Pencarian

Perserikatan Naga Api 4

Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp Bagian 4


Setelah mengincar sasarannya baik-baik, Rahib Hong-tay lalu menaburkan seraup uang logam yang sudah digenggam?nya sejak tadi itu. Kepingan-kepingan uang logam yang nampaknya tertabur sembarangan itu ternyata dapat "me?milih" sasarannya sendiri-sendiri dengan tepat, dan semuanya tepat menge?nai lutut para prajurit kerajaan itu.
Hampir bersamaan para prajurit itu menjerit kesakitan dan roboh serentak ketika uang-uang logam yang disambitkan oleh Rahib Hong-tay itu mengenai lutut mereka. Mereka menjadi kalang-kabut dan tidak tahu sebabnya kenapa ka?ki mereka mendadak lemas.
Keinginan Hong-tay Hweshio adalah agar supaya orang-orang berkedok itu cepat-cepat melarikan diri sehingga korban yang lebih banyak dapat diku?rangi. Namun ternyata keinginan yang mulia itu tidak sesuai dengan kenyata?annya. Orang-orang berkedok itu ternyata tidak melarikan diri selagi para prajurit itu roboh, melainkan justru dengan kebencian yang tidak terkenda?li mereka membabat habis prajurit-pra?jurit kerajaan itu tanpa kenal belas kasihan.Terdengar jeritan kematian ber?turut-turut dalam sekejap saja sisa-si?sa prajurit kerajaan yang masih hidup itupun telah ditumpas habis oleh orang-orang berkedok itu. Jalan raya yang lenggang itu kini penuh dengan bangkai manusia yang malang-melintang.
Baik Rahib Hong-tay maupun Tong Wi-lian sama sekali tidak menduga akan si?kap orang-orang berkedok yang menyalah?gunakan pertolongan itu. Rahib Hong-tay membantu orang-orang berkedok itu kare?na muak melihat kekejaman para tentara kerajaan, tapi ternyata orang-orang berkedok itupun merupakan manusia-manusia yang tidak kalah buas dan liarnya de?ngan tentara-tentara kerajaan itu. Mere?ka sama sekali tidak menghidupi praju?rit-prajurit itu seorangpun. Rasa sim?pati yang timbul dalam hati Rahib Hong-tay dan muridnya itupun telah sirna kembali. Namun dalam pada itu Tong Wi-lianpun merasa semakin mengenal orang berkedok bertubuh semampai itu. Inga?tannya makin lama makin tajam, dan mu?lutnya hampir saja berteriak menyebut?kan sebuah nama.
Gerombolan orang-orang berkedok itu kini tinggal empat orang. Mereka berdiri bertolak pinggang di tengah ja?lan, di antara mayat-mayat lawan-lawannya, seakan sedang memuaskan diri me?nikmati kemenangan mereka. Kemudian ter?dengarlah orang bertubuh semampai itu berkata kepada kawan-kawannya, "Kita tinggalkan tempat ini secepat-cepatnya sebelum anjing-anjing Kaisar lainnya membanjiri tempat ini."
Keempat orang itu segera mengambil kuda-kuda tunggangan mereka yang disem?bunyikan di lorong-lorong di sekitar tempat itu. Tidak lama kemudian mereka berempat telah berada di atas punggung kudanya masing-masing dan berpacu me?nuju ke arah barat kota Bun-seng.
Di saat itulah Tong Wi-lian sudah tidak ragu lagi akan orang bertubuh se?mampai itu. Kini dia ingat orang itu, apa lagi setelah mendengar suaranya, jika tadi dia masih ragu-ragu, itu disebabkan karena orang ini nampak agak kurus dibandingkan dulu. Orang itu ti?dak lain adalah Tong Wi-siang, kakak?nya yang paling tua, yang sudah sete?ngah tahun lebih tidak bertemu dengan adik-adiknya sejak meninggalkan An-yang-shia karena terlibat pembunuhan seorang pejabat hukum dari Pak-khia.
Tanpa dapat menahan diri lagi, Tong Wi-lian segera melompat keluar dari tempat persembunyiannya, dan mengejar ke arah empat orang berkuda itu sambil berteriak-teriak memanggil kakaknya, "A-siang! A-siang!"
Keempat orang penunggang kuda itu sudah berada belasan tombak jauhnya da?ri tempat pertempuran, ketika gadis itu memanggil-manggil nama kakaknya. Tapi pemimpin gerombolan yang bertubuh semampai itu sempat mendengar teriakan Wi-lian dan menengokkan kepalanya. Ia nampak ragu-ragu sejenak, tapi kemudi?an ia mengertakkan gigi dan mengeraskan hatinya dan memacu kudanya lebih cepat lagi. Tong Wi-lian yang berlari-larian mengejarnya tidak dihiraukan la?gi.
Sebaliknya Wi-lian bagaikan kalap mengejar kakak tertuanya yang sudah la?ma tidak bertemu dengannya itu. Sekuat tenaga ia terus berlari mengejar sam?bil memanggil "A-siang" berulang kali.
Namun mana bisa ia menandingi kecepa?tan lari kuda? Dalam sekejap saja ba?yangan keempat ekor kuda itu telah se?makin mengecil, semakin kabur dan akhirnya lenyap dengan hanya mening?galkan debu kuning yang mengepul.
Bagaikan kehilangan kesadarannya, Wi-lian terus mengejarnya sampai ke ba?tas kota. Tapi akhirnya ia menjadi putus-asa, dan karena batinnya telah ter?pukul begitu hebat maka iapun jatuh terkulai dan pingsan. Untung Hong-tay Hweshio segera menolongnya, dan dengan bantuan beberapa orang penduduk yang baik hati, mereka berhasil menyadarkan dan menghibur hati gadis itu.
Sebelum meninggalkan kota Bun-seng, Rahib Hong-tay telah menguras seluruh isi kantongnya sehingga tidak tersisa sepeserpun, lalu dititipkan kepada seorang penduduk Bun-seng agar dise?rahkan kepada keluarga Ah Beng yang ma?sih hidup.
Setelah Tong Wi-lian siuman kembali maka guru dan murid itupun melanjutkan perjalanannya menuju ke kuil Siau-lim-si di bukit Siong-san yang sudah tidak jauh lagi. Sejak hari itu Tong Wi-lian nampak agak murung dan tidak seriang biasanya. Rupanya dia sangat menyesal karena tidak sempat menemui kakak ter?tuanya itu, bahkan diapun menyesal me?lihat tingkah laku kakaknya yang ada gejala-gejala akan menjadi sesat itu. Dulu kakaknya sudah cukup bengal dan nakal, dan kini setelah berpisah dengan keluarganya agaknya dia semakin berani membuat kekacauan.
Meskipun hatinya risau, untunglah Wi-lian bukan jenis gadis yang mereng?ek dan cengeng. Peristiwa yang dia?laminya di kota Bun-seng itu justru se?makin mengobarkan semangatnya untuk me?nuntut ilmu setinggi-tingginya di kuil Siau-lim-si. Dan setelah membekal ilmu yang dapat diandalkan, barulah ia akan dengan leluasa mencari keluarganya yang terpencar-pencar untuk dikumpul?kan kembali.
-o0^DwKz-Hendra^0o- EMPAT orang lelaki tegap penung?gang kuda tengah berpacu di tengah padang gersang yang tanahnya berwarna kuning kecoklatan itu. Kota Bun-seng, kota di mana mereka berempat baru saja menimbulkan kegemparan, sudah jauh ter?tinggal di belakang mereka.
Penunggang-penunggang kuda itu ada?lah lelaki muda yang semuanya berwajah garang dan tidak terawat, mereka ada?lah kelompok yang selalu diburu dan bahkan tidak jarang hampir tertumpas. Yang berkuda paling depan adalah lela?ki bertubuh tinggi semampai yang merupakan pemimpin kelompok itu. umurnya baru 25 tahun, tetapi nampak seperti orang berusia 40 tahun sebab kumis dan jenggotnya yang tidak pernah dicukur itu telah tumbuh serabutan. Wajahnya sebenarnya cukup tampan, namun nampak keruh dan ganas, bahkan sinar matanya menampilkan pula sifat-sifatnya yang liar. Dia bukan lain adalah Tong Wi-siang, kakak dari Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian, putera tertua mendiang Kiang-se-tay-hiap Tong Tian.
Ketika mereka telah merasa cukup jauh dari kota Bun-seng dan cukup aman, Tong Wi-siang lalu memberi isyarat ke?pada ketiga orang kawannya agar melambatkan lari kuda mereka. Kemudian keem?pat orang itupun berkuda perlahan-la?han dalam keadaan membisu seribu baha?sa. Wajah mereka masih melukiskan kete?gangan yang baru saja mereka alami di Bun-seng. Bagaimana mereka tidak mera?sa tegang, kalau menyadari bahwa "per?mainan" yang baru saja mereka lakukan itu ternyata berakibat demikian hebat?nya, sehingga belasan orang kawan mere?ka terpaksa ditinggal sebagai mayat-ma?yat di Bun-seng, sedang mereka sendiri-pun hampir-hampir tidak bisa lolos da?ri lubang jarum.
Wi-siang sendiri berkuda paling de?pan, pandangan matanya yang kosong me?lompong itu menatap ke depan. Anak mu?da berhati sekeras besi dan kenyang dengan pengalaman-pengalaman berbahaya itu ternyata sedang gundah hatinya. Ta?di, sebelum meninggalkan kota Bun-seng, telinganya sempat mendengar seorang ga?dis memanggil-manggil namanya sambil berlari-lari. Gadis itu adalah adiknya, yang meskipun sering bertengkar dengan?nya karena sama-sama berwatak keras, namun juga sangat disayanginya. Tadi ketika adiknya mengejarnya, alangkah rindunya Tong Wi-siang untuk melompat turun dari kudanya dan memeluk adiknya itu, tetapi keadaan telah memaksanya untuk berbuat lain. Wi-siang sadar bah?wa jika sampai tempat itu dikepung oleh prajurit-prajurit kerajaan dalam jumlah besar, maka tiada harapan lolos lagi baginya dan bagi kawan-kawannya. Karena itulah dia mengeraskan hatinya dengan tidak menghiraukan sama sekali seruan adiknya, meskipun saat itu ha?tinya bagaikan disayat-sayat.
Di dalam hatinya yang sekeras batu itu ternyata juga bisa timbul rasa penyesalannya. Tadinya keluarganya hi?dup tenteram di An-yang-shia, namun kini telah berantakan dan terpencar-pencar tidak keruan lagi. Tong Wi-siang merasa sangat menyesal karena mera?sa bahwa dirinyalah yang menyebabkan semua kehancuran itu, sifat-sifat bengalnyalah yang menjadi biang-keladi se?mua malapetaka itu. Tapi nasi sudah menjadi bubur, waktu berjalan ke depan dan Wi-siang tidak akan mampu memutar roda waktu agar balik seperti semula.
Sambil berkuda perlahan-lahan ia mulai melamun, membayangkan masa kecil dan masa menjelang dewasanya. Waktu itu dia adalah merupakan pelindung ba?gi kedua adik-adiknya, meskipun kedua adiknya itupun bukan anak-anak cengeng, bahkan Tong Wi-siang berani berkelahi dengan siapapun demi melindungi adik-adiknya. Ketika ia menginjak masa re?maja, mulailah ia mendapatkan kawan-kawan yang bertabiat buruk, dan se?dikit demi sedikit juga mulai mempenga?ruhi sifat-sifat Wi-siang. Ia mulai menjadi seorang anak yang tidak betah diam di rumah untuk berkumpul keluarga?nya, namun lebih senang bersama-sama dengan teman-temannya, bergerombol-gerombol di tempat-tempat yang ramai di An-yang-shia. Ia dan kawan-kawannya senang membuat kekacauan, yang dianggapnya sebagai tanda "kejantanan" mereka. Berjudi, berkelahi, makan minum tanpa membayar dan sebagainya. Bahkan kemudian ia menjadi paling menonjol dan kemudian diangkat menjadi pemimpin anak-anak Bengal itu. Puncak kenakalan mereka adalah ketika mereka memutuskan untuk menyerang serombongan pejabat pemerintah dari Pak-khia, karena bujukan salah seorang dari mereka yang ingin membalas sakit hati ayahnya. Sejak saat itu tertutuplah kemungkinan bagi Wi-siang dan gerombolannya untuk pulang ke An-yang-shia yang permai di tepi danau Po-yang-ou itu. Mereka menjadi buruan pemerintah kerajaan Beng, berlari dan bersembunyi dari tempat ke tempat, tidak jarang mereka harus bertempur dengan kelompok-kelompok prajurit kerajaan atau melawan pemburu-pemburu upahan Cia To-bun.
Pada suatu hari Tong Wi-siang tidak dapat menahan diri lagi dan ingin menjenguk keadaan rumahnya. Teman-temannyapun mendukung rencana itu, sebab teman-teman Wi-siang itupun merupakan anak-anak kelahiran An-yang-shia dan masih punya keluarga di An-yang-shia.
Namun alangkah sedih dan murkanya anak-anak muda itu setelah menjumpai rumah-rumah mereka dalam keadaan menjadi puing atau sudah kosong. Bahkan ada yang seluruh keluarganya telah ditangkap dan entah dibawa ke mana. Tong Wi-siang sendiri menemui rumahnya sudah menjadi puing-puing yang dihuni binatang-binatang liar. Agak jauh dari rumahnya, ia menemukan segunduk kuburan tanpa nama yang hanya ditandai dengan sebatang pedang, tetapi Wi-siang tahu bahwa kuburan itu adalah kuburan ayahnya, sebab ia mengenal pedang ayahnya itu. Di depan makam Tong Wi-siang berlutut dan menangis meluapkan penyesalannya, sekaligus menyulut api dendam buat dirinya sendiri. Lalu bersama kawan-ka?wannya yang juga sedang gelap pikiran, anak-anak muda yang nekad itu menyerbu ke rumah Cia To-bun. Tapi kedatangan mereka bagaikan serombongan serangga yang menubruk nyala api, bukan saja mereka berhasil diusir oleh pengawal-pengawal Cia To-bun, bahkan gerombolan merekapun kehilangan anggauta hampir se?paro jumlahnya setelah bertempur dengan pengawal-pengawal Cia To-bun. Rombong?an anak-anak muda yang kehilangan pe?gangan itu lalu menjadi liar, bergenta?yangan dari tempat yang satu ke tempat yang lain untuk mencari penyaluran ba?gi perasaan mereka yang meledak-ledak. Jadilah mereka pengacau di mana-mana, dan setiap kali bertempur dengan pa?sukan pemerintah, maka jumlah mereka-pun terus berkurang, ada yang terbunuh, tertawan, atau diam-diam melarikan di?ri untuk melepaskan diri dari gerom?bolan, yang terakhir adalah pengacauan yang me?reka perbuat di kota Bun-seng. Di sini gerombolan Tong Wi-siang menga?lami pukulan berat, sebab dari limabelas orang yang tinggal hidup hanya em?pat orang. Selain itu Tong Wi-siang pribadipun mengalami sesuatu yang me?resahkan hatinya, yaitu pertemuannya dengan adik perempuan kesayangannya itu.
Kini keempat orang sisa gerombolan pemuda-pemuda liar itu sudah melarikan diri puluhan li jaraknya dari kota Bun-seng. Ketiga orang kawan Wi-siang itu melihat punggung Tong Wi-siang tergun?cang-guncang. Mereka mengira bahwa pemimpin mereka itu terguncang karena larinya kuda, dan mereka sama sekali tidak akan menduga bahwa pimpinan mere?ka yang garang itu sebenarnya sedang menangis.
"A-siang!" salah seorang dari kawan Tong Wi-siang itu memanggil. "Apakah kita tidak akan beristirahat sebentar? Kukira kini kita sudah cukup jauh dari Bun-seng, sudah cukup aman, bahkan se?bentar lagi kita mungkin akan mencapai kota Kiang-leng."
Wi-siang tidak menoleh, sebab ti?dak ingin air matanya dilihat oleh teman temannya. Sahutnya tanpa menoleh, "Ki?ta tidak boleh lengah sekejappun, se?bab kita berempat adalah buronan peme?rintah kerajaan dan ada tersedia ha?diah besar buat batok-batok kepala ki?ta. Jika kita melewati tempat ramai, tentu jejak kita akan dicium oleh an?jing-anjing kerajaan itu."
"Tetapi kuda tunggangan kita sudah mulai kelelahan, sudah beberapa hari kita pakai kuda itu secara diluar ba?tas," bantah kawannya. "Bahkan bisa ma?ti kelelahan kalau tidak kita istirahat?kan."
Jawab Wi-siang, "Persetan! Aku ti?dak ingin tertangkap lalu diarak keli?ling kota sebelum kepala kita dipisah?kan oleh golok algojo. Karena itu kita jalan terus!"
"Tetapi...." Kawannya yang hendak membantah itu terbungkam setelah Wi-siang menyahut?nya dengan suara hampir berteriak, "Jangan membantah aku lagi, Hong-pin !"
Anak muda kawan Tong Wi-siang itu bernama Lim Hong-pin. Sebenarnya ia ma?sih terlalu muda untuk ikut-ikutan da?lam petualangan sekeras itu, umurnya bahkan lebih muda dari adik Wi-siang yang terkecil, yaitu Wi-lian. Lim Hong-pin adalah anak seorang keluarga pedagang hasil bumi yang terhitung kaya-raya untuk ukuran An-yang-shia. Namun se?jak Lim Hong-pin terlibat dalam pem?bunuhan pejabat dari Pak-khia itu, ma?ka usaha dagang ayahnya ditutup dan ru?mahnya disegel oleh pemerintah, sedang keluarga Lim Hong-pin sendiri sudah pindah entah ke mana. Demi menyelamat?kan diri dari kejaran pemerintah, Lim Hong-pin terpaksa terus bergabung da?lam "pasukan" Tong Wi-siang dan ikut mengacau di mana-mana. Sering juga ia menyesal kenapa dulu tidak menuruti anjuran ayahnya untuk belajar dagang saja, malahan bergaul rapat dengan pengacau-pengacau ini, dan akhirnya ki?ni ia harus memetik hasil perbuatannya sendiri.
Dua orang teman Tong Wi-siang lain?nya masing-masing bernama Siangkoan Hong dan Tan Goan-ciau. Siangkoan Hong ini juga anak seorang kaya, ayahnya adalah seorang pengusaha rumah makan terbesar di An-yang-shia, tapi nasib?nya sama dengan Lim Hong-pin, yaitu tidak berani pulang ke rumah karena ta?kut dikirim ke bawah golok algojo. Da?lam gerombolan Wi-siang, Siangkoan Hong ini terkenal keberaniannya.
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 07 SEDANGKAN Tan Goan-ciau adalah orang yang paling tua di antara keempat orang sisa gerombolan itu. Ia lebih tua dua tahun dari Wi-siang dan meru?pakan "penasehat perang"nya Wi-siang. Ia bekas penjudi ulung di An-yang-shia. Ia tidak punya sanak keluarga seorang-pun di An-yang-shia, dan karena itu ma?ka hatinya tidak serisau ketiga orang temannya, di An-yang-shia tidak ada apapun yang membebani hatinya.
Saat itu mentari sudah mulai con?dong ke arah barat. Tetapi keempat orang anak muda itu tidak ingin beris?tirahat di dalam kota Kiang-leng yang sudah nampak di depan mata. Mereka tidak berani istirahat dalam kota. Mere?ka lebih suka memilih sebuah bukit ter?pencil yang ditumbuhi semak belukar, di luar kota Kiang-leng, sebagai tempat peristirahatan mereka.
Tong Wi-siang yang sedang menderi?ta kelelahan lahir dan batin itupun langsung terlelap begitu tubuhnya ter?baring di atas rerumputan. Di dalam ti?durnya ia bermimpi melihat sebuah pan?tai laut yang gelombangnya bergelora hebat, lalu samar-samar terlihatlah sesosok tubuh berdiri di pinggir laut dan menghadap ke arah laut. Tong Wi-si?ang kaget setelah mengetahui bahwa orang yang berdiri di pinggir laut itu adalah ibunya! Sedang di tengah-tengah ombakpun nampak dua orang yang sedang timbul tenggelam dipermainkan ombak, kedua orang itu menggapai-gapaikan ta?ngannya memohon pertolongan, tetapi justru terseret ombak semakin jauh ke tengah. Hati Wi-siang bagaikan tengge?lam ketika melihat bahwa kedua orang yang dipermainkan gelombang laut itu ternyata adalah kedua orang adiknya! Nampak ibunya berseru-seru sambil me?nangis di pinggir pantai. Dalam mimpinya Wi-siang berusaha untuk berlari mendekati ibunya, tapi kakinya bagaikan terpaku di tanah dan tidak berhasil ma?ju selangkahpun. Ia ingin berteriak me?manggil ibunya, tetapi suaranya tidak keluar sedikitpun meskipun mulutnya su?dah ternganga lebar. Wi-siang semakin gugup. Tiba-tiba dilihatnya ayahnya muncul di depannya dengan sekujur tu?buh berlumuran darah, ayahnya itu melo?tot ke arahnya dan menudingnya. Berba?gai macam perasaan bergelut dalam pera?saan anak muda itu. Takut, menyesal, terharu, rindu, putus-asa dan sebagainya. Tanpa disadarinya ia mulai berte?riak-teriak dalam tidurnya.
"Ampuni aku, ayah! Ibu! Ampuni anakmu yang tidak berbakti dan menjadi sumber malapetaka ini! A-hong! A-lian! Adikku!" teriak Wi-siang dalam tidur?nya sambil merontak-rontak.
"A-siang! A-siang!" terdengar suara memanggil-manggil namanya.
Wi-siang jadi semakin keras meronta dan berteriak. Suara yang memanggilnya itu bagaikan suara ayahnya yang muncul dari liang kubur untuk memarahinya dan menguruknya. Napasnya menjadi sesak ka?rena takutnya. Terasa tubuhnya diguncang-guncangkan oleh seseorang, dan ke?tika ia dengan susah payah berhasil membuka matanya, ternyatalah bahwa yang memanggil dan mengguncang-guncang tubuhnya itu adalah Lim Hong-pin.
"A-siang, kau mengigau," kata Hong-pin.
Wi-siang tidak menyahut. Dihi?rupnya udara malam yang dingin segar itu untuk menenangkan dirinya. Setelah merasa tenang, barulah ia memaksa diri?nya pura-pura tertawa sambil menyahut, "Tidak apa-apa, aku hanya bermimpi bu?ruk. Tidurlah kalian, perjalanan kita masih sangat jauh dan membutuhkan is?tirahat yang cukup."
Ketiga orang kawannya itu tidak bertanya-tanya pula, mereka segera ber?baring di tempatnya masing-masing. Na?mun malam terlalu gelap untuk dapat me?lihat apakah mereka benar-benar meme?jamkan mata atau tidak.
Sedangkan Tong Wi-siang justru se?makin tidak dapat memejamkan matanya, bahkan ia lalu bangkit dan duduk meme?luk lututnya. Hatinya risau bukan main. Tiba-tiba saja matanya menjadi panas dan basah, dan meskipun ia telah menco?ba menguatkan hati, akhirnya dua butir air mata meluncur turun juga.
"Kau menangis, A-siang?" tiba-tiba Lim Hong-pin bersuara.
Ternyata anak muda she Lim itupun sukar untuk tidur, dan kebetulan ia bi?sa melihat kilauan air mata mengalir turun dari pelupuk mata Wi-siang.
Karena Wi-siang tidak menjawab per?tanyaannya, Lim Hong-pin kemudian ber?kata lagi dengan nada mengandung tegur?an, "Kau selalu mengatakan kepada kami bahwa kita harus menatap ke depan de?ngan berani. Karena itu, jangan me?nangis seperti perempuan."
Tiba-tiba kepala Lim Hong-pin ba?gaikan terputar ke samping dengan keras?nya, karena lengan Wi-siang telah ter?ayun dan menampar pipi Hong-pin dengan kerasnya. Hong-pin terkejut karena ti?dak mengira bahwa sahabat baiknya se?jak kanak-kanak itu akan menamparnya. Ia justru menjadi kebingungan dan ti?dak tahu harus bersikap bagaimana.
Di saat itulah terdengar suara Wi-siang dengan nada berat, "Aku tahu kau adalah sahabatku yang baik, Hong-pin. Aku juga tahu kesetiaan dan keberanianmu terhadap kelompok ini, sebab aku telah bertempur bersamamu puluhan kali. Tapi hati-hatilah dengan mulutmu. Aku berharap kelak kau akan tetap menjadi pendampingku dan sahabatku yang terba?ik."
"Maafkan ucapanku tadi, A-siang," kata Lim Hong-pin.
Tong Wi-siang menarik napas, lalu sambil menepuk pundak Lim Hong-pin ia berkata, "Akupun minta maaf karena me?namparmu. Sesungguhnya aku memang me?nangis, tapi bukannya karena cengeng dan ketakutan. Aku tidak gentar menang?gung semua akibat perbuatanku sendiri. Tetapi aku sangat menyesal bahwa kebengalanku itu telah mencelakakan pula ayahku, ibuku, dan kedua adikku. Aku harus berbuat sesuatu yang besar untuk menebus kesalahan yang maha besar ini."
Keempat orang sahabat itu kemudian terdiam. Ternyata Tan Goan-ciau dan Siangkoan Hong juga sedang sukar tidur.
Kemudian terdengar suara Siangkoan Hong, "Semuanya sudah terlanjur, A-si?ang. Akupun menyesal tetapi sudah tak ada gunanya lagi. Aku tidak tahu saat ini ayahku berada di mana dan bagaima?na nasibnya. Tidak ada jalan lain, ki?ta harus melangkah ke depan dengan berani. Saat ini memang kita adalah bu?ronan-buronan hina, tercampak ke sana ke mari. Tapi aku ingin bahwa suatu sa?at kitalah yang akan menjadi pemburu?nya."
"Betul," potong Lim Hong-pin cepat. "Rasanya api dendam yang menyala dalam dadaku ini harus mendapat pelampiasan yang setimpal di kemudian hari."
Sahut Tong Wi-siang, "Terima kasih, sahabat-sahabatku, kalian seakan sedang mengambil sebagian beban perasaanku dan kalian pikulkan kepada diri kalian sendiri. Namun aku tetap merasa bahwa kesalahan yang terbesar tetap ada pada diriku. Jika aku sebagai pemimpin kali?an waktu itu tidak terbujuk oleh Thio Hong untuk membunuh rombongan pejabat dari Pak-khia itu, tentu keadaan kita tidak seburuk saat ini. Diburu-buru dan terpisah dari keluarga. Betapapun juga aku harus minta maaf kepada kali?an."
"Sudahlah," kata Siangkoan Hong sambil mengibaskan tangannya. "Waktu terjadinya peristiwa itu kita semuanya berbuat dengan sadar, tidak ada seorangpun yang berhak memindahkan tang?gung-jawabnya kepada orang lain. Sekarang yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana langkah-langkah kita selanjutnya."
"Tidak ada jalan mundur lagi buat kita," kata Wi-siang. Sikapnya pulih kembali sebagai sikap seorang pemimpin dari sebuah gerombolan yang garang. Ka?tanya lagi, "Tetapi sebaiknya kita a?kan merubah cara bertindak kita, su?paya jumlah kita tidak berkurang lagi. Sudah cukup banyak jumlah teman kita yang gugur."
Bicara sampai di sini, tiba-tiba sebuah senyuman penuh arti tersembul di bibir Wi-siang. Katanya, "Aku punya sebuah rencana yang besok akan kuberita?hukan kepada kalian, jadi kalian tidak usah kuatir lagi bahwa kita akan ber?jalan tanpa arah dan tanpa batas waktu tertentu. Aku sudah punya rencana. Aku juga setuju dengan ucapan Siangkoan Hong tadi bahwa jika kita sudah punya kekuatan, kitalah yang akan menjadi pemburu, bukan lagi binatang-binatang buruan."
Meskipun malam cukup gelap, tapi dapat dirasakan bahwa ketiga orang te?man Wi-siang itu sangat terkejut men?dengar ucapan Wi-siang itu. Tan Goan-ciau berseru dengan suara seperti ter?cekik, "A-siang, gila kau! Maksudmu... maksudmu... kita akan memberontak secara terang-terang kepada Kerajaan?"
Tong Wi-siang tertawa melihat kekagetan kawan-kawannya. Sahutnya dengan kalem, "Apa salahnya memberontak? Teta?pi tentu tidak kita lakukan sekarang, melainkan menunggu sampai kita punya kekuatan yang cukup untuk menandingi si keparat Cong-ceng itu."
Karena kawan-kawannya masih juga nampak ragu-ragu, Wi-siang mencoba me?yakinkan mereka, "Seorang lelaki muda harus bercita-cita, kalau tidak maka ia hanya menghabiskan waktunya hari de?mi hari secara percuma. Kita berempat masih terlalu muda untuk bersikap pa?srah begitu saja dan bersikap seperti nenek-nenek. Kita masih cukup mampu un?tuk melakukan semuanya. Jika kalian me?lihat sejarah, kalian tentu ingat siapa Temu-chin. Ia cuma seorang anak gem?bala dan yatim piatu pula, tetapi ke?tika ia meninggal dunia, ia telah ber?gelar Jengis Khan dan mewariskan Kera?jaan yang luasnya sepertiga dunia kepa?da anak cucunya. Kalian ingat pula siapa Cu Goan-ciang? Ia cuma seorang ra?hib melarat yang hidup dari mengemis, namun ternyata kemudian dia telah mam?pu mendirikan Kerajaan Beng dan berge?lar Beng-thay-cou. Apakah salahnya kalau kita yang sudah terjepit ini ber?cita-cita demikian?"
Sementara Tong Wi-siang berbicara panjang lebar itu, ketiga orang ka?wannya saling bertukar pandang dengan melongo. Diam-diam mereka mulai ber?pikir jangan-jangan Wi-siang telah mu?lai berubah ingatan karena pikirannya terlalu tertekan?
Namun sesungguhnya Wi-siang tidak melantur sembarangan. Dalam keadaan terjepit itulah mendadak Wi-siang ter?ingat akan sebuah cerita ayahnya ten?tang Bu-san-jit-kui (Tujuh Setan dari Bu-san) yang pernah terkenal pada ma?sa kira-kira seratus tahun yang lalu. Kabarnya Bu-san-jit-kui meninggalkan peninggalan-peninggalan berharga yang disimpan di puncak Yu-kui-hong (Pun?cak Hantu Gentayangan) di deretan Pe?gunungan Bu-san di wilayah Su-coan. Cerita tentang Bu-san-jit-kui itu tidak banyak diperhatikan oleh orang, namun Wi-siang kini justru mengingat dan bermaksud untuk menggalinya, dari pada berkeliaran tidak tentu tujuannya.
Melihat bahwa ketiga kawannya ma?sih kurang percaya, Wi-siang menarik napas, katanya, "Aku tahu kalian kurang yakin. Tapi kuminta percayalah ke?padaku, aku tidak membual. Sekarang ti?durlah, besok kita akan mulai dengan sebuah perjalanan yang sangat jauh, namun sudah ada tujuan yang pasti."
Tanpa membantah ketiga kawannya itu lalu membaringkan dirinya ma?sing-masing di rerumputan. Di dalam ha?ti mereka masih saja menebak-nebak, ke mana Wi-siang hendak membawa mereka? kenapa Wi-siang nampak begitu yakin?
Akhirnya Tan Goan-ciau tidak dapat lagi menahan dorongan perasaan ingin tahunya. Baru sebentar ia berbaring, ia telah bangkit kembali dan bertanya, "A-siang sebenarnya apa yang sedang kau rencanakan?"
Pertanyaan itu sejalan dengan pi?kiran kawan-kawannya yang juga sedang gelisah, maka Lim Hong-pin juga ikut menimbrung, "Benar, kau harus memberi jawaban, A-siang. Jangan berteka-teki lagi."
Sahut Tong Wi-siang, "Aku tidak akan memberitahukan kepada kalian, bukan karena aku kurang percaya, namun aku menjaga jangan sampai kalian membo?corkannya kepada orang lain tanpa kali?an sengaja. Jika hal itu sampai bocor, maka akan timbul banyak kerepotan buat usaha kita itu. Tapi baiklah aku be?rikan sedikit gambaran tentang apa yang sedang aku pikirkan. Aku tahu sebuah tempat kuno, di mana kabarnya di situ tersimpan sebuah harta karun yang cukup untuk membiayai sebuah pasukan, tempat itu adalah tempat segerombolan penjahat menyimpan hasil rampokannya. Selain itu, di tempat itu pula ada peninggal?an-peninggalan lain yang tidak kalah berharganya dengan harta karun itu."
Mau tidak mau ketiga orang kawan Wi-siang itu mulai terpengaruh juga se?telah melihat nada Wi-siang yang begitu meyakinkan. Bahkan ketiga teman Wi-siang itupun mulai ikut berangan-angan. Apa bila ucapan Wi-siang itu ternyata benar dan dapat menjadi kenya?taan, alangkah hebatnya! Mereka akan memimpin sebuah pasukan besar yang da?pat digerakkan untuk merebut Kerajaan, dan bukan lagi gerombolan kecil yang diburu-buru kesana kemari. Giliran merekalah yang akan memburu lawan-la?wan yang mereka benci. Dongeng sejarah tentang Temu-chin si anak gembala Mongol dan Cu Goan-ciang si paderi mela?rat dari Hong-yang itupun mulai memba?yang di pelupuk mata mereka. Temuchin bisa menjadi Jengis Khan dan Cu Goan ciang menjadi Beng-tay-cou, kenapa merekapun tidak boleh bercita-cita seper?ti itu? Nasib orang siapa tahu?
Dan malam itupun mereka lewatkan denqan beberapa mimpi yang muluk-muluk. Mereka barulah berlompatan bangun de?ngan kagetnya, ketika seekor ayam hutan berkokok di atas dahan, tepat di atas kepala mereka membaringkan diri.
Keempat orang muda itu lalu melan?jutkan perjalanan dengan tenaga baru dan semangat baru. Kini mereka sudah punya harapan dan suatu tujuan yang pasti, bukan sekedar mengembara sambil mengacau. Meskipun Wi-siang belum mem?beritahukan ke mana arah tujuan mereka dengan alasan menjaga kebocoran, tapi mereka bertiga cukup percaya kepada Tong Wi-siang.
Hari pertama dan hari kedua, mere?ka masih terus berjalan tanpa banyak rewel. Hari ketiga, mereka tidak dapat menahan diri dan mulai ada yang berta?nya-tanya sebenarnya ke mana tujuan Wi-siang, namun Wi-siang tetap bungkam. Hari ke empat, pipi Lim Hong-pin menja?di bengap kembali, sebab ia berani mendesak Wi-siang untuk menyebut tempat tujuannya. Hari kelima, perjalanan kembali menjadi tenang dan tidak ada lagi yang berani bertanya-tanya.
Berhari-hari mereka berkuda ke arah barat tanpa berhenti sedikitpun.
Malam mereka tidur di tempat-tempat yang sekenanya mereka temukan, dan makanannyapun sembarangan saja. Puluhan kota telah mereka lewati, ratusan kam?pung dengan penduduknya yang logat ba?hasanya bermacam-macam telah mereka tinggalkan di belakang mereka. Dan akhirnya mereka mendekati daerah Su-coan, suasana alampun berganti. Jika tadinya mereka melihat banyak sungai, gunung, lembah dan tanah-tanah perladangan, ma?ka begitu masuk daerah Su-coan mereka mulai melihat sebuah padang rumput yang terbentang luas bagaikan tak bertepi. Tidak terlihat lagi tanah-tanah pertanian, yang terlihat sekarang adalah rombongan biri-biri yang bergerombol-gerombol di padang rumput itu. Petani bertelanjang dada dan bertudung bambu juga mulai jarang dijumpai, yang nampak adalah para gembala biri-biri yang berpakaian daerah Su-coan, berikat kepala putih dan bersepatu rumput. Orang-orang Su-coan ini berhidung agak lebih mancung dibandingkan orang-orang daerah lainnya di wilayah tengah.
"Gila, tak terasa kita sudah ham?pir mencapai ujung negeri kita ini," gerutu Tan Goan-ciau memberanikan diri?nya. "A-siang, kau masih juga belum mau memberitahukan tujuan perjalananmu ke?pada kami dan membiarkan kami terus berteka-teki?"
Sebenarnya Tan Goan-ciau sudah si?ap menghadapi kemarahan Wi-siang, na?mun di luar dugaannya, ternyata Tong Wi-siang tidak marah tapi malah tersenyum lebar. Sahutnya sambil menuding ke depan, "paling lama dua hari lagi, kita sudah akan dapat melihat tempat yang kita tuju itu. Aku tidak berbohong."
"Dapatkah kau beritahukan kepada kami sekarang?"
Ketika Wi-siang menganggukkan kepa?lanya tanda menyetujui, serempak ketiga temannya mendekatkan kuda dan menjulurkan kepalanya supaya dapat mendengar dengan jelas. Terdengar Wi-siang berkata, "Kita akan menuju Pegunungan Bu-san, tepatnya puncak Yu-kui-hong (Puncak Hantu Gentayangan). Kita akan me?manjat puncak yang terjal itu untuk me?lacak peninggalan kuno itu. Tapi mung?kin kita harus beristirahat sehari pe?nuh di bawah puncak sebelum memanjat?nya, sebab untuk memanjatnya dibu?tuhkan tenaga yang segar."
"Tentang harta karun yang kau kata?kan itu..." kata Siangkoan Hong dengan agak ragu-ragu.
Hari itu sifat-sifat pemarah Tong Wi-siang bagaikan telah lenyap tanpa sisa diganti dengan sikap riang gembi?ra dan menggambarkan penuhnya harapan cerah. Sambil tertawa dan dengan muka berseri ia menepuk pundak Siangkoan Hong, "Jangan kuatir, kapan aku pernah menipu kalian?"
Dengan demikian sikap Wi-siang itu telah membuat ketiga orang kawannya ja?di bersemangat pula. Berkali-kali mere?ka berteriak gembira sambil memacu kuda mereka di tengah padang rumput yang maha luas itu. Kadang-kadang mereka bernyanyi-nyanyi dan bersiul-siul. Ke?gembiraan yang telah berbulan-bulan ini tidak pernah mereka rasakan, kini mulai mengisi relung hati mereka kem?bali. Bahkan Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin yang masih belum hilang sifat kekanak-kanakannya itu kadang-kadang bermain kejar-kejaran di atas kuda me?reka.
Sebelum memasuki daerah kawasan pe?gunungan Bu-san, mereka sempat berma?lam semalam lagi. Bermalam di sebuah padang terbuka tanpa pelindung apapun benar-benar menyengsarakan mereka, un?tung mereka dapat membuat sebuah api unggun, dan menangkap seekor kambing gurun yang gemuk sebagai pengisi perut mereka.
Dalam kesempatan beristirahat itulah Tong Wi-siang bercerita seleng?kapnya tentang kisah Bu-san-jit-kui itu. Ratusan tahun yang lalu, di dunia persilatan ada tujuh orang tokoh jahat kakak beradik yang berju?luk Bu-san-jit-kui (Tujuh Iblis dari Bu-san), yang kesaktiannya maupun keke?jamannya sanggup membuat menggigil o?rang persilatan yang manapun juga. Pa?da saat ketujuh saudara itu bersimaha?rajalela di puncak kejayaannya, maka Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay masing-ma?sing telah mengutus seorang tokoh ter?tinggi untuk menumpas ketujuh dur?jana itu. Terjadilah pertempuran yang seru dan berlarut-larut, Bu-san-jit-kui melawan gabungan dua orang tokoh dari Siau-lim dan bu-tong. Bu-san-jit-kui berhasil ditumpas, namun kedua tokoh Siau-lim dan Bu-tong itupun terluka pa?rah, dan dalam perjalanan pulang menuju ke kuilnya masing-masing, kedua tokoh itupun meninggal dunia di tengah jalan.
Ketiga orang kawan Wi-siang men?dengarkan cerita itu dengan penuh minat. Tanya Lim Hong-pin kemudian, "Tetapi apakah cerita tentang Bu-san-jit-kui itu dapat dipercaya?"
"Tidak perlu diragukan lagi," sa?hut Tong Wi-siang mantap. "Mendiang ayahkulah yang bercerita kepada ibuku, dan ayah tidak mungkin membohongi ibu. Saat itu aku berhasil menguping pembi?caraan mereka."
"Jelas ayahmu tidak mungkin mem?bohongi ibumu," tukas Siangkoan Hong. "Tetapi dari sumber manakah ayahmu men?dapatkan cerita itu? Atau jangan-ja?ngan cuma dongeng?"
"Tidak, apa yang dikisahkan ayah kepada ibu itu adalah suatu peristiwa yang benar-benar terjadi ratusan tahun yang lalu. Begini ceritanya bagaimana ayahku sampai mengetahui kisah itu. Be?berapa tahun yang lalu, ayah pergi ke Soat-san, dan pulangnya dia sengaja melewati daerah sekitar Pegunungan Bu-san ini. Di tengah jalan, ayah menemukan seorang tua yang hampir mati kehausan dan dalam keadaan luka-luka karena ha?bis dirampok, ayah menolong orang tua itu. Dan ternyata orang tua yang ke?lihatan tidak berarti itu adalah cucu murid Bu-san-jit-kui satu-satunya, me?nurut pengakuannya, hanya saja ia ku?rang berbakat sehingga ilmu perguru?annya yang tinggi itu hanya dapat dipe?lajarinya secara tanggung-tanggung. Ia membalas budi kebaikan ayah dengan men?ceritakan tentang Peninggalan Bu-san-jit-kui di Yu-kui-hong itu. Namun ayah sebagai murid dari golongan lurus tidak sudi dan tidak tertarik dengan peninggalan ketujuh durjana itu."
"Jika orang tua yang ditolong oleh ayah itu mengetahui sebuah pening?galan yang begitu berharga, kenapa ti?dak dia sendiri yang mengambilnya dan memanfaatkannya?" tanya Tan Goan-ciau.
"Sebab orang tua itu merasa tidak mampu memanjat puncak Yu-kui-hong yang hampir tegak lurus dan tingginya ratus?an tombak itu."
"Begitu hebatnyakah puncak itu?"
"Entahlah, sebab selama ini aku sendiri juga belum melihatnya," Jawab Wi-siang. "Menurut ceritanya, mungkin benar-benar hebat, tapi mungkin juga karena orang tua yang tidak becus. Tetapi kita harus membulatkan tekad untuk mencapai tujuan kita. Ini adalah satu-satunya jalan jika ingin membalas kepada orang-orang yang telah memburu kita, dan untuk mengguncangkan negeri ini."
"Kalau aku teringat kepada keluargaku yang diperlakukan sesuka hati, maka rimba pedang dan lautan minyak mendidihpun akan kuterjang asal bisa membalas dendam kepada Cia To-bun !" kata Lim Hong-pin sambil mengertakkan gigi dan dengan mata berapi-api.
"Tekadku juga sudah bulat !" kata Siangkoan Hong.
"Akupun siap menempuh semua rintang?an. Lebih baik mampus, jika usaha ini gagal, dari pada hidup terus sebagai bu?ruan," sambut Tan Goan-ciau pula.
"Bagus sekali, sikap kalian membesa?rkan hatiku!" teriak Tong Wi-siang pe?nuh semangat. "Kita akan menjadi empat serangkai Busan-su-kui (Empat Setan da?ri Bu-san) yang kembali akan membuat dunia persilatan menggigil ketakutan seperti jamannya Bu-san-jit-kui dulu !"
Dasar anak-anak muda yang masih ber?darah panas dan gampang terbawa gejolak perasaannya, maka keempat orang itu se?gera berlomba-lomba mengucapkan kata-ka?ta yang muluk-muluk dan berapi-berapi, sehingga semangatnyapun berkobar hebat. Mereka lalu bercakap-cakap sampai jauh malam. Dalam kesempatan itu Wi-siang me?lengkapi tentang kisah Bu-san-jit-kui-nya. Kabarnya, selain harta karun hasil rampokan Bu-san-jit-kui yang tidak ter?nilai harganya, juga terdapat kumpulan kitab-kitab ilmu-ilmu milik ketujuh durjana itu. Bukan cuma ilmu silat, tapi juga ilmu racun dan ilmu hitam pula! Ke?lengkapan ilmu inilah agaknya yang mem?buat Bu-san-jit-kui sangat ditakuti pa?da jamannya.
Keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan dengan semangat baru, meski?pun mata agak mengantuk karena kurang tidur. Setelah berjalan ratusan li kemu?dian, pegunungan Bu-san sudah nampak di depan mata. Pegunungan yang terletak di wilayah Su-coan itu merupakan tempat yang sangat menguntungkan jika ditinjau dari sudut ilmu perang. Waktu Wi-siang dan kawan-kawannya berhasil mendekati pegunungan itu, hari sudah mulai sore dan langit mulai gelap. Puncak yang disebut puncak Yu-kui-hong itu nampak kehitam-hitaman dalam keremangan senja, begitu menakutkan seperti sesosok hantu raksasa. Tidak terasa ada sedikit rasa seram timbul di hati anak-anak muda yang biasanya tak kenal takut itu.
"Luar biasa," desis Lim Hong-pin.
"Ya, memang luar biasa," Siangkoan Hongpun mendesis. Namun disambungnya kata-katanya sendiri, "Tapi aku sudah bertekad tidak akan mundur, apapun yang kuhadapi."
"Betul, paling-paling jika kita ga?gal kita mampus," geram Tong Wi-siang. Nampaknya tekad yang sama telah mewar?nai keempat orang muda itu.
Malam harinya, mereka bermalam di kaki puncak yang mengerikan itu. Ter?nyata puncak itu dinamai Puncak Setan Gentayangan memang ada sebabnya, yaitu gara-gara di atas puncak sering ter?dengar desau angin yang nadanya begitu mengerikan, seperti hantu menangis. Penduduk yang suka tahayul akan sege?ra berkata bahwa di puncak itu meru?pakan kediaman para siluman, dan itulah agaknya mengapa puluhan li di sekitar Yu-kui-hong tidak ada rumah penduduk sebuahpun.
"Mengerikan sekali," gerutu Lim Hong-pin. "Kita bukan saja akan mengunjungi tempat siluman itu, tapi bahkan mungkin akan tinggal agak lama disana."
Tan Goan-ciau yang sedang duduk memeluk lutut di sebelahnya, melirik ke arah Lim Hong-pin sambil bertanya sinis, "Nah kau mulai gemetar ketakutan?"
Lim Hong-pin menyeringai, "Terus terang saja, aku memang agak ngeri juga."
Keesokan harinya, mereka tidak langsung memanjat puncak itu, melainkan beristirahat lagi sehari penuh. Lu?sa barulah mereka akan mulai memanjatnya dengan kesegaran penuh. Ya, dengan kesegaran penuh, sebab dari kaki puncak sampai ke puncaknya tidak ada tempat landai sedikitpun yang bisa digunakan sebagai tempat beristirahat.
Itu berarti bahwa sekali memanjat ha?rus terus memanjat, tidak ada tempat untuk berhenti, atau terbanting mampus ke bawah.
Setelah tiba hari yang ditentukan, begitu matahari mulai bersinar hangat, keempat sahabat itupun mulai dengan pe?kerjaan yang penuh dengan bahaya maut itu. Puncak itu hampir tegak lurus dengan tanah dan merupakan sebuah me?dan alam yang sangat sulit, untunglah di lerengnya banyak akar-akar pohon tua yang bergayutan sehingga dapat di?gunakan untuk merambat setapak demi se?tapak. Meskipun demikian mereka juga harus hati-hati, sebab ada akar-akar tertentu yang tidak cukup kuat berpegang pada tanah, dan jika dipegang akan tercabut dari tanah. Siapa yang keliru memegang akar ini, mampuslah bagiannya.
Selain itu masih ada gangguan lain yang membuat keempat orang itu kesal. Yaitu pohon-pohon kecil berduri yang tumbuh sepanjang lereng, juga serang?ga-serangga yang nampaknya beracun ber?kali-kali "numpang lewat" di tubuh me?reka. Namun dengan tekad yang membaja, yang sudah mereka tumbuhkan sendiri da?lam hati mereka, keempat anak muda itu terus merayap tanpa kenal menyerah. Me?reka tidak peduli lagi pakaian mereka yang mulai terkoyak-koyak dan bahkan kemudian kulit mereka yang mulai terbarut-barut oleh duri-duri sepanjang le?reng.
Setelah mereka memanjat setinggi tombak, nampaklah bahwa keadaan Siang?koan Hong mulai kepayahan. Pakaiannya telah basah kuyup dengan keringat yang bercampur dengan darah, sepatunya sudah hilang sebelah dan ikat kepalanyapun sudah hilang tersangkut pepohonan se?hingga rambutnya jadi awut-awutan ti?dak keruan. Siangkoan Hong inilah yang merayap paling belakang. Beberapa lang?kah di atasnya, Lim Hong-pin sedang bergayutan pada akar pepohonan dengan keadaan yang agak lebih segar, namun sudah nampak kelelahan pula.
"Gila!" gerutu Lim Hong-pin dan Siangkoan Hong hampir bersamaan, tapi mereka tidak tahu makian itu harus ditujukan kepada siapa ? Bukankah mere?ka berdua sendiri juga pernah sesumbar tidak akan menyerah kepada rintangan apapun?
Sewaktu Siangkoan Hong mendongak ke atas, nampaklah bahwa puncak Yu-kui-hong masih ada puluhan tombak di atas kepalanya. Dan ketika ia menoleh ke ba?wah, nampaklah bahwa keempat ekor kuda mereka itu hanya berujud titik-titik kecil seperti marmut. Kini keadaan ke?empat orang itu benar-benar terkatung-katung antara langit dan bumi. Apa boleh buat, terpaksa Siangkoan Hong membulatkan tekad, meneruskan merambat ke atas sambil mengertakkan gigi.
Tangannya yang mencengkeram akar-a?kar pohon itu mulai terasa gemetar dan hampir lepas, tapi dengan bandel itu ia maju terus. Ketika merasa hampir ja?tuh, ia berteriak, "Hong-pin, tolong aku!"
Lim Hong-pin menoleh ke bawahnya dan dilihatnya keadaan kawannya yang sudah agak gawat itu. Kalau Siangkoan Hong diajak memanjat terus, mungkin ia akan kehabisan tenaga dan jatuh ke ba?wah, dan itu berarti mati. Tetapi ha?rus beristirahat di mana? Tempat sejengkal untuk menginjakkan kaki saja sangat sulit didapatkan, apa lagi un?tuk beristirahat, sedangkan untuk balik turunpun akan memerlukan tenaga yang sama besarnya untuk memanjat ke atas.
"Maaf, A-hong, aku sendiri hampir kehabisan napas," sahut Lim Hong-pin dengan terengah-engah.
Meskipun demikian, Lim Hong-pin tidak akan sampai hati melihat ka?wannya sejak kecil itu bakal mati ter?banting dari tempat setinggi itu. Maka ia lalu berteriak kepada Tong Wi-siang yang memanjat paling atas dan paling bersemangat itu, "A-siang! Tunggulah ! A-hong hampir mampus kehabisan tenaga !"
Tong Wi-siang menoleh ke bawah sam?bil mengertakkan giginya. Wi-siang sen?diri sebagai orang yang paling tangguh dan paling kuat jasmaninya di antara keempat orang itu, kini sudah merasa pegal-pegal pada lengannya. Apa lagi Siangkoan Hong dan lain-lainnya tidak sekuat Wi-siang? Tetapi apa yang bisa diperbuatnya untuk menolong teman-temannya? Tidak lain hanya berusaha membesarkan kobaran semangat kawan-ka?wannya, "Bertahanlah terus! Kita sudah bertekad untuk menempuh jalan ini demi cita-cita kita!"
Sedangkan Tan Goan-ciau diam-diam sudah mulai timbul pikiran curangnya. Katanya dalam hati, "Makin sedikit yang menemukan harta karun itu makin baik. Kalau harta karun itu dibagi ba?nyak orang, maka bagian setiap orang akan menjadi sedikit. Mampuslah kau, Siangkoan Hong!"
Kadang-kadang timbul juga ingatan keji Tan Goan-ciau. Hanya dengan meng?gulingkan batu yang agak besar ke bawah, maka sebenarnya Tan Goan-ciau bi?sa menjatuhkan Lim Hong-pin dan Siang?koan Hong ke bawah. Tapi Tan Goan-ciau takut jika Wi-siang mengetahui perbuat?annya itu, dan kemudian Wi-siang membalas kepadanya dengan cara yang sama.
Tan Goan-ciau mengenal betul akan sifat-sifat Wi-siang, yang meskipun pemberang dan bahkan kadang-kadang kejam, namun sangat menjunjung tinggi hal kesetiakawanan dan asas "ringan sama dijinjing berat sama dipikul". Akhirnya Tan Goan-ciau tidak berani menjalankan rencana jahatnya itu, dan cuma mengharap agar Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin mampus dengan sendirinya.
Demikianlah, nasib keempat orang muda yang nekad itu kini tergantung sepenuhnya kepada diri masing-masing, kini siapapun tidak bisa lagi minta pertolongan lainnya. Akhirnya Siangkoan Hong sendiri juga menyadari hal ini. Dengan membulatkan tekad dan mengerahkan tenaga, ia memaksa dirinya untuk terus merambat ke atas. Kadang-kadang ia berhenti cukup lama dan hanya bergelantungan dengan sebelah tangannya, untuk "mengistirahatkan" tangan lainnya, setelah itu lalu memanjat lagi dengan tangannya yang lain.
Di saat ketiga orang teman Wi-siang itu sudah hampir putus harapan, tiba-tiba terdengarlah suara Wi-siang yang membesarkan kembali harapan mereka, "He, beberapa tombak di atas kepalaku nampaknya ada sebuah gua ! kita bisa beristirahat sebentar di tempat itu !"
Seruan itu bagaikan sebuah sumber tenaga maha ajaib bagi ketiga orang temannya. Semangat mereka berkobar kembali dan mereka memanjat semakin giat. Ketika mereka menoleh ke atas, nampaklah Tong Wi-siang berhasil mencapai gua itu dan sedang merangkak ke dalam sebuah cekungan.
Menyusul itu Tan Goan-ciaupun berhasil masuk ke gua dengan ditarik tangannya oleh Wi-siang. Berturut-turut Lim Hong-pin dan Siangkoan Hong juga mencapai gua itu.
Begitu berhasil duduk dalam gua itu, Siangkoan Hong langsung meletakkan punggungnya di lantai gua, sambil mendesah lega, "Huh, kukira tadinya umurku hanya akan sampai hari ini."
Kemudian terdengar Lim Hong-pin bersungut-sungut dengan kesalnya. Kira?nya bekal makanan yang mereka bawa ti?dak tersisa sepotongpun, semuanya sudah habis tercecer selama memanjat tadi. Tidak seorangpun di antara kawan-ka?wannya yang menanggapi kekesalan Hong-pin itu, semuanya sudah terlalu malas untuk berpikir.
Setelah kelelahan mereka sudah agak berkurang, barulah mereka berkesem?patan memperhatikan keadaan gua itu. Ternyata bentuk gua itu tidak menye?rupai gua-gua alam pada umumnya, me?lainkan lebih menyerupai pahatan tangan manusia. Tong Wi-sianglah yang lebih dulu menyadari hal itu, ia bagaikan tersentak dari duduknya dan berteriak, "He! Gua ini nampaknya buatan tangan manusia !"
Seruan itu memancing perhatian ke?tiga orang temannya. Disusul oleh te?riakan Lim Hong-pin, "Lihat, di sana seperti ada pahatan huruf-huruf kuno!"
Tempat yang dituding oleh Hong-pin itu adalah dinding gua sebelah kiri yang agak mencekung ke dalam. Dinding itu nampak sudah terlapis lumut dan de?bu sehingga pahatannya hanya nampak sa?mar-samar. Cepat Wi-siang mencabut pe?dangnya dan membersihkan dinding itu, sehingga tertampaklah sederetan huruf kuno yang bermakna : "Di tempat ini siapapun harus tunduk kepada Bu-san-jit-kui. Yang membangkang akan mampus, yang tunduk ada pahalanya".
Di bagian bawah deretan huruf kuno itu ada ukiran tujuh muka setan yang menakutkan. Melihat itu, Wi-siang ham?pir saja melompat kegirangan, teriak?nya, "Kita telah menemukan jejak Bu-san jit-kui! Mungkin kita tidak perlu me?manjat lagi!"
"Betul!" sahut Siangkoan Hong. "Hayo kita bersihkan dinding-dinding ini, barangkali kita akan menemukan pe?tunjuk-petunjuk lain!"
Keempat anak muda itu segera mem?bersihkan semua lumut dan debu yang me?lapisi dinding gua itu. Makin bersih tempat itu, makin nampaklah bahwa gua itu ternyata memang bukan buatan alam tapi buatan manusia. Dan manusia yang mampu membuat gua di tempat sesukar dan seterjal itu hanyalah manusia-ma?nusia luar biasa.
Sementara itu Siangkoan Hong telah menemukan sesuatu pula. "Lihatlah ke sini!" teriaknya, dan ketiga temannya segera berlari-larian mendekatinya.
Yang diketemukan oleh Siangkoan Hong ternyata adalah sebuah lukisan yang terpahat di dinding gua, menggambarkan seorang rahib Buddha (hweshio) yang berwajah bulat sedang duduk berse?medi. Di bawah lukisan itu ada tulisan, "Rahib Thian-lui. Tendang mukanya lima kali!"
"Bagaimana ini? Kita turuti perint?ah tulisan itu atau tidak?" tanya teman teman Wi-siang kepada Wi-siang.
"Kita harus mencoba semua kemung?kinan. Tidak ada salahnya kita turuti perintah itu dan akan kita lihat bagaimana kelanjutannya," sahut Wi-siang.
Dan tanpa menunggu sahutan dari te?man-temannya lagi, Wi-siang segera me?nendang muka "rahib" itu lima kali. Ha?bis tendangan yang ke lima, tiba-tiba terasa gua itu bagaikan bergetar, lalu dinding bagian dalam dari gua itu per?lahan-lahan amblas dengan mengeluarkan suara gemuruh dan mengeluarkan debunya yang tebal. Setelah suara itu hilang dan debunya mengendap kembali, kini tampaklah sebuah pintu selebar dua kaki terbentang di depan mereka. Bagi?an dalam dari pintu itu kelihatan be?gitu gelap dan pengap, sinar matahari dari luar gua tidak dapat mencapai tem?pat itu.
Wi-siang mengambil sepotong ran?ting kering dan menyalakan ujungnya. Dengan obor di tangan kiri dan pedang di tangan kanan, ia mulai melangkah ma?suk mempelopori kawan-kawannya. Ternya?ta gua itu sempit dan panjang, langit-langitnya agak rendah sehingga mereka harus berjalan dengan agak membungkuk?kan badan.
Setelah berjalan belasan langkah lagi, gua itu semakin lebar dan bagian gua yang ini sudah bukan buatan manusia lagi, melainkan gua alam yang diper?baiki oleh tangan-tangan manusia di sa?na-sini.
Mereka maju lagi puluhan langkah, sampai langkah mereka kemudian terha?dang oleh selapis pintu batu yang sang?at tebal. Pintu batu itu berlumut dan berdebu pula, bahkan kedua daun pin?tunya seakan-akan telah menjadi satu karena terlalu lama tidak dibuka. Namun di bawah cahaya obor yang remang-remang, di atas daun pintu itu ada pu?la lukisannya dan tulisannya. Setelah dibersihkan, kali ini Wi-siang dan ka?wan-kawannya menjumpai gambar seorang Tosu (imam agama To) yang memegang pe?dang, dan tulisan di bawahnya adalah "Imam Tiong-bun, jotos hidungnya lima kali."
Dipelopori oleh Wi-siang, mereka segera bergantian menjotos hidung luki?san itu sampai lima kali. Karena pintu batu itu terbuat dari batu hitam yang kasar, maka tentu saja tangan Wi-siang dan teman-temannya menjadi luka-luka setelah menjotos lukisan itu. Namun be?gitu pintu batu itu terbuka sendiri, maka keempat orang muda itu melupakan rasa sakitnya karena terpesona oleh pe?mandangan yang ada di depan mata mere?ka.
Setelah sekian lama berjalan menyelusuri gua yang gelap dan lembab, maka kini di depan mereka terbentanglah se?buah lembah kecil yang keindahannya me?nyaingi taman para dewa-dewi. Sekeli?ling lembah itu terkurung oleh dinding batu alam yang tinggi, sehingga lembah itu bagaikan sebuah mangkuk raksasa yang benar-benar terpisah dari dunia luar. Nampaknya lembah itu tadinya me?rupakan kawah gunung berapi yang sudah lama tidak ada kegiatannya lagi, dan berubah menjadi sebuah tempat yang su?bur. Di tengah-tengah lembah itu, nampak ada sebuah rumah kecil.
"Kita ke rumah itu!" teriak Wi-si?ang dengan bersemangat.
Setibanya di depan rumah kecil itu, Wi-siang memberi hormat dan mengucap?kan salam, "Kami berempat orang muda yang lancang telah mengikuti semua pe?tunjuk tuan dan tiba di tempat ini! Mohon bertemu!"
Pikir Wi-siang, meskipun Bu-san-jit kui sudah mati ratusan tahun yang lalu, tapi siapa tahu di tempat itu masih ada anak keturunannya atau pewaris ilmu?nya. Karena itu ia tidak mau bertindak sembrono dengan main terjang begitu sa?ja.
Tetapi ternyata dari dalam rumah itu tidak ada jawaban. Bahkan juga ke?tika Wi-siang mengulanginya berulang kali.
Karena kehabisan kesabaran, akhir?nya Wi-siang memberanikan diri untuk mendorong pintu rumah itu, sambil ber?kata, "Harap tuan memaafkan kelancang?an kami ini, karena kami hen........hah??!!"
Leher Wi-siang serasa tercekik karena terkejutnya. Memang ada tujuh orang yang ada dalam ruangan rumah itu, tapi ketujuh-tujuhnya sudah menjadi tengkorak semuanya. Ketujuh tengkorak itu dalam sikap duduk bersila dan meng?hadap ke arah pintu. Selain itu, hawa udara di dalam ruangan itupun berbau sangat busuk dan pengap, rupanya kare?na selama ratusan tahun tidak pernah ada udara segar dari luar.
Ketiga orang teman Wi-siangpun te?lah melangkah masuk.
Menyaksikan ketujuh sosok tengkor?ak duduk dalam ruangan itu, biarpun be?randal-berandal muda An-yang-shia itu cukup berani, tak urung mereka bergi?dik seram juga. Di atas "pangkuan" tengkorak yang paling tengah, nampak sebuah kitab kumal bersampul kulit binatang, yang tebal dan besar. Dengan hati-hati Wi-siang mengambil kitab itu, membersihkan debu pada sampulnya dan membaca tulisan di atas sampul itu. Di situ tertulis empat huruf "Bu-san-pit-kip" (kitab Bu-san).
Halaman pertama dari kitab itu ter?nyata hanya berisi sebuah kalimat pendek : "Dendam yang tidak terhapus kepada Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay".
Kitab besar itu ternyata memuat se?gala macam ilmu dan pengetahuan yang pernah dimiliki oleh Bu-san-jit-kui. Isinya bukan saja ilmu silat, tetapi juga petunjuk-petunjuk bagaimana cara melatih tenaga dalam secara golongan hitam, petunjuk-petunjuk tentang macam-macam cara membuat ramuan racun dan penggunaannya. Dan yang paling meng?erikan adalah bagian paling belakang dari kitab itu, sebab bagian itu memuat macam-macam ilmu sihir hitam yang meng?erikan.
Lalu di dalam kitab itu terselip selembar kulit tipis, di situ tercacah?lah sebuah peta yang menunjukkan tempat tersimpannya harta karun hasil rampokan Bu-san-jit-kui semasa hidupnya, beser?ta cara-cara mengambilnya juga. Tempat penimbunan harta itu ternyata juga ada di dalam lembah itu.
Wi-siang menyeringai kepada ketiga orang temannya, katanya, "Cita-cita kita akan terkabul, kita akan menggoncangkan negeri ini, dan membuat orang-orang yang pernah memburu kita itu ja?di menyesal seumur hidup. Dengan mempe?lajari kitab ini, kita akan menjadi manusia-manusia sakti tanpa tandingan, sedangkan harta karunnya dapat kita gu?nakan untuk membiayai dan membangun se?buah pasukan yang maha kuat."
Demikianlah, di sebuah kawah mati di puncak Yu-kui-hong yang ditakuti orang itu, Tong Wi-siang dan ketiga ka?wannya mulai menggembleng diri menurut ajaran kitab Bu-san-jit-kui dengan pe?nuh semangat. Tong Wi-siang, putera Kiang-se-tay-hiap, pendekar aliran lurus itu, kini tanpa segan-segan mempelaja?ri ilmu tujuh orang durjana masa lampau. Hal itu disebabkan karena dendamnya ke?pada Kerajaan Beng yang dianggapnya te?lah menghancurkan keluarganya, dan Wi-siang tidak segan-segan menggunakan ja?lan apapun asal dendamnya bisa terlampias. Begitu pula ketiga orang te?mannya.
Dalam penggemblengan "kawah Candra-dimuka" itu, Tong Wi-siang yang me?miliki dasar ilmu silat paling kuat bertindak sebagai pelatih bagi teman-temannya. Dengan demikian kedudukannya adalah sebagai "setengah guru".
-o0^DwKz-Hendra^0o- SEMENTARA Wi-siang dan teman-te?mannya menggembleng diri di pun?cak Yu-kui-hong dengan kitab pening?galan Bu-san-jit-kui, maka adik perempuannya pun sedang menggembleng diri di Gunung Siong-san di bawah asuhan guru?nya dan tokoh-tokoh Siau-lim-pay lain?nya. Lari pagi di lereng-lereng yang terjal dengan kaki dibanduli kantong pasir adalah sarapan pagi bagi Tong Wi-lian, disusul dengan melatih jari-ja?rinya dalam pasir panas. Siang harinya, gadis itu melatih jurus-jurus silat, diulang-ulang sampai ratusan kali, dan malam harinya mempelajari lwe-kang (tenaga dalam) secara tekun.
Bagaimanakah dengan nasib anak Tong Tian lainnya, yaitu Tong Wi-hong?
Ia sudah kehilangan kesadarannya ketika salah seorang pembunuh bayaran Cia To-bun itu menebaskan pedang ke lehernya, dan ia tidak tahu apa-apa la?gi. Tetapi ketika Wi-hong sadar kem?bali, ternyata didapatinya dirinya ma?sih hidup dan tengah terguncang-guncang di dalam sebuah kereta yang tengah dilarikan ke arah barat.
Saat itu tubuhnya masih penuh de?ngan balutan dan berlumuran dengan obat luka.
Meskipun menemukan dirinya dalam keadaan selamat, bahkan luka-lukanya sudah diobati, namun hati Tong Wi-hong masih tetap resah jika membayangkan en?tah bagaimana nasib adik perempuannya yang belum ia ketahui. Terakhir kali ia melihat adiknya adalah ketika adiknya itu ditangkap oleh si pemimpin berandal dan dibawa masuk ke dalam hutan. Wi-hong tahu benar sifat keras adiknya, jika si pemimpin berandal itu benar-benar sampai berhasil melampiaskan nafsu bejadnya, maka adiknya tentu memilih mati dari pada hidup ternoda. Mengingat sampai di situ, Wi-hong mengertakkan gigi dengan geram. Semua dendam dan kesalahan ia timpakan kepada Cia To-bun, sebab dianggapnya Cia To-bun itulah yang menyebabkan keseng?saraan keluarganya.
Ketika Tong Wi-hong bangkit dan menjulurkan kepalanya keluar lewat jen?dela kereta, ia melihat bahwa kereta itu disaisi oleh seorang lelaki bertubuh tegap, hal itu dapat disimpulkan dari bentuk punggung dan pundak orang itu yang nampak begitu kokoh. Sayang orang itu menghadap ke depan sehingga Wi-hong tidak dapat melihat wajahnya. Dilihatnya rambut orang itu sudah bercampur uban, menandakan usianya yang sudah tidak muda lagi. Sebentar-sebentar terdengarlah teriakannya yang keras menggeledek untuk membentak kuda-kuda penarik keretanya, diselingi ayunan cambuknya yang menggetarkan udara.
Terdorong oleh rasa kagum melihat keperkasaan orang itu, dan juga rasa terima kasih atas pertolongannya Wi-hong langsung menyapa orang itu lewat jendela kereta, "Terima kasih atas pertolongan tuan. Dapatkah aku mengetahui nama tuan?"
Ketika sais kereta itu menoleh, terpampanglah di hadapan Wi-hong seraut wajah yang keras dan kukuh dari seorang lelaki setengah baya. Namun wajah yang keras itu kemudian berubah menjadi begitu lembut ketika tersenyum, sahutnya, "Buat apa mengetahui namaku? Kalau untuk membalas budi, tidak perlu. Aku menolongmu bukan untuk mengha?rapkan pembalasan apapun, tapi karena aku memang membenci setiap kesewenang wenangan yang berlangsung di depan mataku. Bahkan aku juga menolongmu bukan karena kau adalah putera Kiang-se tay-hiap yang termasyhur itu, namun hanya karena kau terancam bahaya dan aku tidak suka melihatnya."
Jawaban yang tanpa berliku-liku dan ceplas-ceplos itu seketika membuat Wi-hong agak terperangah. Namun akhirnya Tong Wi-hong mengerti bahwa orang ini sebenarnya adalah seorang yang berwatak jujur, keras dan tidak menyukai basa-basi yang bertele-tele, meskipun kata-katanya kadang-kadang agak tajam buat telinga orang lain.
Namun Tong Wi-hong yang juga berwatak bandel dan keras hati itupun mendesak lagi, "Tuan agaknya adalah seorang yang ingin membebaskan diri dari lingkaran budi dan dendam yang tidak berkeputusan itu. Tetapi apakah hanya untuk mengetahui nama tuanpun aku tidak boleh ?"
Sais kereta itu tertawa keras sehingga punggungnya berguncang, katanya, "Kau keras kepala seperti aku.. Baiklah, aku she Cian bernama Sin-wi."
Terkejut dan gembira Tong Wi-hong ketika mendengar nama itu. Pemilik nama itu sendiri mengucapkan namanya dengan gaya acuh tak acuh, seolah-olah namanya itu tidak mengandung arti apapun. Tetapi Wi-hong tahu bahwa nama itu adalah nama yang membuat setiap penjahat di sepanjang sungai besar menggigil ketakutan jika mendengarnya. Sikapnya yang keras dan tidak kenal ampun kepada kaum penjahat itu bahkan dinilai terlalu keras oleh rekan-re?kannya sendiri dari kaum pendekar. Cian Sin-wi adalah pemimpin sebuah perusahaan pengawalan yang bernama Tiong-gi Piau-hang (Perusahaan Pengawalan Tiong-gi) yang merupakan sebuah perusahaan besar dan kuat di sebelah utara Sungai Besar. Perusahaannya memiliki ber?puluh-puluh cabang, dan di dalam ca?bang-cabang itu tidak sedikit terdapat jago-jago tangguh di bawah pimpinan Cian Sin-wi. Itulah yang membuat kaum penjahat gentar untuk membegal iring-iringan yang dikawal oleh tiong-gi Piau-hang.
Tong Wi-hong berusaha menerobos keluar jendela untuk bisa duduk di samping penolongnya itu. Tetapi Cian Sin-wi mencegahnya, "Hati-hatilah, duduk saja di dalam kereta, sebab lukamu be?lum sembuh betul."
Demikianlah, selama dalam perjalan?an itu Tong Wi-hong mendapat perawatan yang teliti dari Cian Sin-wi. Diam-di?am Wi-hong membatin dalam hatinya, "Orang-orang dari kalangan persilatan ra?ta-rata menyebut tokoh ini sebagai seorang yang berperangai keras, tetapi ternyata ia bersikap begitu baik kepa?daku."
Dalam beberapa kali percakapan ringan sepanjang perjalanan, Wi-hong dapat mengetahui serba sedikit tentang Cian Sin-wi dan perusahaan Tiong-gi Piau-hangnya yang terkenal itu. Ternya?ta perusahaan pengawalan yang besar itu berpusat di kota Tay-beng, dan mempunyai cabang-cabang di seluruh ibuko?ta-ibukota propinsi-propinsi utara. Sa?at itu Cian Sin-wi sedang dalam perja?lanan pulang dari perjalanan keliling?nya untuk meninjau cabang-cabang peru?sahaannya di daerah timur yang kabar?nya mengalami sedikit gangguan. Perjalanan seperti itu memang sering dilakukannya seorang diri, tanpa penga?wal, sebab Cian Sin-wi merasa bahwa sepasang Hau-thau-kau (Kaitan Kepala Harimau) andalannya itu sudah cukup sebagai kawannya yang setia ! Sebenarnya Cian Sin-wi melakukan perjalanan dengan berkuda, tetapi setelah menemukan Wi-hong yang terluka parah, ia terpaksa menukar kudanya dengan sebuah kereta, sebab tidak mungkin membawa orang ter?luka dengan naik kuda.
Meskipun perjalanan dengan kereta tidak secepat jika menunggang kuda, na?mun beberapa hari kemudian merekapun sudah mendekati kota Tay-beng. Dan saat itupun luka-luka Wi-hong sudah mulai sembuh. Kini Tong Wi-hong tidak duduk saja di dalam kereta, tapi lebih sering duduk di bagian depan kereta, berdam?pingan dengan Cian Sin-wi. Bahkan ka?dang-kadang ia menggantikan Cian Sin-wi dalam mengendalikan kereta.
Di dalam hatinya Cian Sin-wi mu?lai menyenangi anak muda ini, dan ia berniat untuk menarik anak muda ini un?tuk bekerja dalam Piau-hangnya untuk menambah kekuatan Piau-hangnya.
Pada suatu hari, kota Tay-bengpun sudah terbentang di depan mata.
Kota itu adalah sebuah kota seja?rah yang cukup dikenal orang. Ratusan tahun berselang, kota Tay-beng terke?nal dengan riwayat seratus delapan orang pendekar Liang-san yang mengobrak-abrik kota itu. Perbuatan penuh bahaya yang dilakukan oleh para pendekar Liang-san itu dilakukan demi menyelamat?kan seorang sahabat mereka. Hal itu me?nandakan kesetia-kawanan diatas sega?la-galanya, bahkan di atas keselamatan diri sendiri. Keperkasaan dan kejantan?an para pendekar Liang-san itu tetap menjadi kebanggaan rakyat Tay-beng, meskipun peristiwanya sudah lewat ra?tusan tahun.
Yang paling membanggakan orang-orang Tay-beng adalah kenyataan bahwa Yan Ceng, salah seorang dari 108 pen?dekar itu, pernah menjadi warga Tay-beng.
Setelah semakin dekat dengan kota sejarah itu Wi-hong dapat merasakan bahwa kota Tay-beng memang cukup mena?rik, meskipun kotanya sendiri tidak be?gitu besar. Perdagangan di sini cukup ramai, selain itu di sana-sini nampak bangunan-bangunan kuno peninggalan dinasti Song. Beberapa buah di antaranya sudah agak rusak karena kurang dirawat, tapi ada yang rusak sama sekali karena dihancurkan oleh orang-orang dinasti Kim dan Goan (Mongol).
Sambil menjalankan keretanya per?lahan-lahan, Cian Sin-wi sempat berce?rita tentang kisah seratus delapan pendekar Liang-san yang menggetarkan itu.
Ketika mereka masuk ke dalam kota Tay-beng dan melewati sebuah gedung kuno yang bergaya dinasti Song, tanpa diminta Cian Sin-wi segera berkisah tentang gedung itu. Di jaman Kerajaan Song seratusan tahun yang lalu, gedung itu adalah milik seorang hartawan yang baik hati bernama Lu Jun-yu. Lu Jun-yu bukan cuma terkenal karena kaya dan baik hati, tapi karena ilmu silatnya yang tinggi dan sifat-sifat kesatria?nya. Karena sifatnya yang demikian itulah maka Lu Jun-yu sangat bersimpa?ti kepada perjuangan seratus delapan pendekar Liang-san yang membela si le?mah dari tindasan si kuat itu. Pada suatu hari dua orang dari pendekar-pen?dekar Liang-san itu menyelundup masuk ke kota Tay-beng untuk menyelidiki ke?kuatan musuh. Kedua orang yang menye?lundup ke kota itu masing-masing ada?lah Bu Yong, si ahli siasat perang yang terkenal kecerdikannya, dan Li Kui, si pendekar bertenaga raksasa yang berotak tumpul itu. Sialnya, ke?dua orang pendekar itu dikenali oleh pejabat-pejabat tentara di Tay-beng, sehingga kedua pendekar itu jadi diu?ber-uber dalam kota untuk ditangkap. Di saat yang gawat buat kedua orang pembela rakyat kecil itu, maka Lu Jun-yu tanpa mempedulikan resiko yang akan menimpa dirinya, telah nekad menyelamatkan kedua orang pendekar Liang-san itu dengan menyembunyikannya dalam rumahnya. Sayang sekali, biarpun jiwa Lu Jun-yu adalah jiwa ksatria sejati, na?mun sebaliknya sang isteri dan pemban?tunya adalah pengkhianat-pengkhianat yang pengecut dan mementingkan diri sendiri. Kedua orang inilah yang jus?tru membocorkan kepada panglima kota Tay-beng bahwa kedua pendekar itu ber?sembunyi di rumah Lu Jun-yu. Rumah Lu Jun-yu segera digrebek, namun kedua pendekar Liang-san itu berhasil mela?rikan diri ke luar kota. Sebaliknya Lu Jun-yu ditangkap dan dituduh menyem?bunyikan penjahat, lalu diputuskan un?tuk dihukum penggal.
Tong Wi-hong mendengarkan kisah ke?pahlawanan yang mengagumkan itu dengan perasaan tegang, seolah-olah dirinya ikut mengalaminya.
Katanya, "Sungguh penasaran, apakah seorang ksatria seperti Lu Jun-yu itu lalu mati konyol begitu saja?"
Cian Sin-wi tersenyum melihat ketidak-sabaran anak muda itu, katanya sambil menggelengkan kepala, "Tentu saja tidak. Di saat Lu Jun-yu bagai telur di ujung tanduk itu, ada seorang sahabat Lu Jun-yu yang berikhtiar menolongnya. Dia adalah warga Tay-beng juga, namanya Yan Ceng."
Tong Wi-hong melonjak mendengar nama itu, serunya, "Yan Ceng yang terkenal dengan Thi-po-san (Ilmu Baju Besi) dan Ilmu Lompatan Mautnya itu? Orang itu cukup terkenal."
"Betul. Tanpa menghiraukan akibat buat dirinya, Yan Ceng menyelundup keluar kota dan menuju ke Liang-san. Di dalam markas para pendekar itu Yan Ceng menceritakan tentang kondisi Jun-yu yang sedang menunggu pelaksanaan hukuman mati itu. Kaum pendekar Liang-san yang merasa berhutang budi pada Lu Jun-yu itu, tanpa pikir panjang lagi segera memutuskan untuk menyerbu Tay-beng guna menyelamatkan Lu Jun-yu."
"Mampukah mereka menyerbu Tay-beng yang terjaga sangat ketat itu?" tanya Wi-hong.
"Mereka cukup cerdik. Lebih dulu mereka menyamar sebagai penduduk biasa ketika menyelundup masuk ke kota. Setelah berada di dalam kota, barulah mereka munculkan diri secara terang-terangan dengan serentak, dan membuat penjaga kota Tay-beng menjadi panik. Para pendekar itu antara lain adalah Yan Ceng si Lompatan Maut, Li Kui si Pendekar Bertenaga Raksasa, Bu Song si Pukulan Besi yang pernah membunuh harimau dengan pukulan tangannya saja, dan sebagainya. Masih ada juga Lim Tiong si Tombak Sakti, si Paderi Pemabuk dan lain-lainnya. Mereka itu tidak tertahan oleh Panglima Tay-beng dan mereka berhasil menyelamatkan Lu Jun-yu yang sedang tinggal menunggu golok kematian. Dan selanjutnya Lu Jun-yu rela meninggalkan harta benda dan kehidupan lamanya untuk bergabung dengan kaum pendekar untuk membela rakyat kecil."
Wi-hong menarik napas dengan penuh kekaguman mendengarkan kisah itu. Kata?nya, "Sungguh tindakan para pendekar Liang-san itu terlalu agung dan ter?lalu besar untuk dilukiskan dengan ka?ta-kata saja. Nama mereka harum sampai berabad-abad lamanya. Sayang aku dilahirkan terlambat beberapa ratus tahun. Jika aku hidup di jaman mereka, biar?pun kepandaianku sangat rendah, ingin rasanya aku bergabung dan berjuang ber?sama mereka."
Cian Sin-wi tertawa dan menyahut, "Kalau betul demikian, jumlah ksatria Liang-san itu bukan seratus delapan tetapi seratus sembilan, yaitu ditam?bah dengan dirimu, Tong Hian-tit. Hian-tit, menegakkan kebenaran dan kea?dilan bukan hanya diperlukan di jaman dulu saja, tetapi juga di jaman ini. Di setiap jaman diperlukan ksatria-ksatria semacam itu. Bukankah kebobrokan dinasti Beng saat ini sama dengan kebo?brokan dinasti Song jamannya para pen?dekar Liang-san itu?"
Kedua orang itu bercakap-cakap dengan asyiknya, sampai tak terasa ti?balah mereka di depan sebuah gedung yang besar dan megah, letaknya di tepi jalan utama dalam kota Tay-beng. Pintu gerbang gedung itu berapit sepasang singa batu yang gagah perkasa, dan diatasnya ada sehelai papan tebal bercat hitam berukir dengan empat buah huruf emas yang indah "Tiong-gi Piau-hang".
Cian Sin-wi menarik tali kenda?linya kuat-kuat, sehingga keretanya berhenti di depan gedung itu. Katanya sambil tersenyum, "nah, inilah rumahku. Kupersilahkan kau mampir di sini."
Alangkah kagumnya Wi-hong melihat gedung besar yang merupakan pusat se?buah Perusahaan Pengawalan yang paling besar dan paling kuat di Kang-pak (da?erah utara Sungai Besar) itu. Gedung itu tidak terlalu megah seperti gedung para pangeran atau bangsawan lainnya, namun menampilkan keangkeran dan perbawa yang memukau seperti gedung-gedung pusat persilatan umumnya. Di halaman depan terpancanglah sebuah bendera lambang Tiong-gi Piau-hang, yaitu kain segi tiga berwarna putih bersih yang di tengah-tengahnya tersulam lukisan sebuah hati berwarna emas. Dari pintu gerbang yang setengah terbuka itu, Wi hong melihat puluhan orang piau-su (pe?tugas pengawal barang) sedang berlatih silat dengan giatnya. Rata-rata mereka bertubuh kekar dan nampak serba tangkas.
Melihat kedatangan Cian Sin-wi, pa?ra piau-su yang sedang latihan itu se?gera menghentikan kegiatan mereka dan beramai-ramai menyambut pemimpinnya. Mereka menanyakan kesehatan dan kesela?matan Cian Sin-wi, sebaliknya Cian Sin-wi sebagai pemimpinpun nampak sangat akrab dengan anak buahnya, meskipun ti?dak kehilangan wibawanya. Melihat hal itu, diam-diam Wi-hong berpikir, "Ini?lah rahasianya kenapa Tiong-gi Piau-hang semakin lebar menebarkan sayap ke?kuasaannya. Hubungan yang akrab antara pimpinan dan bawahan telah membuat pa?ra bawahan merasa diperhatikan dan be?kerja sungguh-sungguh bagi perusaha?annya."
Tidak lupa Cian Sin-wi memperkenalkan Wi-hong dengan para piau-su itu. Wi-hong merasa bahwa meskipun pa?ra piau-su itu sikapnya agak kasar, menandakan pendidikan yang kurang ting?gi, namun mereka justru berhati ter?buka dan jujur. Sifat kaum pekerja ke?ras pada umumnya.
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 08 CIAN SIN-WI mengajak Wi-hong melintasi halaman depan yang sangat luas dan penuh kesibukan barang-barang yang datang dan berangkat, lalu mereka mele?wati ruangan depan dan akhirnya tiba di halaman tengah yang agaknya meru?pakan tempat tinggal Cian Sin-wi dan keluarganya. Di halaman tengah itu ada seorang anak muda sedang berlatih silat dengan sebuah tombak panjang. Gerakan anak muda itu cepat, keras dan mantap, kuda-kudanya kokoh kuat, pandangan ma?tanya tajam dalam mengikuti gerakan ujung tombaknya. Sekali-sekali mulutnya membentak mengiringi gerakannya. Tak terasa timbul kekaguman Wi-hong me?lihat ketangkasan anak muda ini. Ia menduga anak muda ini kalau bukan anak Cian Sin-wi tentunya ya muridnya.
Ketika melihat kedatangan Cian Sin-wi, barulah anak muda itu menghentikan latihannya, dan memberi hormat sambil menyapa, "Suhu, kau sudah kembali?"
Cian Sin-wi tersenyum dan mengang?gukkan kepalanya, katanya, "Ya, urusan cabang-cabang perusahaan kita di wilayah timur itu sudah beres semuanya. Kau bertambah hebat, anak Kim."
Lalu Cian Sin-wi menoleh dan berka?ta kepada Tong Wi-hong, "Tong Hian-tit, kuperkenalkan inilah muridku satu-satunya yang bernama Song Kim. Tentunya kau heran, kenapa gurunya bersenjata sepasang Hau-thau-kau kok muridnya memakai tombak? Memang tombak panjang itu agaknya menjadi pilihannya sehing?ga aku hanya menurutinya saja, karena kuanggap cocok dengan tenaganya yang besar itu. Nah, berkenalanlah kalian."
Sejak melihat pertama kali tadi, Wi-hong memang sudah merasa kagum kepa?da anak muda itu. Maka iapun memberi hormat lebih dulu sambil menyapa dengan sikap seramah mungkin, "Selamat bertemu, Song Toako. Aku Tong Wi-hong akan sangat gembira bila dapat bersahabat dengan Toako."
Di luar dugaan Wi-hong maupun Cian Sin-wi, ternyata sikap hangat Wi-hong itu ditanggapi oleh Song Kim dengan dingin dan tawar saja. Dengan senyum yang nampak sangat dipaksakan, ia me?nyahut acuh tak acuh, "Terima kasih."
Wi-hong tercengang dan agak ter?singgung menghadapi sikap semacam itu. Sedang Cian Sin-wi sendiri menjadi he?ran melihat sikap muridnya itu. Tanya?nya, "Anak Kim, selama aku tidak bera?da di rumah ini apakah telah terjadi sesuatu?"
"Tidak ada apa-apa, Suhu," sahut Song Kim. "Maaf suhu, agaknya aku ter?lalu memaksa diri untuk berlatih se?hingga badanku kurang enak. Aku ingin beristirahat."
Lalu ia memberi hormat kepada Cian Sin-wi sambil mengeloyor pergi. Tong Wi-hong tidak dilirik barang sekejappun.
Susah payah Tong Wi-hong menahan luapan darah mudanya yang mulai men?didih, ia benar-benar menjadi tersinggung melihat sikap Song Kim kepadanya itu. Cian Sin-wi sebenarnya juga ingin menegur muridnya itu, tapi akhirnya dengan bijaksana ia membatalkan nia?tnya itu, sebab dirasanya kurang bijak?sana jika menegur Song Kim di hadapan orang lain. Cian Sin-wi sudah hafal akan watak muridnya yang agak kaku dan bahkan kadang-kadang berpandangan sem?pit itu.
Akhirnya Cian Sin-wi cuma menarik napas panjang dan berkata kepada Wi hong, "Maafkan sikap muridku itu, Hian-tit. Tidak biasanya ia bersikap be?gitu kaku, tentu ada sesuatu masalah yang sedang mengganjal hatinya saat ini."
Wi-hong tertawa terpaksa, sahutnya, "Aku berhutang budi kepada paman, mana berani aku menarik panjang persoalan ini?"
Di dalam hatinya Cian Sin-wi sangat menyesalkan sikap Song Kim itu. Ia tahu bahwa tentu ada yang kurang beres dalam hubungan antara muridnya itu dengan anak gadisnya. Dan memang begi?tulah sikap Song Kim jika pikirannya sedang ruwet.
Ketika Cian Sin-wi hendak mengajak Wi-hong beranjak dari situ, tiba-tiba dari pintu bundar di samping halaman itu terdengarlah suara seorang gadis, "Ayah! Kau sudah pulang?"
Seperti seekor kupu-kupu yang ter?bang di antara bunga-bunga, dari pintu itu muncul seorang gadis yang berlari ke arah Cian Sin-wi sambil merentang?kan tangan dengan sikap manja. Gadis itu mengingatkan Wi-hong kepada adik?nya, bahkan cara berpakaiannyapun agak mirip, yaitu ringkas seperti umumnya gadis-gadis dari keluarga persilatan. Bedanya, jika Wi-lian bermuka bulat te?lur dan anggun, sebaliknya gadis yang menyambut Cian Sin-wi ini nampak peri?ang dan lincah. Tetapi Wi-hong tidak dapat menentukan mana yang lebih can?tik, antara gadis ini dan adiknya.
Begitu melihat ayahnya sudah kem?bali dari perjalanan jauh, gadis ini te?lah siap "menyerbu" ke pelukan ayahnya. Tetapi Cian Sin-wi dapat menegurnya sambil tertawa, "Ping-ji (anak Ping), tidak malukah kau sebesar ini masih bersikap seperti anak-anak kolokan? Li?hat, kau tentu akan ditertawai oleh tamu kita."
Gadis itu menghentikan langkahnya dengan terkejut, dan barulah saat itu ia melihat bahwa di samping ayahnya ternyata ada seorang pemuda asing yang belum dikenalnya. Muka gadis itu seke?tika menjadi merah karena malu dan men?jadi salah tingkah.
Cian Sin-wi mentertawakan anak gadisnya yang mendadak menjadi canggung. Katanya kepada Wi-hong, "Hian-tit, ini adalah Cian Ping, anakku satu-satunya. Maafkan jika ia bersikap agak berandalan dan agak kurang adat. Sejak ibunya meninggal ketika ia masih kecil, aku terlalu menyayangnya sehingga ia agak kolokan."
Cepat Tong Wi-hong memberi hormat sambil berkata, "Selamat bertemu, Cian Koh-nio (nona Cian)."
Anak gadis Cian Sin-wi itu membalas hormat dan menyahut singkat, "Selamat bertemu." Dan setelah itu ia terus mem?balik badan dan mengeluyur pergi begitu saja, tapi tangan ayahnya lebih cepat menyambar tangannya. Tegur ayahnya, "Ping-ji, jangan kurang adat."
"Hian-tit," kata Cian Sin-wi kepada Wi-hong. "Aku mengerti bahwa kau sedang mengemban sebuah tugas keluarga yang sangat berat, tapi kau tidak boleh membiarkan luka-lukamu yang belum sembuh itu menjadi semakin parah. Sementara me?nunggu kekuatanmu pulih kembali, biar?lah kau berada di sini saja. Anak buahku tersebar di seluruh Kang-pak, biarlah kuperintahkan mereka untuk mencari jejak ibu dan saudara-saudaramu yang hilang itu."
"Ah, aku telah membuat paman jadi bertambah repot saja," kata Wi-hong dengan perasaan terima kasih yang menda?lam.
Cian Sin-wi menepuk-nepuk pundak anak muda itu sambil berkata, "Kau tidak perlu memikirkan hal itu. Meski?pun antara aku dan mendiang ayahmu tidak begitu akrab, namun kami pernah juga bertemu beberapa kali dan berke?nalan. Sudah menjadi kewajibanku un?tuk membantu kesulitan sahabat-sahabat?ku."
Sikap jago tua dari Tay-beng yang begitu tulus dan terbuka itu telah menghapuskan semua kemasgulan Wi-hong yang disebabkan oleh sikap Song Kim tadi. Setulus hati pula Wi-hong mengu?capkan rasa syukurnya atas kebaikan pendekar Tay-beng itu.
Demikianlah, mulai saat itu Wi-hong berada di rumah Cian Sin-wi yang se?kaligus merupakan gedung pusat Tiong-gi Piau-hang itu, untuk menyembuhkan luka-lukanya. Hubungannya dengan orang orang Tiong-gi Piau-hang maupun kelua?rga Cian juga semakin baik, terutama dengan Cian Ping yang lincah dan periang itu.
Tetapi aneh, hubungannya dengan Song Kim justru semakin dingin dan ta?war. Hal itu bukan karena sikap Wi-hong yang menjauhi Song Kim, tapi justru Song Kimlah yang berusaha memencilkan Wi-hong.
Penyebab persoalan antara anak-a?nak muda dimanapun ternyata sama saja, yaitu cinta. Disadari atau tidak disadari, persoalan itulah yang rupa?nya berkembang antara diri Wi-hong Song Kim dan Cian Ping. Ternyata sudah cukup lama Song Kim menaruh hati kepada Cian Ping, dan sejauh ini dia belum punya keberanian cukup untuk mengutarakan isi hatinya. Kemudian ketika Wi-hong datang ke tempat itu, mu?lailah Song Kim dijalari rasa iri dan jelus. Itu mengingat Tong Wi-hong lebih tampan, lebih berpendidikan dan berasal dari sebuah keluarga pendekar yang terkenal pula. Apalagi hubungan antara Tong Wi-hong dan Cian Ping ki?an hari kian "memanaskan" hati Song Kim.
-o0^DwKz-Hendra^0o- LIMA BELAS hari tak terasa sudah berlalu sejak kedatangan Wi-hong di rumah Cian Sin-wi itu. Luka-lukanya sudah sembuh sama sekali, sedang kekuatannyapun mulai pulih se?tapak demi setapak. Diam-diam Wi-hong mulai merasa keenakan tinggal di ru?mah itu. Di situ ia dilayani dan diperlakukan dengan baik oleh siapapun, kecuali Song Kim, semua kebutuhannya terjamin, dan yang paling penting ba?gi Wi-hong adalah adanya Cian Ping di tempat itu!
Tetapi darah Tong Wi-hong men?didih dan bergejolak kembali setiap kali teringat akan tugas keluarga yang masih terbeban di atas pundaknya. Ia merasa bahwa tinggal terlalu lama di tempat seenak itu akan dapat melun?turkan semangat jantannya. Diam-diam ia bertekad bahwa begitu luka-lukanya sudah baik dan kekuatannya sudah pu?lih kembali, ia akan segera mening?galkan tempat itu untuk meneruskan tugas pencariannya. Untuk sementara Tong Wi-hong harus membuang jauh-jauh segala pikiran untuk mencari enaknya sendiri saja.
Di suatu pagi yang cerah dan hang?at, Wi-hong mencoba melemaskan otot?nya dengan menjalankan jurus-jurus pedangnya di halaman belakang rumah Ci?an Sin-wi. Halaman itu dikelilingi oleh kebun bunga yang indah, sehingga memberi kesegaran bagi orang yang berlatih di situ. Tong Wi-hong yang be?lum pernah berlatih sejak bertempur dengan kaum pembunuh bayaran itu, ki?ni berlatih dengan giat karena kuatir kalau kemampuannya menurun. Begitu bersemangatnya ia sehingga dalam seke?jap saja pakaiannya telah basah kuyup dengan keringat.
Tengah Wi-hong berlatih dengan asyiknya, tiba-tiba dari balik sebuah gerumbul pohon bunga meluncurlah se?gumpal tanah menyambar ke arah tubuh?nya. Wi-hong berhasil menghindarinya, tapi gumpalan-gumpalan tanah berikut?nya telah menyerbunya dengan gencar, sampai akhirnya Wi-hong dengan kewalahan, "Adik Ping, sudahlah!"
Terdengar suara tertawa geli dari balik gerumbul pohon bunga itu, dan muncullah Cian Ping dengan riangnya. Serunya, "He, Hong-koko, kau bersemangat sekali pagi ini."
Tong Wi-hong menyarungkan pedangnya sambil menyahut, "Hari ini semangatku mendadak timbul setelah merasa bahwa tubuhku sudah baik kembali. Tanganku jadi gatal memainkan pedang. Eh, Ping-moy, bagaimana dengan ilmu pedangku tadi ?"
"Belum pernah kulihat ilmu pedang seburuk itu," olok Cian Ping sambil tertawa. "Hong-koko, pagi ini cukup cerah, sayang kalau kita lewatkan begitu saja. Bagaimana kalau kau menemani aku untuk melihat-lihat tempat bersejarah dinasti Song?"
Rupanya Cian Ping sudah tahu kelemahan seorang "kutu buku" macam Wi-hong yang biasanya gemar melihat tempat-tempat yang mengandung nilai sejarah, maka sengaja diucapkannya kata-kata "tempat-tempat bersejarah dinasti Song" itu untuk memancing Wi-hong. Dan benar juga hati Wi-hong mulai tergelitik oleh ajakan itu, apa lagi jika perginya ditemani gadis secantik Cian Ping pula.
Namun kalau Wi-hong ingat kepada Song Kim yang nampaknya sangat pencemburu itu, ia jadi bimbang. Jika kepergiannya bersama Cian Ping hanya berdua saja itu sampai dilihat Song Kim, ada kemungkinan persoalan yang terpendam selama ini akan meledak dan bisa menjadi perkelahian. Bukannya Wi-hong takut berkelahi, tetapi tentu kurang enak kalau harus berkelahi melawan Song Kim yang merupakan murid Cian Sin Wi itu, padahal Cian Sin-wi adalah penolong jiwanya. Tetapi untuk menolak ajakan Cian Ping secara terang-terangan juga bukan pekerjaan gampang. Selama belasan hari tinggal disitu itu, Wi-hong sudah tahu bagaimana sifat gadis itu. Jika Wi-hong menolak, maka gadis itu akan menjadi sakit hati, dan hal semacam ini jelas tidak dike?hendaki oleh Wi-hong.
Sementara itu Cian Ping telah me?narik ujung baju Tong Wi-hong dan ber?kata setengah membujuk, "Ayo cepat. Pemandangan di luar kota sangat bagus, jika kita terlambat maka hari akan terlanjur menjadi panas."
Tapi Wi-hong masih saja berdiri kebingungan bagaimana menanggapi per?mintaan gadis itu.
Belum lagi keruwetan itu terpecah?kan, datanglah keruwetan lainnya, se?bab tahu-tahu Song Kim telah muncul di kebun bunga itu dengan wajah yang keruh. Dan wajahnya jadi semakin ke?ruh ketika melihat puteri gurunya itu bersikap demikian akrab dengan Tong Wi-hong. Kata Song Kim dengan nada yang kaku, "Su-moy, kulihat kau da?lam beberapa hari ini telah menga?baikan latihan ilmu silatmu. Hari ini Suhu telah memerintahkan kepadaku untuk berlatih bersama sambil menilik kemajuan ilmumu."
Cian Ping memelototkan matanya ke arah kakak-seperguruannya itu, sahut?nya dengan mendongkol, "Sudahlah, Suheng, jangan mengganggu acara yang telah kususun hari ini. Nanti sehabis bepergian dengan Hong-koko aku akan berlatih tigaribu jurus dengan Suheng."
Jawaban Cian Ping itu diucapkan bukan untuk sengaja menyakiti hati Su-hengnya, melainkan karena kebiasaan Cian Ping untuk bicara ceplas-ceplos sesuai dengan wataknya. Tapi jawaban itu justru membuat muka Song Kim jadi merah padam dan rasa jelusnya meluap hampir tak tertahan lagi. "Bepergian dengan Hong-koko," kalimat itu selalu mendengung di telinga Song Kim. Dia yang sejak kecil dibesarkan bersama Cian Ping, belum pernah punya kesempatan untuk bepergian berdua saja dengan Cian Ping. Dan kini relakah ia melihat gadisnya itu tahu-tahu disero?bot orang begitu saja?
Sedang Wi-hong sudah mengeluh dalam hatinya. Kalau dilihat gelagatnya, pastilah keributan sukar dihindarkan lagi.
Sementara itu Song Kim telah me?langkah mendekati Cian Ping dan berka?ta dengan suara menegur, "Su-moy, ja?di kau mengabaikan latihanmu tapi ma?lahan ingin bersenang-senang?"
"Betul," sahut adik seperguruan yang bengal ini. "Masakah orang hidup di dunia tidak boleh mengalami kegem?biraan sedikitpun, dan tiap hari ber?latih dan berlatih terus sehingga bo?san rasanya?"
"Su-moy, jika ilmu silatmu sampai mengalami kemunduran, maka akulah yang akan dipersalahkan oleh ayahmu, karena beliau tentu mengira bahwa aku tidak pernah mengajakmu latihan."
"Aku sendiri akan berbicara kepada ayah."
Hati Song Kim jadi semakin panas karena terus-terusan dibantah oleh Su-moynya itu. Sebenarnya alasan menga?jak berlatih itu hanyalah alasan yang dikarangnya sendiri, dengan tujuan menghalangi jangan sampai Cian Ping semakin akrab dengan Wi-hong. Ia mendu?ga bahwa dengan alasan disuruh oleh ayahnya, tentu gadis itu tidak berani membantah, tak terduga bahwa gadis itu ternyata berani membantahnya te?rang-terangan di hadapan Wi-hong, ma?ka sesaklah dada Song Kim karena kejengkelannya.
Sedangkan Wi-hong sendiri juga se?makin gelisah. Sifat-sifat bengal ga?dis ini ternyata menimbulkan kesulit?an juga. Wi-hong menilai ada kesamaan antara sifat-sifat Cian Ping dengan sifat kakak wi-hong, yaitu Tong Wi-siang. Bedanya, jika kebengalan Cian Ping masih agak berbau kekanak-kanak?an, sedangkan Tong Wi-siang sudah men?jurus kepada pengacauan ketenteraman masyarakat.
Setelah berpikir sejenak, akhir?nya Wi-hong berkata kepada Cian Ping denqan suara yang membujuk, "ping-moy, lebih baik kau turuti saja kemauan ayahmu. Bukankah ayahmu dan su-hengmu ini bertindak demikian untuk kebaikan dirimu sendiri? Nah, seka?rang pergilah berlatih dengan Song Toako."
Ucapan Wi-hong ini tidak terduga oleh Cian Ping maupun Song Kim, mem?buat kedua orang itu tercengang.
Warna merah di wajah Song Kim agak mereda, ia tertawa dingin dan mem?batin dalam hatinya, "Hemm, kiranya bocah she Tong ini insyaf bahwa di?rinya bukan tandinganku, maka ia ber?sikap mengalah kepadaku. Asal selan?jutnya dia cukup tahu diri, tidak ada halangannya aku memberi sedikit muka terang kepadanya."
Sedangkan Cian Ping justru se?makin kambuh sifat keras hatinya. Ka?tanya sambil membalikkan badan dan mu?ka memberengut, "Baik, baik, rupanya kalian memang sudah bersekongkol un?tuk menyudutkan aku dan memperma?lukan aku. Mulai sekarang anggap saja di atas bumi ini tidak ada lagi manu?sia yang bernama Cian Ping."


Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Adik Ping, kau salah paham..." bujuk Wi-hong.
"Salah paham apa? Sudahlah kalau kau tidak mau pergi bersama aku, biar?lah aku pergi sendiri."
"Su-moy, kau jangan marah," Song Kim juga ikut memperlunak nada bicara?nya.
Cian Ping tidak menyahut, hanya mukanya saja yang menampakkan kejeng?kelannya. Dan sikap ini ternyata cukup membuat Song Kim yang biasanya galak dan angker itu berubah menjadi jinak, kini mukanya tak ubahnya muka seo?rang anak kecil yang sedang merengek kepada ibunya, "Su-moy, kau jangan ma?rah. Jika kau pergi sendirian dan ke?mudian menemui suatu bahaya, tentu akulah yang akan dimarahi oleh Suhu."
"Itu urusanmu suheng. Tidak seorangpun berhak melarang apa yang kuperbuat sesuai dengan kata hatiku."
Baik Song Kim maupun Wi-hong kini jadi sama-sama kebingungan menghadapi gadis keras kepala ini. Keduanya cukup tahu, jika Cian Ping berani ber?kata tentu berani pula melakukannya.
Dalam kebingungan itu tiba-tiba Wi-hong menemukan jalan tengah yang dianggapnya membawa penyelesaian tan?pa ada yang kehilangan muka. Katanya, "Baiklah, adik Ping, kita akan pergi bersama...."
Wajah Cian Ping yang semula cembe?rut itu kini berubah menjadi berseri-seri, sebaliknya muka Song Kim beru?bah dengan hebatnya karena merasa dire?mehkan. Ketika mulut Song Kim sudah bergerak hendak mendamprat Wi-hong, maka Wi-hong sudah melanjutkan kata-katanya, "Tetapi untuk itu aku mempu?nyai dua syarat yang harus kau terima."
"Syarat apa saja?"
"Pertama, kita tidak boleh membuat ayahmu dan seisi rumah lainnya menja?di kebingungan mencari kita, karena itu kita harus memberitahu kepada be?liau lebih dulu. Selain itu, sebelum hari menjadi sore, kita harus sudah berada di rumah kembali."
"Baiklah," sahut Cian Ping tanpa berpikir panjang lagi. "Dan syarat yang kedua bagaimana?"
"Supaya tamasya kita lebih ramai dan mengasyikkan, bagaimana kalau Song Toako juga ikut?"
Memangnya Cian Ping tidak punya perasaan apa-apa terhadap kakak seper?guruannya ini, kecuali perasaan seba?gai sesama perguruan, maka syarat kedua inipun diterimanya pula. Sedang?kan Song Kim yang sudah hampir marah itu kini telah mengendap lagi setelah mendengar syarat kedua itu. Bertambah yakinlah Song Kim bahwa pemuda she Tong itu sebenarnya takut kepadanya.
Mereka seqera mempersiapkan diri dan memberitahu kepada Cian Sin-wi, dan agaknya Cian Sin-wi juga tidak ingin merintangi kesenangan orang-o?rang muda itu, bahkan ia akan gembira kalau ketiga anak muda itu menjadi sa?habat-sahabat karib. Tong Wi-hong sem?pat mengganti bajunya yang telah ba?sah oleh keringat itu, sedangkan Song Kimpun berusaha agar tampak cukup tampan dibandingkan dengan Wi-hong.
Sesaat kemudian terlihatlah keti?ga anak muda itu sudah berkuda dan ke?luar dari pintu timur kota Tay-beng. Entah disengaja entah tidak, Cian Ping selalu menjalankan kuda tunggangannya berdampingan dengan Tong Wi-hong, sedang Song Kim yang pendiam dan ber?muka angker itu berkuda agak terpisah ke samping.
Buat Cian Ping yang berpikiran bersih itu sendiri tidak ada masalah, sepanjang jalan ia mengajak Wi-hong bercerita dan berkicau seperti burung. Namun di antara Wi-hong dan Song Kim terasa adanya suasana yang canggung. Berkali-kali Wi-hong berusaha mengatasi kecanggungan itu dengan mengajak Song Kim ikut dalam percakapan itu, tapi Song Kim menanggapinya dengan sikap dingin dan angkuh. Sikap itu lama kelamaan membuat Wi-hong jadi mendongkol juga, dan sebagai seorang yang punya harga diri akhirnya ia membiarkan Song Kim dengan tingkahnya sendiri itu. Bahkan akhirnya Wi-hong-pun sengaja makin menunjukkan keakrabannya dengan Cian Ping, membuat Song Kim semakin merasa tersendiri. Wi Hong sudah tidak peduli lagi andaikata Song Kim marah dan mengajaknya berke?lahi. Ia yakin Cian Ping tentu akan menjelaskan persoalan sebenarnya di hadapan ayahnya.
Sedangkan rasa kebencian semakin dalam merasuk dalam hati Song Kim, tidak disadarinya bahwa sikapnya sendiri yang angkuh itulah yang menye?babkan Wi-hong bersikap begitu.
Tidak mereka sadari, bahwa tama?sya yang sebenarnya diharapkan untuk mengakrabkan anak-anak muda itu jus?tru telah menanam bibit-bibit permu?suhan antara kedua anak muda itu. Bi?bit permusuhan itulah yang kelak akan semakin membesar dan bahkan kelak menjadi bencana bagi Tiong-gi Piau-hang.
Kira-kira sepeminum teh mereka berkuda, tibalah ketiga anak muda di sebuah dataran hijau yang letaknya berdampingan dengan sebuah bukit hijau yang penuh pohon-pohon cemara. Cian Ping menunjuk dataran itu sambil berkata kepada Tong Wi-hong, "Meski?pun dataran ini kelihatannya tidak is?timewa, namun justru mengandung nilai sejarah yang penting. Dalam kisah ke?pahlawanan seratusdelapan pendekar Liang-san, di tempat inilah Lu Jun-yu bertempur mati hidup dengan adik se?perguruannya sendiri yang bernama Si Bun-kong."
"Kenapa kakak beradik seperguruan itu bertarung?"
Sahut Cian Ping, "Karena keduanya sama-sama lelaki jantan dan sama-sama memegang teguh pendiriannya masing-ma?sing. Lu Jun-yu berpihak kepada kaum pendekar dari Liang-san, sebaliknya Si Bun-kong adalah seorang perwira Kerajaan Beng yang bertugas menumpas para pendekar Liang-san itu. Itulah sebabnya mereka bertempur."
"Siapa yang menang dalam pertem?puran itu?"
"Ilmu silat kedua orang tokoh itu sebenarnya seimbang betul. Tetapi Lu Jun-yu memiliki sebuah kelemahan, yai?tu ia masih memandang hubungan seba?gai saudara seperguruan dan sering ti?dak sampai hati untuk menurunkan ta?ngan jahat kepada si Bun-kong. Karena kelemahannya inilah Lu Jun-yu hampir saja terbunuh. Untung salah seorang pendekar Liang-san yang bernama Li Kui ikut terjun ke medan laga, akhir?nya dapatlah Si Bun-kong dikalahkan."
Cerita semacam itu baru pernah di?dengar oleh Wi-hong saat itu, maka ia mendengarkannya dengan asyik. Sementa?ra Cian Ping terus bercerita, "Kau tentu pernah mendengar cerita kepahla?wanan Lu Jun-yu. Ia rela meninggalkan seluruh kekayaan dan kenikmatan hidup?nya, menukarnya dengan kehidupan yang penuh derita dan marabahaya, untuk bergabung dengan kaum ksatria Liang-san dalam membela kepentingan rakyat. Bahkan ia rela bermusuhan dengan adik seperguruannya sendiri. Namun Si Bun-kong juga seorang ksatria sejati yang tercatat dalam sejarah Tay-beng pula, dia setia akan tugasnya dan pantang menyerah sampai ajalnya."
Karena asyiknya kedua orang itu bercakap-cakap, mereka seolah-olah te?lah lupa bahwa di samping mereka ber?dua masih ada orang ketiga, yaitu Song Kim. Dan si orang ketiga ini me?nyaksikan dengan darah yang mendidih, bagaimana Cian Ping dan Wi-hong berja?lan merendengkan kudanya sambil berca?kap-cakap dengan gembiranya, ka?dang-kadang mereka bicara sambil men?dekatkan kepala.
Tengah ketiga orang itu berjalan berkeliling tempat bersejarah itu, ti?ba-tiba terdengarlah suara bentakan dingin, "Berhenti, tikus-tikus kecil!"
Ketika mereka menoleh ke arah asal suara bentakan itu, terlihatlah seorang Tojin (imam agama To) berju?bah hijau tua sedang berdiri di tepi jalan dan sedang memandang ke arah me?reka bertiga dengan tajamnya. Meski?pun berdandan sebagai imam, namun Tojin itu justru punya seraut wajah yang seram, bahkan kulit di antara ke?dua matanya juga membayangkan warna hijau kehitam-hitaman, menandakan bah?wa Tojin ini seorang penganut ilmu beracun. Mata Tojin yang bagaikan bu?rung hantu itu memandang ke arah Tong Wi-hong.
Bagi Song Kim yang sedang pepat dadanya dan memerlukan pelampiasan se?gala perasaannya, maka kemunculan Tojin berjubah hijau itu malah meru?pakan kebetulan baginya. Cepat Song Kim melompat turun dari kudanya dan mendekati imam itu dengan langkah le?bar, maksudnya ingin melabrak imam itu.
Sebaliknya Tojin itu tidak me?lirik sekejappun ke arah Song Kim, se?luruh perhatiannya hanyalah terpusat kepada Wi-hong. Kata imam itu dengan suara dingin, "Kau tentu salah satu dari dua putera Tong Tian, sebab wa?jahmu mirip dengan orang she Tong itu. Tapi aku tidak tahu kau ini yang ber?nama Wi-siang atau Wi-hong. Aku tidak ingin banyak cakap lagi, lekas kau se?butkan di mana ibumu dan saudara-sau?daramu bersembunyi, setelah itu ikut?lah aku untuk kugiring ke An-yang-shia guna menerima hukuman."
Ucapan Tojin itu langsung membe?ritahukan kepada Wi-hong adanya baha?ya yang mengancam dirinya. Ia teringat bahwa dirinya dan keluarganya yang la?in saat itu masih menjadi orang bu?ronan Cia To-bun, musuh besarnya di An-yang-shia itu. Tojin ini tampangnya tidak seperti orang baik-baik, agaknya merupakan pembunuh bayaran yang diutus oleh Cia To-bun pula.
Belum sempat Wi-hong menyahut, Song Kim telah lebih dulu membentak imam itu, "Hidung kerbau keparat, di tempat lain kau boleh main gila, tapi jangan coba-coba jual tampang di da?erah pengaruh Tiong-gi Piau-hang ini. Hayo pergi !"
Bentakan itu dibarengi pula dengan uluran tangannya untuk mencengkeram baju To-jin itu. Mengandalkan tenaga?nya yang besar, Song Kim bermaksud membanting roboh Tojin itu dalam segebrakan, sekalian untuk pamer kepan?daian di depan Cian Ping.
Ternyata Tojin yang bertubuh ku?rus kerempeng itu bukan lawan empuk seperti yang diduga oleh Song Kim. Se?belum telapak tangan Song Kim menyen?tuh baju imam itu, si imam telah le?bih dulu membalikkan tangannya ke atas dan dengan tepat berhasil menotok ja?lan darah Jing-lian-hiat di lengan Song Kim. Song Kim terkesiap dan beru?saha menghindarkan tangannya, tapi terlambat, saat itu juga lengannya terkulai dan tenaga yang dikerahkan?nya telah buyar semua.
Tetapi di hadapan Cian Ping, Song Kim berlagak gagah dan tidak sudi mem?perlihatkan kekalahannya. Sambil meng?gertakkan gigi ia menggunakan tinju ki?rinya untuk menyodok sekuat tenaga ke dada lawan.
"Benar-benar orang yang tidak ta?hu diri," dengus imam itu.
Dengan sebuah kebasan lengan ju?bahnya yang lebar itu, Tojin itu ber?hasil melibat lengan Song Kim. Ge?rakan itu diteruskan dengan gerakan menarik, memutar dan mendorong kembali, membuat Song kim terhuyung-hu?yung mundur sampai beberapa langkah. Kelihatannya Tojin itu menggunakan il?mu silat Tay-kek-kun dari Bu-tong-pay yang cukup terlatih, hanya saja ia menggunakan lengan jubahnya sebagai ganti tangannya.
Karena dikalahkan sedemikian mu?dahnya oleh Tojin itu, apa lagi keka?lahannya itu ditonton oleh Wi-hong dan Cian Ping, maka Song Kim menjadi sangat malu. Malu berubah jadi murka, sambil menegakkan tubuhnya, Song Kim telah membentak lagi, "Tojin busuk, sebutkan namamu supaya jasadmu tidak terkubur tanpa nama !"
Wajah Tojin berjubah hijau tua itu berubah menjadi kelam dan beringas mendengar makian Song Kim itu. Geramnya sengit, "Tikus kecil, belum pernah ada orang yang memaki aku seperti itu. Cukup besar juga nyalimu, sayang umurmu ditakdirkan sangat pen?dek."
Selangkah demi selangkah imam itu mendekati Song Kim, tangannyapun mu?lai melolos hud-tim (kebutan pertapa?an) yang sejak tadi terselip di ping?gangnya itu.
Dalam keadaan segawat itu bagi Song Kim, Tong Wi-hong melupakan se?mua kelakuan buruk Song Kim dan hanya mengingat budi kebaikan Cian Sin-wi saja. lapun cepat melompat turun dari kudanya sambil melolos pedangnya.
"Totiang (bapak imam), jangan mengganas!" serunya.
Karena telah melihat sendiri bah?wa imam itu berkepandaian tinggi, ma?ka Wi-hong bertekad untuk menyerang lebih dulu supaya menang di atas angin. Begitu membentak, begitu pula ujung pedangnya langsung menikam jalan da?rah Soan-ki-hiat di dada imam itu. Se?mentara itu Cian Ping juga sudah me?lompat turun dari kudanya dan menca?but sepasang Hau-thau-kau (Kaitan Ke?pala Harimau).
Dalam sekejap saja Tojin itu te?lah dikeroyok oleh Wi-hong dan Cian Ping. Sebatang pedang dan sepasang kaitan berkelebat-kelebat mengancam se?luruh tubuh Tojin itu.
Tanpa melewatkan kesempatan itu, Song Kim lalu berlari ke arah kudanya dan mengambil tombak panjangnya yang tergantung di pelana kudanya, dan se?telah itu iapun menerjunkan dirinya di kancah perkelahian, ikut mengepung Tojin berjubah hijau itu.
Dikeroyok oleh tiga orang muda yang cukup tangkas itu, ternyata Tojin jubah hijau itu tidak nampak tanda-tanda akan terdesak sedikitpun. Ilmu silat yang ditampilkannya adalah ilmu silat campur-aduk dari macam-ma?cam aliran silat yang diolahnya sendiri, dan ternyata cukup lihai pu?la. Hud-timnya dimainkan secara aneh, berpindah-pindah dari tangan kanan ke tangan kiri dan sebaliknya, dan cara memainkannyapun agak mirip dengan Tay-kek-kiam-hoat (Ilmu Pedang Tay-kek). Sedangkan bulu-bulu hud-tim itu ter?nyata memainkan gerakan-gerakan ter?sendiri pula.
Tetapi yang paling lihai dan pa?ling berbahaya pada diri Tojin itu bukanlah senjatanya, namun justru tangannya yang tidak memegang senjata itu, sebab tangan itu berwarna hijau pucat serta menyebarkan bau yang pahit pahit asam. Itulah ilmu pukulan bera?cun yang jarang terdapat di dunia per?silatan.
Tong Wi-hong, Cian Ping dan Song Kim bagaikan tiga ekor anak kambing yang tidak takut kepada harimau. Mere?ka bertiga bertempur dengan semangat berkobar, bahkan seakan-akan ketiga orang muda itu bersaing untuk menun?jukkan kepandaiannya masing-masing. Song Kim menunjukkan ilmu tombaknya yang dahsyat bagaikan gelombang samudera mendampar pantai. Gerakannya ce?pat, beruntun dan membawa tenaga yang besar, tubuh Tojin itu bagaikan hen?dak digulungnya dengan gerakan tom?baknya. Ternyata murid tunggal Cian Sin-wi ini benar-benar tidak mengece?wakan.
Di dekat Song Kim, Cian Ping juga bertempur tidak kalah garangnya meski?pun ia hanya seorang gadis. Sebenar?nya senjata jenis Hau-thau-kau cukup berat dan umumnya digunakan oleh kaum laki-laki, tetapi ternyata Cian Ping dapat memainkan senjatanya itu dengan baik. Sepasang Hau-thau-kau Cian Ping ini dirancang sendiri khusus oleh ayahnya, yaitu tipis, tajam dan ringan.
Sedangkan Tong Wi-hong tidak sega?rang Song Kim dan selincah Cian Ping namun bagi para ahli silat yang berma?ta tajam akan dapat segera melihat bahwa ilmu pedang Tong Wi-honglah yang paling berbahaya buat lawannya, gerakannya halus dan licin berbelit-kelit seperti ular yang mengamuk, mengandung ribuan perubahan yang rumit dan tidak terduga. Itulah Soat-san-kiam-hoat, ilmu pedang paling disegani di daerah barat!
Setelah berlangsung puluhan jurus, pertempuran itu nampak semakin panas. Suatu saat Song Kim melihat sebuah pe?luang bagus, sekuat tenaga ia menusuk?kan tombaknya ke perut Tojin itu. Song Kim yang masih muda dan kurang penga?laman itu tidak menduga bahwa peluang itu hanyalah pancingan belaka. Begitu serangan Song Kim datang, dengan mu?dah si imam menggeser tubuh sambil mencengkeram ketangkai tombak Song Kim. Meskipun tubuhnya kerempeng, ke?kuatan imam itu ternyata lebih dari cukup untuk menyentakkan tombak Song Kim, sehingga Song Kim terpelanting dan roboh ke tanah.
Imam itu sudah benar-benar marah dan dikuasai oleh nafsu membunuhnya. Sambil berseru bengis ia menyabetkan hud-timnya ke arah leher Song Kim yang masih tergeletak di tanah. Untung Song Kim masih sempat menggulingkan diri ke samping. Ketika hud-tim itu mengenai tanah, mengepullah debu yang tebal, dan sabetan yang keliha?tannya ringan itu telah membuat se?buah lubang panjang di atas tanah se?dalam tiga jari lebih! Sulitlah dibayangkan jika sabetan tadi benar-benar mengenai leher Song Kim, mungkin saat itu Song Kim sudah menjadi mayat ti?dak berkepala lagi.
Terkesiaplah ketiga orang muda itu melihat kehebatan imam itu.
Si imam bertambah beringas karena serangan mautnya tidak mengenai sasa?ran. Ia membentak lagi, dan tiba-tiba bulu-bulu kebutannya itu menegak dan mengembang bagaikan ribuan jarum baja yang siap menusuk seluruh jalan darah di tubuh Song Kim. Sekali lagi murid Cian Sin-wi itu dipaksa untuk bergu?lingan menyelamatkan nyawanya dengan gugupnya.
Namun Wi-hong dan Cian Ping juga tidak membiarkan si imam merajalela sesukanya. Selincah kijang, Cian Ping telah melompat ke tengah gelanggang kembali sambil berseru, "Lihat seranganku!" dan sepasang kaitannyapun ber?gerak serentak untuk mengait tulang pundak imam itu.
Terhadap serangan gadis itu, si imam tidak menoleh sedikitpun. Cukup hanya dengan sedikit mendoyongkan ba?dannya, loloslah ia dari serangan Cian Ping itu. Kemudian ia memutar pinggangnya dan dengan pukulan telapak tangannya ia menghamburkan serangkum angin beracun ke arah muka Cian Ping.
Gadis itu memiliki latihan lwe-kang (tenaga dalam) yang belum begitu kuat, maka ia segera merasakan akibat dari hembusan angin beracun si Tojin itu. Seketika itu juga ia merasakan kepalanya pusing dan perutnya mual. Dengan langkah sempoyongan ia melang?kah mundur sambil melintangkan sepa?sang kaitannya di depan tubuh.
Meskipun serangan Cian Ping itu boleh dikatakan gagal, tetapi telah cukup memberi waktu sejenak bagi Song Kim untuk melompat bangun dan memper?siapkan dirinya, meskipun kini ia te?lah tidak bersenjata lagi.
Sementara itu, Tong Wi-hong juga marah melihat keganasan imam itu, dan tanpa kenal takut iapun menerjang ma?ju. Pedangnya yang menyambar bagaikan halilintar itu dalam sekejap sudah ti?ba di depan hidung si Tojin.
Dengan tenaga putaran Tay-kek-kun, imam itu berhasil melibat pedang Wi-hong dan menyingkirkannya ke samping. Sekaligus serangan Wi-hong itu menam?bah keyakinan si imam akan korban yang dicarinya. Pikir imam itu, "Bo?cah ini menggunakan ilmu pedang Soat-san-Kiam-hoat, aku bertambah yakin bahwa kali ini aku tidak akan salah bunuh lagi."
Namun suatu pertimbangan lain me?nyelinap dalam hati si imam itu, "Be?nar orang muda ini memang anak Tong Tian, namun siapakah kedua kawannya ini? Menilik senjata yang dipegang oleh gadis ini, agaknya ia punya hubungan erat dengan si tua bangka Cian Sin-wi pemimpin Tiong-gi-piau-hang itu. Kalau begitu aku tidak boleh menambah musuh, sebab tua bangka she Cian itu-pun bukan manusia yang gampang dila?deni."
Jaka Lola 7 Goosebumps - 8 Gadis Pecinta Monster Negeri Para Bedebah 5
^