Pencarian

Claudia Dan Si Penelepon 2

Baby Sitter Club 2 Claudia Dan Si Penelepon Misterius Bagian 2


Tek, tek, tek. Mereka mencoba semua saluran yang ada,
termasuk saluran-saluran yang menggunakan gelombang UHF.
"Bosan, bosan, bosan," Stacey terus menggerutu.
"Sial benar," ujar Charlotte.
"Hei," tiba-tiba Stacey berkata. "Ini ada yang menarik." Dia
berhenti pada saluran 47 dan mulai nonton. Mereka melihat sebuah
tangan besar berputar-putar di kuburan. Di bagian atas layar TV
tertulis, CERITA HOROR dan di bawahnya, HATI-HATI UNTUK
YANG SAKIT JANTUNG.
"Ooh, mengerikan!" kata Charlotte. Dia merapatkan badannya
pada Stacey di sofa.
"Kita coba nonton dulu, ya?" usul Stacey. "Soalnya ini acara
yang paling bagus."
"Oke, deh," Charlotte setuju.
Stacey dan Charlotte menyaksikan sebuah film iklan, yang
menampilkan sekaleng cairan pembersih menari-nari mengelilingi
kamar mandi. Setelah itu tulisan CERITA HOROR muncul lagi di
layar TV, dan filmnya dimulai. Adegan pertama memperlihatkansebuah rumah besar di tengah-tengah ladang yang sepi. Kilat
menyambar-nyambar, dan bunyi guntur membuat pesawat TV ikut
bergetar.
"Seperti cuaca di luar, ya," Charlotte berkata, sesaat setelah
terdengar bunyi guntur sungguhan, yang diikuti oleh cahaya kilat.
Lampu-lampu di dalam rumah mulai berkedip-kedip.
Charlotte duduk semakin merapat. Sedikit lagi dia sudah duduk
di pangkuan Stacey. Stacey merangkul anak itu. Mereka
berpandangan, lalu cekikikan.
"Ih, aku merinding!" seru Charlotte.
Adegan di layar TV sudah pindah ke sebuah kamar di dalam
rumah tadi. Kamar itu hanya diterangi oleh dua batang lilin. Seorang
wanita muda dengan rambut panjang terurai berjalan memasuki
kamar. Dia memakai baju panjang berwana putih dan membawa
sebatang lilin yang menyala.
Wanita muda itu menuju pintu balkon, lalu menutupnya.
Embusan angin badai membuat bajunya melambai-lambai. Kemudian,
pada saat pintunya hampir tertutup rapat, dia tiba-tiba memekik kaget.
"Hah? Ada apa?" bisik Charlotte.
Di lapangan rumput di bawah wanita itu, Stacey dan Charlotte
samar-samar bisa melihat sebuah bayangan hitam.
"Lenora," jerit bayangan hitam itu, "aku telah kembali. Kembali
dari kubur."
Lenora mengerang dan menjatuhkan lilinnya. Bunyi guntur
meledak. Kemudian bunyi guntur sungguhan meledak dengan lebih
keras lagi. Selama beberapa saat, lampu-lampu di ruangan tempatStacey dan Charlotte duduk sepertinya menyala lebih terang. Tapi
pada detik berikutnya semuanya menjadi gelap.
Kedua anak itu menjerit. Charlotte memeluk Stacey. Semuanya
mati?lampu-lampu, TV, semua peralatan listrik. Suasana menjadi
sangat sunyi, sampai-sampai mereka bisa mendengar detak jantung
mereka sendiri. Tapi ada yang lebih buruk daripada kesunyian, yaitu
kegelapan yang begitu pekat.
"Listriknya mati," bisik Stacey.
"Mana ibuku?" rengek Charlotte. "Mana ayahku?"
Stacey berusaha menenangkan diri. "Tidak ada yang perlu
ditakutkan," ujarnya pada Charlotte. "Cuma mati listrik saja, kok.
Tidak apa-apa, kan? Orang-orang zaman dulu bisa hidup tanpa listrik.
Seharusnya kamu lihat keadaan di New York kalau listrik lagi mati.
Wah, seluruh kota seperti berhenti bergerak. Apartemen kami terletak
di lantai tujuh belas, dan waktu listrik mati lift-nya juga tidak bisa
jalan. Coba bayangkan, kami harus naik tangga setinggi tujuh belas
tingkat untuk sampai ke rumah."
"Idih," komentar Charlotte.
"Nah, sekarang," Stacey meneruskan, "yang harus kita lakukan
adalah mengambil lilin." Dia sudah merasa lebih baik.
"Seperti Lenora?" tanya Charlotte.
"Ehm, ya. Di mana orangtuamu menyimpan lilin?"
"Aku tidak tahu. Aku dilarang bermain dengan korek api dan
lilin."
"Masa kamu tidak tahu sama sekali?"
"Mungkin di laci lemari, di ruang makan.""Oke. Sekarang kita cari senterku, sehingga kita tidak perlu
meraba-raba ke ruang makan."
Stacey berdiri sambil menggenggam tangan Charlotte dengan
erat. Mereka mulai berjalan ke arah ruang depan, tempat Stacey
meninggalkan jaket dan senternya.
Srek, srek, srek, duk!
"Aduh!" teriak Stacey.
"Ada apa?"
"Jari kakiku. Aku menubruk sesuatu." Stacey meraba-raba di
sekitarnya. "Mungkin meja. Oke, kita berjalan terus."
Srek, srek, srek.
"Stacey?"
"Kenapa, Charlotte?"
Srek, srek, srek.
"Aku mendengar sesuatu."
"Apa?"
"Tidak jelas."
Srek, srek, srek.
"Aku mendengarnya lagi. Berhenti dulu, deh."
Stacey dan Charlotte berhenti. Mereka menahan napas sambil
memasang telinga.
Kemudian Stacey juga mendengarnya?suara berderak.
"Dari mana datangnya?" tanyanya.
"Sepertinya dari gudang bawah tanah," bisik Charlotte.
"Kalau begitu kita harus memeriksa pintu gudang bawah tanah.
Di mana pintunya?""Di sini." Charlotte lewat di depan Stacey, lalu meraba-raba
dinding. "Yap. Pintunya tertutup."
"Oke. Bagus. Coba diam sebentar."
Anak-anak itu berhenti dan memasang telinga lagi.
Krek. Krek, srek, krek, srek, krek, srek.
Dalam kegelapan, Charlotte menemukan Stacey dan mereka
berpegangan tangan dengan erat.
Krek, srek, krek, srek.
"Ada yang naik tangga!" seru Charlotte tertahan.
"Sst," hanya itu yang dikatakan Stacey. Belakangan dia
mengatakan padaku, bahwa pada saat itu yang terlintas di benaknya
adalah si Penelepon Misterius. Orang itulah yang mematikan listrik
untuk mengalihkan perhatian, lalu berusaha masuk ke dalam rumah
melalui gudang bawah tanah!
Krek, srek. Suara itu terdengar mendekat, dan sudah hampir
sampai di puncak tangga.
Stacey baru saja hendak menyuruh Charlotte bergegas ke pintu
belakang, ketika bunyi itu tiba-tiba berhenti. Yang terdengar
kemudian adalah suara menggonggong!
Stacey tersentak kaget, tapi Charlotte berseru, "Carrot! Oh,
cuma si Carrot! Dia pasti masuk lewat gudang bawah tanah lagi. Ada
jendela yang pecah di bawah sana."
"Siapa Carrot?"
"Anjing schnauzer kami. Kasihan, dia pasti basah kuyup. Aku
akan mencari handuk untuk mengeringkan badannya."
Dan pada saat itu lampu-lampu hidup kembali. Stacey dan
Charlotte berpandangan, lalu mulai cekikikan. Kemudian merekamengeringkan badan Carrot yang basah kuyup karena hujan. Mereka
bahkan masih sempat menonton sambungan Cerita Horor tadi.
Di luar badai mulai mereda, dan setelah itu keadaan menjadi
tenang kembali.
Telepon sama sekali tidak berdering selama Stacey berada di
rumah keluarga Johanssen.Bab 9
NGERI bukanlah kata yang tepat. Mary Anne hampir hilang
ingatan. Dia sedang duduk diam-diam di sofa sambil menyaksikan
episode lama I Love Lucy, ketika tangannya tiba-tiba terasa
merinding. Dia langsung berdiri, memelankan TV, dan memasangtelinga. Ternyata tidak ada suara apa-apa. Walaupun begitu, Mary
Anne menyerbu menaiki tangga untuk melihat keadaan David
Michael. Anak bungsu keluarga Thomas itu sedang berbaring dalam
posisi miring. Suara napasnya terdengar dengan jelas. Di sebelahnya
ada sekotak tisu. Mary Anne menyalakan lampu lorong dan kembali
ke bawah.
Dia menutup pintu-pintu lemari yang masih terbuka, lalu
menyalakan dua lampu lagi. Setelah itu dia menutup pintu ruang cuci
pakaian, sebab siapa tahu ada orang bersembunyi di dalamnya.
Akhirnya dia menutup gorden di ruang baca. Tapi dia tetap merasa
kurang aman, sekalipun Louie?anjing keluarga Thomas?berada
bersamanya di dalam rumah.
Bagaimana kalau ada orang masuk waktu aku sedang nonton
TV? pikirnya. Pada saat itulah dia memutuskan untuk memasang
alarm maling?tiga macam alarm maling yang berbeda-beda satu
dengan lainnya.
Mary Anne Spier anak yang pendiam, dan mungkin juga
pemalu, tapi dia punya rasa humor dan daya khayal yang hebat. Hanya
orang-orang dengan daya khayal hebat yang bisa memikirkan alarm
maling seperti yang dipasangnya di rumah keluarga Thomas.
Alarm jenis pertama tidak terlalu istimewa. Alarm itu sudah
dipikirkan oleh Mary Anne pada waktu pertemuan darurat klub
seminggu yang lalu. Sejumlah baskom, panci, dan kaleng kosong dari
dapur disusunnya di sebelah dalam pintu garasi. Kalau ada orang yang
mencoba membuka pintu, tumpukan itu akan terdorong jatuh,
sehingga menimbulkan bunyi gaduh. Dengan demikian Mary Annebisa keluar lewat pintu lain, lalu memanggil polisi. Bahkan ada
kemungkinan malingnya menjadi panik dan lari menyelamatkan diri.
Setelah selesai memasang alarm pertama, Mary Anne kembali
duduk di depan TV. Tapi tiba-tiba dia merasa perlu untuk memasang
alarm lain di pintu depan. Dalam hati dia yakin bahwa takkan ada
maling yang mau masuk dari pintu depan. Tapi siapa yang bisa
memastikannya? Masalahnya, semua baskom, panci, maupun kaleng
sudah terpakai, sehingga Mary Anne terpaksa mencari akal lain. Dia
melihat ke arah rak yang berisi mainan David Michael, dan
pandangannya jatuh pada sebuah kotak besar tanpa tutup yang berisi
kelereng.
"Aha!" katanya dengan keras.
Mary Anne mengambil kotak itu, dan membawanya ke ruang
depan. Kemudian dia menemukan seutas tali. Kotak berisi kelereng
diletakkannya di atas meja di sebelah pintu. Ujung tali yang satu
diikatkannya ke sebuah lubang di sisi kotak. Ujung tali yang satu lagi
diikatkannya ke gerendel pintu. Cara kerja alarm ini adalah sebagai
berikut: Si maling diam-diam masuk dengan menarik pintu; kotak
kelereng akan ikut tertarik, dan kelereng di dalamnya akan jatuh ke
lantai. Ini tidak saja menimbulkan suara gaduh, melainkan juga bisa
membuat si maling terpeleset.
Selesai memasang alarm kedua, Mary Anne memutuskan
bahwa dia juga perlu memasang satu lagi di pintu belakang. Dengan
begitu dia baru benar-benar merasa aman, karena semua pintu sudah
dipasangi alarm.Mary Anne harus memutar otak dulu sebelum membuat alarm
ketiganya. Sekarang semua kelereng, baskom, panci, dan kaleng sudah
habis terpakai.
Apa lagi yang bisa menimbulkan bunyi gaduh? Mary Anne
berpikir keras.
Balok-balok mainan milik David Michael? Hmm, mungkin
bisa.
Permainan yang menimbulkan suara gemerencing? Ah, kurang
cocok.
Musik! Musik bisa mengeluarkan suara yang bagus dan keras.
Rencana untuk alarm terakhir mulai terbentuk dalam bayangan Mary
Anne.
Pertama-tama dia berjingkat-jingkat menaiki tangga menuju
kamar Kristy untuk meminjam tape-recorder-nya. Kemudian dia
mengamati koleksi kaset di kamar Sam dan Charlie. Dia memilih
kaset berjudul Poundin' Denim the Walls yang dinyanyikan oleh grup
Slime Kings, lalu menyelipkannya ke dalam tape-recorder.
Mary Anne kembali ke bawah, lalu duduk di atas karpet di
ruang baca. Dia berpikir sambil memegang tape-recorder di
pangkuannya. Bagaimana caranya supaya tape-recorder ini bisa
menyala sendiri?
Dia terus berpikir. Bagaimana caranya dia menghidupkannya?
Tentu saja dengan menyentuh tombol play. (Tape-recorder milik
Kristy termasuk jenis yang bisa dinyalakan dengan satu sentuhan
saja.) Sekarang, apa lagi yang bisa menyentuh tombol play selain jari
tangannya? Dan yang lebih rumit lagi, bagaimana caranya agar pintu
belakang menyentuh tombol itu?Tiba-tiba di otaknya terlintas sebuah gagasan. Dia sudah tahu
jawabannya. Mary Anne berdiri dan membawa tape-recorder itu ke
dapur. Dia duduk di lantai, lalu memeriksa sisi pintu sebelah dalam.
Di bagian bawah pintu itu ada tonjolan karet yang gunanya untuk
mencegah pintu membentur dinding. Bagus, inilah yang kucari,
katanya dalam hati.
Mary Anne menempatkan tape-recorder kira-kira setengah
meter dari pintu. Dia mengatur-atur posisinya agar tombol play bisa
tepat setinggi tonjolan karet pada pintu. Kemudian dia mencoba
membuka pintu. Ternyata pintu mendorong tape-recorder sampai
jatuh. Tapi Mary Anne tidak mau menyerah begitu saja. Aku
memerlukan... sesuatu yang berat sebagai penahan, pikirnya.
Dia menarik sebuah kursi yang cukup berat dari ruang baca dan
menempatkannya di belakang tape-recorder.
Kemudian dia mencoba membuka pintu lagi.
Tonjolan karet pintu mengenai tombol play, dan lagu Poundin'
Down the Walis terdengar. Mary Anne tersenyum puas. Dia
menyentuh tombol stop, lalu mengeraskan volume sampai angka
sepuluh. Setelah itu dia kembali ke ruang baca. Dia tidur-tiduran di
sofa, mengambil buku berjudul, Taman Rahasia, dan mulai membaca.
Dia sedang membaca bagian yang amat disukainya?Mary
menemukan Colin yang malang, yang sedang bersembunyi di
Misselthwaite Manor?ketika dia mendengar bunyi berderak yang
mencurigakan dari ruang depan. Belakangan Mary Anne mengatakan
padaku bahwa bunyi berderak itu sebenarnya sangat pelan. Tapi
karena kepalanya sedang dipenuhi oleh lorong-lorong gelap yangpenuh bayang-bayang di Misselthwaite, maka segala bunyi-bunyian
bisa membuatnya terkejut.
Mary Anne mengangkat kepalanya. Dia melompat berdiri.
"Louie!" dia langsung memanggil anjing itu dengan suara berbisik. Di
mana anjing itu? Aku perlu perlindungan, nih! katanya pada diri
sendiri. Dia berjingkat-jingkat menuju pintu ruang baca lalu mengintip
ke arah ruang depan.
Itu dia si Louie. Dia sedang berdiri sambil menatap pintu depan
dengan penuh perhatian.
Engsel-engsel pintu berderak-derak
Louie merintih.
Dan tiba-tiba pintunya membuka lebar. Kotak kelereng ikut
tertarik, dan semua kelereng berhamburan ke lantai. Bunyinya gaduh
sekali.
Louie menggonggong dua kali.
Tapi tidak ada orang yang masuk
Mary Anne mengembuskan napas lega. "Cuma angin, Louie,"
katanya sambil menggigil. "Seperti angin yang bertiup di padang
belantara di York-shire," tambahnya, teringat pada bukunya. "Pasti
aku kurang rapat menutup pintu."
Tapi Louie masih belum percaya. Dia tetap duduk di depan
pintu kasa, sambil menunggu dikeluarkan supaya bisa mengamankan


Baby Sitter Club 2 Claudia Dan Si Penelepon Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

halaman rumah. Mary Anne membuka pintu dan membiarkan Louie
keluar. Setelah itu dia membungkuk untuk membereskan kelereng
yang berserakan di lantai. Mary Anne memutuskan untuk tidak
memasang alarm-nya lagi. Dia hanya mengunci pintu kasa, lalu
mengunci dan memasang gerendel rantai pintu satunya.Kemudian dia kembali membaca Taman Rahasia. Dalam cerita
itu, Mary sedang bercakap-cakap dengan Colin. Tiba-tiba, secara
samar-samar Mary Anne mendengar bunyi gedebuk.
Bulu kuduknya berdiri....
Poundin' Down the Walls memecah kesunyian di dapur!
Mary Anne memekik waktu melihat pintu belakang setengah
terbuka. Darahnya seakan-akan berhenti mengalir. Dia baru
memutuskan untuk berlari ke pintu depan, ketika Louie muncul di
dapur. Louie mengendus-endus tape-recorder di balik pintu dengan
curiga, lalu berlari ke tempat minumnya.
"Louie!" teriak Mary Anne yang kaget setengah mati.
Dia lupa bahwa David Michael sudah mengajari Louie
bagaimana caranya mendorong pintu sampai terbuka. Dengan cara itu,
pintu hanya bisa terbuka kalau tadinya tidak tertutup dengan benar.
Kadang-kadang hal ini berguna juga untuk Louie. Mary Anne
mungkin lupa memeriksa pintu belakang, setelah dia mencoba-coba
alarm-nya yang ketiga tadi.
"Baby-sitter apaan kamu!" dia memarahi dirinya sendiri. "Masa
pintu dibiarkan terbuka sehingga siapa saja bisa masuk?"
"Bary Add!" panggil sebuah suara.
Mary Anne menoleh dan melihat David Michael berdiri
terkantuk-kantuk di tangga. Tangannya memegang anjing-anjingan
kapuknya.
"Bary Add, bisagah gamu mematigan musignya?" tanya David
Michael dengan suara bindeng. "Agu tidag suga suara musignya.
Derlalu geras." Matanya berkedip-kedip karena kesilauan."Ya ampun! Maaf, David Michael," seru Mary Anne. "Aku
tidak bermaksud membangunkanmu. Sungguh."
Dia berlari mematikan tape-recorder. "Aku tidak sengaja. Maaf,
ya.... Bagaimana sakitmu?"
"Gepalagu busig."
"Oh," kata Mary Anne penuh pengertian. Dia teringat pesan Bu
Thomas, bahwa kalau perlu David Michael boleh diberi aspirin
dengan dosis untuk anak-anak, yaitu setengah tablet. "Kamu mau
minum aspirin?" tanya Mary Anne padanya. "Itu bisa mengurangi
sakit kepala, lho."
"Oge," sahut David Michael dengan mendesah.
"Sekarang kamu kembali ke tempat tidur saja. Aku akan segera
menyusul."
Mary Anne merasa lega karena suasananya sudah tidak begitu
sunyi lagi. Dia membawakan aspirin untuk David Michael, kemudian
duduk di tempat tidurnya sambil menceritakan dongeng tentang orang
kerdil bernama Tuan Piebell yang tinggal di hutan, di lantai dua belas
sebuah apartemen yang terbuat dari pohon ek, bersama-sama anjing
collie-nya yang juga kerdil dan bernama Louie.
David Michael tertidur dengan senyum tersungging di bibir.
Mary Anne baru menutup pintu kamar ketika dia mendengar
bunyi gaduh di bawah.
Itu pasti alarm kaleng! Kaleng-kaleng itu sudah jatuh dan Mary
Anne terjebak di lantai atas. Tidak ada jalan keluar dari situ! Dengan
jantung berdebar-debar, Mary Anne berusaha memikirkan apa yang
harus dilakukannya. Haruskah dia membangunkan David Michael dan
membawanya ke kamar Bu Thomas, lalu menelepon polisi dari situ?Ataukah dia harus mengambil risiko dengan berlari ke pintu depan?
Bagaimana kalau ternyata hanya Louie yang sedang bermain-main?
Mungkin lebih baik kalau dia menelepon Stacey dan mencoba
mengirimkan kata-kata kode. Kalau saja dia ingat apa yang harus
diucapkannya...
"Mary Anne?" panggil sebuah suara dari bawah.
Ohh! Suara seorang laki-laki!
Mary Anne berlari ke pojok lorong.
"Mary Anne?" suara itu memanggilnya lagi. Kali ini lebih
keras.
Sepertinya dia sudah sering mendengar suara itu. Dari mana si
Penelepon Misterius tahu namaku? Mary Anne bertanya-tanya dalam
hati.
Kemudian dia mendengar suara lain memanggilnya. Dan kali
ini dia kenal betul. Suara Kristy.
Mary Anne memberanikan diri mengintip ke bawah. Kristy,
Sam, Charlie, Bu Thomas, Watson, Karen, dan Andrew sedang berdiri
mengelompok di kaki tangga sambil melihat ke arahnya.
"Oh," ujar Mary Anne, mencoba untuk bersikap wajar. Dia baru
menyadari bahwa suara pertama yang memanggilnya tadi adalah suara
Watson. "Aku memang sudah mendengar kalian datang. Aku baru saja
memberikan aspirin pada David Michael dan sekarang dia sudah
tertidur. Tadi dia terbangun dan bilang kalau kepalanya pusing," Mary
Anne nyerocos sambil menuruni tangga.
"Ehm... Mary Anne... kalau kamu tidak keberatan, aku ingin
bertanya," ujar Bu Thomas. "Kenapa semua baskom, panci, dan
kaleng ada di depan pintu?""Oh, itu?" sahut Mary Anne. "Itu hanya... hanya... Sebenarnya,
itu semacam alarm maling. Saya bermaksud menyingkirkannya
sebelum kalian pulang."
Kristy mulai cekikikan. Charlie mendengus.
"Dan tape-recorder-ku?" tanya Kristy.
Mary Anne memperlihatkan cara kerja alarm ketiganya. Kali ini
dengan volume dikecilkan, tentu.
"Mengagumkan," komentar Watson.
"Kelihatannya David Michael cukup aman kalau dijaga kamu,"
kata Bu Thomas.
Mary Anne mengangguk. Dia menyadari bahwa wajahnya
bersemu merah karena malu.
"Kamu bisa membuat bisnis alarm sendiri, nih," ujar Sam.
"Sistem Alarm Canggih Buatan Mary Anne."
Wajah Mary Anne semakin merah.
"Ayo," kata Kristy setelah Bu Thomas membayar Mary Anne,
"aku akan mengantarmu pulang." Dan itulah yang dilakukannya.
Bab 10MASALAH cowok.
Sepanjang sejarah Baby-sitters Club, belum pernah urusan
cowok dibawa-bawa ke dalam pertemuan rutin kami.
Tapi hari Senin, 27 Oktober, peraturan tak tertulis tersebut
terpaksa dilanggar. Sebenarnya pada pertemuan itu kami ingin
membicarakan kesulitan-kesulitan kami selama bertugas, tapi anehnya
pembicaraan tentang cowok selalu saja muncul. Kristy yang
memulainya.
"Kalian tahu apa yang dilakukan Alan Gray terhadapku hari
ini?" tanyanya. Dia kelihatan amat muak.
"Apa yang membuatmu tiba-tiba berpikir tentang Alan Gray?"
aku balik bertanya. "Kita kan sedang membicarakan Charlotte
Johanssen."
"Entahlah. Segala sesuatu membuatku berpikir tentang dia,"
ujar Kristy sambil mengangkat tangannya. "Habis, dia selalu
menggangguku, sih. Setiap detik dan setiap hari."
"Sekarang dia tidak sedang mengganggumu, kan?" kata Mary
Anne.
"Siapa bilang? Berada satu dunia dengannya saja sudah
membuatku terganggu. Alan Gray begitu menyebalkan kalau berada
di sekitarku, sampai-sampai aku hanya bisa memikirkan dia."
"Jadi apa yang telah dilakukannya padamu hari ini?" tanya
Stacey."Dia menyembunyikan PR matematikaku. Aku baru merasa
kehilangan waktu Pak Peters mengatakan bahwa semua anak harus
mengumpulkan kertas PR masing-masing. Pada saat itulah Alan Gray
melompat berdiri dan berkata pada Pak Peters, 'Maaf Pak, tapi saya
tahu di mana PR Kristy. Adiknya telah memakannya. Tadi pagi Kristy
tidak memberikan sarapan pada adiknya itu, padahal dia lapar sekali.'"
Aku cekikikan.
Kristy langsung melotot ke arahku.
"Oh, maaf, Kristy. Kejadiannya lucu, sih."
"Jahat kamu."
"Oh, Kristy," ujarku di sela-sela tawa. "Tenang, dong."
"Tapi kejadiannya bukan cuma sampai di situ," Kristy
meneruskan?kayaknya dia sengaja membuat dirinya kesal. "Rasanya
Alan semakin menyebalkan saja. Hari Jumat dia menyembunyikan
sepatuku. Hari Kamis dia menyebutku anak ingusan di depan kelas.
Dan sudah dua kali dalam minggu terakhir ini aku memergokinya
sedang memeriksa laci bangkuku. Setiap hari selalu saja ada yang
dikerjakannya. Terus-menerus begitu."
"Kenapa kamu tidak berbicara dengan... dengan Sam tentang
hal ini?" usul Stacey.
"Dengan kakakku? Sori saja! Lagi pula, dia takkan mengerti.
Dia gila cewek, sih. Coba kalau kamu lihat cewek?atau mungkin
lebih tepat kalau kukatakan makhluk?yang diajaknya ke bioskop hari
Jumat yang lalu... Amit-amit! Cewek itu anak high school dan
rambutnya jabrik berwarna kuning. Ujung-ujung rambutnya malah
dicat hijau. Dia memakai sarung tangan dari bahan renda yang bagianujung jarinya dipotong. Apa sih gunanya memakai sarung tangan
kalau..."
Kristy berhenti mengoceh ketika dia sadar bahwa Mary Anne
dan aku sedang memandang ke arahnya.
"Kenapa? Ada apa, sih?" akhirnya dia bertanya. Kemudian dia
memperhatikan Stacey, yang sedang duduk di atas tempat tidurku
sambil menundukkan kepala dengan sedih.
"Jadi Sam mengajak cewek high school nonton?" tanya Stacey
dengan lesu.
"Yeah, aku... Ya, ampun. Stacey, maafkan aku." Kristy lupa
bahwa Stacey lagi naksir Sam. "Aku yakin semua itu tidak ada
artinya. Sam betul-betul tertarik padamu. Sungguh."
"Lalu bagaimana dengan cewek itu..."
"Tamara? Maksudmu, kenapa dia mengajaknya ke bioskop?
Wah, aku juga tidak tahu. Tapi anaknya agak aneh, dan aku tahu Sam
tidak akan serius dengannya. Aku yakin. Aku rasa dia pergi
dengannya hanya untuk membuat sewot Mama."
"Tadinya kupikir dia suka padaku," ujar Stacey.
"Memang, memang benar," Kristy berusaha meyakinkannya.
"Apa maksudmu waktu bilang bahwa anaknya aneh?" tanya
Stacey dengan hati-hati.
"Yah, ujung rambutnya yang dicat hijau, misalnya. Dan
pakaiannya. Pokoknya, pakaiannya benar-benar... aneh."
"Seperti pakaianku?" tanyaku merasa tersinggung.
"Oh, bukan. Sama sekali bukan," sahut Kristy. Mukanya mulai
memerah. "Tidak ada mirip-miripnya dengan pakaianmu."Aku menatap Stacey. Untuk pertama kalinya sejak aku
mengenalnya, dia kelihatan kurang percaya diri. Malahan dia
kelihatan seperti anak kecil yang tersesat. Dua butir air mata perlahan-
lahan mengalir di pipinya.
"Aduh! Jangan nangis, dong!" seru Kristy.
Mary Anne melompat dari tempat duduknya di lantai, lalu
pindah ke sebelah Stacey. Dia tidak tahan kalau melihat orang
bersedih.
Telepon berdering dan aku mengangkatnya. Ternyata Pak
Willis, tetanggaku. Aku pernah bertugas di rumahnya sekali.
"Ya?" ujarku. "Sabtu ini? Tentu, tentu... Jam delapan malam...
Tentu. Saya pasti datang." Aku meletakkan gagang telepon lalu
mencatat tugasku di buku agenda klub.
Ketika aku mengangkat wajahku, semua orang sedang
memelototiku, bahkan juga Stacey. Sekarang giliranku untuk mencari
tahu apa kesalahanku.
"Oke, ada apa?" aku bertanya.
"Apakah kamu sudah menerima tugas itu?" Kristy balik
bertanya.
Aku merasa lemas mendengarnya. "Ya," bisikku.
"Tapi, Claudia, kamu kan tahu peraturannya."
Tentu saja aku tahu. Aku hanya lupa. "Seharusnya aku
menawarkannya dulu pada semua anggota klub."
Kristy mengangguk. "Aku juga bisa bertugas hari Sabtu."
"Aku juga," tambah Mary Anne.
"Oh," sahutku."Aku tidak bisa," ujar Stacey, "tapi mestinya kamu tetap
menanyakannya padaku. Kan kamu belum tahu bahwa aku tidak bisa."
"Aku... aku akan meneleponnya lagi," usulku. "Salah satu dari
kalian boleh mengambil tugas itu."
"Jangan," ujar Kristy. "Nanti klub kita kelihatan kurang
profesional. Kamu tetap bertugas. Tapi aku ingin menanyakan
sesuatu. Seberapa seringkah kamu mendapat telepon untuk klub kita,
dan menerima tugasnya tanpa bertanya dulu pada yang lain?"
"Oh, tidak sering. Maksudku, hampir tidak pernah. Hanya...
hanya sekali ini."
"Tugas di rumah keluarga Newton?"
"Baiklah, dua kali."
"Dan tugas menjaga Charlotte?" tanya Stacey.
"Oke, tiga kali kalau begitu."
"Claudia!" seru Kristy.
"Aku tidak sengaja!" Kemarahanku mulai meledak. "Aku tidak
pernah bermaksud menipu kalian."
"Kami ti..."
"Aku cuma sedang banyak pikiran."
"Ada masalah apa?" tanya Mary Anne.
"Acara Halloween Hop kan tinggal empat hari lagi. Dan aku
kuatir Trevor masih belum mengenal namaku."
"Wow," Stacey ikut prihatin. "Aku tidak menyadari bahwa
kamu begitu serius."
Aku mengangguk. "Aku rasa sudah tidak ada harapan lagi.""Tentu saja masih!" tiba-tiba Mary Anne berseru. "Kalau masih
ada waktu, maka masih ada harapan! Dan kamu masih punya waktu
empat hari. Segala sesuatu bisa terjadi dalam empat hari."
"Aku pikir kamu harus bicara dengan dia," usul Kristy.
"Aku pikir, kamulah yang harus mengajaknya ke pesta dansa
itu," ujar Stacey.
Aku terperangah. "Sori, ya! Ini bukan pesta dansa Sadie
Hawkins. Aku tidak bisa meminta seorang cowok untuk pergi
denganku."
"Di New York kami biasa begitu."
"Ini kan bukan New York. Ini kota kecil Stoneybrook. Dan aku
tidak akan meminta Trevor Sandbourne untuk pergi denganku ke
Halloween Hop."
"Kamu takut, ya?" ujar Stacey.
"Memang."
"Mungkin saja Trevor juga takut."
"Menurutmu begitu? Memang dia perasa, sih..."
Sebelum Stacey sempat menjawab, telepon berdering lagi.
"Aku yang angkat," Kristy berkata penuh arti, sambil
menggapai gagang telepon. "Halo? ... Hai, Pak Newton. Bapak
telepon dari mana? Dari kantor? ... Oh... Oh..."
"Ada apa?" tanyaku.
Kristy melambaikan tangannya supaya kami diam. "Sekarang?"
kami mendengar dia berkata. "Tapi saya pikir bayinya baru akan lahir
sekitar tiga minggu lagi.... Oh... Ehm... Jamie menelepon Anda? ...
Saya juga tidak tahu bahwa dia bisa menelepon.... Ya... Baiklah...
Oke, kami akan menunggu. Sampai nanti.""Bayinya?" pekik Maiy Anne. "Sudah lahir?"
"Aku rasa begitu," sahut Kristy. "Pak Newton bilang Jamie baru
saja meneleponnya ke kantor, dan memintanya agar pulang cepat-
cepat. Waktu Pak Newton bertanya apakah bayinya sudah mau lahir,
Jamie bilang ya!"


Baby Sitter Club 2 Claudia Dan Si Penelepon Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oooh! Ini baru kejutan!" seruku.
"Jadi Pak Newton bilang dia mungkin memerlukan salah
seorang dari kita untuk menjaga Jamie malam ini. Kalau ternyata Pak
Newton harus tinggal di rumah sakit sampai larut malam, maka kurasa
Jamie bisa diajak menginap di rumahku. Dia pernah menginap, kok,
satu kali. Pak Newton akan menelepon kita begitu dia sampai di
rumahnya."
"Ya ampun, aku harap Bu Newton baik-baik saja," kata Stacey.
"Maksudku, menyuruh Jamie menelepon Pak Newton, dan bayinya
yang lahir terlalu cepat, dan sebagainya."
"Yeah, benar juga," ujarku.
Selama beberapa saat kami lupa pada masalah-masalah kami
dengan anak-anak cowok.
"Apakah bayi yang lahir tiga minggu terlalu cepat biasanya
sehat?" tanyaku.
Anggota Baby-sitters Club yang lain hanya mengangkat bahu.
"Tidak tahu, ya," sahut Mary Anne.
"Aku pernah mendengar ada bayi yang lahir tiga bulan terlalu
cepat," kata Stacey. "Dia harus tinggal di rumah sakit untuk waktu
lama. Tapi sekarang dia sehat-sehat saja."
"David Michael juga lahir dua minggu terlalu cepat," sambung
Kristy, "dan waktu dia lahir, badannya sangat kecil. Doktermenahannya di rumah sakit selama tiga hari agar berat badannya
bertambah beberapa ons. Tapi sekarang dia sehat juga."
"Tahu, nggak?" ujar Mary Anne. "Aku tidak pernah tahu
apakah aku lahir terlalu cepat, atau terlalu lambat, atau tepat pada
waktunya. Ayahku hampir tidak pernah bicara tentang hal-hal seperti
itu?tentang ulahku semasa kecil, misalnya. Kalau saja aku masih
punya ibu... aku yakin dia pasti mau bercerita soal itu."
Selama beberapa saat tidak ada yang berkata-kata. Aku melihat
Stacey memandang prihatin kepada Mary Anne. Stacey pernah bilang
padaku bahwa dia ingin lebih mengenal Mary Anne. Tapi Mary Anne
selalu malu-malu kalau berada di dekat Stacey.
Akhirnya Kristy memecah keheningan (seperti biasanya), dan
menyelamatkan suasana dari keharuan. "Begini, deh," katanya pada
Mary Anne, "tanyakan saja hal-hal seperti itu pada ibuku. Atau pada
Bu Kishi atau Mimi. Pasti mereka tahu, kan keluarga-keluarga kita
sudah lama saling mengenal. Ibuku pernah bercerita bahwa ketika kita
masih kecil, kira-kira berumur satu tahun, orangtua kita membentuk
play group. Maksud mereka adalah supaya kita bisa bermain bersama
anak-anak seumur kita, sementara para orangtua bercakap-cakap
tentang cara mengurus anak, dan sebagainya. Pasti mereka mengenal
kita bertiga dengan baik."
"Sungguhkah?" tanya Mary Anne. "Mungkin aku akan
menanyakannya pada salah seorang dari mereka... suatu hari nanti."
Telepon berdering. "Pasti Pak Newton!" seru Kristy sambil
meraih gagang telepon. "Baby-sitters Club," katanya dengan resmi.
Aku baru sadar bahwa aku lupa mengucapkannya waktu menerima
telepon tadi. Ini satu peringatan lagi untukku. Kristy mengangguk kearah kami untuk memberitahukan bahwa memang benar Pak Newton
yang menelepon. Kami mengamati wajahnya dengan gelisah. "Oh,
begitu?" ujar Kristy. Dia kelihatan kecewa. "Oh... oh... Tentu, kami
mengerti. Sebenarnya saya gembira karena bayinya tidak lahir terlalu
cepat. Lebih baik buat si bayi untuk lahir tepat waktu. Betul... betul.
Tidak apa-apa, kok. Oke, sampai jumpa. Bye" Kristy meletakkan
gagang telepon.
"Kesalahan teknis?" tanyaku.
"Bisa dibilang begitu." Kristy mulai cekikikan.
"Apanya yang lucu?"
"Bu Newton ternyata baik-baik saja. Dia bahkan tidak tahu
bahwa Jamie menelepon Pak Newton. Kalian kan tahu bahwa Jamie
selalu kepingin bicara dengan ayahnya lewat telepon, dan bagaimana
dia selalu menunggu-nunggu kedatangannya dari kantor?"
Kami mengangguk.
"Rupanya hari ini dia bosan menunggu. Maka dia nekat
menelepon ayahnya untuk mengobrol. Bu Newton pernah
mengajarkan padanya bagaimana cara menelepon ayahnya?siapa
tahu ada keadaan darurat dengan bayinya?tapi Pak Newton tak
mengetahui hal itu. Jamie bilang pada ayahnya agar cepat pulang?
memang itu yang selalu diinginkannya. Pak Newton menanyakan
apakah bayinya sudah akan lahir, dan Jamie bilang ya sebab setahu dia
ibunya memang sedang hamil tua. Wah, ternyata semuanya hanya
salah paham saja!"
Kami semua tertawa.
"Pasti seru sekali kalau si bayi benar-benar lahir," ujar Mary
Anne."Lebih seru lagi kalau Trevor mengajakku pergi bersamanya ke
pesta dansa," tambahku. Aku mendesah panjang.
Kalau saja aku tahu apa yang akan terjadi malamnya, tak bakal
aku membuang-buang waktu memikirkan Trevor. Masalahku dengan
dia tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan kesulitan yang
akan terjadi.Bab 11
MALAM itu, setelah makan malam, giliran Mimi membantuku
mengerjakan PR.
"Lagi-lagi PR matematika," aku berkata padanya dengan kesal.
Kami baru saja duduk di meja makan. "Hari Kamis ada tes, dan Pak
Peters memberi kami soal-soal evaluasi. Masih ditambah lagi dengan
pekerjaan ekstra untukku. Hanya aku, Mimi. Anak-anak lain tidak!"
aku menggerutu.
"Apa tugasmu itu, Claudia-ku?"
"Menghafalkan perkalian. Pak Peters sudah tahu bahwa selalu
ada orang yang membantuku mengerjakan PR. Oleh sebab itu dia
memberikan pekerjaan ekstra padaku untuk diselesaikan malam ini
juga. Aku harus menghafalkan perkalian yang tertulis dalam kartu-
kartu ini. Bosan, bosan. Ini kan pekerjaan anak kelas empat."
"Kan cuma mengulang, Claudia-ku. Percayalah, latihan ini akan
membantu. Kalau kamu bisa menganggap perkalian seperti ini"?
Mimi menjentikkan jari-jari tangannya?"matematikamu akan jauh
lebih lancar."
"Aku mau melakukan apa saja agar matematikaku bertambah
lancar."Mimi tersenyum. "Baiklah. Yuk kita mulai. Kartu-kartunya
tidak berurutan, lho." Dia memegang satu kartu. "Enam kali tujuh."
"Empat puluh. Maksudku, empat puluh dua."
"Delapan kali tiga."
"Dua puluh empat."
"Anak pintar."
Kami baru menghabiskan setengah dari kartu-kartu yang ada,
ketika terdengar suara bel pintu. Mimi tahu bahwa aku perlu istirahat
sebentar. "Tolong lihat siapa yang datang, Claudia-ku."
Aku berdiri. Waktu sampai di pintu, aku mengintip lewat
lubang di pintu untuk melihat siapa yang datang. Aku heran karena
yang datang ternyata Pak dan Bu Goldman, tetangga kami. Mereka
adalah pasangan suami-istri setengah baya, tidak punya anak, dan
sering bepergian. Oleh sebab itu kami jarang bertemu dengan mereka.
Sepanjang ingatanku, mereka tidak pernah bertamu tanpa menelepon
dulu.
"Ma!" aku berseru sambil membuka rantai pengunci pintu. "Pa!
Pak dan Bu Goldman datang."
"Hai," tegurku waktu membuka pintu.
"Claudia, Sayang," ujar Bu Goldman. Dia berpegangan pada
lengan suaminya dan kelihatan ketakutan.
"Maaf kalau kami mengganggu," Pak Goldman berkata.
Kedua orangtuaku muncul di belakangku. "Eileen, Arnold,"
kata Mama. "Masuklah. Ada apa, nih?"
Mereka masuk ke ruang depan. "Kami rasa, kami baru saja
kemalingan," sahut Pak Goldman dengan suara bergetar. "Tadi kamikeluar untuk makan malam, dan ketika kami pulang pintu depan sudah
terbuka, dibongkar orang..."
"...dan aku yakin sekali bahwa aku menghidupkan lampu ruang
duduk sebelum pergi," ujar Bu Goldman sambil menangis, "tapi
sekarang seluruh rumah gelap gulita."
Jantungku berdetak lebih cepat. Degupnya terdengar nyaring di
telingaku.
"Kami takut masuk ke rumah," kata Pak Goldman sambil
memutar-mutar topinya, makin lama makin cepat.
"Syukurlah kalian datang kemari," ujar Mama. "Aku rasa lebih
baik jangan masuk ke rumah dulu. Kita tidak bisa meramalkan apa
yang akan terjadi." Mama menggamit lengan Bu Goldman.
"Aku akan menelepon polisi," kata Papa.
"Dan aku akan membuatkan teh," tambah Mimi yang juga ikut
mendengarkan.
Sebelum Mimi sempat menyeduh tehnya, dua orang polisi
sudah datang. Mereka mendengarkan cerita Pak dan Bu Goldman,
kemudian pergi untuk memeriksa rumah mereka. Waktu mereka
kembali, salah seorang berkata, "Kelihatannya rumah Anda memang
kemasukan maling. Semua kamar di lantai atas agak berantakan. Tapi
malingnya, atau maling-malingnya, sudah pergi sekarang. Kami rasa
sekarang sudah aman untuk pulang."
Pak Goldman mengangguk.
"Maaf, Pak," ujar polisi yang lebih muda, "apakah pada hari ini
terjadi sesuatu yang tidak biasa? Telepon aneh, atau semacam itu?"
Pak Goldman menggelengkan kepala. "Tidak, saya ti..."Tapi istrinya segera memotong, "Tunggu dulu. Ada telepon
aneh, Arnold. Malah dua kali, waktu kamu sedang bekerja di
bengkelmu." Bu Goldman berpaling pada kedua polisi itu. "Suami
saya punya bengkel kayu di ruang bawah tanah," katanya
menerangkan. "Menjelang malam telepon kami berdering. Saya
menjawabnya, lalu mengatakan halo dua kali, tapi si penelepon
langsung memutuskan hubungan tanpa berkata apa-apa. Telepon
kedua saya terima kira-kira setengah jam kemudian."
Aku menyadari bahwa mataku membelalak dan makin
membelalak mendengar cerita itu. "Si Penelepon Misterius," aku
berseru dengan suara parau.
Polisi yang lebih muda menatap tajam ke arahku. Kemudian dia
mengangguk sedikit pada rekannya.
***********
Kalian tentu bisa membayangkan bahwa aku tidak bisa
merahasiakan berita sepenting itu. Aku langsung mengangkat telepon
untuk memberitahu teman-temanku bahwa si Penelepon Misterius
sudah ada di Stoneybrook. Orang pertama yang kutelepon adalah
Stacey. Dia kaget setengah mati.
"Apa yang diambilnya?" ia memekik.
"Seuntai kalung mutiara dan sebuah bros emas. Keduanya
sangat berharga. Brosnya antik."
"Aku tidak mengerti," kata Stacey. "Bagaimana dia bisa tahu
bahwa di rumah itu ada barang berharga?"
"Entahlah. Tapi kedua polisi tadi sempat mengatakan sesuatu
yang cukup melegakan."
"Apa?""Menurut mereka pelakunya belum tentu si Penelepon
Misterius, soalnya pola kerjanya agak berbeda. Mereka bilang,
pencurian itu mungkin dilakukan oleh orang lain. Mungkin anak-anak
berandal yang ingin mendapatkan uang dengan cepat, dan sengaja
meniru tingkah laku si Penelepon Misterius untuk menghilangkan
jejak. Polisi agak heran karena tidak biasanya si Penelepon Misterius
mau beraksi di lingkungan permukiman seperti ini."
"Apa maksudnya?"
"Maksudnya, biasanya dia beraksi di lingkungan permukiman
mewah."
"Oh."
Setelah aku bicara dengan Stacey, aku langsung menelepon
Kristy untuk mengabarkan berita yang sama. Dia bilang, dialah yang
akan memberitahu Mary Anne. Setelah itu Mimi mengajakku untuk
kembali mengerjakan PR. Kartu-kartu soal perkalian sudah hampir
habis, ketika telepon berdering lagi. Mimi yang menjawab. Dia
kemudian memberikan gagangnya padaku. "Dari Kristy," katanya.
"Jangan mengobrol terlalu lama, lho."
"Oke, trims, Mimi," ujarku sambil tersenyum padanya. Cuma
Mimi yang mengizinkan aku menerima telepon pada saat mengerjakan
PR. "Claudia," Kristy langsung berkata tanpa basa-basi, "kita
sedang dalam kesulitan besar, nih."
"Ada apa?" tanyaku sambil mendesah.
"Seharusnya aku tidak menceritakan kejadian di rumah keluarga
Goldman pada Mary Anne, walau cepat atau lambat dia juga pasti
akan tahu.""Apa yang terjadi?"
"Dia menceritakan kejadian itu pada ayahnya. Dan ayahnya
melarang dia bertugas sebagai baby-sitter lagi sampai malingnya
tertangkap."
"Oh, gawat!"
"Padahal dia punya tiga tugas pada minggu ini."
"Oh, lebih gawat lagi!"
"Yeah. Aku pikir Pak Spier sebenarnya hanya marah karena
Mary Anne masih menerima telepon sesudah makan malam, dan
bukan untuk urusan PR. Kamu tahu kan bahwa di rumahnya banyak
sekali peraturan."
"Aku tahu."
"Tapi kita tetap harus mengambil alih tugas-tugas Mary Anne.
Aku akan mengadakan pertemuan darurat klub pada waktu keluar
main besok di sekolah."
"Oke. Sampai ketemu di sekolah, ya." Kami menutup telepon.
Waktu aku akhirnya berhasil menyelesaikan PR, Mimi ikut naik
ke kamarku untuk dilukis lagi. Aku mengerjakan matanya, bagian
yang paling sulit bagiku. Kalau Mimi memandang padaku, aku bisa
melihat berbagai ekspresi terpancar dari matanya. Aku ingin sekali
memindahkan ekspresinya ke atas kanvas, tapi itu sangat sulit.
"Bagaimana hubunganmu dengan Janine?" Mimi menyinggung
percakapan kami yang lalu.
"Masih sama saja," sahutku.
"Kamu harus tahu, Claudia-ku, keadaan hanya akan berubah
kalau kamu mengubahnya. Kamu akan keburu menjadi nenek-nenekseperti aku, kalau kamu terus menunggu orang lain untuk mengubah
hal-hal yang tidak kamu sukai."
Aku merenungkan ucapannya. Entah berapa kali Janine sudah
berusaha untuk bicara denganku, tapi aku malah menyuruh dia diam.
Aku juga teringat bahwa aku sering bersikap kasar terhadap Janine,
tanpa menjelaskan kenapa aku bersikap seperti itu. Tapi yang aku
katakan pada Mimi hanyalah, "Kalau aku sudah nenek-nenek, aku
berharap bisa seperti Mimi."
Mimi tersenyum.
Aku menambahkan kilatan cahaya pada bola mata di lukisan
Mimi, dan matanya kelihatan hampir sama dengan yang asli.
***********
Keesokan harinya, seluruh sekolah sibuk membahas kejadian di
rumah keluarga Goldman. Berita seperti itu cepat menyebar. Apakah
benar pelakunya si Penelepon Misterius? Apakah dia sudah datang ke
Stoneybrook? Haruskah orangtua kami memasang sistem alarm yang
canggih di rumah? Haruskah kami menyimpan barang-barang
berharga di safe-deposit box di bank?
Ada satu hal yang diakui oleh semua orang, yaitu kalau
pelakunya memang si Penelepon Misterius, kita tidak perlu
menguatirkan keselamatan jiwa kita. Karena biasanya dia hanya akan
masuk ke sebuah rumah kalau rumah itu sedang kosong. Dan dia
belum pernah melukai seorang pun. Dia bahkan belum pernah
kepergok pada saat beraksi, sehingga belum ada yang pernah melihat
bagaimana rupanya.
Aku mengikuti pelajaran matematika hari itu, sambil


Baby Sitter Club 2 Claudia Dan Si Penelepon Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memikirkan rencana untuk "menyerang" Trevor Sandbourne. Waktuitu hari Selasa. Halloween Hop diadakan pada hari Jumat, tinggal tiga
hari lagi. Aku tahu tidak pantas kalau aku yang lebih dulu
mengajaknya, seperti yang diusulkan Stacey. Tapi setidak-tidaknya
aku bisa berusaha untuk menarik perhatiannya.
Pada waktu makan siang, aku membeli makanan di kantin
sekolah?daging panggang, buncis, dan kentang rebus (semuanya
cocok untuk bahan baku patung). Makanan pencuci mulutnya
berupa... apa lagi kalau bukan agar-agar merah. Ketika aku menuju
meja tempat Stacey, Dorianne, Emily, dan anak-anak cowok duduk,
aku melihat Trevor duduk hanya beberapa meja dari mereka.
Aha, pikirku. Aku bisa mulai melakukan sesuatu untuk menarik
perhatian Trevor. Aku memutuskan untuk mengambil jalan pintas ke
mejaku. Itu berarti aku akan melewati meja Trevor. Mungkin aku bisa
menyapanya sekalian.
Aku menghampirinya sambil menggenggam nampanku dengan
erat. Trevor duduk di ujung meja. Aku sedang menyelinap di
belakangnya, ketika anak yang duduk membelakangi Trevor tiba-tiba
berdiri. Aku kehilangan keseimbangan?dan mangkuk agar-agarku
menggelincir dari nampan, lalu mendarat di pangkuan Trevor.
Perlahan-lahan Trevor menatap tumpukan agar-agar di pangkuannya.
Kemudian dia menoleh ke arahku.
Wajah Trevor sama merahnya dengan agar-agar tadi.
Begitu juga wajahku.
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku betul-betul
bingung. Semua anak yang duduk semeja dengan Trevor menatapku.
Malahan sebagian anak lain yang duduk di sekitar situ juga ikut-
ikutan nonton. Akhirnya aku menahan nampanku dengan lutut kanan,lalu memberikan serbetku pada Trevor sambil berkata, "Maaf. Aku
tidak sengaja." Kemudian aku kabur ke mejaku dan duduk di sebelah
Stacey. Aku langsung menjatuhkan diriku di kursi, lalu menutup
wajahku dengan kedua tangan. "Ini benar-benar memalukan," bisikku.
"Apakah anak-anak lain masih melihat ke sini?"
Stacey melihat ke sekeliling. "Tidak. Sekarang mereka sedang
memperhatikan Trevor membersihkan celananya. Oh ya, mangkuk
agar-agarmu ketinggalan di pangkuannya."
"Aduh, bagaimana dong?"
"Hei, taktik yang bagus, Claudia!" Rick berseru.
"Yeah, pengaturannya rapi sekali," tambah Howie.
"Diam kamu semua," aku membentak mereka. Wajahku masih
memerah.
"Oooh, marah nih ye?" timbrung Pete.
Memang, anak-anak cowok suka menjengkelkan. Paling tidak
sebagian dari mereka. Rick, Howie, dan Pete pasti akan mengungkit-
ungkit kejadian itu sampai kami lulus high scliool. Malahan mungkin
selama hidup kami.
Kalau aku diberi tugas melukis lagi, aku akan memilih lukisan
yang memperlihatkan rasa malu. Dan warna merah akan menjadi
warna yang paling menonjol.
Dalam hati aku bersyukur bahwa kami perlu mengadakan
pertemuan darurat Baby-sitters Club. Setidak-tidaknya itu akan dapat
membantuku melupakan kejadian tadi. Aku baru saja menggagalkan
rencanaku untuk pergi ke Halloween Hop bersama Trevor. Berarti aku
hanya akan duduk-duduk di rumah saja pada hari Jumat nanti, sama
seperti Kristy dan Mary Anne. Tapi mereka memang tidak ambilpusing dengan pesta dansa itu. Lain halnya dengan aku. Stacey?
kebetulan aku tahu?akan diajak oleh Pete. (Pete mengatakan hal ini
pada Rick, dan Rick mengatakannya pada Howie, dan Howie
mengatakannya pada Dorianne, dan Dorianne mengatakannya
padaku.) Sedangkan Dorianne dan Emily juga akan datang ke pesta
itu. Kristy mengumpulkan anggota klub di bawah ring basket yang
sedang tidak dipakai. Tapi sebelum dia sempat membuka mulut, Mary
Anne berbicara lebih dulu. "Aku ingin mengatakan pada kalian,
bahwa aku sangat menyesal atas semuanya ini. Semua ini
kesalahanku. Aku menjadi penyebab kesulitan dan aku sangat
menyesal."
"Bukan kamu, Mary Anne, tapi ayahmu," ujar Kristy.
"Aku tahu, tapi kalian bertiga terpaksa menggantikanku
bertugas, kan."
"Jangan kuatir tentang itu," sahut Stacey.
"Betul," tambahku. "Setiap usaha kadang-kadang menemui
kesulitan. Mimi bilang, kita akan lebih percaya diri kalau kita berhasil
mengatasi kesulitan itu."
Mary Anne tersenyum. "Biasanya sih, Mimi selalu benar."
"Oke," kata Kristy sambil menggosok-gosok kedua tangannya.
"Kita mulai saja." Dia membuka buku agenda klub, yang sejak tadi
dikepitnya di bawah lengan. "Hmm. Mary Anne, sore ini kamu ada
tugas di rumah keluarga Marshall selama satu jam. Dan besok kamu
harus menjaga Claire dan Margo Pike. Kemudian Charlotte Johanssen
pada Sabtu pagi. Betul?"
"Betul.""Coba kita lihat sekarang. Hari ini, seperti biasanya, aku
bertugas menjaga adikku. Tapi aku bertukar hari dengan Sam, karena
Claudia dan aku harus bertugas di rumah keluarga Newton mulai jam
lima sore nanti. Kalau Bu Marshall cuma memerlukan baby-sitter dari
jam setengah empat sampai setengah lima, aku bisa melakukannya."
"Oke," ujar Mary Anne. "Sini, biar aku yang catat semuanya.
Kan itu pekerjaanku."
Kristy menyerahkan buku agenda pada Mary Anne.
"Nah," Mary Anne berkata, "sekarang tentang keluarga Pike.
Claudia, kamu tidak punya tugas untuk besok, kan?"
"Tidak. Tapi aku ada kursus melukis."
"Oh, aku lupa."
"Aku bolos saja, deh," ujarku dengan berat hati.
"Jangan, biar aku saja yang menggantikan tugasmu, Mary
Anne," Stacey cepat-cepat menawarkan diri.
"Tapi kamu kan harus menjaga Charlotte."
"Oh, tidak lagi. Dokter Johanssen meneleponku tadi malam
untuk membatalkannya. Aku belum sempat menuliskannya di buku
agenda klub."
"Kebetulan kalau begitu. Jadi urusan keluarga Pike sudah beres.
Sekarang tinggal Charlotte hari Sabtu. Kenapa tugas untuk besok
dibatalkan? Mungkin hari Sabtu batal juga."
"Kupikir tidak," sahut Stacey. "Dokter Johanssen bilang ada
pengunduran rapat atau semacam itu, sehingga besok dia tidak
memerlukan baby-sitter. Tapi itu kan tidak ada hubungannya dengan
tugas pada hari Sabtu."Mary Anne mendesah. Dia melihat buku agenda lagi.
"Claudia?" tanyanya.
"Beres. Aku akan menjaga Charlotte."
Mary Anne menutup buku agenda klub. "Aku sudah
memutuskan," katanya dengan tegas, "aku tidak bisa lagi menjadi
anggota Baby-sitters Club."
"Apa?" seru Kristy, Stacey, dan aku bersamaan.
"Habis, ini kan tidak adil," ujar Mary Anne. "Siapa yang tahu
berapa lama lagi si Penelepon Misterius akan tertangkap? Mungkin
saja aku akan dilarang bekerja sebagai baby-sitter selama bertahun-
tahun."
"Tapi... tapi...," Kristy tergagap-gagap.
"Hei, aku ada ide!" seruku. "Kamu kan bisa tetap menjadi
sekretaris klub. Kamu mengerjakan tugas sekretaris dengan baik dan
rapi. Tidak ada yang bisa bekerja sebaik kamu."
"Entahlah...," ujar Mary Anne. "Tapi aku tidak bisa
menghasilkan uang lagi. Dan itu artinya aku tidak bisa ikut membayar
iuran klub."
"Ah, jangan pikirkan soal itu," sahut Kristy.
"Betul," tambahku. "Para anggota Baby-sitters Club harus
selalu kompak, baik dalam suka maupun duka."
"Menghadapi si Penelepon Misterius dan mati listrik," ujar
Stacey.
"Menghadapi kebakaran dan banjir," kata Kristy.
Kami saling berangkulan, lalu kembali ke kelas tepat ketika bel
berbunyi.Bab 12
PADA sore harinya, Kristy dan aku berada di ambang
pengalaman yang paling menakutkan selama kami bertugas sebagai
baby-sitter. Bu Newton sudah memberitahu kami dua minggu yang
lalu, bahwa dia memerlukan seseorang untuk sore itu. Hanya saja,
Jamie tidak sendirian di rumah keluarga Newton. Sepupu-sepupunya
yang buas juga ada di sana. Aku sudah pernah menjaga mereka sekali
?sendirian. Berdasarkan pengalaman itu aku mengatakan pada Bu
Newton, bahwa dia memerlukan dua orang baby-sitter. Apalagi
ditambah dengan tugas memberi makan Jamie dan sepupu-sepupunya.
Sepupu-sepupu Jamie adalah Rob, Brenda, dan Rosie. Rob,
yang tertua, berumur delapan, Brenda lima, dan Rosie tiga tahun.
Mereka benar-benar sulit diatur. Rob membenci anak-anak perempuan
?termasuk baby-sitter perempuan, Brenda sangat cerewet, dan Rosie
suka membuat gaduh. Sebenarnya, mereka semua suka membuat
keributan. Ketika aku menjaga mereka, mereka terus melompat-
lompat dan berlari-lari berkeliling ruang duduk, dan tidak mau patuh
sedikit pun padaku. Memang akhirnya aku berhasil membuat mereka
tenang, tapi aku tetap merasa kurang bersemangat menghadapi anak-
anak itu untuk kedua kalinya, meskipun kali ini aku ditemani Kristy.Ketika sampai di rumah keluarga Newton?tepat pukul lima?
kami langsung bisa melihat bahwa keadaannya sudah kacau balau.
Orangtua Jamie, serta Pak dan Bu Feldman?orangtua Rob, Brenda,
dan Rosie?sedang bersiap-siap untuk pergi. Tapi tiga dari keempat
anak itu sedang menangis (cuma Rob yang tidak). Bu Feldman tidak
dapat menemukan sandwich yang dibawanya untuk makan malam
anak-anak. Dan Bu Newton tiba-tiba menyadari bahwa mantel yang
biasa dipakainya sekarang sudah tidak bisa dikancingkan lagi, karena
perutnya sudah terlalu gendut.
"Aduh," ujarnya. "Dulu aku selalu memakai mantel ini waktu
hamil Jamie. Kenapa sekarang jadi sempit? Aku tidak mengerti."
"Dik?" panggil Bu Feldman dari dapur. "Sandwich-sandwich-
nya tidak ada di kulkas. Kalaupun ada, pasti mereka ngumpet entah di
mana.... Rosie, sudah dong! Mama tidak tahu kenapa Brenda
memukulmu."
"Bukan kulkas yang itu. Aku menaruhnya di kulkas di ruang
bawah tanah," Bu Newton balik berseru. "Minta tolong Jamie
menunjukkan tempatnya.... Aduh, apa yang harus kupakai malam ini?
Aku tidak mau memakai mantel untuk orang hamil, tidak untuk pesta
koktil bergengsi ini.... Roger?" dia memanggil Pak Newton yang
sedang berada di lantai atas.
"Ma!" Jamie muncul sambil terisak-isak, lalu menarik-narik
tangan ibunya. "Aku tidak mau pergi ke ruang bawah tanah dengan
Bibi Diana."
"Tidak apa-apa, Dik. Aku sudah menemukannya.... Brenda!
Berhenti, dong! Kamu kok terus-menerus mengganggu adikmu."Selama lima menit berikut keadaan masih seperti itu. Tapi
akhirnya Bu Newton menemukan sebuah selendang besar yang bisa
dipakainya sebagai pengganti mantel. Dan secara ajaib Jamie, Brenda,
dan Rosie tiba-tiba berhenti menangis.
Pak dan Bu Newton, serta Pak dan Bu Feldman berangkat.
Kristy dan aku berpandangan. Keempat anak yang harus kami
jaga masih berdiri di ruang duduk.
Kami menatap mereka, dan mereka pun menatap kami.
Lalu Rob mengumpulkan adik-adiknya. Sepertinya mereka
berunding. Jamie tetap berdiri di tempat semula.
Tiba-tiba gerombolan itu bubar. Anak-anak Feldman mulai
berlari-lari, berteriak-teriak, dan melompat-lompat?persis seperti
dulu, waktu aku pertama kali bertugas menjaga mereka. Pada waktu
itu aku pura-pura tidak melihat apa yang mereka lakukan, sampai
akhirnya mereka bosan sendiri.
Tapi Kristy punya ide lain. Kalian harus ingat, meskipun dia
berbadan kecil untuk anak-anak seumurnya, dia itu tomboy. Dan dia
juga sudah terbiasa menghadapi anak-anak cowok (Bagaimana tidak,
saudara-saudaranya laki-laki semua.)
Belum sampai tiga detik anak-anak Feldman berlari, berteriak,
dan melompat di ruang duduk, Kristy sudah memasukkan jari-jari
tangannya ke mulutnya... dan bersuit dengan keras. Bunyi melengking
yang memekakkan telinga keluar dari bibirnya.
Anak-anak Feldman langsung berhenti dan berdiri mematung di
tempat masing-masing.
"Sekarang dengar, ya!" seru Kristy. "Tidak ada lagi yang
berteriak-teriak, berlari-lari, atau melompat-lompat di dalam rumah?dan aku bersungguh-sungguh." Kristy melihat bahwa Rob akan
mengatakan sesuatu. Karena dia tidak mau memberi kesempatan pada
anak itu, maka dia cepat-cepat menambahkan, "Awas, satu gerakan
mencurigakan, dan aku akan meng-k.o. kamu. Ini berlaku untuk kalian
semua. Kalian dengar itu?"
Anak-anak Feldman mengangguk.
Jamie membelalakkan mata. Ia seakan-akan tak percaya bahwa
Kristy, baby-sitter kesayangannya, bisa bersikap setegas itu.
"Apakah kalian mengerti?" Kristy kembali bertanya.
Anak-anak Feldman mengangguk lagi.
"Ada pertanyaan?"
Rob hendak membuka mulut. Tapi kemudian dia membatalkan
niatnya, dan mengangkat tangannya.
"Ya?" ujar Kristy.
"Bagaimana kamu melakukan itu?"
"Melakukan apa?"
"Bersuit dengan jari-jarimu."
"Oh, itu! Sini, aku akan mengajarimu. Tapi suitan seperti itu
hanya boleh dilakukan di luar rumah, tidak di dalam rumah.
Mengerti?"
"Ya."
Kristy mengajak Rob ke gudang bawah tanah untuk berlatih
bersuit dengan jari-jari tangan. Sementara itu aku membawa ketiga
anak yang lain ke ruang bermain. Mereka baru saja mulai melakukan
salah satu kegiatan kesukaan Jamie?yaitu mewarnai gambar
monster-monster?ketika telepon berdering."Aku yang jawab," seruku pada Kristy. Aku menyerbu masuk
ke dapur. "Halo, rumah keluarga Newton di sini."
Tidak ada jawaban. Aku tidak bisa mendengar apa-apa.
"Ha-halo?" aku mencoba lagi.
Aneh ya, kadang-kadang keheningan bisa membuat kita merasa
lebih takut dibandingkan ancaman yang nyata. Tanganku gemetar
waktu meletakkan gagang telepon.
"Dari siapa?" teriak Kristy.
"Salah sambung," jawabku dengan galau. Aku tidak mau
membuat anak-anak menjadi takut. Tapi kalau mengingat kejadian
semalam di rumah keluarga Goldman, maka aku rasa sudah
semestinya aku merasa takut.
Aku memutuskan untuk secepatnya memberitahu Kristy tentang
telepon itu, kalau ada kesempatan untuk bicara berdua.
Setengah jam kemudian, waktu aku mulai berpikir tentang
makan malam, telepon berdering lagi.
Kristy sedang menaiki tangga bersama Rob, yang kelihatannya
sangat bangga akan dirinya. "Biar aku yang menjawab," ujar Kristy.
Aku mengangguk dan mengikutinya ke dapur.
"Halo?" katanya. "Halo?"
Aku langsung bisa menebak kalau kejadiannya sama seperti
tadi.
Kristy meletakkan gagang telepon. Ia kelihatan gelisah. Aku
memandang ke arah ruang bermain, untuk memastikan bahwa anak-
anak masih sibuk. "Tidak ada yang jawab?" tanyaku pada Kristy.
Dia menggelengkan kepalanya."Telepon pertama tadi juga begitu. Sebenarnya bukan salah
sambung."


Baby Sitter Club 2 Claudia Dan Si Penelepon Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kristy menggigit bibirnya. "Bagaimana menurutmu?" dia
berbisik. "Apakah sudah waktunya si Penelepon Misterius beraksi
lagi?"
Aku mengangkat bahu. "Apakah tidak mungkin Sam yang
menelepon untuk menakut-nakuti kita?" Kakak Kristy yang satu itu
memang terkenal suka iseng. Dan kadang-kadang dia juga menjaili
para anggota Baby-sitters Club.
"Mungkin juga," sahut Kristy sambil berpikir keras. "Dia
memang selalu membaca berita di koran tentang si Penelepon
Misterius. Tapi rasanya Sam tidak mungkin menelepon tanpa berkata
apa-apa. Dia lebih senang kalau bisa meninggalkan jejak? kamu tahu
apa yang kumaksud, kan? Kalau Sam yang menelepon, maka dia akan
mengatakan sesuatu dengan suara yang mengerikan, misalnya,
'Wuuuu, Kristiii. Ini si Penelepon Misterius. Wuuuu, sebaiknya kamu
sembunyikan cincin plastikmu dan kalung manik-manikmu, sebab
saya akan ke situuuu....'"
Meskipun situasinya sedang gawat, aku terpaksa tersenyum
mendengarnya. "Begini, kalau telepon tadi memang dari si Penelepon
Misterius, maka kita aman. Kemungkinan besar dia tidak akan
mencuri di rumah yang masih ada penghuninya."
"Siapa tahu? Dia sudah pernah melakukan itu. Lagi pula, kita
kan cuma anak-anak. Mungkin saja dia menduga bahwa..."
"Dia tidak bisa menduga-duga seperti itu. Kan dia tidak tahu
apakah di dalam rumah ini ada orang dewasa atau tidak. Hanya karena
kita yang menjawab telepon, bukan berarti..."Tepat pada detik itu, telepon berdering lagi untuk ketiga
kalinya. Aku segera menyambar gagang telepon, lalu berkata, "Halo?
... Halo?" Mendadak muncul gagasan untuk mengelabui si penelepon.
Aku berteriak ke arah dapur, "Papa, ada telepon aneh lagi. Sebaiknya
kita..."
Si penelepon memutuskan hubungan sebelum aku sempat
menyelesaikan kalimatku. Sebenarnya aku ingin mengatakan,
"Sebaiknya kita memanggil polisi." Aku meletakkan gagang telepon
di tempatnya, lalu menatap Kristy sambil tersenyum gelisah. Dia balas
tersenyum. Dia kelihatan sama gugupnya dengan aku!
"Hmm," katanya dengan cepat, "sebaiknya kita makan malam
dulu, yuk. Anak-anak pasti sudah kelaparan."
"Siapa yang mau makan?" seruku sambil berjalan memasuki
ruang bermain. Suasananya masih tenang. Sebenarnya aku enggan
mengusik ketenangan itu, tapi salah satu tugas kami adalah memberi
makan Jamie dan anak-anak Feldman.
"Aku lapar sekali!" Rob berteriak sambil melompat berdiri.
"Ya!" yang lain ikut memadu suara. Mereka segera
melemparkan krayon, lalu berlari ke dapur.
"Waduh," kataku. "Semuanya kembali ke ruang bermain, lalu
bereskan dulu krayon dan kertas-kertas kalian."
"Tapi aku kan tidak menggambar," protes Rob.
"Kamu bisa ikut mengatur piring di meja makan," sahutku.
"Baiklah," dia berkata dengan ceria.
Tidak lama kemudian meja sudah diatur dengan rapi. Sandwich
buatan Bu Feldman sudah disusun di piring di tengah-tengah meja.
Semua gelas sudah terisi susu. Kristy dan aku mulai membagi-bagikan apel dan jeruk. Sebenarnya makan malamnya sederhana, tapi
semuanya?termasuk Kristy dan aku?merasa senang.
Selama beberapa menit kami begitu senang, sehingga kami
makan tanpa berkata apa-apa. Yang terdengar hanyalah suara
mengunyah, suara menelan, dan suara Jamie meneguk susunya.
Dan bunyi aneh dari luar rumah.
Aku dan Kristy langsung berpandangan, sambil tetap
mengunyah sandwich berisi ikan tuna. Apakah kamu mendengar
sesuatu? aku bertanya padanya tanpa suara.
"Apakah kalian mendengar sesuatu?" Rob bertanya pada saat
yang bersamaan.
"Oh, mungkin hanya bunyi angin," jawabku, tapi dengan suara
agak bergetar.
"Tidak ada angin malam ini," balas Rob.
Bunyi aneh tadi terdengar kembali, tidak terlalu keras.
"Nah, itu ada lagi," kata Rob.
"Mungkin ada anjing yang membongkar tong sampah di
depan," Kristy berusaha menjelaskan.
"Tong sampah milik Paman Roger terbuat dari plastik."
"Baiklah," kataku dengan berani, "aku akan memeriksa apa
yang terjadi." Aku baru saja berjalan sampai ke ruang duduk (dikawal
oleh Kristy dan Rob), ketika aku mendengar bunyi yang jelas-jelas
berasal dari salah satu jendela di ruang depan. Aku langsung menoleh,
dan masih sempat melihat sebuah bayangan gelap menghilang dalam
kegelapan malam.
"Ini sudah kelewatan," kataku. Kemarahanku melebihi rasa
takutku. "Aku akan memanggil polisi." Dan itulah yang kulakukan.Bab 13
WANITA yang menjawab waktu aku memutar nomor 911
ramah dan sangat membantu. Sepertinya dia sudah terlatih untuk
menenangkan orang yang sedang kebingungan seperti kami.
"Halo, halo!" kataku. Pada saat-saat panik seperti itu rasanya
aku ingin bisa berbisik dan berteriak sekaligus.
"Ya?" sahut wanita itu. "Bisa saya bantu?"
"Saya sedang bertugas menjaga anak," bisikku, "dan ada maling
di luar rumah. Tadi saya melihatnya di jendela depan. Kami juga
menerima telepon-telepon aneh. Si penelepon langsung memutuskan
hubungan pada saat kami menjawab teleponnya."
"Oke," katanya. "Tindakanmu menelepon kami tepat sekali.
Siapa namamu?"
"Claudia Kishi," jawabku.
"Bisa kamu berikan alamat rumah tempat kamu bertugas?"
Berkat Kristy, aku sudah terbiasa menyiapkan informasi-
informasi semacam itu. Salah satu peraturan keamanan yang baru
dibuatnya adalah:
Selalu hafalkan alamat dan nomor telepon klien-klien kalian.Aku menyebutkan alamat rumah keluarga Newton. "Terima
kasih," ujar petugas yang kuhubungi. "Tolong berikan teleponnya
sekalian, sebab siapa tahu kami perlu menelepon kamu kembali."
Aku memberikan nomor teleponnya. "Baiklah. Mobil patroli
terdekat sudah menuju ke sana. Jaraknya tidak terlalu jauh, jadi
sebentar lagi mobilnya sudah sampai. Tapi karena menghadapi
maling, para petugas akan berhenti agak jauh. Jangan sampai
malingnya kabur karena melihat kedatangan mereka. Salah satu
petugas akan memeriksa pekarangan, sementara yang lainnya
langsung mendatangi pintu rumah untuk berbicara dengan kamu."
"Oke," jawabku sambil memandang ke luar dengan ngeri. Di
luar sangat gelap. "Bagaimana saya tahu bahwa yang datang itu polisi
betulan?"
"Pertanyaan yang bagus. Saya bisa memastikan bahwa kamu
baby-sitter yang cerdas. Kalau bel pintu berbunyi, tanyakan siapa
yang di luar. Orang itu akan memperkenalkan diri sebagai polisi.
Apakah pintu depan memakai rantai pengaman?"
"Ya." Ebukulawas.blogspot.com
"Kalau begitu pasang rantainya sekarang juga..."
"Kristy, cepat pasang rantai pengaman," aku berbisik. Dia
langsung berlari ke pintu.
"...dan setelah polisi itu mengatakan siapa dia, bukalah pintunya
sedikit saja. Dia akan memperlihatkan lencana polisinya padamu,
oke?"
"Oke," kataku. "Terima kasih. Oh, bel pintu sudah berbunyi.
Terima kasih, terima kasih," ujarku cepat-cepat, lalu meletakkan
gagang telepon.Kristy hampir membuka pintu. "Tunggu," seruku, "biar aku
yang membukanya. Wanita tadi sudah memberitahuku bagaimana
caranya."
Aku menyerbu ke pintu. Kristy, Rob, Brenda, Rosie, dan Jamie
berkerumun di belakangku. Aku bersyukur dalam hati. Pada saat-saat
seperti itu aku memang membutuhkan dukungan mereka.
"Siapa di luar?" seruku.
"Saya Sersan Drew."
Setelah yakin bahwa rantai pengaman benar-benar terpasang,
aku membuka pintu sedikit. Di teras rumah keluarga Newton, aku
melihat seorang laki-laki yang sudah agak tua dalam seragam polisi.
Kepalanya yang botak nampak berkilauan terkena pantulan lampu
teras. Dia kelihatan sangat ramah? seperti seorang kakek yang baik
hati?dan juga sangat resmi. Penampilannya tidak seperti polisi?
setidak-tidaknya, bukan seperti bayanganku tentang polisi. Tapi dia
menunjukkan sebuah lencana dan semacam kartu pengenal, dan
semuanya bisa kulihat dengan jelas. Aku menoleh kepada Kristy.
"Ssst. Periksa dia," aku berbisik. Aku bergeser ke samping, dan Kristy
gantian mengintip melalui celah pintu.
"Siapa yang... yang minta Anda datang ke sini?" tanyanya
menyelidik.
"Claudia Kishi," ujar polisi itu dengan sabar. "Apakah itu kau
sendiri?"
"Bukan, itu aku," aku menyahut dari belakang Kristy. "Oke,
Kristy, biarkan dia masuk."
Kami membuka pintunya.
Ternyata kejutan besar sudah menungguku.Dengan pintu terbuka lebar, aku bisa melihat bahwa ada dua
orang lagi yang berdiri di belakang Sersan Drew. Yang satu juga
memakai seragam polisi.
Dan yang satu lagi adalah Alan Gray!
Kristy membelalakkan mata.
"Siapa itu?" tanya Rob.
Kristy segera menguasai dirinya, kemudian langsung bersiap-
siap untuk menghadapi Alan Gray. Bagaimanapun juga, mereka
musuh bebuyutan. "Alan Gray, dasar konyol, brengsek, busuk..."
"Kamu kenal anak laki-laki ini?" tanya Sersan Drew dengan
senyuman di bibirnya.
"Jelas kenal!" teriak Kristy. "Namanya Alan Gray. Dia tinggal
di Rockville Court. Dia murid1 kelas tujuh di Stoneybrook Middle
School, dan dia..."
Wajah Alan langsung mengerut.
"Sudahlah, Nak," ujar Sersan Drew. "Saya sudah tahu apa yang
kamu maksud."
"Di mana Bapak menemukan dia?" tanyaku.
"Di balik semak rhododendron di samping rumah," jawab polisi
yang satu lagi. "Oh ya, saya Sersan Stanton."
"Hai," Kristy, Rob, Rosie, Brenda, dan aku menyapanya
bersamaan.
"Bolehkah aku memakai topi Anda?" tanya Jamie pada Sersan
Drew.
Sersan Drew tersenyum, lalu memberikan topinya pada Jamie.
"Bolehkah kami masuk sebentar? Saya pikir ada beberapa hal yang
perlu dibicarakan."Aku menoleh kepada Kristy. Dia masih marah, dan tidak bisa
melepaskan pandangannya dari Alan. Sorot matanya seakan-akan bisa
membakar Alan. "Tentu," kataku.
Kristy menatapku sambil mengerutkan kening.
"Aku harus membiarkan mereka masuk. Mereka kan polisi,"
aku berbisik padanya. Jamie dan anak-anak Feldman segera
menyingkir ke samping untuk memberi jalan pada mereka.
Kami menuju ruang duduk. "Hei, anak-anak," kataku pada
Jamie dan ketiga sepupunya, "kalau kalian mau kembali ke dapur
sekarang, dan menghabiskan makan malam kalian dengan tenang,
maka aku akan memberikan 'kue kejutan' sebagai makanan penutup."
"Apa itu 'kue-kejutan'?" tanya Rob dengan curiga.
"Kalau aku memberitahumu, berarti bukan kejutan lagi, dong.
Tapi kalian akan tahu setelah kalian menghabiskan makan malam?
dan tetap tinggal di dapur," tambahku.
Mereka berlari ke dapur.
Alan, kedua orang polisi, Kristy, dan aku saling bertukar
pandang.
Sersan Drew baru akan mengatakan sesuatu, ketika Kristy
mendahuluinya.
"Oke, Alan, sekarang jawablah," ujarnya. "Kamukah yang
berada di jendela depan tadi?"
Sorot mata Alan menunjukkan bahwa dia sebenarnya mau
menjawab tidak. Tapi kemudian dia mengangkat wajahnya, dan
melirik ke arah Sersan Drew dan Sersan Stanton yang sedang
menatapnya dengan garang.
"Ya," dia mengakui."Apakah kamu tadi menelepon tiga kali kemari, lalu langsung
memutuskan hubungan pada waktu Kristy atau aku menjawab?"
tanyaku.
Alan menatap lantai. "Ya."
"Kalau begitu, jangan-jangan kamu juga yang meneleponku
waktu aku bertugas di McLelland!" serang Kristy. (McLelland adalah
alamat rumah Watson.)
"Ya," dia menggumam.
"Kamu juga yang beberapa kali menelepon ke sini pada hari-
hari lain, dan mungkin sekali atau dua kali waktu aku bertugas di
Jalan Rosedale?"
"Ya," Alan mulai berbisik.
"Tapi dari mana kamu tahu bahwa aku akan bertugas di tempat-
tempat itu?"
"Dan kenapa kamu selalu mengganggu nona kecil ini?" tanya
Sersan Drew dengan nada yang begitu tegas sehingga aku hampir
memberi hormat padanya. Tapi aku rasa dia hanya bermaksud
menakut-nakuti Alan.
"Ehm... ehm... pertanyaan mana yang harus saya jawab lebih
dulu?" dengan hati-hati Alan bertanya pada kedua polisi itu.
"Pertanyaanku," sahut Kristy.
Sersan Stanton mengerutkan alis.
Aku menendang pergelangan kaki Kristy sebagai tanda
peringatan.
"Oke." Alan membasahi bibirnya. "Kamu... kamulah yang
memberi kesempatan padaku," ujarnya.
"Aku?" seru Kristy. "Kok bisa?""Yah, semua informasinya kudapatkan dari buku catatan yang
selalu kamu simpan di laci bangkumu."
"Apa? Buku catatan yang ma... Maksudmu, buku agenda klub
kami?"
"Mungkin itu. Pokoknya, buku yang kamu bawa ke sekolah
setiap hari. Aku memeriksanya setiap pagi, dan aku mendapatkan
macam-macam informasi di situ. Waktu, alamat..."
Kristy menepuk dahinya, "...dan nomor telepon," dia
menyelesaikan kata-kata Alan.
Alan mengangguk.
"Alan, kamu benar-benar menyebalkan!" dia mulai meledak.
(Suara anak-anak makan dan minum yang samar-samar
terdengar dari dapur, tiba-tiba terhenti.)
"Memuakkan, bau..."
"Oke, tenang... tenang dulu, Nak," ujar Sersan Drew. Dia
menoleh pada Alan. "Bagaimana caranya sampai kamu bisa membaca
buku itu setiap pagi?"
"Saya... saya meminjamnya dari meja Kristy, kalau dia sedang
melihat ke arah lain. Habis, tulisan di dalamnya begitu rapi dan mudah
dibaca."
(Berkat Mary Anne.)
"Apakah kamu tahu itu artinya mencampuri urusan orang lain?"
tanya Sersan Drew.
"Yah...."
"Oke, oke, oke," kata Kristy. "Jadi kamu membaca buku agenda
klub kami. Tapi kenapa kamu terus berusaha untuk menakut-


Baby Sitter Club 2 Claudia Dan Si Penelepon Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nakutiku?""Sebenarnya," Alan kembali berkata, "aku tidak bermaksud
begitu. Aku hanya ingin... ingin menanyakan sesuatu padamu, tapi aku
tidak bisa... aku tidak berani. Yang jelas, aku tidak bisa
menanyakannya di sekolah."
"Tapi kamu berani mencuri buku agenda kami, dan memata-
mataiku. Belum lagi segala keusilanmu yang lain, misalnya menarik-
narik rambutku, menjegalku, mengambil kotak makan siangku, dan
menjelek-jelekkan aku di depan Pak Peters."
"Nak," ujar Sersan Stanton dengan nada lebih ramah,
"sebenarnya apa yang ingin kamu tanyakan padanya?"
Alan menggumamkan sesuatu yang tidak bisa dimengerti oleh
kami.
"Kurang keras!" seru Rob dari dapur.
"Habiskan makan malammu!" aku balik berseru.
"Apa, Alan?" tanya Kristy. Nadanya cukup ramah.
"Aku ingin tanya apakah kamu mau pergi ke Halloween Hop
bersamaku."
Seandainya aku ini Kristy, pasti bola mataku sudah copot waktu
mendengar jawaban itu. Tapi anehnya, yang dikatakan Kristy
hanyalah, "Astaga, cuma itu? Tentu saja aku mau pergi bersamamu....
Trims."
Dan tepat pada saat itu, orangtua Jamie serta Pak dan Bu
Feldman pulang. Mereka ternyata pulang lebih cepat dari yang
direncanakan.Bab 14
RASANYA aku tidak perlu menjelaskan bahwa para orangtua
sangat kaget. Bagaimana tidak? Waktu mereka masuk ke ruang
duduk, mereka melihat Kristy dan aku sedang berbicara dengan dua
orang polisi dan seorang anak laki-laki yang tidak mereka kenal.
Bu Newton megap-megap. Sersan Drew langsung berdiri, lalu
membantunya duduk. "Semuanya sudah beres, Bu," ujarnya. "Anak-
anak perempuan ini mendapat sedikit kesulitan, tapi mereka sudah
bisa mengatasinya dengan baik. Dan semua anak baik-baik saja."
"Oh, syukurlah."
"Mereka sedang menyantap makan malam di dapur," tambahku.
Sersan Drew memperhatikan perut Bu Newton. "Ibu yakin
bahwa Ibu tidak apa-apa?" dia bertanya padanya.
"Oh, saya tidak apa-apa," Bu Newton berkata dengan napas
agak tersengal-sengal, "tapi Claudia, Kristy, apa yang terjadi di sini?"
Aku menoleh kepada Kristy, berharap dia mau menjelaskan
semuanya. "Dia kan cowokmu," aku berbisik.
"Tapi kamu yang menelepon polisi."
Aku menarik napas perlahan. Bu Feldman sudah menghilang ke
dapur untuk melihat anak-anak, tapi Pak dan Bu Newton, serta Pak
Feldman menunggu keterangan kami. "Begini," aku memulai, "tigakali kami menerima telepon aneh, setelah Anda semua pergi. Setiap
kali kami mengangkat telepon, si penelepon tidak mengatakan apa-
apa, malahan langsung menutup teleponnya. Kejadian seperti itu juga
dialami oleh keluarga Goldman, sebelum rumah mereka dibongkar
maling kemarin. Kemudian, pada waktu kami sedang makan malam,
kami mendengar bunyi-bunyi yang mencurigakan di luar rumah.
Ketika kami pergi ke ruang duduk untuk memeriksa asal-usul bunyi
itu, kami melihat ada bayangan orang di jendela depan. Karena itu
saya memanggil polisi."
"Tindakanmu tepat," ujar Bu Newton. "Kamu sangat
bertanggung jawab."
"Hanya saja malingnya ternyata dia," aku menunjuk kepada
Alan dengan gerakan kepala. "Dia sedang memata-matai Kristy."
"Yah, kalian kan tidak tahu bahwa kejadiannya akan berakhir
seperti ini," komentar Pak Newton.
"Kami rasa kami akan pamit dulu," ujar Sersan Drew sambil
berdiri. "Saya hanya perlu mengambil topi dulu." Pada saat itu Jamie
berlari masuk ke ruang duduk dan mengembalikan topi yang tadi
dipinjamnya. "Terima kasih, Nak. Dan kamu,"?polisi itu berpaling
pada Alan?"ikut dengan kami."
Wajah Alan mulai pucat. Dia menelan ludah lalu berkata, "Apa
harus?"
"Apakah dia akan diperkarakan?" tanya Kristy.
"Tidak, kami hanya akan mengantarkannya pulang. Sambil
jalan, kami bisa berbincang-bincang mengenai perlunya menghormati
rahasia orang lain, juga tentang bagaimana menggunakan telepon
dengan pantas. Dia bisa belajar banyak dari kejadian ini.""Baiklah, Pak," ujar Alan. Dia berdiri dan berjalan mengikuti
para petugas. Sebelum keluar dia sempat menoleh ke arah kami, dan
berkata, "Sampai besok di sekolah, Kristy. Sampai ketemu, Claudia."
"Sampai besok," kami menyahut.
"Apakah dia anak nakal, Kristy?" tanya Jamie begitu pintu
depan tertutup.
"Ya, tapi cuma sedikit," jawab Kristy.
"Hei, mana 'kue kejutan' yang kamu janjikan tadi?" Rob berseru
kepadaku dari dapur.
"Tunggu sebentar. Kalian semua akan mendapatkannya, karena
kalian semua anak-anak manis."
Kristy dan aku menyiapkan makanan penutup seperti yang
kujanjikan?kue cokelat dengan es krim di atasnya. Kemudian tugas
kami selesai, dan sudah waktunya pulang. Suasana di luar sangat
gelap, sehingga Pak Newton menawarkan untuk mengantar kami naik
mobil. Tapi karena rumah kami dekat sekali, kami menolak
tawarannya itu dan pulang dengan berjalan kaki. Selain itu aku juga
ingin berbicara dengan Kristy.
"Jadi bagaimana, nih?" tanyaku, ketika kami sampai di trotoar
jalan.
"Apanya yang bagaimana?"
"Kamu sudah sinting, ya? Bertahun-tahun kamu menjadi musuh
bebuyutan Alan Gray. Kamu membenci segala sesuatu yang
dilakukannya. Kamu sendiri yang bilang begitu beberapa minggu lalu.
Dan sejak sekolah dimulai, kamu terus mengeluh bahwa duduk di
depan Alan sama mengecewakannya dengan... dengan...""Dengan dipindahkannya waktu pemutaran film seri The Love
Boat ke jam sepuluh pagi, sehingga kita tidak bisa menontonnya?"
"Yeah."
"Aku tahu. Masalahnya, Alan akhirnya membuktikan sesuatu
yang selama ini selalu dikatakan oleh ibuku. Hanya saja baru sekarang
aku percaya."
"Apa, sih?"
"Bahwa cowok-cowok sering mengganggu kita karena mereka
menyukai kita. Terus terang, kadang-kadang aku masih menganggap
Alan sebagai orang yang paling menyebalkan di seluruh dunia, dan
aku tidak keberatan kalau dia mendapat sedikit kesulitan malam ini.
Maksudku, seenaknya saja dia mengintai dari jendela dan menakut-
nakuti kita dengan telepon itu.... Biar saja dia berkeringat dingin,
seperti kita tadi. Tapi bagaimanapun juga... Claudia, ternyata ada juga
cowok yang suka padaku." Kristy terdiam sejenak.
Kemudian dengan agak takjub dilanjutkannya, "Di samping itu,
tampangnya lumayan, kok. Dan sebenarnya, kalau dipikir-pikir,
kelakuannya itu lucu juga... kalau dilihat dari sisi lain."
Aku tersenyum lebar padanya. "Nah, sekarang kamu sudah tahu
apa yang dirasakan oleh Stacey dan aku. Itulah sebabnya kami selalu
makan siang bersama anak-anak cowok. Mereka menyukai kami.
Setidak-tidaknya, mereka tidak membenci kami. Dan rasanya senang
sekali kalau ada orang yang mengajak kita ke pesta dansa. Ya, kan?"
Kristy mengangguk. Dia kelihatan agak ragu-ragu. "Aku jadi
bingung, nih," katanya lambat-lambat. "Maksudku, bagaimana
caranya aku menjelaskan hal ini pada Mary Anne? Dan, ya ampun,bisakah kamu bayangkan apa yang akan dilakukan oleh kakak-
kakakku kalau mereka tahu bahwa aku akan pergi ke pesta dansa?"
"Yang jelas, kamu tidak bisa mundur lagi sekarang. Tenang saja
deh, dua hari lagi semuanya sudah berakhir. Aku rasa Mary Anne
akan mengerti. Dan Stacey dan aku akan membantumu untuk bersiap-
siap ke pesta dansa. Jadi, kamu tidak perlu kuatir."
Kami sampai di rumah kami. "Trims, Claudia," ujar Kristy.
"Sampai besok."
"Bye," aku berkata dengan ceria. Lebih ceria dari perasaanku.
Ketika aku menyeberangi jalan, aku terus memikirkan pesta dansa itu.
Emily dan Dorianne akan pergi. Stacey kemungkinan besar juga akan
pergi?walaupun dengan Pete Black, bukan Sam Thomas. Mary Anne
tidak peduli dengan Halloween Hop, dan sekarang Kristy juga akan
pergi. Tapi aku? Cowok yang kuharapkan pergi bersamaku sampai
sekarang belum juga mengenalku. Dia tidak tahu apa-apa tentang aku,
kecuali bahwa aku pernah menumpahkan agar-agar ke pangkuannya.
Aku membuka pintu depan, masuk, mengucapkan halo pada
Mimi dan kedua orangtuaku, lalu berlari ke kamarku. Aku menutup
pintu dan berbaring di tempat tidur. Selama beberapa saat kubiarkan
perasaan kesal merajalela di dalam diriku. Aku menarik sebatang kue
keju dari dalam tempat pensil.
Aku sedang mengunyah sambil merenung, ketika seseorang
mengetuk pintu. Sebenarnya aku tidak ingin bicara dengan siapa pun,
kecuali dengan Mimi.
"Siapa?" aku berseru.
"Janine."Aduh, aduh. Aku sama sekali tidak berminat bicara dengan
Janine. "Aku lagi malas ngobrol!"
"Sebaiknya kita bicara sebentar. Ini penting."
"Oh, baiklah. Masuk." (Mimi boleh bangga padaku kalau
melihat ini.)
Janine menyelinap masuk ke kamarku, kemudian pelan-pelan
menutup pintu. Lalu dia berdiri di ujung tempat tidurku. "Apa yang
dilakukan polisi di rumah keluarga Newton?" dia bertanya padaku.
Aku memasukkan sebatang kue keju lagi ke mulutku, sebelum
sempat menelan yang pertama. "Kami menari beramai-ramai," aku
menjawab dengan terpaksa.
"Claudia..."
"Dari mana kamu tahu mereka ada di sana?"
"Bu Gordon mengantarku pulang dengan mobilnya dari
universitas, dan aku melihat mobil polisi meninggalkan rumah
keluarga Newton. Kupikir kejadiannya tidak terlalu serius, karena
mereka tidak menghidupkan lampu sirenenya. Tapi aku belum
memberitahu Papa dan Mama."
"Sungguh?" tanyaku. Aku merasa agak heran. Janine bukanlah
tipe orang yang suka mengadukan segala sesuatu yang diketahuinya.
Tapi aku tidak menyangka bahwa dia bisa merahasiakan kejadian
seperti itu dari ayah dan ibuku.
"Sungguh." Janine menggelengkan kepalanya.
"Terima kasih," kataku. "Sebenarnya sih tidak apa-apa kalau
mereka tahu. Aku pasti akan menceritakannya juga pada mereka. Tapi
aku berterima kasih, karena kamu mau membicarakannya dulu
denganku."Janine tersenyum dan mengembangkan tangannya, seakan-akan
hendak mengatakan, Nggak jadi masalah. Tentu saja kalimat itu tak
mungkin jelas-jelas keluar dari mulutnya, sebab dia alergi terhadap
kata-kata yang kurang baku.
"Apa yang telah terjadi?" tanyanya kemudian. "Maukah kamu
bercerita padaku dulu?"
"Tentu," aku menyahut penuh semangat, sambil bangkit duduk.
"Kamu mau kue keju?" Aku teringat pada kata-kata Mimi, lalu
memutuskan untuk memanfaatkan kesempatan langka ini dengan
sebaik-baiknya.
"Mau," sahut Janine.
Aku memberinya sepotong kue keju, dan mulai bercerita
tentang perbuatan Alan. "Karena mendengar suara-suara aneh itu,"
kataku, "maka aku menyusup..."
"Mengendap-endap."
"Sama saja, deh. Pokoknya aku masuk ke ruang duduk dan
melihat ada orang di jendela depan!"
"Lalu apa yang kamu lakukan?" tanyanya. Matanya yang hitam
bersinar-sinar.
"Aku memanggil polisi."
"Kamu tidak menjerit?"
"Tidak. Hanya pergi ke pesawat telepon." Kemudian aku
menceritakan padanya seluruh kejadian yang kualami di rumah
keluarga Newton.
"Wow, kamu benar-benar pemberani," Janine memuji."Begitulah," sahutku. "Tapi aku tidak merasa sebagai
pemberani pada saat itu. Aku hanya tahu bahwa kami?Kristy dan
aku?harus melindungi anak-anak itu."
"Aku sangat bangga padamu."
"Benarkah?"
"Ya. Aku bangga punya adik seperti kamu."
"Wow, aku... Trims.... Janine?"
"Apa?"
"Kenapa kamu tidak lebih sering masuk ke kamarku untuk
berbincang-bincang seperti ini?"
"Karena kamu sering menyuruhku tutup mulut, atau
menyuruhku pergi, atau menyuruhku untuk tidak mencampuri urusan
orang lain."
"Habis, kamu sering bicara seperti seorang profesor. Padahal
waktu kita masih kecil, kita bisa bersenang-senang bersama-sama.
Waktu itu kamu masih bicara seperti anak-anak."
Janine mengerutkan keningnya. "Apakah bicaraku sekarang ini
seperti seorang profesor?"
"Tidak. Tapi... tapi kamu selalu saja membicarakan hal-hal
yang tidak ingin kuketahui. Misalnya, bagaimana cara kerja proses
ketakutan itu. Siapa yang peduli?"
"Aku. Hal-hal semacam itu sangat menarik bagiku."
"Bagiku tidak."
"Apa yang menarik untukmu?" tanya Janine.
"Oh, cerita-cerita misteri yang menegangkan, tugas menjaga
anak, dan lukisan."
Janine mengangguk."Kejadian malam ini menegangkan, kan?"
"Yeah."
"Aku senang kau memperbolehkanku masuk, sehingga kita bisa
mengobrol seperti ini."
"Aku juga," sahutku.
"Mungkin ada baiknya kalau kita lebih sering mengobrol?"
Suara Janine kedengaran agak malu-malu.
"Tentu. Aku punya banyak persediaan permen dan kue di kamar
ini."
Janine tersenyum. "Aku akan menceritakan sebuah rahasia
padamu. Aku juga punya persediaan permen di kamarku."
"Yang benar?"
"Ehm. Itu salah satu kebiasaan burukku."
"Aku baru tahu kalau kita punya kebiasaan buruk yang sama,"
kataku.
"Banyak hal tentang aku yang kamu tidak tahu."
"Begitu juga sebaliknya."
"Nah, sekarang kita ceritakan dulu pada Mama dan Papa apa
yang telah terjadi."
"Oke."
Dan kami melakukan itu. Mama, Papa, dan Mimi juga sangat
bangga padaku. Setelah itu Janine membantuku mengulang pelajaran
matematika untuk tes besok. Kali ini dia lebih sabar dan tidak terlalu
memburu-buruku.
Semuanya berjalan dengan baik, sampai aku pergi tidur.
Kemudian aku teringat pada dua hal yang mengganggu perasaanku.Yang pertama adalah bahwa Trevor belum juga mengajakku ke pesta
dansa.
Yang kedua lebih gawat lagi. Kalau selama beberapa minggu
terakhir ini Alan-lah yang sering menakut-nakuti Kristy dengan
telepon-telepon misteriusnya, lalu siapa yang suka meneleponku? Aku


Baby Sitter Club 2 Claudia Dan Si Penelepon Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa kali menerima telepon aneh pada waktu bertugas menjaga
anak. Jangan-jangan si Penelepon Misterius benar-benar ada di sini....
Dan jangan-jangan, akulah yang diincarnya!
Tidak, aku memutuskan beberapa detik kemudian. Itu benar-
benar tidak masuk akal. Untuk apa si Penelepon Misterius
mengincarku? Dia selalu mengincar perhiasan, bukan orangnya.
Apalagi orang yang tidak memiliki perhiasan. Hmm, apa yang akan
dilakukan oleh Nancy Drew kalau dia yang mengalami kejadian ini?
aku bertanya-tanya dalam hati. Dia pasti akan mengkaji semua
petunjuk yang ada. Dan dia akan mengolah semua informasi yang
didapatnya.
Nah, pikirku, Kristy pernah menerima telepon-telepon
misterius. Aku juga pernah menerima telepon-telepon misterius.
Penelepon Kristy ternyata Alan, cowok yang diam-diam menyukai
Kristy. Mungkin peneleponku juga seorang cowok! Yang jelas, Alan
sudah melihat buku agenda kami. Siapa tahu dia juga
memperlihatkannya pada orang lain?
Kalau begitu, siapa yang kira-kira menyukaiku? Rick Chow?
Mungkin. Howie? Aku perlu petunjuk lebih banyak lagi.
Aku membalikkan badan ke samping dan tertidur.
**********Misteri yang menghantui pikiranku itu ternyata berakhir pada
keesokan harinya. Hari itu merupakan hari yang patut dicatat dalam
sejarah. Pertama-tama, aku mengikuti tes matematika. Aku
mengerjakan semua soal dengan hati-hati, dan akulah yang terakhir
mengumpulkan kertas tes. Aku tidak bisa memperkirakan seberapa
baik hasil pekerjaanku. Yang aku tahu hanyalah bahwa aku telah
mengerjakannya dengan sebaik mungkin. Jarang, lho, aku bisa berkata
begitu.
Aku benar-benar terkejut ketika Pak Peters menemuiku di
depan locker-ku seusai sekolah dan berkata, "Selamat, Claudia!"
"Untuk apa?" tanyaku dengan waswas.
"Saya mulai memeriksa hasil tes kalian waktu jam makan siang
tadi. Kebetulan kertasmu terletak paling atas. Saya rasa kamu tentu
ingin tahu bahwa kamu memperoleh nilai delapan puluh enam."
"Sungguh? Delapan puluh enam? Apakah itu cukup untuk nilai
B?"
"Kamu akan mendapat nilai B atau B-plus, tergantung dari nilai
rata-rata kelas. Saya tahu bahwa kamu sudah belajar dengan tekun di
rumah. Pertahankanlah prestasimu ini."
"Pasti, oh, pastil Terima kasih, Pak!"
Ternyata itu bukan satu-satunya kejutan yang menungguku.
Aku sedang menjaga Nina dan Eleanor Marshall siang itu, ketika
telepon berdering. Aku mengangkat gagangnya dengan perasaan
gelisah.
Tidak ada yang bicara.
"Sial," gerutuku sambil meletakkan kembali gagang telepon di
tempatnya."Ada apa?" tanya Nina.
"Oh, cuma... salah sambung." Apakah dia si penelepon
rahasiaku? Diam-diam aku berharap supaya teleponnya berdering
lagi!
Pada saat itu juga telepon berdering. Aku meraih gagang
telepon dengan cepat. "Halo? Siapa di situ? Tolonglah, katakan
sesuatu!" Aku menunggu, dan beberapa saat kemudian sebuah suara
laki-laki yang belum kukenal berkata, "Claudia?"
Aku menahan napas. "Y... ya?"
Orang itu berdehem. "Ehm, di sini... di sini Trevor. Trevor
Sandbourne."
Aku hampir pingsan mendengarnya. "Nina," aku berbisik,
sambil menutup gagang telepon dengan sebelah tangan, "tolong
ambilkan mainan Sesame Street-mu. Aku akan menyusul dan
membantu kalian memasangnya." Aku melepaskan tanganku dari
gagang telepon sesaat setelah Nina dan Eleanor berlari ke ruang
bermain. "Trevor?" ujarku. Aku belum bisa mempercayai
pendengaranku tadi!
"Ya. Kamu... kamu tahu siapa aku?"
"Oh, ya. Maksudku, tentu saja aku tahu. Kamu kan si penyair.
Kamu pernah menulis puisi di majalah The Literary Voice."
"Betul," sahutnya malu-malu. "Aku ingin tanya apakah...
maksudku, aku tahu bahwa ini agak terlambat, tapi apakah kamu tidak
keberatan... maukah kamu pergi bersamaku ke Halloween Hop?"
Aku pasti lagi bermimpi! Dalam beberapa menit aku akan
bangun, lalu menyadari bahwa telepon ini hanyalah bagian dari mimpi
yang indah.Aku mencubit tanganku. Sakit. "Aku mau, Trevor. Terima
kasih."
"Maksudmu, kamu bisa pergi?"
"Ya."
"Oh, bagus. Aku akan menemuimu di sana... di pesta dansa.
Besok jam empat, oke?"
"Oke. Oh, Trevor?" (Aku harus menanyakan ini padanya.)
"Dari mana kamu tahu di mana aku berada? Ini kan bukan rumahku."
Hening sejenak. "Aku... aku diberitahu oleh Alan Gray."
"Aha."
"Aku... aku tahu bahwa kamu sudah tahu tentang Alan dan buku
agenda Baby-sitters Club. Begini, setiap kali Alan mengambil buku
itu, dia menyelidiki di mana Kristy akan bertugas... dan dia juga
mencatat di mana kamu akan bertugas. Kemudian dia memberikan
informasi itu padaku. Dia tahu bahwa aku menyukaimu. Pernah sekali
dia memergoki aku sedang membuat puisi tentang kita."
"Puisi? Tentang kita?"
"Yeah...."
"Apakah kamu masih menyimpannya?"
"Tidak," ujar Trevor malu-malu. "Aku sudah membuangnya.
Aku malu sekali. Waktu itu Alan mulai menyanyikan lagu konyol
tentang bermesraan di atas pohon, dan semua orang mendengarnya."
"Jadi karena itulah dia tahu tentang kita," kataku.
"Yeah. Tapi setelah itu dia merasa bersalah karena sudah
mengolok-olokku di depan anak-anak, padahal kami berteman.
Kemudian dia mulai mencari informasi untukku, tentang kapan dan di
mana kamu bertugas. Begitulah cara dia minta maaf.... Dan kupikiraku juga harus minta maaf padamu. Aku sangat menyesal, Claudia.
Alan sudah menceritakan kejadian semalam padaku. Dia tidak mau
melibatkanku dalam kesulitan, jadi dia tidak menyebut-nyebut
namaku di depan polisi. Tapi begitu sampai di rumahnya, dia langsung
meneleponku. Dia menganjurkan agar aku menjelaskan semuanya
padamu, walau sebenarnya aku sangat ma... sangat sulit bagiku untuk
mengatakannya. Aku menyesal karena sudah menakut-nakutimu
dengan telepon-teleponku. Aku benar-benar menyukaimu. Sudah lama
aku diam-diam memperhatikanmu. Aku hanya takut untuk
menyatakannya."
"Tidak apa-apa, Trevor. Aku senang karena kamu sudah mau
berterus terang. Aku juga menyukaimu. Sampai bertemu besok, ya."
Aku meletakkan gagang telepon. Akhirnya jadi juga aku pergi
ke Halloween Hop! Betapa senangnya!
"Hei, anak-anak!" aku memanggil Nina dan Eleanor. "Ada
sesuatu yang harus kita rayakan. Ambil mantel kalian. Aku akan
mentraktir kalian makan es krim!"
Bertiga kami merayakan hari paling bahagia dalam hidupku.Bab 15
HALLOWEEN HOP berlangsung dengan meriah. Kristy dan
Alan ada di sana. Begitu juga Stacey dan Pete. Stacey tampak sangat
gembira. Mungkin Pete bisa membantunya melupakan Sam Thomas.
Mary Anne tidak ikut, tapi kelihatannya dia tidak terlalu ambil pusing.
Kamis malam?malam sebelum pesta dansa? Stacey, Kristy,
dan aku mondar-mandir dari rumah Stacey ke rumah Kristy, ke
rumahku, lalu kembali lagi ke rumah Stacey untuk mencoba-coba baju
yang akan kami pakai. Kami telah memutuskan untuk tidak memakai
kostum aneh, karena kami ingin tampil secantik mungkin. Di samping
itu, anak-anak cowok juga sudah mengatakan bahwa mereka lebih
baik mati daripada disuruh memakai kostum yang bukan-bukan.
Stacey dan aku memakai jeans baggy dan sweter baru kami yang
gombrong. Kristy ngotot mau memakai rok terusan kotak-kotak
dengan blus merah berkerah tinggi di dalamnya, dan kami tak berhasil
membujuknya. Tapi rupanya pakaian Kristy bukan soal penting bagi
Alan. Keesokan harinya ketika kami sampai di aula olahraga
(sebelumnya kami berlari pulang, mengganti baju sekolah kami
dengan baju pesta, kemudian pontang-panting kembali ke sekolah),
Alan menemui Kristy dengan senyum yang tak kalah lebarnya dengan
senyum Pete dan Trevor.Aku menggantungkan mantelku. Setelah itu, Trevor dan aku
berdiri di dekat meja minuman. Kami tertawa-tawa karena teringat
pada usaha Trevor untuk meneleponku, serta pada peristiwa agar-agar
merah. Setelah ngobrol ke sana kemari, akhirnya kami berdansa.
Trevor tidak terlalu mahir berdansa, begitu juga aku, tapi kami tetap
menikmati suasana pesta.
Aku telah menemukan teman baru.
***********
Pada hari Senin setelah Halloween, Pak Peters mengembalikan
tes matematika kami. Nilai delapan puluh enamku ternyata sudah
berubah menjadi B-plus. Aku menceritakan berita gembira itu pada
keluargaku ketika kami makan malam.
"Bravo!" ujar Papa.
"Aku bangga sekali," komentar Mama.
Janine berdiri, lalu memelukku.
Dan Mimi tersenyum bijaksana sambil berkata, "Dari dulu aku
tahu bahwa kamu pasti bisa mendapat nilai bagus, Claudia-ku."
Dua hari kemudian, polisi berhasil membekuk si Penelepon
Misterius?yang sesungguhnya. Mereka menangkapnya pada saat dia
sedang beraksi. Kali ini yang menjadi korban adalah Pak dan Bu
Johnson Neustetter. Mereka tinggal di Mercer, di sebuah rumah yang
mirip istana. Pada Rabu sore, mereka dua kali menerima telepon dari
si Penelepon Misterius. Pak dan Bu Neustetter yang memang selalu
mengikuti berita-berita tentang pencuri itu melalui radio, langsung
memanggil polisi. Malam itu rumah keluarga Neustetter dijaga oleh
beberapa petugas. Mereka sengaja menyuruh keluarga Neustetter
pergi meninggalkan rumah?siapa tahu si Penelepon Misterius sedangmengintai rumah itu. Ternyata benar. Kira-kira dua puluh menit
kemudian, si Penelepon Misterius muncul. Para petugas membiarkan
dia memasuki rumah, lalu menunggu sampai si pencuri mulai
membongkar tempat penyimpanan barang-barang berharga. Baru
setelah itu mereka menyergapnya. Si Penelepon Misterius tidak
melawan, dan mengakui semua perbuatannya.
Malam itu juga dia sudah berada di belakang terali besi.
Tapi coba tebak, misteri mana yang tetap belum terpecahkan?
Misteri pencurian di rumah keluarga Goldman. Ketika diinterogasi di
kantor polisi, si Penelepon Misterius mengatakan bahwa dia belum
pernah ke Stoneybrook. Karena itu polisi mengambil kesimpulan
bahwa Pak dan Bu Goldman telah menjadi korban pencuri latah yang
sengaja meniru pola kerja si Penelepon Misterius. Tapi kini si
Penelepon Misterius telah tertangkap, dan rasanya takkan ada lagi
yang berani mengulangi perbuatan itu. Risikonya terlalu besar.
Dengan demikian, Mary Anne bisa kembali aktif sebagai
anggota Baby-sitters Club. Begitu dia dan ayahnya mendengar berita
itu, Mary Anne langsung memohon pada ayahnya agar diizinkan
menjaga anak lagi. Dan ayahnya mengalah.
Kami merayakan tertangkapnya si Penelepon Misterius pada
pertemuan rutin klub berikutnya. Aku sudah menyiapkan soda diet,
sekantong besar keripik kentang, cokelat M&M kacang, dan apel serta
crackers untuk Stacey.
"Nah," ujar Kristy, sambil bersiap-siap untuk melemparkan
segenggam M&M ke dalam mulutnya, "kita sudah berhasil
menghadapi ancaman si Penelepon Misterius."
"Yeah," sahutku. "Klub ini bisa berbuat apa saja.""Aku sudah menghasilkan enam belas dolar selama dua minggu
terakhir ini," kata Stacey.
"Aku empat belas dolar," tambah Kristy.
Aku membuka empat kaleng soda diet dan membagi-
bagikannya pada teman-temanku.
"Untuk sukses kita," kata Stacey.
"Untuk kita," ujar Mary Anne.
"Untuk si Penelepon Misterius," tambah Kristy sambil
cekikikan.
"Untuk Baby-sitters Club!" seruku.
Sambil nyengir, kami saling membenturkan kaleng soda.END
Bunga Di Batu Karang 29 Pendekar Slebor 35 Istana Durjana Badai Awan Angin 18
^