Pencarian

Hari Istimewa Kristy 2

Baby Sitter Club 6 Hari Istimewa Kristy Bagian 2


gambar Morbidda Destiny," kudengar dia berkata.
Tapi anak-anak keluarga Fielding masih terpaku di tempatnya.
Bu Fielding menggendong seorang bayi. Dia menyembunyikan
wajahnya di samping leher ibunya. Seorang anak perempuan sebaya
Grace masih memegang tangan Pak Fielding dengan bersungguh-
sungguh.
Dan masih ada seorang anak laki-laki dan seorang anak
perempuan. Mereka memeluk kaki ayah mereka, untuk
menyembunyikan wajah mereka masing-masing.
Watson beranjak mendekatiku sambil berbisik, "Mereka sangat
pemalu."
Nah, itulah salah satu sebab kenapa aku tidak menyukai
Watson. Aku juga sudah tahu kalau mereka pemalu. Orang sebodoh
apa pun pasti tahu sendiri.
Bu Fielding berbicara perlahan-lahan pada anak-anaknya. "Di
sinilah tempat kalian bermain hari ini. Andrew dan Karen juga di sini,kan? Coba kalian lihat." Dia menunjuk ke arah meja. Andrew dan
Karen sedang menggambar dan mewarnai sambil tertawa cekikikan.
Aku berlutut. "Aku Kristy. Kita akan bermain-main, lho,"
ujarku. "Ada ayunan dan permainan dan teman-teman yang akan
bermain bersama kalian."
Anak tertua (Katherine?) malah merapatkan bibirnya sambil
mempererat genggamannya pada tangan ibunya.
"Apa kalian suka anjing?" aku mencoba. "Kami punya anjing
bernama Louie..."
"Anjing, Papa," rengek si anak laki-laki.
Uups, ternyata ide buruk, pikirku.
Bu Fielding mencoba melepaskan si bayi dari lehernya. "Ini
Tony," katanya. "Kurasa sebaiknya dia kumasukkan ke dalam boks."
Dia beranjak ke arah boks. Katherine mengikuti sambil
memegang ujung rok jeans ibunya.
Wajah Tony mulai berkerut-kerut. Dia duduk dengan tangan
menggapai-gapai dan bibir bawah bergetar. Air mata sudah memenuhi
matanya. Lalu dengan perlahan-lahan, dia membuka mulutnya dan
mengeluarkan suara, "Waaa!"
Wajah Mary Anne memerah.
Bu Fielding juga tampak bingung. "Kurasa... ehm, sebaiknya
biarkan saja dia di situ. Sebentar lagi juga tangisnya berhenti. Nah, ini
Katherine."
"Dan ini," ujar Pak Fielding, sambil menunjuk anak laki-laki
yang mengganduli kaki kirinya, "Patrick. Dan ini Maura." (Anak
perempuan yang mengganduli kaki kanannya.)Katherine, Patrick, dan Maura tidak beranjak sedikit pun dari
tempat masing-masing.
Aku menatap Mama. Mama memandang Watson. Mereka
saling berbicara dengan isyarat mata. Akhirnya Watson menepuk
tangannya sambil berkata penuh semangat, "Apa para orangtua sudah
siap untuk pergi?"
"Hari ini kita banyak pekerjaan, lho," tambah Mama.
Pak Fielding mendorong Patrick dan Maura dari kakinya.
Bu Fielding melepaskan diri dari pelukan Katherine. "Nah,
sampai nanti sore, anak-anak," dia berkata pada anak-anaknya. Kurasa
Pak dan Bu Fielding merasa berat meninggalkan anak-anak mereka,
sementara anak-anak juga merasa berat ditinggalkan orangtua mereka.
Para orangtua berjalan ke halaman depan lewat samping, lalu
langsung naik ke mobil mereka.
Katherine, Patrick, Maura, Tony, Beth, dan Peter mulai
menangis. Andrew ikut bergabung dan mulai menangis juga.
Itu salah satu situasi lagi yang belum terbayang oleh kami: tujuh
orang anak menangis sekaligus.
"Cepat, bagikan kartu-kartu nama mereka dan pisahkan dalam
grup," kataku.
Kami melakukannya. Dalam grup Stacey dan Dawn tidak ada
yang menangis. Mary Anne dan aku masing-masing punya dua anak
yang menangis, sementara dalam grup Claudia semua anak menangis.
Tapi tidak ada yang panik. Mary Anne menaruh Tony ke dalam
kursi beroda milik Beth, dan Beth ke dalam keretanya. Kemudian dia
mendorong kereta Beth berkeliling seperti yang dikatakan Bibi Theo.Aku mencoba berbicara pelan-pelan pada Andrew dan dia
langsung menghentikan tangisnya saat itu juga. Bagaimanapun dia
sudah mengenal tempat ini. Kemudian aku mengajak anggota grupku
ke salah satu pojok halaman, mendudukkan Katherine di atas
pangkuanku dan mulai membacakan Green Eggs and Ham.
Claudia yang paling sibuk, tapi dia melakukan seperti apa yang
kulakukan. Dia mengajak tiga anak yang masih menangis ke salah
satu pojok lain dari halaman belakang, duduk, dan mulai membacakan
Where the Sidewalk Ends. Beberapa saat kemudian semua anak yang
menangis sudah mulai tertawa cekikikan. Dan bayi-bayi juga sudah
mulai tenang di tangan Mary Anne.
Setelah aku selesai membacakan Green Eggs and Ham, aku
melihat berkeliling halaman belakang dan mulai menghitung dengan
cepat. Stacey sedang duduk di salah satu meja taman bersama Luke,
Ashley, dan Emma. Mereka sedang membuat anyaman alas piring dari
potongan kertas karton.
Dekat denganku, Dawn sedang bermain monkey-in-the-middle
bersama David Michael, Berk, dan Karen.
Claudia dan aku sedang membacakan cerita, sedangkan Mary
Anne sudah berhasil menaruh kedua bayi ke dalam boks dan dia
sedang menggelitik kaki-kaki mereka.
Bagus. Empat belas anak yang gembira ria. Krisis pertama
sudah berlalu.
***********
Sepanjang pagi segalanya berjalan dengan lancar. Ada beberapa
pertengkaran dan tangisan, tapi tidak ada yang perlu dirisaukan. Pada
waktu makan siang, kami menyuruh kedua belas anak yang besar-besar untuk duduk mengelilingi meja taman, dan menaruh Tony di
dalam kursi beroda dan Beth dalam keretanya. Kemudian Stacey dan
Dawn masuk ke dapur untuk mengambil makan siang mereka. Mama
sudah meminta para orangtua membawa sendiri makan siang untuk
anak-anak mereka. Sebetulnya hal itu agak menyulitkan, terutama
untuk paman-paman dan bibi-bibiku, karena mereka tinggal di motel.
Tapi ternyata semua bisa berjalan sesuai rencana, sehingga teman-
temanku dan aku tidak perlu lagi menyiapkan makan siang untuk
keempat belas anak itu. Selain itu, para orangtua juga akan
membawakan makanan yang pasti akan dimakan oleh anak-anak
mereka. Ini yang penting, karena sebagian besar anak sangat pemilih
dalam soal makanan, dan sebagian lagi punya alergi terhadap
makanan tertentu.
Setelah makan siang, Tony, Beth, Maura, Patrick, dan Peter
tidur siang. Kami membaringkan mereka di atas beberapa tumpuk
selimut di ruang duduk, dan dalam sekejap mereka sudah tidur.
Pengaturan waktu yang tepat. Pada jam setengah tiga terdengar
suara klakson mobil di halaman depan.
"Itu Nannie," aku berkata pada Mary Anne. "Dia datang untuk
menjemput Karen dan aku."
Nannie juga akan ikut membantu di rumah Watson sepanjang
minggu. Selain itu, dia juga masih harus mengajak Karen dan aku ke
toko bunga untuk melihat bunga-bunga keperluan pernikahan. Mary
Anne menjaga anak-anak yang tidur siang sementara Claudia
mengambil alih grupku. Claudia duduk sambil membaca untuk Grace,
Katherine, dan Andrew di atas tikar di bawah pohon. Dan ketiga anak
itu mulai mengantuk."Ayo, Karen!" panggilku.
Karen berlari menyeberangi halaman belakang dan menyerbu
masuk ke dalam Pink Clinker.
"Kenapa kita harus mengunjungi gadis penjual bunga, Nannie?"
tanya Karen. (Nannie memang tidak punya hubungan apa-apa dengan
Karen, tapi Karen sangat sayang pada nenekku itu. Dia sudah
memanggilnya Nannie pertama kali mereka berjumpa.)
"Kita akan melihat-lihat bunga yang akan menghiasi kepala
kalian," sahut Nannie.
"Bunga untuk rambutku?" Karen memekik dengan
bersemangat.
"Dan untuk Kristy," ujar Nannie. "Kalian berdua akan memakai
bunga yang sama."
"Bagaimana dengan bunga-bunga untuk keranjangku?" Karen
kepingin tahu.
"Mawar bertangkai panjang. Kita juga akan membicarakan hal
ini dengan tukang bunga. Dan Kristy, kita juga akan mencari bunga
tangan untukmu."
Siapa yang mengira bahwa memilih bunga ternyata cukup sulit?
Sepertinya kami sedang memilih bunga untuk pernikahan Lady Di dan
Pangeran Charles di London, bukannya untuk pernikahan Mama dan
Watson di halaman belakang.
Mula-mula, Nannie menunjukkan contoh bahan baju Karen dan
bahan gaunku?yang berwarna kuning?pada wanita di toko bunga.
Wanita itu berkata, "Bagaimana dengan bunga putih?" dan. Karen
menyahut, "Idih," dan Nannie berkata, "Salmon," dan aku berkata,"Idih," dan Karen berkata, "Apa itu salmon?" dan aku berkata,
"Sejenis ikan," dan Karen berkata, "Idih," lagi.
Setelah kira-kira lima belas menit berbantahan, akhirnya kami
menetapkan warna kuning dan putih, dengan mawar kuning untuk
keranjang Karen.
Tapi tugas kami belum selesai. Kami masih harus memutuskan
bagaimana Karen dan aku akan menata rambut masing-masing,
supaya tukang bunga tahu bagaimana dia harus merangkai
bunganya?apakah rangkaian berbentuk lingkaran atau berbentuk
panjang atau apa pun.
Sejam kemudian kami meninggalkan toko tersebut. Aku capek
sekali rasanya.
Dan masih ada serombongan anak yang menungguku
sesampainya di rumah nanti.
Bagaimanapun, pulang ke rumah ternyata merupakan
pengalaman terindah untuk hari itu. Anak-anak kecil sudah tenang
kembali setelah tidur siang dan dibacakan cerita. Anak-anak yang
besar sedang bergembira karena Stacey dan Dawn membantu mereka
menyiapkan sandiwara. Sandiwara itu dipentaskan mereka dengan
penuh gairah di depan Claudia, Mary Anne, aku, dan anak-anak kecil.
Pada jam lima, para orangtua datang dan mendapati empat belas
anak yang riang gembira.
Para anggota Baby-sitters Club menyimpulkan bahwa hari
pertama telah dilalui dengan sukses.Bab 8
Menjelang Pernikahan:
Selasa?empat hari lagi
HARI Selasa pagi dimulai hampir seperti hari Senin pagi.
Bedanya hanya para ibu tidak lagi memberikan instruksi-instruksi
pada kami. Pada diri kami?para baby-sitter?mulai tumbuh rasapercaya diri, dan kami tidak terlalu kuatir lagi. Dan Pak Fielding tidak
memerlukan waktu lama untuk melepaskan diri dari Maura dan
Patrick yang mengganduli kakinya.
Setelah para orangtua pergi, hanya ada enam anak yang
menangis (Andrew hampir tidak sadar bahwa Watson sudah pergi).
Dan anak-anak itu menangis hanya karena latah saja, kecuali para
bayi. Untuk beberapa saat Mary Anne disibukkan oleh mereka.
Kami telah membuat persetujuan pada malam sebelumnya,
bahwa hari ini kami akan mengajak anak-anak berjalan-jalan (seperti
apa yang dijelaskan Dawn dalam buku catatan Baby-sitters Club), dan
kami memutuskan untuk langsung berangkat.
Wah, penampilan kami pasti konyol, deh.
Mula-mula, anggota grup merah jambu harus dapat ditenangkan
dulu. Mary Anne harus dapat menaruh kedua bayi itu ke dalam kereta.
Hal itu tidak mudah, lho. Tapi akhirnya dia berhasil mendudukkan
Tony di pangkuan Beth.
Claudia dan aku akan membawa tujuh anak kecil (gabungan
dari grup kami ditambah dengan Jamie Newton) dan berjalan menuju
perpustakaan. Kami telah memperhitungkan bahwa perjalanan ke sana
akan memakan waktu sekitar setengah jam.
"Kereta!" ujar Claudia tiba-tiba.
"Oh, ide bagus!" aku menarik napas lega. Kemudian aku
mendudukkan Maura, Patrick, dan Peter ke dalam kereta tua milik
David Michael. Sementara itu, Claudia mendudukkan Grace,
Katherine, dan Andrew ke dalam kereta tua kepunyaan Mary Anne.
Setelah kami masing-masing menyiapkan bungkusan berisi biskuittawar, sebotol jus, mainan, popok, dan celana panjang untuk ganti,
maka kami sudah siap untuk berangkat menjemput Jamie.
Walaupun sudah hampir dua tahun belakangan ini David
Michael tidak pernah lagi memakai kereta itu, pada saat aku mulai
menarik keretanya ke halaman depan, sempat dia berseru padaku,
"Anak-anak itu tidak boleh merusak keretaku, Kristy!"
Pasti sulit baginya untuk menerima kenyataan bahwa rumahnya
telah dijadikan semacam play group darurat.
Bagaimanapun, akhirnya semua orang berhasil meninggalkan
rumah menuju tempat tujuan masing-masing. Stacey berangkat ke
sungai bersama Luke, Ashley, dan Emma. Dalam waktu singkat
mereka telah sampai di tempat tujuan, walaupun Ashley harus tertatih-
tatih karena memakai tongkat penyangga. Mereka bersenang-senang
sepanjang pagi, seperti apa yang belakangan diceritakan oleh Stacey.
Stacey membawa sebuah kantong plastik sampah besar untuk
membungkus gips di kaki Ashley, sehingga tidak menjadi basah.
Walaupun begitu, pada mulanya Ashley tetap tidak dapat melakukan
banyak hal.
"Aku tidak bisa mendapatkan posisi terbaik untuk menangkap
ikan!" dia berseru. "Kakiku tidak bisa diajak kompromi."
Memang betul juga. Sementara Luke dan Emma menyusuri tepi
sungai sambil membungkukkan badan, Ashley cuma bisa berdiri atau
duduk dengan kaki diluruskan ke depan.
"Barangkali aku bisa membantumu berburu ikan," ujar Stacey
ragu-ragu. "Kamu bisa mencopot sepatu olahragamu dan aku bisa
membantumu berdiri di dasar sungai dengan hanya satu kaki."Ashley memandang bergantian dari gips di kakinya, lalu ke air
yang mengalir melalui batu-batu, dan kemudian ke arah Stacey.
"Lebih baik jangan, deh," dia berkata dengan suara kecewa.
"Memang mungkin sebaiknya jangan," sahut Stacey. Tapi dia
tetap takut kalau-kalau Ashley menjadi cepat bosan karenanya.
Ternyata kekuatirannya itu tidak beralasan. Ashley duduk pada
jarak yang aman dari pinggir sungai, lalu mulai menyibukkan dirinya
dengan berbagai macam kegiatan, seperti menghitung banyaknya
ikan-ikan kecil yang lewat dan mendongeng. Belakangan, dia beranjak
ke dekat hamparan semanggi, dan mulai membuat perhiasan dari
daun-daun semanggi untuk semua anggota grup.
Sementara itu, Mary Anne sedang berjalan-jalan bersama kedua
bayi. Bayi-bayi itu hanya tahan kira-kira dua menit saja di dalam
kereta. Kemudian Beth ingin turun untuk berjalan. Pada mulanya, hal
itu tampak seperti pemecahan yang bagus. Tapi ternyata Beth belum
pandai betul berjalan, sehingga harus ditatih pelan-pelan. Dia sering
kehilangan keseimbangan dan terduduk di atas trotoar. Dalam waktu
sepuluh menit, mereka cuma bisa menempuh jarak sekitar dua meter.
Untung ada kereta-kereta tua. Claudia dan aku agak beruntung,
walaupun tiap beberapa detik salah satu dari kami terpaksa harus
menoleh dan berseru, "Tangan-tangan tetap di dalam kereta!" atau,
"Jangan keluarkan kaki-kaki kalian dari kereta!"
Dalam perjalanan ke perpustakaan, kami mampir di rumah
keluarga Newton.
"Hi-hi!" Jamie berseru waktu melihat kedatangan kami.Kami memperkenalkan dia pada anak-anak yang lain?dan
kami baru sadar bahwa sudah tidak ada tempat lagi untuknya di dalam
kereta. Tiga anak dalam satu kereta sudah cukup berdesakan.
"Hei," ujar Claudia, "kita memerlukan seseorang untuk
mengawasi kereta, nih. Si pengawas kereta akan berjalan di samping


Baby Sitter Club 6 Hari Istimewa Kristy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kereta-kereta. Kalau dia melihat ada anak yang menjulurkan tangan
atau kakinya keluar dari kereta, dia akan bertukar tempat dengan anak
tersebut. Dan anak itu akan menjadi pengawas kereta yang baru."
Ide Claudia bagus juga. Tidak ada satu anak pun yang ingin
tertangkap oleh si pengawas kereta, walaupun mereka juga ingin
bergantian menjadi pengawas kereta (kecuali Maura, karena dia masih
terlalu kecil untuk memahami arti permainan itu). Dengan gembira
kami meneruskan perjalanan ke perpustakaan. Kami berhenti delapan
kali untuk menukar posisi anak-anak, dan sampai di sana tepat satu
menit sebelum jam mendongeng dimulai.
Nah, pada saat kami sedang dalam perjalanan ke perpustakaan,
Mary Anne sedang merangkak bersama grup merah jambunya, dan
Stacey sedang mengobrol bersama Luke, Ashley, dan Emma di
sungai, Dawn berjalan bersama tiga anggota grup burung biru ke
taman bermain sekolah. Nampaknya tugas ini sangat mudah. Dan
pada kenyataannya memang telah dimulai dengan lancar. Tapi Karen
Brewer sepertinya suka membuat segala sesuatu menjadi lebih
menarik daripada biasanya.
Tidak terkecuali hari Selasa.
"Coba kalian tebak," ujar Karen, sesaat setelah dia, Dawn,
David Michael, dan Berk sampai di ujung jalan."Apa?" tanya David Michael dengan waspada. Dia sudah sering
mendengar cerita tentang nenek-nenek sihir dan hantu-hantu dari
Karen. Oleh sebab itu dia langsung curiga kalau Karen mulai berkata,
"Coba kalian tebak"
"Kemarin waktu aku sampai di rumah, anak besar yang
rumahnya satu jalan dengan rumahku berkata bahwa malam ini pada
jam tujuh, sepasukan tentara dari planet Mars akan menyerang bumi."
"Tentara Mars?" David Michael menyahut.
"Malam ini?" teriak Berk.
"Ah, itu cuma dongengan saja, cuma lelucon," Dawn berkata
pada mereka.
"Eh, benar, lho," Karen bertahan pada pendiriannya. "Yang
bilang anak besar itu. Dia murid kelas delapan. Dia bilang sudah
banyak orang yang tahu berita ini, tapi mereka tetap tidak mau
percaya. Cuma orang yang percaya akan selamat, karena mereka bisa
bersembunyi tepat pada waktunya."
"Bersembunyi di mana?" tanya Berk.
"Di bawah tanah," ujar Karen.
"Di dalam lubang?" tanya David Michael.
"Entahlah," jawab Karen perlahan. "Anak itu tidak mengatakan
apa-apa."
"Karen, kamu tahu kalau dia cuma membual, kan?" tanya
Dawn.
"Tidak," sahut Karen dengan tajam. "Tidak mungkin. Dia tidak
membual."
"Tidak ada tentara Mars sungguhan," Dawn berkata pada Berk
dan David Michael.David Michael tampaknya ingin mempercayai kata-kata Dawn,
tapi dia berkata, "Tapi aku pernah melihat orang Mars di TV."
Dawn menyadari bahwa pada saat itu semua mata sudah tertuju
ke langit.
"Apa kamu percaya pada semua yang kamu lihat di TV?" tanya
Dawn. "Kamu percaya bahwa Bugs Bunny dan Mickey Mouse juga
ada sungguhan?"
"Tidak," sahut David Michael, "tapi orang Mars mungkin ada."
"Yeah," Berk setuju. "Mungkin ada orang Mars sungguhan."
"Orang Mars tidak akan ada," Dawn menjawab dengan jengkel.
"Ada," kata David Michael, Karen, dan Berk bersamaan.
"Kira-kira apa yang akan terjadi, ya?" adikku melanjutkan
dengan berhati-hati.
"Maksudmu, apa yang akan terjadi kalau...?" Dawn bertanya
padanya.
"Kalau mereka mendarat di sini."
Dawn mengangkat tangannya ke atas. Percuma saja berdebat
dengan anak-anak itu.
"Mereka akan menyerang kita," Karen berkata dengan
bersemangat.
"Orang Mars punya senjata sinar," Berk menambahkan.
"Senjata sinar dan senjata penyemprot."
"Senjata penyemprot?" ulang David Michael, berhati-hati.
"Yeah. Mereka akan menyemprot kamu sehingga kamu tidak
bisa bergerak. Setelah itu mereka tinggal mengangkat kamu dan
memasukkan kamu ke dalam piring terbang mereka untuk
diterbangkan ke Mars.""Apakah malam ini mereka akan datang dengan piring terbang,
Karen?" tanya David Michael.
"Ratusan piring terbang," sahut Karen. "Semuanya mengilap
dan berwarna perak."
David Michael menatap langit begitu lama?sepanjang
perjalanan?sampai-sampai dia jatuh terjerembap. "Sepertinya aku
sudah melihat satu dari mereka!" dia berkata terengah-engah sambil
berdiri. "Tapi sekarang sudah pergi lagi."
Mereka hampir sampai di taman bermain sekolah. Dawn
mencoba untuk mengalihkan perhatian grupnya. "Hei, coba kalian
lihat ke sini!" dia berkata, sambil menunjuk sebuah poster yang
menempel di pagar yang mengelilingi taman sekolah. "'Hari Seni dan
Kerajinan Tangan. Perlombaan Membuat boneka.' Ada perlombaan,
lho! Kalian mau ikut serta, kan? Siapa tahu hadiahnya... Hei, anak-
anak!"
"Ya?" Ketiga anak anggota grup burung biru tetap menatap
langit.
"Mungkin kita bisa bersembunyi di ruang bawah tanah rumah
kita," David Michael berbisik. "Itu kan juga di bawah tanah."
"Bolehkah aku tinggal di rumahmu malam ini?" tanya Berk
pada adikku. "Mungkin di motel tidak ada ruang bawah tanah."
"Berk!" Dawn berseru. "David Michael! Karen! Cukup!" Dia
hampir mengatakan bahwa anak-anak itu tidak boleh lagi
membicarakan orang Mars, tapi tidak jadi.
Dia menggiring anak-anak itu ke pintu masuk taman bermain.
Beberapa anak sedang bermain ayunan, papan jungkit, dan
bergelantungan di balok-balok kayu. Sekelompok besar sedang dudukmengelilingi meja yang dipenuhi dengan cat, potongan kertas, lem,
gunting, kancing, dan berbagai macam hiasan.
"Bagaimana kalau kita bikin boneka?" Dawn mengusulkan
dengan putus asa. "Setidak-tidaknya kita bisa cari tahu apa
hadiahnya."
Ketiga anak itu saling berpandangan. Karen beranjak mendekati
David Michael dan Berk lalu membisikkan sesuatu.
"Hei, jangan rahasia-rahasiaan, dong!" ujar Dawn. Karen selesai
berbisik dan anak-anak laki-laki menganggukkan kepala masing-
masing.
"Kami lebih suka main ayunan," sahut Karen.
"Boleh," dengan ragu-ragu Dawn menyetujuinya. "Bermainlah.
Aku akan mencari informasi tentang perlombaan ini."
Dawn menemui pengawas taman bermain. Dia sedang duduk di
sebuah meja yang dipenuhi dengan barang-barang hasil seni dan
kerajinan tangan. Kemudian Dawn menanyakan beberapa informasi
tentang perlombaan itu dan tentang kegiatan-kegiatan lain yang akan
berlangsung di situ. Siapa tahu pada akhir pekan Stacey ingin
mengajak Emma, Luke, dan Ashley ke taman bermain itu.
Percakapan mereka terganggu oleh suara jeritan. Dawn melihat
berkeliling, kuatir kalau-kalau salah satu anggota grup burung biru ada
yang terluka. Ternyata seorang gadis kecil datang berlari-lari sambil
menangis menyeberangi taman bermain lalu menjatuhkan dirinya ke
dalam pelukan ibu pengawas.
"Ibu! Ibu!" dia berseru.
"Tina, ada apa?" ibu pengawas mengangkat Tina lalu
memeluknya."Orang Mars!" Tina berusaha untuk berkata sambil terisak-isak.
Oh-oh, pikir Dawn.
"Orang Mars!" seru ibu pengawas. "Apa maksudmu, Sayang?"
"Mereka akan datang! Malam ini! Mereka akan membawa
kita!"
Kata-kata itu sudah cukup untuk Dawn. Dia langsung berbalik
dan melangkah menyeberangi taman bermain sekolah. Karen dan adik
serta sepupuku memang sedang bermain ayunan, tapi mereka tidak
cuma sekadar berayun-ayun. Mereka dikelilingi oleh segerombolan
anak-anak.
Dawn sampai di situ pada saat Karen berkata, "...Bersembunyi
di bawah tanah."
"Misalnya, di ruang bawah tanah rumahmu," tambah David
Michael.
Anak-anak lain memandang mereka dengan mata ketakutan.
Seorang anak laki-laki sedang menyeka matanya yang mulai basah.
Tiba-tiba dia berbalik dan berlari.
"Kamu mau ke mana?" anak yang lain berseru ke arahnya.
"Pulang!"
"Aku ikut!"
"Aku juga!" kata yang lain bersamaan. Anak-anak itu langsung
mengambil langkah seribu menuju pintu gerbang taman bermain.
"Karen Brewer...," Dawn menegur.
Dengan rasa bersalah, Karen menengadah. "Yeah?"
"Aku tidak mau kalau kamu menakut-nakuti anak-anak itu
dengan dongenganmu.""Tapi kita kan harus memberi peringatan pada mereka. Mereka
harus bersiap-siap kalau terjadi serangan." Ternyata Karen betul-betul
yakin pada dongengannya itu.
"Betul," ujar Berk dan David Michael.
"Salah," sahut Dawn. "Ayo, sekarang kita ke meja itu," kata
Dawn sambil menunjuk meja yang dipenuhi dengan barang-barang
seni dan kerajinan tangan, "dan lupakan soal orang Mars."
Dawn mendudukkan ketiga anak itu di meja bersama ibu
pengawas dan anak-anak lain. Mereka mulai disibukkan dengan
pekerjaan masing-masing. Waktu Dawn sedang membantu Berk
memasang hidung pada bonekanya, tiba-tiba terdengar bunyi berderak
dari arah belakang. Dawn memandang berkeliling dan dia melihat
sebuah cabang pohon yang sudah tua sedang tumbang dari pohon di
dekatnya.
"Orang Mars!" teriak Karen.
"Oooh!" pekik David Michael dan Berk.
"Mana mamaku!" seru Tina.
"Orang Mars?" tanya beberapa anak.
"Mereka datang untuk menangkap kita!" Karen berkata pada
anak-anak itu. "Mereka akan menyerang kita! Mereka sudah datang!
Kita harus bersembunyi!"
Semua anak yang sedang duduk di meja itu langsung
meninggalkan tempat duduk masing-masing untuk mencari tempat
persembunyian.
Ibu pengawas menatap Dawn dengan pandangan jengkel."Maaf, ya," sahut Dawn cepat-cepat. "Saya tidak tahu apa yang
telah merasuki pikirannya. Saya akan langsung mengajaknya pulang
setelah membantu Ibu mencari anak-anak lain."
"Tak usah," ujar ibu pengawas. "Sepuluh menit lagi akan datang
seorang pengawas lain. Dia bisa membantuku. Tolong bawa dia
pulang sekarang saja, oke?"
"Oke." Dawn berhenti sejenak, kemudian menambahkan, "Saya
minta maaf sebesar-besarnya."
Ibu pengawas mengangguk.
"Karen Brewer!" Dawn memanggil. "Berk! David Michael!
Ayo kalian bertiga keluar sekarang juga. Dengar?"
Tidak ada jawaban.
"Tidak ada yang namanya orang Mars," Dawn menambahkan.
"Cuma ada aku. Dan aku sudah tidak sabar lagi, nih."
Grup biru keluar dari sebuah gudang sambil menundukkan
kepala.
"Ayo," kata Dawn. "Kita harus pergi." Dawn bertanya-tanya
apakah sebaiknya dia menyuruh Karen untuk minta maaf pada ibu
pengawas. Tapi ibu pengawas tampak sibuk dan jengkel. Dawn
menggiring ketiga anak itu keluar dari taman bermain.
Pada saat mereka sedang dalam perjalanan pulang, Dawn
menjelaskan pada mereka tentang dongengan-dongengan yang
membuat anak-anak takut. Perlahan-lahan Karen mulai
memperhatikan dan mengerti. Dia berjanji untuk tidak menyebut-
nyebut orang Mars lagi. David Michael dan Berk juga berjanji.
Ternyata grup burung birulah yang sampai duluan di rumahku
hari itu. Bukan Mary Anne dan para bayi. Sepanjang sore merekaberkelakuan baik, dan tanpa terasa hari Selasa telah berlalu dengan
cepat.
Larut malam hari itu, setelah lampu kamarku dimatikan dan aku
sudah berbaring di ranjangku, sesuatu terlintas dalam benakku.
Hadiah-hadiah pernikahan telah mulai berdatangan ke rumah kami.
Masa penantian tinggal tiga hari lagi. Aku kepingin memberikan
hadiah untuk Mama dan Watson, tapi apa, ya? Apa yang dapat
kuberikan pada ibuku dan seorang jutawan? Mereka sudah memiliki
segala sesuatu dan bisa membeli apa saja yang mereka inginkan.
Aku berbaring dengan pikiran menerawang. Hadiah dariku
harus sesuatu yang tepat.Bab 9
Menjelang Pernikahan:
Rabu?tiga hari lagi
STACEY tidak menuliskannya dalam buku catatan klub, tapi
hari Rabu jam satu siang itu sebetulnya merupakan titik penting dalampetualangan kami menjaga empat belas anak. Pada jam itu kami, para
anggota Baby-sitters Club, sudah setengah jalan mengarungi tugas
yang luar biasa itu. Dua setengah hari sudah kami lalui, dan dua
setengah hari masih menantang di depan kami.
Dan tentu saja, masing-masing dari kami juga saling
menceritakan masalah-masalah yang telah dihadapi.
Misalnya, masalah yang telah dihadapi Dawn waktu dia dan
grupnya pergi ke taman bermain anak-anak. "Masih terbayang di
mataku bagaimana takutnya anak-anak itu," dia berkata, "terutama
anak-anak yang berlari pulang. Semoga saja mereka langsung dapat
bertemu dengan ibu atau ayah atau kakak-kakak mereka, sehingga
mereka dapat menenangkan kepanikan anak-anak itu. Dan Karen pasti
dilarang datang lagi ke taman bermain anak-anak, setidak-tidaknya
selama ibu itu masih menjadi pengawas di sana."
Masih ada lagi masalah dengan kamar mandi. Di rumah kami
ada tiga kamar mandi: satu di lantai bawah dan dua di lantai atas.
Karena satu kamar mandi di lantai atas milik Mama dan tidak boleh
dipakai, maka tinggal dua kamar mandi untuk melayani sembilan
belas orang. Di antaranya ada dua anak yang masih memakai popok,
dan harus sering diganti. Sementara satu anak, yaitu Maura, baru
belajar menggunakan celana sebagai pengganti popok.
Sepertinya, sepanjang hari selalu saja ada seseorang yang
menggunakan kamar mandi. Dan karena anak-anak kecil tidak bisa
menahan kalau ingin buang air ("Kristy, Kristy! Aku kepingin
pipis!"), maka kami menetapkan peraturan sebagai berikut: grup
kuning, hijau, dan merah jambu berhak memakai kamar mandi di
lantai bawah, karena lebih mudah dan lebih cepat dijangkau.Sedangkan kelima baby-sitter, grup merah, dan grup biru berhak
memakai kamar mandi di lantai atas.
Untuk mengingatkan, kami telah menempelkan gambar
matahari kuning, dinosaurus hijau, dan hati merah jambu, di pintu
kamar mandi bawah. Sedangkan gambar bintang merah dan burung
biru, kami tempelkan di pintu kamar mandi atas. Tapi ternyata masih
juga terjadi kekacauan.
"Kristy, kamar mandi mana yang bisa kupakai?" David Michael
bertanya padaku. Waktu itu hari Rabu siang, dan aku sedang
membongkar isi kulkas untuk mengeluarkan makan siang anak-anak.
"Kamu anggota grup apa?"


Baby Sitter Club 6 Hari Istimewa Kristy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak tahu."
"Coba kulihat dulu kartu namamu," aku berkata padanya.
"Aduh, sudah hilang."
"Kamu anggota grup burung biru. Pergi ke kamar mandi atas."
"Aku baru dari sana, tapi ada orang di dalam."
"Tunggu, dong."
"Aku sudah tidak tahan."
"Kalau begitu ke kamar mandi bawah."
"Ada orang juga."
"David Michael, pokoknya kamu harus menunggu, atau pergi
ke seberang jalan dan tanyakan pada Mimi apakah kamu boleh
memakai kamar mandi di rumah keluarga Kishi."
"Sori saja!"
Pada saat itu, Luke dan Andrew berjalan keluar dari dalam
rumah menuju halaman belakang.
"Aku rasa sekarang sudah kosong," ujarku."Yang mana yang bisa kupakai?"
Aku menggerutu. "Pokoknya cepat pergi ke kamar mandi."
Anak-anak juga selalu mengalami kesulitan untuk tetap berada
dalam grup-grup yang telah ditentukan. Masing-masing baby-sitter
sudah mengenal anak-anak yang menjadi tanggung jawabnya, tapi lain
halnya dengan anak-anak. Walaupun mereka sudah memakai kartu
nama dengan gambar dan warna grup masing-masing, mereka tetap
kebingungan. Contohnya saja, setiap kali Stacey memanggil grup
merah, delapan anak akan berlari-lari ke arahnya.
Tapi hal itu tidak terlalu menjadi masalah buat kami. Pokoknya
sepanjang semua anak bisa bermain di luar rumah, maka tidak akan
ada masalah yang berarti. Dan semua anak bisa gembira.
Hari Rabu siang adalah saat dipertunjukkannya film Mary
Poppins. Stacey sudah memantau tanggal mainnya, jauh-jauh hari
sebelumnya. Dan pada hari Selasa, dia sudah minta izin pada para
orang-tua untuk membawa grup merah ke Embassy Theater, dan
sudah minta uang untuk membeli karcis masuknya.
Bioskop itu terletak dalam perjalanan ke pusat kota. Dan karena
pada siang itu Nannie bermaksud mengajakku melihat-lihat sepatu di
pusat kota (Mary Anne yang akan mengawasi anak-anak yang tidur
siang), maka dia merencanakan untuk memberikan tumpangan pada
Stacey dan grup merah. Mereka akan diturunkan di depan bioskop,
sementara kami melanjutkan perjalanan ke pertokoan di pusat kota.
Nanti dalam perjalanan pulang, kami akan menjemput mereka
kembali di depan gedung bioskop itu.
Dengan muatan penuh, Pink Clinker meluncur ke jalan raya.
"Nannie akan menyetir pelan-pelan," Nannie berkata pada Ashley,yang duduk di bangku depan, di sebelah Nannie. "Karena Nannie
tidak ingin mengejutkan saraf-saraf kakimu."
"Asal jangan terlalu pelan saja," Stacey berbisik padaku.
"Jangan-jangan aku nanti tidak sempat melihat bagian depan filmnya."
Sepanjang perjalanan, mobil Nannie seakan-akan merangkak.
Tapi anehnya, waktu kami sampai di bioskop, masih cukup banyak
waktu tersisa sebelum pertunjukan dimulai.
Luke dan Emma melompat ke luar mobil, sementara Stacey
membantu Ashley keluar.
"Sampai nanti, ya!" Nannie berseru bersamaan dengan
menderunya mesin Pink Clinker, untuk melanjutkan perjalanan.
"Selamat bersenang-senang. Nannie akan menjemput kalian dua jam
lagi."
Stacey mengajak ketiga anak itu ke loket tempat penjualan
karcis. "Nah, kalian sudah membawa uang masing-masing, kan?"
tanyanya.
"Yap," sahut Luke.
"Yap," kata Ashley.
"Tidak," ujar Emma.
"Tidak?" Stacey mengulangi. "Emma, di mana uangmu? Aku
kan sudah bilang pada kalian bertiga supaya jangan lupa membawa
uang masing-masing."
"Aku sudah membawanya tadi," Emma merengek.
"Punyaku ada di dalam saku," sahut Luke.
"Uangku ada di dalam ransel," ujar Ashley.
Emma tampak kebingungan. "Aku tidak tahu di mana kutaruh
uangku.""Baiklah, kalau begitu akan kubayarkan dulu," Stacey berkata
padanya, "tapi uangku cuma tinggal satu dolar lagi. Emma, coba
diingat-ingat dulu. Apa yang telah kamu lakukan dengan uangmu itu?"
"Aku tidak ta... huuu." (Anak itu memang jago merengek.)
"Apakah aku harus menelepon ke rumah Kristy untuk
menanyakan kalau-kalau kamu meninggalkan uangmu di sana?
Mungkin nenek Claudia bisa mengantarkannya kemari dengan
mengendarai mobilnya," Stacey berkata dengan ragu-ragu.
"Mungkin juga," Emma setuju. Ia menggesek-gesekkan jari-jari
kaki di dalam sepatu ketsnya sambil berjalan.
"Stacey, aku kepingin duduk di bangku itu, ya," ujar Ashley.
"Oke. Aku cuma sebentar, kok. Semoga saja," sahut Stacey
sambil mengeluarkan uang logam 25 sen dari dalam saku overall-nya.
Setelah itu dia bergegas ke kotak telepon untuk menelepon ke
rumahku.
Mary Anne yang mengangkat telepon.
Samar-samar Stacey bisa mendengar tangis bayi. "Kenapa,
sih?" dia bertanya.
"Dering telepon telah membangunkan mereka."
"Aduh!"
"Ada apa, Stace? Kusangka kalian sedang nonton film."
"Kami sudah hampir masuk ke gedung bioskop, tapi ternyata
Emma kehilangan uangnya. Menurut dia, uangnya itu tertinggal di
rumah Kristy.... Tolong carikan, dong. Tidak merepotkan, kan?"
"Oh, tidak, kok. Tapi aku harus menenangkan Tony dan Beth
dulu, ya. Tunggu sebentar."Mary Anne ternyata cukup lama meninggalkan pesawat
teleponnya. Sementara itu tiga menit pertama sudah berakhir, dan
hubungan terputus.
"Sial!" gerutu Stacey. Dia tidak punya uang logam 25 sen lagi.
Dimasukkannya sekeping uang logam 10 sen dan 3 keping uang
logam 5 sen-an ke dalam lubang di kotak telepon. Kemudian dia mulai
memutar lagi.
Terdengar nada sibuk. Rupanya Mary Anne belum meletakkan
gagang telepon.
Stacey mulai tidak sabar. Film akan dimulai dalam lima menit.
Dia mencoba lagi.
"Stacey?" ujar Mary Anne. "Ke mana saja kamu?"
"Sori, sambungannya terputus. Sudah kamu temukan uangnya?"
"Tidak. Aku sudah mencarinya di mana-mana. Bahkan Dawn
dan Claudia ikut mencarinya juga."
"Aduh! Ini yang namanya betul-betul sial."
Emma menarik-narik lengan baju Stacey. "Stacey?" tanyanya.
"Tunggu sebentar," Stacey berkata padanya.
"Stacey, ini penting."
"Tidak sekarang, Emma."
"Tapi, Stacey, aku sudah menemukan uangku."
Stacey menatap Emma, yang sedang memamerkan uangnya
dengan bangga. "Mary Anne?" dia berkata. "Tidak jadi, deh. Kami
sudah menemukan uangnya."
Stacey mengucapkan terima kasih pada Mary Anne lalu segera
meletakkan gagang telepon. "Di mana kamu menemukannya?" dia
bertanya pada Emma."Di dalam sepatuku."
Stacey menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nah, ayo cepat.
Filmnya sudah hampir mulai."
Dia membantu Ashley berjalan menuju loket penjualan karcis.
Untuk menghemat waktu, Stacey mengumpulkan uang mereka
berempat, lalu memberikannya pada orang di belakang meja kasir,
sambil berkata, "Satu karcis dewasa dan tiga karcis anak-anak."
Orang itu memberikan empat buah karcis pada Stacey.
Kemudian Stacey menyerahkan karcis itu pada wanita muda yang
berdiri di depan pintu masuk lobi. Sementara itu, Emma, Luke, dan
Ashley berjalan berderet di belakangnya.
"Kalian langsung masuk ke dalam. Cepat," ujar Stacey. "Lampu
sudah hampir dipa..."
Tapi anak-anak itu tidak mendengarkan perkataannya. Mereka
malahan berdiri mematung di depan counter yang menjual makanan
dan permen, dengan ekspresi wajah seakan-akan sudah tidak makan
berminggu-minggu.
"Aku kepingin beli Junior Mints," ujar Emma.
"Aku kepingin M&M," sahut Luke.
"Aku kepingin popcorn," kata Ashley.
"Kita sudah tidak punya waktu, lho... ataupun uang sisa,"
Stacey berkata. Dia melihat ke arah ruang pertunjukan. Lampu di
dalamnya sudah mulai diredupkan. "Di samping itu kalian kan baru
saja makan siang."
"Tapi perutku masih cukup untuk diisi makanan kecil," ujar
Emma, yang sudah bersiap-siap untuk merengek lagi. "Mama sudah
memberikan uang ekstra untuk jajan."Diperlukan waktu lima menit lagi untuk membeli permen dan
popcorn. Waktu anak-anak sudah siap, mereka berjingkat-jingkat
memasuki ruang pertunjukan yang sudah gelap.
"Kita harus duduk berempat, dan Ashley duduk di dekat gang,"
Stacey berbisik keras-keras pada mereka.
"Sst!" protes seorang wanita di dekatnya.
Mereka berjalan naik-turun menyusuri gang. Dan akhirnya
seorang petugas dengan lampu senter menemukan tempat untuk
mereka di balkon.
Menjelang akhir pertunjukan, Emma dengan tidak sengaja
menjatuhkan Junior Mints terakhirnya melewati pagar pembatas di
depan mereka. Di bawah sana seseorang memekik. Emma mulai
ketawa cekikikan, sampai tidak dapat berhenti. Ashley mulai ikut
ketawa juga dan tidak lama kemudian Luke menggabungkan diri.
Petugas terpaksa menggiring mereka keluar gedung bioskop.
Stacey berdiri di trotoar dengan pipi memerah karena
marahnya. Dia merasa sangat lega waktu melihat Pink Clinker
meluncur mendekati mereka.
Dia melompat ke dalam mobil dengan mata berapi-api.
"Ada apa, sih?" tanyaku, tidak bisa menebak apa yang telah
terjadi.
"Tanya dia saja," Stacey berkata sambil memelototi Emma.
Emma mencoba untuk bercerita, tapi dia mulai tertawa lagi.
Sebelum kusadari, Luke dan Ashley juga sudah ikut tertawa
bersamanya.Kegelian seperti itu mudah menular. Nannie dan aku juga mulai
ikut tertawa. Dan waktu aku melihat pada Stacey, ternyata dia juga
sedang tertawa.
"Untung saja," dia berkata sesaat setelah Nannie memarkir
mobilnya di halaman depan rumahku, "aku masih bisa menonton
Mary Poppins di TV."
Itulah pengalaman kami sepanjang hari Rabu. Dan aku sekarang
sudah mempunyai sepasang sepatu untuk dipakai dalam upacara
pernikahan nanti?modelnya agak rendah dengan hak pendek?tapi
sampai sekarang aku belum juga mendapatkan ide untuk hadiah
pernikahan Mama dan Watson.Bab 10
Menjelang Pernikahan:
Kamis?dua hari lagi
YAH, Mary Anne mungkin belum pernah pergi ke tempat
pangkas rambut, tapi aku sudah beberapa kali pergi ke sana untukmengantarkan David Michael. Jadi aku sudah bisa membayangkan
apa yang bakalan terjadi. Kalau biasanya aku harus menghadapi satu
gelombang tangis dan rengekan dan protes dari David Michael, maka
sekarang kita tinggal mengalikannya dengan enam. Tadinya kusangka
akan begitu. Tapi mungkin aku salah perhitungan, karena ternyata
keenam anak laki-laki itu sanggup membuat masalah jadi
membengkak. Lebih besar dari enam kali masalah yang biasa
ditimbulkan oleh adikku.
Setelah para orangtua pergi pagi itu, kami?para anggota Baby-
sitters Club?membiarkan anak-anak bermain di halaman belakang.
Sementara kami mengadakan rapat kilat di teras, mata kami tetap
mengawasi mereka.
"Enam anak laki-laki akan pergi ke tempat Pak Gates," kataku,
"dan tujuh anak perempuan ditambah Tony tinggal di rumah.
Bagaimana kita harus membagi tugas? Barangkali tiga dari kita harus
pergi ke tempat pangkas rambut?"
"Sepertinya terlalu banyak, deh," ujar Dawn. "Bukankah Pak
Gates punya seorang asisten? Itu artinya dua anak bisa dipangkas
rambutnya sekaligus. Jadi tinggal empat anak yang harus diawasi."
"Betul juga," jawabku. "Oke, dua orang akan pergi dan tiga
tinggal di sini. Mungkin ada baiknya kalau aku ikut pergi, karena
sebagian besar dari anak-anak laki-laki itu adalah saudaraku."
Mary Anne tertawa.
"Siapa lagi yang berminat pergi?" Kelihatan jelas bahwa para
baby-sitter yang lain cenderung memilih tugas yang lebih mudah?
yaitu tinggal di rumahku bersama anak perempuan dan Tony.Akhirnya Mary Anne angkat bicara. "Aku, deh, yang ikut
denganmu, Kristy," katanya. "Sepanjang minggu aku telah terkurung
di rumah bersama Beth dan Tony."
"Kamu betul-betul ingin ikut?" tanyaku padanya.
"Ya," sahutnya, dengan nada suara yang sama sekali tidak
meyakinkan.
"Baiklah," kataku sama-sama ragu-ragu.
Mungkin kalian belum pernah mengantarkan enam anak?satu
berumur sepuluh, satu berumur tujuh, satu berumur enam, satu
berumur empat, dan dua berumur tiga tahun?ke tempat pangkas
rambut. Aku sendiri belum pernah. Mary Anne dan aku menunggu
sampai anak-anak selesai makan siang, sebelum kami mengumpulkan
keenam anak itu. Setelah makan siang, anak-anak masih dalam
keadaan kekenyangan dan anak-anak kecil mulai mengantuk.
Setelah sisa-sisa makan siang dibereskan dan meja piknik
dibersihkan, dengan gagah berani aku berdiri di halaman belakang,
lalu mengumumkan, "Oke, waktu untuk memangkas rambut sudah
tiba."
"Tidak-tidak-tidak-tidak-tidak!" pekik Andrew.
Peter dan Patrick langsung latah. "Tidak-tidak-tidak-tidak-
tidak!"
Luke, David Michael, dan Berk merasa terlalu tua untuk
mengucapkan kata-kata yang sama. Sebagai gantinya, mereka
memanjat pohon.
"Kami tidak mau turun!" seru David Michael."Oh, bagus," ujarku. "Mary Anne, tolong telepon Nannie. Minta
Nannie membawa Pink Clinker kemari. Katakan juga bahwa anak-
anak laki-laki..."
"Tunggu! Tunggu! Kami akan turun!" teriak Berk. Anak-anak
laki-laki itu berlompatan turun dari atas pohon.
Nannie memang nenek yang baik. Tapi dia berpendapat bahwa
anak-anak harus selalu mematuhi peraturan. Dan dia sangat keras
dalam urusan kedisiplinan.
"Makasih," kataku pada Luke, Berk, dan David Michael.
Mereka tidak menjawab. David Michael memandang marah ke
arahku. Akhirnya dia berkata, "Kamu kepingin membuatku tampak
seperti burung hantu, kan? Begitulah mukaku waktu terakhir kali aku
mencukur rambut di tempat Pak Gates. Seperti burung hantu.
Sekarang rambutku sudah normal, tapi kamu dan Mama akan
membuatku seperti burung hantu lagi."
"David Michael, ya ampun, tenanglah. Ingat, kita akan
menghadiri pesta pernikahan Mama. Dan dia ingin kamu tampak rapi.
Aku yakin Pak Gates tidak akan membuatmu tampak seperti burung
hantu. Oleh sebab itu Mama memilih dia untuk memangkas


Baby Sitter Club 6 Hari Istimewa Kristy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rambutmu."
"Tidak mau pangkas rambut," Peter angkat bicara dengan sedih.
"Maaf, anak-anak," jawabku. "Semua harus potong rambut.
Ayo, siap-siap."
"Aku akan mencari kereta dorong," Mary Anne menawarkan.
"Peter, Patrick, dan Andrew bisa masuk ke dalamnya."
Anak-anak perempuan memperhatikan anak-anak laki-laki yang
berjalan meninggalkan halaman belakang.Tidak ada yang mengeluarkan suara untuk beberapa lama. Tapi
akhirnya Emma tidak tahan lagi.
"Hahahaha. Kalian semua..."
Ashley cepat-cepat berlari mendekatinya lalu menutup mulut
anak itu dengan telapak tangannya.
Emma berusaha untuk memukul Ashley.
"Ow! Sudah! Sudah!"
"Makanya, jangan ganggu aku, dong!" seru Emma.
Mary Anne berbisik padaku, "Bisa jadi anak-anak perempuan
lebih sulit diatur daripada anak-anak laki-laki!"
Kami mendudukkan anak-anak kecil ke dalam kereta dorong.
Kemudian dalam waktu singkat kami telah menggiring keenam anak-
anak laki-laki itu ke tempat Pak Gates.
Kalau aku jadi Pak Gates dan melihat enam anak laki-laki
berwajah muram yang datang ke tempatnya untuk pangkas rambut,
aku pasti sudah patah semangat. Tidak demikian halnya dengan Pak
Gates. Dengan tenang dia menyelesaikan pekerjaannya dengan
pengunjung sebelum kami, lalu beralih pada Mary Anne dan aku.
"Nah, apa yang bisa saya bantu?" dia bertanya dengan ramah.
"Masa harus tanya dulu, sih?" gerutu Luke.
Mary Anne menatap Luke dengan maksud melarang. Luke
tenang kembali.
Aku melangkah maju. "Selamat siang, Pak Gates," kataku. "Ibu
saya akan menikah pada hari Sabtu..."
"Oh, selamat, ya!""Terima kasih. Adik saya ini akan ikut menghadiri upacara
pernikahan, begitu juga kelima anak laki-laki ini. Oleh sebab itu,
rambut mereka perlu dipotong sedikit."
"Tapi jangan sampai terlalu pendek," ujar David Michael.
"Jangan sampai di atas kuping," tambah Luke.
"Bagian pinggirnya jangan terlalu panjang," Berk berkata.
"Biarkan belahan rambutku," Andrew ikut nimbrung.
"Rambutku jangan dibelah," kata Peter.
"Bapak punya permen loli?" tanya Patrick.
"Satu-satu, dong. Satu-satu," ujar Pak Gates dengan tenang.
"Kalian kenal Pak Pratt? Dia juga pemangkas rambut di sini."
Seorang pria gugup berperawakan kurus melangkah masuk dari
ruangan di belakang. Dan pada saat itu juga aku mencium bakal ada
masalah. Dia pasti orang baru di sini. Sepanjang ingatanku, aku belum
pernah bertemu dengannya. Dia tertawa dengan gelisah.
"Pak Pratt," ujar Pak Gates, "pemuda-pemuda ini ingin
memangkas rambutnya."
"Semuanya? Hehehe!"
"Ya, semuanya." Pak Gates menoleh pada anak-anak laki-laki.
"Oke, siapa yang pertama?"
"Bukan aku!" keenam suara berkata serempak.
Mary Anne mengambil keputusan dengan cepat. "Luke dan
David Michael," dia berkata. Gagasan yang bagus, karena mereka
berdua adalah anak-anak tertua.
"Tidak," sahut mereka berdua.Aku mengajak mereka ke pinggir. "Di pojok sana ada telepon,"
kataku sambil menunjuk. "Dan di sakuku ada uang receh. Dengan
mudah aku bisa menghubungi Nannie."
"Oke, oke," ujar Luke.
"David Michael, kamu akan dilayani Pak Pratt. Jangan nakal."
Sementara itu, Mary Anne sudah mengajak keempat anak laki-
laki yang lain ke kursi-kursi di dekat pintu depan. Dia sedang
berusaha menyuruh mereka duduk, tapi anak-anak itu malah
melompat-lompat ke sana kemari seperti monyet.
"Ayolah," Mary Anne mendesak mereka.
"Aku jadi Rocket Man!" seru Peter.
"Tidak di sini. Jangan." Mary Anne mengangkat Peter lalu
mendudukkannya di pangkuannya.
Aku jadi bingung apakah aku harus membantu Mary Anne, atau
mengawasi Luke dan David Michael. Akhirnya aku memutuskan
untuk mengawasi anak-anak laki-laki itu, terutama adikku dan Pak
Pratt.
David Michael menaiki kursi khusus untuk memangkas rambut
seakan-akan sedang dalam perjalanan menuju upacara pemakamannya
sendiri.
"Nah, hehehe," kata Pak Pratt.
"Jangan bikin aku tampak seperti burung hantu jelek, lho," ujar
David Michael dengan kasar. Dia menangkap bayanganku dalam
cermin sedang memandang ke arahnya. Langsung saja ia menjulurkan
lidahnya.
Pak Pratt pikir David Michael menjulurkan lidah padanya."Oh, ya ampun, hehehe." Dia merogoh ke dalam sakunya,
seakan-akan mencari sesuatu, kemudian berjalan ke ruang belakang.
Luke mencondongkan badannya dari kursi sebelah kiri, lalu
berbisik pada David Michael, "Barangkali dia lupa membawa
otaknya."
"Anak-anak," ujar Pak Gates. "Hmm, sepertinya saya punya
sekotak permen loli di dekat kasa. Tapi saya hanya akan
memberikannya pada pelanggan yang berperilaku baik."
"Permen loli kan cuma untuk anak kecil," ujar Luke.
"Yeah, aku bukan anak kecil lagi," sambung David Michael.
Padahal terakhir kali dia memangkas rambut, dia minta dua permen
loli pada Pak Gates. Nah, lho!
"Permisi sebentar, Pak Gates," kataku. Aku melangkah maju
dan berdiri di antara kedua kursi mereka, lalu berkata, "Kalian berdua
terlalu bandel. Siapa yang mengajar kalian berbicara seperti itu pada
orang dewasa? Keterlaluan. Sekarang juga aku akan memakai telepon
untuk memanggil Nannie ke sini. Aku sudah tidak sanggup lagi
mengatur kalian. Temanku dan aku telah berusaha untuk membuat
segala sesuatunya menyenangkan bagi kalian, tapi ternyata kalian
tidak tahu diri. Aku akan mengalihkan tugasku pada Nannie."
"Jangan, Kristy! Jangan!" David Michael berseru. "Kami tidak
akan nakal lagi. Kami semua. Aku berjanji." Dia berpaling pada
sepupunya. "Kakakku serius, lho, Luke. Aku kenal sifatnya."
"Oke, deh," sahut Luke dengan jengkel.
Sesudah itu proses pemangkasan rambut kedua anak itu berjalan
dengan lancar. Bahkan mereka tampak puas dengan hasilnya. David
Michael tidak lagi mengeluh soal burung hantu.Kemudian giliran Berk dan Andrew. Mereka juga mengajukan
protes pada saat menaiki kursi, tapi setelah Pak Gates menjanjikan
permen loli, tingkah laku mereka langsung berubah.
Pete dan Patrick dapat giliran terakhir. Pete mencoba
menendang tulang kering Pak Pratt dan Patrick berteriak-teriak terus.
Aku terpaksa menyanyikan lagu Old MacDonald sampai 17 versi.
Tapi usahaku tidak banyak membantu dan Pak Gates mulai pusing
dibuatnya.
Bagaimanapun, tempat pangkas rambut dan kedua pemangkas
rambut itu masih dalam keadaan utuh, waktu kami pergi
meninggalkannya.
"Berhasil!" Mary Anne berseru pada saat kami sedang
mendudukkan anak terkecil ke dalam kereta dorong. "Pokoknya kita
sudah berhasil."
"Memang, sih. Nah, kalau saja aku dapat ide untuk hadiah
Mama dan Watson, maka hari ini baru akan sempurna."
"Bagaimana kalau pemanggang roti?" tanya Mary Anne.
"Terlalu mahal. Di samping itu Watson sudah punya tiga."
"Nampan," Luke mengusulkan.
"Ada lusinan di rumahnya."
"Keranjang piknik," ujar Berk.
"Di rumah ada satu dan Watson punya satu."
"Mobil pemadam kebakaran," kata Pete.
"Robot," usul Patrick.
"Apa aku juga harus memberi mereka hadiah?" tanya David
Michael.
"Lebih baik begitu," jawabku."Bantu aku memikirkan hadiahnya, dong, Kristy."
Oh, minta ampun. Mencari satu hadiah saja aku sudah
kebingungan. Apalagi dua?!Bab 11
Menjelang Pernikahan:
Jumat?satu hari lagi!
AKU harus mengakui bahwa ide Claudia itu adalah salah satu
dari ide-idenya yang terbaik. Seperti telah dijelaskannya, pada pagihari kami mengadakan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa kami
lakukan. Anak-anak kecil nonton Sesame Street dan Mister Rogers
Neighborhood. Anak-anak yang lebih besar bermain bermacam-
macam permainan dengan menggunakan papan. Claudia telah
menyiapkan kegiatan kesenian, Dawn membacakan cerita, dan Mary
Anne telah memasukkan para bayi ke dalam boks dan membantu grup
Stacey memanggang kue.
Tapi setelah makan siang usai, kami mulai mendengar suara-
suara seperti,
"Apa lagi yang akan kita kerjakan sekarang, Kristy Dawn
Stacey Mary Anne... siapa namamu? Aku lupa."
"Aku tidak mau dibacakan buku lagi."
"Tidak ada acara bagus di TV."
"Kita kan sudah memainkannya tadi."
"Hei, kita mandikan saja bayi-bayi itu!" (Yang ini ide Emma.)
"Jangan!" seru Mary Anne.
Segala sesuatunya mulai mengarah pada kekacauan yang tidak
terkontrol. Sepuluh dari empat belas anak berkerumun di ruang
bermain rumah kami. (Para bayi, Patrick, dan Maura sedang tidur di
atas tumpukan selimut di ruang duduk.) Ashley sedang berbaring-
baring di sofa, sambil mengeluh kakinya sakit dan kepalanya pusing.
Emma sedang mengejar-ngejar Katherine, walaupun Katherine tidak
suka dengan permainan kejar-kejaran itu. Andrew dan Grace sedang
melompat-lompat mengelilingi Claudia, sambil mengeluh karena
mereka tidak tahu harus mengerjakan apa. Di salah satu sudut, Karen
sedang bersama-sama Berk dan David Michael. Dengan sembunyi-
sembunyi dan gaya bersungguh-sungguh, Karen berbicara pada keduaanak laki-laki itu (sebentar-sebentar dia memandang pada Dawn), dan
sebentar-sebentar aku mendengar dia menyebut-nyebut serbuan orang
Mars. Peter menggunakan sofa untuk bermain trampolin. Dan Luke
sedang menjejerkan teko-teko mainan di lantai. Waktu aku melihat dia
mengeluarkan skateboard dari garasi dan meluncur menuju jejeran
rintangan yang telah disusunnya, aku menyadari bahwa bakal terjadi
masalah.
Pada saat yang sama Stacey juga melihat apa yang dilakukan
Luke, dan dia langsung melarangnya melanjutkan kegiatan itu.
Oleh sebab itu, aku mengajak para baby-sitter untuk berkumpul.
"Kita harus melakukan sesuatu... dengan cepat!" kataku. Aku
memandang ke luar. Hujan masih turun dengan deras.
"Pertama-tama kita perlu memisah-misahkan mereka," ujar
Dawn. "Kita harus mengelompokkan mereka ke dalam grup masing-
masing, dan setiap grup harus saling memisahkan diri. Keadaan ini
tidak bisa dibiarkan lebih lama lagi."
"Kalau sudah memisahkan diri, lalu harus melakukan apa? Itu
kan masalahnya," komentar Stacey. "Segala permainan dan kegiatan
sudah mereka lakukan. Mereka sudah membongkar semua yang ada di
dalam kotak Kid-Kit, sudah membaca semua buku yang ada,
menyanyikan semua lagu yang ada..."
"Oke, oke," sahut Dawn. "Tapi menurutku kita tetap perlu
memisahkan mereka."
"Kegiatan apa yang akan menyenangkan mereka?" ujar Mary
Anne sambil berpikir keras. "Mungkin suatu kegiatan yang melibatkan
mereka semua, yang bisa dikerjakan oleh kelompok-kelompok yang
lebih kecil.""Bagaimana kalau kita mengadakan pertunjukan?" Dawn
mengusulkan. "Anak-anak kecil juga bisa ikut."
"Menyenangkan juga," kataku. "Pokoknya, kita harus
menyibukkan mereka sampai kira-kira jam empat. Setelah itu harus
sudah mulai mendandani mereka."
"Ya ampun! Aku hampir lupa!" ujar Mary Anne.
Geladi resik upacara pernikahan akan diadakan malam itu, dan
semua orang?termasuk anak-anak dan kami, para baby-sitter?
diundang. Sebetulnya, Baby-sitters Club lebih diminta sebagai
pengawas anak-anak daripada sebagai tamu (kalau aku sih memang
harus hadir), tapi ini kesempatan baik bagi kami untuk berdandan dan
memakai pakaian kami yang terbagus.
Waktu pertama kali aku mendengar dari Mama tentang acara
istimewa itu, aku langsung menanyakan apa arti geladi resik. Ternyata
itu adalah semacam latihan yang diadakan sehari sebelum upacara
pernikahan. Pak Pendeta, mempelai perempuan, mempelai pria, dan
semua orang yang akan ikut ambil bagian dalam upacara, berkumpul
di gereja dan melatih peran masing-masing seperti layaknya sebuah
sandiwara. Sesudah itu para sanak keluarga, hadirin, dan beberapa
sahabat istimewa akan diundang dalam acara makan malam bersama,
yang biasanya diadakan oleh keluarga mempelai pria.
Masalahnya di sini adalah bagaimana caranya mempersiapkan
empat belas anak untuk acara itu. Padahal jadwal acara sore itu sangat
ketat. Akhirnya, para orangtua memutuskan bahwa segala sesuatunya
akan berjalan dengan lebih lancar jika mereka tidak harus membawa
anak-anak mereka kembali ke motel, mendandani mereka, kemudian
membawa mereka kembali ke Stoneybrook. Nah, coba kalian tebakapa yang telah mereka putuskan? Mereka meminta Baby-sitters Club
mendandani dan mempersiapkan anak-anak itu untuk acara geladi
resik, dan para orangtua tinggal menjemput anak-anak mereka yang
sudah rapi pada jam lima.
Setelah itu para anggota klub (kecuali aku) akan pulang ke
rumah masing-masing, cepat-cepat ganti baju, dan entah bagaimana
caranya mereka akan pergi ke rumah Watson. Sedang yang lainnya
akan mengikuti geladi resik, atau membantu-bantu di rumah Watson
menyiapkan makan malam.
Pagi ini anak-anak datang ke rumahku sambil membawa tas,
masing-masing dua buah. Satu tas berisi makan siang, dan yang satu
lagi berisi pakaian... setelan lengkap. Aku sudah mengintip ke dalam
tas Maura. Di dalamnya ada gaun, rok dalam, stoking, pakaian dalam
untuk ganti, sepatu pesta, dan hiasan kepala. Kuharap, tas anak-anak
lain isinya juga selengkap itu. Mendandani empat belas anak sekaligus
dalam pakaian pesta, sama saja dengan malapetaka.
Tapi aku tidak punya kesempatan untuk merasa kuatir.
"Aku ada ide, nih," Claudia angkat bicara sambil tersenyum
lebar. "Aku dapat gagasan yang lucu. Geladi resik itulah yang
mengilhami pikiranku. Daripada membuat pertunjukan atau
permainan yang itu-itu juga, bagaimana kalau kita membuat sesuatu
yang lain, misalnya upacara pernikahan?"
"Upacara pernikahan?" aku berseru.
"Yeah. Anak-anak bisa mendapatkan peran yang berbeda-beda.
Ada yang berperan sebagai mempelai wanita dan ada yang berperan
sebagai mempelai laki-laki. Kira-kira begitu.""Maksudmu kita membuat permainan untuk mengawinkan
sepasang anak kecil?" ujar Stacey sambil tertawa.
"Yap!" sahut Claudia. "Sepanjang minggu ini, mereka sudah
sering mendengar tentang pernikahan. Kita bisa mempersiapkan
mereka untuk menghadapi acara pernikahan yang sesungguhnya.
Bagaimana menurut kalian?"
Kami semua tertawa mendengarnya.
"Itu ide yang hebat, lho," kataku.
"Apa kamu masih punya pakaian-pakaian tua yang pernah


Baby Sitter Club 6 Hari Istimewa Kristy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kamu pakai waktu bermain dalam 'dunia khayalan'?" tanya Claudia.
"Ada yang lebih bagus dari itu, lho," ujarku. "Tahun lalu,
Grandma?nenekku yang lain?tiba-tiba mengirim kostum yang lucu-
lucu untuk kami. Beberapa pasti cocok untuk dipakai dalam
permainan ini. Aku akan mengambilnya."
"Dan kami akan menjelaskan rencana ini pada anak-anak," ujar
Dawn.
Sekembalinya aku ke ruang bermain dengan setumpuk kostum,
anak-anak sedang duduk-duduk di lantai sambil berbicara dengan
gembira pada Mary Anne, Stacey, Dawn, dan Claudia.
"Nah, kami baru saja memilih mempelai wanita dan mempelai
prianya," ujar Claudia.
Karen tak dapat menahan dirinya. "Aku yang jadi! Aku dan
David Michael!" dia berseru. "Karena tinggi kami sama."
Anak-anak lain secara sukarela ikut ambil bagian dalam upacara
itu. Luke akan jadi pendeta. Ashley dengan enggan akhirnya mau juga
jadi ibu mempelai wanita (dengan begitu dia bisa duduk sepanjang
waktu). Emma dan Grace berperan sebagai pengiring pengantin, danKatherine ingin menjadi gadis penabur bunga. Berk memutuskan
untuk berperan sebagai ayah mempelai wanita, yang akan
menggandeng putrinya. Andrew dan Peter sebagai penerima dan
pengantar tamu. Sedangkan Patrick (yang sudah bangun dari tidur
siangnya dan ingin berpartisipasi) akan menjadi pembawa cincin.
Kami memisahkan diri dalam beberapa grup, lalu berlatih
sesuatu dengan peran masing-masing. Setelah itu kami mulai memilih,
kostum. Mary Anne mengawasi para bayi sambil membantu
memilihkan kostum. (Ashley secara ajaib telah sembuh dari
bermacam-macam sakit yang tadi dikeluhkannya.)
Setengah jam kemudian, kami berkumpul di ruang bermain dan
berlatih lagi bersama-sama. Anak-anak sudah berpakaian dengan rapi.
David Michael juga mengenakan setelannya yang terbaik. (Kalau
pakaiannya tidak kusut sampai sore, dia bisa langsung memakainya
untuk acara geladi resik nanti.) Mary Anne telah menemukan sebuah
topi tinggi untuk David Michael di antara tumpukan baju-baju kuno.
Sebetulnya topi itu kebesaran, tapi adikku menyukainya.
Karen yang suka berdandan, telah mengenakan kostum yang
paling semarak. Dia memamerkannya dengan bangga.
"Ini kerudungku," ujarnya sambil mengusap-usap bahan brokat
berwarna merah muda mengilap, "dan topiku yang sangat, sangat
indah." (Di atas topi yang sangat, sangat indah itu terdapat sarang
burung dengan dua ekor burung di dalamnya.) "Dan aku akan
memakai gelang yang paling bagus. Mungkin sepatuku agak
kebesaran," (itu sepatu Mama) "tapi tidak apa-apa, kok. Pokoknya
gaunku terindah di antara yang lain. Coba lihat, ada berlian bertaburan
di atasnya."Bajunya lebih menggelikan lagi dari kerudungnya. Coba
bayangkan: warnanya bukan putih, tapi biru terang, dengan payet
tersebar di seluruh permukaannya. Garis pinggangnya turun sampai ke
lutut Karen.
"Itu baju pengantin?" seru Ashley. "Biasanya kan baju
pengantin berwarna putih. Atau bisa juga kuning atau apa saja, tapi
bukan seperti itu, dong!"
Karen tampak terpukul. "Kristy?" dia bertanya dengan suara
pelan.
"Yah, pada dasarnya," ujarku, "gaun pengantin bisa berwarna
apa saja."
Karen menjulurkan lidah ke arah Ashley. "Kan?"
"Kan?" Ashley menirukan dia.
"Oke, oke, kalian berdua," kata Claudia. "Jangan merusak
suasana pesta, dong!"
"Tapi aku ibunya," Ashley protes. "Para ibu kan selalu
mengomel."
Aku tertawa mendengarnya. "Barangkali," sahutku, "tapi
sebaiknya kita lanjutkan saja acara kita ini, oke?"
Anak-anak berlarian untuk berdiri pada posisi masing-masing.
Karena mereka menyadari bahwa penampilan mereka baik, maka
mereka memandang penuh harap pada kami.
"Aku akan ambil kamera!" kataku tiba-tiba. "Aku jadi
fotografernya." Aku mengambil kamera Polaroid kepunyaan Mama,
sambil berharap bahwa dia tidak keberatan meminjamkannya padaku.
"Semuanya masuk ke ruang duduk. Upacara pernikahan akan
dilangsungkan di sana, asal kalian mau berhati-hati.""Oh, pasti! Pasti!" anak-anak memadu suara.
"Oke, deh. Masing-masing siap di tempat."
Luke berdiri di tempat terhormat... di depan perapian. David
Michael dan Patrick (pembawa cincin) berdiri di sebelahnya.
Andrew dan Peter (pengantar tamu) menuntun Ashley dan para
baby-sitter dengan tiga anak kecil untuk duduk di sofa dan kursi
dengan sandaran tangan. Setelah itu mereka bergabung bersama Luke,
David Michael, dan Patrick di depan.
"Oke, pengiring pengantin boleh masuk," aku berbisik pada
Emma dan Grace yang sedang mengintip ke ruang duduk.
Anak-anak itu berjalan pelan-pelan menyeberangi ruangan.
Grace setiap kali menginjak ujung gaunnya yang kepanjangan.
Mereka menempatkan diri di kiri-kanan Luke.
Katherine masuk kemudian. Dia tampak seperti penari balet.
Sambil berjalan, dia menyebarkan guntingan kertas berwarna dari
dalam keranjang yang dibawanya. Karen, mempelai wanita yang
cantik, berjalan di belakangnya bersama Berk.
Dia bergabung bersama David Michael, kemudian berdiri
menghadap Luke. Berk duduk di sebelah Ashley.
Klik, klik. Klik, klik Aku berusaha mengabadikan setiap
momen penting.
"Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya," ujar Luke dengan
bersungguh-sungguh, memulai pidato yang telah disiapkannya, dan
selalu berubah-ubah setiap kali dia membawakannya. "Kita semua
berkumpul pada hari ini untuk menyatukan kedua teman kita dalam...
dalam..." Dia memandang ke arah Stacey, seakan-akan minta
pertolongan. "Bagaimana mengatakannya?""Ikatan perkawinan suci," Stacey berbisik.
"Dalam... dalam... ikatan suci." (Para baby-sitter berusaha
menahan tawa.) "Pernikahan adalah peristiwa penting," Luke
melanjutkan. "Kalian harus betul-betul dalam keadaan sadar. Kalau
kalian benar-benar sudah siap, baru kalian bisa mengucapkan janji
kalian. Kalian siap?"
"Kami sudah siap," ujar Karen dan David Michael.
"Oke. Karen, apakah kamu berjanji akan menyayangi suamimu
dan membantu dia dan tidak cuma nongkrong di depan TV?"
"He-eh."
"Oke. Dan David Michael, apakah kamu mau berjanji untuk
menyayangi istrimu dan membantu dia dan mengajari dia naik sepeda
roda dua?"
"Yeah."
"Oke. Ngomong-ngomong, apakah kalian ingin punya anak?"
"Ya," ujar Karen.
"Tidak," sahut David Michael.
"Kalau punya anak, jaga mereka baik-baik, oke?"
"Yeah," Berk berkata. "Jangan atur waktu tidur mereka."
"Dan jangan marah-marah kalau mereka lupa memberi makan
anjing," tambah Luke.
"Dan sekali-sekali," kata Emma, "biarkan mereka memasuki
toko mainan dan kalau mereka berkata, 'Bolehkah aku membeli ini?'
kamu harus berkata, 'Ya', walaupun harganya empat puluh dolar."
"Baiklah," ujar kedua mempelai.
"Bagus." Luke mengangguk ke arah Patrick.Patrick memberikan sebuah cincin pada David Michael dan
adikku langsung memasangnya di jari Karen.
"Kamu boleh mencium mempelai wanita!" Luke
mengumumkan dengan penuh semangat.
"Apa?!" pekik David Michael. Topinya merosot menutupi
matanya. "Kamu tidak pernah mengatakannya tadi!"
"Ow, ow!" seru Karen.
Foto-foto pernikahan itu diakhiri dengan adegan Karen dan
David Michael sedang berlari keluar dari ruang duduk sambil
berteriak-teriak.
Sudah saatnya bersiap-siap untuk geladi resik yang
sesungguhnya.Bab 12
Menjelang Pernikahan:
Jumat sore?setengah hari lagi
SESAAT setelah kami berhasil menenangkan Karen dan David
Michael, waktu berdandan dan berpakaian untuk menghadiri makan
malam di rumah Watson pun tiba. Aku membagi-bagikan tas berisi
pakaian pada para baby-sitter, dan mereka langsung memisahkan diri
dan mencari tempat bersama grup masing-masing. Aku mengajak
Grace, Katherine, dan Andrew (dalam keadaan rewel) ke ruang
bermain untuk berganti pakaian.
Aku mulai mencium adanya ketidakberesan waktu membuka
tas Andrew dan ternyata di dalamnya ada gaun kuning.
"Lho, kok?" ujarku. "Barangkali salah tas. Katherine, mungkin
ini tas kamu. Atau kamu punya, Grace?"
"Bukan punyaku," jawab Katherine.
"Bukan punyaku," sahut Grace.
Aku memeriksa tas itu lagi. Jelas tertulis nama Andrew di
depannya.
"Hmm," kataku.
"Hei, Kristy!" Mary Anne memanggil dari dapur. "Coba ke sini
sebentar.""Kalian tetap tinggal di sini," aku berkata pada grup kuning.
"Ada apa, Mary Anne?"
"Coba kamu lihat ini," dia berkata pada saat aku memasuki
dapur. Dia memegang sebuah dasi kupu-kupu dan sebuah pantalon
dari kain flanel. "Aku menemukannya di dalam tas Beth. Dan rok
dalam ini di tas Tony," dia menambahkan, sambil menunjuk pakaian
dalam putih yang dihiasi renda-renda. "Ini pasti punya Ashley,
soalnya ukurannya terlalu besar untuk anak-anak lain."
Pada waktu Claudia memanggilku dengan nada jengkel dari
ruang duduk, Stacey bergegas masuk sambil mendorong Emma. "Nah,
Emma Meiner, ceritakan pada sepupumu apa yang tadi kaukatakan
padaku."
Emma sepertinya tidak dapat memutuskan apakah ia harus
tertawa atau menangis.
"Emma...," Stacey berkata sambil mendorongnya.
"Aku menukar pakaian-pakaian," Emma berbisik.
"Apa?" aku mengomel.
"Aku menukar pakaian-pakaian itu," dia mengulangi, lebih
keras. "Tidak semuanya, sih. Cuma satu atau dua potong dari setiap
tas. Aku melakukannya waktu kalian sedang menyiapkan makan
siang."
"Emma!" aku berseru. Aku marah sekali. Biasanya aku tidak
pernah marah kalau sedang bertugas sebagai baby-sitter, tapi aku tidak
tahan menghadapi ulah Emma yang sudah keterlaluan. Selama ini,
Baby-sitters Club selalu merasa waswas, karena kami harus
membuktikan bahwa kami sanggup bertanggung jawab atas sekian
banyak anak. Dan semuanya sudah berjalan dengan baik sampaisekarang... jam empat hari Jumat sore. Rasanya sulit dipercaya bahwa
Emma sampai hati membuat nama kami jadi buruk pada jam-jam
terakhir dari proyek terbesar yang pernah kami kerjakan ini.
"Emma...," kataku lagi, sambil berusaha mengendalikan emosi.
"Ya?" Air mata mulai menetes di pipinya.
"Emma, kelakuanmu sudah kelewatan. Sekarang sudah jam
empat. Tinggal satu jam lagi waktu kita untuk bersiap-siap sebelum
para orangtua datang menjemput untuk geladi resik dan makan
malam. Mereka mengharapkan agar kita?semuanya?sudah
berdandan dan berpakaian rapi. Gara-gara kamu kita tidak bisa siap
pada waktunya. Sekarang, sementara kami membereskan baju-baju
yang tertukar, kamu duduk diam-diam di ruang kerja dan renungkan
perbuatanmu ini."
Aku mengantar dia masuk ke ruang kerja dan menyuruhnya
duduk di sofa. "Duduk diam-diam. Jangan sentuh apa pun. Duduk dan
renungkan." Aku menutup pintu.
Setelah itu aku mengumpulkan para baby-sitter, semua anak
(kecuali Emma), dan semua tas pakaian di ruang duduk. Semuanya
makan waktu setengah jam, tapi akhirnya kami merasa yakin bahwa
setiap potong pakaian sudah masuk ke tas yang benar. Beberapa
potong pakaian ditandai dengan kartu nama pemiliknya. Anak-anak
yang lebih besar mengenali pakaian masing-masing dan barang-
barang milik adik-adik mereka. Tapi teman-temanku dan aku tetap
masih harus menerka-nerka barang-barang yang tersisa kira-kira
kepunyaan siapa.
Jam setengah lima kami memisahkan diri lagi ke dalam grup
masing-masing, dan aku mengeluarkan Emma dari ruang kerja."Maafkan aku, Kristy," dia berkata, dan aku merasa menyesal
telah menghukumnya. Dia habis menangis.
"Aku juga menyesal karena marah-marah padamu. Tapi kamu
harus berjanji untuk tidak berbuat nakal lagi hari ini. Atau besok,"
tambahku, sambil membayangkan kekacauan apa yang akan terjadi
pada saat upacara pernikahan berlangsung. "Kita semua harus
bersikap semanis mungkin."
"Aku berjanji," ujar Emma dengan suara pelan.
"Oke," jawabku. Aku memeluknya, kemudian mengantarnya ke
grup Stacey.
Setengah jam kemudian, empat belas anak yang sudah
berpakaian rapi sedang mondar-mandir di ruang duduk. Para orangtua
belum muncul.
"Hei, kita berfoto dulu!" ujarku. Isi kamera Polaroid masih
tersisa dua.
"Ya! Ya!" seru anak-anak.
Claudia, sang seniman, mulai mengatur posisi mereka. "Kamu
yang besar-besar duduk di sofa... Bukan, bukan di belakang sofa,
Berk. Di atas sofa, seperti biasanya orang duduk. Oke, bagus. Dan
anak-anak yang pendek-pendek duduk di lantai di depan mereka.
Katherine, tahan adikmu, oke? Bukan, tahan dia. Dia hampir merosot.
Grace, bantu Beth. Dia meronta-ronta. Dudukkan di pangkuanmu,
oke?"
Claudia berpaling padaku. "Cepat, Kristy! Sebelum mereka
bergerak!"
Aku menjepret mereka. Waktu potretnya jadi, ternyata Tony
sedang menunduk sehingga wajahnya tidak tampak, Beth sedangmenarik rambut Grace, dua anak memejamkan mata, dan Berk sedang
menyikut David Michael yang duduk di sampingnya.
"Kita coba sekali lagi," ujarku. "Masih ada satu kesempatan.
Kali ini, buka mata kalian, lihat ke kamera, senyum, dan jangan
menyikut-nyikut orang!"
Klik.
Potret kedua sangat bagus.
Anak-anak masih berpose di sekitar sofa waktu para orangtua
masuk.
Mulai terdengar "Ooh" dan "Aah" penuh kekaguman.
"Menggemaskan sekali."
"Oh, siapa anak yang tampan itu?"
"Potret ini bisa menjadi kartu Natal yang lucu, lho."
"Mungkin dasi Patrick tertukar dengan anak lain."
"Kenapa Beth pakai celana ketat?"
Para anggota Baby Sitters Club saling berpandangan, lalu
memandang pada Emma. Tidak ada yang mengucapkan sepatah kata
pun. Kami tidak ingin mengadukan perbuatan Emma. Untungnya,
sudah tidak ada waktu lagi untuk mempersoalkan pakaian. Lagi pula
anak-anak memang tampak mengagumkan. Jadi para bibi dan paman
serta keluarga Fielding langsung mengantar anak-anak mereka,


Baby Sitter Club 6 Hari Istimewa Kristy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditambah Karen dan Andrew, ke rumah Watson. Sekarang tinggal
kami, para anggota Baby-sitters Club, yang masih harus berdandan
dan berganti pakaian.
Waktu mereka sudah pergi, aku berpaling pada Mama. "Aduh,
rumah rasanya kosong, ya," ujarku. "Aku bakal kehilangan mereka.""Tidak juga, sih," Sam dan Charlie angkat bicara. Sepanjang
minggu mereka hampir tak pernah memperlihatkan batang hidung.
Dan sore itu pun, mereka sengaja baru pulang tepat lima menit
sebelum semua pergi.
"Aku mungkin akan kangen pada mereka," David Michael
berkata, "mungkin juga tidak." Dia berlari menaiki tangga dan masuk
ke kamarnya.
"Dia senang karena tidak perlu lagi membagi mainan-
mainannya dengan anak-anak lain," aku menjelaskan pada Mama.
"Tapi dia akan kangen untuk bermain-main lagi dengan anak-anak
seumurnya."
"Mungkin," ujar Mama sambil berpikir, "dia dan Karen bisa
lebih saling menyesuaikan diri daripada perkiraan Mama semula."
Aku merasa gembira, tapi pada saat aku melewati Sam ketika
sedang menuju dapur, aku mendengarnya menggerutu, "Jangan terlalu
berharap."
Aku tak akan menceritakan secara rinci bagaimana jalannya
geladi resik itu. Pokoknya semuanya berjalan lumayan lancar,
mengingat kami melatih upacara yang seharusnya dilakukan di udara
terbuka itu, di ruang serba guna gereja. Satu-satunya gangguan kecil
terjadi ketika Karen mendapat kabar bahwa toko bunga tidak dapat
menyediakan bunga mawar kuning, dan sebagai gantinya dia
ditawarkan yang berwarna putih. Muka Karen langsung memerah dan
matanya membelalak sedemikian lebar sampai-sampai hampir copot
dari kepalanya.
"Ada apa, sih?" tanya ayahnya."Mawar putih," keluh Karen. "Artinya ilmu sihir putih.
Morbidda Destiny ada di sebelah rumah dengan ilmu sihir hitamnya,
jadi ada dua ilmu sihir yang akan bentrok?dan setelah itu..." Karen
memperagakan gerakan seakan-akan menggorok lehernya sendiri..
David Michael menjerit.
"Ada apa?" ujar Pak Pendeta dengan bingung.
"Tidak, tidak ada apa-apa," Watson cepat-cepat menjawab.
"Karen, Papa tidak mau lagi mendengar satu kata pun tentang cerita-
cerita itu. Tidak satu kata pun."
Tapi Karen tidak bilang apa-apa, dan aku tahu bahwa itu berarti
dia tidak setuju disuruh tutup mulut.
Semua orang kecuali aku segera melupakan kejadian cerita
Karen tentang ilmu sihir itu.
Acara makan malam di rumah Watson ternyata sangat
menyenangkan. Kami semua, para baby-sitter, telah berdandan seperti
akan pergi ke pesta dansa di sekolah. Claudia telah membantuku
memilih baju baru, seminggu yang lalu. Sebuah sweter putih
berukuran besar dengan anyaman benang-benang perak. Baju seperti
itu bukanlah tipe yang biasa kupakai?dan aku merasa penampilanku
sangat mempesona.
Sepanjang acara makan malam, kami semua duduk mengelilingi
dua buah meja panjang di ruang makan Watson. Para anggota Baby-
sitters Club membantu anak-anak dan mengawasi mereka supaya tidak
ribut. Tapi sesudahnya, peranan kami di situ lebih sebagai tamu. Aku
mengajak sahabat-sahabatku melihat kamar yang baru-baru ini telah
kuputuskan untuk menjadi kamar tidurku.
"Oh... besar sekali," ujar Dawn kagum."Bayangkan betapa mengasyikkan acara menginap yang bisa
kamu adakan di sini," tambah Stacey.
"Bayangkan apa saja yang bisa kamu pasang di kamarmu," kata
Claudia. "Lukisan di dinding... Mungkin juga kamu bisa memasang
tempat tidur berkanopi, atau apa saja."
"Yeah," jawabku pelan. "Yang lebih penting, jendelanya tak
menghadap ke rumah Morbidda Destiny. Tidak juga menghadap ke
kamarmu, Mary Anne, tapi pemandangan ke halaman belakang masih
lebih bagus daripada ke rumah Bu Porter."
"Memang, sih," sahut Mary Anne dengan sedih.
Acara terpenting malam itu tiba setelah makan malam berakhir.
Watson dan Mama mengajak para anggota Baby-sitters Club
menyingkir dan membagikan lima amplop yang masing-masing berisi
cek sebesar seratus tiga puluh dolar.
"Yang seratus dua puluh untuk pelaksanaan tugas yang telah
kalian kerjakan dengan baik," Mama berkata pada kami.
"Dan sepuluh dolar sebagai bonus," tambah Watson.
Aku memandang kawan-kawanku sambil terbengong-bengong.
Kami kaya mendadak!
Setelah kami mengucapkan terima kasih pada Mama dan
Watson, kami pulang ke rumah masing-masing. Besok adalah... hari
pernikahan!
(Dan aku masih belum dapat ide hadiah apa yang akan
kuberikan pada Mama dan Watson.)Bab 13
Menjelang Pernikahan:
Sabtu?nol jam lagi
HO-REEE!"
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba?hari pernikahan.
Aku terjaga dari tidurku dan secara spontan langsung bangkit
berdiri, tanpa tahu kenapa. Beberapa detik kemudian aku baru teringat
bahwa aku harus cepat-cepat melihat keadaan cuaca di luar. Kemarin,
hujan turun sehari penuh. Dan kalau hari ini masih hujan (gawat, nih),
upacara pernikahan terpaksa dilangsungkan di dalam rumah. Para
tamu harus berdiri berdesak-desakan di ruang duduk rumah Watson,
seperti ikan sarden di dalam kaleng.
Aku berdiri di depan jendela kamarku, lalu bergerak untuk
menarik ujung tirainya. Tapi kemudian kuurungkan niatku itu.
Bagaimana kalau ternyata cuaca di luar benar-benar hujan. Pasti
Mama akan sedih dan uring-uringan.
Akhirnya aku memberanikan diri. Dan ternyata hari yang cerah
menyapaku, pada saat aku menarik tirai jendela.
"Oh, terima kasih, terima kasih, terima kasih!" aku berseru.
"Nah, semoga saja sekarang aku dapat ide untuk hadiah pernikahan
Mama dan Watson."Sambil berlari turun, aku berpikir. Cangkir? Tidak. Tempat
keju? Tidak juga. Penindih kertas? Tidak, ah. Teko beling? Tidak
cocok.
Upacara pernikahan baru akan dilangsungkan pada jam dua
siang nanti. Tapi pagi hari rasanya berjalan dengan sangat cepat,
karena masih banyak yang harus dikerjakan. Nannie datang untuk
membantu kami. Dia membantu Mama membereskan pakaian untuk
berbulan madu. Kemudian dia, Mama, dan Pink Clinker (tentu saja),
berangkat ke sebuah salon kecantikan untuk menata rambut. Waktu
mereka kembali, Nannie memaksa kami untuk mengisi perut.
"Aku tidak kepingin salah satu dari kalian nanti pingsan dalam
upacara," ujarnya.
"Tapi, aku terlalu gugup untuk makan," Mama menyahut.
"Sedikit saja," Nannie mendesak. Suasana seperti itu
menunjukkan bahwa Nannie adalah ibu, dan Mama anaknya.
Setelah kami makan secukupnya, sekadar untuk menyenangkan
hati Nannie, tibalah saatnya untuk berpakaian. Aku masuk ke
kamarku, menutup pintu, dan dengan perasaan tegang bercampur
gembira, aku mengambil gaun pengiring pengantin dari dalam lemari.
Gaun itu sudah dicuci, dan sejak kemarin tergantung di sana di dalam
kantong plastik transparan.
Baru saja aku berniat untuk memakainya, tiba-tiba terlintas
sesuatu dalam pikiranku. Aku berlari ke jendela. "Hei, Mary Anne!"
aku berseru sambil berharap bahwa dia berada dalam kamarnya.
"Mary Anne!"
Mary Anne melongok dari jendela kamarnya."Ayo, kemari!" seruku. "Kamu mau membantuku berpakaian,
kan?"
"Jelas, dong!"
Mary Anne sampai di kamarku dengan kecepatan yang
memecahkan rekor. Dia membantuku mengeluarkan gaun itu dari
dalam kantongnya. Kemudian dia membantuku menutup ritsleting.
Baju itu pas betul. Nannie memang luar biasa.
"Oh, Kristy," bisik Mary Anne, "kamu cantik, lho!"
"Makasih," sahutku. "Aku memang merasa cantik dengan gaun
ini."
Aku mulai mengenakan stoking putih dan sepatu baruku.
"Bagaimana kalau aku tiba-tiba tersandung nanti?" aku berseru.
Pikiran-pikiran buruk mulai terlintas dalam otakku.
"Itu tidak akan terjadi," Mary Anne meyakinkanku.
Bunga tangan dan rangkaian bunga untuk dipakai di atas
kepalaku telah dikirim ke rumah Watson, jadi untuk sementara waktu,
cuma sejauh ini aku bisa berdandan. Setelah Mama, Nannie, dan
saudara-saudaraku selesai berpakaian, (kami semua tampak sangat
anggun!) Nannie mengantarkan kami ke rumah Watson.
"Sampai ketemu di rumah Watson, ya!" aku berseru pada Mary
Anne dari jendela Pink Clinker.
Kami sampai di rumah keluarga Brewer. Mama dan Watson
dilarang untuk saling bertemu (karena hal itu dianggap membawa sial
atau semacam itu), jadi Mama, Karen, dan aku langsung masuk ke
kamar tidur tamu. Di situlah Nannie akan menyelesaikan dandanan
kami.Karen luar biasa gembira. Dia melompat-lompat dan menari-
nari mengelilingi kamar. "Oh, akulah gadis penabur bunga," dia
bernyanyi. "Penabur bunga, penabur bunga. Dan inilah bunga mawar
berilmu sihir putih..."
"Karen, Manis," ujar Mama dengan sabar, "duduklah dulu
untuk beberapa menit. Kamu kecapekan nanti."
"Ma! Oh, tidak!" aku berseru tiba-tiba.
"Ada apa, Kristy?" tanya Mama menegurku.
"Mungkin agak terlambat aku mengatakan ini, tapi apa Mama
sudah punya sesuatu yang kuno, sesuatu yang baru, sesuatu yang
merupakan barang pinjaman, dan sesuatu yang berwarna biru?"
"Kamu boleh percaya boleh tidak, tapi Mama sudah punya
semuanya," ujar Mama. "Anting-antingku antik, gaunku baru, Mama
telah meminjam kalung mutiara ini dari Nannie, dan... ehm... sebagian
dari pakaian dalam Mama berwarna biru ?biru muda."
Karen mulai tertawa cekikikan.
Nannie meninggalkan kamar untuk beberapa saat. Sementara itu
Andrew muncul di ambang pintu. Tali sepatunya masih belum terikat,
hemnya belum dikancingkan, rambutnya masih acak-acakan, dan dia
masih menyeret-nyeret dasinya di lantai.
"Andrew!" seru Mama. "Kenapa kamu masih belum siap juga,
Sayang?"
"Habis, semua orang sibuk," Andrew merengek, "dan aku perlu
bantuan."
"Sini aku bantu," ujarku. Aku merapikan baju Andrew,
kemudian mengantarnya ke ruang depan. Secara tidak sengaja aku
melihat keluarga Fielding. "Andrew, kamu nanti duduk bersamateman-temanmu, ya. Di sana ada Katherine dan Patrick. Duduk
bersama mereka, ya." ebukulawas.blogspot.com
Baru saja Andrew berlari meninggalkanku, Nannie sudah
kembali. "Sudah waktunya!" dia berkata dengan tegang.
Mama dan Nannie berpelukan.
Aku berlari ke jendela dan mengintip ke luar. Ternyata jalanan
di depan rumah Watson sudah dipenuhi mobil-mobil para tamu.
"Tamu-tamu sudah berdatangan, ya?" aku memekik.
"Mereka telah duduk dan menunggu," jawab Nannie.
Waduh!
"Nah, apa kalian berdua sudah tahu betul apa yang harus
dilakukan?" tanya Mama pada Karen dan aku untuk kesekian juta
kalinya.
"Ya," sahut Karen.
"Tahu," kataku.
"Baiklah. Ayo kita mulai."
Nannie membimbing kami melintasi rumah Watson menuju
pintu yang berhubungan dengan teras belakang. Di sana kami
berjumpa dengan Sam dan Charlie. Mereka kelihatan sangat tampan
dan serius, sehingga hampir-hampir tak seperti kakakku lagi.
Sam menggandeng Nannie menuju lorong yang memisahkan
deretan kursi-kursi para tamu, lalu mempersilakannya duduk di
deretan paling depan. Para tamu mengawasi setiap gerak-geriknya,
dan berbisik-bisik sambil mengangguk-angguk. Setelah itu dia
bergabung bersama David Michael (pembawa cincin) dan Pak Pendeta
di depan para tamu.Aku menarik napas dalam-dalam. Sampai saat itu aku belum
sempat memperhatikan halaman belakang rumah Watson. Ternyata
segala sesuatunya telah ditata dengan sangat indah. Untaian bunga
yang digantungkan di antara tiang-tiang telah menjadi pembatas yang
memisahkan para tamu dengan tempat berdirinya pemimpin upacara,
Sam, dan David Michael. Di belakang mereka diletakkan semacam
pergola yang juga dipenuhi bunga. Semuanya itu akan tampak lebih
sempurna kalau tidak dilatarbelakangi rumah Morbidda Destiny.
"Oke, Kristy. Kamu berikutnya, Sayang," ujar Mama.
Pemain piano di teras mengalunkan lagu pernikahan. Aku
berdiri terpaku selama beberapa saat, untuk berkonsentrasi. Lalu
sambil menggenggam bunga tangan erat-erat di depan dada, aku mulai
berjalan perlahan-lahan melalui lorong di antara para tamu. Aku
menyadari bahwa semua mata memandang ke arahku, dan aku
berusaha untuk tersenyum, terutama waktu kulihat Mary Anne dan
Claudia. Tapi bibirku bergetar seperti hendak menangis.
Lorong itu rasanya tak berujung, tapi akhirnya perjalananku
berakhir juga. Aku berjalan melewati untaian bunga, lalu berdiri di
sebelah Pak Pendeta. Di sisi yang lain, berdiri saudara-saudaraku dan
Watson. Setelah aku berhasil memusatkan perhatianku pada apa yang
tengah berlangsung di depanku, baru aku bisa melihat Karen berjalan
dengan tegap menyusuri lorong, diiringi Mama yang digandeng
Charlie. Karen menaburkan bunga mawar sambil tersenyum lebar. Dia
tidak pernah canggung untuk tampil di mana pun juga.
Waktu Mama melangkah melewati Nannie, nenekku langsung
menangis.Secara jujur, aku harus mengakui bahwa adegan-adegan berikut
dari upacara itu, seperti janji-janji perkawinan dan lain-lain, agak
membosankan. Aku mengalihkan perhatianku dan melayangkan
pandangan ke arah para tamu. Mary Anne tersenyum ke arahku.
Begitu juga Dawn. Jamie Newton melambaikan tangannya sambil
berseru, "Hi-hi!" yang membuat beberapa tamu ikut tertawa
mendengarnya.
Pada saat Pak Pendeta berkata, "Anda diizinkan untuk mencium
mempelai wanita," aku baru menyadari bahwa Stacey sedang berusaha
memberikan kode-kode kepadaku. Dia menunjuk-nunjuk ke arahku...
Bukan, bukan ke arahku, melainkan ke arah Karen. Aku menengok,
tapi Karen sudah membalikkan badannya dan sedang menatap sesuatu
di belakang kami. Dari ekspresi wajahnya, aku bisa memastikan
bahwa yang dilihatnya adalah sejenis drakula.
Setelah beberapa saat, Karen mengeluarkan suara pekikan yang
memekakkan telinga. Untung saja waktunya bersamaan dengan
selesainya ciuman Mama dan Watson (ciuman yang sangat lama,
kalau boleh kutambahkan), dan para tamu mulai berdiri untuk
mengucapkan selamat.
Upacara resmi telah berakhir.
Aku masih kepingin tahu apa yang telah terjadi. Kupalingkan
wajahku.
Dan ternyata Morbidda Destiny sedang berdiri di belakangku
dengan pakaian serba hitam, sorot mata menyeramkan, dan rambut
sihir yang berantakan.
"Ilmu sihir!" Karen merengek. "Ilmu-ilmu sihir itu akan saling


Baby Sitter Club 6 Hari Istimewa Kristy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berperang!"Morbidda Destiny memandang Karen dengan bingung.
Kemudian dia menoleh ke arahku. "Aku datang untuk menyerahkan
ini pada kedua mempelai," ujarnya, sambil menyodorkan sebuah
bungkusan.
"Jangan diterima!" Karen berteriak. "Isinya pasti mantra-mantra
pernikahan! Isinya..."
Sebuah tangan tiba-tiba membungkam mulut Karen. Ternyata
Watson sudah memisahkan diri dari kerumunan para tamu.
"Oh, terima kasih banyak, Bu Porter," katanya, sambil
menerima bungkusan itu dengan satu tangan, sementara tangan yang
satu lagi masih membungkam mulut Karen. "Anda sangat baik.
Silakan bergabung bersama tamu-tamu yang lain dan selamat
menikmati hidangan yang tersedi... Ow!"
Karen telah menggigit tangan ayahnya. "Papa..."
Aku mendorong Karen menjauh. Watson menenangkan diri
untuk beberapa saat. Dan Bu Porter mulai bergabung untuk mengikuti
perayaan itu. (Karen berlari masuk rumah dan tidak mau keluar
selama wanita itu masih ada di situ.)
Belakangan, bagian katering mendorong keluar kue pengantin.
Para tamu mulai berkerumun mengelilinginya untuk menyaksikan
Mama dan Watson membuat potongan kue pertama. Mereka
melakukannya bersama-sama, keduanya menekankan pisau ke dalam
kue. Kemudian mereka masing-masing menggigit kue itu dengan
saling menyilangkan pergelangan tangan. Aku bisa melihat cincin
mereka bersinar tertimpa cahaya matahari.Mereka telah bersatu, pikirku. Yang satu telah menjadi bagian
dari yang lain. Keluarga dari kedua belah pihak juga akan bersatu,
yang satu akan menjadi bagian dari yang lain.
Tiba-tiba terasa air mata mulai membasahi pipiku.
Dan pada saat itulah aku tahu apa yang akan kuhadiahkan pada
Mama dan papa tiriku itu.Bab 14
"SELAMAT tinggal! Sampai bertemu lagi!"
Satu per satu mobil-mobil para sanak saudara meninggalkan
rumah Watson. Pesta pernikahan sudah selesai, para tamu sudah
pulang, dan kini para sanak saudara mulai berpamitan pula.
"Sampai jumpa, Luke! Dadah, Emma! Jangan nakal, ya. Dadah,
Beth!"
Keluarga Meiner sudah pergi.
"Jaga kakimu, Ashley! Dadah, Peter! Dadah, Grace!"
"Salam super power!" (Begitulah cara David Michael
mengucapkan selamat tinggal pada Berk.)
Keluarga Miller juga sudah pergi.
Seorang teman Watson akan mengantar Karen dan Andrew ke
tempat ibu mereka. Dan mereka bertiga pun telah pergi.
Yang terakhir pergi adalah Mama dan Watson. Mereka akan
berbulan madu di sebuah hotel kecil di Vermont. Saudara-saudaraku
dan aku akan ditinggalkan selama satu minggu!
Sebelum Mama masuk ke dalam mobil, dia masih sempat
menyebutkan sebuah daftar panjang yang berisi instruksi-instruksi
pada kami."Jangan lupa mengajak Louie jalan-jalan sebelum kalian pergi
tidur. Dan jangan lupa mengganti air minumnya. Kunci rumah kalau
kalian akan keluar. Charlie, kamu yang bertanggung jawab. David
Michael, ingat vitamin-vitaminmu."
"Ow, Ma."
"Dan, Sam..."
"Ma, Ma, kami sudah tahu semuanya," ujarku. "Percaya, deh,
pada kami. Kami tidak akan meninggalkan kompor yang masih
menyala..."
"Oh, Mama belum terpikir sampai ke sana," seru Mama.
"...dan kami akan mencuci piring dan kami tahu di mana Mama
meletakkan uang untuk keadaan darurat."
"Dan aku akan menelepon mereka," Nannie angkat bicara. Dia
berdiri di belakang kami. Nannie akan mengantar kami pulang, lalu
dia akan melanjutkan perjalanan pulang ke rumahnya. Dia tampak
letih.
"Sayang, ayo kita berangkat," ujar Watson.
"Oh... baiklah." Mama berusaha untuk memeluk kami
sekaligus.
Aku mencium pipi Watson dan dia bilang bahwa aku telah
menjadi pengiring pengantin yang cantik sekali.
Dua menit kemudian, Mama dan Watson sudah pergi
meninggalkan kami. Watson membunyikan klakson mobilnya
sepanjang jalan.
Waktu Nannie menurunkan Charlie, Sam, David Michael, dan
aku, kami melambaikan tangan padanya bersamaan dengan
menjauhnya Pink Clinker. Lalu kami masuk ke dalam rumah. Secaraspontan, kami berempat langsung merebahkan diri di ruang duduk.
Louie ikut bergabung, tidur-tiduran di antara kami.
Baru saja aku menyangka bahwa saudara-saudaraku sudah
tertidur semuanya, tiba-tiba keheningan dipecahkan oleh gelak tawa
Charlie. Lalu dia berkata dengan suara dibesar-besarkan, "Ayolah,
kalian semua. Kalian dengar, kan, apa kata Mama. Akulah yang
berkuasa di sini dan akulah yang berhak menetapkan peraturan."
Aku mengangkat alis. Dasar Charlie! Diberi sedikit tanggung
jawab saja sudah besar kepala.
"Makan pizza setiap malam. Waktu tidur dimundurkan satu
jam. Sam, dilarang makan di dapur. Makanan hanya diperbolehkan di
daerah depan TV, dengan syarat TV sedang dinyalakan. Kristy, kamu
harus, aku ulangi, harus memakai pesawat telepon selama tiga jam
sehari. Dan, David Michael, kamu periksa daftar acara TV dan
pastikan tidak ada satu film kartun pun yang terlewatkan."
"Apa aku masih harus makan vitamin?" dia bertanya
mengingatkan.
"Ya, dong," sahut Charlie. "Pokoknya kalian jangan sia-siakan
keberuntungan ini."
Kami berempat tertawa histeris. Bagus juga, karena aku baru
saja mengalami suasana yang mengharukan?upacara pernikahan dan
setelah itu kepergian Mama dan sebagainya.
Setelah kami selesai menertawakan peraturan-peraturan yang
dibuat Charlie, aku masuk ke kamarku dan mulai mengerjakan hadiah
yang kurencanakan untuk Mama dan Watson. Pada akhirnya nanti aku
membutuhkan bantuan Claudia, tapi setidak-tidaknya aku harus
menumpahkan ideku dulu di atas sehelai kertas, sebelum minta tolongpadanya. Aku melihat buku ensiklopedi pada bagian tentang silsilah
keluarga, kemudian membuat sedikit corat-coret di atas kertas.
Semoga saja hadiah ini sudah selesai dibuat pada saat mama dan papa
tiriku pulang.
Malam itu, sebelum David Michael tidur, adikku itu melongok
ke dalam kamarku, lalu berkata, "Hai, Kristy, aku sudah tahu hadiah
apa yang akan kuberikan pada Mama dan Watson."
"Apa?" tanyaku.
"Ikan mas," dia menyahut.
Dan itulah yang dihadiahkannya pada mereka.
Keesokan harinya aku menceritakan ideku pada Claudia. Aku
pergi ke rumahnya, supaya kami bisa memilih bahan-bahan untuk
membuatnya.
"Lihat! Ini kan memperlihatkan keluarga dari kedua belah
pihak," ujarku, "dan bagaimana mereka bisa menjadi satu. Tapi aku
butuh bantuan untuk membuat desainnya. Aku kepingin minta tolong
padamu untuk membuatkan gambar pita besar, dan tolong tunjukkan
padaku bagaimana caranya kamu membuat bunga-bunga kecil seperti
dalam tugas Pak Fineman tahun lalu."
"Atau barangkali kamu perlu memakai pita betulan," usul
Claudia.
"Oh, betul juga! Dan mungkin juga latar belakangnya bisa lebih
manis kalau dibuat dari kertas pelapis dinding atau semacam itu."
Claudia dan aku tenggelam dalam kesibukan masing-masing.
Kami terganggu waktu mendengar bel pintu depan, yang
disusul dengan suara langkah kaki? beberapa pasang kaki?berlarike atas. Stacey, Dawn, dan Mary Anne muncul di ambang pintu kamar
Claudia.
"Hai, teman-teman!" ujar Dawn. "Kami mencari-cari kalian."
"Lihat apa yang kubawa," kata Stacey. "Foto-foto pernikahan.
Mama dan aku telah mencetaknya di pusat kota, di tempat yang bisa
mencuci-cetak dalam satu jam. Toko itu buka pagi ini."
"Ooh!" aku memekik. "Coba lihat, dong!"
Claudia dan aku spontan meninggalkan pekerjaan kami. Kami
berlima duduk di lantai, dan teman-temanku mengintip lewat
pundakku saat aku membuka amplop itu.
"Itu kamu, sedang bersiap-siap untuk berjalan melalui lorong,"
ujar Stacey. "Dan itu kamu waktu berjalan di lorong."
"Perhatikan ekspresi wajahku!" aku berseru.
"Kamu kelihatan tegang," komentar Mary Anne.
"Bukan, dia kelihatan seperti ingin menangis!" seru Dawn.
"Menurutku, kedua-duanya benar," kataku. "Waduh, gaunku
bagus sekali, ya?"
"Indah."
"Pas betul."
"Di mana sekarang?"
"Akan kamu apakan?"
Kami semua berbicara bersamaan.
"Ada di dalam lemari, terbungkus plastik," aku berkata pada
mereka. "Aku belum tahu akan kuapakan gaun itu. Sebentar lagi juga
pasti kesempitan.""Oh, jangan, dong!" rengek Mary Anne. "Kalau kamu sudah
mulai menjadi besar, bagaimana dengan aku? Aku bakal jadi anak
paling kecil di kelas nanti."
"Hei, itu Mama dan Watson sedang berciuman!" seruku.
"Stacey, aku tidak percaya bahwa kamu bisa memotret adegan seperti
itu!"
Stacey tersenyum malu. "Kupikir kamu kepingin momen itu
diabadikan."
Aku menyikutnya.
"Itu Karen, kamu, Watson dan Morbidda Destiny," ujar Mary
Anne pelan. Dia merasa ngeri.
"Sulit dipercaya bahwa Mor... Bu Porter sebentar lagi akan
menjadi tetanggaku," aku berbisik. Cepat-cepat kuselipkan foto itu ke
deretan paling belakang. "Itu Mama dan Watson sedang memotong
kue," ujarku, sambil melihat foto selanjutnya. "Fotomu bagus-bagus,
Stacey. Hei, teman-teman, adegan inilah yang memberiku inspirasi,
sehingga aku tahu hadiah apa yang akan kuberikan pada Mama dan
Watson."
"Adegan apa?" tanya Stacey.
"Mama dan Watson, waktu mereka saling menyilangkan
pergelangan tangan. Seperti di foto ini. Terpikir olehku bagaimana
pernikahan mereka akan menjadikan keluarga dari kedua belah pihak
juga bersatu, membentuk suatu keluarga baru. Oleh sebab itu, aku
mendapat ide untuk membuatkan mereka semacam pohon keluarga
yang memperlihatkan keluarga baru itu. Claudia membantuku
mengerjakannya. Kalian kepingin tahu apa yang akan kami kerjakan?"Aku memamerkan pada mereka apa yang sedang kami
kerjakan. "Di bagian atas," aku menjelaskan, "adalah Karen dan
Andrew. Garis ini menunjukkan bahwa mereka adalah anak-anak
Watson. Di bagian tengah, Mama dan Watson bersatu dalam sebuah
gambar hati. Dan garis-garis di bawah nama Mama menunjukkan
bahwa saudara-saudaraku dan aku adalah anak-anaknya. Dengan
demikian jadilah keluarga baru."
"Betul-betul hadiah yang unik," ujar Mary Anne.
"Yeah," Dawn setuju. "Menurutku hadiah ini akan sangat
berarti buat ibumu."
"Kuharap, gambar ini sudah bisa dibingkai sebelum bulan madu
mereka usai," kataku.
"Kalau kamu perlu bantuan, Mama dan aku akan mengantarmu
ke tukang pembuat bingkai dalam minggu ini."
"Sungguh? Makasih, ya."
Semua anggota Baby-sitters Club memandangi gambar pohon
keluargaku yang baru. Mama dan Watson, Karen dan Andrew,
Charlie, Sam, David Michael, dan aku. Dua keluarga bersatu dalam
sebuah keluarga baru. Itulah arti yang sesungguhnya dari pernikahan
ini.END
Ratu Pemikat 3 Wiro Sableng 002 Maut Bernyanyi Di Pajajaran Darah Ksatria 2
^