Pencarian

Si Angin Puyuh 11

Si Angin Puyuh Si Tangan Kilat Hong In Lui Tian Karya Gan Kh Bagian 11


Ong Beng im memang sudah kepayahan kedatangan Pek Kian-bu tepat pada waktunya, beruntun tusukan dan tabasan pedangnya berhasil merobohkan beberapa pasukan negeri yang mengepung diluar kalangan lalu dengan Swan-hong-kiam-hoat ia berhasil pula memukul mundur Lou-ing-hou. Dalam lain kejap, mereka berdua sudah berhasil menerjang keluar dari kepungan, lalu menerjang kelompok disampingnya dan bergabung bersama Lu Giok-yau.
Jumlah pasukan negeri teramat banyak mereka menjadi sulit untuk menerjang keluar perwira tinggi itu tidak bisa menggunakan Ginkang tapi golok yang besar dari berat itu dimainkan sedemikian mahir, ilmu goloknya berat dan merupakan tekanan yang harus dilayani juga. Lu Giok yau sendiri sudah kehabisan tenaga, napaspun ngos ngosan. Pek Kian-bu juga sudah terluka tinggal sebelah tangannya saja yang masih dapat memainkan senjatanya. Maka si perwira tinggi dan Lou Ing hou sudah cukup berkelebihan untuk mereka bertiga, ditambah pasukan negeri yang mengepung rapat diluar kalangan dengan senjata lengkap mereka semakin menjadi sulit untuk menjebol keluar.
Dengan berkurangnya tenaga Pek Kian bu keadaan Nyo Su-gi dan Lo Hou wi menjadi jauh lebih berbahaya meski permainan golok cepat Lo Hou wi cukup hebat dan ganas, sayang lwekangnya terpaut terlalu jauh dibanding Lou Jin cin, lebih mendingan keadaan Nyo Su-gi kepandaiannya cuma kalah setingkat tapi permainan pukulan tangan besinya menjadi kewalahan dan kepayahan. Sepasang tangan besinya memang cukup kuat menangkis dan menghadapi pecut baja lawan, soalnya ia pun harus meladeni bagian badan lainnya yang cukup berbahaya, untung Lo-Hou wi bisa bekerja sama dengan rapi, seumpama anak kambing yang tidak takut pada seekor harimau ia bertempur dengan nekad dan mati-matian hingga Lou Jin cin harus berjaga-jaga menghadapi golok kilatnya. Sedang cara permainan Nyo Su-gi justru berlainan selama itu ia bisa bermain tenang dan mantap setiap ada lobang tentu ia merabu dan merangsek dengan serangan yang berbahaya, perhatian Lou Jin-cin lebih dicurahkan untuk menghadapi permainan pukulan tangan besinya yang lihay itu dari pada golok kilat Lo Hou-wi, oleh karena itu dia harus berada diatas angin, namun ia tidak berani terlalu mendesak dan pandang enteng kedua lawannya.
"Trang" sekonyong-konyong terdengar benturan senjata yang sangat keras lalu disusul pula suara kerontangan, ternyata golok Lo Hou-wi kena dipukul jatuh oleh pecut baja lawan pergelangan tangannyapun tergores luka luka panjang oleh senjata lawan.
Lo Hou wi mendorongkan badannya ke-samping sambil mundur, tapi secepat itu pula ia sudah mendesak maju tapi kali ini tangannya sudah menggenggam sebilah belati meski ukuran pendek tapi cukup dibuat senjata untuk melawan. Dengan senjata pendek ditangan ia bertempur lebih berani dan semakin gigit. Tapi betapapun belati ini kurang mencocoki seleranya seperti golok yang merupakan gaman bawaannya, keadaannyapun menjadi semakin payah.
Lo Jin cin terbahak-bahak lagi serunya; "Sutay-kim kong menjadi seperti dewa lempung, dewa lempung lewat sungai jiwa sendiri belum tentu dapat diselamatkan, maka kunasehati kalian janganlah turut campur urusan orang lain!"
O^~dwkz^hendra~^O Geng Tian menempuh perjalanan tanpa mengenal lelah, larinya dikebut seperti mengejar setan tepat sekali ia tiba pada waktunya. Dari jarak yang jauh ia mendengar seruan Lou Jin-cin akan nama Su-tay kim kong keruan girangnya bukan main, sebat sekali badannya melayang maju lalu teriaknya lantang : "Lou Jin-cin menurut hematku justru kaulah yang menjadi "dewa patung" yang belum dapat menyelamatkan jiwamu sendiri."
Lenyap suaranya tiba pula orangnya, tahu-tahu Lou Jin-cin merasa kesiur angin menyerbak kemukanya, kiranya kipas Geng Tian sudah disebatkan dihadapan mukanya, dengan gesit Lou Jin-cin menghindar dengan gaya Hong-thin-thay (burung hong manggut-manggut), sementara sebelah tangannya membalik terus melancarkan Kim-na-jiu-hoat mencengkeram senjata lawan, cepat-cepat Geng Tian merangkapkan kipasnya terus menutuk jalan darah Kiu-hiat di lengannya. Terpaksa Lou Jin-cin menekuk tangan menurunkan pundaknya, dengan sejurus tipu Kim-na-jiu-hoat yang khusus untuk berkelahi dalam jarak dekat ia membebaskan diri. Dalam pada itu Nyo Su-gi dan Lou hou wi menjadi berkesempatan melancarkan serangan gencar bertubi-tubi sehingga lawan terdesak mundur berulang-ulang.
Melihat Geng Tian mendadak muncul, Lu Giok-yau menjadi kegirangan, segera teriaknya : "Geng toako !"
Begitu mendengar teriakan Lu Giok-yau, Nyo Su-gi jadi ikut kegirangan, cepat ia bersuara : "Geng kongcu, harap tanya, apa hubunganmu dengan Kanglam Tayhiap Geng Ciau ?"
Geng Tian tersenyum, sahutnya : "Beliau adalah ayahku !"
"Geng kongcu !" teriak Nyo Su-gi tak tertahan lagi. "Betapa sulit dan susah payah kami mencari kau !"
Dalam berkata-kata itu kipas Geng Tian sedang mengancam dulu hati Lou Jin-cin yang sudah siap hendak menyerbu lagi. Tadi Lou Jin-cin sudah belajar kenal akan kehebatan permainan senjata kipasnya, kini melihat orang selalu bergerak mendahului menekan lawan dengan tipu-tipu aneh dan lihay mau tak mau ia harus berpikir: "Berkelahi satu lawan satu, aku tidak akan terkalahkan oleh dia, soalnya Nyo Su-gi dan Lou Hou wi membantu dari samping dengan sergapan yang berbahaya, sekali seranganku gagal pasti aku bakal celaka!"
Maklum bagi tokoh persilatan tingkat tinggi bila berkelahi pantang salah menggunakan tipu permainan dan harus dapat memanfaatkan peluang yang ada, pihak orang yang merangsak terutama harus dapat menduduki posisi yang menguntungkan, tapi dalam hal pertahanan juga harus diperhatikan, karena jika pihak sendiri sedang menyerang adalah lumrah jika pertahanan diri sendiri menjadi lemah, kelemahan ini paling gampang digunakan oleh lawan untuk balas menyergap dan menemukan kelemahan pihak sendiri. Dalam keadaan yang demikian, bila satu lawan satu masih boleh dicoba-coba. Tapi sekarang keadaannya lain, pihak musuh masih ada dua tokoh kosen yang bisa selalu memberikan tekanan berat pada dirinya, betapapun aku tidak boleh sembarangan bergerak tanpa perhitungan, demikian pikirnya.
Siperwira itu tidak kenal siapa Geng Tian dan ia tidak tahu akan kelihayannya begitu mendengar orang adalah putra Kang-lam Tayhiap Geng Ciau, tak tahan lagi segera ia berteriak : "Lou Ceng-cu bocah she Geng itu jauh lebih penting dari pada bandit-bandit dari Ceng-liong-pang, hayo bekuk dia kenapa kau tidak maju lagi? Mari kubantu kau !" Tanpa pedulikan Lu Giok-yau dan lain-lain sambil menenteng golok cepat ia memburu kearah Geng Tian.
Geng Tian tertawa, ujarnya : "Nona Lu, tempo hari waktu aku bertandang ke rumahmu, aku datang dengan bertangan kosong tanpa oleh-oleh apapun hari ini biarlah kuberikan sebuah kado padamu untuk menebus kesalahanku tempo hari."
Terdengar Lou Jin-cin berteriak kaget : "Tayjin, awas !" bicara lambat terjadinya justru teramat cepat sekonyong-konyong secepat kilat Geng Tian sudah mencelat lewat dari atas kepalanya lekas-lekas Lou Jin cin mengayun pecutnya keatas, pecut panjangnya melingkar ditengah udara terus menggubat turun kearah dua kaki Geng Tian, Tapi Nyo Su-gi dan Lo Hou wi tidak tinggal diam, golok Lo Hou-wi yang berhasil dijemputnya kembali secepat kilat membacok kearah lengan kiri sedang telapak tangan besi Nyo Su-gi menepuk ketengah dadanya, sedang Geng Tian yang melayang ditengah udara juga tidak mandah diserang kipasnya yang terangkap itu mengetuk ke ubun diatas batok kepalanya.
Lekas Lou Jin-cin merendahkan badan, sementara cambuk lemasnya ditarik dengan naik turun, didalam waktu yang singkat saja ia sudah berhasil menyampok golok cepat Lo Hou-wi serta melindungi dada sendiri, untunglah ia berlaku sigap sehingga dirinya tidak kena pukulan tangan besi Nyo Su-gi. Kalau dalam pertarungan ini ia satu lawan satu, cambuk lemasnya itu pasti berhasil melilit badan Geng Tian, tapi golok cepat Lo Hou-wi dan telapak besi Nyo Su-gi merangsek datang bersama dari dua arah, terpaksa dia harus menyelamatkan diri lebih dulu.
Tentara perwira itu sedang memburu datang kearah Geng Tian, kebetulan memapak kedatangan Geng Tian yang melambung tinggi melampaui kepala Lou Jin-cin.
Ditengah udara Geng Tian gunakan gaya burung dara jumpalitan, meski perwira itu sangat mahir menggunakan golok panjangnya diatas kuda, namun bicara soal ilmu silat sudah tentu ia belum pernah melihat kepandaian ginkang yang begitu menakjubkan, belum lagi senjatanya bekerja hatinya sudah kaget dan ciut nyalinya. Maka disaat golok besarnya terayun dengan jurus Soat-hoa-kay-ing (bunga salju menutupi kepala) kalau kepala bisa terlindung sebaliknya dadanya terbuka lebar belum lagi goloknya mampu menyentuh ujung baju Geng Tian tahu-tahu ia rasakan badannya kesemutan dan lemas, ternyata sudah kena ditotok oleh Geng Tian.
Geng Thian mainkan gaya kera berjoget seperti menjinjing anak ayam saja ia angkat perwira itu diputar putar terus dilontarkan ketengah udara, lalu disambernya pula tengkuk orang serta mengancam: "Kalau ingin hidup lekas tarik pasukanmu!"
Semula perwira itu hendak main keras kepala, tapi setelah dilontarkan turun naik dua kali ketengah udara, arwahnya serasa copot dari badan kasarnya, saking ketakutan badan lemas lunglai, terpaksa ia memberikan perintahnya, "Berhenti kalian lekas mundur !"
Kata Geng Tian: "Jiwamu boleh kuampuni, tapi kalau tidak kuberi sedikit hajaran mungkin kau bisa mencari keributan pula !" jari tengahnya lantas menutuk dengan ilmu tunggal seperguruannya, seketika perwira merasa seluruh badannya kesakitan seperti dicocoki ribuan jarum, badan tidak mampu bergerak, tapi mulut masih bisa bicara: "Ampun Hohan, segera kutarik pasukanku dan pulang kekota, sekali tidak berani kemari lagi!"
"Kau tidak akan mampus, dua belas jam kemudian jalan darahmu akan bebas sendiri. Kalau kau tidsk tahan derita boleh kau suruh Lou Jin cin bantu membuka tutukan Hiat tomu."
Dalam sekejap saja pasukan pemerintah itu sudah keluar lembah dan semakin jauh, Nyo Su-gi undang ketiga saudaranya untuk memberi hormat kepada Geng Tian, katanya, "Kita mendapat perintah dari pangcu untuk memapak kedatangan Kongcu, tidak nyana Kongcu telah tiba lebih dulu. Markas pusat kita ada di Ki-lian-san. Kongcu kalau tiada urusan penting lainnya, silahkan pulang bersama kita."
"Aku memang harus menemui Liong pangcu kalian, tapi kita harus mengantar nona Lu ini pulang lebih dulu!"
Ditengah jalan bertanyalah Lu Giok-yau: "Geng toako, darimana kau bisa tahu kalau aku berada disini?"
"Secara tidak langsung In tiong yan yang memberi tahu kepadaku!"
"Secara tidak langsung? Apakah In tiong yan suruh orang memberitahu kepada kau?"
Dua tahun belakangan ini nama In tiong yan sudah cukup tenar di Kangouw, Su-tay-kim kong pun pernah mendengar kebesaran namanya, kata Nyo Su gi: "Geng kongcu, kau baru saja tiba di Tionggoan, cara bagaimana kau bisa kenal dengan perempuan iblis itu?"
"Apakah kau tidak kenal dia?" tanya Geng Tian tertawa.
"Sudah lama kudengar namanya, cuma belum pernah bertemu muka."
"Bukanlah beberapa hari yang lalu kalian pernah bersama dia, itulah gadis pakaian hitam yang sepenginapan dengan kalian. Peristiwa didalam hotel yang kalian alami aku sudah tahu dari penuturan pemilik hotel."
Baru sekarang Nyo Sugi sadar, katanya: "Jadi gadis itukah yang bernama In-tiong yan yang tenar itu, tak heran si Elang Hitam Lian Tin san pun kena digertak lari terbirit birit!"
"Geng toako," tiba tiba Lu Giok-yau menimbrung bicara: "Aku hendak tanya mengenai diri seseorang terhadap kau......."
Belum ia habis bicara, Geng Tian sudah tertawa dan menukas: "Kau hendak mencari tahu keadaan Ling Tiat-wi bukan? Beberapa hari dia pernah menetap dirumahmu, sekarang mungkin sudah pulang bersama ayahnya." Lalu ia ceritakan cara bagaimana mereka berhasil menolong Hong thian lui dari Lou-keh ceng.
Sesaat Lu Giok-yau terlongong, ujarnya: "Kiranya dalam peristiwa ini Kho toako tak menipu aku."
Mau tak mau Lu Giok-yau menerka didalam hati: "Pasti sikap ibu yang kurang simpatik terhadap para tamu, maka Ling-toako dan lainnya meninggalkan pergi dengan rasa dongkol." teringat ibunya begitu sayang dan percaya kepada sang Piauko yang ternyata terima diperbudak dan menjadi mata-mata musuh, tanpa merasa ia merinding dibuatnya.
Geng Tian beramai-ramai mengantar Giok-yau sampai didepan rumahnya, mendadak ia ingat sesuatu katanya: "Kita tidak usah masuk, harap nona tolong sampaikan salam kami kepada ayahmu!"
"Kenapa???" tanya Lu Giok-yau melenggong. "Sudah didepan pintu kalian tidak mau mampir, kalau diketahui ayah, pastilah aku yang dimarahi."
"Kukira ayahmu pasti tahu dan paham akan kesulitan kami."
Nyo Sugi pun tersenyum, ujarnya: "Betul lebih baik tidak usah mampirlah."
Bahwa tamu tamunya tidak mau masuk Lu Giok-yau tidak bisa memaksa mereka, terpaksa ia menghaturkan banyak terima kasih dan berpisah didepan rumahnya.
O^~dwkz^hendra~^O Lu Tang Wan suami isteri sedang menunggu dengan hati gundah dan was was, untunglah puterinya akhirnya pulang juga tanpa kurang suatu apa. Lu Hujin segera bertanya: "Dimana Piaukomu? Bukankah dia yang menemukan kau dan membawamu pulang? Kenapa tidak pulang bersamamu?"
"Bu, masih kau tanyakan dia menyinggung dia menjadi aku marah saja!''
Lu Hujin mengerut kening katanya, "Jelek jelek dia adalah Piaukomu dalam soal apa dia berbuat salah terhadapmu?"
"Khu Tay seng tidak pernah berbuat salah kepadaku malah dia selalu menjilat dan mengambil hatiku!"
"Nah kenapa kau marah marah kepadanya?''
"Bu kalau kukatakan janganlah kau kaget. Coba kau terka. Orang macam apa keponakanmu itu?"
Lu hujin melenggong katanya: "Orang macam apa dia bukankah dia Piaukomu?"
"Benar dia adalah keponakanmu tidak dapat tidak harus memanggilnya Piauko. Bu, tahukah kau bahwa dia itu seorang penghianat bangsa yang terima menjadi mata mata musuh penjajah?"
Lu hujin amat kaget selebar mukanya pucat pias serunya: "Apa katamu dia adalah mata mata musuh?"
"Benar dia adalah mata mata musuh!" sahut Lu Giok yau tegas.
Adalah kaget dan gusar Lu Tang wan jauh melebihi isterinya. "Brak!" tiba tiba ia menggeprak meja katanya; "Urusan macam ini tidak boleh sembarangan dibicarakan. Jikalau benar kalau ibumu tidak mau membersihkan keluarga akulah yang akan mewakili dia menghukumnya. Coba katakan kau punya bukti apa?"
"Dia mengundang pasukan pemerintah untuk meringkus Cin Liong hwi tetapi Cin Liong hwi tidak seperjalanan dengan aku. Karena tidak berhasil menangkap Cin Liong hwi maka pasukan itu malah menangkap dia karena dituduh memberikan laporan palsu."
Lu Hujin semakin ketakutan serunya gemetar: "Hanya dia kena ditangkap oleh pasukan pemerintah?" meski kaget namun hatinya menjadi lega pikirannya. "Untung dia ditangkap pasukan pemerintah terang Yau jie tidak bisa membunuhnya!"
Melihat sikap ibunya yang nampak bukan dilakukan pura pura maka ia membatin, "Agaknya sebelum ini ibu memang belum tahu akan hal ini." maka ia ceritakan duduk perkaranya kepada ayah bundanya.
Mendengar puterinya bersama Su tay kim kong dari Ceng liong pang dan Geng Tian melabrak pasukan pemerintah sungguh kejut Lu Hujin lebih besar dan cepat pula katanya membanting kaki, "Ai kau budak ini memang tidak tahu urusan beruntun mengadakan bencana cara bagaimana baiknya,.,.,? bagaimana baiknya?"
Berkata Lu Tang wan dengan nada berat: "Urusan sudah terlanjur tiada gunanya kau mengomel panjang lebar. Kalau bicarakan keponakan mestikamu Khu Tay senglah yang menjadikan gara, Yau ji tidak bersalah. Sebagai gadis perawan masakah ia harus menyerah ditelikung dan dijamah oleh kawanan tentara?"
Lu Hujin tidak terima katanya: "Dalam hal ini Tay-sengpun tidak bisa disalahkan, Cin Liong-hwi bocah keparat itu bukan manusia baik baik adalah pantas kalau Tay-seng melaporkan dia. Belum tentu dengan perbuatannya ini lantas dituduh sebagai cakar alap alap kerajaan. Bukankah kau sendiri pun ada hubungan dengan penjabat pemerintah?"
Lu Tang-wan menjadi gusar semprotnya; "Aku ada hubungan dengan penjabat pemerintah hanyalah untuk bermuka-muka saja kan belum pernah aku bantu melakukan sesuatu demi kepentingan mereka, yang benar Cin Liong hwi itu bukan anak baik tapi Khu Tay seng melaporkan dia sebagai keturunan dari pahlawan Liang san kepada pemerintah apalagi kalau tidak dituduh sebagai cakar alap-alap?"
Lu Hujin belum pernah melihat sang suami marah sedemikian besar, keruan ia jadi malu dan jengkel pula, ia jadi kebingungan juga, terpaksa ia gunakan siasat halus katanya; "Urusan sudah terjadi tiada gunanya kau marah marah. Sekarang bencana sudah meluruk keatas kepala kita, yang penting lekas mencari cara untuk menghadapinya."
"Mencari cara apa, dalam keadaan ini terpaksa harus menyingkir sejauh mungkin."
"Masakan tidak bisa dicari daya upaya lainnya?" tanya Lu Hujin lemah lembut.
"Coba kau punya daya apa, ayo kemukakan."
"Untunglah Cin Liong-hwi tiada hadir, Sutay-kim kong dari Ceng-liong-pang dan Geng Tian baru terakhir dijumpai kalau masih bisa mencuci bersih kesalahan Yau-ji."
"Memangnya mereka mau dengar alasan ini? Dan lagi Lou Jin-cin si bangsat tua itu masakah dia mau memberi kelonggaran kepada kita?"
"Meski Lou Jin cin ada sedikit salah paham dengan kau sama-sama orang sekampung masakan dia tidak sudi memberi sedikit muka kepada kau, bukankah Yau-ji tadi ada bilang sikapnya semula amat sungkan?"
"Sikapnya itu hanya pura pura untuk menipu aku, aku saja tidak percaya kepadanya. Bu, kau yang lebih tahu seluk beluk kehidupan kenapa kau suka percaya kepadanya?"
"Bukan aku percaya kepadanya, tapi kita bisa mencari jalan damai kepadanya, ketahuilah dia punya pegangan terhadap kita untuk bertindak."
"Hm, hm kau ingin aku berdamai kepadanya?"
"Kalau kau tak mau jadi damai kepadanya, carilah jalan lain, lekas kau cari hubungan dengan para penjabat, rubah dulu urusan besar ini menjadi urusan kecil."
"Pikiranmu terlalu muluk muluk," demikian jengek Lu Tang-wan dingin, "coba ingin kudengar cara bagaimana mencari hubungan seperti apa yang kau katakan."
"Jangan kau main sindir kepadaku meski aku kamu bawa belum tentu kehabisan akal, waktu ulang tahun kelahiranmu tempo hari bukankah datang kawan dan seorang tamu dari utusan walikota Hangciu? Kalau tidak salah kau memanggilnya sebagai Ong-lohucu benar tidak?''
Lu Tang-wan menahan gusar, katanya, ''Kau suruh aku cara bagaimana meminta-minta kepadanya?"
"Antarlah bingkisan besar kepadanya, mintalah supaya dia mohonkan keringanan kepada walikota, kedudukannya cukup tinggi sejajar dengan Cong-ping Tayjin cuma yang satu sipil yang lain militer, jabatannya sejajar dan setingkat. Kukira perwira itu mau tidak mau harus beri muka pula sejawatnya."
Lu Tang wan hanya mendengus hidung tanpa buka suara.
Lu Hujin dapat membaca isi hati orang dari perubahan air muka orang, ia tahu meski sang suami masih marah, betapapun sedang menimbang usulnya ini, maka ia melanjutkan, ''Sebetulnya mereka bukan hendak menangkap Yau-ji, boleh dikata dia hanya kerembet saja. Dengan menerima sekedar sogokan berarti, pastilah ia suka kesampingkan persoalan kita. Dan lagi Ong lohucu itu sendiri memang ingin mengambil hatimu, sayang kau mengagulkan gengsi tidak sudi bergaul dengan dia."
"Yah!" timbrung Lu Giok yau. "Memangnya kita harus menjilat-jilat kepada pejabat anjing?"
"Betul kalau kita toh harus mohon bantuan, haruslah minta bantuan para Enghiong para Hohan!" demikian ujar Lu Tang-wan.
"Sayangnya urusan yang menyangkut kita ini dapat dilerai oleh Enghiong pujaanmu itu, kehadiran mereka malah membikin urusan semakin kacau balau. Terserahlah kau tidak mau terima usulku terpaksa meninggalkan rumah ngungsi ketempat jauh. Tapi ingin kutanya kepada kau, ketempat mana kau bisa menyembunyikan diri."
"Kita bisa bergabung dengan pihak Ceng liong pang; aku tahu markas besar mereka berada di Ki lian san," demikian rengek Giok yau.
Lu Hujin tertawa dingin, katanya : "Puluhan tahun ayahmu berkecimpung dalam kangouw betapa sulitnya baru berhasil membangun rumah dan membentuk keluarga ini, sebaliknya kau paksa ayahmu dihari tuanya melakukan pekerjaan memberontak kepada pemerintah? Tahukah kau justru karena sudah bosan kehidupan kangouw maka ayahmu menyepi diri membangun rumah disini ?"
Lu Tang wan menghela napas ujarnya : "Kalau terpaksa apa boleh buat berkecimpung lagi didunia persilatan ?"
"Tapi sekarang belum tiba waktunya terpaksa kenapa kau tidak coba menjalankan usulku tadi ?"
"Bu, kalau kau berkukuh demikian, berarti kau merelakan putrimu menyerahkan diri kepada mereka."
Lu Hujin menjadi gusar dampratnya : "Kau budak ini memang terlalu kuumbar dan kelewat kusayang sehingga berwatak begitu kukuh dan nakal, memangnya sudah keras sayapmu, berani kau tidak dengar nasehat ibumu lagi ?"
Lu Tang wan menggoyangkan tangan, katanya : "Kalian tak perlu ribut biar kupikir-pikir, ucapan Yau-ji memang cukup beralasan pula."
"Eh, memangnya kau hendak membiarkan putrimu menyerahkan diri ?" desak Lu Hujin.
"Bukan begitu maksudku, biarlah dia minggat dan pergi ketempat jauh menurut keinginannya sendiri."
Keruan Lu Giok-yau berjingkrak kegirangan, serunya : "Yah, kau setuju menyingkir saja bersama aku."
"Bagus ya, kalian ayah beranak bisa terbang pergi, tinggalkan aku seorang saja !" demikian omel Lu Hujin patah semangat.
"Bu, kenapa kau berkata demikian? Sudah tentu kita pergi bersama."
"Aku sudah terlalu tua untuk melakukan perjalanan jauh, apalagi ilmu silat sudah banyak kulupakan masa aku bisa bantu pihak Ceng-liong-pang memberontak main pedang, main golok segala ? Terserah bagaimana jalan pikiranmu, yang terang aku lebih suka diam dirumah, biar mati juga harus berada dirumah sendiri. Kalau kalian tidak ingat hubungan kita selama ini, silahkan pergi saja."
Bahwa Lu Hujin berkukuh tidak mau meninggalkan rumah, adalah karena dia merasa sayang meninggalkan harta benda dan rumahnya, dan ada pula sebab lain, yaitu dia tidak tega meninggalkan keponakannya begitu saja. Famili dari keluarganya hanya tinggal seorang keponakan ini, apalagi pemuda itu pandai mengambil hatinya, maka ia pandang keponakan ini sama sebagai anak kandung sendiri, sebenarnya dia jauh lebih menyayangi keponakan ini daripada putrinya sendiri.
Kini Khu Tay-seng ditangkap pasukan pemerintah, bahwasanya dia tidak tahu bahwa keponakannya itu secara sembunyi-sembunyi ada sekongkol dengan pasukan pemerintah, pastilah kelak ada orang yang menanggungnya keluar (apa yang diceritakan putrinya dia tidak mau mempercayainya), kalau keponakan itu belum bebas mana dia bisa berlega hati meninggalkan kampung halaman ini. Maka dia mengusulkan rencananya itu supaya memperingan urusan putrinya, sekaligus dapat membebaskan keponakannya dari tahanan. Sudah tentu dia tidak akan membiarkan keponakannya begitu bebas lantas menemui Lu Tang-wan, diam-diam dia sudah memperhitungkan setelah amarah suaminya reda barulah pelan-pelan dia akan merujukkan persoalan ini.
Adalah Lu Giok-yau tidak dapat menyelami kekukuhan ibunya ini, keruan ia jadi melenggong kebingungan.
Tak nyana diluar dugaannya pula, tiba-tiba Lu Tang-wan batuk-batuk lalu katanya : "Belum lagi kau jelas apa yang kukatakan lantas mengumbar amarah, coba dengarkan penjelasanku, maksudku biar Yau-ji sendiri yang pergi, aku kan tetap tinggal dirumah !"
Lu Giok-yau kaget, serunya : "Apa ayahpun tidak mau pergi ?"
Agaknya Lu Hujin pun merasa heran, katanya, "Usia Yau-ji masih terlalu muda belum pernah pergi jauh lagi, memangnya kau tidak kuatir dia pergi seorang diri ? Menurut hematku lebih baik kita semua tidak keluar pintu. Besok siapkanlah bingkisan besar, bekerjalah menurut usulku tadi kutanggung urusan tidak akan salah !"
"Aku hanya dapat menerima separoh dari usulmu," demikian kata Lu Tang-wan. "Justru karena Yau-ji tidak pernah keluar pintu kecuali orang-orang dari Lou-keh-ceng, cakar alap-alap lainnya tiada yang kenal dia. Dia boleh menyamar sebagai laki-laki asal bertindak amat hati-hati, kukira perjalanannya jauh lebih aman dari pada kita pergi bersama-sama."
"Kenapa kau ijinkan dia pergi sendirian?"
"Terus terang, aku tidak begitu percaya pihak pemerintah," demikian ujar Lu Tangwan, "maka terpaksa kugunakan dua caranya berlawanan rusak gara-gara perbuatan Yau-ji, kalau dia menyingkir kamilah yang harus berusaha dengan mereka dan tiada sesuatu yang harus kita kuatirkan bisa membawa puteri kita pulang. Sebaliknya kalau mereka tidak mau memberi muka, terpaksalah berlaku nekad, biar kita labrak mereka saja, kita menjadi suami-isteri sudah puluhan tahun, maka kau pun harus dengar separo dari aturanku ini."
"Baik kita masing-masing mengalah separo. Tapi Yau-ji masih gadis perawan mana boleh kau suruh dia bergaul dengan kawanan pemberontak macam Su-tay-kim-kong itu ?"
"Siapa bilang aku hendak suruh dia ikut memberontak dengan pihak Ceng liong-pang ?"
"Lalu kau suruh Yau-ji kemana ?" Lu Tang-wan berkata pelan-pelan sambil tersenyum : "Pergi kerumah paman Lingnya itu."
Lu Giok-yau berjingkrak girang, serunya : "Kau suruh aku mencari ayah Ling Tiat-wi ?"
"Ya hubungan kita dengan keluarga Ling jauh lebih kental dari pada orang orang Ceng liong pang dan lagi kau pasti kurang bebas bila berada di Ceng liong pang."
Lu Hujin mengerut alis katanya, "Bukan kau sudah bilang kepadaku rumah keluarga Ling sudah terbakar? Malah Ling Hou dan Cin Hou siau juga orang orang dari keturunan dari pahlawan gagah Ling san meski tidak memberontak terang terangan mereka kan setali tiga uang sama orang orang Ceng liong pang?"
"Para tetangga dalam kampung mereka sangat baik asal Yau ji kesana dan tanyakan salah satu murid mereka tentu dengan gampang menemukan jejak mereka. Aku tahu mereka tidak jauh menyingkir ketempat lain." Sesaat lamanya Lu Hujin masih menepekur dan tidak bersuara. Maka Lu Tang wan berbicara lebih lanjut: "Kalau berdua bersama dengan paman Lingnya disana ia bisa mendapatkan suatu manfaat, ketahuilah keluarga Ling dan Cin menetap bersama dalam satu kampung, kepandaian silat Cin Hou siau masih lebih tinggi dari aku kalau terjadi sesuatu beliau masih kuasa melindunginya. Meski Ling thiat wi dan Hong Thian yang menuju ke kota raja cepat atau lambat toh mereka akan pulang juga. Yau ji bukankah kau ingin bertemu dengan Ling toakomu? Pergilah kerumahnya dan menetap disana beberapa waktu lamanya bagaimana menurut pendapatmu sendiri?"
Ternyata setelah Ling Hou ayah beranak pergi Lu Tang wan berpikir pikir panjang pendek kesimpulannya ia amat menyesal dan sungkan terhadap mereka. Bahwa sekarang dia suruh putrinya menyusul kerumah keluarga Ling maksudnya memang hendak menyempurnakan perjodohan putrinya dengan Hong thian lui, sekaligus ia hendak menjauhkan dengan keponakannya yaitu Khu Tay seng.
Bahwa dirinya disuruh pergi kerumah keluarga Ling bagi Giok yau justru diminta mintapun sulit terlaksana segera ia menunduk malu dan menjawab lirih: "Bukannya aku berkukuh kau harus pergi ke Ceng liong pang terserah kepada kehendak ayah!"
Lu Tang wan terbatuk batuk ujarnya: "Baik, kami putuskan demikian saja. Setelah ketemu dengan paman Ling dan Cin sampaikan salam dan minta maafku kepada mereka."
Lu Giok yau mengiakan sambil mengangguk lalu menambahkan: "Bu, segera aku berangkat!"
Meski tidak suka putrinya pergi kerumah keluarga Ling namun karena keponakan kesayangannya sudah terlibat perkara meski Lu Hujin hendak menentang juga tidak bisa apa apa maka iapun tidak menyinggung persoalan pernikahan puterinya, apa boleh buat ia melepas putrinya pergi dengan rasa berat.
Lu Giok yau menyamar menjadi seorang lelaki malam itu juga dia berangkat, terbayang olehnya bahwa dalam waktu tidak lama lagi ia bakal berkumpul sama Ling Thiat-wi, seketika tersimpul senyum manis pada wajahnya. Tak nyana dua hari kemudian ditengah jalan ia mengalami suatu peristiwa diluar dugaan.
Maklumlah sebagai putri pingitan yang belum pernah keluar pintu apa lagi menempuh perjalanan jauh. Sementara Lu Tang wan menyangka tiada orang yang bakal mengenal samarannya ini siapa nyana hari itu kebetulan ia baru saja beranjak keluar dari perbatasan karesidenan kampung halamannya ditengah jalanan justru ia bersua dengan seorang yang mengenal dirinya.
Orang ini adalah si laki laki jubah hitam yang pernah ditemuinya diatas gunung tempo hari waktu ia masih bersama dengan In tiong yan.
Lu Giok yau menempuh perjalanan melewati sebuah jalan gunung kecil disaat ia berlenggang itulah tiba tiba didengarnya sebuah tertawa dingin dan Jing bau khek itu tiba tiba menyusul didepannya katanya, "Anak muda yang ganteng sekali, o, kiranya kau nona Lu, he he aku kenal kau apakah kau masih teringat siapakah aku?"
Kontan Lu Giok yau melolos pedang dampratnya, "Apa kehendakmu?"
Sudah tentu Jing bau khek tidak pandang sebelah matanya katanya terbahak bahak: "Nona cilik kalau kau undang ayah kau untuk bantu melawan aku mungkin masih setanding, kau tidak akan mampu melawan aku. Tapi akupun tidak berniat menindas kau, aku hanya ingin menyerapi jejak seseorang, kalau kau suka bicara secara jujur aku tidak akan mempersulit dirimu dimana In tiong yan yang kemarin dulu bersama kau?''
Kaget dan dongkol pula hati Lu Giok yau dibuatnya tapi dasar wataknya lebih keras kukuh dari ayahnya segera ia menjawab dengan ketus: "Aku tidak tahu meski tahu juga tidak sudi beritahu kepada kau."
"Bagus kau tidak mau beritahu kepadaku terpaksa biar kuundang kau pergi ke Lou-keh-ceng saja." ternyata hari itu ia melarikan diri karena digertak oleh In tiong-yan, setelah ia bertemu dengan Liong-siang Hoatong barulah diketahui bahwa In-tiong yan sedang minggat tanpa pamit. Liong siang Hoatong sendiri ingin segera kembali ke Mongol maka ia minta bantuannya untuk menyirap jejak In tiong yan.
"Siapa sudi pergi bersama kau?" bentak Lu Giok-yau. "Sret" pedangnya lantas menebas kepergelangan orang yang diulurkan hendak menyengkeram lengannya.
"Memangnya kau belum tahu akan kelihayanku ya?" demikian jengek Jing bau-khek, dimana ia membalikkan pergelangan tangan, sebat sekali mencengkeram pergelangan Lu Giok yau yang memegang pedang, secara kekerasan ia hendak merampas senjata orang. Tak duga meski kepandaian Lu Giok-yau terpaut amat jauh tingkatannya, namun permainan pedangnya cukup lihay dan lincah ganas lagi jurus serangan ini justru merupakan satu jurus ilmu pedangnya yang paling dibanggakan. Begitu tiga jari Jing bau khek mencengkeram datang, sebat sekali Lu Giok yau memutar tajam pedangnya kebawah dan hampir saja berhasil memapas kutung jari-jarinya lekas Jing-bau-khek menarik tangan kedalam lengan bajunya, dengan lengan bajunya itu dia mengibas dan menggulung ujung pedang orang terus membentak, "Lepas pedang."
Tanpa kuasa pedang Lu Giok-yau benar-benar tertarik jauh dari cekalannya tapi semula Jing-bau-khek berniat dalam satu jurus dapat meringkusnya, toh usahanya gagal. Begitu senjatanya terlepas jatuh, dengan mengerutkan dada dan jumpalitan ditengah awan Lu Giok yau mencelat mundur satu tombak lebih kebelakang.
"Nona cilik," ejek Jing bau khek. "Memangnya kau bermain petak dengan aku! jangan harap kau bisa lolos."
Lu Giok-yau lari menuju kelereng bukit dan berputar-putar diantara batu-batu gunung yang berserakan dimana mana, dalam waktu dekat jelas Jing bau khek tidak akan mampu membekuk dia.
Tiba tiba dari jalan dibawah sana didengarnya derap kaki bertapal mendatangi semakin dekat, dari ujung jalan gunung sana tampak seorang gadis berpakaian serba hitam mendatangi menunggang seekor keledai. Melihat diatas lereng ada orang sedang berkelahi, bukan tidak segera menyingkir malah dia menghentikan tunggangannya dan melompat turun maju mendekati.
Sebagai kawakan kangouw melihat gadis ini bernyali begitu besar, diam diam bercekat hati Jing bau khek, pikirnya: "Dilihat dari dandanannya mungkinkah dia ini yang baru-baru ini sekaligus menundukkan kelima Pangcu dari sungai besar sepanjang sungai Huangho yang bergelar Sian moli?"
Disaat ia berpikir itulah, didengarnya gadis baju hitam itu membuka suara lantang: "Cici ini apakah bukan putri kesayangan Lu Tang wan Lu lo enghiong yang bernama Lu Giok-yau?"
Lu Giok yau melengak heran batinnya: "Belum pernah aku melihat orang ini, dari mana ia bisa tahu namaku. Tapi dari nada bicaranya kelihatannya amat mengindahkan terhadap kebesaran ayah, kiranya tidak mengandung maksud jelek." maka segera ia menjawab: "Benar memang akulah Lu Giok-yau."
"Bagus, kalau begitu biar kubantu kau melabrak bangsat tua ini." kedatangannya secepat kilat pertama kali bicara ia masih berada di bawah lereng belum lagi ia habis bicara tahu tahu bayangannya sudah berkelebat didepan Jin bau khek.
Melihat gerakan badan orang begitu sebat dan cepat Jing-bau-khek tidak memandang ringan musuhnya, lekas kaki kanannya melangkah setapak, sementara kepalan kiri dia jotoskan memapak kedatangan orang, langsung ia menyerang lebih dulu.
Sebetulnya mengandalkan kedudukan dan nama gengsinya didalam Bulim menghadapi seorang angkatan muda seharusnya dia memberi kesempatan kepada gadis baju hitam untuk menyerang lebih dulu, meski ia berusaha menyergap lawan dan mengambil inisiatif penyerangan paling tidak ia harus bersuara memperingati lawannya lebih dulu. Soalnya kedatangan gadis baju hitam ini teramat cepat, terpaksa ia harus bertindak cepat tanpa sempat memberi aba peringatan lebih dulu. Dari sini dapatlah kita bayangkan betapa jeri dan takut hatinya menghadapi gadis baju hitam ini.
Menunggu kepalan orang sudah dekat kira kira satu dim didepan mukanya barulah gadis baju hitam dengan tangkas dan lemah gemulai menggerakkan pinggangnya, seraya mengulapkan punggung telapak tangannya. Maka kedua belah pihak jadi saling serempet lewat begitu saja, kepalan masing-masing tidak saling sentuh sedikitpun juga. Jing-bau-khek mengeluarkan seruan tertahan, agaknya ia amat heran dan kaget.
Ternyata kepandaian ilmu pukulan, ilmu pedang, ilmu golok ataupun semua ilmu yang dia yakini merupakan ilmu tunggal yang tiada keduanya dari lain cabang ilmu dari golongan sesat yang cukup keji dan ganas beracun lagi jauh berlainan dengan ilmu kepandaian aliran ini. Kelima jarinya yang terkepal itu kekuatan jari jarinya tidak merata diantara jari tengah, jari telunjuk dan jari manisnya itu masing-masing terselip dan menonjol keluar tiga lembar senjata rahasia yang berbentuk segi tiga, tiga biji senjata rahasia yang berbentuk segitiga ini,dapat digunakan untuk memukul Hiat to lawan. Ibu jarinya terjulur keluar khusus untuk mengerahkan tekanan tenaga luar biasa dari ilmu Toa jiu in dari ajaran Mi ciong dari Tibet. Toa Jiu in dari Mi ciong mengutamakan serangan tenaga dalam dari tekanan ibu jarinya itu, dapat melukai urat nadi dan Hiat-to mematikan di badan lawan meski ia hanya menggunakan sebuah ibu jarinya sama saja dapat membawa akibat yang fatal bagi lawannya.
Ilmu pukulan beracun dan keji itu biasanya jarang ia gunakan kecuali menghadapi lawan tangguh, sudah sepuluh tahun dia tidak menggunakan jurusnya ini, soalnya ia sudah jeri terhadap gadis baju hitam ini maka begitu bentrok lantas dia keluarkan ilmu simpanannya itu. Sangkanya dalam satu gebrakan secara tak terduga pasti ia berhasil mengerjain lawannya, siapa tahu dengan gampang saja gadis baju hitam ternyata dapat memunahkan serangannya.
Dengan punggung telapak tangan gadis baju hitam menyerang musuh, ilmu permainannya itu dinamakan Toa-su-kun didalam permainan kerasnya mengandung daya lunak yang amat besar prabawanya, ilmu macam ini berasal dari India, dalam wilayah Tionggoan belum pernah ada orang yang mampu menggunakan ilmu ini, celakanya Toa su kun ini justru lawan mematikan bagi ilmu pukulan menutuk Hiat to dari seperguruannya.
Waktu Jing bau khek masih muda dan belajar silat dengan gurunya, pernah dia melihat gurunya mendemontrasikan Toa su kun ini. Menurut omongan gurunya, beliaupun hanya mengenal kulitnya saja tentang ilmu ini, belum pernah mempelajarinya secara mendalam, maka permainannya itu boleh dikata mencontoh saja, supaya para muridnya tahu kira kira sampai di mana tingkat kelihayan dari ilmu pukulan ini kelak bila kebentur bisa berjaga jaga.
Jing bau khek tahun ini berusia lima puluh tujuh, diwaktu gurunya mempertontonkan Toa su kun dulu ia baru berusia tujuh belas, sampai sekarang sudah empat puluh tahun. Selama empat puluh tahun ini, belum pernah ketemu seorang yang bisa memainkan Toa-su-kun, sungguh tidak nyana justru hari ini ia bentrok dengan seorang gadis remaja yang berumur dua puluh tahun mahir gunakan ilmu Toa su kun.
Jing bau khek menginsyafi bahwa Toa-su kun adalah lawan mematikan dari ilmu silat ajaran perguruannya, maka mengandal latihan lwekangnya yang lebih tangguh ia menyerang dulu menempatkan posisi yang menguntungkan, pikirnya: "Setelah tenaganya terkuras menjadi lemas, barulah kugunakan Kim na jiu-hoat meringkusnya. Kalau aku hanya membela diri tanpa balas menyerang dalam waktu dekat tentu dia tidak akan bisa menemukan titik kelemahanku."
Gadis baju hitam itu mentertawakannya, "Kenapa baru gebrak lantas ketakutan?" dalam berkata-kata itu selincah kupu kupu yang menari diantara rumpun kembang bagai kecapung menutul permukaan air, baru saja ia mengucapkan sepatah kata tahu-tahu sudah berpindah delapan tempat menyerang dua puluh empat jurus.
Karena tahu pukulan lawan merupakan lawan mematikan dari ilmu silatnya, takut didahului dan disergap titik kelemahannya terpaksa Jing bau khek harus mengerahkan seluruh kekuatannya. Dia tidak berani ikut lompat maju menyerang, meski ia bisa menutup diri dengan rapat, namun tenaganya yang terkuras ternyata jauh lebih besar dari gadis baju hitam. Berarti pula bahwa strategi perkelahiannya ternyata mengalami timbal balik dari rencana semula.
Disaat pertempuran mencapai puncaknya tangan Jing bau-khek seolah-olah seperti diganduli barang seberat ratusan kati, setiap jurus mempermainkannya kelihatan amat lamban kelihatan payahnya ia mengerahkan tenaga. Sampai Lu Giok yau yang berada satu tombak diluar kalangan pun merasa angin kencang dan kuat menyampok mukanya, hendak ikut membantu juga tidak mungkin bisa melangkah saja.
Sebaliknya sikap gadis berbaju hitam tetap tenang dan wajar, seperti kupu-kupu yang menari diatas kuntum-kuntum bunga, sambil berlincahan ia memutar mengelilingi lawan serta menyergap dengan berbagai serangan lihay. Tangannya yang halus memiliki jari-jari yang runcing dan manis dengan cakar kukunya yang panjang-panjang terawat baik sekali, setiap kali jari jarinya berkembang laksana duri-duri kembang yang selalu mengarah hiat-to mematikan dibadan lawan dibarengi dengan gerak gerik yang lemah gemulai yang mempesonakan lagi sungguh enak dipandang, lama kelamaan Lu Giok yau sampai mendelong dan terbelalak dibuatnya.
Selintas pandang memang sikap gadis baju hitam kelihatan acuh tak acuh, secara kenyataan sebetulnya dia sendiripun sudah mengerahkan segala kemampuannya, hatinya pun kaget dan sedang menerawang, "Kalau sebelumnya aku tidak mengetahui asal usulnya serta mempelajari ilmu pukulan itu mungkin aku bukan menjadi tandingannya." walaupun ia berada diatas angin namun untuk menang dia sendiri tidaklah yakin.
Dalam pada itu Jing bau-khek sudah basah kuyup oleh keringatnya, sorot matanya memancarkan rasa gusar yang meluap luap. Lu Giok-yau yang menonton diluar gelanggang menjadi jeri melihat tampang itu.
Mendadak gadis baju hitam itu tertawa terkikik serunya: "Kau suheng Lou Jin cin yang bernama Sat Hiu jong bukan! Kabarnya kau menyembunyikan diri di gunung, sudah berhasil meyakinkan Tok si ciang kenapa tidak kau gunakan ilmu simpanannya?"
Haruslah diketahui bahwa namanya saja Sat Hiu jong adalah suhengnya Lou Jin cin adalah kepandaian silat Lou Jin cin semua ia pelajari dari suhengnya Sat Hiu-jong yang mewakili gurunya. Maka tiga ilmu tunggal perguruannya yang amat hebat Lou Jin cin hanya dapat mempelajari Kim na jiu saja.
Lu Giok yau amat heran mendengar percakapan ini, adalah Jing-bau khek sendiri bukan kepalang kejutnya mendengar kata-kata gadis baju hitam, ternyata sudah dua puluh tahun dia mengasingkan diri dan menyembunyikan nama dan asal usul, baru beberapa bulan yang lalu ia muncul kembali didunia kangouw. Pikirnya, "Aneh, usianya masih begini muda, dari mana ia bisa tahu nama asliku? Tidak soal bisa tahu namaku, malah dia tahu aku sudah berhasil meyakinkan Tok sa ciang." Bagi tokoh silat tingkat atas yang paling ditakuti adalah bahwa ilmu tunggal perguruannya yang diyakinkan diketahui seluk beluknya oleh lawan, mau tidak mau timbul rasa curiga Jing bau khek. "Dia membongkar ilmu rahasiaku yang beracun, dan menantang supaya digunakan, mungkinkah dia sudah punya pegangan dan cara untuk mematahkan Tok sa-ciangku?"
Ternyata Tok sa ciang yang diyakinkan Jing bau khek adalah ilmu sesat beracun yang dia turunkan kepada Cing Liong hwi, setiap pemakai ilmu pukulan beracun ini, adalah untung kalau Iwekang sendiri belum mencapai tingkat tinggi, bagi yang sudah lihay keyakinannya, bila tidak kuasa melukai musuh, hawa racun bisa membalik dan menerjang jantung dan melukai badan sendiri akibatnya tentu amat fatal. Bahwa gadis baju hitam itu bisa memecahkan ilmu pukulan tunggal perguruannya, siapa tahu jika orang pun bisa memecahkan ilmu telapak tangannya? Maka setelah seluk beluk sendiri dibongkar oleh lawan Jing-bau-khek menjadi jeri dan tak berani menggunakan ilmu itu.
Mendadak Jing bau khek melompat keluar kalangan, entah apa tahu tahu tangannya telah mencekal seutas cambuk lemas, katanya: "Bertanding pukulan tiada artinya lagi, marilah kita sudahi pertandingan ini dengan menggunakan senjata!" cambuk lemasnya itu ternyata biasa ia gunakan sebagai ikat pinggang.
Gadis baju hitam tertawa, katanya, "Terserah apapun yang kau kehendaki, pasti kuiringi permintaanmu." Ia melolos sebuah gelang tangan, begitu kedua tangannya saling tarik kedua arah, gelang membundar itu tahu tahu sudah mulur menjadi seutas cambuk perak yang panjang dan kecil, gelang menjadi cambuk perak senjata ini benar lebih aneh dari cambuk lawan yang peranti untuk ikat pinggang. Jing bau khek yang banyak pengalaman tak urung mengawasi mendelong, pikirnya ; "Perempuan siluman ini memang serba aneh."
"Sambut seranganku !" gadis baju hitam membentak, tangan sedikit menggentak cambuk peraknya yang lembut itu tanpa suara menyabet kearah lawan, berkerut alis Jing-bau-khek, lekas iapun ayunkan cambuk lemasnya dari bawah memapak keatas tujuannya hendak menggubat cambuk perak orang.
Gadis baju hitam maklum bahwa lwe-kangnya setingkat lebih rendah, cambuk lemas lawanpun bobotnya lebih berat dan kasar kalau kedua senjata saling bentrok dan gubat menjadi saling tarik, tentu pihak sendiri yang mendapat rugi, lekas pergelangan tangannya sedikit berputar dan menyendal cambuk lembutnya bagai seekor ular sakti menerjang miring, menghindar dan merangsak lekas Jing-bau-khek menggunakan Ih Sing-hoat-wi mencari posisi lain seraya memainkan senjata cambuk lemasnya yang berbunyi menderu kencang, cambuk kasar yang lemas itu mendadak menjadi kaku seperti sebuah tombak menusuk ke arah dadanya, bahwa cambuk lemas dapat dibuat kaku seperti tombak itu menandakan bahwa lwekangnya sudah cukup hebat dan tinggi.
Panjang cambuk kedua pihak ada setombak lebih, cambuk perak gadis baju hitam lebih lembut dan panjang, masing-masing menyerang kepada lawan dengan serangan keji meski beberapa jurus sudah berselang, senjata kedua pihak masih belum pernah menggubat. Tapi dalam beberapa jurus serang menyerang itu, kedua pihak sama menghadapi serangan- serangan berbahaya, sedikit lena saja darah pasti akan membasahi bumi, sungguh cepat dan menggiriskan.
Cambuk lemas milik Jing-bau-khek itu dengan jarak tertentu ada beberapa bundelan yang menonjol keluar menyerupai tulang-tulang jari manusia permainan ilmunya juga berlainan dari ilmu cambuk umumnya, bundelan yang menonjol keluar itu bisa digunakan untuk memukul Hiat-to orang. Tapi cambuk perak gadis baju hitam itu lebih aneh dan menakjubkan lagi, begitu lembut sebesar ujung kaki, pergi datang tidak membawa jejak dan tak berbekas lagi membuat orang sulit untuk berjaga-jaga dari segala kemungkinan.
Jing-bau-khek kejut dan heran pula dibuatnya, pikirnya, "Kabarnya waktu Sian-moli menundukkan para pangcu dari lima sindikat besar dari sungai Huangho, menggunakan Ngo ho-toan-ban-to-hoat, tak nyana permainan cambuknya ternyata begini mahir juga, aku sendiripun belum pernah lihat dan dengar entah dari aliran mana. Mungkinkah mereka terdiri dari dua orang yang berlainan. Ai dua puluh tahun tidak muncul di kangouw tak nyana generasi muda semakin banyak dengan bekal kepandaian yang amat tinggi pula."
Memang diluar tahunya gadis baju hitam ini memang murid dari maha guru silat yang maha tinggi dan agung, delapan belas macam senjata pernah dipelajari ilmunya, terutama permainan cambuk dan golok merupakan keahliannya. Meski Jing bau khek membekal ilmu cambuk yang lihay, betapa pun masih kalah seurat dibanding ilmu cambuknya itu. Bahwa Jing-bau khek tidak berani menggunakan Tok-sa ciangnya malah mengajak adu senjata, ini berarti membuat yang panjang menggunakan yang pendek.
Sekejap saja pertempuran yang sengit sudah mencapai ratusan jurus, jurus aneh dan keji dari permainan cambuk lembut si gadis baju hitam terus berdatangan dengan gaya yang indah tak berkeputusan. Meski cambuk Jing bau khek dapat memukul Hiat-to, apa pula gunanya walau toh dia sendiri tak kuasa menyentuh ujung baju orang. Ditengah pertempuran seru itulah, sekonyong-konyong terdengar gadis baju hitam berseru : "Kena !" Jing-bau khek melihat sinar perak berkelebat, tahu bahwa sulit untuk meluputkan diri iapun berlaku nekad ikut membentak : "Lepaskan cambukmu !" cahaya seperti pecah berderai menangkap bahaya, menggunakan kecepatan gerak tangan cakar tangannya terjulur mencengkeram cambuk perak orang.
Tak tertahan Lu Giok yau yang menonton dengan asyik dan melongo itu tiba tiba menjerit kaget sambil menutup mulut sendiri.
Belum lenyap suaranya, tiba-tiba dilihatnya cambuk panjang bagai seekor naga hidup terbang ketengah udara, tapi terang bukan cambuk perak sigadis baju hitam.
Kiranya meski Jing bau-khek berhasil menangkap cambuk peraknya, tapi batang cambuk itu terlalu kecil dan lembut, sedikit gadis baju hitam menarik dan menyendal, belum lagi mencengkeram tangannya mengekang, telapak tangannya sudah terasa panas dan sakit, tahu-tahu cambuk perak sudah membrosot lepas dari sela jari jarinya malah ujungnya seperti kepala ular mematuk kepergelangan tangannya yang memegang cambuk, sekali lagi gadis baju hitam memperlihatkan kemahirannya, sebelah tangan kirinya menggantol dan menarik, maka cambuk lemas orang kena ia rebut dan dilempar ketengah udara.
Gadis baju hitam terkikik-kikik, serunya, "Kau masih punya senjata apa lagi, apapun yang kau gunakan akan kuikuti, pasti kulayani sesuka hatimu."
Beruntun mengalami kekalahan, mana Jing-bau-khek berani melanjutkan pertempuran, tanpa hiraukan cambuk lemasnya lagi, segera ia putar badan terus ngacir sipat kuping.
Kembali gadis baju hitam melinting cambuk peraknya menjadi gelang tangan dibelitkan di lengan atasnya, katanya tertawa, "Nona Lu, bikin kau kaget saja. Sekarang kita bisa bicara lebih leluasa."
"Terima kasih akan pertolongan Lihiap entah dari mana Lihiap bisa tahu namaku ?" demikian ujar Lu Giok-yau. "Belum lagi aku mohon tanya nama besarmu ?"
"Kau kan putri tunggal Ciatkang Tay-hiap Lu Tang-wan yang termasyur itu, mana aku tidak kenal kau ?" lalu ia menambahkan. "Jangan kau panggil aku Lihiap apa segala, kedengarannya menusuk kuping. Tahukah kau, orang lain memaki aku sebagai Siau-moli (iblis perempuan kecil). Aku she Nyo, usiaku mungkin rada tua sedikit, baiklah kau padaku panggil Nyo cici saja. Aku ingin tanya seseorang kepada kau."
"Siapa yang hendak Nyo cici ketahui?" tanya Lu Giok-yau.
"San-tian-jiu Geng Tian yang datang dari Kanglam, kabarnya dia pernah mertamu kerumahmu."
"Benar, tapi itu terjadi kira-kira satu bulan yang lalu."
"Kabarnya akhirnya kau masih pernah bertemu sama dia pula."
"Memang, ucapanku toh belum selesai tadi," demikian ujar Lu Giok-yau geli, "Beberapa hari yang lalu aku pernah melihatnya lagi, cuma kali ini dia tidak tinggal dirumahku."
"Kemana dia, apa kau tahu ?"
"Dia menuju ke Ki-lian-san bersama Su-tay-kim-kong dari Ceng-liong-pang."
"Haah, jadi dia sudah bertemu dengan Su-tay-kim-kong. Apa kau baru kenal pada Su-tay-kim-kong ?"
"Yaa, disaat mereka datang pula bersama Geng toako itulah baru aku sempat berkenalan dengan mereka."
"Apa kau tahu sigolok cepat Lo Hou-wi orang ketiga dari Su-tay-kim-kong ?"
"Tentu tahu, golok cepatnya memang bagus sekali. Kau sahabatnya ?"
Gadis baju hitam tidak mengakui dan tidak menyangkal, tanyanya malah : "Adakah Lo Hou-wi pernah membicarakan mengenai seorang perempuan she Nyo dengan kau ?"
"Tidak. Dalam waktu singkat kenal lantas berpisah secara tergesa-gesa, tiada kesempatan banyak bicara lagi."
Agaknya gadis baju hitam rada kecewa katanya, "Baiklah terpaksa aku harus cepat menyusul ke Ki-lian-san, selamat bertemu lain kesempatan." habis berpisah langsung ia cemplak keledainya, tenaga kaki keledainya itu ternyata tidak kalah kuat dari tenaga kuda yang tinggi kekar dalam sekejap saja, bayangannya sudah kelihatannya kecil.
Mengantar bayangan orang yang semakin jauh, terpikir Lu Giok-yau : "Tindak tanduk Nyo cici ini amat aneh, tapi ilmu silatnya memang benar-benar hebat, mungkin Ling-toako dan Geng-toako masih sedikit dibawah tingkatannya."
Seorang diri gadis baju hitam keprak keledainya berlari kencang kedepan, hatinya malah gundah dan tidak tenteram, lapat-lapat dia mulai mengenang suatu kejadian pada delapan tahun yang lalu.
O^~dwkz^hendra~^O Jilid 21 Waktu ia berusia tiga tahun, ayahnya meninggal, sampai ia menanjak usia tiga belas ibunyapun terserang suatu penyakit berat. Meski usianya masih kecil, namun otaknya encer dan pandai pula, tidak kenal siang atau malam dengan tekun dan rajin ia merawat ibunya.
Suatu malam kira-kira menjelang kentongan ketiga, tiba-tiba ibunya siuman dari pingsannya, semangatnya jauh lebih baik dari biasanya. Di luar tahunya bahwa hal itu sudah merupakan pertanda ajal ibunya semakin dekat, hatinya malah senang dan katanya : "Bu, biar obat kuseduh lagi, menurut pesan Ong-toako racikan obat ini harus digodok berturut-turut tiga kali. Agaknya obatnya cocok dengan penyakitmu."
"Tidak, tak usah minum obat lagi. Jangan kau menyingkir aku hendak cerita kepadamu !"
Hatinya yang masih kecil diam-diam merasa heran, sungguh ia tidak paham kenapa baru saja penyakit ibunya rada baikan lantas timbul hasratnya untuk bercerita menyuruh dirinya mendengarkan. Maka ia membujuk supaya ceritanya ditunda setelah penyakit ibunya sembuh betul-betul. Meski pun sejak kecil sebetulnya dia suka mendengar dongeng.
Dengan tersenyum, ibunya mengelus rambutnya katanya : "Ceng-ji, kau sudah tahu urusan. Tapi cerita yang hendak kukisahkan ini ada menyangkut keluarga kita.. Tahukah kau siapa ayahmu sebenarnya ?"
Sejak ia usia tiga tahun ayahnya sudah meninggal, ia hanya tahu bahwa ayahnya seorang pendekar, kini melihat ibunya bertanya hal itu dengan mimik sungguh-sungguh, sudah tentu hati kecilnya amat ingin tahu, maka iapun tidak menghalangi maksud ibunya malah tanyanya : "Siapa ayah sebenarnya ?"
"Ayahmu adalah seorang pahlawan penentang penjajah Kim." demikian ujar ibunya.
Sejak kecil ia sudah dididik secara kekeluargaan, hatinya nan kecil sudah tahu membenci bangsa Kim yang menyerbu dan menjajah negeri sendiri, mendengar sang ayah adalah seorang pahlawan menentang penjajah, hatinya menjadi girang dan berteriak, katanya : "Bu, kenapa tidak sejak dulu kau beritahukan kepadaku, bukankah hal itu cukup membanggakan keluarga kita ?"
Ibunya tertawa lebar, ujarnya : "Sebetulnya setelah kau berusia delapan belas tahun baru akan kuberitahukan kepada kau sekarang kuberitahukan padamu, ini sudah terlalu pagi. Maka jangan sekali-kali kau bicarakan hal ini dengan orang lain."
"Bu, anggapanmu aku bocah ingusan yang tidak tahu urusan ? Aku tahu bangsat Kim menjajah negeri kita, kalau kukatakan ayah sebagai pahlawan penentang mereka, tentu aku bisa ditangkap dan celakalah aku," demikian jawabnya.
"Bagus kau tahu diri, sungguh membuat aku senang. Sekarang hendak kuberitahu siapakah Sucoumu itu ?"
Sekilas ia melengak, lalu tanyanya, "Bukankah ilmu silat kami ajaran leluhur ? Pernah kudengar kau berkata bahwa ayah adalah ahli waris tunggal dari Ngo-ho-toan-bun-to jadi Sucou adalah kakek bukan ?"
"Benar, ajaran golok itu adalah warisan leluhur. Tapi ayahmu punya seorang guru lainnya, kepandaian silat yang dipelajari dari gurunya lebih hebat dari ajaran leluhurnya sendiri, sayang usiamu masih kecil, aku hanya bisa mengajarmu satu babak ilmu golok itu, kepandaian lain yang diyakinkan ayahmu, aku paham hanya separonya, sekarang tidak sempat kuajarkan kepadamu pula."
"Siapakah Sucou itu, beliaupun seorang penentang penjajahan Kim?"
"Betul, tigapuluh tahun yang lalu Su-couwmu itu guru silat kenamaan di Siok-ciu yang bernama Cin Tiong. Beliau wafat ditangan jago penjajah. Kisah yang hendak kututurkan kepadamu adalah cerita mengenai keluarga Sucouwmu itu."
"Bu, mari minum dulu secangkir teh panas ini."
Setelah minum teh panas ibunya melanjutkan kisahnya : "Sucoumu Cin Tiong membuka Bu-koan (perguruan silat) dikampung halamannya, dia sudah menerima sepuluh murid didikan. Tapi yang betul-betul mendapat ajaran aslinya hanya dua orang saja. Salah satu adalah muridnya terbesar bernama Le Keh-cun, seorang yang lain adalah ayahmu yaitu Nyo Yan-sing."
"Apakah Sucou tidak mempunyai putra atau putri ?"
"Hanya punya seorang putri, bernama Cin Liong-giok. Sudah tentu kepandaian silat Sukomu ini jauh lebih tinggi, dia adalah lihiap yang pernah menggetarkan selatan dan utara sungai besar pada duapuluh tahun yang lalu. Sekarang sebagai isteri seorang panglima perang."
"O, sekarang jadi nyonya penggede ?"
"Suaminya adalah panglima perang kerajaan Song, bukan penjabat tinggi dari pihak penjajah. Kepandaiannya jauh lebih tinggi dari isterinya, merupakan seorang tokoh panglima perang melawan penjajah yang paling tenar. Beliaupun seorang tokoh kosen yang sangat disegani oleh kaum persilatan, dia yang diagungkan sebagi Kang-lam Tayhiap Geng Cian."
"Dia adalah keponakan Sucoumu, setelah mengalami berbagai kesukaran dan derita barulah kedua saudara misan itu berhasil mengikat perjodohan, sayang aku tiada tempo mengisahkan cerita mereka yang tersendiri. Hanya secara ringkas aku bisa memberitahu kau. Dua puluh tahun yang lalu dialah yang memimpin sepasukan tentara yang dinamakan pasukan harimau terbang berhasil memukul mundur dan melabrak pasukan negeri Kim kocar-kacir akhirnya menjadi panglima tertinggi digaris depan yang melawan serbuan pasukan penjajah. Merupakan pasukan yang paling kuat dan pandai berperang dari kerajaan Song." (Kisah Geng Cian bacalah Pendekar latah).
Begitu pesona dia mendengar kisah keperwiraan dari Kanglam Tayhiap ini, maka ia mengajukan pertanyaan: "Bu, kau sengaja mengisahkan keluarga Sucou adakah mereka hubungan dengan kami?"
Tersulam senyum manis pada wajah ibunya, katanya sambil menggenggam tangan, "Benar kau memang pintar, sekali tebak lantas kena. Sekarang aku lanjutkan pada ceritaku yang kedua cerita ini bukan saja ada hubungan dengan keluarga kita terutama ada sangkut pautnya dengan kau."
"Aduh cerita apa itu. Kenapa ada sangkut pautnya dengan aku?"
"Itulah kisah yang menyangkut Geng Ciau suami istri, ayahmu pernah menjadi bawahan atau pembantunya yang paling dekat, sebentrok pertama dengan pasukan musuh dia orang terluka, maka tidak ikut menyerang keselatan mengikut pasukan besar, kini pasukan harimau terbang itu diselatan sungai."
"Tatkala itu tentu aku belum lahir bukan?"
"Sudah tentu belum lahir. Malah itu waktu ayahmu belum lagi menikah denganku."
"Lalu kenapa dikatakan cerita mereka ada hubungannya erat dengan aku?"
Ibunya tersenyum geli ujarnya, "Kau dengar saja kelanjutan cerita ini, nanti kau tentu akan paham sendiri."
"Geng hujin adalah saudara seperguruan dengan ayahmu, sejak lama memang sudah berkenalan pula dengan aku, pernah suatu ketika menetap dirumah kita."
"Bukankah tadi kau katakan bahwa Geng Tayhiap sudah menyeberang keselatan?"
"Akhirnya dia pernah menyelundup pulang sekali. Waktu itulah ia menikah dengan Piaumoaynya. Karena waktu itu masih belum aman, peperangan saling terjadi, isteri-nya sudah keburu bunting sedang ia harus buru-buru pulang keselatan menunaikan tugas penting, terpaksa dia meninggalkan isterinya dirumah kami, akhirnya dia melahirkan seorang putra, dinamakan Geng Tian. Cengji kau harus selalu mengingat nama ini namanya adalah Geng Tian, tian yang berarti kilat."
"Geng Tian," dia mengulangi nama ini lalu katanya pula tertawa: "Nama yang begini gampang memangnya kau takut aku bakal melupakannya? Syair ajaranmu toh ratusan bait yang berhasil kuhapaIkan. Tapi kenapa pula kau haruskan mengingat ingat nama ini?"
"Bocah itu berusia empat tahun lebih tua dari kau, kini kira-kira sudah tujuh belas. Kabarnya tahun yang lalu sudah berhasil kembali kesamping ayah ibunya. Ai entah bisakah kelak dia kembali untuk bertemu dengan kau?'' kata ibunya tidak langsung menjawab pertanyaannya, malah mendadak menarik napas rawan.
"BiIa bertemu atau tidak kenapa harus dirisaukan. Asal aku tahu ada orang yang seperti kau katakan sudah cukup!"
"Tidak, kau harus bisa menemukan dia."
"Kenapa?" walau pintar betapapun dia masih seorang gadis kecil, baru ia tiga belasan masih belum bisa menangkap arti kata kata ibunya, relung hatinya yang kecil itu penuh diliputi kecurigaan.
"Dengarlah penjelasanku. Tanpa terasa Geng Hujin dan putranya tiga tahun menetap dirumah kami. Dalam tiga tahun itu kebetulan aku sedang bunting kau, entah bagaimana pihak musuh berhasil menyelidiki tempat tinggal kami, suatu malam datanglah tujuh delapan orang penjahat dari musuh, mereka adalah rata rata jago-jago lihay yang kuat, suatu pertempuran sengit tak dapat dihindari lagi, untunglah Geng Tian tidak sampai terebut oleh musuh namun ayahmu terluka parah, aku sendiripun sedikit terluka. Karena luka-luka beratnya itulah yang tidak bisa disembuhkan lagi, tidak lama setelah kau dilahirkan beliau lantas wafat. Selanjutnya badanku semakin lemah dan sering kejangkitan penyakit mungkin pula karena luka luka waktu itu penyebabnya."
"O, jadi begitu, bu, apakah kau rada membenci bocah itu? kalau bukan karena dia kukira ayah tidak akan selekas itu meninggal dunia."
"Anak bodoh mana bisa aku menyalahkan bocah itu? ayahnya berjuang demi nusa dan bangsa, meninggalkan istri dan anaknya bahwa kami bisa sedikit membantu kesulitan mereka seumpama pada waktu itu ayah dan ibumu sampai ajal di medan laga juga setimpal kularang kau mengucapkan kata-kata seperti itu lagi."
"Bu, akupun berpikir demikian. Sedikit pun aku tak pernah membenci dia, aku cuma bertanya sambil lalu saja."
"Baik kau bisa berpikir sehaluan seperti ibumu, sungguh aku girang," Ibunya minta minum teh secangkir lagi, lalu melanjutkan ceritanya. "Geng Hujin harus pulang ke Kanglam untuk membantu perjuangan suaminya, tidak bisa dia menempuh bahaya ini sambil membawa anaknya. Jejak kami sudah konangan lagi, kalau anaknya ditinggalkan di rumah kami juga kurang aman. Akhirnya Geng Hujin teringat akan seorang familinya yang miskin dan sedikitpun tidak pandai main silat putranya itu memang cepat dan baik kabarnya sampai tahun yang lalu, bocah itu masih menetap bersama guru sekolah kampungan itu, untung jejaknya tidak sampai konangan musuh. Tapi sejak dia umur tiga tahun dan berpisah sampai sekarang aku tidak pernah berjumpa lagi. Nah usianya lebih besar empat tahun dari kau, mungkin sekarang dia sudah dewasa, menjadi seorang pemuda yang gagah dan kekar. Mungkin meski dia berada didepanku tidak akan mengenalnya lagi."
"Bu, kau amat kangen kepadanya?"
"Sudah tentu, apalagi demi kau, masih aku tidak merisaukannya?"
"Kenapa? Waktu dia pergi, kan aku belum lagi lahir."
Teka teki ini akhirnya terjawab juga, kata ibunya lebih lanjut dengan kalem: "Sebab di waktu kau masih dalam kandunganku, aku sudah menjodohkan kau kepadanya."
Gadis kecil berusia tiga belas tahun meski belum mekar dan akil balik tapi toh tahu rasa malu juga. Cepat ia menunduk dengan muka merah jengah, sementara hatinya diam diam bersorak senang. Ayahnya adalah Panglima perang melawan penjajah yang amat termasyur agaknya diapun seorang gagah yang berwibawa.
Ibunya tersenyum pula katanya pula: "Kau mendapat seorang suami baik, ibu boleh merasa tenteram dan syukur. Cuma mungkin bocah itu sendiri masih belum tahu bahwa dia sudah punya calon seorang istri."
"Mungkin kau ingin mengetahui duduk persoalannya?" demikian ibunya menambahkan; "Beginilah kejadiannya. Setelah berhasil memukul mundur Geng Hujin tahu bahwa aku sedang mengandung, maka lantas bicara dengan aku, "Tidak lama lagi aku harus pulang keselatan ada sebuah keinginanku yang perlu kubicarakan dengan kau."
"Sudah tentu, sekaligus aku melulusi bantu melaksanakan keinginan hatinya itu. Maka dia berkata lebih lanjut, "Hubungan kita sebagai saudara sekandung, kami ibu beranak pun menerima budi pertolonganmu, semoga hubungan kekeluargaan kami bisa terikat lebih akrab dan dekat." kukatakan anak dalam kandunganku belum lagi diketahui laki laki atau perempuan. Dia berkata: "Kalau laki-laki biar mereka terikat sebagai saudara angkat, kalau perempuan biarlah kelak mereka menjadi suami istri." Begitulah akhirnya kami menentukan hari depanmu."
"Waktu itu aku sudah berjanji padanya, setelah anakku lahir, aku akan berdaya mencari orang untuk mencari kabar kepadanya. Tak disangka setelah kau lahir tidak lama kemudian penyakit ayahmu kambuh, selalu rebah diatas pembaringan, kemana pula aku harus mencari seseorang yang dapat dipercaya untuk mengerjakan janjiku itu ? Waktu kau berusia tiga tahun ayahmu meninggal, disusul peperangan antara Mongol dengan negeri Kim disusul negeri Kim berperang pula dengan kerajaan Song. Untuk menghindari kejaran para cakar alap-alap, terpaksa kita sembunyi diatas gunung, situasi lebih tidak memungkinkan kami mencari hubungan dengan mereka."
"Tiga bulan yang lalu aku pernah turun gunung membeli beras kebetulan bertemu dengan seorang murid Kaypang kuketahui Li-supekmu berada di Kim-ki-nio, setelah aku mangkat boleh kau pergi ke Kim-ki-nio mohon perlindungan supekmu, setelah kau dewasa baru pergi ke Kanglam untuk mencari Geng Cian."
"Bu, kau sendiri hendak kemana ?"
"Anak bodoh, kemana ibu bisa pergi, sudah tentu pulang kealam baka. Nak, kau harus menjaga dirimu baik-baik, jangan kau terlalu bersedih, setiap manusia pasti akan mati, mana ibu bisa menemanimu seumur hidupmu ? Semoga kau bisa selekasnya bertemu dengan Geng Tian, setelah masa depanmu mendapat saudara, barulah ibu merasa lega."
Ternyata setelah ibunya menjelaskan hal ikhwal itu semua malam itu juga lantas meninggal dunia, sesuai pesan ibunya meski usianya masih kecil, dia menggantikan pakaian laki-laki menyamar sebagai bocah minta-minta, sepanjang jalan menahan lapar dan kedinginan, kalau terpaksa menjadi pencuri, kalau tiada yang bisa dicuri terpaksa menjadi pengemis. Begitulah selama setengah tahun dia mengalami kehidupan minta-minta, baru akhirnya sampai di kim-ki-nio, dan bertemu dengan Supeknya Li Keh-cun.
Cecu dari Kim-ki nio adalah lihiap Liu Jing-yau yang digelari Hong-lay-mo-li oleh kaum persilatan, namanya amat tenar dan disegani kaum persilatan. Li Keh-cun adalah salah satu Thaubak dibawah pimpinannya. Hong-lay-mo-li amat menyukai perempuan kecil itu tapi karena nona cilik tidak elok dipandang orang berada didalam markas, maka dia serahkan kepada seorang teman baik suaminya yaitu Sau-go-kan-kun Hoa Kok-han yang bergelar Bu-lim-thian-kiau untuk dijadikan murid, supaya Tan Ih-tiong suami istri menerimanya sebagai anak angkat.
Julukan Tan Ih-tiong adalah Bu-lim-thian-kiau (Bandit budiman dunia persilatan), terhadap ilmu silat tiada yang tidak dipahaminya setelah usianya menanjak dewasa sering pula jalan-jalan ke Kim-ki-nio dimana sering berkumpul orang-orang gagah dari berbagai penjuru, maka walaupun usianya masih muda namun dia sudah paham menggunakan delapan belas macam senjata.
Kenangan lamanya mendadak tergugah oleh derap kaki kuda yang berlari kencang, ternyata dua orang serdadu membedal kuda tunggangannya sambil dilecuti berulang-ulang, dia baru turun gunung dan belum tiba dijalan raya, agaknya kedua orang itu ada membawa tugas penting untuk mengantar berita maka tiada kesempatan mereka untuk memperdulikan dirinya.
Gadis baju hitam melarikan keledainya seenaknya dijalan raya, kembali ia terbayang waktu gurunya menyuruh dirinya turun gunung.


Si Angin Puyuh Si Tangan Kilat Hong In Lui Tian Karya Gan Kh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hari itu gurunya bertanya : "Dikalangan Bulim terdapat Ceng-liong-pang, apakah bibi Liumu pernah membicarakan dengan kau ?"
"Tahun yang lalu waktu aku berada di Kim ki-nio, pernah mendengar beliau menyinggung soal Ceng-liong-pang ini."
"Pangcu dari Ceng-liong-pang Liong Jiang-poh adalah teman baikku, dia punya empat pembantu yang paling diandalkan, dinamakan Su-tay-kim-kong. Diantaranya terdapat orang yang bernama Lo Hou-wi, orang ketiga dari Su-tay-kim-kong, usianya mungkin lebih tua beberapa tahun darimu, aku pernah berhutang budi terhadap ayahnya."
Sungguh ia tidak mengerti kenapa gurunya sengaja menyinggung orang ini, maka sambil lalu ia bertanya: "Oh, begitu ? Lalu suhu sudah membalas kebaikan budinya itu ?"
Bu-lim-thian-kiu tertawa getir, lalu katanya : "Ayahnya sudah meninggal, budi kebaikannya itu terpaksa harus dibayarkan kepada putranya. Ceng-ji, selama delapan tahun kau belajar silat kepadaku, bekal permainan Suhu sudah kuturunkan seluruhnya kepada kau, sejak hari ini kau boleh berkelana sendiri di kangouw, setelah kau turun gunung, boleh kau yang membayarkan hutang budiku itu kepadanya."
Mendengar uraian gurunya dia jadi melengak, hatinya menjadi bingung dan hampa tanyanya : "Suhu, cara bagaimana aku harus membayar hutang budimu itu ?"
"Ngo-hou-toan-bun-to-hoat yang pernah kuajarkan kepada kau dulu, apakah kau masih ingat ?"
"Tentu masih ingat !"
"Coba kau mainkan biar Suhu menilainya."
Setelah dia mainkan selintas permainan Ngo-hou-toan Bun-to hoat itu, Bu-lim thian-kiau tersenyum lebar sambil mengelus jenggotnya katanya : "Kecuali dua tiga gerak perubahan yang belum kau latih dengan sempurna, permainanmu sudah cukup baik. Nah ajarkanlah Ngohou-toan Bun-to-hoat ini kepada orang ketiga dari Su-tay-kim-kong yang bernama Lo Hou-wi itu."
"Apa ?" gadis baju hitam menjerit geli dan terkikih-kikih katanya : "Aku sendiri toh belum tamat belajar sama kau, mana bisa menerima murid ?"
"Dengarkan penjelasanku," demikian ujar Bu-lim-thian-kiau. "Ayah Lo Hou-wi adalah murid seorang guru silat dari Ciang ciu yang dikenal sebagai Tobusu. Ngo hou-toan bun to itu sebetulnya adalah ilmu golok dari warisan leluhur keluarga Toh itu, sayang sudah lama sekali putus turunan. Toh Busu tidak memperoleh ajaran murni dari ilmu golok leluhurnya yang hilang itu, selama hidup ia amat menyesal dan merasa diri dia tidak punya anak, hanya seorang murid she Lo itu, sebelum ajal ia ada berpesan kepada muridnya supaya mewarisi cita citanya melanjutkan pencariannya terhadap ajaran golok peninggalan leluhur yang hilang itu."
Baru sekarang ia paham seluruhnya, katanya, "Kukira ayah Lo Hou wi juga tidak berhasil menemukan ajaran ilmu golok yang sudah putus turunan itu bukan?"
Bulim thian kiau manggut manggut katanya: "Kau memang pintar tebakanmu tidak salah, ajaran ilmu golok itu setelah ia meninggal secara tak sengaja aku dapat menemukannya didalam koleksi buku buku rahasia pelajaran silat seorang Cianpwe. Maka kuminta kau mengajarkan ilmu golok itu kepada putranya. Letak rumah keluarga Lo berada disebuah kampung di Siok cio."
Setelah Bulim thian kiau menjelaskan alamat Lo Hou wi kepada putrinya ia berkata lebih lanjut, "Menurut apa yang kuketahui didalam Ceng liong pang tenaga Lo Hou wi amat dihargai merupakan pembantu yang amat dipercaya. Kabarnya sekarang dia mendapat tugas keluar mungkin sedang berada di Tay toh. Tay toh tidak jauh dari Siok ciu setelah tugasnya selesai di Tay toh mungkin dia akan mampir pulang ke kampung halamannya. Inilah kesempatan paling baik bagi kau untuk menurunkan ilmu golok itu disana. Seperti kau sejak kecil Lo Hou-wi pun sejak kecil sudah ditinggal mati ayahnya punya seorang guru lain. Bahwa pelajaran ilmu golok keluarga Toh yang putus turunan itu bisa dia memainkan dengan baik kalau diketahui orang kemungkinan sekali mereka dapat menimbulkan keributan. Maka kau harus wakili aku berpesan wanti wanti kepadanya supaya jangan sembarangan dipertontonkan dihadapan sembarang orang. Kelak kalau saatnya sudah tiba akan kupersiapkan suatu pertemuan besar mengundang para Ciangbun dari berbagai golongan menjelaskan duduknya perkara, tatkala itu barulah diangkat secara resmi supaya ia menjadi Ciangbun dari aliran Ngo hou to sudah tentu kaupun harus menganjurkan ilmu golok ini secara rahasia kepadanya.
Sesuai menurut pesan gurunya memang di rumah keluarga Lo di Siok ciu itu ia menemukan Lo Hou wi, itulah kejadian satu tahun yang lalu, teringat akan pengalamannya yang dulu itu sampai sekarang ia masih tertawa geli.
Semula Lo Hou wi tidak mau percaya akan omongannya malah anggap orang sengaja hendak mempermainkan dirinya. Setelah dia menggunakan Ngo hou toan bun to mengalahkannya barulah dia terima kalah lahir bathin malah begitu tinggi rasa hormatnya sehingga ia hendak berlutut angkat guru kepadanya. Dikatakan orang sudah melaksanakan cita cita ayahnya meski hanya wakil mengajarkan ilmu golok itu kepadanya tapi boleh dianggap sebagai guru juga. Sudah tentu tidak mau menerima setelah mengeringkan lidahnya barulah ia berhasil membujuk dan mengikat persahabatan sebagai teman setingkatan.
Teringat kepadanya Lo Hou wi seketika terkulum senyum geli pada wajah gadis baju hitam pikirnya: "Benar benar seorang pemuda yang polos jujur dan lugu, kabarnya diapun pandai melaksanakan tugasnya. Ha, menggelikan benar kalau dia menjadi muridku, memang sebetulnya aku mengharap punya seorang abang besar seperti dia itu. Usianya lebih tua empat tahun, hem, kebetulan sebaya dengan Geng Tian."
Teringat akan Geng Tian, gadis baju hitam itu merasa rikuh dan sungkan tapi rikuh dan sungkan terhadap Lo Hou wi. Ternyata mewakili gurunya gadis baju hitam mengajarkan ilmu golok kepada Lo Hou wi dan menetap dirumahnya selama setengah bulan, selama itu mereka selalu gaul bersama, sejak mula Lo Hou wi menghormatinya, patuh akan segala petunjuknya belum pernah terjadi suatu perbuatan yang tidak senonoh namun gadis baju hitam itu sendiri merasakan bahwa diam diam Lo Hou wi telah menaruh hati kepadanya. Perasaan yang aneh ini tidak usah diucapkan dengan kata kata. Setiap lirikan dan senyuman, sebuah kata kata yang diucapkan tanpa sengaja dapatlah menggetarkan sanubari seorang gadis yang tajam perasaannya.
"Mungkin Geng Tian belum tahu bahwa didunia ini terhadap seorang Nyo Wan ceng macam aku ini. Tapi ikatan jodoh dengan menunding perut entah sudah dia ketahui belum? Cara bagaimana aku harus membuka mulut bicara dengannya?"
Terpikir pula oleh Nyo Wan ceng, "Setelah Lo Hou wi bertemu dengan dia entah menyinggung tentang diriku tidak? Meski dia pernah dipesan supaya tidak membocorkan soal pelajaran ilmu goloknya itu tapi hubungan Geng Tian dengan mereka bukanlah sembarang hubungan, dia adalah majikan muda mereka. Sayang sebelum ini aku belum tahu akan asal usul Liong-pangcu dari Ceng liong pang, kalau tidak perlu aku menghadapi Geng Tian sendiri dengan sikap yang kikuk dan malu malu."
Sepanjang jalan pikirannya timbul tenggelam tanpa terasa ia sudah menempuh puluhan li jauhnya. Tiba-tiba didengarnya dentingan beradunya senjata dari arah depan sana, "eh siapakah yang bertempur disiang hari bolong ?" karena ingin tahu segera ia keprak tunggangannya menyusul kedepan untuk melihat dari dekat.
Setelah dekat dilihatnya dua orang perwira sedang mengerubuti laki-laki pertengahan umur yang memelihara jenggot kambing. Kedua perwira itu adalah dua orang militer yang melarikan tunggangannya seperti mengejar angin waktu tadi ia turun gunung. Seorang menggunakan Hou thau hou (gaitan kepala harimau) seorang lain bersenjatakan golok panjang yang melengkung, ilmu silat mereka agaknya tidak lemah.
Nyo Wan ceng amat kaget teriaknya : "Paman Toh."
Melihat kedatangannya sungguh laki laki pertengahan umur itu amat girang, iapun berteriak, "Nona Nyo, sungguh kebetulan kedatanganmu itu."
Sebelum ucapan orang itu selesai diucapkan Nyo Wan ceng sudah melayang turun dari punggung tunggangannya dan memburu datang, teriaknya pula : "Baik Toh sioksiok, kau mundurlah istirahat, biar kuwakili mengajar adat kedua cakar alap alap ini."
Ternyata laki laki berjenggot kambing ini bukan lain adalah seorang Toa thau-bak dari Kim ki-nio yang bernama To Hok, waktu itu badannya sudah terluka ditiga tempat, sebentar lagi terang tidak akan kuat bertahan.
Melihat gadis remaja nan ayu itu bagai bidadari dan mendatangi perwira yang bergaman golok melengkung itu tidak tega turun tangan bentaknya: "Apa kau cari mampus ? Lekas menyingkir saja."
Bicara lambat kejadian justru berlangsung amat cepatnya tahu-tahu Nyo Wan ceng sudah menyerbu tiba dengan menyilangkan kedua tangannya, dia melancarkan Khong-jiu ji-pek-to (bertangan kosong merebut senjata lawan). Adalah perwira yang menggunakan gantolan kepala harimau itu segera berteriak kejut, "Awas ! Dia Siau-moli !"
Belum lenyap suaranya, terdengarlah, "Trang" golok si perwira itu dengan membacok kearah lengannya Nyo Wan-ceng. Si perwira menyangka dengan bacokan yang telak itu, lengan Nyo Wan-ceng terang tertabas putus, baru saja hatinya mengeluh : "Sayang !! Kasihan!" Tak nyana mendadak ia mendengar suara "Traang" pula, karuan dia kaget dibuatnya.
Ternyata bacokannya ia sedikitpun tidak melukai kulit lengan Nyo Wan ceng, goloknya tepat sekali mengenai gelang perak yang melingkar dilengannya itu, meninjau tenaga bacokan lawan yang keras kuat ini, Nyo Wan-ceng mencelat mundur satu tombak, gelang perak itu sudah ditariknya memanjang menjadi seutas cambuk lembut, disaat hati perwira itu belum lagi tenang, ujung cambuk peraknya itu sudah berhasil menggubat golok melengkung lawan.
Ternyata melihat kepandaian silat kedua perwira ini tidak lemah, maka ia berkeputusan untuk bertindak cepat secara kilat mengakhiri pertempuran, apalagi dilihatnya Toh Hok sudah terluka maka ia menggunakan permainannya yang aneh untuk mengalahkan kedua musuhnya.
Perwira yang bersenjatakan Hou-thau-kau segera menubruk datang berusaha menolong temannya, Nyo Wan-ceng tertawa serunya : "Nih, kuberikan kepada kau !" Cambuk peraknya terayun, golok melengkung yang digubatnya melayang dan kebetulan ujung cambuk menggubat gagang golok sehingga tajam golok yang berkilauan itu memapak kearah leher lawan.
Kapan si perwira pernah melihat permainan yang aneh dan menakjubkan ini saking kaget ia menjadi gugup dan tersipu-sipu, tapi kepandaian silatnya yang cukup baik dalam keadaan gugupnya itu, lekas ia gunakan Ki hwe-liau-thian (mengacungkan obor menerangi langit) dimana ujung kepala harimaunya yang merupakan gantolan itu mengait dan ditarik, tepat sekali mengait ujung golok melengkung, serta menariknya kebawah, tapi cambuk perak Nyo Wan-ceng yang lemas itu dapat bergerak segesit belut dan setangkas ular sakti, kalau golok itu kena digaet jatuh, ujung cambuk itu tiba-tiba mulur kedepan dan berhasil menggubat lehernya. "Li enghiong am .... ampun !" belum lagi kata-kata 'ampunnya' sempat diucapkan napasnya sudah berhenti dan putuslah jiwanya.
"Tinggalkan jiwanya!" seru Toh Hok mencegah. "Ai . . . sayang."
"Kan masih ada seorang yang masih hidup, paman Tok Hok tidak usah kuatir."
Adalah perwira yang bergaman golok melengkung ini adalah ternyata seorang yang tabah dan keras kepala, tahu bahwa bukan tandingan Nyo Wan-ceng, ia jemput golok melengkungnya itu terus digorokkan keleher sendiri.
Sudah tentu nona Nyo tidak membiarkan orang bunuh diri. 'Tar' begitu cambuknya terayun berhasil ia menggulung jatuh golok melengkung itu, sekali ia menggentak lagi, cambuknya berhasil menutuk Hiat-tonya, katanya : "Aku hanya suka membunuh orang yang takut mati, kau tidak seperti temanmu takut mati, aku jadi tidak tega membunuhmu malah !"
"Nona Nyo," ujar Toh Hok tertawa. "Baru satu tahun berpisah kepandaianmu lebih maju lagi. Apa gurumu baik-baik ?"
"Baik paman Toh, bagaimana luka-lukamu, mari biar kububuhi obat."
"Luka seringan ini tidak menjadi soal, terlambat sedikit dibubuhi obat tidak menjadi halangan," demikian kata Toh Hok, lalu ia jinjing perwira yang tertutuk Hiat-tonya kedalam hutan, segera ia mengompres keterangannya : "Kau diutus oleh Wanyen Tiang-ci bukan? Kemana ? Untuk tugas apa ? Bicaralah terus terang !"
Perwira itu hanya tertutuk Hiat tonya, sebetulnya masih bisa bicara tapi ia tutup mulut tidak mau bersuara.
Toh Hok sudah menggeledah seluruh badannya yang mati, namun tidak menemukan apa-apa, lalu iapun menggeledah seluruh badan perwira yang masih hidup ini, hasilnyapun nihil. Akhirnya Toh Hok hilang sabar dan membentak : "Masa kepalamu lebih keras dari golok baja ini ! Katakan tidak ?"
"wuutt" golok terayun terus membacok batok kepalanya.
"Trang" lekas Nyo Wan-ceng menjemput golok melengkung orang untuk menangkis golok baja Toh Hok, katanya : "Orang ini adalah seorang gagah, seorang Enghiong, lepaskan saja dia pergi !"
Sebetulnya bacokan Toh Hok itu hanya gertakan saja, tadi ia berpura-pura mengukuhi pendapatnya, katanya; "Keponakan yang baik, kau tidak tahu orang ini membawa surat penting, hari ini kebentur di tangan kami masakah harus melepas pergi begitu saja ?"
"Lebih baik tidak mendapatkan surat penting itu, orang gagah macam kaya dia, harus kita hargai."
"Yah, apa boleh buat kupandang mukamu biar kulepas bangsat ini tapi kudaku terpanah mati oleh mereka, maka kuda tunggangan itu harus kutahan."
Segera Nyo Wan ceng membuka tutukan Hiat-to orang itu, katanya; "Tiada urusanmu lagi pergilah !"
Agaknya orang itu tak menduga bahwa jiwanya akan selamat tak kurang suatu apa terutama Nyo Wan ceng menyuruh pergi, dia malah ogah pergi.
Berkata To Hok tawar: "Keponakanku kau melepasnya pulang mungkin sesampainya di Tay-toh, Wanyen Tiang ci pun tidak akan mengampuni jiwanya."
"Soal itu tidak perlu kita risaukan, dia mau tidak pulang ke Tay toh adalah urusannya. Memangnya Bulim thian kiau Tan pwecu juga sudi tinggal di Tay toh?" Lalu ia berpaling kepada siperwira, katanya: "kau seorang pintar, semoga kau paham akan maksudku."
Perwira itu melenggong sebentar, mendadak berkata: "Nona Nyo, apakah gurumu Bulim thian kiau Tan ih-tiong?"
"Benar, guruku memang adalah Tam-pwecu kalian."
Siperwira kertak gigi, katanya nekad: "Nona, kau menghormati aku satu kaki, kubalas satu tombak; gurumu adalah tokoh yang selalu kukagumi pula, mengandal kata-katamu tadi, surat penting dan rahasia itu biarlah kuserahkan kepadamu. Silakan kau bongkar pelana itu, surat penting itu kusembunyikan disana." habis berkata terus putar tubuhnya tinggal pergi.
Ternyata siperwira amat heran akan penghargaan Nyo Wan ceng terhadap dirinya. Seperti pula kata kata Toh Hok, dengan kehilangan teman dan surat penting itu pastilah Wanyen Tiang ci akan menjatuhkan hukuman sesuai dengan undang undang militer. Bahwa Toh Hok hendak menahan tunggangannya, rahasia pada pelana itu cepat atau lambat konangan, lebih baik ia merelakan saja dengan memperlihatkan kebesaran jiwanya kepada Nyo Wan ceng sebagai imbalan. Ditambah sebab keempat, ia tahu guru Nyo Wan-ceng adalah Pwecu (pangeran) negeri Kim, dan dia sendiri masih punya ikatan famili sebagai angkatan muda dari Tan pwecu ini.
"Keponakanku memang kau amat pintar !" demikian puji Toh Hok tertawa, "kepandaian kedua perwira ini cukup tinggi, Wanyen Tiang ci mengutus mereka mengirim surat urusan pasti menyangkut persoalan besar dan penting." segera ia bekerja memecah pelana itu dan benar juga didalamnya itu mendapatkan segulung kertas, setelah membacanya tiba tiba Toh Hok berseru kaget dan heran.
"Paman, apa yang tertulis dalam surat itu ?"
"Kurasa rencana untuk menghadapi Kim-ki nio kita, ternyata bukan, mereka hendak menghadapi Ceng-liong-pang."
Nyo Wan ceng terkejut tanyanya: "Cara bagaimana mereka hendak menghadapi Ceng-liong-pang?"
"Lihat, surat rahasia Wanyen Tiangci yang ditujukan kepada Li In siu penguasa kota Liangciu dianjurkan supaya menyiapkan pasukan dan bergerak secara rahasia pada waktu Tiong-chiu bergabung dengan para jagoan yang bakal didatangkan dari Taytoh, bersama menyergap markas besar Ceng liong-pang di Kim lian san."
"Kalau begitu kita harus segera menyampaikan kabar ini ke Ceng liong pang."
"Itu sudah tentu, tapi dalam wilayah dekat sini tiada orang orang dari Kim ki nio kita!" Ternyata luka luka Toh Hok walaupun tidak berat, tapi juga tidak ringan, untuk menempuh perjalanan yang begitu jauh menuju ke Kim lian san, jelas kondisi badannya tidak mengijinkan.
"Paman Toh, kenapa kau berkata demikian memangnya aku bukan orang sendiri? Meski aku tidak menjadi anggota secara resmi, tapi hubunganku dengan bibi Liu dan para paman yang lain seperti keluarga sendiri bukan? Apakah kau tidak bisa anggap aku sebagai orang sendiri dari kerabat Kim ki nio?"
Memangnya Tok Hok hendak memancing kata katanya ini, ujarnya sambil tertawa, "Baik akupun tidak perlu sungkan2 lagi kepadamu, biarlah menyulitkan kau sekali ini." Lalu dia serahkan gulungan surat itu kepadanya.
Baru saja Nyo Wan ceng hendak berangkat, mendadak Toh Hok teringat suatu urusan, serunya: "Tunggu dulu!"
"Paman Toh masih ada pesan apa?"
"Tahukah kau orang macam apa Li Ih siu penguasa kota Liang-ciu itu ?"
"Tidak tahu!" "Asalnya dia adik raja dari negeri Sehe, setelah Sehe dicaplok oleh negeri Kim, sebagian tanah wilayah kerajaan Sehe dibelah menjadi keresidenan, dikembalikan nama aslinya sebagai Liang-ciu seperti dulu. Raja Sehe sudah dihukum mati, raja Kim lalu angkat adik raja dari Sehe Li Ih siu sebagai penguasa keresidenan Liang ciu."
"Jadi apakah Li Ih siu ini pura pura menyerah kepada negeri Kim, sebetulnya sedang memikul tugas berat dan secara sembunyi untuk bangkit dan berontak memulihkan kerajaan Sehe lama?"
"Kukira tidak demikian, karena tindak tanduknya tidak pernah menunjukkan gejala macam itu. Dia sudah begitu tunduk dan patuh kepada Wanyen Tiang ci, maka Wanyen Tiang-ci amat mempercayainya. Barulah dia dapat menjabat penguasa tertinggi di Liang-ciu, karena secara diam diam Wanyen Tiang-cilah menjadi tulang punggungnya."
"Memangnya kenapa sekarang paman menyinggung dia?"
"Lain bapak lain anak, putranya itu berhaluan lain dengan bapaknya yang terima diperbudak itu."
"Secara rahasia dia ada mengikat hubungan dengan Yalu Hoan-ih diluar tahu ayahnya. Yalu Hoan ih adalah putra komandan pasukan Gi-lim-kun negeri Sehe dulu setelah negerinya runtuh, ia menduduki gunung mendirikan pangkalan sebagai raja. Dengan Kim-ki nio kita diapun sering berhubungan."
"Kiranya begitu, lalu maksud paman Toh ?"
"Marilah kita menggunakan cara sekali gempur dua sasaran."
"Apa maksudmu dengan sekali gempur dua sasaran?"
"Sepihak kita bersiap-siap melawan serbuan musuh, dipihak lain kita memperalat dan mengadu domba sesama musuh. Tapi cukup asal kaujelaskan kepada Liong pangcu bahwa Li Ih-siu dan putranya berlainan haluan. Liong-pangcu sebagai seorang yang berambek besar dan berotak cerdas, sudah tentu ia akan tahu sendiri coba bagaimana ia harus bertindak. Tidak perlu kita memberikan saran dan usul kepadanya."
Setelah mereka berpisah, Nyo wan ceng menyimpan gulungan surat itu terus menempuh perjalanan, hatinya disamping girang ia-pun merasa risau dan kebat kebit. Girang karena dengan mengantar surat kemarkas besar Ceng liong-pang di Ki lian san ini, disana ia bakal bisa bertemu dengan Geng Tian, tidak perlu mencari alasan lainnya. Tapi setelah bertemu muka dengan Geng Tian, cara bagaimana ia harus buka mulut, ini merupakan persoalan pelik pula bagi dirinya.
"Dia belum lagi tahu bahwa didunia ada orang macamku ini, bahwasanya mungkin belum tahu akan perjodohan kami ini, lalu bagaimana baiknya ?" dia merasa malu dan kikuk untuk mengemukakan persoalan ini, disamping girang adalah jamak kalau Nyo Wan-ceng merasa risau dan kebat kebit.
Rekaan Nyo Wan ceng hanya betul separo saja. Memangnya Geng Tian tidak tahu bahwa didunia ini ada orang macam dirinya. Tapi sebetulnya dia sudah tahu akan persoalan perjodohan itu.
Bersama dengan Su-tay kim kong dari Ceng liong pang, mereka dari Ciatkang timur langsung menuju ke Liang ciu, sepanjang jalan mereka mengobrol panjang lebar, masing-masing bertukar pikiran dan pengalaman, tidak sedikit masing masing mendapat tambahan pengetahuan untuk memperkaya perbendaharaan ilmu masing masing, sedikitpun mereka tidak merasa kesepian.
Tapi selama perjalanan itu, belum pernah Geng Tian kemukakan isi hatinya. Dari keempat orang dari Ceng liong-pang ini, hanya Lo Hou wi yang sebaya dengan Geng Tian, hobby dan tutur katanya juga lebih cocok. Lapat-lapat Lo Hou-wi tahu bahwa Geng Tian ada menyembunyikan isi hatinya demikian pula Geng Tian pun merasakan Lo Hou-wi tidak seluruhnya jujur terhadap dirinya.
Hari itu mereka mulai memasuki wilayah perbatasan Liang ciu, menurut perhitungan kira kira empat lima hari lagi mereka bakal sampai di Ki lian san. Karena sibuk menempuh perjalanan sehingga malam itu mereka kehilangan kesempatan menginap setelah magrib hujan rintik-rintikpun turun; untunglah diatas pegunungan yang belukar itu mereka bisa mendapatkan sebuah biara kuno untuk berteduh meski biara bobrok dan tidak terurus sementara bisa juga untuk menyembunyikan diri dari hujan bayu ini.
Mereka mengumpulkan ranting-ranting kering dan membuat api unggun ditengah ruangan biara bobroknya, ranting-ranting yang basah kena air hujan membuat api unggun sukar menyala dan mengepulkan asap hijau yang tebal, sehingga pernapasan mereka menjadi sesak. Tapi dimalam hujan deras seperti itu beberapa kawan sehaluan dan seperjuangan duduk-duduk mengobrol sambil menghadapi api unggun merupakan kejadian yang menggembirakan juga bagi mereka.
Geng Tian tiba-tiba tenggelam dalam alam pikirannya, menggunakan ranting kayu yang dipegang ia mengorek-ngorek api unggun, sampai kayu yang masih membara mengenai tangannya baru dia berjingkat kaget.
"Geng kongcu," ujar Nyo Su gi tertawa, "Pekerjaan membuat api memasak nasi tentu kau belum biasa melakukan, mari biar kulakukan saja."
"Ketahuilah!" kata Geng Tian tertawa, "Sejak kecil aku sudah biasa hidup melarat dan menderita, tadi hanya kebetulan kurang hati hati saja."
Lo Hou wi mendadak menimbrung, "Entah Geng kongcu sedang memikirkan apa tadi?"
Terpaksa Geng Tian mengakui, "Benar aku sedang terkenang kenang seorang sahabat ayahku."
"Entah siapa Cianpwe yang kau maksudkan itu?"
"She Nyo bernama Yan-jing. Beliau adalah murid Gwakong (kakek luar)ku."
"Belum pernah aku bertemu dengan dia, tapi dia punya seorang suheng bernama Li-Keh cun, sekarang sebagai salah seorang Toa-thaubak, hubungannya cukup baik denganku, tahun yang lalu aku berkumpul beberapa lama dengan Li Keh-cun."
"Adakah dia pernah menyinggung soal Sutenya terhadapmu?"
Nyo Sugi manggut manggut, ujarnya: "Menurut katanya, sutenya itu sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu."
"Entah adakah dia meninggalkan putera atau puterinya?"
"Hal itu dia tak mengatakan maka aku tidak tahu. Apakah ayahmu menyuruhmu mencari jejak mereka ?"
Geng Tian menghela napas, tuturnya, "Ketika aku masih kecil, bersama ibu menyembunyikan diri dirumah mereka. Ketika kami berpisah dengan paman Nyo, usiaku belum genap empat tahun, tapi lapat lapat aku masih ingat keadaan waktu itu, mereka amat miskin setiap datang hujan, sekeluarga pasti sibuk menyingkirkan barang barang mengatasi kebocoran, semalam suntuk tidak bisa tidur, karena tiada tempat yang kering. Mereka kuatir aku kedinginan, selalu membuat api unggun menghangatkan badanku. Sering mereka duduk mengelilingi api unggun itu sambil mengobrol seadanya. Keadaannya persis seperti sekarang ini. Cuma kalau dulu didalam rumah bobrok, sekarang didalam kelenteng reyot. Bila terbayang akan kegetiran hidup masa lalu betapa aku tidak akan terkenang kepada mereka? Ai sayang aku tidak akan bisa berterima kasih lagi kepada paman Nyo."
"Gampang saja untuk menyirapi berita keluarga Nyo itu setelah kami tiba di Ki lian-san, tulislah sepucuk surat biar kuantarkan ke Kim ki nio mintalah Li Keh cun datang menjenguk kau."
"Biar setelah aku berhadapan dengan Liong pangcu, aku akan menyambangi paman Li di Kim ki-nio saja, cara ini kukira rada kelihatan menghargai beliau sebagai orang yang lebih tua."
"Menurut maksud Liong pangcu, seperti yang kuketahui, beliau hendak minta kau sementara mewakili jabatan Pangcu itu, mungkin dalam waktu dekat kau tidak akan ada tempo meninggalkan tempat kami."
"Aku masih terlalu muda cetek pengalaman lagi, mana setimpal menjadi Pangcu segala? Nyo toako, harap kau suka bantu membujuk pangcu, sekali-kali membatalkan niatnya itu."
"Kita toh belum sampai di Ki lian-san kelak kita bicarakan lagi setelah tiba di sana."
Dimana mereka bercakap cakap mengenai keluarga Nyo ini Lo Hou wi tidak membuka suara, hatinya sedang risau dan gundah sejak beberapa kali nama Nyo Wan ceng sudah sampai diujung mulutnya, namun toh tidak sampai terucapkan olehnya. Sambil menunduk ia mengorek ngorek api, tanpa ia sadari ia mencontoh perbuatan Geng Tian tadi, malah abu panas mengenai punggung tangannyapun belum disadarinya.
"Sam ko tadi kau katakan aku kurang hati hati, kenapa kaupun tak hati hati?" demikian goda Geng Tian, "Lihatlah, lengan bajumu sudah berlobang termakan api." tiba-tiba tergerak hatinya katanya pula, "Samko apa yang sedang kau pikir? Kami sedang membicarakan almarhum Nyo Yan sing Nyo Lung hiong, apa kau tahu?"
"Waktu Nyo Yan sing meninggal dia belum lagi kelana, mana bisa tahu?" demikian ujar Nyo su gi tertawa.
Hampa pikiran Lo Hou wi pikirnya: "Haruskah kuberitahu kepadanya?" setelah ragu sejenak, ia lantas menyahut: "Tidak apa apa, Geng Tian mendengar kau menyisihkan kehidupanmu yang getir diwaktu kecil mau tak mau menimbulkan kenangan lamaku pula."
"Apa kau pun dilahirkan dalam keluarga miskin?" tanya Geng Tian.
Pek Kian bu tertawa, selanya: "Dia sih keturunan guru silat yang kenamaan, soal miskin sih tidak. Cuma sejak kecil sudah kematian ayahnya, keluarganya menjadi berantakan." Diluar tahunya bahwa gejolak hatinya Lo Hou wi jauh lebih rumit dan kacau dari apa yang mereka bayangkan.
Geng Tian mendongak melihat cuaca, dilihatnya hujan sudah reda, katanya: "Habis hujan cuacapun terang, lihatlah betapa indah rembulan. Biar aku keluar mencari hidangan untuk tangsel perut ya? Dua hari ini selalu makan rangsum kering sudah membosankan. Baik nanti bikin binatang panggang dan diiringi minum arak, semalam ini tidak usah tidur."
"Baru saja hujan keadaan diluar tentu sulit buat jalan."
"Benar, habis hujan, burung dan binatang liar sama sembunyi disarangnya, kukira tidak gampang buat menangkap mereka," demikian timbrung Pek Kianbu.
"Memburu burung atau binatang liar aku cukup berpengalaman," ujar Geng Tian, "Kalian tidak percaya nanti buktikan saja, biar kutunjukkan kepandaian khususku ini."
Pek Kian-bu tertawa, katanya: "Kongcu digelari San-tian jiu (tangan kilat). Ilmu ginkangmu mesti seenteng burung dara secepat angin masakah berani kami tidak percaya akan kepandaianmu! Tapi kalau kau yang harus mencari makanan untuk kami beramai, wah rasanya rikuh dan tak berani terima, biar kami saja yang pergi!"
"Persediaan air dalam kantong itupun hampir habis," sela Geng Tian. "Pek jiko silahkan kau cari air saja bagaimana? Lo-sam-ko mari kau temani aku berburu, Nyo-toako kau tinggal saja di tempat ini bersama Site."
"Memangnya aku tinggal gegares tanpa bekerja mana boleh jadi," kata Nyo Su-gi.
Lo Hou-wi tertawa katanya; "Sejak kecil memang akupun senang berburu. Toako jangan kau berebutan dengan aku lho."
Nyo Su gi tahu akan hubungan mereka yang lebih akrab, maka iapun mengalah agar tidak mengganggu kesenangan hati mereka.
Adalah timbul rasa jelus dalam hati Pek Kian bu katanya: "Samte memang pandai mengambil hati orang agaknya dalam pandangan Geng Kongcu cuma dia seorang saja. Hm, tugas berat mencari air diberikan kepadaku, tanpa sungkan sungkan losam terima saja pembagian tugas itu. Jika Geng Kongcu betul akan menjabat Ciangbun kita, mungkin Losam bakal menjadi perintangku yang terbesar dan berkedudukan lebih tinggi dari aku." meski rasa jelusnya amat menghayati pikirannya, katanya; "Samko kabarnya tahun yang lalu kau ada pergi ke Tay-toh pernahkah kau pergi ke Siok ciu?"
"Memangnya aku ini kelahiran Siok ciu."
"Kalau begitu diwaktu Gwakongku meninggal, meski kau belum lahir kukira pernah mendengar orang membicarakan beliau bukan? Tahukah kau akan kedua murid beliau?"
"Geng tian, ada sebuah persoalan seharusnya kuberi tahu kepada kau cuma maaf tadi tidak leluasa kukemukakan kepada kau."
"Soal apa?" "Soal ini tentu berada diluar dugaanmu. Orang yang sedang dicari cari adalah guruku!''
"Apa katamu?" tanya Geng Tian melengak.
"Bukankah kau hendak mencari orang-orang keluarga Nyo?''
"Bukankah paman Nyoku itu sudah meninggal, cara bagaimana kau bisa angkat guru kepadanya? Oya... aku paham, apakah kau murid dari bibi Nyo?''
"Keluarga Nyo Yan sing toh bukan hanya terdiri dari isterinya saja? Sudah lama keluar Nyo meninggalkan Siok ciu sampai detik ini juga aku belum pernah bertemu dengan Nyo hujin."
"Lalu siapa yang kau maksud? Apakah..." ia membatin dalam hati: "Apakah putra atau putrinya?" waktu dia meninggalkan rumah keluarga Nyo, anak dalam kandungan Nyo hujin belum lagi lahir maka seakan Geng Tian ini tidak dikemukakan.
"Kau tahu didunia persilatan terdapat seorang dijuluki Siau mo li?"
"Apakah In tiong yan maksudmu?"
"Munculnya rada akhir dari In tiong yan, kepandaian mesterius mereka sama sama membuat musuh meringkik dan ketakutan. Tapi ada semacam tindak tanduknya yang berlainan dengan In tiong yan. In tiong yan khusus membunuh buaya darat atau sampah persilatan belum pernah dengar dia membunuh kaum bangsawan Kim atau Tartar Mongol, sebaliknya Siau mo li ini pernah membunuh jago jago kosen dari negeri Kim pernah membunuh juga para Kim tiang Busu dari Mongol. Julukan Siau mo li (Iblis perempuan kecil) justeru diberikan oleh orang orang Mongol. Sepak terjang In tiong-yan masih sulit kita raba tapi tindak tanduk Siau mo li dapatlah kami pastikan bahwa dia berdiri pada golongan pendekar dan pejuang nusa dan bangsa!''
"Asal usul In tiong yan masih belum kau ketahui hanya secara diam diam ia bermusuhan dengan Wanyen Tiang ci, hal ini pun baru kuketahui dari penuturan Hek swan hong," demikian batin Geng Tian karena tidak leluasa membeber riwayat hidup In tiong yan kepada Lo Hou wi maka ia berkata: "Tak perlu kita membicarakan In tiong yan. Bahwa lihiap yang kau katakan ini bukan In tiong yan memangnya siapa dia sebenarnya?"
"Dia bukan lain adalah orang yang sedang kau cari yaitu guruku."
Heran dan kaget Geng Tian dibuatnya, tanyanya: "Maksudmu dia putri Nyo Yan sing? Bagaimana dia bisa menjadi gurumu?"
"Bukan guruku yang kuangkat secara resmi dia sih hanya mewakili gurunya mengajarkan Ngo hou toan bun to hoat kepadaku. Sudah tentu dia tidak mau mengakui sebagai guru namun didalam sanubariku dia kuanggap sebagai guruku berbudi disamping seorang teman yang baik hati."
Setelah mendengar cerita cara bagaimana Nyo Wan-ceng datang kerumah Lo Hou-wi dan mengajarkan ilmu golok itu, maka berkatalah Geng Tian : "Bukankah tahun ini dia baru genap berusia dua puluh tahun ?"
"Benar. Dari mana kau bisa tahu?"
"Waktu aku berusia empat tahun meninggalkan rumah keluarga Nyo, dari penuturan ibu katanya waktu itu bibi Nyo sedang mengandung. Dihitung-hitung jadi aku lebih tua lima tahun dari dia."
"Kalau begitu jadi ibumu belum tahu dia itu laki atau perempuan bukan, kelak kalau kalian bertemu muka dan membicarakan hal ini tentu lucu dan menggelikan."
Geng Tian merasa hampa dan kesal katanya : "Ya, memang tidak kuduga sebelumnya."
Diam-diam Geng Tian membatin dalam hati : "Dari nada bicara agaknya ia amat patuh dan tunduk benar terhadap nona Nyo, setiap menyinggung namanya, wajahnya selalu mengulum senyum simpul. Dikatakan nona Nyo sebagai guru berbudi dan teman paling baik, em persahabatan yang melebihi kenalan biasa. Nona Nyo menetap hampir satu bulan dirumahnya setiap hari ketemu dan belajar bersama dari rasa hormatnya itu bukan mustahil berubah menjadi cinta, kejadian ini adalah jamak."
"Geng-heng," ujar Lo Hou-wi. "Jangan terlalu asyik bicara sehingga melupakan berburu. Coba lihat ..."
"Lihat apa ?" "Disini terdapat lobang kelinci, pepatah bilang kelinci licin tiga lobang, sarang lobangnya ini tentu menembus ke lobang yang lain, coba kau periksa kesebelah belakang sana, biar kusumbat lobang disini dengan asap."
"Lo-heng kau memang seorang pemburu yang berpengalaman."
Segera Lo Hou-wi mengumpulkan ranting kayu dan daun daun kering lalu menyusut api dan diselesapkan kedalam lobang, Geng Tian sedang berjaga dan belum lagi menemukan lobang yang lain, tiba2 dilihatnya dua ekor kelinci muncul disemak-semak rumput sana, sigap sekali Geng Tian lantas menerkam kesana, cukup sekali cengkeraman ia berhasil menangkap salah satu diantaranya, disusul dengan gerakan burung dara jumpalitan, kembali ia berhasil menangkap kelinci kedua dengan tubrukan yang indah secara kilat.
Lo Hou-wi segera berseru memuji : "Geng-heng, gerak badan yang cukup indah dan menakjubkan."
"Hasil ini berkat jasa baikmu, kalau tidak kau gebah keluar dari sarangnya, lorong ketiga dari sarang kelinci licin ini, kemana harus kucari ?"
"Cara menangkap kelinci dengan gabungan tenaga dua orang ini dapat kupelajari dari nona Nyo itu, Geng-heng ginkangnya sukar tandingannya di dunia ini. Tapi Ginkang nona Nyo itu kukira setanding dengan kau. Beberapa menangkap di Pak bong san bersama dia, setiap kali seperti keadaanmu tadi, sekali terkam pasti berhasil menangkap kelinci-kelinci yang diingininya."
Kalut dan gundah hati Geng Tian katanya tertawa dibuat buat : "Kan dia murid Bu-lim-thian kau, sudah tentu dalam berbagai kepandaian ia jauh menonjol dari orang lain," mulut bicara sementara hati sedang membatin, "Soal perjodohan yang dikatakan ibu, peduli dia tahu atau belum, yang jelas Lo-toako amat menaruh simpatik dan cinta kepadanya, setelah kuketahui hal ini memangnya aku tega menerjang ditengah mereka merebut cintanya ? Bila nanti ketemu dia, kalau dia tidak menyinggung, lebih baik aku pura-pura bodoh saja kalau dia benar-benar menyinggung, biarlah kuanggap perkataan dan janji ibuku dulu sebagai kelakar saja habis perkara."
"Geng heng, apa yang sedang kau pikirkan?"
Geng Tian tersentak sadar, katanya: "Coba kau dengar, agaknya seperti ada suara apa-apa di sebelah sana !"
"Benar, aku juga sudah dengar, memang ada suara ganjil."
Sebetulnya Geng Tian hanya mengada ada saja, tak nyana begitu suaranya menjadi hening, betul juga lapat-lapat mereka mendengar suara seperti benturan senjata-senjata keras. Keruan Geng Tian kaget serunya : "Mungkin musuh meluruk datang Pek jiko.."
Belum habis dia bicara, terdengarlah lengking sebuah suitan panjang bergema diatas pegunungan dari kejauhan sana.
Lo Hou wi segera berteriak kaget : "Memang itu suitan Pek-jiko, mari lekas susul kesana !"
Cepat Geng Tian memburu kearah datangnya suara itu, ginkangnya jauh lebih tinggi dari Lo Hou wi, tanpa sadar, ia tinggalkan Lo Hou wi jauh disebelah belakang.
O^~dwkz^hendra~^O Sementara itu Pek Kian bu sedang mendayung air disebuah aliran sungai kecil, sebetulnya sungai ini sudah kering dan dangkal. Setelah hujan lebat turun, air menjadi banjir dan meninggi, tapi toh hanya sedalam dengkul saja. Tanah disekitar aliran sungai ini sangat licin dan becek, sulit tancap kaki kalau tidak jalan hati2. Terpaksa Pek Kian-bu membenamkan kedua kakinya kedalam air lalu memasukkan kantong airnya ke dalam air. Untunglah ditengah-tengah sungai terdapat batu keras yang menonjol agak tinggi, dengan berdiri diatas batu mengisi air, sehingga bajunya tidak sampai basah.
Baru saja ia berhasil mengisi satu kantong, mendadak ia mendengar sebuah siulan yang menusuk kuping, dari gerombolan semak rumput bermunculan empat orang laki-laki pakaian hitam-hitam. Keempat orang ini adalah musuh besar Pek Kian bu.
Pek Kian bu tahu bahwa keempat orang ini masing masing mempelajari ilmu tunggal perguruannya jangan kata mereka maju bersama, hanya yang tertua saja seorang meski Pek Kian-bu melawan dengan satu lawan satu juga bukan tandingan orang.
Sudah tentu kejut Pek Kian bu bukan kepalang tapi sebagai seorang yang cerdik banyak aksinya, ia bersikap tenang dan menjengek dingin: "Bagus ya, Gi pak siang-hiong dan Siam-tiong siang siat bergabung hendak main keroyok, aku orang Pek hari ini naga naganya harus menyerah kalah saja. Dengan main keroyokan melawan aku seorang, apakah kalian tidak takut ditertawakan sesama sahabat Kangouw ?''
Laki-laki baju hitam yang memimpin rombongan keempat orang itu tertawa dingin: "kau boleh maju, lawanlah aku seorang."
Orang kedua segera menimbrung, "Bukankah kalian juga berempat? Hai, hai, asal teman- temanmu tidak turut campur kami pun tidak akan membantu. Kalau kau tidak berani melawan Toh toako mari melawan aku saja."
Dua orang yang insyaf kepandaian masing-masing tidak lebih unggul dari Pek Kian-bu namun justru permusuhan mereka jauh lebih mendalam kepada Pek Kian bu, maka mereka berkata bersama, "Menghadapi manusia rendah macam kau ini perlu apa pegang peraturan Kangouw segala, kebiasaan kami Sian-tiong-siang-sat toh kau sudah tahu, melawan satu orang kami maju bersama, melawan sepuluh orang juga kami maju bersama!''
Segera Pek Kian bu pegang kelemahan dari kata orang orang ini, jengeknya : "dua orang atau empat orang sama saja, aku tidak bisa mempercayai obrolan kalian, sebagai laki gagah harus melihat gelagat, maaf, aku tidak mengiringi keinginan kalian !"
Habis kata katanya, Pek Kian bu lantas melompat jauh dari batu pertama kebatu yang lain, didalam sungai memang banyak berserakan batu-batu besar, begitulah dengan berlompatan diatas batu menuju kehulu sungai ia melarikan diri. Memang cara melancarkan diri jauh lebih cepat dari pada berlari didalam air.
Pendekar Lembah Naga 31 Sang Alkemis Karya Paulo Coelho Kok Putusin Gue 2
^