Pencarian

Antara Dua Pilihan 2

Merivale Mall 03 Antara Dua Pilihan Bagian 2


dengan bosnya, Ernie Goldbloom.Ernie memandangnya dengan penuh teka-teki. "Ngapain kamu
di sini? Tempatmu di counter, kan?"
"Aku ? hm, tadinya pingin bertukar tempat sebentar. Selagi
sedang sepi."
"Sepi? Dengan segerombolan anak yang baru saja masuk?"
Ernie membalikkan bahu Lori. "Kembali ke counter, Lori. Mereka
tampak lapar berat. Aku pun bisa mereka telan."
Lori tak punya pilihan lain. Dengan menarik nafas panjang, ia
mendorong pintu dengan berat untuk kembali ke kasir. Ia bersiap-siap
untuk bertengkar lagi dengan Gina. Tapi ingat, batin Lori, kau netral.
Netral, netral, netral?Nick!
Lori heran melihat Nick berdiri di situ, kok bukan Gina. "L?
lho, ngapain kamu di sini?"
Nick tertawa. "Mencarimu, tentu. Kemana saja sih?"
"Aku ? hmm, harus ke dapur sebentar." Lori melempar
pandangan ke sekeliling, mencari Gina dan gengnya. Oh ? mereka
duduk di meja pojok. Ia yakin pasti Nick belum melihat mereka.
"Kamu sendirian?"
"Nggak. Teman-teman setim akan menemuiku di sini. Aku kan
sudah bilang kami akan mampir seusai latihan hari ini. Ada apa sih?
Kok kau kelihatannya nggak senang dengan kedatanganku."
Regu Cougars! Lori merasa Nick baru mengatakan ia membawa
dinamit.
"Mana mungkin sih, aku nggak suka melihatmu kemari?" Lori
melirik ke meja Gina yang mengawasi mereka. "Tapi lihat itu.
Sebaiknya kau ajak teman-temanmu ke tempat lain," saran Lori.Nick mengikuti arah pandangan Lori dan ketika ia berbalik
nampak rahangnya mengeras. "Kami pun berhak juga buat makan di
sini. Coba saja kalau mereka berani macam-macam!" Ketegasan di
mata Nick membuat hati Lori serasa direndam es batu lima kilo.
"Oh, Nick, jangan sampai kalian berkelahi. Besok pertandingan.
Bagaimana kalau kau terluka dan tak bisa main? Kau pasti tidak ingin
itu terjadi kan?" tukas Lori segera, mengajak berpikir secara rasional.
Tapi begitu ingat pada anak-anak Vikings itu, jelas bahwa Nick
tidak dapat menggunakan akal sehatnya.
"Aku sih rasanya nggak pernah cari masalah. Tapi kalau
memang sampai terjadi perkelahian, percaya deh, nggak akan ada
anak Cougars yang terluka."
Belum sempat Lori menjawab, terdengar teriakan Cougars yang
melenggang masuk, dan kedua tim saling berpandangan.
"Hei, Cougars, kami duluan di sini!" seru penjaga gawang
Merivale yang berotot. "Pergilah kalian ? daripada menyesal nanti."
"O ya?" seru salah satu teman Nick. "Geng kampung mau
nyobain?"
Lori menunduk, takut menghadapi yang akan terjadi
selanjutnya.
"Mendingan kalian pulang saja deh, istirahat!" sambung teman
Nick. "Besok kalian bakal jadi bolanya!"
"Nggak salah tuh?!" tukas Gina. "Jaman Cougars sudah lama
lewat. Sekarang sudah jamannya Vikings!"
"'Tul! ? kamilah malaikat maut kalian," seru Jack Baxter.
"Jadi, bersiaplah kalian untuk besok pulang dalam sarung bantal.Tanya saja semua orang, juga pacar si Hobart!" serunya sambil
menunjuk Lori.
Semua memandang Lori. Ia memandang sekeliling dengan
gugup, meremas-remas celemeknya. Pandangannya berhenti pada
Nick, Lori berharap ia menyatakan sesuatu untuk menolongnya.
"Silakan, Lor," ujar Nick sambil menatapnya. "Katakan siapa
yang akan menang atau kalah."
Lori merasakan wajahnya memerah. Ia menggigit bibir
bawahnya. Mengapa aku selalu terjepit di tengah seperti ini? Nggak
adil, batin Lori.
Kemudian ia ingat pada sikapnya sendiri. Dengan setenang
mungkin ia berujar, "Tim yang berusaha paling keras yang akan
menang."
Nick terlompat mundur. Dalam seketika tahulah Lori bahwa
Nick sangat kecewa pada jawabannya.
"Apa maksudmu?" tanyanya datar "Kau yakin Vikings bisa
menang?"
"Aku nggak bilang itu," jawab Lori mengelak. "Maksudku?"
"Pengkhianat kecil!" seru Gina. "Kalau tidak segera kau bilang
Merivale yang menang, berarti kau memihak mereka."
"Dengar dulu. Buatku, kedua tim memang hebat. Aku tak dapat
meramal mana yang akan menang."
Nick dan teman-temannya hanya memelototinya saja. Lori
menangkap sinar kekecewaan di mata Nick, dan itu menyakitkan
hatinya. Tim Merivale menatapnya dengan kesal. Mereka semua ingin
mendengar ia memihak. Tak seorang pun ingin kedua tim itu disebut
sama hebat."Oke, kita semua sudah mendengarmu," ujar Gina. "Tapi
stadion ada 2 sisi, pilih salah satu besok."
"Sudahlah." Jack Baxter yang rambut hitamnya tersisir licin ke
belakang, memberi isyarat pada teman-temannya sambil
menggandeng Gina. "Ayo kita pergi."
Rombongan Merivale keluar dari restoran. Nick dan Lori
memandang mereka pergi, lalu Nick berbalik ke Lori dengan raut
was-was.
"Aku sebelumnya nggak pernah setuju dengan Gina Nichols
dalam hal apapun, tapi yang dikatakannya tadi benar, Lor. Besok kau
harus memilih."
"Memang," Lori menyetujuinya tanpa menatap Nick. "Ini
pilihan yang berat," lanjutnya akhirnya.
"Seharusnya ini tidak terjadi kalau kau tidak menuruti kata
hatimu," Nick menggenggam tangan Lori, membuat Lori menatapnya.
Banyak yang ingin dikatakannya, tapi ia tak berhasil menemukan
kata-kata yang tepat.
"Hei, Hobart," ajak seorang temannya. "Mau ikut kami,
nggak?"
Sebagian besar gerombolan Cougars sudah pergi dan
nampaknya Nick tidak mau jauh ketinggalan di belakang.
"Sebentar! Aku nyusul deh," jawab Nick, lalu berbalik ke Lori.
"Pikirkan apa yang kukatakan tadi, Lor."
Lori mengangguk, kemudian Nick membungkuk dan
menciumnya. Ia cepat-cepat ke luar menyusul teman-temannya.
Nick dan Gina memang benar. Barusan tadi aku menunjukkan
kenetralanku, tapi besok aku harus memilih.Sembilan
Jumat pagi itu demam-bola di kedua sekolah nampaknya
semakin memuncak. Di kelas psikologi Danielle, Bu Ellis berusaha
keras mengikat perhatian murid-muridnya pada pelajarannya. Danielle
tak begitu menyukai Bu Ellis, tapi ia kagum pada kegigihannya itu.
Setelah seminggu bekerja di panti, Danielle paham benar rasanya
berada di posisi seperti Bu Ellis. Belakangan ini, kelakuan anak-anak
Atwood tak ubahnya seperti anak-anak balita di panti, batin Danielle.
Akhirnya bel berbunyi, dan anak-anak berebut keluar. Danielle
terhimpit di tengah, tapi segera menyisih ketika Bu Ellis memanggil
namanya. Sambil mendesak ke tepi kerumunan, ia sibuk menebak-
nebak apa kiranya yang akan dikatakan Bu Ellis. Betsy Harper
melaporkan kejelekannyakah? Kalau nilaiku masih juga jelek, setelah
bekerja di panti ini, aku mau menjerit sekeras-kerasnya.
"Ibu memanggil saya?" tanya Danielle sambil berdiri di
samping meja guru. Bu Ellis tersenyum dan menggeser kacamata
kupu-kupunya ke kepala.
"Tugasmu di panti hampir selesai, Danielle. Bagaimana
kesanmu?"
"Mulanya kikuk juga, sih," ujar Danielle jujur. "Mungkin Betsy
Harper telah memberitahu Ibu.""Ya, kata Betsy kamu kelihatan kaku pada hari pertama," jawab
Bu Ellis dengan, nada penuh pengertian.
"Saya memang tidak pernah bermain bersama anak-anak kecil,
jadi itu sulit. Saya tidak tahu bagaimana bicara atau main dengan
mereka," jelas Danielle. "Tapi kemudian, semuanya jadi mudah.
Sekarang saya jadi menyukai mereka." Danielle kaget sendiri
mendengar ucapannya sendiri. Begitu juga Bu Ellis.
"Betsy bilang kamu banyak menolongnya dalam mengatasi
anak-anak."
"Benar dia bilang begitu?" tanya Danielle berseri-seri.
Bu Ellis mengangguk. "Katanya, sudah banyak sukarelawan
dari sekolah, tapi selama ini baru kamu yang memakai akal. Benarkah
kamu membawa anjingmu ke sana?"
Danielle tersenyum lebar. "Garbo memang hebat. Anak-anak
demikian memanjakannya dengan segala perhatian."
Danielle menceritakan beberapa kelucuan Garbo. Ia
membelakangi pintu, sehingga tidak tahu kalau Heather dan Teresa
menunggunya, dan mendengar setiap kata dari percakapannya.
"Sepertinya kalian berdua berpengalaman," ujar Bu Ellis
akhirnya. "Saya hanya ingin mengatakan bahwa saya sangat suka
caramu menangani tugas khusus ini. Saya akan memberi nilai A untuk
hasil kerjamu serta angka rata-rata untuk nilai test-mu yang lain."
Danielle mendesah lega. "Maksud Ibu saya dapat merubah nilai
F?"
Si Guru mengangguk."Aduh, terimakasih Bu Ellis," Danielle tersenyum cerah. "Ibu
benar-benar merubah nasib saya. Saya harus pergi, biar nggak
terlambat pelajaran sejarah," tambahnya sambil menuju ke pintu.
"Cepatlah. Jangan terlambat. Sampai ketemu di pertandingan,"
lanjut Bu Ellis. Danielle berbalik dan memandangnya.
"Seperti yang lainnya, saya juga ingin nonton tim Cougars
menggasak habis tim Merivale besok," ujar Bu Ellis jahil.
"Selamat siang, Bu!" ujar Danielle. "Sampai jumpa di
lapangan."
Danielle masih dalam suasana senang seusai pelajaran sejarah.
Dengan semangat ia menuruni koridor kemudian melihat Teresa dan
Heather menunggu dekat lokernya. Ia mengira mereka pasti ingin
membicarakan soal pertandingan dan tentu bertanya baju apa yang
akan dipakainya nanti. Ia mencatat sikap teman-temannya amat
berubah. Mereka terus membicarakan kerelaannya untuk bekerja di
panti. Semua pujian mereka membuatnya kesal. Bagaimanapun, ia
tidak akan bekerja di panti untuk alasan yang tidak masuk akal.
Tapi Teresa dan Heather tidak perlu tahu itu. Entah apa kata dan
tindakan mereka nantinya.
Mereka benar-benar benci kalau ditipu. Apalagi oleh Danielle.
"Hai! Kukira kalian ke Mall, beli pakaian baru untuk
pertandingan besok." Danielle menaruh buku-bukunya di loker.
Kemudian ia mengambil jaket kulitnya dan setas permen yang ia beli
untuk anak-anak di panti. "Aku ingin ikut belanja sama kalian juga
tapi kerjaanku numpuk."
"Kasihan Danielle. Alangkah sucinya," cibir Teresa."Hatinya begitu mulia dan penuh kasih," lanjut Heather, sama
sinisnya.
Danielle mulai kesal. Tapi ia berusaha untuk tetap tenang.
Sesuatu yang biasa, dengan Heather dan Teresa.
"Sudahlah. Ini kan cuma kerjaan sukarela. Aku bukannya mau
jadi Florence Nightingale."
"Iya ? kerjaan sukarela buat ngatrol nilai psikologimu."
Danielle jadi pucat. Kok mereka tahu? "Kalian ngomongin
apaan, sih?" tanyanya pada Terasa dengan gaya tak berdosa.
"Jangan berlagak bodoh Danielle. Kami berdiri di luar ruang Bu
Ellis dan mendengar semuanya."
"Kami kaget juga, sih, awalnya. Tapi akhirnya percaya. Kau
kira akan bisa membodohi kami, dua minggu ini," jebak Heather.
"Kami sudah curiga sebelumnya. Pasti ada apa-apanya."
"Tunggu dulu," mohon Danielle. "Aku tahu, aku seperti
mencoba menipu kalian, tapi aku benar-benar suka bekerja di sana.
Aku mungkin akan melakukannya juga, meskipun bukan semata-mata
untuk memperbaiki nilai?"
"Cih, bohong," bantah Heather. "Kau tak akan pernah mau
bekerja di situ kalau bukan Bu Ellis yang memaksamu, Danielle. Dan
kau menyadarinya. Mengapa? Karena yang aku tahu kau tidak
mungkin berhasil untuk pekerjaan sukarela."
"Nggak ? itu nggak benar ?," kembali Danielle membantah.
"Simpan nafasmu Danielle. Kau berani mencap aku dan
Heather tidak berperasaan dan egois, waktu itu. Kau terlalu nganggap
enteng kami. Kalau kau sangka kami akan membantumu mengawalanak- anak kecil itu ke mall, kau pasti gila. Kami tidak pernah berniat
pergi. Iya kan, Heather?"
"Enak saja. Itu kan cuma tipuan kecil kami," tambah Heather.
"Bodohnya kau, mau saja percaya kami untuk melakukan hal
yang seperti itu!"
Danielle menggoyang-goyangkan rambut merahnya yang indah.
"Tak jadi masalah sedikitpun buatku, kalian ikut atau tidak. Betsy
akan ikut membantu.
"Tentu, Danielle." Teresa tersenyum puas. "Ini cuma kunjungan
lapangan. Apa kau ingin mencari bantuan sekarang? Bagaimana
dengan nilaimu? Sekarang kan belum penilaian akhir."
"Rasain saja sendiri nanti. Mereka pasti liar. Kau akan
kerepotan, terus mengawasi mereka." Heather tertawa sinis.
Danielle tahu persis bahwa semua ucapan Heather dan Teresa
memang benar. Tapi ia tak mau begitu saja menyetujui mereka.
"Dengar, aku mau ke Mall dengan anak-anak kecil itu dan kami
akan bersenang-senang. Nah, sekarang minggir, aku mau ke panti?"
"Oh, kami tak akan menghalangi sukarelawan yang mulia! Iya
kan, Heather?" ejek Teresa. Mereka menyisih agar Danielle dapat
lewat.
Danielle sempat mendengar gelak tawa mereka ketika ia
bergegas turun dari ramainya aula. Ia segera lari ke mobilnya, masuk
dan menyalakan mesin, dan melaju keluar trotoar.
Danielle kesal di sepanjang jalan. Seharusnya ia tidak
mendustai Teresa dan Heather. Meskipun keduanya terkadang
memaksa. Tega sekali mereka tidak mau membantu kunjungan
lapangan ini. Ia tidak dapat membatalkannya dan mengecewakananak-anak itu. Tapi tidak mungkin untuk mendapatkan orang yang
dapat membantunya saat ini. Minta pada Betsy sepertinya tidak
mungkin. Dan mungkin melanggar hukum membawa 10 anak di
kunjungan lapangan sendirian! Paling tidak ia harus mengurangi
jumlah anak.
Karena bingung, Danielle nyaris kelupaan membawa kue dan es
krim ke panti. Mall sudah di depan mata, dan ia mengikuti antrian
mobil yang belok menuju tempat parkir.
Di toko kue, ia menunggu giliran dengan tidak sabar sambil
mengetuk-ngetukkan ujung kukunya di meja counter. Ia kenal teman
sepupunya, si Patsy Donovan, di counter; tapi mana mungkin Patsy
mau memberinya pelayanan khusus.
Teman-teman Lori benar-benar tidak menyukainya, dan
Danielle tahu akan hal itu. Dia, Teresa dan Heather telah banyak
mempermainkan teman-teman Lori. Lori selalu memaafkan mereka,
tapi tak demikian dengan teman-temannya. Ia dan Lori tidak seakrab
dulu, tapi dalam keadaan mendesak, ia tetap sepupunya. Lori yang
baik tidak pernah akan menelantarkannya.
Ah, ini dia! Minta bantuan Lori saja. Kalau kuminta, mungkin
dia akan mau.
Berikut giliran Danielle, ia memesan 3 lusin kue coklat dan
setengah galon es krim. Patsy mengambilkan pesanannya itu ke
seberang counter.
"Jangan sampai sakit perut, Danielle," ucapnya dengan senyum
yang dipaksakan.
Danielle tersenyum tak kalah manisnya, sambil menyindir
pinggang Patsy yang besar."Pinggangku kecil, kok. Jadi nggak mudah sakit. Nggak


Merivale Mall 03 Antara Dua Pilihan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segitu?"
Danielle segera keluar setelah puas mengejeknya dan berjalan
menuju ke Tio's. Lori sedang duduk di bangku panjang, di luar
restoran, menghirup soda dengan pandangan kosong ke depan. Ia tak
seriang biasanya, pikir Danielle.
"Hai Lor," sapa Danielle sambil duduk di sampingnya. "Apa
kabar?"
Lori mengangkat bahunya ogah-ogahan. "Nggak banyak. Kau
gimana?"
"Aku hampir kelar dengan tugas pantiku yang kuceritakan itu.
Sejauh ini sih nggak ada masalah."
"Asyik dong. Selamat deh. Tapi kok masih kelihatan murung?"
"Iya, karena belum selesai. Aku harus membawa anak-anak
kecil itu ke Mall hari Senin untuk kunjungan lapangan. Tapi dua orang
yang ingin membantuku mundur. Aku nggak bisa menanganinya
sendirian. Lagipula aku tak akan diijinkan."
Lori kelihatan terkesan.
"Wah, sayang sekali. Tapi mungkin ada orang lain yang mau
membantumu?"
"Sebenarnya, Lor, aku mau minta bantuanmu. Anggap sebagai
bantuan yang paling mulia. Aku tahu kau sangat suka anak-anak kecil.
Tak jadi masalah kan? Aku akan sangat berterimakasih sekali," mohon
Danielle.
"Aku ingin sekali menolongmu, Dan. Jujur deh. Tapi aku harus
kerja. Ernie setuju aku libur hari Sabtu. Aku nggak bisa minta lain
waktu lagi. Maaf ya.""Tolonglah," mohon Danielle sekali lagi. "Kalau kunjungan
lapangan ini tidak berhasil, aku mungkin tidak dapat nilai baik."
Lori amat iba, meskipun ia tahu sepupunya baik padanya hanya
kalau lagi ada maunya. Ia mau menolong, kalau saja dia bisa minta
libur. Tapi sayangnya ia harus bekerja, karena butuh uang.
"Bagaimana dengan Teresa dan Heather? Masa nggak mau
bantu dalam keadaan mendesak seperti ini?"
"Lupakan mereka!" ujar Danielle keras. "Mereka berdua egois,
benar-benar nyebelin!" sungut Danielle, seraya mengumpulkan
bungkusan-bungkusannya dan bangkit. "Baiklah, aku pergi dulu ya,
sebelum es krim ini mencair. Sampai jumpa di pertandingan besok."
"Iya deh," jawab Lori mencoba tersenyum. Ia berusaha sebisa
mungkin untuk kelihatan gembira, walau sebenarnya amat
mencemaskan acara besok siang, sampai sulit berpikir jernih.
Danielle meletakkan es krim dan kuenya di jok belakang, lalu
berangkat ke panti dengan putus asa. Lori adalah harapannya yang
terakhir.Sepuluh
Sabtu pagi, sinar matahari menerpa tirai pink kamar tidur Lori.
Tanpa beringsut dari bantal, dipandanginya langit yang cerah, biru tak
berawan. Langit musim gugur, yang mengilhami lagu-lagu dan puisi.
Dan juga rugby.
Lori mendesah ketika berpikir tentang pertandingan. Semalam
ia berharap semoga hari ini hujan, badai, bahkan angin topan. Tapi
percuma saja. Biar bagaimanapun pertandingan Atwood-Merivale
akan tetap dilaksanakan.
Lori menggeliat dan memandang langit-langit. Rasanya lesu.
Perutnya mulas. Kepalanya pusing. Akan percayakah orang kalau dia
nggak ikut ke pertandingan hanya karena flu? Alasan yang pas. Pas
buat dicurigai, gumamnya sendiri. Kalau saja aku dapat mematahkan
kakiku, misalnya.
Tapi tidak mungkin. Ia harus hadir di stadion dan menentukan
pilihan biar seluruh dunia menyaksikannya.
Lori memaksakan diri untuk bangun dan ke kamar mandi. Ia
menggosok gigi dan cuci muka kemudian mengamati bayangan
dirinya di cermin, berusaha untuk senyum. Mata biru yang besar
dengan bibirnya yang menekuk ke atas membentuk senyuman
menantang."Hari ini semuanya akan berakhir, Randall," batinnya, "Bisa
jadi kau akan dikucilkan atau tidak punya pacar sama sekali. Tapi kau
tahu kau bukan pengecut.."
Tiba-tiba ada ketukan keras di pintu kamar mandi.
"Lori?" panggil ibunya. "Sarapan sudah siap. Sudah siap
turun?"
"Sebentar!" sahut Lori. Ia cemas jangan-jangan ibunya
mendengar ocehannya.
"Ada French-toast ? kesukaanmu," tambah Bu Randall.
Lori memunculkan kepalanya dari kamar mandi dan tampaklah
ibunya yang cantik berambut pirang.
"Biarpun nggak lapar, kalau French-toast sih ?"
"Ya, ibu tahu. Cuma sekedar memberitahu ada makanan enak
pagi ini karena sekarang kau akan menghadapi hari khusus," sambil
tersenyum khas.
Kok ibu tahu banyak sih?
"Oh ? maksud ibu tentang pertandingan dan semua ?"
"Iya, dan semua," kata Bu Randall sambil menghampiri dan
menyibakkan rambut dari pipi Lori. Kemudian ia berbalik dan
menuruni tangga.
"Ayo cepat turun, sebelum dihabiskan adik-adikmu."
Lori tahu dari pengalaman, peringatan ibunya itu bukannya
tanpa alasan. Di umur 11 dan 8 tahun, kedua adiknya memang sedang
di masa lahap-lahapnya menghabiskan apa pun. Ia menyisir
rambutnya dan turun menuju meja makan dengan jas mandinya.
Aroma French-toast tercium lezat dan mengundang selera.
Teddy, Mark,dan ayahnya, yang Kepala Sekolah di sebuah SD,sedang membicarakan pertandingan dan mengira-ngira tim mana yang
akan menang.
"Pasti Atwood yang menang," seru Mark yang berusia 8 tahun
seraya menurunkan topi basebalnya. "Mereka tak mungkin kalah. Kan
ada Nick."
Mark adalah fans berat Nick. Sewaktu Nick datang ke rumah,
tidak ada waktu untuk cuma berduaan saja meski hanya 5 menit.
"Wah, kalau dari statistik di komputerku," pamer Teddy sambil
menggoyang-goyangkan kepalanya yang pirang. "Berdasarkan grafik
menang-kalahnya kedua tim, melihat suhu, kecepatan angin dan kadar
kelembaban ? sepertinya Merivale yang menang."
"Kedengarannya ilmiah amat?" komentar ayah Lori sambil
menghirup kopinya. "Bagaimana Lor, apa ramalanmu?"
Lori menatap piringnya, memilih kata-kata yang tepat.
"Nggak tahu deh, kedua-duanya hebat sih."
Ayahnya nampaknya kaget dengan jawabannya. "Memang.
Tapi kan kita tidak bicara soal kepastian. Kita cuma menebak tim
mana yang akan kau dukung. Itu pilihan yang sulit."
Lebih sulit dari bayangan Ayah, deh! ucap Lori dalam hati.
Tiba-tiba telpon berdering. Bu Randall mengangkatnya. Untuk
Lori. Dengan semangat ia menerimanya, lega rasanya pergi dari meja
makan.
Ternyata Ann. Ia memberitahukan bahwa tugas Ron sudah
selesai dan ia yang akan mengantarnya ke pertandingan. "Kami juga
mau jemput Patsy sekalian," tambah Ann.
Sebenarnya Lori tidak suka ide itu. Ia butuh dorongan teman-
temannya untuk pergi ke sana. Tapi karena rumah kedua sahabatnyaitu berdekatan, masuk akal juga sih kalau Ron dan Ann menjemput
Patsy.
"Kalau kau sampai duluan ke sana, sediakan tempat buat kami,
Lor. Itu kalau kau duduk di jajaran Merivale."
"Iya deh. Sampai ketemu di pertandingan," jawab Lori, tak
menjanjikan apa-apa. "Cari aku ya ?"
Setelah menutup telpon, Lori naik ke kamarnya. Ia mandi
berlambat-lambat, lalu menata rambut dan berdandan. Ia memakai
korduroi biru tua dan kaos rugby kedodoran bersetrip merah-biru,
serta kaos putih dililitkan di bahunya.
Waktu berangkat ke stadion, sepertinya ada gerombolan rayap
bergolak di perutnya. Kalau saja ada Patsy dan Ann, batinnya. Ia
memperingatkan dirinya jangan seperti anak bayi. Keputusan ada di
tangannya, tak seorang pun yang dapat menolongnya.
Sebenarnya ia telah memutuskan untuk memihak siapa.
Merivale yang layak mendapat dukungannya. Ia sayang Nick, tapi ia
wajib membela sekolahnya.
Meskipun dalam hatinya ia mendukung Nick, Lori merasa lebih
bangga untuk duduk di jajaran Merivale.
Ketika memasuki parkir stadion, pikirannya tertuju pada Nick.
Ia pasti kecewa kalau melihat dimana ia duduk. Maukah ia mengerti?
Ia ragu. Mengapa cinta harus jadi sesulit ini?
Lori masuk melalui pintu gerbang dan memandang berkeliling.
Jajaran bangku di satu sisi lapangan sudah terisi dan kelompok musik
dari kedua sekolah bersaing ketat menarik perhatian penonton.
Ketika Lori masuk, ia merasa semua orang memperhatikannya,
menunggu pilihannya. Tadinya ia pikir itu cuma perasaannya sendirisaja. Namun kemudian terdengar dua orang cheerleader dari Atwood
berbisik-bisik tentang dirinya.
"Itu dia Lori Randall," ujar yang satunya. "Aku ingin tahu dia
mau duduk di jajaran mana?"
"Semoga dia ke jajaran Merivale, tempat asalnya," jawab
cheerleader yang satunya. "Biar Nick Hobart memutuskannya dan aku
jadi punya peluang kencan dengannya suatu hari."
Gadis yang satunya tertawa, "Tukang serobot ah, kamu!"
Lori melangkah perlahan. Obrolan mereka sangat menyakitkan.
Mereka benar, batin Lori. Kami pasti akan putus, jika aku duduk di
jajaran Merivale. Turuti kata hatimu, batinnya.
Banyak sekali gadis yang ingin merebut Nick, jika ada
kesempatan. Lalu gimana, masih mau nekad duduk di deretan
Merivale? Dia ragu. Sudah gilakah aku?
Ia melirik jajaran Atwood. Ada sepupunya, Danielle. Tapi yang
lainnya kelihatan tidak ramah. Ia merasa bukan bagian dari mereka.
Kemudian ia melirik jajaran Merivale, dipenuhi wajah-wajah yang ia
kenal, teman sekelas dan guru-gurunya.
Di sana tempatku, batin Lori. Aku tidak dapat duduk di jajaran
Atwood karena memang tidak selayaknya. Ia berjalan menyeberangi
lapangan. Ketika ia menaiki tangga menuju jajaran Merivale, teman-
temannya menyambut gembira kedatangannya.
"Gitu dong, Randall!" seru seorang anak dengan lantang. Yang
lainnya ikut bersorak menyambut. Di seberang sana, fans Atwood
berteriak kecewa "Huuuu ...!" mengimbangi sorakan Merivale.
Dengan wajah memerah, Lori segera menemui Patsy, Ron dan
Ann. Ia memutari kepadatan penonton dan duduk di samping mereka."Thanks, kalian nyediain tempat buatku," sapanya.
"Kami melihatmu tadi," ucap Ann. "Tapi kami kira kau memilih
duduk di jajaran Atwood ?"
"Yah, sekarang aku di sini, kan?" Lori mengangkat bahu dan
tersenyum layu. "Menang atau kalah."
Setelah perkenalan antar tim, segera terdengarlah peluit mulai
pertandingan. Merivale Vikings pelempar bola pertama. Seluruh isi
stadion menghentak kaki dan bersorak memberi semangat. Lori tidak
sempat menimbang lagi benar tidaknya pilihan ini. Pertandingan
sudah dimulai dan inilah pilihannya.
Selama putaran pertama, tim Cougars menggasak Vikings
habis-habisan. Mereka nyaris tidak melakukan kesalahan apa pun dan
setiap sergapan sepertinya terkibas begitu saja. Nick amat mampu
mengendalikan permainan, dan berhasil mengelakkan semua
sergapan. Dengan segera nilai menjadi 14 untuk Atwood, dan
Merivale 0!
Fans Merivale tegang. Setiap kali Atwood menambah angka,
mereka semakin kacau.
Namun tiba-tiba Vikings kembali hidup! Di putaran kedua
mereka berhasil menghadang semua bola dan sekaligus membukukan
touchdown. Fans Merivale melonjak-lonjak girang sambil bersorak
riuh. Terasa oleh Lori, tribun itu terguncang, seolah kayu dan besi
penopangnya tak mampu menahan luapan kegembiraan itu.
Tim Cougars segera meningkatkan serangan, dan berhasil
mendapat 3 angka lagi. Tapi lawannya memang tangguh, Vikings
kembali berhasil membukukan touchdown. Angka menjadi 14-17.Kedua tim itu kembali bertarung habis-habisan, memperebutkan
setiap jengkal lapangan. Di pertengahan paruh kedua para pemain
sudah tampak sangat kecapaian. Hati Lori tergerak melihat mereka,
terutama Nick, yang tampak seolah sudah tinggal roboh saja.
Lori menduga Nick telah melihatnya, namun ia tak begitu
yakin. Ia terus berusaha menatap matanya, dan mengirimkan doa
dukungan. Tapi nampaknya Nick amat larut dalam permainan dan
sama sekali tidak melirik ke arahnya.
Menjelang akhir babak terakhir, Jack Baxter dengan cerdik
berhasil berlari membawa bola sampai ke ujung lapangan dan
bertambahlah angka Vikings dengan 3 lagi.
Dalam waktu yang tinggal 3 menit lagi, tim Cougars minta time
out. Tampak oleh Lori Nick berlari ke garis pinggir untuk berbicara
dengan pelatihnya. Hati Lori serasa tersayat. Kini seluruh fans
Atwood hanya mengandalkan Nick untuk membuat Cougars menang
seperti yang terbukti selama ini. Mereka menghentakkan kaki sambil
berseru berulang-ulang, "Hobart! Hobart! Hobart! Maju! Maju!"
Nick kembali ke lapangan, diiringi seruan gemuruh penonton.
Dia melepas helmnya dan melihat ke arah penonton. Dia bukan
menyambut sorakan penonton, batin Lori, tapi mencari wajah yang
amat dikenalnya. Tanpa peduli para pemain lain menunggunya untuk
menyelesaikan permainan.
"Astaga! Nick mencarimu, Lor!" bisik Patsy kebingungan.
Lori tergugu. Ia ingin turun ke lapangan dan memeluk Nick
serta meyakinkannya bahwa ia pasti menang. Ia yakin Nick mampu
melakukannya. Tapi kini ia hanya bisa membeku di tempat duduknya,
saat pandangan Nick menyapu ke deretan penonton Merivale.Tatapan mereka bertemu. Lori melambai, tapi Nick tidak
tersenyum. Wajahnya tampak mengeras dan kaku. Dia kembali
memakai helmnya dan berlari-lari kecil ke lapangan. Ia tampak
membungkuk, lalu kembali ke formasi.
Kemudian segalanya seolah berlangsung sangat cepat. Nick
membawa bola, mencari teman yang lowong. Suporter Merivale
berseru, "Sikaaat! Sikaaat! Habisin!"
Salah satu anak Vikings yang dijuluki Meat Locker, mendobrak
pertahanan lawan dan menghempas Nick ? tanpa ampun. Detik-detik
terakhir, Nick sempat melempar bola sebelum ia jatuh. Namun
lemparannya melenceng, tanpa ada penerimanya. Seorang pemain
Viking melompat menyambarnya, dan segera membawanya ke
gawang. Para pemain Cougar kalang kabut memburu, dan
berjatuhanlah para pemain di sana-sini. Walau dengan punggung
kostum sudah terkoyak, pemain Merivale itu terus melaju ke ujung
lapangan, dan membukukan touchdown, tepat bersamaan dengan
bunyi akhir pertandingan.
Merivale menang.
Fans Merivale berjingkrak dan fans Atwood mendesah kecewa.
Lori terhenyak. Untuk pertama kalinya dalam dua puluh tahun ini
Merivale mengalahkan Atwood! Di sekelilingnya, orang-orang
bertingkah liar.
Yang dipikirkan Lori hanyalah Nick. Ketika semua orang
melihat si pemain Viking di akhir pertandingan tadi, ia menyaksikan
Nick bangkit perlahan. Walau tak dapat melihat wajahnya, tapi dari
kepala dan bahunya yang tampak terkulai layu, tahulah dia apa yang
terjadi.Para pendukung berhamburan turun ke lapangan untuk
mengucapkan selamat ke timnya. Hingar-bingar di bangku Merivale.
Gina Nichols jadi pusat perhatian. Sambil memeluk Jack Baxter, ia
melambai-lambaikan pom-pom dan bersorak-sorai kemenangan.
"Aku ingin ngasih selamat pada mereka kalau saja aku dapat
menerobos keramaian," ujar Ann. Ron muncul lalu berdiri di sisinya.
"Mereka mau berpawai kemenangan," tambah Patsy. "Kau ikut,
Lor?"


Merivale Mall 03 Antara Dua Pilihan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalian saja deh, aku mau nunggu sampai nggak begitu ramai
lagi."
Di saat tim Vikings sedang dielu-elukan para pendukungnya,
para suporter Atwood beriringan keluar stadion sehikmat di upacara
pemakaman. Lori lari menyeberangi lapangan dan mencari Nick, yang
duduk menyendiri di bangku panjang dengan tangan tertangkup di
wajahnya. Dia terlihat sangat kecewa sekali, seragamnya koyak dan
berlumpur. Lori menghampirinya. Ia menyentuh bahunya. Aku mau
melakukan apa saja, asal Nick pulih. Apa pun juga.
"Nick," sapa Lori. "Ayo ?jangan murung begitu. Ini kan cuma
pertandingan. Bukan hari kiamat?"
Nick menegakkan kepalanya dan meliriknya. Ia menepis tangan
Lori seolah-olah tidak rela disentuh.
"Pergilah," sergahnya keras. "Kau tidak menolongku selagi
kubutuhkan ? dan aku tidak butuh belas kasihanmu, Lori."
Kata-kata Nick sangat menyakitkan. "Sori, Nick. Aku mencoba
melakukan yang kukira terbaik."
Nick mendongak dan menatap marah. "Tapi bukan untukku, itu
yang kutahu. Ketika kucari, kau tidak ada. Aku kaget waktumelihatmu duduk di jajaran Merivale. Konsentrasiku buyar. Kalau
saja kau ada di deretan sini, bola itu tidak akan meleset."
Apa? Nick menyalahkan dirinya atas kekalahan Atwood ini?
"Ayolah Nick, jangan salahkan aku untuk semua ini," mohon
Lori.
"Ini kan cuma kurang beruntung saja. Masa Atwood kalah
karena aku?"
"Tidakkah kau sadar, Lor? Kau mengkhianatiku. Bagiku, kau
seolah turun ke lapangan dan merebut bola dari tanganku." Mata
birunya yang bagus memerah, berlinang air mata. Hati Lori terasa
tersayat.
"Nick, aku tak pernah mengkhianatimu. Aku hanya ingin kau
main sebaik mungkin, dan menang. Sungguh. Percayalah," mohon
Lori.
Nick bangkit sambil mendengus sinis. "Mudah bicara seperti itu
sekarang, Lor. Kau boleh bicara semaumu. Kalau kau benar-benar
mencintaiku, kau pasti duduk di jajaran Atwood." Nick mengepit
helmnya. "Kau tidak pedulikan aku, itu kesimpulannya."
"Kau pun berpendapat seperti itu, Nick?!" Terasa air matanya
mulai menggulir. Dunia serasa hancur. Dan ia tak bisa berbuat apa-apa
lagi. "Aku amat mempedulikanmu. Apa pun akan kulakukan buatmu.
Apa saja."
Lori menatap mata Nick, berharap bisa merengkuh dan
menggenggam tangannya. Tapi ia tidak berani duduk lebih dekat.
Sekilas ada pandangan simpati di mata Nick. Lori menarik
nafas, berdoa agar ia mendengarkannya. Namun wajahnya kembali
mengeras."Sekarang sih tak ada lagi yang bisa kau lakukan untukku, Lor.
Waktuku banyak terbuang untuk obrolan ini daripada di
pertandingan." Nick memandang ke lapangan yang sudah kosong.
"Mari kita hadapi semua ini. Kau tidak mempedulikan urusanku, jadi
mendingan kita bubar saja."
Hancurlah berderai hati Lori. Nafasnya terasa sesak. "Kau
serius ingin putus?" tanyanya mencoba tenang.
Nick terdiam. Akhirnya ia mengangguk. Lori sadar tidak ada
yang perlu dikatakan lagi.
"Oke, kalau itu maumu," ujar Lori. "Selamat tinggal, Nick?"
Ia berbalik dan menyeberangi lapangan. Berharap Nick
mengubah keputusannya dan menyusulnya. Tapi tidak. Pandangannya
kabur karena air mata. Lori berbalik dan memandang ke arahnya. Nick
melangkah lunglai ke arah yang berlawanan.Sebelas
"Aku ingin popcorn!"
"Aku ingin kayu manis!"
"Aku nggak mau duduk sebelah Jeremy. Baunya asem?!"
"Ya, di dalam sana nanti kalian semua akan dapat popcorn.
Nah, sekarang saling bergandengan!" perintah Danielle. Ia dan enam
anak, yang kata Betsy sudah bisa diajak jalan-jalan, memasuki Mal
hendak ke bioskop untuk nonton film kartun. Bersama mereka,
Danielle tidak yakin ia akan bebas siang ini.
Sesampai di depan bioskop, sekali lagi ia menghitung
pasukannya. Untuk yang ke delapan kalinya sejak masuk Mall tadi.
Anak-anak itu tak hentinya bergerak, sehingga setiap kali Danielle
harus mengingatkan untuk senantiasa saling mengawasi.
Sudah seminggu ini Danielle rajin mampir ke kantor polisi di
Mall untuk membaca brosur tentang perlindungan anak-anak terhadap
orang asing dan penculik. Kayaknya asyik juga. Sekarang ia
membawa enam anak kecil dengan tanggung jawab penuh.
Untungnya kita pergi ke bioskop. Paling tidak mereka harus
duduk tenang, tidak berkeliaran ke mana-mana. Jadi bisa kuawasi
dengan mudah. Danielle membayar tiket film dengan bersemangat dan
mengawasi anak-anak itu beriringan menuju ke pintu putar.Di ruang tunggu, dua anak kabur. Yang lainnya berdiri dengan
tenang berpegangan tangan seperti menanti popcorn dan permen.
Danielle memerintahkan empat anak lagi tidak ke mana-mana.
Kemudian mencari dua anak tersebut. Satu ada di air mancur dan
satunya lagi berada di antrian film detektif. Ketika ia menariknya, ia
mendengar tertawa yang sudah tidak asing lagi.
"Wah, itu jawaban Merivale kepada Mr. Rogers! Benar-benar
kejutan?!" ujar Teresa menyeringai.
"Gimana kabarnya 'Romper Room' hari ini, Danielle?" sela
Heather.
"Aku sedang bersenang-senang," jawab Danielle dengan
tenang, sambil memegang anak kecil yang berontak di tangan satunya.
"Tentu mengalahkan semua hal yang membosankan," tambahnya.
Teresa dan Heather tertawa licik. "Selamat nonton deh, kami
akan langsung ke Facades," ucap Heather.
"Ada obral untuk pelanggan tetap di sana," lapor Teresa dengan
nada menggoda. "Sayang sekali kau tidak ikut, Danielle."
Obral khusus di Facades! Kok bisa sampai terlewatkan? Iri juga
sih. Tapi mereka tak boleh tahu. Ia angkat bahu.
"Siapa yang mau sisa-sisa musim kemarin? Aku akan ke New
York minggu depan, belanja di toko yang bukan obralan," lanjut
Danielle. "Sampai jumpa."
Sebenarnya ibunya tidak niat mengajak Danielle belanja ke
New York, itu hanya aksinya saja. Puas bicara seperti itu, ia pergi
bersama anak-anak dan membelikan mereka popcorn.Danielle menggiring mereka masuk ke dalam bioskop dan ada
tujuh kursi kosong. Ia menarik nafas lega. Oh.. lega, akhirnya duduk
juga dan bisa santai, pikirnya.
Tapi di tengah pertunjukan, anak-anak mulai bertingkah liar
lagi. Mereka merangkak di lantai, lempar-lemparan popcorn dan
meloncat-loncat di kursi seolah-olah ada pernya. Gelapnya ruangan
menyulitkan Danielle mengatasi mereka.
Orang-orang di ruangan mulai protes. Danielle tertunduk malu
ketika orang-orang unjuk rasa.
"Maaf, nona," tegur wanita tua, "Saya membayar penuh untuk
membawa cucu-cucu saya ke sini dan anak-anak itu meruak suasana!"
"Maafkan saya," balas Danielle. "Mereka baru saja bersenang-
senang, tak lama lagi mereka akan tenang kembali," janjinya.
Mereka harus diperingatkan segera. Tidak mungkin
mengeluarkan mereka sekarang. Apa yang harus dilakukan?
Danielle bertahan selama satu jam, kemudian ia memarahi
anak-anak dengan berbisik parau. Satu-satunya cara, ia menahan
popcorn dan permen anak-anak yang nakal. Mereka masih bertengkar
tapi tidak seliar tadi.
Setelah film selesai, Danielle menggiring mereka keluar dari
lobby. Duduk sekian lama di bioskop menguras habis tenaganya untuk
mengendalikan anak-anak liar itu.
Ini hari yang menjemukan. Kenapa aku harus pulang sekolah
cepat-cepat untuk mengurusi hal ini? Aku pasti sudah gila, batin
Danielle.
"Mau ke mana lagi kita?" tanya si gadis kecil seraya menarik-
narik celana Danielle. "Aku sudah bosan!""Aku lapar," sambung Billy, menarik-narik kaki Danielle yang
satunya.
"Aku haus," tambah si imut-imut Kristi Ingram.
Danielle menaruh tangan di kepalanya, nyaris berteriak karena
putus asa.
"Oke, semuanya dengar!" bentaknya seperti sersan kepada anak
buahnya. "Cari teman masing-masing dan saling berpegangan tangan,"
ia menunggu sampai semuanya berpasangan.
Akhirnya, mereka berbaris dua-dua. "Bagus, sekarang kita
jalan-jalan keliling Mall."
"Mau ke mana kita?" tanya salah satu anak laki-laki.
"O, itu kejutan. Kalian harus ikuti aku dan segera akan tahu,"
jawab Danielle dengan ragu. "Jangan nakal atau tidak akan ada
kejutan."
Ia tidak tahu dimana ia akan berhenti dan kejutan macam apa.
Ah anak-anak tak tahu ini, batinnya. Saking ingin tahunya kejutan apa
itu, mereka patuh.
Danielle memimpin grup itu ke lantai dasar dan berhenti di
tempat orang jual balon gas di depan air mancur. Tiap anak dibelikan
satu. Sambil berjalan-jalan, grup dengan enam balon itu kelihatan
hebat.
Aku ingin cepat-cepat selesai dengan pekerjaan ini, pikirnya
mendadak gemetar. Sesudah balon, Danielle membelikan kue coklat
di toko kue. Ia bingung apa yang akan dilakukan selanjutnya. Ia
kehabisan akal dan uangnya hampir habis, anak-anak mulai liar lagi.
Tinggal empat puluh lima menit lagi.
*************"Beri Nick waktu, Lor. Aku yakin dia tidak bermaksud untuk
putus," ujar Ann menenangkannya.
"Ia hanya marah dan sebal karena kalah," tambah Patsy. "Ia
butuh waktu untuk berpikir."
Lori harus ke tempat kerja beberapa menit lagi, tapi Patsy dan
Ann membujuknya untuk melihat-lihat baju di toko pakaian
Monchere, berharap dia melupakan persoalannya sejenak. Mereka
berjalan cepat melewati rak-rak. Snazzz! Mereka mencari ruang ganti
baju yang kosong. Ann telah membujuk Lori untuk mencoba baju
mini kulit dan mereka menemukan kamar ganti kosong dan Lori
mencobanya. Mereka terpesona.
"Ya ampun Lori, memang baju itu dirancang khusus untukmu.
Kau kelihatan hebat," komentar Patsy.
"Warna merah cocok untukmu," Ann setuju.
Lori menggeleng. "Nggak mau ah," ujarnya sambil
membetulkan resleting.
Lori benar-benar menghargai usaha mereka untuk
menghiburnya. Tapi ia tetap tidak bisa. Setelah pertandingan Sabtu
itu, Minggunya ia menangis seharian. Lori kelihatan begitu lemas,
sampai dikira sakit sewaktu di sekolah maupun di tempat kerja. Ia
memang tidak dapat menyembunyikannya.
"Aku tak yakin Nick akan merubah keputusannya," keluh Lori
sambil keluar dari Monchere. "Aku nelpon dia semalam. Sebenarnya
segan sih tapi kukira ia tidak marah lagi."
"Apa yang terjadi?" tanya Ann antusias.Lori menggeleng. "Ia tak mau bicara denganku?"
kerongkongannya tersumbat dan air matanya mengalir. "Ia benci aku,"
dengusnya. TEENLITLAWAS.BLOGSPOT.COM
"Tentu ia belum mau bicara denganmu. Tapi bukan berarti ia
membencimu. Nick hanya butuh waktu tenang," ujar Ann sambil
menuruni escalator.
"Astaga! Aku pasti berkhayal! Lihat itu!" ujar Patsy, menunjuk
ke lantai dasar. Lori dan Ann mencari-cari.
"Di sana? sepertinya sepupumu Danielle disandera setengah
lusin anak-anak TK!"
Ann tertawa tapi segera menutup mulutnya. "Aku tak percaya.
Danielle dan anak-anak kecil! Mereka sangat liar. Mungkin Patsy
benar. Mereka menahan Danielle untuk uang tebusan."
Pemandangan sepupunya yang berusaha untuk memimpin grup
anak-anak kecil di Mall itu membuat Lori tersenyum geli. Kasihan
Danielle. Ia sangat membutuhkan pertolongan, pikir Lori. Tapi ia
tidak dapat menemukan seseorang jadi juru penyelamatnya.
"Ia bekerja di day-care center sebagai sukarelawan," Lori
menerangkan teman-temannya.
"Danielle? Sukarelawan?" ulang Ann tidak percaya. Aku tahu ia
sepupumu, tapi aku nggak pernah dengar Danielle menolong orang
dengan sukarela."
Kasihan Danielle, memberi kesan buruk terhadap orang-orang,
pikir Lori. Ada sisi baiknya dari sepupunya, dia berani dan pedulian.
Tapi kebanyakan orang hanya melihat Danielle sebagai orang yang
cantik, egois dan banyak maunya. Hal yang tidak mungkin buat Lori
untuk membela sepupunya."Kerja sukarela untuk tugas psikologinya," jelas Lori
melangkah di escalator. "Tapi Danielle sangat menyukainya."
'Taruhan yuk," cemooh Ann. "Lihat tuh. Ia nampaknya siap
menjambak rambutnya."
Danielle memang tampak kesal. Lori setuju.
"Hee, ini lelucon yang terbaik minggu ini. Danielle Sharp, jadi
baby-sitter anak-anak kecil yang cengeng."
"Aku hendak menyapanya dulu," ujar Lori. "Nanti aku
kembali."
Meskipun malas mendengar keluhan-keluhan Danielle, Lori
tidak akan membiarkan sepupunya berlalu begitu saja tanpa
dorongannya.
"Hai, Danielle! Gimana lancar?" sapa Lori berlari menghampiri.
"Bobby, turun dari situ! Jatuh ke air mancur kau nanti!"
Danielle menarik kerah bajunya dan membantu menyingkirkannya
dari pinggiran air mancur.
Gadis pirang keriting dengan wajah belepotan es krim menangis
dan menarik-narik sweater Danielle. "Oh, Lori! Hai! Apa lagi,
Charlotte?" tanya Danielle yang belum sempat ambil nafas.
"Kau kelihatan repot sekali. Aku hanya ingin menyapa saja
kok."
"Jangan pergi dulu, Lori," mohon Danielle. "Aku belum
ngobrol dengan orang di atas usia lima tahun dari tadi. Aku tak pernah
mimpi jadi seperti ini," keluh Danielle. "Seharusnya aku ditatar jadi
sukarelawan untuk melakukan perjalanan sial ini! Entah apa lagi yang
harus kulakukan. Aku harus mengajak mereka sampai jam enam sore.
Aku nggak sanggup!""Kerjamu bagus kok," ujar Lori. "Ajak saja mereka ke Video
Arcade, itu akan mengalihkan perhatian mereka sementara."
"Ide bagus! Kok sampai tak terpikir olehku ya? Ayo siapa
yang mau main Video Game?" teriaknya di tengah keributan.
"Aku, aku duluan!" Anak-anak meloncat-loncat kegirangan.
"Ayo kita pergi! Jangan takut, kalian semua akan kebagian,"
janji Danielle.
Mereka semua tergesa-gesa ke Arcade ketika Danielle
menyuruhnya lebih cepat.
Mereka semuanya di sini, lega rasanya. Tinggal setengah jam
lagi.
Ketika mereka masuk ke Arcade, Danielle membeli coin
secukupnya dan memberikannya kepada anak-anak. Kristi Ingram
mendapat giliran yang terakhir, "Ingat, tetap bersama temanmu,"
pesan Danielle.
Arcade penuh dan sangat gaduh. Anak-anak memasukkan coin-
nya dan berbaris pada dua mesin yang berdekatan. Danielle
memerintahkan mereka supaya tetap di tempat sampai mereka
membentuk grup lagi.
Arcade penuh dengan suara-suara gaduh seperti deringan,
dengungan dan teriakan. Ini bukan tempat santai dan menjernihkan


Merivale Mall 03 Antara Dua Pilihan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pikiran. Danielle ingin keluar dan melihat-lihat etalase Boutique. Tapi
ia tidak berani meninggalkan anak-anak meski cuma sedetik.
Tiba-tiba Kristi meminta bantuannya untuk mencapai tombol
Hyper Space.
"Ya ampun, coba lihat? tak kuduga kau suka Hyper Space,"
ujar suara berat dibelakangnya.Danielle berputar cepat dan untungnya gelap sehingga Don
James tidak melihat mukanya memerah. Seperti biasanya, ia memakai
jaket lusuh, T-shirt hitam dan jeans. Dan seperti biasanya juga, dia
selalu menghela nafas. Tapi hari itu Danielle tak sempat berpikir lama
betapa besar pengaruh Don terhadap dirinya.
"Don! Kejutan sekali." Danielle tersenyum lebar. Ia tidak peduli
orang-orang memperhatikan mereka. Ia butuh ngobrol dengan orang
dewasa sebelum ia jadi bubur di tengah anak-anak kecil itu.
"Danielle, boleh aku minta coin lagi?" Billy menarik lengan
bajunya. Danielle memberikan beberapa coin dan ia pergi.
"Oh..oh kau di sini bersama teman-teman," goda Don.
"Anak-anak dari panti. Aku sudah seperti orang bego ngajak
mereka jalan-jalan sesiang penuh ini." desah Danielle.
"Sepertinya mereka senang," ujar Don.
"Oh, pasti," Danielle setuju. "Akulah satu-satunya yang jadi
gila."
Saat itu Kristi menarik-narik tangannya. "Danielle, tolong
mainkan Hyper Space lagi dong. Aku nggak dapat mencapai
tombolnya. Aku terlalu kecil."
Danielle menarik nafas, "Aku sedang ada teman, Kristi. Aku
susul nanti."
"Tapi aku ingin main sekarang," Kristi cemberut. "Ayo dong
cantik."
Mendengar rengekan Kristi, Danielle merasa urat sarafnya
menegang. "Aku sibuk. Main saja game di sebelahnya. Pasti tanganmu
sampai!""Iya deh?" dengan kepala tertunduk, Kristi menyeret kakinya
dan menjauh.
Danielle cepat-cepat membuang rasa bersalahnya. Toh ia telah
memanjakan anak-anak siang ini. Ia mengabulkan semua
keinginannya. Tidak ada alasan merasa bersalah kalau cuma ngobrol
sebentar dengan Don.
Don membelikan Danielle soda diet dan mereka berdiri di
tempat yang mudah untuk mengawasi anak-anak. Setelah beberapa
menit kemudian, ia melirik jam dan menarik nafas. Hampir jam enam.
Ia harus mengumpulkan anak-anak. Sudah waktunya para orangtua
menjemput mereka.
"Sudah waktunya menyuruh mereka berhenti bermain.
Orangtua mereka akan menjemput jam enam," jelas Danielle.
"Semoga berhasil," ujar Don. "Mereka kelihatan betah, aku juga
mau pergi."
"Oke, Don," jawab Danielle.
"Sampai jumpa, Red," ia menatapnya, wajahnya cuma berjarak
beberapa inci darinya.
"Sampai jumpa, Don," ujarnya, terpaku dengan tatapannya.
Akhirnya ia memutuskan untuk menemui anak-anak.
"Ayo anak-anak. Waktunya pulang. Jangan sampai ada yang
tertinggal; sweater, boneka, balon," ujarnya mengingatkan mereka.
Ia tidak mau lari balik untuk mengambil barang tertinggal.
Ketika mereka keluar Mall, Danielle menghitung jumlah anak untuk
meyakinkan tidak ada yang ketinggalan.
"Semuanya berpegangan pada temannya masing-masing,"
perintahnya sambil mencek mereka. Pasti ada yang keliru. Ia hanyamenghitung lima anak. Danielle kembali menghitung. Cuma lima!
Hilang satu! Kristi Ingram!Dua belas
"Danielle?" Charlotte menatapnya. "Aku nggak punya teman
lagi. Kamu gandeng aku, ya?"
Danielle kalut. Ia hampir tidak mendengar ucapan gadis kecil
itu. "Charlotte," ujarnya tenang, meskipun hatinya berdebar-debar.
"Mana Kristi? Ini penting, coba kau ingat-ingat."
"Hm?nggak tahu," Charlotte mengangkat bahu. "Tadi dia
minta balonku."
Barusan dia di sini, jadi tentu belum jauh. Tapi di mana?
Mungkin kembali menyelinap ke Arcade. Denyut nadinya berdetak
kencang. Ia memejamkan matanya. "Tuhan, kembalikanlah ia ke sini,"
bisiknya di sela nafasnya.
Ketika membuka matanya, tampak Don sudah berada di sisinya.
"Kok masih di sini? Kukira sudah pergi dari tadi," sapanya pada
Danielle dan anak-anak dengan ramah.
"Oh, Don! Tolong," mohon Danielle. "Tolong kau temani anak-
anak sebentar di sini, sampai aku kembali."
"Boleh. Ada yang kelupaan?"
"Ya!" lolong Danielle sambil berlari kembali ke Arcade. "Kristi
Ingram hilang! Semoga dia masih di sana ?"Ia lari kembali ke keremangan Arcade yang sangat gaduh,
mencari-cari ke setiap gang dan setiap kali salah mengira anak yang
dikiranya Kristi. Semua orang ditanyainya kalau-kalau melihat
seorang gadis kecil pirang. Tapi tak seorang pun melihatnya. Mereka
semua hanya mengangkat bahu dan kembali ke Video game-nya.
Danielle mencari ke toilet dan toko kue, tapi Kristi tetap tak terlihat.
Ia mengusap pipinya, serasa ingin menjerit. Ini semua salahku.
Waktu Kristi minta tolong tadi, mestinya dia segera membantunya.
Mereka adalah tanggung jawabnya. Ini kesalahan yang fatal.
Apa yang harus kulakukan? Minta bantuan siapa? Danielle
bertanya-tanya. Kemudian ia ingat kantor polisi yang menangani
masalah anak-anak hilang. Mungkin mereka dapat menolongnya.
Di luar Mall, sejenak ia berpesan pada Don. "Kristi belum
ketemu," lapor Danielle lemas. "Tak seorang pun melihatnya! Aku
akan ke kantor polisi."
"Bagus," sambut Don. "Jangan kuatirkan anak-anak ini. Biar
aku yang jaga sampai orangtua mereka datang. Di mana mereka akan
dijemput?"
"Air mancur," kemudian ia bergegas ke kantor polisi, bagian
anak hilang. Seorang polwan ramah yang menerimanya berusaha
menenangkannya sambil mencatat semua laporannya.
"Saya hubungi dulu kantor Satpam," ujar polisi wanita itu.
"Kalau ada yang menemukan, biar dibawa kemari. Kalau tidak,
mereka akan membantu mencari."
Danielle tegang menunggu jawaban telpon. Kalau saja aku lebih
hati-hati, sesalnya dalam hati.Si polisi wanita meletakkan telponnya dan berbalik ke Danielle,
"Mereka akan segera mulai mencari. Tapi Mall ini sangat luas. Cukup
lama juga untuk memeriksa setiap sudut."
Danielle panik. Ia cemas menunggu terlalu lama. Apa jawabnya
nanti pada orangtua Kristi waktu mereka menjemput? Danielle
berterima kasih atas bantuan polisi tersebut, kemudian buru-buru
kembali ke Mall.
Akhirnya ia memutuskan untuk memeriksa setiap tempat yang
mungkin dikunjungi anak-anak. Awalnya ia ke Puppy Paradise di
lantai 3. Semua anak suka melihat anak anjing bermain-main.
Mungkin ia ke sini lalu kesasar, pikir Danielle.
Danielle segera masuk ke toko yang penuh pengunjung itu.
Salak anjing dan kicau burung-burung riuh menyambutnya. Ia
langsung menghampiri pegawainya dan melukiskan tentang Kristi.
Walau jelas sedang sibuk, pegawai itu tampak bersimpati.
"Maaf, banyak anak kecil di sini seharian ini. Jadi repot juga,
ya," jawabnya. "Sebaiknya anda ke kantor Penerangan saja dan minta
diumumkan lewat pengeras suara."
"Trims!" Danielle segera ke kantor Penerangan dan
menceritakan masalahnya. Manajernya yang ramah segera
mengumumkan. Tapi setelah berselang beberapa menit kemudian
jelaslah bahwa Kristi tidak ada di pertokoan itu. Pupuslah harapan
Danielle. Setelah berterima kasih pada manajernya, ia berlari ke lantai
dasar.
Di tempat penjual balon ia berhenti untuk menanyakan adakah
Kristi tampak di sekitar tempat ini. Si penjual menjawab dengan
simpatik namun ia tak ingat Kristi. Toko kue dan bioskop tidakmungkin. Bahkan ia tidak memeriksa ke bioskop, karena tahu Kristi
tidak punya uang untuk beli karcis.
Di luar bioskop, Danielle bertemu dengan beberapa Satpam.
Tetapi mereka tidak membawa kabar baik. "Kami sudah berusaha
sebisa mungkin nona," salah seorang petugas meyakinkannya.
"Sudah kami periksa 4 lantai sekaligus, tapi nggak ketemu
juga."
Dengan kecewa Danielle terus mencari Kristi. Kali ini ia
berhenti di setiap toko antara bioskop dan Arcade. Dia pasti di salah
satu tempat ini, pikirnya untuk menenangkan diri. Mestinya begitu.
Akhirnya Danielle kembali ke Video Arcade. Masih belum ada
tanda-tanda adanya anak itu. Don dan anak-anak juga tak terlihat.
Mungkin mereka menunggu di air mancur atau sudah pulang dengan
orangtua masing-masing.
Danielle terduduk kelelahan di bangku panjang. Terbayang
olehnya si kecil Kristi, di mana pun dia saat ini, sedang bingung dan
ketakutan. Dan ini semua salahku, sesal Danielle. Ibunya tak lama lagi
tiba, lalu apa jawabku nanti?
Danielle menutup wajahnya di balik tangannya, menangis.
Belum pernah ia mengalami masalah segawat ini. Ia terkadang egois
dan tak bertanggung jawab. Dalam hati ia berjanji, selepas dari
masalah ini dia akan merubah semua kekurangan dirinya. Semoga
Kristi tidak diculik! Pikiran itu membuat tangisnya makin pilu.
Entah berapa lama ia duduk di bangku panjang itu, ketika tiba-
tiba terasa sebuah tepukan di lututnya.
"Kok nangis, Dan?" terdengar suara seorang gadis kecil.
"Jangan nangis, dong. Kamu mau balon? Aku punya dua."Danielle perlahan mengangkat kepalanya. Mula-mula dikiranya
cuma mimpi. Ia mengejapkan mata. Ini nyata! Dia benar-benar Kristi!
Tak kurang suatu apa!
Danielle melompat dari bangku dan merabanya, untuk
meyakinkan diri bahwa gadis cilik ini benar-benar nyata.
"Ya ampun! Ini kamu?! Kamu nggak kenapa-napa?" Danielle
mendesah lega. Serasa mau pingsan. Ia bangkit dan memeluk Kristi
kuat-kuat, takut lenyap di telan bumi lagi.
"Semoga ada orang yang sebahagia itu juga jika melihat aku,"
ujar Don yang ternyata sudah berdiri di sisinya.
Danielle berputar. Ia sadar Don pasti sudah mengamatinya sejak
tadi. Mata mereka bertemu, dan Danielle merasa denyut kebahagiaan
merasuk sukmanya.
"Kau yang menemukannya?" tanyanya sambil memeluk Kristi.
Don mengangguk. "Temanku menjaga anak-anak yang lain
sementara aku mencarinya."
"Aku pun sudah mencarinya ke mana-mana," ujar Danielle.
"Tidak ada yang melihatnya."
"Memang, karena saking kecilnya, sehingga dia bisa
menyelinap lewat pintu putar ke Six-Plex dan kembali nonton
bioskop."
"Gimana dia tadi? Ketakutan, nggak?" tanya Danielle dengan
cemas.
"Ketakutan?" tawa Don. "Satu-satunya kekecewaannya adalah
karena kuajak pulang. Tadi dia nggak nonton akhir film-nya karena
anak-anak yang lain begitu ribut." Don menggapai dan menggusairambut Kristi. "Dia nggak apa-apa, kok. Dia malah tidak tahu kalau
dia hilang."
"Untung kau periksa ke sana," sahut Danielle.
Don menggeleng. "Hwih, kayak kebun binatang! Aku nyaris
takut masuk, anak-anak kecil jumpalitan di mana-mana."
"Ah, kamu?! Takut masuk?! Si cowok brutal? Yang bener, ah!"
ujar Danielle menggodanya.
"Aku nggak pernah bohong kok, Red," janji Don sambil
mengedipkan mata.
Sebelum Danielle sempat menemukan jawaban yang tepat,
Kristi memberontak. "Boleh aku turun? Aku sudah lihat Ibu."
Dengan senyum sekilas, Bu Ingram menghampiri mereka dan
mencium Kristi. "Hallo sayang, enak jalan-jalannya?"
Kristi mengangguk. "Kami main video gamesdan dapat kue,
lihat nih balonku," ceritanya antusias.
"Aduh cantiknya," ujar ibunya, mengagumi balon bentuk hati
itu. "Dan aku nonton bioskop dua kali," tambah Kristi.
Danielle menahan nafas dan memandang kuatir ke Don.
Jangan-jangan Kristi akan menceritakan kalau ia hilang! Kata Don,
anak ini bahkan nggak sadar kalau dia sudah membuat orang
kebingungan.
Danielle bingung, antara hendak menceritakan apa yang terjadi
atau tidak. Ia takut ibu Kristi akan ketakutan meskipun keadaan sudah
tenang. Akhirnya Don buka suara.
"Kristi senang hari ini," jelasnya pada Bu Ingram. "Ia sempat
membuat kami cemas.""Membuat cemas?" tanya Bu Ingram.
"Tidak begitu serius. Ia kembali ke bioskop tanpa memberitahu
siapa-siapa," ujar Don tenang. "Tapi ia tidak akan melakukannya lagi.
Iya kan, Krist?" tanyanya seraya memandang tajam.
"Iya," sahut Kristi. "Lihat balonku, Bu?" katanya lagi pada
ibunya.
"Ya sayang, bagus sekali." Bu Ingram menggandengnya. "Oke
deh. Sana, pamit ke Danielle. Terima kasih ya, Dan. Pasti kau repot
sekali mengajak anak-anak jalan-jalan."
"Hmm, sempat kalut juga sih," aku Danielle, menghindari mata
Don. Setelah Kristi dan ibunya pergi, Danielle menarik nafas lega. Ia
terduduk lemas di bangku, di sisi Don. Tak ada yang bicara.
"Entah bagaimana caraku berterima kasih, Don," ujar Danielle
akhirnya. "Sepertinya kaulah yang selalu menolongku setiap kali aku
kena masalah."
Don melepas kacamata hitamnya dan menaikkan kerah jaket
kulitnya. "Di hari biasa, cuma cowok biang kerok dan montir
sambilan," senandungnya dengan suara berat. "Tapi begitu ada
masalah di Merivale MalL, maka menjelmalah dia menjadi ? si
Super James!" seraya memakai kacamata hitamnya dan senyumnya
melebar. "Siap melayani anda, Tuan Puteri."
Danielle tertawa. "Trims banget ya, kau bantu nemuin Kristi."
Don mengangkat alis. "Hmm, asal tahu diri aja," jawabnya
dengan mata berkilat mengerikan.
Danielle cuma tersenyum, namun di dalam hati kembali muncul
perasaan aneh yang selalu muncul oleh gaya Don."Kalau gitu," jawabnya santai, "rasanya aku nggak usah
berterima kasih, dong."Tiga belas
"Halo, aku pulang," seru Lori sambil membuka pintu depan,
Senin malam itu. Tidak ada jawaban. Cuma ada catatan kecil dari
ibunya di meja dapur, terselip di bawah botol lada. Tertulis: Kami
semua nonton. Ada ayam panggang di kulkas, kalau kau lapar.
Lori menaruh kertas itu ke counter kemudian membuka kulkas.
Tidak disentuhnya ayamnya, tapi diambilnya segelas besar jus apel,
yang dihirupnya sambil naik ke kamarnya. Setelah berganti jas mandi,
ia tiduran di lantai melihat-lihat majalah mode Perancis baru. Lagu
favoritnya mengalun dari tape-nya.
Asyiiik, sendirian di rumah! Bebas dan damai, batinnya sambil
membalik-balik halaman majalah. Tapi selang beberapa menit
kemudian keheningan itu malah menekan hatinya. Hilangnya bunyi
TV atau pertengkaran adik-adiknya, membuat benaknya makin leluasa
mengembara. Dan benaknya hanya dipenuhi oleh Nick. Bahkan lagu
berikutnya yang sentimentil makin membuatnya ingat pada Nick.
Sambil bertopang dagu ia mendesah panjang. Lama ia
tercenung tanpa membalik halaman majalah.
Setelah habis, kasetnya mati secara otomatis. Ia semakin


Merivale Mall 03 Antara Dua Pilihan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

termakan keheningan suasana.Lori bangkit. Tapi ternyata bukan membalik kaset, melainkan
menelpon Nick. Aku terus memikirkan dia malam ini, mungkin ia pun
memikirkan aku, pikirnya.
Sambil mendengar nada panggil, ia berdoa dalam hati.
Akhirnya ada yang mengangkat telpon. Suara ibunya.
"Selamat malam, Bu Hobart, ini Lori. Nick ada?" tanyanya
berharap.
"Hai, Lori. Tunggu sebentar ya," sahutnya, seramah biasanya.
Kemudian ia datang lagi. "Maaf, Lor. Nick sedang tidak di rumah."
Lori tertegun. "Baiklah. Terima kasih, Bu."
"Ya. Nanti saya beritahu dia, Lor. Selamat malam."
"Selamat malam," jawab Lori. Setelah menutup telpon, ia
menangis.
Yah, sudahlah. Dia tak mau lagi bicara denganku. Berarti aku
tak perlu lagi nelpon dia, tegasnya dalam hati sambil menyeka air
matanya.
Tak lama kemudian, terdengar suara orangtuanya dan adik-
adiknya pulang. "Lor! Kamu sudah pulang?" seru ibunya dari bawah
tangga.
"Aku di atas!" sahutnya.
"Turunlah," panggil ayahnya. "Kami bawa es krim Wessel.
Cepat turun sebelum dihabiskan adik-adikmu!"
"Ya, tunggu," jawab Lori. Ia segera mencuci muka dan menyisir
rambutnya. Ia tahu, Nick tak akan menelpon balik meski sudah
pulang. Ia bahkan meragukan benarkah Nick pergi ketika ditelponnya
tadi. Tak mungkin dia akan balas menelpon, pikirnya.
Takkan pernah lagi. Mungkin.*********
Esok harinya, Selasa, pelajaran di Atwood cuma setengah hari,
karena ada rapat guru. Begitu terdengar bel pulang, Danielle segera
menaruh buku-bukunya ke loker dan langsung memacu mobilnya ke
Mal. Sudah lebih dari seminggu ia tak bisa berjalan-jalan sepulang
sekolah. Tidak sempat belanja atau pun merawat diri di Body Shoppe.
Sekarang ia kembali bebas, dan sudah tak sabar lagi.
Kok bisa ya aku bertahan? ia heran sendiri. Tak hanya jauh dari
Mall atau pun teman-temanku, tapi sekaligus harus terlibat dengan
anak-anak kecil setiap siang. Itu semua jauh lebih gawat dibanding
kemarahan ayahnya. Apa pun hukuman dari orangtuanya, sehari dua
hari berikutnya mereka pasti sudah lupa bahwa ia sedang dihukum.
Dan ia sudah boleh kembali bebas.
Syukurlah sekarang sudah berakhir. Nilai psikologiku aman,
dan tak perlu dikuatirkan lagi. Sambil nyetir menuju Mall, ia bingung
mau ke mana dulu. Ke Facades-kah, mungkin ada pakaian baru? Atau
ke Manor Born, untuk manicure? Mungkin Heather dan Teresa juga
ada di sana.
Aku juga mau cari kaset baru, ia tiba-tiba ingat. Mampir ke
Platterpuss Records, ah! Biasanya banyak cowok keren di sana?
Dengan mendecit ia memarkir mobilnya, dan mengaca di kaca
spion. Disisirnya rambutnya yang indah dan dipolesnya lagi blush-on
di tulang pipinya yang tinggi. Ia sadar atas kecantikannya, tapi ingin
tampil sempurna di hari pertama kembali ke peredaran.
Dengan ceria ia memasuki Mall. Ada waktu beberapa jam untuk
memanjakan diri. Diputuskannya untuk ke lantai atas dulu. Sambilmenaiki eskalator sampai lantai empat, matanya mencari-cari kalau-
kalau ada yang dikenalnya.
Setelah pesan tempat untuk manicure di Manor Born jam
empat, ia masuk ke Facades. Semua pramuniaganya menyapanya
ramah.
"Oh, Nona Sharp!" sapa salah seorang pramuniaganya. "Kok
nggak hadir waktu ada obral khusus kemarin?"
"Pingin sih, tapi aku lagi sibuk. Tugas sekolah," elak Danielle.
"Sayang sekali," ujar pramuniaga itu dengan simpatik. "Tapi
kukira banyak yang lebih penting dari sekedar belanja?"
"Masa? Apa, misalnya?" canda Danielle.
Si pramuniaga tertawa. "Sesudah puas melihat-lihat baju,
carilah saya," tambahnya. "Saya sudah sisihkan sesuatu dari kulit yang
rasanya pas buat anda."
Danielle mencoba setumpuk baju berbagai model, rancangan
perancang kelas lokal sampai kelas dunia.
Ia ingin sekali membeli sesuatu yang sangat khusus. Tapi
setelah mencoba berganti-ganti, tak ada yang disukainya.
"Bagaimana kalau mini kulit yang ungu ini?" tanya si
pramuniaga sambil melongok ke dalam kamar pas. "Rasanya itu pas
benar deh, buat anda."
Danielle mengangkat bahu. "Memang sih," katanya tanpa
semangat sambil mematut-matut diri dalam jumpsuit hitam.
"Bagus tuh! Cocok benar!" rayu si pramuniaga. "Hitamnya
dramatis, sempurna dan mempesona."Danielle kembali melirik bayangannya, lalu mengernyit.
Biasanya ia suka sekali model-model begini, tapi hari ini, rasanya jadi
seperti penerjun payung yang modis.
"Hmmm ? enggak, ah," katanya sambil melepasnya lagi.
Si pramuniaga tampak kecewa. "Panggil saja saya kalau perlu
sesuatu," ujarnya. Lalu seperti kepala kura-kura masuk ke rumahnya,
ia menghilang di balik tirai kamar pas.
Danielle mengambil pakaian yang lain dari tumpukan, tapi
kemudian memutuskan untuk memakai pakaiannya lagi. Nafsu
belanjanya sudah pupus.
Ketika keluar lagi, ia melirik jamnya. Sudah jam tiga? Masih
bisa ikut senam aerobic kelas jam tiga seperempat di Body Shoppe. Ia
bergegas ke klub fitness itu dan secepat kilat berganti pakaian senam
garis-garis pink-biru.
Instruktur Ann Larson sudah memulai gerakan regangan ringan
untuk pemanasan. Ia mengambil tempat di belakang dan mulai
mengikuti. Sambil mengikuti aba-aba Ann, pikirannya melayang,
membayangkan apa yang biasanya sedang dilakukannya saat itu di
panti. Mungkin lagi memimpin permainan Bluebird di halaman, atau
mendongeng. Anak-anak itu senang mendengar caranya menirukan
suara dan mimik wajah tokoh dalam dongengannya.
"Oke! Sekarang kita akan berlatih dengan pundi- pundi pelana,"
seru Ann bersemangat. "Silakan berbaring miring, dengan kepala
ditopang tangan begini." Ann mempraktekkan gerakan itu. "Dan? Ada
apa?" tanya Ann, berhenti sejenak.Danielle sadar ia masih dengan gerakan terakhir ketika
semuanya melakukan gerakan lain. "Eh, enggak, kok," ujarnya sambil
lekas menyamakan gerakan dengan yang lainnya.
Jaga diri dari kesalahan sekecil ini, ia mengingatkan dirinya
sendiri. Awas, Danielle! Merawat pinggul jauh lebih penting daripada
mencemaskan anak-anak bandel-bandel itu.
Selesai senam, Teresa dan Heather menghampiri Danielle, yang
bahkan tak menyadari adanya mereka.
"Wah, hebat juga kami mendapat kunjungan tuan puteri," sapa
Teresa sambil menyeringai.
"Mana teman-teman cilikmu, Dan?" tanya Teresa sambil
melayangkan pandangan berkeliling. "Lagi pada main di luar?"
"Konyol, ah," tukas Danielle. Disekanya keningnya dengan
handuk putih halusnya. Ia bingung antara terus mengunjungi panti
atau kembali pada masa lalunya ? yang berarti harus berdamai dulu
dengan Teresa dan Heather.
"Bagaimana obralan di Facades kemarin? Dapat barang bagus?"
tanyanya akhirnya.
Sebenarnya ia malas ngobrol soal belanja. Tapi hanya itulah
topik yang cocok untuk mereka. Dengan seketika ngocehlah kedua
anak itu soal pakaian-pakaian bagus belanjaan mereka. Danielle
beberapa kali berlagak mendesah iri, di saat-saat yang dirasanya tepat.
Sudah waktunya untuk manicure. Danielle segera pergi ke salon
kecantikan. Ia disambut dan duduk berhadapan dengan perawat
favoritnya di meja kecil.
"Habis kau apakan tanganmu ini?" tanya Lana, perawatnya,
dengan kaget. "Memperbaiki mobil? Menggali lobak?""Jangan gitu dong, Lan. Masa segitu gawatnya, sih?" jawab
Danielle enteng. Waktu bermain dengan anak-anak, ia memang tidak
menjagai kukunya. Cuteknya setiap kali terkupas dan kukunya sering
patah, tapi ia cuek saja. Cutek sedikit terkupas tak ada artinya
dibanding dengan kegembiraan yang diperolehnya.
"Baiklah, silakan menyandar. Santai saja. Biar kubenahi lagi
tanganmu," celoteh Lana sambil dengan trampil menggosokkan papan
asah ke kuku Danielle yang kemerahan. "Semoga kegiatanmu yang
merusak kuku ini sudah selesai."
"Hm, tentu. Ini cuma gara-gara tugas sekolah sialan itu. Tapi
sekarang sudah selesai," jawab Danielle. Namun nada suaranya malah
terdengar agak sedih.
Si perawat, seperti biasa, memberi semangat Danielle, namun
kali ini sepertinya malah tak dikehendaki. Akhirnya Danielle pamit
setelah memberi tip cukup besar untuk kehebatan hasil kerjanya.
Ketika menuruni eskalator menuju lantai dasar, ia menjaga agar
cat kukunya tidak terbentur-bentur. Setelah cukup lama tidak
mempedulikan hal-hal sesepele itu, rasanya sekarang jadi aneh.
Terus terang saja, Danielle merasa bahwa siang ini ia tidak
segembira yang ia bayangkan semula. Tak ada kegiatan dari masa
lalunya itu yang bisa membuatnya gembira. Entah kenapa.
Junkfood! Itu yang kubutuhkan. Peduli amat badanku bakal jadi
melar. Pokoknya aku kangen Junkfood, tercetus tiba-tiba di benak
Danielle. Ia memutuskan untuk mampir ke restoran fast-food terdekat.
Dan kebetulan itu adalah Tio's Tacos.
Danielle menuju ke counter, di mana sepupunya Lori sedang
sibuk. Kenapa Lori selalu sibuk dan giat? Nggak adil amat, pikirnyakesal. Lalu ia tercekat. Bukankah itu pula perasaan Heather dan
Teresa ketika melihat dirinya bekerja di panti?
Mereka saling menyapa, dan Danielle memesan taco dan diet
soda.
"Apa kabar?" tanya Lori sambil menunggu makanan. "Kau pasti
lega, sudah tidak bekerja lagi di panti."
"Yah, menjemukan. Aku sudah tak sabar biar bisa segera
ngeceng lagi," ujar Danielle. "Tapi lumayan asyik juga, kok,"
tambahnya, ketika ingat sikap anak-anak itu terhadapnya.
Lori memandangnya heran. "Sepertinya kau betah di sana, ya?"
Terbungkus dalam kotak karton, meluncurlah taco pesanannya
di jalur pengambilan. Lori memindahkannya ke piring styrofoam dan
meluncurkannya ke Danielle.
"Gila kau! Jelas enggak, dong. Mana aku tahan suasana segaduh
itu, dengan anak-anak sebandel itu," sangkal Danielle. Lalu ia
melenguh. "Aku bahkan nggak sempat manicure minggu lalu. Lihat
nih kuku-kukuku, pada patah gara-gara anak-anak itu," ujarnya
mengulurkan tangan. "Aku juga nggak ikutan acara obral khusus di
Facades. Untungnya, si pramuniaga menyimpan beberapa untukku.
Aku menikmati siang ini?senam, belanja, merawat tubuh."
Lori meliriknya. Ucapan Danielle terdengar tidak meyakinkan.
"Baguslah, kalau begitu," ujar Lori.
"Nah, tapi lalu kenapa sekarang aku kesal terus?" tanya
Danielle. "Aku biasa jalan-jalan di Mall seharian penuh. Tapi hari ini
kayanya semua yang kulakukan kerasa kacau."
Tanpa sadar, Danielle memuntahkan uneg-unegnya pada Lori,
seperti di masa mereka masih akrab dulu. Bahwa minggu lalu, yangada di benaknya hanyalah hari pertama kebebasan ini. Tapi siang ini,
ia sadar dibanding dengan tingkah anak-anak di panti, ngeceng di
Mall jadi nggak asyik dan nyebelin.
Lori tersenyum simpatik. Dia sama sekali tak menduga Danielle
akan bersikap seperti ini. Selama ini, sumber kekecewaan Danielle tak
lebih dari sekedar guntingan rambut kurang rapih, atau ditolak cowok
yang ditaksirnya. Kejadian seperti itu pun amat jarang terjadi. Mulut
Lori terkatup, entah harus ngomong apa untuk menenangkan hati
Danielle.
"Kurasa di panti kau tak hanya sekedar nonton tingkah anak-
anak."
"Ternyata banyak hal yang lebih penting daripada sekedar
mencat kuku. Iya kan?"
"Bukan aku lho, yang ngomong itu, Dan," olok Lori. "Tapi
mungkin ada baiknya kau jadi sukarelawan tetap. Kalau kangenmu
benar-benar hebat."
"Hmmm, entahlah. Semua itu awalnya kan cuma buat ngatrol
nilaiku saja. Dan meskipun anak-anak menyukaiku, entah sanggupkah
aku memikul semua tanggung jawab itu," keluh Danielle. "Baiklah.
Akan kupikirkan saranmu itu. Daaah," ujarnya sambil mengambil
soda dan taconya.
"Daaah," jawab Lori. Ia sadar telah gagal menghibur Danielle.
Tapi kadang jika orang terlalu banyak masalah, tidak ada kata-kata
yang dapat menolongnya. Danielle harus menyelesaikan persoalannya
sendiri.
Lori teringat sendiri pada kesalahan yang dibuatnya atas Nick.
Ia mau melakukan apa saja asal bisa mengulang peristiwa hari Sabtu.Ia sadar, pilihannya pasti akan berbeda dari Sabtu yang lalu. Pilihan
yang cocok dengan hatinya tapi tidak dengan pikirannya.
**************
Danielle mengunyah taco-nya sedikit demi sedikit, lalu
membuang separuhnya ke tong sampah. Ia memutuskan untuk pulang
saja. Siang yang kacau. Semula dikiranya ia akan menikmati suasana
di Mall, tapi kini ia benar-benar kangen dengan anak-anak itu. Siang
itu, ia hanya menuruti nafsu gagasannya yang bodoh.
"Hai, Red, tunggu!" terdengar olehnya suara Don. Waktu ia
berbalik tampaklah Don melangkah perlahan menghampirinya dari
seberang Mall, membawa sebuah kantong kertas.
"Aku barusan dari panti, nyari kamu. Tahunya kamu nggak
ada."
"Aku bekerja lima belas jam di sana kan cuma buat ngatrol nilai
psikologi-ku, iya kan?" ujar Danielle.
"Ah, apapun penyebabnya," Don mengangkat bahu, "tapi semua
yang kau lakukan itu sangat besar artinya bagi anak-anak itu. Mereka
pun sangat bahagia olehmu."
"Ah, Don, jangan terlalu muji, deh. Kemarin malah aku gagal
menjaga mereka. Aku bukan sukarelawan yang hebat?"
"Bukan?! Barusan aku jumpa selusin anak dan seorang guru
yang tak sependapat denganmu. Malah waktu aku sampai, anak-anak
itu baru menyelesaikan suatu kejutan buatmu dan Bu Harper meminta
aku mengirimkannya padamu."
"Kejutan? Untukku?" Seharian penuh ini baru sekarang mata
Danielle terlihat berkilat-kilat. "Kejutan apaan?""Lihat saja sendiri," Don tersenyum sambil menyerahkan
kantong kertasnya.
Danielle mengintip isinya. Penuh dengan lukisan anak-anak.
Dicabutnya beberapa lembar dan diamatinya. Ada gambarnya bersama
Garbo. Di lembar paling bawah, ada surat yang ditanda tangani semua
anak. Tertulis dengan krayon merah: Danielle sayang, kami
merindukanmu. Kapan kamu bermain dengan kami lagi!
Danielle merasa kelu. Sesiang penuh ia murung memikirkan
kegagalannya. Tapi ternyata tidak. Ia sangat girang dan berbalik ke
Don dengan wajah berseri-seri.
"Semoga itu berita baik," tebak Don sambil tersenyum.
"Banget! Thanks, Don. Atas semua ini. Ini hadiah paling
berharga yang pernah kuterima!" Tanpa pikir panjang, tahu-tahu
Danielle sudah melingkarkan tangannya ke Don dan memeluknya
erat-erat.
Tapi tak lama kemudian ia sadar dan mundur, lalu menatap
Don. Hatinya berdebar-debar dan lututnya terasa meleleh.
"Hai, Red, sering-seringlah berterima kasih padaku. Kita
cocok," olok Don serak.
Sambil menenangkan dirinya, Danielle membalas, "Jangan
mimpi ah!"
Lalu ia berbalik seraya berlari keluar, "Pokoknya thanks, ya."


Merivale Mall 03 Antara Dua Pilihan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau agak bergegas, mungkin masih bisa sempat menemui
anak-anak itu!Empat belas
Danielle tak sadar bahwa Lori menyaksikan semua kejadian itu.
Ketika keluar dari Tio's setelah mendapat ijin istirahat dari Ernie, Lori
menyaksikan sepupunya berbicara dengan Don James.
Wajah Danielle yang tadinya muram tampak berseri-seri dan
memeluk Don dengan mesra. Lalu anak itu lama menatap Don
sebelum beranjak dari tempatnya. Entah apa yang membuat Danielle
begitu bahagia, pikir Lori. Tapi semoga ada hubungannya dengan
anak-anak di panti ? dan Don.
Lori memutuskan untuk jalan-jalan keliling Mall. Ia senang
melihat sepupunya bahagia, dan berharap hal itu juga akan terjadi
pada dirinya. Perasaannya masih terpukul, sampai ia cemas lupa cara
tersenyum. Tiga malam berturut-turut ia menangis sampai tertidur,
dan terbangun esok paginya dengan mata sembab. Ia coba melupakan
Nick, namun tak mungkin. Setiap tempat yang dilaluinya di Mall itu
mengingatkannya pada Nick.
Mereka tidak pernah jumpa lagi semenjak pertandingan Sabtu
itu, tapi ia telah bertekad tak hendak menelponnya lagi. Kedua
sahabatnya menyarankan agar bersabar, namun ia yakin bahwa kalau
Nick tak ingin menemuinya sekarang, berarti mereka berdua tak akan
pernah bisa bersama lagi. Tamat sudah segala cerita.Tahu-tahu ia sudah berada di pintu masuk tempat parkir. Nick
pernah menciumnya di tempat ini dan menyatakan ia gadis tercantik
yang pernah dikenalnya. Itu saat Nick mengajak Danielle ke Pesta
Dansa. Lori sedang terpukul, waktu itu. Meski dalam rengkuhan
keanggunan Danielle, Nick tetap tak bisa mengenyahkan bayangan
Lori dari benaknya. Setelah meninggalkan pesta, Nick kembali ke
Mall dan menunggu Lori selesai kerja. Malam itu juga Nick
menyatakan isi hatinya padanya.
Mengingat saat-saat bahagia itu hati Lori serasa tertoreh pilu. Ia
menyandar ke dinding dengan tangan tertangkup di wajahnya. Semua
mimpi pasti akan berakhir, pikirnya. Cepat atau lambat.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan dari arah tempat parkir.
Walau tak menemukan asal bentakan itu, tapi Lori mendengar jelas
apa yang mereka pertengkarkan.
"Jangan coba-coba mengelak, Hobart! Kami mau bicara,"
terdengar sergahan itu. "Kau harus punya alasan mengapa kita sampai
kalah!"
"Kau khianati kami! Kau sengaja mengalah!" tuduh anak lain.
Lori berlari menghampiri asal suara-suara itu dan melihat Nick
berdiri di samping mobilnya, dikepung beberapa anak Atwood.
Kepungan mereka semakin merapat dan semua perhatian tertuju pada
Nick sehingga tak seorang pun menyadari kedatangan Lori.
Meskipun tetap gagah, wajah Nick tampak memucat. Perut Lori
serasa melilit. Anak-anak itu sengaja menghadang Nick dan siap
mengeroyoknya. Satu lawan enam! Nick sudah pasti akan babak belur
tanpa ampun. Lori hendak lari meminta bantuan satpam, namun
rasanya sudah tak ada waktu lagi."Siap-siaplah menerima akibatnya, Nick. Karena lemparanmu
gagal, kamulah yang harus dilempar," ancam yang satunya.
"Huh! Aku nggak sepicik dugaan kalian itu," sergah Nick
geram. "Kalian pikir itu semua gampang?! Pernahkah kalian coba
lakukan sendiri?! Mampukah kalian melawan serbuan seluruh barisan
Merivale!?"
"Tutup mulutmu, Hobart. Sebelum kusumbat!" sergah seorang
anak lain sambil maju dan menghempaskan Nick ke mobilnya. Nick
hampir jatuh namun segera tegak kembali, "Kami dengar kau kalah
karena pacarmu. Dia anak Merivale, kan?"
Lori tersentak. Semua karena dia. Mereka menghadang Nick
karena dirinya! Ia harus segera turun tangan. Tanpa pikir panjang,
Lori berlari dan berdiri di antara mereka.
"Kalian ngawur!" serunya. "Nick tidak mengalah di
pertandingan. Apalagi semata-mata demi untukku. Sumpah! Jangan
ngawur, kalian!"
"Iya lah, ya," cemooh anak yang tadi mendorong Nick. "Apa
lagi, non?"
"Lori! Menyingkir dari sini!" teriak Nick. "Biar kuurus sendiri.
Kecoa-kecoa ini memang cari penyakit."
"Dia benar. Kau menyingkirlah, biar nggak ikutan celaka,"
ancam yang lainnya. "Aku tidak main-main."
Anak itu merenggutkan lengan Lori, namun Lori dengan sigap
menyentakkannya, lalu memasang kuda-kuda dan tangannya terkepal.
"Kuperingatkan kalian, aku karateka ban hitam," ujarnya tegas.
Untuk sesaat suasana amat mencekam. Jantung Lori berdetak
keras. Walau tanpa memandang, tapi ia tahu bahwa Nick sudahbersiap tempur pula. "Majulah kalian," tantang Lori. "Tapi jangan
salahkan aku nantinya."
Tak satu pun dari enam anak itu yang percaya ia karateka ban
hitam, tapi mereka pun tak ingin menyakitinya. Perlahan mereka
semua mundur ketika Nick melangkah maju. Setelah mereka hilang
dari pandangan, Nick berbalik dan ternganga memandang Lori.
"Kau bukan karateka beneran, kan?" tanyanya sambil
tersenyum.
"He-eh. Tapi aku punya dua adik laki-laki dan aku hafal
gerakan-gerakannya dari mereka."
"Tapi Lor, ucapan seperti tadi kan cuma ada di film-film, ya?"
"Pokoknya berhasil kan?" tangkis Lori seraya berdiri
menatapnya.
Dan tertawalah mereka gelak-gelak sampai kehabisan nafas.
Keduanya terus tertawa sampai terduduk di lantai bersandar ke
Camaro Nick, dengan tangan menahan perut agar tak terlalu sakit.
Belum pernah Lori tertawa selepas itu ? dan ini tak hanya oleh
muslihat karatenya tadi. Tawanya ini bagai penghapus ketegangan
yang dialaminya berminggu-minggu ini.
Akhirnya redalah tawa mereka. Keduanya bangkit dengan nafas
tersengal. Keduanya cekikikan. "Lor, ternyata kau memang hebat.
Pantas aku menyayangimu." Lalu Nick menghampirinya.
"Kamu serius?" kejar Lori. "Sayang sama aku?"
Nick mengangguk. "Lor, kita jalan lagi yuk? Seperti dulu,"
ujarnya dengan sendu.
"Lalu kenapa waktu itu kamu ingin putus?" tanya Lori.
"Aku tidak sungguh-sungguh," ujarnya singkat."Tapi, kenapa seusai pertandingan itu kamu ngomong seperti
itu?" Lori mengingatkan. "Aku terus menelponmu, tapi kau tidak
membalasnya?"
"Aku kecewa. Aku kesal pada diriku sendiri ? tidak kesal
padamu. Kebetulan kau berada di dekatku." Nick mendekat dan
memegang pundak Lori. "Bagaimana, Lor? Bisakah kita coba lagi?"
Nick menggelengkan kepalanya. "Aku salah. Aku memaksamu
untuk memilih sesuatu yang tak mungkin. Aku sadar sekarang. Bukan
kamu yang membuat bola itu meleset. Itu salahku sendiri. Aku. Kamu
mau memaafkan sikapku yang tolol itu, kan?"
"Kamu nggak tolol," jawab Lori terbata-bata sambil
menjatuhkan diri ke pelukan Nick.
Nick tersenyum dan memeluknya erat-erat. "Hei, Yang, kalau
aku bilang tolol tetap saja tolol. Ngerti? Atau mau berantem lagi?"
"Nggak?," jawab Lori sambil tersenyum di antara air matanya.
Ketika kemudian Nick mengangkat dagunya dan menatap
matanya, Lori serasa meleleh. Kembali berada di pelukan Nick lagi,
benar-benar menghanyutkan.
Akhirnya Lori berhasil menabahkan diri untuk mengurai
dekapan Nick. "Aku masih harus kembali bekerja," bisiknya.
"Iya deh. Oh iya, jangan pakai topeng Halloween jelek itu lagi.
Meski suatu waktu menyerbu sekolahku, sebaiknya jangan kau
sembunyikan wajah cantik ini walau cuma sedetik pun."
"Iya deh," tukas Lori. "Mulai sekarang, aku cuma akan percaya
pada perasaanku sendiri. Terutama untuk urusan yang berhubungan
dengan kau dan aku. Mulai sekarang, aku nggak mau ikut-ikut urusan
pertandingan lagi!" END
Piala Api 6 Joko Sableng Ratu Pemikat Bocah Sakti 16
^