Pencarian

Dawn Dan Tiga Pengacau 2

Baby Sitter Club 5 Dawn Dan Tiga Pengacau Bagian 2


untuk apa aku memerlukan serbet, sebab pada saat ini aku sendiri
tidak tahu. Tapi aku yakin kalau serbet pasti akan berguna nanti.
Betul saja. Kami memerlukan serbet waktu Buddy menjatuhkan
sebutir telur di atas lantai. Dan sekali lagi waktu Suzi menghidupkan
electric-mixer (alat pengaduk bertenaga listrik), bersamaan dengan
Buddy memasukkan pengocoknya ke dalam adonan. Seketika adonan
bercipratan ke mana-mana.
Pada jam setengah satu lewat lima menit brownies akhirnya
siap dimasukkan ke dalam oven. Kuenya harus dipanggang selamasetengah jam. Berarti kami cuma akan terlambat lima sampai sepuluh
menit untuk acara piknik.
Selama setengah jam menunggu kue matang, kami
membersihkan bercak-bercak adonan berwarna coklat yang menempel
di dinding sekeliling mixer, dan mencuci mangkuk-mangkuk dan
sendok-sendok. Jam satu lewat lima aku mengeluarkan kedua loyang
dari dalam oven, dan memeriksa kematangan kue itu dengan
menusukkan sebuah pisau. Ternyata sudah matang, dan harumnya
membuat perut menjadi lapar!
Aku baru ingat bahwa kita tidak boleh memotong-motong
brownies yang masih panas, karena bisa hancur. Oleh sebab itu aku
memutuskan untuk segera membawa loyang-loyang itu ke rumah
keluarga Pike dengan menggunakan lamping. Aku harus bolak-balik
dua kali: Yang pertama dengan membawa seloyang brownies, sambil
menggiring Pow dan anak-anak Barrett (Suzi membawakan
sandwich). Yang kedua dengan membawa loyang brownies satunya,
setelah menitipkan anak-anak Barrett di rumah keluarga Pike.
Halaman belakang rumah keluarga Pike ternyata telah diliputi
suasana pesta?meriah dan agak riuh. Claudia dan Stacey telah
menggelar tikar-tikar di atas rumput. Mereka juga sudah menyiapkan
piring-piring dan gelas-gelas karton, serbet kertas, serta sendok-
sendok dan garpu-garpu plastik. Anak-anak keluarga Pike masih sibuk
menghias halaman belakang rumah mereka dengan bendera-bendera
dan balon-balon, sisa pesta ulang tahun yang berlangsung belum lama
ini. Dengan cepat aku menghitung jumlah anak-anak yang ada di
situ. Semuanya ada lima belas anak."Hei, Stacey," ujarku. "Coba ke sini sebentar."
"Ada apa, sih?" Stacey menghampiriku. Seperti biasa
penampilannya aduhai. Dia memakai T-shirt merah jambu yang
dimasukkan ke dalam overall berpotongan baggy, dengan motif
bunga-bunga berwarna merah jambu dan merah. Rambutnya yang
dikeriting nampak berayun-ayun setiap kali dia melangkah. Aku
sendiri hanya memakai celana pendek jeans berwarna biru, dan T-shirt
putih bertuliskan GENIUS INSIDE. Aku kelihatan sangat sederhana
kalau berdampingan dengan Stacey.
"Berapa jumlah anak keluarga Pike?" tanyaku.
"Delapan," jawab Stacey. "Kan kamu sudah tahu?"
"Memang. Nah, ditambah dengan tiga anak keluarga Barrett,
jumlahnya jadi sebelas. Ditambah lagi dengan kamu, Claudia, dan
aku, maka jumlah orangnya jadi empat belas."
"Terus?"
"Coba kamu hitung berapa orang yang hadir di sini!"
Stacey menghitung. "...Tiga belas, empat belas, lima belas.
Lima belas?"
"Aku juga baru sadar," ujarku.
"Coba kita cari, siapa yang tidak seharusnya berada di sini."
"Oke," sahutku. "Itu Buddy, Suzi, dan Marnie."
"Dan itu Mallory, Byron, Adam, Jordan, Vanessa, Nicky,
Margo, Claire, dan Jenny."
"Kamu baru saja menghitung sembilan anak keluarga Pike,"
aku memberitahu Stacey.
"Jenny!" Stacey berseru. "Kenapa Jenny Prezzioso ada di sini?""Oh," aku mengeluh. Si bandel Jenny. Rumahnya di ujung jalan
ini. "Aneh, kenapa kita baru sadar sekarang, ya?" Padahal Jenny-lah
satu-satunya anak di situ yang berpenampilan seperti mau pergi ke
pesta perkawinan. Dia memakai baju luar merah jambu dengan baju
dalam putih, lengkap dengan ikat pinggang putih, dan sepatu kulit
merah jambu merek Mary Jane. Bu Prezzioso telah mengepang
rambut Jenny, dan mengikat ujung-ujungnya dengan pita berwarna
merah jambu.
Claudia keluar sambil membawa makanan, kemudian
mengaturnya di atas tikar. Acara piknik hampir bisa dimulai.
"Karena Jenny toh sudah di sini, bagaimana kalau kita ajak saja
dia untuk bergabung dalam acara ini?" tanya Stacey.
Aku mengerutkan kening, tapi kemudian berkata, "Oke, deh."
"Biar aku yang menelepon Bu Prezzioso untuk minta izin,"
Stacey menawarkan diri. Beberapa menit kemudian dia kembali dan
berkata, "Bu Prezzioso tidak keberatan, kok."
Claudia, Stacey, dan aku mengatur anak-anak duduk di atas
tikar. Kami mengedarkan sandwich dan mengisi gelas-gelas mereka
dengan sirop lemon dan susu. Selama dua setengah menit pertama,
kedua belas anak itu masih bersikap sangat manis?semanis bidadari.
Tapi tiba-tiba ada kejadian kecil. Jordan meletakkan sandwich-nya,
lalu berpaling pada Nicky yang duduk di sebelahnya. Sambil
mengarahkan jari telunjuk pada Nicky, dia bergumam, "Bzzz!"
Hasilnya sangat mencengangkan. Nicky memekik lalu berkata,
"Claudia, aku diberi Sinyal Bizzer oleh Jordan!"
"Apa sih, Sinyal Bizzer itu?" aku berbisik pada Stacey."Istilah itu diciptakan oleh anak-anak keluarga Pike. Sinyal itu
semacam ejekan. Mereka selalu menggunakannya kalau mereka
kepingin mengganggu saudara-saudara mereka. Atau teman-teman
mereka."
"Biarkan saja," kata Claudia pada Nicky.
"Tapi aku diberi Sinyal Bizzer!"
"Biarkan saja."
"Tapi aku diberi Sinyal Bizzer!"
Claudia menarik napas. Dia menoleh pada Stacey dan aku. Aku
hanya bisa mengangkat bahu.
Kemudian suasana mulai kacau balau. Adam memberi Sinyal
Bizzer pada Jenny, dan Buddy melakukan hal serupa terhadap Suzi.
Jenny dan Suzi mulai menangis.
Kemudian Mallory, yang biasanya pendiam dan selalu bersikap
dewasa, memberi Sinyal Bizzer pada Byron, sehingga adiknya itu
mulai menangis juga.
Dalam waktu tiga puluh detik, tujuh anak menangis dan tujuh
lainnya sibuk memberi Sinyal Bizzer sambil tersenyum lebar. (Marnie
pasang muka-jeleknya.)
Mungkin seperti inilah awal mula peperangan. Suatu hari,
seorang pemimpin dunia menodongkan telunjuknya ke tulang iga
pemimpin dunia yang lain sambil mengejek, "Nyah, nyah, nyah."
Pemimpin dunia yang kedua mulai menangis karenanya, dan tiba-tiba
kedua negara itu sudah saling berperang.
Hanya dalam waktu lima menit, acara piknik berubah jauh dari
yang diangan-angankan, dan bahkan menjadi malapetaka.Untungnya, aku cepat dapat akal. Di tengah-tengah suasana
ingar bingar, aku berdiri lalu berteriak, "Siapa yang mau brownies?"
"Aku!" setiap anak berseru, kecuali Marnie.
"Bagus," ujarku, "tapi kalian tidak akan mendapatkannya kalau
kalian masih saling mengejek seperti itu. Ayo, cepat habiskan
sandwich kalian, dan jangan nakal lagi. Dan kalau masih ada yang
memberi Sinyal Bizzer, dia harus masuk ke dalam rumah."
Suasana menjadi hening. Kemudian terdengar ketawa
cekikikan, disusul dengan lelucon-lelucon konyol. Lima belas menit
kemudian, semua sandwich sudah ludes. Aku mulai mengedarkan
brownies. Aku hanya memberikan setengah potong brownies pada
Marnie, karena belum tentu dia mau memakannya.
"Hei!" seru Mallory. "Jangan berikan itu padanya!" Dia
menyerbu melewati Vanessa dan Buddy, lalu merebut potongan kue
itu dari tangan Marnie.
"Kenapa sih kamu?" aku berkata dengan ketus. "Sebentar lagi
kamu juga akan mendapatkan bagian, Mallory."
Mallory memandangku dengan mata lebar. Sepertinya dia agak
sakit hati. "Dia alergi," ujarnya perlahan-lahan. "Marnie tidak boleh
makan coklat. Dia akan sakit kalau memakannya."
"Kamu yakin?" seruku. "Bu Barrett tidak pernah mengatakan
hal itu padaku."
"Aku yakin sekali. Kalau tidak percaya, kamu boleh tanya
ibuku."
Empat kali aku minta maaf pada Mallory. Kemudian aku mulai
merasa marah. Buddy, Suzi, dan Marnie adalah anak-anak yang
manis-manis, dan mereka sangat membutuhkanku. Tapi ibu merekayang menjadi masalah di sini. Bu Barrett tidak pernah memberi
petunjuk padaku, biar sekecil apa pun. Dia jarang memperhatikan
anak-anaknya. Dan rumah selalu berantakan. Ditambah lagi, aku
selalu menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangga untuknya, tapi
dia hanya membayarku dengan tarif baby-sitter biasa.
Aku memutuskan bahwa aku harus membicarakan segala
sesuatu yang mengganjal pikiranku dengan Bu Barrett. Tapi ketika dia
pulang pada sore itu, dia langsung mulai menyanjung-nyanjungku.
Dia menatap rumahnya yang bersih, anak-anak yang rapi, dan sepiring
brownies sisa piknik, lalu berkata, "Dawn, kamu memang luar biasa.
Aku tidak tahu bagaimana kamu melakukan semua ini. Terima kasih
banyak. Bu Pike pernah bilang padaku, bahwa kamu baby-sitter yang
cekatan sekali, dan ternyata dia tidak berlebihan."
Apa lagi yang bisa kukatakan? Seketika semua unek-unekku
lenyap. Yang kulakukan adalah mencium anak-anak Barrett,
mengucapkan sampai ketemu lagi, lalu pulang.Bab 9 DAN sebagai seorang sahabat, aku mempertimbangkan kata-
kata Claudia. Aku tahu Claudia menuliskan itu bukan karena dia iri
aku punya banyak tugas sebagai baby-sitter. Kenyataannya, aku
memang seakan-akan tinggal di rumah keluarga Barrett. Bu Barrett
secara terus-menerus memerlukan seseorang untuk mengawasi anak-
anaknya, dan secara terus-menerus pula dia memintaku untuk tugas
itu. Memang pernah beberapa kali aku berhalangan, sehingga tugas itu
diambil alih oleh Kristy atau Mary Anne. Tapi Bu Barrett selalu
berkata bahwa anak-anaknya, terutama Buddy, paling menyukaiku.
Aku merasa tersanjung?tapi sekaligus aku juga menjadi sangat
sibuk! Pernah sekali aku hampir tidak dapat mengikuti pertemuan
rutin Baby-sitters Club. Ceritanya begini: Bu Barrett sudah berjanji
bahwa dia akan pulang pada jam setengah enam. Tapi ternyata dia
baru pulang jam enam lewat lima. Aku tidak akan sewot, kalau
memang ada urusan penting yang perlu diselesaikan olehnya. Tapi
tidak demikian kenyataannya. Rupanya dia pergi berbelanja bersama
seorang temannya.
Pada hari Senin, setelah acara piknik di rumah keluarga Pike,
aku akhirnya punya kesempatan untuk menanyakan alergi Marnie
terhadap coklat pada Bu Barrett. Aku sengaja menunggu sampai dia
pulang menjelang malam. Dengan demikian dia tidak bisa menghindar
lagi.
Setelah Bu Barrett membayarku, aku berkata, "Bu Barrett,
bisakah saya bicara sebentar dengan Ibu?"
Sekelebat sorot matanya nampak meredup. Untuk sekilas ia
kelihatan waswas. Atau jengkel? Entahlah, aku tidak bisa
memastikannya.Pokoknya, kami berdua duduk di ruang duduk. Dan sebelum
kehilangan keberanian, aku cepat-cepat berkata, "Kenapa saya tidak
diberitahu bahwa Marnie alergi terhadap coklat?"
"Oh, ya ampun," ujar Bu Barrett. Dia duduk di sofa sambil
menyilangkan kakinya. Dengan celana panjang dan blazer yang
dipakainya, dia tampak cantik, anggun, dan serasi sekali?mulai dari
leher ke bawah. Tapi dari leher ke atas, Bu Barrett kelihatan lelah dan
cemas. Ada kerut-kerut di sekitar mata dan di sudut-sudut mulutnya,
dan aku juga melihat beberapa helai rambut putih di kepalanya.
Padahal aku tahu bahwa umurnya baru tiga puluh tiga tahun.
Dengan capek, dia mengusap-usap matanya. "Aku tidak
memberitahumu bahwa Marnie alergi terhadap coklat?"
"Tidak," sahutku. "Dan tempo hari, saya hampir memberinya
sepotong brownies. Untung saja Mallory Pike masih sempat
mencegah saya."
"Untung saja," ujar Bu Barrett. Kemudian dia menambahkan,
"Anakku yang malang," sesaat setelah Marnie memasuki ruang duduk,
lalu mengulurkan tangannya dan minta digendong. Bu Barrett
mengangkatnya, mendudukkannya di pangkuannya, lalu
mengguncang-guncangnya ke depan dan ke belakang.
"Apakah Marnie masih punya alergi lain?" tanyaku.
"Tidak, sepanjang pengetahuan kami." Bu Barrett mencium
kepala Marnie.
"Bagaimana dengan Buddy dan Suzi? Maksud saya, apakah ada
sesuatu yang perlu saya ketahui?"
Untuk beberapa saat, wajah Bu Barrett berubah menjadi lembut.
Aku menyangka bahwa aku bakalan mendengar segala sesuatu tentangmimpi buruk dan ketakutan yang sering dialami oleh anak-anak kecil
dan makanan-makanan kesukaan mereka. Tapi kemudian wajahnya
mengeras lagi, dan dia berkata dengan singkat, "Cuma ada satu hal.
Kalau mantan suamiku menelepon kemari, jangan biarkan dia
berbicara dengan anak-anak. Jangan katakan padanya bahwa dia boleh
menengok anak-anak. Dan jangan katakan padanya bahwa aku sedang
pergi. Bilang saja kamu cuma membantuku di sini, dan bahwa aku
sangat sibuk."
Kelihatannya Bu Barrett masih ingin mengatakan sesuatu, tapi
tiba-tiba terdengar suara gedubrak dari ruang bermain, yang diikuti
oleh pekikan Suzi.
"Aduh," ujar Bu Barrett. Dia menurunkan Marnie dari
pangkuannya, lalu bergegas memasuki ruang bermain. Aku
mengikutinya.
Sebuah pemandangan yang kacau balau membentang di
hadapan kami. Waktu kami meninggalkan Buddy dan Suzi tadi,
mereka sedang asyik nonton film The Brady Bunch di TV. Tapi
setelah Bu Barrett dan aku pindah ke ruang duduk, ternyata mereka
telah mengubah ruang bermain itu menjadi tempat yang sangat
berantakan. Sebuah baskom berisi air terletak di lantai di tengah-
tengah ruangan. Baskom itu dikelilingi oleh gelas-gelas plastik dan
botol-botol air?dan botol-botol berisi zat pewarna yang biasanya
digunakan untuk memasak. Ternyata Buddy dan Suzi sedang
bereksperimen dengan warna-warna, tapi hasilnya sangat kacau.
Genangan air berwarna merah jambu, biru, dan kuning terdapat di
mana-mana. Pakaian mereka tampak coreng-moreng, dan beberapa
boneka mainan telah dicelup ke dalam air berwarna hijau. Pekikantadi terjadi ketika Buddy menumpahkan air berwarna merah jambu ke
atas kepala Suzi.
Dia bilang dia tidak sengaja.
Suzi tidak sependapat dengannya.
Bu Barrett kelihatannya sudah siap untuk pingsan. Dia
memeluk Marnie erat-erat sambil memejamkan mata. Tadinya kupikir
dia akan menangis. Aku sudah hafal tanda-tandanya, karena ibuku
sendiri juga sering menangis.
"Biar saya yang membereskan semuanya," aku berkata pada Bu
Barrett. "Ibu keringkan Suzi saja. Buddy, tolong ambilkan kertas tisu.
Ayo, kita bersihkan ruangan ini."
"Kenapa Suzi tidak ikut membersihkan ruangan?" gerutu
Buddy. "Kan dia juga ikut mengotori."
"Memang, sih, tapi dia kan lagi basah kuyup. Di samping itu,
kalau kamu mau mengambilkan kertas tisu, akan kutunjukkan sebuah
permainan."
Buddy hanya sejenak ragu-ragu. "Oke!" dia akhirnya setuju.
Bu Barrett mengajak anak-anak perempuan ke atas, sementara
Buddy telah kembali sambil membawa kertas tisu. Aku meletakkan
selembar kertas tisu di atas genangan air berwarna, membiarkan
airnya meresap, kemudian mengangkat kertas tisu itu agar bisa dilihat


Baby Sitter Club 5 Dawn Dan Tiga Pengacau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

oleh Buddy.
"Hei, warnanya jadi merah jambu!" dia berseru. "Sekarang
giliranku!" Penuh semangat Buddy membantuku mengeringkan
genangan-genangan air berwarna di lantai, sementara aku
menuangkan isi botol-botol air dan gelas-gelas plastik ke dalam
baskom, dan mengembalikan segala sesuatunya ke tempat cuci piringdi dapur. Kemudian aku melap bulu-bulu binatang mainan. Tapi
setelah menggosok-gosok selama beberapa menit, warna bulu mereka
masih juga agak kehijau-hijauan.
Buddy telah selesai mengeringkan genangan-genangan air
berwarna, dan kami menggantung beberapa lembar kertas tisu
berwarna-warni sebagai karya seni. Lalu Bu Barrett kembali bersama
Marnie dan Suzi, yang sudah bisa tersenyum lagi. Mereka langsung
menengok ke ruang bermain.
"Oh, untung ada kamu, Dawn," Bu Barrett berkata. "Ruangan
ini kelihatan indah kembali. Aku tidak tahu harus berbuat apa tanpa
kamu." Dia mulai menggiringku ke pintu depan. Sesaat setelah aku
memakai baju hangatku, dia memberikan tambahan satu dolar. "Kamu
sudah membantu mencegah terjadinya krisis," dia menjelaskan.
"Kamu betul-betul seorang penyelamat. Setiap kali kamu bertugas di
sini, keadaan rumah selalu lebih baik pada waktu kamu pergi,
daripada waktu kamu datang. Dulu aku sebenarnya biasa hidup
teratur. Tapi sejak bercerai dengan suamiku, aku menjadi kewalahan
menghadapi hidup ini. Kondisi keuangan kami juga agak ketat. Kalau
saja ayah anak-anak mau... Oh, biarlah. Pokoknya, kuharap kamu tahu
bahwa aku sangat berterima kasih. Kurasa kamu adalah semacam
perekat yang menyatukan kami kembali."
Perekat yang menyatukan mereka kembali? Pernyataan itu
membuatku agak cemas. Kedengarannya seperti sebuah tanggung
jawab yang sangat besar.
Pada saat itu, telepon berdering. "Biar Mama yang angkat!" Bu
Barrett berseru pada anak-anaknya."Dari Papa, Ma," Buddy berteriak membalas.
Bu Barrett menggertakkan giginya.
"Papa tanya ke mana saja Suzi dan aku. Papa bilang Mama
seharusnya mengantar Suzi dan aku ke apartemennya pada jam
setengah enam tadi. Papa sudah menunggu kami sejak setengah jam
yang lalu."
"Oh, ya ampun! Mama betul-betul lupa!" seru Bu Barrett.
"Dawn, sampai bertemu lagi hari Rabu sore, ya?"
"Oke," sahutku. "Jam tiga, kan." Tapi Bu Barrett tidak
mendengar kalimatku yang terakhir. Dia sudah bergegas menuju
pesawat telepon.
************
Selama beberapa minggu berikutnya, aku semakin sering
bertugas menjaga anak-anak Barrett. Hal ini tidak luput dari perhatian
para anggota klub yang lain. Tapi mereka tidak pernah mengajukan
keberatan, selama kesibukanku tidak mengganggu acara pertemuan
rutin klub.
Di pihak lain, ada beberapa hal yang terasa mengganjal di
hatiku. Ketidakteraturan Bu Barrett ternyata membawa sejumlah
masalah. Pada suatu sore, waktu aku bertugas, Suzi bilang dia merasa
tidak enak badan?lalu langsung muntah di lantai dapur. Aku
menempelkan telapak tanganku di dahinya, dan pada saat itu aku baru
sadar bahwa badannya panas.
Setelah membersihkan dapur, aku memutar nomor telepon yang
ditinggalkan Bu Barrett?nomor telepon sebuah perusahaan penyalur
tenaga kerja, tempat dia bekerja part-time pada sore hari.Sebuah suara kasar terdengar menyahut, "Bengkel Hurley di
sini."
Bengkel Hurley? "Saya rasa tidak ada wanita bernama Bu
Barrett bekerja di situ, ya?" tanyaku.
"Maaf, Nak," jawab laki-laki yang menerima teleponku.
"Wah, bagus betul," kataku tanpa tertuju pada siapa pun sesaat
setelah meletakkan gagang telepon. "Rupanya Bu Barrett
meninggalkan nomor telepon yang salah."
Pada saat itu, Suzi muntah lagi.
Selesai membersihkan lantai untuk kedua kalinya, aku berusaha
mengingat-ingat apakah Bu Barrett pernah menyebutkan nama
perusahaan tempat dia bekerja. Tapi seingatku dia tidak pernah
mengatakannya.
Untung-untungan aku membuka halaman kuning buku telepon,
kemudian membaca satu per satu nama yang tertera di bawah
PERUSAHAAN PENYALUR TENAGA KERJA. Tapi tidak ada satu
nama pun yang kukenal. Kemudian Suzi mulai merengek-rengek lagi.
Kali ini aku langsung melarikan dia ke tempat cuci piring sebelum dia
muntah di lantai lagi.
Aku masukkan Marnie ke dalam boksnya, kemudian mengantar
Buddy ke rumah keluarga Pike. Setelah itu aku menggelar karpet di
lantai kamar mandi. Suzi dan aku menghabiskan waktu di sore itu
dengan duduk-duduk di situ, sambil membaca cerita. Beberapa kali
aku terpaksa menahan kepalanya di atas kakus, kalau dia ingin
muntah.
Aku merasa kasihan pada Suzi. Tapi aku sangat marah pada
ibunya.Ketika Bu Barrett pulang, aku langsung bercerita ?dengan
nada agak ketus?bahwa dia meninggalkan nomor telepon yang salah.
Dia memang minta maaf, tapi rasanya sudah agak terlambat untuk itu.
Kalau saja Suzi sedang tidak memerlukan ibunya pada saat itu, aku
pasti sudah berkata lebih banyak lagi pada Bu Barrett.
Dua hari kemudian, aku mulai ketularan Suzi. Akibatnya, aku
terpaksa nongkrong di kamar mandi selama berjam-jam. Mama dan
Jeff juga ketularan melalui aku. Keluarga Pike ketularan melalui
Buddy, yang sempat kutitipkan di sana ketika aku sibuk mengurusi
Suzi.
Suatu hari, ketika Bu Barrett meninggalkan rumahnya dengan
terburu-buru, Buddy memanggilnya dengan sedih, "Ma, bagaimana
dengan PR- ku..."
"Mama akan memeriksanya nanti malam, ya?" Bu Barrett
menjawab sambil tetap meneruskan langkahnya.
Buddy mulai menangis, lalu berlari ke kamarnya.
Aku menyusulnya, dan berhenti di ambang pintu kamarnya.
"Hei, Buddy. Ada apa? Apa aku boleh masuk?"
Dia tersedu-sedu. "PR-ku."
"Apakah ada yang bisa kubantu?"
"Aku perlu bantuan Mama." Dia berguling ke samping lalu
menatapku dengan pandangan sedih.
"Kamu betul-betul tidak mau kubantu? Aku termasuk murid
yang pintar, lho," aku berkata padanya. "Aku sudah duduk di kelas
tujuh."
Buddy berusaha untuk tersenyum. "Bukan itu. Kami sedang
belajar tentang keluarga. Lalu Bu Guru memberi tugas membuatpohon silsilah keluarga masing-masing, dimulai dari kakek dan nenek.
Kamu pasti tidak tahu nama-nama mereka. Aku juga tidak tahu.
Mereka biasa kupanggil Kakek dan Nenek dan Opa dan Oma. Dan
PR-ku harus selesai besok. Ini PR-ku yang pertama dan aku ingin
dapat nilai bagus."
"Oh, begitu."
"Mama sudah berjanji untuk membantuku," Buddy meratap,
"tapi Mama tidak punya waktu. Mama selalu pulang malam dan
terlalu capek untuk membantuku."
"Nah, kalau begitu, kita akan mempermudah pekerjaan ibumu,"
usulku. "Kita akan membuat pohon silsilah, tapi nama-nama yang
perlu diisi kita kosongkan dulu. Nanti ibumu tinggal mengisi nama-
nama tersebut. Kamu tahu berapa paman dan bibi yang kamu punya?"
Buddy mengangguk ragu-ragu.
Aku menyibukkan anak-anak perempuan dengan mainan-
mainan mereka, lalu mulai bekerja bersama Buddy. Ternyata
pekerjaannya tidak semudah yang kusangka. Aku harus banyak
bertanya dan bahkan dua kali menelepon Bu Pike. Tapi akhirnya kami
berhasil mengatur posisi sanak keluarga Barrett dalam pohon silsilah
itu. Kemudian aku menunjukkan pada Buddy bagaimana caranya
membuat kotak tempat nama-nama mereka, serta garis-garis, dan jarak
antarkotak Setelah semuanya selesai, hasilnya berupa sebuah pohon
silsilah indah yang masih kosong. Aku hanya bisa berharap bahwa apa
yang kami kerjakan itu cukup akurat. Sebab kalau sampai ada
kesalahan, Buddy harus banyak menghapus di sana-sini dan membuat
kotak-kotak baru.Seminggu kemudian, Buddy muncul di rumahku sepulangnya
dari sekolah. Sebelumnya ia belum pernah mampir ke rumahku.
Waktu aku membuka pintu, dia tidak mengucapkan sepatah kata
pun? cuma melambaikan selembar kertas berukuran besar. Kertas itu
ternyata menampilkan pohon silsilah keluarganya yang sudah terisi
penuh. Sebuah bintang emas tertempel pada bagian atasnya.
"Guruku menyukai pohon silsilah yang kubuat," Buddy berkata
padaku. "Terima kasih atas bantuanmu, Dawn."
"Terima kasih kembali, Buddy," ujarku, sambil memeluknya.
Tapi dalam hati aku berkata bahwa Bu Barrett-lah yang seharusnya
memeluk Buddy karena PR-nya mendapat nilai tertinggi di kelas.Bab 10TERNYATA, David Michael lebih berminat mengobrol
daripada makan kue. Stacey membuatkan sepiring biskuit tawar
berlapis selai kacang untuknya, dan juga menuangkan segelas jus
jeruk. Tapi David Michael nyaris tidak melirik hidangan yang tersaji
di hadapannya.
"Stacey," ujar David Michael, "waktu kamu pindah kemari,
apakah orang-orang itu memasukkan semua barang kalian ke dalam
truk?"
"Oh, ya," kata Stacey berusaha menenangkan hatinya.
"Semuanya. Tidak ada yang ketinggalan."
"Kamu yakin?"
"Aku yakin betul."
Tampang David Michael kelihatan seperti mau menangis.
"Kamu punya binatang piaraan?" tanyanya.
"Tidak," sahut Stacey agak bingung. Tapi tiba-tiba dia
menangkap apa yang dimaksud David Michael. "Oh, David Michael,"
serunya. "Mereka tidak akan membungkus dan memasukkan Louie ke
dalam truk. Truk tertutup bukan tempat yang tepat untuk seekor
anjing."
"Mudah-mudahan kamu benar. Louie tidak suka tempat yang
gelap."
"Tapi kamu kan cuma pindah ke seberang kota. Ibumu akan
membawa Louie naik mobilnya, lalu mengantarnya ke rumah Watson.
Louie suka naik mobil, kan?"
David Michael mulai berseri-seri mendengar kata-kata Stacey.
"Dia suka sekali!"
"Apa dia pernah pergi ke rumah Watson sebelumnya?"David Michael mengangguk. "Beberapa kali."
"Nah, kan. Dia bahkan sudah tahu ke mana dia akan dibawa.
Jadi tidak ada masalah, kan?"
Hening beberapa saat. Lalu, "Stacey, kadang-kadang truk yang
membawa barang pindahan mendapat kecelakaan."
"Masa, sih?" Stacey berkata. Dalam hati dia bertanya-tanya apa
maksud kata-kata David Michael itu.
"Kemarin aku melihat acara TV. Sebuah truk barang sedang
berjalan melewati pegunungan dan tiba-tiba terjadi kecelakaan. Truk
itu tergelincir lalu wuuuu"?David Michael memperagakan
bagaimana truk itu melayang memasuki jurang?"jatuh dari gunung
dan pintunya terbuka. Barang-barang berjatuhan ke luar dan seorang
pria melihat kecelakaan itu, dan menemukan boneka teddy bear yang
sudah remuk dan koyak-koyak tergeletak di tanah. Dia juga
menemukan sepeda roda tiga yang roda-rodanya sudah bengkok
semua."
"Tapi, David Michael, di Stoneybrook kan tidak ada
pegunungan. Cuma perlu waktu beberapa menit untuk berkendaraan
dari Bradford Court ke rumah Watson. Lagi pula, truk yang membawa
barang-barang kami melakukan perjalanan dari New York ke
Stoneybrook tanpa kejadian..."
"Ada lampu yang pecah."
"...Dan Dawn Schafer juga menggunakan truk untuk
memindahkan barang-barangnya dari California ke Connecticut.
Tidak ada masalah. Padahal mereka harus menempuh jarak lima ribu
kilometer.... Memang, aku tahu kalau para tukang angkut sempatmemecahkan sebuah lampu. Dan juga vas bunga. Tapi mereka kan
hanya orang-orang biasa, yang kadang-kadang membuat kesalahan."
"Pokoknya, mereka tidak boleh memindahkan stasiun ruang
angkasa milikku."
"Coba kamu bilang pada ibumu. Ibumu pasti tidak keberatan
membawa barang-barangmu di dalam mobilnya. Atau bisa juga kamu
bilang pada Charlie. Kalau kalian pindah nanti, dia kan bakalan sudah
punya SIM."
David Michael mengangguk. Dia mulai menggerogoti sepotong
biskuit tawar. Stacey punya perasaan bahwa sebetulnya bukan
masalah truk yang membuat anak itu cemas. Tapi dia menunggu
dengan sabar.
David Michael mengembalikan biskuitnya ke atas piring. Lalu
keluarlah serentetan pertanyaan yang menjadi unek-uneknya. "Kapan
kami akan pindah ke rumah Watson? Siapa yang akan menjadi
sahabatku di sana? Aku harus pindah ke sekolah mana? Apa aku
masih bisa bertemu dengan Patrick dan Frankie?" (Sahabat-
sahabatnya saat ini.) "Di mana aku akan tidur? Di mana ibuku akan
tidur? Di mana Louie akan tidur? Bagaimana kalau Louie mencoba
pulang ke rumahnya yang lama?" Pertanyaan David Michael tak ada
habis-habisnya.
Stacey berusaha untuk menjawab semuanya, tapi dia tidak
yakin bahwa David Michael akan berhenti kuatir sebelum keluarga
Thomas selesai memindahkan barang-barang mereka.
Pada saat pertemuan rutin Baby-sitters Club keesokan harinya,
Stacey menjelaskan hal itu pada Kristy. "Kalian baru pindah tiga atauempat bulan lagi," katanya. "Dan selama itu David Michael akan terus
merasa waswas dan kuatir."
"A'utauta'ika'itidak'isa'uata'paa'a." Mulut Kristy masih dipenuhi
oleh tiga potong permen coklat berisi peppermint. Claudia, si pecandu
camilan, dikirimi sekotak permen seperti itu oleh bibi dan pamannya
yang baru saja berkunjung ke Atlantic City di New Jersey. Dia
menyembunyikan permen itu di dalam kamarnya, berikut permen Ho-
Ho, coklat Ding-Dong, dan permen coklat M&M. Dan pada awal
pertemuan itu dia langsung membagi-bagikannya. Mulut kami semua
dipenuhi oleh permen dan coklat yang lengket di gigi, kecuali Stacey.
Dia punya penyakit diabetes dan tidak boleh makan yang manis-
manis.
Stacey ketawa cekikikan. "Apa katamu?" tanyanya pada Kristy.
Kristy menelan beberapa kali. "Aku tahu," dia akhirnya
mengulangi jawabannya, "tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa. Ibuku
dan Watson baru akan menikah pada akhir September. Ibuku juga
tahu bahwa David Michael merasa takut dan waswas. Itulah sebabnya
ibuku sudah beberapa kali membicarakan rencana kepindahan kami
dengan David Michael. Menurutku, malah sudah terlalu sering."
"Apa maksudmu?" tanyaku.
"Yah, aku keberatan kalau setiap hari harus membahas
kepindahan kami. Aku sendiri rasanya juga kurang sreg?meskipun
dengan alasan-alasan yang berbeda."
Dengan perasaan tak menentu Mary Anne menatap ke luar
jendela. "Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya kalau
kamu sudah tidak menjadi tetanggaku lagi," dia berkata pada Kristy."Sepanjang hidupku, kalau aku melihat ke luar jendela samping
kamarku, yang kulihat adalah jendela kamarmu."
"Yeah," sahut Kristy dengan suara parau. "Aku juga begitu."
Agar suasana sedih tidak berlarut-larut, aku lalu berkata pada
Kristy, "Nanti, kalau kamu melihat ke luar jendela samping di
kamarmu yang baru, akan kamu lihat jendela kamar Morbidda
Destiny."


Baby Sitter Club 5 Dawn Dan Tiga Pengacau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semuanya tertawa.
"Selama ini," ujar Kristy, "kita selalu beranggapan bahwa
pindah ke seberang kota bukanlah suatu masalah yang besar. Aku
akan tetap bersekolah di Stoneybrook Middle School. Dan kita akan
tetap berteman dan segala sesuatunya akan tetap seperti sekarang.
Tapi bagaimana dengan pertemuan rutin Baby-sitters Club? Dan
bagaimana caranya aku bisa menjaga Jamie Newton dan anak-anak
keluarga Pike dan semua anak yang ada di sini? Tidak ada orangtua
yang mau menjemputku jauh-jauh ke rumah Watson, sementara
rumah kalian ada di sekitar sini. Kalian hanya perlu berjalan kaki
untuk menuju rumah para klien."
Hening. Semuanya mengunyah sambil merenung. Suasana pada
saat itu menyerupai suasana di suatu upacara pemakaman.
Setelah beberapa saat Claudia angkat bicara. "Mungkin tidak
akan separah itu kejadiannya. Kamu akan mendapatkan klien-klien
baru, Kristy. Kamu bakalan punya segudang tetangga baru yang
masing-masing punya anak?mereka semua memerlukan kamu. Dan
kalau kamu kewalahan dengan tugas-tugasmu, kami akan datang
membantu. Kepindahanmu malahan bisa memperluas jangkauanBaby-sitters Club. Bayangkan saja, klien-klien kita akan tersebar di
seluruh sudut kota!"
Luapan semangat Claudia segera menjalar pada teman-
temannya. Dia, Mary Anne, Kristy, dan aku langsung mengulurkan
tangan masing-masing untuk mengambil permen. Stacey juga
mengulurkan tangannya untuk mengambil sepotong biskuit tawar.
"Tapi bagaimana dengan pertemuan rutin?" tanya Kristy.
Tampangnya kelihatan murung lagi. "Siapa yang akan mengantarku
ke Bradford Court tiga kali seminggu?"
Tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan itu. Tiba-tiba
perutku mulai terasa tidak enak.
"Bisakah kamu bersepeda kemari?" tanya Stacey.
"Memang kamu harus menempuh jarak beberapa kilometer tapi
kamu tidak keberatan, kan... hitung-hitung sekalian olahraga."
"Tentu saja aku tidak keberatan," Kristy menyahut. "Aku sangat
suka naik sepeda. Tapi ibuku pasti tidak akan mengizinkan aku
bersepeda dari rumah Watson ke Bradford Court."
"Kenapa tidak?" tanyaku. "Biasanya ibumu mengizinkan kamu
untuk pergi bersepeda ke pusat kota atau ke tempat-tempat lain yang
cukup jauh."
"Tapi hanya kalau ada yang menemaniku. Pergi beramai-ramai
jauh lebih aman daripada pergi sendirian," balas Kristy.
"Oh."
"Maksudku, ibuku tidak kelewat ketat, sih, dia cuma berhati-
hati. Dia punya batasan-batasan tertentu yang tidak boleh dilanggar.
Lagi pula, coba kita umpamakan bahwa ibuku membolehkan aku
bersepeda ke seberang kota sendirian. Oke. Dengan memperhitungkanlampu lalu lintas dan arus kendaraan pada jam pulang kantor, aku
kira-kira akan memerlukan setengah jam untuk perjalanan kemari, dan
setengah jam lagi untuk perjalanan pulang. Itu berarti aku harus
meninggalkan rumah Watson pada jam lima untuk pertemuan jam
setengah enam. Dan aku baru akan sampai di rumah pada jam
setengah tujuh malam. Nah, di musim dingin, suasana pada jam segitu
sudah gelap gulita."
Masalah yang kami hadapi semakin rumit saja.
"Hei, teman-teman," kata Claudia tiba-tiba. "Kita tidak pakai
otak, nih! Kita berasumsi bahwa pertemuan rutin klub harus terus
diadakan di kamarku ini. Padahal siapa bilang harus begitu? Ini hanya
kebiasaan kita, karena sejak berdirinya Baby-sitters Club, pertemuan
rutin selalu diadakan di sini. Tapi itu tidak berarti bahwa kamarku ini
satu-satunya tempat untuk mengadakan pertemuan rutin, kan?"
"Tapi kita membutuhkan pesawat telepon," Mary Anne berkata.
"Yah, pesawat telepon kan ada di seluruh pelosok kota," ujar
Claudia. "Kita bisa saja memindahkan tempat pertemuan, dan
mengadakannya di mana saja yang kita rasa cocok.".
"Tapi nanti para klien tidak tahu bagaimana mereka harus
menghubungi kita," kataku. "Kita harus menetapkan satu tempat
dengan satu nomor telepon."
"Oh, betul juga." Kristy, yang semangatnya baru saja timbul
kembali, mulai putus asa lagi. Dia meletakkan tangannya di atas
pangkuannya. "Semuanya gara-gara Watson," dia menggerutu.
"Hei, Kristy, jangan menyalahkan Watson, dong," kataku
dengan lembut. "Ini kan bukan kesalahannya. Ini bukan kesalahan
siapa pun.""Memangnya kamu tahu apa?" Kristy bahkan tidak menoleh
sedikit pun ke arahku.
"Mungkin aku tahu lebih banyak dari apa yang kamu sangka,"
ujarku dengan suara pelan. "Kamu bukanlah satu-satunya anak di sini
yang orangtuanya bercerai."
"Memang tidak. Tapi akulah satu-satunya anak di sini yang
ibunya akan menikah dengan orang tolol yang kaya raya, yang tinggal
di daerah para jutawan?enam kilometer dari sini. Dan akulah satu-
satunya anak di sini yang mungkin terpaksa meninggalkan klub. Klub
yang aku dirikan sendiri."
"Oh, Kristy!" aku berseru. Kata-katanya yang judes tidak
kupedulikan lagi. "Kamu tidak boleh meninggalkan Baby-sitters
Club!"
"Tidak. Kami tidak akan mengizinkannya," sahut Mary Anne
dengan kukuh. "Kami tidak akan bisa menjalankan klub tanpa kamu.
Rasanya tidak lengkap kalau kamu tidak ikut."
"Yeah," ujar Claudia. "Tidak ada Kristy, berarti tidak ada klub."
Kami saling berpandangan dengan mata terbelalak ketika
menyadari arti kata-kata yang diucapkan Claudia.Bab 11
KEESOKAN harinya adalah permulaan libur Memorial Day.
Semua sekolah di Stoneybrook diliburkan sampai hari Selasa. Di
California, biasanya kami memanfaatkan sebagian besar akhir pekan
yang panjang ini untuk bersantai di pantai. Tapi itu tidak mungkin
dilakukan di Connecticut. Kami memang tinggal dekat pesisir dan
cuaca pun cerah sekali, tapi temperatur telah turun kembali sampai
kira-kira dua puluh satu derajat Celcius. Mary Anne berusaha
meyakinkanku bahwa kejadian itu normal. Tapi aku tidak peduli. Pada
hari Sabtu pagi, aku ngomel-ngomel di depan radio dan membentak si
pembaca ramalan cuaca sebagai otak udang. (Padahal beberapa hari
sebelumnya, dia kupuji-puji sebagai tukang sulap dan sebagai santo.)
Waktu aku mendengar bahwa temperatur samudera (maksudnya
temperatur Samudera Atlantik) hanya sepuluh derajat Celcius, aku
langsung memberi julukan si bego pada pembaca ramalan cuaca di
radio.
Meski demikian, ibuku, yang merencanakan untuk mengadakan
piknik pada hari Sabtu, tetap pada keputusannya bahwa piknik akan
berlangsung di luar rumah. Aku memberitahunya bahwa piknik itu
bakalan menjadi piknik pertama yang dihadiri orang-orang berjaket
bulu.Mama hanya menatap ke langit sambil berkata, "Ya ampun,
Dawn. Di luar sana suasananya sangat menyenangkan."
Aku sama sekali tidak sependapat.
Namun aku tetap berusaha untuk menyambut acara itu dengan
gembira. Mula-mula, piknik itu hanya berupa pesta kecil yang
diadakan untuk orangtuaku dan kakek-nenekku. Tapi kemudian
jumlah pesertanya semakin membengkak. Pertama-tama, Mama
mengundang Pak Spier dan Mary Anne. Lalu aku minta izin untuk
mengundang keluarga Thomas, keluarga Kishi, dan keluarga McGill.
Kemudian Jeff minta izin untuk mengundang keluarga Pike. Dan
akhirnya aku memutuskan untuk juga mengundang keluarga Barrett
dan (karena terpaksa) keluarga Prezzioso.
Kebanyakan dari mereka tidak dapat hadir, karena sudah punya
acara masing-masing. Pokoknya, selain kakek dan nenekku dan
keluarga Spier, satu-satunya keluarga yang bisa datang hanyalah
keluarga Barrett, di samping juga Kristy dan David Michael. (Bu
Thomas akan mengadakan pesta untuk sanak keluarganya dan Watson
serta anak-anaknya, pada malam Minggu. Jadi dia pasti sibuk
mempersiapkannya sejak pagi. Tapi Kristy bilang dia akan datang
pada acara piknik kami. Aku merasa senang sekali mendengar kabar
itu.)
Pada hari Sabtu pagi, dengan memakai sweter dan celana jeans
biru, aku membantu Mama menyiapkan meja dan perabot taman
lainnya di halaman belakang. Kemudian, sementara Jeff menyemprot
semuanya dengan air (perabot taman kami sudah penuh debu, karena
selama ini disimpan di gudang jerami) dan menghias halamanbelakang dengan balon-balon, bendera-bendera, kertas krep, dan
lampion, Mama dan aku sibuk menyiapkan makanan.
"Apakah Mama sudah mempertimbangkan bahwa ada orang
yang tidak suka tahu?" aku bertanya sambil mengamati dapur yang
mirip kapal pecah.
"Ah, masa, sih?" dia menjawab dengan suara tidak jelas.
"Dan, Ma, sebelum para tamu datang siang ini, sebaiknya
Mama ganti kaus kaki dulu. Masa kaus kaki yang kanan dan yang kiri
warnanya tidak sama, sih? Pak Spier tentu lebih senang kalau Mama
memakai sepasang kaus kaki dengan warna yang sama. Dan anting-
anting Mama juga."
"Anting-anting Mama? Memangnya kenapa? Mama yakin betul
bahwa dua-duanya sama, Sayang. Mama baru saja memakainya,
kok.... Hmm, menurutmu, apakah gula pada resep ini bisa diganti
dengan madu mentah?"
"Anting-anting yang Mama pakai tidak cocok satu sama
lainnya. Memang keduanya berbentuk kembang dan berwarna emas,
tapi ukurannya berbeda. Sini, biar aku yang baca resepnya dulu." Aku
mulai merasa gelisah.
"Aku punya akal," ujarku secara tiba-tiba. "Daripada repot-
repot membuat makanan, kenapa kita tidak pergi ke toko bahan
makanan saja? Di sana kita bisa membeli hamburger, hot dog, kue
berisi kismis, dan salad kentang. Itu saja yang kita hidangkan. Kakek
kan ahli dalam hal panggang-memanggang. Kita tidak perlu memasak
sama sekali."
"Daging merah?" seru Mama. "Hot dog? Kamu tahu hot dog itu
mengandung apa?""Ya, dan aku tidak berani membayangkannya. Kalau boleh
memilih, aku pasti akan memilih makan tahu. Tapi kita sekarang
berada di Connecticut. Dan di Connecticut, orang biasa memanggang
makanan mereka. Terutama pada waktu piknik. Kan lebih baik kalau
kita menyediakan makanan yang bakal disukai oleh para tamu kita."
Aku membayangkan Kristy sedang melihat ke meja makan yang berisi
buah kering, salad tahu, dan sayuran mentah. Dia lebih baik kelaparan
daripada harus menyentuh makanan seperti itu.
"Mungkin kamu betul," Mama berkata. Aku berani bertaruh
bahwa ide untuk tidak memasak sebenarnya melegakan hatinya.
"Kamu yakin kita bisa membeli salad kentang yang sudah jadi?"
"Tentu saja. Di bagian makanan jadi di toko bahan makanan,
pasti ada. Aku sudah pernah melihatnya, kok. Bertong-tong
banyaknya. Bahkan kita bisa juga membeli salad sayuran hijau yang
siap dimakan. Mungkin memang agak mahal, tapi kalau begitu kita
kan tidak perlu mempersiapkan apa-apa lagi."
Hanya selama dua detik Mama mempertimbangkan usulku ini.
"Ayo! Tunggu apa lagi!" dia berseru. Lalu mendesah, "Huh, lega
sekali rasanya!"
Kami menyerbu masuk ke dalam mobil. Dalam perjalanan ke
pusat pertokoan, aku baru sadar bahwa kami tidak mempunyai alat
pemanggang. Jadi terpaksa kami beli juga. Memang kami agak boros
pagi itu, tapi pengeluaran itu sepadan dengan keuntungan yang kami
peroleh.
Dalam perjalanan pulang, mobil sudah dipenuhi dengan
makanan dan sebuah alat pemanggang besar merek Weber berwarna
merah. Sambil lalu aku berkata, "Ma, kalau tidak salah Mama pernahbercerita bahwa waktu Mama masih di high school, orangtua Mama
tidak menyetujui hubungan Mama dengan ayah Mary Anne."
"Betul, Sayang."
"Nah, kira-kira apa yang akan terjadi kalau mereka bertemu hari
ini?"
"Oh, tidak akan ada apa-apa. Kan kejadian itu sudah lewat
bertahun-tahun yang lalu," Mama berkata dengan lembut.
Tapi menurutku, Mama kelihatan agak waswas.
Para tamu diharapkan datang pada jam satu. Di California, jam
satu sama artinya dengan jam dua atau setengah tiga. Tapi di sini, di
Connecticut, tamu terakhir datang pada jam 13.15. Untungnya kami
sudah siap, karena tidak perlu menyiapkan apa-apa, kecuali memasang
alat pemanggang Weber yang baru dibeli. Halaman belakang sudah
dihias dan perabot taman sudah bersih semua. Yang harus kami
lakukan hanyalah membawa makanan keluar.
Setelah semuanya tertata rapi di atas meja, aku menarik Kristy
dan Mary Anne ke samping, sehingga kami bisa mengamati para tamu
yang datang. Jeff, David Michael, Buddy, dan Suzi sedang bermain
bola. Bu Barrett memangku Matnie sambil mengobrol dengan Nenek.
Kakek sedang menghidupkan api pada alat pemanggang. Dan Mama
duduk berdekatan dengan Pak Spier, sambil sekali-sekali saling
berpandangan dan tersenyum-senyum.
"Tetap awasi mereka," aku berkata pada sahabat-sahabatku. "Ini
kesempatan baik untuk melihat bagaimana sikap mereka kalau mereka
sedang berduaan. Dan tolong awasi bagaimana sikap kakek dan
nenekku terhadap ayahmu, Mary Anne. Pasti akan ada adegan yangmenarik. Mungkin kita harus... mencegah terjadinya krisis," ujarku,
mengingat kata-kata yang pernah diucapkan oleh Bu Barrett.
"Oke, deh," bisik Mary Anne.
"Hei," Kristy berseru. Dia kelihatan agak bingung. "Mary Anne,
kenapa ayahmu tidak memakai kacamatanya?"
"Sekarang dia pakai lensa kontak," sahut Mary Anne.
"Ayahmu?"
Mary Anne mengangguk.
"Memakai lensa kontak?"
"Yap."
Aku mulai ketawa cekikikan.
"Wah, ini baru kejutan. Rasanya aku tidak bisa mempercayai
penglihatanku," kata Kristy. "Betul-betul mencengangkan. Tolong
ambilkan aku kursi, dong. Aku perlu duduk, nih!"
Dengan gaya dibuat-buat Mary Anne menarik sebuah kursi
taman. Kristy juga tidak mau kalah. Dengan gaya pemain sandiwara
kawakan, dia menjatuhkan diri ke atas kursi itu, sambil menekan
dadanya dengan sebelah tangan.
Setelah berhasil menenangkan diri kami masing-masing, aku
menarik sebuah kursi panjang ke sebelah Kristy. Mary Anne dan aku
duduk di situ. Kemudian kami bertiga meneruskan acara mengawasi
para tamu.
Aku tidak membutuhkan waktu lama untuk mengetahui bahwa
nenekku cuma pura-pura mengobrol dengan Bu Barrett. Dia selalu
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan jawaban
panjang dari lawan bicaranya itu. Dan sementara Bu Barrettmengoceh, Nenek secara sembunyi-sembunyi melirik ke tempat
Mama dan Pak Spier duduk.
Kakek juga terus mengawasi pasangan itu. Memang dia sedang
menyalakan api di alat pemanggang, tapi selain itu tidak ada lagi yang
dikerjakannya. Dia tinggal menunggu sampai arangnya membara.
Walaupun begitu, Kakek tetap berdiri di depan alat pemanggang,
sambil sekali-sekali mengorek-ngorek tumpukan arang yang terbakar.
Tapi sebagian besar waktunya digunakan untuk mengawasi sepasang
merpati yang sedang dilanda asmara itu.
Sepasang merpati. Memang seperti itulah mereka. Kalau sampai
salah satu dari mereka ber-kukur?sekalipun Pak Spier?aku tidak
akan heran sedikit pun.
Aku mencoba membaca ekspresi wajah kakekku. Dia tidak
tampak marah. Aku menyikut Mary Anne kemudian Kristy.
"Bagaimana tampang kakekku menurut kalian?" tanyaku pada


Baby Sitter Club 5 Dawn Dan Tiga Pengacau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka.
"Menurutku, dia kelihatan ramah," ujar Kristy. "Baru sekali ini
aku berjumpa dengannya. Tapi aku berpendapat bahwa dia kakek
yang baik, walaupun kemejanya tidak begitu cocok dengan
pantalonnya."
"Bukan itu!" seruku. "Maksudku, kira-kira apa yang
dipikirkannya pada waktu dia mengawasi ibuku dan ayah Mary Anne?
Mary Anne, bagaimana pendapatmu?"
"Entahlah, aku tidak bisa menebaknya."
"Apakah kamu berpendapat bahwa tampangnya seperti orang
yang tidak menyetujui hubungan mereka?"
"Tidak juga, sih," jawab Mary Anne dan Kristy serempak."Apakah kalian berpendapat bahwa dia kelihatan teramat
bahagia?"
"Tidak juga," mereka menyahut.
"Teramat bangga?"
"Tidak."
Kami belum mendapatkan jawaban yang memuaskan.
"Bagaimana dengan nenekku?" tanyaku. "Dia juga terus-
menerus memperhatikan mereka, walaupun sepertinya dia sedang
bercakap-cakap dengan Bu Barrett."
"Itu juga sulit diduga," ujar Mary Anne. "Kalau kamu ingin
dengar pendapatku sejujurnya, nenekmu terpaksa pura-pura tertarik
pada percakapannya dengan Bu Barrett, sehingga di wajahnya tidak
ada tempat lagi untuk ekspresi yang lain."
Orang-orang dewasa memang sulit dimengerti. Kadang-kadang
mereka seakan-akan mempunyai beberapa wajah. Sepertinya mereka
memiliki topeng dan kita tahu itu tapi kita tidak bisa memastikan
apakah mereka sedang memakai topeng atau menampilkan wajah
mereka yang sesungguhnya. Kenapa mereka harus membuat segala
sesuatunya menjadi begitu rumit?
Acara piknik semakin menarik pada waktu acara makan
dimulai. Ibuku mendudukkan anak-anak kecil?Jeff, David Michael,
Buddy, dan Suzi?di kursi berukuran kecil yang khusus untuk anak-
anak. Kemudian dia mengatur Marnie dan tempat duduk para orang
dewasa. Mereka makan dengan cara prasmanan (mengambil makanan
kemudian duduk untuk makan dengan piring diletakkan di pangkuan
masing-masing), dan duduk di kursi yang disusun membentuk
setengah lingkaran. Ibuku membiarkan Mary Anne, Kristy, dan akumemilih sendiri tempat duduk masing-masing, sehingga kami bisa
mencari tempat yang tidak terlalu mencolok?yaitu di salah satu
ujung setengah lingkaran tersebut. Dari tempat itu, kami tetap bisa
mengawasi tingkah laku para orang dewasa.
Hal pertama yang menarik perhatianku adalah bahwa Kakek
duduk di sebelah Pak Spier dan berkata, "Nah, Richard, bagaimana
kabarnya Thompson, Thompson, dan Abrams?"
"Oh," jawab ayah Mary Anne, "saya sudah lama tidak bekerja
di situ."
"Oh?"
"Sejak empat tahun yang lalu, saya mulai merintis usaha
sendiri. Sekarang saya buka praktek di Stamford."
"Oh?"
"Ya. Dan usaha saya cukup maju. Mengundurkan diri dari
Thompson, Thompson, dan Abrams adalah keputusan terbaik yang
pernah saya ambil selama hidup saya."
"Oh?"
(Baru sekarang aku menyadari bahwa kata oh memiliki begitu
banyak arti, tergantung dari cara kata itu diucapkan. Oh yang
diucapkan Pak Spier bernada terkejut. Lalu oh pertama dari kakekku
kedengaran curiga. Oh kedua kedengaran kagum. Dan oh ketiga
kedengaran terpesona.)
Mary Anne dan aku saling berpandangan. Percakapan antara
kakekku dan ayah Mary Anne ternyata bisa berjalan dengan lancar.
Sesaat kemudian, nenekku beranjak mendekati mereka lalu
bertanya, "Richard, apakah kamu masih tinggal di Jalan Taylor?"
(Jalan Taylor terletak di daerah tempat Pak Spier dibesarkan.)"Ehm, tidak," ayah Mary Anne menjawab. "Kami tinggal di
Bradford Court. Ibu Mary Anne dan saya pindah dari Jalan Taylor
beberapa bulan sebelum Mary Anne lahir."
Sekali lagi Pak Spier kedengaran terkejut. Dalam hati dia
mungkin bertanya-tanya kenapa kakek dan nenekku tidak mengetahui
perkembangan ini. Sebenarnya, ibuku dan kedua orangtuanya jarang
sekali mendiskusikan masalah-masalah yang menyerempet bahaya.
Dan pada saat ini ada tiga masalah yang dianggap mengandung risiko,
yaitu perceraian orangtuaku, ayahku, dan ayah Mary Anne. Aku mulai
sadar bahwa ibuku mengundang Kakek, Nenek, dan Pak Spier dalam
pesta yang sama agar orangtua Mama bisa melihat dengan mata
kepala sendiri bahwa ayah Mary Anne telah berhasil dalam hidupnya,
sekaligus untuk memperlihatkan bahwa Pak Spier seorang pria yang
ramah dan normal.
Ketika acara makan hampir selesai, Kakek terlibat diskusi seru
tentang hukum perbankan dengan Pak Spier. (Kakekku adalah seorang
bankir.) Percakapan itu seakan-akan tak ada habis-habisnya. Kadang-
kadang mereka seperti berbantahan, tapi pada saat yang sama mereka
pun menikmati suasananya. Selebihnya mereka saling menyetujui
pendapat masing-masing, dan berbicara dengan serius.
Ibuku kelihatan sangat gembira melihat situasi seperti itu. Dia
mulai bisa bersikap santai, lalu melibatkan diri dalam percakapan
tentang pertunjukan Phil Donahue dengan Nenek dan Bu Barrett.
Kristy, Mary Anne, dan aku merasa puas bahwa semuanya
berjalan dengan lancar. Karena tak ada lagi yang perlu dicemaskan,
kami bertiga menyelinap ke gudang jerami. Kristy dan aku bergantian
berayun-ayun dengan tali di atas tumpukan jerami. Sementara ituMary Anne duduk di luar, di atas sebuah gulungan jerami sambil
melamun.
Belakangan, ketika para tamu hendak pulang, Bu Barrett
bertanya apakah aku bisa menjaga anak-anaknya seusai sekolah pada
hari Selasa yang akan datang. Aku kebetulan berhalangan, tapi Mary
Anne tidak punya acara pada hari itu. Karena itu, dialah yang
menerima tugas itu.
Aku memutuskan bahwa hari itu merupakan hari yang sangat
menyenangkan, walaupun udaranya agak dingin. Malam itu aku
bermimpi indah. Dalam mimpiku itu, ibuku dan Pak Spier menikah,
dan Mary Anne dan aku juga hadir di situ. Upacaranya sangat
mengesankan. Tapi yang mengherankan adalah bahwa pengantin
wanita dan pengantin prianya memakai jaket dan celana panjang
untuk main ski.Bab 12KETIKA Mary Anne pulang dari rumah keluarga Barrett sore
itu, yang pertama-tama dilakukannya adalah meneleponku. Dia betul-
betul jengkel.
"Dawn," dia berseru, "bagaimana sih caranya sampai kamu
betah begitu sering bertugas di rumah keluarga Barrett?"
"Apa maksudmu?" tanyaku.
"Apa maksudku?! Anak-anak itu seperti teroris, itu maksudku!
Kalau aku yang jadi ibu mereka, akan ku... Aku tidak tahu apa yang
akan kulakukan, tapi yang jelas, aku pasti sudah mengambil tindakan.
Tindakan yang drastis."
"Tapi kamu kan sudah pernah menjaga mereka sebelumnya,"
aku membantah.
Mary Anne mulai lebih tenang. "Memang, sih, dan waktu itu
pun mereka agak rewel. Tapi tidak seperti hari ini."
"Mungkin karena cuacanya." Stoneybrook telah diguyur hujan
selama tiga hari berturut-turut.
"Mungkin juga. Paling tidak itu salah satu penyebabnya. Tapi
kamu selalu bisa menyesuaikan diri dengan mereka. Mereka betul-
betul menyukaimu, Dawn. Sepertinya kamu punya sesuatu yang?
bagaimana ya menyebutnya??sesuatu yang bisa membuatmu cocok
dengan anak-anak itu. Aku sendiri merasa tidak punya kecocokan
sama sekali dengan mereka."
"Memang mereka menyukaiku," aku mengakui. Belakangan ini
Buddy bahkan semakin sering datang ke rumah kami. Dan sejak Suzi
belajar bagaimana menggunakan telepon, dia mulai sering
meneleponku, walaupun dia tidak tahu harus bicara apa. "Apa yang
mereka lakukan hari ini?" tanyaku pada Mary Anne."Seharusnya kamu tanya apa yang tidak mereka lakukan,"
sahutnya. Dia mulai menggambarkan kejadian di rumah keluarga
Barrett sore itu. Bagian pertama dari ceritanya kedengaran biasa-biasa
saja. Waktu Mary Anne memencet bel, Buddy, Suzi, dan Pow
membuka pintu. Buddy, yang seperti biasa memakai pakaian koboi,
lengkap dengan sepatu kataknya, mengarahkan pistol mainannya pada
Mary Anne.
Dia menyapa Mary Anne dengan, "Dezing, dezing. Bzzzzt,"
diikuti dengan pekikan gembira, "Kamu kena! Kamu mati! Kamu
harus mati!"
Meskipun begitu, Mary Anne tidak melarang Buddy bermain
tembak-tembakan. Dia cuma berkata, "Oke, tapi aku tidak akan mati
lama-lama, karena aku akan masuk ke dalam rumahmu. Ayo, orang
Mars, minggir dulu."
"Orang Mars?!" balas Buddy. "Aku bukan orang Mars. Aku
koboi dari Venus. Dan ini senjata buatan Venus." Buddy pasang kuda-
kuda menyerang. Dia berdiri tegak dengan kaki membuka lebar, dan
kedua tangannya menggenggam pistol mainan yang diacungkannya ke
depan. Pertama-tama dia mengarahkan senjatanya pada Mary Anne,
kemudian pada Pow. Tapi tiba-tiba dia menurunkan tangan, lalu
berbalik menghadap Suzi sambil memberikan Sinyal Bizzer.
Suzi mulai menangis.
Marnie, yang duduk sendirian di kursi tingginya di dapur
(dengan hanya memakai popok), ikut-ikutan menangis. (Kadang-
kadang air mata cepat menular.)
"Hai, Mary Anne!" panggil Bu Barrett sambil terburu-buru
menuruni tangga. Dia mengabaikan tangisan anak-anaknya, danlangsung memakai jas hujannya. Seperti biasa, dia bergegas keluar
rumah tanpa memberikan petunjuk-petunjuk pada si baby-sitter. Mary
Anne hanya sempat mendengarnya berseru, "Jangan lupa, Marnie
alergi terhadap coklat!" sambil melompat ke dalam mobilnya.
"Bagus," Mary Anne menggerutu, lalu menutup pintu depan.
Sore itu, Bu Barrett tidak pergi untuk wawancara pekerjaan.
Ada beberapa urusan yang perlu diselesaikan, dan Bu Barrett lebih
suka menyelesaikannya sendiri. Mary Anne bisa menduga apa
sebabnya.
Supaya anak-anak lebih teratur, Mary Anne menyuruh Buddy
keluar untuk mengajak Pow berjalan-jalan. Buddy minta izin untuk
memakai sepatu kataknya. Mary Anne bilang boleh, karena
menurutnya sepatu katak itu akan cukup menghambat perjalanan
Buddy dan Pow. Dan itu lebih baik.
Kemudian Mary Anne memberikan sepotong biskuit tawar pada
Suzi, lalu menyuruhnya mencari film Sesame Street di TV. Suzi
langsung berhenti menangis saat itu juga. Karena Suzi dan Buddy
sudah punya kesibukan masing-masing, Mary Anne bisa mengalihkan
perhatiannya pada Marnie.
"Oke, Marnie-o," dia berkata, sambil mengangkat gadis mungil
itu dari kursi tingginya. "Pertama-tama aku akan membersihkan kamu,
lalu mengganti popokmu, dan setelah itu aku akan membantumu
memakai pakaian."
"Ndak-ndak," ujar Marnie.
"Ya-ya," sahut Mary Anne.
Marnie menjerit-jerit sementara Mary Anne mengusap
wajahnya dengan air hangat, mengganti popoknya, dan memakaikanbajunya. Tapi setelah itu Marnie tiba-tiba berhenti menangis. Mary
Anne mendudukkannya di depan cermin dan berkata, "Nah, sekarang
kamu sudah cantik!"
Marnie pasang muka-jeleknya. Dia sudah kembali ceria.
Sementara Mary Anne berjalan menuruni tangga sambil
menggendong Marnie, Buddy dan Pow masuk lewat pintu belakang.
Buddy melepaskan tali pengikat Pow, lalu menggantungnya di dapur.
Kemudian dia menepuk-nepuk anjingnya itu dengan penuh kasih
sayang, berlari memasuki ruang bermain, dan memberikan Sinyal
Bizzer pada Suzi.
Seketika tangis Suzi meledak lagi.
Tangis Marnie pun ikut meledak.
Mary Anne terpaksa mulai dari awal lagi.
"Buddy," katanya, "kalau kamu hari ini sekali lagi mengirim
Sinyal Bizzer pada siapa pun?siapa pun ?kamu harus tinggal di
dalam kamarmu sampai ibumu pulang."
"Tidak, aku tidak mau."
"Ya, kamu harus. Aku yang berhak mengatur di sini, dan apa
yang kukatakan harus dikerjakan."
"Kamu akan bilang pada ibuku kalau aku nakal?"
"Mungkin juga."
"Huh, dasar tukang ngadu."
Mary Anne mengangkat bahunya. "Begitulah aturan mainnya."
Dia menoleh pada Suzi dan Marnie. "Oke, sekarang semuanya harap
diam. Kalian tahu apa yang akan kita kerjakan hari ini?"
"Pokoknya aku tidak mau membaca," jawab Buddy.
"Aku tidak mau mewarnai," sahut Suzi."Aku tidak mau nonton TV," kata Buddy.
"Dan aku tidak mau bermain Candy Land," ujar Suzi.
"Memang bukan itu acara kita hari ini," Mary Anne berkata.
"Aku tahu, kalian pasti sudah bosan bermain di dalam rumah melulu.
Karena itu kita akan keluar untuk berjalan-jalan di genangan air.
Setelah itu kita akan kembali ke dalam rumah untuk berkemah dan
membuat acara piknik."
"Wah, boleh juga!" seru Buddy.
"Jelas, dong," jawab Mary Anne. "Nah, untuk bermain-main di
luar, pertama-tama kalian harus mencari baju renang masing-masing.
Kalian tahu, kan, tempat menyimpannya?"
"Tahu, tahu!" seru Buddy dan Suzi, sambil melompat-lompat
kesenangan.
Marnie berusaha meniru tingkah kedua kakaknya. Tapi yang
bisa dilakukannya hanyalah menekuk lutut sambil memasang muka-
jelek.
"Oke, sekarang semuanya naik.ke kamar masing-masing dan
pakai baju renang kalian."
"Bagaimana dengan Marnie?" tanya Suzi.
"Dan bagaimana dengan kamu?" Buddy ingin tahu.
"Memangnya kamu bawa baju renang?"
"Tidak. Tapi itu tidak jadi masalah. Marnie dan aku tidak perlu
baju renang. Ayo, cepat naik dan ganti pakaian."
Buddy dan Suzi saling berebut menaiki tangga. Dalam sekejap
keduanya sudah muncul kembali, masing-masing memakai baju
renang. Mary Anne tidak dapat menahan rasa gelinya. Buddy ternyata
seorang anak laki-laki kurus dengan tulang lutut yang menonjol.Sedangkan Suzi tampak tembem dengan perut bundarnya yang
gendut.
"Cepat sekali," ujar Mary Anne. "Kalian apakan pakaian kalian
yang tadi?"
"Dilempar... ehm... dilempar ke lantai," jawab Buddy.
Mary Anne menunjuk ke arah tangga. "Kembali ke atas,"
katanya. "Kembali dan ambil pakaianmu. Letakkan di atas tempat
tidur?dengan rapi." Dia menoleh pada Suzi. "Di mana kamu taruh
pakaianmu?"
"Di tempat tidur bonekaku."
Sekali lagi Mary Anne menunjuk ke arah tangga.
Setelah berkeluh kesah, akhirnya Buddy dan Suzi kembali ke
bawah.
"Sekarang apa lagi?" tanya Buddy.
"Sekarang," kata Mary Anne, "Marnie dan aku akan membuka
sepatu kami. Marnie akan memakai sepatu botnya, dan kita semua
akan memakai jas hujan dan topi masing-masing. Setelah itu baru kita
bisa berjalan-jalan di genangan air di luar."


Baby Sitter Club 5 Dawn Dan Tiga Pengacau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tanpa sepatu?" tanya Suzi ragu-ragu.
"Hampir," sahut Mary Anne. Dia baru saja menemukan
sejumlah kelom?dengan berbagai macam ukuran?di dalam lemari,
dan langsung membagikannya pada Buddy dan Suzi.
"Aduh!" Buddy berseru.
Mary Anne dan anak-anak Barrett bergegas ke pintu depan
untuk berjalan-jalan menembus genangan air di luar. Cuaca hari itu
agak lembap, tapi cukup hangat. Mary Anne menggiring anak-anak ke
arah trotoar, di pinggir jalan raya. "Kalian boleh melompat-lompatsesuka hati ke dalam genangan air," dia berkata pada Buddy dan Suzi.
"Usahakan agar airnya bercipratan ke mana-mana."
"Iii-aa!" pekik Buddy, sambil berlari ke arah genangan air yang
cukup besar. "Bonsai!" Dia melompat ke dalamnya, dan genangan air
yang sudah menjadi hangat itu menyemprot ke mana-mana.
"Dia menciprati aku!" Suzi menuduh.
"Bagus," ujar Mary Anne. "Memang itulah tujuan permainan
ini. Kan kalian sudah memakai pakaian renang dan jas hujan. Pakaian
seperti itu memang harus basah."
"Oh," sahut Suzi. Kemudian, "Ceprot!" Dia melompat ke dalam
genangan air bersama-sama dengan Buddy. Mereka berdua berlari-lari
di atas trotoar.
Mary Anne mengikuti mereka sambil berjalan lambat-lambat
bersama Marnie. Anak itu juga suka kalau dimasukkan ke dalam
genangan air. Dia betah berlama-lama di situ, sambil mengentak-
entakkan sepatu botnya dan tertawa-tawa. Di antara dua genangan air,
dia akan berhenti untuk memeriksa setiap cacing yang dilihatnya. Dia
akan menyodok- nyodok binatang itu, tersenyum pada mereka, lalu
menengadah pada Mary Anne dan memasang muka-jeleknya.
Acara yang menyenangkan itu mengalami gangguan ketika Suzi
melemparkan seekor cacing ke arah Buddy. Dan Buddy berkata,
"Permainan ini punya peraturan, yaitu siapa yang melemparkan cacing
ke arah orang lain, dia sendiri harus memakan cacing itu. Nah, ayo
sekarang kamu harus menggigitnya." Dia menyodorkan cacing itu ke
depan wajah Suzi.
"Tidak mau, tidak mau, tidak mau!" Suzi mulai menangis lagi."Oke, semuanya," ujar Mary Anne. "Acara jalan-jalan sudah
selesai. Sekarang waktunya untuk berkemah di dalam rumah."
Sekembalinya di rumah, jas-jas hujan dan pakaian-pakaian
renang segera digantung supaya cepat kering, dan semuanya berganti
pakaian lagi. Kemudian Mary Anne membantu anak-anak mendirikan
"tenda", dengan cara menggelar selimut-selimut tua di atas meja yang
biasa digunakan untuk bermain kartu. Mereka menambahkan "kamar-
kamar" pada tenda mereka dengan cara membalik kursi-kursi dapur,
menempatkan kursi-kursi itu di samping meja, kemudian menutupi
semuanya dengan selimut-selimut lain.
"Kristy dan aku sudah sering membuat tenda seperti itu," Mary
Anne bercerita padaku lewat telepon, "tapi yang ini adalah tenda
terbesar yang pernah kubuat."
Anak-anak Barrett menyukai tenda mereka. Suzi dan Buddy
berebut memasukinya, lalu mulai bermain sambil berkhayal mengenai
berkemah di alam bebas, beruang-beruang liar, dan orang-orang dari
angkasa luar. Marnie juga menciptakan permainan sendiri, antara lain
mengintip Buddy, Suzi, dan Mary Anne dari bawah selimut penutup
tenda.
Pada saat acara piknik dimulai (Mary Anne menghidangkan jus
jeruk dan biskuit tawar), anak-anak ingin memakannya di dalam
tenda. Sesaat setelah mereka selesai makan, telepon berdering.
"Biar aku yang angkat!" teriak Buddy. "Itu telepon dari angkasa
luar."
"Sori," ujar Mary Anne, teringat pesan Bu Barrett yang
melarang anak-anaknya berbicara dengan ayah mereka. Di samping
itu, Mary Anne punya perasaan bahwa akulah yang meneleponnya.Buddy berlari keluar dari tenda. Mary Anne juga langsung
berdiri dan memburu Buddy. Dia mencapai telepon pada saat yang
sama dengan Buddy, tapi karena Mary Anne lebih tinggi, dialah yang
berhasil meraih gagang telepon duluan.
Merasa kesal, Buddy langsung mengirimkan Sinyal Bizzer pada
Mary Anne.
"Halo," ujar Mary Anne. "Di sini tempat tinggal keluarga
Barrett. Sebentar, ya?" Dia meletakkan sebelah telapak tangannya
pada gagang telepon. "Buddy, kamu terpaksa kuhukum. Ayo, masuk
ke kamarmu."
Buddy menjulurkan lidahnya ke arah Mary Anne, lalu
melompat menaiki tangga.
"Halo?" Mary Anne mengulangi lagi.
"Halo," terdengar suara seorang pria. "Dengan siapa saya
bicara?"
"Ini Mary Anne Spier, baby-sitter di sini. Siapa ini?"
"Pak Barrett. Bisakah saya bicara dengan Buddy? Atau Suzi?"
"Maaf, tapi mereka... mereka sedang bermain di rumah teman,"
Mary Anne berbohong.
"Oh, bagus," sahut Pak Barrett, sambil membanting gagang
teleponnya.
Mary Anne mulai merasa takut. Sebenarnya ada apa, sih?
Kenapa Bu Barrett tidak mengizinkan Pak Barrett berbicara dengan
anak-anaknya? Apakah Pak Barrett marah pada Mary Anne? Apakah
dia tahu kalau Mary Anne berbohong?
Mungkin saja, Mary Anne berkata dalam hati.Beginilah adegan yang terjadi pada waktu Bu Barrett pulang.
Buddy marah karena dia mendapat hukuman, dan Bu Barrett juga
marah karena Buddy nakal dan karena Pak Barrett menelepon.
"Dia hanya boleh berbicara dengan anak-anak setiap dua
minggu pada hari Selasa. Itu sudah diputuskan oleh pengadilan pada
waktu kami bercerai. Dan hari ini bukanlah hari Selasa yang telah
ditentukan. Tidak seharusnya dia mau menang sendiri dan
menentukan sendiri jadwalnya," Bu Barrett berkata dengan berapi-api.
"Dan, Buddy, ada apa sih dengan kamu? Mama sudah dapat
laporan dari gurumu; dan sekarang kamu menyusahkan Mary Anne.
Mama tidak punya waktu untuk segala tetek bengek ini, anak muda.
Mama tidak sanggup bertindak sebagai ibu sekaligus sebagai ayah
untukmu, mengatur rumah tangga, mencari pekerjaan, dan
membereskan semua masalah yang kamu buat. Tak seorang pun
sanggup mengerjakan itu semua."
Buddy, yang berdiri di ujung tangga, mulai menangis terisak-
isak.
Di kaki tangga, Bu Barrett juga melakukan hal yang sama. Tapi
kemudian dia merentangkan tangannya, dan Buddy berlari
menghambur ke dalam pelukan ibunya. Mary Anne, yang sudah
mendapatkan upahnya, berjingkat-jingkat ke pintu depan.Bab 13
HUJAN masih terus turun selama beberapa hari berikutnya.
Walaupun hari-hari menjadi sangat suram, aku tidak peduli?setidak-
tidaknya, aku tidak terlalu peduli. Suasana seperti itu hampir seperti
California di musim hujan. Sementara itu, ibuku sedang dalam
keadaan ceria. Dia berjalan mondar-mandir di dalam rumah sambil
tersenyum-senyum dan bersiul-siul. Keadaan di rumah mulai kelihatan
lebih teratur. Tiga hari berturut-turut berlalu dengan menyenangkan,
karena aku tidak perlu repot-repot menegur ibuku untuk mengganti
pakaiannya.
Hampir setiap malam ibuku berbicara di telepon dengan Pak
Spier.
Sebaliknya, tingkah laku anak-anak Barrett semakin rewel
selama hari-hari hujan. Pada hari Sabtu, empat hari setelah Mary Anne
bertugas di rumah keluarga Barrett, aku mendapat giliran untuk
menjaga anak-anak itu. Matahari belum memancarkan seberkas sinar
pun, sejak Mary Anne dan anak-anak Barrett membuat acara berjalan-
jalan menembus genangan air. Ramalan cuaca mengatakan bahwa
hujan akan berhenti sebelum tengah hari, dan diikuti oleh cuaca
mendung.Satu jam sudah berlalu, semenjak Bu Barrett meninggalkan
rumahnya. Aku sendiri sudah mulai uring-uringan, menghadapi anak-
anak Barrett yang kali ini minta ampun rewelnya. Belum pernah aku
melihat mereka serewel hari ini. Mereka tidak mau melakukan apa
pun, tidak juga berjalan-jalan menembus genangan air atau membuat
tenda di dalam rumah.
"Bagaimana kalau kita menciptakan sebuah permainan?" aku
mengusulkan.
"Malas, ah!" sahut Buddy.
"Membuat sendiri cerita komik?"
"Ah, terlalu sulit," Suzi berkata sambil menggerutu. Dia duduk
di salah satu sudut sofa, sambil memakai pakaian untuk berjemur,
sepatu bertumit tinggi kepunyaan ibunya, dan topi berupa baskom
plastik di kepalanya.
"Kalau begitu, kalian mau mengerjakan apa?" tanyaku.
"Tidak tahu, ah! Kamu sendiri mau mengerjakan apa?" Buddy
balik bertanya.
"Bagaimana kalau kita ambil selembar kertas besar, dan
membuat lukisan untuk ditempel di dinding?"
"Tidak," sahut Buddy.
"Atau kalian mau pura-pura menjadi makhluk-makhluk dari
angkasa luar?"
"Tidak," ujar Suzi, sambil mengintipku dari bawah tepi topi
baskom plastiknya.
Rasanya aku hanya membuang-buang waktu dengan berusaha
membujuk mereka.Aku mendesah sambil melihat ke luar jendela. Pada saat itu aku
baru memperhatikan bahwa ternyata hujan sudah berhenti?betul-
betul sudah berhenti. Awan kelabu masih menggantung rendah, dan
halaman depan masih tergenang. Tapi yang penting, tidak hujan lagi.
"Hei! Coba kalian lihat kemari!" seruku. "Hujan sudah berhenti.
Ayo, kita bermain di luar."
"Yea!" seru Buddy dan Suzi.
Mereka berebutan menuju pintu belakang.
"Hei-hei! Tunggu sebentar," ujarku. "Buddy, pakaianmu sudah
cukup lengkap untuk bermain di luar?kamu tinggal memakai sepatu
botmu. Tapi, Suzi, pakaianmu belum lengkap, begitu juga Marnie. Di
luar sangat dingin, lho. Kamu boleh keluar duluan, Buddy. Sebentar
lagi kami akan menyusul."
Suzi langsung mulai merengek-rengek. "Aku mau keluar,
Dawn. Kamu tidak adil. Buddy boleh keluar."
"Kamu juga akan keluar," aku berkata padanya. Dengan tangan
yang satu aku menarik Suzi menaiki tangga, sedangkan dengan tangan
yang lain aku menggendong Marnie. "Tapi kamu perlu memakai
celana panjang, blus, baju hangat, dan sepatu bot. Marnie juga begitu,
kok. Kalau kalian nekat keluar dengan pakaian seperti ini, kalian akan
beku nanti."
Pertama-tama aku membantu Suzi berganti pakaian. Dari
jendela kamar Suzi dan Marnie, aku bisa melihat Buddy di halaman
depan. Dia sudah memakai sepatu botnya, juga jaket kebanggaannya
yang menampilkan lambang Mets (klub baseball yang bermarkas di
New York). Dengan cekatan dia melempar-lempar bola baseball.Setelah itu aku mulai mengurus Marnie di meja bayi. Aku perlu
waktu agak lama untuk memakaikan bajunya, karena popoknya perlu
diganti. Dan begitu aku selesai menggantinya, dia sudah
membasahinya lagi. Akibatnya aku harus mengerjakan pekerjaan yang
sama untuk kedua kalinya.
Akhirnya anak-anak perempuan siap juga. Selesai memakai
sepatu bot masing-masing, kami bertiga keluar melalui pintu garasi.
"Ambil sarung tanganmu," aku berkata pada Suzi. "Buddy ada
di halaman depan. Dia sedang bermain dengan bola baseball.
Mungkin nanti dia juga akan melemparkan bolanya padamu."
"Oke!" Suzi segera mencari sarung tangannya. Setelah itu, dia,
Marnie, dan aku berlari-lari menuju halaman depan. Kami
menemukan bola baseball Buddy tergeletak di depan garasi, tapi
Buddy sendiri tidak kelihatan. Di mana dia?
"Dia pasti sedang berjalan memutar ke halaman belakang,"
ujarku, sambil memungut bola itu. Kami mencarinya ke halaman di
belakang rumah.
Ternyata Buddy juga tidak ada di situ.
"Buddy?" panggilku. "Buddy? Bud-dii!"
Aku memasang telinga untuk mendengar jawabannya, tapi yang
bisa kudengar saat itu hanyalah suara tetesan air hujan yang jatuh dari
pohon, dan suara klakson mobil pada jarak yang agak jauh.
"Bud-diiii!" Suzi berteriak.
"Mungkin dia bersembunyi," aku menduga-duga. "Buddy!
Kalau kamu ingin bermain petak umpet, bukan begini caranya. Coba
kamu keluar dulu dari persembunyianmu, supaya kita bisa memilih
siapa yang bersembunyi dan siapa yang berjaga."Tidak ada jawaban.
Aku mulai merasa jengkel. "Buddy, kalau kamu tidak mau
keluar sekarang, kamu akan mendapat hukuman. Aku sungguh-
sungguh, lho!"
"Barangkali dia ada di rumah keluarga Pike," Suzi berkata.
"Mungkin dia sedang bermain dengan Nicky."
"Mungkin juga, ya," aku menjawab. "Tapi biarpun begitu, dia
tetap akan mendapat hukuman. Seharusnya dia bilang padaku kalau
mau pergi ke sana."
Aku memasukkan Marnie ke dalam keretanya. Setelah itu kami
bertiga berjalan menuju rumah keluarga Pike. Suzi memencet bel. Bu
Pike yang membuka pintu.
"Hai, Dawn," ujarnya. "Hai, Suzi dan Marnie. Aduh, senang
sekali dikunjungi kalian." Dia mengulurkan tangannya ke arah Marnie
untuk menggelitik kakinya.
"Halo," sahutku. "Bu Pike, apakah Buddy ada di sini? Saya
sedang bertugas menjaga anak-anak ini. Buddy bermain di luar
beberapa waktu yang lalu. Tapi sekarang saya tidak bisa menemukan
dia. Saya pikir, dia mungkin pergi ke sini untuk bermain dengan
Nicky."
Bu Pike mengerutkan keningnya. "Tidak, setahuku Buddy tidak
ada di sini. Tapi tunggu dulu. Aku akan panggil Nicky. Mungkin dia
tahu ke mana Buddy pergi." Bu Pike berbalik lalu memanggil Nicky.
Beberapa saat kemudian, anak itu muncul di ambang pintu.
"Sayang," ujar ibunya, "Dawn sedang mencari Buddy. Kamu
tahu di mana dia sekarang? Apakah dia datang ke sini?""Tidak," sahut Nicky. "Aku juga sedang menunggu-nunggu dia,
karena aku mau memamerkan walkie-talkie-ku yang baru. Dia pasti
belum pernah melihat walkie-talkie secanggih ini."
"Tapi dia belum datang, ya?" tanya Bu Pike lagi.
Nicky menggelengkan kepalanya.
"Apakah dia meneleponmu?" tanyaku.
"Tidak."
"Kalau begitu," kataku, dengan senyum yang dipaksakan, "saya
kira dia ada di suatu tempat di sekitar sini. Baiklah, saya akan pulang
dulu ke rumah keluarga Barrett untuk mencarinya sekali lagi."
"Coba hubungi keluarga Murphy. Dan keluarga Spencer," usul
Bu Pike. "Dan cepat beri kabar kalau kamu belum berhasil
menemukan dia dalam waktu setengah jam."
"Oke," jawabku.
Dengan terburu-buru aku mendorong kereta Marnie ke rumah
keluarga Barrett. Suzi harus berlari-lari mengejarku agar tidak
ketinggalan.
Tidak ada alasan untuk panik, aku terus-menerus berusaha
menenangkan diri sendiri. Kami berada di lingkungan yang besar
dengan segudang anak-anak. Buddy pasti berada di suatu tempat di
sekitar sini.
Walaupun begitu, jantungku berdetak keras dan aku mulai
merasa gelisah. Buddy adalah tanggung jawabku. Aku harus tahu di
mana dia berada.
Sesampainya di rumah keluarga Barrett, aku memasukkan
Marnie ke dalam boksnya. Sepertinya anak itu juga merasakan


Baby Sitter Club 5 Dawn Dan Tiga Pengacau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kecemasanku. Kemudian Suzi dan aku memeriksa seluruh ruangan didalam rumah, dan setiap sudut di halaman rumah dengan saksama,
namun tanpa hasil. Aku menghadapi dua kemungkinan: Pertama,
Buddy bersembunyi di suatu tempat yang sukar ditemukan; dan
kedua, dia memang betul-betul tidak ada di rumah.
Aku menelepon keluarga Murphy dan keluarga Spencer. Tapi
mereka pun tidak melihat Buddy. Pak Murphy lalu memberikan nama
dan nomor telepon empat keluarga lain, dan aku menelepon mereka
satu per satu.
Tak ada yang tahu di mana Buddy berada.
Dengan perasaan kacau balau karena panik, aku menelepon Bu
Pike. "Saya sudah mencarinya ke mana-mana dan menelepon semua
tetangga," seruku dengan napas tersengal-sengal, "tapi saya tidak bisa
menemukan Buddy."
"Kamu tenang saja, Dawn," sahut Bu Pike. "Coba kamu telepon
lagi keluarga Spencer dan keluarga Murphy, sementara aku akan
menelepon para tetangga yang lain. Kita semua akan menyebar untuk
mencari anak itu. Aku yakin bahwa dia pasti ada di sekitar sini."
Dua puluh menit kemudian, sekelompok orang, termasuk Pak
dan Bu Pike dan ketujuh anak mereka (Jordan tidak ikut, karena
sedang kursus piano), berkumpul di depan rumah keluarga Barrett. Bu
Pike yang mengatur mereka.
"Semuanya menyebar dan mencari Buddy," dia memberi
instruksi pada kami. "Pergi dalam grup... berdua atau bertiga. Anak-
anak kecil harus disertai seorang dewasa. Kembali kemari kalau ada
sesuatu yang perlu dilaporkan. Aku dan Dawn akan tetap berada di
sini menunggu telepon, siapa tahu sewaktu-waktu Buddy menelepon
ke rumahnya."Para tetangga menyebar dengan perasaan tegang. Bu Pike dan
aku kembali ke dalam rumah. Kemudian aku membawa Marnie ke
kamarnya untuk tidur siang. Setelah anak itu tertidur, aku berlari ke
dapur. Bu Pike sedang membuatkan sepotong sandwich untuk Suzi.
"Apakah kamu sudah menelepon Bu Barrett?" tanya Bu Pike
padaku.
"Saya tidak bisa menghubunginya," jawabku. "Dia pergi ke
Greenvale untuk berbelanja. Saya tidak tahu dia pergi ke toko yang
mana."
Greenvale adalah kota bersejarah yang berjarak sekitar lima
puluh kilometer dari Stoneybrook. Gedung-gedung di sepanjang jalan
utama di kota itu sudah dipugar, sehingga keadaannya persis seperti
dua ratus tahun yang lalu. Dan di sepanjang jalan itu ada banyak toko
tua yang sangat unik dan menarik. Kota itu telah menjadi obyek
wisata yang sangat menyenangkan.
"Oh, Greenvale," ujar Bu Pike. "Kalau begitu, kurasa kamu
memang tidak akan bisa menghubunginya. Kecuali... apakah Bu
Barrett mengatakan bahwa dia akan makan siang di sana? Kita bisa
mencoba menghubunginya dengan cara menelepon semua restoran
yang ada di Greenvale."
Aku menggelengkan kepala. "Dia cuma bilang bahwa dia akan
pergi berbelanja."
"Oh, kalau begitu, kurasa lebih baik kita tidak meneleponnya.
Dia hanya akan panik dan ngebut pulang."
Dengan perasaan gelisah, aku mondar-mandir ke pintu depan
lalu kembali ke dapur. "Aduh, kenapa sampai sekarang belum jugaada yang menemukan Buddy?" tanyaku. "Seberapa jauh anak sekecil
dia bisa berjalan?"
"Aku tidak tahu, Sayang," ujar Bu Pike, "tapi dia pasti
kembali."
"Bagaimana kalau dia mendapat kecelakaan dan cedera?" aku
berseru tiba-tiba. "Bagaimana kalau dia memanjat pohon lalu jatuh
atau tertubruk mobil? Mungkin dia sekarang sedang tergeletak dalam
keadaan tidak sadar di suatu tempat, dan itulah sebabnya kenapa dia
belum juga pulang ke rumah."
"Sebaiknya kamu jangan berpikir ke arah sana," kata Bu Pike.
Dia membimbingku ke dapur, lalu menyuruhku duduk di seberang
Suzi. Kemudian dia meletakkan segelas susu di hadapanku.
Aku tidak kepingin meminumnya. "Pernah sekali saya
membaca berita tentang seorang anak kecil yang terjatuh ke dalam
tangki kotoran," ujarku. "Buddy mungkin mengalami nasib yang
sama, jatuh ke salah satu tangki kotoran. Atau..."
Pada saat itu telepon berdering. Langsung saja aku menyambar
gagang telepon.
"Halo. Tempat tinggal keluarga Barrett di sini. Buddy,
kaukah..."
"Halo?" terdengar suara wanita. "Di sini The Stoneybrook
News. Apakah Anda berminat untuk berlangganan? Kami
menawarkan potongan harga istimewa untuk..."
"Tidak, terima kasih," aku memotong kata-katanya. "Maaf."
Langsung saja aku meletakkan gagang telepon. "Langganan surat
kabar," aku berkata pada Bu Pike.
Dia kelihatan kecewa."Dawn?" ujar Suzi. "Ada orang di pintu depan."
Bu Pike dan aku memburu ke pintu depan. Ternyata Pak
Murphy, Pak Prezzioso, dan Mallory Pike yang datang.
"Aku cuma ingin melaporkan," ujar Pak Murphy, "bahwa kami
belum menemukannya. Kami bertiga sudah menyusuri High Street,
dan telah memeriksa halaman belakang rumah-rumah di sepanjang
Slate Street."
Beberapa menit kemudian Vanessa Pike, Bu Prezzioso, dan
Jenny tiba. Ternyata mereka juga belum berhasil menemukan Buddy.
Sesaat setelah mereka pergi, Jordan Pike datang. "Hai, Dawn,"
dia menyapaku. "Hai, Ma. Aku baru saja membaca pesan Mama di
rumah, dan aku langsung kemari. Ada apa, sih? Kok banyak orang di
luar sana?"
"Sayang, Buddy hilang. Semua orang berusaha mencarinya.
Apakah kamu pernah melihat dia hari ini?"
"Tentu saja, Ma. Dan dia tidak hilang," sahut Jordan.
Rasanya aku bisa melompat-lompat karena gembira. "Di mana
dia? Di mana dia?" seruku.
"Dia sedang mengikuti kursus."
"Kursus? Kursus apa?" tanyaku. Bu Barrett memang bukan tipe
orang yang teratur, tapi dia tidak akan lupa mengatakan padaku kalau
salah seorang anaknya harus pergi ke tempat kursus?atau
mungkinkah dia seteledor itu? "Suzi, coba ke sini sebentar," aku
memanggil.
Suzi berlari keluar dari dapur, lalu ikut berkerumun bersama
Jordan, Bu Pike, dan aku di teras depan. "Suzi, apakah Buddymengikuti semacam kursus?seperti kursus piano atau kursus
melukis?" aku bertanya padanya.
Dia mengerutkan keningnya. "Tidak...."
"Kamu yakin betul?"
"Betul, kok...."
"Sayang, kenapa kamu berpikir bahwa Buddy pergi ke tempat
kursus?" Bu Pike bertanya pada Jordan.
"Karena waktu Bu Katz dan Sandy menjemputku untuk kursus
piano, aku melihat Buddy dijemput seseorang. Jadi kupikir..."
"Jadi kamu melihat Buddy dijemput seseorang pagi ini?" Bu
Pike berseru.
Jordan mengangguk.
Bu Pike menoleh padaku. Wajahnya memucat saking
tegangnya. "Aku akan menelepon polisi sekarang juga," katanya.
Dengan perasaan kacau balau, aku mengikutinya ke dalam
rumah.Bab 14
SETELAH BU Pike menelepon polisi, segala sesuatu mulai
berjalan dengan sangat cepat, sehingga bagiku semua kejadian di
siang itu terasa sangat kabur.
Pertama-tama Suzi mulai menangis?dengan sangat keras. Jadi
waktu Mallory untuk kedua kalinya datang ke rumah keluarga Barrett,
ibunya menyuruh dia membawa Suzi, Claire, dan Margo ke rumah
keluarga Pike, supaya anak-anak itu bisa beristirahat siang. Dengan
begitu, keadaan di rumah keluarga Barrett bisa agak tenang. Di
samping itu, anak-anak tidak perlu melihat kedatangan polisi ke situ.
Sesaat setelah Mallory pergi, Bu Spencer datang, sambil
membawa sebuah sepatu kets kecil berwarna merah. Sepatu itu
tampak berlumpur dan seperti habis kehujanan. "Aku menemukan ini
di dekat saluran air di High Street," dia melaporkan. "Bukan
kepunyaan Buddy, kan?"
Aku menarik napas lega. "Bukan, untung saja. Ukurannya
terlalu kecil, dan tadi dia memakai sepatu bot."
Polisi datang. Mereka berlima. Dua di antara mereka pergi
sesaat setelah mendapatkan foto terakhir Buddy. (Aku mengambilnya
dari atas meja di ruang keluarga, lengkap dengan bingkainya.) Salah
seorang polisi mengajukan berbagai pertanyaan padaku, sementaradua polisi yang lain menanyai Jordan. Sepertinya mereka lebih tertarik
pada Jordan daripada padaku.
Berulang kali mereka menanyakan hal yang sama pada anak itu:
Seperti apa mobil yang kamu lihat? Apakah kamu melihat nomor-
polisinya? Apakah kamu bisa menggambarkan seperti apa tampang
pengemudi mobil itu? Laki-laki atau perempuan?
Jordan mulai bingung, lalu ketakutan, dan akhirnya ia berseru
sambil berusaha menahan air mata, "Saya tidak tahu, oke? Rumah
kami berjarak tiga rumah dari sini, lagi pula saya tidak begitu
memperhatikannya. Bu Katz baru saja memundurkan mobilnya
setelah menjemput saya. Dan waktu kami membelok ke jalan raya,
saya melihat sebuah mobil berhenti di pinggir jalan di depan rumah
keluarga Barrett. Dan saya melihat Buddy masuk ke dalamnya. Cuma
itu yang saya tahu."
"Apakah warna mobilnya biru?" tanya salah seorang polisi.
"Ya."
"Dan kamu tidak memperhatikan pengemudinya?"
"Tidak."
"Apakah Buddy kelihatan takut waktu masuk ke mobil itu?
Apakah dia kelihatan seperti dipaksa?"
"Tidak, dia hanya melompat melalui pintu yang terbuka dan
masuk ke dalamnya."
"Apakah kamu mengenali mobil itu? Pernahkah kamu
melihatnya di sekitar sini?"
"Saya tidak tahu. Mobil biasa-biasa saja." Air mata mulai
menetes lagi di pipi Jordan. Cepat-cepat dia mengusapnya dengan
punggung tangan, lalu melihat berkeliling sambil tersipu-sipu.Sebagian besar dari para tetangga sudah berkumpul di situ, dan Jordan
merasa malu kalau menangis di depan mereka.
Pak Pike melingkarkan lengannya di pundak anaknya itu. "Ada
pertanyaan lain?" dia bertanya pada polisi.
"Tinggal sedikit lagi," jawab seseorang. "Jordan, saya tahu
bahwa kami telah menanyakan ini tadi, tapi apakah kamu betul-betul
tidak melihat pengemudinya? Masa kamu tidak bisa menceritakan
pada kami, apakah dia seorang pria atau seorang wanita?"
Jordan menarik napas, lalu mengeluarkannya perlahan-lahan.
Dia sedang berusaha untuk menahan rasa marahnya. "Saya tidak
memperhatikannya," dia berkata setelah beberapa saat. "Yang saya
lihat cuma Buddy, bukan mobilnya atau pengemudinya."
"Ini pertanyaan yang terakhir," ujar si polisi.
"Jam berapa kamu melihat Buddy masuk ke dalam mobil itu?"
(Kurasa pertanyaan itu tolol, karena aku sudah memberitahu
mereka bahwa Buddy menghilang antara jam sebelas dan jam sebelas
lewat seperempat. Tapi mungkin mereka harus melaksanakan tugas
menurut prosedur yang berlaku.)
Jordan menoleh pada Bu Pike. "Ma, jam berapa Bu Katz
menjemputku?"
"Jam sebelas seperempat, Sayang."
"Sebelas seperempat," Jordan berkata pada si polisi. "Kursus
piano saya mulai jam setengah dua belas."
Polisi itu menganggukkan kepalanya, lalu membuat beberapa
catatan. ebukulawas.blogspot.com
Aku baru saja selesai menjawab pertanyaan yang diajukan oleh
polisi yang ketiga. Dia ingin tahu baju apa yang tadi dipakai Buddy,berapa umurnya, di mana ibunya, apakah ada kejadian yang tidak
biasa sepanjang pagi dan siang hari?dan masih segudang pertanyaan
tentang ayah Buddy. Secara khusus dia ingin tahu di mana Pak Barrett
tinggal, dan apa yang kuketahui tentang perceraian mereka. Dia
kelihatan kecewa waktu aku menjawab bahwa aku tidak tahu di mana
ayah Buddy tinggal, dan bahwa aku tidak tahu apa-apa tentang
perceraian mereka. Tapi dia tampak tertarik waktu kubilang bahwa Bu
Barrett tidak suka kalau mantan suaminya menelepon anak-anak
mereka.
Ketika dia selesai menanyaiku, aku langsung terduduk di lantai
tempatku berdiri. Aku menundukkan kepala, sehingga rambutku jatuh
menutupi wajahku, dan air mataku mulai mengalir. Aku menangis dan
menangis.
Beberapa saat kemudian aku merasakan sebuah tangan
mengelus punggungku.
"Dawn?" ujar suara yang menyejukkan hatiku.
Ternyata ibuku. Rupanya ada yang meneleponnya. Mungkin Bu
Pike. Pokoknya, pada saat itu ibuku sudah duduk di sebelahku. Tanpa
mengeluarkan sepatah kata pun, aku bersandar padanya. Dia
melingkarkan lengannya di bahuku dan memelukku untuk beberapa
saat.
Setelah merasa agak baik, aku duduk tegak. "Kurasa aku harus
kembali bekerja," ujarku sambil menyeka air mata. "Marnie akan
bangun sebentar lagi, dan para polisi akan berusaha mencari alamat
Pak Barrett."
Mama menepuk-nepuk punggungku. "Kamu anak yang tabah.
Mama sangat bangga, Dawn.""Aku tidak keberatan kalau Mama tetap di sini," aku berkata
padanya.
Dia tersenyum. "Aku juga bermaksud begitu. Polisi
memutuskan untuk mengadakan usaha pencarian, walaupun Jordan
melihat Buddy dijemput seseorang. Jeff dan Mama akan membantu
mereka. Kami akan berada di sekitar sini."
"Terima kasih, Ma," ujarku. "Terima kasih banyak."
Selama satu jam kemudian, polisi berganti-ganti datang dan
pergi. Mereka memeriksa rumah untuk mencari buku alamat atau apa
saja yang dapat memberi petunjuk tentang Pak Barrett. Tapi mereka
tidak menemukan apa-apa. Bu Barrett kelihatannya telah
menyingkirkan segala informasi yang berkaitan dengan mantan
suaminya itu. Aku bahkan sempat menelepon Suzi untuk menanyakan
apakah dia tahu tempat tinggal ayahnya, tapi yang dikatakannya
hanyalah, "Dia tinggal di apartemennya."
Aku mengurus Marnie, yang sudah terbangun dari tidurnya dan
kelaparan. Kadang-kadang polisi mengajukan pertanyaan, kadang-
kadang mereka perlu memakai telepon. Di bawah pimpinan para
polisi, tim pencari mulai bekerja. Mereka dibantu enam ekor anjing
herder.
Aku memberi makan Marnie. Kemudian aku membawanya
keluar ke teras dan membimbingnya berjalan-jalan di halaman depan.
Aku mendendangkan lagu anak-anak untuknya. Marnie pasang muka-
jeleknya.
"Anak lucu," ujarku.
Telepon berdering.
Aku langsung mengangkat Marnie dan berlari ke dapur."Halo?" kataku tergesa-gesa.
"Halo?" sebuah suara kecil menyahut. "Dawn?"
"Buddy, ini kamu?" seruku.
"Ya aku..."
"Buddy, di mana kamu? Kami semua kuatir setengah mati. Di
mana kamu?"
"Di pompa bensin."
"Di pompa bensin? Apa... di mana..." Aku tidak tahu harus
menanyakan apa padanya. "Bagaimana kamu bisa sampai ke sana?


Baby Sitter Club 5 Dawn Dan Tiga Pengacau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siapa yang menjemputmu tadi?"
"Papa."
"Ayahmu?"
"Yeah, tapi seharusnya aku tidak pergi bersama dia tadi. Pasti
kamu kuatir, a..." Klik, klik. Hubungan teleponnya terganggu. Suara.
Buddy tiba-tiba melemah.
"BUDDY? BUDDY?" aku berteriak-teriak.
Secara samar-samar aku bisa mendengarnya berkata, "Dawn?
Wah, gimana sih telepon ini?" Dia pasti memakai telepon umum.
Sesaat sebelum hubungan terputus, dia berseru, "Kami sedang
dalam perjalanan pulang, Dawn. Oke? Dawn? Kami sedang dalam
perjalanan pu..."
"Buddy!" seruku.
Pada saat itu, seseorang merebut gagang telepon dari tanganku.
Aku memekik lalu membalik badan dengan cepat.
Ternyata salah seorang polisi. "Buddy menelepon, Buddy
menelepon!" aku mengoceh. "Dia bersama ayahnya. Dia ada di pompabensin di suatu tempat. Dia bilang dia sedang dalam perjalanan
pulang."
Polisi yang bernama Detektif Norton itu tampak kebingungan.
"Tapi saya tidak mendengar suara apa-apa di sini," ujarnya sambil
menempelkan telinganya ke gagang telepon. Kemudian dia memutar
nomor telepon kantor polisi.
Aku mulai mengkhayal. Aku membayangkan bahwa Pak
Barrett akan datang, bahwa polisi akan melihat Buddy pulang dalam
keadaan selamat, bahwa mereka akan pergi, dan bahwa para tetangga
juga akan melakukan hal yang sama, dan bahwa Bu Barrett akan
pulang tanpa mengetahui kejadian tadi.
Sayangnya, Bu Barrett datang sekitar lima belas menit
kemudian. Dia melihat para tetangga yang berkerumun bersama tim
pencari dari kepolisian (mereka belum berhenti mencari, meskipun
sudah ada telepon dari Buddy), dan mendapati dua polisi sedang
minum kopi di dapurnya.
Wajahnya menjadi pucat, dan dia meletakkan kantong-kantong
belanjanya ke lantai. "Dawn, apa yang terjadi?" dia berseru.
Aku berdehem. "Ehm, Buddy telah menghilang pagi ini, dan
Jordan Pike melihat dia dijemput naik mobil oleh seseorang. Jadi Bu
Pike memanggil polisi dan semua orang ikut mencari Buddy."
"Oh, Tuhan." Bu Barrett terduduk di sebuah kursi.
"Tapi Buddy sudah menelepon beberapa saat yang lalu. Dia ada
bersama ayahnya. Saya tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi yang
jelas, Buddy bilang dia sedang dalam perjalanan pulang. Oh, dan Suzi
ada di rumah keluarga Pike. Dia baik-baik saja."
Bu Barrett kelihatan terpukul."Apakah Anda baik-baik saja, Nyonya?" tanya Detektif Norton.
"Ya, tidak apa-apa, terima kasih," Bu Barrett menjawab cepat-
cepat. Dia menempelkan tangannya di dahi. "Saya hanya mencoba
untuk berpikir... Saya yakin sekarang bukan giliran Ham?Hamilton,
mantan suami saya?sekarang bukan giliran dia untuk bertemu
dengan anak-anak. Setidak-tidaknya saya rasa..." Bu Barrett berdiri
dan bergegas ke dapur. Di dekat telepon ada kalender untuk mencatat
perjanjian-perjanjian. Dia membalik-balik beberapa halaman. "Ooh,"
ujarnya. "Akhir pekan ini memang giliran dia. Saya yang keliru. Tapi
saya heran, kenapa dia cuma mengambil Buddy, dan kenapa..." Bu
Barrett tampak kebingungan sekali.
Dua puluh menit kemudian, Pak Barrett belum juga datang.
"Maaf, Nyonya, saya tidak bermaksud menakut-nakuti Anda,"
Detektif Norton memulai, "tapi apakah perceraian Nyonya dengan
suami Nyonya berlangsung dengan baik-baik?"
"Tidak," Bu Barrett menjawab. "Kenapa?"
"Karena," ujar detektif itu, "dewasa ini banyak anak hilang
berasal dari keluarga yang orangtuanya bercerai. Mereka dibawa oleh
ayah atau ibu yang ingin mengasuh mereka, tapi tidak diberi hak
untuk itu oleh pengadilan."
"Oh, tidak," seru Bu Barrett dengan tajam. "Ham dan saya
memang punya masalah, dan saya tahu bagaimana perasaannya karena
dia jarang sekali bertemu dengan anak-anak. Tapi dia tidak akan
pemah menculik mereka."
"Apakah Anda yakin? Seorang ayah mungkin saja melakukan
hal-hal yang nekat demi anak-anaknya."Bu Barrett menuang secangkir kopi untuk dirinya. Dia
menghirupnya sambil terus berpikir. Tapi sebelum dia sempat
mengucapkan apa-apa, kami mendengar suara bantingan pintu mobil.
Adegan berikutnya adalah Buddy yang menyerbu masuk ke dapur,
diikuti seorang pria tinggi yang kelihatan salah tingkah.
Buddy berlari ke arah ibunya, lalu memeluknya. Kemudian dia
berlari ke arahku dan memelukku. "Maafkan aku, Dawn," ujarnya.
"Aku lapar sekali. Kita masih punya kue-kue?"
Aku mencari kue yang diminta Buddy, sementara polisi
mempersilakan Pak Barrett duduk, dan langsung mengajukan berbagai
pertanyaan dengan bersungguh-sungguh. Ternyata, di awal minggu
Pak Barrett mulai merasa kesal, karena Bu Barrett untuk kesekian
kalinya mengacaukan jadwal, dan lupa bahwa hari ini giliran mantan
suaminya untuk bertemu dengan Buddy, Suzi, dan Marnie. Pak Barrett
lalu memutuskan untuk memberikan pelajaran pada mantan istrinya.
Rencananya begini: Pada hari Sabtu dia akan mengambil anak-
anaknya, lalu menunggu sampai Bu Barrett menyadari kesalahannya.
Dia menghentikan mobilnya di depan rumah keluarga Barrett, dan
melihat Buddy sedang sendirian di halaman depan. Pada saat itu, dia
memutuskan bahwa tindakan yang paling baik adalah cepat-cepat
membawa Buddy, tanpa mencari anak-anak perempuannya. Dan
itulah yang dilakukannya. Dia mengajak Buddy ke taman hiburan dan
mengajaknya makan siang, tapi Buddy tampaknya kurang gembira.
Waktu Pak Barrett menanyainya, Buddy menjawab bahwa dia
menguatirkan aku. Dia yakin aku pasti cemas karena tidak tahu ke
mana dia pergi. Pada saat itu Pak Barrett baru sadar bahwa Bu Barrett
ternyata tidak ada di rumah. Pak Barrett mulai gelisah membayangkanapa yang akan dilakukan oleh seorang baby-sitter kalau dia menyadari
bahwa anak asuhannya telah menghilang entah ke mana. Oleh sebab
itu, dia langsung memutar mobilnya untuk memulangkan Buddy.
Dalam perjalanan pulang, mereka sempat berhenti sebentar di sebuah
pompa bensin. Pak Barrett sudah mencoba menelepon ke rumah
mantan istrinya, tapi selalu saja terdengar nada sibuk. Dia bahkan
tidak tahu bahwa Buddy sudah menelepon ke rumah sampai mereka
kembali masuk ke mobil. (Buddy menelepon ketika ayahnya sedang di
kamar kecil.)
Untuk kali ini, polisi hanya memberikan peringatan keras pada
Pak Barrett. Tetapi mereka menganjurkan agar keluarga Barrett
mendiskusikan pengaturan waktu bertemu dengan anak-anak bersama
para pengacara mereka. Sesaat sebelum aku meninggalkan rumah itu,
aku berkata pada Bu Barrett bahwa besok aku akan datang lagi.
Ada sesuatu yang harus kukatakan padanya.Bab 15
Bu BARRETT dan aku sedang duduk di beranda belakang
rumah keluarga Barrett. Sebenarnya hari itu bukan giliran Pak Barrett
untuk bertemu dengan Buddy, Suzi, dan Marnie, tapi Bu Barrett telah
mengusulkan agar mantan suaminya mau membawa anak-anak
mereka pada hari itu?mengingat keteledoran yang telah
dilakukannya kemarin.
Rumah jadi sepi. Belum pernah aku datang ke rumah keluarga
Barrett dalam keadaan begitu sepi. Tidak ada suara kaki-kaki kecil
yang berlari-lari, atau suara-suara teriakan, atau mainan-mainan yang
jatuh. Bu Barrett menyajikan teh es dan mengeluarkan sepiring kue-
kue kering.
Kami berdua menambahkan gula ke dalam gelas teh masing-
masing, lalu mengaduk dan menghirupnya.
"Nah, Dawn," ujar Bu Barrett, "kamu ingin membicarakan soal
apa?"
Aku meletakkan gelasku, lalu menarik napas dalam-dalam. "Bu
Barrett," kataku, "sebetulnya saya sangat menyukai Buddy, Suzi, dan
Marnie, tapi saya sudah tidak bisa lagi menjadi baby-sitter mereka."
Bu Barrett memandangku dengan cemas. ''Tidak bisa? Kenapa,
Dawn?""Karena kejadian kemarin."
"Pak Barrett? Kami akan menyelesaikan masalah ini. Kami
akan membicarakannya dengan pengacara kami, persis seperti yang
diusulkan para petugas polisi kemarin. Bahkan mungkin juga dengan
seorang penasihat perkawinan. Kamu tidak akan menemui masalah
lagi dengan mantan suamiku."
"Tapi bukan cuma itu yang saya maksud," jawabku.
"Masalahnya adalah..." Bagaimana caranya memberitahu Bu Barrett
bahwa masalah yang sebenarnya justru dia sendiri? "Masalahnya
adalah banyak persoalan yang harus saya hadapi terjadi karena
kekeliruan yang... kekeliruan yang telah Ibu buat," aku menyelesaikan
kalimatku dengan terburu-buru.
Bu Barrett mengerutkan alisnya. Aku tidak dapat menyalahkan
dia. Bagaimanapun, aku cuma anak kecil berumur dua belas tahun,
dan sekarang aku mengatakan bahwa dia teledor.
"Saya juga menyesal," kataku, "tapi saya tidak bisa menjadi
baby-sitter yang baik, tanpa sedikit bantuan dari para orangtua. Kan
saya tidak mengenal anak-anak Ibu sebaik Ibu sendiri. Saya
memerlukan Ibu untuk mengatakan segala sesuatu tentang mereka?
misalnya bahwa mereka punya alergi terhadap sesuatu. Dan saya
harus tahu di mana Ibu berada kalau saya sedang bertugas menjaga
mereka. Kalau Ibu ada urusan di lebih dari satu tempat, itu memang
soal lain. Tapi kalau Ibu berada di suatu tempat tertentu, sebaiknya
saya diberitahu nomor teleponnya."
"Nomor telepon yang tepat," Bu Barrett menyambung sambil
berpikir. Aku tahu dia sedang teringat pada Bengkel Hurley."Ya," ujarku. "Tapi ada yang lebih penting lagi dari semua itu.
Saya membutuhkan... saya membutuhkan keteraturan. Dan saya tidak
bisa terus-menerus mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga. Dan
kemarin, saya sangat ketakutan. Coba Ibu tebak, apa lagi yang telah
terjadi? Buddy dan Suzi mulai tergantung pada saya?bahkan terlalu
tergantung. Buddy datang pada saya dengan segala masalah
sekolahnya, dan Suzi sering menelepon. Memang, kadang-kadang dia
tidak tahu harus berkata apa, tapi di lain waktu dia mengadukan
kenakalan Buddy atau melaporkan kecelakaan kecil yang terjadi di
rumah Ibu. Saya sangat menyayangi Buddy dan Suzi, Bu Barrett. Dan
Marnie juga. Tapi menurut saya, mereka seharusnya lebih sering
datang pada Ibu daripada saya. Maksud saya, Ibu adalah ibu mereka.
Bukan saya."
Bu Barrett tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya menatapku.
Seperti biasa, penampilannya sangat mempesona?wajahnya tampak
segar dan pakaiannya sangat serasi. Bu Barrett sangat cantik. Dia
selalu tampil mempesona, tapi lain halnya dengan rumahnya, atau
anak-anaknya. Aku telah memutuskan bahwa menjadi baby-sitter bagi
mereka bukan saja terlalu riskan dan melelahkan, tapi juga tidak baik
untuk keluarga itu. Aku tidak membantu mereka. Kehadiranku di sana
justru memberi kesempatan pada Bu Barrett untuk terus bertindak
terburu-buru dan tidak teratur. Dan selama ada aku untuk mengurus
segala sesuatu, Bu Barrett tidak perlu menanganinya sendiri.
Karena Bu Barrett tidak mengatakan apa-apa, aku berdiri.
"Maafkan saya, Bu," kataku. "Itulah sebabnya kenapa saya tidak bisa
menjadi baby-sitter di sini lagi. Anak-anak Ibu membutuhkan seorang
ibu, bukan seorang baby-sitter. Saya sudah membicarakan masalah inidengan Baby-sitters Club, dan mereka semua sependapat dengan saya.
Para anggota yang lain setuju dengan tindakan saya ini."
Bu Barrett tiba-tiba menemukan suaranya lagi. "Oh, Dawn,
tolong tunggu sebentar. Jangan pergi, dulu. Kamulah baby-sitter
terbaik yang pernah kutemui. Anak-anak juga mengagumimu. Mereka
terus-menerus berbicara tentang kamu. Kurasa mereka akan sakit hati,
kalau kamu tiba-tiba berhenti menjaga mereka."
"Yah, tapi saya masih akan berkunjung kemari sekali-sekali.
Dan saya juga akan bertemu dengan mereka, kalau saya sedang
bertugas di rumah keluarga Pike atau di rumah keluarga Prezzioso."
"Apakah tidak ada jalan keluar yang lain?" tanya Bu Barrett.
"Misalnya?"
"Bagaimana kalau aku memintamu datang sepuluh atau lima
belas menit lebih pagi dari biasanya? Dengan begitu aku punya waktu
untuk berbicara denganmu sebelum pergi. Aku bisa memberimu
nomor-nomor telepon dan informasi-informasi penting. Dan kamu
juga bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan."
"Bagaimana, ya..."
"Dan aku akan berusaha agar rumah kami selalu dalam keadaan
lebih teratur."
"Buddy dan Suzi bisa membantu Ibu," aku berkata padanya.
"Merekalah yang selama ini membantu saya mengerjakan pekerjaan
rumah tangga. Mereka sudah mulai terbiasa dengan semua itu."
"Mungkin," Bu Barrett melanjutkan, "kalau kamu memutuskan
untuk tetap menjadi baby-sitter kami, kadang-kadang aku bisa
memberikan beberapa tugas khusus padamu dan memberikan
tambahan uang ekstra untuk itu. Kurasa cara itu lebih adil.""Entahlah..."
"Tolong kamu pertimbangkan lagi, Dawn?"
Aku berpikir untuk beberapa saat. Akhirnya aku berkata,
"Bagaimana kalau kita mengadakan masa percobaan? Saya akan
menjaga anak-anak. Ibu tiga kali lagi, dan kita akan lihat apakah
rencana ini berjalan dengan baik."
"Setuju," ujar Bu Barrett. Dia mengulurkan tangannya dan kami
berjabatan tangan. Setelah itu kami menghabiskan es teh kami
masing-masing, kemudian mengobrol santai tentang Buddy, Suzi, dan
Marnie.
Pada pertemuan rutin Baby-sitters Club yang berikut, aku
menceritakan pembicaraanku dengan Bu Barrett pada teman-temanku.
Mereka semua salut padaku, karena aku telah berani membicarakan
masalah itu dengan Bu Barrett.
"Oleh sebab itu," kataku sesaat sebelum aku menyelesaikan
ceritaku, "kurasa cukup adil kalau aku setuju untuk menjadi baby-
sitter mereka lagi. Lagi pula, kan ada masa percobaan."
"Menurutku, keputusanmu cukup bijaksana, Dawn," ujar Kristy.
"Cukup beralasan. Dan kita semua juga tidak mau kalau Baby-sitters
Club mendapat citra buruk karena bertindak kurang adil terhadap
seorang klien. Untung saja kamu mau berkompromi."
Belakangan ini Kristy hampir selalu setuju dengan pendapatku
atau dengan apa yang kulakukan. Dulunya, dia hampir selalu tidak
setuju dengan segala sesuatu yang kukatakan, sekadar agar bisa
bertengkar denganku. (Tentu saja semuanya tergantung pada keadaan.
Kristy tidak akan bilang setuju kalau dia betul-betul tidak setuju.)"Bagaimana kabarnya anak-anak Barrett?" tanya Mary Anne.
"Maksudku, bagaimana keadaan mereka sejak kejadian hari Sabtu
yang lalu?"
"Mereka baik-baik saja, kok," ujarku. "Marnie tentu saja belum
mengerti apa yang telah terjadi. Dan Suzi lebih banyak berada di
rumah keluarga Pike bersama Mallory, sepanjang siang itu. Mallory
juga terampil menghadapi anak-anak kecil."
"Barangkali karena dia punya banyak adik laki-laki dan adik
perempuan," sahut Stacey.
"Dia bisa menjadi baby-sitter yang baik, lho," Claudia
menambahkan.
"Mungkin kalau suatu hari nanti Baby-sitters Club telah
berkembang menjadi organisasi raksasa," kataku sambil berkhayal,
"Mallory akan bergabung dengan kita." Aku tersenyum memikirkan
kemungkinan itu. "Buddy juga baik-baik saja. Dia memang sedikit
bingung karena kejadian itu. Tapi kedua orangtuanya telah
menjelaskan padanya bahwa mereka sedang mencari jalan keluar
untuk masalah yang mereka hadapi."
"Aku jadi ngeri kalau membayangkan bahwa ada orangtua yang
tega menculik anaknya sendiri," ujar Claudia.
"Yeah," sahut Kristy. "Aku jadi bertanya-tanya apakah ayahku


Baby Sitter Club 5 Dawn Dan Tiga Pengacau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mau melakukan hal seperti itu terhadap saudara-saudaraku atau
terhadapku. Atau bagaimana kalau dia mengambil David Michael?
dan kami tidak akan pernah bertemu dengan dia lagi? Mengerikan
sekali." Kristy menggigil.
Begitu juga aku. Kalau sekali waktu ayahku menculikku,
apakah aku masih ingin kembali ke California bersamanya? Aku tidakyakin. Kalau sampai Papa menculikku, aku yakin dia tidak akan
membawaku kembali ke California. Kami pasti akan pergi ke suatu
tempat yang tidak disangka-sangka, sehingga tak seorang pun tahu di
mana kami berada. Misalnya ke Alaska. Sungguh, aku sama sekali
tidak berminat pergi ke sana. Lagi pula Connecticut tidak seburuk
yang diduga, kalau kita sudah terbiasa di sini.
Aku melihat sekeliling ruangan, dan menatap para anggota
Baby-sitters Club?sahabat-sahabatku. Kami menyebar di dalam
kamar Claudia. Mary Anne dan aku berbaring berdampingan di atas
tempat tidur dalam posisi tengkurap. Kristy duduk santai sambil
berpikir di atas kursi belajar. Dan Stacey serta Claudia duduk di lantai.
Kami semua, kecuali Stacey, sedang makan permen Gummi Worms
yang dikeluarkan Claudia dari tempat persembunyiannya, di dalam
tempat pensil di laci.
Tiba-tiba telepon berdering.
Aku mengangkat gagang. Mary Anne telah siap dengan pena
dan buku agenda klub.
"Halo, Baby-sitters Club," aku menyapa.
"Hai, Dawn. Ini aku, Buddy."
"Hai, Buddy," aku menyahut. Sambil mengangkat alis, aku
menatap teman-temanku seakan-akan hendak berkata, "Ada apa lagi,
nih?"
"Coba kamu tebak, apa yang telah terjadi di sekolah hari ini?
Aku cuma menjatuhkan pensil di atas meja Steve. Tapi guruku
berkata, 'Oke, Buddy, kamu tidak boleh ikut keluar main nanti.'"
Segudang pertanyaan melintas di dalam benakku, seperti:
Apakah kamu melempar pensilmu ke atas meja Steve atau kamubetul-betul tidak sengaja menjatuhkannya? Sudah berapa kali kamu
menjatuhkan pensilmu di atas meja Steve? Tapi akhirnya aku cuma
bertanya padanya, "Buddy, apakah ibumu ada di rumah?"
"Ada."
"Kurasa lebih baik kalau kamu ceritakan masalah ini pada
ibumu. Dia pasti akan membantumu untuk memutuskan apa yang
harus kamu lakukan. Ibumu cukup ahli dalam hal ini, lho."
"Tapi tidak sehebat kamu."
"Coba beri kesempatan dulu pada ibumu," kataku. "Tapi kamu
tahu apa yang bisa kamu ceritakan padaku? Kamu bisa bercerita
tentang kejadian lucu yang terjadi di sekolah hari ini."
"Ehm," ujar Buddy perlahan. "Kotak makan siang Ashley
Vaughn terjatuh ke luar jendela kelas."
"Oh, lucu sekali," aku berkata padanya sambil tertawa. "Oke,
aku harus menutup telepon sekarang." (Kristy sudah mulai melotot ke
arahku, karena kami tidak diperbolehkan mengadakan pembicaraan
pribadi melalui telepon selama pertemuan rutin berlangsung.) "Coba
kamu bicara pada ibumu malam ini, Buddy. Dan besok, kalau aku
bertugas menjagamu, kamu bisa memberitahuku bagaimana
jawabannya. Oke?"
"Oke," dia setuju.
Kami meletakkan gagang telepon masing-masing.
Para anggota Baby-sitters Club mendiskusikan pembagian tugas
selama beberapa menit. Setelah itu Kristy berdehem lalu berdiri.
Pasti akan terjadi sesuatu. Aku bisa merasakannya. Mary Anne
dan aku langsung duduk tegak, dan Stacey serta Claudia berhentimengobrol. Kami semua berhenti mengunyah permen Gummi Worms
dan menatap Kristy.
"Begini, teman-teman," Kristy memulai, "aku sudah
memikirkan apa yang harus kita lakukan dengan klub kita, kalau aku
sudah pindah nanti. Memang masih ada musim panas sebelum itu, tapi
aku tidak bisa mengalihkan pikiranku dari masalah itu. Dan aku sudah
mengambil keputusan."
Dengan waswas aku menoleh pada Mary Anne. Tiba-tiba aku
merasa yakin?begitu yakin?bahwa Kristy akan membubarkan klub.
Aku bisa merasakan air mata mulai memenuhi mataku. Aku
menundukkan kepala, sehingga tidak ada yang bisa melihatku
menangis.
"Keputusanku adalah, kita harus menaikkan iuran klub."
Kepalaku terangkat karena kaget. "Menaikkan uang iuran?
Untuk apa?" tanyaku.
"Karena itulah satu-satunya pemecahan yang bisa kupikirkan
untuk saat ini. Yaitu membayar seseorang yang bisa mengantarku
pulang-pergi untuk menghadiri pertemuan rutin klub. Tentu saja
bukan sopir taksi?itu terlalu mahal?tapi seseorang yang mau
bekerja untuk mendapatkan tambahan uang saku. Kan tugas seperti itu
tidak terlalu merepotkan, apalagi untuk seseorang yang baru saja
belajar mengendarai mobil..."
"Charlie!" seru Mary Anne tiba-tiba. Charlie adalah kakak
Kristy yang tertua. "Pada saat itu Charlie pasti sudah boleh
mengendarai mobil sendiri, kan? Oh, Kristy, itu gagasan yang hebat!
Charlie pasti sibuk mencari seribu satu alasan agar diizinkan menyetir
mobil.""Tapi apakah kalian setuju pengeluaran itu diambil dari uang
iuran klub?" Kristy bertanya pada kami. "Menurutku, itu memang
termasuk dalam anggaran belanja klub, karena aku adalah ketua dan
aku harus hadir pada setiap pertemuan rutin, tapi..."
"Tidak, kok. Itu pemecahan yang sangat baik!" aku menyetujui.
Aduh. Rasanya sebuah beban berat baru saja terangkat dari
pundak kami masing-masing.
***********
Dua hari kemudian, seorang pengunjung "tak terduga" datang
ke pertemuan rutin klub. Adikku sendiri, Jeff. Satu-satunya orang
yang betul-betul terkejut adalah Mary Anne. Diam-diam dan tanpa
sepengetahuan Mary Anne, yang lainnya telah meminta Jeff untuk
datang dengan membawa kameranya, yang baru saja dikirim oleh
ayahku. Kristy dan aku yang mendapatkan ide itu. Mary Anne sudah
hampir selesai mendekorasi kembali kamarnya. (Dia bahkan
memperoleh karpet baru, seprai baru, dan cat tembok baru. Semuanya
itu atas kebaikan hati ayahnya, yang sudah mulai lebih mudah
mengeluarkan uang untuk kepentingan anak tunggalnya.) Tapi sampai
sekarang Mary Anne belum mendapatkan apa yang terus
dibicarakannya sejak dia pertama-tama punya gagasan untuk
mendekorasi kembali kamarnya?foto para anggota Baby-sitters Club
yang telah dibingkai.
Pada hari kedatangan Jeff, Kristy, Claudia, Stacey, dan aku
sengaja datang ke pertemuan rutin dengan memakai baju yang rapi.
(Kami tahu Mary Anne pasti akan tampak manis dan rapi, seperti
biasanya.) Waktu kami bilang pada Mary Anne bahwa Jeff datanguntuk memotret kami, dia langsung terharu. Tapi dengan cepat dia
mengeringkan air matanya.
"Oke, semuanya, coba kalian berpose di atas tempat tidur," usul
Jeff.
Dan itulah yang kami lakukan. Claudia, Stacey, dan aku
berlutut di atas tempat tidur sambil bersandar ke dinding, sementara
Mary Anne dan Kristy duduk di atas tempat tidur di depan kami.
"Senyum!" ujar Jeff.
Kami tersenyum lebar. Mary Anne tersenyum paling lebar.
Klik, klik, kamera Jeff berbunyi.
Dan dengan demikian kelima anggota Baby-sitters Club telah
diabadikan untuk selama-lamanya.END
Kemelut Kerajaan Mancu 7 Sherlock Holmes - Petualangan Di Abbey Grange Kisah Si Bangau Putih 15
^