Pencarian

Si Angin Puyuh 12

Si Angin Puyuh Si Tangan Kilat Hong In Lui Tian Karya Gan Kh Bagian 12


Kedudukan dan ketenaran Siam tiong-siang-sat tidak sebanding dengan Gi-pak siang-hiong di kalangan Kangouw, namun bara balas dendam yang membakar dada mereka jauh lebih besar dari Gi pak siang hiong, melihat Pek Kian bu melarikan diri, tanpa berjanji mereka lompat bersama kedalam air, mereka mengudak kencang mencontoh cara Pek Kian bu juga, ujung kakinya hanya main diatas permukaan batu batu yang menonjoI keluar.
O^~dwkz^hendra~^O Jilid 22 Sembari bicara ia melejit tinggi melompat kearah batu disebelah depan, namun belum lagi kakinya menyentuh batu itu, sebatang piauw terbang memapak kedatangannya, sigap sekali dia menarik kaki dan meliukkan pinggang dengan paksa terus jumpalitan dan kaki terpaksa tercebur kedalam air.
"Tring" piauw terbang itu menancap diatas batu yang diincar dari tempat kakinya berpijak, dipermukaan air berpercikkan kembang api yang meletik kemuka.
Keruan Pek Kian bu amat kaget, batinnya: "Untung aku melihat gelagat, kalau tidak aku biarkan dengkulku termakan oleh piauw terbang musuh." seketika ia mengumpat caci; "Sungguh mengecewakan kalau digelari Gi-pak-siang-hiong ! kiranya juga suka membokong orang dengan senjata gelap, orang gagah macam apa kalian?" bahwa ia terserang senjata rahasia sehingga jatuh ke-dalam air, pakaiannyapun kotor dan basah meski tidak lebih runyam dari dua lawan pengejarnya tadi.
Siam-tiong siang-sat tertawa bergelak, serunya; "Toako, sangat bagus hajaranmu."
Belum lenyap suara mereka, terdengarlah suara mengaung seperti desiran kumbang terdengar, disebelah depan dua batang piauw, sebelah kiri dua batang anak panah kecil, serangan gencar senjata rahasia ini memaksa Pek Kian-bu harus berkelit susah payah di-dalam air, tapi ia kecele, karena keempat senjata rahasia itu tidak menyerang langsung kearah dirinya, disaat ia putar kencang pedangnya untuk melindungi badan, senjata-senjata rahasia itu melayang lewat dan jatuh disamping kira-kira satu kaki disana. Laki-laki tertua bajunya hitam itu membentak pula: "Kembali!"
Mengandal kekuatan timpukan Gi pak-siang hiong, tidak mungkin didalam jarak yang dekat ini tak mampu menimpukkan senjata gelapnya kepada sasarannya. Baru sekarang Pek Kian bu insyaf bahwa orang memaksanya buat naik keatas darat.
Didalam air sudah tentu tidak sama seperti didalam hutan, sekitarnya tiada tempat buat sembunyi, terpaksa Pek Kian bu memang naik kedarat, sambil mengeluarkan suitan dari bibirnya. Pikirnya: "Asal aku bisa bertahan sebentar, Toako dan lain-lainnya keburu tiba, tidak perlu aku takut kepada mereka."
Sam-tiong siang-sat sudah menunggu diatas tanah, katanya: "Toako, biar kami berdua melabraknya lebih dulu."
Dengan sejurus Yu yan pat hong, Pek Kian bu mainkan pedangnya menerjang ke depan membuka jalan, bentaknya: "Apakah kalian menepati janji yang telah kalian katakan?" pedangnya menangkis dan menahan sepasang golok Siam-tiong siang sat. Kedua tenaga gabungan itu cukup berat, ia sendiri baru sempat berdiri dan pasang kuda-kuda hingga badannya tergetar mundur dan kakinya terpeleset masuk kedalam lumpur.
"Kata yang pernah kuucapkan sudah tentu kutepati," demikian jengek laki laki tertua serba hitam itu. "Kalau kau mampu menghadapi keroyokan mereka, mari kau lawan aku seorang diri."
Pek Kian bu tahu akan kelihayan laki-laki baju hitam ini, ia lebih rela melawan dua musuhnya dari Siam-tiong-siang-sat dari pada menghadapi orang yang jauh lebih lihay dan berbahaya. Maka tanpa bicara lagi pedangnya dimainkan merangsek gencar sebab begitu naik kedarat, kakinya lantas kejeblos kedalam lumpur. Siam tiong siang sat menempati posisi yang lebih menguntungkan, dengan gencar golok menyerang sehingga Pek Kian bu dirabu kerepotan.
Semakin tempur bercekat hati Pek Kian bu, kiranya Siam-tiong-siang sat berhasil meyakinkan semacam ilmu golok, masing-masing menggunakan tangan kiri dan kanan memegang goloknya, satu menyerang melindungi dan menjaga diri begitulah ganti berganti dengan permainan perpaduan kerja sama rapat dan ketat serta serasi, sehingga bukan saja serangannya yang gencar, pertahanan merekapun cukup tangguh. Meski Pek Kian-bu sebelumnya belum terjeblos kedalam posisi yang tidak menguntungkan, belum tentu ia mampu menghadapi paduan serangan golok mereka.
Siam tiong-siang-sat bergelak tertawa, katanya: "Berani kau mengaguIkan diri sebagai salah satu Sutay-kim kong dari Ceng-liong-pang segala, menurut pandanganku, menjadi seekor ular airpun kau tidak setimpal kalau menjadi belut kiranya rada cocok bagi kau!"
Belum lenyap suaranya mendadak terdengar sebuah suara dingin mencemooh berkata: "Anjing menjalak harimau, udang mempermainkan naga. Memangnya orang orang gagah dari Ceng-liong-pang berpandangan sesempit kalian kawanan anjing buduk."
Pertama kali suara itu berkumandang jaraknya seperti jauh tapi mendadak berubah begitu keras seperti jarum menusuk telinga sehingga kuping Siam-tiong siang sat mendengung sakit. Karuan mereka sangat kaget, waktu menoleh tampak sesosok bayangan orang sudah menembusi hutan meluncur datang. Benar-benar hebat, kumandang suaranya tiba orangnyapun tiba, kecepatannya sungguh sukar dilukiskan dengan kata kata.
Laki-laki tua baju hitam yang jadi pemimpin itu segera membentak: "Apakah engkau Nyo Su gi??" Ia lihat kepandaian silat pendatang ini cukup tinggi, maka ia sangka ketua dari Su-tay kim kong yaitu Nyo Su gi adanya, maka dengan cepat ia melangkah maju sambil merangkap kedua tangan menjura, yang digunakan adalah jurus Thong-cu-pay-koan-im. Karena Nyo Su-gi merupakan tokoh terkenal yang punya kedudukan baik di Bu-lim, maka tidak bisa tidak dia harus unjukkan sedikit rasa hormatnya. Tetapi lahirnya saja jurus yang dia gunakan itu menjura, bahwasanya dia berusaha merintangi orang.
"Blaaang!!" Telapak tangan kedua belah pihak bentrok dengan keras, luncuran tubuh orang itu seketika terhenti, sedang laki-laki baju hitam itupun terhuyung dua kali. Baru sekarang dia melihat dengan tegas, bahwa pendatang ini kiranya seorang pemuda berusia dua puluh tahun.
Merah jengah sampai kekupingnya roman laki laki baju hitam, bentaknya: "Kau Lo Hou wi atau Ong Beng im?'' Sementara dalam hati ia membatin: "Masakah Losam atau Losi dari Ceng liong-pang ini membekal Iwekang yang begini hebat?"
Terlihat oleh Geng Tian, Pek Kian bu sudah keteter keadaannya. Cukup gawat, dibuktikannya pula orang yang mencegat dirinya berkepandaian tinggi tiada tempo ia melayani pertanyaan orang, bentaknya, "Siapa sudi berkenalan dengan kau minggir!" kedua tangan kiri, telapak tangannya menyodok ke Tiong-kiong dengan kekerasan ia hendak menerjang lewat.
Laki baju hitam itu tertawa serunya: "Sudah puluhan tahun aku orang she Toh malang melintang di Kangouw, Nyo Sugi melihat aku pun tidak berani bertingkah kau bocah ini ternyata kurang ajar main bentak lagi kepadaku?"
Dalam sekejap kedua pihak sudah saling serang puluhan jurus dengan cepat sekali Geng Tian merangsek gencar dengan pukulan mautnya tenaga pukulan lawan pun cukup kuat dan kokoh mesti tidak secepat permainannya namun bagai tembok baja ia menghadang di depan Geng Tian, setapakpun tidak memberi peluang kepadanya. Tetapi serangan gencar Geng Tian toh hanya mendesak lawan mundur tiga tapak dalam gebrakan puluhan jurus itu.
Diam2 mencelos juga hati Geng Tian, batinnya, "Musuh Pek jiko kiranya begitu liehay." di luar tahunya kalau toh ia kaget lawannya lebih kaget pula.
Laki laki baju hitam she Toh dan laki-laki baju hitam lainnya yang dipanggil orang Gi pak siang hiong (dua orang gagah dari Hopak) mereka sudah malang melintang di Kangouw puluhan tahun belum pernah menemukan tandingan kecuali pernah satu kali mereka bentrok dengan pendekar kelana yang terkenal yaitu Jio cu kan kun Hoa Kok ham, mereka berdua maju bersama, selamanya tentu satu lawan satu.
Semula laki laki she Kong itu masih berpeluk tangan menonton dari samping namun semakin mengikuti pertempuran saudaranya semakin terkejut hatinya, pikirnya: "Kalau sampai Toako dikalahkan oleh anak muda dari angkatan muda itu masakah nama Gi pak siang hong masih bisa kumandang di kalangan kangouw?" seketika timbul nafsunya membunuh, pikirnya: "Mumpung Nyo Sugi belum keburu datang biar kubunuh dia biar tutup mulut." menurut perhitungan Pek Kian bu pasti dapat dibunuh oleh Siam tiong siang sat asal Geng Tian berhasil dibunuhnya siapa pula yang bakal tahu bahwa Gi pak siang hiong pernah menindas anak muda dari angkatan mendatang secara keroyokan.
Begitu timbul nafsunya membunuh orang she Kong ini lalu beranjak maju ketengah gelanggang, katanya dingin: "Satu kaki kau menghormati aku kubalas satu tombak, kau bocah ini tidak kenal aturan berani memandang rendah kami Gi pak siang hiong, kami pun tidak perlu mematuhi aturan Kangow segala."
"Baik sekali!" jengek Geng Tian. "Silahkan kalian maju bersama ingin aku lihat sebetulnya kalian ini orang gagah atau binatang sebangsa anjing atau binatang." Dalam berkata kata ini tahu tahu tangan kiri sudah mengeluarkan kipas lempitnya, begitu cakar orang she Khong mencengkeram tiba, kipas Geng Tian segera menutuk kejalan darah dipergelangan tangan orang.
Orang she Khong mencemooh dengan suara dingin lalu berseru: "Cepat benar!" sigap sekali ia merubah jurus serangannya, kedua jarinya terangkap bagai jepitan besi seraya membentak: "Diberi tidak membalas kurang hormat kau bisa main main tutuk memangnya aku tidak bisa?"
Laki laki she Toh itu membarengi dengan dua kali pukulan telapak tangannya yang menderu, angin pukulannya bergelombang menyampuk miring kipas Geng Tian, kejadian berlangsung teramat cepat, jari-jari orang she Khong itu sudah hampir mengenai Teciang hiat Geng Tian.
Walaupun dua orang turun tangan bersama barulah orang she Khong bisa meluputkan dari tutukan tunggal kipas Ceng Tian tapi Ceng Tian itu dengan dijuluki San tian jiu tangan kilat begitu ujung kipasnya terapung miring maka tutukannyapun tidak mengenai sasarannya namun gerak kemampuannya ini sudah cukup hebat juga.
Dua pihak saling berloncatan segesit kelinci selincah burung kutilang, dua pihak sudah saling menjajaki dalam gebrakan pertama ini Geng Tian harus melawan kedua musuhnya bagaimana juga ia terdesak di bawah angin. Tapi matanya yang jeli dan kupingnya dipasang mendengarkan situasi sekitarnya, dilihatnya Pek Kian bu dirabu Siam-tiong-siang-sat kepayahan, apalagi kedua kakinya kejeblos kedalam lumpur, sehingga gerak-geriknya tidak leluasa, hendak laripun tidak mungkin lagi. Jiwanya diambang kematian, keruan hatinya amat gugup.
Pertempuran tokoh tokoh silat tingkat tinggi mana boleh perhatian terpencar ? Terdengar suara "Plak !" yang rada keras, kipas ditangan Geng Tian tepat kena diselentik oleh jari orang she Kong, sehingga terpental terbang dari cekalannya.
"Bagus," teriak Geng Tian. "Biar aku adu jiwa dengan kalian!" sigap sekali gerakan kedua telapak tangannya, telapak tangan bergerak membundar kekanan, sementara tangan kanan bergerak kearah yang berlawanan pula keduanya tergabung menjadi sebuah lingkaran bundar besar, kelihatannya tidak menggunakan tenaga dan tidak membawa kesiur angin sedikitpun, namun kekuatan yang menerjang keluar justru bagaikan gugur gunung dahsyatnya menerjang kearah kedua laki laki baju hitam.
Kontan kedua pihak tersurut mundur tiga langkah besar, Geng Tian merasakan dadanya sesak oleh darah yang bergolak, seolah-olah di perutnya jungkir balik dan sakit luar biasa.
Toh dan Khong dua orang itupun mengalami penderitaan yang tidak ringan, terutama orang she Khong yang Lwekangnya lebih rendah, merasa mata berkunang kunang kepala pusing tujuh keliling sampai sekian lamanya baru dia bisa membuka mata dan pandangan menjadi jernih kembali, keruan mencelos hatinya.
Ternyata dengan gabungan kekuatan mereka berdua meski setingkat lebih unggul tetapi orang she Khong ini tahu bahwa kerugian yang diderita Geng Tian jauh lebih besar dari pihaknya, tak urung ia menjadi jera.
Bahwa orang she Khong sudah teramat kaget, justru Toakonya, orang she Toh itupun jauh lebih kaget dari dia. Tapi orang she Toh ini bukan hanya kaget oleh kekuatan pukulan Geng Tian yang kokoh dan kuat, yang lebih dikejutkannya adalah bahwa orang melancarkan sejurus Tay-gao-pat-sek. Sekilas ia menenangkan hati, disaat orang she Khong itu sudah siap hendak menubruk lagi. Cepat ia berseru mencegah : "Tunggu sebentar !" Orang she Khong melengak, tanyanya, "Toako, kenapa ? Memangnya kau hendak melepas bocah ini ? Belum tentu kita bisa dikalahkan olehnya !"
Berkata laki-laki baju hitam itu dengan nada berat; "Tanyakan jelas dulu baru dilanjutkan." lalu ia berpaling kepada Geng Tian dan tanyanya : "Harap tanya kau she Siang atau she Kongsun?" nada ucapannya rada lembut.
Mendengar pertanyaan itu sekilas Geng Tian melengong katanya : "She Siang atau Kongsun tiada yang mempunyai sangkut paut dengan diriku kalau kau hendak tanya sanak atau kadang, salah kalau kau mencari aku."
"Oho kalau begitu tentu kau she Geng," seru laki laki baju hitam pula : "Kanglam Tayhiap Geng Ciau pernah apamu ?"
O^~dwkz^hendra~^O TERNYATA serangan yang dilancarkan oleh Geng Tian tadi adalah salah satu jurus dari Tay gan-pat-sek. Tay-gan pat sek adalah ilmu silat warisan keluarga Bulim Cianpwe Siang-Kian thian. Siang Kian thian tidak punya putera hanya punya dua anak putrid. Kedua putrinya ini berturut turut akhirnya menikah sama seorang yang bernama Kongsun Ki. Bagi orang orang Bulim yang tidak tahu seluk-beluknya secara mendalam hanya tahu bahwa kedua putri Siang Kian thian sama kawin dengan Kongsun Ki maka warisan ilmu keluarga Siang yaitu Tay-gan pak-sek selanjutnya pastilah akan menurun ditangan mereka. Harus diketahui bahwa Tay gan-pat-sek dari keluarga Siang ini sebetulnya tidak diturunkan kepada orang luar, tapi ayah Geng Tian yaitu Geng Ciau secara tak terduga karena kebetulan ketiban rejeki jadi mempelajari Tay-gan pat-sek, terjadilah suatu ketika untuk menyelamatkan jiwa Geng Ciau, putri kedua keluarga Siang sebelumnya tidak diberi penjelasan, menipunya mempelajari Tay gan-pat-sek itu kejadian jurang atau orang Kang-ouw yang mengedahului sampaipun Geng Tian hanya tahu bahwa Tay-gan pat sek bersumber dari keluarga Siang, cara bagaimana ayahnya bisa mempelajarinya, diapun tidak tahu. (untuk mengetahui hubungan Geng Ciau dengan keluarga Siang, bacalah pendekar latah)
Sekarang putri Siang Kun thian dan Kongsun Ki sudah meninggal, dalam dunia ini yang bisa menggunakan Tay gan-pat sek hanyalah Geng Ciau ayah beranak dan Siang Ceng hong ibu beranak empat orang saja.
(Kongsun sendiripun tidak pernah meyakinkan Tay gan pat-sek karena latihan Lwe-kang Siang Ceng Long kurang tinggi, latihan Tay gan pat-seknya pun kurang matang malah putranya Kongsun Bok mendapat didikan langsung dari Geng Ciau yang mewakilinya. Cuma usia Kongsun Bok lebih tua dari Geng Tian, waktu Geng Tian kembali ke kanglam, Kongsun Bok sudah lama meninggalkan rumah keluarga Geng)
Yang aneh bahwa laki laki baju hitam ini tidak tahu bahwa Tay-gan-pat-sek sudah putus turun diantara keluarga Siang sendiri bukan setiap orang ada meyakinkan (oleh karena itulah maka tadi ia bertanya apakah Geng Tian she Siang atau she Kongsun). Tapi ia tahu bahwa ayah Geng Tian ada meyakinkan ilmu tunggal keluarga Siang.
Untunglah Geng Tian sendiripun tidak begitu jelas mengenai asal usul Tay gan-pat sek ini yang diherankan hanyalah dari mana laki-laki baju hitam ini bisa tahu ilmu yang digunakan tadi adalah Tay gan-pak-sek, malah berani memastikan bahwa dirinya tentulah orang she Geng. "Apakah dia kenalan baik ayah?" demikian batin Geng Tian.
Namun rasa permusuhan meski belum lenyap mendengar orang dikalangan menyinggung nama ayahnya, menggunakan sebutan Kanglam Tayhiap dengan sikap yang hormat terpaksa Geng Tian harus merubah sikap sahutnya sopan: "Tidak berani, Kanglam Tayhiap yang kau maksud adalah ayahku!"
Laki laki she toh berbaju hitam itu segera berseru tertahan, katanya; "Jadi kau Geng Kongcu adanya, sungguh kami bertindak kelewat batas!" ucapannya semakin sungkan dan hormat, menyusul ia menghela napas serta ujarnya: "Sayang, sayang!"
"Sayang apa?" tanya Geng Tian keheranan.
"Ayahmu adalah pendekar besar yang dihormati dan dikagumi orang orang Bulim sebaliknya kenapa kau bergaul dengan manusia rendah yang dina ini?''
Dalam seribu kerepotannya, Pek Kian bu masih sempat berteriak: "Geng Kongcu, jangan kau percaya obrolan mereka!"
Siam tiong siang-sat menjadi gusar dampratnya: "Perbuatan yang pernah kaulakukan berani kau memungkirnya?" sepasang golok mereka menyerbu lebih gencar lagi. "Bret !" lengan baju Pek Kian-bu terpapas sobek oleh golok lawan, celaka dia lengan kirinya tergores luka sepanjang tiga dim, untung tidak sampai mengenai tulangnya.
"Sukalah kau suruh kedua temanmu itu berhenti lebih dulu," pinta Geng Tian.
"Baik," sahut laki she toh baju hitam itu. "Hiantit berdua sementara tak usah kalian turun tangan keji, marilah dengar apa yang hendak diucapkan oleh Geng Kongcu."
"Jangan turun tangan keji dan berhenti, berlainan artinya. Siam tiong-siang-sat mendengus bersama katanya: "Kulihat muka Toako biar nanti sebentar kubereskan jiwamu." sinar golok ditangan mereka tiba tiba melingkar lingkar rapat, gerak gerik Pek Kian-bu masih terbungkus didalam sinar goloknya. Cuma serangan-serangan ganas yang mematikan tidak dilancarkan untuk sementara memang jiwa Pek Kian bu tidak perlu dikuatirkan.
"Perbuatan apa yang pernah dilakukan oleh Pek jiko, kalian memakinya begitu rendah dan hina?" tanya Geng Tian.
Laki-laki berbaju hitam she toh itu menjawab: "Malu aku menjelaskan biar kutanya kau lebih dulu, cara bagaimana kau bisa mengikat persahabatan dengan dia?"
"Dia kan salah satu dari Su-tay-kim-kong dari Ceng-liong-pang, bukankah kalian sudah mengetahuinya?''
"Memangnya kenapa dengan Ceng-liong-pang?" jengek laki laki she Khong itu.
Geng Tian itu melengak tanyanya: "Apakah kalian tidak kenal Liong pangcu dan Ceng liong pang?''
"Pernah kudengar dia bernama Liong-Jiang-poh," ujar laki laki she toh dengan nada tawar.
"Kalau kalian sudah tahu Liong Jiang-poh memangnya kalian tidak tahu apa saja yang dilakukan oleh Ceng-liong-pang?"
"Tidak tahu," lagi-lagi lelaki she Khong itu menanggapi dengan nada dingin.
"Ceng liong-pang merupakan organisasi rahasia dibawah tanah yang melawan penjajah bangsa kim, tapi golongan pendekar dari kalangan kangouw banyak yang tahu akan tujuan mereka." Berpikir Geng Tian; "Agaknya mereka tidak kenal dan tak ada hubungan dengan paman Liong mungkin pula tidak pernah bergaul dengan golongan pendekar!" sebetulnya rahasia ini Geng Tian tidak boleh membocorkan kepada orang luar, tapi melihat orang she Toh itu bersikap hormat, dan menyegani ayahnya apalagi kalau tak dijelaskan mungkin jiwa Pek Kian-bu sulit diselamatkan.
Sebentar Geng Tian berpikir, lalu ambil putusan memikul tanggung jawab ini, katanya: "Liong Jiang-poh adalah sahabat lama ayahku, pertempuran di Jay-ciok ki dia memberikan pahala paling besar. Ia mendirikan Ceng Liong-pang atas anjuran ayahku. Disaat Ceng Liong pang berdiri, Pek jiko sudah ikut berjuang selama ini, ia menjadi pembantu Liong pangcu."
Tampak laki-laki she Toh itu melenggang lalu menegas: "Betul ucapanmu?!"
"Memang aku berani menggunakan nama baik ayahku menipu kau?"
Laki laki she Toh menghela napas ujarnya: "Kupandang Geng kongcu dan Liong pangcu. Jiwi Hiante biarkan bajingan itu pergi."
"Toako, sakit hatiku tak terbalas," teriak Siam tiong siang sat.
"Balas tidak sakit hati ini akan kita lihat dari sepak terjang bocah keparat itu kelak," kata laki laki she Toh itu, "He! Pek Kian bu dengar peringatan kami bahwa kau sudah suka membantu perjuangan Geng kongcu maka bekerjalah baik baik kalau kau mau bertobat dan benar benar membina diri sebagai laki laki sejati sakit hati itu boleh kami anggap impas saja. Kalau sebaliknya, hm kejadian seperti hari ini akan terulang lagi!"
"Bocah she Pek kau harus ingat peringatan Toako," demikian seru Siam tiong siang sat uring uringan. "Kupandang muka Geng kongcu dan Toh toako hari ini sementara kami mengampuni jiwamu." lalu mereka lari keatas berempat bergabung, seru laki she Toh itu: "Geng kongcu, selamat bertemu lain kesempatan." sekejap saja mereka sudah pergi jauh.
Geng Tian membatin: "Dari nada bicara orang she Toh agaknya mereka dari golongan pendekar juga. Apakah Pek jiko benar benar melakukan sesuatu kesalahan yang memalukan terhadap mereka?"
Pek Kian bu tahu Geng Tian sudah mulai curiga terhadap dirinya, ingin ia segera naik keatas memberi penjelasan namun dalam waktu dekat belum bisa ia merangkai suatu cerita bohong maka hatinya menjadi gugup dan gelisah, sehingga kedua kaki seakan akan tidak mau dengar perintah lagi. Ternyata dalam menghadapi serangan gencar Siam tiong siang sat, tenaganya sudah terkuras habis, kedua kaki tertanam didalam lumpur lagi sampai ke dengkul begitu ia kerahkan tenaga melompat malah terjerumus jatuh semakin dalam.
Kebetulan Lo Hou wi sudah memburu tiba melihat keadaannya itu keruan terkejut dan berteriak: "Jiko kenapa kau?" lekas ia memburu kesana menolong Pek Kian bu dan diseret keluar dari lumpur. Tapi pakaiannya sudah kotor belepotan lumpur sudah tentu keadaannya amat runyam, katanya; "Untung Geng Kongcu datang tepat pada waktunya sehingga engkohmu yang bodoh itu tidak sampai terluka. Samte terima kasih atas perhatianmu!"
Secara tidak langsung kata kata itu mengenali kedatangan Lo Hou wi yang terlambat sehingga dirinya serba runyam dan tidak enak dipandang mata. Tak pernah terpikir bahwa ginkang Lo Hou wi bahwasanya jauh ketinggalan dibanding Geng Tian. Lo Hou wi seorang polos, jujur, dan lucu lagi sedikitpun tidak mendengar nada saudara tuanya.
Dengan air sungai Pek Kian Bu mencuci kotoran lumpur lalu dengan terpincang pincang merembet naik keatas. Kata Lo Hou wi; "Jiko, biar kubawakan kantong air ini, tadi apa yang telah terjadi?" melihat napas Pek kian bu sudah reda, barulah ia berani mengajukan pertanyaan.
"Nanti kuceritakan setelah bertemu Toako," sahut Pek Kian bu, kebetulan dari dalam hutan berlari keluar seseorang dan dua orang itu kiranya Nyo Sugi adanya. Karena melihat Pek Kian bu pergi sekian lamanya tidak pulang pulang mengambil air toh tidak perlu beberapa lamanya, kenapa harus tertunda sekian lamanya maka segera ia menyusul datang.
Seru Lo Hou wi girang, "Toako sudah dating, kau tidak tahu barusan jiko bentrok dengan penjahat."
"Dimana para penjahat itu? Orang orang macam apa saja mereka?" tanya Nyo Sugi.
"Mereka sudah digebah lari oleh Geng kongcu," sahut Lo Hou wi.
"Tidak," sela Geng Tian, "Mereka sendiri yang menghentikan pertempuran dan tinggal pergi. Entah orang orang dari golongan mana mereka kukira tidak bisa dikatakan penjahat."
"Memangnya siapa mereka sebenarnya?" Nyo Sugi menegas.
"Mereka, mereka . . . '' Pek Kian bu tergagap. Melihat orang susah bicara Geng Tian segera menjawab, "Pek jiko kau istirahat saja. Biar aku yang menjelaskan."
"Geng kongcu," tanya Nyo Sugi, "Kau kenal kawanan penjahat itu ?"
"Kenal sih tidak mereka menamakan dirinya Gin pak siang hiong dan Siam tiong siang sat."
Nyo Sugi melengak kaget, katanya: "Jite kenapa kau bisa bermusuhan dengan Gi-pak siang hiong dan Siam-tiong siang sat?"
"Cukup panjang kalau kujelaskan persoalan ini biar sebentar kuterangkan kepada Toako," demikian sahut Pek Kian bu.
"Baiklah mari kita kembali kebiara dan bicara disana saja, aturlah dulu pernapasanmu," lalu ia genggam tangan Pek Kian bu terasa olehnya meski urat nadinya berdenyut keras, tapi tiada tanda-tanda luka-luka dalam, barulah lega hatinya. Pikirnya: "Menghadapi Siang-tiong siang sat, ternyata Pek-jie tidak sampai terluka boleh juga."
"Orang macam apa sebenarnya Gi pak-siang hiong dan Siam-tiong siang-sat itu??" tanya Geng Tian.
Nyo Su-gi lalu menjelaskan : "Gi-pak siang hiong yang tua bernama Toh Hoa, seorang yang lain bernama Khong Ceh, walau kedua orang ini bukan dari golongan pendekar, nama mereka cukup harum dan ternama juga di kangouw. Sebetulnya sudah beberapa tahun yang silam Liong pangcu sudah hendak hubungan dengan mereka. Beliau suruh aku mencari jejak mereka, sayang aku tidak berhasil menemukan mereka."
"Lalu Siam-tiong siang sat ?"
"Siam-tiong siang sat mereka bernama Tio Thong dan Siu Ge ilmu silat yang mereka latih berbeda tapi digabung sama, merupakan aliran tersendiri."
"Dari golongan mana mereka ?"
"Aku sendiri tidak begitu jelas akan asal usul mereka. Kabarnya mereka adalah tokoh-tokoh yang setengah sesat dan setengah lurus. Namanya tidak seharum Gi pak-siang-hiong, tapi mereka agaknya tidak terlalu banyak kejahatan."
Disaat Nyo Su gi menjelaskan asal usul Siang hiong dan Siangsat itu, Pek Kian-bu tidak menyela bicara. Tanpa terasa mereka sudah tiba didalam biara bobrok itu.
Melihat mereka kembali bersama, Ong Beng Im lantas bertanya : "Geng kongcu, tadi adakah kau pernah kembali ?"
Geng Tian melengak, sahutnya heran : "Tidak !"
"Kenapa kau bertanya demikian ?" Tanya Nyo Sugi.
"Kutunggu-tunggu kalian tidak kunjung pulang baru saja aku hendak mapan tidur, tiba tiba mendengar suara keresekan, waktu aku angkat kepala terlihat diluar lobang itu seperti ada sebuah bayangan hitam berkelebat cepat, aku mengejar keluar, namun apapun tidak kelihatan. Kalau bayangan orang, maka ginkang orang itu betul-betul hebat."
"O, maka kau sangka bayangan itu adalah Geng kongcu ?" oleh Lo Hou-wi tertawa.
Kalau dia menggoda akan kesalahan prasangka Ong Beng-im, sementara dalam hati ia sendiri juga sedang menerka: "Mungkinkah dia ?"
"Memangnya, kukira kalian diluar bentrok dengan musuh, Geng-kongcu kembali minta bantuan. Melihat Toako tiada, tahu bahwa sudah pergi membantu, maka ia tidak sempat masuk lagi," demikian tutur Ong Beng im.
"Kalau Geng kongcu meski tidak melihat Toako tentu kau akan diajaknya," demikian goda Lo Hou wi pula.
"Aku tahu bahwa terkaanku ini terlalu goblok, tapi ginkang orang itu memang teramat lihay, sulit kubayangkan kecuali Geng-kongcu, siapa pula yang punya ginkang sedemikian tinggi," demikian Ong Beng-im menjelaskan kesalahannya.
Pek Kian-bu menyela sambil tertawa, "Site, waktu itu kau sudah ngantuk bukan, mustahil bayangan sudah kabur ?"
Ong Beng-lm sendiri memang sulit memastikan diri, katanya; "Maksudmu karena ngantuk sehingga aku terbayang baying."
"Biarlah kuperiksa dulu. Bolong yang mana ?" tanya Nyo Su-gi.
Biara kuno ini memang sudah bobrok dan tidak terawat lagi. Dindingnya sudah banyak lobang dimana-mana. Tapi lobang yang ditunjuk Ong Beng Im itu memang rada lain keadaannya, jauh lebih besar pula dari lobang lobang lainnya.
"Benar, memang ada orang mengintip disini," kata Nyo Su gi pasti.
"Darimana kau tahu ?" Tanya Pek Kian bu.
"Lihatlah ada runtuhan tembok yang baru jatuh dilantai. Lobang ini terang dikorek lebih besar oleh seseorang menggunakan senjata tajam, mungkin karena lobangnya yang semula dianggap terlalu kecil dan kurang jelas melihat keadaan didalam."
Kata Geng Thian, "Menurut pendapatmu, mungkinkah bantuan Siang-hiong atau Siang-sat?"
"Kukira bukan, Siang-hiong dan Siang-sat pasti yakin kuat menghadapi kami berempat jika dia hanya hendak menuntut balas kepada jite, kukira tidak perlu mereka mendatangkan bantuan lainnya. Seumpama benar mengundang bala bantuan, toh tidak perlu main intip ditempat?" kata Nyo Su gi menganalisa.
"Jadi musuh lainnya mungkin?" tanya Geng Tian pula.
"Kukira bukan. Coba pikir kalau Ginkang orang itu begitu tinggi ilmu silatnya tentu tidak begitu lemah. Seorang diri Site berjaga di sini, kalau orang itu musuh bukankah kebetulan malah bisa meringkusnya dan dibawa pergi ?"
"Ucapan Toako tidak salah!'' Geng Tian memberikan suaranya. "Kalau orang itu teman kita sepantasnya mengunjukkan diri. Dia pergi setelah mengintip, agaknya bukanlah teman. Bukan musuh bukan pula teman, ini betul rada aneh dan mengherankan."
"Siapa orang itu, tidak perlu kami persoalkan," demikian ujar Nyo Sugi, "Ji te, napasmu sudah teratur belum?"
"Ya sebab musabab dari permusuhanku dengan Siang sat dan Siang hiong sudah saatnya kututurkan kepada Toako.''
"Terlalu panjang untuk menjelaskan persoalan ini, Khong Ceh dari Gi-pak-siang-hiong punya seorang adik perempuan yang bernama Khong Ling, Toako tahu bukan?"
"Menurut cerita orang," demikian kata Nyo Su-gi. "konon adiknya perempuan itu juga pernah muncul di Kangouw malah memperoleh nama yang cukup terkenal. Tapi beberapa tahun belakang ini sudah tidak pernah kabar ceritanya."
"Mewakili orang tuanya Khong Ceh ini sebagai wali menjodohkan adiknya perempuan itu kepada Gan dari Siam tiong-siang-sat."
"O, jadi mereka keluarga bersama," demikian kata Nyo Sugi, "Memangnya kenapa ?"
"Soal ini harus kujelaskan dari peristiwa lainnya," demikian tutur Pek Kian bu lebih lanjut. "Suatu ketika aku pernah mendapat perintah dari pangcu, sebagai wakilnya merestui dan memimpin pembukaan berdirinya cabang di Jiong cia, kau masih ingat bukan ?''
"Benar, kejadian itu sudah lima tahun yang lalu. Tugas yang kau jalankan mendapat sukses besar, bukankah tidak pernah terjadi keributan apa?"
"Tidak, pernah terjadi sedikit keributan. Cuma kejadian itu tidak enak kulaporkan kepada Liong pangcu."
"O, keributan apa?"
"Jiang ciu terdapat seorang buaya darat yang dijuluki Hwe-gian lo, pemilik tanah ribuan bahu, membuka puluhan pegadaian. Menindas petani, memeras orang orang miskin dengan pajak berat sehingga rakyat amat marah kepadanya. Waktu aku tiba di Jiang-ciu kebetulan sebentar rakyat yang kelaparan sedang menyerbu datang kerumahnya hendak membongkar gudang makanannya. Maka setelah aku selesai memimpin peresmian berdirinya cabang dan segala selesai, para saudara anggota dan cabang Jiang ciu mohon kepadaku untuk tinggal sementara waktu, bantu mereka menggempur Hou keh-po."
"Hm, terhitung tidak mengabaikan harapan para saudara disana, aku ikut menyumbangkan tenagaku, dengan kerja sama dari dalam dan luar, akhirnya kami berhasil membobol benteng Hwe giam lo, dan sekali golok raja tanah itu kami bunuh."
"Memberantas kejahatan membunuh buaya darat, membela yang lemah demi kepentingan khalayak ramai adalah perbuatan yang harus dipuji bagi golongan kita. Pek jiko, tidak salah kau bunuh Hwe giam lo itu!" demikian Geng Tian memberikan suaranya.
"Bukankah urusan itu pernah kau laporkan kepada Liong-pangcu?" kata Nyo Sugi.
"Dalam kejadian ini ada terbelit persoalan lain yang tidak enak kulaporkan."
"Kalau memang tidak leluasa dikatakan tidak usah kau jelaskan. Aku percaya kepada kau !"
"Permusuhanku dengan Siang-sat dan Siang-hiong ini, meski Toako percaya akan kebenaran dipihakku, tapi kalau tidak kujelaskan, kukira sulit menghilangkan rasa curiga para saudara."
"Ji-ko," timbrung Ong Beng-im, "minumlah dulu membasahi tenggorokannya."
Pek Kian-bu melanjutkan : "Waktu itu karena pertahanan dan bangunan benteng Hou-keh-po amat kukuh dan sukar dijebol, maka sebelumnya sudah kami sepakatkan, secara diam-diam aku menyelundup kedalam benteng membunuh buaya darat itu, setelah berhasil barulah kami akan bergerak serempak dari dalam dan luar."
Nyo Su-gi manggut-manggut, ujarnya : "Betul, memang harus begitu. Pertahanan benteng Hwe-giam-lo itu mungkin terlalu ketat dan kuat sekali, bagaimana kau bisa berhasil ?"
"Didalam benteng ada beberapa orang agen kami yang dipendam disana, menurut gambar yang dilukiskan kepadaku, aku menemukan kamar tidurnya, sudah tentu gampang saja kutemukan tanpa banyak keluar tenaga. Cuma, ada sebuah hal yang betul betul diluar dugaanku."
"Ilmu silat Hwe-giam-lo itu cukup tinggi ?" sela Lo Hou-wi.
"Waktu aku menemukan kamarnya dia sedang tidur memeluk seorang perempuan genit yang berdandan molek."
"Hartawan besar yang suka hidup foya-foya, tidaklah heran kalau punya tiga istri empat gundik tidur bersama dengan para gundiknya adalah kejadian biasa. Dalam hal apa yang berada diluar dugaanmu ?" tanya Geng Tian.
"Hwe-giam-lo sendiri hanya bisa ilmu cakar ayam, biasa saja ilmu silatnya. Sebetulnya perempuan pesolek itu teramat tinggi kepandaiannya aku kena timpukan pisau terbangnya dan hampir saja jiwaku melayang. Tapi akhirnya toh aku berhasil membunuh mereka. Toako, coba kau tebak siapa perempuan pesolek itu. Ternyata dia adalah Khong Ling adik Khong Ceh itu atau calon istri Siu Gie."
Sebentar Nyo Sugi melengak, katanya : "Hah, jadi begitulah kau mengikat permusuhan dengan mereka. Tak heran belakangan ini tidak pernah kudengar orang menyinggung Khong Ling kiranya kau sudah bunuh ?"
"Khong Ceh tahu tidak kalau adiknya melakukan perbuatan rendah dan kotor itu?" tanya Geng Tian.
"Sudah kujelaskan kepadanya, tapi ia tidak percaya. Siu Ge lebih membenci dan dendam kepadaku, malah dia menuduh aku hendak memperkosa calon istrinya, karena gagal lantas membunuhnya."
"Ada tidak orang lain yang menjadi saksi waktu kejadian itu berlangsung ?" tanya Nyo Sugi.
"Waktu itu aku belum tahu kalau dia itu Khong Ling, setelah laskar rakyat menyerbu masuk ke Hou-keh-po dan membongkar gudang makanan, lantas menyulut api dan membakar Hou-keh-po menjadi tumpukan puing Hwe-giam lo dan Khong Ling ikut terbakar didalam api. Para saudaranya hanya tahu bahwa yang kubunuh adalah Hwe giam-lo dengan gundiknya."
Nyo Su-gi mengerut alis, katanya, "Sang korban sudah mati dan tiada bukti atau saksi, sungguh sulit juga untuk menyelesaikan persoalan ini."
"Justru karena Gi-pak-siang-hong punya nama harum di Kangouw, maka kalau hal ini sampai bocor dan tersiar diluar, bukan saja menjatuhkan pamor mereka, tentunya merusak persahabatan pula. Maka aku terima difitnah mereka dan tidak akan kubongkar borok ini dihadapan orang banyak," demikian Pek Kian-bu membela diri.
Nyo Su-gi menepekur sebentar, lalu katanya, "Betul, demi gengsi dan nama baik, kita terima mengalah saja, toh kebenaran memang dipihak kita, kalau aku sendiri yang terlibat dalam persoalan ini, akupun akan berbuat demikian. Tapi, kaupun tidak perlu risau, perkara pasti dapat dibikin jelas, pelan saja akan kucarikan daya upaya. Suatu ketika pasti Siang-sat dan Liang-hong dapat kuberi pengertian."
Maksud Nyo Su-gi sebagai seorang tertua adalah baik dan jujur dan demi kepentingan mereka bersama, namun mendengar janji Toakonya itu, hati Pek Kian-bu menjadi was-was dan tidak tenteram. "Mungkin Toako hanya sekedar omong saja. Dengan cara apa ia dapat menyelidiki perkara ini sampai terang."
Sebetulnya mereka hendak mengobrol semalam suntuk, namun karena Pek Kian-bu barusan bertempur sengit gara-gara perkara yang runyam itu, maka hilanglah semangat mereka untuk mengobrol lebih lanjut, berkata Nyo Su-gi : "Jite harus istirahat dulu, marilah tidur semua. Kelinci itu biar kita panggang besok pagi."
Walau menghibur diri sendiri, namun karena Pek Kian-bu dibayangi perbuatan sendiri yang selalu mengganjel dalam sanubarinya, semalam suntuk ia gulak-gulik tidak bisa tidur pulas.
Demikian juga Geng Tian dirasakan pikiran yang timbul tenggelam, semalaman ia pun tidak bisa tidur, pikirnya, "Seorang laki laki sejati tidak merebut kesenangan orang lain, aku sudah tahu kalau Lo Hou wi menaruh hati terhadap nona Nyo, soal merunding turut mengikat perjodohan, ah, tak usah dibicarakan saja." sedang pikirannya melayang layang itulah mendadak didengarnya suara "Plok" melayang masuk sebutir batu.
Geng Tian dan Pek Kian bu sama tidak tidur, maka mereka berdua yang berjingkrak kaget lebih dulu Pek Kian bu membentak, "Siapa? Aduh ....'' ia sangka Siang-sat putar balik hendak menuntut balas pula kepadanya, namun baru saja ia membentak kontan ia menjerit kesakitan, karena ketimpuk sebutir batu yang telah mengenai urat nadinya yang penting, saking kesakitan ia bergelindingan dilantai.
Sebat sekali Geng Tian melesat keluar dilihatnya sesosok bayangan bagai meteor jatuh melesat kesana. Geng Tian rada kaget batinnya: "Ginkang orang begitu lihay mungkin, mungkinlah . . ." tapi ia berpikir pula: "Tidak mungkin, kalau betul dia, mana mungkin dia melukai Pek-jiko dengan senjata rahasia?" kiranya iapun mencurigai bayangan hitam itu adalah bayangan yang mengintip dan dilihat Lo Hou-wi tadi, dia bukan lain adalah putrinya Nyo Yan-sing yang bernama Nyo Wan-ceng.
Malam amat gelap berada ditengah hutan lebat lagi sehingga sulit Geng Tian membedakan laki-laki atau perempuan bayangan yang dikejarnya itu. Melihat orang berlari begitu kencang timbul ingin menang sendiri dalam hatinya, "Baik biar kami bertanding menjajal Ginkang siapa lebih unggul." segera ia kembangkan Pat-poh-han-tan (delapan langkah mengejar tonggeret) bagai menunggang angin ia mengudak dengan kencang.
Sekejap saja mereka masuk kehutan yang lebih dalam dan lebat, tanpa bersuara orang itu terus kembangkan Ginkangnya melarikan diri. Lapat2 terdengar oleh Geng Tian, Nyo Su-gi sedang berteriak kepadanya di bawah sana, "Geng kongcu kembalilah!" ternyata Nyo Su-gi insaf ginkang sendiri tidak akan mampu menandingi mereka tapi berkuatir seorang diri Geng Tian bisa terjebak muslihat musuh, maka dia berteriak supaya kembali saja.
Sudah tentu Geng Tian tidak hiraukan seruannya, kakinya malah dipercepat. Tak jauh didepan sana didalam kegelapan tampak selebat lamping gunung curam yang mencuat naik tak kelihatan berapa tingginya, untunglah lamping gunung ini tidak licin malah diberbagai tempat tampak batu besar yang menonjol dan lekukan tanah yang tidak merata menginjak batu2 dan lekukan-lekukan tanah itulah dengan mengembangkan Ginkangnya orang itu terus berlari naik keatas seperti memanjat tangga. Sambil berlompatan seenteng burung setelah kira-kira tujuh delapan tombak ia berpaling melongok kebawah.
Sekonyong-konyong Geng Tian tersentak sadar dan waspada pikirannya: "Dia diatas aku dibawah, waktu aku berlompatan naik keatas cukup ia menghamburkan batu batu gunung, bukankah aku bakal mati konyol dengan badan hancur?"
Disaat ia bimbang dan berkeputusan itulah sambil menoleh kebawah orang itu menjengek: "Tidak berani mengejar kemari ya?" suaranya melengking tinggi dan cepat sekali kata-katanya diucapkan dari mulutnya terang sekali orang sengaja bicara dengan mengecilkan nada merubah suara aslinya.
Karena olok-olok ini Geng Tian panas hatinya bentaknya: "Kau bisa naik akupun bisa, memangnya kau anggap aku takut?" mengeraskan kepala segera ia manjat naik keatas lamping gunung yang curam itu. Diluar dugaannya ternyata orang itu tidak berusaha mengganggu atau merintangi dirinya dengan bokongan, sambil bertolak pinggang ia berkata dari tempat diatas: "Hebat benar memang kau punya keberanian."
Setelah berdiri tegak Geng Tian mengerahkan pandangan matanya dibawah sinar bulan sabit yang redup sinar-sinarnya, dilihatnya orang berperawakan kurus kerempeng mengenakan topi beludru, topinya tertekan dalam sampai menutupi alisnya, demikian juga mukanya mengenakan cadar hanya terlihat sepasang matanya.
"Siapa kau?" tanya Geng Tian curiga.
Belum lenyap suaranya tiba-tiba matanya kabur akan kelebatnya selarik sinar perak tahu-tahu orang itu sudah mencekal sebatang cambuk panjang lemas lencir berwarna putih kemilau, "Sret" tanpa bicara ia terus menyabet kepada Geng Tian jengeknya dingin: "Kabarnya kau dijuluki Lan-cian jiu ingin aku menjajal kepandaianmu?"
Karena tidak menduga hampir saja Geng Tian kena sapuan cambuk lawan, sigap sekali dengan rasa gugup dia memutar langkah melintir badan berkisar kesamping orang itu, maka terdengarlah suara "Cret'' meski ia berkelit dengan cepat, tak urung pakaiannya tersobek sobek.
Namun sambil berkelit Geng Tian melancarkan serangan balasan, gerak geriknya sungguh teramat cepat dan cekatan sekali. Kejadian berlangsung amat cepat, orang itu menggunakan jurus Wi hong sau yap (angin lepus menyapu daun) cambuk peraknya menyabet datang pula, tahu tahu Geng Tian sudah mengeluarkan kipas lepitnya dengan tipu Huit han hun (hujan deras membalik awan), ia sampok cambuk lawan kesamping.
Kedua orang sama menggunakan senjata tunggal masing masing dan sengitlah pertarungan adu kepandaian ini. Kalau kipas Geng Tian dikembangkan bisa digunakan sebagai Ngo heng kiam kalau dilepit bisa digunakan sebagai Boan koan pit didalam penggunaannya yang keras itu terdapat kelembutan demikian pula sebaliknya kalau bergerak cepat laksana kilat atau geledek menyambar, setiap jurus tipunya mengarah Hiat to penting dibadan lawan.
Kalau bergerak tenang dan lamban, sekokoh gagang bercokol diatas bumi meski kipasnya kecil dan pendek, namun dapat dimainkan sedemikian rapatnya, seumpama hujan deraspun tidak akan bisa tembus.
Tapi ilmu cambuk orang itu pun teramat lincah dan enteng bagai bulu melayang, cambuk panjangnya, sebaliknya kipas lempit Geng Tian pendek didalam penggunaan senjata dia lebih jauh lebih unggul dan menguntungkan. Begitulah kedua pihak serang menyerang menjaga diri sama sama mengembangkan ilmu silat masing masing dengan berbagai variasi yang tidak kurang ratusan rupa banyaknya. Selama ini Geng Tian harus mengakui kehebatan lawan, karena keadaan masih tetap berimbang sama kuat.
Dalam pertempuran yang menanjak sampai puncaknya, Geng Tian melancarkan Lwekang dan ilmu pukulan dari Tay gan pat sek yang tinggi didalam berkelebatnya bayangan kipas diselingi oleh ribuan pukulan telapak tangannya, mendadak jarinya meraih dan telak sekali ia pegang ujung cambuk lawan. Begitu kipas dilepit menyusuri badan cambuk yang menerjang itu kipasnya memapas keatas kepergelangan tangan lawan.
Jurus permainan ini amat aneh dan mendadak pula, agaknya orang itu tidak menyangka kalau Geng Tian bukan bergerak menempuh bahaya tanpa pikirkan resikonya dalam gugupnya sudah tentu cambuknya tidak mempan dibetot lepas, dalam seribu kerepotannya sigap sekali ia doyongkan badannya kebelakang sehingga pinggulnya melengkung hampir menyentuh tanah, sehingga ia terhindar dari papasan kipas lawan.
Betapa cepat gerak tangan Geng Tian serangannya ini sebetulnya bisa melukai orang namun ia lantas berpikir, "Tadi dia tidak membokong aku secara menggelap, mana boleh aku melukainya !" maka ia membentak : "Lepas cambukmu !" bagai pisau yang tajam pinggir kipasnya memapas kejari tangannya.
Bagi pertarungan silat tingkat tinggi yang direbutnya hanyalah inisiatip menyerang lebih dulu, kalau dalam melancarkan serangan ini Geng Tian membungkukkan badan menusuk ketenggorokan lawan meski tidak sampai membahayakan jiwa orang, paling tidak ia bisa menundukkan lawan. Tapi karena perubahan pikiran dan sedikit merandek, peluang yang mungkin bahaya berlangsung sepersepuluh detik, namun cukup digunakan lawan untuk balas menyerang. Didengarnya lawan menjengek dingin, "Belum tentu." tiba tiba terasa telapak tangannya panas dan sakit, ujung cambuk perak lawan tahu tahu sudah terlolos lepas dari sela sela jarinya Gen Tian. Dengan jumpalitan membundar miring, orang itu mencelat bangun. "Sret" cambuknya tertarik lewat dari bawah kaki Geng Tian. Reaksi Geng Tian cukup cepat pula lekas ia gunakan gerakan Ui ho cion thian (burung bangau melesat kelangit), sedikit ujung kakinya menutul bumi, badannya lantas terapung tinggi ketengah udara. Tapi samberan cambuk lawan lebih cepat dari gerakannya, ujung cambuk orang seperti lidah ular yang hidup, tahu tahu ikut mendongak keatas telapak kaki Geng Tian toh terkena lecutan juga.
Sungguh heran, sedikitpun Geng Tian tidak merasakan sakit oleh lecutan cambuk orang yang cukup keras itu, seolah olah lawan hanya bermain main saja sekejap lain cambuk orang sudah ditarik balik dari bawah kakinya, ujarnya, "Sekarang siapapun tidak berhutang kepada siapa, mari diteruskan !"
Melihat gerakan lawan begitu cepat diam diam kagum Geng Tian dibuatnya pikirnya, "Tadi kalau aku benar benar melancarkan serangan ganasnya, mungkin dia dapat meloloskan diri juga. Sebaliknya serangan cambuk itu toh tidak pernah memutuskan tulang kakiku. Agaknya memang dia tidak mengandung hati jahat !"
Disaat ia berpikir pikir itulah, bagai hujan bayu yang deras, cambuk lawan telah menyerang datang pula, seru Geng Tian, "Ilmu cambukmu memang hebat aku yang rendah terima kalah saja. Siapa kau sebenarnya, dapatkah aku mengetahui ?"
Karena berbicara perhatiannya terpencar, "Sret !" cambuk mengenai punggung Geng Tian, bentaknya, "Tidak usah mengalah, hari ini harus bertanding mencapai menang atau kalah. Kau berhutang sekali cambukanmu, lain kali aku tidak akan mengenal kasihan lagi." cambukan yang mengenai Geng Tian itu hanyalah serangan pura pura belaka maka Geng Tian tidak merasa sakit.
Timbul rasa dongkol Geng Tian, pikirnya, "Baik, kalau toh kau memaksa hendak bertanding sungguhan terpaksa aku mengiringi kehendakmu!"
Orang itu sudah menempatkan dirinya pada posisi yang menguntungkan, Geng Tian sulit melepaskan diri dari rabuan lawan yang gencar dalam sekejap saja telah puluhan jurus berlangsung.
Selalu Geng Tian melihat disaat keadaan sudah mencapai saat saat genting yang bakal menentukan lawan sengaja mengabaikan kesempatannya yang amat baik itu.
Batinnya dalam hati, "Mulutnya berkata tidak akan menaruh kasihan, kenapa agaknya dia kuatir melukai aku ?" demikian pula orang itu sedang berpikir, "Lwekangnya lebih unggul tidak kurang satu tingkat lebih tinggi, kenapa disaat saat yang menentukan dia tidak menggunakan Tay gak pat sek untuk mengadu kekerasan dengan aku. Belum tentu dia tahu siapa aku mungkin karena tadi aku sengaja tidak melukai dia maka dia-pun membuang kesempatan menggunakan tangan kejinya kepadaku. O bajik dan cinta kasih juga hati orang ini, menurut watak ayahnya sebagai keluarga pendekar yang berjiwa besar dan luhur!"
Dua pihak sama memuji dan kagum terhadap lawannya tiba tiba timbul rasa ingin tahu Geng Tian, "Kenapa dia tidak berani mengunjukkan muka aslinya ?" mendadak ia mendapat akal tiba tiba mendesak maju mendekat dan melancarkan satu serangan dengan menempuh bahaya dan resiko, ujung kipasnya menuding ketimur memukul ke barat menutuk keselatan memukul ke utara, bagai kilat sekaligus ia mencecah dengan puluhan jurus tipu tipunya yang keji dan telengas. "Bagus ya memangnya kau hendak adu jiwa ?" demikian bentak orang itu. Belum lenyap suaranya terdengar "Craaas" lalu "Craaas" lagi lagi Geng Tian terkena lecutan cambuk lawan. Agaknya orang benar benar mengerahkan tenaganya sehingga lengan Geng Tian berbekas merah memanjang tapi topi beludrunya kena tersampok jatuh oleh Geng Tian malah pinggir kipasnya yang tajam itupun ditekan menurun dan mengiris cadar mukanya itupun kena digores lepas. Ternyata memang Geng Tian nekad dan terima dicambuk oleh lawan, barulah dia berhasil mendesak maju kedepan orang dan berhasil menggigalkan topi dan cadar dimuka orang. Gerakan Geng Tian memang sudah diperhitungkan sehingga pinggir tulang kipasnya yang tajam itu sedikitpun tidak melukai kulit mukanya.
Maka tampaklah rambut orang yang panjang terurai semampai dengan seraut wajah bundar telur yang bersemu merah, sepasang matanya bening bagai mata burung Hong, bibirnya kelihatan rada cemberut agaknya menahan kedongkolan hati, orang ternyata adalah seorang gadis jelita yang menawan.
Sekilas Geng Tian melenggong, cepat ia menjura minta maaf, "Aku, aku tidak tahu kalau kau, kau adalah..... aku berbuat salah pada nona, harap nona sekali sekali tidak marah!"
Sebetulnya ia hendak berkata, "Aku tahu kalau kau perempuan", melanjutkan kata katanya itulah sinona lantas bertanya, "Bagus, apakah kau sudah tahu siapa aku sekarang?" Sembari bicara ia menggulung cambuk peraknya itu menjadi gelang yang bundar terus dipakai dilengannya.
Geng Tian berpikir: "Ginkang nona ini begitu lihay, naga naganya usianya belum cukup dua puluh tahun, cocok pula dengan yang digambarkan Lo Hou wi, apakah dia benar-benar nona Nyo itu?"
Gadis itu terkikik geli, katanya, "Apakah Lo Hou wi tidak pernah bicara dengan kau mengenai diriku?"
Mendengar pertanyaan ini, barulah Geng Tian sadar bahwa dugaannya ternyata tidak meleset, sahutnya: "Jadi kaulah yang dipanggil nona Nyo?"
"Betul! Akulah Nyo Wan ceng," sahut gadis itu.
Sungguh girang, kaget dan curiga pula Geng Tian dibuatnya, kemudian serunya : "Nona Nyo, aku memang sedang mencarimu!"
Berdebarlah jantung Nyo Wan-ceng, tanyanya: "Untuk keperluan apa engkau mencari-cariku?"
"Waktu aku masih kecil, kami ibu beranak pernah berulang kali mendapat bantuan dan pertolongan ayah ibumu!"
"Waktu itu, aku sendiri belum lagi lahir tidak perlu kau berterima kasih kepadaku!"
"Ayah ibuku sering berpesan kepadaku wanti wanti, katanya aku harus berdaya supaya menemukan kalian langsung mengucapkan terima kasih secara berhadapan dengan beliau. Tak nyana ayahmu sudah meninggal terpaksa minta nona suka antar aku kedepan kuburan beliau supaya aku berziarah kesana."
Sebetulnya, Nyo Wan ceng ingin orang mengatakan sebab musababnya mencari dirinya, mendengar orang hanya membicarakan hal hal yang tidak diinginkan, tanpa terasa hatinya menjadi gundah dan risau.
Mana dia tahu bahwa Geng Tian sudah curiga bahwa dirinya sudah mengikat janji dengan Lo Hou wi maka soal perjodohan sudah tentu tidak enak disinggung lagi. Sebaliknya meski ia berjiwa pendekar yang bersifat gagah dan terbuka. Betapapun sebagai anak perempuan kalau pihak laki laki tidak menyinggung soal perjodohan, sudah tentu ia tidak leluasa menyinggungnya lebih dulu. Sesaat mereka berdiam diri, berkatalah Nyo Wan ceng tawar: "Ayahku dikebumikan di Pak-bong-san mana berani menulutkan Kongcu kesana. Maksud baik Kongcu, biarlah lain kesempatan kulaporkan dihadapan pusaran ayah saja."
"Sudah sepantasnya aku sendiri berziarah kesana, tapi mungkin nona tiada tempo menemui aku terpaksa biarlah mencari kesempatan lain saja setelah aku menghadap kepada ibumu."
"Geng kongcu bukankah kau hendak pergi ke Ki lian san? Banyak persoalan dalam Ceng liong pang yang perlu segera kau bantu menyelesaikan, kukira kau tak perlu banyak peradatan, kau main sungkan saja!"
"Nona Nyo, kukira kau yang terlalu sungkan, Ayah bunda kami adalah saudara angkat kenapa kau memanggilku demikian?"
Seperti tertawa tidak tertawa, berkata Nyo Wan ceng; "Lalu kau minta aku memanggil apa kepada kau? Oh ya, usiamu lebih tua dari aku, biarlah aku memanggilmu Toako saja bagaimana?"
Geng Tian tahu sedang menjajal dan hendak mengorek isi hatinya, begitulah ia sedang meraba raba maksud hati orang, dan pikirannyapun terlalu berbelit-belit. "Entah ia tahu tidak persoalan menuding perut mengikat jodoh tapi maksudnya itu terang hendak menentukan hubungan kakak adik dengan aku, untuk menghindari rasa kikuk dan curiga." maka ia segera menjawab, "Sebetulnya aku tidak berani terima, tapi mengingat hubungan kedua keluarga kami sebetulnya kami boleh dianggap sebagai kakak adik sekandung kalau begitu akupun tidak perlu sungkan-sungkan memanggilmu Hian moay saja!"
"Orang memanggilku sebagai iblis perempuan cilik, panggilanmu itu tidak cocok dengan kenyataan, panggilan engkoh dan adik dihadapan orang banyakpun tidak enak didengar lebih baik kau panggil namaku saja." demikian kata Nyo Wan-ceng dengan tertawa dibuat-buat.
"Baik, adik Wan ceng mari pulang dulu dan bicarakan disana sudah sekian lama aku keluar mungkin mereka sangka aku menghadapi apa apa kalau kau datang bersama aku, tentu membuat mereka lega."
"Pulang kemana maksudmu?"
Geng Tian melengak katanya; "Bersama Lo Hou-wi beramai kami menempati sebuah biara bobrok bukankah kau pernah kesana, tentu Lo Hou-wi juga ingin bertemu dengan kau, apakah kau tidak ingin bertemu dengan mereka?"
"Memang aku hendak beritahu kepada kau, aku tidak ingin bertemu dengan mereka. Ada dua hal, kuharap kau menyampaikan kepada Nyo Su-gi di saat tiada orang ketiga hadir."
Geng Tian serba heran dan tidak mengerti, katanya; "Aku pun ingin tanya kau, bukankah kau tadi yang melukai Pek jiko dengan senjata rahasia? Karena kedua halmu itu, maka kau tidak ingin bertemu dengan mereka ?"
"Betul itulah sebab pertama, tentu kau amat heran kenapa aku melukai Pek Kian bu dengan senjata rahasia bukan?"
"Ya, memang aku amat heran."
"Itu hanya hukuman yang ringan mengingat Nyo Su gi dan Lo Hou-wi. Tapi hal ini sementara janganlah kau beritahukan kepada mereka."
"Geng Tian kaget tanyanya: "Apakah Pek Kian-bu orang jahat?"
"Siam tiong siang sat dan Gi pak siang hiong hendak menuntut balas kepadanya, kau pernah membantu kesulitannya bukan?"
"Benar! Apa itu waktu kaupun ada di-sana?"
"Aku justru sembunyi dibelakang pohon besar itu dan mengintip perkelahian kalian hanya saja kau tidak tahu. Dalam hal ini apa yang Pek Kian bu jelaskan kepada kalian?"
Geng Tian lantas menuturkan penjelasan Pek Kian bu kepada Nyo Sugi beramai itu secara ringkas berulang ulang Nyo Wan-ceng mengulum senyum mengejek dan tertawa dingin.
Geng Tian heran dan tak habis mengerti melihat sikap orang, tanyanya: "Apakah kau tahu duduk perkara yang sebenarnya?"
"Apa yang dikatakan Siang hiong dan Siang sat jauh berlainan dengan cerita Pek Kian bu itu." Ternyata sebelum ini ia sudah bertemu muka dengan Siang hiong dan Siang sat baru putar balik.
Sedikit lega hati Geng Tian katanya: "Pepatah ada bilang keburukan rumah tangga pantang tersiar keluar. Demi menjaga nama baik adiknya, adalah jamak kalau Khong Ceh bicara dengan nada Iain. Dalam hal ini agaknya kami tidak perlu percaya begitu saja terhadap kata sepihak!"
"Bukan aku hanya percaya ucapan Khong Ceh saja. Tetapi. . . ."
"Tapi kenapa?" "Khong Ling adik Khong Ceh itu adalah kawanan karib Suciku, dia tahu karakter Khong Ling sekali kali tidak sebejat itu apa lagi cabul seperti yang diceritakan Pek Kian bu. Cuma sampai sekarang kami belum mendapatkan bukti akan perbuatan perbuatan kotor dari pek Kian bu."
Hati Geng Tian mencelos hatinya: "Kalau Pek Kian bu itu benar benar membuat betul betul dia manusia kotor dan hina dina."
Kata Nyo Wan ceng lebih lanjut; "Meski kami belum mendapatkan bukti yang nyata tapi sudah kudapat sumber penyelidikan akan datang suatu ketika perkara ini dapat diselidiki dengan terang. Cuma kau harus hati hati terhadapnya."
Agaknya Nyo Wan ceng tidak enak menjelaskan secara gamblang atau masih ada sesuatu yang disembunyikan karena perkara ini menyangkut gengsi dan nama baik seorang maka tidak enak ia banyak tanya.
Berkata pula Nyo Wan ceng: "Sementara jangan kau katakan juga kepada Nyo Su gi tapi boleh kau beri bisikan bahwa Pek Kian bu kurang dapat dipercaya agar dia hati hati. Tapi kalau dia minta kau punya bukti bukti apa apa katakan saja bahwa utusan Toh Hok dari Kim ki nio yang suruh menyampaikan hal ini kepadanya. Kau tahu Hok dari Kim ki nio?"
"Pernah kudengar dari ayah bahwa dia adalah salah seorang Toa thaubak kepercayaan Liu lihiap."
"Ya, Maka katakan saja bahwa aku adalah utusan dari Toh Hok tetapi harus kau sampaikan kepada Nyo Sugi bahwa kau hanya berduaan saja."
"Bagaimana kalau Lo Hou wi bertanya kepadaku? Boleh tidak kukatakan kalau aku bertemu dengan kau?"
"Tadi sudah kukatakan, sementara harus mengelabui Nyo Sugi mana boleh kau beritahu kepada Lo Hou wi segala?"
Geng Tian berpikir: "Kuduga hubunganmu dengan Lo Hou wi tentu lain dengan orang lain." tapi melihat Nyo Wan ceng menarik muka, mereka baru bertemu muka pertama kali ini Geng Tian melengak maka ia tidak berani menggoda lebih jauh.
"Urusan kedua ini jauh lebih penting dari persoalan Pek, langsung dengan Nyo Su gi saja."
"Urusan penting apa?"
Nyo Wan ceng mengeluarkan surat rahasia itu, katanya: "Surat dinas ini adalah tulisan Wanyen Tiang ci yang ditujukan kepada Li Ih siu penguasa kota Liang ciu utusan yang mengirim surat ini kebetulan kepergok olehku ditengah jalan."
Setelah membaca surat itu Geng Tian-pun amat terkejut, katanya: "Wah kiranya mereka sudah tahu bahwa markas besar Ceng liong pang berada di Ki lian san, untung kau keburu merampas surat ini ditengah jalan."
"Putra Li Ih siu secara diam diam bergerak di bawah tanah menentang penjajah Kim ada hubungan erat dengan Yau hoan ih. Setelah sampai di Ki lian san boleh kau beritahukan kepada Liong pangcu. Ditengah jalan kalau tiada kesempatan bicara berhadapan dengan Nyo Sugi lebih baik tidak usah kau katakan saja."
Setelah menyimpan surat itu berkata Geng Tian tertawa, "Kau pernah berpesan sekali masih ada pesan apa lagi?"
"Sudah tiada," ujar Nyo Wan ceng tertawa dibuat buat. "Sebenarnya aku sendiri hendak"
O^~dwkz^hendra~^O Jilid 23 "Sudah tiada," ujar Nyo Wan ceng tertawa dibuat buat. "Sebenarnya aku sendiri hendak pergi ke Ki-lian-san, tapi kau bisa mewakili aku mengantar surat itu, aku bisa hemat tenaga, tak usah pergi jauh. Eh, kau harus segera pulang, aku tidak perlu banyak cerewet lagi," sikapnya kurang wajar.
Geng Tian tersentak sadar batinnya: "Aku terlalu lugu, mungkin dia salah paham terhadapku," tapi bertemu baru sekali, sungkan pula rasanya ia melimpahkan perasaan hatinya. "Aku tidak katakan kau cerewet, tinggallah sebentar lagi sambil mengobrol," terpaksa dengan mendelong ia awasi punggung orang yang semakin jauh, sekejap saja sudah hilang dari pandangan mata.
Seorang diri Nyo Wan ceng turun gunung pikiran kalut dan perasaan gundah rada rada senang, namun banyak kecewa pula akhirnya hatinya terasa hambar.
Yang disenangi, karena Geng Tian sang kekasih yang selalu dibayangkan itu ternyata jauh lebih baik kenyataannya, bukan saja berwajah tampan, tegap, ilmu silatnya pun lebih tinggi dari dirinya.
Kecewa kareka sejak mula sampai berpisah, orang tidak menyinggung sepatah kata-pun mengenai perjanjian jodoh oleh ibu masing-masing yang menuding perut merangkap perjodohan mereka.
Bahwa tadi ia terlambat pergi, adalah menunggu Geng Tian membicarakan hal itu, tak nyana dari nada bicara Geng Tian rasanya menyuruh dirinya lekas pergi saja.
"Apakah dia tidak tahu akan hal ini? Ataukah dia membenci aku. Hm, dia tidak menghiraukan aku, memang aku pingin disanjung puji olehnya, anggap saja tidak pernah terjadi hal itu. Tapi aku perlu tidak menuju ke Ki-lian-san?" karena jengkel dan merengek itulah ia jadi menyesal kenapa sengaja ia datang kemari untuk menemui Geng Tian.
Ternyata ditengah jalan ia mendapat jejak Siang-sat dan Sam tiong hendak menuntut balas kepada Pek-kian bu, kuatir bisa merembet yang lain lain sehingga Nyo Sugi dan Geng Tian beramai ikut bentrok dan terluka, maka sengaja ia kuntit dan mengikuti terus jejak mereka sampai di sini. Secara sembunyi tadi ia sudah saksikan permainan ilmu silat Geng Tian dalam beberapa kilauan saja maka tak tahan ia pancing orang keluar untuk menjajal sendiri.


Si Angin Puyuh Si Tangan Kilat Hong In Lui Tian Karya Gan Kh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau menurut rencana semula ia langsung menuju ke Ki lian san, kesempatan untuk bertemu dengan Geng Tian akan jauh lebih banyak, tapi sekarang setelah ia bertemu dengan Geng Tian, menjadi sungkan dan kikuk untuk pergi ke Ki-lian-san.
"Perlukah aku pergi ke Ki lian san?" timbul pikiran didalam benaknya mendadak ia seperti menemukan rahasia relung hatinya, ternyata bahwa begitu besar keinginannya mengharap bertemu lagi dengan Geng Tian. Bukan saja ia marah dan gemas pada diri sendiri, maka hatinya semakin hambar dan risau.
Mendengar bayangan orang yang menghilang dibalik hutan hati Geng Tianpun hambar. Teringat oleh Geng Tian waktu ia hendak meninggalkan rumah ibunya memberitahu tentang ikatan jodoh ini waktu itu ia malah berkata: "Toh belum diketahui anak yang dilahirkan bibi Nyo putra atau putri, kenapa kau bersitegang leher ?" Ibunya berkata: "Pendek kata kalau laki laki, kalian harus mengikat persaudaraan, jika putri kau harus mengawininya sebagai istrimu, keluarga Nyo besar budinya terhadap kami, sekali-kali jangan kita melupakan kebaikan dan membalas air susu dengan air tuba."
Bagaimana juga daya tarik anak muda jauh lebih besar apalagi persoalan mengenai pernikahan atau hidup masa depannya, sejak tahu bahwa dirinya mungkin sudah punya calon istri, tak urung selalu ia berpikir dalam hati: "kalau kebetulan putri, entah bagaimana keadaannya bagaimana ilmu silatnya. Seumpama dia tidak mencocoki seleraku, apakah aku harus patuh akan perintah orang tua?" tapi meski dalam hati ia pernah memikirkan kekuatiran ini, namun ia sudah mengambil keputusan secara diam diam, "Ucapan itu memang tidak salah, mereka begitu baik dan berbudi besar terhadap kami, memangnya kami harus ingkar janji terhadap budi kebaikan mereka. Meski seburuk kuntilanakpun, aku harus mengawininya."
Malam ini diluar dugaan ia bertemu dan kelihatannya secara berhadapan, raut wajahnya cantik rupawan, ilmu silatnya betul betul amat mengesankan. Sayang ia bertemu dengan kekasih yang dibayangkan ini setelah ia tahu bahwa hubungan orang dengan Lo Hou wi adalah begitu baik dan intim, meskipun hatinya girang dan kejut, mau tidak mau perasaan dan tindak tanduknya sudah jauh berlainan dengan sebelum ini.
Dengan hati hambar, ia terlongong sekian lamanya tiba tiba terpikir olehnya, ''Mengandal kepandaian Ginkangnya, sejak tadi ia sudah berada disini, kenapa ia tidak langsung mencari Lo Hou wi, sebaliknya memancing aku kemari? Waktu itu bukankah Lo Hou-wi belum menyusul tiba? tiada orang lain disisinya, bukankah merupakan kesempatan yang baik. Ah, toh sebelum ini kami masih asing satu sama lain, kenapa dia begitu percaya kepadaku, dua persoalan rahasia yang pantang diketahui oleh Lo Hou wi, dia bocorkan dan memberitahu kepadaku?"
Tiba-tiba berdebar jantung Geng Tian, pikirnya pula: "Kenapa aku memikirkan sampai kesitu? Apakah aku mengharap sikapnya jauh lebih baik terhadapku dari pada terhadap Lo Hou-wi? Geng Tian, oh Geng Tian, disinilah letak kesalahanmu! Sebagai laki laki sejati mana boleh kau bertindak begitu rupa merugikan kepentingan sesama sahabat ? Lebih baik biar aku membangkang dan durhaka terhadap ayah ibu sendiri saja!"
Waktu pikiran kalut dan bimbang itulah tahu tahu Lo Hou wi sudah muncul di hadapannya. Melihat Geng Tian, Lo Hou-wi kegirangan serunya dari kejauhan: "Geng-heng terkejar tidak orang itu?"
Serba sulit bagi Geng Tian, "Perlukah kuberi tahu kepadanya? Persoalan Pek Kian-bu boleh tidak usah diberikan kepadanya. Tapi nona Nyo adalah sahabatnya. Masa aku tidak perlu memberi tahu kepadanya bahwa dia tadi sudah datang? Memang nona Nyo sendiri pernah berpesan kepadaku tidak usah memberitahu kepadanya.Tapi siapa tahu kalau nona Nyo itu kuatir jejak hatinya konangan maka sengaja ia berpesan demikian."
Lo Hou wi sudah memburu dekat tiada kesempatan berpikir bagi Geng Tian, katanya: "Sungguh menyesal tidak kecandak!" akhirnya ia menuruti pesan Nyo Wan ceng. Di mulut berkata menyesal terpaksa harus berbohong kepada Lo Hou wi.
"Mengandal Ginkangmu masih tidak terkejar? Orang itu laki atau perempuan?"
Geng Tian tertawa: "Kau sangka Nyo itu. Kalau kukatakan mungkin membuat kau kecewa saja, dari bayangannya kulihat bahwa dia adalah laki laki." terpaksa dan ketelanjur Geng Tian tetap membual.
Merah muka Lo Hou wi katanya: "Sudah tentu bukan nona Nyo masa boleh dia melukai Pek jiko dengan senjata gelap? Tapi bicarakan terus terang Ginkang orang itu begitu lihay sebelum dia menyerang Pek-jiko dengan senjata gelap memang aku menyangka dia adalah nona Nyo."
"Orang sering berkata selalu dipikirkan malamnya menjadi impian setiap detik kau tidak bisa melupakan nona Nyo itu adalah tidak heran kalau selalu mengharap kedatangannya," demikian goda Geng Tian sambil tertawa dibuat buat.
Semakin merah muka Lo Hou wi, tiba tiba ia berkata sungguh sungguh: "Geng heng, jangan kau menggoda aku, bicara sejujurnya memang aku amat kagum dan berkesan baik terhadap nona Nyo tapi masakan aku cocok sama dia? Didalam hatiku dia hanyalah guruku dan sahabat baikku saja, tidak pernah berani aku berangan-angan untuk mempersunting dia. Sebaliknya Geng heng hubungan keluarga kalian begitu dekat dan mendalam bicara cara soal ilmu silat perjodohan kalian cukup setimpal."
"Jangan kau seret diriku dalam persoalanmu Lo-heng, mana boleh kau berkata tidak cocok berpasangan sama dia. Kalau sudah jatuh cinta masa kemana memangnya cinta harus membedakan baik buruk bentuk wajah seseorang?" sementara dalam hati ia berpikir, "Dia berkata demikian lebih jelas memperlihatkan betapa dalam rasa cintanya terhadap Wan-ceng. Ai seorang Kuncu harus rela berkorban demi kesempurnaan hidup lain orang. aku, aku . . ."
Merah selebar muka Lo Hou wi seperti kepiting direbus, baru ia hendak membuka mulut tiba tiba didengarnya suara Nyo Sugi berteriak: "Ah kalian sudah pulang!"
Ternyata tanpa terasa mereka sudah beranjak hampir sampai dibiara bobrok itu. Mendengar derap kaki mereka yang mendatangi lekas Nyo Sugi menyambut keluar.
Tergerak hati Geng Tian katanya, "Sam-ko, Kim jong-yok ini ambillah dan bubuhkan pada luka-luka Jiko, aku hendak omong beberapa patah kata kepada Toako."
Nyo Sugi dan Lo Hou wi melengong bersama. Nyo Sugi keluar menyambut kedatangan mereka jaraknya kira-kira puluhan langkah dari luar pintu. Dengan berbisik-bisik Geng Tian berkata: "Aku bertemu dengan utusan Toh Hok, dia ada sepucuk surat penting minta disampaikan kepada Liong pangcu harap setelah kau baca simpanlah baik baik tapi dalam soal dia ada pesan supaya jangan diberitahu kepada orang ketiga." waktu ia berbicara dengan Nyo Sugi ini Lo Hou wi sudah melangkah masuk kedalam biara.
Setelah membaca surat itu Nyo Sugi amat kaget, pikirnya: "Benar berita yang amat penting sekali." tapi ia tidak habis mengerti, kenapa utusan Toh Hok berpesan supaya merahasiakan hal ini terhadap tiga saudara mudanya, tanpa terasa ia mengawasi Geng Tian, sorot matanya menampilkan rasa heran dan bertanya-tanya.
Baru saja Geng Tian hendak memberi bisikan supaya jangan terlalu percaya kepada Pek Kian bu, dari dalam terdengarlah keluhan Pek Kian-bu.
"Mari masuk dulu," kata Nyo Sugi, pikirnya, "kalau Toh Hok berpesan demikian tentu ada latar belakangnya, kalau ada selalu bertanya kepada Geng-kongcu bukankah menunjukkan sikap curigaku kepada Toh Hok dan tidak menghormati pesannya."
Dalam berpikir ini dia sudah melangkah masuk kedalam biara, terpaksa Geng Tian mengintil dibelakangnya.
Baik buruk mengenai pribadi Pek Kianbu sebelum Geng Tian sendiri mendapatkan bukti bukti yang nyata ia masih rada kuatir akan dugaan ataupun ucapan Nyo Wan-ceng yang bersumber sepihak saja. Maka begitu melihat Pek Kian bu rebah dilantai sambil merintih rintih segera ia maju dan bertanya; "Pek jiko bagaimana luka lukamu?"
Kata Pek Kian bu penuh kebencian, "Sungguh celaka bangsat itu melukai orang dengan senjata gelap bikin mampus jiwaku sih mending, sekarang pahaku luka demikian rupa mana aku bisa bergerak dan jalan jalan? ai celakanya pangcu mengutus kita menyambut kedatangan kongcu maksudnya agar lekas pulang, dengan luka-luka pahaku ini bukankah menggagalkan urusan besar?"
Melihat orang dapat bicara panjang lebar Geng Tian tahu bahwa orang lukanya tidak terlalu berat legalah hatinya katanya: "Terlambat bertemu satu dua hari dengan Liong pangcu tidak menjadi soal, toh bukan urusan besar segala perjalanan dari sini kira kira cuma tiga hari meski harus menggendong kau paling terlambat satu dua hari."
"Geng kongcu," tiba tiba Nyo Sugi bersuara, "Lebih cepat kau tiba di markas lebih baik, hal itu merupakan hal yang penting, menurut hematku terpaksa kita harus merubah rencana semula!"
Geng Tian tersentak sadar, ia maklum akan maksud kata kata Nyo Sugi, betapa penting surat rahasia itu, sang waktu akan menentukan kehidupan dari seluruh Ceng Liong-pang maka dia tidak boleh terlambat datang bertemu dengan Liong Jiang-poh untuk membicarakan sebuah masalah, karena pikiran ini, segera ia berkata: "Aku memang kurang pengalaman, ucapan Toako benar. Lalu bagaimana menurut maksud Toako?"
"Maksudku supaya kau Geng kongcu berangkat lebih dulu."
Pek Kian bu berpura-pura katanya; "Apa, kau suruh Geng-kongcu seorang diri pulang ke markas besar, ini...ini kukira kurang hormat. Bukankah Pangcu suruh kami menyambut kedatangannya?"
"Tapi kita harus bisa bekerja menurut gelagat, kita tidak bisa meninggalkan dia demikian saja, sementara Geng kongcu harus cepat bertemu dengan Liong pangcu. Hanya beginilah cara satu satunya untuk kepentingan bersama. Untungnya kepandaian Geng-kongcu jauh lebih tinggi dari kami, berarti Ginkangnya lebih tinggi lagi, kalau kami menemani dia juga tidak akan bisa membantu kesulitannya."
Geng Tian malah bimbang dan sulit berkeputusan, diam diam ia menerawang, "Pek Kian-bu terluka, kukira tidak akan melakukan tindakan yang nyeleweng.Tapi kalau kubiarkan berangkat bersama rasanya kurang lega. Kalau tahu keadaan serba sulit begini lebih baik surat rahasia itu tidak kuperlihatkan kepada Nyo Sugi lebih dulu."
Sembari bicara Nyo Sugi mengeluarkan sebatang anak panah perintah diangsurkan kepada Geng Tian katanya: "Setiba di Ki-lian san, kau akan diperiksa oleh saudara saudaraku disana, keluarkan panah kuasa ini, tentu kau tak akan menghadapi rintangan yang berarti."
Terpaksa Geng Tian terima panah itu, katanya, "Baiklah aku segera berangkat, selamat bertemu di Ki lian san."
Tatkala itu fajar telah menyingsing, setelah mohon diri Geng Tian lantas berpisah dengan Nyo Sugi beramai.
O^~dwkz^hendra~^O WAKTU itu seorang diri Nyo Wan ceng sedang melenggang dijalan pegunungan, semula ia punya seekor kuda tunggangan, kuda itu adalah kuda rampasan dari perwira yang membawa surat rahasia itu, kuda itu ia sudah jinakkan dan menjadi tunggangannya, waktu naik gunung ia tinggalkan kudanya itu makan rumput dilereng bukit sana, semula karena harus menguntit jejak Siang-hiong berempat maka ia tinggalkan dibawah gunung.
Tak nyana waktu ia turun gunung, kuda tunggangannya itu sudah tidak kelihatan lagi jejaknya. Heran Nyo Wan ceng dibuatnya, pikirnya, "Dalam atas pegunungan yang sepi ini mana ada orang, kuda itu tidak akan sembarangan mau ikut orang lain, begal kuda umumnya mana kuasa menundukkan kebinalannya."
Nyo Wan-ceng bersuit panjang namun kuda tunggangannya tidak muncul juga, segera ia kembangkan ginkangnya berlari turun gunung.
Semalam turun hujan lebat, maka jejak kaki kuda nampak jelas dijalan raya yang becek dan basah itu, kelihatan dua kuda berlari menuju arah barat.
"Satu diantaranya entah apakah kuda tungganganku. Biar kukejar kearah sana," pikir Nyo Wan-ceng, kuda tunggangannya itu adalah kuda jempolan yang pilihan didalam pasukan Gi lim kun negeri Kim. Wanyen Tiang ci sengaja suruh perwira itu menunggang kuda, supaya lekas menyampaikan suratnya ke Liang ciu, meski ginkang Nyo Wan ceng tinggi, terang tidak mungkin bisa menyandaknya namun karena ia merasa enak kepada kuda tunggangannya itu, maka ingin mencoba mengadu untung.
Ia mengharap orang yang mencuri kudanya itu akhirnya beristirahat disebuah warung makan untuk menangsel perut, siapa tahu ia masih bisa mengejar.
Tak nyana dalam pengejaran ini bukan saja ia tidak menemukan warung arak, sebaliknya kuda tunggangannya itu lebih dulu ia pergoki. Disebelah depannya, ada seorang perwira menunggang seekor kuda lain yang tinggi tegap, sementara kuda tunggangannya mengintil disebelah belakang.
Nyo Wan ceng menjadi keheranan, pikirnya: "Aku sudah menjinakkan kuda itu, kenapa dia mau ikut orang lain?" Akhirnya ia sadar juga, pikirnya: "Ya, betul, mungkin orang itu adalah perwira dari pasukan Gi lim kun, sebelumnya sudah kenal baik dengan kuda itu, melihat orang lewat dibawah gunung, maka ia terus mengintil pergi."
Kuda tunggangan didepan itu dicangklong pelan pelan, naga naganya mereka tidak buru-buru menempuh perjalanan.
Dengan bekal kepandaiannya yang tinggi, besar pula nyali Nyo Wan ceng, segera ia kembangkan ginkang delapan langkah mengejar tonggeret mengudak kedepan seraya membentak: "Begal kuda yang bernyali besar, berani kau mencuri kudaku!"
Perwira itu bergelak tertawa, sambil berpaling ia mengamat amati Nyo Wan ceng katanya: "Memang aku sedang menunggu kau pencuri kuda ini muncul, kau budak belia bernyali besar, mencuri barang orang, kebentur pemiliknya malah kau berani menuduh aku sebagai pencuri. Hm sungguh menggelikan, kuda penunggang ini kau curi atau kau rebut dari orang lain? kemana pula Kiam Chit yang semula menunggang kuda ini? Apakah sudah kau bunuh? Ayo lekas mengaku!"
Kiranya perwira yang menyerah dan diampuni itu bernama Kiam Chit. Agaknya perwira ini belum tahu akan duduk perkara sesungguhnya apakah kedua bawahannya itu menyerah atau sudah dibunuh musuh, maka ia ajukan pertanyaannya untuk mengorek keterangan Nyo Wan ceng.
Nyo Wan ceng tertawa dingin, jengeknya: "kalian bangsa nudhen (negeri Kim) menjajah tanah perdikan bangsa Han kita, termasuk kudamu ini boleh dikata sebagai barang kotor! berani kau main tanya hendak mengorek keteranganku, bukankah justru kau yang menggelikan?"
Perwira itu tidak menjadi marah, sambil tertawa besar ia melompat turun dari punggung tunggangannya, sekali ulapkan tangan kedua kuda itu lantas lari masuk kedalam hutan. Kata perwira itu setelah menghentikan tawanya: "Mungkin kau inilah Siau-mo-li yang selalu mencari gara gara dengan pihak kami? Begitu liar kau bicara, sungguh belum pernah kulihat anak perempuan segalak kau!"
"Nah biarlah hari ini kau tahu dan berkenalan dengan aku," demikian jengek Nyo Wan ceng, diam-diam ia waspada dan mengamat amati perwira dihadapannya ini, dilihatnya Thay ang-hiat dipelipis orang menonjol keluar, matanya berkilat, terang bahwa Lwekangnya cukup tinggi, tak heran orang berani bersikap garang terhadap dirinya yang biasa dipandang sebagai momok oleh kalangan mereka.
Perwira itu bergelak tertawa pula ujarnya: "Biarlah kubelajar kenal kepandaianmu! kalau aku kalah boleh kau bawa kedua kudaku ini, kalau kau yang kalah, he he...kau harus menyerah dan patuh mengikut aku ke kota raja."
Nyo Wan ceng menyeringai dingin, katanya, "Bukan saja aku akan merampas kedua kuda itu jiwanyapun akan kurampas sekalian."
"Baik, senjata apa yang kau gunakan, silahkan keluarkan, biar aku mengandal sepasang tangan dinginku ini! Usiaku lebih tua, jangan sampai nanti dikatakan situa menindas anak muda!" sikapnya yang wajar seolah olah punya bekal berkelebihan sehingga tidak perlu gentar terhadap musuh, meski sudah tahu yang dihadapi adalah Siau mo li yang disegani, toh dia tidak pandang sebelah matanya.
Ternyata perwira ini bukan lain adalah tokoh kedua dari Gi lim kun kerajaan Kim, yaitu wakil Komandan Cian Tang jun.
Melihat kedua utusannya tidak pulang memberikan laporan akan tugasnya maka Wanyen Tiang ci sengaja mengutus dia turun tangan sendiri menyusul ke Liang ciu.
Nyo Wan ceng menjadi gusar, segera ia turun tangan lebih dulu, begitu pergelangan tangan melintir, dimana sinar perak berkelebat tahu tahu gelang peraknya sudah ia sendal menjadi seutas cambuk perak yang panjang, "Sret" kontan ia menyabet kearah Cian Tang jun.
Cian Tang jun menyembunyikan kedua tangannya didalam lengan bajunya yang panjang dan kedodoran. Lekas ia kebutkan lengan bajunya sambil menjengek: "Bagus!" belum lagi ia turun tangan lengan bajunya sudah berhasil menggubat cambuk perak Nyo Wan-ceng bentaknya: "Lepaskan!"
Hampir saja Nyo Wan ceng tidak kuasa pegang cambuknya lagi, keruan ia kaget dibuatnya, lekas ia kerahkan Lwekang ajaran gurunya, tidak mundur malah merangsak maju, meminjam tenaga menggunakan tenaga cambuk peraknya itu disentak melempang seperti seutas kawat kaku. "Cret" ia berhasil menusuk lubang lengan baju orang dan bebas dari kungkungan lawan. Setelah itu barulah dia ada kesempatan mengejek. "Mengandal kepandaian begini hendak merebut cambukku keluarkan saja cakar anjingmu!" dimulutnya mengejek dan mengolok musuh, dalam hati ia sudah insaf bahwa kepandaian lawan berada diatas dirinya.
Bahwa lengan bajunya tertusuk berlubang oleh ujung cambuk lawan, hal ini membuat Cian Tang jun heran dan terkejut, batinnya, "Siau-moli memang mempunyai kepandaian yang berarti." seraya ia berkata serunya, "kau sangka aku tidak mampu merebut cambukmu? Coba lihat!" tahu tahu kedua cakar tangannya terjulur maju dimana angin pukulannya menekan, cambuk perak itu kena tersampok miring kesamping, lekas Cian Tiang jun ulurkan tangan meraih.
Permainan cambuk Nyo Wan ceng cukup lihay, sedikit menyendal gagang cambuknya ia putar menutuk Jian kin hiat orang, lekas Cian Tiang jun merubah cengkeraman tangannya menjadi jepitan dengan kedua jarinya, laksana gunting memapak kedatangan gagang cambuk lawan.
Tapi kejadian memang berlangsung amat cepat sekali, Nyo Wan ceng sudah merubah permainan cambuknya, dari tipu Pa ong-pian ciok Hun sam wu cambuk peraknya yang panjang melingkar lingkar bundar sambung-menyambung menggulung kearah Ciang Tian jun. Lekas Ciang Tiang jun tepukkan tangan kiri sementara kedua jari tangan kanan terjulur keluar hendak menggunting, maka terdengarlah suara, "Tas" ujung cambuk peraknya kena tergunting putus sebagian. Meski hanya putus sebagian saja namun hal ini sudah membuat Nyo Wan ceng kaget bukan kepalang.
Tapi meskipun terdesak, Nyo Wan ceng masih mampu balas menyerang, begitu ujung cambuknya putus, seiring dengan gerakan susulannya ia gentakkan batang cambuknya ke samping, terus ditarik kembali dengan kecepatan bagai kilat, lagi-lagi ia berhasil menusuk berlobang lengan baju Ciang Tian jun.
Nyo Wan ceng lompat mundur tiga tapak katanya; "Kau menggunting putus cambukku, aku melobangi lengan bajumu, masing-masing tidak kena digulingkan, mari dimulai lagi!" Sebetulnya memang sama sama rugi, namun kerugian Nyo wan ceng lebih besar.
Ciang Tian jun tidak menyinggung soal ini, ia berkata tawar; "Biar kubikin cambuk panjangmu menjadi cambuk pendek!" kedua telapak tangannya bergerak membundar seperti gelang menggelinding dan menjojoh maju, tampak pakaiannya tahu tahu melembung besar, laksana layar dihembus angin keras. Nyo Wan-ceng tahu bahwa lawan sudah mengerahkan Lwekangnya tingkat tinggi meski cambuk bisa mengenai sasarannya juga tidak bisa melukainya.
Mau tidak mau berpikir Nyo Wan-ceng, "Biar aku ajak dia bertempur main petak, asal dia tidak mampu merebut cambukku, sampai lima tujuh puluh jurus kemudian kusampaikan sekedar kata-kata ancaman menjaga gengsi, tinggal pergi habis perkara toh tidak terhitung kalah olehnya."
Setelah hati berketetapan cambuk peraknya mendadak melengkung lalu molor kedepan, gerak geriknya lincah diselingi gerakan perubahan yang serba ragam, beruntun Cian Tiang-jun coba mencengkeram namun selalu gagal.
Sayang Nyo Wan ceng harus jaga gengsi, kalau dia mau segera tinggal pergi masih ada kesempatan meloloskan diri, namun dia bergebrak lagi, kejadian terbalik dari keinginannya, tanpa terasa dia sudah terkekang oleh kekuatan Lwekang Cian Tiang jun.
Lima jurus kemudian Lwekang Cian Tiang jun yang disalurkan kedalam pukulannya semakin kuat dan deras, setiap kali Nyo wan ceng berlompatan. Lama kelamaan ia merasakan adanya daya rintangan yang menghambat gerak geriknya, sehingga lambat laun gerak geriknya tidak segesit dan selincah semula.
Semakin lambat gerak geriknya semakin payah ia kerahkan tenaga sehingga keringat bercucuran membasahi badan terdengarlah suara "Tas" ujung cambuknya kena digunting pula sebagian oleh kedua jari Ciang Tian-jun.
Karena tidak mampu lolos terpaksa Nyo Wan ceng kertak gigi dan menempur semakin sengit, dalam sekejap saja cambuk peraknya itu sudah kena digunting lagi beberapa kali kini cambuknya kena tergunting satu kaki lebih Cian Tiang-jun tertawa gelak-gelak: "Ha ha ha, akan kulihat apa pula yang dapat kaulakukan dengan cambuknya ini." cambuk-cambuk yang terputus satu kaki lebih sudah tentu daya tempur dan kekuatannya menjadi rada berkurang, semula Cian Tiang-jun harus bertahan dari jarak satu tombak melawan dirinya, sekarang gelanggang pertempuran mengkeret semakin kecil, ia berani mendesak maju merangsek lebih dekat.
Suatu ketika Cian Tiang-jun mendapatkan sebuah peluang akan titik kelemahannya yang nyata sigap sekali cakar tangannya menyelonong maju mencengkeram ke arah tulang pundak kanannya seraya terloroh loroh, "Budak kecil ikut aku saja."
Sementara itu seorang diri Geng Tian menempuh perjalanannya meski ia berusaha mengekang perasaan hatinya toh tak kuasa merindukan Nyo Wan ceng, caIon istrinya yang baru sekali saja dilihatnya.
Disaat berjalan dengan pikiran melayang layang itulah mendadak didengarnya diluar hutan sana ada suara orang bertempur, waktu itu Cian Tiang-jun sedang membentak keras sementara tak kuasa Nyo Wan-ceng menjerit kuatir.
Tersirap darah Geng Tian pikirnya; "Ternyata seorang perempuan sedang bertarung melawan penjahat disini, suara itu sudah amat kenal mungkinkah, mungkinkah dia nona Nyo? Masakah bisa mungkin begini kebetulan?" sebetulnya dia sedang menunaikan tugas penting tiada niatnya turut campur urusan orang lain. Tapi begitu rasa ketariknya seperti mengkilik kilik hati tanpa banyak pikir segera ia melesat terbang kedalam hutan dan meluruk kearah datangnya suara.
Kedatangannya memang tepat pada waktunya kebetulan Cian Tiang jun sedang turunkan tangan kejinya terhadap Nyo Wan ceng.
Begitu cakar tangan Cian Tiang jun itu diturunkan, mendadak ia merasa segulung angin kencang menerjang punggungnya, kejadian berlangsung amat cepat tahu-tahu ujung kipas Geng Tian sudah mengancam Hiat terbesar dipunggungnya.
Serangan ini memaksa musuh untuk menyelamatkan jiwa sendiri lebih dulu. Cian Tiang jun menghardik keras, sebelah telapak tangannya memukul balik kebelakang. Pinggiran kipas Geng Tian setajam pisau maka dari menjojoh ia ganti dengan gerakan mengiris, gerak kedua pihak menjadi begitu cepat, jaraknyapun begitu dekat siapapun tidak menduga bahwa kepandaian lawan sama sama lihay dan hebat, akhirnya kedua pihak sama menderita luka yang cukup parah.
Pergelangan tangan Cian Tiang jun tepat pada urat nadinya teriris luka oleh ketajaman pinggir tulang kipas Geng Tian. Sementara dada Geng Tian kena terpukul telapak tangan lawan dengan telak.
Mendapat peluang ini lekas Nyo Wan ceng sapukan cambuknya menggubat kedua kaki Cian Tiang jun sehingga Cian Tiang jun tersungkur kedepan terus menggelundungkan badan. Nyo Wan ceng tidak kuasa membekuk lawan sementara cambuknya menggubat kencang kedua kaki lawan terpaksa ia lepaskan cambuknya.
Geng Tian berdiri limbung dua kali terus hendak mengejar, lekas Nyo Wan ceng memburu kearahnya seraya berseru, "Bangsat itu sudah lari tak usah dikejar, Geng Toako kenapakah kau?"
"Tidak apa apa jangan kita lepaskan anjing penjajah ini!" demikian jawab Geng-Tian.
Cian Tiang jun terkejut batinnya: "Begitu hebat Lwekang bocah itu, Thi seciangku ternyata tidak mampu melukainya sedikitpun ?" karena urat nadi pergelangan tangannya teriris luka, tiada minat ia meneruskan pertempuran. Sekali tendang dan sendal ia bebaskan kakinya dari libatan cambuk terus lari kedalam hutan, mencemplak kuda tunggangan terus melarikan diri. Kuda tunggangan Nyo Wan-ceng itupun lari mengintil dibelakangnya.
Melihat orang sudah lari jauh, barulah Geng Tian bergelak tertawa, serunya, "Berbahaya, sungguh berbahaya." nada suaranya sumbang dan otot hijau menonjol diatas jidatnya.
"Apanya yang bahaya ?" tanya Nyo Wan ceng mendadak ia menjadi kaget, teriaknya kuatir : "Geng-toako . ."
Kebetulan angin kencang menghembus lewat tampak baju didepan dada Geng Tian berpeta sebuah telapak tangan yang amat jelas sekali, sedikit Geng Tian menyentuh dadanya, kain pakaian ditengah cap telapak tangan itu seketika hancur luluh, kelihatan lapisan pakaian sebelah dalam juga mengecap telapak tangan yang sama, cuma tidak sejelas cap tangan yang berada diluar.
Nyo Wan-ceng mencelos hatinya, katanya: "Geng-toako, jangan kau ngapusi aku, bukankah kau terluka ?"
"Memang lihay ! Tapi tidak perlu kuatir, aku tidak akan mampus. Luka sih memang ada, namun dalam tiga lima hari mendatang pasti kuat aku bertahan."
Sebetulnya luka pukulan didada Geng Tian tidak ringan, untunglah ia meyakinkan lwekang murni, sudah mencapai tingkatan yang lumayan, maka ia masih kuasa bertahan. Tadi ia pura pura seperti tak terjadi sesuatu atas dirinya, bergelak tertawa lantang lagi, memang dia harus berbuat demikian barulah dapat menggebah lari Cian Tiang-jun dengan ketakutan.
Kata Nyo Wan ceng mengerut kening : "Geng-toako, setelah terluka jangan kau bawa adatmu sendiri, nih aku punya sebutir Siau-hoan-tan, telanlah dulu. Mari kubawa kau ke kota disebelah depan, nanti kami cari tabib umum mengobati luka-lukamu. Kalau lukamu sudah sembuh baru melanjutkan perjalanan lagi."
Geng Tian menelan pil itu, katanya : "Apakah ini Siau-hoan tan buatan Siau lim-si ?"
"Benar, Hong tiang Siau lim si sendiri yang memberikan kepada guru."
"Adanya Siau hoan-tan ini tentu tidak akan perlu kuatir lagi akan luka-lukaku. Mana aku punya waktu menyembuhkan luka-luka lagi ?"
"Kalau Siau hoan-tan dapat menyembuhkan luka-luka, tapi toh bukan obat dewa, mana boleh kau tidak istirahat dulu satu dua hari ?"
"Kau tidak tahu punya urusan penting harus cepat cepat bertemu dengan Liong-pangcu di Ki lian san."
"O ya, aku belum tanya kau, dimana Nyo Su gi dan saudara-saudaranya?"
"Kau melukai Pek Kian bu sudah tentu mereka tidak bisa meninggalkan dia begitu saja!"
Nyo Wan ceng jadi menyesal, katanya : "Kalau tahu begitu, tidak perlu aku melukai Pek Kian bu dengan senjata rahasia. Jadi karena itu, maka seorang diri kau harus meIanjutkan perjalanan pikirnya : "Dia terluka, tanpa ada orang yang merawatnya, bilamana ditengah jalan kebentur musuh lagi, bukankah berarti aku yang mencelakai dia?"
"Hoan ceng, kemana kau hendak pergi ? Selamat bertemu dilain kesempatan, baiklah kami berpisah disini saja."
"Geng toako, biar aku bersama kau berangkat ke Ki lian san."
Kejut dan girang pula Geng Tian dibuatnya, serunya : "Kau...kau juga kesana ? Bukan lantaran aku terluka saja toh ?"
"Nyo Su-gi tidak bisa meninggalkan Pek Kian bu begitu saja, memangnya aku harus tidak menghiraukan lukamu? Kitakan saudara angkat, tidak perlu main sungkan dan malu malu segala."
''Benar urusan lebih penting jangan uruskan tetek bengek," demikian pikir Geng Tian, "Aku sudah terluka cukup parah kalau bangsat rendahan sih masih mampu kuhalau mereka, jika kebentur musuh seperti tadi, mungkin aku tidak akan bisa sampai ke Ki lian san." maka ia berkata tertawa: "Baik harap kau menjadi pelindungku !"
Begitulah sambil bercakap cakap dan senda gurau mereka berangkat, sehingga sepanjang jalan tidak merasa kesepian. Geng Tian ingin cepat cepat tiba di Ki lian-san, tak nyana semakin hatinya gugup larinya semakin lamban malah lama-kelamaan tidak kuat lagi.
Nyo Wan ceng segera membujuk : "Toako dengan membekal luka begini mana bisa kau tiba lebih cepat dari biasanya, kalau tanpa hiraukan jiwa sendiri kau harus mengembangkan ginkang berlari begini kencang, bagaimana kalau kau jatuh sakit?"
Apa boleh buat Geng Tian harus dengar nasehatnya. Hari itu mereka menempuh seratusan lebih perjalanan.
Hari kedua lebih payah lagi belum lama mereka berangkat Geng Tian merasa kepalanya pening mata berkunang. Tapi ia tidak berani memberitahukan kepada Nyo Wan ceng, sedapat mungkin ia mengempos semangat dan bertahan sampai hari menjelang magrib, hari itu mereka hanya menempuh delapan puluh lie perjalanan, raut mukanya sudah semakin pucat bagai kertas. Meski ia berusaha menutupi keadaannya, toh Nyo Wan ceng sudah melihat akan keadaannya yang semakin parah.
Menurut keinginan Nyo Wan ceng, semula hendak masuk kota mencari tabib supaya memeriksa luka lukanya, namun Geng Tian tidak mau menurut nasehatnya, alasannya bila menunda perjalanan dan membuang waktu kedua jejaknya konangan oleh musuh.
Dengan logat bicara orang dari luar daerah menempuh perjalanan jauh bersama berlainan jenis lagi, kalau mencari tabib untuk memeriksa penyakitnya, bisa menimbulkan kecurigaan dan menarik perhatian orang banyak. Dan lagi daerah itu merupakan wilayah kekuasaan Li Ih siau yang bercokol di Liang ciu.
"Marilah cari tempat untuk istirahat saja, jangan terlalu capai menempuh perjalanan," demikian bujuk Nyo Wan ceng.
Akhirnya didalam sebuah hutan mereka menemukan sepucuk pohon yang rindang daunnya, di mana mereka dapat terhindar dari hujan angin dibawah pohon. Nyo Wan ceng membuat api unggun, lalu memasak air dan memberikan makanan kering kepada Geng Tian, setelah beristirahat dan mengisi perut barulah semangat Geng Tian rada baikan.
Nyo Wan ceng paksa dia untuk tidur, Geng Tian malah tertawa, katanya, "Sebetulnya aku ingin melanjutkan perjalanan dimalam hari sekarang sudah dengar nasehatnya, biarlah besok saja melanjutkan perjalanan. Masakah begini pagi aku harus tidur, mana aku bisa pulas ?"
Sebelum tengah malam cuaca mendung dan akhirnya hutan rintik mulai turun, Nyo Wan ceng mengerutkan kening, katanya: "Dalam tiga hari ini sudah hujan dua kali sungguh menyebalkan. Tapi hujan hari ini kulihat tidak akan sebesar tempo hari, kuharap hanya hujan lalu saja."
"Kejadian didunia ini sering diluar perhitungan manusia, kemaren malam waktu turun hujan, aku bersama Lo Hou-wi beramai melek semalam suntuk sambil mengobrol panjang pendek hampir sama dengan keadaan malam ini, cuma yang menjadi temanku ngobrol ganti orang lain."
"Apa saja yang kalian bicarakan malam itu ?"
"Tiada yang perlu dibuat perhatian kau, hanya membicarakan hubungan kedua keluarga kami dulu." sebetulnya Geng Tian hendak membicarakan kata kata yang diutuskan Lo Hou wi, tapi setelah ia pikir rasanya kurang pantas ia mengemukakan persoalan itu secara terang mengenai hubungan kaum remaja.
"Waktu kau berada dirumahku, aku belum lagi lahir kejadian lama apa yang kalian bicarakan?"
"Waktu itu dua keluarga kami sama menempati sebuah rumah bobrok kalau datang hujan ibuku dan ibumu pasti sibuk, aku justru merayap di tanah bermain air."
"O, begitu, jadi waktu kecil tentu kau amat nakal. Sayang aku tidak pernah melihat keadaanmu waktu masih kecil."
"Ya memang aku sering nakal maka membuat ibuku marah dan dimaki maki, untunglah ibumu selalu melindungi aku, kalau tidak tentu aku kenyang dihajar."
"Kalau begitu ibu itu amat sayang kepada kau. Aku pun telah mendengar ceritanya, waktu kecil kau amat mungil dan menyenangkan tapi belum pernah beliau menyinggung kenakalanmu."
"Apa saja yang pernah ibumu tuturkan kepadamu tentang diriku?"
"Kabarnya kau pulang keselatan, waktu kau masih berumur empat tahun, waktu itu aku masih berada dalam perut ibu," Bicara sampai disini tak terasa merah jengah selebar mukanya.
Berdegup jantung Geng Tian, katanya, "Betul tak nyana ibumu masih ingat hal itu begitu jelas. Lalu kenapa sih?"
Nyo Wan ceng menunduk kepala, katanya lagi, "Tidak apa karena aku sendiri belum pernah melihat kau, apa yang diceritakan ibumu mengenai kejadian sedikitpun tidak kuketahui, maka ia pun tidak banyak bercerita. Malam ini kau menyinggungnya, aku jadi ketarik dan ingin mendengar ceritamu. Coba kau ceritakan sejelasnya kepadaku."
Sekilas muka Geng Tian menampakkan rasa kecewa katanya tawar: "Usiaku masih terlalu kecil, tidak banyak yang bisa kuingat."
Mereka saling memancing dan main korek keterangan masing masing. Keduanya sama mengharap pihak lain lebih dulu membicarakan hubungan persoalan perjodohan mereka. Tapi sebagai kaum hawa sudah tentu Nyo Wan ceng malu dan segan untuk membuka mulut lebih dahulu. Akan tetapi sebaliknya Geng Tian sendiri serba curiga dan ragu-ragu sebelum dia berkepastian kepada siapa cinta Nyo Wan ceng dia limpahkan sulit dia membuka mulut, akhirnya mereka menanggung perang batin, keduanya sama kecewa. Sebetulnya Nyo Wan- ceng hendak bertanya: "Tidak banyak yang bisa kau ingat, tapi apa yang pernah dikatakan ibumu kepada kau tentu tidak lupa bukan?" Tapi setelah dipertimbangkan lagi, jelas perkataan ini akan terlalu menyolok, maka ia telan kembali pertanyaan yang sudah diujung mulut.
Keadaan yang hangat dan serba romantis semula, sekarang menjadi serba kaku dan dingin tanpa bersepakat kedua orang berpandangan, lekas lekas Nyo Wan ceng menunduk kepala. Sementara Geng Tian melengos, masing-masing kehilangan kata-kata sudah tentu keadaan menjadi runyam dan kikuk.
Sekian lama barulah Geng Tian membuka mulut: "Ranting kering sudah habis lekaslah mencari ranting-ranting kering untuk membesarkan api."
Mendadak Nyo Wan-ceng bangun dan berkata lirih: "Jangan pergi kau dengarkanlah."
Nyo Wan ceng tidak sakit maka pendengarannya tajam katanya, "Mereka menuju kearah sini, kira-kira ada dua tiga puluh orang, langkah kaki mereka tidak teratur, jelas ada sementara yang Ginkangnya cukup lumayan yang lain cuma melangkah dengan hati hati saja tapi toh tidak bisa menghilangkan derap langkah mereka. Diatas pegunungan belukar begini darimana rombongan orang banyak ini, mungkin sengaja menggerebek kita, biar kupadamkan api ini, lekas kau menyembunyikan diri."
"Aku toh terserang penyakit berat, memangnya aku sedang kesal, biar rombongan penjahat kecil ini menjadi bulan bulananku, melemaskan otot ototku, masakah aku harus berpeluk tangan melihat kau melabrak mereka?"
Tiba-tiba terendus bau harum merangsang hidung. Kiranya Nyo Wan ceng mendekat dan pegang tangannya, katanya berbisik di pinggir kupingnya: "Toako dengarlah nasehatku, kularang kau turun tangan!" betapa besar prihatin akan keselamatan sekaligus dilimpahkan dengan kata-kata halus yang merdu ini, syur dan hangat hati Geng Tian serta merta ia manggut-manggut mengiakan.
Nyo Wan ceng girang, lekas ia padamkan api unggun itu. Setelah menempatkan Geng Tian sembunyi dibelakang pohon, dia sendiri terus melompat keatas pohon tidak lama kemudian tampak obor berjejer mendatangi tahu-tahu rombongan orang itu sudah meluruk tiba. Diam diam Geng Tian mengintip, dilihatnya tiada perwira yang bertarung tempo hari maka legalah hatinya.
Yang pimpin rombongan ini adalah seorang perwira muda-muda, katanya, "Eh, barusan kulihat sinar api disini kenapa tidak kelihatan orangnya?" lekas ia maju memeriksa seorang perwira lain yang mengintil di belakangnya berkata: "Api unggun ini masih panas terang pasti baru dipadamkan. Orangnya tentu sembunyi disekitar sini," seorang perwira lain lagi ikut menimbrung: "Kalian lihat bekas kakinya, ini satu besar satu kecil, mungkin terdiri laki-laki dan perempuan. Menurut hematku pasti benar adalah dua orang yang dimaksudkan Cian Tayjin itulah." Perwira muda itu tertawa dan lalu berkata, "Tidak perlu kalau main tebak, siapa tahu mereka adalah muda-mudi yang sedang bercumbu rayu dengan gelap-gelap disini. Jangan kalian buat mereka ketakutan. Hai kalian keluarlah asal kalian bukan penjahat, setelah kami minta keterangan akan kami lepas kalian pulang."
Geng Tian berpikir: "Cian Tayjin yang dikatakan itu mungkin adalah penjajah yang kami gebuk lari itu. Rombongan penjajah itu, ternyata meluruk kepada kami, tapi perwira muda ini agaknya bermartabat baik." Sebaliknya Nyo Wan ceng yang sembunyi di pohon berpikir: "Perwira muda ini kelihatannya hanyalah putra hartawan mana yang lemah lembut, kepandaiannya pasti terbatas. Menangkap penjahat meringkus kepalanya lebih dulu, biar kuringkus dia saja supaya menghemat tenaga."
Melihat seruannya tiada mendapat reaksi baru saja perwira muda itu hendak mengeluarkan perintah untuk memeriksa sekitarnya, Nyo Wan ceng mendadak loncat turun dari atas pohon, katanya tertawa: "Aku disini memangrya matamu sudah picak?"
Bagai burung terbang dan kecepatan bagai kilat di tengah udara Nyo Wan ceng gunakan jurus burung berkelahi ditengah awan, jari-jarinya langsung mencengkeram kearah perwira muda itu.
Semula ia sangka sekali serang tentu membawa hasil tak nyana kepandaian si-perwira benar benar berada diluar perhitungannya. Begitu jari jari Nyo Wan ceng mencakar datang sebat sekali ia menunduk kepala menghindar. Dengan sejurus Hud kun-jiu kedua telapak tangannya mendorong ke atas. Maka terdengarlah suara. "Plok!" Topi kulit musang diatas kepala si perwira kena tercakar jatuh, tenaga cengkeraman Nyo Wan ceng kena tertangkis miring. Tanpa kuasa badannya terbang meluncur kesamping.
Hebat memang kepandaian Nyo Wan-ceng didalam kepungan musuh seketika ia memperlihatkan ilmu Ginkangnya yang hebat, di tengah udara ia jumpalitan segesit burung dara, sementara cambuk peraknya sudah terbang melingkar-lingkar, begitu kakinya menginjak tanah empat tentara yang menyerbu datang masing-masing kena disabet sekali dan bergelung dengan sambil mengerang kesakitan.
Seorang tentara lain yang bersenjata golok besar sebetulnya sudah menyerbu datang melihat Nyo Wan ceng begitu lihay saking kaget ia menjadi gugup sendiri dan berteriak ketakutan: "Siau mo li !"
"Benar," seru Nyo Wan ceng tertawa besar. "Memang akulah Siau mo li yang suka membantai pasukan anjing penjajah macam kalian." dimana cambuknya disendal dan melingkar seketika pergelangan tangan tentara itu seperti terbelit putus kontan golok besarnya terbang tinggi ketengah udara, tentara yang lain segera bersorak ketakutan dan mundur terbirit birit.
Sebat sekali Nyo Wan ceng putar tubuh tahu tahu cambuk peraknya sudah menyabet kearah siperwira muda itu. Tujuannya seperti semula hendak meringkus pemimpin mereka lebih dulu.
Mengandal pedangnya siperwira muda melindungi badannya, bayangan cambuk menari selulup timbul sementara cahaya pedang membundar menggubat badan, serangan cambuk dilancarkan dengan gencar dan cepat namun pertahanan pedang siperwira cukup kokoh dan rapat sementara waktu kedua pihak kelihatan sama kuat setanding.
Agaknya siperwira belum pernah lihat permainan cambuk yang dilancarkan lambat laun ia terdesak mundur beberapa langkah tapi setiap kakinya melangkah mundur tekanan serangan Nyo Wan ceng pasti kena dipunahkan sebagian besar selama itu belum bisa cambuk Nyo wan ceng mengenai lawan.
Tiba tiba seorang muda lainnya melompat keluar dari rombongan orang banyak, bentaknya, "Jangan bertingkah biar aku hadapi kau Siau moli ini!" suaranya nyaring dan melengking meski sedang memaki tapi kedengarannya cukup jeIas dan menusuk kuping.
Kedatangan musuh cukup kuat belum lenyap kata katanya tahu tahu Nyo Wan-ceng sudah merasakan tekanan angin kencang dari sambaran senjata berat yang menyerang punggungnya.
Lekas Nyo wan ceng sabetkan cambuknya kebelakang, kembali ia lancarkan tipu melilit pergelangan merebut senjata dari permainan ilmu cambuknya tapi perwira muda ini tidak bisa dibanding tentara yang bersenjata golok besar tadi, dengan tangkas lawan menggeser kaki pindah kedudukan lalu dengan jurus Jiay hong to hu (burung merak merebut sarang) dua bilah liu yap tonya ternyata balas menyerang secara sengit dan tangkas.
Baru sekarang Nyo Wan ceng dapat melihat jelas bahwa perwira muda yang kedua ini adalah seorang perempuan. Tak heran suaranya tadi melengking nyaring dan aneh kedengarannya.
Heran dan tidak mengerti Nyo Wan-ceng, pikirnya: "Tak nyana dalam pasukan anjing penjajah ini terdapat anak perempuan yang berkepandaian lihay." tidak berani ia pandang rendah musuh dengan cepat ia kembangkan Lian goan sam pian (tiga pecutan berantai).
Begitu perempuan itu bentrok langsung dengan Nyo Wan ceng lantas dia menginsafi bahwa kepandaian sendiri masih setingkat lebih asor cuma dia berwatak suka menang apa Iagi kuatir ditertawai oleh sekian bawahan bahwa dirinya kena dikalahkan oleh Siau mo li karena gugup segera ia berseru, "Toako kenapa tidak kau bantu aku? Memang kau sudah kepincut oleh parasnya yang cantik?"
Nyo Wan-ceng gusar, bentaknya, "Tidak tahu malu." Sret sret gerak cambuknya selincah naga terbang, kelihatannya memukul bagian atas, namun mendadak menggulung kesebelah bawah.
Gadis itu dirabunya mencak-mencak kerepotan namun mulutnya masih usil balas memaki: "Siapa tidak tahu malu kau Siau mo li ini justru tidak tahu malu. Mana laki-laki liarmu kenapa tidak lekas keluar?"
"Awas dik!" tiba-tiba perwira muda itu berseru memperingatkan, terdengarlah "cras'' dimana cambuk perak Nyo Wan ceng menyambar sebagian pakaiannya kena disambar hancur berkeping keping. Semula perwira itu segan main keroyokan melihat adiknya kewalahan menghadapi Nyo Wan-ceng, dengan gugup segera ia maju kedepan membantu.
Sebetulnya Geng Tian tidak ingin ikut turun tangan, tapi setelah melihat beberapa gerakan ia tahu bahwa Nyo Wan ceng sekali kali bukan tandingan mereka berdua, maka tanpa hiraukan luka-lukanya, sambil membentak segera ia melabrak keluar.
Geng Tian mendadak menerobos keluar, gerak geriknya cepat luar biasa, waktu para tentara bersorak dan merubung maju hendak mencegat, lenyap suaranya orangnyapun tiba langsung ia menubruk kearah perwira muda itu.
Perwira muda itu melintangkan pedangnya menangkis namun gerakan Geng Tian sungguh cepat luar biasa, tiba tiba kipasnya bergerak miring terus menyerang dari posisi yang tidak terduga sebelumnya, lekas perwira muda mengayun pedang membuat bundaran bundaran kecil, tapi belum lagi bundaran kecil itu tertutup Geng Tian gunakan suatu gerakan pura-pura memancing lawan, sementara kipasnya dengan kilat menyelonong masuk dari lobang sela sela bundaran pedangnya yang belum terkatup itu menutuk kepadanya, yang diarah adalah Ih-khi hiat dilambungnya.
Kontan terdengar siperwira menggerung pendek dan tersurut mundur tiga langkah serunya memuji, "Gerakan bagus yang amat cepat! Siapa kau?" ternyata ia tidak jatuh oleh tutukan kipas Gang Tian.
Kiranya meski tutukan Geng Tian tepat mengenai sasarannya tapi ternyata yang dikerahkan terlalu lemah maka tutukannya itu tak berhasil menghentikan jalan darah orang dan lagi latihan Lwekang perwira muda sudah cukup matang, sedikit menekuk dada dan mengembang kempiskan perutnya, apalagi terpaut selapis pakaiannya maka tenaga tutukan Geng Tian yang Iemah itu dengan gampang dapat ia punahkan. Namun demikian ia rasakan lambungnya sakit juga.
Dalam pada itu dua perwira lain yang berkepandaian rada tinggi segera menyerbu bersama maksudnya hendak membantu atasannya, "satu keparat ini pastilah bocah she Geng itu !"
Berpikir perwira muda itu: "Serangan teramat lihay dan menakjupkan cuman tenaga murninya kenapa begitu kendor, apakah dia terluka?" Tapi dia malah tidak mau unjuk kelemahan dihadapan sekian banyak anak buahnya, katanya bergelak tertawa: "San tian ju memang tidak bernama kosong kalian mundur biar aku hadapi dia sendiri."
Cepat sekali Geng Tian sudah putar badan kipasnya menjojoh ketimur menutuk kebarat dengan gayanya yang indah ia menyerang keperwira yang berada di sebelah kiri tapi mendadak tahu sudah menerjang perwira yang disebelah kanan.
Sebetulnya kepandaian siperwira ini tidak lemah, senjatanya sebatang tombak panjang dalam waktu gawat tidak sempat ia tarik badan untuk melindungi badan. Tahu tahu ia rasakan separo badannya kesemutan, pergelangan tangannya pun keseleo kena dicengkeram dengan Hun-kin joa kut hoat oleh Geng Tian.
Waktu kaki Geng Tian gentayangan sementara perwira satunya sudah menubruk tiba agaknya Geng Tian seperti sukar mengembalikan badannya lagi untuk berdiri, dan terjatuh kedalam pelukannya. Perwira ini menggunakan gaman sepasang gantolan begitu kedua gantolannya dikatupkan, tapi gerakan Geng Tian lebih cepat lagi, begitu jarinya menjojoh ia berhasil menusuk Hiat to orang lebih dulu. Mesti kedua gantolannya sudah sirna maka hanya melobangi pakaian Geng Tian saja.
Misteri Nuri Gagap 2 Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D Freelance 1
^