Pencarian

Perserikatan Naga Api 7

Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp Bagian 7


Agak jauh di belakang orang itu, nampaklah dua sosok tubuh lainnya. Yang seorang bertubuh kurus kering dan berpunggung bungkuk, yang seorang lagi tinggi tegap, tapi sebelah ta?ngannya nampak tergantung di pundaknya dengan sehelai kain. Kedua orang itu adalah Kepala Kelompok dan Wakil Kepa?la Kelompok dari Ui-ki-tong, yaitu Thi-jiau-tho-wan Kwa Heng dan Siang-po-kay san Ji Tiat.
Sedangkan manusia bertampang siluman itu bernama Sebun Say, salah seorang dari empat orang utusan Keli?ling Hwe-liong-pang Pusat. Dalam Hwe liong-pang, jabatan Utusan Keliling adalah lebih tinggi dari delapan Tong-cu (Pemimpin Kelompok), bahkan seorang Utusan Keliling berhak menghu?kum mati seorang Tong-cu yang diang?gap bersalah besar terhadap Pang. Ta?dinya Sebun Say adalah seorang pen?tolan golongan hitam yang cukup terna?ma di wilayah Kam-siok dan Jing-hay, dan entah bagaimana kemudian tokoh ini rela tunduk kepada Hwe-liong-pang-cu (Ketua hwe-liong-pang) dan mendapat kedudukan sebagai salah seorang duta keliling. Kepandaian Sebun Say ter?golong tangguh, sebab dalam deretan "Sepuluh Tokoh Sakti" ia menduduki urutan ke delapan. Meskipun urutan "Se?puluh Tokoh Sakti" itu sudah daluwarsa, namun orang yang berhasil duduk di dalamnya pastilah bukan tokoh sembarangan.
Saat itu Sebun Say tengah meman?dang A-liok dengan tatapan matanya yang mengerikan, dan orang yang di?pandangnya menggigil seperti orang terserang demam.
Wajah Sebun Say nampak berkerut-kerut seperti berpikir keras dan kepalanya mengangguk-angguk kecil, lalu katanya dengan nada santai, "A-liok, Hwe-liong-pang kita yang jaya ini bisa hancur berantakan jika terlalu ba?nyak anggautanya yang pengecut seperti kau. Gadis ini sudah melukai Ang-ki-hu-tong-cu Tan Han-ciang serta Ui-ki-hu-tong-cu Ji Tiat, jelas dia adalah mu?suh besar Pang kita, tapi kenapa kau malah demikian akrab kepadanya dan bahkan banyak bercerita tentang raha?sia Pang kita? he-he-he, A-liok, tahu?kah kau apa hukuman bagi orang yang membocorkan rahasia Pang?"
A-liok sudah mengenal kekejaman orang cebol ini, yang menilai nyawa manusia sama rendahnya dengan nyawa lalat saja. Dengan suara yang gemetar ketakutan, A-liok berkata, "Harap Se-bun Su-cia mengetahui, bahwa meskipun aku bersalah tapi aku belum memberita?hukan semua rahasia Pang kepadanya. Lagipula aku dipaksa bicara olehnya, harap Su-cia mengampuni aku."
Selama berbicara kepada A-liok, Sebun Say tidak melirik sedikitpun ke?pada Wi-lian, sikapnya sangat memandang rendah kepada Wi-lian. Sikap se?perti itu agaknya telah membuat Wi-li?an mendidih darahnya dan bertekad un?tuk menguji sampai di mana kehebatan tokoh cebol ini.
Agaknya Sebun Say sangat senang menyiksa perasaan A-liok, sambil te?tap tertawa-tawa ia berkata lagi, "Kau sudah tahu aturan keras dari Pang kita bukan? Siapa yang bersalah, ha?rus menerima hukumannya, tidak peduli meskipun punya alasan segudang. Sebab kalau tidak demikian, akan menjadi ke?biasaan buruk anggauta-anggauta lain?nya. Jelas?"
Suara A-liok menjadi semakin pa?rau, bahkan ingin berbicarapun sudah tidak jelas lagi. Sementara itu Sebun Say dengan santai telah mengeluarkan sebuah botol kecil dari dalam jubahnya, dan dari dalam botol itu ia mengeluar?kan sebutir obat pulung berwarna hitam. Sambil menimang-nimang pil itu, ia bertanya lagi kepada A-liok, "Racun Penghancur tubuh ini ingin kau telan sendiri atau aku sendiri yang harus mencekokkannya?"
Ketika itu muka A-liok kelihatan memelas sekali. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu, hanya dengan pandangan mata yang kosong ia menatap pil hitam di telapak tangan Sebun Say itu.
Melihat keadaan A-liok itu, tiba-tiba timbul juga belas kasihan Wi-li?an, apalagi kalau mengingat bahwa A-liok mau bicara karena ia yang me?maksanya. Jiwa ksatrianya segera ber?golak hebat. Tanpa kenal takut ia se?gera menghadang di depan tubuh A-liok sambil membentak, "Akulah yang telah memaksa A-liok untuk berbicara. Setan cebol, kau boleh minta pertanggungan jawab dari aku!"
Sebun Say cuma melirik dingin ke arah Wi-lian, dan sahutannyapun se?dingin sikapnya, "Ini adalah urusan rumah tangga Hwe-liong-pang kami sendiri, kau sebagai orang luar tidak perlu ikut campur. Jika kau ingin di?hajar, sebentar lagipun akan kukabulkan keinginanmu itu."
Wi-lian menjadi sangat geram me?lihat sikap Sebun Say yang sangat me?remehkannya itu. Sambil mengepalkan kedua tinjunya, ia berseru lagi, "Ti?dak perlu menunggu sampai nanti, sekarangpun kutantang kau bertempur sam?pai salah seorang terkapar mampus di sini. Atau jika kau merasa takut, kau boleh menggelinding pergi dari sini sekarang juga!"
Dalam puluhan tahun petualangan?nya sebagai tokoh yang ditakuti, ka?pan pernah Sebun Say dimaki-maki habis habisan seperti ini? Bahkan yang memaki-makinya hanya seorang gadis remaja, dan di hadapan beberapa bawahannya pu?la, maka akhirnya meluap juga kemarahannya. Ia melompat turun dari batu be?sar yang didudukinya dan melangkah perlahan-lahan ke arah Wi-lian.
Di saat itulah tiba-tiba A-liok bangkit berdiri dan menghadang ke ha?dapan Wi-lian. Katanya sambil menjura kepada gadis itu, "Terima kasih atas usaha Li-hiap menyelamatkan jiwaku. Tapi usaha Li-hiap akan sia-sia saja di hadapan iblis cebol tak berperike?manusiaan ini. Lebih baik li-hiap ce?pat-cepat menyingkir dari sini."
Dalam ucapan ini A-liok berte?rima kasih kepada Wi-lian tapi sekali?gus memaki kepada Sebun Say. Keruan iblis cebol itu jadi murka bukan kepa?lang, teriaknya, "A-liok, kau sudah bosan hidup?"
Waktu itu rasa takut A-liok su?dah lenyap semua karena putus asanya. Maka sambil membalik tubuh menghadapi Sebun Say, ia menyahut dengan sama ke?rasnya, "Andaikata aku masih ingin hidup pun, kau pasti mendesakku untuk ce?pat mati. Hemm, aku memang tidak ta?kut mati, lekas serahkan pil itu kepa?daku."
Kemarahan Sebun Say tidak terkendali lagi. Sebelum A-liok sempat menutup mulutnya, ia telah menyentilkan pil itu sehingga melesat masuk ke dalam mulut A-liok, bahkan lang?sung turun ke dalam perut.
A-liok tertegun mengalami kejadi?an itu, sesaat ia berdiri tertegun dan bengong. Insyaflah ia bahwa nyawa?nya sudah tidak dapat diselamatkan sa?ma sekali, sebab racun ganas itu kini sudah ada di dalam perutnya. Akhirnya dengan kalapnya ia menerjang ke arah Sebun Say dengan kedua tangan yang terjulur ke depan, bermaksud akan men?cekik orang cebol yang tadinya di?takutinya itu.
Namun kerja racun itu terlalu keras dan cepat. Kurang dua langkah se?belum mencapai Sebun Say, tiba-tiba A-liok mengaduh dan menggeliat, ia ro?boh terkapar dan beberapa saat lama?nya ia meronta melawan maut sambil menggeram seperti binatang disembelih. Kulitnya melepuh menjadi kehitam-hi?taman, sementara dari lubang-lubang panca-inderanyapun meleleh darah ber?warna hitam berbau busuk.
A-liok tidak terlalu lama menang?gung penderitaan. Yang selanjutnya terjadi di depan mata Wi-lian adalah suatu perkembangan yang membuat gadis itu hampir muntah-muntah. Wi-lian me?lihat bagaimana kulit yang melepuh ke?hitaman itu mulai "retak" dan menge?luarkan cairan busuk, daging A-liok-pun dengan cepatnya "mencair" menjadi air hitam yang langsung meresap ke dalam tanah. Dan beberapa detik kemu?dian yang namanya A-liok tinggallah sesosok kerangka putih basah tanpa da?ging secuilpun, dan seonggok pakaian serta segumpal rambut di bagian kepa?la, hanya itu.
Sekuat tenaga Wi-lian berusaha menekan perasaannya agar tidak sampai muntah-muntah di depan musuhnya, sedangkan Sebun Say memandang si?sa-sisa tubuh A-liok dengan bangganya, seperti seorang seniman yang tengah menikmati hasil karyanya. Lalu ia mengangkat muka dan memandang kepada Wi-lian, "Bagaimana kehebatan Pil Penghancur Tubuh dari Hwe-liong-pang kami? Kau sudah menyaksikan sendiri akibatnya."
Gadis itu belum membuka mulutnya sebab masih berusaha mengatasi rasa mualnya. Sementara si iblis cebol te?lah berkata lagi, "Nona, aku lihat kau adalah seorang yang punya keberanian dan berkepandaian tinggi pula. Bahkan secara terbuka kuakui bahwa kepandaianmu barangkali lebih tinggi dari de?lapan orang Tong-cu Hwe-liong-pang ka?mi. Sekarang aku tawarkan kepadamu, bagaimana kalau kau bergabung dengan Hwe-liong-pang saja? Tenagamu pasti akan sangat dihargai oleh Pang-cu kami."
Perlahan-lahan rasa mual di pe?rut Wi-lian mereda, lalu jawabnya di?ngin, "Sedikitpun tidak pernah ter?pikir olehku bahwa aku akan masuk ber?gabung dengan Pang busuk kalian itu. Apalagi setelah melihat perbuatan-per?buatan kejam kalian."
Sebun Say tertawa terkekeh-kekeh, "Membunuh A-liok bukan perbuatan ke?jam, tapi hanya menjalankan tata ter?tib dalam Pang kami. Aku sendiripun akan mengalami nasib yang sama jika berbuat kesalahan tak berampun."
Hati Wi-lian yang bergejolak itu berangsur-angsur menjadi tenang kemb?ali, bahkan ia kini mulai menggunakan otaknya. Dengan cerdik ia mulai menco?ba mengorek keterangan, "Mungkin juga aku bisa tertarik untuk menjadi anggauta Pang kalian. Namun aku belum tahu di mana bisa menjumpai Pang-cu ka?lian? Dan siapakah sebenarnya orang yang menjadi Pang-cu kalian itu?"
Sebun Say tertawa terbahak-bahak mendengar pancingan Wi-lian itu. Kata?nya, "Kau memang licin seperti rase. Kau kira dengan pertanyaanmu yang bo?doh itu akan dapat memancing keterang?an dari mulutku? Kau kira aku segam?pang A-liok untuk dijebak? He-he, kau benar-benar amat memandang rendah diriku."
Karena maksudnya dapat ditebak oleh lawan, Wi-lian menjadi jengkel dan memutuskan untuk "main keras" sa?ja. Tapi sebelum gadis itu membuka mu?lutnya, Sebun Say telah berkata, "Kau dapat memutuskan sekarang juga untuk menolak atau menerima tawaranku tadi. Bila kau menerima, tanpa bertanyapun kau akan mengetahui semua seluk-beluk tentang Pang kami."
"Kalau menolak?"
Muka Sebun Say berubah jadi di?ngin membesi, sahutnya patah demi pa?tah kata, "Sayang sekali gadis secan?tik dan sepandai kau harus dilenyapkan dari muka bumi."
Sedangkan sahutan Wi-lian ternya?ta kalem saja, "Aku menolak. Sebenar?nya aku segan berkelahi dengan anak kecil seperti kau, tapi jika kau ter?lalu nakal, terpaksa akan kujewer ku?pingmu."
Meskipun tubuh Sebun Say kecil dan pendek, tapi usianya sudah limapuluh tahun lebih, dan kini Wi-lian mengejeknya sebagai "anak kecil" ten?tu saja kemarahannya tak terbendung lagi. "Bagus !!" teriaknya murka. "Kau agaknya benar-benar telah menelan ha?ti macan dan empedu beruang sehingga punya nyali sebesar itu untuk menentang kami. Tetapi kau akan menyesal. Aku bukan, cuma bisa menggertak tapi juga bisa melaksanakan ancamanku."
"Nah, kalau begitu kenapa dari tadi kau cuma berkaok-kaok saja?"
Muka Sebun Say menjadi merah pa?dam, kumis dan jenggotnya yang berwar?na pirang itu mulai bergetar, sehing?ga tampangnya yang menyeramkan itu bertambah menyeramkan. Selangkah demi selangkah ia mendekati Wi-lian, namun gadis itu nampak tidak gentar sedikit-pun.
Di saat itulah tiba-tiba Kwa Heng yang sejak tadi berdiri di ping?gir arena itu kini melompat ke depan.
Katanya sambil menjura kepada Sebun Say, "Sebun Su-cia, maafkan kelancanganku. Sebelum Su-cia bertindak, mau?kah Su-cia mendengarkan beberapa pa?tah perkataanku?"
Sebun Say menghentikan langkah?nya dan mendengus, "Ada apa lagi, Kwa Tong-cu?"
Kwa Heng berkata dengan hati-hati, "Kebijaksanaan yang digariskan oleh Pang-cu ini hanyalah menghimpun kekua?tan, dan sesedikit mungkin menimbul?kan bentrokan dengan golongan lain. Harap Su-cia ketahui bahwa gadis ini adalah murid kesayangan Rahib Hong-tay dari Siau-lim-pay. Jika sampai kita timbul urusan dengan pihak Siau-lim-pay, maka perjuangan kita selanjutnya pasti akan terhambat."
Tapi Sebun Say menyahut dengan dingin, "Aku tidak peduli semua itu. Aku tidak takut kepada kawanan kele?dai gundul (olok-olok untuk kaum paderi) Hong-tay, Hong-gan, Hong-pek, Hong-bun atau keledai-keledai gundul lain?nya. Hwe-liong-pang kita tidak boleh menunjukkan sikap banci. Apalagi ka?lau diingat bahwa bukan kita yang le?bih dulu membentur Siau-lim-pay, teta?pi gadis tak tahu diri inilah yang le?bih dulu mengganggu dan mencampuri urusan kita dengan jalan membantu Hong ho-sam-hiong. Bahkan ia berani mula menciderai dua orang Hu-tong-cu kita. Nah, Kwa Tong-cu, apa jawabmu?"
Kwa Heng cukup mengenal tabiat si cebol ini. Apa yang sudah diucapkan?nya, apalagi terhadap bawahannya, tidak mungkin terbantah lagi dan harus dilaksanakan. Maka Kwa Heng hanya bungkam saja dan tidak menyahut sepatah katapun. Sedang Sebun Say telah membentaknya, "Minggir kau! aku akan mencincang gadis gila ini!"
Apa boleh buat, terpaksa Kwa Heng menyingkir dan membiarkan si ce?bol ini berbuat semaunya. Tapi pandangan matanya sempat memancarkan pe?rasaan sayang jika sampai gadis sebe?rani dan selihai Wi-lian harus mati sia-sia di tangan siluman cebol itu.
Dalam pada itu Sebun Say sudah tidak sabar lagi. Sambil berteriak ta?jam ia menubruk ke depan, dan sepa?sang tangannya yang pendek-pendek itu serempak melancarkan sebuah pukulan penuh tenaga yang membawa kesiur angin tajam.
Wi-lian memang sudah siap sejak tadi. Ia tahu bahwa dalam hal tenaga ia tidak menang dari lawannya, maka ia harus menggunakan akal untuk meng?hindari benturan kekuatan dengan la?wannya.
Karena itu, begitu melihat Sebun Say bergerak, cepat gadis itu mengge?serkan kedudukannya ke "pintu" tong?mui (istilah silat aliran Siau-lim) sambil merendahkan kuda-kudanya. Se?rentak tangannyapun menyanggah ke atas dengan gerakan Hui-tui-pay-Hud (Menekuk Lutut Menyembah Buddha).
Tepat sekali telapak tangan Wi-lian berhasil menyanggah lengan tokoh Hwe-liong-pang itu, namun tetap saja gadis itu terpental empat langkah ke be?lakang. Ternyata tangan Sebun Say yang kelihatannya kecil-kecil itu mampu me?lepaskan pukulan seberat batu gunung. Sesaat lamanya Wi-lian merasa pernapa?sannya agak terganggu.
Namun tidak terkecuali Sebun Say pun ikut terkejut dalam benturan itu. Sebenarnya Sebun Say bermaksud hendak pamer kepandaian di hadapan Kwa Heng dan Ji Tiat, yaitu hendak membunuh wi-lian dalam sekali gebrakan saja. Dia yang sangat membanggakan kedudukannya sebagai tokoh ke delapan dari "Sepuluh Tokoh Sakti" itu ingin menambah pamor?nya. Namun ternyata ia hanya berhasil membuat gadis itu mundur empat lang?kah, tanpa menimbulkan cidera sedikit-pun pada gadis itu. Tentu saja Sebun Say kaget dan penasaran melihat hal ini.
Gebrakan yang gagal itu telah membuatnya malu. Begitu kakinya meng?injak tanah, ia sudah melompat lagi, kali ini dengan tubuh miring, sambil berseru bengis, "Sambut sekali lagi!"
Serangan kali ini berbentuk se?perti cakar elang, mengarah ke batok kepala Wi-lian.
Dengan mengerahkan segenap ke?tangkasannya, barulah Wi-lian berhasil menghindar ke samping. Sebenarnya ga?dis ini hendak mengandalkan gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh) untuk menan?dingi lawan, tapi tak terduga si iblis cebol itupun seorang ahli gin-kang yang hebat juga, bahkan lebih unggul daripada Wi-lian. Hal itu terbukti ke?tika serangan Sebun Say mengenai tem?pat kosong, maka cukup hanya dengan mengibaskan lengan jubahnya ia telah dapat mengubah arah luncuran tubuhnya dan berbelok di tengah udara, serta tetap dapat memburu ke manapun wi-lian menghindar.
Terkesiaplah Wi-lian melihat ilmu silat sehebat itu. Ia tidak sempat menghindar lagi, mau tidak mau ia ha?rus menyongsong serangan itu. Detik ketika terkaman Sebun Say tiba, cepat Wi-lian melakukan gerak Hong-tiam-thau (Burung Hong Mengangguk) sambil memutar tubuhnya, dan di lain detik ia telah menyambungnya dengan gerakan Sin-liong-pa-bwe (Naga Sakti Mengibas?kan Ekor), di mana tumit kakinya tera?yun deras ke lambung Sebun Say.
Kali ini karena telah kehabisan tenaga luncuran, terpaksa Sebun Say melakukan putaran di udara dan kemudi?an mendarat.
Begitulah, kedua orang itu telah mulai melakukan serang menyerang de?ngan sengit dan cepatnya. Ternyata ha?nya dengan bermodalkan tekad dari kebe?ranian saja masih belum cukup bagi Wi-lian jika ingin menandingi iblis ce?bol yang pernah malang-melintang di kawasan Kam-siok dan Jing-hay itu.
Manusia pendek kecil yang men?duduki urutan ke delapan dari sepuluh tokoh sakti jaman itu ternyata memang benar-benar seorang tokoh yang luar biasa. Wi-lian kalah dalam segala-ga?lanya. Baik dalam hal gin-kang, lwe-kang (kekuatan dalam), kecepatan, ge?rak tipu, apalagi dalam hal penga?laman dan kekejaman.
Tetapi yang membuat orang-orang Hwe-liong-pang itu tercengang adalah suatu kenyataan dimana Wi-lian mampu memberi perlawanan yang ulet sekali dalam duapuluh jurus, meskipun hanya bersikap bertahan dan membalas saja. Padahal menurut perhitungan orang-orang Hwe-liong-pang itu, paling banter gadis yang baru berumur duapuluh tahun itu hanya akan sanggup bertahan lima atau enam jurus, itupun dalam ke?adaan pontang-panting. Namun yang ter?jadi ternyata di luar perhitungan.
Bagi Sebun Say, tidak dapat se?gera menjatuhkan lawannya yang diang?gapnya masih ingusan itu dianggapnya sebagai aib luar biasa dalam pamor?nya. Dengan geram ia terus memperberat tekanannya. Sebaliknya Wi-lian merasa?kan tangannya semakin sakit, seakan-a?kan setiap kali tangannya itu diadu dengan lempengan-lempengan besi. An?daikata tenaga Wi-lian belum banyak terkuras ketika bertempur dengan Kwa heng tadi, agaknya gadis itu masih akan dapat memperpanjang perlawanannya, meskipun pada akhirnya toh akan kalah juga. Apalagi kini ia sudah dalam ke?adaan kelelahan. Maka dengan cepatnya gadis itu telah jatuh di bawah angin, keadannya kini seperti telur di ujung tanduk.
Hanya dengan mengertak gigi dan mengeraskan hati saja, Wi-lian terus melawan. Dan perlawanannya itu dapat memperpanjang pertempuran sampai bela?san jurus lagi.
Memasuki jurus ke empatpuluh, mu?lailah Wi-lian merasakan dadanya se?sak dan napasnya tersengal-sengal. Jantungnya seakan-akan memompa darah lima kali lebih cepat dari biasanya, dan pandangan matanyapun mulai kabur kekuning-kuningan. Mati-matian gadis itu terus bertahan agar kesadarannya tidak lenyap, sebab begitu kesada?rannya lenyap, maka nasibnyapun tidak akan jauh berbeda dengan nasib A-liok.
Mendadak sebuah sodokan telapak tangan sebun Say menghantam muka Wi-lian, meskipun gadis itu dapat meng?hindarinya dengan memiringkan pundaknya, tetapi tak urung pukulan itu menyerempet pundak gadis itu. Seke?tika itu juga Wi-lian merasa tubuhnya bagaikan tertimpa sebuah palu godam yang puluhan kati beratnya. Ia jatuh terpelanting dan terguling-guling be?lasan langkah jauhnya. Ia masih belum pingsan, namun jelas perlawanannya sudah habis sampai di situ.
Kwa Heng menarik napas menyesal melihat peristiwa itu. Sebenarnya ia berkesan baik terhadap murid Siau-lim-pay yang gagah berani itu, tetapi ia tidak berdaya sebab tidak mungkin ia menentang atasannya sendiri. Dan dengan alis berkerut, Sebun Say melepas?kan hantaman terakhirnya untuk meme?cahkan batok kepala gadis itu, yang masih terkapar tak mampu bangun itu.
Wi-lian masih berbaring tak ber?daya, pundaknya yang terserempet pu?kulan Sebun Say itu terasa nyeri se?kali, meskipun nampaknya tidak ada tu?langnya yang patah karena tidak terpu?kul secara telak. Tapi apa gunanya se?andainya tidak ada tulang patah, se?dangkan ia sudah tak mampu bergerak dan tinggal menunggu kematian? Dengan mata terbuka lebar-lebar, secara tabah wi-lian melihat pukulan yang akan me?remukkan kepalanya itu tengah meluncur datang. Sekali lagi Kwa Heng kagum me?lihat ketabahan gadis itu.
Namun umur gadis itu agaknya be?lum ditentukan berakhir sampai di si?tu saja. Pada detik yang gawat itu mendadak sebutir kerikil melesat mem?belah udara malam, dan langsung mengincar ke arah jalan darah soan-ki-hiat di dada Sebun Say.
Terkejutlah siluman cebol itu me?lihat sambaran batu kecil yang tepat mengincar jalan darah mematikan itu. Sebagai seorang ahli yang bermata ta?jam, ia dapat melihat bahwa kerikil itu dilontarkan oleh seorang tokoh yang tingkatan tenaga dalamnya di atas tingkatnya sendiri ! Dengan agak gugup ia menarik pukulannya dan langsung me?nekuk punggungnya ke belakang dengan gaya Thi-pan-kio (Jembatan Papan Besi), dengan demikian barulah ia lolos dari sambaran mematikan itu. Tapi keringat dinginnya sempat juga membanjir keluar membasahi punggungnya.
Begitu ketenangannya telah pulih kembali, Sebun Say segera meraung dengan suara gusarnya, "Tikus busuk dari manakah ini yang sudah bosan hi?dup?! Hayo keluar!!"
Terdengar suara tertawa yang ringan dan lunak, sedap didengarnya, disusul dengan kata, "Hebat, saudara Sebun, enam tahun kita tidak bertemu dan ternyata kepandaianmu telah meningkat sehebat itu. Bahkan kudengar kabar angin bahwa kau sudah menjadi orangnya Hwe-liong-pang-cu? Ha-ha, se?lamat!"
Lalu bagaikan sesosok hantu sa?ja, tahu-tahu di tempat itu telah mun?cul seorang lelaki setengah umur, mes?kipun wajahnya tidak tampan namun se?lalu nampak riang dan berseri-seri, rambutnyapun tersisir rapi tidak ka?lah dengan anak-anak muda. Tapi pakai?an yang dikenakannya ternyata justeru berlawanan dengan keadaan tampangnya yang bersih itu. Ia memakai jubah sasterawan yang sudah begitu tuanya se?hingga tidak dapat ditebak lagi warna aslinya, sepatunya juga sudah sangat tua sehingga ibu jari kaki si pemakai ikut mengintip keluar. Sedang tangan kirinya memegang sebuah kipas berwar?na hitam, entah terbuat dari bahan apa, yang selalu dibuka dan ditutup dengan bergaya.
Sebun Say terkejut sekali melihat ke?munculan orang itu. Geramnya sengit, "Hah, kiranya kau?! Bangsat Rudin She Liu, kenapa kau selalu mencampuri urusanku?"
Orang berjubah sasterawan itu tertawa-tawa dan menyahut dengan ka?lemnya, "Saudara Sebun, kenapa kau ti?dak gembira dengan pertemuan kita ini dan malahan marah-marah? Kedatanganku justeru untuk kebaikanmu. Tahukah kau bahwa begitu kau membunuh anak perem?puan ini, maka seumur hidupmu kau tidak akan tenteram lagi?"
"Hemm, aku tahu bahwa anak perem?puan ini punya tulang punggung rom?bongan keledai gundul dari Siong-san itu, tapi aku tetap akan membunuhnya," kata Sebun Say sambil mengertak gigi. "Orang she Liu, jika benar kau ingin berbaikan dengan aku, tentu kau akan merahasiakan kejadian ini sehingga ka?wanan keledai gundul itu tidak tahu kejadian malam ini."
Demikianlah, di balik kata-kata?nya yang garang itu, tanpa sadar Sebun Say telah menunjukkan rasa takut?nya terhadap tokoh-tokoh Siau-lim-pay.
Sasterawan she Liu itu tertawa sambil menggoyang-goyangkan kipasnya, "Saudara Sebun, jika kau tidak takut kepada mereka, kenapa kau minta kepa?daku untuk merahasiakan peristiwa ini? Lagipula bukankah kau sudah tahu tabiat burukku, yaitu mulutku ini pa?ling tidak tahan untuk tidak berbicara. Sehari dua hari mungkin aku bisa mena?han mulutku, tapi entahlah untuk sete?rusnya."
Gigi Sebun Say gemeretak karena kesal dan jengkelnya. Namun terhadap orang bertampang seperti sasterawan rudin itu, ia tidak berani gegabah. Katanya dengan sengit, "Kutu buku bu?suk! Kenapa kau tidak bilang saja te?rang-terangan bahwa kau ingin membela murid keledai gundul ini? Kenapa mes?ti bicara berputar-putar?"
Sasterawan she Liu itu pura-pura memperlihatkan sikap menyesal, dan sambil menarik napas ia berkata, "Yah, akhirnya kau dapat menebaknya juga. Sebetulnya aku agak sungkan mengata?kannya kepadamu, kau maklum bukan? Aku kan sasterawan."
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 13 MESKIPUN Wi-lian sedang dalam ke?adaan kesakitan, mau tidak mau timbul juga perasaan gelinya melihat si sasterawan yang jenaka itu. Bahkan di ha?dapan Sebun Say pun ia berani bersikap begitu santai dan seenaknya. Selain itu, timbul dugaan Wi-lian bahwa orang bertampang sasterawan rudin ini?lah yang bernama Liu Tay-liong, orang yang harus diserahi surat gurunya.
Sementara itu, Sebun Say mulai membuat perhitungan dalam otaknya. Ia terpaksa harus membatalkan niatnya un?tuk membunuh Wi-lian, sebab orang she Liu itu pasti akan menyebarkannya di luaran, padahal Sebun Say tidak mera?sa yakin dapat merintangi orang she Liu itu jika orang itu ingin pergi da?ri situ. Tapi untuk melampiaskan rasa mendongkolnya, akhirnya si cebol ini menantang sasterawan rudin itu, "Baiklah, Liu Tay-liong, aku membatalkan untuk membunuh gadis kurang ajar ini. Bukan karena takut kepada orang-orang Siau-lim-pay, melainkan hanya karena memandang mukamu sebagai seorang ke?nalan lama. Tapi malam ini cukup di?ngin, bagaimana kalau kita rayakan pertemuan kita ini dengan sedikit me?lemaskan otot ?"
Tantangan itu sebenarnya mengan?dung maksud tersembunyi lainnya. Sas?terawan rudin she Liu Tay-liong itu pun termasuk "Sepuluh Tokoh Sakti", bahkan menduduki urutan ke lima, jadi lebih tinggi dari Sebun Say. Sebun Say telah berlatih keras selama beberapa tahun di daerah Jing-hay, dan kini ia punya keinginan untuk mengalahkan Liu Tay-liong, agar kedudukannya di urut?an ke delapan itu diperhitungkan kem?bali, kalau bisa melonjak ke urutan di atasnya.
Agaknya Liu Tay-liong maklum apa yang menjadi kandungan hati Sebun Say itu. Maka sambil tertawa menyindir ia berkata, "Wah, hebat sekali ambisimu, saudara Sebun, bahkan aku ikut berdoa agar sekali tempo kelak kau dapat mengalahkan tua bangka she Ang dari Tiam-jong-san itu untuk merebut tempat pertama. Tapi antara nama dan kemampu?an harus seimbang lho. Selain itu ju?ga harus siap menelan kenyataan pahit jika impianmu gagal."
Betapa tebalnya muka Sebun Say, namun ia agak tersipu juga karena isi hatinya kena dikorek dengan tepat oleh Liu Tay-liong. Tapi dengan bandelnya ia pantang mundur, "Persetan dengan omong kosongmu itu, Hayolah kita mulai !"
Lalu iblis cebol itu mengeluar?kan senjatanya yang berbentuk seper?ti sabit panjang, yang pada bagian ta?jamnya memancarkan warna keungu-unguan, menandakan bahwa senjata itu direndam racun yang cukup ganas. De?ngan sikapnya itu, jelaslah yang dike?hendaki Sebun Say bukan cuma mengi?nginkan "pemanasan" melainkan benar-benar bertempur.
Sedangkan Liu Tay-liongpun tidak berani bersikap lengah, meskipun tampaknya saja ia masih santai dan tersenyum-senyum. Agaknya orang she Liu inipun tahu betul bahwa lawannya itu tentu sudah berlatih keras demi mewujudkan impiannya untuk menduduki tempat nomor satu dalam urutan "Sepu?luh Tokoh Sakti" di jaman itu.
Dalam pada itu Sebun Say tidak membuang waktu lagi. Sambil mengeluar?kan bentakan keras ia menubruk ke de?pan dengan dahsyatnya, senjatanya itu tiba-tiba lenyap bentuknya digantikan dengan segulung cahaya keungu-unguan yang berputar mengerikan bagaikan angin pusaran. Dalam gebrakan pertama saja Sebun Say telah menunjukkan kekejamannya.
Tapi yang dihadapi oleh Sebun Say saat itu adalah tokoh yang diakui ber?kedudukan nomor lima di dunia persila?tan. Kedudukannya hanyalah di bawah empat orang sakti lainnya, yaitu Tiam-jong-lo-sia (si Sesat Tua Dari Tiam-jong-san) Ang Hoan, Rahib Hong-tay dari Siong-san Siau-lim-si, Kim-hian Tojin dari Kuil Giok-hi-koan di Bu-tong-san serta Soat-san-lo-sian(Dewa Tua Dari Soat-san) Yu Hau-seng.
Liu Tay-liong menunggu sampai se?rangan lawan itu hampir mengenai dadanya, setelah itu barulah menghindar ke samping.
Wi-lian melihat jalannya pertempuran itu dengan jantung yang berdebar-debar, ia menguatirkan keselamatan sasterawan rudin itu, sebab Wi-lian sendiri sudah mengalami betapa lihainya iblis cebol dari Jing-hay itu.
Sementara itu Sebun Say tidak berhenti dengan serangan pertamanya aja. Dengan gesitnya si cebol ini te?lah merubah arah luncuran badannya di tengah udara, dan kembali menubruk Liu Tay-liong dengan kecepatan yang sama seperti gebrakan pertama tadi. Tetapi kali ini si sasterawan rudin bukan cuma menghindar, tapi juga mulai membalas serangan dengan menggunakan kipasnya untuk mengetuk jalan darah yang-ti-hiat di pergelangan tangan lawan.
Gerakan Liu Tay-liong ini adalah perwujudan dari salah satu ajaran il?mu silat tingkat tinggi yang disebut "bergerak lebih lambat, tiba lebih cepat". Gerakan Sebun Say adalah gerakan yang cukup cepat, namun gerakan Liu Tay-liong adalah gerakan yang maha cepat, sehingga meskipun cara bergeraknya kelihatan seenaknya, tapi tepat tertuju ke titik lemah pertahanan lawan, dan memaksa sang lawan harus menutup diri lebih dulu. Sebun Say juga menginsyafi bahwa jika serangannya dilanjutkan, maka lengan kanannya akan kena diketuk lumpuh. Terpaksa Sebun Say mengangkat lengannya sedikit, dan meskipun gerakan itu hanya sedikit, tapi telah membuyarkan semua jurus lanjutan dari serangan pertamanya tadi. Namun iblis dari Jin hay inipun sudah menyiapkan telapak tangan kirinya untuk melepaskan sebu?ah serangan susulan.
Sekarang tibalah giliran Liu Tay-liong yang bergerak lebih dulu untuk memamerkan kecepatannya. Sebelum pu?kulan susulan Sebun Say "keluar", lengan jubah Liu Tay-liong yang long?gar itu lebih dulu telah bergerak ke luar secepat kilat, sekaligus ujung lengan jubah itu mengancam empat jalan darah bu-hiang, hong-bwe, siau-yo dan gi-bun. Sedang dibalik lengan jubah yang kedodoran itu masih tersembunyi pula cengkeraman dahsyat ke arah empat jalan darah pula, yaitu tong-bun, ih-gi, yang-kau dan hok-tho. Jadi dengan sebuah gerakan saja si sastrawan rudin ini mampu memaksa Sebun Say harus me?lindungi sekian banyak sasaran.
Keringat dingin mengucur di pung?gung Sebun Say melihat serangan segen?car dan secepat itu. Dalam waktu yang kurang dari sedetik, Sebun Say masih sempat membuang diri ke belakang dan menggulingkan tubuhnya untuk menjauhi lawan. Demikianlah, cara menyerangnya tadi begitu garang menakutkan, tapi caranya menghindari serangan balasan lawan ternyata begitu konyol.
Sementara Sebun Say menjauhkan diri, Liu Tay-liong tidak memburunya, ia tetap berdiri santai di tempatnya sambil melihat musuhnya bergulingan di tanah. Tangan kirinya yang meme?gang kipas itu mengipas-ipas mukanya dengan santainya, sambil tersenyum-senyum dilihatnya Sebun Say telah bergu?lingan beberapa langkah.
Sebun Say dengan cepat melompat bangun, mukanya menjadi merah padam karena malu dan marah. Di hadapan ma?ta Kwa Heng, Ji Tiat dan Tong Wi-lian, dia kena dipaksa berkelakuan demikian konyol oleh Liu Tay-liong, maka tentu saja pamornya turun beberapa derajat.
Begitu melompat bangun, ia lang?sung menggeram marah, "Hebat kau, orang she Liu. Ilmumu cukup maju juga agaknya."
Liu Tay-liong tersenyum, balasnya, "Ah, saudara Sebun terlalu memuji. Aku justeru iri pada jurus bergulinganmu yang indah tadi, tentunya itu adalah hasil karya terbarumu? Aku mengucap?kan selamat atas keberhasilanmu."
Dengus Sebun Say, "Jangan som?bong kau. Mari kita lanjutkan."
Dan tanpa mengucap apapun, kem?bali Sebun Say telah menerjang ke de?pan. Kali ini ia tidak mau lagi main tubruk secara kasar, tapi dengan lang?kah-langkah seringan awan tertiup angin, ia menyerang dengan sebuah jurus ciptaannya yang diberi nama Wan-hun-yu-hui (Arwah penasaran Mengembara). Sen?jata sabit beracunnya menyelonong dari samping dibarengi dengan hantaman ta?ngan kirinya yang juga berwarna ungu kehitam-hitaman dan mengeluarkan bau memuakkan itu.
Cepat Liu Tay-liong menggeser langkah mengikuti arus gerakan lawan?nya, kemudian kipas besi dan lengan jubahnya yang lebar itu serempak mene?bar dengan gerakan Hui-thian-soat-hoa (Bunga Salju Beterbangan Di Langit).
Dalam waktu singkat, dua orang tokoh yang sama-sama merupakan tokoh terkenal di jaman itupun telah terli?bat dalam sebuah pertempuran yang sengit sekali. Selisih kepandaian di antara mereka tidak terlalu menyolok. Sebun Say telah berlatih keras meng?gembleng diri hampir sepuluh tahun la?manya di pedalaman Jing-hay, tetapi si sasterawan rudin itupun tidak per?nah melalaikan latihan ilmu silat?nya. Apalagi dalam tahun-tahun tera?khir ini Liu Tay-liong sudah punya ru?mah sederhana untuk menetap di Kay hong, sehingga tidak lagi mengembara tanpa tujuan di dunia persilatan, dengan demikian ia lebih punya banyak waktu untuk meningkatkan ilmunya pula.
Kedua orang itu berkelebatan sa?ling menyambar bagaikan dua sosok se?tan gentayangan, jurus-jurus simpanan yang hebat silih berganti dihamburkan keluar. Ilmu silat Sebun Say berciri telak, ganas dan mengutamakan kecepa?tan untuk langsung mengincar sasaran?nya. Sebaliknya gerakan Liu Tay-liong nampak begitu ringan dan tidak begitu cepat, namun serangan lawan yang gencar itu anehnya tidak dapat menyentuh ujung jubahnya sedikitpun. Gerakan Liu Tay-liong hanya seperti orang me?nari-nari, tetapi serangan-serangan kipasnya maupun ujung-ujung lengan ju?bahnya selalu terarah ke jalan darah-jalan darah penting di tubuh lawannya, incarannya selalu tepat dan memaksa lawan harus berhati-hati.
Makin lama pertarungan itu me?ningkat semakin seru. Sebun Say betul-betul telah mempertaruhkan seluruh ha?sil latihannya untuk merebut kemenang?an. Senjata sabitnya bagaikan belasan buah halilintar yang sabung menyam?bung di langit, diselingi gempuran-gempuran tangan kirinya yang menim?bulkan badai angin pukulan. Didukung pula dengan ilmu meringankan tubuhnya yang cukup mahir, maka tubuh si iblis Jing-hay itu seolah-olah te?lah terpecah-pecah menjadi beberapa orang yang bergerak secara serentak, mengepung lawan dari berbagai jurusan.
Tapi di sela-sela deru kilat dan angin ribut yang menakutkan itu, ter?lihatlah ratusan, bahkan ribuan, titik-titik terang bagaikan bunga-bunga sal?ju yanq beterbangan ringan kian kemari menyusup di antara keganasan lawannya. Kadang-kadang nampak gerakan-gerakan "bunga salju" seolah-olah terhisap dan mengikuti arus serangan lawannya, na?mun tidak dapat dimusnahkan! "Bunga salju" itu tak lain tak bukan adalah gerakan-gerakan Liu Tay-liong.
Wi-lian yang merasa beruntung da?pat menyaksikan pertempuran ilmu silat tingkat tinggi itu, diam-diam membatin, "Dasar sasterawan, dalam perkelahian mati hiduppun ia mengeluarkan jurus-jurus yang tidak mengabaikan segi ke?indahan. Tapi gerakan-gerakannya agak mirip dengan Hui-soat-sin-ciang (Pu?kulan Sakti Salju Terbang) dari Soat?san-pay yang pernah kupelajari ketika masih di An-yang-shia."
Sementara itu pertarungan itu sudah tidak diketahui lagi memasuki jurus ke berapa, sebab kedua orang yang bertarung itu bergerak demikian cepat sehingga tidak dapat diikuti pandangan mata orang-orang yang setaraf kepandaiannya dengan Wi-lian. Dan semua orang tak merasa bahwa sinar ma?tahari yang tipis mulai menggores kaki langit sebelah timur, dan di kejauhan terdengar kokok ayam.
Meskipun pertarungan itu belum berakhir secara tuntas, namun sudah kelihatan bahwa Liu Tay-liong sedikit lebih unggul dibandingkan lawannya yang pendek kecil itu. Kini terlihatlah bahwa beberapa kali Sebun Say harus melangkah mundur, meskipun ia mas?ih mempertahankan diri dengan gigihnya. Suara deru napasnya makin terdengar nyata, menandakan orang she Sebun itu sudah hampir kehabisan napas.
Liu Tay-liong sendiri bukannya tidak memeras tenaga, bajunya sudah basah kuyup dengan keringat. Tapi na?pasnya agaknya lebih panjang dari la?wannya, bahkan ia masih bisa berkata mengejek lawannya, "Saudara Sebun, apakah kau masih belum puas dengan per?mainan kita yang hampir semalam suntuk ini?"
Begitu ucapannya selesai, Liy Tay liong membentak keras dan melancarkan serangkaian serangan hebat. Terdengar suara benturan senjata yang gencar, lalu tiba-tiba kedua tokoh yang sedang bertarung itu berlompatan saling men?jauhi. Nampak Sebun Say meringis sambil memegangi pergelangan tangannya dengan tangan kiri, sedangkan senjatanya itu telah terbang ke udara.
Ketika senjata sabit itu meluncur turun kembali, cepat Liu Tay-liong mengebaskan lengan jubahnya, sambil berseru, "Saudara Sebun, terima kemba?li senjatamu !"
Agaknya Sebun Say sudah tidak punya muka lagi untuk menerima senjatanya kembali. Senjata yang me?luncur kembali kepadanya itu tidak diterimanya, melainkan dihindarinya dengan melompat ke samping. Kemudian ia menggapaikan tangannya kepada Kwa Heng dan Ji Tiat, sambil berseru ma?rah, "Mari kita pergi. Hwe-liong-pang kita tidak akan pernah melupakan peng?hinaan ini."
Agaknya iblis Jing-hay ini memang seorang yang berpikiran sempit dan mau menangnya sendiri. Pertempurannya dengan Liu Tay-liong itu adalah per?tempuran antar pribadi, dan sama se?kali tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan Hwe-liong-pang, bahkan Sebun Say sendirilah yang tadi menantang le?bih dulu. Namun begitu ia kalah, iblis kecil ini rupanya sangat mendendam se?hingga bermaksud untuk menyeret selu?ruh Hwe-liong-pang terlibat urusan ini.
Sekejap kemudian, bayangan ketiga orang tokoh Hwe-liong-pang sudah tidak nampak bayangannya lagi.
Liu Tay-liong hanya memandang kepergian ketiga orang itu sambil meng?hela napas beberapa kali, sambil ber?gumam sendiri, "Ah, mulai hari ini agaknya kehidupan tenteram yang kudambakan itu akan kembali direpotkan berbagai urusan tetek-bengek, dan aku dengan tulang-tulang tuaku ini harus berkecimpung lagi dengan urusan-urusan yang memusingkan kepala."
Wi-lian cepat memberi hormat ke?pada pendekar tua yang telah menyela?matkan nyawanya itu, dan mengucapkan terima kasihnya. Tanpa bicara bertele-tele, sekaligus gadis itu menyatakan bahwa ia diutus oleh gurunya, Hong-tay Hweshio, untuk menyampaikan sepucuk surat kepada pendekar tua she Liu itu.
Sambil membuka sampul surat itu, Liu Tay-liong berkata sambil tersenyum, "Aku pernah mendengar kabar dari si rahib gadungan Hong-koan, katanya Ra?hib Hong-tay telah menemukan seorang murid yang berbakat. Eh, ternyata mu?lut si rahib gila itu dapat dipercaya juga kali ini."
Mendengar pujian tidak langsung kepada dirinya itu, Wi-lian agak ter?sipu, katanya merendah, "Toasiok Hong-koan terlalu memuji diriku. Jika tadi lo-eng-hiong (Pendekar Tua) tidak me?nolong aku, tentu saat ini aku sudah mati di tangan iblis cebol itu."
"Kau jangan membandingkan dirimu dengan setan kecil itu," sahut Liu Tay liong. "Tahukah kau bahwa Sebun Say itu adalah orang yang menduduki urutan ke delapan dari sepuluh tokoh sakti jaman ini? Aku sendiri, untuk mengu?sirnya harus mengeluarkan tenaga habis-habisan dan membutuhkan ribuan jurus. Tapi tadi kuintip kau sempat melawan siluman itu sampai tigapuluh jurus le?bih, meskipun terdesak dan bahkan kemudian hampir celaka. Tapi angkatan muda dunia persilatan yang seusia denganmu yang sanggup menahan siluman itu puluhan jurus seperti kau, barang?kali jumlahnya tidak lebih dari sepu?luh orang. Kau patut berbangga untuk hal ini, sekaligus juga kau jadikan pelajaran agar jangan terlalu gegabah bertindak."
Lalu sasterawan tua itu tertawa gembira, "Aku percaya untuk beberapa hari ini tentu Sebun Say tidak nye?nyak tidur dan tidak berselera makan karena rasa penasaran dan dongkolnya. Ia,sudah berlatih keras dan merasa bahwa ilmunya sudah meningkat banyak, tidak tahunya begitu muncul di sini ia langsung terbentur seorang lawan muda seperti kau."
Diam-diam Wi-lian menjadi sangat bergembira mendengar penilaian pende?kar tua itu tentang tingkat ilmu silatnya sekarang. Tidak percuma selama ini ia mengalami penderitaan hebat karena gemblengan keras di Siong-san itu. Di dalam hatinya, gadis itu juga berjanji kepada diri sendiri untuk berlatih gi?at setiap ada waktu yang terluang, supaya ilmunya meningkat lagi.
Liu Tay-liong ternyata tidak ha?nya memuji, tapi kemudian juga "me?nyentil" kesembronoan gadis itu, "Tapi kunilai kau juga terlalu ceroboh dalam tindakanmu. Orang-orang Hwe-liong-pang bukanlah orang-orang yang dibuat per?mainan begitu saja. Mereka memiliki banyak jagoan lihay, dan tersebar di mana-mana. Bahkan Ketua mereka, Hwe-liong-pang-cu itu, menurut kepandaiannya dia tidak di bawah tingkatan dari Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan."
Berdesirlah jantung Wi-lian men?dengar keterangan Liu Tay-liong itu. Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan adalah tokoh yang menduduki urutan pertama dalam deretan sepuluh tokoh maha sakti jaman itu, bahkan kepandaiannya lebih tinggi dari Rahib Hong-tay, guru Wi-lian. Ta?pi kini dengan telinganya sendiri Wi-lian mendengar Liu Tay-liong berkata bahwa kepandaian Hwe-liong-pang-cu se?jajar, bahkan mungkin lebih tinggi da?ri Ang Hoan! Diam-diam Wi-lian jadi bergidik mendengarnya. Jika benar-benar Hwe-liong-pang-cu selihai itu dan ke?mudian berniat mengobrak-abrik dunia persilatan, lalu siapakah yang mampu membendung tindakannya?
"Apakah lo-eng-hiong pernah ber?temu dengan tokoh tertinggi Hwe-liong-pang itu?" tanya Wi-lian kemudian.
"Hanya melihatnya dari jarak yang agak jauh, dan secara kebetulan pula. Ketua Hwe-liong-pang itu pernah berke?liaran di sekitar kota ini, diikuti oleh seorang pembantunya yang agaknya juga lihai bukan main. Hwe-liong-pang-cu itu memakai pakaian dan jubah ser?ba hitam, mukanya tertutup sebuah to?peng tengkorak yang menakutkan, gerak-geriknyapun mirip siluman, sehingga aku tidak mampu mengikuti gerakannya lebih lanjut. Lagipula aku masih sa?yang kepada nyawaku."
"Dan bagaimana dengan pembantunya itu?"
"Ia juga mengenakan topeng, dan nampaknya juga sangat tangguh. Aku bu?kan seorang munafik yang senang meren?dahkan diri, tetapi terhadap pembantu Hwe-liong-pang-cu ini aku harus meng?aku terus terang, bahwa aku tidak me?rasa yakin menang bila bertempur dengannya."
Bulu tengkuk Wi-lian meremang, mendengar keterangan itu. Jika itu be?nar, bukankah Hwe-liong-pang meru?pakan suatu kekuatan yang benar-benar menakutkan di dunia persilatan dan da?pat berbuat sewenang-wenang? Baru Ketua dan Pembantunya sudah begitu li?hai, belum terhitung jago-jago yang setaraf dengan Sebun Say, Kwa Heng, Ji Tiat atau Tan Han-ciang yang telah cacad itu, entah berapa jumlahnya. De?ngan demikian dunia persilatan agaknya benar-benar akan diguncang oleh suatu badai yang dahsyat, dan mungkin menimbulkan banjir darah yang mengerikan.
Pendekar tua Liu Tay-liong itu agaknya dapat membaca apa yang tersirat di hati gadis itu. Katanya, "A-lian, bukankah aku boleh memanggil nama panggilanmu? Kuberi peringatan kepada?mu agar kau jangan salah bertindak. Tidak semua orang-orang Hwe-liong-pang itu berbuat kejahatan, meskipun tidak dapat dibantah bahwa gerak-gerik mere?ka diselimuti kabut rahasia, bahkan kabarnya mereka punya sebuah cita-ci?ta luhur yang sedang mereka perjuang?kan, meskipun aku sendiri belum jelas apa yang mereka maksudkan dengan cita cita luhur itu. Tapi memang ada juga anggauta-anggauta Hwe-liong-pang yang berasal dari dunia kejahatan, mereka menggunakan Hwe-liong-pang hanya seba?gai tulang punggung dan tempat berlin?dung saja. Mereka inilah yang berbuat sewenang-wenang dan kejam luar biasa. Karena itu selanjutnya kau tidak boleh main hantam saja bila bertemu dengan orang-orang Hwe-liong-pang. Misalnya saja si bungkuk Kwa Heng dan Ji Tiat itu, aku kenal mereka sebagai penduduk Kay-hong yang cukup lama, dan menurut pendapatku, pribadi kedua orang itu tidak bisa disamakan dengan Sebun Say misalnya."
Di dalam hatinya Wi-lian mengakui kebenaran ucapan itu. Dalam pertempur?an sengit di halaman belakang rumah penginapan tadi, nampak benar perbeda?an sikap antara Kwa Heng dan Ji Tiat di satu pihak dengan Tan han-ciang di lain pihak, meskipun mereka bernaung di bawah panji yang sama. Kupingnya mendengar sendiri bagaimana Kwa Heng beberapa kali mencegah Ji Tiat agar tidak membunuh Hong-ho-sam-hiong, mes?kipun kemudian kampak Ji Tiat sempat juga membuat nyawa Pang Lun melayang.
Dalam pada itu Liu Tay-liong te?lah membuka surat dari Rahib Hong-tay itu dan membacanya. Alisnya nampak se?dikit berkerut, tapi kemudian suaranya pun terdengar bernada riang, "Per?temuan besar kaum ksatria dunia per?silatan di Kuil Siau-lim-si dua bulan kemudian? Bagus. Inilah kesempatan un?tuk berjumpa kembali dengan sahabat sahabat lamaku. Baiklah, aku akan be?rusaha memenuhi undangan ini."
Lalu tanya Liu Tay-liong kepada Wi-lian, "Agaknya kau mendapat tugas untuk menyebarkan undangan ?"
Sahut Wi-lian, "Tidak, aku cuma kebagian dua buah undangan, satu kepa?da lo-eng-hiong dan satu lagi kepada Cian Cong-piau-thau (Pemimpin Perusa?haan Pengawalan She Cian) dari Tiong-gi Piau-hang di Tay-beng. Undangan un?tuk tokoh-tokoh lain dibawa oleh murid murid Siau-lim-si lainnya."
Sebenarnya terasa agak janggal jika Pemimpin dari sebuah Perusahaan Pengawalan diundang dalam pertemuan kaum persilatan. Sebab umumnya orang orang dari Perusahaan Pengawalan dianggap orang-orang yang tidak teguh pendiriannya, orang-orang yang hanya mengikuti arah angin untuk mencari sesuap nasi. Biasanya mereka tidak peduli apakah dunia persilatan kacau atau tidak, pokoknya asal perusahaan mereka bisa jalan dan mendapat keuntungan. Namun anggapan yang demikian tidak berlaku bagi Tiong-gi Piau-hang. Siau-lim-pay sebagai pihak penyelenggara ternyata punya pertimbangan lain terhadap Cian Sin-wi yang dianggap sebagai tokoh yang lain daripada yang lain. Ia dapat dianggap tokoh keras, bahkan terlalu keras dalam sikapnya kepada golongan hitam. Selain itu, Tiong-gi Piau-hang dibawah pimpinan Cian Sin-wi telah berkembang dengan cabang-cabangnya di seluruh Kang-pak, dan dianggap sebagai kekuatan ter?sendiri yang cukup berpengaruh. Dengan pertimbangan itulah Siau-lim-pay mera?sa tidak ada salahnya mengirim sepu?cuk undangan kepada Pemimpin Tiong-gi Piau-hang itu. Kalau diterima dengan baik ya syukur, andaikata ditolakpun paling tidak tata-krama dunia persilatan sudah terpenuhi, sehingga jangan sampai tokoh keras Cian Sin-wi itu merasa tersinggung.
Liu Tay-liong agaknya juga dapat memahami tindakan Siau-lim-pay itu, katanya sambil mengangguk-anggukkan kepala, ''Rahib Hong-tay bertindak cukup bijak?sana dan berpikir jauh. Biarpun Tiong-gi Piau-hang itu resminya hanyalah sebuah perusahaan dagang dan bukan me?rupakan perguruan atau aliran silat, tapi memang tidak boleh diabaikan, mengingat pengaruhnya yang besar di wilayah Kang-pak. Apalagi Hwe-liong-pang juga sedang berusaha menghimpun kekuatan dengan jalan merangkul kekua?tan dari manapun juga. Sebelum Tiong-gi Piau-hang berhasil dirangkul oleh Hwe-liong-pang, sebaiknya memang harus kita pikat ke pihak kita lebih dulu."
Wi-lian hanya mengangguk- angguk saja, dan bertambahlah pengetahuannya tentang lika-liku dunia persilatan. Ternyata dunia persilatan bukan cuma membutuhkan ketangkasan memainkan golok atau pedang saja, melainkan ju?ga mengandalkan ketangkasan berpikir secara bijaksana dan tidak asal gagah-gagahan saja.
Langit di timur semakin berwarna cerah, Liu Tay-liongpun segera hendak melangkah pergi. Tapi Tong wi-lian ce?pat mencegahnya, "Maaf, Liu Lo-eng-hiong, aku ingin mengajukan satu pertanyaan lagi."
Liu Tay-liong menghentikan langkahnya. "tanyalah," katanya.
Wi-lian bertanya, "Menurut lo-eng-hiong tadi, jejak Hwe-liong-pang-cu pernah nampak di Kay-hong ini beberapa saat yang lalu. Apakah kira-kira lo-eng-hiong dapat memberitahukan ke?padaku kemana kira-kira jurusan tuju?annya?"
Mendengar pertanyaan itu, seke?tika Liu Tay-liong membelalakkan ma?tanya sambil berkata, "He, kau masih belum jera rupanya?"
Wajah Wi-lian menjadi agak merah dan tersipu-sipu, sahutnya, "Aku hanya ingin tahu orang macam apakah Hwe-liong-pang-cu itu. Bukannya aku tidak tahu diri dan ingin menempurnya dengan kepandaianku yang masih rendah ini, tapi aku hanya ingin melihat wujudnya, wujud orang yang paling ditakuti di dunia persilatan ini."
Liu Tay-liong tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, "Si gila Hong-koan itu mengatakan kepada?ku bahwa keponakannya yang bernama A-lian adalah seorang gadis yang keras kepala dan tidak kenal takut. Agaknya ia benar. Tapi dalam hal ini kuberi nasehat kepadamu, hendaknya kau tidak berbuat tolol dengan memburu Hwe-liong-pang-cu itu. Bahkan Suhumu sendiripun barangkali akan berpikir beberapa kali sebelum melakukan tindakan berbahaya itu."
Wi-lian agak terperangah mendapat teguran keras itu, namun diam-diam ia heran juga kenapa Liu Tay-liong yang lihai ini jadi bernyali begitu kecil jika membicarakan Hwe-liong-pang-cu. Tapi dalam hati gadis itu sudah membulatkan tekad untuk mencari dan melihat macam apakah sebenarnya orang yang ditakuti itu.
Demikianlah, kedua orang itu ke?mudian saling berpisahan. Liu Tay-liong kembali ke rumahnya yang terletak di dalam kota Kay-hong sedang Wi-lian bermaksud mengambil bungkusan bekalnya yang tertinggal di rumah penginapan Kwa Heng. Ia harus sudah menyelesaikan urusan itu sebelum terang tanah, supa?ya tidak usah tersangkut urusan dengan para petugas keamanan yang brengsek itu.
Demikianlah Wi-lian berlari-lari kembali menuju ke Kay-hong, berlomba dengan sang matahari yang sebentar la?gi akan menampakkan dirinya di ufuk timur. Karena pintu kota belum dibuka, terpaksa Wi-lian harus melalui tembok kota yang cukup tinggi itu dengan mengandalkan Pia-hou-yu-jio (Cecak Me?rayap Tembok). Setelah tiba di dalam kota, secara bebas ia menggunakan gin-kang untuk berlompatan dari atap ke atap, menuju ke penginapan itu.
-o0^DwKz-Hendra^0o- TAK lama kemudian gadis itu te?lah tiba di tempat penginapan?nya kembali. Dengan ketangkasannya ia berhasil menyelinap masuk, tanpa dike?tahui oleh beberapa orang prajurit yang kini berkeliaran di dalam dan di sekitar rumah penginapan yang baru sa?ja menjadi ajang pembunuhan Hong-ho-sam-hiong itu. Wi-lian menemukan buntalan pakaiannya masih utuh, hanya saja agak morat-marit karena habis digeledah, namun semua uang bekalnya sudah ludes tidak tersisa sepeserpun. Agaknya para petugas keamanan itu selain "mengamankan" juga tidak lupa mengisi kantongnya masing-masing.
Tapi Wi-lian tidak merisaukan hal itu. Cepat ia mengikatkan bungkusan pakaian di punggungnya, dan seperti juga datangnya maka perginyapun sece?pat kilat, tidak sempat diketahui pa?ra penjaga itu. Untung cuaca yang ma?sih agak gelap di pagi buta itu cukup membantunya. Dan sesaat kemudian gadis itu sudah berada kembali di luar kota Kay-hong.
Tujuannya kini adalah menuju ke kota Tay-beng, untuk menyampaikan un?dangan Eng-hiong-tay-hwe (Pertemuan Kaum Pendekar) kepada Cian Sin-wi, itu pimpinan Tiong-gi Piau-hang yang ter?kenal. Menurut kata Gurunya, di kota Tay-beng itu mungkin Wi-lian akan menemukan jejak kakak keduanya, Tong Wi-hong.
Teringat akan kakak keduanya yang sering dipanggilnya dengan olokan "si kutu buku" itu, seketika berkecamuklah rasa rindu gadis itu. Dua tahun lebih ia tidak bertemu dengan kakaknya itu, entah bagaimana keadaannya? Teringat akan hal itu, semua rasa lelahnya bagaikan lenyap mendadak, dan dengan bersemangat ia mulai mengayunkan lang?kah-langkah kakinya menuju kota Tay-beng.
"Setelah tugasku di Tay beng se?lesai, lalu hendak ke mana tujuanku ?" diam-diam gadis itu bertanya kepada dirinya sendiri.
Ingatan gadis itu lalu melayang ke kota kelahirannya, kota kecil An-yang-shia yang indah permai dan terle?tak di tepi danau Po-yang-ou itu. Dan begitu ingat kota kelahirannya itu, ingat pulalah ia akan keluarganya yang telah menjadi berantakan gara-gara u?lah seorang pembesar kerajaan yang bertindak sewenang-wenang, yaitu Cia To-bun dan puteranya yang sangat memu?akkan, Cia Bok. Entah bagaimana keada?an musuh-musuh keluarganya itu? Namun rasa dendam dan benci Tong Wi-lian su?dah banyak berkurang, karena selama ia berguru di Siong-san ia bukan ha?nya mendalami ilmu silat, tapi sekali?gus juga telah belajar ajaran-ajaran Buddha yang mengutamakan welas-asih itu. Jika dia ingin ke An-yang-shia, maka tujuannya bukan hendak membalas dendam kepada Cia To-bun dan lain-la?innya, tapi hanyalah untuk memuaskan rasa rindunya kepada kampung halaman?nya.
Wi-lian merasa bahwa perjalanan?nya ke Tay-beng dengan berjalan kaki saja tentu akan memakan waktu yang sangat lama. Ia ingin membeli kuda, tetapi uangnya sudah dikuras para pe?tugas keamanan yang menggeledah peng?inapannya. Akhirnya sambil tertawa sendiri gadis itu memutuskan, "Uangku dirampas oleh petugas-petugas Kerajaan Beng, maka Kerajaan Beng pulalah yang harus mengganti rugi kepadaku."
Dan beberapa saat kemudian gadis itupun sudah duduk dengan enaknya di atas punggung seekor kuda yang tegak, yang dirampasnya dari seorang prajurit Beng yang sedang meronda keliling se?buah desa.
Sementara gadis itu sedang berja?lan menuju kota Tay-beng, maka saat itu kota Tay-beng sendiri masih tidak menampakkan banyak perubahan. Masih tetap anggun dengan gedung-gedung ku?nonya. Kota yang penuh dengan sejarah kepahlawanan dari Kerajaan Song itu?lah yang merupakan kediaman Cian Sin-wi, tokoh berhati sekeras baja, yang dengan sepasang hau-thau-kau (Kaitan Kepala Harimau) membuat kaum hek-to (Golongan Hitam) menggigil ke?takutan jika mendengar namanya.
Hari itu suasana kota Tay-beng tidak berbeda dengan hari-hari lain?nya, masih tetap seperti dua tahun yang lalu. Tetap ramai dengan para pe?dagang setempat dan para wisatawan da?ri luar daerah yang ingin bertamasya ke tempat-tempat bersejarah.
Tay-beng memang hiruk-pikuk. Sayup terdengar tukang jual obat di sudut jalan yang tengah berteriak-teriak memuji obat anti kutu busuknya yang katanya nomor satu di dunia. Di sudut lain terdengar suara tambur dan gembreng, ditabuh oleh kawanan penjual silat atau tukang sulap untuk menarik perhatian penonton.
Di tengah-tengah Tay-beng yang ribut itu, berdirilah dengan megahnya sebuah gedung besar yang di atas pintu gerbangnya terukir dengan empat huruf emas "Tiong-gi Piau-hang". Sepasang arca singa-singaan batu yang mengapit kedua sisi pintu gerbang itu menambah keangkeran gedung besar itu.
Tiong-gi Piau-hang juga tidak ba?nyak berubah, masih kelihatan seperti dua tahun yang lalu, di mana saat dua orang anak muda meninggalkan gedung itu dalam waktu yang hampir bersamaan, gara-gara persoalan yang menyangkut seorang gadis. Yang satu pergi dengan perasaan kecewa dan dendam karena cin?tanya tidak terbalas, dan yang lain pergi karena rasa harga dirinya menuntutnya agar tidak menjadi "benalu" di rumah itu. Namun kepergian mereka hampir tidak ada pengaruhnya sama sekali dengan perkembangan Tiong-gi Piau-hang secara keseluruhan. Perusahaan Pengawalan itu tetap jaya, ditakuti lawan dan disegani kawan, jumlah piau-su (pengawal) yang tangguhpun terus ber?kembang dengan pesat. Panji-panji ber?warna emas di tengah-tengahnya, tetap terkibar megah, dan tetap merupakan sesuatu yang ditakuti kaum rimba hijau.
Namun kemajuan demi kemajuan yang dicapai Tiong-gi Piau-hang selama ini terasa bagaikan tidak ada artinya ba?gi Cian Ping, puteri Cian Sin-wi itu. Semenjak kepergian Tong Wi-hong, maka kehidupan dunia ini mulai terasa ham?bar baginya, hari demi hari lewat begitu saja tanpa terasa apa maknanya. Seakan-akan ia hidup hanya karena ia harus hidup, begitu saja. Tingkah la?kunya yang riang kekanak-kanakan, ta?wanya yang segar berderai dan senda guraunya yang ceria itu kini sudah la?ma tidak terdengar di gedung itu. Kini Cian Ping nampak agak kurus, sayu dan gerak-geriknya lesu. Cinta pertama se?orang gadis terasa direnggut begitu saja dari dirinya, menimbulkan luka hati yang berdarah.
Hal yang tidak menggembirakan ini ternyata juga mempengaruhi ayah?nya, yang menumpahkan seluruh cinta dan harapannya kepada puterinya itu.
Dari hari ke hari, Cian Sin-wipun nam?pak semakin loyo, semangat untuk ber?latih silatpun sudah tidak seperti du?lu. Dulu setiap hari ia berlatih silat, sekarang hal itu dilakukannya dua atau tiga hari sekali, itupun kurang berse?mangat. Di dalam hatinya, Cian Sin-wi sering mengutuk Song Kim dan Tong Wi Hong yang dianggapnya menjadi sumber penderitaan batin bagi puterinya, na?mun kadang-kadang timbul juga rasa rindunya kepada Wi-hong agar datang dan mengobati batin puterinya. Tidak jarang Cian Sin-wi juga menyesali di?rinya sendiri, kenapa dulu ia mesti membawa pulang Tong Wi-hong yang luka itu? Kenapa tidak diobatinya saja di tengah jalan dan kemudian disuruhnya pergi setelah sembuh?
Dan sambil mengusap-usap rambut?nya yang telah memutih dengan cepatnya itu, Cian Sin-wi bergumam sendirian, "Andaikata bocah she Tong itu tidak pernah hadir di tempat ini dan tidak pernah mengenal puteriku, mungkin saat ini Cian Ping telah hidup berbahagia dengan Song Kim, bahkan aku mungkin sudah menimang seorang cucu. Meskipun pribadi Song Kim kurang sempurna, na?mun toh hal itu dapat diubah secara pelan-pelan."
Agaknya tokoh tua itu agak menye?sal juga karena "mengejar burung di udara, burung di tangan dilepaskan", menginginkan seorang menantu yang sem?purna, tanpa sadar melukai hati murid?nya, dan akhirnya ia kehilangan kedua-duanya. Demikianlah, di balik keme?gahan Tiong-gi Piau-hang itu tersembu?nyilah kemurungan hati Cian Sin-wi, orang yang seharusnya merasa paling gembira dengan kejayaan perusahaan itu. Ia kini agak malas mengurusi sendiri urusan-urusan Tiong-gi Piau hang, semuanya cukup ditangani oleh pembantu-pembantunya yang pandai-pandai itu.
Tetapi hari itu, agaknya mendung yang selama ini menaungi keluarga Cian akan tersapu bersih.
Dari pintu gerbang kota Tay-beng sebelah barat, masuklah seorang anak muda berwajah tampan dan berpakaian ringkas serba putih. Ia menunggangi seekor kuda gurun yang tegap, sedang di punggungnya tergendonglah sebatang pedang yang bersarung besi berwarna hi?tam berkilat, menambah kegagahan anak muda itu. Sayang sekali, di wajah yang tampan itu terlapis awan kemurungan.
Pemuda berpakaian serba putih itulah orangnya yang dikenang siang malam oleh Cian Ping, tak lain tak bu?kan Tong Wi-hong adanya. Dua tahun yang lalu, ketika Tong Wi-hong selamat dari usaha pembunuhan yang dilakukan oleh Hong-koan Hweshio dan kemudian dibawa oleh Oh Yu-tian pergi ke Gunung Soat-san, pusat dari perguruan silat Soat-san-pay.
Di gunung bersalju yang terpencil di daerah barat itulah Wi-hong dapat bertemu dengan ibunya yang lebih dulu telah tiba di sana. Dan tempat itu pulalah ibu dan anak itu digembleng langsung oleh Ketua Soat-san-pay, Yu Hau-seng yang merupakan guru dari men?diang Tong Tian. Di bawah bimbingan tokoh nomor satu Soat-san-pay inilah maka Wi-hong mengalami peningkatan il?mu yang pesat sekali, terutama dalam hal ilmu pedang, karena keistimewaan perguruan Soat-san-pay memang terle?tak pada ilmu pedangnya. Kemajuan Wi-hong itu tidak mengherankan, sebab Yu Hau-seng merupakan orang ke empat da?lam urutan sepuluh tokoh sakti di ja?man itu. Kedudukannya setingkat di bawah Kim-hian To-jin dari Bu-tong-pay, dan setingkat di atas si sasterawan rudin Liu Tay-liong dari Kay-hong.
Kini Wi-hong telah turun kembali ke dunia ramai dengan membekal ilmu silat yang bahkan lebih tinggi dari mendiang ayahnya dulu. Di pundaknya terbebanilah tugasnya, yaitu menemukan kembali kedua orang saudaranya, Tong Wi-siang dan Tong Wi-lian, lalu kemudian membalas sakit hati kepada Cia To-bun di An-yang-shia.
Namun Wi-hong masih punya perasa?an berdosa sekaligus berhutang budi kepada keluarga Cian di Tay-beng. Perasaan berdosa, karena ia telah me?ninggalkan rumah itu tanpa pamit, da?lam urusan Song-kim dulu. Dan perasa?an berhutang budi, karena Cian Sin-wi-lah yang telah menyelamatkan nyawanya dari keganasan perampok-perampok dulu. Karena itu, begitu ia diijinkan turun gunung oleh kakek gurunya, maka tujuan pertamanya adalah kota Tay-beng. Ia ingin berlutut dan memohon maaf kepa?da tuan penolongnya, dan sekaligus menilik keadaan gadis yang selama ini tidak pernah dilupakannya itu. Sete?lah itu barulah ia akan menjalankan kewajiban keluarganya.
Sementara kudanya melangkah perlahan-lahan dan semakin mendekati ge?dung megah Tiong-gi Piau-hang itu, jantung Wi-hongpun berdentang semakin keras. "Apakah paman Cian dan adik Ping akan mengampuni kesalahanku?" pi?kirnya dengan gelisah. "Jika mereka tidak mau mengampuniku, maka untuk selanjutnya akan dinginlah hidupku ini."
Selain itu timbul pula bayangan bayangan menggelisahkan di pelupuk ma?tanya. Jangan-jangan ia akan menjumpai Cian Ping sudah didampingi seorang lelaki gagah dan bahkan sudah menggen?dong bayi? Atau jangan-jangan Cian Ping berputus-asa itu sudah... Ah, Wi-hong tidak berani melanjutkan pemikir?annya itu. Akhirnya pemuda itu cuma bisa menarik napas panjang berkali-ka?li dan menghibur dirinya sendiri, "Ah, memang akulah yang bersalah. Andaikata adik Ping sudah menikah, itupun bukan salahnya. Aku harus tetap bersikap se?bagai ksatria, aku hanya ingin mohon maaf dan setelah itu tidak akan mengganggu kebahagiaan mereka."
Tak terasa tibalah di depan ge?dung megah itu, gedung yang diting?galkan dua tahun yang lalu itu. Dipan?danginya dengan nanar panji-panji ber?warna putih dan bersulam hati warna emas yang tengah melambai perkasa itu, seakan-akan sedang mengucapkan selamat datang kepadanya itu.
Tong Wi-hong turun dari kudanya, tetapi ia masih ragu-ragu untuk segera melangkah masuk ke dalam gedung itu. Ia berdiri termangu-mangu di dekat ar?ca singa yang menghiasi pintu ger?bang. Entah bagaimana keadaan Cian Ping sekarang? Dua tahun bagi seorang lelaki memang bukan waktu yang lama, tetapi akan merupakan waktu yang meng?gelisahkan bagi seorang gadis yang se?nantiasa dibayangi umurnya.
Cukup lama Wi-hong berdiri ragu ragu di depan pintu gerbang.
Tak terasa oleh Wi-hong, bahwa sepasang mata sedang menatapnya dari atas sebuah loteng rumah makan yang terletak berseberangan dengan gedung Tiong-gi Piau-hang itu. Sepasang mata yang berapi-api dan penuh memancarkan dendam kesumat. Mata Song Kim!
Dua orang anak muda yang pernah berselisih karena memperebutkan cinta seorang gadis, dan dalam waktu yang hampir bersamaan pula meninggalkan Tay beng, dan sekarang mereka datang ke Tay-beng dalam waktu yang hampir ber?samaan pula! Dan keduanya sudah membekal ilmu silat yang tinggi !
Dari jendela loteng rumah makan itu Song Kim menatap Wi-hong yang te?ngah berdiri ragu-ragu di muka gedung Tiong-gi Piau-hang itu. Tiba-tiba gigi Song Kim gemeretak hebat, dan geramnya dengan hati yang panas, "Bangsat kutu buku itu datang lagi! Tapi kali ini ia akan bernasib buruk jika berani me?rintangi kehendakku!"
Ternyata Song Kim tidak duduk sendirian di rumah makan itu. Ada tiga orang lelaki lain yang duduk semeja dengannya. Dan ketiga teman semeja Song Kim itu terkejut ketika melihat perubahan muka Song Kim. Si orang yang hampir menyeruput pangsit-kuahnya telah meletakkan kembali mangkuknya sam?bil bertanya, "He, kenapa kau menda?dak kelihatan begitu marah, Song Kim? Apa yang kau lihat?"
Song Kim menyahut tanpa mengalih?kan pandangan matanya dari Wi-hong, "Anak gila she Tong yang pernah kuce?ritakan kepada kalian itu."
Teman Song Kim yang berwajah li?cik, segera menyahut dengan nada see?naknya, "Oh, saingan cintamu itu? Bu?nuh saja, apa susahnya?"
Jawab Song Kim, "Aku senang jika dia mampus. Tapi membunuhnya harus jangan sampai diketahui oleh gadis itu, sebab kukuatirkan ia bisa ikut-ikutan bunuh diri."
Lelaki pertama yang bermuka burikan dan yang satunya yang bermuka licik itu segera tertawa serempak. Ka?ta si burikan, "Jika gadis itu sampai bunuh diri menyertai kematian bocah she Tong itu, berarti gadis itu benar-benar mencintai bocah she Tong itu dan sama sekali tidak ada tempat buat?mu di hatinya, Song Kim. Kalau begitu buat apa kau merebutnya?"
Geram Song Kim, "Aku tidak peduli gadis itu mencintaiku atau tidak, po?koknya aku mencintainya. Dan aku paksa agar ia melahirkan anak-anakku. Kalau sudah begitu, biarpun ia tidak mencintaikupun ia akan terpaksa selalu me?ngikutiku."
Si burikan dan si muka licik se?rempak tertawa berderai.
Hanya ada seorang teman semeja Song Kim yang sama sekali tidak ikut tertawa, bahkan ia begitu acuh tak acuh atas percakapan ketiga orang te?mannya. Orang ini adalah seorang lelaki berusia sekitar tigapuluh tahun, bertubuh semampai, bermuka dingin tan?pa perasaan, pandangan matanya tajam dan keras. Pakaian yang dikenakannya adalah pakaian daerah Su-coan, yaitu baju katun yang dirangkapi dengan rom?pi kulit, dilengkapi pula dengan ikat kepala putih khas orang Su-coan.
Orang Su-coan ini agaknya punya pengaruh yang kuat atas diri ketiga orang lainnya. Terbukti begitu ia mem?buka suara, maka ketiga orang lainnya segera diam dan tidak berani tertawa-tawa lagi. Kata orang Su-coan ini, "Benar-benar menjemukan, kalian hanya membicarakan urusan perempuan tiap ha?ri. Urusan perempuan adalah urusan ke?cil, sedangkan urusan Hwe-liong-pang kitalah yang merupakan urusan besar. Itulah yang harus diutamakan, dan sa?ma sekali tidak boleh gagal."
Si muka burik lalu berkata kepa?da orang Su-coan itu dengan nada yang sangat sungkan, "Harap Hu-tong-cu (Wakil Kepala Kelompok) tidak menjadi salah paham. Tentu saja kami semua le?bih mengutamakan tugas Pang di atas urusan pribadi kami sendiri. Niat Song Kim untuk merampas bekas pacarnya itu?pun hanya merupakan tugas sampingan saja, untuk pengobat kekecewaannya di masa lalu."
Orang berpakaian Su-coan itu la?lu mengangguk-anggukkan kepalanya dan menyahut, "Baik, kalau hanya begitu saja aku tidak keberatan, asal harus mengingat agar jangan sampai kita mengalami akibat-akibat yang kurang enak. Harus kalian ketahui, bahwa Pang-cu (Ketua) kita saat ini sedang keluar dari cong-oh (markas pusat) dan sedang berkeliling di seluruh Tiong-goan un?tuk meninjau cara kerja kita. Jika ki?ta sampai menunjukkan ketidak-becusan kita, kemungkinan nasib kitapun tidak akan berbeda jauh dengan nasib men?diang Thio Tong-cu (Kepala Kelompok Thio). Kalian tentu masih ingat cara kematiannya bukan?"
Song Kim dan kawan-kawannya menjadi agak bergidik ketika mendengar cara kematian Thio Tong-cu diingatkan kembali. Masih terbayang dalam ingatan mereka, bagaimana Thio Tong-cu dipaksa menelan sebutir Racun Penghancur Tubuh oleh seseorang Su-cia she Tang, dengan disaksikan oleh segenap anak buah kelompok Jing-ki-tong (Kelompok Panji Hijau), gara-gara berani mendebat Su-cia she Tang itu tentang garis perju?angan Hwe-liong-pang. Masih terbayang pula bagaimana tubuh Thio Tong-cu yang tegap itu dalam waktu sekejap telah meleleh dan membusuk, dan akhirnya tinggal sesosok tulang-tulang putih dan segumpal rambut yang mengerikan. Itulah contoh akibat kegagalan tugas dalam Hwe-liong-pang, hukuman yang tidak kenal ampun.
Maka Song Kim dan kedua kawannya-pun serempak mengucapkan kesanggupannya, diperdengarkan kepada orang Su-coan itu, "Kami akan bekerja sekuat tenaga demi kejayaan Hwe-liong-pang."
"Bagus !" kata orang Su-coan itu sambil menepuk meja. "Kalau kulaporkan kesunqguhan hati kalian ini kepa?da Tong-cu (Kepala Kelompok), pasti kalian akan mendapat manfaat besar di kemudian hari."
"Terima kasih atas budi baik Hu-tong-cu," kata Song Kim dan kedua ka?wannya bersahut-sahutan.
Keempat orang itu lalu meneruskan makan minumnya. Meskipun Song Kim masih penasaran kepada Wi-hong, namun ia tidak berani lagi sembarangan bica?ra tentang Cian Ping lagi, karena ta?kut menimbulkan kemarahan orang Su-co?an yang dipanggil "hu-tong-cu" itu.
Sementara itu, dalam keragu-raguannya, Tong Wi-hong yang masih termangu-mangu di depan pintu gerbang itu telah didekati oleh seorang piau-su muda, yang lalu menyapanya de?ngan sikap hormat, "Selamat siang, saudara, adakah saudara mempunyai ke?perluan dengan Piau-hang kami?"
Wi-hong membalas hormat piau-su muda itu, sahutnya, "Aku punya se?dikit keperluan dengan Cian Cong-piau-thau pribadi. Dapatkah saudara me?nolongku dengan menyampaikan keingin?anku untuk bertemu dengan beliau?"
Sikap Wi-hong yang gagah tetapi halus dan sopan itu tak terasa telah menimbulkan rasa suka hati pia-su mu?da itu. Lebih dulu ia mempersilahkan Wi-hong duduk di ruangan depan, lalu ia sendiri masuk untuk melaporkan ke?pada Cian Sin-wi. Diam-diam Wi-hong memuji sikap para piau-su Tiong-gi Piau-hang, yang tidak kasar-kasar se?bagaimana piau-su pada umumnya. Agaknya Cian Sin-wi mendidik anak buahnya un?tuk bersikap sopan dan hormat kepada siapapun yang berhubungan dengan Tiong gi Piau-hang, dan inilah agaknya yang menjadi salah satu kunci kemajuan pe?sat yang dialami oleh perusahaan peng?awalan itu.
Cian Sin-wi sendiri tidak terke?jut ketika salah seorang anak buahnya melaporkan tentang adanya seorang "tu?an muda" yang ingin bertemu dengannya secara pribadi itu. Memang hampir seti?ap hari ia menerima tamu yang ingin bi?cara secara pribadi dengannya, urusan?nya kebanyakan menyangkut barang kawal?an yang bersifat rahasia dan sangat penting.
Tetapi begitu ia melangkahi pintu tengah dan melihat siapa orang yang tengah menunggunya itu, seketika ter?belalaklah matanya.
"Kau?!" serunya tertahan dengan suara yang bergetar.
Melihat keadaan Cian Sin-wi saat itu, serasa runtuhlah hati Wi-hong. Orang tua penolongnya itu nampak jauh berbeda dengan dua tahun yang lalu, ketika ditinggalkannya. Meskipun sekarangpun masih kelihatan gagah, namun nampak agak kurus, dan semangat yang terpancar dari sepasang matanyapun ti?dak segairah dulu lagi. Dulu sebagian besar rambutnya masih hitam, tapi dalam waktu dua tahun ini sudah tidak nampak lagi rambut hitam di kepalanya sehelaipun.
Alangkah terharunya Wi-hong me?lihat kemunduran yang dialami oleh Cian Sin-wi itu. Cepat ia menjatuhkan diri dan berlutut di hadapan orang tua itu, katanya dengan tersendat, "Tong Wi-hong yang tidak berbudi datang ber?sujud untuk memohon ampun dan menilik kesehatan In-kong (tuan penolong) se?keluarga."
Sesaat Cian Sin-wi berdiri mema?tung dan membiarkan saja Wi-hong terus berlutut di hadapannya. Kepergian pe?muda itu tanpa pamit pada dua tahun yang lalu itu bukan saja telah me?nyinggung perasaan Cian Sin-wi, tapi juga telah menimbulkan siksaan batin pada diri Cian Ping selama ini, dan membuat gadis itu hampir-hampir ke?hilangan semangat hidupnya sama sekali. Kini, melihat pemuda itu datang dan memohon ampun kepadanya, Cian Sin-wi tidak tahu apakah harus marah atau ha?rus gembira.
Setelah agak reda gejolak hati orang tua itu, akhirnya terdengarlah suara Cian Sin-wi yang berat sambil menarik napas, "Kau... kau masih ingat kepada kami?"
Serasa remuk hati wi-hong men?dengar pertanyaan itu, jawabnya dalam keadaan masih berlutut, "Paman telah menyelamatkan jiwaku dari ancaman kematian para pembunuh bayaran itu, tetapi perbuatanku yang meninggalkan rumah ini tanpa pemberitahuan sungguh-sung?guh merupakan perbuatan yang tidak ke?nal budi, perbuatan seorang yang ber?hati binatang. Kini aku datang untuk minta ampun dan menerima hukuman."
Luluh juga akhirnya hati Cian Sin-wi ketika melihat Wi-hong berani seca?ra jujur mengakui kesalahannya, dan bahkan meratap memohon ampun kepada?nya. Apalagi ketika dilihatnya dua titik air mata menetes dari pelupuk mata Wi-hong, jatuh bergulir di lan?tai dihadapannya.
Akhirnya Cian Sin-wi menarik na?pas dan menghembuskannya kuat-kuat, seakan-akan hendak dibuangnya semua kenangan pahit masa lalu yang selama ini menindih perasaannya. Katanya, "Bangunlah, A-hong, mari kita masuk ke dalam."
Namun Wi-hong tidak bergeser sedikitpun dari sikap berlututnya. sahutnya dengan tegas, "Aku tidak akan bangkit dari berlututku sebelum mene?rima hukuman setimpal dari paman."
Mengembanglah senyuman lebar di bibir Cian Sin-wi itu, katanya, "Ah, kau masih begitu bandel dan keras ke?pala seperti dua tahun yang lalu. Tapi sikapmu memang tidak mengecewakan se?bagai putera Kiang-se-tay-hiap Tong Tian almarhum. Bangunlah, tidak ada hu?kuman buatmu karena aku telah melupa?kan semuanya."
Kali ini Wi-hong tidak berkeras keras kepala lagi. Iapun bangkit dari berlututnya, namun masih belum berani menengadahkan mukanya untuk menatap Cian Sin-wi, sampai dirasakannya ta?ngan Cian Sin-wi menepuk-nepuk pundak?nya. Dan begitu Wi-hong menengadah, segera melihat wajah Cian Sin-wi se?olah-olah telah pulih seperti dua ta?hun yang lalu. Bukan rambutnya menghi?tam kembali, tapi sinar matanya yang kelihatan bergairah kembali, begitu pula wajahnya nampak gembira dan sua?ranya hangat kembali.
Kata Cian Sin-wi, "Ping-ji tentu akan gembira sekali melihatmu, maaf kalau aku bicara terlalu terbuka, Ping-ji sudah menceritakan semua perasaan?nya kepadaku, dan aku, sebagai orang tua telah merestui pilihan anakku itu."
Hati Wi-hong tiba-tiba mengembang penuh kebahagiaan, namun wajahnya men?jadi agak merah tersipu. Sahutnya, "Aku berdosa besar telah membuat paman dan adik Ping mengalami kedukaan sela?ma ini. Aku berjanji tidak akan mensia-siakan harapan paman dan adik Ping."
Betapa longgar perasaan Cian Sin-wi setelah mendengar perkataan yang diu?capkan Wi-hong dengan penuh kesungguh?an itu. Masa depan anak gadisnya itu telah terbayang, mendapat sisihan seo?rang pemuda yang berpribadi baik dan berkepandaian tinggi pula. Sambil merangkul pundak Wi-hong, Cian Sin-wi melangkah ke dalam.
Melihat keadaan rumah itu yang hampir tidak berbeda dengan dua tahun yang lalu itu, Wi-hong merasa terharu juga. Kenangannya melayang mundur ke suatu peristiwa dua tahun yang lalu. Waktu itu, ia juga sedang berjalan de?ngan Cian Sin-wi di tempat itu, ketika kemudian dari pintu samping halaman tengah itu muncullah seorang gadis ma?nis yang dengan manjanya menyambut ayahnya. Dan ternyata kemudian nama dan wajah gadis itupun terpahat dalam-dalam di relung hatinya.
Cian Sin-wi agaknya dapat menebak apa yang sedang direnungkan oleh Wi hong itu. Sedangkan Wi-hong yang tidak dapat lagi menahan desakan kerin?duannya itu, akhirnya tidak tahan un?tuk tidak bertanya kepada Cian Sin-wi, "Paman, di manakah adik Ping?"
"Sebentar lagi kau akan mene?muinya," sahut sang paman sambil tersenyum penuh pengertian. "Biasanya ia ada di taman belakang pada saat seper?ti ini."
Cian Ping memang sedang berada di taman belakang, sambil merenung me?mandangi kupu-kupu yang beterbangan gembira di atas kuntum-kuntum bunga itu. Alangkah irinya ia melihat keba?hagiaan kupu-kupu yang terbang berpa?sang pasangan itu. Di saat itulah ti?ba-tiba ayahnya muncul dengan wajah berseri-seri luar biasa, sehingga mem?buat Cian Ping tercengang, sebab sela?ma dua tahun ini belum pernah dilihat?nya ayahnya segembira itu.
"Ayah, kau nampak gembira sekali, apakah perusahaan kita akan mendapat pengawalan kelas kakap?" tanyanya.
Sahut sang ayah, "Tepat sekali dugaanmu. Hari ini seekor kakap besar telah menyasar masuk ke dalam jaring kita. Anak Ping, cobalah lihat, hebat tidak kakap ini?"
Dari tadi Cian Ping memang me?lihat ada seseorang yang berdiri di belakang punggung ayahnya, tapi ku?rang diperhatikannya. Lagipula ayahnya memang berbadan besar dan berbahu lebar, sehingga tubuhnya menutupi orang yang di belakangnya itu. Dan ki?ni, begitu ayahnya menyingkir ke sam?ping dan membiarkan ia melihat "kakap" itu, barulah gadis itu ternganga ka?get. la membelalakkan matanya lebar lebar dan mulutnya terasa terkunci, ia kuatir apa yang dilihatnya itu cuma mimpi dan bukan kenyataan yang sesung?guhnya.
"Adik Ping..." sapa Wi-hong.
Pertemuan yang mengharukan dan sekaligus menggembirakan itupun terja?dilah di taman belakang gedung Tiong gi Piau-hang itu.
Dan sejak saat itu, siapapun da?pat ikut merasakan perubahan suasana di gedung besar itu, sehingga para piau-supun menjadi heran. Cian Sin-wi dan puterinya kini tiba-tiba menjadi penuh dengan gairah hidup kembali senda-gurau dan tawa riang terdengar lagi di situ. Beberapa orang piau-su tua yang sudah cukup lama bekerja di Tiong-gi Pi?au-hang, memaklumi apa yang menyebabkan perubahan itu. Diam-diam para piau-su tua itupun bergembira karena pemimpin mereka mendapatkan semangat hidupnya kembali.
Cian Sin-wi, Tong Wi-hong dan Ci?an Ping sama sekali tidak menyadari bahwa hari-hari pertemuan yang cerah itu kemudian hari akan diikuti dengan badai malapetaka yang dahsyat. Mereka belum tahu, bahwa bukan Tong Wi-hong saja yang kembali ke Tay-beng, melain?kan juga Song Kim, yang bahkan memba?wa dendam dan kebencian yang menyala di hatinya.
-o0^DwKz-Hendra^0o- BEBERAPA hari kemudian, Cian Sin-wi mengerutkan alisnya, ketika ia menerima surat dari seseorang yang tidak dikenal. Ketika ia membuka surat itu ternyata dikirimkan oleh sebuah perserikatan yang pada masa itu sedang menjadi buah bibir setiap manusia per?silatan, yaitu Hwe-liong-pang. Pengirimnya adalah Jing-ki-tong-cu (Pemim?pin Kelompok Panji Hijau) yang menya?takan dirinya bertindak atas nama Hwe-liong-pang secara keseluruhan.
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 14 Isi surat itu cukup halus dan so?pan, yaitu mengajak Cian Sin-wi dan seluruh Tiong-gi Piau-hangnya agar mau bergabung dengan Hwe-liong-pang, dan sekaligus di dalam surat itu diuraikan pula "cita-cita luhur" Hwe-liong-pang yang ingin mendobrak hancur pemerintahan bobrok Kerajaan Beng dan meng?gantikan dengan pemerintahan yang adil dan bersih. Dijanjikan pula, setelah bergabung dengan Hwe-liong-pang, Tiong-gi Piau-hang akan tetap diperkenankan menjalankan perusahaannya secara be?bas, dan Cian Sin-wi tetap diperbolehkan memegang pimpinan Tiong-gi Piau-hang. Tetapi Cian Sin-wi dan seluruh Tiong-gi Piau-hang harus menyediakan diri, baik tenaga manusia maupun "dana peminangan", begitu kedua hal itu di?butuhkan. Dalam surat itu disertakan pula gertakan-gertakan halus jika Cian Sin-wi tidak memenuhi "panggilan luhur" itu.
Cian Sin-wi bukan seorang hartawan yang kikir, namun cukup murah ha?ti. Tidak jarang ia memberi bantuan uang kepada rekan-rekan dunia persilat?an yang sedang mengalami kesulitan uang dalam pengembaraannya, tetapi pem?berian Cian Sin-wi itu dilakukan de?ngan sukarela dan tanpa tekanan dari manapun juga. Sedang ajakan berga?bung dari Hwe-liong-pang itu, biarpun dinyatakan dalam kalimat-kalimat yang halus dan sopan, jelas tujuannya adalah mengancam dan menekan agar Tiong-gi Piau-hang tunduk di bawah kendali Hwe-liong-pang! Hal ini membu?at Cian Sin-wi yang keras hati itu se?ketika jadi berang, sebab Tiong-gi Pi?au-hang adalah perusahaan warisan le?luhurnya yang akan dipertahankannya mati-matian. Tidak ada niatnya sedikitpun untuk menuruti ajakan Hwe-liong-pang itu.
Sampai batas waktu yang ditentu?kan oleh surat itu lewat, Cian Sin-wi tetap tidak memberi jawaban, bahkan secara terang-terangan, dilakukan dihadapan para piau-su-piau-sunya, ia me?robek-robek surat itu dan menyuruh anak buahnya untuk menyiarkan bahwa ia tidak akan tunduk.
Beberapa hari berlalu tanpa keja?dian apapun. Selama itu, kembali Cian Sin-wi secara giat melakukan latihan ilmu silatnya, agaknya untuk berjaga jaga terhadap ancaman Hwe-liong-pang itu. Tidak jarang terlihat ia berlatih bersama puterinya, atau Tong Wi-hong, atau beberapa piau-su andalan Tiong-gi Piau-hang yang ilmunya cukup lihai. Setelah beberapa hari, ancaman itu be?lum juga terbukti.
Pada suatu malam, bulan bersinar di langit dengan indahnya, menerangi langit yang begitu bersih dan cerah. Di taman belakang rumah Cian Sin-wi, nampaklah Tong Wi-hong sedang berja?lan mondar-mandir seorang diri sambil mengerutkan alisnya. Sekali-kali nam?pak pemuda itu menengadah ke langit sambil menarik napas panjang.
"Di rumah ini, aku hidup seperti anak hartawan, semuanya serba berlim?pahan dan pelayan2nyapun sangat baik," pikirnya. "Tetapi aku tidak boleh terbuai dalam kenikmatan ini sehingga melupakan tugas utamaku. Aku masih punya kewajiban membalaskan sakit hati ayah?ku, dan kemudian berusaha mencari ka?kakku dan adikku yang kini entah ba?gaimana keadaannya."
Teringat akan adik perempuannya, hati Wi-hong menjadi sedih. Terakhir kali Wi-hong melihat adiknya ialah ke?tika bertempur melawan pembunuh-pem?bunuh bayaran suruhan Cia To-bun itu. Waktu itu dilihatnya adiknya ditangkap dan dibawa lari ke dalam hutan oleh pemimpin gerombolan pembunuh upahan itu. Waktu itu, Wi-hong tidak mampu me?nolong adiknya, sebab keadaannya sendiripun sedang payah dikeroyok lawan lawannya, bahkan andaikata tidak ada pertolongan Cian Sin-wi, mungkin saat itu dirinya sudah menjadi penghuni akherat. Wi-hong tidak berani memba?yangkan bagaimana nasib adiknya yang dibawa oleh pemimpin penjahat itu. Se?tiap kali teringat akan hal itu, seke?tika gemeretaklah gigi pemuda itu, dan dendamnya kepada Cia To-bun se?makin merasuk sampai ke tulang sungsum.
Sedangkan tugas mencari kakaknya, Tong Wi-siang, itupun merupakan tugas yang hampir-hampir mustahil, ia tidak tahu sama sekali jejak kakaknya, dan tidak ada petunjuk sama sekali. Ibarat mencari sebatang jarum di tengah tum?pukan jerami. Maka satu-satunya jalan hanyalah dengan mengandalkan unsur ke?betulan atau untung-untungan saja.
Pada saat Wi-hong sedang terombang-ambing dalam keresahan itu, tiba-tiba ketika ia sedang menengadah, ia melihat sesosok tubuh manusia berkele?bat dengan cepatnya di atas wuwungan rumah sebelah. Ditilik dari caranya bergerak, jelas orang itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi.
Kecurigaan Wi-hong timbul seke?tika. Seluruh penduduk Tay-beng dan sekitarnya tahu bahwa tempat ini ada?lah pusat Tiong-gi Piau-hang yang disegani orang itu, maka kalau ada yang berani bergentayangan di sini dengan cara yang tidak wajar, jelas?lah bahwa orang itu sedang mempunyai tujuan tertentu. Apalagi Tiong-gi Piau hang pada saat itu sedang dalam suasa?na bermusuhan dengan Hwe-liong-pang gara-gara surat ancaman itu.
Wi Hong segera mengambil keputusan cepat dalam hatinya, "Aku berhu?tang budi kepada keluarga Cian, jika ada orang yang berniat buruk kepada rumah ini, tidak peduli dari Hwe-liong pang atau tidak, aku wajib mencegahnya sekuat kemampuanku."
Maka tanpa sangsi lagi, Wi-hong segera menggenjot tubuhnya dan melom?pat ke atas genteng pula, mencoba mengejar bayangan yang mencurigakan itu.
Orang yang dikejar itu nampak me?noleh sesaat ketika merasa ada yang mengejarnya, tiba-tiba ia bersuit nya?ring dan mempercepat larinya menuju ke arah timur. Dan semakin lama nyata?lah semakin lihainya orang itu, ia da?pat bergerak dan berlompatan begitu cepat, seakan-akan terbang saja.
Tetapi Wi-hong tidak terlalu menghiraukan hal itu, maka iapun meng?umpulkan semangat dan mengerahkan te?naganya untuk memburu orang itu. Sela?ma berlatih di Soat-san, Tong Wi-hong telah terbiasa berlari-lari di lereng-lereng pegunungan yang licin dan ber?lapis es, untuk melatih ilmu meringan?kan tubuhnya. Maka kini begitu berge?rak di tempat yang kering, maka gerak?an Wi-hongpun secepat anak panah yang lepas dari busurnya.
Dengan beberapa kali lompatan yang mengerahkan tenaga, Wi-hong te?lah berhasil memperpendek jaraknya dengan orang yang dikejarnya itu. Ki?ni di bawah sinar bulan Wi-hong dapat melihat bahwa orang itu adalah seorang lelaki bertubuh langsing semampai dan mengenakan pakaian daerah Su-coan, lengkap dengan ikat kepala berwarna putih, sepatu rumput dan rompi kulit dombanya. Wi-hong cukup mengenal dandanan semacam itu, sebab selama dua tahun ia berada di Soat-san yang le?taknya jauh di barat sana, dan dandanan macam itu dikenalnya sebagai dandanan para penggembala di Su-coan umumnya. Tapi yang mengherankan, kena?pa orang Su-coan ini bisa berkeluyur?an sampai ke Tay-beng yang berjarak ribuan li ini? Dan adakah seorang gembala biasa berkepandaian setinggi itu?
Orang Su-coan itu nampak menoleh beberapa kali. Tiba-tiba ia membuat suatu belokan di sebuah wuwungan atap yang agak tinggi letaknya dan ba?gaikan bintang meluncur tubuhnya te?lah melesat ke bawah dan hilang dari penglihatan. Tong Wi-hong tidak mau kehilangan buruannya. Cepat ia mena?rik napas panjang dan kemudian melesat ke depan dengan gaya Yan-cu-hoan-sin (Walet Membalikkan Badan), dan membu?ru ke arah menghilangnya orang itu.
Dan Wi-hong masih sempat melihat orang buruannya itu, meskipun cuma se?kejap. Orang Su-coan itu kini berlari-lari di lorong-lorong kecil kota Tay-beng yang berliku-liku itu. Dan anehnya, setiap kali hendak membelok, ia selalu memperlambat langkahnya, se?akan-akan memberi kesempatan agar jangan sampai Wi-hong kehilangan jejak. Sayang sekali, kejanggalan sikap orang itu tidak disadari oleh Wi-hong yang belum berpengalaman da?lam dunia persilatan itu.
Sesungguhnyalah Tong Wi-hong sudah termakan oleh siasat "memancing harimau meninggalkan gunungnya", sua?tu siasat yang biasa digunakan untuk memecah-belah kekuatan lawan.
Dalam pada itu, malam itupun Ci?an Sin-wi merasakan suatu firasat yang kurang baik. Meskipun malam telah ja?uh menukik ke pusatnya, namun Cian Sin?wi merasakan hatinya gelisah dan sulit memejamkan matanya. Bahkan un?tuk menghilangkan kejemuannya, ia justeru meninggalkan tempat tidurnya dan mulai duduk membaca di ruangan tengah dengan diterangi sebatang lilin.
Tengah ia berusaha memancing da?tangnya rasa kantuknya dengan jalan membaca-baca, tiba-tiba kupingnya yang tajam itu mendengar suara kiba?ran pakaian di atas genteng rumahnya. Jelas ada seorang atau lebih tokoh persilatan yang tengah mendatangi rumahnya.
"Hemm, bagus, agaknya bangsat bangsat dari Hwe-liong-pang itu da?tang malam ini untuk menyerahkan leher mereka," pikirnya sambil meletakkan kitab yang dibacanya.
Meskipun dalam dua tahun tera?khir ini latihan silat Cian Sin-wi agak merosot gara-gara kesedihannya, tapi Cian Sin-wi tidak kehilangan ke?beraniannya dan kepercayaannya kepada diri sendiri. Sepasang hau-thau-kau yang tergantung di dinding itu segera diambilnya, digenggamnya erat-erat dengan kedua tangannya.
"Siapa yang berada di atas genteng?!" bentak jago tua itu.
Tampaklah sesosok tubuh melompat turun dari atas genteng, dan mendarat ringan di halaman tengah rumah keluar?ga Cian itu. Ia adalah seorang anak muda yang sebaya dengan Tong Wi-hong, tapi tubuhnya lebih tegap sedikit, dan ia memanggul sebatang tombak panjang.
Cian Sin-wi tercengang melihat munculnya orang itu, sebab tidak di?duganya akan bertemu lagi dengannya. Pemuda yang memanggul tombak itu kemudian menekuk sebelah lututnya dan ber?kata, "Murid Song Kim menghaturkan sembah sujud kepada guru."
Ternyata orang itu adalah Song Kim, murid Cian Sin-wi yang telah diu?sir dari rumah itu kurang lebih dua tahun yang lalu. Cian Sin-wi menghem?buskan napas lega, dan pegangannya atas senjatanya agak mengendor. Suaranyapun mengandung rasa haru ketika ia bertanya, "Anak baik, bangunlah. Aku sungguh tidak mengira akan bertemu kembali denganmu. Dan aku bersyukur melihat ilmu meringankan tubuhmu nam?paknya banyak kemajuan, dapat terlihat dari gerakanmu ketika melompat turun tadi."
Song Kim segera bangkit dari berlututnya, sahutnya, "Berkat doa restu Suhu, begitu aku keluar dari tempat ini aku langsung menemukan seorang tokoh kang-ou lihai yang bersedia me?neruskan untuk membimbing ilmu silat?ku."


Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cian Sin-wi mengerutkan alisnya mendengar jawaban seperti itu. Meski?pun jawaban itu diucapkan dengan sopan, secara halus seakan-akan Song Kim hendak menyatakan, "Banyak orang lebih pandai dari kau, apa kau kira hanya kau saja yang bisa menjadi guruku?" Lagi pula, menilik cara Song Kim mengunjunginya, yaitu pada tengah malam dan melewati genteng pula, jelas itu bukan merupakan cara yang sopan bagi seorang murid jika mengunjungi gurunya.
Tetapi Cian Sin-wi mencoba untuk bersikap lapang dada. Katanya, "Aku bersyukur bahwa latihan silatmu tidak terhambat karena pergi dari sini. Kepandaianku memang terbatas sekali, jika kau berguru terus kepadaku, mung?kin kaupun akan sulit mendapat kemaju?an. Tetapi bolehkah aku mengetahui si?apakah nama guru barumu itu?"
Wajah Song Kim nampak berseri-se?ri bangga ketika menyebutkan nama guru barunya, "Beliau adalah Tang Kiau-po, dari Thay-san."
Begitu mendengar nama itu dise?butkan, seketika berkerutlah alis Cian Sin-wi. Nama itu memang meru?pakan nama yang cukup dikenal di dunia persilatan, tapi sama sekali bukanlah nama yang harum dan pantas dibanggakan. Tokoh itu termasuk pula dalam deretan sepuluh tokoh sakti jaman itu, menduduki urutan ke sepuluh alias juru kunci. Ia terkenal dengan sifat sifatnya yang kejam, licik, khianat dan mementingkan diri sendiri. Murid-muridnyapun terkenal sebagai pembunuh pembunuh bayaran, misalnya saja Thi-giau-long Tio Khing, si serigala berkuku besi, yang tewas di ujung pe?dang Tong Tian itu. Dan kini Cian Sin-wi mendengar bahwa Song Kim berguru kepada tokoh jahat itu!
Ternyata Song Kim bersikap sama sekali tidak ambil pusing atas sikap Cian Sin-wi, bahkan ia melengkapi ke?terangannya, "Nampaknya Suhu kaget mendengar keteranganku? Apa salahnya aku berguru kepada orang itu? Bahkan guruku yang kedua itu juga merupakan salah seorang dari empat orang Su-cia (duta) Hwe-liong-pang."
Keterangan terakhir inilah yang membuat Cian Sin-wi terkejut bukan ma?in bagaikan disengat kalajengking. De?ngan mata membelalak ia bertanya, "Ja?di... jadi kaupun sekarang sudah menjadi anggauta... Hwe-liong-pang?"
Song Kim tertawa pongah dan seketika itu hilanglah semua sikap sopan dan hormatnya tadi, sahutnya, "Tepat. Suhu, karena mengingat kebaikan Suhu yang telah merawatku sejak aku kecil, maka aku ingin sekali mengajak Suhu untuk bergabung dengan Pang kami, yang saat ini sedang berjuang menuju kemenangan dan kemuliaan tanpa batas. Jika kita berhasil, tentu adik Ping juga akan mengalami kemuliaan yang luar biasa pula. Nah, apa pula yang dikejar dalam hidup kalau bukan kemuliaan?"
Sedapat-dapatnya Cian Sin-wi me?nekan kemarahan yang mulai menggelora di dalam hatinya. Katanya dengan sua?ra ditekan, "Aku tidak tahu dan tidak mau tahu apa yang sedang dirintis oleh hwe-liong-pang."
Song Kim tertawa terbahak, sikap?nya makin lama makin takabur dan tidak menghormat lagi kepada bekas gurunya itu. Sahutnya seperti orang bersyair, "Hemm, biarpun Suhu tidak ingin tahu, tapi aku akan memberitahukannya juga. Ketahuilah, cita-cita kami adalah melenyapkan dinasti Matahari dan Rembu?lan dari langit negeri ini!"
Berubah hebatlah muka Cian Sin-wi ketika mengetahui arti dari ucapan itu. Huruf- "jit" (matahari) dan huruf "goat" (rembulan), yaitu nama yang di?gunakan oleh dinasti kerajaan pada ma?sa itu. Kini gamblanglah bahwa Hwe-li?ong-pang adalah sebuah perserikatan yang tidak puas dengan pemerintahan Kerajaan Beng, dan berusaha menumbang?kannya.
"Oh, jadi Hwe-liong-pang adalah pengikut Li Cu-seng, si pemberontak itu?" Cian Sin-wi menegaskan.
Tetapi Song Kim menolak anggapan itu, "Meskipun Li Cu-seng dipuja-puja bagaikan dewa oleh para pengikutnya, tetapi ia belum pantas disejajarkan dengan Pang-cu (ketua) kami. Mungkin antara Hwe-liong-pang dengan Liu Cu seng untuk sementara bisa berjalan se?jajar, karena tujuan kami sama, tapi jika tujuan sudah tercapai, harus se?gera ditentukan siapa yang kuat dialah yang berhak memerintah negeri yang luas ini."
Mau tidak mau Cian Sin-wi harus memeras otak untuk menebak-nebak, sia?pakah pucuk pimpinan Hwe-liong-pang yang punya cita-cita yang tidak tang?gung-tanggung itu? Salah seorang dari Pangeran atau Pejabat Kerajaan yang tersingkir dan merasa tidak puas? Ataukah Hwe-liong-pang ini jangan-ja?ngan dikendalikan dari negeri tetang?ga, yaitu Kerajaan Ceng-tiau (Manchu) yang kini tengah bertumbuh menjadi se?buah Kerajaan yang kuat, dan sudah la?ma memang punya cita-cita untuk menyerbu Kerajaan Beng dan merebut da?taran yang luas itu?
Biarpun berwatak keras, tapi tidak berarti Cian Sin-wi itu seorang yang gegabah. Maka dengan hati-hati ia mulai melepaskan pancingan-pancingan halus, "Aku kagumi cita-cita Hwe-liong-pang kalian yang luar biasa itu. Tapi kalian kurang tepat jika bergerak saat ini. Betapapun tidak becusnya Cong-ceng memerintah sebagai Kaisar, namun haruslah diingat bahwa perpecahan di dalam negeri sendiri hanya akan meng?untungkan bangsa Manchu yang sudah si?ap mengintai di perbatasan, dan siap pula untuk menyerbu dan menginjak-injak tanah air kita ini."
Song Kim tidak mampu menjawab pertanyaan ini, maka akhirnya secara gampang-gampangan saja ia menjawab, "Aku tidak mau tahu urusan itu, itu adalah urusan Hwe-liong-pang-cu kami. Aku yakin seyakin-yakinnya bahwa Pang-cu tentu sudah memperhitungkan hal ini. Tugasku malam ini hanyalah ingin mendapat jawaban ya atau tidak, atas tawaran kami kepada Suhu untuk berga?bung dengan kami."
Cian Sin-wi tertawa kecut sambil menggelengkan kepalanya, "Menyesal se?kali, Song Kim, tidak pernah terpikir olehku untuk bergabung ke dalam suatu perkumpulan yang tidak jelas asal-usulnya, apalagi harus menyerah?kan seluruh Tiong-gi Piau-hang selu?ruhnya di bawah kendali mereka pula. Bahkan jika kau masih menganggapku se?bagai Suhumu dan masih mau mendengar?kan nasehatku, kuanjurkan agar kau ke?luar saja dari Hwe-liong-pang dan hi?dup mencari nafkah secara baik-baik. Aku yakin, dengan ilmu silatmu yang sekarang cukup tangguh itu, kau tidak akan sulit dalam mencari tempat ber?pijak di dunia persilatan ini."
Song Kim tertawa dingin, "Menja?di piau-su misalnya, begitu? Hemm, menjadi piau-su bagiku sama halnya dengan menjadi budak orang lain, hidup dengan menjual jasa kepada orang lain. Sedangkan di dalam Hwe-liong-pang aku berkumpul dengan teman-teman yang secita-cita dan setujuan denganku. Maaf, nasehat Suhu tidak dapat kute?rima. Waktuku tidak banyak, harap Suhu berpikir beberapa kali sebelum me?nolak tawaran ini."
Muka Cian Sin-wi sudah merah pa?dam mendengar ucapan Song Kim ini. Se?bagai seorang pemimpin sebuah perusa?haan pengawalan, ia merasa sangat ter?singgung mendengar ucapan "menjadi piau-su sama dengan menjadi budak orang lain", sebab bukankah ia sendiri adalah seorang piau-su? Bukankah de?ngan cara demikian itu Song Kim telah memakinya secara tidak langsung?
Cian Sin-wi yang berhati keras dan berdarah panas itu seketika menya?hut denqan garang, "Baik, akupun ti?dak berbelit-belit. Aku tolak tawaran kalian, aku ingin tahu Hwe-liong-pang bisa berbuat apa kepadaku. Sekarang silahkan kau pergi dari sini, maaf ti?dak bisa mengantarmu."
Begitulah, guru dan murid sa?ma-sama getas dalam mengucapkan perka?taan, maka keputusanpun sudah tidak bisa diubah lagi dan hubungan antara guru dan muridpun sudah putus sampai di situ saja. Ternyata Song Kim se?dikitpun tidak merasa terkejut atau sungkan-sungkan lagi, ia membalasnya dengan tertawa dingin, "He-he-he, Ci?an Sin-wi, kau sendirilah yang telah memutuskan hubungan lama kita. Tetapi dengan penolakanmu itu jangan harap kau bebas dari persoalan ini dengan begitu saja. Hwe-liong-pang kami bukan hanya bisa menggertak, tapi juga mam?pu bertindak untuk melaksanakan ger?takan."
Cian Sin-wi melintangkan sepasang hau-thau-kaunya di depan dada, sahut?nya mantap, "Oh, kiranya kau ditugas?kan oleh Hwe-liong-pang untuk melaksa?nakan ancaman dalam surat gelap itu. Ka?lau begitu, Hwe-liong-pang kalian be?nar-benar tidak memandang sebelah matapun kepadaku. Song Kim, majulah !"
Agaknya Song Kim cukup tahu diri, meskipun kepandaiannya sudah meningkat tapi ia merasa belum cukup mampu untuk menandingi bekas gurunya itu. Maka ia tidak ingin melawan seorang diri. Tiba-tiba ia memasukkan dua jari ke mulutnya lalu mengeluarkan suitan nya?ring.
Dan sebagai jawaban, empat orang masuk ke halaman tengah itu dengan berlompatan melalui tembok samping yang tingginya hampir dua tombak itu. Ke?tangkasan para penyerbu itu membuat Cian Sin-wi mau tak mau mengerutkan keningnya dan harus membuat perhitung?an, mengukur dan membandingkan antara kekuatan lima orang lawan yang sudah berdiri di depannya itu. Tetapi ia ti?dak terlalu cemas, sebab di rumah itu masih ada Tong Wi-hong yang kepandaiannya cukup dapat diandalkannya, dan ia mengharap calon menantunya itu akan terbangun dari tidurnya karena mendengar ribut-ribut di halaman tengah itu.
Sementara itu, untuk menggertak bekas gurunya, Song Kim mulai memperkenalkan kawan-kawannya, "Cian Sin-wi, lihatlah orang-orang yang akan membantaimu karena kekerasan kepalamu itu sudah datang. Kuperkenalkan kepa?damu. Yang membawa Ce-bi-kun (toya setinggi alis) itu adalah Han Toan, yang memegang golok adalah An Siau-lun dan si kembar bermuka burik itu masing masing bernama Cong Yo dan Cong Hun dari Shoa-tang, merupakan ahli-ahli dalam ilmu pukulan Thi-sah-ciang (Pukul Pasir Besi). Kami berlima adalah anggauta dari bagian Hwe-liong-pang yang disebut Jing-ki-tong (Kelompok Pan?ji Hijau). Jika kau menolak uluran ta?ngan kami, maka kami diberi wewenang oleh Tong-cu kami untuk menghabisi nyawa tuamu itu."
Sementara Song Kim bicara dengan takabur, diam-diam Cian Sin-wi melirik ke kiri dan kanan, dan ia menjadi heran kenapa suara ribut-ribut itu tidak mem?bangunkan seorang piau-supun?
An Siau-lun agaknya dapat menebak apa yang sedang dipikirkan oleh pemimpin Tiong-gi Piau-hang itu. Maka ia tertawa cengingisan sambil berkata, "Pendekar Cian yang perkasa, tadi ketika kami se?dang masuk ke mari, ada beberapa anak buahmu yang menyambut kedatangan kami dengan sikap yang kurang bersahabat. Apa boleh buat, kami terpaksa membela di?ri. Sebenarnya aku tidak bermaksud mem?bunuh mereka, apa daya aku kurang mahir menguasai golokku sehingga terlalu da?lam mengenai jantung mereka. Maaf ya?"
Orang she An itu bicara dengan na?da yang kalem tapi sekaligus menyakit?kan hati. Dan ucapannya itu disambung oleh rekannya yang bernama Han Toan itu, "Dan tentang calon menantumu yang tam?pan luar biasa itu, tidak usah kauharap bantuannya lagi. Ia tampan tetapi tolol. Ketika ia berada di kebun be?lakang, ia dengan mudah telah dapat di?pancing keluar oleh Hu-tong-cu (Wakil Kepala Kelompok) kami. Dan saat ini en?tah bagaimana nasibnya di bawah golok Tong-cu dan Hu-tong-cu kami itu."
Sementara itu, untuk menggertak be?kas gurunnya, disambung lagi oleh Song Kim, "Dan sepeninggalmu nanti, tidak usah kuatir tentang puterimu. Aku berjanji sungguh-sungguh untuk menjadi suami yang baik."
Serentak kelima orang Hwe-liong-pang itu tertawa terbahak-bahak, dan si burikan Cong Yo menimbrung dengan suara?nya yang seperti gembreng pecah itu, "Ha-ha-ha, mana ada suami yang baik hen?dak menggorok leher mertuanya?"
Senda-gurau orang-orang Hwe-liong-pang itu benar-benar telah membuat Cian-Sin-wi meledak kemarahannya dan kehi?langan pengendalian dirinya. Ia menya?dari bahwa tenaganya terbatas untuk menghadapi lima orang lawan yang tang?guh-tangguh semuanya itu, namun tak ada rasa gentar setitikpun di dalam hatinya. Bentaknya geram, "Aku robek mulut kali?an, anjing-anjing kotor!"
Melihat bahwa Cian Sin-wi telah mu?lai bergerak, kelima orang lawannyapun segera berlompatan memencar diri sambil menyiapkan diri mereka masing-masing. Mereka mengambil sikap mengurung dan siap untuk mengeroyok, dan agaknya da?lam urusan keroyokan ini mereka sudah biasa melakukannya.
Yang membuka pertempuran lebih dulu ternyata adalah Han Toan. Toya ce-bi-kunnya yang terbuat dari perunggu itu se?gera disodokkan ke ulu hati Cian Sin-wi. Di bawah cahaya rembulan yang gemilang, nampaklah toya Han Toan itu bergerak meluncur bagaikan seekor naga berwarna kuning yang menerkam mangsanya.
Cian Sin-wi memperhitungkan bahwa tenaga tuanya harus dihemat dalam meng?hadapi lima orang lawan yang semuanya lebih muda daripadanya itu. Ia tidak menangkis serangan Han Toan itu, tapi justru mengelak dan menyerongkan badan?nya ke depan untuk memancing pertempur?an jarak sedang yang menguntungkan bagi sepasang senjatanya. Kaitan yang kiri mengait pergelangan tangan Han Toan, sedang yang kanan mengait tenggorokan lawan.
Ternyata pemimpin Tiong-gi Piau-hang itu mampu bergerak lebih cepat da?ri lawannya, dan itu cukup mengejutkan Han Toan. Cepat Han Toan menarik toya-nya dan diputar kencang di depan tubuh?nya sambil melangkah mundur. Tapi toyanya sempat tergetar juga, ketika berbenturan dengan hau-thau-kaunya Cian Sin-wi.
Meskipun Cian Sin-wi sedapat-dapat?nya menghindari adu tenaga untuk menghe?mat tenaga, tapi jika terpaksa terjadi juga benturan senjata, tenaga jago tua she Cian itu masih harus diperhitungkan oleh lawan-lawannya yang muda-muda itu. Hau-thau-kau memang termasuk jenis sen?jata yang bertenaga besar saja yang be?rani menggunakannya.
An Siau-lun yang jangkung itu se?gera turun tangan setelah melihat Han Toan mulai terdesak. Sambil diiringi bentakan keras, ia langsung mengayun?kan goloknya dalam gerakan Tok-pek-hoa-san (Lengan Tunggal Membelah Hoa-san), diarahkan ke batok kepada Cian Sin-wi. Dengan badannya yang jangkung itu, ke?dudukannya agak lebih menguntungkan dirinya.
Si kembar dari Shoa-tangpun tidak mau ketinggalan membuat jasa bagi per?serikatannya. Membarengi gerakan An Siau-lun, merekapun menubruk Cian Sin-wi dari kiri dan kanan, sambil melancar?kan Pukulan Pasir Besi yang dahsyat itu.
Sekilas Cian Sin-wi dapat melihat bahwa telapak tangan kedua saudara kembar she Cong itu berterotol hitam, menandakan bahwa latihan Thi-sah-ciang mereka sudah mencapai taraf yang patut diperhitungkan. Kini Cian Sin-wi dipaksa mengambil sikap bertahan saja oleh lawan-lawannya.
Agaknya tanpa ikutnya Song Kim dan Han Toan dalam pertempuran itu, sudah cukup untuk mengatasi pemimpin Tiong-gi Piau-hang itu. Cukup dengan An Siau-lun dan kedua saudara kembar she Cong itu.
Permainan golok tunggal An Siau-lun cukup baik. Gerakan-gerakan golok?nya bergaya bagaikan seekor naga murka yang mengamuk di tengah samudera, hebat dari keras. Tetapi sepasang kaitan Cian Sin-wi dapat mengimbanginya seperti kuku-kuku seekor garuda raksasa yang tak kalah ganasnya, yang menyambar-nyambar dan siap merobek-robek tubuh lawannya.
Begitu pula si kembar she Cong dengan gerakannya yang selincah kijang dengan pukulan-pukulannya yang keras itu, juga merupakan lawan yang tidak bisa diabaikan. Dengan pukulan telapak tangan mereka, setumpuk batu batapun bisa dihancurkan hanya dengan sekali pukul. Maka cukuplah jika salah satu dari ke empat buah tangan si kembar itu mengenai tubuh Cian Sin-wi, maka jalannya pertempuran bisa berubah. Na?mun si kembar itu harus waspada pula, sebab kadang-kadang sambaran senjata Cian Sin-wi terasa begitu dekat dengan kulit mereka.
Dalam pada itu, Song Kim dan Han Toan juga tidak ingin menjadi penonton saja. Song Kim nampak berbisik-bisik di telinga Han Toan, dan kepala Han Toanpun terangguk-angguk setuju. Jus?tru ketika pertempuran antara Cian Sin-wi melawan tiga orang lawan itu meningkat semakin seru, maka Song Kim dan Han Toan menggunakan kesempatan itu untuk masuk ke bagian dalam gedung besar itu.
"Hai! "Cian Sin-wi berteriak kaget melihat tindakan tak terduga dari ke?dua orang itu.Namun Cian Sin-wi tidak mampu mencegahnya, sebab ketiga la?wannya itu benar-benar telah mengikat?nya dalam sebuah lingkaran perkelahian yang memerlukan perhatian sepenuhnya.
An Siau-lun yang licik itu segera melihat adanya suatu kesempatan untuk mengganggu pemusatan pikiran lawannya, "Biarkan kedua kawan kami itu masuk un?tuk mengurus anak perempuanmu yang te?lah membuat Song Kim tergila-gila itu. Sedangkan kau si tua bangka ini agaknya nasibnya sudah akan kami ten?tukan di sini dan pada malam ini juga."
Perang mulut yang dilancarkan oleh An Siau-lun itu memang membuahkan hasil. Kegelisahan mulai menyelinap di hati Cian Sin-wi memikirkan nasib puterinya, dan itu membuat permainan silat Cian Sin-wi jadi agak kacau dan kurang cermat. Sebaliknya orang-orang Hwe-liong-pang itu semakin gencar mene?kannya dengan serangan-serangan beruntun.
Perlahan-lahan tapi pasti, Cian Sin-wi semakin tersudut ke dalam keada?an yang semakin sulit. Namun ketiga orang lawannyapun tidak dapat dengan se?gera berlega hati, sebab jago tua itu masih memberikan perlawanan yang gigih luar biasa.
"Benar-benar hebat setan tua ini," Cong Yo menggerutu di dalam hati?nya. "Tapi segigih-gigihnya dia, ia su?dah terlalu tua, dan sebentar lagi ia akan kehabisan napas dan mampus."
-o0^DwKz-Hendra^0o- TONG WI-HONG terus mengejar orang berpakaian Su-coan itu de?ngan gigihnya, dan akhirnya dilihatnya orang Su-coan itu meluncur dan meng?hilang ke dalam sebuah kuil rusak yang sudah tak terpakai, yang letaknya di luar kota Tay-beng.
Petualangan Dipulau Suram 2 Jelihim Sang Pembebas Karya Syam Asinar Radjam Kembali Ke Horrorland 1
^