Pencarian

Gelombang Pasang 1

Fear Street Super Chiller Gelombang Pasang High Tide Bagian 1


BAGIAN SATUBab 1
ADAM "AYO jalan, Adam!" teriak Mitzi. "Lebih cepat lagi."
"Kau mau ngebut?" teriakku di antara suara raungan jet ski.
"Ayo, kita lakukan!"
Sambil tertawa, aku memutar jet ski dalam belokan lebar?
meninggalkan dermaga Logan Beach dan semakin jauh menuju ke
laut.
Sekilas memandang ke belakang, aku melihat kursi pengawas
pantai yang tinggi tampak di bentangan panjang pasir putih. Masih
ada waktu dua puluh menit sampai aku bertugas, pikirku. Masih
banyak waktu untuk membuat Mitzi menikmati permainan ini.
"Cepat, Adam!" pekik Mitzi di telingaku. "Aku ingin merasa
seperti terbang."
Aku tertawa lagi. Memang musim panas yang hebat!
Menjadi petugas pengawas pantai adalah pekerjaan yang berat
dan melelahkan tetapi benar-benar berharga. Selain itu aku dapat
bertemu dengan Mitzi.
Rambutnya yang pirang dan panjang, kaki-kakinya yang
panjang, dan senyumnya yang hampir membuatku terjatuh dari kursi
pengawas pantaiku.Dan sekarang dia ada di sini, naik jet ski di belakangku, dengan
tangan merangkul pinggangku.
Benar-benar musim panas yang hebat.
Aku menjalankan jet ski sedikit lebih cepat, lalu memutar mesin
dan meluncur membelah laut. Kami melambung dan terguncang-
guncang, melaju bolak-balik di bawah terik sinar matahari, tertawa-
tawa setiap kali ada ombak besar mencoba menyambar kami.
Aku bisa saja melakukan ini sepanjang sore.
Tetapi aku hanya punya waktu sepuluh menit lebih sebelum tiba
giliranku untuk bertugas di pantai.
"Sekali lagi!" teriakku pada Mitzi. "Lalu kita akhiri permainan
ini sehingga aku bisa bertugas!"
"Oke, tetapi dapatkah kita melakukannya lagi besok?" ia balas
berteriak.
"Tentu saja!"
"Dan setelah kau selesai bertugas, ayo kita makan hamburger!"
"Tentu saja!" ulangku sambil meringis. "Lalu apa lagi?"
"Lalu kita berjalan-jalan di sepanjang pantai di bawah sinar
bulan," sarannya sambil tertawa.
Ketika Mitzi memelukku lebih ketat, aku meringis lagi.
Benar, kan, musim panas yang "hebat"?
Malah benar-benar luar biasa!
"Pegang erat-erat!" teriakku. Sambil berbalik kembali, aku
mengarahkan jet ski ke dermaga. Lalu kubiarkan kendaraan itu
berjalan sendiri.
Ketika jet ski meraung melintasi air, Mitzi mengeratkan
pelukannya di pinggangku dan menjerit sambil tertawa-tawa.Disandarkannya kepalanya di punggungku, dan kurasakan rambutnya
yang pirang melambai di sekitar leherku.
Dalam setengah perjalanan kembali ke dermaga, aku melihat
ombak yang sangat besar muncul dari sebelah kiri. "Lihat!" teriakku.
"Kita akan basah kuyup."
Aku mempercepat mesin, berharap dapat melewati bagian
ombak yang paling tinggi sebelum jatuh mengenai kami.
Ombak bergulung lebih tinggi. .
Mitzi mendekapku lebih erat.
"Wooooowww!" Ombak jatuh menghantam kami.
Dalam sekejap kami terhantam ombak.
Ketika kami terbanting oleh empasan ombak itu, tiba-tiba
tangan Mitzi terlepas dari pinggangku. Di antara raungan jet ski
kudengar suara ceburan keras di belakangku.
Ada gadis jatuh ke laut! pikirku. Adam Malfitano sedang dalam
operasi penyelamatan!
Aku memutar jet ski dengan tajam dan berbalik untuk
menjemput Mitzi.
Melalui cipratan air, kulihat kepala Mitzi yang pirang terapung-
apung di atas laut yang berbuih.
Tidaaaak!
Terlalu dekat! Terlalu dekat bagiku!
Aku tak dapat segera berhenti.
Aku mengurangi kecepatan mesin dan membanting jet ski ke
samping.
Terlambat!Jet ski melonjak-lonjak liar sewaktu menabrak tubuh Mitzi yang
menggelepar-gelepar.
"Tidaaak!" aku menjerit ketakutan.
Aku memutar jet ski dan terperangah melihat noda darah merah
pekat tersebar di air.
Darah.
Darah Mitzi.
Darah itu membuat ombak yang berbuih menjadi berwarna
merah muda.
Membuat air yang berwarna biru keabu-abuan menjadi gelap.
Menyebar... menyebar... menyebar...
"Tidaak!" jeritku lagi. "Mitzi!"
Aku melompat dari jet ski, masuk ke air yang dingin dan
bergelombang.
Ombak lain bergulung jatuh ke arahku. Ombak itu membawaku
menjauh dari Mitzi, ke arah pantai. Aku berjuang melawan arus dan
berusaha berenang mendekati Mitzi.
Aku hanya perlu beberapa kayuhan untuk meraih Mitzi. Ia
menggelepar ketakutan, mencoba mempertahankan kepalanya di atas
air. Aku terengah-engah.
Darah mengalir memenuhi wajahnya. Darah menyembur dari
luka di keningnya.
Dengan mata membelalak karena ketakutan dan kesakitan,
Mitzi membuka mulut untuk berteriak. Tetapi dia malah menelan air
dan mulai tenggelam lagi.Aku meraih ke bawah dan menangkap tangannya untuk
menyeretnya naik. Tangannya licin karena darah, tetapi aku berhasil
mengangkat kepalanya ke atas air.
Dengan panik, dia merangkulkan tangannya yang berdarah di
leherku?dan mulai menyeretku ke bawah.
Aku membebaskan diri dari rangkulannya, meraih pinggangnya,
dan menariknya ke atas lagi.
Dia terus meronta, memercikkan darah ke mukaku. Kepalan
tangannya menghantam sisi kepalaku.
Genggamanku terlepas.
Aku tak akan pernah dapat membawanya ke darat! pikirku.
Aku harus mencari pertolongan!
Sebuah kapal, pikirku. Seorang surfer atau perenang. Harus ada
seseorang di sini untuk menolong kami.
Seseorang!
Sambil mengerjapkan mata dari darah dan air laut, aku berbalik
dan menatap ke arah laut.
Lalu aku menjerit ketakutan ketika sebuah bayangan gelap
tampak di depanku.Bab 2
JET SKI itu!
Kendaraan itu berputar-putar, dan sekarang meraung ke arahku!
Suaranya bergemuruh seperti guntur ketika jet ski itu berpacu di
atas air yang beriak. Tetapi ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang
mengerikan. Lambung pelindung jet ski itu retak dan terbuka?
sehingga baling-balingnya kelihatan.
Baling-baling maut itu membelah ombak, dan benda itu menuju
ke arahku laksana pisau-pisau tajam.
"Tidaaak!" jeritku?lalu menyelam ke samping.
Terlambat.
Rasa sakit mengirisku ketika jet ski itu berlalu.
Kakiku! Baling-baling itu telah mengiris kakiku!
Aku menjerit kesakitan dan mulutku menelan air. Tercekik, aku
tenggelam di bawah permukaan air, tapi kemudian berusaha muncul
kembali.
Jet ski itu berbalik dan datang lagi!
Aku harus menyingkir dari sini sebelum benda itu mengirisku
jadi hamburger!
Dengan terengah-engah dan pusing karena kesakitan, aku
berputar, mencari Mitzi.Kulihat wajah Mitzi yang bersimbah darah muncul dengan tiba-
tiba di atas air. Raungan suara jet ski memenuhi telingaku lagi.
Semakin keras.
Jet ski itu meraung kembali ke arahku.
Kaki kiriku menggantung tanpa daya, berdenyut-denyut dan
berdarah. Aku berenang dengan menggunakan kaki kananku dan
mencoba menghindari jet ski itu.
Tetapi jet ski itu datang terlalu cepat, ngebut ke arahku seperti
monster pembunuh.
Dengan mati-matian aku mengayuh tanganku.
Berenang sambil menendang-nendang kakiku yang sehat.
Mencoba lagi menghindari dari serangan jet ski itu.
Tetapi jet ski itu bergerak terlalu cepat, dan melukai tanganku.
Suara raungannya yang dahsyat menenggelamkan jeritanku.
Rasa sakit menghunjam tubuhku. Jet ski itu menyerangku lagi.
Menyerang lagi.
Melukai tanganku yang lain. Punggungku. Mengiris bahuku.
Aku terus menjerit ketika jet ski itu bolak-balik meraung,
melukaiku setiap kali menabrakku.
"Adam! Tolong!" Mitzi megap-megap dan tercekik sementara
ia berusaha mempertahankan kepalanya di atas air. "Tolonglah aku!"
Kepalanya tenggelam, lalu muncul lagi. "Adam, tolong! Tolong
aku!"
Jet ski meraung semakin keras, menenggelamkan jeritan Mitzi.
Dengan panik dan gemetaran karena kesakitan, aku merentang
lenganku dan menyeret diriku melalui air yang berbuih dan
berlumuran darah.Ketika aku menarik bahunya, Mitzi merangkulkan tangannya ke
leherku. "Tolong aku!" pintanya. "Bawa aku pergi dari sini, Adam!
Tolong aku sebelum... sebelum..."
Tetapi aku tak dapat menolongnya. Aku hampir tak dapat
mengapung.
Yang dapat kami lakukan adalah tetap berdampingan ketika
raungan jet ski itu semakin keras dan semakin dekat.
"Adam!" Mitzi memanggil namaku sekali lagi. Lalu air laut
yang merah dan berbuih itu menerjang mulutnya.
Air menampar daguku, di atas bibirku. Aku memiringkan
kepala ke belakang dan menghirup udara melalui hidung.
Saling berpegangan erat satu sama lain, aku dan Mitzi
tenggelam ke bawah permukaan laut.
Suara jet ski menghilang.
Aku dan Mitzi tenggelam. Begitu tenang di bawah sini. Begitu
gelap dan tenang...
Jadi seperti inilah rasanya tenggelam.Bab 3
"KITA akan mati!" jeritku. "Kita tenggelam!"
"Adam!" ada suara yang berteriak.
"Kita tenggelam. Kita akan mati!" jeritku lagi.
Seseorang menarik bahuku dan mengguncangnya keras-keras.
"Adam!" kata suara itu. "Bangun! Bangun! Kau mimpi buruk!"
Terengah-engah, aku memaksa membuka mataku dan
membelalak ke arah Ian. Ian Schultz. Teman sekamarku.
Ian memandangku, roman mukanya berkerut cemas dan
terkejut.
"Kau sekarang sudah bangun, Adam? Kau tak apa-apa?"
Aku duduk dan sekilas memandang ke sekeliling. Jantungku
masih berdebar-debar, tetapi lambat laun mereda ketika aku
menyadari di mana aku sebenarnya berada.
Di tempat tidurku. Di apartemenku. Apartemen yang sama
tempat aku berbagi tempat tinggal dengan Ian musim panas yang lalu.
Angin laut yang dingin sepoi-sepoi bertiup dari jendela. Langit
di luar berwarna abu-abu seperti mutiara, seperti biasanya kalau
matahari akan muncul.Aku dapat mendengar ombak memukul perlahan di tepi pantai
dan burung-burung camar memekik ketika mereka mulai mencari
makan.
Tampaknya normal. Segalanya normal.
Ian menyisir rambut pirang pasirnya yang kusut dengan tangan
dan mengerjapkan mata ke arahku. "Mimpi buruk yang sama, ya?"
Aku menarik napas dengan gemetaran dan mengangguk. "Yeah,
aku dan Mitzi ditabrak jet ski. Lalu kami tenggelam ke dalam air.
Segala sesuatu tampak gelap, dan aku tak dapat bernapas!"
Aku merinding.
Mimpi buruk itu dimulai musim panas yang lalu, tepat setelah
kematian Mitzi. Kami mengendarai jet ski bersama, seperti dalam
mimpi. Dia jatuh ke air. Dan ketika aku berputar, jet ski itu
menghantam Mitzi?keras. Dahinya robek. Tengkoraknya retak.
Mitzi yang malang.
Aku mencoba untuk menyelamatkannya, tetapi tak berhasil.
Mitzi tenggelam.
Tetapi dalam mimpiku, aku selalu ikut mati juga. Dalam
mimpiku, jet ski itu selalu mengamuk. Jet ski itu menyerangku seperti
monster.
"Benar-benar begitu nyata setiap kali aku bermimpi,"
gumamku, masih berkeringat akibat mimpi buruk yang menakutkan
itu. "Benar-benar begitu nyata. Kapan semua ini berlalu? Apakah aku
akan terus mendapat mimpi buruk sepanjang hidupku?"
"Aku tak tahu." Ian menggosok mukanya dan menguap.Ian bekerja di toko penyewaan perahu, tetapi hari ini ia libur.
Aku tahu dia sudah berencana untuk bangun siang. "Mungkin
sebaiknya kau mengganti psikiatermu."
"Hah? Mengapa harus begitu?" tanyaku. "Dr. Thall kelihatan
cocok untukku."
"Yah, kau sudah berkonsultasi dengannya selama hampir satu
tahun tapi kau masih terus bermimpi buruk," jelas Ian.
"Aku tahu, tetapi?"
"Lagi pula," Ian menyela. "Aku pernah melihat orang itu di TV.
Dia tampil di sebuah talk show kemarin."
"Memangnya kenapa?" tanyaku. "Dia punya banyak cara baru
untuk mengobati orang, dan dia sudah menulis buku tentang itu."
"Aku tahu, dan menurutku cara pengobatannya benar-benar
aneh." Ian mengangkat bahu dan menguap lagi. "Ah, sekarang baru
jam enam, dan karena hari ini aku libur, aku mau tidur lagi."
Dia menyipitkan matanya padaku. "Bagaimana denganmu? Kau
kan tidak bertugas sampai nanti siang. Mau meneruskan dengkurmu?"
"Mungkin."
Sebenarnya, aku takut tidur lagi. Mungkin aku akan bangun dan
berjalan-jalan di pantai. Atau naik sepeda balap.
Pokoknya melakukan apa saja supaya tidak tenggelam ke dalam
mimpi buruk lagi. Aku merentangkan tanganku, lalu menggosok
mataku. Kupegang selimutku dan mulai kusingkapkannya.
Dan aku tertegun ketakutan.
"Tidaaak!" jeritku. "Tidak! Ian, lihat!"
"Kenapa?" Ian berbalik, ketakutan membayang di matanya.
"Ada apa? Apa yang terjadi?""Kakiku!" pekikku.
Aku menunjuk ke tempat tidur, tempat di mana kakiku
seharusnya berada. "Kakiku tidak ada! Kakiku hilang! Tolong aku!
Ian?di mana kakiku?"Bab 4
DR THALL menatapku sambil mencondongkan badannya ke
depan dan meletakkan sikunya di meja. Dia seorang pria setengah


Fear Street Super Chiller Gelombang Pasang High Tide di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baya yang bertubuh pendek kurus dengan kepala botak dan rahang
yang tidak kokoh.
Tetapi mata birunya menyorot tajam seperti sinar laser.
"Kemudian, Adam, kau mengira kakimu hilang?" tanyanya
dengan tenang.
"Ya." Aku memaksa diriku sendiri untuk tidak merinding ketika
membayangkan peristiwa itu?menatap ke ujung tempat tidur dan
melihat tidak ada apa-apa di tempat seharusnya kakiku berada.
"Tentu saja, kakiku?ada di bawah seprai," kataku. "Aku benar-
benar baik-baik saja."
"Kau sudah tidak mengalami halusinasi dalam beberapa minggu
ini," komentar Dr. Thall sambil menggelengkan kepala.
"Aku tahu." Terakhir kali aku mengalami halusinasi, aku
merasa tanganku hilang. Dan sebelum itu, mataku yang hilang.
Itu yang terburuk, aku mengira seekor ikan telah menelan bola
mataku.
Tetapi Dr. Thall benar?aku sudah tidak mengalami halusinasi
lagi sejak tiga minggu yang lalu. Sampai pagi ini.Dr. Thall mengusap dagu dan mengerutkan kening. "Apakah
ada sesuatu yang terjadi akhir-akhir ini, yang membuatmu bingung,
Adam? Ada hal baru yang merisaukan hatimu?"
Aku menutup mata dan mencoba berpikir. Tahun pertama di
college telah berakhir dua minggu yang lalu. Aku pulang ke rumah di
Shadyside selama satu minggu. Tidak ada hal istimewa yang terjadi di
sana. Setelah bertemu semua teman lamaku di SMU, aku berkemas
dan mulai bekerja di Logan Beach.
Aku membuka mataku. Dr. Thall masih menatap tajam ke
arahku, mengamatiku.
"Mungkin karena musim panas," jawabku. "Anda tahu, kan?
Kembali ke pantai lagi."
"Jika itu yang menyebabkanmu berhalusinasi, mungkin
sebaiknya kau berhenti menjadi pengawas pantai," saran dokter itu
sambil mempelajari wajahku.
"Tidak." Aku berdiri dan memasukkan tangan ke dalam saku
celana pendekku.
"Cobalah pikirkan," dia mendesakku. "Mungkin kembali ke
pantai membuatmu terlalu tertekan. Mungkin kau perlu mencari
pekerjaan lain. Di kota lain. Pekerjaan di dalam ruangan, misalnya."
"Tidak," aku mengulangi. Aku menggelengkan kepala dan
mulai melangkah mengelilingi ruangannya. "Aku harus
menghadapinya. Aku harus mengatasinya. Mitzi tewas musim panas
yang lalu. Peristiwa itu merupakan kecelakaan. Kecelakaan yang
mengerikan. Aku kehilangan kontrol atas jet ski-ku, dan dia tewas."
"Dan kau menyalahkan dirimu sendiri," Dr. Thall
menambahkan."Memang," kataku kepadanya. "Setiap orang pasti akan merasa
begitu. Maksudku, saat itu akulah yang mengendarai jet ski. Lama aku
merasa bersalah."
Aku berhenti di depan mejanya dan menatapnya. "Tetapi kini
aku tidak menyalahkan diriku lagi."
"Bagus, Adam. Tetapi masih ada sesuatu yang
mengganggumu." Ia menjelaskan. "Sesuatu masih mengacaukan
pikiranmu. Tidakkah hal ini jelas bagimu?"
"Tentu," jawabku. "Tetapi apa yang harus kulakukan?
menjauhi pantai selama sisa hidupku?" Aku menggeleng lagi. "Tidak.
Aku harus tetap tinggal di sini. Aku tidak punya pilihan. Aku harus
bisa mengatasi ketakutanku," aku bersikeras.
Dr. Thall mengangguk. "Bagus sekali. Aku bisa mengerti kau
memutuskan tetap tinggal di sini, dan aku tak akan mencoba
mencegahmu. Aku senang kau tidak lagi menyalahkan dirimu sendiri
atas kecelakaan itu." Dia mengerutkan dahi lagi dan menyandarkan
punggungnya ke kursi. "Menurutmu setelah sekian lama, mengapa kau
berhalusinasi lagi?"
Aku mengangkat bahu. "Kukira karena aku kembali ke pantai.
Pantai yang sama tempat tragedi itu terjadi. Aku bahkan berada di
apartemen yang sama, dengan teman sekamar yang sama juga.
Perkiraan itu masuk akal, bukan?"
"Untuk membuatmu bermimpi buruk?ya," dia setuju. "Tetapi,
jujur saja, halusinasi itu mengejutkanku."
"Mengejutkan kita berdua," gumamku. "Tetapi mungkin
halusinasi ini hanya terjadi kali ini saja. Seperti kubilang, aku hanyakaget karena kembali ke pantai itu. Mungkin aku tidak akan melihat
macam-macam lagi."
"Mungkin tidak," katanya perlahan. "Tapi tetaplah waspada,
Adam?"
"Apa maksud Anda?"
"Kau harus mendengarkan pikiran bawah-sadarmu." Dia
mengetukkan jarinya ke atas meja dan menatapku tajam. "Mungkin
pikiran bawah-sadarmu sedang mencoba untuk memberitahukan
sesuatu. Kupikir ada sesuatu di dalam otakmu yang sedang mencoba
mendesak keluar."
"Seperti apa?"
Dr. Thall tersenyum. "Itulah yang akan kita cari. Sekarang,
mulailah bekerja."
************
Setengah jam kemudian aku keluar dari ruangan Dr. Thall dan
berhenti di meja pendaftaran.
"Waktu yang sama untuk minggu depan?" sang resepsionis
bertanya ceria.
Aku mengangguk. Dan minggu berikutnya, dan minggu
berikutnya lagi, pikirku.
Akankah aku menemui Dr. Thall seumur hidupku? Mencoba
menggambarkan apa yang ingin disampaikan pikiran bawah-sadarku
yang konyol ini?
Aku mengeluh, lalu melirik arlojiku. Aku harus ke pantai untuk
segera bertugas. Kantor Dr. Thall jaraknya setengah mil dari pantai,
tetapi jika aku bergegas, aku bisa tiba tepat waktu.Lebih baik aku bergegas, pikirku. Aku mengambil kartu
perjanjianku yang diserahkan sang resepsionis. Jika aku terlambat,
Sean bisa marah.
Sean Cavanna adalah pengawas pantai juga, dan kami biasanya
bertugas bersama. Bagiku, ia menyenangkan. Banyak bicara, dan suka
bercanda.
Tetapi dia juga sering mengomel. Dan kadang-kadang dia
sering bad mood sekali. Dalam keadaan begitu, matanya yang gelap
akan menyorot dingin dan kejam seperti hiu, dan tampangnya seolah
siap meledak.
Datang terlambat tidak akan membuatnya marah, tetapi pasti
dia akan mengomel. Dan setelah mengalami mimpi buruk dan
halusinasi, aku tidak suka mendengar keluhannya dan
menanggapinya.
Aku memasukkan kartu perjanjianku ke dalam dompet,
mengambil ranselku, lalu bergegas keluar.
Aku berjalan melalui jalan-jalan di Logan Beach Village,
akhirnya sampai di Main Street. Di seberangnya ada jalan papan di
atas pasir, menuju ke arah pantai.
Ketika aku mulai menyeberangi jalan, seseorang memanggil
namaku.
Aku menoleh dan melihat Leslie Jordan berdiri di depan kafe,
tempatnya bekerja.
Leslie adalah pacarku selama musim panas ini. Dia pandai dan
menarik, dengan rambut cokelat gelap dan mata kelabu yang serius.
"Hai," kata Leslie, menyeberangi jalan untuk menyapaku. "Aku
sedang istirahat. Kau mau bertugas?"Aku mengangguk, senang bertemu dengannya. "Hari yang
melelahkan?bikin aku tambah cokelat." kataku bercanda.
"Beruntung kau." Dia meraih tanganku dan kami menyeberang
menuju ke jalan papan. "Mau duduk sebentar?"
Aku mengecek arlojiku. Aku masih punya waktu. "Tentu." Aku
duduk di salah satu bangku kayu di tepi jalan papan, lalu menarik
Leslie ke sampingku.
"Aku ingin kita dapat duduk di sini sepanjang hari," katanya
ketika aku meletakkan tangan di bahunya. "Sayangnya, kita berdua
harus bekerja."
"Yah, aku mau saja jadi orang yang suka keluyuran di pantai,"
aku menyetujuinya. "Berenang sebentar. Berbaring di bawah sinar
matahari. Mencari kerang. Berenang lagi. Makan. Lalu tidur."
"Lalu bangun dan melakukan hal yang sama lagi." Leslie
tertawa. "Kayaknya asyik."
"Mana mungkin?kau akan bosan," sahutku. Leslie jelas-jelas
bukan tipe pemalas.
"Mungkin," dia mengiyakan. "Tapi setidaknya untuk beberapa
hari."
Aku tertawa, lalu memeriksa arlojiku. "Uh, aku harus pergi.
Sean mungkin akan menghitung waktuku sampai sedetik-detiknya."
Leslie mengeluh dan berdiri. "Aku akan meneleponmu, oke?"
"Bagus." Aku menciumnya sekilas, lalu berbalik menuju pantai.
Pantulan sinar matahari di pasir putih menyilaukan mataku,
membuatku tersandung. Sambil menyipitkan mata, aku meraih kaca-
mata hitam di sakuku dan mengenakannya.
Lalu aku melihatnya.Gadis itu berdiri di pasir, bersandar pada pagar tangga dan
menatap ke arah laut. Dia membelakangiku, sehingga aku tak dapat
melihat wajahnya. Tetapi aku mengenalinya.
Aku dapat mengenalinya di mana pun.
Rambut pirangnya yang cerah melambai di punggungnya.
Kakinya yang panjang.
Gelang manik-manik biru di pergelangan tangannya. Gelang
yang sama dengan yang dikenakannya pada hari di musim panas tahun
lalu ketika kami mengendarai jet ski.
Mitzi.
Dia tidak mati! Aku melihatnya. Segala sesuatu yang telah
terjadi adalah mimpi buruk? kecelakaan, rasa bersalah, mimpi-
mimpi. Semuanya itu bagian dari mimpi buruk, dan akhirnya aku
tersadar. Mitzi tidak mati!
"Mitzi!" teriakku, menuruni anak tangga. "Kau di sini! Mitzi!"
Dia menjauhi pagar itu dan berbalik ke arahku. Embusan ahgin
meniup rambut di wajahnya. Dia menepiskannya.
Dan aku terpaku, membelalakkan mata ketakutan.
Rongga mata yang kosong menatap balik ke arahku.
Lubang-lubang gelap dan kosong dalam tengkorak yang
berwarna putih keabuan.
Tengkorak. Kerangka kepala, dengan potongan daging terjuntai
dari tulang yang bersinar.
Daging yang tersayat dan membusuk.
"Tidaaak!" teriakan parau keluar dari tenggorokanku. "Mitzi!"
Mitzi memiringkan kepalanya. Bibirnya membusuk, hitam, dan
mengelupas, memamerkan giginya yang patah dan bergerigi."Tidaaaaak!" aku mengerang lagi.
Rahang tengkoraknya berderak terbuka, dan Mitzi menatapku
dengan mata yang kosong dan seringai yang mengerikan.BAGIAN DUABab 5
SEAN AKU memandang ke bawah dari kursi pengawas pantai sambil
mengerutkan dahi. Di atas pasir, di bawah sana, Alyce Serkin sedang
memasukkan tube krem matahari ke dalam tas pantainya yang
berwarna jingga. Lalu dia bangkit dan mulai mengibaskan pasir dari
handuk pantainya.
Alice adalah cewek yang cantik dan keren. Terus terang saja,
karena dirinyalah aku tetap bekerja sebagai pengawas pantai. Aku
dapat duduk di atas kursi pengawas pantai sambil memandanginya
sepanjang hari.
Dia sedang bersiap-siap pergi, pikirku. Lebih baik aku
bergegas.
Aku mengamati pantai, memeriksa kalau ada orang yang dalam
kesulitan. Tidak ada yang membutuhkan bantuanku. Lalu, aku
berputar keluar dari kursi dan mulai menuruni tangga.
Alyce tidak memperhatikanku. Dia memasukkan handuk ke
dalam tasnya, lalu mengambil botol plastik berisi air dan meneguknya.
Aku melompati tangga, mendarat perlahan di atas pasir yang
lembut. Sambil meringis sendiri, aku berjalan pelan-pelan di belakang
Alyce dan memeluk pinggangnya.Dia memekik?dan botol airnya melayang jatuh.
Aku tertawa, memeluknya, dan mencium belakang lehernya.
"Tebak, ini siapa?" bisikku.
"Aku tak mau tebak-tebakan!" gerutu Alyce. Dia mencoba
menghindar, tetapi aku tetap memeluknya erat-erat dan menciumnya
lagi. "Lepaskan aku, Sean! Kau benar-benar keterlaluan."
"Kau kan suka!" kataku bersikeras. Aku memutar tubuhnya dan
menciumnya. "Kau kan tahu kau menyukainya."
"Aku tidak suka ini!" bentak Alyce. Dia mendorongku dan
cemberut padaku.
Aku meraihnya, tetapi dia meloncat ke belakang. "Oh, kau mau
aku mengejarmu?" tanyaku.
"Tak sudi." Dia memasang tampang jijik. "Ngerti nggak sih?
Aku tidak suka dipeluk seperti itu."
"Seperti apa?" tanyaku sambil meringis. "Kau mau kupeluk
dengan cara lain? Ayo tunjukkan padaku, Sayang!"
"Biarkan aku sendiri." Dia mengalihkan matanya dan
mengambil topi jeraminya yang lemas. "Aku mau pergi," katanya
sambil memakai topi, menutupi rambut merahnya yang keriting.
"Matahari sedang membakar kulitku. Begitu juga kau."
Aku menjatuhkan diri berlutut di pasir dan menyatukan kedua
tanganku. "Please, tolong, jangan pergi." Aku memohon sambil
memasang ekspresi sedih di wajahku. "Aku akan bertingkah baik.
Janji!"
Alyce mengerlingkan matanya lagi. "Tak ada harapan bagimu."
"Benar!" teriakku. "Tanpa dirimu, Sayang, aku benar-benar
tanpa harapan!"Aku melompat dan mengulurkan tanganku, tetapi Alyce hanya
menggelengkan kepalanya. "Aku benar-benar harus pergi, Sean."
"Oke, oke, aku menyerah. Mulai sekarang," tambahku. Aku
memungut botol air yang kosong dan melemparnya ke dalam tong
kawat di sebelah panggung pengawas pantai. "Jadi," kataku ketika
Alyce sedang menutup tas pantainya. "Apakah kita bisa pergi nanti
malam?"
"Sori. Aku tidak bisa." Dia menyandang tasnya di bahu. "Ada
sesuatu yang harus kukerjakan."
"Oh ya? Apa itu?" tanyaku.
Wajah Alyce berubah menjadi merah muda, dan itu bukan
disebabkan oleh sinar matahari. "Aku cuma sibuk, itu saja,"
gumamnya.
Sesuatu mulai berdesir di dalam hatiku. Aku benar-benar benci
dibohongi. Dan Alyce jelas berbohong. "Sibuk apa?" tuntutku.
"Ini bukan urusanmu!" bentaknya.
Ada perasaan panas yang semakin membara. Ketika ia berbalik
dan mulai berjalan pergi, aku menangkap lengannya dan memutar
badannya dengan cepat. Topinya jatuh. "Aku tidak suka melihatmu
pergi dengan cowok lain," aku memperingatkan.
"Hei!" Alyce mencoba menarik lengannya sambil melotot, tapi
aku menahannya. "Kau tak bisa mengaturku, Sean," katanya.
"Berhentilah jadi orang brengsek."
"Kuperingatkan kau, Alyce. Kalau aku melihatmu dengan
cowok lain, akan kubunuh dia," janjiku sambil menggoyang
lengannya. "Aku bersungguh-sungguh."Alyce melepaskan jari-jariku dari lengannya. "Setidaknya kau
tidak terlalu posesif atau semacamnya," katanya sinis. "Seandainya
saja kau serius..."
"Coba saja," aku memperingatkan. "Coba saja."
Kuasai diri, kataku dalam hati. Aku tak ingin menakut-nakuti
Alyce. Aku cuma ingin menakut-nakuti cowok yang mau pergi


Fear Street Super Chiller Gelombang Pasang High Tide di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengannya.
Kuambil topinya dan kupakai di kepalaku. "Bagaimana
tampangku?" tanyaku, berlagak seperti jagoan bertubuh kekar.
"Konyol." Dia meraih topinya.
Aku melompat menghindar dan mengubah gaya. "Mau ambil
fotoku?" tanyaku. "Kau dapat menempelnya di bukumu."
"Ih, memangnya aku mau!" Alyce meraih topinya lagi tapi
gagal. "Ayolah Sean. Berikan padaku."
"Katakan please!" Aku tertawa sambil merunduk. Lalu aku
melepaskan topi dan melempar ke arahnya seperti main Frisbee.
Sekilas, kutatap arlojiku. Lima menit telah berlalu. "Hei, Adam ke
mana sih?" tanyaku, sambil memandang berkeliling.
Alyce mengangkat bahu. "Memangnya aku harus tahu?"
"Aku mau istirahat," kataku padanya. "Anak itu selalu
terlambat."
"Berarti saat ini kau tidak sedang beristirahat?" tanyanya,
sambil menekan topi ke kepalanya. "Keterlaluan! Pengawas pantai
macam apa kau ini?kau bahkan tidak mengawasi orang-orang yang
berenang!"
Aku meringis. "Itu karena aku tak dapat mengalihkan mataku
darimu, Alyce!""Terus terang, Sean! Kau benar-benar menyebalkan!" Dia
menyampirkan ranselnya ke pundak dan mulai melangkah pergi.
Sejenak aku memperhatikannya. Gila! Jalannya oke sekali!
Lalu aku berlari di belakangnya dan meraih pinggangnya.
"Kena lagi!" kataku sambil bercanda.
Alyce menjerit kaget. Lalu ia mulai melawan. "Lepaskan aku!"
teriaknya. "Sean, nggak lucu ah!"
Dia tidak marah sungguhan, kataku dalam hati. Dia tergila-gila
padaku, kan? Benar.
Ketika aku membungkuk untuk menciumnya, sehelai jerami
dari topinya terjatuh dan masuk ke dalam mataku. Aku berteriak,
terjengkang ke belakang, lalu menubruk seseorang.
"Hei, lihat-lihat dong kalau jalan!" bentakku. Sambil
menggosok mata, aku menoleh dan melihat Adam Malfitano di
depanku.
"Ada apa ini?" tanya Adam, menatap mataku yang berair.
"Biasa, Sean bertingkah menyebalkan, dan dia diserang oleh
topiku," Alyce menjelaskan dengan marah. "Biar tahu rasa."
Adam menyisir rambut cokelatnya dengan tangannya dan
memberikan senyuman menawan kepada Alyce. Aku tak suka melihat
pandangannya.
Pandangan penuh kagum.
"Kau terlambat," kataku padanya. "Dari mana saja?"
Dia mengalihkan pandangan dari Alyce, "Maaf," katanya. "Aku
harus menemui dokterku."
"Ada masalah apa?" tanya Alyce dengan penuh perhatian.Sekarang dia berusaha menarik simpati Alyce, pikirku dengan
muak. Masih sambil menggosok mataku, aku berbalik.
Ketika aku menatap ombak yang pecah, tiba-tiba jantungku
mulai berdebar-debar. Aku menarik napas dan mencengkeram lengan
Adam.
"Tidaaak!" jeritku. Aku menunjuk ke laut. "Hiu! Hiu
menyerang gadis itu!"Bab 6
"DIMANA?" teriak Adam dengan suara ketakutan, kepalanya
berpaling ke sana kemari. "Sean?di mana?"
"Di sana!" teriakku. "Tidakkah kaulihat ada darah di laut?"
Adam tertegun. Dia bahkan tidak menghiraukan arah yang
kutunjuk. Dia malah menatapku dan matanya yang cokelat melebar.
"Aku akan... aku akan..." Suara Adam terdengar syok. "Aku
akan.... menyelamatkannya."
Tetapi dia tidak bergerak. Bibirnya hampir sepucat wajahnya.
Dia ketakutan sekali! pikirku. Dia akan pingsan!
Sebenarnya, lucu juga kalau dia benar-benar jatuh pingsan
karena ketakutan. Tetapi kemudian aku harus menenangkan cowok
malang ini.
"Hei, man, kuasai dirimu!" kataku. "Aku cuma salah lihat."
Adam mengedipkan mata dan menjilat bibirnya lagi. "Apa?"
"Salah lihat." Aku mengulangi. Sambil tertawa, kuputar
badannya sehingga dia menghadap ke arah lautan. "Lihat? Tidak ada
hiu di sana. Tak ada seorang pun yang tercabik-cabik. Cuma bercanda.
Lelucon konyol."
"Betul-betul konyol!" sergah Alyce. "Terus terang, Sean! Kau
kenapa sih, otakmu ketinggalan di rumah hari ini?"Aku mengangkat bahu. "Hei, aku tak tahu harus bagaimana
lagi. Selera humorku memang hebat."
Alyce memutar bola matanya, lalu kembali bersimpati pada
Adam. "Kau tidak apa-apa, kan? Kau tampak sedikit pucat."
"Aku tidak apa-apa." Adam tersenyum padanya. "Benar-benar
memalukan. Kurasa reaksiku berlebihan."
"Tidak heran! Maksudku, setelah apa yang terjadi musim panas
yang lalu!" seru Alyce.
"Ya, ampun, Alyce," kataku padanya. "Kau mengingatkan dia
tentang itu lagi."
"Kaulah yang mengingatkan dia," balas Alyce. "Ngomong soal
darah di air."
"Hei, aku tidak apa-apa, kok" desak Adam. "Betul."
"Ya, pokoknya jangan pedulikan Sean," kata Alyce padanya
sambil tersenyum lagi. "Dia satu-satunya orang di sini yang
menganggap dirinya lucu."
"Itu betul," kataku, menyetujuinya dengan sedih. "Bakat
melucuku benar-benar salah dimengerti."
Alyce mengerang. "Seperti sudah kukatakan, Adam, jangan
pedulikan dia." Dengan muka cemberut ke arahku, dia mulai
melangkah pergi.
"Jangan lupa!" aku memanggilnya. "Jam delapan malam!"
Alyce berbalik cepat. "Tentang apa?"
"Kau dan aku, Sayang," aku mengingatkannya. "Aku akan
datang ke cottage-mu, jadi biarkan lampu berandamu tetap menyala."
"Baik," dia menyetujuinya. "Tetapi aku tidak akan ada di sana.
Aku tak dapat menemuimu malam ini, ingat?"Sebelum aku dapat menjawab, Alyce memberi Adam kedipan
mata dan lambaian tangan. Lalu dia berbalik dan berjalan melintasi
pasir ke arah jalan papan.
Aku pura-pura tertawa. "Dia tidak bermaksud seperti itu, tahu,"
kataku pada Adam. "Dia akan berada di rumah, menungguku nanti
malam. Aku yakin, dia pasti ada di sana."
"Tentu saja." Adam tidak memandang ke arahku. Matanya tetap
terpaku pada Alyce sementara gadis itu berjalan di antara orang-orang
yang berjemur dan ember-ember pantai.
Dan dia tersenyum.
"Apa yang begitu lucu?" kataku menuntut.
"Hah? Tidak ada." Dia memandang sekilas ke panggung
pengawas pantai. Tempat itu berupa panggung kayu yang tinggi
dengan pagar di sekelilingnya dan dua kursi pengawas pantai di
atasnya. "Wow!" katanya. "Lebih baik kita cepat-cepat ke sana. Kita
kan sedang bertugas."
Sambil menyandang tas pantai di bahunya, Adam berlari cepat
menaiki tangga panggung kayu. Ketika aku mengikutinya, ada
perasaan berdesir lagi di dalam ulu hatiku.
Biarkan saja, kataku dalam hati. Jangan sampai kau
terpengaruh. Alyce akan ada di sana nanti malam.
Atau tidak ada?
Sebelum aku duduk di kursi pengawas pantai, aku memandang
sekilas ke arah jalan papan. Di kejauhan, kulihat topi jerami Alyce
yang melambai tampak semakin mengecil sementara ia berjalan
menjauh."Aku tahu Alyce mengagumkan, tetapi lebih baik kaualihkan
matamu darinya?untuk sementara," gerutu Adam, mengikuti
pandanganku. "Kita punya tugas mengawasi orang yang berenang."
"Yah." Kupakai T-shirt dan kacamata hitamku, lalu duduk.
"Aku hanya berharap dapat melihatnya sepanjang waktu," aku
mengakui.
Adam tertawa kecil. "Kurasa Alyce tidak suka diperhatikan
terus seperti itu."
"Kukira tidak." Aku menatap lautan dan mendesah. "Aku harus
bagaimana lagi. Aku kadang-kadang cemburu."
"Memangnya kenapa? Setiap orang kadang suka sedikit
cemburu," kata Adam sambil mengoleskan krim matahari di
hidungnya. "Itu normal, kan?"
"Aku tidak sedang membicarakan tentang cemburu yang
'sedikit'," aku menjelaskan. "Aku sedang membicarakan cemburu
yang besar sekali. Mau kuberi contoh?"
Adam mengangkat bahu. "Tentu saja."
"Ini tentang cewekku di SMU," kataku padanya. "Namanya
Cindy. Cantik, seksi, penari yang hebat. Dia tergila-gila padaku,"
tambahku. "Setidaknya kuanggap begitu. Aku sebenarnya berharap
akan jadi dengannya untuk selamanya."
Hatiku mulai berdebar-debar, dan aku menyadari jari-jariku
mengepal. Rupanya tidak soal sudah berapa lama waktu berlalu.
Kapan pun aku memikirkan Cindy, aku marah.
"Lalu apa yang terjadi?" tanya Adam.
Aku menghela napas dalam. "Dia pergi keluar dengan cowok
lain tanpa sepengetahuanku," aku menjelaskan. "Kami sebenarnyamau pergi nonton film, tetapi pada saat-saat terakhir dia bilang ada
sesuatu yang harus dikerjakan."
Seperti Alyce, pikirku.
"Aku tahu dia berbohong," aku meneruskan. "Kau selalu dapat
mengenalinya, kan?"
Adam menggelengkan kepala.
"Ya, aku dapat mengenalinya," kataku padanya. "Pokoknya aku
mengikuti Cindy, hanya untuk meyakinkanku."
"Kau bercanda. Kau benar-benar mengikutinya?'"
"Sungguh, aku mengikutinya" aku menjelaskan. "Aku harus
tahu apa yang sedang terjadi, kan?"
"Ya, kurasa begitu," kata Adam ragu-ragu.
"Lalu aku melihatnya bertemu dengan cowok lain dari sekolah
kami," aku meneruskan. "Dia mencium hangat cowok itu, lalu masuk
ke dalam mobilnya. Mereka menghabiskan waktu tiga jam di taman
hiburan, naik berbagai permainan, bergandengan tangan. Berciuman."
"Tunggu dulu." Adam menatapku, matanya bertanya-tanya.
"Maksudmu, kau mengikuti mereka terus? Selama itu?"
"Yah. Aku marah sekali," kataku padanya. "Siap meledak. Kau
tahu apa yang kumaksud?"
"Mungkin. Maksudku, kadang-kadang aku juga suka marah,"
katanya.
"Bukan marah, Adam." Aku mengepalkan jemariku lebih kuat.
"Aku murka, liar..."
"Oke, aku dapat membayangkannya," dia menyela.
"O ya? Biarkan aku menyelesaikan ceritaku," aku mendesak.
"Mungkin kaupikir aku marah pada Cindy. Dan itu memang betul.Tetapi yang ingin kuhabisi adalah cowok itu. Jay. Dan itu yang
kulakukan. Aku memulainya secara halus."
Adam berdiri dan bersandar pada pagar. "Kurasa aku tak ingin
mendengarkannya."
"Tetapi aku harus menceritakannya padamu." Aku melompat
juga, dan berdiri di sebelahnya. "Hei, kita berada di panggung ini lebih
dari tiga jam. Selama tidak ada orang yang tenggelam atau
semacamnya, lebih baik kau mendengarkan ceritaku."
Aku mendorong lengannya. "Siapa tahu? Kau mungkin belajar
sesuatu."
Adam tetap tenang, mengawasi orang-orang yang berenang di
pantai.
"Seperti sudah kukatakan, aku memulainya secara halus," aku
melanjutkan. "Kuletakkan catatan di loker Jay, supaya dia tahu aku
telah melihatnya bersama Cindy. Lalu aku memojokkan dia di
ruangan loker dan kukatakan dia akan menyesali perbuatannya.
"Kemudian aku bertemu dengannya secara tidak sengaja di
koridor. Lalu aku mengejarnya. Memperingatkan dia untuk bersiap-
siap."
"Itukah yang kaumaksud secara halus?" tanya Adam sinis.
Aku mengangkat bahu. "Bagiku ya. Ingat, aku merasa seperti
ada bom waktu di dalam diriku. Tik, tik, tik."
Aku memegang erat pagar panggung, dan ruas jariku memutih.
"Oke. Siap untuk bagian akhir cerita?"
Adam tetap mengamati pantai. Mungkin dia berharap sesuatu
akan terjadi di sana, pikirku. Sesuatu yang membuatku berhenti
berbicara.Aku tidak menyalahkannya. Aku sendiri sebenarnya tidak suka
dengan cerita itu. Tetapi aku harus menceritakan padanya.
Harus!
"Well, Jay tidak percaya kalau aku ingin memberinya
pelajaran," aku meneruskan. "Maksudku, selama itu aku cuma
ngomong saja, tidak berbuat apa pun. Dan setelah beberapa saat dia
mengira aku tidak serius. Tentu saja, dia salah."
"Langsung saja ke inti masalahnya." Adam kelihatan tak sabar.
"Apa yang terjadi?"
"Suatu hari aku membawa dia ke hutan. Dan kupukul dia. Dia
tidak siap, kan? Dia pikir aku tidak serius. Tetapi aku serius!" aku
menjelaskan dengan keras. "Dan semakin dia berteriak, semakin keras
aku memukulnya! Aku memukulnya begitu hebat sehingga dia hampir
mati!"
Kepalaku berdenyut-denyut, dan napasku menjadi semakin
cepat.
"Hei, Sean, tenang," Adam berbisik gugup.
"Aku tak bisa tenang," kataku. "Kejadian itu terjadi dua tahun
yang lalu, tetapi rasanya seperti baru kemarin. Muka Jay yang
berdarah. Kupukuli tubuhnya sampai lecet dan berdarah juga. Aku
ketakutan sendiri, aku telah kehilangan kontrol diri."
Aku mengambil napas dalam. Lalu sekali lagi. Napasku
akhirnya lebih tenang, dan jantungku berhenti bergemuruh.
"Kurasa itu sebabnya mengapa aku menjadi pengawas pantai,"
kataku. "Karena aku memang harus menyelamatkan hidup, bukannya
mengambil nyawa. Kadangkala aku tidak dapat mengontrol
kemarahan yang kumiliki."Adam tidak berkata apa pun pada awalnya. Dia membunyikan
peluit pada beberapa anak yang saling menendang pasir. Lalu dia
beranjak dari pagar.
Aku mendengar dia duduk di kursinya dan mendesah. "Hei,
Sean," akhirnya dia berkata. "Mengapa kau menceritakan ini padaku?"
"Sederhana saja," aku membalasnya. Aku berbalik dan
menatapnya melalui atas kacamata hitamku. "Karena aku melihat
caramu memandang Alyce"Bab 7
ADAM KETIKA aku menaiki tangga menuju apartemenku, suara Sean
terus terngiang-ngiang di telingaku. Aku melihat caramu memandang
Alyce.
Dan aku terus membayangkan cowok itu? Jay?yang dipukuli
Sean. Atau begitulah katanya.
Apakah Sean betul-betul melakukannya? aku bertanya-tanya.
Sean memang suka bercanda. Mungkin ini cuma gurauannya
saja. Ceritakan pada Adam cerita bohong menyeramkan yang
berlumuran darah dan perhatikan orang bodoh yang mudah tertipu itu
menanggapinya.
Tapi, entah mengapa, aku yakin dia tidak bergurau. Tidak ini
kali. Ebukulawas.blogspot.com
Aku memperhatikan mukanya ketika ia sedang bercerita. Tak
seorang pun dapat berpura-pura seperti itu. Mata yang gelap
menandakan kemarahan. Bibir berkerut karena marah. Murka, seperti


Fear Street Super Chiller Gelombang Pasang High Tide di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katanya. Liar.
Dan tangannya. Tangannya mengepal. Memegang pagar kayu
seolah-olah dia ingin merenggutnya. Dia pasti dapat melakukannya.Dia jelas punya kekuatan untuk merenggut pagar itu dan menghajar
seseorang dengannya.
Tidak, bukan seseorang, aku mengingatkan diriku sendiri.
Akulah orang yang ingin dihajarnya. Akulah orang yang ingin diberi
peringatan olehnya.
Karena dia tidak suka caraku memandang Alyce.
Ketika meraih pintu apartemen, aku mencoba mengenyahkan
bayangan Sean. Lupakan Sean, pikirku. Aku tak boleh terpengaruh
olehnya. Aku punya sesuatu yang lebih baik untuk dipikirkan. Sesuatu
yang lebih baik untuk dilakukan.
Khususnya nanti malam.
Sambil tersenyum memikirkan rencana nanti malam, aku
membuka pintu dan melangkah ke dalam apartemen. Apartemenku
berada di lantai dua sebuah bungalo dua lantai yang sempit?satu
kamar tidur, satu kamar mandi, dan ruang duduk yang memanjang
dengan dapur di ujungnya. Tapi apartemenku cukup dekat dengan
pantai, dan memiliki balkon dengan pemandangan bukit pasir yang
luas.
Ian duduk di sofa, membalik-balik majalah olahraga. "Kau
datang tepat waktu," katanya ketika aku masuk. "Aku telah memesan
pizza. Akan datang beberapa saat lagi."
"Bagus. Aku lagi lapar." Sambil meletakkan tas pantaiku, aku
mengenyahkan perasaan tak enak dan menjatuhkan diri di sofa. "Apa
yang kaulakukan di hari liburmu?"
"Menurutmu apa?" Ian meringis. "Aku mengawasi pantai."
Aku meringis. "Maksudmu, kau mengawasi semua cewek di
pantai.""Tidak semua. Cuma yang muda-muda saja, yang
penampilannya oke."
Aku tertawa. "Ada yang kautemukan?"
"Lusinan. Ratusan malah!"
Aku tertawa lagi. Ian memang tergila-gila pada cewek. "Dan
apakah kau berhasil menemukan seseorang untuk diajak kencan?"
tanyaku. "Atau apakah mereka semua menampikmu?'
Sebelum Ian dapat menjawab, seseorang mengetuk pintu.
"Makanan!" teriak Ian sambil melompat untuk membukakannya. Dia
membayar, lalu membawa kotak pizza ekstra-besar itu ke meja kopi.
Perutku keroncongan ketika mencium bau keju dan pepperoni.
Aku makan dua potong pizza dengan cepat, lalu pergi ke dapur untuk
mencari minuman.
"Kulkas ini nyaris kosong," keluhku ketika aku membuka
kulkas. "Giliran siapa sih yang beli makanan?"
"Oke, oke, giliranku," Ian mengakui. "Tetapi aku sudah
membeli makanan untuk malam ini, kan?" Dia mengacungkan
sepotong pizza. "Aku akan menerima bayaran beberapa hari lagi. Lalu
aku akan membeli persediaan makanan."
Aku tertawa. "Aku sudah akan mati kelaparan. Jangan-jangan
kau sudah menghabiskan uang terakhirmu untuk membayar pizza."
Ian menggelengkan kepala. "Tidak. Tapi aku butuh sisa uangku
untuk malam ini."
"Aha!" teriakku. "Artinya kau sudah berhasil mendapat teman
kencan?"
"Memangnya kau pikir apa?" Sambil meringis lagi, sekilas Ian
melihat arlojinya. "Wow! Lebih baik aku bersiap-siap." Dia melemparpotongan pizza ke dalam kotaknya dan bergegas meninggalkan ruang
duduk.
Ketika mengambil kotak jus jeruk, aku mendengar suara
pancuran mengalir. "Hei, jangan lama-lama!" teriakku. "Aku mau
mandi juga. Dan jangan pakai semua air panas!"
"Kenapa sih buru-buru?" Ian balik berteriak.
"Aku mau pergi juga malam ini!" Kubuka kotak jus terakhir dan
berbalik menuju sofa.
"Aku juga mau pergi lho!" teriaknya.
Suara pancuran terus terdengar sampai beberapa menit. Ketika
sedang makan potongan pizza yang ketiga, aku mendengar suara pintu
kamar mandi terbuka. "Kau tidak memerlukan mobilmu, kan?" teriak
Ian dari kamar tidur.
"Kurasa begitu. Kenapa?" tanyaku.
"Aku perlu kendaraan. Boleh pinjam mobilmu?"
"Pinjam lagi?" tanyaku. "Ian, kau meminjam mobilku setiap
malam. Sudah seminggu aku tidak melihat mobilku."
"Ah?ternyata kau kangen juga pada mobilmu," kata Ian
bercanda.
Aku menggelengkan kepala dan terus mengunyah pizza. Ian
punya kebiasaan meminjam semua barangku. Mobil, handuk, uang,
CD?sebut apa saja, dia pasti akan meminjamnya.
"Jadi, bolehkah aku menggunakannya malam ini?" tanya Ian.
"Ini benar-benar penting."
"Oke, oke," omelku. Lagi pula, sebenarnya aku tidak
memerlukan mobil."Terima kasih. Kau tidak akan menyesal," katanya padaku.
"Aku bahkan akan mengisi bensinnya."
"Sebaiknya begitu," aku mengingatkannya ketika ia berjalan ke
arah ruang duduk. "Terakhir kalinya kau..." Aku berhenti bicara, lalu
menatapnya.
Ian berdiri di depan sofa, mengenakan T-shirt yang senada
dengan mata birunya yang cerah. Ketika aku mengamatinya, ia tengah
memasukkan T-shirt-nya ke dalam celana jeans hitamnya.
"Ada apa?" tanyanya, memperhatikan tatapanku.
Aku memandang marah kepadanya. "Bukankah itu celana
jeans-ku?"
Ian meringis dan menyisir rambutnya yang pirang pasir dengan
jari-jarinya. "Yah. Benar-benar cocok. Enak dan juga lembut."
"Terima kasih," kataku sebal. "Aku benar-benar senang kau
mengakuinya."
Dia tertawa. "Akui saja, Adam, jeans ini lebih cocok untukku.
Lagi pula, aku mau berkencan dengan cewek yang benar-benar hot,
yang kutemui di pantai."
"Aku juga," kataku padanya.
"Yah, tetapi... hah?" Ian ternganga lebar ke arahku, benar-benar
terkejut. "Maksudmu kau tidak kencan dengan Leslie?"
Aku menggelengkan kepala. "Hei, memangnya aku dan Leslie
sudah bertunangan," kataku.
"Tentu saja, tetapi kau kan tahu bagaimana cemburunya dia,"
Ian mengingatkan. "Ingat waktu dia menelepon dan teman kencanku
yang mengangkatnya? Leslie yakin kau punya pacar di sini dan dia
jadi marah sekali."Aku mengangguk. Leslie memang mudah marah. "Aku tetap
mau pergi malam ini," kataku. "Cuma kencan biasa, kok."
"Oke, tetapi sebaiknya Leslie jangan sampai tahu," dia
memperingatkan aku.
Aku memutar bola mataku. "Terima kasih atas nasehatnya,
Mom." Sambil melemparkan lapisan kulit pizza ke dalam kotak, aku
pergi ke kamar tidur dan bersiap mandi.
Ketika aku berdiri di bawah pancuran, membersihkan pasir dan
krim matahari, kata-kata Sean kembali melintas dalam pikiranku.
Aku melihat caramu memandang Alyce.
Aku mengarahkan wajahku ke arah percikan air hangat,
membayangkan kemarahan yang terpancar di mata Sean dan
bagaimana otot-ototnya menonjol saat dia mengepalkan tangannya.
Sambil menggelengkan kepala, aku mencoba mengenyahkan
ancaman Sean dari pikiranku. Aku menjadi cengeng, pikirku.
Akankah aku terus membiarkan Sean menakut-nakutiku? Membiarkan
rasa cemburunya yang membabi buta itu merusak acaraku malam ini?
Tidak akan.
Cukup sudah, pikirku. Maka lupakan saja Sean. Lupakan Leslie.
Sekarang waktunya untuk bersenang-senang.
Aku mencuci rambutku, lalu melangkah keluar pancuran.
Ketika sedang menyeka uap di cermin, telepon di kamar tidur
berdering.
"Hei... Ian, bisa kauangkat telepon?" teriakku.
Telepon berdering lagi.
"Ian?"
Tidak ada jawaban."Ian, angkat teleponnya dong!" teriakku.
Tidak ada jawaban. Tidak ada suara langkah kaki.
Telepon berdering untuk keempat kalinya.
Aku segera mengambil handuk, mengenakannya di sekeliling
pinggang, lalu membuka pintu kamar mandi.
Telepon ada di meja di antara dua tempat tidur, berdering untuk
kelima kalinya.
Tetapi aku tidak mengangkatnya.
Aku tidak bergerak. Aku tak dapat bergerak.
Yang dapat kulakukan adalah menatap tempat tidur Ian.
Ian terbaring telungkup di atas penutup seprai, kepalanya
tergantung di sisi tempat tidur.
Tangannya terentang di sisi tubuhnya.
Kakinya terpilin dan bengkok dengan posisi yang mengerikan,
seperti ada orang yang telah mematahkannya di bagian tempurung
kaki.
Aku tak dapat melihat wajahnya. Tetapi aku tidak perlu
melihatnya.
Ian tidak bergerak. Dia tidak berkedut. Punggungnya tidak naik-
turun seperti layaknya orang bernapas.
Dia memang tidak bernapas.
Ian sudah mati!Bab 8
RUANGAN terasa berputar liar. Perutku rasanya seperti
terkocok.
Aku berusaha keras menahannya dan menutup mataku,
berpegangan erat pada tiang pintu supaya tidak terjatuh.
Ian? Ian? Meninggal?
Lakukan sesuatu! Aku mendesak diriku.
Tetapi apa?
Telepon berdering kembali. Itu dia, pikirku, telepon polisi.
Telepon 911.
Kubuka mataku.
Dan terkesiap.
Tubuh Ian telah lenyap.
Sambil mengedipkan mata, aku menatap tempat tidurnya. Baju-
bajunya yang berantakan bertebaran di kasur.
Aku menggelengkan kepala dan mengedipkan mata lagi. "Ian?"
Ternyata yang kulihat adalah jeans dan T-shirt Ian yang lusuh.
Ia tidak pernah ada di sana, aku menyadarinya. Ternyata yang
kulihat cuma pakaiannya saja. Ia sudah bergegas pergi untuk
menjumpai teman kencannya.Aku berhalusinasi lagi, aku menyadarinya sambil mengerang.
Terjadi lagi.
Mengapa? Mengapa tiba-tiba aku mengalami hal seperti ini?
Telepon berdering, dan aku meloncat menyeberangi ruangan
untuk mengangkatnya. "Halo?" jawabku terengah-engah.
"Adam?" tanya Leslie, kedengarannya ragu-ragu. "Apakah itu
kau?"
"Yah," jawabku dengan napas putus-putus lalu merebahkan diri
di atas tempat tidur. "Ini aku."
"Apa kau baru saja datang? Kedengarannya kau seperti baru
saja berlari."
"Aku, eh... tidak, aku sedang mandi," kataku. "Aku mendengar
dering telepon dan ketika aku datang, ternyata..."
"Adam, suaramu benar-benar aneh," ujar Leslie. "Ada apa sih?"
"Uh..." aku menatap sekilas tempat tidur Ian lagi. "Pakaian Ian."
"Hah? Pakaian Ian?" suara Leslie meninggi. "Kau bicara apa
sih? Apa yang terjadi?"
"Aku tak tahu!" teriakku. Aku menghela napas dalam lagi.
"Maaf, tetapi ketika aku keluar dari pancuran untuk mengangkat
telepon, aku melihat pakaian Ian," aku menjelaskan. "Dia
melemparnya di atas tempat tidur ketika ia berganti pakaian... dan aku
mengira..."
"Kau mengira apa?" tanyanya.
"Dia tergeletak di sana," kataku.
"Lalu? Sekarang sudah sore. Ruangan mungkin sudah
berbayang," dia menjelaskan. "Matamu teperdaya oleh bayangan itu.""Bukan, kau tidak mengerti, Leslie," bantahku. "Aku benar-
benar melihat tubuh Ian. Mayatnya. Itu bukan semacam ilusi pada
penglihatan mata. Lagi pula, hal ini terjadi juga pagi tadi. Aku
mengira kakiku hilang. Rasanya aku sudah sinting."
"Oh, Adam," desah Leslie bersimpati. "Aku tak percaya kau
mulai berhalusinasi lagi."
"Yah, begitu juga aku," kataku menyetujuinya. "Dr. Thall juga
kaget."
"Sudah semestinya," Leslie menggerutu. "Apa yang dia katakan
mengenai kejadian itu?"
"Tidak banyak," aku mengakui. "Menurutnya pikiran bawah-
sadarku mencoba menjelaskan sesuatu padaku."
Dia mendesah lagi. "Aku benar-benar mencemaskan dirimu,
Adam. Dan menurutku Dr. Thall yang hebat tidak membantumu sama
sekali. Tampaknya kau benar-benar tertekan."
"Ya, tetapi?"
"Apa kau ingin aku datang?" tanyanya. "Aku akan menyewa
film dan membawa pop-corn. Aku bisa sampai di sana dalam waktu
dua puluh menit."
"Terima kasih, tetapi aku sedang tidak ingin melakukan apa
pun." kataku cepat, tiba-tiba ingat pada kencanku malam ini. "Aku
akan menjadi teman yang menjengkelkan bagimu."
"Aku tidak apa-apa, kok."
"Aku tahu, tetapi rasanya aku masih gemetaran." Itu memang
benar, pikirku. "Aku mau tidur-tiduran saja, oke?"
"Oh. Oke." Leslie kedengarannya benar-benar kecewa.
"Aku akan meneleponmu besok," kataku padanya."Baiklah, Adam," dia menyetujui, suaranya pelan. "Besok."
Aku mengucapkan good-bye dan memutuskan telepon.
Keterlaluan, kataku pada diriku sendiri. Kau telah menyakiti
perasaannya.
Tetapi setidaknya aku tidak berbohong kepadanya, pikirku.
Keadaanku tidak terlalu baik. Aku baru saja melihat sesuatu yang
sesungguhnya tidak ada di sana. Dan aku tak tahu mengapa.
Aku juga benar-benar gemetaran, sehingga aku berbaring di
tempat tidur. Tetapi setelah beberapa menit, aku bangun. Tidur-
tiduran hanya membuatku gelisah. Aku harus terus bergerak, pikirku.
Aku berpakaian, lalu kembali ke kamar mandi untuk menyikat
rambutku. Kutatap diriku sendiri di cermin. Aku benar-benar syok
wajahku tampak pucat.
Kuasai diri, kataku pada diriku sendiri. Kau tidak bisa
berpenampilan seperti orang sedang dikejar-kejar makhluk asing atau
semacamnya di depan teman kencanmu.
Aku menuju ke ruang duduk dan memasang CD. Bunyi musik
bahkan membuatku lebih gelisah. Aku mematikannya dan mengecek
arlojiku.
Bukan waktunya untuk pergi, tapi bagaimanapun aku
memutuskan untuk pergi. Aku akan menelusuri jalan papan, lalu
menuju ke kota. Mungkin itu dapat menenangkan hatiku.
Kuraih ranselku di atas sofa dan mengambil dompetku. Ketika
aku mengecek untuk memastikan punya cukup uang, perutku berbunyi
perlahan. Tiga potong pizza tampaknya tidak cukup.Pizza sudah dingin sekarang. Aku memasukkan kotak pizza ke
dalam keranjang sampah, dan mengambil sebutir apel hijau dari
mangkuk di dapur lalu bergegas ke arah pintu.


Fear Street Super Chiller Gelombang Pasang High Tide di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil meraih gagang pintu, aku mengangkat apel yang
mengilap ke mulutku.
Kulit apel yang hijau tampak meleleh.
Tanganku membeku pada gagang pintu.
Jantungku seakan berhenti, lalu mulai berpacu.
Kulit apel terus berubah bentuk. Berkerut, lalu meregang.
Meleleh, sampai aku melihat apa yang ada di dalamnya.
Tengkorak.
Aku sedang memegang tengkorak hijau yang sudah membusuk.
Aku dapat mencium baunya. Apek dan busuk, dengan rongga mata
yang kosong dan kulit yang tercabik terjuntai dari gigi hitam yang
bergerigi dan terpilin.
Ketika aku menatapnya dengan ketakutan, rahang apel yang
basah mulai bergerak. "To-long aku, Adam!" Suara parau keluar dari
dalam apel yang berteriak. "Tolong. Jangan biarkan aku tenggelam!"Bab 9
SEAN TENANG, Sean, kataku pada diri sendiri ketika aku berjalan
sepanjang jalan setapak menuju cottage pantai Alyce. Dia ada di sana.
Dia cuma bercanda tadi sore bahwa dia punya rencana lain.
Benar, kan?
Tentu saja dia pasti bercanda. Dia kan tergila-gila padaku! Dia
tidak akan minggat dariku seperti yang pernah dilakukan Cindy.
Jalan setapak itu melingkar, dan pandanganku tertuju pada
cottage putih kecil, dengan daun jendela biru dan lampu kuning
pengusir serangga tergantung di depan pintu.
Lampunya menyala.
Yes! pikirku sambil tersenyum. Dia pasti ada di sana,
menungguku!
Kupetik segenggam bunga liar merah yang tumbuh di sepanjang
jalan setapak. Kemudian aku berlari menuju anak tangga kayu di
beranda depan.
Aku mengetuk pintu dengan tidak sabar dan menunggu, masih
sambil tersenyum.
Tidak ada jawaban dari dalam. "Hei, Alyce!" panggilku. "Ini
aku! Sean!"Masih tidak ada jawaban.
Aku menggedor lagi, lebih keras. "Kau tertidur, ya?" teriakku.
"Bangun, Sayang! Ini waktunya bersenang-senang!"
Akhirnya, aku mendengar suara langkah kaki. Aku
menyingkirkan rambut dari dahiku dan mencoba mengatur bunga
untuk membentuk buket. Beberapa cabangnya patah, tetapi bunga itu
masih kelihatan cukup bagus.
Pintu terbuka.
Kathy, teman sekamar Alyce, menatapku. Dia mengenakan
jubah mandi dan handuk yang menutupi kepalanya. "Oh. Sean, hai,"
katanya. "Kau membuatku takut, berteriak dan menggedor-gedor pintu
seperti itu."
"Maaf," kataku padanya. Aku menarik sekuntum bunga dan
mengulurkannya kepadanya. "Ini. Masukkan bunga ini ke dalam vas.
Setiap kali kau melihatnya, kau akan teringat padaku."
Kathy tertawa genit dan mengambil bunga itu. "Wow. Kau
tidak perlu melakukannya." Dia menepuk-nepuk handuk basahnya.
"Lebih baik aku mengeringkan rambutku sekarang."
"Boleh saja. Maukah kau memberitahu pada Alyce bahwa aku
ada di sini?"
"Um..." Dia menggigit bibirnya. "Aku mau, tetapi... aku tak
dapat."
"Apa?"
"Aku tak dapat memberitahunya," dia mengulangnya pelan.
"Alyce tidak ada di sini."
Aku memandanginya.
"Oke... sampai nanti, Sean." Dia mulai menutup pintu."Tunggu sebentar." Aku meletakkan telapak tanganku di pintu
untuk menahannya supaya tetap terbuka. "Maksudmu, dia belum
sampai di sini, kan? Dia sedang pergi untuk mengurus beberapa
keperluan, kan?"
"Tidak begitu tepatnya."
"Maksudmu apa sih?" tanyaku. "Di mana sebenarnya dia?"
"Aku tidak tahu." Kathy menggigit bibirnya dan menepuk-
nepuk handuk lagi. "Sean, rambutku?"
"Lupakan rambutmu!" bentakku. "Aku tanya padamu di mana
Alyce berada. Sekarang katakan padaku!"
"Aku tidak tahu!" dia bersikeras. "Dia tidak bilang padaku. Dia
cuma bilang akan pergi keluar. Kurasa dia pergi ke bioskop atau
semacamnya, tetapi aku tidak yakin."
Kali ini perasaan berdesir itu tidak bermula dari yang kecil
melainkan langsung seperti api yang bertiup, membakar di dalam
hatiku. Membakar demikian cepat dan hebat sehingga aku tak dapat
berkata-kata.
Kathy menatapku untuk beberapa saat, lalu dengan cepat
menutup pintu.
Aku memukul pintu dengan marah, lalu berbalik dan melompati
beranda kayu. Ketika melangkah di jalan setapak, aku sadar masih
menggenggam bunga liar di tanganku.
Perlahan, kuremuk bunga merah itu dengan jari-jariku.
Inilah yang ingin kulakukan pada cowok itu, pikirku. Aku ingin
meremukkan cowok yang pergi bersama Alyce.Sambil berteriak marah, kulempar batang bunga itu ke arah
pintu cottage Alyce yang berwarna biru dan bergegas menuju
mobilku.
Akan kucari cowok itu.
Tetapi tidak akan seperti dulu, aku memutuskan, ketika aku
membuat cowok Cindy menunggu. Memperdaya dia supaya berpikir
kalau aku tidak serius, sebelum menghajarnya. Aku tidak akan main-
main saat ini. Aku tak bisa main-main lagi.
Darahku mendidih, siap meledak. Aku tak dapat menunggu
berhari-hari untuk meladeni cowok itu. Aku harus melakukan
secepatnya, atau aku akan meledak.
Sambil mencengkeram setir, aku membelok di tikungan dan
mengarahkan mobil ke jalan utama di Logan Beach. Kota diwarnai
suasana musim panas, sehingga penuh dengan para turis, kelompok
anak-anak, dan kepadatan lalu lintas.
Di depanku, sebuah van mengerem dan siap-siap mundur ke
tempat parkir. Sambil membunyikan klakson, aku menginjak gas lalu
menderu dan mengambil posisi berhadapan dengan van itu.
"Hei!" Supir van, seorang pria pendek dengan perut buncit,
menghampiri jendelaku dengan marah dan angkuh. "Tidakkah
kaulihat lampu senku? Kau menyerobot tempat parkirku!"
"O ya?" Kudorong pintu hingga terbuka dan keluar. "Aku tak
melihat namamu di tempat itu."
"Tetapi... tetapi..." dia tergagap.
"Tetapi apa?" teriakku di depan mukanya. "Kau tidak mau
berkelahi gara-gara tempat parkir, kan?""Wow! Siapa bilang mau berkelahi?" Pria itu mengangkat
tangannya dan mulai mundur.
Ketika aku melangkah ke arahnya, dia berbalik dan buru-buru
kembali ke dalam vannya.
Aku mengejarnya, lalu berhenti.
Tenang saja, kataku pada diri sendiri. Jangan ladeni orang tolol
itu. Simpan saja untuk orang lain.
Cowoknya Alyce.
Aku mengambil napas dalam, lalu berjalan ke arah toko
makanan yang berada di seberang satu-satunya bioskop di kota ini.
Lobi bioskop kosong. Bagus. Pertunjukan belum selesai.
Pertunjukan bahkan belum dimulai, pikirku sambil tersenyum
muram. Ketika cowok itu keluar?maka pertunjukan yang sebenarnya
akan dimulai.
Aku bersandar di depan toko makanan dan menunggu, berpikir
tentang Alyce. Bisa-bisanya dia berbuat begini setelah aku
memperingatkan dia tentang apa yang akan terjadi? Apakah dia
menganggap aku bercanda?
Lihat saja nanti, pikirku, memeriksa arlojiku. Tidak lama lagi
dia akan melihat bahwa aku serius.
Betul-betul serius.
Ketika aku memandangi lobi lagi, tiba-tiba aku tegang. Orang-
orang mulai bergerak ramai di dalam, menuju ke pintu. Bioskop telah
bubar.
Ayolah, Alyce, diam-diam aku mendesaknya. Ayolah keluar.
Biar aku melihat cowok yang bersamamu.Pintu-pintu bioskop terbuka, dan aku sekilas melihat rambut
merah terang bersinar di bawah lampu.
Alyce.
Ketika melangkah keluar, dia meraih dan memegang tangan
cowok di sebelahnya.
Kutatap wajah cowok itu dan merasakan kemarahan di dalam
hatiku mulai mendidih semakin cepat. "Aku tidak percaya!" makiku
pada diri sendiri. Ebukulawas.blogspot.com
"Alyce pergi bersamanya?"Bab 10
AKU memejamkan mata. Itu bukan dia! Dia tak akan berbuat
begitu padaku.
Itu pasti orang lain!
Aku membuka mataku dan menatap ke seberang jalan lagi,
berharap aku salah lihat.
Tetapi itu cowok yang sama yang berdiri di sebelah Alyce,
meremas tangannya dan tersenyum padanya.
Aku tak percaya, pikirku lagi. Cowok yang selalu kutemui
setiap saat. Temanku!
Bukan?dia bukan temanku. Dia hanya pura-pura menjadi
temanku.
Dan sekarang dia pergi diam-diam dengan cewekku.
"Wow!"
Napasku menjadi berat dan cepat. Kukepalkan kuku-kuku
tanganku ke dalam telapak tangan dan kurasakan darah memukul-
mukul kepalaku hingga terasa sakit.
Kejar dia! pikirku, sambil menatap ke seberang jalan. Aku
sudah menunggu terlalu lama.
Kejar dia sekarang!Ketika hatiku semakin terbakar oleh kemarahan, aku bergegas
meninggalkan toko makanan dan menyerbu ke jalanan.
Kejar dia! pikiranku berdengung. Pukul dia! Pukul senyumnya
hingga menghilang dari wajahnya!
Tiba-tiba terdengar bunyi klakson, cukup dekat untuk
membuatku terloncat. Sebuah truk besar menghalangiku.
"Hei!" jeritku kaget.
Dan aku berhenti mendadak beberapa senti di depan truk itu.
"Tolol!" pria di kursi penumpang berteriak sementara truk
berjalan perlahan. "Kau mau mati, ya? Perhatikan jalanmu dong!"
Aku berjalan cepat-cepat ke belakang truk, hendak
menyeberang di belakangnya. Tetapi sebuah van tua berjalan di
belakang truk, menghalangi jalanku.
"Hei!" teriakku, menendang van itu. "Singkirkan mobil ini.
Cepat!"
Van itu merangkak pelan-pelan. Suara musik menggelegar dari
speaker, dan anak-anak di dalamnya tertawa ketika aku menendang
lagi dengan frustrasi.
"Tendang lebih keras lagi, man!" salah satu anak mengejek.
"Mungkin jari kakimu akan patah!"
Tawa mereka lepas kembali ketika van berlalu perlahan. Aku
mengepalkan tanganku dan mengertakkan gigiku. Aku merasa seolah
sedang menarik anak-anak itu, satu per satu, dan menunjukkan pada
mereka bahwa hidup ini tidak sedemikian lucu. Bahwa hidup dapat
menyakitkan.
Simpan saja, aku mengingatkan diriku sendiri. Simpan saja
untuk cowok yang menggandeng tangan Alyce.Simpan saja untuk si penjilat yang pura-pura menjadi temanku.
Akhirnya van itu berlalu. Aku memandang ke arah bioskop.
Alyce dan teman kencannya sudah pergi.
Terdengar aneka bunyi klakson. Lampu-lampu sorot
bermunculan dari arah berlawanan. Aku berhenti, mencoba
memutuskan jalan mana yang akan kulalui.
Seseorang berteriak ke arahku, menyuruhku pergi.
Dengan berlari kencang di antara mobil-mobil yang mendekat,
aku menyeberangi jalan, menuju trotoar.
Mereka tidak mungkin menghilang begitu cepat, pikirku.
Mereka pasti cuma hilang di antara keramaian saja.
Aku harus menemukan mereka. Akan kupukul cowok itu.
Memberinya pelajaran.
Aku harus meredakan kemarahan yang membakar diriku ini.
Dalam kekalutanku untuk menemukan mereka, aku
menjulurkan leher, mencari lagi rambut Alyce yang merah.
Aku tak dapat menemukannya.
Dengan geram, aku memasuki keramaian dan mulai menyeruak
jalan dengan bahuku. Aku harus menemukan mereka! kataku dalam
hati. Aku akan membalas Alyce atas perbuatannya. Aku harus
membalasnya!
Masih sambil menjulurkan leherku, aku bertubrukan dengan
seorang gadis yang sedang membelok di ujung jalan.
"Leslie!"
Leslie Jordan terhuyung-huyung ke belakang. Dia memegangku
supaya tidak jatuh."Ada apa, Sean?" teriak Leslie, menenangkan dirinya dan
menggosok lengannya. "Hati- hati dong, kalau berjalan! Kau hampir
saja membuatku jatuh!"
"Apakah kau melihat Alyce?" desakku terengah-engah.
"Apakah kau melihat dengan siapa dia pergi?'
Leslie menyelipkan rambutnya yang gelap ke belakang
telinganya dan mendesah. Cahaya memudar di matanya. "Ya,"
desahnya. "Aku melihatnya."
Aku mengertakkan gigiku bersamaan dengan darahku yang
memompa semakin keras.
Leslie mendesah lagi. "Dengar, aku tahu bagaimana
perasaanmu sebenarnya?"
Aku tidak mau menunggunya menyelesaikan kata-katanya.
"Aku harus pergi," gerutuku, sambil menyuruhnya menyingkir ke
trotoar.
"Sean, tunggu!" panggil Leslie.
Aku mengabaikannya dan tetap pergi. Hanya ada satu hal dalam
pikiranku.
Cari cowok itu.
Pukul dia sampai babak belur.
Beri dia pelajaran yang tidak akan pernah bisa dia lupakan.
Keramaian menipis dan sekarang aku dapat melihat lebih baik.
Tetapi Alyce tetap belum kelihatan.
Aku terus berjalan di sepanjang trotoar, sambil mengawasi
kedua sisi jalan.
Cari dia! pikirku. Dapatkan dia! Pukul dia!"Hei! Hati-hati, man!" teriak seorang cowok ketika aku
menabraknya. Kelihatannya dia berumur lima belas atau enam belas.
Aku merenggut bagian depan T-shirt cowok itu dan
menjulurkan mukaku ke arahnya. "Mengapa bukan kau saja yang hati-
hati, tolol?"
Mata cowok itu melebar. "Tentu saja," katanya dengan tak
berdaya. "Hei, terserahlah apa katamu. Aku menyesal."
"Enak saja," geramku. "Kau tidak tahu menyesal itu apa, jadi
aku mau mengajarimu!"
Sambil mencengkeram belakang lehernya, kudorong dia ke
dalam lorong gelap yang dibatasi barisan tempat sampah dari logam.
Dia jatuh berlutut dengan napas terengah-engah.
Kurenggut dia hingga berdiri, kuputar badannya, lalu kutinju


Fear Street Super Chiller Gelombang Pasang High Tide di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wajahnya.
Darah menyembur dari hidungnya. Dia berdiri sempoyongan,
lalu terhuyung-huyung ke arah salah satu tempat sampah. Sebelum dia
jatuh ke tanah, kutegakkan badannya lagi.
"Apakah kau menyesal?" ejekku. "Hah?"
Darah menetes ke bibirnya dan dagunya. Dia mencoba
berbicara, tetapi aku tidak memberinya kesempatan.
Kuhantam perutnya, dan ketika dia terbungkuk-bungkuk,
kulompati badannya dan kugulingkan ke tanah.
Lalu aku merengkuhnya. Kupukul tulang rusuk dan
punggungnya. Kuarahkan tinjuku ke perutnya lagi.
"Kau menyesal, hah?" tanyaku. "Kau menyesal?"
"Sean!"
Ada suara cewek di belakangku."Sean!" Itu Leslie. "Hentikan, Sean!"
Dia merenggut T-shirt-ku dari belakang. Aku berusaha
melepaskan diri darinya, tetapi dia menyambar lagi.
"Hentikan! Hentikan!"
Leslie melilitkan tangannya di leherku dan menarik kepalaku ke
belakang. "Hentikan! Hentikan!" jeritnya di telingaku. "Kau akan
membunuhnya!"Bab 11
GILA.
Aku benar-benar gila tadi malam.
Keesokan harinya, sambil duduk di kursi pengawas pantai, aku
mencoba tetap berkonsentrasi pada pekerjaanku. Mengawasi pantai.
Memperhatikan para perenang dan para peski-air.
Tetapi aku terus membayangkan anak yang malang itu. Darah
yang menyembur dari hidungnya. Cara dia melingkarkan tangan di
sekitar lehernya untuk melindungi dirinya sendiri. Mata yang benar-
benar menampakkan ketakutan.
Aku lepas kontrol. Benar-benar gila! Anak itu pasti tahu apa
yang akan kulakukan. Dia telah melihatnya di wajahku. Aku akan
membunuhnya.
Akui saja, Sean, pikirku. Jika Leslie tidak ada di situ, anak itu
akan terbaring di lorong itu pagi ini. Akibat kaupukul sampai remuk.
Sambil gelisah di kursiku, aku teringat tangan Leslie yang
mengunci leherku. Dan jeritannya yang ketakutan di telingaku.
Mulanya aku tidak mendengar kata-katanya. Aku berusaha
melepaskan diri dari tangannya.Tetapi dia tetap bertahan. Bertahan dan menjerit sampai
akhirnya aku menyadari apa yang sedang kulakukan. Lalu aku
berhenti.
Leslie akhirnya melepaskan leherku dan menatapku dengan
ekspresi tegang penuh ketakutan di wajahnya.
"Jangan pandangi aku seperti itu," kataku padanya. "Tidak apa-
apa. Betul. Aku sudah tidak apa-apa."
"Apa yang terjadi?" tanya Leslie dengan suara gemetaran.
"Mengapa kau memukulinya? Apa yang telah dia lakukan?"
Aku menggelengkan kepala. Aku tak dapat menjelaskannya.
"Ayo kita pergi dari sini."
Aku dan Leslie bersama-sama menolong anak itu berdiri.
Ketika berjalan keluar dari lorong, kuselipkan uang lima puluh dolar
pada anak itu supaya dia tutup mulut.
Aku beruntung dia menurut, pikirku. Kalau mau, dia bisa saja
membuat masalah besar.
Sambil menarik napas panjang, kuubah lagi posisiku di kursi.
Aku mungkin tidak begitu beruntung pada kali berikutnya, kataku
pada diri sendiri. Aku harus mengontrol kemarahanku ini! Aku tidak
ingin merusak hidupku gara-gara Alyce.
Tetapi ketika memikirkan Alyce?dan teman kencannya?
percikan kemarahan berkobar lagi dalam hatiku.
Cowok itu?yang katanya temanku?harus diberi pelajaran!
Aku tak boleh membiarkan dia berbuat semaunya.
Dia mencoba merebut pacarku. Dan dia harus membayarnya!
Percikan kemarahan membara dalam hatiku. Dengan tangan
mengepal pada lengan kursi, aku melompat. Aku tak dapat terusduduk, dengan bayangan Alyce dan cowok itu melekat dalam
pikiranku. Tertawa bersama. Berpegangan tangan!
Aku harus melakukan sesuatu?apa saja? atau aku jadi gila
lagi.
Sambil menggerutu, aku memegang pagar panggung pengawas
pantai dan menatap ke arah laut.
Air laut tampak seperti besi. Abu-abu dan keras. Ombak yang
besar dan tinggi meluap lalu pecah, melontarkan para perenang ke
pantai seperti boneka kain.
Gelombang pasang, tiba-tiba aku menyadarinya. Pasang segera
bendera-bendera merah sebelum ada orang yang menjadi korban.
Aku mengambil tiga bendera peringatan berwarna merah dari
tong di atas panggung pengawas pantai, lalu aku menuruni tangga dan
berlari menuju tepi laut. Kutusukkan satu bendera ke dalam pasir, lalu
berjalan beberapa meter sepanjang pantai.
Ketika sedang menancapkan bendera kedua di pasir, seorang
gadis memandangiku dari alas handuk pantainya. "Untuk apa bendera
itu?" tanyanya sambil memicingkan mata, menantang sinar matahari.
"Ini bendera peringatan," kataku. "Sekarang sedang gelombang
pasang, kau tahu?" Aku menunjukkan garis batas air. "Dan laut bisa
berbahaya."
Dia mengangguk. "Apakah semua orang diharapkan pergi dari
sini?"
"Tidak. Tetapi jangan mengambil risiko," kataku padanya.
"Ketika gelombang tinggi, arus laut dapat sangat berbahaya. Arus ini
luar biasa kuat. Arus ini akan menarikmu ke bawah dengan cepat, kau
bahkan tak akan tahu apa yang menghantammu."Gadis itu tampak sedikit ketakutan. "Kurasa aku akan tetap di
sini saja, di tempat yang aman, dan berjemur di bawah sinar
matahari."
"Bagus." Kutusukkan bendera lebih dalam lagi ke dalam pasir
sehingga tidak akan terbang, lalu berjalan lagi untuk menancapkan
bendera yang ketiga.
Sekitar empat puluh lima meter di depan, dua orang gadis
berdiri di garis pantai, berbicara dengan seorang cowok berambut
cokelat yang menyandang ransel Logan Beach di bahunya.
Adam Malfitano.
Aku berhenti mendadak, mengamati Adam. Dia tampak begitu
tenang, pikirku. Seolah tidak ada sesuatu dalam pikirannya. Tidak ada
kekhawatiran.
Bagaimana dia bisa bertingkah seperti itu?
Api kemarahan mulai menyala lagi.
Salah satu gadis itu menjulurkan tubuh ke arah Adam.
Sepertinya dia mengatakan sesuatu yang lucu, karena Adam
mendongakkan kepalanya dan tertawa.
Saat itulah dia melihatku.
Dia tidak melambaikan tangan. Dia bahkan tidak
menganggukkan kepala.
Malahan, cepat dia melihat sekilas ke pasir. Lalu dia berjalan
sambil menyeret kaki beberapa langkah memunggungi aku, dan
melanjutkan mengobrol dengan gadis-gadis itu.
Dia menghindari tatapanku, pikirku.
Dia tak mau menatap mataku.Apakah dia benar-benar setenang dan sesantai seperti
penampilannya?
Ataukah ini cuma sandiwaranya saja?
Kemarahanku mendidih, dan aku menikamkan bendera begitu
keras, sehingga aku hampir saja mematahkannya.
Tahukah Adam bagaimana marahnya aku? pikirku.
Apakah dia tahu betapa berbahayanya aku bila sedang marah
begini?Bab 12
ADAM "INI benar-benar tidak masuk akal, Adam!" seru Joy Bailey.
"Maksudku, aku dan Raina baru saja membicarakan dirimu kemarin."
"Benar," Raina Foster mengiyakan. "Kemudian kami bertemu
denganmu pada hari per-tama kami di sini. Ini benar-benar aneh,
kan?"
"Ya, memang." Aku meringis, lalu menoleh ke belakang lewat
bahuku.
Aku memperhatikan Sean sedang menancapkan bendera
peringatan ke dalam pasir. Lalu dia berdiri tegak dan menatapku.
Pandangan marah di wajahnya membuatku menggigil.
Dia tampaknya benar-benar tegang, pikirku. Seolah-olah dia
Ajian Duribang 1 Perangkap Karya Kho Ping Hoo Warisan Jenderal Gak Hui 6
^