Pencarian

Jalan Buntu 2

Fear Street Jalan Buntu Dead End Bagian 2


ilalang cokelat yang tinggi. Sebuah jalan setapak yang sempit tampak
di tengah pepohonan. Dengan penuh semangat aku mengambil jalan
itu. "Ini arah yang benar," gumamku keras-keras. "Tak lama lagi
aku akan tiba di pondok."
Aku mengikuti belokan, melewati sebaris pohon pinus yang
ramping. Hanya pepohonan pinus itulah yang tampak hijau di tengah
tanaman lainnya yang berwarna cokelat dan kelabu pada musim
dingin ini.
Aku berhenti dan mengangkat kedua tangan ke wajahku ketika
kulihat sepasang kaki terjulur di tengah jalan.
Sepatu bot cokelat pada kaki itu tampak miring dengan sudut
yang aneh.Rasa heran menyelimutiku dan mendorongku untuk maju lebih
dekat. Lebih dekat lagi ke arah pemandangan aneh yang menakutkan
itu. Sambil menelan ludah aku menyipitkan mata pada sosok yang
tidak bergerak itu.
Mencoba memahaminya.
Mencoba mengerti apa yang kulihat. Kemudian, satu demi satu,
rasa takut itu menyatu. Dan gambaran keseluruhannya menjadi jelas.
Aku melihat kacamata Carlo tergeletak pecah di tanah.
Aku melihat senapan yang tergeletak di samping tubuhnya. Satu
tangannya terulur, begitu pucat dan kecil.
Kemudian aku mengenali jaket denim Carlo. Berlumuran darah
berwarna gelap.
Dan di bagian kerah jaketnya... di bagian kerahnya yang
bernoda gelap...
Hanya ada gumpalan merah terang.
Dan pecahan-pecahan tulang berwarna kelabu...
Tidak ada apa-apa di bagian kerah itu... tidak ada apa pun selain
tulang dan darah... Tidak ada apa-apa.
Tanpa menyadarinya, sebuah teriakan nyaring keluar dari
kerongkonganku. Dan aku mulai menjerit, "Di mana kepalanya? Di
mana kepalanya?"Bab 13
"JANGAN BERITAHU SIAPA-SIAPA"
LEDAKAN senapan itu telah menghancurkan tengkorak kepala
Carlo. Serpihan-serpihan kulit dan pecahan-pecahan tulang bertebaran
di rerumputan.
"Di mana kepalanya? Di mana kepalanya?"
Entah berapa kali aku menjerit meneriakkan kata-kata
mengerikan itu, sampai akhirnya napasku tercekat di tenggorokan dan
aku mulai muntah-muntah.
Saat membungkuk di atas rerumputan, aku merasa sepasang
tangan kokoh mencengkeram bahuku. Aku membalikkan badan dan
melihat Todd memegangiku erat-erat.
Aku memutar tubuh.
Todd sudah melemparkan senjatanya ke tanah.
Mata birunya tampak liar. Mulutnya ternganga ketakutan dan
napasnya kembang kempis.
"Natalie...," ia berbisik tertahan. "Natalie... Natalie..."
Ia terus saja menyebutkan namaku. Matanya begitu liar dan
sinting. Seluruh wajahnya mengernyit tegang, bibirnya yang pucat
sekarang gemetar.
"Natalie... Natalie..."Lalu keseluruhan tubuhnya gemetar.
Kami berdua sama-sama terpaku di tempat. Gemetar. Terengah-
engah. Saling pandang dengan ketakutan.
Kami berdua. Di samping jenazah teman kami yang sudah tidak
berkepala.
Kemudian mata Todd menatapku dengan tajam. "Jangan
beritahu siapa-siapa," katanya dengan suara pelan dan penuh ancaman.Bab 14
KECELAKAAN
"APA?" aku tercekat. Aku tidak yakin telah mendengar
ucapannya dengan benar.
"Jangan beritahu siapa-siapa," Todd mengulangi ucapannya
dengan gigi dikatupkan. "Tentang segala sesuatu yang terjadi
sebelumnya."
Aku masih saja terpaku menatapnya. Perutku masih bergolak
dan kakiku masih gemetar.
"Pegang janjimu, Natalie," desak Todd. "Pegang rahasia kita.
Itu tidak ada hubungannya dengan... dengan ini. Dengan apa yang
terjadi hari ini."
Aku menggelengkan kepala keras-keras. Aku tidak bisa
memahami ucapan Todd.
Semuanya tidak masuk akal. Semuanya.
Sorot mata Todd begitu aneh. Begitu tajam. Seolah-olah bisa
menembus diriku.
"Jangan ceritakan... tentang minggu lalu," ia mengulangi.
"Natalie, jangan buka mulut tentang kecelakaan itu."
**********
Kecelakaan.Polisi menganggap kematian Carlo sebagai akibat kecelakaan.
Aku sedang berada di rumah ketika membaca penjelasan
tentang peristiwa tersebut di surat kabar keesokan harinya. Mom dan
Dad sangat baik padaku. Sangat ramah dan penuh pengertian. Mereka
memberiku kesempatan yang kubutuhkan untuk menangis. Dan
mereka berdua selalu siap saat aku merasa perlu berbicara.
Paman George, paman Carlo, sangat terpukul ketika melihat
jenazah keponakannya. Ia tak sanggup berbicara. Shock kurasa.
Para petugas rumah sakit yang berseragam putih memintanya
berbaring di tandu. Ia sama sekali tidak berusaha menolak. Mereka
menyelimutinya dan mendorongnya masuk ke dalam ambulans. Aku
bertanya-tanya, apakah aku akan pernah bertemu lagi dengannya.
Kami semua hampir-hampir tak sanggup berbicara ataupun
membuka suara untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan para petugas
polisi yang terus menginterogasi kami dengan tenang namun tegas.
Kemudian, keesokan paginya, aku membaca surat kabar pagi.
Kupegang lembar surat kabar itu erat-erat dengan dua tangan agar
tidak gemetar. Aku membaca penjelasan resmi dari pihak kepolisian.
Peristiwa itu dianggap kecelakaan.
Carlo tersandung sebuah akar pohon yang menonjol di tanah.
Senapannya membentur batang pohon dan meletus, meledakkan
kepalanya.
Masih ada tulisan lain, tapi semuanya tampak kabur di mataku.
Ada penjelasan tentang arah peluru itu. Serta akibat tembakan
tersebut.
Banyak tulisan yang tampak hitam di atas halaman berwarna
kelabu. Tulisan yang hitam bagaikan maut.Aku tak sanggup membacanya.
Aku tak perlu membacanya untuk tahu bahwa Carlo telah
meninggal.
Carlo yang pemalu, pendiam, dan baik hati.
Carlo yang sedang bingung.
Carlo, yang sudah memutuskan untuk melapor ke polisi, untuk
melanggar sumpah tutup mulut kami.
Carlo sudah mati.
Dan menurut surat kabar, peristiwa itu adalah kecelakaan. Polisi
juga berkata begitu. Semua orang ingin percaya bahwa itu kecelakaan.
Tapi aku telah mendengar ancaman yang diucapkan Todd. Aku
telah mendengar kata-katanya yang begitu dingin, hingga membuatku
gemetar.
"Mungkin Carlo mesti mendapat kecelakaan."
Begitulah yang dikatakan Todd.
Dan kemudian Carlo benar-benar mendapat kecelakaan.
Mana yang mesti kupercaya?
Bisakah aku percaya pada laporan resmi dari pihak kepolisian?
Atau mestinya aku lebih percaya pada ancaman Todd? Sebab
aku telah melihat sorot matanya yang liar dan putus asa sementara ia
mengertakkan gigi dan berkata dengan nada rendah penuh ancaman,
"Jangan beritahu siapa-siapa, Natalie. Jangan."
Mana yang mesti kupercayai? Mana? Benarkah Carlo tidak
sengaja meledakkan kepalanya sendiri? Mungkinkah ia sesial itu?
Aku berusaha membujuk diriku sendiri dengan menganggap
bahwa polisi pasti lebih tahu. Polisi tidak akan berbohong.Tapi kemudian aku berpikir lagi. Mungkin saja polisi ingin
menganggap peristiwa itu kecelakaan. Dengan demikian, urusannya
jadi jauh lebih sederhana. Jauh lebih cepat dan bersih. Tidak ada kasus
yang perlu dipecahkan.
Tidak perlu mencari-cari pembunuhnya.
Pembunuh!
Kata yang mengerikan itu terus terngiang-ngiang dalam
benakku, dan aku terbayang wajah Todd. Di hutan kemarin. Wajahnya
berkerut-kerut. Napasnya tercekat dan keluar melalui mulutnya yang
ternganga.
"Jangan beritahu siapa-siapa, Natalie! Jangan!" Apakah Todd
benar-benar melaksanakan ancamannya?
Apakah Todd "menciptakan" kecelakaan bagi Carlo, seperti
telah diucapkannya?
Tidak. Tidak. Aku tidak mau percaya.
Aku tidak mau mempercayai apa pun. Aku tidak ingin tahu apa
pun. Sekonyong-konyong kepalaku serasa akan pecah. Terlalu
banyak yang kuketahui. Tentang saudara perempuan Walikota.
Tentang Carlo. Tentang Todd.
Orangtuaku sedang tidak di rumah. Ini pertama kalinya mereka
meninggalkan aku sendirian di rumah sejak aku kembali dari hutan.
Mendadak aku berharap mereka ada di sini.
Aku perlu bicara. Aku harus menceritakan segalanya pada
mereka. Aku tak sanggup menyimpannya lebih lama. Aku tidak tahan
mengetahui apa-apa yang kuketahui.
"Jangan bilang. Jangan bilang."Kata-kata Todd yang penuh ancaman terngiang di telingaku.
Ruang kamarku serasa kabur. Kugosok-gosok mataku yang
letih.
Ketika membuka mata, aku belum juga bisa memfokuskan
pandangan. Tapi aku melihat Todd menerobos masuk ke kamar
tidurku.
"Bagaimana kau bisa masuk?" aku ingin bertanya begitu.
"Todd, siapa yang membukakanmu pintu?"
Tapi aku tidak punya kesempatan.
Todd mencengkeramku dan aku mulai menjerit.Bab 15
APA KAU MEMBUNUH CARLO?
"LEPASKAN aku!"
"Natalie! Ada apa?"
Aku memicingkan mata menatapnya, berusaha memfokuskan
pandangan. "Keith?" Kusadari bahwa aku sedang menatap Keith,
bukan Todd. "Aku... kupikir..."
Mata Keith yang berwarna gelap memandangku dengan tajam.
"Natalie... apa kau baik-baik saja?"
"Tidak!" jeritku. "Tidak, aku tidak baik-baik saja!" Dan
sebelum menyadari apa yang kulakukan, aku sudah menarik Keith ke
arahku. Kutempelkan wajahku yang panas ke wajahnya.
Kami berdiri berdekapan dengan erat. Jantung kami berdebar-
debar.
Kami tidak bicara. Juga tidak bergerak.
Aku cuma ingin memeluknya. Memeluknya selamanya.
Akhirnya kami melepaskan pelukan. "Aku senang sekali kau
datang," kataku pelan sambil memegangi tangannya.
Ia menatapku dengan tajam, mengamat-amati wajahku. "Aku
tadi memencet bel. Tidak ada yang membukakan pintu. Tapi kulihat
lampumu menyala. Jadi, aku masuk.""Aku... aku tidak dengar," kataku terbata-bata. Kutarik Keith ke
tempat tidur. Kami duduk berdampingan, masih berpegangan tangan.
"Aku sedang berpikir-pikir. Maksudku... aku... aku tidak tahu apa
maksudku." Aku terisak. "Oh, Keith, aku bingung sekali."
"Aku sudah dengar tentang Carlo," Keith menyahut lembut.
"Aku langsung kemari begitu mendengar beritanya. Aku tahu kau
pasti bingung. Peristiwa itu pasti sangat... sangat mengerikan,
Natalie."
Aku mengangguk. Setetes air mata jatuh di pipiku. Wajahnya
bagai terbakar rasanya.
"Bagaimana kejadiannya?" tanya Keith; dengan lembut ia
menghapus air mata di pipiku dengan satu jarinya. "Kau mau
membicarakannya? Tapi kalau tidak mau, tidak apa-apa."
Kukecup pipinya. Ia sangat baik, sangat penuh pengertian.
Belum pernah aku melihat sisi dirinya yang satu ini. Biasanya Keith
selalu ingin tampak macho, sehingga ia tak pernah mau
memperlihatkan emosinya.
Tapi Carlo juga sahabat Keith?sahabat yang sangat karib, dan
aku melihat Keith hampir sama sedihnya denganku.
Saat menatap mata Keith yang gelap dan murung, serasa ada
sesuatu yang pecah di dalam dadaku. Seperti bendungan yang jebol,
kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku. "Todd yang
membunuhnya!" seruku.
Keith tampak tercekat, tapi ekspresi wajahnya tidak berubah.
Kupikir ia terlalu kaget untuk memahami ucapanku.
"Todd yang melakukannya!" ulangku sambil meremas tangan
Keith. Sekonyong-konyong tanganku terasa sedingin es. "Malamsebelumnya, Todd mengatakan Carlo mestinya mengalami
kecelakaan. Dan ternyata itu benar-benar terjadi."
Keith melepaskan tanganku dan melompat bangkit. Ia
menggelengkan kepala keras-keras dengan ekspresi terperanjat.
"Natalie... apa katamu?" tuntutnya. "Omonganmu tidak masuk akal.
Untuk apa Todd membunuh Carlo?"
Aku menarik napas panjang. Kemudian seluruh kisah itu
meluncur keluar dari mulutku. Aku tak sanggup lagi menyimpannya.
Aku lupa tentang sumpah tutup mulut kami. Kuceritakan semuanya
pada Keith.
Keith ternganga. Ia terenyak kembali ke tempat tidur, sementara
aku berbicara. Aku mulai dari awal dan menceritakan hingga sedetail-
detailnya.
Kuceritakan tentang saat aku pulang dari pesta bersama Randee
dan yang lainnya. Bagaimana kami berbelok ke jalan buntu itu,
menabrak mobil saudara perempuan Walikota, lalu melarikan diri.
Kuceritakan padanya tentang sumpah kami berlima di
Shadyside Park, dan bagaimana Carlo memutuskan tak bisa
menyimpan rahasia itu lebih lama lagi. Kuceritakan juga tentang
ancaman Todd ketika ia tahu Carlo bermaksud melapor ke polisi.
"Dan sekarang Carlo sudah meninggal," kataku terisak-isak.
"Menurut polisi, itu kecelakaan. Tapi aku tidak percaya, Keith. Begitu
pula Randee, Gillian, dan Todd. Kami semua tahu itu bukan
kecelakaan. Kami tahu Carlo dibunuh. Kami tahu..." Suaraku makin
pelan.
"Ini sangat mengerikan!" seru Keith. "Aku... aku tak percaya
mendengarnya.""Aku bertahan menyimpan rahasia itu... sampai saat ini," kataku
dengan suara gemetar. "Tapi aku tidak tahan lagi. Aku mesti
menceritakannya pada seseorang, Keith. Padamu. Sekarang aku
merasa jauh lebih baik. Aku..."
Ucapanku terhenti ketika terdengar bel berbunyi. Bunyi
deringan panjang. Lalu satu deringan lagi. Orang di luar sana rupanya
sangat tidak sabar.
"Siapa sih itu!" seruku sambil melompat turun dari tempat tidur.
Sambil menghapus air mata yang terasa panas di pipiku, aku pergi ke
tangga.
"Aku ikut denganmu," kata Keith.
Kami bergegas ke tangga. Aku membuka pintu.


Fear Street Jalan Buntu Dead End di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Todd menatap kami dengan tajam. Jaketnya terbuka,
menampakkan sweatshirt kotor di baliknya. Dalam cahaya lampu
beranda bisa kulihat matanya yang nyalang dan merah. Ia tampak
terkejut ketika melihat Keith.
"Todd... mau apa kau ke sini?" tuntutku.
Ia menjawab dengan suara pelan, menghindari tatapanku.
"Aku... eh... cuma ingin melihat apakah kau baik-baik saja, Natalie."
"Tidak, aku tidak baik-baik saja," jawabku. Setetes air mata
meluncur lagi di pipiku.
Todd menoleh pada Keith. "Kau sudah dengar tentang Carlo?"
Keith mengangguk dengan dingin.
"Aku masih tetap tak percaya rasanya," kata Todd dengan
gemetar. Ia maju selangkah ke pintu. "Boleh aku masuk, Natalie?"
Aku tak ingin Todd masuk ke dalam rumah. Aku bahkan tidak
mau melihatnya lagi. Melihat wajahnya yang pucat, rambutnya yangkusut, dan matanya yang merah, kusadari bahwa sekarang aku takut
pada Todd. Sangat takut.
"Sudah malam," kataku.
Ia tampak tersinggung. "Aku tidak akan lama. Aku cuma ingin
ngobrol atau apalah."
Ia mendesah panjang. "Maaf. Aku tidak sadar akan tindakanku.
Entah kenapa aku berhenti di sini. Tadi aku putar-putar dengan mobil,
tidak berhenti sedikit pun, tidak melihat apa-apa. Aku benar-benar
kacau." Ia menggelengkan kepala.
Pintar sekali dia bersandiwara, pikirku dengan amarah mulai
bangkit. Pintar sekali.
Apa dia mengira aku akan termakan oleh aktingnya itu?
Lalu sekonyong-konyong pertanyaan itu meluncur begitu saja
dari mulutku, seolah-olah orang lain yang menyuarakannya, seolah-
olah aku tidak lagi bisa menguasai diri. "Todd... apa kau membunuh
Carlo?" tanyaku tajam.
Todd terbelalak dan tercekat. "Apa?"
Kurasakan tangan Keith mencengkeram bahuku,
mengisyaratkan agar aku tidak meneruskan pertanyaanku.
Tapi aku tidak mau melepaskan Todd begitu saja. "Benarkah?"
seruku. "Apa kau membunuh Carlo?"
Todd menyipitkan matanya dengan dingin padaku. "Ya,"
sahutnya.Bab 16
"BAU APA ITU?"
KEITH mempererat cengkeramannya di bahuku. Aku terkesiap.
"Benar, Natalie, aku membunuhnya," kata Todd dengan marah.
"Setiap minggu aku membunuh satu temanku. Begitulah hobiku." Ia
memutar-mutar bola matanya dengan sinis.
Aku membuka mulutku untuk berbicara, tapi tidak ada kata-
kata yang keluar.
"Tega-teganya kau bertanya begitu padaku," bentak Todd
dengan nada getir. Kita sudah kenal sejak masih kecil. Apa kaupikir
aku bisa melakukan perbuatan seperti itu?"
"Todd, aku..."
Tapi ia masih terus berteriak-teriak, kemarahannya semakin
memuncak. "Apa kaupikir aku sampai hati menghampiri temanku,
menempelkan senapan ke kepalanya, dan menembaknya? Begitukah
pendapatmu tentang aku?"
"Todd, m-malam sebelumnya, kau berkata...," aku terbata-bata
sambil berpegangan pada pintu badai.
"Aku cuma bercanda!" teriak Todd dengan marah. "Sudah
kubilang aku cuma bercanda. Kau kan tahu sifatku, Natalie. Kau tahu
selera humorku yang konyol."Kupandangi Todd dengan saksama. Kucoba memastikan
apakah teriakan marahnya itu hanya bagian dari aktingnya?usaha
cerdik Todd untuk menyesatkanku.
Todd, kau boleh berteriak-teriak memprotes sesukamu, pikirku
dengan pahit. Tapi kau tidak akan bisa meyakinkanku bahwa kau
tidak melaksanakan ancamanmu; bahwa kau tidak membunuh Carlo.
Kulihat lampu beranda di rumah tetangga menyala. Percakapan
kami yang berisik mulai menarik perhatian rupanya. Kuputuskan
untuk mengakhirinya.
"Aku minta maaf, Todd," kataku. "Aku benar-benar sedang
bingung, sampai tidak tahu lagi apa yang kukatakan."
"Kita semua bingung," kata Keith. "Sulit rasanya
membayangkan hari Senin pagi nanti aku tidak akan pernah lagi
melihat Carlo duduk di tempatnya yang biasa, di baris belakang,
sambil mengangkat kaki ke kursi di depannya."
"Yeah, aku juga," gumam Todd. Matanya mengamati Keith
dengan saksama.
Kusadari bahwa Todd sedang memperkirakan seberapa banyak
yang diketahui Keith. Todd ingin tahu apakah aku sudah menceritakan
tentang kecelakaan itu pada Keith.
Lama sekali ia memandangi Keith. Lalu ia beranjak ke
pekarangan. "Aku pulang saja. Sampai ketemu hari Senin nanti."
Keith dan aku menggumamkan selamat jalan.
Todd berjalan ke Jeep-nya. Sebelum membuka pintu mobil, ia
berbalik sekali lagi ke arah kami. "Hei, Natalie, kau tahu tidak?"
serunya, suaranya tegang dan emosional. "Aku bukan satu-satunya
yang membawa senapan di hutan kemarin pagi."***********
"Mau Coke?" Gillian membuka pintu lemari es dan mencari-
cari di rak bawah. "Aku punya beberapa buah apel."
"Aku mau apel," kata Randee.
Gillian melemparkan apel itu dan Randee menangkapnya.
"Aku juga punya beberapa potong kue keju," kata Gillian.
"Keluarkan saja semuanya," saranku. "Kita makan sambil
belajar."
Gillian mendesah. "Sepanjang minggu ini aku benar-benar
kacau, sampai tidak nafsu makan."
"Yeah, aku juga," sahutku sambil membuka-buka buku
matematikaku. "Sesudah pemakaman Carlo pada hari Selasa itu, aku
bahkan tidak bisa menangis lagi. Air mataku sepertinya sudah habis."
Sesaat ruangan itu jadi hening.
Hari ini hari Kamis. Cuaca buruk dan berhujan. Randee dan aku
datang ke rumah Gillian untuk belajar matematika, sekaligus untuk
menghibur Gillian. Bagaimanapun, dialah yang paling dekat dengan
Carlo.
Tapi sejauh ini kami tidak begitu berhasil menghiburnya. Kami
sendiri masih terlalu sedih untuk pura-pura bersikap ceria.
Air hujan menerpa jendela dapur dengan keras. Angin menderu-
deru di samping rumah. Lampu di atas kami berkedip sekali dua kali,
tapi tidak padam.
Gillian membawa tiga butir apel dan sekotak kue keju ke meja.
Aku menarik napas panjang dan berusaha mengalihkan topik
pembicaraan dari Carlo."Kalian lihat tidak waktu Gina Marks berciuman dengan Bobby
Newkirk sesudah sekolah, di depan perpustakaan?" tanyaku. "Buat
apa sih mereka begitu? Semua orang memandangi mereka, lalu
bertepuk tangan sesudah mereka selesai berciuman."
"Kupikir Miss Dunwick akan terpaksa memisahkan mereka
dengan palang pintu," kata Randee.
"Gina tidak peduli. Dia tergila-gila pada Bobby," Gillian
menambahkan sambil meletakkan tiga kaleng Coke di meja. Ia duduk
di ujung meja. "Heran aku. Bobby itu kan menyebalkan."
"Menurutku dia cukup oke," kata Randee sambil menggigit
apelnya.
"Yeah, coba saja dekati dia!" kataku.
Randee angkat bahu. Ia menyisir rambut pirangnya yang
pendek dengan tangan. "Aku suka cowok-cowok yang menyebalkan."
"Mungkin itu sebabnya kau naksir berat pada Todd." Ucapan itu
tak sengaja keluar dari mulutku.
Pipi Randee bersemu merah. "Yeah. Well..." Ia menggigit
apelnya lagi. "Todd dan aku mau pergi Sabtu malam nanti," katanya.
"Mau ke mana?" tanya Gillian sambil membuka kaleng Coke-
nya. "Ke bioskop atau apalah," sahut Randee. Ia beralih padaku.
"Sebenarnya Todd tidak brengsek, Natalie. Memang dia menyebalkan
dan badannya besar, tapi itu tidak berarti..."
"Hei, apa-apaan ini!" seruku. "Aku kan tidak keberatan kau
jalan dengan Todd, bukan?"
Randee mengerutkan kening padaku, tapi kemarahannya cepat
hilang. "Sori," gumamnya.Entah kenapa, aku jadi teringat ucapan Todd ketika ia datang ke
rumahku. "Aku bukan satu-satunya yang membawa senapan di hutan
waktu itu"
Sepanjang minggu aku memikirkan kata-kata itu. Apa
sebenarnya yang ingin dikatakan Todd? Bahwa orang lainlah yang
telah membunuh Carlo?
Siapa?
Gillian tidak membawa senapan.
Randee? Randee satu-satunya di antara kami yang juga
membawa senapan. Apakah Todd bermaksud mengatakan bahwa
Randee-lah yang telah membunuh Carlo?
Konyol sekali.
Randee adalah teman karibku. Aku mengenalnya hampir sebaik
aku mengenal diriku sendiri. Tak mungkin Randee yang menembak
Carlo. Tak mungkin.
Pikiran itu saja sudah membuatku merasa bersalah.
Tapi aku sudah berpikir sepanjang minggu. Aku mengawasi
Randee dan Todd berdiri berdekatan pada upacara pemakaman Carlo.
Melihat mereka, aku merasa mual.
Apakah mereka berdua yang membunuh Carlo?
Mereka berdua sangat takut ditangkap. Mereka berdua
bersikeras tak boleh ada yang melapor ke polisi tentang kecelakaan
fatal itu.
Bagaimanapun, Randee-lah yang waktu itu berada di belakang
kemudi. Orangtuanya bahkan tidak tahu ia membawa mobil mereka.
Dan Todd sangat takut ayahnya kehilangan pekerjaannya yang
baru di kantor Walikota.Saat mengamati mereka di upacara pemakaman, aku menjadi
yakin bahwa mereka telah merencanakan "kecelakaan" untuk Carlo.
Tapi kemudian aku langsung merasa bersalah.
Randee dan Todd bukan pembunuh.
Mereka hanyalah dua anak yang sudah kukenal sejak lama.
Anak-anak biasa yang baik.
Anak-anak biasa tidak mungkin begitu saja menjadi pembunuh,
bukan?
Sepanjang sisa minggu itu aku berusaha meyakinkan diriku
bahwa kematian Carlo benar-benar hanya kecelakaan.
Saudara perempuan Walikota meninggal dalam kecelakaan
mengerikan. Begitu pula Carlo. Tewas karena kecelakaan.
Kalau saja aku bisa meyakinkan diriku sendiri. Kalau saja aku
bisa benar-benar mempercayainya.
"Kue kejunya lumayan enak. Cobalah, Natalie." Randee
menyingkirkan apelnya dan sekarang mencuil kue dari kotak dengan
garpu. Lalu ia mengulurkan garpunya padaku, dan aku menggigit
sepotong kue manis itu.
"Kita mau belajar atau apa?" tanya Gillian sambil memandang
ke jendela. Hujan masih terus memukul-mukul kaca jendela.
"Yeah, ayo kita mulai," kataku. "Aku perlu banyak bantuan
nih." Aku payah dalam matematika.
"Akan kuambil ranselku." Gillian meneguk isi kaleng Coke-nya
dengan cepat, lalu beranjak dari ruangan. Ketika muncul lagi, ia
membawa ransel hitamnya yang tampak penuh.
Ia meletakkan ransel itu di meja dapur dan mulai membuka
ritsletingnya.Aku mengendus satu kali. Dua kali. Lalu aku mengerang pelan.
"Ohhh. Bau apa itu?" seruku sambil menutupi hidung dan mulut.
Bau asam memuakkan menguar dari ransel itu.
Gillian tercekat. Randee mengernyit jijik.
"Ohh. Menjijikkan!" seru Gillian. Ketika ia membuka
ranselnya, sepotong besar daging busuk yang penuh belatung jatuh ke
meja.
Aku menutup mulutku erat-erat, berusaha menekan rasa
mualku. Tapi bau itu benar-benar memuakkan, dan aku serasa ingin
muntah.
"Siapa... siapa yang menaruh ini di sini?" Gillian terbata-bata.
Belatung-belatung kecil yang putih itu berjatuhan ke meja.
"Aku... aku ingin muntah," kataku sambil mundur dari meja.
Randee menelan ludah cepat-cepat. Ia menutupi hidungnya dan
memandang jijik saat belatung-belatung itu merayap memenuhi meja.
Gillian merogoh ranselnya dan mengeluarkan sebuah amplop
yang juga dipenuhi belatung.
Ada secarik kertas di amplop itu. "Ada suratnya," kata Gillian.
Aku dan Randee ikut membaca dari balik bahunya.
Aku menahan napas, tapi bau daging busuk itu masih saja
tercium olehku.
Kami bertiga membaca tulisan di kertas itu... dan ternganga tak
percaya melihat pesan mengerikan yang tertulis di situ.Bab 17
SEMUA SUDAH BERAKHIR
KATA-KATA itu ditulis dalam huruf besar-besar. Bunyinya:
KAU AKAN SEGERA BERGABUNG DENGAN CARLO DI
KUBURAN. KAU AKAN MENJADI DAGING BUSUK JUGA
KALAU BERANI BUKA MULUT.
Gillian memegangi kertas itu dan membacanya berulang-ulang.
Randee memegangi kepalanya dengan dua tangan. Dagunya
gemetar. Ia mundur ke pintu dapur.
Aku tidak tahan lagi mencium bau daging busuk itu.
Pandanganku beralih dari kertas di tangan Gillian ke ribuan belatung
putih yang merayap di daging tersebut. Ketika perutku mulai
bergolak, aku beranjak untuk keluar dengan Randee.
Ketika aku menoleh lagi, kulihat Gillian meremas-remas kertas
itu, lalu melemparkannya ke tembok dengan marah. Wajahnya tidak
menunjukkan rasa takut. Hanya kemarahan yang amat sangat.
Ia menjerit frustrasi, lalu mengepalkan kedua tangannya dan
mengikuti kami ke ruang duduk.
Bau busuk itu serasa mengikutiku. Masuk ke dalam pakaianku,
pikirku sambil menggigil jijik. Serasa menempel juga di kulitku.Aku mulai merasa gatal. Kubayangkan belatung-belatung itu
merayap di bahuku, leherku, punggungku.
Aku ingin lekas pulang untuk mandi air panas. Tapi tak
mungkin aku pergi begitu saja tanpa menghibur Gillian.
"Itu cuma gurauan konyol," kata Randee sambil duduk di
samping Gillian. Aku bertengger di lengan kursi, di seberang mereka.
"Itu bukan gurauan," kata Gillian dengan nada pahit. "Apa yang
terjadi pada Carlo bukan gurauan. Ini juga bukan. Ini ancaman
sungguhan."
"Siapa yang mungkin menaruh daging itu di ranselmu?" tuntut
Randee. "Di mana kau meletakkan ranselmu hari ini, Gillian?"
"Pelakunya bisa siapa saja." Gillian mendesah. "Tadi pagi aku
meninggalkan ranselku di ruang musik, ketika kelompok paduan suara
turun ke aula untuk latihan. Dan ransel itu kutinggalkan di ruang
olahraga pada saat sebelumnya, supaya aku tidak perlu jauh-jauh ke
lokerku sesudah pelajaran selesai."
"Jadi, kau tidak melihat ada yang dekat-dekat ranselmu?"
tanyaku.
Gillian menggeleng. "Siapa yang akan berbuat sejahat itu?"
erangnya sambil mengacungkan tinjunya. "Aku terpaksa membuang
seluruh isinya. Lalu bagaimana dengan buku-bukuku? Baunya
memuakkan dan penuh belatung."
"Pelakunya pasti orang yang tahu tentang sumpah rahasia kita,"
gumamku. "Siapa saja yang tahu tentang itu?"


Fear Street Jalan Buntu Dead End di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hanya kita," sahut Gillian sambil mengernyit. Lalu ia
menambahkan, "Dan Todd."
"Bukan Todd yang melakukan ini," bantah Randee cepat-cepat."Bagaimana kau tahu?" tuntutku.
Randee melotot padaku. "Todd tidak bakal berbuat begitu,"
bentaknya. Matanya menatapku dengan tajam. "Natalie, kau mengira
Todd yang membunuh Carlo, bukan?" tuduhnya.
"Aku... entahlah," sahutku tergagap.
"Todd bukan pembunuh," Randee bersikeras. "Dia sama
bingungnya dengan kita. Aku tahu pasti itu. Dia bahkan jadi lebih
bingung karena kau menuduhnya, Natalie."
"Sebenarnya aku mulai menganggap kematian Carlo sebagai
kecelakaan," kata Gillian sambil menggeleng dengan sedih. "Tapi
sekarang... dengan peristiwa ini..."
"Peristiwa itu memang kecelakaan," kata Randee. "Pasti
kecelakaan."
Tampaknya Randee sangat ingin mempercayai bahwa kematian
Carlo memang kecelakaan. Kuamati wajahnya saat ia berbicara
dengan Gillian. Apakah ia menyembunyikan sesuatu? Apakah ia
berusaha melindungi Todd? Atau melindungi dirinya sendiri?
"Ini cuma gurauan konyol seseorang," Randee bersikeras. "Aku
yakin bahwa..."
"Keith juga tahu tentang sumpah kita," selaku.
Mereka berdua menoleh padaku dengan terkejut.
Randee memicingkan mata ke arahku. "Kau melanggar sumpah
kita? Kau menceritakan tentang kecelakaan itu pada Keith? Kau
menceritakan semuanya?"
Aku mengangguk. '"Aku mesti bercerita padanya," aku
menjelaskan. "Aku sangat bingung dan kacau. Aku mesti cerita pada
seseorang, dan aku percaya pada Keith."Gillian mengangguk. "Keith tidak apa-apa. Dia tidak terlibat
dalam hal ini. Dia tidak ada bersama kita di dalam mobil waktu itu.
Dan dia juga tidak ikut ke pondok berburu hari Sabtu lalu."
"Tapi bisakah dia menyimpan rahasia?" tuntut Randee, masih
menatapku tajam. "Mungkin saja Keith menyampaikan peristiwa itu
pada orang-orang lain. Mungkin saat ini seluruh sekolah sudah tahu.
Kalau benar begitu, kita pasti akan ditangkap."
Ia melompat bangkit dan melangkah dengan marah ke arahku.
"Aku heran kenapa kau menceritakan semua itu padanya, Natalie."
"Keith akan menyimpan rahasia itu," kataku, berusaha tetap
tenang dan mantap. "Tidak masalah."
Kenapa Randee bersikap begini? Kenapa dia menyerang Keith?
Kupikir dia menyukai Keith, sama seperti aku. Aku bahkan yakin dia
juga naksir Keith.
Aku senang ketika beberapa saat kemudian Keith datang
menjemputku. Kami menawarkan Randee untuk ikut serta, tapi ia
masih ingin bersama Gillian beberapa saat lagi.
Maka aku keluar dengan Keith, senang bisa pergi. Aku benar-
benar tidak tahan membayangkan bahwa sekonyong-konyong terjadi
ketegangan hebat antara Randee, Gillian, dan aku.
Biasanya kami selalu sangat dekat, selalu bisa saling
mencurahkan rahasia yang paling dalam dan paling gelap sekalipun.
Tapi sekarang kepercayaan itu sudah lenyap, digantikan oleh
kecurigaan.
Dan rasa takut.
Hujan sudah mereda menjadi gerimis dingin. Aku menutup
ritsleting parkaku untuk menahan angin dingin.Keith menarik pintu di bagian kemudi dan menyumpah-
nyumpah karena pintu itu tidak mau membuka. "Masuklah dari pintu
penumpang dan bukakan aku pintu dari dalam," katanya. "Pintu ini
selalu saja macet."
Air hujan yang dingin menerpa wajahku. Aku menundukkan
kepala, membuka pintu penumpang, dan mendorong pintu bagian
kemudi untuk Keith. "Mobil ini mestinya dienyahkan saja," kataku
saat Keith duduk di belakang kemudi. "Mestinya mobil ini ditembak
dan dilepaskan dari penderitaannya." Ia menoleh ke arahku dengan
terkejut.
Aku baru menyadari ucapanku tadi. "Sori," gumamku sambil
meraih lengannya. Pikiranku rupanya dipenuhi dengan tembak-
menembak.
Kubayangkan Carlo yang malang terbaring di tanah dengan
wajah hancur. "Oh, Keith...!" Kutekankan dahiku ke lengan jaketnya.
"Mungkinkah kita bisa bicara normal lagi? Tanpa memikirkan apakah
secara tak sengaja kita akan mengucapkan sesuatu yang mengerikan?"
Ia merangkul bahuku. Kuangkat wajahku dan kukecup dia
dengan rindu.
Tapi sebuah pikiran yang menggelisahkan membuatku
menghentikan ciuman. Kutarik kepalaku dengan mendadak. "Kau
tidak bercerita lagi pada siapa-siapa, kan? Tentang kecelakaan itu?"
Ia menggeleng. Matanya yang gelap menatapku lekat-lekat.
"Tidak, tentu saja tidak," bisiknya. "Aku tidak akan pernah bercerita
pada siapa pun."
"Aku... aku tidak tahan lagi," kataku terbata-bata. "Malam ini
aku...""Semuanya hampir berakhir," katanya sambil berusaha
menyalakan mesin mobil. Mesin itu menderum dan terbatuk-batuk,
dan akhirnya menyala pada percobaan ketiga.
"Hampir berakhir? Apa maksudmu?"
Ia memundurkan mobil. "Sekarang sudah hampir dua minggu,"
katanya menjelaskan. "Polisi tidak punya petunjuk tentang siapa yang
menewaskan saudara perempuan Walikota. Itu yang mereka katakan
pada siaran berita malam ini."
Aku terenyak di tempat dudukku dan mengembuskan napas
lega. Keith menginjak pedal gas dan mobil menderum dengan berisik
ke jalan raya.
Dua minggu. Benarkah baru dua minggu berlalu?
Rasanya seperti dua tahun bagiku.
"Mereka tidak akan meneruskan penyelidikan lebih lama lagi,"
kata Keith. Kipas kaca tidak berfungsi, jadi ia menghapus kaca depan
yang beruap dengan tangannya.
"Maksudmu?"
"Maksudku, kau hampir berhasil lolos, Natalie," sahutnya. "Kau
tidak akan tertangkap. Kau akan baik-baik saja."
"Menurutmu begitu?" tanyaku bersemangat sambil mengamati
wajahnya yang serius.
Ia mengangguk. "Kengerian itu sudah berakhir. Semuanya
sudah berakhir."Aku memejamkan mata dan berdoa dalam hati,
semoga ucapannya benar.
Sayangnya Keith salah besar.Bab 18
"APA YANG DIKATAKAN CARLO PADAMU?"
ULANGAN matematika pada hari Jumat siang itu ternyata
sangat sulit, seperti sudah kubayangkan. Lama sekali aku mengotak-
atik dua soal pertama, dan sisanya mesti kukerjakan dengan terburu-
buru.
Ketika bel berbunyi, ada tiga soal yang belum kuselesaikan.
Aku menjawab asal-asalan, lalu dengan berat hati menyerahkan kertas
ulanganku pada Mr. Caldwell.
Ketika keluar dari kelas, kudengar beberapa orang anak
menggerutu tentang ulangan tadi. Randee sedang keluar dari pintu
sambil tersenyum-senyum. Kurasa ia bisa menjawab semua
pertanyaan ulangan dengan baik.
Aku ingin cepat pulang, membuat PR, lalu pergi ke Arena
Skating Shadyside. Aku perlu hiburan untuk menjernihkan kepalaku.
Aku perlu bergerak, meregangkan kaki dan melatih jantung?dan aku
tidak mau berpikir.
Tapi ketika aku berbelok ke lokerku, ternyata Gillian sudah
menungguku di sana.Ia mengenakan sweater hijau pucat dan jeans denim longgar. Ia
telah meletakkan tas birunya yang baru di lantai. Saat ia menyibakkan
rambut yang menutupi matanya, kulihat ia habis menangis.
"Gillian... ada apa?" tanyaku sambil menoleh kiri-kanan, kalau-
kalau ada yang memperhatikan kami.
Lorong panjang itu dipenuhi suara tawa dan obrolan keras.
Semua orang sedang mengemasi tas masing-masing, bersiap-siap
menyambut akhir minggu.
Sambil bersandar di tembok, Gillian menghapus wajahnya yang
penuh air mata. Napasnya tersengal-sengal. Bahunya yang ramping
gemetar.
"Aku juga kacau saat ulangan tadi," kataku sambil
menggelengkan kepala. "Benar-benar tidak adil. Soal-soal pertama itu
susah sekali."
"Aku bukan memikirkan ulangan tadi," kata Gillian sambil
menyibakkan sehelai rambutnya dari wajah. Lalu ia menambahkan
dengan penuh emosi, "Aku tidak peduli dengan ulangan konyol itu."
Kujatuhkan ranselku di samping tasnya. "Gillian, kau mau
bicara di suatu tempat?" tanyaku pelan.
Ia menggeleng. "Tidak ada yang perlu dibicarakan," katanya.
Dagunya gemetar. "Natalie, aku akan melapor ke polisi."
"Apa?" Aku menyingkir ketika petugas pembersih ruangan
lewat mendorong kereta ke arah aula. Kereta itu berisik sekali,
sehingga aku tidak yakin telah mendengar ucapan Gillian dengan
benar.
Tapi ternyata aku tidak salah dengar."Aku harus melapor," kata Gillian dengan suara nyaring. "Aku
tidak bisa tidur. Tidak bisa makan. Semua ini membuatku gila."
Berbagai pikiran memenuhi benakku.
Dia benar. Kami semua mesti melapor ke polisi. Begitulah
seharusnya.
Kalau dia melapor ke polisi, hancurlah kami semua.
Kalau kami tetap menyimpan rahasia itu, kami akan selamat.
Tidak akan ada saksi. Tidak akan ada petunjuk.
Aku mesti membujuk Gillian agar tidak melapor.
Aku tidak berhak menghalangi Gillian melakukan apa yang
menurutnya terbaik untuk dilakukan.
Semua pikiran itu berkecamuk dan saling bertentangan.
"Aku merasa Carlo menyuruhku melapor," Gillian melanjutkan
sambil menghapus air mata dari pipinya yang pucat.
"Carlo? Apa maksudmu?" tanyaku.
"Aku bisa mendengar suaranya, Natalie," sahut Gillian. "Aku
mendengar suara Carlo. Saat ini. Dia menyuruhku melakukan apa
yang dulu ingin dia lakukan. Melapor ke polisi dan menceritakan
kebenarannya."
"Tapi, Gillian..." Aku meletakkan satu tangan di bahunya.
Ia menepiskan tanganku. "Banyak sekali yang tidak kauketahui,
Natalie," katanya sambil menatapku lekat-lekat. "Semalam sebelum
pergi ke pondok berburu itu, Carlo dan aku berbicara panjang-lebar.
Dia menceritakan segalanya padaku. Segalanya. Semuanya tidak
seperti yang kaubayangkan. Itu..."
"Apa?" tuntutku. "Gillian, apa maksudmu? Apa yang
diceritakan Carlo padamu?"Gillian tidak menjawab. Ia terisak. "Kita semua akan jauh lebih
baik kalau polisi sudah tahu," katanya. "Kita semua."
"Tapi apa yang diceritakan Carlo padamu?" ulangku.
Gillian tidak menjawab.
Kami mendengar suara batuk dari sudut sana.
Aku cepat-cepat melihat siapa yang ada di situ.
Randee dan Todd. Dengan ekspresi tegang dan cemas.
"Uh... hai, Natalie," Todd terbata-bata. "Ada apa?"
Apakah mereka tadi mendengarkan? Apakah mereka memata-
matai kami?
Apakah mereka mendengar apa yang akan dilakukan Gillian?Bab 19
DIIKUTI
"SAYANG sekali," kata Keith sambil menggelengkan kepala.
"Dia akan menghancurkan yang lainnya."
Aku meluncur di samping Keith dan mencengkeram lengan
sweater-nya. Aku jauh lebih pandai skating daripada Keith, dan aku
mesti memelankan lajuku untuk menyamai iramanya yang lamban.
"Menurutmu, perlukah aku berusaha membujuk dia agar tidak
melapor?" tanyaku sambil menggandeng lengannya.
Keith mengangguk dengan serius. Kami terus meluncur. Kalau
saja Keith bisa bergerak lebih cepat. Aku tidak sabar dengan irama
pelan ini.
Aku ingin terbang di arena es itu, terbang jauh dari pikiranku,
dari percakapan kami yang tidak menyenangkan.
"Kau mesti membujuk Gillian agar tidak melakukannya," Keith
mendesak sambil mencondongkan tubuh, berkonsentrasi untuk
menjaga keseimbangan. "Kau hampir berhasil lolos. Kalian semua
akan selamat... kalau Gillian mau tutup mulut."
"Tapi niatnya itu sudah benar," bantahku.
Aku sangat bingung, hingga mudah berubah-ubah pikiran."Nasi sudah menjadi bubur," kata Keith, mata cokelatnya lebih
serius daripada biasanya. "Mengaku kepada polisi tidak akan bisa
membuat saudari Walikota hidup kembali."
Juga Carlo, pikirku dengan sedih.
"Kau mesti bicara pada Gillian," Keith mendesak. "Buat apa
menghancurkan kehidupan sekian banyak orang hanya karena sebuah
kecelakaan?"
"Kata Gillian, Carlo sudah bercerita padanya," aku
membeberkan. "Semalam sebelum meninggal, Carlo memberitahu
Gillian bahwa dia akan melapor ke polisi."
Ekspresi Keith berubdh menjadi terkejut. "Carlo bercerita pada
Gillian? Cerita apa?"
Aku angkat bahu. Kami hampir saja bertabrakan dengan dua
anak kecil yang sedang mencoba melaju mundur.
"Kau dan Carlo bersahabat karib," kataku. "Apa Carlo bicara
juga padamu? Apa dia menceritakan tentang kecelakaan itu?"
Keith menggeleng. "Dia tidak pernah bilang apa-apa padaku,
Natalie. Carlo tetap tutup mulut tentang peristiwa itu."
Selama beberapa saat kami meluncur dalam diam. Kulihat
Keith benar-benar bingung. Wajahnya tegang. Matanya menyipit
penuh kecemasan.
"Kalau saja Carlo dulu bicara padaku," gerutunya. "Kalau saja
aku juga bicara pada Carlo. Mungkin aku bisa menolongnya. Mungkin
aku bisa membantu meringankan perasaannya."
Keith memalingkan kepala. Kurasa dia menangis dan tak ingin
aku melihatnya."Natalie, aku... aku harus pergi," kata Keith terbata-bata, masih
tetap menghindari tatapanku.
Kupegangi lengannya erat-erat. "Jangan, tetaplah di sini,"
desakku. "Tetaplah meluncur. Kau akan merasa lebih baik."
Tapi ia melepaskan gandenganku. "Tidak." Akhirnya ia
menoleh ke arahku. Matanya tampak sedih dan bingung. Ia menggigiti
bibir bawahnya. "Ayo pulang. Kau akan kuantar."
Aku ragu-ragu. "Aku masih ingin di sini," kataku. Aku merasa
bersalah. Apakah aku mengabaikannya saat ia membutuhkanku?
"Tetaplah di sini beberapa saat lagi," pintaku. "Kau pasti akan merasa
lebih baik."
Ia menggeleng. "Aku benar-benar tidak bisa. Aku sudah janji
pada ayahku akan pulang lebih cepat. Lagi pula perasaanku sedang
tidak enak. Sori. Tidak apa-apa kan kalau aku pulang duluan?"
"Yeah. Nanti aku menumpang orang lain saja," kataku.
Ia berpaling dengan canggung dan pelan-pelan meluncur ke
pintu keluar.
"Nanti kau meneleponku tidak?" teriakku.
Sepertinya ia tidak mendengar. Ia keluar dari arena tanpa
menoleh lagi.
Kupandangi ia duduk untuk melepaskan sepatu luncurnya. Lalu
aku melanjutkan meluncur sendiri. Lebih cepat dan lebih cepat,
hingga segala sesuatu di sekelilingku hanya berupa semburat cahaya


Fear Street Jalan Buntu Dead End di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan warna yang kabur.
Lebih cepat dan lebih cepat.
Es yang dingin dan segar terasa begitu nyaman. Begitu
menenangkan.Kupaksa keluar semua pikiran dalam benakku. Musik dansa
yang keras berdentum-dentum. Aku meluncur berputar-putar, tidak
melihat siapa-siapa, hanya mendengar irama drum dan gitar dari
musik itu.
Aku terhanyut di duniaku, lupa waktu.
Ketika akhirnya aku berhenti meluncur dan melihat jam
dinding, ternyata sudah lewat pukul sepuluh.
Aku melihat-lihat, kalau-kalau ada teman yang bisa
mengantarku pulang. Tapi aku tidak mengenali seorang pun di arena
itu. Tidak masalah, pikirku. Malam ini toh tidak terlalu dingin. Aku
jalan kaki saja.
Tumit dan mata kakiku terasa kaku karena begitu lama
meluncur. Aku keluar dari arena, duduk, dan melepaskan sepatu
luncurku.
Jantungku berdebar-debar. Dahiku basah oleh keringat. Tapi
aku merasa senang. Lelah, tapi santai.
Kumasukkan sepatu luncurku ke dalam tas, lalu kusampirkan
tas itu di bahuku, dan aku keluar.
Udara malam dingin tak berangin. Bulan yang pucat
menggantung tinggi di atas pepohonan yang gundul.
Sebuah van hijau melaju pelan. Setelah van itu lenyap di sudut
jalan, sekitarku kosong dan sepi.
Aku menggigil. Tubuhku terasa panas. Terlalu panas. Di udara
dingin begini mungkin aku malah akan kena selesma.
Setelah menarik ritsleting parkaku hingga ke dagu, aku berlari-
lari kecil menyeberangi jalanan yang gelap. Otot-otot kakiku masihterasa sakit. Aku memarahi diriku sendiri karena lama tidak
berolahraga.
Di trotoar masih ada sisa-sisa lumpur bekas hujan lebat
kemarin. Kuhindari mereka sementara aku berlari ke arah rumahku.
Tas berisi sepatu luncur itu terasa berat di bahuku.
Aku memindahkannya ke bahu satunya.
Dan saat itulah aku mendengar langkah kaki di belakangku.
Kusadari bahwa aku sedang diikuti.
Rasa takut menikam dadaku. Aku menyipitkan mata dalam
kegelapan. "Si-siapa di situ?" seruku.
Tidak ada yang menyahut.
Lalu suara langkah kaki lagi. Bunyi detak pelan di trotoar. Lagi.
Apakah ada lebih dari satu orang?
Aku tercekat. Kupaksakan diri untuk berbalik dan berlari.
Mendadak sepatuku terasa berat sekali. Di tengah debar
jantungku bisa kudengar langkah kaki cepat di belakangku.
Mereka mengejarku. Mereka makin cepat. Mereka akan bisa
menangkapku.
Aku tak bisa lari lebih cepat lagi. Tak bisa.
Tas di bahuku mengayun keras menghantam bahuku ketika aku
berhenti.
Dan membalikkan tubuh untuk menghadapi para pengejarku.
Aku terkesiap ketika sinar lampu menerangi sosok mereka.
"Sedang apa kalian di sini?" seruku.Bab 20
KEJUTAN DI RUMAH GILLIAN
RANDEE dan Todd bergegas menghampiriku dengan terengah-
engah.
Aku mundur, mataku nyalang mengamati sekitarku yang sunyi.
Apakah aku dalam bahaya dari orang-orang yang kukira
temanku ini?
"Kenapa kau lari?" tanya Todd, terengah-engah.
"Kau tidak dengar kami memanggil-manggilmu?" tanya
Randee.
"Kupikir... kupikir...," aku terbata-bata. Tapi aku tidak yakin
apa yang kupikirkan.
"Mana Keith?" tanya Todd. "Kupikir kalian pergi bersama
malam ini."
"Dia mesti pulang lebih awal," aku menjelaskan. "Aku masih
ingin meluncur. Jadi..." Suaraku menghilang.
Todd menatapku lekat-lekat. Ia mengenakan sweater kelabu dan
rompi biru tebal. Dalam cahaya suram di jalan itu ia bahkan tampak
lebih besar dan lebih menakutkan daripada biasanya.
Randee juga melayangkan pandang ke jalanan yang gelap dan
kosong, seolah-olah mengharapkan kehadiran seseorang."Sedang apa kalian berdua di sini?" tanyaku. Sekarang aku
mulai lebih tenang. "Kenapa kalian mengejarku?"
"Kami mengejarmu karena kau lari, Natalie," sahut Randee.
"Aku tak percaya kau tidak mendengar kami."
"Larimu tidak terlalu cepat," kata Todd mengejek. "Larimu
seperti anak perempuan."
Randee membelalak dan mendorongnya. "Usil!"
"Agak susah lari dengan membawa tas berat ini," kataku pada
Todd. "Kalian belum mengatakan padaku, kenapa kalian
menungguku."
"Kita mesti pergi ke rumah Gillian," kata Randee sambil melirik
Todd.
"Apa?" seruku. "Kita mesti apa?"
"Kita mesti bicara pada Gillian," kata Todd. "Kita mesti
meyakinkan dia untuk tidak melapor ke polisi."
"Kalian mendengar rupanya?" tanyaku.
Keduanya mengangguk.
Awan gelap menutupi bulan. Bayang-bayang dari cahaya lampu
jalan makin memanjang, lalu menghilang. Kegelapan menyelimuti
kami.
"Dia pasti mau mendengarkanmu," kata Randee dengan tatapan
memohon. "Gillian percaya padamu, Natalie. Kalau kau memintanya
untuk tidak melapor ke polisi, dia akan mendengarkan."
"Menurutku kita tidak berhak mengatur Gillian," jawabku
sambil menarik tudung parka-ku. "Gillian berhak melakukan apa yang
menurutnya terbaik.""Dia tidak boleh melakukannya!" Todd bersikeras dengan
marah.
Randee menyentuh lengan Todd, seolah memintanya untuk
tenang. "Kita mesti mengambil keputusan sebagai kelompok,"
katanya. "Kita semua terlibat."
"Kita tak bisa membiarkan dia merusak semuanya!" tambah
Todd dengan merengut. "Aku sudah bicara dengan ayahku tadi. Polisi
belum menemukan petunjuk. Jadi, buat apa Gillian memaparkan
segalanya pada mereka?"
"Sebab dia tidak tahan lagi," kataku dengan suara gemetar.
"Sebab semua itu membuatnya sinting."
"Mari kita bicara dengannya," Randee memohon. "Setidaknya
kita bisa mencoba. Kalau kita tak bisa membujuknya, yah..." Suaranya
makin pelan.
"Kalau kita tak bisa membujuknya untuk tutup mulut, yah, kita
semua pergi ke polisi bersama-sama," kata Todd.
Aku mengamati wajahnya, mencoba memperkirakan apakah
ucapannya tulus. Tapi aku tak bisa mereka-reka. Ia membalas
tatapanku dengan ekspresi kosong.
"Oke," kataku sambil mendesah. "Kita ke rumahnya. Tapi
menurutku takkan ada gunanya."
Kuikuti mereka ke mobil Randee?Volvo hijau gelap yang
telah menewaskan saudara perempuan Walikota.
Aku menggigil ketika mobil itu tampak. Maukah aku masuk
lagi ke dalamnya?
Bukan mobil itu yang menyebabkan kecelakaan tersebut, kataku
pada diri sendiri. Mobil itu hanya sebuah benda mati.Kami menuju rumah Gillian dalam diam. Randee menyalakan
radio pelan-pelan, tapi kami tidak mendengarkan.
Gillian tinggal di sebuah rumah putih yang tinggi di Canyon
Drive. Tidak ada mobil di pekarangannya, tapi lampu ruang duduk
menyala.
Randee menghentikan mobil di dekat rumah, lalu mematikan
lampu dan mesinnya. Sambil berjalan ke pintu, aku bertanya-tanya
bagaimana reaksi Gillian menerima kedatangan kami.
Apakah ia akan marah? Maukah ia mendengarkan?
Kupandangi Randee dan Todd sekilas. Mereka juga tampak
gugup.
Todd memencet bel.
Kami menunggu, memandangi pintu kayu yang bercat putih.
"Sekarang sudah malam," gumamku. "Mungkin mereka semua
sudah tidur."
"Baru jam setengah sebelas," kata Todd setelah melihat jam
tangannya. "Dan lampunya masih menyala."
"Gillian selalu tidur larut malam," tambah Randee. "Rasanya
dia mengatakan orangtuanya sedang pergi."
Todd memencet bel lagi, lama.
Bisa kudengar dengung bel itu di dalam rumah. Tapi tidak ada
suara apa pun di dalam sana, atau langkah kaki orang menuju pintu.
"Kita pergi saja," desakku. "Tidak ada yang membukakan."
"Mungkin dia ada di atas," kata Randee. Ia mundur dan
memandang ke jendela di lantai atas. "Gelap di sana."
"Sudahlah. Kita bisa bicara dengannya besok," kataku tak sabar.Aku mulai beranjak menjauh dari pintu, tapi setengah jalan
menuju mobil, aku berbalik lagi.
Sebersit cahaya memancar dari jendela ruang duduk. Aku
menghampiri jendela itu, lalu berjingkat mengintip.
Mulanya aku hanya melihat ruang duduk yang kosong. Sofa
dengan lukisan bunga di atasnya. Meja kopi yang penuh majalah
mode. Dan poster sirkus kuno.
Tidak ada yang aneh.
Tapi lalu tatapanku beralih ke tangga yang menuju lantai atas.
"Ohh!" Seruan terkejut keluar dari mulutku ketika kulihat tubuh
yang terkapar di bawah tangga.Bab 21
KECELAKAAN LAGI
"ITU... itu Gillian!" Akhirnya aku berhasil bersuara. Randee
dan Todd sudah berada di sampingku. Ekspresi mereka berubah
ketakutan setelah mereka melihat apa yang kulihat.
Dengan jantung berdebar aku menyerbu ke pintu depan. Mereka
mengikuti persis di belakangku.
Gillian, tetaplah hidup! pikirku. Tetaplah hidup!
Kata-kata itu terus kuucapkan di dalam benakku sambil aku
mendorong tombol pintu. Ternyata pintunya tidak dikunci dan bisa
dibuka dengan mudah.
Kami bertiga menghambur masuk dan berhenti di bawah
tangga.
Tetaplah hidup. Tetaplah hidup.
Tidak.
Gillian telentang dengan mata kosong tak bernyawa.
Aku mengeluarkan seruan ngeri. "Lehernya...!" jeritku.
Gillian pasti jatuh dari tangga. Terbanting telungkup, tapi
lehernya patah, sehingga kepalanya terputar.Lengan dan kakinya terentang di anak tangga terbawah dan di
lantai, tapi wajahnya menatap kami, mulutnya terbuka dalam jeritan
diam. Rambutnya mengembang di bawahnya, seperti bantal.
Sepasang matanya... sepasang mata yang dingin dan mati itu...
membelalak menuduh.
Dan ada sorot terkejut serta kesakitan di mata itu.
Mata yang mati itu. Kepala yang terputar.
Aku tahu aku takkan pernah bisa menghapuskan pemandangan
itu dari ingatanku. Ebukulawas.blogspot.com
"Aku... aku akan memanggil polisi," kata Randee terbata-bata.
Ia beranjak ke arah dapur.
Tanpa kusadari aku mencengkeram lengan Todd. Ia menoleh ke
arahku. "Satu kecelakaan lagi," bisiknya. "Satu kecelakaan
mengerikan lagi."
************
Polisi datang dan pergi. Entah bagaimana, aku bisa menjawab
pertanyaan-pertanyaan mereka. Kami bertiga berkali-kali mengulangi
cerita kami.
"Satu kecelakaan lagi," bisik Todd padaku.
"Kecelakaan." Begitulah yang dikatakan polisi.
Orangtua kami datang tak lama kemudian. Aku terlalu shock
untuk menjawab pertanyaan mereka. Terlalu shock dan ketakutan.
Mula-mula Carlo. Sekarang Gillian.
Aku tak bisa tidur. Pikiranku berkecamuk.
Carlo. Lalu Gillian.
Mereka memutuskan untuk mengakui semuanya pada polisi.
Tapi mereka tewas sebelum sempat melakukannya.Kecelakaan?
Aku tak percaya.
Sambil berbaring gelisah di ranjangku, berkeringat dingin meski
udara sejuk, aku menyalahkan diriku.
Natalie, kenapa kau tidak lebih cepat melapor ke polisi? Kenapa
kau tidak langsung mengakui segalanya?
Bisakah kau menyelamatkan mereka kalau kau melapor? Kalau
kau menceritakan kebenarannya tentang kecelakaan yang
menewaskan saudara perempuan Walikota?
Mungkinkah jika demikian Carlo dan Gillian masih hidup saat
ini? Pikiran-pikiran mengerikan.
Teman-temanku, pikirku. Randee dan Todd. Mereka teman-
temanku. Kami semua berteman karib.
Tapi mereka berdua pasti pembunuh.
Mereka pasti bekerja sama. Mereka sangat ketakutan akan
tertangkap. Sangat mendesak agar rahasia itu tetap disimpan.
Randee dan Todd. Ya. Mereka bekerja sama. Mereka
mendorong Gillian dari tangga malam ini. Lalu mereka menungguku
di luar arena skating.
Mereka mengajakku ke rumah Gillian. Mereka tahu ia sudah
mati. Mereka pura-pura terkejut juga.
Mereka berpura-pura. Berbohong.
Mereka pembunuh.
Aku duduk tersentak. Aku merasa seperti tenggelam di tempat
tidurku. Napasku turun-naik. Pelipisku berdenyut-denyut.
Kuputuskan untuk langsung melapor ke polisi besok pagi.Aku akan menceritakan semuanya. Dari awal sampai akhir.
Tidak akan ada yang bisa menghentikanku.
Tidak akan ada.
***********
Mom dan Dad pergi pagi-pagi sekali untuk rapat bisnis di
Waynesbridge. Mereka meninggalkan catatan di samping mangkuk
serealku yang kosong di meja makan. Aku membacanya, lalu
meletakkannya kembali.
Kuisi mangkukku dengan keripik jagung, tapi aku terlalu tegang
untuk memakannya.
Kutinggalkan mangkuk yang masih separuh terisi itu di meja,
dan aku bergegas kembali ke kamarku untuk ganti pakaian. Lalu aku
keluar.
Di garasi masih ada mobil Civic yang sudah tua. Sambil
membuka pintu garasi, aku mengulangi apa-apa yang akan kukatakan
pada polisi.
Dalam benakku sudah seratus kali aku mengulangi kalimat itu.
Tapi aku ingin bisa menyampaikannya dengan tepat, persis seperti apa
yang terjadi.
Ketika pintu garasi baru setengah terbuka, terdengar suara
mobil memasuki halaman. Dengan terkejut aku menoleh dan melihat
Volvo hijau Randee.


Fear Street Jalan Buntu Dead End di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku langsung menghampirinya. Ia membuka jendela. Wajahnya
pucat dan matanya merah. Kurasa ia juga tidak bisa tidur.
Dihantui perasaan bersalah? pikirku.
"Randee... ada apa kau kemari?" tanyaku.
"Aku ingin bicara denganmu, Natalie," jawabnya dengan tegas."Tidak," sahutku tajam sambil menggeleng.
Ia tampak kaget dan ingin mengatakan sesuatu, tapi langsung
kusela, "Aku akan ke polisi. Sekarang juga."
Ia menatapku lekat-lekat, tidak menjawab.
"Aku akan menceritakan keseluruhan kisahnya," kataku. "Aku
sudah mengambil keputusan, Randee. Mundurkan mobilmu, oke?
Supaya mobilku bisa keluar."
Ia tercekat, matanya tidak beralih dari mataku. Bisa kulihat
bahwa ia sedang berpikir keras.
"Oke," katanya kemudian. "Aku akan ikut denganmu." Ia
menunjuk ke sampingnya. "Masuklah, Natalie. Kita naik mobilku
saja."
Aku ragu-ragu. "Kau mau ikut ke kantor polisi?"
Ia mengangguk. "Itu sebabnya aku kemari. Aku juga
memutuskan untuk membuat pengakuan."
Kuamati wajahnya. Apakah ia berbohong?
Mungkin saja ia dan Todd yang telah membunuh Carlo dan
Gillian. Apakah ia sungguh-sungguh akan ke polisi? Atau ini hanya
jebakan?
"Aku... aku lebih suka naik mobilku," aku tergagap.
"Polisi pasti ingin melihat mobilku," sahut Randee.
"Mobilkulah yang terlibat kecelakaan itu. Masuklah, Natalie."
Tapi aku tidak mau naik mobil dengan Randee.
Kusadari bahwa aku takut padanya. Takut pada teman baikku
sendiri.Tapi aku tak bisa memberikan alasan. Pikiranku berkecamuk,
tapi tidak menghasilkan apa-apa. Aku gemetar. Polisi memang akan
memeriksa mobil Randee. Ia benar.
Aku menarik napas panjang, lalu berjalan ke pintu penumpang,
membukanya, dan masuk ke dalam.
Mobil itu hangat. Randee sudah menyalakan penghangat.
Begitu aku menutup pintu, ia memundurkan mobil. "Mestinya
kita langsung melapor pada malam terjadinya kecelakaan itu,"
katanya. "Semalam aku tidak tidur, Natalie. Memikirkan Carlo. Dan
Gillian. Dua teman kita tewas. Untuk apa?" Ia terisak sedih.
Aku menatapnya tajam, mencoba memperkirakan apakah
semua ini hanya akting.
"Apa menurutmu Todd yang melakukannya?" Pertanyaan itu
meluncur keluar sebelum aku bisa menghentikannya.
"Aku tidak tahu mesti berpikir apa," sahut Randee dengan suara
gemetar. "Aku tidak tahu."
Mungkin aku salah menilai Randee, pikirku sekonyong-
konyong.
Mungkin Randee benar-benar tulus. Mungkin ia sama bingung
dan ketakutannya seperti aku.
Tapi kemudian sebersit rasa takut menghampiriku ketika kami
tiba di Old Mill Road. Randee belok ke kanan, bukan ke kiri. Ia
membawa mobil menjauhi kota, ke arah Fear Street.
"Randee... ini bukan arah ke kantor polisi," seruku. "Mau ke
mana kita? Ke mana kau akan membawaku?"Bab 22
PENGAKUAN PENUH
PERUTKU serasa mengerut ketakutan. Aku terdorong untuk
merebut roda kemudi dan memutar arah mobil.
Randee terbelalak terkejut. "Oh. Wow," katanya sambil
menatap sebuah papan jalan yang setengah tertutup pepohonan.
Ia menginjak rem dan kecepatan mobil berkurang.
"Randee... ada apa?" kataku dengan tercekat.
"Aku sedang bingung, sampai salah belok," jawabnya sambil
menggelengkan kepala. Ia menarik napas panjang. "Sori, Natalie, aku
tidak sadar tadi."
Ia menunggu sebuah van melaju lewat, kemudian memutar
mobil ke arah yang benar.
"Mudah-mudahan aku bisa membawa kita dengan selamat ke
kantor polisi," katanya sambil mencengkeram roda kemudi dengan
dua tangan. Udara hangat dari pemanas mobil tak bisa menghentikan
gemetar tubuhku.
Aku akan merasa lebih enak setelah kami memaparkan kisah
itu, pikirku.
Tapi bisakah perasaanku menjadi normal kembali?Kami parkir di sebuah lapangan aspal yang kecil dan kosong di
samping kantor polisi. Hujan gerimis mulai turun ketika kami keluar
dari mobil.
Kantor polisi itu adalah sebuah bangunan putih kecil bertingkat
dua. Lampu di dalam sana menyala.
Pintu depannya ternyata lebih berat daripada yang
kubayangkan. Aku menahannya untuk Randee, lalu ikut masuk sambil
mengibaskan air hujan dari rambutku.
Di ruang tunggu ada bangku kayu yang berhadapan. Pada papan
tulis di tembok ada pengumuman tentang pertandingan basket untuk
polisi.
Seorang polisi muda berseragam biru duduk di meja depan
sambil membaca koran. Di hadapannya ada dua cangkir kopi panas.
Ketika aku dan Randee menghampirinya dengan ragu-ragu, ia
menurunkan korannya dan menghirup kopinya. "Bisa kubantu?"
Kami mengangguk. "Kami ingin bicara," kataku dengan susah
payah. Semua kalimat yang sudah kuhafalkan buyar dari ingatanku.
Polisi itu bermata biru cerah. Ia menggaruk rambut pirangnya
yang ikal dan meneguk kopinya lagi. "Tentang apa?"
"Tentang saudara perempuan Walikota. Tentang kecelakaan
itu," kata Randee. Ia memasukkan tangannya di saku mantel. Suaranya
bernada tegang dan melengking.
Mata biru polisi itu beralih dari diriku ke Randee. "Kau punya
informasi tentang kecelakaan itu?"
"Kami... kami ingin membuat pengakuan," kataku cepat.
Kalimat itu membuatnya terlompat bangkit. Hampir-hampir ia
menyenggol jatuh salah satu cangkir kopinya. Ternyata ia lebihpendek daripada yang kuperkirakan, tapi tubuhnya kekar. Matanya
terpicing curiga pada kami. "Mari ikut aku," katanya.
Kami mengikutinya ke sebuah lorong pendek yang didereti
pintu, lalu membelok di sudut. Cahaya terang tampak dari kantor di
sudut itu. Di pintu ada papan bertulisan: Letnan Frazer. Terdengar
suara orang batuk dari dalam.
Randee melirik gugup ke arahku sementara kami mengikuti si
polisi masuk ke dalam.
Sudah terlambat untuk mundur, pikirku. Perutku terasa mulas
dan lututku gemetar. Sudah terlambat. Selesaikan saja, Natalie.
Hadapi hukumanmu.
Letnan Frazer sedang berdiri di belakang mejanya, memandangi
selembar peta. Ia orang kulit hitam yang jangkung dan atletis, dengan
rambut sangat pendek.
Ia mengenakan setelan biru gelap, dasi merahnya dikendurkan.
Di pinggangnya tampak sepucuk pistol.
Ia memperhatikan ketika Randee dan aku masuk. "Ini Letnan
Frazer," si polisi muda memperkenalkan. "Beliaulah yang menangani
kasus Coletti."
Frazer mengangguk. "Kalian ingin bicara denganku?" Ia
memberi isyarat ke arah dua kursi lipat di dekat tembok.
Dengan patuh kami duduk. "Kami... mestinya kemari sejak
waktu itu," aku memulai. Jantungku serasa melompat ke
kerongkongan. Aku hampir-hampir tak bisa bicara.
"Kami ada di sana malam itu," Randee mendahului.
"Maksudku, kamilah yang..." Suaranya makin pelan, dan ia menggigiti
bibir bawahnya.Frazer menarik kursinya dan duduk. Ia mencondongkan tubuh,
mengamati kami. "Kalian ada di jalan buntu itu pada malam Ellen
Coletti tewas?"
Randee dan aku bertukar pandang.
Aku menarik napas panjang. "Kamilah pelakunya," kataku.
Letnan itu tidak berkedip. Juga tidak bergerak.
"Kami menabrak mobilnya. Kami yang menewaskannya,"
sambungku.
Sang letnan mengangkat tangan untuk menghentikanku. "Stop,"
katanya. "Kalian perlu didampingi orangtua dan pengacara."
"Tidak," kataku. "Kami cuma ingin menceritakan apa yang
terjadi. Kami harus menceritakannya."
"Kalau begitu, aku wajib membacakan hak-hak kalian," kata
sang letnan dengan serius. Ia membacakan daftar hak yang sudah
begitu sering kudengar di film-film tentang polisi. "Oke, apa yang
ingin kalian ceritakan padaku?"
"Semua itu kecelakaan," kata Randee dengan nyaring.
"Kecelakaan mengerikan. Mobil kami terputar. Aku yang mengemudi.
Kucoba mengendalikannya, tapi kami menabrak mobil itu. Dari
belakang."
"Kami pikir tidak ada orang di dalam mobil itu," aku
melanjutkan dengan suara gemetar. Tanganku terasa dingin di
pangkuanku. "Sebenarnya kami tidak terlalu keras menabraknya.
Kami... kami tidak tahu..."
Letnan Frazer membuat gerakan dengan tangannya, seolah
ingin menenangkan."Lalu kami kabur," kata Randee. Suaranya gemetar. "Kami
sangat ketakutan. Kami tidak ingin mendapat kesulitan. Jadi, kami
pergi. Maksudku... yah... kami pergi begitu saja."
Aku membuka mulut untuk bercerita lebih banyak, tapi tidak
ada kata-kata yang keluar.
Frazer menuliskan beberapa catatan di sebuah notes kuning. Ia
mengerutkan kening, lalu menulis lagi.
Kemudian ia kembali menatap kami. "Pukul berapa kalian
menabrak mobil Ms. Coletti?"
"Aku tidak yakin," kata Randee. "Pasti sekitar tengah malam.
Kami baru pulang pesta dan..."
"Sekitar tengah malam?" Sang letnan menuliskannya. "Mobil
siapa yang kaubawa?" tanyanya pada Randee.
Wajah Randee memerah. "Mobil orangtuaku," sahutnya sambil
menunduk.
"Bisa kulihat SIM-mu?" Sang letnan mengulurkan tangannya.
Randee mencari-cari di tasnya. "Ini." SIM itu jatuh ke meja
ketika ia mengulurkannya. Sang letnan lama mengamatinya, lalu
menuliskan sesuatu di notesnya.
"Mobil apa yang kaubawa malam itu, Randee?" tanyanya.
"Volvo," sahut Randee. "Ada... di luar. Di tempat parkir kecil
itu. Sudah kuduga Anda pasti ingin melihatnya."
Frazer mengangguk serius. "Ya, memang." Ia berdiri dan
melongok ke luar jendela. "Gerimis di luar."
Ia mengambil sebuah jaket kulit hitam dari rak mantel di sudut
dan mengenakannya. "Ayo."Kami keluar ke tempat parkir. Langit gelap seperti malam.
Hujan gerimis tadi sudah berubah menjadi butiran-butiran besar yang
menimbulkan bunyi keras saat menghantam aspal.
Aku menarik kerudung parkaku dan mencoba menatap mata
Randee, tapi ia menundukkan kepala untuk menghindari hujan.
Frazer berjalan sangat cepat, hingga kami mesti berlari kecil
untuk mengikutinya. Di belakang kami terdengar suara anjing
menggonggong marah. Mobil-mobil yang lewat menyalakan lampu
besar mereka, padahal saat ini masih pagi.
Frazer berhenti di samping mobil Randee, satu-satunya mobil di
tempat parkir itu. "Ini mobilmu?" tanyanya.
"Ya," jawab Randee. "Maksudku, mobil orangtuaku."
Frazer menggosok-gosok dagunya. "Volvo, ya? Bagus
modelnya." Ia berjalan ke depan Volvo hijau itu dan membungkuk
untuk memeriksa bempernya.
"Mobil ini sama sekali tidak tergores," kata Randee tanpa
ditanya. "Itu sebabnya kami pikir tidak ada yang celaka. Maksudku..."
"Apa kau mengganti salah satu ban mobil ini?" sela Frazer
sambil menatap Randee. "Maksudku sejak kecelakaan itu."
Randee tampak kaget. "Tidak. Ban-bannya masih sama."
Letnan Frazer menegakkan tubuh. Ia menjauh dari mobil itu dan
menghampiri kami. "Apa ini cuma lelucon? Semacam taruhan?"
tanyanya dengan tegas.
"Ha? Lelucon?" seruku, bingung.
Randee terkesiap. "Apa maksud Anda?"
Letnan Frazer memicingkan mata pada kami. "Kenapa kalian
mengakui kejahatan yang tidak kalian lakukan?"Bab 23
TERNYATA TODD
KAMI berjalan kembali ke kantor polisi, tapi awan kelabu itu
seolah mengikutiku ke dalam. Aku merasa seakan-akan ada kabut
tebal yang menyelimutiku dan mengangkatku. Aku merasa begitu tak
berdaya, bingung, dan lepas kendali.
Di kantornya, Letnan Frazer menjelaskan mengapa kami bukan
pelaku yang menewaskan saudara perempuan Walikota. Tapi suaranya
seperti terdengar dari jauh, seolah dibatasi tirai kabut tebal. Foto-foto
hitam-putih yang diambilnya dari sebuah arsip dan diperlihatkannya
pada kami tampak lebih mirip gumpalan-gumpalan kelabu dengan
latar belakang hitam keruh.
Beberapa ucapannya tertanam di benakku. Sisanya melayang
entah ke mana. "Kami sedang mencari sebuah mobil yang lebih kecil,"
kudengar ia berkata. "...Partikel-partikel cat biru di bemper Ms.
Coletti... Mobil biru, bukan hijau... Ban cadangan... Mungkin mobil
yang lebih tua...."
Kucoba memusatkan perhatian pada foto yang
diperlihatkannya. Lama baru aku menyadari bahwa itu foto jejak ban.
Satu jejak lebih lebar daripada jejak satunya.Apa artinya itu, pikirku. Kenapa jejak yang satu lebar dan
satunya lagi sangat kecil?
"Foto ini sangat jelas," kata Frazer. "Karena hujan, jalanan
diselimuti tanah basah dan jejak ban itu jadi tampak jelas."
Tapi kenapa ia menunjukkan semua ini pada kami?
Akhirnya pikiranku berhenti melayang-layang dan semuanya
menjadi jelas. Yah... setidaknya hampir semuanya.
Bukan mobil kami yang menewaskan Ellen Coletti.
Kenyataan itu akhirnya menembus kabut tebal yang
menyelimuti pikiranku.
Bukan Volvo hijau Randee yang menyebabkannya.
Melainkan sebuah mobil lain.
Sebelum mobil kami menabraknya? Apakah ia sudah tewas
ketika mobil kami meluncur ke jalan buntu itu?
Entahlah.
Aku melirik Randee. Kelihatannya ia sama bingungnya
denganku. Bingung tapi lega. Ia tersenyum tegang padaku.
Kami akan bebas, pikirku.
Hidup kami akan kembali normal. Bukan kami yang
menewaskan wanita itu dan melarikan diri.
Mendadak aku merasa senang sekali. Aku ingin melompat
sambil menyanyi dan menari-nari di ruangan itu.
Aku bisa terbang! pikirku. Aku bisa terbang sekarang.
Pikiran sinting.
Tapi tidak bertahan lama.
Sebab aku teringat Carlo dan Gillian.
Kenapa mereka meninggal? Kenapa kedua temanku itu mati?Mereka mati sia-sia. Sebenarnya tak ada rahasia yang perlu
disimpan. Bukan kami pelakunya. Bukan kami yang bertanggung
jawab.
Dan sekarang dua dari lima anak di mobil itu sudah mati.
"Masih ada lagi yang perlu kami ceritakan," aku memulai.
Tapi rupanya Frazer tidak mendengar. Ia sedang memasukkan


Fear Street Jalan Buntu Dead End di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali foto-foto itu ke laci. "Kalian masih tetap punya masalah,"
katanya pelan. "Meninggalkan tempat kecelakaan merupakan
pelanggaran serius."
"Dua teman kami...," kataku. Aku tahu mestinya aku
menceritakan tentang kematian Carlo dan Gillian yang mungkin
bukan kecelakaan.
Tapi aku menangkap tatapan tajam Randee. Untuk saat ini
cukup sekian, demikianlah ekspresinya mengatakan.
"Aku akan meminta para petugasku menghubungi orangtua
kalian," kata Letnan Frazer. "Kita semua mesti bicara lagi. Untuk saat
ini, aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan lagi."
Ia menanyakan apakah kami melihat mobil lain di jalan buntu
itu, atau apa pun yang mungkin bisa membantunya.
Tentu saja Randee dan aku tak bisa membantunya. Kami sangat
ketakutan malam itu, sangat ingin cepat-cepat meninggalkan jalan
mengerikan itu, sehingga kami tidak melihat apa-apa.
Akhirnya Letnan Frazer mengantar kami kembali ke meja
depan. Si polisi muda tadi sedang menelepon.
Frazer mengucapkan terima kasih atas kedatangan kami.
"Kalian boleh merasa lega karena bukan kalian yang menewaskan Ms.Coletti," katanya. "Tapi kita masih harus membicarakan tindakan
kalian malam itu dengan orangtua kalian."
Randee dan aku cepat-cepat keluar. Hujan sudah reda, tapi
langit masih tetap segelap malam.
Kami sudah setengah jalan ke mobil ketika sebuah sosok
muncul dari belokan.
Todd!
"Oh, tidak," bisik Randee. "Tadi pagi aku mengatakan padanya
bahwa aku akan ke polisi."
Todd menghampiri kami dengan cepat, wajahnya tampak sangat
marah.
"Hei!" teriaknya sambil menghalangi jalan kami. "Sudah
kubilang jangan pergi ke polisi!"Bab 24
NATALIE TAHU YANG SEBENARNYA
"KAU sudah kuperingatkan," kata Todd dengan nada penuh
ancaman.
"Todd!" seru Randee sambil mendorongnya mundur. "Sudah.
Aku serius! Aku sudah memberitahumu bahwa aku akan melapor ke
polisi... dan itu sudah kulakukan. Aku tidak mau mendengar protesmu
lagi."
Todd mundur dengan terkejut.
"Bukan kita yang menewaskannya," teriakku. "Todd...
kaudengar? Bukan kita."
"Ha?" Ia ternganga, mata birunya terbelalak bingung.
Randee memeluknya. "Bukan kita yang menewaskannya,"
serunya dengan gembira. "Bukan mobil kita yang membunuhnya."
"Mestinya sudah sejak dulu kita ke kantor polisi," kataku sambil
menghapus tetes air hujan yang dingin dari pipiku. "Dengan begitu,
kita akan langsung tahu bahwa bukan kita yang bersalah."
"Tapi... tapi...," Todd terbata-bata..Ia tampak berpikir keras,
mencoba memahami.Randee kembali ke sampingku. "Mari kita semua ke rumahku
untuk membicarakannya." Ia mengeluarkan kunci mobil dari saku
mantelnya. "Ayolah. Jangan berhujan-hujan di sini."
"Tidak," kataku dengan suara keras. "Tidak, aku ingin sendirian
untuk sementara ini, Randee."
Randee meraih lenganku. "Ayolah, Natalie. Masih hujan. Hari
ini sangat dingin dan tidak menyenangkan. Masuklah ke mobil."
"Tidak. Sungguh," aku bersikeras. "Kau pergilah dengan Todd."
"Setidaknya biarkan aku mengantarmu pulang," Randee
memohon sambil melirik Todd.
Aku menoleh ke arah Volvo hijau yang masih berada di tempat
parkir. Kenapa Randee begitu bersikeras ingin menyuruhku masuk
kembali ke mobilnya? Pertanyaan itu mau tak mau terlintas di
benakku.
Apa dia hanya ingin berbaik hati? Apa dia begitu gembira
dengan berita mengejutkan dari Letnan Frazer, sehingga dia ingin
sekali membicarakannya?
Atau barangkali dia punya alasan lain?
Apakah dia dan Todd merencanakan semua ini?
Mendadak kebahagiaanku menyurut. Kusadari dengan sedih
bahwa aku takkan pernah bisa mempercayai teman-temanku lagi.
Aku akan selalu curiga pada mereka, bertanya-tanya tentang
kebenarannya. Tentang mengapa Carlo dan Gillian tewas.
"Trims," kataku, "tapi saat ini aku mau jalan kaki saja
sendirian."Ia dan Todd memprotes, tapi aku tidak peduli dan cepat-cepat
berjalan menjauh. Aku menyeberangi jalan dan terus melangkah tanpa
menoleh lagi.
Kudapati diriku berada di sebuah blok toko kecil. Toko roti di
sudut tampak penuh orang, tapi toko-toko lainnya kebanyakan
kosong; mungkin karena pagi ini sangat suram.
Aku berjalan tanpa tujuan di Division Street. Hujan mulai turun
lagi, tapi aku tidak mengenakan kerudung parkaku. Senang rasanya
merasakan air hujan di rambut dan pipiku yang panas. Sangat
menyegarkan, seolah air hujan itu menghapuskan segala sesuatu yang
telah terjadi.
Sambil berjalan kucoba memilah-milah pikiranku. Tapi aku
tetap saja masih bingung.
Mestinya aku sangat gembira bahwa ternyata bukan mobil
Randee yang menewaskan saudara perempuan Walikota. Tapi
bayangan akan Carlo dan Gillian tak pernah lepas dari pikiranku.
Aku tidak bisa merasa senang. Lega pun tidak.
Aku sama sekali tidak bisa merasakan apa-apa.
Saat aku menyeberangi jalan, seekor kucing hitam kurus lari di
depanku, begitu dekat hingga aku hampir tersandung. Binatang itu lari
melintasi jalanan yang basah oleh hujan. Aku tertawa keras-keras.
"Kau terlambat," seruku dengan getir. "Aku sudah mengalami
nasib sial bertubi-tubi."
Seolah menanggapi ucapanku, hujan turun lebih deras.
Menggigilkan.
Aku berlindung di halte bus. Air hujan yang jatuh di atap halte
terdengar seperti suara ribuan genderang bertalu-talu.Bus North Shadyside datang lima menit kemudian. Aku naik
dan berhenti satu blok dari rumahku.
Sekarang hujan sudah mereda. Aku menundukkan kepala dan
mulai berjalan dengan langkah-langkah panjang ke arah rumah.
Akhirnya aku bisa menceritakan tentang peristiwa mengerikan malam
itu pada Mom dan Dad, pikirku. Mungkin itu akan membuatku merasa
lebih baik.
Biasanya keluarga kami sangat terbuka. Kami bukan jenis orang
yang suka menyimpan perasaan. Kami bertiga suka berterus terang
mengutarakan apa yang kami rasakan.
Dan sekarang aku bisa menceritakannya.
Aku berbelok di sudut. Rumahku sudah kelihatan. Aku berjalan
lebih cepat, tapi berhenti ketika melihat mobil di jalan masuk
rumahku.
Keith!
Aku mulai berlari ke arahnya. Sepatuku menimbulkan cipratan-
cipratan air hujan. Kulihat Keith muncul dari beranda depan. Ia cepat-
cepat menghampiriku.
"Keith! Kau di sini!" seruku. "Aku senang sekali kau datang!"
Aku merangkulnya. Kami berpelukan erat di depan mobilnya. Lama.
"Dari mana saja kau?" tanyanya setelah kami melepaskan
pelukan. "Aku sudah cemas."
"Aku... aku... aku..." Aku menarik napas panjang. "Randee dan
aku... pergi ke polisi. Keith, kau tak akan percaya men..."
Ucapanku terhenti ketika aku melihat mobilnya.
Sudah begitu sering aku melihat mobil itu, tapi baru saat ini aku
menyadari kenyataan mengerikan ini.Mobil itu berwarna biru. Biru langit.
Aku mengalihkan mataku ke bempernya yang penyok, lalu ke
ban-bannya.
Aku tercekat ketika melihat ban cadangan yang kecil itu masih
tetap terpasang di roda depan kanan.
Satu ban lebar dan satunya kecil.
Foto hitam-putih yang ditunjukkan Letnan Frazer kembali
terbayang di mataku. Jejak-jejak ban di jalanan berlumpur.
Satu lebar dan satu kecil.
Mobil berwarna biru....
"Oh, Keith!" teriakku.
Ketika aku mengangkat mata ke arahnya, ekspresinya sudah
berubah. Matanya yang gelap membelalak padaku seperti sepasang
kelereng yang dingin. Bibirnya membentuk seringai marah.
"Keith... mobilmu...," kataku.
Tapi ia menarik lenganku dengan keras dan mendorongku.
"Natalie, masuk ke mobil," perintahnya dengan suara kejam dan
dingin yang belum pernah kudengar. "Masuk ke mobil!"Bab 25
"AKULAH YANG MEMBUNUH MEREKA"
AKU mencoba melepaskan diri, tapi Keith sangat kuat.
"Lepaskan!" teriakku. "Kau menyakitiku."
Ia mengendurkan cengkeramannya, tapi tidak melepaskan
lenganku. "Sori," katanya pelan. Ia menarikku ke arah pintu
penumpang. "Masuk, Natalie. Aku tidak akan menyakitimu."
"Kau sudah menyakitiku," kataku.
"Masuklah," perintahnya tak sabar. "Aku cuma ingin memberi
penjelasan. Itu saja."
Aku berhenti dengan jantung berdebar. "Mau ke mana kita?"
"Tidak ke mana-mana. Hanya putar-putar supaya aku bisa
menjelaskan." Ia membuka pintu mobil. Aku terjepit. "Masuklah,
Natalie. Jangan ketakutan begitu."
"Tapi, Keith..." Aku masuk juga akhirnya.
"Bukakan pintu pengemudi," perintahnya. Ia menutup pintuku.
Seluruh mobil itu berguncang.
Aku ingin lari. Sekonyong-konyong kusadari bahwa aku takut
padanya. Tapi sejauh mana aku bisa lari? Kalau aku membuka pintu
dan mencoba kabur, dia pasti bisa mengejarku sebelum aku sempat
lari jauh.Tapi aku juga ingin mendengar penjelasannya. Aku sangat ingin
tahu yang sebenarnya.
Aku harus mau mendengarkannya, kataku pada diri sendiri.
Keith dan aku pernah begitu dekat. Aku wajib memberi kesempatan
padanya.
Maka kubukakan pintu pengemudi untuknya. Ia duduk di
belakang kemudi. Mesin mobil itu baru menyala setelah tiga kali
dicoba, dan ia pun memundurkannya dari jalan masuk.
Kami melaju selama beberapa blok dalam diam. Hujan masih
terus turun. Kipas air bekerja dengan lamban, menyapu butir-butir
hujan, sekaligus mengotorkan kaca depan.
"Keith, pada malam pesta itu...," aku memulai dengan ragu-
ragu. "Apa kau...?" Kalimat selanjutnya terhenti di tenggorokanku.
Ia memelankan mobil, lalu berbelok ke River Road. Matanya
terpicing ke depan, menatap kaca depan, tapi pandangannya
menerawang.
"Keith?" Ia sepertinya tidak mendengarku.
Ban-ban mobil berdecit di jalanan yang licin. Ekspresi wajah
Keith sama sekali tidak berubah.
"Keith, katamu kau mau menjelaskan," aku mendesaknya pelan.
Sikap diamnya jauh lebih menakutkan bagiku daripada ekspresi
wajahnya yang dingin.
Akhirnya ia berkata dengan suara tegang dan serak. "Aku
mengejarmu malam itu?pada malam pesta itu," katanya. "Kulihat
kau pergi dengan Todd. Aku... kurasa aku jadi marah.""Maksudmu kau mengejar kami dengan mobilmu?" tanyaku.
Rasanya aku tahu apa yang akan dikatakan Keith, tapi aku tak mau
mempercayainya. Aku tak mau mendengar ia mengucapkannya.
"Aku tahu mestinya aku tidak menyetir malam itu," kata Keith.
Ia terisak pelan. "Percayalah, Natalie. Aku tahu kondisiku. Tapi aku
mengejarmu. Rupanya aku benar-benar mabuk. Aku menyetir terlalu
kencang. Aku tersesat. Aku salah belok dan masuk ke jalan buntu itu...
dan menabrak mobil yang diparkir di sana."
Keith mencengkeram roda kemudinya erat-erat. Ia tidak mau
menatapku. Matanya tetap terarah ke depan.
"Aku yang menewaskannya, Natalie. Aku yang menewaskan
saudara perempuan Walikota," sambungnya, suaranya bergetar oleh
emosi.
Dan kalimat selanjutnya membuat jantungku seperti berhenti
mendadak. Kalimatnya hanya berupa bisikan, tapi aku mendengarnya
dengan sangat jelas. Dan aku tahu ucapannya itu akan senantiasa
terngiang di telingaku.
"Natalie," bisik Keith, masih sambil menatap ke depan. "Aku
yang membunuh Carlo dan Gillian juga. Aku yang membunuh mereka
berdua."Bab 26
SATU MASALAH TERAKHIR
SELURUH tubuhku gemetar. Aku menarik napas panjang dan
menahannya, berusaha menguasai tubuhku agar tidak gemetar.
"Keith... kenapa?" tuntutku sambil menatapnya dengan ngeri.
Ia tidak menjawab. Matanya menerawang jauh. Aku bahkan
tidak yakin ia mendengarku.
"Aku benar-benar panik waktu itu," ujar Keith akhirnya. "Aku
keluar dari mobil. Kulihat wanita itu sudah tewas. Aku menabrak
mobilnya keras sekali. Kepalanya menembus kaca depan. Sebagian
wajahnya koyak. Darah di mana-mana."
Aku memejamkan mata. Perutku bergolak. Aku berusaha
melawan gelombang rasa mual yang menyerang.
"Jalanan kosong. Tidak ada seorang pun di sekitar situ," Keith
melanjutkan. "Aku masuk kembali ke mobilku. Aku sangat ketakutan
dan kacau. Aku tak bisa berpikir. Jadi aku pergi saja."
Ia memelankan mobil untuk berbelok. Kami melaju lebih tinggi,
mengikuti River Road, ke arah karang-karang yang menghadap ke
sungai."Aku meneleponmu keesokan paginya," lanjut Keith. "Aku
ingin menceritakan apa yang telah terjadi. Aku perlu bantuan. Tapi
kau memutuskan telepon. Kau tidak mau bicara denganku."
"Aku... aku tidak tahu," sahutku terbata-bata. "Kupikir kau
menelepon untuk minta maaf. Jadi, aku..."
"Aku mesti bicara dengan seseorang," sela Keith. "Maka malam
itu aku pergi ke rumah Carlo. Kupaparkan semuanya pada Carlo.
Semuanya. Aku mesti mengenyahkan beban itu dari kepalaku."
Ia menggelengkan kepala dengan getir. "Kuminta Carlo agar
tidak memberitahu siapa pun. Kuminta agar dia merahasiakannya.
Tapi dia tidak tahan. Dia jadi kacau. Beberapa hari kemudian dia
meneleponku. Dia bilang aku seharusnya melapor ke polisi. Katanya
dia akan ikut denganku. Tapi aku menolak. Carlo mengatakan dia tak
sanggup lagi menyimpan rahasia itu. Katanya dia akan pergi ke polisi.
"Aku kehilangan akal. Aku sangat ketakutan. Aku tidak mau
hidupku hancur. Aku lepas kendali dan siap melakukan apa pun. Apa
pun. Lalu aku bicara denganmu, Natalie."
"Denganku?" seruku. "Tentang membunuh Carlo?"
"Bukan." Keith menggeleng. "Kau menceritakan tentang Todd.
Katamu Todd mengancam akan membunuh Carlo. Menurut Todd,
mestinya Carlo mendapat kecelakaan. Maka tahulah aku bahwa aku
bisa membungkam Carlo untuk selamanya. Dan semua orang akan
menyalahkan Todd."
Aku terkesiap. "Jadi, kau ada di pondok berburu itu," tuduhku.
"Kau menembak Carlo dengan senapannya sendiri.""Dia sangat terkejut melihatku, sampai-sampai senapannya
terjatuh," kata Keith. "Aku menembak kepalanya. Aku menembak
temanku. Lalu aku mengembalikan senapan itu ke tangannya."


Fear Street Jalan Buntu Dead End di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mobil berbelok dengan tajam, lalu berhenti ragu-ragu di bukit,
mengerang sebentar, dan akhirnya melanjutkan perjalanan.
Sekonyong-konyong Keith menoleh ke arahku. "Tahukah kau
betapa takutnya aku, Natalie? Tahukah kau betapa paniknya aku
hingga sampai hati membunuh temanku sendiri?"
Aku tercekat. Tak mampu menjawab.
"Lalu timbul masalah dengan Gillian," Keith melanjutkan. "Dia
meneleponku. Dia mengatakan Carlo sudah menceritakan semuanya
padanya."
"Gillian," gumamku. Mengucapkan namanya saja sudah
membuatku ingin menangis.
"Gillian," Keith mengulangi dengan muram.
"Kuperingatkan dia untuk tutup mulut. Kukirimkan daging
busuk itu dengan secarik kertas pesan. Aku mencoba menakut-
nakutinya, untuk menunjukkan bahwa aku tidak main-main. Tapi dia
tetap memutuskan untuk melapor ke polisi."
"Jadi... jadi kau membunuhnya juga," kataku tergagap.
"Terpaksa," gumam Keith. Sekonyong-konyong wajahnya
mengernyit penuh kesedihan. Matanya begitu dingin, begitu jauh
menerawang.
"Terpaksa. Terpaksa. Terpaksa." Ia mengulangi kata-kata itu
bagaikan membaca mantera.
"Terpaksa. Terpaksa. Terpaksa."Ia menginjak pedal gas. Mobil menggerung, lalu melesat maju
dengan kecepatan tinggi.
"Sekarang aku mesti membereskan masalah terakhir," katanya
pelan. "Kau."
Tikaman rasa ngeri membuatku tercekat. Meski pemanas mobil
menyala, seluruh tubuhku terasa dingin mendadak.
"Keith... kau mau apa?" tanyaku gemetar.
"Membunuhmu," sahutnya.Bab 27
LEDAKAN!
"KEITH, pelan-pelan!" aku menjerit.
Tapi ia sengaja menginjak pedal gas. Mobil berbelok dengan
ban mencicit di jalanan yang basah.
River Road berakhir pada jalan buntu di tepi karang. Aku tahu
itu. Kalau Keith tidak memelankan laju mobil, kami berdua akan
terjun bebas dari atas karang.
"Keith... kumohon!" teriakku.
Pepohonan melaju cepat dalam garis samar di sebelah kananku.
Di sebelah kiri yang tampak hanya awan gelap. Jalanan menyempit
dan meliuk semakin tinggi ke puncak.
Hujan menghantam kaca depan. Kipas air bekerja dengan irama
pelan yang menyakitkan.
"Keith... kita mesti bicara," kataku.
Jawabannya pelan dan tegas. "Tidak ada yang perlu dibicarakan
sekarang," gumamnya, matanya terpicing dan terfokus ke depan. "Kau
tahu segalanya, Natalie. Segalanya."
"Keith... sebentar lagi jalanan ini habis!" jeritku sambil
mencengkeram pegangan pintu. "Di ujung sana jalan buntu! Pelankan
mobil! Kumohon."Ia tidak memedulikan permohonanku. "Selamat tinggal,
Natalie," katanya pelan. "Aku akan melompat keluar. Kau terjun
bebas. Akan kukatakan bahwa remku blong. Sekali lagi kecelakaan
mengerikan."
"Jangan!" teriakku. "Keith... jangan!"
Papan bertulisan Jalan Buntu itu tampak di sebelah kananku.
"Keith... papan itu," kataku. "Jalanannya haabis... di sini."
Sebuah suara ledakan keras mengejutkan kami.
Bunyinya seperti dentum senapan. Di dalam mobil.
Kulihat mata Keith terbelalak.
Ia menginjak rem dengan mendadak.
Mobil menjadi oleng. Mencicit dan oleng, mulai menggelincir
lepas kendali.
Kusadari bahwa bunyi ledakan tadi adalah bunyi ban cadangan
yang pecah.
Keith menekan rem lebih keras. Kami berputar ke arah tepi
karang.
Ketika laju mobil berkurang, kubuka pintuku.
Aku menarik napas dalam...
Dan melompat keluar.
Aku terbanting keras ke tanah. Mendarat dengan siku dan lutut.
Rasa sakit menyentakkan seluruh tubuhku. Rasa sakit yang
tajam dan amat sangat.
Napasku tercekat dan aku mulai tersedak.
Kusadari bahwa aku mendarat di lumpur yang lunak, sehingga
tubuhku tidak terlalu keras terbanting.
Masih terengah-engah, aku mengangkat kepala.Kulihat mobil Keith meluncur ke arah pagar rendah yang
membatasi tepi karang.
Lompat, Keith! kataku dalam hati. Lompat!
Kenapa dia tidak melompat?
Dengan berpegangan pada sebuah tiang, aku bangkit berdiri
dari lumpur.
Lompat! Lompat!
Lalu aku teringat bahwa pintu pengemudi di mobil itu selalu
macet. Keith tak pernah bisa membukanya sendiri.
Mobil itu menghantam pagar pembatas. Aneh sekali... suara
yang ditimbulkannya begitu pelan.
Pagar itu bengkok, lalu patah.
Kulihat mobil itu meluncur jatuh dengan ban-ban masih
berputar, lalu lenyap dari pandangan.
Tak lama kemudian terdengar suara keras logam dan kaca yang
hancur berantakan.
Disusul oleh ledakan.
Bola api berwarna kuning terang menyala berlatar belakang
langit pekat.
Di tengah suara hujan kudengar gemeretak api jauh di bawah.
Satu kecelakaan terakhir. Kata-kata mengerikan itu tertanam di
benakku. Satu kecelakaan terakhir.
Dengan terisak-isak dan tubuh kotor oleh lumpur aku
berpegangan pada tiang itu, berusaha memperoleh napasku kembali.
Hujan menyiram tubuhku. Kucengkeram tiang itu erat-erat
dengan menggigil.Lalu aku mengangkat kepala dan melihat bahwa tiang yang
kupegang itu adalah tiang papan bertanda Jalan Buntu tadi.
Jalan buntu.
Inilah akhirnya, pikirku. Akhir bagi Keith. Bagi segala
kengerian yang diciptakannya.
Randee, Todd, dan aku masih harus menjalani hari-hari yang
berat. Kami harus membayar apa yang telah kami lakukan malam itu.
Tapi kengerian yang kami alami telah berakhir. Jalan Buntu.
Kulepaskan tiang itu dan aku pun memulai perjalanan panjang
kembali ke kota.END
Prahara Gadis Tumbal 3 Lembah Tiga Malaikat Karya Tjan Id Tangan Tangan Setan 3
^