Pencarian

Perserikatan Naga Api 12

Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp Bagian 12


"Bagaimanapun juga kita harus berani melihat kenyataan. Sekarang kita harus menentukan sikap, ba?gaimana seandainya Hwe-liong Pang-cu itu benar-benar A-siang sendiri?" ka?ta Wi-lian.
Wi-hong nampak berpikir sebentar, kemudian ia berkata di luar dugaan adiknya, "Aku berpendapat, justru ada baiknya jika yang menjadi Hwe-liong Pang-cu itu adalah A-siang sendiri, sebab dengan demikian ada kemungkinan kita bisa bicara dari hati ke hati dengannya, untuk membicarakan semua kelakuan buruk anak buahnya. Justru A-siang sebagai pemegang kendali se?buah perkumpulan yang kuat seperti Hwe-liong-pang, harus berhasil kita bujuk supaya menggunakan kekuatannya itu untuk menenteramkan dunia persila?tan dan bukan malahan memperburuknya."
"Pendapat yang bagus," sahut Wi-lian sambil menepuk permukaan meja. Wajahnya yang tadi sudah suram dan se?dih itu, kini berseri kembali me?nampilkan suatu harapan baru. Melihat perubahan wajah adiknya itu, diam-diam Wi-hong merasa terharu juga. Dia tahu bahwa hubungan antara kakaknya dan adik perempuannya itu justru yang pa?ling akrab, keduanya saling menyayang sepenuh hati, sehingga dapatlah dika?takan bahwa Wi-lian tidak punya per?siapan batin sedikitpun juga jika diharuskan menghadapi Tong Wi-siang sebagai lawan di medan perang.
"Aku punya keyakinan besar bahwa A-siang akan menuruti bujukan kita," kata gadis itu dengan bersemangat. "Dari dulu dia selalu sayang kepadaku dan menuruti permintaanku, mudah-mu?dahan sekarangpun ia belum berubah."
Sebenarnya Wi-hong ingin memper?ingatkan bahwa hati manusia itu mudah berubah, namun ia batal untuk mengu?capkannya sebab tidak sampai hati me?matahkan harapan yang sedang berkemb?ang di hati adiknya itu. Bahkan sam?bil membelai rambut Wi-lian, Wi-hong berkata, "Memangnya hanya kau saja yang sayang dan rindu kepadanya? Aku-pun sama sekali tidak berkeinginan un?tuk menghadapi A-siang sebagai lawan, sebab betapapun dia adalah saudaraku, seayah dan seibu."
Wi-lianpun balas memeluk kakak?nya sambil berkata, "Alangkah senang?nya kalau kita bertiga bisa berkumpul kembali, dan bersama-sama bergembira seperti dulu lagi."
Dalam pada itu, persiapan bagi Wi hong dan kawan-kawannya yang hendak ke Lam-cang untuk "mengintai" pertemuan besar hwe-liong-pang itupun telah dipersiapkan semuanya. Menurut rencana perjalanan, karena Lam-cang itu cukup dekat dengan An-yang-shia, maka rombongan itu akan lebih dulu singgah di An-yang-shia untuk mencari dan ber?ziarah ke kuburan ayah mereka, yaitu Kiang-se-tay-hiap Tong Tian. Bahkan kalau perlu membongkar kuburannya dan memakamkannya kembali secara layak, sebab Wi-hong dan Wi-lian teringat bahwa dulu mereka belum sempat mema?kamkan tubuh ayah mereka secara baik, karena sedang diburu oleh anak buah?nya Cia To-bun.
Sebelum berangkat, lebih dulu Tong Wi-hong mengatur pengiriman kem?bali barang-barang yang pernah dirampas oleh Hwe-liong-pang itu. Untuk menjaga jangan sampai terulangnya hal-hal yang tidak diingini, maka khusus untuk pengiriman bingkisan Ho-lam Sun-bu kepada Kaisar, diselenggarakan dengan pengawalan yang seketat-ketatnya. Para jago-jago Tiong-gi Piau-hang dari Lok-yang dan Bu-sek yang tidak turut serta ke An-yang-shia akan ikut memperkuat kafilah itu sampai ke Pak-khia, setelah itu baru akan pulang ke cabang masing-masing. Sedangkan Thio-kun-lo-sat Hua Yong-ceng tetap akan berada di Kiang-leng untuk memimpin cabang di kota itu.
Rahib sinting dari Siau-lim, Hong koan Hweshio, yang pekerjaannya hanya berkelana kesana kemari itu, kini juga menyatakan akan coba-coba menyusup pula ke dalam pertemuan Hwe-liong-pang. Dia bermaksud untuk "memata-ma?tai" dan menghitung kekuatan Hwe-liong pang, agar dapat dijadikan bahan per?timbangan dalam Eng-hiong-tay-hwe yang bakal diadakan di Siong-san pada bulan mendatang. Tetapi rahib itu menya?takan lebih suka berjalan sendirian daripada bersama-sama dengan anak-anak muda itu, meskipun berjanji akan membantunya jika ada kesulitan.
Demikianlah persiapan untuk berangkat itupun telah berjalan dengan lancar. Pada hari keberangkatan, para tokoh Tiong-gi Piau-hang mengucapkan selamat jalan dan mengantarkan rombongan Tong Wi-hong sampai ke pintu gerbang kota. Rombongan Wi-hong menjurus ke tenggara, yaitu ke An-yang-shia di wilayah Kiang-se. Rombongannya terdiri dari enam orang muda yang semuanya menunggang kuda, yaitu Wi-hong, Cian Ping, Ting Bun, Wi-lian serta dua saudara So yang berjuluk Tiong-san siang-hou itu.
-o0^DwKz-Hendra^0o- Sebegitu jauh perjalanan berjalan dengan lancar dan menyenangkan. Kota Bu-sek dan Han-leng berturut-turut telah dilewati, dan akhirnya sampailah rombongan itu di tepian sungai Tiang-kang yang lebar itu. Selama dalam perjalanan itu, atas permintaan Tong Wi-hong, kedua saudara So tidak diperkenankan memanggil Wi-hong dengan sebutan "cong-piau-thau" melainkan diganti dengan sebutan yang lebih akrab. Karena So Hou lebih tua satu tahun dari Ting Bun dan Wi-hong, maka semua anggauta rombongan itu me?manggilnya "So Toako". Sedang So Pa yang masih muda, bahkan sama umurnya dengan Wi-lian dan Cian Ping, dipanggil "Ah-pa" begitu saja. Dengan de?mikian suasana perjalanan itu jadi terasa lebih akrab dan tidak terasa kaku. Tidak ada lagi suasana antara Cong-piau-thau dengan piau-su ba?wahannya, tapi lebih mirip dengan se?rombongan sahabat yang sedang bertamasya bersama-sama.
Kini di hadapan mereka terben?tanglah Sungai Tiang-kang yang sangat lebar itu. Begitu lebarnya, sehingga seorang yang berdiri di tepian utara sungai itu akan melihat tepi seberangnya hanya seperti garis hitam yang tipis dan kabur. So Hou yang sudah cu?kup berpengalaman dalam melakukan per?jalanan jauh, segera berkata, "Kita cari dermaga di pinggir sungai. Di si?tu akan mudah didapatkan perahu-perahu sewaan yang bersedia menyeberangkan kita ke selatan dengan upah setahil dua tahil."
Di sepanjang tepian sungai me?mang tidak sedikit terdapat dermaga-dermaga seperti yang diceritakan oleh So Hou itu. Tidak berapa lama mereka berjalan menyusur tepian, mereka te?lah menemukan sebuah dermaga seperti itu. Di situ ada juga beberapa orang yang agaknya juga sedang menantikan perahu yang hendak menyeberangkan me?reka.
Tidak lama kemudian, terlihatlah sebuah perahu mendekati dermaga. Tu?buh perahu itu ternyata cukup lebar dan dapat memuat tigapuluh orang le?bih, sedang pendayung-pendayungnya adalah empat orang lelaki bertubuh ke?kar dan berkulit coklat, yang masing masing memegang galah panjang untuk mendorong perahu ke tepian. Karena mereka tidak mengenakan baju, maka nampaklah kulit mereka yang mengkilat karena keringat.
Penyeberangan dengan upah memang bukan barang baru lagi di daerah itu. Begitu perahu merapat ke dermaga, ma?ka orang-orang yang ada di dermagapun segera berbondong-bondong naik ke atas perahu. Begitu pula rombongan Wi-hong naik ke perahu dengan menuntun kuda?nya masing-masing. Rupanya hari itu lalu-lintas penyeberangan agak sepi, sehingga dalam perahu terasa agak le?luasa, meskipun ada enam ekor kuda se?bagai penumpangnya.
"Maaf, tuan-tuan, bayar di de?pan," kata si tukang perahu sambil me?nadahkan tangannya kepada para penum?pang . Dan para penumpangpun membayar?nya tanpa banyak rewel lagi.
Namun di saat para tukang perahu itu telah siap mendorong perahu ke tengah sungai, tiba-tiba di tepian de?kat dermaga itu muncul pula serombong orang-orang berkuda yang berjumlah lima orang. Semuanya berpakaian ringkas dan menyandang senjata, menandakan diri mereka sebagai orang-orang dunia persilatan. Bahkan dalam rom?bongan itu juga ada dua orang yang berpakaian seperti lelaki tetapi jelas jelas adalah perempuan. Kedua perempuan itupun menyandang senjata dan pengikat rambutnya secara ringkas.
Pemimpin rombongan berkuda itu adalah seorang lelaki tegap yang mema?kai ikat kepala berwarna biru, segera berseru kepada para tukang perahu, "Toako pemilik perahu, dapatkah rom?bongan kami ikut naik sampai ke sebe?rang?"
Tentu saja pemilik perahu itu ti?dak keberatan, sebab semakin penuh perahunya itu akan berarti semakin penuh pula kantongnya. Apalagi memang perahunya cukup lebar, dan masih bisa memuat tambahan lima orang manusia dan lima ekor kuda lagi, meskipun menjadi agak berdesakan. Maka tukang tukang perahu itupun meminggirkan kem?bali perahu mereka dan mempersilahkan para penumpang baru itu untuk naik.
Meskipun ke lima orang penumpang baru itu gagah-gagah dan membawa senjata macam-macam, namun sikap mere?ka justru sangat sopan dan menghormat kepada setiap penumpang lainnya. Apalagi terhadap rombongan Tong Wi-hong yang juga kelihatan seperti rombongan dunia persilatan itu. Si ikat kepala biru itu lebih dulu mengangguk sopan kepada Wi-hong, sebelum mengambil tem?pat duduk di sebelah Wi-hong.
Selama perahu di dayung menuju ke seberang, diam-diam Wi-hong menco?ba melirik dan memperhatikan lelaki berikat kepala biru yang duduk di se?belahnya itu. Dia adalah seorang le?laki muda, usianya barangkali belum mencapai tigapuluh tahun, berwajah ga?gah dan bertubuh tegap, bibirnya se?lalu siap melemparkan senyuman ramah kepada siapapun. Senjata yang dibawa adalah liu-yap-siang-to (sepasang golok daun liu) yang tipis, dan diselipkan di ikat pinggangnya. Sepasang tangannyapun nampak kekar berotot, lebih besar sedikit dari tangan orang-orang kebanyakan, menandakan sepasang tangan yang cukup terlatih menggunakan senjata.
Sedang anggauta-anggauta rombongan yang lainnyapun rata-rata bersikap gagah dan tangkas, tak terkecuali wanita-wanitanya.
So Hou dan So Pa yang sudah bia?sa berkelana dan bergaul dengan kaum kelana lainnya, dengan cepat telah membuka perkenalan dan bercakap-cakap dengan rombongan orang-orang gagah itu. Ketika So Hou menanyakan dari perguruan manakah rombongan itu, maka jawaban si ikat kepala biru ternyata cukup mengagetkan, "Kami adalah ang?gauta-anggauta Hwe-liong-pang dari Lam-ki-tong (Kelompok Bendera Biru). Aku sendiri bernama In Yong dan berun?tung mendapat kepercayaan dari Ketua kami untuk memimpin kelompok Lam-ki tong ini sebagai Tong-cu (pemimpin kelompok)."
Melihat bahwa muka Tong Wi-hong dan seluruh rombongannya berubah hebat begitu mendengar disebutnya nama Hwe liong-pang, lelaki yang mengaku bernama In Yong itu menjadi heran. Tanyanya, "Kenapa saudara-saudara nampaknya terkejut? Apakah ada sesuatu yang aneh dengan Hwe-liong-pang?"
Cepat Wi-hong menyahut sambil menggoyangkan tangannya, "Harap saudara In jangan salah paham sikap kami. Kulihat saudara In cukup gagah dan aku yakin saudara tentu berilmu silat tinggi pula, tetap karena itulah kami agak menyayangkan saudara. Maaf, bukannya aku sok tua tapi maukah saudara In mendengar beberapa perkataanku?"
Wajah In Yong dan teman-temannya nampak berubah menjadi kurang senang. Namun dengan menahan diri akhirnya In Yong berkata juga dengan nada tawar, "Silahkan saudara berkata."
Wi-hong menarik napas dalam-dalam, diam-diam dalam hatinya ia mulai menyukai sikap terbuka dari orang she In ini, yang mengaku sebagai pemimpin Lam-ki-tong dalam Hwe-liong-pang ini. Kata Wi-hong kemudian, "Saudara In, ada pepatah kuno yang mengatakan bahwa 'panglima yang gagah memilih junjung?an raja yang bijaksana?, apakah sauda?ra In memahami arti dari pepatah itu?"
"Tentu saja aku mengerti. Seorang panglima yang perkasa di bawah perint?ah seorang raja yang lalim adalah iba?rat sebatang golok tajam di tangan seorang gila. Bukan saja tidak ada manfaatnya bagi sesama manusia, bahkan akan membawa malapetaka bagi masyara?kat," sahut In Yong dengan kening yang masih berkerut.
Tong Wi-hong menganggukkan ke?palanya dengan puas, lalu berkata, "Bagus, ternyata pengetahuan saudara In juga cukup luas. Sekali lagi aku minta maaf, kini arti pepatah itu akan kuterapkan kepada diri saudara saudara sekalian. Dengan kegagahan dan keluhuran budi saudara-saudara ini, apakah saudara-saudara tidak keliru kalau memilih Hwe-liong-pang se?bagai tempat bernaung kalian?"
Kali ini air muka In Yong dan ke-empat orang temannya benar-benar te?lah berubah, bahkan terang-terangan menunjukkan ketidak-senangannya kepada ucapan wi-hong itu. Sahut In Yong dingin, "Saudara, kita bagaikan air sumur dan air sungai yang satu sama lain tidak saling mengganggu. Aku memilih Hwe-liong-pang tidak sembarangan saja, melainkan setelah kupikirkan dan kupertimbangkan cukup lama. Aku merasa bahwa hanya Hwe-liong-pang yang berani bertindak untuk mendobrak segala kebobrokkan di jaman ini, di mana tindakan yang keras dan tegas diperlukan untuk itu. Aku berkata ha?nya Hwe-liong-pang yang berani ber?tindak, karena orang-orang yang dise?but para pendekar terhormat ternyata lebih suka berpeluk tangan demi keselamatan diri sendiri, dan tidak ber?ani turun tangan untuk mendobrak kebobrokkan keadaan ini."
"Ucapan yang gagah, saudara In," kata Wi-hong sambil tertawa, untuk mencoba mendinginkan suasana. "Tetapi harap saudara In ingat, bahwa selama ini nama hwe-liong-pang di dunia per?silatan telah terlanjur menjadi buruk dan dikutuk umat persilatan. Perkumpulan tempat berkumpulnya para bandit dan..."
"Omong kosong !" tiba-tiba salah seorang kawan In Yong berteriak marah dan memotong perkataan Wi-hong. Orang itu ternyata masih muda, namun wa?jahnya keras, dan di keningnya ada be?kas luka yang memanjang sampai ke de?kat telinga. Bahkan dengan berapi-api dia berkata, "Cobalah tuan tanya kepa?da rakyat di wilayah Ou-lam dan Ou-pak, bagaimana kesan mereka kepada Hwe-liong-pang. Mereka akan menjawab bahwa Hwe-liong-pang adalah sahabat dan pelindung mereka, selagi orang-o?rang yang menamakan dirinya "pendekar" malah berdiam diri tidak mempedulikan penderitaan orang kecil. Tanya pula kepada mereka, siapa yang memberantas pembesar-pembesar rakus di kedua wilayah itu kalau bukan Hwe-liong-pang? Tanya pula siapa yang memeras keringat dan darah untuk membasmi penjahat penjahat demi ketenteraman rakyat? Mereka pasti akan menjawab bahwa Hwe-liong-panglah yang melakukannya. Bagai?mana tuan ini dengan lancang berani mengatakan bahwa Hwe-liong-pang bernama busuk dan merupakan perkumpulan pa?ra bandit?"
Sesaat wajah Tong Wi-hongpun menjadi menegang dan kupingnya menja?di panas. Ingin rasanya Wi-hong mem?beberkan kepada anak muda itu tentang sederetan bukti-bukti kejahatan orang-orang Hwe-liong-pang, antara lain mem?bunuh Hong-ho-sam-hiong dan membunuh pula Cian Sin-wi yang terkenal se?bagai tokoh yang "keras" dalam menen?tang kejahatan itu.
Tetapi sebelum Tong Wi-hong membuka mulutnya, telah terdengar helaan napas berat dari In Yong, dan dengan sedih In Yong memandang kepada ka?wannya yang luka keningnya itu, sam?bil berkata, "Tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah. Di satu daerah, Hwe-liong-pang memang menjadi sahabat rakyat kecil. Tetapi Hwe-liong pang punya wajah yang lain di daerah yang lain, di beberapa daerah memang nama Hwe-liong-pang sudah begitu kotornya dan susah untuk tercuci bersih lagi. Kita dari kelompok Lam-ki-tong memang telah berbuat begitu banyak ba?gi ketenteraman dan kesejahteraan rak?yat jelata. Tetapi tentu kitapun per?nah mendengar bahwa rekan-rekan kami dari Jing-ki-tong, Ang-ki-tong, Jai-ki tong dan Hek-ki-tong telah melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela atas nama Hwe-liong-pang. Hal itu jelas me?rugikan nama baik dan tujuan perju?angan Hwe-liong-pang secara keselu?ruhan."
Lalu In Yong menoleh kepada Wi-hong dan berkata, "Hal itupun aku ke?tahui, dan aku sungguh menyesalkannya, pertemuan besar Hwe-liong-pang ini, tujuan utamanya juga untuk mengadakan pembersihan diri sendiri secara besar-besaran dan tak kenal ampun. Meskipun agak terlambat, tetapi kukira lebih baik daripada tidak diambil tindakan sama sekali."
Di dalam hatinya, Tong Wi-hong berkesan baik terhadap In Yong, mes?kipun sudah tahu bahwa In Yong adalah seorang Tong-cu dalam Hwe-liong-pang. Kata Wi-hong sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, "Syukurlah kalau begitu. Semoga pertemuan Hwe-liong-pang di Lam-cang nanti akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kesejahteraan dunia persilatan, dan bukan ma?lah sebaliknya."
Sementara mereka bercakap-cakap, perahu itupun sudah tiba di tepian se?berang. Para penumpangpun segera turun ke darat. Tong Wi-hong dan rombongannyapun segera berpisah dengan rombongan In Yong, setelah saling mem?beri hormat dan mengucapkan selamat berpisah.
Begitu telah jauh dari rombongan In Yong, Tong Wi-hong bergumam sendirian, "Sebenarnya perkumpulan macam apakah Hwe-liong-pang itu? Kenapa kaum bandit dan kaum ksatria bercampur aduk di dalamnya. Di sisi lain nampaklah sisi gelapnya yang diwakili oleh Tang Kiau-po, Sebun Say, Auyang Siau hui, Mo Hui dan sebagainya. Sedang sisi lain nampak bagian yang bersih diwakili oleh orang-orang seperti In Yong dan Thian-liong Hiang-cu."
So Houlah yang menyahut keheranan Wi-hong itu, "Kukira hal itu tidak mengherankan. Hwe-liong-pang muncul di dunia persilatan belum sampai dua tahun, namun sudah memiliki sebarisan jago-jago tangguh yang demikian banyak, ini jelas disebabkan karena pihak mereka membuka pintu selebar-lebarnya untuk menerima anggauta. Akibatnya anggauta yang masukpun tidak sempat dipilih lagi, tidak sempat lagi diselidiki pribadi dan asal usulnya, maka bercampur-aduklah kaum pendekar dan kaum penjahat di dalam perkumpulan itu."
"Aku juga sependapat dengan So toako," sambung Wi-lian. "Bahkan aku sering melihat sendiri bahwa sebenarnya dalam tubuh Hwe-liong-pang itu terjadi pula keretakan-keretakan. Misalnya dalam suatu peristiwa yang kualami di kota Kay-hong, dalam peristiwa terbunuhnya Hong-ho-sam-hiong itu. Waktu itu kulihat kerjasama dari Ang-ki-tong (Kelompok Bendera Merah) dengan ui-ki-tong (Kelompok Bendera Kuning) ternyata bukanlah kerjasama yang sepenuh hati. Bahkan berkali-kali pemimpin ui-ki-tong yang bernama Kwa Heng dan berjuluk Thi-jiau-tho-wan (Monyet Bungkuk Berkuku Besi) itu mencegah Hu-tong-cu (wakil kepala kelompok) untuk turun tangan terhadap Hong-ho-sam-hiong."
Demikianlah mereka melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap dan tidak terburu-buru.
Tak terasa, dalam percakapan mereka itu sudah timbul pandangan lain kepada Hwe-liong-pang. Bahkan Cian Ping yang mendendam Hwe-liong-pang sampai ke tulang sungsum itu, kini mau tidak mau harus meninjau kembali sikapnya itu.
Sedangkan bagi Tong Wi-hong dan adiknya, pandangan baru kepada Hwe-liong-pang itu ada segi yang menggembirakan mereka, membuat hati mereka semakin cerah. Mereka punya dugaan kuat bahwa Ketua Hwe-liong-pang itu tidak lain adalah kakak mereka sendiri, yaitu Tong Wi-siang yang sangat mereka rindukan. Mereka gembira jika di dalam Hwe-liong-pang masih ada unsur-unsur baiknya, sebab dengan demikian akan semakin kecillah kemungkinannya untuk menghadapi Hwe-liong-pang sebagai lawan.
Setelah menyeberangi sungai Tiang-kang, maka tidak lama kemudian rombongan itupun telah memasuki wilayah Kiang-se. Tong Wi-hong dan adiknya merasa sangat terharu karena dapat menginjak kembali daerah kelahiran mereka, setelah selama dua tahun mereka meninggalkannya dalam keadaan kepedihan dan penderitaan.
Begitu mereka memasuki wilayah Kiang-se, segera nampaklah di daerah itu ada kesibukan yang tidak terasa di daerah lain. Makin sering mereka menjumpai rombongan kecil atau besar, dari orang-orang yang berwajah keras dan menyandang senjata. Ada diantara orang-orang itu yang bersikap gagah seperti kaum ksatria umumnya, tetapi tidak sedikit pula yang memiliki tampang "orang sesat", kejam dan dingin.
"Tentu mereka adalah orang-orang Hwe-liong-pang yang hendak menghadiri pertemuan besar itu," kata Wi-hong kepada So Hou yang berkuda di dekatnya. "Semakin kuat dugaanku bahwa Hwe-liong-pang benar-benar merupakan wadah tempat bercampur-aduknya orang baik dan orang jahat. Benar-benar perkumpulan yang aneh."
Mereka bermalam lagi satu malam. Keesokan harinya, setelah mereka ber?kuda tanpa berhenti selama setengah hari, maka telaga Po-yang-ou yang in?dah permai itu sudah nampak di depan mata.
Hampir menangis rasanya Wi-hong dan Wi-lian ketika melihat kampung halaman yang dirindukan itu sudah nam?pak di depan mata. Mereka segera mem?percepat lari kuda mereka, diimbangi oleh anggauta rombongan lainnya. Mere?ka memutari tepian Po-yang-ou melalui sisi timur, dan akhirnya kota kecil An-yang-shiapun nampak di depan mata.
"An-yang-shia!" desis Wi-hong dengan tenggorokan yang terasa terse?kat. "Aku kembali ke pangkuanmu."
Kota kecil An-yang-shia ternyata masih seperti dulu, lorong-lorongnya tidak berubah begitu pula bangunan-bangunannya. Agaknya waktu dua tahun memang bukan waktu yang terlalu lama bagi orang yang tidak diamuk perasaan rin?du. Bahkan orang-orangnyapun tidak berubah. Wi-hong dan Wi-lian masih sempat bertegur sapa dengan orang-orang yang pernah mereka kenal. Tetapi suasananya tidak seramai dulu lagi, bahkan nampak adanya suasana tertekan dan ketakutan yang menggantung di kota kecil itu.
"Ada sesuatu yang terjadi di tempat ini rupanya," kata Wi-lian.
"Ya, sikap orang-orang yang kita jumpai tadi nampak kurang wajar dan begitu terburu-buru."
"Ya, jalananpun terasa lebih se?pi dari dulu."
Mereka menjalankan kudanya dengan langkah perlahan menuju ke pusat kota kecil itu. Dan begitu mereka mendeka?ti ke gedung tempat kediaman Cia To-bun, terkesiaplah Wi-hong dan Wi-lian. Di luar gedung itu nampaklah ada belasan orang kuli yang sedang mengangkut belasan buah peti mati ke dalam gedung itu, yang mengherankan, jika memang ada orang yang mati di rumah itu, masakan yang mati sekaligus sebanyak itu? Dan kenapa nampak pula regu-regu prajurit sedang berjaga-jaga di sekitar gedung itu, seakan-akan sedang menghadapi serbuan musuh yang tangguh?
"Apakah Cia To-bun mati?" tanya Wi-hong kepada diri sendiri.
Wi-lian menggelengkan kepalanya, sahutnya sambil mengangkat bahunya, "Entahlah. Tetapi kalau hanya dia seorang yang mati, masakan ia membutuhkan delapan buah peti mati?"
Sementara itu So Pa telah memaju?kan kudanya dan berkata kepada Wi-hong, "Tong Toako, biarlah akan kucoba bertanya kepada prajurit-prajurit yang berjaga-jaga itu, atau kepada siapa saja yang barangkali dapat mener?angkan tentang kejadian aneh ini."
Kata Wi-hong menyetujui, "Ba?iklah, kalau kita muncul berenam se?kaligus tentu akan dicurigai oleh pra?jurit-prajurit itu, apalagi karena membawa senjata. Ah Pa, selidikilah dengan baik, kau akan kami tunggu di sebuah warung teh dekat simpang itu. Sebaiknya senjata dan kuda tidak kau bawa, supaya tidak dicurigai dan ditangkap mereka."
Demikianlah So Pa mendapat tugas untuk mencari keterangan tentang peti peti mati di gedung Cia To-bun itu. Tampang So Pa memang cocok untuk itu, dia bertampang bersih kekanak-kanakan, sedikitpun tidak memberi kesan "berbahaya". Sedangkan Wi-hong, Wi-lian, Ting Bun, Cian Ping dan So Hun lalu menantikan So Pa di warung teh yang agak jauh letaknya dari rumah Cia To-bun.
Pemilik warung teh itu sudah dikenal oleh keluarga Tong sejak du?lu, namanya Ong Lo-ya-cu. Namun si tua Ong itu ternyata sudah meninggal dua bulan yang lalu, dan kini pengelolaan warung teh itu dijalankan oleh anak tertuanya yang bernama Ong San, yang juga sudah dikenal baik oleh Wi-hong maupun adiknya. Maka begitu Wi-hong dan rombongannya muncul di pintu warung, Ong San yang sedang mengelap meja itupun segera menjerit gembira, "He, A-hong! A-lian! selama ini kalian menghilang ke mana saja?"
Demikianlah Wi-hong dan rombongannya melepaskan dahaga di warung teh Ong San itu sambil menunggu kedatangan So Pa. Mereka bercakap-cakap dengan Ong San tentang beberapa hal-hal ringan. Kemudian Wi-hong mencoba mencari keterangan dari Ong San, "Ong Toako, dua tahun aku telah meninggalkan An-yang-shia, dan aku merasakan perubahan suasana di kota kecil ini. Kulihat kota ini tidak seramah dan setenang dulu lagi, apakah yang telah terjadi?"
Ong San menarik napas dalam-dalam lalu berkata dengan nada setengah menggerutu, "Dasar memang belakangan ini rejekiku yang ditakdirkan untuk menurun. Dulu ketika kota ini masih ramai dikunjungi oleh para pelancong warung tehku ini hampir-hampir kewalahan menampung para pengunjung sehingga uangpun mengalir ke kantongku dengan derasnya. Tetapi dalam beberapa waktu belakangan ini, keadaan berubah menjadi sepi mendadak, entah apa sebabnya. Para pelancong tidak kemari lagi mengunjungi An-yang-shia seakan-akan di kota ini timbul wabah menular yang mengerikan."
"Kau tahu apa sebab yang sesungguhnya?" tanya Wi-hong.
Ong San si pemilik warung teh hanya menggelengkan kepalanya sambil mengangkat bahu. Dan Wi-hong tidak bertanya lagi, dia percaya bahwa So Pa tentu akan membawa keterangan yang lebih lengkap tentang apa yang mereka perankan itu.
Tidak lama kemudian, orang yang diharapkan itupun telah datang ke warung teh itu. So Pa bersikap tenang dan tersenyum-senyum, berusaha bersikap sewajar mungkin, tetapi sinar matanya jelas menunjukkan bahwa berita yang dibawanya itu cukup penting dan menegangkan.
Wi-hongpun dapat merasakan hal itu. Setelah memberi kesempatan kepada So Pa untuk minum secangkir teh, Wi-hongpun segera mengajak rombongannya untuk cepat-cepat meninggalkan warung Ong San itu. Mereka berkuda melalui jalan yang tidak melewati rumah Cia To-bun menuju langsung keluar kota An-yang-shia.
Begitu tiba di tempat yang sepi, serempak mereka menghentikan kudanya. Tong Wi-hong dan adiknyalah yang pa?ling tidak sabar, hampir bersamaan me?reka bertanya, "Ah Pa, ada kejadian apa?"
Lebih dulu So Pa menghapus ke?ringat yang mengembun di dahinya itu dengan punggung telapak tangannya. Lalu katanya, "Tong Toako, kukira kali?an sudah tidak perlu lagi membalaskan sakit hati keluarga kalian kepada Cia To-bun, sebab dia sudah mampus. Menurut keterangan yang berhasil kuperoleh, tadi malam Cia To-bun serta tujuh orang anggauta rumah tangganya, puteranya dan selir-selirnya, semuanya telah kehilangan batok kepala mereka! Siapa yang melakukannya, tidak seorangpun tahu. Bahkan pa?ra penjaga yang menjaga di sekeliling gedung pada malam tadi, juga tidak mendengar suara apa-apa, tahu-tahu keesokan harinya Cia To-bun sekeluarga sudah menjadi setan-setan tanpa kepala!"
Wajah orang-orang yang mendengar?kan keterangan So Pa itu menjadi te?gang. Akhirnya terdengar Wi-hong ber?kata dengan menghela napas, "Benar-be?nar luar biasa! Aku tahu Cia To-bun selalu berada di tengah pengawalan yang ketat para prajuritnya, bahkan diapun mempunyai beberapa orang jago andalan yang lihai dalam rumahnya. Ma?sa tidak seorangpun dapat melihat ben?tuk potongan pembunuh itu?"
"Kalau dibayangkan benar-benar menakutkan," kata So Pa sambil mene?lan ludahnya. "Para pelayan dan tukang tukang pukul Cia To-bun yang biasa?nya sangat garang itu, ternyata sam?pai saat ini belum bisa ditanyai apapun tentang pembunuh itu, atau mere?ka bisa menjawab tetapi jawabannya ka?cau-balau tidak keruan. Para pelayan dan tukang pukul itu nampak begitu ke?takutan dan terpukul jiwanya oleh ke?jadian tadi malam. Yang sudah agak te?nang hanya bisa mengatakan bahwa pem?bunuh itu bukan manusia melainkan se?sosok hantu hitam yang bermuka teng?korak, gerakannya secepat angin."
Hampir bersamaan, semua orang mendesiskan sebuah nama, "Hwe-liong pang!"
Sementara itu Ting Bun berkata dengan keheranan, "Hwe-liong-pang bu?kan saja memusuhi dunia persilatan, tetapi bahkan berani pula memusuhi pi?hak pemerintah Kerajaan Beng. Benar-benar luar biasa. Apakah alasan Hwe liong-pang untuk menumpas Cia To-bun sekeluarga?"
Pertanyaan Ting Bun itu tidak terjawab. Hanya saja Tong Wi-hong saling bertukar pandangan dengan Wi-lian dengan pandangan yang penuh arti. Ke?jadian yang dilaporkan oleh So Pa itu kian memperkuat dugaan kakak beradik itu bahwa Ketua Hwe-liong-pang sebena?rnya adalah Tong Wi-siang, kakak ter?tua mereka sendiri. Namun kakak bera?dik itu tidak mengucapkan sepatah katapun.
Bahkan kemudian Wi-lian mencoba membelokkan pembicaraan, "Anggaplah bahwa sakit hati keluarga Tong kepada Cia To-bun sudah impas. Sekarang kita akan memikirkan tujuan kita datang ke An-yang-shia ini."
Tanpa pikir panjang lagi, Tong Wi-hong menyahut, "Menengok rumah ki?ta, lalu mencari makam ayah."
Maka keenam orang itupun kemudian menyusuri tepian danau dan menuju ke arah selatan, tanpa melalui kota An yang-shia yang tengah dicekam oleh suasana kengerian itu. Setelah melewati sebuah teluk kecil dan sederetan pohon siong yang permai, akhirnya di depan mereka nampaklah sebuah rumah kecil yang dikelilingi oleh pepohonan membelakangi sebuah bukit kecil dan menghadap ke arah danau. Sekali pandang saja sudah nampak betapa nyaman dan sejuknya rumah itu.
"Rumah kita!" Wi-lian berteriak dan langsung hendak melarikan kudanya ke rumah itu. Namun Wi-hong cepat menyambar tali kendali kuda adiknya itu, dari berkata, "Tahan dulu, A-lian."
"Ada apa, A-hong?"
Wi-hong tidak menyahut tetapi hanya mengerutkan keningnya. Ia tampak berpikir keras. Tadinya Wi-hong mengira bahwa dia tentu akan menjumpai rumahnya dalam keadaan berantakan dan berujud puing belaka, sebab menurut keterangan ibunya ketika tiba di Soat-san, anak buah Cia To-bun telah membumi-hanguskan rumah itu. Tetapi kini yang tergelar di hadapan Wi-hong adalah sebuah rumah yang utuh dan bersih, sedikitpun tidak nampak tanda-tanda bekas kerusakannya, bahkan cat rumahnyapun masih sangat baru. Inilah yang membuat Wi-hong tercengang.
"Mengherankan sekali," desisnya.
"Tidak mengherankan sedikitpun," kata Wi-lian membantah kakaknya. "A-hong, apakah kau masih ingat kepada kata-kata yang diucapkan oleh Siangkoan Hong ketika dia menemui kita di Tay-beng?"
"Siapakah Siangkoan Hong? Dan apa yang dikatakannya? Kenapa kalian bersikap seaneh ini justru setelah sampai di rumah kalian sendiri?" tiba-tiba Cian Ping memberondongnya dengan serangkaian pertanyaan karena her?annya melihat sikap kakak beradik itu. Ting Bun sebenarnya juga memendam rasa heran yang serupa, tetapi ia tidak terlalu banyak bertanya sebab belum memahami persoalannya.
Mendengar pertanyaan Cian Ping yang bertubi-tubi itu, Wi-hong dan Wi-lian kebingungan untuk menjawabnya. Mereka tahu bahwa Cian Ping sangat membenci Hwe-liong-pang, bahkan men?dendamnya sampai ke tulang sungsum, bagaimana kalau gadis itu sampai mendengar atau mengetahui bahwa Ketua Hwe-liong-pang itu justru kakak tertua dari Wi-hong, orang yang dicintainya?
Dalam bingungnya itu, Wi-lian te?lah menjawab secara untung-untungan saja, "Siangkoan Hong adalah teman se?kampung kami yang juga minggat dari An-yang-shia karena menjadi buronan yang berwajib. Dia pernah menemui kami di Tay-beng dan mengatakan bahwa dia akan kembali ke An-yang-shia, mungkin dia pula yang telah memper?baiki rumah kami ini. Itulah dugaan kami."
Untuk sementara Cian Ping harus puas dengan jawaban itu. Namun ketika Cian Ping hendak bertanya lebih jelas lagi, tiba-tiba pintu rumah itu telah terbuka dari sebelah dalam, dan mun?cullah seorang pelayan rumah yang pakaiannya cukup bersih dan rapi. Pelayan itu langsung memberi hormat kepada Wi-hong dan bertanya, "apakah aku sedang berhadapan dengan tuan muda Tong Wi-hong serta nona Wi-lian?"
Begitu berhadapan ternyata pe?layan itu langsung dapat menyebut nama Wi-hong dan Wi-lian, itu membuat kedua kakak beradik itu bertambah her?an. Terpaksa mereka mengiakan perta?nyaan pelayan itu. Mendengar jawaban Wi-hong itu, wajah si pelayan seke?tika menjadi berseri-seri kegirangan, katanya lagi, "Sudah beberapa hari ini kami menunggu dan siap menyambut kedatangan tuan muda dan nona. Silahkan masuk!"
Sementara itu, beberapa orang pe?layan telah muncul pula dari dalam ru?mah. Dengan sikap hormat, para pela?yan itu menyambut kuda Tong Wi-hong dan rombongannya, dan langsung memba?wa kuda-kuda itu ke bagian belakang rumah itu.
Sambil melangkah masuk, Wi-hong bertanya kepada pelayan yang muncul pertama kalinya tadi, "Paman, sia?pakah yang memiliki rumah ini? Kenapa kalian mengetahui kedatangan dan nama-nama kami?"
Pelayan tua itu tertawa lebar, sehingga terlihatlah sederetan gigi-giginya yang kecoklatan karena ter?lalu banyak mengisap tembakau itu. Sahutnya riang, "Ah, tuan muda bergurau saja rupanya. Bukankah rumah ini adalah rumah Tong Tay-hiap? Sekarang beliau telah tiada, dengan sendirinya rumah ini adalah kepunyaan putera-puterinya. Tentang kedatangan tuan muda dan rombonganmu ini, kira-kira dua ha?ri yang lalu tempat ini didatangi oleh seorang rahib bertubuh gemuk, yang memberitahukan kepada kami bahwa dalam beberapa hari ini kalian akan datang ke rumah ini. Rahib gemuk itu juga menyuruh agar kami menyambut se?cara baik. Bahkan rahib itu mening?galkan kepadaku uang sejumlah limaratus tahil perak untuk menyiapkan penyambutan kalian ini. Aku sendiri heran, entah dari mana seorang rahib bisa mendapatkan uang sebanyak itu, tetapi aku lupa bertanya."
Wi-hong segera menoleh kepada adiknya yang murid Siau-lim-pay itu, bertanya, "Siau-lim-pay biasanya mempunyai anggauta para rahib. Apakah kau kenal rahib semacam itu?"
Pelayan tua itu nampak mengerut?kan alisnya seperti mengingat-ingat, kemudian ia menjawab dengan hati-hati, "Selain tubuhnya yang pendek gemuk hampir bundar, dia juga berjenggot ke?riting kekuning-kuningan, matanya biru, tampangnya seperti bukan tampang orang-orang bangsa Han kita. Dia membawa sebatang tongkat besi yang disebut Hong-pian-jan (toya yang pada ujungnya terdapat besi berbentuk bu?lan sabit, senjata khas kaum rahib Buddha). Meskipun dia bertubuh gemuk, tetapi ternyata jalannya cepat sekali. Hanya dengan melangkah seenaknya saja tahu-tahu dia telah pergi bagaikan terbang, sekejap saja aku sudah tidak dapat melihatnya lagi."
Mendengar keterangan itu, mendadak mata Wi-lian jadi bersinar serunya sambil menepuk paha, "Aku ingat rahib seperti itu!"
"Siapa?" Sahut Wi-lian, "Aku sendiri memang belum pernah bertemu secara langsung dengannya, namun Suhuku pernah bercerita tentang rahib dengan ciri ciri seperti itu. Dia adalah murid Siau-lim-si juga, bahkan seangkatan dengan Suhu, namanya Hong-goan Hweshio. Kira-kira pada lima tahun yang lalu dia meninggalkan kuil dan kemudian menghilang entah ke mana. Kabarnya ada orang yang melihat jejaknya di daerah Jing-hay. Dia memang bukan bangsa Han, tetapi bangsa Hui yang berdiam di daerah Jing-hay. Itulah sebabnya tampangnya tidak sama dengan orang-orang bangsa kita."
"Kalau dia sudah menghilang selama lima tahun, bagaimana mendadak bisa muncul di sini dan bahkan menyuruh paman ini untuk menyambut kita? Apakah dia punya hubungan dengan keluarga Tong?" tanya Ting Bun dengan perasaan heran.
Sambil bercakap-cakap dengan pelayan tua itu, tak terasa Wi-hong dan rombongannya telah memasuki ruangan depan dari rumah itu. Kembali Wi-hong dan Wi-lian terlongong memandangi keadaan di dalam rumah itu. Terny?ata keadaan ruangan itu masih tetap seperti dulu, baik perabot-perabotnya maupun letak perabot-perabotnya, sedikitpun sudah tidak nampak bekas pembakaran atau pengrusakan oleh anak buah Cia To-bun dulu. Namun benda-benda perabot itu jelas tidak asli lagi, masih nampak baru bahkan catnyapun kelihatan baru saja kering.
Meskipun keanehan menyelubungi suasana rumah itu, namun betapapun juga Wi-hong dan Wi-lian tetap merasa berhak untuk bertindak sebagai tuan rumah di tempat itu. Mereka segera menyuruh kepada para pelayan agar menyediakan tempat beristirahat yang pantas bagi rombongannya. Para pelayan menjalankan perintah itu dengan hormat dan gembira, hal mana membuat Wi-hong dan Wi-lian semakin berpikir keras. Akhirnya kakak beradik itu me?rasa tidak ada perlunya tinggal terla?lu lama dalam kebingungan mereka, me?reka memutuskan untuk bertanya secara terang-terangan kepada pelayan tua itu.
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 23 Sehabis makan siang dan mempersilahkan tamu-tamunya untuk beristira?hat di tempat masing-masing, Wi-hong dan Wi-lian segera memanggil pelayan tua itu ke tempat penyimpanan buku. Ruangan buku itu ternyata juga sudah dibangun seperti aslinya dulu, namun buku-bukunya sudah banyak berkurang karena termakan api ketika penyerbuan orang-orangnya Cia To-bun dua tahun yang lalu.
Tong Wi-honglah yang pertama ka?li bertanya kepada pelayan tua itu, "Paman, betapapun baiknya kau melaya?ni kami, tapi hati kami tidak akan tenteram sebelum mendapat jawaban da?ri beberapa pertanyaan yang akan kami tanyakan kepada paman ini."
Pelayan itu mengerutkan alisnya, "Kenapa harus merasa tidak tenteram ? Bukankah tuan muda dan nona ada di da?lam rumah sendiri?"
Supaya pembicaraan tidak bertele-tele, Wi-hong langsung bicara secara terus terang, "Paman, memang sudah menjadi tekad kami untuk pulang ke ru?mah ini, sebab rumah ini memang pusa?ka leluhur kami yang akan kami perta?hankan dengan cara apapun. Tetapi kami benar-benar tidak membayangkan bahwa rumah ini telah diperbaiki sehingga utuh seperti semula, padahal kami sudah membayangkan bahwa yang akan kami temui hanyalah puing-puing tak berguna. Yang kurang menenteramkan hati kami adalah soal bahwa kami tidak tahu sia?pakah yang telah membangun kembali ru?mah ini."
Muka si pelayan tua semakin menam?pakkan keheranannya, "Lho, tentu saja aku yang memperbaikinya, sebab bukan?kah aku telah menerima kiriman uang dari tuan muda dalam jumlah besar se?bagai pembeayaan perbaikan rumah ini?"
"Kau keliru, paman, kami merasa belum pernah mengirimkan uang sepeser-pun kepada paman, meskipun kami punya niat pula untuk membangun kembali ru?mah ini," sahut Wi-lian dengan jujur.
Kali ini giliran si pelayan tua yang terlongong heran. Katanya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, "Kalau begitu, benar-benar suatu kejadian yang aneh."
"Kamipun merasa aneh, karena ta?hu-tahu menemui rumah kami dalam ke?adaan baik dan bahkan telah dilengkapi pula dengan para pelayan," kata Wi-hong. Sementara itu didalam hatinya dia sudah dapat menduga siapakah yang telah melakukan perbuatan itu, namun ia belum mengatakannya karena ingin lebih dulu mencari keterangan si pela?yan tua itu.
Wi-lian juga punya pikiran yang sama dengan kakaknya itu. Maka dia mendesak si pelayan tua, "Karena itu paman harus menceritakan semua yang terjadi berkenaan dengan dibangunnya kembali rumah ini."
Si pelayan tua itupun merasa bahwa barangkali kakak-beradik yang duduk dihadapannya itu akan bisa ikut me?nyingkapkan semua teka-teki itu. Kare?na itu tanpa disuruh untuk kedua ka?linya, diapun segera menceriterakan suatu kisah yang diawali kurang lebih dua bulan yang lalu.
Tadinya si pelayan tua itu adalah seorang yang mendapatkan nafkahnya de?ngan jalan menyewakan perahu untuk pa?ra pelancong yang ingin berdayung di telaga Po-yang-ou. Namun kemudian, en?tah apa sebabnya para pelancong yang bertamasya ke Po-yang-ou semakin lama semakin sedikit, sehingga rejeki si tukang menyewakan perahu itupun mulai merosot banyak.
Si tukang perahu yang bernama Lau Hok itupun kemudian mulai terlibat hu?tang yang makin lama makin mencekik leher. Pada suatu ketika, ia tidak ta?han lagi mendengar rengekan anak isterinya yang terus-menerus minta makan, karena pikirannya gelap, ia segera me?nuju ke tepi telaga dan berniat akan mengantung diri di tempat yang sepi.
Pada saat tali sudah diikatkan di dahan pohon, dan lehernya pun sudah terjerat pula, tinggal melompat dari atas pohon, tiba-tiba ada seseorang yang melihat perbuatannya dan mencegahnya.
Orang yang mencegahnya bunuh diri itu ternyata adalah seorang pendeta Buddha yang bertubuh gemuk pendek, ke?palanya gundul, tetapi dijanggutnya ada segumpal jenggot keriting berwarna pirang, bola matanya berwarna biru. Jelaslah pendeta Buddha itu bukan seo?rang bangsa Han melainkan seorang be?rasal dari suku-suku bangsa di sebelah barat. Begitu mendekati Lau Hok, dia langsung memuji keagungan Buddha dan memberi beberapa nasehat agar Lau Hok membatalkan niatnya untuk bunuh diri itu. Kemudian pendeta Buddha itu ber?tanya, "Tuan, tahukah tuan dimana ru?mah mendiang Tong Tian yang bergelar Kiang-se-tay-hiap itu ?"
Di dalam hatinya Lau Hok menggerutui pendeta Buddha ini, karena ingin matipun ternyata dicegah, apalagi ka?lau memikirkan anak isteri yang kela?paran di rumah. Maka acuh tak acuh sa?ja dia menjawab pertanyaan si rahib, "Aku tidak tahu". Padahal Lau Hok ini sudah cukup lama menjadi pen?duduk An-yang-shia, tentu saja dia ta?hu dimana letak rumah Kiang-se-tay-hiap yang telah dibumi hanguskan itu, hanya saja Lau Hok memang sedang mendongkol dan malas menjawab.
Tapi nasib Lau Hok memang sedang bagus. Rahib itu ternyata tidak ter?singgung ketika menghadapi sikap Lau Hok yang dingin itu. Agaknya rahib itu maklum bahwa Lau Hok sedang pepat pi?kirannya, maka untuk melonggarkan pi?kirannya diambilnya segumpal uang perak dari dalam jubah pendetanya, dan katanya sambil tersenyum bijaksana, "Tuan, kewajiban orang hidup adalah tolong menolong, jika tuan sedang da?lam kesulitan, maka aku si pendeta miskin ini sanggup juga menolong dengan sedikit uang dan dengan beberapa nasehat Sang Buddha sendiri. Tetapi akupun sedang bingung untuk menemukan rumah dari Tong......"
"Aku tahu rumah Tong Tay-hiap!" tiba-tiba saja semangat hidup Lau Hok berkobar kembali. Pandangan matanya berkali-kali melirik kearah gumpalan uang perak dalam genggaman rahib asing itu.
Jika Lau Hok mau berpikir agak jernih sedikit, tentu dia akan heran karena melihat seorang rahib membawa uang sebanyak itu, sebab biasanya kaum rahib ini hidup dari hasil mengemis dan hidup secara sederhana pula. Teta?pi pikiran Lau Hok saat itu sedang ti?dak begitu jernih, pikirannya hanya terpusat bagaimana bisa bebas dari re?ngekan anak-isterinya.
Ternyata kemudian, segumpal uang perak yang didapatkan oleh Lau Hok itu bukan yang terakhir, tapi baru merupa?kan "pembukaan" dari rejeki besar yang datang selanjutnya. Bahkan Lau Hok mendadak berubah menjadi orang paling kaya di kampungnya. Rahib asing itu ternyata kemudian memberi suatu pekerjaan yang empuk kepada Lau Hok. Yaitu Lau Hok harus mengumpulkan tukang-tukang untuk memperbaiki rumah Kiang-se-tay-hiap, begitu pula tugas untuk mengawasi pekerjaan tukang-tukang itu pun diserahkan kepada Lau Hok. Untuk pekerjaan seringan itu, Lau Hok mendapat upah diluar dugaannya sendiri.
Ceritera si pelayan tua yang bernama Lau Hok itu diperhatikan oleh Wi-hong dan adiknya dengan seksama. Wi-hong menoleh kepada adiknya dan berkata, "Aku bertambah yakin bahwa A-sianglah yang memperbaiki rumah ini. Tapi A-siang hanya bekerja di belakang layar, sebab rahib asing itu mungkin hanya suruhannya. Kalau bukan A-siang yang memperbaikinya, bagaimana mungkin paman Lau sendirian saja bisa mengatur kembali rumah ini sehingga persis seperti semula ?"
"Aku sependapat denganmu", dukung adiknya. "Tetapi aku tidak tahu entah cara apa yang digunakan oleh A-siang untuk mengawasi jalannya pemugaran ini sampai persis seperti semula ?"
Wi-lian lalu memandang kepada Lau Hok dan bertanya, "Paman Lau, selama kau mengawasi pemugaran rumah ini apa?kah kau merasakan sesuatu yang tidak wajar? Coba kau bicara sejujurnya saja."
Lau Hok menarik napas panjang, te?tapi kemudian ia tersenyum geli dan berkata, "Nona Wi-lian bagaikan seo?rang yang memiliki sepasang mata ma?laikat saja, dapat tahu segala-galanya dari kejauhan. Agaknya aku tidak dapat membohongi nona. Memang, selama aku memimpin pemugaran rumah ini, aku me?rasakan adanya suatu keanehan. Secara resmi aku adalah pemimpin pekerjaan pemugaran itu, tukang-tukang itu aku?lah yang memanggilnya. Tetapi ternyata ada seorang tukang batu yang memiliki suatu pengaruh kuat atas di?riku. Benar-benar aneh, aku menu?ruti saja apa yang diusulkan oleh tukang batu yang aneh itu. Jika aku diperintahkan untuk meletakkan meja di dekat pintu, maka aku tidak akan berani untuk meletakkan di tempat lain. Jika tukang batu itu bilang bahwa ben?tuk kursinya harus begini, maka aku menuruti saja. Kedengarannya memang aneh, seorang mandor diperintah-perintah oleh seorang tukang batu tanpa kuasa membantahnya."
"Bagaimana tampang tukang batu yang aneh itu, paman?"
"Kalau kuamati, sebenarnya dia cu?kup tampan juga. Namun agaknya mukanya sengaja dibuat kotor dengan arang dan tanah, sehingga akupun sulit melihat wajah yang sebenarnya," potong Lau Hok. "Gerak-geriknyapun kadang-kadang tidak mencerminkan gerak-gerik seorang tukang batu, tapi lebih mirip seorang pemimpin yang biasa memerintah orang."
Hampir berbarengan Wi-hong dan Wi-lian tertawa, dan bergumam, "Si bengal itu benar-benar cerdik. Ia dapat mengatur pemugaran rumah ini menurut kehendaknya, tetapi tanpa memunculkan dirinya sendiri yang sebenarnya. Bahkan hasilnyapun persis dengan apa yang diingininya."
Lau Hok tidak mengerti mendengar percakapan kakak beradik itu, namun sebagai seorang pelayan dia tidak ter?lalu banyak bertanya, apalagi karena nampaknya kakak beradik itupun tidak berniat untuk menerangkannya. Kemudian Lau Hok minta diri keluar dari ruangan itu untuk meneruskan tugas-tugas seha?ri-harinya.
Sedangkan bagi Wi-hong dan adik?nya, semua cerita Lau Hok itu cukup untuk memberi isyarat bagi mereka, bahwa pertemuan dengan kakak tertua yang sangat dirindukan itu agaknya su?dah tidak lama lagi. Wi-lian yang pu?nya hubungan sangat erat dengan Tong Wi-siang, sampai tidak bisa tidur se?malam suntuk, sebab memikirkan perte?muannya dengan kakaknya itu.
-o0^DwKz-Hendra^0o- Setelah beristirahat sehari penuh di rumah keluarga Tong itu, keesokan harinya Tong Wi-hong mulai mengajak adiknya dan kawan-kawannya untuk mela?kukan rencana mereka berikutnya, yaitu mencari makam ayahnya, dan kalau perlu membongkar kembali kuburannya dan me?makamkan lagi jenazahnya secara lebih layak dan terhormat. Mereka terbagi dalam tiga rombongan. Rombongan perta?ma adalah Wi-hong dan Cian Ping, rombongan kedua Tong Wi-lian dan Ting Bun, sedang rombongan ketiga adalah kakak beradik So Hou dan So Pa, si sepasang harimau pegunungan. Karena sekitar ru?mah keluarga Tong itu berbukit-bukit dan kurang tepat untuk para penunggang kuda, maka ketiga rombongan itu akan melakukan pencariannya dengan berjalan kaki saja. Mereka juga saling bersepa?kat untuk memberi tanda dengan suitan, jika salah satu telah menemukan makam itu atau karena membutuhkan bantuan.
Wi-hong dan Cian Ping langsung mendaki bukit yang terletak di bela?kang rumah keluarga Tong, dengan arah lurus ke atas. Ting Bun dan Tong Wi-lian kebagian tugas untuk menyusuri tepi telaga ke arah utara dan kemudian membelok ke timur, untuk mengitari daerah perbukitan. Sedang dua saudara So menyusur tepi telaga ke selatan, dan nantinya juga akan membelok ke timur.
Jadi gerakan ketiga rombongan pencari itu membentuk seperti trisula.
Tepat menjelang tengah hari, ter?nyata rombongan dua saudara So itulah yang lebih dulu menemukan apa yang me?reka cari, sebab dari arah selatan bukit itu terdengar suitan nyaring dua kali berturut-turut. Rombongan-rom?bongan yang lainpun segera mengubah arah dan serentak menuju ke arah sela?tan bukit.
Begitu rombongan-rombongan itu ti?ba dibagian selatan bukit itu, terbe?liaklah mata Wi-hong dan adiknya. Me?reka tidak menjumpai sebuah makam yang hanya berujud segundukan tanah yang ditumbuhi rumput liar, melainkan se?buah bangunan yang luar biasa mewah dan indahnya, berlapiskan batu pualam, sedangkan panjang maupun lebarnya me?makan tempat puluhan tombak persegi. Bahkan beberapa puluh langkah dari makam mewah itu dibangun pula sebuah rumah pemujaan arwah yang juga sangat in?dah, dan jelas menghabiskan biaya yang tidak sedikit.
Pada bong-pay (batu nisan) yang terbuat dari pualam hitam yang sangat mahal itu, terukirlah huruf-huruf berwarna emas yang bermakna, "Makam Kiang-se-tay-hiap Tong Tian yang agung". Lalu dibagian bawah dari batu nisan itu terukir pula huruf-huruf emas yang bentuknya lebih kecil, "Di?persembahkan oleh anak yang berdosa, Tong Wi-siang".
Berhadapan dengan makam tempat tu?lang belulang ayahnya terpendam, seke?tika itu luluhlah kekerasan hati Wi-hong dan Wi-lian berdua. Tanpa da?pat menahan perasaannya lagi, kakak-beradik itu jatuh berlutut di depan makam sang ayah, dan menangis terisak-isak. Suasana yang sangat mengha?rukan itu mempengaruhi pula orang-o?rang lainnya, sehingga merekapun ikut berlutut dan menunjukkan hormatnya ke?pada kuburan Kiang-se-tay-hiap Tong Tian itu.
Segala perlengkapan sembahyang yang memang sudah dipersiapkan dari rumah tadi, sekarang dikeluarkan semua dan mulai diatur di atas altar batu di depan makam. Sesaat kemudian, tempat itu telah dipenuhi dengan bau dupa yang harum, suasana khidmat menyelubungi hati masing-masing.
Selesai bersembahyang, Wi-hong la?lu berkata kepada adiknya, "Meskipun A-siang itu bersifat bengal dan keras kepala luar biasa, tetapi ternyata ma?sih memiliki sikap kebaktian kepada orang tuanya, rasa penyesalannyapun te?lah ditunjukkannya dengan jalan memperbaiki makam ayah sehingga menjadi seindah ini, bahkan membangun pula ru?mah abu untuk menghormat arwah beliau."
Wi-lian mengangguk-anggukkan kepa?lanya sambil mengusap-usap matanya yang masih basah. Sahutnya dengan suara yang semakin tersendat, "A-siang bukan seorang jahat, aku tahu pasti tentang sifatnya, ia hanya menjadi be?ngal karena terpengaruh oleh teman-temannya."
"Mari kita melihat ke dalam rumah abu itu," kata Wi-hong.
Keenam orang itu segera melangkah ke arah rumah abu yang indah itu, yang letaknya tidak jauh dari makam. Tong Wi-hong yang berjalan paling depan itu segera melangkah masuk, namun tiba-ti?ba dia berseru kaget dan melangkah ke?luar kembali dengan muka yang agak pucat. Kesan seram masih nampak di wa?jahnya.
"Ada apa?" tanya Cian Ping dan Wi-lian berbarengan.
"Kalian masuk dan lihatlah sendi?ri, tetapi siapkan perasaan kalian agar tidak terlalu kaget," kata Wi-hong.
Kedua orang gadis itupun segera melangkah masuk ke dalam rumah abu de?ngan diiringi oleh Ting Bun dan dua saudara So, sambil menabahkan hati me?reka. Dan ternyata apa yang mereka saksikan di dalam rumah abu itu memang cukup membuat bulu tengkuk mereka ber?gidik ngeri.
Rumah abu itu sendiri sebenarnya adalah dalam keadaan bersih dan indah. Di tengah-tengah ruangan nampaklah pa?tung Kiang-se-tay-hiap Tong Tian yang sedang berdiri dengan gagah dengan pe?dang terhunus, pakaiannya bukan pakai?an manusia biasa melainkan mirip de?ngan pakaian malaikat-malaikat dan de?wa-dewa seperti yang dapat dilihat da?lam lukisan kuno. Pembuatan patung itu demikian halus dan hebatnya, sehingga patung itu terasa hidup, seakan orang yang memandangnya akan merasa berha?dapan dengan Tong Tian semasa hidup?nya.
Yang membuat Wi-hong dan lain-lainnya bergidik, adalah karena adanya delapan butir batok kepala manusia yang masih segar darahnya, tergolek di meja sembahyang di depan patung itu. Delapan butir kepala manusia itu sudah di?kerumuni lalat, namun masih belum membusuk, menandakan belum terlalu lama "dipetik" dari leher pemiliknya. Seti?ap butir kepala manusia terletak di atas sebuah piring pualam yang mahal, seakan-akan memang dipersembahkan ke?pada patung itu.
Tanpa diberi tahupun Wi-hong dan adiknya akan segera tahu siapakah yang telah meletakkan batok-batok kepala itu, sebab mereka melihat kepala Cia To-bun dan kepala Cia Bok, anaknya, terletak diantara batok-batok kepala itu. Lain-lainnya mungkin adalah batok kepala sanak keluarga Cia To-bun yang bernasib malang.
"A-siang bertindak tidak kepalang tanggung," gumam Wi-hong sambil menge?rutkan alisnya.
Yang lain-lainnya bungkam tidak menjawab gumam Wi-hong itu, tetapi da?lam hati mereka merasa bahwa cara yang dipergunakan oleh Tong Wi-siang dalam membalaskan sakit hati orang tuanya, ternyata adalah cara yang mirip dengan cara-cara kaum sesat. Bahkan Wi-lian yang selama ini sudah agak terpengaruh oleh ajaran agama Buddha, merasa bahwa cara Wi-siang membalas dendam itu be?nar-benar agak keterlaluan.
Karena di dalam rumah abu itu ter?nyata kurang sedap dilihatnya, maka Wi-hong dan kawan-kawannyapun merasa segan untuk tinggal terlalu lama di dalam rumah abu itu. Setelah berlutut ke arah patung Kiang-se-tay-hiap Tong Tian, merekapun segera keluar dari si?tu.
Begitu mereka telah melangkah ke?luar, kembali terjadi peristiwa lain yang menarik perhatian. Entah kapan datangnya, tahu-tahu di depan makam Kiang-se-tay-hiap itu kini ada seorang rahib Buddha bertubuh gemuk pendek se?dang duduk bersila. Rahib itu bermata biru dan jenggotnya keriting pirang. Tangannya memegang sebatang hong-pian-jan (toya yang ujungnya berbentuk bu?lan sabit). Rahib itu memandang orang-orang muda yang baru keluar dari rumah abu itu dengan pandangan yang ramah, dan sama sekali tidak mengan?dung sikap bermusuhan.
"Siapakah diantara kalian ini yang bernama Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian?" tanya rahib itu secara lang?sung.
Wi-hong maju ke depan sambil ber?kata dengan hormat, "Aku yang rendah adalah Tong Wi-hong," lalu katanya sambil menunjuk kepada Wi-lian, ".....dan ini adalah Tong Wi-lian, adikku."
Rahib itu mengangguk-anggukkan ke?pala gundulnya sambil tertawa girang. Dari dalam jubah pendeknya dia menge?luarkan sehelai sampul surat, yang la?lu diangsurkannya kepada Wi-hong sam?bil berkata, "Aku mendapat tugas untuk menyampaikan sampul surat ini kepada kalian. Terimalah."
"Siapakah yang menugaskan tay-su (bapak pendeta) ?" tanya Wi-hong sam?bil menerima sampul surat itu.
Rahib itu memutarkan pandangan ma?tanya, berganti-ganti memandang ke arah Cian Ping, Ting Bun dan dua saudara So, lalu berkata, "Maaf, aku tidak bisa bicara terlalu banyak. Sekarang aku mohon pamit."
Lalu dari duduk silanya itu dia tahu-tahu melompat berdiri, lalu tubuhnya yang bulat mirip bola daging raksasa itu tahu-tahu telah meluncur per?gi secepat kilat. Ia seolah-olah ter?bang diatas tanah. Meskipun kakinya tidak terlihat menapak tanah, namun gerakannya cepat bukan main, dalam se?kejap saja sudah tidak tampak lagi ba?yangannya.
Keruan saja orang-orang muda terlongong melihat kepandaian setinggi itu. Agaknya tokoh-tokoh seperti Se-bun Say dan Tang Kiau-po juga belum tentu bisa mengalahkan rahib asing yang aneh itu.
Sesaat kemudian barulah Wi-lian berkata memecahkan kesunyian, "Aku ya?kin bahwa dia adalah Hong-goan Hweshio yang menghilang di Jing-hay pada lima tahun yang lalu itu. Ilmu meringankan tubuh yang digunakannya itu aku tahu adalah ilmu dari cabang Siauw-lim yang disebut Co-siang-hui (terbang di atas rumput)."
Sementara itu Wi-hong telah mero?bek sampul surat yang diberikan oleh rahib aneh itu, lalu dibacanya suratnya yang berbunyi,
"Adik-adikku A-hong dan A-lian, aku merasa sangat gembira dan bahagia bahwa tidak lama lagi kita bertiga agaknya akan berkumpul kembali seperti dulu. Nanti malam, aku sangat berharap agar kalian berdua berperahu ke tengah danau Po-yang-ou, aku akan menemui kalian di sana dan berbicara panjang lebar dengan kalian. Sebaiknya sendirian saja, tidak usah mengajak teman-teman kalian dulu, namun betapa?pun juga sampaikan salam hangatku un?tuk mereka. Dari kakakmu, Tong Wi-siang."
"Benar-benar surat dari A-siang!" seru Wi-hong kegirangan. "Tidak mung?kin palsu, aku mengenal pula gaya tu?lisannya !"
Demikianlah rombongan orang-orang muda itu pulang kembali ke rumah keluarga Tong. Ciang Ping, Ting Bun dan dua sa?udara So itu ikut larut pula dalam ke?gembiraan yang tengah dialami Wi-hong dan adiknya itu. Mereka dapat memaklu?mi kenapa Wi-siang memesankan agar ti?dak ada orang lain yang ikut, sebab dalam pertemuan kakak beradik yang su?dah lama terpisah itu tentu akan tim?bul pembicaraan-pembicaraan pribadi.
Rasanya Wi-hong dan Wi-lian tidak sabar melihat jalannya matahari yang demikian lambat seperti keong, mereka ingin agar matahari cepat-cepat turun dan malampun tiba, supaya segera dapat berlangsung pertemuan yang dijanjikan itu. Ting Bun dan yang lain-lainnya-pun menjadi geli juga melihat kegeli?sahan kakak beradik itu.
"Setelah pertemuan dengan kalian selesai," demikianlah Ting Bun meme?sankan. "Kalian harus sanggup menyeret si bengal itu untuk kemari menemui aku. Bukan cuma kalian saja yang rindu kepadanya."
"Tentu saja," sahut Wi-lian. "A-siang tidak pernah menolak permin?taanku."
Ting Bun tertawa, "Aku percaya itu. Ketika paman Tong dan A-siang berkunjung ke rumah kami di Pak-khia beberapa tahun yang lalu, A-siang pernah bercerita kepadaku bahwa ia punya seorang adik perempuan yang suka mere?ngek. Kadang-kadang dia jengkel juga, tapi adiknya itu sangat disayanginya."
Yang lain-lainnya serentak tertawa mendengar ucapan Ting Bun itu. Sedang Wi-lian sendiri mukanya menjadi merah, katanya, "Biarlah, kali inipun aku akan merengek lagi kepadanya. Coba ingin kulihat dia masih sayang kepadaku atau tidak."
Wi-hong menggeleng-gelengkan kepa?lanya, lalu bergumam sendiri seakan mensyukuri nasib baiknya, "Untunglah aku bukan A-siang."
Demikianlah mereka menunggu tiba?nya waktu yang dijanjikan, dengan cara bergurau dan bercakap-cakap. Bahkan So Hou dan So Pa juga ikut bergurau mera?maikan suasana, seperti ditengah-tengah keluarganya sendiri saja. Suasana antara atasan dan bawahan tidak nampak di ruangan itu.
Akhirnya matahari tenggelam juga ditelan cakrawala, haripun menjadi gelap. Wi-hong dan Wi-lian benar-benar telah tidak sabar untuk bertemu dengan kakak mereka. Dua orang mendayung satu perahu, mereka menuju ke tengah telaga Po-yang-ou yang senja itu nampak sepi dari para pelancong. Kakak beradik itu tidak tahu dimana dan dengan cara apa dan bagaimana Tong Wi-siang akan men?jumpai mereka, namun mereka yakin bah?wa sang kakak akan punya cara tersen?diri untuk menemui mereka.
Dan ternyata mereka tidak perlu menunggu terlalu lama. Sesaat kemudian dari arah depan muncullah sebuah pera?hu yang megah dan besar, ujungnya ber?hias ukiran kepala naga. Di atas pera?hu itu nampak suasana yang terang ben?derang karena ada puluhan batang lilin besar yang dinyalakan. Di atas geladak kapal, nampak rahib asing tadi melam?baikan tangan ke arah perahu Wi-hong dan Wi-lian, sambil berseru keras, "Apakah Tong Sicu dan nona Tong yang da?tang itu ?"
"Betul," sahut Wi-hong sambil menjura ke arah perahu.
Segera pula muncul dua orang lela?ki bertubuh kekar yang mengulurkan tangga tali dari atas geladak. Semen?tara rahib asing itu telah berseru pu?la, "Silahkan kalian naik ke perahu kami!"
Wi-hong yang tidak sabar lagi ingin segera menemui kakaknya itu, ti?dak mau melalui tangga tali yang dise?diakan itu, melainkan langsung melom?pat ke geladak kapal dengan gerakan Yan-cu-hoan-sin (walet membalikkan ba?dan) dengan gaya yang ringan dan mempesona. Namun baru saja ia menginjak?kan kaki di atas geladak, adiknyapun ternyata telah mendaratkan kakinya di atas geladak pula.
Rahib asing itu tersenyum dan mengangkat jempolnya, ia memuji, "Il?mu meringankan tubuh yang hebat ! Anak-anak muda yang bersemangat!"
Dan khusus kepada Wi-lian dia ber?kata, "Menilik dari cara melompatmu, kau tentu seorang murid Siau-lim-pay pula. Siapakah gurumu yang terhormat?"
Tong Wi-lian yakin dengan siapa dia berhadapan, maka langsung saja dia memberi hormat dengan gaya khas pergu?ruan Siau-lim, tangan kiri dibuka dan tangan kanan mengepal. Sahutnya hor?mat, "Aku adalah murid dari Suhu Hong-tay. Salam hormatku untuk paman guru Hong-goan!"
Rahib asing itu nampak tercengang karena gadis itu bisa langsung menebak siapa dirinya, namun akhirnya iapun tertawa lebar dan berkata, "Ah, ter?nyata orang-orang Siau-lim-pay belum melupakan aku! Bagaimana dengan kese?hatan Suhumu serta para Susiok seka?lian?"
"Semuanya dalam keadaan yang baik."
Rahib asing itu memang bukan lain adalah Hong-goan Hweshio, seorang ra?hib Siau-lim pula. Ia berkata sambil menarik napas panjang, "Alangkah rin?dunya aku untuk menemui saudara-sauda?ra seperguruanku itu, dan menilik sendiri kesehatan mereka. Tetapi saat ini kedudukanku masih sangat menyulitkan aku untuk menemui mereka, sehingga perasaan rinduku ini terpaksa masih kupendam dalam hati."
Tiba-tiba tirai yang menutup ru?angan dalam kapal itu tersingkap dari sebelah dalam, lalu terdengarlah se?buah suara yang berat dan berwibawa, "Suatu saat pandangan orang kepada Hwe-liong-pang tentu akan berubah. Dan saat itulah kau dapat mengunjungi saudara-saudara seperguruanmu dengan be?bas, Hong-goan Su-cia."
Serempak Wi-hong dan Wi-lian meno?leh ke arah orang yang bersuara itu, dan serempak pula mulut mereka menye?but, "A-siang!"
Sedangkan Hong-goan Hweshio dan dua lelaki tegap yang mengulurkan tali tadi serempak membungkuk hormat sambil berkata, "Hormat kepada Pang-cu (Ketua)!"
Waktu itu Wi-lian sudah tidak mau tahu lagi bahwa A-siang yang dirindu?kannya itu adalah seorang Pang-cu, orang yang berkedudukan paling tinggi di Hwe-liong-pang, orang yang paling ditakuti dunia persilatan saat itu. Tapi yang ada dalam mata Wi-lian ha?nyalah A-siang, kakak tertuanya yang menyayanginya dan disayanginya. Maka seperti seorang anak kecil yang mene?mukan ibunya, Wi-lian langsung menu?bruk ke dalam pelukan kakaknya itu dan kemudian menangis kegirangan.
Tong Wi-siang membalas pelukan adiknya itu, lalu dibelainya rambut adiknya itu sementara matanyapun ikut berkaca-kaca.
Sesaat lamanya geladak kapal itu diliputi suasana kehangatan dari per?temuan kakak beradik itu. Agak lama Wi-siang tidak bicara, setelah itu ba?rulah ia tertawa dan berkata, "Kau ma?sih saja kolokan seperti dahulu. Se?lama ini si kutu-buku itu tentu banyak dipusingkan olehmu bukan?"
Lalu Tong-siang menepuk-nepuk pun?dak Wi-hong sambil berkata, "He, kutu buku, bagaimana keadaanmu selama ini?"
Tong Wi-hong tertawa, dia memang sudah biasa dengan panggilan "kutu bu?ku" seperti itu. Maka diapun menyahut, "Aku baik-baik saja. Aku tidak menduga bahwa kau benar-benar Hwe-liong Pang-cu yang disegani dunia persilatan."
"Kalian merasa tidak sesuai ?" ta?nya Wi-siang.
"Senang dan bangga," sahut Wi-hong terus terang. "Namun aku mengharapkan agar di kemudian hari kau lebih ketat dalam mengawasi tingkah laku anak buahmu di luaran."
Nampak alis Wi-siang berkerut sedikit, katanya, "Aku menyenangi keterus-teranganmu. Terima kasih. Tuju?anku mengadakan pertemuan lengkap se?luruh anggota Hwe-liong-pang ini, ada?lah juga untuk mengadakan pembersihan diri sendiri tanpa kenal ampun, dan mendepak keluar semua unsur yang meno?dai tujuan perjuangan kami. Adalah bo?hong belaka kabar angin yang mengata?kan bahwa pertemuan Hwe-liong-pang ini justru untuk menandingi pertemuan kaum ksatria di Siong-san nanti."
Bahwa kedua orang adiknya ternyata tidak menunjukkan sikap bermusuhan ke?tika mengetahui dirinya adalah Hwe-liong Pang-cu, itu sangat menggembira?kan Tong Wi-siang. Ia lalu mengajak kedua adiknya itu untuk masuk ke dalam ruangan perahu, yang meskipun berhias sederhana tetapi menimbulkan rasa nya?man. Kepada Hong-goan Hweshio dan dua orang lelaki yang mengerek tali tangga tadi, Wi-siang berkata dengan gembira, "Hong-goan Su-cia dan Ji-wi Tong-cu (anda berdua pemimpin kelompok), malam ini aku sedang dalam suasana gembira karena pertemuan dengan adik-adikku setelah sekian lama kami terpencar-pencar tanpa saling mengetahui na?sib masing-masing. Maka malam ini ku?undang kalian untuk ikut dalam perja?muan makan kecil kami. Yang mengundang ini bukan Hwe-liong Pang-cu kalian, melainkan Tong Wi-siang, putera sulung keluarga Tong. Marilah."
Rahib Hong-goan dan kedua lelaki tegap itu serempak mengucapkan terima kasih, lalu tanpa sungkan-sungkan lagi mereka ikut duduk mengitari meja perjamuan yang memang sudah tersedia di tengah ruangan kapal itu. Kejadian itu menandakan bahwa dalam kehidupan sehari-harinya, agaknya Wi-siang cukup akrab dengan orang-orang bawahannya, sikap itu berbeda dengan sikap Te-liong Hiang-cu, Tang Kiang-po atau Sebun Say yang begitu kaku memper?tahankan tingkat kedudukannya.
Yang membuat Wi-hong dan Wi-lian agak heran hanyalah ketika menemui ke?nyataan bahwa Tong Wi-siang ternyata tidak menyembunyikan diri dibalik to?peng tengkorak yang menyeramkan itu, bahkan dihadapan para anak buahnya dia tidak merahasiakan dirinya. Wi-hong dan adiknya juga hanya menarik napas, ketika melihat bahwa di tengah-tengah antara kedua alis Wi-siang terdapat warna hitam yang samar-samar, mirip dengan Siangkoan Hong yang pernah men?jumpai mereka. Itulah tanda seseorang yang berlatih ilmu sesat, makin samar warna hitamnya menandakan makin tinggi tingkat ilmu yang dilatihnya.
Sementara itu, setelah semuanya duduk melingkari meja perjamuan, Tong Wi-siang lebih dulu saling memperke?nalkan anak buahnya kepada adik-adik?nya, ia berkata, "Rahib Hong-goan ada?lah seorang murid Siau-lim-pay yang bersimpati kepada garis perjuangan kami, karena itu ia tidak ragu-ragu lagi menggabungkan diri ke dalam perjuangan kami. Dan kini dia kami percayai seba?gai salah seorang Su-cia (duta) kami."
Kemudian Wi-siang menunjuk kepada dua orang lelaki tegap yang mengerek tangga tali tadi dan memperkenalkan mereka. Yang berbadan lebih tinggi dan bermuka hitam itu bernama Lu Siong dan mempunyai julukan sebagai Jian-kih-sin-kun (tinju malaikat 1000 kati) karena kehebatan ilmu pukulannya. Lu Siong ini dalam Hwe-liong-pang menempati ke?dudukan sebagai Tong-cu (pemimpin ke?lompok) dari Ci-ki-tong (kelompok ben?dera ungu). Sedang yang seorang lagi berbadan agak langsing dan bermuka ce?rah, dia seorang peranakan Korea yang bernama Oh Yun-kim dan mempunyai julukan Bu-ing-tui (tendangan tanpa bayangan) dan berkedudukan sebagai Tong-cu dari Pek-ki-tong (kelompok bendera putih). Demikianlah kedua orang Tong-cu itu yang satu merupakan ahli pukulan, yang lainnya adalah jago tendangan.
Sikap dan gerak-gerik Tong-cu dari Ci-ki-tong dan Pek-ki-tong itu ternya?ta mampu menumbuhkan kesan baik di da?lam hati Wi-hong dan Wi-lian, sangat berbeda kesannya dengan Tong-cu-tong-cu Hwe-liong-pang yang lainnya seperti Auyang Siau-hui atau Mo-hui. Meskipun Lu Siong itu bersikap pendiam dan bi?caranya pun kaku, namun dia nampak ju?jur dan berani. Sedangkan Oh Yun-kim agaknya adalah seorang yang suka ber?gurau dan menghadapi segala persoalan dengan hati gembira.
Setelah pihak-pihak yang diperke?nalkan itu saling memberi hormat, ma?ka acara perjamuan kecil itupun dimu?lai. Suasananya gembira dan santai. Dalam suasana seperti itulah maka Wi-lian merasa adanya suatu kesempatan baik untuk berbicara kepada Tong Wi-siang, untuk mengadukan kelakuan orang-orang Hwe-liong-pang yang meng?ganggu ketenteraman umum selama ini.
Setelah mendengar pengaduan adik?nya itu, Wi-siang menarik napas dan berkata, "Semuanya memang kesalahanku juga. Tadinya aku bermaksud untuk me?ngumpulkan kekuatan sebanyak-banyaknya guna mendobrak kebobrokan dinasti Beng seperti sekarang ini. Aku memperluas keanggotaan dengan jalan menerima anggota baru sebanyak-banyaknya, se?hingga lupa menyaring mereka. Tidak sedikit anggota-anggota yang bergabung dengan kami itu memang punya cita-cita seperti aku, yaitu memperbaiki keadaan negeri yang rusak ini, contohnya mereka adalah Ui-ki-tong-cu Kwa Heng, Lam-ki-tong-cu In Yong, Ci-ki-tong-cu Lu Si-ong serta Pek-ki-tong-cu Oh Yun-kim. Aku percaya mereka bergabung dengan kami dengan niat yang tulus untuk ikut mendobrak segala kebobrokan ini."
Lu Siong dan Oh Yun-kim serempak menyahut, "terima kasih atas besarnya kepercayaan Pang-cu kepada kami!"
Sedangkan Tong Wi-siang kembali menarik napas dengan beratnya, dan me?lanjutkan perkataannya, "Tetapi disamping masuknya orang-orang yang berci?ta-cita murni seperti mereka ini, mun?cul pula orang-orang yang hanya seke?dar ingin menumpang dalam kejayaan ka?mi, atau orang-orang yang hanya ingin mendapat tempat perlindungan yang aman dari buruan musuh-musuh mereka, dan yang paling buruk adalah munculnya orang-orang yang hanya ingin mendapat sandaran kekuatan untuk melaksanakan nafsu sewenang-wenang mereka. Orang-o?rang inilah yang telah menodai per?juangan Hwe-liong-pang. Dapat kusebutkan orang-orang macam ini antara lain adalah Jing-ki-tong-cu Auyang Siau-hui, Jai-ki-tong-cu Mo Hui, Mek-ki-tong-cu Lamkiong Hok serta Ang-ki-tong-cu Ko Ci-yang. Kudengar perbuatan mereka di luaran yang sangat tercela, sehingga akhirnya orang-orang dunia persilatan memandang kita tidak lebih dari sebuah gerombolan liar!"
Berbicara sampai disini, Wi-siang tidak dapat menahan perasaannya lagi, sehingga tanpa sadar ia mengerahkan tenaga ke telapak tangannya, maka ca?wan arak yang sedang dipegangnya itu langsung hancur dan berubah menjadi segumpal bubuk halus.
Rahib Hong-goan lalu berkata untuk menghibur ketuanya itu, "Pang-cu, kau tidak usah berkecil hati dalam meng?hadapi persoalan ini. Akupun mera?sa sedih bahwa perjuangan kita telah dinodai oleh tikus-tikus busuk tak ke?nal malu itu. Aku dan saudara Ling te?lah saling bersumpah setia akan berdi?ri sepenuhnya di belakang Pang-cu da?lam usaha pembersihan ini! Cukup Pang-cu keluarkan sepatah kata perin?tah, aku akan segera menumpas bang?sat-bangsat yang menodai perjuangan itu."
Jian-kin-sin-kun Lu Siong juga ikut terbawa oleh arus perasaannya, maka diapun menggebrak meja dan berkata dengan suaranya yang keras dan kasar itu, "Seluruh anggota Ci-ki-tong siap berdiri di belakang Pang-cu untuk men?dukung kebijaksanaan Pang-cu!"
Oh Yun-kim si Tendangan Tanpa Ba?yangan itu masih bersikap tenang-te?nang saja dalam menenggak araknya, na?mun sepasang matanya sudah bersi?nar-sinar dengan penuh semangat pula. Meskipun kata-katanya diucapkan tanpa menggebrak meja, namun nada suaranya menunjukkan kebulatan tekadnya, "Aku orang she Oh ini siap hancur lebur bersama seluruh anggota Pek-ki-tong demi mempertahankan kemurnian tujuan perjuangan Hwe-liong-pang!"
Melihat sikap ketiga anak buahnya itu, mau tak mau Wi-siang merasa hati?nya terhibur dan bangga juga. Wajahnya yang tadi suram itu kini nampak cerah kembali, "Ikrar kesetiaan saudara-sau?dara sangat membesarkan hatiku dan mengobarkan semangatku. Betapapun aku percaya, bahwa selama Hwe-liong-pang kita masih berdiri di atas jalan kebe?naran, kita tidak perlu gentar mengha?dapi kesulitan yang bagaimanapun juga, dari luar maupun dari dalam! Sauda?ra-saudara, mari kita minum secawan untuk tercapainya cita-cita kita!"
Wi-hong dan Wi-lianpun ikut me?ngangkat cawan araknya. Hal itu membu?at Wi-siang bertambah gembira. Sambil tertawa bergelak dia berkata, "Adik-adikku, aku berbesar hati melihat dukungan kalian pula, meskipun kalian bukan anggota Hwe-liong-pang. Melaku?kan pembersihan dalam Hwe-liong-pang yang sudah terlanjur mendapat busuk ini, memang mudah diucapkannya, tetapi sangat sulit dijalankan. Dari antara delapan kelompok yang ada dalam Hwe-liong-pang, empat kelompok diantaranya sudah tersesat dan menyeleweng dari cita-cita Pang kami. Diantara em?pat orang Su-cia kami, dua diantaranya juga sudah tidak murni lagi tujuan perjuangannya. Jadi melakukan pember?sihan dalam tubuh perkumpulan ini sama saja artinya dengan memecat atau menghukum hampir separuh dari seluruh anggota perkumpulan kami !"
Namun Tong Wi-hong menyahut untuk membesarkan hati kakaknya, "Semua usa?ha yang bertujuan baik tentu akan di?restui oleh Thian. A-siang, dalam usa?hamu kelak untuk membersihkan tubuh Hwe-liong-pang dari para pengacau itu, aku menyediakan tenagaku untuk memban?tumu."
"Akupun menyediakan tenagaku," sambung Wi-lian.
Tong Wi-siang menarik napas pan?jang, jawabnya kemudian, "Terima ka?sih, adik-adikku, tetapi saat ini te?naga kalian itu masih belum kuperlukan. Pendukungku masih cukup banyak didalam Hwe-liong-pang sendiri. Meski?pun pembersihan Hwe-liong-pang ini akan memakan banyak tenaga, tetapi aku yakin akan berhasil, dan setelah itu yang akan nampak di dunia persilatan adalah sebuah Hwe-liong-pang yang ber?sih dengan cita-cita perjuangan yang luhur."
Begitulah ketiga kakak beradik yang baru saja bertemu setelah suatu perpisahan yang cukup lama itu, kini berbicara dengan asyiknya membicara?kan segala sesuatu. Tidak lupa Tong Wi-siang sempat bertanya pula kepada Wi-hong tentang keadaan ibunya, "Aku mendengar kabar bahwa ibu berada di Soat-san bersamamu, A-hong, apakah ke?adaan beliau baik-baik saja?"
"Ibu dalam keadaan baik-baik saja, bahkan ilmu silat pedang serta tenaga dalam beliau mengalami banyak kemajuan karena giat berlatih," jawab Wi-hong menenteramkan hati kakaknya. "Dalam pertemuan besar kaum ksatria di Siong-san yang diselenggarakan bulan depan itu, ibu akan ikut menghadirinya bersama-sama dengan rombongan dari Soat-san-pay."
"Ah, syukurlah kalau ibu dalam ke?adaan baik. Selama ini aku sudah ter?lalu banyak menyusahkan dan membebani pikiran beliau. Bahkan kematian ayah-pun secara tidak langsung adalah aki?bat dari perbuatanku yang kurang pi?kir. Ingin rasanya aku bersujud kepada ibu dan mencium kakinya, entah kapan kesempatan itu datang," kata Wi-siang.
Setelah menarik napas beberapa kali, Tong Wi-siang lalu menyambung perkataannya, "Aku punya keinginan un?tuk ikut menghadiri pertemuan di Siong-san itu, tetapi pelaksanaannya tergantung perkembangan keadaan nan?ti."
"Kau hadir di Siong-san sebagai Tong Wi-siang atau sebagai Hwe-liong Pang-cu ?" tanya Wi-lian dengan te?gang. Gadis itu tahu bahwa pertemuan di Siong-san itu diselenggarakan khusus untuk menghadapi Hwe-liong-pang, entah bagaimana kalau kehadiran kakak?nya itu tidak berkenan di hati kaum pendekar.
Jawab Wi-siang, "Tong Wi-siang adalah Hwe-liong Pang-cu, Hwe-liong Pang-cu adalah Tong Wi-siang, maka aku akan hadir di Siong-san sebagai ke?dua-duanya. Sebagai Tong Wi-siang pribadi, aku ingin bersujud kepada ibu dan menjumpai para sesepuh. Sebagai ketua Hwe-liong-pang aku ingin membe?ri penjelasan kepada para ksatria agar kesalah pahaman terhadap Hwe-liong-pang selama ini terhapus bersih. Aku akan menjelaskan pula bahwa Hwe-liong-pang siap bergandengan tangan dengan kaum ksatria di seluruh negeri untuk menen?tang dan menghancurkan kezaliman Kai?sar Cong-ceng!"
Kalimat yang terakhir ini ternyata sangat mengejutkan Wi-hong dan Wi-lian. Dari kalimat itu dapatlah di?simpulkan bahwa yang disebut "Cita-ci?ta luhur Hwe-liong-pang" itu ternyata tidak lain dan tidak bukan adalah me?robohkan Kerajaan Beng yang bejat itu dan mendirikan negara baru! Suatu ci?ta-cita yang tidak tanggung-tanggung, pikir Wi-hong.
Ketika Wi-hong melirik ke arah Hong-goan Hweshio, Oh Yun-kim serta Lu Siong, maka nampaklah bahwa air muka ketiga orang itu ternyata tidak berubah sedikitpun dalam mendengar ucapan Wi-siang itu. Jelas bahwa ketiga orang itupun mempunyai cita-cita yang sama dengan Wi-siang, dan merupakan pendu?kung-pendukung setia dari perjuangan hebat itu. Demikianlah, makan minum di atas kapal di tengah telaga Po-yang-ou itu berlangsung dengan suasana santai dan gembira, dan kadang-kadang diseli?ngi dengan suasana yang penuh semangat berkobar.
Mendadak dari arah tepi telaga yang berjarak puluhan tombak disana, terdengar suara suitan melengking nya?ring, dua kali suitan pendek dan seka?li suitan panjang. Suara suitan pan?jang yang terakhir itu mengalun pan?jang dan keras sehingga mendenging di telinga. Jelas bahwa suitan itu dilan?dasi dengan tenaga dalam yang meyakin?kan.
"Ilmu Liong-ling-kang (ilmu naga menjerit) yang hebat!" tak terasa Wi-hong memuji mendengar suara suitan itu. "Siapakah tokoh hebat di pinggir telaga itu?"
Wi-siang tersenyum dan menjawab tenang, "Dia juga seorang tokoh Hwe-liong-pang kami, jabatannya adalah Su-cia, namanya Ling Thian-ki dan ber?julukan Jian-jiu-sin-wan (lutung sakti bertangan seribu)."
Dan kepada Hong-goan Hweshio, Tong Wi-siang memerintahkan, "Su-cia, to?long kau jawab panggilan Ling Su-cia itu, dan silahkanlah dia naik ke kapal ini."
Rahib Hong-goan segera keluar dari ruangan perjamuan itu dan berdiri di geladak menghadap ke arah pinggir te?laga. Serunya, "Lutung tua she Ling, jangan bertingkah di situ, hayolah ce?pat naik kemari supaya kau masih kebagian hidangan sebelum kuhabiskan sa?ma sekali!"
Seruan Hong-goan Hweshio itu nam?paknya hanya diucapkan secara biasa saja dan tidak dengan berteriak, namun gema suaranya terasa menggetarkan uda?ra lembab di permukaan danau yang te?nang itu. Kembali Wi-hong mengeluarkan pujiannya, "Yang pertama tadi Liong-ling-kang dan yang ini adalah Say-cu-hou-kang (ilmu singa menggeram) yang tidak kalah sempurnanya!"
Sahut Wi-lian, "Baik Hong-goan Hweshio maupun Ling Su-cia ini kepan?daiannya jelas-jelas lebih tinggi dibandingkan Sebun Say atau Tang Kiau-po, tetapi kenapa nama mereka tidak tercantum dalam deretan nama sepuluh to?koh sakti? Kenapa justru nama Sebun Say dan Tang Kiau-po yang tercantum?"
Agaknya gadis itu lupa bahwa dere?tan nama "sepuluh tokoh sakti" itu di?buat hampir lima belas tahun yang lalu, sehingga kurang dapat dijadikan pegangan lagi untuk jaman itu. Diantara sepuluh tokoh yang namanya dican?tumkan itu tentu saja ada yang kesak?tiannya mengalami peningkatan, seba?liknya ada pula yang mengalami kemunduran, begitu pula muncul tokoh-tokoh baru yang tadinya belum tercantum na?manya memiliki kesaktian yang pantas diperhitungkan. Dengan demikian sebe?narnya urut-urutan nama sepuluh tokoh sakti di jaman itu perlu diperba?harui kembali.
Sementara itu, dari arah tepian telaga kembali terdengar suara leng?kingan nyaring yang semakin lama sema?kin mendekat ke arah perahu. Lalu ter?lihat sesosok bayangan berkelebat ke atas perahu, dan muncullah seorang ma?nusia berwujud aneh di kapal itu. Di?sebut aneh, sebab yang muncul ini le?bih tepat kalau dikatakan setengah ma?nusia setengah kera. Ia bertubuh agak bungkuk seperti kera, mulutnya agak monyong dan mukanya penuh bulu, sedangkan ujung jari-jari tangannya yang panjang-panjang itu jika dikebawahkan akan mencapai bawah lutut lebih. Po?tongan manusia yang satu ini memang benar-benar mirip monyet, tetapi dia memiliki sepasang mata yang jernih dan bersinar lembut.
Begitu menginjakkan kakinya di atas kapal, manusia monyet ini segera menjura kepada Wi-siang dan memberi salam, "Ling Thian-ki memberi hormat kepada Pang-cu!"
Sedangkan Lu Siong dan Oh Yun-kim yang kedudukannya lebih rendah dari Ling Thian-ki, segera berdiri menyam?but kedatangan manusia monyet itu dan mengucapkan salamnya.
Tokoh yang berjulukan Jian-jiu-sin-wan itu menyapukan pandangannya ke segala sudut ruangan kapal itu. Ia nampak menjadi heran ketika melihat dua orang muda-mudi yang tidak dike?nalnya tengah duduk makan minum dengan akrabnya bersama sang ketua.
Demi tata-krama dunia persilatan, karena merasa dirinya lebih muda, Wi-hong dan Wi-lian lebih dulu berdiri dan memberi hormat kepada Ling Thian-ki, dan dibalas oleh tokoh tua itu de?ngan hormat pula.
Tong Wi-siang segera bertindak un?tuk memperkenalkan kedua belah pihak, "Ling Su-cia, inilah adik-adikku yang bernama Wi-hong dan Wi-lian. Adik-a?dikku, inilah Ling Su-cia yang tadi telah kalian puji ilmu Liong-ling-kangnya. Silahkan kalian berkenalan."
Setelah saling berkenalan, Ling Thian-ki segera memenuhi undangan Tong Wi-hong untuk ikut duduk di dalam per?jamuan kecil itu. Setelah menerima su?guhan secawan arak dari ketuanya, Ling Thian-ki segera berkata dengan nada yang sungguh-sungguh, "Pang-cu, keda?tanganku ini sesungguhnya hendak mela?porkan suatu hal yang penting dan pa?tut untuk cepat-cepat diketahui......"
Setelah berbicara sampai disini, Ling Thian-ki melirik kearah Wi-hong dan Wi-lian dengan sikap agak ra?gu-ragu. Agaknya dia bingung apakah akan meneruskan perkataannya atau tidak, sebab meskipun Wi-hong dan Wi-li?an itu adalah adik-adik dari ketuanya, namun mereka bukan anggota Hwe-liong-pang, sedangkan urusan yang hendak di?laporkan oleh Ling Thian-ki itu me?nyangkut urusan Hwe-liong-pang.
Wi-siang mengerti kebimbangan Ling Thian-ki itu, maka ia berkata, "Ling Su-cia, tidak usah ragu-ragu untuk berkata, mereka adalah adik-adikku yang dapat kupercaya. Sebelum kau datang, akupun telah berbicara banyak dengan mereka tentang perkumpulan ki?ta. Adik-adikku ini sudah tahu pula tentang kebobrokan dalam Pang kita, bahkan tidak jarang bentrok dengan anak buah kita. Tidak ada halangannya Su-cia meneruskan perkataan tadi."
Jian-jiu-sin-wan Ling Thian-ki menganggukkan kepalanya dengan lega, lalu mulai berkata, "Baiklah aku menu?rut perintah Pang-cu. Aku hendak mela?porkan bahwa persiapan Pang kita untuk sebuah pertemuan lengkap di lembah Jian-hoa-kok (lembah seribu bunga) di dekat kota Lam-cang itu telah berjalan dengan cukup lancar. Segenap anggota dari kelompok-kelompok bendera Putih, Kuning, Hijau, Biru, Coklat, Hitam, Merah dan Ungu telah berdatangan se?muanya dan hanya menunggu kedatangan Pang-cu. Tetapi..... tetapi....."
Kening Wi-siang berkerut melihat sikap bimbang Ling Thian-ki itu. Kata?nya, "Ada apa? Tidak usah ragu-ragu, berita baik maupun berita buruk kau laporkan seadanya saja, akupun ingin mengetahui."
Ling Thian-ki menarik napas pan?jang lalu berkata, "Aku secara halus telah menjajaki pendapat para Tong-cu (kepala kelompok) tentang pembersihan dalam tubuh Pang yang bakal diadakan ini. Ui-ki-tong-cu (kepala kelompok panji Kuning) Kwa Heng serta Lam-ki-tong-cu (pemimpin kelompok Panji Biru) sudah menyatakan sikap akan men?dukung usaha pembersihan itu, dan ber?diri sepenuhnya dibawah garis perintah Pang-cu. Namun sikap para Tong-cu dari Ang-ki-tong, Hek-ki-tong, Jing-ki-tong dan Jai-ki-tong agaknya sangat meragukan, bahkan samar-samar mereka menun?jukkan sikap menentang, mereka agaknya didukung oleh Tang Kiau-po dan Sebun Say. Mereka ngotot mengatakan bahwa tindakan-tindakan yang telah mereka tempuh selama ini dapat dibenarkan dan sama sekali tidak menyeleweng dari ga?ris perjuangan yang Pang-cu tetapkan. Dan mereka nampaknya juga sudah me?nyiapkan diri untuk ..... maaf, untuk menentang Pang-cu secara terang-terangan!"
"Kurang ajar! Ini adalah suatu pengkhianatan!" tiba-tiba Lu Siong berteriak sambil menggebrak meja. "Pang-cu, perintahkanlah aku untuk me?numpas pemberontak-pemberontak itu!"
Bukan hanya Lu Siong, tetapi Oh Yun-kim dan Hong-goan Hweshio juga menjadi panas hatinya ketika mendengar laporan Ling Thian-ki itu. Rahib Hong-goan segera menggeram sengit, "Sudah jelas bersalah tetapi tidak mau mengakui kesalahannya, malah hendak memberontak kepada Pang-cu. Pang-cu, agaknya kau perlu menyiapkan beberapa butir Racun Penghancur tubuh untuk di?hadiahkan kepada mereka."
Wajah Tong wi-siangpun berubah menjadi merah padam karena marahnya, namun dia berhasil mendinginkan suasa?na dengan mengangkat tangannya ke atas, lalu katanya dengan suara dingin menyeramkan, "Hem, para pembangkang itu mengandalkan apa hendak melawan aku?"
Sahut Ling Thian-ki setelah mena?rik napas, "Pang-cu, jika hanya Tang Kiau-po, Sebun Say serta keempat orang Tong-cu dari Ang Hek, Jing dan Jai-ki-tong saja kukira mereka tidak berani bertindak sekurang-ajar itu. Bahkan cukup dengan tenagaku serta tenaga saudara Hong-goan serta bantuan keem?pat Tong-cu dari Ui, Pek, Lam dan Ci-ki-tong, mereka akan berhasil ditum?pas. Namun Sebun Say dan komplotannya berani berbuat demikian kurang-ajar itu sesungguhnya memang punya seorang andalan yang tangguh. Maaf, Pang-cu, apakah aku boleh berbicara terus ?"
"Teruskan berbicara. Aku ingin ta?hu sejelas-jelasnya," kata Wi-siang.
Ling Thian-ki nampak merasa lega, sebab dia diperkenankan mengeluarkan isi yang selama ini belum sempat diu?capkannya. Katanya, "Pang-cu, sesung?guhnya para pembangkang itu berani ber?buat sedemikian jauh karena mereka me?rasa dilindungi dan direstui oleh Te-liong Hiang-cu (Hulu Balang Naga Bumi)."
Bagi Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian, jawaban Ling Thian-ki itu ti?dak terlalu mengagetkan mereka. Bebe?rapa bulan yang lalu, ketika mereka bertempur dengan orang-orang Hwe liong-pang di tengah padang perdu di luar kota Tay-beng untuk merebut Cian Ping dari tangan orang Hwe-liong-pang, Wi-hong dan Wi-lian pernah bertemu dengan tokoh yang disebut Te-liong Hiang-cu itu. Saat itu memang Wi-hong melihat dengan matanya sendiri bahwa Te-liong Hiang-cu cenderung membenar?kan semua tindakan sewenang-wenang da?ri orang-orang Hwe-liong-pang, dengan alasan untuk menggentarkan dunia per?silatan. Bahkan waktu itu Te-liong Hiang-cu sampai bertengkar dengan to?koh lain yang bergelar Thian-liong Hiang-cu.
Sedangkan bagi Tong Wi-siang, ke?terlibatan Te-liong Hiang-cu dalam komplotan penentang-penentang itu me?rupakan berita baru yang sangat menge?jutkannya. Mukanya menjadi pucat, ke?mudian menjadi merah padam menahan amarah, giginyapun gemeretak hebat.
"Ling Su-cia, benarkan ucapanmu itu?" geram Wi-siang.
Wajah Ling Thian-ki saat itu keli?hatan amat lesu, seakan teringat hal yang membuatnya sangat malu. Suaranya terdengar lesu pula ketika ia menya?hut, "Biarpun aku makan hati macanpun tetap tidak berani membohongi Pang-cu. Peristiwa yang kualami beberapa hari yang lalu itu benar-benar sangat mema?lukan, sehingga jika aku mengingatnya aku seakan-akan bosan hidup di dunia ini."


Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Biasanya si Lutung Sakti Bertangan Seribu ini bersikap riang gembira dan senang bergurau, tetapi kini sungguh diluar dugaan kalau ia bersikap begitu lesu dan bahkan mengucapkan kata-kata yang bernada putus asa itu. Tentu sa?ja Wi-siang dan orang-orang Hwe-liong-pang ingin tahu apa gerangan yang telah dialami oleh Ling Thian-ki ini?
"Saudara Ling, maukah kau menceriterakan kepada kami tentang beban yang memberatkan hatimu itu?" tanya Rahib Hong-goan.
"Betul, Ling Su-cia, ceritakan?lah," sambung Wi-siang.
Ling Thian-kipun mulai bertutur, "Beberapa hari yang lalu, seluruh ang?gota kita sudah berkumpul di Jin-hoa-kok dan sesuai dengan kelom?poknya masing-masing. Ketika aku meme?riksa keadaan di sana, aku mendapat laporan tentang kelakuan-kelakuan yang kejam dari orang-orang Ang-ki-tong, Jing-ki-tong, Hek-ki-tong dan Jai-ki-tong. Aku mendengar bagaimana orang Ang-ki-tong mengejar dan menumpas Hong-ho-sam-hiong bersama seluruh keluar?ganya, tanpa ampun dan belas kasihan sedikitpun. Lalu kudengar pula Lam-kiong Hok dengan Kelompok Bendera Hitamnya telah menumpas Siu-hou-bun (perguruan harimau sakti) di Kwi-tang sehingga jatuh korban dua ratus orang lebih, hanya karena Sin-hou-bun enggan menga?kui Kepemimpinan Lam-kiong Hok di wi?layah itu. Lalu kudengar pula Jin-ki-tong dengan cara yang brutal di bawah pimpinan Au-yang Siau-hui telah membunuh pemimpin Tiong-gi Piau-hang dan menculik anak gadisnya. Tidak ketinggalan si serigala sinting Mo Hui dengan Jai-ki-tongnya telah mencoba merebut pengaruh dengan Bu-tong-pay di wilayah Ho-pak, sehing?ga telah tertanam permusuhan dengan pihak Bu-tong-pay. Dan berita yang pa?ling akhir kudengar, dan yang paling gila, yaitu Ko Ci-yang, Lam-kiong Hok, Auyang Siau-hui dan Mo Hui telah mempersatukan kekuatan Tong mereka ma?sing-masing untuk merampok barang-ba?rang hantaran Tiong-gi Piau-hang ca?bang Kiang-leng, yang nyaris membang?krutkan cabang itu sama sekali. Un?tunglah tindakan itu diketahui oleh Thian-liong Hiang-cu, dan Hiang-cu de?ngan cara yang sangat bijaksana telah berhasil mengembalikan barang-barang yang dirampok itu ke tangan Tiong-gi Piau-hang kembali, sehingga permusuhan yang semakin hebat dengan Tiong-gi Piau-hang dapat dihindari. Namun demi?kian, tindakan-tindakan brutal dari anak buah kita itu telah menimbulkan kemarahan segenap kaum ksatria di du?nia persilatan. Harap Pang-cu mengeta?hui, bahwa bulan depan ini seluruh kaum pendekar akan berkumpul di Siong-san dan mengadakan pertemuan besar, tujuannya adalah untuk membahas bagai?mana menghadapi kita! Dalam pandangan kaum pendekar itu, kita sekarang sudah dicap sebagai gerombolan pengacau du?nia persilatan!"
Bicara sampai di sini, agaknya Ling Thian-ki sudah sangat terpengaruh oleh gejolak perasaannya, suaranyapun makin lama makin meninggi. Bahkan pada akhir kalimatnya, tanpa sadar dia men?cengkeramkan jari-jarinya ke permukaan meja, sehingga membekaslah lima jalur guratan yang cukup dalam di atas meja yang terbuat dari kayu keras itu!
Sesaat lamanya Ling Thian-ki nam?pak berusaha meredakan gejolak perasa?annya yang terasa menyesakkan dada itu, lalu ia melanjutkan bicaranya dengan suara yang lebih tenang. "Maaf, Pang-cu, aku sangat terbawa oleh kemarahan dan penyesalanku sehingga kurang dapat mengendalikan diri. Sekarang akan kulanjutkan penuturanku. Setelah aku mendengar laporan tentang tindak-tan?duk para Tong-cu yang dapat mencemar?kan nama baik Hwe-liong-pang itu, ma?ka aku segera memanggil mereka ke suatu tempat yang sepi untuk menegur dan memperingatkan mereka. Tengah aku berbicara dengan mereka, datang pula Sebun Say dan Tang Kiau-po ke tempat itu, dan tanpa memberi muka sedikitpun kepadaku, mereka malah membalik menya?lahkan aku dan mencaci maki diriku, secara terang-terangan mereka membela tindakan para Tong-cu yang kutegur itu. Mereka berpendapat bahwa tinda?kan-tindakan berdarah itu sangat di?perlukan, katanya supaya seluruh dunia persilatan menggigil ketakutan di ba?wah kaki Hwe-liong-pang. Aku masih berusaha menghindari perpecahan terbuka antara sesama anggota Hwe-liong-pang, maka kuajak mereka berbicara secara baik-baik dan dengan kepala dingin. Tapi sikap Sebun Say dan Tang Kiau-po itu semakin kurang-ajar, sehingga ham?pir saja kami bertempur. Lalu muncul?lah Te-liong Hiang-cu di tempat itu untuk melerai kami. Tadinya aku berha?rap bahwa kemunculan Te-liong Hiang-cu itu akan memutuskan secara bijaksana tentang apa yang kami pertengkarkan itu, tetapi ternyata kemudian bahwa harapanku itu terlalu berlebihan. Be?gitu muncul, ternyata Te-liong Hiang-cu langsung berpihak kepada Sebun Say dan komplotannya, bahkan dia terus mencaci aku dengan kata-kata yang sangat me?nyakitkan hati, katanya aku adalah se?orang cengeng yang tidak berani meli?hat darah dan sebagainya. Tentu saja aku tidak berani membantahnya dan cuma memendam perasaan dalam hati, sementa?ra Sebun Say dan orang-orangnya me?mandang kepadaku dengan sikap penuh kemenangan dan sangat menghina. Puncak penderitaan batin yang kualami adalah ketika Te-liong Hiang-cu memaksa aku untuk memberi hormat dan meminta maaf kepada Sebun Sucia, Tang Su-cia serta keempat orang Tong-cu yang baru saja kutegur dan kumarahi itu, dan mereka menggunakan kesempatan itu untuk mengeluarkan kata-kata sindiran yang memerahkan telingaku!"
Demikian Ling Thian-ki mengakhiri penuturannya, suasana dalam ruangan di atas kapal itupun menjadi sunyi mence?kam. Hanya terdengar suara gemericik?nya air telaga yang tersibak oleh tu?buh perahu besar itu.
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 24 MENDADAK Rahib Hong-goan berdiri dari tempat duduknya lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Tong Wi-siang, sambil berkata dengan suara yang pa?rau, "Pang-cu, aku mohon keadilan un?tuk saudara Ling Thian-ki!"
Menyusul Ci-ki-tong-cu Lu Siong dan Pek-ki-tong Oh Yun-kim juga berlutut dan mengajukan permohonan yang sama. Sedangkan Ling Thian-ki tetap duduk mematung di tempatnya, sementara dua titik air yang jernih telah mengalir keluar dari sepasang matanya.
Tong Wi-siang duduk termangu-mangu dan tidak dapat segera menyanggupi permintaan dari anak buahnya itu. Mes?kipun Tong Wi-siang sendiri sangat ge?ram dan besar keinginannya untuk mem?bersihkan perkumpulannya dari orang-o?rang yang menodai garis perjuangannya itu, namun Wi-siang juga sadar bahwa komplotan yang hendak disingkirkannya itupun punya kekuatan yang tidak da?pat diabaikan. Dia sadar bahwa usaha "pemurnian" garis perjuangan itu akan dapat membelah Hwe-liong-pang menjadi dua bagian besar yang saling berten?tangan.
Dalam kebingungannya untuk mengam?bil keputusan itu, Wi-siang menoleh ke arah wi-hong dan bertanya, "A-hong, kau banyak membaca buku dan berpan?dangan luas, bagaimana pendapatmu ten?tang hal ini?"
Hati Wi-hong tergetar mendengar pertanyaan ini, namun dia menyahut ju?ga dengan tangkas, "Menghilangkan suatu penyakit dalam tubuh sendiri ka?dang-kadang memang terasa terlampau sakit, namun lebih rasa sakit itu di?alami daripada seluruh tubuh menjadi busuk!"
Tong Wi-siang menarik napas men?dengar jawaban adik laki-lakinya itu, kemudian ia berpaling kepada adiknya yang satu lagi dan melemparkan perta?nyaan bernada sama, "Dan bagaimana pikiranmu, A-lian?"
Pendapat adik perempuannya itu ternyata tidak jauh berbeda, "A-siang, tanpa mempunyai peraturan tata tertib yang berani menghukum anggotanya sen?diri yang bersalah, maka suatu perguruan atau perkumpulan akan sulit dite?rima dalam pergaulan masyarakat dunia persilatan. Ini telah terbukti jika kita melihat sejarah perguruan-pergu?ruan besar seperti Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay. Begitu pula Hwe-liong-pang, juga harus berani menertibkan anggota?nya sendiri, supaya dunia persilatan dapat menerima Hwe-liong-pang sebagai sahabat. Dunia persilatan yang berse?jarah ratusan tahun, selamanya belum pernah dan tidak akan pernah bisa me?nerima suatu perguruan atau perkumpul?an yang hanya mengandalkan kekuatan senjata dan mau menangnya sendiri saja, cepat atau lambat, perguruan semacam itu akan menjadi musuh bersama seluruh dunia persilatan."
Wi-siang hanya mengangguk-angguk?kan kepalanya tanpa menjawab. Nampak?lah kerut-kerut kulit yang dalam mun?cul di keningnya. Dalam usianya yang baru 26 tahun itu, dia jadi nampak le?bih tua seperti seorang yang berusia empat puluh tahun lebih.
Pada saat Tong Wi-siang masih da?lam keraguan itulah Ling Thian-ki ikut berbicara pula, "Pang-cu, saat ini Pang kita sedang dihadapkan kepada dua pilihan yang meskipun sama beratnya tetapi kita harus memilih salah satu. Pilihan pertama, kita mampu menertib?kan diri sendiri, sehingga meskipun keadaaan kita pada saat itu agak lemah namun dapat diterima dengan tangan terbuka oleh seluruh dunia persilatan. Kedua, kita akan tetap membiarkan Hwe-liong-pang kita dalam keadaan se?perti ini, kelihatannya kuat dan ba?nyak anggotanya, namun sesungguhnya kita hanya menunggu kehancuran belaka, sebab jika sampai kemarahan dunia per?silatan tidak terbendung lagi, maka kita benar-benar akan menghadapi kesu?litan besar. Nah, kita akan menempuh jalan yang pertama atau kedua, seka?rang ini hanya tergantung dari sepatah kata dari Pang-cu!"
Ucapan kedua orang adik Wi-siang, ditambah lagi dengan perkataan Ling Thian-ki yang semuanya didukung dengan alasan kuat itu, akhirnya memperteguh hati Wi-siang untuk mengambil suatu keputusan dan menyingkirkan semua ke?bimbangannya. Dengan suara rendah akhirnya dia berkata, "Dengan bantuan dan dukungan saudara-saudara sekalian yang tetap berpegang kepada cita-cita murni Hwe-liong-pang, aku memutuskan untuk mengadakan penertiban dan pem?bersihan diri sendiri secara besar-be?saran !"
Rahib Hong-goan, Ling Thian-ki, Oh Yun-kim dan Lu Siong serempak ber?seru menyambut keputusan itu, "Kami sekalian akan setia terhadap cita-ci?ta luhur Hwe-liong-pang!" Dan setelah itu barulah mereka bangkit dari berlututnya.
Tong Wi-siang merasakan sebuah be?ban perasaan yang berat telah terlepas dari hatinya, namun sebaliknya kini sebuah kewajiban baru yang maha berat telah terletak di pundaknya, meskipun dia telah bertekad bulat untuk menye?lesaikan kewajiban itu sebaik-baiknya.
Setelah mempersilahkan semua orang untuk duduk kembali di kursi ma?sing-masing, Tong Wi-siang lalu berka?ta, "Suatu cita-cita yang besar me?mang selalu menuntut pengorbanan yang kadang-kadang terasa terlalu pahit. Demikian pula cita-cita besar Hwe-liong-pang kita harus tetap berjalan terus dan tidak boleh dibelokkan, mes?kipun untuk itu kita dengan berat ha?ti harus mengorbankan sebagian dari saudara-saudara kita sendiri yang te?lah bertindak menyeleweng."
Makan minum itupun berlangsung sampai agak larut malam, sampai Tong Wi-hong dan Wi-lian menyatakan hendak pulang ke rumah keluarga Tong. Sebelum pulang, Wi-hong masih ingat untuk me?nyampaikan pesan Ting Bun yang sangat rindu ingin bertemu dengan Tong Wi-si?ang, karena kedua orang itu memang pernah bersahabat. Tetapi mengingat bahwa Hwe-liong-pang sedang mengha?dapi persoalan yang rumit, maka untuk sementara Wi-siang tidak dapat meme?nuhi permintaan Ting Bun itu. Wi-siang hanya menitipkan salam hangat untuk Ting Bun, Cian Ping serta dua saudara So, namun ia minta agar kedu?dukannya sebagai Hwe-liong Pang-cu un?tuk sementara dirahasiakan terhadap orang-orang tadi. Betapapun juga, kedudukan sebagai Hwe-liong Pang-cu pada saat itu bukanlah sesuatu yang mem?banggakan, mengingat kelakuan busuk dari beberapa anggota Hwe-liong-pang yang mencemarkan nama perkumpulan itu. Itulah alasan Wi-siang untuk menyembunyikan kedudukannya sementara waktu.
Tetapi Wi-siang-menyatakan bahwa adik-adiknya dan rombongan kawan-ka?wannya, jika mau, diperbolehkan menghadiri pertemuan Hwe-liong-pang yang akan diselenggarakan di Jia-hoa-kok itu. Mereka boleh menyaksikan sendiri bagaimana Hwe-liong-pang akan menertibkan diri sendiri secara keras. Agaknya Wi-siang ingin menunjukkan pula kepada orang luar bahwa niatnya un?tuk menertibkan diri itu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, agar pandangan dunia luar terhadap Hwe-liong-pangpun akan berubah.
Wi-hong dan Wi-lian mencapai te?pi telaga Po-yang-ou dengan menaiki sebuah sampan, diantar oleh Lu Siong. Setelah di tepi telaga mereka saling mengucapkan salam perpisahan dengan Lu Siong, maka kakak beradik itupun kembali ke rumahnya. Kepulangan mere?ka yang larut malam itu membuat Ting Bun dan lain-lainnya menjadi lega", se?telah mereka gelisah sejak sore tadi. Ting Bun menjadi agak kecewa karena dia belum bisa bertemu dengan Tong Wi-siang sahabatnya itu.
Keenam anak muda itu tinggal di rumah keluarga Tong, melewati hari de?mi hari sampai tibanya hari yang ditentukan untuk pertemuan Hwe-liong-pang itu. Selama menunggu hari itu, mereka hanya memusatkan perhatian kepada pe?ningkatan ilmu silatnya masing-masing. Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian yang me?miliki ilmu paling tinggi dibanding?kan kawan-kawannya, bertindak sebagai pelatih dan pembimbing bagi lain-lain?nya. Dalam waktu beberapa hari saja, ilmu anak-anak muda itu telah menga?lami perbaikan beberapa bagian.
Selain kesibukan berlatih silat itu, selama beberapa hari itu dimanfa?atkan pula oleh Wi-hong untuk meyakin?kan Cian Ping bahwa ternyata tidak se?mua orang Hwe-liong-pang sejahat seperti yang dibayangkan. Seperti dike?tahui, Cian Ping sangat membenci orang-orang Hwe-liong-pang karena kematian ayahnya. Dan Wi-hong susah memba?yangkan bagaimana kelangsungan hubung?annya dengan gadis itu, apabila kelak gadis itu tahu rahasia Tong Wi-siang sebagai Hwe-liong Pang-cu. Itulah sebabnya Wi-hongpun berusaha mati-matian mengubah pandangan Cian Ping ter?hadap Hwe-liong-pang.
Ternyata puteri Cian Sin-wi yang keras hati itu dapat juga diberi pengertian sedikit demi sedikit, apa?lagi karena Cian Ping juga sudah me?lihat sendiri bagaimana Thian-liong Hiang-cu dan Lam-ki-tong-cu In Yong yang bertemu di tempat penyeberangan itu, ternyata berbeda sifat dan tingkah-lakunya kalau dibandingkan dengan orang-orang Hwe-liong-pang lainnya, seperti Mo Hui atau Sebun Say. Melihat perkembangan sikap Cian Ping itu, Wi-hong masih belum lega betul-betul, sebab dia masih ragu-ragu bagaimana kalau mengetahui kakaknya ternyata adalah Hwe-liong Pang-cu? Terhadap ma?salah ini, Wi-hong hanya bisa berha?rap saja dalam hatinya, semoga semua berjalan dengan baik.
-o0^DwKz-Hendra^0o- AKHIRNYA hari yang ditunggu itu-pun tiba, hari di mana pertemu?an lengkap Hwe-liong-pang akan dise?lenggarakan. Sejak pagi-pagi benar, Wi-hong dan kawan-kawannya telah mempersiapkan dirinya. Bukan hanya jasmani dan senjata mereka saja yang diper?siapkan, melainkan juga batin mereka. Mereka yang menggembirakan, namun le?bih tepat kalau dikatakan hendak mema?suki sarang serigala. Mereka sudah kenal ketangguhan tokoh-tokoh Hwe-liong-pang seperti Sebun Say, Auyang Siau-hui dan sebagainya, dan kini tokoh-tokoh yang menakutkan itu akan berkum?pul semuanya!
Meskipun dalam mempersiapkan di?ri itu mereka kadang-kadang bergurau satu sama lain, tetapi tidak terhindar kadang-kadang tampak ketegangan di wa?jah mereka.
Di halaman depan, nampaklah beberapa orang pelayan telah mempersiap?kan enam ekor kuda yang akan dipakai Wi-hong dan kawan-kawannya. Keenam ekor kuda itu semuanya sudah diman?dikan bersih-bersih, diberi makan se?kenyang-kenyangnya dan diberi pelana.
Begitu cahaya matahari pagi yang hangat itu mulai menyentuh pucuk-pu?cuk cemara di tepi danau, berkatalah Tong Wi-hong kepada kawan-kawannya, "Sebaiknya kita berangkat sekarang, supaya tidak kesiangan tiba di Jian-hoa-kok."
Tidak lama kemudian, berderaplah enam ekor kuda yang tegar dengan enam orang penunggangnya yang perkasa, meninggalkan rumah keluarga Tong dan menembus udara pagi yang masih agak berkabut itu. Mereka menjalankan kuda mereka ke arah timur laut, ke arah kota Lam-cang. Namun mereka tidak akan menuju ke kota itu, melainkan nantinya akan membelok kea rah sebuah lembah yang bernama Jian-hoa-kok dan yang digunakan untuk pertemuan Hwe-liong pang itu.
Kira-kira dua peminuman teh mereka berkuda, tibalah mereka di sebuah persimpangan jalan. Yang sebelah ka?nan adalah jalan raya yang menuju ke ko?ta Lam-cang. Sedangkan jalan yang me?nuju ke lembah Jian-hoa-kok adalah se?buah jalan kecil yang kiri kanannya ditumbuhi belukar.
Wi-hong memimpin kawan-kawannya untuk menyusuri jalan sempit itu. Di sepanjang jalan nampak bunga-bunga yang beraneka warna seakan-akan se?dang bertanding dalam memamerkan kecantikannya masing-masing di bawah ca?haya matahari yang hangat itu. Tetapi Tong Wi-hong dan rombongannya tidak sempat lagi menikmati keindahan lembah itu, hati mereka sedang diliputi perasaan tegang karena membayangkan apa yang bakal mereka hadapi setelah berada di tengah-tengah orang-orang Hwe-liong-pang nanti. Di antara orang-orang Hwe-liong-pang itu terdapat orang-orang yang bersikap bersahabat kepada Wi-hong, seperti In Yong dan Lu Siong, namun juga terdapat musuh bebu?yutan yang membencinya seperti Auyang Siau-hui serta Sebun Say, si iblis pendek dari Jing-hai itu.
Setelah mereka berkuda agak cepat kira-kira dua li, tiba-tiba dari gerumbul semak-semak di pinggir jalan melompatlah beberapa orang lelaki yang semuanya berseragam hitam, berikat kepala warna biru berikat ping?gang warna biru pula. Semuanya meme?gang senjata terhunus.
"Berhenti!" bentak orang-orang itu sambil menghadang di depan kuda Tong Wi-hong. "Harap sebutkan nama ka?lian dan apa tujuan kalian menuju ke Jian-hoa-kok!"
Tong Wi-hong menyadari bahwa dirinya sedang berhadapan dengan orang orang Hwe-liong-pang yang disebar di sekitar Jian-hoa-kok untuk mengawasi setiap orang yang keluar masuk ke lem?bah itu. Maka Tong Wi-hongpun berbica?ra secara terang-terangan kepada orang-orang itu, "Hwe-liong Pang-cu pribadilah yang mengundang kami untuk ikut menghadiri pertemuan ini, biar?pun kami bukan anggota Hwe-liong-pang. Karena itu kami mohon agar saudara-sau?dara suka memberi jalan buat kami."
Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 31 Dewi Ular 97 Ada Apa Dengan Setan Api Di Bukit Menoreh 9
^