Pencarian

Serangan Dari Antariksa 2

Detektif Stop Serangan Dari Antariksa Bagian 2


"Kau juga?" tanya Oskar terkejut.
"Tiga hari yang lalu," kata Pak Gutsche dengan suara yang bergetar karena marah,
"Gaby terkena musibah sewaktu pulang dari desa Merkenheim. Pada malam itu, dia disergap dari belakang, lalu dibius dengan kloroform. Ketika siuman kembali, rambutnya yang panjang dan indah telah lenyap. Bajingan yang menyergap Gaby telah memotongnya. Satu-satunya ciri si penjahat yang sempat diingat Gaby, adalah bahwa napas orang itu berbau bawang putih."
Gaby semakin terisak-isak.
"Yang akan saya ceritakan sekarang, tidak boleh kalian teruskan pada siapa pun juga," ujar Pak Gutsche.
"Tapi saya yakin bahwa kalian takkan menyalahgunakannya Begini-Gaby tidak melaporkan kejahatan ini pada polisi."
"Lho, kenapa?" tanya Oskar.
"Soalnya, Gaby sebenarnya tidak boleh pergi ke Merkenheim, karena pacarnya tinggal di sana. Orangtua Gaby melarangnya untuk bertemu
dengan pacarnya itu. Nah, tiga hari yang lalu, Gaby ingin menjenguknya. Diam-diam! Orangtua Gaby sedang bepergian ke Amerika Serikat selama tiga minggu. Karena itu kami masih bisa merahasiakan kejadian ini."
"Tapi bagaimana nanti, kalau orangtuamu sudah pulang, Gaby?" tanya Sporty.
"Apa yang akan kaukatakan pada mereka?"
Gadis itu menatap Sporty dengan mata berkaca kaca.
"Aku tak tahu," ia menjawab dengan lemah.
'Kami tinggal di seberang desa. Supaya para tetangga jangan sampai tahu, aku bersembunyi di rumah Paman Alwin."
"Memangnya kau tidak sekolah?"
Gaby menggeleng. "Aku berhenti sekolah setelah menyelesaikan pendidikan menengah pertama. Selama beberapna bulan aku lalu mengikuti kursus bahasa di Paris. Tanggal 1 Juli nanti aku akan mengikuti pendidikan di sekolah kejuruan. Aku ingin jadi penerjemah."
"Kalau kau tidak bisa berterus terang pada orangtuamu," ujar Sporty.
"kau bisa saja mengatakan bahwa kau disergap di Bad Finkenstein. Mana mungkin ada yang mau menyelidiki dan membuktikan bahwa itu tidak benar. Tapi sebenarnya sih, aku tidak setuju dengan cara itu. Aku berpendapat bahwa kita harus bersikap terbuka
pada orangtua kita. Kita harus bisa berbicara mengenai apa saja dengan mereka. Terutama
tentang suatu masalah yang segawat ini. Tapi jangan takut, Gaby. Rambutmu pasti akan tumbuh lagi. Menurut perhitungan, Kathie-teman sekelas kami-membutuhkan waktu sampai lulus sekolah supaya rambutnya sepanjang dulu lagi.'
"Mengenai orang tuamu, Gaby,"
Pak Gutsche berpaling pada keponakannya,
"kau tidak perlu khawatir. Saya yang akan berbicara dengan mereka. Percayalah, semuanya akan beres. Tapi sekarang," ia lalu berkata pada anak-anak STOP .
"kalian harus menjelaskan dulu, siapa Kathie? Bagaimana kalian menemukan jejak para Pemburu Rambut? Dari mana kalian tahu bahwa mereka memang berdua? Dan apakah kalian yakin bahwa bajingan'bajingan itu benar-benar berasal dari Bad Finkenstein?"
Sporty menjelaskan semuanya.
Gaby kini sudah lebih tenang.
Dengan saputangan ia mengeringkan air mata. Kelihatannya. gadis ini bahkan lebih peka dibandingkan Kathie.
Ketika Sporty selesai bercerita, Pak Gutsche berkomentar,
"Jadi, pertama, kalian sedang mencari para Pemburu Rambut. Kedua, besok kalian akan mewawancarai Profesor Oberthur. Ketiga, kalian hari ini harus pulang ke kota dan besok kembali lagi-suatu perjalanan yang cukup melelahkan. Dan keempat, kalian sekelompok anak muda yang gemar bertualang dan perlu mendapat dukungan. Karena itu, saya mengundang kalian
untuk bermalam di sini-kalau kalian mau. Saya punya dua ruang tidur tamu yang kosong."
Anak-anak STOP menatapnya setengah tak percaya.
"Asyiiik!" Oskar yang pertama buka mulut.
"Ini baru kejutan,"
Thomas menyambung. "Hip-hip-horeee!" teriak Petra kemudian.
"Tapi apakah orangtuaku mengizinkannya?"
Sporty langsung berdiri dan bersalaman dengan Pak Gutsche.
"Terima kasih banyak. Atas nama kelompok STOP. itu kami berempat. Bagi kami, tawaran ini memang meringankan sekali. Hanya ada satu masalah, kami tidak membawa sikat gigi."
"Sekali-sekali tidak sikat gigi juga tidak apaapa," balas Pak Gutsche sambil ketawa.
"Tapi sebelumnya," kata Sporty,
"kami perlu minta tolong, orangtua Petra dan Thomas, serta petugas piket di asrama, harus dihubungi. Supaya mereka tahu bahwa kami akan menginap di sini. Kalau Anda yang menelepon, mereka pasti tidak keberatan."
"Serahkan saja semuanya pada saya," ujar Pak Gutsche sambil tersenyum.
"Urusan kecil ini akan saya bereskan dengan segera."
*** Malam Penuh Bahaya Sore hari berlalu dengan cepat-bahkan kelewat cepat bagi anak-anak STOP.
Bersama Pak Gutsche dan keponakannya, mereka duduk di teras yang dikelilingi dinding kaca, sambil menyusun rencana untuk meringkus para Pemburu Rambut. Anak-anak mengemukakan kesulitan-kesulitan di sekolah. Dan Gaby juga sudah tidak sedih lagi ketika ia bercerita mengenai pacarnya.
Sporty dan teman-temannya telah mendapat izin untuk bermalam di sini.
Pak Gutsche telah mengurusnya.
Ia lalu membawa anak-anak STOP ke lantai dua untuk menunjukkan kamar-kamar yang akan mereka pakai.
Petra akan tidur di kamar Gaby.
Akibatnya sudah bisa ditebak. Kedua gadis itu pasti takkan tidur sampai jauh lewat tengah malam. Terlalu banyak hal yang bisa dibicarakan -sebab, walaupun Gaby lebih tua, mereka langsung saling menyukai.
Untuk Sporty, Thomas, dan Oskar, tersedia sebuah tempat tidur dobel. Mereka terpaksa agak berdesak-desakan, terutama karena Oskar tak pernah bisa tidur dengan tenang. Dia selalu berguling dari satu sisi ke sisi yang lain. Kadang kadang anak itu bahkan melintang di tempat tidur.
Sporty sudah hafal kebiasaan sahabatnya itu. Karenanya, ia memilih untuk tidur di tempat tidur lipat saja, yang juga terdapat di kamar mereka. Tapi sekarang belum ada yang berpikir untuk beristirahat.
Setelah menikmati hidangan makan malam yang disiapkan oleh Gaby dan Petra, anak-anak Vang lain disuruh mencuci piring. Mereka mengerjakannya tanpa merasa keberatan.
Oskar memanfaatkan kesempatan itu untuk menghabiskan sisa-sisa yang terakhir.
Gaby, yang ternyata sangat baik hati, bahkan menyediakan sekeping coklat untuk Oskar-sebagai makanan pencuci mulut, katanya.
Ketika pekarangan mulai diliputi kegelapan, semuanya kembali berkumpul di teras. Sebuah Lampu gantung memancarkan cahaya remang remang.
Gaby mengusulkan untuk main remi.
Oskar rupanya belum mengenal permainan kartu yang menarik ini. Tetapi dengan cepat ia menguasai segala peraturan, dan bahkan memenangkan ronde pertama.
Semuanya bergembira. Hanya Sporty yang agak diam. Pandangannya sebentar-sebentar mengarah keluar, ke kegelapan malam.
Bulan purnama telah muncul dari balik sebuah bukit berbentuk kerucut.
Cuaca yang nyaman untuk berjalan-jalan, pikir porty. Di antara orang-orang yang keluar rumah untuk menikmati suasana malam yang menyenangkan ini, pasti juga ada yang berambut panjang. Bagaimana dengan para Pemburu Rambut?
Apakah mereka juga berkeliaran malam ini?
Hmm, perasaanku mengatakan bahwa malam ini akan terjadi sesuatu. Sebenarnya ada baiknya kalau kami juga berada di luar. Tapi belum tentu Pak Gutsche mengizinkannya.
Sporty begitu tenggelam dalam pikirannya, sehingga ia beberapa kali membuang kartu yang salah.
Petra, yang duduk di sampingnya dan tanpa malu-malu melirik kartu Sporty, akhirnya memperingatkan sahabatnya itu.
"Eh, serius sedikit dong, kalau main! Seharusnya dari tadi kau sudah bisa nutup."
"Dari mana kau tahu? Kau mengintip kartuku, ya?"
"Enak saja!" "Dia lebih bisa main catur," kata Thomas pada Pak Gutsche.
"Kalau lagi duduk di depan papan catur, otaknya bekerja seperti mesin hitung. Hal
yang sama terjadi kalau Sporty menghadapi pertarungan judo. Lama-lama tidak ada lagi yang berani melawan dia."
"Aku Juga tanpa saingan," seru Oskar dengan riang,
"tapi kalau adu banyak makan. Dalam hal ini aku tak terkalahkan."
Pak Gutsche ketawa. Kali ini Gaby yang menang.
Gadis itu sudah memakai ikat kepalanya lagi.
Giliran Thomas untuk mengocok.
Sambil menunggu pembagian kartu.
Petra sesekali melirik ke arah Sporty. Ia menyadari bahwa Sporty sedang berpikir dan acapkali menoleh ke luar jendela. Dan ia juga bisa menebak apa yang sedang dipikirkan sahabatnya itu.
"Nanti sebelum tidur," ia berkata,
"aku ingin sekali jalan-jalan dulu."
"Ogah, ah!" Oskar cepat memprotes. "Bersepeda, lari, mendaki bukit-sekarang jalan-jalan lagi! Memangnya kalian tidak punya kerjaan lain? Aku mendingan nonton film science-fiction di TV nanti malam. Biar Thomas bisa menjelaskan trik trik yang dipakai."
"Tapi sebaiknya baru setelah film itu selesai," kata Pak Gutsche.
"Kalau filmnya lagi main, bagi saya lebih menyenangkan untuk menganggap semuanya sebagai kenyataan. Sudah lama saya mengharapkan agar film seperti itu diputar di TV."
Thomas dan Gaby juga memilih untuk tinggal di rumah.
Tak ada yang keberatan kalau Petra dan Sporty lebih senang jalan-jalan.
Pak Gutsche tersenyum simpul.
Tapi hanya Petra yang memperhatikannya. Gadis itu lalu cepat cepat menunduk dan memungut kartu yang telah selesai dibagikan.
*** Bulan pumama juga terlihat dari jendela jendela Hotel Istana.
Di ruang makan yang mewah, para pelayan udah sibuk menata piring-piring untuk sarapan besok pagi. Manajer restoran mengawasi pekerjaan anak buahnya. Ada yang melipat-lipat serbet, menyikat kursi dan bangku, serta meletakkan piring, gelas, dan perlengkapan makan lainnya.
Beberapa pria berusia lanjut sedang duduk di lobi hotel yang mentereng. Mereka membaca koran sambil mengisap cerutu-cerutu mahal. Petugas resepsionis menyandarkan badan pada meja di hadapannya dan menguap secara tak menyolok, padahal dia baru saja mulai berdinas.
Jendela-jendela di ruang kongres sedang dibuka lebar-lebar, agar udara segar bisa masuk. Udara di ruang itu memang agak pengap. Dua petugas kebersihan mengosongkan asbak-asbak, menertawakan gambar coret-coret pada sebuah alas menulis, menemukan dua tempat kacamata yang tertinggal, sebuah bolpen berlapis emas, sebuah saputangan bersih lengkap dengan inisial pemiliknya, dan sebuah kotak berisi-penyumbat telinga. Rupanya kepunyaan seseorang yang tak mau kehilangan waktu tidur siangnya, meskipun sedang mengikuti kongres.
Semua barang temuan diserahkan ke meja resepsionis.
Bulan purnama juga terlihat dari jendela. jendela di bar.
Penerangan di ruangan itu remang-remang. Yang terang benderang hanyalah rak berisi botol botol minuman di balik meja layan. Bartender-nya
mengenakan rompi berwarna putih.
Ia sudah agak tua. Pekerjaannya sebagai bartender telah membawanya ke seluruh penjuru dunia. Ia sudah
pernah bekerja di semua hotel terkemuka di Eropa. Ia tahu minuman kegemaran orang-orang terkenal. Hotel Istana di Bad Finkenstein adalah persinggahannya yang terakhir.
Di sini ia akan menikmati hari tuanya.
Para langganannya mengatakan bahwa ia hafal cara pembuatan lebih dari 500 jenis minuman. Dan Mario-begitulah ia dipanggil oleh semua orang, padahal nama sebenarnya Hans-tak pernah menyangkalnya
"Kami tambah dua lagi," kata Profesor Oberthur.
Ia duduk di bar bersama rekannya, Profesor Alvsbyn dari Swedia. Profesor Oberthur mengundangnya untuk minum beberapa gelas cognac sebelum tidur.
Satu hari kerja yang panjang telah berakhir. Suatu hari yang penuh dengan ceramah-ceramah panjang, diskusi-diskusi yang tak tersimpulkan. dan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab .Baru sekarang kedua profesor itu dapat beristirahat dengan santai. Penuh semangat mereka berbincang-bincang mengenai-sepak bola.
Sepak bola memang hobi keduanya.
Asal ada waktu luang, mereka bersama-sama menyaksikan rekaman pertandingan-pertandingan penting di TV.
Profesor Alvsbyn sudah mulai menahan kantuk Dan Profesor Oberthur juga sudah lelah.
"Saya kira, ini gelas yang terakhir untuk malam Ini," ia berkata pada rekannya. .
Sementara Profesor Oberthur membayar minuman yang telah mereka nikmati, Profesor Alvsbyn mengatakan bahwa ia akan segera naik ke kamarnya. Sebelum tidur, ia akan menghidupkan pesawat TV untuk menonton film science fiction yang sebentar lagi akan diputar. Profesor berkebangsaan Swedia itu berharap agar kemampuan bahasa Jerman-nya yang pas-pasan itu cukup untuk memahami dialog-dialog dalam film llu.
"Saya selalu jalan-jalan dulu sebelum tidur," Profesor Oberthur menanggapinya.
"Setiap hari -tak peduli cuacanya nyaman seperti sekarang ataupun sedang hujan deras. Kalau sudah jalan jalan, saya bisa tidur lebih nyenyak."
"Wah, kalau saja saya bisa memaksakan diri untuk mengikuti contoh Anda," ujar rekannya yang berbadan bulat.
Profesor Oberthur telah membayar.
Keduanya lalu, meninggalkan bar, diiringi ucapan selamat malam dari Mario. Di meja resepsionis, mereka mengambil kunci kamar masing-masing. Kemudian mereka naik lift ke lantai tiga. Kebetulan kamar-kamar mereka terletak pada lantai yang sama.
Setelah masuk kamar, Profesor Alvsbyn segera mengunci pintu. Dia memang selalu merasa waswas kalau tinggal di hotel. Bayangan mengenai pencuri dan penjahat lainnya merupakan mimpi buruk baginya.
Profesor Oberthur hanya sebentar masuk kamar untuk mengambil mantelnya.
Angin malam memang agak dingin.
Ia lalu memasukkan kunci pintu ke saku mantelnya, turun melalui tangga, melewati meja resepsionis, kemudian keluar dari pintu hotel yang mentereng.
Di lobi hotel, dua pembaca koran telah tertidur. Seorang wanita lanjut usia duduk sambil memangku seekor anjing pudel, dan mengayun ayunkannya seperti membuai bayi. Petugas penerima tamu membolak-balik halaman-halaman sebuah majalah sambil mengisap permen pelega batuk.
Dari balik tiang besar di pinggir lobi terdengar suara kursi digeser. Orang yang sejak tadi duduk tersembunyi di sana, kini berdiri, mengenakan mantel, dan menaikkan kerahnya. Lampu-lampu di bagian belakang lobi telah dipadamkan. Si penerima tamu menoleh ke arah itu, tetapi tidak bisa melihat siapa yang keluar dari pintu samping itu.
Profesor Oberthur telah berdiri di jalan yang sepi. Udara malam yang segar dihirupnya dalam dalam. Sesaat kemudian ia mulai berjalan ke kiri.
Selama beberapa menit ia menyusuri taman yang merupakan bagian dari pekarangan Hotel Istana. Suara air mancur terdengar gemericik. Agak jauh dari bangunan hotel terdapat lapangan lapangan tenis, yang pada siang hari tidak pernah sepi.
Tetapi Profesor Oberthur mempunyai tujuan lain. Penuh semangat ia berjalan melalui jalan jalan yang sunyi, kemudian membelok ke arah bukit Madu, dan menyusuri jalan yang mulai menanjak.
Jalan itu berakhir di tepi hutan, lalu menyambung dengan sebuah jalan setapak berkelok-kelok yang menuju puncak bukit. Sejumlah percabangan memberikan pilihan untuk kembali ke desa tanpa melewati jalan semula. Tapi kalau mau, orang juga bisa berjalan terus-semakin dalam menembus ke hutan.
Dengan langkah tegap si Profesor mendaki jalan setapak yang tidak diterangi lampu. Untung saja bulan purnama memancarkan cahayanya yang keperak-perakan.
Namun suasana di bawah pepohonan tetap gelap-gulita. Agar tidak menabrak, Profesor Oberthur terpaksa mengulurkan tangan ke depan.
Ia berjalan lebih lambat sekarang. Tanjakan tanjakan semakin tajam, terutama kalau melewati tikungan.
Angin berembus lembut. Entah dari mana, terdengar suara sumber air. Ribuan bintang berkilauan di langit. Bulan purnama tetap menggantung rendah di atas puncak bukit.
Profesor Oberthur berhenti.
Ia merasa melihat ada cahaya aneh yang memancar dari balik bukit-seakan-akan sebuah
lampu sorot raksasa mengarahkan sinarnya ke angkasa.
Ilmuwan itu melepaskan kacamatanya.
Kedua lensanya berembun. Dengan matanya yang agak rabun,ia memandang ke arah puncak bukit.
Aneh! Jangan-jangan di sini memang ada permainan cahaya yang misterius?
Inikah penyebab cerita-cerita mengenai UFO yang beredar di Bad Finkenstein?
Dari belakangnya terdengar suara dahan kering patah.
Profesor Oberthur langsung membalik-tapi tak ada siapa-siapa. Hanya di bawah semak semak terlihat bayang bayang gelap menari-nari.
Ia memakai kacamatanya dan kembali memandang ke atas.
Cahaya tadi telah lenyap.
Ia hendak meneruskan perjalanan.
Pada saat yang sama terdengar kasak-kusuk d semak-semak sebelah kiri.
Bunyinya keras, seolah-olah sesuatu berukuran besar menerobos melewati semak belukar. Tapi suara itu langsung menghilang lagi.
Profesor Oberthur diam mematung.
Tiba-tiba saja ia merasa kurang enak.
Seakan-akan ada yang memperhatikannya. Tetapi ia tidak melihat siapa-siapa.
Astaga Hermann. apa-apaan ini?
Ia bertanya dalam hati. Kau mulai percaya takhyul?
Atau kau kebanyakan minum cognac?
Kau memang kurang istirahat akhir-akhir ini. Ayo, jalan lagi!
Udara segar akan mengusir segala pikiran mengenai hantu dan sebagainya. Tetapi kenapa aku tidak pernah berpapasan dengan siapa-siapa pada jam jam segini?
Apakah para penduduk dan pengunjung Bad Finkenstein takut masuk ke hutan pada malam hari?
Ia memaksakan diri untuk kembali melangkah
tetapi hanya beberapa meter.
Cahaya putih menyilaukan, lebih terang ketimbang sinar matahari, menusuk-nusuk matanya. Langsung saja ia menutup wajah dengan kedua tangan. Segala sesuatu di sekitarnya menyilaukan mata. Ia merasa diselubungi oleh cahaya putih itu. Kabut berbau tajam bergerak ke arahnya.
Profesor Oberthur tidak melihat apa-apa.
Tanpa daya ia berputar-putar di tempat, namun tak dapat menghindari kabut pedas itu. Sepertinya, ia disemprot dengan uap. Ia merasakan kedua lututnya mulai melemas.
Demi Tuhan! Ia berpikir. Aku mau pingsan. Tetapi ia tidak merasa takut Kegelapan pekat mulai menutupi pandangannya, menembus sampai ke otak.
Ketika jatuh ke tanah, ia sudah tak sadarkan diri.
Pada detik yang sama cahaya misterius itu padam.
*** Dua Bajingan MEREKA berpencar ketika memasuki Taman Bad Finkenstein. Tetapi semua orang yang mereka temui berpasang-pasangan atau berkelompok.
Terlalu berbahaya. Padahal di antara orang-orang itu ada beberapa gadis dengan rambut yang panjang dan indah. Tepat seperti apa yang mereka cari.
Kini, setelah larut malam, keduanya bertemu di pinggir kota.
Dua-duanya mengenakan pakaian berwarna gelap, serta sepatu dengan sol karet.
Masing-masing membawa satu botol berisi kloroform, lap, gunting, serta kantong untuk memasukkan rambut.
"Kau menemukan sesuatu?" tanya Ewald.
Ia memasukkan dua kapsul sari bawang putih ke dalam mulut. Yang pertama ditelannya bulat bulat .Tetapi yang kedua diisapnya sampai lapisan luarnya mencair, dan sari bawang putihnya menyebar ke seluruh mulut.
Ia menyukai rasa dan baunya. Dan ia tidak ambil pusing kalau orang lain bisa mabuk karenanya.
"Malam ini sepi," jawab Fritz.
"Semuanya bawa pengawal. Seakan-akan mereka sudah mencium rencana kita."
Suaranya serak. Namun itu bukan disebabkan oleh bekas luka yang membuat mulutnya kelihatan mencong.
"Kalau begitu kita susuri jalan-jalan setapak di hutan!"
Ewald memutuskan. "Menurut aku sih-sebenarnya terlalu berbahaya untuk mengumpulkan rambut di Bad Finkenstein."
"Maksudmu karena kita tinggal di sini?"
"Persis." "Justru sebaliknya! Coba kaupikir, Fritz! Di mana kita beraksi selama ini? Di kota dan di hampir semua desa di sekitarnya. Hanya di sini
yang belum. itu justru bisa menimbulkan kecurigaan polisi. Bayangkan kalau salah seorang dari mereka mengambil peta, lalu menandai semua tempat di mana kita pernah beraksi."
"Hmm..." "Percayalah!" Ewald agak lebih pendek dibandingkan dengan rekannya, tetapi berbadan gempal. Potongannya seperti lemari es.
"Kau belum dengar perkembangan terakhir, ih," ujar Fritz dengan suara tertahan.
Mereka mulai menyusuri jalan setapak yang mengelilingi Bukit Madu. Pada siang hari, jalan setapak itu selalu ramai dilewati orang yang ingin menikmati pemandangan yang indah.
"Ada apa, memangnya?" tanya Ewald.
Dengan setiap kata ia menyebarkan bau bawang putih yang memabukkan.
Namun Fritz sudah terbiasa.
"Tadi siang aku ke apotek," ia melaporkan
"Aku sekalian membelikan satu pak kapsul sari bawang putih untukmu, tapi belum kuturunkan dari mobil. Nah, coba tebak apa yang terjadi d sana! Di apotek aku ketemu cewek yang luar biasa cantik. Rambutnya pirang, indah sekali Matanya biru. Masih muda sekali. Paling-paling 14 tahun. Waktu aku datang, dia sedang berbicara dengan si pemilik apotek. Cewek itu menanyakan apakah si apoteker mengenal seseorang yang napasnya berbau bawang putih."
"Terus kenapa?"
"Dia bilang, dia..."
Fritz lalu mengulangi cerita mengenai buku yang hilang.
"Tapi itu hanya alasan saja, Ewald. Aku yakin si Pirang itu sebenarnya mencarimu!"
"Oh, ya? Kebetulan kalau begitu. Coba kautunjukkan yang mana anaknya, dan aku akan menghadiahkan potongan rambut yang sangat praktis untuknya. Segala sisir, sikat, dan tetek bengek lainnya takkan ia perlukan lagi untuk waktu yang lama."
"Rambutnya benar-benar indah. Tapi dia tidak sendirian. Dia selalu ditemani oleh tiga pemuda .Secara kebetulan aku melihat mereka berkeliaran di Bad Finkenstein. Aku baru saja mau naik mobil untuk memenuhi janji di kota tadi sore, ketika aku melihat mereka."
"Di kota?" "Bukan! Di sini! Aku baru mau berangkat ke kota. Mobil kuparkir di seberang Restoran Taman Bad Finkenstein. Keempat anak itu mampir ke sana. Mereka tidak melihatku. Ada yang tinggi kurus dan berkacamata, ada yang pendek-gendut, dan ada satu yang berbadan atletis. Dan sepertinya aku sudah pernah melihat yang terakhir ini."
"Di mana?" "Pertama-tama aku juga tidak ingat. Sebab aku juga belum pernah benar-benar melihatnya. Tetapi gerak-geriknya-caranya berjalan-itu yang aku ingat. Baru kemudian aku sadar. Dialah yang membuatmu repot di Taman Lerchenau semalam. Kalau aku tidak turun tangan", dia sudah menggiringmu ke polisi.
"Yang aku tidak mengerti, kenapa dia sudah bisa berkeliaran lagi? Padahal aku menghajarnya dengan sekuat tenaga."
Ewald berhenti. "Brengsek!" ia mengumpat.
"Mau apa dia di sini?"
"itu kan sudah jelas! Mereka berempat mencari kita."
"Tapi kenapa justru di sini?"
"Aku rasa, mereka menemukan stiker kita, lalu menarik kesimpulan yang benar."
"Tapi itu saja kan..."
"...belum cukup. Betul! Tapi ada lagi yang mereka ketahui, yaitu bahwa napasmu berbau bawang putih. Dari dulu aku kan sudah bilang,
suatu hari kapsul-kapsulmu yang brengsek itu akan membuat kita repot sendiri."
"Ngaco!" Ewald membela diri. "Masa begini saja kau sudah terkencing-kencing! Mereka hanya empat anak kecil dari kota! Biarkan sajalah! Rambut si Pirang akan kita babat habis. Rambut yang lainnya juga, sebagai pelajaran. Begitulah nasib orang-orang yang berani mengusik kita."
Ewald dan Fritz meneruskan perjalanan.
Awan-awan mulai menutupi bulan.
Sedangkan cahaya bintang-bintang tidak cukup untuk menerangi jalan setapak.
Ewald tersangkut pada sebongkah batu. Sambil mengaduh ia membuang kapsul sari bawang yang tengah diisapnya.
Hampir saja ia tersedak. Mereka berjalan terus, tanpa bertemu dengan orang lain. Setelah beberapa saat, mereka bersepakat bahwa tidak ada gunanya untuk meneruskan perburuan, lalu memutuskan untuk kembali ke desa.
Tiba-tiba perhatian Ewald tertuju pada cahaya remang-remang di antara pepohonan.
"Eh, apa itu?" ia berbisik.
"Ada sesuatu di bawah sana."
Tempat yang dimaksudnya terletak di bawah jalan setapak-sebuah lapangan kecil yang dikelilingi oleh pepohonan lebat. Angin malam menggerak-gerakkan dahan-dahan. Bulan telah muncul kembali dari balik awan-awan. Cahayanya memantul pada logam yang licin. Pantulannya berkedap-kedip di antara batang-batang pohon.
"Aneh!" bisik Fritz.
Bulu kuduknya mendadak merinding.
"Kelihatannya seperti sebuah kendaraan!" ujar Ewald dengan suara tertahan.
"Sebuah kendaraan besar."
"Eh, Ewald! Itu kan sebuah UFO!"
Fritz mencoba untuk mencairkan suasana yang mencekam.
"Akhirnya jadi juga mereka mendarat di Sini."
"Coba kita lihat dari dekat!"
Ewald, si Pemburu Rambut yang napasnya berbau bawang putih, membungkuk, lalu mengendap-endap melewati semak-semak.
***

Detektif Stop Serangan Dari Antariksa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tertawan di Pesawat Ruang Angkasa
OSKAR menempati kursi yang paling nyaman, lalu mengeluarkan sisa persediaan coklatnya dari kantong celana.
Thomas duduk di karpet, di sebelah kursi Oskar, sambil menyilangkan kakinya yang kurus.
Pak Gutsche tetap di tempat semula, sebab ia bisa meletakkan gelas birnya di meja. Kecuali itu, ia juga memerlukan tempat untuk asbak dan kantong tembakaunya. Sementara ia menghidupkan pesawat TV dengan remote-control-nya, Gaby menaruh kacang asin di meja Kemudian gadis itu duduk di samping pamannya.
"Selamat menonton," ujar Sporty dari ambang pintu.
"Terima kasih," jawab Pak Gutsche sambil tersenyum.
"Jangan lama-lama, ya."
Ia berpaling pada Petra yang sedang mengenakan baju hangat, lalu merapikan rambut dengan kesepuluh jarinya
"Kau hanya boleh pergi karena kau punya pengawal yang hebat. Ayahmu mengatakan lewat telepon tadi, bahwa Sporty sangat bertanggungjawab. Ya, mudah-mudahan saja kalian jangan masuk angin."
"Anda tidak perlu khawatir. Kami sudah memakai pakaian tebal. Ayo, Petra, kita berangkat."
Ketika kedua anak itu keluar dari pintu rumah, angin malam menyambut mereka.
Petra langsung menggigil.
"Sekarang baru ketahuan bahwa kemarin masih hujan salju." _
"Memang, tapi sebentar lagi musim panas sudah tiba. Bagaimana, kita jadi jalan-jalan? Atau mungkin kau ingin nonton TV saja?"
"Tidak!" jawab Petra dengan tegas.
"Film sebagus apa pun tidak ada apa-apanya dibandingkan berjalan-jalan di bawah sinar bulan pumama. Sayangnya," ia menambahkan kemudian,
"yang lainnya tidak mau ikut."
"Ya, sayang sekali."
"Ah, yang benar?"
"Kau sendiri yang mengatakannya tadi."
"Tapi kau kan tidak perlu mengulangi setiap ucapanku."
Sporty nyengir. Tetapi dalam kegelapan malam Petra tidak melihatnya.
"Sekali-sekali aku pingin sependapat denganmu, Petra."
"Oh, begitu! Dan seandainya aku bilang, 'Syukurlah mereka tidak ikut-bagaimana kalau begitu?"
"Aku akan tetap sependapat denganmu."
Mereka berdiri di depan rumah Pak Gutsche dan saling berpandangan. Di bawah lampu penerangan jalan, baju hangat Petra kelihatan hampir hitam. Tetapi rambutnya nampak seperti campuran antara perak dan emas.
Angka 1 dan 3 pada baju hangatnya bergerak naik-turun, sesuai dengan irama tarikan napasnya
. Sporty menunjuk ke arah sepeda-sepeda mereka.
"Kita naik sepeda atau Jalan kaki saja?" ia bertanya.
"Untuk hari ini aku sudah bosan bersepeda"
Berdampingan mereka lalu menyusuri jalanan .
Petra masih agak kedinginan.
Sporty langsung memperpendek langkahnya, untuk menyesuaikan diri dengan Petra. Ia berjalan dengan tegak Dengan Petra di sampingnya, ia bisa berjalan sampai ke kota dengan sikap seperti ini, tanpa merasa lelah. Tapi-apakah Petra sanggup berjalan sejauh itu?
Mereka menuju pusat desa.
Beberapa orang masih berjalan-jalan di daerah pertokoan. Rupanya mereka tidak tertarik pada film yang sedang diputar di TV.
Jendela-jendela toko masih terang-benderang. Petra tertarik pada barang-barang yang dipajang di jendela sebuah toko pakaian. Dengan sabar Sporty ikut memperhatikan celana-celana panjang, blus-blus, jaket-jaket, serta gaun-gaun.
Etalase sebuah toko buku menarik perhatian keduanya. Mereka menemukan empat buku yang ingin sekali mereka baca dalam waktu dekat ini, lalu memutuskan,
"Kita masing-masing beli dua buku. Nanti kalau sudah selesai membaca, kita bisa tukar-tukaran."
Sebuah warung kentang dan sosis goreng
masih buka, walaupun jumlah pembelinya sudah berkurang sekali. Selain sosis dan kentang goreng, warung itu juga menyediakan limun, bir, dan air jahe panas yang dicampur dengan anggur.
Sporty membeli segelas air jahe, yang lalu mereka habiskan berdua. Masing-masing hanya kebagian dua teguk, yang ternyata cukup untuk membuat langkah mereka terasa ringan. Petra terus-menerus ketawa cekikikan ketika mereka meneruskan perjalanan, dan Sporty pun mendapat suatu ide gila.
"Eh, Petra, bagaimana kalau kita lihat-lihat ke Hotel Istana? Supaya kita tahu jalan kalau mewawancara Profesor Oberthur besok, dan tidak perlu membuang-buang waktu untuk mencari pintu masuknya."
"Kenapa kita tidak masuk saja sekalian?" tanya Petra sambil cekikikan.
"Kita ucapkan selamat malam pada Pak Profesor, terus pulang lagi. Yuk, dia pasti akan senang."
"Beginilah'akibatnya kalau anak kecil dikasih anggur," ujar Sporty berlagak serius.
"Lihat tuh, cara jalanmu sudah tidak keruan. Ayo, pandangan lurus ke depan! Nah, begitu dong!"
Sambil ketawa mereka terus berjalan.
Di tengah jalan, mereka menanyakan arah menuju Hotel Istana pada seorang pria yang ditemani oleh anjing herdernya.
Orang itu menunjukkan jalannya, kemudian menambahkan.
"Tapi semua kamar sudah terisi. Lagi ada kongres di sana."
"Ya, saya tahu!" seru Petra.
"Kami adalah wakil pers dunia yang akan meliput acara itu. Kami tidak membutuhkan kamar. Kami ingin mewawancara Bapak Profesor."
Sambil menggeleng-geleng pria tadi berlalu.
*** Untuk sesaat, kabut hitam yang menyelimuti otaknya seakan-akan menipis.
Profesor Oberthur mulai siuman-tetapi tidak sampai sadar sepenuhnya.
Apa yang terjadi denganku?
Ia bertanya dalam hati. Ia merasakan badannya terayun-ayun, seolaholah sedang digotong. Perasaannya hangat dan nyaman, walaupun angin dingin menerpa wajahnya. Dengan sekuat tenaga ia berusaha membuka matanya. Secara samar-samar ia melihat langit yang penuh bintang di atasnya. Bulan purnama setengah tertutup dahan-dahan pepohonan.
Profesor Oberthur kembali menutup mata. Ia tak sanggup melawan perasaan tenang yang mulai menguasai dirinya. Sekali lagi ia kehilangan kesadaran.
Ketika siuman untuk kedua kalinya, ia langsung menyadari bahwa ia tidak di udara terbuka lagi. Udara panas mengelilinginya. Pikirannya berlompat-lompatan, berjumpalitan-ketika ia mencoba berkonsentrasi.
Dalam keadaan setengah sadar, ia merasa bahwa ia terbaring di atas alas yang keras. Kedua tangannya diikat.
Tangannya menyentuh logam.
Cahaya aneh kehijau-hijauan menembus kelopak matanya.
Pelan-pelan ia membuka mata.
Kacamatanya ternyata dilepas.
Ia berusaha mengangkat kepala, tetapi beratnya seakan-akan beberapa kuintal.
Dalam keadaan biasa, apa yang dilihat Profesor Oberthur akan membuatnya kaget setengah mati. Tapi kini ia merasa seolah-olah tak terlibat.
Cahaya hijau-seperti dalam akuarium-menerangi suatu ruangan penuh logam. Dinding dinding dan langit-langit nampak jauh sekali. Dan semuanya berbentuk cermin. Ia bisa melihat dirinya sendiri-terikat pada meja logam dan dikelilingi oleh peralatan-peralatan yang aneh.
Kabut tipis menggantung di udara.
Dan tiba tiba-ketika Profesor Oberthur melihat ketiga makhluk itu-ia tahu di mana ia berada, di dalam sebuah pesawat ruang angkasa.
Makhluk-makhluk itu mengelilinginya tanpa bergerak sama sekali. Kelihatannya, mereka sedang memperhatikan ilmuwan itu. Profesor Oberthur terheran-heran bahwa ia sendiri justru tidak merasa takut. Apakah itu merupakan akibat dari bau yang membiusnya?
Makhluk-makhluk itu menyerupai robot yang berkilau-kilau.
Dengan bentuk yang agak bulat.
mereka mengingatkan si Profesor pada baju besi yang dikenakan oleh ksatria-ksatria di zaman Abad Pertengahan. Kepala, badan, lengan -semuanya sama besar dengan anggota tubuh manusia bumi. Tetapi makhluk-makhluk itu tak berwajah-yang ada hanyalah celah-celah sempit, di tempat-tempat di mana biasanya terdapat mata dan hidung. Pada dada masing-masing terdapat kotak kecil berwarna merah membara.
Kini mereka mulai bergerak-lamban, nyaris mengambang. Mereka mengambil kawat, alat alat, jepitan yang terbuat dari logam. Semuanya dipasang pada badan, lengan, dan kaki Profesor Oberthur-tanpa menyakitinya, dan tanpa bersuara. Atau?
Baru sekarang ia menyadari bahwa kedua telinganya disambungkan ke kabel-kabel yang mengeluarkan suara mirip dengungan kumbang. Bunyi itu datar saja, tidak bertambah keras atau pelan.
Profesor Oberthur membuka mulut dan mencoba mengucapkan kata-kata. Ia hendak menanyakan dari mana makhluk-makhluk itu berasal tapi ia tidak tahu apakah ia akan berhasil.
Salah satu dari ketiga makhluk robot itu menutupi si Profesor dengan lembaran plastik yang licin dan dingin. Sekali lagi ilmuwan iii mencium bau tajam yang menusuk hidung.
Dan sekali lagi ia kehilangan kesadaran.
*** Mereka masih bercanda-ria. Mereka berlompat lompatan menyusuri jalanan, dan akhirnya menemukan sebuah papan petunjuk:
HOTEL ISTANA. "Sekarang aku haus," kata Sporty.
"Mudah mudahan kita bisa beli sebotol Coca-Cola di hotel."
Petra tidak menjawab. Ia malah berhenti di tempat.
"Sporty!" ia berbisik.
"Bello ada di sini. Tuh, di sana!"
Bello adalah anjing kepunyaan Petra, seekor anjing spanil berwarna hitam putih. Tapi mustahil berada di sini. Soalnya kali ini anak-anak STOP meninggalkannya di rumah.
"Tidak mungkin, Petra! Kau pasti keliru. Di mana anjing yang kaulihat?"
Petra menunjuk ke pintu pagar sebuah pekarangan.
Seorang wanita berdiri beberapa langkah di sebelah kirinya.
Wanita itu berbalik, dan bersiul lembut. Pada detik berikutnya, anjing yang disangka Bello muncul dari dalam pekarangan.
"Aneh bin ajaib!" seru Sporty terheran-heran.
"Anjing itu persis sama dengan Bello. Hanya
yang ini masih kecil."
Anjing kecil itu berlari mendekati pemiliknya.
Petra tidak bisa ditahan lagi.
Sementara Sporty tetap berjalan dengan santai, Petra langsung mempercepat langkahnya.
Nah, sekarang baru kelihatan bahwa Petra tidak percuma dijuluki SALAM. pikir Sporty sambil
tersenyum simpul. Aku sudah heran karena dia tidak bereaksi waktu ketemu anjing herder tadi-ya, mungkin karena pengaruh anggur-tapi sekarang, anak anjing-mirip Bello lagi. Ketika Sporty menyusul, Petra sudah menggendong anak anjing itu.
Bello cilik nampak gembira.
Sambil mengibas-ngibaskan ekor, ia berusaha
membersihkan wajah gadis itu dengan lidahnya yang basah. Hanya dengan susah payah Petra bisa menyelamatkan diri.
Pemilik anak anjing itu menyaksikannya sambil ketawa, lalu membalas salam Sporty dengan tamah.
"...persis sama dengan Bello." ujar Petra
dengan semangat berkobar-kobar.
"Ya kan Sporty?"
Sporty mengelus-elus anjing kecil itu dan memperhatikannya dengan cermat.
"Betul, hampir tidak ada bedanya."
"Barangkali anjing kalian mempunyai stam boom (garis keturunan) yang sama," ujar wanita tadi.
"Dari mana kau mendapatkan anjingmu?'
Petra mengangkat bahu. "Saya mengambilnya dari tempat penampungan binatang. Pemilik sebelumnya telah mengusirnya begitu saja. Para petugas Yayasan Penyayang Binatang menemukan Bello terikat pada tempat sampah di pinggir jalan raya."
"Keterlaluan!" pemilik anak anjing tadi menanggapinya.
"Orang-orang seperti itu seharusnya dihukum. Tapi sayangnya undang-undang kita belum sempurna dalam kasus penganiayaan terhadap binatang. Tapi saya yakin, anjingmu pasti sudah menemukan tempat yang baik. Anjing saya bernama Caspar von der Birke-itu nama resminya. Tapi saya selalu memanggilnya Olaf saja."
"Olaf," kata Sporty,
"gigimu sudah tajam sekali."
Dengan hati-hati ia melepaskan jari telunjuknya yang sedang digigit-gigit oleh anak anjing itu.
Wanita itu terpaksa merantai Olaf, sebab kalau tidak, anak anjing itu pasti ingin ikut dengan Sporty dan Petra. Dengan setengah terpaksa
anjing itu akhirnya mengikuti pemiliknya ke dalam pekarangan.
"...von der Birke," ujar Petra sambil merenung ketika mereka meneruskan perjalanan.
"Siapa tahu Bello juga berasal dari garis keturunan itu."
"itu bisa diusut," kata Sporty.
"Kapan-kapan kita bawa Bello ke tempat anjing kecil tadi."
"Ya, kapan-kapan. Eh, Hotel Istana sudah kelihatan di depan, tuh."
Pengaruh anggur tadi sudah hampir hilang sama sekali.
Canda-ria konyol telah berhenti.
Penuh rasa ingin tahu kedua anak itu mendekati bangunan yang diterangi lampu warna-warni. Bangunan yang modern itu menunjukkan bahwa para tamunya mendapatkan pelayanan yang baik.
Melalui pintu masuk mereka mengintip ke lobi hotel yang diterangi lampu remang-remang. Petugas penerima tamu sudah terkantuk-kantuk di balik mejanya. Selain itu mereka tidak melihat siapa-siapa. Tetapi di sebagian besar kamar di lantai dua, tiga, dan empat, lampu masih menyala.
"Enak benar berkongres di tempat seperti ini," ujar Sporty.
"Pantas saja pesertanya berlimpah."
Mereka meninggalkan bagian jalan yang diterangi lampu, dan mengendap-endap di bawah dahan-dahan pohon cemara. Pohon itu berdiri di sisi pagar pekarangan hotel, yang kini sama gelapnya dengan hutan di Bukit Madu. Di pintu masuk ke hotel pun tidak ada penerangan.
Sebenarnya Sporty menduga bahwa jalan
masuk ke hotel tertutup rapat pada malam hari, tapi ternyata pintu gerbangnya agak terbuka.
Sporty berhenti "Ayo, kita masuk, yuk?" ia mengajak.
"Apa boleh?" tanya Petra ragu-ragu.
"Kenapa tidak? Kita kan tidak berniat merusak atau mencuri. Lagi pula gerbangnya tidak ditutup. Aku kepingin tahu bagaimana keadaan di bagian belakang hotel. Bagian itu mestinya paling rapi. Di sana pasti ada teras dan lapangan olahraga. Kelihatannya hotel ini mewah juga. Aku sudah tak sabar untuk menemui Pak Profesor besok sore. Ayo, Petra!"
Mereka melewati jalan berkerikil. Petra pertama-tama tidak mau, tapi Sporty meraih tangan sahabatnya itu dan menariknya.
Pucuk-pucuk pepohonan menghalangi sinar bulan. Taman hotel ternyata sebagian besar ditumbuhi pohon-pohon.
Lama-lama mata mereka menjadi terbiasa dengan kegelapan di sekitar mereka. Mereka melihat bangku-bangku yang dicat putih yang terdapat di kedua sisi jalan yang mereka lewati.
Mereka mengikuti jalan itu sampai bisa melihat bagian belakang hotel-balkon-balkon dan jendela-jendela yang terang. Rupanya Hotel lstana benar-benar penuh.
Akhirnya mereka berhenti di bawah bayang bayang pepohonan. Di hadapan mereka terlihat lapangan rumput yang bermandikan cahaya bulan.
Mereka melihat lapangan tenis, kolam renang, dan arena bermain mini-golf.
"Apakah kolam renangnya bisa dipakai?" tanya Petra.
Sebagai perenang ulung, ia langsung tertarik.
"Kalau airnya dipanaskan sih bisa," jawab Sporty.
"Tapi kalau tidak, para tamu hotel bisa beku kalau menyebur ke air. Aku rasa di sini juga ada kolam renang tertutup. Tapi tunggu saja sebentar. Aku akan memeriksa suhu air di kolam."
Langsung saja ia berlari menyeberangi lapangan rumput.
Jarak ke kolam renang itu lumayan juga. Sporty harus melewati arena mini-golf, lalu mengitari sebagian pekarangan yang ditumbuhi bunga bunga.
Ketika menoleh ke belakang, ia hanya melihat kegelapan di bawah pohon-pohon-Petra seperti lenyap ditelan bumi.
Ia sampai di tepi kolam. Di dekatnya terdengar aliran air.
Pada detik yang sama, telinga Sporty menangkap pekikan Petra. Gadis itu berteriak seakan akan sedang terancam bahaya.
Orang lain mungkin bingung dalam situasi seperti itu.
Tetapi Sporty tidak. Seperti panah terlepas dari busurnya ia berlari ke arah Petra.
Jalannya rata. Tidak ada halangan. Sporty bisa menatap ke dalam kegelapan, tetapi ia tidak melihat apa-apa.
Demi Tuhan! Kenapa Petra tiba-tiba berteriak?
Apa yang terjadi? Sporty berlari ke arah pepohonan, memasuki daerah bayang-bayang gelap, dan menemukan
Petra. Sahabatnya itu terduduk di tanah. Ia nampak gemetar, dan baru saja hendak berdiri.
Sporty segera mengulurkan tangan dan membantunya
Ternyata benar, Petra memang gemetar.
"Ada apa? Kau jatuh?"
"Ada... ada... hantu... bukan, makhluk dongeng menabrakku sampai jatuh. Sebuah robot"
"Apaaa?!" "Benar! Tingginya sama denganmu. Seluruh badannya berkilau-kilau seperti terbuat dari perak. Kalau tidak salah, robot itu datang dari arah sana. Aku baru melihatnya pada saat terakhir. Dan itu pun hanya karena badannya berkilau kilau. Dari ujung kepala sampai ujung kaki. Robot itu tidak melihatku-mungkin karena aku berpakaian gelap. Aku kaget setengah mati. Tidak bisa bergerak. Dia menabrakku dan aku terjatuh. Pada saat itulah aku berteriak."
"Aku mendengarnya. Tapi selebihnya... masa kau percaya hantu, sih?"
Petra masih gemetar. Sporty ingin merangkul dan menenangkannya. Tapi dengan ketus gadis itu menepis tangannya.
"Kaukira aku mengada-ada?"
"Bukan! Aku hanya mengatakan bahwa penglihatanmu mungkin keliru. Barangkali kau ditabrak oleh seseorang yang berpakaian putih dan..."
"Sporty! Aku tidak salah lihat," Petra berbisik.
"Aku melihat sosok robot. Dan... Ya Tuhan! Sporty! Jangan-jangan ada UFO mendarat!"
Sporty berusaha keras untuk tidak ketawa.
"Mana mungkin? Seandainya memang ada UFO yang mendarat di sini, maka Bapak Kepala Dinas Pariwisata pasti sudah mengadakan upacara penyambutan besar-besaran-lengkap dengan kata sambutan, acara makan-makan, serta penandatanganan Buku Tamu Bad Finkenstein oleh makhluk-makhluk angkasa luar itu. Kalau menurut aku sih, kau hanya melihat orang iseng yang..."
Ia tidak sempat menyelesaikan kalimatnya.
Tidak jauh dari tempat mereka terdengar suara erangan lemah.
Seketika Petra merapatkan diri ke badan Sporty.
"Kau dengar itu?" ia bertanya dengan cemas.
"Ya. Kau tunggu saja di sini. Aku..."
"Jangan tinggalkan aku sendirian lagi, dong!"
"Baiklah!" Sporty meraih tangan Petra.
Dengan hati-hati mereka lalu berjalan ke arah suara tadi.
Sebuah bangku taman terlihat di hadapan mereka. Dan seseorang tergeletak di atasnya.
"Ada orang. tuh," bisik Petra.
"Memang orang, bukan robot yang berkilau kilau. Rambutnya putih. Dia mengenakan mantel gelap."
Sporty menyalakan sebatang korek, melindunginya dari tiupan angin, lalu membungkuk di atas orang itu.
"Astaga! Petra. ini Profesor Oberthur!"
Profesor itu telah membuka mata.
Ia mengedip ngedipkan matanya.
"Pak Profesor," ujar Sporty.
"Bapak tidak enak badan? Apakah kami bisa membantu? Bapak cedera?"
Profesor Oberthur tidak menjawab. Kedua matanya terarah pada korek di tangan Sporty. lalu menggerak-gerakkan bibir. Ketika ia mulai berbicara, ucapannya nyaris tak terdengar.
"Saya... saya mengenalmu. Suara... suaramu...."
"Saya Peter Carsten. Wartawan dari majalah sekolah-asrama. Kami punya janji untuk mewawancarai Bapak besok sore. Apa yang terjadi, Pak Profesor? Kenapa Bapak terbaring di sini?"
"Saya... saya lelah. Obat... obat bius itu masih bekerja. Bantu saya untuk berdiri."
Untuk orang tua berbadan langsing, Profesor Oberthur cukup berat. Tetapi Sporty mengangkatnya tanpa kesulitan. Ia langsung merasa bahwa profesor itu belum sanggup berdiri, dan karena itu segera menopangnya.
"Bapak dibius? Dirampok? Kami akan membawa Bapak ke dalam dulu. Setelah itu kami akan menghubungi polisi."
"Polisi?" tanya Profesor Oberthur sambil tertawa pelan.
"Mereka akan menyangka saya orang gila. Siapa yang mau percaya kalau mendengar kejadian yang baru saja saya alami!"
Seakan-akan mendapat firasat, Sporty bertanya.
"Memangnya kejadian itu-luar biasa?"
"Saya sendiri tidak mengerti. Dan sampai sekarang saya masih sulit untuk mempercayainya. Tapi-saya tidak bermimpi. Tidak. saya sempat terbangun tadi. Saya melihat semuanya."
"Melihat apa, Pak Profesor?"
"Pesawat -ruang angkasa itu, Nak. Bagian dalam dari pesawat ruang angkasa di mana saya ditawan untuk beberapa waktu. Saya sempat menjadi tawanan tiga makhluk mirip robot dari bintang lain." .
*** Pesan dari Antariksa RUANG kongres Hotel Istana kini ramai lagi. Telah berkumpul di sana manajer hotel bernama Gerd Mohring, Kepala Dinas Pariwisata Schneider, kepala polisi setempat bernama Lippuneier, Profesor Alvsbyn, serta Petra dan Sporty.
Profesor dari Swedia itu cepat-cepat berpakaian ketika menerima kabar buruk mengenai rekannya. ia begitu terburu-buru, sehingga salah mengancingkan bajunya. Tetapi dalam situasi panik seperti sekarang. tidak ada yang memperhatikannya.
Bapak Kepala Dinas Pariwisata berjalan mondar-mandir sambil mengepulkan asap cerutunya. Bahwa segala keramaian mengenai UFO kini menjadi kenyataan ternyata cukup mengguncangkan perasaannya.
Pada waktu tiba di hotel, ia masih segar-bugar.
Tetapi setelah mendengar laporan Letnan Lippuneier, wajahnya menjadi pucat-pasi.
Letnan Lippuneier sendiri duduk tanpa tahu harus berbuat apa. Begitu juga dengan Pak Mohring di sampingnya. Keduanya hanya diam membisu dan sekali-sekali menggelengkan kepala.
Profesor Oberthur berada di kamarnya dan sedang dirawat oleh dokter. Pada pemeriksaan
pertama, Dr. Gottlieb Krause telah mengatakan bahwa keadaan ilmuwan itu tidak mengkhawatirkan.
Tetapi biar aman. Dr. Krause menyuruhnya berbaring dulu di kamar sampai pengaruh obat bius benar-benar lenyap.
Karena itu, orang-orang yang kini berkumpul di ruang kongres belum sempat mendengar cerita Profesor Oberthur.
Mereka hanya mendengar laporan dari pihak ketiga-yaitu Petra dan Sporty. Kedua anak itu sudah enam kali mengulangi segala sesuatu yang mereka ketahui. Konyolnya, mereka kemudian diserbu dengan berbagai pertanyaan, yang tentu saja tidak bisa mereka jawab.
Tiba-tiba Letnan Lippuneier melompat berdiri. Meskipun di tengah malam buta, ia tetap mengenakan seragam polisinya.
"Kalau benar bahwa profesor itu tidak sekadar bermimpi, maka... Hmm, di mana ada telepon di sini?" ia lalu bertanya pada manajer hotel.
"Apa yang akan Anda kerjakan?" tanya Pak Schneider.
"Saya harus menghubungi mobil patroli. Elang satu, dua, dan tiga, harus segera menyelidiki daerah sekitar Bukit Madu, terutama jalan-jalan di hutan itu."
"Ya, itu ide yang baik," ujar Pak Schneider.
'Tapi hindari kontak senjata-maksud saya, kalau petugas-petugas Anda sampai bertemu dengan makhluk-makhluk angkasa luar!"
"Itu bukan urusan Saudara!" jawab Letnan Lippuneier dengan tegas.
"Saya hanya menerima perintah dari atasan saya. Lagi pula... ehm... Saya tidak mau bertanggung jawab kalau sampai bumi dihancurkan oleh pasukan angkasa luar."
"Saya kira perkembangannya belum sejauh itu."
Sporty akhirnya ikut campur.
"Sampai detik ini, kami hanya tahu bahwa Profesor Oberthur dibius dan diculik. Entah oleh siapa! Tapi... Apakah Anda sudah memperhatikan pada kulit sepatunya terdapat goresan-goresan aneh? Saya juga baru menyadarinya setelah Pak Profesor sampai di lobi hotel."
Namun ternyata hanya Sporty yang melihatnya.
Letnan Lippuneier berlari keluar untuk menelepon.
Tidak lama kemudian Dr. Krause dan Profesor Oberthur memasuki ruangan.
"Keadaan saya sudah lumayan sekarang," ujar ilmuwan itu sambil mengulum senyum.
"Pak dokter ini benar-benar ahli dalam bidangnya. Sekali suntik-lalu rasa pusingnya segera hilang. Secara jasmani saya memang tidak apa-apa. Yang saya tidak tahu adalah apakah isi kepala saya masih normal."
Semua orang menunggu dengan tegang.
Apa yang dialami profesor itu?
Profesor Oberthur duduk di belakang meja. kemudian meletakkan sepasang sepatu pada selembar kertas.
Sepatunya berwarna hitam, licin, dan tak sedikit pun berdebu. Tetapi kulitnya tergores gores secara aneh. Kelihatannya. seperti seseorang bertangan kaku mencoba membuat gambar-gambar.
Sporty segera menatap Petra.


Detektif Stop Serangan Dari Antariksa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mata gadis itu berbinar-binar mengatakan: ternyata aku tidak salah lihat.
"Sebelum mulai menjelaskan kejadian aneh yang saya alami," kata Profesor Oberthur,
"saya ingin mengemukakan sesuatu."
Ia menunjuk sepasang sepatu di hadapannya
"Sepatu inilah yang saya kenakan tadi. Sewaktu membukanya di kamar, saya baru menyadari bahwa kulitnya penuh goresan. Menurut saya, ini suatu pesan terselubung. Saya memang bukan ahli dalam bidang ini, tetapi saya yakin bahwn goresan-goresan ini adalah hieroglyph, tulisan berbentuk gambar yang dipergunakan di Mesti Kuno. Kalau tulisan ini bisa diterjemahkan, maka..."
"Wah, kebetulan sekali!" seru Pak Mohring, s manajer hotel.
"DR. Robert Kehl sedang menginap di hotel kami. Beliau ahli sejarah Mesir Kuno. Mungkin... Oh, saya baru ingat bahwa sekarang sudah larut malam."
Tetapi kemudian ia membulatkan tekad.
"Biar saja! Saya akan menghubungi beliau. Masalah ini tidak bisa ditunda sampai besok. Mungkin saja kita sedang menghadapi saat-saat terakhir... Ehm, saya permisi sebentar."
Ia meraih kedua sepatu tadi, lalu menuju pintu
"Tapi, Pak Profesor, tolong tunggu sampai saya kembali sebelum Anda menceritakan pengalaman Anda."
Ternyata tidak sampai lima menit kemudian Pak Mohring sudah muncul lagi. Sebelumnya. Letnan Lippuneier telah kembali-sambil tersenyum dengan puas. Belum, ia belum melaporkan kejadian ini pada atasannya, petugas polisi itu menjawab pertanyaan DR. Schneider. Ia hendak
bnunggu sampai mendengar cerita Profesor Oberthur.
Semua mata tertuju pada ilmuwan tua itu.
Suasana menjadi hening. Profesor Oberthur meraih ke dalam saku celananya dan mengeluarkan sebongkah batu kecil berwarna abu-abu kecoklat-coklatan.
"Batu ini akan saya bicarakan nanti," ia berkata sambil mengangkat batu itu ke udara, sebelum meletakkannya ke meja.
"Tapi sebelumnya..."
Dengan suara tenang ia mulai bercerita. Ia berusaha untuk mengemukakan fakta-fakta secara objektif, tanpa memberikan komentar tentang kesan dan perasaannya selama ditawan dalam pesawat ruang angkasa.
Semua orang terpesona oleh ceritanya.
Wibawanya luar biasa, pikir Sporty.
Orang lain pasti akan menjadi bahan tertawaan seandainya menceritakan kejadian seperti ini. Tapi kalau yang bercerita seorang ilmuwan seperti Profesor Oberthur. maka orang lain mau tidak mau harus percaya.
Ya ampun, ada apa sebenarnya di balik kejadian ini?
Satu hal sudah bisa dipastikan, Petra ternyata tidak mengada-ada tadi. Kemungkinan besar dia memang benar-benar ditabrak oleh sesosok robot.
"...ketika siuman saya sudah terbaring di atas salah satu bangku di pekarangan hotel," Profesor Oberthur mengakhiri laporannya.
"Dan kedua anak ini lalu membantu saya untuk kembali ke hotel. Seperti kita ketahui, Petra ini juga mengalami pertemuan yang tidak menyenangkan dengan salah satu makhluk itu. Saya rasa, makhluk itulah yang membawa saya ke pekarangan hotel .Entah sendiri, atau dengan bantuan rekan-rekannya. Luar biasa! Dari mana mereka tahu di mana saya menginap?"
Keheningan yang menyusul akhirnya dipecahkan oleh Pak Mohring.
"Cerita Anda sungguh luar biasa, Profesor Oberthur." ia berkata dengan wajah pucat.
"Perasaan saya mulai kacau-balau. Apa yang harus kita lakukan seandainya makhluk-makhluk itu berniat jahat?"
"Anda tidak perlu cemas. Masih terlalu dini untuk menarik kesimpulan seperti itu," kata Profesor Oberthur.
"Saya memang dibius, diculik, dan disekap selama kurang lebih satu jam-tetapi kecuali itu saya tidak mengalami perlakuan yang kurang menyenangkan. Saya justru merasa, bahwa mereka mengadakan penelitian selama saya tidak sadar. Memang-kejadian ini sungguh luar biasa. Dan saya harus mengakui. saya pun menghadapi teka-teki. Sebagai ilmuwan, saya selalu berpegang pada kenyataan, walaupun saya tahu bahwa pengetahuan manusia sangat terbatas. Tapi itu tidak berarti bahwa kenyataan memang hanya sebatas itu. Untuk sementara, pikiran saya masih terlalu terikat pada kejadian tadi. Saya belum bisa mencernanya. Namun meskipun demikian, saya mengimbau saudara saudara untuk tidak terburu-buru mengambil
kesimpulan. Jangan terlalu cepat percaya bahwa kita memang berurusan dengan makhluk-makhluk angkasa luar."
"Kalau bukan makhluk angkasa luar, apa dong namanya?" tanya Letnan Lippuneier.
"Mungkin saja suatu lelucon konyol," jawab Profesor Oberthur sambil tersenyum.
Pandangannya beralih pada Ketua Dinas Pariwisata.
"Maaf, Pak Schneider, tapi ketika siuman kembali, saya langsung teringat pada Anda. Untuk sesaat, saya sempat menduga bahwa Anda-lah yang berada di balik kejadian ini-bahwa semuanya ini hanya salah satu usaha untuk menjadikan Bad Finkenstein semakin terkenal. Terus terang saja, cara seperti ini sungguh keterlaluan."
Pak Schneider bagaikan disengat lebah.
Cerutu yang sedang diisapnya nyaris terlepas dari tangannya. Sambil membelalakkan mata, ia mengangkat sebelah tangan seakan-akan ingin bersumpah.
"Pak Profesor, dugaan Anda sama sekali tak beralasan. Masa Anda mengira bahwa saya biang keladinya?! Saya menjamin bahwa saya tidak punya urusan dengan kejadian yang Anda alami."
"Pikiran itu juga sudah saya buang jauh-jauh," kata Profesor Oberthur sambil tersenyum lembut.
"Tapi adakah penjelasan yang lebih masuk akal?"
Tak ada yang bisa menjawab pertanyaan itu. Letnan Lippuneier lalu meninggalkan ruang kongres untuk memberitahu mobil patroli, di mana tepatnya penculikan Profesor Oberthur
terjadi. Tentu saja tempat kejadiannya perlu diperiksa dengan teliti. Siapa tahu-mungkin saja makhluk-makhluk angkasa luar juga meninggalkan jejak-jejak.
Sementara itu, Karl Walter Schneider berusaha mengatasi perasaan salah-tingkah dengan menggosok-gosok kedua tangannya.
"Kejadian ini." ia berkata dengan lantang,
"akan mengangkat derajat Bad Finkenstein sampai ke tingkat yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Sebagai Kepala Dinas Pariwisata, saya hanya dapat mensyukuri peristiwa ini. Sebuah UFO mendarat di lereng Bukit Madu, tetapi sekarang pasti sudah lepas-landas lagi-kali ini tanpa menimbulkan kebakaran. Saya tidak melihat penjelasan lain. Ya, untung saja orang-orang angkasa luar itu menunjukkan sikap bersahabat. Mereka hanya masih harus belajar untuk mengekang perasaan ingin tahu mereka. Apa lagi yang kita inginkan, coba?"
"Kelihatannya, Anda terlalu memudahkan masalah," kata Profesor Oberthur.
"Bagaimana lagi?!"
Pak Schneider membela diri.
"Saya hanya melihat kenyataan yang ada. Pokoknya, besok kita harus mengadakan konperensi pers. Dan saya juga akan memanfaatkan hubungan baik saya dengan pihak TV. Masyarakat luas menunggu penjelasan Anda, Profesor Oberthur. Tapi kalau terpaksa, mereka harus puas mendengar fakta-fakta yang ada." _
Penuh harap ia memandang ilmuwan itu.
Tapi Profesor Oberthur hanya mengangkat bahu.
"Oke!" Pak Schneider mengangguk.
"Berarti besok, pukul sepuluh. Di sini! Saya akan menyiapkan semuanya!"
Ia lalu berpaling pada Pak Mohring.
"Hotel Anda pun akan memperoleh keuntungan dari peristiwa ini."
"Tetapi saya kekurangan tenaga," sahut manajer hotel itu memelas.
"Saya sedang mempertimbangkan untuk memanggil tenaga bantuan sukarela," ujar Letnan Lippuneier.
"Untuk apa?" Profesor Alvsbyn untuk pertama kali melibatkan diri.
"Rasanya, keadaannya aman-aman saja."
"Bukan untuk itu," si petugas polisi menjawab.
"Jumlah anak buah saya tidak cukup untuk menyusuri seluruh daerah hutan di sekitar Bukit Madu."
Tak ada yang memberikan komentar, dan Letnan Lippuneier pun tidak berusaha untuk membela pendapatnya lebih lanjut. Kemudian Dr. Krause menunjuk bongkahan batu yang masih tergeletak di atas meja.
"Pak Oberthur, Anda belum menjelaskan arti batu ini."
Profesor itu mengangguk singkat.
"Orang-orang angkasa luar itu ternyata mempersiapkan kunjungan mereka dengan baik. Selama saya berada di pesawat mereka, kacamata
saya dilepas. Saya kemudian menemukannya di saku mantel saya. Bersama dengan batu ini Dugaan saya, mereka menitipkan batu ini supaya kita dapat menelitinya di laboratorium. Tapi saya yakin, batu ini berasal dari luar bumi. Tak salah lagi, ini adalah sebuah meteorit kecil."
Penuh rasa ingin tahu semuanya memandang batu kecil itu.
"Apa jadinya kalau batu semacam itu tiba-tiba menimpa kepala kita?" tanya Sporty.
Profesor Oberthur ketawa.
"Jangan takut, Peter, kemungkinan itu kecil sekali."
Tepat pada saat itu pintu ruang kongres membuka, dan seraut wajah berkacamata muncul.
"Maaf, apakah saya mengganggu?" orang itu bertanya.
"Oh, DR. Kehl," seru Pak Mohring sambil melompat berdiri.
"Silakan masuk, Pak Doktor."
Ia menjemput ahli sejarah Mesir Kuno itu, lalu memperkenalkannya pada yang lain.
DR. Kehl adalah seorang pria setengah baya berperut buncit. Sikapnya agak kikuk ketika mengambil tempat duduk. Di tangan kanan, ia membawa sepatu milik Profesor Oberthur. Tangan kirinya menggenggam selembar kertas.
Semua orang menatapnya dengan tegang.
"Yang kita hadapi di sini," ia mulai berkata.
"adalah huruf-huruf Mesir Kuno yang telah disederhanakan-sangat disederhanakan. Pesan
ini berawal di uyung sepatu sebelah Kiri lalu berlanjut sampai ke tumit sepatu sebelah kanan. Beberapa hal tidak dapat saya terjemahkan dengan tepat. Walaupun demikian, saya merasa yakin bahwa saya telah memahami maksud si... ehm... si penulis. Diterjemahkan secara bebas, pesan ini berbunyi: Kalian tidak sendirian-kami selalu mengawasi kalian."
Pak Schneider terdiam dengan mulut terganga lebar.
Baru setelah beberapa detik ia teringat untuk menutupnya. Tetapi sesaat kemudian ia segera membuka mulut lagi.
"...kami mengawasi kalian?! Ya ampun! Pesan ini bisa dijadikan judul berita yang akan menggemparkan dunia! Iklan-iklan menyolok di semua koran terkemuka-satu halaman penuh. Orangorang akan berlomba-lomba untuk datang ke Bad Finkenstein."
DR. Kehl sibuk membetulkan letak kacamatanya yang setiap kali merosot kembali.
"Ehm... saya belum mengerti. Apa masalah yang Anda hadapi?"
Pak Schneider menjelaskannya secara singkat
"Bagaimana kita harus mengartikan pesan ini?"
Dr. Krause bertanya pada dirinya sendiri.
"Kami mengawasi kalian... Apakah ini sekadar pemberitahuan? Atau justru suatu ancaman?"
Kembali tak ada yang bisa menjawab.
Kemudian datang gangguan kecil.
Petugas penerima tamu masuk, lalu membisikkan sesuatu ke telinga atasannya, manajer hotel Mohring, yang kemudian berpaling pada Dr. Krause.
"Pak Dokter," ia berkata,
"salah seorang tamu kami terjatuh dalam perjalanan pulang dan mengalami cedera. Apakah Bapak bisa membantunya?"
Dr. Krause langsung berdiri.
Kesempatan itu sekaligus dimanfaatkan Sporty dan Petra untuk
mohon diri. Sporty memang sudah menelepon Pak Gutsche, tapi sekarang malam sudah semakin larut. Kecuali itu, sudah tidak ada alasan untuk tetap tinggal di hotel. Penjelasan lebih lanjut masih membutuhkan waktu lama.
Kedua anak itu berjabatan tangan dengan Profesor Oberthur, mengangguk ramah ke arah orang-orang yang lain, kemudian mengikuti Dr. Krause ke lobi hotel.
Tamu hotel yang dikatakan mengalami cedera sedang berdiri di meja resepsionis. Ia ditopang oleh dua kawannya.
"Eh, itu kan rombongan orang film dari Amerika?" ujar Sporty dengan terkejut.
"Ternyata mereka juga menginap di sini."
Sutradara merangkap bintang film Thomas 'Lucky' Owen berdiri di sebelah kiri temannya yang cedera. Si Koboi Iklan sebelah kanan. Dan di antara mereka berdua, rekan mereka yang berwajah bayi berdiri dengan loyo.
Tapi kini wajahnya basah kuyup oleh keringat -keringat dingin. Dan kepalanya yang botak dihiasi oleh benjolan sebesar telur ayam-tepat di atas ubun-ubun.
"Rupanya dia kejatuhan meteorit," ujar Petra.
Mereka tetap berdiri di latar belakang, dan memperhatikan bagaimana Dr. Krause menyuruh ketiga orang Amerika itu masuk ke lift. Owen dan si Koboi memasang tampang muram. Owen menjelaskan. bahwa mereka baru pulang dari bar.
Karena terlalu banyak minum, si Bayi Sehat kemudian terjatuh.
"Tapi," ia lalu berkata dengan suara bas-nya.
"juru kamera kami ini mempunyai kepala yang keras sekali. Cederanya pasti tidak serius."
Namun rupanya si juru kamera berbeda pendapat.
"Shut up!" Ia menghardik bos-nya. Dr. Krause mengajak mereka ke dalam lift, lalu menekan salah satu tombol. Tanpa suara pintunya menutup.
Sporty dan Petra akhirnya meninggalkan hotel. Bulan purnama masih bersinar. Tetapi udara telah bertambah dingin.
"Komentarmu mengenai meteorit tadi tepat sekali," ujar Sporty.
"Kenapa?" "Benjolan di kepala si juru kamera berada tepat di ubun-ubun. Bagaimana caranya dia jatuh sampai bisa cedera di situ?"
Sambil merenung, ia lalu menambahkan,
"Aku justru menebak bahwa kepalanya kena hajar seseorang."
"Maksudmu, ketiga orang itu bertengkar?"
"Entahlah." Mereka kembali menyusuri jalan-jalan sepi .kali ini tanpa bermain-main. Sebab Pak Gutsche, Gaby, Oskar, dan Thomas pasti sudah menunggu dengan tegang. Mereka takkan bisa tidur dengan tenang sebelum mendengar laporan mengenai kejadian yang misterius tadi.
*** Sebuah Jejak Baru MINGGU pagi. Di ufuk timur, matahari mulai menampakkan sinarnya.
Sporty terjaga di atas tempat tidur lipatnya. Sepanjang malam ia tidur dengan nyenyak, tenang, dan rupanya tanpa bermimpi. Setidak tidaknya, ia tidak ingat apa-apa.
Oskar masih berada di alam mimpi. Posisinya melintang di atas ranjang yang ditutupi seprai berpola kotak-kotak merah. Thomas, yang tidur di sebelahnya, terdesak sampai ke pinggir. Sebelah kakinya sampai menggantung keluar.
Sporty bangun dari tempat tidur, mandi, berpakaian, lalu melipat tempat tidur. Kesibukannya itu membangunkan kedua sahabatnya.
"Selamat pagi," ujar Thomas sambil menguap.
"Kelihatannya cuacanya cerah benar. Eh, di mana aku sekarang? Ini bukan tempat tidurku. Oh, iya!"
Kemudian ia meraih kacamatanya yang tergeletak pada meja di samping ranjang.
Meskipun sudah terjaga, Oskar tetap memejamkan mata. Kalimat pertama yang diucapkannya.
"Jam berapa kita sarapan?"
"Jangan harap bahwa sarapanmu akan diantar sampai ke tempat tidur,"
Sporty menanggapinya. "Ayo dong, Oskar. Kau kan tahu bahwa kita punya rencana untuk pagi ini."
"Aku hanya tahu bahwa aku masih mengantuk."
"Selama berteman denganmu, belum sekali pun aku melihatmu segar-bugar di pagi hari. Ayo. bangun!"
Sementara Thomas dan Oskar berpakaian.
Sporty mengetuk kamar sebelah.
Pelan-pelan, sebab Gaby semalam sempat bercerita bahwa ia biasa bangun siang. Sekarang pun ia tetap tidur. tanpa mendengar apa-apa.
Tapi Petra sudah menunggu-nunggu. Segera setelah kamar mandi kosong lagi, ia masuk sambil membawa pakaiannya.
Seperempat jam kemudian Thomas dan Oskar pun siap berangkat. Tetapi sebelum pergi, mereka membereskan tempat tidur dulu.
Sporty langsung menuju dapur.
Ternyata Pak Gutsche sudah ada di sana.
Ia sedang menyiapkan minuman untuk semuanya-kopi untuk dirinya sendiri, teh untuk anak-anak.
"Selamat pagi, Pak Gutsche! Maaf kalau kami membangunkan Anda."
"Pagi, Sporty. Saya memang selalu bangun begitu matahari terbit. Kalian jadi pergi ke tempat Profesor Oberthur disergap?"
"Ya, saya benar-benar tertarik. Polisi memang SUdah menyelidiki tempat itu semalam. Tapi sekarang sudah terang. Siapa tahu kami bisa
menemukan sesuatu yang lolos dari pengamatan anak buah Letnan Lippuneier."
Pak Gutsche tersenyum. "Saya bukannya tak percaya, tapi kejadian yang menimpa profesor itu benar-benar tidak masuk akal."
"Profesor Oberthur sendiri juga masih bingung. Begitu pun Petra, Thomas, dan saya. Hanya Bapak Kepala Dinas Pariwisata saja yang segera menerima penjelasan itu. Saya sudah mendengar rencana selanjutnya. Beliau akan memanfaatkan peristiwa semalam untuk mempromosikan Bad Finkenstein sebagai daerah tujuan wisata."
Petra memasuki dapur. Penampilannya pagi ini sungguh menawan. Beberapa menit setelah itu, Thomas dan Oskar pun menyusul.
Seperti biasanya, Oskar menghabiskan jatah tiga orang pada waktu sarapan. Ia sebenarnya masih ingin menambah, tetapi Sporty sudah mendesak agar mereka segera berangkat. Tapi ini tidak berarti bahwa anak-anak STOP lalu mengucapkan selamat tinggal pada Pak Gutsche. Nanti mereka akan kembali lagi, sebab hari masih panjang dan mereka belum berniat pulang ke kota.
Mereka mengambil sepeda masing-masing.
Pak Gutsche sudah menunjukkan jalan. Tidak lama kemudian mereka tiba di tepi hutan. Jalan setapak yang semalam dilewati Profesor Oberthur sudah berada di hadapan mereka.
Dua pelari dengan wajah merah berpapasan dengan mereka. Tetapi kecuali itu, anak-anak tidak bertemu siapa-siapa. Mungkin karena berita mengenai penculikan Profesor Oberthur sudah tersebar ke mana-mana. Mungkin juga karena orang-orang mengekang rasa ingin tahu masing masing sampai setelah makan siang.
matahari bersinar cerah. Semuanya nampak hijau dan indah. Udara terasa hangat.
Burung burung berkicau. Profesor Oberthur semalam sempat menjelaskan sejauh mana ia menyusuri jalan setapak itu. serta berapa tikungan yang ia lalui, sebelum disergap dan dibius.
Anak-anak STOP turun dan menuntun sepeda sepeda mereka.
Petra berjalan di dekat Sporty.
Ia agak ngeri. Dengan cemas ia menatap ke dalam semak-semak yang tumbuh di kiri kanan jalan setapak. Tetapi selain burung-burung yang berlompat-lompatan. tak ada lagi yang terlihat.
"Mestinya, di sinilah tempatnya."
Sporty berhenti. Di depan mereka, jalan setapak mulai menyempit. Semak-semak telah digantikan oleh pepohonan yang rapat. Di bawahnya, daun-daun menumpuk. Di sana-sini terlihat jejak kaki polisi. Dua batang pohon ditandai dengan cat putih. Sebuah jalan tanah bercabang dari jalan setapak dan menuruni lereng bukit.
Selama beberapa menit anak-anak memeriksa setiap jengkal tanah di sekitar tempat itu.
Mereka hanya menemukan sejumlah puntung rokok yang telah menguning. Tapi selain itu. usaha mereka tidak membawa hasil.
"Coba kita susuri jalan tanah ini,"
Sporty mengusulkan. "Menyusuri jalan tanah ini?!"
Oskar memprotes "Busyet, apa kau tidak lihat bahwa jalannya begitu curam? Jalan ini hanya untuk para pendaki gunung saja. Terus terang saja, aku keberatan untuk jalan ke bawah!"
"Kalau tidak mau jalan, kenapa kau tidak menggelinding saja?"
Petra menggodanya. "Dengan cara itu, kau bahkan paling duluan sampai di bawah."
"Kalau sampai aku menggelinding," ujar Oskar,
"aku akan menggelinding seperti tanah longsor. Segala sesuatu yang menghalangiku akan kuseret ke bawah. Hanya sebuah UFO yang bisa menghentikanku."
"Wah, kasihan benar orang-orang angkasa luar itu,"
Petra menanggapinya sambil ketawa.
"Mereka pasti akan kaget sekali kalau kau menabrak pesawat mereka. Tapi ngomong-ngomong, siapa yang akan mengganti kerugiannya .Pihak asuransi atau ayahnya Oskar?"
"Eh, ini suatu pertanyaan yang menarik," ujar Thomas.
"Setahu aku, kasus semacam ini belum pernah terjadi. Sebaiknya kita bersikap hati-hati sampai ada keputusan yang pasti. Berarti, jangan sampai kalian merusak pesawat antariksa itu!"
"Astaga. kalian bersikap seakan-akan memang ada UFO di bawah sana!"
Sporty berseru. "itu kan hanya isapan jempol saja! Aku ke sini bukan untuk mencari UFO, tetapi untuk menemukan jejak orang-orang yang sok lucu. Mereka telah mempermainkan Profesor Oberthur. Mungkin saja mereka bermaksud untuk menjadikan Bad Finkenstein sebagai bahan tertawaan masyarakat. Apa lagi tujuan mereka kalau bukan itu?"
"Tapi, dugaanmu belum tentu benar,"
Oskar menyanggah. "Pak Profesor sendiri mengatakan bahwa pengetahuan manusia masih sangat terbatas."
"Kecuali Thomas." kata Petra.
Semuanya ketawa. Thomas sendiri tersipu sipu.
Akhirnya Sporty mulai menuruni bukit.
Petra mengikutinya. Oskar berada paling belakang.
Beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah jalan setapak lebar yang-seperti tertulis pada sebuah papan petunjuk-menuju ke Pondok Pemburu. Sejajar dengan jalan setapak itu terdapat sebuah jalan yang berfungsi sebagai jalur kendaraan petugas kehutanan.
Anak-anak itu bisa melihatnya di antara pepohonan. Tempat beristirahat di tepi jalan kehutanan juga tampak.
Tak ada orang di sana. Oskar membunyikan bel sepedanya dan menggerutu,
"Apa sih yang kita cari di sini?"
"Kita mencari jejak," jawab Petra.
"Jejak siapa?" Kali ini Sporty yang membuka mulut,
"Jejak orang-orang yang menyergap dan membius Profesor Oberthur. Barangkali saja pesawat antariksa yang dilihatnya-untuk sementara kita tetap pada sebutan itu-diparkir di lapangan itu."
Ia menunjuk ke arah tempat beristirahat yang dikelilingi oleh semak-semak.
"Kalau begitu, UFO-nya tidak mungkin berukuran besar," ujar Thomas sambil ketawa.
"Paling-paling UFO kelas menengah bawah."
"Rupanya makhluk-makhluk angkasa luar itu juga terpengaruh oleh kenaikan harga bahan bakar!" seru Oskar.
Sporty menunjuk ke arah dari mana mereka datang.
"Di sana, mereka membius Pak Profesor. Menggotongnya ke sini tidak terlalu sulit kalau dilakukan berdua atau bertiga. Dan di antara semak-semak sebelah sana ada sejumlah dahan patah. Nah, bagaimana pendapat kalian?"
"Yang aku belum mengerti," kata Petra,
"adalah cara penyergapan itu dilakukan. Pak Profesor kan mengatakan bahwa ia tiba-tiba dihalau oleh cahaya yang menyilaukan. Kemudian ia dikelilingi oleh kabut berbau tajam. Memangnya itu bisa... Maksudku, aku tidak tahu bagaimana cara melakukan semuanya itu-kecuali kalau ini memang perbuatan makhluk angkasa luar."
"Secara teknis,"
Thomas menjelaskan, "mudah sekali untuk mewujudkannya-asal tahu bagaimana caranya! Ada senter yang begitu terang, sehingga kalau sinarnya menyorotmu, maka selama beberapa menit kemudian kau tidak bisa melihat apa-apa. Dan mengenai obat bius dalam bentuk gas-tanpa susah-payah aku bisa menyebutkan 20 macam. Ada yang berbau, ada yang tidak. Ada obat bius yang membuat perutmu mual. Tapi ada juga yang pengaruhnya tak terasa lagi setelah siuman. Jadi dari segi ini, peristiwa semalam mungkin saja diatur oleh orang bumi."
Sporty menyandarkan sepedanya pada sebatang pohon, lalu melewati semak-semak tadi.
*** Tempat beristirahat itu ternyata lebih besar daripada yang diduga Thomas.
Jejak ban terlihat dengan jelas pada permukaan jalan yang berpasir.
Tong sampah terisi penuh.
Tetapi Sporty belum menyerah.
Sambil mencari-cari, ia berjalan mengelilingi lapangan kecil itu.
Ujung sepatunya mengenai sebuah kotak pembungkus yang telah kosong.
Warnanya hijau putih. Ukurannya kira-kira sebesar bungkus rokok.
Pada sisi depannya tertulis dengan huruf besar. Kapsul Sari Bawang/Isi 80 butir/Buatan Dr. Schopp.
Sporty menatap kotak itu, membungkuk, lalu memungutnya.
Suatu kebetulan belaka? Jumlah penggemar kapsul sari bawang putih tidak sedikit!
Tapi... Kotak kosong itu masih baru, belum kotor maupun lembab. Pada sisi sampingnya terdapat stiker harga dengan tulisan: Apotek Bad Finkenstein.
Sporty kemudian memperhatikan sisi belakangnya. Di sini tertulis berapa kapsul yang harus diminum setiap harinya. Di bawahnya terdapat sejumlah angka-mungkin harga-harga barang yang setelah dijumlahkan mencapai 31,50 Mark.
"Apa itu?" tanya Petra.
Hanya dialah yang menyusul.
Tanpa berkata apa-apa Sporty menunjukkan bungkus kosong itu.
Petra menatapnya dengan heran.
Kemudian ia mengerutkan alis.
"Memangnya berguna bagi kita?" ia kembali bertanya
"Jelas, dong! Tapi aneh. kita sedang mencari sebuah UFO-tahu-tahu kita justru menemukan jejak para Pemburu Rambut."
"Maksudmu, merekalah yang mendalangi penculikan Profesor Oberthur?"
"Aku rasa bukan. Tapi merekalah penyebab kedatangan kita ke Bad Finkenstein! Kotak ini akan kita tunjukkan pada si pemilik apotek. Barangkali dia masih ingat siapa yang membelinya. Nanti akan ketahuan apakah orang itu salah seorang Pemburu Rambut."
Mereka masih meneruskan pencarian untuk beberapa saat, tetapi tidak menemukan apa-apa lagi.
Sementara itu, Thomas dan Oskar menunggui sepeda-sepeda dengan sabar. Penuh rasa ingin tahu mereka lalu memeriksa kotak pembungkus yang ditemukan Sporty.
"Tujuh Mark sembilan puluh,"


Detektif Stop Serangan Dari Antariksa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oskar mencibir. "Buang-buang duit saja .Dengan uang segitu, aku bisa beli lima keping coklat."
"Apakah apoteknya buka hari ini?"
Thomas bertanya pada Sporty.
"Sekarang kan hari Minggu."
"Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya," jawab Sporty.
"Kita harus pergi ke sana."
Petra melirik jam tangannya.
"Tapi sebelumnya kita ke Hotel Istana dulu." ia
berkata. "Konperersi pers sudah mulai. Sayang kan, kalau kita tidak sempat ikut."
"Aku setuju!" Oskar langsung berseru. "Sementara kalian ikut dalam keramaian itu, aku bisa menikmati sarapan kedua dengan tenang. Mudah-mudahan saja porsinya besar-besar di sana."
*** Konperensi Pers di Hotel Istana
PULUHAN mobil memenuhi lapangan parkir di depan Hotel lstana, sebagian besar kendaraan dinas pers dan televisi. Ini dapat diketahui dengan melihat stiker-stiker yang tertempel pada mobil mobil itu. Para penonton berkerumun di jalanan. Mereka berusaha mengintip ke dalam hotel, tetapi tidak berani masuk ke tempat penginapan kalangan elite itu.
Anak-anak STOP tidak mengenal hambatan seperti itu. Mereka menaruh dan mengunci sepeda masing-masing di lapangan parkir. lalu masuk lewat pintu depan.
Lobi hotel penuh dengan tamu-tamu terhormat.
Semua orang berbicara dengan simpangsiur, sehingga kedengarannya seperti dengung kumpulan lebah. Sekelompok orang berdesak desakan di depan pintu menuju ruang kongres. Pelayan-pelayan berjalan mondar-mandir, sambil membawa kopi, minuman ringan, dan makanan kecil.
Entah dari mana tercium bau sop buntut, dan Oskar langsung mulai mengendus-endus.
Tak seorang pun memperhatikan anak-anak itu.
Setiap orang Sibuk meyakinkan lawan bicaranya, bahwa suatu serangan dari antariksa akan membawa pengaruh besar bagi perekonomian dunia dan nasib umat manusia.
"Baru setelah menghadapi ancaman ini, saya menjadi sadar betapa tak berartinya masalah masalah yang selama ini memusingkan para pemimpin dunia,"
Sporty mendengar seorang pria berkata.
"Sebenarnya kita dapat mengatasi segala persoalan itu, asalkan setiap orang lebih memperhatikan kepentingan umum-baik dalam negeri maupun dalam hubungan antar bangsa .Tapi sekarang sudah terlambat untuk menyesal. Nasib dunia sepenuhnya tergantung pada kebaikan makhluk-makhluk angkasa luar itu. Kita hanya bisa berdoa agar mereka..."
"Seperti mau kiamat saja," bisik Petra, yang ikut mendengarkan pembicaraan itu.
"Bagaimana menurutmu, Sporty? Apa masih ada gunanya kita masuk sekolah hari Senin besok?"
Dengan susah payah ia berusaha untuk tetap serius.
"Barangkali saja semua sekolah diliburkan karena ancaman UFO!" jaWab Sporty sambil nyengir.
"Kalau tidak-kita harus bertahan sampai tetes darah terakhir. Mudah-mudahan saja makhluk-makhluk angkasa luar itu menaruh belas kasihan pada anak-anak dan wanita."
"Dan binatang-binatang!"
Petra segera menambahkan.
Sementara itu, Oskar telah menemukan kursi kosong. Langsung saja ia memberitahu teman temannya bahwa ia akan menunggu di sana -sambil mencicipi hidangan yang disediakan.
Sporty, Petra, dan Thomas, berusaha menembus kerumunan orang di depan pintu ruang
kongres. Tetapi walaupun sikut Sporty telah ikut berbicara, mereka tetap tidak bisa maju.
Namun setidak-tidaknya mereka bisa mengikuti pembicaraan melalui pintu ruang kongres yang terbuka lebar. Yang terdengar adalah suara Profesor Oberthur. Ia sedang diwawancarai oleh wartawan TV.
Sporty terpaksa berjinjit agar bisa memandang ke dalam. Ia melihat ruangan itu penuh sesak dengan orang. Di pojok ruangan terdapat lampu sorot yang memancarkan cahaya terang-benderang. Orang-orang yang semalam berkumpul di sini, kini duduk di depan kamera-yang tidak hadir hanya Petra dan Sporty. Kecuali itu masih ada seorang pria yang sedang kewalahan menghadapi serbuan pertanyaan para wartawan.
Orang itu bergaya seperti pejabat penting.
Ternyata dia Walikota Bad Finkenstein.
Kemudian terlihat seseorang berusaha keluar dari ruang kongres.
Sporty mengenalinya sebagai Thomas 'Lucky' Owen, yang hari ini mengenakan setelan jas berwarna krem.
Kelihatannya ia kurang tidur.
Senyum tipis membuat wajahnya terlihat lebih segar.
Sporty melihat Owen membelah kerumunan orang, kemudian menuju ke lobi hotel. Di sana orang Amerika itu segera memasuki kotak telepon umum.
"Sebentar, ya," ujar Sporty pada teman temannya.
Sesaat kemudian ia telah bersandar pada dinding di samping kotak telepon.
Orang yang memperhatikan anak itu akan menyangka bahwa ia menunggu giliran menelepon.
Kotak telepon yang tertutup rapat memang meredam suara, tetapi Sporty bisa menangkap setiap kata yang diucapkan.
"...sensasi ini datang pada saat yang tepat," Thomas 'Lucky' Owen berkata dalam bahasa Jerman, tapi dengan logat Amerika-nya yang kental.
"Kejadian ini bisa dimanfaatkan untuk film kita yang baru. Yang penting, judulnya harus segera diganti. Bukan lagi Serangan dari' Antariksa, tapi Mereka Telah Mendarat. ini lagi hangat hangatnya. Percayalah, film kita akan meledak di pasaran. Bagaimana? Kunjungan dari Planet Mars? Hmm, boleh juga. Malah cocok sekali. Baik, pilih salah satu saja."
Sutradara itu lalu terdiam, mungkin karena sedang mendengarkan lawan bicaranya. Ia masih sempat mengatakan sesuatu, kemudian menggantungkan gagang.
Ketika ia keluar dari kotak telepon, Sporty sudah lama menghilang dari tempat itu. Pembicaraan Owen segera ia sampaikan pada teman temannya. Tapi karena dianggap tak ada hubungannya, mereka tidak begitu memperhatikannya.
Sementara Oskar menikmati sarapan keduanya, anak-anak STOP yang lain mengikuti jalannya konperensi pers.
Setelah Profesor Oberthur selesai berbicara, kamera beralih pada rekan-rekannya. Tapi tak seorang pun sanggup menjelaskan peristiwa aneh yang dialami ilmuwan itu.
Letnan Lippuneier kemudian mengemukakan. bahwa anak buahnya tidak berhasil menemukan jejak UFO dalam bentuk apa pun juga. __
Pak Schneider hanya berbicara mengenai kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkan Bad Finkenstein pada para pengunjungnya. Secara bergurau ia mengatakan, bahwa nama Bad kaenstein kini rupanya sudah terkenal sampai ke antariksa.
"Membosankan sekali,
" Petra mengomentarinya.
"Yang disinggung hanya itu-itu saja. Kelihatannya Pak Profesor juga sudah tidak punya waktu untuk kita. Kenapa kita tidak ke apotek saja. kalau begitu?"
Sporty dan Thomas setuju. Tapi Oskar ternyata tidak bisa ikut.
"Aku baru saja memesan makanan,
" ia membela diri. "Sebentar lagi pasti sudah datang."
"Seharusnya tamu-tamu hotel yang lain segera diberi peringatan,
" kata Sporty. "Lebih baik mereka makan sekarang, selama persediaan masih ada."
"Aku rasa itu tidak perlu," jawab Oskar.
"Aku hanya memesan sop kepiting, roti sosis, seporsi kroket, dan satu mangkuk es-krim. Untuk mengganjal perut saja. Soalnya masih terlalu pagi untuk makan siang."
Petra, Sporty, dan Thomas lalu meninggalkan hotel dan bersepeda ke apotek, yang ternyata tutup. Namun pada pintu terdapat sebuah pesan: Dalam keadaan darurat, silakan tekan bel.
Petra segera mengikuti pesan itu.
Sesaat kemudian pemilik apotek membuka pintu. Hari ini dia tidak mengenakan baju putih, melainkan setelan jas berwarna abu-abu.
Ternyata ia masih mengingat Petra.
"Ah, nona cilik yang menemukan injil di Taman Bad Finkenstein. Kau masih mencari pemakan bawang putih itu?"
"Ya," jawab Petra.
"Apakah kami boleh masuk? Ini memang bukan keadaan darurat, tapi kami ingin minta bantuan Bapak. Tapi sebelumnya, ini teman-teman saya: Thomas Vierstein dan Peter Carsten. Kami.. Ehm, waktu ketemu Bapak kemarin, masih ada satu hal yang tidak saya ceritakan. Kami memang mencari seorang pemakan bawang putih, tetapi bukan karena dia kehilangan kitab injilnya, melainkan karena dia seorang penjahat."
"Astaga!" seru pemilik apotek itu dengan terkejut.
"Mari masuk dulu."
Anak-anak bercerita dengan terus terang, kemudian menunjukkan kotak pembungkus itu padanya.
Sporty memperhatikan wajah si pemilik apotek, lalu berpikir, Wah, orang ini bersemangat benar!
Seakan-akan dia hendak ikut melacak jejak para Pemburu Rambut.
"Kalian memang beruntung," kata si pemilik apotek yang ternyata bernama Wolfgang Schuttler.
"Sebuah kerusakan teknis pada mesin kassa hari Senin yang lalu menyebabkan saya harus mencatat dan menghitung penerimaan dan pengeluaran uang dengan tangan. Pekerjaannya tidak terlalu merepotkan. selama orang-orang hanya menebus resep-resep dokter. Mereka hanya membayar satu Mark per resep. Selebihnya ditanggung oleh asuransi kesehatan. Tapi selain itu... Pokoknya, begitulah. Mesin kassanya rusak. Saya kebetulan kehabisan kertas untuk mencatat. Karena itu. saya menuliskan harga-harga di manamana-termasuk pada kotak pembungkus ini. Saya masih ingat, Pak Nossel yang membelinya. Dia membeli macam-macam, antara lain sekotak sari bawang putih. Kapsul-kapsul itu diminumnya secara teratur." _
"Nah, sekarang kami bisa melanjutkan penyelidikan," kata Sporty.
"Jadi, orang itu bernama Nossel?"
"Ewald Nossel," pemilik apotek itu membenarkannya.
"Orang sini?" "Ya, dia tinggal di Bad Finkenstein. Maksudku, agak di luar desa. Dia mewarisi sebuah rumah di sana."
"Pekerjaannya apa?"
"saya kira dia pengangguran."
"Pengangguran?"
pemilik apotek tersenyum.
"Setahu saya," ia menjelaskan,
"Ewald Nossel hidup dari tunjangan sosial yang diberikan pemerintah-dan sudah cukup lama. Kelihatannya dia tidak tertarik untuk mencari pekerjaan tetap. Tapi dia sering memperoleh uang dari berbagai pekerjaan sampingan."
"Apakah dia tidak punya keahlian?" tanya Petra.
"Dulu dia pernah bekerja di salon sebagai tukang pangkas rambut."
Untuk sesaat semuanya terdiam.
Kemudian Thomas mengatakan,
"Cocok sekali. Mungkin karena itu dia begitu senang pada rambut indah-kalau memang dia si Pemburu Rambut."
"Pokoknya, namanya sudah jelek di sini," ujar Pak Schuffler.
"Dia juga sering berkumpul dengan orang-orang aneh."
"Ya, rekannya juga pasti bukan orang baik baik," kata Sporty.
Si pemilik apotek lalu menjelaskan jalan menuju tempat tinggal Ewald Nossel. Sporty kemudian memintanya untuk tidak menceritakan maksud kedatangan mereka pada Siapa-siapa. Setelah berterima kasih, ia bersama yang lain memohon diri.
Di depan apotek mereka lalu berunding.
"Kita tidak boleh terburu-buru,"
Thomas memperingatkan. "Nanti semuanya malah berantakan."
"Kau benar!" Sporty menanggapinya sambil mengendurkan kepalan tangan.
"Walaupun -wah, aku kepingin sekali menghajar bajingan bajingan itu. Tapi baru setelah mereka terbukti bersalah." _
"Ewald Nossel takkan kabur," ujar Petra.
"Tapi Profesor Oberthur hanya punya sedikit waktu untuk kita. Keramaian di Hotel Istana pasti sudah selesai. Apa kalian sudah tak tertarik untuk mewawancarainya?"
Tentu saja Sporty dan Thomas masih tertarik.
Cepat-cepat ketiga anak itu naik sepeda masing masing. dan ngebut menuju Hotel Istana.
*** Pemerasan ANAK laki-laki itu berusia sekitar 12 tahun.
Wajahnya nakal. Sebatang rokok menyala terselip di mulutnya ketika ia memasuki hotel melalui pintu depan.
Untuk sesaat, ia memperhatikan orang-orang yang berkelompok-kelompok di lobi hoteL. Dengan surat di tangan ia lalu menuju meja resepsionis, di mana petugas penerima tamu untuk ketiga kalinya berusaha menjelaskan pada seorang wanita berusia 80 tahun yang pendengarannya sudah berkurang, bahwa makan siang dihidangkan pukul 12.00 nanti.
Anak itu bersandar pada meja resepsionis. Si Koboi Iklan, yang kebetulan berdiri dekat-dekat situ, tidak menaruh perhatian padanya.
"Heh! Pak!" si Bengal berkata.
"Saya bawa surat. Untuk Mr. Thomas Owen. Jelas?"
Petugas penerima tamu menatap anak itu sambil mengerutkan alis. Apalagi setelah melihat bahwa baik nama orang yang dituju maupun nama dan alamat si pengirim tidak tercantum pada sampul surat.
"Saya bawa surat untuk Mr. Thomas Owen," si Bengal mengulangi.
"Saya akan menyampaikannya,
" kata si penerima tamu.
"Ya, dan secepatnya!"
Si Bengal nyengir, menjatuhkan sedikit abu rokok, lalu meninggalkan hotel.
Si Koboi Iklan-yang mendengar semuanya-menunggu sampai anak itu berada sepuluh langkah di depan pintu. kemudian mulai mengikutinya.
Si Koboi Iklan bernama Joe Bingham. Dia arsitek film, dan bersama Louis Walker-juru kamera yang cedera itu-tergolong sebagai teman Thomas 'Lucky' Owen yang paling akrab.
Wajah Joe Bingham kini hampir merah padam.
Matanya setengah terpejam, dan kedua bibirnya tertutup rapat. Darahnya terasa mendidih.
Tapi ia masih bisa mengendalikan diri, sehingga tidak mengambil tindakan nekat.
Tanpa terburu-buru ia mengikuti si Bengal.
Anak itu sedang menyeberang jalan, membuang rokoknya, lalu langsung menyalakan sebatang lagi. Dengan santai ia membelok ke suatu gang sempit dan berjalan menyusuri kebun kebun yang sepi.
Ia benar-benar terkejut ketika seseorang tiba tiba menarik bahunya.
Si Bengal sama sekali tidak menyadari bahwa ia diikuti oleh seseorang. Kini ia berhadapan dengan Joe Bingham yang menatapnya dengan geram.
Wah, alamat buruk, nih! si Bengal masih sempat berpikir.
Kemudian tamparan Joe Bingham mendarat di wajahnya.
"Supaya kau tahu bahwa saya tidak main main,
" Bingham mengancam dengan tenang.
"Kau punya dua pilihan. Pertama, kau mengatakan siapa yang menitipkan surat untuk Mr. Owen itu-dan kau akan menerima 50 Mark! Kedua, kau memilih diam. Tapi kalau begitu saya akan menghajarmu sampai babak-belur. Kau tinggal pilih mana yang kau suka."
"Jangan galak-galak, Bos," si Bengal berusaha menyelamatkan _gengsinya.
"Untuk 50 Mark, saya akan mengatakan apa saja yang Anda ingin ketahui. Sebagai pengantar surat, saya tidak merasa berkewajiban untuk menjaga rahasia. Mana uangnya?" "_
"Siapa yang menitipkan surat itu?"
"Namanya saya tidak tahu. Tetapi saya sering melihat orang itu berkeliaran di Bad Finkenstein. Saya juga tahu di mana rumahnya. Si Kikir itu hanya memberi 5 Mark supaya saya mengantar suratnya. Habis, saya tidak tahu bahwa urusannya jadi kacau begini."
Bingham kemudian minta keterangan mengenai si pengirim surat, di mana orang itu bisa ditemui dan bagaimana tampangnya. Bekas luka di sudut mulut merupakan ciri yang cukup jelas....
Orang itu tinggal di sebuah rumah bobrok di luar Bad Finkenstein.
Bingham tahu tempatnya. Ketika sedang syuting film. mereka pernah berada di sekitar rumah itu. Ia bahkan sempat mengusulkan untuk memakai rumah itu sebagai latar belakang untuk salah satu adegan, tetapi kemudian mereka menemukan tempat yang lebih cocok.
Ia mengeluarkan selembar uang 50 Mark dari dompet, dan memberikannya pada si Bengal.
"Jangan cerita ke siapa-siapa. mengerti?!
Terutama pada orang dengan bekas luka itu. Awas kalau kau buka mulut."
"Diam adalah emas!" ujar si Bengal.
Dan sambil nyengir lebar, ia mengantongi uang itu.
*** Louis Walker, juru kamera berbadan gemuk itu, sedang terbaring di atas sofa di kamar hotelnya. Sebuah plester menghiasi keningnya yang botak. Dengan cemas ia memperhatikan bos merangkap temannya, Thomas 'Lucky' Owen. Sutradara itu sedang berjalan mondar-mandir antara jendela dan lemari pakaian.
"Brengsek!" ia mengumpat dari balik jenggotnya yang lebat.
"Sial, memang."
"Dan kita tidak bisa berbuat apa-apa,"
"Sama sekali tidak."
"Bagaimana kepalamu? Masih sakit?"
"Sudah lumayan."
"Kalau saja kau tidak begitu sembrono,"
Owen mengomel, "semuanya ini tidak perlu terjadi."
"Tapi itu bukan salahku,"
Walker membela diri. Ia sempat terkejut karena Owen tiba-tiba memarahinya.
"Kejadiannya begitu mendadak."
Owen segera membalik ketika pintu kamar membuka.
Bingham melangkah masuk. Raut wajahnya sudah normal lagi.
Tapi kumisnya berdiri tegang, seperti duri landak.
"Kenapa kalian bertengkar?" ia bertanya.
"Ada masalah?" Owen mengangguk. "Aku sudah menduganya. Dan dugaanku sekarang ternyata jadi kenyataan. Baru saja aku menerima sepucuk surat. Tanpa nama pengirim. Nih, baca saja."
Ia menyerahkan surat itu pada Bingham.
Teksnya ditulis dengan mesin tik-dalam bahasa Jerman-dan tidak ditanda-tangani.
Owen sebenarnya tahu bahwa Bingham bisa berbahasa Jerman. Walaupun begitu, ia tetap menjelaskan maksud penginm surat itu,
"Bajingan itu menuntut 100.000 Mark."
"Sebagai tebusan gerobak kita,"
Bingham melanjutkan. "Kalau kita tidak membayar,
" Walker mengeluh sambil memegangi kepalanya,
"dia akan memberitahukan perbuatan kita pada pihak pers. Kalian pasti tahu apa akibatnya bagi kita, bukan?"
Owen mengentakkan giginya.
"Rasanya, aku pingin menguliti bangsat itu hidup-hidup. Tapi kita tidak punya pilihan lain Kita harus membayar."
"Anjing budukan itu takkan menerima sepeser pun dari kita," ujar Bingham dengan geram.
Owen langsung menatapnya dengan heran.
"Apa maksudmu? Kau berani mengambil risiko bahwa dia..."
"Kita sama sekali tidak mengambil risiko," si Koboi Iklan memotongnya.
"Justru dialah yang harus menanggung risiko besar. Terutama menyangkut kesehatannya. Karena," ia nyengir lebar sampai keenam belas tambalan giginya terlihat,
"aku tahu siapa dia."
"Kau... apa?" Owen terbengong-bengong. "Aku belum tahu siapa namanya,"
Bingham menjelaskan. "tapi keterangan itu bisa kita peroleh dengan mudah. Soalnya aku tahu bagaimana tampangnya dan di mana dia tinggal."
Kemudian ia menerangkan dari mana ia mengetahui semuanya itu.
"Joe, untung saja ada kau!" seru Thomas 'Lucky' Owen sambil menggosok-gosok tangannya.
"Bajingan itu tinggal tunggu nasib saja."
Keramaian di lobi hotel sudah jauh berkurang. Orang-orang pers dan TV sudah mulai membereskan peralatan masing-masing. Tetapi tamu-tamu yang lain masih sibuk mendiskusikan peristiwa semalam. Suasana bahkan lebih murung dibandingkan tadi pagi. Anak-anak STOP segera merasakannya ketika mereka kembali ke hotel.
Petra mendengar seorang wanita mengatakan pada pria di sampingnya,
"Alfons, ini mungkin terakhir kalinya kita berlibur di sini. Sebentar lagi semuanya akan berakhir. Sayang sekali, padahal sekarang diet yang kujalankan selama ini baru mulai menunjukkan hasilnya."
"Kalau makhluk-makhluk angkasa luar itu memiliki selera,
" jawab Alfons, "maka mereka takkan menyakitimu, Sayang. Berarti tak sia-sia kau berdiet selama ini."
Hanya satu orang yang nampaknya tak terpengaruh oleh hari kiamat yang tengah mengancam dunia.
Kenyang dan puas, ia duduk di tempat ketika ia ditinggalkan tadi. Baru saja ia mengakhiri sarapan keduanya dengan menghabiskan es krim coklat semangkuk besar. Siapa lagi kalau bukan Oskar
"Hei, aku sudah kembali,"
Sporty berkata pada sahabatnya itu.
"Ada kejadian penting selama aku pergi?"
"Tidak ada apa-apa. Tapi juru masak hotel patut mendapat pujian. Masakannya lezat sekali."
"Kita sekarang sudah tahu siapa yang membeli sekotak kapsul sari bawang putih di apotek. Tapi sebelum kita datangi orang itu, sebaiknya kita mewawancarai Profesor Oberthur dulu."
Mereka menunggu sampai Oskar membayar pesanannya. Kemudian keempat sahabat itu menuju ruang kongres. Profesor Oberthur bersama beberapa rekannya, Pak Schneider, Bapak Wali
kota, serta Letnan Lippuneier masih berada di dalam. Tetapi mereka hanya membicarakan hal hal yang kurang penting. Semuanya nampak lelah-kecuali Bapak Kepala Dinas Pariwisata.
Profesor Alvsbyn kelihatannya tidak sependapat bahwa bumi akan mendapatkan serangan UFO. Sementara sebagian besar pengunjung
hotel beranggapan bahwa hari kiamat sudah di ambang pintu, ilmuwan Swedia itu malah lebih mementingkan urusan perut. Tanpa terpengaruh oleh hiruk-piruk tadi pagi, ia mempelajari daftar makanan dengan seksama.
Oskar segera menyenggol Sporty begitu melihatnya.
"Aku suka melihat sikap Profesor itu," ia berkata.
"Santai saja, tidak perlu panik. Mudah mudahan saja makhluk-makhluk angkasa luar juga suka makan."
"Kenapa memangnya?"
"Aku pernah membaca: suku bangsa yang doyan makan. tidak gemar berperang."
"Kecuali kalau persediaan makanan mereka mulai menipis atau bahkan sudah habis sama sekali. Dalam keadaan seperti itu mereka bisa bunuh-bunuhan. Daripada sok berfilsafat. lebih baik kau membersihkan mulutmu dulu, deh. Lihat tuh, coklatnya masih menempel di mana-mana."
Profesor Oberthur yang telah melihat anak anak itu, melambaikan tangan pada mereka.
Ia berdiri, lalu berpamitan pada orang-orang yang berkumpul di ruang kongres.
"Maaf, saya permisi dulu sekarang. Saya harus menghadapi wartawan-wartawan yunior yang sudah siap dengan pertanyaan-pertanyaan kritis. Jangan sekali-sekali menyepelekan peranan majalah sekolah! Siapa tahu. para pengurusnya akan menjadi pemimpin dunia di masa yang akan datang."
Semuanya mengangguk. Mereka yang duduk membelakangi pintu, kini menoleh agar dapat melihat wartawan-wartawan yunior yang dimaksud Profesor Oberthur.
Mereka melihat seorang gadis berambut pirang yang cantik sekali; seorang pemuda berambut ikal yang nampak yakin pada diri sendiri; seorang anak muda jangkung berbadan kurus kering yang menyembunyikan matanya yang biru di balik kacamata tebal; serta seorang anak muda gemuk. yang mestinya membawahi bagian resep masakan di majalah sekolah mereka.
Profesor Oberthur mendatangi anak-anak itu dan menyalami mereka satu per satu.
"Sebaiknya, kita ke kamar saya saja. Mudah mudahan saja wawancara kita tak terganggu di sana."
Ia mengambil kunci kamarnya.
Berlima mereka lalu memasuki lift. naik sampai ke lantai empat, kemudian melangkah ke kamar ilmuwan itu.
Kamarnya ternyata menghadap ke jalan. Seluruh lantainya dilapisi karpet berwarna hijau.
Di antara perabot ruangan terdapat lemari es berukuran mini, yang berisi aneka macam minuman ringan. Profesor Oberthur segera mempersilakan tamu-tamunya untuk memilih minuman yang disukai.
"Saya sebenarnya keberatan kalau peristiwa semalam digembar-gemborkan seperti-tadi," ia lalu berkata.
"Semuanya dibesar-besarkan. Orang-orang sudah mulai panik. seakan-akan dunia tengah menghadapi kiamat. Sejak semula saya bermaksud merahasiakannya, sampai diketahui apa yang sebenarnya terjadi. Tapi manajer hotel serta Bapak Kepala Dinas Pariwisata rupanya berbeda pendapat. Mereka mewakili kepentingan yang sama-yaitu kepentingan Bad Finkenstein. Saya ingin mencegah orang-orang menjadi ketakutan, tapi hasil pertemuan tadi pagi justru sebaliknya."
Pertanyaan pertama yang diajukan anak-anak STOP menyangkut kesehatan Pak Profesor.
Sebab, wajahnya nampak agak pucat.
Tapi dia hanya tersenyum dan mengatakan,
"Saya tidak apa-apa. Dan obat bius itu justru menyebabkan saya bisa tidur dengan nyenyak semalam."
"Kami sebenarnya sangat tertarik pada UFO secara umum," ujar Sporty kemudian.


Detektif Stop Serangan Dari Antariksa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebagai ahli terkemuka dalam bidang ini, kami ingin mendengar pendapat Bapak. Ada apa sebenarnya di balik cerita-centa UFO yang sering dimuat dalam majalah-majalah? Apakah UFO memang ada? Apa pendapat para ahli antariksa?"
Profesor Oberthur mengangguk singkat.
"Semuanya bermula pada tahun 1945," ia mulai menjelaskan.
"Catatan pertama mengenai UFO berasal dari tahun itu. Sejak itu sudah terdapat lebih dari 100.000 laporan. Bahkan Jimmy Carter, mantan Presiden Amerika Serikat, termasuk di antara mereka yang merasa pernah melihat sebuah UFO. Jika seseorang melihat UFO. maka ia telah mengalami pertemuan jenis pertama. Kalau awak UFO mendarat di bumi dan turun dari pesawat mereka, maka kami menyebutnya pertemuan jenis kedua. Pertemuan jenis ketiga terjadi jika manusia bumi sempat berbicara dengan makhluk-makhluk angkasa luar. Atau jika seseorang diculik oleh mereka."
"Seperti Bapak, misalnya," ujar Oskar.
"Kelihatannya memang begitu,"
Profesor Oberthur mengangguk.
"Tapi untuk sementara, marilah kita bicarakan apa yang sebenarnya dilihat oleh para saksi mata itu. Pencerminan di udara? Senjata-senjata rahasia Pakta Warsawa atau NATO? Atau memang pesawat ruang antariksa tak dikenal? Hampir selalu ada penjelasan ilmiah. 30 tahun silam, pemerintah Amerika Serikat telah membentuk suatu kelompok kerja yang mengkhususkan diri dalam bidang penelitian UFO. Kelompok kerja itu terdiri dari'ahli-ahli astronomi atau ilmu bintang, meteorologi ilmu mengenai cuaca, para insinyur, serta ahli fiSika .Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa 90% dari semua laporan UFO dapat dijelaskan dengan mudah. Yang disangka UFO ternyata
planet-planet, meteor-meteor, permainan cahaya di langit, awan, pesawat terbang, balon gas, berkas cahaya lampu sorot, atau burung-burung. Nah, 10% sisanya belum dapat dijelaskan. Tetapi ini tidak berarti bahwa UFO memang ada"
Petra telah mengeluarkan notesnya dan mencatat dengan rajin.
"Apakah Bapak bisa menyebutkan contoh menarik tentang suatu kejadian yang tidak dapat dijelaskan?" tanya Sporty.
"Maksud saya, suatu kejadian yang bisa membuat para ilmuwan beralih pendapat."
Kembali profesor itu mengangguk.
"Pada bulan Agustus 1956, sebuah instalasi radar milik Angkatan Udara Inggris mendeteksi dua benda yang terbang dengan kecepatan tinggi. Yang pertama terbang pada ketinggian 1300 meter, dengan kecepatan 5000 kilometer per jam. Yang kedua berada pada ketinggian 7000 meter. Kecepatannya jauh lebih rendah, hanya sekitar 1000 kilometer per jam. Tapi ini pun tidak bisa dikatakan pelan. Sebuah pesawat pemburu lnggris kemudian melakukan pengejaran. Pilot pesawat tersebut berhasil mendekati UFO yang kedua. Tiba-tiba saja UFO itu berpindah ke belakang pesawat pemburu tadi. Si pilot berusaha meloloskan diri, namun sia-Sia. Kejadian ini juga dipantau oleh awak stasiun radar di darat. Dengan jelas pesawat terbang dan UFO itu terlihat pada monitor mereka. Peristiwa itu berlangsung selama dua setengah jam, dan terjadi pada suatu malam
tanpa awan. Tapi karena gelap, pilot pesawat pemburu tidak bisa melihat apa yang sedang mengejarnya. Sampai hari ini kejadian itu belum dapat dijelaskan."
'Tapi itu berarti," seru Oskar,
"bahwa UFO memang ada!"
Profesor Oberthur menggelengkan kepala.
"Para ilmuwan menarik kesimpulan lain. yaitu:
UFO tidak ada. Yang ada hanyalah peristiwa peristiwa yang tak dapat dijelaskan. Oleh karena itu, umat manusia harus berusaha keras untuk lebih mendalami pengetahuannya mengenai alam sekitarnya .Setelah itu-saya yakin sekali-penjelasan ilmiah pasti akan ditemukan. Sampai saat ini pun, penelitian UFO sudah membawa hasil-hasil penting. Kini kita telah mengetahui bahwa gelombang radar dapat dibelokkan dengan berbagai cara, dan bahwa pantulannya lalu menghasilkan sinyal-sinyal yang nampaknya tak dapat dijelaskan. Penyebabnya adalah gangguan pada medan listrik bumi, lapisan awan bermuatan listrik, batas antara dua lapisan udara dengan suhu dan tingkat kelembapan yang berbeda, dan masih banyak lagi."
"Menarik sekali," ujar Thomas.
"Tapi kalau seseorang melihat sebuah UFO dengan mata kepalanya sendiri, lalu sanggup menggambarkannya dengan tepat. maka orang itu pasti bukan korban gangguan pada medan listrik bumi."
Profesor Oberthur tersenyum.
"Kau benar," katanya.
"Tapi untuk kejadian semacam ini pun seringkali ada penjelasannya -meskipun kadang-kadang seperti tidak masuk akal. Ada beberapa contoh di mana seekor kupukupu disangka sebagai UFO pada malam hari. ini serius! Penyebabnya adalah sebagai berikut: tubuh kupu-kupu dan serangga-serangga lainnya dapat mengandung muatan listrik. Dalam keadaan seperti itu. mereka memancarkan cahaya kebiru-biruan, dan kelihatan seperti benda terbang yang aneh-terutama karena sangat sulit untuk menentukan jarak suatu titik cahaya dalam kegelapan malam. Seekor kupu-kupu kebiru biruan pada jarak 10 meter bisa saja disangka sebagai UFO-yang dianggap terbang pada ketinggian 10 kilometer."
"Mengenai pertemuan jenis kedua dan ketiga,"
Profesor Oberthur lalu melanjutkan,
"semua kasus yang terjadi selama ini dapat dijelaskan sebagai berikut: kalau bukan usaha penipuan, ya keinginan untuk membuat sensasi. Mungkin juga orang yang bersangkutan sedang mengalami gangguan kejiwaan. Artinya, orang-orang itu berada di bawah pengaruh hipnose-diri. Mereka hanya membayangkan sesuatu. Mereka menjadi korban khayalan mereka sendiri. Sebagai penutup, saya masih ingin menambahkan: peralatan modern dewasa ini sudah begitu canggih, sehingga tak mungkin sebuah UFO lolos dari pengamatan. Salah satu contohnya adalah Prairie Meteorite Network di negara bagian Nebraska, Amerika Serikat. Jaringan pengamatan itu terdiri atas 64 kamera otomatis, yang terbagi pada 16 stasiun darat-masing masing berjarak 225 kilometer dari yang lainnya. Kamera-kamera itu dijalankan setiap malam. Hasil pemotretan lalu diteliti oleh sebuah komputer. Tujuan utamanya adalah untuk menemukan berkas berkas cahaya yang ditinggalkan oleh meteorit. Selain itu, komputer juga dapat melacak jejak sebuah UFO yang mungkin terekam. Tapi sampai sekarang belum ada hasilnya."
"Pak Profesor," ujar Sporty,
"apakah UFO memang ada?"
"Sesuai dengan tingkat pengetahuan dewasa ini, Peter, saya terpaksa menjawab tidak. Sikap orang-orang awam agak berbeda dalam hal ini. Secara umum, masyarakat luas percaya akan adanya UFO. Menurut saya, sikap semacam ini
merupakan hasil sampingan dari usaha penelitian ruang angkasa. Sejak terbukti bahwa ruang angkasa begitu luas, dan begitu kosong, manusia dirasuki perasaan ngeri. Kita tidak dapat membayangkan kekosongan itu. Justru karena itu timbul pemikiran bahwa di suatu tempat pasti ada bentuk kehidupan lain. Dan karena kita pada umumnya beranggapan bahwa bentuk kehidupan itu sudah jauh lebih maju dibandingkan kita sendiri-kenapa harus tidak mungkin bahwa mereka mendatangi bumi? Barangkali saja-begitu pendapat sementara orang-mereka merupakan juru selamat. Mungkin saja mereka bisa membantu kita memecahkan masalah-masalah yang tengah kita hadapi: perang, kelaparan, polusi, perusakan lingkungan hidup. Tapi itu adalah pemikiran yang keliru. Masalah-masalah ini harus kita pecahkan sendiri."
"Dan peristiwa yang Bapak alami semalam sama sekali tidak mengubah pendirian Bapak mengenai UFO?" tanya Petra.
"Sedikit pun tidak. Saya memang belum bisa menerangkannya, tapi suatu hari nanti semuanya akan menjadi jelas."
"Pak Profesor." ujar Sporty bergaya resmi,
"kami mengucapkan terima kasih atas wawancara ini."
*** Pistol Tanpa Peluru HARI telah siang ketika anak-anak STOP kembali bersepeda menuju Jalan Waldheim.
Pak Gutsche sedang berada di kebun, sibuk memotong rumput.
Gaby membantunya. Gadis itu mengenakan topi dari bahan jeans, yang menutupi hampir seluruh kepalanya.
Tentu saja banyak yang harus diceritakan. Untuk itu, mereka semua duduk di meja taman. Pak Gutsche dan keponakannya terheran-heran ketika mendengar semua keterangan yang telah dikumpulkan anak-anak STOP.
"Ewald Nossel?"
Pak Gutsche menggeleng. "Saya tidak mengenalnya. Tapi saya sudah sering melewati rumahnya yang bobrok itu."
Oskar sudah mulai melirik ke arah dapur.
Tapi Sporty langsung menghancurkan harapan sahabatnya itu dengan berkata,
"Kita sekarang akan ke sana. Aku kepingin tahu apa yang dikerjakan orang itu, dan apakah rekannya juga ada di sana. Aku memang hanya melihatnya dalam kegelapan malam. Tapi aku masih ingat tinggi serta potongannya. Kalau aku sempat melihat Nossel, setidak-tidaknya aku tahu apakah dia perlu dicurigai atau tidak."
"Kalian harus berhati-hati!"
Pak Gutsche memperingatkan mereka
"Soalnya sudah terbukti
bahwa para Pemburu Rambut itu tidak segan segan menggunakan kekerasan."
Matahari telah tinggi di langit ketika anak-anak STOP berangkat lagi. Sporty sempat mempertimbangkan untuk menyuruh Petra tinggal di rumah Pak Gutsche saja. Tapi ternyata gadis itu memprotes dengan keras. Petra tidak terima kalau ia tidak boleh ikut hanya karena ia seorang gadis.
Bahwa dalam hati ia memang merasa agak ngeri-itu persoalan lain. Dan ia takkan mau mengakuinya. Lagi pula, Petra berkata pada diri sendiri, ia akan aman selama Sporty berada di sampingnya. Tapi ini pun takkan dikatakannya secara terus-terang.
Mereka bersepeda selama kurang lebih setengah jam melalui desa, menembus hutan, menyusuri sebagian jalan raya, lalu membelok ke sebuah jalan setapak.
Daerah di sekitar mereka datar saja.
Matahari bersinar cerah. Tak satu awan pun menutupi langit. Oskar sudah mulai bermandikan keringat .Dan seperti biasanya, kalau merasa kepanasan, dia pun mengomel tanpa henti. Apalagi karena mereka dikerubungi awan nyamuk.
Sebidang hutan terlihat di kejauhan.
Tempat tinggal Ewald Nose] berada tepat di baliknya.
Di tepi hutan, terlindung oleh pohon-pohon, anak-anak itu turun dari sepeda.
"Gila, rumahnya benar-benar bobrok,"
Oskar mengomentari bangunan di hadapan mereka.
"Sekali tiup juga ambruk."
Memang begitulah kenyataannya.
Padahal, puluhan tahun silam rumah itu pasti masih menjadi kebanggaan pemiliknya. Tapi sekarang keadaannya benar-benar menyedihkan. Gudang di sebelahnya bahkan lebih memprihatinkan lagi. Di samping rumah terdapat sebuah bangunan kecil-WC model kuno yang memang masih banyak terdapat pada rumah-rumah tua di daerah pedesaan. Pada pintunya terdapat sebuah lubang berbentuk hati. Dibandingkan dengan bangunan bangunan lain, WC inilah yang tampak paling kokoh.
Tepat pada saat itu pintunya membuka.
Seorang pria melangkah keluar.
Ia mengenakan kemeja kotak-kotak, dengan lengan tergulung sampai ke siku.
"itu dia!" bisik Petra terkejut.
"Siapa?" tanya Sporty.
"Si Mulut Mencong?"
"Ya, aku mengenalinya. Dia..."
Ia terdiam. Dari arah jalan yang membelah hutan terdengar suara mesin mobil.
Sporty bersama teman-temannya langsung bersembunyi di balik semak-semak. Dari tempat itu, mereka melihat sebuah mobil sport buatan Amerika muncul di bawah pepohonan. Pengemudinya terus tancap gas, dan meninggalkan awan debu di belakangnya.
"Dia mau menabrak rumah itu," ujar Thomas.
"Dan rumahnya pasti ambruk. Oh, ternyata dia mengerem. Wah, untung saja!"
"Itu kan mobilnya si Sutradara!" ujar Sporty heran.
"Aneh, mau apa dia di sini? Dan coba lihat tingkahnya si Mulut Mencong."
Pria itu memang bersikap aneh.
Begitu melihat mobil tadi melesat mendekat, ia seperti membatu di tempat .Kemudian ia berbalik Seperti dikejar setan. ia berlari ke dalam rumah.
Mobil sport tadi berhenti tepat di depan pintu rumah.
Thomas 'Lucky' Owen turun paling dulu, disusul oleh si Koboi iklan. Yang muncul terakhir adalah si Bayi Sehat.
Mereka menuju pintu. Owen tidak menekan bel atau mengetuk, dia
menendang daun pintu dengan sepatu bot-nya yang berwarna merah.
Pintu itu segera membuka.
Dengan langkah panjang ketiga orang itu masuk ke dalam.
"Ohhh!" ujar Oskar.
"Apa urusan mereka dengan para Pemburu Rambut?"
"Kalian tunggu di sini," kata Sporty cepat cepat.
"Aku akan mendekat. Aku kepingin tahu apa yang terjadi di dalam. Dengan gubuk reyot seperti ini, aku tidak perlu jendela terbuka untuk menguping. Setiap kata pasti terdengar jelas."
Ia langsung berangkat. Sambil membungkuk, ia berlari di bawah pohon-pohon sampai berada sejajar dengan gudang. Setelah itu ia menyeberangi sebidang rumput, dan menyusuri dinding gudang.
Beberapa meter terakhir dilewatinya sambil merangkak. Kemudian ia sampai di bagian belakang rumah Ewald Nossel.
Ternyata ia memilih tempat yang tepat, sebab di sisi itu terdapat sebuah jendela yang terbuka lebar. Dengan jelas ia mendengar suara-suara yang penuh emosi.
"memasuki rumah ini dengan kekerasan dan tanpa izin," seorang pria berkata dengan sengit.
"Tindakan Anda benar-benar kelewatan."
Sporty merasakan urat-urat di seluruh tubuhnya menegang. Ia pernah mendengar suara itu.
Tak salah lagi! itu suara salah satu Pemburu Rambut yang dipergokinya di Taman Lerchenau.
"Kelewatan?" tanya Owen.
"Baiklah! Tapi apa yang kalian lakukan? Kalian berusaha memeras kami. Kalian minta uang tebusan 100.000 Mark."
Untuk sesaat semuanya terdiam.
"Awas!" teriak Owen tiba-tiba.
"Dia punya pistol!"
Sebuah kursi terbanting ke lantai.
Seseorang mengerang. Kemudian terdengar bunyi benturan, seakan-akan dada seseorang terkena pukul, disusul dengan suara benda berat jatuh ke lantai.
"Nah!" seseorang berkata dengan tajam-kemungkinan besar si Koboi Iklan.
"Kita tidak membutuhkan benda ini. Untuk apa kita pakai pistol kalau urusan ini bisa diselesaikan dengan kepalan tangan? Biar kubuang saja ke luar jendela."
Sporty tersentak kaget. Sebuah benda keras mendarat sekitar sepuluh sentimeter di depan hidungnya. Benda itu adalah sepucuk pistol.
"Ayo, bangun!" pria bersuara tajam itu memerintah.
"Ayo, duduk di sofa sana."
Dia merampas pistolnya, pikir Sporty terkejut, dan membuangnya begitu saja lewat jendela. Dan aku rasa dia sekaligus menghajar lawannya .
Astaga, keadaan di dalam ramai benar!
Sporty mengulurkan tangan dan meraih pistol itu. Senjata itu ternyata belum dikokang.
Dengan hati-hati ia mengeluarkan magasin peluru dari gagang-tentu saja sambil mengarahkan larasnya ke tanah.
Dan benar saja! Pistol itu terisi peluru!
Sporty segera menyembunyikan '
magasin peluru di bawah sebongkah batu. Kini pistol itu tidak lebih berbahaya ketimbang sendok makan.
Semuanya itu hanya makan waktu beberapa detik.
"Apa gunanya kalau kita saling bermusuhan?"
Sporty mendengar Owen berkata.
"Tapi ngomong-ngomong, rambut apa itu di meja sana?"
"Ya. rambut," seseorang menjawab dengan suara serak.
Sporty juga mengenal suara itu. Pemiliknya adalah rekan si Mulut Mencong.
"Aku juga tahu!"
Owen menghardiknya. "Rambut apa, maksudku!"
"Rambut manusia."
"Rambut manusia?"
"Ya. rambut manusia!"
"Astaga! Untuk apa kalian memerlukannya?"
"Kami berdua membuat wig. Wig dengan rambut asli. Anda pasti tahu bahwa harganya mahal sekali. Kami hidup dari situ. Pemasukannya lumayan."
"Ah, mana mungkin."
Owen menanggapinya dengan dingin.
"Rambut-rambut itu pasti bukan asli. Mana ada wanita yang mau mengorbankan rambut yang begitu indah?"
"Hahaha," si Pemburu Rambut ketawa terbahak-bahak.
"Memang Anda kira kami minta izin dulu? Itu sih buang-buang waktu saja. Kami mengambil yang kami butuhkan."
"O, boy!" suara si Koboi Iklan terdengar
kembali. "Sekarang aku tahu siapa kalian. Aku membacanya di koran. Kalian para Pemburu Rambut itu! Kalian menyergap dan membius gadis-gadis, dan setelah mereka tak berdaya, kalian potong rambut mereka."
"Bah, setan alas!" seru Owen.
"Memuakkan! Mencuri, merampok. merampas-terserah deh! Tapi memotong rambut gadis-gadis-itu sih keterlaluan. Biadab!"
"Jangan sok suci, deh!" rekan si Mulut Mencong berseru.
"Kalian kan sama saja dengan kami. Kalian mempermak sebuah karavan tua agar mirip dengan pesawat antariksa. Dan dengan segala peralatan film yang kalian bawa. kalian memang cukup berhasil. UFO gadungan itu lalu ditempatkan di tepi Jalan menuju Pondok Pemburu. Kenapa justru di sana? Karena kalian telah mengetahui bahwa Profesor Oberthur setiap
malam berjalan-jalan lewat daerah itu. Tidak percuma kalian tinggal di hotel yang sama. Salah satu dari kalian menunggu di lobi hotel, lalu membuntuti ilmuwan itu sewaktu dia berangkat. Kalian mempersiapkan penyergapan di jalan setapak yang menuju puncak Bukit Madu. Dengan sebuah lampu sorot kalian membuat profesor itu silau. Dengan gas pembius kalian lalu membuatnya tak berdaya. Sementara itu, Louis Walker juru kamera kalian yang gendut-berjaga di jalan setapak yang menuju desa. Sebab siapa tahu orang lain tiba-tiba muncul dari arah sana. Kalian membawa si Profesor ke dalam UFO gadungan dan menambahkan obat bius. Tapi dosisnya diatur sedemikian rupa sehingga Pak Profesor beberapa kali terbangun. Dalam keadaan setengah sadar, orang tua itu menyangka bahwa ia sedang dikelilingi oleh makhluk-makhluk angkasa luar. Padahal kalian hanya mengenakan pakaian bekas syuting film. Nah, kemudian kami muncul. Kebetulan saja. Kami sebenarnya bermaksud mencari rambut lagi. Ewald dan aku menguping pembicaraan kalian di dalam UFO gadungan. Kami mendengar apa yang kalian bicarakan selama si Profesor pingsan. Kemudian Anda berdua," ia menunjuk Owen dan Bingham,
"membawa ilmuwan itu kembali ke hotel. Walker bertugas menjaga gerobak kalian. Kami langsung beraksi. Si Gendut ini nyaris mati ketakutan. Semua rencana kalian dibeberkannya. Juga, bahwa kalian ingin membuat sensasi besar supaya film kalian lebih laku. Kalian memerlukan suatu kejadian seru yang bisa membuat film kalian jadi bahan pembicaraan masyarakat! Supaya orang orang tertarik untuk menontonnya! Dan sesuai dengan pepatah: tujuan menghalalkan cara. kalian tidak segan-segan menggunakan kekerasan.
Rencana kalian kelihatannya berhasil. Aku tadi sempat mampir ke Hotel Istana! Busyet! Orang orang tolol itu benar-benar kemakan! Hanya satu hal yang di luar rencana kalian. Kami semalam mengangkut UFO gadungan kalian ke tempat yang aman."
"Ke mana?" tanya Owen.
"Aku takkan mengatakannya."
"Karavan kalian ada di gudang sebelah," bisik si Mulut Mencong.
Rupanya ia terkena pukulan yang cukup keras, sehingga tak berminat lagi untuk melanjutkan usaha pemerasan.
"Kalian boleh saja membawanya lagi," rekannya berkata dengan sengit.
"Tapi satu kata dari kami-satu kata saja-dan kalian boleh gulung tikar. Film kalian tak bakal laku. Dan kecuali itu, kalian juga akan masuk penjara."
"Kalau kalian buka mulut," si Koboi Iklan membalas tak kalah sengitnya,
"kalian akan didatangi teman-teman kami. Mereka akan mematahkan setiap tulang di badan kalian. Dan jangan lupa, polisi pasti tertarik pada para Pemburu Rambut."
Telinga Sporty tergiung-ngiung. Ia nyaris tak berani menarik napas. Apa yang didengarnya sukar untuk dipercaya.
Tiba-tiba saja semuanya menjadi jelas.
Dua kelompok penjahat saling bermusuhan. dan itu suatu kesalahan besar. Rupanya para Pemburu Rambut mencoba memeras Thomas "Lucky' Owen dan teman-temannya.
"Sudahlah, Fritz," ujar si Pemburu Rambut pertama dengan lesu.
"Rencana kita gagal. Sebaiknya, kita jangan saling mengganggu lagi setelah ini."
"Nah, sekarang kalian mulai pakai otak!" seseorang berseru. Sporty belum pernah mendengar suaranya. Mestinya, itu suara si juru kamera yang cedera.
Sporty hanya berpikir sekejap. Pistol tak berpeluru di tangan kanan kemudian digenggamnya dengan erat. Ia berdiri, meletakkan tangan kiri pada kusen jendela, lalu melompat ke dalam. Sambil tersenyum, ia mengarahkan moncong senjata itu ke arah kelima pria yang terbengong bengong.
"Saya mendengar semuanya."
Sporty menggertak "Jangan macam-macam kalau mau selamat! Kalian penjahat. Dan saya bisa menembak dengan jitu. Siapa yang bergerak akan merasakan akibatnya."
Ruangan itu cukup besar, tapi hampir tanpa perabot. Di atas sebuah meja kayu terdapat sekitar dua lusin kantong plastik bening. Dan semuanya terisi rambut panjang, pirang, coklat, hitam, dan kemerah-merahan.
Thomas 'Lucky' Owen bersama rekan-rekannya berdiri di balik meja tadi.
Wajah si sutradara menjadi pucat.
Kumis si Koboi iklan bergerak gerak, seakan-akan sudah mau copot. Louis Walker, si Bayi Sehat, sudah hampir pingsan.
Kedua Pemburu Rambut duduk di atas sofa. Si Mulut Mencong terbengong-bengong.
Nossel duduk dengan mulut menganga. Bau bawang putih yang menyengat tersebar ke seluruh ruangan.
Sporty menemukan pesawat telepon pada sebuah meja kecil di balik sofa.
Tanpa melepaskan pandangan dari kelima pria di hadapannya, ia bergerak ke arah meja itu. Tetapi si Mulut Mencong nekat. Sambil berteriak keras, ia menyerang Sporty.
Akibatnya sungguh parah. Sporty langsung beraksi. Ia mengayunkan pistol dan mengenai rahang penyerangnya.
Si Mulut Mencong terjatuh seperti pohon tumbang. .
Kejadian ini semakin menciutkan nyali yang lainnya. Tak ada yang berani bergerak.
"Ini sebagai balasan atas kejadian di Taman Lerchenau,
" Sporty berkata pada Nossel.
"Berapa nomor telepon polisi?! Cepat!"
"Empat, empat, enam, satu,"
Nossel bergumam pelan. Sporty menjepitkan gagang telepon antara bahu dan telinganya, memutar nomor, lalu menunggu sampai mendapat jawaban.
"Polisi? Tolong segera ke tempat tinggal Ewald Nossel! Saya menahan lima orang di sini. Dua di antaranya adalah para Pemburu Rambut-yang lainnya bertanggung jawab atas penculikan Profesor Oberthur semalam."
"Ba... ba... bagaimana," petugas di kantor
polisi tergagap-gagap. "Baiklah, saya akan segera ke sana. Nama Anda?"
"Nama saya Peter Carsten."
"Anda... ehm... Anda serius bukan?"
"Ya, seratus persen. Jangan buang-buang waktu lagi," jawab Sporty lalu meletakkan gagang.
Si Mulut Mencong masih KO.
Sporty berpaling pada Ewald Nossel.
Pria itu berwajah kasar. Kulitnya berminyak sekali.
Dan kedua matanya menyorot tajam.
Ia menarik napas dalam-dalam.
"Mana kantong berisi rambut seorang gadis yang kalian serang di Taman Lerchenau dua hari yang lalu?"
"Yang itu," jawab Nossel sambil menunjuk.
Sporty segera mengambilnya.
Betul Kantong itu berisi rambut Kathie Bossert.
"Tiga hari yang lalu kalian menyergap seorang gadis di Merkenheim. Warna rambutnya hitam kebiru-biruan."
Dengan lesu Nossel menunjuk kantong plastik lain.
Ia sudah bersikap masa bodoh.
Kantong yang kedua pun diambil Sporty.
Setidak-tidaknya mereka bisa membuat wig, ia berkata dalam hati.
Penampilan mereka akan kembali seperti semula.
Suasana menjadi hening. Sporty tetap mengarahkan moncong pistol ke arah bajingan-bajingan di hadapannya.
Beberapa saat setelah itu terdengar suara sirene. Dua mobil patroli polisi melaju menembus
hutan. Semenit kemudian para petugas sudah menyerbu ke dalam.
Letnan Lippuneier berada di antara mereka.
"Kau?" ia bertanya dengan mata terbelalak ketika melihat Sporty.
"Nak, jangan arahkan pistol itu pada saya!"
"Pistol ini." ujar Sporty sambil melemparkannya ke meja,
"tak ada pelurunya. Saya tak mungkin menembak orang-biarpun mereka penjahat-penjahat yang paling busuk. Menembak binatang saja saya tak tega."
"Sikap yang patut dipuji," kata Petra, yang berdiri di luar jendela.
Thomas dan Oskar berada di sampingnya.
Terheran-heran mereka melihat para petugas menggiring kelima penjahat ke mobil patroli.
. Hampir saja anak-anak STOP diangkat sebagai warga kehormatan Bad Finkenstein. Konperensi pers pun segera diadakan lagi. Tapi para wartawan nampak agak kikuk. Beberapa di antara mereka merasa kecewa bahwa segala keramaian mengenai para makhluk angkasa luar ternyata tidak lebih dari usaha penipuan yang lihai.
Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://cerita-silat-novel.blogspot.com
Sampai jumpa di lain kisah ya !!!
Situbondo,4 September 2018
Terimakasih TAMAT Bisikan Arwah 2 Fear Street - Mimpi Buruk Bad Dreams Piala Api 4
^