Pencarian

Claudia Dan Janine 1

Baby Sitter Club 7 Claudia Dan Janine Si Besar Kepala Bagian 1


Bab 1
"KOPI sudah siap!"
"Di mana sweterku?"
"Ma! Blus ini sudah kusetrika tadi malam. Kok sekarang kusut
lagi, sih? Kenapa bisa begitu?"
"Aku perlu uang dua dolar!"
"Aku bilang, kopi sudah siap!"
Begitulah suasana pagi hari di rumahku. Pada musim panas
maupun musim dingin, orangtuaku, kakakku, dan aku selalu terburu-
buru untuk pergi ke arah yang berbeda-beda. Karena pada saat itu
bulan Juli dan sekolah sedang libur, maka Janine, kakakku, akan
berangkat ke Universitas Stoneybrook untuk mengikuti kuliah musim
panas tingkat lanjut; aku mau pergi untuk mengikuti kursus melukis;
dan Mama dan Papa hendak berangkat kerja seperti biasa. Satu-
satunya orang yang tidak pergi ke mana-mana adalah Mimi, nenekku.
Pada hari sekolah, aku selalu malas bangun pagi. Mimi-lah
yang harus selalu mendesak-desakku untuk segera bangun, untuk
segera berpakaian, dan untuk segera berangkat. Soalnya cuma satu:
aku tidak pernah suka yang namanya sekolah.
Di musim panas seperti ini, tidak seorang pun perlu mendesak-
desakku, karena aku menyukai liburan dan kursus melukisku. Akusenang menggambar, melukis, dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan seni.
Umurku tiga belas tahun, dan itu berarti sekarang aku sudah
resmi tergolong remaja. Mama selalu bilang bahwa hal itu tidak
terlalu berpengaruh untukku, karena sebelum ini toh aku sudah
bersikap seperti remaja. Maksudnya mungkin bahwa sikapku kadang-
kadang cukup merepotkan baginya. Aku cerdas, tapi tidak menyukai
sekolah atau PR. Keluargaku bisa dibilang kolot, sedangkan aku agak
urakan. Aku suka baju-baju yang nyentrik, berdansa, dan tingkahku
kadang-kadang agak menjengkelkan.
Di lain pihak, Janine, yang berumur enam belas tahun, tidak
pernah menjadi remaja. Begitu kata Mama. Janine cerdas dan tergila-
gila pada sekolah. Tunggu, itu masih kurang tepat. Dia super cerdas
(anak jenius), dan dia bukan murid biasa. Seperti yang kuterangkan
tadi, dia juga belajar di universitas. Janine mengikuti beberapa mata
kuliah khusus, walaupun dia sebenarnya masih duduk di bangku high
school. Pokoknya, dia tidak pernah membuat masalah sama sekali.
Kerjanya cuma belajar, belajar, dan belajar. Menurut orangtuaku, dia
anak teladan. Di depan para sanak saudara kami, mereka selalu
membangga-banggakan bagaimana Janine bisa mengikuti pelajaran
tingkat perguruan tinggi, padahal usianya baru enam belas tahun.
Mereka sangat berharap, suatu hari nanti Janine bisa menjadi
orang penting, misalnya ahli fisika.
Gaya Janine berpakaian sangat ketinggalan zaman. Aku selalu
mewarisi pakaian-pakaian yang sudah tidak bisa dipakainya. Tapi,
jangan harap aku mau memakainya. Pakaian-pakaian itu langsung
kuserahkan lagi pada Kristy Thomas atau Mary Anne Spier, karenadalam soal pakaian mereka sama tidak pedulinya dengan Janine.
Kalau aku sih jangan sampai kepergok dengan model baju seperti itu.
Daripada terpaksa memakai baju-baju gratis dari Janine?misalnya,
kemeja kantoran, rok abu-abu, dan sweter berkerah?lebih baik aku
menghabiskan seluruh uang yang kudapat dari pekerjaan sebagai
baby-sitter untuk membeli baju-baju baru yang sesuai dengan
seleraku.
Sudah jelas, kan, bahwa Janine dan aku sangat berbeda?
Terus terang, kakakku dan aku tidak punya persamaan sama
sekali. Aku periang dan punya banyak teman, sedangkan Janine
bersikap tertutup dan hampir-hampir tidak punya teman. (Itulah
akibatnya kalau orangtua kalian kepingin kalian menjadi ahli fisika.)
Sampai sekarang ada dua cowok yang pernah kuanggap sebagai teman
khusus, sedangkan Janine?wah, bisa jadi dia bahkan tidak tahu apa
yang dimaksud dengan kata cowok. Aku punya banyak hobi seperti
membaca cerita-cerita misteri, menjadi baby-sitter, melukis, dan
menggambar, tetapi Janine hanya peduli pada komputernya saja.
Bahkan mengobrol dengan dia pun hampir mustahil. Dia selalu
menggunakan kata-kata sulit, sehingga aku merasa seperti berhadapan
dengan kamus hidup. Kadang-kadang dia menggodaku karena aku
tidak secerdas dia. Mama bilang semua itu sebenarnya dikarenakan
Janine ingin menjadi seperti aku, dengan banyak teman, banyak hobi,
dan juga karena dia merasa agak tersisih dari kehidupan keluarga
kami. Mama juga bilang bahwa sikapku kadang-kadang tidak adil
terhadap Janine. Menurut Mama, Janine sebetulnya juga sensitif,
penyayang, dan kreatif. Kata Mama, aku tidak pernah menyadarinya,
karena aku tidak pernah mau melihat hal-hal yang terdapat di baliksegala omong besar Janine. Di samping itu?hal ini takkan
kuceritakan pada semua orang?aku merasa bahwa aku sangat
mengecewakan kedua orangtuaku. Kecerdasan sangat penting bagi
mereka, sementara aku sendiri bercita-cita untuk menjadi seniman,
bukan ilmuwan. Aku sudah berusaha menjelaskan pada mereka bahwa
untuk menjadi seniman juga diperlukan otak yang cerdas, tapi aku
tidak berhasil meyakinkan mereka. Oke, aku memang agak sedikit
cemburu pada Janine. Habis, dia selalu bisa membahagiakan orangtua
kami.
Pokoknya, pada Rabu pagi yang sibuk itu, aku telah
mengenakan setelan favoritku yang biasa kupakai untuk mengikuti
kursus melukis?jeans hitam, T-shirt gombrong berwarna biru cerah,
dan sebuah gelang berbentuk ular yang kupakai di atas siku?dan
berlari menuruni tangga. Ternyata aku adalah orang kedua yang hadir
di dapur.
Mimi menyapaku dengan suaranya yang ramah. "Selamat pagi,
Claudia-ku," dia berkata lembut. Walaupun aku hampir-hampir tak
memperhatikannya lagi, bahasa Inggris Mimi masih berlogat Jepang.
Keluargaku memang berasal dari Jepang, dan Mimi, ibu dari Mama,
baru pindah ke Amerika Serikat pada usia tiga puluh tiga tahun. Aku
sendiri heran bagaimana caranya dia bisa berbahasa Inggris begitu
lancar, padahal setengah dari hidupnya dia hanya berbicara dalam
bahasa Jepang.
"Pagi, Mimi!" sahutku.
Mimi sedang menyiapkan sarapan pagi. (Bukan dia yang
berteriak-teriak soal kopi tadi. Itu pasti Papa. Setiap pagi, begitu
bangun dari tempat tidurnya, dia langsung bergegas menuruni tangga.Setelah itu dia segera menyeduh kopi untuk dirinya sendiri dan Mama.
Sepertinya mereka tidak bisa hidup tanpa kafein?racun kopi?dalam
tubuh mereka. Mimi dan aku minum teh seduh.)
Aku duduk di tempat yang biasa kududuki di meja dapur.
Beberapa saat kemudian, Mama bergabung bersamaku, kemudian
Janine, dan setelah itu ayahku. Mimi menghidangkan telur orak-arik,
lalu duduk di sebelahku.
"Enak sekali, Bu," ujar Mama pada Mimi. "Terus terang, aku
tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada kami, tanpa
Ibu."
"Aku juga!" tambahku.
"Dan aku juga tidak bisa membayangkan akan berbuat apa,
kalau tidak ada kalian yang harus kuurusi," kata Mimi bersungguh-
sungguh.
Mimi telah tinggal bersama kami sejak sebelum aku lahir.
Kakekku, suami Mimi, meninggal tidak lama setelah Mama dan Papa
menikah.
"Apa acara kalian hari ini?" tanya Mimi.
"Seperti biasanya," jawab Papa dengan riang. "Oh, tapi aku
akan pulang agak telat malam ini," tambahnya. "Kami harus rapat
pada jam setengah enam sore nanti. Mungkin akan makan waktu agak
lama." Papa adalah mitra kerja pada sebuah bisnis penanaman modal
di Stamford, Connecticut, yang letaknya tidak jauh dari Stoneybrook.
"Acaraku juga seperti biasanya," ujar Mama. Mama bekerja
sebagai kepala perpustakaan di sebuah perpustakaan umum di
Stoneybrook. Hal ini sangat menguntungkan untuk Janine, karena dia
membutuhkan buku seperti orang lain membutuhkan makanan dan air.Sedangkan bagiku, pekerjaan Mama kurang menguntungkan, karena
aku cuma menyukai buku-buku cerita misteri. Pengarang favoritku
adalah Nancy Drew. Buku-buku karangannya tidak terdapat di
perpustakaan, dan untuk bisa membacanya aku terpaksa sembunyi-
sembunyi di belakang orangtuaku. Menurut mereka, buku-buku
karangan Nancy Drew tidak ada manfaatnya.
"Aku," ujar Janine, "akan mengikuti satu mata kuliah pagi ini,
dan dua lagi nanti sore. Aku rasa aku akan seharian di kampus. Aku
bisa memakai komputer di perpustakaan sambil menunggu mata
kuliah berikutnya."
"Aduh, betapa sibuknya," aku bergumam. Janine selalu
berusaha agar semua yang dilakukannya terdengar sangat penting dan
menyenangkan.
"Claudia," Mama menegurku.
Janine tampak tersinggung. "Hmm, kalau begitu apa rencanamu
untuk hari ini?" ia bertanya padaku. "Menciptakan roda untuk kedua
kalinya?"
"Ha, ha." Janine bahkan tidak bisa melucu. "Tidak," jawabku.
"Aku akan ikut kursus melukis pagi ini. Sesudah makan siang, aku
akan menjaga Jamie Newton selama beberapa jam, lalu Stacey dan
aku akan pergi berbelanja, dan setelah itu aku akan menghadiri
pertemuan rutin Baby-sitters Club."
"Oh," ujar Janine dengan suara tertahan. Wajahnya tampak
sedih.
Baby-sitters Club adalah ide Kristy Thomas (yang tinggal di
seberang rumahku). Para anggotanya adalah dia, aku, dan tiga cewek
lain. Klub kami dijalankan dengan cara bisnis, dan Kristy adalah ketuakami. Kami mendapatkan uang dari tugas-tugas sebagai baby-sitter
pada keluarga-keluarga di lingkungan rumah kami. Tiga kali
seminggu, pada sore hari, kami mengadakan pertemuan selama
setengah jam di kamarku. (Aku punya telepon sendiri.) Klien-klien
kami akan menelepon pada waktu-waktu itu untuk memberitahu kami
kapan mereka memerlukan baby-sitter. Kemudian Mary Anne Spier
akan mengecek kalender di dalam buku agenda Baby-sitters Club
untuk memastikan siapa yang bisa mengerjakan tugas-tugas tersebut.
Setelah itu, kami akan menelepon kembali para klien untuk
memberitahu mereka siapa di antara kami yang akan menjaga anak
mereka. Para klien menyukai cara kerja kami, karena mereka hanya
perlu menelepon satu kali untuk menghubungi lima baby-sitter
sekaligus. Jadi hampir pasti mereka akan mendapatkan seseorang.
Dengan demikian mereka tidak membuang-buang waktu.
Aku sendiri adalah wakil ketua klub.
Mary Anne adalah sekretaris. Dia bertanggung jawab untuk
mengurus buku agenda klub, yang memuat segala sesuatu tentang
klien-klien kami, seperti alamat, nomor telepon, perjanjian-perjanjian,
dan hal-hal semacamnya. Mary Anne sangat cocok untuk pekerjaan
seperti itu. Dia sangat teliti dan cerdas, dan tulisan tangannya paling
bagus kalau dibandingkan dengan anggota-anggota klub yang lain.
Sudah sejak dulu aku tinggal berseberangan jalan dengan Mary Anne.
Tapi walaupun aku menyukai dia, sampai sekarang pun aku merasa
belum mengenalnya dengan baik. Mary Anne agak pemalu, dan dia
dengan Kristy sudah bersahabat dari entah kapan.
Bendahara klub kami adalah Stacey McGill. Dia bertanggung
jawab atas keuangan klub. Stacey pindah ke Stoneybrook kira-kirasetahun yang lalu. Dia dan aku punya banyak persamaan. Stacey
berasal dari New York, jadi wajar saja kalau dia agak urakan. Kurasa
tidak ada seorang pun dari New York yang bersikap kuno atau
ketinggalan zaman.
Kemudian masih ada Dawn Schafer. Dawn bergabung dalam
Baby-sitters Club beberapa bulan setelah kami?Kristy, Mary Anne,
Stacey, dan aku? memulai usaha ini. Dia juga pendatang baru di
Connecticut. Dia, ibunya, dan adiknya pindah kemari dari California,
setelah kedua orangtuanya bercerai. (Ibunya dulu dibesarkan di
Stoneybrook.) Dawn dan Mary Anne dengan cepat bersahabat baik.
Mary Anne-lah yang mengajak Dawn menjadi anggota klub.
Untuk beberapa lama, Dawn tidak menduduki jabatan apa-apa
di dalam klub, karena jabatan-jabatan utama telah diisi oleh kami
berempat. Belakangan, Kristy memintanya untuk menjadi pejabat ad-
interim (pengganti). Itu artinya dia bisa menggantikan siapa saja yang
berhalangan hadir dalam pertemuan klub.
Pada mulanya, Kristy sangat cemburu pada persahabatan antara
Mary Anne dan Dawn, tapi sekarang dia sudah akur dengan Dawn.
Lagi pula, akhir-akhir ini Kristy memang cukup sibuk. Ketua klub
kami itu baru saja mengambil bagian dalam sebuah pesta
pernikahan?pesta pernikahan ibunya sendiri! Orangtua Kristy telah
bercerai beberapa tahun yang lalu. Kristy, ibunya, kedua abangnya?
Sam dan Charlie?dan adik laki-lakinya, David Michael, hidup aman
dan tenteram setelah perceraian itu. Tapi kemudian Bu Thomas
bertemu dengan seorang pria bernama Watson Brewer. Keduanya
langsung jatuh cinta dan akhirnya menikah, dan Kristy-lah yang
menjadi pengiring mempelai wanita.Aku ikut hadir dalam pesta pernikahan itu. Indah sekali, lho!
Kristy mengenakan gaun panjang, sepatu bertumit rendah, dan bunga-
bunga di kepalanya. Suasananya sangat romantis. Satu-satunya hal
buruk yang diakibatkan oleh pernikahan itu adalah kepindahan
keluarga Thomas. Mereka tidak pindah jauh-jauh, sih?cuma ke
rumah Watson, di seberang kota?tapi bagi Baby-sitters Club hal itu
cukup menjadi masalah. Misalnya saja, Kristy harus menempuh jarak
lima kilometer untuk menghadiri pertemuan klub. Kami sangat
berharap bahwa abangnya, Charlie, mau mengantarnya kemari,
walaupun kami harus membayar dia untuk itu.
Aku terbangun dari lamunanku karena mendengar suara piring-
piring beradu di tempat cuci piring. Sarapan sudah selesai. Mama dan
Papa sedang membereskan meja, Janine sedang meneguk habis jus
jeruknya. Cepat-cepat aku habiskan telur orak-arikku.
"Jadi," ujar Janine, tiba-tiba, "kalau aku boleh tahu, bagaimana
rencana klub kalian agar kesinambungan kerjanya tidak terputus
setelah sang pendirinya pindah ke daerah lain?"
"Boleh saja," sahutku untuk mengulur waktu. Soalnya aku sama
sekali tidak memahami apa yang dimaksudnya.
"Oh, aku mengerti," kata Janine. "Kamu mau bermain-main,
ya? Baiklah, akan kulayani. Nah, bagaimana rencana perusahaan
kalian agar bisa tetap berfungsi dengan lancar, sementara pendiri klub
kalian sudah bertempat tinggal di daerah lain?"
"Hah??"
"Kataku..."
"Janine, pakailah bahasa yang bisa dimengerti semua orang!!""Lho, kenapa?" Janine tampak tersinggung lagi. "Aku tidak
dapat berbuat apa-apa, kalau yang kamu maksud adalah gaya
bahasaku."
"Dan aku juga tidak dapat berbuat apa-apa kalau aku tidak
mengerti apa yang kamu katakan."
"Ya sudah," sahut Janine. Dia mendesah. Bisa jadi dia
mendesah karena sedih, bisa juga karena jengkel. Entahlah. "Aku
cuma berusaha untuk menjalankan peranku dalam percakapan dengan
satu-satunya saudara kandung yang kumiliki."
"Kamu berusaha apa?"
"Berbicara dengan kamu!" suara Janine meledak.
"Nah, kenapa tidak kamu bilang dari tadi?"
"Sudah." Janine berdiri. "Baiklah. Semoga kursus melukis dan
tugas baby-sitter dan acara berbelanjamu berjalan menyenangkan."
Kenapa Janine selalu berusaha untuk membuatku merasa seolah-olah
aku tidak pernah melakukan sesuatu yang berguna?
"Selamat berbincang-bincang dengan mesin!" aku berseru
padanya, sesaat setelah dia meninggalkan dapur.
Janine mengatakan sesuatu dengan menggerutu yang
kedengarannya seperti, "Setidak-tidaknya mereka bisa berkomunikasi
denganku." Nah, apa lagi yang dimaksudnya?
Begitulah suasana pagi yang biasa terjadi di rumah keluarga


Baby Sitter Club 7 Claudia Dan Janine Si Besar Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kishi.
Waktu aku berangkat beberapa waktu kemudian, Mimi
melingkarkan lengannya di bahuku sambil berkata, "Selamat
bersenang-senang, Claudia-ku."
"Pasti, Mimi," sahutku, sambil menciumnya.Janine mengawasi kami dari halaman depan rumah kami. Lalu
dia membuang muka. Waktu jemputannya datang, dia langsung
melompat masuk ke mobil. Dia bahkan tidak melambaikan tangan ke
arah kami.Bab 2
SOAL yang satu ini sudah bukan rahasia lagi? aku memang
pecandu makanan camilan. Aku suka permen. Aku suka kue-kue
kering, aku suka makanan dengan nama yang lucu-lucu seperti Ho-
Ho's, Ring Dings, dan Twinkies. Aku punya persediaan makanan kecil
seperti itu yang kusembunyikan di sekeliling kamarku. Karena buku-
buku Nancy Drew juga perlu disembunyikan, aku harus tahu betul
tempat mana yang cocok untuk menyembunyikan barang. Kalau saja
ada seseorang yang iseng-iseng memeriksa kamarku, dia akan
menemukan kue mangkuk di laci meja, licorice di tempat pensil, buku
The Clue of the Tapping Heels dan The Message in the Hollow Oak di
balik kasur, coklat M&M di kotak perhiasan, dan buku The Clue in
the Crossword Cipher di dasar kotak peralatan kerajinan tangan.
Untuk mempersiapkan pertemuan Baby-sitters Club hari itu,
aku mengeluarkan permen coklat M&M. Aku juga telah mengambil
sekotak crackers asin dari dapur. Yang ini untuk Stacey. Stacey adalah
penderita diabetes dan dilarang makan permen. Sedangkan Dawn
lebih suka makan makanan yang sehat. Aku tidak yakin apakah
crackers asin termasuk makanan sehat, tapi aku rasa masih lebih baik
daripada M&M. Aku juga menyiapkan buku agenda klub, dan sebuah
buku lain yang menurut Kristy harus selalu diisi berita-berita terbaru.Kami menamakannya buku catatan Baby-sitters Club, semacam buku
harian. Kami harus mencatat setiap kejadian yang berhubungan
dengan tugas kami sebagai baby-sitter, dan catatan itu harus dibaca
seminggu sekali. Dengan begitu kami dapat mengetahui apa saja yang
telah terjadi, dan kami bisa belajar dari pengalaman para anggota lain
pada waktu mereka menjaga anak.
Jam setengah enam, teman-temanku mulai bermunculan. Stacey
yang pertama datang. Dia memasuki kamarku dengan penuh rasa
bangga dan percaya diri.
"Hei, aku tidak tahu bahwa kamu mau memotong rambutmu!!"
aku berseru waktu melihatnya.
"Aku memang sengaja tidak bilang apa-apa dulu," jawab
Stacey. "Soalnya aku kurang yakin apakah potongan rambut seperti ini
cukup pantas untukku. Kamu suka, kan?"
"Aku suka sekali! Rambutmu dikeriting lagi, ya?"
"Yap. Tapi setelah ini aku mungkin akan membiarkan rambutku
tumbuh sampai keritingnya hilang."
Stacey duduk di tempat tidurku. Rambut pirangnya yang
tadinya panjang dan halus, sekarang telah dipotong sampai sebatas
pundak. Akibatnya dia kelihatan lebih tua.
"Wah," ujarku, "aku jadi kepingin potong rambut juga, nih."
"Oh, jangan!" seru Stacey. "Sayang, dong! Rambutmu begitu
menakjubkan. Berapa waktu yang kamu butuhkan untuk
memanjangkan rambut seperti itu?"
"Bertahun-tahun," aku mengakui.
"Rambutmu indah sekali. Awas, jangan coba-coba
menyentuhnya!!"ebukulawas.blogspot.com"Menyentuh apa?" tanya sebuah suara. Dawn sedang berdiri di
ambang pintu.
"Ngomong-ngomong soal rambut panjang...," ujar Stacey.
"Hai, Teman-teman," Dawn masuk dan mencari tempat duduk
di lantai. Dia harus mengibaskan rambutnya dulu sebelum duduk,
karena begitu panjangnya. Dan warnanya pirang keputih-putihan.
Kalau Dawn dan aku berdiri berdampingan, kami akan tampak
seperti sebuah foto berikut negatifnya.
"Rambutnya," Stacey berkata, menjawab pertanyaan Dawn.
"Masa cuma karena aku potong rambut, Claudia..."
"Ya ampun!" pekik Dawn. "Aku sama sekali tidak
memperhatikannya! Oh, Stacey, rambutmu bagus sekali!"
"Makasih," sahut Stacey sambil tersenyum lebar.
Beberapa waktu kemudian, Kristy dan Mary Anne muncul.
Mary Anne duduk dengan Dawn di lantai.
Kami semua sengaja mengosongkan kursi belajarku untuk
Kristy. Dia suka duduk di situ dan bergaya seperti pemimpin. Kadang-
kadang dia bahkan memakai topi pet, atau menyelipkan pensil di atas
salah satu telinganya, pokoknya segala gaya yang menunjukkan
wibawanya sebagai ketua kami.
"Oke, para baby-sitter," ujar Kristy, setelah dia dan Mary Anne
mengagumi potongan rambut Stacey. "Bisnis tetap yang utama.
Stacey, bagaimana keuangan kita?"
Stacey membawa amplop kertas manila yang sudah lecek.
"Tolong setorkan iuran kalian dulu," katanya.
Masing-masing dari kami menyerahkan satu dolar.Stacey menaruh uang itu di atas tempat tidur, lalu
mengosongkan isi amplopnya. "Sembilan belas dolar pas," dia
mengumumkan. Dia mengatakan ini sesaat setelah melirik sekilas
uang kertas dan uang receh di hadapannya. Itulah sebabnya dia
dijadikan bendahara klub.
"Bagus juga," kata Kristy. "Nah, aku punya dua berita menarik,
nih, sehubungan dengan uang. Pertama, Charlie baru lulus ujian SIM
hari ini."
"Yeah!" sahut kami semua dengan riang.
"Yang kedua adalah bahwa aku sudah memintanya untuk
mengantarku ke pertemuan klub dan ke tempat-tempat aku bertugas
sebagai baby-sitter di lingkungan sekitar sini, setelah kami pindah ke
rumah Watson."
"Terus?" kataku dengan tidak sabar. Seluruh masa depan klub
tergantung pada bisa-tidaknya Kristy mengikuti pertemuan-pertemuan
rutin kami.
"Aku menawarkan untuk membayar satu dolar untuk setiap
perjalanan?itu artinya dua dolar pulang-pergi, setiap kali ada
pertemuan."
Mary Anne, Stacey, Dawn, dan aku langsung gelisah. Soal
berapa tawaran tertinggi yang dapat disebutkan Kristy pada abangnya
itu sudah berulang kali kami bahas. Entah bagaimana tanggapan
Charlie. Jangan-jangan dia malah menertawakan tawaran kami karena
dianggap terlalu rendah. Belum tentu lagi dia berminat untuk
mengantarkan Kristy ke seluruh pelosok kota. Jawabannya sangat
penting karena kami telah memutuskan bahwa pengeluaran untuk
Charlie akan diambil dari uang iuran klub. Kami rasa tidak adil kalauketua klub kami harus membayar ongkos transpornya sendiri
sementara yang lain tidak.
"Dan," Kristy melanjutkan, "dia bilang satu dolar terlalu"?aku
mengeluh?"banyak!" dia berseru. "Dia bilang lima puluh sen saja
sudah cukup!"
"Betul?!"
"Jadi kita tidak perlu kuatir. Masalah ini sudah terpecahkan.
Dan murah lagi!"
Telepon berdering, dan aku mengangkatnya, "Halo, Baby-sitters
Club."
"Halo, di sini Dokter Johanssen."
"Oh, hai," kataku, "ini Claudia."
"Oh, Claudia. Saya memerlukan seorang baby-sitter untuk
malam Sabtu, minggu depan. Pak Johanssen dan saya diundang ke
pesta koktil, dari jam enam sampai kira-kira jam delapan."
"Oke, nanti saya telepon kembali."
Aku meletakkan gagang telepon. "Ibu Charlotte," kataku pada
para anggota klub. "Dia memerlukan baby-sitter untuk Jumat malam
minggu depan, antara jam enam sampai jam delapan."
Mary Anne memeriksa kalender di buku agenda klub. "Kamu
dan Stacey yang bebas," dia mengumumkan.
Aku menoleh pada Stacey. "Kamu saja, deh," ujarku. "Charlotte
sangat menyukaimu. Kamu kan baby-sitter favoritnya."
"Makasih," sahut Stacey. "Aku memang sudah agak lama tidak
bertemu dengannya."Aku menelepon Dokter Johanssen untuk mengabarkan bahwa
Stacey-lah yang akan bertugas nanti. Setelah itu masih ada beberapa
telepon lagi.
Akhirnya, setelah telepon berhenti berdering, Kristy berkata,
"Coba dengar semua, aku punya ide, nih!"
Aku mengangkat alis. Kristy punya lebih banyak ide daripada
siapa pun yang kukenal.
"Yeah?" sahut Stacey, dengan nada agak curiga.
"Begini, menurutku minggu kemarin telah berlalu dengan
sangat baik," Kristy memulai.
Yang Kristy maksud adalah hari-hari sebelum pesta pernikahan
ibunya. Pada waktu itu, percaya atau tidak, para anggota Baby-sitters
Club menjaga empat belas anak sekaligus. Kejadiannya begini: para
sahabat dan sanak keluarga ibu Kristy dan Watson Brewer
berdatangan untuk membantu mereka mempersiapkan pesta
pernikahan. Hanya saja mereka juga membawa anak-anak mereka,
karena mereka datang dari luar kota dan merencanakan untuk tinggal
di sini sampai pesta pernikahan berakhir. Bu Thomas berpendapat
bahwa anak-anak itu cuma akan mengganggu kegiatan para orangtua
saja (misalnya memasak dan sebagainya). Oleh sebab itu para anggota
klub menjaga anak-anak itu selama lima hari berturut-turut di rumah
Kristy. Ternyata semuanya berjalan dengan lancar. Kami sangat
bangga karena kami menangani pekerjaan itu dengan baik.
"Aku pikir, kita telah berhasil dengan gemilang," aku
menyetujui dengan berhati-hati.
"Nah, terus aku mulai berpikir-pikir," Kristy melanjutkan.
"Sekarang kan sudah tiba saatnya liburan musim panas. Kita tidakperlu ke sekolah, dan anak-anak yang biasa kita jaga juga tidak perlu
ke sekolah. Paling tidak sampai bulan depan, sampai dua anggota kita
akan pergi, tidak banyak yang bisa dilakukan di sini. Dengan kata lain,
di sekitar sini akan ada banyak anak yang tidak punya kegiatan."
"Yeah?" kata Stacey untuk kedua kalinya. Kami semua
kepingin agar Kristy langsung mengatakan inti persoalannya.
"Nah, bagaimana kalau kita membuat play group?"
"Membuat apa?" tanya Dawn,
"Play group," Kristy mengulangi. "Semacam perkemahan
sehari, cuma waktunya lebih singkat. Dengan mudah kita bisa
menyelenggarakannya bulan ini. Pasti anak-anak senang."
"Tapi kapan kita sempat menjaga anak?" tanya Mary Anne.
"Sore dan malam hari kan masih bisa. Juga pada akhir pekan,"
Kristy menambahkan. "Play group ini kita selenggarakan hanya pada
pagi hari, beberapa kali seminggu. Kita bisa mengadakannya di luar,
di halaman misalnya, seperti pengalaman kita minggu lalu, lho! Kita
beritahu pelanggan-pelanggan kita tentang itu, dan mereka bisa
mengirimkan anak-anak mereka, kapan pun mereka inginkan.
Mengenai biayanya, kurasa tiga dolar per anak setiap pagi sudah
cukup. Bagi para klien, harga itu sangat murah, sedang bagi kita,
kalau dibagi lima pun hasilnya masih lumayan. Kalau kita tidak
mengadakan play group, kita justru akan kekurangan tugas."
"Wah, kedengarannya menarik juga," kataku. "Bayangkan,
anak-anak yang biasa kita jaga akan saling mengenal satu sama lain."
"Ya!" sambung Mary Anne. "Kita bisa mengajak Jamie
Newton, anak-anak keluarga Pike, Jenny Prezzioso..."
"Anak-anak keluarga Barrett," tambah Dawn."Nina dan Eleanor Marshall," aku mengusulkan.
"Charlotte," Stacey menawarkan.
Mata Kristy bersinar-sinar. Dia senang karena kami bisa
menerima idenya. "Pokoknya, begitu kita selesai membicarakan
masalah ini, kita akan langsung menelepon para klien," dia berkata
dengan perasaan tegang bercampur gembira.
"Kita bisa menyibukkan anak-anak dengan cara yang kita
tempuh minggu lalu," aku mengingatkan. "Pekerjaan tangan,
membaca cerita, permainan."
"Orangtua mereka pasti akan menyukai gagasan itu," sahut
Kristy sambil berpikir.
"Hei!" aku berseru. "Kalian ingat waktu Jamie Newton
sepanjang pagi bermain dengan anak-anak lain minggu lalu? Ibunya
bilang dia menganggap hal itu sangat baik bagi Jamie, karena Jamie
bisa belajar berteman dengan anak-anak sepantarnya. Siapa tahu para
orangtua lain juga punya pendapat yang sama."
"Pemikiran yang bagus," sahut Kristy. "Hei, Mary Anne,
sebaiknya kamu mulai membuat catatan. Informasi seperti ini perlu
diingat."
Mary Anne mulai mencatat dengan cepat di dalam buku catatan
klub.
"Di mana kita akan menyelenggarakan play group ini?" tanya
Kristy. "Di rumahku tidak bisa, karena sebentar lagi kami akan
pindah. Dan sebaiknya juga jangan di rumahmu, Mary Anne, karena
ayahmu bekerja. Kurasa para orangtua akan merasa lebih tenang kalau
mereka tahu bahwa ada orang dewasa di rumah.""Pemikiran yang hebat," sahut Dawn. "Tapi kalau begitu di
rumahku juga tidak bisa, dong. Ibuku masih sibuk mencari pekerjaan.
Setiap saat dia bisa saja langsung mulai bekerja."
"Sebenarnya aku kepingin mengadakannya di sini," kataku.
"Tapi entahlah, akhir-akhir ini Mimi kelihatan cepat lelah."
"Apa dia baik-baik saja?" tanya Mary Anne cepat-cepat.
"Baik, sih. Cuma lebih banyak berbaring."
"Bagaimana kalau di rumahku saja?" ujar Stacey. "Ibuku selalu
ada di rumah. Aku perlu tanya dia dulu, sih, tapi aku yakin dia tidak
keberatan."
"Jadi, di rumah Stacey?" Kristy bertanya pada kami semua.
Kami mengangguk.
Bisnis kami yang terbaru sudah mendapatkan markas.Bab 3
BEGITU BU McGill memberi izin pada Stacey untuk
menggunakan rumah mereka, teman-temanku dan aku memutuskan
untuk meluangkan waktu pada suatu siang agar kami bisa mendatangi
klien-klien kami satu per satu. Dengan cara ini kami dapat
menyampaikan berita tentang play group kami langsung pada mereka.
Menurut kami, pendekatan dengan cara kunjungan dari rumah ke
rumah jauh lebih baik daripada memasukkan selebaran ke dalam
kotak-kotak surat, atau sekadar berbicara lewat telepon. Maka suatu
hari, setelah makan siang, kami berlima bersiap-siap untuk berangkat.
Kami tetap membawa selebaran-selebaran. Kami menghabiskan
waktu cukup lama untuk membuat selebaran itu, karena kami harus
yakin betul bahwa semua informasi yang mungkin diperlukan para
orangtua sudah tercantum di dalamnya. Kami merencanakan untuk
menyerahkan selebaran-selebaran itu langsung ke tangan para klien.
Jadi kalau memang masih ada yang kurang jelas, kami bisa langsung
menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.
Beginilah selebaran kami:Kunjungan pertama kami adalah rumah Jamie Newton. Kami
bertemu dengan Jamie yang berumur empat tahun, ibunya, dan adikperempuannya yang masih bayi, Lucy, di halaman depan rumah
mereka.
"Hi-hi!" seru Jamie waktu melihat kami. "Apa kalian datang
untuk menjagaku?"
"Tidak," sahutku sambil tertawa. "Masa kamu minta dijaga lima
baby-sitter sekaligus? Apa yang akan kamu lakukan dengan lima
baby-sitter, Jamie?"
"Bersenang-senang, dong," dia menjawab dengan riang.
"Hai, Bu Newton," ujar Kristy. "Alo, Lucy."
Lucy baru berumur tujuh bulan. Dia lucu sekali dan sudah bisa
duduk. Dia juga sudah mulai merangkak. Walaupun gerakannya masih
agak lambat, dia bisa mencapai apa yang ditujunya. Lucy tersenyum
lebar ke arah kami, dan kami melihat di gusinya ternyata sudah mulai
tumbuh gigi.
Lucy sedang duduk di atas selimut di sebelah Bu Newton,


Baby Sitter Club 7 Claudia Dan Janine Si Besar Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil menggigit-gigit sepotong kue kering dan bermain dengan
gelang-gelang plastik beraneka warna.
"Halo, Anak-anak," kata Bu Newton. "Waduh, seluruh anggota
klub berkunjung kemari. Ada apa, nih?"
"Ini," sahut Kristy, dan dia menyerahkan sebuah selebaran pada
ibu Jamie.
Bu Newton mempelajarinya dengan saksama. "Ini ide yang
sangat bagus!" dia berkata setelah selesai membaca. "Kalian betul-
betul berambisi besar, ya."
"Play group kami pasti mengasyikkan," ujar Kristy.
"Dan sekaligus merupakan pengalaman yang bagus untuk anak-
anak," tambah Dawn, mencoba untuk bersikap dewasa."Saya sependapat dengan kalian," jawab Bu Newton. "Jamie
akan masuk taman kanak-kanak pada bulan September nanti. Ide
kalian ini sangat cocok untuknya. Dia jarang sekali bermain dengan
anak-anak sepantarnya di sekitar sini. Dan saya kuatir, jangan-jangan
suasana sekolah akan membuatnya kaget. Nah, kalau dia punya
kesempatan untuk mulai membiasakan diri dengan anak-anak
sebayanya sebelum sekolah dimulai, hal itu akan sangat membantu
untuk mengarahkan dia."
"Sip!" ujarku. "Jadi kami bisa mencantumkan nama Jamie
dalam daftar kami? Maksud saya, dia tidak perlu datang tiap hari.
Bahkan Ibu tidak perlu repot-repot memberitahu kami apakah Jamie
akan datang atau tidak. Yang penting, Ibu tertarik, kan?"
"Jelas. Dia akan ikut program play group kalian."
Para anggota yang lain dan aku berusaha untuk menahan diri
sampai kami tidak terlihat lagi dari rumah keluarga Newton. Baru
kemudian kami memekik karena tegang bercampur gembira.
"Ayo, sekarang ke rumah keluarga Pike," usul Mary Anne.
"Setelah itu ke rumah keluarga Prezzioso dan ke rumah keluarga
Barrett. Mereka kan tinggal berdekatan."
Kami mempercepat langkah.
"Aku rasa, keluarga Pike akan mengirim Claire dan Margo,"
kata Stacey dalam perjalanan, "dan mungkin juga Vanessa dan Nicky.
Tapi Mallory dan si kembar tiga barangkali merasa sudah terlalu besar
untuk ikut." (Keluarga Pike punya delapan anak.)
"Aku yakin Bu Barrett akan mengirim Buddy dan Suzi," ujar
Dawn sambil berpikir, "tapi aku kurang yakin soal Marnie.Sebenarnya sih, aku berharap dia akan ikut, tapi umurnya belum lagi
dua tahun. Rasanya masih terlalu kecil, ya?"
Tidak seorang pun yang mau mengatakan (atau setidak-
tidaknya tidak seorang pun kecuali Mary Anne) bahwa kami berharap
Bu Prezzioso akan mengirim Jenny yang berumur empat tahun. Cuma
Mary Anne yang menyukai anak itu. Kalau aku sih malah berpendapat
bahwa Jenny adalah anak yang betul-betul nakal. Nakal dengan N
besar.
Kristy memencet bel rumah keluarga Pike. Mallory yang
membuka pintu. Mallory, anak tertua di keluarga itu, baru saja
merayakan ulang tahunnya yang kesebelas. Dia sangat menyayangi
adik-adiknya, dan dia juga bisa mengatur mereka. Aku berani bertaruh
bahwa dia bakal menjadi baby-sitter yang baik, suatu hari nanti.
"Hai, Mal," Kristy berkata, "ibumu ada di rumah?"
"Yeah, dia ada di belakang, tunggu sebentar." Mallory berseru
memanggil ibunya, lalu mempersilakan kami duduk di ruang keluarga.
"Ada apa, sih?" dia bertanya. "Kenapa kalian kemari... Apa salah
seorang dari si kembar tiga bikin kekacauan?"
Aku ketawa. "Tidak, kok. Kenapa kamu tanya begitu?"
"Oh, entahlah. Biasanya ada saja dari mereka yang membuat
onar. Begitu aku membuka pintu dan melihat lima orang baby-sitter,
maka aku langsung pikir bahwa..." Mallory mengangkat bahu.
"Kamu pikir bahwa ada masalah?" tanya Kristy.
"Yap."
Teman-temanku dan aku berbicara dengan Bu Pike, lalu
meninggalkan selembar selebaran di situ. Mallory kelihatan sangattertarik pada ide kami. Tapi sebelum kami meninggalkan rumahnya,
dia telah berlalu sambil pasang wajah muram.
Kami menatap Bu Pike sambil bertanya-tanya. "Apa Mallory
baik-baik saja?" tanya Mary Anne.
Bu Pike mengangguk. "Mungkin karena usianya yang
tanggung. Dia berpikir, dia terlalu tua untuk sesuatu, sementara dia
merasa terlalu muda untuk hal-hal lain. Saya yakin dia kepingin sekali
mengikuti play group, tapi dia merasa terlalu besar untuk itu."
"Mungkin," ujar Kristy, "dia bisa datang secara gratis untuk
membantu kami. Saya rasa, kami tidak akan mampu membayarnya.
Tapi kalau dia ingin berlatih menjadi baby-sitter, kami akan senang
sekali bekerja sama. Mallory selalu ringan tangan."
"Gagasan yang baik!" sahut Bu Pike. "Akan saya bicarakan hal
ini dengannya. Pasti dia akan senang sekali. Dan," tambahnya pada
saat kami akan berpamitan, "saya mungkin akan mengirim Claire dan
Margo ke play group kalian, dan mungkin juga Nicky sekali-sekali."
"Oke!" kami berkata. "Terima kasih, Bu Pike."
Tujuan berikutnya adalah keluarga Barrett, tapi mereka tidak
ada di rumah. Kami hanya meninggalkan selembar selebaran di kotak
suratnya. Anak-anak keluarga Barrett adalah Buddy (delapan tahun,
dan berteman baik dengan Nicky Pike), Suzi (empat tahun), dan
Marnie (jalan dua tahun). Orangtua mereka telah berpisah dan Pak
Barrett telah pindah dari situ. Oleh sebab itu, anak-anak agak kurang
terurus. Kadang-kadang mereka jadi sangat merepotkan, tapi pada
dasarnya mereka anak yang manis-manis.
Kami melanjutkan perjalanan ke rumah keluarga Prezzioso.
Aku yakin Kristy, Stacey, dan Dawn sedang berdoa dalam hatisemoga tidak ada orang di rumah. Aku sendiri juga begitu. Tapi waktu
Mary Anne memencet bel, Bu Prezzioso-lah yang membukakan pintu.
Dia berpakaian lengkap, yang sepertinya kurang wajar. Dia
memang selalu berusaha agar seluruh anggota keluarganya tampil
seperti itu, seakan-akan mereka akan berpose untuk suatu majalah
mode.
"Halo, Anak-anak. Apa yang bisa saya lakukan untuk kalian?"
tanya Bu Prezzioso dengan sopan. Tapi sebelum salah seorang dari
kami sempat menjawab pertanyaannya, dia merendahkan suara dan
berbisik, "Bidadari kecil kami sedang tidur, jadi tolong jangan bicara
terlalu keras." (Yang dimaksud dengan bidadari kecil adalah Jenny.)
Mary Anne maju ke depan. Kami sudah memintanya supaya dia
saja yang berbicara di situ. "Kami ingin memberitahukan pada Ibu,"
dia berbisik, "bahwa kami akan mengadakan sebuah play group."
"Sebuah apa?" Bu Prezzioso mencondongkan badannya ke
depan, sambil melingkarkan telapak tangan di belakang salah satu
telinganya.
"Sebuah play group. Dan kami pikir akan sangat cocok untuk
Jenny."
"Kamu pikir apa?"
"Kami pikir akan sangat cocok untuk Jenny. Ini selebarannya."
"Apa?"
"Selebaran." Mary Anne menyerahkan selembar padanya.
Bu Prezzioso membaca sepintas lalu. "Saya rasa kerajinan
tangan adalah kegiatan yang bisa membuat baju kotor, kan?" Bu
Prezzioso memegang selebaran itu di salah satu sudutnya, seakan-
akan ada cat yang membasahi permukaannya. Dia takut kalau-kalaucat itu akan menetes ke atas gaunnya yang putih, sehingga akan
mengotorinya.
"Memang, ada beberapa yang seperti itu," aku mengakui,
karena akulah yang bertanggung jawab atas kegiatan itu. "Tapi...
ehm..."
"Tapi kami menyediakan celemek," Kristy memotong.
"Betul... celemek," aku mengulangi.
"Kedengarannya cukup aman, tapi saya masih akan memikirkan
masalah ini," Bu Prezzioso berkata.
Kami sudah tidak sabar lagi. Rasanya ingin cepat-cepat keluar
dari situ.
"Oke. Ibu bisa menghubungi kami kalau ada pertanyaan," ujar
Kristy.
Kami masih mengunjungi beberapa rumah lagi, dan setelah
selesai, kami berkumpul di kamarku.
"Ternyata," kata Kristy, "aku belum memikirkan tentang hal-hal
seperti celemek. Jangan-jangan masih ada lagi yang terlupa."
"Coba kita periksa," sahut Mary Anne, sambil membuka
catatan-catatan yang telah dibuatnya. "Dua meja piknik akan
disiapkan di halaman belakang rumah Stacey. Masing-masing dari
kita akan membawa Kid-Kit, dengan begitu kita akan punya buku
cerita, permainan, puzzle, dan lain-lain. Claudia, bahan-bahan apa saja
yang kamu punya untuk kegiatan kerajinan tangan? Mungkin kita
masih harus membeli beberapa bahan untuk melengkapi."
"Wah, itu bisa jadi gagasan yang bagus," aku menjawab. "Aku
tidak mau memakai habis semua bahan persediaanku. Dan aku jugatidak punya kertas karton atau krayon pada saat ini. Cuma ada kertas
koran dan kapur berwarna."
"Nah," Stacey angkat bicara, "masih ada uang di kas klub,
kurasa bisa digunakan untuk keperluan itu."
"Betul," Kristy setuju. "Jadi kalau kita sudah melengkapi bahan-
bahan untuk kerajinan tangan, Mary Anne, apa lagi yang masih
kurang?"
"Kurasa semua sudah tersedia," dia menyahut.
Aku tidak bisa menahan diri untuk menambahkan, "Siap
tempur!"
Play group kami akan dimulai beberapa hari lagi.Bab 4
MALAM Senin, malam sebelum program play group Baby-
sitters Club dimulai, orangtuaku pergi makan malam di luar. Mereka
meninggalkan Mimi, Janine, dan aku di rumah. Tapi kami tidak
merasa keberatan sama sekali. Pada kesempatan seperti itu Mimi
biasanya menyiapkan makanan istimewa? bukan makanan Jepang,
sih, tapi sesuatu yang kami gemari dan kami tidak sering
memakannya.
Sesaat setelah Mama dan Papa pergi, Mimi dan aku langsung
menuju dapur.
"Apa yang akan kita makan malam ini, Claudia-ku?" Mimi
bertanya.
"Hmm," sahutku sambil berpikir. "Kita bisa membuat spaghetti
dan meatball, bisa juga kita menyediakan makanan sarapan untuk
makan malam, atau..."
"Atau aku bisa menyiapkan pizza-pizza mungil."
Aku tertawa. "Pizza-mini, Mimi," ujarku. "Namanya pizza-
mini."
"Itulah yang sulit kukatakan," jawab Mimi. "Mini kan nama
seekor tikus. Ini tidak masuk akal."
"Pizza tikus!" aku berseru.Sekarang giliran Mimi yang tertawa. "Aku punya ide," dia
berkata. "Bagaimana kalau aku menyediakan menu sarapan istimewa
untuk makan malam? Aku bisa menyiapkan pancake di dalam cetakan
pancake."
"Oh, sedap! Sudah berbulan-bulan kita tidak membuat pancake!
Tapi apa masih ada persediaan untuk topping(lapisan atas )-nya?"
tanyaku.
"Kita masih punya mentega, sirop, whipped cream(susu kental
yang dikocok), dan buah strawberry segar."
"Oh, sip dong!"
"Claudia-ku, tolong tanyakan pada kakakmu apakah dia juga
mau makan pancake."
"Oke," sahutku. Aku tahu Janine pasti akan setuju saja. Dia
selalu mengikuti keputusan yang sudah diambil oleh yang lain.
Aku menemui dia di kamarnya. Tentu saja dia sedang duduk
menghadapi komputernya. Seorang calon ahli fisika harus selalu
bekerja keras.
"Kamu tidak keberatan, kan, kalau kita makan pancake malam
ini?" aku langsung bertanya padanya. "Mimi dan aku sudah memilih
pancake."
Janine memalingkan wajahnya dari keyboard. "Kalian sudah
memilih pancake?" dia mengulangi. (Padahal baru saja aku katakan,
bukan?) "Boleh juga. Aku sih setuju saja. Tapi kenapa kamu tidak
tanya dulu apa mauku?"
"Sekarang sedang kutanyakan."
"Oke, aku setuju saja," Janine berkata lagi. Sambil mendesah,
dia berbalik pada komputernya.Aku menjulurkan lidah ke arahnya, lalu berlari menuruni
tangga.
"Pancake saja, Mimi!" ujarku pada Mimi.
"Baiklah, tolong siapkan meja makannya, ya. Aku akan mulai
membuat adonan."
Kami mulai menyibukkan diri. Aku senang membantu Mimi di
dapur. Tapi entah kenapa, Janine tidak suka. Di lain pihak, kami
memang jarang meminta bantuannya.
Tidak lama kemudian meja makan telah siap. Aku menuangkan
jus jeruk ke dalam gelas-gelas, lalu membagi-bagikan salad buah sisa
tadi siang ke dalam mangkuk-mangkuk kecil. Setelah itu aku
memanggil Janine.
Mimi meletakkan cetakan pancake di meja makan. Alatnya
cukup besar dan modelnya kuno. Aku senang mengamati Mimi
membuat pancake dengan cetakan itu. Mula-mula, dia menekan
tombol on untuk memanaskannya. Kemudian diteteskannya beberapa
tetes air untuk memastikan bahwa cetakannya sudah cukup panas. Bila
tetes-tetes air itu menguap sambil mengeluarkan suara mendesis,
cetakannya sudah siap dipakai. Setelah itu, Mimi akan mengolesi
permukaan cetakan itu dengan mentega, menuangkan adonan
secukupnya, lalu menutupnya.
Cesss! Entah bagaimana caranya, dia selalu tahu kapan
tutupnya harus dibuka untuk mendapatkan pancake yang kuning
kecoklatan.
Mimi mulai memasak dan kami mulai makan. Begitu kami
masing-masing selesai menikmati sepotong pancake, Mimi mulai
memasak lagi."Wah," ujarku, sesaat setelah cetakan pancake kembali
mendesis, "besok adalah hari besar untukku."
Janine mengangkat wajahnya. Ia kelihatan tertarik. "Apa yang
akan kamu lakukan?"
"Pertama-tama," sahutku, "play group kami akan dimulai pada
pagi hari."
"Aku yakin bahwa kalian pasti sudah mempersiapkan diri, baik
secara finansial maupun secara fi..."
"Semuanya sudah beres," aku memotong kata-kata Janine.
"Coba ceritakan sekali lagi pada kami, bagaimana cara kerja
play group kalian, Claudia-ku," kata Mimi.
"Begini," ujarku, "play group ini adalah gabungan antara taman
kanak-kanak dan perkemahan sehari. Mulainya jam sembilan pagi dan
selesainya jam setengah satu siang, setiap Senin, Rabu, dan Jumat.
Play group kami terbuka bagi siapa saja yang mau membawa anaknya
ke sana. Kami tidak akan membuat daftar hadir atau apa pun semacam
itu. Kami justru bermaksud agar segala sesuatunya bisa berjalan
dengan... ehm..."
"Fleksibel?" Janine mengusulkan.
"Luwes," kataku, sambil melotot ke arahnya.
"Oh."
"Pokoknya," aku melanjutkan, "kami sudah memberitahu
keluarga Newton, keluarga Pike, keluarga Barrett, dan pelanggan-
pelanggan tetap lainnya, tentang play group ini. Dan kami akan
mengadakan kegiatan kerajinan tangan, kesenian, membaca cerita, dan
hal-hal lain semacam itu. Kurasa, anak-anak akan senang."
"Dan, Janine, apa rencanamu untuk besok?" tanya Mimi.Janine menggigit pancake-nya. "Seperti biasa," dia menjawab.
"Sekolah."
"Kamu menyukai pelajaran komputermu?"
"Oh, tentu saja," sahut Janine. "Membuat program komputer


Baby Sitter Club 7 Claudia Dan Janine Si Besar Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adalah pekerjaan yang sangat logis. Dan kalau dasar-dasarnya sudah
kita kuasai dengan benar, pekerjaan itu akan menjadi semakin...
ehm..."
"Membosankan?" aku mengusulkan.
"Menggairahkan." Janine menatap tajam ke arahku.
"Apa rencanamu untuk besok, Mimi?" aku bertanya.
"Aku belum bisa memastikannya, Claudia-ku. Aku diundang
untuk minum teh, tapi akhir-akhir ini aku lekas lelah. Sebaiknya lihat
keadaan besok saja.
"Mimi, mestinya Mimi istirahat lebih banyak," ujarku.
"Ya, seharusnya begitu," tambah Janine. "Mimi selalu bekerja
berat. Dan Mimi kelihatan capek."
"Jangan kuatirkan aku," ujar Mimi. "Siapa yang mau tambah
pancake lagi?"
"Mau!" sahutku.
"Aku," kata Janine.
"Ah, pokoknya Mimi mengerti maksudku," ujarku.
"Tapi dari segi tata bahasa jawabanmu tidak benar. Kata tanya
'siapa' mengacu pada subjek kalimat, jadi tidak bisa dijawab dengan..."
"Cukup, Anak-anak," kata Mimi dengan lembut. "Apa yang
ingin kalian lakukan setelah sarapan-makan-malam ini?"
"Nonton TV," kataku."Sebenarnya aku ingin melanjutkan pekerjaanku tadi," ujar
Janine, "tapi mungkin... maksudku, bila kalian berdua tidak keberatan,
kita bisa bermain kuis pengetahuan umum."
"Kamu mengajak kami bermain?" Mimi bertanya kepada Janine
sambil terheran-heran. Aku juga merasa begitu.
"Ya," ujarnya. "Kalau kalian tidak keberatan," dia mengulangi
dengan ragu-ragu.
"Aku mau bermain," sahut Mimi. "Bagaimana dengan kamu,
Claudia-ku?"
Aku paling benci bermain kuis pengetahuan umum. Sulit
bagiku untuk mengikuti permainan itu, dan Janine tahu itu. Mungkin
justru itu sebabnya dia kepingin bermain dengan kami. Aku bukan
murid pandai, dan aku tidak peduli pada pelajaran sejarah atau
geografi atau IPA. Yang kusukai adalah cerita-cerita misteri dan
kesenian. Memang, dalam permainan itu ada juga pertanyaan-
pertanyaan tentang seni dan literatur?misalnya pertanyaan mengenai
lukisan, buku, dan hal-hal semacam itu?tapi semuanya sulit dijawab.
Aku berani bertaruh bahwa tidak ada satu pertanyaan pun tentang
buku-buku karangan Nancy Drew.
Bagaimanapun, aku tahu bahwa Mimi menginginkan agar aku
juga mau bermain. Jadi aku setuju saja.
Kami membereskan meja makan, lalu menyiapkan permainan.
Janine memilih warna biru, Mimi kuning, dan aku merah. Kami
melempar dadu. Aku mendapat giliran pertama.
Janine menarik sebuah kartu dari kotak. "Si kembar McWhirter
adalah pencetus gagasan untuk buku apa?" dia bertanya. "Hei, kamu
pasti tahu jawabannya, Claudia! Gampang sekali, kok.""Siapa bilang? Aku tidak tahu jawabannya."
"Kamu pasti tahu. Kamu menyimpan bukunya di kamarmu, dan
kamu sangat menyukainya."
Nah, sekarang aku betul-betul merasa bodoh. Kalian bisa
membayangkan, kan, betapa bencinya aku pada permainan itu.
"The Phantom of Pine Hill," kataku dengan sinis.
"Bukan!" seru Janine. "Ayo, serius sedikit, dong!"
"Janine, tolong katakan pada Claudia apa jawabannya," ujar
Mimi. "Dia tidak tahu."
"The Guinness Book of World Records, bodoh."
"The Guinness Book of World Records, bodoh," aku menirukan
dia. Janine tidak mempedulikan kata-kataku. "Sekarang giliranku!"
Dia melempar dadu lalu melangkah sampai ke sebuah kotak geografi.
Mimi membacakan pertanyaannya. "Sebutkan nama ketiga
negara di Amerika Selatan yang dilalui garis khatulistiwa."
"Ekuador, Brasil, dan Kolombia," jawab Janine, tanpa repot-
repot berpikir. Dia bahkan melafalkan nama-nama itu dengan logat
Spanyol yang sempurna.
Kenapa dia bisa begitu?apa dia sudah menghafalkan semua
jawaban dari kelima ribu pertanyaan dalam permainan ini?
Janine melempar dadu lagi, dan lagi, dan lagi. Pertanyaan demi
pertanyaan dijawabnya dengan lancar. Dia sudah setengah jalan
menuju kemenangan sebelum giliran beralih pada Mimi.
Mimi berhasil menjawab tiga pertanyaan berturut-turut.Giliranku lagi. Aku melempar dadu. Sialnya, angka yang
muncul mengharuskanku maju ke sebuah kotak sejarah, padahal
nilaiku paling buruk dalam pelajaran itu.
"Siapa yang dikenal dengan julukan The Little Corporal?" tanya
Janine.
Aku tidak tahu sama sekali. "Kermit si Kodok," sahutku asal-
asalan.
Janine menyeringai ke arahku. "Bukan, Napoleon Bonaparte."
Dia bahkan tidak perlu repot-repot melihat jawaban di balik kartu
pertanyaan itu.
"Kamu mengada-ada, ya?" aku menuduhnya. "Mana
jawabannya, aku mau lihat!"
Janine menunjukkan jawaban di balik kartu. "Betul, kan?
Jawabannya Napoleon Bonaparte."
(Siapa sih, Napoleon Bonaparte itu?)
Giliran Janine. Dia terus maju dan maju dan maju, lalu berhenti
di kotak khusus untuk pertanyaan yang terakhir.
"Bagus. Kita boleh memilih bidang yang akan ditanyakan,"
kataku pada Mimi. "Kita beri pertanyaan tentang olahraga saja."
"Baiklah," jawab Mimi sambil tersenyum.
Aku menarik kartu berikutnya. "Siapa nama sebenarnya dari
Babe Ruth(pemain baseball terkenal dari Amerika Serikat)?"
"Oh, mudah," ujar Janine. "Namanya George Herman. Nah,
selesai sudah. Aku menang!"
"Licik!" seruku. "Kamu mengintip! Kamu pasti mengintip
jawabannya!""Tidak," Janine berkata dengan tajam. "Aku memang tahu
jawabannya."
"Dasar tukang curang!"
Janine membanting dadu, kemudian pergi dengan gusar.
"Claudia," ujar Mimi, "kamu tidak boleh begitu. Tidak
sepantasnya kamu menuduh kakakmu yang bukan-bukan."
"Tapi, Mimi!" Aku tidak tahu harus berkata apa. Mimi betul.
Janine tidak curang, dan aku pun tahu itu. Janine bukan model orang
yang suka curang. "Mimi... Oh, Mimi memihak Janine, karena dia
lebih pintar daripada aku. Mama dan Papa lebih sayang padanya
karena dia lebih pintar, dan rupanya Mimi juga begitu!"
Mimi memejamkan matanya. "Aku lelah sekali, Claudia.
Sebaiknya aku tidur saja sekarang."
"Tapi sekarang kan baru jam delapan," ujarku.
"Selamat malam, Claudia."
Mimi bangkit. Pelan-pelan ia berjalan menuju kamarnya,
kemudian menutup pintu.Bab 5
PERASAANKU tidak menentu. Aku terus duduk di meja dapur
sambil menatap papan permainan yang sudah tertutup, serta kartu-
kartu pertanyaan yang berserakan. Selama ini Mimi hampir tidak
pernah bersikap ketus terhadapku.
Beberapa lama kemudian Janine muncul lagi. "Mana Mimi?"
tanyanya.
"Mimi sudah pergi tidur."
"Oh. Ehm... Aku cuma ingin memberitahumu? siapa tahu
kamu bertanya-tanya?bahwa aku tidak akan menceritakan soal The
Phantom of Pine Hill pada Papa dan Mama."
"Hah?"
"Kamu membuat kesalahan tadi."
"Waktu kita bermain? Yeah, kamu benar. Dan bukan cuma
satu."
"Maksudku, waktu aku bertanya padamu buku apa yang
diciptakan si kembar McWhirter, lalu mengingatkan bahwa kamu
mempunyai buku tersebut di kamarmu, kamu menjawab The Phantom
of Pine Hill. Padahal kamu tahu bahwa Mama dan Papa tidak
mengizinkan kamu membaca serial buku Nancy Drew. Jadi, kupikir
kamu mungkin menyesal karena tanpa sengaja telah mengakui bahwakau menyimpan salah satu buku dari serial itu di kamarmu. Aku hanya
ingin meyakinkanmu, bahwa aku tidak akan melaporkannya pada
Mama dan Papa. Aku juga menduga bahwa Mimi sudah mengetahui
masalah ini, dan sudah bersepakat untuk tutup mulut. Betulkah itu?"
Sebenarnya aku kurang mengerti apa yang dimaksud oleh
Janine. Memang banyak makanan yang kusembunyikan di kamarku,
tapi tidak ada cereal. Dan kalau Janine tidak menyinggung soal buku
karangan Nancy Drew, aku malah tidak menyadari bahwa aku tadi
telah keceplosan. Pokoknya, aku memutuskan bahwa "terima kasih"
adalah jawaban yang paling aman.
"Terima kasih," kataku.
"Kembali. Apa betul dugaanku tentang Mimi? Mimi sudah tahu
soal Nancy Drew, kan?"
Aku mendesah. "Kamu betul. Tapi kamu salah tentang cereal."
Janine tampak bingung. Lalu dia duduk di hadapanku dan
menggeleng-gelengkan kepalanya. "Uh," ujarnya.
"Ada apa?"
"Aku... kadang-kadang aku berharap bisa akrab dengan Mimi
seperti kamu."
"Hmm, kalau kamu bersedia meninggalkan komputermu selama
lima belas menit, barangkali kamu bisa lebih akrab dengan kami
semua. Kamu bersikap seolah-olah kamu sudah menikah dengan
barang itu. Apa dia suami yang baik?"
Janine memutar bola matanya. "Konyol!"
"Oh, jadi selain bodoh, aku juga konyol?!" aku berseru. Tapi
sebelum dia sempat mengatakan sesuatu, kami mendengar bunyi
gedebuk yang keras. Bunyi itu sepertinya berasal dari lantai bawah,tidak jauh dari tempat kami duduk. Kalau di rumah Kristy, bunyi
gedebuk seperti ini bisa jadi berasal dari anjingnya, Louie, yang
mendorong pintu karena ingin masuk ke dalam rumah. Atau bisa juga
berasal dari salah satu saudara laki-lakinya yang sedang berjingkrak-
jingkrak. Tapi kami tidak punya binatang peliharaan, dan satu-satunya
orang yang ada di rumah?selain kami?adalah Mimi.
Janine dan aku saling pandang.
Tanpa berkata apa-apa, seolah-olah digerakkan oleh pikiran
yang sama, kami melompat berdiri, bergegas keluar dari dapur, berlari
melalui ruang makan dan ruang duduk, menuju pintu kamar Mimi
yang tertutup.
Janine mengetuk pintu.
Sampai detik itu, aku masih menyangka bahwa semuanya baik-
baik saja. Aku yakin sekali bahwa kami bakal mendengar Mimi
menjawab, "Masuk!" walaupun mungkin dengan nada suara agak
jengkel.
Tapi ternyata tidak ada jawaban.
"Mungkin Mimi sudah tertidur," aku menduga-duga.
"Mungkin." Janine membuka pintu sedikit, hanya cukup lebar
untuk melihat bahwa lampu di samping tempat tidur Mimi masih
menyala.
"Mimi?" Janine memanggil.
Tetap tidak ada jawaban.
Janine membuka pintu lebar-lebar.
Aku memekik.
Janine menahan napas.Tubuh Mimi tampak tergeletak di lantai. Sebelum terjatuh dia
mungkin sedang berganti baju untuk tidur, soalnya dia cuma memakai
blus, rok dalam, dan stoking. Sepatunya telah diletakkan dengan rapi
di sebelah lemari pakaiannya.
"Mimi dibunuh!" aku menjerit.
"Tidak," ujar Janine. "Tapi kupikir Mimi mungkin terkena
serangan jantung atau semacam itu."
"Mimi tidak meninggal, kan?" tanyaku dengan waswas.
Kami berlutut di sebelah Mimi. Dalam posisi meringkuk di
lantai, dia tampak kecil sekali. Matanya terpejam rapat, dan warna
kulitnya sama putihnya dengan seprai di tempat tidurnya.
Janine mengangkat pergelangan tangan Mimi dengan satu
tangan. "Denyut nadinya masih terasa! Claudia, telepon sembilan-
satu-satu."
Di meja kecil di sebelah tempat tidur Mimi ada pesawat
telepon. Aku segera mengangkat gagang, dan menelepon petugas
kesehatan. "Nenekku kena serangan jantung!" Kata-kata itu langsung
meluncur keluar dari mulutku, begitu aku mendengar seseorang
menyahut.
"Katakan pada mereka bahwa Mimi pingsan," ujar Janine.
"Dia pingsan," kataku. "Tolong cepat ke sini." Aku
menyebutkan nama, alamat, dan nomor telepon kami pada orang itu,
kemudian meletakkan gagang telepon.
"Apa yang harus kita lakukan?" aku merengek.
Janine menggigit bibirnya. Dia masih memegang tangan Mimi,
sambil menepuk-nepuknya dengan lembut. "Aku rasa kita tidak boleh
memindahkan Mimi," dia berkata, "tapi kita harus menghangatkantubuhnya. Ayo, kita selimuti Mimi dengan baju tidurnya, dan
mencoba untuk memakaikan sandal. Setelah itu, aku akan menjaga
Mimi, sedangkan kamu menunggu para petugas kesehatan di luar
supaya kamu bisa menunjukkan jalan pada mereka."
"Oke," sahutku. Aku mengambil gaun tidur Mimi dan sandal
berbulu halus dari dalam lemarinya. Janine memakaikan sandal,
sementara aku menyelimuti Mimi. Kemudian aku berlari keluar dan
berdiri di teras depan dengan tidak sabar.
Jauh sebelum mobil ambulans kelihatan, raungan sirenenya
sudah terdengar olehku. Rasanya lama sekali sampai ambulans itu
akhirnya memasuki halaman rumah kami. Para petugas segera
melompat keluar. Mereka menurunkan sebuah tandu beroda dan
mendorongnya ke teras depan. Seluruh kejadian itu sepertinya cuma
menghabiskan waktu dua detik.
"Cepat!" ujarku. "Dia ada di dalam. Mari kutunjukkan
jalannya."
Aku menyerbu masuk lewat pintu depan. Para petugas berada
tepat di belakangku.
"Syukurlah," kata Janine waktu melihat kami. Tapi dia tetap
tidak beranjak dari tempatnya di samping Mimi, sampai para petugas
mengangkat Mimi ke atas tandu.
"Apa yang terjadi?" tanya seseorang padaku.
"Entahlah," sahutku. "Dia bilang bahwa dia sangat lelah dan
ingin tidur lebih cepat. Lalu dia masuk ke kamarnya ini, dan beberapa
saat kemudian kami mendengar bunyi gedebuk. Kakak saya dan saya
berlari kemari dan menemukan dia sudah tergeletak di lantai. Kamitidak memindahkan dia," tambahku, "dan kami berusaha agar
tubuhnya tetap hangat."
"Kalian mengambil tindakan yang tepat," ujar pria itu.
"Menurut Anda, apa yang terjadi?" Janine bertanya padanya.
Dengan cemas dia menatap tubuh kecil Mimi di atas tandu, ketika
para petugas mengadakan pemeriksaan awal. "Mula-mula saya
menduga dia terkena serangan jantung, tapi mungkin juga dia terjatuh.
Atau barangkali kepalanya yang cedera."
"Saya rasa tidak. Tidak ada tanda-tanda luka berat di
kepalanya," si petugas berkomentar. "Tapi jangan kuatir. Napasnya
teratur. Itu pertanda baik. Kita akan segera tahu apa yang terjadi."
Sementara kami bercakap-cakap, para petugas yang lain telah
mendorong tandu menuju ke pintu depan. Kami mengikuti mereka ke
ambulans.
"Siapa dari kalian yang mau ikut dengan kami?" tanya seorang
petugas. "Ngomong-ngomong, di mana orangtua kalian?"


Baby Sitter Club 7 Claudia Dan Janine Si Besar Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mereka pergi makan malam," Janine menjawab. "Mereka akan
pulang sebentar lagi. Claudia, mungkin lebih baik kalau aku saja yang
menemani Mimi. Kamu tinggal di rumah, menunggu Mama dan Papa.
Dan kamu juga bisa mencoba menelepon mereka di Restoran Chez
Maurice." Dia menoleh pada si petugas. "Kalau orangtua kami sampai
di rumah sakit nanti, apakah mereka harus menuju bagian gawat
darurat?"
"Ya," si petugas menyahut. "Kalau ternyata nenek kalian sudah
dipindahkan, resepsionis di rumah sakit pasti tahu di bagian mana dia
dirawat.""Oke, Claudia?" Janine bertanya padaku. "Pertama-tama
langsung ke bagian gawat darurat." Dia selalu memperlakukan aku
seakan-akan aku baru berumur tiga tahun, atau tuli, atau semacamnya.
"Oke, oke."
Tahu-tahu ambulans sudah berlalu. Rasanya aku kepingin
duduk di jalan masuk mobil, lalu menangis sejadi-jadinya. Tapi
kemudian aku masuk ke dalam rumah, mencari nomor telepon
Restoran Chez Maurice, dan langsung mengangkat gagang.
Mungkin karena terburu-buru, aku rupanya salah putar nomor,
karena suara di ujung sana berkata, "Halo, kediaman keluarga
Arnold." Aku memutuskan sambungan, lalu mencoba lagi. Kali ini,
sebuah suara gagah menyapaku, "Bon soir, Chez Maurice."
"H-halo?" kataku. "Nama saya Claudia Kishi dan orangtua saya
sedang makan malam di sana?maksud saya, di restoran Anda. Ada
keadaan darurat di rumah kami, dan saya perlu berbicara dengan
mereka."
"Saya menyesal sekali, tapi mereka baru saja pergi."
"Anda yakin?" tanyaku. "Suami-istri Kishi? Maksud saya,
rombongan keluarga Kishi?"
"Certainement."
Aku hanya bisa berharap bahwa jawaban dalam bahasa Prancis
itu berarti tentu saja.
"Oke. Terima kasih," kataku.
"Bon nuit."
Aku berjalan mondar-mandir di dalam rumah sambil merenung.
Akhirnya aku menyimpulkan bahwa Mama dan Papa hanya
memerlukan waktu sekitar lima belas menit untuk menempuhperjalanan dari restoran ke rumah kami, kecuali kalau di tengah jalan
mereka memutuskan untuk mampir di tempat lain dulu. Aku masuk ke
kamar Mimi, lalu menggantungkan roknya dan menaruh sepatunya di
dalam lemari. Kemudian aku menyadari bahwa kemungkinan besar
dia harus menginap di rumah sakit, paling tidak untuk satu malam.
Oleh sebab itu aku mengambil kopernya yang paling kecil, dan
membukanya di atas tempat tidur.
Tiba-tiba aku mendapatkan sesuatu yang bisa kukerjakan. Aku
bergerak cepat, memasukkan gaun tidur, sikat gigi, pasta gigi, buku
berbahasa Jepang yang sedang dibacanya, kacamata, dan beberapa
barang lain ke dalam koper. Agar dia merasa seperti di rumah, aku
menambahkan puisi haiku kesukaan Mimi, yang ditulis dalam bahasa
Jepang dan diberi bingkai dan digantung di atas tempat tidurnya.
Setelah itu aku mengunci rumah dan duduk di teras depan
sambil memangku koper Mimi. Mataku terus menatap ke seberang
jalan. Baik rumah Kristy maupun rumah Mary Anne sudah gelap. Aku
tahu, kalau mereka ada di rumah, pasti mereka sudah datang kemari
begitu mendengar raungan sirene ambulans tadi.
Aku menunggu dan menunggu. Pikiranku dihantui oleh
perdebatanku dengan Mimi. Aku telah bersikap kasar padanya dan
kemudian dia mendapat serangan jantung. Aku terus bertanya-tanya
apakah seseorang bisa membuat orang lain terkena serangan jantung.
Akhirnya aku melihat mobil orangtuaku di ujung jalan. Aku
berlari ke ujung jalan masuk mobil di halaman depan, lalu melambai
ke arah mereka dengan panik. Begitu Papa mengurangi kecepatan, aku
langsung memburu masuk, dan menjelaskan apa yang telah terjadi.
Mama membungkam saja.Dia tidak mengatakan sepatah kata pun, sementara Papa terus
memacu mobilnya menyusuri jalan-jalan di Stoneybrook.
Dalam waktu singkat kami sudah sampai di rumah sakit.
Perawat di bagian gawat darurat mengantar kami ke unit perawatan
intensif. Rasanya lift yang kami naiki untuk menuju ke lantai empat
adalah lift paling lambat di seluruh dunia. Pada waktu kami
melangkah keluar, kami melihat Janine di lorong. Dia sedang berjalan
mondar-mandir sambil meremas-remas tangannya. Sepertinya dia
habis menangis.
"Mereka tidak mau mengatakan apa pun padaku!" dia berseru
ketika kedua orangtuaku bergegas menghampirinya.
Papa menemui seorang perawat dan berbicara padanya dengan
suara pelan. Setelah itu, kami berempat duduk di tempat tunggu di
ujung lorong. Mama masih membisu. Setiap kali dia ingin
mengucapkan sesuatu, matanya mulai berkaca-kaca dan
tenggorokannya seperti tersumbat. Papa menggenggam tangannya
sambil terus berusaha menghiburnya dengan mengatakan bahwa
segalanya pasti akan beres.
"Aku belum pernah melihat Mama begitu sedih," aku berbisik
pada Janine. Aku merasa gelisah sekali.
"Bagaimanapun juga, Mimi adalah ibunya," dia menjawab.
"Kita juga pasti akan sedih sekali kalau Mama harus dibawa ke rumah
sakit."
Aku mengangguk perlahan. Pada saat-saat seperti ini, sikap
Janine ternyata tidak terlalu buruk.
Beberapa waktu kemudian seorang dokter datang ke tempat
tunggu. "Dia terkena stroke(serangan pada otak yang disertaikelumpuhan)," dokter itu memberitahu kami. "Cukup serius. Dia
dalam keadaan kritis, tapi kondisinya stabil. Pada saat ini, dia belum
mampu bergerak atau berbicara. Tapi saya pernah melihat orang yang
terkena stroke dapat sembuh dengan cara yang menakjubkan. Kita
harus menunggu perkembangan selama dua puluh empat sampai
empat puluh delapan jam berikut untuk mendapatkan hasil yang lebih
pasti. Dia sedang tidur sekarang, dan saya rasa tidak ada yang Bapak
atau Ibu bisa lakukan untuknya. Kalau saya boleh usul, lebih baik
Bapak, Ibu, dan Anak-anak pulang saja. Cobalah untuk beristirahat di
rumah. Besok pagi silakan kembali kemari."
Dengan berat hati, kami berbalik dan pulang ke rumah.Bab 6
SEPERTI kata Dawn, play group kami telah dimulai dengan
sangat baik. Para baby-sitter telah berkumpul di rumah Stacey pada
jam setengah sembilan pagi. Aku merasa bersalah, karena pada waktu
bersamaan Mama dan Papa pergi ke rumah sakit untuk menemaniMimi. Tapi sebelumnya, Mama telah menelepon bagian perawatan
intensif di rumah sakit untuk menanyakan kabar Mimi. Perawat yang
menerima teleponnya mengatakan bahwa Mimi masih belum siuman.
Oleh sebab itu, kedua orangtuaku merasa tidak perlu mengajak Janine
dan aku ke sana.
Karena musibah yang telah terjadi di rumahku, akulah orang
terakhir yang muncul di rumah Stacey. Aku telah memutuskan untuk
langsung mengabarkan berita tentang Mimi pada para anggota klub.
Tidak ada alasan untuk merahasiakan hal seperti itu, dan mereka juga
berhak mengetahuinya.
Aku berjalan ke halaman belakang rumah Stacey, sambil
mengempit sekotak penuh peralatan kerajinan tangan. Ternyata semua
orang sedang sibuk. Stacey mengenakan celana selutut berwarna hijau
jeruk, sepatu basket dengan warna hijau yang senada, serta T-shirt
gombrong bergambar taksi raksasa di bagian depannya. Dia sedang
menyiapkan bangku-bangku kebun di depan dua buah meja piknik
yang panjang. Mary Anne dan Kristy, yang tidak terlalu gemar
berdandan, masing-masing mengenakan celana pendek jeans warna
biru, sepatu olahraga, dan T-shirt. Tapi blus Mary Anne cukup manis,
dengan leher rendah dan renda-renda di ujung lengannya. Sedangkan
Kristy memakai kaus abu-abu yang sudah memudar warnanya, yang
mungkin pernah menjadi milik Sam atau Charlie. Tulisan BOHREN'S
MOVERS dengan huruf-huruf berwarna hitam melintang di bagian
belakangnya. Kali ini penampilan Dawn agak mengejutkan, karena
gayanya seperti anak-anak New York. (Biasanya dia selalu bergaya
santai seperti anak California.) Dia mengenakan celana garis-garis
dengan ikat pinggang lebar, dan blus berwarna merah. Mereka bertigasedang membongkar kotak Kid-Kit, mengeluarkan buku-buku cerita
serta papan-papan permainan.
"Halo, semuanya," kataku.
Mary Anne, yang paling sensitif di antara kami, rupanya sudah
bisa menebak perasaanku hanya dengan menatapku sepintas lalu. Dia
langsung berkata, "Ada apa, Claud? Kamu baik-baik saja, kan?"
"Tolong, deh, kalian semua kemari sebentar," jawabku. "Ada
sesuatu yang perlu kukatakan."
Semua temanku telah mengenal Mimi dengan baik, karena
pertemuan rutin Baby-sitters Club selalu diadakan di rumahku. Kristy
dan Mary Anne bahkan akrab sekali dengan Mimi, sebab kami bertiga
sama-sama lahir dan dibesarkan di sini, di Stoneybrook. Tapi dari
semua anggota klub, Mary Anne-lah yang paling dekat dengan
nenekku, sebab ibunya sendiri telah meninggal beberapa tahun yang
lalu.
Semuanya langsung menghentikan pekerjaan masing-masing
dan bergegas ke arahku.
"Ada apa?" tanya Stacey.
"Aku membawa berita buruk," ujarku, "dan kupikir, kalian
harus diberitahu secepatnya. Mimi terkena stroke semalam."
Mary Anne terkesiap, dan Dawn meremas-remas tangannya.
"Mimi baik-baik saja," kataku cepat-cepat. "Maksudku, Mimi
tidak bisa bergerak, tapi dia masih bernapas, dan dokter bilang
kemungkinan untuk sembuh tetap ada. Tidak ada yang bisa dilakukan
selain menunggu."Semua orang, kecuali Mary Anne, tampak lebih tenang.
"Bisakah kita menengoknya di rumah sakit?" tanyanya dengan suara
bergetar.
Aku menggelengkan kepala. "Belum bisa. Mimi masih dalam
perawatan intensif. Mungkin nanti, kalau Mimi sudah dipindahkan ke
kamarnya sendiri di bagian lain."
Bibir Mary Anne mulai bergetar.
"Hei!" ujarku. "Aku punya ide. Hari ini anak-anak bisa diajak
membuat kartu ucapan 'semoga cepat sembuh' untuk Mimi. Sebagian
besar dari mereka paling tidak sudah pernah berjumpa dengannya."
"Wah, ide yang bagus!" Kristy menyela. "Kita akan
menggabungkan kerajinan tangan dengan... dengan..."
"Dengan belajar saling menyayangi satu dengan yang lain,"
Dawn menyambung. "Bagus. Para orangtua pasti akan menyukai
gagasan ini. Dan yang lebih penting lagi, Mimi akan senang menerima
kartu-kartu ucapan itu."
Kami merasa terhibur, dan buru-buru mengatur segala
sesuatunya. Menjelang pukul sembilan Kristy mengumpulkan kami,
lalu berkata, "Aku rasa, sebaiknya kita membuat jadwal kegiatan
harian? yang tidak mengikat. Karena ini hari pertama, kita lihat saja
bagaimana perkembangannya. Untuk selanjutnya, kalau kalian tidak
keberatan, menurutku ada baiknya kalau selama satu setengah jam
pertama kita biarkan anak-anak melakukan apa saja yang mereka
sukai. Setelah itu kita akan menyetel musik selama kira-kira dua puluh
menit. Lalu makanan kecil?kita beli minuman kaleng dan biskuit?
kemudian membaca cerita?mungkin satu orang bisa membaca cerita
untuk anak-anak yang lebih besar, dan satu orang lagi membaca ceritalain untuk anak-anak yang kecil?setelah itu kegiatan dalam grup,
seperti bermain petak umpet atau semacam itu. Kalau masih ada sisa
waktu sebelum jam setengah satu, mereka bisa bermain sendiri-sendiri
lagi."
Itulah Kristy, selalu mau mengatur. Kami semua setuju bahwa
rencananya itu kedengarannya cukup baik.
"Dan," Kristy melanjutkan, "kurasa, aku sudah tahu siapa
peserta pertama play group kita hari ini."
"Siapa?" tanya kami.
"David Michael."
"David Michael?" seruku. "Wah, asyik, tapi kenapa dia datang
kemari? Kan ada kakak-kakak dan ibumu? Lagi pula aku pikir dia
sudah bosan ketemu anak-anak lain setelah pengalamannya dengan
para sepupu sepanjang minggu di rumahmu."
"Memang, sih," sahut Kristy, "tapi selama liburan musim panas
Sam dan Charlie akan bekerja, dan ibuku ingin membereskan barang-
barang di rumah. Kecuali itu, di sini mungkin bakal ada anak-anak
laki-laki yang seumur dengan dia. Nicky Pike, misalnya, atau siapa
pun."
"Baiklah," ujarku. Dan pada detik berikutnya, David Michael
berjalan memasuki halaman belakang rumah keluarga McGill, sambil
menggenggam uang tiga dolar di salah satu kepalan tangannya. Ia
kelihatan ragu-ragu.
Tak lama setelah David Michael, Charlotte Johanssen datang.
Kemudian Bu Newton mengantarkan Jamie.Dan habis itu, Mallory Pike muncul bersama adik laki-lakinya,
Nicky, dan adik-adik perempuannya, Claire, Margo, dan Vanessa,
ditambah dengan Suzi dan Buddy Barrett, serta Jenny Prezzioso.
"Ibuku bilang, aku boleh membantu kalian di sini," ujar Mallory
dengan bangga. "Jadi, aku memulainya dengan mengantar anak-anak
ini kemari. Aku mengajari mereka bagaimana cara menyeberang jalan
dan sebagainya."
"Oh, bagus sekali," sahut Kristy.
"Apa yang harus kulakukan sekarang?" tanya Mallory.
Kristy menjelaskan jadwal kerja kami padanya. "Bagaimana
kalau kamu membantu mengawasi anak-anak selagi mereka bermain-
main? Tahu kan caranya, melerai perkelahian atau mengusulkan
sesuatu kalau mereka kelihatan mulai bosan."
"Oke."
Nah, sebelum kuceritakan masalah yang ditimbulkan oleh
Jenny, sebaiknya aku jelaskan dulu bagaimana anak-anak berpakaian
pagi itu. Sebagian besar dari mereka mengenakan setelan seperti yang
dipakai Kristy dan Mary Anne?yaitu T-Shirt dan celana pendek atau
celana blue jeans. Suzi Barrett memakai baju bermain yang sudah
memudar warnanya, dan Claire mengenakan overall bercelana pendek
dengan blus bergaris-garis di dalamnya. Semua anak memakai sepatu
kets.
Kecuali Jenny Prezzioso.
Jenny memakai gaun pesta berwarna merah jambu pucat yang
bersih tak bernoda. Lengan gaunnya mengembung, dan bagian
depannya dilapisi semacam celemek berwarna putih. Kakinyaterbungkus kaus kaki putih berenda, dan sepatu kulit Mary Jane
berwarna merah muda.
Masalah pertama yang terjadi pagi itu adalah ketika Jenny
tergelincir, lalu jatuh terjerembap. Harus kuakui, untuk beberapa detik
rasanya aku lebih kuatir tentang noda rumput yang melekat pada
gaunnya daripada tentang luka di lututnya.
"Wahh!" rengek Jenny. Bahkan tangisnya pun terkesan dibuat-
buat.
"Bagaimana kalau kita copot saja sepatu dan kaus kakimu?" aku
mengusulkan. "Hari ini cuaca cukup hangat dan menyenangkan.
Kamu tidak akan tergelincir lagi kalau berjalan dengan kaki
telanjang."
"Tidak mau," jawab Jenny dengan keras kepala. "Aku kepingin
kelihatan cantik."
"Tapi kalau kamu jatuh, kan bajumu jadi kotor. Lihat ini!" Aku
menunjuk noda rumput di bajunya.
Jenny melihat noda di bajunya, lalu mempertimbangkan usulku
untuk beberapa saat. Setelah itu dia menatap sepatunya.
"Aku tidak mau mencopot SEPATU MERAH MUDAKU!"
suaranya melengking, dan makin keras dengan setiap kata yang
diucapkannya.
"Oke, oke, oke."
Tapi itu baru permulaannya. Jenny tidak tahu bagaimana
caranya berbagi. Dia tidak mau bermain bersama anak-anak lain. Dia


Baby Sitter Club 7 Claudia Dan Janine Si Besar Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bilang bahwa dia kepingin bermain sendiri. Tapi waktu anak-anak
mulai meninggalkannya sendiri, dia justru mengeluh."Tidak ada yang mau main denganku," Jenny merengek. Dia
sedang duduk di meja piknik sambil membuat kartu ucapan 'semoga
cepat sembuh'. Wajahnya dibenamkan ke kedua lengannya yang
disilangkannya di atas meja.
Sebuah krayon berwarna biru menggelinding menyeberangi
meja, menuju ke pangkuannya.
Aku buru-buru menangkap krayon itu sebelum jatuh mengenai
gaunnya. ebukulawas.blogspot.com
"Tapi, Jenny, kamu sendiri yang bilang bahwa kamu tidak mau
bermain dengan mereka," aku mengingatkan.
"Yah, tapi sekarang aku mau!"
"Kalau begitu, pergi bermain sana."
"Aku tidak bisa. Bajuku bakalan kotor nanti."
Aku memutar-mutar bola mataku. Jenny adalah tipe anak yang
biasa disebut Mimi sebagai "sebuah cobaan". Tapi, selain Jenny,
semua peserta play group kami bisa bersenang-senang di pagi itu. Dan
mereka telah membuat kartu ucapan untuk Mimi sebanyak sembilan
belas buah.
***********
Sore itu aku menjaga Jamie Newton dan adik bayinya, Lucy,
sementara Bu Newton pergi berbelanja dan menghadiri pertemuan
sebuah klub. Aku senang karena ada begitu banyak yang harus
kulakukan. Menyibukkan diri membuatku tidak memikirkan Mimi
terus-menerus.
Aku suka sekali menjaga Jamie dan Lucy. Keluarga Newton
merupakan salah satu klien pertama Baby-sitters Club. Tapi waktu itu,
keluarga Newton baru punya satu anak, yaitu si Jamie kecil.Kemudian Lucy lahir. Para anggota klub semua bertanya-tanya,
bagaimana reaksi Jamie terhadap hadirnya bayi baru di rumahnya.
Kami yakin sekali bahwa dia pasti akan cemburu. Memang, kadang-
kadang dia cemburu juga pada adiknya, tapi hanya kadang-kadang
saja.
Sekarang ini, keluarga Newton sedang merencanakan sebuah
pesta besar untuk merayakan permandian Lucy. Pesta itu akan
diadakan tidak lama lagi.
"Lihat barang-barang ini. Lihat semua barang ini," Jamie
berkata padaku setelah ibunya pergi. Dia mengajakku masuk ke ruang
makan. "Mama mau bikin pesta, pesta yang besar. Semuanya untuk
dia." Jamie menganggukkan kepalanya ke arah lantai dua, ke tempat
Lucy sedang tidur siang.
Kelihatannya keluarga Newton memang sedang mempersiapkan
sebuah pesta besar-besaran. Meja makan tampak dipenuhi dengan
kotak-kotak biskuit tawar, stoples-stoples kacang, kaleng-kaleng
permen, tumpukan serbet, gelas-gelas, peralatan makan dari perak,
piring-piring, sebuah mangkuk besar untuk minuman sari buah berikut
cangkir-cangkirnya, sendok-sendok sayur, dan masih banyak lagi.
"Kau tahu tidak, Jamie?" ujarku. "Dulu, waktu kamu seumur
Lucy, orangtuamu juga membuatkan pesta besar untukmu setelah
kamu dipermandikan."
"Masa, sih?" Wajah Jamie jadi berseri-seri. Tapi kemudian dia
mengerutkan keningnya. "Ah, aku tidak ingat!" katanya dengan suara
keras.
"Ssst." Aku memberi isyarat supaya dia tidak berbicara keras-
keras, dengan menempelkan telunjuk di bibir. "Adikmu...""Aku tahu," ujar Jamie sambil merengut. "Adikku sedang
tidur."
Oh-oh, pikirku. Ini pertanda buruk.
Tapi waktu Lucy terbangun beberapa waktu kemudian, Jamie-
lah orang pertama yang mendengar tangisannya. Dia langsung bangkit
dari lantai, tempat kami bermain Candy Land, kemudian berlari ke
kamar adiknya. Aku mengikutinya. Waktu kulihat, ternyata dia sedang
berdiri di samping tempat tidur Lucy. Dengan sebelah tangan
memegang kisi-kisi tempat tidur, dia menepuk-nepuk punggung
adiknya. Katanya dengan lembut, "Claudy sudah datang. Claudy
sudah datang. Kamu bisa berhenti menangis, Lucy. Claudy sudah
datang."
Pemandangan yang sangat indah itu akan kusimpan terus dalam
ingatanku.
Aku memakaikan baju Lucy, lalu memberinya jus jeruk. Setelah
itu aku memutuskan untuk berjalan-jalan. Jamie kepingin pergi ke
rumahku. Dia menyukai barang-barang kerajinan tanganku, dan dia
juga suka pada Mimi, dan aku rasa yang diinginkannya hanyalah
memastikan bahwa Mimi betul-betul tidak ada di rumah. Aku tidak
tahu pasti apakah ia memahami arti kata-kata "dirawat di rumah
sakit".
Aku menaruh Lucy ke dalam keretanya, dan kami berjalan
menuju rumahku.
"Apa Mimi ada di sini?" tanya Jamie pada saat aku memutar
kunci pintu depan.
"Tidak. Kamu ingat, kan... aku pernah bilang bahwa dia ada di
rumah sakit. Dia sedang sakit."Jamie mempertimbangkan kata-kataku sebentar, kemudian dia
beralih ke pembicaraan lain. "Apa ada orang di sini?"
"Cuma kita," kataku padanya. "Kepingin lihat lukisan-
lukisanku?"
Jamie menggelengkan kepala. "Ayo, kita main di luar saja,
deh."
Aku duduk di rumput dan bermain dengan Lucy, sementara
Jamie berjungkir balik di rumput. Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di
depan rumahku, dan Janine melompat turun.
"Dadah!" dia berseru pada pengantarnya. "Sampai besok!"
Jamie berlari ke arahku, begitu mobil itu melaju lagi. "Siapa
itu?" dia berbisik.
"Itu Janine, kakakku. Kamu sudah kenal, kan?"
Jamie memutuskan bahwa Janine cukup aman untuk didekati.
"Hi-hi," katanya pada Janine.
"Halo, Jamie," kakakku menyahut. Dia melihat ke arah Lucy
dan aku. "Hai, Claudia... oh, itu kamu, Lucy. Kamu sudah besar, ya!"
"Bagaimana pelajaranmu?" tanyaku.
Janine duduk dan mulai memegang-megang tangan Lucy.
"Pelajaran hari ini sangat menarik," dia menjawab. "Fisika dan
astronomi adalah kombinasi ilmu pengetahuan yang sangat
menakjubkan..."
"Janine," seruku dengan jengkel.
"Apa?" Dia melepaskan tangan Lucy.
"Apa-apaan, sih, kamu ini!" aku meledak marah.
"Ada apa?" Janine berkata lagi. Dia berdiri.Aku juga berdiri dan kami berhadap-hadapan satu dengan
lainnya.
Jamie menyaksikan adegan itu dengan penuh perhatian.
"Kamu sama sekali tidak bertanya tentang Mimi," aku
menuduhnya. "Atau tentang Mama."
"Kamu tidak memberiku kesempatan. Kamu langsung bertanya
tentang pelajaranku hari ini. Dan di samping itu aku sudah mengetahui
keadaan mereka berdua. Aku menelepon Mama dari kampus sore ini.
Tidak ada perubahan yang berarti pada Mimi. Dan Mama... dia baik-
baik saja."
"Kenapa tidak kamu katakan padaku?"
"Aku ulangi lagi?kamu tidak memberiku kesempatan."
"Janine, kamu jahat sekali!"
Janine menatapku. Lalu, tanpa diduga-duga, aku mengangkat
tanganku seolah-olah hendak memukulnya. Tapi cepat-cepat ku
turunkan lagi. (Mata Jamie melotot karena takjubnya. Secara
bergantian dia menatap Janine dan aku.)
Janine menggelengkan kepalanya. Kemudian dia berjalan
memasuki rumah sambil mengentak-entakkan kakinya.
"Janine, si besar kepala," aku mengumpat. "Ayo, Jamie. Kita
jalan lagi."
Janine telah merusak suasana sore yang indah.Bab 7
SELESAI bertugas di rumah keluarga Newton, aku langsung
berlari pulang. Aku sampai di rumah tepat pada waktu dimulainya
pertemuan Baby-sitters Club. Kudapati Kristy dan Mary Anne sedang
duduk di tangga teras depan rumahku, sambil bertopang dagu.
"Kenapa kalian tidak tunggu di dalam?" tanyaku. "Kalian kan
tahu bahwa kalian boleh masuk ke kamarku kalau aku terlambat
datang."
"Sepertinya tidak ada orang di rumah," ujar Kristy dengan
murung.
"Kalian hampir benar," sahutku. "Satu-satunya orang yang ada
di rumah cuma Janine."
"Tidak ada Mimi," ujar Mary Anne.
"Tidak. Mimi tidak ada," jawabku.
Pertemuan Baby-sitters Club pada Senin sore itu berlangsung
dalam suasana agak muram.
"Apa yang harus kita lakukan terhadap Jenny?" tanyaku begitu
semua anggota telah hadir. Aku menggeledah tempat-tempat
rahasiaku dan menemukan sekantong permen karet, yang langsung
kuedarkan berkeliling.
"Dia memang sering bikin masalah," Mary Anne menyetujui."Dia selalu memulai pertengkaran dengan anak-anak lain,"
Stacey menimpali. "Kadang-kadang mungkin dia tidak bermaksud
begitu, tapi bagaimanapun itulah yang dilakukannya. Dengan menolak
untuk saling berbagi. Aku melihat Claire Pike minta krayon berwarna
merah, yang sedang tidak dipakai oleh Jenny. Karena Jenny tidak mau
memberikannya, Claire jadi marah. Dia lalu membalik, dan memukul
Suzi Barrett."
"Kalau saja ibunya mengizinkan Jenny memakai baju bermain,
itu akan membantu," kata Kristy. "Salah seorang dari kita harus
berbicara dengan Bu Prezzioso."
"Ya, salah seorang dari kita harus melakukannya," aku
menegaskan. Kami semua langsung menatap Mary Anne.
"Aku?" dia memekik.
"Kamulah satu-satunya orang yang menyukai anak itu," Kristy
berkata dengan blak-blakan.
Mary Anne menyeringai. "Tapi dia memang tidak punya baju
bermain yang sesungguhnya. Aku tahu betul. Mungkin lebih baik
kalau kita suruh dia memakai celemek untuk melukis sepanjang pagi."
Telepon mulai berdering. Kami langsung menghentikan
pembicaraan kami untuk mengatur perjanjian-perjanjian dengan para
klien. Setelah selesai, soal Jenny sudah hampir terlupakan.
"Kalian ingat, apa yang biasanya terjadi pada saat-saat
pertemuan rutin klub seperti sekarang ini?" Mary Anne bertanya. Dia
meneruskan kata-katanya tanpa menunggu jawaban, "Mimi pasti akan
masuk ke sini dengan berbagai alasan?entah untuk menanyakan
apakah kita memerlukan sesuatu, atau untuk mengingatkan agar kita
tidak terlalu banyak makan camilan sebelum makan malam.""Yeah," kataku. "Kurasa, aku akan menelepon ibuku di tempat
kerjanya untuk menanyakan apakah sudah ada perkembangan."
Sebetulnya Kristy sudah menetapkan peraturan agar kami semua tidak
menelepon untuk keperluan pribadi selama berlangsungnya pertemuan
rutin klub. Tapi entah kenapa, aku yakin betul bahwa kali ini dia akan
mengizinkan aku untuk melanggar peraturan itu. Aku bahkan tidak
buang-buang waktu untuk meminta izin darinya.
Langsung saja aku mengangkat gagang telepon dan memutar
nomor telepon tempat kerja Mama di perpustakaan.
"Halo!" seru sebuah suara.
"Ma?" tanyaku.
"Claudia?"
"Ma?"
"Hei, bodoh, ibumu sudah pulang, tuh!" ujar Kristy. Dia
menyikut rusukku sambil tersenyum lebar.
Aku meletakkan gagang telepon. "Ma?" Aku bisa mendengar
langkah kakinya menaiki tangga.
Mama muncul di ambang pintu. "Halo, Anak-anak," katanya.
Dia kelihatan sangat lelah.
"Bagaimana Mimi?" tanyaku pada saat itu juga.
"Berita gembira. Mimi sudah siuman. Memang dia belum bisa
bergerak maupun berbicara, tapi dia sudah sadar."
"Bagus!" seru Kristy.
"Apa aku boleh menemuinya?"
"Ya. Anggota keluarga boleh menemuinya. Tapi harus satu per
satu. Masing-masing orang dibatasi waktunya sampai kira-kira
sepuluh menit. Kami akan kembali ke rumah sakit setelah makanmalam. Ngomong-ngomong soal makan malam, Claudia, Mama perlu
bantuanmu di dapur. Baru sekarang Mama sadar bahwa kita sudah
terlalu terbiasa diurus Mimi selama ini." Suara Mama mulai
kedengaran seperti ingin menangis lagi.
Pertemuan berakhir beberapa waktu kemudian, dan aku
langsung pergi ke dapur untuk membantu Mama. "Di mana Janine?"
tanyaku. "Dia kan juga bisa membantu?"
"Oh, Mama tidak ingin mengganggunya," sahut Mama. "Mama
yakin dia pasti sedang sibuk mengerjakan tugas-tugas sekolahnya."
Lalu, bagaimana anggapan Mama tentang Baby-sitters Club,
aku bertanya-tanya dalam hati. Apakah klub kami cuma dianggap
sebagai permainan? Tapi aku tidak mengatakan apa-apa. Aku
membuka freezer di dalam kulkas. "Masih ada kentang goreng dan
roti hamburger. Kita bisa memanaskannya."
"Boleh," sahut Mama. "Dan bantu Mama membuat salad,
Sayang. Mama rasa itu sudah cukup untuk hidangan makan malam."
Selesai menyantap hidangan makan malam seadanya itu,
Mama, Papa, Janine, dan aku berangkat ke rumah sakit. Semakin
mendekati Mimi, rasa kuatirku semakin bertambah. Pikiranku
dipenuhi oleh tingkahku yang kasar terhadapnya. Aku menggenggam
kesembilan belas kartu ucapan "semoga cepat sembuh" di tanganku.
Kata-kata kasar yang telah kulontarkan kepada Mimi terus terngiang-
ngiang di telingaku, begitu juga suara Mimi yang sabar dan pelan
ketika dia mengatakan "selamat malam" padaku. Waktu itu dia tidak
memanggilku "Claudia-ku" seperti biasanya, dan itu berarti bahwa dia
betul-betul sakit hati. Apa yang harus kukatakan nanti kalau aku
menemuinya?"Ma, apa Mimi bisa mendengar kita?" tanyaku.
"Wah, ini baru yang namanya pertanyaan bodoh," sahut Janine.
Papa menatap Janine melalui kaca spion. "Coba, Papa ingin
tahu apa jawabanmu, Dokter Kishi," ujarnya.
"Jawabnya adalah," kata Janine, "sudah barang tentu Mimi bisa
mendengar kita."
"Menurut dokter ahli saraf, jawabannya adalah, 'Kami rasa dia
bisa mendengar, tapi kami tidak tahu pasti seberapa baik
pendengarannya pada saat ini.'"
"Oh," sahut Janine pelan.
"Kenapa kamu menanyakan itu, Claudia?" Papa bertanya.
"Aku... aku cuma ingin meyakinkan diri, apakah dia bisa
mendengar kalau aku... kalau kita berbicara padanya."
Kami meneruskan perjalanan sambil membisu.
Setelah sampai di rumah sakit, Mama dan Papa mengantar
Janine dan aku ke kamar Mimi.
Mama masuk lebih dahulu. Wajahnya kalut, dan ia kelihatan
gugup sekali.
"Bisakah aku masuk setelah Mama?" aku memohon, pada saat
Mama keluar.
"Bolehkah aku," Janine mengoreksi kata-kataku. Dengan hati-
hati dia mengintip ke dalam kamar melalui pintu yang setengah
terbuka.
Aku tidak mempedulikannya. Malah menurutku dia bahkan
tidak menyadari apa yang telah dikatakannya.
"Tentu saja boleh," Mama menjawabku. "Tapi perhatikan jam
di dinding, Sayang. Jangan melewati batas waktu sepuluh menit.Perawat-perawat di sini sangat ketat dengan peraturan. Dan jangan


Baby Sitter Club 7 Claudia Dan Janine Si Besar Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

takut kalau kamu melihat banyak peralatan di dalam. Ingat saja, semua
peralatan itu digunakan untuk membantu Mimi."
Aku menyelinap masuk ke dalam kamar. Suasana di dalam
sangat tenang dan temaram. Hanya ada bunyi berdengung yang
berasal dari berbagai jenis mesin. Mimi dikelilingi oleh aneka macam
peralatan yang dilengkapi layar TV. Tapi semuanya tidak ada
gambarnya. Cuma ada titik-titik terang yang berzig-zag dari sisi yang
satu ke sisi yang lain. Di samping tempat tidurnya ada sebuah tiang
dengan kantong yang terbuat dari plastik dan berisi cairan bening
tergantung pada bagian atasnya. Sebuah slang menghubungkan
kantong plastik itu dengan jarum yang menancap di pergelangan
tangan Mimi. Aku merasa ngeri waktu melihatnya, dan bulu kudukku
langsung berdiri.
Mimi mirip boneka kecil yang terkapar di atas tempat tidur
logam dan dikelilingi mesin-mesin yang menakutkan.
Aku berjingkat-jingkat menuju tempat tidurnya. "Mimi?" aku
berbisik.
Mata Mimi membuka, tapi dia tidak memandang ke arahku.
"Mimi?" aku berbisik lagi.
Tidak ada reaksi. Matanya tetap menatap ke arah yang sama
dengan pandangan kosong. Aku semakin ngeri.
Sepertinya aku tidak berhadapan dengan Mimi yang kukenal.
Aku tidak tahan melihat matanya. Perlahan-lahan aku mundur. Aku
terus mundur menuju pintu, sampai-sampai keranjang sampah di
depan pintu tertendang olehku.
"Claudia?" ujar Mama. "Kamu tidak apa-apa, kan?""Kamu duluan saja, Janine," kataku, tanpa mempedulikan
pertanyaan Mama.
Aku berdiri di ambang pintu kamar Mimi sambil memegang
kesembilan belas kartu ucapan "semoga cepat sembuh", dan
mengawasi Janine. Mama berdiri tepat di belakangku. Tangannya
diletakkan di atas pundakku.
Aku memperhatikan wajah Janine pada saat ia melihat mesin-
mesin itu. Matanya membelalak lebar waktu ia melihat pandangan
mata Mimi yang kosong. Tapi Janine tetap berdiri di tempatnya. Dia
mulai bercakap-cakap dengan Mimi, seakan-akan mereka sedang
duduk berhadap-hadapan sambil menikmati secangkir teh. Dia
berbicara pelan-pelan pada Mimi selama sepuluh menit. Sayang sekali
aku tidak bisa mendengar apa yang dikatakannya.
Waktu Janine keluar, Mama menoleh ke arahku. Biarpun dia
tidak mengatakan sepatah kata, pun, aku langsung menyadari bahwa
Mama bermaksud menawarkan apakah aku mau mencoba untuk
masuk lagi.
Aku menggelengkan kepala. Sementara itu air mata mulai
membasahi pelupuk mataku. Aku melarikan diri ke ruang tunggu, lalu
duduk di depan mesin penjual minuman kaleng sampai waktu pulang.
**********
Keesokan malamnya kami kembali ke rumah sakit. Sepanjang
hari kukatakan pada diriku sendiri, "Jangan egois", atau, "Jangan
bertingkah seperti anak kecil. Mimi membutuhkan kamu."
Oleh sebab itu, pada kunjungan yang kedua kalinya?masih
dengan membawa kesembilan belas kartu ucapan untuk Mimi?aku
merasa lebih siap. Aku mencoba untuk tidak mempedulikan suasanatemaram dan bunyi dengungan mesin. Aku justru berusaha untuk
mengingat-ingat bagaimana Mimi sebelum dia mendapat stroke.
Aku melihat sekeliling di dalam kamarnya.
Di salah satu sudut ada kursi kayu dengan bantalan berlapis
vinil. Aku menariknya ke samping tempat tidur dan duduk di situ.
Kemudian aku memaksakan diri untuk memandang mata Mimi.
"Halo, Mimi," kataku.
Dia mengedipkan matanya, tapi cuma itu. Apakah dia
mendengar kata-kataku? Betapa tidak enaknya kalau kita tidak mampu
melambaikan tangan atau tersenyum atau melakukan apa pun.
"Mimi, aku cuma diizinkan menengok Mimi selama sepuluh
menit," aku berkata padanya. "Jadi aku akan langsung menceritakan
apa-apa saja yang telah terjadi." Aku berhenti sebentar. "Ehm, play
group kami berjalan dengan lancar pada hari pertama. Apa Mimi
masih mengingatnya?"
Mimi mengedipkan matanya, tapi aku menyadari bahwa
matanya terfokus pada suatu tempat di langit-langit kamarnya.
"Mimi pasti masih ingat, kan? Pokoknya, semuanya berjalan
sesuai dengan rencana. Dan coba Mimi terka, apa hasil kerajinan
tangan anak-anak? Anak-anak telah membuat kartu ucapan 'semoga
cepat sembuh' untuk Mimi. Mereka semua ikut sedih mendengar kabar
bahwa Mimi berada di rumah sakit. Sebagian besar dari mereka
membuat dua atau tiga kartu ucapan. Aku membawa semuanya ke
sini. Yang ini dari David Michael. Nih!" Aku mengangkat kartu
ucapan itu. "Di sini tertulis, 'Cepat sembuh ya, Mimi.' Dan yang ini
dari Margo Pike. Dia baru belajar menulis, jadi yang terbaca cuma
"HGDOMYLSP". Tapi Margo sudah menerjemahkannya untukku,dan artinya adalah, 'Mimi jangan sakit. Mimi cepat pulang. Salam
sayang, Margo', Dia juga membuat gambar petugas pemadam
kebakaran untuk Mimi. Dan Buddy Barrett membuat ini: 'Dear
nenenya Claudi. Cpat sembu ya dan cpat pulang ke ruma karna kita
mau nene cpat sembu. Salam manis, Hamilton Barrett, Junior.' Dia
butuh waktu dua puluh menit untuk menuliskannya."
Aku memamerkan semua kartu ucapan itu pada Mimi. Lalu
ujarku, "Kurasa sebaiknya kita letakkan di sini saja, di ambang
jendela. Jadi kartu-kartu ucapan ini bisa ikut menyemarakkan
ruangan."
Aku mulai menjejerkan kartu-kartu ucapan itu. Aku tidak tahu
lagi harus berkata apa pada Mimi. Sebelum ini, belum pernah aku
berbicara sendiri seperti sekarang. Lain halnya dengan Kristy. Dia
pasti takkan mendapat kesulitan, soalnya dia biasa berbicara tanpa
berhenti. Dan Janine, dia juga bisa melakukannya dengan baik
kemarin malam. Tapi aku bukan tukang ngomong. Kalau saja aku bisa
yakin bahwa Mimi dapat mendengarku, semuanya pasti lebih mudah.
Sayangnya dia tidak memberikan tanda-tanda apa pun. Satu-satunya
gerakan yang dilakukannya cuma mengedipkan mata.
Matanya? Aku punya ide.
Aku berdiri. "Hei, Mimi," ujarku, sambil mencondongkan
tubuhku dan berusaha menatap langsung pada matanya. "Kalau Mimi
bisa mendengarku, tolong kedipkan mata Mimi."
Mimi mengedipkan matanya.
Aku terkesiap. Tapi masih ada kemungkinan bahwa gerakan itu
tidak disengajanya, soalnya dari tadi sudah berkali-kali dia
mengedipkan mata.Aku mencoba cara lain. "Mimi, kalau betul namaku Claudia,
tolong kedipkan mata dua kali."
Mimi berkedip dua kali.
"Mimi bisa mendengarku!" aku berseru. "Oh, wow! Berarti kita
bisa ngobrol, dong. Mimi, kita akan memakai kedipan mata sebagai
kode. Sekali kedipan berarti ya. Dua kedipan berarti tidak, oke?"
Mimi berkedip sekali.
"Apa Mimi menyukai kartu-kartu ucapan tadi?" tanyaku.
Satu kedipan.
"Apa Mimi tahu kalau Mimi sekarang berada di rumah sakit?"
Satu kedipan.
"Mimi, waktuku sudah hampir habis, nih. Tapi ada sesuatu yang
harus kukatakan pada Mimi, sesuatu yang sangat penting sekali. Aku...
aku minta maaf, soalnya aku sudah bertingkah kasar pada Mimi pada
malam itu. Aku tidak bermaksud begitu. Aku sangat menyayangi
Mimi, dan aku menyesal sekali. Mimi mengerti maksudku, kan?"
Satu kedipan.
"Oh, aku kepingin sekali memeluk Mimi," kataku tersendat-
sendat. "Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya. Terlalu banyak mesin
dan tabung di sini. Mimi mengerti, kan?"
Satu kedipan.
Mama memberi tanda padaku dari lorong di depan kamar Mimi.
Waktuku sudah habis. Aku bergegas keluar dan menceritakan kode
kedipan mata kami pada semua anggota keluargaku. Papa langsung
menghubungi seorang dokter, dan Mama segera berlari masuk untuk
"mengobrol" dengan Mimi. Suasana berubah menjadi ceria.Namun tetap saja, waktu kami pulang malam itu, semua orang
membisu dan muram. Memang sangat menyedihkan karena Mimi
hanya bisa berbicara dengan mengedipkan matanya. Sedangkan para
dokter masih tetap belum dapat memastikan seberapa jauh kemajuan
yang bakal terjadi pada Mimi.
Aku mondar-mandir di dalam kamar untuk beberapa saat, dan
akhirnya aku menyimpulkan bahwa aku membutuhkan teman untuk
mengobrol. Mama dan Papa sedang menelepon para sanak keluarga.
Oleh sebab itu, aku mengintip ke kamar Janine. Dia sedang sibuk
menghadapi komputernya. Tombol-tombolnya mengeluarkan suara
kleketak-kleketik dengan irama yang cepat sekali. Anehnya, dia
tampak seperti sedang menangis. Dan waktu aku memanggilnya, dia
tidak menjawab. Kurasa dia tidak dapat mendengar suaraku di sela-
sela kegaduhan itu.Bab 8
AKU ikut gembira karena Kristy begitu menyukai Karen.
Mereka sekarang telah bersaudara tiri. Aku sendiri juga menyukai
anak itu, hanya saja dia agak merepotkan! Walaupun Karen bukananak yang menyebalkan seperti Jenny, kita tetap harus menguras
tenaga untuk menangani dia.
Pokoknya, seperti kata Kristy, Karen dan Andrew tiba-tiba
memerlukan pengawasan baby-sitter. Karena itu Watson
mengantarkan mereka ke rumah Stacey. Mereka agak terlambat, jadi
merekalah peserta terakhir yang datang ke play group kami.
Para peserta hari itu hampir sama dengan kemarin. Mallory
datang bersama Claire, Margo, dan Nicky (tapi tanpa Vanessa); Jenny;
dan Buddy Barrett (tidak dengan Suzi). David Michael, Charlotte, dan
Jamie muncul lagi. Begitu juga Nina dan Eleanor Marshall?dua anak
perempuan yang kadang-kadang kami jaga. Nina berumur empat
tahun, sedangkan Eleanor dua tahun. Eleanor adalah peserta terkecil
hari ini, tapi dia kelihatan cukup senang.
Waktu Karen dan Andrew datang, anak-anak lain (kecuali
Jenny), sedang bermain dengan gembira. Charlotte, Claire, dan Margo
sedang membuat kolase?potongan-potongan kertas yang disusun dan
ditempel sehingga membentuk sebuah gambar?dengan menempelkan
bintang-bintang dari kertas emas serta kertas tisu berwarna di atas
selembar karton. Nina sedang melihat-lihat sebuah buku bersama
Eleanor. Buddy, Nicky, dan David Michael sedang berlari-lari sambil
tertawa terbahak-bahak. Mereka sedang asyik dengan sebuah
permainan yang baru saja diciptakan oleh Nicky?dia menamakannya
Meluncur ke Angkasa Luar. Jamie sedang membangun sesuatu
dengan Lego yang dibawanya sendiri dari rumahnya.
Mallory sedang membantu anak-anak membuat kerajinan
tangan di meja panjang. Tapi apa yang sedang dilakukan oleh kami?
kelima baby-sitter? Kami sedang berkumpul mengelilingi Jenny,mencoba untuk membujuknya agar mau memakai celemek. Celemek
yang kami tawarkan itu sebetulnya milik ayah Stacey. Memang sudah
tua, sih, tapi masih bersih dan masih dalam kondisi yang cukup bagus.
Tapi Jenny tidak mau memakainya.
Kemarin, entah bagaimana caranya, Mary Anne telah nekat
menelepon Bu Prezzioso untuk mengusulkan padanya agar dia
memakaikan pada Jenny baju bermainnya. Dan hari ini, Jenny muncul
dengan baju bermain versi ibunya. Dia mengenakan sebuah gaun
musim panas yang baru, berwarna putih, dengan ploi pada bagian
bawahnya, dan dihiasi pita merah muda dan renda-renda putih.
Sandalnya pun berwarna putih dan tampak masih baru. Modelnya
lebih mirip sepatu yang dilubangi dengan desain yang manis.
Kami, para baby-sitter, kaget setengah mati melihat
penampilannya.
"Serba putih!" Stacey mengeluh, sambil menepuk dahinya
dengan telapak tangan.
"Dan bajunya masih licin, baru saja selesai disetrika," tambah
Dawn terheran-heran.
"Inikah yang dinamakan baju bermain?" seru Kristy. "Coba
perhatikan anak-anak yang lain: celana pendek, celana pendek, celana
pendek, blue jeans, celana pendek, celana pendek, overall,"?itu
Eleanor?"celana pendek, jeans, baju musim panas yang sudah
kumal."?Itu Margo. "Sedangkan kita berlima dan Mallory juga
memakai baju yang sudah tidak baru lagi." (Walaupun ada beberapa
orang dari kami yang berpenampilan lebih mewah dari yang lain.)
"Ayolah, Jenny," ujarku. "Pakai saja celemek ini."
"Tidak mau.""Kenapa tidak mau?"
"Bajuku baru. Aku kepingin semua orang melihat bajuku."
"Kan kami semua sudah melihatnya. Bajumu indah sekali," aku
merayunya. "Dan kalau kamu mau memakai celemek, bajumu yang
indah ini akan tetap indah?tetap bagus dan bersih seperti sekarang
ini." Aku mulai memasangkan celemek itu.
"Tidak mau."
"Celemek ini bakal menjadi milikmu, lho," Stacey
mengusulkan. "Celemek khusus untukmu. Anak-anak lain tidak punya
celemek seperti ini. Bahkan Claudia bisa menuliskan namamu di
bagian depannya."
Inilah yang sedang terjadi ketika Karen dan Andrew datang.
Karen memasuki halaman belakang rumah Stacey dengan riang
gembira, diikuti Andrew yang berada beberapa langkah di
belakangnya.
Aku merasa lega melihat mereka berdua mengenakan celana
pendek dan sepatu kets.
"Kami sudah datang!" Karen mengumumkan dengan ceria.
(Watson tadi sudah menelepon Kristy untuk memberitahukan bahwa
mereka akan datang.)
"Halo, Karen. Halo, Andrew," sapa Kristy. Dia langsung berlari
meninggalkan Jenny untuk memeluk mereka satu per satu. Pada saat
Kristy berdiri, Karen melihat sekeliling dan pandangannya jatuh pada
Jenny.
"Siapa itu?" tanyanya sambil mengerutkan keningnya.
"Itu Jenny Prezzioso," Kristy menjelaskan."Kenapa dia berpakaian seperti itu? Apa dia mau pergi ke pesta
ulang tahun?"
"Ini baju baruku," Jenny menyahut dengan bangga. Dia berputar
sehingga roknya mengembang. "Bagus, kan?"
"Entahlah," jawab Karen. Dia menyipitkan matanya. "Kamu
terpaksa harus menjaganya supaya tetap bersih."
"Memangnya kenapa?" ujar Jenny.
"Memangnya kenapa?" Karen menirukan.
Sudah waktunya untuk bertindak. "Karen," kataku, "David
Michael ada di sana, lho." Aku menunjuk ke arah David Michael dan
kawan-kawannya. "Kamu tidak mau bermain dengan mereka?"
Karen menatap Jenny lagi. Aku langsung tahu bahwa tatapan itu
penuh kebencian. Hal seperti itu sudah sering terjadi sebelumnya.
Kejadiannya persis seperti aku dan Beverly McManiman waktu kami
duduk di kelas empat. Kami bermusuhan sepanjang tahun itu.
"Oke," ujar Karen. Dia mulai melangkah meninggalkan kami.
Tapi sambil berjalan, dia masih sempat menoleh dan berkata?dengan
gaya sangat santai?pada Jenny, "Hati-hati kalau ada monster." Dan
dengan tenang dia terus berjalan.
"Monster apa?" seru Jenny.
"Karen," Kristy menegur adik tirinya.
Karen terus saja berjalan, seakan-akan tidak mendengar teguran
itu. "Monster apa?" Jenny menjerit. Dia berlari mengejar Karen.
"Hei, tunggu dulu!" aku berseru. "Celemekmu!"
Sekarang gantian Jenny yang pura-pura tidak mendengar.Tapi karena Karen lebih besar dari Jenny dan mempunyai kaki-
Pedang Keadilan 2 Naga Merah Hiat Liong Toan Karya Khu Lung Naga Sasra Dan Sabuk Inten 22
^