Pencarian

Perserikatan Naga Api 13

Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp Bagian 13


Anak buah Hwe-liong-pang itu nam?pak menjadi bimbang mendengar jawaban Wi-hong itu, agaknya mereka tidak da?pat segera menentukan apakah ucapan Wi hong itu berbohong ataukah bersungguh-sungguh? Peraturan Hwe-liong-pang sangat keras dan tak kenal ampun, jangan jangan ada mata-mata dari luar yang menyelundup masuk, sehingga dengan demikian para penjaga yang bertugas itu akan kebagian hukuman mati. Tetapi mungkin juga bahwa Wi-hong dan kawan kawannya memang benar-benar diundang oleh Pang-cu mereka. Karena itulah ma?ka rombongan penjaga itu menjadi bing?ung untuk menetapkan apakah Wi-hong itu kawan atau lawan.
Seorang lelaki berseragam hitam yang berumur kira-kira empatpuluh tahun dan bersikap gagah, segera menjura kepada Tong Wi-hong dan berka?ta dengan sikap menghormat, "Apakah Hwe-liong Pang-cu ketika mengundang kalian itu juga memberi suatu surat atau tanda pengenal lain untuk membuk?tikan bahwa kalian benar-benar datang diundang oleh beliau?"
Mendapat pertanyaan semacam itu, seketika itu juga Wi-hong terperangah, tanpa sadar dia bertukar pandangan dengan kawan-kawan serombongannya. Agaknya ketika kakaknya memesankan ke?padanya supaya datang ke Jian-hoa-kok itu, sang kakak lupa mengenai soal yang sederhana ini. Dan kini Tong Wi-hong benar-benar menghadapi ke?sulitan.
Sikap Wi-hong yang gugup itu langsung diketahui oleh lelaki gagah itu. Ia segera memberi hormat lagi dan berkata, "Jika tuan-tuan tidak membawa pertanda apa-apa dari Pang-cu kami, maaf, terpaksa kami tidak dapat mengijinkan tuan-tuan untuk memasuki lembah. Harap tuan-tuan memaklumi bahwa tanggung-jawab kami cukup berat dalam mengamankan jalannya pertemuan ini."
Melihat sikap orang itu yang begitu menghormatinya, Tong Wi-hong merasa tidak sampai hati untuk menerjang ma?suk begitu saja, sebab itu berarti mencelakakan para penjaga itu. Tetapi Wi-hong juga merasa berat hatinya jika harus melewatkan kesempatan baik untuk melihat jalannya penertiban da?lam tubuh Hwe-liong-pang itu. Untuk sementara Wi-hong jadi kehilangan pe?gangan bagaimana harus bertindak meng?atasi kesulitan itu.
Pada saat ia sedang berpikir ke?ras, tiba-tiba dari arah lembah kelihat?anlah ada dua orang lelaki penung?gang kuda yang menuju ke arah mereka dengan cepatnya. Setelah cukup dekat, nampaklah bahwa kedua orang penung?gang kuda itu ternyata adalah Lu Siong dan In Yong, dua orang Tong-cu (pemimpin kelompok) dalam Hwe-liong pang yang masing-masing memimpin Ci-ki-tong (Kelompok Bendera Ungu) dan Lam-ki-tong (Kelompok Bendera Biru), keduanya sudah dikenal oleh Wi-hong.
Anak buah Hwe-liong-pang yang menjaga mulut lembah itupun segera membungkuk hormat kepada kedua Tong-cu itu, dan berucap, "Hormat kami kepada Ji-wi Tong-cu !"
Lu Siong dan In Yong hanya meng?anggukkan kepala sedikit untuk menyam?but penghormatan orang-orang itu, ke?mudian mereka langsung mendekati rom?bongan Tong Wi-hong. Kata Lu Siong, "Pang-cu telah khilaf tidak membekali tanda pengenal apapun kepada sauda?ra-saudara, sehingga kalian mengalami kerepotan dari anak buah kami. Tetapi untung aku teringat untuk menjemput kalian. Nah, silahkan ikuti kami."
Sementara itu In Yong juga telah berkata kepada Tong Wi-hong, "Selamat bertemu kembali, saudara Tong. Hwe-liong-pang hari ini akan mengalami suatu peristiwa besar yang tidak akan terlupakan seumur hidup, hari ini kami akan membasmi para penyeleweng untuk mengembalikan tujuan kami ke ga?ris perjuangan yang murni. Kebetulan saudara-saudara sekalian dapat meliha?tnya sendiri untuk menjadi saksi ten?tang apa yang akan terjadi di lembah ini !"
Sikap In Yong begitu bersungguh sungguh dan bersemangat. Tong Wi-hong tahu bahwa Lam-ki-tong-cu ini berdiri di pihak kakaknya, karena itu Tong Wi-hongpun menyahut dengan hormat, "Segala perbuatan yang baik pasti akan direstui Thian. Saudara In, aku ikut berdoa agar penertiban ini akan berjalan dengan lancar, sehingga Hwe-liong-pang sebagai sebuah kekuatan yang besar kelak akan terasa manfaat?nya bagi orang banyak, bukan lagi merupakan malapetaka."
Yang menjaga jalan itu memang anggauta-anggauta Hwe-liong-pang dari kelompok Lam-ki-tong, yaitu anak buah In Yong, karena itu rombongan Wi-hong tidak mengalami kesulitan lagi dalam menuju langsung ke tengah lembah. Mer?eka memang masih melalui beberapa pengawalan lagi, namun semuanya dilalui dengan cukup lancar karena Wi-hong diantar sendiri oleh In Yong dan Lu Siong.
Begitu tiba di tengah lembah Ji?an-hoa-kok yang luas itu, Wi-hong dan kawan-kawannya segera melihat bahwa lembah yang luas itu kini telah dipe?nuhi dengan ribuan manusia, namun sua?sananya tetap sunyi mencekam. Ribuan manusia itu duduk bersila di atas rerumputan dan membentuk suatu lingkaran raksasa. Mereka terbagi dalam de?lapan kelompok masing-masing menempati satu mata angin, tiap kelompok terdiri dari tiga ratus sampai empat ratus orang. Semuanya berseragam hitam seper?ti penjaga-penjaga di mulut lembah ta?di namun ikat kepala dan ikat pinggang mereka berbeda-beda menurut kelompoknya masing-masing, yaitu putih, kuning, hijau, biru, merah, coklat, ungu, dan hitam. Di depan tiap-tiap kelompok duduklah Tong-cu masing-masing kelompok dan wakilnya. Khusus untuk para Tong-cu dan Hu-tong-cu ini tidak diwajibkan memakai seragam hitam, melainkan berpakaian bebas sesuai dengan kesukaan?nya masing-masing. Di tengah-tengah lembah tampaklah ada segundukan tanah datar seluas beberapa tombak yang agaknya akan digunakan sebagai pang?gung.
In Yong dan Lu Siong segera meng?hantar tamu-tamunya untuk menuju ke arah "panggung" yang masih kosong itu. Melihat Tong Wi-hong dan kawan-kawannya mendapat kehormatan yang begitu besar, seketika tertariklah perhatian dari orang-orang Hwe-liong-pang lain?nya.
Namun sebelum Wi-hong dan kawan-kawannya naik ke "panggung", dari arah rombongan Jing-ki-tong (Kelompok Bendera Hijau) terdengarlah ada yang berteriak, "Saudara In dan saudara Lu, apakah kalian tidak keliru dalam menempatkan tamu-tamu kalian?"
Orang yang berteriak itu ternya?ta adalah Jing-ki-tong-cu yang sudah dikenal oleh Wi-hong, yaitu Auyang Siau-hui yang berjulukan Co-siang-hui mo (iblis terbang di padang rumput), seorang jagoan yang cukup ditakuti di wilayah Su-coan dan Kui-ciu itu. Di samping Auyang Siau-hui, nampaklah Hu-tong-cu (wakil) yang bernama Au?yang Siau-pa, yang juga merupakan adik sepupunya itu. Tong Wi-hong per?nah bertempur dengan kakak beradik sepupu ini ketika berada di kota Tay-beng.
Teriakan Auyang Siau-hui itu se?gera disambung dengan teriakan sese?orang yang lain, "Benar! Panggung ke?hormatan itu hanya khusus disediakan buat Pang-cu, tiga orang Hiang-cu ser?ta empat orang Su-cia. Kenapa kunyuk kunyuk kecil itu begitu tidak tahu di?ri, dan ingin duduk diatas panggung."
Yang berteriak kali ini adalah Mo Hui, si pemimpin Jai-ki-tong (Ke?lompok Bendera Coklat) yang berjuluk?an Hong-long-cu (Serigala Gila) itu. Tokoh ini pernah dihajar habis-habis?an oleh Wi-lian di sebuah warung arak di luar kota Kiang-leng, sehingga tokoh ini punya dendam kesumat kepada gadis murid Siau-lim-pay itu. Kini dia sudah berdiri dari tempat duduk?nya, matanya yang tinggal satu itu me?natap Wi-lian dengan penuh kebencian, sementara tangannya sudah menggenggam tombaknya yang bergerigi seperti gigi serigala itu.
Seruan Auyang Siau-hui dan Mo Hui itu langsung saja mendapat dukung?an dari Ang-ki-tong-cu Ko Ce-yang ser?ta Hek-ki-tong-cu Lam-kiong Hok. Keem?pat orang Tong-cu ini memang sehaluan dalam sikap dan perbuatan mereka bahkan tidak jarang mereka bekerja sama dalam melakukan kejahatan kejahatan me?reka.
Di tengah-tengah suasana yang se?makin ribut itu, terdengarlah bentakan Lu Siong menggelegar bagaikan geledek, "Suadara-saudara harap mengen?dalikan diri ! Dengarlah perkataanku!"
Hiruk-pikuk itupun segera sirap diganti dengan kesunyian yang mence?kam, lalu terdengar Lu Siong berkata dengan suaranya yang tegas, "Harap saudara-saudara ketahui, bahwa sauda?ra Tong dengan rombongannya ini me?mang benar-benar merupakan orang un?dangan Pang-cu sendiri. Kebetulan aku hadir dalam perjamuan malam di atas kapal pribadi Pang-cu beberapa malam yang lalu, dan dengan telingaku sen?diri aku mendengar bahwa Pang-cu meng?undang saudara Tong dan kawan-ka?wannya untuk menghadiri dan menyak?sikan pertemuan ini. Jadi sudah sepan?tasnya kalau mereka mendapat tempat duduk kehormatan, karena diundang oleh Pang-cu sendiri!"
Namun ucapan Lu Siong itu agaknya tidak mudah dipercaya. Siapa yang mau percaya bahwa Ketua Hwe-liong pang yang mahasakti dan menakutkan itu mengundang beberapa orang muda yang kurang dikenal dalam dunia persilatan? Terdengarlah Mo Hui tertawa mengejek, "Lu Siong, siapa yang mau percaya kepada bualan kosongmu itu? Bicara terus terang saja, kau mengundang kekuatan dari luar untuk menying?kirkan kami yang tidak sehaluan dengan?mu, bukan?"
Lu Siong ini orangnya kasar dan bukan seorang penyabar pula, maka men?dengar sahutan Mo Hui yang tajam itu, Lu Siong menjawab dengan tidak kalah kerasnya, "Mo Hui, jagalah mulutmu ba?ik-baik kalau tidak ingin kurobek dengan kedua tanganku ini. Aku tidak perduli apakah kau mempercayai ucapan?ku tadi atau tidak, tetapi yang jelas keselamatan para tetamu ini adalah tanggung-jawabku !"
Dari arah Ang-ki-tong segera ter?dengar suara teriakan marah, "Lu Siong, kau kira hanya kau sendiri yang laki-laki di dunia ini?"
Yang berteriak itu tidak lain adalah Ko Ce-yang, pemimpin Ang-ki-tong yang sehaluan dengan Mo Hui itu. Ko Ceng-yang adalah seorang lelaki beru?sia sekitar empatpuluh tahun, berpakaian acak-acakan seperti gelandangan, sedangkan pandangan matanya liar mengerikan. Sebelum ia bergabung ke dalam Hwe-liong-pang, dia cukup terkenal di dunia persilatan dengan julukan Tui-hun-mo-kay (Pengemis Iblis Pengejar Nyawa). Senjatanya adalah sebuah tong?kat baja di tangan kanan, dilengkapi sebuah mangkuk baja pula di tangan ki?rinya. Dengan sepasang senjatanya itu, entah sudah berapa banyak nyawa lawan yang diamblaskannya.
Dalam pada itu Hek-ki-tong-cu Lamkiong Hok mulai ikut menghasut pu?la, "Siapapun anggauta Hwe-liong-pang kita pasti mengetahui bahwa gadis Siau-lim-pay itu adalah musuh besar Hwe-liong-pang kita. Ingat saja bahwa gadis itu pernah mencelakai Ang-ki-hu-tong-cu (Wakil Kelompok Bendera Merah) dalam pertempuran di Kay-hong, yaitu pada waktu Ang-ki-hu-tong-cu sedang menjalankan tugas untuk mengejar dan menumpas tiga ekor tikus kecil yang menamakan diri Hong-ho-sam-hiong itu! Jelaslah bahwa gadis itu mempunyai permusuhan mendalam dengan Hwe-liong pang, terutama dengan Ang-ki-tong, dia harus ditumpas dan bukan malah didudukkan di tempat kehormatan."
Ko Ce-yang memang berkepandaian tang?guh, namun sayang otaknya agak bebal dan mudah menerima hasutan orang lain. Kata-kata Lamkiong Hok yang mengingat?kan tentang kejadian di Kay-hong itu, seketika membuat hati Ko Ce-yang menjadi terbakar panas, dia sebagai Pemimpin Ang-ki-tong merasa wajib un?tuk membalaskan dendam Wakilnya yang telah dicacadkan oleh Wi-lian itu. Ma?ka dengan muka yang memancarkan napsu membunuh dia berjalan mendekati Wi-hong dan rombongannya, dan katanya dengan dingin, "Ang-ki-tong masih punya hutang piutang denganmu, gadis liar, mari kita bereskan sekarang!"
Biasanya Tui-hun-mo-kay Ko Ce-yang memang cukup ditakuti di dunia persi?latan, julukannya saja sudah menunjukkan bagaimana pandangan orang ter?hadap dirinya. Tetapi kali ini si pengejar nyawa ini terbentur pada si ma?can betina Siau-lim-pay yang tidak ke?nal takut itu. Dengan air muka yang tidak berubah sedikitpun, Tong Wi-lian melangkah maju menyongsong lawannya, jawabnya tenang, "Ang-ki-tongmu ber?tindak sewenang-wenang dimana-mana, tetapi hanya terhadap orang-orang yang tidak berani melawan. Begitu bertemu dengan orang yang berani, kalian tidak becus apa-apa. Yang mematahkan kaki Tan Han-ciang di Kay-hong memang aku. Aku menyesal kenapa hanya mematahkan kakinya dan tidak lehernya sekalian."
Ko Ce-yang yang kejam itu sangat ditakuti oleh anak buahnya, tapi sekarang di hadapan ratusan orang anak buahnya dia ditentang terang-terangan oleh seorang gadis yang umurnya belum sampai dua puluh tahun, tentu saja kemarahannya tidak terkendali lagi. Tanpa peringatan lebih dulu dia melangkah ke depan secepat kilat, lalu tongkat baja di tangan kanannya menghantam de?ngan gerakan In-tiong-liong-sam-hiang (Sang Naga Menampakkan diri tiga kali di tengah mega). Tongkatnya yang hanya satu bagaikan terpecah menjadi tiga batang yang mengurung bagian tengah, kiri dan kanan tubuh lawan. Jika lawannya berani maju, maka mangkuk bajanya yang akan menyambutnya, jadi lawannya hanya diberi satu kemungkinan yaitu mundur ke belakang.
Namun gadis murid Rahib Hong-tay dari Siau-lim-pay itu justru adalah seorang gadis keras kepala yang pan?tang mundur, sebab mundur dianggapnya sama dengan mengakui keunggulan lawan?nya. Cepat Wi-lian merendahkan tubuh?nya untuk menghindari sambaran tongkat lawan, dan tanpa menunggu lawan mena?rik tongkatnya kembali, Wi-lian lang?sung membalasnya dengan Kao-tui-hoan-tui (menekuk lutut menendang ke be?lakang) serendah lutut lawan.
Ko Ce-yang dengan gugup mundur ke belakang. Ia tidak menyangka bahwa se?lain tidak mempan gertakan, gadis itu-pun ternyata dapat membalas serangan secepat itu.
Sebaliknya Wi-lian sungkan memberi hati kepada lawannya itu, begitu musuh mundur, maka Wi-lianlah yang mendesak maju. Gadis yang gemar dengan ilmu tendangan ini sekarang melompat sambil memutar tubuhnya dan melancarkan tendangan Ce-bi-kiak ke kening lawan.
Diam-diam Ko Ce-yang gembira meli?hat gadis itu menendang sambil melom?pat, ia merasa sudah tiba saatnya untuk mempertunjukkan kelihaiannya di depan anak buahnya. Tangkas sekali Ko Ce-yang menggerakkan mangkuk baja di tangan kirinya untuk "menangkap" telapak kaki Wi-lian yang menendang itu, dengan maksud untuk langsung diputar dan dibanting.
Begitu yakinnya Ko Ce-yang akan jurus andalannya itu, sehingga mulut-nyapun ikut membentak, "Roboh kau".
Namun kecepatan dan ketangkasan Tong Wi-lian sama sekali diluar perhi?tungan lawannya. Selagi tubuhnya belum menginjak tanah, Wi-lian ternyata mam?pu memutar tubuhnya di tengah udara sambil menarik tendangannya dan digan?tikan oleh kaki yang lain dengan tendangan Sin-liong-pa-bwe (naga sakti mengibaskan ekornya).
Baru saja Ko Ce-yang membentak "roboh", ternyata yang roboh adalah dirinya sendiri. Tubuhnya terpental mundur dua langkah dan langsung terka?par di tanah, karena tendangan Sin-li?ong-pa-bwe yang dilancarkan lawannya itu rupanya tepat mengenai dadanya. Untunglah bahwa pemimpin Ang-ki-tong itu punya tubuh yang kuat, sehingga hanya merasa sakit sedikit di dadanya. Namun demikian kejadian itu sudah cu?kup untuk meruntuhkan pamornya, seke?tika itu juga ia melompat bangkit de?ngan muka yang merah padam.
Sementara itu Mo Hui telah berse?ru kepada segenap anggauta Hwe-liong pang yang duduk di sekeliling pang?gung alam itu, "Para anggauta Hwe-liong-pang sekalian! Rombongan anak anak liar ini telah berani bertindak tanpa kendali dalam pertemuan agung kita ini, dan itu berarti bahwa mere?ka tidak memandang kita sebelah matapun. Hayo kita bereskan mereka!"
Seruan itu seketika mendapat tanggapan, terutama dari kelompok-ke?lompok bendera-bendera Merah, Hijau, Coklat dan Hitam. Seketika itu ter?dengar gemerincing bersahut-sahutan dari senjata yang ditarik keluar dari sarungnya. Sedangkan empat orang Tong-cu dari kelompok-kelompok itupun su?dah mengepung Wi-hong dan teman-teman?nya. Suasana menjadi tegang seketika.
Wi-hong dan teman-temannyapun ti?dak ingin dibantai mentah-mentah be?gitu saja, maka merekapun menyiapkan senjatanya pula. Wi-hong dengan pe?dangnya, Ting Bun dengan goloknya, Ci?an Ping dengan sepasang hau-thau-kau (Kaitan Kepala Harimau) dan dua saudara So dengan lembing-lembing mere?ka. Sedangkan Wi-lian yang lebih per?caya kepada sepasang tangan kosongnya itupun telah mempersiapkan diri pula.
Dalam keadaan segenting itu, Lu Siong dan Oh Yun-kim telah melompat ke depan Wi-hong dan kawan-kawannya, sambil berteriak, "Keselamatan dari tamu-tamu undangan Pang-cu ini adalah tanggung-jawab kami. Siapapun dila?rang mengusik mereka sebelum melang?kahi mayat kami berdua!"
"Bukan berdua tetapi bertiga!" tiba-tiba In Yong memperbaiki ucapan Oh Yum-kim itu. Lalu diapun berdiri berjajar dengan Lu Siong dan Oh Yun-kim, sementara sepasang golok tipisnya sudah keluar dari sarungnya dan tergenggam erat di kedua tangannya. Kata In Yong kemudian, "Aku percaya bahwa Pang-cu benar-benar mengundang mereka, karena itu akupun akan ikut bertanggung-jawab untuk melindungi ta?mu-tamu undangan Pang-cu ini dari tindakan-tindakan liar kalian!"
Suasana di dalam lembah itu seke?tika menjadi sunyi mencekam, para anggauta Hwe-liong-pang yang bersorak-sorai tadipun sudah bungkam semua?nya. Kini para anggauta menjadi ke?bingungan melihat pertentangan antar Tong-cu itu, mereka tidak tahu apakah harus memihak Auyang Siau-hui dan kelompoknya ataukah harus membela Oh Yuh kim dan kelompoknya pula?
Di tengah ketegangan yang mence?kam itu tiba-tiba terdengarlah sebuah suara yang memecah kesunyian, "Kalian benar-benar seperti anak-anak kecil saja, bertengkar dan berkelahi untuk hal-hal yang belum pasti. Saudara-saudara sekalian, lebih baik kita tunggu kedatangan Pang-cu yang tidak lama lagi pasti akan tiba, dan nanti akan terbukti apakah tamu-tamu ini benar benar undangan Pang-cu atau hanya mengaku-aku saja."
Pembicara bersuara serak itu ter?nyata sudah pernah dikenal oleh Wi-li?an pula, bahkan Wi-lian pernah ber?tempur dengannya, dia bukan lain ada?lah Thi-jiau-tho-wan (Lutung Bungkuk Berkuku Besi) Kwa Heng, pemimpin ke?lompok Bendera Kuning. Dia masih tetap didampingi oleh wakilnya, yaitu Siong-po-kay-san (Sepasang Kampak Pendobrak Gunung) Ji Tiat yang gagah perkasa itu.
Usul Kwa Heng itu segera disam?but serempak oleh Oh Yun-kim dan Lu-siong, "Sebuah saran yang tepat!"
Tetapi pihak Ko Ce-yang dan ka?wan-kawannya rupanya tidak mau me?nyudahi urusan dengan begitu saja. Lamkiong Hok yang tajam mulutnya itu telah berkata pula, "Sekarang urus?annya bukan lagi mereka ini tetamu asli atau tetamu palsu, namun sudah menyangkut kehormatan Pang kita. Gadis liar ini berani merobohkan saudara Ko di depan sekian ribu anggauta kita, hal itu jelas tidak dapat dibiarkan sebab sama dengan tidak menghormati kita sebagai tuan rumah!"
"Cocok sekali pendapat saudara Lamkiong," sambut Mo Hui. "Gadis itu, harus mengalami penghinaan berkali lipat dari penghinaan yang didapat oleh saudara Ko!"
Sebenarnya si Hong-long-cu (Serigala Gila) ini sudah agak jera kalau disuruh berurusan dengan Wi-lian yang pernah menghajarnya itu, namun kali ini dia timbul pula keberaniannya, se?bab merasa mempunyai banyak teman.
Sementara pertengkaran antar Tong cu Hwe-liong-pang itu berlangsung cu?kup hangat, Wi-hong dan rombongannya berdiam diri saja, meskipun terus da?lam keadaan waspada. Demi menghormati kepada Lu Siong dan lain-lainnya, me?reka lebih suka membiarkan urusan itu diselesaikan oleh orang-orang Hwe-liong-pang sendiri tanpa campur tangan pihak luar.
Sementara itu terdengar Kwa Heng yang bungkuk itu telah berkata lagi, "Saudara-saudara sekalian, kuingatkan kepada kalian hendaknya kita berpikir secara jernih dan tidak berat sebelah. Coba pikirkan baik-baik, benarkah tin?dakan gadis tadi bermaksud menghina Pang kita? Aku rasa tidak demikian, sebab dia hanya membela diri terhadap serangan saudara Ko tadi. Ataukah sebagai tanda hormat kepada Pang kita dia harus menyerah saja untuk dipukuli sesuka hati?"
"Persetan dengan mulut tajammu, monyet bungkuk !" teriak Ko Ce-yang ma?rah. "Aku tidak peduli omong kosongmu yang bertele-tele itu. Pokoknya aku ingin melampiaskan sakit hati wakilku yang telah dibuatnya cacad kaki se?umur hidup itu !"
Namun Kwa Heng justru berbicara terus, "Ketika gadis itu melukai saudara Tan di Kay-hong, kebetulan akupun hadir di sana, sebab rumah peng?inapan kepunyaanku itulah yang dijadikan ajang perkelahian. Aku melihat pertempuran berlangsung secara adil, masalah ada yang luka atau mati, itu adalah tanggungan yang wajar dari se?tiap orang yang telah menyatakan diri?nya berani berkelana di dunia persila?tan. Saudara Ko, kau marah dan dendam karena seorang wakilmu terluka dalam perkelahian itu, tetapi bagaimanakah dengan Hong-ho-sam-hiong yang telah kau tumpas beserta seluruh keluarga?nya itu? Apakah mereka tidak berhak untuk merasa penasaran?"
Ko Ce-yang memang bukan seorang yang pandai menggunakan mulutnya se?lain untuk makan dan mencaci-maki, ma?ka ketika didebat demikian rupa oleh Kwa Heng, seketika bungkamlah ia. Ke?mudian Auyang Siau-hui yang berbicara untuk menolong rekannya itu, "Saudara Kwa, masakah kau tidak paham pepatah yang berlaku dalam dunia petualangan, bahwa siapa yang kuat dialah yang me?nang? Kami menumpas beberapa perguru?an kecil itu bukanlah salah kami, me?lainkan kesalahan mereka kenapa be?gitu tidak becus?"
Jawaban yang seenak perutnya sen?diri itu seketika membuat darah Tong Wi-hong jadi mendidih, apalagi kalau Wi-hong mengingat bahwa kelompok Jing-ki-tongnya Auyang Siau-hui inilah yang telah membunuh Cian Sin-wi. Na?mun demikian Wi-hong tetap menahan di?ri dan membiarkan orang-orang Hwe-liong-pang menyelesaikan urusan mere?ka sendiri.
Sahut Kwa Heng sambil tertawa ta?war, "Saudara Auyang, jika seluruh dunia persilatan ini sama-sama bersem?boyan 'siapa kuat dia menang' seperti katamu itu, apakah kau kira sekarang ini Hwe-liong-pang masih bisa berdiri di tengah gelombang badai dunia per?silatan ini? Apakah kau kira bahwa Hwe-liong-pang kita mampu menghadapi kekuatan ksyatria seluruh jagad? Apakah kau kira kekuatan Hwe-liong-pang kita yang masih muda ini sudah cukup pantas untuk dihadapkan kepada Siau-lim-pay, Bu-tong-pay, Khong-tong-pay, Hoa-san-pay atau aliran-aliran yang besar lainnya?"
"Saudara Kwa, kenapa kau justru menjunjung-junjung tinggi musuh dan mengecilkan diri sendiri?" tegur Lamkiong Hok. "Perkataanmu itu tidak sepantasnya kau perdengarkan kepada anak buah kita, sebab dapat menge?cilkan semangat mereka sekalian."
Adik sepupu dan wakil Auyang Siau-hui, yaitu Auyang Siau-pa yang sejak tadi tidak ikut berbicara itu, kini tiba-tiba ikut membuka suara, "Aku pikir, apa yang dikemukakan oleh Kwa Tong-cu itu cukup beralasan. Kita memang tidak boleh bersikap seakan-a?kan diri kita terlalu kuat dan menga?baikan kenyataan, sehingga akan dapat menjerumuskan kita kepada tindakan-tindakan yang keliru."
Biasanya Auyang Siau-pa ini sa?ngat pendiam, sehari saja belum tentu bicara lebih dari lima kalimat, namun kini tiba-tiba berani mengemukakan pendapatnya yang bertentangan dengan kakak sepupunya, tentu saja sangat menggemaskan. Si kakak sepupu segera membentak, "Piau-te (adik sepupu), ja?galah mulutmu baik-baik, jangan asal mangap saja. Atau barangkali kaupun sudah menjadi pengecut karena silau oleh nama kosong para pendekar yang sok suci itu?"
Ternyata Auyang Siau-pa kali ini berbeda dengan Auyang Siau-pa biasa?nya, dengan beraninya ia mendebat, "Piau-ko, selama ini kita menutup diri dari kenyataan seperti katak da?lam sumur, mengira luasnya langit ha?nya seluas mulut sumur ! Kita semua ba?ru saja melihat salah seorang murid dari keledai gundul Siau-lim-pay itu ternyata mampu merobohkan Ko Tong-cu, itulah kenyataan, dan dari kenyataan itu dapat kita jadikan ukuran...."
"Tutup mulutmu!" teriak kakak se?pupunya dengan kalap sambil menampar pipi Auyang Siau-pa.
Auyang Siau-pa tidak dapat meng?hindari tamparan itu dan terdorong mundur sampai dua langkah, sementara sudut bibirnya pecah dan mengalirkan darah. Namun dengan sikap beringas dia terus saja berbicara tanpa dapat dicegah, "Biarkan aku bicara, piau-ko, akupun berhak menumpahkan isi hatiku sampai lega! Selama ini sudah cukup aku menindas suara hati nuraniku sen?diri, aku hanyalah seperti alat mati yang hanya menjalankan perintah-perintah yang kadang-kadang bertentang?an dengan suara hatiku sendiri. Sekarang sudah tiba saatnya aku bicara te?rus terang bahwa tindakan kita selama ini sama sekali bukan memperjuangkan tujuan mulia seperti yang digembar-gemborkan, namun hanyalah tindakan untuk memuaskan nafsu haus darah kita !"
Ucapan Auyang Siau-pa yang be?rani itupun seketika menimbulkan sua?sana perpecahan dalam kelompok Jing-ki-tong sendiri. Beberapa orang anak buah Jing-ki-tong yang tadinya menu?ruti jejak Auyang Siau-hui secara membabi-buta, kini mau tidak mau mulai berpikir dan menilai sendiri tindakan mereka selama ini.
Semua perkembangan itu tidak lepas dari pengamatan wi-hong dan Wi-li?an, serta cukup menggembirakan hati kakak beradik itu. Mereka memperhitungkan, bahwa meskipun usaha pener?tiban Hwe-liong-pang itu akan menemui perlawanan yang cukup keras, namun agaknya pengikut Tong Wi-siang lebih banyak daripada pengikut Te-liong hiang-cu yang akan diberantasnya itu. dengan demikian besarlah kemungkinannya bahwa penertiban itu akan berha?sil dengan baik.
Pada saat pertengkaran antara orang-orang Hwe-liong-pang sendiri itu semakin menghangat, bahkan masing-masing pihak sudah siap menghunus sen?jatanya untuk mempertahankan pendiri?annya masing-masing, tiba-tiba dari arah mulut lembah itu terdengar suatu teriakan keras, "Pang-cu sudah tiba! Pang-cu sudah tiba!"
Semua hiruk-pikuk di tengah lem?bah itupun seketika menjadi sunyi se?perti di kuburan, hal itu menunjukkan bahwa bagaimanapun juga Hwe-liong Pang cu masih mempunyai wibawa atas anak buahnya, termasuk anak-buahnya yang mencoba-coba mendongkelnya. Para Tong-cu yang sedang bertikai itupun segera berdiri tegap dengan sikap menghor?mat, diikuti oleh ribuan anggauta Hwe-liong-pang yang memenuhi lembah itu.
Hwe-liong Pang-cu muncul dengan segala tanda-tanda kebesarannya seca?ra lengkap sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang Ketua dari suatu per?kumpulan yang paling menggetarkan dunia persilatan saat itu. Lebih dulu muncullah duabelas orang penunggang kuda yang berseragam dan bermantel hi?tam, berjajar dua-dua. Dua orang pe?nunggang kuda yang paling depan masing masing membawa bendera besar berwarna ungu, yang tengah-tengahnya bersulam dengan gambar seekor naga berapi yang dahsyat.
Setelah rombongan duabelas orang itu, barulah nampak Hwe-liong Pang-cu muncul di atas kudanya yang hitam dan tegar. Hwe-liong Pang-cu berpa?kaian serba hitam pula, bermantel hi?tam, sedang mukanya tertutup sehelai topeng terbuat dari perunggu yang ku?ning kehijau-hijauan. Kemudian di be?lakang Hwe-liong Pang-cu, tiga orang Hiang-cu (hulubalang) berkuda berjajar tiga. Ketiga orang ini bertopeng pula, hanyalah warna pakaian dan mantel me?rekalah yang membedakan diri masing masing Hiang-cu. Te-liong Hiang-cu bermantel merah darah, Thian-liong Hiang-cu bermantel warna ungu gelap, dan Kim-liong Hiang-cu bermantel ber?warna kuning emas.
Kemudian empat orang Su-cia mun?cul di belakang rombongan Hiang-cu, dengan menaiki kuda pula. Mereka ada?lah Sebun Say, Tang Kiau-po, Ling Thi?an-ki dan Hong-goan Hweshio. Karena tidak mengenakan topeng, maka wajah keempat orang Su-cia itu nampak te?gang. Agaknya keempat Su-cia itu me?nyadari bahwa urusan penertiban itu akan mengubah sesama kawan perjuangan menjadi lawan-lawan yang harus ditum?pas habis !
Rombongan Hwe-liong Pang-cu itu terus menaiki kudanya sampai ke ping?gir panggung tanah itu, sementara ri?buan mulut anggauta Hwe-liong-pang se?rempak berseru, "Salam hormat kepada Hwe-liong Pang-cu!"
Diam-diam Wi-hong dan Wi-lian me?rasa bangga juga bahwa kakak mereka ternyata dapat menguasai sekian ribu anak buahnya. Karena tidak ingin menu?runkan pamor kakaknya, maka Wi-hong sengaja mengajak seluruh anggauta rom?bongannya untuk maju menyambut dan memberi hormat, "Selamat bertemu, Hwe-liong Pang-cu, kami berenam datang untuk memenuhi undangan pang-cu !"
Di luar dugaan siapapun, Hwe-liong Pang-cu tiba-tiba melompat tu?run dari kudanya, dan dengan akrabnya dia langsung menggandeng tangan Wi-hong dan Wi-lian untuk naik ke atas panggung. Kepada Cian Ping dan ang?gauta rombongan lainnyapun Hwe-liong Pang-cu berkata, "Silahkan naik, kali?an adalah tamu-tamu kehormatanku, maaf jika tempatnya kurang memuaskan kalian."
Sesungguhnya kehormatan yang diterima oleh Wi hong dan rombongannya a?dalah kehormatan yang terlalu besar, dan seketika itu membuat melongo ri?buan anggauta Hwe-liong-pang yang me?nyaksikannya. Sedangkan bagi Auyang Siau-hui dan rekan-rekan sekomplotannya, kejadian itu menimbulkan fira?sat buruk di dalam perasaan mereka. Diam-diam mereka mulai menyesali diri kenapa harus ikut hadir di lem?bah ini, kenapakah tidak melarikan diri sejauh-jauhnya saja? Namun hati merekapun merasa agak lega jika mengingat bahwa komplotan mereka cukup kuat dan tidak mudah untuk digilas begitu saja, apalagi di dalam komplotan itu sendiri terdapat tokoh tokoh Hwe-liong-pang tingkat tinggi, seperti Sebun Say, Tang Kiau-po dan bahkan Te-liong Hiang-cu.
Di atas panggung tanah itu telah diletakkan batu-batu besar yang digu?nakan sebagai tempat duduk. Sebenar?nya yang berhak duduk di panggung itu hanyalah tokoh-tokoh Hwe-liong-pang yang berpangkat Su-cia ke atas, namun kali ini Tong Wi-hong dan rombong?annya mendapat kehormatan untuk duduk bersama-sama Sang Ketua di atas pang?gung, hal itu membuat orang-orang se?macam Auyang Siau-hui jadi jelus dan gusar bukan main, tetapi tidak berani berbuat apa-apa.
Kini ribuan mata dipusatkan ke atas panggung semuanya. Sesaat nampak Hwe-liong Pang-cu berdiam diri untuk menguasai perasaannya, lalu terdengar?lah suaranya yang bagaikan menggeram dan mengandung pengaruh gaib itu, "Tujuanku mengadakan pertemuan lengkap Pang kita di lembah ini ada dua hal. Yang pertama, aku ingin mendengarkan sendiri laporan dari setiap kelom?pok, dan meminta pertanggungan-jawab mereka tentang apa yang berhasil mere?ka lakukan selama ini, untuk mene?tapkan pahala dan hukuman bagi mereka.''
Seluruh lembah sunyi senyap, se?mentara debaran jantung beberapa orang yang merasa bersalah mulai berde?nyut lebih cepat, menunggu bagaimana kelanjutan nasib mereka. Kemudian ter?dengar pula suara Hwe-liong Pang-cu, "Tujuan kedua, aku mendengar bahwa sudah banyak anggauta kita yang ber?tindak menyeleweng dari garis perju?angan yang telah aku tetapkan, untuk para penyeleweng itu, aku akan meng?ambil tindakan khusus...."
Kalimat yang terakhir ini segera disambut dengan suara mendengung seperti jutaan ekor lebah yang terbang bersama-sama. Kiranya para anggauta Hwe-liong-pang itu mulai saling ber?bisik-bisik satu sama lain. Biarpun hanya berbisik-bisik, namun karena yang berbisik-bisik itu ribuan orang secara serempak maka suaranyapun men?dengung di lembah itu.
Hwe-liong Pang-cu mengangkat tangannya untuk menenangkan keadaan, dan suara mendengung itupun seketika reda. Kali ini Hwe-liong Pang-cu bang?kit berdiri dari tempat duduknya, sua?ranyapun lebih keras dari tadi, "Ku?dengar pula ada sekelompok orang yang tidak puas kepada kepemimpinanku, dan bahkan akupun sudah tahu bahwa mereka telah mempersiapkan perlawanan untuk mendongkel kedudukanku. Kini aku kata?kan kepada mereka, bahwa mereka akan gagal dan bahkan akulah yang akan me?numpas habis pengkhianat-pengkhianat itu!"
Kalimat terakhir ini diucapkan dengan keras dan dilambari pula de?ngan perasaan murka sehingga nadanya?pun menggetarkan hati. Te-liong hiang-cu beserta orang-orang sekomplotannyapun segera merasakan hati mereka tergoncang keras, namun mereka masih berusaha untuk bersikap tenang dan pu?ra-pura tidak paham apa yang diucapkan Sang Ketua.
Setelah menumpahkan perasaan mur?kanya lewat kata-kata, hwe-liong pang-cu merasa agak puas. Suaranyapun menu?run dan terdengar lebih lunak, "Sekarang aku ingin mendengar lapaoran dari masing-masing Tong-cu tentang apa yang telah mereka hasilkan selama ini."
Maka mulailah para Tong-cu itu satu persatu maju ke depan untuk mem?beri laporan. Pek-ki-tong (Kelompok Bendera Putih) yang diwakili oleh Bu ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan) Oh yun-kim segera melaporkan bahwa Pek-ki tong telah berhasil menumpas sebagian besar bajak laut di Laut Kuning yang sering mengganggu ketenteraman para nelayan pesisir timur, sehingga untuk sementara waktu gerombolan bajak laut itu dilumpuhkan kekuatannya. Lalu ui-ki-tong (Kelompok Bendera Kuning) ju?ga melaporkan bahwa mereka berhasil menolong banyak orang miskin dari jer?atan tuan tanah, sehingga banyak orang miskin yang secara sukarela berga?bung dengan Hwe-liong-pang. Setelah itu giliran Ang-ki-tong (Kelompok Bendera Merah) diwakili Tui-hun-mo-kay Ko Ce-yang melaporkan bahwa mereka berha?sil membasmi "para penjahat" yang me?namakan diri Hong-ho-sam-hiong, dan dengan demikian "mengamankan" rakyat dari "gangguan" mereka.
Mendengar laporan Ang-ki Tong-cu yang diputar-balikkan itu, Wi-lian yang ikut mendengarkan itu menjadi sangat gemas dan mencaci kelicinan Ko Ce-yang. Namun Wi-lian berdiam diri saja sebab merasa dirinya sebagai bukan orang Hwe-liong-pang dan tidak berhak ikut campur dalam urusan itu. Dia hanya berharap agar hukuman dan pahala dijatuhkan secara adil kepada yang bersalah dan berjasa.
Begitulah secara berturut-turut para Tong-cu melaporkan hasil kerja?nya selama ini, sebagai manusia tentu saja semuanya melaporkan kebaikannya saja. Nampaklah Hwe-liong Pang-cu diam saja mendengarkan laporan para Tong-cu itu. Karena wajahnya tertutup oleh topeng, maka orang tidak tahu bagaimana perubahan air mukanya, apakah ia merasa puas atau kecewa.
Setelah delapan Tong-cu selesai melaporkan hasil kerjanya masing-ma?sing, terdengarlah Hwe-liong Pang-cu berkata dengan suara menggeram, "Aku mengetahui bahwa beberapa orang Tong cu memberikan laporannya secara tidak jujur. Mereka mengira aku tuli dan buta. Mereka mengira aku tidak tahu pe?ristiwa yang sebenarnya tentang Sin hou-bun dan Tiong-gi Piau-hang, yang sama sekali berbeda dengan yang kali?an laporkan!"
Lalu Hwe-liong Pang-cu menoleh kepada Thian-liong Hiang-cu yang duduk di sebelahnya, serta berkata, "Sam-su-te (adik seperguruan ketiga), coba kau bicara sebenarnya tentang apa yang kau ketahui."
Lebih dulu Thian-liong Hiang-cu memberi hormat kepada Ketuanya, lalu mulai berkata, "Kira-kira dua bulan yang lalu, Jing-ki-tong dengan alasan yang sangat lemah telah melakukan sua?tu tindakan yang menggemparkan dunia persilatan dan dapat membahayakan tujuan perjuangan Hwe-liong-pang kita. Mereka telah melakukan tindakan berda?rah di kota Tay-beng, yaitu membunuh pemimpin Tiong-gi Piau-hang yang bernama Cian Sin-wi. Menurut hasil pe?nyelidikanku, tindakan itu ternyata hanya untuk melampiaskan dendam priba?di salah seorang anggauta Jing-ki-tong yang bernama Song Kim, namun diberi kedok seakan-akan untuk perjuangan Hwe-liong-pang, sehingga sekarang ini nama Hwe-liong-pang sudah sangat ko?tor bagi umat persilatan di wilayah Kang-pak!"
Hwe-liong Pang-cu mendengus dan membentak kepada Auyang Siau-hui, "Auyang Tong-cu, apa katamu sekarang?!"
Dengan kaki yang agak gemetar, Auyang Siau-hui menjura kepada Hwe-liong Pang-cu dan menyahut, "Harap Pang-cu mengetahui, bahwa dalam tindakan tersebut aku punya pertimbangan sendiri, semuanya kulakukan demi perkembangan dan kejayaan Hwe-liong-pang. Si tua she Cian itu secara terang-te?rangan telah berani merobek-robek su?rat kiriman kami. Jika hal itu didiam?kan, maka akan meruntuhkan kewibawaan Hwe-liong-pang."
Cian Ping yang duduk di samping Wi-hong itu, sudah gemetar seluruh tu?buhnya karena marahnya mendengar jawaban Auyang Siau-hui itu. Hampir saja Cian Ping berdiri dan berteriak mem?bantah ucapan Auyang Siau-hui itu, na?mun Wi-hong telah keburu menangkap ta?ngannya dan memberi isyarat dengan kedipan mata agar Cian Ping jangan terburu napsu.
Ternyata meskipun Cian Ping ti?dak membantah, ada juga orang Hwe-liong-pang sendiri yang membantah per?kataan Auyang Siau-hui itu. Orang itu bukan lain adalah Rahib Hong-goan yang berkata sambil tertawa dingin, "O, kiranya begitulah cara Auyang Tong cu dalam menegakkan kewibawaan Pang kita. Lalu bagaimana hasilnya? Benar?kah Pang kita ini sekarang sudah menjadi sebuah Pang yang dihormati dan berwibawa?"
Auyang Siau-hui tertunduk dan ti?dak mampu menjawab. Matanya berkali kali melirik ke arah Te-liong Hiang-cu yang duduk di panggung, mengharap agar Te-liong Hiang-cu berbicara untuk membela kedudukannya yang tersudut. Namun Te-liong Hiang-cu itu berpura pura tidak tahu akan lirikan Auyang Siau-hui itu, sehingga Auyang Siau-hui hanya bisa mengutuk-ngutuk dalam hati?nya. Rupanya Te-liong Hiang-cu dapat merasakan bahwa anak buahnya sedang kalah semangat dalam menghadapi peng?ikut Hwe-liong Pang-cu, karena itu terpaksa ia membiarkan Auyang Siau-hui dalam kesulitan sendiri, bahkan mampuspun jangan dibela asal kedoknya sendiri tetap tertutup.
Sementara itu Hwe-liong Pang-cu telah mengucapkan keputusannya, "Me?nimbang beratnya kesalahan yang diper?buat oleh Auyang Tong-cu, sehingga membuat nama Hwe-liong-pang tercoreng hebat, maka aku putuskan bahwa dia kupecat dari jabatan Jing-ki-tong-cu dan akan dikurung sambil menunggu pu?tusan berikutnya!"
Auyang Siau-hui sangat gugup men?dengar putusan itu, dia hampir pasti bahwa "putusan selanjutnya" itu tentu akan memaksanya untuk menelan sebutir racun Penghancur Tubuh yang menge?rikan itu. Mukanya jadi putih karena takutnya, teriaknya dengan ketakutan, "Harap Pang-cu mengetahui bahwa aku melakukan pembunuhan kepada Cian Sin-wi itu bukan karena kehendakku sendiri dan tidak seorang diri pula ! Tang kiau-po itulah yang mendorong dan merestui tindakanku itu!"
Begitulah, dalam keadaan ketakutan karena terancam hukuman mati, Auyang Siau-hui mencoba mencari "ka?wan seperjalanan" dengan jalan menye?ret rekan-rekan sekomplotannya agar ikut dihukum.
"Bohong!" bantah Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po dari atas panggung. Muka?nya yang biasanya garang itupun menja?di agak pucat karena takut rahasianya terbongkar.
Sementara itu, adik sepupu dan wakil Auyang Siau-hui, Auyang Siau-pa, ternyata bersikap jantan dan tidak perlu tedeng aling-aling. Ia melang?kah maju ke depan Hwe-liong Pang-cu, memberi hormat lalu berkata dengan suara yang lantang, "semua yang diu?capkan oleh piau-ko (kakak misan) ham?ba itupun benar semuanya. Tang Su-cia ikut mendorong dan merestui tindakan kami ketika itu, meskipun dia sendiri tidak ikut turun tangan secara lang?sung, dan sekarang Tang Su-cia secara pengecut menghindari tanggung-jawab?nya. Aku sendiripun ikut dalam peris?tiwa itu dan siap menerima hukuman a?papun dari Pang-cu!"
"Bohong! Bohong!" teriak Tang Ki?au-po dengan gugup. "Pang-cu, bangsat kakak beradik she Auyang ini sedang memfitnah aku untuk mencari teman da?lam kesulitan mereka. Dosa mereka ti?dak pantas diampuni, hendaknya dihukum mati sekarang juga!"
Ucapan Tang Kiau-po yang bernada sangat pengecut dan terang-terangan melepaskan tanggung-jawab dan kesetia-kawanan itu seketika menimbulkan rasa muak dan marah bagi orang-orang sekom?plotannya sendiri, Auyang Siau-hui sendiri sama sekali tidak pernah menduga bahwa orang yang selama ini men?dorong dan menganjurkannya, ternyata dalam keadaan sulit seperti itu jus?tru melepaskannya begitu saja dan ti?dak menolongnya. Sebaliknya adik misannya yang selama ini dianggapnya tolol dan selalu dibentak bentaknya, justru berani membelanya secara jantan. Akhirnya terbukalah mata Auyang Siau hui dan dua titik air mata melompat keluar dari pelupuk matanya.
Katanya kepada adik misannya itu, "Piau-te, ternyata baru hari ini aku memahami pepatah yang mengatakan bahwa nasehat seorang kawan sejati memang baru nampak gunanya setelah dalam kesulitan, begitu pula kawan sejati ialah kawan dalam kesulitan. Aku menyesal bahwa selama ini aku tidak menyadarinya. Adikku yang baik, selamat tinggal...."
Dan tanpa dapat dicegah oleh siapapun lagi, secepat kilat Auyang Siau-hui mencabut pisau belati dari dalam bajunya dan langsung menikamnya ke ulu-hatinya sendiri. Darah muncrat membasahi pakaiannya dan rerumputan di bawah kakinya, dan sesaat kemudian terkulailah tubuh seorang tokoh yang pernah ditakuti di daerah Su-coan dan pernah bergelar Co-siang-hui-mo itu. Menghembuskan napas terakhirnya di ba?wah ribuan pasang mata. Agaknya Auyang Siau-hui sangat takut kalau disuruh menelan Racun Penghancur Tubuh, dimana tubuhnya akan lenyap seketika menjadi darah dan air, maka dia memilih mati dengan tubuh yang utuh.
"Piau-ko," seru Auyang Siau-pa sambil menubruk tubuh kakak misannya yang sudah tidak bernyawa itu. Sesaat ia termangu-mangu seakan-akan tidak mempercayai kenyataan di depannya, bahwa kakak misannya yang selalu didampinginya itu kini telah menjadi sesosok mayat. Dan akhirnya hanya terdengar helaan napas Auyang Siau-pa yang berat.
Kemudian Auyang Siau-pa berdiri menghadap Hwe-liong Pang-cu dan berkata tegas, "Hamba siap menerima hukuman apapun dari Pang-cu, karena peristiwa berdarah di kota Tay-beng itu, biarlah hamba menggantikan tanggung-jawab kakak hamba. Tetapi hamba hanya mohon kiranya Pang-cu mengabulkan sebuah permohonan hamba!"
"Katakan, akan kupertimbangkan," kata Hwe-liong Pang-cu.
"Hamba mohon kiranya Pang-cu memperkenankan tubuh kakak misan hamba tetap dalam keadaan utuh, supaya dapat hamba kuburkan secara layak."
Sementara itu, Tong Wi-hong diam-diam mengagumi sifat-sifat Auyang Siau pa yang jantan itu, timbullah rasa sa?yangnya jika orang seperti itu sampai harus dihukum mati. Maka diam-diam Wi-hong menggunakan ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Gelombang Suara) ke telinga Hwe-liong Pang-cu dan berkata, "A-siang, orang ini berwatak berani dan setia. Jika kau dapat mengampuninya dan mengambil hatinya, maka kau akan punya seorang pembantu yang dapat diandalkan di kemudian hari."
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 25 TERLIHATLAH kepala Hwe-liong-pang-cu mengangguk sedikit, tanda dia sudah menangkap suara adiknya itu dan mengetahui maksudnya. Ia lalu berkata kepada Auyang Siau-pa, "Perminta?anmu kukabulkan. Kakak misanmu akan dikuburkan selayaknya, tetapi kau sen?diri untuk sementara akan dikurung un?tuk mempertimbangkan hukuman apa untukmu."
"Terima kasih atas kemurahan ha?ti Pang-cu," sahut Auyang Siau-pa sam?bil menekuk lututnya. Kemudian dia tidak melawan sama sekali ketika para pengawal Hwe-liong Pang-cu melucuti senjatanya dan membawanya pergi dengan tangan terikat. Wajahnya nampak tenang tenang saja seakan-akan sudah pasrah apapun yang akan dialaminya.
Dengan demikian Tong-cu dari Jing-ki-tong sudah dianggap selesai mempertanggung-jawabkan semua perbua?tannya di kota Tay-beng. Tentang orang orang Jing-ki-tong yang terlibat itu, akan diselesaikan kemudian, misalnya Song Kim dan Han Toan.
Kemudian terdengarlah Hwe-liong Pang-cu berkata lagi dengan suaranya yang dingin, "sekarang aku minta pertanggungan jawab Hek-ki Tong-cu (Pe?mimpin Kelompok Panji Hitam) tentang peristiwa pembantaian lebih dari dua-ratus jiwa yang tak bersalah anggauta perguruan Sin-hou-bun (Perguruan Ha?rimau Sakti) di Kwi-tang !"
Lamkiong Hok insyaf bahwa hari itu dia tidak bisa lolos lagi tapi dia tidak ingin mengalami nasib seper?ti Auyang Siau-hui yang membunuh diri atau Auyang Siau-pa yang telah menja?di tawanan. Dia juga sudah melihat contoh bahwa tidak ada gunanya meng?gantungkan diri kepada Tang Kiau-po atau Sebun Say, sebab mereka tidak ba?kal membelanya. Maka Lamkiong Hok menjadi nekad. Bukan saja dia tidak menjawab pertanyaan Ketuanya itu, dia justru melompat maju sambil berteriak kepada Ko Ce-yang dan Mo Hui, "Sauda?ra Ko dan saudara Mo, apakah kita akan rela diringkus seperti pengecut she Auyang itu? Daripada kita mati ko?nyol, marilah kita pertahankan hidup kita secara laki-laki dengan senjata kita!"
Ternyata jalan pikiran Mo Hui dan Ko Ce-yang juga sama dengan rekan?nya dari Hek-ki-tong itu. Mereka me?lihat sendiri bagaimana Te-liong Hiang cu, Tang Kiau-po dan Sebun Say acuh tak acuh saja terhadap nasib malang yang menimpa Auyang Siau-hui. Jelas Te-liong Hiang-cu dan lain-lainnya itu lebih suka mengorbankan seluruh anggauta komplotannya daripada memba?hayakan diri mereka sendiri. Karena itu Mo Hui, Ko Ce-yang dan Lamkiong Hok-pun menjadi nekad seperti bina?tang buas yang sudah terpojok. Mereka sadar bahwa nasib mereka tergantung kepada diri mereka sendiri.
Serentak Mo Hui dan Ko Ce-yang juga meloncat berdiri dan berdamping?an dengan Lamkiong Hok dengan muka yang tegang. Sementara itu Lamkiong Hok telah berseru pula, "Saudara-saudara dari Jai-ki-tong, Hek-ki-tong, Jing-ki-tong dan Ang-ki-tong, jika kalian tidak ingin dibantai mentah-mentah, sekarang juga cabut senjata kali?an dan bergabung dengan kami !"
Kata-kata Lamkiong Hok itu ter?nyata punya pengaruh yang kuat bagi anggauta-anggauta yang merasa mem?punyai kesalahan tetapi takut untuk menerima hukuman, dan lebih suka mela?wan. Serentak orang-orang jenis ini-pun bangkit menghunus senjatanya dan berdiri di belakang Lamkiong Hok, jum?lah mereka mencapai hampir limaratus orang lebih, diantaranya termasuk pu?la Song Kim, Han Toan dan sisa-sisa dari orang yang pernah menamakan diri Lam-gak-su-koay (Empat Siluman Dari Gunung Selatan).
Tetapi ternyata tidak semua anggauta Jing, Hek, Ang dan Jai-ki-tong terlibat dalam komplotan itu. Tidak sedikit diantara mereka yang justru berpihak kepada Hwe-liong Pang-cu.
Melihat peristiwa itu, meluaplah murka Hwe-liong Pang-cu. Teriaknya de?ngan suara yang seram menggidikkan bu?lu roma, "Bagus! Kini sudah nyata ku?lihat siapa penyeleweng-penyeleweng yang patut dibasmi dari tubuh Hwe-liong-pang! Jika aku tidak berhasil membersihkan kalian hari ini, aku ma?lu sebagai manusia!"
Sementara itu suasana di dalam lembah itu sudah mulai ribut. Sekian ribu manusia berseragam hitam itu dengan cepatnya telah "terbelah" menjadi dua bagian besar yang saling berhadapan dengan senjata terhunus. Bagian yang memihak Lamkiong Hok te?rutama terdiri dari para penjahat atau orang-orang tamak yang masuk Hwe-liong-pang hanya sekedar untuk menda?pat pernaungan yang aman dari musuh musuh mereka. Sedang sebagian lain ada?lah orang-orang yang ingin benar-benar berjuang mendobrak kebobrokan Ke?rajaan Beng dengan melalui Hwe-liong pang, mereka adalah orang-orang yang selama ini merasa hatinya sakit me?lihat nama Hwe-liong-pang dinodai oleh anggauta-anggauta yang tidak ber?tanggung-jawab. Kelompok ini dipimpin oleh Oh Yun-kim, In Yong, Lu Siong dan Kwa Heng.
Alangkah marah dan pedihnya hati Hwe-liong Pang-cu ketika melihat ke?nyataan ini. Namun dia memang sudah bertekad untuk mempertahankan kemurni?an garis perjuangannya, bahkan dengan pengorbanan akan kehilangan sebagian dari kekuatannya. Dalam pedihnya, dia menoleh ke arah Te-liong Hiang-cu sam?bil menggeram, "Inilah rupanya hasil kerjamu selama ini. Kau benar-benar tega menohok kawan seiring dan meng?gunting dalam lipatan."
Te-liong Hiang-cu akhirnya mera?sa tidak ada gunanya berpura-pura la?gi, agaknya semua perbuatannya dike?tahui oleh Ketuanya itu. Tiba-tiba saja Te-liong Hiang-cu berteriak marah dan melancarkan sebuah pukulan dahsyat ke dada Hwe-liong Pang-cu. Rupanya ia bermaksud mengambil keuntungan da?ri suatu gebrakan pertama yang menda?dak.
Namun maksud Te-liong Hiang-cu itu gagal, sebab Hwe-liong Pang-cu berhasil menghindarinya, bahkan kema?rahannya semakin berkobar setelah me?lihat pemberontakan secara terang-te?rangan itu. Dalam murkanya, Hwe-liong Pang-cu berteriak menjatuhkan perintahnya, "Tumpas habis semua pemberon?tak!"
Jatuhnya perintah itu bagaikan sumbu peledak yang dinyalakan, segera disambut dengan meledaknya gemuruh sorak-sorai ribuan orang, disusul dengan gemerincingnya senjata di selu?ruh lembah. Ribuan manusia segera ber?tarung hebat untuk mempertahankan pen?dirian kelompoknya masing-masing. Se?mentara itu antara Hwe-liong Pang-cu dan Te-liong Hiang-cu juga telah saling gebrak dan beberapa kali ber?tukar serangan dahsyat.
Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po ser?ta Sebun Say yang juga termasuk dalam komplotan Te-liong Hiang-cu, ketika melihat perkembangan keadaan itupun segera ikut menentukan sikap. Secara licik tiba-tiba Sebun Say menyergap Rahib Hong-goan dari arah punggung, gerakan yang digunakannya adalah Ya long-tiau-kan (Serigala Liar Melompa?ti Parit). Sabitnya yang berwarna ke?ungu-unguan karena direndam racun itu digerakkan langsung untuk merobek punggung Rahib Hong-goan.
Namun meskipun rahib itu membela?kangi bekas rekannya itu, sebenarnya?lah dia tidak pernah kehilangan kewas?padaannya terhadap rekannya yang dike?nalnya sangat licik itu. Begitu men?dengar desir angin keras di belakang punggungnya, rahib itu tertawa dingin dan berseru, "Inilah kesempatan yang kunantikan sejak dulu!"
Cepat Hong-goan Hweshio membalik?kan badan sambil menyodokkan ujung Hong-pian-jan (Toya Berujung Bulan Sabit) itu ke dada Sebun Say dengan ger?akan Ci-kui-keng-sin (Hantu Menangis Malaikat Terkejut). Hong-pian-jan si rahib lebih panjang dari sabit Sebun Say, maka kalau keduanya menyerang bersamaan Hong-pian-jian akan sampai lebih dulu ke sasarannya. Untunglah Sebun Say dengan tangkas berhasil menggeser luncuran kakinya dan mene?kuk tubuhnya ke belakang, sehingga terhindarlah dadanya dari terobek oleh senjata Rahib Hong-goan.
Begitu Sebun Say tertahan, lawannyalah yang kemudian mendesak maju. Tanpa mengganti napas, Rahib Hong-go?an meneruskan gerakan senjatanya de?ngan senjatanya dengan jurus Hui-in-ki lo (Awan Terbang Naik Turun), toyanya bagaikan terpecah menyerang bagian atas, tengah dan bawah tubuh lawannya secara gencar. Sebun Say kembali di?paksa untuk surut tiga langkah ke be?lakang.
Namun si cebol dari Jing-hay itu-pun bukan sembarang tokoh persilatan, kepandaian dan pengalaman tempurnya cukup dapat diandalkan untuk berganti kedudukan dari bertahan menjadi me?nyerang. Begitu melihat Rahib Hong-goan berganti napas untuk melanjutkan serangan berikutnya, Sebun Say telah mengambil kesempatan itu untuk menye?rang lagi dengan gerakan Jian-san-lok-hio (Daun Rontok di Seribu Gunung). Sabitnya yang berlumuran racun itu ka?li ini bergerak sedemikian cepatnya sehingga seakan-akan berubah menjadi puluhan batang sabit yang serempak menghujani lawannya. Kali ini Rahib Hong-goanlah yang disudutkan dalam ke?adaan bertahan, bahkan kemudian Hong-pian-jannya kena terkait oleh sabit Sebun Say.
"Lepaskan senjatamu sekarang!" teriak Sebun Say kegirangan sekuat te?naganya ia memutar sabitnya dan beru?saha untuk merampas senjata lawannya.
Sebenarnya sepasang tangan Rahib Hong-goan cukup kokoh untuk memperta?hankan toyanya dari tarikan lawan, te?tapi rupanya rahib ini punya perhi?tungan lain. Pura-pura ia tertarik ke depan sehingga tubuhnya doyong, bah?kan kemudian membiarkan toyanya lepas terkait lawan. Tetapi berbareng de?ngan lepasnya toya itu, sepasang ujung jubah si rahib yang longgar itu segera menyabet ke sepasang mata Se?bun Say dengan gerakan bagaikan hidup. Gerakannya mirip jurus Ji-liong-jio-cu (Dua Naga Memperebutkan Mustika), hanya saja tidak menggunakan jari-ja?ri tangan tetapi dengan ujung baju. Itulah ilmu Tiat-siu-sin-kang yang te?lah mencapai tingkat tinggi.
Gerak tipu Hong-goan Hweshio itu memang diluar dugaan, terpaksa Sebun Say melompat mundur dan membatalkan niatnya untuk merampas senjata lawan. Sedangkan Rahib Hong Goan dengan ger?akan yang lincah telah berhasil merebut kembali senjatanya.
Begitulah, dalam waktu yang singkat dua orang yang sama-sama menjabat Su-cia dalam Hwe-liong-pang itu telah saling gebrak sengit sekali. Selama ini mereka memang sudah saling tidak menyenangi satu sama lain, tapi baru kinilah mereka mendapat kesempatan untuk menumpahkan rasa permusuhannya se?cara terbuka. Keduanya juga sama-sama merupakan orang-orang dari suku Hui, sebuah suku padang pasir yang berdarah panas, maka tidak mengherankan kalau pertempuran antara kedua orang itu se?gera meningkat semakin seru.
Sebun Say dengan senjata beracun?nya bergerak ringan memutari lawannya, menyambar-nyambar seperti sesosok hantu yang buas dengan intaian maut?nya. Sedangkan Rahib Hong-goan memang tidak selincah dan secepat lawannya, namun tenaganya benar-benar luar biasa. Pertahanannya kokoh bagaikan bukit karang, sedang serangan-serangannya membawa tenaga kekuatan bagaikan gu?nung runtuh, sehingga Sebun Say-pun tidak pernah berani membenturkan seca?ra keras lawan keras.
Di bagian tengah panggung, ber?langsung suatu pertempuran lain yang jauh lebih dahsyat daripada pertempur?an antara Rahib Hong-goan melawan Se?bun Say itu. Di sinilah dua orang yang kedudukannya paling tinggi dalam hwe-liong-pang, yaitu Hwe-liong Pang-cu dan Te-liong Hiang-cu bertempur dengan penuh kebencian hebat. Satu sa?ma lain bukan hanya saling ingin meng?alahkan, tetapi bahkan kalau bisa men?cincang lawannya sampai hancur berke?ping-keping. Hwe-liong Pang-cu Tong Wi siang merasa sangat marah dan kecewa, karena seorang sahabat lamanya yang sangat dipercayanya sejak masa remaja?nya di An-yang-shia ternyata sampai hati membentuk komplotan yang hendak menggulingkan kedudukannya. Sedang Te liong Hiang-cu yang bukan lain dari Tan Goan-ciau itu juga sangat marah dan putus-asa, karena rencananya yang sudah tersusun rapi untuk menggantikan kedudukan Tong Wi-siang seba?gai Hwe-liong Pang-cu itu ternyata ki?ni telah gagal berantakan.
Pertarungan antara kedua bekas sahabat dari An-yang-shia itu ternyata tidak mirip pertarungan antara dua orang manusia, melainkan lebih mirip perkelahian antara dua ekor siluman iblis. Gerakan mereka selalu menim?bulkan angin yang kencang luar biasa namun bukan karena tenaga dalam yang tinggi, tapi disebabkan oleh kekuatan gaib yang menyertai mere?ka sehingga angin itupun terasa tidak wajar. Sementara sorot mata merekapun berubah menjadi kehijau-hi?jauan seperti mata kucing di malam ha?ri, dan sayup-sayup terdengarlah mu?lut mereka melagukan mantera-mantera yang aneh bahasanya dan seram kedengarannya. Jelaslah kedua orang itu bukan hanya mengadu ilmu silat biasa, te?tapi juga mengadu ilmu hitam dan ilmu beracun mereka!
"Mengerikan sekali," desis Wi-hong yang menyaksikan perkelahian antara kedua orang itu. "Itulah sebabnya ke?napa banyak tokoh seperti Tang Kiau-po dan Sebun-say sampai dapat ditundukkan oleh A-siang, karena ilmu-ilmu hitam seperti ini memang tidak bisa ditandingi dengan ilmu silat melulu."
Sahut Wi-lian dengan wajah yang agak murung, "Ya, dugaan bahwa A-siang telah berhasil menemukan kitab peninggalan Bu-san-jit-kui (Tujuh Iblis Dari Bu-san) ternyata menjadi kenyataan. Semoga A-siang belum terlalu jauh terjerumus ke dalam pemahaman il?mu-ilmu terkutuk itu."
Dalam pada itu, antara Ang-mo-coa ong (Raja Ular Berambut Merah) Tang Kiau-po dengan Jian-jiu-sin-wan (Lu?tung Sakti Bertangan Seribu) Ling Thian-ki juga telah berlangsung suatu pertempuran hidup mati. Tang Kiau-po nampak ganas dan beringas sekali de?ngan tongkat besinya yang berbentuk ular itu. Mula-mula Ling Thian-ki men?coba melayaninya hanya dengan tangan kosong saja, namun karena ia terdesak terus, akhirnya Ling Thian-ki mengeluarkan senjatanya berupa sepasang cundrik pendek yang dimainkannya dengan cepat dan lincah sekali. Kecepatannya itulah agaknya yang membuahkan julukan "Seribu Tangan" bagi dirinya. Dengan kecepatan dan kelincahannya itu barulah ia dapat menandingi raja golongan hitam wilayah timur itu.
Dalam pada itu, pertempuran besar antara pengikut setia Hwe-liong pang-cu melawan pengikut Te-liong Hiang-cu yang putus asa itupun telah meluas ke seluruh lembah Jian-hoa-kok. Para pengikut Te-liong Hiang-cu itu ber?kelahi bukan karena mempertahankan ci?ta-citanya, melainkan hanya demi menyelamatkan hidupnya dari hukuman. Ka?rena mereka merasa bahwa kesalahan mereka tidak mungkin lagi diampuni, maka merekapun bertempur dengan buas dan kalapnya, seperti binatang liar yang meronta-ronta setelah berada di dalam perangkap.
Sebaliknya para pengikut setia Hwe-liong Pang-cu juga bertempur de?ngan penuh semangat. Mereka kini men?dapat kesempatan untuk melampiaskan kekesalan mereka terhadap orang-orang yang selama ini telah menodai garis perjuangan Hwe-liong-pang.
Dengan semangat berkobar antara kedua pihak, maka tak pelak lagi pertempuran di lembah Jian-hoa-kok itu merupakan suatu pertempuran yang dahsyat, perang saudara yang mengerikan, udara lembah bagaikan menjadi kotor oleh nafsu membunuh yang berlebihan. Tubuh-tubuh yang berlumuran da?rah bergelimpangan di mana-mana, pe?kik kematian dan bentakan-bentakan ke?marahan berkumandang di segala sudut lembah itu, bercampur aduk dengan dentang senjata yang saling diadu, lembah Seribu Bunga yang indah itu kini patut berganti nama menjadi Lembah Seribu Mayat.
Dalam hiruk-pikuknya pembantaian antar anggauta Hwe-liong-pang itu, Lamkiong Hok yang licik itu diam-diam menggunakan kesempatan untuk menyusup ke tengah-tengah orang banyak dan berusaha untuk melarikan diri. Tujuan?nya menghasut rekan-rekan sekomplotannya untuk bertempur tadi, rupanya hanya sebagai siasat agar timbul keka?cauan dan dia akan punya kesempatan untuk lolos dari lembah Jian-hoa-kok itu.
Namun pemimpin Hek-ki-tong ini tak menyadari bahwa gerak-geriknya te?rus diawasi oleh Oh Yun-kim yang juga berada di tengah-tengah medan yang ki?sruh itu. Ketika Lamkiong Hok hampir saja mencapai mulut lembah, Oh Yun-kim tanpa banyak bicara lagi lang?sung melompat dan menyerang dengan tendangan Hui-hou-tui (Tendangan Harimau Terbang) yang secepat kilat.
Lamkiong Hok terkejut oleh ser?angan mendadak itu. Tapi dalam gugup?nya dia masih sempat melakukan ge?rakan Hong-hong-tiam-thau (Burung Hong Menganggukkan Kepala) sehingga tend?angan Oh Yun-kim hanya berdesis di atas kepalanya. Bahkan dengan cepatnya ia membalas menggunakan pedangnya untuk menusuk ke atas dengan gerakan Ki-hwe-liau-thian (Mengangkat Obor Membakar Langit).
"Korea gila, kubuat mampus tanpa kubur kau hari ini!" teriaknya penuh dendam kebencian.
Namun di tengah udara Oh Yun-kim dapat membuat gerakan jungkir-balik yang lincah sehingga tusukan Lamkiong Hok itu hanya mengenai tempat kosong, lamkiong Hok yang tengah marah itu ce?pat memburu lawannya dan melancarkan Lian-cu-sam-kai (Tusukan Tiga Berantai).
Oh Yun-kim adalah seorang ahli tendangan yang hebat, sehingga ia mendapat gelar Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan). Melihat jurus ser?angan Lamkiong Hok itu, cepat Oh Yun-kim mundur dua langkah untuk menghin?dari dua tusukan pendahuluan, dan ke?tika Lamkiong Hok melakukan tusukan yang ketiga, Oh Yun-kim telah menyam?butnya dengan gerakan Pay-lian-ka, yaitu kakinya berputar dan menyapu ke atas. Seketika itu juga tangan Lamkiong Hok yang memegang pedang itu tertendang ke samping, meskipun pe?dangnya tidak sampai lepas namun cukup membuat pegal juga.
Si Tendangan Tanpa Bayangan itu tidak pernah melewatkan kesempatan ba?iknya, maka gerakan Pai-lian-ka itu langsung disambungnya dengan gerakan-gerakan berturut-turut Ce-bi-kiak (Tendangan Setinggi Alis) lalu Coan-sin teng-kak (Menendang Sambil Memutar Tubuh). Lamkiong Hok menjadi kerepotan dan tidak dapat menggunakan pedangnya dengan baik, sebab Oh Yun-kim terus mendesaknya dalam suatu pertarungan berjarak pendek.
Dalam geramnya, Lamkiong Hok nekad juga melakukan gerakan Wan-kiong-sia-tiau (Merentang Busur Memanah Rajawali), meskipun sebenarnya jaraknya dengan lawan kurang menguntungkan un?tuk jurus itu. Cepat sekali Oh Yun-kim menundukkan kepalanya dan menggunakan tangannya untuk menepis lengan lawan yang memegang pedang, lalu membalas dengan gerakan Kau-tui-hoan-tui (mene?kuk lutut menendang ke belakang), yaitu memutar tubuh dan melakukan tendangan rendah ke perut lawan. Ter?nyata tendangan ini cukup telak men?darat di perut Lamkiong Hok sehingga membuat pemimpin Hek-ki-tong ini ro?boh dengan perut mulas.
"Saudara Lamkiong, menyerahlah," kata Oh Yun-kim.
"Persetan kau, Korea keparat, aku hanya akan menyerah jika tubuhku sudah tidak bernyawa lagi!" bentak Lamkiong Hok sambil melompat bangun.
Sebenarnya tingkat kepandaian anta?ra Lamkiong Hok dan Oh Yun-kim dapatlah dikatakan cukup seimbang. Dengan kece?patan tendangannya, Oh Yun-kim sampai mendapat julukan Bu-ing-tui (si ten?dangan tanpa bayangan). Tetapi kecepa?tan pedang Lamkiong Hok juga bukan main, sebab diapun punya julukan yang agak mirip dengan julukan Oh Yun-kim, yaitu Jit-ing-kiam (pedang tujuh ba?yangan). Tetapi kali ini Lamkiong Hok sampai bisa didesak oleh Oh Yun-kim adalah karena hatinya yang sedang gugup, sehingga permainan pedangnya terpenga?ruh karenanya.
Kini setelah Lamkiong Hok bangkit kembali, sikapnyapun menjadi lebih ber?hati-hati.
Di sudut lain, terlihatlah pula Jian-kin-sin-kun (tinju malaikat seribu kati) Lu Siong juga sedang bergebrak sengit melawan Tui-hui-mo-kay (pengemis iblis pemburu nyawa) Ko Ce-yang. Nampak pula Im Yong yang berjulukan Hong-lui-siang-to (sepasang golok angin dan pe?tir) itu juga telah berhadapan dengan Mo Hui, si Serigala Gila.
Begitulah keadaan di Lembah Jian-hoa-kok itu. Tong-cu berhadapan dengan Tong-cu, Hu-tong-cu berhadapan dengan Hu-tong-cu anggauta biasa berhadapan dengan anggauta biasa. Mereka yang bertem?pur itu pernah bernaung dibawah satu bende?ra yang sama, pernah pula berjuang satu cita cita yang sama, namun kemudian se?bagian telah menyeleweng dan sebagian yang lainnya berusaha membersihkan kembali cita cita perjuangan yang telah dianggap telah ternoda itu, Hwe-liong pang kekuatan raksasa yang menakutkan dalam dunia persilatan itu kini ter?ancam runtuh dari dalam !
Tong Wi-hong dan kawan-kawannya me?nyaksikan "perang saudara" besar-besar?an itu dengan hati yang tegang. Kelihatanlah bahwa pihak yang mendukung dan tetap setia kepada Hwe-liong Pang-cu masih tetap lebih banyak, namun karena pengikut Te-liong Hiang-cu juga tidak sedikit, maka agaknya akan diperlukan suatu waktu yang lama untuk menumpas para pembangkang itu. Pertempuran pasti akan berlarut-larut dan memakan korban yang banyak di kedua belah pihak.
Sementara itu Thian-liong Hiang-cu serta Kim-liong Hiang-cu, masih ber?diri di atas panggung dan sedang mene?barkan pandangan matanya ke seluruh lembah, untuk mengamati jalannya per?tempuran itu. Beberapa kali mereka tampak menarik napas.
Sedangkan Wi-hong yang merasa ingin membantu kakaknya itu, lalu berseru kepada Hwe-liong Pang-cu yang tengah bertempur itu, "Pang-cu, ijinkan kami ikut terjun ke medan laga untuk memper?cepat menyelesaikan perselisihan ini !"
Meskipun dalam keadaan tegang, namun Wi-hong masih tetap memperhatikan kewibawaan kakaknya di hadapan anak bu?ahnya, sehingga ia tetap saja memang?gilnya dengan sebutan resmi "Pang-cu" dan bukan panggilan akrab "A-siang" se?perti biasanya.
Hwe-liong Pang-cu Tong Wi-siangpun tidak ingin menolak maksud baik adiknya serta kawan-kawannya itu, maka sahutnya, "Baik, tetapi hati-hatilah. Ka?lian berenam jangan berpencar-pencar dan tetap dalam satu rombongan!"
"Baiklah," kata Wi-hong menyang?gupi pesan kakaknya itu. Lalu kepada kawan-kawannya ia berkata, "Bersiap-siaplah. Kita akan terjun ke kancah dan bertempur di pihak Hwe-liong Pang-cu."
Cian Ping telah bersiap dengan se?pasang hau-thau-kaunya, dengan suara penuh dendam ia berkata, "Kebetulan si murid pengkhianat Song Kim itu terma?suk orang-orangnya Te-liong Hiang-cu. Sambil membantu Hwe-liong Pang-cu aku juga akan punya kesempatan untuk melam?piaskan sakit hati terbunuhnya ayahku yang telah dikhianatinya."
Wi-hong memaklumi bahwa dendam yang membara di hati kekasihnya itu me?merlukan penyaluran keluar, agar gadis itu terlepas dari beban hatinya selama ini. Karena itu iapun langsung menye?tujui bahwa pertama-tama mereka akan mencari Song Kim dulu di tengah hiruk-pikuknya pertempuran hebat itu.
Dari atas panggung, lebih dulu me?reka menebarkan mata ke segenap penju?ru untuk mencari di manakah gerangan Song Kim, dan akhirnya nampak bahwa Song Kim berada di sebelah selatan panggung itu. Ia sedang bertempur de?ngan seorang anak muda yang berwajah kekanak-kanakan, namun mampu memainkan senjata Jit-goat-siang-lun (Sepasang Roda Matahari dan Rembulan) dengan dah?syat dan gencarnya. Nampak benar bahwa Song Kim dengan tombaknya yang panjang dan berat itu keripuhan sekali. Dari atas panggung, Wi-hong mengenal bahwa anak muda yang bersenjata Jit-goat-siang-lun itu adalah anggauta Lam-ki-tong (Kelompok Bendera Biru) yang pernah dilihatnya bersama-sama dengan In Yong di tempat penyeberangan perahu di tepi sungai Tiang-kang. Anak muda itu pula?lah yang nampak berang ketika mendengar Wi-hong menceritakan tentang kejaha?tan-kejahatan orang-orang Hwe-liong-pang.
Tidak jauh dari Song Kim, Han Toan dipaksa memeras keringat habis-habisan karena lawannya adalah Hu-tong-cu dari Ui-ki-tong (Kelompok Bendera kuning), yaitu Siang-po-kay-san Ji Tiat, si Se?pasang Kampak Pembuka Gunung, yang per?kasa itu.
Wi-lian pernah berkelahi dengan Ji Tiat ini, yaitu ketika ia membela Hong-ho-sam-hiong di kota Kay-hong. Namun Wi-lian punya kesan baik terhadap Ui-ki-hu-tong-cu ini. Sebaliknya terhadap Han Toan, Wi-lian punya kesan yang bu?ruk, sebab orang itu telah ikut menculik Cian Ping di kota Tay-beng dulu.
"Song Kim di sana!" seru Wi-hong sambil menunjuk ke tempat Song Kim. "Hayo kita terjang ke sana. Tetap da?lam satu barisan dan jangan berpencar?an!"
Keenam orang muda itupun segera melompat turun dari panggung dan me?nerjang kerumunan manusia yang tengah saling membunuh itu. Seperti dike?tahui, kepandaian Wi-hong maupun Wi-lian ada di atas rata-rata Tong-cu Hwe-liong-pang, dan hanya setingkat di bawah kepandaian para Su-cia. Be?gitu pula kepandaian Ting Bun, Cian Ping serta dua saudara So juga tidak lemah, andaikata mereka menjadi ang?gauta Hwe-liong-pang, mungkin paling tidak mereka akan menjabat setingkat dengan Hu-tong-cu. Karena itu, begitu keenam orang ini terjun ke gelanggang; mereka bagaikan sebuah pisau yang me?nyuruk di tengah-tengah segumpal tahu saja. Atas anjuran Wi-hong mereka tid?ak sembarangan melukai anggauta Hwe-liong-pang, sebab mereka tidak tahu manakah orang Hwe-liong-pang yang ber?pihak kepada Hwe-liong Pang-cu dan ma?na yang berpihak Te-liong Hiang-cu. Namun mereka hanya membela diri apa?bila ada senjata yang menyelonong ke tubuh mereka.
Dalam pada itu, Song Kim yang merasa bahwa ilmu silatnya sudah cu?kup mengalami kemajuan karena hasil bimbingan guru barunya, yaitu Ang-mo-coa-ong, sekarang benar-benar merasa kecewa. Dia bagaikan membentur tembok, lawannya kali ini adalah Lam-ki-hu-tong cu yang bernama Ma Hiong dan berjuluk?an Siau-lo-cia (Lo-cia kecil). Meski?pun wajah Ma Hiong masih seperti wa?jah kanak-kanak usia belasan tahun, ternyata permainan sepasang rodanya begitu hebat, sehingga Song Kim hanya bisa bertahan dan tidak bisa menyerang. Bertahan itupun dilakukannya de?ngan susah-payah. Sebenarnya Song Kim mengharapkan bantuan Han Toan yang ti?dak jauh dari padanya. Namun, Han To?an sendiri sedang sulit mempertahan?kan diri sendiri dari amukan sepasang kampak pendek Ji Tiat, tentu saja ti?dak bisa membantunya.
Dan semangat Song Kim semakin berantakan ketika melihat Tong Wi-hong dan lima orang kawannya teng?ah mendekati ke arahnya, apalagi ke?tika Song Kim melihat wajah Cian Ping yang membara penuh dendam kesumat itu. Mata Song Kim mulai celingukan kian-kemari, mencari jalan yang aman untuk melarikan diri.
Siau-lo-cia Ma Hiong tertawa dingin melihat tingkah lawannya itu, ejeknya, "Tidak ada kesempatan untuk melarikan diri bagi setiap pengkhianat yang telah menodai Hwe-liong-pang!"
Song Kim menjadi semakin gugup, sementara gempuran-gempuran lawannya setiap saat terasa bertambah berat. Karena lengah, suatu ketika Ma Hiong berhasil mengait dan menjepit tombak Song Kim dengan gerigi pada Jit-lun (Roda Matahari) di tangan kanannya, lalu ia susulkan sebuah hantaman Goat-lun (Roda Rembulan) ke ubun-ubunnya.
Meskipun tampang Ma Hiong masih kekanak-kanakan, namun dalam segala tindakannya ternyata ia cukup tegas dan tidak ragu-ragu sedikitpun, maka nampaknya sebentar lagi batok kepala Song Kim akan pecah berantakan dan otaknyapun akan terburai keluar. Namun dalam gugupnya Sony Kim masih sempat melepaskan tombaknya dan menggulingkan diri untuk menjauhi lawannya yang garang itu.
Tetapi begitu Song Kim melompat berdiri kembali, terdengarlah ben?takan dingin dari seorang gadis di de?katnya, "Murid durhaka yang tidak tahu membalas budi, kini adalah saat kematianmu!"
Punggung Song Kim langsung saja dialiri keringat dingin setelah me?lihat siapa yang berdiri di hadapan?nya kini. Dulu Song Kim pernah sangat mengagumi wajah cantik itu, dan bahkan mendambakan untuk memilikinya. Te?tapi kini wajah Cian Ping yang berapi-api dan dengan senjata tergenggam di tangannya, tidak kurang mengerikannya dari wajah sesosok malaikat elmaut yang siap menjemput nyawanya.
"Su-moay, harap kau mengingat hu?bungan baik kita yang dulu..." seru Song Kim setengah meratap, mukanya menjadi pucat.
Sebenarnya, dalam keadaan biasa Song Kim pasti akan sanggup mengalah?kan puteri bekas gurunya itu, namun saat itu keadaan Song Kim lain dari biasanya. Selain karena hatinya dibe?bani perasaan bersalah, juga karena orang-orang yang datang bersama dengan Cian Ping itu adalah orang-orang yang paling ditakutinya. Di situ nampak pu?la Tong Wi-hong yang sangat ditakuti tapi juga sangat dibenci oleh Song Kim itu. Nampak pula Tong Wi-lian, macan betina Siau-lim-pay, yang "dengan sen?dirian saja" berhasil membunuh sepa?sang penjahat dari Shoa-tong, serta mengalahkan Mo Hui di luar kota Kiang-leng itu. Masih ada pula Ting Bun dan dua saudara So serta Ma Hiong yang kini telah berdiri melingkari Song Kim. Kini Song Kim benar-benar seper?ti seekor binatang buruan yang ter?perangkap dalam jerat para pemburu.
Cian Ping tertawa dingin ketika melihat Song Kim meratap mohon ampun seperti itu. Ejeknya lagi, "Bangsat berjantung anjing, ke manakah ge?rangan semua keberanian dan kegaranganmu yang selama ini kau pamer-pamer?kan? Kau bicara pula tentang hubungan baik masa lalu, tetapi ketika kau mem?bawa kawan-kawanmu untuk meluruk mem?bunuh ayahku, apakah kau juga ingat akan budi yang dilimpahkan oleh ayah?ku kepadamu?"
"Bu... bukan aku yang membunuh a-yahmu...."
"Pengecut!" bentak Cian Ping dengan muak. Dengan penuh kemarahan segera gadis itu menerjang dengan se?pasang hau-thau-kaunya. Terpaksa Song Kim yang tidak ingin mati konyol itu harus melakukan perlawanan, meskipun tombaknya sudah lepas dari tangannya, tapi ternyata ia punya ilmu tangan ko?song yang lumayan juga.
Demikianlah, di tengah hiruk-pi?kuknya baku-hantam antara orang-orang Hwe-liong-pang yang berbeda pendirian, terjadi pula pertarungan sengit yang tidak ada hubungannya dengan urusan Hwe-liong-pang melainkan semata-mata karena urusan pribadi.
Siau-lo-cia Ma Hiong yang telah kehilangan lawan karena digantikan oleh Cian Ping itu, tidak ingin menganggur saja. Maka sambil memutarkan se?pasang roda bajanya, ia menerjang ke arah para pengikut Te-liong Hiang-cu dan mengamuk hebat. Anggauta-anggauta biasa yang sudah kenal kehebatan Lam-ki-hu-tong-cu ini lebih suka me?nyingkir daripada menjadi korban Jit-goat-siang-lunnya. Namun akhirnya Ma Hiongpun menemukan lawan yang seimbang yaitu Jai-ki-hu-tong-cu (Wakil Pemim?pin Kelompok Bendera Coklat) yang ber?nama Lo Tong-bun.
Di sebelah lain, pertarungan ant?ara Ji Tiat dengan Han Liau-to sudah mendekati penyelesaiannya. Han Toan telah merasa pegal-pegal seluruh ta?ngannya, karena dengan toyanya dia di?paksa terus-menerus menangkis sepa?sang kampak Ji Tiat yang digerakkan dengan tenaga raksasa itu. Toya pe?runggunya yang selama ini dibanggakan sebagai senjata andalannya, kini su?dah tidak keruan lagi bentuknya, beng?kok sana bengkok sini karena berpuluh-puluh kali diadu dengan kampak Ji Tiat.
Beberapa saat kemudian, Han Toan merasa tidak ada gunanya melawan te?rus. Maka akhirnya dia melompat mundur sambil menjatuhkan toyanya, dan berseru, "Ji Toako, harap kau mengingat bahwa kita pernah satu perjuangan. Ampunilah jiwaku!"
Ji Tiat memang bukan seorang pem?bunuh haus darah yang ganas. Melihat Han Toan telah menyerah, diapun meng?hentikan serangannya, lalu Han Toan diserahkan kepada beberapa orang anak buahnya untuk diborgol dan dikurung untuk menunggu hukuman.
Setelah pertempuran sengit di tengah lembah Jian-hoa-kok itu ber?jalan setengah harian lebih, keliha?tan semakin jelas bahwa kedudukan pa?ra pengikut Te-liong Hiang-cu ternya?ta semakin jauh berada di bawah angin. Banyak diantara mereka yang ter?bunuh, tertawan, menyerah, atau berha?sil melarikan diri keluar dari lembah itu. Yang masih gigih bertahan di dalam lembah itu sudah tidak seberapa lagi jumlahnya, merekalah orang-orang nekad yang telah terbius oleh mimpi indah yang pernah dijanjikan oleh Te-liong Hiang-cu!
Namun demikian tidak berarti bah?wa di antara pengikut Hwe-liong Pang-cu tidak ada korban yang jatuh. Pa?ling tidak ada puluhan orang yang te?was, sedang yang luka-luka jauh lebih banyak lagi.
Perang saudara yang tidak seimb?ang itu kini berlangsung semakin ti?dak seimbang. Para pengikut Te-liong Hiang-cu yang masih berkeras kepala itu perlahan-lahan "digiring" ke teng?ah lembah untuk dikepung rapat-rapat. Kemungkinan untuk meloloskan diripun semakin kecil, sebab di tengah lembah itulah masih ada dua tokoh sakti yang berpihak kepada Hwe-liong Pang-cu, yaitu Thian-liong dan Kim-liong Hiang-cu.
Di tengah semrawutnya perten?tangan itu, nampaklah Song Kim yang telah berlumuran darah karena luka-lu?kanya itu tengah terpontang-panting menyelamatkan diri dari amukan bekas su-moaynya itu. Terlihat pula Lamkiong Hok sudah kehilangan harapan juga, ka?rena ia harus menghadapi kerubutan dua orang rekannya yang berilmu setingkat dengannya, yaitu masing-masing adalah Pek-ki-tong-cu Oh Yun-kim dan Ui-ki-tong-cu Kwa Heng. Yang satu sangat ampuh dan berbahaya dengan tendangan kilatnya, yang lain begitu mahir dengan Kau-kun (Silat Kera) yang dikua?sainya dengan matang. Maka si Pedang Tujuh Bayangan itu sudah dapat memba?yangkan nasib apa yang kira-kira ba?kal menimpanya.
Sambil melawan, Lamkiong Hok me?lirik ke kiri dan kanan, mencari-cari kalau-kalau ada rekan sekomplotannya yang bisa membantu kesulitannya. Na?mun Hong-long-cu Mo Hui dan Tui-hun-mo-kay Ko Ce-yang tidak nampak lagi batang hidungnya, entah terbunuh en?tah tertawan, atau mungkin juga berha?sil melepaskan diri keluar lembah. Se?dangkan Sebun Say, Tang Kiau-po dan Te-liong Hiang-cu Tang Goan-ciau juga sudah tidak bisa lagi diharapkan ban?tuannya, sebab mereka masing-masing-pun sedang sibuk mempertahankan nyawa?nya sendiri-sendiri. Akhirnya Lamkiong Hok menyesal kenapa dia dulu begitu tolol untuk terpikat kepada janji-jan?ji muluk Te-liong Hiang-cu, dan akhir?nya memasuki menjadi anggauta komplo?tan yang akan menggulingkan Hwe-liong Pang-cu itu. Tetapi ternyata begini?lah nasib yang bakal diterimanya.
Gelagat buruk buat komplotan pem?bangkang itu juga sudah tercium oleh Te-liong Hiang-cu dari atas panggung. Saat itu Te-liong Hiang-cu Tan Goan-ciau sudah terdesak selangkah demi selangkah oleh Hwe-liong Pang-cu Tong Wi-siang. Sedang tidak jauh dari pada?nya, Thian-liong Hiang-cu Siangkoan Hong serta Kim-liong Hiang-cu Lim Hong-pin sudah siap mencegatnya jika ia berusaha melarikan diri. Mereka berempat adalah bekas anak-anak An-yang-shia yang kini menjadi empat orang tokoh puncak Hwe-liong-pang, per?nah mengalami suka-duka bersama selama bertahun-tahun, namun kini mereka be?nar-benar telah berdiri sebagai musuh bebuyutan. Akhirnya Tan Goan-ciau ter?paksa menerima kenyataan bahwa renca?na yang disusunnya selama ini telah gagal seluruhnya. Rusak berantakan se?perti patung tanah yang direndam da?lam air.
Dalam keadaan yang amat pahit itu, Te-liong Hiang-cu memutuskan untuk melarikan diri saja. Ia tidak peduli lagi akan mati hidup dari anggauta komplotannya yang masih ter?kurung di dalam lembah itu, yang pen?ting dirinya sendiri selamat. Memang begitulah sifatnya sejak ia masih menjadi seorang penjudi kecil di An yang-shia.
Karena merasa sangat mustahil un?tuk mengalahkan Tong Wi-siang dengan ilmu-ilmu biasa, maka akhirnya Tan Goan-ciau bertekad akan menggunakan se?jenis ilmu hitam yang bernama Thian-mo pay-goat-sin-kang (Tenaga Sakti Hantu langit Menyembah Rembulan). Karena itu tiba-tiba saja Tan Goan-ciau me?lompat mundur dan melepaskan ikat ke?palanya, sehingga rambutnya terurai menutupi mukanya, sinar matanyapun se?makin hijau dan mantera-mantera yang digumamkannya semakin keras. Ilmu ini memang sangat dahsyat, tetapi penggunaannya dapat melukai diri sendiri, sehingga umumnya para penganutnya tidak akan menggunakan ilmu ini kalau tidak dalam keadaan yang terdesak.
Perubahan sikap itu mengejutkan Tong Wi-siang. Wi-siang tahu juga akan ilmu itu, sebab ilmu itu tercan?tum dalam kitab kuno peninggalan Bu san-jit-kui. Dia tahu pula bahwa orang yang mengetrapkan ilmu itu akan berlipat ganda kekuatannya, tetapi di?rinya sendiripun akan luka dalam.
Dalam kejutnya, Wi-siang melompat mundur beberpa langkah untuk mempersi?apkan diri dalam menghadapi ilmu yang dahsyat itu. Namun Tan Goan-ciau sama sekali tidak membiarkan Tong Wi-siang sempat mempersiapkan dirinya. Cepat cepat ia menggigit lidahnya sendiri sehingga berdarah, lalu disemburkannya segumpal darah mengenai tubuh Tong Wi-siang. Itulah satu-satunya cara yang diajarkan oleh Kitab Bu-san-jit-kui untuk mencegah agar Wi-siang tidak da?pat mempergunakan ilmu yang sama.
Segala sesuatunya terjadi dalam waktu yang amat singkat. Semburan da?rah Tan Goan-ciau disusul dengan ser?gapan kilatnya yang menghantam dada Tong Wi-siang. Tanpa sempat menghind?ari lagi, ketua Hwe-liong-pang itu terpental roboh sambil memuntahkan da?rah segar, topeng yang dipakainyapun berlumuran darah.
"A-siang!" Hampir bersamaan ter?dengarlah seruan kaget dari Thian-liong Hiang-cu Siangkoan Hong serta Kim-liong Hiang-cu Lim Hong-pin. Siangkoan Hong cepat memburu ke depan untuk menyanggah tubuh Wi-siang, se?dangkan Lim Hong-pin cepat melompat menghadang Tan Goan-ciau agar jangan menyerang lagi ke arah Wi-siang.
Namun Tan Goan-ciau sendiri agaknya memang tidak berniat melanjut?kan serangannya, dia hanya mencari kesempatan untuk melarikan diri saja. Maka begitu melihat Wi-siang roboh, ia langsung melompat pergi dengan ke?cepatan kilat, sekejap saja bayang?annya sudah tidak terlihat lagi. Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin tidak mengejarnya, sebab mereka lebih memen?tingkan keadaan Sang Ketua yang nam?pak agak parah itu.
Dengan agak tertatih Wi-siang berhasil juga untuk bangkit berdiri. Setelah menarik napas beberapa kali, ia berkata dengan suara yang lemah, "Goan-ciau memang gila, aku tidak menduga ia akan berani menggunakan ilmu itu. A-hong dan A-pin berdua, keadaan?ku tidak terlalu menguatirkan, cepat?lah kalian terjun ke gelanggang untuk mempercepat penyelesaian agar korban di pihak kita tidak terlalu banyak."
Meskipun masih mencemaskan keada?an tubuh Tong Wi-siang yang masih le?mah itu, namun Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin langsung menjalankan perin?tah Ketua dan sahabatnya itu tanpa mem?bantah.
Dengan meratnya Te-liong Hiang-cu serta terjunnya Thian-liong dan Kim-liong Hiang-cu yang berkepandaian seperti iblis itu, maka keseimbangan pertempuran di lembah Jian-hoa-kok itu dengan cepatnya terasa makin berat sebelah. Para pengikut Te-liong hiang-cu menjadi patah semangat kare?na ditinggalkan begitu saja oleh pe?mimpinnya, apalagi setelah mereka me?lihat bagaimana dengan mudahnya Te-li?ong dan lainnya tidak berdaya apa-apa. Kemudian Sebun Say dan Tang Kiau-po yang menerima nasib sial untuk perta?ma kalinya, sebab mereka dengan mudah?nya diringkus oleh Thian-liong dan Kim liong Hiang-cu.
Seruan untuk menyerah segera dikumandangkan kepada para pengikut Te-liong Hiang-cu yang masih melawan. Seruan itu ditaati oleh sebagian dari mereka, namun yang sebagian lainnya tetap berkepala batu untuk melawan, sehingga tidak ada jalan lain kecuali ditumpas habis. Di antara orang-orang yang tertumpas habis itu terdapat pu?la Lamkiong Hok, yang tulang-tulang dadanya rontok oleh tendangan Oh Yun-kim, juga Song Kim yang mati di bawah senjata seorang gadis yang pernah di?cintainya.
Meskipun pemberontakan dalam Hwe-liong-pang itu akhirnya berhasil dipa?damkan, namun korban di pihak peng?ikut Hwe-liong Pang-cu tidak sedikit pula. Anggauta-angauta dari berbagai Tong yang tewas, ada seratus orang le?bih, sedang yang luka-luka jauh lebih banyak lagi. Di antara pengikut-pengi?kut yang tewas itu terdapat pula Hu tong-cu (wakil pemimpin kelompok) da?ri Pek-ki-tong dan Ci-ki-tong.
Para pembangkang yang menyerah segera diikat kaki tangannya dan dikumpulkan di salah satu sudut lem?bah untuk menunggu keputusan hukuman apa yang akan dijatuhkan kepada mere?ka. Sedang orang-orang yang tewas, baik pengikut Hwe-liong Pang-cu maupun pengikut-pengikut Te-liong Hiang-cu, segera dimakamkan di lembah itu juga. Kini di antara bunga-bunga yang berta?buran di lembah itu, bertaburan pula gundukan-gundukan tanah merah yang berisi mayat-mayat anggauta-anggauta Hwe-liong-pang.
Meskipun isi dadanya masih terasa a?gak nyeri, Tong Wi siang menguatkan diri untuk duduk di atas batu di tengah-tengah panggung. Thian-liong dan Kim-liong Hiang-cu serta dua orang Su-cia mengapit di kiri dan kanan Sang Ketua dengan sikap mengawal. Sementara Tong Wi-hong dan kawan-kawannyapun telah berada kembali di atas panggung. Wa?jah mereka rata-rata menampilkan kese?dihan, karena penertiban dalam tubuh Hwe-liong-pang itu ternyata memakan korban jiwa begitu banyak, namun merekapun merasa terhibur bahwa di kemudi?an hari para pengacau yang bernaung di bawah bendera Hwe-liong-pang itu tidak akan meresahkan dunia persila?tan lagi.
Tong Wi-siangpun nampak sedih. Meskipun wajahnya tidak terlihat, se?bab tertutup topeng, namun perasaan sedihnya itu dapat dilihat dari ta?rikan napas panjangnya yang ber?ulang-ulang. Matanya yang redup mena?tap kepada Wi-hong, Wi-lian dan kawan-kawannya, katanya dengan suara agak parau, "Aku tidak berbohong bukan? Aku benar-benar melakukan penertiban itu, meskipun hal itu nyaris saja mem?buat Hwe-liong-pang hancur berkeping keping oleh perang saudara."
"Tetapi itu adalah tindakan yang berani dan terpuji," sahut Wi-hong. "Sebuah luka yang membusuk harus segera diobati dan diberantas, beta?papun rasa sakitnya, agar luka itu tidak menjalar ke seluruh tubuh dan membuat seluruh tubuhnya menjadi bu?suk."
"Ucapan yang tepat," sambung Thian-liong Hiang-cu dari balik topeng?nya. "Memang sangat menyedihkan, bah?wa hampir sepertiga dari kekuatan Hwe-liong-pang kita telah hancur begitu saja karena bentrokan dalam tubuh sendiri. Namun untuk waktu-waktu se?lanjutnya Hwe-liong-pang kita akan berjalan lurus dalam garis perjuangan tanpa menyeleweng."
Hwe-liong Pang-cu Tong Wi-siang mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata, "kata-kata kalian sangat mem?besarkan hatiku. Sekarang aku akan mengumumkan suatu keputusan. Tan Goan-ciau kunyatakan kupecat dari Hwe-liong pang, selanjutnya jika kalian bertemu dengan dia di mana saja, kalian boleh langsung menumpasnya."
Setelah menarik napas beberapa kali, Wi-siang berkata lagi, "Kita akan tetap punya delapan kelompok yang bekerja di wilayahnya masing-masing. Para Tong-cu (kepala kelompok) Hu-tong cu (wakil kepala kelompok) yang telah gugur atau telah dipecat, akan segera diangkat penggantinya. Sedang untuk jabatan Su-cia (utusan) untuk sement?ara biarlah diduduki oleh dua orang saja, kelak perlahan-lahan akan kulihat siapa yang pantas untuk mengisi lowongan yang dua lagi."
Sementara itu, penguburan mayat mayat sudah selesai, dan mataharipun sudah condong ke sebelah barat. Para anggauta Hwe-liong-pang segera berba?ris tertib dalam kelompoknya masing masing untuk menantikan perintah le?bih lanjut. Ternyata tidak semua ang?gauta dari Kelompok Bendera Merah, Coklat, hijau dan Hitam itu ikut mem?berontak seperti pemimpin kelompok me?reka. Ada sebagian kecil dari anggauta kelompok-kelompok itu yang tadi bertempur gigih di pihak Ketua yang syah. Kini merekapun berbaris menurut kelompoknya lagi, dan meskipun jumlah mere?ka sangat sedikit, namun wajah-wajah mereka menampilkan perasaan puas dan bangga, karena merasa telah menyum?bangkan tenaga untuk ikut menegakkan kewibawaan Ketua yang syah.
Setelah seluruh anggauta berkum?pul dalam kelompoknya masing-masing, terdengarlah suara Hwe-liong Pang-cu mengumandang ke seluruh lembah, "Kita merasa puas bahwa kita berhasil mener?tibkan diri sendiri, membersihkan tu?buh kita sendiri dari penyakit yang selama ini menggerogoti dari dalam dan membuat nama kita menjadi busuk di luaran. Peristiwa pahit ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika setiap anggauta tetap setia kepada tujuan akhir kita tanpa punya pikiran untuk menyeleweng. Hendaknya peristiwa se?perti ini hanya terjadi sekali ini, dan merupakan cambuk bagi kita agar di kemudian hari lebih berhati-hati dalam menerima anggauta, jangan sembarangan menerima orang yang tidak diketahui asal-usulnya."
Suasana di lembah hening sejenak sampai terdengar lagi suara Hwe-liong Pang-cu, "Aku juga berterima kasih ke?pada mereka yang gigih menegakkan kewibawaan Pang tanpa menghiraukan kese?lamatan diri sendiri, bahkan nama-nama mereka yang gugur membela nama Hwe-liong-pang, akan tetap kita ukirkan dalam hati kita. Marilah bersama kita hadapi hari esok yang cerah, namun tidak berarti perjuangan kita akan mandeg. Hari ini kalian boleh beristi?rahat, pertemuan ini akan kita lanjutkan besok pagi dengan acara lain, menetapkan kembali garis perjuangan kita dalam menghadapi perkembangan-perkembangan baru."
Begitulah pertemuan hari pertama itu ternyata diwarnai dengan meng?alirkan darah dan melayangnya ratusan nyawa. Namun hal itu memang sudah da?lam perkiraan semua pihak.
Tong Wi-hong dan kawan-kawannya merasa sudah cukup menghadiri dan me?nyaksikan pertemuan hari itu. Sedang?kan pertemuan esok hari tentunya le?bih bersifat urusan dalam rumah tangga Hwe-liong-pang sendiri yang tidak pan?tas untuk dicampuri orang luar, maka Wi-hong dan kawan-kawannya lalu memu?tuskan bahwa besok pagi-pagi akan me?ninggalkan lembah.
Namun ketika Wi-hong mengemukakan hal itu kepada kakaknya yang Ketua Hwe-liong-pang itu, sang kakak minta diberi kesempatan untuk lebih dulu menjamu Wi-hong dan kawan-kawannya da?lam suatu perjamuan perpisahan. Maka pada malam harinya berlangsunglah se?buah perjamuan yang berlangsung sangat sederhana tetapi bersuasana akrab, tempatnya ialah di salah satu barak yang memang didirikan di sekitar lem?bah itu. Yang mengitari meja perjamu?an adalah Tong Wi-siang, Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin yang merasa ti?dak perlu lagi mengenakan topeng mere?ka, juga Hong-goan Hweshio, Ling Thian ki, para Tong-cu serta Hu-tong-cu yang masih setia kepada Ketua dan tentu saja Wi-hong sendiri dan rombongannya.
Karena Wi-siang, Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin tidak hadir sebagai tokoh-tokoh Hwe-liong-pang melainkan hadir "sebagai pribadi," maka pertemuan itu berjalan akrab dan tidak kaku, le?bih menyerupai pesta anak-anak An-yang shia daripada pesta yang diselengga?rakan oleh tokoh seangker Hwe-liong Pang-cu.
Saat itu pulalah Cian Ping baru mengetahui bahwa Hwe-liong Pang-cu yang menakutkan itu ternyata adalah bakal kakak iparnya sendiri, begitu pula Ting Bun tidak menduga kalau sahabatnya semasa kanak-kanak itulah yang ternyata bersembunyi di balik kedok Hwe-liong-Pang-cu yang menggempar?kan itu. Namun dendam kesumat di hati Cian Ping sudah terhapus bersih, dia sudah melihat sendiri bagaimana Hwe-liong-pang ternyata terbagi dua dalam bagian yang baik dan yang jahat, lagi pula Cian Ping juga puas karena Song Kim, si pengkhianat, sudah berhasil dibunuhnya dengan tangannya sendiri.
Muka Tong Wi-siang masih agak pu?cat karena luka dalamnya akibat hant?aman Te-liong Hiang-cu tadi, namun ia nampak gembira dan berkali-kali menga?jak tamu-tamunya untuk meneguk cawan araknya. Katanya kepada Wi-hong dan rombongannya, "Adik-adikku dan sauda?ra-saudara sekalian, kalian sudah me?lihat sendiri sebuah peristiwa besar di lembah ini, bagaimana kami benar-benar berusaha mencuci diri, meskipun harus kehilangan sebagian dari ke?kuatan kami. Mulai detik ini, aku ber?harap bahwa Hwe-liong-pang yang kejam dan sewenang-wenang akan terhapus da?ri ingatan orang, digantikan dengan Hwe-liong-pang yang bersih, dengan cita-cita luhur kami untuk mendobrak kebobrokan pemerintahan Cong-ceng dan mengusahakan kesejahteraan rakyat ba?nyak."
Kata-kata yang terakhir itu cukup menggetarkan dada Ting Bun, Cian Ping dan dua saudara So yang memang belum pernah mendengarnya, sebab kalimat itu mengandung makna bahwa Hwe-liong-pang akan berusaha merobohkan Keraja?an Beng yang saat itu berkuasa! Jika hal itu yang betul-betul digariskan sebagai cita-cita Hwe-liong-pang, maka agaknya Tong Wi-siang ingin agar nama?nya tercatat dalam sejarah sebagai pendiri dinasti baru. Sejajar dengan Tio Khong-in, itu pendiri dinasti Song, atau Li Yan si pendiri dinasti Tong, atau Temuchin si pendiri dinas?ti Goan dan juga Cu Goan-ciang si pen?diri dinasti Beng. Benar-benar suatu cita-cita yang tidak tanggung-tang?gung !
Sementara itu Tong Wi siang te?lah melanjutkan kata-katanya dengan bersemangat, "Adik-adikku, kelak jika kalian menghadiri pertemuan besar kaum ksyatria di Siong-san, kuharap kalian menceritakan apa yang kalian lihat di lembah ini. Sampaikanlah pe?sanku kepada kaum ksyatria di Siong-san itu, bahwa Hwe-liong-pang bukan musuh mereka, namun justru ka?wan mereka yang akan mengajak mereka untuk bergandengan tangan memperjuang?kan cita-cita luhur."
Keesokan harinya, ketika baru sa?ja matahari terbit, Wi-hong dan kelima orang kawannya itu berkuda me?ninggalkan lembah Jian-hoa-kok yang penuh kenangan itu. Kepergian mereka diantarkan sendiri oleh Wi-siang sam?pai ke luar lembah, juga oleh bebe?rapa orang tokoh Hwe-liong-pang.
-o0^DwKz-Hendra^0o- LEBIH dulu Tong Wi-hong dan kawan-kawannya menuju ke rumah keluarga Tong di An-yang-shia itu untuk mengambil perbekalan yang mereka tinggalkan di sana. Kemudian setelah mengambil bekal dan berpesan kepada para pelayan agar merawat rumah itu dan makam Tong Tian sebaik-baiknya, Tong Wi-hong mengajak rombongannya me?nuju ke Siong-san di wilayah Ho-lam untuk menghadiri pertemuan kaum pen?dekar yang diprakarsai oleh pihak Siau-lim-pay.
Seperti diketahui, Tiong-gi Piau-hang menerima pula sepucuk undangan dari Siau-lim-pay. Meskipun Tiong-gi Piau-hang itu pada hakekatnya bukan?lah sebuah aliran atau perguruan silat, melainkan hanya sebuah perusahaan di bidang pengawalan, namun kekuatannya yang cukup tangguh itu dianggap dapat ikut berperanan dalam setiap peristi?wa dunia persilatan. Dalam Tiong-gi Piau-hang itulah bernaung puluhan orang jagoan tangguh, sehingga pihak pe?nyelenggara pertemuan itu merasa le?bih bijaksana untuk merangkul Tiong-gi Piau-hang sebagai sekutu. Yang diun?dang hadir itu sebenarnya adalah Cian Sin-wi, namun karena Cian Sin-wi te?lah tewas, maka kehadirannya diwakili oleh Tong Wi-hong yang telah menjadi pemimpin baru Tiong-gi Piau-hang itu.
So Hou dan So Pa sebenarnya sud?ah ditawari oleh Wi-hong untuk pulang kembali ke Bu-sek, namun kedua sauda?ra So itu menyatakan bertekad untuk mengawal Tong Wi-hong sampai ke Siong-san. Menurut pendapat kedua saudara itu, seorang pemimpin Tiong-gi Piau hang yang terkenal itu tidak pantas kalau muncul seorang diri tanpa penga?wal, harus ada pengawalan supaya nam?pak kewibawaannya.
Mau tak mau Tong Wi-hong terse?nyum mendengar alasan yang dikemukakan oleh kedua orangnya itu. Katanya, "Kadang-kadang aku lupa bahwa aku ada?lah Cong-piau-thau Tiong-gi Piau-hang, sehingga aku masih saja berbuat se?suka hatiku seperti dulu ketika ma?sih bebas."
Karena Siau-lim-si terletak di wilayah Ho-lam, maka perjalanan mere?kapun ditujukan ke arah utara. Hari pertama perjalanan mereka sejak me?ninggalkan An-yang-shia, mereka tiba di kota Kiu-kiang yang terletak di tepian sungai besar Yang-ce-kiang. Mere?ka bermalam di kota itu, dan di kota itu pula mereka masih dapat menikmati danau Po-yang-ou yang membentang luas sampai bersentuhan dengan sungai Yang-ce-kiang.
Setelah keesokan harinya mereka menyeberangi sungai yang terkenal itu, tidak lama kemudian merekapun mema?suki wilayah Ou-pak. Begitu masuk da?erah Ou-pak, mulailah Tong Wi-hong dan kawan-kawannya merasakan suasana tegangnya kaum persilatan di wilayah itu. Sebentar-sebentar nampak orang-orang yang berkuda dan menyandang senjata hilir-mudik di jalanan dan bersikap mengawasi setiap orang asing. Pertemuan kaum pendekar di Siong san itu memang bermaksud untuk menghadapi Hwe-liong-pang, maka tidak mengherankan jika kaum pendekarpun me?nyiapkan penjagaan ketat karena kua?tir akan pengacauan dari pihak Hwe-li?ong-pang.
Para-para jago persilatan yang ditemui sepanjang jalan menuju ke Siong-san itu, rata-rata terdiri dari jago-jago muda usia dari berbagai per?guruan terkenal dunia persilatan. Me?reka dilengkapi dengan burung-burung merpati pembawa surat serta kuda-kuda tunggangan yang dapat berlari cepat, supaya dapat segera saling berhubungan bila ada keadaan darurat. Demikianlah, suasananya mirip suasana perang. Namun untunglah, bahwa banyak diantara ja?go-jago muda itu yang mengenal Wi-hong sebagai pemimpin Tiong-gi Piau-hang, atau banyak pula murid-murid Siau-lim-pay yang mengenal Wi-lian sebagai sesa?ma murid Siau-lim-pay pula. Bahkan tidak sedikit pula yang sudah meng?enal dua saudara So yang luas penga?lamannya karena sering berkelana itu. Dengan demikian perjalanan Wi-hong dan rombongannya cukup lancar.
Meskipun perjalanan cukup lancar, tapi "suasana perang" yang ditunjukkan oleh para jago muda dari berbagai per?guruan itu cukup mendebarkan hati. Maklumlah, mereka adalah anak-anak mu?da yang baru keluar dari perguruan dan dalam anggapan mereka maka mereka sudah merupakan orang-orang yang tak terkalahkan, mereka menjual lagak dan selalu mencari kesempatan untuk meng?hunus pedang mereka dan memamerkan kebolehannya bermain pedang. Selain itu, melihat sekian banyak jagoan yang bersikap memusuhi Hwe-liong-pang, maka Tong Wi-hong menjadi bimbang, dapatkah nanti ia meyakinkan para pende?kar itu bahwa Hwe-liong-pang bukanlah musuh? Dan bagaimana nanti sikap golongan-golongan atau perguruan-perguruan yang pernah dirugikan oleh Hwe-liong-pang? Semuanya itu masih meru?pakan pertanyaan-pertanyaan yang be?lum dipastikan jawabannya.
Rombongan Tong Wi-hong melalui wilayah Ou-pak dalam waktu lima hari berkuda, pada hari yang keenam mereka telah mulai menginjak wilayah Ho-lam.
Di sini perjalanan lebih lancar lagi, sebab nama besar Siau-lim-pay sangat terasa pengaruhnya di wilayah ini, dan banyak di antara jago-jago Siau lim-pay itu yang mengenal Wi-lian, baik yang pendeta maupun yang bukan pendeta.
Setelah melakukan perjalanan dua hari lagi, Wi-hong dan rombongannya mulai memasuki kota Teng-hong, jarak?nya dengan bukit Siong-san sudah ti?dak jauh lagi. Maka Tong Wi-hong memu?tuskan untuk beristirahat satu hari di kota itu, sambil melihat-lihat sua?sana.
Mereka beristirahat di sebuah ru?mah makan merangkap rumah penginapan yang bernama "Hui-in-lau" yang terle?tak tepat di jantung kota Teng-hong. Di situ mereka menyewa tiga kamar. Ci?an Ping dan Wi-lian menempati satu kamar, begitu pula Wi-hong dan Ting Bun serta dua saudara So masing-ma?sing mendapat satu kamar. Mereka seng?aja memilih kamar di loteng atas yang jendelanya menghadap ke jalan raya, sehingga mereka akan dapat memperha?tikan keadaan di jalan raya itu.
Ketika hari sore, Ting Bun dan Tong Wi-hong duduk bercakap-cakap di dekat jendela kamar mereka, sambil se?kali-kali menghirup teh wangi mereka. Mereka sedang membicarakan bagaimana caranya mengadakan pendekatan kepada kaum pendekar, dan bagaimana mener?angkan tujuan Hwe-liong-pang kepada kaum pendekar itu.
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 26 "TENTU sangat sulit, sebab sikap bermusuhan sudah terlanjur tertanam antara kedua pihak, apalagi telah jatuh korban pula," kata Ting Bun. "Namun jalan tidak tertutup sama sekali, sebab kita harus ingat Hwe-liong-pang pernah punya perbuatan-perbuatan baik pula. Bukankah kau ingat bahwa In Yong pernah bercerita kepada kita bahwa Hwe-liong-pang pernah berbuat kebajikan di beberapa tempat? Kita ha?rapkan sikap para pendekar itu bukan suatu sikap mati yang kaku, namun aku yakin mereka akan cukup bijaksana da?lam mempertimbangkan semua keterangan."
Wi-hong mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya sambil menarik napas, "Benar-benar tugas yang berat, seakan-akan kita sekarang ini sudah menjadi juru bicara bagi Hwe-liong-pang. Namun aku tidak menyesal memikul tugas ini. Semoga A-siang bisa mengendalikan anak buahnya."
Baru saja Wi-hong mengatupkan mu?lutnya, tiba-tiba di jalan raya di de?pan rumah penginapan itu terdengar ada suara derap kaki kuda yang dila?rikan dengan keras, disusul pula de?ngan teriakan yang ribut. Cepat Wi-hong dan Ting Bun meletakkan cangkir teh?nya dan melongok keluar jendela.
Di jalan raya itu nampak ada seo?rang anak muda yang berpakaian ringkas berwarna kuning dan punggungnya meng?gendong sebatang pedang panjang, dia?lah yang sedang memacu kudanya secepat angin, sehingga hampir saja menubruk beberapa orang yang sedang berjalan. Wajah penunggang kuda itu nampak gugup dan tegang.
Banyak orang-orang di pinggir ja?lan yang berteriak keheranan, "He, bu?kankah penunggang kuda itu adalah Auyang Seng, murid Hoa-san-pay yang bergelar Gin-hoa-kiam (Pedang Bunga Perak) itu?"
"Benar. Dalam pertemuan kaum pendekar kali ini dia memang mendam?pingi gurunya bersama-sama tokoh Hoa san-pay lainnya, bahkan dia adalah pe?mimpin kelompok pendekar muda dari berbagai perguruan yang bertugas meng?awasi keadaan di kota Sin-yang. Teta?pi kini sikapnya begitu tidak kenal aturan? Kenapa pula ia meninggalkan tempat bertugasnya dan nampaknya ter?buru-buru sekali menuju ke Siong-san?"
Orang yang pertama tadi mendadak berkata lagi dengan nada yang cemas, "Jangan-jangan Hwe-liong-pang sudah mulai mengerahkan kekuatannya kemari?"
Sahut temannya, "Hal itu mungkin sekali. Aku tahu, Gin-hoa-kiam Auyang Seng jarang sekali bersikap segugup dan setegang itu. Pasti ada hal luar biasa yang dihadapinya!"
"Kalau benar-benar kota ini akan-menjadi tempat adu kekuatan antara kaum pendekar dan Hwe-liong-pang, ma?ka lebih baik aku menyingkir saja se?cepat mungkin. Aku masih ingin ber?umur panjang dan tidak ingin terkena senjata nyasar," kata orang yang per?tama itu.
Meskipun Wi-hong dan Ting Bun ada di loteng, tapi kebetulan orang-orang yang bercakap-cakap itu ada di pinggir jalan, tepat di bawah jendela kamar mereka, sehingga mereka dapat menangkap percakapan itu. Ketegangan nampak meliputi wajah Wi-hong, ia bergumam sendiri, "Barangkali A-siang memang sudah memimpin anak buahnya un?tuk menuju ke sini, namun bukan untuk menyerang. Anak muda Hoa-san-pay tadi agaknya salah paham akan gerakan Hwe liong-pang itu sehingga nampak begitu gugup dan tegang."
Ting Bun yang berkata, senada dengan Wi-hong, "Akupun berpikiran be?gitu. Aku yakin A-siang masih cukup waras untuk tidak membuka permusuhan dengan seluruh pendekar di muka jagad ini, karena Hwe-liong-pang sendiri ma?sih begitu lemah setelah mengalami perang saudara yang hampir melumpuh?kan itu."
Tong Wi-hong menjadi agak tenang setelah mendengar hiburan itu.
Sore harinya, Tong Wi-hong dan kawan-kawannya sengaja tidak bersan?tap di dalam kamar mereka, melainkah keluar ke sebuah rumah makan yang pa?ling ramai di kota Teng-hong. Tujuan mereka adalah sekalian untuk mendengar berita tentang Hwe-liong-pang, dan mencari tahu bagaimana sikap orang orang dunia persilatan kepada Hwe-?liong-pang.
Rumah makan yang mereka kunjungi itu memang cukup ramai. Karena kota Teng-hong sudah dekat letaknya dengan Siong-san, maka saat itu rumah makan itupun banyak dikunjungi oleh orang orang bertampang dunia persilatan, dengan seragam dari berbagai perguruan yang hadir dalam pertemuan besar itu. Di dalam rumah makan itu juga terasa ramai suasananya, terdengar orang orang yang saling menyapa, rupanya ba?nyak jago-jago silat yang pernah saling bertemu dan berkenalan.


Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wi-hong dan kawan-kawannya senga?ja duduk berpencaran untuk dapat me?nyerap berita sebanyak mungkin. Ter?nyata perkiraan Ting Bun memang tepat. Terbuktilah bahwa pendapat umum me?mang terbagi dalam dua garis besar. Sebagian mengutuk Hwe-liong-pang seba?gai penyakit masyarakat dan mengingin?kan agar Hwe-liong-pang secepatnya ditumpas habis. Tapi sebagian lainnya justru memuji Hwe-liong-pang sebagai sebuah perkumpulan yang dengan gagah berani menolong rakyat kecil, bahkan sampai berani menentang Kerajaan. Be?gitu tajamnya perbedaan pendapat anta?ra dua golongan itu, sehingga di ru?mah makan itu hampir saja terjadi ba?ku hantam antara mereka, untung saja ada yang melerainya.
Malam harinya, Tong Wi-hong be?runding denqan kawan-kawannya. Mereka agak berkecil hati juga kalau mengingat bahwa mereka harus berbicara untuk Hwe liong-pang, padahal Hwe-liong-pang sendiri telah begitu banyak merugikan orang. Namun mereka tidak berputus ha?rapan, sebab ternyata adapula se?golongan pendekar yang justru berke?san baik kepada Hwe-liong-pang.
Malam itu mereka beristirahat se?baik-baiknya, dan keesokan harinya mu?lailah Tong Wi-hong dan rombongannya menuju ke Siong-san. Tidak lama kemu?dian, kuil Siau-lim yang termasyhur itu sudah nampak dikejauhan, luas dan berderet-deret serta tertutup kabut, selain luas dan megah, juga kelihatan angker dan berwibawa bukan main. Pohon siong banyak tumbuh di tepi jalan yang menuju ke kuil itu, sehingga orang orang yang sedang berjalan menuju ke kuil itu agak terlindung dari senga?tan panas matahari.
Orang-orang yang sedang berjalan menuju ke Siau-lim-si itu pada umumnya adalah tokoh-tokoh atau pimpinan-pim?pinan dari suatu aliran, perguruan atau perserikatan lainnya. Ada juga tokoh-tokoh perorangan yang tidak ter?ikat pada golongan tertentu, namun umumnya mereka sudah punya nama dalam dunia persilatan. Sedangkan tokoh-tokoh yang kurang dikenal dan tidak tergabung dalam kelompok manapun, atau yang tidak membawa surat undangan, terpaksa hanya diperkenankan sampai ke pinggang bukit. Menurut rencana, pertemuan kaum ksyatria itu tidak akan diselenggarakan di dalam kuil, melainkan diselenggarakan di sebuah lapang?an yang tidak jauh dari kuil. Hal itu berdasarkan aturan keras Siau-lim-si yang melarang seorang perempuan untuk masuk ke dalam kuil, padahal di anta?ra tokoh-tokoh yang diundang itu ti?dak sedikit terdapat pendekar wanita. Di lapangan yang akan digunakan untuk pertemuan itupun telah dibangun bebe?rapa barak kayu yang cukup rapi untuk menampung para tamu.
Tong Wi-hong dan rombongannya tidak mengalami kesulitan apapun untuk berjalan sampai ke atas, sebab Tong Wi hong membawa surat undangan yang ditu?lis oleh Ketua Siau-lim-pay sendiri. Meskipun surat itu sebenarnya dituju?kan kepada Cian Sin-wi, tetapi umum?nya dunia persilatan sudah tahu bahwa Tong Wi-hong adalah pengganti Cian Sin-wi sebagai pemimpin Tiong-gi Piau-hang.
Penyambut tamu adalah seorang ra?hib tua bergelar Hong-bun Hweshio, yang seangkatan dengan Hong-pek, Hong-tay, Hong-koan dan sebagainya. Kabarnya Ketua Siau-lim-pay sendiri tidak dapat menghadiri pertemuan itu se?dang terganggu kesehatannya, namun pihak Siau-lim-pay tetap menampilkan beberapa rahib tua angkatan "Hong" yang akan membuat pertemuan itu cukup berbobot.
Tangan Geledek 2 Celebrity Wedding Karya Aliazalea Manusia Kelelawar 2
^