Pencarian

Senyum Abadi 1

Merivale Mall 04 Senyum Abadi Bagian 1


Satu Rasanya aku ingin menjerit....
Danielle Sharp yang berusia enam belas tahun itu memelototkan
matanya yang kehijauan dan mengibaskan rambut merahnya yang
sebahu ke belakang. Ia merasa muak dengan sikap Teresa Woods?
meskipun dia salah satu sahabat karib Danielle! Sepagian ini mereka
belanja bareng dengan si rambut hitam, Heather Baron, dan sikap
Teresa benar-benar menyebalkan. Dia telah merusak suasana
membuat Danielle jengkel setengah mati.
Rasanya setiap kata yang keluar dari mulutnya yang bagus itu
cuma untuk membanggakan dirinya saja. Memang sih, semuanya
benar. Dengan rambut cokelat sebahu yang tebal dan indah dipadu
dengan mata cokelatnya, Teresa seakan punya segalanya? wajah
cantik, gaya asyik, orang tua terpandang dan kaya raya. Pokoknya,
elit-lah.
Tetapi duduk di mall di atas bangku panjang, sambil
mendengarkan Teresa ngoceh soal kehebatannya, benar-benar terasa
menyebalkan. Danielle teringat betapa keras perjuangannya dulu
untuk bisa menjadi sahabat Teresa.
Waktu Danielle baru pindah ke Atwood Academy yang
bergengsi itu, ia langsung tahu bahwa Teresa Woods dan HeatherBaron adalah cewek-cewek yang harus digaulinya?karena mereka
adalah pusat perhatian murid-murid di sekolah itu.
Mula-mula Danielle memang perlu bersikap mengalah, sampai
suatu hari Teresa mengajaknya shopping pulang sekolah. Setelah itu
Heather Baron pun ikut bergabung, dan sejak itu jadilah Danielle
salah seorang kembangnya Atwood?bahkan Ashley Shepard dan
Wendy Carter ikut bergabung, padahal tadinya mereka tak mau
melihat Danielle dengan sebelah mata pun.
Tahun ini Danielle, Teresa dan Heather dikenal sebagai geng
dari kelas junior yang paling populer dan tercantik di Atwood. Tetapi
Danielle-lah yang paling menarik di antara ketiganya, dengan rambut
merahnya, mata hijaunya serta bentuk kakinya yang panjang dan
indah.
Penampilan Teresa pun cantik. Bagi orang yang belum
mengenal dia, tatapan matanya mampu melumerkan gunung es.
Ditambah lagi dengan hartanya yang melimpah, yang membuat orang
tergiur.
Sedangkan Heather, rambutnya yang biru kehitaman dengan
mata birunya yang cantik benar-benar merupakan kombinasi yang
sempurna, apalagi kalau dia mengenakan perhiasan perak mahal yang
sudah menjadi ciri khasnya.
Memang, tak ada yang lebih mengasyikkan buat Danielle selain
shopping dengan Teresa dan Heather. Mereka menjelajahi toko-toko
eksklusif di Merivale Mall, mencoba-coba pakaian?semacam
'olahraga' favorit mereka di dalam ruangan? dan membeli apa saja
yang mereka lihat. Mencoba-coba parfum, melirik cowok-cowokkeren, cuci mata di counter make-up, sambil bergosip-ria dan
menertawakan orang lain? pokoknya asyiiik deh.
Kalau capek, paling-paling mereka membeli es krim, seperti
yang sedang mereka jilat-jilat sekarang sambil duduk di depan 'The
Big Scoop Ice Cream Parlor' di lantai satu mall.
"Hmm, yang ini baru enak," gumam Teresa. "Ingat nggak
Danielle, es krim pilihanmu tempo hari yang rasanya aneh itu? Masa
sih, rasanya mint?"
Nada suaranya benar-benar menjatuhkan lawan bicaranya.
"Memang benar, rasanya mint," sahut Danielle. "Menurutku sih,
rasanya enak."
"Rasanya enak kok," sela Heather dengan suaranya yang
membosankan.
Terima kasih banyak, batin Danielle. Heather rupanya tidak
memberinya kesempatan sama sekali hari itu.
"Omong-omong,"?Teresa kembali ke masalah dirinya?"aku
ingin potong rambut yang bagus? nggak peduli berapa pun
harganya?"
Huuhl lagi-lagi mengingatkan betapa kayanya Teresa. Benar-
benar memuakkan! Teresa tahu, Danielle cuma mendapat uang saku,
dan meskipun jumlahnya cukup banyak, tapi namanya tetap uang
saku. Teresa tahu persis Danielle tak mampu ke Manor hari-hari ini,
karena Manor Born adalah salon kecantikan termahal di Merivale?di
mana paling sedikit uang seratus dollar pasti melayang.
" Aah, yang penting kan hasil potongannya, bukan salonnya,"
kilah Danielle tersenyum manis seraya memainkan rambutnya yang
keren. Biar dia nggak banyak ngomong lagi, pikir Danielle."Kalau begitu kita punya pendapat yang berbeda tentang
bagus," ujar Teresa dengan tenang.
Nah, dia mulai lagi! Tetapi Danielle memutuskan untuk tidak
membiarkan dirinya terjebak lebih jauh.
"Eh, tahu nggak?" ujarnya, mata hijaunya berbinar-binar.
"Aku mulai belajar berkuda, lho!". Akhirnya! Ada pembicaraan yang
menarik!
"Wah, kemajuan dong...," komentar Heather yang rupanya
tertarik pada topik yang dibicarakan. Ia sudah mulai berkuda sejak
kecil. Ayahnya sangat menyukai kuda-kuda pacu Arab.
"Hebat!" sambung Teresa. "Siapa gurumu?"
Baru saja Danielle akan menjawab, Teresa menimpali dengan
pandangan kesal, "Asal jangan si Saunders saja dari Merivale Country
Club?"
"Memang Saunders."
"Yah, kasihan Dani." Semula Teresa bicara dengan nada
khawatir, tetapi kemudian ia cekikikan. "Dia suka banget sama baju
corak kotak-kotak ramai kan? Pantasnya dia tidur di kandang, bareng
sama kuda. Kenapa tidak kau coba Jimmy Dixon saja dari Polo Club,
Dan? Dia guruku waktu aku masih pemula. Kalau kau ingin tukar
guru, sekalian telepon penata rambutku juga, ya?"
Danielle mengamati es krimnya. "Memangnya rambutku
jelek?"
"Yah... sebagai temanmu, tak ada salahnya kan berterus
terang?" Teresa menyeringai seraya menggeleng dengan rasa iba.
Danielle melirik Heather seakan-akan ingin berkata, "Tega
banget, sih."Tetapi Heather sedang melengos dengan pandangan kosong.
Dia seakan-akan tidak menyimak.
"Aku cuma bilang, potongan rambut tergantung salonnya."
Teresa mengamati rambut Danielle dengan pandangan penuh belas
kasihan. "Ingat nggak, waktu aku coba ke Snipers? Penata rambut itu
maksa mau mencat rambutku! Enak aja. Sampai kapan pun aku nggak
bakalan ngecat rambutku jadi merah! Soalnya, rambut merah
kampungan. Bukan merahnya rambutmu lho Dan, tapi warna merah
lainnya."
Danielle tahu sebenarnya Teresa cuma iri. Alasannya kuat! Dia
lebih cantik, lebih pintar, dan lebih populer. Meski Danielle tahu
alasannya tapi toh ia tetap sebal setiap kali Teresa menonjolkan
egonya.
Danielle meliriknya, berharap pagi sial ini tidak pernah ada.
"Kayaknya rambutku sudah oke tuh," ujarnya sambil tetap berusaha
bersikap tenang.
"Tapi percuma kalau nggak bermodel." Teresa tersenyum licik.
Ini sudah keterlaluan. Mata Danielle berkilat marah. Ia bangkit
dan melempar sisa es krimnya ke bak sampah. "Kalau kita memang
harus berterus terang, Ter," ujar Danielle sambil menatap temannya
dengan pandangan super iba, "Sebenarnya aku jauh lebih hebat
ketimbang kau." Teresa terperangah. "Silakan tanya semua orang."
Danielle menjilat es krim yang melekat di telunjuknya.
Heather Baron menyipitkan matanya dan melirik sekilas.
"Kalian benar-benar merusak suasana, ngerti nggak sih?"
Dilemparnya kerucut es krimnya yang sudah kosong ke bak sampah,
lalu melap tangannya dengan saputangan sutera. "Serius!""Mungkin kau bisa jadi penengah, Heather, dan setelah itu kami
nggak bakal mengganggumu," ujar Teresa tersenyum lembut.
"Danielle memang imut-imut, tapi aku masih lebih cantik, benar kan?"
Teresa menatap dengan pandangan yang kenes. Waktu Heather tidak
menjawab juga, Teresa lalu berkata, "Coba bilang, siapa menurutmu
yang lebih cantik?"
Heather tersenyum dan mengamati mereka satu demi satu.
"Terserah kalianlah," jawabnya, berharap mereka mengganti topik
pembicaraan.
Teresa penasaran. "Jangan bertele-tele, Heather. Langsung aja.
Danielle pasti kuat menerimanya, kok."
"Masa bodo ah...," ujar Heather, meremas tangannya. "Aku
nggak mau ikut campur. Kalau kalian bersikeras, ikut aja kontes
kecantikan seperti pemilihan Putri Merivale Mall atau apa kek.
Percuma kalian bertengkar gara-gara itu. Malu dong, dilihat orang."
"Heather benar," ujar Teresa. "Bodoh kita, bertengkar soal itu.
Lagi pula Dan, sebenarnya kau lumayan juga, kok. Cuma tinggal
bagaimana cara memolesnya saja."
Kemarahan Danielle memuncak. Padahal selama ini ia baik
pada Teresa, menolongnya jika ada masalah, paling tidak ia telah
berusaha membuktikan bahwa ia teman baiknya. Tetapi beginilah
balasan Teresa! "Kuharap benar-benar ada kontes Putri Merivale
Mall!" Nada tantangan jelas terdengar dari suara Danielle.
"Buat apa sih aku bohong. Memang ada kok, pengumumannya
di sana. Kalian sih, ribut terus adu kecantikan, kalau nggak kan...
kalian sudah tahu ada pengumuman itu." Heather menunjuk posterbesar yang terpampang di lapangan. "Aku sih nggak mau ikutan.
Habis, rasanya kampungan, sih."
Tanpa mempedulikan tanggapan Heather, Danielle
menghampiri poster tersebut dan membacanya: "Kontes Tahunan
Putri Merivale Mall Yang Pertama. Peserta di bawah umur dua puluh
tahun, tinggal di Merivale, belum menikah. Hadiah beasiswa dan
promosi untuk berbagai acara daerah bagi pemenangnya."
Hmm ? bagus. Kalau aku dan Teresa ikutan, pikir Danielle,
aku nggak mungkin kalah. Kasihan dia, kalau akhirnya harus
mengakui bahwa aku yang lebih cantik.
Karena belum pernah ikut bertanding, Danielle tahu Teresa
takut untuk bersaing. Soalnya, dia tahu Danielle gadis yang tercantik
di Merivale. Lagipula mana mungkin keluarga Woods mengizinkan
Teresa bergabung, mereka kan kolot.
"Hebat kau, Heather. Dan kau Ter," ujar Danielle, "seharusnya
kita daftar untuk mengikuti kontes ini. Aku suka deh, ikut
perlombaan. Soalnya kemenanganku jadi lebih berarti." Danielle
menyeringai kayak kucing, yakin kalau dia pasti menang.
Tetapi jawaban Teresa sungguh di luar dugaan Danielle. "Boleh
saja," gumamnya. "Kita serahkan saja ke juri, siapa di antara kita yang
lebih cantik." Teresa mencabut selembar formulir pendaftaran dari rak
yang disediakan di situ, dan melempar senyuman licik kepada
Danielle.
"Huh... memangnya ibumu mengizinkan?"
"O... pasti," sahut Teresa bersemangat. "Beliau kan mantan
Putri Merivale Country Club waktu seumurku. Di situlah Ibu ketemu
Ayah yang kebetulan jadi jurinya. Nggak jadi soal buat mereka? danaku pasti akan ikut kontes itu kalau kau memaksa ingin dikalahkan di
depan umum."
Danielle melenggang menuju ke rak dan mengambil formulir
untuk dirinya. Sebenarnya ia menganggap ikut-ikutan kontes
kecantikan itu konyol, tetapi tidak kali ini. "Oke... kita jadi bersaing,"
ujarnya santai. Tidak ada yang perlu dikuatirkan Danielle. Apa yang
dimiliki Teresa, Danielle punya dua kali lipat. Dan bukankah rambut
merahnya lebih menarik ketimbang rambut cokelat Teresa. Semua
orang juga tahu itu.
"Aku mau pulang duluan untuk mengisi formulir ini," potong
Teresa tiba-tiba. "Acara shopping kita kali ini jadi gagal. Mau nebeng
nggak, Heather?"
Heather menatap Danielle dengan rasa bersalah. "Vette-mu
sudah beres?" ia bertanya pada Teresa.
Teresa tersenyum mengerti. "Sudah kok."
"Kalau gitu aku nebeng, deh. Bye Dani." Heather menyambar
tasnya dan pergi. Sampai di ujung jalan, Teresa berbalik, melambai
seraya meledek Danielle. "Semoga gadis yang katanya lebih cantik
menang."
Sendirian dan sakit hati, Danielle memperhatikan mereka dari
belakang. Oke, kalau itu maumu, kita lihat saja nanti, batin Danielle.
Sekarang sudah kepalang tanggung, pantang mundur. Ia harus
memenangkan kontes tersebut ? meski taruhannya adalah salah
seorang sahabatnya sendiri.Dua
Ditinggal sendirian, Danielle kemudian meneliti formulir
pendaftarannya, dan segera menyadari bahwa ia menghadapi masalah.
Kesepuluh finalis yang terpilih harus menyerahkan sebuah foto dan
esei. Tentu tak ada masalah dengan foto. Tak ada satu pun fotonya
yang jelek, sejak ia masih bayi sampai sekarang. Tetapi esei? Apa
yang harus ditulisnya sebagai alasan untuk ikut dalam kontes ini.
Dear para juri, aku ingin menjadi Putri Merivale Mall karena
aku ingin mendorong muka Teresa ke sampahan....
Tidak, pasti bukan itu yang diharapkan juri. Kalau Danielle
ingin masuk final, dia harus membuat esei yang luar biasa. Sesuatu
yang tulus, jujur, menyentuh hati, ah... mustahil.
Kalau mau jujur, Danielle sependapat dengan Heather bahwa
kontes kecantikan memang kampungan, apa lagi dengan keharusan
membuat esei.
Hmmm ? kalau ternyata kejujuran dan ketulusan tidak
berhasil, dia harus memakai akal licik. Sembari duduk di bangku
panjang, Danielle melamun ? apa ya, yang sedang dipikirkan Teresa
saat ini?
Teresa nggak becus dalam soal tulis menulis. Mustahil kalau dia
membuatnya sendiri. Pasti dia menyuruh orang lain membuatkannya.Dengan memanfaatkan kekayaannya, kepala sekolah Atwood pun bisa
membuatkannya.
Tiba-tiba Danielle tersenyum lebar. Ada jalan keluar! Seseorang
akan rela membantunya. Esei yang berisi ketulusan, kejujuran dan
menyentuh hati. Orang itu tak mungkin menolaknya. Sambil mencek
Walkman-nya di dalam tas kulitnya, Danielle berlari-lari kecil ke
koridor di lantai dasar ? tempat toko-toko murahan. Ia menuju ke
tempat yang berpapan nama oranye bertuliskan TIO'S TACOS. Jarang
Danielle mau merakyat seperti ini, apa lagi menginjak tempat
semacam Tio's. Kalaupun ia ke lantai dasar, paling-paling cuma untuk
membeli es krim di The Big Scoop, ke bank, atau ke Video Arcade.
Tetapi kunjungannya kali ini lebih penting daripada uang atau
cowok keren. Sepupuku Lori yang baik hati adalah penyelamatku! Dia
akan menuliskan esei yang bagus untukku!
*****************
Di antara gadis-gadis yang berdiri di restoran Tio's dengan
setelan oranye lengkap dan celemek kuning menyala, cuma ada satu
yang menarik. Mungkin karena air mukanya yang segar, atau rambut
kuningnya dengan potongan klasik yang membingkai wajahnya yang
cantik dengan pancaran mata birunya yang menawan. Apa pun itu,
gadis itu kelihatan sungguh menarik. Apalagi senyuman khasnya,
yang menambah keistimewaannya. Namanya Lori Randall ? sepupu
merangkap sahabat lama Danielle.
Mereka sangat akrab sejak kecil, seperti kakak-beradik saja
daripada sebagai sepupu. Tetapi sejak usaha ayah Danielle mengalami
kemajuan pesat, keluarga Sharps pindah ke Wood Hollow Hills,lingkungan elit di Merivale, dan persahabatan mereka pun pecah ?
paling tidak karena Danielle.
Lori sakit hati. Tetapi dengan berjalannya waktu, Lori mendapat
teman-teman baru, dan perasaan sakit hati itu lama kelamaan hilang.
Lori berteman dengan Patsy Donovan, murid SMU Merivale High,
yang bekerja sebagai pramuniaga di Cookie Connection. Dan seorang
lagi adalah Ann Larson, juga murid SMU yang bekerja paruh waktu


Merivale Mall 04 Senyum Abadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagai instruktur senam aerobics di Body Shoppe, pusat kebugaran di
mall.
Tetapi Danielle pasti akan menjumpai Lori kalau ada maunya.
Dan Lori pun selalu menyambutnya dengan tangan terbuka. Apa pun
yang terjadi, Lori tetap menyayangi Danielle.
"Wah, ada tamu istimewa," sapa Lori dengan senyum khasnya.
"Oh, Lor! Senangnya ketemu kamu! Kau kelihatan cantik!"
Danielle sendiri tampak anggun hari itu dengan memakai celana hitam
karya seorang perancang dan sweater angora merah marun, senada
dengan warna rambutnya.
"Apa kabar?" tanya Lori. Pasti Danielle ke sini bukan untuk
makan, Lori tahu benar. Terakhir kali Danielle ke situ dengan
senyuman yang sangat manis, semanis senyumannya sekarang adalah
untuk meminta tolong menjaga anak-anak kecil.
Setelah itu, ia datang lagi dengan maksud meminjam uang ?
uang yang ditabung Lori untuk membeli mobil Spitfire idamannya.
Danielle memang terlambat membayarnya, tetapi kemudian ia datang
ke rumah Lori dengan mobil berpita kuning. Danielle memang pintar
mengambil hati orang."Gila," celotehnya, "kangen juga aku sama kamu, Lor. Serasa
kita tak ketemu bertahun-tahun!" Danielle harap ia tidak terlalu
berlebihan.TEENLITLAWAS.BLOGSPOT.COM
Padahal iya ? tetapi Lori maklum. Kalau Danielle datang, pasti
ada maunya. Basa-basinya tak pernah lupa.
"Kebetulan aku lewat sini dan kulihat kau sedang santai. Bisa
ngobrol nggak sebentar, Lor? Ayolah, kubelikan croissant, deh."
Bukan main basa basinya! "Aku izin dulu ya?" Lori berbalik
dan berteriak, "Boleh nggak aku istirahat sekarang, Ernie?" Ernie
Goldbloom adalah si 'Tio' dari Tio's Tacos.
Pemilik yang gemuk pendek itu mengelus kepalanya yang botak
dan tersenyum pada pegawai favoritnya. Lori adalah orang
kepercayaannya karena dia patuh dan sabar. "Tentu ?" sahutnya.
Dua menit kemudian Lori sudah duduk di samping Danielle di
bangku panjang, sambil mengunyah croissant hangat.
"Nggak ada kabar baru kok ... aku masih kayak dulu. Yah,
begitulah ? seputar cowok-cowok keren, mobil, shopping. Gimana
kabarmu sendiri? Ada berita hangatkah?"
"Oh... aku ada hobby rahasia sekarang," jawab Lori dengan
senyum malu-malu.
"Waaah, boleh juga! Hobby rahasia apa? Pasti ada
hubungannya dengan Nick Hobart." Nick adalah pacarnya Lori,
quarterback andalan di Atwood Academy. Banyak gadis-gadis yang
mengincarnya. Tetapi Nick hanya tergila-gila pada Lori.
Danielle tak habis pikir kenapa cowok setampan Nick yang
punya segalanya ? uang, tampang keren, body oke, kok mau-mauanpacaran sama Lori. Memang Lori cantik. Tetapi seragam oranye-nya
... mana tahan!
"Bukan Nick, kok." Lori cekikikan. "Maksudku, merancang.
Aku mau dipertemukan dengan Pak Mortenson oleh guru kesenianku.
Beliau profesor yang berkunjung dari Institut Fashion."
Sejak umur sepuluh tahun, Lori memang tertarik akan seni dan
desain. Cita-citanya ingin jadi perancang mode!
Danielle menatap sepupunya. "Sekolah kan masih satu tahun
lagi! Nggak terlalu cepat nih, terjun ke bidang itu?"
"Pak Mortenson cuma satu hari di Merivale. Dia juri kontes
Putri Merivale Mall. Kalau aku nggak bisa ketemu dia hari itu juga,
berarti aku harus ke New York dong buat wawancara."
Putri Merivale Mall! Kebetulan sekali! Tapi namanya juga
Danielle, penuh kepura-puraan. "Putri Merivale Mall! Bego! Kenapa
sih, orang mau berebutan gelar itu?" Danielle menatap sepupunya
dengan tajam. Ayo, Lor! batinnya, seraya menekan tombol Record
Walkman-nya. Beri aku salah satu eseimu yang terbaik!
"Wah," ujar Lori, menyeka dahinya, "aku sendiri nggak ada
waktu buat ikutan. Waktuku habis tersita untuk kerja?"
Lori memang selalu sibuk bekerja. Untung juga, pikir Danielle.
Kalau dia ikut juga, bisa-bisa Lori jadi saingannya yang berat dengan
wajahnya yang cantik alami itu. "Tapi gimana kalau kau memang
mau?"
"Kalau aku mau, aku ingin jadi Putri Merivale Mall karena mall
adalah jantungnya kota, pusatnya masyarakat, di mana ada taman,
tempat bermain, bazaar, tempat cuci mata, belanja, makan. Pokoknya,
lengkap deh! Terus terang, aku nggak bisa membayangkan, gimanajadinya Merivale tanpa mall. Pokoknya, pengaruh mall ini sungguh
besar bagi kota ini ?"
Danielle merogoh tasnya, mematikan Walkmannya. "Wah,"
ujarnya. "Sayang sekali kau tak punya waktu. Uh... aku lupa ada janji!
Sampai jumpa!" Danielle langsung melompat dan mencium sekilas
pipi Lori.
Sambil berlari ke luar dari gedung itu, Danielle bersorak dalam
hati. Terima kasih banyak, Lor, batinnya. Kau telah membantuku
masuk final.
*************
Lori mengawasi Danielle sampai hilang dari pandangan, dan
berpikir-pikir apakah ia mungkin telah menyinggung perasaan
Danielle. Tetapi dia tidak meminta apa pun pada Lori. Tiba-tiba
pegangan tangan kuat di bahunya membuyarkan lamunannya.
"Nick!" pekik Lori senang.
"Hai, Lor. Lagi istirahat, ya?" Nick tersenyum, tatapan mata
birunya membuat lutut Lori lemas dan jantungnya berdebar kencang.
"Tinggal sebentar lagi, kok," jawab Lori, berusaha menahan
perasaannya dan membalas tersenyum.
Bekerja paruh waktu di tempat yang berseberangan di mall itu
memang asyik. Tempat mereka bekerja cuma dipisahkan oleh sebuah
lorong. Kadang-kadang dari meja kasir tempat Lori bekerja, ia bisa
langsung melihat Nick kalau cowok itu sedang ada di bagian VCR
Hobart Electronics.
"Aku baru saja mau mengajakmu istirahat berdua," jelas Nick.
"Lori! Nick!" Dari lantai bawah mall, seorang gadis dengan
rambut cokelat kemerahan dan mata cokelat muda berbinar berlarimenghampiri mereka. Di kepalanya bertengger sebuah topi besar
berlogo kue cokelat, merknya toko kue Cookie Connection.
"Patsy!" pekik Lori. "Kayak reuni saja!"
"Hai...," sapa Patsy.
Meski seragamnya norak, Patsy tetap kelihatan cantik, mungkin
karena bentuk tubuhnya yang bagus. Berat badannya akhir-akhir ini
telah menyusut lima belas kilogram.
Patsy memang cantik, meskipun beberapa waktu yang lalu
tubuhnya gendut. Dia telah berusaha mati-matian mengurangi berat
badannya, dan ia mendapat banyak dorongan dari Lori dan seorang
sahabatnya yang lain, Ann Larson.
"Aku butuh istirahat," aku Patsy. "Kue-kue itu sangat
menggoda seleraku, jadi daripada aku memakannya, lebih baik aku
minta istirahat barang sepuluh menit."
"Aku juga cuma sebentar nih," ujar Nick melirik jamnya. "Lor,
kau sudah dengar belum, ada kontes? Hadiahnya lumayan, lho."
"Kontes apa, sih?" sela Patsy.
"Oh..., maksudmu Putri Merivale Mall?" ujar Lori. "Aku nggak
ikutan, tuh. Sibuk banget, sih."
"Serius nih, ada kontes? Wah, Lor, kau harus ikutan dong ?
pasti menang, deh!"
"Memang itu yang kupikirkan," komentar Nick, menyetujui.
"Enak aja," canda Lori. "Cari waktu untuk pacar aja susah" ?
sambil mengedipkan matanya ke Nick ? "apa lagi ngurusin kontes!
Soalnya aku lagi menyelesaikan kumpulan desainku juga. Salah satu
juri kontesnya adalah Profesor Mortenson dari Institut Fashion.Sementara dia ada di Merivale, aku akan memintanya melihat
desainku." Lori menggigit croissant-nya sambil berpikir.
"Mmm, kayaknya enak deh," gumam Patsy dengan rasa lapar.
"Sudah lama aku tidak makan itu."
"Omong-omong, aku sudah harus pergi, nih," potong Nick. Ia
mengecup kening Lori dengan lembut. "Sampai nanti, Randall,"
ujarnya.
"Asal jangan terlalu lama, ya," bisik Lori, menatap mata Nick
yang bagus.
"Bye, Patsy. Omong-omong, kau kelihatan cantik."
"Bye, Nick ?" Patsy memandanginya dari belakang. "Gila,
cakep banget! Kau beruntung Lor?" ujarnya sedih. Lori yang masih
terbius Nick tidak mendengar ucapannya. Ketika Nick telah
menghilang ke dalam toko ayahnya, barulah ia berbalik dan menatap
Patsy dengan tersenyum.
"Aku salut denganmu, Pats ? kau berhasil menghindari
junkfood itu! Rasanya jerih payahmu nggak sia-sia, deh ?"
"Sebaliknya, Lor." Patsy menarik napas berat seraya menatap
langit-langit.
"Hei! Kenapa sih?"
"Duh, Lor," keluh Patsy. "Ada ruginya juga kalau berat badan
jadi turun. Mataku jadi terbuka lebar melihat dunia ini ? tragis
memang." Wajah Patsy yang manis tampaknya jadi lucu dengan
pandangan yang sedih. Wajah seperti Patsy dengan lesung pipit, bulu
mata lentik dan mata cokelat yang menakjubkan seharusnya hanya
diciptakan untuk tersenyum, bukan untuk bermuram durja."Hei," ujar Lori menepuk-nepuk lengan sahabatnya.
"Memangnya ada yang menyakiti hatimu?"
"Nggak juga, sih ? Semua orang baik kok, sama aku."
"Lalu, kenapa?"
"Yah, enak juga sih punya badan langsing. Tapi, soal cowok.
Sampai sekarang belum ada yang mengajakku kencan. Barangkali aku
memang nggak cantik."
"Patsy Donovan, gimana sih kamu ini?" pekik Lori. "Dengar
ya? Kamu itu cantik! Kamu cuma masih terbawa-bawa perasaanmu
yang dulu waktu kamu gemuk, sampai kamu jadi kurang percaya diri."
"Betul., aku memang Putri Ayu?"
"Pats, kadang-kadang kamu suka ngeselin juga, deh. Tapi aku
ada ide," ujar Lori bersemangat. "Ikut aja kontes Putri Merivale Mall!
Pasti kau masuk final ? berani taruhan! Nah, dari situ kau bisa yakin
mengenai penampilanmu"
"Aku? Ikut kontes kecantikan!? Jangan mengada-ada, deh!"
tukas Patsy.
"Pemenangnya dapat beasiswa dua ribu dollar lho, sampai dia
berhasil masuk universitas mana saja ?"
"Beasiswa dua ribu dollar untuk Putri Merivale Mall?" Patsy
meletakkan tangannya di panggulnya yang ramping dan tersenyum
lebar-lebar.
"Benar juga, ya. Aku kan sudah langsing sekarang, jadi kenapa
mesti ragu? Di mana aku bisa mendaftar?"Tiga
"Danielle Sharp." Namanya tercantum di deretan finalis yang
terpampang di papan pengumuman, persis di depan kantor eksekutif
mall, seperti yang telah diduganya. Namanya tercantum di antara
Marcy Ryder dan Ashley Shepard.
Tahap pertama telah berhasil dilalui. Danielle tersenyum puas.
Tidak aneh namanya tercantum di situ ? selain penampilannya yang
oke, juga karena ide 'jantung kota Merivale'-nya yang didapatnya dari
Lori untuk eseinya, merupakan alasan yang kuat!
Tetapi senyuman Danielle seketika lenyap waktu melihat nama
Teresa juga tercantum di bawah. Diam-diam Danielle berharap agar
Teresa tidak masuk final. Biar dia merasakan bagaimana egonya
hancur!
Tetapi kita memang tak bisa mengharap semua akan terwujud.
Dalam waktu dekat salah seorang dari mereka akan mengenakan
mahkota kemenangan. Danielle meneliti lebih jauh nama-nama para
finalis. Ternyata banyak peserta yang dikenalnya, baik dari sekolah
maupun dari mall. Kebanyakan dari mereka adalah cewek-cewek
cantiknya Atwood. Tidak heran.
Namun ada satu nama yang membuatnya kaget setengah mati.
Ia membacanya sekali lagi, khawatir kalau-kalau ia keliru. "PatsyDonovan?" ia membaca sambil menutup mulutnya dengan tangan,
berusaha meredam rasa kagetnya. Apa-apaan sih cewek gendut
macam Patsy ikut-ikutan jadi finalis, batinnya. Dan yang lebih
membingungkan, apa yang dilakukan Patsy sebagai finalis?
Danielle merasa geli. Panitia pemilihan pasti telah membuat
kesalahan besar. Bagaimana caranya si 'pipi tembem' itu sampai bisa
masuk finalis? "Gembrot" mungkin lagi ngetrend sekarang, batin
Danielle sambil mengangkat bahu.
"Hai, Dani." Sambil mencari-cari suara itu Danielle bertemu
pandang dengan sepasang mata cokelat yang rasanya dikenalnya.
Nggak salah, nih?
"Aku Patsy. Temannya Lori, ingat nggak?" Mata Danielle
melotot melihat penampilan Patsy yang baru dan menarik. Pipinya
yang gendut, yang merupakan ciri khasnya, sudah menyusut. Secara
keseluruhan Patsy kelihatan cantik.
"Oh, hai," gumam Danielle dingin, menyadari kenyataan yang
sesungguhnya. Ia tidak suka pada kejutan-kejutan; ia lebih suka
berada di atas semuanya. Dengan tersenyum kecil, ia segera
membuang muka. Cuma pekerja sosial-lah, seperti sepupunya Lori,
yang pantas ngobrol dengan Patsy Donovan. Sial! Masa dia harus
bersaing dengan gadis macam Patsy. Cih!
Pada saat itu pintu kantor panitia membuka, dan Teresa Woods
menghambur ke luar bagaikan seekor kijang emas. Rambutnya
bercahaya dan wajahnya berseri-seri. Mata cokelatnya berbinar-binar,
dan sikapnya benar-benar penuh percaya diri. Di sampingnya berdiri
Mr. Merivale Mall, direktur eksekutifnya mall, Donald Ackers.Sambil membungkuk ke arah Teresa dan mendengarkan dengan
saksama, direktur eksekutif yang tinggi dan tampan itu agaknya tidak
memperhatikan kerumunan orang-orang di sekitar papan
pengumuman.
"Makasih banyaaak sekali untuk petunjuknya," celoteh Teresa
bersemangat sambil menggenggam sebuah buku kecil.
"Sama-sama, Nona Woods," jawab eksekutif tadi. "Kalau ada
yang perlu ditanyakan lagi, jangan sungkan-sungkan mencari saya.
Pasti saya bantu. Nah, semoga berhasil."
Setelah melihat ke sekelilingnya, Ackers baru sadar banyak
peserta mondar mandir di situ. "Nona-nona, selamat ya," ujarnya,
sambil mengangguk sekilas. Matanya kembali tertuju kepada si cantik
berambut cokelat, Teresa. "Salam buat ayahmu, ya?"
"Akan kusampaikan." Teresa tersenyum lalu menjabat tangan
eksekutif itu dengan hangat. Ia berbalik dengan senyum kemenangan,
berjalan melewati Danielle tanpa menoleh sedikit pun.
Danielle merasa benar-benar dilecehkan! Waktu Teresa
melewatinya, ia pun berlagak cuek dan tidak mempedulikannya.
Satu sisinya berkata, "Sudahlah, untuk apa juga kau ikut-ikutan
kontes konyol ini." Tetapi sisi lainnya merasa tertantang.
"Nona-nona, sebentar lagi asisten saya, Bu Pierson akan
membagikan buku pedoman kontes," umum Ackers setelah Teresa
hilang dari pandangan. Kemudian ia cepat masuk ke kantor, tanpa
melirik Danielle.
"Ih, serem juga ya?" Patsy Donovan mencoba tersenyum pada
Danielle?satu-satunya finalis yang ia kenal.Danielle menatapnya dingin, seakan-akan Patsy bicara dengan
bahasa aneh. Ia tidak meladeni omongan Patsy.
Kemudian pintu membuka lagi. "Nona-nona, buku pedoman
akan segera dibagikan," ujar Bu Pierson. "Atas nama Pak Ackers dan
seluruh kerabat kerja mall, kami doakan semoga berhasil." Kemudian
ia membagikan buku kecil yang sama dengan yang dipegang Teresa
tadi.
"Pedoman Pemilihan ? Kontes Putri Merivale Mall." Isi buku
kecil itu panjangnya sama dengan Kitab Undang-Undang Dasar, dan
berisi rincian tentang poin-poin aturan perlombaan. Ada tes bakat,
kontes baju renang, kontes gaun malam, dan wawancara langsung, di
mana setiap peserta harus menjawab dua pertanyaan panitia.


Merivale Mall 04 Senyum Abadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Danielle merasa tegang. Tenang! batinnya. Kenapa harus
panik? Kamu kan cantik, jangan risau soal bakat. Lagi pula, nggak ada
waktu untuk merasa cemas ? sekarang waktunya shopping.
Ia melipat buku kecil itu dan memasukkannya ke dalam tas.
Danielle bergegas ke luar; berusaha meredakan kecemasannya. Ia
ingin ke Facades membeli baju renang. Di butik favoritnya itu ada
begitu banyak pilihan pakaian yang bagus-bagus, sehingga ia bisa
merasa tenang lagi.
Saat keluar dari elevator, hatinya sudah agak tenang. Danielle
pasti tampil meyakinkan dalam pakaian renang.
Danielle membayangkan dirinya berjalan melenggak lenggok
dengan anggunnya dalam baju renang bersepatu hak tinggi. Ia akan
memilih baju renang yang benar-benar bagus. Mungkin yang
warnanya putih dengan potongan rendah di belakang untuk
menampilkan punggungnya yang indah."Hai," sapa Heather yang melihat Danielle saat memasuki
Facades. "Eh, lihat Teresa nggak, barusan," lanjutnya.
"Aku lihat," jawab Danielle tak acuh.
"Aku tahu, aku sudah dengar semuanya."
"Masa?" alis Daniele naik.
"Katanya kau sirik banget sama dia."
"Dia bilang apa?" Danielle hampir tak percaya apa yang
didengarnya.
"Katapya kau melihat dia, tapi sama sekali nggak menegurnya."
"Dia duluan yang melihat aku, tapi nggak menegur," bantah
Danielle sengit.
"Katanya, kau iri karena dia ngobrol sama Pak Ackers. Jangan
begitu, dong. Pak Ackers kan sahabat lama keluarga Woods."
"Kurang ajar. Buat apa aku iri sama dia, karena dia bicara sama
Pak Ackers?"
"Kalian memang konyol," komentar Heather, kemudian berlalu
dan melihat-lihat baju pantai. "Ayahku mau menemuiku di Karibia,
musim dingin ini. Aku sekalian mau ketemu istri barunya."
Danielle melihat-lihat baju renang obral tahunan di Facades.
"Kok nggak ada yang warnanya putih, sih?" gerutunya. Kemudian ia
mengecilkan suaranya, "Kebayang nggak sih, kalau Teresa bergaya
dalam baju renang, dengan kaki-kakinya yang kurus kayak kaki
ayam."
"Kok tanya aku, sih," ujar Heather dengan nada tinggi. "Jangan
libatkan aku dong, dengan urusan ego kalian."
"Ini sih bukan soal ego, Heather, tapi kenyataan. Kakinya
memang kurus kayak kaki ayam."Heather sedang mengamati bikini warna jingga bermanik-
manik. "Mungkin juga, tapi pembimbingnya sudah punya rencana
khusus untuk itu. Teresa akan mendapat latihan khusus untuk kaki.
Sampai-sampai dia nggak bisa nonton denganku malam ini ? soalnya
dia harus mulai belajar Nautilus secara teratur?"
Danielle terperanjat. "Pembimbing? Pembimbing apa?"
"Pembimbing kontes kecantikan. Belum tahu ya, ortunya kan
menyewa mantan Putri Pennsylvania, kalau nggak salah. Teresa akan
dilatih setiap hari olehnya sampai tiba hari H. Pendeknya, Teresa
sibuk sekali sekarang."
Pembimbing? Ternyata kontes ini serius juga. Menyewa
pembimbing pasti mahal. Teresa pasti bakal sukses dengan
pembimbing profesional.
Perlahan-lahan Danielle mulai dijalari rasa panik. Jantungnya
berdebar-debar, napasnya terasa sesak, tangannya gemetar. Gimana
kalau Teresa menang? Huh, mengerikan!
Dengan frustrasi Danielle memilih-milih baju renang yang ada
di situ. Tak ada satu pun yang cocok. Satu-satunya yang agak lumayan
warnanya biru laut, tetapi ia tak suka. Dengan mendengus sebal,
Danielle menaruhnya kembali ke rak. Buat apa membeli yang mahal
tetapi tidak cocok?
Tak peduli baju apa yang akan dibelinya. Apa pun yang ia
lakukan, sampai mati-matian, Teresa Woods dengan mudah bisa
menyogok juri demi memenangkan gelar Putri Merivale Mall!Empat
"Kimiamu gagal?" Lori Randall menyipitkan mata birunya dan
menatap Ann Larson, lalu ke Patsy Donovan yang sedang berpikir.
Sementara itu di belakang mereka berjubel murid-murid yang antri di
kafetaria untuk mengambil makan siang mereka dengan gemerincing
bunyi nampan dan piring yang beradu.
"Pats, mana bisa kau masuk sekolah perawat kalau gagal di
kimia?"
"Nggak tahu-lah," keluh Patsy sedih.
"Minta bantuan Irving dong," saran Ann. Irving Zalaznick,
siswa SMU Merivale High yang mirip profesor adalah teman lab-nya
Patsy. Beruntung bagi Patsy, karena tim mereka biasanya mendapat
nilai A.
Irving selalu menolong Patsy dalam belajar. Ia malahan pernah
jadi pacar bohongannya Patsy sewaktu membalas dendam pada
Heather Baron dan Teresa Woods yang ingin menjebak Patsy melalui
telepon untuk berkencan dengan cowok yang sebenarnya tak mau
pergi dengan dia. Irving menemukan suatu formula yang bisa merubah
rambut jadi hijau, dan Patsy diam-diam memasukkannya ke dalam
shampo Heather dan Teresa ? dengan hasil yang menakjubkan!Irving Zalaznick ? cowok yang diremehkan, pikir Patsy sambil
mengambil sandwich-nya. Orangnya pendek dan kemejanya selalu
kusut. Celana selalu kepanjangan atau kedodoran, atau keduanya.
Cowok-cowok lain umumnya menjauhinya, karena Irv memang tidak
atletis. Sedangkan cewek-cewek menganggap dia kutu buku karena
memakai kacamata kayak profesor.
"Pats? Kok ngelamun, sih ?" Lori tersenyum melihat mimik
temannya itu. "Kita lagi ngomongin soal kimia lho. Kau yang bilang
gagal kan?"
"Oh Lor, kau nggak ngerti! Ini bukan cuma soal kimia! Aku
juga lagi mikirin kontes Putri Merivale itu. Maksudku, bisa nggak sih
ngebayangin aku jalan di pentas bersama cewek-cewek lain seperti
sepupumu Danielle dan Teresa Woods? Lalu, gimana dengan soal
bakat? Belum lagi soal gaun malam, di mana aku bisa mendapatkan
yang bagus?"
"Tenang, Pats!" ujar Lori. "Satu demi satu, dong."
"Lory betul," sela Ann seraya mengambil jus apelnya. Ia
memilin rambut cokelatnya yang berkilau dengan jarinya dan mata
abu-abunya menatap sahabatnya yang dulu bertubuh gembrot itu.
"Rasanya aku tahu jawabannya, deh. Aku tahu persis apa yang harus
kau lakukan untuk bakatmu."
"Masa, ya? Apa tuh?" tanya Patsy antusias.
"Senam aerobik, bego! Lihat saja berat badanmu sudah turun
banyak, dan kau telah berhasil kan!" Berkat bimbingan Ann, Patsy
secara teratur mengikuti senam aerobik hingga bisa menurunkan berat
badannya.
"Benar, Pats!" Lori setuju. "Asal kau tekun saja.""Boleh juga, "gumam Patsy, "Mudah-mudahan saja berhasil."
"Kalau untuk gaunnya ? aku bisa merancang sebuah gaun
yang formal ?"
"Duh Lor, makasih banget!" pekik Patsy.
"Percaya kan. Dua masalah sudah beres, padahal kita baru saja
mulai," ujar Ann sambil tertawa.
"Kalau soal baju renang, kayaknya kamu perlu shopping, deh!"
"Ih, rasanya jadi merinding, deh," desah Patsy. "Setiap kali aku
mau beli baju renang, badanku langsung gatal-gatal. Sumpah!"
"Itu kan dulu, Pats, waktu kau masih gembrot," tukas Lori.
"Sekarang lain dong. Paling ukuranmu sekitar no. 6-7 deh."
"Asyik dong... tapi, ah.." ? Patsy merubah posisi duduknya ?
"tetap saja aku nggak laku. Masa setiap malam minggu aku di rumah
saja, nonton TV... Uuh!" Patsy mendesah dan menunduk untuk
menyembunyikan wajahnya dalam lipatan tangannya.
"Aneh... kok malah stress!" ujar Ann bingung. "Kau cantik,
langsing, dan nyaris sempurna!"
Patsy mendongakkan kepalanya dan memandang lurus ke
depan, lalu mendesah panjang. "Aku sudah langsing, seperti yang
selalu kuinginkan. Tapi nggak ada satu pun cowok yang melirikku."
Kepalanya menunduk lagi.
"Memang nggak enak juga kalau kesepian." Lori mengulurkan
tangannya dan menepuk-nepuk tangan Patsy dengan lembut. Patsy
mendongak dan berusaha tersenyum.
"Yaah, kesepian?begitulah aku. Memalukan juga ya, jadi
finalis tapi nggak pernah kencan! Nggak heran aku gagal kimia gara-gara mikirin soal ini. Aku selalu dihantui perasaan menjadi perawan
tua yang kesepian."
"Sudahlah, Pats," mohon Ann.
Tampang Patsy kelihatan jengkel. "Gimana coba perasaanmu,
kalau satu-satunya cowok yang mau menciummu cuma anjingmu?"
"Boleh aku kasih saran?" tanya Lori lembut.
"Boleh aja."
"Aku tahu betapa keras usahamu untuk jadi langsing, tapi
ternyata kau belum terbiasa dengan keadaan barumu. Kau masih
bersembunyi di balik semua itu."
Patsy menjadi penasaran. "Maksudmu?" ia bertanya.
"Aku tahu maksud Lori. Pakaianmu, misalnya, harus ada sedikit
perubahan," ujar Ann. "Jaket itu misalnya, cocok untuk ibumu, tapi
terlalu kedodoran untukmu!"
"Karena akan menyembunyikan bentuk tubuhmu yang bagus,
Pats," Lori menambahkan.
"Hmm." Wajah Patsy menerawang. Bajunya memang tak ada
yang berubah sejak berat badannya turun.
"Kau perlu pakaian baru, yang benar-benar pas untukmu,"
lanjut Ann. "Percaya deh, dengan ukuran jeans nomor 7, cowok-
cowok pasti akan mengejarmu."
"Dan kalau kau ingin membeli baju renang, carilah sekalian
baju-baju lain yang benar-benar pas untukmu."
"Aku kan punya tabungan," ujar Patsy. "Selama diet, uang
untuk membeli kue keju kusimpan dalam kotak di bawah kasur ?
lumayan untuk shopping....''"Hebat! Kamu ikut senam aerobik terus untuk tes bakat. Aku
yang membuatkan gaun. Irv membantu kimiamu. Kamu beli pakaian
baru biar keren. Nah, beres kan semua masalahmu!" Lori tersenyum
dan menggapai tangan Patsy.
"Berkat bantuan kalian," ujar Patsy. "Siapa yang mau menemani
aku shopping pulang kerja?"
"Aku! Aku!" pekik Lori. Ia memang gemar shopping. Tetapi
akhir-akhir ini ia sudah membatasinya, walaupun cuma window
shopping. Tetapi dengan pergi bersama Patsy, ia bisa melihat-lihat
kalau-kalau ada barang baru yang menarik, sekalian menolong Patsy.
"Tapi janji ya, Pats," ujar Ann. "Kalau kau mengaca, jangan jadi
gede kepala, ya."
*************
Danielle terus berpikir sepanjang perjalanan pulang. Dengan
mengendarai BMW putihnya, segalanya tampak jadi jauh lebih
mudah. Kalau Teresa bisa menyewa seorang pembimbing, kenapa ia
tidak.
Malam itu ketika ayahnya baru pulang kantor, Danielle telah
siap untuk menyambutnya. "Malam Yah!" sapanya akrab.
"Malam Dan," jawab ayahnya seraya melonggarkan dasi dan
merapikan rambutnya yang tebal hitam dengan tangan. "Ibumu sudah
pulang?"
"Belum. Biasa, lagi shopping. Tapi katanya Ibu akan pulang
sebelum makan malam."
"Huh, makan telat lagi deh," ujar ayahnya dengan rasa jengkel.
"Ayah mau ke atas dulu untuk berbaring.""Yah? Ada yang mau aku sampaikan." Danielle berdebar-debar.
"Ayah sudah tahu kalau aku masuk finalis kontes Putri Merivale
Mall?" serobotnya langsung.
"Belum, Non. Hebat juga kamu." Nada suaranya jelas terdengar
senang.
"Eh ? itu lho, Yah" ? ini bagian yang tersulit ? "Banyak
peserta lainnya menyewa seorang pembimbing. Boleh nggak aku
disewakan pembimbing kayak mereka?"
Wajah Mike Sharp langsung berubah. "Masa?" ujarnya dingin.
"Berapa biayanya untuk menyewa pembimbing macam itu, Danielle?"
Dengan tenggorokan serasa tercekat, Danielle memaksakan
dirinya untuk tersenyum. "Entahlah ? mungkin sekitar seribu dollar,
tapi pantas kan, soalnya mereka akan terus mendampingi kita."
"Danielle, kau tahu Ayah sudah keluar uang banyak untukmu,
les berkuda, sekolah bergengsi, klub fitness, mobil mewah. Belum lagi
uang sakumu. Jadi, pembimbing tidak masuk hitungan."
Danielle tahu, merubah pendirian ayahnya rasanya sesuatu yang
mustahil. Keringat dingin mulai terasa di dahinya. "Tapi Yah... aku
kan bisa berhenti les berkuda ? "
Rahang ayah Danielle tampak mengeras. "Tidak. Jangan tanya-
tanya lagi. Mengerti?"
"Mengerti, Yah," jawab Danielle lemah. Ayahnya tidak suka
berdebat, dan Danielle pun tidak mau mencoba-coba.
"Terima kasih." Ayahnya langsung menaiki tangga menuju ke
kamarnya dan terdengar bantingan pintu. Rupanya ayahnya sedang
kesal hari itu.Danielle terduduk lemas di sofa kulit di ruang tamu, dan
berpikir-pikir. Harus ada jalan untuk menyewa seorang pembimbing.
Ayahnya tak perlu tahu soal itu. Dia cuma harus mendapat uang dari
seseorang....
***************
Serena Sharp berdiri di depan meja dapur, melihat-lihat menu
mingguan Premier Caterers, waktu Danielle menemuinya sejam
kemudian.
"Oh, selamat siang, Bu!"
"Halo, sayang," jawab ibunya agak bingung. "Kita mau makan
daging sapi atau ikan buat menu besok?"
Ibu Danielle tak suka memasak, dan bahkan memilih menunya
kadang membuatnya pusing.
"Aku suka daging sapi."
"Minggu lalu kan sudah."
"Kalau gitu, ya ikan saja."
"Ikan amis, ah...."
"Gimana kalau steak?"
"Udang saja, ya...."
"Coba tebak, Bu. Ada kabar gembira, deh."
"Masa, ya? Kabar apa?" tanya ibunya sambil menulis menu.
"Aku masuk finalis kontes Putri Merivale Mall."
Bu Sharp langsung meletakkan pinsilnya, menatap Danielle.
Keterkejutan tampak di matanya yang indah. "Kamu bercanda, ya?"
"Aku serius! Ada kontes Putri Merivale Mall dan aku masuk
final. Cuma ada sepuluh orang yang berhasil jadi finalis dari seluruh
kota."Ekspresi wajah ibunya tidak berubah. "Buat apa sih, kau ikut-
ikut kontes macam itu? Kamu kira ? Ibu pikir, kontes-kontesan
seperti itu nggak pantas untuk kau ikuti."
Duh, kenapa kalau bicara dengan ibunya selalu menimbulkan
pertentangan? "Aku sudah terlanjur terpilih, Bu! Begitu juga Teresa!"
"Keluarga Woods memberinya izin? Aneh!"
"Bukan cuma mengizinkan saja, tapi juga mendukungnya
supaya menang. Sampai mereka menyewakan seorang pembimbing,
dan lain- lainnya!"
"Nggak masuk di akal. Ayahmu sudah pulang?"
" Ada di atas. Tapi Bu, menyewa pembimbing kan sesuatu yang
biasa, dan memungkinkan Teresa jadi Putri Merivale Mall!"
Sambil beranjak menuju ke tangga yang menuju ruang atas, Bu
Sharp melemparkan pandangan kesal pada putrinya. "Kalau kau
berharap agar ayahmu dan aku mau menyewakan seorang
pembimbing, maka jawabannya adalah tidak. Dan kalau Ibu jadi


Merivale Mall 04 Senyum Abadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kamu, maka Ibu akan langsung mengundurkan diri dari pemilihan
itu."
"Tak mungkin!" pekik Danielle. "Pasti aku akan dibilang
pengecut!"
"Masa bodoh orang mau bilang apa. Pokoknya, kami tidak akan
menyewakan pembimbing. Ibu tak mau mendengar apa-apa lagi
tentang pemilihan itu. Oh iya, makanan ada di kulkas."
Terima kasih banyak, Bu! Segitu sulitnya meminta dukungan.
Teresa sudah pasti akan menang dan melecehkan Danielle untuk
seterusnya ? si angkuh itu.Danielle berusaha menahan tangisnya, namun sebutir air
matanya menetes juga di pipi. "Kenapa jadi begini?" pekiknya keras,
seakan-akan Teresa ada di situ. "Kenapa kita tidak berteman saja,
seperti dulu?"Lima
Waktu Patsy Donovan memasuki lingkungan Merivale High
bercelana jeans nomor tujuh dan sedikit sapuan maskara di bulu
matanya yang cokelat kemerahan dan lentik itu, hasilnya sungguh luar
biasa!
Di kelas, Bill Evans yang kakinya pincang karena terkilir,
langsung berdiri untuk membiarkan Patsy lewat menuju tempat
duduknya. Terkilirnya Bill jadi berita hangat di Merivale High.
Soalnya dia pemain belakang tim Merivale Viking dan salah seorang
cowok paling populer di sekolah.
"Pats, wow, eh ? maksudku hai!" sapanya tergagap-gagap
sambil berusaha berdiri tegak. Ia bersandar pada kursi di depannya
dengan tangannya yang kokoh.
"Oh, hai," jawab Patsy kaget. Meski mereka sudah saling
mengenal selama tiga tahun, tetapi baru kali Bill menegurnya.
Biasanya cowok itu cuma mengangguk, tetapi itu pun jarang.
Tetapi sekarang cowok itu berdiri di depannya serta
menatapnya, seakan-akan belum pernah melihat gadis itu sebelumnya.
Patsy jadi salah tingkah dan berpikir keras, apa yang sebaiknya harus
dikatakannya. Penampilan Bill memang keren. Rambutnya yang
pirang dipotong pendek dan rapi, kulitnya kecokelatan seakan-akanterbakar matahari. Selain bintang football, dia juga seorang aktor.
Biasanya dia ikut membintangi sandiwara di musim semi.
Patsy memindahkan buku-buku ke tangannya yang lain sambil
melirik Bill dengan ekor matanya. Rasanya aneh, ditegur seorang
cowok yang sejak dulu selalu tak acuh padanya. Patsy menunduk
malu-malu, lalu tersenyum kecil. "Maaf Bill. Numpang lewat, ya?"
"Oh, tentu!" Bill berlagak seperti seorang pengawal. "Selamat
ya Pats, kau berhasil jadi finalis." Bil cepat melihat-lihat ke
sekelilingnya, lalu katanya berbisik, "Besok aku sudah bebas dari ini,"
sambil menunjuk perbannya.
"Oh?" Patsy bingung harus bicara apa. Tetapi rupanya Bill
belum selesai berbicara.
"Nonton yuk, Rabu malam," ujarnya dengan enteng, seakan-
akan mereka sering pergi kencan.
Bill Evans mengajaknya kencan! Patsy gelagapan. "Uh ?
boleh! Tapi nanti kulihat dulu jadwal kerjaku, ya?"
Sebenarnya Patsy tidak ingin pekerjaannya menghalangi
kesempatan langka seperti ini, tetapi bagaimanapun juga ia harus siap
untuk menjaga segala kemungkinan.
"Aku tahu kau sibuk dengan soal kontes itu, tapi tolong kasih
kabar, ya?" Bill duduk, melemparkan senyumnya dan mengedipkan
mata, lalu membuka-buka buku catatannya.
Bel masuk berbunyi. Patsy bergegas menuju ke ruangan kelas
untuk mengikuti pelajaran bahasa Spanyol. Ann dan Lori ada di
gedung seberang, dan ia baru dapat bertemu dengan mereka pada jam
makan siang nanti. Tunggu saja bagaimana reaksi mereka ? Bill
Evans mengajaknya kencan!Di tengah jalan, sekelompok murid menyapanya, dan sebagian
lagi bersikap cuek seperti biasanya. Ngobrol dengan Bill membuatnya
serasa di awang-awang. Rasanya sungguh hebat, tapi agak memalukan
juga mengingat bagaimana ia bicara tergagap-gagap. Tetapi untung
juga ia merasa tertolong karena Bill akhirnya mengajak kencan.
"Mana Pak Rodriguez?" tanya Patsy pada sekelompok anak
yang berdiri di depan kelas.
Amanda George menjawab, "Di ruangan audiovisual. Hari ini
acara kita nonton film, tapi kayaknya proyektornya sedang rusak."
Htnmm. Patsy duduk, tetapi dia bukannya mengambil buku
pelajaran bahasa Spanyolnya, tetapi malahan mengambil buku
Pelajaran Kimianya. Lumayan ada waktu beberapa menit untuk
mencek tugas lab-nya. Dia harus bisa memanfaatkan setiap menit
yang ada.
Masalahnya, mana bisa ia berpikir tentang ion dan hidrogen,
sementara pikirannya melayang-layang dan hatinya berbunga-bunga?
Ia langsing, cantik, dan Bill Evans naksir!
Bill tampaknya juga sangat tertarik padanya ? dan kayaknya
dia sudah lama memendam rasa. Meski ia tak pernah
mengungkapkannya ? huh, laki-laki memang misterius.
"Psst! Pats, pinjam bolpen dong ? "
Patsy menoleh ke belakang dan melihat Steve Kirkwood
tersenyum padanya. Kalau diperhatikan, dia sebenarnya lebih tampan
dari Bill Evans. Tingginya sekitar enam kaki, matanya biru menawan
? kontras dengan rambut hitam ikalnya.
"Bolpen?" Patsy merogoh tasnya. "Wah, nggak ada lagi tuh.""Masa, sih." Sementara mengatakannya, Steve bangkit dari
tempat duduknya dan pindah ke kursi yang lebih dekat ke Patsy.
"Hebat, kau bisa masuk final Putri Merivale Mall."
Patsy mengangguk malu.
"Apa yang kau baca?" Steve membungkuk ke arah Patsy.
Sekilas tercium bau after-shave-nya. Patsy semula tak tahu bau apa
itu, tetapi ia menyukai baunya.
"Ini! Oh, uh ? kimia," jawabnya gugup dan menyembunyikan
wajahnya ke buku. Kok jadi begini sih?
Patsy menunggu sampai Steve pindah kembali ke kursinya,
tetapi Steve malah santai. Dengan gugup, Patsy mencoba untuk terus
membaca.
"Ion electromagnetik... partikel subatomic... quasars...
quarks...hidrogen...nitrogen..." mulutnya berkomat- kamit.
Steve bersandar lebih dekat. "Oh betul, ion elektromagnetik ?"
Ngomong apa sih, dia? Patsy mendongak dan tersenyum.
"Kenapa?" tanyanya. Oh, susah amat sih ngomong sama cowok.
"Hebat," komentar Steve. "Tak kusangka, kau sepintar itu. Tapi
orang jenius kan perlu istirahat juga. Mau nggak, kapan-kapan pergi
denganku?"
Apa nggak salah dengar, nih? Steve Kirkwood, yang ketua
OSIS, bintang balap dan cowok idola, juga mengajaknya kencan!
Siapa bilang petir nggak bisa nyambar dua kali di tempat yang sama?
***************
Saat makan siang, Patsy berusaha bersikap setenang mungkin.
Ia membuka sandwich tuna-nya dengan perlahan-lahan, namun
tangannya gemetar, seperti hatinya yang melonjak-lonjak saat itu."Kelihatannya kalian berdua gembira amat, sih?" bisiknya pada
Lori dan Ann yang berseri-seri sejak tadi.
"Ah... jangan pura-pura, Pats! Apa bukan mukjizat namanya,
kalau dua cowok sekaligus ngajak kencan dalam satu hari!" canda
Lori.
"Mungkin gara-gara kontes Putri Merivale Mall itu. Sepertinya
mereka jadi berubah pikiran setelah melihat fotoku di koran. Aku
harus gimana dong?"
"Ikutin saja," tawa Ann berderai. "Mumpung dewi
keberuntungan ada di pihakmu."
"Betul, nikmati saja!" tambah Lori.
"Nikmati? Yang mana dulu?"
"Ya ampuuun..." ujar Ann tertawa. "Sudah dapat, sekarang
malahan jadi bingung!"
"Iya nih. Seharusnya bersyukur dong," Lori menambahkan.
"Pokoknya, hari ini kan lebih baik dari hari kemarin?"
"Tapi aku harus gimana, dong?" keluh Patsy. "Terakhir kali aku
kencan sewaktu aku masih di SMP. Itu pun cuma main bowling
dengan Chuckie Wrotzer. Huh, capek deh."
Ketiga cewek itu cekikikan. Suasana hati Patsy sedang cerah,
meski dia berusaha untuk tetap bersikap tenang.
"Aku juga bingung, mau pilih Bill Evans atau Steve Kirkwood?
Masa aku mesti kencan dengan dua-duanya, sih?" Patsy menutupi
wajahnya di balik tangan, lalu lanjutnya, "Eh..., bisa nggak ya?"
"Oh, sekali-sekali bolehlah ? " seloroh Lori menggoda."Lor, aku pemuja mereka, lho. Dua-duanya tampan, populer ?
maksudku, rasanya kayak mimpi saja. Kayaknya aku nggak percaya
ini bisa terjadi padaku ?"
"Mimpimu sekarang menjadi kenyataan," ujar Lori.
Patsy menghela napas. "Benar juga, Lor. Asal aku nggak lupa
diri saja. Bagus juga aku gagal dalam kimia, dan harus ikut kontes.
Ternyata banyak hal lain yang harus dipikirkan selain hati yang
berbunga-bunga ini!"
***********
Di lab kimia, Irving Zalaznick membungkuk sambil mencoret-
coret buku catatannya, dan setiap beberapa menit sekali mengecek
perapian Bunsen.
Patsy tidak begitu memperhatikan percobaan di gelas
silindernya yang terbuat dari logam. Pikirannya melayang-layang
dengan kecepatan tinggi, persis seperti cairan berwarna pelangi di
gelas silindernya. Bill Evans, Steve Kirkwood, Putri Merivale Mall ?
itu lagi dan itu lagi yang ada dalam pikirannya.
"Hei, Pats! Apa yang kau lakukan?" pekik Irving ketika melihat
cairan di gelas silindernya bergolak. "Jangan dikocok!"
Patsy mengambil gelas silinder itu dan mengangkatnya dari api.
"Maaf Irv. Aku cuma ?"
"Tak apa-apa. Mungkin kau terlalu banyak pikiran, urusan
kontes-lah dan lain-lain."
Semua orang melihat penampilan baru Patsy dan dietnya yang
berhasil. Itu sudah pasti. "Pasti enak ya, jadi Putri Populer. Jadi jangan
cemberut, dong.""Aneh juga rasanya tiba-tiba menjadi pusat perhatian. Kadang
aku bertanya apa aku pantas mendapatkannya. Lagi pula, aku nggak
yakin apakah aku menyukainya."
Irving mengangguk-angguk penuh pengertian. "Kalau begitu,
salah dong dugaanku ?" Ia tersenyum masam, membetulkan letak
kaca matanya, lalu membuka kembali buku catatannya. "Ayo, kita
mulai kerja lagi. Jangan sampai kimiamu gagal lagi gara-gara masalah
itu."
Pada semester terakhir, Irving dan Patsy ? terutama Irving
selalu mendapat nilai A. Pandangan hidup Patsy berubah cepat hanya
dalam waktu empat puluh lima menit. Tapi rasanya masih ada sesuatu
yang hilang. Ia tidak merasa sedih, tidak juga bahagia.
Jadi apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah ia kini langsing,
populer, ditawari kencan dua cowok tampan sekaligus ? yang
semuanya mampu melupakan kimianya yang gagal. Tetapi kenapa ia
masih merasa hampa?Enam
Begitu sekolah usai, Danielle bergegas menuju ke tempat
parkir, masuk ke dalam BMW-nya, dan segera ngebut ke mall. Kontes
Putri Merivale hampir lepas dari tangannya, dan karena itu ia harus
melakukan gerak cepat.
Yang bermula sebagai pertengkaran kecil dengan sahabatnya
Teresa telah 'menggiringnya' ke dalam Perang Dunia Ketiga, dan
Danielle harus yakin bahwa dialah yang memiliki senjata yang paling
ampuh.
Pertama-tama, ia harus membeli baju renang. Danielle bergegas
ke Paradise Isle. Sayang, koleksi baju-baju renang yang terbaru belum
keluar. Mau tak mau ia harus memilih dari apa yang ada, atau lebih
gawat lagi, sisa-sisa baju renang yang ada.
Danielle sebenarnya tak perlu memakai yang terbaru. Dengan
kakinya yang sempurna, potongan tubuh oke, dan rambut merahnya
yang keren ?rasanya sulit bagi para cewek Merivale lainnya untuk
bertanding dan mengalahkan dia. Apalagi pada kontes baju renang, ia
yakin akan mampu menjatuhkan semua lawannya ke dalam air!
Setengah jam kemudian, Danielle menemukan baju renang
putih dengan pinggiran hitam yang hampir sesuai dengan ukurantubuhnya. Dikembalikannya ke lima belas baju renang lainnya kepada
sang pramuniaga, lalu menuju ke Facades.
Sekarang mencari gaun malam. Agak sulit juga menemukan
gaun yang tepat. Soalnya, bukan cuma asal gaun saja. Sayangnya,
Facades cuma punya persediaan terbatas, meskipun desainnya unik
dan tidak pasaran.
Saat Danielle melangkah ke dalam butik favoritnya, ia
merasakan suatu kemenangan. Di sana ia melihat gaun resmi terusan
yang sangat indah berpotongan strapless warna ungu dengan
selendang yang halus ? benar-benar sempurna!
Danielle melihat gaun itu berukuran tujuh dan mengepasnya
pada tubuhnya. Warna cerah gaun itu memberi kesan yang terang
pada rambutnya, seolah-olah ia mengenakan mahkota yang menyala.
Para juri pasti akan terkagum-kagum. Sekali dapat langsung pas!
Tiba-tiba ia mendengar suara yang tak asing lagi di
belakangnya. "Uh, sempit banget! Lenganku sampai nggak bisa
bergerak. Gimana aku bisa menerima bunga mawar, kalau begini!"
Suara itu sangat dikenalnya ? siapa lagi kalau bukan Teresa
Woods!
Dengan rasa panik Danielle mencari tempat sembunyi, menaruh
gaun itu di tempatnya semula, dan mengintip dari balik rak berisi jas-
jas, tak jauh dari situ dengan menekuk badan.
"Aku mau mencoba gaun yang ungu! Benar-benar bagus dan
cocok dengan warna rambutku," desak Teresa.
Betapa kesalnya Danielle pada dirinya! Coba dari tadi aku
kemari, sebelum membeli baju renang! Sekarang Teresa merampas
gaun yang diincarnya, dan Danielle tinggal mendapat sisanya!Dari balik jas-jas Danielle melihat seorang wanita yang mirip
bintang film sedang berbicara pada Teresa. Ia mengenakan setelan
beige, yang keren, dan sisa-sisa kecantikannya masih kentara dengan
jelas. Danielle menduga dia adalah pembimbing Teresa.
"Sweetie, dengar ya," ujarnya. "Waktu aku terpilih jadi Putri
Pennsylvania, aku mengenakan gaun pink pucat dengan lengan
gembung. Para juri cenderung menyukai warna pink karena
mengesankan kelembutan. Tetapi kau harus berhati-hati. Tahun lalu
pada pemilihan Putri Sejagat, Putri USA memakai gaun yang cerah.
Warnanya persis seperti gaun warna ungu itu, lho. Eh, nggak tahunya
dia cuma mendapat nomor empat, padahal semua orang menyangka
dialah yang bakal menang. Waktu kutanyakan juri setelah itu, mereka
mengatakan sayang gaun itu warnanya terlalu mengkilat, satu
kesalahan yang membuatnya kehilangan mahkota...."
Teresa menyimaknya serius. "Oh ?" gumamnya.
"Jangan khawatir, Teresa. Itu tak bakal terjadi padamu, kok!" Ia
merangkul Teresa.
"Barbi, untung ada kamu," ujar Teresa bersyukur. "Kalau tidak,
pasti aku sudah kalah!"
Seperti aku! batin Danielle, sambil menjulurkan kepala dari
tempat persembunyinnya.
"Bisa saya bantu?" sapa seorang pramuniaga, mengagetkan
Danielle setengah mati.
"O..., tidak," sahutnya serak, "aku cuma melihat-lihat saja,
kok..." Cepat pergi dari sini! batin Danielle."Kalau Anda perlu bantuan...." Melihat Danielle dengan
tampang bingung, pramuniaga itu pun membalik, dan Danielle lalu
kembali ke tempat persembunyiannya.
"Nah, cuma ada dua yang terbaik," ujar pembimbingnya,
mengambil gaun pink pucat dan warna 'lavender.' "Yang lain kurang
bagus. Pilih saja salah satu dari yang ini."
Teresa mendesah. "Untung ada kamu!"
"Memang itu tugasku!" sahut pembimbingnya, Barbi, dengan


Merivale Mall 04 Senyum Abadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersahabat.
Teresa dan Barbi masuk ke kamar pas, dan Danielle keluar
untuk melihat gaun-gaun yang tak dipilih. Bagus kok! Tetapi si
pembimbing bilang kurang cocok ? Ternyata selera Danielle tidak
serupa. Jadi, selera siapa yang harus diturutinya?"
"Oh, ya. Yang ini saja!" seru Barbi dengan suara yakin.
Danielle bergegas kembali ke tempat persembunyiannya dan
menjulurkan kepalanya untuk melihat Teresa. Apa yang dilihatnya
membuatnya pusing tujuh keliling! Teresa Woods tampil begitu
cantiknya dengan gaun satinnya berwarna pink!
"Sempurna," komentar Barbi, "kelihatannya cerah, modis,
anggun dan feminin. Nggak salah lagi, pasti inilah yang akan dipilih
para juri."
Danielle menatap Teresa dengan bimbang. Dia baru menyewa
seorang pembimbing selama satu atau dua hari, tetapi penampilannya
sudah jauh lebih cantik ketimbang sebelumnya! Belum apa-apa sudah
menakjubkan, apa lagi waktu kontes nanti!
Mata cokelat Teresa yang besar berbinar-binar senang di depan
cermin. "Astaga!" serunya tanpa berkedip. "Bagus sekali!""Kau tampak begitu sempurna!" seru Barbi. "Nggak salah lagi,
kau pasti akan jadi Putri Marivale Mall yang pertama. Itu baru
awalnya saja. Dengan kecantikanmu dan bakatmu sebagai pianis, kau
punya potensi ikut dalam kontes Putri Amerika, bahkan Putri Sejagat.
Percaya deh. Dua gadis yang pernah kubimbing berhasil jadi juara,
dan kau juga pasti bisa." Pembimbingnya begitu yakin dan percaya
diri, sehingga membuat Danielle ingin menjerit.
"Gaun pink itu memang bagus. Bagaimana kalau kucoba yang
lavender itu, sekedar buat perbandingan," ujar Teresa manja tanpa
memalingkan wajahnya dari bayangannya sendiri di cermin.
"Hmm ? boleh saja. Sebagai pemenang nanti, kau harus punya
beberapa gaun malam lagi buat cadangan. Lagi pula, buat apa menyia-
nyiakan gaun sebagus itu dan membiarkannya diambil oleh
sainganmu? Ayo, coba sajalah. Setelah itu kita tinggal melatih cara
jalan dan gaya bicara."
Teresa mendesah senang, lalu berjalan kembali ke kamar pas
dengan mengangkat bagian bawah gaunnya.
Sambil mengawasi mereka pergi, Danielle membenamkan
dirinya dalam tumpukan jas-jas, giginya gemeretak karena frustasi.
Jika Teresa tampil dengan gaunnya yang anggun, modis, dan feminin
itu, para juri pasti bertekuk lutut dan ia pasti akan berhasil
menggondol kemenangan.
Ah... maju terus! pikir Danielle. Dalam kompetisi gaun malam,
yang dinilai kan gaunnya, bukan si pemakainya yang menang atau
kalah.
Danielle menyambar sebuah jas ungu yang longgar dari rak
untuk menghindari kecurigaan, lalu menyelinap ke kamar pas. Ia takboleh menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Ia tak punya
pembimbing, jadi ia harus bisa membimbing dirinya sendiri ? dan
cepat!
Di sebelah kamar pasnya, terdengar senandung Teresa. Gaun
pinknya disangkutkannya pada papan pemisah. Danielle
menjangkaunya dan menariknya secepat kilat. Dengan cekatan segera
disembunyikannya gaun itu di balik jas tadi. Dengan berdebar-debar
senang, cepat-cepat ia ke kasir. Waktunya cuma sedikit untuk ke luar
dari pertokoan.
"Oh halo, Nona Sharp. Mau bayar tunai atau kredit?" Bagi
Danielle suara itu terdengar seperti petir.
"Cepat bungkus ini," gumamnya pada kasir.
"Harganya dua ratus empat puluh tujuh dollar," ujar kasir.
"Bayar tunai atau kredit?"
Danielle menelan ludah, lalu katanya tergagap, "kredit."
Kemenangan harus ditebus dengan harga mahal, tetapi kekalahan
tidak dapat ditebus dengan apa pun juga.
"Cepat ya," desaknya tak sabar. "Aku mau mengepas gaun lain
di lantai atas."
Sedikit bohong mungkin bisa mempercepat kerja si kasir.
Jangan sampai dia tertangkap basah oleh Teresa!
Setelah menerima bungkusan, Danielle langsung mengambil
langkah seribu. Usahanya berhasil!
"Terima kasih banyak, Teresa sayang," katanya dalam hati
seraya menuruni eskalator, dua anak tangga sekaligus. Gaun pink satin
itu pasti pas untuknya. Soalnya ukuran dia dan Teresa kan samaSepanjang perjalanan pulang, Danielle tersenyum geli
membayangkan betapa bingungnya Teresa mencari gaunnya yang
lenyap; dan membayangkan wajahnya melihat Danielle mengenakan
gaun itu di panggung. Biar dia rasakan ? betapa sakit hatinya Teresa
? yang begitu tega mengorbankan persahabatan mereka gara-gara
kontes kecantikan yang kampungan itu!
Sampai di kamarnya, Danielle membuka bungkusan itu dan
memegangnya sambil memantas-mantasnya di depan cermin. Tetapi
waktu Danielle mencobanya, rasa cemas melanda dirinya. Roknya
terasa longgar! Ia langsung melihat label harganya, ternyata benar ?
Nomor empat belas!
Sesaat kemudian ? seperti sudah diatur ? telepon berdering.
Danielle yang merasa kesal seakan-akan dapat menebaknya ? dan
benar saja.
"Oh, hai Dan," celoteh Teresa di ujung telepon sana. "Aku
cuma ingin tahu, apa kau suka dengan gaun malam itu. Eh... pas
nggak? Pasti serasi deh, dipadu dengan jas ungu yang kau tenteng
itu...."
Sebelum Danielle sempat menjawab sepatah kata pun, telepon
telah ditutup.
Kurang ajar! Ternyata dia sudah tahu Danielle ada di toko itu
dan menaruh gaun yang kedodoran itu sebagai umpan! Dasar licik!
Dengan amarah yang bergejolak, Danielle menyambar gaun itu.
Rasanya ia ingin mencabik-cabiknya... tetapi barang itu harus
dikembalikan untuk mendapat uangnya kembali.
"Nenek sihir sialan!" makinya. "Mau main curang, ya? Oke,
kalau begitu caranya...."Tujuh
Patsy sedang menyemprotkan parfum ke badannya saat bel
berbunyi. Ibunya telah menghadiahkannya sebotol 'Spring Awakening'
sebagai hadiah ulang tahunnya, dan ia sedang menunggu saat yang
tepat untuk memakainya. Tetapi ia sama sekali tak menduga bahwa ia
akan memakainya saat kencan dengan Bill Evans.
"Bu, biar aku yang buka!" teriaknya, sambil berlari menuruni
tangga untuk membuka pintu depan.
"Hai, Pats," sapa Bill. Dengan rambut pirang, mata biru yang
memikat, dan sweater biru lautnya, tampaknya persis seperti foto
model yang baru keluar dari halaman majalah.
Tetapi lesung pipit di dagunya serta caranya menyapa yang
membuat Patsy mabuk kepayang. "Bill?uh, kau ya."
Ayolah Pats, masa cuma sebegitu saja! kata suara hatinya.
"Sudah siap?" gumam Bill sambil melangkah masuk. Apakah
itu cuma khayalannya, atau apakah cowok itu yang melihat
bayangannya sendiri di cermin yang ada di ruangan itu?
Patsy jadi ikut-ikutan melihat sekilas bayangannya di cermin.
Bayangan gadis yang memantul di kaca benar-benar oke. Patsy jadi
agak bingung, seakan-akan Patsy yang dulu lenyap entah ke mana."Rasanya begitu," sahutnya sambil berpaling kepada Bill,
berharap agar jalannya tidak limbung dengan sepatu hak tingginya.
"Bu, aku berangkat," teriaknya ke arah dapur.
"Sebentar, sayang." Ny. Donovan beranjak ke ruang tamu
sambil menenteng serbet. Badannya padat berisi dan matanya yang
kecokelatan mirip Patsy. Tampaknya ibunya terkesan melihat Bill.
"Oh, halo," ujarnya spontan, sambil menyembunyikan lapnya di
belakangnya. "Temannya Patsy, ya...."
"Bu, ini Bill Evans," ujar Patsy.
"O..., halo Bill." Ny Donovan tersenyum sangat cerah.
"Gimana Pats, kita berangkat sekarang? Senang ketemu Anda,
Bu Donovan," balas Bill sopan.
"Selamat bersenang-senang deh," ujar ibunya.
"Jangan khawatir, Bu, kami tak lama kok." Kemudian mereka
keluar, Bill membukakan pintu mobil untuknya.
Duh... sungguh menegangkan! Wajah ibunya yang ceria, sikap
Bill yang sangat sopan, caranya bertanya "Sudah siap?" Awal yang
benar-benar menyenangkan. Semoga semuanya berjalan lancar.
Kayaknya Bill sudah pengalaman. Tahun lalu ia bergaul akrab
dengan seorang cheerleader, tetapi belakangan ini Bill terlihat aktif di
lapangan. Anggap saja aku seorang cheerleader, batin Patsy.
Dengan gugup ia duduk di Mustangnya Bill, dan sesaat ia
merasa khawatir kalau ia memakai parfum terlalu banyak.
"Nah, mau nonton film apa nih?" ia bertanya dengan suara
gugup. "Kudengar ada banyak film bagus."
"Gimana kalau Hotel Warriors?""Oh? Hotel Warriors?" Patsy mengangguk-angguk setuju.
"Rasanya aku belum pernah dengar. Tentang apa sih?"
"Film kungfu. Pokoknya bagus deh." Sepintas ia berkaca di
kaca spion, dan mengelus rambutnya yang pirang. "Kamu pasti suka,
deh."
"Oh." Patsy berusaha menyembunyikan kekecewaannya.
Sambil menyandarkan kepalanya sementara Bill berkonsentrasi
menyetir, Patsy menggigit bibirnya dan bertanya dalam hati apakah
semua lelaki sudah merencanakan film apa yang akan mereka tonton
kalau kencan. Ia mengira, mereka akan membicarakannya lebih dulu.
Memang, Patsy belum berpengalaman dalam hal ini.
"Aku sudah nonton Cruise Ship Warriors. Bagus deh," ujar Bill.
"Masa?" sahut Patsy. "Sayang aku belum nonton."
"Benar-benar bagus. Ceritanya, dua orang cowok berlayar ke
Kepulauan Bahama untuk mengikuti kejuaraan karate. Eh, tahu-tahu
kapalnya dibajak para teroris. Huh, seru deh. Tahu nggak, aku kan
sudah ban cokelat ?"
"Masa?" Patsy teringat pada sebuah artikel di majalah remaja,
yang mengatakan bahwa seorang cewek harus memperhatikan
omongan si cowok untuk membuatnya 'terbuai.' Tetapi tampaknya Bill
tak perlu dibuai lagi. Dia lebih suka berbicara soal dirinya saja.
"Serius! Tahun depan aku bakalan dapat ban hitam. Rasanya
sudah waktunya aku ikut pertandingan. Banyak orang bilang
kemajuanku sangat cepat. Aku memang kuat dan gesit."
"Memang."
"Tentu dong, tapi kayaknya aku harus meninggalkan karate dan
football, soalnya aku ingin mendalami akting. Wajahku,penampilanku benar-benar alami. Sayang kan, kalau wajah begini
nggak dimanfaatkan, ngerti nggak? Lagi pula akting kan gampang.
Tinggal naik panggung saja. Mirip karate-lah. Tapi di akting,
penampilan yang diutamakan."
"Masa?" Ngobrol dengan Bill ternyata jauh lebih mudah dari
yang dibayangkan Patsy. Cukup mengangguk-angguk saja kayak
burung pelatuk, sambil mendengarkan ocehan Bill yang tak kunjung
habis.
Di samping itu, Patsy memperhatikan bahwa Bill juga terampil
bicara dan menyetir, sambil mengaca di kaca spion pada saat yang
sama.
"Kukira," lanjutnya sambil mencari tempat parkir, "tidak semua
orang punya kelebihan. Bukannya nyombong sih, tapi memang
kenyataannya begitu. Jarang lho, yang bisa kayak aku. Pintar, atletis,
tampang oke... Nah, apa lagi? Aku memang beruntung sekali. Bukan
karena nasib, lho ? Nah, kita sudah sampai."
Bill memarkir mobil dan mematikan mesinnya. Mereka keluar
dari mobil, lalu menuju Teater Sixplex. Di lobby, Patsy
memperhatikan bagaimana Bill sempat berkaca di cermin yang
terpampang di situ. Apa dia khawatir kalau penampilannya kurang
meyakinkan? Kalau memang begitu, dia cuma buang-buang waktu
saja. Penampilan Bill benar-benar keren kok.
Jangan ngomel, batinnya. Setiap orang yang setampan dia pasti
senang melihat dirinya!
Ketika Hotel Warriors bubar, Patsy semakin yakin.. Bill Evans
adalah seorang egomaniak. Kayaknya dia ingin terus menikmati
tampangnya di kaca."Jalan ceritanya sih oke. Sayang pemeran utamanya kurang
menjiwai...."
Dengan sopan Patsy menutup mulutnya saat menguap. Malam
itu berlalu, tanpa Bill memberi perhatian sedikit pun pada Patsy. Dia
bahkan lupa menanyakan komentar Patsy tentang film itu.
****************
"Wow, gimana?" tanya Lori dengan mata birunya berbinar-
binar seraya menggandeng Patsy di lorong sekolah keesokan harinya.
"Asyik nggak?"
Patsy bungkam, tetapi matanya yang menatap ke atas dan
gelengan kepalanya telah menjelaskan segalanya. "Tahu nggak, apa
yang kupikirkan semalaman? Kenapa orang setampan Bill bisa begitu
membosankan, ya?"
"Menyebalkan, huh?" gumam Lori dengan rasa simpati.
"Yang lebih celaka lagi, McFarlene bilang ada ulangan kimia
minggu depan! Duh Lor, aku benar-benar gagal, deh. Nggak dapat
beasiswa, nggak masuk sekolah perawat, masa depan suram!"
"Tapi Pats, kau kan bisa belajar. Masih ada waktu satu minggu,
lho."
"Lupakan deh, Lor. Mana cukup seminggu untuk mengejar
kimiaku yang tertinggal. Mungkin aku malah perlu waktu setahun."
"Masa sih ? kamu kan nggak ketinggalan segitu jauhnya."
"Serius! Waktu kuliahnya Pak McFarlene aku seperti
mendengarkan makhluk asing bicara. Dia terus ngoceh soal
oxyclothene, polymorphotanes, dan lain-lainnya."
"Apa sih itu?"
"Ah, sudahlah!""Jangan begitu, Pats. Kalau kamu belajar dengan tekun, pasti
berhasil!" Lori merangkul bahu Patsy dengan akrab.
"Masa, ya?" ujar Patsy mendesah. "Semoga kau benar, Lor. Hei,
kau bilang pergi dengan Bill Evans adalah mimpi yang jadi
kenyataan?"
"Mmm?" Lori menggigit bibirnya dan mengernyit. "Sorry deh.
Dia memang tampan sih, tapi mungkin kau lebih cocok dengan Steve
Kirkwood."
"Hmm?Steve Kirkwood, betul juga. Hampir aku lupa padanya.
Eh, Lor! Dia imut-imut banget, bikin gemes, deh!"
"Kau juga imut-imut, Pats. Nggak sadar ya?"
"Iya sih. Nah, kasih tahu para juri Putri Merivale Mall, dong."
**************
Bunyi sepatu boot kulit abu-abunya Danielle bergema sewaktu
ia menuruni ruangan-ruangan Atwood Academy yang kosong. Kenapa
hidupku jadi amburadul begini? keluhnya dalam hati. Kontes
kecantikan tinggal seminggu lagi, dan ia betul-betul belum siap.
Teresa akan memenangkan kontes sialan itu, dan Danielle akan
tercampak.
"Hai, Danielle!" suara Wendy Carter yang melengking
membuyarkan lamunannya. "Lihat Teresa, nggak?"
Wendy ternyata tidak menyadari persaingan tajam antara dia
dan Teresa sebagai teman akhir-akhir ini. Tetapi nampaknya Wendy
memang terlalu cuek atau masa bodoh.
"Belum. Memangnya kenapa, sih?" jawab Danielle penasaran."Katanya dia mau memperlihatkan sketsa baju barunya?yang
akan dipakai untuk kontes gaun malam. Kamu mesti lihat deh, Dan.
Keren banget!"
"Masa, ya?"
"Bagus sekali. Bahannya satin, warnanya pink dan ada?"
Danielle ingin segera pergi dari situ. Mual rasanya
mendengarkan ocehan tentang gaun Teresa yang hebat. "Oh, di mana
sih kunci mobilku?" potongnya kebingungan.
"Omong-omong Dan, apa yang kau lakukan buat tes bakat?"


Merivale Mall 04 Senyum Abadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanya Wendy dengan cuek dan enteng, hingga Danielle ingin menjerit
rasanya.
Danielle mengernyitkan hidungnya dan tertawa kecil, "Oh,
rahasia dong." Rahasia apa? batinnya. "Sampai jumpa, Wen. Aku lagi
terburu-buru nih!"
Setelah melambai pada Wendy, Danielle segera keluar dari aula
dan menuju ke pintu belakang. Banyak yang harus dipikirkan dan
dikerjakannya. Bukankah dia seorang gadis yang hebat? Dia harus
punya semacam bakat ? selain shopping melulu! Tetapi apa?
Waktu kelas tiga ia pernah belajar beberapa tarian rakyat, tetapi
tarian balet Swan Lake-nya Ashley Shepard pasti akan mengalahkan
tarian topi Meksikonya.
Musik instrumental? Paling-paling ia cuma bisa memainkan
stereonya saja. Sambil menghela napas, Danielle menuju pintu keluar
? waktu tiba-tiba terdengar alunan musik lembut dari ruang musik
yang membuat langkahnya terhenti.
Seseorang sedang memainkan musik klasik lembut. Dentingan
pianonya merasuk hingga ke relung-relung hati Danielle. Setiapketukan, setiap nada dari musik yang indah itu serasa mewakili apa
yang dirasakannya saat itu.
Danielle terpana sambil mendengarkan, tak terasa mata
hijaunya yang indah berkaca-kaca. Semua ketegangan yang
dirasakannya seakan-akan luruh saat itu juga. Sambil meresapi dalam-
dalam musik itu, Danielle merasakan ketenangan yang luar biasa....
Musik berhenti, dan Teresa Woods menyembulkan kepalanya
dari balik pintu. Ternyata dentingan piano itu milik Teresa, si
brengsek!
"Ada apa, Dan?" suara Teresa sedingin es. "Menunggu piano,
ya?"
"Tidak. Cuma ingin tahu siapa yang berani merusak lagunya
Beethoven, Bach, atau siapa kek," ujarnya sambil mengamati mantan
sahabatnya yang cantik beranjak pergi.
Tetapi Teresa tak membiarkan Danielle pergi begitu saja. Di
ujung aula ia berbalik dan berteriak sambil menyeringai culas, "Itu
tadi kan Rachmaninoff. Omong-omong Danielle, kamu punya bakat
apa?"Delapan
Danielle pulang dengan hati yang panas. Tap dancing! Sewaktu
di SMP, dia pernah ikut latihan tarian itu secara rutin. Danielle tampak
begitu menarik dengan kostumnya dulu! Kok sampai lupa!
Ia menghambur ke kamarnya, dan menggeledah lemarinya.
Masih ada, tas kanvas tua berisi pakaian tarinya ada di bagian
belakang lemari!
Sambil membuka ritsleting tas itu, Danielle tersenyum lega.
Sepatu tap hitamnya masih bagus, malah kelihatan masih baru.
Danielle mencoba memakainya. Sayang, sudah terlalu kecil dua
nomor! Ia mengambil gunting dan membuat beberapa buah lubang
pada sepatu itu. Padahal, ia bisa membeli yang baru di mall.
Setelah selesai, Danielle berlari mencari kaset rekamannya yang
berisi lagu 'Tea for Two.' Semua pelajaran yang dulu diikutinya setiap
Sabtu pagi bersama Lori kini diulanginya dengan penuh semangat!
Alunan musik itu sudah tak asing lagi baginya, tetapi waktu
terdengar bunyi hentakan-hentakan sepatu rasanya gerakannya terlalu
cepat. Untung ia teringat nasihat guru tarinya yang mengajarkan
bagaimana cara mengatasi masalah itu. Yang harus dilakukannya
adalah tetap berdiri di situ dan terus tersenyum ? sebab senyum dapat
menutupi kesalahan yang mungkin terjadi.Sambil tersenyum lebar di depan cermin, ia mengulangi
kembali rekaman itu dan dari awal. Nah, gimana mulainya? Maju,
geser, maju, putar, geser....
Dengan susah payah dan tersandung-sandung Danielle berusaha
keras mengikuti irama. Memang tidak semudah itu! Gimana bisa
tersenyum kalau ia hampir kehabisan napas.
Danielle roboh di tempat tidur, dengan napas tersengal-sengal.
Huh, ia menyerah untuk melakukan 'tap dancing'! ]adi, apa yang harus
ia lakukan? Kontes tinggal seminggu lagi!
Ia bangkit ? sebuah ide muncul yang berasal jauh dari masa
lalunya. Permainan tongkat! Waktu kecil, ia dan Lori suka main
lempar-lemparan tongkat di halaman belakang rumah Lori, seolah-
olah mereka adalah mayoret suatu drumband. Peristiwa itu terjadi
sebelum Danielle pindah ke Wood Hollow Hills. Seingatnya, tongkat
mayoretnya masih ada.
Tongkat itu tersimpan di laci bawah lemari pakaiannya, di
belakang piyama-piyama lama yang masih tersimpan dengan rapi.
Danielle memegang tongkat itu, dan memutar-mutarnya.
Giginya gemeretak. Tangannya masih lumayan lentur. Tongkat itu
seakan-akan menjadi 'hidup' di tangannya.
Sambil berputar-putar di depan cermin dengan senyum cerah
bagai seorang mayoret, semangat Danielle bangkit kembali seiring
putaran tongkatnya. Dengan iringan musik rock 'n' roll, ia pasti bisa
melakukan sesuatu yang sangat menarik dalam tes bakat.
Danielle hampir tak percaya bahwa ia masih begitu mahir
memainkannya setelah sekian tahun berlalu. Mengoper tongkat dari
satu tangan ke tangan lainnya, seolah-olah dirinya menyatu dengantongkat itu. Sudah terbayang, bagaimana reaksi Teresa saat dia terpilih
jadi Putri Merivale Mall!
KRAK! Lemparan yang terlalu keras membuat tongkat
menghantam cermin yang langsung pecah menjadi dua, sekaligus
membuyarkan impiannya. "Ya, ampuuun!" jerit Danielle.
Hancur sudah sang mayoret. Danielle meringkuk di tempat tidur
dengan tangan mengepal. Cerminnya pecah gara-gara kontes Putri
Merivale Mall yang sial itu ? dan Teresa Woods, si brengsek!
Untuk apa sih, diadakan tes bakat segala? Ini kan kontes
kecantikan, bukan kontes bakat! Benar-benar konyol!
Kalau cuma kontes kecantikan sih, kan tinggal naik ke
panggung, lalu terima mahkota. Jadi, buat apa semua tetek-bengek
ini? Belum lagi wawancaranya. Benar-benar bego dan melecehkan!
Danielle merasa ia sama sekali belum siap untuk wawancara di
panggung. Kenapa sih, aku nggak punya pembimbing kayak Teresa?
Kenapa orang tuaku segitu 'miskinnya'?
Orangtua Teresa mendukung sepenuhnya serta membantunya
dengan segala cara. Sedangkan orangtua Danielle sama sekali nggak
peduli. Ayahnya tak memberi uang sepeser pun untuk membantunya.
Uang tidak, dorongan pun tidak. Sementara ibunya menganggap
kontes kecantikan itu kampungan.
Bagaimana kalau memang benar? Mereka kan orangtuanya, dan
seharusnya mereka mendukungnya.
Danielle duduk tegak di tempat tidur. Semua orang
menentangnya?kecuali dirinya sendiri. Ia harus melakukan sesuatu,dan cepat. Sesuatu yang luar biasa, yang cuma bisa dilakukan seorang
Danielle Sharp.
Danielle segera turun dan menuju BMW-nya, lalu ngebut ke
Merivale Mall. Ia harus menjernihkan pikirannya dan itu cuma bisa
tercapai kalau ia berada di mall.
*************
"Lihat! Itu Danielle Sharp! Dia finalis Putri Marivale Mall! Aku
baru saja lihat fotonya!" Danielle melihat seorang anak perempuan
berumur kira-kira delapan tahun meloncat-loncat kegirangan sambil
menunjuk-nunjuk Danielle yang baru saja melangkah ke lantai tiga.
Teman anak itu juga girang. Dia memandang Danielle seperti
melihat bintang film. "Wow!" serunya terpana. "Cantiknya ?"
Danielle menghela napas sejenak, kemudian melemparkan
senyuman kepada gadis itu.
"Semoga berhasil, Danielle." Anak yang pertama mengikik dan
berseru dengan nada kagum. "Kami mendukungmu!"
"Soalnya kau yang paling cantik," tambah temannya malu-
malu.
"Boleh nggak, minta tanda tangannya?" pinta anak pertama
seraya merogoh tasnya mencari kertas dan pena. "Boleh ya?"
"Tentu," jawab Danielle seramah mungkin. Ia menulis dengan
memakai alas tas kulit halus gadis yang kedua. "Salam hangat,
Danielle Sharp," tulisnya besar-besar dengan huruf miring yang indah.
Beberapa pengunjung lain berkerumun dengan rasa ingin tahu
dan banyak orang di kejauhan memperhatikannya. Sesaat Danielle
merasa seakan-akan dia sudah menjadi Putri Merivale Mall yang
sesungguhnya!Ini merupakan awal perjuangan yang manis. Ia sudah bisa
membayangkan memberi tanda tangan kepada banyak orang yang
mengaguminya. Gila juga!
Sambil tersenyum dan melambai pada para fans-nya yang
masing-masing memegang kertas berisi tanda tangannya, seakan-akan
kertas itu sangat berharga, Danielle bergegas pergi dengan lebih
keyakinan lebih besar untuk menang.
Kedua gadis cilik itu seolah-olah suatu pertanda baik, pikir
Danielle. Pertanda bahwa dia bisa memberikan segalanya yang terbaik
untuk kontes itu. Danielle Sharp adalah Putri Merivale Mall yang
paling tepat, dan kini ia tinggal meyakinkan para juri saja.
Danielle menuju ke kantor Pengurus Mall, tempat panitia
kontes dan langsung menuju ke resepsionis. "Bu Pierson ada?"
"Ada. Tapi kantor hampir tutup. Apakah ada janji?" tanya
resepsionis itu.
"Ya, beliau meminta aku ke sini!" Sambil tersenyum, Danielle
langsung masuk ke dalam.
"Halo, Bu Pierson!" sapanya ramah kepada petugas yang
kebingungan melihat kedatangan Danielle dari atas tumpukan map-
map yang ada di meja tulisnya.
"Siapa ya??" tanyanya sambil melirik Danielle dari balik
kacamatanya dengan tatapan dingin.
"Oh! Saya Danielle?Danielle Sharp. Ingat?" Danielle
tersenyum seraya mengacungkan tangannya.
Wanita itu melihat tangan Danielle, seperti melihat ikan yang
mati. "Oh iya, Nona Sharp. Aku sedang sibuk, ada yang bisa saya
bantu?""Ada. Ibu harus bantu saya." Danielle menghempaskan
badannya ke kursi di sebelah meja Bu Pierson. Sekarang waktunya
untuk bertempur, dan tak seorang pun dapat membendung emosi
Danielle yang sudah meluap.
"Bu Pierson, saya ada masalah. Aku gadis pemalu, dan setiap
kali teringat bagaimana aku harus menjawab pertanyaan-pertanyaan di
Janda Pulau Cingkuk 1 115 Kisah Menakjubkan Dalam Kehidupan Rasulullah Saw Karya Fuad Abdurahman Sumpah Sepasang Harimau 2
^