Pencarian

Pesta Kejutan 2

Fear Street Pesta Kejutan The Surprise Party Bagian 2


bengkak dan berdarah-darah.
Cahaya?Seseorang mengarahkan senternya ke arah mereka. "Meg?
Ngapain... ngapain... kau di sini?" Suara yang sangat dikenalnya
berteriak dari atas jurang.
"Tony? Kaukah itu? Kau nggak kenapa-kenapa? Kau sungguh
nggak kenapa-kenapa?"
Tony menuruni pinggir jurang... kemudian berlari kepadanya,
mengangkatnya, dan memeluknya.
"Tony... aku cemas sekali. Oh, aku lega sekali melihatmu!
Seseorang mencengkeramku dan mendorongku dan..."
Tony memeluknya semakin erat, menekankan pipinya ke dahi
Meg. "Ssshhh. Semuanya akan beres," bisiknya lembut.
"Tapi, Brian...," Meg tergagap. "Dia... dia..."
Meg merasa otot Tony menegang. Cowok itu melepaskan
pelukannya dan melangkah mundur. "Aku sedang mencari bantuan,
tapi tersesat. Aku masuk lebih jauh ke hutan, bukan ke arah jalan."
"Apa yang terjadi?" jerit Meg. Dia langsung panik lagi begitu
Tony melepaskan pelukannya.
"Brian jatuh ke jurang. Mungkin senternya padam dan dia
mencoba lari tanpa senter. Aku tak melihatnya jatuh. Lama kemudian
baru aku menemukannya. Lalu aku mencari bantuan."
"Tapi aku tak mengerti kenapa..."
"Bagaimana kau menemukannya?" tanya Tony. "Meg, kenapa
kau di sini?"
"Seseorang menyerangku. Aku bisa lolos, tapi lalu jatuh,"
jawabnya sambil meraih tangan Tony dan meremasnya. "Oh...
tanganmu tergores."Tony menarik tangannya. "Tergores cabang pohon. Aku lari
mencari bantuan. Mungkin tergores. Siapa yang menyerangmu? Apa
yang terjadi?" Dia bicara dengan lembut, wajahnya sangat cemas dan
penuh perhatian.
Tony masih menyayanginya. Meskipun baru saja mengalami
kengerian luar biasa, Meg kini lega.
"Aku tak bisa melihatnya. Kejadiannya sangat cepat."
"KE SINI! MEREKA DI SINI!"
"ANAK-ANAK, KALIAN OKE?"
Teriakan-teriakan itu berbaur dengan berkas-berkas cahaya
senter. Beberapa detik kemudian, muncul dua polisi, diikuti ayah
Meg. "Kau nggak kenapa-kenapa?" tanyanya sambil bergegas
mendekat dan memeluk putrinya. "Kukira kau masih dekat-dekat Dad.
Waktu Dad menoleh, tahu-tahu kau sudah tak ada."
"Mana yang satunya?" Salah satu polisi menanyai Tony sambil
menyorotkan senternya ke wajah cowok itu. Polisi itu masih sangat
muda. Kelihatannya sama mudanya dengan Tony, meskipun Meg tahu
itu tidak mungkin. Dia juga kelihatan terlalu bersemangat. Sepertinya
ini kejadian menarik yang pertama kali dialaminya sewaktu bertugas.
Tony memalingkan wajahnya, menghindari sorotan senternya.
Dia menunjuk ke dalam jurang. "Brian ada di bawah sana. Dia jatuh.
Lukanya parah."
"Panggil ambulans lewat radio," polisi itu menyuruh rekannya.
Kemudian dia menuruni tepi jurang untuk memeriksa keadaan Brian.
Polisi yang satunya berbalik lalu lari ke mobil patroli."Lukanya parah sekali," teriak si polisi sambil berjongkok di
samping Brian. Dia mengarahkan senternya ke wajah Brian. Suara
polisi itu terdengar kesal dan cemas.
Apakah mereka tidak pernah dilatih untuk bersikap tenang?
tanya Meg dalam hati.
Brian bergerak dan membuka matanya. Dia mencoba
mengangkat kepalanya, tetapi polisi itu menyuruhnya tetap berbaring.
"Apa yang terjadi di sini, Nak?" Polisi itu menyorotkan
senternya ke wajah Tony.
Aneh, pikir Meg, dia kelihatan lebih muda daripada Tony, tetapi
memanggil Tony "Nak".
Tony membalas tatapannya. Tony kelihatan sangat letih dan
ketakutan, pikir Meg. "Dia jatuh. Aku tak melihat jatuhnya."
"Jatuhnya parah," kata polisi itu. Diarahkannya senternya ke
dada Tony. Bagian depan pullover Tony sobek dan bernoda lumpur.
"Aku mencari pertolongan," kata Tony. "Tapi aku tersesat."
"Kalian sedang ngapain malam-malam begini di tengah hutan?"
desak polisi itu. Meg mendengar sirene ambulans di kejauhan.
"Ah... bukan apa-apa," kata Tony salah tingkah. "Kami main-
main."
"Main-main?!" geram polisi itu. Dia melepas jaket seragamnya
lalu menutupkannya ke dada Brian. "Biar hangat, Nak. Kau akan baik-
baik saja." Brian memandangnya. Dia tidak bicara apa-apa.
Kelihatannya dia tidak sadar sedang di mana.
Beberapa menit kemudian ambulans datang. Dua pria
berseragam putih turun ke jurang lalu membaringkan Brian di
usungan kanvas."Aku tak apa-apa," kata Brian tegas. "Sungguh, aku tak apa-
apa." Dia memandang Meg tetapi kelihatannya tidak mengenalinya.
"Aku tak apa-apa. Sungguh." Meg mendengarnya terus-menerus
memprotes waktu mereka mengangkutnya ke dalam ambulans.
"Ayahmu menunggumu," kata Mr. Dalton pada Tony tanpa
menyembunyikan kemarahannya. "Aku harus bicara dengan Sid dan
Marge. Kalian bikin masalah dan bikin kami cemas tanpa alasan
jelas."
Tony membuang muka tanpa bicara.
"Kalau aku ayahmu, seumur hidup kau akan kularang keluar
rumah," desis Mr. Dalton.
"Ya... ya," gumam Tony.
"Ada yang hendak kaujelaskan padaku?" bentak ayah Meg.
"Sudahlah, Dad," kata Meg lirih. "Ini bukan kesalahan Tony.
Dia juga bingung. Dia pasti ketakutan... malam-malam tersesat di
tengah hutan. Biarkan saja dia."
"Saya mencoba cari bantuan," ulang Tony.
Mr. Dalton menggeram kepada Tony. Kemudian ia tiba-tiba
kaget ketika melihat Meg dari dekat. "Kau kenapa? Kau kotor sekali."
"Aku kesandung lalu jatuh." Meg berbohong dengan cepat. Dia
merasa wajahnya memerah. Untunglah ayahnya tak melihat wajahnya
dalam cahaya senternya. "Jurang itu curam dan tak kelihatan dari
atas."
"Kasihan Brian," gumam Tony.
"Kasihan Brian? Kau terlambat mengatakannya," sembur Mr.
Dalton marah. "Kau sudah terlambat untuk minta maaf. Lain kali pikir
baik-baik dulu sebelum masuk ke hutan malam-malam untukmemainkan permainan konyol itu." Dia berbalik lalu berjalan cepat
mendului mereka. Dari belakang dia mirip beruang yang marah karena
ikan tangkapannya direbut binatang lain.
Meg dan Tony menyusul di belakangnya. Mereka berjalan
pelan-pelan. Meg menggenggam tangan Tony dan menyandarkan
badannya pada cowok itu. "Kenapa kau memainkan permainan itu
dengan Brian?" tanyanya lirih agar ayahnya tidak mendengar.
Tony mengangkat bahu. "Aku nggak tahu. Kukira akan
menyenangkan."
"Tapi... selama ini kau tak pernah tertarik memainkannya," kata
Meg sambil berjalan lebih pelan lagi dan membiarkan ayahnya
mendului lebih jauh.
"Ya, memang," kata Tony membela diri. "Aku hanya ingin tahu
seperti apa permainan itu. Aku tak mengira Brian akan bersungguh-
sungguh memainkannya. Begitu sampai di hutan, dia seperti berubah.
Dia menjadi Third Level Wizard, atau entah apa namanya.. Dia
memainkan karakter tertentu, tetapi dialah karakter yang
dimainkannya. Dia benar-benar menghayati karakter yang
dimainkannya. Pribadinya lebur dalam tokoh yang dimainkannya.
Mengerikan."
"Kau memainkan apa?" tanya Meg sambil memegangi lengan
Tony. Dengan hati-hati mereka melangkahi cabang pohon yang
melintang di tanah.
"Uh... mungkin prajurit. Aneh dan mengerikan."
"Semua ini aneh dan mengerikan. Kau tak pernah tahan dekat-
dekat Brian. Sekarang tiba-tiba...""Itu nggak benar," tukas Tony marah. Dia berhenti berjalan lalu
menyingkirkan tangan Meg. "Berapa kali mesti kubilang? Aku hanya
ingin tahu tentang permainan itu. Titik. Jangan ulang-ulang itu! Kau
ingin menginterogasi dan memeriksaku? Belajar saja dulu di fakultas
hukum!"
"Sori," sahut Meg cepat. Dia kaget sekali melihat Tony marah-
marah begitu. "Aku tak bermaksud apa-apa. Aku juga mendapat
pengalaman buruk, kan?"
Tiba-tiba Tony ingat Meg baru saja diserang seseorang... dalam
kegelapan. Wajahnya melembut. Dia menunduk. "Aku juga minta
maaf," gumamnya. "Kau tak melihat orang yang menyerangmu?"
"Tidak. Gelap sekali. Kejadiannya sangat cepat. Dia merebut
senterku. Kemudian mencengkeram bahuku. Kemudian dia
membisikkan sesuatu di telingaku tentang pesta itu. Lalu... tahu-tahu...
aku jatuh ke dalam jurang."
"Dia apa? Apa katanya tentang pesta itu?" Tony meletakkan
kedua tangannya di bahu Meg. Dipaksanya Meg menghentikan
langkahnya. "Katakan lagi."
"Dia bilang, 'Aku sudah memperingatkanmu tentang pesta itu.'
Kira-kira begitu. Kedengar-annya dia marah sekali. Gila. Aku sangat
ngeri. Dia mengembuskan napasnya di telingaku. Napasnya panas
sekali. Dia membuat bahuku benar-benar sakit. Sekarang pun masih
sakit."
Tony kelihatan kesal dan bingung. "Apakah dia membuntutimu
ke dalam hutan? Apakah dia menunggumu di luar rumahmu lalu
membuntutimu ke sini?""Aku tak tahu. Aku tak tahu harus berpikir apa. Tadi aku pulang
jalan kaki dari rumah Shannon. Seseorang berniat melindasku dengan
mobilnya. Aku takut sekali, Tony. Aku..."
"Oh, tidak... tidak! Tidak-tidak-tidak! Aku bersyukur kau
selamat," kata Tony sambil memeluk Meg. "Ini sudah kelewatan,
Meg. Kelewatan. Kau akan membatalkan pesta itu, kan?"
"Apa?!"
"Ini terlalu mengerikan, terlalu berbahaya. Lupakan saja pesta
itu, ya?"
"No way," tukas Meg. Dahinya berkerut, romannya penuh
tekad. "Rupanya kau belum benar-benar kenal aku, ya? Tantangan itu
harus dihadapi. Aku tetap akan mengadakan pesta untuk Ellen. Itu
satu-satunya cara untuk mencari tahu siapa yang melakukan ini pada
kita!"
Tony melepas pelukannya. Dia berdiri menatap mata Meg
lekat-lekat, kemudian membuang muka.
Aku suka caranya mencemaskan keselamatanku, pikir Meg.
"Kau tampak kacau," katanya. "Apa yang kaupikirkan?"
"Kau membuat kesalahan besar," kata Tony, tiba-tiba wajahnya
sangat ketakutan. "Kau harus pikirkan ini baik-baik, Meg. Benar-
benar memikirkannya. Siapa pun yang mencoba melindasmu, siapa
pun yang menyerangmu malam ini... dia mungkin berusaha
menunjukkan padamu bahwa... bahwa dia akan berbuat yang lebih
buruk lagi...."BAB
13 Minggu Sore
PADA hari Minggu yang hangat dan agak berkabut, yang lebih
mirip suatu hari di musim panas daripada di musim semi, Meg tidur
sampai siang. Setelah dengan santai menghabiskan panekuk dan
daging asap untuk sarapan, dia berjalan kaki ke North Hills untuk
menjenguk Brian. Dia tidak berencana menghabiskan Minggu sore
dengan menjenguk sepupunya, tetapi kedua orangtuanya mendesak,
mengancamnya, dan berulang-ulang mengatakan bahwa Brian pasti
akan senang sekali ditengok Meg. Pemuda itu tidak diizinkan turun
dari tempat tidur karena dokter memperkirakan dia menderita luka
dalam. Akhirnya Meg menyerah dan memutuskan untuk
melaksanakan perintah orangtuanya.
Brian tinggal di rumah putih besar di pinggir sungai. Beranda
rumahnya dihiasi pilar-pilar tinggi dan besar, pintu depannya berdaun
kembar. Rumah itu selalu membuat Meg membayangkan rumah tuan
tanah pemilik perkebunan di Selatan, bukan rumah yang dihuni orang-
orang biasa. Waktu masih kecil, Meg suka menyusuri koridor-koridornya yang panjang dan berpermadani mewah. Dia mengintip
setiap ruangan sampai ketakutan sendiri dan cepat-cepat lari
bergabung dengan yang lain, yang biasanya berkumpul di ruang
duduk depan atau di ruang perpustakaan.
Rumah itu terlalu besar, terlalu tua, terlalu berderit-derit,
terlalu... mengerikan. Tidak aneh jika Brian tumbuh menjadi cowok
berselera ganjil!
Ketika menyusuri jalur masuk yang mulus dan berpagar semak-
semak yang terawat baik, Meg melihat mobil Taurus biru yang sudah
sangat dikenalnya diparkir di samping rumah. Dia melihat Cory
Brooks dan David Metcalf keluar dari dalam rumah. Meg tiba-tiba
sadar: mereka tidak bercanda atau tertawa-tawa seperti biasa.
"Hai, Meg. Apa kabar?" seru Cory.
Meg menebak-nebak, apakah Cory senang karena melihatnya,
atau karena keluar dari rumah Brian. "Yah... oke-oke saja," sahutnya.
"Kelihatannya kau memang oke," kata David.
Meg malu. Tiba-tiba dia ingat rambutnya belum disisir. Peduli
amat. Dia datang hanya untuk menjenguk Brian. Dia tidak punya
rencana bertemu orang lain.
"Aku dengar tentang kantong makan siangmu itu," kata Cory
penuh simpati.
"Makan siang yang hebat. Kami tak tahu kau sebenarnya
vampir," kata David, lalu menertawakan leluconnya sendiri. Corry dan
Meg tidak tertawa.
"Ah... itu gara-gara cat merah," kata Meg sambil cemberut pada
David. "Tapi memang mirip darah betulan."
"Lelucon yang nggak lucu," komentar Cory."Mungkin maksudnya bukan lelucon," kata Meg. Tiba-tiba dia
menggigil kedinginan, padahal saat itu cuaca panas.
"Hmmm.... Lisa bilang, ada yang sengaja menakut-nakutimu,"
kata Cory sambil menggeleng-geleng. Tiba-tiba mulutnya ternganga
dan matanya terbelalak. "Lisa! Astaga! Aku lupa! Aku harus
menjemputnya sejam yang lalu!"
Dia berlari ke mobilnya. David menyusul.
"Hei, bagaimana keadaan Brian?" teriak Meg pada mereka.
"Nggak begitu bagus!" teriak Cory sambil menghidupkan mesin
sementara David melompat masuk.
"Dia lebih banyak diam. Tapi kalau ngomong, tak masuk akal,"
tambah David keras-keras.
Sebelum jatuh pun omongannya tak pernah masuk akal, pikir
Meg. Kemudian dimarahinya dirinya sendiri karena berpikir buruk
tentang sepupunya yang malang dan sedang sakit. Dia melihat Cory
memacu mobilnya di jalur masuk yang melengkung, lalu melesat ke
arah rumah Lisa yang hanya beberapa blok dari situ. Dia memandangi
mobil itu sampai lenyap di tikungan lalu, sadar tak bisa menunda-
nunda lagi, menaiki undakan dan menekan bel.
"Oh, hai, Meg. Ibumu bilang kau akan datang. Brian pasti
senang kautengok."
"Hai, Bibi Marge. Bagaimana dia?"
Bibi Meg menggigit bibir bawahnya. Dia kelihatan sangat
gugup. "Oh... dia akan sembuh. Dia hanya agak... kacau. Mungkin
shock. Kau kan tahu sendiri."
"Ya. Dia pasti sangat shock," kata Meg canggung. Dia tak tahu
harus bilang apa. Cepat-cepat dia menyeberangi ruang makanberdinding cermin, lalu keluar ke koridor yang menuju ke kamar
Brian.
"Tampangnya lebih parah daripada sakitnya," teriak Bibi Marge
memperingatkannya.


Fear Street Pesta Kejutan The Surprise Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terima kasih untuk peringatannya," kata Meg. Dia berbelok
lalu menoleh ke belakang... tepat sebelum sampai di depan kamar
Brian. Bibi Marge tiba-tiba tampak jauh lebih tua.
Meg melangkah sampai ke pintu kamar Brian, lalu berhenti di
depannya. Dipaksanya bibirnya tersenyum. Tubuhnya serasa
membeku. Apa pun yang terjadi, dia harus menghibur Brian.
Dia mengetuk pintu kayu ek berat itu, menunggu sebentar, lalu
melangkah masuk. Brian menoleh, tetapi tidak berusaha duduk.
"Brian... kaukah itu?" jerit Meg.
Bagus sekali; Meg, katanya dalam hati. Tolol benar kata-
katamu! Mengapa aku bilang begitu? Mengapa tidak langsung masuk
dan bilang, "Wah, tampangmu seperti hiasan toko tukang daging!"
Ayo, silakan. Katakan bahwa tampangnya mengerikan. Itu pasti akan
membuatnya terhibur.
"Hai, Meg," kata Brian. Suaranya terdengar biasa, walaupun
pipi kirinya bengkak besar sekali sampai bibirnya sulit digerakkan.
Satu matanya lebam dan hanya bisa membuka setengah. Dagunya
robek. Meg melihat ada beberapa jahitan di situ.
"Brian, kau benar-benar tahu cara jatuh ke jurang. Sebaiknya
kau jadi stuntman."
Brian berusaha tertawa, tetapi yang keluar dari mulutnya hanya
suara mendesis."The Wizard, sang Penyihir, tak membutuhkan stuntman,"
katanya. Begitu yang terdengar di telinga Meg. Bicaranya sangat lirih,
lambat, dan nyaris tak terdengar.
"Maaf, aku tak bawa permen atau bunga," kata Meg sambil
duduk di kaki tempat tidur. "Kupikir kau tak suka barang-barang
seperti itu."
Brian memandangnya dengan matanya yang tidak luka, tetapi
tidak menanggapi.
"Kau minta dibawakan apa? Apa saja yang bisa kubawakan?
Mungkin PR-mu?" Meg tertawa. Tawa yang dipaksakan, meskipun
terdengar cukup wajar.
Brian sepertinya tidak mendengarkannya. "Tampangku
bagaimana?" tanyanya. Suaranya datar, tanpa ekspresi.
"Kau kelihatan... eh... nggak bagus." Meg tidak mau berbohong.
Brian punya cermin. Dia bisa melihat sendiri di cermin. "Hmm...
tampangmu sudah lebih baik."
Brian merenungkan jawaban Meg. Akhirnya dia menggumam
bahwa dia tidak punya kekuatan untuk mengubah apa yang sudah
terjadi. Meg tidak bisa mendengar kata-katanya dengan jelas.
"Kalau sekolah sudah libur, mungkin mendingan bagiku,"
katanya. Kali ini jelas dan agak keras. Cowok itu terus memandang
Meg dengan matanya yang tidak bengkak.
"Kau akan segera sembuh," kata Meg. "Mereka memberimu
obat penghilang rasa sakit?"
"Ya, mungkin." Brian membuang muka.
"Kali ini kau benar-benar kena batunya." Meg berusaha
bercanda, tetapi rupanya salah memilih kata."Kau ke sini untuk mengomeliku?" bentak Brian. "Terima kasih
atas pertolonganmu."
"Maaf. Maksudku bukan begitu," kata Meg. Dia merasa
bersalah. Mengapa dia selalu membuat Brian tersinggung? Sejak
mereka masih anak-anak, Meg tak pernah tahan bicara dengan Brian
lebih dari beberapa detik. Tetapi dia sadar, saat ini dia harus lebih
penuh pengertian. Kondisi Brian sangat parah. Tampangnya seperti
habis dilindas truk.
Tiba-tiba Meg ingat kecurigaan Shannon pada Brian, tentang
suatu hari di hutan Fear Street, setahun lalu. Apakah Brian
menyimpan rahasia? Rahasia gelap dan kotor yang selama sekian
bulan terakhir ini ditutup-tutupinya?
"Ngapain kau dan Tony di hutan malam-malam waktu itu?"
tanyanya. Dia mencondongkan badannya ke depan dan menatap mata
cowok itu, berharap mendapat jawaban langsung darinya.
Tetapi Brian diam saja. Lama... Akhirnya dia bicara dengan
suara tidak jelas, "The Warrior, si Prajurit, datang lalu berperang
mempertahankan tempatnya."
"Brian, yang bener aja..." Meg merasa kemarahan merasuki
dirinya lagi, tetapi sekarang dia bisa menahan diri.
"Tapi sang Penyihir punya trik yang tak diketahui si Prajurit."
"Hebat, Brian. Hebat. Jadi kau dan Tony main Wizards and
Dungeons, atau apa pun namanya itu?"
"Pertempuran belum dimenangkan," kata Brian dengan sikap
misterius.
Meg sadar, dia harus mengalihkan pembicaraan. Brian jelas
tidak mau bicara tentang apa yang terjadi. "Kau bisa nggak, masuksekolah lagi dan ikut ulangan akhir?" tanya Meg. Dipaksanya bibirnya
agar tersenyum.
Brian diam saja.
"Para senior sudah selesai ujian," katanya. "Sekarang mereka
tinggal menunggu nilai akhir mereka lalu diwisuda. Menurut ramalan,
Selasa hujan. Acara wisuda mungkin harus dipindahkan ke
auditorium."
Brian tetap diam. Matanya memandang Meg. Kelihatannya dia
sedang berpikir keras, menimbang-nimbang, mencoba memutuskan
akan memberitahu Meg atau tidak.
Meg memutuskan memberinya kesempatan sekali lagi untuk
bicara tentang kejadian malam itu. "Kau yang mengajak Tony
memainkan permainan itu denganmu, atau dia yang mengajak?"
"Kalau aku sudah sampai Level Empat dan jadi sang Penyihir
mahasakti, akan kubongkar semuanya," kata Brian.
Menjengkelkan! Meg sangat gemas. Ingin sekali dia
mengguncang-guncang sepupunya. Omong kosong tentang sang
Penyihir membuatnya muak.
Mengapa Brian tak mau menjawab pertanyaannya? Meg benar-
benar ingin tahu tentang kejadian di hutan Fear Street Jumat malam
itu. Apakah Tony yang mengusulkan agar mereka bermain di hutan
malam itu? Apakah Brian yang memaksa Tony? Tony tidak mau
bicara tentang itu, begitu pula Brian. Kenapa? Apakah mereka berdua
takut pada sesuatu, atau seseorang?
"Kau kelihatan capek, Brian. Mungkin sebaiknya aku pergi."
Meg berdiri lalu meregangkan badannya."Terima kasih," kata Brian lirih. Terima kasih untuk
kedatangannya? Atau untuk kepergiannya?
"Kau akan cepat sembuh," kata Meg. "Kau hanya perlu banyak
istirahat."
"Terima kasih," ulang Brian.
Meg mengulurkan tangannya, menyalami Brian. Tangan cowok
itu lembek dan tak bertenaga, seperti buah persik yang terlalu ranum.
Meg beranjak hendak keluar, tetapi Brian masih memegangi
tangannya. Dengan kekuatan yang mengejutkan, Beian menariknya.
Meg menunggu penjelasannya, tetapi Brian terus menatapnya tanpa
berkata-kata.
Meg menunggu... tangannya dalam genggaman Brian. Dia
menunggu cowok itu bicara.
"Aku... aku harus mengaku," akhirnya Brian berkata, sambil
melepaskan tangan Meg.
"Apa?!" Meg mengira dia salah dengar. Dia mengalihkan
pandangannya ke penutup tempat tidur, tidak tahan melihat pipi Brian
yang bengkak dan dagunya yang ungu dari dekat.
"Aku... eh... tidak." Kelihatannya Brian berubah pikiran. Dia
berpaling ke jendela.
Ruangan itu menjadi gelap ketika segumpal awan melintas di
depan matahari. Angin menerobos masuk lewat jendela, dingin dan
lembap. Badai sedang menggumpal di luar.
Meg menggigil, tapi bukan karena angin yang dingin. Tiba-tiba
perasaannya tidak enak. Dia merasa tahu apa yang akan dikatakan
Brian, apa yang akan diakuinya.Dia mengambil napas dalam-dalam."Brian," katanya. "Lihat
aku."
Brian memandangnya lagi.
"Brian... kaukah yang meneleponku? Kaukah yang selama ini
meneleponku?"
"Ya," sahut Brian tenang. "Ya."BAB
14 Minggu Sore
"APA?!"
Dia tidak mengira Brian akan mengaku begitu cepat dan begitu
mudah. Cowok itu mengatakannya sambil lalu. Sungguh sulit
dipercaya.
Meg menunggu Brian meminta maaf dan menjelaskan, tetapi
sepupunya itu hanya memandangnya dengan tatapan kosong.
Ruangan bertambah gelap. Dengan gugup Meg berjalan
memutari tempat tidur lalu menyalakan lampu di meja kecil di
sampingnya. Lampu itu memancarkan cahaya kuning ke wajah Brian.
Matanya yang hitam dan dagunya yang bengkak tidak kena cahaya,
membuat lukanya kelihatan lebih dalam dan lebih parah.
"Kau mengakuinya? Kau yang menelepon?" Suaranya
melengking tinggi, terlalu tinggi dari yang diinginkannya. Tetapi
ketenangan Brian membuatnya semakin gugup.
"Ya," jawab Brian, senyum tipis terlihat di satu sisi pipinya
yang bengkak. "Aku ingin..."Dia hendak menambahkan sesuatu, tetapi seseorang datang
menyela. Ayah Brian melongok dari balik pintu. Wajahnya prihatin.
"Semua baik-baik saja di sini?"
"Ya, Paman Sid," jawab Meg cepat.
"Bagaimana kau, Brian?" ayahnya bertanya.
"Oke," jawab Brian setelah diam lama.
"Kalian mau kuambilkan sesuatu? Coca-Cola atau apa? Teh?"
"Tak usah. Terima kasih, Paman Sid."
Ayah Brian pergi dengan enggan. Meg mendengar langkahnya
menjauh di koridor, kemudian berpaling kepada Brian. "Kau tadi mau
bilang apa? Tentang telepon itu?"
"Ya." Brian menatapnya dengan matanya yang tidak bengkak.
"Ya, aku ingat. Akulah yang menelepon. Kurasa aku bisa
menghubungi Evan."
"Evan?!"
"Aku punya kekuatan, Meg. Aku punya kekuatan Level Empat.
Kurasa aku bisa memanggil roh Evan."
"Jangan bercanda, Brian!" Meg berteriak marah. Dia berdiri
dekat Brian, wajahnya berkerut masam. "Aku menanyakan satu
pertanyaan secara langsung. Aku mau jawaban langsung. Kau tak
boleh sembunyi di balik pedang dan kekuatan sihir yang tak ada!
Harus kaukatakan padaku yang sebenarnya."
Tiba-tiba Brian tampak ketakutan.
Tak mungkin dia ketakutan gara-gara aku, pikir Meg. Apa
sebenarnya yang membuatnya ketakutan? Meg bertekad
mengetahuinya sebelum keluar dari kamar itu. "Kau menelepon aku
atau tidak?""Ya, aku meneleponmu," sahut Brian sambil memandang
jendela. "Aku meneleponmu beberapa kali, tiga atau empat kali
mungkin."
"Apa? Beberapa kali? Kenapa? Kenapa itu kaulakukan?"
"Aku ingin memperingatkanmu..." Kalimatnya terputus. "Aku
tak bisa menjelaskannya. Sungguh, aku tak bisa."
"Kau ingin memperingatkanku tentang apa, Brian?" Meg tak
mau menyerah. "Kau mencoba membuktikan apa sih?"
Kata-kata itu membuat Brian marah. Wajahnya yang bengkak
berubah jadi ungu. "Aku tak mencoba membuktikan apa-apa. Sudah
kubilang. Aku berusaha memperingatkanmu..."
"Tentang apa?"
"Untuk... eh... hati-hati. Tapi aku tak bisa mengatakannya
padamu. Aku tak bisa mengakui bahwa... uh... aku tak bisa. Aku
cepat-cepat meletakkan telepon sebelum kau sempat mengangkatnya."
"Apa?!" Brian ngomong apa sih? Tadi dia mengaku
mengancamku dengan berbisik-bisik lewat telepon... dan mencoba
menakut-nakutiku...
"Aku takut, Meg. Aku tak mau menjelaskan. Aku tak bisa
menjelaskan. Aku sudah bicara terlalu banyak denganmu. Aku tak
bisa mengatakannya padamu. Aku tak bisa."
"Tak bisa mengatakan apa, Brian? Tak bisa mengakui apa?"
Brian menggeleng sedih. "Kau benar-benar tak tahu apa-apa,
kan?"
"Tak bisa mengakui apa?" Sekarang Meg benar-benar bingung
dan frustrasi. Kenapa Brian tak mau mengatakan apa yang
dipikirkannya?"Aku tak bisa, Meg. Aku tak bisa mengatakannya padamu.
Jangan coba memaksaku. Tak baik akibatnya bagimu. Tak baik pula
bagi kita semua. Kuperingatkan kau..."
"Hentikan omonganmu, Brian. Jangan bilang lagi kau
memperingatkanku. Kata-katamu ngaco. Tak masuk akal. Kau tak
menjelaskan apa-apa."
Tiba-tiba Brian duduk lalu mencengkeram tangan Meg lagi. Dia
mencondongkan badannya ke depan, mendekatkan wajahnya yang
bengkak ke wajah Meg. Melihatnya dari jarak sedekat itu dan dalam
kamar yang remang-remang, Brian tampak seperti makhluk aneh
dalam film horor. Bau salep antibiotik yang tajam menyengat menguar
dari wajahnya. Meg merasa sesak napas.
Brian menarik Meg semakin dekat. "Kuperingatkan kau,"
desisnya dengan suara rendah penuh ancaman. Meg belum pernah
mendengarnya mendesis begitu. "Ada yang kau tak mengerti. Ada
bahaya. Bahaya beneran. Hutan itu... itu bukan kecelakaan...
maksudku... aku tak bisa... aku tak boleh. Tapi, dengar kataku, Meg.
Hati-hatilah. Kuperingatkan kau..."
Dia mengancamku, pikir Meg.
Ini bukan peringatan. Ini ancaman. Tapi kenapa?
Brian melepaskan tangan Meg lalu berbaring kembali. Tiba-tiba
dia tampak sangat letih, tenaganya terkuras habis.
"Brian..."
Brian memunggunginya.
Sambil menggosok-gosok pergelangan tangannya, tanpa suara
Meg berlari ke luar kamar, menyusuri koridor panjang berlapis
permadani, lalu keluar lewat pintu depan. Di beranda depan diaberhenti, bersandar pada salah satu pilar putih, mengambil napas
panjang, dan mencoba mengenyahkan bau salep itu dari hidungnya.
Meg mengangkat wajahnya. Seseorang sedang berjalan
menyeberangi beranda.
"Ellen!"
"Oh!" Cewek itu kaget setengah mati. "Meg! Aku nggak..."
"Ellen, kenapa kau ke sini?" jerit Meg, benar-benar terkejut
melihatnya.
"Hmm, aku... eh..." Ellen tampak malu.
"Aku tak tahu kau sudah di sini!"
"Hmm, ya. Aku..."
Meg berlari mendekat dan memeluk kawannya. "Kau kelihatan
hebat sekali!" serunya. Dia mundur selangkah. Ellen masih seperti
dulu. Masih tetap cantik tanpa riasan wajah. Rambutnya lebih panjang
dan lebih bercahaya, tapi tetap dibiarkan tergerai lepas begitu saja.
Ellen masih tetap jangkung dan langsing, masih tetap mirip Daryl
Hannah.
Ellen tersenyum salah tingkah. "Aku baru saja datang...
beberapa jam lalu. Tadinya aku mau meneleponmu."
"Aku... aku kaget sekali, tak menyangka," kata Meg. "Aku
mengangkat wajah... dan... kau sudah ada di situ!"
"Aku senang ketemu kau lagi," kata Ellen canggung. Matanya
memandang pintu depan berdaun kembar itu. "Bagaimana Shannon?"
"Baik. Dia baik-baik saja," jawab Meg. "Dia sudah tak sabar
ingin ketemu kau!"
"Aku menginap di rumah Bibi Amy. Kau mau ke sana besok...


Fear Street Pesta Kejutan The Surprise Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pulang sekolah? Ajak Shannon.""Oke. Asyik!" seru Meg ceria. "Sudah lama sekali. Aku tak
sabar, ingin segera ngobrol denganmu."
"Aku juga," kata Ellen. Sambil menggigil kedinginan Ellen
merapatkan mantel hujannya. Ellen selalu kedinginan, kapan saja, di
musim apa saja.
"Ngapain kau ke sini?" tanya Meg. Tiba-tiba dia ingat sedang
berdiri di beranda rumah Brian.
"Aku dengar kabar tentang Brian. Tentang kecelakaan itu. Di
hutan. Kupikir aku... yah... sebaiknya aku menjenguknya."
"Oh. Bagus sekali," kata Meg. "Dia butuh dihibur. Kondisinya
parah."
"Kejadiannya pasti buruk sekali," kata Ellen sambil
memejamkan mata. Dia melangkah maju dan memeluk Meg. "Sampai
besok?"
"Aku tak sabar lagi..Kau tetap cantik. Sungguh!"
"Terima kasih." Ellen berbalik lalu berjalan ke pintu depan.
Meg menuruni undakan beranda, memutar badan, dan melihat
Ellen masuk rumah. Kemudian dia berjalan pulang cepat-cepat. Hujan
mulai lebat. Pikirannya tertuju pada Brian: ekspresi wajahnya yang
ganjil dan ancamannya.
Begitu sampai di rumah, Meg cepat-cepat masuk kamar lalu
menelepon Tony. "Semoga kau ada, Tony. Semoga kau ada."
"Halo?"
"Tony? Hai, ini aku."
"Meg. Apa kabar?"
"Oh... aku tak tahu. Aku baru saja dari rumah Brian.""Oh ya?" Tiba-tiba Tony terdengar tertarik. "Apa yang terjadi?
Suaramu aneh sekali."
"Hmm... omongan Brian aneh sekali. Dia bicara tentang hal-hal
yang mengerikan. Aku tak percaya..."
"Brian... apa?" Suara Tony tetap tenang, tetapi jelas terdengar
ketenangannya dipaksakan.
"Dia bilang, seharusnya dia tak bicara tentang itu. Maksudku,
dia tak berniat bilang... tapi dia bilang padaku..."
Hening lama di ujung sana. Akhirnya, dengan suara yang nyaris
hanya bisikan, Tony berkata, "Dia bilang? Dia bilang padamu?" Tiba-
tiba suaranya terdengar marah dan bingung.
"Dia memperingatkanku..."
"Dengar...," sela Tony.
"Orangtuaku di rumah. Aku ingin sekali keluar," kata Meg.
"Kita harus bicara, Tony. Nanti."
"Ya," Tony setuju. "Brian bilang padamu, ya?"
"Hmm., ya, dia..."
"Kita harus bicara, Meg. Malam ini."
"Nggak. Malam ini aku nggak bisa, Tony. Aku harus
menyelesaikan makalah psikologi. Aku..."
"Oke. Bagaimana kalau di pesta David besok malam? Kita
ketemu di sana, lalu pergi ke suatu tempat, hanya kita berdua."
"Oke. Itu ide bagus." Meg senang. Akhir-akhir ini Tony tak
pernah mau bicara tentang sesuatu yang serius. Sekarang dia sendiri
yang mengajak bicara serius, hanya antara mereka berdua.
"Kita pergi ke River Ridge. Kita jalan kaki ke sana sambil
bicara," kata Tony."River Ridge? Maksudmu tempat yang lebih dikenal dengan
sebutan Lover's Leap?"
"Pemandangan di sana indah, dan kita hanya berduaan," kata
Tony lembut. "Sudah lama kita tidak berduaan. Pasti asyik sekali,
Meg. Hanya kita berdua."
"Oke. Tapi di sana kan berbahaya?" tanya Meg.
"Aku akan menjagamu," kata Tony.BAB
15 Minggu Sore
TONY tidak sadar sedang memegangi telepon erat-erat. Ketika
meletakkannya dengan keras, tangannya gemetar. Telapak tangannya
mulai gatal. Digaruknya keras-keras dengan kuku tangannya yang
lain, semakin keras, semakin keras dia menggaruk. Kulitnya merah
terkelupas, tetapi rasa gatal itu tidak hilang.
Tengkuknya terasa basah dan dingin. Dia tahu, kakinya
gemetaran. Masih sambil menggaruk-garuk telapak tangannya, dia
menjatuhkan diri di sofa di ruang duduk, menyandarkan kepalanya di
salah satu lengan sofa, lalu menatap langit-langit.
Jadi Brian telah bicara. Hmm, kejutan besar. Akhir-akhir ini
Tony curiga, jangan-jangan Brian akan buka mulut. Brian tipe cowok
lemah. Kembalinya Ellen dan pesta itu akan menjadi alasan sempurna
bagi Brian untuk buka mulut dan memamerkan keberaniannya.
Itu sebabnya Tony nekat melakukan apa saja untuk memastikan
Brian takkan buka mulut. Dia mengajak Brian ke hutan Fear Streetmalam-malam dan memukuli cowok itu sebagai peringatan agar dia
tutup mulut.
Tapi... nyatanya Brian tetap buka mulut.
Dia bernyanyi. Begitu istilahnya di film-film gangster di TV.
Brian bernyanyi.
Dan sekarang Meg tahu.
Meg tahu Tony-lah yang membunuh Evan. Brian membeberkan
fakta itu kepadanya.
Tony mengerang keras-keras, erangan penyesalan, kepedihan,
kemarahan. Kemudian dia meninju bantal-bantal empuk di sofa.
Apa yang bisa dilakukannya sekarang?
Meg sekarang tahu... Meg tahu tentang kejadian tahun lalu....
Sekali lagi Tony melihat dirinya di hutan yang menyeramkan
itu. Dia melihat Ellen. Dia melihat Evan.
Sekali lagi dia melihat senapan berburu itu di tangannya,
senapan Evan. Sekali lagi mereka bergumul berebut senapan, sambil
saling memaki dan tarik-menarik dengan sekuat tenaga. Mereka
kehilangan kendali, kehilangan akal sehat, tarik-menarik, tarik-
menarik....
Lalu senapan itu meletus. Letusannya keras dan mirip bunyi
mercon.
Lalu Evan terjungkal.
Tony membunuh Evan.
Lalu Ellen menjerit-jerit. Di latar belakang,
Ellen terus menjerit-jerit. Jeritannya nyaring seperti lengking
sirene, seperti dering alarm. Cewek itu duduk di dahan pohon yang
terguling, menarik-narik sisi rambutnya yang pirang lurus, mencobamengendalikan diri. Dia menjerit dan menjerit. Matanya nanar,
terbelalak tanpa melihat, menatap lurus ke depan, menatap Tony,
menatap cowok yang baru saja membunuh Evan.
Tapi Tony tidak bermaksud membunuh Evan.
Ataukah dia memang berniat membunuhnya?
Dia bingung. Dia tak bisa menarik kesimpulan. Apa yang
dipikirkannya saat itu? Apakah dia berpikir ingin membunuh
kawannya, membunuh pacar Ellen? Apakah dia berpikir harus
membunuhnya?
Tidak.
Itu kecelakaan. Itu murni kecelakaan. Mereka bergumul. Lalu
senapan itu meletus.
Karena Tony ingin senapan itu meletus.
Tidak!
Tony ingin Evan mati.
Tidak!
Pikiran-pikiran itu membuatnya gila.
Mungkin dia memang sudah gila.
Apa yang bisa dilakukannya sekarang? Apa yang akan
dilakukannya terhadap Meg?
Dia tidak punya pilihan, bukan? Meg ingin bicara dengannya.
Meg tidak mempercayai apa yang dikatakan Brian. Begitulah watak
Meg. Dia ingin Tony mengatakan kepadanya bahwa itu tidak benar,
bahwa semua beres.
Kalau aku mengingkarinya, dia akan percaya padaku, pikir
Tony.Tapi bukan begitu penyelesaiannya. Masih ada Brian. Dan
masih ada pula Ellen. Ellen bisa buka mulut. Ellen bisa membocorkan
rahasianya seperti yang dilakukan Brian.
Mungkin seharusnya aku tidak memukuli Brian, katanya kepada
diri sendiri. Pikirannya melayang ke beberapa malam yang lalu, ke
hutan itu, bayangan-bayangan pergumulan mereka dalam gelap
berkelebat jelas di balik pelupuk matanya yang tertutup. Bayangan-
bayangan itu menyertai suara tinjunya yang memukuli dada Brian,
bahunya, perutnya, kemudian wajahnya.
Dan sekarang Brian buka mulut, meskipun Tony sudah
memperingatkannya dengan keras. Setelah hampir setahun
menyembunyikan rahasia itu, Brian akhirnya bicara.
Sekarang apa yang harus dilakukannya terhadap Meg?
Apakah Brian tidak sadar bahwa memberitahu Meg tentang
peristiwa terbunuhnya Evan sama saja dengan membahayakan nyawa
cewek itu?
Tidak. Tentu saja tidak. Brian takkan berpikir sampai ke situ.
Apa yang harus dilakukannya terhadap Meg?
Tony takkan membiarkan Meg membocorkan rahasianya. Dia
takkan membiarkan gadis itu mengatakan kepada setiap orang bahwa
Tony pembunuh. Hidupnya akan hancur. Habis binasa.
Tony takkan membiarkan itu terjadi.
Meg takkan menutup-nutupi rahasia Tony. Jalan pikiran Meg
selalu lurus, seperti anak panah. Tony tak yakin apakah Meg akan
mau dan mampu menyimpan rahasianya.
Tetapi dia tahu dia takkan tega membunuh Meg."Tidak!" teriaknya kuat-kuat. Dia duduk tegak. Mungkin kalau
dia duduk tegak, denging di telinganya akan berhenti. Mungkin gatal
di telapak tangannya akan hilang sendiri.
Tony takkan tega membunuh Meg... tetapi dia harus
membunuhnya. Dia harus mendorong Meg dari River Ridge.
Ini semua salah Brian. Cowok itu tidak memberi pilihan kepada
Tony. Tidak ada pilihan sama sekali.
Sekarang masalahnya dia atau Meg.
Dirinya tak mungkin dijadikan sasaran. Jadi... pasti Meg.
Cukup mendorongnya dan rahasianya akan aman. Hanya perlu
satu dorongan. Itu akan menjadi peringatan bagus untuk Ellen... dan
Brian... agar mereka tutup mulut. Mereka pasti akan mengerti pesan
itu. Mereka akan mengerti bahwa berikutnya giliran mereka.
Tapi, tunggu. Ini Meg. Meg. Meg. Meg. Dia mencintai Meg,
kan? Dia sangat mencintai cewek itu. Sanggupkah dia berpikir akan
membunuhnya? Sanggupkah dia melakukannya... mendorong cewek
itu dari puncak tebing?
Apakah dia sudah menjadi pembunuh berdarah dingin?
Tidak!
Mungkin.
Suara Meg terdengar sangat cemas di telepon. Sangat ketakutan.
Tapi itu belum cukup.
Mengapa Meg begitu mudah percaya? Mengapa Meg mau
diajaknya pergi ke River Ridge? Meg sangat polos, naif, dan mudah
percaya. Meg yang tolol. Tapi... tunggu. Barangkali Meg tidak
percaya omongan Brian. Mungkin Brian sudah cerita, tetapi Meg tidak
mau percaya.Mengapa Meg harus percaya omongan Brian? Tak ada alasan.
Semua orang tahu, Brian itu gila dan aneh kelakuannya. Cowok itu
suka main di hutan, memainkan permainan konyol itu bersama
Dwayne.
Aku tak punya pilihan, Tony menyimpulkan. Aku harus
membunuh Meg. Biar kuhitung dulu alasan-alasannya. Satu: dia tahu
terlalu banyak. Dua: kematiannya akan jadi peringatan untuk Ellen
dan Brian. Tiga: jika Meg mati, pesta kejutan itu akan dibatalkan.
Tidak, aku tak sanggup. Jangan Meg. Jangan Meg.
Tapi harus.
Aku sudah membunuh Evan, sahabatku. Aku pasti juga bisa
membunuh Meg.
Maaf, Meg. Kau bisa mengerti, kan? Kau pasti bisa mengerti.
Kau selalu penuh pengertian.BAB
16 Senin Siang
"JADI kau tak menelepon polisi setelah mobil itu mencoba
melindasmu?"
"Nggak. Mungkin seharusnya aku lapor, tapi tak kulakukan,"
jawab Meg. "Maksudku, apa yang bisa kulaporkan pada mereka? Aku
bahkan tak melihat mobil itu dengan jelas. Saat itu gelap sekali. Yang
kulihat hanya lampu depannya."
"Tapi, Meg...," kata Shannon.
"Selain itu, sekarang aku tak yakin, apakah mobil itu memang
berniat melindasku. Maksudku, jalanan sangat licin akibat hujan.
Mungkin pengemudinya hanya kehilangan kontrol sedetik. Kalau aku
menelepon polisi, mereka pun takkan bisa berbuat apa-apa. Hanya
buang-buang waktu."
"Tapi, bagaimana dengan orang yang menyerangmu di hutan?"
"Sama saja," sahut Meg. "Aku tak lihat dia. Tak ada sesuatu
yang jelas yang bisa kulaporkan kepada polisi. Jangan memandangkuseperti itu, Shannon. Menurutku, lapor polisi hanya buang-buang
waktu saja."
Shannon mengangkat bahu. "Terserah."
Mereka memandang rumah bibi Ellen. Rumah itu dicat kuning
cerah dengan jendela-jendela putih yang catnya masih baru. Halaman
depannya melandai, agak curam. Untuk mencapai rumah, kedua
cewek itu harus mendaki seratus undakan batu kali yang ditanam di
rerumputan.
"Seharusnya kita bawa peralatan mendaki gunung," keluh
Shannon. Dia menyuruh Meg berjalan lebih dulu. "Dan seekor Saint
Bernard." Dia mengikuti Meg mendaki undakan yang berkelok-kelok
itu. "Kau mau pergi ke pesta David Metcalf malam ini? Dia
mengadakan pesta tamat-sekolah karena orangtuanya sedang ke luar
kota."
"Ya, aku tahu," kata Meg. "Aku janji ketemu Tony di sana.
Kami bisa pergi sama-sama. Tolong, kemarikan tabung oksigen itu."
Mereka sudah setengah jalan mendaki bukit.
"Asyik, kita ketemu Ellen lagi," kata Shannon. "Sampai di atas
kita pasti kehabisan napas dan tak bisa lagi mengobrol dengannya.
Kita hanya bisa bicara dengan bahasa isyarat."
"Dia masih tetap cantik," kata Meg yang tiba-tiba merasa gugup
karena akan bertemu kawan lamanya.
Shannon sedang memandang lurus ke atas. Meg mengikuti arah
mata Shannon dan melihat Ellen berdiri di puncak bukit, melambai-
lambai ke arah mereka.
"Hai!"
"Hai! Cepat!""Tolong lemparkan tali!"
Ellen mengenakan kaus tanpa lengan warna merah anggur dan
celana tenis putih yang membuat kakinya yang panjang ramping
tampak semakin indah. Disirami cahaya matahari, rambutnya tampak
indah kemilau bagaikan sutra.
Setelah Meg dan Shannon sampai di atas, mereka berpelukan.
Masing-masing berkomentar bahwa yang lainnya tidak berubah dan
mereka senang sekali bisa bersama-sama lagi.
"Kita masuk, yuk!" ajak Ellen. "Bibiku sedang belanja, tapi..."
"Di luar saja. Di sini indah sekali," kata Meg sambil
menjatuhkan diri di rumput. "Aku senang bisa melihat jalan dari
ketinggian seperti ini."
"Tak perlu banyak usaha untuk menyenangkan Meg," canda
Shannon. Dia duduk di batu paling atas, lalu merapikan blus birunya.
"Hmm, bagaimana kabar kalian?" tanya Ellen sambil tersenyum
kepada mereka berdua.
Dia duduk di antara mereka berdua, lalu meremas tangan Meg.
"Bagus."


Fear Street Pesta Kejutan The Surprise Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oke."
"Kau bagaimana?"
"Yah. Baik. Baik sekali," kata Ellen. Dia tertawa terkikik-kikik.
Tawanya nyaring dan aneh kedengarannya. Meg tahu, itu tawa gugup.
Meg tahu, jika sedang tegang, Ellen selalu mengakhiri setiap
kalimatnya dengan tawa gugup.
Mereka memandang ke bawah bukit. Seorang anak laki-laki
melintas naik sepeda. Mungkin kalau berdiri kami takkan gugup, pikirMeg. Hmm, enaknya ngobrol apa ya? Susah benar cari bahan obrolan
yang enak.
"Bagaimana sekolah barumu?" tanya Shannon pada Ellen.
Ellen meletakkan tangannya di rumput, lalu dengan bertelekan
tangan itu dia mencondongkan badan ke belakang. "Yah... lumayan.
Sekolahnya besar. Jauh lebih besar daripada Shadyside. Kadang-
kadang aku merasa... tersesat." Dia terkikik lagi.
Mereka memandang ke bawah. "Apa saja yang terjadi di
Shadyside selama ini?" tanya Ellen, senyumnya yang dipaksakan
akhirnya hilang.
"Tak banyak," jawab Shannon.
Pikiran Meg kosong. Dia tidak bisa menemukan bahan obrolan
yang menarik untuk diceritakan kepada Ellen. Sudah setahun penuh,
pikirnya. Harusnya ada yang bisa diobrolkan. "Ada beberapa guru
baru," katanya. Hmm, obrolan yang tidak bermutu.
"Cory Brooks dan Lisa Blume pacaran," kata Shannon.
"Ah... kau pasti bercanda!"
Sikap terkejut Ellen terlalu berlebihan, pikir Meg. Kabar seperti
itu tidak mengejutkan.
"Menakjubkan," tambah Ellen, lalu terkikik gugup lagi.
"Siapa pacarmu sekarang?" sembur Meg. Dia bisa merasakan
wajahnya memerah. Sebenarnya itu pertanyaan wajar yang bisa
diajukannya kepada siapa saja... siapa saja kecuali Ellen yang pacar
terakhirnya mati bunuh diri di hutan.
Meg, kau terlalu sensitif. Kejadian itu kan sudah hampir
setahun lalu, omelnya dalam hati.Ellen langsung tampak salah tingkah. "Tak ada," jawabnya
cepat sambil memaksakan seulas senyum. "Aku belum ketemu cowok
yang benar-benar kusenangi. Maksudku... beberapa kali aku jalan
bareng. Tapi..." Wajahnya berekspresi lucu.
"Suki Thomas tertangkap basah sedang mencuri di toko," kata
Shannon, mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Kejutan," kata Ellen sambil menggeleng-geleng.
"Masalahnya cukup serius," kata Meg. "Dia harus menghadap
polisi dan mengurus semuanya."
"Mungkin itu akan membuatnya lebih populer di mata cowok-
cowok," kata Ellen. "Ya, kan?"
"Dia memang sangat populer," kata Meg.
"Itu karena dia mau melakukan apa saja kalau ada cowok yang
menyuruhnya, tak peduli siapa cowok itu," kata Shannon.
Ellen tertawa. "Kau selalu punya penjelasan yang masuk akal,
Shannon."
Sebuah truk hijau pengantar bunga melintas di bawah.
Segumpal kecil awan melayang di depan matahari, meninggalkan
bayang-bayang di bukit yang ditumbuhi rerumputan itu. Ketiga cewek
itu memandang truk itu sambil berusaha mencari bahan obrolan lain.
"Banyak sekali yang ingin kutanyakan padamu," kata Meg pada
Ellen. "Tapi kita sudah lama sekali tak ketemu. Sulit memutuskan aku
harus mulai dari mana."
Ellen dan Shannon serempak sependapat. Obrolan mereka
sangat kaku dan canggung. Mereka tidak bisa lagi mengobrol dengan
bebas dan santai seperti dulu."Kau masih jalan bareng Tony?" tanya Ellen tanpa memandang
Meg. "Ya," jawab Meg. Dia merasa wajahnya memerah lagi. Kenapa
perasaannya jadi tidak enak? "Kami masih sama-sama. Baru-baru ini
Tony mendapat pengalaman buruk."
Ellen mengubah posisi duduknya. "Ceritakan." Suaranya
terdengar pahit. Dia mencabut sehelai rumput, lalu menggigit-gigit
rumput itu. Matanya disipitkan ketika matahari tampak lagi.
"Di sini indah," kata Shannon.
"Ya, sangat indah," Meg menanggapi dengan cepat. Obrolan ini
mengerikan, pikirnya. Kenapa kami tak bisa lagi mengobrol dengan
santai?
"Sekarang bagiku Shadyside kelihatan kecil sekali," kata Ellen
sambil menguap. "Oh, sori. Tadi malam aku nonton TV-kabel sampai
jam dua. Percaya nggak, kalau kubilang kami tak punya saluran kabel
di rumah?"
"Kau kan tak bisa hidup tanpa TV-kabel?" tanya Shannon
dengan wajah cerah.
Ellen mengangkat bahu. "Aku bawa mobil bibiku lalu putar-
putar. Semuanya tampak sama, hanya lebih kecil. Tak sampai
setengah jam aku sudah menjelajahi semuanya."
"Ya," kata Meg. "Shadyside bukan kota metropolis seperti
kotamu sekarang." Obrolan yang konyol dan membosankan, pikirnya.
"Kau rajin tenis di sana?" tanya Shannon. Ellen sepertinya tidak
mendengarnya.
"Aku kangen acara olahraga Sabtu pagi," kata Shannon."Ingat permainan yang biasa kita mainkan waktu kecil?" tanya
Meg. Nggak bermutu, pikirnya. Kalau bingung, omong saja tentang
masa kecil.
"Ya. Ingat permainan mengejar bayang-bayang?" tanya
Shannon agak terlalu bersemangat. Dia kelihatan senang mendapat
bahan obrolan yang cukup aman. "Permainan yang konyol sekali."
"Itu bukan permainan kita yang paling tolol," kata Ellen sambil
tertawa. "Permainan kita yang paling konyol adalah Eek, A Mouse."
"Wah, aku sudah lupa yang itu!" seru Meg. "Kontes menjerit,
ya? Kita pura-pura melihat tikus lalu bertanding siapa yang bisa
menjerit paling nyaring dan paling seram."
"Itu baru namanya permainan hebat," kata Shannon.
"Seharusnya kita mainkan itu sekarang. Berani taruhan, aku pasti
menang."
"Kau pasti kalah," kata Ellen.
Tetapi mereka tidak memainkan permainan kanak-kanak yang
konyol itu. Mereka terus mengobrol dengan kikuk. Mereka seperti
kehabisan bahan obrolan yang menarik. Makin lama Meg makin
kikuk. Dia tahu kedua kawannya juga berperasaan sama. Dan justru
itulah yang membuatnya merasa semakin tidak enak.
Sebuah station wagon abu-abu berhenti di pinggir jalan, di
bawah halaman yang melandai itu. "Itu Bibi Amy," kata Ellen. Dia
berdiri cepat lalu menepuk-nepuk celana tenisnya.
"Aku harus membantunya membawakan belanjaannya." Dia
kelihatan lega karena interupsi itu.
"Sebaiknya kami pulang," kata Shannon tanpa berusaha
menyembunyikan kekecewaannya."Kau... eh... masih mau makan piza sama kawan-kawan Sabtu
malam nanti? Mau, kan?" tanya Meg sambil mencoba bicara sewajar
mungkin. Sabtu malam adalah saat diselenggarakannya pesta kejutan
itu. Ajakan makan piza adalah alasan yang sudah disusun Shannon
dan Meg untuk membawa Ellen ke pesta itu.
"Ya. Benar. Asyik," kata Ellen pura-pura antusias. "Sampai
ketemu lagi."
"Sampai ketemu lagi, Ellen."
"Kau cantik!"
Tanpa bicara Meg dan Shannon menuruni undakan batu.
Setelah masuk ke Mazda merah milik Shannon, barulah mereka
membuka mulut. "Hmm, tadi itu persis seperti yang dulu," sindir
Shannon sinis.
Meg merasa sangat tidak enak. Rasanya ingin menangis. Dia
mengambil napas panjang dan menahan tangisnya. Kunjungan ini
salah dan gagal, pikirnya. Dia merasa seperti kehilangan kawan lagi.
"Kita tak punya bahan obrolan yang cukup," katanya ragu. Dia tidak
tahu perasaan Shannon tentang itu. Mungkin kalau dia mengatakan
apa yang dirasakannya kepada Shannon, kepedihannya akan
berkurang. Meg merasa sakit hati... dia merasa ditinggalkan.
"Hmm, kurasa itu wajar," kata Shannon. Begitulah caranya
menanggapi situasi seperti itu, yaitu dengan menganggapnya tidak ada
masalah, dengan berpura-pura bahwa kejadian seperti itu wajar,
normal, dan memang seharusnya demikian.
"Aku merasa sangat tidak enak!" Meg menangis sambil
berusaha keras mengendalikan diri."Tadi itu memang kikuk," Shannon mengakui, sambil menatap
jalan. "Yah... kita sudah setahun tak ketemu."
"Ayolah, Shannon. Akui saja," Meg memohon. Dia mencopot
sabuk pengaman agar bisa menumpangkan lengannya di dasbor dan
menyandarkan kepalanya pada lengannya. "Tadi itu payah sekali.
Lidah kita terpilin dan kita tak bisa bicara."
"Ah, Meg, jangan berlebih-lebihan," omel Shannon. "Tak
seburuk itu. Sungguh. Kita sama-sama gugup. Kita pasti bisa
mengatasinya. Begitu pula Ellen. Aku yakin di pesta nanti semuanya
akan lebih baik. Kita akan..."
"Pesta itu!" jerit Meg. "Wah, itu bencana! Kenapa kupikir itu
ide bagus? Pesta itu akan jadi mimpi buruk! Siapa pun yang berusaha
membatalkannya, dia benar!"
"Meg..."
"Kaupikir Ellen akan senang diajak ke pesta dan ketemu semua
kawan lamanya? Shannon... baru ketemu kita saja dia sudah kelihatan
tak senang!"
"Meg... tenang. Tolong. Jangan membesar-besarkan masalah.
Hanya karena sore ini kita agak gugup, bukan berarti Ellen tak
menyukai pesta itu. Masalahnya bukan itu. Kita akan berubah, dia
juga. Lihat saja nanti. Semua akan beres."
Meg masih mengerang sambil menyembunyikan kepala di balik
lengannya ketika Shannon menghentikan mobilnya. "Kenapa
berhenti?" seru Meg.
"Karena kau sudah sampai di rumah," sahut Shannon sambil
tertawa. "Keluar sana. Sampai ketemu di pesta David nanti malam."Meg menggumamkan "sampai jumpa" lalu lari masuk rumah.
Pikirannya melayang ke pesta David. Dia sudah tidak sabar ingin
segera bertemu Tony. Sudah lama sekali mereka tidak pergi berduaan.
Banyak yang harus mereka bicarakan.
Pikir Meg, mungkin Tony punya bayangan tentang apa yang
hendak dikatakan Brian, tentang alasan Brian mengancamnya. Dia tak
sabar ingin segera bercerita kepada Tony bahwa dia mencurigai Brian.
Mungkin Tony bisa membantunya memahami apa yang sedang
terjadi....BAB
17 Senin Malam
"BERANI taruhan, kau pasti tak tahu orangtua David sedang
pergi," kata Shannon sambil memutar-mutar bola matanya.
"Asyiiik!" kata Meg sambil memandang ke luar lewat kaca
depan, sementara Shannon memarkir mobil di seberang rumah David.
Speaker stereo yang diletakkan di jalur masuk disetel keras-
keras. Musiknya musik dansa. Beberapa pasangan asyik berdansa di
garasi. Halaman berumput penuh anak-anak muda. Dua pasangan
asyik berpelukan di undakan yang menuju beranda depan. Satu
pasangan lain berasyik-masyuk di bawah pohon di samping jalur
masuk. Semua lampu di dalam rumah menyala. Di dalam rumah ada
lebih banyak anak.
Shannon turun dari mobil lalu membanting pintu. Dia
mengenakan celana ketat putih dan blus sutra top merah muda terang.
Beberapa cowok yang duduk-duduk di halaman bersiul nyaring dan
berteriak, "Kau asyik sekali, Shannon!" Komentar itu disusul derai
tawa cowok-cowok lain yang duduk-duduk di halaman."Sebaiknya pesta untuk Ellen kita adakan di halaman depan
rumah David saja," Shannon bergurau. "Pesta ini heboh sekali!"
"Kita masuk yuk," ajak Meg.
"Untung kita datang sore-sore, sebelum ada yang mulai
muntah," kata Shannon.
Sambil menyusuri jalur masuk, Meg mencari-cari Tony
walaupun tahu cowok itu takkan datang sesore ini.
"Awas!" seseorang berteriak. Sebuah bola basket melintas cepat
di atas kepala mereka lalu membentur jalur masuk dan memantul ke
jalan. Cowok-cowok di halaman itu tertawa terpingkal-pingkal.
Menurut mereka kejadian itu lucu sekali.
"Mana David?" Shannon bertanya kepada seseorang yang
dikenalnya.
Yang ditanya mengangkat bahu. "Aku belum lihat dia sejak
tadi. Bagaimana nilai ujian akhir bahasa Inggrismu?"
Sekarang Shannon yang mengangkat bahu. Meg mendului
melewati pasangan-pasangan di undakan depan lalu masuk ke ruang
duduk. Ruangan itu penuh kawan-kawan sesekolahnya yang asyik
mengobrol dan tertawa-tawa. Arnie Tobin, kawan David dari tim
senam, tergolek di sofa, mungkin mabuk.
"Benar-benar menjijikkan," keluh Shannon. "Aku suka pesta
ini!"
"Hei... itu Lisa!" seru Meg. Dia melambai pada Lisa yang
sedang bicara dengan beberapa anak di pintu masuk ke ruang makan.
"Hei, Shannon, kau tak perlu susah-susah berdandan cuma
untukku."Meg memutar badan, ingin tahu siapa yang berkomentar.
Dwayne... dengan sekaleng bir di tangan dan senyum terkembang.
Cowok itu mendekati Shannon. Matanya yang hitam memandangi
Shannon dari atas ke bawah. Dia terus mendekat, membuat Shannon
terpaksa mundur beberapa langkah.
"Kulihat kau juga berdandan khusus," balas Shannon. Dwayne
mengenakan T-shirt abu- abu yang bagian depannya sobek dan kena
noda cokelat serta jins lusuh yang satu saku depannya sobek.
Dwayne melangkah maju lalu menyeringai dekat sekali ke
wajah Shannon. Cowok itu lebih tinggi tiga puluh senti daripada
Shannon. "Kau masuk untuk dansa denganku, kan?"
"Tepat sekali. Aku sudah memimpikannya sepanjang minggu,"
balas Shannon sengit.
"Sebaiknya kita dansa vertikal atau horisontal?" tanyanya, lalu
tertawa mesum menertawakan leluconnya sendiri.
"Dwayne! Nggak lucu, tahu!" sembur Shannon. "Kau ikut
sekolah malam atau apaan sih?"
Senyum langsung lenyap dari wajah Dwayne. Matanya
menyorot dingin. "Aku nggak suka lelucon macam itu. Aku nggak
tolol, tahu!" Dia mencengkeram lengan Shannon.
"Hei... lepaskan aku." Shannon melepaskan diri dan menjauh.
Dwayne tertawa. "Kau nggak takut sama aku, kan?"
"Memang nggak. Aku juga nggak takut bekicot. Aku cuma
nggak mau disentuh bekicot."
Wajah Dwayne langsung merah padam, matanya menyipit. "He,
jangan keterlaluan! Aku cuma ingin dansa denganmu. Aku bukancowok bajingan, Shannon." Dia melangkah maju, memojokkan
Shannon di sudut ruangan.
"Lebih baik kita saling mengenal," katanya, senyumnya
tersungging kembali. Dia tidak memandang wajah Shannon. Matanya
menembus blus Shannon yang ketat. "Lihat saja sendiri. Aku ini
normal, sungguh."
"Dwayne, jangan..."
"Kalau malam ini kita cocok, di pesta kejutan malam Minggu
nanti kita pasti akan lebih asyik lagi."
"Apa?! Kau bilang apa, Dwayne? Kau tak diundang ke pesta
itu!" teriak Shannon.
"Aku diundang. Suki Thomas memintaku jadi pasangannya."
Punggung Shannon menyentuh dinding. Dwayne meneguk bir
dari kaleng, lalu maju semakin dekat. "Dwayne, jangan dekat-dekat
aku. Aku tak mau dansa denganmu. Awas ya!"
"Jangan mundur sebelum mencoba," kata Dwayne sambil


Fear Street Pesta Kejutan The Surprise Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyeringai.
Meg memutuskan berbuat sesuatu. "Hei, Shannon! Tony mau
bicara denganmu!" teriaknya. Itu alasan yang terlintas di kepalanya.
Dia berlari mendekat lalu cepat-cepat menarik Shannon. "Dia di
dapur. Dia mau tanya sesuatu."
Dwayne memandang Meg dengan marah. "Tony? Maksudmu
Lunchmeat? Lunchmeat ada di sini? Malam-malam begini seharusnya
anak kecil itu sudah tidur, kan?"
Meg tidak memedulikannya. Ditariknya Shannon dari sudut
ruangan. Dwayne hendak mengejar. Shannon menoleh dan
memelototinya. Dwayne mengangkat tangan. "Oh... sorot matamukejam sekali!" Dia tertawa. "Oke, aku mengerti isyaratmu. Terima
kasih untuk dansanya. Sampai ketemu di pesta itu." Dilemparkannya
kaleng bir yang sudah kosong itu ke sofa. Kaleng itu mengenai perut
Arnie lalu terguling jatuh ke karpet. Arnie tidak bereaksi.
"Terima kasih bantuannya. Tapi aku tahu caranya menghadapi
bekicot itu," kata Shannon pada Meg. "Pukul saja hidungnya dengan
gulungan koran."
"Badannya besar sekali. Hiii... mengerikan," kata Meg.
"Aku akan ke kamar makan. Kelihatannya ada berton-ton
makanan di sana," kata Shannon. "Mau ikut?"
"Tidak. Aku akan... Oh! Itu dia! Tony!" Tony berdiri di ambang
pintu depan. Cowok itu mengenakan jins berpipa lurus dan jaket kulit
abu-abu.
"Hai, Tony. Bye, Tony," seru Shannon lalu menghilang ke
kamar makan.
Meg lari menyambut Tony. Dia senang melihat pacarnya
datang. "Hai, stranger," sapanya lalu digandengnya tangan cowok itu.
Tangan Tony dingin seperti es.
"Pestanya heboh sekali," katanya sambil memandang
sekelilingnya. "Mana David?"
Mereka melihat David pada saat yang bersamaan. David dan
Cory muncul di pintu yang membuka ke kamar kerja. Entah mengapa,
kedua cowok itu berjalan dengan tangan. Kaki mereka menjulang ke
atas. Tiba-tiba sejumlah koin tumpah dari kantong pullover Cory.
Kedua cowok itu berhenti berjalan terbalik lalu berbaring di lantai
sambil tertawa terpingkal-pingkal.
"Ayo pergi," ajak Tony, sambil menarik Meg menuju ke pintu."Kau baru saja datang. Kau tak ingin ngobrol dulu dengan yang
lain?"
"Nggak. Cuma denganmu," sahutnya. "Ayo pergi ke tempat kita
bisa berduaan saja." Ia tersenyum. Dia kelihatan gugup, pikir Meg.
Dan pucat sekali.
Beberapa menit kemudian Meg dan Tony sudah berada di mobil
ayah Tony. Mereka melaju ke utara, menuju River Ridge. Udara
sejuk, angin segar bertiup dari arah sungai. Meg mengenakan
beberapa T-shirt dan menyesal karena tidak membawa jaket. "Jalan ini
gelap sekali," katanya sambil merapatkan duduknya pada Tony yang
sedang mengemudi.
"Ya. Tak banyak lampu dipasang di River Road," sahut Tony,
matanya menatap lurus ke depan.
Jalan menanjak tajam ke arah tebing curam, menuju ke titik
tempat sungai itu bercabang dua. River Ridge aslinya merupakan jalan
setapak yang biasa dilalui orang-orang Indian. Jalur itu berawal di
dataran rendah, di tepi timur Sungai Conononka, menyusuri sungai
itu, dan menanjak sampai ke tebing granit yang tinggi. Dari tebing itu
orang bisa melihat sungai yang mengalir di bawahnya. Puncak tebing
yang paling jauh dari River Ridge dinamai Lover's Leap. Suasana di
situ sangat romantis untuk berpacaran, lebih-lebih di musim semi yang
hangat atau di malam-malam musim panas. Namun tidak ada yang
tahu mengapa tempat itu dinamai Lover's Leap.
Mobil terus melaju dan mereka sama-sama diam beberapa lama.
"Kau diam sekali malam ini," akhirnya Meg memecah keheningan.
"Aku sedang menikmati saat berduaan denganmu," kata Tony.
Kata-katanya mesra, tapi bagi Meg suaranya terdengar aneh, kaku,dan tegang. Atau... apakah itu hanya bayangannya karena sebenarnya
Meg-lah yang tegang?
Saat hampir sampai di puncak, Tony meminggirkan mobilnya
dan memarkirnya di antara dua pohon. Dia mematikan mesin dan
lampu depan. "Kita jalan-jalan yuk," ajaknya.
"Aku nggak pakai jaket," kata Meg. Badannya menggigil
kedinginan. "Boleh kupinjam punyamu?"
Tony ragu. "Ayo," desaknya lirih. "Aku akan memelukmu dan
membuatmu hangat."
Meg turun dari mobil lalu mengikuti Tony menyusuri jalan
setapak. Dalam kegelapan, dia bisa mendengar deru air sungai di
bawah sana. Sepatu ketsnya menginjak tanah yang empuk. Jalan itu
berkelok-kelok naik memutari tebing. Tony mengulurkan tangannya,
Meg meraih dan menggenggamnya.
"Di atas suasananya agak mengerikan, ya?" tanyanya. Tony
diam saja. Meg menjajarinya, lalu mendului beberapa langkah, masih
sambil memegangi tangan pacarnya.
"Lihat... kita persis di pinggir tebing," kata Meg. Tiba-tiba dia
ketakutan. "Tempat ini seharusnya diberi pagar pengaman."
Tony masih tetap diam. Dia berdiri di belakang Meg. Dia
mengulurkan kedua tangannya, memegang bahu Meg, lalu sambil
memeluknya erat-erat dia membimbing cewek itu sampai ke bibir
tebing.BAB
18 Senin Malam
INI harus kulakukan secepatnya, pikirnya. Hanya perlu waktu
satu detik. Satu dorongan keras dan tamatlah riwayat Meg. Sederhana.
Dan cepat.
Tapi... mengapa Tony ragu?
Meg mudah percaya. Cewek itu sepertinya merasa nyaman
dalam pelukannya. Meg bahkan tidak bertanya apa-apa ketika Tony
menolak meminjamkan jaket kulitnya.
Mungkin sebenarnya Meg tidak tahu apa-apa. Apakah Tony
tega melakukan pembunuhan yang tidak perlu?
Dia memutuskan untuk mencari tahu. "Ceritakan tentang
Brian," bisiknya lembut ke telinga gadis itu. Dibimbingnya Meg ke
jalan setapak, agak menjauhi tepi tebing.
"Dia aneh sekali," kata Meg sambil menggigil. "Aku tak bisa
mengerti dia."
"Apa katanya?" tanya Tony, sengaja membiarkan suaranya
terdengar tidak sabar."Dia bilang dia sudah memperingatkanku. Tapi nadanya seperti
mengancam."
"Memperingatkanmu tentang apa?"
"Aku tak tahu. Dia menyuruhku hati-hati. Dia bilang, apa yang
kelihatan belum tentu sesuai dengan kenyataannya. Omongannya tak
masuk akal. Dia seperti benar-benar ketakutan. Dia bilang aku dalam
bahaya."
"Bahaya apa? Siapa yang mengancammu? Orang yang mencoba
menghalangi pesta itu?" Tony memeluknya erat-erat. Kalau perlu,
dengan sekali dorong dia bisa menjatuhkan Meg dari tepi tebing ini.
Mungkin Meg akan kaget setengah mati dan tidak mampu melawan.
"Aku tak tahu. Dia tak mau bilang."
Jadi Brian belum benar-benar buka mulut, Tony menyimpulkan.
Mungkin Brian ingin memberitahu Meg akulah orangnya, tapi dia
sendiri ketakutan.
Apakah Meg sudah berhasil menarik kesimpulan? Belum.
"Mungkin kau bisa memberitahuku apa maksudnya," kata Meg
sambil bersandar ke dada pacarnya.
Percaya seratus persen, pikir Tony.
"Aku juga tak tahu," katanya. "Apa lagi katanya?"
Dia harus mendorong Meg. Dia memutuskan untuk mendorong
Meg. Meskipun sekarang belum berhasil menyimpulkan, cepat atau
lambat Meg pasti akan tahu. Lalu... tamatlah riwayat Tony.
Meg bersandar ke dada Tony. Satu dorongan keras. Hanya itu
yang diperlukan. Setelah itu Tony tak perlu kuatir lagi... setidak-
tidaknya tentang Meg."Kata Brian aku dalam bahaya. Cuma itu yang dikatakannya.
Dia bilang aku harus hati-hati."
"Siapa yang dimaksudnya?" tanya Tony lugu. "Katanya, siapa
yang membahayakanmu?"
Bersiaplah. Sekarang.
Dorong dia... lalu kabur. Jangan berdiri menyimak jeritannya.
Jangan dengarkan bagaimana tubuhnya membentur air. Jangan simak
bunyi kemeretak ketika tulang-tulangnya patah karena tubuhnya
membentur dasar sungai yang dangkal. Lari, Tony. Kau akan selamat.
Kau akan baik-baik saja.
"Kupikir yang dimaksudnya adalah dia sendiri," kata Meg tidak
yakin. "Aku bingung. Kupikir dia mencoba memperingatkanku
tentang dia. Tapi itu tak mungkin, kan?"
Sekali lagi Tony ragu. "Aku juga tak mengerti. Brian memang
aneh," katanya.
"Tapi bagaimana mungkin Brian orangnya?" tanya Meg.
"Waktu malam-malam di hutan itu, tak mungkin Brian yang
menyerangku dan mendorongku ke jurang. Waktu itu dia sudah jatuh
ke dasar jurang."
Apakah Meg akan bisa memecahkan teka-teki ini dan
menyimpulkan akulah satu-satunya orang yang punya kesempatan
menyerangnya? Tony menimbang-nimbang. "Kalau bukan dia, lalu
siapa?" dia bertanya sambil bersiap-siap, mengencangkan kakinya dan
memejamkan matanya. Dia tidak ingin melihat ketika Meg terjungkal
jatuh.
"Menurutmu, mungkinkah ada dua orang yang mencoba
membatalkan pesta itu?" tanya Meg. "Brian dan satu orang lain."Meg berbalik badan, menghadap Tony.
Jangan. Jangan menghadap ke sini. Jangan membuat ini jadi
lebih sulit bagiku. Jangan pandang aku seperti itu.
Wajah Meg manis dan menarik seperti boneka. Sempurna.
Manis sekali.
Jangan lemah, Tony. Kau memang mencintainya. Tapi kau
lebih memilih kebebasan, memilih hidup, dan menyimpan
rahasiamu... selamanya.
"Brian dan orang lain? Aku tak mengerti." Suaranya bergetar.
Dia menduga-duga, apakah Meg tahu dia kesal dan bingung.
Jangan memandangku begitu. Jangan tatap mataku dengan
penuh cinta.
"Tony... kau tak terlibat urusan ini, kan?" tanya Meg tiba-tiba.
"Apa?!" Sekujur tubuh Tony gemetar tak terkendali.
Meg menempelkan dahinya ke pipi Tony.
"Aku punya pikiran konyol bahwa yang dimaksud Brian adalah
kau. Aneh sekali. Pikiran-pikiran gila bisa menguasai kita bila kita
bingung, kesal, dan berusaha keras memecahkan teka-teki macam ini."
"Ya. Aneh," kata Tony. "Tidak. Tak mungkin aku yang
dimaksudnya. Tak mungkin."
Meg mempertimbangkan kata-katanya. Tony merasakan dahi
Meg menempel di pipinya. Dia merasa bisa mendengar otak Meg
sibuk bekerja memecahkan misteri itu. Apakah Meg bisa memastikan
bahwa Tony tidak berbohong? Apakah Meg sudah menyimpulkan
bahwa Tony-lah pembunuh Evan?Meg melepaskan diri dari pelukannya. "Aku suka bunyi
gemercik sungai yang mengalir di bawah sana. Bunyi itu membuatku
lebih tenang."
Kau ingin mendengarnya dari dekat, kata Tony dalam hati.
Suara Meg berubah, menjadi lebih dingin dan penuh kecurigaan.
Atau... apakah itu hanya imajinasinya?
"Ada yang lebih aneh lagi," kata Meg. "Ellen menjenguk Brian.
Dia orang pertama yang didatangi Ellen. Menurutmu itu aneh tidak?"
Tony tergagap. "Ellen? Dia... apa?" Dia terlalu gugup untuk
bisa mengendalikan diri dan menyembunyikan rasa tidak senangnya
mendengar berita itu.
Tony meraih lengan Meg. Memantapkan posisi kakinya. Lalu
mengambil napas dalam-dalam.
"Ada apa, Tony?" tanya Meg lirih.
"Tidak apa-apa."
Satu dorongan kuat. Hanya itu yang diperlukan. Mungkin Meg
takkan menyadari apa yang terjadi sampai ketika tubuhnya sudah
meluncur ke dasar tebing.
Tidak. Tidak. Tidak.
Dia tidak akan melakukannya.
Tony tahu, dia tidak akan sanggup melakukannya.
Aku bukan pembunuh, pikirnya. Aku bukan pembunuh.
Benarkah? Mampukah dia melakukannya?
Pikirannya berputar-putar. Kepalanya pening sekali. Sampai-
sampai dia ingin menerjunkan diri ke dasar tebing.
Tony memantapkan posisi kakinya sambil memegang lengan
Meg. Apa untungnya dia membunuh Meg? Dia tidak tahu. Meg belumberhasil menyimpulkan apa-apa. Membunuh Meg takkan
menyelesaikan masalahnya.
Masalahnya adalah Brian. Masalahnya adalah Ellen. Brian dan
Ellen. Kedua orang itulah masalahnya.
Meg tidak pernah jadi masalah.
Oke. Kau harus tetap hidup, Meg. Dan kau tidak boleh
membatalkan pesta kejutan itu.
Dia sudah berusaha menghentikan pesta itu. Dan dia gagal. Tapi
pesta itu sebenarnya bukan masalah. Aku akan mengawasi mereka.
Aku akan menguping omongan mereka.
Tiba-tiba Tony ingat ayahnya punya pistol. Senjata itu disimpan
di dalam lemari di bengkel kerjanya di lantai bawah tanah. Di dalam
lemari itu juga ada sekotak peluru.
Pistol itu. Aku akan membawa pistol. Untuk jaga-jaga.
Ya. Aku akan membawa pistol itu Sabtu malam nanti.
Untuk Brian. Dan Ellen.
Untuk melindungi diriku sendiri.
Brian sudah mencoba membocorkan rahasiaku. Aku tak tahu
apa yang direncanakannya bersama Ellen. Tapi aku akan siap
menghadapi mereka. Aku akan siap, penuh tekad, dan mantap.
"Tony, apa-apaan sih? Tampangmu aneh sekali." Meg menatap
mata Tony, ekspresinya cemas sekali. Untuk pertama kalinya, Tony
melihat kecurigaan di mata itu.
"Eh... tak apa-apa. Mungkin aku kedinginan. Kita kembali ke
mobil yuk."
"Tapi... kau tak mau menciumku dulu?"Mengapa Meg menatap matanya seperti itu? Untuk meyakinkan
diri? Untuk meyakinkan diri bahwa Tony bukan pembunuh?
"Menciummu? Oh, ya. Baik."
Tony melingkarkan lengannya, memeluk Meg, dan
menciumnya. Pikirannya melayang pada senapan yang menunggunya
di dalam lemari, di lantai bawah tanah.BAB
19 Sabtu Malam
MEG meminggirkan mobilnya lalu memandang ke atas bukit,
ke rumah Bibi Amy, bibi Ellen. Sederet lampu kuning kecil memagari
undakan batu dari dasar bukit sampai ke beranda depan. Aku tak ingin
mendaki undakan itu lagi, pikir Meg.
Dia menekan klakson. Tak ada tanda-tanda Ellen di atas sana.
Dia menekan klakson lagi, lebih lama. Kenapa mobil asing
klaksonnya tidak keras? katanya dalam hati.
Sukses! Ellen muncul di beranda dan memberi isyarat dia akan
segera turun.
Meg membalas lambaiannya. Dia lega karena tidak perlu turun
dari mobil. Dia merasa gugup dan tidak yakin akan bisa menikmati
pesta itu. Aku lega kalau pesta itu bisa membuat Ellen senang,
katanya pada diri sendiri. Sepanjang hari Meg, Shannon, dan Lisa
menyiapkan tempat pesta di Halsey Manor House. Mereka


Fear Street Pesta Kejutan The Surprise Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membersihkan rumah itu, menghiasinya dengan balon dan bunga
aneka warna. Makanan dan minuman ringan pun telah tersedia.Seharusnya aku gembira menghadapi pesta itu, pikirnya. Tapi
kenapa aku punya firasat pesta itu benar-benar akan mengejutkan?
Ellen tidak suka pesta. Dia akan membenciku selamanya gara-gara ini.
Kenapa aku jadi tolol begini?
Meg lega ketika melihat Ellen tersenyum sambil menuruni
undakan. Dia memandang kawannya dan menyimpulkan bahwa pesta
itu mungkin akan sukses. Dulu Ellen selalu siap menghadapi apa saja.
Meg yakin, malam ini pun Ellen siap. Siapa tahu dia justru senang
karena kawan-kawannya mau repot-repot menyenangkannya.
Malam itu dingin dan berangin. Cuaca tidak seperti di musim
panas. Ellen mengenakan rok mini merah berpotongan lurus, celana
ketat hitam, dan blus hitam berlengan panjang. Dia kelihatan cantik.
Kalau saja aku tinggi dan langsing, pikir Meg sambil tersenyum
ketika Ellen masuk ke mobil. Meg mengenakan sweter Esprit kotak-
kotak warna turquoise?satu-satunya sweternya yang mahal?dan
celana ungu.
"Hai. Mana Shannon?"
"Hai. Kita akan menjemputnya," kata Meg sambil
memundurkan mobil ke jalan. "Kau cantik sekali."
"Terima kasih. Kau juga. Kau sama sekali tak berubah, Meg.
Wajahmu tetap seperti anak umur sepuluh."
"Apakah itu berarti pujian?" gumam Meg sambil tertawa. Dia
memacu mobilnya ke barat ke arah Old Mill Road, dari sana dia akan
membelok ke Fear Street.
"Di mana kita jemput Shannon?" tanya Ellen sambil
memerosotkan duduknya. Lututnya bertumpu pada dasbor. "Di
rumahnya?" Wajahnya ragu. Ellen tidak ingin pergi ke rumahShannon, Meg menyimpulkan. Rumah Shannon dulu juga rumah
Evan.
"Tidak. Kita jemput dia di Halsey Manor House." Meg
berusaha agar suaranya terdengar wajar, seakan setiap hari
pekerjaannya adalah menjemput Shannon.
"Apa? Rumah tua di hutan itu?" Ellen terkejut. "Di hutan Fear
Street?"
Meg mengangguk, matanya mengawasi jalan. Dia tidak pandai
berbohong. Moga-moga saja Ellen tidak menanyainya macam-macam.
"Ngapain dia di sana?" tanya Ellen sambil membuka jendela.
Tapi udara terlalu dingin, jadi cepat-cepat ditutupnya lagi jendela itu.
"Eh... aku tak tahu. Dia hanya minta dijemput di sana." Meg
memutuskan, jawaban aku-tak-tahu yang ringkas akan
menyelamatkannya. Dia tidak perlu repot-repot mengarang cerita.
"Bagaimana bibimu? Kau asyik di sana, ya?" tanyanya, mencoba
mengalihkan pembicaraan.
Ellen mendesah dan memelorotkan duduknya semakin rendah.
"Aku tak tahu," katanya sedih sambil memandang rumah-rumah yang
mereka lewati dalam gelap. "Mungkin sebaiknya aku tak datang ke
sini. Terlalu banyak kenangan..."
Wah... wah..., pikir Meg. Aku bahkan akan menyeretnya ke
dalam rumah yang penuh kenangan baginya!
Dia membelok ke Fear Street. Dengan cepat dia melewati
kuburan dan sederet rumah bobrok di seberangnya. Malam terasa
lebih gelap begitu dia membelok di tikungan dan masuk ke Fear
Street. Entah mengapa, tak satu pun lampu jalan yang menyala.
Sebagian besar rumah di jalan itu juga gelap.Meg melihat Ellen bergidik dan memejamkan mata. Mereka
melintasi hutan Fear Street. "Aku benci tempat ini," kata Ellen. Dia
membuka mata. "Pemandangan di sini indah, ya?"
"Mungkin," sahut Meg. Dia tidak tahu harus bilang apa.
Mengadakan pesta di rumah Shannon adalah salah. Akui saja, katanya
pada diri sendiri. Mengadakan pesta di mana pun juga salah. Ellen
belum bisa mengatasi pengalaman buruknya di sini. Mungkin takkan
pernah bisa. Ellen juga tidak mau berpura-pura sudah berhasil
mengatasinya.
Meg membelokkan mobilnya ke jalan tanah yang sempit dan
berkelok-kelok ke arah Halsey Manor House. Dia tidak menemukan
bahan obrolan lain. Dia merasa canggung, sama seperti waktu bertemu
Ellen pertama kali hari Senin. Ketika lampu depan mobilnya
menyoroti rumah tua berdinding batu di depannya, perasaan tidak
enak dan berat menyerangnya.
"Istana Frankenstein," kata Ellen. "Sudah bertahun-tahun aku
tak ke sini. Waktu kita masih kecil, di sini sering diadakan pesta ulang
tahun. Pesta ulang tahun yang seram."
Hmm, selamat datang ke pesta lain yang juga seram, pikir Meg.
Ada dorongan untuk cepat-cepat menyusuri lengkungan jalur masuk
di depan rumah itu dan mengantarkan Ellen kembali ke rumah
bibinya. Atau... dia ingin berkeliling sepanjang malam, sampai mereka
tidak melihat rumah-rumah yang mereka kenal, pemandangan yang
mereka kenal... dan melupakan semua kenangan buruk itu.
Itu bukan watakmu, Meg, omelnya dalam hati. Kau selalu bisa
mengambil hikmah dari situasi apa pun. Itulah watakmu yang terbaik.
Pesta ini pasti sukses kalau sudah dimulai. Yah... mungkin tidakbenar-benar sukses... tetapi sekurang-kurangnya tidak gagal. Dan
Ellen akan berterima kasih padanya. Tak mungkin dia tidak berterima
kasih.
Meg senang karena sempat mengobrol ringan dengan kawannya
tadi. Sekarang dia membelokkan mobilnya ke depan rumah tua itu.
Tak ada mobil lain di situ. Semua sudah diinstruksikan untuk
memarkir mobil di belakang. Dua lampu taman yang suram menyoroti
pintu depan yang berbentuk lengkung seperti pintu utama kastil.
"Kau yang panggil dia," kata Ellen. "Tempat ini membuatku
merinding."
Meg memutar pegangan pintu dan mendorong pintu mobil
sampai terbuka. "Tidak. Ayo masuk sama-sama. Aku tak mau masuk
sendirian."
Ellen mengerutkan dahi lalu menurunkan kakinya dari dasbor.
"Kau juga merinding, ya? Ngapain sih Shannon di sini?" Dia turun
dari mobil dan merapikan rok mininya. "Oke. Ayo. Kita masuk sama-
sama."
Meg sangat gugup, nyaris tak sanggup melangkah. Dia belum
pernah membuat orang terkejut dengan membuat pesta kejutan. Dia
mendorong pintu utama yang berat, melangkah ke dalam selasar
depan, dan dia bersumpah takkan membuat pesta kejutan lagi. "Aku di
belakangmu," katanya kepada Ellen sambil mendorong cewek itu ke
dalam.
Sepatu kets mereka berdecit menginjak lantai marmer. Rumah
itu sunyi sekali. Sebuah kandelar yang sangat besar tergantung rendah.
Benda itu terbuat dari kristal dan kuningan. Ruangan itu didominasi
kandelar itu, tetapi sinarnya sangat redup."Ke sini, mungkin," kata Meg, pura-pura tak tahu arah. Dia
mendului menyeberangi ruangan depan yang luas, lalu membuka
pintu besar berat di ujung belakang. Ruangan di baliknya gelap gulita.
"Ke sini," kata Meg.
Dengan enggan Ellen mengikutinya. Kaki Meg gemetaran,
napasnya tersengal-sengal. Seumur hidup belum pernah aku segugup
ini, pikirnya. Oh, moga-moga pesta ini tidak gagal.
"KEJUTAN!"
Semua lampu tiba-tiba menyala. Belasan wajah tersenyum
cengar-cengir.
Ellen menatap Meg, tidak mengerti apa yang terjadi.
"KEJUTAN!" teriakan itu disusul tawa riang dan sorak-sorai.
"Lihat dia!" teriak Shannon dari seberang ruangan. "Dia benar-
benar, kaget."
Meg menatap Ellen, menunggu senyumnya terkembang,
senyum bahwa dia mengerti, menerima dan senang karena pesta itu.
Tapi, Ellen tidak tersenyum.
Ellen justru tampak sangat takut.BAB
20 Sabtu Malam
SEPERTI potongan-potongan film, berbagai peristiwa selama
beberapa menit berikutnya terpatri dalam ingatan Meg. Shannon
memeluk Ellen, yang akhirnya memaksa mulutnya tersenyum. Ellen
memeluk Lisa. Lisa tertawa dan berkata bahwa Ellen tampak kaget
sekali. Dengan nada bercanda Ellen mengancam akan membalas Meg
karena membuatnya kaget seperti itu. Apakah dia benar-benar
bercanda? Tony dan Ellen saling menyapa dengan kaku. Mereka
sama-sama canggung dan salah tingkah. Tony memberi selamat
kepada Meg karena telah mengatur semuanya. Semua mengerumuni
Ellen untuk mengucapkan selamat bergabung kembali. Ketika
semakin banyak yang merubungnya dan menyalaminya, Ellen mulai
kelihatan santai dan tidak canggung lagi.
"Sukses. Sukses!" teriak Shannon ke telinga Meg. Dia ingin
suaranya didengar di tengah keributan.
Meg terlompat. Dia tak mengira akan dikejutkan seperti itu.
"Kau keren sekali," katanya pada Shannon."Ellen juga keren, kan? Dia benar-benar kaget." Shannon pergi
untuk mengobrol dengan anak-anak lainnya. Meg mendekati Tony
yang berdiri diam sendirian di pinggir kerumunan. "Di sini panas
sekali. Mengapa tak kaulepas jaket kulitmu?" tanyanya.
"Aku tak kenapa-kenapa," sahut Tony jengkel. Di bagian
pinggangnya, jaket itu tampak menggembung. Kedua tangannya
dimasukkannya ke saku.
"Ellen keren sekali, ya?" kata Meg yang mulai senang dengan
pesta itu.
"Ya. Kupikir juga begitu."
"Kau ini sedang nggak enak hati atau kenapa sih? Ini kan
pesta." Kenapa aku marah-marah pada Tony? Aku tegang, dia
menyimpulkan dalam hati. Dia sudah melewati bagian kejutan dalam
pesta itu, tapi malam masih panjang.
"Jangan ganggu aku," gumam Tony. "Kau kan tahu, aku tak
suka pesta."
Secara impulsif Meg mencium pipi Tony. "Nanti dansa
denganku, ya?"
"Lihat saja nanti." Tony tersenyum kaku.
Setelah semua mendapat kesempatan menyalami Ellen, ruangan
besar itu ribut sekali. Sekolah baru saja libur, semua yang datang
tampak santai dan siap berpesta.
Lisa tampak asyik mengobrol dengan Ellen. Tangannya
bergerak-gerak dan dia tertawa-tawa. Tetapi Ellen, yang seperti
sedang melamun, berulang kali memandang ke balik bahu Lisa. Meg
mengikuti arah matanya. Ellen memandang Tony.
Tony membalas tatapannya, menggeram, lalu membuang muka.Apa sih masalah Tony? pikir Meg. Seseorang berteriak
memanggil Meg, memintanya membantu mencari piring kertas. Dia
langsung melupakan peristiwa singkat itu.
Ketika kembali beberapa menit kemudian, dia melihat Ellen
sedang bicara dengan penuh semangat di tengah kawan-kawan
mereka.
Lisa dan Cory ada di tengah ruangan. Untuk pertama kalinya
mereka tampak akur. Tak jauh dari mereka, Suki Thomas, dengan
rambut dicat pirang dan dipotong model punk, melingkarkan
lengannya di pinggang Dwayne. Cowok itu memandang sekelilingnya
dengan gugup. Mungkin dia mencari Shannon. Ruangan yang luas itu
menggemakan suara-suara keras dan tawa ria. Pesta ini sukses besar,
batin Meg.
"Cepat... setel musik!" teriak Shannon. Sekali lagi dia
mengagetkan Meg dari belakang. "Setel keras-keras! Pesta ini oke
banget!" ebukulawas.blogspot.com
Meg meminjam tape besar milik Tony. Besarnya hampir sama
dengan stereo di rumahnya. Cepat-cepat dia menyeberangi ruangan
akan memasang kaset, tetapi Ellen menghentikannya di tengah
ruangan. "Pestanya hebat, Meg," kata Ellen sambil memeluk Meg.
"Benar-benar kejutan. Aku agak... kewalahan."
"Kukira kau akan marah," kata Meg, lalu terkikik. Oh... dia
sudah ketularan tawa gugup Ellen.
"Ini manis sekali," kata Ellen. "Aku tak pantas mendapat
sambutan seperti ini."
"Jangan konyol," kata Meg. "Kami semua ingin menyambutmu.
Kami kangen dan kehilangan kau, Ellen. Terutama aku.""Aku juga kangen padamu." Apakah mata Ellen berkaca-kaca?
Meg tak percaya. Tidak biasanya Ellen emosional begini. Pesta ini
pasti membuatnya sangat terharu.
"Aku akan menyetel musik," teriak Meg sambil bergegas
menyeberangi ruangan.
Dwayne menghalangi jalannya. Hampir saja dia menubruk
cowok itu. "Kau lihat Shannon?" tanya Dwayne.
"Barusan ini tidak," sahut Meg dingin. Dia mencari Suki dan
melihat gadis itu di seberang ruangan, lengannya sedang memeluk
pinggang cowok lain.
"Katakan padanya aku mencarinya, oke?"
"Tentu, Dwayne." Meg cepat-cepat menjauhi cowok itu. Di
meja tape, dia memilih kaset musik dansa yang paling panas dan keras
yang ada di situ, lalu memasangnya.
Beberapa detik kemudian dentuman musik terdengar
membahana. Asyik sekali, menggema, dipantulkan dinding dan langit-
langit ruangan. Beberapa pasangan mulai berdansa. Meg mencari
Tony, tapi tak bisa menemukannya. Akhirnya dia melihat cowok itu
duduk di lantai, sendirian di pojokan, sedang menyesap minuman
kaleng.
"Mau dansa?" teriaknya sambil berdiri dekat pemuda itu dan
menggoyang-goyangkan badannya mengikuti irama musik.
"Mungkin nanti," sahut Tony. Dia meneguk isi kaleng itu lalu
memandang Ellen di seberang ruangan. Dia masih belum melepas
jaket kulitnya. Aneh, pikir Meg, padahal di dalam ruangan panas.
"Pestanya keren," kata Lisa. Cewek itu melangkah di antara
mereka dan memeluk Meg. "Kau berhasil!""Kita berhasil!" kata Meg senang. "Menurutku, kita pantas
menerima..."
Dia tak pernah menyelesaikan kalimatnya. Matanya melihat
kegaduhan di dekat tape di sudut ruangan. Musik berhenti tiba-tiba.
Ada yang menjerit. Beberapa pasangan yang sedang berdansa
menoleh, bingung.
"Hei... apa-apaan ini?"
"BRIAN!"
Meg dan Shannon segera berlari ke arah cowok itu. Brian
berdiri di antara meja tape dan pintu. Kepalanya dibebat perban putih.
"Ini dia. Kembalinya sang mumi!" teriak seseorang. Beberapa
anak tertawa.
"TENANG SEMUANYA!" Brian berteriak mengatasi suara
tawa.
"Brian, ngapain kau di sini?" jerit Meg.
Di celah perbannya, Meg melihat mata Brian berkilat liar.
Senyumnya ganjil dan mengerikan. Kedua tangannya terangkat,
memberi isyarat agar semua diam.
"Brian, dengar...," teriak Meg. Brian sepertinya tidak
mendengarnya.
"Kenapa dia?" tanya Ellen sambil mendekati Meg dengan wajah
sangat cemas. "Dia mau ngapain?"
"Dengarkan kata-kata sang Penyihir Level Empat!" teriak
Brian, tangannya masih terangkat di atas kepalanya yang terbalut.
Ruangan luas itu langsung hening. Tak seorang pun bergerak.
"Aku punya kekuatan itu sekarang! Aku sudah mencapai Level
Empat! Dan malam ini... aku akan menghidupkan Evan!""JANGAN!" jerit Ellen, mulutnya ternganga penuh kengerian.
Dia menarik-narik ujung rambutnya yang pirang panjang dengan
kedua tangannya.
"Aku akan menghentikannya!" teriak Tony sambil melangkah
ke arah Brian, satu tangannya terkepal menjadi tinju, yang satunya
tersembunyi di balik jaket kulitnya.


Fear Street Pesta Kejutan The Surprise Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan, tunggu..." Meg menghalangi Tony.
"Aku akan menghidupkan Evan... sekarang!" teriak Brian. Dia
menurunkan tangannya. Kemudian kedua tangannya menunjuk pintu.
Pelan-pelan pintu itu membuka.
"Ngapain dia?" pekik Shannon. "Kenapa ini dilakukannya?"
"Jangan. Hentikan!" teriak Tony sambil menghindari Meg dan
bergegas mendekati Brian.
Pintu terbuka lebar sekarang. Seseorang berdiri di koridor yang
remang-remang.
Seseorang pelan-pelan berjalan masuk.
"Ini lelucon atau apa?" jerit Shannon. "Lelucon yang tak lucu!"
Tony membeku, satu tangannya di balik jaketnya.
Brian terus mengarahkan tangannya, matanya berkilat-kilat
penuh kemenangan. Sosok jangkung itu maju ke dalam lingkaran
cahaya.
Beberapa anak berteriak kaget. Beberapa menjerit.
Sosok yang maju ke dalam lingkaran cahaya itu adalah Evan.BAB
21 Sabtu Malam
"BUKAN! KAU BUKAN KAU!" teriak Tony.
Evan memelototi Tony. Matanya tampak putih dalam cahaya
yang menyilaukan. Dia mengacungkan telunjuknya ke arah Tony,
menuduhnya, lalu maju selangkah ke arah cowok itu.
"TIDAK! KAU SUDAH MATI!" jerit Tony, wajahnya berkerut
seperti orang kesakitan. Dia mengeluarkan tangannya dari balik
jaketnya. Tangan itu memegang sepucuk pistol hitam besar. Diacung-
acungkannya pistol itu dengan liar, moncongnya terarah ke langit-
langit. "AKU TAHU KAU SUDAH MATI KARENA..."
Evan maju selangkah lagi, mendekati Tony.
"Tony... pistol...," Meg menjerit. "Dari mana kau...? Kenapa...?"
"Oke, oke!" suara Tony melengking. Matanya nanar menatap
mata Evan. "Aku tahu kenapa kau di sini, Evan! Aku akan mengaku.
Akan kuceritakan semuanya pada semua orang! Akan kukatakan siapa
yang membunuhmu!""Mike! Kenapa sih kau ini?" teriak Shannon. Dia berpaling
pada Tony. "Dia bukan Evan... dia adik tiriku Mike! Demi Tuhan,
singkirkan pistol itu!"
Aku tak tahu kenapa dia begitu, tapi aku harus merebut pistol
itu dari tangannya sebelum dia melakukan sesuatu yang mengerikan,
pikir Meg. Dia melompat maju dan berusaha merebut pistol itu. Tony
mendorongnya keras-keras, mengangkat pistol itu tinggi-tinggi,
kemudian mengarahkannya pada Mike.
"Oke, oke, akan kuceritakan semuanya!" teriak Tony. "Itu
maumu, kan? Baiklah. Dengar, semuanya! Aku tahu siapa yang
membunuh Evan. Akan kuceritakan semuanya sekarang. Aku..."
Lampu padam.
Pekik jerit memantul dari dinding. Dengan panik semua
berlarian ke pintu. Meg mencari-cari Tony dalam gelap. Dia ingin
menyergap cowok itu, memeganginya, merebut pistolnya, mencari
tahu apa yang terjadi, mengapa Tony ketakutan setengah mati,
mengapa dia akan mengaku.
Mengaku?
Ya. Tony akan mengaku.
Meg merasa badannya gemetaran. Dia ingat peringatan Brian.
Dia sadar sekarang, Brian dan Mike pasti sudah merencanakan ini
semua.
Hanya untuk menakut-nakuti Tony....
Letusan pistol, hanya beberapa inci darinya, membuatnya
terlompat dan menjerit keras. Seseorang menjerit kesakitan. Kursi-
kursi bertumbangan ketika anak-anak berlarian dalam ruangan yang
gelap pekat itu."JANGAN... JANGAN!" Sekarang giliran Meg yang menjerit.
"Nyalakan lampu! Tolong, nyalakan lampu!"
Beberapa detik kemudian lampu menyala. Meg memandang ke
bawah. Dia berdiri di dekat Tony. Cowok itu terguling di lantai,
matanya terbelalak ketakutan, tangannya memegangi bahunya. Darah
mengalir membasahi lengannya, kemudian menetes ke karpet.
"Tony..."
"Aku... aku ditembak!" Katanya tergagap... kaget dan tak
percaya. "Aku ditembak!" ulangnya masih terpana.
"Tolong, hentikan dia!" terdengar seorang cewek.
Hentikan siapa?
Meg mengangkat wajahnya. Siapa yang berlari ke pintu?
Semuanya terjadi cepat sekali, Meg tidak yakin apakah dia tidak salah
lihat. Tapi tidak salah lihat. Dwayne. Cowok itu memegang pistol
Tony.
"Hentikan dia! Dia menembak Tony!"
Dwayne tersandung kursi yang terbalik, terlempar melewatinya,
lalu jatuh tengkurap di lantai. Masih mencengkeram pistol Tony, dia
berbalik cepat dan mengancam mereka dengannya. Pelan-pelan dia
berdiri, matanya yang hitam berkilat-kilat, mengawasi seisi ruangan.
"Aku nyaris lolos," katanya. "Tapi kalian keburu menyalakan
lampu."
"Dwayne... kenapa kau menembak Tony?" jerit Meg.
Tony masih terbaring di lantai. Dia mengerang-erang sambil
memegangi bahunya. Darahnya terus mengucur, membuat lingkaran
merah basah yang semakin besar di bawahnya."Diam! Diam!" bentak Dwayne membentak sambil
mengacungkan moncong pistol ke arah Meg. Cewek itu tahu, Dwayne
sedang memikirkan langkah apa yang akan diambilnya. Rencananya
tadi pasti menembak Tony lalu kabur dalam gelap. Tapi sekarang
setiap orang di ruangan ini tahu tadi dia berusaha kabur dengan pistol
di tangan.
Kenapa? Kenapa Dwayne menembak Tony? Kenapa Tony
datang ke pesta membawa pistol? Meg sangat bingung dan takut
sekali.
"Aku tak punya pilihan," kata Dwayne, matanya mengawasi
seisi ruangan dengan gugup. "Aku tak ingin ada yang membuntutiku."
Tiba-tiba dia maju, mengulurkan tangannya dan mencengkeram
lengan Ellen. Moncong pistol ditempelkannya ke pelipis Ellen. "Kau
ikut aku. Kau calon korban yang tepat, kan? Kau juga bersekongkol
membunuh Evan."
Meg mengira dia salah dengar. Ellen bersekongkol membunuh
Evan? Ellen juga? Apa maksud Dwayne?
"Jangan... jangan...," Ellen memohon.
Tapi Dwayne menyeretnya ke pintu, moncong pistol masih
menempel di pelipisnya. "Kalau ada yang berani membuntutiku, tamat
riwayatnya!" teriak Dwayne. Tak seorang pun bergerak. Tak ada yang
ragu bahwa ancaman Dwayne bukan omong kosong.
"Tolong... dengar dia!" teriak Ellen kepada semua orang.
Seseorang harus menghentikan Dwayne, pikir Meg. Kami
takkan membiarkan dia membawa Ellen. Dia sudah menembak Tony.
Kami tak boleh membiarkan dia menembak Ellen.
Ini semua salahku. Salahku. Pestaku. Salahku.Meg tahu, pikirannya kacau. Dia terlalu takut hingga tak bisa
berpikir jernih. Yang dia tahu, dia harus bertindak. Dengan cepat dia
menyusuri dinding, berlindung dalam bayang-bayang.
Dwayne tidak melihatnya ketika cowok itu berjalan mundur ke
arah pintu. Kalau dia bisa sampai ke pintu lebih dulu, mungkin dia
bisa mengagetkannya, mungkin dia bisa merebut pistol itu dan
memberi kesempatan kepada Ellen untuk melarikan diri.
Anak-anak berdiri bergerombol, terpaku ketakutan. Meg
bergerak cepat di belakang mereka, bersembunyi, dan berdoa moga-
moga Dwayne tidak melihatnya.
Bisakah dia menyerang Dwayne sebelum cowok itu sampai ke
pintu? Bisakah dia membuatnya kaget hingga Ellen bisa melepaskan
diri?
Kepalanya pening. Lantai serasa lengket di kakinya. Dinding
terlihat miring. Tapi dia terus berusaha maju, tanpa suara, menuju
pintu.
"Bagus. Jangan ada yang bergerak. Jangan paksa aku
melakukan tindakan yang kubenci," teriak Dwayne. Lengannya
melingkari pinggang Ellen. Dia menyeret cewek itu menyeberangi
ruangan. Dia menjauhkan pistol dari kepala Ellen, lalu menggerak-
gerakkannya menyapu seisi ruangan, seolah memberi peringatan
terakhir kepada siapa pun yang berani mengikutinya.
Meg lebih dulu sampai di pintu.
Dia mengambil napas dalam-dalam. Dwayne hanya beberapa
kaki darinya, memunggunginya. Pistol itu berada dalam
jangkauannya.Dia tinggal mengulurkan tangan dan... Tiba-tiba Dwayne
berbalik. Dia melihat Meg. Dia mendorong Ellen ke lantai ketika Meg
melompat maju.
Meg melompat hendak merebut pistol. Dia melihat wajah
Dwayne. Dia melihat matanya. Dia tahu, dia sudah terlambat.
Dwayne mencengkeram lengannya, memutar badan Meg, dan
membenturkannya ke dinding dengan keras. Secepat kilat dia
menempelkan moncong pistol ke leher cewek itu.
Ditekannya pistol itu ke leher Meg sampai cewek itu menjerit
kesakitan. "Ayo, cewek-cewek manis. Kalian ikut. Aku selalu ingin
punya pacar rangkap!"
Semua seperti gerak yang dipercepat. Semua terjadi begitu
cepat. Terlalu cepat untuk dilihat, terlalu cepat untuk dipikirkan,
terlalu cepat untuk dimengerti.
Mereka berada di koridor yang gelap. Mereka bertiga. Dwayne
mendorong-dorong kedua cewek itu. Setiap kali keduanya ragu atau
melambatkan langkah, Dwayne mengancam mereka dengan pistol.
Sekarang keduanya lari. Larinya terlalu cepat.
Ellen memandang lurus ke depan, wajahnya kosong. Apakah
dia pura-pura tidak tahu ini benar-benar terjadi? Meg mencoba
berhenti, mencoba melawan, tetapi Dwayne memaksanya maju terus
dengan menempelkan moncong pistol ke tengkuknya. Punggung Meg
merinding. Dia tetap merinding dan gemetaran meskipun Dwayne
sudah mengalihkan moncong pistol itu. Dengan tubuh gemetaran,
Meg sulit berlari, sulit bergerak, sulit bernapas.
Dwayne mendorong mereka sampai pintu depan, berhenti, dan
berdiri di depan pintu itu tanpa membukanya. Kemudian dia menarikmereka ke arah yang lain. Ellen menatap pintu itu lama-lama. Sesaat
Meg mengira Ellen akan mencoba mencapai pintu itu. Tapi Ellen
menunduk, memejamkan mata, menyerah, dan menunggu perintah
Dwayne.
"Mereka akan mencari kita di luar," kata Dwayne. Suaranya
tenang dan dingin, sedingin pistol yang menempel di punggung Meg.
"Lebih baik kita tetap di dalam."
Sambil menjaga agar kedua cewek itu tetap di depannya, dia
mendorong mereka ke tangga yang menurun ke lantai bawah tanah.
Meg terhuyung-huyung, nyaris terjungkal, tetapi Dwayne meraih
lengannya dan memaksanya terus berjalan. "Mereka akan mencari kita
di hutan, sampai pagi. Tapi kita akan nyaman dan aman di bawah sini.
Aku dan dua pacarku. Asyik." Dia tertawa, senang dan puas dengan
rencananya.
"Kenapa?" Meg memaksa diri bertanya. Suaranya lirih,
terdengar seperti orang tercekik.
"Maju terus," perintah Dwayne sambil mendorong Meg dengan
keras, nyaris mengakibatkan cewek itu terjungkal di tangga berlapis
ubin.
"Kenapa?" ulang Meg. Dia terlalu takut untuk berhenti
melangkah atau melawan, dia terlalu bingung untuk tidak bertanya
kenapa. "Kenapa kau menembak Tony?"
"Harus. Aku tak tahu berapa banyak yang diketahui makhluk
tolol itu. Tapi aku tak bisa melewatkan kesempatan. Aku tak bisa
membiarkannya mengatakan pada kalian semua"
"Mengatakan apa?"
"Bahwa aku membunuh Evan."BAB
22 Sabtu Malam
"TAPI... Tony yang membunuh Evan!" jerit Ellen. "Aku lihat
sendiri!"
Meg tertegun, lalu menjerit kaget. Terkejut. Ngeri. "Tony? Apa
katamu, Ellen?"
"Tony membunuh Evan," ulang Ellen.
"Itu tak mungkin...," tukas Meg.
"Meg, kau tak tahu apa-apa," kata Ellen dengan pahit.
"Jangan berhenti," perintah Dwayne sambil memberi isyarat
dengan pistol.
Di mana mereka sekarang? Dwayne menggiring mereka ke
bagian rumah yang belum direnovasi, melewati ruangan-ruangan
gelap pekat berisi perabotan yang diselubungi kain penutup dan penuh
debu yang sudah mengeras. Mereka melewati ruangan-ruangan
kosong dan ruangan-ruangan berisi berbagai peralatan aneh.
Mereka membuka pintu lain lalu masuk ke ruangan lain lagi.
Dwayne menemukan tombol lampu dan menekannya. Mereka beradadi dapur yang luas, berdebu dan penuh sarang labah-labah. Dapur itu
pasti sudah bertahun-tahun tak pernah dipakai. Panci-panci tembaga
kotor bergantungan pada deretan kait di atas kepala mereka. Sebuah
lemari dapur yang kotor berlemak berdiri menempel pada dinding.
Meja racik dari kayu penuh dengan peralatan makan dan peralatan
masak yang sudah bertahun-tahun tidak dipakai. Udara di ruangan itu
bau busuk, lembap, dan jamur.
"Sempurna," kata Dwayne sambil memandang sekelilingnya.
"Aku suka dapur yang nyaman dan hangat. Kalian juga, kan?" Dia
tertawa karena leluconnya sendiri. "Sekali lagi Dwayne berhasil.
Mereka takkan menemukan kita di sini. Kita santai-santai saja di sini.
Kalau mereka sudah tenang, diam-diam kita kabur." Diisyaratkannya
agar kedua cewek itu duduk di lantai, di samping lemari dapur.
Keduanya duduk dengan patuh.
Dwayne mengacungkan pistol ke arah mereka berdua
bergantian, pura-pura akan menembak mereka satu per satu. Mulutnya
menirukan bunyi letusan pistol.
"Selera humormu bagus, Dwayne," gumam Ellen.
"Tutup mulutmu," bentak Dwayne, lalu tertawa keras-keras,
seakan-akan baru saja melucu.
"Apa-apaan sih kamu ini?" tantang Ellen. Aku lihat sendiri
Tony membunuh Evan. Ngapain kau ngamuk di atas tadi? Otakmu
yang tak waras itu isinya apa sih?"
"Kau tak tahu yang sebenarnya terjadi, ya?" Dwayne kelihatan
benar-benar kaget."Aku tahu yang sebenarnya terjadi," Ellen berkeras. "Aku ada
di sana. Aku dan Tony membuntuti Evan ke hutan Fear Street. Kami
mencemaskannya. Aku baru saja bilang pada Evan, aku ingin putus."
"Kau apa?" jerit Meg. Omongan mereka berdua tak masuk akal.
Ellen ingin memutuskan hubungan dengan Evan?
"Sori, Meg. Sungguh, aku minta maaf," kata Ellen ketika
melihat wajah Meg yang kebingungan. "Suatu saat kau harus jadi
dewasa, Nak. Tony dan aku pacaran di belakangmu. Aku ingin jalan
bareng Tony. Aku bilang begitu pada Evan."
"Kau dan Tony?" Meg berusaha agar suaranya terdengar biasa,
tetapi kata-kata Ellen terlalu mengejutkan.
"Ya. Aku dan Tony. Hmm... bisa kaubayangkan bagaimana
reaksi Evan waktu aku bilang begitu. Dia langsung ngamuk dan kalap.
Diambilnya senapan ayahnya lalu dia pergi ke hutan. Dia bilang ingin
menembak sesuatu. Apa saja. Aku dan Tony membuntutinya. Kami
kuatir dia kenapa-kenapa. Dia kalap, seperti orang gila. Kami ingin
menenangkannya. Entah bagaimana mulanya, tahu-tahu Tony dan
Evan sudah bergumul berebut senapan. Senapan itu meletus... dan
Evan mati. Tony membunuh Evan."
"Aku tak percaya," gumam Meg, kepalanya pening sekali. Dia
duduk meringkuk dengan lutut merapat ke dada. Kepalanya terkulai di


Fear Street Pesta Kejutan The Surprise Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lututnya. "Tony ada di sana? Tak mungkin! Kata Brian..."
"Brian datang berlari-lari beberapa saat setelah Tony menembak
Evan. Dia menemukan aku dan Tony di sana, sedang kebingungan
mencoba memutuskan apa yang akan kami lakukan. Tony sangat
ketakutan. Dia bilang dia punya akal. Dia akan mengatur agar Evan
kelihatan seperti bunuh diri atau mengalami kecelakaan. Kemudiandia mengancam aku dan Brian. Dia akan membunuh kami jika kami
berani buka mulut dan bilang bahwa dia ada di hutan bersama kami.
Brian dan aku tahu, Tony tak main-main. Wajahnya kaku dan
bersungguh-sungguh."
"Aku... aku tak percaya. Aku tak bisa percaya," Meg berkeras.
"Sebaiknya kaudengarkan kelanjutannya," kata Ellen. "Tony
kabur setelah mengatur agar kejadian itu tampak seperti kecelakaan.
Aku... aku histeris. Aku tak bisa berpikir jernih. Aku takut setengah
mati. Brian juga. Begitu Tony kabur, kami mencari bantuan. Selama
ini aku dan Brian menyimpan rahasia ini rapat-rapat, yaitu bahwa
Tony membunuh Evan. Kami terlalu takut untuk buka suara."
"Pantas, sepanjang tahun ini Tony aneh sekali," kata Meg.
Dwayne tertawa. Meg mengangkat wajahnya. Dia hampir lupa
bahwa cowok itu berdiri di dekat mereka dengan pistol teracung.
Kenapa Dwayne tertawa? Apa yang lucu?
"Hei, berikan pujian pada yang berhak menerimanya," katanya.
"Apa maksudmu, Dwayne?" tanya Ellen.
"Kukira Tony tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kukira dia tadi
akan buka mulut ketika klon Evan muncul. Kukira dia akan bilang
pada semua orang bahwa akulah pelakunya, aku yang membunuh
Evan." Dia tertawa sambil menggeleng-geleng. "Konyol benar Tony.
Dasar bodoh bin tolol."
Dwayne mondar-mandir sambil memutar-mutar pistol di
tangannya.
"Bagaimana mungkin kau membunuh Evan?" desak Ellen.
"Bagaimana? Aku lihat Tony dan Evan bergumul berebut senapan.
Aku lihat Evan terguling. Aku lihat dia mati."Dwayne menggeleng. "Kau juga tolol. Tony tak membunuh
Evan. Aku yang membunuhnya. Brian dan aku sedang main Wizards
and Dungeons di hutan ketika mendengar letusan senapan. Brian
bilang sebaiknya kami lihat apa yang terjadi. Kubilang tak usah. Aku
bilang aku mau pulang saja. Brian pergi memeriksa letusan apa itu.
Aku membuntutinya, sembunyi-sembunyi agar dia tak melihatku."
"Jadi kau juga ada di sana?" jerit Ellen.
"Aku melihat semuanya. Semuanya. Kupikir Tony sudah
membunuh Evan. Tapi setelah dia kabur, dan setelah kau dan Brian
mencari pertolongan, aku mendekat untuk memeriksa. Evan belum
mati. Dia bahkan tak tertembak. Kepalanya terbentur batu. Itu yang
membuatnya pingsan."
"Oh, tidak," erang Ellen. "Evan masih hidup. Dan kau..."
Dwayne mengangguk. "Aku benci Evan. Aku selalu
membencinya. Dia selalu menghalangi niatku untuk mendekati
adiknya. Dia tak mengizinkanku bicara dengan Shannon. Katanya aku
tak cukup berharga untuk adiknya. Dia selalu menghinaku dan
membuatku merasa seperti cacing. Jadi... itulah kesempatanku. Aku
mengambil senapan itu. Dan Evan kuberi pelajaran. Pelajaran terakhir.
Bukankah dia sudah mati? Sekurang-kurangnya tiga orang
menganggapnya sudah mati. Aku tinggal menyempurnakan
kematiannya."
"Dasar tak punya perasaan!" jerit Meg. Badannya gemetaran.
Mulutnya kering sekali. Lehernya seperti tercekik. Tangan dan
kakinya dingin membeku.
Dwayne terkikik, suaranya melengking dan mengerikan. "Ya,
begitulah!" katanya angkuh."Lucunya, membunuh Evan ternyata gampang sekali. Malah
boleh dibilang menyenangkan."
Sekarang dia akan membunuh kami, pikir Meg. Dia tega
membunuh Evan begitu saja... semudah menggetok lalat. Dia malah
tertawa-tawa mengingat kejadian itu, sedikit pun tidak menyesal. Tadi
dia menembak Tony. Sekarang giliran kami. Dia sudah bicara terlalu
banyak. Sekarang kami tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Kami takkan keluar hidup-hidup dari sini.
Dwayne menyeringai memandang Meg. Mungkin cowok itu
bisa membaca pikirannya. Dia memelototi mereka sambil mengacung-
acungkan pistolnya.
Aku harus melakukan sesuatu, pikir Meg. Aku tak boleh diam
dan menyerah begitu saja. Aku harus mencoba kabur dari sini.
"Teganya kau membunuh orang seperti itu," sembur Ellen,
suaranya penuh rasa jijik, muak... dan ngeri.
"Seperti ini." Dwayne menodongkan pistol itu kepada Ellen dan
menarik picunya.
"Jangan, jangan..." Ellen mengangkat tangannya, mencoba
melindungi diri.
Dwayne tertawa, lalu menirukan bunyi letusan pistol.
Tak mungkin dia terus-terusan pura-pura akan menembak kami,
pikir Meg. Suatu saat? dan itu tak lama lagi?dia akan benar-benar
menarik picunya.
"Boleh kami berdiri?" tanya Meg. "Kakiku kesemutan."
"Silakan," sahut Dwayne sambil terus memelototi Ellen. "Boleh
saja." Dia memutar-mutar tangannya, pistol itu jatuh berdentang
membentur lantai semen yang keras.Meg menolong Ellen berdiri. Ketika Dwayne membungkuk
mengambil pistol, Meg berbisik ke telinga Ellen, "Awas! Ada Tikus!"
Dwayne meraih pistol lalu cepat-cepat menegakkan badan dan
mengancam kedua cewek itu. "Kalian sangat lamban," dia berkata
sambil menyeringai senang. "Seharusnya kalian tadi sempat kabur."
"Kami takkan kabur," kata Meg tanpa semangat.
Dia hanya bisa berharap, semoga Ellen mendengar bisikannya.
Semoga Ellen mengerti. Dia tidak berani melirik Ellen untuk
memastikannya. Dwayne mengawasi mereka dengan waspada.
Meg hanya tahu dia harus melakukan sesuatu. Membunuh Evan
ternyata gampang sekali, kata Dwayne tadi. Meg tidak ingin Dwayne
membunuhnya dengan mudah. Dia tidak ingin mati di dapur bawah
tanah yang kotor dan tak pernah dipakai ini.
Punggungnya menempel rapat pada dinding keramik yang
dingin. Dia bergeser satu inci mendekati Ellen. Disentuhnya lengan
gadis itu. Giliranmu, Ellen. Ingat permainan itu?
Awas! Ada Tikus! Kaudengar bisikanku? Ayo, Ellen.
Ayo. "Apa-apaan ini?" tiba-tiba Dwayne membentak sambil
mengangkat pistolnya.
"YAAAAAIIIII!" Ellen menjerit sekeras-kerasnya, suaranya
memekakkan telinga, didorong kengerian yang luar biasa. Tangannya
menunjuk ke belakang Dwayne. "TIKUS!"
Dwayne terlompat kaget.
Meg tahu dia hanya punya waktu sedetik. Kurang dari sedetik.Dia meraih ke atas, meraba penggorengan tembaga besar yang
tergantung di dinding. Benda itu lebih berat dari yang
dibayangkannya. Dia tak punya waktu untuk berpikir.
Dengan sekali sentak, penggorengan itu lepas dari kaitnya.
Ketika Dwayne berbalik menghadap mereka, Meg
mengayunkan penggorengan itu.
Kena! Penggorengan itu menghantam wajah Dwayne dengan
keras.
Daarr! Terdengar ledakan keras, bunyi logam membentur tulang
hidung.
Dwayne tidak sempat mengaduh.
Matanya terpejam. Dua gigi terlompat dari mulutnya. Darah
mengucur dari kedua lubang hidungnya.
Lalu... dia terjungkal.
Meg mengambil pistol yang terlempar ke lantai. "Cepat! Kita ke
atas," katanya. Napasnya terengah-engah, sesak sekali. Tapi dia masih
bernapas. Dia bersyukur karena masih bernapas. "Mereka pasti sudah
menelepon polisi."
Sekali lagi mereka menoleh melihat Dwayne. Cowok itu
tertelungkup di lantai, darah menggenang di sekeliling kepalanya.
Kemudian mereka lari keluar dari dapur yang lembap itu, menembus
ruangan-ruangan gelap, menuju tangga.
"Hei!" seru Ellen sambil berusaha menyusul Meg. "Kau
sungguh pintar membuat pesta!"BAB
23 Minggu Sore
" JADI Tony yang berusaha menggagalkan pesta itu, ya?"
Shannon melemparkan sepasang kaus kaki kepada Mike di seberang
ruangan. Cowok itu menangkap kaus kaki itu dan memasukkannya ke
koper. Shannon dan Meg sedang di kamar Mike, membantu cowok itu
berkemas sebelum kembali ke sekolah.
"Ya, memang Tony," sahut Meg sambil menggeleng-geleng.
"Aku ini benar-benar idiot."
"Kau bukan idiot," tukas Shannon cepat-cepat. "Kau... kau...
eh..."
"Gampang percaya," kata Mike menyelesaikan kalimatnya.
Cowok itu melipat jins dan memasukkannya ke koper.
"Itu kan kata lain untuk idiot," kata Meg.
"Meg... biasanya kau tidak begitu," kata Shannon. "Kau baru
saja mendapat pengalaman buruk. Kita semua juga. Tapi kau tak boleh
membiarkan pengalaman itu membuatmu... eh...""Bersikap pahit," kata Mike. Dia selalu menyelesaikan kalimat
Shannon.
"Kurasa... kurasa aku telah belajar banyak sekali dari
pengalaman ini," kata Meg. Dia mendesah dengan lesu.
"Apakah Tony akan baik-baik saja?" tanya Shannon.
"Dia kehilangan banyak darah. Untung ambulans cepat datang
tadi malam. Mereka segera membawanya ke rumah sakit. Untung
belum terlambat. Kata dokter dia akan segera sembuh," jawab Meg
murung. Dia tahu bagian hidupnya yang itu sudah tamat. Dia sudah
sangat terbiasa dengan Tony. Entah bagaimana hidupnya tanpa cowok
itu. Shannon mengangkat. sepasang kaus kaki kotor. "Yang ini juga
akan kaubawa, Mike?"
"Tidak. Itu hadiah buatmu. Selamat ulang tahun, ya."
Shannon melemparkan dua-duanya ke dalam koper. "Baunya
belum sebusuk bau bajumu yang lain."
"Aku sudah bicara dengan ayah Tony," kata Meg. "Dia akan
mencari bantuan untuk Tony. Yah, agar dia bisa berpikir waras lagi.
Ayah Tony kenal psikiater terkenal di New York. Kasihan Tony, dia
nyaris gila. Butuh waktu lama untuk menyembuhkannya."
"Bayangkan bagaimana perasaan Tony selama setahun ini,"
kata Mike sambil menggeleng-geleng. "Selama ini dikiranya dialah
yang membunuh Evan. Setahun penuh dia ketakutan kalau-kalau
orang mengetahui rahasianya, ketakutan sewaktu-waktu hidupnya
akan hancur... untuk selamanya. Eh... tahu-tahu bukan dia yang
membunuh Evan. Pengalaman itu pasti sangat berat baginya.""Kasihan Tony. Kasihan Ellen," kata Shannon. "Kasihan juga
Brian. Kasihan semuanya."
"Mana Ellen?" tanya Mike.
"Pulang tadi pagi," sahut Meg. "Entah kapan kita bisa ketemu
dia lagi."
Mereka terdiam beberapa lama. Masing-masing membayangkan
kejadian mengerikan di pesta tadi malam. Cahaya matahari yang cerah
menembus tirai tipis yang melambai-lambai ditiup angin hangat. Bayi-
bayi murai berkicau nyaring di sarangnya, di cabang pohon di depan
jendela.
"Sepupumu, Brian, benar-benar cowok hebat," kata Mike
memecah keheningan. "Ketika dia menemuiku dengan gagasan itu dan
menyuruhku pura-pura jadi Evan, kupikir dia gila."
"Kami semua mengiranya sinting," kata Meg. "Kasihan Brian.
Dia sangat takut pada Tony. Dia menenggelamkan diri dalam
fantasinya agar tak perlu menghadapi dunia nyata."
"Tapi kalau bukan karena Brian dan Ellen, mungkin kita takkan
pernah tahu kejadian yang sebenarnya," kata Mike dengan bijak.
"Brian dan Ellen?" tanya Meg kaget.
"Ya. Mereka yang merencanakan dan menyuruhku muncul di
pesta sebagai Evan," sahut Mike.
"Itu sebabnya Ellen menengok Brian!" Meg baru sadar
sekarang. "Untuk merancang sandiwara itu."
"Jadi Ellen sudah tahu tentang pesta kejutan itu?" tanya
Shannon.
"Brian yang kasih tahu dia," kata Mike. Mereka sudah tak tahan
memendam rasa bersalah. Mereka harus buka mulut. Mereka harusmembuat semua orang tahu tentang Tony, tentang mereka berdua, dan
apa yang sebenarnya terjadi di hutan Fear Street. Sudah berbulan-
bulan mereka ingin melapor ke polisi. Tapi mereka menundanya
terlalu lama, sampai mereka tak yakin apakah polisi akan percaya."
"Kecuali itu, mereka juga sangat takut pada Tony. Mereka pikir,
jika rahasia cowok itu mereka bongkar di depan orang banyak, mereka
akan cukup aman," lanjut Mike.
"Akting Brian benar-benar meyakinkan," kata Meg.
"Dia sangat berani," kata Mike sambil menutup kopernya.
"Kau juga berani," kata Meg. Dia memalingkan wajahnya.
Tiba-tiba matanya berkaca-kaca. Sekarang dia benar-benar sedih.
Shannon menggeser duduknya, mendekati Meg yang duduk di
tempat tidur. Dilingkarkannya lengannya memeluk Meg. "Kau akan
baik-baik saja," katanya lembut. "Kita semua akan pulih."
Dengan punggung tangannya Meg menghapus air matanya. Dia
dan Shannon menemani Mike turun ke bawah.
Cowok itu berhenti di selasar depan dan meletakkan kopernya
di lantai. "Tolong bilang Dad, aku sudah siap pergi ke bandara,"
katanya pada Shannon.
"Oke, Bos!" Shannon cepat-cepat pergi ke kebun belakang.
Mike berpaling dan tersenyum pada Meg. "Aku akan pulang
lagi bulan Juli," katanya. "Bagaimana kalau kita jalan-jalan atau main
sama-sama?"
Meg membalas senyumnya. "Aku akan senang sekali,"
sahutnya. "Aku suka jalan-jalan denganmu, Mike. Tapi... eh... aku
punya syarat..."
"Apa?""Tolong jangan ajak aku ke pesta!"END
Badminton Freak 1 Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo Golok Maut 9
^