Pencarian

Claudia Dan Si Penelepon 1

Baby Sitter Club 2 Claudia Dan Si Penelepon Misterius Bagian 1


Bab 1
LANGIT malam tertutup awan tebal. Hujan turun dengan deras.
Tidak ada cahaya bulan. Malam seperti inilah saat yang paling cocok
untuk; a) tidur-tiduran sambil membaca The Phantom of Pine Hill?
misteri yang menyeramkan karangan Nancy Drew?dan sambil
mengunyah permen karamel yang aku sembunyikan di dalam laci
meja, atau b) meneruskan lukisanku dan berkhayal tentang Trevor
Sandbourne. Tapi "Tidak, Claudia," Papa berkata, "PR harus
dikerjakan lebih dulu." Dan aku tidak bisa membantah kata-kata Papa
itu. Di samping itu, kami?kedua orangtuaku dan aku?sudah
membuat perjanjian. Kira-kira begini bunyinya: Kalau aku dapat
menyelesaikan semua PR-ku setiap malam (secara bergilir, salah
seorang anggota keluarga mengawasiku), maka aku dapat melanjutkan
kursus melukis. Dan yang lebih penting lagi, aku tetap diperbolehkan
menjadi anggota Baby-sitters Club.
Baby-sitters Club adalah ide gemilang temanku, Kristy Thomas.
Ide itu dicetuskannya pada permulaan kami duduk di kelas tujuh.
Kristy, yang tinggal di seberang jalan, sering bekerja sebagai baby-
sitter. Begitu juga aku, Claudia Kishi. Sahabat Kristy, Mary Anne
Spier, yang tinggal di sebelah rumah Kristy, juga sering melakukan
pekerjaan itu. Karena itulah Kristy mengusulkan agar kami bertigabergabung membentuk perkumpulan para baby-sitter. Selain itu,
Kristy juga mengusulkan agar kami mengiklankan diri. Dan itulah
yang kami lakukan. Kemudian anggota klub bertambah satu, yaitu
Stacey McGill, sahabatku yang kami ajak bergabung. Ternyata Baby-
sitters Club bisa berjalan dengan lancar. Orang-orang telah
mengetahui kegiatan kami dan sering menelepon kami kalau mereka
membutuhkan baby-sitter. Dengan demikian masing-masing anggota
mendapatkan lebih banyak pekerjaan daripada sebelum bergabung di
dalam klub. Inilah salah satu alasan kenapa aku ngotot untuk tetap
menjadi anggota Baby-sitters Club. Pernah suatu kali segalanya
hampir kacau. Waktu itu orangtuaku menerima surat dari wali
kelasku, yang mengatakan bahwa usahaku dalam pelajaran sangat
kurang. Sebenarnya orangtuaku sudah sering menerima surat seperti
itu?paling sedikit dua kali dalam setahun. Tapi yang mengejutkan
buat mereka adalah bahwa aku tidak pernah mengerjakan PR-ku sejak
dimulainya tahun ajaran baru. Itulah sebabnya Mama dan Papa
mengeluarkan peraturan baru khusus untukku.
Bagiku PR adalah hal yang sangat membosankan, sehingga aku
hampir tidak dapat berkonsentrasi mengerjakannya. Dan juga tidak
ada gunanya. Siapa yang peduli apakah tanda artinya lebih besar dari,
atau lebih kecil dari. Dan siapa yang peduli pada nilai x dalam
persamaan kuadrat. (Kenapa harus repot-repot mencari nilai x, kalau
ternyata nilainya tidak pernah tetap?) Satu-satunya pelajaran sekolah
yang kusukai adalah membaca. Tapi itu pun dibuat tidak menarik oleh
guru-guru. Mereka tidak mau tahu bahwa aku mampu
mengungkapkan suatu misteri lebih dulu daripada detektif dalamcerita itu. Yang mereka tahu hanyalah bahwa aku tidak dapat
menjelaskan apakah kata keterangan itu.
Sebenarnya aku tidak akan ambil pusing, kalau tidak karena
Janine. Janine adalah kakakku. Dia berumur lima belas tahun dan
benar-benar jenius. I.Q.-nya 196. Itu artinya di atas rata-rata sedang
(100), dan di atas rata-rata cerdas (120), dan bahkan di atas tingkatan
sangat cerdas (150). Aku ingin mengatakan sesuatu. Rahasia, nih!
I.Q.-ku juga di atas rata-rata sedang. Semua orang terkejut, karena aku
hampir tidak dapat mengeja. Itulah sebabnya mengapa orangtua dan
guru-guruku sering menegurku dengan keras. Aku cerdas, tapi aku
bukan murid yang baik. Mereka sering mengatakan, kalau aku mau
lebih memperhatikan pelajaran dan lebih berkonsentrasi, maka aku
juga bisa menjadi murid yang baik. Tapi untuk apa? Aku tidak akan
bisa melebihi Janine. Ebukulawas.blogspot.com
Kamu tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya
mempunyai seorang kakak yang jenius? kecuali kalau kamu
mempunyainya. Sulit untuk berbicara dengan dia, sampai-sampai
untuk hal-hal yang paling sederhana pun. Kemarin pagi aku cuma
berkata begini padanya, "Janine, udara di luar dingin. Mama bilang
kamu harus menutup jendela kamarmu sebelum pergi ke sekolah."
Dan kamu tahu apa jawabnya? Dia berkata, "Sebenarnya sangatlah
mengherankan kalau orang Amerika lebih suka mengatur suhu
lingkungan di sekelilingnya daripada suhu badan mereka. Menurutku,
pengaturan suhu lingkungan itu lebih sulit dan sangat tidak efisien.
Masyarakat primitif di berbagai belahan dunia cenderung berpakaian
rangkap kalau udara sedang dingin. Tapi kita di Amerika malah
menggunakan alat pemanas ruangan."Aku baru tahu kalau ternyata ada kata seperti primitif.
Kembali pada malam yang mendung. Papa menyuruhku
mengerjakan PR, dan dia bilang 'sekarang giliran Mimi membantu dan
mengawasiku. PR-nya sih harus kukerjakan sendiri, tapi si pengawas
menungguiku. Dia menegurku kalau aku melamun, memastikan
bahwa aku sudah mengerjakan seluruh PR-ku, melihat apakah aku
mengerjakannya dengan benar, dan menjawab pertanyaan-
pertanyaanku. Si pengawas tidak boleh mengerjakan PR-ku, tapi
kadang-kadang aku bisa membujuk Janine agar mau menjawab
beberapa soal. Aku tahu dia bosan menunggu sampai aku
menyelesaikan soal-soal yang menurutnya amat mudah. Kalau Janine
mendapat giliran menjadi pengawasku, dia selalu mengatakan bahwa
dia akan melakukan apa saja untuk mempercepat pekerjaanku. Yah,
maaf saja. Maaf saja kalau aku tidak bisa mengerti trigonomulus, atau
apa pun namanya. Kan tidak semua orang bisa menjadi orang
terpelajar.
Aku paling senang kalau ditunggui Mimi, nenek-ku. Dia tidak
banyak omong, dan suaranya sangat lembut. Kesabarannya seakan-
akan tidak ada habis-habisnya. Keluargaku berasal dari Jepang. Mimi
dan kakekku?yang sudah meninggal jauh sebelum aku lahir?
membawa Mama ke Amerika, ketika dia masih sangat kecil. Itulah
sebabnya logat Jepang Mama sudah tidak kentara lagi. (Papa juga
begitu. Dia datang ke Amerika waktu masih sangat kecil.) Tapi Mimi
masih berbicara dengan logat mengalun, yang mengingatkanku pada
kapal yang sedang berlayar. Dia amat sangat sopan, dan tidak pernah
bicara dengan kata-kata yang kasar.
Aku mengeluarkan buku IPS-ku."Apa isi buku itu?" tanya Mimi, yang beranggapan bahwa buku
adalah mata untuk mengetahui isi hati dan kehidupan orang lain. Dia
pernah mengatakan hal ini padaku.
"Pelajaran IPS," sahutku. "Di kelas tadi kami telah membaca
bab tiga. Sekarang kami harus menjawab pertanyaan-pertanyaan
diskusi yang ada di akhir bab.... Mimi, kalau pertanyaan-pertanyaan
ini memang pertanyaan diskusi, kenapa kami tidak mendiskusikannya
saja, sih? Kenapa Pak Miller malah menyuruh kami menuliskan
jawabannya? Kan lebih enak bicara daripada menulis."
"Entahlah, Claudia-ku. Tapi kalau memang itu tugasmu, maka
kamu harus mengerjakannya seperti apa kata gurumu."
"Aku tahu, sih." Kalau kejadiannya beberapa minggu yang lalu,
maka jawaban-jawabannya hanya akan kutulis dengan satu kata saja.
Atau aku malah menumpuk saja semua tugas tanpa dijawab. Tapi
sekarang sudah tidak ada pilihan lain.
Aku mulai menulis. Mimi memperhatikanku. Beberapa kali ia
menunjukkan kata yang salah tulis, atau letak tanda baca yang keliru.
Setelah tugas IPS, aku mengerjakan PR matematika, lalu PR bahasa
Inggris. Dan akhirnya selesailah semua. Aku mendesah panjang, yang
merupakan gabungan antara rasa lega dan bosan.
"Sekarang kamu mau mengerjakan apa, Claudia- ku?" tanya
Mimi.
"Membaca The Phantom of Pine Hill," jawabku sambil
menutup buku bahasa Inggris. Tidak seperti anggota keluargaku yang
lain, Mimi tahu tentang buku-buku karangan Nancy Drew milikku.
Aku merahasiakannya terhadap Mama dan Papa karena mereka pasti
akan menyuruhku membaca buku lain. Menurut mereka buku sepertiitu terlalu kekanak-kanakan. Janine juga tak kuberitahu. Aku berani
bertaruh dia akan menganjurkan aku membaca sesuatu yang lebih
berguna. (Menurut Janine, buku yang benar-benar bagus?yang bisa
dibaca sambil tidur-tiduran di depan perapian?adalah Sources of
American Social Tradition, yang sekarang ini sedang dilahapnya
seakan-akan dia tidak akan bisa membaca lagi.)
"Dan apa yang terjadi dalam buku The Phantom of Pine Hill?"
tanya Mimi lagi.
"Ooh, ceritanya seram sekali," ujarku.
"Kamu suka hal-hal yang menakutkan, Claudia-ku?"
"Ehm, ya, aku rasa begitu. Maksudku, kalau itu cuma cerita di
buku-buku, kan seru juga. Coba lihat ke luar, Mimi. Perhatikan angin
yang meniup ranting-ranting pohon, dan kilat yang menyambar-
nyambar. Malam seperti inilah yang paling enak untuk membaca
cerita-cerita misteri."
Mimi tersenyum mendengarku. "Menyeramkan.... Sudah
hampir Halloween, lho," katanya mengingatkan. "Tinggal beberapa
minggu lagi."
Aku mengangguk. "Tapi aku merasa sudah terlalu tua untuk
mendatangi rumah-rumah tetangga untuk minta permen."
"Kalau begitu kamu bisa memakai kostummu, lalu membantu
kami membagi-bagikan permen. Aku rasa akan sama
menyenangkannya dengan berjalan dari rumah ke rumah."
Mimi tahu bahwa aku suka berdandan dengan pakaian yang
bagus-bagus. Menurutku, pakaian amat penting. Pakaian
mencerminkan kepribadian seseorang. Kecuali itu, karena kita harus
berpakaian setiap hari, tidak ada salahnya kan kalau kita sedikitbereksperimen dengan pakaian kita? Pakaian biasa terlalu
membosankan bagiku, baik untuk dilihat maupun untuk dipakai. Jadi
aku tidak pernah memakainya. Aku suka warna-warna yang cerah,
dan motif yang besar-besar dengan sentuhan aksesori yang lucu,
seperti anting-anting yang terbuat dari bulu. Mungkin karena aku
seorang seniman. Entahlah, aku tak tahu pasti. Hari ini; misalnya, aku
mengenakan celana panjang selutut berwarna ungu, ikat pinggang
putih dengan gesper berbentuk jam kecil, kemeja ungu dengan motif
kotak-kotak yang warnanya senada dengan topi yang kupakai, sepatu
basket, dan anting-anting berbentuk udang. Pakaian seperti ini sudah
menjadi ciri khasku.
Aku juga menyukai kostum yang aneh-aneh, dan aku akan
menyesal kalau tidak bisa memamerkan kostum yang mencolok tahun
ini. Tapi seperti kata Mimi tadi, aku bisa saja membuat kostum untuk
dipakai pada waktu membagi-bagikan permen. Mungkin aku akan
menyamar sebagai Smurf. Sampai sekarang aku belum pernah
memakai make-up berwarna biru.
Aku berdiri. "Terima kasih untuk bantuannya, Mimi. Coba
kalau Mimi yang menjadi pengawasku setiap malam."
"Aku tahu, Claudia-ku, tapi aku rasa lebih baik bergiliran.
Kadang-kadang aku punya kesibukan lain. Dan jangan lupa, ibu dan
ayahmu juga ingin melihat pekerjaanmu, kan."
"Ya, memang." Lalu kenapa Janine juga harus ikut campur?
Pasti karena PR-ku begitu membosankan, sehingga tidak seorang pun
bisa bertahan dua malam berturut-turut?tidak juga Mimi?dan makin
jarang mereka mengawasiku, makin baik (buat mereka).Aku sedang menaiki tangga, ketika aku teringat sesuatu. Aku
berbalik dan berlari menuruni tangga. "Mimi?" panggilku.
"Ya, Claudia-ku?" Dia sedang duduk di ruang baca sambil
memegang sebuah buku tebal.
"Aku punya ide. Bagaimana kalau kita teruskan lukisan Mimi?"
usulku. Guru lukisku memberikan dua tugas untuk semester ini. Yang
pertama adalah lukisan komposisi benda mati, dan yang satu lagi
lukisan potret orang. Keduanya dikerjakan dengan cat minyak. Mimi
adalah subjek lukisan potretku. "Tidak keberatan, kan?" tanyaku.
"Cuma setengah jam, kok."
"Boleh saja," kata Mimi sambil menyelipkan pembatas bukunya
dengan hati-hati. Kemudian dia mengikutiku ke kamar.
Aku tahu seniman sebaiknya melukis pada siang hari, dengan
bantuan cahaya matahari. Tapi aku tidak punya waktu pada siang hari,
karena harus sekolah dan sering bertugas sebagai baby-sitter sepulang
sekolah. Oleh sebab itu aku terpaksa melukis dalam kamar dengan
menyalakan semua lampu.
Aku mendudukkan Mimi di sebuah kursi dengan jok yang
empuk, menyetel penyangga kanvas, lalu mulai bekerja. Ini ketiga
kalinya Mimi duduk untuk dilukis, dan lukisannya sudah hampir
selesai.
"Mimi?" ujarku setelah beberapa menit. "Cerita, dong, tentang
masa kecil Mimi waktu masih di Jepang."
Mimi tersenyum dan memulai ceritanya yang sudah sering
kudengar. Dia bisa bercerita tanpa banyak bergerak. "Keluarga kami
mirip keluargamu," katanya. "Aku tinggal bersama orangtuaku, kakak
perempuanku, dan kakekku?ayah ayahku.""Mimi," aku tiba-tiba memotong. "Apakah Mimi bisa akrab
dengan kakak Mimi?"
"Oh, ya," sahut Mimi. "Kakakku merangkap sebagai temanku,
bahkan sahabat karibku. Kami belajar dan bermain bersama-sama.
Aku mengikutinya ke mana saja, dan mencoba melakukan apa yang
dilakukannya. Dia sangat sabar terhadapku."
"Kenapa Janine dan aku tidak bisa berteman?" tanyaku sambil
mengerutkan kening memandangi lukisanku.
"Untuk menjadi teman tidaklah mudah," jawab Mimi pelan.
"Dan agar menjadi teman baik, kalian harus sering bersama-sama.
Kamu harus mau bicara dengan Janine, dan berusaha mengerti jalan
pikirannya. Itulah sebabnya kamu bisa berteman dengan Kristy, Mary
Anne, dan Stacey."
"Tapi Janine tidak bisa diajak bicara," aku membantah. "Dan
dia tidak pernah punya waktu untukku. Yah, hampir tidak pernah. Dia
memang membantuku membuat PR, tapi itu kan karena disuruh
Papa."
"Dan bagaimana dengan kamu? Apa kamu pernah punya waktu
untuk kakakmu?"
"Jarang juga."
"Suatu hari nanti kalian pasti bisa berteman," ujar Mimi.
Aku kembali menekuni lukisanku, dan Mimi meneruskan
ceritanya. Belakangan, ketika dia sudah meninggalkan kamarku, aku
mengeluarkan permen karamel dari laci meja. Kemudian aku
mengambil buku karangan Nancy Drew dari bawah kasur, tempat aku
menyembunyikan buku itu dengan sekaleng root beer.Aku sudah sampai bab empat belas dan ceritanya sangat
menarik. Walaupun begitu, sambil mengunyah permen karamel
pikiranku mulai melayang-layang, dan melayang-layang sampai ke
Trevor Sandbourne.
Aku menurunkan buku yang sedang kubaca.
Trevor Sandbourne adalah cowok paling ganteng di seluruh
kelas tujuh Stoneybrook Middle School. Dan dia memiliki nama
paling romantis di seluruh dunia. Trevor mempunyai rambut berwarna
hitam legam, mata kelam yang sendu, dan bintik-bintik di hidungnya.
Aku sering melihatnya berjalan sambil termenung di lorong sekolah.
Tampangnya selalu serius. Dia sering menulis puisi untuk The
Literary Voice, majalah sekolah kami. Aku tidak pernah bermimpi
akan jatuh cinta pada seorang penyair. Satu-satunya masalah adalah
karena Trevor dan aku tidak pernah sekelas, sehingga kami tidak
saling mengenal. Malahan mungkin dia tidak tahu kalau aku hidup.
Kriiing! Dering telepon membuatku terlompat. Aku menggapai
gagang telepon sambil berharap-harap cemas bahwa Trevor-lah yang
meneleponku.
"Halo?"
"Hai, Claud. Ini aku."
"Hai, Stacey."
"Sedang apa kamu?"
"Berpikir tentang Trevor Sandbourne. Dan kamu?"
"Berpikir tentang Sam Thomas." (Sam Thomas adalah kakak


Baby Sitter Club 2 Claudia Dan Si Penelepon Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kristy, dan Stacey naksir berat padanya. Secara pribadi, aku
berpendapat bahwa Sam terlalu tua untuk Stacey. Sam baru saja
masuk high school.)Aku mendesah.
Begitu juga Stacey.
"Ada telepon untuk Baby-sitters Club?" tanyanya setelah
beberapa saat.
"Tidak."
"Betul, nih?"
"Betul." Kamarku merupakan markas Baby-sitters Club. Ini
karena di antara kami berempat, hanya aku yang punya telepon di
kamar. Bukan hanya itu, aku juga punya nomor telepon sendiri. Tiga
kali seminggu Baby-sitters Club mengadakan pertemuan rutin di
kamarku. Orang yang menelepon pada waktu kami mengadakan
pertemuan bisa langsung berbicara dengan kami berempat. Jadi dia
bisa mendapatkan baby-sitter saat itu juga. Seperti kata Kristy, "Itulah
kelebihan klub kita." Tentu saja orang-orang bisa menelepon kami
secara perseorangan di rumah masing-masing, pada waktu lain. Aku
juga sering menerima telepon di luar waktu pertemuan Baby-sitters
Club. Kalau itu terjadi, aku harus mencatat semua informasi tentang
tugas yang harus kami keijakan, seperti kapan, berapa anak, jam
berapa orangtua mereka pulang ?hal-hal semacam itulah. Kemudian
aku harus menawarkan pekerjaan ini pada semua anggota klub. Dan
setelah itu aku harus menelepon kembali klien tersebut, untuk
memberitahunya siapa yang akan bertugas sebagai baby-sitter.
Memang sih, beberapa kali aku lupa melakukan ini, dan langsung
menerima tugas yang ditawarkan untuk diriku sendiri. Meskipun
begitu, seharusnya Stacey tidak menuduhku memonopoli pekerjaan?
walaupun itu tidak diucapkannya secara langsung.
Stacey mendesah lagi."Ada apa, sih?" tanyaku.
"Coba kalau aku kenal lebih banyak orang di sini."
"Tenang saja, Stace. Kamu kan belum sampai dua bulan tinggal
di sini. Perlu waktu untuk mendapatkan teman." Stacey dan
orangtuanya pindah dari New York City ke Stoneybrook, Connecticut,
pada bulan Agustus yang lalu.
"Moga-moga, deh," ujarnya.
"Mungkin kita bisa berkumpul bersama-sama Kristy dan Mary
Anne hari Sabtu besok. Maksudku, kita bisa melakukan sesuatu selain
pertemuan rutin klub. Kamu ada waktu?"
"Aku selalu punya waktu," sahut Stacey.
"Jangan begitu, dong. Kamu kan sering mendapat tugas sebagai
baby-sitter, dan kamu juga sering pergi ke New York dengan
orangtuamu."
"Tapi itu nomor dua. Yang lebih penting kan punya banyak
teman."
"Kalau begitu kita bikin acara hari Sabtu besok, oke? Aku akan
menelepon Kristy dan Mary Anne."
"Baiklah."
"Sampai besok, Stace."
"Bye."
"Bye."
Kami meletakkan gagang telepon. Aku memandang ke luar
jendela dan memperhatikan hujan yang turun dengan deras. Tidak
mudah untuk mencari alasan agar Mary Anne diizinkan pergi oleh
ayahnya yang gila disiplin. Di samping itu aku juga perlu memikirkan
diet Stacey. Tapi bagaimanapun juga, aku akan mencari acara yangbisa kami kerjakan bersama-sama. Besok pagi aku akan bicara dengan
Kristy dan Mary Anne di sekolah.
Aku kembali membaca The Phantom of Pine Hill.Bab 2
STACEY, Kristy, Mary Anne, dan aku berkumpul bersama-
sama pada hari Sabtu. Tapi kami belum mendapatkan ide untuk
mengisi waktu. Mary Anne tidak diizinkan ayahnya bersepeda ke
pertokoan. Stacey tidak boleh makan es krim atau makanan-makanan
lain yang bisa menambah meriah suasana?dia menderita diabetes dan
harus membatasi jumlah gula yang dimakannya setiap hari. Hanya ada
satu film yang sedang main di bioskop, dan Kristy serta aku sudah
menontonnya.
Jadi kami duduk-duduk saja di halaman depan rumah Kristy.
Kami semua duduk seenaknya, kecuali Stacey. Dia duduk di atas
kedua kakinya yang ditekuk. Dia ingin kelihatan manis, soalnya siapa
tahu Sam akan lewat atau menyembulkan kepalanya di pintu. Mary
Anne menggelar harian The Stoneybrook News di rumput, tapi dia
tidak membacanya. Kami merasa sangat, sangat bosan.
"Kita bisa naik ke loteng dan membongkar peti berisi mainan
antik yang diberikan nenekku pada Mama," Kristy mengusulkan.
Stacey dan aku bertukar pandang. Walaupun Kristy dan Mary
Anne sudah duduk di kelas tujuh, sama seperti Stacey dan aku,
mereka masih kekanak-kanakan. Mereka belum tertarik pada cowok
ataupun pakaian, dan kadang-kadang mereka melakukan hal-hal yangtidak masuk akal. Mary Anne masih suka membuat baju untuk
boneka-boneka binatangnya. Dan mereka bahkan kelihatan lebih
muda dibanding kami. Kristy memiliki rambut panjang berwarna
cokelat, yang sayangnya dibiarkan begitu saja. Matanya yang besar
dan berwarna cokelat juga pasti bertambah indah kalau diberi make-
up. Tapi untuk itu dia masih harus menunggu beberapa tahun lagi.
Badannya termasuk pendek untuk umurnya. Dia lebih mirip anak
berumur sepuluh tahun. Mary Anne juga mempunyai rambut dan mata
cokelat. Ayahnya menyuruhnya untuk selalu mengepang rambutnya.
Entah sampai kapan dia bisa bertahan seperti itu. Dan baik Kristy
maupun Mary Anne berpakaian seperti anak kecil?rok pendek kotak-
kotak, blus sederhana, dan sejenisnya.
Sebaliknya, Stacey berpakaian seperti aku. Dia berbadan tinggi
dan langsing. Ibunya memperbolehkannya mengeriting rambut
pirangnya. Dia kelihatan lebih tua dari dua belas tahun.
"Kita bisa mencicipi biskuit baru yang...," Mary Anne berkata.
Tapi kemudian ia melirik ke arah Stacey dan segera terdiam. Rupanya
ia baru ingat bahwa Stacey harus berdiet.
"Bagaimana kalau kita sewa kaset video untuk diputar di
rumahmu?" usulku pada Stacey.
"Yeah!" Kristy menyetujui.
"Yeah!" ujar Mary Anne.
"Videonya lagi rusak," sahut Stacey singkat.
"Oh!"
Aku memungut daun pohon maple kering yang berwarna
kuning, lalu memilin-milin batangnya dengan jempol dan telunjukku."Aku akan menceritakan sebuah rahasia pada kalian," ujarku. "Stacey
sudah tahu tentang hal ini, tapi yang lain belum."
"Kenapa kamu memberitahu Stacey lebih dulu?" tanya Kristy
menuduh.
"Aku tidak punya maksud apa-apa! Oke?"
Aku melihat Kristy dan Mary Anne berpandangan. Mereka
pasti merasa bahwa Stacey dan aku mengabaikan mereka. Terus
terang saja, kadang-kadang kami memang bersikap seperti itu.
"Kalian mau tahu rahasia ini atau tidak?"
"Mau," Kristy menggerutu.
"Oke. Begini..." Aku sengaja berhenti sejenak agar suasana
bertambah tegang. "Aku lagi jatuh cinta!"
"Ohh!" komentar Mary Anne dengan lembut.
"Yang benar?" seru Kristy hampir bersamaan.
"Siapa orangnya?" tanya Mary Anne.
Aku mendesah panjang. "Trevor Sandbourne." Aku
memejamkan mata dan bersandar pada batang pohon maple.
"Trevor Sandbourne?" ulang Kristy.
Mary Anne memandangku tanpa berkedip dari balik kacamata
bacanya, lalu menyibak salah satu kepangan rambutnya. "Siapa dia?"
"Hanya cowok paling ganteng di sekolah."
"Rasanya aku belum pernah mendengar namanya. Apakah dia
juga di kelas tujuh?"
"Yap. Dia seorang penyair," kataku. Kemudian aku mencoba
untuk menggambarkan dirinya.
"Oh!" seru Kristy di tengah-tengah keteranganku. "Aku tahu
siapa yang kamu maksud. Anaknya sangat pendiam. Dia sekelasdenganku di pelajaran matematika. Dia duduk satu baris di
belakangku? tepat di sebelah Alan Gray."
"Ih, Alan Gray!" ujarku. "Kasihan benar kamu."
"Yeah," tambah Mary Anne dengan nada sebal. Maksudku,
untuk ukuran Mary Anne nadanya sudah sebal, tapi untuk orang lain
sih biasa-biasa saja. Masalahnya begini... Mary Anne tinggal bersama
ayahnya yang sangat, sangat berdisiplin, dan terlalu melindunginya.
Karena itu Mary Anne tumbuh menjadi gadis yang pemalu dan
"terkekang". Pak Spier beranggapan, karena ibu Mary Anne sudah
meninggal, dia harus mendidiknya baik-baik. Dia membuat Mary
Anne menjadi gadis yang super sopan dan berpenampilan agak kuno.
"Siapa sih Alan Gray?" tanya Stacey, mengingatkan kami
bahwa dia pendatang baru di Stoneybrook.
"Alan Gray," Kristy menjelaskan, "adalah cowok yang paling
menyebalkan di muka bumi. Dia sudah membuat kekacauan sejak di
Taman Kanak-kanak. Bahkan mungkin sejak lahir. Dan karena dia
duduk tepat di belakangku, maka selama pelajaran aku merasa tidak
aman. Kemarin dia mengatakan pada Pak Peters bahwa aku terlambat
karena harus pergi ke dokter untuk minta obat kutu."
"Ih, keterlaluan!" seru Stacey.
"Begitulah. Dia sangat membenciku. Dan dua kali lebih usil
terhadapku daripada terhadap orang lain."
"Karena kamulah satu-satunya cewek yang berani melawan
dia," kataku.
"Yeah," sahut Kristy sambil cengar-cengir.Senyuman mengembang di wajah Mary Anne. Dia masih ingat
peristiwa yang sedang kami bicarakan. Bahkan Mary Anne pun
menganggap kejadian itu lucu.
"Ada apa, sih?" tanya Stacey sambil mengerutkan kening.
"Kelas lima," aku memulai. "Waktu itu Kristy, Mary Anne,
Alan Gray, dan aku sekelas. Kristy benar-benar memberi pelajaran
pada Alan. Sepanjang tahun, kerja Alan hanyalah mengganggu semua
cewek di kelasnya, termasuk kami. Sampai akhirnya kami tidak tahan
lagi. Nah, suatu hari di bulan Juni, Kristy datang ke sekolah, dan
sepanjang pagi dia terus bercerita bahwa ibunya menyiapkan makan
siang yang enak sekali untuknya: sepotong tart cokelat, kentang
goreng, salad buah, sandwich ham dan keju, dan dua buah Hershey?s
Kisses?pokoknya, makan siang yang istimewa. Kristy bilang itu
merupakan hadiah dari ibunya.
Dan karena makanannya istimewa, maka dia harus
menyimpannya di laci meja dan bukan di locker(semacam lemari
tempat menyimpan barang-barang pribadi)-nya. Tentu saja Alan tidak
menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia mencuri kantong bekal Kristy.
Kemudian pada waktu makan siang di kantin, dia sengaja membuka
kantong itu di depan orang banyak. Dia duduk di meja cowok-cowok,
dan mereka semua berkerumun mengelilinginya. Kristy, Mary Anne,
dan aku memperhatikannya dari meja sebelah. Alan langsung menjadi
pusat perhatian, persis seperti yang diinginkannya."
"Dan persis seperti yang aku harapkan," tambah Kristy.
"Betul. Alan mengeluarkan kotak-kotak makanan dari dalam
kantong, lalu meletakkan semuanya di atas meja. Kemudian dia mulai
membuka kotak-kotak itu. Di dalam kotak yang satu dia mendapatkanseekor labah-labah yang sudah mati, dan di kotak yang lain dia
mendapatkan sepotong kue yang terbuat dari lumpur."
"David Michael yang membuatnya untukku," ujar Kristy.
(David Michael adalah adik Kristy. Waktu itu dia berumur empat
tahun.)
"Kristy bahkan membuat sandwich dengan lalat-lalat buatan."
Stacey mulai cekikikan.
"Kejadiannya luar biasa," Mary Anne berkomentar. "Semua
orang ketawa. Dan ternyata Kristy sudah menyiapkan makan siangnya
sendiri, yang disimpannya di dalam locker. Sepanjang siang, anak-
anak terus memuji-muji tipuannya yang hebat."
"Sayangnya ada akibat yang tidak diharapkan," Kristy
menyambung. "Sejak saat itu, Alan memutuskan untuk terus-terusan
menggangguku, supaya reputasinya tidak rusak. Dia seperti wabah pes
saja."
"Untung saja Trevor tidak seperti itu," ujarku.
"Kalau dia seperti itu, kamu pasti tidak akan jatuh cinta
padanya," kata Stacey. Dia menyibakkan rambutnya yang pirang dari
depan matanya.
"Betul juga. Para penyair sangat perasa dan bijaksana."
Semuanya terdiam.
Mary Anne membolak-balik halaman The Stoneybrook News.
"Toko Taylor akan mengobral barang-barangnya," katanya.
"Hmm." (Aku memejamkan mataku dan mencoba untuk
membayangkan Trevor.)
"Ada kebakaran di pertokoan Minggu ini."
"Hmm.""Semua orang diharapkan sudah mendapat suntikan imunisasi
flu sebelum bulan November."
"Hmm."
"Aduh!!"
Kristy, Stacey, dan aku tersentak kaget.
"Ada apa? Ada apa?" aku berseru.
Wajah Mary Anne memucat.
Dengan tangan gemetar dia menunjuk koran, sementara tangan
yang lain memegang koran itu jauh-jauh, seakan-akan koran tersebut
bisa menggigit.
"Ada sesuatu di atas koran?" aku memekik sambil melompat
menjauh. Aku amat sangat membenci labah-labah.
"Bukan, yang kumaksud adalah berita di koran," Mary Anne
menjelaskan dengan susah payah.
Kristy segera merebut koran itu dari tangan Mary Anne.
Kemudian dia dan Stacey berlutut, lalu mengamati halaman yang
terbuka.
"'Seekor Babi Mengamuk'?" tanya Kristy sambil membaca
salah satu judul berita yang tercetak dengan huruf besar.
"Bukan!" teriak Mary Anne.
"'Pengemudi Truk yang Menderita Tekanan Batin Menjadi
Gila?" tanya Stacey.
"Bukan!"
"Yang mana sih, Mary Anne? Bilang, dong!" bentakku. "Kamu
bisa membuat kita semua jadi gila, nih!"
Mary Anne sudah mulai tenang. Dia meraih korannya dan
membaca, "'Si Penelepon Misterius Beraksi di Mercer.'" Diamendehem dan menatap kami. Lalu dia meneruskan, "'Pencuri
tersebut, yang dijuluki si Penelepon Misterius oleh pihak polisi, Selasa
malam beraksi kembali di Mercer. Kali ini sasarannya adalah rumah
Thornton dan Sophia Granville di Jalan Witmer Court nomor 236.
Sesuai dengan pola pencurian sebelumnya, dia mulai menelepon
alamat tersebut beberapa saat setelah pukul empat sore. Dia tidak
mengucapkan sepatah kata pun, dan langsung meletakkan telepon
kalau ada yang menyahut. Suami-istri Granville meninggalkan rumah
mereka pukul setengah delapan, untuk menghadiri rapat dewan
pimpinan sekolah. Ketika mereka pulang pukul sepuluh lewat lima
belas, mereka menyadari bahwa semua permata milik Bu Granville
telah lenyap. Selain itu tidak ada barang yang hilang, walaupun di
dalam rumah tersebut masih ada sejumlah sendok perak, serta koleksi
uang logam yang sangat terkenal dan berharga milik Thornton
Granville.
"Ini merupakan rumah keenam yang dimasuki oleh si
Penelepon Misterius selama dua minggu terakhir, dan rumah kedua di
Mercer. Keempat rumah lainnya berlokasi di New Hope.'" Mary Anne
berhenti membaca.
"Jadi apa yang perlu ditakutkan?" tanya Stacey. "Coba kalau
kamu dengar apa yang terjadi di New York City setiap harinya. Itu


Baby Sitter Club 2 Claudia Dan Si Penelepon Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baru gawat."
"Tapi apa kalian tidak sadar?" tanya Mary Anne. "Dia semakin
mendekati Stoneybrook?semakin mendekati kita. Pertama-tama dia
beraksi di New Hope, lalu di Mercer. Stoneybrook adalah kota
terdekat dari Mercer""Memang, tapi jaraknya kan masih tiga puluh dua kilometer,"
kataku. "Apakah dia selalu mencuri permata?"
"Ya," sahut Mary Anne. "Hanya itu. Pada paragraf berikutnya
dikatakan bahwa dia benar-benar tahu apa yang dicarinya. Nah, inilah
bagian yang mengerikan: Dia menelepon untuk mengecek apakah ada
orang di rumah. Tapi kadang-kadang dia tetap masuk, walaupun ada
orang di dalam. Orang-orang itu tidak mengetahuinya, sampai mereka
menyadari bahwa permata-permata milik mereka telah lenyap. Jadi,
dia ada di dalam rumah bersama-sama dengan penghuni rumah itu.
Dia memang belum pernah melukai seorang pun, tapi bisa kalian
bayangkan apa yang terjadi kalau ada orang yang memergokinya pada
saat dia sedang beraksi? Nah, sekarang pikirkan ini," lanjutnya. "Kita
kan tidak tahu permata macam apa yang dimiliki oleh keluarga tempat
kita bertugas sebagai baby-sitter."
"Oh," kata Stacey, "sepertinya di sekitar sini tidak ada orang
yang sekaya keluarga Granville."
"Siapa tahu itu tidak menjadi masalah baginya," ujar Kristy.
"Dan bagaimana kalau si Penelepon Misterius mengamati sebuah
rumah, lalu melihat kedua orangtua pergi. Mungkin saja dia akan tetap
melaksanakan rencana jahatnya, kalau dia tahu bahwa hanya ada
seorang baby-sitter dan beberapa anak kecil di dalam rumah yang
diincarnya."
"Hmm, entahlah," Stacey masih ragu-ragu. "Aku rasa kalian
terlalu kuatir tanpa alasan."
Tiba-tiba aku mendekap mulutku dengan sebelah tangan. "Ya
ampun!" seruku.
"Ada apa?" yang lain ikut berteriak."Waktu aku bertugas di rumah keluarga Marshall hari Rabu
yang lalu, telepon mereka berdering dua kali. Dan setiap kali aku
menjawabnya, si penelepon langsung memutuskan hubungan tanpa
mengatakan sepatah kata pun!"
"Ya ampun!"
"Kamu bercanda, ya?!"
"Rasanya," kata Kristy dengan serius, "kita harus mengadakan
pertemuan darurat Baby-sitters Club?sekarang juga."Bab3
DENGAN perasaan waswas, keempat anggota Baby-sitters
Club berkumpul di kamarku.
"Ini benar-benar gawat," keluh Kristy. "Kalau keadaannya
seperti ini, bagaimana kita bisa tetap menjalankan tugas kita?"
Semuanya bungkam. Untuk mengurangi ketegangan, aku
mengambil sebatang cokelat berukuran besar dari dalam buku
catatanku. Dengan hati-hati aku membuka bungkusnya, lalu membagi-
bagikan potongan cokelat pada Kristy dan Mary Anne. Aku sudah
mulai terbiasa untuk tidak menawarkan apa-apa pada Stacey. Kami
bertiga mengunyah sambil membisu.
"Sebenarnya kita tidak punya alasan untuk merasa kuatir," kata
Stacey setelah beberapa saat. "Si Penelepon Misterius kan belum
merampok siapa pun di Stoneybrook. Itu artinya dia masih berada
pada jarak tiga puluh dua kilometer dari sini." Dia berpaling pada
Mary Anne. "Apa yang membuatmu begitu yakin bahwa si Penelepon
Misterius akan datang kemari? Dia kan sedang dikejar-kejar polisi.
Mungkin saja dia akan memutuskan untuk pergi ke tempat lain,
misalnya ke Oklahoma."
"Betul juga," ujar Mary Anne lambat-lambat."Lagi pula, coba kalian pikir... Kalau si Penelepon Misterius
mengetahui bahwa ada permata yang disimpan di sebuah rumah,
bukankah seharusnya kita juga sudah mengetahuinya? Maksudku,
tentunya hal itu bukan rahasia lagi."
"Itu juga betul," sahutku, "tapi... bagaimana kalau ada pencuri
yang berusaha masuk ke rumah pada saat kita sedang bertugas di situ?
Bukan hanya si Penelepon Misterius, lho. Mungkin juga pencuri-
pencuri lain. Ini kan bisa saja terjadi, dan kita perlu bersiap-siap untuk
menghadapi kemungkinan itu."
"Tepat sekali," ujar Kristy. "Baby-sitter yang baik harus selalu
siap menghadapi keadaan apa pun."
"Mungkin ada baiknya kalau kita menciptakan kode darurat,"
usul Stacey. "Jadi kalau salah seorang dari kita berada dalam bahaya,
dia bisa memberi kode pada yang lain melalui telepon. Dan yang lain
bisa memanggil polisi. Misalnya saja aku sedang bertugas menjaga
Jamie Newton, dan aku mendengar seorang pencuri berusaha masuk
rumah. Nah, aku kan harus memanggil polisi. Tapi aku tidak ingin si
pencuri mendengarku menelepon polisi."
"Betul," sahut kami bertiga.
"Jadi aku menelepon Claudia, misalnya. Dan aku bilang, 'Hai,
ini Stacey. Apa kamu sudah menemukan pita merahku!' Itu
merupakan kode bahwa aku sedang dalam bahaya, dan bahwa aku
minta tolong Claudia untuk menelepon polisi."
"Hei, itu ide bagus!" Kristy memuji.
"Yeah!" Mary Anne setuju. "Tapi bagaimana Claudia bisa tahu
kamu ada di mana? Kan dia harus memberitahu polisi di mana tempat
kejadian perampokan itu?""Ya, itu pertanyaan yang bagus, Stace," kataku, "sebab
bagaimana kalau si pencuri ikut mendengarkan percakapan kami
melalui telepon paralel? Kan aku tidak bisa bilang, 'Oke, aku akan
panggil polisi. Kamu ada di mana?' Itu malah membuat keadaan
bertambah gawat."
"Aduh, betul juga! Si pencuri mungkin menguping lewat
telepon paralel! Ih, merinding aku membayangkannya!" seru Kristy.
"Tapi itu bisa saja terjadi," ujarku. "Seperti dalam film The
Night of the Weird. Kalian tahu kan, film tentang baby-sitter yang
ditemukan ma..."
"Stop! Stop! Stop! Jangan cerita lagi. Aku tidak ingin
mendengarnya!" teriak Kristy.
"Baiklah," sahutku, "tapi intinya adalah bahwa kita semua perlu
mengetahui kapan dan di mana anggota-anggota yang lain bertugas."
"Kan ada buku agenda klub," Mary Anne mengingatkan.
Buku agenda Baby-sitters Club adalah buku yang memuat
semua informasi penting yang berhubungan dengan tugas-tugas kami
sebagai baby-sitter.
Selain itu, Kristy juga menyuruh kami membuat buku catatan.
Setiap kali kami selesai bertugas, kami harus menuliskan semua
pengalaman kami di dalamnya. Dengan demikian para anggota klub
yang lain bisa mengetahui semua masalah yang dialami, misalnya
dengan anak-anak yang dijaga, dengan keluarga, atau dengan rumah
mereka. Kami bisa belajar dari pengalaman-pengalaman ini, sehingga
kami tahu apa yang harus dilakukan kalau kami bertugas di tempat
yang sama.Aku juga perlu menjelaskan bahwa kami masing-masing punya
jabatan dalam Baby-sitters Club. Mary Anne bertugas sebagai
sekretaris. Karena itulah dia teringat pada buku agenda kami. Kristy
diangkat sebagai ketua, karena dialah yang punya ide untuk
mendirikan klub ini. Aku menjabat sebagai wakil ketua, soalnya
kamarku dipakai sebagai markas dan aku punya nomor telepon
pribadi. Dan Stacey bendahara, karena dia menyukai angka-angka.
"Apa hubungannya dengan buku agenda kita?" tanya Stacey.
"Kan semua informasi ditulis di dalam buku itu ?di mana kita
bertugas, berapa jumlah uang yang kita hasilkan, dan sebagainya. Aku
bisa membawanya ke sekolah setiap hari, sehingga kita semua bisa
memeriksa jadwal tugas setiap anggota klub. Dan selama pertemuan
rutin hari Jumat sore, kita bisa memeriksa jadwal tugas untuk akhir
pekan. Dengan cara itu, kita masing-masing bisa mengetahui apa yang
dikerjakan oleh anggota-anggota lain?di mana mereka akan
bertugas."
"Usulmu bagus," ujar Kristy, "tapi sebagai ketua, akulah yang
bertanggung jawab untuk membawa buku agenda kita ke sekolah. Jadi
kalau terjadi apa-apa dengan buku itu, akulah yang harus disalahkan."
"Kamu tidak perlu melakukan itu," kataku. "Kita kan bisa
membawanya secara bergiliran."
"Tidak, lebih mudah kalau buku itu selalu dibawa oleh orang
yang sama. Aku tidak keberatan, kok Aku usul agar akulah yang
membawanya ke sekolah setiap hari."
"Setuju," kata Mary Anne. Wajahnya kelihatan lega.
"Oke," ujar Kristy. "Sekarang bagaimana dengan alarm
pencuri?""Apa maksudmu?" tanyaku ingin tahu.
"Coba bayangkan kalau kita sedang bertugas, lalu terjadi
sesuatu yang aneh?penelepon yang membisu, suara-suara aneh di
luar rumah, pokoknya apa saja. Nah, aku rasa kita harus merakit
semacam alarm pencuri. Jadi setidak-tidaknya kita tahu kalau ada
orang yang ingin masuk dengan membongkar pintu atau jendela."
Untuk sesaat tidak ada yang bicara. Akhirnya Mary Anne
berkata, "Maksudmu, kita harus meletakkan kaleng-kaleng bekas di
depan pintu, sehingga kalau pintu terbuka kaleng-kaleng itu akan jatuh
dan menimbulkan suara gaduh?"
"Tepat sekali!" seru Kristy. "Itu ide yang bagus." Dia merobek
selembar kertas dari buku catatan IPS-ku dan mulai menulis:
1. Menaruh kaleng-kaleng bekas di depan pintu atau jendela (di
dalam rumah).
"Tapi," tambahnya, "kalian harus ingat bahwa kaleng-kaleng itu
tidak boleh diletakkan di tempat di mana anak-anak yang kalian jaga
bisa tersandung. Dan kalian juga jangan lupa untuk menyingkirkan
kaleng-kaleng itu sebelum orangtua mereka pulang."
"Betul," kami setuju.
"Oke. Ada ide lain? Claudia?" tanya Kristy. Lagaknya seperti
guru-guru di sekolah saja.
"Tidak ada," sahutku agak salah tingkah. Kemudian aku
menambahkan, "Kamu sendiri punya ide, tidak?" Kayaknya dari tadi
kerja Kristy cuma ngomong dan menulis, tapi dia tidak mau ikut
berpikir.
Keheningan terasa mencekam. Lalu, "Bagaimana dengan alarm
bau-bauan?" tanya Kristy sambil cekikikan.Mary Anne dan Stacey tertawa, tapi aku pikir lelucon itu terlalu
kekanak-kanakan.
"Kalau aku boleh tahu, apa yang kamu maksud dengan alarm
bau-bauan?" tanyaku menyelidik.
Kristy tidak dapat berhenti cekikikan. "Kamu meletakkan
sesuatu yang kotor, sampah misalnya, di suatu tempat di luar rumah
yang kira-kira akan diinjak oleh si pencuri. Nah, kalau laki-laki itu
berhasil memasuki rumah, kamu sudah bisa mencium baunya sebelum
kamu sempat mendengar apa-apa. Itulah yang namanya alarm bau-
bauan!"
Aku sama sekali tidak berminat untuk ikut tertawa. Aku hanya
berkata, "Memangnya pencuri harus laki-laki? Bisa juga perempuan,
kan?"
"Aduh, Claudia, aku kan cuma bercanda," sahut Kristy. "Jangan
ngambek, dong."
"Baiklah, tapi aku tidak punya ide apa-apa."
"Oke, oke, kita semua harus mencari ide lain. Sekarang aku
akan mencatat kode kita. Kalian harus merahasiakan ini. Jangan
sampai orang lain tahu.... Aku serius, lho."
"Oke, deh," kami setuju.
"Apakah kita akan menggunakan kode yang diusulkan Stacey
tadi?" tanya Kristy.
"Dia bilang apa, sih? Aku lupa," ujar Mary Anne.
"Dia bilang, 'Apa kamu sudah menemukan pita merahku?'"
jawabku dengan cepat. Aku merasa senang karena dapat
menjawabnya lebih dulu dari Kristy."Betul," sahut Kristy. "Dan itu artinya ada bahaya, dan si baby-
sitter perlu bantuan polisi."
"Sebaiknya," kataku lambat-lambat, "kita tetap memakai kata-
kata yang diusulkan Stacey. Tapi kita perlu menambah beberapa kode
lagi, agar kita bisa memberikan informasi yang lebih lengkap."
"Yeah. Untuk berjaga-jaga kalau si pencuri ikut mendengarkan
dari telepon paralel, maka orang yang menerima telepon juga harus
memakai bahasa kode. Dia harus memberi isyarat bahwa dia sudah
mengerti apa yang dimaksud, dan bahwa dia tahu di mana si baby-
sitter berada, dan sebagainya," tambah Stacey.
"Bagaimana kalau jawabannya seperti ini?" tanya Mary Anne.
"Orang yang menerima telepon harus berkata, 'Bukan, yang biru.' Kan
sederhana dan tetap merupakan bahasa kode."
"Itu usul bagus," Kristy memuji. Tapi wajahnya kelihatan agak
pucat?mungkin karena ngeri membayangkan pencuri yang
menguping lewat telepon paralel.
"Aku pikir ada baiknya kalau kita juga memikirkan suatu cara
untuk memberitahukan apakah kita memang dalam bahaya besar,"
ujar Stacey, "seperti kalau si pencuri sudah berada di dalam rumah dan
kita sudah melihatnya?atau kita baru menduga bahwa ada bahaya."
"Yeah," aku mendukung usulnya. "Itu memang penting."
"Oke," kata Kristy, "bagaimana kalau begini: Setelah orang
yang ditelepon mengatakan, 'Bukan, yang biru,' maka si baby-sitter
punya dua pilihan. Kalau dia yakin bahwa ada bahaya besar, dia harus
menjawab, 'Oh ya, aku lupa. ' Tapi kalau dia belum yakin, dia harus
mengatakan, 'Ah, tidak apa-apa.'"
"Baiklah," kami semua setuju."Mudah-mudahan aku bisa mengingat semua kata kode itu,"
ujarku.
"Sebaiknya kita latihan dulu," usul Kristy. "Claudia, misalkan
kamu sedang menjaga David Michael di rumahku, dan kamu
mendengar suara-suara aneh di jendela. Apa yang akan kamu
lakukan?"
"Aku akan menelepon Stacey," kataku.
"Coba kita dengar percakapan kalian. Ingat, kamu tidak tahu di
mana si pencuri itu, kalau memang benar ada pencuri. Karena itu
kamu harus menggunakan kata-kata kode."
"Oke.... Oke, aku akan mengangkat gagang telepon dan
memutar nomor telepon Stace..."
"Kring! Kring! Kring!" Kristy menirukan suara telepon.
Stacey pura-pura mengangkat gagang telepon. "Halo?"
"Hai, Stace. Ini Claud. Apakah kamu melihat pita rambutku?"
"Bukan begitu! Apa kamu sudah menemukan pita merahku?"
Kristy memotong.
"Belum, aku belum menemukannya," ujarku.
"Claud! Ayo, dong. Lakukan dengan benar."
"Aku sedang berusaha.... Oke! Kring, kring, kring."
"Halo?" sahut Stacey.
"Hai, ini Claudia. Apa kabar?"
"Bukan 'Apa kabar'!" seru Kristy. "Tak perlu berbasa-basi.
Kamu kan bukan mau ngobrol. Kamu sedang ketakutan setengah
mati."
Aku menarik napas. "Hai, Stace. Ini aku, Claudia. Apa kamu....
apa kamu sudah menemukan pita merahku?"Sepi. Lalu Stacey tertawa. "Aku lupa harus mengatakan apa!"
Kristy kelihatan sangat jengkel. "Claud, coba telepon Mary
Anne sekarang."
"Oke. Kring, kring."
"Halo?"
"Hai, Mary Anne. Ini Claudia. Apa kamu sudah menemukan
pita merahku?"
"Belum."
"Bukan, yang biru!" Kristy marah-marah. "Mary Anne, kamu
yang menciptakan kode ini. Mestinya kamu ingat, dong!"
"Aku tahu. Aku hanya... entahlah. Ulang lagi deh, Claud."
Kami berlatih beberapa lama, sampai semua kata kode itu
masuk di kepala kami. Tapi Kristy bilang masing-masing anak tetap
harus menyalin kata-kata tersebut, dan menghafalkannya setiap hari


Baby Sitter Club 2 Claudia Dan Si Penelepon Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

supaya tidak lupa. Kadang-kadang dia memang sok ngatur.
Belakangan, pada waktu semuanya bersiap-siap untuk meninggalkan
kamarku, Mary Anne tiba-tiba menutup mulut dengan sebelah tangan.
"Ada apa?" tanyaku.
"Aku baru teringat sesuatu. Bagaimana kalau ayahku sampai
mendengar tentang si Penelepon Misterius? Aku berani bertaruh dia
tidak akan mengizinkanku menjadi baby-sitter lagi."
"Tapi kita kan sudah memutuskan bahwa kita tidak perlu kuatir
tentang si Penelepon Misterius," kataku mengingatkan.
"Aku tahu, tapi kalau Papa sampai tahu kata-kata kode kita, dia
pasti akan kuatir setengah mati. Mungkin selama ini tak pernah
terlintas di benaknya soal pencuri, perampok, atau hal-hal semacam
itu.""Mungkin ada baiknya kalau kita merahasiakan semua ini dari
orangtua kita," kata Kristy. "Kalian kan tahu sendiri tabiat para
orangtua. Mary Anne benar. Mereka selalu kuatir. Sebaiknya kita
bersikap biasa-biasa saja, seakan-akan tidak pernah membicarakan
masalah ini. Setuju?"
"Setuju!"
Dengan demikian pertemuan darurat Baby-sitters Club berakhir.
Tapi petualangan kami baru dimulai.Bab 4
ITU dia! Itu dia! penuh semangat aku berkata dalam hati.
Melihat Trevor selalu merupakan acara yang sangat menyenangkan
bagiku.
Aku sedang berjalan menyusuri lorong di Stoneybrook Middle
School, sambil berusaha untuk menjaga jarak di belakang Trevor
Sandbourne tanpa kehilangan jejaknya. Waktu itu jam delapan, dan
bel pertama di sekolahku akan berbunyi kira-kira dua menit lagi.
Tiba-tiba Trevor berhenti di depan pintu kantor The Literary
Voice. Aku juga ikut berhenti dengan tiba-tiba, sehingga orang yang
di belakangku menubrukku. Gedebuk! Kami sama-sama membentur
locker. Aku langsung menoleh. Ternyata aku sedang berhadapan
dengan Alan Gray.
"Lihat-lihat dong, kalau jalan!" ujarku. Aku membetulkan letak
dasi kupu-kupuku yang digantungi bros bergambar anjing, lalu
mengusap-usap rambut untuk memastikan bahwa rambutku tidak
berantakan. Rambutku panjang, dan aku bisa menatanya dalam
berbagai macam model. Hari ini aku mengepang rambutku menjadi
lima, dan mengikat ujung-ujungnya di atas kepala dengan jepit manik-
manik yang digantungi pita berwarna-warni."Aku yang harus lihat-lihat?! Bagaimana dengan kamu?" sahut
Alan sambil menyusun buku-bukunya. Lalu dia pergi sambil
bersenandung dengan suara lembut, "Claud dan Trevor duduk di atas
pohon, B-E-R-M-E-S-R-A-A-N."
Oh, Alan memang sangat menjengkelkan! Dan bagaimana dia
bisa tahu bahwa aku naksir Trevor? Pasti ada seseorang yang
membuka rahasiaku itu, dan rasanya aku bisa menebak siapa
orangnya.
Kemudian bel berbunyi, dan aku buru-buru menuju
homeroom(ruangan tempat murid-murid berkumpul setiap harinya
untuk diabsen, menerima pengumuman penting, dan lain-lain). Aku
mendengarkan guru mengabsen dan memberi pengumuman, sambil
terus memikirkan Trevor. Aku berkhayal tentang dia dan aku:
Seluruh kelas tujuh mengadakan studi lapangan ke Bradford
Mansion, sebuah bangunan kolonial di Wutherby. Kami dibagi-bagi
dalam beberapa kelompok. Tentu saja Trevor dan aku berada dalam
kelompok yang sama. Setelah mengamati semua ruangan di dalam
bangunan itu, kami menuju pekarangannya yang luas dan mulai
berpencar. Kami menyusuri jalan berliku-liku yang dibatasi oleh
pohon-pohon cemara yang berdempetan menyerupai pagar. Trevor
dan aku sama-sama mencapai ujung sebuah jalan buntu. Kami baru
saja akan berbalik, ketika hujan salju turun secara mendadak. Padahal
saat itu bulan Juni, musim panas.
"Hei, apa itu?" ujar Trevor. Dia menunjuk sebuah pintu kayu
yang tersembunyi di antara semak-semak.
"Aku juga tidak tahu," sahutku. "Kita lihat, yuk. Mungkin kita
bisa berlindung dari hujan salju untuk sementara."Kami mendorong pintu kayu itu. Tiba-tiba kami berada di dunia
yang lain. Hujan saljunya lenyap. Begitu juga jalan berliku-liku tadi,
Bradford Mansion, dan anak-anak yang lain. Kami tidak lagi berada di
Wutherby. Setahuku, kami pun tidak lagi berada di bumi. Mungkin
kami pindah ke dimensi keempat. Tidak jadi masalah, sih. Pokoknya,
di mana pun kami berada, Trevor dan aku tinggal berduaan...
"Claudia?"
Aku terbangun dari impianku. Sial. Belum pernah aku bisa
menyelesaikan khayalanku itu. Kalau saja para guru tidak
menggangguku, aku pasti sudah tahu bagaimana ceritanya berakhir.
"Ya?" Aku sedang mengikuti pelajaran matematika. Sepanjang
pagi ini, aku sudah tiga kali memulai impianku.
"Kamu belum mengumpulkan PR-mu?" Pak Peters, guru kami,
sedang menatapku dengan pandangan agak prihatin. Sebagian besar
guruku selalu menatapku seperti itu.
"Oh, maaf." Aku mengeluarkan kertas PR-ku dari dalam buku
catatan, dan meletakkannya di atas tumpukan kertas-kertas yang lain.
Aku yakin semuanya benar, karena Janine-lah yang membantuku
mengerjakannya. Dan Janine sangat hebat dalam pelajaran
matematika.
"Claudia, Claudia," dia selalu berkata dengan nada prihatin,
seperti juga semua guruku. "Kamu mencampuradukkan pengertian
bilangan bulat dengan bilangan genap. Sebuah bilangan bulat bisa saja
merupakan bilangan genap atau ganjil, dan bisa juga merupakan
bilangan positif atau negatif? asal bukan bilangan pecahan."
Terus terang saja, keterangan itu tidak banyak membantuku.
Kenapa sih, Janine tidak bisa berbicara dengan bahasa yangdimengerti orang awam? Dia selalu menggunakan kata-kata ilmiah.
Padahal, waktu kami masih kecil, dia selalu berlaku normal. Kami
bisa bermain bersama-sama dan bersenang-senang. Dia bahkan punya
daya khayal yang hebat. Tapi sepertinya sekarang tidak ada sisanya
lagi.
Pelajaran matematika usai. Dengan enggan aku menuju ruang
bahasa Inggris. Dalam beberapa minggu terakhir ini, aku kurang
bersemangat mengikuti pelajaran bahasa Inggris, soalnya kami
disuruh membaca buku yang tidak menarik sama sekali. Judulnya The
Pond, dan secara jujur kuakui bahwa aku tidak pernah bisa mengerti
isinya. Aku bukannya tidak memahami arti kata-katanya; kosakataku
cukup lengkap, kok. Tapi aku tidak bisa menangkap maksud cerita itu.
Aku cuma tahu bahwa ada seorang anak kecil yang sering berburu
tupai. Sebenarnya aku yakin bahwa ada semacam pesan yang ingin
disampaikan dalam cerita itu?masalahnya, aku tidak tahu apa
pesannya. Kecuali itu, aku juga tidak peduli. Mungkin kalau aku tidak
membacanya dengan terburu-buru...
Ah, urusan sekolah memang bikin pusing saja. Cerita-cerita
karangan Nancy Drew jauh lebih menyenangkan.
Pada pelajaran bahasa Inggris, setiap murid harus membacakan
satu halaman dari The Pond untuk seluruh kelas. Guruku mengatakan
bahwa aku harus lebih menghayati bagian yang kubaca. Kemudian dia
membagikan hasil tes kosakata yang kami kerjakan minggu lalu. Aku
dapat nilai tujuh. Tapi orang-orang di rumah pasti tidak akan senang
melihat hasil ini. Begitu juga aku. Aku tahu bahwa kata Oktober
seharusnya ditulis O-K-T-O-B-E-R, tapi aku menulisnya O-K-O-B-E-
R. Konsentrasi, Claudia, konsentrasi.Aku lega sekali ketika waktu istirahat siang tiba. Langsung saja
aku menuju kantin, dan ikut antre untuk mengambil makanan. Stacey
ternyata berada jauh di depanku.
"Stacey!" aku memanggilnya. "Tolong carikan tempat duduk,
ya?"
Dia mengangguk.
Biasanya aku pasti berusaha menyerobot ke belakang Stacey.
Tapi kali ini tidak. Soalnya dia berdiri persis di depan Alexander
Kurtzman, satu-satunya murid Stoneybrook Middle School yang
membawa tas kantor, serta memakai jas dan dasi untuk pergi ke
sekolah. Seluruh hidupnya dicurahkan untuk menegakkan peraturan.
Salah satu ungkapan kesukaannya adalah "Tidak ada serobot-
serobotan, semua harus antre." Jadi percuma saja mencari perkara dan
berdebat dengannya.
Aku memandang ke sekeliling, dan melihat Kristy dan Mary
Anne sedang makan bersama-sama dengan tiga cewek lain?Lauren
Hoffman dan si kembar Shillaber, Mariah dan Miranda. Si kembar
Shillaber kelihatan semakin mirip karena pakaian mereka serba sama.
Aku benar-benar heran melihatnya. Rasanya mereka sudah terlalu tua
untuk memakai baju kembaran seperti itu. Kadang-kadang Kristy dan
teman-temannya memang terlalu kekanak-kanakan. Hari itu mereka
bahkan membawa kotak makanan dari rumah. Kuakui ayam goreng di
kantin sekolah kami memang agak memuakkan. Tapi bagaimanapun
juga, sangat memalukan buat anak kelas tujuh untuk membawa kotak
makanan ke sekolah. Lagi pula bau makanannya akan memenuhi
locker.Aku mengingatkan diriku bahwa aku perlu bercakap-cakap
sedikit dengan Nona Kristy Thomas.
Aku mengambil ayam goreng lalu duduk di sebelah Stacey.
Tidak lama kemudian anak-anak lain berdatangan ke meja kami.
Dorianne Wallingford (namanya cukup romantis juga), Emily
Bernstein, Howie Johnson, Pete Black, dan Rick Chow. Kami makan
ayam goreng bersama-sama, dan cowok-cowok menghabiskan
delapan porsi makanan pencuci mulut. Setiap kali makan, mereka
menghabiskan jatah satu regu sepakbola berikut pemain cadangannya.
"Apakah sudah cukup banyak makanan yang kalian ambil?"
tanyaku sambil menyobek karton susu dan membereskan piring pada
nampanku.
"Cukup banyak untuk membuat patung," jawab Pete.
"Oh, jangan! Jangan hari ini!" seruku sambil ketawa cekikikan.
Cowok-cowok sering membawa tusuk gigi ke sekolah. Dengan
memanfaatkan kotak susu dan sisa-sisa makanan, mereka menciptakan
suatu karya seni. Pernah sekali mereka membuat patung Bu Pinelli,
guru musik kami. Mereka memakai sisa mi untuk membuat
rambutnya, anggur untuk matanya, dan apel untuk kepalanya. Kami
kena marah karena dianggap membuang-buang makanan.
Dorianne tidak menggubris anak-anak cowok. Dia menggigit
ayam gorengnya sambil pasang tampang sedih. Kadang-kadang
sikapnya agak dibuat-buat.
"Ada apa, sih?" akhirnya aku bertanya padanya.
Dorianne mendesah panjang. Anak-anak cowok berhenti
membuat patung, lalu menatapnya. "Kami kemalingan semalam," ujar
Dorianne.Garpuku terjatuh dan aku hampir tersedak. "Yang benar?"
"Yah... sebenarnya bukan kami."
"Lalu siapa?"
"Nenek dan kakekku. Dan sepertinya pelakunya adalah... si
Penelepon Misterius!"
Jantungku seakan-akan berhenti berdetak untuk beberapa saat.
"Si Penelepon Misterius?" pekikku.
Dorianne menganggukkan kepalanya dengan lesu.
"Di... di mana rumah kakek dan nenekmu?" aku bertanya
sambil menunggu jawabannya dengan cemas.
"Di New Hope." Dorianne menyuapkan sepotong kecil daging
ayam ke mulutnya.
Aku mengembuskan napas lega. Jadi si penelepon masih berada
di New Hope. "Oh, di New Hope," kataku. "Nggak apa-apa, deh."
"Claudia, bagaimana sih kamu ini? Pencuri itu mengambil
cincin tunangan Nenek, yang dihiasi berlian dan batu safir, dan juga
kalung permatanya."
"Maaf, Dor," kataku. "Aku tidak bermaksud... Hanya, ehm, kan
lebih baik dia mencuri di New Hope daripada di Stoneybrook. Benar
tidak?"
Dorianne menatapku dengan pandangan aneh. "Mungkin juga."
Anak-anak cowok mulai bosan dengan percakapan kami, lalu
meneruskan keisengan mereka. Tiba-tiba sepotong pisang terjatuh dari
menara karton susu, dan mendarat di atas piring Emily. Saus tomat
bercipratan, dan mengenai sweternya yang terbuat dari bulu kambing.
"Aduh!" teriaknya. "Rick! Lihat, nih! Gara-gara kamu!
Kakakku akan membunuhku kalau dia melihat ini!""Memangnya kenapa?" tanya Rick.
"Karena sweter ini punya dia."
"Oh! Maaf, deh."
"Ayo, Emily," kataku, "kita ke kamar mandi saja. Aku akan
membantumu membersihkan bercak-bercak itu."
"Oke, deh."
Aku sedang berdiri di depan wastafel sambil membersihkan
bagian depan sweter Emily dengan kertas tisu, ketika dia mendadak
mendekat padaku dan berbisik, "Jadi, bagaimana hubungan kamu dan
Trevor Sandbourne?"
Jantungku berhenti berdetak lagi. Kalau seperti ini terus, aku
tidak akan bertahan hidup sampai umur tiga belas tahun. Sebelum
menjawab, aku memastikan dulu bahwa kami hanya berdua di situ.
"Tidak ada apa-apa, kok," kataku. "Memangnya apa yang kamu
dengar?"
"Bahwa kamu menyukainya."
"Dari siapa kamu mendengar itu?"
"Dorianne."
"Dan dari mana dia mendengar itu?"
Emily mengangkat bahu. "Aku tidak tahu."
"Tapi aku sudah tahu. Kristy Thomas memang bermulut besar."
"Kristy!" seru Emily. "Memangnya dia peduli dengan hal-hal
semacam ini?"
"Jelas dia peduli." Namun kata-kata Emily membuatku berpikir.
Kristy memang tidak pernah mempedulikan hal-hal semacam itu...
Tapi dia suka bicara tanpa memikirkan akibatnya. Aku melemparkertas tisu ke tong sampah. "Sudah bersih," kataku pada Emily. "Aku
rasa bercaknya sudah hilang."
"Trims, Claud."
Ketika berjalan menyusuri lorong, kami berpapasan dengan
Kristy dan Mary Anne. "Terima kasih banyak, ya!" ujarku pada
Kristy.
"Apa maksudmu?"
Emily menatap kami sambil mengerutkan kening, lalu berjalan
menuju kantin.
"Kamu memberitahu semua orang tentang Tre..." Aku baru
menyadari bahwa aku sedang berteriak-teriak, maka aku merendahkan
suaraku sampai hampir berbisik, "...tentang Trevor."
"Tidak!" Kristy balik berbisik.
"Sepertinya semua orang tahu tentang Trevor dan aku.
Termasuk Alan Gray."
"Untuk apa aku bicara dengan Alan Gray?" Kristy mendesis.
Aku terdiam sejenak. "Entahlah."
"Nah, kan?"
Tiba-tiba aku merasa bersalah. "Maaf, Kristy. Aku cuma tidak
mengerti kenapa semua orang tahu tentang hal ini."
"Kamu cerita pada siapa lagi?" tanya Mary Anne.
"Hanya pada kalian dan Stacey."
"Aku tidak mengatakan apa-apa, lho."
"Dan kurasa Stacey juga tidak akan berbuat seperti itu."
"Betul-betul misterius," kata Kristy.
"Yeah." Misterius. Aku suka bunyi kata itu. Tapi aku tidak suka
kalau semua orang mengetahui urusan pribadiku. "Maaf, ya," katakulagi. "Sampai nanti sore!" Baby-sitters Club mengadakan pertemuan
rutin setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat, dari jam setengah enam
sampai jam enam. Pada saat itu kami banyak menerima telepon dari
klien-klien kami.
"Oke." Kristy dan Mary Anne menghilang ke WC.
Aku kembali ke kantin.


Baby Sitter Club 2 Claudia Dan Si Penelepon Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

***********
Ada dua hal penting yang terjadi hari itu. Yang pertama, tentu
saja: Sebelum pelajaran dimulai, aku sudah sempat melihat Trevor.
Dan yang kedua: Sesaat sebelum bel terakhir berbunyi, Pak Taylor?
kepala sekolah kami?mengumumkan sesuatu melalui interkom.
Dia mengingatkan kami bahwa sekolah akan membuat foto
bersama, dan mengumumkan rencana pertemuan beberapa klub
sekolah. Lalu dia berkata, "Hari Jumat, tanggal tiga puluh satu
Oktober?hari Halloween, anak-anak, sekolah kita akan mengadakan
pesta dansa yang pertama, yaitu Halloween Hop. Pesta ini akan
diadakan di aula olahraga dari jam empat sampai jam enam. Meskipun
tidak diharuskan, kalian dianjurkan memakai kostum unik. Kami
berharap kalian semua bisa hadir. Ada satu lagi, panitia pesta dansa
akan mengadakan pertemuan selama lima belas menit di kantor saya
setelah bel terakhir berbunyi. Sekian. Selamat siang."
Aku mendesah sambil berkhayal. Halloween Hop. Apakah
Trevor akan datang juga? Yang lebih penting, apakah dia akan
mengajakku pergi bersama-sama? Yah, mungkin saja?tapi ini tidak
akan terjadi kalau dia tidak mengenalku. Sekali lagi aku mendesah?
kali ini sambil merasa tidak berdaya. Masalahnya, Trevor bahkan
tidak tahu bahwa aku ini hidup.Bab 5
"HI-HI!" Jamie Newton mendorong pintu depan rumahnya dan
menyapaku dengan gembira. Jamie berumur tiga tahun. Kristy dan
aku adalah babysitter favoritnya. Oleh sebab itu Jamie selalu senang
kalau melihat kami.
"Hai!" kataku. "Kamu sudah siap bermain?"
"Yap!"
Bu Newton muncul di belakang Jamie. "Halo, Claudia,"
ujarnya. "Kamu datang tepat pada waktunya." Dia menahan pintu agar
tetap terbuka, dan aku berjalan masuk. Aku mengikuti Bu Newton ke
dapur.
Bu Newton adalah salah satu orang yang paling kusukai di
dunia ini. Dia tidak pernah menanyaiku tentang sekolah. Tapi dia
selalu bertanya tentang kursus lukisku, dan selalu mengatakan bahwa
dia menyukai pakaianku. Bu Newton sedang hamil. Sebentar lagi
Jamie akan mempunyai adik. Perut Bu Newton kelihatan sangat besar.
Seakan-akan dia akan jatuh ke depan, karena keberatan perut.
"Oh, Claudia," katanya, "jepit rambutmu bagus sekali! Beli di
mana?"Jepit rambutku berbentuk teddy bear dengan pita-pita yang
menggantung di bagian belakangnya. "Di Merry-Go-Round,"
jawabku. "Harganya tiga dolar tujuh puluh lima sen."
"Hmmm. Mungkin aku juga akan membeli sepasang. Tapi
bukan untukku, lho. Untuk bayiku. Aku berharap akan mempunyai
seorang anak P-E- R-E-M-P-U-A-N."
Aku tersenyum.
"Aku terpaksa mengejanya," tambahnya, "karena Jamie
menginginkan adik L-A-K-I-L-A-K-I. Bagaimana dengan kursus
lukismu? Sekarang kamu sedang mengerjakan apa?"
"Dua lukisan cat minyak. Kami baru mulai menggunakannya.
Yang satu lukisan potret Mimi, dan yang satu lagi lukisan komposisi
benda-benda mati."
"Apa yang kamu lukis untuk komposisi benda-benda mati?"
"Telur, serbet bermotif kotak-kotak, sendok kayu, dan kendi."
"Telur! Pasti sulit untuk melukisnya."
"Yeah. Tapi saya suka mengerjakannya."
Bu Newton melihat arlojinya. "Aku pergi dulu," ujarnya. "Aku
harus ke dokter dulu untuk check-up. Setelah itu aku akan mampir
sebentar di kantor pos dan di toko bahan makanan. Aku akan pulang
sekitar jam lima, mungkin juga lebih cepat. Kamu sudah tahu, kan, di
mana nomor-nomor telepon yang penting-penting?"
"Sudah," sahutku. "Jamie dan saya pasti asyik. Mau main di
luar, Jamie?" Hari agak mendung, tapi tidak hujan.
"Yea!"
Aku bersyukur dia mau main di luar, karena aku masih dihantui
rasa takut pada si Penelepon Misterius. Aku tahu dia selalu beraksikalau hari sudah gelap. Aku juga tahu dia tidak pernah merampok di
Stoneybrodk?maksudku, belum pernah ?tapi tetap saja aku takut.
Bu Newton pergi, dan aku membantu Jamie memakai jaketnya.
Kami pergi ke halaman belakang. Pekarangan belakang keluarga
Newton sangat cocok sebagai tempat bermain anak-anak kecil. Ada
luncuran, ayunan, dan jungle gym. Dan pekarangan itu dikelilingi oleh
pagar tembok yang tinggi.
Selama beberapa saat aku menemani Jamie bermain ayunan.
Kemudian dia melompat dan berlari ke jungle gym. Dengan bangga
dia bergantung di situ sambil memamerkan sebuah trik yang baru
dipelajarinya. Aku berdiri menghadap rumah sambil memperhatikan
Jamie. Tiba-tiba aku melihat sesuatu yang membuatku terkejut
setengah mati.
Aku melihat cahaya datang di lantai dasar di dalam rumah.
Cahaya itu menerangi ruang duduk, tapi kesannya bukan seperti
cahaya lampu ruang duduk. Mungkin datangnya dari arah pintu
masuk.
Bulu kudukku berdiri.
Aku melihat arloji. Jam empat. Mestinya Bu Newton sedang
berada di tempat praktek dokter. Lagi pula, kalau dia sudah pulang,
kok aku tidak mendengar suara mobilnya atau suara pintu yang
dibanting.
Aku masih menatap ke arah rumah, ketika cahaya itu mendadak
lenyap.
Aku terperangah.
Mungkin yang kulihat hanya cahaya lampu jalanan. Tapi kalau
lampu jalanan, kok bisa hidup-mati sendiri?Aku memutuskan untuk melupakan kejadian itu.
Jamie berdiri di ujung bawah luncuran. "Hei, tebak siapa aku!"
dia berseru. Lalu dengan tangan terkepal dia memukul-mukul dadanya
sambil berteriak, "Aaaauuuooo! Aaaauuuooo!"
"Peter Rabbit?" sahutku.
Jamie tertawa. "Bukan!"
"Superman?"
"Bukan!"
"Tapi bukan Tarzan, kan?" ujarku.
"Ya! Aku Tarzan!"
Pada saat itu telepon berdering. Aku melihat ke arah rumah.
"Ada telepon," kata Jamie. "Mungkin dari Papa."
Sebenarnya aku berharap Jamie tidak mendengarnya, karena
aku tidak berniat untuk mengangkat gagang telepon.
Jamie berlari ke rumah. "Ayo!" katanya.
Aku tahu aku harus menjawab telepon itu. Itu salah satu
tugasku sebagai baby-sitter. Tapi aku terlalu takut. Aku berhenti lalu
membungkuk. "Tunggu sebentar," seruku. "Tali sepatuku lepas, nih."
Aku sengaja mengulur-ulur waktu dengan membuka tali sepatuku,
lalu mengikatnya lagi. Pada waktu aku dan Jamie sampai di pintu
belakang, dering telepon sudah berhenti. "Maaf, Jamie," ujarku. "Tapi
kalau itu benar ayahmu, aku yakin dia akan menelepon lagi."
"Oke." Jamie tidak kelihatan kecewa. Dia duduk di teras dan
mulai bermain dengan truknya. "Diin, diin! Diin, diin! ...Hei, apa itu?"
tanyanya. Dia berhenti bermain.
"Apanya yang apa?"
"Suara itu.""Suara apa?"
Tap, tap, tap.
"Suara itu."
Aku juga mendengarnya. Suara langkah kaki di jalan masuk
mobil, di balik pagar tembok.
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak berani membawa
Jamie ke dalam rumah. Tapi satu-satunya jalan lain untuk keluar dari
pekarangan belakang adalah lewat pintu kayu di pagar tembok itu.
Dan pintu itu membuka ke jalan masuk mobil, tempat suara langkah
itu berasal.
"Mungkin tukang koran," aku menghibur diri.
Jamie menggelengkan kepalanya. "Tukang koran tidak pernah
masuk ke pekarangan. Dia hanya berdiri di pinggir jalan dan
melempar korannya ke taman bunga."
Tap, tap, tap.
"Hei," aku berbisik, "kita pura-pura jadi detektif, yuk. Kita jalan
pelan-pelan ke pagar tembok, lalu mengintip lewat celah-celah pintu
kayu itu."
"Oke," Jamie ikut-ikut berbisik.
Aku memegang tangan Jamie dan kami berjingkat-jingkat
menyeberangi halaman rumput menuju pintu kayu. Dengan sangat
berhati-hati aku menutup sebelah mataku, dan dengan mata yang satu
lagi aku mengintip lewat celah-celah pintu itu.
Sebuah mata berwarna cokelat sedang menatapku!
Aku berteriak.
Jamie berteriak.
Si pemilik mata cokelat itu juga ikut berteriak.Ternyata suara teriakan terakhir sudah sangat kukenal.
"Kristy?" ujarku.
"Claudia?" Pintu terbuka dan Kristy masuk. Tubuhnya
gemetaran.
"Sedang apa kamu?" aku berseru.
"Mencoba mencari kamu," katanya. "Hai, Jamie."
"Hi-hi."
"Aku pikir kamu si... PM," jawabku sambil mengangguk ke
arah Jamie.
"Maaf. Ibuku pulang cepat hari ini, jadi aku bisa meninggalkan
David Michael." (Kristy dan kedua kakaknya bergantian menjaga adik
bungsu mereka, David Michael, seminggu sekali, sementara Bu
Thomas masih di kantor. Pada hari-hari lain David Michael dijaga
oleh seorang baby-sitter.) "Aku tahu kamu sedang bertugas di sini,"
lanjutnya. "Ibuku menyuruhku mengantarkan sesuatu untuk Bu
Newton, dan aku sekalian ingin bertemu denganmu. Aku sendiri juga
takut karena si PM."
"Apakah kamu tadi menghidupkan lampu di dalam rumah?"
Kristy mengangguk. "Ibuku membuatkan sepanci sop untuk
keluarga Newton, karena Bu Newton enggan memasak. Aku
menyalakan lampu supaya tidak perlu meraba-raba di dalam gelap
untuk mencari kulkas. Kemudian aku ke belakang untuk mencari
kalian."
"Kalau begitu bukan kamu yang menelepon tadi," ujarku.
Mata Kristy langsung melebar mendengar itu. "Teleponnya
berdering?""Ya, beberapa menit yang lalu, waktu kamu sedang mencari
kami."
"Dan kamu menjawabnya?"
"Tidak, kami... kami tidak sempat menjawabnya."
"Teleponnya pasti dari Papa," kata Jamie.
Kristy dan aku bertukar pandang penuh arti.
"Apakah kamu mau kutemani sebentar?" tanya Kristy.
"Ya!" balas Jamie dan aku berbarengan?dengan alasan yang
berbeda.
Kristy memang banyak omong dan sering bertingkah kekanak-
kanakan, tapi dia juga teman yang baik.Bab 6
MALAM itu, Janine membantuku mengerjakan PR. Dia sangat,
sangat, sangat teliti. Berani bertaruh, sebagian besar dari kesalahan-
kesalahan kecil yang kubuat pasti luput dari perhatian guru-guruku di
sekolah. Tapi lain halnya dengan Janine. Dia selalu melihatnya dan
menyuruhku memperbaiki kesalahan yang paling kecil sekalipun.
Kami baru saja selesai, ketika terdengar bunyi gemuruh yang
sangat keras.
"Wah, sebenarnya sekarang sudah bukan musim badai guruh
lagi," Janine berkata.
"Oh, tapi aku suka mendengar bunyinya," sahutku. "Bunyi itu
membuatku gemetaran.... Janine?"
"Hmmm?"
"Masih ingat waktu kita kecil? Kita selalu masuk kolong tempat
tidur Mama dan Papa kalau ada badai guruh seperti ini. Kita pura-pura
sedang camping.."
"Tapi sebenarnya kita bersembunyi karena takut."
"Yeah," jawabku sambil mengingat-ingat kenangan itu.
"Dari segi psikologis ini sangat menarik," ujar Janine. "Proses
ketakutan..."
"Janine?""Apa?"
"Jangan bicara macam-macam, deh. Aku pusing
mendengarnya."
Janine melotot, lalu keluar dari kamarku. Aku teringat kata-kata
Mimi, bahwa aku harus berusaha keras agar bisa menjadi teman
Janine. Benar juga kata Mimi. Untuk itu diperlukan usaha yang gigih.
Kok bisa-bisanya Janine memikirkan "proses ketakutan", padahal
yang kami bicarakan adalah sesuatu yang indah seperti badai guruh di
musim gugur? Meskipun demikian, aku berjanji pada diriku agar lain
kali bersikap lebih sabar kalau menghadapi Janine.
Aku menyetel radio dan mencari gelombang kesukaanku.
Selama beberapa saat aku mendengarkan radio sambil mengerjakan
lukisan komposisi benda-benda mati. Mungkin saja laporan cuaca
nanti akan menyinggung soal badai guruh.
Aku menggoreskan warna abu-abu di daerah bawah telur.
Sangat sulit untuk membuat bentuk bayangan telur.
Tiba-tiba suara musik terhenti. Aku segera memasang telinga.
"Siaran kami hentikan sejenak untuk sebuah berita penting," kata
penyiar radio. "Pencuri yang dijuluki si Penelepon Misterius terlihat
mengendarai sebuah mobil curian, dan menuju ke arah selatan melalui
negara bagian New Jersey. Polisi sedang mengejarnya. Berita
selengkapnya akan dibacakan oleh rekan saya..."
"Hore!" seruku. "Dia sudah kabur!" Aku mematikan radio,
meraih gagang telepon, dan memutar nomor telepon Stacey. "Coba
tebak! Coba tebak!" teriakku."Apa?" tanya Stacey penuh rasa ingin tahu. "Tunggu dulu.
Trevor meneleponmu, ya? Oh, aku tahu dia pasti akan meneleponmu.
Aku yakin seratus persen! Oh, Claud, apakah dia bertanya soal..."
"Stacey, Stacey," kataku. "Bukan itu." Aku merasa seperti balon
kempes. "Dia tidak meneleponku. Ini soal lain." Sayangnya, soal lain
itu tidak semenarik telepon dari Trevor.
"Oh," ujar Stacey.
"Si Penelepon Misterius sudah kabur. Aku baru saja
mendengarnya dari radio."
"Kamu bercanda, ya?"
"Tidak. Dia sedang menuju ke selatan, melalui New Jersey. Dia
menjauh dari kita. Dan polisi sedang mengejarnya."
"Oh, moga-moga mereka berhasil menangkapnya."
"Kalaupun mereka tidak berhasil, yang jelas si Penelepon
Misterius sudah jauh dari sini. Kita tidak perlu memikirkan dia lagi."
Kami bercakap-cakap beberapa lama. Setelah itu, aku
menelepon Kristy untuk menyampaikan berita baik itu, kemudian
Mary Anne.
Wow, kami semua merasa lega sekali.
***********
Esok malamnya aku bertugas menjaga dua anak perempuan,
yaitu Nina dan Eleanor Marshall. Pada hari-hari sekolah, aku
diizinkan untuk menjaga anak sampai jam setengah sepuluh.
Perjanjiannya adalah bahwa PR-ku sudah harus selesai sebelumnya.
Dan aku telah mengerjakannya dengan Mama, sore tadi.
Pada jam setengah delapan malam itu, aku sudah berada di
dapur keluarga Marshall. Aku menuangkan susu ke dalam gelas untukNina, yang berumur tiga tahun. Eleanor, yang baru berumur satu
tahun, sudah tidur. Terdengar suara musik dari radio. Nina sedang
nonton TV di ruang baca.


Baby Sitter Club 2 Claudia Dan Si Penelepon Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian, sama seperti malam yang lalu, suara musik tiba-tiba
terhenti. Penyiar mulai membacakan berita malam. Dan salah satunya
adalah berita tentang si Penelepon Misterius.
Oh, bagus! pikirku. Akhirnya dia tertangkap juga.
Tapi ternyata dugaanku meleset. Meleset jauh.
"Orang yang diduga sebagai si Penelepon Misterius," kata
penyiar, "sudah berhasil dibekuk polisi ?namun dia bukan orang
yang dicari. Si Penelepon Misterius masih berkeliaran di sekitar kita."
Masih berkeliaran! Ungkapan yang sangat mengerikan.
Kedengarannya seperti dia berada di mana-mana... mungkin di
halaman belakang rumah ini... atau sedang mengintip melalui jendela
dapur. Ebukulawas.blogspot.com
Aku mematikan radio.
Kemudian aku memeriksa sekeliling rumah, dan memastikan
bahwa si Penelepon Misterius tidak berada di balik jendela dapur. Aku
sempat kaget ketika melihat cahaya terang. Tapi ternyata itu hanyalah
pantulan cahaya lampu yang mengenai kaca jendela.
Aku memasukkan kotak susu ke dalam kulkas, lalu meraih
gelasnya. "Nina!" panggilku. "Ini susumu."
Dia bergegas memasuki dapur. Pada saat itu telepon berdering.
"Aku mau ngomong," ujarnya.
Aku menggigil, tapi aku berusaha supaya anak itu tidak
melihatku ketakutan. "Hanya kalau ibumu yang menelepon, ya,"
kataku. Aku menggendong Nina, lalu menghampiri pesawat telepon.Kemudian aku mengangkat gagangnya sambil menduga-duga siapa
yang menelepon. Dalam hati aku berharap bahwa Bu Marshall-lah
yang menelepon untuk mengetahui keadaan di rumah.
"Halo?" kataku riang (supaya Bu Marshall jangan waswas).
Tidak ada jawaban.
"Halo? ...Halo?"
Tetap tidak ada jawaban. Lalu terdengar bunyi klik. Si
penelepon memutuskan hubungan.
Ya, Tuhan! Si Penelepon Misterius sudah berada di
Stoneybrook. Aku dapat merasakannya.
Aku bertanya-tanya, apakah aku perlu menelepon Stacey
dengan kode-kode rahasia. Apa yang harus kutanyakan padanya?
Jepitan? Bukan. Pita!
"Claudia?"
Rasanya aku terlompat setinggi sepuluh meter waktu
mendengar suara Nina. "Siapa sih yang menelepon?"
"Oh, salah sambung," ujarku. Aku meletakkan gagang telepon,
menurunkan Nina, lalu memberikan susunya. "Sekarang kita nonton
TV, yuk," aku mengusulkan.
"Aku tidak bisa."
"Kenapa tidak?"
"Karena The Muppet Show sudah habis. Sekarang aku harus
tidur." Bekas susu meninggalkan kumis putih di atas bibirnya.
"Belum malam, kok."
"Tapi sudah waktu tidur. Aku selalu pergi tidur setelah The
Muppet Show."Aku tahu memang sudah waktunya Nina tidur. Tapi mungkin
dia bisa tidur agak lebih malam? sekali ini saja. "Bagaimana kalau
hari ini kita istimewakan?" kataku dengan berharap-harap cemas.
"Kamu boleh bermain sampai jam delapan."
"Tapi Mama dan Papa bilang tidak boleh. Itu aturannya."
Apa yang sedang kulakukan? Mencoba membujuk anak umur
tiga tahun untuk menemaniku? Yang benar saja. "Oke, deh. Yuk, kita
ke atas."
Nina memberikan gelas susunya yang sudah kosong, aku
meletakkannya di tempat cuci piring. Kemudian kami bergegas
menaiki tangga. Aku menyalakan semua lampu di dalam rumah,
sambil menduga-duga perhiasan seperti apa yang dimiliki Bu
Marshall.
Setelah Nina naik ke tempat tidurnya, aku berjingkat-jingkat ke
kamar Eleanor untuk melihat keadaannya. Aku berdiri di ambang
pintu dan membiarkan cahaya lampu lorong menerangi kamarnya.
Aku mengamati tempat tidurnya.
Kelihatannya kosong!
Aduh! Mungkin si Penelepon Misterius sudah berada di dalam
rumah, dan menculik Eleanor! Aku menyerbu masuk. Ternyata
Eleanor ada di situ, melingkar di pojok tempat tidurnya. Aku
membetulkan posisi tidurnya dan menyelimutinya lagi.
Eleanor mendesah dalam tidurnya.
Aku pun mendesah.
Aku mematikan lampu-lampu di lantai atas, dan kembali turun
ke ruang baca. Aku menyalakan TV, lalu mematikannya lagi. Soalnya
kalau aku menyalakan TV, si Penelepon Misterius dengan mudah bisamasuk ke dalam rumah sebelum aku mendengarnya. Akhirnya aku
duduk membisu sambil berusaha membaca majalah.
Kresek, kresek, kresek.
Apa itu?
Ternyata hanya kucing milik keluarga Marshall, yang sedang
menggeliat di atas tumpukan koran.
Tes, tes, tes.
Apa itu?
Air menetes di tempat cuci piring.
Suara-suara itu membuatku panik. Aku menyalakan TV lagi.
Aku berusaha untuk mengikuti acaranya, tapi mataku terus beralih ke
jendela yang menghadap halaman belakang. Di luar gelap gulita.
Akhirnya aku tidak tahan lagi. Aku berdiri lalu menutup gorden.
Setelah itu aku memutuskan untuk menelepon Stacey.
"Claudia!" Stacey berseru sesaat setelah dia mengangkat
telepon. "Apakah kamu sudah mendengar siaran berita?"
"Sudah!" ujarku. "Bagaimana menurutmu?"
"Aku baru saja akan meneleponmu, karena aku tahu kamu
sedang bertugas. Aku juga tidak tahu harus bagaimana, nih!"
"Oh, suasana di sini benar-benar menyeramkan. Setiap ada
bunyi, biar sekecil apa pun, aku langsung kaget setengah mati. Dan
kamu tahu apa yang terjadi? Telepon berdering beberapa waktu yang
lalu, dan si penelepon tidak bicara apa-apa. Dia hanya meletakkan
gagang teleponnya."
"Aduh! Tapi kamu... kamu tidak bertanya tentang pitamu,"
Stacey berkata dengan kuatir.
"Tidak," sahutku. "Belum.""Apakah kamu ingin aku ke sana?"
"Sebenarnya sih iya, tapi aku tidak ingin Ibu dan Bapak
Marshall melihat kamu di sini bersamaku. Aku takut mereka
menyangka aku tidak mampu menangani tugasku sendiri."
"Kalau begitu, apakah kamu mau mengobrol di telepon
sebentar?"
"Ya. Itu lebih baik." Aku memutuskan untuk tidak
mempedulikan bahwa Bu Marshall mungkin menelepon.
"Jadi, bagaimana perkembangan dengan Trevor?" tanya Stacey.
"Yah, masih begitu-begitu saja."
"Belum ada perkembangan?"
"Yeah. Mungkin dia malah tidak tahu tentang acara Halloween
Hop. Para penyair kadang-kadang hidup di dunia yang berbeda..
Mungkin dia tidak mendengar pengumuman di sekolah tempo hari."
"Oh, pasti dia dengar," ujar Stacey. "Mana mungkin ada yang
tidak dengar?" Dia meletakkan telapak tangannya di mulut gagang
telepon, lalu menirukan suara Pak Taylor waktu berbicara melalui
interkom di sekolah. "Seperti kalian ketahui, anak-anak, hari
Halloween tahun ini jatuh pada tanggal tiga puluh satu Oktober."
Aku cekikikan mendengarnya. "Pak Taylor memang konyol.
Dia pikir kita..." Aku terdiam.
"Claudia?" tanya Stacey.
"Sst." Aku menurunkan gagang telepon, lalu memasang telinga.
Jelas-jelas aku mendengar suara langkah di garasi. "Stacey, Stacey,"
kataku dengan panik. "Apa kamu sudah menemukan je... Maksudku,
apa kamu melihat, ehm... Apa kamu sudah menemukan... ehm...""Pita merahmu?" bisik Stacey.
"Ya!" Aku mengembuskan napas.
"Ya, sudah kutemukan. Maksudku, belum, aku menemukan..."
"Apakah kamu menemukan yang biru... Oh, Stacey, ada orang
di pintu garasi. Aku bisa mendengarnya mengutak-atik lubang kunci!"
"Aku akan menelepon polisi."
"Claudia?" panggil sebuah suara besar.
Aku begitu kaget sehingga hampir saja berteriak. "Dia tahu
namaku!" kataku pada Stacey.
"Claudia," suara itu memanggil lagi, "kunci pintu depan yang
kami bawa hilang. Tolong bukakan pintunya!"
Aku mendesah panjang. "Ternyata Pak dan Bu Marshall,
Stace," bisikku. "Sudah dulu, ya. Aku telepon kamu setelah sampai di
rumah nanti."
Aku berlari ke pintu belakang, memutar kuncinya, dan
membukanya lebar-lebar. Belum pernah selama hidupku aku
menyambut kedatangan seseorang dengan begitu gembira.
"Hai, Claudia," tegur Bu Marshall.
Pak Marshall berdiri di belakangnya. Dia sedang memeriksa
saku bajunya sambil menggerutu, "Ke mana sih kunci itu?"
Aku menahan pintu agar tetap terbuka. "Maaf atas kekacauan
ini," Bu Marshall melanjutkan. "Kunci rumahnya mungkin
ketinggalan di kantor Pak Marshall. Ini, Sayang, pakai kunciku saja,"
Bu Marshall berkata pada suaminya. Dia mengambil serenteng kunci
dari gantungan kunci di balik pintu, lalu memberikannya pada Pak
Marshall. Kemudian dia berpaling padaku. "Bagaimana dengan anak-
anak?""Oh, baik-baik semua," ujarku. "Nina pergi tidur begitu The
Muypet Show selesai."
"Bagus. Kalau begitu tidak ada masalah, ya?"
"Sama sekali tidak." Aku masih gemetaran.
Bu Marshall mulai merogoh dompetnya untuk mengambil uang.
Beberapa menit kemudian, ketika Pak Marshall membuka pintu
untuk mengantarku pulang, telepon tiba-tiba berdering. Aku
mendengar Bu Marshall mengangkat gagang telepon dan berkata halo.
Kemudian aku mendengar dia meletakkannya lagi sambil berkata,
"Aneh!"
Aku merinding. Memang aneh sekali.Bab 7KRISTY yang malang. Aku ikut gembira karena dia dan
Watson?pacar ibunya?akhirnya bisa berteman. Tapi kukira bertugas
di rumah Watson memang agak menyeramkan. Aku belum pernah
kebagian tugas di sana, tapi Mary Anne sudah pernah. Dan dia juga
bilang bahwa pengalamannya di sana agak menakutkan. Padahal
waktu itu kami belum tahu apa-apa tentang si Penelepon Misterius.
Masalahnya, rumah Watson sangat besar, hampir-hampir sebesar
istana. Rumah di sebelahnya juga besar, tapi kelihatan suram dan tidak
terawat. Ada menara-menara kecil di atas atapnya, dan jendela-
jendelanya gelap-gelap. Dan itu belum semuanya. Karen yakin bahwa
Bu Porter?wanita tua penghuni rumah itu?seorang nenek sihir.
Menurut Karen, namanya yang sebenarnya adalah Morbidda Destiny.
Dia sudah dua kali mengutuk Boo-Boo, kucing gendut milik Watson.
Dan Karen sedang kumat rasa takutnya waktu Kristy bertugas di
rumah Watson.
Kristy tiba pada jam tujuh. Pada hari-hari sekolah, dia
sebenarnya tidak diizinkan menjaga anak sampai larut malam. Tapi
Watson hanya pergi ke pertemuan orangtua murid di sekolah Karen,
dan itu tidak akan memakan waktu lama. Biasanya Karen dan Andrew
hanya pada akhir pekan tinggal bersama Watson. Tapi karena mantan
istri Watson sedang mengalami cedera pergelangan kaki, sekarang
mereka menghabiskan lebih banyak waktu di rumah Watson.
"Hai, Kristy!" Karen berseru pada waktu Bu Thomas
menurunkan Kristy di rumah Watson."Hai!" tambah Andrew dengan gembira. Andrew baru berumur
tiga tahun.
Karen dan Andrew amat menyukai Kristy dan ingin dia cepat-
cepat menjadi kakak tiri mereka. Karena hal ini belum mungkin,
akhirnya dia berjanji untuk menjadi baby-sitter utama mereka.
Watson menyambutnya di ruang depan. "Halo, Kristy," katanya
dengan hangat, "aku sangat gembira karena kamu bisa datang."
(Sebenarnya Kristy tahu bahwa kegembiraan Watson bukan cuma
disebabkan oleh hal itu, tapi karena dia sekarang sudah tidak
memusuhi Watson lagi.) "Aku rasa kamu tidak akan menemui
kesulitan malam ini."
Kristy tersenyum pada Watson. Pada saat itu Boo-Boo muncul
di depan pintu. "Aku sudah tahu bagaimana caranya menghindari
kesulitan," ujar Kristy. "Kami akan mengurung Boo-Boo di dalam
rumah." Kristy berpaling pada Karen dan tersenyum padanya. Tapi
Karen menatapnya dengan serius. Oh-oh, pikir Kristy. Ada yang tidak
beres, nih.
"Baiklah," kata Watson, "nomor telepon darurat ada di tempat
biasa. Nomor telepon sekolah Karen dan nomor kelasnya sudah
kutempelkan di atas telepon, siapa tahu diperlukan." Kristy
mengangguk. "Jam setengah delapan Andrew harus tidur," Watson
melanjutkan, "dan Karen jam delapan. Oh, ya, ada es krim strawberry
di dalam kulkas dan... aku rasa Andrew dan Karen belum
memakannya tadi."
"Yea! Es krim!" seru Andrew sambil melompat-lompat.
Karen masih kelihatan serius.
Kristy mulai merasa curiga?dan sedikit takut.Watson memakai jasnya. "Sampai nanti, Sayang," katanya
sambil mengecup dahi Karen. "Sampai nanti, Andy."
Dia langsung pergi. Tapi sempat dia menoleh dan berkata, "Aku
akan pulang sebelum jam sembilan, Kristy. Sekali lagi trims, ya."
Kristy menatap Andrew dan Karen dengan waswas. Anak-anak
yang sudah terbiasa dijaga babysitter pun sering menangis pada saat
seperti ini. Jamie Newton, misalnya, selalu sangat sedih kalau
orangtuanya pergi menjelang waktu tidur. Tapi Andrew sudah menuju
dapur untuk makan es krim. Karen sepertinya sedang memikirkan
sesuatu.
"Ada apa, Karen?" Kristy akhirnya bertanya sambil memegang
tangan anak itu. Sebenarnya Kristy tidak ingin tahu, tapi itu sudah
menjadi tugasnya.
"Morbidda Destiny," Karen berbisik.
"Ada apa dengan dia?" Kristy balik berbisik. Rasa dingin
menjalari punggungnya. Dia teringat cerita Mary Anne tentang
bagaimana anehnya tingkah Boo-Boo. Dan bagaimana Bu Porter
mengusir Boo-Boo dari tamannya dengan penggaruk rumput.
"Kristy? Aku mau es krimnya, dong!" seru Andrew dari dapur.
"Sebentar, Andrew."
"Ada kutukan lagi," bisik Karen tergesa-gesa.
"Masa?" tanya Kristy pura-pura tidak terpengaruh. "Boo-Boo
kelihatannya biasa-biasa saja."
"Bukan Boo-Boo. Aku!" ujar Karen. Dia memejamkan matanya
dengan gaya pemain sandiwara.
"Kamu!" seru Kristy. "Apa yang telah dilakukannya padamu?"
"Dia memberiku bintik-bintik di muka.""Karen," ujar Kristy sambil berusaha menyembunyikan
senyumnya. "Dari dulu kamu sudah punya bintik-bintik di muka.
Sudah sejak kamu berumur dua tahun. Aku kan pernah lihat foto-
fotomu waktu kecil."
"Tapi sekarang semakin banyak."
"Ah, bintik-bintik seperti itu kan bisa saja bertambah dengan
sendirinya."
Karen menggelengkan kepalanya.
"Kristy!" panggil Andrew tidak sabar.
"Aku datang! Karen, aku rasa kamu tidak perlu kuatir. Ayo kita
makan es krim dulu, oke?"
"Oke... tapi aku perlu memperingatkan kamu. Kalau dia
mengedipkan matanya ke arahmu sambil mengangkat sebelah
tangannya, maka dia sedang menjatuhkan kutukan padamu."


Baby Sitter Club 2 Claudia Dan Si Penelepon Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku akan ingat itu," ujar Kristy.
Kemudian mereka masuk ke dapur?dan apa yang mereka
lihat? Tetesan es krim berwarna merah jambu mengotori meja makan
dan lantai. Tiga buah mangkuk dan tiga buah sendok sudah tersedia di
atas meja makan.
"Andrew!" seru Kristy.
"Aku membantumu," katanya dengan bangga. "Aku juga sudah
mengeluarkan Boo-Boo."
Wajah Kristy memucat. "Kamu... kamu mengeluarkan Boo-
Boo? Andrew, aku..."
"Dia pasti tidak memperhatikan kata-katamu tadi, Kristy," ujar
Karen cepat-cepat.Kristy menenangkan diri. "Aku rasa tidak.... Andrew, terima
kasih atas bantuanmu. Tapi mulai sekarang, sebaiknya kamu
memberitahu aku sebelum kamu mengeluarkan Boo-Boo, oke?
Kadang-kadang dia tidak boleh keluar."
Andrew kelihatan agak kecewa.
"Tapi," Kristy meneruskan, "kamu sudah membagi-bagikan es
krim dengan baik. Terima kasih, ya. Sekarang, mari kita bersihkan
tetesan es krim yang jatuh. Dan setelah itu baru kita makan es
krimnya."
Kristy, Karen, dan Andrew menghabiskan es krim mereka.
Kemudian Kristy mengantar Andrew ke tempat tidurnya, dan
membantu Karen memakai baju tidur.
"Ayo, kita baca cerita sampai waktu tidurku," usul Karen.
"Oke," sahut Kristy. "Kamu yang pilih."
Karen mencari buku di rak, lalu duduk di atas tempat tidur.
Kristy duduk di sebelahnya. Karen memberikan bukunya.
"Apa ini?" seru Kristy. "The Witch Next Door? Dapat dari
mana?"
"Buku itu tiba-tiba saja muncul," sahut Karen dengan misterius.
Kristy memandangnya dengan curiga. "Masa?"
"Ehm... bukunya muncul dari dalam tas Papa. Dia
membelikannya untukku."
"Aha!" ujar Kristy. "Dengar, malam ini kita akan membaca
cerita yang lucu." Dia mengambil sebuah buku tebal dari rak. "Apakah
ayahmu pernah membacakan buku ini?"
Karen menggelengkan kepalanya. "Ceritanya terlalu panjang.""Tidak juga, kalau kamu membacanya sedikit demi sedikit. Dan
sekarang bisa kita mulai bagian pertama. Setiap kali aku bertugas di
sini, akan kubacakan satu bagian. Kan lama-lama selesai juga."
"Oke," Karen setuju. Dia duduk bersandar di bantalnya.
"Nah," ujar Kristy, "cerita ini tentang seorang anak perempuan
seumur kamu. Namanya Ramona Quimby."
"Bagus juga," komentar Karen. "Aku suka namanya."
Kristy mulai membaca. Setengah jam kemudian, Karen sudah
terlelap. Kristy berjingkat-jingkat menuruni tangga. Dia baru saja
masuk ke dapur, ketika telepon di situ berdering. Kristy kaget
setengah mati.
Ternyata Mary Anne yang menelepon. "Aku hanya ingin tahu
keadaanmu," katanya.
"Baik-baik saja, kok," sahut Kristy. "Karen dan Andrew sudah
tidur. Tapi Karen berpendapat Bu Porter telah menjatuhkan kutukan
padanya." Kristy cekikikan dengan gelisah.
"Sebenarnya aku kepingin ikut tertawa," ujar Mary Anne, "tapi
kalau kupikir-pikir, Bu Porter memang mirip... mirip..."
"Nenek sihir?"
"Ya! Maksudku, kalau dia berjalan-jalan di pekarangan
rumahnya dengan baju hitamnya yang mengerikan itu, dia kelihatan
seperti kelelawar raksasa..."
"Mary Anne, berhenti!"
"Oke. Maaf, ya. Eh, sebenarnya aku tidak boleh memakai
telepon, nih. Aku terpaksa berbohong pada ayahku. Aku bilang aku
harus menanyakan PR pada seorang teman. Untung saja semuanya
baik-baik di sana.""Trims."
"Jangan lupa kunci semuanya."
"Apa?"
"Jendela-jendela. Pintu-pintu, Pokoknya kunci semuanya?
untuk berjaga-jaga."
"Baiklah."
Kristy dan Mary Anne meletakkan gagang telepon masing-
masing. Kemudian Kristy mulai berjalan di dalam rumah yang besar
dan sunyi itu. Semua jendela kelihatannya sudah terkunci, tapi Kristy
tetap memeriksanya satu per satu. Repotnya, di rumah Watson ada
terlalu banyak jendela. Dan ada yang gerendelnya terletak di atas,
sehingga sulit dicapai. Kristy sedang berdiri di atas tangga di ruang
perpustakaan, ketika tiba-tiba telepon berdering lagi.
"Aduh!" Kristy nyaris terjatuh waktu menuruni tangga. Dia
meraih telepon di atas meja kerja yang besar. Tapi kemudian dia
menarik tangannya lagi, takut. Setelah telepon berdering tiga kali, dia
berkata dalam hati bahwa mungkin Mary Anne-lah yang
meneleponnya kembali?walaupun dia tahu bahwa kemungkinannya
kecil sekali. Pak Spier terlalu disiplin terhadap anak gadisnya, dan
melarang Mary Anne menggunakan telepon setelah makan malam.
"Halo?" ujar Kristy agak malu-malu. "...Halo?"
Samar-samar dia mendengar napas seseorang di ujung yang lain
dari telepon.
"Halo?" Tidak ada jawaban. Kristy melempar gagang telepon
ke tempatnya, seakan-akan dia memegang bara api. Dia berlari keluar
dari ruang perpustakaan. Sebenarnya dia masih harus memeriksa
jendela-jendela di lantai atas, tapi dia terlalu takut untukmelakukannya. Aku yakin si Penelepon Misterius akan masuk dari
lantai dua, Kristy berkata pada dirinya sendiri. Dan sekarang pencuri
itu pasti sedang menyandarkan tangga di dinding luar. Dia...
Kring! Telepon berdering lagi.
Kring... Kring.
Akhirnya Kristy meraih gagang telepon. Dia tahu dia harus
menjawabnya. Mungkin saja dari Watson atau ibunya. Dia
mengangkat gagang telepon dan mendekatkannya ke telinga. Tapi dia
tidak dapat berkata apa-apa.
"Kristy?" tanya si penelepon.
"Claudia?" dia berbisik. (Akulah yang menelepon!)
"Ada yang tidak beres?" aku bertanya padanya.
"Aku baru saja dapat telepon aneh."
"Oooh."
"Dan rumah Watson begitu besar dan mengerikan."
"Hidupkan semua lampu," aku mengusulkan.
"Untuk apa sih, orang itu menelepon?" Kristy bertanya. Dia
terus berpikir tentang si Penelepon Misterius. Aku bisa
membayangkan bagaimana perasaannya.
"Entahlah," kataku, "mungkin hanya salah sambung. Orang-
orang sering bersikap kasar kalau sadar bahwa mereka salah sambung.
Biasanya mereka langsung meletakkan gagang telepon. Atau bisa juga
anak kecil yang iseng."
"Mungkin juga," ujar Kristy.
"Untuk berjaga-jaga saja, nih, kamu ingat tidak kode kita?"
"Tidak.""Aduh, Kristy! Kamu kan yang menyuruh kami
menghafalkannya. Kamu tidak membawa catatanmu?"
"Ketinggalan di rumah. Habis, aku tidak menyangka bahwa aku
akan ketakutan seperti ini. Sampai-sampai aku lupa nama
belakangku."
"Thomas."
"Trims berat."
"Kristy. Kamu seorang baby-sitter. Kamu yang bertanggung
jawab di sana. Dan kamu harus bersikap seperti itu."
Sepi. Kemudian, "Kamu benar. Oke, Claud, aku akan
meletakkan gagang telepon dan membaca The Witch of Blackbird
Pond."
"Kamu tidak takut membaca cerita tentang nenek sihir!"
"Harus, sih. Ini tugas sekolah. Lagi pula, nenek sihir kan cuma
ada dalam dongeng. Aku tidak boleh takut, dong. Kan aku baby-sitter
di sini."
"Betul."
"Betul."
"Sampai besok di sekolah."
"Oke. Bye." Kristy meletakkan gagang telepon dengan kasar.
Dia bergegas keluar dari ruang perpustakaan, mengambil bukunya,
lalu tidur-tiduran di sofa di ruang keluarga. Tapi dia tidak bisa
berkonsentrasi. Matanya terus-menerus memandang ke luar. Dahan-
dahan pohon di halaman rumah Watson nampak bergerak-gerak.
Dengan sorotan cahaya lampu jalanan dari belakang, dahan-dahan itu
kelihatan seperti tangan?tangan yang terbungkus sarung tangan.Satu dahan kecil terus membentur daun jendela tepat di atas
kepala Kristy. Duk-duk. Duk-duk.
Kristy mulai membayangkan berbagai macam makhluk seram
di halaman rumah Watson. Nenek-nenek sihir yang ketawa terkekeh-
kekeh, hantu-hantu yang melolong, dan setan-setan kuburan yang
memperhatikannya sambil membisu.
Duk-duk. Duk-duk.
Kemudian Kristy mendengar bunyi lain. Paling tidak, ia merasa
mendengarnya. Semacam bunyi mendesis. Diikuti oleh suara
menggeram di pintu depan. "Boo-Boo!" seru Kristy. Dia sangat
gembira karena kucing itu kembali dengan sendirinya. Berarti dia
tidak perlu kuatir lagi tentang Bu Porter dan pekarangan rumah wanita
itu. Kristy berlari ke ruang depan dan membuka pintu.
Itu dia si Boo-Boo. Tapi dia tidak sendirian. Dia berada dalam
gendongan... Morbidda Destiny!
Baru kali ini Kristy melihat Bu Porter. Tapi Mary Anne sudah
menggambarkannya dengan begitu gamblang, sehingga Kristy bisa
mengira-ngira bagaimana rupa wanita tua itu. Tidak heran kalau
Karen bilang dia nenek sihir. Wajahnya penuh keriput. Matanya sipit
dan menyorot tajam. Rambutnya kaku dan berwarna kelabu. Dan tentu
saja dia memakai baju hitamnya yang panjang. Watson bilang Bu
Porter hanyalah seorang wanita eksentrik.
Tapi Kristy tidak, begitu yakin akan kebenaran perkataan
Watson, setelah melihatnya dengan mata kepala sendiri.
Dia mendengus waktu melihat Kristy."Kucing ini," ujar Morbidda Destiny, "ada di teras depan
rumahku."
"Ma... maaf," sahut Kristy. "Tadi dia terlepas. Mudah-mudahan
dia tidak mengganggu Anda."
Dengan kasar Morbidda Destiny menurunkan Boo-Boo. Kucing
itu langsung kabur, dan berlari masuk ke ruang cuci pakaian.
"Tidak mengganggu?" seru Morbidda Destiny. "Tahukah kamu
apa yang dikerjakannya di teras rumahku?"
Kristy menggelengkan kepalanya.
"Dia makan tikus! Dan tahukah kamu apa yang ditinggalkannya
di situ?"
Kristy menggelengkan kepalanya dengan ngeri.
"Sedikit bulu, sepotong buntut, dan..."
"Maafkan saya, Mor... Bu Porter," Kristy memotong.
"Seharusnya saya membersihkan semuanya. Tapi sekarang ini saya
sedang bertugas menjaga anak-anak, dan tidak bisa meninggalkan
me..."
"Tidak usah repot-repot. Aku sudah membersihkannya."
Morbidda Destiny merogoh ke dalam bajunya, lalu mengeluarkan
sebuah kantong kertas dan menyodorkannya pada Kristy. "Ini sisa-sisa
tikus itu. Kamu yang buang."
Dia berbalik dan menghilang dalam kegelapan malam.
Sekarang aku akan memperlihatkan bahwa Kristy benar-benar
cerdas. Kristy bilang dia merasa sangat takut pada saat Bu Porter
menyerahkan kantong itu padanya. Dan dia sangat jijik waktu
membayangkan apa yang ada di dalam kantong itu. Tapi apa yang
pertama-tama terpikir olehnya? Begini: Kalau Bu Porter benar-benarnenek sihir, pasti dia menyimpan kantong itu. Soalnya dia bisa
menggunakan bulu dan buntut tikus untuk membuat mantra. Jadi,
walaupun seluruh tubuhnya menggigil ketakutan, Kristy merasa lega
juga.
Kemudian Kristy mencari Boo-Boo, dan menemukannya
sedang meringkuk di dalam keranjang cucian di depan mesin cuci.
Kucing itu tidak tidur ?dia hanya beristirahat sambil melotot.
Kesannya agak mengerikan, tapi dia kelihatan baik-baik saja.
Ketika Watson pulang, Kristy melaporkan soal Boo-Boo, tikus
yang dimakannya, dan kantong kertas yang diserahkan Bu Porter.
Watson bilang dia akan bicara dengan Bu Porter besok pagi. Lalu
Kristy bercerita tentang Karen dan kutukan bintik-bintik di mukanya.
"Aku tidak bisa memastikan apakah dia benar-benar percaya
pada kutukan, atau hanya pura-pura saja. Tapi kupikir kau harus
mengetahuinya," ujar Kristy.
"Terima kasih, Kristy. Aku menghargai perhatianmu.
Kelihatannya Karen di sekolahnya juga sering bercerita tentang nenek
sihir."
"Oke, aku akan menelepon Mama," kata Kristy.
Dia masih harus menunggu lima belas menit lagi sampai ibunya
datang menjemput. Walaupun Kristy menunggu bersama Watson, dia
bilang dia masih juga takut kalau-kalau teleponnya berdering lagi.Bab 8
HMMM. Kalau itu yang dibilang Stacey tenang, bagaimana
kalau dia sedang panik?
Stacey berangkat ke rumah keluarga Johanssen setelah makan
malam. Dia akan bertugas sampai jam sepuluh, batas waktu yangdiizinkan orang-tuanya. Kalau kamu mengambil jalan pintas melalui
halaman belakang rumah Stacey, lalu belok ke kanan, maka rumah
keluarga Johanssen adalah rumah kedua dari situ?sekitar tiga menit
berjalan kaki. Tapi kalau kamu berputar lewat jalan besar, perjalanan
ke sana memakan waktu sepuluh menit. Stacey mengambil jalan
pintas, meskipun malam itu lebih gelap daripada biasanya dan dia
harus membawa senter.
Pak Johanssen menyambutnya di pintu depan. (Istrinya jarang
di rumah, karena dia seorang dokter dan sering bertugas di
Stoneybrook General Hospital.) "Halo, Stacey," tegurnya. "Untung
kamu bisa datang. Aku akan menemui Dokter Johanssen di bioskop.
Nomor teleponnya ada di dekat pesawat telepon. Kami akan nonton
pertunjukan sore, dan setelah itu makan malam di Renwick's. Nomor
telepon restoran itu juga sudah kutulis. Aku sudah tahu bahwa kamu
harus pulang pada jam sepuluh.
"Charlotte sudah makan malam. Dia harus tidur jam setengah
sepuluh, oke?"
Stacey mengangguk.
"Kurasa kamu sudah tahu apa yang harus dikerjakan."
Stacey mengangguk lagi, dan tersenyum pada Charlotte yang
sedang berjalan memasuki dapur. "Charlotte dan saya akan bersenang-
senang. Ya, kan?"
"Ya," sahut Charlotte ragu-ragu. "Papa, apakah Papa harus
pergi?"
Pak Johanssen melingkarkan lengannya di bahu Charlotte.
"Mama dan Papa sudah lama ingin menonton film ini. Kami sangatmenyukainya. Tapi besok pagi, kalau kamu bangun, kamu juga akan
mendapatkan sesuatu yang kamu sukai."
"Apa?" tanya Charlotte dengan gembira.
"Mama akan tinggal di rumah selama akhir pekan. Dia tidak
perlu bekerja."
"Hore!"
Selama Stacey, Charlotte, dan Pak Johanssen bercakap-cakap,
Stacey sudah mulai merasa bahwa ada yang aneh. Kalau waktu Stacey
datang langit telah gelap, sepuluh menit kemudian suasananya benar-
benar gelap gulita. Padahal baru jam setengah tujuh. Angin juga lebih
kencang dari biasanya. Dahan-dahan pohon yang sudah separo


Baby Sitter Club 2 Claudia Dan Si Penelepon Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gundul, berayun-ayun ke sana kemari. Stacey seakan-akan mendengar
suara guruh di kejauhan, tapi dia berusaha untuk tidak terlalu kuatir.
Dia tahu bahwa badai guruh di akhir musim gugur biasanya tidak akan
berlangsung lama.
Pak Johanssen pergi beberapa menit kemudian, sambil
membawa payung. Stacey dan Charlotte berdiri di depan jendela
sambil memperhatikan mobil
Pak Johanssen mundur pelan-pelan, lalu membelok ke jalan.
Sesaat setelah cahaya lampu mobil itu lenyap, hujan mulai turun.
Deras sekali, bagaikan ada orang yang sedang menuangkan seember
besar air dari langit.
"Tutup semua jendela!" seru Charlotte.
"Hidupkan semua lampu!" seru Stacey, yang mulai merasa
ngeri.Stacey dan Charlotte berlari ke sana kemari untuk menutup
jendela-jendela?syukurlah hampir semua jendela sudah tertutup?
dan menghidupkan lampu-lampu.
"Nah, sekarang kamu mau mengerjakan apa?" tanya Stacey,
setelah mereka selesai.
"Nonton TV," sahut Charlotte.
Byaaar! Tiba-tiba terdengar bunyi guntur?begitu dekat dan
begitu keras. Charlotte berlari ke samping Stacey. "Aku benci suara
guntur," katanya sambil menggigil ketakutan.
"Kamu juga?" tanya Stacey. "Kamu tahu apa yang dulu
kukerjakan kalau ada badai seperti ini?"
"Apa?"
"Bersembunyi di dalam lemari seprai. Waktu kami masih
tinggal di New York, lemari itulah yang paling kecil di apartemen
kami. Aku selalu menyelinap ke bawah rak paling bawah, lalu
menarik pintu lemari sampai rapat. Kadang-kadang aku membawa
boneka untuk menemaniku."
Charlotte cekikikan. "Pernah sekali," ujarnya, "aku
bersembunyi di kolong tempat tidur waktu ada badai. Badainya begitu
lama, sehingga aku tertidur di situ. Mama dan Papa sampai panik
mencariku. Mereka hampir menelepon polisi!"
Byaaar! Byaaar! Terdengar bunyi guntur lagi. Kilat membelah
kegelapan malam.
"Ayo, kita nyalakan TV," kata Stacey.
Dia dan Charlotte berlari ke ruang duduk. Charlotte
menghidupkan TV, dan Stacey mencari remote control-nya. Merekamulai memilih-milih saluran. Ternyata yang ada cuma wawancara,
demonstrasi memasak, dan dua siaran berita.
"Ah, membosankan," ujar Stacey. "Lebih baik kita pasang MTV
saja. Setidak-tidaknya kita bisa mendengarkan musik yang bagus."
"Apa sih MTV?"
"Televisi Musik. Di mana kotak kabelnya?"
"Kami tidak berlangganan TV kabel," ujar Charlotte. "Belum.
Papa bilang, mungkin mulai musim dingin nanti."
"Sial," gerutu Stacey. Dia kembali memegang remote control.
Winnetou Kepala Suku Apache 2 Kisah Teladan Islam Karya Ariany Syurfah Bukit Pemakan Manusia 1
^