Pencarian

Berani Tampil Beda 2

Girl Talk 02 Berani Tampil Beda Bagian 2


mirip Randy adalah Eva. Tapi Eva tidak sepintar Randy. Eva cuma
besar mulut dan tukang gossip.
Film siang itu cukup bagus. Tapi setting film yang mengambil
suasana kotaNew York membuat Randy jadi teringat kampung
halamannya. Ia kelihatan murung waktu ayah Sabrina menjemput
kami. Ayah Sabrina mengundang kami untuk makan malam bersama,
tapi Randy bilang ia lebih suka diantar pulang saja. Dan aku pun
merasa ingin pulang ke rumah.
Hari Minggu, kutemui Randy di taman Elm seusai makan siang.
Minggu-minggu terakhir ini udara sudah sedemikian dinginnya
sehingga genangan air telah menjelma menjadi hamparan es. Randy
pun sudah mengenakan pakaian musim dingin. Ia mengenakan celana
kaos ketat warna oranye menyala, rok mini merah dan sweater biru
elektrik plus topi kuning terang. Ia jadi seperti sekotak crayon deh!
Ibunya memberikan seperangkat peralatan es skating model sekitar
duapuluh tahunan yang lalu. Tapi masih baik dan terawat. Menurutku
masih pantas dipergunakan.
Kami mengikat tali sepatu luncur, lantas Randy mulai
melangkah menuju lapangan es. Untunglah belum begitu banyak
orang di situ, sehingga kami cukup leluasa untuk berlatih. Bagus juga
buat Randy, soalnya aku yakin dia nggak suka ditonton banyak orang.
Biasanya Randy paling senang menarik perhatian orang, tapi hari iniia agak pendiam. Kurasa ia sedikit deg-degan. Amat jarang Randy jadi
sependiam ini.
Kujelaskan dasar-dasar meluncur pada Randy dengan hati-hati
dan jelas. Tentang pentingnya menjaga posisi kaki tetap lurus ke
depan. Lalu kutarik tangannya dan kami berdua mulai meluncur. Tapi
tiba-tiba Randy tersandung karena posisi kakinya yang salah dan ia
terpelintir. Karena lagi berpegangan, aku pun ikut terpelintir dan
melayang ke udara.
Kucoba menahan tawaku, tapi Randy benar-benar kelihatan
kocak, jatuh terduduk di atas es dengan wajah merah dan topi warna
kuning menyalanya. Kubantu ia berdiri dan kami mulai mencoba lagi.
Beberapa waktu kemudian, Randy mulai terampil meluncur.
Tapi ia masih harus menyesuaikan diri dengan sepatunya. Kurasa,
lebih baik belajar waktu kita berusia masih muda. Belajar di usia yang
terlalu tua akan lebih sulit. Randy cukup pandai menjaga
keseimbangan badannya, sebab sesehari ia biasa meluncur dengan
skate-board-nya.
"Katie," ujar Randy. "Kamu meluncur saja sendiri dan aku akan
belajar sendiri juga." Kelihatannya Randy mulai frustasi.
"Kau yakin bisa berlatih sendiri?" tanyaku.
"Tentu," Randy mengangguk mantap. Sampai-sampai topinya
terjatuh.
Kami berdua bergerak memungut topi pada saat yang
bersamaan sehingga kepala kami beradu dan sama-sama terjatuh ke
atas es. Kali ini aku nggak bisa menahan tawaku. Kami berpandangan
sesaat lantas tertawa terbahak-bahak bersama."Kita coba meluncur ke arah belakang yuk. Mungkin lebih
mudah bagiku," usul Randy.
Dan ternyata usul Randy itu benar. Kami berlatih di taman Elm
hingga saat makan malam tiba. Randy kelihatan sudah pandai
meluncur dengan gaya mundur. Kami menggunakan metode ?kaca
jam?, meskipun Randy nggak meluncur dengan cepat, tapi yang pasti
Randy merasa yakin dengan gerakan mundur seperti ini. Kami
merencanakan untuk berlatih tiap minggu. Aku masih belum percaya,
Randy mau belajar meluncur bersamaku. Randy memang penuh
kejutan dan tak pernah bisa diduga.BAGIAN TUJUH
Entah mengapa, jika setiap sepulang sekolah mau ada acara
yang tak begitu kusukai, rasanya waktu malah berjalan makin cepat.
Seperti hari Senin ini. Bahkan ulangan mendadak saat jam pelajaran
ilmu pengetahuan sosial tadi tidak jadi masalah buatku, dibandingkan
dengan seleksi tim hoki yang akan kujalani siangnya.
Sabrina, Randy, Allison dan aku janjian untuk berkumpul di
teras depan sekolah dan bersama-sama ke lapangan. Sabrina
membawakanku sepasang sepatu hoki es milik kakaknya, Mark. Aku
juga memutuskan pagi ini, inilah saatnya aku memakai pakaian dalam
wanita dewasa. Bra. Dan aku senang mengenakannya, sebab tak perlu
lagi khawatir dilihat orang saat berganti pakaian. Jadi pagi ini
kupinjam milik Emily. Wah! Kuharap ini keputusan yang bijaksana.
Tapi nyatanya berubah menjadi bencana besar buatku!
"Ramalan bintangmu hari ini mengatakan, akan ada kejadian
yang mengubah hidupmu dalam waktu dekat," Sabrina memberikan
informasi padaku saat kami hampir mencapai gelanggang.
"Jangan bikin Katie tambah kepikiran dong, Sab," ujar Randy.
Aku tak mengomentari apa-apa. Aku sedang bingung.
"Lho, kurasa itu adalah kejadian yang baik kok," kilah Sabrina.Aku tak percaya ramalan bintang, tapi kalau ramalannya bagus
sih lumayan buat penambah semangat. Saat kami tiba di gelanggang
aku celingukan beberapa waktu. Randy membuka pintu dan
mendorongku masuk.
"Sst...jangan nengok ya," bisik Sabrina, "Ada si hebat Stacy dan
badut-badutnya di pojok sana." Sabrina menolehkan kepadanya ke
arah Stacy.
Aku duduk di kursi rendah dan melepas jaketku sambil menarik
nafas panjang. Ini adalah sebagian nasihat Sabrina, satu cara untuk
menenangkan diri. Aku merasa semua mata tertuju ke arahku dan itu
membuatku merasa canggung. Seumur hidup belum pernah aku jadi
pusat perhatian sedemikian banyak orang. Rasanya benar-benar aneh.
"Kalian ngeliatin apa sih? Heh!" tanya Randy. "Emangnya
belum pernah liat cewek ya?"
Ucapan Randy agaknya terdengar oleh Brian Williams. Ia
menyenggol Scottie dengan sikutnya. Scottie hanya melirik sedikit,
mendengus pada Brian seolah kehadiranku tak berarti apa-apa
baginya. Lalu ia meluncur di es.
Pelatih membunyikan peluit dan semua peserta seleksi harus
berkumpul di tengah lapangan es. Nama pelatih kami adalah Budd.
Orangnya agak gemuk, wajahnya bundar dan pipinya merah. Ia telah
jadi pelatih hoki bertahun-tahun lamanya dan terkenal bertangan besi.
Kata orang ia pernah jadi pemain hoki nasional di kota Minnesota
Utara. Seseorang nampak membagikan nomer peserta pada kami dan
ketika tiba giliranku, ia segera memanggil pelatih.
"Ada apa?" tanya Pak Pelatih kurang senang.
"Saya mau ikut seleksi Pak," ujarku amat perlahan."Kau...APA??!" seru Pak Budd terperanjat seraya bertolak
pinggang.
Semua orang di dalam gelanggang memperhatikan kami. Aku
mulai gemetar.
"Siapa namamu?" tanyanya.
"Katie. Katie Campbell," ujarku dengan suara perlahan.
"Dengar Katie," suara Pak Budd agak lembut. "Saya akan
memimpin seleksi di sini sekarang. Besok kamu boleh kembali lagi
dan main es skating dengan gratis sesuka hatimu. Sebab besok
gelanggang ini dibuka untuk umum. Mengerti?"
"Tidak Pak. Bapak tidak mengerti," sahutku tetap dengan suara
lembut namun lebih tegas. "Maksud saya?mh?saya mau ikut seleksi
ini dan bergabung dengan tim hoki."
Kudengar tawa beberapa anak laki-laki.
"Diam!!!" teriak Pak Budd pada anak-anak yang tertawa. "Maaf
Katie, tapi selama ini tidak ada dan tidak akan pernah ada seorang
gadis dalam tim hoki saya. Ini adalah olahraga untuk anak laki- laki.
Titik."
Kemudian sebuah kejadian yang paling aneh pun terjadi saat si
pendiam dan pemalu Allison bangkit dari kursinya. "Maaf pak,"
serunya dengan suara tegas dan lantang, "tapi menurut hukum Anda
harus menerima Katie."
Kini seluruh perhatian pindah ke Allison, termasuk tatapan
terkejut Pak Budd yang menatap Al dengan mulut menganga.
Aku pun terkejut setengah mati. Tak dapat kupercaya, Allison
bisa bicara lantang dan dengan tegas membantah tindakan seorangguru! Anak-anak lain belum pernah ada yang berani, kok anak
sependiam Allison bisa senekad itu ya?
"Bapak ingat pasal IX?" tanya Allison. Karena Pak Budd tak
menjawab, Al melanjutkan kalimatnya, "sejak tahun 1972, pasal IX
dari peraturan pendidikan federal menyatakan bahwa tak ada seorang
warga negara pun yang boleh dikeluarkan, dicegah atau didiskriminasi
dari sebuah kegiatan pendidikan atau aktifitas lain yang dibiayai oleh
pemerintah. Dan itu termasuk tim Anda, Pak."
Setelah menarik nafas panjang, Al melanjutkan, "Saya kira itu
berarti Bapak harus menerima Katie dalam tes seleksi ini. Kalau tidak,
berarti Bapak melanggar hukum."
Lalu Allison duduk. Randy mulai bertepuk tangan, Sabrina
juga. Tapi begitu Pak Budd menatap galak ke arah mereka, tepukan
itu berangsur berhenti.
Lalu Pak Budd menyuruh membagikan nomer peserta padaku.
Dan tanpa menoleh ke arahku ia menyuruhku berganti pakaian.
Rasanya nggak percaya deh! Aku benar-benar akan ikut tes seleksi!
Kuikuti anak-anak lain menuju kamar ganti dan mengambil
seragam. Tapi seseorang mencolek bahuku. Aku menoleh. Ternyata
Scottie. Wajahnya tak kelihatan bersahabat.
"Kamu dilarang masuk ke sana," Scottie menunjuk arah kamar
ganti, "Itu kamar ganti cowok. Ngerti?"
Aku merasa malu.
"Y?ya, aku tahu," sahutku berusaha untuk kelihatan tegar.
Sebenarnya aku nggak tahu adakah ruang ganti untuk cewek. Dan
kalaupun ada, di mana letaknya?Aku melangkah dan mulai mencari-cari. Rasanya seperti orang
bego, celingukan ke sana ke mari. Hampir aku nangis. Untung Flip
datang menghampiri dan memberi informasi padaku.
"Kalau kamu mau ganti pakaian, tuh di kamar ganti umum
saja," ia menunjuk ke sisi gelanggang yang lain.
Kuucapkan rasa terima kasihku lewat senyuman dan pergi.
"Katie," panggil Flip.
"Ya?" kutolehkan kepala.
"Semoga sukses!" ia berseru sambil tersenyum padaku.
"Makasih Flip. Trims banget."
Bergegas aku menuju ruang ganti, tapi ternyata di sana tak ada
lampu sama sekali. Aku berusaha mencari stop kontaknya, tapi yang
kudengar malah suara Pak Budd meneriakkan peringatan bahwa
waktu ganti pakaian tinggal dua menit lagi. Rasanya aku terpaksa
berganti pakaian dalam kegelapan.
Agak ngeri juga, sendirian di ruang segelap ini. Ada sebuah
jendela yang membiaskan seberkas cahaya, jadi sedikit membantu
penglihatanku. Kubuka pakaianku, oh ya, aku memakai bra Emily!
Ukurannya betul-betul kebesaran untukku dan bentuknya amat
menonjol. Aku ragu apakah tetap memakainya atau melepasnya, yang
jelas seharian ini membuatku merasa nggak nyaman. Aku yakin, di
lapangan nanti anak-anak lain akan melihat kejanggalan bila aku
mengenakannya. Kuputuskan untuk melepasnya. Tapi kaitnya macet.
Susah payah kucoba melepas kait di punggungku, tapi tetap macet.
Akhirnya kulepaskan tali bahunya dulu dan kuputar sedemikian rupa
hingga letak kaitnya ada dibagian depan dan dapat kulihat di mana
macetnya.Dadaku berdebar amat cepat saat kudengar teriakan-teriakan
memberi semangat mulai terdengar dari luar, aku tahu aku pasti
terlambat. Secepat kilat kubuka jeans-ku dan kukenakan seragam
hoki. Untunglah aku telah belajar cara menggunakan seragam hoki
dari mengamati cara berpakaian Ayahku sejak dulu. Ada pelindung
bahu dari busa tebal, pelindung dada, pelindung siku tangan, pinggul
dan kaki. Aku rasanya jadi seperti sepotong kasur. Lalu aku duduk
dan mengikat tali sepatu luncurku.
Waktu aku keluar ke lapangan, Pak Budd telah membagi anak-
anak dalam beberapa kelompok. Kuabaikan segala tatapan heran dan
seruan anak-anak yang menonton, juga tatapan sinis dari anak-anak
cowok di lapangan. Kudengar teriakan Randy, Sabrina dan Allison.
"Maju terus Katie!!" Agak malu aku mendengarnya tapi teriakan itu
toh membantu semangatku.
Sesungguhnya aku ingin melambai pada Sabrina, Randy dan Al,
tapi pasti akan kelihatan aneh. Kutatap para peserta seleksi lain yang
semuanya adalah cowok, mereka kelihatan tegang.
"Oke...," Pak Budd menepuk-nepukan tangannya. "Ayo kita
mulai kerja keras!"
Peluit dibunyikan dengan tiba-tiba. Semua menghentikan
gerakannya.
"Campbell, apa yang terjadi dengan seragammu?" tanya Pak
Budd dengan berteriak.
"Hei, lihat belakangmu Katie," ujar Scottie menghampiriku.
Seisi gelanggang tertawa terbahak-bahak. Kuraba bagian
belakangku dan ternyata ? bra brengsek itu masih nyantol,
tergantung di situ!Kalau tadi aku merasa amat malu, kini lebih buruk lagi. Semua
mata memandangku. Tentu saja mereka tahu itu bukan milikku sebab
ukurannya besar dan dengan dada yang masih rata seperti ini jelas aku
tak memerlukannya. Lalu apa yang harus kulakukan sekarang?
"Katie, tolong bereskan pakaianmu di kamar ganti," ujar Pak
Budd. Aku heran, nada suaranya perlahan dan tidak kedengaran
marah. Kulepaskan braku dan meluncur menuju kamar ganti. Di sana
kusimpan benda sialan itu kedalam tas dan aku terduduk lemas di
kursi.
Gila! Aku benar-benar mengacaukan segalanya! pikirku cemas.
Saat kutengadahkan kepalaku, kulihat Sabrina, Randy dan Al
tengah berdiri dihadapanku.
"Kok bisa sih, ada Bra nyangkut di punggungmu Katie?" tanya
Sabrina.
"Mana aku tahu!" teriakku sambil menangis, "Rupanya aku
terburu-buru. Nggak tau deh bagaimana caranya bisa nyangkut di situ!
Sekarang apa yang harus kulakukan? Nggak mungkin kan aku keluar
lagi?" isakku.
"Kupikir kau justru harus keluar lagi," bisik Allison lembut.
Tiba-tiba kudengar peluit Pak Budd.
"Campbell! Cepat keluar!!" teriaknya.
Semua mulai tertawa lagi melihatku keluar dari kamar ganti.
"Semuanya tenang!" Pak Budd berteriak lagi. "Ini bukan
lelucon tapi tes seleksi! Sekarang semua bersiap dan kita mulai!"
Kami membentuk posisi bermain es skating ala Indian. Kami
berbaris mengelilingi gelanggang. Orang pertama harus melakukan
sprint ke ujung gelanggang dan kembali ke barisannya. Kemudianorang kedua dan orang berikut melakukan hal yang sama sampai
semua dapat giliran, termasuk aku. Lantas kami mulai melatih gerakan
lain. Semuanya berat, tapi lumayan, bisa mengalihkan pikiranku
tentang kejadian barusan yang amat memalukan.
Akhirnya kami selesai. Aku meluncur meninggalkan
gelanggang dan melepaskan helm pelindung kepalaku, duduk di tepi
beberapa saat sambil mengatur nafas. Kulihat anak-anak lain juga
melakukan hal yang sama.
"Saya melihat banyak pemain hoki yang baik hari ini," ujar Pak
Budd. "Pertahankan kerja bagus ini dan kita akan mendapatkan tim
juara. Sampai ketemu besok!"
Aku bangun dan melangkah menuju ruang ganti. Randy,
Sabrina dan Al beranjak dari tempat duduk penonton dan
menghampiriku. Aku menunggu mereka, menghentikan langkah.
"Katie...," desis Sabrina, "Kau benar-benar luar biasa deh!
Kamulah yang terbaik! Berani taruhan, kamu pasti lolos seleksi ini!"
"Darimana kamu tahu? Kita ?kan baru latihan sedikit," kilahku
merendah.
"Menurutku pun penampilanmu bagus," tambah Allison.
"Makasih Al," jawabku, "tapi banyak anak lain yang lebih jago.
Dan kuharap aku bisa bertahan sampai seleksi ini selesai. Cape sekali


Girl Talk 02 Berani Tampil Beda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rasanya!"
"Gimana kalau sekarang kita pergi ke Fitzie?s?" usul Sabrina.
"Dan kau juga ikut. Nggak usah mikirin kejadian tadi lagi deh...."
"Iya kamu juga nggak usah nyebut-nyebut lagi dong," Randy
menyikut Sabrina."Iya deh iya...," ujarku, "Aku ikut. Tapi kalian musti
menggendong aku lho!" aku nyengir dan meraba lenganku. Rasanya
ada urat yang nyeri, baru kurasakan sekarang. "Aku ganti pakaian.
Tunggu ya...."
Aku mandi dengan cepat dan menjaga agar rambutku tidak
basah, sebab aku lupa membawa pengering rambut. Lalu aku
berpakaian dan memastikan bahwa bra Emily tadi tidak ketinggalan.
Begitu tiba di Fitzie?s kami berhenti di luar dan mengintai
keadaan di dalam lewat kaca. Kulihat ada Scottie, Flip, Brian dan
beberapa anak lain dari tim hoki menempati meja di pojok kanan
dekat kotak musik. Stacy, Eva, Laurel dan BZ juga ada. Mereka
cekikikan sambil makan kentang ramai-ramai seolah-olah sedang
merayakan ulang tahun. Siapa pun yang duduk di situ bebas
memasang lagu dari kotak musik. Tiap tahun, hanya anak-anak yang
cukup populer saja yang bisa menempati tempat strategis itu. Dan
tahun ini kelompok Scottie yang berjaya.
Satu-satunya tempat kosong adalah beberapa meja jauh dari
tempat Scottie. Kami segera menuju ke meja kosong itu. Aku
melangkah tanpa memperhatikan anak-anak lain.
"Pesan apa?" tanya pelayan dengan seragam merah-putih.
"Coca Cola Diet satu," ujar Randy cepat. Randy selalu
memesan makanan-makanan untuk orang diit seolah-olah nggak sadar
bahwa tubuhnya sudah mirip tiang listrik.
"Satu es krim soda berdua ya Al?" ujar Sabrina. Aku tahu
Sabrina akhirnya nanti akan menghabiskan es krim itu sendiri.
Soalnya Allison hampir nggak pernah menyentuh yang manis-manis.
Allison tersenyum penuh pengertian dan mengangguk. "Boleh."Lalu pelayan menoleh ke arahku.
"Saya nggak pesan apa-apa," gelengku. Entah kenapa, perutku
rasanya penuh.
Sabrina mengambil sedotan dan menggigit-gigit sambil
celingukan memperhatikan situasi kafetaria. Tatapannya berhenti di
arah meja Stacy.
Agaknya Stacy tahu bahwa kami tengah memperhatikannya,
karena kulihat ia membalikkan tubuhnya dan melirik tajam ke arahku.
"Wah, wah, nggak salah lihat nih?" teriaknya lantang, "Ratu es
skating, Katie Campbell!"
Semua yang ada di sekitar mejanya dan langsung ikut
menatapku. Sayangnya aku merasa terjepit dan tak bisa menjawab
sepatah kata pun. Randy duduk di sebelahku dan ia menahanku untuk
tidak meninggalkan kafetaria. Randy tak akan menghentikan
pertikaian ini. Rasanya aku ingin ngumpet di kolong meja saja deh.
"Katie, kurasa kau perlu berlatih cara menggunakan Bra," sindir
Eva, mengundang tawa anak-anak.
"Bagus Eva!" Brian ikut mendukung tindakan penghinaan itu
sambil memukul-mukul mejanya.
"Aku nggak akan ngomong banyak deh, Eva," tukas Randy,
"Kamu pakai Bra atau nggak, tetap saja takkan ada cowok yang akan
melirikmu soalnya kelakuanmu nol besar!"
"Diam kamu Zak!" sela Stacy agak membentak.
"Hei Katie," teriak Scottie tiba-tiba, "sebaiknya mulai sekarang
kamu hati-hati. Untung pada latihan pertama tadi cowok-cowok masih
bermain santai. Besok kita akan tunjukkan permainan keras!"
Stacy dan Eva tersenyum nyinyir ke arahku."Randy, aku capek dan ingin pulang," kutarik lenganku dari
pegangan Randy yang sejak tadi menahanku untuk tidak
meninggalkan kafetaria.
Sabrina bangkit menyusulku. "Aku akan menemanimu Katie."
Kami berdua mencapai pintu keluar dengan kepala tengadah
dan menyibukkan diri membicarakan sesuatu sehingga nggak ada
yang mengganggu kami. Satu kata yang kudengar sebelum
meninggalkan kafetaria adalah sebuah bisikan, "Lihat saja, nanti juga
dia kena batunya!"BAGIAN DELAPAN
"Katie?" panggil Emily begitu mendengar bantingan pintuku.
Aku bersiap untuk segera lari masuk kamar, tapi Emily lebih
cepat. Sebelum aku sempat beranjak ia sudah turun dari kamarnya.
"Aku ingin bicara denganmu," ujarnya tegas. Dilipatnya kedua
tangan di dada. Aku berbalik dan melangkah ke dapur diikuti oleh
Emily. "Waktu Ibu mendengar kamu bergabung dengan tim hoki, Ibu
benar-benar jadi marah!"
Kuambil sebotol susu dari kulkas dan menuangnya ke dalam
gelas. "Ibu mana sih?" tanyaku datar, seolah-olah tidak gentar
mendengar peringatan Emily. Memang benar. Ibu pasti marah besar,
terutama setelah kejadian minggu lalu, waktu aku memutuskan keluar
dari pasukan pembawa bendera tanpa alasan yang masuk akal.
Kuharap Ibu tak mengungkit-ungkit kesalahan itu lagi. Bisa-bisa nanti
ijin keluar rumahku dicabut dan aku dikurung di rumah hingga usia 70
tahun!
"Sepuluh menit lalu Ibu menilpon dari kantor," lanjut Emily,
"Katanya akan pulang terlambat. Kau beruntung."
"Katie," ujar Emily lagi dengan nada suara lebih ramah.
Sebentar lagi pasti ia akan memberikan nasihat dengan gaya seorang?kakak sejati?. "Kamu bener-bener nekad deh. Kamu kan tahu, hoki
bukan olahraga untuk anak perempuan?"
Kutatap matanya tanpa menjawab.
"Dengar Katie, aku dan Ibu hanya ingin membuatmu bahagia.
Maksudku, selama ini orang-orang memang sering membicarakan
dirimu tapi hanya untuk hal-hal yang baik dan membanggakan. Tapi
sekarang...."
"Mereka membicarakan hal buruk tentang diriku dan kau
malu?" selaku. "Kalau begitu bilang saja aku ini bukan adik
kandungmu. Bilang saja kau menemukanku di hutan dalam usia dua
tahun lantas mengadopsiku sebagai adik angkat. Lebih baik untukmu
kan?"
"Kok kamu jadi kasar gitu sih?" pekik Emily jengkel
mendengar jawabanku. "Aku kan cuma berusaha menolongmu!"
Kuambil gelasku dan pindah ke ruang duduk. Kulihat sekelebat
cahaya terang dari balik jendela. Cahaya lampu mobil. Pasti Ibu. Lalu
kudengar pintu mobil ditutup dan langkah Ibu menaiki serambi.
Lantas pintu dibuka.
"Hai anak-anak...," ujar Ibu seraya melangkah masuk. Ibu
langsung mendudukkan diri di sofa. Emily dan aku mendekatinya.
Kupikir ruang duduk kami benar-benar indah. Kelihatan bersih
tanpa satu pun majalah berserakan. Ada beberapa jambangan berisi
potongan bunga dari kebun sendiri. Sofa kami berwarna putih gading
dengan bantal-bantal warna merah mawar lembut tersebar di atasnya,
dan diletakkan menghadap pintu masuk. Di sudut ruangan ada sebuah
piano dengan beberapa bingkai foto di atasnya. Gambarku dan Emily
waktu masih kecil, tersenyum bangga dengan ikan hasil tangkapankami, gambar Emily dengan seragam pom-pom girlsnya dan ada juga
gambarku bersama teman-teman dari kelas enam setahun lalu. Ibu
menyingkirkan semua yang bisa membuatnya teringat pada almarhum
Ayah. Kurasa kenangan itu membuat Ibu sedih.
Ada dua kursi menghadap ke arah sofa. Keduanya berwarna
putih gading dengan garis merah mawar lembut. Kuputuskan untuk
duduk di situ. Emily duduk di sebelah Ibu, di sofa. Rasanya seperti
dalam posisi dua lawan satu. Nggak adil.
"Katie, mari sini duduk bersama Ibu," ajak Ibu memulai
pembicaraan. "Ibu mendengar khabar yang tidak menyenangkan. Tadi
Ibu bertemu dengan Nyonya Simon di supermarket. Katanya, Hilary,
anaknya, bilang kau ikut tes seleksi untuk tim hoki." Ibu lantas
menatapku beberapa detik tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Dapat kurasakan Emily juga melakukan hal yang sama. Menatapku
dengan sorot mata penuh simpatik.
Tapi apa yang bisa kuharapkan darinya? Ibu benar-benar marah
sekarang.
"Bukankah minggu ini kita telah membicarakan sesuatu
Katherine?" tanya Ibu akhirnya. Beliau mengucapkan kata perkata
dengan amat perlahan dan jelas. Aku tahu kalau Ibu sudah
menyebutku dengan ?Katherine?, tandanya beliau benar-benar sudah
di puncak kemarahannya.
Karena itu aku memilih untuk diam, soalnya sebetulnya kalimat
tadi bukannya pertanyaan yang harus dijawab. Lebih tepat sebagai
suatu peringatan.
"Ya Bu," sela Emily, seraya menatapku seolah-olah ia telah
membantuku menjawab pertanyaan Ibu untukku.Ibu melirik Emily sedikit. "Ingat apa kata Ibu?" Ibu lalu beralih
padaku lagi. "Ibu tidak suka kau bermain dengan anak laki-laki dalam
permainan yang kasar." Ibu menatapku dengan tajam.
"Ya Bu, tapi...."
"Dengar," Ibu memotong kalimatku. Rupanya beliau sama
sekali tak tertarik untuk mendengar alasanku. "Ibu tidak mau
mendengar apa pun lagi tentang hoki. Kau tidak boleh mengikuti
seleksi tim hoki itu lagi! Apakah cukup jelas Katie?"
Aku diam. Ibu bangun dari kursinya, artinya pembicaraan
ditutup dan itu adalah keputusan Ibu yang tak bisa dibicarakan lagi.
Tak akan kubiarkan Ibu melakukan hal ini padaku. Maksudku, aku
akan tetap dan harus melanjutkan seleksi itu. Emily dan Ibu tak perlu
mengatur jalan hidupku macam ini.
"Bu, bolehkah saya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi?
Sebentar saja?"'aku memohon.
"Tidak ada yang perlu dijelaskan," tukas Ibu. "Ibu tak mau
membicarakannya lagi!"
Membicarakan? Kurasa kita sama sekali tak membicarakan apa-
apa sejak tadi. Hanya Ibu yang berkesempatan bicara, aku tak diberi
kesempatan sedetik pun untuk mengutarakan isi hatiku. Aku mulai
marah. Selama ini aku selalu menjadi seorang anak yang patuh, tapi
kali ini berbeda. Aku berhak mendapat kesempatan. Sebelum sempat
kucegah, tahu-tahu aku sudah bangun dari kursiku dan mengejar Ibu.
Aku seperti menjadi orang yang berbeda dan bibirku gemetar.
"Saya akan tetap ikut tes seleksi itu," ujarku dengan suara
meninggi, "terserah Ibu setuju atau tidak. Dan saya tak mau menjadi
gadis pembawa bendera seperti harapan Ibu, hanya karena Emily jugaanggota pasukan pembawa bendera. Saya ingin main hoki seperti
Ayah! Ayah pasti mengijinkan bahkan akan mendukung saya main
hoki kalau saja beliau masih ada!"
Air mata langsung membanjir dari mataku membasahi wajahku.
Mulut Ibu ternganga karena kaget mendengar jawabanku. Sebelumnya
tak pernah aku berteriak pada Ibu ataupun membantahnya. Tapi kali
ini jelas berbeda. Aku ingin sekali ikut tes seleksi tim hoki, sementara
Ibu tak mempunyai satu pun alasan yang tepat untuk melarangku.
Kutinggalkan ruang duduk dan masuk ke kamarku dengan
membanting pintu. Beberapa menit kemudian terdengar ketukan di
pintu. Aku pura-pura sudah tidur.
"Katie," terdengar suara Ibu dan pintu pun terbuka, "Ibu ingin
bicara sedikit lagi," ujar Ibu lembut.
"Mhh...," kusembunyikan kepalaku dalam bantal.
"Katie," bisik Ibu, "Kesedihanmu juga kesedihan Ibu. Tapi kau
harus mengerti, apa yang Ibu perbuat adalah demi kebaikanmu. Dan
hal itu tidak mudah, apalagi Ibu sendirian, tanpa Ayah...."
Kuintip wajah Ibu dari balik bantal.
"Setidaknya kau toh dapat membicarakan dulu dengan Ibu
sebelum kau memutuskan segala sesuatu," lanjut Ibu, "Maksud Ibu,
akan lebih baik jika hal itu Ibu dengar langsung darimu. Kau tahu,
bagaimana perasaan Ibu waktu mendengar dari Nyonya Simon?
Terkejut. Tapi Ibu pura-pura sudah tahu. Apa katanya nanti kalau Ibu
tidak tahu menahu soal anak Ibu sendiri?"
"Maafkan Katie tentang itu Bu," gumamku menyadari sulitnya
posisi Ibu. Seharusnya memang aku melapor pada Ibu lebih dulu dan
beliau tak perlu mendengarnya dari orang lain."Ya. Ibu mengerti perasaanmu," Ibu tersenyum kecil,
"Tidurlah."
Ibu membelai rambutku dan melangkah meninggalkan ruangan.
Dadaku terasa sesak. Mengapa semuanya jadi serumit ini?BAGIAN SEMBILAN
Esoknya, sepanjang hari di sekolah terasa tidak begitu lancar.
Wali kelas kami, Bu Staats, memintaku menjawab pertanyaannya;
Siapa penulis buku terkenal ?The Great Gatsby?. Kujawab; F. Scottie
Fitzgerald. Dan seisi kelas tertawa riuh mendengarnya. Kurasa karena
mereka tahu tentang aku dan Scottie sehingga aku salah menyebut
nama depan penulis buku itu dan menyebut nama Scottie. Aku benar-
benar tertekan. Ingin kutemui Sabrina dan menanyakan apakah
ramalan bintang menjanjikan hari-hari yang lebih baik untukku.
Kujumpai Allison, Sabrina dan Randy di gerbang depan saat bel
akhir berbunyi. Kuambil sepatu pemberian kakak Sabrina, Mark, dan
kami bertiga berangkat ke gelanggang bersama. Kata Sabrina, kakak-
kakaknya tidak membicarakan apa-apa tentang seleksi hoki. Jadi
kupikir, hari ini latihanku akan berjalan lancar tanpa rencana-rencana
busuk anak laki-laki untuk menjungkirkan aku dari seleksi. Semoga
dugaanku benar.
Latihan hari Kamis tidak begitu berbeda dari Senin kemarin.
Hanya saja hari ini aku tahu dimana harus berganti pakaian. Kuambil
seragam dari meja di samping lapangan dan segera menuju kamar
ganti umum. Kali ini aku tak terburu-buru, lagipula lampu sudahdinyalakan, dan yang paling melegakan adalah bahwa aku tidak
mengenakan Bra hari ini.
Di hari Rabu, aku merasa perutku seperti dipenuhi pasir.
Mungkin akibat latihan keras hari Senin.Tak pernah kubayangkan
akan sesakit ini rasanya. Allison, Randy dan Sabrina kali ini juga ikut
menyaksikan latihan. Randy memberiku semangat, "Tabahlah, Katie!"
katanya.
Pak Budd mengelompokkan aku bersama Flip. Flip kelihatan
tak begitu menyukai kehadiranku dalam kelompoknya. Kucoba untuk
menatapnya, tapi ia sama sekali tak memperhatikan aku. Kurasa ia
benar-benar tak suka.
Setelah latihan pemanasan dan beberapa gerakan dasar seperti
dua hari sebelumnya, Pak Budd membunyikan peluitnya dan
kelompok pertama harus masuk ke lapangan. Flip meluncur di
sebelahku. "Hati-hati serangan musuh dari belakang Katie!" bisik
Flip. Bagus. Ini berarti anak laki-laki akan benar-benar bermain keras
sekarang. TEENLITLAWAS.BLOGSPOT.COM
Yang lebih buruk lagi, ternyata kelompokku harus berhadapan
dan bertanding latih dengan kelompok Scottie. Kemarin Pak Budd
memang mencampur kelompok anak-anak yang memang telah
tergabung dalam tim hoki dan kelompok anak-anak baru untuk
melihat bagaimana kekompakan permainan kami. Ia menempatkanku
di sayap kiri. Tak heran Scottie ditempatkan sebagai pemain tengah.
Aku dapat mengerti mengapa Pak Budd menempatkanku di sayap kiri.
Tak ada pemain yang berharap ditempatkan di posisi itu kecuali ia
pemain kidal yang bermain dengan tangan kirinya. Posisiku menjadi
lebih sulit karena aku tidak kidal. Untuk membuat gol rasanya takmungkin. Tahun lalu, Brian Williams yang menjadi pemain sayap kiri.
Dan ia hebat!
Kami mulai menyerang. Bola dioper padaku tapi aku tak dapat
bergerak leluasa. Barisan pertahanan menghadangku dan mematikan
langkahku dengan menyikut pinggulku. Ia memukulku cukup keras
hingga aku terguling jatuh di atas es.
Kesempatanku berikutnya menggiring bola juga digagalkan
oleh Scottie. Ia menjegalku dan membuatku membentur tembok
dengan keras lalu jatuh lagi ke lapangan. Rasanya seperti terjepit dan
terpukul bertubi-tubi. Tubuhku begitu sakit hingga sulit untuk
bergerak lagi. Anehnya Pak Budd sama sekali tak memberi peringatan
pada mereka atas permainan keras ini.
Sepertinya, tiap kali aku mulai mendapat kesempatan
menyerang, lawan akan menumbangkanku. Ketika akhirnya aku
berhasil memasuki garis pertahanan lawan, menggiring bola, anak-


Girl Talk 02 Berani Tampil Beda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anak dari kelompokku tak berada dalam posisi menyerang sehingga
aku tak tahu kemana harus mengoper bola. Lalu datang Scottie
menghadang dan menyikutku sampai terjatuh. Bola direbut. Aku
menunggu peluit peringatan dari Pak Budd, tapi nyatanya ia
membiarkan saja.
Tak dapat kupercaya, Pak Budd membiarkan anak laki-laki
berbuat begitu kasar terhadapku. Maksudku, seharusnya Pak Budd
bisa melihat sendiri bahwa mereka telah melakukan pelanggaran dan
sengaja menterorku. Tapi ia hanya berdiri dan memperhatikan saja.
Hal itu membuatku merasa terpukul. Kurasa ia pun menginginkan aku
mengundurkan diri dari tim hoki, jadi dibiarkannya aku menerima
perlakuan keras macam ini. Ia membiarkan anak-anak menyakiti danmembuatku takut untuk melanjutkan seleksi ini. Atau bisa juga ia
ingin aku cedera berat sehingga tak dapat mengikuti latihan seleksi
selanjutnya. Apa pun maunya, yang jelas aku tak akan membiarkan
hal itu terjadi! Seumur hidup aku belum pernah disingkirkan macam
ini! Aku akan bertahan! Pada kesempatan lain, kugiring bola
sendirian, dan waktu tak kulihat seorang pun anggota kelompokku
akan membantuku, kulakukan satu tembakan langsung sendiri dan ?
Goool!!! Saat waktu berakhir, Pak Budd baru membunyikan
peluitnya. Tubuhku benar-benar susah digerakkan kali ini. Susah
payah akhirnya kucapai juga tempat duduk di tepi lapangan. Aku tetap
berusaha kelihatan baik-baik saja, sebab kalau mereka tahu keadaanku
yang sebenarnya, mereka pasti akan merasa sukses bisa menyakitiku.
Sekujur tubuhku nyeri. Dan kini giliran kelompok lain berlatih
tanding. Aku segera menyingkir ke kamar ganti.
Di kamar ganti, kucoba melepaskan seragam bagian atas. Tapi
terasa urat-urat lenganku tertarik saat kugerakkan. Rasanya persis
seperti habis terkena luka bakar akibat terlalu lama berjemur di pantai.
Setelah beberapa kali mencari posisi yang lebih nyaman, akhirnya
berhasil juga kulepaskan semua seragamku. Pinggangku terasa nyeri
dan kaki kiriku seperti habis dipukul dengar palang besi. Tulang
pinggulku pun nampak biru lebam. Kurasa seluruh tubuhku akan biru-
biru besok.
Aku beranjak keluar dengan pakaianku dan membawa semua
perlengkapan ke luar. Saat aku tiba diluar, semua anak-anak sedang
duduk di sekeliling lapangan dan mendengarkan pengarahan dari
pelatih. Ternyata semua penonton sudah tak ada di tempat, termasuk
Randy, Sabrina dan Allison. Mungkin pelatih yang membubarkanmereka dan tidak mengijinkan penonton ikut mendengar diskusi kecil
kami kali ini. Jadi, aku harus pulang sendirian tanpa teman-temanku.
Padahal aku ingin minta tolong mereka membawakan barang-
barangku yang berat ini. Hari ini benar-benar cobaan terberat dalam
hidupku!
Pak Budd memuji kekompakan permainan kami dan betapa ia
gembira melihat begitu banyak anak yang berminat bergabung dalam
tim hoki. Ia juga menjelaskan bahwa tidak semua akan diterima
menjadi anggota, hanya mereka yang terbaik dan lolos seleksi saja.
Tapi itu tak perlu membuat yang lain merasa kecil hati. Dan setelah
apa yang terjadi pada latihan hari ini, membuatku yakin tak akan
terpilih. Lagipula wajar kalau mereka tidak mengikutsertakanku dalam
tim mereka, karena sejak awal memang mereka tak mengharapkan
seorang anak perempuan bergabung dalam tim hoki.
Saat pengarahan selesai, segera kurapihkan barang-barang.
Semuanya terasa begitu berat. Aku butuh waktu agak lama untuk
mencapai pintu keluar. Saat aku berhasil mencapai pintu, hampir
semua anak sudah bubar.
Kuletakkan barang-barang di anak tangga pertama pintu
gerbang dan menarik nafas panjang. Aku tak tahu bagaimana caranya
bisa pulang ke rumah dengan badan nyeri dan harus menenteng begitu
banyak barang yang berat.
"Kalau kamu berminat ikut dalam olahraga laki-laki, jangan
bertingkah seperti anak manja!" tiba-tiba kudengar suara di dekatku.
Ternyata Scottie.
Aku benar-benar jengkel dan sudah muak padanya dan pada
seluruh anggota hoki yang lain. Saat itu aku benar-benar takmemusingkan apa penilaiannya tentang diriku. Aku hanya ingin
segera pulang dan beristirahat di rumah. Titik.
"Jangan ngomong soal anak manja deh," sahutku ketus. "Kamu
sendiri kelihatan seperti pengecut hari ini. Kau khawatir permainanku
lebih baik sehingga untuk menghentikan langkahku kau gunakan
kekerasan! Asal tahu saja, caramu itu tak akan berhasil!" Aku benar-
benar marah hingga tak dapat menguasai diriku. Lagipula menurutku
ia pantas menerima perkataan kasarku barusan. "Kau tak bisa
menghentikanku! Randy benar. Kau tak dapat menerima kenyataan
bahwa ada cewek yang bisa menyaingimu! Kurasa mulai saat ini kau
harus mengubah penilaianmu yang picik itu!"
Aku berharap ia menjawab perkataanku, tapi nyatanya Scottie
bungkam. Kurasa ia terkejut mendengar luapan amarahku sehingga
hanya berdiri terpaku menatapku macam orang bodoh.
Dan tiba-tiba satu kejadian paling aneh di dunia terjadi. Kami
sedang berhadap-hadapan ketika tiba-tiba wajah Scottie mendekat ke
wajahku dan ia menyapukan bibirnya ke pipiku. Setelah itu Scottie
segera kabur dan hilang dalam mobil yang membawanya pergi.
Beberapa saat aku hanya terpaku. Aku tak percaya apa yang
baru saja terjadi. Baru saja Scottie menyindir aku sebagai anak manja
yang tak berdaya, tapi beberapa menit kemudian ia malah mengecup
pipiku! Semuanya berlangsung begitu cepat, sulit dipercaya.
Ketika akhirnya aku mampu menggerakkan kakiku, kuangkat
semua barang-barang dan mulai melangkah pulang. Semua rasa nyeri
dan bawaan yang amat berat ini seolah tak lagi kurasakan.
Bayangan kejadian tadi terus membayang di benakku. Benarkah
Scottie mengecupku? Sehari-hari di sekolah ia sama sekali takmemperhatikan aku, malah kelihatan seperti memusuhiku. Di latihan
tadi juga ia seolah ingin membunuhku. Cowok yang menyukai
seorang cewek sampai memberi kecupan tentu tak perlu bersikap
sekasar Scottie tadi kan? Akhirnya kupikir semua tadi cuma lelucon.
Tapi tetap tidak masuk akal rasanya! Kuraba pipiku, tempat Scottie
mendaratkan kecupannya. Rasanya aku tak ingin mencuci mukaku
seumur hidup dan membiarkan bekas kecupan itu tetap terasa. Wah,
jangan-jangan aku benar-benar terbawa perasaan? Sepertinya aku
mulai ketularan Sabrina nih?
Sesampai di rumah, kumasuki kamar tanpa melepas jaketku dan
melepaskan semua barang-barang begitu saja di lantai.
"Katie!!" panggil Emily dari depan kamarku.
"Mau apa sih?" teriakku membuka pintu. "Masa kamu nggak
bisa ngangkat Pepper sendiri sih? Gituan aja musti minta tolong sama
aku?" Kupikir pasti si Pepper tidur di kamarnya. Emily selalu
membenci kucingku.
"O...kalau begitu kukatakan pada Sabrina bahwa kau tak ada di
rumah ya!" ujar Emily tersinggung. Rupanya ia cuma mau
memberitahu ada tilpon dari Sabrina.
"Eh, jangan dong!" teriakku seraya berlari ke bawah dan
mengangkat tilpon. "Tutup dong Emily...," teriakku dan baru mulai
bicara setelah kudengar Emily menutup tilpon paralel di kamarnya.
"Hai Sabs...."
"Hai. Eh, aku sebel deh tadi Pak Budd menyuruh kita semua
meninggalkan lapangan. Soalnya aku bener-bener pengen ketemu
kamu begitu latihan selesai. Anak-anak cowok tadi brengsek ya?
Terutama Scottie Silver!" berondong Sabrina."Scottie? Nggak ah..."
"Apa???" Pekik Sabrina. "Kok kamu bisa bilang begitu setelah
apa yang diperbuatnya padamu sepanjang pertandingan latihan tadi?"
Kurasa aku tak perlu menceritakan soal ciuman Scottie pada
Sabrina. Lagipula aku sendiri masih belum tahu apa arti kecupan itu
bagi diriku sendiri. Dan kalian tahu sendiri kan gimana sifat Sabrina?
Dia pasti membesar-besarkan kejadian itu. Tapi apa gunanya dikecup
oleh seorang cowok sekeren Scottie kalau nggak ada seorang pun
yang tahu? Sabrina toh sahabat dekatku.
"Ada sesuatu tentang Scottie...," ujarku sengaja memancing
rasa penasaran Sabrina.
"Ada apa?" Sabrina terpancing, "Apa yang terjadi tadi siang
Katie? Menurutku sikapnya tadi brengsek banget tapi kau malah
membelanya."
"Nggak ada apa-apa kok. Cuma, gimana ya. Aku pengen cerita
padamu asal kamu janji nggak akan cerita ke orang lain lagi. Janji?"
"Sumpah!" tukasnya cepat. "Apa dong?"
"Scottie Silver menciumku!" ujarku akhirnya.
"APA?!" Sabrina berteriak begitu keras di telepon.
Aku tak bisa berjalan, aku tak bisa menggerakan tubuhku dan
sekarang aku hampir tuli akibat teriakan Sabrina. Kututup telingaku
dengan telapak tanganku sesaat. "Nggak usah menjerit kayak gitu
dong. Kupingku sampai sakit!"
"Wah...aku nggak percaya. Scottie Silver, cowok paling keren
dari kelas delapan, jagoan hoki itu menciummu? Kamu? Sahabatku?
Wah....""Udah deh," kilahku, "Lagipula itu cuma kecupan di pipi.
Sumpah deh, cuma sekali dan begitu cepat kejadiannya sebelum
sempat kusadari sudah berlalu."
"Katie, sadar dong. Kamu baru saja dicium oleh Scottie Silver!"
Sabrina tetap bersemangat.
"Ingat janjimu ya! jangan cerita ke orang lain!" ulangku.
"Iya, iya," sahutnya."Yang pasti malam ini aku pasti nggak bisa
tidur. Nggak sabar menunggu sampai besok pagi di sekolah. Gimana
reaksi mereka mendengarnya ya?"
"Hei! Jangan pernah punya pikiran untuk cerita ya!" tukasku.
"Sekalipun pada Randy atau Allison. Aku takut ada orang lain yang
mendengarnya!"
"Iya, aku ?kan udah janji. Ingat Katie, besok adalah hari
istimewa. Besok nama-nama peserta seleksi yang lolos akan
diumumkan. Tidur nyenyak ya Non, Daahh...."
Gagang tilpon kuletakkan. Aku hampir melupakan segalanya
tentang tim hoki. Maksudku, aku memang telah mengikuti rangkaian
tes seleksi dan saat ini tubuhku masih utuh, meskipun beberapa bagian
terasa nyeri dan sukar bergerak normal. Aku pun mencoba melupakan
Scottie Silver dan kecupannya tadi siang. Kucoba membayangkan
hari-hariku di kelas tujuh ini. Cukup aneh!BAGIAN SEPULUH
"Minggir...minggir...nggak kelihatan nih...," seru beberapa
anak sambil mendorongku. Kulihat Sabrina, Randy dan Allison juga
bernasib sama, tak berhasil menembus ke barisan depan. Hari Jumat
ini, kami berusaha melihat papan pengumuman hasil seleksi tim hoki.
Tapi kerumunan begitu padat sehingga mendekat pun susah sekali,
apalagi mencari nama segala. Anak-anak yang sama sekali tidak ikut
seleksi juga ingin ikut melihat siapa yang berhasil masuk tim hoki.
"Hei... selamat ya Katie!" ujar seseorang padaku tiba-tiba.
Rupanya Kelly Lewis, temanku dari pasukan pembawa bendera.
"Wah...kau berhasil! Kau berhasil!" jerit Sabrina histeris sambil
melompat-lompat.
Aku hampir terduduk lemas tak percaya. Allison berdecak
kagum dan Randy kelihatan berbinar-binar matanya.
"Ah...aku nggak percaya kecuali kulihat dengan mata kepalaku
sendiri," ujarku seraya menerobos ke tengah kerumunan dan akhirnya
dengan semangat besar aku berhasil mencapai barisan depan dan
membaca papan hitam-putih itu dengan jelas.
"Katherine Campbell," desisku membaca namaku dengan rasa
tak percaya.Aku begitu gembira sehingga tak bisa berhenti untuk
tersenyum. Tiap kali kucoba mengembalikan posisi bibirku ke posisi
normal tiap kali pula ujung bibirku tertarik ke atas untuk tersenyum
dan tersenyum lagi. Agak norak sih, tapi gimana dong? Saat bel
berbunyi, aku masih tetap berdiri di situ dengan ekspresi wajah kacau.
Untung Sabrina mengambil inisiatif untuk menggiringku ke kelas.
Sepanjang pagi aku seperti melayang-layang karena gembira.
Anak-anak tak henti-henti mengucapkan selamat atas keberhasilanku.
Bahkan beberapa guru yang mengenalku juga menyelamatiku.
Saat makan siang, Sabrina membeli sepotong kue tart warna
merah muda dan menusukkan lilin kecil di atasnya.
"Tadinya lilin ini mau kunyalakan biar seru, tapi dilarang oleh
Sabrina dan Al," ujar Randy.
"Yang bener saja. Kalau ketahuan membawa korek api ke
sekolah gimana? Usulmu ngaco deh," tukas Allison.
"Iya deh...iya. Thanks lho atas peringatannya," sahut Randy
kalem.
Aku merasa sedikit malu karena sepertinya teman-temanku
begitu membesar-besarkan kesuksesanku. Maksudku, anak-anak
cowok lain yang juga lolos seleksi pun tak ada yang merayakannya
seperti kami. Tapi aku memang berbeda dari mereka, akulah cewek
pertama yang bergabung dalam tim hoki putra.
Kupotong kue-kue dalam potongan kecil dan membagi seorang
satu. Aku merasa begitu bahagia.
Jam terakhir hari ini adalah olahraga. Menyenangkan sekali,
sebab bosan rasanya duduk seharian di kelas. Saat aku sedang berjalan
menuju kamar ganti, Bu O?Neal memanggilku."Selamat ya Katie!" serunya dengan senyum di bibir.
"Akhirnya tim hoki memiliki anggota putri! Saya sudah sering
mengusulkan pada Pak Budd untuk menerima anak putri dalam tim
hoki. Namamu akan tercantum dalam buku tahunan sekolah Bradley
lho Katie!"
Wah! Aku bahkan tak tahu kalau di Bradley ada buku tahunan
segala. Kusambut jabat tangan beliau dan bergegas ke kamar ganti.
Usai sekolah, aku duduk di taman, menikmati sinar matahari.
Siang hari yang terindah di musim gugur ini. Kemudian Randy
muncul.
"Ngapain?" tanyanya. Randy kelihatan nyentrik dengan baju
gaya tahun 60-annya dan juga kaca mata kucing. Kalung bebatuan
menghiasi lehernya. Ia juga mengenakan kaus kaki tebal warna putih
yang dibiarkan melorot sampai mata kaki dan sepatu olahraga yang
juga antik.
Sebelum aku sempat menjawab, kudengar klakson mobil.
Sebuah sedan sport baru warna merah, penuh dengan anak-anak dari
kelas Emily. Terlihat kepala Scottie menyembul keluar dari jendela, ia
melambaikan tangannya ke arahku. Jantungku berdetak cepat. Scottie
melambai ke arahku? Aku begitu terpesona. Tapi kemudian dua orang
anak laki-laki dari belakangku berlari menuruni tangga, melintasiku
dan masuk ke dalam mobil Scottie.
Perutku terasa mulas. Untung saja aku belum membalas
lambaian tangannya. Bodoh sekali aku. Scottie Silver melambaikan
tangan padaku di depan anak-anak dari kelas sebelas? Tak mungkin!
"Terus?" tukas Randy.
"Oh...," aku tersipu.Lantas kuceritakan tentang kecupan Scottie tempo hari.
"Scottie Silver mencium pipimu?" Randy mengulang kalimatku
dengan wajah terkejut campur senang.
"Yah, tapi kukira itu tidak sengaja," ujarku tak bersemangat.
"Tidak sengaja?" tanya Randy sambil berhenti melangkah.
"Mana mungkin mencium seseorang secara nggak sengaja? Gimana
sih?"
Aku menatap Randy dengan agak geli mendengar
keseriusannya menanggapi kalimatku.
"Tampangmu itu lho Randy..., Hi...hi...hi..."
Akhirnya Kami berdua jadi cekikikan, lantas berubah jadi
tertawa terbahak-bahak sampai keluar airmata. Sampai-sampai susah
berjalan lurus.
"Tahu nggak," ucap Randy setelah kami sukses menahan tawa.
"Aku masih nggak ngerti, apa yang sebenarnya kau sukai dari Scottie.
Maksudku, selain tampangnya yang keren itu."
"Jadi? Menurutmu dia keren?" tanyaku agak terkejut bahwa
Randy punya pendapat seperti itu tentang Scottie.
"Yah, kurang lebih lah?" sahut Randy.


Girl Talk 02 Berani Tampil Beda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak dapat kupercaya bahwa Randy mengakui ketampanan
Scottie. "Aku nggak tahu apa yang menarik dari dirinya," kataku
sambil mengangkat bahu. Dan kemudian kusadari, secara tidak
langsung itu berarti aku mengaku pada Randy bahwa aku memang
tertarik pada Scottie. "Apa yang membuatmu berpikir bahwa aku
menyukainya?" tanyaku cepat untuk meralat kalimat sebelumnya."Jangan pura-pura deh. Semua juga tahu bahwa kau punya
perasaan khusus pada Scottie. Tiap kali kami bicara soal Scottie, kau
tersipu-sipu sendiri," olok Randy.
"Semua orang tahu?" tanyaku agak panik. Apakah maksudnya
semua anak di sekolah tahu perasaanku pada Scottie? Termasuk
Scottie sendiri?
"Ya, setidaknya aku, Allison dan Sabrina," sahut Randy
perlahan.
"Jadi kalian sering ngomongin aku diam-diam ya?" tanyaku
penasaran.
Randy mengerutkan hidungnya dan tak menjawab
pertanyaanku. Pertanyaan bodoh. Maksudku, jika aku berada di posisi
mereka, tentu aku juga akan ngomongin soal macam ini. Seperti di
awal tahun ajaran, saat Sabrina naksir Alec. Kami bertiga sering
ngerumpiin Sabrina. Kuharap aku tak terlalu kelihatan naksir berat
pada Scottie.
"Kau tahu nggak," ujarku saat kami sampai di taman Elm,
saatnya untuk berpisah. Randy harus ke kanan dan aku ke kiri.
"Banyak cowok-cowok keren di New York," ujarku menyindir Randy
yang selalu membanding-bandingkan Acorn Falls dengan kota asalnya
New York.
Randy tertawa.
"Berminat? Tapi rasanya mereka bukan tipe idealmu Katie,"
jawab Randy.
"Mungkin saja, tapi siapa tahu?"
Lantas kami berdua cekikikan lagi dengan centilnya.Waktu aku tiba di rumah, Ibu pun telah pulang dari Bank
tempatnya bekerja. Beliau tidak mengatakan apa-apa tentang hoki
belakangan hari ini. Tapi hubungan kami tetap tegang dan aneh.
"Katie," panggil Ibu dengan suara serius, mengalihkan
pandangannya dari majalah di pangkuannya, "Ibu ingin bicara
sebentar. Ibu telah memikirkan tentang pilihanmu," lanjut Ibu seraya
menatapku. "Meskipun tindakanmu minggu kemarin tetap tak dapat
Ibu benarkan, Ibu kini mengerti betapa penting makna hoki bagi
dirimu."
Aku tak mengatakan apa-apa, hanya menatap beliau.
"Jadi, kalau kau ingin tetap bergabung dengan tim hoki,
lakukanlah. Bukan berarti Ibu akan senang, tapi Ibu rasa Ibu tak
berhak untuk melarangmu."
"Bu, saya berhasil lolos seleksi dan resmi menjadi anggota tim
hoki sekolah!" seruku dengan perasaan lega setelah mendengar
keputusan Ibu.
Ibu tak kelihatan gembira mendengarnya, tapi setidaknya ia
tersenyum dan itu berarti Ibu tidak marah lagi. Lebih baik dari
kemarin kah? Aku bangkit dari kursi dan merangkul Ibu serta
mendaratkan kecupan di pipi beliau. Ibu pun memelukku seraya
tersenyum manis. Minggu-minggu terakhir ini, hubungan kami selalu
dipenuhi ketegangan dan keributan. Untunglah semua kini sudah
berakhir.BAGIAN SEBELAS
Scottie menelpon Katie
SCOTTIE : Hallo, bisa bicara dengan Katie?
KATIE : Saya sendiri.
SCOTTIE : Ini Scottie,
KATIE : Scottie?
SCOTTIE : Ya, kamu kenal saya. Scottie Silver dari tim
hoki.
KATIE : O....
SCOTTIE : Aku nilpon cuma untuk mengingatkan saja.
Pertandingan besok dimulai jam tiga siang, tapi
kau sudah harus ada di lapangan jam dua lewat
seperempat.
KATIE : Ya, aku sudah dengar pengumuman Pak Budd
kemarin.
SCOTTIE : Kalau gitu, jangan telat ya! Walaupun
sebetulnya nggak begitu berpengaruh juga sih.
Mau terlambat atau tidak. Sepertinya kamu nggak
akan diikusertakan dalam pertandingan deh.
KATIE : O ya? (tersinggung) Makasihbanyak atas
pemberitahuannya.SCOTTIE : Kembali. Sampe besok! (tilpon ditutup)
KATIE : Ya, sampai besok.... (tapi tilpon sudah ditutup
oleh Scottie)
Katie menelpon Sabrina
KATIE : Hallo, Sabrina?
SABRINA : Katie?
KATIE : Kamu pasti nggak nyangka, siapa yang barusan
menilponku!
SABRINA : Siapa?
KATIE : Scottie!!
SABRINA : Scottie Silver! Scottie Silver menil pon ke
rumahmu? Dari mana dia tahu nomer tilponmu?
Kok kamu nggak cerita bahwa ia pernah meminta
nomer tilponmu? Aku nggak percaya deh....
KATIE : Udah deh Sabs, yang pasti dia brengsek banget!
Mana mungkin aku sendiri yang memberikan
nomer tilponku?
SABRINA : Dia bilang apa? Apa dia nanyain sesuatu tentang
ciuman itu?
KATIE : Nggak ada hubungannya sama itu! Aku sendiri
heran, buat apa dia nilpon segala. Dia pasti tahu
bahwa aku sudah tahu jam pertandingan besok.
SABRINA : Kamu ngomong apa sih?
KATIE : Iya. Scottie tadi nilpon untuk memberitahukan
jam pertandingan besok.
SABRINA : Terus dia ngomong apa lagi? Ceritain dong....KATIE : Katanya aku sudah harus tiba jam dua seperempat
dan kemudian dia bilang aku nggak akan
diikutsertakan dalam pertandingan besok!
SABRINA : Cuma itu katanya? Bener, dia nggak bilang apa-
apa lagi?
KATIE : Iya. Cuma itu lalu ditutup.
SABRINA : Aneh juga ya....
KATIE : Aku juga merasakan itu. Aneh. Eh Sab, udah dulu
ya, si putri Emily mau pake telpon ini.
SABRINA : Oke. Sampe besok ya? Tidur yang cukup lho....
KATIE : Pasti. Daah....
SABRINA : Daahh....
Sabrina menelpon Allison
SABRINA : Hallo, ada Allison?
CHARLIE : Siapa?
SABRINA : Allison!
CHARLIE : Siapa?
ALLISON : (merebut gagang tilpon) Hallo, ini Allison....
SABRINA : Hai! Ini aku, Sabrina.
ALLISON : HaiSabrina...
SABRINA : Al, kamu pasti nggak percaya siapa yang baru saja
nilpon Katie....
ALLISON : Scottie ya?
SABRINA : Kok tahu sih? Kamu kok kayaknya tahu segala hal
sih?ALLISON : Nggak tahu ya. Aku cuma nebak. Gimana
ceritanya?
SABRINA : Cuma nilpon dan nggak bilang apa-apa. Ia
mengingatkan agar Katie datang tepat waktu di
pertandingan besok, tapi lantas bilang sebetulnya
telat atau nggak sama saja soalnya Katie nggak
akan diikutsertakan.
ALLISON : Kurasa Scottie naksir Katie.
SABRINA : Ngaco! Yang bener ah! Masa dia ngomong begitu
kasar pada Katie!
ALLISON : Mungkin saja dia malu untuk mengakui
perasaannya.
SABRINA : Scottie Silver? Sang pangeran pemberani itu?
Malu?
ALLISON : Yah...mungkin ia merasa gengsi menilpon Katie,
lalu ia mencari-cari alasan. Tapi kemudian ia malu
karena alasannya nggak masuk akal, dan
mengucapkan kalimat kasar untuk menutupi
malunya.
SABRINA : Mh...mungkin kau benar juga. Nggak pernah
terpikir macam itu. Kamu jenius deh Al. Eh, aku
musti nilpon Katie lagi nih. Jangan lupa ingatkan
Randy untuk kumpul di lapangan besok jam
setengah tiga. Oke?
ALLISON: Oke.
SABRINA: Daahh....
ALLISON: Daahh....Allison nelpon Randy
ALLISON : Hallo, boleh bicara dengan Randy?
RANDY : Yap! Aku sendiri!
ALLISON : O. Hai Randy, ini aku, Allison
RANDY : Ya aku tahu. Ada apa?
ALLISON : Cuma mau ngingetin, besok ketemu di lapangan
jam setengah tiga.
RANDY : Bagaimana mungkin aku lupa? Aku sudah nggak
sabar nunggu Katie mengalahkan kesombongan
anak-anak cowok itu dan memperlihatkan
kelebihannya. Gimana khabarnya Katie? Apa dia
tegang menghadapi pertandingan besok?
ALLISON : Nggak. Katie lumayan tenang kok. Aku juga ingin
ia segera bertanding. Sabrina baru saja nilpon dan
katanya Scottie baru menilpon Katie dan
mengatakan sesuatu yang membuat Katie marah.
RANDY : Dia mencoba menakut-nakuti Katie. Pasti deh.
ALLISON :Menurutku sih bukan itu. Kukira Scottie naksir
berat sama Katie.
RANDY : Mungkin juga. Maksudku, Scottie kan juga sudah
mencium Katie. Tapi bukan berarti ia rela Katie
menyaingi kehebatannya di lapangan dan bermain
cemerlang besok.
ALLISON : Iya sih. Mudah-mudahan Scottie bukan sengaja
menyakiti hati Katie.
RANDY : Kita lihat saja besok. Jadi besok kita ketemu di
deretan tengah ya?ALLISON : Bener ya?
RANDY : So pasti. Ciao....
ALLISON : Daahh....
Sabrina nelpon Katie lagi
SABRINA : Hallo Emily? Ini Sabrina. Ada Katie?
EMILY : Tunggu ya, kupanggilkan sebentar.
KATIE : Ada apa Sabs?
SABRINA : Kamu sudah duduk? Aku baru aja nilpon Allison,
dia mengatakan sesuatu yang mengejutkan! Kamu
pasti nggak percaya. Katanya Scottie Silver naksir
berat sama kamu! Itu sebabnya Scottie nilpon
kamu!
KATIE : Jangan ngaco Sabs! Scottie amat membenciku dan
bahkan memusuhiku. Kamu dan Al sama-sama
ngaco. Lagipula Scottie kan sering jalan berdua
Stacy?
SABRINA : Emangnya kenapa? Kan bukan berarti mereka
pacaran?
KATIE : Iya sih....
SABRINA : Lagipula, kenapa dia pake nilpon kamu segala?
KATIE : Buat ngingetin aku supaya jangan terlambat. Itu
saja.
SABRINA : Emang. Tapi apa kamu pikir memang itu yang
sebenarnya ingin dia sampaikan? Sesungguhnyadia kan juga tahu bahwa kamu pasti nggak lupa.
Pasti dia nilpon karena alasan lain.
KATIE : Misalnya?
SABRINA : Mungkin dia mau ngajak kamu jalan sehabis
pertandingan besok?
KATIE : Apa??
SABRINA : Kamu denger kan apa kataku barusan? Berani
taruhan, pasti memang itu tujuannya menilponmu.
Wah Katie, dia mau ngajak kamu kencan! Gila
nggak tuh!
KATIE : Kamu yang gila Sabs. Udah ah. Si putri Emily
lagi nunggu telpon dari Yang Mulia Pangeran
Reed. Sampai besok ya Sabs....
SABRINA : Katie, denger dulu. Aku yakin pendapatku tentang
perasaan Scottie nggak meleset. Oke? Besok kita
omongin lagi ya? Daaahhh?BAGIAN DUABELAS
Hari Sabtu, aku mulai panik menghadapi pertandingan yang
akan segera berlangsung, maka kutilpon Sabrina dan minta ijin agar
aku boleh main ke rumahnya sebentar untuk menenangkan pikiranku.
Anjing Sabs, si Cinnamon baru saja melahirkan dua ekor anak anjing
kecil dan aku ingin melihatnya.
Setibaku di sana, pintu rumah nampak terbuka lebar, jadi aku
langsung masuk saja setelah mengetuk pintu sekali.
"Katie? Kamukah itu yang datang?" teriak Sabrina.
"Ya! Kamu di mana sih?" aku balas memanggil. "Di dapur!"
sahutnya.
Sabrina sedang memecahkan beberapa butir telur ke dalam
mangkok di meja dapur, membuatku sadar bahwa sebetulnya aku
lapar sekali.
"Mau telur?" tanya Sabs sambil menggosokkan tangannya ke
jeans-nya.
"Nggak. Makasih," jawabku sambil meringis. Telur? Aku
nggak suka telur. "Punya bubur biskuit nggak?"
"Kamu tahu kan tempatnya?" kata Sabrina sambil nyengir.
Aku beranjak menuju lemari dapur. Ada sekitar sepuluh macam
jenis bubur biskuit dalam kardus karton yang berwarna-warni. Kupilihsatu yang rasanya amat manis. Di rumah, Ibu hanya membeli bubur
biskuit rasa tawar dan bubur gandum yang menjemukan.
Usai makan, Sabrina mengajakku menengok anak-anak
anjingnya. Mereka ada di kamar Sam dan Mark, tepatnya di kamar
mandi mereka. Cinnamon membuka matanya sedikit waktu
mendengar langkah kaki mendekat, setelah tahu siapa yang datang ia
langsung memejamkan matanya lagi. Anak-anak anjing itu begitu
lucu....
"Ibuku mau memberikan seekor untukmu," bisik Sabrina sambil
kami berdua berdiri memandangi anjing-anjing mungil yang sedang
tidur itu.
"Wah...aku senang sekali!" sahutku, "tapi kau tahu kan
Ibuku...."
"Ya...," Sabrina menghela nafas. "Jadi kami memutuskan, aku,
Ibuku, Ayahku dan kakak-kakakku, kau yang memilih nama untuk
anjing kecil yang warnanya kelabu itu. Pura-pura saja dia Milikmu,
tapi dia tetap tinggal di rumah ini. Oke?"
"Bercanda ah!" teriakku protes. Secara refleks, langsung
kupeluk Sabrina. "Kau sahabat yang terbaik Sabs?" ujarku terharu


Girl Talk 02 Berani Tampil Beda di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atas kebaikannya.
Jam satu siang, aku kembali ke rumah untuk mempersiapkan
segala sesuatu untuk pertandingan besar siang ini. Aku merasa lega
setelah melewatkan separuh hari bersama Sabrina.
Begitu sampai di lapangan, aku langsung menuju kantor Pak
Pelatih. Pak Budd telah menyiapkan ruang kantornya menjadi
tempatku berganti pakaian, sebab ruang ganti untuk umum akan
dipergunakan oleh tim lawan."Saya tunggu kamu sepuluh menit lagi," katanya sambil bangun
dari kursinya. "Semoga sukses di lapangan nanti, Katie," ia
tersenyum. Sebetulnya, Pak Budd tidak sekeras yang kubayangkan
sebelumnya.
"Dengar," kudengar Pak Budd memberi pengarahan. Aku telah
mengenakan seragam hoki dan mendekat ke ruang ganti anak-anak
cowok. "Saya yakin, kalian tahu bahwa tim hoki Valley, lawan kita,
adalah salah satu tim terbaik. Beberapa di antara kalian masih ingat
bagaimana kerasnya pertandingan melawan mereka tahun lalu kan?
Tapi setelah melihat latihan kalian semua, saya yakin kalian sama
kuat, bahkan mungkin lebih tangguh dari mereka. Maka,
bertandinglah dengan semangat dan keyakinan penuh." Lalu Pak
Budd berdiri, mengeraskan suaranya, "Ayo keluar dan kita hadapi
mereka!"
Semua berlari keluar dari ruang ganti, melintasi aku begitu saja.
Aku merasa diabaikan dan ditinggalkan. Kulihat ada diagram di atas
papan tulis yang digantung di kamar ganti. Kurasa semua telah
melihat diagram yang menunjukkan strategi permainan kami.
Percuma saja aku melihatnya, toh aku tak akan diturunkan
dalam pertandingan ini. Tapi akhirnya kupelajari juga dan kuingat-
ingat dasar-dasar strategi pertahanan kami.
Pertandingan berlangsung cukup baik. Tim hoki Valley
membuat langkah awal yang baik, tapi kami dapat bertahan dengan
amat baik pula. Penonton bertepuk-tepuk riuh. Scottie, Brian, Flip dan
beberapa anak lain berada di garis depan. Meski aku belum ikut
bertanding, aku tetap merasa bangga bisa duduk di deretan tim hokisekolah kami. Aku begitu mengharapkan kedatangan Ibu dan Emily,
untuk menyaksikan aku bertanding.
Sampai setengah waktu pertandingan, aku pindah, duduk di
ruang kantor Pak Budd. Tak pernah aku merasa seaneh ini. Rasanya
aku seperti bagian sekaligus bukan bagian dari tim hoki ini. Sekitar
lima menit sebelum babak pertandingan dilanjutkan, Pak Budd
memanggilku untuk kembali ke kamar ganti putra dan berkumpul
untuk mendengar pengarahan untuk pertandingan berikut.
Limabelas menit menjelang batas waktu, angka bersaing ketat
satu sama. Brian yang mengendalikan bola sekarang. Ia menggiring
bola ke kanan dan ke kiri saat barisan pertahanan lawan
menghadangnya dan berusaha merebut bola. Entah bagaimana
caranya, tongkat Brian tersangkut kaki lawan, ia tergelincir di atas es
dan membentur dinding. Dia terbaring beberapa saat.
Wasit membunyikan peluitnya dan tim P3K segera
menghambur ke lapangan untuk menolong Brian. Mereka memapah
Brian, tapi jelas terlihat Brian terluka agak parah. Pasti ia harus
meninggalkan lapangan. Sekarang apa yang akan kita lakukan? Brian
satu-satunya pemain sayap kiri yang terlatih. Tiba-tiba aku ingat pada
diriku sendiri! Posisi sayap kiri adalah posisi yang selalu diberikan
oleh Pak Budd selama latihan!
Benar saja, sesaat kemudian kudengar Pak Budd memanggil
nomer punggungku dan menyuruhku masuk lapangan menggantikan
Brian. Pak Budd tidak kelihatan ragu sama sekali.
Kukenakan helm pelindung kepalaku dan meluncur ke lapangan
es. Aku menunggu dengan berdebar sampai peluit tanda pertandingan
dilanjutkan berbunyi. Regu Valey menguasai bola, hingga untukbeberapa menit aku tak mendapat kesempatan menggiring bola.
Anggota tim lainnya benar-benar melindungi aku. Kupikir mereka
yakin aku tak akan berdaya menghadapi lawan sendirian.
Tapi kemudian, sekitar satu menit terakhir dengan skor tetap
satu sama, aku mendapat operan bola!
Posisi tengah tim Valley nampak kosong, dan tanpa
memikirkan apa-apa lagi, aku langsung meluncur menggiring bola ke
daerah lawan. Entah kenapa, penjaga tengah tim Valley lengah dan
kehilangan keseimbangannya. Aku tetap menggiring bola dan
membuka serangan. Lalu seorang dari barisan pertahanan
menghadangku, tapi kulihat Scottie ada di posisi yang kosong tanpa
penjagaan. Maka aku berpura-pura akan mengoper ke kiri, padahal
bola kuoperkan ke kanan begitu lawan lengah dan aku bisa meluncur
mendekati Scottie. Ia dengan cekatan menerima operanku dan
meluncur di sampingku. Dan sebelum tim lawan menyadarinya,
Scottie sudah meluncur dengan cepat ke garis serangan paling
belakang dan melempar bola ke gawang. Bel berdering saat kami
menciptakan satu gol. Kami memenangkan pertandingan ini!
Semua anak dari tim kami mengerubungiku, berlari ke atas es.
Flip dan Brian menggendongku ke atas bahu mereka. Semua
meneriakkan namaku; "Katie! Katie! Hidup Katie!" Bahkan Pak Budd
ikut berteriak girang. Dan saat itu juga secara kebetulan dari atas
pandanganku yang luas melihat kehadiran Ibu dan Emily! Aku nggak
percaya! mereka ikut melompat-lompat dan bertepuk tangan!
Perasaanku tetap bercampur baur antara haru, gembira dan tak
percaya saat aku memasuki kantor Pak Budd untuk berganti pakaian.
Sulit untuk melepaskan seragam hoki ini dengan tangan yang gemetarkarena begitu bahagia. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri
sejenak, sambil menunggu regu Valley selesai menggunakan kamar
ganti umum. Sebab aku ingin mandi. Di benakku tetap terbayang-
bayang detik-detik saat aku dan Scottie menciptakan gol bersama.
"Katie," Pak Budd mengetuk pintu.
"Ya, silahkan masuk pak," sahutku tersadar dari lamunanku.
"Kamar ganti umum sudah bisa kau gunakan," ujarnya sambil
meletakkan catatan pertandingan ke mejanya.
Kubereskan barang-barangku dan melangkah menuju pintu
keluar.
"Katie," panggil beliau, "Kau bermain cemerlang! Kau telah
menyelamatkan tim kita!" ujarnya dengan senyum terkembang, "Saya
tahu bahwa saya telah memilih seorang juara saat saya memilih
kamu." TEENLITLAWAS.BLOGSPOT.COM
Mulutku ternganga lantaran terkejut. Tadinya kupikir Pak Budd
menerimaku hanya karena hukum pendidikan menyatakan bahwa ia
tak berhak menolak anak perempuan bergabung dalam aktifitas
sekolah, termasuk tim hoki yang dipimpinnya. Tak pernah kuduga
bahwa sebetulnya Pak Budd memang menganggapku pemain yang
baik dan layak bergabung.
"Terima kasih pak," aku balas tersenyum.
Rasanya seperti jalan di bulan, perasaanku melambung tinggi
kala melangkah menuju ruang ganti. Aku mandi dengan air panas dan
berpakaian. Aku membawa celana jeans dan sebuah sweater cantik
milik Emily. Tadi pagi kulihat sweater itu sudah ada di kamarku.
Mungkin ini hadiah dari Emily sebagai tanda perdamaian atas
ketegangan antara kami selama ini. Aku amat gembira, karenaSabrina, Randy, Allison dan aku telah merencanakan pergi ke Fitzie?s
setelah pertandingan selesai. Dan aku ingin tampil cantik.
Aku sedang melangkah keluar tatkala berpapasan dengan
Scottie. Ia seperti sengaja menungguku selesai berganti pakaian.
Beberapa saat kami hanya saling berpandangan.
"Kau main hebat hari ini," ujar Scottie perlahan. "Kau
memenangkan pertandingan ini untuk kami. Selamat...."
Aku tersenyum tapi tak kuasa mengucapkan sepatah kata pun.
"Mhh...,"gumam Scottie. "Tentang percakapan di telepon
semalam...." Ia berhenti untukmenatapku dan melihat reaksiku
sejenak. "Maaf ya. Mungkin aku kedengaran seperti memusuhimu."
"Nggak apa-apa...," jawabku cepat.
Scottie menggoyang-goyangkan kakinya resah. Tangannya
tersimpan dalam saku jaketnya. "Mh? maukah kamu ?mh? dan
aku, eh, pergi ke Fitzie?s?" tanyanya pada akhirnya. "Minum soda
atau makan makanan kecil?"
"Aku nggak bisa," tukasku, "Maksudku, aku, eh? aku senang
sekali kau mengajakku. Tapi aku akan ke sana bersama teman-teman,"
aku menunjuk ke arah Sabrina, Allison dan Randy yang berdiri
menungguku. Aku amat terkejut mendengar ajakan Scottie.
Sabs seketika melihat aku dan Scottie. Seperti dapat membaca
apa yang sedang terjadi, ia berteriak, "Katie! Kita duluan ya? Sampai
ketemu di Fitzie?s!"
"Ya...sampai ketemu nanti!" teriak Allison dan Randy
bersamaan.Aku tersenyum penuh rasa terima kasih pada mereka. Dan tiba-
tiba kusadari Stacy, Eva, Laurel dan BZ muncul. Mereka berdiri di
belakang Scottie dengan angkuhnya.
"Scottie," panggil Stacy, "sudah siap belum?"
Scottie tak menoleh sama sekali. Ia cuma menatapku dalam-
dalam dan menjawab acuh tak acuh. "Sampai ketemu di Fitzie?s,
Stacy"
"Apa?" pekik Stacy jengkel mendengar jawaban Scottie. "Yuk,
kita pergi dari sini!" teriaknya marah pada teman-temannya.
"Daah Katie. Kita nunggu di Fitzie?s lho," kudengar Allison
menyapa dan Randy melambai ke arahku seraya menyikut Sabrina
yang masih berdiri kagum melihat aku dan Scottie berdua.
Scottie membungkuk hendak membawakan tasku, tapi langsung
kucegah.
"Aku bisa angkat sendiri kok. Aku kan bukan anak manja,"
ujarku menyindir sambil berkelakar. Lantas kami berdua tertawa
bersama.END
Naga Merah 17 Sumpah, Aku Mau Banget Jadi Mata-mata Cross My Heart And Hope To Spy Gallagher Girls 2 Karya Ally Carter Beruang Salju 8
^