Pencarian

Serangan Dari Antariksa 1

Detektif Stop Serangan Dari Antariksa Bagian 1


Serangan Dari Antariksa (Serial Detektif STOP) Karya Stefan Wolf Pembuat Djvu : Syauqy_Arr
Edit teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
Selesai di edit : 4 September 2018,Situbondo
Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://cerita-silat-novel.blogspot.com
Selamat Membaca ya !!! *** ST0P SERANGAN DARI ANTARIKSA Stefan Wolf DETEKTIF STOP SERANGAN DARI ANTARIKSA S--Sporty T--Thomas O--Oscar P--Petra Ilustrasi sampul dan isi oleh Reiner Stolte
Penerbit PT Gramedia Jakarta. 1989
Daftar Isi Si Pemburu Rambut Beraksi
Sebuah Jejak Hangat Siapa yang Napasnya Berbau Bawang Putih?
Sutradara Konyol dari Amerika
Masuk ke Lingkungan Elite
Keterangan Para Saksi Mata
Satu Korban Lagi Malam Penuh Bahaya Dua Bajingan Tertawan di Pesawat Ruang Angkasa
Pesan dari Antariksa Sebuah Jejak Baru Konperensi Pers di Hotel Istana
Pemerasan Pistol Tanpa Peluru *** SPORTY nama sebenarnya Peter Carsten.
Tapi ia boleh dibilang tidak dikenal dengan nama aslinya itu. Ia pemimpin dari empat anak yang bergabung dalam kelompok STOP. Ini merupakan rangkaian huruf huruf depan nama mereka: 'S dari Sporty, 'T' dari Thomas. 'O' dari Oskar, dan 'P' dari Petra. Sporty berumur 13 tahun. jangkung dan langsing, berkulit coklat kemerahan (karena sering bemain di luar) dan berambut coklat ikal. Ia gemar bekali berolahraga terutama judo, bola voli, dan atletik ringan. larinya cepat sekali!
Sejak dua tahun Sporty tinggal di sekolahnya yang juga menyediakan asrama. Ia duduk di kelas 9b. Ayahnya. seorang insinyur. sudah meninggal dalam kecelakaan yang terjadi enam tahun yang lalu. Ibunya sekarang bekerja di suatu perusahaan. pada bagian tata
buku. Penghasilannya tidak besar. sehingga biaya yang diperlukan untuk menyekolahkan Sporty merupakan beban berat baginya. Tapi ia rela berkorban untuk
anaknya itu. Dan Sporty anak yang tahu membalas budi. Prestasinya di sekolah selalu baik.
Meski begitu tidak seorang pun yang pernah mengatainya 'sok
rajin . karena itu memang tidak benar.
Bahkan sebaliknya begitu ada persoalan yang sedikit saja berbau petualangan. Sporty pasti akan langsung melibatkan diri. Ia sangat membenci ketidakadilan, yang bisa menyebabkan ia naik pitam.
Sudah sering ia terjerumus dalam kesulitan, hanya untuk membela kebenaran.
THOMAS (alias Komputer) sekelas dengan Sporty. Tapi ia tidak tinggal di asrama sekolah. karena orang tuanya tinggal di kota tempat sekolah mereka berada. Nama keluarganya Vierstein. Ayahnya guru besar ilmu matematika di universitas. Daya ingat Thomas yang benar-benar luar biasa, mungkin diwarisi dari ayahnya.
Otaknya benar-benar seperti komputer -- segala-galanya diingat oleh Thomas. Anak ini bertubuh tinggi kurus. Jika ada sesuatu yang menggelisahkan perasaannya, ia pasti akan menyibukkan diri dengan ' mengelap lensa kaca matanya. Dan kalau terjadi perkelahian. ia lebih senang menonton saja. Karena dalam perkelahian, yang diperlukan tenaga otot dan bukan daya ingat. Tapi Thomas bukan anak yang penakut. Ia lebih suka beradu otak daripada beradu Otot.
OSKAR (alias Gendut) _ gemar sekali jajan. Kecuali cacat yang satu ini, anak itu benar-benar top. Sahabat sejati!
Ia sekelas dengan Sporty, dan juga tinggal sekamar dengannya di asrama. yaitu di SARANG RAJAWALI. Orang tua Oskar kaya raya. Mereka tinggal di kota itu juga. Tapi mereka tidak keberatan Oskar memilih tinggal di asrama, karena anak itu lebih suka berkumpul dengan teman-temannya. Katanya, di sekolah lebih asyik daripada di rumah. karena selalu ada ada saja yang terjadi di Situ. Ayahnya memiliki pabrik coklat, jajanan yang paling digemari Oskar. Mobil ayahnya mentereng, sebuah ' Jaguar dengan mesin dua belas silinder. Dalam hatinya, Oskar ingin sekali bisa langsing dan tangkas, seperti Sporty.
PETRA (alias Salam) berambut pirang keemasan.
Matanya biru, dengan bulu mata panjang dan lentik berwarna coklat
tua. Gadis ini cantiknya bukan
main sampai Sporty kadang kadang tidak berani memandang. karena takut mukanya akan
menjadi merah. Sporty memang sangat suka padanya. Tapi
kecantikan parasnya tidak menyebabkan Petra bersikap
angkuh. Bahkan sebaliknya, ia
selalu mau. jika diajak berbuat
iseng. Sporty. Thomas. dan juga
Oskar yang gendut selalu siap
untuk melindungi Petra, apalagi
jika sedang menghadapi keadaan yang berbahaya. Terutama Sporty yang paling prihatin. Ia tidak mengatakannya secara terang terangan, tapi kalau perlu. ia mau berkorban apa saja demi Petra. Gadis belia ini duduk sekelas dengan ketiga sahabatnya. Ia tinggal bersama orang tuanya di kota. Ayahnya komisaris polisi yang menangani urusan kriminal. Sedang ibunya mempunyai sebuah toko kecil yang menjual bahan pangan. Petra jago renang, dengan spesialisasi gaya punggung. Sedang di sekolah. ia selalu
mendapat nilai terbaik dalam pelajaran bahasa. Ia sangat sayang pada binatang. Anjing yang dijumpai. selalu diajaknya bersalaman. Itulah yang menyebabkan ia mendapat nama julukan 'Salam'.
Sayangnya luar biasa pada Bello, anjing spanil peliharaannya yang berbulu belang hitam-putih. Mata anjing kesayangannya Itu buta sebelah. Tapi penciumannya sangat tajam apalagi untuk mengendus bau ayam panggang!
*** Si Pemburu Rambut Beraksi
AKHIR bulan April. Menurut kalender, musim semi seharusnya sudah mulai. Tetapi nyatanya, sampai sekarang musim dingin belum benar-benar berlalu. Hujan salju mengenai wajah Sporty ketika ia memacu sepeda balapnya dalam keremangan senja.
Nyaris tak ada lalu-lintas pada jalan-jalan di bagian kota itu. Rumah-rumah diterangi lampu, dan pertunjukan bioskop-yang akan disaksikan Sporty bersama Petra-akan dimulai dalam beberapa menit.
Mudahan-mudahan saja dia sudah beli karcis, ujar Sporty dalam hati.
Kalau belum. bisa-bisa kita tak sempat melihat film-film iklan yang lucu-lucu.
Padahal. kadang-kadang justru iklannya yang paling seru!
Tapi kali ini Sporty tidak perlu khawatir: film yang akan diputar di Bioskop STAR adalah sebuah film science-fiction dari Hollywood. Menurut iklan di koran. film itu dibuat dengan teknologi mutakhir. dan biaya pembuatannya mencapai berjuta-juta dolar.
Dari jauh Sporty sudah melihat lampu-lampu neon Bioskop STAR.
Ia menambah kecepatan. Tepat di depan bioskop, anak itu melompat turun dari sepedanya.
Petra ternyata sudah menunggu.
Gadis itu berdiri di balik pintu kaca, dan melambaikan tangan ke arah Sporty. Rupanya ia datang naik bis-sesuatu yang tidak terlalu aneh dalam cuaca seburuk sekarang.
Petra mengenakan mantelnya yang berwarna biru. Cahaya lampu membuat rambutnya yang pirang nampak berkilau-kilau.
Dengan rambut seperti itu, dia sebenarnya bisa jadi model untuk iklan Shampo, terlintas dalam pikiran Sporty.
Segerombolan pemuda tampak terpesona oleh kecantikan Petra. Mereka berdiri di dekat gadis itu. Melihat gaya mereka, Sporty hanya bisa nyengir. Dalam hati ia yakin bahwa anak-anak muda itu sedang mencari akal untuk berkenalan dengan Petra.
"Halo, Petra!" Wajah Sporty berseri-seri.
Tapi pemuda-pemuda tadi-sebaliknya-memasang tampang masam.
Petra tersenyum manis. Tapi raut wajahnya langsung kembali serius. Kedua matanya yang biru menyorot cemas.
Sporty segera menyadarinya.
"Ada apa? Apa filmnya sudah mulai?" ia bertanya dengan rasa bersalah.
"Belum. sih! Tapi Kathie belum datang juga!"
"Lho?! Si Peri Hutan? Memangnya dia mau ikut?"
Petra mengangguk. "Dia meneleponku tadi sore," gadis itu berujar.
"Dia bilang, dia kepingin ikut. Kami lalu berjanji untuk ketemu di sini pukul delapan kurang seperempat. Aku datang tepat pada waktunya, tapi Kathie sampai sekarang belum muncul juga. Padahal biasanya dia tidak pernah telat."
"Hmm, aneh!" Sporty menanggapinya. Dengan sebelah tangan ia mengusap rambutnya yang ikal.
"Begini saja, daripada menunggu terus, lebih baik kita telepon ke rumahnya. Barangkali saja dia tidak jadi pergi."
Mereka lalu bergegas menuju telepon umum di seberang bioskop. Petra mengangkat gagang, sementara Sporty memasukkan dua keping uang logam. Petra ternyata hafal nomor telepon Kathie di luar kepala, karena mereka memang sering saling menelepon.
Kathie Bossert adalah teman sekelas mereka. Dia dijuluki 'Peri' Hutan' karena rambutnya yang indah. Warnanya coklat, dan panjangnya mencapai pinggang-mirip rambut peri-peri dalam cerita-cerita dongeng. Kathie sangat membanggakan rambutnya itu. Setiap hari ia menghabiskan waktu paling tidak setengah jam untuk menyikat dan menyisirnya.
"Selamat malam, Bu Bossert,"
Petra mengawali pembicaraan.
"Di sini Petra Glockner. Kathie ada? Kathie dan saya sebenarnya janji untuk nonton bersama. Tapi sampai sekarang dia belum datang juga."
Sporty membungkuk ke depan, sampai telinga
kirinya menyentuh rambut Petra. Sebenarnya sih, tanpa membungkuk pun ia bisa ikut mendengarkan pembicaraan Petra dengan Bu Bossert. Tapi rambut sahabatnya itu selalu begitu wangi, dan Sporty senang sekali mencium baunya yang harum.
"Kathie belum datang?" suara Bu Bossert terdengar agak bingung.
"Aneh, dia sudah pergi setengah jam yang lalu, kok. Katanya, dia mau nonton di Bioskop STAR. Mestinya dia sudah sampai! Atau... Ya, Tuhan! Jangan-jangan dia ambil jalan pintas lewat Taman Lerchenau. Padahal sudah saya larang. Apalagi malam-malam begini...."
"Oh!" ujar Petra terkejut.
"Kalau begitu... Sebentar, Bu Bossert. Peter Carsten mau bicara dengan Ibu."
Sporty langsung merebut gagang telepon dari tangan Petra. Merasa diperlakukan dengan seenaknya. Petra langsung menyikut perut sahabatnya itu.
"Aduh! -Selamat malam, Bu Bossert. Ini Sporty. Ibu tidak perlu cemas. Kathie pasti datang sebentar lagi. Petra akan menunggunya di sini. Saya akan mencegatnya di jalan. Biar aman, saya sekalian lewat Taman Lerchenau. Saya rasa Kathie hanya lupa waktu saja."
"Tapi," jawab Bu Bossert dengan cemas,
"Kathie biasanya selalu tepat waktu. Ya, mudah mudahan saja... Kalau Kathie sudah datang, tolong kau telepon saya lagi ya, Sporty?!"
"Baiklah! Sampai nanti, Bu Bossert."
Angin dingin menyambut kedua anak itu ketika mereka keluar dari boks telepon umum.
"Kelihatannya kita tidak jadi nonton, nih," ujar Sporty.
"Kalau kau sudah beli karcis...."
"Belum!" "Kebetulan, deh! Sekarang, kau tunggu di sini saja. Aku akan mencari Kathie di taman. Busyet, bodoh benar itu anak kalau dia potong jalan lewat sana-apalagi setelah gelap. Mestinya dia tahu bahwa taman itu agak angker! Wanita memang sama semuanya: rambut boleh panjang, tapi akal tetap pen..."
Sporty masih sempat menyadari kesalahannya.
Langsung saja ia terdiam.
Tapi Petra segera menyambung,
"...akalnya pendek, itu maksudmu, kan?! Jangan sok tahu, ya?! Rambutku juga panjang, nih!"
Untuk kedua kalinya sikut Petra mendarat di tulang iga Sporty.
Pura-pura terkejut. Sporty lalu membelalakkan mata. Selama lima detik Ia menatap Petra tanpa berkedip.
"Aduuuuuh!" ia lalu berlagak kesakitan.
"Dua kali di tempat yang sama. Dan dengan sekuat tenaga lagi! Gila, tulang igaku terasa patah. Tolong, aku mau pingsan!"
"Monyong! Daripada banyak omong, lebih baik kau berangkat sekarang!" balas Petra dengan ketus.
Kedua matanya nampak menyala-nyala.
Petra merasa dipermainkan-dan bukannya
tanpa alasan. Bagi Sporty, yang dikenal sebagai jago judo, pukulan Petra sebenarnya tidak berarti apa-apa.
Sambil nyengir, Sporty lalu mengambil sepeda balapnya. Dan setelah melambaikan tangan ke arah Petra, ia mulai menggenjot. Hujan salju menerpa wajahnya, sehingga menyulitkan pandangan. Supaya jangan kena mata, Sporty terpaksa membungkuk rendah-rendah di atas setang sepedanya.
Taman Lerchenau-sebuah taman kecil, tapi memanjang di sebelah selatan kota-berbatasan langsung dengan daerah yang terkenal rawan. Jumlah gelandangan, pemabuk, dan anak-anak berandal di sini, sepuluh kali lipat dibandingkan dengan bagian kota lain. Dan dengan sendirinya mereka sering berkeliaran di Taman Lerchenau.
Tapi dengan cuaca seperti ini, tamannya pasti sepi, kata Sporty dalam hati. Para gelandangan bisa mati beku kalau mereka tidur di bangku taman. Mereka pasti sudah mencari rumah-rumah kosong, atau nongkrong di stasiun-stasiun kereta bawah tanah. Kemungkinan kecil ada yang berkeliaran di Taman Lerchenau. Tapi kalau begitu, kenapa Kathie belum muncul juga?
Jangan-jangan dia kepeleset dan cedera?
Barangkali dia sedang memanggil-manggil minta tolong, tapi tak ada yang mendengarnya?
Sebuah jalan sepi menuju pintu taman. Lampu jalanan terakhir menerangi sebuah papan:
ANJlNG-ANJING HARUS DIRANTAI. DILARANG NAIK SEPEDA.
Larangannya tidak berlaku dalam keadaan darurat!
pikir Sporty. Ia mengarahkan sepedanya ke jalan setapak yang berbatu-batu. Kabut tipis menggantung di antara pepohonan. Sejak beberapa minggu yang lalu, pohon-pohon sebenarnya sudah mulai berdaun lagi. Tapi cuaca dingin akhir-akhir ini telah memusnahkan kuncup-kuncup bunga. Koran koran bahkan memberitakan bahwa panen buah buahan tahun ini terancam gagal.
Keadaan di taman gelap-gulita.
Sporty terpaksa mengurangi kecepatannya.
Lampu sepedanya hanya sanggup menyorot beberapa meter ke muka. Tapi Sporty tahu arah mana yang harus ditempuhnya, jalan mana yang diambil Kathie --kalau gadis itu memang memotong jalan lewat taman ini.
Sudah setengah jalan, namun Sporty belum berpapasan dengan siapa pun. Bangku-bangku taman berwarna putih diam membisu di kegelapan malam. Di sebelah kiri, cukup jauh dari tempat Sporty sekarang, ada sebuah jalan yang menyusuri sisi taman. Sebuah lampu penerangan di tepi jalan itu nampak berkedap-kedip, hidup mati, seperti lampu pada papan iklan.
Tiba-tiba Sporty merasa seperti disambar petir. Secara refleks ia menekan rem sampai habis, menjejakkan sebelah kaki di tanah, dan menahan napas.
Seseorang terbaring melintang pada jalan setapak di hadapannya.
Roda depan sepeda Sporty sudah mengenai jas hujan berwarna hijau muda yang dikenakan sosok itu. Warnanya persis sama dengan jas hujan kepunyaan Kathie.
"Kathie!" Sporty berseru sambil melompat turun dari sepeda.
Gadis itu tergeletak begitu saja di tengah tengah jalan setapak.
Ia tidak bergerak. Cahaya lampu sepeda Sporty menyoroti kakinya yang terselonjor. Jas hujan, blue-jeans, sepatu lars tahan air-tidak salah lagi, itu memang pakaian Kathie.
Kepala gadis itu tidak kelihatan karena berada dalam bayangan semak-semak.
Sebuah pikiran mengerikan terlintas di kepala Sporty. Tapi anak itu segera membuangnya jauh jauh. Cepat-cepat ia mengeluarkan sekotak korek api dari kantong, lalu membungkuk di atas kepala Kathie.
Ketika koreknya menyala, Sporty nyaris tak dapat mempercayai pandangannya.
Bukan, ini bukan Kathie! ia berseru dalam hati. Gadis di hadapannya nyaris botak. Rambut jabrik, yang panjangnya hanya beberapa milimeter, menutupi kepalanya. Wajah orang itu menghadap ke bawah.
Sporty tidak melihat luka-luka.
Segera saja ia berjongkok di samping gadis yang masih tak
bergerak itu. Dengan hati-hati ia lalu menyentuh urat nadi di leher.
Untung saja! Gadis itu masih hidup. Denyut nadinya terasa dengan jelas.
Sporty pernah mengambil kursus PBK, dan berhasil lulus dengan nilai baik. Kini ia punya kesempatan untuk menerapkan pengetahuannya itu.
Sesuai peraturan, ia membalikkan badan gadis yang pingsan itu sampai menghadap ke samping. Korek api di tangan Sporty menerangi seraut wajah yang pucat dan halus-wajah seorang gadis berusia sekitar 14 tahun. Bekas luka berbentuk silang terlihat pada dahinya.
Ternyata memang Kathie! Untuk sesaat Sporty diam mematung.
Otaknya bekerja keras. Kathie pingsan! Dan ke mana rambutnya yang indah?
Seketika Sporty menyadari apa yang telah terjadi di sini.
Kathie telah menjadi korban si Pemburu Rambut!
Tak seorang pun tahu siapa dia, meskipun penjahat itu sudah berulang kali makan korban. Jumlah korbannya sudah sekitar 100 orang.
Orang gila, barangkali? Entahlah. sampai sekarang belum ada yang bisa menjawabnya Ketika pertama kali beraksi, perbuatan si Pemburu Rambut segera menggegerkan penduduk kota. Kekejiannya dianggap keterlaluan. Koran-koran lalu berlomba-lomba untuk memuat berita-berita yang ada sangkut
pautnya dengan penjahat itu. Selama beberapa minggu. si Pemburu Rambut menjadi orang yang paling sering dibicarakan.
Tetapi lama-kelamaan, masyarakat mulai terbiasa.
Para pembaca mulai jenuh.
Mereka menjadi kebal terhadap berita-berita yang mengatakan bahwa penjahat sinting itu telah beraksi kembali. Semuanya sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Hanya polisi yang masih menaruh perhatian pada penjahat itu. Namun selama ini, para abdi hukum masih meraba-raba dalam gelap. Masalahnya, si Pemburu Rambut memang lihai. Dia selalu bergerak pada senja atau malam hari. Dan dia selalu berlindung di balik kegelapan. Yang diincarnya adalah gadis-gadis dan wanita-wanita berambut panjang dan indah. Tapi tak satu pun di antara korban yang sempat melihat wajahnya. Semuanya mengaku dicekik dan belakang-tanpa sempat berteriak atau melawan.
Si Pemburu Rambut lalu membius mereka dengan menempelkan kapas ber-kloroform pada hidung korbannya.
Anehnya, dia sama sekali tidak tertarik pada uang atau barang berharga lainnya. Dia hanya menginginkan rambut para korbannya Tanpa
kenal ampun, dia membabat rambut mereka sampai habis. Gadis-gadis dan wanita-wanita yang malang itu lalu ditinggalkannya dalam keadaan nyaris botak.
Untung dia tidak membunuh mereka sekalian, Sporty berkata dalam hati. .
Butir-butir salju mengenai wajah Kathie.
Kedua matanya mulai berkedip-kedip. Kemudian korek api di tangan Sporty padam.
Sporty segera menyelipkan lengannya ke bawah kepala Kathie.
Ketika gadis itu akhirnya membuka mata, ia agak linglung.
Perutnya terasa mual. Tetapi ia terlalu lemah untuk berdiri. Sporty lalu menopang badannya, dan menunggu sampai pengaruh obat bius berkurang.
Sewaktu Kathie mengenali Sporty, ingatannya pun kembali.
Ia berteriak ketakutan, dan tubuhnya mulai gemetar. Sporty segera berusaha menenangkannya.
Dengan bantuan Sporty, Kathie akhirnya sanggup berdiri. Namun langkahnya masih gontai. Tiba-tiba gadis itu menyadari apa yang telah terjadi. Serta-merta ia memegangi kepalanya.
"Sporty! Rambutku! Mana... mana rambutku?" ia bertanya dengan panik.
"Tenang, Kathie. tenang," jawab Sporty.
"Rambutmu akan tumbuh lagi. Dan aku rasa, kau justru lebih pantas berambut pendek."
"Rambutku!" Kathie terisak-isak. "Mana rambutku?"
"Kathie, kau jangan kaget Kau jadi korban si Pemburu Rambut. Dia memotong rambutmu."
Kathie nyaris pingsan lagi ketika mendengarnya. ia tak sanggup berkata apa-apa. Kedua matanya berkaca-kaca, dan ia mulai menangis.
Sporty segera merangkul gadis itu, supaya jangan sampai jatuh. Kathie membenamkan wajahnya ke jaket Sporty.
Ketika hendak membelai kepala Kathie untuk menghiburnya, tangan Sporty hanya merasakan sisa rambut yang kaku dan tidak rata.
Malang benar nasib gadis itu.
Bajingan! Sporty mengumpat dengan geram.
Darahnya serasa mendidih. Hanya orang gila
yang tega berlaku begitu keji terhadap gadis-gadis dan wanita-wanita yang tak berdaya.
Jas hujan yang dikenakan Kathie ada topinya. Dengan lembut Sporty menggunakannya untuk menutup kepala gadis itu.
"Ayo. Kathie. Kita harus ke polisi. Dan ibumu juga perlu ditelepon. Dia khawatir sekali. Bagaimana, kau bisa jalan sendiri?"
Ternyata Kathie belum sanggup.
Kedua lututnya masih terasa lemas tak bertenaga.
Tapi Sporty segera menemukan pemecahannya. Ia mengangkat Kathie, dan mendudukkan gadis itu di atas sepeda balapnya. Dengan sebelah tangan ia memegangi Kathie. Tangan yang satu lagi meraih setang.
Kemudian ia mulai mendorong.
"Apa kau bisa menceritakan apa yang terjadi tadi, Kathie? Tapi jangan dipaksa, kalau misalnya belum sanggup."
"Sekarang sudah agak lumayan," gadis itu berbisik dengan lemah.
"Aku sendiri juga tidak tahu pasti. Ah, kalau saja aku tidak potong jalan lewat taman gelap ini! Seandainya aku menuruti larangan Ibu, aku tidak perlu kehilangan rambutku."
"Kau memang terlalu nekat lewat sini."
"Aku... aku takkan mengulanginya lagi"
"Kau sempat melihat orang itu?"
"Tidak. Aku hanya mendengar suara langkah di belakangku. Tiba-tiba saja suara itu muncul, seakan-akan ada seseorang yang mengikutiku.
Pertama-tama aku tidak memperhatikannya. Tapi lama-lama aku ngeri juga. Aku sebenarnya mau menengok ke belakang, tapi keburu disergap oleh orang itu."
"Orangnya kasar?"
"Bukan kasar lagi! Pertama-tama aku kira bahwa dia akan meremukkan badanku. Dan baunya itu-menjijikkan!"
"Pasti kloroform-nya."
"Bukan! Yang kucium adalah bau bawang putih!"
"Bawang putih? Kau tidak keliru?"
"Tidak! Aku kenal bau itu. Dan baunya tajam sekali, seperti kalau seseorang kebanyakan makan bawang putih. Orang yang tidak biasa bisa mabuk karenanya. Aku yakin bahwa yang kucium adalah bawang putih, karena aku dulu pernah punya tetangga yang hobinya makan bawang mentah. Demi kesehatan, kata dia. Tetapi semua tetangga menderita karena baunya itu. Bayangkan saja, dari jarak dua puluh meter sudah ketahuan kalau dia datang!"
"Tunggu dulu! Maksudmu, si Pemburu Rambut menggunakan bawang putih untuk membiusmu
tadi?" Sporty hanya bercanda. Tapi dengan cara itu ia mencoba menghibur Kathie.
Dan ternyata gadis itu memang ketawa.
Keadaannya sudah mulai membaik.
Tapi ia masih belum bisa berjalan sendiri.
"Sejak kapan bawang putih termasuk obat
pembius?" Kathie langsung memprotes.


Detektif Stop Serangan Dari Antariksa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tadi dibius pakai kloroform. Aku tahu baunya seperti apa. Aku pernah menciumnya di ruang lab kimia di sekolah. Maksudku tadi, napas penjahat itu yang bau bawang."
"Hmm, keteranganmu mungkin berguna bagi polisi,"
Sporty menanggapinya dengan serius.
"Sampai sekarang, rasanya belum ada yang mengemukakan hal ini."
Sporty mempercepat langkahnya.
Jarak ke Bioskop STAR tidak terlalu jauh. Dalam waktu singkat mereka sudah melihat Petra, yang menunggu di depannya.
Topi yang menutupi kepala Kathie ternyata tidak dapat menyembunyikan apa yang telah terjadi.
Petra segera bisa menebaknya.
Tanpa bertanya macam-macam, dia langsung mengurusi teman sekelasnya itu, sementara Sporty kembali menuju telepon umum.
Pertama-tama ia menelepon Bu Bossert. ibu Kathie itu benar-benar terkejut sewaktu mendengar apa yang dialami anaknya. Kemudian Sporty memutar nomor telepon polisi.
Tidak lama kemudian sebuah mobil patroli berhenti di depan Bioskop STAR .
Para petugas membawa Kathie, dan mengantarkannya pulang. Dokter keluarga Bossert sudah menunggu di sana.
identitas Sporty juga sempat dicatat, karena mungkin ada pertanyaan yang harus dijawabnya kemudian. Tapi sebenarnya, anak itu tidak tahu
apa-apa mengenai kejadian di Taman Lerchenau itu. Hanya Kathie-lah yang bisa memberikan keterangan secara terperinci.
Setelah mobil patroli polisi berangkat lagi, Sporty dan Petra tetap berdiri di muka gedung bioskop.
Namun keduanya sudah tidak ada berminat nonton. Sibuk dengan pikiran masing-masing, mereka memperhatikan mobil patroli polisi tadi menghilang di kejauhan.
Petra mulai menggigil kedinginan.
"Kira-kira, warna apa yang paling disukainya?" gadis itu bertanya dengan suara pelan.
"Maksudmu?" "Maksudku, apakah si Pemburu Rambut lebih senang warna coklat. pirang, atau merah?"
"Oh, itu!" ujar Sporty sambil tersenyum.
"Wah, soal itu sih aku juga tidak tahu. Tapi kelihatannya Sih, penjahat itu tidak pandang bulu dalam memilih korbannya. Semua warna sama saja. Seandainya dia sempat melihat rambutmu... Aku bukannya mau menakut-nakuti... Tapi dengan ini aku secara resmi melarangmu untuk lewat di tempat-tempat sepi setelah gelap. Sebaiknya malah, kau tinggal di rumah saja, sekalian. Kecuali, kalau aku menemanimu."
Petra mengangkat alisnya dan menatap Sporty sambil tersenyum manis. Tapi kemudian ia segera kembali serius.
"Kasihan ya, si Kathie! Padahal dia begitu membanggakan rambutnya. Mungkin perlu waktu
bertahun-tahun sampai rambutnya sepanjang dulu lagi."
"Rambut manusia setiap bulannya tumbuh sekitar satu sentimeter. Sedikit lebih banyak pada bulan-bulan dengan 31 hari."
"Dan kurang sedikit pada bulan Februari! Dasar tak berperasaan! Apa kau tidak kasihan pada si Kathie?"
"Bukan begitu! Aku juga senang rambut panjang, kok," jawab Sporty sambil nyengir.
"Termasuk.'.. ehm... termasuk rambutmu."
"Oh ya?" Sporty merasakan wajahnya menjadi merah. Langsung saja ia berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Eh. bagaimana kalau rambutmu dipotong model punk saja, Petra?"
"Memangnya kau senang rambut model begitu? Apakah kau masih mau berteman denganku kalau rambutku dipotong cepak?"
"Kenapa memangnya?"
"Lho, baru saja kau bilang bahwa kau menyukaiku seperti sekarang, bukan?"
"Memang, tapi itu kan hanya berlaku bagi rambutmu!"
Ketika melihat Petra mengepalkan tangan, Sporty segera melompat mundur.
"Ampun! Ampun! Kalau kau menghajarku sekali lagi, aku bakal pingsan di tempat. SumPah!"
"Ya sudah, deh! Tapi sekarang bagaimana?
mau mengantarku pulang! Atau aku harus naik bis sendiri?" .
"Pertanyaan macam apa ini? Mana pernah aku membiarkanmu pulang sendiri-kalau aku lagi ada waktu?"
Petra tidak menjawab. Ia hanya tersenyum simpul.
Namun ketika mereka menyusuri jalan
Jalan sepi, perasaannya tetap tidak enak. Walaupun ditemani Sporty, Petra merasa agak waswas.
Tapi bukankah sikapnya itu memang beralasan?
Si Pemburu Rambut bisa saja bersembunyi di mana-mana. .
*** Sebuah Jejak Hangat Sporty menunggu sampai Petra menutup pintu.
Barulah ia merasa lega. Sahabatnya itu sudah sampai di rumah dengan selamat. Bello-anjing spanil kepunyaan Petra-pasti sedang menyambut gadis itu. Dan seperti biasanya, mereka lalu akan bermain-main selama beberapa menit.
Bello sudah lama tinggal bersama keluarga Glockner. Beberapa tahun lalu, Petra menemukannya di sebuah tempat penampungan binatang.
Anjing itu berbulu hitam-putih, dan telinganya panjang sekali.
Sporty melirik jam tangan.
Ternyata masih cukup waktu untuk melaksanakan rencananya. Tapi setelah itu, ia harus buru-buru pulang, supaya jangan terlambat sampai di asrama. Asramanya itu terletak agak di luar kota, di tengahtengah alam bebas. Dengan berlari santai, Sporty membutuhkan sekitar 20 menit untuk mencapainya lewat jalan raya. Tapi karena naik sepeda, ia masih bisa menghemat waktu.
Dengan kecepatan tinggi Sporty melesat melalui jalanan yang sepi.
Ketika sampai di gerbang Taman Lerchenau, ia segera menyadari bahwa belum ada yang berubah. Apakah polisi belum datang ke sini?
Jangan-jangan mereka beranggapan bahwa tidak
ada gunanya mencari-cari jejak di tempat kejadian, karena hujan salju toh sudah menghapus semuanya!
Sporty kembali menyusuri jalan setapak'yang tadi dilewatinya. Jalan ini pun menuju ke selatan, arah yang memang harus ditempuhnya untuk pulang ke asrama.
Kemungkinan bahwa masih ada jejak-jejak menyebabkan Sporty memilih jalan ini. Biasanya, ia lebih senang lewat jalan raya
Dalam hati Sporty berusaha mengingat-ingat kebiasaan-kebiasaan Kathie. Bukankah gadis itu selalu membawa sebuah tas kecil?
Ya, benar! Tapi tadi tasnya tidak kelihatan!
Mungkin saja Kathie kehilangan tasnya sewaktu disergap oleh si Pemburu Rambut. Dan kemudian, setelah ditolong oleh Sporty, Kathie tidak menyadari bahwa tasnya hilang.
Mudah-mudahan aku bisa menemukan 'tempatnya lagi, pikir Sporty.
Setelah berkeliling taman untuk beberapa saat, Sporty akhirnya berhasil menemukannya. Dia masih ingat, dua-tiga meter sebelum tempat Kathie tergeletak, jalan setapak agak membelok ke kiri. Dan di dekatnya terdapat sebuah bangku taman yang dikelilingi semak-semak.
Sporty mendekat. Tiba-tiba ia melihat berkas sinar itu. Cahaya senter terlihat menyapu tanah di sekitar tempat Kathie tergeletak tadi.
Nah, begitu dong! Sporty sebenarnya tidak menyangka bahwa polisi merasa perlu untuk menyelidiki tempat kejadiannya.
Ia terus meluncur dengan sepedanya sambil memandang ke arah berkas sinar tadi. Dengan bantuan sinar itu, ia lebih mudah berorientasi. Cahaya lampu sepedanya sendiri hanya sanggup menerangi jalan setapak tepat di depan hidungnya. Masih untung ia belum terjatuh!
Kedatangan Sporty tentu saja tidak luput dari perhatian orang yang memegang senter. Petugas polisi itu sedang membelakanginya. Baru ketika Sporty berhenti, orang itu membalikkan badan, sekaligus memadamkan senternya.
Karena berhenti, lampu sepeda Sporty pun padam. Seketika keadaannya menjadi gelap gulita.
Hening. Yang terdengar hanya suara angin yang meniupkan butir-butir salju.
Sporty berdiri pada jarak dua lengan dari si petugas polisi. Sosok orang itu kelihatan samarsamar dalam kegelapan malam.
Petugas polisi? Sporty membelalakkan mata.
Ia sebenarnya sudah membuka mulut untuk menegur petugas itu. Tapi kemudian ia memilih untuk diam saja.
Orang di hadapannya bukan polisi!
Yang dihadapi Sporty adalah seorang pria berperawakan kekar, dengan kepala tertutup topi rajut.
Diakah si Pemburu Rambut?
Sporty bertanya dalam hati.
Kalau ya, apa yang sedang dia cari?
Dan kalau bukan. kenapa gerak-geriknya begitu mencurigakan?
Untuk sesaat keduanya diam mematung.
Lalu angin berganti arah, menerpa wajah Sporty. Sedetik kemudian Sporty sudah menciumnya-bau bawang putih yang berasal dari pria di hadapannya.
Dengan gesit Sporty melompat turun dari sepeda.
Kini. keduanya hanya terpaut selangkah.
"Halo, Pemburu Rambut! Masih ada rambut yang ketinggalan?"
Pria itu segera memasang kuda-kuda. Senternya masih tergenggam dalam tangan. Tanpa peringatan ia melepaskan pukulan ke arah kepala Sporty.
Percuma saja Sporty ikut judo kalau tidak bisa menghindar dari serangan itu. Cepat-cepat ia melangkah ke samping, lalu menangkap lengan penyerangnya.
Apa yang terjadi kemudian merupakan mimpi buruk bagi pria itu.
Sporty memang baru berusia tiga belas setengah tahun. Tapi untuk usianya itu, dia temasuk tinggi. Anak itu sekuat banteng, dan termasuk salah satu pejudo terbaik di kota dan daerah sekitarnya. Kegesitan dan naluri bertarungnya merupakan dua hal yang sangat mendukung.
Dalam sekejap tangan lawannya sudah terpelintir ke belakang.
Orang itu berteriak kesakitan.
Tapi rupanya dia belum kapok. Dia masih
berusaha melawan. "Jangan bergerak!"
Sporty mengancamnya. "Kalau macam-macam, Anda sendiri yang akan merasakan akibatnya. Jelas?"
Pria itu hanya mengerang.
Dengan licik ia berusaha menendang ke belakang.
Tapi Sporty sudah menduganya.
Anak itu menghindar ke samping, lalu membalas dengan tendangan ke arah tulang kering lawannya.
Setelah serangan pertamanya gagal, si Pemburu Rambut terpaksa melepaskan senter. Sporty
sebenarnya hendak memungutnya, tetapi ia tidak sempat membungkuk. Ia sadar sepenuhnya bahwa ia tidak boleh lengah-biar hanya untuk sedetik pun.Pria yang telah menyerangnya tidak boleh dianggap enteng.
Sporty hanya punya satu kemungkinan: ia harus menggiring lawannya tanpa melepaskan pegangan.
"Mari, Tuan Pemburu! Sekarang kita akan jalan-jalan. Polisi pasti akan senang berkenalan
dengan Anda. Dan jangan coba-coba melawan! Jangan sampai saya terpaksa menggunakan kekerasan. Sambil jalan, Anda mungkin bisa menceritakan untuk apa Anda begitu sibuk mengumpulkan rambut orang. Apakah Anda hanya salah satu dari sekian banyak orang gila yang berkeliaran di kota ini? Atau mungkin Anda membenci gadis gadis berambut panjang dan..."
Pada detik berikutnya, Sporty merasa seakan akan kepalanya dipancung.
Kepalanya seperti copot dari badan.
Rasa sakit menyerang dengan tiba-tiba-mulai dari tengkuk, lalu menyebar ke seluruh tubuh. Dalam sekejap tangan dan kaki Sporty kehilangan tenaga, tak dapat digerakkan.
Ia ambruk. Berlutut pun ia tak sanggup.
Tubuhnya terguling ke samping.
Rumput yang basah mengenai wajahnya. Ia mencium bau tanah yang lembap. Seluruh badan Sporty terasa lumpuh. Tapi untung saja ia tidak kehilangan kesadaran.
Untung? Belum tentu! Karena dengan demikian ia masih merasakan tendangan si Pemburu Rambut.
Sporty ternyata keliru. Si Pemburu Rambut tidak beraksi sendirian.
Dia ditemani seorang rekannya. Dan rekannya itu yang kemudian diam diam menyergap dan menghajar Sporty dari belakang.
Pandangan Sporty seperti terselubung cadar hitam. Ia merasa seakan-akan tenggelam-semakin lama semakin dalam. Dengan sekuat tenaga anak itu berusaha agar tidak jatuh pingsan.
"Uih! Hampir saja!" sebuah suara mendesis pelan.
"Ayo, cabut!" terdengar jawabannya.
"Kau sudah menemukan stiker itu?"
"Belum." "Brengsek!" "Stiker sialan! Ya sudah, biarkan saja. Stiker itu toh tidak terlalu penting." '
"Enak saja! Gara-gara kecerobohanmu stiker itu sekarang tergeletak di sini. Dan kalau polisi menemukannya, akibatnya bisa gawat untuk kita."
"Ah, jangan terlalu dipikir! Kalaupun mereka menemukannya. mereka takkan bisa menghubungkan stiker itu dengan kita."
"Terus, apa yang akan kita lakukan dengan bocah ini?"
"Biarkan saja dia tergeletak di sini. Paling cepat sejam lagi dia baru bangun. Mungkin bahkan lebih lama lagi. Barangkali pacarnya cewek tadi. Sok mau jadi pahlawan, ha ha ha!"
Bajingan, pikir Sporty dengan geram.
Dasar penjahat licik! Ia hendak berdiri, tapi kakinya tak mau menurut.
Sporty berusaha menangkap suara langkah di sekitarnya.
Tak ada yang terdengar. Tapi tidak lama kemudian mesin sebuah mobil dinyalakan. Suaranya berasal dari jalan yang
menyusuri taman. Beberapa detik setelah itu, mobilnya berangkat.
Sporty akhirnya berhasil menggulingkan badannya ke samping. Dengan hati-hati ia menggerakkan kepalanya. Rupanya tidak ada tulang yang patah atau retak. Dan tiba-tiba saja, seakan-akan darah baru mengalir lagi, tangan serta kakinya bisa digerakkan kembali.
Ia terduduk. Kepalanya berdenyut-denyut.
Otaknya seperti copot dari kedudukannya. Rasa sakit menusuk-nusuk sampai ke ubun-ubun.
Pelan-pelan Sporty mengeluarkan kotak korek api dari kantong celana, menyalakan sebatang, lalu menggunakan sebelah tangan untuk melindungi apinya dari tiupan angin. Sambil membungkuk, ia mulai mencari-cari-bukan di tempat yang telah diperiksa oleh si Pemburu Rambut, tapi agak ke samping, di dekat semak-semak.
Stiker? Stiker seperti apa yang mereka cari tadi?
Pertama-tama Sporty menemukan tas kecil kepunyaan Kathie.
Kulitnya terasa lembap. Tapi isinya ternyata masih lengkap, karena ritsletingnya pun masih tertutup rapat.
Ketika memungut tas milik Kathie, ia melihat selembar kertas selebar telapak tangan di bawah semak-semak.
Sporty hendak meraihnya, tapi pada saat yang sama korek apinya padam.
Ia segera menyalakan satu lagi.
Tapi angin langsung meniupnya sampai mati.
"Hei! Hati-hati sedikit, dong!" Sporty mengomel.
"Korek apiku tinggal dua batang, nih!"
Korek berikutnya berhasil diamankannya dari sambaran angin.
Kemudian ia memungut kertas tadi.
Ternyata sebuah gambar tempel iklan. Sisi yang berperekat dilapisi dengan plastik berwarna bening.
Stiker itu menggambarkan siluet sebuah kota kecil. Pada langit malam di atasnya terlihat sebuah UFO-sering juga dinamakan piring terbang --melayang-layang di udara.
Di bawahnya tertulis dengan huruf tebal:
UFO BERDATANGAN KE BAD FlNKENSTEIN-BAGAIMANA DENGAN ANDA?
Ada-ada saja, ujar Sporty dalam hati. Ia hendak menggeleng-geleng, namun segera mengurungkan niatnya. Soalnya, kepalanya masih terasa sakit.
Bersama anak-anak STOP yang lain, Sporty sudah pernah datang ke sana. Kota-atau lebih tepat disebut desa-peristirahatan itu terletak sekitar 20 kilometer sebelah barat kota, dan dikelilingi bukit-bukit. Kata Bad pada nama desa itu menunjukkan bahwa di sana terdapat sebuah sumber air mineral yang berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit.
Di antara tempat-tempat peristirahatan di Jerman, Bad Finkenstein semula dianggap kurang bergengsi. Tapi sejak dua tahun yang lalu, semuanya berubah secara mendadak. Sebuah bencana ternyata membawa keberuntungan bagi desa kecil itu. .
Bencana itu adalah sebuah kebakaran hutan yang dahsyat. Kebakaran besar itu disebabkan oleh-sebuah UFO yang tengah lepas-landas!
Begitulah pengakuan setengah lusin saksi mata .Lidah api yang dipancarkan oleh roket piring terbang itu dengan cepat menyambar pepohonan yang kering-kerontang.
Dan dalam sekejap. seluruh hutan telah terbakar.
Para wartawan segera berdatangan.
Sensasi seperti itu tidak bisa dilewatkan begitu saja. Selama beberapa hari berikutnya, Bad Finkenstein menjadi buah bibir semua orang.
Kebenaran cerita itu sampai sekarang belum terbukti. Namun para saksi mata-orang orang yang berakal sehat-semuanya tetap pada pendirian semula. Mereka melihat sebuah UFO mendarat di hutan, lalu terbang kembali.
Para cendekiawan segera siap dengan segudang penjelasan ilmiah-mulai dari pantulan cahaya pada langit malam, sampai kilat berbentuk bola .Tapi keraguan tak pernah terhapus sepenuhnya. Terutama karena Bad Finkenstein kemudian menjadi tempat peristirahatan favorit bagi makhluk-makhluk luar angkasa itu. Setidak-tidaknya begitulah kesan Sporty setelah membaca berita-berita mengenai kunjungan UFO di koran koran.
Sejak kebakaran hutan dua tahun lalu. para penduduk Bad Finkenstein-termasuk yang serius dan yang suka berkhayal, yang tua dan yang muda, yang berkacamata maupun yang tidak
-sudah tiga belas kali melihat piring terbang melintas di atas kota mereka.
Dan selalu pada malam hari.
Tanpa disengaja, desa itu menjadi terkenal. Para pengusaha segera memanfaatkan peluang ini. Dengan iklan-iklan yang jitu, Bad Finkenstein dijadikan tempat peristirahatan nomor satu.
BAD FINKENSTElN-SERASA TINGGAL Dl PLANET LAIN,
begitu bunyi salah satu iklannya.
Sejak itulah bidang pariwisata berkembang dengan pesat. Bad Finkenstein tidak lagi sekadar tempat beristirahat. Para pelancong kini berdalangan khusus untuk melihat UFO. Dalam waktu tidak terlalu lama, jumlah pengunjung sudah melebihi jumlah kamar hotel yang tersedia. Dan iklan-iklan mengenai UFO tetap berkumandang di mana-mana.
Sporty melemparkan koreknya.
Stiker tadi ia masukkan ke dalam kantong jaket. Secara tak sengaja, tangannya menyentuh bagian tubuhnya yang terkena tendangan si Pemburu Rambut.
Bajingan! Sporty mengumpat dalam hati. Sekarang aku punya dua alasan untuk membuat perhitungan dengan kalian: pertama, serangan terhadap Kathie; kedua, kelicikan kalian terhadap aku.
Hmm, jejak mereka rupanya menuju ke Bad Tinkenstein?
Ya, mestinya sih begitu. Kalau tidak, untuk apa mereka kembali ke sini?
Untuk mencari stiker ini?
Pasti karena stiker ini mengandung petunjuk penting.
Dan itu berarti: kedua Pemburu Rambut itu berasal dari Bad Finkenstein. Dan
napas salah satunya berbau bawang putih.
Hah, kalau ini bukan jejak hangat, aku akan menyumbangkan rambutku pada mereka.
Sporty mengambil sepedanya.
Bahu dan tengkuknya masih terasa sakit. Tapi keadaannya sudah jauh lebih baik ketimbang lima menit yang lalu. Ia meneruskan perjalanan, dan meninggalkan kota. Dalam kegelapan malam, ia kemudian menyusuri jalan raya menuju asrama.
Suasana di sekelilingnya sunyi, Sepi. Kabut di hadapannya terkuak seperti sebuah tirai halus. Tak seorang pun berpapasan dengannya. Akhirnya ia mencapai pekarangan asrama, lewat pintu gerbang, lalu menuju gudang sepeda. Sporty menyandarkan sepedanya pada dinding gudang-pada jam selama ini, pintu gudang sudah dikunci-lalu mengamankannya dengan rantai.
Lampu-lampu di dalam bangunan masih menyala, termasuk lampu-lampu di lantai dua bangunan utama, di mana anak-anak berusia antara 12-14 tahun tinggal. Pada hari Minggu sampai hari Kamis, lampu-lampu seharusnya sudah lama dipadamkan. Namun pada Jumat malam seperti sekarang, petugas piket biasanya memberikan kelonggaran. Soalnya, hari Sabtu tidak ada pelajaran.
Asrama Sporty hanya dihuni oleh anak-anak laki-laki saja. Tapi sekolahnya juga menerima gadis-gadis sebagai murid Hanya saja mereka tinggal di kota bersama orangtua masing-masing.
Sporty langsung menuju ruang petugas piket, lalu mengetuk pintu.
"Masuk!" Pak Brosig sedang duduk di belakang meja tulisnya. Di hadapannya terdapat setumpuk kertas ulangan matematika kelas 9b yang harus ia periksa. Dan kebetulan, guru itu baru saja membubuhkan angka 1 pada kertas ulangan Sporty. Di Jerman, angka satu adalah nilai yang paling tinggi. Dalam mata pelajaran matematika, Sporty memang juara kelas.
"Selamat malam, Pak Brosig. Saya mau melaporkan bahwa saya sudah kembali."
Sambil tersenyum guru itu mengangkat kepala.
"Oke, Sporty. Kau... Astaga!" ia lalu berseru dengan mata terbelalak.
"Kenapa kau?" Baru sekarang Sporty memperhatikan pakaiannya.
Ya, ampun! Jaket dan celana jeansnya belepotan tanah.
"Mukamu berdarah. Sporty. Ada luka di pipimu. Dan wajahmu pucat-pasi. Apa yang terjadi?"
"Ehm, saya... disergap orang."
"Hah? Apa? Dan orang itu yang mengakibatkanmu jadi babak belur begini? Kau? Si jago judo? Lalu, kalau tampangmu saja sudah hancur hancuran seperti ini, bagaimana nasibnya lawan? Jangan-jangan kepalanya kau copot?"
"Justru saya yang nyaris mengalami nasib seperti itu," Sporty bercerita.
"Saya dicegat dan dihajar dari belakang di Taman Lerchenau. Saya sendiri tidak tahu kenapa. Tengkuk saya kena
pukul dengan tongkat. Saya sempat hampir pingsan karenanya."
Sporty terpaksa ngibul sedikit, karena untuk sementara belum mau menyinggung soal si Pemburu Rambut. Kasus itu akan ditanganinya bersama anak-anak STOP yang lain.
Pak Brosig langsung bangkit dari kursinya.
"Ya, Tuhan!" ia berseru.
"Kalau begitu, kau harus segera diperiksa."
"Tidak perlu, Pak! Pipi saya hanya lecet sedikit."
"Jangan gegabah! Kau harus segera ke ruang PSK."
Sporty sebenarnya ogah. Tapi Pak Brosig tetap berkeras.
Dia bahkan mengantarkan Sporty ke sana.
Petugas PBK yang baru bernama Agatha. Wanita muda yang cantik itu sedang menelepon di ruang kerjanya. Penampilannya yang menarik ternyata membawa akibat sampingan yang tak diperhitungkan sebelumnya .Jumlah murid yang mengaku sakit dan minta dirawat semakin banyak
dari hari ke hari. Soalnya, menurut kabar yang tersebar di antara anak-anak asrama, Suster Agatha memiliki sentuhan yang lembut sekali
-bahkan kalau sedang menyuntik sekalipun.
"Anak ini disergap dan dipukul dari belakang,"
Pak Brosig menjelaskan keadaan Sporty.
"Oh, kasihan!" ujar Suster Agatha.
Gagang telepon segera diletakkannya.
"Tolong periksa keadaannya,"
Pak Brosig lalu berkata sambil meninggalkan ruang PBK
"Mana yang kena pukul? Mana yang terasa sakit?"
Sporty menunjukkannya. Sambil menyuruh Sporty menggerak-gerakkan kepala, lengan, dan bahunya, Suster Agatha lalu bertanya,
"Kelas berapa sih kau? Saya sering melihatmu. Tapi rasanya, kau belum pernah ke sini, ya?"
"Saya duduk di kelas 9b. Nama saya Sporty... ehm, maksud saya Peter Carsten. Dan memang baru kali ini saya ke sini. soalnya selama ini saya belum sempat jatuh sakit."
Suster Agatha ketawa. "Oh, jadi kau yang bernama Sporty. Saya sudah sering mendengar cerita mengenai petualangan-petualanganmu. Luar biasa! Kelihatannya kau selalu terlibat dalam urusan yang menegangkan. Bagaimana sih caranya sampai bisa begitu?"
"Ah, tidak ada resep khusus untuk itu. Yang penting, kita tanggap terhadap lingkungan. Petualangan ada di mana-mana. Ada saja urusan yang' perlu dibereskan. Dan, saya memang tidak bisa diam. Teman-teman saya juga ikut."
"Maksudmu, anak-anak STOP, bukan? Ya, nama kalian memang sudah terkenal di asrama ini."
Sambil menepuk bahu Sporty, Suster Agatha lalu menambahkan,
"Nah, tidak ada tulang yang patah atau retak. Tapi untuk beberapa hari kau masih akan merasa
pegal-pegal. Setelah itu semuanya kembali seperti semula. Untuk mengurangi rasa sakit, saya akan memberikan salep padamu."
"Memangnya manjur?"
Suster Agatha kembali ketawa.
"Tergantung kau percaya atau tidak."
"Wah, kalau begitu mendingan jangan, deh! Nanti semua bajuku berbau rumah sakit. Terima kasih, Suster. Selamat malam."


Detektif Stop Serangan Dari Antariksa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Selamat malam, Sporty."
Sebelum Sporty sempat menutup pintu, Suster Agatha sudah mengangkat gagang telepon lagi.
Sporty berjalan menyusuri selasar, lalu naik tangga ke lantai dua. Suasananya sudah mulai tenang. Dari GUA PENYAMUN masih terdengar suara radio, dan di kamar sebelahnya, Wilfried Seibold sedang menirukan suara-suara binatang. Dia memang ahlinya dalam soal ini. Ketika Sporty lewat di depan kamarnya, dia lagi menirukan suara seekor ayam betina yang akan bertelur.
Sporty segera menuju SARANG RAJAWALI, kamar yang ditempatinya bersama Oskar. Karena sempit, kamar itu hanya berisi dua tempat tidur.
Oskar sedang berbaring di atas salah satunya.
Dia mengenakan piyamanya yang baru. Sebelah kaki diangkatnya tinggi-tinggi ke udara. Dengan dua jari kaki, dia menjepit sepotong coklat.
Mulutnya menganga lebar. Dan kakinya berada tepat di atasnya.
"Satu-dua-tiga-tembak!"
Oskar memberi aba. Potongan coklat itu meleset sedikit, dan hanya mengenai hidungnya.
"Apa-apaan ini?" tanya Sporty.
"Kau lagi berlatih untuk tampil di sirkus?"
"Tepat sekali!" jawab Oskar.
"Selama kau pergi, aku sudah berhasil 27 kali. Baru sekarang tembakanku meleset. Dan itu gara-gara kau! Kau mengganggu konsentrasiku. Tapi ngomong-ngomong, bagaimana filmnya?"
"Aku tidak jadi nonton."
"Tidak jadi?" tanya Oskar terheran-heran.
"Kenapa?" "Sudah berapa keping coklat yang kauhabiskan waktu aku pergi?"
Sporty balik bertanya. "Baru dua!" "Dasar tukang tipu! Tadi kausebut 28 potong."
"Tapi potongannya kecil-kecil! Sumpah!"
Sporty hanya bisa mendesah.
Kebiasaan makan coklat memang sudah mendarah daging dalam diri Oskar. Kebiasaan buruk itu sulit dihilangkan. Anak itu tidak bisa hidup tanpa coklat.
Melihat tampang Sporty, Oskar lalu mengerutkan kening.
"Kenapa sih mukamu? Kau ribut dengan Petra?"
"Jangan ngaco!" balas Sporty dengan ketus.
"Aku luka karena jatuh."
Oskar nyengir kuda. "0h!" katanya sambil mengangguk-anguk.
"Aku kira kau diamuk Petra, lalu dia mencakar cakar mukamu."
"Brengsek!" Sporty menjawab sambil ketawa.
"Kalau masih mau menikmati coklatmu, lebih baik kau diam sajalah!"
Kemudian ia bercerita. *** Siapa yang Napasnya Berbau Bawang Putih!
TANPA berkedip Oskar mendengarkan cerita Sporty. Perasaan geram semakin menumpuk dalam dirinya. Kedua matanya menyala-nyala garang. Dan Sporty tahu persis apa penyebabnya.
Diam-diam Oskar mengagumi Kathie. Memang, Petra masih menduduki urutan pertama dalam daftar gadis-gadis yang disukainya. Tapi dalam hal ini, Oskar menyadari bahwa ia tak punya harapan. Bagaikan pungguk merindukan bulan, begitu kata pepatah lama. Petra, yang oleh sebagian besar anak asrama dianggap sebagai gadis paling cantik di sekolah mereka, nampaknya belum mau berpacaran. Dan kalaupun ia menjatuhkan pilihan, maka semua sudah tahu siapa pilihannya. Semua, selain Sporty.
Hanya dia yang-berlagak? tidak tahu apa apa. Tapi kalau ada yang menyinggung soal itu di hadapannya, maka Sporty biasanya lalu salah tingkah. Dan teman-temannya lalu boleh menebak sendiri apakah wajahnya yang merah disebabkan karena merasa kesal, atau karena malu. Namun di pihak lain-ini juga sudah menjadi rahasia umum-Sporty bersedia melakukan apa saja bagi Petra.
Oskar pun bersikap begitu terhadap Kathie.
"Uuh, coba kalau aku sempat ketemu dengan
para Pemburu Rambut itu!" ia menggeram.
"Akan kucincang mereka!"
Sambil menggerutu panjang-lebar, Oskar lalu turun dari tempat tidur, memanjat meja kecil di sampingnya, dan meraih ke atas lemari pakaian, tempat ia menyimpan persediaan coklatnya.
"Memangnya kaukira para Pemburu Rambut bersembunyi di atas lemarimu?"
Sporty segera bertanya. "Jangan ngaco!"
Aku hanya membutuhkan sekeping coklat untuk menenangkan pikiranku. Dalam keadaan kalut seperti sekarang, mana bisa aku tidur dengan nyenyak?"
Dengan sekeping coklat di tangan. Oskar lalu kembali berbaring.
"sayang. padahal rambutnya begitu indah!" ia berkata dengan sedih.
"Dan begitu panjang."
"Aku tahu. Aku juga sudah kenal Kathie selama dua tahun."
"Dulu rambutnya belum sepanjang itu."
"Tapi sejak itu kan tumbuh terus."
"Dan sekarang malah habis sama sekali! Ini... ini suatu kejahatan yang kejam. Sama saja dengan merusak sebuah patung karya Rembrandt."
"Rembrandt tidak pernah bikin patung,"
Sporty menjelaskan. "Dia hanya melukis."
"Ah. apa bedanya! Yang penting kan rambutnya Kathie!"
Oskar mengomel. "Sori, deh!" jawab Sporty sambil menahan tawa.
"Bagaimana... ehm... bagaimana tampangnya... tanpa rambut?"
"Botak!" "Kau... kau keterlaluan!"
Oskar langsung marah-marah.
"Tak berperasaan! Pasti karena terlalu sering kebanting waktu latihan judo! Maksudku. apakah tampangnya berubah sekali tanpa rambutnya itu?"
"Bagaimana, ya?" ujar Sporty sambil meluruskan kaki.
"Wajahnya tetap cantik, dan yang lainnya juga masih seperti kemarin. Kalau soal rambut sih, mungkin selama setengah tahun dia harus pakai rambut palsu. Dan selama setahun kemudian rambutnya tetap pendek. Tapi aku
rasa, untuk Kathie sih pantas saja. Sebaiknya kau telepon dia besok pagi untuk menanyakan keadaannya."
"Betul, itu yang akan kulakukan,"
Oskar meyakinkan diri sendiri.
"Besok pagi-pagi aku mau menelepon Petra dan Thomas. Aku mau mengajak mereka ke Bad Finkenstein."
"Ke Bad Finkenstein? Untuk apa kau ke sana?"
"Untuk apa? Untuk apa? Untuk apa lagi kalau bukan untuk mencari para Pemburu Rambut!"
"Aku juga ikut, deh! Tapi rasanya sih, tidak banyak gunanya. Jumlah penduduk Bad Finkenstein sekitar 4000-5000 orang. itu belum termasuk makhluk-makhluk luar angkasa. Bagaimana caranya kau bisa menemukan kedua bajingan itu?"
"Jangan lupa, Oskar, napas salah satunya berbau bawang putih!" '
"Oh, iya! Sekarang aku baru mengerti. Kau akan berkeliaran di sana sambil mengendus endus dan..."
"Ya ampun, Oskar!"
Sporty memotongnya. "Beginilah akibatnya kalau kau kebanyakan makan coklat. Otakmu jadi tumpul! Kita harus bergerak secara cerdik dan sistematis. Kenapa, coba, orang makan bawang putih'?"
"Katanya sih, karena bagus untuk melancarkan peredaran darah. Menurut para ahli makanan, bawang putih hampir sama sehatnya dengan coklat."
"Nah, dan di mana orang bisa beli bawang putih?"
"Sebagai rempah? Ya, di pasar, dong!"
"Maksudku. sebagai obat. Kalau hanya dimakan sebagai bumbu dapur, bawang putih tidak meninggalkan bau yang terlalu keras. Tapi si Pemburu Rambut-astaga! Bau napasnya benar benar menyesakkan. Dia pasti menghabiskan beberapa ons setiap harinya. Kemungkinan besar dalam bentuk kapsul yang berisi sari bawang putih. Nah, aku pernah membaca bahwa kapsul kapsul seperti itu tidak menimbulkan bau kalau dimakan 3 kali sehari. Berarti, si Pemburu Rambut pasti menelannya dalam jumlah yang melebihi dosis normal. Entah apa alasannya. Barangkali dia membenci bawang putih. Barangkali dia sedang berusaha memusnahkan persediaan bawang putih di seluruh dunia. Yang pasti, dia membutuhkan bawang putih dalam jumlah besar. Tapi di mana dia bisa memperolehnya?"
"Di apotek." "Betul! Terus, di mana lagi?"
"Di toko obat." '
"Tepat sekali. Selain itu?"
"Mungkin di bagian obat-obatan di toserba.'
"Oskar, kadang-kadang kau memang jenius! "
"Lalu, bagaimana rencanamu selanjutnya?"
"Mudah saja. Kita datangi semua apotek, tok obat, serta toserba di Bad Finkenstein, kemudian menanyakan apakah ada orang yang sering memborong kapsul sari bawang putih. Siapa tahu kita beruntung."
"Wah, idemu boleh juga."
Untuk beberapa saat Oskar kelihatan berpikir keras.
"Eh, aku juga punya ide. nih," ia berkata setelah itu.
"Aku akan mengusulkan pada ayahku untuk membuat coklat dengan rasa bawang putih. Biar coklat buatan pabrik Sauerlich semakin baik untuk kesehatan."
"Coba saja kau ajukan usul itu,"
Sporty menanggapinya sambil menguap.
"Ayahmu pasti terkagum-kagum."
"Benar?" "Ya, dan kemungkinan besar dia lalu akan mencoretmu dari daftar ahli warisnya."
"Brengsek! Kau memang tidak punya daya khayal."
"Memang! Coklat dengan rasa bawang putih
aku tidak bisa membayangkannya. Tapi kalau selera makanmu mulai bergeser ke arah itu, lebih baik kau pindah kamar dari sekarang saja."
Sebelum Oskar sempat menjawab, pintu kamar mereka membuka. Pak Brosig muncul dan menanyakan keadaan Sporty. Ia nampak lega sewaktu mendengar bahwa Sporty tidak mengalami cedera yang serius.
"Syukurlah, kalau begitu," guru itu berkomentar sebelum menyuruh mereka tidur. Dan sambil mematikan lampu, Pak Brosig lalu keluar lagi.
Selama beberapa waktu, Oskar masih sibuk
mencari posisi tidur yang nyaman. Tapi tidak lain kemudian, dia pun sudah tertidur lelap.
Sepanjang malam, Sporty beberapa kali terbangun karena bahunya masih terasa sakit. Dan setiap kali ia teringat kembali pada kedua Pemburu Rambut yang telah menganiaya Kathie. Mumpung terjaga, dia lalu mulai menyusun langkah langkah untuk membalas dendam. Namun sebelum rencananya rampung, Sporty sudah tertidur lagi.
Ketika bangun pada pagi hari, pundak dan lehernya terasa kaku. Tetapi setelah mandi di bawah pancuran-berganti-gantian dengan -' panas dan dingin-otot-ototnya mulai mengendur.
Seperti biasanya, Oskar masih mendengkur sewaktu Sporty kembali dari kamar mandi.
"He, bangun dong! Sudah siang, nih!"
"Ah, kau mengganggu saja!"
Oskar menggerutu sambil membalikkan badan.
"Kathie sudah menunggu telepon darimu,"
Sporty mengingatkan sahabatnya.
"Apa perlu kukatakan padanya bahwa kau kebanyakan makan coklat sehingga tidak bisa bangun?"
"Hmm!" "Jadi, kau pun sudah tidak sabar untuk menelponnya? Bagus! Gadis seramah Kathie memang patut mendapat perhatian ekstra."
"Hmm!" "Astaga, pagi-pagi begini kau sudah begitu
cerewet. Aku sampai tak kebagian kesempatan untuk buka mulut."
"Uuh, mulai besok,"
Oskar mengomel, "aku akan makan kapsul sari bawang banyak-banyak. Biar kau kapok dan tidak mengganggu mimpiku lagi."
Dengan berat hati, Oskar akhirnya terpaksa bangun. Sepuluh menit kemudian, ia bersama Sporty sudah muncul di ruang makan. Sporty hanya minum segelas susu dan mengambil sebutir apel. Sementara Oskar masih menikmati sarapan paginya-ia selalu menghabiskan jatah tiga orang-Sporty menelepon Thomas Vierstein. Sahabatnya itu dijuluki si Komputer, karena daya ingatnya yang luar biasa. ,
Sporty langsung menceritakan kejadian yang dialaminya semalam. Ia juga menyinggung rencana untuk mencari keterangan di Bad Finkenstein.
"Aku ikut!" Thomas segera menanggapinya.
"Jejak Allium-sativum ini harus kita usut sampai tuntas."
"Jejak apa?" Sporty berlagak belum mencium gelagat. Padahal, ia sebenarnya sudah bisa menebak bahwa Thomas hanya ingin memamerkan pengetahuannya yang memang luar biasa.
"Jejak Allium-sativum! itu istilah Latin untuk bawang putih. Tumbuhan itu sering dipakai dalam ramuan obat-obatan tradisional, di samping sebagai bumbu dapur, tentunya. Di mana kita akan ketemu nanti?"
"Sebaiknya, kau jemput Petra dulu. Kalau
Oskar dan aku yang harus ke rumahnya, kita terlalu banyak buang waktu. Kita ketemu di... di Jembatan Wetterstein. sekitar jam sembilan, bagaimana?"
"Oke! Sampai nanti!"
Kemudian Sporty memutar nomor telepon keluarga Glockner. Yang menyahut ternyata ibu Petra.
"Selamat pagi, Sporty. Kau ingin bicara dengan Petra? Wah, Petra lagi membawa Bello jalan jalan, dan... Eh, itu dia! Tunggu sebentar, ya. Petraaa! Ada telepon dari Sporty."
Napas Petra masih tersengal-sengal ketika mengangkat gagang telepon. Rupanya dia baru saja balapan lari dengan Bello. Walaupun demikian, suaranya tetap terdengar merdu di telinga Sporty.
"Pagi, Petra! Begini, Oskar, Thomas, dan aku mau ke Bad Finkenstein hari ini. Apa kau bisa meluangkan waktumu yang berharga supaya keempat anggota STOP bisa pergi bareng-bareng?"
"Maksudmu, apakah aku mau ikut?"
"Ya, kira-kira begitu. Kita berangkat sekitar jam sembilan."
"Kau ini bertanya. atau memaksa?"
"Ah, aku tidak memaksa, hanya memberitahu."
"Huh, sebal!" Sporty nyengir. Ia tahu persis bahwa Petra sangat perasa dalam hal-hal seperti ini. Kemandirian dan kesamaan hak adalah segala-galanya bagi sahabatnya itu.
"Aku pikir-pikir dulu, deh!"
Petra lalu menjawab dengan ketus.
"Berpikir sih boleh-boleh saja. Tapi jangan Lama-lama. Soalnya sebentar lagi Thomas akan menjemputmu. Mestinya dia sudah berangkat sekarang. Kita nanti ketemu di Jembatan Wetterstein, sekitar jam sembilan."
"Enak saja! Siapa bilang aku mau ikut?"
"Tadinya aku kira kau justru senang karena..."
"Karena apa?" Petra cepat-cepat memotongnya.
"...karena boleh ikut'"
"Monyong! Untung saja kau tidak ada di sini. Kalau ada, sudah kusikut kau. Tapi tunggu saja sampai kita ketemu nanti!" ,
"Berarti kau jadi ikut?"
"Tidak! Aku hanya datang ke sana untuk memberi pelajaran padamu. Biar lain kali kau jangan seenaknya lagi."
"Boleh, boleh. Tapi jangan bawa Bello. Jarak ke Bad Finkenstein kurang lebih 20 kilometer. Kalau bolak-balik-wah, dia bisa pingsan di tengah jalan."
"Kapan-kapan aku akan menjitak kepalamu sampai benjol!" balas Petra sambil ketawa.
"Untuk apa sih kita ke Bad kaenstein? Rasanya, di sana tidak ada yang menarik."
"Sst, jangan keras-keras! Jangan sampai kedengaran orang lain. Kita akan melacak para Pemburu Rambut!"
"Para Pemburu Rambut? Maksudmu? Kau... kau berhasil menemukan petunjuk semalam? Dan kenapa kau menyebut para? Bukannya hanya ada seorang?"
"Mereka ternyata berdua! Semalam aku sempat memergoki kedua bajingan itu sewaktu pulang dari rumahmu."
"Ya, ampun! Terus, bagaimana?"
"Sst! Ayahmu tidak perlu mendengarnya. Untuk sementara, ini adalah kasus kita. Soalnya, aku masih harus membuat perhitungan dengan mereka."
"Ayahku lagi di kantor."
Petra berbisik. "Tapi bagaimana caranya sampai kau ketemu mereka?"
"Nanti saja kuceritakan semuanya. Pokoknya --mereka cukup berbahaya. Salah satu sempat menghajar kepalaku dari belakang. Aku hampir pingsan karenanya."
"Ya, Tuhan!" seru Petra dengan cemas.
"Bagaimana keadaanmu sekarang?"
"Sudah lumayan. Tapi kalau aku nanti kena hajar lagi olehmu, aku bisa pingsan benaran."
"Dasar!" Sporty ketawa, "Sampai nanti deh, Petra! Kelihatannya cuaca hari ini cukup bagus. Jadi kita tidak perlu membawa jas hujan."
Dugaan Sporty ternyata tepat. Ketika ia bersama Oskar melewati jalan raya ke arah kota. langit
tampak biru bersih. Tak sepotong awan pun terlihat. Dalam musim pancaroba seperti sekarang, cuaca memang sering berubah secara mendadak. Hari ini, misalnya, matahari bersinar dengan cerah, dan Oskar Sudah mulai bermandikan keringat.
"Sayangnya aku tidak tahu apakah ada stasiun kereta api di Bad Finkenstein," anak itu berseru melawan angin.
"Kalau tahu ada, aku mendingan naik kereta api saja. Lebih cepat, dan tanpa menguras tenaga."
"Tidak ada kereta yang ke sana,"
Sporty menjawab dengan yakin.
"Dari mana kau tahu?"
"Ah, itu kan sudah rahasia umum! Daripada naik kereta, orang lebih senang naik UFO kalau mau ke sana."
"Naik kereta, kek, naik UFO, kek-semuanya masih mendingan ketimbang terpanggang seperti sekarang."
Petra dan Thomas ternyata sudah menunggu di ujung Jembatan Wetterstein, yang melengkung tinggi di atas jalan bebas hambatan.
Kacamata Thomas berkilau-kilau terkena sinar matahari. Seperti biasa, celana dan bajunya nampak kedodoran. Ia kelihatan seperti boneka pengusir burung di tengah ladang.
Petra mengenakan baju hangat berwarna ungu,
dengan angka 13 terpampang di dada.
"Tuan Putri nampak cantik sekali,"
Sporty langsung memujinya.
Dalam hati ia berharap agar Petra sudah melupakan ancamannya di telepon tadi.
"Baju hangatmu bagus sekali. Tapi bagaimana nanti, kalau kau sudah 14 tahun?"
"Ah, sebentar lagi toh sudah kesempitan,"
Oskar segera mewakili Petra.
"Di bagian depannya, maksudku."
Petra langsung memelototi sahabatnya itu.
"Justru kau yang harus berhati-hati agar celanamu jangan sampai kesempitan," ia membalas dengan pedas.
"Di bagian perutnya, maksudku."
"Mana mungkin!" jawab Oskar sambil nyengir.
"Dua atau tiga keping coklat masih muat. kok!"
Setengah berbisik ia lalu menambahkan,
"Tapi hanya kalau ikat pinggangnya kukendorkan."
Petra lalu berpaling pada Sporty.
"Sekarang kau harus cerita dulu mengenai kejadian semalam. Bagaimana kau bisa sampai ketemu dengan para Pemburu Rambut itu."
Sporty menjelaskannya secara terperinci. ia juga menunjukkan stiker yang ditemukannya di Taman Lerchenau.
Ternyata Petra dan Thomas sependapat dengan Sporty: para Pemburu Rambut mestinya berasal dari Bad Finkenstein. Petra juga setuju dengan usul Sporty untuk melacak tempat-tempat yang menjual kapsul-kapsul sari bawang putih.
"Idemu memang bagus, Sporty,"
Thomas berkomentar. "Tapi ada kemungkinan bahwa pelaksanaannya agak sulit. Soalnya di Bad Finkenstein sedang ada kongres besar. Penutupannya besok."
"Kongres apa?" tanya Sporty.
"Masa kau tidak tahu?! Kongres para ahli antariksa. Para peneliti terkemuka dari seluruh Eropa hadir. Bahkan ada seorang astronot Amerika yang diundang sebagai tamu kehormatan, tapi aku rasa dia sudah pulang lagi sekarang. Di antara para peserta kongres. Profesor Hermann Oberthur-lah yang dianggap paling ahli di bidangnya. Dia kenalan ayahku. Aku sendiri juga sudah pernah berjumpa dengannya. Orangnya ramah sekali."
"Uih," seru Sporty terkagum-kagum.
"Bad Finkenstein ternyata sudah lebih maju dari yang kuduga. Para ahli angkasa luar pun bersidang di sana! Hebat! Penduduk Bad Finkenstein rupanya
berusaha keras agar kota mereka tetap menjadi bahan pembicaraan."
Thomas ketawa mendengarnya.
"Profesor Oberthur pernah bercerita bahwa kepala dinas pariwisata di sana memang berupaya keras untuk mempromosikan kotanya. Namanya Karl-Walther Schneider. Menurut Profesor Oberthur, pejabat itu bersedia melakukan apa saja asal nama Bad kaenstein semakin terkenal. Pendaratan UFO di kota itu juga sempat dibicarakan di dalam kongres."
"Dan yang mengemukakannya pasti si kepala dinas pariwisata, ya?"
Sporty menduga-duga. "Bukan, Profesor Oberthur yang mengusulkan tema itu."
Otak Sporty segera mulai bekerja.
Eh, ia berkata dalam hati, cerita UFO ini kan bisa dimasukkan ke
"Aku ada usul!"
Petra tiba-tiba berseru. "Bagaimana kalau kita bikin artikel mengenai UFO? Untuk dimuat di majalah sekolah kita."
"Aku juga mau usul begitu," kata Sporty.
"Wawancara dengan Pak Profesor itu kan cukup menarik. Apalagi kalau mengenai UFO. Semua orang kan kepingin tahu apakah ada kehidupan di luar bumi."
"Tanyakan saja pada orang-orang Bad Finkentein,"
Oskar berkata dengan santai.
"Sepertinya kan mereka setiap malam ketemu dengan orang orang planet."
"Nah, ini suatu kesalahan besar,"
Thomas segera berkata. "Penelitian ilmiah sudah membuktikan bahwa tidak ada tanda-tanda kehidupan pada planet-planet di tata surya kita. Ini sudah diketahui dengan pasti. Untuk menemukan bentuk kehidupan yang lain, kita harus menjelajah lebih jauh ke angkasa luar. Jaraknya mungkin tak terbayangkan olehmu."
"Untuk apa repot-repot membayangkannya," jawab Oskar.
"Belum tentu ada coklat di sana."
Semuanya ketawa. Kemudian mereka berangkat ke Bad Finkenstein.
*** Sutradara Konyol dari Amerika
Bad Finkenstein adalah sebuah desa kecil yang ditata secara apik. Bukit-bukit berhutan, dengan lereng yang landai, mengelilingi desa tempat peristirahatan itu. Di tengah-tengah desa terdapat taman luas, dengan bunga-bunga tulip bermekaran. Pusat desa tertutup bagi lalu-lintas kendaraan bermotor, sehingga para pengunjung bisa berjalan kaki dengan santai, tanpa terganggu kebisingan dan asap mobil. Daerah pinggir desa adalah daerah tempat tinggal orang-orang kaya. Vila-vila mewah nyaris tak terlihat dari jalanan, karena dikelilingi pekarangan-pekarangan yang sangat luas. Pohon-pohon berusia puluhan tahun menciptakan suasana teduh. Di depan bangunan bangunan hotel hanya terlihat mobil-mobil mahal. Kendaraan-kendaraan dengan harga terjangkau -milik para pegawai hotel-diparkir di tempat lain.
Matahari bersinar cerah di Bad Finkenstein. Sebuah spanduk berukuran besar menyambut para pengunjung di batas desa:
SELAMAT DATANG Dl BAD FINKENSTEIN-TEMPAT PERISHRAHATAN PALING TERKENAL DI SELURUH JAGAT!
"Terima kasih," ujar Oskar, yang kini telah basah kuyup karena keringat.
"Menurut aku sih, mereka terlalu berlebihan,"
Petra mengecam.

Detektif Stop Serangan Dari Antariksa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi nyatanya orang-orang tertarik untuk datang,"
Thomas berkomentar. "Sepanjang tahun, Bad Finkenstein selalu ramai dikunjungi."
Mereka lalu menuju Kantor Dinas Pariwisata.
Sporty langsung masuk. Tidak lama kemudian ia kembali dengan membawa sebuah brosur mengenai desa itu.
"Di Bad Finkenstein ada satu apotek, dua toko obat, dan satu supermarket-mini," ia menjelaskan setelah membaca brosur tadi.
"Kebetulan sekali! Berarti kita masing-masing kebagian tugas."
"Tapi bagaimana caranya untuk mendapatkan keterangan?" tanya Thomas.
"Orang-orang pasti akan heran kalau kita tiba tiba bertanya mengenai seorang pria yang napasnya berbau bawang putih! Kita harus punya alasan dulu, dong."
"Sebaiknya," ujar Sporty setelah berpikir sejenak,
"kita jangan mengarang cerita yang aneh aneh. Nanti orang-orang malah curiga. Begini saja deh. kita masing-masing mengaku bersenggolan dengan seorang pria di Taman Bad Finkenstein semalam. Tanpa disadarinya, buku yang ia bawa jatuh. Bukunya kita pungut. Tapi waktu mau mengembalikannya. pria itu ternyata sudah menghilang. Dan karena gelap, kita tak sempat melihat tampangnya. Satu-satunya ciri yang kita ingat adalah bahwa napasnya berbau bawang putih."
"ldemu boleh juga,"
Petra memuji. "Aku akan mendatangi apotek."
"Dan aku pilih supermarket-mini!" seru Oskar.
"Barangkali saja mereka juga menjual makman kecil. Perutku sudah mulai ribut, padahal aku lupa membawa bekal."
"Busyet, kau kan baru sarapan sebelum berangkat," kata Sporty.
"Masih mendingan kalau kau hanya makan sedikit. Jatah tiga orang kau habiskan! Kalau uang asrama naik lagi, maka itu pasti gara-gara kerakusanmu."
"Enak saja!" Oskar membela diri. "Aku kan cuma..."
"Daripada bertengkar,"
Petra memotong sambil ketawa,
"lebih baik kalian berkonsentrasi pada tugas masing-masing. Tuh, toko obat sudah kelihatan di ujung sana."
"Yang itu bagianku!" ujar Thomas cepat-cepat.
"Biar Sporty saja yang mencari toko obat yang satunya lagi. Di mana kita ketemu lagi nanti?"
Sporty menunjuk ke restoran di seberang jalan. Namanya mudah diingat Restoran Taman Bad Finkenstein.
"Dan setelah itu kita ke gedung kongres," ia lalu menambahkan.
Kemudian mereka berpencar.
Setelah mencari-cari selama beberapa waktu. Oskar menemukan supermarket-mini yang dicarinya di sebuah jalan sempit yang berbelok-belok. Jalan itu diapit oleh rumah-rumah tua berlantai
tiga atau empat, sehingga berkesan gelap dan suram.
Oskar menyandarkan sepedanya, lalu melangkah masuk.
Toko itu berbentuk memanjang, dengan langit langit yang tinggi. Di dalamnya hanya ada seorang wanita setengah baya yang sedang berdiri di atas kursi sambil mengatur barang barang di rak. Ia baru menoleh ketika Oskar menyapanya.
"Ada yang bisa saya bantu?" ia bertanya dengan ramah.
Oskar minta dua keping coklat. Si penjual lalu memberikan dua keping coklat buatan pabrik Sauerlich. Oskar menerimanya sambil tersenyum lebar.
"Kau suka jajan, ya?" si penjual bertanya kemudian.
"Ehm... kadang-kadang saja."
"Jangan terlalu banyak makan coklat,"
Oskar lalu dinasihatinya.
"Itu tidak baik untuk kesehatanmu. Lebih baik kau makan buah-buahan saja."
"Tante saya juga sering bilang begitu. Dia bahkan menganjurkan saya untuk membiasakan diri makan bawang putih. Katanya, bawang putih Juga baik untuk kesehatan. Apa benar?"
Wanita itu mengangguk. "Dua Mark delapan puluh," ia berkata kemudian.
"Hah?" "Coklatmu harganya dua Mark delapan puluh."
"Oh!" ujar Oskar sambil tersipu-sipu.
"Ehm, saya masih ada pertanyaan. Apakah Nyonya mengenal seseorang yang sering makan bawang putih dalam jumlah besar? Masalahnya..."
Ia lalu membeberkan cerita karangan Sporty.
Si penjaga toko mendengarkannya dengan penuh perhatian, lalu berkata,
"Bagus, niatmu patut dipuji. Buku itu memang harus dikembalikan. Dan mengenai pemiliknya-hmm, saya punya sekitar 30 langganan yang secara teratur membeli kapsul sari bawang putih. Kalau kau mau mencatat nama-nama mereka..."
Ia menyodorkan bolpen dan secarik kertas ke hadapan Oskar, sehingga anak itu terpaksa mencatat 32 nama dan beberapa alamat
"Semuanya orang yang ramah," si penjual menerangkan sementara Oskar sibuk menulis.
"Dan mereka tetap awet muda berkat sari bawang putih."
"Awet muda?" tanya Oskar.
"Memangnya mereka sudah tua-tua?"
"Semuanya sudah berusia di atas tujuh puluh tahun."
Oskar bagaikan tersambar petir. Hampir saja ia merobek-robek catatannya di hadapan penjual itu. Sebab, bahwa seorang kakek tua mampu
merobohkan Sporty-itu sama sekali tidak masuk akal.
Thomas memasuki toko obat pertama, yang berkesan modeam dan mewah. Bau parfum segera menyengat hidungnya.
Penjaga toko itu sedang melayani seorang wanita muda yang berpakaian perlente. Dia ditemani oleh anaknya, seorang gadis cilik berusia sekitar empat tahun. Anak kecil itu-Thomas sampai terheran-heran melihatnya-mengenakan pakaian yang persis sama dengan ibunya, hanya ukurannya saja yang berbeda. Dengan tangan kanan ia memeluk boneka beruang, yang telah kehilangan sebelah telinga.
Wanita itu membeli parfum dan sabun bayi. Nampaknya dia langganan tetap di toko ini, karena si penjual-seorang pria berkacamata -menanggapi setiap ucapannya dengan membungkuk penuh hormat.
Thomas menunggu sampai wanita tadi selesai berbelanja dan keluar dari toko. Dengan raguragu ia lalu menghampiri meja layan. Si penjual sedang menunduk sambil memeriksa bon-bon.
"Permisi! Saya ingin menanyakan sesuatu."
Tak ada tanggapan. "Apakah Anda menjual kapsul sari bawang putih di sini?" tanya Thomas.
"Tentu saja. Kemasan besar atau kecil?" si
penjual bertanya sambil meneruskan pekerjaannya.
"Ehm... sebenarnya, saya hanya mencari seseorang yang secara teratur membeli kapsul sari bawang putih. Saya ada urusan penting dengan orang itu, dan..."
Thomas menyampaikan ceritanya.
Setelah mendengarkannya sampai selesai. barulah si penjual mengangkat kepala, lalu mendelik ke arah Thomas.
"Ini toko obat, tahu?! Bukan tempat mencari informasi," ia berkata dengan ketus.
"Kau kira saya akan menyebutkan langganan-langganan kami, hanya supaya kau bisa mengganggu mereka? Titipkan saja buku itu ke kantor dinas pariwisata. Kalau pemiliknya memang merasa kehilangan, dia akan mencari buku itu ke sana. Lagi pula, di antara langganan kami tidak ada yang napasnya berbau bawang."
"Justru itu yang ingin saya ketahui," jawab Thomas dengan tenang.
"Terima kasih! Kalau kapan-kapan saya perlu sikat gigi, saya akan datang ke sini. Barangkali bisa tukar tambah dengan sikat gigi saya yang lama?"
*** Sporty ternyata harus mencari agak' lama sampai menemukan toko obat yang harus didatanginya.
Beberapa meter sebelumnya. ia disusul oleh
sebuah mobil sport berwarna abu-abu metalik buatan Amerika. Mobil itu nyaris menyerempetnya.
"Monyet!" Sporty mengumpat dengan kesal.
"Hati-hati sedikit, kenapa?"
Mobil sport itu ternyata berhenti tepat di depan toko obat.
Nah, setidak-tidaknya dia masih mau minta maaf. pikir Sporty. Sopir gila itu hampir saja membunuhku.
Si pengemudi turun dari mobilnya.
Sporty memandangnya sambil terbengong bengong.
Orang gila memang banyak yang berkeliaran di jalanan. Hanya saja sebagian besar masih berusaha menutup-nutupi keadaan mereka. Tetapi pengemudi Ford Mustang ini justru bersikap sebaliknya.
Pria itu berambut pirang dan gondrong. Wajahnya persegi dan terbakar matahari. Jenggot lebat yang sewarna dengan rambutnya menutupi dagu. Perawakannya tinggi besar. ia mengenakan celana kulit berwarna hijau, sepasang sepatu koboi
berwarna merah, kemeja hitam yang setengah terbuka, dan rompi berwarna putih yang terbuat dari sutera. Dua buah rantai emas melingkar pada leher dan pergelangan tangannya. Dan cincin yang dipakainya sebenarnya lebih cocok sebagai beban untuk atlet angkat besi.
"Well, darling, tunggu sebentar." si pirang berkata pada seorang gadis yang duduk di dalam
mobilnya. mendengar logatnya, Sporty langsung bisa menebak bahwa pria itu berasal dari Amerika.
"Hei!" Sporty berseru. "Lain kali hati-hati sedikit, dong! Anda tadi nyaris menyerempet saya"
Pria itu segera menoleh. Matanya yang biru nampak sayu.
"Ada apa?" "Saya nyaris keserempet mobil Anda tadi."
"Jangan takut. Asuransi saya akan menanggung segala kerugian," ia berkata dengan santai.
"Eh, tunggu dulu!"
Sporty masih sempat berkata.
"Masa Anda..." Tapi si Pirang sudah tidak mendengarnya. Tanpa mempedulikan Sporty, dia masuk ke toko obat.
Sporty menyandarkan sepedanya ke dinding, dan menoleh ke arah mobil orang tadi, karena merasa diperhatikan.
Gadis itu bermata coklat dan bulat. Rambutnya yang hitam dikeriting kecil-kecil. Wajahnya cantik, namun berkesan bodoh, ia masih muda. Rupanya ia merasa gerah, sebab kancing-kancing teratas pada blusnya dibiarkan terbuka.
Pasangan yang aneh! Sporty menyusul pria tadi ke dalam apotek.
"...tentu saja! Obat ini baik sekali untuk gangguan lambung, terutama kalau kebanyakan... ehm, maksud saya, obat ini paling manjur untuk mengatasi gangguan lambung akibat pemakaian alkohol yang berlebihan."
Gadis di balik meja layan nampak gugup.
Ia tersipu-sipu. Penuh rasa kagum ia menatap pria dihadapannya.
Namun si Pirang tak peduli.
Lho? pikir Sporty. Siapa sih orang itu?
Gadis penjual tadi bergegas ke bagian belakang toko untuk mengambil obat lambung.
Sementara itu, si Pirang berdiri sambil menggigit-gigit kuku. Dengan gaya sok acuh ia menatap ke sekelilingnya.
"Dasar brengsek!"
Sporty menggerutu. Si Pirang langsung menoleh.
"Ah, korban lalu-lintas tadi!" katanya.
"Anda salah alamat di sini, Bung. Rumah sakit ada di dekat stasiun." .
Tak salah lagi. Dia memang orang Amerika. Tapi penguasaan bahasa Jerman-nya hampir sempurna.
"Kalau Anda masih terus bersikap seperti sekarang," ujar Sporty dingin,
"Andalah yang harus segera dibawa ke sana. Kami punya peraturan lalu-lintas di sini. Anda tidak bisa mengendarai mobil dengan seenak perut sendiri. Dan kalau kepala Anda terasa pening karena kebanyakan minum, Anda seharusnya tidak boleh pegang kemudi sama sekali!"
Si Pirang langsung mendelik.
"Jangan kurang ajar, ya!" ia mengancam.
"Jangan salahkan saya kalau..."
"Kalau apa?" Sporty menantang sambil nyengir.
"Seandainya saya jadi Anda, saya akan lebih berhati-hati. Sikap Anda bisa berakibat buruk bagi kesehatan Anda sendiri."
Si Pirang hendak mengatakan sesuatu. Tapi kemudian ia membatalkan niatnya, karena gadis pelayan tadi sudah kembali.
"Ini obatnya, Mr. Owen. Delapan Mark sembilan puluh."
"Oh, kau mengenal saya?" pria itu bertanya.
Wajah gadis itu semakin memerah. Sambil menunduk malu, ia berbisik,
"Tentu saja, Mr. Owen! Semua orang di sini mengenal Anda."
Pria itu mengangguk-angguk.
Sambil tersenyum lebar, ia meletakkan selembar 10 Mark pada meja layan, lalu melangkah keluar tanpa menunggu uang kembaliannya.
"Ramah sekali orangnya,"
Sporty mengejek "Sayangnya... Siapa sih dia?"
Wajah gadis penjual tadi telah normal kembali.
Dan ketika mendengar ucapan Sporty, dia malah menjadi pucat.
"Masa kau tidak mengenalnya? Itu kan Thomas Owen, Thomas 'Lucky' Owen!"
Sporty hanya mengangkat bahu.
"Dia sutradara terkenal dari Amerika!" si penjual menjelaskan lebih lanjut.
"Kau pasti bukan penduduk Bad Finkenstein, ya?"
"Aku tinggal di kota."
"Oh, pantas! Hampir seminggu orang-orang itu berada di sini. Mereka membuat film di sini. Kau pasti tak menyangkanya, bukan? Bulan depan filmnya mulai diputar, sebuah film science fiction. Biaya pembuatannya mencapai sepuluh juta dolar! Sebuah film kolosal yang bercerita mengenai makhluk-makhluk luar angkasa yang menyerang bumi. Judulnya Serangan Dari Antariksa. Sutradaranya Lucky Owen, dan dia juga pegang peranan utama. Sayang sekali syutingnya sudah selesai. Dan hari ini seluruh rombongan film akan kembali ke Amerika. Ah, dasar bodoh, seharusnya kuminta tanda tangan Mr. Owen tadi."
"Simpan saja lembaran 10 Mark tadi," ujar Sporty setengah mengejek.
"Uangnya kan sempat dipegang sutradara itu."
Gadis itu tersenyum-senyum.
Matanya menerawang jauh. Tetapi kemudian ia menatap Sporty dengan curiga.
Cepat-cepat Sporty lalu menambahkan,
"Perusahaan film itu pasti juga dari Amerika, ya?"
"Kelihatannya sih begitu. Tapi ada juga beberapa orang Jerman yang terlibat. Wah, mudah mudahan saja obat yang kuberikan pada Mr. Owen cocok untuknya."
Astaga, Sporty berkata dalam hati.
Dia benar benar kagum pada sutradara gila itu.
"Kenapa kau tidak memberikan kapsul sari bawang putih saja padanya?" ia lalu bertanya.
"Siapa tahu lebih mujarab."
Gadis penjaga toko itu langsung menggeleng.
"Sari bawang putih sama sekali tidak berguna untuk mengatasi gangguan lambung. Lagi pula kami tidak menjualnya di sini."
"Lho, kenapa? Bukannya kapsul-kapsul semacam itu laku sekali?"
"Memang, tapi bos-ku keberatan."
Berarti aku salah alamat, pikir Sporty dengan kecewa. Ya mudah-mudahan saja yang lainnya lebih berhasil.
*** Satu-satunya apotek di Bad Finkenstein berada di lantai bawah sebuah rumah tua yang telah dipugar. Tangga batu menuju pintu yang terbuka lebar.
Dengan hati berdebar-debar Petra berdiri di depan apotek. Di antara anak-anak STOP, Petralah yang paling tidak bisa ngibul.
Dia selalu takut ketahuan.
Setelah ragu-ragu untuk beberapa saat, Petra akhirnya membulatkan tekad.
Apa boleh buat, ia berkata dalam hati. Yang penting, tujuannya baik.
Dengan langkah mantap ia lalu memasuki apotek.
Suasana di dalamnya ternyata cocok dengan bangunan kuno itu. Di mana-mana terlihat kayu berwarna gelap. Lemari-lemari besar berjejer di sepanjang dinding belakang. Dan di kedua sisi samping ruangan itu terdapat sejumlah papan yang penuh dengan istilah-istilah bahasa Latin.
Penampilan apotekernya, seorang pria berusia lanjut, juga cocok. Ia mengenakan kacamata model kuno, dengan bingkai emas. Melihat tampangnya, Petra langsung membayangkan bahwa orang itu meramu sendiri semua obat obatan menurut resep-resep yang diwariskan dari generasi ke generasi. Apoteker angkatan tua itu pasti kurang menyukai obat-obatan modern yang kini membanjiri pasaran.
"Selamat pagi,"
Petra menyapanya. Si Apoteker mengangguk ramah.
Sorot matanya hangat. Hal ini langsung membesarkan hati Petra.
"Saya ingin minta tolong, Pak,"
Petra mengawali percakapan.
"Saya mencari seseorang. seorang pria yang napasnya sangat berbau bawang putih. Masalahnya begini..."
Lalu ia bercerita. Dengan sabar si Apoteker mendengarkannya, sambil mengangguk sesekali.
Ketika Petra hampir selesai bercerita, pandangan pria berkacamata itu melayang ke arah pintu. Petra merasa bahwa ada orang lain yang memasuki apotek. Segera saja ia menoleh.
Orang itu hanya berjarak selengan dari Petra Untuk sesaat Petra menangkap pandangannyasebuah pandangan tajam dari sepasang mata berwarna kelabu. Selama sepersekian detik mata pemuda itu berbinar-binar. Kemudian ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Raut wajahnya kembali tanpa ekspresi.
Namun Petra yakin: pemuda itu sempat memelototi rambutnya-rambutnya yang pirang dan panjang.
Kedua lututnya terasa lemas.
"Selamat pagi!" ujar pemuda itu dengan suara serak.
Si Apoteker membalas salamnya, kemudian kembali berpaling pada Petra.
"Hmm, persoalan yang kauhadapi cukup rumit, Nona Manis," ia berkata.
"Saya punya ratusan langganan yang secara teratur makan kapsul bawang putih. Di antaranya juga ada yang hanya berlibur di Bad Finkenstein. Hanya beberapa saja yang saya kenal. Niatmu memang patut dihargai, tetapi saya rasa lebih mudah kalau kau menyerahkan buku itu ke kantor dinas pariwisata saja."
Petra merasa kecewa. Tetapi dia pun menyadari bahwa tidak ada jalan lain.
Ia mengucapkan terima kasih.
Pemuda tadi kembali memandang rambut Petra. Hanya sekilas saja, namun tidak luput dari perhatian gadis itu.
Pemuda yang baru masuk itu berambut hitam dan tebal.
Wajahnya biasa-biasa saja.
Sebuah bekas luka di sebelah kiri membuat mulutnya kelihatan mencong.
Kedua matanya menyorot penuh curiga.
Petra merasakan pandangan si Mulut Mencong pada punggungnya ketika ia meninggalkan apotek.
Di depan pintu, Petra berhenti sejenak untuk membetulkan tali sepatunya yang terlepas. Sambil mengikatnya, ia mendengar si Apoteker menanyakan keinginan pemuda tadi.
"Kapsul sari bawang putih. Kemasan seratus butir."
"Baik. Merk apa? Saya punya tiga macam dan..."
"Yang mana saja," si Mulut Mencong memotong.
"Bukan untuk saya, kok. Eh, ngomong ngomong, apa sih yang ditanyakan gadis tadi?"
"Oh, dia mencari seseorang yang napasnya berbau bawang putih. Soalnya..."
Si Apoteker lalu mengulangi cerita Petra.
sambil memuji-muji niat baik gadis itu. Sementara itu, Petra sudah menuruni tangga di depan apotek. Tepat di sebelah bangunan itu terdapat sebuah gang sempit. Cepat-cepat ia bersembunyi di sana. Ketika mengintip dengan hati-hati, ia melihat si
Mulut Mencong. Pemuda itu menyusuri jalanan dengan langkah panjang dan terburu-buru. Tangan kanannya menjepit sebuah tas kerja. Dari belakang, punggungnya nampak lebar dan kekar.
Petra berharap-harap agar pemuda itu naik ke
sebuah mobil. Kalau begitu, ia bisa menghafalkan plat nomornya. Tapi si Mulut Mencong tetap berjalan sampai menghilang di balik sebuah tikungan.
segera saja Petra kembali ke apotek.
"Lho, ada yang ketinggalan?" si Apoteker bertanya sambil tersenyum.
Petra menggeleng. "Apakah Anda kenal orang yang masuk setelah saya tadi?" ia bertanya kemudian.
"Tidak. Baru kali ini saya melihatnya. Tapi pasti bukan dia yang kaucari. Soalnya, saya tadi sempat bercerita mengenai niat baikmu. Dan kalau memang orang tadi yang kehilangan buku itu, maka dia pasti langsung memanggilmu, bukan? Lagi pula, napasnya tidak berbau bawang putih. Dia memang beli kapsul sari bawang putih, tetapi untuk orang lain, bukan untuk dia sendiri. Ya, kelihatannya kau masih harus bersabar dulu sebelum niat baikmu terlaksana."
*** Masuk ke Lingkungan Elite
Ketika Sporty memasuki Restoran Taman Bad Finkenstein, teman-temannya ternyata sudah menunggu di sana. Mereka menempati salah satu meja di pinggir jendela, dan duduk dengan kaku. Sporty langsung menyadari bahwa Thomas dan Oskar merasa kikuk. Mungkin karena mereka berada dalam lingkungan yang mewah, soalnya restoran itu ditata seperti ruang makan di istana seorang bangsawan. Tapi Petra sama sekali tidak terkesan oleh keadaan di sekelilingnya. Gadis itu pasang tampang yang sama sombongnya dengan para pelayan yang berjalan mondar-mandir.
Sporty melihat lampu-lampu kristal, cermin cermin berbingkai timah, dan taplak-taplak meja yang putih bersih. Ia lalu berjalan di atas karpet tebal menuju meja teman-temannya. Dua pelayan menatapnya seakan-akan Sporty salah masuk ruangan.
Sepatu kets, celana jeans, dan baju hangat, rupanya dianggap kurang sopan untuk masuk ke restoran ini.
Gaya pakaian tamu-tamu yang lain-setengah lusin wanita berusia lanjut dan dua pria setengah baya-memang berbeda sama sekali. Para wanita mengenakan gaun mewah, topi sebesar roda gerobak, dan-kalau dijumlah-perhiasan seberat dua kilogram. malah seorang mengisap rokok dari sebuah pipa perak yang panjang.
Sementara para wanita sibuk bergosip, kedua pria tadi membaca koran dengan tenang. Mereka pun mengenakan pakaian bergaya kuno.
Astaga! pikir Sporty sambil nyengir. Seperti di museum patung lilin saja.
Ia menghampiri teman-temannya.
"Halo, semua! Eh, kenapa kalian pasang tampang kusut? Kalian tak berhasil?"
Sporty duduk di samping Petra.
Thomas dan Oskar lalu melaporkan hasil kunjungan masing masing.
"Ya, bagaimana lagi,"
Sporty berkomentar. "Dan bagaimana denganmu, Petra?"
"Aku juga tidak menemukan petunjuk yang Mas. Tapi,"
Petra lalu menurunkan suaranya,
"aku ketemu seorang pemuda yang terus-menerus memperhatikan rambutku-ih, aku sampai
merinding karenanya. Perasaanku mengatakan bahwa dia salah seorang Pemburu Rambut."
"Hah?" Oskar berseru. Tamu-tamu lain langsung menoleh. Rupanya mereka menganggap tingkah Oskar kurang sopan.
Petra lalu bercerita. "Sayangnya kau tidak tahu namanya," ujar Sporty kemudian.
"Barangkali saja dia membelikan kapsul bawang putih untuk rekannya. Hmm, mudah-mudahan saja kita ketemu lagi denqan dia. Kau masih ingat tampangnya, kan?"
Petra mengangguk. "Dari belakang pun aku bisa mengenalinya. Kau sendiri bagaimana hasilnya?"
"Aku juga gagal memperoleh keterangan. Tapi aku tahu bahwa desa ini telah menjadi semacam Hollywood kecil-kecilan. Kenyataan ini mungkin terlalu mengagetkan bagi orang-orang di Bad Finkenstein. Kelihatannya para pelayan pun berpendapat bahwa mereka hanya boleh melayani bintang-bintang film saja."
Sporty mengatakannya tanpa meninggikan


Detektif Stop Serangan Dari Antariksa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara, tapi cukup keras agar sampai di telinga para pelayan.
Semenit kemudian, seorang pelayan berkepala botak mendatangi meja mereka.
"Mau pesan apa?" orang itu bertanya sambil mendongakkan kepala.
Dengan dingin Petra menjawab,
"Saya minta teh Darjeeling. Jungpana musim gugur, kalau ada. Kalau Anda tidak punya; petikan pertama juga boleh. Tapi hanya Nurbong. Tolong diberi jeruk nipis sedikit."
Sporty memperhatikan wajah si pelayan sambil ketawa terbahak-bahak-dalam hati, tentunya. Pria itu pasang tampang seakan-akan Petra mengatakan bahwa restoran ini hanyalah sebuah kandang kambing.
Ia sampai lupa menutup mulut.
Kelihatan sekali bahwa ia sama sekali tidak tahu apa yang dimaksud Petra. Walaupun demikian, ia mengangguk dan mencatat pesanan gadis itu.
Sporty dan Thomas memesan Coca-Cola Oskar memilih semangkuk es-krim coklat.
Setelah si pelayan menghilang, Oskar segera bertanya,
"Eh, Petra! Seperti apa sih teh dari Juling itu?"
"Teh Darjeeling!"
Petra menjawab sambil ketawa.
"itu sejenis teh yang berasal dari India, dari lereng selatan Pegunungan Himalaya. Rasanya enak sekali."
"Pokoknya, kau sudah memberikan pelajaran pada pelayan konyol itu!" ujar Thomas sambil
nyengir. Kemudian ia berpaling pada Sporty.
"Tapi apa maksudmu dengan Hollywood kecil kecilan tadi?"
"Baru-baru ini Bad Finkenstein menjadi tempat syuting film science-fiction. Judulnya: Serangan dari Antariksa,"
Sporty menjelaskan. "Uih!" seru Oskar kagum.
"Filmnya pasti seru sekali. Aku paling suka nonton film science fiction. Aku masih ingat film yang ada robot-robot raksasa mengamuk sambil menyemburkan api. Gila, seram sekali! Teknik pembuatannya benarbenar hebat. Aku jadi kepingin tahu bagaimana trik-triknya supaya semuanya kelihatan hidup."
"Wah, kemungkinan besar kau akan kecewa," ujar Thomas sambil membetulkan letak kacamatanya.
Wajahnya berseri-seri, karena akhirnya ada kesempatan untuk memamerkan pengetahuannya yang luar biasa. Bagi Thomas, membuktikan kehebatan otaknya adalah kenikmatan tersendiri. Tapi bagi teman-temannya, hal itu bisa menjengkelkan sekali.
"Kebiasaan memanfaatkan trik-trik dalam pembuatan film diawali pada tahun 1932," ia mulai menjelaskan.
"Waktu itu dibutuhkan seekor gorila raksasa-King Kong! Apa yang mereka lakukan? Seseorang bernama O'Brien, yang bekerja sebagai karyawan film di Hollywood, segera menarik kesimpulan: film adalah gerak. yaitu urut-urutan gambar diam. Setiap detik, 24 gambar semacam itu lewat di depan lensa-lensa pembesar pada sebuah proyektor. Gerakan itu begitu cepat,
sehingga mata tidak sanggup melihat masing masing gambar itu. Dengan cara ini timbul-kesan gerak. Kenyataan ini dimanfaatkan oleh O'Brien. Dia membuat boneka gorila setinggi 20 sentimeter, dengan lengan dan kaki yang bisa dibengkok-bengkokkan. Lalu kamera film dipakai seperti tustel biasa. Boneka gorila tadi dipotret ribuan kali. Dan setiap kali sikap badannya diubah sedikit. Ketika diputar di gedung bioskop, para penonton mendapat kesan bahwa boneka itu benar-benar hidup. Cara ini masih digunakan sampai sekarang. Namanya SMA-Stop Motion Animation. Berdasarkan prinsip ini, gambar-gambar boneka gorila tadi diambil di depan layar kosong berwarna putih. Adegan demi adegan lalu direkam ulang pada pita film yang sesungguhnya. Dengan cara ini, King Kong seakan-akan memanjat gedung pencakar langit-atau berada di hutan rimba. Dan cara yang sama sampai sekarang masih dipakai untuk menggerakkan monster monster atau makhluk-makhluk khayal dalam film-film science-fiction."
"Hebat!" ujar Oskar terkagum-kagum.
"Tapi ini belum menjelaskan bagaimana caranya membuat adegan yang... ehm, kalian pasti tahu yang kumaksud. Dalam adegan itu Charlie Chaplin sedang bergelantungan pada jarum jam di puncak sebuah pencakar langit dan..."
Itu bukan Charlie Chaplin,
Thomas memotongnya, "tapi Harold Lloyd. Dan adegan itu sama sekali tidak membahayakan. Pengambilan
gambarnya saja dilakukan di dalam studio. Tembok dan jam dimana Harold Lloyd bergelantungnn berada di depan sebuah layar tembus pandang. Dari belakang layar, seorang petugas memproyeksikan pemandangan jalan_yang seakan-akan jauh di bawah jam. Nah, seluruh adegan ini lalu diambil dari depan, sehingga timbul kesan bahwa Harold Lloyd benar-benar terancam bahaya maut. Padahal, dia hanya satu meter di atas lantai studio. Cara ini juga masih dipakai sampai sekarang. Misalnya, kalau kau melihat sebuah stasiun ruang angkasa dengan sekelompok orang yang berjalan menuju pesawat mereka, maka yang terjadi sesungguhnya adalah seperti ini: sambil berjalan, orang-orang itu difilm-di depan latar belakang yang kosong sama sekali. Kemudian seorang animator (tukang gambar) melukis seluruh latar belakangnya-stasiun ruang angkasanya, pesawatnya, bintang-bintang, dan sebagainya-pada sebuah pelat kaca, yang lalu diproyeksikan pada layar. Sebuah alat khusus lalu memproyeksikan adegan pertama tepat pada tempat yang kosong. Adegan 'campuran' ini direkam dengan kamera film. Selesai!"
"Luar biasa!" gumam Oskar, yang sementara itu sudah asyik melahap es-krimnya.
"Tehnya dari Ceylon," ujar Petra setelah mencicipi minumannya.
"Ya, lumayan juga. Tapi aku yakin bahwa mereka memang tidak menyediakan jenis-jenis teh yang lain. Huh, para
pelayan saja yang lagaknya seperti di restoran top!" . '!
Sporty tidak menanggapinya-meskipun sependapat dengan Petra. Ia sedang berpikir, bagaimana caranya bisa melacak jejak para Pemburu Rambut.
Tapi konsentrasinya terganggu ketika tiga orang menyerbu ke dalam restoran. Untuk beberapa detik kedua pelayan menatap tamu tamu yang baru masuk itu dengan tajam. Namun tiba-tiba raut wajah mereka melunak, dan mereka pun tersenyum dengan ramah.
Sporty langsung mengenali tamu yang berjalan paling depan: Thomas 'Lucky' Owen, sutradara merangkap bintang film. Pakaiannya masih sama meriahnya seperti tadi.
Bahwa kedua rekannya juga orang film-itu tidak sukar untuk ditebak.
Yang pertama berbadan tinggi kurus. Kumis tebal melintang di atas bibirnya. Wajahnya mirip koboi iklan yang menunggang kuda sambil mengisap cerutu. seakan-akan ingin membuktikan bahwa mengisap cerutu akan membuat orang merasa bertualang di alam bebas. Ia mengenakan setelan jas sutera berwarna merah dengan kemeja berwarna hitam.
Wah, ujar Sporty dalam hati, kepalaku jadi pusing kalau kelamaan memandang dia.
Rekan Thomas 'Lucky' Owen yang kedua berbadan gemuk dan berwajah bulat-persis bayi sehat. Bagian depan kepalanya sudah nyaris botak. Tapi rambut di bagian belakang dibiarkan gondrong, seolah-olah hendak menarik perhatian para Pemburu Rambut. Dengan matanya yang sipit ia memandang ke seluruh ruangan.
Rombongan kecil itu melewati meja anak-anak.
Owen melirik ke arah Petra. Kemudian ia melihat Sporty, yang sedang memperhatikannya sambil menahan senyum.
Si sutradara bersama kedua rekannya akhirnya memilih sebuah meja di salah satu pojok ruangan Setelah menggeser-geser kursi dan duduk, mereka lalu berbincang-bincang dalam bahasa inggris.
Tapi logat Amerika mereka begitu kental, sehingga Petra pun hanya menangkap sedikit-sedikit
padahal gadis itu juara kelas dalam bahasa Inggris.
"Yang pakai jenggot," ujar Sporty.
"bernama Ihomas Owen, seorang sutradara dari Amerika."
"Dari mana kau mengenalnya?" tanya Thomas.
"Tadi aku sempat ketemu dengannya di apotek," jawab Sporty.
Kemudian ia bercerita. "Huh. sombong dan tak tahu aturan,"
Petra ikut berkomentar. "Tapi dalam filmnya, dia pasti
berperan sebagai pahlawan tanpa pamrih. yang terbang dari bintang ke bintang untuk membantu orang-orang yang berada dalam kesulitan."
"Aku juga punya cita-cita seperti itu waktu keCil," Oskar berkata tanpa ditanya.
"Impianku adalah menjelajahi ruang angkasa naik roket pnbadiku. Aku akan mendatangi semua bintang untuk mempromosikan coklat buatan pabrik Sauerlich!"
"Hahaha, kau bisa tua di jalan," ujar Thomas
sambil ketawa. "Begitu banyak bintang yang harus kaudatangi. Para ahli angkasa luar saja tidak tahu berapa jumlahnya. Termasuk Pak Profesor yang baru masuk."
Semuanya menoleh ke arah pintu.
Dua pria berusia lanjut baru saja masuk. Yang pertama berbadan pendek dan gemuk.
Kepalanya botak. Sedangkan yang kedua berbadan langsing dan berambut putih. Usianya sekitar 70 tahun.
Ia mengenakan kacamata tebal.
Sporty sudah beberapa kali melihat fotonya terpampang di koran: Profesor Hermann Oberthur, salah seorang ilmuwan terkemuka dalam bidang antariksa.
Profesor Oberthur sedang terlibat dalam pembicaraan seru dengan rekannya. Meskipun demikian, ia sempat melihat Thomas ketika mereka melewati meja anak-anak STOP.
"Oh, Thomas? Apa kabar, Nak?" si Profesor bertanya sambil berhenti.
"Sedang apa kau di sini?"
Thomas langsung berdiri dan menyalami Profesor Oberthur.
"Saya lagi jalan-jalan dengan teman-teman saya. Petra, Sporty, Oskar-ini Profesor Oberthur yang sudah kuceritakan tadi."
Sporty tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu.
"Pak Profesor," katanya dengan sopan,
"kami ingin sekali mewawancarai Bapak mengenai perkembangan penelitian ruang angkasa-khusus nya penelitian mengenai UFO. Wawancara nanti akan dimuat dalam majalah sekolah kami."
"Wah, ini wawancara kelima dalam minggu ini," si Profesor menjawab dengan ramah.
"Tapi saya selalu punya waktu untuk memuaskan rasa ingin tahu anak-anak muda. Hanya saja hari Ini acara saya sudah sangat padat. Kongres kami baru berakhir besok siang. Sampai saat itu saya belum ada waktu luang. Sekarang pun hanya
sempat minum secangkir kopi dengan rekan saya, Profesor Alvsbyn dari Uppsala. Setelah itu kami harus segera kembali ke gedung kongres. Saya kira, waktunya tidak cukup untuk melakukan wawancara."
Kelihatannya, Profesor Alvsbyn dari Swedia tidak mengerti bahasa Jerman. Tapi mendengar namanya disebut, dia pun mengangguk sambil tersenyum.
"God dag!" ia berkata ramah, kemudian berpaling pada Profesor Oberthur dan berbisik,
"Var ar tvattrummet?"
Anak-anak STOP baru mengerti artinya ketika Profesor Oberthur menunjukkan jalan ke toilet.
Oberthur kembali berpaling pada Sporty.
"Setelah kongres, saya masih akan tinggal di sini selama beberapa hari. Untuk istirahat. Besok mungkin saya bisa menyediakan waktu untuk kalian."
"Terima kasih banyak, Pak Profesor," kata
Spotty. "Jam berapa dan di mana kami bisa menemui Bapak?"
"Sekitar setengah tiga, bagaimana? Saya menginap di Hotel Istana. Kalian tunggu di lobi
saja" Anak-anak STOP kembali mengucapkan terima kasih. Si Profesor lalu menuju sebuah meja kosong. Salah seorang pelayan segera mendatanginya.
Pelayan yang lain sedang mengurus rombongnn Thomas Lucky Owen. Baru saja ia membawa sebuah botol wiski dan tiga gelas berisi es batu. Ia
menuangkan minuman itu sambil tersenyum lebar. Kemungkinan besar ia akan bercerita pada semua orang bahwa ia hari ini melayani orang terkenal.
"Nah, setidak-tidaknya sebagian dari rencana kita berjalan lancar," ujar Oskar.
"Besok kita akan mengetahui dari bintang mana UFO-UFO itu berasal."
"Eh, kau jangan keliru,"
Sporty mengingat kannya. "Profesor Oberthur bukan Thomas 'Lucky' Owen!"
Oskar hanya nyengir. Dan dengan tenang ia lalu menghabiskan es-krimnya.
"Kelihatannya orang orang film itu juga mengenal si Profesor," kata Petra.
"Lihat saja. mereka terus-terusan melirik ke arahnya."
Benar! Ketiga orang itu duduk sambil berbisik bisik. Berkali-kali pandangan mereka melayang ke arah Profesor Oberthur, yang sedang membaca sebuah naskah. Tetapi kini Profesor Alvsbyn kembali, dan mereka berbincang-bincang dalam bahasa Swedia.
"Hmm, semakin lama kita tinggal di Bad Finkenstein, semakin banyak kesempatan untuk bertemu dengan si Mulut Mencong. Sayangnya hanya Petra yang tahu tampangnya. Ya, mudah mudahan saja kita kebetulan ketemu lagi dengannya. Di sebuah tempat terkemuka seperti ini. segala sesuatu bisa terjadi. Jumlah orang yang beristirahat di sini tidak terlalu besar. Tapi daripada duduk-duduk tanpa tujuan, lebih baik kita
mulai bekerja saja. mumpung lagi di Sini, kita sekalian saja mewawancarai orang-orang yang pernah melihat UFO."
"Ide yang baik,"
Petra mengakui. "Tapi apa kau tahu siapa-siapa saja yang menjadi saksi mata?"
"Untuk apa ada dinas pariwisata di sini? Di sana kita bisa memperoleh keterangan mengenai siapa-siapa saja yang pernah melihat UFO."
*** Keterangan Para Saksi Mata
KANTOR Dinas Pariwisata berada di sebuah vila kuno, tidak jauh dari taman di tengah desa. Beberapa tempat parkir nyaris menempel pada dinding bangunan. Sebuah papan pengumuman mengingatkan para pengemudi agar memarkir kendaraan masing-masing pada tempat-tempat yang telah disediakan. Di sebelah pintu masuk terdapat papan pengumuman lain yang mengatakan bahwa Kantor Dinas Pariwisata buka sampai jam 13.00, termasuk pada hari Sabtu.
Keempat sahabat itu menyimpan sepeda-sepeda mereka di samping sebuah sedan kecil.
Semuanya ingin ikut masuk.
Maklum saja, mereka semua merasa sebagai wartawan. Dan seorang wartawan sejati harus selalu menunjukkan rasa ingin tahu yang besar.
Belasan-mungkin bahkan puluhan tahun yang lalu-vila itu pasti kepunyaan orang-orang terpandang. Ruang penerima tamunya saja mengagumkan. Dinding-dindingnya berlapis kayu-kayu pilihan, jendela-jendelanya terbuat dari kaca timah, dan ada sebuah perapian kuno yang besar-sedikit pun tidak mencerminkan suasana kantor.
Kedua meja tulis yang terdapat dalam ruangan ini sama sekali tidak cocok dengan lingkungan
sekitarnya. Satu sedang kosong. Tapi yang lainnya ditempati oleh seorang wanita. Wanita itu baru saja meletakkan cangkir kopinya. Rambutnya tebal sekali, mirip bulu domba. Ia memasang tampang seakan-akan ingin menunjukkan bahwa ia bertanggung-jawab atas segala sesuatu yang terjadi di Bad Finkenstein. Mungkin ia merasa bahwa tanpa dirinya segala kegiatan terpaksa berhenti.
Nyonya Spatz-begitulah yang tertulis pada papan nama di hadapannya.
"Selamat siang, Bu Spatz,"
Sporty berlagak akrab. "Kami wartawan majalah sekolah. Profesor Oberthur telah menjanjikan sebuah wawancara mengenai piring terbang. Supaya tulisan kami lebih lengkap, kami juga ingin memperoleh keterangan dari beberapa penduduk Bad Finkenstein. Terutama dari mereka yang pernah melihat sebuah UFO. Kami membutuhkan alamat orang orang itu. Apakah Ibu dapat membantu?"
"Oh!" ujar Bu Spaiz sambil mengusap-usap rambutnya.
Ia melirik ke pintu tinggi di sebelah kiri, lalu kembali berpaling pada anak-anak STOP.
"Kalian wartawan majalah sekolah? Ah! Menarik sekali. Kalian pasti bukan orang Bad Finkenstein? Dari kota, ya?"
Sporty membenarkannya. "Nah, bagaimana kesan kalian mengenai desa kami?"
"Luar biasa, Bu Spatz. Semuanya bersih dan terawat baik. Kami langsung bisa menarik kesimpulan bahwa semua posisi yang menentukan ditempati oleh orang-orang yang tekun dan bertanggung-jawab."
Bu Spaiz tersipu-sipu mendengar pujian Sporty. Ia mengangguk, berpikir sejenak, berdiri, dan berkata,
'Tunggu sebentar!" Lalu menghilang di balik pintu tinggi tadi. Tak sampai semenit
kemudian ia memanggil anak-anak dan mempersilakan mereka masuk.
Dulu, ruangan itu mungkin merupakan ruang santai. Tapi sekarang, fungsinya telah berubah menjadi ruang kantor Kepala Dinas Pariwisata Bad Finkenstein, yang bernama Karl Walter Schneider. ia sedang duduk di balik meja tulisnya yang berukuran raksasa.
Bu Spatz memperkenalkannya, dan anak-anak STOP juga menyebutkan nama masing-masing dengan sopan. Sporty lalu menjelaskan maksud kedatangan mereka.
"Kalau begitu, kalian berhadapan dengan orang yang tepat!"
Pak Schneider berseru. "Saya sendiri menjadi saksi mata ketika UFO itu mendarat," ia menambahkan sambil mengacungkan jari telunjuk.
Ia tersenyum lebar, mengangkat bahu, dan memajukan kepala seperti seekor macan yang siap menerkam mangsanya. Setiap gerakannya mencerminkan semangat dan kegesitan yang tak mengenal lelah. Apakah Pak Schneider memang selalu bersikap begitu-atau hanya berpura-pura di depan anak-anak-tidak bisa langsung diketahui.
Kini ia menyandarkan diri dengan santai.
"Hmm. kejadiannya dua tahun yang lalu..." ia mulai bercerita.
Sekali lagi ia menyorongkan kepalanya ke depan. Sebentar-sebentar matanya melirik ke arah Petra. Rupanya ia menyukai gadis gadis, terutama yang cantik-cantik
"Oh maaf, silakan duduk dulu,"
Pak Schneider mempersilakan anak-anak.
Karena hanya ada tiga kursi, Sporty memilih untuk tetap berdiri.
Petra mengeluarkan kertas dan pensil dari tasnya. Pak Schneider memperhatikannya sambil mengangguk-angguk.
"Seperti sudah saya katakan tadi," ia mulai lagi.
"kejadiannya dua tahun yang lalu. Pada suatu malam yang romantis. Sekitar tengah malam. saya menyusuri Jalan Kellerleiten ke arah Bukit Madu. Sampai malam itu-hal ini harus saya
tekankan-saya termasuk orang-orang yang meragukan keberadaan UFO. Namun kemudian... saya menjadi saksi mata suatu kejadian yang luar biasa."
Pak Schneider berhenti sejenak, dan meratakan jaketnya.
"Piring terbang itu muncul tepat dari balik Bukit Madu," ia lalu meneruskan ceritanya.
"Bentuknya? Kurang lebih seperti cerutu dilihat dari samping. Seluruh badan pesawat ruang angkasa itu nampak merah membara. Piring terbang itu melaju dengan kecepatan tinggi, dan meninggalkan lintasan berapi ketika menghilang ke arah padang belantara. Sebelum benar-benar menyadari apa yang terjadi, UFO itu sudah lenyap dari pandangan saya. Kemudian terdengar suara benturan yang sangat keras."
"Piring terbang itu jatuh?"
Oskar langsung bertanya. "Bukan, suara itu berasal dari mobil saya, atau --tepatnya-dari sebatang pohon. Saya begitu terpesona oleh pemandangan yang luar biasa itu, sehingga lupa membelok ketika melewati tikungan tajam. Kebetulan ada sebatang pohon di tempat yang kurang menguntungkan. Sebelum saya sempat berbuat sesuatu, perjalanan saya sudah berakhir di pohon itu. Mobil saya hancur total."
"Tapi bagaimana dengan Anda sendiri?" tanya Sporty.
"Saya masih beruntung. Hanya wajah saya saja yang sedikit lecet."
"Apakah Anda merasa bahwa kecelakaan itu ada sangkut-pautnya dengan makhluk-makhluk angkasa luar?"
Thomas ingin tahu. "Barangkali Anda merasa diawasi oleh mereka-di luar kemauan Anda?"
"Sama sekali tidak!"
Pak Schneider menyangkal sambil tersenyum simpul.
"Para penghuni bintang lain, yang kadang-kadang mengunjungi bumi, sama sekali tidak bermaksud jahat. Mereka cinta damai dan sangat bersahabat terhadap orang-orang Bad Finkenstein."
"Selain Anda, apakah masih ada orang lain yang melihat UFO itu?" tanya Sporty.
Kepala Dinas Pariwisata itu menggeleng.
"Tapi itu tidak mengherankan," ia menjelaskan kemudian.
"Soalnya para penduduk kota kami sudah terbiasa tidur sore-sore."
"Jadi, Anda yakin bahwa benda yang Anda lihat adalah sebuah UFO?"
Sporty mencari kepastian.
"Ya, tidak salah lagi!" ujar Pak Schneider dengan suara tertahan.
"Ketajaman pandangan mata saya tidak perlu diragukan. Karena itu, saya merasa yakin, bumi bukan satu-satunya tempat berkehidupan di jagat raya ini. Dan kelihatannya, Bad Finkenstein merupakan tujuan utama makhluk-makhluk angkasa luar, yang datang ke bumi. Mungkin karena ada lubang di lapisan atmosfer -tepat di atas kota kami," ia berkata sambil
tertawa. "Mungkin juga, karena udara di sini paling cocok bagi mereka. Entahlah, saya sendiri tak tahu kenapa. Tapi yang pasti, tak ada tempat lain di dunia ini yang begitu sering dikunjungi UFO seperti Bad Finkenstein."
Ia melirik jam tangannya lalu bangkit dari kursi.
"Maaf, Anak-anak. Saya sudah harus pergi sekarang. Saya harus ke tempat mandi uap. Kalau masih ada pertanyaan, kalian bisa menghubungi Bu Spatz."
Sementara anak-anak kembali ke ruang penerima tamu, Pak Schneider mengambil mantelnya dari lemari. Sambil melambaikan tangan dengan ramah, ia lalu bergegas melewati Sporty beserta teman-temannya, dan meninggalkan kantor.
Beberapa detik kemudian kepalanya muncul kembali di ambang pintu.
"Tolong kirimkan majalah sekolah kalian ke smi, kalau artikel mengenai UFO itu sudah terbit, ya?"
Anak-anak tentu saja menyanggupi permintaannya. Kemudian mereka berhadapan dengan Bu Spatz lagi. Sekretaris Pak Schneider itu duduk di balik meja tulisnya, membetulkan letak kacamata, lalu menggeleng-geleng.
"Saya tak yakin apakah Bad Finkenstein memang harus dipromosikan dengan cara seperti ini. Lama-lama orang-orang bisa menganggap bahwa kami hanya mengada-ada saja. Tapi bagaimana
lagi? Pak Schneider sudah tergila-gila pada ide itu. Berbicara mengenai UFO sudah merupakan
bagian dari pekerjaannya sehari-hari. Dia benar. benar percaya bahwa UFO itu ada."
"Memangnya Ibu tidak?" tanya Sporty.
"Selama ini, saya belum pernah melihat UFO di sekitar Bad Finkenstein. Dan kecuali itu, saya tidak pernah minum alkohol kalau masih harus mengemudikan kendaraan."
Eh! pikir Sporty. Maksudnya barangkali... "Apakah Pak Schneider habis minum-minum sewaktu kecelakaan itu terjadi?"
Bu Spatz tersenyum lembut
"Kaulah yang mengatakannya! Saya tidak pernah berkata seperti itu. Lagi pula itu tugas polisi. Mereka yang harus mencari tahu apakah ada pengaruh alkohol dalam kecelakaan itu"
Astaga! ujar Sporty dalam hati.
Kantor macam apa ini? Bu Spatz berani menjelek jelekkan bosnya di depan kita!
Mungkin dia sudah minta berhenti. Atau barangkali Pak Schneider akan segera dicopot dari jabatan, dan Bu Spatz sudah merasa sebagai penggantinya?
Tapi biarlah, itu urusan mereka.
"Kami sebenarnya masih ingin ketemu dengan saksi mata yang lain," kata Sporty kemudian
"Apakah Ibu bisa memberikan sebuah alamat?"
Bu Spatz berpikir sejenak.
"Kalian coba datangi Alwin Gutsche," katanya kemudian.
"Orangnya ramah dan bisa diajak berbincang-bincang. Dulu dia bekerja di kantor pos, tetapi sekarang sudah pensiun. Dia tinggal di Jalan Waldheim No. 11, kalau tidak salah.
Rumahnya besar, dan seluruh dindingnya dirambati tanaman anggur liar."
Anak-anak STOP mengucapkan terima kasih.
Tiba-tiba Sporty teringat pada sesuatu.
"Apakah Ibu kebetulan mengenal seseorang yang napasnya berbau bawang putih?" ia bertanya.
"Aduh! Bawang putih? Wah, di antara tamu tamu kami kadang-kadang memang ada yang mempunyai ciri seperti itu, tapi selain itu... Kenapa kau bertanya?"
Sporty cepat-cepat mengarang sebuah cerita singkat.
Kemudian mereka mohon diri.
Di depan Kantor Dinas Pariwisata, anak-anak mempelajari peta desa Bad Finkerstein. Jalan Waldheim ternyata menuju ke suatu bukit berhutan di pinggir kota.
Dalam perjalanan ke sana, Oskar mulai mengeluh.
"Dasar tukang siksa semuanya! Sudah berjam jam aku tidak makan apa-apa. Memangnya kalian kira aku lagi puasa? Ransum darurat yang kubawa sudah lama habis. Es-krim yang kumakan tadi juga hanya berisi air saja. Orang-orang normal sedang menikmati makan siang sekarang. Tapi kita?! Kita memburu sebuah UFO, yang mungkin tak pernah mendarat di sini. Wah, sebentar lagi aku akan jatuh dari sepeda. Dan kalau aku pingsan, maka itu adalah tanggung-jawab kalian."
"Kalau kau pingsan. maka kami akan menggeletakkanmu di pinggir jalan saja,"
Sporty berlagak kejam. "Sepeda akan kita tinggalkan di sampingmu. Jadi kalau kau sudah siuman lagi, kau bisa menyusul kami."
"Bah!" Oskar menggerutu. "Orang-orang seperti kau seharusnya diekspor ke Planet Mars!"
"Peron dua! UFO jurusan Mars!" seru Thomas.
"Kawan-kawan, siapa tahu impian ini menjadi kenyataan suatu hari nanti."
Mereka sampai di ujung Jalan Waldheim. Mulamula, jalan itu menanjak sedikit.
Namun semakin lama,tanjakannya menjadi semakin tajam.
"Aduh!" Oskar kembali mengeluh. "Paka! menanjak segala!"
Tanjakan bertambah tajam.
Sporty menurunkan gigi sepeda balapnya, lalu menggenjot dengan penuh semangat. Dalam sekejap, suara napas teman-temannya sudah tak terdengar lagi.
Ia menoleh ke belakang. Ternyata, tanpa sengaja Sporty telah meninggalkan mereka jauh di belakangnya.
Oskar sudah turun dari sepeda dan mendorongnya ke atas. Thomas masih mencoba mengimbangi Petra. Gadis itu sedang berusaha keras untuk menaklukkan bukit itu. Meter demi meter ia memaksakan diri untuk tetap maju.
No. 11-terpampang pada pilar pintu gerbang di sebelah kiri jalan.
Sporty melompat turun dari sepedanya.
Tidak lama kemudian Petra sampai dengan napas tersengal-sengal, Thomas menyusul beberapa detik sesudahnya.
"Ke mana saja kalian?" tanya Sporty berlagak bodoh.
"Kalian mampir ke restoran dulu, ya?"
"Sok tahu!" Petra mendesis. Thomas hanya tersenyum-senyum.
Mereka lalu menunggu Oskar, yang dari jauh sudah mulai mengomel.
"Setiap kali pergi bersama kalian, aku pasti telat makan. Ini tidak boleh dibiarkan. Nanti malah jadi kebiasaan."
Dengan kesal ia mengentak-entakkan sepatunya yang berukuran 381/2.
Sementara itu, Sporty sudah membaca papan nama di samping pintu masuk. untuk meyakinkan diri bahwa ini memang benar rumah Alwin Gutsche.
Pekarangan di lereng bukit itu ditumbuhi berbagai jenis pohon. Sebagian dipakai sebagai apotek hidup. Rumahnya sendiri sudah tua, tetapi dalam keadaan terawat baik. Tanaman anggur liar merambat sampai ke lantai dua. Sepintas rumah itu mengingatkan Sporty pada sebuah istana dongeng.
"Mudah-mudahan saja perjalanan kita ke sini tidak sia-sia,"
Sporty berharap. Ia lalu mendorong sepedanya sampai ke pintu masuk dan menekan bel.
Seorang gadis membuka pintu.
Usianya sekitar 17 tahun.
Matanya bulat dan berwarna gelap. Sepotong kain yang disimpulkan di tengkuk menutupi kepalanya, sehingga rambutnya tidak kelihatan. Ia mengenakan pakaian
santai berwarna biru muda. Di sekeliling matanya terdapat lingkaran hitam, seakan-akan dia kurang tidur akhir-akhir ini.


Detektif Stop Serangan Dari Antariksa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Selamat siang! Kami ingin bertemu dengan Pak Gutsche."
"Tunggu sebentar! Saya lihat dulu apakah paman saya ada di rumah."
Gadis itu membiarkan pintu terbuka dan melangkah ke dalam. Ia menghadap ke tangga dan berseru,
"Paman Alwin!" Pamannya ternyata tidak turun dari lantai dua, tetapi muncul dari pintu di samping gadis itu.
"Ada apa, Gaby?" ia bertanya sambil menggigit pipa tembakaunya.
Kemudian ia melihat Sporty.
"Kau ingin ketemu dengan saya?"
"Selamat siang, Pak Gutsche. Saya bersama teman-teman saya."
Sporty menunjuk ke belakangnya,
"menulis untuk majalah sekolah kami. Kami akan mewawancarai Profesor Oberthur mengenai kedatangan UFO-UFO di Bad Finkenstein. Dalam rangka itu, kami sekaligus mencari keterangan tambahan. Bu Spatz dari Kantor Dinas Pariwisata menyebutkan Anda sebagai salah seorang yang pernah melihat UFO."
Pak Gutsche tersenyum. Kelihatannya, itu memang kebiasaan yang sudah mendarah-daging, sebab di sekitar matanya terdapat banyak sekali
kerutan-kerutan kecil yang lucu. ia mengenakan celana panjang dari bahan drill, kemeja berpola
kotak-kotak, dan rompi Kulit. mata dan giginya berkilau-kilau. Kulitnya coklat terbakar matahari .Seandainya belum tahu bahwa Pak Gutsche pensiunan pegawai pos, Sporty akan menyangkanya sebagai pelatih ski.
"Bagaimana pendapatmu, Gaby? Apakah kita bersedia untuk diwawancara?"
Penuh kasih sayang ia merangkul keponakannya.
"Mengapa tidak?" ujar gadis itu sambil tersenyum.
Tetapi Sporty merasa bahwa senyum Gaby senyum terpaksa.
Pak Gutsche menoleh ke kiri dan memandang keluar pintu. Baru sekarang ia melihat Petra, Thomas, dan Oskar.
"Silakan masuk semuanya!" ia berseru ramah.
Orangnya memang baik sekali, Sporty mengakui dalam hati. Pembicaraan ini pasti akan membuahkan hasil. .
*** Satu Korban Lagi KELIHATANNYA, Pak Gutsche sudah menduda. Sporty menarik kesimpulan itu karena istrinya tak muncul-muncul ketika mereka duduk di ruang tamu yang nyaman. Kecuali itu, perabot-perabot agak berdebu. Seorang ibu rumah tangga takkan mendiamkannya begitu saja.
Membersihkan rumah rupanya bukan tugas Gaby. Gadis itu duduk di sofa, sambil merapatkan lutut. Kedua bibirnya pun tertutup rapat. Matanya yang gelap nampak berkaca-kaca-seperti sedang menahan kesedihan yang mendalam.
Dengan jempol tangan Pak Gutsche memadatkan tembakau dalam pipanya.
Sambil merenung ia menatap Sporty.
"Peter Carsten. Hmm, rasanya saya mengenalmu..."
Sporty mengangkat alis keheranan.
Pak Gutsche mencopot pipanya dari mulut. Dengan gagangnya ia lalu menunjuk Sporty.
"Nah, sekarang saya ingat lagi! Kau Sporty, bukan?"
Petra mulai ketawa. "Astaga, Sporty! Baru kali ini aku lihat kau pasang tampang bloon seperti sekarang," ia berkata dengan riang.
"Ya, akhirnya sifat aslinya kelihatan juga!"
Oskar berkoar. "Maaf, Pak Gutsche, tapi dari mana Anda mengenal saya?" tanya Sporty agak bingung.
"Kau Sporty, si jago judo dari sekolah asrama, betul tidak?" ujar Pak Gutsche sambil tersenyum simpul.
"Penjelasannya mudah saja. Saya dulu juga aktif sebagai pejudo. Sekarang saya melatih perkumpulan judo di Bad Finkenstein. Anggotanya hanya sebelas orang, dan lima setengah di antara mereka selalu cedera. Awal Maret yang lalu, anak buah saya ikut dalam pertandingan yang diadakan di aula olahraga di sekolahmu. Saya sendiri tidak bisa hadir karena terserang flu berat. Tapi saya mendengar cerita mengenai seorang pejudo di kelas remaja yang memenangkan semua pertarungannya. Dan beberapa hari kemudian, saya melihat fotomu di bagian olahraga dalam koran Bad Finkenstein. Karena itu sejak tadi saya merasa seperti sudah pernah melihatmu."
"Ya, betul!" seru Sporty.
"Penampilan regu judo Bad Finkenstein cukup hebat."
Pak Gutsche nyengir. "Tepat sekali. Hanya saja semua anak buah saya dibantai habis, kecuali satu orang. Dia dinyatakan menang WO karena lawannya tidak muncul."
"Tapi," Sporty berkomentar, "prestasi regu Anda cukup baik. Tidak ada yang mengecewakan. Mereka hanya... ehm... kurang berpengalaman."
"Terima kasih, Sporty!" jawab Pak Gutsche Sambil ketawa.
"Mereka bisa besar kepala kalau mendengar pujian darimu."
Semuanya ketawa. Tetapi Sporty masih agak bingung. Ia mencoba mengingat-ingat pertandingan bulan lalu itu.
Perkumpulan Judo Bad Finkenstein?
Meskipun sudah berusaha keras, Sporty tidak mengingatnya. Atau-jangan-jangan yang dimaksud Pak Gutsche adalah gerombolan anak-anak yang hanya terbengong-bengong ketika harus maju ke arena pertandingan.
"Menang bukan segala-galanya dalam olahraga," kata Pak Gutsche.
"Yang penting, kami sudah berpartisipasi. Walaupun hanya terbengong-bengong di arena."
Sporty berseri-seri. "Sekarang saya ingat! Regu Bad Finkenstein! Ya, anak-anak yang menyenangkan."
"Sudahlah," Pak Gutsche berkomentar. "Lebih baik kita bicara mengenai hal lain saja. Kalian ingin tahu apakah saya pernah melihat UFO? Hmm, saya sendiri tidak yakin. Tapi yang pasti, saya memang melihat sesuatu. UFO atau bukan-itu tidak bisa saya pastikan. Barangkali..."
Tepat pada saat itu perut Oskar berbunyi keras. Semua orang langsung menoleh ke arah anak itu.
"Maaf, kalau perut saya agak kurang ajar,"
Oskar berkata sambil tersipu-sipu.
"Tapi sebenarnya dia tidak bersalah. Perut saya hanya memprotes karena sudah lama tidak diisi. Teman-teman saya ini memang tidak berperi-kemanusiaan."
"Kalau begitu, kita teruskan pembicaraan ini sambil makan saja."
Pak Gutsche menawarkan. "Tolong siapkan makanan untuk tamu-tamu kita," ia lalu berkata pada Gaby.
Gadis itu berdiri dan menuju ke dapur.
Ia kembali sambil membawa baki berisi berbagai macam roti. Untuk menghilangkan dahaga,
Gaby membawa limun dingin dan sebotol bir untuk pamannya.
Pak Gutsche makan dengan lahap, Gaby sebaliknya, hanya sedikit sekali makannya. Sporty, Petra, dan Thomas sangat menahan diri, tapi Oskar sama sekali tidak bersikap malu-malu.
Setelah menyikat roti yang ketiga, ia mengelap mulutnya.
"Nah, sekarang aku sudah siap untuk bertualang lagi," ia berkata sambil menepuk-nepuk
perutnya yang semakin membulat.
"Ke mana pun akan kuladeni."
"Kembali ke pokok pembicaraan tadi," ujar Pak Gutsche.
"Benda yang saya lihat menyerupai bola api berwarna merah. Benda itu meninggalkan lintasan panjang di langit malam. Saya melihatnya di tepi timur desa kami. Sekitar jam dua pagi-saya baru pulang dari sebuah acara pertemuan bulanan. Ketika saya menceritakan hal itu pada tetangga-tetangga di sini, mereka langsung menyimpulkan bahwa benda yang saya lihat adalah sebuah piring terbang. Pada waktu itu, orang-orang Bad Finkenstein memang sedang tergila-gila pada UFO. Menurut saya sih, benda yang saya lihat hanyalah sebuah meteorit. Kalian tentu tahu apa itu, bukan?"
"Sebuah benda angkasa berukuran kecil yang memasuki atmosfer bumi,"
Thomas menjawab seketika.
"Pada umumnya, benda semacam itu Sudah keburu hancur sebelum jatuh ke tanah. Jumlah meteorit yang sampai membentur permukaan bumi kecil sekali. Sampai saat ini, penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa benda benda itu tidak pernah mengandung zat-zat yang tidak terdapat di bumi. Tergantung pada zat pembentuknya. meteorit dibagi menjadi dua jenis, yaitu meteorit besi dan meteorit batu. Meteorit terbesar yang pernah ditemukan jatuh di Hoba, Afrika Selatan. Beratnya mencapai 60 ton. Namun sebenarnya, meteorit-meteorit berukuran jauh lebih besar sudah pernah menghantam
bumi-misalnya yang berdiameter 150 meter dengan berat sekitar 10 juta ton. Benturan meteorit sebesar itu meninggalkan lubang yang amat lebar dan dalam. Contoh yang baik adalah lubang besar Canon Diabolo di Arizona, dengan garis tengah 1300 meter. Kedalaman lubang itu mencapai 174 meter."
Pak Gutsche mendengarkannya sambil terkagum-kagum.
"Astaga, Thomas! Kau mendalami masalah ini?"
"Komputer kami ini tahu segala-galanya,"
Petra menjelaskan sambil ketawa.
"Karena itulah dia memperoleh julukannya. Otaknya cacat sejak lahir, dan karena itu tidak pernah melupakan sesuatu."
Thomas menc0pot kacamata dan mulai menggosok-gosoknya.
"Pak Gutsche, saya kira kita harus lebih mempersempit lingkup pembicaraan kita," ia lalu melanjutkan pembicaraan.
"Seperti sudah saya katakan tadi, benda angkasa berukuran kecil disebut meteorit. Tetapi sebutan bagi cahaya yang ditimbulkan adalah meteor-yang juga disebut sebagai bintang jatuh. Penyebab masuknya sebuah meteorit ke lapisan atmosfer bukanlah gaya tarik bumi, tetapi persilangan lintasan antara kedua benda angkasa itu. Bintang jatuh mempunyai bobot hanya beberapa gram. Mereka memancarkan cahaya pada ketinggian antara 120 sampai 80 kilometer di atas permukaan bumi,
kemudian padam pada ketinggian antara 80 sampai 20 kilometer. Cahaya itu sendiri disebabkan oleh tingkat kepadatan udara yang semakin besar. Pada malam-malam yang gelap, gejala itu bisa saja disangka sebagai piring terbang."
"Saya pun sependapat denganmu," ujar Pak Gutsche.
"Kelihatannya," kata Sporty,
"kalau kita menyelidiki penampakan UFO di Bad Finkenstein lebih lanjut, maka pasti ada penjelasan ilmiah untuk semuanya. Menurut saya sih, berita-berita mengenai pendaratan UFO di desa ini terlalu dibesar-besarkan."
"Kemungkinan besar pendapatmu benar."
Pak Gutsche mengakui. "Tetapi kepala dinas pariwisata Bad Finkenstein memanfaatkan berita-berita itu untuk mempromosikan desa kami."
"Kami juga sudah berkenalan dengan Pak Schneider," ujar Oskar sambil mengunyah.
"Sekarang dia lagi di tempat mandi uap."
Pak Gutsche tertawa kecil.
Kemudian ia mengambil roti yang kedua.Oskar sementara itu sudah menghabiskan lima potong.
"Hmm, roti sosis buatanmu benar-benar enak, Gaby,"
Petra memuji. "Kalau asal bikin, semua orang juga bisa. Tapi yang penting kan bumbunya. Kau pakai cabai hijau, ya? Dan bubuk bawang putih!"
"Tepat sekali," jawab Gaby.
"Lidahmu peka sekali."
Sporty tidak tahu apakah Petra hanya kebetulan menyinggung soal bawang putih, atau memang bermaksud mengarahkan pembicaraan. Pokoknya. dia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.
"Sebagai bumbu dapur," ia berkata,
"bawang putih sangat bermanfaat. Tapi ada saja orang yang terus-terusan menelan kapsul bawang putih, sampai-sampai napas mereka juga berbau seperti itu."
Pak Gubche langsung berhenti mengunyah.
"Betul, orang seperti itu memang ada."
"Saya tidak mengerti apa tujuan orang-orang itu,"
Sporty kembali berkata. "Saya juga tidak,"
Pak Gutsche menanggapinya dengan kaku.
Sporty mengambil sepotong roti.
Untuk sesaat semuanya terdiam.
Gaby menundukkan kepala. "Dikota," Sporty meneruskan, "kami kadang kadang ketemu dengan seseorang yang napasnya berbau bawang putih."
"Oh ya?" tanya Pak Gutsche.
"Ya, tapi kadang-kadang saja." jawab Sporty sambil tersenyum.
"Bagaimana kalau di Bad Finkenstein?"
"Sama saja. Sekali-sekali kita mungkin saja berpapasan dengan seseorang seperti itu."
"Apakah Anda kebetulan mengenal seseorang yang napasnya berbau bawang putih?" tanya Sporty sambil memajukan badannya. _
Gaby dan Pak Gutsche sekilas bertukar pandang.
"Kenapa kau ingin mengetahuinya?" tanya Pak Gutsche.
"Oh, iseng-iseng saja. Apa memang ada orang yang seperti itu?"
Pak Gutsche melepaskan pipa tembakaunya dari mulut, lalu berkata,
"Kau tidak bisa menipuku, Sporty. Ini pasti ada apa-apanya. Kenapa kau bertanya?"
"Hmm. Barangkali, karena kami mencari seseorang yang napasnya berbau bawang putih, Pak Guische."
"Untuk apa?" "Barangkali. karena dia bajingan terbesar yang pernah berkeliaran di sekitar sini."
Raut wajah Pak Gutsche menjadi tegang.
"Sudahlah Sporty, terus terang saja!"
"Baiklah. Apakah Anda suda mendengar berita mengenai si Pemburu Rambut-bajingan yang menyerang wanita dan gadis pada malam hari, membius para korbannya dengan kloroform. lalu memotong rambut mereka sampai gundul? Bajingan inilah yang sedang kami lacak, Pak Gutsche. Kami sudah memastikan bahwa dia bekerja sama dengan seorang rekannya, dan bahwa keduanya berasal dari Bad Finkenstein. Tetapi selain itu, kami hanya tahu bahwa napas salah satu dari mereka berbau bawang putih."
Pak Guische mendengarkan uraian Sporty sambil membelalakkan mata.
Dalam kesunyian setelah ucapan sporty, yang terdengar hanya tangis Gaby yang terisak-isak.
Gadis itu masih duduk dengan kepala tertunduk. Kedua tangan menutupi wajahnya. Bahunya bergerak naik-turun.
Sporty nampak heran. Oskar begitu bingung, sampai-sampai lupa menutup mulut.
Thomas perlahan-lahan melepaskan kacamatanya.
Setengah berbisik, Petra berkata,
"Sekarang aku tahu kenapa kau mengenakan ikat kepala, Gaby."
Pelan-pelan gadis itu mengangkat kepala. Lalu
dengan sekali tarik-dia melepaskan ikat kepalanya.
Mendengar ucapan Petra, Sporty sudah bisa menduga apa yang telah terjadi dengan Gaby. Tetapi ia tetap saja kaget ketika dihadapkan pada kenyataan yang mengerikan.
Gaby pernah memiliki rambut yang berwarna hitam kebiru-biruan.
Tapi sekarang kepalanya botak.
Di sana-sini rambutnya berdiri dengan kaku.
Sunset Bersama Rosie 6 Pendekar Kembar 7 Gadis Penyebar Cinta Suramnya Bayang Bayang 6
^