Bocah Sakti 4
Bocah Sakti Karya Wang Yu Bagian 4
Si nona tidak meladeni, hanya menubruk ayahnya yang
menggeletak di tanah dengan napas empas empis. Ia girang
ketika mendapat kenyataan ayahnya tidak putus jiwanya.
"Ayah, legakan hatimu. Semua ini ada gara-garaku, maka aku
yang akan bertanggung jawab."
Setelah mengucapkan kata-katanya yang gagah itu, si nona
tampak bangkit. Ia berdiri, pedangnya masih tercekal di tangannya, matanya
mengawasi ke sekitarnya. Tampak olehnya Giam-ong Puy
Teng dan kawan-kawannya tengah mengawasinya dengan
senyuman masing-masing. "Tuan-tuan." tiba-tiba si nona berkata. "Ayahku tidak berdosa,
kalian harus bebaskan ayahku. Akulah yang mengatakan
dalam rumah paman Tan ada dipelihara maling. Maka
sepantasnya aku yang bertanggung jawab dari itu, sebagai
permohonan maaf, lihatlah sekarang aku lakukan..........."
Kata-kata ini disusul dengan diangkatnya pedangnya dan akan
ditebaskannya lehernya yang putih hingga kawanan jahat
yang biasanya tidak berkedip membunuh orang, melihat
kelakuan nekad si gadis telah pada menutup matanya, merasa
ngeri. "Tring !" tiba-tiba terdengar suara batu kecil membentur
pedang, segera juga pedangnya si nona terlepas dari
cekalannya. Di susul oleh melayangnya sesosok tubuh dari
atas sebuah pohon. Apakah Kim Wan Thauto yang datang menolong Bwee Hiang
" Bukan. Kim Wan Thauto memang mengumpat diatas genteng,
menonton pertarungan yang terjadi di sebelah bawah. Ketika
Liu Wangwee dirubuhkan, ia masih belum mau turun tangan
untuk membantu sebab ia ingin melihat bagaimana tindakan
Bwee Hiang lebih jauh mengingat kata-kata si nona dihadapan
ayahnya. Ia ingin melihat apakah pedangnya si nona akan
dapat mengusi tiga orang jahat itu. Tapi ia kecewa hatinya,
nampak si nona dipermainkan oleh Lie Kui. Pikirnya, apakah si
gadis hanya begitu saja kepandaiannya " Melihat Bwee Hiang
berlaku nekad, ia sudah siap akan menggoyangkan
kepalanya, untuk melepaskan senjata anting-antingnya ke
arah pedang si nona yang tengah diayunkan ke lehernya. Tapi
ia jadi tercengang karena maksudnya sudah disusul orang
lain. Dalam tertegunnya, ia mendengar orang yang barusan
menolong Bwee Hiang tertawa gelak-gelak. Hatinya terkejut
sebab suara tertawa itu seperti ia pernah mendengarnya tapi
dimana " Ia kumpul ingatannya tapi ia lupa dimana ia pernah
dengar suara ketawa yang ia pernah kenal.
Orang barusan melayang turun dari pohon, tampak
menghampiri Bwee Hiang. Ia memungut pedang si nona yang
seketika itu berdiri bagaikan patung. Matanya yang jeli
mencilak mengawasi pada orang yang menolong dirinya.
Orang itu tak tampak mukanya karena kepalanya terbungkus
kerudung kain merah. "Kau siapa ?" tanya si nona seraya menerima kembali
pedangnya yang diangsurkan oleh orang yang berkerudung
merah. "Anak Hiang," kata si kerudung merah, tidak menjawab
pertanyaan Bwee Hiang. "Dengan membunuh diri berarti kau
membunuh ayahmu. Sekarang lekas tolong ayahmu dan tamutamu
ini serahkan aku yang melayani !"
Bwee Hiang kaget, mengapa si kerudung merah
memanggilnya 'anak Hiang'. Siapakah dia " Tapi ia sekarang
tidak dapat mengajukan pertanyaan karena ia lebih perlu
lekas-lekas menolong ayahnya. Cepat ia bertindak
menghampiri ayahnya dan lantas memeriksa luka sang ayah
yang parah, dua tulang iganya patah.
Sementara Sucon Sam-sat yang sedari tadi berdiri tertegun
memperhatikan kedatangan si kerudung merah, lantas
mengurung si orang asing. Mereka sadar bahwa yang datang
niscaya seorang lawan yang alot.
"Hmm !" mendengus si kerudung merah. "Liu Wangwee,
apakah kurang hormat melayani para tamunya " Biarlah aku
yang menggantikannya........."
"Siapa kau ?" bentak Sin-mo Lie Kui yang berangasan
wataknya. "Kau panggil saja aku si kerudung merah, wakilnya Liu
Wangwee." sahutnya. "Bagus, bagus. Hahaha !" kata Giam-ong Puy Teng seraya
ketawa terbahak-bahak. "Hahaha............ hahaha......... !" si kerudung merah juga ikutikutan
ketawa. Giam-ong Puy Teng mendelikkan matanya. "Kau tertawakan
apa, setan !" bentaknya.
"Aku tertawakan kau." sahutnya kontan.
"Kurang ajar, apa yang harus kau tertawakan ?" tanyanya
agak heran. "Itu......... itu..............." sahut si kerudung merah sambil masih
tertawa. "Itu, menurutmu aku bagus, kau mana tahu bahwa
mukaku bagus sedang aku pakai kerudung."
Ini merupakan jawaban yang 'olok-olok' sehingga
menimbulkan amarahnya toako dari Sucoan Sam-sat menjadi
lebih meluap. Sebelah matanya, yang tinggal satu, mendelik
lagi lalu menyerang si kerudung merah dengan jurusnya yang
paling diandalkan 'Eng Jiauw chiu' atau 'Cengkeraman cakar
garuda', kedua tangannya diulur untuk mencengkeram dada.
Gerakannya cepat, kalau kena dicengkeram, pasti melayang
jiwa korbannya karena cengkeraman itu berisikan tenaga
dalam yang dahsyat. Tapi si kerudung merah acuh tak acuh menghadapi serangan
dahsyat itu. Ia menunggu sampai serangan datang, kedua
tangannya dirangkap sejenak lalu diajukan ke depan, nyelusup
diantara dua tangan lawan, mendadak dipentangkan secepat
kilat sehingga dua tangan lawan yang mencengkeram dapat
ditolak nyamping. Inilah gerakan 'Siang hong seng thian' atau
'Sepasang burung hong naik ke langit', jurus yang paling tepat
untuk memusnahkan 'Eng jiauw chiu' lawan.
Melihat serangannya gagal, cepat Giam-ong Puy Teng ganti
tipu. Tampak tubuhnya terputar ke belakang lawan.
Tangannya yang kanan diulur, mencengkeram bagian
pinggang untuk membikin remuk tulang iga. Ini adalah gerakan
istimewa dari Giam-ong Puy Teng yang dinamai 'Mo Lie jiauw
chiu' atau "Cengkeraman Kuntilanak'. Berbareng ia berkata,
"Terima nasib, sahabat !"
Ia berkata demikian, menyangka seratus persen serangannya
kali ini tak akan luput. Tapi diluar dugaannya sang lawan
sudah mengelak dengan gesit sambil lompat satu tindak ke
depan. Sebelum si kerudung merah berputar tubuh, Giam-ong
Puy Teng sudah maju merangsak, ia menggempur batok
kepala musuh dengan gaplokan yang dahsyat. Sayang
bukannya si kerudung merah berantakan kepalanya,
sebaliknya tampak Giam-ong Puy Teng terkulai roboh. Hal
mana membuat dua saudaranya yang tengah menonton
dengan kegirangan toakonya diatas angin menjadi keheranan.
"Sudah cukup !" kata si kerudung merah sambil lompat
menjauhi Giam-ong Puy Teng yang tubuhnya terkulai
mendeprok di tanah. Kenapa Giam-ong Puy Teng " Ketika si kerudung merah
lompat satu tindak ke depan, berkelit dari serangan Giam-ong
Puy Teng yang menggunakan tipu 'Cengkeraman Kuntilanak',
ia rasakan dibelakangnya ada sambaran angin. Cepat ia
mendek sambil memutar tubuhnya ke kiri. Dalam posisi ini,
sehingga ia adanya lowongan pada iga kanan Giam-ong Puy
Teng yang sedang angkat tangan kanannya untuk
menggaplok kepala, enak saja dua jari tangan kiri si kerudung
merah nyelonong ke jalan darah 'thian-coan-hiat'. Kontan si
raja akherat menjadi terkulai roboh. Kejadian ini hanya
beberapa detik saja. Saking cepatnya, maka tidak heran kalau
dua saudaranya Giam-ong Puy Teng menjadi melongo
keheranan. Dari melongo keheranan, Sin-mo Lie Kui meluap amarahnya.
Lantas saja menerjang si kerudung merah sambil berkata,
"Setan, akan aku cuci kehormatan Sucoan Sam-sat !"
"Dicuci juga bakalan kotor juga !" menggoda si kerudung
merah seraya berkelit dari serangan Lie Kui yang
menggunakan jurus 'Mo lie khoa keng' atau 'Kuntilanak
berkaca'. Sambaran dua tangannya menghembuskan angin
menderu. Biasanya dengan menggunakan serangan ini, Lie
Kui dalam segebrakan dapat menjatuhkan musuhnya. Tapi
kali ini ia salah hitung. Si kerudung merah lwekangnya sangat
kuat. Malah si Setan Sakti tidak menjadi sakti karena kaget
nampak musuhnya hilang dari depannya. Ia merasa dirinya
gesit, dapat mempermainkan orang, tidak dinyana ia kalah
jauh dari si kerudung merah.
Bertarung baru lima jurus, lantas Mo-jiauw Teng Cong dapat
menilai bahwa saudara mudanya tak dapat menandingi
musuhnya. Ia heran kenapa si kerudung merah, tadi waktu
menempur Giam-ong Puy Teng tidak memperlihatkan
kegesitannya seperti sekarang ini menghadapi ia punya
Samte. Melihat saudaranya hanya beberapa gebrakan saja sudah
terdesak, ia tidak dapat berpeluk tangan untuk menonton.
Maka si Cakar Setan seketika itu lantas menyerbu
mengeroyok si kerudung merah yang tengah mempermainkan
Lie Kui. Dengan turunnya si Cakar Setan, Lie Kui berharap segera
diperoleh kemenangan dengan cepat sebab kepandaiannya
sang Jiko atau si Cakar Setan ada lebih tingkat dari ia dan
toakonya (Giam-ong Puy Teng). Sayang pengharapannya
meleset sebab bukannya mempercepat kemenangan, tapi
mempercepat kekalahan. "Bagus." tiba-tiba si kerudung merah berkata ketika ia elakkan
cengkeraman Mo-jiauw Teng Cong yang ganas. Berbareng
tampak ia mencelat ke atas untuk menghindari gencetan
serangan dari dua arah, Mo-jiauw Teng Cong mencengkeram
bagian atas perutnya seperti mau mengorek hati, sedang Sinmo
Lie Kui menggempur pinggangnya. Tidak sampai menanti
sang musuh menginjakkan kakinya ditanah lagi, Lie Kui siap
dengan serangan susulan yang mematikan dengan tipu 'Hui
hong tong lay' atau 'Angin taufan datang dari timur'.
Tangannya diulur saling susul untuk menjambret kaki kanan
lawan yang masih dalam keadaan terapung. Tapi kaki lawan
seperti ada matanya, ia mengelak, turun sedikit lantas
menotok ke arah jin-tiong-hiat di jidat si berewok. Ia hanya
menjerit 'aiyoo !' lantas rubuh mendeprok. Totokan pada ujung
sepatu ini, membawa efek pada Mo-jiauw Teng Cong. Tangan
kanannya yang dibeber bagaikan golok dipakai untuk
menebas kaki si kerudung merah yang masih terapung. Ujung
sepatu yang barusan menotok jidatnya Lie Kui tampak berbalik
lalu menyontek pergelangan tangan. Tepat sekali
mengenakan jalan darah 'Yang-kok-hiat', hingga seketika itu
Mo-jiauw Teng Cong merasakan lengannya kesemutan, hawa
panas menjalar ke seluruh tubuhnya dan kontan ia pun roboh
meniru Lie Kui. Gerakan yang dilakukan si kerudung merah memang luar
biasa sukarnya. Dengan badan masih terapung, ujung
sepatunya dapat menotok roboh dua lawan tangguh sekaligus,
bukan suatu ilmu mengentengi tubuh yang mudah dilatih.
Tanpa mempunyai lwekang sampai pada batas tertinggi,
jangan harap dapat melatihnya. Pun, melatih ilmu demikian
akan meminta tempo puluhan tahun. Dalam kalangan Bu-lim,
orang namakan tipu silat itu 'Siang hong ko hong', atau
'Sepasang hong terbang lewati puncak gunung'. Jarang
terlihat di kalangan jago-jago dalam dunia Kangouw.
Bahwa si kerudung merah dapat mendemonstrasikan ilmu
yang langka itu, dapatlah diukur sampai dimana hebatnya
lwekang orang itu. Oleh karenanya, maka Sucoan Sam-sat
dengan sendirinya sudah menjadi ciut nyalinya.
Tang Kongcu yang sangat ketakutan lantas angkat kaki
meninggalkan kawan-kawannya. Tapi belum berapa langkah,
ia rasakan ada angin berkesiur disampingnya dan tahu-tahu si
kerudung merah sudah ada dihadapannya. Ia menggigil
ketakutan, tubuhnya dirasakan lumpuh dan seketika itu juga
dia jatuh duduk. "Mau lari ?" tegur si kerudung merah, suaranya halus tapi
berwibawa. "Ampun tayhiap, ampuni aku........." Tan Kongcu meratap
sambil tangannya menyoja-nyoja.
"Kau yang menjadi biang keladi dari ini semua. Cara
bagaimana yang kau hendaki untuk mengampuni kau, anak
jahat !" kata si kerudung merah, suaranya agak bengis.
Terkejut hatinya Tan Kongcu. Pikirnya, dari mana si kerudung
merah dapat tahu bahwa dirinya menjadi biang keladi dari
keonaran itu. Ketakutan ditambah kaget, tentu saja hatinya si pemuda jahat
jadi terguncang keras dan setelah ia berkata, "Ampun, ampun
tayhiap......" lantas saja tubuhnya terkulai dan jatuh pingsan.
Tiga sudah rubuh karena totokan dan satu rubuh karena
ketakutan, membuat si kerudung merah tertawa gelak-gelak
sampai suaranya mendengung di angkasa hingga Kim Wan
Thauto yang berada di atas genteng terpengaruh juga. Untuk
tidak sampai diketahui oleh si kerudung merah yang lihai itu,
Kim Wan Thauto dengan diam-diam sudah meninggalkan
tempat sembunyinya, pulang ke hotelnya.
Pada keesokan harinya ia berkemas-kemas untuk
meninggalkan hotel. Ketika ia meraba ke bawah bantalnya
dimana ia sesapkan kotak kecil mungilnya, kaget ia sebab
kotak itu sudah tidak ada ditempatnya.
Ia ingat betul ketika ia pulang dengan ambil jalan jendela, ia
periksa pintu kamarnya masih tetap terkunci. Dari manakah
datangnya penjahat yang sudah mencuri barangnya " Ia
periksa barang-barangnya yang lain, tidak ada yang
kehilangan kecuali kotak kecil itu. Pikirnya, tentu orang sudah
masuk dari jendela. Dari kenyataannya orang hanya
mengarah kotak itu, jadi kotak mungil itu tentu sangat
berharga. Tapi apa yang menjadi sebab kotak itu sangat
dimaui " Ini hanya merupakan pertanyaan saja bagi Kim Wan
Thauto karena ia sendiri belum lihat isinya.
Ia anggap kotak itu tidak penting baginya, maka ia tidak
banyak ribut dalam hotel itu. Setelah ia membayar uang
sewaan kamar dan makannya, lalu ia ngeloyor meninggalkan
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rumah makan An Goan untuk meneruskan kelananya.
Balik kepada si kerudung merah. Setelah merobohkan Sucoan
Sam-sat dan si Kongcu ceriwis, lalu ia menghampiri Bwee
Hiang yang sedang repot menolongi ayahnya. Tadi si gadis,
meskipun sedang repot menolongi ayahnya, dapat
menyaksikan juga bagaimana si kerudung merah menjatuhkan
lawannya satu demi satu. Dalam hatinya merasa amat kagum
atas kepandaian tersebut. Entah siapa dia itu, kenpa
memanggil dia 'anak Hiang', apakah dia mempunyai hubungan
keluarga dengan ayahnya " Demikian dalam hatinya
menanya-nanya akan halnya si kerudung merah.
Ketika si kerudung merah jongkok mau periksa lukanya Liu
Wangwee, si nona sudah siap untuk memajukan pertanyaan
siapa adanya penolong itu, tapi tidak jadi karena penolong itu
lantas berkata, "Anak Hiang, mari kita bawa ayahmu masuk ke
dalam rumah. Ia perlu dengan pertolongan cepat."
Tanpa menanti jawaban, si kerudung merah sudah
memondong Liu Wangwee. Sampai di dalam rumah, para pelayan yang menggigil
ketakutan, yang turut menyaksikan jalannya pertandingan
barusan sudah menyambut tubuhnya Liu Wangwee untuk
diletaki diatas pembaringan kecil dimana biasanya Liu
Wangwee suka pakai untuk tidur siang.
Hartawan Liu masih terus pingsan. Ketika diperiksa lukanya
oleh si kerudung merah, ternyata dua tulang iganya patah. Si
kerudung merah geleng-geleng kepala setelah melihat lukanya
Liu Wangwee. Melihat itu Bwee Hiang menjadi ketakutan.
"Apa luka ayah tak dapat disembuhkan ?" ia menanya pada
tamu asing. "Dapat, cuma makan tempo lama." sahut si kerudung merah.
"Asal sembuh kembali, tak perduli berapa lama, aku akan
merawatnya." kata Bwee Hiang dengan hati lega.
"Bagus, kau anak baik, anak Hiang." kata si kerudung merah
pula. "Kau keliru berkata begitu." si nona bersenyum sedih.
"Kenapa ?" tanya si kerudung merah. Heran ia mendengar
kata-kata Bwee Hiang. "Aku anak puthauw (tidak berbakti) sebab akulah yang
menjadi gara-gara hingga timbulnya kejadian seperti
sekarang." jawab Bwee Hiang seraya menundukkan kepala
dan dari kedua matanya yang bagus mengucur air mata.
"Mari kita tolong ayahmu." si kerudung merah berkata,
menyimpangkan kesedihannya si nona. Sementara itu, ia
minta air kepada salah satu pelayan untuk membersihkan
lukanya Liu Wangwee. Bwee Hiang usulkan untuk memanggil sinshe, tapi tamu asing
itu menggoyangkan tangannya. "Tak usah, nanti aku obati
sendiri ayahmu." ia berkata.
Si nona percaya akan kepandaian orang tersebut. Ia hanya
membantu saja apa yang ia dapat atas pekerjaan si bintang
penolong untuk kesembuhan ayahnya.
Malam harinya, Liu Wangwee kedengaran merintih. Seluruh
tubuhnya terasa panas, sedang dibagian yang luka parah
amat sakit. Tapi setelah diberi obat lagi oleh si kerudung
merah, perlahan-lahan Liu Wangwee hilang rintihannya dan
kemudian baru dapat pulas. Dijaga oleh Bwee Hiang yang
tidak tidur baragn sekejap pun pada malam itu. Selama mana,
sering ia tumpahkan air mata. Ia sangat menyesal telah
menerbitkan bencana pada ayahnya.
Pemberesan pada kawanan penjahat dilakukan sangat singkat
oleh si kerudung merah. Setelha memberikan pertolongan
pertama pada Liu Wangwee, ia keluar lagi dari rumah dan
menghampiri korban-korban totokannya.
"Untuk membuat kalian jangan penasaran, nah, mari kita
bertempur lagi !" berbareng ia menyepak satu demi satu
tubuhnya Sucoan Sam-sat. Giam-ong dan dua saudaranya segera juga bebas dari
totokan. Mereka lompat berdiri mengawasi si kerudung merah.
Hanya Tan Kongcu yang masih belum dibebaskan totokannya,
yang dalam pingsan telah ditotok oleh si kerudung merah.
Maksudnya supaya anak hartawan jahat itu tidak melarikan
diri, sementara ia memberikan pertolongan kepada Liw
Wangwee. Tiga algojo dari Sucon merasakan badannya segar kembali.
Maka semangat berkelahinya juga lantas timbul dengan
serentak. "Sahabat, kau buka kerudungmu kalau kau benar laki-laki !"
kata Giam-ong Puy Teng. "Hahaha !" si kerudung merah tertawa. "Tidak ada yang
istimewa di wajahku, buat apa kalian hendak mengenalinya "
Kalian terkenal sangat jahat, maka aku ingin memunahkan
tenaga dalam masing-masing. Untuk membikin kalian jangan
jadi penasaran, maka aku pun sudah membebaskan kalian
dari totokan !" Mendengar itu, tiga jagoan dari Sucoan amat kaget. Belum
pernah mereka sekaget saat itu. Tapi hati mereka angkuh
karena percaya dengan tiga tenaga gabungan, mereka dapat
mengalahkan si kerudung merah yang sangat sombong.
Mo-jiauw Teng Cong yang pandai bicara dan banyak akalnya
berkata, "Kami tidak bermusuhan dengan kau, kenapa kau
hendak memusnahkan lwekang kami ?"
Terdengar si kerudung merah tertawa, lalu berkata, "Memang,
dengan aku pribadi kalian tidak bermusuhan tapi kalian sangat
jahat dan banyak membunuh sesama manusia, tak pandang
bulu, jahat atau baik. Kejahatan kalian sudah tak terkira, maka
aku akan mewakili mereka yang sudah mati penasaran untuk
menghukum kalian........."
"Kentut !" memotong Sin-mo Lie Kui yang menjadi panas atas
kata-kata si kerudung merah, sikapnya sudah hendak
menyerang. "Jangan temberang, sahabat !" menyela Giam-ong Puy Teng.
"Maksudmu hendak memusnahkan lwekang kami bertiga
hanya merupakan impianmu saja. Ha ha ha.........." berbareng
ia menerjang hendak menjambret kerudung lawan.
Cuma sayang kepandaiannya di bawah si kerudung merah
sebab bukan saja kerudung orang luput menjambret, malah
jari-jari tangannya kena disentil hingga ia merasakan kesakitan
dan lantas lompat mundur lagi.
Mo-jiauw Teng Cong, diantara tiga jagoan jahat itu yang
percaya bahwa si kerudung merah akan buktikan katakatanya,
sebenarnya mencoba mendamaikan urusan
sehingga dapat dibereskan dengan menyenangkan. Tetapi
usahanya selalu dibikin gagal oleh sikap dan kata-kata kedua
saudaranya yang ingin selalu berkelahi sebagai keputusannya.
Dengan suara kalem terdengar si kerudung merah berkata
lagi, "Sebaiknya kalian bersiap-siap sebab temponya sudah
dekat untuk aku musnahkan lwekang kalian. Lekas siap !"
Dua orang berangasan, Giam-ong Puy Teng dan Sin-mo Lie
Kui, begit kata 'siap!' meluncur dari mulutnya si kerudung
merah, sudah lantas menerjang dengan jurus-jurusnya yang
paling ganas untuk mengirim lawannya ke dunia lain.
"Bukan kami tapi kau yang akan kami musnahkan lwekangnya
!" bentak Giam-ong Puy Teng dengan suara menggelepar,
saking marahnya dia. "Belum komplit kalau belum turun tiga-tiganya." menyindir si
kerudung merah seraya mengelak sana sini menghindarkan
serangan dua orang yang sudah kemasukan setan. Mo-jiauw
Teng Cong yang berdiri dengan ragu-ragu, merasa tepat sekali
kena sindiran si kerudung merah, maka hatinya pun panas
seketika. "Jangan jumawa, sahabat !" ia kemudain berkata sambil terjun
dalam arena pertempuran, mengeroyok si kerudung merah.
"Hahaha, ini baru komplit !" katanya. Berbareng dengan
perkataan 'komplit !' segera terdengar suara 'buk ! buk !'
beberapa kali, disusul oleh jeritan saling susul dan........ di lain
detik tampak Sucoan Sam-sat pada tergeletak sana sini.
Sementara si kerudung merah tampak berdiri ketawa-ketawa.
Ketiga jagoan jahat itu tidak melihat, entah bagaimana si
kerudung merah bergerak, tahu-tahu merasakan punggungnya
digebuk dua kali. Kontan rasa panas menyelusup ke ulu hati,
kaki berbareng lumpuh hingga seketika itu tak tahan untuk
mendeprok di tanah. Tapi hanya sebentaran saja hawa panas yang merupakan
reaksi dari gebukan di punggung itu, sebab segera sudah pulih
lagi kesegarannya. Mereka menjadi kegirangan, tapi tatkala
mereka coba empos tenaga dalamnya, tiba-tiba 'plong....'
hilang lenyap. Mereka mengerti bahwa tenaga dalam mereka sudah
dimusnahkan oleh si kerudung merah. Mereka pada bangun
berdiri sambil menundukkan kepala.
"Kalian sangat jahat. Kalau watak demikian kalian masih
belum mau buang, lain kali ketemu aku, terang aku tak bisa
ampuni lagi. Nah, sekarang enyahlah kalian !" si kerudung
merah mempersilahkan Sucoan Sam-sat meninggalkan
tempat itu. Mereka ngeloyor pergi dengan tidak berani angkat kepala.
Sungguh menyedihkan, Sucoan Sam-sat yang biasanya
seenaknya membunuh orang seperti juga memotong rumput,
kini sekaligus mendapat malu di desa Kunhiang. Apakah
mereka dapat memulihkan pula lwekangnya kemudian belajar
lagi untuk menuntut balas kehinaan yang mereka telah alami
hari itu, entahlah dibelakang hari.
Yang terang, mereka malu untuk pulang ke rumahnya Tan
Wangwee lagi. Langsung mereka pulang ke sarangnya di
Sucoan. Setelah mereka pergi, si kerudung merah menghampiri Tan
Kongcu dan membebaskan ia dari totokan. Ketika ia bangun
berdiri, lantas mendengar si kerudung merah berkata, "Kau
menjadi biang keladi keonaran, kau harus dihukum !"
Tan Kongcu menggigil ketakutan, takut ilmu silatnya akan
dimusnahkan. "Tapi mengingat kau tidak sejahat Sucoan Sam-sat, maka aku
kasih kelonggaran. Nah, hunuslah pedangmu dan potong
sebuah kupingmu !" menitah si kerudung merah.
Tan Kongcu ragu-ragu sebab hilangnya kupingnya sebelah
berarti mengurangi parasnya yang cakap, pikirnya.
"Apa perlu aku yang harus turun tangan ?" si kerudung merah
menegur, waktu melihat si kongcu ceriwis ragu-ragu.
"Oh, tidak, tidak....." jawab Tan Kongcu gugup. Berbareng ia
pun menghunus pedangnya untuk memotong sebelah
kupingnya. Pada saat itu, Bwee Hiang datang menghampiri mereka.
Sambil menunjuk pada si kongcu ceriwis, ia berkata, "Dialah
sebagai maling terbang yang dicari. Kenapa diberi hukuman
begitu murah ?" matanya si gadis mengawasi si kerudung
merah. "Bagaimana kau tahu dia si maling terbang ?" tanya si
kerudung merah. "Aku dapat tahu dari ilmu silatnya ketika bertempur dengan
aku." sahut Bwee Hiang.
Si kerudung merah tertawa terbahak-bahak sehingga Tan
Kongcu ketakutan setengah mati.
Dalam hatinya, diam-diam ia memaki Bwee Hiang,
"Perempuan sundel, kau bikin celaka aku. Tunggu nanti
pembalasanku !" Setelah tertawa, si kerudung merah berkata pada Tan Kongcu,
"Kalau begitu, satu kupingmu itu harus menggelinding di tanah
!" Tan Kongcu mengerti, ia toh tak dapat membangkang. Maka ia
kerjakan lagi pedangnya untuk menebas kutung kupingnya
sehingga ia tak berkuping lagi. Dengan hilangnya kedua
telinganya itu, kelihatannya ia sangat lucu.
Bwee Hiang hampir-hampir tidak dapat menahan ketawanya,
tapi ia tahan sebisanya supaya tidak melukai hatinya si kongcu
ceriwis............ Mari kita lihat Lo In dan Eng Lian yang sudah lama kita
tinggalkan. Lo In amat berterima kasih pada Eng Lian yang sudah
menolong memulihkan tenaga dalamnya dengan memberikan
nyali ular kesayangannya.
Sebaliknya Eng Lian girang, ia sudah dapat menolong adik Innya
yang nakal. Dua anak itu kelihatan cocok satu dengan lain. Tiap hari
mereka bermain-main disekitar rumahnya. Eng Lian melihat
pakaian Lo In sudah compang camping, merasa tidak tega.
Maka ia gunakan temponya untuk membuat pakaian Lo In dari
pakaian ayahnya yang ia kecilkan hingga pas untuk dipakai si
bocah. Pada suatu hari ketika Lo In keluar dari kamar dengan pakaian
'baru', tampak gagah benar. Maka ia berkata pada Eng Lian,
"Enci Lian, buatanmu ini bagus betul. Coba lihat, gagah tidak
aku dalam pakaian baru ?"
Eng Lian memandang Lo In kemudian ketawa cekikikan
mendengar kata-kata si bocah. "Anak kecil," katanya. "Aksi
amat nih, pakai mau dipandang gagah segala."
"Anak besar yang bikin, mana tidak jadi gagah dipakainya ?"
sahut Lo In. Eng Lian monyongkan mulutnya yang mungil. Segera juga
kedua bocah itu pada tertawa gembira, masing-masing
senang dengan kejenakaan mereka.
Oey Hoan Ciang atau ayahnya Eng Lian, ada memelihara
puluhan ular di pekarangan rumahnya. Masing-masing
dikurung dengan kerangkeng dari bambu. Bermacam-macam
ular yang dapat dilihat Lo In ketika Eng Lian ajak si bocah
melihat-lihat 'kebun binatangnya'.
Pada suatu hari setelah lakukan inspeksi, dua anak itu pada
duduk diserambi belakang rumah, dimana biasanya mereka
suka duduk omong-omong. Tiba-tiba Lo In terdengar menghela napas.
"Hei, kau kenapa ?" tanya Eng Lian kontan.
Lo In tertawa mesem. "Aku menyayangkan ular-ular itu tinggal
dalam kurungan." kata Lo In. "Coba mereka di.........."
"Diapakan ?" memotong Eng Liang, seperti biasa, dia tukang
potong omongan. "Dilepaskan aku maksudkan, enci Lian." sahutnya.
"Hihihi, anak tolo." si dara cilik ketawa. "Kalau dilepas
bukankah mereka tak bisa pulang lagi " Kau ini ada-ada saja."
"Enci Lian," kata Lo In serius. "Coba kalau kita lepas, selain
kita tidak perlu memikirkan makanannya, juga bagi mereka
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan sangat berterima kasih karena telah mendapat
kebebasan." "Adik In, bagaimana sih. Mana ada ular bisa berterima kasih
segala !" kata Eng Lian.
Setelah menarik napas lagi, Lo In berkata, "Enci Lian, kau lihat
kawanan keraku. Aku dapat menjinakkan mereka dengan
kehalusan, mereka sangat setia kepadaku, apa yang aku mau,
mereka lantas lakukan tanpa ragu-ragu."
Eng Lian diam, tapi otaknya bekerja.
"Habis, bagaimana kehendakmu ?" tanyanya.
"Ular hanya dapat mendesis, tapi tidak bisa omong." kata Lo
In. "Menurut Liok Sinshe, ular dapat diperintah dengan suatu
lagu dari tetabuhan. Misalnya kita menggunakan seruling
sebagai alat untuk memerintah ular sengan sesuka kita. Aku
lihat kamu menjinakkan ular hanya untuk dipelihara, tapi tidak
dapat dibuat teman. Ini sayang sekali sebab kalau kita dapat
membuat ular-ular sebagai kawan, sewaktu kita membutuhkan
tenaganya, dapat kita minta pertolongannya. Ini, kau jangan
pandang remeh, enci Lian."
Si dara cilik angguk-anggukkan kepalanya.
"Mulai sekarang, mari kita mencoba akan kata-katanya Liok
Sinshe. Kalau benar ular-ular itu dapat ditundukkan dan
diperintah dengan irama lagu, oh, sungguh suatu keuntungan
besar bagi kita berdua sebab disamping kita sudah punya
teman kawanan kera dan rajawali, juga kita dapat sahabat
kawanan ular." demikian Lo In tambahkan.
Eng Lian lantas saja bertepuk tangan. "Bagus, bagus."
katanya girang. "Mari, kita sekarang mulai. Tapi, eh, dari mana
kiat dapat alat tabuhannya ?"
"Itu mudah. Kita coba dengan seruling saja." sahut Lo In.
"Serulingnya dari mana ?" tanya si dara cilik.
"Mari kita cari serulingnya." kata si bocah seraya pegang
tangan Eng Lian, diajak berlalu dari situ.
Eng Lian mengikuti saja dituntun oleh Lo In. Tidak merasa
janggal dia. Karena ini ada kebiasaan Lo In kalau mengajak
encinya pergi main-main. Segera juga mereka sudah sampai di satu rimba bambu,
dimana Lo In memperhatikan batang-batang pohon bambu
yang baik untuk dipakai membuat seruling yang merdu
suaranya. Sebentar kemudian, tampak ia mencabut pisau
yang diselipkan di pinggangnya dan ia mulai memotong satu
batang bambu yang dianggap akan memenuhi syarat untuk
digunakan sebagai seruling.
Mereka kemudian balik pula ke rumah, dimana dengan cepat
Lo In membuat seruling, sedang Eng Lian hanya menonton
saja si adik In bekerja. Setelah selesai, Lo In coba-coba meniupnya. Ternyata
bikinannya tidak mengecewakan. Segera juga tiupannya Lo In
berirama keras perlahan dan tinggi rendah.
"Hihihi, adik In." Eng Lian ketawai Lo In. "Kau bisa meniup
seruling, tapi mana bisa kau memerintah ular " Hihihi...."
Lo In tidak layani ejekan sang enci, ia terus meniupkan
beberapa lagu dekat kurungan-kurungan ular. Ia mencoba
pada satu ular yang sebesar lengan, panjangnya satu meter
lebih. Beberapa lagu ia perdengarkan tapi ular itu tetap meringkuk,
tidak menghiraukan Lo In yang sedang meniup mati-matian.
Eng Lian melihat itu, terpingkal-pingkal ia ketawai si bocah.
"Aku juga sudah duga, mana dapat ular-ular diperintah dengan
lagu. Ada-ada saja, eh, eh....." tiba-tiba si dara hentikan
ejekannya ketika ia melihat dengan perlahan ular yang tidur
tadi mengangkat kepalanya. Banyak lagu yang ada dalam
otaknya Lo In, si bocah jadi kegirangan. Ia ganti berganti
meniup lagunya sampai ia membuat sang ular terus berdansa
dalam kurungannya. Hal mana membuat Eng Lian jadi berdiri
terpaku sambil leletkan lidahnya, saking keheranan.
Tiba-tiba Lo In hentikan tiupan serulingnya, lantas putar
tubuhnya menghadap Eng Lian yang berdiri terpaku di
belakangnya. "Bagaimana, enciku yang baik ?"
Si dara cilik tidak lantas menyahut, ia hanya unjukkan
jempolnya yang kecil mungil. "Adik In, luar biasa kau......." puji
Eng Lian setelah ia sadar dari keheranannya melihat hasil
yang gemilang dari percobaannya Lo In.
Sambil menghampiri si dara cilik, Lo In berkata, "Selanjutnya,
kita akan latih ular-ular yang ada disini sampai mereka bukan
saja jinak tapi menurut perintah kita. Kalau sudah begitu,
baharulah kita menjadi majikannya."
"Kau benar-benar hebat, adik In."memuji si dara cilik sambil
mencubit hangat pipi Lo In.
Berkat kecerdasan dan kemauan yang sungguh-sungguh, Lo
In berhasil dengan percobaannya menundukkan dan
memerintah kawanan ular. Ular-ular yang ada dalam kurungan
segera pada dilepaskan untuk mendapat kemerdekaannya.
Mereka dapat dipanggil balik bila Lo In meniup serulingnya,
malah bukan ular-ular yang tadinya dalam kurungan saja,
malahan ular-ular lain yang terdapat disekitarnya pada datang
dan menghadap kita punya jago cilik yang didampingi oleh
ratu ciliknya. Bukan main girangnya Lo In dan Eng Lian melihat hasil usaha
mereka. Lo In selainnya mendapat warisan ilmu silat dan surat, juga
mendapat warisan dalam ilmu pengobatan dari Liok Sinshe.
Tidak heran kalau ia sering mencari akar-akar pohon yang
merupakan obat dan menciptakan obat pulung (pil) yang
mustajab untuk menjaga kesehatan ia dan Eng Lian.
Disamping itu, Eng Lian juga giat belajar silat dari Lo In, juga
tidak ketinggalan belajar bahasa monyet hingga selanjutnya ia
dapat bergaul leluasa dengan tentara monyet Lo In. Si burung
garuda juga sudah jinak dengannya. Malah kalau tidak mereka
berduaan naik si rajawali, Eng Lian juga suka pesiar sedirian.
Ada pepatah yang membilang, 'Ada waktu berkumpul, tentu
ada waktu berpisah'. Pepatah ini memang tidak salahnya,
sebagaimana yang dialami oleh Lo In dan Eng Lian.
Itulah pada suatu sore, Lo In melihat burung rajawalinya
pulang dengan tidak membawa Eng Lian, sedang dua jam
yang lalu ia lihat menunggang burung raksasanya
sebagaimana biasa untuk pesiar di sekitar lembah itu.
Lo In terkejut. Segera ia menghampiri burungnya yang sedang
tundukkan kepalanya mendekam. Ia heran, lalu menanya,
"Tauw-heng, kau bersama-sama lagi enci Eng Lian. Kemana
dia pergi ?" Burung itu diam saja, seolah-olah merasa bersalah.
Lo In jadi bingung. Bagaimana dia bisa tahu sedang si rajawali
tidak bisa bicara seperti manusia. Maka, ia cepat lompat ke
punggung si burung raksasa, ia tepuk pundaknya sambil
berkata, "Lekas, bawa aku ke tempat enciku !"
Si rajawali lantas bangkit dan pentang sayapnya, segera
terbang ke jurusan barat kemudian turun pada suatu tempat
yang lebat dengan pepohonan.
-- 11 -- Lo In lompat turun dari punggung si rajawali kemudian
melakukan pemeriksaan di sekitar tempat itu. Ia sampai pada
satu tempat yang banyak tumbuh pohon bunga, tentu ia
mendarat di sini. Cepat ia memeriksa, tampak olehnya ada
satu pohon kembang yang berbunga bagus sekali.
Ia menghampiri ke sana, tiba-tiba ia menjadi kaget tatkala
matanya melihat di tanah ada berceceran darah. Apakah enci
Lian dibunuh di sini " Tanya ia dalam hati kecilnya. Ia jadi
bingung dan sangat kuatir akan keselamatannya enci Liannya.
Ia jongkok dan memeriksa lebih teliti, darah itu berceceran
sampai pada jalanan masuk ke dalam rimba pohon. Ia
mengikuti terus jejak darah yang dapat terlihat, sampai tibatiba
ia sadar kalau dirinya sudah dikurung oleh tiga orang yang
ia tidak kenal, belakangan menyusul lagi empat orang yang
keluar dari semak-semak. Mereka itu rupanya jago-jago silat pilihan, semuanya pada
membawa senjata tajam di pinggangnya masing-masing. TibaTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
tiba seorang, yang menjadi pemimpin rupanya, berkata,
"Hehehe, aku heran. Kenapa Pangcu kirim kita begini banyak
untuk membekuk satu anak hitam begini saja ?"
Lo In mengawasi pada orang yang barusan berkata. Ia lihat
orang itu kira-kira usia pertengahan, mukanya persegi tiga,
hidungnya mancung, mulutnya ada sedikit tongos.
"Kita mesti percaya pada kata-kata Pangcu. Jangan kita
sembarangan memandang enteng, Cin-heng (saudara Cin)."
terdengar yang lain berkata.
"Aku sih bukannya sombong. Kalau hanya menghadapi segala
bocah begini, sembari tiduran juga aku bisa menangkapnya.
Ha ha ha !" kata lagi si pemimpin.
Kecuali yang barusan kasih nasihat pada orang she Cin, yang
lain-lainnya memang pada memandang rendah pada Lo In.
Mengurung makin rapat, Lo In heran. Ia tidak kenal dengan
mereka tapi sikapnya seperti yang memusuhi dirinya.
"Para paman, kalian menghendaki apa dari aku ?" Lo In tanya,
sekenanya saja. "Kami akan menangkapmu !" bentak salah satu diantaranya.
"Aku tidak bersalah, kenapa mesti ditangkap ?" tanya Lo In.
"Kau anaknya Kwee Cu Gie, bukan ?" balik tanya si pemimpin.
"Siapa itu Kwee Cu Gie, aku tidak kenal." sahut Lo In kontan.
"Bocah hitam, kau mau main-main sama engkongmu !" si
pemimpin berkata lagi. Berbareng ia menjambret tangan Lo In yang sedang
memegang kembang. Tangan Lo In dapat dicekal, sambil
pelintir ia berkata, "Anak hitam, mengakulah. Jangan....... Kau
!" tiba-tiba ia berjengit sebab sekarang menjadi berbalik.
Bukan tangan Lo In yang diplintir tapi tangan si orang kasar
yang diplintir. Kawan-kawan lainnya menjadi kaget, melihat pemimpinnya
hanya segebrakan saja sudah dapat dikuasai Lo In.
Lo In salurkan sedikit tenaga dalam ke tangannya, segera
tangan si pemimpin yang kena diplintir seperti kena strum
listrik. Ia teraduh-aduh tanpa dapat melepaskan pegangan Lo
In. Meskipun tangannya kecil, seakan-akan melengket.
"Kalian kenapa diam saja " Lekas maju semua !" teriak si
pemimpin yang sudah jadi mandi peluh kena diplintir Lo In.
Seperti baru sadar dari tidurnya, mereka lantas serentak
menyerbu. Dua belas tangan menghajar berbareng. Itu bukan main
hebatnya. Lo In bisa hancur lebur badannya. Tapi
kenyataannya lain, ketika serangan serentak sampai, dengan
kegesitannya laksana kilat, Lo In menghilang sambil
melepaskan si pemimpin yang dijadikan temberang.
Si pemimpin jadi berkuing-kuing seperti babi dipotong karena
dihujani pukulan kawan-kawannya sendiri.
Kaget mereka, bukan Lo In yang dihujani pukulan tapi
kawannya sendiri. Cepat mereka mancari bayangan Lo In.
Mereka lihat si anak kecil hitam berada tidak jauh dari mereka,
sedang tenang-tenang saja bermain setangkai bunga.
Mereka mulai jeri tapi tak dapat mereka abaikan perintah dari
kepala perkumpulannya. Maka itu mereka maju pula
berbareng untuk menangkap Lo In.
"Kita tidak bermusuhan, kenapa kalian mau tangkap aku ?"
tanya Lo In. "Perintah dari atasan tak dapat diabaikan." sahut satu
diantaranya. "Kalian dari mana sebenarnya ?" tanya si bocah pula, tenangtenang
saja. "Kami dari Ceng Gee Pang." sahut tiga orang hampir
berbareng. "Untuk apa banyak cakap, lekas tangkap dia !" bentak si
pemimpin. Perintah mana, sudah lantas dikerjakan. Enam orang
mengurung Lo In. Tapi mereka sangat hati-hati, kuatir nanti
bocah lolos lagi. "Sebetulnya aku ingin main-main dengan kalian, sayang
temponya tidak ada. Karena aku mau mencari enci Lian." kata
Lo In, tersenyum nakal. "Anak hitam, sebaiknya kau menyerah supaya tidak membuat
kami jadi berabe dan tubuhmu kesakitan karena hujanan
kepalan kami !" berkata salah satu diantara orang yang
mengepung Lo In. "Kalian tak dapat menangkap aku." menantang si bocah.
"Jangan sombong, anak kecil !" terdengar jawaban.
Sementara itu pengurungan makin diperketat, kira-kira
jaraknya satu meter lebih.
"Kalau kalian tidak percaya, nah, lihatlah !" kata si bocah.
Lo In berkata begitu, jarak mengepung makin rapat. Setelah itu
berbareng mereka menubruk dan menyangka si bocah akan
tertangkap. Tapi sebelum maksud mereka kesampaian, tapak Lo In
meremas-remas kembang ditangannya lalu sambil memutar
tubuhnya ia meniup kembang ditangannya hingga
berserabutan terbang mengarah ke hiat-to (jalan darah) di
jidat, leher, pundak dan lain-lainnya. Kontan enam orang yang
mengepung pada lemas kakinya karena kena ditotok oleh
lembaran-lembaran kembang tadi.
Sementara itu Lo in sudah tidak ada bayangannya lagi
dihadapan mereka. Karena totokan dengan kembang itu hanya totokan main-main
saja dari Lo In, maka hanya beberapa menit saja mereka
lumpuh. Selanjutnya mereka sudah dapat bangun pula dan
segar kembali sebagaimana biasa.
Melihat kawan-kawannya dirobohkan dengan hanya tiupan
kembang yang diremas, membuat Cin Lian Hin si pemimpin
menjadi melongo terpaku ditempatnya. Ia geleng-geleng
kepala. Pikirnya, apa bisa jadi ada seseorang bocah yang
mempunyai tenaga dalam begitu hebat, susah diukur "
"Hahaha, Cin-heng." tiba-tiba diantara mereka ada yang
ketawa terpingkal-pingkal.
"Hei, Kek Kim. Kau tertawakan apa ?" tanya Cin Lian Hin.
"Aku tertawakan kau, Cin heng. Kau bilang, kau mau ganda
dia sembari tiduran, nah sekarang apa buktinya " Malah kita
bertujuh diganda olehnya seperti memeram mata saja. Aaha !"
kembali Kek Kim tertawa seenaknya.
Cin Lian Hin merah seluruh mukanya, saking jengahnya.
Untuk tidak sampai jadi berkelahi dianara kawan sendiri,
beberapa orang menyela untuk simpangkan pembicaraan itu
hingga dua orang itu tidak sampai adu kepalan.
Mereka tidak ungkulan mencari Lo In, maka pulanglah mereka
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk memberi laporan kepada Pancu (ketua perserikatan)
mereka. Sampai cuaca menjadi gelap, Lo In masih juga belum dapat
menemukan Eng Lian. Hatinya sangat kuatir akan keselamatan si dara cilik, melihat
darah berceceran. Ia menyesal tadi tak menanyakan tentang
enci Lian kepada salah satu orang yang mengeroyok mereka,
lantas terburu-buru untuk mencarinya.
Lo In pulang dengan lesu, badannya sangat lemas ketika ia
turun dari punggungnya si garuda. Keadaan mana dilihat oleh
si burung raksasa dengan mengembang air matanya, rupanya
ia turut berduka atas kehilangan Eng Lian.
Esok paginya, Lo In kumpulkan tentara keranya, diperintah
untuk mencari Eng Lian sementara ia sendiri dengan naik si
rajawali mencari disekitar lembah, tapi jejak Eng Lian tak
dapat dijumpai oleh si bocah.
Diam-diam ia menangis kehilangan enci Liannya.
Ketika dua tiga hari dicari disekitar lembah enci Eng Lian tidak
diketemukan, pada hari yang keempat, Lo In mencari sampai
cuaca remang-remang gelap.
Ketika ia mau pulang, tiba-tiba dalam pikirannya berkelebat
pikiran apakah boleh jadi Eng Lian sudah dibawa naik ke atas
" Mungkin si dara cilik ada di atas Tong-hong-gay. Pikirnya,
apa salahnya ia coba-coba naik ke atas sekalian melongok
rumahnya dahulu, bagaimana keadaannya sekarang ini.
Ia tepuk-tepuk burung raksasanya untuk terbang tinggi, ke
atas puncak jurang. Si rajawali merasa heran. Tidak sari-sarinya sang tuan kecil
menyuruh dia terbang sampai ke atas puncak. Tapi ia terbang
sampai ke atas puncak, tapi ia terbang dengan semangat
karena ia tahu Lo In hendak mencari Eng Lian.
Sampai di atas cuaca sudah gelap, cuma diterangi oleh bulan
sisir yang tenggelam timbul diantara awan yang menutupinya.
Melihat itu, Lo In jadi terkenang akan kejadian hampir dua
tahun berselang ketika ia berdiam dengan Liok Sinshe di
puncak jurang itu. Ia turun dari 'kapal terbangnya', menyuruh si
rajawali menantikan disitu saja, jangan ikut ia yang hendak
mencari bekas rumahnya. Sampai di tempat yang dituju, Lo In merasa heran sebab
rumahnya lain dari dahulu. Kalau tadinya sudah tua, sekarang
bagus mentereng, malahan dijaga oleh beberapa pengawal
yang bersenjata tajam. Siapakah yang menjadi penghuni baru dari bekas rumahnya
itu " Lampu-lampu di sana sini tampak sudah dipasang hingga
cukup terang di sekitar rumah itu. Ingin Lo In menghampiri
rumah itu tapi kuatir orang nanti salah anggapan dan
menghinanya. Jalan paling baik, pikirnya, ia mengintip dengan
diam-diam saja ke dalam rumah itu. Siapa tahu ia dapat kabar
halnya enci Eng Lian yang hilang.
Dengan ginkangnya (ilmu entengi tubuh) yang sudah diukur,
dapat sekejap saja Lo In sudah berada di atas genteng rumah
tanpa diketahui oleh pengawal-pengawal.
Dari sini Lo In tidak dapat melihat ke ruangan dalam karena
gentengnya dilapis dari sebelah bawah. Rupanya disengaja
dibuat begitu kekar supaya tidak ada orang yang mencuri
dengar apa yang dibicarakan dalam ruangan.
Terpaksa Lo In turun lagi ke bawah.
Dua orang jaga hanya nampak berkesiurnya angin tapi tak
melihat adanya bayangan orang, tidak tahu Lo In datang
mendekati mereka. Dua orang penjaga itu, tengah duduk membelakangi pohon,
yang satu pendek, satu lagi kurus.
"Menurut Cin Lian Hin, calon Tongcu dari cabang Ceng Gie
Pang disini dengan membawa enam pilihannya sudah
menemukan bocah yang diinginkan oleh Pangcu." demikian Lo
In mendengar si pendek berkata pada temannya.
"Habis, apa yang sudah ditangkap ?" tanya si kurus.
"Katanya mukanya hitam legam, cuma kuping dan lehernya
saja putih." "Heran, masa calon Tocu (pemimpin) bisa dipermainkan,
apalagi dibantu oleh enam orang pilihan yang memperkuat
perserikatan kita." Demikian Lo In mendengar pembicaraan dua pengawal itu.
Selagi ia sangsi, kenapa ia mau ditangkap, lantas mendengar
pula si kurus menanya pada kawannya, "Hei, Lao Can, kenapa
sih anak kecil itu mau ditangkap "'
"Mana aku tahu." sahut si pendek. "Cuma aku dengar, dia itu
anaknya Kwee Cu Gie. Siapa Kwee Cu Gie dan kenapa
anaknya mau ditangkap, aku tidak tahu."
"Itu Cin Lian Hin dan kawan-kawannya hanya gentong nasi
saja. Masa anak kecil saja tidak bisa menangkap. Coba kalau
aku yang disuruh, aku bekuk saja batang lehernya sampai dia
terampun-ampun. Hahaha !" membual si kurus, seraya bangkit
mau meninggalkan kawannya yang masih duduk. Tiba-tiba ia
rasakan batang lehernya seperti ada yang menepuk. Sakit
rasanya sampai ia meringis-ringis.
Sambil berbalik, ia tegur temannya, "Hei, Lao Can. Kau jangan
main-main, sakit tuh. Main tepuk belakang batang lehar orang,
tidak ada kira-kiranya !"
"Siapa yang menepuk batang lehermu ?" tanya si pendek
sambil bangkit dan mau ngeloyor meninggalkan si kurus.
Mendadak ia rasakan telinganya seperti disentil, sakit bukan
main. Ia lantas berbalik dan marah-marah menegur si kurus.
"Kenapa kau menyentil telingaku ?"
"Siapa yang menyentil telingamu ?" si kurus melotot.
Dua-dua kelihatan mendongkol. Tapi mengingat akan
kewajiban meronda sudah waktunya, mereka ngeloyor jalan.
Belum dua tindak mereka berlalu, tiba-tiba keduany berseru,
"au !" Si kurus pegangi belakang lehernya, sedang si pendek
pegangi telinganya. Panas rasanya pada bagian yang
dipegangnya itu. Berbareng mereka putar tubuh dan
berhadapan. Masing-masing matanya saling mendelik.
"Betul-betul kau bikin penasaran orang, pendek !" kata si
kurus, katanya marah. "Kau juga bikin penasaran orang," sahut si pendek.
"Kau tepuk pundakku lagi !"
"Kau sentil kupingku lagi !"
Mereka bertengkar dan akhirnya berkelahi. Masing-masing
tidak mau mengaku salah. Memang mereka tidak bersalah
sebab yang menyebabkan itu adalah Lo In. Dengan gunakan
kegesitannya, saban-saban menyelingkar di balik pohon, Lo In
godai dua pengawal itu. Ia menepuk belakang lehernya si
kurus, kemudian menyentil kuping si pendek, akhirnya mereka
adu kepalan. Jail benar si bocah. setelah orang berkelahi, ia nonton dengan
bertepuk tangan. Tanpa disadari bahwa hal itu akan
menimbulkan kecurigaan. Dan ini pun telah terjadi, si kurus
dan si pendek yang tengah berkelahi saling jotos, lantas saja
hentikan perkelahiannya, mengawasi Lo In yang sedang
bertepuk tangan. "Hei, dari mana datangnya ini bocah bermuka hitam ?" pikir
mereka. Lantas mereka ingat akan penuturannya Cin Lian Hin. Inilah
rupanya si anak kecil yang dikatakan lihai. Mereka tidak
melihat adanya kelebihan dari si bocah sehingga ia sangat
ditakuti, girang hatinya, masing-masing ingin menangkap Lo
In. Kalau mereka dapat tangkap si bocah, berarti satu jasa
besar dan tidak mustahil bila mereka dinaiki pangkatnya.
Terdorong oleh rasa serakah, dua pengawal itu lantas main
mata satu sama lain untuk kerja sama menangkap Lo In.
"Anak kecil, kau siapa ?" tanya si kurus.
"Aku adalah aku, buat apa kau tanya." sahut Lo In jenaka.
"Anak sambel, apa kau tidak tahu masuk ke sini dilarang ?"
bentak si pendek. Siapa yang berani melarang aku datang untuk main-main
disini ?" Lo In balik menanya.
Kembali dua pengawal itu main mata, segera tangan kiri Lo In
sudah kena disambar si pendek sedang si kurus berbareng
menyekal tangan kanannya. Mereka kegirangan dapat
menangkap Lo In. "Anak kecil, mari ikut kami menghadap Hupancu."
berkata si kurus sambil tarik tangan Lo In.
Dengan bangga mereka sudah giring Lo In. Kawan-kawannya
pada merasa heran melihat si kurus dan si pendek menggusur
satu bocah bermuka hitam. Anak siapa itu, berani mati datang
ke situ yang terjaga keras.
Tidak mudah untuk menghadap Hu-pangcu (wakil ketua)
sebab harus melalui beberapa ruangan yang dijaga kuat. Lo In
menjadi benar-benar pangling (tidak mengenali) bekas
rumahnya, diperbesar dan menjadi mewah itu. Ia jinak sekali
dituntun si pendek dan kurus untuk dihadapkan kepada Hupangcu.
Sampai di ruangan tempatnya Hu-pangcu, Lo In lihat ruangan
itu diperaboti indah sekali. Entah berapa banyak Ceng Gee
Pang (Golongan Gigi Hijau) mengeluarkan duit untuk
memperindah ruangan itu. Lo In lihat kira-kira ada 20 orang tengah mengadakan rapat
menghadapi meja panjang. Ditengah-tengahnya ada seorang
dengan muka lonjong dan kumis pendek, usianya kira-kira di
bawah lima puluh tahun. Tubuhnya agak kegemuk-gemukan,
pakaiannya dari sutra yang mahal harganya.
Lo In menduga orang itu tentu Hu-pangcu dari Ceng Gee
Pang. Diantara yang hadir dalam rapat itu terdapat calon Tocu Cin
Lian Hin bersama kawannya yang menangkap Lo In. Ketika
melihat si bocah bermuka hitam dibawa masuk, mereka amat
terkejut. Ada juga yang kucak-kucak matanya, tidak percaya
bahwa Lo In begitu mudah dapat ditangkap oleh dua tukang
rondanya. "Apakah dia anaknya yang mempermainkan kalian ?" tanya
Hu-pangcu kepada Cin Lian Hin dan kawan-kawannya.
"Belum pasti." sahut Cin Lian Hin. "Tak semudah itu dia dapat
ditangkap." Hu-pangcu tersenyum tidak enak sebab dalam senyuman itu
seolah-olah mengandung sindiran kepada Cin Lian Hin
dengan kawan-kawannya tidak becus menangkap seorang
bocah saja. Kalau Hu-pangcu itu dapat anggapan remeh pada Lo In,
tidaklah heran sebab si bocah menurut saja dibentak-benatk
dan dijoroki oleh si pendek dan si kurus yang membawanya
menghadap si wakil ketua.
Si pendek dan si kurus setelah melaporkan bagaimana
mereka dapat menangkap si anak kecil, lalu majukan Lo In
untuk diperiksa. "Anak kecil, apakah maksud kau untuk masuk kemari ?" tanya
Hu-pangcu, suaranya tidak bengis.
"Aku mau mencari enci Lian." sahut Lo In.
"Siapa itu enci Lian "' tanya Hu-pangcu.
"Dia adalah enciku, teman karibku." Lo In menerangkan.
"Apa kau yang permainkan dia dengan kawan-kawannya ?"
Hu-pangcu tanya lagi, seraya jarinya menunjuk pada Cin Lian
Hin. Lo In mengawasi si orang she Cin sebentar, "Kau tanya saja
pada dia." sahutnya.
Si wakil ketua melengak. Pikirnya bocah ini sikapnya acuh tak
acuh, menjawab pertanyaan seenaknya saja, hatinya menjadi
tidak senang. Matanya tiba-tiba bersinar mengawasi si pendek dan si kurus.
Mereka ketakutan dan gelapan. Mereka tahu kesalahannya,
barusan lupa menyuruh Lo In berlutut untuk menghadap wakil
ketua. Cepat mereka dekati Lo In. Masing-masing pada
pegang lengan Lo In dijoroki supaya berlutut.
Hampir berbareng mereka membentak, "Berlutut !"
Waktu itu para hadirin termasuk Hu-pangcu terkejut dan
katanya terbelalak. Mengapa mereka " Mereka melihat ada yang berlutut tapi
bukannya Lo In malahan dua pengawal yang menjoroki Lo In
sambil berseru 'berlutut !' yang berlutut.
Itulah Lo In yang mendemonstrasikan kelincahannya.
Waktu si bocah dipegang lengannya dan dibentak disuruh
berlutut, ia geraki sedikit badannya, lolos dari pegangan si
pendek dan si kurus lalu berjongkok. Kedua tangannya
dipentang untuk menotok hiat-to di dengkul yang membuat
pengawal itu terkulai dan berlutut, sedang Lo In sudah lantas
berdiri. Gerakan Lo In sangat cepat laksana kilat. Hanya beberapa
detik saja terjadi sehingga banyak diantara hadirin yang tidak
tahu bagaimana Lo In bergerak.
Hanya Hu-pangcu yagn melihat tegas, bagaimana dua
pengawalnya dirubuhkan dengan satu gerakan kilat dari si
bocah. Waktu Lo In dapat ditangkap oleh si pendek dan si kurus itu
hanya atas kemauan Lo In. Pikirnya, dengan membiarkan
dirinya ditangkap dan dibawa menghadap pemimpin, ia bisa
dapat tahu keadaan di dalam dan siapa yang kepalai
Golongan Gigi Hijau yang hendak menangkap dirinya.
SI bocah gesit luar biasa, tetapi belum tentu lwekangnya luar
biasa. Kalau nampak usianya yang masih begitu muda, belum
masuk hitungan jago muda.
Pikiran itu muncul diantara para hadirin, diantaranya ada satu
yang mukanya kekuning-kuningan yang bernama Gouw Li Lit
bangkit dari duduknya, datang menghampiri Lo In sambil
ketawa-ketawa, "Anak kecil, kau hebat !" katanya sambil
menepuk pundaknya si bocah dengan tenaga lima bagian.
Pikirnya, sekali tepuk si bocah akan terkulai sedikitnya, kalau
tidak sampai tergetar jantungnya pasti copot. Tidak disangka,
kalau tepukannya itu membawa akibat yang memalukan.
Ialah, telapak tangannya yang menepuk, ia rasakan seperti
menepuk kapas atas pundaknya Lo In, malah tangannya tak
dapat diangkat dari pundaknya Lo In seakan-akan menempel
saja. Kaget bukan main Gouw Li Lit, apalagi ketika Lo In
menyalurkan lwekangnya ke pundak orang she Gouw itu
hampir menjerit kesakitan dan rasa linu sekujur badannya
seketika. Waktu Lo In goyang sedikit pundaknya, tangan Gouw
Li Lit terlepas dan terdorong sempoyongan, hampir jatuh
duduk kalau ia tidak gunakan 'cian kin tui' atau ilmu
memberatkan bada seribu kati untuk menahan tubuhnya.
Gouw Li Lit pucat mukanya, merasa sangat penasaran
dirubuhkan hanya segebrakan saja oleh bocah yang barusan
lepas netek. Ia ada satu ahli Gwakang (tenaga luar) yang oleh
kawan dan lawan disegani. Dimana ia taruh muka bila hanya
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
begitu saja dapat keok sama anak kecil. Tidak heran kalau ia
jadi sangat gusar. Matanya mendelik pada Lo In dan berkata,
"Anak kecil, mari kita adu kepandaian !"
"Aku tidak ada tempo, aku hendak mencari enci Lian." sahut
Lo In. Penerangan dalam ruangan itu cukup, dipasang beberapa lilin,
diantaranya ada empat lilin yang besar ditancap dibelakang
meja rapat. Gouw Li Lit mendekati Lo In, "Aku tidak rela dengan gebraka
tadi. Maka marilah kita adu kepandaian." menantang Gouw Li
Lit sambil pasang kuda-kuda.
Melihat lagaknya orang she Gouw, Lo In jadi ketawa. "Aku
tidak mau berkelahi, kenapa kau memaksa ?" katanya seraya
masih ketawa. Lo In ketawa sebenarnya wajar karena merasa lucu melihat
tingkahnya si orang she Gouw. Tapi ketawanya si bocah justru
dianggap satu hinaan oleh Gouw Li Lit. "Aku ketawa apa,
bocah !" bentaknya lalu disusul dengan serangan hebat
menggunakan tenaga penuh. Angin pukulannya sampai
menderu, segera terdengar suara 'brak !'. Itulah meja yang
berantakan terkena angin pukulannya.
Lo In tatkala itu berdiri tidak jauh dari meja yang hancur tadi.
Kalau serangan Gouw Li Lit itu mengenakan sasarannya, pasti
si anak kecil remuk tulang-tulangnya. Baikna saja ia sudah
menghilang dan sodorkan meja sebagai wakilnya.
Para hadirin jadi tegang. Mereka tahu si orang she Gouw
kalau sudah kalap, untuk mencuci kehormatannya, jalan satusatunya
adalah menghancurkan tubuh Lo In.
Hanya sayang, si anak kecil terlalu gesit untuk lantas
menghilang dari hadapan Gouw Li Lit yang saban kali
menyerang dengan tenaga maksimum.
"Bocah hitam !" teriak Gouw Li Lit kalap. "Kau jangan
menghilang kayak setan. Kalau berani sambuti seranganku !"
Kelihatannya ia kewalahan dilawan dengan kegesitan Lo In.
Maka ia berteriak kalap tadi. Ia berteriak sambil membarengi
dengan serangan dahsyat. "Aku tidak mau berkelahi, kau paksa juga. Nah, baiklah aku
sambuti !" Lo In sambuti seenaknya saja, tanpa pasang kudakuda
segala. Gouw Li Lit girang teriakannya tidak sia-sia. Seketika ia
menyerang dengan jurus yang mematikan, sepasang
kepalannya yang segede kepala bayi, menyambar ke arah
dada Lo In. Ini adalah tipu 'sian coa touw sin' atau 'Sepasang
ular muntahkan bisanya'. Satu jurus yang ganas, mengerikan,
apalagi itu ditujukan kepada Lo In anak kecil. Tidak heran
kalau para hadirin menjadi amat kaget dan kuatir akan
keselamatan si bocah. Tapi Lo In tenang-tenang saja, malah ia masih bisa ketawa
ketika pukulan sampai. Ia tidak berkelit menghilang,
sebaliknya ia papaki sepasang kepalan lawan dengan satu
sampokan tangan kiri, keras lawan keras. Lucu kelihatannya
sebab dua lengan yang segede anak ditangkis oleh satu
tangan yang kecil halus. Menurut teori, akan patahlah tangan
yang kecil itu. Tapi prakteknya, setelah bentrokan keras, Gouw
Li Lit tarik pulang sepasang lengannya dengan susah payah
seperti yang terlepas dari sambungan pundaknya, wajahnya
meringis-ringis kesakitan, jantungnya tergetar seperti mau
copot saja rasanya. Sementara si bocah hanya berdiri
senyum-senyum saja melihat sang lawan lompat mundur
dengan muka pucat dan meringis-ringis.
Lo In telah gunakan gerakan 'Tan cian cui tah' atau 'Dengan
satu tangan mendorong pagoda', satu tangkisan keras yang
mengandung tenaga dalam yang dahsyat untuk memunahkan
serangan Gouw Li Lit yang ganas.
Para hadirin hampir tak percaya dengan mata kepalanya
sendiri menyaksikan adegan yang langka dalam dunia
persilatan (Bu lim) seperti yang diperlihatkan oleh si anak kecil
berwajah hitam. "Hek-bin Sin-tong........" menggumam Hu-pangcu dari Ceng
Gee Pang saking kagum ia melihat kepandaian Lo In.
Meskipun perlahan Hu-pangcu itu menggumam tetapi
terdengar nyata di telinga para hadirin yang mempunyai
lwekan tinggi. Mereka pada menoleh pada Hu-pangcu, seraya
dalam hatinya masing-masing pada berkata, "Pantas anak
hitam ini mendapat julukan 'Hek-bin Sin-tong' dari mulutnya
Hu-pangcu Ceng Gee Pang. Belakangan hari telah membuat
namanya Lo In populer dengan julukan itu dalam dunia
Kangouw. Diantara para jagoan yang hadir dalam rapat itu adalah Gouw
Li Lit yang paling menonjol kepandaiannya. Sekarang si orang
she Gouw sudah dikalahkan dengan begitu mudah, siapa lagi
yang berani maju " Hu-pangcu, meskipun jeri hatinya merasa tidak puas kalau
tempatnya diacak-acak oleh anak kecil. Maka seketika itu
lantas memberi tanda pada para hadirin untuk mengepung Lo
In. Mereka bangun dengan serentak dari masing-masing tempat
duduknya, memburu Lo In. Si bocah kaget juga. Sebelum ia buka mulut menanyakan
sebabnya mereka datang mengeroyok, ia dibikin repot oleh
hujan kepalan dan tangan dibeber menabas bagaikan golok
tajam. Terpaksa Lo In keluarkan ilmu entengi tubuh ajaran
Liok Sinshe yang dinamai 'Bu eng bu seng sin hoat' atau 'Ilmu
sakti tidak bayangan tiada suara', yang ia yakinkan dengan
mahir betul. Dengan kepandaian meringankan tubuh yang sakti itu,
membuat jagoan-jagoan yang mengeroyok saban-saban
tubruk angin. Sungguh lucu kalau menyaksikan adegan itu.
Kawanan jagoan seakan-akan merupakan kawanan serigala
yang kelaparan berebut menangkap mangsanya, tapi sang
korban saban-saban menghilang dari hadapannya. Bukannya
jarang, satu sama lain saling beradu tangan, beradu tubuh dan
berbenturan kepala disebabkan berbarengan mereka
menubruk mangsanya. Tapi sang mangsa telah hilang lenyap
seperti masuk dalam rumah atau naik ke langit saja.
Dalam sengitnya mereka mengepung Lo In, sampai tak
menyadari bahwa saat itu ada seorang tamu sudah lama
menonton mereka sedang uber-uberan.
"Hahaha ! Ang Ban Ie, kau menjadi anak kecil lagi " ha ha
ha......... !" Inilah suara si tamu, keras berwibawa sehingga
semua orang hentikan uber-uberannya.
Mereka tidak tahu kemana si bocah menghilangnya, tapi
mereka lebih perlukan menghadapi tamu yang baru datang itu.
Rupanya mereka kenal baik pada tamu yang datang itu sebab
semuanya kelihatan pada menunjuk muka tegang.
Tamu itu ada seorang tua dengan muka bersih, pakaiannya
pun perlente, dari mana menunjukkan bahwa si tamu itu bukan
orang dari tingkatan rendah.
Tamu itu memang tiada lain adalah Pangcu dari Ceng Gee
Pang. Melihat ketuanya yang datang, segera Ang Ban Ie, si wakil
ketua lekas menghampiri memberi hormat. Ia berkata, "Toako,
mengapa malam-malam kau datang kemari " Tentu ada
urusan penting yang hendak dibicarakan dengan aku."
Pangcu dari Ceng Gee Pang itu ada saudara cintong dari Ang
Ban Ie, namanay Ang Ban Teng. Ia lihai menggunakan senjata
rahasia bentuk panah yang direndam dalam obat, bukannya
racun tapi istimewa kerjanya. Panah itu asal menancap pada
tubuh korbannya, kalau menemui darah lantas menjadi lumer
dan sang korban akan menggigil kedinginan. Kaki tangan tak
dapat digerakkan seperti membeku untuk sepuluh menit
lamanya. Entahlah, Ang Bang Teng menggunakan bahan obat
apa untuk senjata panahnya yang istimewa itu, tapi yang
terang namanya terkenal dengan Soa-cian Ang atau Ang si
Panah Salju. "Terang kalau tidak ada urusan penting, tak aku datang
malam-malam kesini." jawab Ang Ban Teng, si Panah Salju
sembari jalan menghampiri meja rapat dan lantas duduk di
meja kepala, di dampingi oleh Ang Ban Ie, si wakil ketua.
Orang-orang pada berkumpul lagi mengitari meja rapat
dengan dalam hatinya masing-masing pada menanya urusan
penting apa yang dibawa Pangcu itu.
"Hiante," kata Soat-cian Ang. "Kenapa kalian mengeroyok
anak kecil tadi " Apakah tidak malu nanti diketahui oleh rekanrekan
dalam kalangan Kangouw ?"
Ang Ban Ie ketawa, tapi ketawanya tentu saja tidak wajar. Ia
merasa malu dengan teguran saudara tuanya. Meskipun
begitu, ia harus membela diri agar jangan terlalu
dipersalahkan. Ia berkata, "Soalnya bocah itu anaknya Kwee
Cu Gie. Bukankah Siong Leng Totiang ada minta bantuan kita,
diwaktu kita hendak menempati tempat ini supaya kita
membantunya untuk menangkap anaknya Kwee Cu Gie "'
Soat-cian Ang kerukan keningnya. "Dari mana kau tahu bocah
itu anaknya Kwee Cu Gie ?"
Pada sepuluh hari yagn lalu kita ada kedatangan Ang Hoa
Lobo dengan Toan-bi Lomo Siauw Cu Leng." jawab Ang Ban
Ie. "Hah ! Dua iblis itu datang kemari?" tanya Soat-cian Ang,
terkejut dia. "Betul," sahut Hu-pangcu Ang Ban Ie. "Si nenek mengatakan
bahwa dibawah jurang ada satu lembah dimana ada tinggal
seorang anak kecil yang mempunyai tentara kera dan burung
raksasa. Aku jadi ingat akan pesan Siong Leng Totiang
supaya kita membantunya. Maka aku lalu menanya pada si
nenek, apakah anak itu bukannya anak Kwee Cu Gie. Ang
Hoa Lobo manggut. Ang Hoa Lobo kata anak itu lihai, harus
dipancing meninggalkan tentara kera dan burung raksasanya,
baru ada harapan ditangkap degnan menggunakan banyak
orang kuat kita. Kalau diserangnya, ia kata jangan banyak
harap dapat menangkap si bocah karena tentara kera dan
burung rajawalinya, ada pelindung yang sangat kuat......."
"Lalu kau kirim orang untuk memancing dia, bukan ?"
memotong Soat-cian Ang. "Betul," melanjutkan Ang Ban Ie. "Aku sudah kirim tujuh orang
kuat kesana dikepalai oleh Cin Lian Hian. Inilah Tocu kita
untuk cabang disini." Ang Ben Ie menunjuk Cin Lian Hin
memperkenalkan kepada Pangcunya.
Soat-cin Ang manggut-manggut. "Teruskan, hayo teruskan
ceritamu." katanya. "Cin hiante dan kawan-kawan tak usah memancing lagi si
anak kecil meninggalkan sarangnya." melanjutkan Ang Ban Ie.
Karena dalam perjalanan ke sana dia sudah bertemu dengan
anak yang dimaksud, yang mencari kawannya yang bernama
Eng Lian. Rupanya Cin hiante terlalu memandang enteng
pada si anak kecil, karena bukan saja anak yang diarah tak
dapt ditangkap, malah Cin hiante dengan enam kawannya
kena dirobohkan dengan memalukan sekali."
Selanjutnya Ang Ban Ie menuturkan bagaimana Cin Lian Hin
dan kawan-kawan dipecundangi oleh Lo In dan tentang
kedatangannya si bocah malam itu ke markas mereka malammalam
untuk mencari temannya hingga menjadi adu
kepandaian dengan Gouw Li Lit disusul dengan pengeroyokan
ramai-ramai oleh mereka. Soat-jian Ang angguk-anggukkan kepalanya, sembari urut-urut
kumisnya. Diam-diam ia merasa kaget mendengar penuturannya Ang
Ban Ie. "Anaknya sudah begitu hebat, bagaimana dengan bapaknya
?" terdengar si Pangcu bergumam. Kiranya gumaman Ang
Ban Teng dapat didengar tegas oleh para hadirin yang
kepandaian lwekangnya tidak rendah.
"Pangcu maksudkan siapa bapaknya ?" tanya Gouw Li Lit tibatiba.
"Aku tidak tahu apa bapaknya si anak kecil itu masih hidup
atau sudah mati. Sebab menurut Siong Leng Totiang, Kwee
Cu Gie yang menyaru jadi Liok Sinshe ada dua tahun yang
lampau sudah mati masuk jurang dibokong oleh Kim Popo."
menerangkan Soat-cian Ang.
"Lalu bagaimana pikiran Toako ?" tanya Ang Ban Ie.
"Kemarin dulu, aku ada kedatangan sobatku. dia itu ada Liu In
Ciang, yang kini terkenal dengan nama Liu Wangwee di desa
Kunhiang." menutur Soat-jian Ang. "Dalam omong-omong dia
menceritakan pengalamannya pada satu setengah tahun yang
lalu dia didatangi Sucoan Sam-sat........"
"Apa Pangcu bilang " Sucoan Sam-sat ?" memotong Gouw Li
Lit. Ia kaget rupanya. "Benar." sahut Soat-cain Ang. "Siapa tidak kenal dengan tiga
algojo dari Sucon itu. Rata-rata orang persilatan pernah
mendengar tentang mereka itu."
"Mereka datang ada urusan apa dengan Liu Wangwee ?"
menyela Ang Ban Ie. "Sucoan Sam-sat datang atas undangannya Tan Kong Ceng,
salah satu hartawan di Kunhiang. Entah ada urusan apa yang
menyebang Liu In Ciang dan Tan Kong Ceng bentrok hingga
hartawan Tan mengundang tiga algojo dari sucoan. Tapi yang
penting untuk kita adalah keterangan sobatku itu. Katanya
dalam pertempuran dengan Giam-ong Puy Teng, Liu In Ciang
dapat dirobohkan dengan mendapat luka parah, dua tulang
iganya patah. Anak gadisnya, Bwee Hiang, dalam putus
harapan hendak menebas kuntung lehernya, tiba-tiba
pedangnya terpental jatuh dari cekalannya karena benturan
batu kecil yang dilepas dari jurusan pohon, dari mana telah
turun melayang sesosok tubuh, ialah si kerudung
merah..........." "Siapa itu si kerudung merah ?" menyela beberapa hadirin
hampir berbareng. "Hahaha !" tertawa Soat-cian Ang. "Si kerudung merah adalah
bintang penolong dari sobatku itu. Dia bukan saja melabrak
Sucoan Sam-sat satu demi satu, malah belakangan disuruh
maju berbareng tapi mereka tidak ungkulan menghadapi si
kerudung merah. Lwekang dari tiga penjahat itu telah
dimusnahkan dan diancam apabila mereka tidak bisa rubah
adatnya dan belakangan hari ketemu lagi dengannya, si
kerudung merah akan mengambil jiwanya."
Sampai disini menutur, kelihatan Soat-cian Ang gembira, air
mukanya berseri-seri sambil elus-elus janggutnya. Atas
desakan hadirin ia menutur lagi, "Liu Wangwee diobati olehnya
sampai sembuh. Ketika ditanyai siapa adanya si kerudung
merah, selalu dia menyimpangkan pertanyaan hingga sobatku
tidak tahu siapa dia sebenarnya. Tapi yang terang, ilmu
silatnya luar biasa. Sekali gebrak, ia bikin lawannya mati kutu
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendeprok di tanah. Dia meninggalkan rumah sobatku,
menghibur supaya hartawan Liu jangan memikirkan lagi si tiga
algojo karena dia sudah musnahkan ilmu silatnya dan mereka
tidak berani datang lagi. Tapi perhitungan itu rupanya meleset
sebab Sucoan Sam-sat bukan merubah kelakuannya,
sebaliknya mereka minta pertolongan gurunya, Thie-tauw-eng
Ie Jie Lo (si Garuda Kepala Besi).
"Gurunya sendiri tidak sanggup memulihkan tenaga dalam
mereka. Untung ada supeknya, Hong-hwe-liong Siang Hong
Sin, dapat menolongnya meskipun perlahan-lahan. Sekarang
kepandaian mereka sudah pulih. Setelah mendapat petunjuk
dari guru dan supeknya, kabarnya Sucoan Sam-sat sudah
keluar lagi dari sarangnya mencari si kerudung merah. Tapi
sudah beberapa bulan dicari belum dapat dijumpai dimana
adanya si kerudung merah. Sahabatku, Liu In Ciang menjadi
gelisah. Karena tak dapat menemukan musuhnya maka
mereka akan datang pula ke Kunhiang untuk menghancurkan
keluarga Liu. Liu Wangwee sendiri tidak mohon pertolongan
apa-apa padaku, cuma aku sebagai sobatnya, mana dapat
tinggal peluk tangan menonton Liu In Ciang menghadapi
bahaya maut." Semua yang hadir tidak membuka suara apa-apa setelah
mendengar penuturannya san Pangcu sampai kemudian Hupangcu,
Ang Ban Ie yang memecahkan kesunyian. "Jadi
apakah kita akan ikut campur tangan dalam urusan Liu
Wangwee ?" Soat-cian Ang angguk-anggukkan kepala.
Kembali keadaan menjadi sunyi.
"Untuk menolong Liu Wangwee adalah wajar." kata Gouw Li
Lit. "Sebab Liu In Ciang ada sahabat Pangcu. Cuma saja,
bagaimana kita harus menghadapinya itu tiga algojo dari
Sucoan yang tersohor sangat ganas ?"
"Justru dalam hal ini aku datang kemari untuk berunding.
Bagaimana pikiran saudara-saudara sekalian ?" berkata Soatcian
Ang sambil perhatikan wajah hadirin satu demi satu. Ia
mengharap ada pikiran baik keluar dari salah satu
diantaranya. Mereka berunding, mencari jalan keluar.
Sementara itu soal si anak kecil sudah tidak disinggungsinggung
lagi oleh mereka. Apa lagi sang Pangcu tidak
menanyakan soalnya lebih jauh. Perhatian sekarang jauh
dipusatkan kepada soal mencari jalan untuk menolong Liu
Wangwee yang terancam bahaya.
Dimana si bocah mengumpat "
Kiranya ia mengumpat di bawah meja rapat yang ditutup
dengan kain merah. Enak saja ia diam-diam disitu mencuri
dengar apa yang dibicarakan oleh mereka. Kembali dalam
benak Lo In timbul pertanyaan : Siapakah dirinya " Anak
siapa, apakah Kwee Cu Gie benar ayahnya " Dimana ibunya "
Liok Sinshe dikatakan menyamar, diam diatas jurang Tonghong-
gay, apakah benar ia Kwee Cu Gie, kenapa dia tidak
omong bahwa dia adalah anaknya " Semua telah membikin
pusing kepalanya si bocah lagi.
Memikir dalam ruangan itu ia tidak mempunyai kepentingan
pula, maka diam-diam tanpa disadari oleh para hadirin yang
tengah memusatkan perhatiannya kepada urusan Liu
Wangwee, Lo In sudah bisa menyingkir dari ruangan itu.
Dengan menggunakan kepandaiannya meringankan tubuh,
tidak seorang pun dapat melihat ia berlalu kecuali
berkesiurnya angin disamping para penjaga. Sebentar lagi Lo
In sudah menghampiri burung raksasanya yang
menantikannya dengan penuh khawatir.
Mari kita lihat keadaan Eng Lian.
Sore itu Eng Lian naik garudanya sendirian, pesiar diatas
lembah. Ketika si rajawali melayang rendah, tiba-tiba burung
raksasa itu nampak berkelebatnya seekor kelinci. Otomatis ia
menyambar ke bawah, tapi sang korban sudah lari
bersembunyi diantara pohon bunga-bungaan.
Melihat banyak pohon kembang, Eng Lian sangat tertarik
hatinya. Ia tepuk-tepuk pundaknya si burung raksasa sambil
berkata, "Tiauw-heng, kau turun disini, aku nanti tangkapkan
kelinci untukmu." Si dara cilik dari tadi terpingkal-pingkal ketawai burungnya
yang gagal menyambar mangsanya. Ia ingin menolong
tangkapi si kelinci yang menyusup diantara pohon-pohon yang
merintangi si rajawali mementang sayapnya.
Si burung raksasa lantas mendarat. Eng Lian dengan gembira
lompat turun dari bebekong si rajawali kemudian ia lari
menyusup diantara pohon-pohon kembang. Lagaknya seperti
yang mengubar kelinci tapi sebenarnya ia hendak memetika
kembang-kembang yang harum semerbak memenuhi hidung.
Senang sekali Eng Lian berada diantara bunga-bunga.
Tangannya repot memetik sana sini, memilih bunga yang
bagus-bagus untuk dibawa pulang. "Sayang adik In tidak turut,
kalau tidak, oh, bagaimana gembiranya kita memetik kembang
yang harum mewangi ini." ia berkata-kata sendiri.
"Selamat bertemu lagi nona Lian........" tiba-tiba si dara cilik
mendengar orang berkata dari belakangnya hingga ia cepat
menoleh dengan kaget. Kiranya yang berkata-kata tadi adalah Ang Hoa Lobo, kenalan
lama yang Eng Lian sangat benci. Sambil cemberut, ia
menanya : "Nenek jahat mau apa ?"
"Hehehe !" si nenek ketawa kering. "Bagaimana kau bisa
katakan aku jahat ?"
"Memang kau jahat." sahut Eng Lian berani. "Kau sudah pukul
adik In sampai luka berat, kemudian kau hukum aku tidak
makan beberapa hari. Apa itu tidak jahat ?"
"Aku toh belum gebuk mati si bocah, belum hukum mati kamu,
masih belum terhitung jahat, bukan ?" bantah si Nenek
Kembang Merah seraya haha hihi ketawa.
"Hmm !" si dara cilik mendengus. Mendongkol dia mendengar
alasan si nenek. "Aku datang hendak menyambut kau, Eng Lian." kata si
nenek. "Menyambut aku ?" si nona cilik menanya heran. "Aku sudah
tidak ada hubungan lagi dengan kau, untuk apa kau
menyambut aku ?" "Hubungan kita masih ada. Sebegitu jauh, kau masih tetap
membandel tidak ajarkan menjinaki ular." sahut si nenek
ketawa. --12-- Si dara cilik geleng kepala.
"Aku tidak mau ajarkan kau." katanya.
"Kenapa ?" Ang Hoa Lobo menanya heran.
"Kalau kau sudah dapat menjinaki ular, nanti kau akan lebih
jahat lagi." sahut si dara cilik.
"Tidak, tidak. Aku berjanji akan menjadi orang baik, kalau kau
sudah ajarkan menjinaki ular." si nenek cepat menyahut.
"Soalnya ditempatku Coa-kok (Lembah Ular) disana ada
banyak kawanan ular, aku mau bikin kawanan ular itu takluk
padaku, lain tidak."
Si nona kerutkan alisnya yang lentik, ia berpikir rupanya.
"Nona Lian, aku hanya minta kau ajari aku. Setelah mana aku
tak akan mengganggu lagi kau." Ang Hoa Lobo berjanji.
Kembali si nona tidak menjawab. Ia berpikir, memang paling
baik kalau si nenek tidak datang mengganggu ia dan Lo In
punya ketentraman. Apalagi si nenek berjanji akan menjadi
orang baik. Tidak ada salahnya kalau ia mengajari si nenek
menjinaki ular. Setelah mengambil keputusan, ia berkata,
"Baiklah, mari ikut aku."
Si nona berkata seraya geraki kakinya hendak berlalu dari situ,
menghampiri si rajawali yang menunggu jauh di sana.
Ang Hoa Lobo sudah tentu saja tidak bersedia mengikuti si
nona karena disana ada si rajawali yang kalau melihat dia
dengan Siauw Cu Leng akan beringas dan mengajak
bertempur. Maka itu ia lalu berkata, "Nona Lian, sebaiknya kita
jangan ke rumahmu. Kau ikut aku saja ke Coa-kok."
Si nona putar tubuhnya. "Mana bisa begitu, adik In sedang
menunggui aku." sahutnya seraya lari hendak lari
meninggalkan Ang Hoa Lobo.
Lari belum jauh, tiba-tiba ia dicegat oleh Siauw Cu Leng.
"Hahaha ! Dara cilik, kau mau lari kemana ?" bentaknya kasar.
"Kakek jahat, kau jangan merintangi aku !" semprot Eng Lian.
Si nona coba hindarkan sambaran tangan Siauw Cu Leng, tapi
ia ada satu gadis cilik yang baru saja belajar silat. Mana dapat
ia lolos dari si Iblis Alis Buntung yang kasar dan kejam. Maka
sambaran tangan yang kedua kali sudah dapat menangkap
pergelanagan tangan si nona cilik hingga ia menjerit karena
pegangan si Iblis Alis Buntung seperti jepitan besi rasanya.
Si dara cilik berontak-rontak tidak menolong.
"Eng Lian sebaiknya jangan kau menolak undangan kami. Hei,
Cu Leng, jangan kau kurang ajar pada guru cilik kita !" kata
Ang Hoa Lobo melihat Toan-bi Lo-mo memencet tangan si
nona kecil dengan keras hingga menjerit kesakitan.
Siauw Cu Leng menurut. Ia longgarkan pegangannya.
Si rajawali yang menunggu majikannya jauh dari situ,
bukannya tidak mendengar jeritan nonanya. Ia hanya
mengebas-ngebaskan sayapnya saja. Untuk terbang masuk
ke tempatnya Eng Lian tak dapat ia lakukan karena banyak
rintangan cabang pohon untuk sayapnya bebas bergerak.
Tidak heran, ia kelihatan sangat gelisah sebab suara jeritan
Eng Lian itu ada satu tanda si dara cilik dalam bahaya.
Setelah lama ia nantikan nonanya belum kelihatan muncul,
maka terpaksa ia pulang untuk memberitahukan pada Lo In. Di
lain pihak, Eng Lian sudah kena ditotok oleh Siauw Cu Leng
dan dibawa pergi dari situ.
Belum berapa tindak mereka berlalu, telah berjumpa dengan
Cin Lian Hin dan enam kawannya. Ang Hoa Lobo berkata
pada Cin Lian Hin, "Ini ada cara yang kebetulan. Tak usah
kalian memancing lagi si bocah keluar dari sarangnya, kalian
tunggu saja disini. Pasti si bocah akan datang kemari untuk
mencari temannya." Cin Lian Hin sangat kegirangan. Pikiranya memang hal itu
sangat baik, tidak berabe lagi harus memancing Lo In keluar
dari sarangnya yang banyak teman kawanan kera.
Sementara itu, atas perintah si nenek, Siauw Cu Leng sudah
tangkap seekor kelinci, ia potong dan daranya dibikin
berceceran dari mulai pohon kembang di mana Eng Lian
berdiri sampai sejauh bisa darah sang kelinci dapat
dikucurkan. Jadi darah yang berceceran yang Lo In jumpai itu bukannya
darah Eng Lian tapi darahnya sang kelinci liar yang nasibnya
lagi sial ketemu Siauw Cu Leng.
Ang Hoa Lobo senang dapatkan Eng Lian. Ia bawa ke
sarangnya, Coa-kok yang sukar didatangi orang karena di
lembah itu kesohor banyak ularnya.
Di sana Eng Lian dibujuk lagi oleh Ang Hoa Lobo, dijanjikan ia
akan dibebaskan dan diantarkan kepada Lo In kalau ia sudah
turunkan ajaran menakluki kawanan ular. SI dara cilik dapat
dibujuk, tanpa banyak pikir ia lantas berikan pelajaran pada
Ang Hoa Lobo. Hatinya sudah kepingin buru-buru ketemu Lo
In lagi. Ia kuatirkan putus asa mencari dirinya yang diculik oleh
si Nenek Kembang Merah. Kalau ia sudah menurukan
pelajaran menakluki ular kepada Ang Hoa Lobo, pikirnya, ia
akan mendapat kebebasannya dan segera dapat pulang ke
rumahnya bertemu pula dengan adiknya.
Dasar anak kecil, masih belum tahu kecurangannya manusia.
Eng Lian kena dikibuli Ang Hoa Lobo sebab setelah si nenek
dapat ilmu menakluki ular bukan saja kebebasannya si dara
cilik tidak diberikan, malah Eng Lian dipakai alat untuk
keuntungannya Ang Hoa Lobo dan gula-gulanya (Siauw Cu
Leng). "Popo." kata Eng Lian pada suatu hari. Ia sekarang memanggil
popo atas usul si nenek sebab katanya diantara mereka tidak
ada permusuhan dan malah dengan panggilan yang halus itu,
kedengarannya lebih mesra dan lebih dekat hubungan
keluarga. "Aku sudah turunkan pelajaran menakluki ular,
kapan aku dibebaskan dan ketemu lagi denan adik In " Dia
tentu sudah menunggu-nunggu aku dengan tidak sabaran."
Ang Hoa Lobo tertawa ramah. Katanya, "Oh, besok ada hari
baik. Tanggal 7 bulan 7, aku akan antarkan kau kembali ke
rumahmu dan ketemu lagi dengan Lo In."
Eng Lian senang mendapat jawaban itu. Ia menubruk Ang Hoa
Lobo, memeluk dengan mesra, katanya berbisik, "Popo, kau
sangat baik......." Si nenek mengelus-elus rambut kepalanya Lian.
"Anak Lian," katanya, "Besok ada hari berpisahan kita. Maka
sebentar malam sebaiknya aku mengadakan sedikit
perjamuan untuk memberi selamat jalan padamu. Sebab
belum tahu kapan kia bisa ketemu lagi."
"Oh, tidak Popo. Nanti aku dengan adik In akan menyambangi
kau disini. Jangna lupa, kalau adik In kemari, kau mau juga
akan memberi obat pemunah pada mukanya adik In yang
hitam supaya ia dapat kembali pada wajahnya yang asli."
demikian si dara cilik nyerocos, tampaknya ia sangat manja.
Ang Hoa Lobo mendengar kata-kata Eng Lian anggukanggukkan
kepalanya. "Tentu, itu jangan kau minta juga aku
akan sembuhkan muka anak In." sahutnya ramah.
Hatinya si dara cilik makin girang.
Pada malamnya lantas diadakan perjamuan sederhana.
Eng Lian yang tidak biasa minum arak, ia hanya disuguhi teh
saja. Teh yang wangi dan menyegarkan badannya. Maka ia
beberapa kali meneguk isi cangkir yang saban kali disilahkan
minum oleh Ang Hoa Lobo. Si nenek dan Siauw Cu Leng dengan gembira menemani
pesta perpisahan itu. Setelah beberapa cangkir teh masuk dalam perutnya Eng
Lian, si dara cilik tiba-tiba menguap beberapa kali lantas
bangkit dari duduknya sambil berkata, "Aku sudah ngantuk,
biarlah aku tidur lebih dahulu........."
Baru saja ia mengucapkan 'dahulu........' lantas roboh terkulai,
dengkulnya dirasakan lemas. Lantas saja ia tidur di lantai, lupa
akan keadaan disekitarnya.
"Hehehe !" terdengar Ang Hoa Lobo ketawa seram.
"Hebat obatmu, cici !" memuji si Iblis Alis Buntung.
"Ini baru tidur saja. Sebentar kalau dia sudah siuman, kau
boleh lihat bagaimana pengaruh obatku yang kuberikan
padanya. He he he......" si nenek berkata sangat bangga
tampaknya. Eng Lian diantapkan saja tidur di lantai, sementara Ang Hoa
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lobo teruskan makan minumnya bersama Siauw Cu Leng
dengan gembira. Kira-kira 1 jam sudah berlalu, tampak si gadis cilik mulai
mendusin. Eng Lian kucak-kucak matanya kemudian bangkit dari
rebahnya. Matanya yang jeli halus kini berubah jadi beringas
seperti kerasukan setan. "Hi...hi....hi...........hihihi.........!" tiba-tiba Eng Lian ketawa
menyeramkan. "Bagaimana ?" Ang Hoa Lobo tanya Siauw Cu Leng yang saat
itu jadi bengong melihat kelakuan Eng Lian.
"Begini !" sahut si Iblis Alis Buntung seraya mengacungkan
jempolnya. Beringas sikapnya Eng Lian, menakutkan. Matanya terus
mengawasi Ang Hoa Lobo, tapi yang diawasi tinggal tenangtenang
saja, malah ketawa ramah.
Tiba-tiba........ Eng Lian berteriak keras, lalu menubruk si
nenek. Kedua tangannya diangkat hendak mencengkeram
muka si nenek. Tapi dengan mudah kedua tangan si dara cilik
dipegangnya, lalu berkata, "Eng Lian, jangan kurang ajar
kepada suhu. Lekas berlutut !"
Sungguh mengherankan. Kata-kata Ang Hoa Lobo diturut
dengan serentak. Eng Lian jatuhkan dirinya berlutut, sambil
mengucap 'Suhu'. Toan Bi Lo-mo Siauw Cu Leng hanya mendengar dari Ang
Hoa Lobo bahwa 'istrinya' itu mempunyai satu kepandaian
mengherankan. Ia belum mau percaya sebab kalau belum
melihat buktinya. Sekarang dengan mata kepala sendiri ia
menyaksikan kepandaian istimewa dari Ang Hoa Lobo. Diamdiam
bulu tengkuknya dirasakan pada berdiri, seram, makin
takut ia pada si nenek. "Cu Leng." si nenek berkata pada si Iblis Alis Buntung yang
saat itu kelihatan duduk termangu-mangu. "Inilah kepandaian
yang diwariskan oleh suhuku, Lambay Mo Lie kepadaku,
murid tunggalnya. Obat itu dinamai 'Cian jit su su hun' (Obat
bubuk mematikan ingatan seribu hari). Siapa yang minum
akan membuat lupa siapa dirinya dan kejadian-kejadian yang
lampau, dia hanya mempunyai ingatan ada punya suhu,
kepada siapa dia harus setia dan menurut segala perintahnya.
"Sekarang bagaimana kita harus berbuat atas dirinya ?" tanya
Siauw Cu Leng. "Eng Lian ada punya sepasang ular kecil." kata si nenek.
"Warnanya kekuning-kuningan seperti emas. Ditaruh dalam
sebuh bumbung mungil yang dia bawa-bawa dibadannya.
Kalau aku tanya kenapa sepasang ular itu tidak dia lepas,
katanya untuk menjaga dirinya. Dia ada seorang lemah, tidak
pandai silat. Kalau ada orang hendak berbuat jahat padanya,
dia dapat melepaskan ularnya untuk menggigit. Siapa yang
kena digigit oleh ular emasnya itu akan keracunan dan dalam
tempo setengah jam, kalau tak mendapat obat pemusnahnya
bakal mati dan tubuhnya lumer menjadi air tanpa bekas.........'
"Ah, sampai begitu hebatnya ?" menyela Siauw Cu Leng,
ketakutan dia. "Itu aku belum buktikan sendiri. Mungkin omongannya tidak
salah. Katanya sepasang ular itu adalah pemberian ayahnya
dengan pesan kalau tidak keliwat terpaksa jangan dilepaskan
untuk membunuh orang. Makanya sampai sebegitu jauh dia
simpan saja sepasang ular emas itu dalam bumbung di
badannya. "Aku tidak melihat dia kasih makan ularnya." kata Siauw Cu
Leng. "Sepasang ular itu bisa tiga bulan berturut-turut tidak makan."
menerangkan Ang Hoa Lobo. "Ini aku tahu dari Eng Lia.
Makanannya apa, aku sendiri tidak tahu sebab si Lian tidak
mau mengatakan padaku."
"Kalau sepasang ular itu begitu jahat, paling baik kita rampas
saja dari padanya, kita bunuh mati. Jadi tidak membahayakan
kita." usul Siauw Cu Leng.
"Jangan, jangan." sahut Ang Hoa Lobo seraya goyang-goyang
tangan. "Mati atau hidup sepasang ular itu bagi kita tidak
penting." "Kalau begitu, bagaimana kalau kita takluki dia dan dijadikan
alat untuk kita. " usul Siauw Cu Leng bernapsu.
"Tidak bisa." sahut si nenek. "Sepasang ular itu tak dapat
ditakluki oleh kita kecuali oleh Eng Lian yang menjadi
majikannya. Juga tidak akan membahayakan pada kita karena
dalam keadaan tidak sadar, Eng Lian tentu akan menjadi alat
kita yang dapat kita gunakan untuk membunuh musuh-musuh
kita. Ini bukannya baik ?"
Siauw Cu Leng ketawa nyengir.
"Eng Lian selain punya senjata ampuh itu, juga punya senjata
lainnya yang tidak kurang ampuhnya." menerangkan Ang Hoa
Lobo. "Senjata apa, cici ?" tanya Siauw Cu Leng.
"Setelah makan obatku, pikirannya menjadi linglung, gigitan
giginya akan membuat orang yang digigitnya akan kepanasan
seperti dibakar jantungnya dalam tempo lima menit setelah
mana si korban akan sembuh kembali tapi ingatannya lantas
berubah dan tunduk kepada Eng Lian, dapat diperintah
sesukanya Eng Lian....."
"Ah, cici....... aku takut ! Kalau orang yang digigit Egn Lian itu
dapat diperintah Eng Lian. Bagaimana kalau Eng Lian perintah
orang menghajar kita ?"
"Tua bangka tolol !" jengek si nenek ketawa. "Mana bisa Eng
Lian suruh hajar kita sebab Eng Lian ada di bawah pengaruh
kita." Siauw Cu Leng membungkam.
Sementara itu, Eng Lian tinggal berlutut di depan Ang Hoa
Lobo bagaikan patung. "Sekarang Eng Lian sudah tidak ingat lagi akan dirinya. Perlu
dia mendapat pelayan-pelayan untuk melayaninya. Sebab
mana aku yang menjadi suhunya melayani dia mandi, makan,
temani kongkow segala. Dia harus mempunyai banyak
pelayan." Ang Hoa Lobo utarakan pikirannya.
"Habis, dari mana kita cari pelayan begitu banyak ?" tanya
Siauw Cu Leng, garuk-garuk kepala.
"Culik. Kenapa kau tidak bisa culik anak gadis orang ?" bentak
si nenek. Si Iblis Alis Buntung ketawa nyengir. Memang jalan yang
paling mudah untuk mendapati pelayan-pelayan Eng Lian
harus menculik gadis-gadis orang.
Demikian, dengan menggunakan kepandaiannya yang tinggi,
Ang Hoa Lobo dan Siauw Cu Leng dalam beberapa hari saja
sudah dapat menculik banyak gadis-gadis dan anak lelaki
yang berusia tanggung sebaya dengan Eng Lian. Semuanya
dicekoki obat oleh Ang Hoa Lobo supaya ingatannya masingmasing
lenyap. Apa yang dipikirkan mereka hanya punya 1
suhu (guru) pada siapa haru setia dan menurut segala
perintahnya. Yang mereka anggap suhunya adalah Eng Lian,
bukannya Ang Hoa Lobo sebab si nenek sudah menjadi
suhunya Eng Lian. Tegasnya Ang Hoa Lobo menjadi sucow
(kakek guru) dari itu sekian banyak wanita dan pria tanggung.
Senang bukan main hatinya Ang Hoa Lobo melihat muridnya
Eng Lian dan cucu muridnya demikian banyak. Tentu saja ada
meminta biaya besar untuk mengongkosi mereka. Dari mana
di dapat biaya untuk itu " Gampang. Suruh saja si Iblis Alis
Buntung mencuri atau membegal, maka biaya didapatkan
dengan mudahnya. Dalam sedikit tempo saja, Eng Lian berubah menjadi ratu
tanpa mahkota. Semua dayang-dayang yang menjadi pengiringnya
berseragam sutra putih yang tipis, pakai ikat kepala juga dari
sutra putih tertaneap sekuntum bunga dari sutra merah.
Sebaliknya, pria pakaiannya dari sutra kuning menyolok, ikat
kepalanya juga dari sutra kuning, tertancap sekuntum bunga
dari sutra merah seperti para wanita.
Ang Hoa Lobo namakan prajuritnya ini Ang Hoa Kun atau
Pasukan Kembang Merah, simbol (tanda) yang si nenek paling
suka. Eng Lian berpakaian sutra tipis kuning keemas-emasan,
lapisnya dari sutra warna dadu sangat tipis hingga tubuhnya
yang halus putih berbayang. Ikat kepalanya dari sutra putih
dengan burung-burungan tengah mematuk setangkai bunga
merah. Kalau kepalanya Eng Lian bergerak, burung-burungan
itu angguk-anggukan karena dipasangi per. Indah sekali dan
menarik perhatian. Para dayang, kecuali sutra tipis warna putih yang merupakan
pakaian luar, di bagian dalam tubuhnya dibungkus oleh sutra
biru ekstra tipis yang ketat hingga tubuhnya yang putih seperti
tercetak, menggiurkan, merangsang napsu lelaki yang
gampang goyah imannya. Sungguh jempol Ang Hoa Lobo
menciptakan mode pakaian yang merangsang napsu birahi.
Rupanya si nenek sudah mempunyai tujuan tertentu
menciptakan mode pakaian istimewa ini, yang membuat Siauw
Cu Leng bengong dan telan ludah.
Ang Hoa Lobo diam-diam bukannya tidak tahu Siauw Cu Leng
yang ceriwis mengiler sampai telan ludah untuk 'cicipi' salah
satu bidadari bikinan itu. Tapi ia pura-pura tidak tahu. Ia mau
kasih hajar pada suami diluar kawin itu supaya kapok atas
perbuatannya yang nyeleweng.
Begitulah telah terjadi. Sore itu Siauw Cu Leng berusaha
pulang dari bepergiannya. Ia dapatkan Ang Hoa Lobo dan Eng
Lian tidak ada ditempatnya. Ia mencari-cari tak terdapat di
sekitar rumah. Diam-diam ia sudah dekati salah satu
dayangnya Eng Lian yang bernama Cui Sian yang waktu itu
sudah benahi pakaiannya Eng Lian yang habis tukaran. Cui
Sian ketawa-ketawa diajak ngobrol oleh Siauw Cu Leng.
Sudah tentu ketawanya tidak wajar, linglung, tak tahu dimana
dirinya berada. Memandang tubuhnya Cui Sian yang seperti tercetak dibalik
pakaiannya yang gerombongan tipis, bukan main ngilernya si
ceriwis Siauw Cu Leng. Pikirnya ini ada ketika baik, kenapa
dia tak mau gunakan " Apalagi melihat keadaannya Cui Sian
seperti yang hilang ingatannya, apa ia bisa bikin kalau dia
perkosa atas dirinya " Napsu birahinya timbul dengan
serentak, tak dapat ia mengendalikannya.
Ia maju lebih dekat, menyambar tangan orang yang putih
halus. Cui Sian hanya tertawa haha hihi seraya berontakberontak
melepaskan tangannya dari cekalan Siauw Cu Leng.
"Cui Sian, mari kita main." berkata Siauw Cu Leng berbareng
ia memeluk dan mencium pipi Cui Sian. Beradunya tubuh yang
hangat membuat Siauw Cu Leng seperti kalap. Ia pondong si
nona hendak dikerjai di atas pembaringan tapi........'Aiyoo !'.
Sekonyong-konyong Siauw Cu Leng berjengkit, serentak ia
melepaskan pondongannya dan tubuhnya Cui Sian terbanting
di lantai. "Hihihihi........." si nona ketawa seraya lari keluar dari
kamar Eng Lian. Kenapa Siauw Cu Leng " Itu hasil dari pekerjaan yang tidak
sopan. Ia memondong Cui Sian dengan maksud keji tapi
sebelum napsu jahatnya kesampaian, lengannya sudah kena
digigit oleh Cui Sian. Bekas gigitan sakit bukan main sehingga
mengeluarkan teriakan 'Aiyoo !' dan lepaskan tubuh si nona
dari pondongannya. Seketika itu ia terkulai roboh, hawa panas
dirasakan meluap ke jantungnya seperti dibakar. Ia menjeritjerit
beberapa kali kemudian tenang lagi dan dapat berdiri pula
sebagaimana biasa, hanya.... ingatannya hilang. Keadaannya
tidak beda seperti korban-korban lainnya yang kena dicekoki
obatnya Ang Hoa Lobo. Siauw Cu Leng tidak sadar dimana dirinya berada. Perlahanlahan
ia jalan dan berkumpul dengan golongan pria dari Ang
Hoa Kun. Korban dari obatnya Ang Hoa Lobo yang istimewa memang
benar hilang ingatannya, tidak ingat lagi keadaan dirinya
siapa. Tapi dapat diajak ngobrol, bersenda gurau, ketawaketawa
apabila yang diobrolkan dapat mengitik urat ketawa
seperti juga keadaannya ada normal. Dia tidak akan digigit
kalau salah satu dari 3 bagian dari anggautanya tidak
kesentuh. Tiga bagian anggauta penting itu adalah jidat, buah
dada dan perut. Kalau salah satu bagian ini kena kesentuh, kontan si korban
akan sadar bahwa dirinya dalam bahaya. Lantas saja
menggigit macam anjing gila menularkan racun. Giginya
nancap pada bagian daging yang digigit, menimbulkan hawa
panas nyelusup ke jantung seperti dibakar tapi hanya
sebentaran. Kemudian si korban gigitan normal lagi cuma saja
penyakit hilang ingatannya menular dan ia keadaannya akan
seperti yang menggigitnya.
Tiada seorang pun yang dapat tahu rahasia tiga bagian
anggauta yang tak dapat disentuh ini kecuali Ang Hoa Lobo
yang mewarisi ilmu sakti dari Lamhay Mo Lie.
Buah dadanya Cui San yang bulat menonjol membikin napsu
iblisnya Siauw Cu Leng melonjak, tak dapat ia melewatkan
kesempatan baik pikirnya. Diwaktu memondong Cui Sian ia
sudah mencium buah dada si nona dan.... karena sentuhan
mulut pada buah dada menyebabkan Cui Sian sadar akan
bahaya mengancam dirinya, otomatis seketika itu ia menggigit
lengannya si ceriwis sehingga menjerit kesakitan.
"Hehehe........." tertawa Ang Hoa Lobo ketika ia pulang melihat
keadaannya Siauw Cu Leng yang jadi hilang ingatannya. Ia
tidak mengenali istrinya, hanya ia memberi hormat pada Eng
Lian seperti kawan-kawannya yang lain. "Inilah ada satu
hukuman bagi orang yang menyeleweng. Cu Leng, Cu Leng,
sampai kapan tabiatmu yang buruk itu bisa dibuang "
Hehehe........" Siauw Cu Leng seperti tidak mendengar kata-kata Ang Hoa
Lobo, ia diam saja. Si nenek lalu membisiki kupingnya Eng Lian, segera ia
berkata, "Siapa diantara kalian yang diganggu oleh Yaya "
Maju ke depan !" Saat itu Eng Lian sudah duduk diatas kursi kebesarannya,
didampingi oleh Ang Hoa Lobo dan dikitari oleh dayangdayangnya
yang cantik-cantik. Eng Lian berkata pada dayangdayangnya
yang berkumpul disitu. Tanpa Eng Lian mengucapkan kedua kalinya, segera tampak
satu dara muncul tampil ke depan ialah Cui Sian. Ia ini berlutut
di depan Eng Lian. Ang Hoa Lobo perhatikan pakaian Cui
Sian, ternyata ada yang sobek pada bagian buah dadanya.
Si nenek manggut-manggut melihat itu. Ia sudah lantas
menduga sobeknya baju si nona pada bagian buah dadanya
adalah kerjaan tangan nakal dari Siauw Cu Leng.
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah hilang ingatannya, Eng Lian merubah panggilannya
kecuali pada si Nenek Kembang Merah sudah ia panggil Popo
(nenek), kepada Siauw Cu Leng ia panggil Yaya (kakek atau
engkong) yang biasanya si dara cilik panggil si nenek dan si
kakek jahat. "Cu Leng, atas kelakuanmu yang ceriwis, aku hukum kau
untuk beberapa lamanya menjadi anggauta Ang-hoa kun !"
berkata si nenek. Siauw Cu Leng tinggal membisu saja. Ang Hoa Lobo lupa
bahwa Siauw Cu Leng tak dapa menangkap omongannya
kecuali omongan itu keluar dari mulutnya Eng Lian sebab Eng
Lianlah dalam benaknya ada ia punya suhu.
Kapan Ang Hoa Lobo ingat akan keadaan itu, maka ia suruh
Eng Lian yang bicara pada Siauw Cu Leng dan sekarang si
kakek ceriwis kelihatan pucat mukanya, ia maju ke depan dan
jatuhkan diri berlutut di depan Eng Lian sambil manggutmanggut
dia berkata, "Hamba terima salah, mohon Siancu
punya belas kasihan."
Lucu kelakuan Siauw Cu Leng hingga Ang Hoa Lobo yang
melihatnya tertawa terpingkal-pingkal. Setelah mana, tiba-tiba
hatinya merasa menyesal. Pikirnya jelek, Siauw Cu Leng ada
lakinya dan teman diajak berunding. Kalau sekarang ia
ditinggal begitu, hilang ingatannya, dengan siapa dia dapat
bicara untuk mendamaikan cita-citanya lebih jauh. Lantaran
berpikir demikian, maka si nenek terpaksa mengembalikan
pula ingatannya si kakek ceriwis, dikasih obat pemunahnya.
Obat itu diaduk dengan air teh dalam sebuah mangkok, di
depan siapa ia berkata, "Nah, kau minumlah ini !"
Siauw Cu Leng yang masih tetap berlutut tidak meladeni
perintah Ang Hoa Lobo, hanya matanya saja mengawasi si
nenek. Ang Hoa Lobo heran, tapi segera pikiran terangnya
berkelebat. "Ah, dasar sudha jadi nenek, pelupa. Kenapa aku
berbuat begini." ia berkata-kata sendirian sambil jalan
menghampiri Eng Lian. "Anak Lian, kau suruh orangmu untuk kasih mangkok obat ini
pada yayamu supaya diminum isinya." Ang Hoa Lobo kata
pada Eng Lian seraya menyodorkan mangkok obat pada si
dara cilik yang lantas menyambuti kemudian diserahkan pada
salah satu dayangnya untuk melakukan perintahnya Ang Hoa
Lobo. Kiranya si nenek kembali lupa bahwa anggauta-anggautanya
Ang-hoa-kun hanya tunduk perintah Siancu (dewi) yang
dianggap suhunya, lain orang jangan harap dapat memerintah
meskipun Ang Hoa Lobo yang menjadi Sucownya (kakek
guru). Mendengar perintah Siancu, maka Siauw Cu Leng tanpa raguragu
sudah lenyap terima mangkok yang disodorkan padanya
dan minum habis isinya. Sebentar lagi tampak ia menguap
beberapa kali, lalu roboh dilantai dan tidur pulas sampai
mengorok. Sementara itu Eng Lian sudah suruh Cui Sian bangun dari
berlututnya dan disuruh tukar pakaiannya yang sobek. Cui
Sian menurut lalu meninggalkan ruangan itu.
Eng Lian ada memelihar sepasang ular kecil, warnanya
keemas-emasa yang disimpan dalam sebuah bumbung kecil
mungil, entah dari dahan apa bumbung itu dibuat, bobotnya
enteng dan licin mengkilat. Sepasang ular itu panjangnya
masing-masing hanya tiga cun (dim), gesit luar biasa. Kalau
bumbung ditekan terbuka maka mereka segera mencelat
keluar dan menyambar pada korbannya untuk menggigit.
Racunnya sangat jahat karena korbannya dalam tempo
setengah jam akan mati dan badannya lumer menjadi air
tanpa meninggalkan bekas, kalau tidak keburu dapat obat
pemusnahnya. Eng Lian tadinya tidak percaya demikian jahat bisa ular
emasnya itu. Tapi setelah menyaksikan sendiri, ia meleletkan
lidahnya. Itulah ia lihat pada waktu sepasang ular itu hendak
diwariskan padanya oleh sang ayah. Maksudnya untuk
menjaga dirinya. Pada saat itu telah dicoba sang ular disuruh
menggigit ular besar yang panjangnya satu meter. Benar saja
ular besar itu mati setelah kena digigit setengah jam lamanya,
bangkainya lumer menjadi air.
Sang ayah memesan kalau tidak sangat perlu, senjata ampuh
itu jangan dikeluarkan karena akibatnya sangat mengerikan.
Kepada Lo In ia masih belum mau ceritakan ia ada
mempunyai senjata ampuh itu. Takut Lo In nanti melarang ia
membawa-bawanya, sedang ia sangat sayang pada sepasang
ular itu, seakan-akan jimatnya.
Berdasarkan sepasang ular emas itu dan kebetulan Coa-kok
(Lembah ular) ada menjadi tempat kediamannya, maka Ang
Hoa Lobo telah memberi gelaran kepada Eng Lian, Kim Coa
Siancu atau Dewi Ular Emas. Memang gelaran ini sangat tepat
untuk Eng Lian karena si dara cilik adalah penakluk ular. Untuk
membikin si dara cilik lebih ditakuti lagi namanya, disamping
sudah punya kepandaian menakluki ular dan sepasang
senjata ampuhnya ular emas, Ang Hoa Lobo dengan tidak
mengenal capek, siang malam dia didik Eng Lian dengan ilmu
silat, rahasia ilmu pedang dan pukulan tangan kosong yang
hebat diturunkan semua pada si dara cilik hingga dalam tempo
pendek Eng Lian sudah berubah dirinya dari gadis cilik yang
lemah gemulai menjadi gadis cilik yang gesit dan tangkas.
Tinggal menggembleng lwekangnya (tenaga dalam) saja,
setelah mana Eng Lian dapat digolongkan sebagai jago kelas
satu. Setelah siuman kembali, Siauw Cu Leng nampak dirinya tidur
menggeletak di atas lantai, ia lantas ingat akan kesalahannya.
Ia jadi ketakutan pada Ang Hoa Lobo.
"Orang she Siauw." kata si nenek, setelah tertawa terkekehkekeh.
"Masih ada nyali untuk berbuat yang bukan-bukan lagi
nanti " Kali ini aku mau ampunkan selembar jiwamu tapi lain
kali, hmm !" Siauw Cu Leng malu, tidak berani ia angkat kepala. Ia masih
tinggal duduk dilantai, kalau tidak Ang Hoa Lobo membentak,
katanya, "Lekas bangun, atur pekerjaanmu sebagaimana
biasa !" Siauw Cu Leng dengan roman lesu dan malu telah
meninggalkan ruangan itu untuk berkumpul dengan 'Pasukan
Kembang Merah' di lapangan latihan dimana ia biasa
mengajar ilmu silat kepada mereka.
Ang-hoa-kun bagian pria, mendapat didikan dari Siauw Cu
Leng sedang buat bagian wanitanya dididik sendiri oleh Ang
Hoa Lobo. Ketika hari pertama mendidik anak buahnya, si
nenek pernah berkata pada Siauw Cu Leng. "Kita masingTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
masing mendidik orang-orang muda yang berbakat. Sampai
dimana kepandaian mereka, kita tidak tahu. Tapi satu waktu
nanti aku akan mengadakan pertemuan umum, dimana muridmuridmu
akan dihadapkan dengan murid-muridku. Lihatlah
siapa yang lebih jempol mendidiknya !"
Karena sudah ada kata-kata demikian dari Ang Hoa Lobo,
maka Siauw Cu Leng tidak berani alpakan kewajibannya dan
mendidik orang-orangnya dengan sungguh-sungguh. Maka
tidak heran kalau dalam sedikit waktu orang-orangnya menjadi
pandai silat juga walau belum boleh dikatakan masuk kelas
satu. Kata-kata Ang Hoa Lobo pada Siauw Cu Leng hanya sebagai
anjuran pada si kakek ceriwis. Sebab umumnya anak murid
Ang Hoa Lobo ada lebih tinggi ilmu silatnya karena dididik oleh
orang yang pandai seperti Ang Hoa Lobo. Kepandaian Siauw
Cu Leng kalah jauh dengan si nenek, apa lagi lwekang Ang
Hoa Lobo ada sangat tinggi.
Tidak sembarangan Ang Hoa Lobo maupun Siauw Cu Leng
menculik anak-anak tanggung pria dan wanita. Mereka
memilih hanya mereka yang dinilai berbakat untuk mendapat
didikan ilmu silat, barulah diculik dibawa ke Coa-kok.
Tidak heran kalau ada beberapa anak jago-jago silat
kenamaan yang hilang lenyap diculik Ang Hoa Lobo atau
Siauw Cu Leng sehingga orang tuanya menjadi gelagapan
mencarinya. Adanya penculikan-penculikan itu telah menghebohkan
kalangan Kangouw. Jago-jago silat bergerak dengan serentak untuk mencari
jejaknya si penculik. Sebenarnya perbuatan-perbuatan menculik dari kedua iblis itu
susah dicari jejaknya kalau tidak si nenek yang 'sok' dengan
kepopuleran nama. Pada belakangan ini, ia setelah menculik
anak orang telah meninggalkan nama Kim Coa Siancu. Malah
yang paling menghebohkan adalah kejadian dirumahnya Hekhouw
Ma Liong, guru silat kenamaan di kota Lengkoan,
Hokkian, dimana Ang Hoa Lobo membuat huru hara.
Sudah beberapa hari memang Ang Hoa Lobo ada tinggal di
kota Lengkoan untuk mencari gadis-gadis yang berbakat untuk
menjadi pelayannya Eng Lian. Ia ada mengincar pada Ma Sian
Bwee ialah gadisnya Hek-houw Ma Liong yang usianya hampir
sebaya dengan Eng Lian. Sian Bwee tubuhnya kecil, gesit dan
cerdik rupanya. Maka Ang Hoa Lobo sangat ketarik padanya.
Untuk terangkan meminta langsung pada orang tuanya, sudah
tentu tidak mungkin. Maka ia gunakan jalan sebagaimana
biasa menculik anak orang dengan menggunakan obat pulas,
tidak ada yang merintanginya. Tapi sekali ini perhitungan Ang
Hoa Lobo meleset. Ma Liong bukan sembarangan guru silat, ia
memang jago, murid kepala dari Siang-tauw-niauw Kam Eng
Kim, Si Burung Kepala Dua yang terkenal dalam kalangan
jago-jago silat propinsi Hokkian.
Malam itu Ma Liong sedang berlatih dengan tiga orang
muridnya, Mak Kian anaknya sendiri, Gouw Liu Pa dan Hoan
Tek Huy. Tempat berlatih letaknya di pekarangan belakang
rumah, cukup lebar hingga mereka berlatih dengan penuh
semangat. Cuaca malam itu tidak menentu, kadang-kadang terang dan
kadang-kadang gelap disebabkan sang awan yang menutupi
bulan muda baru nongol. Hek-houw Ma Liong yang tengah
memberi petunjuk-petunjuk pada murid-muridnya, tiba-tiba
bungkam mulutnya sambil matanya mengawasi ke jurusan
loteng rumahnya. Sekilas ia merasa seperti melihat ada
mencelat ke sana sesosok bayangan gesit luar biasa, sebentar
saja sudah lenyap. Hatinya merasa tidak enak sebab diloteng sana ada tidur ia
punya anak gadis, Sian Bwee, hanya ditemani oleh seorang
pelayannya. Hek-houw Ma Liong menduga bayangan itu
mungkin ada Cay-hoa-cat (maling tukang petik bunga), hatinya
makin tidak enak akan keselamatan anak gadisnya.
"Kalian teruskan berlatih, aku ada urusan sebentar." ia berkata
tiba-tiba kepada ketiga muridnya berbareng ia sudah gerakkan
badannya melesat ke bawah loteng, dari mana ia enjot
tubuhnya untuk terus hinggap diatas melalui langkan.
Perlahan-lahan ia menghampiri pintu kamar anaknya. Melalui
lubang kunci, ia dapat lihat dalam kamar ada satu nenek
sedang membungkus tubuh anaknya dengan kain sprei.
Bukan main marahnya Hek-houw Ma Liong. Ia tendang pintu
hingga terbuka dan lompat masuk menerjang si nenek yang
tiada lain adalah Ang Hoa Lobo.
Mendengar pintu ditendang terbuka, dari mana ada bayangan
lompat menerjang dirinya, Ang Hoa Lobo cepat berkelit sambil
lepaskan bungkusan yang saat itu sudah siap diangkat ke
pundaknya. "Maling kurang ajar, kau berani ganggu keluarga Ma ?"
demikian ada bentakan si Macan Hitam Ma Liong dalam
marahnya ketika ia menerjang masuk dalam kamar Sian
Bwee. Ia menggunakan tipu 'Beng houw Pok yo' atau 'Harimau
buas menubruk kambing', dua tangannya diulur
mencengkeram kedua pundak si nenek untuk dengan
sekaligus menarik copot lengan orang sebatas pundak. Satu
serangan yang ganas karena si Macan Hitam Ma Liong sangat
gusar kepada si nenek. Mungkin serangan Ma Liong yang ganas dan cepat itu berhasil
kalau yang diserang itu bukannya Ang Hoa Lobo, si nenek
yang sudah kawakan menggempur jago-jago silat dimana
saja. Dengan sedikit menggeser badannya, Ang Hoa Lobo
sudah dapat meluputkan diri dari serangan si Macan Hitam.
Melihat serangannya gagal, si guru silat sudah menyerang lagi
dengan gerakan 'Coa ong sim hiat' atau 'Ular mencari liang'. Ia
merangsak, tangan kirinya menyambar perut sedang tangan
kanannya berbareng nyelonong ke arah mata, dua jarinya
hendak mengorek sepasang lampu lawan. Tentu saja Ang Hoa
Lobo tidak ijinkan orang main-main dengan matanya. Tangan
kanannya menekan ke bawah tangan Ma Liong yang
menyambar perutnya sedang tangan kirinya menyentil dengan
Lima Golok Setan 1 Pendekar Naga Putih 46 Petualangan Di Alam Roh Suramnya Bayang Bayang 21
Si nona tidak meladeni, hanya menubruk ayahnya yang
menggeletak di tanah dengan napas empas empis. Ia girang
ketika mendapat kenyataan ayahnya tidak putus jiwanya.
"Ayah, legakan hatimu. Semua ini ada gara-garaku, maka aku
yang akan bertanggung jawab."
Setelah mengucapkan kata-katanya yang gagah itu, si nona
tampak bangkit. Ia berdiri, pedangnya masih tercekal di tangannya, matanya
mengawasi ke sekitarnya. Tampak olehnya Giam-ong Puy
Teng dan kawan-kawannya tengah mengawasinya dengan
senyuman masing-masing. "Tuan-tuan." tiba-tiba si nona berkata. "Ayahku tidak berdosa,
kalian harus bebaskan ayahku. Akulah yang mengatakan
dalam rumah paman Tan ada dipelihara maling. Maka
sepantasnya aku yang bertanggung jawab dari itu, sebagai
permohonan maaf, lihatlah sekarang aku lakukan..........."
Kata-kata ini disusul dengan diangkatnya pedangnya dan akan
ditebaskannya lehernya yang putih hingga kawanan jahat
yang biasanya tidak berkedip membunuh orang, melihat
kelakuan nekad si gadis telah pada menutup matanya, merasa
ngeri. "Tring !" tiba-tiba terdengar suara batu kecil membentur
pedang, segera juga pedangnya si nona terlepas dari
cekalannya. Di susul oleh melayangnya sesosok tubuh dari
atas sebuah pohon. Apakah Kim Wan Thauto yang datang menolong Bwee Hiang
" Bukan. Kim Wan Thauto memang mengumpat diatas genteng,
menonton pertarungan yang terjadi di sebelah bawah. Ketika
Liu Wangwee dirubuhkan, ia masih belum mau turun tangan
untuk membantu sebab ia ingin melihat bagaimana tindakan
Bwee Hiang lebih jauh mengingat kata-kata si nona dihadapan
ayahnya. Ia ingin melihat apakah pedangnya si nona akan
dapat mengusi tiga orang jahat itu. Tapi ia kecewa hatinya,
nampak si nona dipermainkan oleh Lie Kui. Pikirnya, apakah si
gadis hanya begitu saja kepandaiannya " Melihat Bwee Hiang
berlaku nekad, ia sudah siap akan menggoyangkan
kepalanya, untuk melepaskan senjata anting-antingnya ke
arah pedang si nona yang tengah diayunkan ke lehernya. Tapi
ia jadi tercengang karena maksudnya sudah disusul orang
lain. Dalam tertegunnya, ia mendengar orang yang barusan
menolong Bwee Hiang tertawa gelak-gelak. Hatinya terkejut
sebab suara tertawa itu seperti ia pernah mendengarnya tapi
dimana " Ia kumpul ingatannya tapi ia lupa dimana ia pernah
dengar suara ketawa yang ia pernah kenal.
Orang barusan melayang turun dari pohon, tampak
menghampiri Bwee Hiang. Ia memungut pedang si nona yang
seketika itu berdiri bagaikan patung. Matanya yang jeli
mencilak mengawasi pada orang yang menolong dirinya.
Orang itu tak tampak mukanya karena kepalanya terbungkus
kerudung kain merah. "Kau siapa ?" tanya si nona seraya menerima kembali
pedangnya yang diangsurkan oleh orang yang berkerudung
merah. "Anak Hiang," kata si kerudung merah, tidak menjawab
pertanyaan Bwee Hiang. "Dengan membunuh diri berarti kau
membunuh ayahmu. Sekarang lekas tolong ayahmu dan tamutamu
ini serahkan aku yang melayani !"
Bwee Hiang kaget, mengapa si kerudung merah
memanggilnya 'anak Hiang'. Siapakah dia " Tapi ia sekarang
tidak dapat mengajukan pertanyaan karena ia lebih perlu
lekas-lekas menolong ayahnya. Cepat ia bertindak
menghampiri ayahnya dan lantas memeriksa luka sang ayah
yang parah, dua tulang iganya patah.
Sementara Sucon Sam-sat yang sedari tadi berdiri tertegun
memperhatikan kedatangan si kerudung merah, lantas
mengurung si orang asing. Mereka sadar bahwa yang datang
niscaya seorang lawan yang alot.
"Hmm !" mendengus si kerudung merah. "Liu Wangwee,
apakah kurang hormat melayani para tamunya " Biarlah aku
yang menggantikannya........."
"Siapa kau ?" bentak Sin-mo Lie Kui yang berangasan
wataknya. "Kau panggil saja aku si kerudung merah, wakilnya Liu
Wangwee." sahutnya. "Bagus, bagus. Hahaha !" kata Giam-ong Puy Teng seraya
ketawa terbahak-bahak. "Hahaha............ hahaha......... !" si kerudung merah juga ikutikutan
ketawa. Giam-ong Puy Teng mendelikkan matanya. "Kau tertawakan
apa, setan !" bentaknya.
"Aku tertawakan kau." sahutnya kontan.
"Kurang ajar, apa yang harus kau tertawakan ?" tanyanya
agak heran. "Itu......... itu..............." sahut si kerudung merah sambil masih
tertawa. "Itu, menurutmu aku bagus, kau mana tahu bahwa
mukaku bagus sedang aku pakai kerudung."
Ini merupakan jawaban yang 'olok-olok' sehingga
menimbulkan amarahnya toako dari Sucoan Sam-sat menjadi
lebih meluap. Sebelah matanya, yang tinggal satu, mendelik
lagi lalu menyerang si kerudung merah dengan jurusnya yang
paling diandalkan 'Eng Jiauw chiu' atau 'Cengkeraman cakar
garuda', kedua tangannya diulur untuk mencengkeram dada.
Gerakannya cepat, kalau kena dicengkeram, pasti melayang
jiwa korbannya karena cengkeraman itu berisikan tenaga
dalam yang dahsyat. Tapi si kerudung merah acuh tak acuh menghadapi serangan
dahsyat itu. Ia menunggu sampai serangan datang, kedua
tangannya dirangkap sejenak lalu diajukan ke depan, nyelusup
diantara dua tangan lawan, mendadak dipentangkan secepat
kilat sehingga dua tangan lawan yang mencengkeram dapat
ditolak nyamping. Inilah gerakan 'Siang hong seng thian' atau
'Sepasang burung hong naik ke langit', jurus yang paling tepat
untuk memusnahkan 'Eng jiauw chiu' lawan.
Melihat serangannya gagal, cepat Giam-ong Puy Teng ganti
tipu. Tampak tubuhnya terputar ke belakang lawan.
Tangannya yang kanan diulur, mencengkeram bagian
pinggang untuk membikin remuk tulang iga. Ini adalah gerakan
istimewa dari Giam-ong Puy Teng yang dinamai 'Mo Lie jiauw
chiu' atau "Cengkeraman Kuntilanak'. Berbareng ia berkata,
"Terima nasib, sahabat !"
Ia berkata demikian, menyangka seratus persen serangannya
kali ini tak akan luput. Tapi diluar dugaannya sang lawan
sudah mengelak dengan gesit sambil lompat satu tindak ke
depan. Sebelum si kerudung merah berputar tubuh, Giam-ong
Puy Teng sudah maju merangsak, ia menggempur batok
kepala musuh dengan gaplokan yang dahsyat. Sayang
bukannya si kerudung merah berantakan kepalanya,
sebaliknya tampak Giam-ong Puy Teng terkulai roboh. Hal
mana membuat dua saudaranya yang tengah menonton
dengan kegirangan toakonya diatas angin menjadi keheranan.
"Sudah cukup !" kata si kerudung merah sambil lompat
menjauhi Giam-ong Puy Teng yang tubuhnya terkulai
mendeprok di tanah. Kenapa Giam-ong Puy Teng " Ketika si kerudung merah
lompat satu tindak ke depan, berkelit dari serangan Giam-ong
Puy Teng yang menggunakan tipu 'Cengkeraman Kuntilanak',
ia rasakan dibelakangnya ada sambaran angin. Cepat ia
mendek sambil memutar tubuhnya ke kiri. Dalam posisi ini,
sehingga ia adanya lowongan pada iga kanan Giam-ong Puy
Teng yang sedang angkat tangan kanannya untuk
menggaplok kepala, enak saja dua jari tangan kiri si kerudung
merah nyelonong ke jalan darah 'thian-coan-hiat'. Kontan si
raja akherat menjadi terkulai roboh. Kejadian ini hanya
beberapa detik saja. Saking cepatnya, maka tidak heran kalau
dua saudaranya Giam-ong Puy Teng menjadi melongo
keheranan. Dari melongo keheranan, Sin-mo Lie Kui meluap amarahnya.
Lantas saja menerjang si kerudung merah sambil berkata,
"Setan, akan aku cuci kehormatan Sucoan Sam-sat !"
"Dicuci juga bakalan kotor juga !" menggoda si kerudung
merah seraya berkelit dari serangan Lie Kui yang
menggunakan jurus 'Mo lie khoa keng' atau 'Kuntilanak
berkaca'. Sambaran dua tangannya menghembuskan angin
menderu. Biasanya dengan menggunakan serangan ini, Lie
Kui dalam segebrakan dapat menjatuhkan musuhnya. Tapi
kali ini ia salah hitung. Si kerudung merah lwekangnya sangat
kuat. Malah si Setan Sakti tidak menjadi sakti karena kaget
nampak musuhnya hilang dari depannya. Ia merasa dirinya
gesit, dapat mempermainkan orang, tidak dinyana ia kalah
jauh dari si kerudung merah.
Bertarung baru lima jurus, lantas Mo-jiauw Teng Cong dapat
menilai bahwa saudara mudanya tak dapat menandingi
musuhnya. Ia heran kenapa si kerudung merah, tadi waktu
menempur Giam-ong Puy Teng tidak memperlihatkan
kegesitannya seperti sekarang ini menghadapi ia punya
Samte. Melihat saudaranya hanya beberapa gebrakan saja sudah
terdesak, ia tidak dapat berpeluk tangan untuk menonton.
Maka si Cakar Setan seketika itu lantas menyerbu
mengeroyok si kerudung merah yang tengah mempermainkan
Lie Kui. Dengan turunnya si Cakar Setan, Lie Kui berharap segera
diperoleh kemenangan dengan cepat sebab kepandaiannya
sang Jiko atau si Cakar Setan ada lebih tingkat dari ia dan
toakonya (Giam-ong Puy Teng). Sayang pengharapannya
meleset sebab bukannya mempercepat kemenangan, tapi
mempercepat kekalahan. "Bagus." tiba-tiba si kerudung merah berkata ketika ia elakkan
cengkeraman Mo-jiauw Teng Cong yang ganas. Berbareng
tampak ia mencelat ke atas untuk menghindari gencetan
serangan dari dua arah, Mo-jiauw Teng Cong mencengkeram
bagian atas perutnya seperti mau mengorek hati, sedang Sinmo
Lie Kui menggempur pinggangnya. Tidak sampai menanti
sang musuh menginjakkan kakinya ditanah lagi, Lie Kui siap
dengan serangan susulan yang mematikan dengan tipu 'Hui
hong tong lay' atau 'Angin taufan datang dari timur'.
Tangannya diulur saling susul untuk menjambret kaki kanan
lawan yang masih dalam keadaan terapung. Tapi kaki lawan
seperti ada matanya, ia mengelak, turun sedikit lantas
menotok ke arah jin-tiong-hiat di jidat si berewok. Ia hanya
menjerit 'aiyoo !' lantas rubuh mendeprok. Totokan pada ujung
sepatu ini, membawa efek pada Mo-jiauw Teng Cong. Tangan
kanannya yang dibeber bagaikan golok dipakai untuk
menebas kaki si kerudung merah yang masih terapung. Ujung
sepatu yang barusan menotok jidatnya Lie Kui tampak berbalik
lalu menyontek pergelangan tangan. Tepat sekali
mengenakan jalan darah 'Yang-kok-hiat', hingga seketika itu
Mo-jiauw Teng Cong merasakan lengannya kesemutan, hawa
panas menjalar ke seluruh tubuhnya dan kontan ia pun roboh
meniru Lie Kui. Gerakan yang dilakukan si kerudung merah memang luar
biasa sukarnya. Dengan badan masih terapung, ujung
sepatunya dapat menotok roboh dua lawan tangguh sekaligus,
bukan suatu ilmu mengentengi tubuh yang mudah dilatih.
Tanpa mempunyai lwekang sampai pada batas tertinggi,
jangan harap dapat melatihnya. Pun, melatih ilmu demikian
akan meminta tempo puluhan tahun. Dalam kalangan Bu-lim,
orang namakan tipu silat itu 'Siang hong ko hong', atau
'Sepasang hong terbang lewati puncak gunung'. Jarang
terlihat di kalangan jago-jago dalam dunia Kangouw.
Bahwa si kerudung merah dapat mendemonstrasikan ilmu
yang langka itu, dapatlah diukur sampai dimana hebatnya
lwekang orang itu. Oleh karenanya, maka Sucoan Sam-sat
dengan sendirinya sudah menjadi ciut nyalinya.
Tang Kongcu yang sangat ketakutan lantas angkat kaki
meninggalkan kawan-kawannya. Tapi belum berapa langkah,
ia rasakan ada angin berkesiur disampingnya dan tahu-tahu si
kerudung merah sudah ada dihadapannya. Ia menggigil
ketakutan, tubuhnya dirasakan lumpuh dan seketika itu juga
dia jatuh duduk. "Mau lari ?" tegur si kerudung merah, suaranya halus tapi
berwibawa. "Ampun tayhiap, ampuni aku........." Tan Kongcu meratap
sambil tangannya menyoja-nyoja.
"Kau yang menjadi biang keladi dari ini semua. Cara
bagaimana yang kau hendaki untuk mengampuni kau, anak
jahat !" kata si kerudung merah, suaranya agak bengis.
Terkejut hatinya Tan Kongcu. Pikirnya, dari mana si kerudung
merah dapat tahu bahwa dirinya menjadi biang keladi dari
keonaran itu. Ketakutan ditambah kaget, tentu saja hatinya si pemuda jahat
jadi terguncang keras dan setelah ia berkata, "Ampun, ampun
tayhiap......" lantas saja tubuhnya terkulai dan jatuh pingsan.
Tiga sudah rubuh karena totokan dan satu rubuh karena
ketakutan, membuat si kerudung merah tertawa gelak-gelak
sampai suaranya mendengung di angkasa hingga Kim Wan
Thauto yang berada di atas genteng terpengaruh juga. Untuk
tidak sampai diketahui oleh si kerudung merah yang lihai itu,
Kim Wan Thauto dengan diam-diam sudah meninggalkan
tempat sembunyinya, pulang ke hotelnya.
Pada keesokan harinya ia berkemas-kemas untuk
meninggalkan hotel. Ketika ia meraba ke bawah bantalnya
dimana ia sesapkan kotak kecil mungilnya, kaget ia sebab
kotak itu sudah tidak ada ditempatnya.
Ia ingat betul ketika ia pulang dengan ambil jalan jendela, ia
periksa pintu kamarnya masih tetap terkunci. Dari manakah
datangnya penjahat yang sudah mencuri barangnya " Ia
periksa barang-barangnya yang lain, tidak ada yang
kehilangan kecuali kotak kecil itu. Pikirnya, tentu orang sudah
masuk dari jendela. Dari kenyataannya orang hanya
mengarah kotak itu, jadi kotak mungil itu tentu sangat
berharga. Tapi apa yang menjadi sebab kotak itu sangat
dimaui " Ini hanya merupakan pertanyaan saja bagi Kim Wan
Thauto karena ia sendiri belum lihat isinya.
Ia anggap kotak itu tidak penting baginya, maka ia tidak
banyak ribut dalam hotel itu. Setelah ia membayar uang
sewaan kamar dan makannya, lalu ia ngeloyor meninggalkan
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rumah makan An Goan untuk meneruskan kelananya.
Balik kepada si kerudung merah. Setelah merobohkan Sucoan
Sam-sat dan si Kongcu ceriwis, lalu ia menghampiri Bwee
Hiang yang sedang repot menolongi ayahnya. Tadi si gadis,
meskipun sedang repot menolongi ayahnya, dapat
menyaksikan juga bagaimana si kerudung merah menjatuhkan
lawannya satu demi satu. Dalam hatinya merasa amat kagum
atas kepandaian tersebut. Entah siapa dia itu, kenpa
memanggil dia 'anak Hiang', apakah dia mempunyai hubungan
keluarga dengan ayahnya " Demikian dalam hatinya
menanya-nanya akan halnya si kerudung merah.
Ketika si kerudung merah jongkok mau periksa lukanya Liu
Wangwee, si nona sudah siap untuk memajukan pertanyaan
siapa adanya penolong itu, tapi tidak jadi karena penolong itu
lantas berkata, "Anak Hiang, mari kita bawa ayahmu masuk ke
dalam rumah. Ia perlu dengan pertolongan cepat."
Tanpa menanti jawaban, si kerudung merah sudah
memondong Liu Wangwee. Sampai di dalam rumah, para pelayan yang menggigil
ketakutan, yang turut menyaksikan jalannya pertandingan
barusan sudah menyambut tubuhnya Liu Wangwee untuk
diletaki diatas pembaringan kecil dimana biasanya Liu
Wangwee suka pakai untuk tidur siang.
Hartawan Liu masih terus pingsan. Ketika diperiksa lukanya
oleh si kerudung merah, ternyata dua tulang iganya patah. Si
kerudung merah geleng-geleng kepala setelah melihat lukanya
Liu Wangwee. Melihat itu Bwee Hiang menjadi ketakutan.
"Apa luka ayah tak dapat disembuhkan ?" ia menanya pada
tamu asing. "Dapat, cuma makan tempo lama." sahut si kerudung merah.
"Asal sembuh kembali, tak perduli berapa lama, aku akan
merawatnya." kata Bwee Hiang dengan hati lega.
"Bagus, kau anak baik, anak Hiang." kata si kerudung merah
pula. "Kau keliru berkata begitu." si nona bersenyum sedih.
"Kenapa ?" tanya si kerudung merah. Heran ia mendengar
kata-kata Bwee Hiang. "Aku anak puthauw (tidak berbakti) sebab akulah yang
menjadi gara-gara hingga timbulnya kejadian seperti
sekarang." jawab Bwee Hiang seraya menundukkan kepala
dan dari kedua matanya yang bagus mengucur air mata.
"Mari kita tolong ayahmu." si kerudung merah berkata,
menyimpangkan kesedihannya si nona. Sementara itu, ia
minta air kepada salah satu pelayan untuk membersihkan
lukanya Liu Wangwee. Bwee Hiang usulkan untuk memanggil sinshe, tapi tamu asing
itu menggoyangkan tangannya. "Tak usah, nanti aku obati
sendiri ayahmu." ia berkata.
Si nona percaya akan kepandaian orang tersebut. Ia hanya
membantu saja apa yang ia dapat atas pekerjaan si bintang
penolong untuk kesembuhan ayahnya.
Malam harinya, Liu Wangwee kedengaran merintih. Seluruh
tubuhnya terasa panas, sedang dibagian yang luka parah
amat sakit. Tapi setelah diberi obat lagi oleh si kerudung
merah, perlahan-lahan Liu Wangwee hilang rintihannya dan
kemudian baru dapat pulas. Dijaga oleh Bwee Hiang yang
tidak tidur baragn sekejap pun pada malam itu. Selama mana,
sering ia tumpahkan air mata. Ia sangat menyesal telah
menerbitkan bencana pada ayahnya.
Pemberesan pada kawanan penjahat dilakukan sangat singkat
oleh si kerudung merah. Setelha memberikan pertolongan
pertama pada Liu Wangwee, ia keluar lagi dari rumah dan
menghampiri korban-korban totokannya.
"Untuk membuat kalian jangan penasaran, nah, mari kita
bertempur lagi !" berbareng ia menyepak satu demi satu
tubuhnya Sucoan Sam-sat. Giam-ong dan dua saudaranya segera juga bebas dari
totokan. Mereka lompat berdiri mengawasi si kerudung merah.
Hanya Tan Kongcu yang masih belum dibebaskan totokannya,
yang dalam pingsan telah ditotok oleh si kerudung merah.
Maksudnya supaya anak hartawan jahat itu tidak melarikan
diri, sementara ia memberikan pertolongan kepada Liw
Wangwee. Tiga algojo dari Sucon merasakan badannya segar kembali.
Maka semangat berkelahinya juga lantas timbul dengan
serentak. "Sahabat, kau buka kerudungmu kalau kau benar laki-laki !"
kata Giam-ong Puy Teng. "Hahaha !" si kerudung merah tertawa. "Tidak ada yang
istimewa di wajahku, buat apa kalian hendak mengenalinya "
Kalian terkenal sangat jahat, maka aku ingin memunahkan
tenaga dalam masing-masing. Untuk membikin kalian jangan
jadi penasaran, maka aku pun sudah membebaskan kalian
dari totokan !" Mendengar itu, tiga jagoan dari Sucoan amat kaget. Belum
pernah mereka sekaget saat itu. Tapi hati mereka angkuh
karena percaya dengan tiga tenaga gabungan, mereka dapat
mengalahkan si kerudung merah yang sangat sombong.
Mo-jiauw Teng Cong yang pandai bicara dan banyak akalnya
berkata, "Kami tidak bermusuhan dengan kau, kenapa kau
hendak memusnahkan lwekang kami ?"
Terdengar si kerudung merah tertawa, lalu berkata, "Memang,
dengan aku pribadi kalian tidak bermusuhan tapi kalian sangat
jahat dan banyak membunuh sesama manusia, tak pandang
bulu, jahat atau baik. Kejahatan kalian sudah tak terkira, maka
aku akan mewakili mereka yang sudah mati penasaran untuk
menghukum kalian........."
"Kentut !" memotong Sin-mo Lie Kui yang menjadi panas atas
kata-kata si kerudung merah, sikapnya sudah hendak
menyerang. "Jangan temberang, sahabat !" menyela Giam-ong Puy Teng.
"Maksudmu hendak memusnahkan lwekang kami bertiga
hanya merupakan impianmu saja. Ha ha ha.........." berbareng
ia menerjang hendak menjambret kerudung lawan.
Cuma sayang kepandaiannya di bawah si kerudung merah
sebab bukan saja kerudung orang luput menjambret, malah
jari-jari tangannya kena disentil hingga ia merasakan kesakitan
dan lantas lompat mundur lagi.
Mo-jiauw Teng Cong, diantara tiga jagoan jahat itu yang
percaya bahwa si kerudung merah akan buktikan katakatanya,
sebenarnya mencoba mendamaikan urusan
sehingga dapat dibereskan dengan menyenangkan. Tetapi
usahanya selalu dibikin gagal oleh sikap dan kata-kata kedua
saudaranya yang ingin selalu berkelahi sebagai keputusannya.
Dengan suara kalem terdengar si kerudung merah berkata
lagi, "Sebaiknya kalian bersiap-siap sebab temponya sudah
dekat untuk aku musnahkan lwekang kalian. Lekas siap !"
Dua orang berangasan, Giam-ong Puy Teng dan Sin-mo Lie
Kui, begit kata 'siap!' meluncur dari mulutnya si kerudung
merah, sudah lantas menerjang dengan jurus-jurusnya yang
paling ganas untuk mengirim lawannya ke dunia lain.
"Bukan kami tapi kau yang akan kami musnahkan lwekangnya
!" bentak Giam-ong Puy Teng dengan suara menggelepar,
saking marahnya dia. "Belum komplit kalau belum turun tiga-tiganya." menyindir si
kerudung merah seraya mengelak sana sini menghindarkan
serangan dua orang yang sudah kemasukan setan. Mo-jiauw
Teng Cong yang berdiri dengan ragu-ragu, merasa tepat sekali
kena sindiran si kerudung merah, maka hatinya pun panas
seketika. "Jangan jumawa, sahabat !" ia kemudain berkata sambil terjun
dalam arena pertempuran, mengeroyok si kerudung merah.
"Hahaha, ini baru komplit !" katanya. Berbareng dengan
perkataan 'komplit !' segera terdengar suara 'buk ! buk !'
beberapa kali, disusul oleh jeritan saling susul dan........ di lain
detik tampak Sucoan Sam-sat pada tergeletak sana sini.
Sementara si kerudung merah tampak berdiri ketawa-ketawa.
Ketiga jagoan jahat itu tidak melihat, entah bagaimana si
kerudung merah bergerak, tahu-tahu merasakan punggungnya
digebuk dua kali. Kontan rasa panas menyelusup ke ulu hati,
kaki berbareng lumpuh hingga seketika itu tak tahan untuk
mendeprok di tanah. Tapi hanya sebentaran saja hawa panas yang merupakan
reaksi dari gebukan di punggung itu, sebab segera sudah pulih
lagi kesegarannya. Mereka menjadi kegirangan, tapi tatkala
mereka coba empos tenaga dalamnya, tiba-tiba 'plong....'
hilang lenyap. Mereka mengerti bahwa tenaga dalam mereka sudah
dimusnahkan oleh si kerudung merah. Mereka pada bangun
berdiri sambil menundukkan kepala.
"Kalian sangat jahat. Kalau watak demikian kalian masih
belum mau buang, lain kali ketemu aku, terang aku tak bisa
ampuni lagi. Nah, sekarang enyahlah kalian !" si kerudung
merah mempersilahkan Sucoan Sam-sat meninggalkan
tempat itu. Mereka ngeloyor pergi dengan tidak berani angkat kepala.
Sungguh menyedihkan, Sucoan Sam-sat yang biasanya
seenaknya membunuh orang seperti juga memotong rumput,
kini sekaligus mendapat malu di desa Kunhiang. Apakah
mereka dapat memulihkan pula lwekangnya kemudian belajar
lagi untuk menuntut balas kehinaan yang mereka telah alami
hari itu, entahlah dibelakang hari.
Yang terang, mereka malu untuk pulang ke rumahnya Tan
Wangwee lagi. Langsung mereka pulang ke sarangnya di
Sucoan. Setelah mereka pergi, si kerudung merah menghampiri Tan
Kongcu dan membebaskan ia dari totokan. Ketika ia bangun
berdiri, lantas mendengar si kerudung merah berkata, "Kau
menjadi biang keladi keonaran, kau harus dihukum !"
Tan Kongcu menggigil ketakutan, takut ilmu silatnya akan
dimusnahkan. "Tapi mengingat kau tidak sejahat Sucoan Sam-sat, maka aku
kasih kelonggaran. Nah, hunuslah pedangmu dan potong
sebuah kupingmu !" menitah si kerudung merah.
Tan Kongcu ragu-ragu sebab hilangnya kupingnya sebelah
berarti mengurangi parasnya yang cakap, pikirnya.
"Apa perlu aku yang harus turun tangan ?" si kerudung merah
menegur, waktu melihat si kongcu ceriwis ragu-ragu.
"Oh, tidak, tidak....." jawab Tan Kongcu gugup. Berbareng ia
pun menghunus pedangnya untuk memotong sebelah
kupingnya. Pada saat itu, Bwee Hiang datang menghampiri mereka.
Sambil menunjuk pada si kongcu ceriwis, ia berkata, "Dialah
sebagai maling terbang yang dicari. Kenapa diberi hukuman
begitu murah ?" matanya si gadis mengawasi si kerudung
merah. "Bagaimana kau tahu dia si maling terbang ?" tanya si
kerudung merah. "Aku dapat tahu dari ilmu silatnya ketika bertempur dengan
aku." sahut Bwee Hiang.
Si kerudung merah tertawa terbahak-bahak sehingga Tan
Kongcu ketakutan setengah mati.
Dalam hatinya, diam-diam ia memaki Bwee Hiang,
"Perempuan sundel, kau bikin celaka aku. Tunggu nanti
pembalasanku !" Setelah tertawa, si kerudung merah berkata pada Tan Kongcu,
"Kalau begitu, satu kupingmu itu harus menggelinding di tanah
!" Tan Kongcu mengerti, ia toh tak dapat membangkang. Maka ia
kerjakan lagi pedangnya untuk menebas kutung kupingnya
sehingga ia tak berkuping lagi. Dengan hilangnya kedua
telinganya itu, kelihatannya ia sangat lucu.
Bwee Hiang hampir-hampir tidak dapat menahan ketawanya,
tapi ia tahan sebisanya supaya tidak melukai hatinya si kongcu
ceriwis............ Mari kita lihat Lo In dan Eng Lian yang sudah lama kita
tinggalkan. Lo In amat berterima kasih pada Eng Lian yang sudah
menolong memulihkan tenaga dalamnya dengan memberikan
nyali ular kesayangannya.
Sebaliknya Eng Lian girang, ia sudah dapat menolong adik Innya
yang nakal. Dua anak itu kelihatan cocok satu dengan lain. Tiap hari
mereka bermain-main disekitar rumahnya. Eng Lian melihat
pakaian Lo In sudah compang camping, merasa tidak tega.
Maka ia gunakan temponya untuk membuat pakaian Lo In dari
pakaian ayahnya yang ia kecilkan hingga pas untuk dipakai si
bocah. Pada suatu hari ketika Lo In keluar dari kamar dengan pakaian
'baru', tampak gagah benar. Maka ia berkata pada Eng Lian,
"Enci Lian, buatanmu ini bagus betul. Coba lihat, gagah tidak
aku dalam pakaian baru ?"
Eng Lian memandang Lo In kemudian ketawa cekikikan
mendengar kata-kata si bocah. "Anak kecil," katanya. "Aksi
amat nih, pakai mau dipandang gagah segala."
"Anak besar yang bikin, mana tidak jadi gagah dipakainya ?"
sahut Lo In. Eng Lian monyongkan mulutnya yang mungil. Segera juga
kedua bocah itu pada tertawa gembira, masing-masing
senang dengan kejenakaan mereka.
Oey Hoan Ciang atau ayahnya Eng Lian, ada memelihara
puluhan ular di pekarangan rumahnya. Masing-masing
dikurung dengan kerangkeng dari bambu. Bermacam-macam
ular yang dapat dilihat Lo In ketika Eng Lian ajak si bocah
melihat-lihat 'kebun binatangnya'.
Pada suatu hari setelah lakukan inspeksi, dua anak itu pada
duduk diserambi belakang rumah, dimana biasanya mereka
suka duduk omong-omong. Tiba-tiba Lo In terdengar menghela napas.
"Hei, kau kenapa ?" tanya Eng Lian kontan.
Lo In tertawa mesem. "Aku menyayangkan ular-ular itu tinggal
dalam kurungan." kata Lo In. "Coba mereka di.........."
"Diapakan ?" memotong Eng Liang, seperti biasa, dia tukang
potong omongan. "Dilepaskan aku maksudkan, enci Lian." sahutnya.
"Hihihi, anak tolo." si dara cilik ketawa. "Kalau dilepas
bukankah mereka tak bisa pulang lagi " Kau ini ada-ada saja."
"Enci Lian," kata Lo In serius. "Coba kalau kita lepas, selain
kita tidak perlu memikirkan makanannya, juga bagi mereka
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan sangat berterima kasih karena telah mendapat
kebebasan." "Adik In, bagaimana sih. Mana ada ular bisa berterima kasih
segala !" kata Eng Lian.
Setelah menarik napas lagi, Lo In berkata, "Enci Lian, kau lihat
kawanan keraku. Aku dapat menjinakkan mereka dengan
kehalusan, mereka sangat setia kepadaku, apa yang aku mau,
mereka lantas lakukan tanpa ragu-ragu."
Eng Lian diam, tapi otaknya bekerja.
"Habis, bagaimana kehendakmu ?" tanyanya.
"Ular hanya dapat mendesis, tapi tidak bisa omong." kata Lo
In. "Menurut Liok Sinshe, ular dapat diperintah dengan suatu
lagu dari tetabuhan. Misalnya kita menggunakan seruling
sebagai alat untuk memerintah ular sengan sesuka kita. Aku
lihat kamu menjinakkan ular hanya untuk dipelihara, tapi tidak
dapat dibuat teman. Ini sayang sekali sebab kalau kita dapat
membuat ular-ular sebagai kawan, sewaktu kita membutuhkan
tenaganya, dapat kita minta pertolongannya. Ini, kau jangan
pandang remeh, enci Lian."
Si dara cilik angguk-anggukkan kepalanya.
"Mulai sekarang, mari kita mencoba akan kata-katanya Liok
Sinshe. Kalau benar ular-ular itu dapat ditundukkan dan
diperintah dengan irama lagu, oh, sungguh suatu keuntungan
besar bagi kita berdua sebab disamping kita sudah punya
teman kawanan kera dan rajawali, juga kita dapat sahabat
kawanan ular." demikian Lo In tambahkan.
Eng Lian lantas saja bertepuk tangan. "Bagus, bagus."
katanya girang. "Mari, kita sekarang mulai. Tapi, eh, dari mana
kiat dapat alat tabuhannya ?"
"Itu mudah. Kita coba dengan seruling saja." sahut Lo In.
"Serulingnya dari mana ?" tanya si dara cilik.
"Mari kita cari serulingnya." kata si bocah seraya pegang
tangan Eng Lian, diajak berlalu dari situ.
Eng Lian mengikuti saja dituntun oleh Lo In. Tidak merasa
janggal dia. Karena ini ada kebiasaan Lo In kalau mengajak
encinya pergi main-main. Segera juga mereka sudah sampai di satu rimba bambu,
dimana Lo In memperhatikan batang-batang pohon bambu
yang baik untuk dipakai membuat seruling yang merdu
suaranya. Sebentar kemudian, tampak ia mencabut pisau
yang diselipkan di pinggangnya dan ia mulai memotong satu
batang bambu yang dianggap akan memenuhi syarat untuk
digunakan sebagai seruling.
Mereka kemudian balik pula ke rumah, dimana dengan cepat
Lo In membuat seruling, sedang Eng Lian hanya menonton
saja si adik In bekerja. Setelah selesai, Lo In coba-coba meniupnya. Ternyata
bikinannya tidak mengecewakan. Segera juga tiupannya Lo In
berirama keras perlahan dan tinggi rendah.
"Hihihi, adik In." Eng Lian ketawai Lo In. "Kau bisa meniup
seruling, tapi mana bisa kau memerintah ular " Hihihi...."
Lo In tidak layani ejekan sang enci, ia terus meniupkan
beberapa lagu dekat kurungan-kurungan ular. Ia mencoba
pada satu ular yang sebesar lengan, panjangnya satu meter
lebih. Beberapa lagu ia perdengarkan tapi ular itu tetap meringkuk,
tidak menghiraukan Lo In yang sedang meniup mati-matian.
Eng Lian melihat itu, terpingkal-pingkal ia ketawai si bocah.
"Aku juga sudah duga, mana dapat ular-ular diperintah dengan
lagu. Ada-ada saja, eh, eh....." tiba-tiba si dara hentikan
ejekannya ketika ia melihat dengan perlahan ular yang tidur
tadi mengangkat kepalanya. Banyak lagu yang ada dalam
otaknya Lo In, si bocah jadi kegirangan. Ia ganti berganti
meniup lagunya sampai ia membuat sang ular terus berdansa
dalam kurungannya. Hal mana membuat Eng Lian jadi berdiri
terpaku sambil leletkan lidahnya, saking keheranan.
Tiba-tiba Lo In hentikan tiupan serulingnya, lantas putar
tubuhnya menghadap Eng Lian yang berdiri terpaku di
belakangnya. "Bagaimana, enciku yang baik ?"
Si dara cilik tidak lantas menyahut, ia hanya unjukkan
jempolnya yang kecil mungil. "Adik In, luar biasa kau......." puji
Eng Lian setelah ia sadar dari keheranannya melihat hasil
yang gemilang dari percobaannya Lo In.
Sambil menghampiri si dara cilik, Lo In berkata, "Selanjutnya,
kita akan latih ular-ular yang ada disini sampai mereka bukan
saja jinak tapi menurut perintah kita. Kalau sudah begitu,
baharulah kita menjadi majikannya."
"Kau benar-benar hebat, adik In."memuji si dara cilik sambil
mencubit hangat pipi Lo In.
Berkat kecerdasan dan kemauan yang sungguh-sungguh, Lo
In berhasil dengan percobaannya menundukkan dan
memerintah kawanan ular. Ular-ular yang ada dalam kurungan
segera pada dilepaskan untuk mendapat kemerdekaannya.
Mereka dapat dipanggil balik bila Lo In meniup serulingnya,
malah bukan ular-ular yang tadinya dalam kurungan saja,
malahan ular-ular lain yang terdapat disekitarnya pada datang
dan menghadap kita punya jago cilik yang didampingi oleh
ratu ciliknya. Bukan main girangnya Lo In dan Eng Lian melihat hasil usaha
mereka. Lo In selainnya mendapat warisan ilmu silat dan surat, juga
mendapat warisan dalam ilmu pengobatan dari Liok Sinshe.
Tidak heran kalau ia sering mencari akar-akar pohon yang
merupakan obat dan menciptakan obat pulung (pil) yang
mustajab untuk menjaga kesehatan ia dan Eng Lian.
Disamping itu, Eng Lian juga giat belajar silat dari Lo In, juga
tidak ketinggalan belajar bahasa monyet hingga selanjutnya ia
dapat bergaul leluasa dengan tentara monyet Lo In. Si burung
garuda juga sudah jinak dengannya. Malah kalau tidak mereka
berduaan naik si rajawali, Eng Lian juga suka pesiar sedirian.
Ada pepatah yang membilang, 'Ada waktu berkumpul, tentu
ada waktu berpisah'. Pepatah ini memang tidak salahnya,
sebagaimana yang dialami oleh Lo In dan Eng Lian.
Itulah pada suatu sore, Lo In melihat burung rajawalinya
pulang dengan tidak membawa Eng Lian, sedang dua jam
yang lalu ia lihat menunggang burung raksasanya
sebagaimana biasa untuk pesiar di sekitar lembah itu.
Lo In terkejut. Segera ia menghampiri burungnya yang sedang
tundukkan kepalanya mendekam. Ia heran, lalu menanya,
"Tauw-heng, kau bersama-sama lagi enci Eng Lian. Kemana
dia pergi ?" Burung itu diam saja, seolah-olah merasa bersalah.
Lo In jadi bingung. Bagaimana dia bisa tahu sedang si rajawali
tidak bisa bicara seperti manusia. Maka, ia cepat lompat ke
punggung si burung raksasa, ia tepuk pundaknya sambil
berkata, "Lekas, bawa aku ke tempat enciku !"
Si rajawali lantas bangkit dan pentang sayapnya, segera
terbang ke jurusan barat kemudian turun pada suatu tempat
yang lebat dengan pepohonan.
-- 11 -- Lo In lompat turun dari punggung si rajawali kemudian
melakukan pemeriksaan di sekitar tempat itu. Ia sampai pada
satu tempat yang banyak tumbuh pohon bunga, tentu ia
mendarat di sini. Cepat ia memeriksa, tampak olehnya ada
satu pohon kembang yang berbunga bagus sekali.
Ia menghampiri ke sana, tiba-tiba ia menjadi kaget tatkala
matanya melihat di tanah ada berceceran darah. Apakah enci
Lian dibunuh di sini " Tanya ia dalam hati kecilnya. Ia jadi
bingung dan sangat kuatir akan keselamatannya enci Liannya.
Ia jongkok dan memeriksa lebih teliti, darah itu berceceran
sampai pada jalanan masuk ke dalam rimba pohon. Ia
mengikuti terus jejak darah yang dapat terlihat, sampai tibatiba
ia sadar kalau dirinya sudah dikurung oleh tiga orang yang
ia tidak kenal, belakangan menyusul lagi empat orang yang
keluar dari semak-semak. Mereka itu rupanya jago-jago silat pilihan, semuanya pada
membawa senjata tajam di pinggangnya masing-masing. TibaTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
tiba seorang, yang menjadi pemimpin rupanya, berkata,
"Hehehe, aku heran. Kenapa Pangcu kirim kita begini banyak
untuk membekuk satu anak hitam begini saja ?"
Lo In mengawasi pada orang yang barusan berkata. Ia lihat
orang itu kira-kira usia pertengahan, mukanya persegi tiga,
hidungnya mancung, mulutnya ada sedikit tongos.
"Kita mesti percaya pada kata-kata Pangcu. Jangan kita
sembarangan memandang enteng, Cin-heng (saudara Cin)."
terdengar yang lain berkata.
"Aku sih bukannya sombong. Kalau hanya menghadapi segala
bocah begini, sembari tiduran juga aku bisa menangkapnya.
Ha ha ha !" kata lagi si pemimpin.
Kecuali yang barusan kasih nasihat pada orang she Cin, yang
lain-lainnya memang pada memandang rendah pada Lo In.
Mengurung makin rapat, Lo In heran. Ia tidak kenal dengan
mereka tapi sikapnya seperti yang memusuhi dirinya.
"Para paman, kalian menghendaki apa dari aku ?" Lo In tanya,
sekenanya saja. "Kami akan menangkapmu !" bentak salah satu diantaranya.
"Aku tidak bersalah, kenapa mesti ditangkap ?" tanya Lo In.
"Kau anaknya Kwee Cu Gie, bukan ?" balik tanya si pemimpin.
"Siapa itu Kwee Cu Gie, aku tidak kenal." sahut Lo In kontan.
"Bocah hitam, kau mau main-main sama engkongmu !" si
pemimpin berkata lagi. Berbareng ia menjambret tangan Lo In yang sedang
memegang kembang. Tangan Lo In dapat dicekal, sambil
pelintir ia berkata, "Anak hitam, mengakulah. Jangan....... Kau
!" tiba-tiba ia berjengit sebab sekarang menjadi berbalik.
Bukan tangan Lo In yang diplintir tapi tangan si orang kasar
yang diplintir. Kawan-kawan lainnya menjadi kaget, melihat pemimpinnya
hanya segebrakan saja sudah dapat dikuasai Lo In.
Lo In salurkan sedikit tenaga dalam ke tangannya, segera
tangan si pemimpin yang kena diplintir seperti kena strum
listrik. Ia teraduh-aduh tanpa dapat melepaskan pegangan Lo
In. Meskipun tangannya kecil, seakan-akan melengket.
"Kalian kenapa diam saja " Lekas maju semua !" teriak si
pemimpin yang sudah jadi mandi peluh kena diplintir Lo In.
Seperti baru sadar dari tidurnya, mereka lantas serentak
menyerbu. Dua belas tangan menghajar berbareng. Itu bukan main
hebatnya. Lo In bisa hancur lebur badannya. Tapi
kenyataannya lain, ketika serangan serentak sampai, dengan
kegesitannya laksana kilat, Lo In menghilang sambil
melepaskan si pemimpin yang dijadikan temberang.
Si pemimpin jadi berkuing-kuing seperti babi dipotong karena
dihujani pukulan kawan-kawannya sendiri.
Kaget mereka, bukan Lo In yang dihujani pukulan tapi
kawannya sendiri. Cepat mereka mancari bayangan Lo In.
Mereka lihat si anak kecil hitam berada tidak jauh dari mereka,
sedang tenang-tenang saja bermain setangkai bunga.
Mereka mulai jeri tapi tak dapat mereka abaikan perintah dari
kepala perkumpulannya. Maka itu mereka maju pula
berbareng untuk menangkap Lo In.
"Kita tidak bermusuhan, kenapa kalian mau tangkap aku ?"
tanya Lo In. "Perintah dari atasan tak dapat diabaikan." sahut satu
diantaranya. "Kalian dari mana sebenarnya ?" tanya si bocah pula, tenangtenang
saja. "Kami dari Ceng Gee Pang." sahut tiga orang hampir
berbareng. "Untuk apa banyak cakap, lekas tangkap dia !" bentak si
pemimpin. Perintah mana, sudah lantas dikerjakan. Enam orang
mengurung Lo In. Tapi mereka sangat hati-hati, kuatir nanti
bocah lolos lagi. "Sebetulnya aku ingin main-main dengan kalian, sayang
temponya tidak ada. Karena aku mau mencari enci Lian." kata
Lo In, tersenyum nakal. "Anak hitam, sebaiknya kau menyerah supaya tidak membuat
kami jadi berabe dan tubuhmu kesakitan karena hujanan
kepalan kami !" berkata salah satu diantara orang yang
mengepung Lo In. "Kalian tak dapat menangkap aku." menantang si bocah.
"Jangan sombong, anak kecil !" terdengar jawaban.
Sementara itu pengurungan makin diperketat, kira-kira
jaraknya satu meter lebih.
"Kalau kalian tidak percaya, nah, lihatlah !" kata si bocah.
Lo In berkata begitu, jarak mengepung makin rapat. Setelah itu
berbareng mereka menubruk dan menyangka si bocah akan
tertangkap. Tapi sebelum maksud mereka kesampaian, tapak Lo In
meremas-remas kembang ditangannya lalu sambil memutar
tubuhnya ia meniup kembang ditangannya hingga
berserabutan terbang mengarah ke hiat-to (jalan darah) di
jidat, leher, pundak dan lain-lainnya. Kontan enam orang yang
mengepung pada lemas kakinya karena kena ditotok oleh
lembaran-lembaran kembang tadi.
Sementara itu Lo in sudah tidak ada bayangannya lagi
dihadapan mereka. Karena totokan dengan kembang itu hanya totokan main-main
saja dari Lo In, maka hanya beberapa menit saja mereka
lumpuh. Selanjutnya mereka sudah dapat bangun pula dan
segar kembali sebagaimana biasa.
Melihat kawan-kawannya dirobohkan dengan hanya tiupan
kembang yang diremas, membuat Cin Lian Hin si pemimpin
menjadi melongo terpaku ditempatnya. Ia geleng-geleng
kepala. Pikirnya, apa bisa jadi ada seseorang bocah yang
mempunyai tenaga dalam begitu hebat, susah diukur "
"Hahaha, Cin-heng." tiba-tiba diantara mereka ada yang
ketawa terpingkal-pingkal.
"Hei, Kek Kim. Kau tertawakan apa ?" tanya Cin Lian Hin.
"Aku tertawakan kau, Cin heng. Kau bilang, kau mau ganda
dia sembari tiduran, nah sekarang apa buktinya " Malah kita
bertujuh diganda olehnya seperti memeram mata saja. Aaha !"
kembali Kek Kim tertawa seenaknya.
Cin Lian Hin merah seluruh mukanya, saking jengahnya.
Untuk tidak sampai jadi berkelahi dianara kawan sendiri,
beberapa orang menyela untuk simpangkan pembicaraan itu
hingga dua orang itu tidak sampai adu kepalan.
Mereka tidak ungkulan mencari Lo In, maka pulanglah mereka
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk memberi laporan kepada Pancu (ketua perserikatan)
mereka. Sampai cuaca menjadi gelap, Lo In masih juga belum dapat
menemukan Eng Lian. Hatinya sangat kuatir akan keselamatan si dara cilik, melihat
darah berceceran. Ia menyesal tadi tak menanyakan tentang
enci Lian kepada salah satu orang yang mengeroyok mereka,
lantas terburu-buru untuk mencarinya.
Lo In pulang dengan lesu, badannya sangat lemas ketika ia
turun dari punggungnya si garuda. Keadaan mana dilihat oleh
si burung raksasa dengan mengembang air matanya, rupanya
ia turut berduka atas kehilangan Eng Lian.
Esok paginya, Lo In kumpulkan tentara keranya, diperintah
untuk mencari Eng Lian sementara ia sendiri dengan naik si
rajawali mencari disekitar lembah, tapi jejak Eng Lian tak
dapat dijumpai oleh si bocah.
Diam-diam ia menangis kehilangan enci Liannya.
Ketika dua tiga hari dicari disekitar lembah enci Eng Lian tidak
diketemukan, pada hari yang keempat, Lo In mencari sampai
cuaca remang-remang gelap.
Ketika ia mau pulang, tiba-tiba dalam pikirannya berkelebat
pikiran apakah boleh jadi Eng Lian sudah dibawa naik ke atas
" Mungkin si dara cilik ada di atas Tong-hong-gay. Pikirnya,
apa salahnya ia coba-coba naik ke atas sekalian melongok
rumahnya dahulu, bagaimana keadaannya sekarang ini.
Ia tepuk-tepuk burung raksasanya untuk terbang tinggi, ke
atas puncak jurang. Si rajawali merasa heran. Tidak sari-sarinya sang tuan kecil
menyuruh dia terbang sampai ke atas puncak. Tapi ia terbang
sampai ke atas puncak, tapi ia terbang dengan semangat
karena ia tahu Lo In hendak mencari Eng Lian.
Sampai di atas cuaca sudah gelap, cuma diterangi oleh bulan
sisir yang tenggelam timbul diantara awan yang menutupinya.
Melihat itu, Lo In jadi terkenang akan kejadian hampir dua
tahun berselang ketika ia berdiam dengan Liok Sinshe di
puncak jurang itu. Ia turun dari 'kapal terbangnya', menyuruh si
rajawali menantikan disitu saja, jangan ikut ia yang hendak
mencari bekas rumahnya. Sampai di tempat yang dituju, Lo In merasa heran sebab
rumahnya lain dari dahulu. Kalau tadinya sudah tua, sekarang
bagus mentereng, malahan dijaga oleh beberapa pengawal
yang bersenjata tajam. Siapakah yang menjadi penghuni baru dari bekas rumahnya
itu " Lampu-lampu di sana sini tampak sudah dipasang hingga
cukup terang di sekitar rumah itu. Ingin Lo In menghampiri
rumah itu tapi kuatir orang nanti salah anggapan dan
menghinanya. Jalan paling baik, pikirnya, ia mengintip dengan
diam-diam saja ke dalam rumah itu. Siapa tahu ia dapat kabar
halnya enci Eng Lian yang hilang.
Dengan ginkangnya (ilmu entengi tubuh) yang sudah diukur,
dapat sekejap saja Lo In sudah berada di atas genteng rumah
tanpa diketahui oleh pengawal-pengawal.
Dari sini Lo In tidak dapat melihat ke ruangan dalam karena
gentengnya dilapis dari sebelah bawah. Rupanya disengaja
dibuat begitu kekar supaya tidak ada orang yang mencuri
dengar apa yang dibicarakan dalam ruangan.
Terpaksa Lo In turun lagi ke bawah.
Dua orang jaga hanya nampak berkesiurnya angin tapi tak
melihat adanya bayangan orang, tidak tahu Lo In datang
mendekati mereka. Dua orang penjaga itu, tengah duduk membelakangi pohon,
yang satu pendek, satu lagi kurus.
"Menurut Cin Lian Hin, calon Tongcu dari cabang Ceng Gie
Pang disini dengan membawa enam pilihannya sudah
menemukan bocah yang diinginkan oleh Pangcu." demikian Lo
In mendengar si pendek berkata pada temannya.
"Habis, apa yang sudah ditangkap ?" tanya si kurus.
"Katanya mukanya hitam legam, cuma kuping dan lehernya
saja putih." "Heran, masa calon Tocu (pemimpin) bisa dipermainkan,
apalagi dibantu oleh enam orang pilihan yang memperkuat
perserikatan kita." Demikian Lo In mendengar pembicaraan dua pengawal itu.
Selagi ia sangsi, kenapa ia mau ditangkap, lantas mendengar
pula si kurus menanya pada kawannya, "Hei, Lao Can, kenapa
sih anak kecil itu mau ditangkap "'
"Mana aku tahu." sahut si pendek. "Cuma aku dengar, dia itu
anaknya Kwee Cu Gie. Siapa Kwee Cu Gie dan kenapa
anaknya mau ditangkap, aku tidak tahu."
"Itu Cin Lian Hin dan kawan-kawannya hanya gentong nasi
saja. Masa anak kecil saja tidak bisa menangkap. Coba kalau
aku yang disuruh, aku bekuk saja batang lehernya sampai dia
terampun-ampun. Hahaha !" membual si kurus, seraya bangkit
mau meninggalkan kawannya yang masih duduk. Tiba-tiba ia
rasakan batang lehernya seperti ada yang menepuk. Sakit
rasanya sampai ia meringis-ringis.
Sambil berbalik, ia tegur temannya, "Hei, Lao Can. Kau jangan
main-main, sakit tuh. Main tepuk belakang batang lehar orang,
tidak ada kira-kiranya !"
"Siapa yang menepuk batang lehermu ?" tanya si pendek
sambil bangkit dan mau ngeloyor meninggalkan si kurus.
Mendadak ia rasakan telinganya seperti disentil, sakit bukan
main. Ia lantas berbalik dan marah-marah menegur si kurus.
"Kenapa kau menyentil telingaku ?"
"Siapa yang menyentil telingamu ?" si kurus melotot.
Dua-dua kelihatan mendongkol. Tapi mengingat akan
kewajiban meronda sudah waktunya, mereka ngeloyor jalan.
Belum dua tindak mereka berlalu, tiba-tiba keduany berseru,
"au !" Si kurus pegangi belakang lehernya, sedang si pendek
pegangi telinganya. Panas rasanya pada bagian yang
dipegangnya itu. Berbareng mereka putar tubuh dan
berhadapan. Masing-masing matanya saling mendelik.
"Betul-betul kau bikin penasaran orang, pendek !" kata si
kurus, katanya marah. "Kau juga bikin penasaran orang," sahut si pendek.
"Kau tepuk pundakku lagi !"
"Kau sentil kupingku lagi !"
Mereka bertengkar dan akhirnya berkelahi. Masing-masing
tidak mau mengaku salah. Memang mereka tidak bersalah
sebab yang menyebabkan itu adalah Lo In. Dengan gunakan
kegesitannya, saban-saban menyelingkar di balik pohon, Lo In
godai dua pengawal itu. Ia menepuk belakang lehernya si
kurus, kemudian menyentil kuping si pendek, akhirnya mereka
adu kepalan. Jail benar si bocah. setelah orang berkelahi, ia nonton dengan
bertepuk tangan. Tanpa disadari bahwa hal itu akan
menimbulkan kecurigaan. Dan ini pun telah terjadi, si kurus
dan si pendek yang tengah berkelahi saling jotos, lantas saja
hentikan perkelahiannya, mengawasi Lo In yang sedang
bertepuk tangan. "Hei, dari mana datangnya ini bocah bermuka hitam ?" pikir
mereka. Lantas mereka ingat akan penuturannya Cin Lian Hin. Inilah
rupanya si anak kecil yang dikatakan lihai. Mereka tidak
melihat adanya kelebihan dari si bocah sehingga ia sangat
ditakuti, girang hatinya, masing-masing ingin menangkap Lo
In. Kalau mereka dapat tangkap si bocah, berarti satu jasa
besar dan tidak mustahil bila mereka dinaiki pangkatnya.
Terdorong oleh rasa serakah, dua pengawal itu lantas main
mata satu sama lain untuk kerja sama menangkap Lo In.
"Anak kecil, kau siapa ?" tanya si kurus.
"Aku adalah aku, buat apa kau tanya." sahut Lo In jenaka.
"Anak sambel, apa kau tidak tahu masuk ke sini dilarang ?"
bentak si pendek. Siapa yang berani melarang aku datang untuk main-main
disini ?" Lo In balik menanya.
Kembali dua pengawal itu main mata, segera tangan kiri Lo In
sudah kena disambar si pendek sedang si kurus berbareng
menyekal tangan kanannya. Mereka kegirangan dapat
menangkap Lo In. "Anak kecil, mari ikut kami menghadap Hupancu."
berkata si kurus sambil tarik tangan Lo In.
Dengan bangga mereka sudah giring Lo In. Kawan-kawannya
pada merasa heran melihat si kurus dan si pendek menggusur
satu bocah bermuka hitam. Anak siapa itu, berani mati datang
ke situ yang terjaga keras.
Tidak mudah untuk menghadap Hu-pangcu (wakil ketua)
sebab harus melalui beberapa ruangan yang dijaga kuat. Lo In
menjadi benar-benar pangling (tidak mengenali) bekas
rumahnya, diperbesar dan menjadi mewah itu. Ia jinak sekali
dituntun si pendek dan kurus untuk dihadapkan kepada Hupangcu.
Sampai di ruangan tempatnya Hu-pangcu, Lo In lihat ruangan
itu diperaboti indah sekali. Entah berapa banyak Ceng Gee
Pang (Golongan Gigi Hijau) mengeluarkan duit untuk
memperindah ruangan itu. Lo In lihat kira-kira ada 20 orang tengah mengadakan rapat
menghadapi meja panjang. Ditengah-tengahnya ada seorang
dengan muka lonjong dan kumis pendek, usianya kira-kira di
bawah lima puluh tahun. Tubuhnya agak kegemuk-gemukan,
pakaiannya dari sutra yang mahal harganya.
Lo In menduga orang itu tentu Hu-pangcu dari Ceng Gee
Pang. Diantara yang hadir dalam rapat itu terdapat calon Tocu Cin
Lian Hin bersama kawannya yang menangkap Lo In. Ketika
melihat si bocah bermuka hitam dibawa masuk, mereka amat
terkejut. Ada juga yang kucak-kucak matanya, tidak percaya
bahwa Lo In begitu mudah dapat ditangkap oleh dua tukang
rondanya. "Apakah dia anaknya yang mempermainkan kalian ?" tanya
Hu-pangcu kepada Cin Lian Hin dan kawan-kawannya.
"Belum pasti." sahut Cin Lian Hin. "Tak semudah itu dia dapat
ditangkap." Hu-pangcu tersenyum tidak enak sebab dalam senyuman itu
seolah-olah mengandung sindiran kepada Cin Lian Hin
dengan kawan-kawannya tidak becus menangkap seorang
bocah saja. Kalau Hu-pangcu itu dapat anggapan remeh pada Lo In,
tidaklah heran sebab si bocah menurut saja dibentak-benatk
dan dijoroki oleh si pendek dan si kurus yang membawanya
menghadap si wakil ketua.
Si pendek dan si kurus setelah melaporkan bagaimana
mereka dapat menangkap si anak kecil, lalu majukan Lo In
untuk diperiksa. "Anak kecil, apakah maksud kau untuk masuk kemari ?" tanya
Hu-pangcu, suaranya tidak bengis.
"Aku mau mencari enci Lian." sahut Lo In.
"Siapa itu enci Lian "' tanya Hu-pangcu.
"Dia adalah enciku, teman karibku." Lo In menerangkan.
"Apa kau yang permainkan dia dengan kawan-kawannya ?"
Hu-pangcu tanya lagi, seraya jarinya menunjuk pada Cin Lian
Hin. Lo In mengawasi si orang she Cin sebentar, "Kau tanya saja
pada dia." sahutnya.
Si wakil ketua melengak. Pikirnya bocah ini sikapnya acuh tak
acuh, menjawab pertanyaan seenaknya saja, hatinya menjadi
tidak senang. Matanya tiba-tiba bersinar mengawasi si pendek dan si kurus.
Mereka ketakutan dan gelapan. Mereka tahu kesalahannya,
barusan lupa menyuruh Lo In berlutut untuk menghadap wakil
ketua. Cepat mereka dekati Lo In. Masing-masing pada
pegang lengan Lo In dijoroki supaya berlutut.
Hampir berbareng mereka membentak, "Berlutut !"
Waktu itu para hadirin termasuk Hu-pangcu terkejut dan
katanya terbelalak. Mengapa mereka " Mereka melihat ada yang berlutut tapi
bukannya Lo In malahan dua pengawal yang menjoroki Lo In
sambil berseru 'berlutut !' yang berlutut.
Itulah Lo In yang mendemonstrasikan kelincahannya.
Waktu si bocah dipegang lengannya dan dibentak disuruh
berlutut, ia geraki sedikit badannya, lolos dari pegangan si
pendek dan si kurus lalu berjongkok. Kedua tangannya
dipentang untuk menotok hiat-to di dengkul yang membuat
pengawal itu terkulai dan berlutut, sedang Lo In sudah lantas
berdiri. Gerakan Lo In sangat cepat laksana kilat. Hanya beberapa
detik saja terjadi sehingga banyak diantara hadirin yang tidak
tahu bagaimana Lo In bergerak.
Hanya Hu-pangcu yagn melihat tegas, bagaimana dua
pengawalnya dirubuhkan dengan satu gerakan kilat dari si
bocah. Waktu Lo In dapat ditangkap oleh si pendek dan si kurus itu
hanya atas kemauan Lo In. Pikirnya, dengan membiarkan
dirinya ditangkap dan dibawa menghadap pemimpin, ia bisa
dapat tahu keadaan di dalam dan siapa yang kepalai
Golongan Gigi Hijau yang hendak menangkap dirinya.
SI bocah gesit luar biasa, tetapi belum tentu lwekangnya luar
biasa. Kalau nampak usianya yang masih begitu muda, belum
masuk hitungan jago muda.
Pikiran itu muncul diantara para hadirin, diantaranya ada satu
yang mukanya kekuning-kuningan yang bernama Gouw Li Lit
bangkit dari duduknya, datang menghampiri Lo In sambil
ketawa-ketawa, "Anak kecil, kau hebat !" katanya sambil
menepuk pundaknya si bocah dengan tenaga lima bagian.
Pikirnya, sekali tepuk si bocah akan terkulai sedikitnya, kalau
tidak sampai tergetar jantungnya pasti copot. Tidak disangka,
kalau tepukannya itu membawa akibat yang memalukan.
Ialah, telapak tangannya yang menepuk, ia rasakan seperti
menepuk kapas atas pundaknya Lo In, malah tangannya tak
dapat diangkat dari pundaknya Lo In seakan-akan menempel
saja. Kaget bukan main Gouw Li Lit, apalagi ketika Lo In
menyalurkan lwekangnya ke pundak orang she Gouw itu
hampir menjerit kesakitan dan rasa linu sekujur badannya
seketika. Waktu Lo In goyang sedikit pundaknya, tangan Gouw
Li Lit terlepas dan terdorong sempoyongan, hampir jatuh
duduk kalau ia tidak gunakan 'cian kin tui' atau ilmu
memberatkan bada seribu kati untuk menahan tubuhnya.
Gouw Li Lit pucat mukanya, merasa sangat penasaran
dirubuhkan hanya segebrakan saja oleh bocah yang barusan
lepas netek. Ia ada satu ahli Gwakang (tenaga luar) yang oleh
kawan dan lawan disegani. Dimana ia taruh muka bila hanya
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
begitu saja dapat keok sama anak kecil. Tidak heran kalau ia
jadi sangat gusar. Matanya mendelik pada Lo In dan berkata,
"Anak kecil, mari kita adu kepandaian !"
"Aku tidak ada tempo, aku hendak mencari enci Lian." sahut
Lo In. Penerangan dalam ruangan itu cukup, dipasang beberapa lilin,
diantaranya ada empat lilin yang besar ditancap dibelakang
meja rapat. Gouw Li Lit mendekati Lo In, "Aku tidak rela dengan gebraka
tadi. Maka marilah kita adu kepandaian." menantang Gouw Li
Lit sambil pasang kuda-kuda.
Melihat lagaknya orang she Gouw, Lo In jadi ketawa. "Aku
tidak mau berkelahi, kenapa kau memaksa ?" katanya seraya
masih ketawa. Lo In ketawa sebenarnya wajar karena merasa lucu melihat
tingkahnya si orang she Gouw. Tapi ketawanya si bocah justru
dianggap satu hinaan oleh Gouw Li Lit. "Aku ketawa apa,
bocah !" bentaknya lalu disusul dengan serangan hebat
menggunakan tenaga penuh. Angin pukulannya sampai
menderu, segera terdengar suara 'brak !'. Itulah meja yang
berantakan terkena angin pukulannya.
Lo In tatkala itu berdiri tidak jauh dari meja yang hancur tadi.
Kalau serangan Gouw Li Lit itu mengenakan sasarannya, pasti
si anak kecil remuk tulang-tulangnya. Baikna saja ia sudah
menghilang dan sodorkan meja sebagai wakilnya.
Para hadirin jadi tegang. Mereka tahu si orang she Gouw
kalau sudah kalap, untuk mencuci kehormatannya, jalan satusatunya
adalah menghancurkan tubuh Lo In.
Hanya sayang, si anak kecil terlalu gesit untuk lantas
menghilang dari hadapan Gouw Li Lit yang saban kali
menyerang dengan tenaga maksimum.
"Bocah hitam !" teriak Gouw Li Lit kalap. "Kau jangan
menghilang kayak setan. Kalau berani sambuti seranganku !"
Kelihatannya ia kewalahan dilawan dengan kegesitan Lo In.
Maka ia berteriak kalap tadi. Ia berteriak sambil membarengi
dengan serangan dahsyat. "Aku tidak mau berkelahi, kau paksa juga. Nah, baiklah aku
sambuti !" Lo In sambuti seenaknya saja, tanpa pasang kudakuda
segala. Gouw Li Lit girang teriakannya tidak sia-sia. Seketika ia
menyerang dengan jurus yang mematikan, sepasang
kepalannya yang segede kepala bayi, menyambar ke arah
dada Lo In. Ini adalah tipu 'sian coa touw sin' atau 'Sepasang
ular muntahkan bisanya'. Satu jurus yang ganas, mengerikan,
apalagi itu ditujukan kepada Lo In anak kecil. Tidak heran
kalau para hadirin menjadi amat kaget dan kuatir akan
keselamatan si bocah. Tapi Lo In tenang-tenang saja, malah ia masih bisa ketawa
ketika pukulan sampai. Ia tidak berkelit menghilang,
sebaliknya ia papaki sepasang kepalan lawan dengan satu
sampokan tangan kiri, keras lawan keras. Lucu kelihatannya
sebab dua lengan yang segede anak ditangkis oleh satu
tangan yang kecil halus. Menurut teori, akan patahlah tangan
yang kecil itu. Tapi prakteknya, setelah bentrokan keras, Gouw
Li Lit tarik pulang sepasang lengannya dengan susah payah
seperti yang terlepas dari sambungan pundaknya, wajahnya
meringis-ringis kesakitan, jantungnya tergetar seperti mau
copot saja rasanya. Sementara si bocah hanya berdiri
senyum-senyum saja melihat sang lawan lompat mundur
dengan muka pucat dan meringis-ringis.
Lo In telah gunakan gerakan 'Tan cian cui tah' atau 'Dengan
satu tangan mendorong pagoda', satu tangkisan keras yang
mengandung tenaga dalam yang dahsyat untuk memunahkan
serangan Gouw Li Lit yang ganas.
Para hadirin hampir tak percaya dengan mata kepalanya
sendiri menyaksikan adegan yang langka dalam dunia
persilatan (Bu lim) seperti yang diperlihatkan oleh si anak kecil
berwajah hitam. "Hek-bin Sin-tong........" menggumam Hu-pangcu dari Ceng
Gee Pang saking kagum ia melihat kepandaian Lo In.
Meskipun perlahan Hu-pangcu itu menggumam tetapi
terdengar nyata di telinga para hadirin yang mempunyai
lwekan tinggi. Mereka pada menoleh pada Hu-pangcu, seraya
dalam hatinya masing-masing pada berkata, "Pantas anak
hitam ini mendapat julukan 'Hek-bin Sin-tong' dari mulutnya
Hu-pangcu Ceng Gee Pang. Belakangan hari telah membuat
namanya Lo In populer dengan julukan itu dalam dunia
Kangouw. Diantara para jagoan yang hadir dalam rapat itu adalah Gouw
Li Lit yang paling menonjol kepandaiannya. Sekarang si orang
she Gouw sudah dikalahkan dengan begitu mudah, siapa lagi
yang berani maju " Hu-pangcu, meskipun jeri hatinya merasa tidak puas kalau
tempatnya diacak-acak oleh anak kecil. Maka seketika itu
lantas memberi tanda pada para hadirin untuk mengepung Lo
In. Mereka bangun dengan serentak dari masing-masing tempat
duduknya, memburu Lo In. Si bocah kaget juga. Sebelum ia buka mulut menanyakan
sebabnya mereka datang mengeroyok, ia dibikin repot oleh
hujan kepalan dan tangan dibeber menabas bagaikan golok
tajam. Terpaksa Lo In keluarkan ilmu entengi tubuh ajaran
Liok Sinshe yang dinamai 'Bu eng bu seng sin hoat' atau 'Ilmu
sakti tidak bayangan tiada suara', yang ia yakinkan dengan
mahir betul. Dengan kepandaian meringankan tubuh yang sakti itu,
membuat jagoan-jagoan yang mengeroyok saban-saban
tubruk angin. Sungguh lucu kalau menyaksikan adegan itu.
Kawanan jagoan seakan-akan merupakan kawanan serigala
yang kelaparan berebut menangkap mangsanya, tapi sang
korban saban-saban menghilang dari hadapannya. Bukannya
jarang, satu sama lain saling beradu tangan, beradu tubuh dan
berbenturan kepala disebabkan berbarengan mereka
menubruk mangsanya. Tapi sang mangsa telah hilang lenyap
seperti masuk dalam rumah atau naik ke langit saja.
Dalam sengitnya mereka mengepung Lo In, sampai tak
menyadari bahwa saat itu ada seorang tamu sudah lama
menonton mereka sedang uber-uberan.
"Hahaha ! Ang Ban Ie, kau menjadi anak kecil lagi " ha ha
ha......... !" Inilah suara si tamu, keras berwibawa sehingga
semua orang hentikan uber-uberannya.
Mereka tidak tahu kemana si bocah menghilangnya, tapi
mereka lebih perlukan menghadapi tamu yang baru datang itu.
Rupanya mereka kenal baik pada tamu yang datang itu sebab
semuanya kelihatan pada menunjuk muka tegang.
Tamu itu ada seorang tua dengan muka bersih, pakaiannya
pun perlente, dari mana menunjukkan bahwa si tamu itu bukan
orang dari tingkatan rendah.
Tamu itu memang tiada lain adalah Pangcu dari Ceng Gee
Pang. Melihat ketuanya yang datang, segera Ang Ban Ie, si wakil
ketua lekas menghampiri memberi hormat. Ia berkata, "Toako,
mengapa malam-malam kau datang kemari " Tentu ada
urusan penting yang hendak dibicarakan dengan aku."
Pangcu dari Ceng Gee Pang itu ada saudara cintong dari Ang
Ban Ie, namanay Ang Ban Teng. Ia lihai menggunakan senjata
rahasia bentuk panah yang direndam dalam obat, bukannya
racun tapi istimewa kerjanya. Panah itu asal menancap pada
tubuh korbannya, kalau menemui darah lantas menjadi lumer
dan sang korban akan menggigil kedinginan. Kaki tangan tak
dapat digerakkan seperti membeku untuk sepuluh menit
lamanya. Entahlah, Ang Bang Teng menggunakan bahan obat
apa untuk senjata panahnya yang istimewa itu, tapi yang
terang namanya terkenal dengan Soa-cian Ang atau Ang si
Panah Salju. "Terang kalau tidak ada urusan penting, tak aku datang
malam-malam kesini." jawab Ang Ban Teng, si Panah Salju
sembari jalan menghampiri meja rapat dan lantas duduk di
meja kepala, di dampingi oleh Ang Ban Ie, si wakil ketua.
Orang-orang pada berkumpul lagi mengitari meja rapat
dengan dalam hatinya masing-masing pada menanya urusan
penting apa yang dibawa Pangcu itu.
"Hiante," kata Soat-cian Ang. "Kenapa kalian mengeroyok
anak kecil tadi " Apakah tidak malu nanti diketahui oleh rekanrekan
dalam kalangan Kangouw ?"
Ang Ban Ie ketawa, tapi ketawanya tentu saja tidak wajar. Ia
merasa malu dengan teguran saudara tuanya. Meskipun
begitu, ia harus membela diri agar jangan terlalu
dipersalahkan. Ia berkata, "Soalnya bocah itu anaknya Kwee
Cu Gie. Bukankah Siong Leng Totiang ada minta bantuan kita,
diwaktu kita hendak menempati tempat ini supaya kita
membantunya untuk menangkap anaknya Kwee Cu Gie "'
Soat-cian Ang kerukan keningnya. "Dari mana kau tahu bocah
itu anaknya Kwee Cu Gie ?"
Pada sepuluh hari yagn lalu kita ada kedatangan Ang Hoa
Lobo dengan Toan-bi Lomo Siauw Cu Leng." jawab Ang Ban
Ie. "Hah ! Dua iblis itu datang kemari?" tanya Soat-cian Ang,
terkejut dia. "Betul," sahut Hu-pangcu Ang Ban Ie. "Si nenek mengatakan
bahwa dibawah jurang ada satu lembah dimana ada tinggal
seorang anak kecil yang mempunyai tentara kera dan burung
raksasa. Aku jadi ingat akan pesan Siong Leng Totiang
supaya kita membantunya. Maka aku lalu menanya pada si
nenek, apakah anak itu bukannya anak Kwee Cu Gie. Ang
Hoa Lobo manggut. Ang Hoa Lobo kata anak itu lihai, harus
dipancing meninggalkan tentara kera dan burung raksasanya,
baru ada harapan ditangkap degnan menggunakan banyak
orang kuat kita. Kalau diserangnya, ia kata jangan banyak
harap dapat menangkap si bocah karena tentara kera dan
burung rajawalinya, ada pelindung yang sangat kuat......."
"Lalu kau kirim orang untuk memancing dia, bukan ?"
memotong Soat-cian Ang. "Betul," melanjutkan Ang Ban Ie. "Aku sudah kirim tujuh orang
kuat kesana dikepalai oleh Cin Lian Hian. Inilah Tocu kita
untuk cabang disini." Ang Ben Ie menunjuk Cin Lian Hin
memperkenalkan kepada Pangcunya.
Soat-cin Ang manggut-manggut. "Teruskan, hayo teruskan
ceritamu." katanya. "Cin hiante dan kawan-kawan tak usah memancing lagi si
anak kecil meninggalkan sarangnya." melanjutkan Ang Ban Ie.
Karena dalam perjalanan ke sana dia sudah bertemu dengan
anak yang dimaksud, yang mencari kawannya yang bernama
Eng Lian. Rupanya Cin hiante terlalu memandang enteng
pada si anak kecil, karena bukan saja anak yang diarah tak
dapt ditangkap, malah Cin hiante dengan enam kawannya
kena dirobohkan dengan memalukan sekali."
Selanjutnya Ang Ban Ie menuturkan bagaimana Cin Lian Hin
dan kawan-kawan dipecundangi oleh Lo In dan tentang
kedatangannya si bocah malam itu ke markas mereka malammalam
untuk mencari temannya hingga menjadi adu
kepandaian dengan Gouw Li Lit disusul dengan pengeroyokan
ramai-ramai oleh mereka. Soat-jian Ang angguk-anggukkan kepalanya, sembari urut-urut
kumisnya. Diam-diam ia merasa kaget mendengar penuturannya Ang
Ban Ie. "Anaknya sudah begitu hebat, bagaimana dengan bapaknya
?" terdengar si Pangcu bergumam. Kiranya gumaman Ang
Ban Teng dapat didengar tegas oleh para hadirin yang
kepandaian lwekangnya tidak rendah.
"Pangcu maksudkan siapa bapaknya ?" tanya Gouw Li Lit tibatiba.
"Aku tidak tahu apa bapaknya si anak kecil itu masih hidup
atau sudah mati. Sebab menurut Siong Leng Totiang, Kwee
Cu Gie yang menyaru jadi Liok Sinshe ada dua tahun yang
lampau sudah mati masuk jurang dibokong oleh Kim Popo."
menerangkan Soat-cian Ang.
"Lalu bagaimana pikiran Toako ?" tanya Ang Ban Ie.
"Kemarin dulu, aku ada kedatangan sobatku. dia itu ada Liu In
Ciang, yang kini terkenal dengan nama Liu Wangwee di desa
Kunhiang." menutur Soat-jian Ang. "Dalam omong-omong dia
menceritakan pengalamannya pada satu setengah tahun yang
lalu dia didatangi Sucoan Sam-sat........"
"Apa Pangcu bilang " Sucoan Sam-sat ?" memotong Gouw Li
Lit. Ia kaget rupanya. "Benar." sahut Soat-cain Ang. "Siapa tidak kenal dengan tiga
algojo dari Sucon itu. Rata-rata orang persilatan pernah
mendengar tentang mereka itu."
"Mereka datang ada urusan apa dengan Liu Wangwee ?"
menyela Ang Ban Ie. "Sucoan Sam-sat datang atas undangannya Tan Kong Ceng,
salah satu hartawan di Kunhiang. Entah ada urusan apa yang
menyebang Liu In Ciang dan Tan Kong Ceng bentrok hingga
hartawan Tan mengundang tiga algojo dari sucoan. Tapi yang
penting untuk kita adalah keterangan sobatku itu. Katanya
dalam pertempuran dengan Giam-ong Puy Teng, Liu In Ciang
dapat dirobohkan dengan mendapat luka parah, dua tulang
iganya patah. Anak gadisnya, Bwee Hiang, dalam putus
harapan hendak menebas kuntung lehernya, tiba-tiba
pedangnya terpental jatuh dari cekalannya karena benturan
batu kecil yang dilepas dari jurusan pohon, dari mana telah
turun melayang sesosok tubuh, ialah si kerudung
merah..........." "Siapa itu si kerudung merah ?" menyela beberapa hadirin
hampir berbareng. "Hahaha !" tertawa Soat-cian Ang. "Si kerudung merah adalah
bintang penolong dari sobatku itu. Dia bukan saja melabrak
Sucoan Sam-sat satu demi satu, malah belakangan disuruh
maju berbareng tapi mereka tidak ungkulan menghadapi si
kerudung merah. Lwekang dari tiga penjahat itu telah
dimusnahkan dan diancam apabila mereka tidak bisa rubah
adatnya dan belakangan hari ketemu lagi dengannya, si
kerudung merah akan mengambil jiwanya."
Sampai disini menutur, kelihatan Soat-cian Ang gembira, air
mukanya berseri-seri sambil elus-elus janggutnya. Atas
desakan hadirin ia menutur lagi, "Liu Wangwee diobati olehnya
sampai sembuh. Ketika ditanyai siapa adanya si kerudung
merah, selalu dia menyimpangkan pertanyaan hingga sobatku
tidak tahu siapa dia sebenarnya. Tapi yang terang, ilmu
silatnya luar biasa. Sekali gebrak, ia bikin lawannya mati kutu
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendeprok di tanah. Dia meninggalkan rumah sobatku,
menghibur supaya hartawan Liu jangan memikirkan lagi si tiga
algojo karena dia sudah musnahkan ilmu silatnya dan mereka
tidak berani datang lagi. Tapi perhitungan itu rupanya meleset
sebab Sucoan Sam-sat bukan merubah kelakuannya,
sebaliknya mereka minta pertolongan gurunya, Thie-tauw-eng
Ie Jie Lo (si Garuda Kepala Besi).
"Gurunya sendiri tidak sanggup memulihkan tenaga dalam
mereka. Untung ada supeknya, Hong-hwe-liong Siang Hong
Sin, dapat menolongnya meskipun perlahan-lahan. Sekarang
kepandaian mereka sudah pulih. Setelah mendapat petunjuk
dari guru dan supeknya, kabarnya Sucoan Sam-sat sudah
keluar lagi dari sarangnya mencari si kerudung merah. Tapi
sudah beberapa bulan dicari belum dapat dijumpai dimana
adanya si kerudung merah. Sahabatku, Liu In Ciang menjadi
gelisah. Karena tak dapat menemukan musuhnya maka
mereka akan datang pula ke Kunhiang untuk menghancurkan
keluarga Liu. Liu Wangwee sendiri tidak mohon pertolongan
apa-apa padaku, cuma aku sebagai sobatnya, mana dapat
tinggal peluk tangan menonton Liu In Ciang menghadapi
bahaya maut." Semua yang hadir tidak membuka suara apa-apa setelah
mendengar penuturannya san Pangcu sampai kemudian Hupangcu,
Ang Ban Ie yang memecahkan kesunyian. "Jadi
apakah kita akan ikut campur tangan dalam urusan Liu
Wangwee ?" Soat-cian Ang angguk-anggukkan kepala.
Kembali keadaan menjadi sunyi.
"Untuk menolong Liu Wangwee adalah wajar." kata Gouw Li
Lit. "Sebab Liu In Ciang ada sahabat Pangcu. Cuma saja,
bagaimana kita harus menghadapinya itu tiga algojo dari
Sucoan yang tersohor sangat ganas ?"
"Justru dalam hal ini aku datang kemari untuk berunding.
Bagaimana pikiran saudara-saudara sekalian ?" berkata Soatcian
Ang sambil perhatikan wajah hadirin satu demi satu. Ia
mengharap ada pikiran baik keluar dari salah satu
diantaranya. Mereka berunding, mencari jalan keluar.
Sementara itu soal si anak kecil sudah tidak disinggungsinggung
lagi oleh mereka. Apa lagi sang Pangcu tidak
menanyakan soalnya lebih jauh. Perhatian sekarang jauh
dipusatkan kepada soal mencari jalan untuk menolong Liu
Wangwee yang terancam bahaya.
Dimana si bocah mengumpat "
Kiranya ia mengumpat di bawah meja rapat yang ditutup
dengan kain merah. Enak saja ia diam-diam disitu mencuri
dengar apa yang dibicarakan oleh mereka. Kembali dalam
benak Lo In timbul pertanyaan : Siapakah dirinya " Anak
siapa, apakah Kwee Cu Gie benar ayahnya " Dimana ibunya "
Liok Sinshe dikatakan menyamar, diam diatas jurang Tonghong-
gay, apakah benar ia Kwee Cu Gie, kenapa dia tidak
omong bahwa dia adalah anaknya " Semua telah membikin
pusing kepalanya si bocah lagi.
Memikir dalam ruangan itu ia tidak mempunyai kepentingan
pula, maka diam-diam tanpa disadari oleh para hadirin yang
tengah memusatkan perhatiannya kepada urusan Liu
Wangwee, Lo In sudah bisa menyingkir dari ruangan itu.
Dengan menggunakan kepandaiannya meringankan tubuh,
tidak seorang pun dapat melihat ia berlalu kecuali
berkesiurnya angin disamping para penjaga. Sebentar lagi Lo
In sudah menghampiri burung raksasanya yang
menantikannya dengan penuh khawatir.
Mari kita lihat keadaan Eng Lian.
Sore itu Eng Lian naik garudanya sendirian, pesiar diatas
lembah. Ketika si rajawali melayang rendah, tiba-tiba burung
raksasa itu nampak berkelebatnya seekor kelinci. Otomatis ia
menyambar ke bawah, tapi sang korban sudah lari
bersembunyi diantara pohon bunga-bungaan.
Melihat banyak pohon kembang, Eng Lian sangat tertarik
hatinya. Ia tepuk-tepuk pundaknya si burung raksasa sambil
berkata, "Tiauw-heng, kau turun disini, aku nanti tangkapkan
kelinci untukmu." Si dara cilik dari tadi terpingkal-pingkal ketawai burungnya
yang gagal menyambar mangsanya. Ia ingin menolong
tangkapi si kelinci yang menyusup diantara pohon-pohon yang
merintangi si rajawali mementang sayapnya.
Si burung raksasa lantas mendarat. Eng Lian dengan gembira
lompat turun dari bebekong si rajawali kemudian ia lari
menyusup diantara pohon-pohon kembang. Lagaknya seperti
yang mengubar kelinci tapi sebenarnya ia hendak memetika
kembang-kembang yang harum semerbak memenuhi hidung.
Senang sekali Eng Lian berada diantara bunga-bunga.
Tangannya repot memetik sana sini, memilih bunga yang
bagus-bagus untuk dibawa pulang. "Sayang adik In tidak turut,
kalau tidak, oh, bagaimana gembiranya kita memetik kembang
yang harum mewangi ini." ia berkata-kata sendiri.
"Selamat bertemu lagi nona Lian........" tiba-tiba si dara cilik
mendengar orang berkata dari belakangnya hingga ia cepat
menoleh dengan kaget. Kiranya yang berkata-kata tadi adalah Ang Hoa Lobo, kenalan
lama yang Eng Lian sangat benci. Sambil cemberut, ia
menanya : "Nenek jahat mau apa ?"
"Hehehe !" si nenek ketawa kering. "Bagaimana kau bisa
katakan aku jahat ?"
"Memang kau jahat." sahut Eng Lian berani. "Kau sudah pukul
adik In sampai luka berat, kemudian kau hukum aku tidak
makan beberapa hari. Apa itu tidak jahat ?"
"Aku toh belum gebuk mati si bocah, belum hukum mati kamu,
masih belum terhitung jahat, bukan ?" bantah si Nenek
Kembang Merah seraya haha hihi ketawa.
"Hmm !" si dara cilik mendengus. Mendongkol dia mendengar
alasan si nenek. "Aku datang hendak menyambut kau, Eng Lian." kata si
nenek. "Menyambut aku ?" si nona cilik menanya heran. "Aku sudah
tidak ada hubungan lagi dengan kau, untuk apa kau
menyambut aku ?" "Hubungan kita masih ada. Sebegitu jauh, kau masih tetap
membandel tidak ajarkan menjinaki ular." sahut si nenek
ketawa. --12-- Si dara cilik geleng kepala.
"Aku tidak mau ajarkan kau." katanya.
"Kenapa ?" Ang Hoa Lobo menanya heran.
"Kalau kau sudah dapat menjinaki ular, nanti kau akan lebih
jahat lagi." sahut si dara cilik.
"Tidak, tidak. Aku berjanji akan menjadi orang baik, kalau kau
sudah ajarkan menjinaki ular." si nenek cepat menyahut.
"Soalnya ditempatku Coa-kok (Lembah Ular) disana ada
banyak kawanan ular, aku mau bikin kawanan ular itu takluk
padaku, lain tidak."
Si nona kerutkan alisnya yang lentik, ia berpikir rupanya.
"Nona Lian, aku hanya minta kau ajari aku. Setelah mana aku
tak akan mengganggu lagi kau." Ang Hoa Lobo berjanji.
Kembali si nona tidak menjawab. Ia berpikir, memang paling
baik kalau si nenek tidak datang mengganggu ia dan Lo In
punya ketentraman. Apalagi si nenek berjanji akan menjadi
orang baik. Tidak ada salahnya kalau ia mengajari si nenek
menjinaki ular. Setelah mengambil keputusan, ia berkata,
"Baiklah, mari ikut aku."
Si nona berkata seraya geraki kakinya hendak berlalu dari situ,
menghampiri si rajawali yang menunggu jauh di sana.
Ang Hoa Lobo sudah tentu saja tidak bersedia mengikuti si
nona karena disana ada si rajawali yang kalau melihat dia
dengan Siauw Cu Leng akan beringas dan mengajak
bertempur. Maka itu ia lalu berkata, "Nona Lian, sebaiknya kita
jangan ke rumahmu. Kau ikut aku saja ke Coa-kok."
Si nona putar tubuhnya. "Mana bisa begitu, adik In sedang
menunggui aku." sahutnya seraya lari hendak lari
meninggalkan Ang Hoa Lobo.
Lari belum jauh, tiba-tiba ia dicegat oleh Siauw Cu Leng.
"Hahaha ! Dara cilik, kau mau lari kemana ?" bentaknya kasar.
"Kakek jahat, kau jangan merintangi aku !" semprot Eng Lian.
Si nona coba hindarkan sambaran tangan Siauw Cu Leng, tapi
ia ada satu gadis cilik yang baru saja belajar silat. Mana dapat
ia lolos dari si Iblis Alis Buntung yang kasar dan kejam. Maka
sambaran tangan yang kedua kali sudah dapat menangkap
pergelanagan tangan si nona cilik hingga ia menjerit karena
pegangan si Iblis Alis Buntung seperti jepitan besi rasanya.
Si dara cilik berontak-rontak tidak menolong.
"Eng Lian sebaiknya jangan kau menolak undangan kami. Hei,
Cu Leng, jangan kau kurang ajar pada guru cilik kita !" kata
Ang Hoa Lobo melihat Toan-bi Lo-mo memencet tangan si
nona kecil dengan keras hingga menjerit kesakitan.
Siauw Cu Leng menurut. Ia longgarkan pegangannya.
Si rajawali yang menunggu majikannya jauh dari situ,
bukannya tidak mendengar jeritan nonanya. Ia hanya
mengebas-ngebaskan sayapnya saja. Untuk terbang masuk
ke tempatnya Eng Lian tak dapat ia lakukan karena banyak
rintangan cabang pohon untuk sayapnya bebas bergerak.
Tidak heran, ia kelihatan sangat gelisah sebab suara jeritan
Eng Lian itu ada satu tanda si dara cilik dalam bahaya.
Setelah lama ia nantikan nonanya belum kelihatan muncul,
maka terpaksa ia pulang untuk memberitahukan pada Lo In. Di
lain pihak, Eng Lian sudah kena ditotok oleh Siauw Cu Leng
dan dibawa pergi dari situ.
Belum berapa tindak mereka berlalu, telah berjumpa dengan
Cin Lian Hin dan enam kawannya. Ang Hoa Lobo berkata
pada Cin Lian Hin, "Ini ada cara yang kebetulan. Tak usah
kalian memancing lagi si bocah keluar dari sarangnya, kalian
tunggu saja disini. Pasti si bocah akan datang kemari untuk
mencari temannya." Cin Lian Hin sangat kegirangan. Pikiranya memang hal itu
sangat baik, tidak berabe lagi harus memancing Lo In keluar
dari sarangnya yang banyak teman kawanan kera.
Sementara itu, atas perintah si nenek, Siauw Cu Leng sudah
tangkap seekor kelinci, ia potong dan daranya dibikin
berceceran dari mulai pohon kembang di mana Eng Lian
berdiri sampai sejauh bisa darah sang kelinci dapat
dikucurkan. Jadi darah yang berceceran yang Lo In jumpai itu bukannya
darah Eng Lian tapi darahnya sang kelinci liar yang nasibnya
lagi sial ketemu Siauw Cu Leng.
Ang Hoa Lobo senang dapatkan Eng Lian. Ia bawa ke
sarangnya, Coa-kok yang sukar didatangi orang karena di
lembah itu kesohor banyak ularnya.
Di sana Eng Lian dibujuk lagi oleh Ang Hoa Lobo, dijanjikan ia
akan dibebaskan dan diantarkan kepada Lo In kalau ia sudah
turunkan ajaran menakluki kawanan ular. SI dara cilik dapat
dibujuk, tanpa banyak pikir ia lantas berikan pelajaran pada
Ang Hoa Lobo. Hatinya sudah kepingin buru-buru ketemu Lo
In lagi. Ia kuatirkan putus asa mencari dirinya yang diculik oleh
si Nenek Kembang Merah. Kalau ia sudah menurukan
pelajaran menakluki ular kepada Ang Hoa Lobo, pikirnya, ia
akan mendapat kebebasannya dan segera dapat pulang ke
rumahnya bertemu pula dengan adiknya.
Dasar anak kecil, masih belum tahu kecurangannya manusia.
Eng Lian kena dikibuli Ang Hoa Lobo sebab setelah si nenek
dapat ilmu menakluki ular bukan saja kebebasannya si dara
cilik tidak diberikan, malah Eng Lian dipakai alat untuk
keuntungannya Ang Hoa Lobo dan gula-gulanya (Siauw Cu
Leng). "Popo." kata Eng Lian pada suatu hari. Ia sekarang memanggil
popo atas usul si nenek sebab katanya diantara mereka tidak
ada permusuhan dan malah dengan panggilan yang halus itu,
kedengarannya lebih mesra dan lebih dekat hubungan
keluarga. "Aku sudah turunkan pelajaran menakluki ular,
kapan aku dibebaskan dan ketemu lagi denan adik In " Dia
tentu sudah menunggu-nunggu aku dengan tidak sabaran."
Ang Hoa Lobo tertawa ramah. Katanya, "Oh, besok ada hari
baik. Tanggal 7 bulan 7, aku akan antarkan kau kembali ke
rumahmu dan ketemu lagi dengan Lo In."
Eng Lian senang mendapat jawaban itu. Ia menubruk Ang Hoa
Lobo, memeluk dengan mesra, katanya berbisik, "Popo, kau
sangat baik......." Si nenek mengelus-elus rambut kepalanya Lian.
"Anak Lian," katanya, "Besok ada hari berpisahan kita. Maka
sebentar malam sebaiknya aku mengadakan sedikit
perjamuan untuk memberi selamat jalan padamu. Sebab
belum tahu kapan kia bisa ketemu lagi."
"Oh, tidak Popo. Nanti aku dengan adik In akan menyambangi
kau disini. Jangna lupa, kalau adik In kemari, kau mau juga
akan memberi obat pemunah pada mukanya adik In yang
hitam supaya ia dapat kembali pada wajahnya yang asli."
demikian si dara cilik nyerocos, tampaknya ia sangat manja.
Ang Hoa Lobo mendengar kata-kata Eng Lian anggukanggukkan
kepalanya. "Tentu, itu jangan kau minta juga aku
akan sembuhkan muka anak In." sahutnya ramah.
Hatinya si dara cilik makin girang.
Pada malamnya lantas diadakan perjamuan sederhana.
Eng Lian yang tidak biasa minum arak, ia hanya disuguhi teh
saja. Teh yang wangi dan menyegarkan badannya. Maka ia
beberapa kali meneguk isi cangkir yang saban kali disilahkan
minum oleh Ang Hoa Lobo. Si nenek dan Siauw Cu Leng dengan gembira menemani
pesta perpisahan itu. Setelah beberapa cangkir teh masuk dalam perutnya Eng
Lian, si dara cilik tiba-tiba menguap beberapa kali lantas
bangkit dari duduknya sambil berkata, "Aku sudah ngantuk,
biarlah aku tidur lebih dahulu........."
Baru saja ia mengucapkan 'dahulu........' lantas roboh terkulai,
dengkulnya dirasakan lemas. Lantas saja ia tidur di lantai, lupa
akan keadaan disekitarnya.
"Hehehe !" terdengar Ang Hoa Lobo ketawa seram.
"Hebat obatmu, cici !" memuji si Iblis Alis Buntung.
"Ini baru tidur saja. Sebentar kalau dia sudah siuman, kau
boleh lihat bagaimana pengaruh obatku yang kuberikan
padanya. He he he......" si nenek berkata sangat bangga
tampaknya. Eng Lian diantapkan saja tidur di lantai, sementara Ang Hoa
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lobo teruskan makan minumnya bersama Siauw Cu Leng
dengan gembira. Kira-kira 1 jam sudah berlalu, tampak si gadis cilik mulai
mendusin. Eng Lian kucak-kucak matanya kemudian bangkit dari
rebahnya. Matanya yang jeli halus kini berubah jadi beringas
seperti kerasukan setan. "Hi...hi....hi...........hihihi.........!" tiba-tiba Eng Lian ketawa
menyeramkan. "Bagaimana ?" Ang Hoa Lobo tanya Siauw Cu Leng yang saat
itu jadi bengong melihat kelakuan Eng Lian.
"Begini !" sahut si Iblis Alis Buntung seraya mengacungkan
jempolnya. Beringas sikapnya Eng Lian, menakutkan. Matanya terus
mengawasi Ang Hoa Lobo, tapi yang diawasi tinggal tenangtenang
saja, malah ketawa ramah.
Tiba-tiba........ Eng Lian berteriak keras, lalu menubruk si
nenek. Kedua tangannya diangkat hendak mencengkeram
muka si nenek. Tapi dengan mudah kedua tangan si dara cilik
dipegangnya, lalu berkata, "Eng Lian, jangan kurang ajar
kepada suhu. Lekas berlutut !"
Sungguh mengherankan. Kata-kata Ang Hoa Lobo diturut
dengan serentak. Eng Lian jatuhkan dirinya berlutut, sambil
mengucap 'Suhu'. Toan Bi Lo-mo Siauw Cu Leng hanya mendengar dari Ang
Hoa Lobo bahwa 'istrinya' itu mempunyai satu kepandaian
mengherankan. Ia belum mau percaya sebab kalau belum
melihat buktinya. Sekarang dengan mata kepala sendiri ia
menyaksikan kepandaian istimewa dari Ang Hoa Lobo. Diamdiam
bulu tengkuknya dirasakan pada berdiri, seram, makin
takut ia pada si nenek. "Cu Leng." si nenek berkata pada si Iblis Alis Buntung yang
saat itu kelihatan duduk termangu-mangu. "Inilah kepandaian
yang diwariskan oleh suhuku, Lambay Mo Lie kepadaku,
murid tunggalnya. Obat itu dinamai 'Cian jit su su hun' (Obat
bubuk mematikan ingatan seribu hari). Siapa yang minum
akan membuat lupa siapa dirinya dan kejadian-kejadian yang
lampau, dia hanya mempunyai ingatan ada punya suhu,
kepada siapa dia harus setia dan menurut segala perintahnya.
"Sekarang bagaimana kita harus berbuat atas dirinya ?" tanya
Siauw Cu Leng. "Eng Lian ada punya sepasang ular kecil." kata si nenek.
"Warnanya kekuning-kuningan seperti emas. Ditaruh dalam
sebuh bumbung mungil yang dia bawa-bawa dibadannya.
Kalau aku tanya kenapa sepasang ular itu tidak dia lepas,
katanya untuk menjaga dirinya. Dia ada seorang lemah, tidak
pandai silat. Kalau ada orang hendak berbuat jahat padanya,
dia dapat melepaskan ularnya untuk menggigit. Siapa yang
kena digigit oleh ular emasnya itu akan keracunan dan dalam
tempo setengah jam, kalau tak mendapat obat pemusnahnya
bakal mati dan tubuhnya lumer menjadi air tanpa bekas.........'
"Ah, sampai begitu hebatnya ?" menyela Siauw Cu Leng,
ketakutan dia. "Itu aku belum buktikan sendiri. Mungkin omongannya tidak
salah. Katanya sepasang ular itu adalah pemberian ayahnya
dengan pesan kalau tidak keliwat terpaksa jangan dilepaskan
untuk membunuh orang. Makanya sampai sebegitu jauh dia
simpan saja sepasang ular emas itu dalam bumbung di
badannya. "Aku tidak melihat dia kasih makan ularnya." kata Siauw Cu
Leng. "Sepasang ular itu bisa tiga bulan berturut-turut tidak makan."
menerangkan Ang Hoa Lobo. "Ini aku tahu dari Eng Lia.
Makanannya apa, aku sendiri tidak tahu sebab si Lian tidak
mau mengatakan padaku."
"Kalau sepasang ular itu begitu jahat, paling baik kita rampas
saja dari padanya, kita bunuh mati. Jadi tidak membahayakan
kita." usul Siauw Cu Leng.
"Jangan, jangan." sahut Ang Hoa Lobo seraya goyang-goyang
tangan. "Mati atau hidup sepasang ular itu bagi kita tidak
penting." "Kalau begitu, bagaimana kalau kita takluki dia dan dijadikan
alat untuk kita. " usul Siauw Cu Leng bernapsu.
"Tidak bisa." sahut si nenek. "Sepasang ular itu tak dapat
ditakluki oleh kita kecuali oleh Eng Lian yang menjadi
majikannya. Juga tidak akan membahayakan pada kita karena
dalam keadaan tidak sadar, Eng Lian tentu akan menjadi alat
kita yang dapat kita gunakan untuk membunuh musuh-musuh
kita. Ini bukannya baik ?"
Siauw Cu Leng ketawa nyengir.
"Eng Lian selain punya senjata ampuh itu, juga punya senjata
lainnya yang tidak kurang ampuhnya." menerangkan Ang Hoa
Lobo. "Senjata apa, cici ?" tanya Siauw Cu Leng.
"Setelah makan obatku, pikirannya menjadi linglung, gigitan
giginya akan membuat orang yang digigitnya akan kepanasan
seperti dibakar jantungnya dalam tempo lima menit setelah
mana si korban akan sembuh kembali tapi ingatannya lantas
berubah dan tunduk kepada Eng Lian, dapat diperintah
sesukanya Eng Lian....."
"Ah, cici....... aku takut ! Kalau orang yang digigit Egn Lian itu
dapat diperintah Eng Lian. Bagaimana kalau Eng Lian perintah
orang menghajar kita ?"
"Tua bangka tolol !" jengek si nenek ketawa. "Mana bisa Eng
Lian suruh hajar kita sebab Eng Lian ada di bawah pengaruh
kita." Siauw Cu Leng membungkam.
Sementara itu, Eng Lian tinggal berlutut di depan Ang Hoa
Lobo bagaikan patung. "Sekarang Eng Lian sudah tidak ingat lagi akan dirinya. Perlu
dia mendapat pelayan-pelayan untuk melayaninya. Sebab
mana aku yang menjadi suhunya melayani dia mandi, makan,
temani kongkow segala. Dia harus mempunyai banyak
pelayan." Ang Hoa Lobo utarakan pikirannya.
"Habis, dari mana kita cari pelayan begitu banyak ?" tanya
Siauw Cu Leng, garuk-garuk kepala.
"Culik. Kenapa kau tidak bisa culik anak gadis orang ?" bentak
si nenek. Si Iblis Alis Buntung ketawa nyengir. Memang jalan yang
paling mudah untuk mendapati pelayan-pelayan Eng Lian
harus menculik gadis-gadis orang.
Demikian, dengan menggunakan kepandaiannya yang tinggi,
Ang Hoa Lobo dan Siauw Cu Leng dalam beberapa hari saja
sudah dapat menculik banyak gadis-gadis dan anak lelaki
yang berusia tanggung sebaya dengan Eng Lian. Semuanya
dicekoki obat oleh Ang Hoa Lobo supaya ingatannya masingmasing
lenyap. Apa yang dipikirkan mereka hanya punya 1
suhu (guru) pada siapa haru setia dan menurut segala
perintahnya. Yang mereka anggap suhunya adalah Eng Lian,
bukannya Ang Hoa Lobo sebab si nenek sudah menjadi
suhunya Eng Lian. Tegasnya Ang Hoa Lobo menjadi sucow
(kakek guru) dari itu sekian banyak wanita dan pria tanggung.
Senang bukan main hatinya Ang Hoa Lobo melihat muridnya
Eng Lian dan cucu muridnya demikian banyak. Tentu saja ada
meminta biaya besar untuk mengongkosi mereka. Dari mana
di dapat biaya untuk itu " Gampang. Suruh saja si Iblis Alis
Buntung mencuri atau membegal, maka biaya didapatkan
dengan mudahnya. Dalam sedikit tempo saja, Eng Lian berubah menjadi ratu
tanpa mahkota. Semua dayang-dayang yang menjadi pengiringnya
berseragam sutra putih yang tipis, pakai ikat kepala juga dari
sutra putih tertaneap sekuntum bunga dari sutra merah.
Sebaliknya, pria pakaiannya dari sutra kuning menyolok, ikat
kepalanya juga dari sutra kuning, tertancap sekuntum bunga
dari sutra merah seperti para wanita.
Ang Hoa Lobo namakan prajuritnya ini Ang Hoa Kun atau
Pasukan Kembang Merah, simbol (tanda) yang si nenek paling
suka. Eng Lian berpakaian sutra tipis kuning keemas-emasan,
lapisnya dari sutra warna dadu sangat tipis hingga tubuhnya
yang halus putih berbayang. Ikat kepalanya dari sutra putih
dengan burung-burungan tengah mematuk setangkai bunga
merah. Kalau kepalanya Eng Lian bergerak, burung-burungan
itu angguk-anggukan karena dipasangi per. Indah sekali dan
menarik perhatian. Para dayang, kecuali sutra tipis warna putih yang merupakan
pakaian luar, di bagian dalam tubuhnya dibungkus oleh sutra
biru ekstra tipis yang ketat hingga tubuhnya yang putih seperti
tercetak, menggiurkan, merangsang napsu lelaki yang
gampang goyah imannya. Sungguh jempol Ang Hoa Lobo
menciptakan mode pakaian yang merangsang napsu birahi.
Rupanya si nenek sudah mempunyai tujuan tertentu
menciptakan mode pakaian istimewa ini, yang membuat Siauw
Cu Leng bengong dan telan ludah.
Ang Hoa Lobo diam-diam bukannya tidak tahu Siauw Cu Leng
yang ceriwis mengiler sampai telan ludah untuk 'cicipi' salah
satu bidadari bikinan itu. Tapi ia pura-pura tidak tahu. Ia mau
kasih hajar pada suami diluar kawin itu supaya kapok atas
perbuatannya yang nyeleweng.
Begitulah telah terjadi. Sore itu Siauw Cu Leng berusaha
pulang dari bepergiannya. Ia dapatkan Ang Hoa Lobo dan Eng
Lian tidak ada ditempatnya. Ia mencari-cari tak terdapat di
sekitar rumah. Diam-diam ia sudah dekati salah satu
dayangnya Eng Lian yang bernama Cui Sian yang waktu itu
sudah benahi pakaiannya Eng Lian yang habis tukaran. Cui
Sian ketawa-ketawa diajak ngobrol oleh Siauw Cu Leng.
Sudah tentu ketawanya tidak wajar, linglung, tak tahu dimana
dirinya berada. Memandang tubuhnya Cui Sian yang seperti tercetak dibalik
pakaiannya yang gerombongan tipis, bukan main ngilernya si
ceriwis Siauw Cu Leng. Pikirnya ini ada ketika baik, kenapa
dia tak mau gunakan " Apalagi melihat keadaannya Cui Sian
seperti yang hilang ingatannya, apa ia bisa bikin kalau dia
perkosa atas dirinya " Napsu birahinya timbul dengan
serentak, tak dapat ia mengendalikannya.
Ia maju lebih dekat, menyambar tangan orang yang putih
halus. Cui Sian hanya tertawa haha hihi seraya berontakberontak
melepaskan tangannya dari cekalan Siauw Cu Leng.
"Cui Sian, mari kita main." berkata Siauw Cu Leng berbareng
ia memeluk dan mencium pipi Cui Sian. Beradunya tubuh yang
hangat membuat Siauw Cu Leng seperti kalap. Ia pondong si
nona hendak dikerjai di atas pembaringan tapi........'Aiyoo !'.
Sekonyong-konyong Siauw Cu Leng berjengkit, serentak ia
melepaskan pondongannya dan tubuhnya Cui Sian terbanting
di lantai. "Hihihihi........." si nona ketawa seraya lari keluar dari
kamar Eng Lian. Kenapa Siauw Cu Leng " Itu hasil dari pekerjaan yang tidak
sopan. Ia memondong Cui Sian dengan maksud keji tapi
sebelum napsu jahatnya kesampaian, lengannya sudah kena
digigit oleh Cui Sian. Bekas gigitan sakit bukan main sehingga
mengeluarkan teriakan 'Aiyoo !' dan lepaskan tubuh si nona
dari pondongannya. Seketika itu ia terkulai roboh, hawa panas
dirasakan meluap ke jantungnya seperti dibakar. Ia menjeritjerit
beberapa kali kemudian tenang lagi dan dapat berdiri pula
sebagaimana biasa, hanya.... ingatannya hilang. Keadaannya
tidak beda seperti korban-korban lainnya yang kena dicekoki
obatnya Ang Hoa Lobo. Siauw Cu Leng tidak sadar dimana dirinya berada. Perlahanlahan
ia jalan dan berkumpul dengan golongan pria dari Ang
Hoa Kun. Korban dari obatnya Ang Hoa Lobo yang istimewa memang
benar hilang ingatannya, tidak ingat lagi keadaan dirinya
siapa. Tapi dapat diajak ngobrol, bersenda gurau, ketawaketawa
apabila yang diobrolkan dapat mengitik urat ketawa
seperti juga keadaannya ada normal. Dia tidak akan digigit
kalau salah satu dari 3 bagian dari anggautanya tidak
kesentuh. Tiga bagian anggauta penting itu adalah jidat, buah
dada dan perut. Kalau salah satu bagian ini kena kesentuh, kontan si korban
akan sadar bahwa dirinya dalam bahaya. Lantas saja
menggigit macam anjing gila menularkan racun. Giginya
nancap pada bagian daging yang digigit, menimbulkan hawa
panas nyelusup ke jantung seperti dibakar tapi hanya
sebentaran. Kemudian si korban gigitan normal lagi cuma saja
penyakit hilang ingatannya menular dan ia keadaannya akan
seperti yang menggigitnya.
Tiada seorang pun yang dapat tahu rahasia tiga bagian
anggauta yang tak dapat disentuh ini kecuali Ang Hoa Lobo
yang mewarisi ilmu sakti dari Lamhay Mo Lie.
Buah dadanya Cui San yang bulat menonjol membikin napsu
iblisnya Siauw Cu Leng melonjak, tak dapat ia melewatkan
kesempatan baik pikirnya. Diwaktu memondong Cui Sian ia
sudah mencium buah dada si nona dan.... karena sentuhan
mulut pada buah dada menyebabkan Cui Sian sadar akan
bahaya mengancam dirinya, otomatis seketika itu ia menggigit
lengannya si ceriwis sehingga menjerit kesakitan.
"Hehehe........." tertawa Ang Hoa Lobo ketika ia pulang melihat
keadaannya Siauw Cu Leng yang jadi hilang ingatannya. Ia
tidak mengenali istrinya, hanya ia memberi hormat pada Eng
Lian seperti kawan-kawannya yang lain. "Inilah ada satu
hukuman bagi orang yang menyeleweng. Cu Leng, Cu Leng,
sampai kapan tabiatmu yang buruk itu bisa dibuang "
Hehehe........" Siauw Cu Leng seperti tidak mendengar kata-kata Ang Hoa
Lobo, ia diam saja. Si nenek lalu membisiki kupingnya Eng Lian, segera ia
berkata, "Siapa diantara kalian yang diganggu oleh Yaya "
Maju ke depan !" Saat itu Eng Lian sudah duduk diatas kursi kebesarannya,
didampingi oleh Ang Hoa Lobo dan dikitari oleh dayangdayangnya
yang cantik-cantik. Eng Lian berkata pada dayangdayangnya
yang berkumpul disitu. Tanpa Eng Lian mengucapkan kedua kalinya, segera tampak
satu dara muncul tampil ke depan ialah Cui Sian. Ia ini berlutut
di depan Eng Lian. Ang Hoa Lobo perhatikan pakaian Cui
Sian, ternyata ada yang sobek pada bagian buah dadanya.
Si nenek manggut-manggut melihat itu. Ia sudah lantas
menduga sobeknya baju si nona pada bagian buah dadanya
adalah kerjaan tangan nakal dari Siauw Cu Leng.
Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah hilang ingatannya, Eng Lian merubah panggilannya
kecuali pada si Nenek Kembang Merah sudah ia panggil Popo
(nenek), kepada Siauw Cu Leng ia panggil Yaya (kakek atau
engkong) yang biasanya si dara cilik panggil si nenek dan si
kakek jahat. "Cu Leng, atas kelakuanmu yang ceriwis, aku hukum kau
untuk beberapa lamanya menjadi anggauta Ang-hoa kun !"
berkata si nenek. Siauw Cu Leng tinggal membisu saja. Ang Hoa Lobo lupa
bahwa Siauw Cu Leng tak dapa menangkap omongannya
kecuali omongan itu keluar dari mulutnya Eng Lian sebab Eng
Lianlah dalam benaknya ada ia punya suhu.
Kapan Ang Hoa Lobo ingat akan keadaan itu, maka ia suruh
Eng Lian yang bicara pada Siauw Cu Leng dan sekarang si
kakek ceriwis kelihatan pucat mukanya, ia maju ke depan dan
jatuhkan diri berlutut di depan Eng Lian sambil manggutmanggut
dia berkata, "Hamba terima salah, mohon Siancu
punya belas kasihan."
Lucu kelakuan Siauw Cu Leng hingga Ang Hoa Lobo yang
melihatnya tertawa terpingkal-pingkal. Setelah mana, tiba-tiba
hatinya merasa menyesal. Pikirnya jelek, Siauw Cu Leng ada
lakinya dan teman diajak berunding. Kalau sekarang ia
ditinggal begitu, hilang ingatannya, dengan siapa dia dapat
bicara untuk mendamaikan cita-citanya lebih jauh. Lantaran
berpikir demikian, maka si nenek terpaksa mengembalikan
pula ingatannya si kakek ceriwis, dikasih obat pemunahnya.
Obat itu diaduk dengan air teh dalam sebuah mangkok, di
depan siapa ia berkata, "Nah, kau minumlah ini !"
Siauw Cu Leng yang masih tetap berlutut tidak meladeni
perintah Ang Hoa Lobo, hanya matanya saja mengawasi si
nenek. Ang Hoa Lobo heran, tapi segera pikiran terangnya
berkelebat. "Ah, dasar sudha jadi nenek, pelupa. Kenapa aku
berbuat begini." ia berkata-kata sendirian sambil jalan
menghampiri Eng Lian. "Anak Lian, kau suruh orangmu untuk kasih mangkok obat ini
pada yayamu supaya diminum isinya." Ang Hoa Lobo kata
pada Eng Lian seraya menyodorkan mangkok obat pada si
dara cilik yang lantas menyambuti kemudian diserahkan pada
salah satu dayangnya untuk melakukan perintahnya Ang Hoa
Lobo. Kiranya si nenek kembali lupa bahwa anggauta-anggautanya
Ang-hoa-kun hanya tunduk perintah Siancu (dewi) yang
dianggap suhunya, lain orang jangan harap dapat memerintah
meskipun Ang Hoa Lobo yang menjadi Sucownya (kakek
guru). Mendengar perintah Siancu, maka Siauw Cu Leng tanpa raguragu
sudah lenyap terima mangkok yang disodorkan padanya
dan minum habis isinya. Sebentar lagi tampak ia menguap
beberapa kali, lalu roboh dilantai dan tidur pulas sampai
mengorok. Sementara itu Eng Lian sudah suruh Cui Sian bangun dari
berlututnya dan disuruh tukar pakaiannya yang sobek. Cui
Sian menurut lalu meninggalkan ruangan itu.
Eng Lian ada memelihar sepasang ular kecil, warnanya
keemas-emasa yang disimpan dalam sebuah bumbung kecil
mungil, entah dari dahan apa bumbung itu dibuat, bobotnya
enteng dan licin mengkilat. Sepasang ular itu panjangnya
masing-masing hanya tiga cun (dim), gesit luar biasa. Kalau
bumbung ditekan terbuka maka mereka segera mencelat
keluar dan menyambar pada korbannya untuk menggigit.
Racunnya sangat jahat karena korbannya dalam tempo
setengah jam akan mati dan badannya lumer menjadi air
tanpa meninggalkan bekas, kalau tidak keburu dapat obat
pemusnahnya. Eng Lian tadinya tidak percaya demikian jahat bisa ular
emasnya itu. Tapi setelah menyaksikan sendiri, ia meleletkan
lidahnya. Itulah ia lihat pada waktu sepasang ular itu hendak
diwariskan padanya oleh sang ayah. Maksudnya untuk
menjaga dirinya. Pada saat itu telah dicoba sang ular disuruh
menggigit ular besar yang panjangnya satu meter. Benar saja
ular besar itu mati setelah kena digigit setengah jam lamanya,
bangkainya lumer menjadi air.
Sang ayah memesan kalau tidak sangat perlu, senjata ampuh
itu jangan dikeluarkan karena akibatnya sangat mengerikan.
Kepada Lo In ia masih belum mau ceritakan ia ada
mempunyai senjata ampuh itu. Takut Lo In nanti melarang ia
membawa-bawanya, sedang ia sangat sayang pada sepasang
ular itu, seakan-akan jimatnya.
Berdasarkan sepasang ular emas itu dan kebetulan Coa-kok
(Lembah ular) ada menjadi tempat kediamannya, maka Ang
Hoa Lobo telah memberi gelaran kepada Eng Lian, Kim Coa
Siancu atau Dewi Ular Emas. Memang gelaran ini sangat tepat
untuk Eng Lian karena si dara cilik adalah penakluk ular. Untuk
membikin si dara cilik lebih ditakuti lagi namanya, disamping
sudah punya kepandaian menakluki ular dan sepasang
senjata ampuhnya ular emas, Ang Hoa Lobo dengan tidak
mengenal capek, siang malam dia didik Eng Lian dengan ilmu
silat, rahasia ilmu pedang dan pukulan tangan kosong yang
hebat diturunkan semua pada si dara cilik hingga dalam tempo
pendek Eng Lian sudah berubah dirinya dari gadis cilik yang
lemah gemulai menjadi gadis cilik yang gesit dan tangkas.
Tinggal menggembleng lwekangnya (tenaga dalam) saja,
setelah mana Eng Lian dapat digolongkan sebagai jago kelas
satu. Setelah siuman kembali, Siauw Cu Leng nampak dirinya tidur
menggeletak di atas lantai, ia lantas ingat akan kesalahannya.
Ia jadi ketakutan pada Ang Hoa Lobo.
"Orang she Siauw." kata si nenek, setelah tertawa terkekehkekeh.
"Masih ada nyali untuk berbuat yang bukan-bukan lagi
nanti " Kali ini aku mau ampunkan selembar jiwamu tapi lain
kali, hmm !" Siauw Cu Leng malu, tidak berani ia angkat kepala. Ia masih
tinggal duduk dilantai, kalau tidak Ang Hoa Lobo membentak,
katanya, "Lekas bangun, atur pekerjaanmu sebagaimana
biasa !" Siauw Cu Leng dengan roman lesu dan malu telah
meninggalkan ruangan itu untuk berkumpul dengan 'Pasukan
Kembang Merah' di lapangan latihan dimana ia biasa
mengajar ilmu silat kepada mereka.
Ang-hoa-kun bagian pria, mendapat didikan dari Siauw Cu
Leng sedang buat bagian wanitanya dididik sendiri oleh Ang
Hoa Lobo. Ketika hari pertama mendidik anak buahnya, si
nenek pernah berkata pada Siauw Cu Leng. "Kita masingTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
masing mendidik orang-orang muda yang berbakat. Sampai
dimana kepandaian mereka, kita tidak tahu. Tapi satu waktu
nanti aku akan mengadakan pertemuan umum, dimana muridmuridmu
akan dihadapkan dengan murid-muridku. Lihatlah
siapa yang lebih jempol mendidiknya !"
Karena sudah ada kata-kata demikian dari Ang Hoa Lobo,
maka Siauw Cu Leng tidak berani alpakan kewajibannya dan
mendidik orang-orangnya dengan sungguh-sungguh. Maka
tidak heran kalau dalam sedikit waktu orang-orangnya menjadi
pandai silat juga walau belum boleh dikatakan masuk kelas
satu. Kata-kata Ang Hoa Lobo pada Siauw Cu Leng hanya sebagai
anjuran pada si kakek ceriwis. Sebab umumnya anak murid
Ang Hoa Lobo ada lebih tinggi ilmu silatnya karena dididik oleh
orang yang pandai seperti Ang Hoa Lobo. Kepandaian Siauw
Cu Leng kalah jauh dengan si nenek, apa lagi lwekang Ang
Hoa Lobo ada sangat tinggi.
Tidak sembarangan Ang Hoa Lobo maupun Siauw Cu Leng
menculik anak-anak tanggung pria dan wanita. Mereka
memilih hanya mereka yang dinilai berbakat untuk mendapat
didikan ilmu silat, barulah diculik dibawa ke Coa-kok.
Tidak heran kalau ada beberapa anak jago-jago silat
kenamaan yang hilang lenyap diculik Ang Hoa Lobo atau
Siauw Cu Leng sehingga orang tuanya menjadi gelagapan
mencarinya. Adanya penculikan-penculikan itu telah menghebohkan
kalangan Kangouw. Jago-jago silat bergerak dengan serentak untuk mencari
jejaknya si penculik. Sebenarnya perbuatan-perbuatan menculik dari kedua iblis itu
susah dicari jejaknya kalau tidak si nenek yang 'sok' dengan
kepopuleran nama. Pada belakangan ini, ia setelah menculik
anak orang telah meninggalkan nama Kim Coa Siancu. Malah
yang paling menghebohkan adalah kejadian dirumahnya Hekhouw
Ma Liong, guru silat kenamaan di kota Lengkoan,
Hokkian, dimana Ang Hoa Lobo membuat huru hara.
Sudah beberapa hari memang Ang Hoa Lobo ada tinggal di
kota Lengkoan untuk mencari gadis-gadis yang berbakat untuk
menjadi pelayannya Eng Lian. Ia ada mengincar pada Ma Sian
Bwee ialah gadisnya Hek-houw Ma Liong yang usianya hampir
sebaya dengan Eng Lian. Sian Bwee tubuhnya kecil, gesit dan
cerdik rupanya. Maka Ang Hoa Lobo sangat ketarik padanya.
Untuk terangkan meminta langsung pada orang tuanya, sudah
tentu tidak mungkin. Maka ia gunakan jalan sebagaimana
biasa menculik anak orang dengan menggunakan obat pulas,
tidak ada yang merintanginya. Tapi sekali ini perhitungan Ang
Hoa Lobo meleset. Ma Liong bukan sembarangan guru silat, ia
memang jago, murid kepala dari Siang-tauw-niauw Kam Eng
Kim, Si Burung Kepala Dua yang terkenal dalam kalangan
jago-jago silat propinsi Hokkian.
Malam itu Ma Liong sedang berlatih dengan tiga orang
muridnya, Mak Kian anaknya sendiri, Gouw Liu Pa dan Hoan
Tek Huy. Tempat berlatih letaknya di pekarangan belakang
rumah, cukup lebar hingga mereka berlatih dengan penuh
semangat. Cuaca malam itu tidak menentu, kadang-kadang terang dan
kadang-kadang gelap disebabkan sang awan yang menutupi
bulan muda baru nongol. Hek-houw Ma Liong yang tengah
memberi petunjuk-petunjuk pada murid-muridnya, tiba-tiba
bungkam mulutnya sambil matanya mengawasi ke jurusan
loteng rumahnya. Sekilas ia merasa seperti melihat ada
mencelat ke sana sesosok bayangan gesit luar biasa, sebentar
saja sudah lenyap. Hatinya merasa tidak enak sebab diloteng sana ada tidur ia
punya anak gadis, Sian Bwee, hanya ditemani oleh seorang
pelayannya. Hek-houw Ma Liong menduga bayangan itu
mungkin ada Cay-hoa-cat (maling tukang petik bunga), hatinya
makin tidak enak akan keselamatan anak gadisnya.
"Kalian teruskan berlatih, aku ada urusan sebentar." ia berkata
tiba-tiba kepada ketiga muridnya berbareng ia sudah gerakkan
badannya melesat ke bawah loteng, dari mana ia enjot
tubuhnya untuk terus hinggap diatas melalui langkan.
Perlahan-lahan ia menghampiri pintu kamar anaknya. Melalui
lubang kunci, ia dapat lihat dalam kamar ada satu nenek
sedang membungkus tubuh anaknya dengan kain sprei.
Bukan main marahnya Hek-houw Ma Liong. Ia tendang pintu
hingga terbuka dan lompat masuk menerjang si nenek yang
tiada lain adalah Ang Hoa Lobo.
Mendengar pintu ditendang terbuka, dari mana ada bayangan
lompat menerjang dirinya, Ang Hoa Lobo cepat berkelit sambil
lepaskan bungkusan yang saat itu sudah siap diangkat ke
pundaknya. "Maling kurang ajar, kau berani ganggu keluarga Ma ?"
demikian ada bentakan si Macan Hitam Ma Liong dalam
marahnya ketika ia menerjang masuk dalam kamar Sian
Bwee. Ia menggunakan tipu 'Beng houw Pok yo' atau 'Harimau
buas menubruk kambing', dua tangannya diulur
mencengkeram kedua pundak si nenek untuk dengan
sekaligus menarik copot lengan orang sebatas pundak. Satu
serangan yang ganas karena si Macan Hitam Ma Liong sangat
gusar kepada si nenek. Mungkin serangan Ma Liong yang ganas dan cepat itu berhasil
kalau yang diserang itu bukannya Ang Hoa Lobo, si nenek
yang sudah kawakan menggempur jago-jago silat dimana
saja. Dengan sedikit menggeser badannya, Ang Hoa Lobo
sudah dapat meluputkan diri dari serangan si Macan Hitam.
Melihat serangannya gagal, si guru silat sudah menyerang lagi
dengan gerakan 'Coa ong sim hiat' atau 'Ular mencari liang'. Ia
merangsak, tangan kirinya menyambar perut sedang tangan
kanannya berbareng nyelonong ke arah mata, dua jarinya
hendak mengorek sepasang lampu lawan. Tentu saja Ang Hoa
Lobo tidak ijinkan orang main-main dengan matanya. Tangan
kanannya menekan ke bawah tangan Ma Liong yang
menyambar perutnya sedang tangan kirinya menyentil dengan
Lima Golok Setan 1 Pendekar Naga Putih 46 Petualangan Di Alam Roh Suramnya Bayang Bayang 21