat dan lebih dulu menyapa, "Selamat bertemu, Tang Lo-cian-pwe."
Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po ha?nya mendengus dingin, katanya, "Jika kulihat bentuk pedangmu itu, tak sa?lah lagi kau tentunya murid Soat-san pay. Kau tentu punya hubungan perguru?an dengan si congkak Yu Hau-seng yang mengira ilmu pedangnya sudah nomor sa?tu di dunia itu bukan?"
Hati Wi-hong mulai menjadi panas karena si rambut merah itu sangat me?mandang rendah kepada Ketua Soat-san pay yang sangat dihormati oleh Wi-hong itu. Namun Wi-hong masih berusaha me?nahan diri, sahutnya, "Kaum Soat-san pay tidak pernah merasa dirinya pa?ling unggul di dunia ini, namun kami hanya menuntut keadilan bagi Tiong-gi Piau-hang yang telah menjadi korban kesewenang-wenangan Hwe-liong-pang."
-o0^DwKz-Hendra^0o- SAHUT Ang-mo-coa-ong dingin, "Su?dah menjadi hukum dalam dunia persilatan bahwa siapa yang kuat dia?lah yang dapat hidup terus, siapa yang lemah dia pantas mampus. Pepatah yang sederhana ini masakan tidak kau pahami?"
Jawaban yang bernada mentang-men?tang dan seenaknya itu telah membuat da?rah Wi-hong dan Wi-lian bagaikan men?didih, apalagi Cian Ping yang ayahnya telah dibunuh oleh orang-orang Hwe-li?ong-pang.
Sebaliknya sikap Song Kimpun ki?ni ikut berubah menjadi congkak dan tersenyum-senyum penuh kemenangan. Song Kim yakin bahwa dengan ketinggi?an ilmu gurunya itu, bukan soal sulit untuk membinasakan Wi-hong dan Wi-lian sekaligus. Namun Song Kim merasa per?lu juga untuk berpesan kepada gurunya, "Suhu, yang dua orang itu boleh lang?sung Suhu bunuh saja. Tetapi Suhu ha?rap mengampuni puteri Cian Sin-wi itu untukku."
"Buat apa?" tanya Ang-mo-coa-ong.
Muka Song Kim menjadi merah dan tidak dapat langsung menjawab, dan hal itu cukup bagi Tang Kiau-po untuk mengetahui apa isi hati muridnya itu.
Lalu Tang Kiau-po melemparkan ba?tok kepala An Siau-lun seperti melem?parkan suatu barang yang sangat menji?jikkan. Katanya setelah meludah, "Orang ini adalah seorang pengecut bu?suk yang tidak mengenal setia kawan dan mementingkan dirinya sendiri, ti?dak pantas menjadi anggauta Hwe-liong-pang kita. Dia pantas mampus."
Umumnya para anggauta Hwe-liong-pang sudah tahu cara bagaimana Tang Kiau-po membunuh korban-korbannya. Le?bih dulu ia akan melumpuhkan orang itu, lalu didudukinya punggung si kor?ban sambil memutar kepala si korban secara paksa sampai lehernya putus. Maka dapat dibayangkan betapa ngeri?nya kematian yang dialami oleh An Siau lun itu, lehernya di "petik" mentah-mentah seperti orang memetik buah dari pohonnya saja.
Diam-diam Han Toan menjadi sakit hati melihat rekannya yang pernah ber?sama-sama menjadi bajak laut itu diperlakukan demikian keji oleh Tang Kiau-po. Tetapi Han Toan tidak berani berbuat apapun, bahkan untuk memper?lihatkan rasa tidak sukanyapun dia tidak berani. Ia sadar bahwa membantah kemauan Ang-mo-coa-ong sama saja de?ngan bermain-main dengan nyawanya sen?diri.
Dalam pada itu Tang Kiau-po te?lah berjalan selangkah demi selangkah mendekati Wi-hong, Wi-lian dan Cian Ping yang berdiri berjajar. Tang Kiau-po sengaja memperlambat langkahnya dengan maksud supaya ketiga calon kor?bannya itu lebih dulu tersiksa oleh ketakutan dan kengerian sebelum dibunuhnya. Namun tokoh Thay-san itu menjadi kecewa bukan main. Ketiga orang muda calon korbannya itu ternyata tidak menggigil ketakutan melainkan berdiri tegak penuh keberanian, siap menantang maut yang bagaimanapun ngerinya. Mereka adalah keturunan pendekar dan bukan keturunan pengecut. Wi-hong dan Wi-lian adalah putera-puteri Kiang se-tay-hiap Tong Tian dan Cian Ping adalah puteri tunggal Cian Sin-wi yang mewarisi sifat-sifat keras dari ayahnya. Keberanian yang ditunjukkan oleh ketiga orang muda itu telah membuat Tang Kiau-po jadi mendidih darahnya.
Dengan sekali hentakan, Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po telah menan?capkan tongkat besinya ke tanah, se?hingga amblas separuhnya lebih. Katanya sengit, "Karena kalian bertangan kosong, akupun tidak akan merendahkan derajatku dengan melawan kalian dengan tongkatku. Anggaplah suatu kehor?matan besar bagi kalian akan mati di tanganku. Nah, bersiap-siaplah."
Wi-hong dan adiknya tidak menya?hut sepatah katapun, tetapi kakak beradik itu sudah bersiap-siap untuk bertarung sampai titik darah yang penghabisan. Mereka sadar bahwa lawan mereka kali ini tidak bisa disamakan dengan An Siau-lun, Han Toan, Song Kim atau kedua saudara Cong yang te?lah almarhum itu, namun benar-benar merupakan seorang lawan yang mengerikan karena merupakan salah satu da?ri sepuluh tokoh sakti jaman itu.
Sedetik kemudian Ang-mo-coa-ong telah berkelebat menyerang, begitu ce?pat gerak tubuhnya sehingga yang nampak hanyalah bayangan merah seperti segumpal awan terhembus angin. Tangan kanannya mencengkeram ke ubun-ubur Wi-hong, sedang jari-jari tangan ki?rinya menusuk ke mata Wi-lian dengar jurus Ji-liong-jio-cu (Dua Naga Memperebutkan Mustika). Dua buah gerakan dilakukan dengan serempak dengan kecepatan yang hampir tak dapat diikut oleh mata, demikian hebatnya tokoh da?ri timur ini.
Putera-puteri Tong Tianpun ber?gerak serentak. Wi-hong menghindar ke sebelah kiri sambil merendahkan tu?buhnya, telapak tangannya balas meng?hantam ke rusuk Tang Kiau-po. Sedang?kan Wi-lianpun membalas menendang ke lambung lawan setelah lebih dulu menghindari serangan lawannya.
Ang-mo-coa-ong yang masih me?layang di udara itu tertawa terbahak-bahak, serunya, "Ha-ha-ha... Hui-soat-sin-ciang yang setengah matang dan Lo-han-kun yang buruk!"
Sebenarnya Ang-mo-coa-ong cukup dikejutkan oleh serangan balasan dari anak-anak muda itu, namun untuk menjaga pamornya maka ia sengaja mengejek keburukan ilmu kedua lawannya itu.
Di udara, sebelum kakinya menyen?tuh tanah, tiba-tiba Ang-mo-coa-ong memutar tubuhnya seperti gasingan. Dengan lengan jubahnya yang lebar itu dia mencoba untuk melibat pergelangan tangan Wi-hong, sementara tangan lain?nya, mencoba menghantam remuk persendian kaki Wi-lian yang tengah digunakan untuk menendang.
Wi-hong dan Wi-lian terkejut akan kelihaian si raja ular itu. Cepat mereka menarik balik serangan mereka dan berlompatan mundur.
"Hitung saja, kalian tidak akan mampu menahan seranganku sampai jurus yang ke limabelas!" ejek Tang Kiau-po dengan sombongnya.
Begitu mulutnya terkatup, kedua tangannyapun bergerak berbarengan. Seketika itu juga Wi-hong dan adiknya merasa pandangannya menjadi kabur, karena dihadapan mereka kini muncul "puluhan" telapak tangan yang berlapis lapis dan menggempur bertubi-tubi.
"Benar-benar lihai," desis Wi-li?an terkesiap.
Demikianlah si iblis rambut me?rah dari Thay-san itu kini dikerubut oleh putera-puteri Tong Tian yang ga?gah berani itu. Namun biarpun Wi-hong dan adiknya telah mengerahkan seluruh ilmu mereka, lawan mereka memang ter?golong angkatan tua yang tangguh sekali. Bahkan terasalah bahwa Ang-mo-coa-ong semakin menambah kekuatan pu?kulannya lapis demi lapis.
Ketika pertempuran meningkat se?makin dahsyat, lambat laun hidung Wi hong dan adiknya mulai mencium bau amis menyertai setiap desir angin pu?kulan Tang-kiau-po. Ketika mereka memperhatikan, terlihatlah di tengah-tengah telapak tangan Tang Kiau-po nampak ada bintik-bintik merah yang semakin lama semakin melebar ke selu?ruh telapak tangan, sehingga akhirnya seluruh telapak tangannya berwarna merah.
"Latihan Ang-se-tok-jiu (Pukulan Beracun pasir Merah) yang hampir men?capai tingkatan tertinggi," pikir Wi-lian dengan dada berguncang hebat.
Diam-diam Wi-lian agak menjadi penasaran juga. Dia pernah bertarung dengan Sebun Say yang katanya mendu?duki urutan ke delapan dari sepuluh tokoh sakti di jaman itu, yang berar?ti urutan Sebun Say di atas Tang Kiau-po, tetapi saat itu Wi-lian mampu mem?beri perlawanan gigih sampai berpuluh-puluh jurus. Meskipun akhirnya toh Wi-lian terdesak dan harus ditolong oleh Liu Tay-liong, namun peristiwa itu cukup membuat Wi-lian merasa bangga akan kemajuan ilmu silatnya. Te?tapi sekarang menghadapi Tang Kiau-po yang kedudukannya di bawah Sebun Say, dibantu pula oleh Wi-hong, kenapa kea?daannya justru tidak sebaik ketika menghadapi Sebun Say?
Kiranya ada dua penyebab yang menjadikan keadaan seperti itu.
Pertama, meskipun kedudukan Tang Kiau-po hanya sebagai "juru kunci" na?mun sebenarnya kepandaiannya saat itu justru telah meningkat melampaui Se?bun Say, terutama latihan Ang-se-tok-ciangnya telah mendekati tahap paling akhir. Urut-urutan kedudukan dalam se?puluh tokoh sakti itu dibuat orang ki?ra-kira limabelas tahun yang lalu, tentu saja sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman sekarang. Kemajuan yang dicapai oleh Ang-mo-coa-ong itu sekarang bukan saja berhasil melam?paui Sebun Say, tapi bahkan mungkin sudah melampaui pula Siau-lim-hong-ceng (rahib sinting dari Siau-lim) Hong-koan Hwesio yang angin-anginan dan kurang rajin berlatih itu. Agaknya Tang Kiau-po sangat sakit hati ketika orang menundukkannya pada kedudukan juru kunci, sehingga hal itu men?dorongnya untuk berlatih mati-matian di Gunung Thay-san.
Kedua, Wi-lian dan kakaknya se?dang ada dalam keadaan kelelahan kare?na mereka baru saja bertempur memeras tenaga menghadapi Song Kim dan kawan kawannya, masih ditambah lagi dengan kelelahan akibat ketegangan yang mere?ka alami selama dua hari dua malam di padang perdu selama melacak jejak orang-orang Hwe-liong-pang itu. Se?baliknya lawan mereka dalam keadaan segar bugar karena baru saja datang. Andaikata kedua kakak beradik she Tong itu sedang dalam keadaan sesegar lawannya, maka gabungan kekuatan mere?ka pasti akan sanggup menahan Tang Ki?au-po sampai beratus-ratus jurus, biarpun Tang Kiau-po mengerahkan selu?ruh kepandaiannya.
Sambil mendesak kedua lawannya, Ang-mo-coa-ong Tang kiau-po terus menghitung jurus demi jurus, "...duabelas... tigabelas..."
Tapi agaknya untuk mengalahkan kedua lawannya dalam waktu limabelas jurus agaknya merupakan hal mustahil bagi Tang Kiau-po, agaknya tokoh ini salah hitung dalam menilai kemampuan lawan-lawannya yang masih muda itu. Wi-hong dan adiknya memang telah terdesak, namun mereka masih bertempur begitu gigih dan nampaknya masih pu?nya cadangan kekuatan untuk bertarung puluhan jurus lagi.
Hal itu membuat Tang Kiau-po menjadi mata gelap. Jika ia sampai gagal membunuh kedua lawannya dalam waktu limabelas jurus, maka akan hilanglah mukanya di hadapan Song Kim dan Han Toan yang telah menjadi saksi akan omong besarnya tadi. Memasuki jurus ke empatbelas, mulailah si raja ular yang marah itu mengerahkan ilmu sehebat-hebatnya untuk menyelesaikan lawan-lawannya secepat-cepatnya.
Peningkatan ilmu Tang Kiau-po itu dapat dilihat jelas pada warna merah yang menjalar di tangannya. Kini yang berwarna merah bukan cuma telapak tangannya tapi juga seluruh lengannya sampai ke siku tangan, ilmu kebanggaan Ang-se-tok-jiu sudah dike?rahkan sampai ke puncaknya. Hawa uda?ra yang berbau racun semakin tebal menyelimuti tempat itu, membuat Wi-hong dan adiknya mulai merasa pusing dan mual, dan gerakan silat merekapun semakin lamban dan kacau.
Di saat kakak beradik itu dalam keadaan terancam bahaya, tiba-tiba Cian Ping memekik nyaring dan melompat maju ke tengah gelanggang pertempuran. Pedangnya ditikamkan sekuat tenaga kepada Ang-mo-coa-ong, pertahanan dirinya sudah tidak dihiraukan lagi, ia siap mengorbankan diri asal Wi-hong dan Wi-lian mendapatkan kesempatan untuk melarikan diri.
"Adik Ping!" dengan cemas Wi-hong berseru.
Tang Kiau-po melihat pula serangan nekad itu, lalu dikebaskannya tangan kirinya ke arah Cian Ping. Segulung tenaga tak berwujud yang maha kuat segera mendampar tubuh Cian ping, dan sebelum ujung pedang Cian Ping menyentuh kulitnya, maka si gadis lebih dulu telah terpental mundur dengan memuntahkan segumpal darah.
"Adik Ping!" teriak Wi-hong sekali lagi.
"Suhu! Jangan bunuh!" berbareng dengan itupun Song Kim berteriak kepada gurunya, karena kuatir gurunya yang mata gelap itu akan membunuh gadis yang dicintainya.
Agaknya Ang-mo-coa-ong sudah kuasai oleh nafsu membunuhnya yang berkobar-kobar. Bahkan ia tidak peduli lagi akan seruan Song Kim yang memintakan pengampunan bagi Cian Ping, yang ada dalam kepala Tang Kiau-po saat itu hanyalah membunuh dan membunuh.
"Kalian susullah adik Pingmu itu!" teriaknya sambil menghantam kedua telapak tangannya serempak ke arah Wi-hong dan Wi-lian. Lagi-lagi seg?ulung tenaga tak berwujud yang sangat kuat dan mengandung racun telah menyerang Wi-hong dan adiknya.
Wi-hong dan Wi-lian mengerti bahwa serangan maha dahsyat yang menggunakan seluruh kekuatan dari tokoh Hwe-liong-pang itu. Namun Wi-hong dan adiknyapun pantang menyerah sebelum melawan dengan seluruh kekuatannya. Tanpa berjanji mereka berduapun serempak menge?rahkan kekuatannya masing-masing untuk menyongsong serangan itu secara keras lawan keras. Wi-hong mengerahkan tenaga dalam aliran Soat-san-paynya yang bersifat lembut tetapi ulet luar biasa sedangkan Wi-lian telah mengerahkan tenaga dalam Siau-lim-pay yang bersifat keras dan tajam itu. Biarpun wi-lian cuma seorang gadis remaja, namun hasil keuletan latihannya selama ini telah menghasilkan suatu tingkatan tenaga dalam yang cukup tangguh.
Terjadilah benturan tenaga antara ketiga orang itu. Mau tidak mau Tang Kiau-po kaget juga ketika membentur kekuatan lawan-lawannya yang masih muda itu. Ia dapat merasakan bagaimana tenaga pukulannya telah terbentur oleh dua macam kekuatan yang berbeda sifat?nya tetapi sama tangguhnya.
Sedangkan bagi Wi-hong dan adik?nya, benturan itu telah membuat dada mereka merasa sesak dan mata berkunang-kunang. Untuk mematahkan daya gempuran lawan, mereka melompat mundur beberapa langkah.
Jika Tang Kiau-po berpegang kepa?da ucapan yang telah dikeluarkannya sendiri, maka tentu saat itu juga ia akan menghentikan pertempuran, sebab benturan yang baru saja terjadi itu dapat dianggap sebagai "jurus yang ke Limabelas". Tetapi dasar licik, Tang Kiau-po justru telah merubah pikirannya. Pikirannya telah digelapkan oleh nafsu membunuhnya, didorong pula rasa iri hatinya melihat bakat silat Wi-hong dan Wi-lian, sebab ketika usia Tang Kiau-po semuda itu ia belum punya tingkatan ilmu seperti mereka. Tekadnya bahwa Wi-hong dan Wi-lian harus di?bunuh, ibarat membunuh seekor anak ma?can sebelum tumbuh besar dan keluar taringnya.
Sambil menggeram murka, Ang-mo-coa-ong sekali lagi mengerahkan tenaga?nya untuk dihantamkan ke kedua orang lawannya. Wi-hong dan Wi-lian sekali lagi dipaksa untuk membenturkan tena?ga, sebab gerakan lawan terlalu cepat dan tidak memberikan kesempatan untuk menghindar. Adu kekerasan yang kedua kalinya itu berakibat cukup berat un?tuk putera-puteri Tong Tian itu. Kali ini mereka berdua terpental mundur dan ujung bibir mereka mulai meneteskan da?rah, sedang muka mereka pucat seputih kertas!
Tang Kiau-po tertawa terbahak bahak, menggemakan suara kemenangannya yang mirip ringkikan iblis itu, "Ha-ha ha-ha! Anak-anak muda yang gagah be?rani tetapi bernasib malang! Aku meng?akui bahwa kalian adalah tunas-tunas mu?da yang berbakat, tetapi justru karena berbakat itulah maka aku harus membina?sakan kalian sebelum kalian tumbuh menjadi semakin kuat! Kalian harus mampus di tanganku! Kalian harus mampus karena telah berani menentang kemauan dari utusan-utusan hwe-liong-pang yang maha jaya!"
Namun pada waktu Tang Kiau-po te?lah mengumpulkan kekuatan untuk melepaskan hantaman yang mematikan ke arah la?wan-lawannya yang telah bergeletakan tak berdaya itu, mendadak terdengar se?buah teriakan mengguntur yang memekakkan telinga, "Tang Su-cia! Tahan tanganmu !"
Seruan itu dilontarkan dengan su?ara yang mengandung pengaruh hebat, bahkan samar-samar terasa pula adanya sesuatu yang gaib terkandung dalam sua?ra bentakan itu. Tang Kiau-po yang ilmunya cukup tinggi itupun menghen?tikan gerakan tangannya yang siap menurunkan maut itu.
Begitu gema suaranya habis, orang yang berteriak itupun muncullah. Dia adalah seorang yang bertubuh ram?ping dan memakai pakaian mewah berwar?na ungu, begitu pula mantel bulunya berwarna ungu. Namun tidak seorangpun dapat melihat wajahnya, sebab wa?jah itu tertutup oleh sebuah topeng tengkorak yang menyeramkan.
Terkejutlah orang-orang Hwe-liong-pang, termasuk Tang Kiau-po, ketika melihat munculnya orang bertopeng itu, cepat-cepat mereka membungkuk, "Thian-liong Hiang-cu (Hulubalang Naga langit) !"
Orang bertopeng itu menyambut penghormatan itu hanya dengan sedikit menganggukkan kepalanya. Dari si?kapnya itu dapat disimpulkan bahwa orang bertopeng tengkorak yang dipang?gil Thian-liong Hiang-cu ini tentu punya kedudukan sangat tinggi dalam Hwe-liong-pang, bahkan lebih tinggi dari Tang Kiau-po, Sebun Say dan lain-lain?nya.
Sebaliknya Wi-hong dan Wi-lian mengeluh dalam hatinya masing-masing. Seorang Tang Kiau-po saja sudah be?gitu susah untuk diladeni, apalagi kini muncul Thian-liong Hiang-cu yang kepandaiannya sudah pasti lebih tinggi dari Tang Kiau-po. Agaknya hari ini kami bertiga sukar untuk lolos dari tempat ini, begitu pikiran Wi-hong.
Sesaat lamanya Thian-liong Hiang-cu mengedarkan pandangannya, pandangan matanya lalu berhenti kepada mayat si kembar she Cong serta batok kepala An Siau-lun yang tidak ada tubuhnya itu. Tanyanya dengan suara berat, "Siapa yang membunuh mereka?"
Tang Kiau-po menuding kepada Wi-lian dan menerangkan, "Bocah perempuan inilah yang telah membunuh dua sauda?ra Cong itu, agaknya ia mengandalkan tulang punggungnya sebagai murid Siau-lim-pay dan telah berani mencampuri urusan Pang kita. Sedang An Siau-lun ini hambalah yang telah membunuhnya sendiri karena berani menunjukkan si?kap pengecut dan mementingkan diri sendiri. Ia melarikan diri dari ge?langgang pertempuran dan meninggalkan kawan-kawannya begitu saja, meskipun kawan-kawannya tengah bertempur menya?bung nyawa."
Orang bertopeng tengkorak itu kini mengalihkan pandangannya kepada Wi-lian, dan gadis itupun membalas memandangnya tanpa menunjukkan rasa ta?kutnya. Begitu pandangan mata mereka bertemu, seketika itu terkesiaplah wi-lian. Gadis itu mendadak merasakan ada suatu kekuatan gaib terpancar dari sorot mata orang itu, perlahan meng?aliri perasaannya sehingga kehendaknya sendiri mulai kabur. Untunglah Wi-lian cepat menyadari hal itu, dengan kekuatan batinnya gadis itu mulai mengusir pengaruh gaib itu sambil mengalihkan pandangan matanya ke arah lain.
"Benarkah kau yang membunuh kedua saudara Cong itu?" tanya Thian-liong Hiang-cu kepada Wi-lian.
Wi-lian tidak berani lagi mena?tap mata Thian-liong Hiang-cu, namun sikapnya masih tetap berani ketika ia menjawab pertanyaan itu, "Ya, aku yang membunuh mereka. Sampah masyarakat yang gemar mengacau seperti me?reka ini perlahan-lahan memang harus dikurangi jumlahnya dari muka bumi ini, agar dunia menjadi aman."
Yang mengherankan, Thian-liong Hiang-cu ternyata tidak menunjukkan sikap marah atau sikap bermusuhan setelah mendengar jawaban itu. Bahkan ia tertawa lepas. Sambil mengacungkan jempolnya dia memuji wi-lian dengan yang bernada jujur tanpa dibuat-buat, "Kau gadis yang hebat. Selain berilmu silat tinggi, kau ternyata juga ber?nyali macan pula."
Tang Kiau-po, Song Kim dan Han Toan serempak mengerutkan alisnya ke?tika mendengar Thian-liong Hiang-cu justru telah memuji Wi-lian secara te?rang-terangan. Tetapi mereka tidak berani membuka mulut menyatakan tidak senangnya, sebab mereka tahu bahwa Thian-liong Hiang-cu adalah adik se?perguruan dari Ketua Hwe-liong-pang sendiri, dan merupakan tokoh nomor ti?ga kedudukannya dalam pucuk pimpinan Hwe-liong-pang. Dia bukan saja memi?liki ilmu silat yang tinggi, tapi menguasai pula bermacam-macam ilmu ga?ib dan ilmu racun yang sulit untuk dilawan dengan ilmu silat biasa.
Bagi wi-lian sendiri, sikap ber?sahabat yang ditunjukkan oleh Thian-liong Hiang-cu itu benar-benar diluar dugaannya. Sebenarnya Wi-lian sudah mengeraskan kepala dan bertekad untuk bertempur mati-matian, gugurpun asal jangan membikin malu nama harum Siau-lim-pay dan nama keluarga Tong. Tetapi sikap Thian-liong Hiang-cu jus?tru membuat Wi-lian kebingungan harus bersikap bagaimana. Tiba-tiba Wi-lian teringat pula kepada Kwa Heng dan Ji Tiat yang pernah berkelahi dengannya di Kay-hong. Merekapun orang-orang Hwe liong-pang, namun mereka bukan orang orang yang gemar membunuh dan ternya?ta mereka cukup punya sifat-sifat ksatria pula. Bahkan Ji Tiat nam?pak agak menahan diri ketika bertempur dengan Pang Lun, meskipun akhirnya Pang Lun tewas juga di ujung senjata Ji Tiat. Kwa Heng dan ji Tiat nampak berbeda dengan orang-orang hwe-liong-pang pada umumnya, yang mengang?gap pembantaian sebagai suatu "keper?luan" yang tidak bisa ditawar lagi. Kini Wi-lian menjumpai sikap Thian-li?ong Hiang-cu ini ternyata mirip dengan sikap Ji Tiat, sama sekali tidak se?suai dengan penampilan dengan topeng tengkoraknya yang begitu menyeramkan.
Kini Thian-liong Hiang-cu telah memutar tubuh menghadap ke arah Tang Kiau-po dan berkata dengan nada meng?andung teguran, "Tang Su-cia, ketiga orang rekanmu sudah berkumpul di Lam cang dan sudah siap untuk menjalankan perintah Pang-cu (Ketua), kenapa kau dan orang-orangmu justru masih berkeliaran di sini dan melakukan pekerja?an yang tidak ada perlunya?"
Cepat Tan Kiau-po membungkukkan badan dengan hormat, sahutnya dengan suara yang sangat sungkan, "Harap Thi?an-liong Hiang-cu memahami kesulitan hamba. Bukannya maksud hamba untuk mengabaikan perintah Pang-cu, namun kelambatan perjalanan hamba ini gara-gara karena selama dalam perjalanan hamba telah bertemu dan bertempur dengan kaum pendekar yang memusuhi Hwe-liong-pang. Antara lain kedua bo?cah she Tong ini, yang telah ikut cam?pur pula dalam urusan kami dengan pihak Tiong-gi Piau-hang."
Thian-liong Hiang-cu tertawa dingin mendengar alasan Tang Kiau-po yang nampak dibuat-buat itu. Katanya, "Kiranya beralasanlah dugaanku selama ini. Aku memang pernah mendengar desas desus di luaran bahwa banyak anggauta Pang yang telah berbuat sewenang-we?nang terhadap kaum lemah dengan meng?andalkan nama besar Pang kita, sehingga hal itu menimbulkan sikap bermusuh?an dari kaum pendekar pada umumnya. Tang Sucia, kau tidak perlu mengarang banyak alasan lagi. Sekarang juga kau dan orang-orangmu harus berangkat ke Lam-cang untuk menyusul Pang-cu dan rekan-rekan lainnya yang sudah berkum?pul di sana."
Tang Kiau-po nampak kebingungan menanggapi Thian-liong Hiang-cu itu. Di dalam hatinya dia sama sekali be?lum rela kalau harus melepaskan Wi-hong dan Wi-lian begitu saja. Ia men?coba membantah, "Tetapi, Hiang-cu, ba?gaimana dengan anak-anak muda yang ku?rang ajar ini? Apakah akan dibiarkan begitu saja? Mereka telah berani me?nentang Hwe-liong-pang dengan terang terangan, jika dibiarkan saja akan me?merosotkan kewibawaan Pang kita!"
Geram Thian-liong Hiang-cu, "Tang Su-cia, apakah kau artikan dengan ke?wibawaan itu? Apakah sesuatu yang ha?rus ditegakkan kekerasan dan membuat orang lain tunduk karena takut? Bukankah kaupun sudah mendengar perintah Pang-cu bahwa kita harus sebanyak mungkin dan sesedikit mungkin membuat permusuhan sehingga cita-cita besar Hwe-liong-pang kita tidak terhambat?"
Ang-mo-coa-ong yang garang itu di?am tak berkutik mendengar teguran Thi?an-liong Hiang-cu itu. Dan terdengar Thian-liong Hiang-cu berkata lagi, "Waktu sudah sangat mendesak, pertemu?an di Lam-cang akan segera dibuka, cepatlah menuju ke Lam-cang."
Apa boleh buat, Tang Kiau-po mu?lai bergerak untuk menuruti perintah itu. Namun baru ia berjalan beberapa langkah, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara lain yang bernada dingin, "Apapun yang dikerjakan oleh Tang Sucia dan orang-orang Jing-ki-tong adalah atas perintahku ! Siapa saja tidak berhak membatalkan perintahku, kecuali Pang-cu sendiri!"
Lalu orang yang bersuara itupun muncul. Ternyata penampilannya mirip dengan Thian-liong Hiang-cu, yaitu berjubah dan bertopeng yang berbentuk sama. Bedanya hanyalah bahwa si topeng tengkorak yang muncul belakangan ini bertubuh agak lebih jangkung, dan jubah serta mantelnya berwarna merah tua.
Kembali Tang Kiau-po, Song Kim dan Han Toan membungkuk hormat sambil menyapa, "Salam hormat kami kepada Te-liong Hiang-cu (Hulubalang Naga Bumi)."
Sedangkan Thian-liong Hiang-cu tidak memberi hormat tetapi hanya menyapa dengan sikap tawar, "Ji-su-heng (kakak seperguruan kedua) !"
Sementara itu Wi-hong, Wi-lian dan Cian Ping yang mengikuti semua perkembangan itu menjadi terkejut menyaksikan telah munculnya satu lagi tokoh puncak dari Hwe-liong-pang. Bahkan si jubah merah tua yang dipanggil Te-liong Hiang-cu ini agaknya merupakan kakak seperguruan dari Thian-liong Hiang-cu.
Pikir Wi-lian, "Jika aku bercerita kepada Suhu atau paman Liu (maksudnya Liu Tay-liong) bahwa hari ini sekaligus aku telah bertemu dengan Te-liong dan Thian-liong Hiangcu dari Hwe-liong-pang, barangkali beliau itu tidak akan percaya lagi jika kukatakan bahwa sebenarnya di antara tokoh tokoh puncak Hwe-liong-pang sendiri nampaknya ada keretakan."
Dalam hatinya, Wi-lian sudah lebih condong berpihak kepada Thian-liong Hiang-cu yang nampaknya cukup bijaksana itu. Sedangkan si jubah merah Te-liong Hiang-cu itu nampaknya adalah seorang yang keras dan sikapnya agak sewenang-wenang, suka main perintah ini perintah itu, dapat disim?pulkan dari sikapnya yang congkak itu.
Terdengar Te-liong Hiang-cu tertawa dingin, katanya, "Sam-sute (adik seperguruan ketiga), kau adalah orang kepercayaan pang-cu kita, kenapa kau justru bersikap melunturkan kewibawaan Hwe-liong-pang dengan jalan mempermalukan anak buah kita sendiri di hadapan orang luar? Hemm, aku jadi tidak mengerti melihat sikapmu ini."
Bantah Thian-liong Hiang-cu, "Aku justru hendak meluruskan kembali garis perjuangan yang telah diamanatkan oleh Toa-suheng, yang telah diselewengkan oleh manusia-manusia semacam Tang Su-cia ini. Toa-su-heng tidak pernah memerintahkan kita untuk menaklukkan orang lain dengan sewenang-wenang dan hanya mengandalkan kekuatan belaka. Cita-cita besar Toa-suheng justru dapat terlaksana dengan dukungan segenap ksatria di Tiongkok ini, menjadikan mereka sebagai kawan seperjuangan dan bukan justru membuat mereka marah dan memusuhi kita. Namun la?poran yang kuterima dari orang-orang suruhanku justru membuat aku merasa prihatin, kudengar orang-orang kita banyak yang bertindak kejam tak kenal perikemanusiaan."
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 18 "Kudengar bagaimana Hek-ki-tong (Kelompok Panji Hitam) kita secara kejam telah menumpas pergu?ruan Sin-hou-bun (Perguruan Harimau Sakti), sehingga kaum persilatan di wilayah Kwi-tang menjadi gempar dan bersikap antipati kepada kita. Lalu kudengar pula Ang-ki-tong dengan cara melibatkan Ui-ki-tong telah menumpas Hong-ho-sam-hiong dan beberapa ka?wannya, dengan cara yang sangat menim?bulkan kebencian umum. Kudengar pula pai-ki-tong bertindak sewenang-wenang di wilayah Ho-pak sehingga menim?bulkan bentrokan dengan murid-murid Bu-tong-pay. Dan yang terakhir kudengar adalah Jing-ki-tong telah menyatroni dan membunuh Cian Sin-wi di Tay-beng. Jelaslah dengan tindakan anak buah ki?ta yang tak terkendali ini maka kita tidak akan mendapat kawan, malahan akan mendapatkan banyak musuh, dan cita-cita besar Toa-suheng bisa ter?wujud? Kita sama saja dengan melawan ksatria seluruh dunia secara membabi buta, dan akhirnya kita sendirilah yang akan hancur!"
Bentak Te-liong Hiang-cu dengan marah?nya, "Dalam beberapa peristiwa yang kau sebutkan itu, memang aku sendiri?lah yang telah memerintahkan beberapa Tong-cu (kepala kelompok) untuk mela?kukannya, bahkan beberapa Su-cia juga kusuruh untuk bertindak keras terha?dap golongan-golongan musuh kita. Ke?wibawaan dan keangkeran Hwe-liong-pang harus ditegakkan dengan darah! Hanya orang-orang banci saja yang ketakutan melihat mengalirnya darah!"
Agaknya Thian-liong Hiang-cu juga mulai marah karena dibentak-bentak se?perti itu, maka ketika ia berkata la?gi suaranya terdengar bergetar hebat menahan kemarahan, "Tetapi yang kita peroleh bukanlah kewibawaan, melain?kan kebencian dan permusuhan di mana mana !"
Sesaat lamanya suasana menjadi tegang. Te-liong Hiang-cu dan Thian-liong Hiang-cu telah berhadapan dengan menyimpan kemarahannya masing-masing, kelihatannya baku hantam antara tokoh-tokoh puncak Hwe-liong-pang itu tidak akan terhindar lagi. Tang Kiau-po, Han Toan dan Song Kim tentu saja tidak berani mencampuri pertengkaran itu, namun di dalam hati mereka tentu saja lebih condong kepada Te-liong Hiang-cu. Sebaliknya Wi-hong, Wi-lian dan Cian Ping tentu saja mengharap ke?menangan untuk Thian-liong Hiang-cu.
Tetapi ketegangan yang semakin memuncak antara dua orang Hiang-cu Hwe-liong-pang itu ternyata tidak sampai meledak menjadi suatu perkelahian. Meskipun perasaan marah sudah mengua?sai diri kedua orang bertopeng itu, namun mereka masih dapat menahan diri untuk tidak berkelahi dengan ditonton oleh bawahan mereka, apalagi disaksi pula oleh orang luar yang bukan ang?gauta. Hal itu tentu merugikan nama Hwe-liong-pang sendiri.
Thian-liong Hiang-cu kemudian me?narik napas panjang untuk melegakan dadanya yang terasa pepat. Katanya dengan suara selunak mungkin, "Sudahlah, Ji-su-heng, pertengkaran di antara kita sendiri hanyalah akan menjadi ba?han tertawaan orang luar saja. Apa yang kukatakan tadi hendaklah Ji-suheng sudi menjadikannya bahan pertim?bangan. Kita masih sempat memperbaiki nama baik Hwe-liong-pang, meskipun sa?at ini nama Hwe-liong-pang sudah ter?lanjur dimusuhi oleh sebagian besar para ksatria dunia persilatan."
Namun agaknya kakak seperguruan?nya justru masih berkeras kepala, sahutnya dengan ketus, "Persetan de?ngan orang-orang munafik yang menama?kan dirinya kaum ksatria itu! Suatu saat nanti, seluruh dunia persilatan harus berlutut kepada kita dan meng?akui kekuasaan kita !"
Thian-liong Hiang-cu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sikap putus asa. Agaknya dia kehabisan akal juga untuk memberi pengertian kepada Ji-suhengnya itu. Katanya, "Toa-suheng sendiripun kukira tidak punya cita-cita demikian."
Te-liong Hiang-cu mendengus di?ngin, katanya, "Itu tafsiranmu sen?diri, Sam-su-te. Sekarang kau jangan menghalangi Tang Su-cia untuk melaksanakan tugasnya membereskan kedua tikus Soat-san-pay dan Siau-lim-pay yang telah berani menentang kita itu."
Kata-kata terakhir itu nyaris me?rupakan suatu putusan hukuman mati bu?at Wi-hong dan Wi-lian. Tetapi mereka tidak merengek-rengek minta ampun, apalagi mencoba memperpanjang umur dengan memohon perlindungan dari Thian liong Hiang-cu, sebab betapapun juga Wi-hong dan Wi-lian masih punya harga diri sebagai putera-puteri Kiang-se-tay-hiap dan murid-murid dari mahaguru-mahaguru terkenal jaman itu. Dari?pada memohon ampun, mereka lebih ber?tekad untuk bertempur mati-matian, apapun yang terjadi.


Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sedangkan Tang Kiau-po menunjukkan sikap gembira ketika mendengar ucapan Te-liong Hiang-cu itu. Cepat dicabutnya tongkat besinya yang tadi ditancapkannya di tanah itu, sambil menyahut, "Hamba menyambut perintah Hiang-cu dengan senang hati."
Lalu ia menyeringai buas kepada Wi-hong dan Wi-lian, sambil melangkah maju setapak demi setapak dengan naf?su membunuh yang terpancar pada sepa?sang matanya. Geramnya, "Kali ini bu?kan pertandingan lagi, sebab aku te?lah menerima perintah untuk membina?sakan kalian. Tentu saja kalian akan diperbolehkan melawan. Nah, bersiaplah."
Tetapi pada saat Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po sudah siap bertindak un?tuk memuaskan nafsu haus darahnya, kembali terdengar Thian-liong Hi?ang-cu berseru mencegah, "Tahan!"
Te-liong Hiang-cu menggeram ma?rah, "Sam-su-te, jika sekali ini kau berani menghalangi kemauanku lagi, maka akan kuanggap kau langsung menan?tang diriku!"
Gertakan itu ternyata tidak be?gitu mempan kepada diri Thian-liong Hiang-cu. Kata Thian-liong Hiang-cu sambil tertawa, "Jangan cepat-cepat naik darah dulu, Ji-su-heng. Tindakanku mencegah hal ini justru untuk menjaga agar di kemudian hari Ji-suheng tidak mengalami kesulitan, sebab Ji-suheng harus tahu lebih dulu sia?pakah kedua calon korbanmu itu?"
"Aku tahu mereka murid Soat-san pay dan Siau-lim-pay. Kepada mereka aku tidak takut seujung rambutpun."
"Bukan itu yang kumaksud, Ji-suheng, tetapi kesulitan yang bakal me?repotkan Ji-suheng itu adalah ke?sulitan yang datangnya dari Toa-suheng sendiri. Nah, beranikah Ji-suheng melawan Toa-suheng?"
Te-liong Hiang-cu nampak terke?jut. "Apa maksudmu?" serunya.
Sahut Thian-liong Hiang-cu, "Ke?dua orang ini bernama marga Tong, itu artinya sama dengan nama marga dari Toa-suheng."
Mendengar jawaban adik seperguru?annya itu, terbahak-bahaklah Te-liong Hiang-cu, "Ha-ha-ha, Sam-su-te, hanya dengan alasan selemah itu kau mencoba menyelamatkan kedua tikus kecil ini? Apa hubungannya orang yang bernama marga sama? Di dunia ini terdapat ribuan orang yang satu sama lain punya nama marga yang sama, hal itu sudah lumrah."
Tetapi Thian-liong Hiang-cu me?lanjutkan kata-katanya dengan tenang, "Ucapanku belum selesai, Ji-su-heng. Kedua anak she Tong ini bukan saja bernama marga sama dengan Toa-su-heng bahkan kota kelahiran merekapun sama dengan Toa-su-heng, yaitu An-yang-shia."
Kali ini Te-liong Hiang-cu tidak berani memandang enteng lagi. Biarpun perubahan air mukanya tidak terlihat karena tertutup oleh topeng tengkoraknya, namun jelas sekali bahwa ia merasa kaget. Bentaknya dengan penasa?ran, "Sam-su-te, kau jangan mengarang cerita yang bukan-bukan untuk menakut-nakuti aku, Toa-suheng adalah seorang yang sebatangkara, kukira kedua tikus ini tidak ada hubungan apapun dengan?nya."
Meskipun suaranya dibuat semantap dan segarang mungkin, tetapi jelas Te-liong Hiang-cu ini mulai dirambati perasaan bimbang, antara percaya dan tidak percaya akan ucapan adik seper?guruannya itu.
Kelemahan ini agaknya cukup dike?tahui oleh Thian-liong Hiang-cu yang lalu mendesaknya lagi, "Aku tidak me?nakut-nakutimu, Ji-suheng. Tetapi aku sudah menyelidiki dan yakin bahwa kedua orang she Tong ini ada hubungan erat dengan Toa-suheng. Lebih baik sedia payung sebelum hujan, jangan sampai Ji-suheng salah tindakan dan kelak akan membahayakan nama Ji-suheng sendiri."
Orang yang bersembunyi di balik topeng Te-liong Hiang-cu itu meskipun bersikap garang, namun sebenarnya mem?punyai hati yang lemah. Gertakan halus dari Thian-liong Hiang-cu itu benar benar termakan ke dalam hatinya. Mes?kipun kepandaiannya cukup tinggi, te?tapi ia tidak akan berani untuk cari perkara terhadap Toa-suhengnya yang berkepandaian lebih tinggi.
Akhirnya Te-liong Hiang-cu memu?tuskan untuk tidak menyerempet bahaya. Katanya, "Baiklah, Sam-su-te, mengingat kau begitu membela kedua tikus kecil itu, biarlah kali ini aku meng?ampuninya. Tetapi jika lain kali mere?ka berani menentang Hwe-liong-pang la?gi, sudah tentu aku tidak akan ber?sikap selunak ini. Camkanlah ini baik-baik."
Thian-liong Hiang-cu berkata sambil tertawa, "Putusan Ji-suheng kali ini cukup bijaksana. Baiklah, urusan di sini sudah selesai. Marilah kita segera menuju ke Lam-cang untuk berkumpul dengan Toa-suheng dan Si-su-te (adik seperguruan ke empat) yang tentu sudah lama menunggu kita."
Sedangkan kepada Wi-hong dan Wi-lian, Thian-liong Hiang-cu memesan, "Hati-hatilah, janganlah bertindak sembarangan. Ada banyak orang yang mengharapkan agar kalian selalu berada dalam keadaan selamat."
Ucapan Thian-liong Hiang-cu itu seakan mengandung maksud tertentu, membuat Wi-hong dan Wi-lian merasa heran. Hampir bersamaan kakak beradik itu bertanya, "Apa maksudmu?"
Namun Thian-liong Hiang-cu tidak menyahut dan berkelebat pergi, dalam beberapa kali lompatan saja ia telah tidak terlihat bayangannya lagi. Se?mentara orang-orang Hwe-liong-pang yang lainpun telah berjalan semakin menjauhi tempat itu. Tang Kiau-po dan Song Kim beberapa kali masih menoleh ke arah mereka dengan perasaan penasa?ran. Sebaliknya Cian Ping juga memandangi kepergian Song Kim dengan dendam membara di hatinya, tetapi puteri Cian Sin-wi itu menyadari bahwa saat itu memang belum tepat saatnya untuk membalaskan dendam ayahnya.
Tubuh Cian Ping sudah agak kuat setelah tadi ia terkena sambaran pu?kulan Ang-mo-coa-ong. Wajahnya masih nampak agak pucat, namun untung ia ti?dak sampai keracunan oleh Ang-se-tok-jiu yang hebat itu, karena tadi Cian Ping hanya tersambar oleh ujung lengan jubah Tang Kiau-po saja, bukan langsung kena tangannya.
Saat itu sudah tengah hari lewat, matahari sudah bergeser meninggalkan puncak langit dan setapak demi seta?pak turun ke sebelah barat. Ketiga orang muda itu kini merasakan betapa lelah dan laparnya tubuh mereka yang telah mengalami pertempuran beruntun sejak kemarin malam. Bekal yang dibawa oleh Wi-hong tak bersisa sedikit-pun, karena jatuh berceceran ketika mengejar orang-orang Hwe-liong-pang.
"Kutu buku, biarlah aku akan mengobati taci ini, karena mungkin ma?sih ada sisa racun di tubuhnya," kata Wi-lian kepada kakaknya. "Dan kau cobalah cari makanan apa saja di sekitar tempat ini untuk mengisi perut kita."
Wi-hong yang telah merasa lega karena perginya musuh, kini bisa ter?tawa dan bergurau, "Huh, baru kali ini ada seorang adik yang menyuruh ka?kaknya dan cara menyuruhpun begitu ku?rang ajar." Dan meskipun dengan pura pura menggerutu, toh ia beranjak juga dari tempat itu untuk melaksanakan permintaan adiknya.
Sementara itu Wi-lian mencoba mengurut beberapa jalan darah di ba?dan Cian Ping untuk melancarkan beberapa jalan darah bekas totokan yang belum lancar sepenuhnya. Lalu diberikannya pula sebutir obat pulung Siau-hoan-tan buatan kuil Siau-lim yang terkenal kemanjurannya untuk menguatkan badan itu. Muka Cian Ping yang tadinya pucat itu kini berangsur-angsur menjadi bercahaya merah.
"Terima kasih," kata Cian Ping kepada Wi-lian dengan tulus.
Sebetulnya tadi Cian Ping sudah merasa agak cemburu ketika melihat munculnya Wi-hong itu dengan didampingi seorang gadis ayu. Namun sete?lah mendengar percakapan akrab antara Wi-hong dan Wi-lian mengertilah Cian Ping bahwa gadis yang dicemburui itu ternyata adalah adik iparnya sendiri. Diam-diam ia menjadi malu sendiri ka?rena punya perasaan cemburu tadi.
Kini, sementara Wi-lian mengobatinya, Cian Ping memperhatikan wi-lian dengan saksama. Dilihatnya seraut wajah ayu yang agak mirip dengan Wi-hong dan meskipun wajah itu cukup ayu na?mun kulitnya tidak seputih gadis-gadis pingitan yang tidak pernah terkena sinar matahari. Sedang sinar matanya maupun bentuk bibirnya menandakan bahwa adik Wi-hong ini adalah seorang gadis yang berhati keras dan penuh keberanian, bahkan nampaknya lebih keras dari Wi-hong yang laki-laki. Diam-diam Cian Ping menjadi kagum bukan main kalau mengingat bahwa gadis dengan muka seayu itu ternyata sanggup juga bertempur bagaikan harimau kelaparan dalam menghadapi musuh-musuhnya.
Wi-lian yang merasa dirinya sedang diamat-amati itu segera mengangkat mukanya, tanyanya sambil tertawa, "Sudah selesai kau lihat diriku atau belum?"
Melihat sikap akrab dan santai dari Wi-lian itu, untuk sejenak Cian Ping melupakan urusan-urusan yang me?nyedihkan hatinya. Sahutnya sambil tertawa pula, "Sayang aku bukan seorang laki-laki, andaikata aku seorang laki-laki maka matipun rela untuk memperebutkan dirimu."
"Kaupun cantik sekali. Pantas kakakku begitu kelabakan ketika kau dibawa oleh orang orang Hwe-liong-pang itu."
Wajah Cian Ping menjadi semburat merah oleh pujian Wi-lian itu, sahutnya, "A-hong sering bercerita kepada?ku, katanya ia mempunyai seorang adik yang jahil dan suka menggoda orang lain. Ternyata cerita A-hong itu tidak berdusta."
Begitulah, dalam waktu singkat saja kedua orang gadis yang baru saja mengalami suka duka bersama itu telah menjadi sangat akrab, seolah telah sa?ling mengenal beberapa tahun sebe?lumnya. Tanya Cian Ping kemudian, "Adik Lian, menurut cerita A-hong kau telah terpisah dari dia ketika sedang bertempur menghadapi sekelompok pem?bunuh bayaran. Bahkan menurut A-hong kemungkinannya kecil sekali untuk ber?temu lagi denganmu, sekarang entah bagaimana kau masih selamat dan bahkan dapat berkumpul lagi dengan kakakmu?"
"Thian Yang Maha Adil telah menyelamatkan umat-Nya yang tidak berdosa," sahut Wi-lian. "Dari keadaan terancam musibah, aku malahan berbalik mendapatkan keuntungan besar, sebab aku kemudian ditolong oleh rahib Hong-tay dari Siau-lim-pay dan diangkat menjadi muridnya. Dapatnya aku ber?temu dengan Wi-hong kembali adalah ka?rena beberapa hari yang lalu aku da?tang ke Tay-beng, tujuannya untuk me?nyampaikan surat Suhuku kepada Cian Lo-piau-thau. Sayang sekali aku terlambat datang sehingga Cian Lo-piau-thau telah menemui bencana di tangan orang-orang Hwe-liong-pang itu. Aku mengejar orang-orang Hwe-liong-pang ke arah sini, dan di padang perdu ini pula aku menemui wi-hong sedang kebingungan mencari jejak para penculikmu itu. Maka kamipun bergabung."
Mengingat akan peristiwa-peristi?wa menyedihkan yang dialaminya dalam beberapa hari belakangan ini, wajah Cian Ping menjadi sangat murung. Na?mun dia berusaha keras untuk tidak me?neteskan air matanya, ia menyadari me?mang demikianlah jalannya roda kehi?dupan, baru saja naik ke atas dan da?lam sekejap kemudian telah terjungkir balik ke bawah. Baru beberapa hari Ci?an Ping menikmati kebahagiaan karena kembalinya Tong Wi-hong ke kota Tay-beng, lalu malapetakapun datang meng?gantikan kebahagiaan itu, berupa mun?culnya orang-orang Hwe-liong-pang.
Melihat Cian Ping bersedih, Wi-lian mencoba menghiburnya, "Aku ikut sedih dan menyesali atas gugurnya ayahmu, kakak Ping. Akupun pernah mengalami kesedihan serupa itu pada kira-kira dua tahun yang lalu. Dari se?buah keluarga yang hangat dan penuh kegembiraan, tiba-tiba saja aku dan kakakku terbanting ke suatu kancah ge?lombang keganasan dunia persilatan yang tak kenal ampun ini. Namun dengan keteguhan jiwa kita, kita pasti akan sanggup mengatasi semua gelom?bang ini."
Merasa mendapat teman senasib, Cian Ping menggenggam tangan Wi-lian dengan perasaan terharu, tapi sekali?gus juga merasa mendapat aliran keku?atan batin untuk menghadapi musibah itu. Kata Cian Ping kemudian, "Adik Lian, jika kelak kau dan kakakmu per?gi ke An-yang-shia untuk menuntut-balas kepada orang yang bernama Cia To bun itu, aku akan ikut bersama kalian. Aku sudah mendengar cerita tentang ja?hatnya orang itu, dan aku ingin meng?hadiahkan beberapa bacokan ke tubuh?nya untuk membalaskan sakit hati orangtuamu."
Di luar dugaan Cian Ping, tiba-tiba nampak Wi-lian menggeleng-ge?lengkan kepalanya dan berkata dengan tenangnya, "Aku memang ingin balik ke An-yang-shia. Tetapi hanya karena rin?du kampung halaman dan ingin mencari makam ayahku, sama sekali bukan untuk membalas dendam."
"A... apa katamu?" Cian Ping sangat tercengang mendengar jawaban itu, seakan-akan ia tidak percaya la?gi kepada pendengarannya.
Sahut Wi-lian dengan tetap te?nang seperti tadi, "Dulu aku begitu membenci Cia To-bun, tetapi sekarang ini setitikpun aku tidak mendendam atau membencinya. Dendam dan kebencian, hanya akan merampas ketenangan ba?tinku sendiri, sedikitpun tidak menguntungkan."
Berkerutlah alis Cian Ping mendengar jawaban itu, "Kau sama sekali tidak mendendam kepada orang yang te?lah menghancurkan kebahagiaan keluar?gamu itu? Kau sama sekali tidak ingat akan sakit hati orang tuamu? Jika kau tidak membenci musuhmu, kenapa kau juga membunuh orang-orang Hwe-liong-pang ini?"
"Jika aku membenci orang Hwe-li?ong-pang, terkutuklah aku. Aku membu?nuh mereka bukan karena membenci melainkan karena sangat terpaksa, demi ke?tenteraman hidup masyarakat. Orang-o?rang Hwe-liong-pang itu bagaikan se?rigala-serigala buas yang berkeliaran di tengah-tengah domba-domba yang le?mah, untuk melindungi domba-domba itu tentu saja kita tidak dapat bersikat lemah lembut kepada serigala-serigala itu, karena mereka justru akan menggigit kita. Kita harus memberantasnya.
Sikapku terhadap Cia To-bun juga sa?ma. Jika dia masih saja merupakan se?rigala bagi sesamanya yang lemah, aku akan memperingatkannya dan jika tidak berhasil akan kuberantas. Tetapi jika dia telah menjadi seorang yang ber?guna bagi sesamanya, aku tidak akan membuka-buka urusan masa lalu lagi. Biarlah dia tetap hidup dan biarlah masyarakat di sekitarnya menikmati manfaat dari hidupnya itu. Jika aku membunuhnya justru aku telah merugikan masyarakat."
Cian Ping adalah putera Cian Sin-wi, tokoh yang terkenal karena sikap?nya dalam menghadapi kaum liok-lim (rimba hijau). Biasanya ia hanya mendengar falsafah "hutang darah bayar darah" kekerasan dibayar dengan kekerasan pula. Namun kini mendengar falsafah "baru" yang diucapkan oleh Wi-li?an itu terketuklah hatinya. Namun alangkah sulitnya jika ia harus melu?pakan begitu saja akan kematian ayahnya yang begitu menyedihkan itu.
Dalam pada itu Tong Wi-hong te?lah muncul kembali dengan menjinjing telinga dua ekor kelinci yang berha?sil ditangkapnya dengan jalan dilempar dengan batu itu. Wi-lian segera me?nyambut kelinci-kelinci itu dan berka?ta, "Ha, binatang-binatang yang cukup gemuk. Biarlah kumatangkan kedua bina?tang ini, tetapi A-hong akan mendapat pekerjaan baru. Tolong kau kuburkan mayat-mayat itu, rasanya napsu makan?ku menjadi hilang jika harus makan sambil ditunggui mayat-mayat itu."
Begitulah, sementara si adik menguliti kelinci dan membuat api, ma?ka Wi-hong sebisa-bisanya mengubur ma?yat kedua saudara Cong dari Shoa-tang itu, juga batok kepala An Siau-lun yang tanpa tubuh itu. Diam-diam ngeri juga Wi-hong kalau membayangkan beta?pa kejamnya orang yang bernama Ang-mo-coa-ong itu. Kalau terhadap orang segolongannya sendiri saja ia sanggup bertindak sekejam itu, bagaimana ka?lau terhadap lawan-lawannya? Orang sekejam itu masih berkeliaran dengan be?bas di dunia persilatan, hal itu benar benar bukan sesuatu yang patut digem?birakan.
Ketiga orang muda itu terpaksa harus satu malam lagi menginap di tengah padang perdu itu, sebab mataha?ri telah keburu turun di ufuk barat. Untunglah masih ada sisa-sisa kayu ba?kar yang ditinggalkan oleh orang-orang Hwe-liong-pang itu, sehingga me?reka bertiga dapat membuat api unggun untuk mengusir hawa dingin dan mena?kut-nakuti kawanan anjing liar.
-o0^DwKz-Hendra^0o- ORANG-ORANG Tiong-gi Piau-hang menyambut kedatangan Wi-hong bertiga dengan perasaan syukur bercam?pur haru. Bersyukur karena Cian Ping ternyata berhasil direbut kembali dengan tak kurang suatu apa, setelah hampir lima hari lima malam berada dalam tangan orang-orang Hwe-liong-pang. Terharu karena mengingat nasib gadis itu yang baru saja ditinggal mati ayahnya.
Dengan tergopoh-gopoh Can Lo-toa, piau-su tua kepercayaan Cian Sin-wi itu, menyambut datangnya Cian Ping. Seperti seorang ayah yang menemukan kembali anaknya, ia memeluk Cian Ping dengan menangis terisak-isak.
Ketiga orang yang baru datang dari padang perdu itu kemudian dibawa masuk ke ruangan tengah, dimana peti jenazah Cian Sin-wi masih terbujur disitu, sebab penguburannya menunggu kembalinya Cian Ping atau Wi-hong, Cian Ping menguatkan hati melihat peti jenazah ayahnya itu, namun ketika ia berlutut untuk memberi hormat, tak tertahan lagi Cian Ping jatuh pingsan karena sedihnya. Ia segera digotong masuk oleh beberapa orang pelayan wanita. Tong Wi-lian pun membantu usaha menyadarkan Cian Ping dengan mengurut-urut tubuhnya.
Demikianlah suasana kesedihan dan perkabungan terasa meliputi gedung Tiong-gi Piau-hang yang megah itu. Tetapi di tengah-tengah perka?bungan itu orang-orang masih bisa bersyukur untuk nasib baik Cian Ping.
Malam itu tokoh-tokoh Tiong-gi Piau-hang mengadakan perundingan di loteng ruangan belakang yang tertutup. Meskipun perundingan itu khusus buat para pengurus Tiong-gi Piau-hang, namun Wi-hong dan Wi-lian diundang hadir pula dalam pembicaraan itu, karena dianggap telah berjasa besar bagi Tiong-gi Piau-hang dari berbagai kota. Sedangkan Cian Ping sebagai ahli waris satu-satunya dari mendiang Cian Sin-wi, justru tidak hadir karena kesehatannya yang belum memungkinkan untuk ikut berpikir keras.
Pembicaraan berlangsung sampai tengah malam lewat, dan akhirnya meng?hasilkan dua keputusan. Keputusan pert?ama, jenazah Cian Sin-wi akan dima?kamkan lusa hari, mengingat bahwa semua keluarga dekat maupun jauh sudah berkumpul di Tay-beng, begitu pula semua pemimpin cabang-cabang Tiong-gi Piau-hang. Keputusan kedua, mengingat bahwa Tiong-gi Piau-hang bukan suatu aliran persilatan melainkan lebih ber?sifat perusahaan dagang, maka yang akan ditetapkan sebagai pengganti Cian Sin-wi haruslah "orang dalam" yang erat hubungannya dengan almarhum. De?ngan persetujuan umum, akhirnya dite?tapkan bahwa Tong Wi-hong sebagai ca?lon menantu Cian Sin-wi akan diserahi pengelolaan Tiong-gi Piau-hang lebih lanjut. Tong Wi-hong dengan rendah ha?ti menerima pengangkatan itu, namun ia mengajukan dua syarat. Pertama ia minta didampingi oleh beberapa tokoh tua Tiong-gi Piau-hang yang cukup ber?pengalaman, mengingat dirinya belum tahu apa-apa tentang urusan Piau-hang. Kedua, Wi-hong minta agar sementara waktu pengelolaan Piau-hang diserah?kan dulu kepada Can Lo-toa, karena Wi-hong sendiri masih punya tugas-tu?gas keluarga dan pribadi yang belum diselesaikan. Kedua permintaan Wi-hong itu dapat disetujui, bahkan para pe?mimpin cabang menghargai sikap rendah hati dari si pemimpin baru mereka itu.
Dengan demikian peti jenazah Cian Sin-wi masih akan dibaringkan di gedung itu satu hari lagi. Sementara segala persiapan untuk upacara pemakamanpun disediakan dengan seksama.
Keesokan harinya, para pelayat yang ingin memberikan penghormatan terakhir kepada jenazahpun semakin berlimpah, apalagi setelah umum menge?tahui hari itu adalah hari terakhir kesempatan untuk memberi hormat. Be?gitu hebat wibawa Cian Sin-wi dalam dunia persilatan di wilayah Kang-pak, sehingga para pelayat yang datang bukan hanya dari Tay-beng tetapi juga dari tempat-tempat yang jauh. Untuk menampung para tamu dari jauh, Tong Wi-hong sebagai pimpinan baru Tiong-gi Piau-hang telah memerintahkan anak buahnya agar memborong seluruh kamar kamar penginapan di kota Tay-beng. Ternyata itupun masih belum dapat me?nampung sepenuhnya para tetamu, sehingga para tamu terpaksa agak berde?sakan dalam kamar penginapannya. Ada yang satu kamar ditempati sampai lima atau enam orang, untungnya para te?tamu itu bukan orang-orang yang rewel.
Pendekar Lembah Naga 29 Pendekar Rajawali Sakti 13 Asmara Maut Istana Pulau Es 20
^