Pencarian

Perserikatan Naga Api 6

Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp Bagian 6


Dalam pada itu Sam-te yang berna?ma Suma Hun ini telah menyeruduk maju kembali bagaikan kerbau gila. Bahkan kali ini ia dibantu oleh si Ji-ko Pang Lun yang menggempur dari samping de?ngan sepasang golok liu-yap-tonya yang secepat kilat itu.
Sepasang golok milik Pang Lun itu bergerak demikian cepatnya sehingga bagaikan gumpalan-gumpalan awan yang menutup langit, "beterbangan" di atas kepala lawannya. Meskipun Pang Lun bukan seorang yang bertenaga raksasa seperti Suma Hun, namun kecepatan dan ketajaman goloknya sedikitpun tidak kalah berbahayanya dibandingkan dengan toya besi Suma Hun yang menggempur ba?gaikan gelombang samudera itu.
Sedangkan Ang Hay-liong, si Toa-ko, kini tidak ikut menyerang dan hanya berdiri di pinggiran sambil ber?sikap memperhatikan jalannya pertem?puran saja. Diam-diam timbul sepercik rasa malu dalam hatinya. Apa kata orang kalau sampai mendengar kabar bahwa Hong-ho-sam-hiong yang perkasa itu maju serentak dengan menggunakan sen?jata hanya untuk mengeroyok seorang gadis bertangan kosong? akhirnya Ang Hay-liong memutuskan bahwa ia hanya akan turun tangan apabila kedua orang kawannya itu sudah tidak dapat mengatasi keadaan.
Perkelahian antara dua laki-laki garang bersenjata melawan seorang gadis cantik bertangan kosong itu ternyata telah menarik perhatian seisi rumah makan merangkap rumah penginapan itu. Bahkan orang-orang yang sedang makan di ruangan depanpun serempak meluruk ke halaman belakang untuk me?nyaksikan perkelahian aneh itu. Tapi kebanyakan para penonton tidak bermi?nat untuk melerai atau ikut campur, sebab mereka tahu bahwa perkelahian itu terjadi antara kaum persilatan. Perkelahian kaum persilatan sudah ter?lalu biasa terjadi, bisa terjadi hanya karena alasan-alasan yang remeh dan tidak memandang waktu maupun tempat.
Di antara para penonton yang pa?ling tertarik perhatiannya adalah ma?nusia bermuka mayat itu, yang kamar?nya tepat berhadapan dengan kamar Hong-ho-sam-hiong itu. Ia berdiri memeluk tangan dengan tenangnya di depan pintu, sambil memperhatikan jalannya perkela?hian.
Perkelahian berlangsung semakin sengit. Tidak percuma Pang Lun dan Suma Hun menjadi terkenal sebagai orang kedua dan ketiga dari Hong-ho-sam-hiong, sebab mereka nampak sangat mahir dengan senjatanya masing-masing. Suma Hun nampak begitu kuat dan dahsyat, setiap gerakan toya besinya menimbulkan deru angin keras yang menakutkan. Di lain pihak Pang Lun memiliki kece?patan gerak yang mengagumkan, sehing?ga golok tipisnya itu seakan-akan ke?hilangan bentuknya dan yang kelihatan cuma tinggal cahaya keperak-perakan yang menyambar silang menyilang bagai?kan halilintar cepatnya.
Namun lawan mereka adalah murid Hong-tay Hweshio, tokoh agung dari biara Siau-lim, tokoh yang menduduki urutan kedua dalam deretan "Sepuluh Ma?ha Sakti" di jaman itu. Meskipun Tong Wi-lian hanya sempat berlatih dua tahun di Siong-san, namun cara latihan yang diterapkan atas dirinya telah membuat suatu lompatan panjang dalam kemajuan ilmu silatnya. Jika pertem?puran ini terjadi dua tahun yang lalu, jangan dikata menghadapi keroyokan Su?ma Hun dan Pang Lun, menghadapi salah seorang saja mungkin Wi-lian akan ke?ok dalam waktu singkat.
Masa penggemblengan yang dialami Wi-lian di Siong-san itu tidak sia-sia. Bagi Wi-lian, Hong-tay Hweshio bukan cuma gurunya tetapi seakan-akan menjadi pengganti ayahnya yang telah tiada.
Selama dua tahun ini Tong Wi-lian hanya mendapatkan dua macam ilmu silat, yaitu Pek-ho-kun (Silat Bangau Putih) dan Coa-kun (Silat Ular), dua macam ilmu silat yang tidak memerlukan tena?ga besar sehingga cocok buat kaum wa?nita. Meskipun hanya dua macam ilmu, namun dilatihnya dengan keras dan ti?dak tanggung-tanggung. Gadis she Tong itu telah melatih jari-jari tangannya sedemikian rupa, sehingga dengan merang?kapkan jari tengah dan jari telunjuk?nya ia sanggup melubangi sehelai papan kayu mahoni hanya dengan sekali tusuk!
Tidak mengherankan kalau Pang Lun dengan Suma Hun yang telah menge?rahkan tenaga itu masih belum dapat mengalahkan Wi-lian. Bahkan kadang-ka?dang kedua orang tokoh Hong-ho-sam-hi?ong itulah yang harus berlompatan mundur dengan gugupnya apabila si gadis melancarkan serangan beruntun yang terarah dengan ujung-ujung jari tangan?nya.
Orang kedua dan orang ketiga Hong-ho-sam-hiong ini jadi makin penasaran. Mereka berdua dan memegang senjata, tapi masih belum mampu mengalahkan seorang gadis bertangan kosong, bah?kan diri merekalah yang mulai terde?sak! Sekali lagi kedua orang itu mengerahkan semangat dan kemampuan mereka. Sepasang golok di tangan Pang Lun mengeluarkan suara yang mendesis-desis mengerikan, diselingi dengan bentakan bentakan menggelegar dari mulut Suma Hun yang seakan-akan hendak meron?tokkan bumi.
Tapi itu tidak banyak menolong. Tong Wi-lian yang semakin bersemangat setelah merasakan sendiri kemajuan il?mu silatnya, kini bukan hanya bertahan tetapi juga mulai balas menyerang. Biarpun serangan-serangannya hanya menggunakan tangan dan kaki, tapi lawan-lawannya menyadari bahwa serangan-serangan gadis itu cukup berbahaya pula.
Tiba-tiba Tong Wi-lian bersuit nyaring dengan menggunakan ilmu Liong-ing-kang (Ilmu Jeritan Naga) yang beralaskan tenaga dalam aliran Hud-bun (Perguruan Buddha) yang murni. Dengan latihan tenaga dalamnya yang terpupuk dengan baik, suitan Wi-lian itu ternyata mampu menindih perbawa bentakan-bentakan Suma Hun.
Beberapa penonton segera mendekap telinganya erat-erat karena kupingnya bagaikan mendenging oleh ketajaman su?ara suitan itu. Bahkan tetamu yang bermuka dingin itupun menekan dadanya dengan telapak tangannya sendiri sam?bil berdesis, "Bukan main gadis ini."
Jika para penonton saja merasakan akibat dari suara suitan Wi-lian itu, apalagi Pang Lun dan Suma Hun yang menghadapinya dengan langsung itu. Ke?dua orang itu merasakan telinga mereka ba?gaikan mendenging keras dan kepalanya terasa hendak pecah. Semangat tempur mereka seketika runtuh dan gerakan silat merekapun menjadi kacau, apa boleh buat, merekapun berlompatan mundur. Sedangkan Ang Hay-liong yang berdiri di luar gelanggang itupun cepat-cepat mengerahkan semangat untuk menenteramkan jantungnya yang bergoncang keras akibat suitan itu.
Wi-lian ternyata tidak berhenti sampai di situ saja. Lebih dulu ia merangsek ke arah Pang Lun yang langkah-langkahnya masih gontai itu, sepasang kaki wi-lian lalu melancarkan tendang?an berantai ke tangan Pang Lun yang memegang senjata, dan sepasang golok liu-yap-to orang she Pang itupun ter?banglah ke udara.
Suma Hun terkesiap karena mengira kakak keduanya terancam bahaya. Dengan mengertak gigi ia menyerobot maju dan menyapukan toya besinya dalam jurus Thi-so-heng-kang (Rantai Besi Melin?tang di Sungai). Bersamaan dengan itu Ang Hay-liong juga telah melompat ke tengah lapangan, langsung menghantam?kan sam-ciat-kunnya ke pinggang Wi-lian.
Sekali lagi gadis murid Siau-lim-pay itu memekik nyaring, tapi kali ini tanpa landasan ilmu Liong-ling-kangnya. Tubuhnya melompat ke atas, telapak tangan kanan menghantam ke arah Ang Hay-liong dan telapak tangan kiri menghantam toya besi Suma Hun, kedua gerakan itu dilakukan dari atas udara.
Ang Hay-liong yang tengah dalam keadaan melompat itu menjadi sangat terkejut ketika merasakan sebuah tena?ga pukulan hebat menekan dadanya. Di?am-diam tokoh utama Hong-ho-sam-hiong itu juga merasa heran kenapa gadis semuda itu sudah memiliki tingkat lwe kang (Tenaga Dalam) yang cukup dapat diandalkan? Cepat Ang Hay-liong menggeliatkan badannya di tengah udara, serangan Wi-lian itu luput dan hanya lewat sejengkal dari kepalanya, teta?pi serangan ruyung Ang Hay-liong juga luput dan menjadi kacau.
Pukulan telapak tangan Wi-lian yang luput itu telah mengenai sebuah dahan pohon sebesar lengan yang tumbuhnya agak menjorok ke tengah halaman, dan dahan keras itupun seketika patah ketika terkena hantaman gadis itu !
Ang Hay-liong yang baru saja lolos dari serangan hebat itu kini berdiri melongo dengan punggung basah oleh ke?ringat dingin.
Sementara itu, Suma Hun pun agak heran melihat gadis itu berani menepuk toya besinya yang tengah dihantamkan dengan seluruh kekuatan itu. Apakah gadis ini sudah tidak sayang kepada tangannya lagi? Tapi keheranan Suma Hun segera berubah menjadi kekagetan luar biasa, sebab tiba-tiba dirasanya seluruh tenaga yang dikerahkannya itu telah "terseret" dan lenyap, bagaikan sebuah batu besar yang dilemparkan ke dalam kubangan lumpur. Betapapun dah?syatnya daya rusak batu itu namun ku?bangan lumpur dapat menerimanya tanpa kurang suatu apapun.
Suma Hun menjadi sangat penasaran, masakah ia, tokoh ketiga dari Hong-ho-sam-hiong yang menggetarkan itu akan dikalahkan oleh seorang gadis tak ter?kenal? Cepat ia mengerahkan tenaga un?tuk merenggut toya besinya. Namun Wi lian bertempur bukan saja dengan tena?ganya tapi juga dengan otaknya, ia justeru telah melepaskan tekanannya ketika Suma Hun menariknya, maka tak ampun lagi orang ketiga dari Hong-ho-sam-hiong itu terjatuh sendiri. Hampir saja toya besinya menghantam kepala?nya sendiri, untung Suma Hun masih da?pat menguasainya.
Sementara itu, Ang Hay-liong te?lah menjadi masygul bukan main karena Hong-ho-sam-hiong yang selama ini cu?kup ditakuti itu kini tidak berdaya apa-apa dalam menghadapi gadis yang sa?ma sekali belum terkenal ini. Namun Ang-hay-liongpun bukan pengecut. Dengan sikap siap untuk mengadu jiwa, ia telah melangkah masuk kembali ke ge?langgang.
Tong Wi-lian merasa bahwa kesalah pahaman itu tidak boleh berkelanjutan. Maka cepat gadis itu melompat mundur sambil berseru, "Tahan! Kalian telah salah paham! Aku bukan orang Hwe-liong-pang !"
Sejenak Ang Hay-liong tertegun mendengar seruan gadis itu. Ketika di?lihatnya kedua orang kawannya itu ter?nyata tidak menderita luka apapun, ma?ka kemarahannya menjadi reda. Meskipun begitu suaranya masih saja cukup ga?rang, "Lalu dari pihak mana sebetulnya kau? Kenapa tadi kau tidak mengatakan?nya?"
Wi-lian tidak segera menjawab pertanyaan Ang Hay-liong yang bersifat menyalahkan itu. Lebih dulu Wi-lian berkata kepada Suma Hun, "Tuan, lain kali jika hendak turun tangan kepada seseorang hendaknya dipikir masak-ma?sak lebih dulu, jangan mengandalkan dan main terjang saja. Jika aku kurang dapat membela diri, bukankah saat ini aku telah menjadi mayat dengan tulang-tulang remuk?"
Suma Hun jadi salah tingkah dan tidak mampu menjawab teguran itu. Mu?lutnya ingin membantah, namun kenyata?annya memang dialah yang bersalah, di?alah yang langsung menyerang saja tan?pa menyelidiki lebih jelas lagi. Ia cuma mengangguk-anggukkan kepalanya dengan sikap agak ketolol-tololan. Ke?tika ia hendak memungut toya besi yang tergeletak di sampingnya, terkesiaplah Suma Hun. Dilihatnya bagian toya yang tadi dihantam telapak tangan gadis itu kini telah agak melengkung dan ti?dak begitu lurus lagi. Seketika mere?manglah bulu tengkuk Suma Hun. Begitu hebat pukulan gadis itu, bagaimana ka?lau pukulan itu mengenai batok kepala?nya atau tulang lehernya? Bukankah ga?dis itu tadi sebenarnya punya banyak peluang untuk membunuhnya?
Ang Hay-liongpun kini telah me?nyadari betapa lihai gadis yang di de?pannya itu. Ia tahu bahwa jika mau ga?dis itu dapat membunuh Hong-ho-sam-hi?ong bertiga sekaligus. Namun ternyata gadis itu tidak melakukannya, hal mana menandakan bahwa gadis itu sebenarnya tidak berniat bermusuhan dengan ia dan saudara-saudaranya.
Setelah melampiaskan kemendongkolannya kepada Suma Hun, kemudian Wi-lian berkata dengan nada yang le?bih lunak, "Tanpa berkelahi mungkin kita tidak akan saling mengenal. Harap kalian bertigapun memaafkan kelakuan yang kurang adat tadi dan tidak membu?at kalian jadi berkecil hati."
Lalu lebih dahulu Wi-lian menjura ke arah ketiga orang bekas lawannya, yang dibalas oleh ketiga pecundang itu dengan agak tersipu-sipu.
"Kami juga mohon maaf atas kebo?dohan yang telah menuduh nona secara sembarangan dan bertindak tanpa pikir panjang," sahut Ang Hay-liong mewakili kedua orang saudaranya. "Mohon berta?nya, nona dari perguruan mana dan sia?pakah guru nona yang terhormat?"
Wi-lian tersenyum dan menyahut, "Tadi aku hanya menyebutkan namaku tetapi lupa menyebutkan darimana perguruanku, sehingga membuat tuan-tuan salah paham. Nah, kini kujelaskan bahwa aku adalah murid Siau-lim-pay, guruku adalah rahib Hong-tay di Siong san."
Wajah Hong-ho-sam-hiong segera berubah hebat begitu mendengar disebutnya nama Rahib Hong-tay yang termasyhur itu. Sekali lagi Ang Hay-liong menjura dengan hormat sambil berkata, "Kiranya nona adalah murid dari rahib sakti yang tersohor bagaikan dewa itu. Kami benar-benar bermata buta dan tidak tahu diri sehingga berani melawan nona. Sekali lagi maafkan kami."
Pada jaman itu, nama Hong-tay Hweshio memang sangat terkenal. Di antara deretan nama sepuluh tokoh yang dianggap paling sakti di jaman itu nama Rahib Hong-tay menduduki urutan kedua, hanya setingkat di bawah nama Tiam-jong-lo-sia (Si Sesat Tua Dari Tiam-jong-san) Ang Huan yang berdiam di gunung Tiam-jong-san di wilayah In-lam. Tidaklah mengherankan kalau Ang Hay-liong bertiga menjadi bersikap sa?ngat menghormat begitu mengetahui bah?wa Wi-lian adalah murid rahib sakti yang suka berkelana itu.
"Pantas nona dapat mempermainkan kami seperti mempermainkan tiga ekor tikus saja," Ang hay-liong memuji. Ke?mudian orang tertua Hong-ho-sam-hiong itupun memperkenalkan dirinya sendiri, dan juga kedua orang saudara angkatnya.
Meskipun hatinya senang karena dipuji, tapi Wi-lian merendahkan diri, katanya, "Janganlah tuan terlalu memuji?ku. Aku masih hijau dalam pengalaman dunia persilatan, masih memerlukan pe?tunjuk-petunjuk tuan-tuan yang lebih berpengalaman."
Sikap yang rendah hati dan tidak menyombongkan diri itu telah menggo?reskan kesan baik di hati Hong-ho-sam-hiong itu. Kata Ang hay-liong sambil tertawa,"Ha-ha-ha, baru saja kami bertiga dibuat jungkir balik olehmu, nona, bagaimana sekarang nona malah bilang hendak meminta petunjuk kami?"
Sedangkan Suma Hun ini biarpun seorang yang bersifat kasar dan pema?rah, tapi juga punya sifat-sifat jujur dan terbuka. Ia ikut menimbrung pula, "Selama ini aku mengagulkan kekuatan tanganku yang kukira tiada tandingannya, namun hari ini terbukalah mataku bahwa dihadapan nona Tong aku tidak lebih dari seekor kerbau gila yang ti?dak berotak sama sekali. Untung tadi nona Tong tidak menurunkan tangan se?cara bersungguh-sungguh. Kalau tidak, mungkin saat ini aku sudah berkumpul dengan leluhur marga Suma di alam baka. Ha-ha-ha..."
Demikianlah, setelah salah paham dapat dibereskan, maka kedua belah pi?hak dengan cepat menjadi akrab. Ang Hay-liong segera mempersilahkan Wi-li?an untuk duduk di dalam, agar dapat berbincang-bincang lebih leluasa lagi.
Dalam pada itu, si tetamu bermuka dingin yang menginap di depan ka?mar Hong-ho-sam-hiong itu, menjadi ku?rang senang ketika melihat Tong Wi-li?an telah menjadi rukun dengan Hong-ho-sam-hiong. Sambil menutup pintu kamar?nya, ia menggerutu seorang diri, "Be?nar-benar keparat. Kalau sampai gadis itu bergabung dengan ketiga tikus itu, maka pekerjaanku malam ini benar-benar akan mengalami hambatan yang tidak ringan. Barangkali terpaksa harus min?ta bantuan kepada Kwa Heng."
Tiba-tiba timbullah niat orang itu untuk mencoba menguping pembicara?an antara Wi-lian dengan Hong-ho-sam-hiong. "Namun aku harus sangat berhati hati, sebab gadis itu benar-benar bukan main lihainya, meskipun ia masih hijau dalam hal pengalaman dunia persilatan," kata orang itu memperingatkan dirinya sendiri.
Sementara itu Wi-lian dan Hong-ho-sam-hiong telah duduk di dalam ruangan. Sengaja semua jendela dibuka lebar-lebar, agar supaya jika ada orang yang mencoba mengintip pembicaraan itu akan dapat diketahui dengan cepat.
Ang Hay-liong membuka pembicaraan, "Nona, apakah sebenarnya maksud nona yang menghubungi kami untuk membicara?kan urusan dengan Hwe-liong-pang itu?"
Tanpa berbelit-belit lagi Wi-lian segera bicara langsung ke pokok perso?alannya, "Aku sebenarnya tidak ada sangkut-pautnya sedikitpun dengan ge?rombolan yang menamakan dirinya Hwe-liong-pang itu. Namun sepanjang jalan aku mendengar orang membicarakan Hwe-liong-pang melulu, ada yang memuji-muji setinggi langit seperti memuja malaikat, ada yang mengutuk dan ketakutan setengah mati seperti berhadapan dengan iblis saja. Aku menjadi penasaran, apakah orang-orang Hwe-liong-pang itu berkepala tiga dan bertangan enam? Aku langsung mencari kalian, sebab tanpa sengaja kudengar percakapan kalian tadi, katanya kalian sedang ada urusan dengan Hwe-liong-pang. Apa betul?"
Ketiga tokoh Hong-ho-sam-hiong itu jadi melongo heran mendengar ucapan si gadis yang membicarakan Hwe-liong-pang dengan nada seenaknya itu. Jika orang lain sebisa-bisanya menghindarkan diri agar jangan sampai terbit urusan dengan pihak Hwe-liong pang, tapi gadis ini sebaliknya malah ingin mencari urusan dengan Hwe-liong pang. Diam-diam Ang hay-liong memba?tin dalam hatinya, "Memang betul pepatah yang mengatakan bahwa anak kam?bing yang baru dilahirkan tidak takut kepada harimau. Bocah inipun benar-be?nar tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi. Dikiranya Hwe-liong pang dapat dihadapi melulu dengan ilmu silat yang tinggi, ia belum tahu bah?wa orang-orang Hwe-liong-pang bisa berbuat berbagai macam kelicikan, bah?kan mahir pula bermain-main dengan segala jenis racun."
Namun Ang Hay-liong tidak mengu?tarakan perasaannya, ia hanya bertanya dengan halus, "Maksud nona yang sebe?narnya bagaimana?"
Ketika Wi-lian hendak menjawab pertanyaan itu, tiba-tiba saja kening gadis itu berkerut, dan ia nampak me?miringkan kepala untuk mengerahkan pendengarannya. Mendadak Wi-lian bang?kit dari tempat duduk sambil berkata dengan suara tertahan, "Ada orang yang mencuri dengar pembicaraan kita!"
Ang Hay-liong dan saudara-sau?daranya terkejut. Orang yang berhasil mendekati tempat itu sampai tidak diketahui oleh mereka, tentunya ada?lah seorang yang berkepandaian tinggi.
Sementara itu Tong Wi-lian telah melompat keluar lewat jendela dengan tangkasnya. Diam-diam Hong-ho-sam-hi?ong membatin, menilik gerakan gadis itu cukup cepat, maka tidak bisa ti?dak si pencuri pasti tidak akan sempat meloloskan diri lagi.
Tak terduga orang yang menguping pembicaraan itupun ternyata cukup tangkas dalam menghadapi perubahan ke?adaan. Begitu merasa bahwa jejaknya sudah diketahui lawan, ia secepat kilat melompat pergi. Ketika Wi-lian ti?ba di luar jendela, maka gadis itu ha?nya sempat melihat sesosok bayangan manusia berpakaian abu-abu bergerak sangat cepat menyelinap ke sebuah lo?rong berbau busuk yang letaknya berde?katan dengan tempat buang air besar.
Tanpa menghiraukan bau busuk yang menusuk hidung, Wi-lian memburu ke tempat itu, namun bayangan orang yang diburunya itu memiliki gerakan tubuh yang tidak kalah dengan dirinya sendiri. Apalagi karena orang itu me?nang waktu sebab ketika hendak melom?pat keluar tadi si gadis sudah bersua?ra memperingatkan lebih dulu.
Dengan perasaan masih penasaran, Wi-lian celingukan di lorong busuk itu. Tiba-tiba salah satu pintu dari tempat buang air itu terbuka dari da?lam, lalu si lelaki berbaju abu-abu dan bermuka dingin itu muncul dari da?lam sambil masih memegangi celananya. Begitu melihat Wi-lian celingukan di situ, orang itu tertawa kaku dan ber?kata, "Oh, apakah nona juga sakit pe?rut? Tetapi agaknya nona salah jalan. Tempat ini untuk kaum pria, sedangkan untuk kaum wanita yang letaknya di de?kat kebun sayur itu."
Keruan muka Tong Wi-lian jadi me?rah karena malunya, namun bersamaan dengan itu muncul pula kecurigaannya kepada orang ini. Ada dugaan kuat bah?wa pengintip pembicaraan tadi adalah orang ini. Kalau tidak, kenapa orang ini bisa menghilang begitu cepat di tempat ini, padahal di tempat ini ti?dak ada tempat yang bisa dijadikan persembunyian secara baik? Apalagi Wi-lian mendapat kesan bahwa manusia bermuka mayat ini bukan manusia semba?rangan. Tetapi tanpa mendapat bukti bukti yang kuat, Wi-lian tidak dapat menuduh sembarangan.
Tanpa menggubris pertanyaan orang itu, Wi-lian segera melangkah balik ke tempat Hong-ho-sam-hiong ber?tiga untuk meneruskan pembicaraan yang tertunda tadi. Tapi diam-diam ia men?catat dalam hatinya, "Ternyata di tem?pat ini ada seorang yang berkepandaian cukup tinggi, seseorang yang benar-be?nar patut diperhitungkan kehadirannya. Jelas orang itu punya kepentingan, se?bab ternyata ia menguping pembicaraan kami. Kemungkinan besar dialah orang Hwe-liong-pang yang ditugaskan untuk memburu dan membunuh Hong-ho-sam-hiong itu."
-o0^DwKz-Hendra^0o- KETIKA gadis itu telah berada kembali bersama Hong-ho-sam-hiong, nampaklah ketiga orang jagoan Hong-ho itu masih bersiap sedia dengan senjata terhunus. Pada wajah mereka jelas ter?tera ketegangan yang menekan perasaan mereka.
Mereka menunjukkan perasaan lega ketika melihat munculnya Wi-lian kem?bali. Ketiga jagoan yang ditakuti itu kini seperti tiga orang anak-anak yang cemas ketika ibunya pergi, dan gembi?ra ketika melihat ibunya datang kemba?li. Mereka jadi mirip tiga orang anak yang tidak berdaya mengatasi kawan-ka?wannya yang nakal, dan terpaksa sangat mengandalkan bantuan ibu mereka.
Begitu Wi-lian datang, pandangan mata mereka seakan bertanya, "Sia?pakah orang yang mengintip itu? Apakah hubungannya dengan Hwe-liong-pang? Di manakah dia sekarang?"
Wi-lian dapat menangkap perasaan ketiga orang itu, diam-diam timbul ju?ga rasa kasihannya melihat sikap ketiga orang itu. Untuk tidak menimbulkan kecemasan Hong-ho-sam-hiong, Wi-lian berkata dengan nada agak meng?hibur, "Cuma seorang cecunguk yang berkepandaian agak lumayan. Agaknya ia mengira kita membawa barang yang agak berharga supaya bisa disambarnya. Aku sudah tahu orangnya, namun karena kekurangan bukti, aku tidak dapat me?nangkapnya."
Ketiga orang Hong-ho-sam-hiong itu tidak percaya sepenuhnya akan ja?waban itu, maka mereka hanya dapat sa?ling bertukar pandangan. Mereka punya jalan pikiran yang sama, "Gadis yang masih hijau dalam pengalaman dan kerasnya hidup dunia persilatan ini ma?na bisa diharapkan bantuannya untuk menghadapi Hwe-liong-pang?" Rata-rata golongan liok-lim (Rimba Hijau) terma?suk Hong-ho-sam-hiong, berpendapat bah?wa turun tangan lebih dulu akan me?nang dan tidak menghiraukan apakah keliru bertindak atau tidak, pokoknya diri sendiri sudah tenteram lebih dulu. Tapi jika menurut Wi-lian, untuk menangkap orang dan menanyainya saja harus menunggu bukti dan tetek-bengek lainnya, sudah tentu jalan pi?kiran semacam ini kurang cocok dengan jalan pikiran Hong-ho-sam-hiong.
"Kenapa dibiarkan lolos?" kata Suma Hun dengan suara agak penasaran. Katanya pula, "Kita adalah kaum persi?latan yang setiap saat bergelut di ujung pedang, jika tindakan kita selalu kurang tegas dan bertele-tele, boleh jadi nyawa kita sudah melayang sejak dulu."
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 11 ALIS Wi-lian berkerut mendengar pendirian semacam itu. Sahutnya, "Meskipun aku masih hijau dalam penga?laman, tapi hati nuraniku melarangku untuk bertindak tanpa alasan yang ku?at, apa lagi sampai mencelakakan o?rang lain yang mungkin tidak bersalah."
Suma Hun terpaksa menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Selama hi?dupnya yang penuh petualangan itu, ba?ru kali inilah ia mendengar tentang persoalan "hati nurani" diikut serta?kan dalam tindakan-tindakan kaum per?silatan. Hal itu terdengar sangat janggal bagi Hong-ho-sam-hiong yang hampir seluruh hidupnya dilewati de?ngan bergulat di ujung senjata, penuh dengan kekerasan dan mengalirnya darah itu. Namun tidak ada yang membantah kata-kata Wi-lian itu.
Sementara itu Pang Lun bertanya pula, "Tadi nona Tong mengatakan sudah tahu siapa orangnya. Dapatkah nona mengatakan kepada kami?"
Wi-lian merenung sejenak sebelum menjawab. Gadis itu agak ragu-ragu un?tuk langsung menunjuk kepada orang bermuka mayat itu. Ia sudah tahu akan watak Suma Hun yang berangasan itu. Jika ia memberitahukan tentang orang itu, maka tidak mustahil Suma Hun akan langsung menyerbu ke tempat orang itu. Hal itu sama saja dengan "mengusik rumput mengagetkan ular", sehingga rencana Wi-lian untuk memancing mun?culnya orang-orang Hwe-liong-pang le?bih banyak lagi akan gagal.
Dengan pertimbangan itu, akhirnya gadis itu menjawab juga tetapi secara samar-samar dan tidak jelas, "Aku me?mang pernah melihat orang itu ketika aku pertama kali memasuki kota Kay-hong, namun aku tidak tahu lagi di mana ia sekarang. Dan lagi pula nampaknya orang itu bukan seorang yang terlalu berbahaya."
Sahutan itu membuat ketiga tokoh Hong-ho-sam-hiong itu tidak banyak bertanya lagi. Sementara itu Wi-lian mulai dengan pokok persoalan yang sangat ingin diketahuinya itu, "Kita lu?pakan orang tadi. Sekarang, bolehkah aku mengetahui urusan apa yang terjadi antara kalian dengan Hwe-liong-pang? Barangkali aku bisa membantu?"
Dalam pikiran Ang Hay-liong yang cerdik itu segera timbul akal untuk menarik gadis she Tong ini agar berpi?hak kepadanya. Mungkin gadis ini me?mang hijau dalam pengalaman, tapi bu?kankah menurut pengakuan gadis ini adalah murid rahib Siau-lim-pay, bah?kan murid Rahib Hong-tay yang bernama besar itu? Jika bisa mendapat perlin?dungan dari suatu golongan sekuat Siau lim-pay, betapapun terasa lebih baik dari pada diburu-buru ke sana kemari oleh orang-orang Hwe-liong-pang.
Maka mulailah Ang Hay-liong ber?cerita, "Kalau hal ini dibicarakan, sesungguhnya sangat memalukan. Kami yang sering menepuk dada sebagai jagoan ini, sekarang dipaksa terbirit-birit meninggalkan tempat kami sampai kabur ke Kay-hong ini."
Tong Wi-lian memperhatikan cerita orang itu dengan seksama.
Dulunya Hong-ho-sam-hiong ini merupakan pentolan-pentolan yang cukup ternama di kalangan liok-lim (rimba hijau, dunia kejahatan). Ang Hay-liong adalah bekas seorang begal ternak di daerah Shoa-tang, sedangkan Pang Lun dan Suma Hun berasal dari daerah barat laut, yaitu dari Hun-lam, yang peker?jaannya juga tidak banyak berbeda de?ngan Ang Hay-liong. Suatu ketika keti?ga orang ini saling bertemu, saling merasa cocok satu sama lain, dan akhirnya mengangkat saudara. Karena mo?dal yang mereka dapatkan dari hasil merampok itu sudah cukup banyak, mere?ka memutuskan untuk berhenti sebagai petualang, dan memulai hidupnya seba?gai orang "terhormat". Ketiganya akhirnya menjadi orang yang sangat ber?pengaruh di kalangan bajak di sepanjang sungai Hong-ho. Meskipun mereka sendiri sudah tidak pernah turun ta?ngan secara langsung, tapi mereka menjadi semacam "pelindung" bagi ka?wanan bajak itu, sebaliknya kawanan bajak itupun menyerahkan sebagian ha?sil kerja mereka kepada ketiga orang ini.
Mereka hidup di sebuah desa ke?cil bernama Pek-hoa-tin, yang terletak di tepi sungai, kira-kira duaratus li sebelah timur Kay-hong.
Meskipun ketiga orang itu sudah tidak terlibat secara langsung dalam kegiatan kaum Liok-lim, namun sering juga mereka "gatal tangan" dan memper?tontonkan kepandaian mereka. Misalnya, suatu hari ada seekor kerbau gila mengamuk di desa Pek-ho-tin, maka Suma Hun menaklukan dan memukul mampus ker?bau itu hanya dengan kedua tangannya. Dengan demikian nama ketiga orang itu jadi terkenal. Sayang, ketenaran itu pulalah yang mengundang malapetaka buat mereka.
Sejak gerombolan yang menamakan diri?nya Hwe-liong-pang itu muncul di dunia persilatan, maka hati setiap orang du?nia persilatan sudah jauh dari rasa tenteram lagi. Tidak jarang terdengar berita bahwa orang-orang Hwe-liong pang itu gemar menaklukan para jagoan liok-lim yang berpengaruh di "daerah"nya masing-masing, dan kemudian dijadi?kan bawahan Hwe-liong-pang.
Dan pada suatu, hari, Hong-ho-sam-hiong menerima gilirannya.
Pada suatu hari, ketika pelayan rumah Ang Hay-liong membuka pintu ger?bang rumah majikannya, si pelayan menemukan sehelai panji kecil tertancap di tembok depan. Panji itu cuma sehelai ka?in segitiga berwarna merah darah, ber?sulam gambar seekor naga yang menyala seluruh tubuhnya (Naga Api). Dan pada daun pintu terukirlah deretan huruf-huruf :
"Dalam waktu sepuluh hari, Hong-ho-sam hiong dan seluruh daerah pengaruhnya harus secara terbuka menyatakan masuk ke dalam Hwe-liong-pang, dan bersum?pah setia kepada Hwe-liong-pang-cu (Ketua Perkumpulan Naga Api). Jika mengabaikan perintah suci ini, Hong ho-sam-hiong akan ditumpas habis sekeluarga".
Ukiran di atas daun pintu itu nampaknya diukir dengan jari-jari ta?ngan, padahal pintu gerbang rumah Ang Hay-liong itu terbuat dari kayu jati Lam-yang yang terkenal keras bukan main. Maka jelaslah bahwa orang yang mampu mengukir jari tangannya di daun pintu itu merupakan seorang lihai luar biasa.
Hampir sepanjang umurnya, Hong-ho-sam-hiong hanya kenal menggertak dan menekan orang lain, namun kali ini gantian Hong-ho-sam-hiong yang diger?tak dan diancam, tentu saja hal ini sulit diterima oleh ketiga jagoan ini. Mereka lalu berunding untuk meng?atasi hal ini. Suma Hun yang berangasan itu telah mengusulkan untuk bertempur mati-matian melawan Hwe-liong pang, kalau perlu dengan mengerahkan seluruh gerombolan bajak sepanjang Hong-ho yang ada di bawah pengaruh me?reka. Namun Ang Hay-liong menolak usul itu. Apa artinya bajak-bajak kecil itu, meskipun jumlahnya banyak, jika diban?dingkan dengan gembong-gembong Hwe-li?ong-pang? Meskipun bajak-bajak itu cu?kup garang jika menakut-nakuti korban korban mereka, namun mereka jelas ti?dak akan dapat berkutik jika diha?dapkan kepada seseorang yang telah mampu mengukir jarinya di papan pintu rumah Ang Hay-liong itu.
Sedangkan Pang Lun berpendapat lain lagi. Ia berkata tidak ada sa?lahnya bergabung dengan Hwe-liong-pang. Mereka toh adalah bekas penjahat, ti?dak ada halangannya kalau kembali ke dunia lama.
Demikianlah perbedaan tajam mun?cul antara orang kedua dengan orang ketiga dari Hong-ho-sam-hiong itu.
Akhirnya Ang Hay-lionglah yang menemukan usul yang dapat diterima oleh kedua rekannya, sebuah usul yang lebih tepat merupakan jalan tengah di antara kedua usul terdahulu. Yaitu mengungsi ke tempat guru Ang Hay-liong yang berdiam di Ki-lian-san, sedang anggauta keluarga mereka untuk semen?tara akan dititipkan kepada sahabat mereka yang bernama Ho Tian, yang juga merupakan salah seorang tokoh liok-lim cukup berpengaruh di tepian Hong-ho. Kelak jika keadaan sudah aman, mereka akan menjemput anak isteri mereka un?tuk kembali ke tempat semula. Usul Ang Hai-liong ini kemudian disetujui. Be?tapapun juga Hong-ho-sam-hiong sudah merasakan betapa nikmatnya hidup ten?teram berkelimpahan harta dan kekuasa?an, mana mau mereka balik kembali ke dunia hitam di mana setiap saat nyawa mereka terancam?
Tong Wi-lian mendengarkan cerita Ang Hay-liong itu dengan beberapa kali mengangguk-anggukkan kepalanya. Diam diam ia menilai bahwa Hong-ho-sam-hiong itu cukup jujur juga, karena mau men?ceritakan masa silamnya yang kurang terhormat itu. Selain itu timbul pula ketidak-senangannya mendengar tindakan orang-orang Hwe-liong-pang yang suka memaksakan kehendaknya kepada orang lain dengan sewenang-wenang itu.
"Siapa Ho Tian itu? Dapatkah ia dipercaya?" tanya Wi-lian.
Ang Hay-liong menjawab, "Dia ada?lah bekas rekanku sejak bekerja tanpa modal dulu. Saat ini, meskipun Ho Tian masih menjalankan pekerjaan lama, tapi sasarannya hanya memilih kepada kaum kaya yang mendapatkan kekayaannya de?ngan memeras rakyat. Sarangnya di bu?kit Ceng-seng-nia, dan anak buahnya ada ratusan orang. Kukira keluarga kami akan aman di sana."
Alis Wi-lian agak berkerut ketika mendengar tentang "pekerjaan" Ho Tian itu. Betapapun juga timbul rasa kurang sesuai dalam diri gadis itu jika harus bergaul dengan orang-orang semacam itu.
Melihat perubahan muka gadis itu, buru-buru Ang Hay-liong menambah penjelasannya, "Kudengar Ho Tian tidak per?nah membegal pedagang kecil, bahkan pedagang kayapun asal ia jujur tidak akan dibegalnya. Sasarannya lebih ba?nyak kepada kaum pembesar yang perutnya gendut karena menghisap darah rak?yat itu. Kekayaan mereka berlimpah, jika diambil seribu atau duaribu tahil saja belum terasa apa-apa. Sedangkan uang sebesar itu akan sangat berarti bagi saudara-saudara kami yang hidup dengan mengandalkan ramainya lalu lin?tas sungai Hong-ho."
Tong Wi-lian tidak ingin membica?rakan hal itu lebih lanjut. Kalau per?debatan itu dilanjutkan, mungkin tiga hari tiga malampun tidak akan selesai. Sudah umum, bahwa orang-orang yang menjalankan pekerjaan yang paling burukpun akan punya segudang alasan un?tuk membenarkan pekerjaannya itu.
Ketika itu matahari sudah agak condong ke sebelah barat, akhirnya wi-lian mengundurkan diri dan mengucapkan terima kasih kepada Hong-ho-sam-hiong yang telah memberi keterangan itu. Terdorong oleh rasa tidak senangnya kepada Hwe-liong-pang, maka gadis itu bahkan berani menjanjikan, "Kami, mu?rid-murid Siau-lim-pay, paling benci melihat kesewenang-wenangan seperti yang dilakukan orang-orang Hwe-liong pang itu. Urusan sam-wi (tuan bertiga) dengan Hwe-liong-pang, bagaimanapun juga aku harus ikut campur. Sekarang baiklah kita masing-masing akan berpi?sah dan beristirahat.."
Ketiga jagoan Hong-ho itupun berdiri dan mengucapkan terima kasih ke?pada Wi-lian yang sudi berbagi nasib dengan mereka.
-o0^DwKz-Hendra^0o- MATAHARI perlahan-lahan mulai turun ke barat, dan kegelapanpun mulai turun menyungkup bumi bagaikan sehelai selimut raksasa berwarna kelam.
Senja lewat dan berganti dengan malam, ternyata senja itu tidak ada apapun yang terjadi.
Bola bumi terus berputar dan malampun terus menukik menuju ke ke?dalamannya. Kota Kay-hong dalam keada?an dingin mencekam, penduduknya telah tertidur dalam kehangatan rumahnya ma?sing-masing. Yang masih berkeliaran di luar rumah hanyalah para peronda yang menjalankan tugas tetapnya itu dengan jemunya, dan dengan langkah segan-se?gan mereka mengelilingi kota sambil sekali-kali membunyikan gembreng.
Rumah penginapan tempat menginapnya Hong-ho-sam-hiong itupun keada?annya sama lelapnya dengan keadaan Kay hong umumnya.
Kamar lelaki berbaju abu-abu dan bermuka mayat itu nampak gelap gulita dan... ternyata kosong! dalam kege?lapan sepintas lalu memang nampak ada sesosok tubuh meringkuk di atas pemba?ringan. Namun itu hanyalah tipuan yang lazim dijalankan oleh orang-orang dunia persilatan, untuk mengelabuhi orang yang mengintai ke dalam kamar.
Si muka dingin itu ternyata su?dah berada di luar kamarnya. Dengan berpakaian ringkas berwarna hitam, ia tengah berjalan mengendap-endap mende?kati jendela kamar tidur dari si peng?urus penginapan yang bongkok itu.
Setibanya di dekat jendela itu, lebih dulu ia menengok ke kiri dan ke-kanan, untuk memastikan bahwa perbuatannya itu tidak diawasi orang. Ternya?ta, ia merasa aman. Lalu diketuknya da?un jendela itu dengan irama tertentu, dan diulanginya beberapa kali.
Pengurus rumah makan yang bungkuk dan tua itu terkejut mendengar ketukan itu, ia terjaga dari tidurnya dan mendengarkan baik-baik irama ketukan itu. Wajahnya nampak agak tegang. Lalu de?ngan suara tertahan ia berkata, "Si?apa?"
Orang bermuka mayat yang di luar jendela itu menjawab, meskipun dengan suara lirih namun cukup terdengar da?ri dalam, "Ang-ki-tong (Ruangan/kelom?pok Panji Merah), Hu-tong-cu (wakil kepala kelompok), Lam-thian-hwe-liong (Naga Api di Langit Selatan)."
Si bungkuk pengurus penginapan itu mengerutkan alisnya, katanya dengan kata-kata sandi, "Wibawa hwe-liong-pang-cu menudungi matahari...."
Sahut si muka dingin dari luar, "...menutup rembulan. Ang-ki-hu-tong-Cu Tan Han-ciang mohon diijinkan meng?hadap kepada Ui-ki-tong-cu (kepala ke?lompok Panji Kuning)."
Si bongkok nampak tersenyum ke?cut. Sambil menggerutu ia menyalakan sebatang lilin untuk menerangi kamarnya, setelah itu dengan sikap malas barulah ia membuka jendela dan berkata, "Maaf, kau harus melompat lewat jende?la, saudara Tan, silahkan masuk."
Si muka mayat cepat melompat ma?suk dengan gerakan yang ringan dan ce?pat, menandakan tingkat ilmu silatnya yang tidak bisa dianggap ringan. Ruyung baja itu masih terlilit di pinggangnya.
Si pengurus penginapan yang bung?kuk itu menyambutnya dengan tertawa terkekeh-kekeh, "He-he-he, saudara Tan, angin apa gerangan yang meniupmu sam?pai ke sini?"
Si muka mayat yang biasanya ang?kuh dan bermuka dingin itu kini ter?nyata bersikap sangat sungkan dan sa?ngat menghormat kepada si tua bungkuk yang bahkan giginyapun hampir habis itu. Kata si muka dingin sambil membe?ri hormat, "Harap Kwa Tong-cu (kepala kelompok she kwa) memaafkan aku yang telah berani memasuki wilayah kerja Ui-ki-tong tanpa pemberitahuan lebih dulu. Harap Tong-cu memaklumi bahwa karena tugaskulah yang memaksa aku ha?rus bertindak secara sembunyi-sem?bunyi semacam ini."
Si bongkok yang dipanggil Kwa Tong-cu itu nampak mengerutkan alis?nya dan tanpa sungkan sedikitpun ia menunjukkan ketidak-senangannya. Ia diam saja tanpa menyahut, membuat orang bermuka mayat yang bernama Tan Han-ciang itu jadi salah tingkah untuk beberapa saat lamanya. Akhirnya ter?dengar Tan Han-ciang berkata pula, "Dan aku minta maaf sekali lagi, Kwa Tong-cu malam ini terpaksa aku memberanikan diri untuk merepotkan Tong-cu dengan meminta bantuan Tong-cu."
"Bantuan apa?" tanya Kwa Tong-cu dingin.
Sungguh mengherankan bahwa si muka mayat yang tadinya begitu menyeram?kan bagi orang lain itu, kini bersikap seperti tikus berhadapan dengan kucing saja. Meskipun si bungkuk sudah terang terangan menunjukkan rasa tidak-senangnya, namun si muka mayat dengan tak kenal malu masih berkata juga, "Kwa Tong-cu, bantuan yang hendak kuminta ini bukan hanya menyangkut kepentingan Ang-ki-tong kami, tapi juga menyangkut kewibawaan seluruh Hwe-liong-pang ki?ta. Saat ini aku sedang menjalankan tugas dari Ang-ki-tong-cu (kepala ke?lompok Panji Merah) untuk memburu dan menumpas Hong-ho-sam-hiong, karena me?reka telah berani melarikan diri untuk menghindari panggilan suci dari Pang kita. Tiga orang buruanku itu saat ini berada di dalam rumah penginapanmu ini."
Tong-cu she Kwa itu mendengus di?ngin, katanya dengan nada yang tawar, "Kalau buruanmu sudah ada di sini, ke?napa kalian tidak segera turun tangan, membabat tanpa kenal ampun dan tanpa peduli caci maki orang-orang dunia persilatan? Bukankah begitu kebiasaan Ang-ki-tong kalian? Saudara Tan, terus terang saja selama ini aku tidak setuju dengan gerak-gerik Ang-ki-tong kalian yang ganas itu. Ada masalah kecil saja terus main bunuh dan main babat seenaknya saja. Jika tindakan-tin?dakan semacam itu terus berkelanjutan, lama-lama Hwe-liong-pang kita ini akan dianggap sebagai golongan sesat, dan ini jelas tidak sesuai dengan garis perjuangan yang ditetapkan oleh Pang cu (Ketua)."
Ditatap oleh mata Tong-cu she Kwa itu, Tan Han-ciang cuma dapat menun?dukkan kepalanya tanpa berani memban?tah. Akhirnya terdengarlah suaranya yang agak gugup, "A...aku cuma menja?lankan apa yang diperintahkan oleh Ang-ki-tong-cu tanpa punya kekuasaan untuk membantah. Kali inipun aku de?ngan sangat mohon bantuan Tong-cu, sebab kalau sampai aku gagal, berarti kepalakupun akan terpisah dari leherku. Meskipun ketiga orang Hong-ho-sam-hiong itu sendiri bukan lawan berat, te?tapi gadis yang bersilat dengan gaya Siau-lim-pay itulah yang merupakan perintang yang benar-benar tangguh."
Lelaki bungkuk yang sebenarnya bernama Kwa Heng itu nampak menarik napas dalam-dalam dengan sikap kesal. Katanya dengan nada yang terpaksa, "Baiklah, baiklah, kalau sudah begini terpaksa kita harus saling bantu juga akhirnya. Tetapi tidak adakah jalan lain dari pembunuhan?"
Tan Han-ciangpun menarik napas, "Sekali lagi harap Kwa Tong-cu memak?lumi keadaanku yang cuma menjalankan perintah atasan. Siapa yang membantah perintah atasan, hukumannya adalah di?hadiahi dengan sebutir Racun Penghan?cur yang mengerikan itu. Contohnya adalah Thio Tong-cu (kepala kelompok Thio) dari Jing-ki-tong (kelompok Pan?ji Hijau) yang telah dipaksa minum Racun Penghancur oleh Tang Su-cia (utus?an she Tang) karena berani membangkang perintah Tang Su-cia. Peraturan dalam Pang kita sangat keras. Jika aku gagal menjalankan tugasku, maka Racun Penghancurlah bagianku. Kwa Tong-cu, seka?li ini kau benar-benar telah menyela?matkan aku dari hukuman yang menakut?kan itu."
Iba juga hati Kwa Heng melihat Tan Han-ciang sampai merengek seperti anak kecil seperti itu. Sahutnya kemu?dian, "baiklah, tetapi tentu aku ha?rus berganti pakaian ya-heng-i (pakaian berjalan malam) lebih dulu. Eh, ngomong-omong sekarang siapa yang menggantikan Thio Tong-cu sebagai pe?mimpin Jing-ki-tong? Hubungan antara Jing-ki-tong dengan Ang-ki-tong kalian cukup akrab, tentu kau mengetahuinya."
"Kalau tidak salah jabatan Jing-ki-tong-cu sekarang dijabat oleh Au-yang Siau-hui, orang dari Su-coan itu."
"Astaga, kiranya iblis kecil itu," keluh Kwa Heng sambil memegang kening?nya. "Omong terus terang, orang she Au-yang ini tidak berbeda gilanya dengan kepala kelompokmu itu. Semakin banyak orang macam ini bercokol dalam Hwe-liong-pang, semakin kaburlah ga?ris perjuangan yang digariskan oleh Pang-cu kita. Orang-orang semacam Tong-cumu dan si setan kecil she Au-yang itu hanya tahu satu jalan jika timbul perselisihan, yaitu membunuh. Selain cara itu mereka tidak melihat cara la?in lagi. Orang semacam mereka suatu ketika akan menjerumuskan Hwe-liong pang ke dalam kesulitan."
Meskipun dalam hatinya tidak se?tuju, namun Tan Han-ciang tidak berani memotong atau membantah ucapan Kwa Heng itu. Yang meluncur dari mulutnya melulu hanya kata-kata "ya" dan "baik" saja.
"Bagaimana menurut pendapatmu, saudara Tan, apakah tenaga kita berdua saja sudah cukup untuk mengatasi Hong-ho-sam-hiong dan gadis Siau-lim-pay itu?" tiba-tiba Kwa Heng bertanya kepa?da Tan Han-ciang.
Sahut Tan Han-ciang, "Lebih baik kelebihan tenaga daripada menanggung kemungkinan kegagalan. Menurut pendapatku, ada baiknya Kwa Tong-cu menghu?bungi beberapa saudara dari Ui-ki-tong yang berilmu silat cukup kuat untuk diikut-sertakan dalam gerakan kita."
Kwa Heng si bungkuk itu mengangguk-anggukan kepalanya yang berambut kelabu itu. Ia mempersilahkan Tan Han-ciang duduk menunggu sebentar, semen?tara ia sendiri membangunkan seorang pelayannya yang sudah tidur pulas un?tuk disuruh memanggil seseorang.
"A-liok, sekarang juga kau keluar dan panggillah Ji Tiat supaya datang kemari sekarang juga dan jangan diketahui orang," perintahnya.
Pelayan yang masih mengantuk itu-pun bangkit dan menjalankan perintah itu, meskipun sambil menggerutu dalam hati karena kenikmatan tidurnya ter?ganggu. Untunglah rumah orang yang bernama Ji Tiat itu letaknya tidak ja?uh dari rumah penginapan itu. Maka ti?dak lama kemudian pelayan itupun telah kembali menghadap Kwa Heng bersama seorang lelaki yang bertubuh tegap-kekar, meskipun tubuhnya tidak terlalu besar. Mukanya merah dan matanya be?sar, sekitar mukanya dihiasi berewok pendek. Matanya yang dinaungi sepasang alis hitam lebat itu bersinar-sinar mengesankan kejujuran dan keberanian. Pakaiannya sangat sederhana, hanya ba?ju pendek dan celana pendek pula, ser?ta sepatu rumput di kakinya. Pada ikat pinggangnya yang terbuat dari kulit itu tergantunglah sepasang kampak bergagang pendek yang agaknya merupakan senjata andalannya.
Setelah menyuruh A-liok untuk kembali tidur, Kwa Heng segera memper?kenalkan Tan Han-ciang kepada orang yang datang bersama dengan A-liok itu. Ternyata orang itu adalah Hu-tong-cu dari Ui-ki-tong yang bernama Ji Tiat. Sehari-harinya ia bekerja sebagai tu?kang jagal hewan di pasar, dan itu co?cok dengan keadaan tubuhnya yang me?mang menyimpan kekuatan hebat di dalamnya itu. Namun hanya orang-orang tertentu di Kay-hong yang mengetahui bahwa Ji Tiat ini adalah anggauta Hwe-liong-pang, bahkan kedudukannya cukup tinggi, yaitu Hu-tong-cu (wakil kepa?la kelompok) dari kelompok Ui-ki-tong.
Dua orang Hu-tong-cu, satu dari Ui-ki-tong dan satu lagi dari Ang-ki-tong itu segera saling berkena?lan satu sama lain. Setelah itu mereka lalu saling berembug untuk mencari ca?ra yang sebaik-baiknya untuk "meram?pungkan" Hong-ho-sam-hiong secepat mungkin dan tanpa banyak berisik.
Mula-mula Tan Han-ciang mengusul?kan supaya gadis Siau-lim-pay itu di?bunuh sekalian, dengan alasan "untuk menunjukkan keangkeran Hwe-liong-pang." Tapi usul itu ditentang keras oleh Kwa Heng dan Ji Tiat karena menanam permusuhan dengan Siau-lim-pay yang punya banyak orang-orang berilmu itu akan sama saja dengan menanam benih kesulitan, dan akan membuahkan ke?sulitan pula di kemudian hari. Akhirnya Tan Han-ciang menyerah.
Sementara itu, di dalam kamarnya Hong-ho-sam-hiong tidak dapat memejam?kan matanya sekejappun. Hati mereka diliputi rasa tegang, bahkan mereka seakan-akan sudah mendapat firasat bahwa malam itu akan merupakan malam terakhir dari perjalanan hidup mereka. Tapi tak seorangpun berani meng?emukakan perasaannya itu kepada yang lain, takut melemahkan semangat lain?nya. Senjata mereka tidak pernah ter?pisah jauh di samping mereka.
Udara di dalam ruangan itupun se?akan-akan menjadi terlalu sedikit se?hingga menyesakkan napas. Suara yang bagaimanapun kecilnya yang sampai ke telinga mereka, cukup untuk membuat mereka bertiga berlompatan kaget sam?bil menghunus senjatanya masing-masing.
Jika mengenang masa lalunya seba?dai seorang begal yang ditakuti di daerah Shoa-tang, maka Ang Hay-liong sempat juga tertawa meskipun dengan getirnya. Saat itu, dengan senjata sam-ciat-kunnya, Ang Hay-liong seakan-akan tidak gentar kepada langit dan bumi sekalipun. Namun sungguh berbeda dengan keadaannya sekarang, di mana kenikmatan dan kemewahan hidup sudah melunturkan sebagian besar keberanian?nya, keluhnya dalam hati, "Agaknya se?telah merasakan hidup makmur belasan tahun, aku telah berubah menjadi manu?sia penakut bernyali tikus."
Di kamar lain, "si anak lembu yang tidak takut harimau" Tong Wi-lian sedang duduk bersemedi untuk meng?umpulkan tenaga dan semangatnya. Gadis itu tidak membawa senjata sepotongpun sebab selama berguru di Siong-san itu ia lebih mendalami ilmu silat tangan kosong. Dia telah melatih jari-jari tangannya itulah kini yang merupakan senjatanya yang paling diandalkannya.
Setelah setengah malam lewat dan ternyata tidak terjadi sesuatu apapun, gadis itu mulai bertanya-tanya dalam hatinya, mungkinkah pihak Hwe-liong pang menunggu setelah dirinya berpisah dengan Hong-ho-sam-hiong, setelah itu baru bertindak?
"Kalau begitu, celakalah Ang Hay-liong dan saudara-saudara angkatnya itu," pikir Wi-lian. "Sebab aku tidak akan bisa terus menerus mengawal mereka, sebab akupun punya beberapa urus?an yang harus diselesaikan. Jika demikian sebaiknya kucarikan dulu bebera?pa perlindungan yang aman buat mereka."
Tengah Wi-lian berpikir-pikir ba?gaimana sebaiknya menyelamatkan Hong-ho-sam-hiong dari kebuasan Hwe-liong pang, tiba-tiba telinganya yang tajam dan terlatih itu menangkap suara ber?kibarnya kain pakaian di atas genteng. Jelas ada orang-orang berilmu silat yang sedang bergerak di atas genteng, dan menilik gerakannya yang hampir tanpa suara itu, maka agaknya orang-orang yang bergerak itu merupakan orang orang yang memiliki ilmu meringankan tubuh cukup tangguh.
Cepat Wi-lian bangkit, melompat keluar jendela tanpa menimbulkan suara sama sekali, lalu menyembunyikan diri dengan berjongkok di balik rumpun po?hon-pohon bunga yang terdapat di seki?tar kamar sewaannya. Dari tempat per?sembunyiannya itu, ia agak leluasa un?tuk menebarkan pandangannya ke segala sudut halaman belakang dari rumah penginapan yang tengah dicengkam kesunyian itu.
Dan pandangan matanya yang tajam melihat ada tiga sosok tubuh bergerak dengan ringannya bagaikan arwah-arwah gentayangan, mendekati ke arah kamar Hong-ho-sam-hiong!
"Itulah mereka," desis Wi-lian seorang diri. Meskipun gadis ini cukup bernyali besar, namun hatinya agak te?gang juga, sebab ia sudah berjanji ke?pada Hong-ho-sam-hiong untuk membantu mereka melawan orang-orang Hwe-liong-pang, padahal ia sudah mendengar kabar bahwa orang-orang Hwe-liong-pang itu terkenal dengan kekejamannya dan tingkat ilmunya yang rata-rata cukup ting?gi.
Meskipun malam cukup gelap, namun beberapa bintang yang bergantungan di langit cukup membantu Wi-lian untuk mengenali bentuk tubuh dari ketiga orang yang tengah mengendap-endap ke tempat Hong-ho-sam-hiong itu. Salah se?orang dari mereka adalah lelaki bermu?ka mayat yang oleh Wi-lian dicurigai sebagai pengintip pembicaraan siang tadi. Yang seorang lagi adalah seorang bungkuk namun kelihatan sangat lincah, dan seorang bertubuh tegap dan kokoh tapi juga cukup gesit, tidak kalah ge?sitnya dengan orang bermuka dingin itu.
"Sudah kuduga bahwa orang bermuka dingin itu tentu punya maksud tertentu, ternyata dugaanku ini tidak salah," pikir Wi-lian. "Bahkan ia membawa dua orang kawan yang agaknya tenaga-tenaga yang dapat diandalkan pula. Aku harus berhati-hati."
Ketika Wi-lian melihat orang yang bungkuk itu, tiba-tiba ingatlah Wi-li?an akan seorang tokoh yang pernah di?ceritakan oleh gurunya, dan mau tidak mau jantungnyapun berdebar lebih ken?cang jika ingat akan tokoh itu. Pikir Wi-lian, "Jangan-jangan orang bungkuk itu adalah Kwa Heng, tokoh yang berge?lar Thi-jiau-tho-kau (Monyet Bungkuk Berkuku Besi) itu? Kudengar ia sering berpasangan dengan tokoh lainnya yang bernama Ji Tiat dan berjuluk Siang-po-kay-san (Sepasang kampak Pembelah Gunung). Meskipun nama mereka tidak terlalu harum, tapi merekapun bukan orang-orang jahat, kenapa sekarang nampaknya bergabung dengan Hwe-liong-pang? Ah, hati manusia memang susah diduga."
Sementara itu, telah terdengar Tan Han-ciang berteriak, "He, tiga cecurut busuk, lekaslah keluar untuk me?nerima kematian!"
Seruan Tan Han-ciang itu mendapat jawaban langsung, daun pintu nampak "terbang" karena ditendang dari dalam, dan yang muncul paling dulu ternyata adalah si berangasan Suma Hun. Disusul kemudian oleh Ang Hay-liong dan Pang Lun.
Tan Han-ciang tertawa dingin me?lihat munculnya Hong-ho-sam-hiong itu. Katanya mengejek, "He-he-he, kalian berani mengingkari ajakan Tong-cu kami dan melarikan diri begitu jauh, tentu?nya kalian tidak menduga kalau aku berhasil memburu kalian bukan?"
Ang Hay-liong maju selangkah dan berkata sambil menudingkan tangannya, "Kalian orang-orang Hwe-liong-pang be?nar-benar keterlaluan. Apa kesalahan kami kepada perkumpulanmu sehingga ka?lian terus mengejar kami, dan tidak membiarkan kami menikmati hari tua ka?mi?"
"Hemm, mengingkari ajakan Tong-cu untuk bergabung dengan kami itu saja sudah merupakan dosa tak terampun, sebab itu berarti menghina Pang Kami dan memandang rendah kami. Kalian memang orang-orang yang tidak tahu diri. Se?harusnya kalian bangga jika Pang kami ada perhatian kepada kalian dan bahkan mengajak bekerja-sama, kenapa kalian malah melarikan diri? Dasar memang ka?lian orang-orang yang ditakdirkan mam?pus malam ini."
Suma Hun yang pemarah itu sudah tidak sabar lagi nampaknya. Sambil me?mutar-mutar toya besinya, ia berkata kepada Ang Hay-liong, "Toako, tidak ada gunanya kita bicara panjang lebar kepada manusia-manusia binatang ini. Bicara dengan senjata, itu lebih te?pat."
Tan Han-ciang tertawa dingin me?lihat sikap Suma Hun itu. Katanya, "Siapa orangnya yang tidak mengenal keberanian dan kegagahan Suma Hun? Tapi siapa pula yang tidak mengenal ke?tololannya? Harap kalian ingat ancaman kami tidak pernah kosong melompong, jika kalian mengira bahwa kali?an telah berhasil menyelamatkan kelu?arga kalian yang kalian titipkan di rumah orang she Ho itu, hemm, kalian benar-benar mimpi di siang hari bo?long."
Hal yang benar-benar dicemaskan oleh Hong-ho-sam-hiong memang masalah keselamatan anggauta keluarga mereka. Mereka bahkan rela terbunuh oleh orang orang Hwe-liong-pang asal keluarga me?reka selamat. Tapi kini setelah mende?ngar ucapan Tan Han-ciang itu, terke?jutlah Ang Hay-liong dan kawan-kawan?nya. Dengan suara bergetar, Ang Hay-liong membentak, "Kau...kau telah berbuat apa terhadap mereka?"
Tan Han Ciang tertawa terbahak bahak, lalu sahutnya dengan acuh tak acuh, "Bukan salah kami kalau terjadi apa-apa atas diri mereka, sebab kalian memang tidak menghiraukan peringatan kami. Semua ancaman yang kami canang?kan itu telah kami laksanakan. 56 jiwa anggauta keluarga kalian dan anggauta keluarga Ho yang telah melindunginya, semuanya telah kami kirim ke neraka!"
Bukan Hong-ho-sam-hiong saja yang bergetar hatinya, bahkan Kwa Heng dan Ji Tiat sebagai sama-sama orang Hwe-liong-pangpun terkejut mendengar ucapan Tan Han-ciang itu. Diam-diam Kwa Heng mengeluh dalam hati, "Jika tindak?an-tindakan kejam seperti ini dibiar?kan terus menerus, maka nama Hwe-liong pang benar-benar akan rusak, dan tidak mustahil suatu saat akan dianggap se?bagai musuh bersama dunia persilatan."
Sedangkan bagi Hong-ho-sam-hiong, berita itu benar-benar sebuah pukulan berat kepada batin mereka. Begitu pu?la Tong Wi-lian yang masih bersembunyi itu telah meluap darahnya, namun ga?dis itu masih berusaha mengendalikan kemarahannya sambil menunggu perkembangan berikutnya.
Pang Lun nampak menengadah ke langit yang kelam, mulutnya berkemak kemik seakan-akan bicara kepada bin?tang-bintang di langit. Bisiknya, "Saudara Ho, budimu kepada kami ber?tiga sungguh tak terukur dalamnya. Ha?rap kau tenangkan dirimu di alam baka. Jika malam ini kami gagal membalas sa?kit hatimu, kami bersumpah tidak ingin hidup lagi dan biarlah menyusulmu ke alam baka saja."
Jika Pang Lun meratap demikian memilukan, sebaliknya Suma Hun telah meraung keras bagaikan harimau terluka, "Malam ini harus ada ketentuan, kalian atau kami bertiga yang harus lenyap dari muka bumi ini!"
Dan Suma Hun langsung melompat maju sambil menggerakkan toya besinya dengan jurus Heng-sau-jian-kun (Menya?pu Ribuan Perajurit) untuk menyerampang sekaligus ketiga orang Hwe-li?ong-pang itu.
Tan Han-ciang cepat berjungkir balik ke belakang untuk menghindari, be?gitu pula Kwa Heng telah melejit de?ngan gesitnya. Namun Ji Tiat yang juga bertenaga raksasa itu sama sekali tidak menghindar, justeru dengan sepa?sang kampak pendeknya ia membentur toya besi Suma Hun secara keras lawan keras.
Terdengar suara berdentang yang memekakkan telinga, mengguncangkan uda?ra malam yang dingin dan beku itu. Suara sekeras itu sebetulnya sudah cukup untuk membangunkan seluruh teta?mu yang menginap di penginapan itu, namun ternyata tidak seorangpun yang berani keluar dan melibatkan diri dengan permusuhan antara orang-orang dunia persilatan itu.
Dari akibat benturan itu, nampak?lah perbandingan tenaga antara Suma Hun dengan Ji Tiat. Ternyata Ji Tiat lebih unggul setingkat dalam hal tena?ga. Ia hanya tergeliat sedikit, meski?pun telapak tangan yang memegang sepa?sang kampaknya itu terasa panas. Se?dangkan Suma Hun terdorong mundur dua langkah dan toyanyapun hampir-hampir terlempar lepas dari tangannya.
Dalam keadaan biasa, tentu Suma Hun akan terkejut oleh kekuatan lawan dan berpikir-pikir sebelum melawan la?gi. Tapi saat itu Suma Hun sudah mata gelap, dan yang ada dalam pikirannya tidak lain hanya keinginan untuk mem?bunuh lawan, bahkan kalau perlu dengan mengorbankan diri sendiri. Dengan ga?nasnya ia kembali menubruk maju, dan lawannyapun menyambutnya dengan hangat.
Ang Hay-liong dan Pang Lun, keti?ka melihat saudara muda mereka telah terlibat dalam bentrokan senjata, segera menerjunkan diri ke tengah ge?langgang pula. Didorong oleh kemarahan yang meluap-luap dan tekad untuk meng?adu jiwa, tokoh-tokoh Hong-ho-sam-hiong itu kini benar-benar merupakan orang-orang yang berbahaya.
Tan Han-ciang segera mengurai pe?cut bajanya yang terlilit di ping?gangnya dan segera menggetarkannya di udara. Suara geletarnya terdengar mengerikan bagaikan suara halilintar. Dengan senjatanya inilah Tan Han-ciang sekaligus menyapu ke arah Ang Hay-Liong dan Pang Lun yang tengah bergerak maju.
Agaknya kali ini Tan Han-ciang agak salah dalam membuat perhitungan. Dalam keadaan biasa, Hong-ho-sam-hiong memang bukan orang-orang yang terlalu ditakuti karena kepandaian mereka yang tidak begitu tinggi. Namun kali ini mereka sudah dalam keadaan nekad dan tidak perduli lagi mati hidupnya sendiri. Karena itu, sapuan cambuk baja Tan Han-ciang itu tidak membuat Ang Hay-liong dan Pang Lun mundur, me?lainkan mereka terus merangsek dengan keras kepala.
Mau tidak mau Hu-tong-cu dari Ang-ki-tong itulah yang harus melompat mundur dengan kagetnya.
Terdengar Pang Lun berteriak me?lengking, sepasang liu-yap-tonya bergerak sekaligus dengan dua jurus yang berbeda. Golok di tangan kanan menyapu dengan jurus Ciu-hong-sau-yap (Anqin Kemarau Menyapu Daun), dan golok kiri bergerak mendatar ke depan setinggi dada dengan gerakan Wan-hun kok-so (Arwah Penasaran Mengajukan Tuntutan). Kedua gerakan itu amat ga?nas, merupakan jurus-jurus anda?lan dari tokoh penengah Hong-ho-sam-hi?ong ini.
Dari jurusan lain, Ang Hay-liong-pun telah menyerang dengan gerakan aneh. Ia memegang sam-ciat-kun pada ru?as tengahnya, sedang kedua ruas ping?girnya bergerak menyerang jalan darah tay-yang-hiat di pelipis dan tan-yang-hiat di belakang kepala Tan Han-ciang. Kedua jalan darah itu merupakan jalan darah-jalan darah kematian.
Betapapun Tan Han-ciang adalah Ang-ki-hu-tong-cu yang cukup disegani, karena didesak begitu rupa, akhirnya meluap juga kemarahannya.
Wajahnya tiba-tiba menyeringai dengan kejam, menampilkan hawa nafsu membunuh yang mulai menguasai dirinya. Cambuk bajanya diputar kencang, dan bagaikan seekor naga yang meluncur da?ri langit, cambuk itu menyambar ke ja?lan darah pek-hwe-hiat di ubun-ubun Pang Lun. Bersamaan dengan itu telapak tangan kirinyapun ikut bekerja dengan melakukan babatan keras ke rusuk Ang Hay-liong.
Golok liu-yap-siang-to Pang Lun pendek, sedang cambuk lawan panjangnya satu tombak lebih, maka sebelum golok Pang Lun mengenai kulit lawan, pasti batok kepalanya akan lebih dulu remuk terhantam cambuk baja itu.
Namun sekali lagi Pang Lun berbu?at suatu tindakan yang diluar perhi?tungan lawannya. Ia tidak mundur, na?mun justru mempercepat luncuran maju?nya dan mengubah gerakan sepasang goloknya menjadi jurus Siang-seng-tui-goat (Sepasang Bintang Mengejar Rembulan), di mana sepasang goloknya ber?gerak sejajar ke dada lawannya. Dengan demikian, meskipun cambuk Tan Han-ciang akan memecahkan kepalanya, tapi sepasang golok Pang Lunpun akan menan?cap di dada Tan Han-ciang.
Tan Han-ciang, orang yang bisa membunuh korban-korbannya dengan darah dingin itu, kali ini mau tidak mau me?rasa ngeri juga diajak bertempur seca?ra gila-gilaan macam itu. Gerakannya menjadi agak kacau karena hatinya mu?lai gugup.
Sabetan telapak tangannya memang berhasil mengenai rusuk Ang Hay-liong, namun karena pemusatan pikirannya se?dang tergoncang, maka daya pukulannya-pun berkurang banyak. Pukulan yang se?harusnya bisa menjebol iga Ang Hay-li?ong itu, kini hanya membuat lawannya terhuyung ke belakang.
Pada detik yang sama terdengar suara kain terkoyak dan suara Tan han-ciang yang memaki dengan geramnya.
Ternyata sepasang golok liu-yap-to Pang Lun sempat juga membuat robekan sejajar pada pakaian di dada Tan Han-ciang, meskipun tidak melukainya sebab orang she Tan itu sempat melompat mun?dur.
Dalam bingungnya, Tan Han-ciang menjatuhkan diri dan bergulingan menjauhi Pang Lun yang berkelahi seperti kerasukan setan itu. Dan tanpa disadarinya ia bergulingan ke arah lingkaran pertempuran antara Ji Tiat dan Suma Hun yang sedang seru-serunya itu.
Saat itu sebenarnya Suma Hun se?dang merasa putus harapan, karena la?wannya yang bersenjata sepasang kampak pendek itu ternyata begitu hebat. Bah?kan ia dapat meladeni kenekadan Suma Hun dengan tenangnya. Ketika melihat Tan Han-ciang bergulingan mendekati ke arahnya, seketika itu juga timbullah pikiran nekad Suma Hun, "Lambat atau cepat aku pasti akan mati. Dari pada aku mati percuma, lebih baik kubunuh sa?lah seorang Hwe-liong-pang ini agar merekapun menderita kerugian."
Membunuh Ji Tiat sudah terang ti?dak bisa, maka Tan Han-cianglah sasa?ran yang lebih mudah dijangkau.
Dan di luar dugaan siapapun, tiba-tiba Suma Hun mengayunkan tongkat be?sinya untuk mengepruk ke kepala Tan Han-ciang yang sedang bergulingan di dekatnya itu. Padahal Suma Hun sendiri sedang terancam oleh serangan ganas sepasang kampak Ji Tiat, namun hal itu sama sekali tidak dihiraukannya.
Bahkan Suma Hun berteriak, "Biar aku mampus, paling tidak di antara ka?lian juga harus ada yang mampus!"
Sikap yang sedemikian nekadnya itu mau tidak mau membuat tercengang siapapun yang melihatnya, termasuk Wi-lian di tempat persembunyiannya yang hampir copot jantungnya melihat peristiwa itu.
-o0^DwKz-Hendra^0o- Sedetik lagi, batok kepala Tan Han-ciang akan remuk terhantam toya besi Suma Hun, tapi bersamaan dengan itu tubuh Suma Hunpun akan di?rajang menjadi beberapa potong oleh sepasang kampak Ji Tiat. Adegan perta?rungan sebrutal dan segila itu bahkan belum pernah dilihat oleh Kwa Heng yang sudah cukup berpengalamanpun.
Di saat sepasang kampak pendek Ji Tiat hampir mengenai tubuh Suma Hun, tiba-tiba terdengarlah Kwa Heng berka?ta tidak begitu keras tetapi bernada tegas, "Saudara Ji, itu bukan tugas Ui ki-tong kita !"
Sedangkan Tan Han-ciang dengan mengerahkan seluruh ketangkasannya ba?rulah dapat menghindari serangan maut Suma Hun itu, dan melompat bangun dengan keringat dingin membasahi pung?gungnya. Hatinya panas bukan main ke?tika mendengar seruan Kwa Heng kepada Ji Tiat tadi. Pikirnya dengan geram, "Orang-orang Ui-ki-tong benar-benar tidak menghargai setia kawan antar se?sama anggauta Hwe-liong-pang. Agaknya mereka tidak ambil peduli andaikata aku mampus sekalipun. Suatu saat mere?ka harus mengenal kelihaian Ang-ki-tong kami."
Sementara itu Suma Hun sendiri merasa heran, kenapa lawannya yang bersenjata sepasang kampak pendek itu tidak melanjutkan serangannya? Sesaat ia termangu oleh keadaan yang mem?bingungkan itu. Akhirnya dengan polos ia memberi sebuah anggukan hormat ke?pada Ji Tiat, dan setelah itu kembali melabrak Tan Han-ciang dengan sengitnya.
Disatu pihak ada orang-orang ka?lap yang siap mengadu jiwa, di lain pihak ada seorang yang sangat murka dan dipenuhi nafsu membunuh yang berkobar-kobar, maka pertempuran di ha?laman belakang rumah penginapan itu benar-benar merupakan sebuah arena yang seru bukan main.
Di tempat persembunyiannya Tong wi-lian mencoba menilai kekuatan orang-orang Hwe-liong-pang itu sebelum ia turun tangan nanti. Agaknya Tan Han ciang dan Ji Tat mempunyai kepandaian yang sejajar, tapi Wi-lian harus mera?sa bangga sebab nampaknya kedua orang itu masih setingkat di bawah dirinya. Namun Kwa Heng, si bungkuk yang sama sekali belum turun tangan itulah agak?nya yang harus diperhitungkan baik-baik. Dalam hati gadis itupun timbul pertanyaan, kenapa Kwa Heng mencegah Ji Tiat membunuh Suma Hun? Akhirnya ia mengambil kesimpulan sendiri, "Agaknya dalam tubuh Hwe-liong-pang sen?diri ada ketidak-rukunan dan persaing?an antar kelompok. Ini bagus, sebab akan memperlemah kekuatan mereka sendiri."
Akhirnya gadis itu tidak sabar lagi untuk terus menerus bersembunyi. Tidak peduli urusan apapun yang ada di antara orang-orang Hwe-liong-pang sendiri, pokoknya mereka harus dihajar, demikian tekad Tong Wi-lian.
Maka bagaikan seekor burung elang, ia melompat keluar dari persembunyian?nya secepat kilat. Kemunculannya itu telah membuat ketiga orang Hong-ho-sam-hiong itu bertambah semangatnya, se?baliknya ketiga orang Hwe-liong-pang itu bertambah waspada.
Begitu kakinya menginjak tanah, Wi-lian langsung melompat lagi dan me?nyerang Tan Han-ciang dengan dua buah tendangan berturut-turut ke arah peli?pis dan muka Ang-ki-hu-tong-cu itu. Tong Wi-lian memang telah merasa mendongkol kepada Tan Han-ciang sejak si?ang tadi.
Sebagai seorang wakil kepala ke?lompok dalam sebuah perkumpulan sekuat Hwe-liong-pang, tentu saja kepandaian Tan Han-ciang tidak rendah. Tapi saat itu ia sedang dikepung oleh tiga orang Hong-ho-sam-hiong yang kalap itu, maka serangan dari lawan baru itu cukup mengejutkannya. Dalam bingungnya, ia mengambil tindakan untung-untungan de?ngan jalan melompat ke atas dengan ge?rakan ui-ho-cong-thian (Burung Jenjang Naik ke Langit). Desakan Hong-ho-sam hiong akhirnya dapat dihindari, tapi tidak demikian dengan tendangan Wi-li?an yang terlalu cepat datangnya itu.
Karena Tan Han-ciang melompat ke atas, kaki Wi-lian yang seharusnya mengenai pelipis itu jadi mengenai pinggangnya, dan membuat tokoh Hwe-liong-pang itu terbanting sambil meringis kesakitan. Sesaat lamanya ia tidak bisa bangun karena sakitnya.
Si berangasan Suma Hun sungkan melewatkan kesempatan sebaik ini, ce?pat ia menghantamkan toyanya untuk mengemplang kepala lawan. Tindakan Su?ma Hun yang kurang perhitungan dan hanya menurutkan napsu amarah itu telah mengejutkan Tong Wi-lian dan Ang Hay-liong sekaligus, sebab betapapun juga Tan Han-ciang tetap merupakan seorang lawan yang berbahaya.
"Sam-te, hati-hati !" hampir ber?samaan Ang Hay-liong dan Pang Lun ber?seru memperingatkan.
Tapi peringatan itu terlambat da?tangnya. Tan Han-ciang yang sedang ma?rah besar itu kini melihat sebuah ke?sempatan baik yang tidak akan disia-si?akannya. Cepat ia melompat ke atas se?hingga sambaran toya besi itu hanya lewat di bawah kakinya, dan cambuk ba?janya membalas menghantam kepala Suma Hun sekuat tenaga.
Dengan mengeluarkan suara berde?rak keras, bercampur dengan jeritan ngeri Suma Hun, robohlah orang ketiga dari Hong-ho-sam-hiong itu dengan ba?tok kepala remuk. Tentu saja nyawanya-pun amblas saat itu juga.
Sementara itu Wi-lian menjadi ma?rah dan malu pula. Ia sudah terlanjur berjanji akan melindungi Hong-ho-sam hiong, dan kini Suma Hun terjungkal mati di depan hidungnya tanpa ia bisa men?cegahnya. Maka dengan berteriak nya?ring, qadis itu segera menyerang Tan Han-ciang, diikuti oleh Ang Hay-liong dan Pang Lun yang ingin membalaskan sakit hati Suma Hun.
Tan Han-ciang yang sudah pernah melihat kelihaian Tong Wi-lian, tentu saja hatinya menjadi gentar ketika me?lihat gadis itu menerjang ke arahnya dengan sengit. Cepat ia melompat mundur beberapa langkah sambil berseru kepa?da Kwa Heng, "Kwa Tong-cu, kau jangan berpangku tangan saja...."
Dan baru saja mulutnya terkatup, sebuah jotosan keras dari Wi-lian telah menyambar hidungnya. Untung Ang-ki-hu-tong-cu itu masih sempat menyelamatkan diri dengan gaya Thi-pan-kio (Jembatan Papan Besi), yaitu menekuk punggung ke belakang, sehingga hampir mengenai tanah. Gerakan yang sebetulnya berbahaya dalam pertempuran ja?rak dekat, namun Tan Han-ciang sudah tidak ingat lagi hal itu karena gugup?nya.
Wi-lian tidak memberi kesempatan sedikitpun kepada orang yang dibencinya itu. Sebelum Tan Han-ciang sem?pat merubah kedudukan, ia telah menyu?sulkan sebuah tendangan rendah ke arah sambungan lutut lawannya.
Terpaksa Kwa Heng tidak dapat membiarkan hal itu terjadi di depan matanya. Meskipun ia punya ketidak-sesuaian pendapat dengan orang-orang Hwe-liong-pang. Punggungnya yang melengkung itu ternyata bukan merupakan rintangan untuk bertindak gesit, karena dengan secepat kilat ia telah me?lompat ke arah Wi-lian, dan jari-ja?rinya yang sekuat besi itu langsung menerkam ke tengkuk gadis itu.
Betapa cepatnya gerakan si bung?kuk itu, ia tidak dapat menolong Tan Han-ciang sepenuhnya. Terdengar wakil kepala kelompok Ang-ki-tong itu mengaduh pendek dan roboh di tanah, ternyata sambungan lutut kaki kanannya telah kena ditendang patah oleh murid Hong tay Hweshio itu.
Saat itulah Wi-lian mendengar ada desir angin di belakangnya, cepat ia merendahkan diri sambil memutar tu?buh, sekaligus tangan kirinya melaku?kan tangkisan. Detik itu juga, dua buah tangan yang sama-sama penuh tenaga dalam dan sama-sama terlatih itu telah berbenturan dengan kerasnya. Wi-lian tergeliat selangkah surut, sedangkan Kwa Heng yang kakinya tengah tidak me?nginjak tanah itu dipaksa untuk ber?salto ke belakang untuk mementahkan dorongan tenaga lawan.
Di lain bagian, Ang Hay-liong te?lah melanjutkan pertempuran dengan Tan Han-ciang yang kini telah patah kaki-kanannya itu. Karena cederanya itu, Ang-ki-hu-tong-cu itu harus berkelahi dengan tetap berdiri di tempat tanpa berani menggerakkan kakinya sedikitpun. Itupun kadang-kadang membuat ia menye?ringai karena menahan nyeri dilutut kanannya.
Meskipun demikian, pada dasarnya memang Tan Han-ciang berkepandaian le?bih tinggi dari Ang Hay-liong, selain itu juga lebih licik dan cerdik pula. Sedangkan Ang Hay-liong tidak sebuas Suma Hun sehingga lebih mudah dila?yani. Cambuk baja Tan Han-ciang tak henti-hentinya menggetar dengan dah?syatnya, mencambuk dan melibat seluruh bagian badan lawannya secara berganti-ganti. Namun Ang Hay-liong dengan ruyung tiga ruasnya juga pantang menyerah sebelum ajal. Keberaniannya me?nempuh bahaya kadang-kadang membuat Tan Han-ciang mencaci maki dengan gemgasnya.
Ji Tiatpun sedang bertarung de?ngan Pang Lun, dan nampaknya seimbang. Itu bukan berarti ilmu Pang Lun be?gitu tingginya sehingga dapat mengimbangi lawannya, namun adalah karena Ji Tiat meladeni musuhnya dengan setengah hati dan hanya bersikap bertahan saja. Sedang semangat berani mati dari Pang Lun itu cukup memaksa tokoh yang ber?juluk Siang-po-kay-san itu untuk ber?hati-hati.
Sementara itu, setelah Kwa Heng berdiri berhadapan dengan Tong Wi-lian, mulailah si bungkuk itu menilai lawan?nya, "Pantas Tan Han-ciang tidak segan segan menunjukkan rasa gentarnya kepa?da gadis ini, kiranya kemampuannya me?mang pantas mendapat perhatian dalam percaturan dunia persilatan di jaman ini. Apalagi dengan Siau-lim-pay di belakangnya."
Sebaliknya Wi-lian terkejut sete?lah memperhatikan wajah lawannya, se?bab ternyata si bungkuk ini adalah orang yang tadi siang duduk di belakang meja kasir dan bersikap begitu ramahnya terhadap setiap tetamu. Kata Wi-lian dingin, "Huh, kiranya rumah makan dan penginapan ini hanyalah sebuah kedok untuk menyelubungi perbuatan-perbuatan jahat kaum Hwe-liong-pang. Kalian sudah cukup berdosa terhadap ketenteraman orang banyak, maka malam ini biarlah kucoba untuk mengurangi penyakit masyarakat seperti kalian ini."
Kwa Heng, tokoh yang bergelar Thi-jiau-tho-kau atau Monyet Bungkuk berkuku besi itu agaknya ingin ber?sikap hati-hati sebelum turun tangan. Katanya sabar, "Nona, antara pihakku dan pihakmu tidak pernah terjadi per?musuhan atau urusan apapun, kenapa nona mengganggu pekerjaan kami? Kalau kami boleh tahu, apakah nona bertindak atas nama nona pribadi atau atas nama Siau-lim-pay?"
Wi-lian menjawab dengan suara tetap dingin, "Memang tidak ada permusuhan pribadi antara diriku dan dirimu. Tapi sebagai murid Siau-lim pay sudah menjadi kewajibanku untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan kekejaman seperti yang kalian lakukan itu."
Kwa Heng mengeluh dalam hati men?dengar jawaban macam itu. Betapapun kuatnya Hwe-liong-pang, namun perkum?pulan itu belum punya niat sedikitpun untuk mengusik-ngusik perguruan kuat seperti Siau-lim-pay itu. Maklumlah, Siau-lim-pay bagi umat persilatan di Tiong-goan dianggap tempat suci, diibaratkan gua macan dan kubangan na?ga, rahib-rahib sakti yang berdiam di dalamnya tak terhitung banyaknya, be?gitu pula kaum pendekar lulusan Siau lim-pay terkenal sebagai tokoh-tokoh yang tangguh. Karena itu Kwa Heng sebisa-bisanya menjaga agar Hwe-liong-pang jangan sampai berbenturan dengan Siau-lim-pay. Kata Kwa Heng sambil memberi hormat, "Nona, hanya dengan kejadian malam ini nona sudah langsung menganggap seluruh Hwe-liong-pang kami sebagai orang jahat? Harap nona su?ka mempertimbangkannya baik-baik sebe?lum nona ikut campur dalam urusan ini. Golongan kami punya garis perju?angan yang tegas dan sama sekali bukan golongan sesat seperti anggapan nona."
Wi-lian hanya tertawa dingin men?dengar penjelasan Kwa Heng itu. Kata?nya sambil menuding mayat Suma Hun, "Jika aku belum melihat jatuhnya kor?ban, boleh jadi aku akan percaya omongan manismu itu. Tapi saat ini aku lebih percaya kepada kenyataan yang kulihat di depan mata, percuma saja kau bicara muluk-muluk. Bersiap?lah. Jika aku tidak berani menindak Hwe-liong-pang kalian, aku malu seba?gai murid Siau-lim !"
Kwa Heng mengeluh dalam hati, ka?rena ia tahu bahwa sudah tidak ada ja?lan lain lagi. Namun ia tidak menya?lahkan sikap gadis itu, bahkan kagum akan keberaniannya, sebaliknya ia ma?lah menyalahkan kepada Tan Han-ciang yang gemar kekerasan itu.
Saat berikutnya, Wi-lian telah menyerang lebih dulu. Kakinya melang?kah ke depan, dan ia membuka serangan dengan ujung jari kedua tangannya se?cara bergantian. Gerakannya cepat dan cukup mengejutkan lawannya.
Karena tidak berani memandang rendah, Kwa Heng langsung menyambut?nya dengan ilmu silat andalannya, yai?tu Kau-kun (Silat Kera) yang sudah dilatihnya matang selama belasan tahun itu. Lincah sekali ia merendah?kan badannya sambil menggeser ke sam?ping, dan jari-jari tangannyapun mem?balas mencakar ke tenggorokan Wi-lian. Tidak percuma ia terkenal sebagai seorang jagoan yang cukup disegani di Kay-hong dan sekitarnya. Gerakannya gesit dan cepat luar biasa, malahan dengan jari-jarinya ia sanggup "merobek-robek" sehelai papan dengan gerak?an mencakar.
Sebaliknya Tong Wi-lian pun tidak berani kehilangan kewaspadaan mengha?dapi musuh sehebat itu. Cepat ia mem?balik tangan kirinya untuk menangkis cakaran Kwa Heng, dibarengi dengan se?buah sapuan ke kaki lawan.
Kembali Kwa Heng melejit ke samping dengan licinnya.
Demikianlah, berkobarlah per?tempuran hebat antara seorang jago tua melawan seorang jago muda yang sama-sama ahli dalam ilmu silat tangan ko?song itu. Kwa Heng yang segesit kera, sepasang cakarnya menyambar kian-kemari dengan ganas dan cepatnya, sehing?ga nampaknya si bungkuk itu punya belasan pasang tangan yang bergerak-ge?rak sekaligus!
Namun Wi-lianpun tidak mengecewa?kan Rahib Hong-tay dan tokoh-tokoh Siau-lim-pay lainnya yang telah menggemblengnya di bukit Siong-san. Diha?dapinya Kwa Heng dengan Pek-ho-kun (Silat Bangu Putih), di mana jari-ja?ri tangannya yang dirangkapkan seperti paruh bangau itupun menyambar-nyam?bar mematuk-matuk tidak kalah berbaha?yanya dengan cakaran-cakaran Kwa Heng. Apalagi sepasang kakinya yang terla?tih itupun dapat membuat tubuhnya sea?kan-akan tidak berbobot sama sekali, sehingga gadis itu benar-benar seper?ti seekor burung bangau yang beter?bangan di angkasa. Bahkan kadang-ka?dang gadis itu berani pula membentur tenaga lawan keras lawan keras, yaitu dengan menyisipkan jurus-jurus Thay-cou-kun (Silat Maharaja) ciptaan Tio Khong-in yang seharusnya dilakukan oleh seorang laki-laki itu. Namun toh gadis itu sanggup mengejutkan lawan.
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 12 "TAN HAN-CIANG benar-benar gega?bah," Kwa Heng mengutuk dalam hatinya. "Ia telah berhasil mencarikan seseo?rang lawan yang cukup tangguh buat Hwe-liong-pang kami."
Sementara itu pertarungan antara Ang Hay-liong dengan Tan han-ciang ju?ga semakin panas. Meskipun Ang Hay-liong telah mengerahkan seluruh tenaga?nya untuk mengalahkan lawannya yang sudah terpincang-pincang itu, namun karena kepandaiannya memang selisih agak jauh dengan kepandaian lawannya, maka sulitlah untuk mewujudkan keing?inan mati sampyuh bersama lawannya. Untung cidera di lutut Tan Han-ciang itu cukup mengganggu gerakannya, se?hingga Tan Han-ciangpun tidak dapat segera menyelesaikan lawannya.
Seluruh tubuh Ang Hay-liong te?lah basah kuyup dengan keringat, mes?kipun hawa malam itu sangat dingin, bahkan di beberapa bagian tubuhnya te?lah terhias jalur-jalur merah biru, "hadiah" dari cambuk baja Tan Han-ciang. Namun pemimpin Hong-ho-sam-hiong itu terus bertempur mati-matian seper?ti banteng ketaton.
Sedangkan Ang-ki-hu-tong-cu itu-pun meladeni lawannya dengan penuh napsu membunuh yang menyesaki dadanya. Ia tampak beringas sekali. Rambutnya telah terlepas dari ikatannya dan ter?urai menutupi wajahnya, ditambah de?ngan mukanya yang seperti mayat dan mulutnya yang menyeringai kejam itu, maka wujud Tan Han-ciang benar-benar bisa membuat seorang anak-anak ping?san ketakutan jika melihatnya.
Pertarungan antara Ang Hay-liong dan Tan Han-ciang itu jauh lebih meng?gidikkan hati daripada pertempuran antara Kwa Heng dengan Tong Wi-lian. Yang satu berwajah beringas dengan rambut riap-riapan sedangkan lawannya bermuka merah padam dengan tubuh berlumuran darah, pertempuran itu bukan lagi mirip pertempuran antara dua orang jagoan silat, tapi lebih tepat disebut antara dua sosok hantu berebut mangsa.
Suatu ketika Ang Hay-liong berte?riak bengis sambil menyodokkan ruas tengah dari Sam-ciat-kunnya ke ulu ha?ti lawan. Lawannya mengelakkan serangan itu sambil membalas dengan menyabet ke pinggang Ang Hay-liong. Namun di luar dugaan Tan Han-ciang, mendadak saja Ang Hay-liong lepaskan sam-ciat-kunnya sama sekali dan justeru menu?bruk maju sambil menerkamkan sepasang tangannya ke leher Tan Han-ciang.
Karena "jurus" yang luar biasa itu, maka ruyung baja Tan Han-ciang yang seharusnya melibat pinggang la?wan itu berubah jadi melibat kakinya. Sementara itu kedua tangan Ang Hay-liongpun berhasil mencapai leher Tan Han-ciang dan langsung dicekikkan sekuatnya.
Terpaksa sekali Tan Han-ciang ha?rus melepaskan cambuk bajanya, dan dengan kedua tangannya ia berusaha me?lepaskan kedua tangan yang mencekik lehernya. Mukanya yang pucat itu kini semakin pucat.
Tapi si orang tertua Hong-ho-sam-hiong itu agaknya sudah kalap betul-betul. Dia bukan cuma mencekik, tapi juga menggunakan berat badannya untuk merubuhkan dan menindih lawannya. Kaki Tan Han-ciang yang sudah patah sebe?lah itu tentu saja tidak mampu menahan berat tubuh lawannya. Tanpa ampun lagi kedua orang itu sama-sama rubuh ke tanah dan bergumul sengit, kedua tangan Ang Hay-liong tetap bera?da di leher lawan.
Masih belum puas, tiba-tiba Ang Hay-liong membuka mulutnya dan menggi?git pipi Tan Han-ciang sekuat tenaga. Segumpal daging pipi Tan Han-ciang berhasil dicomotnya dan ditelannya mentah-mentah!
Ang-ki-hu-tong-cu itu mengeluarkan teriakan ngeri yang menyayat ha?ti, bukan cuma sakit tapi juga gentar bukan main. Selama belasan tahun peng?alamannya di dunia kekerasan dan petu?alangan, belum pernah dijumpainya la?wan seganas dan sebrutal itu. Seke?tika itu juga keberaniannya telah susut beberapa bagian.
Kedua orang itu masih bergumul di tanah. Muka Tan Han-ciang keliha?tan sangat mengerikan. Matanya me?lotot lebar, lidahnya terjulur keluar karena cekikan lawan yang semakin mengencang, sedang sebelah pipinya sudah tak berdaging lagi karena telah "disantap" oleh Ang Hay-liong. Dan orang she Tan itu kembali terkejut ketika melihat mulut Ang Hay-liong te?lah terpentang lagi dengan buasnya, hendak menggigit pipinya yang sebelah lagi.
Ketika itu keadaan Tan Han-ciang bukan setengah mati lagi, malahan su?dah tiga perempat mampus. Kakinya yang patah saja sudah menimbulkan perasaan nyeri luar biasa, dan kini dadanya hampir meledak karena sekian lama ti?dak dapat bernapas, ditambah lagi rasa pedih luar biasa di pipinya dan pera?saan gusar dan ngeri yang membuatnya hampir gila.
Ketika gigi-gigi lawan sudah siap hendak mencaplok pipinya yang sebelah lagi, tiba-tiba dalam keadaan gawat itu Tan Han-ciang menemukan sebuah akal keji. Secepat kilat tangannya merogoh ke bawah dan mencengkeram kemaluan Ang Hay-liong, dan langsung diremasnya se?kuat tenaga. Begitu kuatnya, sehingga Tan Han-ciang mulai merasakan darah yang hangat membasahi tangannya yang mencengkeram itu.
Ang Hay-liong tersentak sambil me?raung kesakitan, cekikannya di leher lawan semakin kendor, dan akhirnya le?pas sama sekali. Beberapa kali ia menggeliat meregang nyawa, dan akhirnya terdiamlah ia untuk selama-lamanya.
Namun keadaan Tan Han-ciangpun sudah parah bukan main. Tenaga untuk me?nyingkirkan mayat Ang Hay-liong yang menindih tubuhnya itupun sudah tidak ada lagi. Iapun kemudian jatuh pingsan di bawah tindihan mayat Ang Hay-liong.
Di sebelah lain tampaklah pertem?puran berat sebelah antara Ji Tiat me?lawan Pang Lun. Meskipun tokoh kedua dari Hong-ho-sam-hiong itu nampaknya terus mendesak maju dengan beringas?nya, namun siapapun akan dapat melihat bahwa sebenarnya dia sendirilah yang bakal kalah. Pang Lun maju asal maju saja, dan tanpa perhitungan sama seka?li, bahkan gerakannya menandakan bahwa ia sudah putus asa. Sedang Ji Tiat te?tap tenang dan melayaninya dengan se?garnya. Suatu ketika tenaga Pang Lun benar-benar akan terperas habis, se?hingga untuk mengadu jiwapun mungkin tidak bisa lagi.
Meskipun demikian, Pang Lun sudah bertekad dalam hati untuk mati di tem?pat itu juga, bersama dengan dua orang saudara angkatnya yang telah mendahu?luinya. Ia mengerahkan tenaga terakhirnya, dan laksana seekor harimau gila ia menubruk Ji Tiat, kedua goloknya be?rusaha "menggunting" leher Ji Tiat.
Ji Tiat bukan orang yang sesabar Kwa Heng. Sambil membentak bengis, ia menggerakkan sepasang kampaknya ke atas dengan gerakan "membuka" membuat sepasang golok Pang Lun terpental ke samping. Habis itu, ia membalas de?ngan jurus Thi-gu-kay-san (kerbau be?si membuka gunung).
Sementara itu Kwa Heng yang tengah bertempur dengan sengit melawan macan betina Siau-lim-pay itupun ternyata sempat melirik keadaaan di sekitarnya. Ketika melihat Ui-ki-hu-tong-cu Ji Ti?at hendak menurunkan tangan maut kepa?da diri Pang Lun, si bungkuk itu ma?sih sempat berseru, "Saudara Ji, bu?kan tugas kita !"
Tingkat ilmu antara Kwa Heng de?ngan Tong Wi-lian boleh dikatakan sangat seimbang, barang siapa yang lengah sedikit saja pasti akan mende?rita kekalahan. Dan karena Kwa Heng memperingatkan Ji Tiat, maka perhati?annya agak terpecah, dan itu memberi kesempatan sebuah tendangan Coan-sin teng-kak (Menendang Sambil Memutar Ba?dan) dari Wi-lian mendarat telak di pundak si bungkuk itu. Membuat si Tong-cu dari Ui-ki-tong itu jatuh ber?gulingan.
Ji Tiat yang mendengar seruan Tong-cunya itu menjadi tertegun seje?nak. Ia berusaha untuk menahan laju kampaknya, namun karena ia sudah ter?lanjur mengerahkan tenaga, maka akibatnya tidak seperti yang diharapkan. Sa?lah satu dari kampak pendek Ji tiat tetap saja menerjang ke depan dan mero?bek lambung Pang Lun.
Orang kedua dari Hong-ho-sam-hiong itu mengeluh panjang dan terhu?yung-huyung ke belakang, dan akhirnya roboh terkapar dengan lambung menganga?kan luka yang kemerah-merahan.
Melihat hal itu Tong Wi-lian men?jadi sangat marah. Secepat kilat ia melompat menerjang Ji Tiat dengan ge?rakan Hui-hou-tui (Tendangan Harimau Terbang). Serangan yang mendadak dan penuh dilambari dengan kemarahan itu tidak sempat dihindari sepenuhnya oleh Ji Tiat. Maka Ui-ki-hu-tong-cu itupun kemudian jatuh terbanting de?ngan persendian tangan yang lepas da?ri engselnya, itupun masih untung bu?kan ulu hatinya yang kena tendangan gadis perkasa itu.
Kwa Heng cepat melompat mendekati Ji Tiat untuk melindungi wakilnya itu dari serangan Wi-lian berikutnya. Tanyanya kepada Ji Tiat, "Saudara Ji, beratkah lukamu?"
Ji Tiat ternyata masih dapat me?lompat bangun, membuat hati Kwa Heng agak lega. Namun sambil menyeringai kesakitan, Ji Tiat memegangi le?ngannya yang terkulai itu dan berkata, "Hanya melesat persendiannya, Tong-cu. Luar biasa tendangan gadis itu."
"Kalau begitu, lekaslah bawa per?gi tubuh Tan Han-ciang dan usahakan mengobatinya sebisa-bisanya. Aku akan bertahan di sini untuk menghadapi macan betina ini," kata Kwa Heng tanpa melepaskan pandangannya dari Wi-lian yang saat itu tengah berjongkok di dekat tubuh Pang Lun itu.
Ji Tiat sendiri juga cukup menya?dari bahwa ia masih belum mampu menan?dingi murid Rahib Hong-tay itu. Maka segera dilaksanakannya perintah Tong-cunya tanpa membantah lagi. Lebih dulu ia menendang tubuh Ang Hay-liong yang menindih di atas tubuh Tan han-ciang, dan tanpa memeriksa lagi apakah Tan Han-ciang masih hidup atau sudah mam?pus, ia segera memanggul tubuh itu dan dibawanya pergi dari tempat itu. Kwa Heng melindunginya dari belakang.
Wi-lian mengetahui musuh-musuh?nya sudah melarikan diri, namun tidak ada semangatnya sedikitpun untuk me?ngejarnya, sebab seluruh perhatian ga?dis itu sedang dicurahkan untuk meme?riksa luka Pang Lun yang sangat parah itu, dan sedapat mungkin menyembuhkan?nya.


Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia berusaha menghentikan menga?lirnya darah dengan segala macam cara yang diketahuinya. Dengan menotok be?berapa jalan darah di sekitar luka, atau menaburi luka itu dengan obat lu?ka buatan Siau-lim-si. Namun segala usaha itu tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan, bukan saja karena lu?ka itu terlalu lebar dan terlalu da?lam tapi juga karena Pang Lun sendiri agaknya sudah tidak bersemangat lagi untuk melanjutkan hidupnya. Akhirnya Wi-lian menghentikan usahanya dan cu?ma menunggu perkembangan dengan sikap putus asa. Dipandanginya saja mulut luka hasil bacokan kampak Ji Tiat yang menyilang dari bawah rusuk kiri sampai sampai hampir mencapai pinggul kanan itu.
Ketika Pang Lun perlahan-lahan membuka kelopak matanya, Wi-lian segera berkata dengan nada menyesal, "Kalian percaya bahwa aku dapat melindungi kalian, tapi ternyata aku demikian ti?dak becus sehingga telah mengecewakan kalian. Pang Toako, aku bersumpah demi langit dan bumi akan membalaskan sakit hati kalian ini."
Bibir Pang Lun yang memucat itu membentuk sebuah senyuman, lalu kata?nya dengan suara yang terputus-putus,"Ja..... jangan mengorbankan......nya..... nya..... nyawa nona se..... se?cara sia-sia.....Kami.....cu... cu?kup berterima.....kasih....."
Setelah mengucapkan kalimat itu, ternyata tenaga Pang Lun sudah habis sama sekali. Bahkan bagian kalimat yang terakhir tidak jelas kedengaran, tahu-tahu kepalanya sudah terkulai ke samping, bersamaaan dengan terbangnya arwahnya menyusul kedua saudara ang?katnya yang telah mendahuluinya.
Hanya sebuah helaan napas Wi-lian yang mengantar kepergian Pang Lun itu. Dengan perasaan yang risau dipandang?nya sekelilingnya. Hong-ho-sam-hiong, tiga orang tokoh yang pernah disegani sepanjang tepian sungai Hong-ho, yang siang tadi masih segar bugar dan ber?cakap-cakap dengannya, kini ketiga-ti?ganya telah berubah menjadi mayat yang terkapar malang melintang disekitarnya. Mayat Ang Hay-liong dan Suma Hun tergeletak dengan mata melotot, menan?dakan mati penasaran. Meskipun demiki?an, Wi-lian mencoba mengatupkan mata mereka agar mati dengan mata meram.
"Beginilah keadaan dunia persilatan seperti yang pernah diceritakan oleh Suhu, keras dan tidak kenal am?pun," keluh gadis itu ditujukan kepada dirinya sendiri. "Tetapi ini bukan menjadi alasan bagi kaum pendekar un?tuk menyembunyikan diri dan menghinda?ri kewajiban, justru menjadi tantang?an untuk mengamalkan ilmu silat yang dipelajarinya demi ketenteraman sesama manusia, untuk mengimbangi gembong-gembong iblis agar tidak berbuat sewe?nang-wenang. Orang yang berilmu silat tetapi mencari ketenteraman diri sendiri dengan bertapa di tempat-tempat sunyi, sesungguhnya tidak bertanggung jawab kepada hakekat kependekarannya sendiri."
Pikiran itu justru semakin mengo?barkan tekad Wi-lian untuk menentang Hwe-liong-pang habis-habisan. Dengan demikian barulah dirasakan hidup ini cukup berharga.
Meskipun di halaman belakang rumah penginapan itu baru saja terjadi suatu pertempuran yang hebat luar biasa, na?mun tidak seorangpun dari tetamu rumah penginapan itu yang berani keluar un?tuk melihatnya. Bahkan mereka semakin meringkaskan diri didalam selimut ma?sing-masing dengan tubuh menggigil ke?takutan.
"Pembunuh! Pembunuh! Pembunuh!"
Mendadak dari luar rumah penginapan itu terdengar teriakan-teriakan ke?ras yang bercampur aduk dengan derap langkah orang banyak, dan nampak pula sinar obor yang terang benderang telah mengurung tempat itu. Ternyata keributan tadi telah didengar oleh sekelompok petugas keamanan, dan mereka segera memanggil teman-temannya untuk mengepung tempat itu. Bahkan pintu depan telah didobrak dan para prajurit kerajaan itupun membanjir masuk dengan senjata terhunus.
Begitu masuk, langsung saja praju?rit-prajurit kerajaan itu memamerkan kegarangannya. Sambil berteriak-teriak mereka menendangi pintu kamar para ta?mu, memasuki dan menggeledahnya dengan kasar, dengan sikap itu mereka agaknya ingin mendapat pujian sebagai orang-o?rang yang paling berani di dunia ini. Begitulah sikap rata-rata praju?rit-prajurit dijaman menjelang runtuh?nya Kerajaan Beng itu. Disaat rakyat membutuhkan pertolongan, mereka tidak menampakkan batang hidungnya. Tapi ji?ka keadaan sudah aman, muncullah mere?ka sebagai pahlawan-pahlawan kesiangan, yang bukan menenteramkan hati rak?yat tapi sebaliknya malah membuat rak?yat semakin tertekan, sebab kelakuan prajurit-prajurit kadang-kadang justru lebih ganas dari perampok-perampok bi?asa.
Wi-lian sungkan berurusan dengan prajurit-prajurit brengsek itu, apa?lagi ia sebagai seorang gadis yang tergolong berwajah menarik, tentu akan mengalami kesulitan lebih besar lagi ji?ka tertangkap oleh prajurit-prajurit itu.
Namun sebelum ia sempat menying?kirkan diri dari halaman belakang bekas ajang perkelahian itu, beberapa prajurit telah sampai di situ dan langsung berteriak, "Itu dia penjahat?nya! Ternyata seorang perempuan !" Dan yang berada dideretan paling depan da?ri prajurit-prajurit itu ternyata ada?lah A-liok, si pelayan rumah makan yang tadi siang meladeni Wi-lian itu. Agaknya pelayan itu pulalah yang telah memanggil prajurit-prajurit itu.
Mendadak timbullah kecurigaan Wi-lian kepada pelayan itu. Jika si kasir bungkuk itu terbukti adalah orang Hwe-liong-pang, maka kemungkinan besar semua penghuni rumah makan ini-pun ada sangkut pautnya dengan Hwe-liong-pang. Maka timbullah niat Wi-lian untuk meringkus pelayan itu dan mengorek keterangan sebanyak-ba?nyaknya tentang Hwe-liong-pang dari mulut pelayan itu.
Kawanan prajurit itu sebenarnya memang kurang percaya kalau yang dise?but penjahat itu ternyata cuma seorang gadis cantik yang tidak membawa senja?ta sepotongpun. Namun setelah melihat mayat-mayat yang bergelimpangan di ha?laman belakang itu, mau tak mau mereka menjadi percaya juga akan keterangan si pelayan. Perwira prajurit-prajurit itu segera memerintahkan anak buahnya untuk menangkap si gadis, tapi ia sen?diri mundur ke belakang dan menyembu?nyikan diri di antara rombongan anak buahnya.
Ternyata bukan prajurit-prajurit itu yang bergerak lebih dulu, namun justru Wi-lian yang menerjang tanpa menunggu gerakan prajurit-prajurit itu. Laksana seekor rajawali yang melayang diangkasa, ia melompat ke depan dan tahu-tahu sudah berdiri dihadapan pelayan yang bernama A-liok itu. Kece?patan gerak seperti itu tentu saja membuat kawanan prajurit itu melongo. Dan sebelum kekagetan mereka sirna, Wi-lian telah melangkah ke arah A-liok. Tangan kiri mencengkeram ke jalan darah Gi-bun-hiat di tenggorokan sebagai gerak tipuan, sedangkan dua jari tangan kanannya meluncur untuk menotok siau-yo-hiat di rusuk sebagai serangan sesungguhnya.
Kecurigaan Wi-lian kepada pelayan itu kini terbukti. Pelayan yang tadi siang masih nampak ketolol-tololan itu, ternyata bukan pelayan sembarangan, bahkan dapat bergerak cukup tang?kas. Secepat kilat ia menundukkan ke?palanya untuk menghindari sambaran tangan kiri Wi-lian, bahkan kemudian membalas serangan dengan menabas ke jalan darah yang-ti-hiat di lengan ka?nan gadis itu.
Untunglah bahwa Wi-lian sudah men?duga hal itu, maka iapun sudah siap dengan gerakan selanjutnya. Dalam wak?tu singkat ia telah merubah serang?an-serangannya, kini menggunakan Kim-na-jiu-hoat (Ilmu Silat Menangkap dan Mencengkeram). Sekali pergelangan tangannya membalik, maka pergelangan tangan kiri si pelayan telah dapat dicengkeramnya.
Si pelayan mencoba meronta. Namun tangan Wi-lian yang tadinya nampak in?dah itu, kini telah berubah bagaikan sebuah tangan besi karatan yang kokoh kuat, semakin pelayan itu meronta, se?makin sakit. Bahkan pelayan itu mera?sakan separuh tubuhnya lumpuh.
Gerakan gadis itu begitu cepat, sampai prajurit-prajurit yang berada di sekitar pelayan itu tidak melihat bagaimana gerakannya, dan tahu-tahu si pelayan telah diringkus oleh "penjahat perempuan" itu!
Seorang prajurit yang agak punya keberanian segera menusukkan tombaknya ke punggung Wi-lian. Namun Wi-lian tanpa menoleh menghadiahkan sebuat tendangan yang langsung membuat praju?rit itu pingsan. Prajurit-prajurit la?innya menjadi gentar melihat ilmu silat selihai itu.
Dalam pada itu, si pelayan ternyata tidak menyerah begitu saja. Ketika Wi-lian hendak menyeretnya pergi, si pelayan malah memasang kuda-kuda seku?at-kuatnya. Apa boleh buat, terpaksa Wi-lian menambahkan sebuah sapuan kaki yang membuat tubuh pelayan itu hampir roboh, namun sebelum benar-benar roboh tahu-tahu pelayan itu telah merasakan tubuhnya "terbang" ke depan karena diseret oleh kekuatan tak terlawan.
Sambil menyeret tubuh pelayan itu, Wi-lian berlompatan di atas gen?teng-genteng rumah penduduk, menuju ke luar kota Kay-hong. Pelayan itu tidak meronta-ronta lagi karena merasa tiada gunanya melawan lagi.
Tentu saja ia tidak mampu mengim?bangi kecepatan dan kelincahan gadis yang menyeretnya itu, namun Wi-lian tidak peduli dan terus menyeretnya se?hingga pelayan itu megap-megap hampir kehabisan napas, matanya melotot dan bajunya basah kuyup dengan keringat.
Begitu berhasil tiba di luar kota setelah memaksa penjaga pintu untuk membukakan pintu gerbang, Wi-lian dan tawanannya berhenti. Ketika mengingat akan kematian Hong-ho-sam-hiong, Wi-lian menjadi panas hatinya. Dengan ke?ras dibantingnya pelayan itu ke atas tanah berbatu, membuat pelayan itu me?ringis kesakitan sambil memegangi pan?tatnya.
Namun dengan masih berlagak gagah, pelayan itu membentak, "Aku sudah men?jadi tawananmu, kalau ingin membunuhku cepatlah lakukan. Aku tidak takut mati, tapi jangan menyiksaku sewenang-we?nang."
Wi-lian tertawa dingin melihat la?gak orang itu, katanya, "Manusia se?macam kau tidak ada harganya untuk ku?bunuh dengan tanganku sendiri. Tapi aku dapat membuat keadaanmu terka?tung-katung antara hidup dan mati. Ka?rena itu jawablah semua pertanyaan yang akan kuajukan dengan sejujurnya. Yang pertama, apa perananmu dalam Hwe-liong-pang di cabang Kay-hong?"
Pelayan itu berlagak angkuh dan membuang muka ke samping tanpa menja?wab.
Wi-lian tidak ingin gertakannya dianggap kosong belaka, mendadak ta?ngannya menotok jalan darah ki-koat-hiat pelayan itu. Akibatnya hebat. Pelayan itu tiba-tiba menjerit seperti babi disembelih, ia merasakan se?akan-akan ada jutaan ekor semut berada dalam tubuhnya dan sedang menggigit-gigit tulang-tulang dan urat-urat?nya, sungguh tak terpikir olehnya bah?wa di dunia ini ada penderitaan sehe?bat itu. Dalam sekejab saja, tubuhnya telah dihiasi butiran-butiran keringat dingin sebesar kacang tanah.
Karena tidak tahan lagi, akhirnya pelayan itu menjerit dengan menyayat hati, "Hen.... hentikan...!! A... aku bi..... bicara....."
Wi-lian segera membuka totokannya.
"Aku bernama A-liok, ayahku adalah seorang pembuat sepatu yang terbaik di Kay-hong, begitu pula kakekku........" demikian pelayan itu mulai bercerita, namun Wi-lian segera menukasnya dengan mendongkol, "Aku tidak tanya silsilah nenek moyangmu."
A-Liok menyeringai sesaat ia men?jadi ragu-ragu. Namun mengingat siksa?an yang telah dialaminya tadi, akhir?nya ia berkata juga, "Baiklah, tugasku dalam Ui-ki-tong (Kelompok Panji Kuning) hanyalah sebagai penghubung yang me?nyampaikan berita kesana kemari. Di Kay-hong ini ada puluhan orang yang sama tugasnya dengan aku."
"Bagus," kata Wi-lian. "Siapa saja orang-orang kuat dari Hwe-liong-pang, khususnya Ui-ki-tong, yang berada di Kay-hong kecuali majikanmu yang bung?kuk dan orang yang bersenjata sepasang kampak itu."
"Yang aku kenal cuma mereka berdua itulah, yang dapat dianggap sebagai tokoh kuat."
Wajah Wi-lian menjadi dingin kembali, jari telunjuk dan jari tengah telah dirangkapkan dan siap untuk meno?tok lagi. Katanya mengancam, "Rupanya kau masih belum jera akan siksaanku yang tadi....."
Pelayan yang bernama A-liok itu menjadi ketakutan, katanya terbata-ba?ta, "Ampun, li-hiap (pendekar wanita), aku memang tidak tahu tokoh-tokoh Hwe-liong-pang yang di Kay-hong, kecuali kedua orang itu."
"Kau mengaku bahwa tugasmu adalah penghubung yang menyampaikan berita, bagaimana kau sampai tidak tahu hal itu? Kaukira aku tidak sampai hati un?tuk menyiksamu lagi?"
Semua kegarangan A-liok sudah ka?bur tidak tersisa sedikitpun, tanpa malu-malu lagi ia segera berlutut dan berkata setengah meratap, "Li-hiap, biarpun kau akan menyiksaku tiga hari tiga malampun aku tetap tidak akan mampu menjawab, sebab memang aku benar-benar tidak tahu. Aku memang penghubung berita, namun cara menyampaikan berita da?lam Hwe-liong-pang kami demikian rapat dan ketatnya. Aku pernah disuruh oleh Kwa Tong-cu untuk menyampaikan surat kepada seorang tokoh Hwe-liong-pang yang lain. Aku hanya dipesan untuk me?letakkan surat itu di tempat yang te?lah ditetapkan, katanya nanti akan ada orang yang mengambilnya dan melanjut?kannya."
Wi-lian tahu bahwa kali ini A-liok tentu tidak berani berbohong lagi, la?gi pula yang dikemukakannya itu cukup masuk akal. Diam-diam iapun merasa ka?gum melihat cara Hwe-liong-pang menja?ga kerahasiaan perkumpulannya, bukan saja terhadap orang luar tapi juga terhadap anggotanya sendiri yang ber?tingkat rendah. Sebenarnya gadis itu masih ingin bertanya siapakah pemimpin tertinggi Hwe-liong-pang, di manakah pusat kegiatannya, bagaimana bentuk jaringannya dan sebagainya, tetapi me?ngingat bahwa A-liok hanya seorang anggota rendahan, maka pertanyaan-per?tanyaan itu jelas tidak akan terjawab. Susunan Hwe-liong-pang kelompok Ui-ki-tong di Kay-hong saja A-liok tidak bi?sa menerangkannya, apalagi kalau dita?nya tentang Hwe-liong-pang keseluruh?annya.
Lalu Wi-lian menggantinya dengan pertanyaan lain, "Bagaimana asal mula?nya kau sampai bisa menjadi anggota Hwe-liong-pang?"
Sahut A-liok, "Tadinya aku cuma seorang guru silat yang miskin, muridku cuma beberapa gelintir dan tidak mampu membayar tinggi pula. Uang ba?yaran dari murid-muridku tidak cukup untuk hidup sebulan. Hutangku menumpuk. Pada suatu hari, dalam keputus-asaanku hampir saja aku menggantung diri, dan saat itu datanglah ji Tiat, Ui-ki-hu-tong-cu itu, menawarkan kebaikan kepadaku. Yaitu ia akan membayarkan semua hutangku asal aku masuk menjadi ang?gota Hwe-liong-pang. Aku kenal Ji Toa-ko yang pekerjaan sehari-harinya adalah jagal ternak, dan hampir sama mis?kinnya dengan aku, aku agak heran juga melihat dia punya uang sebanyak itu Tapi aku tidak ambil pusing lagi, se?hari bisa melanjutkan hidup, biarlah sehari pula umurku bertambah, begitu pikirku. Maka akupun menjadi anggota Hwe-liong-pang, kelompok Ui-ki-tong."
Wi-lian tertawa dingin, "Hem, ha?nya karena kesulitan saja kau sampai rela mengorbankan hidupmu menjadi bu?dak dari perkumpulan pembunuh-pembunuh yang kejam itu?"
Tiba-tiba A-liok menggelengkan kepalanya dan berkata, "Lihiap, agaknya kau keliru pandangan tentang Hwe-liong-pang kami."
"Keliru? Di bagian mana aku keliru ?"
"Li-hiap, kau menganggap Hwe-liong-pang kami sebagai gerombolan pembunuh-pembunuh kejam, padahal yang sebenarnya tidaklah demikian. Kami justru pembela dari rakyat kecil yang tertindas, kami berjuang untuk membuat sebuah dunia baru dengan jalan merombak kebobrokan pemerintahan Kaisar Song-ceng saat ini. Untuk itu kami membutuhkan kekuatan, itulah sebabnya kami menghimpun kekuatan dengan berbagai cara."
"Termasuk dengan cara mengancam dan memaksa orang untuk menjadi anggauta?"
"Yah, apa boleh buat. Ada orang orang yang sebenarnya dia mampu ber?buat sesuatu untuk kepentingan orang banyak, namun mereka ternyata lebih senang hidup santai dan mementingkan diri sendiri, tidak memperdulikan ke?sengsaraan orang lain. Nah, terhadap orang-orang seperti mereka inilah kami mencoba menggugah hatinya."
"Misalnya saja Hong-ho-sam-hiong, Hwe-liong-pang kalian tidak berhasil mengajak mereka masuk ke dalam gerom?bolan kalian, lalu kalian menumpas me?reka dan seluruh keluarga mereka de?ngan kejam. Begitu?" tanya Tong Wi-li?an dengan geramnya.
Sahut A-liok sambil menarik napas, "Ah, urusan pembunuhan itu sebenarnya kurang disetujui oleh kelompok Ui-ki-tong kami. Kami lebih suka menambah jumlah anggauta dengan pemasukan seca?ra sukarela, atau kadang-kadang juga dengan sedikit tipu muslihat. Namun Ui-ki-tong kami tidak pernah memperbe?sar anggauta dengan cara paksaan se?perti itu. Entah kalau kelompok-kelom?pok lainnya."
Tiba-tiba ditengah kegelapan malam itu terdengarlah suara tertawa terke?keh-kekeh yang menimbulkan rasa seram. Suara tertawa itu bagaikan menggema dan melingkar-lingkar di udara malam yang dingin membeku itu, disusul de?ngan perkataan bernada mengejek, "Ha ha-ha-ha, A-liok, sekarang rupanya kau sudah mulai pintar bicara ya ?"
Bukan main terkejutnya Wi-lian mendengar suara itu. Orang yang mampu melontarkan suara tertawa dengan cara seperti itu, pastilah seorang tokoh yang memiliki latihan tenaga dalam cukup sempurna. Dan jika yang datang itu adalah tokoh Hwe-liong-pang, maka Wi-lian meragukan dirinya sendiri apakah mampu menandinginya.
Tapi yang lebih cemas lagi ada?lah A-liok. Lelaki itu tiba-tiba saja merasa seluruh tubuhnya meremang, mu?kanya menjadi pucat ketakutan dan ge?rahamnya gemelutuk keras. Dia tahu pasti siapa yang datang, sehingga dia-pun tahu pasti nasib apa yang bakal menimpa dirinya.
Sebaliknya Wi-lian adalah seorang gadis bernyali macan. Meskipun tadi ia terkejut mendengar suara tertawa itu, tapi kini keberaniannya telah pulih kembali, bahkan ia berteriak nyaring, "Tikus dari manakah ini yang berani memperdengarkan suara tanpa berani me?nampakkan batang hidungnya?!"
A-liok menjadi semakin gemetar mendengar betapa Wi-lian berani bersi?kap demikian. Katanya dengan suara li?rih karena takutnya, "Li-hiap, jangan coba-coba menimbulkan kemarahan orang ini. Dia adalah salah satu dari empat orang Su-cia (duta) Hwe-liong-pang ka?mi, yang bernama Sebun Say. Kedudukan?nya lebih tinggi dari Kwa Tong-cu, de?mikian pula ilmu silatnya, sedang ha?tinya kejam tak kenal ampun."
Namun Wi-lian yang baru saja tu?run gunung dan masih membekal semangat yang berkobar itu, tidak kenal arti takut sama sekali. Bahkan ia tertawa, dan menjawab dengan suara yang sengaja dikeraskan, "Hemm, Su-cia dari Hwe-liong-pang? Orang yang beraninya bersembunyi bagiku tidak lebih dari cucu ku?ra-kura !"
Sebagai jawaban atas tantangan Wi-lian itu, suara tertawa terkekeh-kekeh itu kedengaran lagi, "Heh-heh-heh, anak perempuan yang bernyali besar, su?dah sejak tadi aku duduk di sini, ke?napa kau tidak melihatnya?"
Cepat Wi-lian memutar tubuh ke arah sumber suara itu. Dan beberapa langkah dari tempatnya berdiri nampak?lah ada seseorang yang tengah duduk nongkrong di atas sebuah batu besar. Di bawah cahaya bulan dan bintang yang redup, nampaklah bahwa ujud orang itu sangat mengerikan.
Orang itu susah ditaksir usianya dengan tepat, tapi jelas tidak muda lagi. Tubuhnya pendek sekali, hanya setinggi pinggang orang biasa, namun ukuran kepalanya justeru sangat besar dan hampir dua kali lipat ukuran kepa?la orang biasa. Matanya tajam dan ber?sinar dengan buasnya. Rambut, kumis dan jenggotnya tumbuh jarang-jarang, dan berwarna kemerah-merahan seperti orang Se-hek, serabutan tidak teratur. Ia mengenakan jubah panjang berwarna hitam. Secara keseluruhan, tampangnya cocok dengan tampang siluman yang sering digambarkan dalam dongeng-dongeng untuk menakut-nakuti anak-anak kecil.
Perempuan Penghisap Darah 2 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Genta Perebutan Kekuasaan 2
^