Pencarian

Gelombang Pasang 3

Fear Street Super Chiller Gelombang Pasang High Tide Bagian 3


Sambil menguap lagi, kutatap sekeliling kamar tidur. Tempat
tidur Ian sudah kosong dan kusut berantakan. Ia sudah pergi bekerja,
pikirku. Tempat penyewaan kapal motor tidak pernah tutup kecuali
jika ada angin ribut.
Masih pusing dari tidurku yang tak nyenyak, sambil terhuyung-
huyung aku menuju ke kamar mandi. Ketika aku berdiri di bawah
siraman air panas, penggalan-penggalan mimpiku tadi malam mulai
menerangi pikiranku.
Jet ski menembus gelombang.
Mitzi terjatuh.
Jet ski berputar, melaju ke arah Mitzi melalui air.
Darah.
Lalu apa? Ada sesuatu yang berbeda, tetapi apa?Lupakan saja, kataku pada diri sendiri. Jangan berusaha terlalu
keras. Mungkin mimpi itu akan kembali padaku bila aku justru
mengenyahkannya dari pikiranku.
Ketika aku berusaha mengenyahkan mimpi itu, bayangan yang
lain melintas di kepalaku.
Joy. Menggelepar di atas ombak. Menjerit dengan putus asa,
memintaku tidak meninggalkannya sendirian.
Tidak membiarkan dirinya tenggelam.
Mimpi buruk yang lain.
Aku menggigil meskipun berada di bawah siraman air panas
dan beruap. Dapatkah aku mengenyahkan mimpi buruk dari
pikiranku?
Aku mematikan air. Lalu aku berpakaian dan bergegas menuju
ruang duduk. Perutku sudah berbunyi sejak aku bangun. Mungkin
sebaiknya segera makan, pikirku. Perutku yang kelaparan tidak peduli
pada mimpi burukku.
Mangkuk sereal masih ada di meja kopi di atas genangan susu.
Aku membersihkannya, lalu membuka kulkas.
Ada tiga kaleng soda. Satu karton susu yang hampir kosong.
Satu apel, setengah batang cokelat, sepotong keju yang sudah
berjamur.
Perutku berbunyi lagi.
Kau harus memilih, pikirku. Tinggal di sini dan mati kelaparan.
Atau pergi ke toko makanan basah kuyup diguyur hujan lebat.
Tentu saja pergi ke toko makanan, aku memutuskan. Itu lebih
baik daripada duduk-duduk saja. Kalau hanya duduk sambil bengong-bengong, aku justru akan terus memikirkan mimpiku. Lebih baik
pergi, walaupun harus basah kuyup kehujanan.
Ian meminjam jaketku baruku lagi. Ketika aku mencari jaket
lamaku di lemari, tiba-tiba aku teringat Leslie.
Dia dapat giliran kerja pagi di kafe sebelah toko makanan. Dia
pasti ada di sana sekarang.
Temui dia dulu, kataku. Dia memang marah malam itu, tetapi
dia tidak berniat melakukan apa yang dikatakannya. Lagi pula aku
kangen padanya. Aku harus mencoba berbaikan dengannya.
Lakukan itu segera, perintahku pada diri sendiri.
Dengan mengenakan jaketku yang lama, aku menekan topi
bisbol ke kepalaku dan bergegas menuju pintu.
Ketika aku meraih pegangan pintu, telepon berdering. Aku
berbalik ke dapur dan meng-angkatnya. "Halo?"
"Hati-hatilah," bisik suara yang parau.
"Siapa ini?" desakku. "Apa yang kauinginkan?"
"Kau akan mengetahuinya," bisiknya. "Segera."
Nada pilih berdengung di telingaku. Si penelepon telah
menutup teleponnya.
Ada orang yang dendam padaku, pikirku gemetar. Tetapi siapa?
Sean? Leslie? Apa Leslie lebih marah daripada yang kusangka?
Setidaknya aku tidak membayangkan hal ini, kataku sambil
menatap gagang telepon. Aku masih dapat mendengar nada pilih. Aku
telah mendengar suara dan kata-kata. Ancaman ini benar-benar nyata.
Masih gemetar, aku meletakkan gagang telepon, lalu
meninggalkan apartemen.Di luar, angin menghantamku, hampir memukulku ke samping.
Curah hujan menghantam wajahku dan menetes di belakang leherku.
Ketika aku sampai di kafe, air hujan telah mulai meresap
menembus jaketku. Bel kecil di depan pintu berbunyi ketika aku
bergegas masuk ke dalam. Aku membanting pintu menahan embusan
angin yang keras, lalu berdiri di sana, dengan air yang menetes dari
bajuku sambil melayangkan pandang.
Pagi ini kafe tidak terlalu ramai. Hanya ada sepasang pria
duduk di konter, makan telur sambil mengobrol dengan pramusaji.
Leslie duduk di pojok, sambil menyesap kopi dan menatap
curahan air hujan melalui jendela.
Dia pasti sedang beristirahat, pikirku. Waktu yang tepat.
Ketika aku melangkah menghampirinya, sepatu karetku
berbunyi keras.
Leslie berpaling dari jendela, dan matanya yang kelabu
menyipit ketika memandangiku.
Ia masih marah.
Cukup marah sehingga mengancamku?
Aku tidak tahu.
Aku berhenti di depannya dan mengambil napas dalam. "Hai."
"Hai." Dia menatapku beberapa saat, lalu minum kopinya.
"Jaketmu membasahi meja Adam."
"Maaf." Aku melepaskan topi dan jaketku dan melemparkannya
ke tempat duduk. Lalu kudorong topi dan jaketku, dan mengambil
tempat, berhadapan dengan Leslie di meja. "Leslie, dengarkan," aku
memulai. "Mengenai malam yang lalu?""Lupakan saja," dia menyela. Dia menyelipkan rambutnya yang
hitam ke belakang telinganya dan menatap ke luar jendela lagi.
"Aku tidak ingin melupakannya," kataku padanya. "Aku ingin
berbicara mengenai hal itu. Menjenihkan suasana, kau tahu?"
"Semua sudah jelas," katanya dingin. "Kau telah membohongi
aku. Kau mengatakan padaku perasaanmu sedang tidak enak, tapi kau
malah pergi dengan orang lain."
"Aku tahu," aku mengakuinya. "Itu sesuatu yang tak pantas
dilakukan."
"Apa betul?"
"Tetapi aku cuma pergi satu kali," kataku bersikeras. "Aku tahu
aku telah berbuat salah. Aku bahkan tak ingin melihat gadis itu lagi.
Itu bukan masalah penting."
"Jelas bukan," bentaknya. "Karena kau pergi dengan dua cewek
malam berikutnya."
Aku mengerutkan dahi. "Tetapi Raina dan Joy?"
Leslie mengangkat tangannya. "Aku tahu, aku tahu. Mereka
teman lamamu di SMU, kan?"
"Benar," kataku.
"Mungkin begitu, tetapi itu tak jadi masalah." Dia
mencondongkan badan ke depanku di seberang meja. "Adam, aku
sayang padamu. Aku mengkhawatirkan dirimu. Mencemaskan mimpi
burukmu. Halusinasimu..."
Dia mendesah. "Kupikir kau menjadi lebih parah lagi atau
semacamnya. Tapi kemudian aku menemukanmu sedang berdansa dan
bersenang-senang! Kau tahu bagaimana perasaanku?"
"Tidak suka," jawabku.Tepat! dia mengambil cangkirnya, lalu membantingnya di
bawah meja. "Tidak suka dan sangat marah!"
Oke, oke. Aku mendesah. "Ternyata datang ke sini bukanlah ide
yang baik."
Leslie tidak berkata apa-apa.
Aku mulai berjalan ke luar, tetapi lalu aku berhenti. "Kupikir
kau lebih bersimpati setelah kejadian kemarin sore," kataku tanpa
berpikir panjang.
"Hah?" Leslie tampak bingung. "Apa yang terjadi?"
"Tidakkah kau mendengar di radio atau membaca koran?"
tanyaku. "Kemarin ada seorang gadis tenggelam di laut. Gadis yang
tak berhasil kuselamatkan!'
Dia terkesiap. "Apa? Kau serius?"
"Tidak kok. Ini cuma lelucon konyol," kataku kesal. "Tentu saja
aku serius. Aku ada di sana! Aku mencoba menyelamatkannya, tetapi
tak berhasil. Aku terlambat."
Aku menggelengkan kepala. "Kau seharusnya tahu aku tidak
bercanda untuk hal semacam ini."
Leslie menggigit bibir bawahnya. "Aku melihat berita
semalam," katanya. "Tidak ada berita apa pun tentang peristiwa
tenggelam."
Dia menggapai ke samping dan menyodorkan koran di atas
meja. "Dan ini koran hari ini. Lihat."
Leslie membalik koran dan memperlihatkan berita utama
padaku: PENYEWAAN DI PANTAI MEMECAHKAN REKOR.
"Berita tenggelam pasti akan menjadi berita utama, kan?"
tanyanya."Coba aku lihat!" Aku merenggut koran itu dan mengamati sisa
halaman muka. Tidak ada cerita mengenai Joy.
Tiba-tiba sekujur tubuhku kedinginan.
Dengan ketakutan, kutelusuri koran itu, membaca setiap berita
utama.
Tidak ada berita mengenai Joy.
Tidak ada sama sekali.Bab 23
"ADA apa, Adam?" tanya Leslie. "Apa yang telah terjadi?'
Aku menatapnya. "Aku tidak yakin," kataku gemetar.
Ian mengatakan peristiwa itu benar-benar terjadi, aku
mengingatnya.
Ian mengatakan peristiwa itu bukan halusinasi. Peristiwa itu
benar-benar terjadi.
"Peristiwa itu?itu terjadi," kataku tergagap. "Leslie, peristiwa
itu benar-benar terjadi. Kemarin Joy tenggelam. Entah karena alasan
apa, koran ini mencoba merahasiakannya."
"Adam, kau tidak masuk akal!" teriaknya. "Dan wajahmu
tampak begitu pucat. Apa kau baik-baik saja? Apa kau merasa pusing?
Coba letakkan kepalamu di meja!"
"Tidak, aku... aku baik-baik saja. Maksudku..." Aku meraih
jaket dan topiku dari pojok kursi. "Dengar, aku harus pergi dari sini,
Leslie. Aku butuh udara segar."
Dia mau mengatakan sesuatu, tapi lalu menggigit bibirnya.
"Bagus," katanya sambil mengangkat bahu. "Jangan ceritakan apa pun
padaku. Jangan jelaskan apa pun. Pergi sana!"Aku tahu dia marah lagi padaku, tapi aku tak bisa
mencegahnya. Apa yang dapat aku ceritakan padanya? Bagaimana
aku dapat menjelaskannya? Aku sendiri tidak tahu apa-apa!
Sambil memakai jaket, aku bergegas keluar. Hujan sudah mulai
reda. Tetapi kabut tebal telah melingkar bergulung-gulung.
Sambil menundukkan kepala, aku bergegas menyeberangi jalan,
lalu mengambil jalan kecil yang menuju ke jalan papan di atas pasir.
Tidak ada seorang pun yang berjalan-jalan di sepanjang jalan
papan hari ini. Aku sendirian di tempat ini. Waktu yang tepat untuk
berpikir. Untuk memahami apa yang telah terjadi.
Hanya saja aku tak dapat memahami apa pun.
Mengapa koran tidak memuat berita mengenai Joy? Peristiwa
tenggelam di Logan Beach selama musim turis seharusnya menjadi
berita utama.
Koran seharusnya meliput berita ini di halaman depan. TV
seharusnya mengirim reporter dan kru kameranya. Setiap orang di
kota ini seharusnya membicarakan musibah ini.
Mengapa mereka tidak melakukannya?
Ian mengetahui peristiwa ini. Dia mengatakan polisi ada di
sana. Dia mengatakan kepala pengawas pantai membawaku pulang.
Dia merasa kasihan padaku. Dia tahu tragedi lautan yang kedua
akan menghancurkanku.
Menghancurkanku... mengacaukanku...
Kepalaku berputar. Terlalu banyak yang harus kupikirkan.
Begitu banyak yang harus kupahami.
Apa yang terjadi tadi malam? Aku bertanya-tanya. Aku melihat
Joy di pantai. Mendengarnya berbicara. Menemukan jejak kakinya.Tetapi itu tidak mungkin jejak kaki Joy.
Joy telah meninggal.
Tenggelam. Akibat perbuatanku.
Aku harus menelepon Dr. Thall begitu aku sampai di rumah,
kataku dalam hati.
Dengan bingung dan takut, aku melangkah menembus kabut
tebal menuju ujung jalan papan. Ketika aku sampai di jalan itu, ada
suara memanggilku.
"Adam? Mengapa, Adam?"
Aku berbalik.
Seorang gadis berdiri tak jauh di jalan papan, menatapku. Aku
tak dapat melihat wajahnya.
"Mengapa, Adam?" dia mengulangi dengan suara memilukan.
"Mengapa kau membiarkan aku tenggelam ?"
Aku menggelengkan kepala, berusaha keras mengedipkan mata.
"Apakah kau benar-benar nyata?" tanyaku kepadanya. "Joy?
kaukah itu? Apakah kau masih hidup?"
Dia tidak menjawab.
Kabut tebal bergulung di sekitarnya. Dia menghilang, seolah-
olah bagian dari kabut.
Seolah-olah dia terbuat dari kabut.
"Aku?aku tak dapat melihat wajahmu," kataku tergagap.
"Joy?kaukah itu? Tolong katakan padaku. Kaukah itu?"
"Adam..." dia memanggil namaku lagi dengan suara lembut dan
jauh. "Adam..."
"Joy, aku sudah berusaha menyelamatkanmu!" teriakku. "Kau
harus percaya padaku!"Aku mengangkat tanganku. "Aku sudah mencoba
menyelamatkanmu. Kau tahu aku tidak akan meninggalkanmu di sana.
Aku kembali untuk menolongmu, Joy?tetapi aku terlambat!"
Angin bertiup. Kabut bergulung-gulung.
Ketika kabut melayang-layang di sekitarnya, Joy menghilang.
Aku mengedipkan mata, berusaha melihat wajahnya.
Hentikan dia! pikirku. Jangan biarkan dia pergi.
Kejar dia. Raih tangannya dan guncangkan. Pastikan apakah dia
benar-benar nyata atau tidak!
Tetapi aku tidak dapat bergerak. Aku hanya berdiri tertegun
ketika angin berembus lagi. Kabut naik dan turun seperti selimut
kelabu yang tebal.
Ketika kabut terangkat, Joy telah menghilang.
"Joy!" aku berlari dan terpeleset di jalan papan yang licin. Aku
jatuh berlutut dan buru-buru bangun, lalu berlari sepanjang jalan
papan menuju tempat dia tadi berdiri.
Ia sudah pergi. Menghilang.
Kabut yang dingin datang lagi. Dengan gemetar, aku bergegas
pergi ke ujung jalan. Ketika melompat-lompat, aku melihat sekilas ke
belakang, separo berharap melihat Joy di belakangku.
Tetapi yang kulihat hanyalah tirai kabut kelabu yang tebal.
Gemetaran, aku berjalan pulang ke rumah. Tetapi aku
mengubah pikiranku dan berjalan kembali ke arah kafe.
Aku harus bicara pada Leslie lagi, aku memutuskan. Ceritakan
padanya semua yang telah terjadi. Bukankah dia mengatakan dia
sayang padaku? Cobalah menjelaskan padanya.Tetapi ketika aku sampai di sana, Leslie telah pergi. "Dia pergi
entah kenapa," pramusaji yang lain mengatakan padaku. "Tiba-tiba dia
pergi begitu saja. Tidak mengatakan pada siapa pun ke mana dia akan
pergi."
Ia masih marah padaku, pikirku sedih.
Aku cepat-cepat meninggalkan kafe dan pergi ke toko makanan
kecil di sebelahnya untuk membeli roti, susu, dan berbagai makanan
lain. Beberapa menit kemudian, aku masuk terhuyung-huyung ke


Fear Street Super Chiller Gelombang Pasang High Tide di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam apartemen dengan sekantong bahan makanan di masing-masing
tanganku.
"Ian!" panggilku. "Kau sudah pulang?"
Tidak ada jawaban.
Aku mengeluarkan isi kantong di meja dapur dan melahap
pisang sambil menyimpan makanan. Pakaianku basah lagi, sehingga
aku bergegas ke kamar tidur untuk menggantinya.
Kerai jendela masih belum dibuka dan kamar tidur masih gelap
dan penuh bayang-bayang.
Sambil menyalakan lampu, aku melepaskan jaket dan pergi ke
lemari pakaian.
Aku hampir terjatuh ketika kakiku tersandung sesuatu di lantai.
Aku melihat sekilas, berharap itu sepatu nyasar atau gulungan handuk.
"Hei?kenapa ini bisa ada di sini?" teriakku keras.
Salah satu sweatshirt-ku tergeletak di dekat kaki tempat tidur.
Sambil mengerutkan dahi, aku membungkuk dan mengambilnya.
Aku terperangah ketika seekor bangkai camar laut jatuh ke
lantai.Bangkai camar laut yang terbunuh. Kepalanya terpenggal.
Badannya luka. Bulunya licin karena darah.
Ketika memandanginya dengan pikiran terguncang, aku melihat
selembar kertas menonjol dari bawah tubuh burung yang berlumuran
darah.
Dengan hati berdebar-debar kencang, aku menyingkirkan
bangkai burung itu dan memandang tajam ke arah tulisan cakar ayam
di atas kertas yang tepercik darah: CAMAR INI DIRIMU. KAU
GILIRAN BERIKUTNYA.Bab 24
KAU giliran berikutnya.
Kata-kata itu bergema dalam pikiranku ketika aku melangkah
ke tempat kerja keesokan harinya. Badai telah terlalu dan matahari
bersinar dengan terik. Para pengunjung pantai bergegas pergi di
sepanjang jalan papan dan mendaki bukit pasir, membawa pendingin,
handuk, dan boogie board.
Aku hampir tidak memperhatikan wajah mereka. Cuma
mendengar suara mereka yang gembira penuh gairah.
Aku tak bisa berhenti memikirkan bangkai camar laut yang
hancur dan bersimbah darah serta catatan yang terbelit di salah satu
sweatshirt-ku.
Camar ini dirimu, tulisnya. Kau giliran berikutnya.
Tak mungkin itu halusinasi. Begitu pula suara menakutkan di
telepon itu. Aku mendengar suara di telepon. Aku memegang catatan
berdarah di tanganku. Akulah yang membersihkan bangkai camar laut
itu dan membuangnya ke tempat sampah.
Semuanya nyata, pikirku. Benar-benar terjadi.
Pasti ada seseorang yang ingin mengenyahkan aku.
Siapakah dia? pikirku. Siapa yang sedemikian membenciku
sehingga mereka ingin mencabik-cabikku hingga terkoyak-koyak.Leslie? Sean? Hantu Joy yang berkabut?
Dengan kepala tertunduk, aku menyeruak jalan dengan bahuku
di antara kepadatan orang menuju ke pantai. Ketika aku menuju
panggung pengawas pantai, seseorang mendekatiku dan
menggenggam lenganku.
"Sean!" aku memutar tubuh, siap melawannya jika perlu.
Tetapi itu bukan Sean.
Ternyata Raina yang berdiri di sana, menatapku dengan
ekspresi lega di wajahnya. "Adam, aku begitu senang melihatmu," dia
menjelaskan. "Aku sudah lama mencari-carimu. Aku tidak pernah
mendapat kesempatan untuk berterima kasih kepadamu, karena kau
telah menyelamatkan hidupku."
"Jadi itu betul-betul terjadi?" tanyaku.
Raina mengerutkan dahi. "Apa maksudmu?"
"Tampaknya tak ada orang lain yang mengetahui kejadian yang
kita alami," kataku padanya. "Kejadian itu tidak ada di koran atau TV.
Aku tak dapat memahaminya, Raina!"
Dia menahan tanganku. "Dengar, Adam, aku akan
menceritakannya padamu. Dapatkah kita bertemu nanti?"
"Tidak dapatkah kita berbicara sekarang?" kataku tak sabar.
"Aku benar-benar perlu membicarakan hal ini. Aku butuh memahami
apa yang telah terjadi. Raina, aku benar-benar ingin kau
menjelaskan?"
Raina menggelengkan kepala. "Aku... aku tak dapat
menjelaskannya," katanya. "Aku harus memperlihatkan sesuatu
padamu.""Apa? Memperlihatkan sesuatu? Memperlihatkan apa?"
tuntutku. "Raina, tolonglah aku?"
"Temui aku nanti malam. Jam tujuh malam," katanya. "Di
dermaga, oke?"
"Oke," kataku menyetujuinya. "Tetapi tidak dapatkah kita
berbicara sekarang, Raina? Aku?aku terus melihat Joy. Aku terus
mendengarnya?"
Dia menggelengkan kepala dengan tegang. "Maafkan aku.
Jangan sekarang. Temui aku, Adam. Jam tujuh malam." Dia
melepaskan tanganku. Lalu dia berbalik dan berlari ke arah kota.
Aku memperhatikannya sesaat, hatiku berdebar-debar.
Mengapa dia tidak dapat berbicara sekarang? Apa yang ingin dia
perlihatkan kepadaku?
Mengapa dia tampak begitu misterius?
Mengapa dia kelihatan begitu ketakutan?
Setidaknya seluruh tragedi itu bukan khayalan.
Raina mengucapkan terima kasih padaku karena telah
menyelamatkannya.
Berarti kejadian itu memang terjadi. Semua benar-benar terjadi.
Sambil mengangkat bahu, aku melompat ke pasir dan
melangkah di sepanjang pantai ke arah panggung pengawas pantai.
Sean duduk terbungkuk di kursinya. Dia bahkan tidak menoleh ketika
aku memanjat.
Apa sih masalahnya? Aku berpikir lagi ketika aku melangkahi
kakinya dan duduk di kursiku. Apa yang menyebabkan dia sedemikian
marah?Aku mengambil napas dalam. "Dengar, kita harus berbicara,"
kataku.
Tidak ada jawaban.
"Hei, Sean." Aku berbalik dan menatap tajam ke arahnya. Dia
duduk seperti patung, menatap ke arah pantai. "Apa kau
mendengarku?" tanyaku.
"Aku mendengarmu," katanya bergumam. "Keras dan jelas."
"Bagus."
"Bagus apa?'
"Apa yang mengganggumu?" aku mendesaknya. "Mengapa kau
berkelakuan begitu aneh?"
Sean melirikku cepat, matanya yang gelap menyorotkan
kemarahan. "Aku tidak ingin bicara apa pun padamu," jelasnya. Lalu
dia kembali memandang ke arah pantai.
"Bagus." Aku mengeluh frustrasi. "Kau seharusnya memberiku
kesempatan." Kataku. "Ini bukan masalah besar, dibandingkan dengan
segala yang terjadi dalam hidupku."
Dia bersungut-sungut.
"Kau dapat menunjukkan sedikit simpati" kataku. "Maksudku,
setelah apa yang terjadi kemarin. Setelah Joy tenggelam. Pernahkah
terpikir olehmu bagaimana perasaanku setelah mengalami kejadian
seperti itu?"
Dia bersungut-sungut lagi. "Jelek, huh?"
"Berat sekali," aku mengakui. "Kadang-kadang aku merasa
seolah-olah aku benar-benar hancur berantakan."
Aku merasakan mata Sean tertuju ke arahku. Aku tetap
memperhatikan pantai.Apakah aku telah membuatnya kesal? Apakah akhirnya ia akan
membuka diri dan menceritakan padaku apa yang ada dalam
pikirannya?
"Lalu tadi malam," sambungku, "ketika tiba di rumah, aku
menemukan bangkai camar laut yang berlumuran darah di kamar
tidurku. Ada seseorang yang telah mencabik-cabiknya dan
membungkusnya dengan salah satu sweatshirt-ku."
Aku memandang sekilas pada Sean.
Dia balik menatapku, dengan pandangan benar-benar terkejut di
wajahnya. "Dalam sweatshirt-mu?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Hadiah yang cukup mengerikan untukku.
Menakutkan, bukan?"
Dia mengedikkan kepalanya ke arah lautan. "Yah. Benar-benar
menakutkan," katanya. Lalu dia memandang sekilas ke arlojinya.
"Sekarang waktuku beristirahat," dia bergumam. "Aku akan kembali
dua puluh menit lagi."
Aku mengeluh lagi sementara Sean menuruni anak tangga dan
bergegas pergi. Apakah dia pura-pura terkejut ketika aku mengatakan
padanya mengenai bangkai camar itu?
Aku tak bisa menerkanya.
Ya, ampun, pikirku sedih. Aku sudah mencoba memperbaiki
hubungan dengan Sean. Aku sudah mencoba berbaikan dengannya.
Aku tidak tahu apa lagi yang dapat kuperbuat.
Aku duduk kembali di kursi pengawas dan mengamati pantai.
Segalanya tampak tenang. Tidak ada seorang pun yang bermasalah.Matahari bersinar semakin terik, membuatku haus. Ketika aku
meraih air minum di dalam tas ransel, tiba-tiba jeritan melengking
membahana di udara.
Aku menjatuhkan botol air dan melompat dari tempat dudukku,
hatiku berdebar-debar.
Jeritan-jeritan bergema di sepanjang pantai.
Ada masalah, pikirku. Tetapi di mana?
Aku mencengkeram pagar dan mengamati lautan.
Itu dia! Orang-orang sedang bermain-main di dalam air,
berteriak dan menjerit dan... tertawa-tawa.
Mereka tertawa-tawa karena angin telah membalikkan binatang
laut mereka dan membawanya kembali ke dalam air. Mereka juga
tertawa-tawa ketika berusaha membalikkan kapal kecil mereka lagi.
Tak seorang pun cedera, kataku dalam hati. Tak seorang pun
akan tenggelam.
Mereka cuma sedang bergembira.
Aku meninggalkan pagar dan kembali duduk di kursiku.
Tanganku gemetar ketika aku mengambil botol air.
Bergembira, pikirku.
Aku bahkan tidak ingat apa artinya bergembira.
************
Dengan susah payah, aku melangkah di jalanan kecil menuju
apartemenku pada pukul enam tiga puluh sore itu. Aku merasa lelah
dan kepanasan.
Dan benar-benar marah pada Sean.Setelah memperlakukan aku seolah aku tak ada di sampingnya
sepanjang sore, dia pulang lebih cepat. Lagi-lagi dia berbuat seperti
itu. Setidaknya tak ada masalah, kataku dalam hati. Hanya sekali
aku meniup peluitku ketika dua anak kecil berkelahi dan mulai
mengayunkan boogie board mereka masing-masing.
Tetapi bisa saja ada yang tidak beres, pikirku. Dan sekali lagi,
aku bertugas sendirian.
Sean biasanya pengawas pantai yang baik. Tetapi akhir-akhir
ini dia agak tidak bertanggung jawab.
Sambil menggelengkan kepala, aku masuk ke dalam apartemen.
Kujatuhkan ransel di sofa dan berjalan menuju kulkas untuk mencari
air dingin.
Ketika meraih pegangan kulkas, aku mendengar suara.
Bunyi derit pelan.
Aku menjadi tegang, tetapi kemudian santai lagi ketika aku
mendengar suara lain.
Itu cuma bunyi derit lantai papan di kamar tidur, pikirku. Ian
pasti sudah di rumah. Bagus. Aku dapat memintanya tidak meminjam
mobilku malam ini, seandainya dia sudah berencana meminjamnya.
Setelah melewati hari yang tak menyenangkan tadi, aku ingin
mengendarai mobil seorang diri sampai tiba waktunya menemui
Raina.
"Ian?" Melupakan haus yang kurasakan, aku bergegas melintasi
ruang duduk. "Hei, buddy."
Aku berhenti di pintu kamar?dan tertegun.Sesosok tubuh besar yang aneh berdiri di dalam ruangan,
punggungnya membelakangi pintu, salah satu tangannya terangkat
tinggi- tinggi di atas tempat tidurku.
Benda apa yang berkilap di tangannya yang terangkat tinggi?
Pisau pemotong daging?Bab 25
AKU terperangah kaget. "Apa yang sedang kau lakukan?"
teriakku dengan marah. "Ada apa ini?"
Dia masih membelakangiku, lalu menjauh dari tempat tidur dan
tersandung pintu lemari pakaian.
Dengan marah, aku bergegas masuk ke dalam ruangan.
Lalu berhenti, tertegun dan ketakutan.
Tempat tidurku telah tersayat dan hancur berkeping-keping.
Kasurnya tercungkil dan isinya tersebar ke mana-mana.
Bulu-bulu bantal beterbangan dan melayang-layang di atas
selimut yang tercabik-cabik. Kasur dan seprainya tersayat dalam dan
kejam. Isi kasur yang berupa gumpalan-gumpalan tebal mengotori
tempat tidurku.
Sweatshirt-ku tergeletak di atas seprai. Robek dan tercabik-
cabik.
Itu bisa saja itu diriku, pikirku.
Pasti aku yang diincarnya!
Si pengacau itu berbalik. Dia berlari ke arah jendela yang
terbuka.
Cahaya matahari menyorot mukanya.
Sean!Sambil berteriak aku melompati tempat tidur yang tercabik-
cabik, lalu menerkam dan memegang lututnya.
Sean berteriak marah dan berusaha keras menjaga
keseimbangannya.
Tetapi aku yang sedang dilanda kemarahan menjadi lebih kuat
kali ini.
Sambil berteriak lagi, aku menangkap lehernya dari belakang
dan menjatuhkan dia ke lantai.
Pisaunya melayang dan jatuh di bawah tempat tidur sehingga
tak bisa diraih.
"Apa yang sedang kau lakukan?" teriakku.
Sambil meletakkan lututku di punggungnya, aku memilin salah
satu tangannya ke belakang dan menyentakkannya dengan keras. "Apa
sih yang sedang kaulakukan?"
"Adam?"
Terengah-engah, Sean, menggeliat-geliut di bawahku.
"Lepaskan aku. Lepaskan aku. Kau tidak?"
Aku merenggut tangannya lebih kuat membuatnya terengah-
engah sambil merintih kesakitan. Tapi aku tak peduli.
Ini dia, pikirku. Yang menakut-nakuti aku dengan teror. Dengan
bangkai burung camar yang tercabik.
Sean-lah yang telah membuatku gila. Yang mencoba menakut-
nakuti aku!
"Mengapa kaulakukan ini padaku?" desakku. "Katakan, Sean!
Mengapa kau menyiksaku?""Kau?" Wajah Sean berkerut karena terkejut. Dia mengangkat
kepalanya dari lantai dan mencoba menatapku. "Apa hubungannya
dengan dirimu?"
"Jangan pura-pura tak tahu!" teriakku, seraya menekannya lebih
kuat dengan lututku. "Aku baru saja memergokimu mengendap-endap
masuk ke kamar tidurku sambil membawa pisau."
"Tetapi..."
"Dan bagaimana dengan telepon-telepon itu?" aku


Fear Street Super Chiller Gelombang Pasang High Tide di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengingatkannya. "Kau akan mendapat balasan atas perbuatan
kepadaku. Jangan katakan bukan kau yang melakukannya!"
"Oke, oke, aku yang melakukannya," Sean mengakui.
"Lepaskan aku. Biarkan aku bebas. Aku?aku?"
"Kau kenapa? Kau salah sambung?" kataku sinis.
"Tidak! Kupikir... aku mencoba..."
"Kau mencoba menyiksaku," teriakku. "Kau menelepon dan
menakut-nakuti aku. Kau meninggalkan bangkai burung berlumuran
darah di kamar tidur, dan membungkusnya dengan sweatshirt-ku. Dan
sekarang kau merobek-robek tempat tidurku hingga hancur!"
"Tempat tidurmu?"
"Ya!"
Sean mengembuskan napas keras. Aku merasakan tangannya
melemas ketika dia meronta, menggesek-gesekkan tangannya.
"Ya ampun!" keluhnya. "Adam, dengar? aku pikir Ian yang
menerima telepon tadi malam. Suaranya mirip suara Ian! Aku tidak
tahu itu adalah kau."
"Hah?" aku terperangah."Benar," Sean melanjutkan. "Dan sweatshirt yang kupakai
untuk membungkus burung? Aku pernah melihat Ian memakai
sweatshirt itu, sehingga kupikir sweatshirt itu miliknya. Demikian
juga kupikir itu tempat tidur Ian karena kulihat sweatshirt itu
tergeletak di sana!"
"Ian?" aku mengerutkan dahi dengan bingung. "Kau berbicara
tentang apa? Apa yang telah Ian lakukan?"
Sean membalikkan kepalanya lagi, memutar bola matanya
ketika ia mencoba melihat ke arahku. "Aku akan menjelaskannya,
oke?" dia terengah-engah. "Lepaskan dulu tanganku, dan aku akan
menceritakannya padamu!"
Aku terdiam. Lalu menggelengkan kepala. "Mengapa aku harus
mempercayaimu? Kau menyusup kemari membawa pisau," aku
mengingatkannya. "Ceritakan dulu padaku. Mungkin saja aku lalu
melepaskanmu."
"Oke." Sean mengeluh dan terbaring tenang untuk beberapa
saat. "Seperti kukatakan, aku tidak tahu yang menerima telepon itu
kau. Sungguh. Kupikir itu Ian. Aku sedang mencoba memperingatkan
teman sekamarmu bahwa aku akan membuntutinya. Karena aku akan
membalasnya!"
"Mengapa?"
Sean tegang lagi. "Karena pacarku!" teriaknya marah. "Ian
kencan diam-diam dengan Alyce!"Bab 26
"IAN kencan dengan Alyce?" tanyaku, benar-benar terkejut.
"Kau yakin?"
"Kau pikir aku mengada-ngada?" Sean merengut. "Yakin. Aku
yakin. Alyce bertemu Ian di bioskop kemarin. Dan kemarin malam dia
menjemput Alyce di pantai untuk pergi ke klub baru yang ngetop itu.
Aku mengikuti mereka."
Ian dan Alyce? Ya, ampun.
Ian tidak mengatakan apa pun padaku tentang Alyce. Memang,
dia bilang dia sedang berkencan dengan seseorang. Tetapi dia tidak
mengatakan siapa cewek itu.
Jika saja dia mengatakannya, aku akan menganjurkannya untuk
melupakan Alyce. Pergi diam-diam dengan Alyce sama saja seperti
bermain api.
Sambil melepaskan tangan Sean, kuangkat lututku dari
punggungnya, lalu berdiri.
Dengan cepat dia berguling dan mengangkat kakinya. "Kurasa
kau percaya padaku sekarang, kan?" tanyanya sambil menggosok
tangannya. "Mengenai telepon, bangkai camar laut dan segalanya.
Aku tidak tahu itu adalah kau, Adam. Aku betul-betul mengira yang
kutelepon adalah Ian.""Yah," kataku tak bersemangat. "Aku percaya padamu. Tetapi
aku tidak mengerti?jika kau begitu marah pada Ian, bagaimana bisa
kau bersikap seolah-olah aku yang kaubenci?"
"Karena Ian teman sekamarmu," bentak Sean.
"Lalu?"
Dia menggelengkan kepala dengan tak sabar. "Aku mengira kau
sudah tahu perbuatannya ini. Itulah sebabnya aku begitu marah,
sehingga tak berbicara denganmu. Dia teman sekamarmu.
Temanmu?dan semula aku pikir dia juga temanku! Tetapi aku
melihatnya bersama Alyce dan?"
Kata-kata Sean terhenti. Dia mengertakkan giginya sambil
mengepalkan jari-jarinya. Matanya yang diliputi kemarahan
menjelajahi seluruh ruangan.
Dia mencari pisaunya, pikirku. Jika dia menemukannya dan Ian
masuk ke ruangan ini, pasti akan timbul masalah gawat.
"Sean!" aku meraih bahunya dan memeluknya. "Tenang!
Tenang dulu!"
"Yah, tentu." Dia menyeringai marah. "Nasihatmu bagus sekali,
Adam. Ada cowok pergi diam-diam dengan cewekku dan kau
memintaku tenang-tenang saja?'
"Ya!" teriakku. "Kau harus bisa mengontrol dirimu. Ingat kisah
yang kauceritakan padaku tentang cowok di sekolahmu?"
Dia mengangguk.
"Kau kalap seperti orang gila dan memukulinya hingga babak
belur, ingat? Katamu sejak saat itu kau takut dengan kemarahanmu.
Yah, jangan bikin kacau lagi, Sean.""Kau benar, aku tahu itu," gumamnya, napasnya terengah-
engah. "Tetapi bila memikirkan Ian, aku serasa mau meledak."
"Yeah, kuasai dirimu," aku mengulangi. "Aku akan berbicara
dengan Ian. Aku berjanji. Tetapi aku melihat Ian di Sea Shanty malam
berikutnya. Tidak dengan Alyce?tapi dengan gadis yang lain."
Sean menatapku ragu-ragu.
"Benar kok," desakku. "Ian menyukai gadis-gadis, titik. Bukan
hanya Alyce. Oke, memang dia pergi bersama Alyce beberapa kali.
Tetapi aku yakin dia tidak akan lengket terus dengan Alyce. Seperti
halnya jika Ian meminjam barang-barang, kau tahu? Pakaian, mobil,
dan barang apa pun. Dan itu berlaku sama dengan cewek-cewek."
"Memangnya Alyce barang," Sean memaki. "Jika Alyce tahu
seperti apa Ian sebenarnya, dia pasti akan mencampakkannya."
"Mungkin dia sudah tahu sekarang. Mengapa kau tidak
berbicara dengannya?" saranku.
Dia mengerutkan dahi. "Aku tidak tahu..."
"Yah, pikirkanlah dulu," kataku. "Tetapi, bagaimanapun, kau
harus tenang dulu, Sean? sebelum kau melakukan sesuatu yang
kausesali."
Sean menatapku sesaat, masih terengah-engah. Tetapi akhirnya
aku melihatnya mulai rileks, "Yah," dia bergumam. "Kau benar,
Adam. Aku memang bodoh telah berbuat nekat seperti yang
kulakukan ketika SMU."
Nekat banget, pikirku. "Bagus," kataku. "Sekarang, mengapa
kau tidak pulang saja dan mencoba bersantai?"Sean mengangguk, tetapi dia tidak bergerak. Dia hanya berdiri
di sana seolah-olah tak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang,
karena tidak ada yang bisa dilawannya.
Suruh dia keluar, kataku dalam hati. Jika Ian pulang, Sean pasti
akan mengajaknya berkelahi.
"Mengapa kau tidak pulang dan mencoba tenang?" desakku.
Aku mendorongnya dan menunjukkan pintu keluar. Akhirnya
dia berbalik dan melangkah.
"Dengarkan musik, nonton TV atau apa saja," saranku ketika
kami meninggalkan kamar tidur. "Kurasa ada pertandingan Dodger di
TV. Kau pengagum Dodger, kan?"
"Ya."
"Bagus. Tepat sekali." Aku membuka pintu depan. "Jangan
mengkhawatirkan Ian. Aku akan berbicara dengannya," janjiku
kembali ketika Sean melangkah keluar. "Kau tenang saja, oke? Dan
coba pikirkan untuk membicarakan ini semua dengan Alyce."
Sambil mengangguk lagi, Sean berbalik dan bergegas pergi.
Aku menutup pintu dan bersandar di baliknya. Wow! pikirku.
Hampir saja.
Sean bisa membunuhku.
Atau Ian, jika Ian pulang lebih dahulu.
Aku menghela napas berat, lalu kembali ke kamar tidur dan
mulai membersihkannya.
Setidaknya tidak ada orang yang mau mengenyahkan aku,
pikirku seraya menarik seprai yang tercabik. Aku tak perlu lagi
mengkhawatirkan bisikan di telepon atau bangkai burung.Ketika aku melemparkan kasur, ujungnya menyenggol radio
dan menjatuhkannya dari meja. Aku mengambilnya dan
memperhatikan jamnya. Jam tujuh kurang seperempat.
Raina, pikirku. Aku harus menemui Raina pukul tujuh. Lebih
baik pergi sekarang.
Tetapi tinggalkan pesan untuk Ian. Peringatkan dia untuk tetap
tinggal di rumah malam ini.
Aku bergegas ke dapur dan membuka dengan sembrono laci
yang berisi aneka barang, mencari sesuatu untuk menulis pesan.
Ketika aku sedang mencari-cari di antara daftar menu siap antar dan
pensil yang patah, pintu apartemen terbuka.
"Hai!" Ian menyapa riang.
"Hai. Aku mau pergi. Aku baru saja mau menulis pesan
untukmu," kataku.
"Kenapa tergesa-gesa?" tanyanya. "Aku masuk dan kau
memutuskan untuk pergi? Apakah karena bau napasku?"
"Aku mau ke dermaga," kataku. "Tetapi nanti aku harus bicara
padamu. Jadi, jangan pergi ke mana-mana, oke?"
"Oke. Aku tidak punya acara lagi." Ian mengerutkan dahi.
"Tetapi untuk apa kau pergi ke dermaga?"
"Aku tidak punya waktu menjelaskan sekarang." Aku
melewatinya menuju pintu, lalu berbalik. "Tetapi aku serius, Ian," aku
mengingatkan dirinya. "Tunggu aku di sini. Ini benar-benar penting."
Kutinggalkan Ian berdiri di pintu, ia masih tampak bingung.
Aku bergegas menuju ke mobilku.
Berbagai pertanyaan terlintas di kepalaku ketika aku berkendara
menuruni jalanan bergelombang dan berbelok menuju dermaga.Akankah Sean tetap tenang dan menungguku membicarakan
masalahnya dengan Ian? Akankah dia pulang ke rumah dan
merenungi masalah? Sampai dia siap marah lagi?
Mungkin seharusnya aku tetap di rumah dan berbicara dengan
Ian, pikirku. Atau setidaknya aku memberinya gambaran tentang apa
yang telah terjadi.
Aku melambatkan laju mobil sesaat, lalu kupercepat lagi. Apa
pun yang ingin Raina perlihatkan kepadaku mungkin tidak butuh
waktu lama. Lagi pula kata Ian, dia tidak punya acara lagi.
Di samping itu, aku sudah berjanji pada Raina. Aku tidak ingin
mengecewakan dia, tidak setelah segala yang telah terjadi.
Dermaga ada di ujung pantai yang melengkung, membentuk
sebuah teluk kecil. Kapal-kapal kecil dan perahu motor saling
berbenturan di antara dua dermaga kayu. Beberapa jet ski ditambatkan
pada dermaga yang ketiga.
Kukendarai mobil melalui gerbang dan berhenti. Ketika keluar
dari mobil, sekilas kupandangi sekitarnya.
Matahari mulai terbenam. Kebanyakan kapal dan jet ski sudah
kembali ke dermaga.
Kecuali sepasang pemancing yang tengah menambatkan kapal
mereka, dermaga itu tampak lengang.
Sepatuku berderak keras di atas pasir berkerikil ketika aku
berjalan ke arah dermaga ketiga. Jet ski-jet ski besar saling
berbenturan, menimbulkan bunyi gedebuk pelan ketika air mengayun-
ngayunkannya menyentuh tambatan.
Aku sedikit menggigil, mengingat musim panas yang lalu.
Mengendarai jet ski bersama Mitzi. Mitzi terjatuh...Aku menggigil lagi, lalu berbalik ke arah bunyi langkah kaki.
Raina bergegas ke arahku, rambut pirangnya yang diikat ekor
kuda bergoyang-goyang ke sana kemari. "Adam, hai. Aku begitu
senang kau datang."
"Tidak masalah," kataku padanya. "Ada apa?"
Raina tersenyum gelisah. "Yah... aku tak tahu harus mulai dari
mana."
Aku berbalik dan duduk di tangga yang menuju ke dermaga.
"Cobalah mulai dari awal," saranku.
"Masalah ini begitu rumit," katanya. "Tapi aku benar-benar
harus mengatakannya padamu. Maksudku, segalanya jadi kacau,
Adam. Aku... kami... pikir..."
"Wow." Aku mengangkat tanganku. "Aku tidak mengerti,
Raina. Apanya yang kacau?"
"Apa yang telah terjadi," bisiknya perlahan.
Kutatap dirinya, bingung. Apa yang sedang dia bicarakan?
pikirku. Apa yang sedang terjadi? "Raina?"
"Oke," selanya. "Jadi begini."
Begini apa? pikirku.
Raina menghela napas dalam. "Aku harus minta maaf padamu,
Adam" ujarnya. "Dan memberimu penjelasan. Sebenarnya, kami
berdua harus memberimu penjelasan."
Sebelum aku dapat menjawab, Raina memandang ke ujung
dermaga dan melambaikan tangannya. "Ayo keluar," panggilnya.
Terdengar langkah kaki di atas papan.
Aku berdiri dan berbalik.Dan terperangah ketika Joy melangkah ke arah kami dari ujung
dermaga.Bab 27
TIDAK! pikirku. Tidak mungkin! Ini tidak sedang terjadi. Aku
sedang melihat bayangan lagi!
Rambut cokelat Joy yang berkilauan melambai-lambai ketika
dia datang mendekat. Dia mengenakan celana pendek putih dan blus
halter berwarna kuning.
Dia tampak nyata.
Ketika Joy menatapku, aku menutup mata. Menggelengkan
kepala.
Jangan percaya, kataku pada diri sendiri. Tetaplah tenang dan
tunggu sampai sosok itu menghilang.
"Adam, tidak apa-apa," bisik Raina. Dia memegang erat
tanganku dan meremasnya.
Kubuka mataku.
Joy tidak menghilang. Dia melangkah melintasi jalan papan
menuju ke arah kami.
Joy di sini. Dan Raina di sini, kataku.
Ini bukanlah halusinasi.
Aku berdiri tertegun, terpaku, ketika Joy melangkah ke arahku.
Dia melilitkan tangannya di leherku dan merangkulku.Aku merasakan kehangatan tangannya yang lembut. Merasakan
rambutnya menerpa wajahku dan napasnya di pipiku. Mendengar
suaranya.
"Adam!" tangisnya. "Maafkan aku!"
Dia ada di sini, pikirku heran. Dia masih hidup.
Aku melepaskan tangannya dan menatapnya. "Aku tak
percaya," kataku gemetar. "Apakah ini benar-benar terjadi? Tetapi aku
tidak dapat mempercayainya! Bagaimana kau keluar dari laut?
Mengapa tak ada seorang pun yang menceritakannya kepadaku?"
Joy mundur dan bertukar pandang dengan Raina. "Kami tidak
mengatakan kepadamu karena?" Joy berhenti, mukanya merah
karena malu.
"Karena kami tidak bermaksud begitu," Raina menyelesaikan
kalimat Joy.
"Hah?"
Kutatap mereka bergantian. "Apa maksudmu?"
"Adam, aku dan Joy telah melakukan sesuatu yang benar-benar
kami sesali. Peristiwa tenggelam kemarin hanyalah sandiwara," Raina
mengakui. "Aku masih tak dapat percaya mengapa kami setuju
melakukannya."


Fear Street Super Chiller Gelombang Pasang High Tide di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Joy mengangguk. "Kami benar-benar menyesal telah
membuatmu seperti ini, Adam."
Aku tak dapat berkata-kata. Aku benar-benar terkejut. Dan tak
bisa bernapas, seolah-olah ada orang memukul perutku dan
melumpuhkanku.
Tidak heran jika tak ada berita di koran. Atau di TV.
Peristiwa itu tidak pernah terjadi."Bagaimana...?" aku tercekik. Aku berhenti bicara dan
mengambil napas dengan gemetar. "Teganya kalian berbuat begitu?"
kataku menuntut. "Dan mengapa? Tidakkah kalian tahu perasaan
bersalah yang kualami? Tidakkah kalian tahu mimpi buruk yang
kualami beberapa hari terakhir?"
"Ya!" tangis Joy. "Itulah sebabnya kami memutuskan
menceritakannya padamu. Bukan niat kami mempermainkanmu,
Adam."
Dia mengeluh. "Itu memang bukan alasan yang bagus, tetapi
kami takkan pernah melakukan hal seperti itu atas kemauan sendiri.
Kau harus percaya itu."
"Joy benar," Raina menyetujui. "Itu ide Dr. Thall. Dia meminta
kami melakukannya. Dia juga meminta Ian membantunya."
"Apa?" teriakku. "Pelan-pelan?kumohon! Kalian berbicara
terlalu cepat!"
Aku menggosok kepalaku yang berdenyut-denyut. "Apa
hubungannya Dr. Thall dengan melakukan semua ini?" tuntutku.
Mereka termangu. Akhirnya Joy berkata, "Kami seharusnya
tidak mengatakan hal ini padamu, Adam."
"Tetapi kami memutuskan untuk menceritakannya," tambah
Raina. "Kami tidak dapat meneruskan rencana yang mengerikan ini.
Walaupun idenya datang dari doktermu."
"Rencana apa?" tuntutku tak sabar. "Apa maksud Dr. Thall?"
"Menurutnya kau telah mengubur begitu dalam ingatanmu
tentang apa yang terjadi musim panas yang lalu," Joy menjelaskan.
"Dan dia ingin mencoba sesuatu yang benar-benar radikal untuk
mengeluarkan ingatan itu.""Yah. Dia memutuskan untuk menciptakan tragedi lagi di
lautan," kata Raina. "Dia memperkirakan kejutan yang menimpaku
dan Joy akan mengguncangkan dirimu?mengejutkan ingatanmu."
Raina menatap tajam ke arahku. "Tetapi rencana itu tidak
berhasil, kan?" katanya sedih.
"Tidak," jawabku berbisik, terlalu terkejut untuk berbicara.
"Tidak, rencana itu tidak berhasil."
"Adam, kami begitu menyesal!" seru Joy. "Kami benar-benar
takut. Kami hanya mencoba menolongmu. Tetapi segalanya berjalan
terlalu jauh. Kami tahu betapa kecewanya dirimu. Lalu... lalu kami
memutuskan menceritakannya padamu."
Raina meraih tanganku. "Ayo, kau boleh membenci kami. Kami
patut dibenci."
Tetapi aku tidak marah.
Aku tak tahu bagaimana perasaanku. Aku seperti mati rasa.
Benar-benar mati rasa.
"Kumohon, Adam, bicaralah," pinta Joy. "Katakan kau
memaafkan kami. Bicaralah... apa saja. Mungkin kita bertiga bisa
duduk bersama, kami dapat... kau tahu..."
Itulah sesuatu yang tidak kuinginkan, pikirku. Aku sedang tidak
ingin berbicara.
Kepalaku berdenyut-denyut ketika aku mencoba menganalisis
semua yang terlintas dalam pikiranku.
Menyingkir saja, kataku dalam hati. Aku bahkan tak dapat
berpikir. Aku harus menyingkir dan menjernihkan pikiranku.
Menjauh dari gadis-gadis itu, aku melompat ke dermaga dan
mulai berjalan ke arah air."Adam, mau ke mana kau?" seru Joy. "Apa yang akan
kaulakukan?"
Aku tidak berbalik. Aku tetap berjalan sampai aku berdiri di
ujung dermaga.
"Adam, kumohon!" panggil Raina. "Kembalilah dan bicaralah
kepada kami!"
Kudengar mereka mengejarku, turun ke dermaga.
Tidak, pikirku. Biarkan aku pergi. Biarkan aku sendirian
sehingga aku dapat berpikir!
Joy dan Raina makin dekat, meneriakkan namaku.
Ombak bergulung menabrak tiang pancang, memercikkan air ke
arahku. Gelombang pasang, pikirku. Di sebelah kananku, sebuah jet
ski kuning membentur-bentur dermaga yang bergoyang.
Itu dia, aku memutuskan. Aku akan mengendarainya.
Setidaknya aku dapat sendirian di laut.
Dengan meraba-raba, aku membuka tali jet ski dan melompat
ke atasnya. Sementara Joy dan Raina mengejar, kupercepat mesin dan
meraung keluar dari teluk kecil itu.
Sementara aku mengendara makin jauh, kepalaku berhenti
berdenyut-denyut dan rasa pusing lenyap. Aku berkonsentrasi
mengemudikan jet ski untuk sesaat, melambung di atas ombak yang
bergulung dan merasakan angin yang menerpa mukaku.
Tetapi segera berbagai pertanyaan dan pikiran muncul perlahan-
lahan dalam kepalaku.
Dr. Thall telah mengatur segala sesuatunya. Aku masih tak
dapat mempercayainya.Dia sudah mengatakan padaku bahwa dia memiliki beberapa
pengobatan baru yang radikal, tetapi aku tak pernah berpikir inilah
yang dia maksud. Sesuatu yang begitu kejam.
Tetapi aku sudah mengatakan padanya bahwa aku akan
mencoba segalanya, kuingatkan diriku sendiri. Jadi, mengapa aku
harus marah?
Kugelengkan kepala, kupicingkan mata melawan kilauan
matahari terbenam. Aku tidak marah pada Dr. Thall atau Joy atau
Raina, aku menyadari. Mereka semua ingin menolongku.
Mungkin aku marah dan kecewa karena sandiwara itu tidak
berhasil. Sandiwara itu tidak berhasil mengungkapkan kembali
ingatan yang tersembunyi.
Sambil mengertakkan gigi, aku memutar jet ski, melompat dan
bergoyang di atas ombak.
Apakah aku akan terus begini selama sisa hidupku? Mendapat
mimpi-mimpi buruk? Melihat bayangan-bayangan? Mencoba
mengingat-ingat sesuatu?
Sambil mempercepat jet ski lagi, aku melompat di atas ombak
yang tinggi. Jet ski-ku terjun, terlempar dan melambung di air.
Kepalaku pulih kembali.
Dan di kejauhan aku melihat jet ski lain.
Warnanya biru metalik, terbanting dan melambung di antara
ombak.
Meraung ke arahku.
Cahaya matahari terbenam membuat jet ski itu berkilauan
sementara ia melaju semakin dekat.Aku mengedipkan mata, mencoba melihat siapa yang berada di
atasnya.
Angin berembus keras. Rambut si pengendara tertiup ke
belakang.
Rambutnya panjang.
Mitzi!
Tetapi Mitzi tidak pernah mengendarai jet ski. Bahkan tidak di
dalam salah satu mimpiku.
Aku menggelengkan kepala, menatap tajam.
Jet ski itu semakin dekat, memecah udara dengan raungannya.
Wajah si pengendara mulai tampak jelas.
Wajah Ian.
Aku mulai rileks, lalu tegang kembali ketika aku melihat
rambut Mitzi melambai di tiup angin.
Siapakah itu? Aku ingin berteriak. Ian? Mitzi?
Jet ski biru itu melambung di atas ombak, meraung makin
dekat... dan dekat.
Mitzi tertawa dan melingkarkan tangannya dengan ketat di
tubuh Ian.
Ian dan Mitzi?
Ian dan Mitzi?
Yes! "Yes!" teriakku keras. "Yes! Yes! Yes!"
Itu dia! Itulah yang berusaha kuingat-ingat sepanjang waktu.
Aku telah melihatnya! Aku akhirnya menemukannya!
Ingatan itu muncul kembali. Ingatan yang bangkit dari tempat
yang tersembunyi dalam sekali di pikiranku.Ian dan Mitzi?bersama di atas jet ski.Bab 28
AKU melambatkan jet ski-ku sampai hampir berhenti. Ombak
menamparku dari sisi ke sisi.
Aku sedang berpikir keras sehingga hampir tidak
memperhatikannya.
Aku menaikkan pandangan, berharap jet ski itu telah lenyap.
Cuma kenangan. Kukira jet ski itu cuma kenangan yang
melintas di pikiranku.
Tetapi napasku menjadi sesak karena kaget ketika melihat jet
ski itu meraung ke arahku. Jet ski itu masih ada di sana. Terguncang-
guncang di tengah ombak.
Dengan hanya seorang pengendara.
Ian. Ian mengendarai jet ski itu ke arahku. Ternyata ini bukan
kenangan. Bukan bayangan gila dalam pikiranku.
Ian. Dan sementara aku mengamati dia mendekati, hatiku penuh
dilanda kemarahan. Aku mempercepat jet ski-ku dan maju ke depan,
menerobos ombak menuju ke arah Ian.
Ian, yang katanya temanku."Ternyata kau!" teriakku di antara raungan dua jet ski.
"Ternyata kau!"
Ian berbelok, lalu berputar sehingga berhadapan denganku.
Wajahnya yang terbakar matahari kelihatan tegang dan matanya
tampak ketakutan.
"Kau sudah ingat!" teriaknya. "Kau ingat sekarang, bukan?"
"Ya!" teriakku geram. "Setelah setahun penuh aku hidup dalam
kebohongan, aku ingat semuanya!"
"Aku sudah tahu itu! Itulah yang aku takutkan. Itulah sebabnya
aku menyusulmu," teriaknya. "Sekarang aku tak punya pilihan"
Ian terus berteriak, tetapi raungan dua mesin jet ski
menenggelamkan suaranya.
Lagi pula, aku tidak mendengarkannya. Kenangan tentang
musim panas yang lalu membanjiri pikiranku, mengguncangkan
otakku seperti ombak yang mengguncangkan jet ski-ku.
Dasar Ian, pikirku sengit. Yang selalu meminjam segalanya.
Pakaianku, CD-ku, mobilku...
Dan jet ski-ku.
Itulah yang dilakukannya musim panas yang lalu. Dia
meminjam jet ski-ku.
Dan meminjam pacarku.
Dia meminjam keduanya sekaligus.
Dan Mitzi tidak pernah kembali.
"Kau yang membunuhnya!" teriakku, dipenuhi amarah yang
menggelora lagi.Sambil meraih gagang kemudi, aku memutar jet ski kuning-ku
dengan tajam hingga aku berada di samping Ian. "Kau yang
membunuhnya! Kau! Kau! Ian?kau yang membunuhnya!"
"Itu kecelakaan!" teriak Ian parau. "Kami sedang mengendarai
jet ski. Lalu Mitzi terjatuh. Aku berputar untuk menyelamatkannya
dan jet ski itu..." ia berhenti.
Aku mengguncang jet-skiku, lalu menjalankannya dengan cepat
ke sampingnya lagi. "Jet ski-nya kenapa?" desakku. "Katakan, Ian!
Aku ingin mendengarnya. Aku harus mendengarnya!"
"Jet ski itu melindas kepalanya," jeritnya. "Begitu banyak darah
yang keluar... aku begitu ketakutan! Air laut menjadi merah dan aku
bahkan tidak sanggup melihatnya lagi! Aku lalu berbalik arah dan
kembali ke dermaga."
"Dan aku ada di sana, kan?" tuntutku. "Bertanya-tanya di mana
jet ski-ku. Di mana Mitzi berada!"
"Ya!" teriaknya. "Ketika aku sampai di dermaga, kau tahu
sesuatu yang buruk telah terjadi. Aku begitu ketakutan. Aku hampir
tidak dapat berbicara. Tetapi kau menyuruhku bercerita. Dan ketika
aku menceritakannya, kau terkejut. Kau meraih jet ski-mu. Aku
mencoba menghentikanmu, tetapi kau malah melawan."
Ya, pikirku, aku ingat dengan jelas sekarang.
Aku harus menemukan Mitzi. Aku harus menyelamatkannya,
meskipun Ian mengatakan Mitzi telah tewas.
"Kau menarikku ke dermaga. Lalu kau melompat ke atas jet ski
dan segera pergi," Ian meneruskan. "Kau menuju tempat aku dan
Mitzi tadi berada. Kau terus mengendarai jet ski sambil berputar-
putar!"Aku mengerang, teringat caraku mengendarai jet ski yang gila-
gilaan. Aku mencoba menemukan Mitzi. Aku harus menemukannya
dan menyelamatkannya.
Tetapi aku terlambat.
"Yang dapat kulakukan cuma memperhatikanmu dari dermaga,"
Ian melanjutkan. "Kau berputar-putar. Dan ketika kau kembali, aku
tak dapat mempercayainya?kau begitu histeris, dan mengatakan
semua yang terjadi adalah kesalahanmu!"
Yah, pikirku. Aku telah menanggung kesalahan.
"Itu memang jet ski-mu. Pacarmu!" teriak Ian. "Pikiranmu
melompat entah ke mana ketika kau berputar-putar di sana. Kau jadi
gila. Kau?kau tiba-tiba berpikir bahwa kaulah yang telah
melakukannya!"
"Dan kau membiarkan aku berpikir seperti itu!" aku berteriak.
"Iya, kan? Iya, kan?"
"Ya!" Ian mengakuinya. "Aku begitu ketakutan. Kejadian itu
begitu mengerikan. Aku?aku membiarkanmu percaya bahwa kau
pelakunya!"
Setahun penuh! Pikirku sengsara. Ian menyembunyikan
rahasianya. Dia membiarkan aku percaya kalau aku telah membunuh
Mitzi. Dia membiarkan aku merasa bersalah sepanjang tahun?untuk
sesuatu yang tidak kulakukan.
"Kupikir kau temanku!" teriakku marah. "Teganya kau berbuat
begitu kepadaku? Teganya kau membiarkan aku percaya aku telah
membunuh pacarku?""Sudah kukatakan?aku begitu ketakutan!" teriaknya. Jet ski-
nya bergoyang-goyang. "Lagi pula, kau telah dirasuki oleh rasa
bersalah, kau tidak akan mau mempercayai kebenaran."
"Bagaimana kau tahu?" teriakku.
Kami terapung berdampingan. Begitu dekatnya sehingga aku
dapat menjangkaunya dan memukulnya.
Aku begitu ingin melakukannya. Aku ingin memukulnya
hingga jatuh dari jet ski-nya. Melihat dia menggelepar di air.
Seperti yang dialami Mitzi...
"Kau bahkan tidak pernah mencoba mengatakan kepadaku apa
yang sebenarnya terjadi!" teriakku. "Kau malah membiarkan aku tetap
mempercayai kebohongan yang menyakitkan itu. Lalu kau melarikan
diri dari semua ini. Pasti rasanya hebat, kan, Ian?"
Ian menggelengkan kepala. "Rasanya mengerikan. Aku
ketakutan sepanjang waktu, bertanya-tanya kapan kau akan ingat
kembali. Karena aku tahu suatu saat kau akan teringat kembali."
Lalu ia membuatku terkejut dengan mempercepat jet ski-nya
dan melaju pergi.
Mulanya kupikir dia akan pergi untuk seterusnya.
Aku diam saja, mengapung di atas ombak, dan
memperhatikannya ketika dia melambung menembus ombak.
Tetapi lalu dia berbalik kembali. Dan memacu jet ski-nya ke
arahku.


Fear Street Super Chiller Gelombang Pasang High Tide di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika dia makin dekat, kudengar dia berteriak. Kata-katanya
tak dapat kumengerti.
Lalu, di antara raungan suara jet ski, dia sudah berada cukup
dekat sehingga aku bisa mendengar apa yang dia katakan."Aku tahu kau sudah ingat!" jeritnya. "Aku tahu! Aku tahu!
Dan sekarang aku tak punya pilihan! Aku tak bisa membiarkanmu
kembali dan menceritakannya kepada orang-orang!"
Dia mengejarku, aku menyadarinya penuh ketakutan.
Dia mau membunuhku!
Dengan teriakan keras seperti binatang, Ian menubrukkan jet
ski-nya tepat ke jet ski-ku.
Benturan itu menyentakkan kepalaku.
Cengkeraman tanganku terlepas dari gagang kemudi. Mati-
matian aku berusaha meraihnya?tetapi yang dapat kutangkap
hanyalah udara.
Aku melayang dari jet ski-ku seolah-olah aku telah
ditembakkan dari sebuah meriam. Aku berguling di udara.
Dan terjun dengan kepala lebih dahulu ke dalam lautan yang
berombak kasar.Bab 29
MERASA tuli dan pusing, aku jatuh semakin dalam ke dalam
air. Karena terkejut, aku tak sempat menghirup udara. Sekarang paru-
paruku meronta mencari udara.
Aku membuka mata dan yang kulihat hanyalah kegelapan.
Sambil menendang-nendangkan kakiku, aku berguling. Kupicingkan
mata, dan aku dapat melihat air semakin terang di dekat permukaan.
Nyaris kehabisan udara, aku berenang ke atas, naik ke
permukaan air secepat yang dapat kulakukan.
Aku menembus permukaan air sambil mengembuskan napas,
lalu mulai menginjak-injak air, menghirup udara sebanyak-banyaknya.
Matahari bertengger di horizon sekarang. Sinarnya berkilauan
di atas ombak, hampir membutakan mataku. Dengan memicingkan
mata melawan cahaya yang menyilaukan, aku melihat jet ski-ku yang
berwarna kuning.
Jet ski-ku tergeletak dalam posisi terbalik, dan perlahan-lahan
hampir tenggelam di air.
Raih jet ski itu sebelum tenggelam, pikirku. Mungkin masih
bisa dipakai untuk membawaku kembali ke dermaga.Aku mengayuh sekali. Lalu aku berhenti sebentar. Jantungku
tiba-tiba berdebar-debar ketakutan ketika mendengar dengungan dari
belakangku.
Dengungan itu semakin keras.
Bertambah keras menjadi raungan.
Aku memutar badan, menyipitkan mataku melawan cahaya
matahari.
Dan melihat Ian, rambutnya melambai-lambai ke belakang,
matanya menyorotkan ekspresi kejam. Ian, melaju cepat melintasi air
di atas jet ski biru.
Mengarah lurus ke arahku.
Dia tidak akan berhenti! Aku tahu. Dia datang untuk
membunuhku.
Dia tidak bermaksud membunuh Mitzi. Peristiwa itu hanya
kecelakaan.
Tetapi kali ini...
Raungan mesin semakin keras ketika jet ski Ian berpacu
mendekat. Aku dapat melihat wajah Ian dengan jelas sekarang,
diwarnai ketakutan dan kemarahan.
Aku menghirup udara untuk mengisi paru-paru lalu menyelam
ke bawah air, membawa diriku semakin dalam untuk melarikan diri
dari serbuan mesin.
Di atasku, samar-samar aku mendengar raungan jet ski. Lalu
tiba-tiba air melandaku, dan aku berjuang untuk tetap bertahan supaya
tidak terangkat ke permukaan.
Aku mengayuh panik, menyelam makin jauh ke bawah
permukaan air.Suara jet ski yang ribut semakin keras, lalu mulai menghilang.
Dia telah lewat tepat di atas kepalaku.
Dekat... begitu dekat...
Tetapi dia tidak berhasil menabrakku.
Sekarang naik ke atas, kataku dalam hati. Aku tak dapat terus
berada di bawah air. Aku harus naik ke permukaan dan mencoba
meraih jet ski kuningku.
Aku berputar, aku berenang naik ke permukaan. Aku tidak
dapat mendengar suara jet ski itu lagi sekarang.
Apakah Ian sudah menyerah? Apakah dia mengira telah
menabrakku? Apakah dia mengira aku sudah tenggelam?
Aku muncul di atas permukaan air dan menghirup udara. Aku
terperangah ketika mendengar raungan jet ski.
Ketika berbalik, aku melihat jet ski biru berayun-ayun melintasi
ombak, berpacu lurus ke arahku lagi.
Aku mulai menyelam, lalu berhenti. Berapa banyak lagi aku
dapat menyelam? Lima kali? Sepuluh kali?
Itu bukan masalah. Ian akan selalu menungguku.
Dia sedang bermain kucing-kucingan maut sampai aku
kehabisan tenaga.
Lalu dia akan membunuhku.
Dia hampir berada di atasku! pikirku. Lakukan sesuatu.
Sekarang!
Ketika Ian melaju cepat dan semakin dekat, aku mengambil
napas dalam dan membenamkan diri di bawah permukaan air. Lalu,
dengan menendang sekuat tenaga, aku muncul dan melompat di atasair, menjepitkan tanganku di kaki Ian, dan merenggutnya sehingga
terjatuh dari jet ski.
Jet ski meraung pergi, tetapi Ian melayang di udara, mulutnya
terbuka karena kaget ketika ia terlempar ke air di sampingku.
Cepat ia muncul ke permukaan air, tercekik dan terbatuk-batuk.
Aku menendang-nendang dan mulai berenang, tetapi dia
menyusulku, berteriak marah.
Ia meraih pergelangan kakiku, mencoba menarikku ke
belakang. Aku menendang-nendang, tetapi jari-jari Ian mencengkeram
dengan kuat.
Masih berteriak marah, dengan kedua tangannya ia memegang
kakiku. Menarik, mencakar, dan mencoba menyeretku ke bawah air.
Sementara aku dengan putus asa berusaha membebaskan diri,
ombak besar tiba-tiba melontarkan kami.
Tangan Ian terlepas dari pergelangan kakiku. Aku
mendengarnya berteriak, tetapi aku tak dapat melihatnya sekarang.
Ombak pecah, menamparku ke belakang, dan menerpaku
seperti air terjun.
Ketika aku muncul ke permukaan, tersedak air laut, aku melihat
Ian sekitar enam meter jauhnya dariku.
Dan aku melihat jet ski-nya.
Melihatnya berputar-putar. Melihatnya meraung menghampiri
Ian. "Tidaaaaak!"
Ian menjerit dan mengayuh air, dengan putus asa mencoba
melarikan diri.
Tetapi jet ski itu melaju terlalu cepat.Dalam cengkaman rasa takut, kulihat jet ski itu melintasi kaki-
kaki Ian yang menendang-nendang serabutan. Bahkan di antara
raungan jet ski itu, aku mendengar jeritan nyaring Ian yang kesakitan.
Ketika dia mulai tenggelam, air di sekitarnya berbuih merah
karena darah.
Aku menghampirinya, berenang secepat-cepatnya. Aku
menoleh sekali lagi, melihat jet ski biru berpacu pergi, melambung di
atas ombak, menjadi semakin kecil, dan akhirnya hilang dari
pandangan.
"Ohhhhhh!" Ian muncul lagi, menjerit-jerit, memukul-mukul air
yang berdarah dengan kedua tangannya. "Adam?tolong! Tolong aku!
Tolong aku!"
Sambil mengayuh sekuat tenaga dan meludahkan air laut, aku
berenang ke arahnya. Aku mengulurkan tangan dan meraih salah satu
tangannya.
"Adam!" teriaknya. "Kakiku! Jet ski itu mematahkan kakiku!"
Aku memandang sekilas kaki Ian. Bentuk kakinya menekuk
dengan posisi tak wajar. Aku dapat melihat tulang putih menonjol
keluar dari kulitnya.
"Adam, aku tak dapat berenang sekarang. Aku akan
tenggelam!"
Aku mengambil napas dalam. "Tidak, kau tak akan tenggelam,"
kataku padanya "Aku tak akan membiarkanmu tenggelam."
Menghela napas sekali lagi, kuselipkan salah satu tanganku ke
lehernya. Dengan tangan yang lain, aku mulai mengayuh, berenang
kembali ke arah pantai.
************Ketika ambulans meninggalkan dermaga, Joy meraih tanganku
dan menggenggamnya dengan erat. "Apa kau yakin kau baik-baik
saja, Adam?"
Aku mengangguk, masih bingung dan sangat letih.
"Kemungkinan Ian akan segera sembuh," Raina meyakinkanku.
"Aku mendengar dua orang paramedis membicarakannya. Kondisi
kakinya memang buruk, dan dia kehilangan banyak darah. Tetapi kau
telah menyelamatkannya, Adam. Kau telah menyelamatkannya."
Yah, pikirku. Aku menyelamatkan orang yang telah
membiarkan aku hidup dalam kebohongan selama satu tahun. Satu
tahun penuh ketakutan. Dia mengawasi diriku, tahu apa yang telah
kualami.
Tahu apa yang sesungguhnya terjadi musim panas yang lalu.
Tetapi aku harus menyelamatkannya. Entah mengapa, aku tak
bisa membiarkan dia mati di lautan.
"Kau harus segera pulang sekarang," kata Joy lembut.
"Banyaklah beristirahat. Apa kau ingin kami mengantarkanmu pulang
dengan mobilmu?"
"Terima kasih, tetapi aku ingin sendirian," kataku. "Aku perlu
memikirkan segalanya."
Aku tersenyum pada mereka berdua. "Tetapi jangan merasa
bersalah mengenai sandiwara tenggelam itu. Sandiwara itu berhasil.
Dr. Thall benar. Cara itu telah menolongku mengejutkan ingatanku.
Itu membantuku memahami apa yang benar-benar terjadi musim
panas yang lalu. Aku akan menemui kalian esok dan menjelaskan
semua ini, oke?"Joy dan Raina memelukku. Kuamati mereka berjalan
berdampingan meninggalkan dermaga.
Aku berjalan dengan susah payah di atas pasir, menuju
mobilku. Begitu lelahnya aku sampai hampir tidak bisa melangkah.
Ketika aku sedang terhuyung-huyung, ada dua orang berhenti di
depanku.
Sean dan Alyce.
"Hei?aku melihat mereka membawa Ian," kata Sean. "Kacau
benar! Kau baik-baik saja?"
Aku mengangguk. Aku tidak ingin membicarakan Ian
dengannya sekarang ini.
"Well, dengar ya. Aku berutang padamu," Sean meneruskan.
"Aku menuruti saranmu dan membicarakannya dengan Alyce."
Alyce tersenyum. "Sean sudah lumayan sekarang. Kurasa untuk
itu aku harus mengucapkan terima kasih padamu, Adam."
"Hei?sudah lumayan? Apakah itu maksudnya memujiku?"
keluh Sean.
Sean berbalik ke arahku, dan ekspresinya berubah. "Mungkin
benar apa yang kaukatakan bahwa aku harus mengendalikan sifat
pemarahku." Dia mengangkat bahu. "Siapa tahu? Mungkin aku akan
menemui doktermu. Tidak ada salahnya, kan?"
"Benar." Aku tersenyum. "Tidak ada salahnya."
************
Ketika aku memasuki apartemenku, suara dalam yang
bergemuruh hampir membuatku terloncat. Tetapi segera aku dapat
menguasai diriku.Tenang, pikirku. Itu cuma suara kulkas. Tidak ada seorang pun
di sini. Tidak ada seorang pun yang ingin mencelakakan aku lagi.
Bahkan sebetulnya sejak dulu tak ada orang yang ingin
membuatku celaka.
Kecuali Ian.
Aku melintasi ruangan dan ambruk di sofa. Sangat letih, aku
menutup mataku. Wajah Ian dengan segera berkelebat kembali dalam
ingatanku. Ian yang sedang menggapai-gapai di lautan. Matanya
melebar karena ketakutan dan kesakitan. Mulutnya terbuka ketika ia
menjerit memohon kepadaku agar tidak membiarkan dirinya
tenggelam.
Dan aku memang tidak membiarkan dirinya tenggelam, pikirku.
Aku menyelamatkannya. Aku membawanya ke pantai.
Coba dia bicara jujur padaku, pikirku.
Aku mencoba bersantai. Mungkin sekarang aku akan berhenti
melihat berbagai hal. Mungkin mimpi-mimpi burukku akhirnya hilang
juga.
Lalu sesosok bayangan melayang perlahan ke dalam ruangan.Bab 30
"LESLIE!" teriakku. "Apa kau cuma bayanganku saja, atau
betul-betul ada di sini?"
Leslie tertawa. "Aku memang masuk sendiri ke sini."
Dari seberang ruangan Leslie menatapku dengan mata
kelabunya yang serius. Dia mengenakan gaun pendek berwarna hijau,
rambut hitamnya yang panjang membingkai wajahnya.
Penampilannya keren.
"Aku mendengar kabar tentang Ian," ujarnya. "Apakah kau
baik-baik saja?"
Aku berdiri dan menghampirinya. "Ya. Aku tidak apa-apa
sekarang," kataku. "Tetapi apakah kau benar-benar ada di sini? Aku
tidak sedang membayangkan dirimu, kan?"
Leslie tidak bicara. Dia melangkah mendekatiku dan
menciumku dengan lembut di bibirku.
"Bagaimana pendapatmu?" dia bertanya, memiringkan
kepalanya. "Apakah ciuman tadi benar-benar nyata? Atau apakah kau
cuma membayangkannya?"
Aku menyelipkan tangan di pinggangnya dan menariknya
mendekat. "Ah, aku tak peduli," kataku. Dan aku menciumnya
lagi.END
Rumah Yang Terpencil 2 Belahan Jiwa Karya K Y Bocah Sakti 4
^