Pencarian

Kencan Ganda 1

Fear Street Kencan Ganda Double Date Bagian 1


1 Ramah BOBBY NEWKIRK mendorong pintu locker dengan sebelah
tangan, sehingga Ronnie Mitchell terdesak ke dalam locker-nya.
"Aduh!" gadis itu memekik dengan kesal. "Jangan macammacam, Bobby!"
Bobby menatapnya sambil tersenyum, senyum maut yang telah
dilatihnya di depan cermin. Senyum yang mampu membuat gadis
mana pun bertekuk lutut. "Kena kau!"
"Jangan ganggu aku!" Ronnie meronta-ronta untuk
membebaskan diri. Tapi tubuhnya mungil, langsing, dan pendek.
Tenaganya tak cukup untuk melawan pemuda itu.
Sambil tetap tersenyum, Bobby membungkuk dan menciumnya.
Ronnie membalas ciumannya. Sejak awal Bobby sudah tahu
bahwa gadis itu takkan menolak.
Kemudian Ronnie mendorong Bobby dengan kedua tangannya.
Bobby cuma tertawa dan melangkah mundur.
"Kau keterlaluan, deh," gerutu Ronnie dengan manja.
"Tapi suka, kan?" balas Bobby.
Ronnie merapikan T-shirt hijaunya. "Aku senang sekali
semalam," katanya, tersipu-sipu dan menundukkan kepala.
"Tentu saja," ujar Bobby. Ia mengintip lewat bahu Ronnie
untuk mengamati bayangan dirinya di cermin yang menempel pada
pintu locker. "Kau sendiri juga lumayan, babe."
"Jangan panggil aku babe," Ronnie berkata padanya. "Aku tidak
suka dipanggil begitu. Kedengarannya terlalu konyol."
"Oke, babe." Bobby kembali membungkuk untuk menciumnya,
tapi kali ini Ronnie mengelak.
"Semua orang melihat ke sini!" bisik Ronnie.
"Lalu kenapa?" balas Bobby angkat bahu. "Biar saja mereka
iri." Sekali lagi ia melirik ke cermin dan mengusap rambutnya yang
pirang dan lurus. "Aku jalan dulu, deh."
Ronnie mengangkat ranselnya. "Kau mau ke mana?"
"Ada, deh." Bobby menatap sambil tersenyum. Ia mengambil
sepotong benang yang menempel di bahu T-shirt Ronnie, kemudian
menempelkannya ke hidung gadis itu.
Ronnie menghela napas dan meniupnya sampai jatuh. "Aku ada
latihan cheerleader," katanya, sambil melirik jam dinding yang
tergantung di atas kepala mereka. Pukul 15.30. "Kau mau jemput aku
sehabis latihan?" Bobby menggeleng. "Lain kali saja." Ia berpaling dari Ronnie
dan mengamati lorong yang hampir lengang. "Aku juga ada latihan.
Sampai ketemu, oke?"
Ia bergegas menuju ruang musik di ujung lorong. Bobby
melangkah dengan ringan, penuh percaya diri. Ia tahu Ronnie sedang
memperhatikannya. Dan ia yakin gadis itu terkagum-kagum.
"Telepon aku, ya, nanti malam?" seru Ronnie. Suaranya
bernada memohon. "Lihat nanti, deh," Bobby bergumam. Ia terus berjalan.
Ia menyukai Ronnie, meski Ronnie bukan gadis tercantik yang
pernah dikencaninya. Dengan tubuhnya yang mungil, rambutnya yang
merah, dan wajahnya yang berbintik-bintik, Ronnie kelihatan seperti
anak dua belas tahun. Tapi ia cukup menyenangkan.
Kenapa Bobby mau berkencan dengannya? Sebab Ronnie satusatunya cheerleader tim Tigers yang belum dikencaninya. Bobby ingin
agar rekornya tetap sempurna. Ia ingin mencoret Ronnie dari
daftarnya. Aku sudah berkencan dengan keenam cheerleader, Bobby
berkata dalam hati. Ia nyengir lebar. Siapa bilang aku bukan orang
yang menyenangkan? Bobby tertawa sendiri. Keenam-enamnya pasti tergila-gila padaku, ia menyimpulkan.
Barangkali aku akan menelepon Ronnie nanti malam, Bobby
kembali berkata dalam hati. Dia pasti senang.
Persis di depan ruang musik, ia berhenti sebentar dan menyapa
dua pemuda lain. Jerry Marvin langsung berhigh-five dengannya.
"Mau ke mana, nih?" Markie Drew bertanya pada Bobby.
"Kalian mau ke mana? Dihukum lagi, ya, karena bikin onar di
kelas?" Jerry meringis. "Ayahku mengusahakan pekerjaan sambilan
untukku. Di McDonald's. Aku bertugas menggoreng kentang."
Bobby tertawa mengejek. "Langsung ke puncak karier, heh?"
"Tidak semua orang punya orangtua kaya," gumam Jerry.
"Sayang sekali," ujar Bobby.
Markie memindahkan ranselnya dari bahu kiri ke bahu kanan.
"Kau masih berkencan dengan Cari Taylor?" ia bertanya pada Bobby.
"Tidak. Dia sudah kutinggalkan," balas Bobby. Senyum lebar
mengembang di wajah lampaunya
Markie dan Jerry sama-sama kaget. "Masa, sih?"
"Yeah. Dia menumpahkan Coke di mobilku. Jadi terpaksa,
deh." Ia terkekeh-kekeh. "Dia kusuruh pulang jalan kaki."
"Gila." Markie geleng-geleng kepala.
"Hei, man, bagaimana kalau kutampung saja cewek-cewek yang
kaucampakkan?" tanya Jerry.
"Boleh saja," ujar Bobby santai. Ia memandang ke arah ruang
musik. "Sampai nanti, deh. Aku sudah telat untuk latihan."
Kedua temannya membalik dan pergi, dan Bobby masuk ke
ruang musik. Tapi dua tangan kuat mencengkeram bahunya dengan keras dan
menariknya ke belakang. "Bobby, aku akan membunuhmu!" sebuah suara berseru dengan
nada melengking. "Aku akan membunuhmu!"
2 Soal Kecil BOBBY tertawa. Tanpa menoleh pun ia sudah mengenali suara
itu. "Hei!" ia berseru. "Jangan sentuh aku, kecuali kalau kau cinta
padaku." Kimmy Bass mendengus dengan kesal dan segera menarik
tangannya dari pundak Bobby. "Ke mana kau semalam?" tanyanya
gusar. Bobby berbalik menghadapnya. Matanya yang biru berbinarbinar ketika ia membuka keduanya lebar-lebar, sambil pasang
tampang tak berdosa. "Semalam?"
Kimmy mendelik. Pipinya memerah, dan ia menyilangkan
tangan di depan dada. "Yeah. Semalam."
Bobby berlagak mengingat-ingat.
"Kita ada janji semalam," Kimmy berkata dengan suara
bergetar. "Kau janji datang ke rumahku supaya kita bisa belajar
bersama. Habis itu kita seharusnya ke..."
"Kau kelihatan cantik sekali hari ini," potong Bobby. "Mau
latihan cheerleader, ya? Bagaimana kalau kujemput seusai latihan?"
Kimmy kembali mendengus. Ia mengepalkan tangan. "Jawab
saja pertanyaanku, Bobby. Aku meneleponmu semalam, tapi kau tak
ada di rumah. Kau lupa kita ada janji?"
"Mana mungkin," balas Bobby sambil meletakkan sebelah
tangan pada pundak Kimmy.
Tapi gadis itu menyingkirkan tangannya.
"Sebenarnya," Bobby melanjutkan, "aku dapat tawaran yang
lebih baik." Ia menatap Kimmy sambil nyengir lebar.
Kimmy sampai melongo, tak sanggup berkata apa-apa.
"Hei, Kimmy, kau tidak mau, kan, kalau aku sampai bohong?"
Kimmy langsung melotot. Tapi kemudian sorot matanya mulai
meredup, dan roman mukanya berubah kencang dan dingin. "Bobby,
kau memang bajingan," katanya sambil mengertakkan gigi.
Bobby terkekeh-kekeh. "Yeah, aku tahu."
"Kau bajingan," ulang Kimmy. Kemudian ia berlari menyusuri
lorong, rambutnya yang hitam terayun-ayun.
"Hei, Kimmy...," Bobby memanggilnya. "Nanti kutelepon, ya?"
Kimmy mengumpat dengan kesal, lalu menghilang dari
pandangan. Sambil tertawa sendiri, Bobby masuk ke ruang musik.
"Hei, Bobby." "Ambil gitarmu. Kau terlambat lagi."
Bobby mengangguk kepada Arnie dan Paul, kedua anggota
band lainnya. Ia menghampiri lemari untuk mengambil gitar.
Ketiganya tidak mempunyai tempat di rumah untuk berlatih, tapi Mr.
Cotton, guru musik mereka, telah mengizinkan mereka berlatih di
ruang musik seusai sekolah.
Mereka baru saja mengganti nama band mereka dari The Cool
Guys menjadi Bad to the Bone. Sudah sekitar empat bulan mereka
main bersama-sama, dan selama itu mereka gonta-ganti nama paling
tidak sekali seminggu. Menurut Bobby, mereka lebih sibuk mencaricari nama daripada berlatih..
Paul, si pemain keyboard, menekan-nekan tuts keyboard-nya
dengan tidak sabar ketika menunggu Bobby. Paul berbahu lebar dan
bertubuh atletis, dengan kulit gelap dan mata berwarna cokelat. Ia
lebih rajin dibandingkan Bobby dan Arnie, dan berlatih lebih serius
daripada kedua rekannya itu.
Arnie memukul-mukul drum. Sebagai pemain drum, ia tidak
istimewa, tapi paling tidak ia bisa menjaga irama?namun itu pun
tidak selalu. Alasan utama Arnie bisa bergabung dalam band mereka adalah
karena ia sahabat karib Bobby. Rambutnya pendek berwarna merah,
matanya biru, dan senyumnya berkesan agak tolol. Sebelah telinganya
dihiasi anting-anting. Bulu-bulu pirang di bawah hidung yang selalu
dibanggakannya sebagai kumis, justru membuat penampilannya jadi
berantakan. Bobby menyambung gitarnya ke sebuah amplifier kecil.
Kemudian ia membesarkan volume sampai terdengar bunyi
melengking. Ia duduk di kursi lipat di depan Arnie dan Paul, mulai
menyetem keenam senar satu per satu.
Bobby sangat menyayangi gitarnya, sebuah Fender Strat
berwarna putih. "Seperti yang dipakai Jimi Hendrix," ia sering
berkoar. Arnie pernah berkomentar bahwa Bobby mencintai gitarnya
hampir seperti ia mencintai dirinya sendiri.
Waktu itu Bobby langsung membela diri. "Hei, man," serunya,
"apa salahnya kalau aku mencintai diri sendiri? Selain aku, tidak ada
yang patut dicintai."
"Hahaha," Paul menanggapinya dengan tertawa sinis.
Bobby selesai menyetem. Ia membungkuk dan meraih ke dalam
kotak gitarnya untuk mengambil pick.
"Ayo kita mulai," desak Paul. "Aku harus pulang cepat nanti,
soalnya aku mau menjemput ibuku di tempat kerjanya."
"Mana pick-ku?" tanya Bobby sambil mengerutkan kening.
"Biasanya ada di sini. Tapi..."
"Barangkali kaupakai untuk mengorek hidung," Arnie
menimpali. Ia tertawa cekikikan, tapi yang lain diam saja. Leluconlelucon Arnie tak pernah berhasil memancing tawa.
"Jangan banyak omong, Arnie," ujar Bobby sambil terus
mencari. Paul menggerutu. "Hei! Malam Sabtu besok kita sudah mau
manggung!" serunya ketus. "Waktunya tinggal sedikit lagi."
"Ke mana kau semalam?" Arnie bertanya kepada Bobby, tanpa
menghiraukan seruan Paul. "Kau pergi dengan Kimmy, ya?"
Bobby menoleh dan mepatapnya sambil nyengir. "Bukan. Aku
pergi dengan Ronnie."
Arnie membelalakkan mata. "Kukira kau ada janji dengan
Kimmy untuk belajar bersama."
"Memang," sahut Bobby. "Tapi Ronnie meneleponku dan?ya,
bagaimana lagi?" Ia angkat bahu. "Aku tak mungkin berada di dua
tempat sekaligus." Arnie tertawa. "Dasar playboy."
"Ah, lama-lama Kimmy juga bakal lupa," ujar Bobby. Ia
menemukan sebuah pick dan memetik senar gitarnya beberapa kali.
"Kenapa tidak sekalian saja kau mengajak kedua-duanya?" Paul
berkomentar. Bobby hendak menjawab, tapi sebuah gerakan di pintu telanjur
menarik perhatiannya. "Hei!" ia berseru, ketika dua gadis memasuki
ruangan. Ia segera mengenali si Kembar Wade. Semua orang di
Shadyside High kenal Bree dan Samantha Wade. Mereka pindah ke
Shadyside tahun lalu. Dan mereka segera mendapat reputasi sebagai
gadis-gadis tercantik di seluruh sekolah.
Tampang mereka sama persis, dan mereka sama-sama memiliki
kulit halus bercahaya dan rambut hitam lurus?rambut yang
berkilauan seperti dalam iklan-iklan sampo di TV. Mata mereka samasama bulat dan hijau, dan sama-sama mempunyai tulang pipi yang
tinggi serta senyum yang hangat.
Bree termasuk pemalu. Ia jarang bicara di dalam kelas.
Samantha lebih terbuka dan lincah. Kedua-duanya mempunyai teman,
namun bukan teman dekat. Kedua-duanya berkencan, tapi belum
punya pacar tetap. Bobby memperhatikan mereka sambil memetik gitar. Bree
berhenti di dekat pintu. Samantha maju ke tengah ruangan. Mereka
sama-sama mengenakan jins belel dan T-shirt garis-garis.
Wah, ini dia! pikir Bobby. Ia sudah pernah berniat mengajak
salah satu dari mereka berkencan, tapi sejauh ini belum mendapat
kesempatan. "Kami mencari Mr. Cotton. Dia ada di sini?" ujar Samantha
sambil menatap Bobby. "Di sini tak ada katun," Arnie menyahut. "Tapi aku punya kapas
di locker-ku." Tak ada yang tertawa. "Aku belum melihat dia sore ini," Paul memberitahu Samantha.
"Biasanya dia langsung kabur kalau kami mulai berlatih."
Bobby tersenyum. Samantha membalas senyumnya. Bree memasukkan kedua
tangan ke kantong celana. "Mungkin dia ada di ruang guru," katanya
kepada saudara kembarnya.
Mereka hendak meninggalkan ruangan. "Hei?jangan pergi
dulu!" seru Bobby. "Kalian belum mendengar permainan kami."
"Kami perlu bicara dengan Mr. Cotton," jawab Samantha.
Bobby mengamati keduanya ketika mereka keluar ke lorong.
Wow, bentuk tubuh mereka sama-sama hebat, katanya dalam hati.
"Pertama-tama kita main apa, nih?" tanya Paul. Ia mengetukngetukkan kesepuluh jarinya pada tepi keyboard.
"Aku mau main-main dengan mereka," ujar Arnie sambil
membayangkan si Kembar tadi.
"Mereka benar-benar kece!" Bobby pun sependapat. "Kalian
lihat bagaimana mereka menatapku?"
"Ya, tapi itu cuma karena ritsleting celanamu terbuka," gurau
Arnie. "Aku tak pernah bisa membedakan mereka," aku Paul. "Aku
tidak tahu yang mana Bree dan yang mana Samantha."
"Apa bedanya?" tanya Bobby. "Mereka sama-sama kece!" Ia
terdiam sejenak. "Omong-omong soal kencan dengan dua cewek
sekaligus, bagaimana ya, rasanya berkencan dengan cewek kembar?
Uih!" Paul menggelengkan kepala. "Bobby, kau tak bakal senekat
itu." "Siapa bilang?" Arnie menyahut penuh semangat.
"Tentu saja bisa," Bobby bergumam sambil merenung. "Yang
satu bisa kuajak hari Jumat, yang satu lagi hari Sabtu. Dan aku akan
minta mereka berjanji untuk tidak memberitahu yang lainnya."
"Mustahil," Paul berkeras.
"Kasihan dong, kalau salah satu dari mereka tidak dapat


Fear Street Kencan Ganda Double Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesempatan," ujar Bobby. Ia mulai menyukai ide itu. "Maksudku, apa
salahnya kalau aku membagi-bagi rezeki? Mereka itu sudah terlalu
lama dibiarkan merana."
"Betapa mulia hatimu," ujar Paul sinis.
Bobby membalik untuk menghadap kedua temannya. "Kalian
pasti tidak percaya bahwa aku sanggup melakukannya, ya kan?"
"Aku yakin mereka akan memberitahu yang lainnya," ujar Paul.
"Dan setelah itu kau bakal 'ditendang'."
"Berani bertaruh?" tantang Bobby.
Arnie memutar-mutar stik drum. Ia mengamati wajah Bobby
yang tampak serius. "Kau benar-benar yakin bisa mengencani si
Kembar Wade dalam satu akhir pekan?"
"Ah, itu, sih, soal kecil," bual Bobby. "Lihat saja nanti."
3 Peringatan "WAH, sudah telat, nih. Aku pergi dulu, ya," ujar Paul. Ia
memasukkan keyboard-nya ke dalam lemari. "Ibuku pasti sudah
menunggu di depan kantornya."
"Latihannya lumayan juga," komentar Bobby. Ia
memperhatikan awan kelabu yang terlihat dari jendela ruang musik.
"Kalau begini masih ada kemungkinan kalian tidak membuat malu
malam Sabtu besok." "Kedua lagu Tommy masih perlu dipoles lagi," kata Paul,
bergegas ke pintu. "Permainan kita masih kurang kompak. Dan
temponya terlalu lamban."
"Yeah," Bobby sependapat. Ia memainkan sepenggal melodi
dari salah satu lagu Tommy. Nada-nadanya mengalir lancar. "Nah,
seharusnya begini. Persis seperti The Who. Aku sudah berulang kali
mendengarkan CD-nya."
"Aku jalan dulu, deh," ujar Paul.
Bobby mencabut kabel gitarnya dari amplifier. Ia menatap
Arnie sambil nyengir. "Menurutmu, si Kembar Wade masih di sekitar
sini?" "Jadi kau serius, nih?" tanya Arnie.
"Pokoknya, kalau aku sudah berhasil, mereka akan kuhibahkan
padamu," jawab Bobby.
"Kau memang sahabat sejati," gurau Arnie. Ia mulai menabuh
drum, tapi salah satu stik terlepas dari tangannya. Stik itu jatuh ke
lantai dan menggelinding ke arah Bobby. Ketika Bobby membungkuk
untuk memungutnya, ia melihat Melanie Harris memasuki ruangan.
Bobby langsung melemparkan stik drum kepada gadis itu. "Hei,
tangkap!" Melanie memekik karena kaget dan langsung menunduk. Stik
drum itu membentur dinding dan kembali jatuh ke lantai. "Jangan
konyol, dong," kata Melanie. Ia membungkuk untuk mengambil stik
itu sambil memasang tampang cemberut.
Bobby tertawa. Diperhatikannya Melanie melintasi ruangan,
menghampiri Arnie. Gadis itu termasuk pendek dan agak gemuk.
Rambutnya panjang sampai ke pinggang, dan biasanya dikepang. Ia
mempunyai sepasang mata yang indah, serta senyum yang menawan.
Bobby sempat jatuh hati pada senyum itu. Musim semi yang
lalu, ia pacaran selama tiga bulan dengan Melanie, dan itu merupakan
rekor untuknya. Tapi Melanie berhenti tersenyum ketika mengetahui bahwa
Bobby diam-diam juga berkencan dengan gadis-gadis lain. Ia
langsung memutuskan hubungan mereka, dan sejak itu tak pernah lagi
tersenyum kepada Bobby. Kini ia berpacaran dengan Arnie.
Malah kebetulan, kata Bobby dalam hati. Ia paling benci
terhadap cewek emosional. Kenapa dia harus menangis sepanjang
malam waktu putus denganku? ia sempat bertanya-tanya. Apa
dipikirnya dengan cara itu dia bisa membuatku merasa bersalah?
Bobby memperhatikan Melanie menyerahkan stik drum kepada
Arnie. Dia kece juga kalau pakai jins ketat itu, katanya dalam hati.
Melanie mengenakan rompi sutra hitam dan T-shirt kuning emas.
Boleh juga, pikir Bobby. Kalau saja berat badannya bisa
dikurangi beberapa kilo, aku mungkin mau mengajaknya berkencan
lagi. Maksudku, kalau Arnie sudah bosan.
Melanie dan Arnie sedang bercakap-cakap sambil merendahkan
suara. Bobby memasukkan gitarnya ke kotak untuk menyimpannya.
"Kau datang malam Sabtu besok?" tanyanya pada Melanie.
"Arnie memaksaku," balas Melanie.
"Pasti seru, deh," Arnie berpromosi. "Latihan tadi benar-benar
hebat. Ya, kan, Bobby?"
"Luar biasa," sahut Bobby sambil mengangkat kotak gitarnya.
"Kita harus pakai apa nanti?" tanya Arnie. "Kita tidak pernah
membahas soal ini?" "Bagaimana kalau kalian pakai kantong plastik untuk menutupi
kepala?" usul Melanie. Ia tertawa sendiri. "Sekadar berjaga-jaga kalau
para penonton mengamuk gara-gara musik kalian."
"Wah, bisa-bisa rambutku jadi berantakan," Bobby bergumam.
Ia membawa kotak gitarnya ke lemari, lalu memasukkannya.
"Aku cuma bercanda!" Melanie berseru. Ia mendesah tertahan.
"Kau orang paling sombong yang pernah kukenal."
Bobby tidak menanggapi. Ia mencabut kabel amplifier dan
mulai menggulungnya. Melanie dan Arnie kembali berbisik-bisik. Bobby membawa
amplifier-nya ke lemari. Di luar ia mendengar suara cewek. Si Kembar Wade?
"Aku pergi dulu," katanya kepada Melanie dan Arnie, lalu
segera menuju ke pintu. "Hei, Bobby...," Melanie memanggilnya. "Jangan cari garagara."
"Hah?" Bobby membalik. Melanie menatapnya sambil
mengerutkan kening. "Jangan bikin masalah dengan Bree dan Samantha," Melanie
memperingatkannya. Bobby tak sanggup menahan senyum. "Jadi Arnie sudah
menceritakannya kepadamu, hmm?"
Melanie mengangguk. "Aku serius, Bobby," katanya. "Aku
kenal mereka. Mereka bukan seperti yang kaubayangkan."
Bobby tertawa dengan nada mengejek. "Aku tidak butuh
nasihatmu, Mel." "Aku serius," ulang Melanie. "Jangan ganggu mereka."
Bobby langsung menggelengkan kepala, seakan-akan hendak
menepis peringatan Melanie. "Aku jalan dulu "
Ia bergegas meninggalkan ruangan. Lorong yang panjang itu
ternyata sudah sepi. Sepatu ketsnya berdecit-decit pada lantai yang
keras setiap kali ia melangkah.
Peringatan Melanie terngiang-ngiang di telinganya. Kenapa dia
harus ikut campur? tanyanya dalam hati. Akhirnya ia menyimpulkan
bahwa Melanie masih patah hati karena putus dengannya.
Melanie belum bisa melupakanku, ia berkata pada dirinya
sendiri. Hmm?soal itu aku tidak heran.
Bobby membelok, dan nyaris menabrak sebuah pintu locker
yang terbuka. Ia berhenti seketika?dan seorang gadis dengan wajah
kaget muncul dari balik pintu.
"Hai," Bobby menyapanya, kemudian langsung pasang senyum.
"Kau Bree atau Samantha?"
4 Sukses Pertama Gadis itu menatap Bobby seakan-akan belum pernah
mendengar pertanyaan tersebut. Rambutnya yang hitam lurus
menutupi sebelah matanya.
"Aku Bree," ia akhirnya berkata dengan suara yang lembut
bagaikan sutra. "Hai, Bree," balas Bobby, lalu melangkah maju sambil menatap
mata gadis itu. "Aku Bobby Newkirk."
"Aku tahu," ujar Bree malu-malu. Ia menyingkirkan rambutnya
dari wajahnya. "Sudah ketemu Mr. Cotton?" tanya Bobby.
Bree mengangguk. "Yeah. Samantha dan aku ingin bertanya
soal kor sekolah. Sebenarnya sih sudah agak terlambat, tapi barangkali
saja kami masih boleh bergabung. Kan masih ada waktu sampai
konser musim semi." Ia menghela napas, seakan-akan enggan menjelaskan semuanya
itu. "Kalian bisa nyanyi?" Bobby bertanya sambil mengamati wajah
Bree. Ia menyukai matanya yang hijau serta lipgloss pucat yang
dioleskan gadis itu pada bibirnya.
"Ehm, menurut Samantha dan aku, sih, suara kami cukup bagus.
Tapi entah bagaimana pendapat Mr. Cotton." Untuk pertama kali ia
tersenyum, sebentar saja. Kemudian ia segera mengalihkan
pandangan. "Aku punya band," Bobby memberitahunya. "Kau sempat
mendengar kami tadi? Maksudku, dari lorong?"
Bree mengangguk. "Kami memang sedang mencari penyanyi," ujar Bobby. Ide itu
baru saja muncul dalam benaknya. "Aku jago main gitar. Dan suaraku
juga lumayan. Tapi lebih asyik kalau ada penyanyi cewek. Barangkali
kau atau saudaramu...?"
"Samantha mungkin berminat," jawab Bree pelan-pelan.
"Suaranya jauh lebih kuat daripada suaraku." Ia terdiam, bergeser satu
langkah, dan menatap ke locker yang terbuka. "Rasanya aku tak
sanggup menyanyikan lagu rock."
"Kau pemalu, ya?" tanya Bobby.
Bree tersipu-sipu. "Pemalu atau memalukan?" goda Bobby.
Bree tertawa cekikikan. "Enak saja." Rambutnya kembali
menutupi sebelah mata, tapi kali ini ia membiarkannya.
"Band kami bakal manggung di sebuah klub malam Sabtu
besok," Bobby bercerita. "Klub dansa untuk remaja. Di Old Mill
Road. Kau tahu tempat itu? Namanya The Mill."
Bree menggelengkan kepala. "Tidak. Baru tahun lalu kami
pindah ke sini, dan aku belum..."
"Kau sudah ada acara malam Sabtu? Barangkali kau mau
nonton kami manggung?" tanya Bobby.
Ia sadar bahwa Bree sempat kaget. Gadis itu semakin tersipusipu.
"Kita tidak perlu lama-lama di sana kalau kau tidak suka,"
Bobby cepat-cepat menambahkan. "Band-ku cuma main satu kali.
Setelah itu kita bisa langsung kabur. Kita bisa pergi ke tempat lain."
Bree mengangkat dagu dan menatap Bobby dengan tajam,
seakan-akan berusaha membaca pikirannya. "Oke," katanya akhirnya.
"Kedengarannya asyik juga."
"Nah, begitu dong," balas Bobby. Ia mundur selangkah ketika
Bree membalik untuk mengambil ranselnya dari locker.
"Kau tahu rumahku?" ia bertanya. "Aku tinggal di Fear Street.
Di ujung jalan." "Nanti kucari saja," ujar Bobby. "Sampai ketemu hari Jumat.
Aku jemput pukul setengah delapan."
Ia menampilkan senyumnya yang paling menawan, lalu
bergegas ke locker-nya. Ia tahu bahwa Bree memperhatikan cara
jalannya sambil terkagum-kagum.
Ternyata mudah sekali, Bobby berkata dalam hati. Ia puas
dengan hasil yang dicapainya. Jauh lebih mudah dari yang
dibayangkan. Dia memang pemalu, ia menyimpulkan. Tapi kelihatan sekali
bahwa dia senang diajak berkencan olehku.
"Nomor satu sudah kena," gumamnya. "Sekarang tinggal nomor
dua." ************ "Wow, hebat, Bung!" seru Arnie sambil ber-high-five dengan
Bobby. Bobby melenggak-lenggok mengelilingi tempat tidurnya. "Aku
memang hebat, aku memang hebat!" ia bersenandung.
"Jadi yang mana yang kauajak kencan?" tanya Arnie.
"Bree," Bobby memberitahunya. "Bree and me. Cocok sekali,
kan?" "Terus apa dong, yang cocok dengan Samantha?" Arnie
kembali bertanya. "Pink pantha?"
Seperti biasa, Bobby tidak tertawa mendengar kelakar
sahabatnya yang tidak lucu. "Aku memang hebat, aku memang
hebat!" Ia kembali melenggak-lenggok.
Arnie datang seusai makan malam, seperti yang sering
dilakukannya, terutama agar tidak perlu mengerjakan PR. Bobby
langsung bercerita bahwa ia telah mengajak Bree Wade berkencan
tadi sore, dan Bree, tentu saja, menerima ajakannya.
"Mana ada yang bisa menolak ajakan Bobby the Man!" serunya.
Sekali lagi ia ber-high-five dengan Arnie. "Siapa yang paling hebat,
Arnie? Siapa yang paling hebat?"
"Kau yang paling hebat," Arnie menjawab dengan patuh. Ia
merebahkan diri di tempat tidur Bobby yang ditutup selimut merahputih, dan menopang kepalanya dengan kedua tangan. "Bagaimana
dengan saudara kembarnya?"
"Aku baru mau menelepon dia," ujar Bobby. "Ada bagusnya
juga kau datang, man. Jadi kau bisa ikut mendengar. Kau bakal
menyaksikan bagaimana Bobby Newkirk membuat sejarah!"
Arnie tertawa. Ia benar-benar larut dalam kegembiraan Bobby.
Arnie memang penggemarku yang paling setia, ia menyadari.
Karena itulah kami bisa berteman baik.
"Kau serius mau mengajak Samantha berkencan malam Minggu
besok?" tanya Arnie. Ia kembali duduk tegak dan meregangkan kedua
tangannya. Bobby mengangguk. Sambil nyengir ia meraih gagang telepon
cordless. "Dan kau mau menyuruh dia merahasiakannya dari Bree?"
Arnie berbaring lagi. Bobby kembali mengangguk. Ia mencari nomor telepon si
Kembar Wade di petunjuk telepon Shadyside High yang diletakkan di
samping pesawat telepon. "Dua cewek kembar dalam satu akhir
pekan," ia bergumam, sambil menyusuri kolom nama dan nomor
telepon dengan telunjuk. "Begitu tantangannya. Dan kuterima
tantangan itu." "Kau memang hebat!" seru Arnie.
Bobby menekan sebuah nomor, lalu merapatkan gagang telepon
ke telinganya. "Bagaimana kalau Bree yang mengangkat telepon?" tanya
Arnie. "Bagaimana kalau Bree yang menyahut, dan kaupikir dia
Samantha?" "Hei, aku bisa membedakan mereka," balas Bobby. Ia
menempelkan telunjuknya ke bibir sebagai isyarat agar Arnie diam.
Pesawat telepon di ujung saluran berdering dua kali. Kemudian
suara cewek terdengar menyahut.
"Halo?" Bobby berdeham. "Halo... Samantha?"
5 "Kaupikir Aku Mau Menipu Saudaraku Sendiri?"
"YA , aku Samantha. Siapa ini?"
"Hai, Samantha. Ini Bobby Newkirk."
"Oh, hai!" Sepertinya gadis itu tidak menyangka akan ditelepon
oleh Bobby. "Bree dan aku baru saja membicarakanmu."
Senyum Bobby langsung lenyap. "Oh. Dia ada di sana? Di


Fear Street Kencan Ganda Double Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekitarmu?" "Tidak. Dia di bawah. Mau kupanggilkan?"
"Jangan!" ujar Bobby cepat-cepat. "Sebenarnya, aku memang
ingin bicara denganmu."
"Denganku?" Suaranya tidak lembut dan pelan seperti Bree.
Bobby tahu bahwa Samantha biasa bicara keras.
"Bree bilang kau mungkin berminat jadi penyanyi di band
kami," Bobby berkata sambil tersenyum kepada Arnie.
Arnie, yang masih berbaring di tempat tidur, langsung
mengangkat ibu jari. Samantha tertawa geli. "Aku? Jadi penyanyi band? Yang benar
saja!" "Mau coba?" tanya Bobby.
"Tidak!" seru Samantha. "Kenapa Bree bisa bilang begitu?"
Bobby tertawa kecil. "Aku juga tidak tahu. Tapi itulah yang
dikatakannya padaku."
"Aneh," ujar Samantha. "Ehm, terima kasih atas tawaranmu,
tapi sori, deh, suaraku cuma bagus kalau nyanyi beramai-ramai. Atau
di kamar mandi." Mereka sama-sama tertawa.
Arnie duduk tegak dan memperhatikan setiap kata yang
diucapkan Bobby. "Kau sudah punya acara untuk malam Minggu besok?" Bobby
bertanya sambil lalu. Hening. Bobby bisa membayangkan ekspresi terkejut pada
wajah Samantha. "Barangkali kita bisa pergi ke bioskop. Ke Tenplex?"
Hening lagi. Akhirnya Samantha angkat bicara, pelan sekali,
hampir berbisik. "Tapi, Bobby, kau kan sudah mengajak Bree pergi
pada malam sebelumnya."
"Yeah, memang," balas Bobby.
Ia mendengar suara napas melalui gagang telepon. Ia tahu
Samantha berharap ia bicara lebih banyak. Karena itu ia diam saja.
"Aku tak yakin apakah Bree akan senang kalau aku pergi
denganmu malam berikutnya," kata Samantha serius.
"Dia kan tidak perlu tahu," jawab Bobby mantap sambil
merendahkan suaranya. Ia mendengarkan bunyi napas Samantha, dan
berusaha mengira-ngira bagaimana tanggapan gadis itu.
"Ini soal taruhan, ya?" Samantha bertanya dengan gusar. "Kau
bertaruh dengan temanmu bahwa kau bisa mengajak kami berdua,
begitu?" "Bukan. Sama sekali bukan!" sangkal Bobby. "Aku terus
memikirkanmu. Maksudku, aku melihatmu di sekolah dan kupikir..."
"Jadi ini bukan taruhan?" tanya Samantha curiga.
"Bukan! Sumpah, Samantha."
Hening lagi. Bobby menunggu dengan sabar. Pandangannya
tertuju pada Arnie. Dia pasti bilang "Ya", katanya dalam hati. Dia tergila-gila
padaku dan dia sendiri juga tahu itu. Dia sama saja dengan cewekcewek lain di sekolah. Semuanya mau berkencan dengan Bobby
Newkirk. "Bobby," Samantha akhirnya berkata, "kaupikir aku mau
menipu saudaraku sendiri?"
"Tentu saja," ujar Bobby. "Kau sudah tak sabar untuk
berkencan denganku, ya, kan?"
"Kau betul-betul besar kepala," jawab Samantha.
"Yeah, aku tahu," balas Bobby. "Itu salah satu kelebihanku."
Samantha tertawa. "Aku suka cowok yang penuh percaya diri!"
katanya. Ebukulawas.blogspot.com
Hah, berhasil! pikir Bobby.
"Jadi kau mau pergi denganku malam Minggu besok?"
desaknya. "Yeah. Oke," kata Samantha. "Ke bioskop, kan?"
"Ya, ke bioskop," Bobby menegaskan sambil mengedipkan
mata kepada Arnie. "Dan ini bakal jadi rahasia kita? Ehm,
saudaramu..." "Apa yang dia tidak tahu takkan membuatnya sakit hati?
maksudku, tidak terlalu," balas Samantha.
Bobby agak heran mendengar jawaban itu. Ia tidak segera
menangkap maksud Samantha. Tapi ia memutuskan untuk tidak
menanyakannya. "Kurasa lebih baik kalau kita bertemu di mall saja,"
usulnya. "Supaya Bree tidak tahu."
"Ide bagus," ujar Samantha. "Dan kita bisa pakai topeng supaya
tidak ada yang mengenali kita."
Bobby tertawa. "Kau bergurau, kan?" Nada suara Samantha
begitu datar sehingga Bobby tidak bisa memastikan apakah gadis itu
bergurau atau tidak. "Yeah. Cuma bercanda," balas Samantha. "Oh-oh. Sepertinya
Bree sudah naik. Sudah dulu, ya."
"Malam minggu, jam delapan," kata Bobby cepat-cepat.
"Bye," Samantha berbisik. Bisikan yang seksi.
Bobby melemparkan gagang telepon ke udara dan
membiarkannya jatuh ke karpet yang empuk. Sambil nyengir lebar ia
berpaling kepada Arnie. Kemudian ia mulai melenggak-lenggok lagi
keliling kamar. "Bobby Newkirk beraksi kembali!" serunya riang.
"Kau berhasil!" Arnie menimpali. "Gila! Kau benar-benar
berhasil! Rayuanmu memang maut!"
"Yeah. Bobby Newkirk, perayu ulung," Bobby menanggapinya.
Keduanya merayakan keberhasilan itu dengan berhigh-five
sambil bersorak-sorai. Tapi akhirnya Arnie terdiam dan mengerutkan kening. Ia
menggaruk bulu-bulu halus yang diakuinya sebagai kumis. "Kau
yakin Samantha takkan memberitahu Bree?" tanyanya.
Bobby mengangguk. "Kelihatannya itu bukan masalah
baginya." Ia menyeringai lebar. "Sepertinya Samantha tahu bagaimana
caranya menikmati hidup."
"Wow," gumam Arnie. "Wow." Dan kemudian ia
menambahkan, "Aku tak mengerti kenapa Melanie begitu jengkel
tentang hal ini." Bobby angkat bahu. "Entahlah. Melanie memang aneh. Aku
sudah memperingatkanmu, kan."
Arnie menggeleng. "Tapi kenapa dia sampai mewanti-wanti
agar kau tidak berkencan dengan si Kembar Wade?" desaknya.
"Aku tak tahu kenapa Melanie bilang begitu," balas Bobby.
"Maksudku, apa sih risikonya, hmm? Apa yang perlu ditakuti?"
6 Kejutan pertama WAH, Bree kelihatan kece sekali, pikir Bobby. Gadis itu
mengenakan rok pendek hitam dan T-shirt merah tanpa lengan.
Rambutnya yang hitam diikat ke belakang dengan pita merah. Tapi
pita itu terlepas ketika mereka tiba di The Mill, dan kini rambutnya
berayun-ayun ketika ia bertepuk tangan dan bergoyang-goyang
mengikuti irama musik. Bobby mengamati Bree dari atas panggung ketika ia
memainkan nada-nada pembukaan dari That'll Be the Day. Dalam
cahaya merah dan biru yang berkedip-kedip, ia melihat gadis itu
berdiri seorang diri di belakang lantai dansa sambil bertepuk tangan
mengikuti irama. Sound system-nya hebat! pikir Bobby. Ia tersenyum kepada
Paul dan Arnie ketika musik mereka membanjiri para pengunjung
yang memadati lantai dansa. Ini baru asyik!
Bobby mulai meniru aksi panggung Chuck Berry dengan
berjalan mondar-mandir sambil menekuk lutut. Kedua tangannya
bergerak otomatis. Seluruh dirinya menyatu dengan musik yang
mereka mainkan. Bobby menyayangkan bahwa penampilan mereka berakhir
terlalu cepat. Ia belum puas menikmati kegairahan di atas panggung
serta sorak-sorai para pengunjung.
"Mereka tergila-gila pada kita!" seru Bobby ketika ia dan kedua
temannya turun panggung. "Mereka tergila-gila pada kita!"
Sorak-sorai para pengunjung mereda ketika D.J. memutar
sebuah CD. Lampu-lampu terus berkedap-kedip. Merah-biru, merahbiru. Bobby menerobos kerumunan orang yang bergoyang-goyang,
menghampiri Bree. "Bagaimana penampilan kami tadi?" serunya. Ia menyambar
serbet merah dari salah satu meja dan menyeka keringat yang
membasahi keningnya. "Apa?" Bree balik berseru.
Bobby membungkuk sedikit dan berseru lebih keras,
"Bagaimana penampilanku?"
Bree tersenyum. "Hebat!" Suaranya nyaris tak terdengar di
tengah dentuman bas dan entakan drum.
"Di sini terlalu bising untuk mengobrol!" Bobby berseru ke
telinga gadis itu. "Lebih baik kita dansa saja."
Mereka berdansa selama beberapa lagu. Tapi Bree terlalu
tegang untuk menari dengan baik. Bobby bisa melihat konsentrasi
yang tercermin pada wajahnya ketika gadis itu berusaha mengikuti
irama. "Bagaimana kalau kita cari udara segar dulu?" usul Bree setelah
dua lagu. Ia mendorong rambutnya ke belakang, lalu meraih tangan
Bobby dengan kedua tangannya dan menariknya pergi. Tangan Bree
terasa panas dan lembap. Di dekat pintu mereka bertemu Paul, yang membawa keyboardnya dan juga baru mau keluar.
"Kita sukses berat tadi! Gila! Rock 'n' roll!" Bobby berseru
sambil menepuk pundak Paul.
Paul tersenyum setengah hati. "Penampilan kita lumayan,
Bobby, sampai kabel gitarmu copot dari ampli. Kenapa sih kau jalan
mondar-mandir seperti tadi?"
"Show biz, man!" seru Bobby. "Show biz. Kita harus memberi
tontonan untuk mereka! Rock 'n' roll, man! Mereka tergila-gila pada
kita! Kaulihat wajah-wajah mereka? Mereka tergila-gila!"
Paul menggelengkan kepala. "Tapi gara-gara itu Arnie dan aku
jadi kelihatan seperti band pendukungmu."
"Yang penting mereka suka penampilan kita!" Bobby
mengulangi. "Aku jalan dulu, deh," ujar Paul. Ia tersenyum kepada Bree, lalu
membuka pintu dan menghilang.
Baru sekarang Bobby menyadari bahwa tangan Bree masih ada
dalam genggamannya. Tangan gadis itu terasa begitu mungil. Bobby
bergeser sedikit agar dapat mencium bau wangi rambut Bree.
Dia benar-benar kece, katanya dalam hati. Dan semua cowok
lain menoleh pada mereka. Mereka iri karena akulah yang bersama
Bree, bukan mereka. Sayang dia tidak bisa dansa. Dan sayang juga dia
begitu pemalu. Dia hampir tidak bicara sama sekali waktu aku
membawanya ke sini. Bobby mengamati lantai dansa yang dibanjiri cahaya merah
yang berputar-putar. Arnie sedang berdansa dengan Melanie. Bobby
melambaikan tangan dan memanggil sahabatnya itu, tapi Arnie tidak
melihatnya. Melanie kelihatan gembrot dengan celana pendeknya, pikir
Bobby. Mudah-mudahan saja celananya tidak sampai robek.
Waktu mereka baru datang tadi, Melanie menyapa Bree dengan
ramah tapi sengaja tidak menggubris Bobby.
Masa bodoh, pikir Bobby. Bisa-bisanya aku dulu mengajak dia berkencan? katanya dalam
hati. Ah, biarlah itu menjadi pelajaran bagiku. Mulai sekarang tidak
ada acara amal lagi. "Ayo, kita pergi dari sini," ia berkata kepada Bree. "Kita cari
udara segar saja." Bobby mengajaknya ke pelataran parkir.
Langit tampak cerah, tapi udara agak lebih dingin daripada
biasanya di bulan April. Bintang-bintang tampak berkelap-kelip di
langit malam. Bree gemetaran ketika masuk ke mobil merah Bobby.
"Seharusnya aku bawa sweater atau jaket," gumamnya.
Bobby menutup pintu. Tenang saja, pikirnya. Kau akan hangat
bersamaku. Mula-mula mereka berputar-putar di Shadyside. Bobby
memasang CD gitar klasik. Dari pengalamannya ia tahu bahwa itu
cara yang ampuh untuk membuat cewek-cewek terkesan.
Sepanjang jalan ia yang lebih banyak bicara. Ia bercerita
mengenai band-nya, sekolah, rencana pergi berlibur ke Hawaii
bersama orangtuanya setelah ia pulang dari Massachusetts, di mana ia
akan bekerja sebagai pembina anak-anak kecil yang menghabiskan
liburan musim panas dengan berkemah.
Dalam hati ia menyayangkan bahwa Bree begitu pendiam dan
pemalu. Dan ia menyesalkan bahwa gadis itu terus berpegangan pada
pintu, seakan-akan siap melompat keluar.
"Kau kan yang memiliki monyet-monyet itu?" Bree bertanya
ketika mereka melewati Shadyside High yang tampak gelap dan sepi.
"Maksudku, monyet-monyet di lab IPA?"
"Wayne dan Garth? Ya." Bobby menyetir dengan tangan kiri.
Tangan kanannya menggenggam tongkat persneling, meskipun
mobilnya menggunakan persneling otomatis. "Aku bereksperimen
dengan makanan mereka. Wayne hanya kuberi pisang dan air. Garth
dapat makanan campuran."
"Dari mana sih, kau dapat monyet-monyet itu?" tanya Bree.
"Dari pamanku," jawab Bobby. "Dia importir binatang. Dia
bekerja di kebun binatang. Aku suka Wayne dan Garth, tapi aku
terpaksa mengembalikan mereka kalau eksperimenku sudah selesai."
"Eksperimen yang hebat," puji Bree sambil bergeser di
kursinya. "Kelihatannya Mr. Conklin kurang meng-hargai usahaku," balas
Bobby. Bree menoleh. "Kenapa?"
"Soalnya monyet-monyet itu terlalu mirip dia!"
Mereka tertawa. Tawa Bree lebih mirip suara batuk daripada
suara tawa, pikir Bobby. "Apakah mereka kaubawa pulang pada akhir pekan?" tanya
Bree. Bobby menggeleng. "Tidak. Itu bagian Conklin."
Sambil menyetir ia terus melirik ke arah Bree, dan mencoba
menentukan apakah gadis itu menyukainya. Tentu saja dia
menyukaiku, ia berkata dalam hati. Tapi apakah dia benar-benar
menyukaiku? Dalam perjalanan ia berkhayal bahwa si Kembar Wade sampai
berkelahi untuk memperebutkannya. Mereka bergulat di lantai, saling
memukul dan mencakar, sama-sama tidak rela menyerahkan Bobby
kepada yang lain. Apakah Bobby menyukai Bree? Tentu saja. Cewek itu memang
kece sekali. Beberapa menit sebelum pukul 24.00, ia menghentikan
mobilnya di depan rumah Bree dan mematikan mesin. Ia berputar
untuk menghadap gadis itu.
Tapi Bobby menjadi begitu terkejut ketika tiba-tiba Bree hampir
melompat ke pangkuannya. "Aku senang sekali tadi, bisik Bree. Sebelum Bobby sempat
menjawab gadis itu telah menarik kepalanya dengan dua tangan dan
menciumnya. Astaga! pikir Bobby. Dia betul-betul tergila-gila padaku!


Fear Street Kencan Ganda Double Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku masuk dulu, deh," bisik Bree. Ia menempelkan keningnya
ke kening Bobby. Rambutnya mengenai wajah pemuda itu. "Besok
malam main ke rumah, ya? Kita bisa nonton video sama-sama."
Ajakan itu mengejutkan Bobby. Hampir saja ia berkata, "Sori,
aku tidak bisa. Aku sudah punya janji dengan saudaramu besok."
Tapi ia berpikir cepat dan berkata, "Wah, sayang sekali, Bree.
Sebenarnya aku mau, tapi aku... ehm... sibuk."
Bree langsung pasang tampang cemberut. Tapi kemudian ia
mencium kening Bobby, lalu membuka pintu. "Bye" ia berbisik.
"Telepon aku, oke?"
Bobby memperhatikannya bergegas ke pintu depan. Masih
dirasakannya kehangatan gadis itu tadi.
Wow, katanya dalam hati. Cewek pendiam memang tak bisa
ditebak! Ia tak sanggup menahan senyum ketika menyalakan mesin
mobilnya. "Bobby Newkirk beraksi kembali!" serunya keras-keras.
Kalau seperti dia saja dibilang pemalu, entah bagaimana
saudara kembarnya! ************ Keesokan malamnya Bobby menunggu Samantha di food court
di Division Street Mall. Gadis itu terlambat beberapa menit.
Rambutnya yang panjang tampak melambai-lambai ketika ia bergegas
berlari ke arah Bobby. Ia mengenakan celana pendek jins yang belel serta blus merah
muda. Oh, wow! Ia benar-benar seksi! Bobby sengaja menunggu dan
membiarkan Samantha yang menghampirinya. Mula-mula ia hendak
memuji penampilan gadis itu, tapi kemudian berubah pikiran dan
hanya bergumam, "Bagaimana kabarmu?"
Samantha diam saja. Ia malah meraih lengan Bobby dan
menariknya ke dinding. "Aku tidak berani main kucing-kucingan
seperti ini, Bobby," katanya dengan suara bernada ketakutan.
"Hah?" Bobby tersentak kaget.
"Kita tak boleh ketemu diam-diam," Samantha menegaskan.
Dengan gelisah ia memandang berkeliling. "Aduh! Itu Bree!"
7 Tanda Bahaya "HAH? Mana?" seru Bobby.
Pandangannya langsung menyapu keramaian di sekitar mereka,
dan kemudian ia baru sadar bahwa Samantha tertawa.
"Nah, tertipu, kan?" gadis itu bergumam sambil menggandeng
tangan Bobby. Matanya yang hijau tampak berbinar-binar.
"Siapa yang tertipu? Aku tahu kau cuma bercanda," sangkal
Bobby. "Kalau begitu kenapa tampangmu ketakutan begitu?" Samantha
mendesak. "Kau seperti melihat hantu tadi."
"Enak saja!" protes Bobby sambil tertawa.
"Hmm, aku merasa seperti dalam film spionase atau
sebangsanya," ujar Samantha sambil merendahkan suara. "Bagaimana
kalau ada yang melihat kita?"
Bobby angkat bahu. "Biarkan saja," sahutnya ringan. Ia
memang sempat kaget karena tipuan Samantha. Kini ia harus bersikap
ekstra tenang, agar bisa membuat gadis itu terkesan.
"Rencana rahasianya sudah dibawa, Boris?" Samantha berbisik.
"Dan jangan lupa kata sandinya."
Bobby tertawa. "Ada-ada saja."
Roman muka Samantha kembali serius. Ia menatap Bobby
sambil tetap menggandeng lengannya. "Aku merasa agak tidak enak
karena terpaksa main kucing-kucingan seperti ini, Bobby. Bree cerita
dia senang sekali semalam. Kurasa dia benar-benar menyukaimu."
"Hei, aku memang orang yang ramah," Bobby membanggakan
diri sambil menampilkan senyumnya yang paling menawan. Ia
mengamati bayangan dirinya di sebuah jendela, dan mengusap
rambutnya yang pirang. "Jadi, sebenarnya tidak pantas aku pergi denganmu malam ini,
ya kan?" Samantha bertanya sambil menatap mata Bobby.
"Ehm..." Bobby tak tahu harus bilang apa.
Sebelum sempat menyahut, pertanyaan itu sudah dijawab
sendiri oleh Samantha. "Tapi masa bodoh!" seru gadis itu. "Pantas
atau tidak, yang penting kita bisa bersenang-senang."
Mereka sama-sama tertawa.
Samantha berbeda 180 derajat dengan saudara kembarnya,
Bobby berkata dalam hati.
"Aku... sering memperhatikanmu di sekolah," ujar Samantha
ketika mereka menuju loket karcis.
"Hei, aku juga memperhatikan kau," balas Bobby tersenyum
simpul. "Bagaimana tidak? Setiap kali kau lewat, semua cowok
menoleh ke arahmu." Samantha cekikikan. Dia suka dipuji, Bobby menyimpulkan.
"Reputasimu sudah tersebar luas," ujar Samantha.
Bobby langsung berhenti. Ia tidak biasa menghadapi gadis yang
begitu blak-blakan. "Maksudku, anak-anak cewek di sekolah, mereka
membicarakanmu," Samantha menjelaskan.
"Yeah? Apa kata mereka?" tanya Bobby.
Samantha tersenyum. "Aku tidak mau bilang," sahutnya genit.
"Sekarang saja kau sudah besar kepala."
"Hmm, apa pun yang kaudengar, kemungkinan besar itu
memang betul," kata Bobby.
Samantha kembali tertawa. Tawanya keras dan parau, Bobby
menyadari. Berbeda sekali dengan tawa Bree yang pelan dan mirip
suara orang batuk. Dia jauh lebih ramai dibandingkan Bree, Bobby menyimpulkan.
Tapi yang jelas, dia juga tergila-gila padaku.
Mereka berhenti di depan loket karcis. "Kau mau nonton film
yang mana?" tanya Bobby. "Eradicator Five? Katanya sih, special
effects-nya hebat sekali."
"Film-film seperti itu benar-benar menjijikkan," tukas
Samantha. Kemudian ia tersenyum dan menambahkan, "Tapi aku
paling suka!" "Jadi kita nonton itu saja?"
Samantha mengerutkan kening dan menarik rambutnya ke
belakang dengan kedua tangan. "Aku sudah nonton. Apakah kita harus
nonton film? Bagaimana kalau jalan-jalan saja?"
"Boleh juga," Bobby menanggapinya.
Paling-paling dia bakal mengajakku naik ke River Ridge,
katanya dalam hati. Yang satu ini kelihatannya tak mau buang-buang
waktu. "Aku senang jalan-jalan di mall," ujar Samantha ketika mereka
menjauhi loket karcis. "Soalnya banyak yang bisa dilihat di situ."
"Kau suka berbelanja?" tanya Bobby.
"Tidak juga. Bree yang suka. Aku cuma senang lihat-lihat."
Mereka masuk ke mall dan berjalan menyusuri etalase toko-toko.
Samantha berhenti di depan Gold Barn, sebuah toko emas, lalu
berpaling kepada Bobby. "Bree pasti akan membunuhku kalau dia
sampai tahu bahwa aku bersamamu di sini," katanya.
"Dia takkan tahu," balas Bobby, sambil mengamati bayangan
dirinya di kaca etalase. "Kau senang waktu pergi dengan Bree semalam?" tanya
Samantha. Sebelum Bobby sempat menjawab, gadis itu sudah tertawa dan
menunjuk ke seberang gang. "Lihat orang-orang itu. Ya ampun!"
serunya sambil menggelengkan kepala. "Mereka makan hot dog,
nachos, dan es krim sekaligus. Ada-ada saja."
"Persis Arnie," sahut Bobby sambil tertawa.
"Arnie? Pacarnya Melanie?" tanya Samantha.
"Yeah. Dia sahabatku," Bobby memberitahunya.
"Aneh," balas gadis itu.
Bobby tidak mengerti kenapa Samantha berkata begitu. Tapi ia
tak sempat menanyakannya, karena Samantha segera menggiringnya
masuk ke Gold Barn. "Kusangka kau tidak suka belanja," protes Bobby.
"Memang tidak. Tapi aku gila anting-anting!" seru Samantha. Ia
memamerkan dua anting-anting emas berbentuk gelang yang
tergantung di telinganya. "Lihat, nih." Kemudian ia kembali berpaling
pada anting-anting yang diperagakan di sepanjang dinding toko.
Bobby memandang berkeliling. Toko itu sempit dan
memanjang, dengan counter di bagian belakang dan dinding penuh
anting-anting di kedua sisi.
"Sepupuku pernah bekerja di sini waktu liburan musim panas,"
katanya pada Samantha. "Aku kenal pemilik toko ini."
"Memangnya kenapa?" ujar Samantha dingin. Ia menyerahkan
kedua anting-anting emasnya kepada Bobby. Kemudian, sambil
bergurau, ia mendorong pemuda itu ke samping agar dapat mencoba
sepasang anting-anting perak yang panjang.
"Tolong sebentar, dong," katanya sambil menyibakkan rambut
agar dapat memasang anting pada telinganya yang ditindik. "Oh,
tunggu. Yang itu lebih bagus."
Ia meraih sepasang anting-anting lain dan memperlihatkannya
kepada Bobby. "Ikan perak. Bagus, kan?"
Bobby mengangguk. "Kau lebih suka yang mana?yang panjang atau yang berbentuk
ikan? Ah, kucoba saja kedua-duanya."
Sementara Samantha asyik mencoba anting-anting, Bobby
berpaling ke counter di belakang. Ia tidak mengenali satu pun para
pramuniaga yang berdiri di sana.
Secara kebetulan ia melihat sebuah pemberitahuan yang
dipasang di tengah-tengah dinding. Dengan huruf besar berwarna
merah pemberitahuan tersebut menyatakan: PENCURI AKAN
DISERAHKAN KEPADA PIHAK BERWAJIB DAN DITUNTUT
SESUAI HUKUM. Bobby menimang-nimang kedua anting-anting emas di
tangannya. Kelihatannya seperti emas sungguhan, namun ternyata
keduanya kopong dan ringan sekali.
"Maaf, Nona," salah satu pramuniaga berkata dari belakang.
Samantha baru saja hendak meraih sepasang anting-anting emas
mungil berbentuk hati. "Menurut peraturan di sini, calon pembeli tidak
boleh mencoba anting-anting tindik. Tolong diperhatikan."
"Tentu," sahut Samantha sambil tersenyum. "Yang ini bagus,
ya?" tanyanya. "Yeah, bagus sekali," balas Bobby setengah hati.
"Aku bisa semalaman di sini," ujar Samantha.
"Wow. Seru sekali!" goda Bobby.
Samantha berpaling kepada Bobby, dan matanya mulai
berbinar-binar. "Kau ingin acara yang seru?" Sepertinya ia bermaksud
menantang. Bobby langsung nyengir. "Kau kan tahu reputasiku," ujarnya
membanggakan diri. "Aku selalu mencari keramaian."
"Oke," jawab Samantha, dan ia pun tersenyum. "Kalau begitu,
ayo!" Ia menuju ke pintu.
"Hei, tunggu!" Bobby mengejarnya sambil tergopoh-gopoh.
"Anting-antingmu!"
Samantha tidak menoleh. Ia berjalan dengan cepat dan terus
menuju pintu yang terbuka.
Bobby bergegas menyusulnya. Ia masih menggenggam antinganting emas tadi dengan sebelah tangan. Dengan tangannya yang satu
lagi ia meraih pundak Samantha. "Anting-anting hati yang kaubawa?
kau belum membayarnya."
Ia melirik ke arah para pramuniaga di counter di belakang.
Apakah mereka memperhatikan kejadian itu?
"Aku tahu aku belum bayar," bisik Samantha sambil
menyelipkan kedua anting-anting itu ke dalam kantong celana. "Ayo,
kita pergi." "Apa-apaan sih kau?" tanya Bobby.
"Aku ambil korting seratus persen," Samantha membalas
dengan santai. Ketika hendak melewati ambang pintu, mereka mendengar
seruan lantang dari bagian belakang toko: "Nona?berhenti! Nona!"
Bobby sempat berhenti. Tapi Samantha langsung menarik
tangannya. "Nona! Berhenti! Berhenti!"
Bobby melirik ke belakang dan melihat dua pramuniaga berlari
ke arah mereka. Samantha menyeretnya keluar pintu. "Bobby, lari!" ia berseru.
8 Tertangkap "LARI!" Samantha memekik.
Ia melepaskan tangan Bobby dan melesat bagaikan anak panah
ke mall yang dipadati pengunjung.
Bobby sempat terkesima, tapi kemudian segera menyusul gadis
itu. "Hentikan mereka!"
"Hei?berhenti!"
Teriakan-teriakan bernada marah terdengar dari belakang.
Bobby menoleh dan melihat seorang pria setengah baya serta seorang
wanita muda berlari mengejar mereka.
"Awas!" Bobby nyaris menabrak kereta bayi berisi anak kecil yang
sedang tidur. Ia langsung berhenti dan menghindar ke kiri.
"Lihat-lihat dong kalau jalan!" wanita di belakang kereta itu
membentaknya. "Sori!" sahut Bobby, lalu mulai berlari lagi.
Ia sempat kehilangan jejak Samantha, tapi kemudian ia melihat
T-shirt merah mudanya di tengah kerumunan orang di depan sebuah
toko CD. "Hentikan mereka! Hei?hentikan mereka!" Kedua pramuniaga
tadi masih juga mengejar.
"Samantha!" Bobby memanggil sambil terengah-engah.
Gadis itu rupanya tidak mendengarnya. Bobby melihatnya
membelok dan menghilang dari pandangan.
Bobby terpaksa berhenti mendadak agar tidak menabrak dua
gadis cilik yang sedang makan es krim. Lalu ia mengikuti Samantha
lagi. Pinggangnya serasa seperti ditusuk-tusuk ketika ia berhasil
menyusul teman kencannya itu. "Aduh! Tunggu!"
Di luar dugaannya, Samantha malah tertawa?berderai-derai,
gembira. Mereka melintas di sisi food court, memotong antrean di
McDonald's, lalu bergegas menyusuri deretan meja plastik berwarna
kuning. Pinggang Bobby semakin nyeri. Ia menarik napas panjang,
mencoba mengusir rasa nyeri itu.
"Hei?Samantha! Tunggu!"
Mereka melewati Toko Gap. Lalu Waldenbrooks.
Nyeri di pinggang Bobby mulai mereda.
Napasnya tersengal-sengal. Ia berlari sekencang mungkin.
Persis di belakang Samantha.
Rambut gadis itu berkibar-kibar seperti bendera pada hari
berangin kencang. Bobby berhasil menduluinya, dan melihat matanya
yang hijau bersinar riang. Samantha masih tertawa.


Fear Street Kencan Ganda Double Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bobby menoleh ke belakang. Para pramuniaga sudah tidak
kelihatan. Apakah ia dan Samantha berhasil lolos?
"Ya, ampun! Samantha?kenapa?" tanyanya sambil megapmegap menarik napas. "Kenapa kauambil anting-anting itu?"
"Biar seru!" gadis itu berseru.
Samantha terus berlari, rambutnya yang hitam melambailambai. Bobby tak punya pilihan selain mengikutinya.
Orang-orang yang berpapasan dengan mereka segera menepi
untuk mengelak. Bobby tidak menggubris umpatan dan caci-maki
yang mereka lontarkan. Samantha membelok di sebuah toko donat. Bobby menyusul.
Keduanya memotong jalan sekelompok remaja yang hendak masuk ke
Pete's Pizza. Bobby tersentak kaget ketika petugas keamanan berseragam
kelabu melangkah maju. Pria itu menghadang mereka sambil
mengerutkan kening dengan gusar.
"Aduh. Kita tertangkap!" Bobby bergumam.
9 "Jangan Sakiti Dia"
BOBBY berhenti mendadak dan menabrak Samantha.
Napasnya memburu, dan pinggangnya terasa nyeri lagi. Kemudian ia
menyadari bahwa ia masih menggenggam kedua anting-anting emas.
"Tunggu dulu," petugas keamanan itu berkata. Ia memasang
topi kelabunya dan menatap mereka satu per satu dengan mata merah.
Kena, deh, pikir Bobby. Kita tertangkap.
Ini memang ide konyol, katanya dalam hati, sambil berusaha
mengatur napasnya. Kenapa Samantha mengambil anting-anting itu?
Dan kenapa dia harus melibatkan aku?
"Kenapa kalian terburu-buru?" satpam itu bertanya dengan
suaranya yang sengau. "Ka... kami terlambat," Samantha tergagap-gagap.
Mana mungkin dia percaya?! pikir Bobby.
Si petugas keamanan menatap Samantha sambil mengerutkan
kening. Bobby semakin erat menggenggam anting-anting di tangannya.
Ia melihat bahwa rambut Samantha menutupi sebelah matanya.
Kemudian ia mendengar seruan-seruan dari belakang. Janganjangan para pramuniaga dari Gold Barn!
Bobby langsung menoleh. Ternyata cuma sepasang suami-istri
setengah baya yang sedang berdebat sengit.
Ia berpaling lagi menghadap satpam yang memasang tampang
dingin. Apakah Samantha akan mengaku bahwa dia mengambil
anting-anting itu? ia bertanya dalam hati. Apakah dia sudah
menyiapkan alasan yang masuk akal?
"Seharusnya kalian jangan berlari di sini," si petugas keamanan
berkata. "Kalian bisa celaka."
"Sori," ujar Samantha sambil menundukkan kepala.
"Lantai di sini licin," satpam itu memperingatkan. "Jadi pelanpelan saja, mengerti?"
"Ya," Samantha berkata dengan patuh. "Sori."
Petugas keamanan itu memberi isyarat bahwa mereka boleh
pergi. "Anak muda. Selalu terburu-buru," gumamnya sambil
membalik. Bobby dan Samantha berhasil memaksakan diri untuk tidak
tertawa sampai mereka tiba di gedung parkir. Kemudian mereka tidak
tahan lagi. Mereka terbahak-bahak dan bersorak-sorai dengan
gembira. "Gila!" seru Samantha gembira. "Betul-betul asyik!"
Dalam hati Bobby berkata bahwa nilai anting-anting itu tidak
sepadan dengan risiko yang diambil Samantha. Jantungnya masih
berdebar, dan ia merasa agak lemas. Tapi ia tak mau dianggap
penakut. "Hei, ini lebih seru daripada nonton film!" ujarnya.
"Lantai di sini licin. Jadi pelan-pelan saja," Samantha
mengulangi pesan petugas keamanan tadi sambil meniru suaranya
yang sengau. Mereka kembali tertawa, lalu berhigh-five.
"Aku hampir kena serangan jantung waktu satpam itu tiba-tiba
menghadang kita!" aku Bobby.
"Ah, dia sudah tua. Dia bisa kita sikat," sahut Samantha.
Bobby menatapnya bingung. Apa maksudnya? Apakah dia
hanya bercanda? "Ayo, kita pergi saja dari sini!" seru Samantha, dan matanya
kembali berbinar-binar. Mereka bergegas melintasi pelataran parkir menuju mobil
Bobby. "Aku saja yang menyetir!" Samantha memaksa. Tanpa
menunggu jawaban ia merebut kunci mobil dari tangan Bobby.
"Kau biasa dituruti, ya?" goda Bobby.
"Selalu!" balas Samantha. Ia duduk di belakang kemudi dan
telah menyalakan mesin dan lampu sebelum Bobby sempat membuka
pintu. Mesin Bonneville itu meraung-raung ketika Samantha
menginjak-injak pedal gas.
"Kau biasa bawa mobil dengan mesin V-6?" Bobby bertanya
waswas. "Mobil ini punya tenaga besar sekali."
Samantha meremas tangan Bobby. "Tenang saja, deh,"
jawabnya singkat. Bobby langsung menggenggam pegangan pintu ketika
Samantha mundur dari tempat parkir tanpa menoleh ke belakang. Ban
mobil-nya berdecit-decit waktu gadis itu tancap gas dan melaju ke
arah pintu keluar. Bobby menelan ludah dan menarik napas panjang.
Samantha malah tertawa berderai-derai.
"Apanya yang lucu?" tanya Bobby ketika Samantha memotong
mobil pengantar pizza untuk mengambil jalur tengah.
"Tampangmu," jawabnya. "Jangan khawatir, Bobby. Aku
pengemudi cekatan." Ia pindah lagi ke jalur kanan. Beberapa orang di
belakang mereka membunyikan klakson dengan kesal.
Bobby melirik spidometer. Samantha melaju terlalu kencang.
Hampir saja ia menyuruh gadis itu mengurangi kecepatan, tapi
akhirnya ia berubah pikiran. Aku harus bersikap cool, ia berkata
dalam hati. Bagaimana Samantha bisa terkesan kalau aku menegur dia
karena terlalu ngebut? "Aku suka kecepatan. Kau bagaimana?" tanya Samantha.
Dengan kencang ia membelok ke jalan menuju River Road. "Aku
paling senang melaju seperti ini! Rasanya darahku jadi mengalir lebih
deras." Ia melirik kepada Bobby.
"Aku juga," ujar Bobby sambil berusaha agar ucapannya
terdengar sungguh-sungguh. "Mau ke mana kita?"
"Lihat saja nanti." Samantha membuka jendela. Angin sejuk
membuat rambutnya melambai-lambai. "Wow! Yeah! Asyik!"
teriaknya dengan keras, seakan-akan hendak mengalahkan suara
angin. Rumah-rumah dan lampu jalanan di tepi jalan digantikan oleh
hutan gelap. Bobby tahu bahwa mereka sedang menyusuri sungai. Ia
melihat Samantha menginjak pedal gas dalam-dalam ketika jalan
mulai menanjak ke tebing yang menghadap tepi sungai.
Astaga! Bobby berkata dalam hati. Dia mau ke River Ridge?
River Ridge, tebing tinggi yang menghadap ke Conononka
River dan ke kota merupakan tempat berpacaran bagi anak-anak muda
di Shadyside. Wow! Dia tidak mau buang-buang waktu! pikir Bobby gembira.
Baru ketika mereka sampai di atas, Samantha mengurangi
kecepatan. Ia melewati sejumlah mobil yang sedang parkir, dan
akhirnya berhenti di bibir tebing, di samping semak belukar yang
tumbuh subur. Samantha mematikan lampu dan mesin mobil, kemudian
mengusap rambutnya yang acak-acakan dengan kedua tangan. "Coba
lihat kita sampai di mana," bisiknya sambil memandang ke luar
jendela. "Kau memang jago bawa mobil," Bobby memuji sambil
nyengir. "Kau belum pernah ke sini, kan?" goda Samantha.
"Baru beberapa kali," jawab Bobby sambil mencondongkan
badan, ke arah gadis itu.
"Aku rasa aku menyukaimu," gumam Samantha.
Bobby merangkul pundak Samantha dengan kedua tangannya.
Cewek kembar ini memang luar biasa! pikir Bobby. Ia masih
teringat ciuman Bree malam sebelumnya.
Aku sudah tak sabar untuk menceritakannya kepada Arnie!
Bobby berkata dalam hati. Arnie bisa pingsan kalau mendengar
ceritaku nanti! Diciumnya Samantha. Senin besok Bobby the Man bakal jadi
buah bibir di Shadyside High, ujarnya membanggakan diri. Takkan
ada yang percaya bahwa aku berkencan dengan si Kembar Wade
dalam satu akhir pekan! Apa kata Samantha waktu mereka bertemu di mall tadi?
"Reputasimu sudah tersebar luas." Yeah. Itu yang dikatakannya.
Hah, kau belum tahu apa-apa! pikir Bobby.
Kalau cerita tentang akhir pekan ini sudah menyebar, semua
orang akan tahu siapa cowok paling cool di sekolah.
Aku rajanya! pikir Bobby.
Raja rock 'n' roll! Samantha mundur sedikit dan menatapnya dengan mata
setengah terpejam. "Aku kan sudah bilang, aku suka yang cepatcepat," ia berbisik.
Bobby menyandarkan punggung di kursinya. Cewek ini
memang liar, benar-benar liar! Dalam hati ia bertanya-tanya apakah
sudah terlalu larut untuk menelepon Arnie nanti.
"Apa yang kaupikirkan?" Samantha bertanya dengan manja.
"Memikirkan kau," dusta Bobby.
Mulus, mulus sekali, katanya dalam hati.
Samantha membuka matanya lebar-lebar. "Kau lebih suka aku
daripada Bree?" Pertanyaan blak-blakan itu mengejutkan Bobby. "Yeah, tentu
saja." Samantha tersenyum. Rambutnya dibelai oleh angin. Ia
menyandarkan punggungnya dan memandang lewat jendela depan.
Bobby mengikuti arah pandangannya. Langit malam dipenuhi
jutaan bintang. Bulan purnama sebagian tertutup oleh awan yang
tampak keperak-perakan. "Aku agak berbeda dengan saudara kembarku," Samantha
berkata dengan lembut sambil menatap langit.
"Yeah," Bobby pun sependapat. Kemudian ia menambahkan,
"Tapi kalian mirip sekali. Sungguh. Bagaimana orang lain bisa
membedakan kalian?" Samantha menatapnya sambil tersenyum simpul. "Sebenarnya
ada cara untuk membedakan kami," katanya genit.
"Bagaimana caranya?" tanya Bobby.
Samantha merapatkan wajahnya ke wajah Bobby dan berbisik,
"Kalau kita sudah lebih kenal, aku akan memperlihatkannya padamu."
Napas Samantha terasa menggelitik telinga Bobby, membuatnya
merinding. Wow, ia berkata dalam hati.
"Kelihatannya Bree benar-benar menyukaimu," kata Samantha.
Senyumnya langsung lenyap.
"Tapi rasanya aku lebih menyukaimu," balas Bobby.
"Sebaiknya kau berhati-hati," ujar Samantha sambil
memalingkan wajah. "Apa maksudmu?"
"Ehm..." Samantha tampak ragu-ragu. "Bree agak rapuh."
"Rapuh?" "Jangan buat dia tersinggung," Samantha memperingatkan. Ia
kembali menatap Bobby. "Bree kadang-kadang agak... aneh kalau dia
sakit hati." Bobby mengamati wajah Samantha. Bulan mendadak tertutup
awan, dan wajah gadis itu menjadi gelap. "Samantha, apa
maksudmu?" ia bertanya.
"Aku tidak mau bicara tentang ini," jawab Samantha. Ia
memicingkan mata. "Pokoknya, hati-hati dengan Bree, Bobby. Kau
harus berhati-hati sekali."
10 Bertiga Terlalu Ramai BOBBY membanting pintu locker-nya dan mulai menyusuri
lorong. Bel tanda sekolah usai akhirnya berbunyi juga. Para murid
seakan-akan berlomba untuk meninggalkan gedung Shadyside High.
Sepenggal melodi lagu lama dari Chuck Berry terngiang-ngiang
di telinga Bobby. Sambil menuju ruang musik, ia memutuskan untuk
mencoba memainkannya pada gitar.
Sebenarnya band kami sudah mulai mantap, pikir Bobby sambil
melambaikan tangan pada serombongan anak yang hendak pulang.
Seluruh koridor langsung dibanjiri sinar matahari yang terangbenderang ketika mereka membuka pintu keluar.
Sayang sekali Paul mengancam mau mengundurkan diri.
Padahal permainan kami baru mulai kompak. Alasannya ia terpaksa
bekerja sambilan seusai sekolah.
Tapi Bobby tahu alasan sesungguhnya?
Paul iri padanya. Dia pemain keyboard yang baik dan bisa
diandalkan. Tapi dia tidak bisa bergaya seperti aku, dan dia sendiri
juga menyadarinya. Sambil membelok dan melambaikan tangan pada sekelompok
cewek teman sekelasnya, Bobby memutuskan bahwa ia perlu bicara
dengan Paul. Ia segera mulai menyusun siasat. Akan kukatakan bahwa
kami sangat membutuhkannya, Bobby berkata dalam hati. Aku akan
membuatnya merasa penting. Aku akan membuatnya merasa sebagai
pemimpin. Lihat saja nanti, dia pasti tak jadi mengundurkan diri.
Ketika melihat Kimmy Bass di locker-nya, Bobby segera
mengendap-endap menghampirinya, lalu menarik rambut gadis itu.
Kimmy memekik dengan jengkel dan langsung membalik.
"Bobby?dasar brengsek!" ia berseru. "Jangan sentuh-sentuh aku
lagi!" Ebukulawas.blogspot.com
"Tapi kau suka, kan!" balas Bobby sambil nyengir.
"Brengsek!" ulang Kimmy.
"Kau sudah punya acara malam Minggu besok?" Bobby
bertanya pada Kimmy. Kimmy menatapnya curiga. "Kenapa?"
"Cuma tanya saja," ujar Bobby, sambil membalas tatapannya.
"Belum, aku belum punya acara apa-apa," jawab Kimmy.
"Kalau begitu, kenapa kau tidak mandi saja?" Bobby tertawa
terkekeh-kekeh. "Aaaagh!" seru Kimmy geram dan memukul dada pemuda itu.
"Kau benar-benar brengsek, Bobby!"
Bobby mengelak dari pukulan berikut, lalu bergegas menyusuri
lorong sambil tertawa sendiri.
Dia tergila-gila padaku, katanya dalam hati. Dia benar-benar
tergila-gila padaku. Tapi sekarang aku tak punya waktu untuknya. Aku sudah cukup
sibuk dengan si Kembar! Arnie dan Melanie berdiri di jendela ruang musik. Mereka
sedang mengobrol. Paul sedang menekan-nekan tuts pada keyboardnya. "Halo, semua!" seru Bobby.
Arnie balas menyapa Bobby, tapi Melanie hanya meringis
sambil memicingkan mata, lalu membalik ke arah jendela.
"Ah, rupanya kau sedang kesal karena rambutmu tak mau
diatur, Melanie. Tapi kenapa kau menyalahkan aku untuk itu?" tanya
Bobby. Melanie tidak menoleh. Ia menyilangkan tangan di depan dada.


Fear Street Kencan Ganda Double Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau masih berkencan dengan si Kembar Wade?" ia balik bertanya
sambil mengertakkan gigi.
"Yeah. Mungkin," balas Bobby. "Apa urusanmu?"
Melanie tidak menyahut. Arnie angkat bahu.
"Bagaimana, nih? Kita jadi latihan atau tidak?" seru Paul tidak
sabar dari balik keyboard-nya.
Melanie membalik untuk menghadap Bobby sambil pasang
tampang kencang. "Aku benar-benar heran melihatmu," katanya ketus.
Bobby menatapnya sambil nyengir. "Aku sendiri juga heran!"
serunya. "Bayangkan, dua-duanya sekaligus. Aku pun terkesan."
"Kapan sih kau tidak membanggakan diri?" Melanie
menanggapinya dengan sinis.
"Paul benar. Kita harus berlatih," potong Arnie.
Tapi Bobby menyadari bahwa Melanie belum selesai bicara.
"Waktu itu kau dan Samantha ada janji untuk belajar bersama dan
Bree muncul di rumahmu. Betulkah itu?"
Bobby tersenyum lebar. "Rupanya segala sesuatu yang
kulakukan jadi bahan pembicaraan, hmm?"
"Jawab saja!" desak Melanie.
Bobby mengangguk. "Yeah. Tapi tak ada masalah. Samantha
keluar lewat pintu belakang begitu Bree masuk ke ruang duduk. Bree
tidak curiga sedikit pun."
"Nyaris," Arnie bergumam sambil nyengir. "Wow."
Melanie memelototi pacarnya, lalu kembali beralih kepada
Bobby. "Semua orang di sekolah membicarakanmu," katanya. "Aku
tahu kau malah senang. Tapi kenapa kau begitu yakin bahwa Bree
takkan tahu tentangmu dan saudara kembarnya?"
"Itu bukan masalahmu!" balas Bobby. "Kenapa harus ikut
campur?" "Mereka teman-temanku," Melanie menyahut dengan gusar.
"Hei, aku juga berteman dengan mereka," tangkis Bobby sambil
menyeringai. "Mereka menguras tenagaku, man. Aku saja hampir
kewalahan menghadapi mereka."
Arnie mulai tertawa, tapi segera terdiam ketika sadar Melanie
memelototinya. "Aku heran Bree belum mencium apa-apa sampai sekarang,"
gadis itu berkata kepada Bobby. Ia menggelengkan kepala. "Tegateganya kau dan Samantha berbuat begitu!"
Bobby angkat bahu. "Bree sudah besar, kok. Dia bisa
mengatasinya." "Tapi, Bobby," Melanie terus mendesak, "bagaimana kalau
Bree akhirnya tahu? Dia pasti akan sakit hati dan merasa dikhianati.
Gara-gara kau, seluruh keluarga mereka bisa berantakan."
"Ah, cukup," balas Bobby sambil angkat bahu. Ia menuju
lemari untuk mengambil gitarnya.
************* Bobby mengamati wajahnya dalam cermin di meja rias. Saat itu
pukul 21.00 lewat beberapa menit, dan PR yang belum diselesaikan
masih banyak, namun ia sulit berkonsentrasi.
Sebelumnya ia berbaring di tempat tidur sambil memegang
buku tentang tata cara pemerintahan. Tapi pikirannya selalu beralih
kepada Bree dan Samantha.
Kalau aku terpaksa mencampakkan salah satu, siapa di antara
keduanya yang bakal bernasib buruk? tanyanya dalam hati.
Mereka begitu mirip. Tapi sekaligus berbeda.
Dan sepertinya keduanya betul-betul tergila-gila padanya.
Bobby berdiri dan berjalan ke cermin. Sambil menyisir rambut
pirangnya, ia mengamati wajahnya, senyumnya.
Dan apa yang dilihatnya membuatnya senang.
Pesawat telepon di meja tulisnya berdering, sehingga
mengganggu acara mengagumi diri sendiri itu. Bobby membiarkannya
berdering beberapa kali. Kalau yang menelepon cewek, ia tak ingin
memberi kesan terlalu bersemangat. Akhirnya ia mengangkat gagang
telepon dan mengucapkan halo.
"Berdua masih asyik. Bertiga terlalu ramai," sebuah suara
berbisik ke telinganya. "Hah?" Bobby menjauhkan gagang telepon dari telinga dan
menatapnya seakan-akan itu bisa membantu mengenali si penelepon.
"Hei ?siapa ini?" tanyanya.
"Berdua masih asyik. Bertiga terlalu ramai," suara itu
mengulangi. "Kau bakal dapat ganjaran."
"Hei! Ini lelucon atau apa?" Bobby kembali bertanya. Ia
berusaha keras untuk mengenali suara si penelepon.
"Kau bakal dapat ganjaran," suara itu mengulangi dengan nada
mengancam. "Kau bakal dapat ganjaran yang setimpal."
11 Tamu Tak Terduga BOBBY menggenggam gagang telepon erat-erat ketika
mendengar ancaman itu. Ia sudah sering membaca buku atau
menonton film di mana orang ditakut-takuti melalui telepon. Tapi ia
tak pernah menyangka akan mengalami hal serupa.
Siapa yang mau menakut-nakuti aku? tanyanya dalam hati.
Semua orang menyukaiku! "Samantha?ini kau, ya?" tanyanya. "Ini kau, kan?" Ia tahu
bahwa Samantha mungkin saja melakukan lelucon konyol seperti itu.
Samantha paling senang kalau bisa mengejutkannya,
mengagetkannya. "Hidup menyerempet bahaya," begitu istilah yang
dipakainya. Bobby mendengar tawa cekikikan di ujung saluran.
"Hei! Arnie!" seru Bobby. "Ayo, mengaku saja, man. Aku tahu
ini kau." Seketika tawa cekikikan itu meledak menjadi tawa berderaiderai. "Dari mana kau tahu, man?"
"Arnie, mana mungkin aku lupa tawamu yang konyol itu," ujar
Bobby lega. "Ada apa, sih?"
"Cuma iseng," balas Arnie. "Kupikir kau mungkin butuh sedikit
hiburan. Habis, belakangan ini hidupmu begitu membosankan."
"Kau iri. Terus terang sajalah," kata Bobby sambil
mengendurkan genggamannya. Ia duduk di tepi meja tulisnya.
"Hei, jangan menuduh sembarangan!" sahut Arnie.
"Kau iri karena Bobby the Man berhasil menggaet si Kembar
Wade dan..." "Omong kosong!" Arnie menegaskan. "Kenapa aku harus iri?
Cepat atau lambat aku toh mendapatkan cewek-cewek yang
kaucampakkan." Bobby tertawa. "Hmm, kau boleh ambil Bree kalau aku sudah
bosan dengannya," katanya kepada sahabatnya. "Atau Samantha," ia
menambahkan. "Mungkin malah dua-duanya."
Arnie ikut tertawa. "Wow, Bobby. Kau memang nekat! Berapa
lama lagi kau mau main-main seperti ini? Maksudku, berkencan
dengan kedua-duanya?"
"Selama mungkin!" jawab Bobby. "Mereka sama-sama liar,
Arnie. Betul-betul liar! Dan keduanya tergila-gila padaku. Tapi," ia
menambahkan, "itu sih sudah biasa."
Arnie terkekeh-kekeh. "Untung kau tak jadi besar kepala."
"Siapa? Aku?" Mereka sama-sama tertawa.
"Melanie dongkol sekali karena urusan ini," Arnie lalu bercerita
dengan nada serius. Bobby memindahkan gagang telepon ke telinganya yang lain.
"Yeah, aku tahu. Kenapa sih dia? Dia kan sudah mendapatkan kau
sekarang. Jangan-jangan dia masih terus memikirkan aku?"
"Ah, tidak," ujar Arnie.
"Kalau begitu, kenapa dia terus mengusikku?" tanya Bobby.
"Kenapa dia harus ikut campur dalam urusanku dengan si Kembar
Wade?" "Begitulah sifat cewek," kata Arnie singkat.
Bobby baru hendak memberi komentar pedas mengenai
Melanie, tapi bel pintu di bawah berdering. Ia mengakhiri
percakapannya dengan Arnie, meletakkan gagang telepon, lalu melirik
jam radionya. Pukul 22.00 lewat beberapa menit.
Siapa yang bertamu malam-malam begini?
Bel pintu berdering lagi. Dan lagi. Orangtua Bobby sedang
berkunjung ke rumah tetangga. "Sabar sedikit!" Bobby berseru sambil
bergegas menuruni tangga.
Ia membuka pintu depan. "Bree! Ada apa?" ia bertanya.
Gadis itu menatapnya sedih. "Bobby," ia berbisik. "Kita perlu
bicara." 12 Bree Tahu "BREE ?ada apa?" tanya Bobby. "Malam-malam begini..."
Bree melewati Bobby dan melangkah masuk. Rambutnya yang
hitam diikat ke belakang dengan pita biru. Ia mengenakan baju polo
hijau muda dan celana jins pendek belel.
Dia tahu! Bobby menyadari, langsung gugup.
Bree tahu soal Samantha dan aku.
Ketika mengajak gadis itu ke ruang duduk, otak Bobby
dipenuhi berbagai ide bagaimana ia bisa mengatasi situasi itu. Aku
bisa bohong dan bilang bahwa dia sudah gila, kata Bobby dalam hati.
Aku bisa bilang bahwa aku tak pernah pergi dengan saudara
kembarnya. Aku bisa juga cuma angkat bahu dan bilang, "Memangnya
kenapa?" Jangan, tunggu dulu. Aku bisa mengaku bahwa aku memang
pernah berkencan dengan Samantha?lalu meyakinkan Bree bahwa
dialah favoritku, bahwa dialah yang terbaik.
Yeah, Bobby memutuskan. Dia pasti tak jadi mengamuk kalau
aku bilang begitu. Cewek-cewek cuma mau mendengar bahwa merekalah yang
terbaik. Dia pasti bakal termakan oleh siasatku. Dan setelah itu kami
kembali lagi ke awal. Semuanya bergembira ria lagi.
Bree duduk di sofa di samping Bobby. Dengan gelisah ia
menarik-narik sehelai rambut yang terlepas dari pita. Kemudian ia
meletakkan kedua tangan di pangkuannya.
"Ini soal... soal Samantha," katanya terbata-bata, lalu menatap
Bobby dengan matanya yang sedih.
Oh-oh. Ini dia, pikir Bobby. "Samantha?" tanyanya sambil
berlagak tak berdosa. "Ada apa dengan Samantha?"
Ia menahan napas dan menanti tuduhan yang akan dilontarkan
oleh Bree. Kelihatannya dia bakal menangis, pikir Bobby. Aku paling
tidak suka melihat cewek menangis.
"Samantha... pacaran dengan seseorang," ujar Bree. Suaranya
nyaris tak terdengar. "Yeah. Jadi?" tanya Bobby.
Ini dia. Ini dia. Habis ini dia bakal berurai air mata dan bilang, "Bobby, tegateganya kau!"
Bree menarik napas panjang. Ia menatap mata Bobby seakanakan mencari sesuatu. "Samantha pacaran dengan seseorang, diamdiam," katanya. "Dia sembunyi-sembunyi, tapi aku tahu."
Dan apakah kau juga tahu bahwa aku orangnya? tanya Bobby
dalam hati. Ayo, Bree, selesaikan saja urusan ini, pikirnya. Lebih
cepat lebih baik. "Lalu, kenapa kau begitu sedih?" ia bertanya dengan nada
penuh simpati. "Aku... aku tanya Samantha soal itu," Bree melanjutkan sambil
menundukkan kepala. "Aku tanya siapa orangnya, tapi dia tak mau
bilang." Bobby menunggu ucapan selanjutnya, tapi Bree hanya
menggigit bibir. Bobby menunggu dengan bingung. Tapi waktu menyadari
bahwa Bree takkan mengatakan apa-apa lagi, ia akhirnya angkat
bicara. "Dan itu sebabnya kau jadi sedih?"
"Masa kau tidak mengerti?" balas Bree gusar. "Samantha dan
aku... kami selalu saling terbuka. Dari dulu kami selalu bercerita
mengenai apa saja. Begitulah anak kembar. Sepertinya kami samasama merupakan bagian dari satu orang. Kami lebih dekat daripada
saudara biasa. Kami saudara kembar. Kami tak pernah menyimpan
rahasia. Tidak pernah. Kami selalu bercerita mengenai apa saja."
Kemudian ia menambahkan dengan murung, "Sampai
sekarang." Dia tidak tahu! Bobby berseru dalam hati.
Dia tahu bahwa Samantha diam-diam pacaran dengan
seseorang. Tapi dia tidak tahu akulah orangnya!
Dengan lega ia menyandarkan punggung. Ia harus memaksakan
diri agar tidak tertawa, agar tidak menari-nari merayakan
keberuntungannya. "Aku jadi bingung sekali," ujar Bree sambil menggelengkan
kepala. "Aku perlu bicara dengan seseorang. Dan kau... ehm, aku
merasa bahwa kau bisa diajak bicara tentang urusan seperti ini,
Bobby." Bobby merangkul pundak Bree. Ia masih merasakan dorongan
untuk tertawa. Tapi ia menahan diri dan berkata, "Syukurlah kalau kau
berpendapat begitu, Bree. Barangkali aku bisa membantu."
Bree membelalakkan mata. "Membantu? Bagaimana caranya?"
"Aku kan banyak teman di sekolah," jawab Bobby, sambil
menarik gadis itu. "Maksudku, semua orang kenal aku?ya, kan? Aku
akan tanya-tanya. Barangkali saja ada yang tahu siapa orang itu. Masa
di antara sekian banyak orang tak ada yang tahu siapa pacar gelap
Samantha?" Kalau cuma itu, sih, sebenarnya aku juga tahu, katanya dalam
hati. "Oh, Bobby, trims," ujar Bree lembut. Ia merapatkan keningnya
pada pipi pemuda itu. "Trims, Bobby," ia berbisik. "Aku tak tahu
harus bagaimana tanpamu. Kau... kau jadi begitu penting bagiku."
"Hei, aku justru senang karena bisa membantumu," sahut
Bobby. Dan kemudian ia mengangkat dagu Bree untuk menciumnya.
*********** "Kau harus segera putus dengannya," kata Samantha.
Bobby langsung terbengong-bengong.
"Wah," ia bergumam.
"Aku serius, Bobby. Kau tak punya pilihan lain."
Baru lima menit yang lalu Bree meninggalkan rumahnya,
setelah menegaskan betapa besar arti Bobby baginya. Begitu menutup
pintu, Bobby langsung mulai berkeliling rumah sambil menyombong.
"Siapa yang paling hebat? Siapa yang paling hebat?" ia
bersenandung sendiri. Cewek-cewek begitu mudah diatur, ia berkata dalam hati. Kita
tinggal bilang betapa hebatnya mereka, lalu bersikap simpatik
terhadap segala sesuatu yang mereka katakan. Beres!
Tentu saja tampangku yang keren juga membantu, ia
menambahkan. Tampang keren, banyak uang, mobil gaya?apa lagi
yang kurang? Tapi kita juga harus tahu caranya berbicara dengan mereka,
bagaimana membuat mereka yakin bahwa kita benar-benar
memperhatikan mereka. Bobby masih merayakan penampilannya yang gemilang di
depan Bree ketika pesawat telepon berdering. Ia segera bergegas ke
dapur dan mengangkat gagang telepon.
"Bobby, ini aku," kata Samantha. Sepertinya ia sedang kalangkabut.
Ya ampun, apa lagi sekarang? Bobby bertanya dalam hati. "Ada
apa, Sam?" "Bobby, Bree sedang dalam perjalanan ke rumahmu.
Kelihatannya dia curiga," jawab Samantha.


Fear Street Kencan Ganda Double Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia sudah ke sini, kok," Bobby memberitahunya. Sambil tetap
menggenggam gagang telepon, ia membuka lemari es dengan sebelah
tangan dan mengambil sekaleng Coke.
"Oh, ya?" ujar Samantha cemas. "Apakah dia tahu tentang kau
dan aku?" "Oh, tidak," balas Bobby santai. "Soal itu sudah kubereskan.
Tenang saja." Ia membuka kaleng Coke dan minum seteguk.
"Masa, sih? Dia benar-benar tidak tahu apa-apa?"
"Kubilang aku akan menyelidiki siapa pacar gelapmu itu," ujar
Bobby sambil terkekeh-kekeh.
Samantha diam sejenak. "Bobby, kita tak bisa terus-terusan
begini. Kau harus putus dengannya, sekarang juga."
Bobby nyaris tersedak. Ia meletakkan kaleng Coke-nya di meja
dapur. "Pertama," Samantha melanjutkan tanpa menunggu jawaban,
"aku sudah bosan menunggu-nunggu giliran seperti sekarang. Kenapa
aku harus duduk sendirian di rumah setiap malam Sabtu, sementara
kau pergi dengannya?"
Bobby bergumam tak jelas. Ia sedang memutar otak, mencaricari jalan terbaik untuk menenangkan Samantha. Ia menikmati
kencan-kencannya dengan mereka. Ia belum mau mengakhiri
hubungannya dengan Bree. "Kau harus putus dengannya," Samantha berkata dengan suara
gemetar. "Bree cepat curiga. Kalau begini terus, bisa-bisa dia kumat
lagi, Bobby. Kau tidak mengenalnya. Dia rapuh sekali. Dan kalau
sampai terjadi sesuatu..."
"Yeah?" tanya Bobby. Ia memiringkan kaleng dan menenggak
isinya sampai habis. "Kalau sampai terjadi sesuatu, dia bisa nekat," Samantha
menjelaskan. "Nekat?" "Ya, nekat," bisik Samantha.
13 Menantang Bahaya "SAMANTHA?hei! Berhenti!" Bobby memekik.
Samantha menengadahkan kepala dan tertawa dengan gembira.
"Aku serius!" teriak Bobby. "Ayo, berhenti! Biar aku saja yang
menyetir!" "Enak saja!" Samantha berseru keras-keras untuk mengalahkan
suara mesin yang berderu-deru. Jendelanya terbuka lebar. Angin yang
menerpa membuat rambutnya berkibar-kibar. Matanya tampak
berbinar-binar. Mereka melesat kencang melewati rumah-rumah dan
pepohonan. Pengemudi lain membunyikan klakson dengan gusar
ketika Samantha membelok ke Division Street tanpa memedulikan
arus lalu lintas dari arah yang berlawanan.
"Ayo, taruhan!" ia berteriak. "Aku berani bertaruh aku bisa
sampai ke mall tanpa berhenti sama sekali!"
"Kau gila!" ujar Bobby sambil memejamkan mata.
Mereka kembali diklakson. Kemudian Bobby seakan-akan
mendengar sirene polisi meraung-raung di belakang mereka.
"Aduh, mobilku!" ia berteriak. "Kau akan menghancurkan
mobilku!" Samantha hanya tertawa dan pindah ke jalur kiri dengan
memotong jalan sebuah truk raksasa. Dengan sebelah tangan ia
mengusap rambutnya yang berantakan.
"Biar aku saja yang menyetir!" Bobby memohon.
"Aku suka melihatmu ketakutan!" seru Samantha. Kakinya
semakin dalam menginjak pedal gas. Bonneville merah itu melesat
maju, menuju tanda stop. Bobby mendengar bunyi ban berdecit-decit
ketika mobil lain berusaha menghindari tabrakan di perempatan.
"Katanya kau cowok paling cool di sekolah!" ejek Samantha.
"Kau?kau gila!" teriak Bobby.
Samantha menginjak rem dan membelok ke mall. Mobil mereka
nyaris tergelincir dan berbalik arah. "Berhasil! Tanpa berhenti! Aku
yang menang!" Bobby menelan ludah. Jantungnya berdebar-debar. Perutnya
serasa diaduk-aduk. Samantha memarkir mobil Bobby di tempat kosong yang
sempit, lalu mematikan mesin.
Kemudian ia menoleh sambil tersenyum lebar. "Nah?
Bagaimana?" Bobby menggerutu dengan kesal. "Bagaimana kalau kau sampai
menabrak tadi?" ia bertanya dengan suara melengking karena marah.
"Bagaimana kalau kita dihentikan polisi? Apa kau tidak sadar bahwa
kita bakal menghadapi masalah besar? SIM-mu pasti akan dicabut!"
"Oh, tidak mungkin," Samantha menyahut dengan tenang
sambil membuka pintu. "Soalnya aku tidak punya SIM."
*********** Bobby mulai agak tenang ketika mereka berkeliling mall,
seperti biasanya pada malam Minggu. Ia sadar bahwa ia telah merusak
citranya sendiri dengan membentak Samantha di mobil tadi.
Tapi ia tidak peduli. Bagaimanapun juga, mobilku yang nyaris
hancur berantakan, ia berkata dalam hati. Lagi pula, gara-gara dia tadi
aku hampir mati. Jangan-jangan dia sudah bosan hidup? Bobby bertanya-tanya.
Apakah Samantha begitu kecanduan pada kecepatan sehingga rela
mempertaruhkan nyawanya sendiri?dan nyawa orang lain?
Gawat, pikir Bobby. Dia benar-benar sinting, ia akhirnya menyimpulkan. Barangkali
lebih baik kalau Samantha kucampakkan saja. Rasanya lebih aman
kalau aku berkencan dengan Bree.
"Kau sudah memberitahu Bree semalam?" tanya Samantha,
seakan-akan bisa membaca pikiran Bobby.
Pertanyaan itu membuat Bobby terkejut. "Ehm... aku..."
Mereka duduk berhadapan di sebuah meja di Pete's Pizza.
Seorang pelayan telah mengantarkan pizza, dan Bobby baru hendak
meraih sepotong. Samantha suka pizza dengan cabe, jamur, bawang bombay, dan
pepperoni. Bobby lebih suka pizza plain. Karena itu mereka memesan
setengah-setengah. Soal pizza pun dia aneh, Bobby berkata dalam hati, ketika
memperhatikan Samantha mencungkil sepotong mushroom dan
memasukkannya ke mulut. "Bree cerita kau mengajaknya ke pesta di rumah Suki Thomas,"
ujar Samantha sambil mengusap-usap bagian pizza-nya dengan serbet
untuk menghilangkan minyak yang berlebih.
"Yeah," ujar Bobby sambil menundukkan kepala. "Orangtua
Suki sedang ke luar kota, jadi dia bikin pesta di rumahnya."
"Jadi kau belum bicara dengan Bree?" desak Samantha. "Kau
belum memberitahu dia bahwa kau takkan berkencan lagi
dengannya?" Ia menggigit sepotong pizza. "Aduh! Panas!"
"Aku juga selalu begitu pada gigitan pertama." Bobby langsung
memanfaatkan kesempatan itu untuk mengalihkan pembicaraan.
"Selalu. Biarpun aku sudah lama menunggu, gigitan pertama tetap..."
"Kalau pulang nanti, aku yang menyetir lagi, ya?" Samantha
bertanya sambil meletakkan potongan pizza di piring.
"Tidak!" jawab Bobby tegas.
Mereka sama-sama tertawa. Samantha menatapnya dengan
manja dan meraih tangan pemuda itu. "Berkat aku hidupmu jadi lebih
seru, kan?" "Yeah. Malahan terlalu seru!" balas Bobby.
"Berkencan dengan aku lebih seru daripada dengan Bree, kan?"
Samantha kembali bertanya.
"Saudara kembarmu itu lebih... tenang," kata Bobby kikuk.
"Kau belum tahu sih bagaimana dia sebenarnya," ujar Samantha
ketus sehingga mengejutkan Bobby. Ia meraih potongan pizza tadi dan
langsung menggigitnya. Selama beberapa waktu mereka mengobrol soal sekolah. Bobby
bercerita tentang monyet-monyetnya, Wayne dan Garth. Samantha
bilang bahwa ia juga hendak memperlihatkan proyek IPA-nya kepada
Bobby. "Bagaimana kalau hari Senin, setelah latihan kor?"
Bobby menggelengkan kepala. "Aku harus latihan band.
Minggu depan kami akan main di hadapan seluruh sekolah."
Kemudian ia bercerita bahwa ia sedang mempertimbangkan
untuk memecat Arnie dan Paul, dan mencari orang baru untuk
mengganti mereka. "Mereka tak sanggup mengikuti
perkembanganku," katanya menjelaskan.
"Tapi Arnie kan sahabatmu!" protes Samantha.
"Begitulah show biz," balas Bobby.
Mereka kembali tertawa. Samantha memang sinting, tapi dia punya rasa humor, Bobby
berkata dalam hati. Bree selalu begitu serius.
Aku tak pernah menyangka bahwa dua saudara kembar bisa
begitu berbeda satu sama lain.
Mereka meninggalkan restoran tanpa menghabiskan pizza
mereka. Samantha tidak bisa duduk diam selama lebih dari beberapa
menit. Bobby bertanya apakah Samantha ingin menonton film. Tapi
Samantha memilih jalan-jalan di mall. Ia meraih tangan Bobby. "Aku
senang jalan-jalan bersamamu," bisiknya ke telinga pemuda itu.
Bobby merangkulnya, dan mereka mulai menyusuri kaca-kaca
etalase. Samantha berhenti di pintu masuk sebuah department store.
"Kita masuk sebentar, yuk," ajaknya sambil menarik tangan Bobby.
Ketika Samantha mulai melihat-lihat anting-anting di bagian
perhiasan, Bobby langsung tegang. "Aku curiga melihat senyummu,"
ia berkata. Mata Samantha berbinar-binar. Senyumnya bertambah lebar.
"Kau tidak akan mencuri lagi, kan?" tanya Bobby waswas.
Samantha menggeleng. "Bukan aku," ia menyahut. "Tapi kau!"
"Hei! Nanti dulu!" Bobby mengangkat kedua tangannya dan
melangkah mundur. "Jangan kabur!" ujar Samantha. "Tadi kau menantangku untuk
sampai di mall tanpa berhenti, ya kan? Jadi sekarang giliranku. Sini,
Bobby." "Aku tidak mau, Sam. Pokoknya, aku tidak mau," Bobby
berkeras. Meski demikian ia menghampiri kotak pajangan yang
terbuat dari kaca. "Kau lihat gelang perak itu?" Samantha bertanya sambil
menunjuk. Ia mengetuk-ngetuk kaca dengan kukunya yang dicat pink.
"Aku suka yang itu."
"Nanti dulu. Aku tidak berminat main kejar-kejaran lagi dengan
satpam," ujar Bobby sambil menggelengkan kepala. Ia meraih tangan
Samantha. "Ayo, kita keluar saja dari sini."
Tapi Samantha menarik tangannya, dan senyumnya pun lenyap.
"Aku cuma mau keluar kalau kau mengambil gelang itu untukku.
Masa kau tidak berani?"
Bobby menatap mata Samantha, dan dalam hati berusaha
mengira-ngira apakah gadis itu serius atau hanya bercanda.
Ternyata Samantha serius.
"Ambil saja! Habis itu kita langsung kabur!" desaknya.
Napasnya menggelitik tengkuk Bobby. "Aku sudah beri contoh waktu
itu. Sekarang giliranmu."
Bobby tampak bimbang. Ia mengamati kotak kaca di depannya.
"Rupanya keberanianmu cuma segitu saja, ya?" Samantha
berkata dengan nada menantang. "Bobby Newkirk ternyata penakut."
"Tak seorang pun boleh menyebut aku penakut," balas Bobby
tegas. Pandangannya tertuju kepada gelang perak di dalam kotak
pajangan. "Penakut!" ejek Samantha. "Penakut, penakut, penakut!"
"Diam!" hardik Bobby.
"Penakut, penakut."
"Diam! Sini, biar kuambil gelang konyol itu!"
Ia melirik ke bagian belakang departemen perhiasan. Hanya ada
dua pramuniaga yang sedang melayani pembeli.
Bobby membalik dan mengamati keadaan di pintu keluar.
Ternyata tak ada petugas keamanan.
Ia menelan ludah, lalu menarik napas panjang. "Mudahmudahan lancar."
Bobby meraih tutup kotak kaca dengan kedua tangannya,
mengangkatnya dengan hati-hati?dan seketika itu alarm mulai
berbunyi nyaring. 14 Tertangkap Basah "OH!" Bobby memekik kaget ketika mendengar bunyi alarm
yang berdering-dering. "Ambil! Cepat, ambil!" didengarnya Samantha berseru.
Bobby segera menyambar gelang itu. Tapi karena tangannya
gemetaran, gelang itu sempat terjatuh, dan ia terpaksa memungutnya
sekali lagi. Ia menarik tangannya dan membiarkan kotak kaca menutup
sendiri. Bunyi alarm begitu nyaring sehingga mengalahkan semua suara
lain di dalam toko. Sebelum Bobby sadar apa yang dilakukannya, ia sudah berlari
kencang. Berlari tanpa menoleh ke kanan-kiri. Dikejar oleh deringan
alarm yang memekakkan telinga.
Jantungnya berdentum-dentum di dalam dada. Ia menggenggam
erat gelang itu, dan berlari sekencang mungkin.
Di mana Samantha? Bobby tidak melihatnya. Ia hanya melihat pintu keluar yang terbuka lebar. Seorang
wanita yang membungkuk di atas kereta bayi. Sepasang remaja di
belakangnya. Kini Bobby sudah berada di luar toko. Ia berlari di antara orangorang yang lalu-lalang.
Samantha? Ia membalik dan bergegas menuju food court.
"Awas!" Hampir saja ia menabrak dua gadis kecil yang sedang berjalan
sambil berangkulan pinggang.
Ia membalik. Apakah ada yang mengejarnya? Dan di mana
Samantha? "Oh!" gumam Bobby sambil tersengal-sengal. Samantha
ternyata berdiri persis di belakangnya. Ia meluruskan tangan dan
memberi isyarat agar Bobby menyerahkan gelang yang dicurinya.
Bobby segera memberikannya.
"Aduh, Bobby, hadiah ini bagus sekali!" seru Samantha sambil
berlagak terkejut. Ia mengamati gelang itu, lalu memeluk Bobby dan
mencium pipinya. "Aku suka sekali. Kau betul-betul penuh
perhatian!" Ia langsung mengenakan gelang itu, kemudian memamerkannya
kepada Bobby. "Seleramu memang bagus, Bobby. Gelang ini
kelihatan mahal sekali." Ia tertawa berderai-derai.
"Kau benar-benar menikmati ini, ya?" ujar Bobby sambil
menggelengkan kepala. "Yeah, memang," balas Samantha sambil menatap perhiasan
yang berkilauan itu. "Lama-lama kau bakal membuat kita mati konyol atau
ditangkap polisi atau kedua-duanya," gumam Bobby. Jantungnya
masih berdebar-debar. "Aku cuma berusaha menikmati hidup," Samantha


Fear Street Kencan Ganda Double Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menanggapinya dengan ringan. Ia menggoyang-goyangkan gelangnya.
"Aku suka sekali."
"Ayo, kita pergi dari sini," desak Bobby. "Mereka pasti akan
mencari kita." "Kita minum milkshake dulu, deh," usul Samantha. "Aku lagi
ingin minum milkshake."
"Jangan." Dengan gelisah Bobby menoleh ke belakang. "Para
petugas keamanan..."
Sekonyong-konyong ia terdiam dan melepaskan seruan
tertahan. Samantha pun menoleh. "Aduh, gawat," bisik Bobby. "Itu Bree!"
Bree berdiri di depan sebuah kaca etalase, beberapa meter di
depan mereka. Dengan mata terbelalak ia menatap Bobby dan saudara
kembarnya. "Ya, ampun," gumam Samantha. "Kita tertangkap basah."
15 Tersayat BREE menatap Bobby dengan dingin. Ia mengenakan T-shirt
putih dan jins belel. Kedua tangannya terkepal.
Bobby langsung kalang kabut. Dengan bingung ia berusaha
memikirkan penjelasan yang masuk akal. Kemudian ia menoleh pada
Samantha, seakan-akan minta bantuan.
Di luar dugaan, Samantha tampak ketakutan. Gadis itu sampai
melongo, dan tampaknya ia gemetaran.
Kenapa dia kelihatan begitu ngeri? Bobby bertanya dalam hati.
Kenapa Samantha kelihatan begitu ketakutan karena saudara
kembarnya sendiri? Bobby sadar bahwa dirinyalah yang harus membebaskan
mereka dari situasi yang tidak mengenakkan itu. Samantha terlalu
ketakutan untuk membantunya.
Ia menarik napas panjang dan memaksakan senyum. "Bree...
hai!" katanya sambil melambaikan tangan dan menghampiri gadis itu.
Bree hanya mengangguk, tapi tidak mengatakan apa-apa.
Tatapannya tetap melekat pada Bobby.
"Samantha dan aku... kami baru saja membicarakanmu," ujar
Bobby dengan gaya riang, tanpa menggubris tampang kencang yang
dipasang oleh Bree. "Oh, ya?" jawab Bree datar.
"Yeah, ini lucu juga," Bobby mulai mengarang cerita.
"Maksudku, Samantha dan aku kebetulan bertemu di sini. Baru saja.
Dan kupikir dia kau! Aku langsung mengobrol dengannya, dan aku
bahkan memanggilnya Bree. Aku benar-benar mengira bahwa aku
mengobrol denganmu."
Pandangan Bree beralih kepada saudara kembarnya. "Aku tidak
tahu bahwa kau mau ke sini, Sam," katanya curiga.
"Aku... aku mau berbelanja," Samantha tergagap-gagap. "Aku
sedang tak ada pekerjaan lain. Jadi... kau kenal aku, kan? Daripada
menganggur, lebih baik belanja." Ia tertawa dengan gaya dibuat-buat.
Masa Samantha tidak bisa mengarang cerita yang lebih masuk
akal? Bobby bertanya dalam hati. Dan kenapa dia gemetaran? Masa
sih, dia begitu takut pada Bree?
"Bobby baru saja kuberitahu bahwa aku bukan kau, tapi aku,"
lanjut Samantha kikuk. Sikap Bree agak mengendur. Ia membuka kepalan tangannya.
Rambutnya diikat ke belakang dengan pita biru. Ia tidak mengenakan
make-up. Bobby terkagum-kagum melihat penampilan gadis itu.
Mereka sama-sama kece, ia berkata dalam hati. Hei, barangkali
aku bisa membujuk mereka supaya keduanya mau berkencan
denganku malam ini. Hitung-hitung sebagai pemerataan. Wah, itu
baru asyik. "Aku tak tahu kalau kau juga mau ke sini," Samantha berkata
kepada saudara kembarnya. "Seharusnya kita bisa pergi bersamasama."
"Aku sedang bosan di rumah," balas Bree. "Jadi aku ke sini
untuk beli celana jins. Jins yang kupakai untuk piknik keluarga
minggu lalu kan rusak gara-gara main di rumput."
Samantha mengangguk-angguk. "Ayo, deh. Biar kutemani." Ia
meraih tangan Bree dan menariknya pergi.
"Hei, ehm..." Bobby tidak tahu harus bilang apa. "Bagaimana
kalau aku ikut dan..."
"Sampai ketemu, Bobby," seru Samantha.
"Telepon aku, ya?" ujar Bree.
"Uih, hampir saja," gumam Bobby sambil memperhatikan
mereka menjauh. Aku berhasil mendapatkan penjelasan yang sempurna. Aku
menyelamatkan Samantha dan aku.
Tapi setelah itu mereka langsung kabur seakan-akan aku kena
penyakit menular! Ada apa sebenarnya? Kenapa Samantha begitu berkeras
mengajak Bree pergi? Samantha benar-benar sinting, Bobby akhirnya menyimpulkan.
Keduanya benar-benar sinting.
Ia mulai berjalan ke arah pelataran parkir. Sebenarnya paling
bagus kalau keduanya kucampakkan saja, katanya dalam hati. Begitu
banyak cewek di Shadyside High yang terpaksa gigit jari karena
mereka. Begitu banyak cewek yang sudah tak sabar untuk berkencan
dengan Bobby the Man. Tapi Samantha dan Bree memang istimewa. Bukan karena
tampang mereka, Bobby menyadari. Bukan karena cara mereka
memeluk, atau menciumnya. Bukan pula karena mereka sepertinya
begitu menyukainya. Banyak cewek yang tergila-gila padaku, Bobby berkata kepada
dirinya sendiri. Yang membuat mereka istimewa adalah karena mereka berdua!
pikir Bobby bangga. Seluruh sekolah tahu bahwa si Kembar Wade
adalah milikku. Aku terkenal. Sampai bertahun-tahun dari sekarang Bobby the Man tetap akan
menjadi buah bibir di Shadyside High! Mungkin mereka bahkan akan
memajang piala khusus di lemari piala di sekolah. BOBBY THE
MAN, bakal tertulis di situ. PENAKLUK SI KEMBAR WADE!
Pikiran itu menghibur Bobby.
Ia berputar-putar sejenak, mencari anak-anak yang dikenalnya.
Tapi karena tidak bertemu siapa-siapa, ia akhirnya mampir di sebuah
kafe dan memesan milkshake cokelat.
Samantha rupanya bisa mengendalikan orang lewat pikirannya,
Bobby berkelakar dalam hati sambil menghirup minumannya. Kalau
bukan karena dia, aku tak akan minum milkshake seorang diri di sini.
Ia membayar pesanannya, menghapus "kumis" cokelat dengan
serbet, lalu menuju pelataran parkir. Di luar dugaannya, air tampak
menggenang di sana-sini. Rupanya sempat turun hujan selama ia
berada di dalam mall. Bobby memandang ke atas untuk mencari bulan, tapi bulan
ternyata tertutup lapisan awan kelabu.
Ia melewati genangan-genangan air ketika menuju mobilnya.
Tapi begitu melihat Bonneville merah itu, Bobby langsung sadar ada
yang tidak beres. Mobilnya tampak agak miring. Dan sepertinya juga lebih
rendah dibandingkan mobil-mobil lain.
Bobby menunggu van yang melintas di depannya. Ia terpaksa
melindungi mata karena silau akibat sorot lampu depan mobil itu.
Setelah mobil itu berlalu, ia bergegas menghampiri mobilnya.
"Ya, ampun!" ia berseru ketika menyadari kenapa mobilnya
tampak aneh. "Banku!"
Kedua ban depan mobilnya ternyata kempis.
Bagaimana bisa sampai kempis bersamaan?
Bobby membungkuk untuk memeriksa kedua ban itu.
Tersayat. Kedua bannya disayat dengan pisau!
Bobby meraba-raba bannya yang terkoyak. Tanpa disadarinya,
sebuah mobil melintasi genangan di depan mobilnya. Bobby berseru
kesal ketika punggungnya terkena cipratan air.
Ia segera bangkit dan bergegas memeriksa ban belakang.
Juga tersayat. Dan kempis.
"Brengsek!" umpat Bobby. "Kerjaan siapa ini?"
Sambil bersandar pada tutup bagasi, ia mengamati pelataran
parkir yang luas. "Kerjaan siapa ini?" ia berteriak.
Sebenarnya, tak ada siapa-siapa di sekeliling Bobby. Ia hanya
perlu melampiaskan kekesalannya.
Bagaimana aku pulang? tanyanya dalam hati.
Siapa yang tega berbuat ini?
Ia kembali berjalan untuk memeriksa kedua ban muka. Siapa
tahu semuanya cuma halusinasi. Siapa tahu sebenarnya tidak ada apaapa dengan ban-bannya.
Tapi ternyata keempat bannya memang tersayat.
Dengan kesal Bobby menggebrak tutup mesin dengan kedua
tangannya. Baru beberapa saat kemudian ia sadar ada mobil yang berhenti
di depannya. Ia mendengar suara mesin mobil itu, melihat sorot
lampunya di aspal yang basah, dan menunggu agar mobil tersebut
berlalu. Tapi karena mobil itu tidak bergerak, ia akhirnya berbalik dan
melihat melalui jendela mobil itu.
Bobby segera mengenali gadis itu. Ia juga segera melihat
senyum janggal pada wajahnya.
Dan langsung saja ia menarik kesimpulan bahwa gadis itulah
yang telah mengiris keempat bannya.
16 Sebuah Kejutan "MELANIE!" Bobby berseru.
Gadis itu menatapnya sambil tersenyum. Wajahnya setengah
Pedang Sinar Emas 11 Pendekar Mata Keranjang 22 Laskar Dewa Pusaka Negeri Tayli 7
^