Pencarian

Berani Tampil Beda 1

Girl Talk 02 Berani Tampil Beda Bagian 1


FYANG DIOBROLIN KALI INI
SABRINA : Scottie Silver emang kece, tapi menurutku dia termasuk
cowok brengsek!
KATIE : Mh ? nggak tahu ya. Masa sih dia
sejelek itu?
SABRINA : Setelah apa yang dia perbuat padamu? Kau masih
meragukan kebrengsekannya?
KATIE : Kalo dipikir-pikir lagi, sebenemya waktu itu Scottie
cuma berusaha menolongku.
SABRINA : Astaga! Nggak salah, nih?! Katie Campbell punya
pikiran seperti itu?
KATIE : Maksudmu?
SABRINA : O ... nggak ada maksud apa-apa kok. Kamu ternyata
emang lagi naksir berat Scottie Silver, si kece kelas
delapan. Kapten tim hoki sekolah kita! Iya kan? Ngaku
aja!BAGIAN SATU
Putri Emily, begitu aku memanggil kakak perempuanku. Tapi
nggak pernah keras-keras. Cuma aku yang tahu. Jangan salah sangka
ya, bukan berarti aku nggak suka punya kakak cantik, kapten pom-
pom girl yang nilainya selalu A untuk semua pelajaran dan punya
pacar seorang pemain sepak bola Bradley yang ngetop. Menurutku
Emily memiliki semua yang terbaik. Itulah sebabnya ia kupanggil
?putri?.
Begitu pula selalu komentar semua sahabatku: Sabrina, Allison
dan Randy. Mereka selalu memuji-muji Emily waktu melihat dia main
ice-skating bersama Reed, pacarnya yang keren itu. Aku jengkel
dibuatnya. "Sabs, kalau kamu nggak berhenti memuji-muji Emily di
depanku, awas kamu, ya?" lantas aku nggak tahu mau ngomong apa
lagi.
Kadang-kadang kekaguman Sabrina pada Emily menggangguku
juga. Menurutku Sabrina begitu memuja Emily hanya karena ia cuma
punya empat kakak laki-laki dan tak satu pun saudara perempuan.
Dan kini Sabrina berdiri menatapku dengan memelas seolah
terluka mendengar bentakanku barusan. "Sorry deh Sabs," ujarku
akhirnya.Sabrina nyengir dan berkata, "Lupain aja deh. Nggak apa-apa
kok." Sabrina selalu begitu. Dia tak bisa marah pada siapa pun.
Kucoba untuk membalas senyumnya.
Saat aku menalikan sepatu ice-skatingku, Randy Zack datang
menghampiri kami. Berdekatan dengan Randy, aku jadi seperti gadis
paling sopan tahun ini. Bagiku, Randy adalah cewek berpakaian
paling keren yang pernah kutemui. Tak bisa kubayangkan aku akan
pernah berani memakai pakaian seperti Randy, yang memang pas
dengan gaya seperti itu.
Kata Sabrina, gaya Randy adalah gaya New York. Hari ini ia
memakai celana kaos ketat bermotif loreng zebra, rok mini hitam-
putih dan sweater kedodoran warna hijau menyala. Dia juga memakai
anting besar berwarna hijau terang di telinga kiri dan giwang
keemasan kecil di telinga kanannya. Sementara aku memakai jeans
tersetrika licin, sweater biru muda berbintik putih di kerahnya, dan
topi putih yang serasi. Nggak ada cerita soal anting-anting segala. Aku
nggak bakal diijinkan memakai anting sebelum usiaku enambelas
tahun. Dan meskipun di umur segitu, kurasa aku cuma akan
dibolehkan memakai giwang emas dengan mutiara yang mungil.
Bagaimanapun, jelas aku nggak akan meniru gaya Randy. Kata
Sabrina, aku punya gayaku sendiri.
"Lalu kita ngapain nih?" tukas Randy dengan wajah bosan.
Orang tua Randy telah bercerai, dan dia pindah ke Acorn Falls
bersama ibunya. Tentu saja Acorn Falls lebih sepi dan membosankan
baginya, dibandingkan kota sebesar New York. Mulanya kupikir dia
akan sulit menyesuaikan diri dan bersikap buruk, tapi ternyata aku
keliru. Randy adalah seorang sahabat yang menyenangkan."Aku mau main ice-skating," kataku seraya bangkit berdiri.
"Ada yang mau ikut?"
Randy menggeleng. "Aku musti pulang cepet. Ibuku minta
ditemani belanja."
Sabrina cuma tertawa kecil. Dia sama sekali nggak suka main
ice-skating, tapi rajin datang ke gelanggang ice-skating. Soalnya
hampir semua anak-anak suka nongkrong di sini dan Sabrina tentu tak
mau melewatkan kesempatan ini. Sementara Randy memang nggak
bisa main ice-skating. Katanya: "Tentu saja nggak bisa. Aku kan baru
pindah ke tempat ini."
"Kalau nggak ada, ya sudah. Sampai nanti ya!" aku melambai
dan melangkah ke lapangan es. Ice-skating adalah salah satu kegiatan
yang kusukai. Selama beberapa detik kuamati keadaan sekelilingku.
Arena es ini betul-betul ramai. Selain Emily dan Reed, kupikir yang
datang kebanyakan anak-anak SMA dan kelas delapan. Anak-anak
kelas tujuh seperti aku, Sabs dan Randy juga ada, tapi nggak begitu
banyak.
Lapangan ini dibangun dua tahun yang lalu. Ada kantin, meja-
meja kecil dan loker untuk menyimpan barang-barang sementara kita
bermain. Harus diakui, ini tempat yang asyik buat mejeng dan
ngeceng.
Sebelum ada lapangan ini, biasanya anak-anak main ice-skating
di lapangan hoki sekolah dan di taman Elm. Aku suka taman Elm.
Taman yang indah dengan rumput hijau menghampar diselingi
pepohonan. Dan yang terpenting, tidak berpagar keliling. Tapi setelah
ada gelanggang es, semua anak lebih suka ke tempat baru itu, sebab
bisa sekalian ngeceng. Kadang-kadang aku merindukan taman Elm.Di situlah dulu aku dan Ayahku main ice-skating waktu aku masih
kecil.
Aku mulai meluncur, dan ? huwih, asyiiik! Esnya sepadat dan
semulus gelas kaca. Aku hendak melatih putaran di tiap ujung
lapangan, dan juga beberapa gaya yang lebih sulit seperti yang kulihat
di pertandingan ice-skating internasional di televisi. Kalau tidak salah
namanya gaya ?onta terbang?. Sama sekali bukan gaya yang mudah
dan itu membuatku agak ragu untuk mencobanya. Namun kuputuskan
untuk melakukannya juga.
Akhirnya, gerakanku mulai luwes mengikuti irama musik dari
speaker. Jenis musik yang bisa menggoyang kaki Ibuku mengikutinya.
Kalian ngerti maksudku kan? Itu lho, jenis musik yang bisa membuat
kuping anak muda jadi budeg mendadak! Bukannya mereka tidak
punya koleksi musik lain, yang lebih cocok buat anak muda. Tapi
memang musik jenis ini yang cocok untuk mengiringi permainan ice-
skating. Sedikit klasik dan berirama santai.
"Eh, tahunya bisa juga kamu meluncur sebaik ini ?" tiba-tiba
seseorang berseru di belakangku. Aku berhenti dan berbalik. Si hebat
Stacy!
Stacy bukan saja cewek paling ngetop di sekolah tapi kebetulan
dia juga putri bapak kepala sekolah kita. Stacy, Sabrina, Randy dan
aku di sekolah yang sama, SMP Bradley.
Stacy anak tunggal dalam keluarganya, dan semua orang bisa
menduga bagaimana keluarganya memanjakannya secara berlebihan.
Terutama Ibunya. Pakaiannya selalu bagus dan mahal. Juga perhiasan-
perhiasannya. Tentu saja Stacy kelihatan cantik menarik. Pinggangnya
ramping panjang, rambutnya pirang bergelombang dan matanya jelikecoklatan. Tubuhnya indah dan wajahnya mulus tak pernah kenal
jerawat. Dia juga anggota pasukan pembawa bendera seperti aku, dia
malah pemimpin regu bendera kami.
Hari ini ia mengenakan rok kuning pucat dengan sweater
berkerah tinggi yang serasi. Di telinganya ada sepasang giwang
berlian yang berkilau. Ibuku juga punya giwang berlian, tapi hanya
dipakai untuk menghadiri acara-acara penting dan resmi saja. Nggak
pernah kubayangkan, pergi main ice-skating dengan giwang berlian.
Tapi itulah Stacy.
Aku nggak habis pikir, apa sih maunya Stacy. Belakangan ini,
setelah sahabatku Erica, pindah ke California, Stacy benar-benar
makin aneh tingkahnya. Erica dan Stacy berteman baik, jadi Stacy
membolehkan aku ikut dalam kelompoknya tahun lalu. Tapi begitu
Erica pergi, agaknya tak ada alasan lagi bagi Stacy untuk berteman
denganku. Dan sekarang, aku sudah punya sahabat-sahabat sendiri.
Sabrina, Randy dan Allison. Stacy benar-benar nggak mau kenal aku
lagi.
Stacy, Sabrina dan Randy bermusuhan seperti air dan api.
Wajar saja, soalnya Stacy iri pada Sabrina yang punya banyak teman.
Apalagi waktu pesta dansa kemarin, Sabrina jadi pusat perhatian
banyak orang karena Spike, cowok keren kelas sembilan, sengaja
mempersembahkan satu lagu manis buat Sabrina. Randy dan Stacy
punya cerita yang lebih seru lagi. Di hari pertama sekolah, Randy
mengotori baju Stacy dengan tumpahan makan siang. Tentu saja Stacy
ngamuk, apalagi seisi ruangan menertawakannya.Jadi kesimpulannya, aku heran. Kenapa hari ini Stacy mau
mengajakku bicara? Kupikir dia cuma mau kelihatan banyak teman
dan populer, dengan bicara pada semua orang termasuk aku.
"Aku cuma mengulang gerakan di kursus meluncur kok,"
akhirnya jawabku. Datar saja. Tanpa senyum atau ekspresi apa pun.
"Hei!" tiba-tiba Stacy menarik lenganku. Hampir saja aku
terjatuh. "Ada Scotttie Silver di sana! Yuk kita ke sana..." bisik Stacy
sambil meluncur.
Aku nggak mau mengikuti Stacy, tapi sempat kulirik arah yang
ditunjuknya. Scottie Silver memang keren, tak perlu diragukan lagi.
Rambutnya pirang dan tebal dengan potongan agak panjang di
belakang. Matanya biru jernih. Mata paling indah yang pernah kulihat.
Kalau dia tersenyum, matanya menyipit manis dan tampaklah lesung
pipitnya. Tubuhnya amat jangkung dan bahunya bidang. Ia kelihatan
begitu istimewa dengan jeans dan jaket kulit coklatnya. Wajar kalau
Stacy naksir dia. Mereka bisa jadi pasangan yang keren!
Aku tak mau melewatkan siang ini cuma dengan meluncur
melulu. Latihan-latihan tadi menumbuhkan selera makanku. Maka aku
meluncur keluar dari lapangan es dan menuju ke kantin. Ada kantin
kecil di gelanggang es memang ide bagus. Kubeli dua coklat dan
segelas coca cola. Lantas bergabung dengan Allison Cloud dan Sabs
di sebuah meja di ujung lapangan. Meja-meja lain kelihatan penuh.
Nggak ada lagi yang kosong. Untung Sabrina dan Allison dapat meja.
Kulihat Emily duduk bersama sekelompok temannya. Ia melambai ke
arahku dan tentu saja aku balas melambai. Segera aku menuju Allison
dan Sabrina sebelum kursi kosong itu diambil anak lain."Al, bilang pada Katie apa yang baru kau katakan padaku
barusan," Sabrina mulai ngoceh sebelum aku sempat duduk.
"Ayo Al. Bilang...," ujar Sabrina bersemangat.
Pasti soal cowok deh. Sabrina memang jadi super semangat
kalo bicara soal cowok. Matanya berseri-seri dan rambut keritingnya
dikibas-kibaskan seperti cacing kepanasan. Rambut Sabrina memang
bagus sekali. Ia meraih sejumput kentang goreng dan memasukkannya
sekali suap ke mulutnya. Terlalu banyak untuk seorang yang lagi diit.
Sabrina selalu merasa kegemukan dan ingin mengurangi beratnya
beberapa kilo. Padahal menurutku tubuhnya sudah sempurna.
Sekarang Sabrina lagi bersemangat. Dan tiap kali bersemangat,
makannya jadi banyak banget. Itu terjadi tiap 10 detik.
Kutatap Allison dan tersenyum. Sikap Allison amat bertolak
belakang dengan Sabrina. Sabrina paling suka ngerumpi, sedang
Allison lebih suka diam, dan orangnya pemalu. Al benar-benar tipe
cewek masa lalu. Meskipun sikapnya agak kuno dan kolot,
penampilannya amat berbeda. Allison pantas sekali menjadi model,
tapi dia nggak pernah menyadarinya. Ia keturunan Indian. Matanya
hitam gelap dan rambutnya hitam panjang tebal dan mengkilap! Ia
juga amat jangkung! Tingginya sekarang seratus tujuhpuluh senti dan
masih terus tumbuh. Dia nggak merasa beruntung dengan ukuran
tubuhnya, tapi aku dan Sabs selalu iri pada kesemampaian tubuhnya
itu. Melihat Al dan Sabs duduk berdampingan agak lucu juga.
Soalnya Sabs berpotongan kecil-mungil.
Allison sendiri tampaknya tak sebersemangat Sabrina. Jadi
kuputuskan untuk mengganti arah pembicaraan."Ngomong-ngomong, Randy mana sih?" kuseruput sedikit coca
cola. Aku tahu, gayaku yang acuh ini pasti bikin keki Sabrina. Soalnya
dia penasaran setengah mati ingin menyampaikan sesuatu padaku
sementara aku berlagak acuh saja.
"Katie?" rengek Sabrina.
"Iya deh ? iya ? ada apa sih Sab?"
Sabrina tak tahan menunggu Allison bicara, karena itu ia
memulainya. "Kata Al, Scottie Silver sejak tadi melihatmu terus!
Sementara kau latihan ia memandangmu tanpa berkedip!" ujar Sab
terengah-engah.
Kucoba untuk bersikap biasa saja, padahal sebenarnya aku ingin
pingsan mendengarnya. Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Kuharap
tak ada yang mendengar pembicaraan kami tentang Scottie Silver.
Aku tersipu sendiri.
"Sab, ngomongnya pelan-pelan dong...," pintaku berbisik.
Bagaimana mungkin, cowok keren kelas delapan yang
pemimpin tim hoki itu ada perhatian pada gadis macam aku? Apalagi
ada Stacy di gelanggang ini yang tentunya jauh lebih menarik.
"Mungkin cuma kebetulan saja dia melihat ke arahku," kilahku.
"Atau ia cuma memperhatikan gerakan-gerakanku dan menilainya.
Dia kan memang jago juga." Kugigit sebatang coklat dan menatap ke
arah Scottie. Ia duduk di kantin bersama Stacy dan beberapa teman-
teman se-geng-nya dari tim hoki sekolah kami. Phil Walsh dan Brian
Williams. Mereka sedang asyik bercanda. Kulihat Brian melemparkan
permen pada Eva Malone dan Eva menjerit panik serta balas
melempar Brian. Scottie dan Stacy makan kripik kentang dari satu
kantong yang sama."Lihat gaya Stacy untuk mendekati Scott," cibir Sabrina
jengkel.
Kucoba untuk tidak memikirkannya. Tapi tiap kali melihat
Scottie, aku merasa malu. "Rasanya aku mau meluncur lagi. Ada yang
ikut?" tanyaku pada Sabs dan Allison.
"Aku mau," Allison bangkit.
"Aku pulang saja deh," ujar Sabrina. "Ada tugas bahasa Inggris
yang harus kuselesaikan. Kalau nggak, aku terpaksa menerima
hukuman membacakan puisi di depan kelas seperti minggu lalu.
Memalukan!"
Kami melambai pada Sabs, lalu memasuki lapangan es. Tiba-
tiba seseorang meluncur cepat ke arahku dan merebut topiku lalu
kabur. Scottie Silver! Aku nggak sempat lagi berhenti. Refleks,
langsung saja kukejar dia dan berusaha merebut topiku kembali. Kami
berkejar-kejaran di lapangan, menabrak anak-anak lain. Bahkan ada
beberapa yang terjatuh karena ulah kami. Aku nggak sempat melihat
reaksi mereka soalnya kami meluncur begitu cepat.
Scottie tinggal beberapa meter lagi di depanku. Kulakukan
sprint mempercepat luncuran dengan segala sisa tenagaku tapi tetap
saja ia tak terkejar. Tapi pada satu kesempatan saat ia melakukan
putaran, aku berhasil meraihnya. Tanganku mencengkram ikat
pinggangnya. Scottie kehilangan keseimbangan. Sebelum jatuh ia
menabrak beberapa orang dan kemudian tahu-tahu kami berdua sudah
terbaring di lapangan es yang dingin.
Aku tersungkur tepat di atas wajah Scottie. Posisi kami seperti
orang yang akan berciuman saja. Dua orang yang jatuh tertabrak tadi
kelihatan marah."Ma?maaf ya?" ujarku malu sambil bangun. Aku yakin
wajahku merah menahan malu.
Untung mereka tak memperpanjang persoalan. Scottie tidak
mengucapkan sepatah kata pun. Dia cuma nyengir padaku,
membersihkan celananya dari serpihan es dan meluncur kembali ke
tempat Stacy dan teman-temannya.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Allison, menghampiri.
"Yeah...nggak apa-apa kok," sahutku cepat. Padahal sebetulnya
terasa sedikit nyeri. Dan lutut kiriku mulai berdarah. Tapi aku tak
begitu memikirkannya. Yang ada di kepalaku cuma: mengapa Scottie
melakukan semua ini?


Girl Talk 02 Berani Tampil Beda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Waktu Allison dan aku berjalan ke loker, Stacy menghampiri
kami. Ia sudah berganti pakaian biasa. Aku yakin dia pasti akan terus
berusaha mempermalukanku sepanjang hari.
"Katie, ternyata kecepatan skating-mu secepat caramu
menggaet cowok!" ujarnya dalam suara yang menyebalkan.
Aku hanya berdiri dan membiarkan wajahku memerah. Aku
nggak siap menjawab. Jelas Stacy memang berusaha
mempermalukanku, dan dia sukses! Aku mencoba berlagak cuek dan
mengganti sepatu seolah tak terjadi apa-apa.
"Udah selesai Al?" tanyaku pada Allison.
Al mengangguk.
Kami pulang bersama. Musim gugur adalah musim yang paling
kusukai. Udara benar-benar sejuk dengan aroma daun-daun rontok.
Kutarik lengan sweaterku agar menutupi seluruh tanganku. Acorn
Falls kelihatan indah tertutup hamparan guguran daun yang merah
keemasan. Kami melintasi jalan utama, melewati kantor pos tua,perpustakaan, beberapa toko kecil dan sebuah bank tempat Ibuku
bekerja.
"Ah, enggak terasa, ya? Sebentar lagi sudah hari ?thanksgiving?.
Padahal rasanya sekolah baru mulai," ujarku saat melihat semua
etalase toko mulai dihiasi barang-barang hari ?thanks giving?. Hari
untuk kita semua bersyukur atas karunia Tuhan. Biasanya kami
memanggang kalkun untuk memperingatinya.
Allison cuma menggeleng-geleng.
"Katie, aku ngerti maksudmu," katanya. "Kamu peluncur yang
hebat. Kurasa luncuranmu malah lebih cepat dari Scottie."
Kupandangi Allison. "Aku berlatih sejak kecil. Ayahku pemain
hoki semi profesional dan ia yang mengajariku meluncur. Beliau juga
mengajariku cara meluncur cepat dan main hoki. Tiga tahun lalu
ketika usiaku masih sepuluh tahun, aku benar-benar jadi setan di
lapangan es. Tapi setelah beberapa kejadian, Ibu melarangku
meluncur. Saat itu bertepatan dengan meninggalnya Ayahku. Menurut
Ibu, nggak pantas seorang gadis main hoki. Jadi gadis pembawa
bendera atau cheer-leaders mungkin lebih pantas. Makasih atas
pujianmu Al, meskipun rasanya berlebihan."
Allison tersenyum. "Sampai ketemu, besok!" ia berbelok ke
kanan.
Aku melangkah perlahan menuju rumahku. Menjejakkan
sepatuku ke atas tumpukan daun-daun gugur. Aku tak bisa
mengenyahkan Scottie Silver dari benakku dan apa yang barusan
terjadi di lapangan es. Pikiran-pikiran itu membuat perutku terasa
kenyang seolah baru saja mengalami sesuatu yang istimewa.BAGIAN DUA
Kubuka pintu gerbang putih dan kunaiki tangga pertama
serambi rumahku. Di Acorn Falls ini, mungkin cuma rumahku-lah
yang halamannya bersih dari daun-daun yang berserakan. Ibu adalah
pecinta kebersihan terbaik. Rumah kami tidak terlalu besar atau
mewah, tapi selalu bersih terawat. Setiap benda terletak di tempatnya
masing-masing. Kulihat bunga-bunga musim gugur di kebun mulai
bermekaran. Berkebun adalah salah satu kegemaran Ibu, dan kupikir
Ibu juga berbakat dalam berkebun sebab bunga-bunga di rumah kami
selalu lebih bagus daripada milik siapa pun.
Kuambil kunci dari kantung belakangku dan masuk ke rumah.
Kulihat Emily sedang menyiapkan meja untuk makan malam. Ia
mengenakan celana kaos ketat warna pink dan kaos gantung warna
ungu. Rambutnya di kuncir tinggi di ubun-ubun, dan di dahinya
melingkar head-band warna pink-ungu. Harus kuakui, dalam pakaian
itu pun, kakakku tetap cantik. Sama seperti aku, rambutnya pun pirang
keemasan dan matanya sebiru langit. Satu-satunya beda Emily
denganku adalah panjang rambutnya yang mencapai sepinggang.
Hidungnya mancung sempurna dan bangir di ujungnya. Bahkan
dagunya pun sempurna, tak terlalu lancip dan tak terlalu bundar. KataSabrina, Emily itu seperti boneka Barbie. Diam-diam kubenarkan
pendapat Sabrina itu.
Sambil menyapa Emily kumasukkan sepatu skating-ku ke rak
dekat pintu masuk. Lalu kubuka sweaterku.
"Hallo Katie," sambut Emily setelah selesai menata meja.
Tak lama kemudian Ibu turun dan duduklah kami untuk mulai
makan malam. Menu malam ini, spageti, salah satu makanan
favoritku. Tapi malam ini aku tak begitu bersemangat untuk menelan
apa pun. Terutama setelah apa yang kualami di arena skating siang
tadi.
"Asyik, main skating-nya tadi?" tanya Ibu pada kami berdua.
"Biasa saja," sahutku cepat. Dan sebelum dapat kutahan,
kurasakan pipiku panas. Malu mengingat kejadian itu lagi.
"Biasa saja?" ucap Emily dengan nada meledek. "Menurutku
siang tadi kau mendapat pengalaman yang paling asyik sepanjang
hidupmu."
"Apa maksudmu?"
"Yeah. Aku melihatmu mengejar-ngejar si ganteng bermata
biru, Scottie Silver, mengelilingi lapangan es. Rupanya kamu mulai
tertarik sama cowok ya?"
Ibu dan Emily menatapku. Aku begitu malu hingga kehabisan
kata-kata untuk menjawab. Yang dapat kulakukan hanya tersipu-sipu.
Tega bener Emily meledekku macam ini. Sama sekali nggak lucu!
Soalnya aku tahu apa pendapat Ibuku. Ibu adalah orang yang paling
mengutamakan urusan sopan santun bagi wanita. Mengejar-ngejar
cowok jelas tidak disukainya. Bahkan bagiku sendiri pun hal itu
kuakui kurang sopan."Emily," ujarku kemudian dengan perlahan. "Kau kan ada di
situ. Jadi kau tahu kan siapa yang memulai kejar-kejaran itu? Lagipula
kita cuma main-main kok."
"Katie," akhirnya kudengar juga suara Ibu. "Ibu nggak
keberatan kamu main dan bersenang-senang. Tapi berhati-hatilah.
Kini kau sudah remaja, bukan anak-anak lagi. Dan sebagai wanita
tidak baik bermain terlalu gila-gilaan dengan anak laki-laki. Kamu
nggak ingin mereka menilai jelek dirimu, kan?"
Aku mengangguk. "Ya Bu, aku akan hati-hati," gumamku. Aku
tak begitu yakin dengan kalimat terakhir Ibuku tadi. ?Menilai jelek?.
Apa maksudnya? Lagipula, aku tetap tak habis pikir, tega amat Emily
memulai percakapan yang memalukan buatku ini? Kupinggirkan sisa
spageti di piring dan kutelungkupkan garpuku tanda selesai makan.
*************
Esok paginya aku bermalasan dulu beberapa menit sebelum
bangun dari tempat tidur dan memperhatikan keadaan kamarku.
Bunga-bunga mawar menghiasi wallpaper dinding kamarku. Aku
ingat waktu usiaku baru enam tahun, sepulangku dari hari pertamaku
bersekolah. Aku mendapat hadiah satu set gorden jendela warna pink
berenda putih, jahitan Ibu sendiri.
Kamarku amat rapih dan terang. Semua perabotan bernuansa
putih dengan sedikit hiasan cat emas. Kecuali karpetnya, yang
berwarna biru pucat dan amat empuk, serasi dengan sprei dan sarung
bantalku yang bermotif bunga-bunga biru. Aku juga punya lemari
dinding yang penuh dengan buku dan boneka-boneka binatang. Di
sudut ruangan ada rumah boneka buatan Ayah waktu aku masih kecil.
Rumah-rumahan itu begitu lengkap, bahkan ada lampunya yang bisadinyala-matikan dan gorden jendelanya bisa dibuka-tutup. Persis
seperti rumah sungguhan. Meski sudah terlalu tua untuk bermain, aku
tetap menyukainya.
Aku bangun, kukeluarkan seragam pasukan pembawa bendera
dari lemari dan kuletakkan di tempat tidur. Satu-satunya yang
membuatku bangga adalah seragamnya yang bagus. Rok lipit mini
warna oranye-hitam dan blus yang serasi. Sebetulnya asyik juga sih,
jadi gadis pembawa bendera, tapi ini kulakukan cuma demi Ibu dan
Emily saja. Bukan mauku sendiri.
Si Pepper, kucingku, datang menghampiri dan menggesekkan
bulunya ke kakiku. Kuberi ia ciuman lalu kutinggal ke kamar mandi.
Pintu kamar mandi tertutup, berarti Putri Emily ada di dalamnya.
"Emily, cepetan dong. Aku telat nih?" teriakku sambil
mengetuk pintu. Tapi aku sadar hal itu sia-sia saja. Emily hanya akan
keluar bila sudah siap dan cantik, tanpa peduli ketukan-ketukan di
pintu. Sayangnya, kamar mandi di rumah ini hanya satu.
Tapi akhirnya aku tiba di sekolah tepat pada waktunya.
Untunglah. Dua pelajaran pertama, matematik dan sosiologi, berlalu
dengan cepat. Bahkan kuis matematik kukerjakan dengan mudah.
Selama pelajaran sosiologi kami diputarkan film ?Kongres
Kontingental Kedua?. Setelah itu baru pindah ke kelas bahasa Inggris.
Aku duduk di kursiku dan mencari Sabrina. Aneh. Tak kulihat batang
hidungnya hari ini.
Sabs datang belakangan. Terlambat lima menit. Ia melangkah
cepat dan menyelinap ke kursinya. Aku tahu dia ingin menarik
perhatianku. Aku mulai kenal sifat-sifat Sabrina. Duduk diam
bukanlah kebiasaannya. Ia mulai mengacungkan tangan memanggilkusambil berbisik keras. Kuabaikan saja panggilannya. Aku tidak berani
ngobrol dan bisa tertangkap basah oleh Bu Staats. Tapi beberapa saat
kemudian Bu Staats pun merasakan keributan kecil akibat ulah
Sabrina.
"Sabrina, ada yang ingin kau ceritakan pada seisi kelas?"
Kurasa semua guru pasti ilmu sihir, deh. Soalnya walau tanpa
melihat pun mereka bisa tahu siapa murid yang lagi mengacau di
kelas.
"Maaf Bu," sahut Sabrina. Dan tanpa perlu berpaling pun aku
yakin wajahnya pasti merah menahan malu. Sabrina paling sering
tersipu dengan pipi merah.
Akhirnya bel berbunyi dan tahu-tahu Sabrina sudah ada di
mejaku sebelum aku sempat merapihkan buku-bukuku. Randy dan
Allison, juga teman sekelasku, ikut menghampiri dan berkumpul di
mejaku.
"Apa yang terjadi kemarin?" tanya Sabrina penuh semangat.
"Aku nyesel banget nggak ikut menyaksikannya. Biasanya aku nggak
pernah ketinggalan kejadian-kejadian seru, lho!"
"Iya. Kamu kan manusia radar. Tiap ada kejadian seru radarmu
pasti bunyi," olok Randy sambil tertawa sendiri.
Kucoba menahan tawa saat kulihat Sabrina menatap Randy
dengan cemberut.
Sambil menuju loker, kuceritakan dengan singkat pada Sabrina,
apa yang terjadi kemarin. Kuceritakan dengan bisikan perlahan agar
tak ada yang mendengarnya.
"Wah!" teriak Sabrina. "Seru amat! Aku mau dengar semuanya
dari awal secara lebih rinci, ah!"Aku mencibir. "Mendingan kita makan siang saja, yuk," ajakku.
"Aku nggak bisa ikut," ujar Sabs. "Aku harus menghadap Pak
Metcalf, urusan Festival musim gugur yang akan datang. Aku ikut
mengisi acara solo klarinet. Tapi nanti malam aku pasti tilpon kamu
deh," ujar Sabrina tepat pada saat bel berbunyi.
"Boleh saja nelpon," sahutku. "Tapi nggak ada yang akan
kuceritakan lagi padamu."
Sabrina hanya nyengir penuh arti.
"O ya? Masa sih? Pokoknya nanti malam aku akan menelpon
karena aku yakin, pasti ada yang akan kau ceritakan padaku." Sabrina
berlari kencang dan hampir saja menabrak seorang guru.
Bersama Randy dan Allison, kami menuju tempat kesukaan
kami di tengah taman sekolah. Kami lebih suka menikmati makan
siang di taman, mumpung udara masih cerah dan memungkinkan
untuk dinikmati. Banyak anak lain yang juga demikian, dan juga
selalu ada guru pengawas yang menjaga agar kami tidak keluar dari
halaman sekolah dan tidak bertingkah aneh-aneh.
Sebetulnya udara agak dingin di luar. Tapi aku merasa lebih
enak setelah setengah hari terkurung dalam ruangan kelas melulu.
Kulihat Randy tiduran melemaskan otot-ototnya di atas hamparan
rumput. Terlentang menatap matahari. Randy amat benci musim
dingin. Di New York pun pasti ada musim dingin, tapi mungkin
suasananya berbeda dengan musim dingin di sini, pikirku.
Kubayangkan apa yang akan dikenakan Randy di musim dingin nanti.
Di saat semua orang memakai pakaian rangkap, sweater dan jaket
panjang. Mungkinkah Randy mengenakan pakaian semacam itu juga?Rasanya nggak mungkin. Randy selalu ingin tampil beda dari orang
lain.
Kuambil roti isi kacang dan selai dari kotak rotiku. Randy
selalu mengolok-olokku bila melihat makan siangku yang katanya
seperti makanan anak TK itu. Tapi aku amat menyukai roti isi kacang
dan selai. Paling tidak dua hari dalam seminggu aku harus merasainya.
"Enak juga ya duduk di luar begini," ujar Allison dan sejenak
melepaskan diri dari buku yang sejak tadi dibacanya.
"Hei!" seru Randy tiba-tiba. "Sayang kemarin aku pulang
duluan. Kalau nggak pasti aku ikutan melihat kehebatanmu di
lapangan."
"Ya. Sayang sekali. Harusnya kau melihat sendiri," tukas
Allison seraya meletakkan bukunya dan mengambil roti isi ikan tuna
dari kotak rotinya. "Katie bener-bener hebat! Ia bisa mengalahkan
kecepatan Scottie Silver lho!"
"O ya? Kalau begitu kapan-kapan kau harus ngajarin aku
dong," ujar Randy. "Maksudku, sepanjang musim dingin nanti kan
aku harus punya kegiatan pengisi waktu luang. Nah, waktu itu mau
kupakai untuk latihan ice skating," lanjut Randy.
Aku agak kaget juga. Randy ingin aku mengajarinya ice
skating? Randy ingin belajar sesuatu dariku? Aneh. Beberapa minggu
lalu di rumahku, kami berdua mengerjakan proyek ilmu sosial. Guru
kami yang keren, Pak Grey meminta kami mengolah sejarah Revolusi
Amerika menjadi sesuatu yang menarik. Aku dan Randy tergabung
dalam satu kelompok.
Randy memang pandai dan amat kreatif. Di awal tahun ajaran,
waktu aku, Allison, Sabrina dan Randy tergabung dalam panitiadekorasi pesta penyambutan murid baru, Randy menyelamatkan kami
dengan idenya. Ia menyiapkan lampu-lampu disko dan mengubah
suasana aula menjadi mirip kapal ruang angkasa. Begitu sempurna,
sesuai dengan tema yang kami buat: ruang angkasa.
Kembali ke soal proyek ilmu sosial kami, akhirnya kami
putuskan untuk mengutip kisah Jamuan teh Boston. Kami menemukan
potongan kayu besar dari ruang bawah tanah rumahku yang rasanya
cocok dijadikan obyek. Sayangnya kayu itu terlalu panjang, jadi kami
terpaksa memotongnya. Randy bilang, menggunakan gergaji bukan
soal baginya. Ia tak memberiku kesempatan untuk menerangkan cara
menggunakan gergaji listrik itu. Diletakkannya kayu di atas meja dan
dinyalakannya gergaji lantas mulai membelahnya menjadi dua. Begitu
ia selesai menggergaji, ternyata meja kayunya pun ikut terbelah dua!
Mulanya kami tertawa terpingkal-pingkal. Tapi kemudian aku
begitu takut membayangkan kemarahan Ibu melihat mejanya terbelah
dua! Namun Randy kelihatan tenang menghadapi kemungkinan buruk
itu. Ia malah menghampiri Ibuku dan mengakui kelalaiannya serta
siap mengganti meja yang rusak itu dengan segera. Tapi kata Ibuku,
Randy tak perlu mengganti meja baru. Ibu memberi kami hukuman
membersihkan ruang bawah tanah dan garasi mobil rumah kami.
Kuakui, sikap Randy benar-benar terpuji dan berani mengakui
kesalahannya.TEENLITLAWAS.BLOGSPOT.COM
"Katie!" teriak Randy. Membuyarkan lamunanku dan
membawaku kembali ke alam nyata.
"O?ya, ya ? Syukurlah kau mau belajar main skating,"
sahutku terbata-bata."Hei, itu kan Scottie Silver!" desis Allison sambil mengerling
nakal ke arahku.
Ya. Allison betul. Scottie sedang melangkah menuruni tangga
bersama teman-teman satu ?geng?-nya. Semua anak kelas delapan.
Ada Brian Williams dan Phil Walsh yang biasa dipanggil dengan
sebutan ?Flip?. Mereka semua mengenakan jaket kulit dan celana
jeans. Tapi Scottie benar-benar paling keren di antara mereka semua.
Entah apa yang dibicarakannya. Ia menggerak-gerakkan tangannya
dan membuat teman-temannya tertawa sambil menepuk punggungnya.
Kualihkan pandanganku sambil mengangkat bahu.
"Ya. Itu Scottie. Emangnya kenapa?" ujarku. Apakah mereka


Girl Talk 02 Berani Tampil Beda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengira aku menyukai Scottie? Luar biasa. Kini, setelah tadi Allison
menunjuk-nunjuk ke arah Scottie, aku cuma bisa duduk dengan
berdebar. Jangan-jangan Scottie melihat ke arahku dan bahkan
menghampiriku untuk mengajakku ngobrol.
Tapi tentu saja itu cuma khayalanku semata. Sampai bel masuk
berbunyi, ia tak menghampiriku. Saat masuk kembali ke gedung
sekolah, kusapu pandangan ke arah Scottie tapi ternyata mereka sudah
tak ada di sana.
Siang itu berlalu dengan cepat. Tak terasa kini sudah jam tiga
siang, sudah waktunya latihan pasukan pembawa bendera. Sebetulnya
aku malas tapi aku harus berlatih. Nggak baik membolos dari kegiatan
sekolah. Karena itu kutanggalkan jaketku dan kuletakkan dalam loker
lantas berlari ke ruang olahraga.
Di ruang ganti, kutukar pakaianku dengan seragam lalu segera
menuju lapangan. Bukannya aku nggak suka latihan macam ini.
Sebetulnya asyik juga membangkitkan semangat tim olah raga yangbertanding dan juga semangat semua penonton pertandingan. Tapi aku
benar-benar nggak suka jadi anggota kelompok ini. Lagipula aku
cuma kenal dua anak di sini. Eva dan Stacy. Dulu aku punya sahabat
yang juga tergabung dalam kelompok pasukan pembawa bendera,
Erica. Tapi kini ia dan keluarganya pindah ke California. Dan sejak itu
latihan-latihan terasa menjemukan. Kalau bukan karena dorongan
Emily dan Ibu, tentu aku sudah keluar dari kelompok ini sepeninggal
Erica.
Stacy ada di sana, tersenyum-senyum sambil latihan atraksi
lompatan. Tapi waktu melihat aku datang terlambat, ekspresi
wajahnya langsung berubah. Tiba-tiba perutku terasa mulas
membayangkan harus berlatih bersama cewek-cewek macam ini.
Apalagi aku merasa Stacy sedang merencanakan sesuatu untuk
mempermalukan aku di depan umum. Dapat kurasakan dari sinar
matanya.
Kucoba untuk berkonsentrasi melatih gerakan-gerakan rutin.
Tapi tiap kali aku selalu lupa gerakan selanjutnya. Kurasa hal ini
wajar. Kalau dalam hati kalian sama sekali tak berminat pada sesuatu
dan melakukannya hanya karena terpaksa, tentu akan begini jadinya.
Berantakan. Latihan dasar ini tak dapat kulakukan dengan baik. Kacau
balau semua. Seharusnya menendang dengan kaki kiri dan memutar
ke kanan, aku malah melakukan ke arah sebaliknya hingga kakiku
menendang wajah gadis di sebelahku, Julie. Ups!
"Maaf. Kamu nggak apa-apa kan?" tanyaku panik sambil
menghampirinya.
Stacy dan anak-anak lain mulai merubung kami. Rasanya aku
ingin lari dari sana, tapi kakiku seperti melekat di tempat itu.Jantungku berdebar cepat. Aku bahkan terlalu takut untuk
menangis. Untung kulihat Julie sama sekali tak cidera. Bahkan di
wajahnya tak ada bekas merah sama sekali.
"Aku nggak apa-apa kok, Katie. Bener deh," ujar Julie
melegakanku.
Bu O?Neal, guru olahraga kami datang meng-hampiri. Ia
menanyakan Julie apakah perlu ke ruang P3K Tapi kata Julie ia baik-
baik saja.
Sepanjang sisa jam latihan, aku hanya berdiri di baris paling
belakang. Semangatku sama sekali lenyap. Tapi untungnya nggak ada
yang mengata-kan apa-apa. Dan aku begitu lega waktu Bu O?Neal
memberi aba-aba bubar jalan.
Aku segera menuju ruang ganti pakaian dan secepat mungkin
melepas seragamku. Saat anak-anak lain masuk, aku tengah berdiri
dengan pakaian dalamku yang berwarna putih bersih. Beberapa gadis
seangkatan kami, termasuk Si Hebat Stacy tentunya, sudah memakai
bra. Padahal menurutku nggak berguna sama sekali. Soalnya dada
mereka sama sekali datar, belum tumbuh payudara. Jadi buat apa
memakai itu segala? Kurasa aku baru perlu memakainya setelah usia
tiga puluh tahunan.
Terus terang saja, aku sama sekali nggak pernah memusingkan
soal bra. Aku lebih suka memakai pakaian dalam seperti kaus singlet.
Rasanya lebih hangat, terutama di musim dingin.
"Imut-imut banget, kaus singletmu Katie," olok Stacy dengan
suara yang dibuat semanis mungkin.
Semua anak menatap ke arahku. Kukeluarkan pakaianku dari
loker dan terus kuganti pakaianku tanpa mengacuhkan ucapan Stacy."Bener-bener cantik deh, Katie," Eva ikut-ikutan. "Sejak kelas
dua, kita semua udah nggak pake kaus singlet lagi. Tapi kamu kok
masih pake sih? Apa nggak ada bra yang cukup kecil untukmu?"
Stacy, Eva dan beberapa anak mulai terkikik geli.
Betul juga dugaanku. Stacy sudah berniat mau mempermalukan
aku. Kucoba untuk tak acuh saja. Tapi aku tak mampu menahan air
mata yang tiba-tiba telah menggulir di pipiku. Sebetulnya aku tak rela
membiarkan Stacy puas melihatku menangis. Kususut air mataku dan
secepat kilat mengenakan pakaianku, lalu kutinggalkan ruang ganti
pakaian sambil mengepit buku di dada. Aku langsung menuju ruang
Bu O?Neal. Aku masuk tanpa mengetuk pintu sama sekali.
Kuletakkan seragamku di atas mejanya tanpa sepatah kata pun.
Aku yakin, bila harus menceritakan kejadian yang barusan kualami,
aku akan menangis.
"Katie!" Bu O?Neal berteriak memanggilku. "Apa maksudmu?"
Kupalingkan wajahku sesaat, lalu kujawab, "Artinya saya
keluar dari pasukan pembawa bendera!" teriakku. Lalu aku berlari dan
berlari melewati pintu gerbang. Kurasakan air mataku berlinang
dengan deras. Aku menangis tersedu-sedu.BAGIAN TIGA
Dengan airmata membasahi wajah, kuturuni tangga gerbang
sekolah. Sementara tanganku terus berusaha menghapus tiap butir air
mata yang mengalir, namun kenyataannya aku tak mampu berhenti
menangis. Pandanganku kabur. Tak dapat kupercaya, aku baru saja
melemparkan seragamku ke meja Bu O?Neal sambil berteriak: "Aku
keluar!" Apa yang tengah terjadi padaku?
Aku benar-benar sudah keluar dari pasukan pembawa bendera.
Dan kini, aku mulai panik, entah apa kata Ibu dan Emily nanti bila
mendengar kabar ini. Memikirkan hal itu membuat perasaanku makin
buruk, tapi setidaknya aku jadi berhenti menangis. Jalan-jalan di udara
sejuk juga membantu menjernihkan isi kepalaku dan menenangkan
hati.
Setiba di rumah, hanya lampu teras dan lampu kamar Emily
yang terlihat menyala. Ya, aku ingat, malam ini Ibu akan pulang agak
terlambat dari kantornya di Bank. Kira-kira lepas pukul delapan baru
beliau pulang. Bagus deh. Aku bisa menyelinap ke kamar dan
berlagak sudah tidur bila Ibu pulang nanti.
Kukeluarkan kunci dari tas lalu kubuka pintu dan kuletakkan
tasku di lantai. Terdengar irama lagu senam dari kamar Emily. Pasti ia
sedang latihan senam konyol itu. Gerakan-gerakan lompat, jungkirbalik dan sebagainya di depan cermin, yang membuatnya seperti
orang kesurupan. Kadang-kadang waktu kuintip, kulihat Emily begitu
serius berlatih. Seolah-olah ia adalah seorang Ratu Amerika yang
harus menjaga bentuk tubuhnya.
Melintasi ruang duduk, lalu tangga ke kamar tidur, dan akhirnya
sampailah aku ke dapur. Aku suka sekali dapur ini, kecuali
wallpapernya yang bermotif bunga-bunga besar warna kuning. Kata
Ibu, wallpaper cukup praktis karena bisa dicuci bila kotor, tapi
menurutku sama sekali tidak bagus. Ada jendela di atas tempat cuci
piring dengan tirai bermotif bola-bola kuning. Di sebelah jendela ada
pintu ke taman kecil di belakang rumah. Waktu aku masih kecil,
maksudku waktu belum sebesar ini, aku masih muat menaiki ayunan
di sudut taman. Anehnya, Ibu masih menyimpan ayunan itu, padahal
di antara kami sudah tak ada lagi yang bisa menaikinya. Lagipula
biasanya Ibu selalu rapih dan rajin menyingkirkan benda-benda yang
tak terpakai lagi.
Tepat di tengah-tengah dapur ada sebuah meja makan bundar
dari kayu warna gelap, lengkap dengan empat kursi dari jenis kayu
serupa. Ada sebuah catatan kecil, pesan dari Ibu, di bawah tindihan
tempat garam.
Katie dan Emily,
Ibu buatkan makanan kesukaan kalian; lasagna! Makan yang
enak ya!
Love,
Ibu.Usai membaca surat kecil itu, perasaanku jadi makin tak enak
lagi. Ibu bersusah payah menyiapkan makanan kesukaanku, tapi aku
mengecewakannya dengan keluar dari pasukan bendera. Kumasukkan
piring isi lasagna ke oven dan kubuat sendiri sepiring salad. Lalu
sambil menunggu lasagna hangat kunyalakan teve. Ibu paling nggak
suka melihat aku menyambi begini, tapi ini membuatku sedikit lebih
santai. Sesudah lasagna-nya hangat, kupanggil Emily makan malam
bersama.
Sebagian dari hatiku ingin menceritakan sejujurnya kejadian
hari ini pada Emily, tapi sebagian lagi tidak. Rasanya aku lagi nggak
ingin mendengar ceramah dari seorang kakak. Lagipula setahuku
Emily sedang mengerjakan beberapa tugas sekolah yang cukup berat,
jadi aku nggak mau memberatkannya dengan persoalanku. Tuh, kan!
Dia cuma mengambil makan malamnya dan kembali masuk ke
kamarnya. Berarti dia lagi sibuk banget kan?
Selesai makan, aku masih juga sedih. Jadi, kuambil segelas es
krim rasa pistachio dari kulkas. Kadang-kadang es krim bisa
membuatku gembira.
Belum lagi sempat mengambil sendok dari laci, tilpon
berdering. Tilpon kami terletak di dinding dapur, sebelah pintu. Waktu
kuangkat, kudengar Emily sudah lebih dulu berbicara. Nggak lain dan
nggak bukan, pasti si Reed. Soalnya bicara mereka mesra sekali. Pake
?sayang? segala. Ih!
Akhirnya aku naik ke kamarku sendiri di lantai atas. Kututup
pintu rapat-rapat. Pepper, kucingku, sudah ada di atas tempat tidur.
Mendengar langkahku, ia membuka matanya dengan malas danmenelentangkan badannya. Pepper suka sekali dielus-elus perutnya.
Kuelus-elus sebentar, lalu aku ke lemari bukuku. Banyak sekali
koleksiku, terutama buku tentang binatang. Kuurut sesuai abjadnya.
Tapi aku lagi nggak semangat baca-baca buku.
Di rak bagian bawah, tersusun rapih berdasarkan nomor
edisinya, koleksi majalah Young Chic ku. Kuambil nomer terbaru dan
sambil tiduran di tempat tidur aku mulai membukanya. Kubaca
beberapa artikel remaja yang beijudul ?Enam cowok berusaha
melupakan ketakutan mereka tentang kencan dan cewek? atau artikel
lain yang judulnya ?sepatu yang tepat untuk ukuran kaki yang
berkembang lebih cepat dari semestinya?. Artikel-artikel itu
mengingatkanku pada Sabrina.
Kuputuskan untuk menilpon Sabrina. Aku telah berjanji untuk
ngobrol dengannya dan pada waktu Ibu pulang nanti akan kusudahi
percakapan kami. Kuketuk pintu kamar Emily, ia keluar sambil
menyerahkan telepon.
"Kok kamu tahu aku mau pinjem telepon?" tanyaku terkejut.
Emily cuma nyengir dan mengangkat bahunya dengan senyum
penuh arti.
Kubawa telepon ke kamarku. Telepon kami memiliki kabel
ekstra panjang. Emily yang membelinya. Soalnya Ibu tak mengijinkan
kami memasang telpon paralel di kamar tidur. Aku duduk di meja
belajarku yang berwarna putih dengan strip keemasan di tiap sudut-
sudutnya. Letaknya tepat di hadapan jendela kamar yang mengarah ke
bagian depan rumah kami. Aku amat menyukai meja belajarku.
Semua telah diatur sedemikian rupa sehingga rapih dan menarik.
Kuputar nomer telepon Sabrina."Yeah?" sahut seseorang. Biasanya orang menyambut tilpon
dengan kata ?hallo? kan? Itulah kebiasaan Sam, kakak kembar Sabrina
yang lahir empat menit sebelum Sabs. Sabs sering bertengkar dengan
Sam. Hubungan mereka betul-betul aneh. Kadang-kadang sayang,
kadang-kadang benci. Aku menyukai Sam, tapi nggak seperti yang
kubayangkan awal tahun lalu. Kini kami cuma teman biasa. Sam
sebetulnya cukup imut-imut. Rambutnya tebal kemerahan dan
matanya abu-abu mengagumkan. Persis Sabrina, walau dia tak pernah
mau mengakui kemiripannya itu.
"Hallo Sam, ini Katie."
"Oh, hallo juga. Apa khabar Katie? Tunggu ya, kupanggilkan
Blabs...," ujar Sam. Blabs adalah nama panggilan Sabrina di rumah.
Cocok dengan sifat Sabrina yang suka ngobrol ngalor ngidul.
"Blablabla" gitu. Jadi dia dipanggil ?Blabs?.
"Hallo," terdengar suara Sabrina.
"Hai," sahutku. "Untung kamu ada di rumah. Kamu pasti nggak
percaya apa yang kualami hari ini."
"Kejadian buruk ya? Sudah kuduga. Baru saja aku baca ramalan
bintangmu pagi tadi, katanya sebaiknya kau berbaring di tempat tidur
seharian ini, soalnya...."
"Sabs!" pekikku jengkel, memotong suaranya. Sabrina betul-
betul percaya ramalan bintang, sebaliknya aku tidak. Menurutku, sama
sekali nggak masuk akal. Tanggal lahir dan posisi bulan bisa
meramalkan masa depan? Mustahil!
"Iya deh, iya. Apa yang terjadi?" tanyanya. "Apa kamu ketemu
Scottie Silver hari ini? Dia bilang apa?""Bukan. Bukan itu. Tadi aku baru saja menyatakan keluar dari
kelompok pembawa bendera."
"Apa??" teriak Sabrina. "Masa? Kenapa kau lakukan itu?
Maksudku, sebetulnya aku sudah tahu kau nggak begitu menyukainya,
tapi masa sih sampai keluar segala? Apa kata Ibumu dan kakakmu?
Kau sudah cerita pada mereka? Mereka bilang apa? Katie, cerita
dong!" berondong Sabrina.
"Iya...iya...," aku kewalahan mendengar pertanyaannya yang
bertubi-tubi. "Kok kamu bisa sih nanya begitu banyak dalam satu
tarikan nafas?"
Sabrina tertawa. "Bakat alam...he..he...."
"Sebetulnya aku belum cerita pada Ibu. Ibu masih di kantor,"
jawabku.
"O ya? Tapi kenapa kamu senekad itu?"
"Tahulah! Kurasa kalau aku tetap di situ, aku bisa sakit jiwa!"
"Apa yang tiba-tiba membuatmu nekad Katie?" desak Sabrina
lagi.
"Kok kamu bisa-bisanya nebak ?tiba-tiba??" aku balik bertanya.
"Soalnya, sebelumnya kamu nggak pernah cerita tentang
rencana keluar dari pasukan pembawa bendera. Tiba-tiba hari ini,
sebelum sempat nanya pendapatku, kamu sudah memutuskan untuk
keluar."
Sabrina kadang-kadang memang penebak yang jitu. Tapi
rasanya aku enggan menceritakan semua kejadian bersama Stacy
siang tadi. Tentang pakaian dalam dan bra. Terlalu memalukan untuk
diceritakan, bahkan pada Sabs."Nggak tahu deh," ujarku akhirnya. "Lagipula tadi kan kita
nggak ketemu makan siang. Kita hampir nggak ketemu seharian tadi.
Jadi aku nggak sempet cerita apa-apa...."
"Ya...tapi kan...."
Ucapan Sabrina terpotong oleh teriakan Emily.
"Katie!"
"Tunggu sebentar ya Sabs," kututup gagang tilpon dengan
tanganku dan balik berteriak pada Emily. "Ya! Ada apa?"
"Katie, kalau kamu nggak mengeluarkannya dari kamarku
sekarang juga, akan kugantung binatang ini di jendela!" teriak Emily.
Aku menghela nafas. Pasti si Pepper.
"Sorry Sabs, udahan dulu ya..." ujarku pada Sabrina.
"Yoi deh. Tapi aku mau denger kelanjutannya besok lho!"
Kututup gagang telepon dan berlari menuju kamar Emily, yang
seratus persen membenci kucingku. Tapi anehnya Pepper seperti
senang menggoda Emily dengan tidur di tempat tidurnya atau
mengelus-eluskan tubuhnya ke kaki Emily. Emily nggak mau
menyentuh Pepper, hingga tiap kali aku harus menghentikan
kegiatanku jika Pepper mengusik Emily. Bener-bener bikin pusing.
Kamar Emily cukup bagus, meskipun bukan seleraku.


Girl Talk 02 Berani Tampil Beda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karpetnya biru seperti kamarku, tapi tutup tempat tidurnya putih
berenda-renda. Demikian pula sarung bantalnya. Yang paling asyik, di
kamarnya terdapat stereo set dan compact disc player yang dibelinya
musim panas lalu. Emily juga memiliki meja rias dengan kaca besar
tempat ia berdandan dan menyisir rambutnya.Kuangkat Pepper dari tempat tidur Emily dan kubawa keluar
tanpa berkata sepatah pun. Emily pun kelihatan sedang sibuk
membaca sesuatu di mejanya hingga menengok pun tak sempat.
Saat itu juga kudengar Ibu membuka pintu. Wah, udah jam
berapa sekarang? Kurasa lebih baik aku segera masuk kamar dan
pura-pura tidur daripada terpaksa menceritakan soal aku keluar dari
kelompok pembawa bendera. Tapi tiba-tiba aku merasa harus
menceritakannya sekarang. Setidak-tidaknya aku mencoba jujur dan
tidak menunda pengakuanku. Mungkin Ibu tak terlalu marah. Lantas
kuturuni tangga dengan amat perlahan dan mencoba memikirkan apa
yang akan kukatakan.
Ibu sedang duduk di dapur. Ia kelihatan amat lelah. Kurasa
kurang baik mengganggunya saat ini. Kubalikkan tubuh dan beranjak
meninggalkan pintu dapur sebelum Ibu melihatku. Tapi terlambat....
"Hai Katie...," panggil Ibu. "Apa khabar sekolahmu?" tanya Ibu
seraya bangkit menuju kulkas.
"Baik. Bagaimana kantor Ibu hari ini?" aku balas bertanya.
"Menyebalkan!" ujar Ibu dengan suara diberatkan. "Lasagna-
nya enak kan?"
"Luar biasa! Makasih ya Bu...."
Ibu mengambil sepotong lasagna dan kembali duduk di kursi
makan.
"Katie, es krim siapa itu di pojok meja? Berantakan amat...."
"Ups.. maaf Bu," gumamku. Rupanya aku lupa membereskan
sisa es krim yang baru kumakan sebagian tadi.
"Hai Bu!" teriak Emily saat melangkah masuk dapur dengan
sandal tidurnya yang berbulu dan baju tidurnya. Ia mengambil gelasdari lemari dapur dan mulai berbicara padaku dengan manis. "Katie,
kudengar minggu depan tim sepak bola kalian akan bertanding. Kamu
pasti udah latihan untuk mendukung penampilan mereka kan?"
ujarnya.
Aku cuma nyengir. Sekarang, aku terpaksa menceritakan
kejadian yang sebenarnya. Aku nggak mau berbohong.
"Mungkin," jawabku lesu.
Ibu dan Emily menatapku dengan heran.
"Kok mungkin? Kamu kan anggota pasukan pembawa bendera
yang tugasnya menyemangati tim yang bertanding?" ujar Emily lagi.
"Ya, tapi?" kutarik nafas panjang sebelum bicara. "Aku telah
keluar dari regu itu?"
Mulut Emily ternganga. Ia kelihatan kaget seolah baru
mendengar sesuatu yang tak masuk akal. "Apa katamu?"
Ibu juga kelihatan nggak senang mendengarnya. Beberapa
menit Ibu tak memberi komentar apa-apa. Beliau hanya merapatkan
bibirnya sedemikian rupa dan menatapku dalam-dalam. Menurut Ibu,
menjadi anggota pasukan pembawa bendera akan berguna bagiku
kelak. Tapi menurutku aku cuma teriak-teriak dan melompat-lompat
saja, tidak lebih. Dan nggak berguna sama sekali untuk masa depanku.
"Kenapa kau lakukan itu?" tanya Emily dengan raut wajah tetap
keheranan. Ia duduk di sebelah Ibu.
"Ya. Ibu juga mau tahu alasanmu," ujar Ibu.
"Wah, gimana ya. Aku bener-bener nggak tahu harus ngomong
apa. Aku bukannya mau bohong, tapi aku nggak bisa bicara
sejujurnya, mh? kurasa, aku udah bosan. Itu saja.""Cuma itu jawabanmu?" tanya Ibu dengan nada marah dan tak
percaya. Ibu menatapku dengan dahi berkerut. Sebentar lagi pasti ia
meletakkan tangannya di keningku untuk memeriksa suhu tubuhku.
Ibu pasti mengira aku sedang demam hingga bicaraku ngaco seperti
tadi. Padahal aku serius.
Kuanggukkan kepalaku.
"Ibu harap kau mempertimbangkannya lagi. Pikir dulu baik-
baik Katie."
"Tapi Bu...."
"Katie, semua ini untuk kebaikanmu," sela Ibu. "Lagipula
seharusnya kau bisa minta pendapat Ibu dulu sebelum memutuskan
segala sesuatu!"
Kutatap Emily, dan kulihat tatapannya hampa. Seolah tak
berdaya melakukan apa-apa untuk membuatku lebih baik. Aku yakin
tidak akan kembali bergabung dengan regu pembawa bendera. Apa
pun yang terjadi.
"Bu, aku nggak perlu mempertimbangkan lagi. Aku telah
memutuskan untuk keluar."
Ibu dan Emily kelihatan makin terkejut lagi. Lantas Ibu
meninggalkan dapur dengan wajah tegang dan Emily mulai dengan
senyumnya yang penuh arti itu. Aku yakin, sebentar lagi ia akan mulai
menceramahiku dengan nasihat-nasihat seorang kakak pada adik
kecilnya.
"Katie," ujar Emily lembut. "Sebagai anggota pembawa
bendera kau harus sabar. Pasti akan mengasyikkan nantinya. Lagipula
kalau kau keluar, kau akan menyakiti hati Ibu saja."Cukup deh. Aku heran, kenapa aku harus mengorbankan
perasaanku hanya untuk membuat Ibu bahagia ? Kenapa sesuatu yang
membahagiakan Ibu justru sesuatu yang paling kubenci? Aku berlari
menuju kamarku dan menelungkup di kasur dengan gundah.BAGIAN EMPAT
Berlalulah satu minggu yang penuh kesedihan.
Baru hari Jumat perasaanku terasa sedikit lebih baik.
Kesedihanku karena mengecewakan Ibu seimbang dengan
kegiranganku karena keluar dari pasukan bendera. Kuharap Stacy dan
Eva tidak mengungkit-ungkit lagi soal ?pakaian dalam? di depan anak-
anak lain. Sampai saat ini memang belum, tapi untuk lebih amannya,
kusembunyikan semua pakaian dalamku dalam kantong dan
kuselipkan di bagian paling belakang lokerku.
Aku amat menantikan akhir minggu. Sabrina, Randy dan
Allison merencanakan acara begadang yang kedengarannya asyik di
rumah Sabrina, Jum?at malam. Lalu kami akan nonton film Sabtu
siang. Hari minggunya aku akan mengajarkan Randy main es skating
di taman Elm.
Jadwal terakhir sebelum makan siang adalah olahraga. Ada
kecemasan di hatiku, sebab nanti aku akan bertemu dengan Bu
O?Neal. Sejak keluar dari pasukan pembawa bendera, aku selalu
menghindari beliau. Untungnya, beliau tidak mengatakan apa-apa
selama jam pelajaran berlangsung. Hatiku agak lega.
Lalu, lima belas menit menjelang akhir pelajaran, Bu O?Neal
membubarkan barisan dan memintaku menemuinya di ruangnya.Kuikuti beliau memasuki pintu kaca ruang kantornya dan duduk di
kursi di hadapannya. Di dinding terlihat potongan berita dari koran-
koran yang menampilkan foto beliau bersama atlit-atlit terkenal. Ada
juga Wayne Gretzky, pemain skating terkenal yang jadi idolaku. Bu
O?Neal sering mengkoordinasi atlit cilik yang cacat dan beliau sering
mengundang atlit beken sebagai instruktur tamu.
Bu O?Neal duduk dan tersenyum ke arahku. "Katie," ia mulai
bicara, "maukah kaujelaskan apa yang terjadi hari Senin kemarin?"
Beliau kelihatan begitu simpatik dan penuh perhatian, tapi aku tak
mampu menjelaskan bahwa segalanya berawal dari sindiran Stacy
tentang pakaian dalamku.
"Senin?" sahutku. "Oh. Nggak apa-apa kok Bu," kutundukkan
kepalaku dan menatap lurus ke arah kakiku.
"Katie, kalau kamu tak ingin menceritakannya, tidak apa-apa.
Tapi saya ingin kamu pertimbangkan lagi keputusanmu dan tetaplah
bergabung dengan kami," Bu O?Neal tersenyum lagi. "Kau adalah
salah satu anggota terbaik kami."
Aku heran. Apa sih bagusnya menjadi anggota pasukan
pembawa bendera? Mengapa semua orang seolah-olah menganggap
ini kegiatan yang terhebat?
"Terima kasih," jawabku perlahan. "Tapi rasanya sekarang saya
tidak ingin bergabung kembali."
Aku tersenyum malu pada Bu O?Neal dan secepat mungkin
meninggalkan ruangan beliau, kembali ke ruang ganti pakaian. Ruang
ganti sudah sepi. Bel tanda ganti pelajaran berdering saat aku selesai
mengganti pakaian olah ragaku. Untunglah setelah ini adalah jam
makan siang.Setibaku di kantin, Sabrina, Randy dan Allison sudah
menempati meja di pojok belakang. Kulihat juga Scottie Silver duduk
di meja sebelah mereka. Sambil antri makanan, kucoba menenangkan
hatiku. Aku mendapat tempat tepat di hadapan Scottie Silver! Kutatap
Sabrina dengan jengkel. Aku yakin, ia sengaja memilih tempat ini
agar aku berdekatan dengan Scottie.
Scottie duduk bersama geng-nya yang biasa. Brian Williams,
Flip Walsh, Joe Prescott dan Peter Mullens. Mereka semua
mengenakan jeans, t-shirt flannel dan jaket kulit seragam. Cowok-
cowok itu tak pernah melepaskan jaketnya sekalipun sedang berada
dalam ruangan tertutup. Mungkin mereka menganggap itu sebagai ciri
kelompoknya.
"Apa yang dibicarakan Bu O?Neal?" Randy menghirup
yoghurtnya.
Kuambil roti keju-ku dari kantong coklat dan menghela nafas
lega. Untung bukan roti isi kacang dan selai. Malu dong kalau Scottie
melihatku memakan makanan anak kecil begitu!
"Oh. Nggak ada apa-apa kok," sahutku santai.
Randy tersenyum kecil sambil menjilati sendok yogurtnya. Dia
bisa membaca perasaanku, bahwa saat ini aku nggak ingin
membicarakan soal itu.
"Rasanya sulit dipercaya. Sekarang sudah akhir bulan Oktober.
Saatnya untuk pemilihan anggota tim hoki. Kira-kira siapa ya yang
akan terpilih?" ujar Sabrina, seperti biasanya, penuh semangat.
Kupikir, Brian Williams mendengar suara Sabrina, sebab ia
menoleh ke arah kami. "Ada yang ngomong soal tim hoki ya?"ujarnya. "Nih, di sebelah kalian ada sekelompok tim hoki yang pasti
terpilih!" Semua cowok di meja sebelah lantas tertawa.
"Tunggu dulu," sela Scottie. "Di antara kita berlima, cuma aku
yang bisa main hoki!"
Lantas anak-anak cowok meneriakan ?Huuu? ke Scotie dan
mulai melemparinya dengan makanan mereka tanda jengkel
mendengar dia membanggakan dirinya sendiri. Scottie menutupi
wajahnya dengan tangannya dan mulai balas melempar.
Perlahan, Randy meletakkan yogurtnya. "Hei, kalian semua
otak udang yang bikin aku sakit perut!" serunya. "Kalian cuma
kumpulan orang bego yang sombong!"
"Apa? Kau bilang kami apa?" tanya Brian dengan wajah
memerah.
Randy tertawa. "Percuma. Biar kuulang, kalian juga nggak
bakalan ngerti. Soalnya kalian bener-bener otak udang! Sudahlah. Aku
cuma ingin kalian sadar. Kalau aku jadi kalian, aku nggak akan
berbesar kepala dan yakin akan terpilih. Soalnya ada yang lebih jago!"
ujar Randy bernada misterius.
"Ngomong apa kamu?" ujar Scottie agak marah. Mata birunya
berkilat-kilat. "Akulah pemain skating es terbaik di sini. Tanya saja
semua orang. Semua juga tahu! Lagipula?" Scottie berhenti sesaat
dan menudingkan jarinya pada Randy, "? siapa sih yang bisa
mengalahkan kami? Coba!"
Randy hanya tersenyum penuh arti. "Aku tahu siapa yang lebih
jago darimu!" ujarnya agak keras.
"O ya? Siapa?" tanya Scottie sinis. "Sebutkan nama cowok
sainganku!""Bukan cowok tapi cewek!" ujar Randy penuh emosi. "Nah,
kamu dengar kan? Cewek!" seru Randy membuat Scottie ternganga
kaget. "Dan orangnya sedang duduk bersamaku!"
Aku menatap sekeliling meja. Sabrina? Nggak mungkin. Ia
cuma main skate untuk iseng-iseng aja. Allison apalagi. Permainannya
lambat. Randy malah belum bisa sama sekali. Jadi?jangan-jangan
yang dimaksud Randy adalah aku sendiri!
"Katie. Katie Campbell!" seru Randy membuat jantungku
berhenti berdetak.
"Ngaco! Mana mungkin ada cewek, sejago apa pun dia, bisa
mengalahkan aku!" kilah Scottie.
"Kamu bikin aku mules, deh!" bentak Randy. "Kamu takut kan
kalau ada cewek yang lebih jago dari cowok? Kamu cuma sok
berlagak saja di depan teman-temanmu! Iya kan?"
"Dengar! Aku pemain terbaik di Acorn Falls," sergah Scottie
sambil menyibakkan rambutnya yang menutupi matanya. "Jangan
lupa hal itu!"
Cowok-cowok di mejanya lantas menyoraki Scottie dengan
penuh dukungan.
Aku benar-benar terkejut. Kuharap bel segera berdering agar
kami bisa segera meninggalkan tempat ini.
"Kita lihat saja nanti! Katie akan ikut dalam seleksi pemain
untuk regu hoki!" Randy balas berteriak.
Kurasakan, semua mata di sana menatapku dengan tatapan
heran. Termasuk Scottie.BAGIAN LIMA
Bagai setahun rasanya menunggu bel berbunyi dan kantin mulai
sepi. Anak-anak masih menatapku dengan heran dan berbisik-bisik
sambil meninggalkan kantin. Aku masih terkejut dan rasanya ingin
ngumpet di kolong meja.
"Bayangin, dia merendahkan cewek!" gumam Randy seraya
membereskan buku-bukunya. "Akhirnya si mulut besar itu kena
batunya dan nggak bisa membual lagi."
"Kau sebut dia besar mulut?" akhirnya bisa juga aku bersuara,
"Bagaimana dengan dirimu sendiri? Mulut besar! Teganya kau
mempermalukan aku!"
"Katie," Randy menghampiriku. Anting-anting besarnya
bergoyang-goyang. "Masa kamu nggak ngerti? Kulakukan ini untuk
kebaikanmu! Kamu nggak akan membiarkannya melagak seperti tadi
lagi kan?"
Yang kutahu hanyalah; Randy baru saja mengumumkan pada
seisi sekolah bahwa aku akan ikut tes seleksi pemain hoki dan ingin
masuk regu tim hoki. Aku merasa muak. Kuambil tasku dan
melangkah menuju pintu.
"Katie," panggil Sabrina. "Mau ke mana?"
"Ke kelas!" teriakku tanpa berpaling lagi.Kulalui siang ini dengan mencoba menghindari setiap orang.
Semua anak tetap menatapku dengan tatapan aneh tiap berpapasan.
Terus terang saja, aku benar-benar marah pada Randy hingga sikap
anak-anak nggak kurasakan lagi. Mana mungkin aku ikut test seleksi
itu? Sudah jelas seleksi itu hanya buat cowok!
Ketika bel terakhir berbunyi, aku segera lari menuju loker. Di
pintu loker ada catatan dari Sabrina. Katanya ia dan Allison akan
belanja untuk persiapan acara begadang kami.
Bagus. Itu artinya aku harus pulang bersama Randy! Padahal
aku lagi nggak ingin ketemu dia sekarang. Aku ingin bicara dulu
dengan Sabrina untuk meredakan emosiku. Mulai terpikir olehku
untuk menarik diri dari acara begadang itu, tapi sudah terlanjur
kuceritakan hal ini pada Ibu dan Emily. Kalau kubatalkan, tentu
mereka akan menanyakan alasannya. Dan aku tak mungkin
menceritakan alasannya. Berarti aku harus tetap ke rumah Sabrina.
Kulangkahkan kaki ke pintu gerbang dan kulihat Randy duduk
di anak tangga. Ia kelihatan lesu. Kucoba menghindarinya dan
berbalik arah. Kuharap ia belum melihatku tapi....
"Hei Katie! Tunggu!" panggil Randy.
Aku berbalik dan mencoba tersenyum. "Oh, hai!" kuusahakan
untuk bersikap biasa-biasa saja. "Kupikir kau sudah berangkat ke
rumah Sabrina."
"Ya. Aku nunggu kamu. Kita sama-sama ya?"
Lalu kami mulai melangkah bersama. Di tengah perjalanan
Randy mulai bicara lagi tentang kejadian makan siang tadi.
"Mh, tentang kejadian siang tadi di kantin, kamu masih ingat?"


Girl Talk 02 Berani Tampil Beda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mana mungkin aku melupakannya!" seruku jengkel."Ya, aku minta maaf. Aku terlalu terbawa perasaanku. Tapi
rasanya aku benar. Kita nggak boleh membiarkan cowok menilai
rendah kemampuan cewek."
"Maksudmu kamu yang nggak bisa membiarkan itu kan?"
ujarku mulai marah. "Kenapa kau bawa-bawa aku segala? Sekarang,
apa yang harus kulakukan?"
Kami mengambil jalan pintas ke rumah Sabrina. Pepohonan di
tepi jalan kelihatan indah dengan hamparan daun-daun gugur
keemasan di bawahnya. Nafasku tampak mengeluarkan uap. Sebentar
lagi musim dingin tiba. Terasa dari banyaknya uap yang keluar dari
hembusan nafasku.
"Kudengar kau keluar dari pasukan pembawa bendera," Randy
mengalihkan pembicaraan.
"Ya. Betul."
"Nah. Kurasa kau sudah bosan memberi semangat tiap kali
cowok-cowok bertanding kan? Sudah saatnya cewek membuktikan
bahwa dirinya sama hebatnya dengan cowok?"
Harus kuakui, Randy pandai berbicara. Kalau saja Randy bisa
bermain skating, berani taruhan ia pasti akan ikut seleksi anggota tim
hoki. Itu pun cuma buat membuktikan semangat emansipasinya.
Bahwa cewek pun bisa seperti cowok.
Makin kupikirkan, ternyata aku makin tertarik pada gagasan
Randy. Dan akhirnya, tanpa ragu-ragu, aku mulai melepaskan
pemikiranku sebelumnya dan mulai menyukai idenya.
Kami sampai di jalanan rumah Sabrina dan Randy berbalik
menghadap lurus ke arahku."Dengar Katie. Kupikir kamu hebat sekali. Dan aku yakin tak
ada seorang pun yang bisa menghalangimu. Apalagi kelompok cowok
brengsek itu!"
"Ya, akan kupikirkan lagi," aku tersenyum padanya. Dan
kemarahanku benar-benar reda. Hilang, entah kemana. Randy toh
sudah minta maaf dan aku mulai yakin bahwa Randy melakukan
semua ini demi kebaikanku.
"Yap! Pikirin deh!" Randy nyengir. "Ah, mulai dingin nih. Kita
masuk aja yuk?"
Aku menyukai rumah Sabrina. Bangunan tua yang besar sekali.
Apalagi dengan empat orang kakak laki-laki, dua orang tua dan
hewan-hewan peliharaan, rasanya asyik deh! Tiap detik pasti ada
kejadian lucu yang terjadi di rumah ini. Sabs sering mengeluh,
katanya ia tak bisa tenang di rumahnya sendiri. Katanya ia selalu
nggak kebagian jatah memakai telepon. Padahal menurutku rumahnya
asyik banget.
Begitu tiba, segera kutelepon Ibu untuk mengabarkan bahwa
aku baik-baik saja. Begitu selesai menilpon, kulihat Sam dan dua
sahabatnya, Nick Robbins dan Jason McKee masuk. Kami semua
merasa lapar sehingga memutuskan untuk memesan pizza komplit
ukuran paling besar, dan begitu kiriman pizza datang, kami semua
duduk di meja bundar yang besar, makan sambil ngobrol.
Aku amat menyukai Nick. Tadinya aku nggak begitu kenal
mereka waktu kelas enam dulu, tapi karena tahun ini aku bersahabat
dengan Sabs, aku mulai mengenal mereka lebih akrab. Tahun lalu
Nick pacaran dengan Stacy, tapi tahun ini sepertinya mereka jadi
musuhan. Nick sebetulnya memang keren. Rambutnya pirang,matanya biru dan orangnya kocak. Kurasa Nick naksir Sabrina. Waktu
pesta dansa kemarin, Nick mengajak Sabrina menemaninya, tapi
kemudian sesuatu yang tak diinginkan mengacaukan janji kencan
mereka. Akhirnya toh mereka baikan juga di ruangan pesta.
Jason juga lumayan lucu. Rambut dan matanya kecoklatan.
Sifatnya sedikit pemalu. Kurasa, Allison agak naksir Jason. Tapi
Allison selalu mengelak, katanya ia tak pernah tertarik pada makhluk
yang namanya cowok. Dan tentang Sam, ia jadi pemimpin ?geng?.
Aku amat menyukai Sam, tapi seperti kataku sebelumnya, menurutku
ia bukan tipe cowok idealku. Aku lebih menganggapnya sebagai
kakak.
"Katie, kudengar ada kejadian seru waktu makan siang tadi,"
ujar Nick dengan mulut penuh.
"Ya. Kamu beneran mau ikutan seleksi?" Sam melahap sisa
pizza di tangannya dalam satu suapan besar, dan agaknya potongan
besar itu tertelan tanpa sempat dikunyah. Sam tercekat sesaat. Anak-
anak tertawa melihatnya.
"Pasti dong!" Sabrina menjawab untukku.
Sam mencibir pada Sabrina dan Sabrina membalasnya.
"Kita pindah ke kamarku saja yuk," ajak Sabrina.
Kami menaiki tangga ke tingkat atas dan beberapa anak tangga
lagi untuk mencapai kamar Sabrina yang terletak tepat di bawah atap.
Bentuk ruangannya unik, sudut-sudut dindingnya tak beraturan.
Sabrina mulai menceritakan bahwa ia naksir Michael Winston, teman
sekelas matematik.
"Michael Winston!" aku terperanjat. "Yang kaya kelinci itu?!
Yang giginya tonggos dan kaca matanya tebeeell... banget?""Sabrina, tiap minggu cowok yang kamu taksir selalu ganti,"
ujar Allison. "Apa nggak pusing? Aku sendiri jadi bingung."
Allison duduk di kursi goyang dan Randy tiduran di atas kasur
Sabrina. Aku duduk membelakangi Sabrina, soalnya ia lagi mencoba
mengepang rambutku ala Perancis. Begitu aku mencela Michael
Winston, Sabrina langsung menarik rambutku kuat-kuat sampai aku
merasa kesakitan.
"Eh, sabar dong!" jeritku.
"Ayo minta maaf atas perkataanmu tentang Michael barusan,"
ancamnya. "Dan Allison, kalau kamu kasihan sama Katie, kamu juga
harus minta maaf!"
"Lho, aku kan nggak ngomong apa-apa?" tukas Allison
dengan wajah tak berdosa.
Randy cekikikan. "Aku nggak tahu siapa yang kalian omongin.
Tapi yang pasti bukan cowok jelek berkaca mata profesor itu kan?"
Mendengar ucapan Randy kami semua tertawa histeris
bersamaan.
Beberapa saat kemudian kami mengganti pakaian dengan baju
tidur dan rasanya memang lebih nyaman. Randy memakai t-shirt
ukuran super gombrong. T-shirt terbesar yang pernah kulihat,
bergambar orang-orangan. Aku mengenakan gaun tidur dari flanel dan
sandal tidur pasangannya, yang dibelikan Ibu khusus untuk acara
bergadang ini. O ya, kami di sini biasa merayakan acara bergadang
bersama setiap akhir bulan Oktober. Itu sudah tradisi di sini. Kupikir
mereka akan mengomentari pakaianku, tapi nyatanya mereka
menyukainya. Bahkan menanyakan di mana membelinya. Randy jugaikut bertanya! Katanya, ia pasti membutuhkan pakaian seperti ini
untuk musim dingin nanti.
Kemudian Sabrina mengajak kami bermain.
Mainan yang khusus dibelinya bersama Ibunya untuk mengisi
waktu sepanjang malam istimewa ini. Permainan yang menarik sekali.
Tiap kali kalian salah menjawab, kalian harus menempelkan stiker
plastik di wajah kalian. Mulanya Randy nggak mau ikutan, tapi
akhirnya ia mau juga dan ? dia kalah melulu! He he he ? Bulatan-
bulatan stiker kecil itu jadi mirip jerawat. Sabrina memotret kami
waktu berwajah penuh jerawat itu dengan kameranya. Untuk kenang-
kenangan, katanya.
Akhirnya kami mulai mengantuk, dan kumasuki kantong tidur
di bawah tempat tidur Sabrina. Aku merasa bahagia sekali malam ini.
Aku bersyukur dan yakin, aku memiliki sahabat-sahabat yang paling
baik sedunia!BAGIAN ENAM
Sabtu pagi, kami menikmati sarapan yang luar biasa nikmat
bersama keluarga besar Pak Wells, ayah Sabrina. Rasanya seperti ada
jutaan orang di ruang makan. Padahal kami cuma bersepuluh. Tapi
ramainya minta ampun. Terutama bagiku. Sebab biasanya di rumah
aku hanya makan bersama Emily dan Ibu saja.
Kami merencanakan untuk pergi ke pertokoan sekitar jam
sebelas siang nanti, sehingga sempat belanja dulu sebelum film di
bioskop dimulai. Tentu saja begitu kami sampai di pertokoan, Sabrina
langsung menuju toserba Dare, tempat belanja favoritnya. Sedangkan
aku lagi bersemangat untuk jalan-jalan sendirian saja. Kumasuki
sebuah toko berpapan nama Ultimate. Kukatakan pada yang lain untuk
berkumpul di bioskop nanti.
Tokonya begitu ramai dan suara musik memenuhi ruangan. Rak
barang-barang obralan diletakkan di bagian belakang. Berbentuk
gerobak kayu, dipenuhi tumpukan berbagai barang. Aku berdiri dan
mulai melihat-lihat. Waktu kudengar suara Eva Malone, aku
bersembunyi ke bagian yang agak tertutup. Eva agaknya berada di
balik rak ini.
"Apa?" teriaknya tiba-tiba.Eva berbicara begitu keras, sehingga walaupun di tengah
suasana seriuh ini, aku masih dapat mendengarnya.
"Jangan bercanda ah," lanjut Eva. "Aku nggak percaya."
"Terserah. Aku mendengarnya dengan telingaku sendiri,"
terdengar suara BZ. Suaranya nggak begitu keras, tapi toh tetap
terdengar.
"Randy Zak yang bilang langsung pada Scottie Silver waktu
makan siang kemarin," lanjut BZ. "Kata Randy, Scottie takut disaingi
cewek. Lalu katanya lagi, Katie Campbell akan ikut tes seleksi tim
hoki Senin depan. Gila nggak tuh?"
Ternyata mereka sedang ngomongin aku! Aku paling nggak
suka diomongin orang. Lagipula jarang-jarang ada yang mau
ngomongin aku. Rasanya lucu. Seperti orang ngetop saja! Tapi yang
jelas aku nggak suka! Entah berapa lama aku harus bersembunyi
macam ini, menunggu mereka pergi. Kuharap Eva segera pergi
sebelum melihat aku dan membuatku malu di depan orang banyak.
"Malam ini Stacy ada janji dengan Scottie. Pasti Scottie akan
cerita banyak tentang kejadian itu."
"Ya. Kita keluar yuk? Toko ini mulai penuh banget," ajak BZ.
Aku masih menunggu beberapa menit untuk memastikan
mereka sudah pergi. Rasanya aku ingin segera pergi dari toko ini,
khawatir akan berpapasan dengan mereka dijalan. Tapi Sabrina,
Randy dan Allison sudah menungguku di bioskop. Kutarik nafas
panjang dan keluar dari persembunyianku. Seperti mata-mata musuh
saja. Mereka sudah nggak ada. Toko masih ramai, tapi sudah tak ada
tanda-tanda kehadiran Eva, BZ atau komplotan mereka lainnya.Menaiki eskalator, aku menuju bioskop. Sabrina sudah ada di
sana, berdiri di depan kantin yang menjual pop corn, permen dan
minuman.
Saat Randy dan Allison muncul, kuceritakan tentang kehadiran
Eva dan BZ di toko tadi.
"Jangan dipikirin," Sabrina merangkul bahuku. "Aku kan udah
bilang sebelumnya, cowok yang bisa berteman dengan Stacy pasti
bukan tipe cowok ideal buat kita."
"Waktu aku masih sekolah di New York?" Randy mulai lagi
membanding-bandingkan dengan kota kebanggaannya itu.
Sabrina dan aku langsung menatapnya dengan sorot mata
jengkel. Seperti biasa, tiap kali Randy mulai membangga-banggakan
New York di depan kami.
"?nggak ada cowok pembual macam Scottie," sambung Randy
cuek. "Kalaupun ada, pasti semua akan memusuhinya. Sekarang
tergantung dari kita untuk membuat aturan semacam itu di Acorn
Falls."
Sabrina masih menatap jengkel ke arah Randy. Randy selalu
menganggap Acorn Falls lebih kampungan dari New York.
"Hei, jangan dimasukin ke hati lho," ralat Randy menyadari
kejengkelan Sabrina. "Bukan maksudku membanding-bandingkan
Acorn Falls dengan New York."
Sabrina tersenyum kecil.
Kadang-kadang lucu juga. Randy begitu berbeda dari kami
bertiga, bahkan dari seluruh penduduk di Acorn Falls. Maksudku,
Randy biasa hidup di lingkungan yang cukup aneh di kota besar New
York. Dimana semua orang berasal dari keluarga yang kaya raya,yang nggak mementingkan naik kelas atau tinggal kelas, dan bahkan
mereka tak pernah mengenal pesta penyambutan murid baru dan tahun
ajaran baru. Apa yang ada di otaknya langsung diutarakannya dengan
spontan. Pada guru sekalipun. Randy juga sering menjawab walaupun
tak ditanya oleh Bu Staats, wali kelas kami. Gadis lain yang agak
Eng Djiauw Ong 31 Pendekar Pulau Neraka 46 Tumbal Ajian Sesat Obat Pamungkas 7
^