Pencarian

Pesta Kejutan 1

Fear Street Pesta Kejutan The Surprise Party Bagian 1


PROLOG
ALANGKAH mudahnya. Dan alangkah cepatnya.
Senapan itu meletus, gemeretak seperti bunyi kembang api
murahan.
Selamat jalan, Evan.
Semoga mimpi indah.
Mudah sekali. Dan bukannya tak menyenangkan. Apalagi jika
kita tak memikirkannya.
Apalagi jika semua kenangan itu kita sembunyikan di sudut
paling terpencil di otak kita?dan kita justru memikirkan... cewek itu.
Cewek itu jahat sekali.
Bagaimana dia bisa menggambarkannya dengan kata-kata lain?
Dia selalu memikirkannya. Cewek itu selalu menerobos masuk ke
otaknya, mendorong dan menyingkirkan apa yang seharusnya
dipikirkannya. Kadang-kadang bahkan dia merasa cewek itu bisa
membuatnya gila. Gila betulan.
Dia tahu, dia bersedia melakukan apa saja demi cewek itu.
Cewek itu jahat sekali. Dia ingin membunuhnya dan
menghancurkannya. Dia ingin cewek itu selalu bersamanya, hanya
memperhatikannya, dan merasakan yang sama dengan yang
dirasakannya.Sekarang cewek itu pasti tidak bisa menghindar.
Dia menggosokkan gagang senapan itu ke kemejanya, lalu
bergegas sepanjang jalan setapak di antara pepohonan.
Suasana di dalam hutan hening. Hening sekali.
Pepohonan tampak segar dengan dedaunan muda berwarna
hijau. Semua tampak cerah dan penuh keriangan.
Dia mempercepat langkahnya. Sepatu botnya menginjak
ranting-ranting kering, menimbulkan bunyi kertak nyaring. Dia
berpaling dan untuk terakhir kalinya memandang tubuh itu.
Mampukah dia meloloskan diri?
Tentu saja dia akan lolos....BAB
1 Sabtu Sore
MEG DALTON menekan rem tangan sampai sepedanya
berhenti di jalur tanah. Dia mengambil napas dalam-dalam lalu
tersenyum. "Wah, harumnya musim semi," katanya.
Cahaya matahari menembus celah-celah pepohonan yang tinggi
dengan dedaunan hijau segar yang belum membuka sempurna.
Dogwoood dan pohon ceri sudah berbunga, menyelimuti Shadyside
Park dengan hamparan warna putih dan merah jambu.
Di bulan Mei taman itu indah sekali. Seperti berada di Negeri
Dongeng, pikir Meg. Kawan-kawannya selalu mengejeknya karena
dia suka merangkai kata-kata seperti itu. Kali ini Meg memutuskan
untuk tidak mengungkapkan perasaan dan pikirannya.
Kedua kawannya yang bersepeda dengan santai menyusulnya.
"Hei, Meg... kenapa kau berhenti?" seru Tony.
"Ayo kit terus ke sungai," seru Shannon sambil meluncur
melewati Meg, kemudian berbelok. "Ayo. Aku ingin ngebut. Aku
harus membakar energi ekstra yang menumpuk di musim dingin."Meg memandang kawannya. Shannon tak punya kelebihan
lemak yang harus dibuang. Tubuhnya sempurna. Rambutnya berwarna
tembaga, matanya biru, bibirnya penuh menawan. Penampilan
Shannon mirip aktris Molly Ringwald, kata Meg dalam hati.
"Aku butuh sepeda baru," kata Tony. "Yang ini pedalnya sudah
ngaco."
"Ssst," Meg menyela sambil menunjuk hamparan bunga liar
merah jambu dan ungu di depannya. "Lihat! Hummingbird."
"Kita ini mau terus atau ngapain sih?" tanya Shannon tidak
sabar. "Kalau tahu ini acara mengenal alam, aku pasti bawa catatan."
Shannon meloncat kembali ke sadel sepedanya lalu
mengayuhnya cepat-cepat. Meg menyusulnya. "Hei... tunggu!" seru
Tony. "Pedalku tak ada karetnya. Tak bisa digenjot!"
Mereka melewati lapangan. Dua regu sofbol sedang bertanding
seru. Beberapa kawan mereka dari Shadyside High ikut main. Di
rerumputan yang melandai di bawah lapangan sofbol, orang-orang
berjemur, main Frisbee, atau piknik.
Orang-orang seperti ulat keluar dari kepompongnya dan
bergembira di udara terbuka, pikir Meg. Kalau diucapkannya, kawan-
kawannya pasti akan menertawakan pikirannya itu.
Orang suka menggoda Meg yang gemar berkhayal, yang selalu
bersemangat, periang, dan ceriwis. Meg kecewa karena tubuhnya
pendek dan belum banyak berubah. Melihat wajahnya yang bulat,
rambut pirangnya yang dipotong pendek, dan matanya yang biru,
orang bisa keliru dan mengiranya masih anak-anak. Meg bisa marah
besar kalau tahu!Seekor anak tupai melompat-lompat menyeberangi jalan
setapak. Meg membelokkan sepedanya agar tidak menabrak binatang
itu. "Wah, kau dapat nilai lima!" teriak Tony beberapa meter di
belakangnya.
"Nggak lucu, Tony," balas Meg. Dia mengayuh semakin cepat,
mencoba menyusul Shannon.
"Kelihatannya Tony lagi enak hati," kata Shannon, matanya
menatap jalan di depannya.
"Sejak tadi dia mengeluhkan sepedanya terus," kata Meg sambil
mendengus keras.
"Untuk ukuran dia, itu bisa dibilang cuaca hati yang lagi baik!"
Shannon tertawa.
Meg terpaksa tertawa. Ya, ucapan Shannon tentang Tony
memang benar. Sepanjang musim dingin kemarin cowok itu selalu
murung. Dia sering marah-marah karena masalah sepele, atau bahkan
tanpa sebab.
Tadinya Meg mengira itu gara-gara dia.
Mungkin Tony mulai bosan dengannya. Mereka pacaran sudah
dua tahun lebih. Mungkin cowok itu kesal karena ingin putus dari
Meg tapi tak tahu cara menyampaikannya. Tapi setiap kali Meg
menyinggung hal itu, wajah Tony langsung sedih. Dia bersumpah
hubungan mereka baik-baik saja.
Di jalan yang melandai ke arah sungai, tanah lebih gembur.
Mereka mengayuh sepeda meliuk-liuk menghindari genangan air
hujan.
"Bagaimana kabarnya kau dan Dwayne?" goda Meg. Hanya
topik itu yang terpikir olehnya untuk bahan menggoda Shannon."Makhluk sialan itu!" teriak Shannon, napasnya terengah-engah
karena memacu sepedanya. "Dia membuntutiku ke mana-mana.
Matanya selalu kelam dan murung seperti anjing penyakitan. Ih... Dia
suka memamerkan ototnya di balik T-shirt putihnya. Dasar tukang
pamer!"
"Dia berlatih keras. Lihat saja, badannya asyik, kan?" kata Meg.
Shannon kaget. Itu bukan gaya bicara Meg. "Asyik sih asyik,
tapi menjijikkan. Ke mana-mana selalu lengket sama Brian, sepupumu
itu. Mereka suka main Wizards and Dungeons di hutan. Oh." Shannon
tiba-tiba sadar telah kelepasan bicara. "Aku tak bilang sepupumu itu
menjijikkan. Aku..."
"Tak apa. Brian memang agak aneh," sahut Meg sambil tertawa.
Mereka kehabisan bahan obrolan. Tanpa bicara mereka
mengayuh sepeda. Tiba-tiba Meg merinding. Bukan gara-gara
dinginnya angin, tapi karena ingat sesuatu. Peristiwa itu terjadi tepat
setahun lalu. Tepat setahun lalu Brian menemukan mayat Evan, kakak
Shannon.
Persis setahun lalu, di awal musim semi seperti sekarang, Brian
menemukan mayat Evan?mati ditembak di Hutan Fear Street.
Meg menggeleng-geleng, ingin mengenyahkan kenangan itu.
Untung sekarang Shannon sudah bisa tertawa lagi, kata Meg
dalam hati. Untung dia sudah mau bercanda dan bersepeda lagi di
taman bersama kawan-kawannya.
Musim dingin yang lalu terasa sangat panjang.
Meg memelankan sepedanya dan membiarkan Tony
menyusulnya. "Apa kabar, Tuan Lamban?""Rantai sepedaku kendor," Tony menggerutu. Dia melepas
sweter merah marun yang dikenakannya. Di bawahnya dia
mengenakan T-shirt abu-abu. Diikatkannya sweter itu di sekeliling
pinggangnya. Meskipun angin sejuk bertiup dari arah sungai, cowok
itu berkeringat. "Aku harus punya sepeda baru," katanya sambil turun
dari sepedanya. Dia membungkuk memeriksa rantainya.
Meg suka gaya cowoknya jika sedang mengamati sesuatu dari
dekat, alisnya yang hitam berkerut, begitu pula dahinya. Dia suka
gaya Tony jika sedang berkonsentrasi. "Begitu libur, kau harus kerja
pada ayahmu," kata Meg. "Upahnya kautabung untuk beli sepeda
baru."
"Ya, pasti," gumam Tony sambil mengusapkan tangannya yang
kotor pada celana jinsnya. "Dengan bantu-bantu Dad di pompa bensin,
mungkin aku bisa beli pogo stick." Dia duduk kembali di sadel
sepedanya lalu mengayuhnya menjauh.
Meg mengikutinya di jalan yang membelok. Di balik rumput
liar dan ilalang yang tinggi, Sungai Conononka yang sempit dan berair
cokelat mengalir deras tanpa suara. Airnya meluap ke tepian karena
musim dingin kemarin banyak hujan salju. Meg heran melihat
Shannon di tepi sungai, di ujung jalur sepeda, sedang bicara dengan
dua anak lain yang juga bersepeda.
Setelah dekat, Meg mengenali Lisa Blume dan Cory Brooks.
Lisa dan Cory sering jadi bahan tertawaan di Shadyside High. Rumah
mereka bersebelahan. Sejak kecil mereka selalu main bersama. Musim
dingin yang lalu mereka mulai pacaran. Anehnya, sejak itu mereka
tidak pernah akur lagi!Tony dan Meg mendekati mereka. "Kami baru akan pulang,"
kata Cory. "Di sini dingin."
"Apa rencana kalian nanti malam?" tanya Shannon kepada Lisa.
"Belum tahu. Cory tak punya acara," Lisa menjawab dengan
seringai sinis yang sering menghiasi wajahnya. "Kurasa dia tak ingat
kami ada janji."
"Mungkin kami akan jalan-jalan atau entah ngapain nanti," kata
Cory salah tingkah. Cowok itu melingkarkan lengannya ke bahu Lisa,
tetapi cewek itu menghindar.
"Tony dan aku tak punya acara keluar," kata Meg. "Aku harus
tinggal di rumah dan menyelesaikan makalah psikologi. Aku
ketinggalan jauh, aku..."
"Wah... hampir saja aku lupa! Ada berita hebat!" sela Lisa.
"Tebak siapa yang akan pulang ke sini? Ellen Majors."
Shannon berseru tertahan. Sepedanya nyaris hampir lepas dan
jatuh. "Maaf," katanya cepat. "Sepedaku lepas." Tiba-tiba wajahnya
pucat pasi.
"Ellen akan menginap di rumah bibinya," tambah Lisa.
Tak seorang pun menanggapi.
Meg tahu mereka semua ingat kejadian setahun lalu, peristiwa
tragis yang menimpa Evan, kakak Shannon.
Ellen Majors dan Evan sudah pacaran sejak SMP. Ellen, Meg,
dan Shannon bersahabat.
Setelah Evan meninggal, persahabatan mereka bubar.
Beberapa bulan kemudian Ellen pindah ke kota lain. Sejak itu
mereka tidak pernah mendengar kabarnya. Sampai sedetik yang lalu."Pasti asyik ketemu dia," kata Meg riang, memecah
keheningan. "Sudah lama sekali, ya?"
"Ya," sahut Lisa, mencoba meniru antusiasme Meg, tetapi
gagal. Dia tak pernah akrab dengan Ellen.
Shannon diam saja. Matanya menerawang memandang sungai.
"Sebaiknya kita adakan pesta untuk menyambut Ellen," kata
Meg. Dia memandang Tony, tapi cowok itu membuang muka.
"Ya," ulang Lisa.
"Untuk apa?" tanya Shannon tajam.
"Untuk... eh... mengucapkan selamat datang," sahut Meg. Dia
heran karena Shannon menentang gagasan itu. "Untuk menunjukkan
kita masih peduli dengannya."
"Evan masih mati," gumam Shannon tanpa memandang
mereka.
"Tapi harus kita tunjukkan pada Ellen bahwa kita tak
menyalahkannya," kata Meg. Dia heran merasakan adanya dorongan
kuat yang tiba-tiba muncul dalam dirinya. Tanpa disadarinya,
sepanjang tahun ini dia merindukan Ellen.
"Menurutku...," kata Shannon ragu-ragu, suaranya nyaris tak
terdengar dalam deru angin.
"Menurutku mengadakan pesta adalah gagasan hebat," kata Lisa
sambil duduk di sadel sepedanya. "Pesta kejutan. Kau kan tahu Ellen.
Dia takkan datang kalau sudah tahu sebelumnya. Pelaksanaannya akan
kubantu. Aku akan memberitahu orang-orang. SEGERA!"
"Ajak aku dong," kata Cory.
Meg menoleh memandang Tony. Cowok itu sedang menekuri
tanah di bawah kakinya. "Tony... kau tak apa-apa?""Tidak, tidak apa-apa."
"Hmm, menurutmu bagaimana kalau kita adakan pesta?"
"Bagus. Boleh saja."
"Kami harus pergi," kata Lisa sambil mengayuh sepedanya.
"Sampai ketemu."
Meg, Shannon, dan Tony memandang mereka sampai lenyap di
balik pepohonan. "Sebaiknya kita juga pulang," kata Shannon.
Wajahnya masih pucat pasi. Dia tampak letih dan tak bersemangat.
"Aku tak percaya ini!" Tony menjerit.
Kedua gadis itu terkejut. "Tony... apa?"
"Banku kempes!" Diangkatnya sepedanya tinggi-tinggi.
"Tony, jangan...," cegah Meg.
Cowok itu nyaris membanting sepedanya ke tanah. Untunglah
dia cepat sadar bahwa dia sendiri yang akan rugi. Akhirnya pelan-
pelan diletakkannya sepedanya di rumput.
"Tony, ah... hanya ban kempes. Kau bisa jalan ke..."
"Kalian duluan saja. Jangan menungguku," gerutunya. "Silakan
jalan. Sampai ketemu nanti."
Cowok itu tidak bercanda. Kedua gadis itu cepat cepat duduk di
sadel sepedanya lalu meluncur pergi. Dari arah batas pepohonan,
mereka bisa mendengar Tony menendang-nendang sepedanya sambil
memaki-maki dengan suara keras.
"Kenapa sih dia? Salah makan, ya?" tanya Shannon.
"Aku tak tahu," desah Meg. "Kadang-kadang dia marah-marah
tanpa sebab." Andai saja dia tahu apa sebenarnya masalah Tony...
Bukankah tidak normal marah-marah pada sepeda?
***********Malam itu Meg mencoba berkonsentrasi mengerjakan makalah
psikologi, tapi pikirannya melayang kepada Ellen. Ellen dengan
tubuhnya yang jangkung, rambutnya yang pirang, dan wajahnya yang
cantik. Orang bilang Ellen sangat mirip Daryl Hannah. Apakah
penampilan Ellen masih sama atau sudah berubah?
Pesta kejutan adalah gagasan yang hebat. Meg bisa
membayangkan wajah Ellen yang terkejut. Mereka semua pasti akan
bergembira.
Telepon berdering.
Dia mengangkatnya, bersyukur karena interupsi itu.
"Halo, Meg?" terdengar bisikan. Seperti angin yang bertiup ke
dalam telepon.
"Siapa ini?" tanyanya. Perutnya tiba-tiba mulas.
"Sambungannya tak bagus."
"Ini kawan." Masih tetap bisikan.
Siapa dia?
"Kuperingatkan kau. Jangan adakan pesta untuk Ellen."
"Dengar, tunggu...," seru Meg, heran mendengar suaranya
sendiri, melengking ketakutan. Dia marah.
"Aku serius. Sangat serius. Jangan buat pesta untuk Ellen.
Jangan paksa aku membuktikan bahwa ancamanku serius."
"Siapa ini? Lelucon konyol macam apa..."
Dia mendengar bunyi klik. Telepon mendengung.


Fear Street Pesta Kejutan The Surprise Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dijatuhkannya gagang telepon kembali ke tempatnya.
Kamarnya sepi sekarang. Tetapi bisikan itu serasa masih menggema,
ancaman itu terngiang-ngiang di telinganya, bisikan itu semakin keras,semakin keras, dan semakin keras. Dia menutupi telinganya karena
tak tahan lagi.BAB
2 Sabtu Malam
MEG duduk di depan mejanya, memandang telepon sampai
pesawat itu tampak seperti bayang-bayang putih kabur. Bagaimana
perasaannya?
Takut? Tidak?
Marah? Ya, benar. Marah dan kesal.
Apakah si penelepon benar-benar mengira bisa menakut-
nakutinya dengan bisikan tolol yang parau itu?
Siapa pun dia, pasti orang itu kebanyakan nonton film horor, dia
menyimpulkan. Halloween V! Freddy Returns! Friday the 13th, Part
400! Dasar konyol! Gadis-gadis dalam film itu hanya dua macam:
idiot yang ketakutan atau gelandangan. Mereka mendapat bisikan
telepon yang menyeramkan dan langsung ketakutan setengah mati.
Dasar tolol.
Hmm, yang ini benar-benar nyata. Bukan film konyol. Siapa
pun orangnya, dia pasti belum kenal Meg dengan baik. Mungkin
badannya memang kecil dan penampilannya seperti anak-anak.Mungkin dia tidak secanggih umumnya anak-anak Shadyside. Tapi
dia tak mudah disingkirkan begitu saja. Wataknya keras kepala. Dia
kepala batu. Itulah yang selalu dikatakan ibunya. Dan Meg
menganggap omelan ibunya sebagai pujian.
Dia tahu, jantungnya berdebar-debar. Oke, aku Meg, mungkin
aku agak kesal.
Dia mengangkat gagang telepon, menekan nomor Tony.
Sambungannya sedang sibuk.
Menjengkelkan. Dia sedang ngobrol dengan siapa sih?
Meg ingin berbicara dengan seseorang. Orangtuanya? Tidak.
Mereka pasti akan terlalu membesar-besarkan masalah ini. Mungkin
mereka akan langsung menelepon polisi, mengomel kalang-kabut,
melarangnya mengadakan pesta itu.
Dan telepon tadi mungkin hanya lelucon konyol beberapa anak
sekolah yang lagi iseng.
Kembali ia menekan nomor Tony. Masih sibuk.
Dia memutuskan hubungan, lalu mencoba nomor Lisa. Cewek
itu mengangkatnya setelah dering pertama, dan bertanya, "Di mana
kau?"
"Hah?"
"Cory?"
"Bukan. Ini Meg."
"Oh. Maaf, Meg. Kukira Cory. Dia sudah terlambat sejam."
"Maaf," kata Meg.
"Bukan salahmu," tukas Lisa cepat. Kedengarannya dia benar-
benar marah. "Aku mencoba melihat sisi baiknya. Mungkin dia
kelindas truk.""Bagus. Santai saja." Meg tertawa.
"Sedang apa kau? Menunggu Tony?"
"Tidak. Kami tak ada acara keluar malam ini. Aku harus
menyelesaikan makalah psikologi."
"Tapi..."
"Apa maksudmu dengan tapi?"
"Aku bisa baca pikiran orang," Lisa tergelak.
"Tapi aku..."
"Nah, ya, kan?"
"Aku baru saja dapat telepon seram."
"Oh ya?" Lisa mulai tertarik. "Yang cuma mendesah-desah itu?
Aku pernah dapat sekali. Hiihh, menjijikkan sekali."
"Bukan. Yang ini bisikan." Meg mulai menyesal telanjur
menceritakan telepon itu. Lisa pasti akan mengarang lelucon tentang
itu. Selera humornya memang payah. Apa pun tak ada yang serius
baginya.
"Apa yang dibisikkannya?" tanya Lisa. "Rayuan gombal?"
"Bukan. Dia melarangku membuat pesta untuk Ellen."
"Apa!?"
"Sudah kubilang. Dia melarangku membuat pesta untuk Ellen."
"Hmm... siapa kenalan kita yang benci pesta?"
"Aku tak tahu. Aku tak bisa mengenali suaranya. Suaranya
parau, aneh sekali. Aku bahkan tak tahu dia laki-laki atau perempuan."
"Berani taruhan, dia pasti Cory," kata Lisa. "Dia mau saja
berbuat aneh-aneh agar punya alasan untuk terlambat datang ke
rumahku."Maksud Lisa bercanda, tapi Meg tidak tertawa. Dia kesal karena
Lisa tidak sungguh-sungguh menanggapi ceritanya. "Pokoknya serem
deh," katanya. "Berapa anak yang sudah kauberitahu tentang Ellen dan
pesta itu?"
"Banyak," sahut Lisa. "Setelah ketemu kau di taman, aku pergi
ke mall. Di sana ketemu kawan-kawan. Lalu... malam ini sambil
menunggu si-kau-tahu-siapa, aku menelepon kawan-kawanku. Hei!
Ada bel! Mungkin dia. Aku harus pergi. Sampai nanti, Meg." Dia
menutup telepon sebelum Meg sempat berkata apa-apa.
Meg tersenyum sendiri. Lisa selalu mengeluh tentang Cory dan
selalu menghina cowok itu. Tapi... mendengar bunyi bel dia langsung
lari. Lisa benar-benar tergila-gila kepada Cory.
Tanpa sadar Meg menekan nomor Tony lagi. Kali ini
menyambung. "Halo?"
"Hai, Tony. Ini aku."
"Oh. Hai." Suara Tony aneh, seperti sedang melamun atau
bingung.
"Aku baru saja dapat telepon seram. Orang itu mengancamku
supaya tak mengadakan pesta untuk Ellen."
"Aku juga!" seru Tony.
"Apa?!"
"Yah. Aku juga baru dapat telepon. Suaranya berbisik-bisik.
Kupikir dia laki-laki. Tapi aku tak yakin. Bisa saja dia perempuan."
"Apa katanya?"
"Agar aku tak membantumu dalam urusan pesta itu. Katanya,
aku takkan bisa datang kalau pesta itu sampai diadakan. Aku akan
menginap di rumah sakit.""Ada yang bikin lelocon konyol... ya, kan?"
"Aku tak tahu, Meg. Siapa pun dia, kedengarannya ancamannya
serius."
"Ah, Tony. Menurutmu dia benar-benar mengancam?" Meg
kecewa karena Tony terlalu serius menanggapi ancaman itu. Dia ingin
Tony mengatakan ancaman itu hanya lelucon, dan sebaiknya Meg
melupakannya. Mengapa Tony jadi lebih takut daripada dia?
"Menurutmu siapa dia?"
"Aku tak tahu. Kawan kita di sekolah? Anak iseng yang malam
ini tak punya teman kencan?"
"Mungkin." Suara Tony terdengar ragu. "Tapi kita tak punya
gambaran siapa yang mungkin mau berbuat sekonyol itu. Bagaimana
kalau... bagaimana kalau..."
"Kalau apa, Tony?" potong Meg tidak sabar.
"Aku tak tahu. Mungkin ini harus kita anggap serius. Yah,
misalnya melaporkannya ke polisi."
"Apa? Yang bener aja!" Meg berteriak marah. "Aku tak mau..."
"Aku cuma menguatirkanmu. Itu saja," sela Tony. "Aku tak
ingin orang gila itu mencelakakanmu hanya gara-gara pesta konyol
itu."
"Itu bukan pesta konyol," tegas Meg. "Itu pesta untuk Ellen.
Sahabatku. Dan takkan kubiarkan telepon menjijikkan itu... yang
mungkin hanya ide orang goblok untuk membuat lelucon...
menghalangiku melakukan apa yang ingin kulakukan."
Setelah hening lama, Tony sependapat. "Yah... Kau benar.
Kurasa tadi aku kaget dan agak ngeri.""Maaf, aku tak bermaksud teriak-teriak," kata Meg, sambil
merendahkan suaranya. Dia mencoba menenangkan diri dan bicara
lembut.
"Jadi... apa sebaiknya aku ke situ dan... eh... menghiburmu
sedikit?" tanya Tony. Kedengarannya lebih mirip permohonan, bukan
pertanyaan.
Meg tertawa. "Tak usah. Seharusnya aku tak meneleponmu.
Seharusnya aku mengerjakan makalah psikologi."
"Apa itu berarti ya?"
"Tidak. Seratus persen tidak."
"Tapi maksudmu ya, kan?"
Meg tertawa. Senang rasanya mendengar Tony menggodanya
lagi. "Maksudku tidak. Titik."
"Maksudmu, kaubutuh sedikit dihibur, kan?"
"Tidak. Ah, sudah... sudah... Aku harus mengerjakan tugasku.
Aku..."
"Kau takkan bisa konsentrasi menulis makalahmu."
"Ya... eh... Aku pasti bisa."
"Ah, kau bilang ya. Aku dengar sendiri!"
Meg tertawa. "Aku bilang tidak."
"Tapi maksudmu ya?"
"Yah... mungkin."
"Mungkin? Aku senang kata mungkin," kata Tony senang.
"Aku segera ke situ."
"Oke," kata Meg, sama senangnya.BAB
3 Senin Siang
MEG meletakkan teks Pemerintahan di depannya, di meja, lalu
memandang sekeliling ruang belajar. Bagian belakang ruang belajar
ribut sekali. Rupanya Cory Brooks dan David Metcalf dari tim senam
sedang bercanda di atas meja.
Ruang belajar itu luas tapi tanpa jendela. Bentuknya segi empat
panjang. Di dalamnya terang benderang karena deretan lampu neon
yang dipasang di atas meja-meja kayu yang nyaris selebar ruangan.
Satu meja kecil diletakkan di depan untuk guru pengawas. Meg
melihat meja itu sekarang kosong. Mrs. Frankel selalu terlambat. Itu
memberi waktu bagi Cory dan David untuk memamerkan kebolehan
mereka di atas meja.
"Hai," kata Shannon sambil melambai malas dan duduk di
bangkunya favoritnya, di belakang Meg.
"Hai," balas Meg. Dia mengaduk-aduk tasnya, mencari kartu-
kartu undangan yang sudah dibelinya.
"Foster tak sadar, sekolah hampir selesai," keluh Shannon. "Dia
menerangkan unit baru pagi tadi.""Kabar buruk," gumam Meg, meskipun sebenarnya tidak
mengerti apa yang diomongkan Shannon. Yang dia tahu, Shannon
benci Mr. Foster, benci sekolah, dan benci apa pun yang namanya
kerja. Shannon tak pernah datang ke ruang belajar tanpa mengeluh.
Ada saja yang dikeluhkannya.
"Apa pendapatmu tentang ini?" tanya Meg sambil menunjukkan
satu pak kartu undangan berwarna hijau dan merah jambu. Kalimat
DATANGLAH KE PESTA KEJUTAN dicetak dengan tinta warna
perak.
"Apa itu?" tanya Shannon. Tangannya yang luwes mengoleskan
lipstik merah tua pada bibirnya yang bagus.
"Undangan. Untuk pesta Ellen. Itu warna baru?"
"Ya. Aku melihatnya di majalah. Bagaimana menurutmu?"
"Hmm... eh... sangat dramatis."
"Meg, kau yakin pesta ini ide yang bagus?" Shannon
memasukkan lipstiknya ke tasnya, lalu mengaduk-aduk tas itu mencari
tisu.ebukulawas.blogspot.com
"Entahlah... Kupikir ada baiknya kita tunjukkan pada Ellen
bahwa kita masih peduli. Kita bertiga bersahabat sudah lama sekali.
Ellen sudah lama pacaran dengan Evan, dia sudah jadi bagian
keluargamu, kan?"
Meg langsung menyesal kelepasan bicara. Shannon
memandangnya dengan tatapan pahit. Dia menekan-nekan bibirnya
dengan tisu. Dia tidak menanggapi kata-kata Meg. Setelah Meg
menghadap ke depan lagi, barulah Shannon berkata, "Bagaimana kau
bisa membagi-bagikan undangan padahal kau belum tahu pestanya
akan diadakan di mana?""Aku punya gagasan hebat," kata Meg. "Perusahaan ayahku
merenovasi Halsey Manor House. Kata Dad, kita boleh memakai
rumah itu asal kita janji membersihkannya lagi."
"Rumah tua di hutan Fear Street?" seru Shannon tertahan.
Kaget. "Hii... Di sana kan seram... Mengapa kau ingin..."
"Rumah itu sudah selesai direnovasi. Di dalamnya seperti baru.
Bisa jadi tempat pesta yang asyik. Bayangkan saja... pasti asyik
berpesta tanpa diawasi orangtua."
Shannon sependapat bahwa pesta tanpa diawasi orangtua pasti
asyik. Tetapi dia memprotes rencana mengadakan pesta di Fear Street.
Tepat ketika itu Mrs. Frankel muncul. Dia berteriak menyuruh setiap
anak diam dan segera belajar.
Meg berbalik, menghadap ke depan lalu membuka paket kartu
undangan. Dia mulai menulisi kartu pertama. Pembicaraan tentang
Ellen membuatnya ingat bahwa dia punya banyak kenangan indah
dengannya. Dia ingat saat-saat menyenangkan yang mereka habiskan
bersama sejak mereka masih di SD.
Tetapi sekarang bila ingat Ellen, pikirannya melayang ke
tragedi yang terjadi setahun lalu. Ellen dan Evan saling mencintai.
Lalu tiba-tiba Evan meninggal. Dan segalanya berubah.
Memang... Evan kadang-kadang bertingkah gila. Memang...
Evan keras kepala dan impulsif. Memang... Evan punya bakat besar
menjerumuskan dirinya ke dalam kesulitan. Tapi... Evan juga bisa
bersikap penyayang, penuh kasih, penuh humor... dan penuh semangat
hidup.
Lama sekali mereka tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia
sudah meninggal.Sekarang pun masih sulit dipercaya.
Meg mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Hampir semua
anak di ruang belajar ini terlibat dalam tragedi itu. Hampir semua anak
yang ada hubungannya dengan Evan, sekarang di ruangan belajar ini.
Matanya beralih dari satu wajah ke wajah lain. Shannon, adik
Evan. Gadis itu seperti kehilangan hidupnya sendiri ketika Evan
kehilangan nyawanya. Shannon dulu selalu penuh semangat, penuh
rencana, dan suka bersenang-senang. Kematian Evan membuatnya
menutup diri. Dia seperti tidak membutuhkan kawan-kawannya lagi.
Dia seperti bersembunyi di dalam dirinya sendiri, membentengi diri,
memaksa diri agar tidak membutuhkan siapa-siapa, agar tidak perlu
merasakan pedihnya kehilangan seseorang dengan cara yang sama.
Tony duduk di belakang, sedang menulis sesuatu. Dia sahabat
Evan. Meg tahu, Tony selalu mengagumi Evan, karena Evan tak
pernah peduli apa kata orang tentang dirinya, karena Evan selalu
berani melakukan apa pun yang ingin dilakukannya. Tony ingin bisa
seperti dia, tetapi wataknya terlalu serius untuk bersikap bebas dan
santai. Tony terkungkung oleh rasa rendah diri karena miskin... tidak
seperti kawan-kawan sekolahnya yang umumnya anak orang kaya.
Dia terlalu ingin bisa diterima di kalangan kawan-kawannya.
Tony mencoba bersikap tegar ketika mendengar kabar kematian
Evan. Tetapi waktu pemakamannya, dia tak dapat menahan tangisnya.
Sejak itu dia jadi pemurung.
Di sisi lain ruangan itu, Meg melihat Brian, sepupunya.
Rambutnya yang pirang ikal, matanya yang biru, dan lesung pipinya
yang muncul bila dia tersenyum membuat Brian tampak seperti anak-
anak tanpa dosa. Namun Meg tahu, Brian tidak sepolos dan tidakseperiang seperti tampaknya. Kelakuannya ganjil. Dia terlalu suka
menyendiri.
Anak itu tidak belajar. Dia membaca majalah Dragon. Dia
banyak menghabiskan waktunya dengan main game Wizards &
Dungeons bersama Dwayne. Mereka sering bicara tentang Fourth-
Level Warriors & Dragons dan hal-hal yang sama sekali tak diminati


Fear Street Pesta Kejutan The Surprise Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meg. Brian dan Evan tidak pernah dekat. Tapi Brian ada di hutan
Fear Street di hari naas itu. Brian mendengar letusan tembakan dan
berlari mendekat. Brian mengatakan kepada setiap orang bahwa dia
menemukan Evan terkapar mati di tanah. Ellen duduk di sampingnya,
menangis, tak mampu bicara, sepatah kata pun tidak. Ellen tak bisa
menjelaskan apa-apa.
Apa yang dilakukan Brian sendirian di hutan Fear Street? Tak
ada yang tahu. Tetapi sejak kematian Evan, Brian juga berubah. Sejak
kejadian itu dia semakin tenggelam dalam keasyikan main game.
Prestasinya di sekolah menurun. Orangtuanya, yaitu paman dan bibi
Meg, sangat khawatir. Tetapi mereka tidak berdaya. Mereka tidak tahu
apa yang harus mereka lakukan demi Brian.
Satu kematian, pikir Meg. Satu cowok meninggal di hutan.
Dan... alangkah banyaknya kehidupan lain yang terpengaruh
karenanya.
Dia tidak tahu harus lebih kasihan kepada siapa. Mungkin
Ellen. Ellen yang malang. Mungkin gadis itulah yang paling merasa
bersalah. Kalau saja dia sempat mencegah Evan pergi ke hutan Fear
Street.Kabarnya Evan berniat bermalam di hutan itu untuk memenuhi
tantangan seseorang. Siapa yang menantangnya? Dia tak mau
mengatakannya kepada Ellen. "Aku hanya butuh sesuatu yang
menegangkan," kata Evan kepada Ellen. Dia mengambil senapan
berburu milik ayahnya?untuk berjaga-jaga?lalu bergegas pergi ke
hutan Fear Street. Ellen memohonnya agar meninggalkan senapan itu
di rumah. Tapi Evan menolak.
Ellen pulang, tetapi dia terlalu cemas untuk diam saja di rumah.
Dia pergi ke Fear Street lalu mencari-cari Evan di hutan. Dia
mendengar letusan tembakan, tembakan yang fatal, tembakan yang
mengubah kehidupan mereka semua. Dia mendengarnya. Dia pergi ke
arah asal letusan itu. Dan... dia menemukan Evan tertelungkup, sepatu
kirinya tersangkut akar pohon yang menonjol di tanah.
Evan sudah tidak bernyawa. Kakinya tersangkut akar itu. Dia
pasti tersandung, jatuh, dan senapannya meletus. Begitulah
kejadiannya.
Beberapa menit kemudian Brian datang. Dia melihat mereka.
Meskipun dia sendiri terkejut setengah mati, Brian menolong Ellen
keluar dari hutan dan menjauhi Fear Street.
Kecelakaan yang tragis. Ellen tidak pernah bicara tentang itu
dengan siapa pun. Beberapa bulan kemudian keluarganya pindah ke
kota lain. Tak seorang pun mendengar kabar tentang dia... sampai
beberapa hari lalu.
Mungkin kami dapat berkawan lagi, pikir Meg optimis. Dia
memang selalu optimis.
"Meg! Meg Dalton! Meg!" Seseorang menghentikan
lamunannya.Dia mengangkat wajahnya. Mrs. Frankel memanggilnya. "Meg,
asyik sekali kamu membaca. Bab itu pagti sangat menarik. Sudah lima
menit aku memanggil-manggilmu."
Meg bisa merasakan wajahnya memerah. "Maaf."
"Ada pesan untukmu di kantor. Sini, ambil kartu pass-nya."
Meg meninggalkan kartu-kartu undangan itu di meja. Lalu
dengan wajah masih merah dia pergi ke meja pengawas untuk
mengambil kartu pass. Siapa yang meninggalkan pesan untuknya?
Dari rumah? Ada yang sakit atau apa?
Dia mengambil kartu pass lalu lari menyusuri selasar. "Hai,
Meg. Ada apa? Kau sudah dengar Gary dan Krista putus?" Hah... Lisa
duduk di meja pengawas selasar.
"Maaf, Lisa. Nanti kutelepon," sahut Meg. "Aku lagi buru-
buru."
Lisa heran melihat Meg tidak mau berhenti untuk mendengar
gosip yang masih hangat.
Meg lari ke kantor administrasi sekolah.
Meg sampai di kantor itu dengan napas tersengal-sengal dan
perut mual. Tak ada siapa-siapa di sana. "Ada orang?" serunya. Tak
ada jawaban. Beberapa waktu kemudian Miss Markins, sekretaris
sekolah, muncul dari kantor bagian dalam. Dia heran melihat Meg.
"Ada pesan untuk saya," kata Meg.
Miss Markins mengerutkan bibir sambil menggeleng. Dia
memeriksa tumpukan kertas pecatat pesan telepon warna merah jambu
di mejanya. "Tak ada. Tak ada yang untukmu, Meg."
"Anda yakin?" desak Meg. "Baru saja saya diberitahu di ruang
belajar."Miss Markins kesal karena Meg tidak percaya. Sambil
menggerutu dia memeriksa lagi tumpukan pesan itu. "Maaf. Pasti ada
kekeliruan."
"Kekeliruan. Mungkin juga... Terima kasih," kata Meg. Dia
berbalik lalu pelan-pelan keluar dari kantor. Boleh dikatakan dia
malah lega. Pesan yang diterima lewat kantor sekolah kebanyakan
berarti kabar buruk. Jika memang tidak ada, untuk apa seseorang
bilang ada pesan untuknya di kantor?
Di selasar dia mengobrol sebentar dengan Lisa. Tak ada alasan
cepat-cepat kembali ke ruang belajar. Dia sedang tidak niat belajar.
Kartu-kartu undangan itu bisa ditulisinya sepulang sekolah nanti.
"Apa rencanamu nanti?" tanyanya kepada Lisa. "Ke rumahku,
yuk? Bantu aku menulisi undangan."
"Aku tak bisa," jawab Lisa sambil melemparkan pensilnya ke
langit-langit lalu menangkapnya. "Aku ada rapat Spectator. Kami
sedang merencanakan terbitan terakhir kami. Semua orang sudah tak
sabar, ya?" Lisa adalah asisten editor koran sekolah.
"Tapi aku mau membantu menyiapkan pesta," tambah Lisa
cepat. "Aku tak akrab dengan Ellen, tapi aku. suka dia."
Mereka mengobrol beberapa menit lagi. Kemudian Meg
kembali ke ruang belajar. Lisa anaknya lucu, pikir Meg. Selera
humornya tajam. Meg suka melihat kulit Lisa yang gelap. Andai saja
wajahku seperti dia, tidak kekanak-kanakan begini.
Meg mengembalikan kartu pass ke meja Mrs. Frankel. Wanita
itu tidak mengangkat wajahnya. Dia sedang sibuk memeriksa kertas-
kertas ujian. Meg kembali ke tempat duduknya. Dia memandangsekelilingnya sebentar, melirik jam tangannya, kemudian memandang
mejanya.
Astaga!
Kartu-kartu undangan itu!
Seseorang mengguntinginya menjadi serpih-serpih kecil.
Siapa yang tega berbuat sekeji itu?
Meg berbalik dan menghadap Shannon. Gadis itu asyik
menekuni bukunya.
"Hei..."
Akhirnya Shannon melihat Meg. Dia menutup bukunya,
halaman yang tadi dibacanya ditandainya dengan jarinya.
"Kaulihat siapa yang datang ke mejaku?"
"Tidak," bisik Shannon. Matanya memandang Mrs. Frankel di
depan ruangan. "Aku tadi keluar, ke perpustakaan mengambil buku
ini. Aku baru balik sedetik yang lalu."
Meg menatap Shannon tajam-tajam. Dia merasa bersalah karena
mencurigai kawannya. Shannon memang tidak senang dengan rencana
mengadakan pesta untuk Ellen, tetapi dia pasti takkan berbuat seperti
ini... atau...?
Meg hampir saja menunjukkan serpihan kartu undangan itu
kepada Shannon, tapi tiba-tiba dia ingat bisikan telepon seram itu.
Apakah si penelepon ada di ruangan ini sekarang? Mungkinkah
Shannon orangnya?
Tak mungkin. Tentu saja tak mungkin. Tolol sekali aku.
Kalau begitu... siapa?
Meg mengumpulkan serpihan kartu undangan itu, lalu
memasukkannya ke tasnya. Kemudian dia merogoh tasnya, mencaripena. Masih ada waktu sepuluh menit. Dia akan membuat daftar apa
yang harus dibelinya untuk pesta itu.
Di dekat pintu belakang, seseorang menguap keras-keras. Anak-
anak tertawa. Meg menemukan penanya, membuka mapnya, dan
menarik sehelai kertas kosong. Pada kertas itu dia menulis Yang
Harus Dibeli.
"Meg, ke sini," Mrs. Frankel memanggil.
Apa lagi sih?
Meg menutup mapnya lalu melangkah cepat
ke meja Mrs. Frankel. "Ada pesan lagi untukmu. Di kantor,"
kata Mrs. Frankel sedikit kesal.
"Anda yakin?"
"Aku tak yakin tentang apa pun di sini," kata Mrs. Frankel
dengan tajam. "Sebaiknya kau pergi ke kantor dan lihat sendiri."
Meg bergegas menyusuri selasar, melewati Lisa sambil
mengangkat bahu, seakan berkata, Aku juga tak tahu kenapa aku di
sini lagi.
Mungkin Miss Markins telah menemukan pesan itu, pikir Meg.
Sampai di kantor, Miss Markins melambaikan amplop putih panjang.
"Ada yang meninggalkan ini untukmu," kata Miss Markins. "Baru saja
kutemukan di meja konter. Aku tak melihat siapa yang
meninggalkannya."
Meg mengucapkan terima kasih, menerima amplop itu, dan
membukanya di selasar. Amplop itu dilem rapat. Butuh waktu untuk
membukanya. Meg mengeluarkan sehelai kertas sobekan buku tulis,
lalu membuka lipatannya.Kata-kata itu ditulis dengan krayon merah, huruf balok. Meg
membacanya tiga kali.
MEG, AKU MENGAWASIMU. JANGAN ADAKAN PESTA.
AKU TAK INGIN MELUKAIMU?TAPI AKU TAKKAN RAGU
MELAKUKANNYA.BAB
4 Senin Sore
"HEI, Shannon... tunggu! Aku perlu bicara denganmu!"
Shannon berbalik di selasar yang ramai, sambil mengayunkan
ranselnya ke bahu. "Nggak bisa. Aku sudah telat nih. Aku ada janji
dengan dokter gigi."
Meg menembus kerumunan anak yang sedang tertawa-tawa dan
mengejar sahabatnya. Lonceng sudah berbunyi sebelum Meg sempat
kembali ke ruang belajar. Dia mencari Tony. Dia ingin menunjukkan
surat ancaman itu. Tapi dia tidak melihat cowok itu, di ruang belajar
maupun di selasar.
"Shannon... tunggu!"
"Aku tak bisa. Sungguh. Telepon aku nanti malam, oke?"
Shannon berbalik, lalu menghilang di tikungan.
"Hei... kau lihat Shannon?" Itu suara Dwayne Colligan.
Tubuhnya yang jangkung menjulang di atas Meg. Cewek itu hanya
bisa melihat T- shirt birunya melekat pada dadanya yang berotot.Cowok ini sangat jangkung dan kekar, tak seperti remaja, pikir
Meg. Mungkin kebanyakan olahraga. Waktu yang seharusnya
digunakan untuk belajar dan mengerjakan PR dihabiskannya untuk
melatih otot-ototnya.
"Kau baru saja kehilangan dia," jawab Meg dingin. Dia tidak
suka Dwayne dan tidak suka cowok itu mendekati Shannon. Dwayne
tidak cukup baik untuk Shannon. Bahkan untuk anjing Shannon pun
tidak. Meg bersyukur karena Shannon rupanya sependapat dengannya.
Meg juga tidak suka Dwayne berteman dengan Brian. Tapi... untuk
yang itu dia tak bisa berbuat apa-apa.
"Kalau kau lihat dia, bilang aku ada sesuatu untuknya!" teriak
Dwayne mengatasi ramainya selasar.
"Apa?" tanya Meg.
Cowok itu mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum
nakal, lalu pergi. Apa dia pikir itu lelucon paling menggelikan di
dunia?
Ih, batin Meg. Dwayne benar-benar menjijikkan. Shannon harus
mengusirnya, segera dan untuk selamanya.
Meg kembali ke ruang belajar untuk mengambil barang-
barangnya. Setelah itu dia pergi ke locker-nya di lantai dua. "Hei,
Tony?hai!" Cowok itu berdiri dekat locker-nya, satu tangannya
bertumpu pada dinding, tangan satunya memegang sehelai kertas. Dia
sedang membaca tulisan di kertas itu.
Ketika cowok itu mengangkat wajahnya, Meg melihat wajahnya
cemas. "Oh... hai, Meg." Lalu Tony kembali memandang kertas di
tangannya.Meg menjatuhkan ranselnya ke lantai lalu merebut kertas itu
dari tangan Tony. Surat ancaman dengan tulisan krayon merah dan
huruf balok! "Kau juga dapat?" Sambil membaca surat itu, dia
membungkuk dan mengeluarkan surat untuknya yang diselipkannya di
buku. Ditunjukkannya surat itu kepada Tony.
Surat untuk Tony berbunyi: TONY?JANGAN BIARKAN
PESTA ITU JADI KENYATAAN? ATAU KAU AKAN MATI
KONYOL, SOBAT.
"Kutemukan di locker-ku," kata Tony. Dia membaca surat
untuk Meg dengan cepat lalu mengembalikannya. Tony sangat
terguncang. "Siapa yang melakukan ini? Dia pasti kenal kita... karena
tahu locker kita dan nomor telepon rumah kita."
"Hmm... entahlah," sahut Meg sambil menggeleng-geleng.
Dibacanya lagi surat untuk Tony. "Aku tak punya bayangan."
"Masih menganggap ini lelucon?" tanya Tony. Direbutnya surat
itu dari tangan Meg dan diremasnya menjadi bola kertas.
"Tidak. Tapi siapa yang ingin menggagalkan pesta itu?
Mengapa dia sangat ingin menggagalkan pesta itu? Begitu inginnya
sampai melakukan ini?"
Tony mengangkat bahu. Diambilnya sweter merah marun dari
locker-nya lalu dikenakannya. "Kita tak tahu seberapa pentingnya ini
bagi dia," katanya sambil merapikan rambutnya dengan kedua
tangannya.
"Apa maksudmu?"
"Maksudku, seberapa jauh dia akan bertindak menghalangi
kita? Apakah dia benar-benar berniat mencelakakan kita?"Meg menatap mata Tony dan melihat kengerian di sana. "Ini
konyol," katanya lirih. Tapi... dalam hati dia tidak yakin. Meg
memang tidak takut. Dia hanya marah karena ada yang tega berbuat
seperti itu. Tapi melihat kengerian di mata Tony, dia jadi takut juga.
"Aku tak ingin membuktikan seberapa nekatnya dia," kata Tony
sambil membuang muka, menghindari tatapan Meg.
"Apa maksudmu?"
"Menurutku, kita harus melupakan rencana pesta itu. Kita bisa
ketemu Ellen dan bersenang-senang tanpa perlu bikin pesta kejutan
besar-besaran dengan mengundang seratus anak... ya, kan?"
"Bukan itu masalahnya," kata Meg tajam. "Kita tak bisa
membiarkan pengancam ini? siapa pun dia?menakut-nakuti kita.
Kalau kita ingin mengadakan pesta, kita adakan saja. Ini negara bebas,
kan?"
"Tapi ada yang benar-benar tak ingin kita mengadakan pesta
itu," kata Tony. Diambilnya surat yang sudah menjadi bola kertas, lalu
dilontar-lontarkannya dengan tangan kanan dan tangan kirinya.
"Aku tak peduli," kata Meg. "Aku tak peduli!" Amarahnya
menggelegak. "Kita akan mengadakan pesta itu. Dan kita akan
menemukan siapa yang mencoba menakut-nakuti kita... kita yang
akan menggagalkannya!"
"Meg, dengar..." Tony mencengkeram bahu Meg dengan keras,
kemudian mengendorkannya. "Pikirkan ini. Pikirkan baik-baik. Kita
harus memikirkan ini sebelum memutuskan apa yang akan kita
lakukan."
"Tak perlu pikir-pikir. Aku sudah memutuskan," kata Meg
keras kepala. Dia mundur, menjauh. Dia kesal karena Tony langsungmenyerah. Tony gampang sekali ditakut-takuti. Apakah dia takut demi
Meg, atau demi dirinya sendiri?
Tony hanya takut.
Meg punya gagasan lain. Bagaimana Shannon? Apakah
Shannon juga menerima surat atau telepon ancaman?
Pasti tidak.


Fear Street Pesta Kejutan The Surprise Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau ya, Shannon pasti sudah cerita.
Shannon juga terlibat dalam rencana pesta itu, seperti Meg dan
Tony, kan? Mengapa dia tidak mendapat surat atau telepon ancaman?
"Ada orang mengguntingi kartu-kartu undanganku," kata Meg.
"Hah?"
"Kartu-kartu undangan itu kubawa ke ruang belajar. Lalu aku
dipanggil ke kantor. Ketika aku kembali ke ruang belajar, kartu-kartu
itu sudah diguntingi kecil-kecil."
"Bukankah Shannon duduk persis di belakangmu?"
"Ya. Tapi dia bilang dia keluar, ke perpustakaan, dan tak
melihat siapa yang mengguntingi kartu undanganku."
"Aneh," kata Tony sambil berpikir keras. "Aku tak melihat dia
meninggalkan ruangan."
"Yang bener?"
"Sungguh. Aku tak pernah meninggalkan ruang belajar. Aku
yakin dia juga nggak."
"Hmm, aneh." Meg bersandar ke deretan locker. "Tony,
menurutmu Shannon..."
"Aku tidak tahu. Sejak awal dia tak setuju pesta itu, kan? Tapi...
dia pasti takkan..."
"Tidak. Tentu tidak. Dia sahabatku."Meg mengambil surat itu dan membacanya lagi. Apakah itu
tulisan cewek? Hmm... mungkin. Sulit dibuktikan.
Punggung Meg serasa dirambati arus dingin. Tiba-tiba dia
merasa ada yang mengawasi mereka. Dia mengangkat wajahnya.
Ya. Seseorang sedang memandang mereka dari seberang
selasar.
Brian. Sepupu Meg. Mimik wajahnya aneh. Sudah berapa lama
dia mengawasi mereka?
Mengapa dia berdiri mematung sambil memandang mereka?
"Brian?" panggil Meg.
Cowok itu kaget, seolah tertangkap basah. Tony mendekatinya.
Brian berbalik lalu lari.BAB
5 Senin Malam
"MEG, sedang apa kau di atas?"
"Ngerjain PR, Mom!" teriak Meg. "Aku harus menyelesaikan
makalah psikologi kalau tak mau dapat nilai jelek."
"Mom kira kau sudah selesai kemarin-kemarin," Mrs. Dalton
berteriak lagi dari bawah tangga.
"Belum. Aku... eh... aku sedang mengerjakannya. Tapi ada
masalah lain."
"Kalau begitu, cepat kerjakan."
"Sejuta terima kasih untuk nasihatnya, Mom. Mom kan tahu,
kalau aku harus bicara semalaman dengan Mom, makalah ini takkan
selesai."
"Hmm, akhir-akhir ini kau kelihatan tegang! Kau gampang
tersinggung!"
"Mom, tolong... biarkan aku sendiri."
Hening.
Meg mendengar ibunya menjauhi tangga.Meg memandang kertas sobekan buku tulis di depannya, di atas
meja. Dia tidak sedang mengerjakan makalah psikologi. Meg sedang
menyusun DAFTAR ORANG YANG DICURIGAI.
Dia akan menulis nomor 1, tapi pensilnya patah. Meg
melemparkan pensil itu sembarangan, lalu mengambil yang lain.
Kemudian dia menggoreskan nomor 1, dan di samping nomor itu dia
menulis nama Brian.
Di bawah Brian dia menulis: "Mengapa?"
A) Karena dia memandang Tony dan aku dengan ganjil.
B) Karena dia kabur waktu tahu kami melihatnya.
C) ? Dia menggigit-gigit penghapus pensilnya. Mengapa? Mengapa?
Mengapa? Apa alasan Brian menghalanginya membuat pesta untuk
Ellen?
Meg mengaduk-aduk ingatannya, mencari petunjuk. Brian dan
Ellen. Brian dan Ellen... Nol besar. NOL. Kosong. Dia tidak bisa
menemukan alasan apa pun.
Brian-lah satu-satunya yang menolong Ellen. Dialah yang
menyelamatkan Ellen setahun lalu di hutan Fear Street. Evan
menembak dirinya sendiri dan Brian menemukan Ellen menangis
kebingungan di tengah hutan...
Evan.
Ellen dan Evan.
Apakah kematian Evan berhubungan dengan ini?
Meg mencabut pensil dari mulutnya, lalu menulis: CATATAN:
APAKAH SESEORANG MEMBENCI ELLEN KARENA EVAN?Kemudian dia menambahkan nama kedua pada daftar orang
yang dicurigainya: Shannon.
Dan di bawah Shannon dia menulis: "Mengapa?"
A) Karena Evan adalah kakaknya. Mungkin dia
menyalahkan Ellen karena apa yang terjadi.
B) Shannon ada di ruang belajar ketika kartu-kartu undangan
itu diguntingi.
C) Shannon sejak awal tidak bersemangat menyambut
rencana pesta itu.
D) Shannon berubah sejak kematian Evan.
Dia mencoret D dengan garis-garis hitam tebal. Tidak adil, kata
Meg dalam hati. Mereka semua berubah sejak Evan meninggal.
Shannon sahabatku, pikirnya, sambil mengetuk-ngetukkan
pensil ke meja. Dia takkan mencoba menakut-nakutiku, kan? Dia
takkan mencoba akal-akalan konyol dengan meniru adegan film horor.
Benarkah?
Apakah Shannon mau jujur padanya tentang pesta itu dan
tentang Ellen?
"Aku tak tahu," kata Meg. Tanpa sadar dia bicara keras-keras.
Shannon, dia menyimpulkan, harus tetap dimasukkan ke daftar orang
yang patut dicurigai.
Siapa lagi?
"Meg?bagaimana makalah itu?"
Aduh! Ibunya sudah pulang!
"Lancar, Mom... sampai Mom menyela!" teriaknya. "Gara-gara
Mom aku jadi kehilangan gagasan.""Itu karena kau berpikir dengan caboose-mu!" Ibunya tertawa
histeris. Dia selalu tertawa karena lelucon busuk yang dilontarkannya
sendiri.
"Terima kasih untuk dukungannya, Mom!"
Meg mendengar ibunya berjalan menjauh sambil terkekeh-
kekeh. Matanya kembali ke kertas di depannya. Aneh... tanpa sadar, di
belakang nomor 3 dia menulis: Ellen.
A) Karena seseorang meneleponnya dan menceritakan pesta
itu. B) Karena Ellen tidak pernah suka pesta.
C) Dia tidak pernah menelepon atau menyurati satu pun
kawan lamanya. Mungkin dia tidak ingin bertemu siapa pun.
D) Dia tidak pernah menjelaskan mengapa keluarganya tiba-
tiba pindah dari Shadyside.
Ya, Ellen pantas dicurigai, Meg menyimpulkan. Tapi
bagaimana caranya mengirimkan surat ancaman itu pada Meg dan
Tony?
Dia punya kaki tangan. Seseorang di sekolah bisa saja
membantunya.
Jadi, mungkin dua pelaku yang harus dicarinya.
Meg menulis angka 4. Adakah tokoh keempat? Adakah orang
lain yang tahu tentang pesta itu, yang kenal Meg dan Tony, dan yang
punya alasan kuat untuk menggagalkan pesta itu?
Meg tidak bisa memikirkan siapa lagi yang pantas dicurigai.
Jadi dia menulis nama Dwayne.
Mengapa?
"Karena aku tak suka dia."Telepon berdering.
Meg memandangnya tapi enggan mengangkatnya. Biar saja,
pikirnya.
Tapi dia tahu, tak mungkin membiarkan telepon berdering terus.
Dia harus mengangkatnya, meskipun mungkin bukan untuknya. Dia
tidak tahan membiarkan telepon berdering tanpa dijawab.
Setelah satu deringan lagi, Meg menghela napas panjang lalu
mengangkatnya. "Halo?"
"Hai, Meg?"
"Tony?"
"Kau aman? Kau nggak kenapa-kenapa?"
"Tony... apa maksudmu? Kau aneh sekali!"
"Aku... aku mencemaskanmu. Aku... eh... rasanya ada yang
membuntutiku malam ini."
"Membuntutimu? Di mana?"
"Membuntutiku ke rumah. Aku sedang di pompa bensin
ayahku. Yah... bantu-bantu. Aku pulang jalan kaki. Aku merasa ada
yang membuntutiku. Tapi kalau aku menoleh, tak ada siapa-siapa.
Hiiii... serem."
"Lalu?"
"Lalu kudengar langkah di belakangku. Aku lari. Langkah itu
ikut-ikutan lari."
"Kau lihat orangnya? Laki-laki atau perempuan?"
"Aku tak lihat apa-apa. Gelap sekali. Siapa pun dia, dia cukup
jauh di belakangku."
"Kau yakin benar ada yang membuntutimu?""Tentu saja aku yakin," bentak Tony marah. "Aku kan tidak
gila!"
"Sori, Tony. Jangan bentak-bentak aku. Aku kan cuma ingin
tahu..."
"Dengar, urusan ini sudah kelewat batas, Meg. Orang ini tak
main-main."
"Kau tidak lihat orangnya? Kau tidak lihat apa-apa?"
"Tidak."
"Orangnya tinggi atau pendek?"
"Aku tak tahu. Aku langsung kabur. Aku ingin sampai rumah
secepatnya. Percayalah?oke?"
"Sori. Kau tak perlu teriak-teriak."
"Aku langsung meneleponmu. Kupikir... mereka
membuntutimu juga."
"Tidak. Aku baik-baik saja. Sungguh."
"Tentang pesta itu, Meg. Aku tak tahu."
"Apa maksudmu?"
"Apa usahamu tak bakalan sia-sia? Itu kan cuma pesta konyol."
"Memang. Tapi masalahnya sekarang soal prinsip," sahut Meg.
"Prinsip? Ah, jangan bercanda, lupakan soal prinsip. Ada yang
membuntutiku, Meg. Aku benar-benar takut. Aku tak mau kehilangan
nyawa hanya gara-gara pesta...."
"Kau tak mengerti, ya?" seru Meg tak sabar. "Ini bukan sekadar
pesta. Kalau seseorang sangat ingin menggagalkannya, pasti ada
sesuatu dengan pesta itu. Ada hal lain yang terjadi di sini, Tony. Dan
kita harus cari tahu, apa itu.""Kau sangat menikmati urusan ini, ya?" tuduh Tony dengan
pahit. "Kau membayangkan dirimu seperti Nancy Drew? Kau merasa
jadi Nona Detektif. Kaupikir urusan ini jadi menarik dan
menggairahkan."
"Memang," aku Meg. "Tapi aku tak suka dipaksa-paksa dan
ditakut-takuti oleh orang yang mengira bisa memaksaku..."
"Coret namaku," sela Tony.
"Apa?"
"Coret namaku. Kupingmu masih bagus, kan?"
"Coret dari apa?"
"Dari apa saja. Dari pesta. Dari... hubungan kita."
Telinga Meg seperti tersengat mendengarnya. Sakitnya
menjalar cepat ke dada. Kata-kata itu sangat... tak terduga.
"Kau serius?"
"Selamat tinggal," Tony berkata lirih lalu meletakkan telepon.
Meg membanting telepon dengan marah. Tony pasti ngomong
tanpa dipikir, katanya dalam hati. Tony pasti tak serius. Bagaimana
mungkin dia minta putus hanya gara-gara urusan pesta itu?
Tapi... bagaimana kalau dia memang serius?
Suara Tony benar-benar ketakutan. Apakah aku juga ketakutan?
tanya Meg pada dirinya sendiri. Tidak, katanya mantap. Aku sama
sekali tak takut. Meg terlalu marah sampai lupa untuk ketakutan. Dia
takkan membatalkan pesta itu. Dia juga tidak akan melepaskan Tony
begitu saja.
"Akan kutemukan siapa pelakunya dan akan kuketahui apa
alasannya," katanya keras-keras.Dia mengangkat telepon lalu menekan nomor Tony. Pada
dering pertama, dia meletakkan telepon lagi. "Kuberi dia satu-dua hari
untuk menenangkan diri. Sesudah itu, aku akan minta maaf."
Diyakinkannya dirinya bahwa Tony tidak benar-benar ingin
memutuskan hubungan. Tak mungkin. Tanpa sadar Meg menggigit
bibir bawahnya. Dan bibirnya berdarah.
Kalau begini... dia tidak bisa berkonsentrasi mengerjakan
makalah psikologi. Tak mungkin. Dia akan mencoba lagi besok.
Sekarang... apa sebaiknya yang dilakukannya?
Dia memandangi daftar pelaku yang dicurigai. Nomor 3: Ellen.
Dia tidak ingin Ellen ada dalam daftar. Pesta itu diadakan untuk
Ellen. Memang akan lebih mudah jika dia bisa mencoret nama Ellen
dari daftar.
Aku akan meneleponnya.
Ide itu muncul begitu saja, entah dari mana. Ide bagus.
Aku akan meneleponnya dan bilang aku senang sekali karena
dia akan datang.
Meg merasa lehernya tercekat. Perutnya mulas dan perasaannya
tidak enak. Oh, tidak. Ini mudah. Pasti tak sulit bicara dengan Ellen.
Aku dan dia kan teman baik.
Meg mengangkat telepon lalu menekan nomor Informasi.
Tangannya tiba-tiba sedingin es. Tidak perlu waktu lama untuk
memperoleh nomor telepon Ellen.
Seharusnya aku menelepon dia dulu-dulu, Meg menyesali diri.
Mengapa aku menunggu berbulan-bulan? Mengapa aku menunggu
sampai dia meneleponku lebih dulu?Dia menekan kode wilayah lalu nomornya. Telepon berdering
sekali, dua kali. Bunyinya terdengar jauh sekali. Setelah dering ketiga,
telepon diangkat. "Halo?"
"Ellen? Ini aku. Meg."
"Meg? Wah, aku nggak nyangka! Hai!" Ellen menjerit. Dia
kedengaran senang ditelepon Meg. Meg mendesah lega. Perasaannya
jauh lebih enak sekarang.
"Apa kabar?"
"Baik. Baik. Bagaimana kau?"
"Oke. Lumayan," kata Meg. "Rasanya aneh mendengar suaramu
lagi. Sudah lama sekali, ya."
"Aku tahu," kata Ellen, suaranya seperti orang yang merasa
bersalah. "Aku sudah berniat menulis surat. Aku sangat sibuk dan..."
"Bagaimana sekolahmu yang baru?"
"Oke-oke saja. Tapi sangat lain dari Shadyside. Aku akan cerita
kalau kita ketemu. Aku akan ke kotamu."
"Hmm... itu sebabnya aku menelepon. Aku senang sekali kau
akan pulang. Aku..."
"Aku akan menginap di rumah Bibi Amy. Moga-moga kita
punya banyak waktu untuk bersama-sama."
"Aku juga, Ellen. Aku rindu padamu." Meg menyemburkan
kata-kata itu tanpa bermaksud sok emosional. Kata-kata itu keluar
begitu saja. Sungguh menyenangkan bisa ngobrol lagi dengan sahabat
Ellen. Semuanya masih sama, tidak ada yang berubah.
"Aku juga."


Fear Street Pesta Kejutan The Surprise Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau ada acara khusus, atau mau ketemu seseorang, atau apa?"
tanya Meg. Bicaranya cepat penuh semangat."Tidak. Tidak juga. Apa kabar Tony?"
"Dia baik-baik saja. Masih begitu-begitu."
"Kalian masih pacaran?"
"Yah." Sampai dua menit yang lalu. Tapi... untuk apa
kuceritakan.
"Aku senang kau meneleponku, Meg. Aku tak sabar ingin
segera ketemu kau."
"Aku juga."
Mereka mengobrol beberapa menit lagi. Kemudian Meg
memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan itu sebelum tagihan
telepon membengkak dan membuat ayahnya marah-marah. Ellen
berjanji akan menelepon begitu sampai di Shadyside, lalu mereka
memutuskan hubungan.
Meg senang sekali. Asyik benar obrolan tadi! Ellen masih
seperti dulu. Dia senang sekali karena Meg meneleponnya.
Meg mengambil pensil lalu mulai mencoret nama Ellen dari
daftar pelaku yang dicurigai. Tetapi tangannya tiba-tiba berhenti. Dia
memandangi kertas itu sambil berpikir keras.
Suara Ellen tadi terlalu gembira, terlalu bersemangat, terlalu
antusias.
Terlalu antusias.
Terlalu gembira.
Biasanya... Ellen tidak begitu.
Kegembiraannya dipaksakan, dibuat-dibuat.
Meg sadar, Ellen terlalu riang dan terlalu manis bicaranya.
Tadi itu bukan Ellen yang dikenalnya dulu. Ellen yang sekarang
pasti berpura-pura.Apa yang dia coba sembunyikan?BAB
6 Rabu Malam
"KENAPA kau tak memukulnya?"
"Sudah kucoba. Katanya itu lucu."
Lisa memutar-mutar bola matanya yang hitam sambil
mendesah. "Kerjaku berantem terus dengannya. Corry dan aku
menghabiskan waktu kami dengan bertengkar. Itu sebabnya kami
nyaris tak pernah bersenang-senang. Kami terlalu sibuk berdebat
tentang kenapa kami tak pernah cocok. Kami tak punya waktu lagi
untuk benar-benar saling menyesuaikan diri!"
Meg mendekatkan kaleng Diet Coke ke bibirnya dan meneguk
isinya. Dia duduk santai di kursi berlapis kulit yang empuk. Kaleng
minuman dipeganginya di pangkuannya. "Aku suka ruangan ini,"
katanya setelah diam beberapa lama. Dia memandang dinding berlapis
kayu warna gelap dan penuh rak buku setinggi langit-langit. TV
berlayar lebar dipasang di tengah. Di salah satu sisi ada pintu kaca
lebar yang membuka ke teras belakang. "Kami tak punya ruang
belajar.""Kau tak sedang mencoba mengalihkan pembicaraan, kan?"
tanya Lisa sambil nyengir.
Meg tersenyum. "Aku tak tahu mau bilang apa. Aku dan Tony
juga sedang tak cocok. Kami bertengkar hebat gara-gara urusan pesta
untuk Ellen. Dia benar-benar takut kalau-kalau orang yang menakut-
nakuti kami itu sungguh-sungguh melaksanakan ancamannya. Aku
bilang, aku takkan membiarkan orang itu menakut-nakutiku atau
menggagalkan rencanaku."
"Mungkin kau yang keras kepala, Meg. Mungkin Tony benar,"
kata Lisa. Dia memindahkan tungkainya yang indah ke lengan kursi
kulit yang didudukinya. "Setidaknya, Tony mencemaskanmu. Kalau
ada yang mengancamku, paling-paling Corry akan bilang, 'Apa acara
TV malam ini?'"
Meg tertawa. Lisa menirukan gaya Corry. "Sebaiknya kau
sedikit memberi kebebasan pada Corry, untuk sementara," kata Meg.
"Dia anak baik. Mungkin kau yang berharap terlalu banyak darinya.
Kalian tumbuh bersama. Dia tinggal tepat di sebelah rumahmu. Wajar
kalau dia menganggapmu wajar jadi pacarnya. Dan... dalam hal ini...
boleh dibilang dia benar."
Lisa menghabiskan Diet Coke itu lalu meremas kalengnya.
"Kau ini apa-apaan sih? Aku tak butuh nasihatmu. Aku cuma ingin
mengeluh."
Kedua cewek itu tertawa.
"Tapi aku memang egois," kata Lisa sambil melemparkan
kaleng yang sudah diremasnya ke dalam keranjang sampah di
seberang ruangan. "Hei... kita ngelantur!" Wajahnya jadi serius. "Kau
datang ke sini untuk menceritakan kejadian mengerikan yangmenimpamu. Eh... aku malah nyerocos terus tentang Corry dan aku.
Sori. Masalahmu sudah kelewatan. Sebaiknya kau menelepon polisi."
"Tentu, Lisa," kata Meg. Dengan susah payah dia mencoba
duduk tegak. Kursi itu empuk sekali dan Meg tenggelam di
bantalannya. "Aku harus pergi ke polisi dan melaporkan ada orang
yang mengguntingi kartu undanganku di ruang belajar. Mereka pasti
akan terkesan, kan? Mungkin mereka akan langsung mengirim seregu
polisi atau bahkan tim S.WA.T!"
"Bagaimana kulitmu bisa begitu?" tanya Lisa.
"Apa?"
"Kulitmu. Halus sekali. Halus dan segar seperti kulit bayi."
"Hah? Lisa..." Tanpa sadar Meg meraba wajahnya.
"Wajahmu selalu tampak seperti habis dibasuh. Segar sekali.
Apa istilahnya? Wajahmu segar dan bersih."
"Nah... sekarang kau yang mengalihkan topik," Meg
menggerutu.
"Tidak. Sori. Pikiranku menyeleweng." Lisa berdiri lalu
meregangkan badannya. Kemudian dia berjalan ke pintu kaca dan
memandang ke luar. "Meg... sebaiknya kaulupakan saja soal pesta
kejutan itu. Dengan begitu masalahmu juga akan hilang."
"Tapi aku nggak mau," kata Meg tanpa bermaksud ngotot. "Aku
menyayangi Ellen. Aku ingin menunjukkan kita masih peduli
dengannya. Dan..."
"Dan?"
"Dan sekarang aku benar-benar penasaran. Aku ingin tahu
mengapa ada yang sangat ingin menggagalkan pesta itu."
"Apa maksudmu?""Ini bukan lelucon konyol lagi. Seseorang punya alasan kuat
untuk menggagalkan pesta itu. Tapi apa alasannya?"
"Apakah orang ini sangat membenci Ellen?"
"Aku tak tahu apakah ada orang yang sangat membenci Ellen.
Kau?" tanya Meg.
Lisa memandang kegelapan. "Tidak. Tapi alasan apa lagi yang
masuk akal? Apa ada hubungannya dengan kematian Evan?"
"Evan. Ya. Aku juga berpikir ke sana. Apa yang membuatmu
ingat Evan, Lisa?"
"Entahlah. Kalau ingat Ellen, secara otomatis aku juga ingat
Evan. Yah... kau juga tahu, kan? Ellen dan Evan. Kita sering
membicarakan mereka. Tapi Evan sudah meninggal setahun yang lalu.
Apakah dia ada kaitannya dengan orang yang ingin menggagalkan
pesta itu?"
"Aku tak tahu. Kasus ini seratus persen misterius. Membuatku
penasaran dan semakin ingin menyingkapnya. Itu sebabnya aku tak
mau membatalkan pesta itu. Aku takkan menyerah. Kalau aku
menyerah sekarang, kita takkan pernah tahu apa alasan orang itu."
"Pernahkah ada orang yang menyebutmu keras kepala?"
"Setiap orang," sahut Meg. "Kau lagi lihat apa sih?"
"Halaman belakang. Lampu kamar Corry menyala. Mungkin
dia sedang di kamarnya." Lisa terus memandang ke luar beberapa
lama, kemudian mundur dari pintu kaca itu dan menjatuhkan diri di
kursi empuk berlapis kulit hitam. "Kau punya dugaan siapa yang
mencoba menakut-nakutimu dan Tony? Ada firasat?"
"Janji... jangan ketawa ya," kata Meg hati-hati.
"Ah, kau seperti nggak kenal aku," balas Lisa."Justru itu. Itu sebabnya kubilang, 'Janji... jangan ketawa ya.'"
"Oke. Aku janji."
"Hmm, aku sudah membuat daftar orang-orang yang patut
dicurigai."
"Lalu?"
"Nomor satu Brian."
Lisa langsung menegakkan duduknya. "Brian? Kenapa Brian?
Dia kan sepupumu!"
"Memang. Sepupu jauh. Itu tak membuat namanya bisa dicoret
dari daftar. Dia memang kerabatku, tapi keluarganya memang suka
aneh-aneh. Brian cuma main sama Dwayne. Mereka suka memainkan
game fantasi."
"Aku tak mengerti," kata Lisa ragu-ragu. "Siapa lagi yang ada
di daftarmu?"
"Shannon."
"Apa?!" Mata Lisa yang hitam berkilat karena kaget.
"Shannon duduk tepat di belakangku di ruang belajar. Dia bisa
mengguntingi kartu-kartu undangan itu dengan mudah. Waktu
kutanyai, dia bilang tak melihat apa-apa karena sedang ke
perpustakaan. Tapi Tony juga ada di ruang belajar. Dia bilang tak
melihat Shannon keluar ruangan."
"Bagaimana dengan telepon dan surat ancaman itu?"
"Mungkin Shannon yang bikin gara-gara," sahut Meg ragu-
ragu.
"Tapi dia kan sahabatmu, Meg?"
"Memang. Ini benar-benar gila, Lisa. Tapi sejak Evan mati,
Shannon berubah. Dan sejak semula dia menentang rencana pesta itu."Lisa mendesah sambil menggeleng-geleng. "Sepupumu dan
sahabatmu. Siapa lagi yang ada dalam daftarmu... ayah dan ibumu?"
"Ngaco ah. Lisa, aku..."
"Mereka bukan orang yang pantas dicurigai, Meg. Kenapa
Shannon mencoba menakut-nakutimu seperti itu? Kenapa dia tak
langsung bilang padamu..."
"Aku tak tahu. Aku hanya merasa dia aneh. Mungkin dia
menyalahkan Ellen atas apa yang menimpa Evan. Mungkin dia takut
sesuatu terjadi di pesta itu. Aku tak tahu persis. Aku hanya..."
"Hmm, kalau begitu tanyai saja dia."
"Apa?!"
"Telingamu nggak tuli, kan?" Lisa melompat berdiri lalu
mondar-mandir. "Dia sahabatmu. Kau tak pantas membawa-bawa
daftar yang berisi nama Shannon. Kalau kau memang mencurigainya,
tanyai saja dia. Tanyakan kenapa dia tak suka kau mengadakan pesta
untuk Ellen. Bicara saja dengannya. Langsung. Begitu kan seharusnya
dengan sahabat sendiri?"
"Wah... sama seperti kau," kata Meg sambil merapikan
pullover-nya, "aku tak butuh nasihatmu. Aku hanya ingin
mengungkapkan keluhan."
Meg mengucapkan terima kasih kepada Lisa yang telah
mendengarkan keluhannya, lalu keluar ke mobilnya. Udara segar
menyambutnya. Pikirannya sudah tidak kusut. Mungkin Lisa benar,
pikirnya. Sebaiknya besok aku bicara dengan Shannon. Dia masuk ke
mobil Toyota ibunya, lalu pulang. Sepanjang jalan dia memikirkan
apa yang akan dikatakannya kepada Shannon.Meg membelok ke jalur masuk lalu berhenti beberapa inci dari
garasi. Lampu di atas pintu garasi membuat atap rumah memantulkan
cahaya kuning pucat.
Meg beranjak hendak turun dari mobil. Tiba-tiba dia kaget dan
menahan napas. Ada bayang-bayang di beranda... biasanya tak ada,
bukan?
Apakah seseorang sedang menunggunya dalam gelap?BAB
7 Rabu Malam
MEG duduk merosot di kursi pengemudi. Matanya tajam
mengawasi bayang-bayang di atap beranda. Bayang-bayang itu tidak
bergerak. ebukulawas.blogspot.com
Jarinya memegang kunci kontak. Reaksi pertamanya adalah
menghidupkan mesin lagi, memundurkan mobil, lalu kabur.
Tapi... bagaimana kalau Tony yang menunggunya? Berapa
kalikah dia pernah begitu... menunggunya di depan pintu tanpa
membunyikan bel atau masuk ke rumah? Puluhan kali!
Mungkin Tony datang untuk minta maaf, untuk mengajak
baikan.
Dia menarik kunci kontak lalu mulai membuka pintu mobil.
Atau... mungkin itu bukan Tony.
Mungkin dia orang yang menelepon Meg. Mungkin dia orang
yang membuntuti Tony.
Bayang-bayang itu tidak bergerak.
Bagaimana mungkin orang tahan tidak bergerak sekian lama?Meg membuka pintu beberapa inci. "Siapa di sana?" serunya.
Dia heran mendengar suaranya yang marah dan tidak takut.
Hening.
"Siapa? Siapa kau?"
"Tony... kau di situ, ya?"
Tak ada orang yang sanggup tidak bergerak selama itu.
Meg turun dari mobil lalu berjingkat-jingkat menyeberangi
rumput basah ke arah beranda. Dia tercekam kengerian yang
memuncak dan lehernya serasa tercekik.
Dia maju selangkah, selangkah lagi. Sepatu ketsnya berkedut-
kedut menginjak rumput berembun. Kenapa aku jadi begini? tanyanya
pada diri sendiri. Kenapa aku tak kabur saja? Kenapa aku jadi tolol
sekali?
Dia berhenti di samping beranda. "Siapa di situ?"
Tiba-tiba dia tertawa.
Semua itu adalah bayang-bayang beberapa pot tinggi yang
dijajarkan ayahnya sepanjang pagar.
"Kau ketipu, Meg," katanya keras-keras, lalu mendengus kuat-
kuat.
Cepat-cepat Meg masuk rumah dan naik ke kamarnya, setelah
mengunci pintu rapat-rapat.
***********
Kamis Siang
Meg menusukkan garpunya ke benda oranye cerah di piringnya.
Katanya ini macaroni and cheese, tapi... mana makaroninya? Kalau
isinya hanya keju, kenapa warnanya aneh sekali?Ruang makan tidak terlalu penuh. Anak-anak lain mungkin
sudah tahu bahwa menu siang ini adalah benda oranye lengket ini dan
mereka cepat-cepat pergi ke tempat makan lain. Corry Brooks dan
kawan-kawannya dari tim senam sedang bercanda di sekeliling meja
dekat pintu. "Apa mereka tak pernah bosan main lempar-lemparan
kotak susu kosong?" tanya Meg pada diri sendiri.
Jendela-jendela di sepanjang dinding seberang terpentang lebar,
karena hari itu adalah hari musim semi yang paling hangat. Drumband
di lapangan berulang-ulang memainkan Pomp and Circumstance.
Mereka sedang berlatih untuk acara wisuda para senior sambil
membuat semua orang kesal.
Meg merapikan lengan blus putihnya. Dengan enggan dia
menggigit macaroni and cheese itu. Tak ada rasanya sama sekali.
Dia mengangkat wajahnya dan melihat Shannon berjalan ke
arahnya sambil menating nampan. Wajah Shannon masam. Dia
sedang menghirup aroma makanan di piringnya.
Aduh, batin Meg sambil mengambil napas panjang. Dia tahu,
takkan mudah bicara langsung dan menanyai Shannon. Tetapi
sekaranglah saat yang tepat. Lebih baik dia segera melakukannya.
"Apa sih ini?" tanya Shannon sambil meletakkan nampannya di
depan nampan Meg, lalu menarik mundur kursi dengan berisik.
"Styrofoam," sahut Meg. "Seperti busa untuk mengepak barang-
barang elektronik."
Shannon menusuk-nusukkan garpunya, seperti Meg tadi. "Hei...
benda ini mau menggigit garpuku!"
Meg tidak tertawa. Dia menatap Shannon lekat-lekat, mencoba
mencari jawab untuk pertanyaan yang belum ditanyakannya."Kau ini apa-apaan sih?" tanya Shannon. Dia menjatuhkan


Fear Street Pesta Kejutan The Surprise Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

garpunya ke nampan. "Hari ini kau aneh sekali."
"Aku... aku harus menanyakan sesuatu padamu," ujar Meg lirih.
"Silakan. Tanyakan saja. Tapi jangan memandangku seperti
itu."
"Sori." Meg tidak sadar tampangnya aneh sekali. Dia ingin
melemparkan pertanyaannya secara sambil lalu, tetapi sekarang tidak
mungkin lagi. "Dengar. Aku tahu ini konyol, tapi aku harus bertanya."
"Teruskan," kata Shannon. "Kau membuatku hampir mati
penasaran."
Meg menarik napas dalam-dalam. Dia bisa merasakan wajahnya
memerah. "Apakah kau meneleponku malam-malam dan mengirimiku
surat ancaman?"
"Apa?!"
"Ya atau tidak? Aku ditelepon dan menerima surat ancaman
dan..."
"Tentang apa?" Shannon benar-benar tampak bingung.
"Mengancamku. Menyuruhku membatalkan pesta untuk Ellen."
"Mengancammu? Kaupikir aku mengancammu?"
Meg sadar sudah membuat kesalahan. "Tidak, aku..." Dia
berusaha menemukan kata-kata yang tepat untuk keluar dari situasi
sulit itu.
"Meg... terus terang, kau menuduhku, ya?!" Suara Shannon naik
beberapa oktaf. Tangannya mencengkeram pinggiran meja.
"Aku tak menuduhmu. Aku hanya bertanya," kata Meg
serbasalah. "Aku hanya ingin kau bilang orang itu bukan kau. Itu
saja.""Hmm, memang bukan aku," desis Shannon. Kekagetannya
cepat berubah jadi kemarahan. "Untuk apa aku menakut-nakutimu,
Meg?"
"Entahlah," sahut Meg. "Ada yang menyebarkan ancaman yang
mengerikan. Seseorang membuntuti Tony dan?aku... Aku kesal dan
marah, Shannon. Kurasa aku tak bisa berpikir jernih. Aku..."
"Pikiranmu kacau," kata Shannon dingin.
"Tapi, Shannon, aku tak bermaksud..."
"Menurutku, kau sudah melakukan apa yang kaumaksud. Aku
tak mengerti kenapa kau ingin membuatku marah dan kenapa kau
menuduhku. Aku selalu mengira kita bersahabat. Aku selalu mengira
kita saling percaya. Aku tak pernah menuduhmu seperti ini. Tapi,
mungkin kita berbeda. Sangat berbeda. Lebih banyak bedanya dari
yang kusangka." Suaranya seperti tercekik. Shannon nyaris tidak bisa
menguasai diri.
"Shannon, kau salah menyimpulkan. Maksudku hanya..."
Dengan muka berkerut marah Shannon memundurkan kursinya,
berbalik, lalu keluar dari ruang makan dengan cepat dan dengan
langkah lebar.
Meg duduk terpaku memandangi temannya. Dia menyesal
sekali.
Lisa, terima kasih untuk nasihatmu, katanya dalam hati.
Sekarang aku tak punya teman lagi. Tony bukan temanku lagi.
Shannon juga.
Meg sadar dia tidak bisa menyalahkan Lisa karena itu.
Seharusnya dia tidak menanyai Shannon dengan cara seperti itu.
Seharusnya dia tidak menuduh sahabatnya.Tapi... tunggu...
Tidakkah reaksi Shannon agak berlebihan? Kenapa Shannon
langsung histeris? Tidak biasanya dia begitu. Dia bukan cewek yang
gampang marah. Apakah dia mencoba menyembunyikan fakta bahwa
dia yang meneror Meg? Apakah reaksinya itu untuk menghalangi Meg
bertanya lebih jauh dan menemukan kebenaran?
Tidak. Meg kenal betul siapa Shannon. Kekagetan dan
kemarahannya asli. Dia tidak bersandiwara.
Dia memang berhak untuk kaget dan marah.
Meg berbuat konyol. Konyol dan kasar. Sekarang mungkin
Shannon takkan mau bicara lagi dengannya. Bukan salah Shannon.
Meg memandang pintu ruang makan dengan tampang murung.
Ingin rasanya meminta Shannon kembali, agar dia bisa minta maaf,
agar dia bisa menjelaskan.
Di mana Tony? Kenapa Tony jadi keras kepala begitu? Tidak
tahukah dia bahwa Meg membutuhkannya sekarang... saat ini?
Lama-lama Meg merasa lapar. Disingkirkannya nampan dan
makaroni itu, lalu diambilnya kantong bekal makan siangnya dari
pangkuannya. Dia selalu membawa bekal makan siang, meskipun
tetap saja membeli makanan dari kantin. Porsi di sini tidak pernah
cukup.
Meg membuka kantong itu.
Aneh, pikirnya. Kantong ini bocor.
Bocor? Bagaimana bisa bocor? Dia hanya membawa setangkap
sandwich dan sebutir apel. Pasti...
Dirogohnya kantong itu. Tangannya menyentuh sesuatu yang
basah dan lengket. Dan kental."OH!"
Dengan cepat ditariknya tangannya keluar, lalu dijungkirkannya
kantong itu. Cairan merah gelap merembes ke luar, membasahi blus
putihnya, terus ke roknya. Meg mengangkat tangannya. Tangan itu
basah oleh cairan hangat. Menetes-netes dari pergelangannya,
menggenang di nampan.
"Darah!" jeritnya. "Kantong makan siangku berisi darah!"BAB
9 Kamis Malam
MEG tidak bisa berkonsentrasi mengerjakan makalah psikologi.
Dia menatap mejanya tanpa melihatnya. Masih terbayang-bayang
olehnya cairan lengket yang menetes-netes dari kantong bekal makan
siangnya. Ternyata cat! Wajah Shannon. Lalu darah yang menetes-
netes. Lalu wajah Shannon lagi; Shannon yang tersinggung, yang
shock, yang merasa dikhianati.
"Aku harus minta maaf," katanya keras-keras. Dia tak tahan jika
Shannon marah padanya. Dia tak tahan menanggung rasa bersalah...
sangat bersalah.
Ada mobil nganggur diparkir di depan rumah, tetapi Meg
memilih berjalan kaki. Berjalan kaki sembilan sampai sepuluh blok
akan memberinya kesempatan untuk memikirkan apa yang akan
dikatakannya.
Sepanjang sore hari hujan, udara basah dan segar. Genangan-
genangan air di trotoar memantulkan cahaya kuning lampu jalan. Meg
melompati genangan lebar, lalu berjalan cepat-cepat.Dia sampai ke rumah Shannon tanpa memutuskan apa yang
akan dikatakannya. Dia hanya ingin minta maaf dan mohon ampun.
Shannon bisa bersikap dingin dan keras hati, itu dia tahu. Lebih-lebih
setahun terakhir ini. Bahkan mungkin dia harus memohon-mohon.
Tapi dia tak punya pilihan, bukan?
Rumah keluarga Harper dibangun di atas halaman luas dengan
rumput yang dipangkas rapi. Sebatang pohon willow berdaun lebat
tegak di sisi jalur masuk, seperti pelayan yang setia menjaga jalur
masuk. Bagian depan rumah itu gelap sekali, tetapi Meg tahu keluarga
Harper suka berkumpul di ruang keluarga atau di dapur di belakang.
Shannon membukakan pintu beberapa saat setelah Meg
menekan bel. Wajahnya langsung masam. "Oh... kau."
"Aku datang untuk menyembah kakimu," kata Meg. Dia gagal
menjaga agar suaranya terdengar tenang. "Aku hanya ingin minta
maaf. Aku mau melakukan apa saja. Sungguh. Perasaanku kacau."
"Bagus," tukas Shannon, matanya memandang ke belakang
Meg. "Kau harus mengabulkan permohonan maafku," kata Meg.
"Kau sahabatku dan..."
"Masuklah," kata Shannon. Dibukanya pintu lebih lebar.
Suaranya datar dan tidak ramah.
Meg mengikutinya masuk selasar. Shannon mengenakan celana
Bermuda cokelat dan blus putih tanpa lengan. Lengan dan kakinya
sangat pucat, sewarna gading pucat. Meg menyimpulkan, setelah
musim dingin yang panjang, setiap orang kelihatan pucat di bulan
Mei.Shannon mengajaknya ke ruang duduk yang gelap, menyalakan
lampu, lalu duduk di loveseat?sofa untuk berdua?merah tua.
Meg tidak suka ruang duduk di rumah Shannon. Sebagian
karena perabotannya yang terlalu aneh dan tak nyaman, sebagian
karena foto Evan dalam pigura kayu warna gelap yang digantungkan
di tengah dinding. Tidak mungkin duduk atau berdiri di ruangan itu
tanpa melihat foto Evan. Foto itu membuat Meg semakin tidak
nyaman.
Foto itu tidak mencerminkan kepribadian Evan. Cowok itu
mengenakan setelan gelap dan dasi. Dia baru pulang dari acara
keluarga, mungkin pesta perkawinan. Rambut pirangnya dan biasanya
acak-acakan, disisir rapi ke belakang. Tatapannya kosong. Senyumnya
seperti terpaksa, senyum yang tak pernah dilihat Meg dalam
kehidupan sebenarnya.
Meg menduga, seperti itulah Mr. dan Mrs. Harper ingin
mengenang putra mereka... tidak seperti aslinya. Evan adalah cowok
liar yang suka cari gara-gara. Dalam foto itu Evan tampak sangat
santun dan terkendali.
Memandang foto itu selalu membuat Meg ingat akan sisi lain
kepribadian Evan. Seolah-olah pikirannya menolak tampilan Evan
yang tidak asli. Pemuda santun yang menutupi sosok cowok liar yang
dikenalnya dengan segala kesalahan dan masalahnya.
Tiba-tiba dia ingat suatu malam di ruang santai, di lantai bawah
tanah rumah Shannon. Siapa saja yang ada di sana malam itu? Mereka
semua... Shannon, Ellen, Meg, Tony, dan Evan. Tony dan Evan
sedang main biliar di meja besar di tengah ruangan. Cewek-cewek
main pingpong ganda, tapi pemainnya hanya tiga.Meg serasa mendengar suara-suara di ruangan itu lagi, teriakan,
tawa mereka, bunyi bola pingpong memantul dari bet atau melenting
di lantai, dan bunyi ujung tongkat biliar menyodok bola-bola mengilat
aneka warna.
Malam itu Evan sedang sangat liar. Sore sebelumnya, tanpa
sengaja dia menabrakkan salah satu mobil keluarga ke bak truk. Tony
menertawakannya. "Itu bukan salahku, man," kata Evan sambil
menyodok tiga bola ke dalam lubang di sudut. Dia menyeringai pada
Tony, puas dengan dirinya sendiri.
"Kau menyeruduk pantat truk dan itu bukan salahmu?" pancing
Tony.
"No way. Truk itu meluncur di bawah batas minimal kecepatan
di jalan raya. Jadi aku tak bisa apa-apa. Dia yang terlalu lambat!"
Tony tertawa dan sodokannya meleset.
"Oh... kau mencoba membuatnya lebih cepat dengan
menyenggol pantatnya," gumam Ellen.
"Senggolan yang menghancurkan mobilmu!" Tony terduduk di
lantai sambil memegangi pinggangnya dan tertawa terpingkal-pingkal.
"Kalian berdua ada main di belakangku, ya?" tanya Evan sambil
memelototi Ellen. Tiba-tiba dia sudah tidak bercanda lagi.
"Tidak, Evan. Tony dan aku..."
"Aku lihat kalian!" teriak Evan sambil menghantamkan
tongkatnya keras-keras ke pinggir meja. "Kalian pikir ini sangat lucu,
ya? Sopir truk goblok itu yang jalannya terlalu pelan dan membuatku
terpaksa menabraknya! Dan kalian pikir itu lucu, ya?!"
"Ayolah, man..." Tony bicara sambil mengangkat tangannya
seakan menyerah kalah."Tidak. Kau yang ngaco!" teriak Evan. Dia mengangkat
tongkatnya seperti pedang, lalu memukul tongkat Tony. Tak-tak-
TAK. Evan, dengan mata liar dan rambut pirang acak-acakan, mulai
memukuli tongkat Tony. Makin lama makin keras. Dia menantang
Tony untuk membalasnya.
"Evan... hentikan!" jerit Ellen.
Evan mengayun-ayunkan tongkatnya seperti tongkat bisbol. Dia
benar-benar berniat memukul Tony. Tapi Tony menunduk. Tongkat
itu menghantam bahu Ellen dengan tajam dan keras. Ellen menjerit
sambil mundur ke dinding. "Evan!"
Evan tak memedulikannya. Dia dan Tony berdiri di meja biliar,
saling menyerang dengan sungguh-sungguh seperti di film laga. Meg
ingat ekspresi Tony. Cowok itu menanggapi dengan santai. Tony pikir
mereka masih bercanda.
Sebaliknya, tampang Evan penasaran ingin menang. Selain
Tony, yang lain-lain tahu bahwa Evan benar-benar ingin berkelahi.
Kedua tongkat biliar itu berbenturan keras. Kedua cowok itu meloncat
turun dari meja biliar lalu saling menyerang di lantai.
Wajah Evan merah padam. Mulutnya mengumpat-umpat,
matanya menyipit. Tiba-tiba dia mengayunkan tongkatnya dengan
cepat dan kuat. Terdengar bunyi berderak keras.
Mata Tony terbelalak, kemudian terbalik. Tubuhnya tersungkur
di lantai. Darah mengucur dari puncak kepalanya.
Evan tidak memandang Tony. Dia mengamati tongkatnya.
"Tongkat ini retak," katanya. Tampangnya bersungguh-sungguh.
Ellen menjerit-jerit. "Teganya kau memukul Tony!"Meg ingat ekspresi kaget di wajah Evan. Sepertinya cowok itu
tidak menyadari perbuatannya. Dia memandang ke bawah. Seketika
ekspresinya berubah, wajahnya langsung mengendur. Dia menunduk
di atas Tony. "Hei... kau baik-baik saja? Itu kecelakaan. Mungkin
tanganku keseleo."
"Nggak apa-apa," kata Tony gugup. Dia tersenyum pada
kawannya. Tony selalu memaafkan Evan.
Meg dan Shannon mengantarkan Tony ke Ruang Gawat Darurat
di Shadyside Hospital. Ketika berangkat, mereka masih mendengar
Ellen memarahi Evan di lantai bawah tanah. Ellen memaki-maki
Evan, mencoba membuatnya mengakui bahwa itu bukan kecelakaan.
Tony mendapat beberapa jahitan.
Malam itu sungguh mengerikan. Orang tak pernah bisa
menebak kelakuan Evan. Adakalanya dia banyak bercanda, menjadi
cowok paling lucu dan periang.
Kali lain "tangannya keseleo". Dan orang akan terluka.
"Kau memelototi foto itu terus," kata Shannon dari kursinya.
Kata-katanya membawa Meg kembali ke masa kini. "Yah,
memang."
"Foto itu aneh, kan?" Shannon bertanya sambil menggeleng-
geleng. "Evan tampak seperti makhluk asing."
"Foto itu tak seperti Evan," kata Meg sedih.
Lama mereka duduk berseberangan tanpa bicara. Akhirnya Meg
berkata, "Kau harus memaafkanku, Shannon. Itu kegilaan sesaat. Aku
sangat menyesal. Aku kacau. Sungguh. Sudah berhari-hari aku seperti
gila. Malam itu ketika pulang dari rumah Lisa, aku melihat bayang-bayang pot bunga di beranda. Aku langsung ngeri setengah mati! Aku
yakin ada yang menunggu di sana untuk mencelakaiku."
"Anak malang," kata Shannon tanpa simpati. "Kapan
mulainya?"
"Maafkan aku dan aku janji akan melakukan apa pun demi kau.
Aku serius. Aku bahkan bersedia meminta Gary Brandt mengajakmu
kencan."
"Apa?!"
"Kau ingin jalan dengannya, kan? Tapi kau terlalu malu untuk
meminta."
"Dengar..."
"Aku yang akan memintanya demi kamu. Sungguh. Aku
bersedia melakukannya untuk menebus dosaku."
"Ya Tuhan. Kupikir kau serius." Shannon terheran-heran
memandang kawannya.
"Tentu saja aku serius. Aku sungguh tak ingin kau marah
padaku."
"Oke. Aku tak marah," kata Shannon. "Tapi jangan pernah
minta apa-apa pada Gary Brandt."
"Oke, aku..."
"Janji?"
"Janji," sahut Meg. Dia membetulkan duduknya. Hatinya mulai


Fear Street Pesta Kejutan The Surprise Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lega. "Kau benar-benar menerima permintaan maafku?"
"Ya. Tentu. Reaksiku memang agak berlebihan. Aku juga minta
maaf." Shannon berdiri, mendekat, lalu memeluk Meg sesaat.
"Sekarang ceritakan ancaman-ancaman itu. Aku tak percaya...," kata
Shannon sambil menggeleng-geleng.Meg bercerita tentang telepon itu, tentang surat ancaman, dan
tentang Tony yang dibuntuti. "Oh... aku hampir lupa. Aku bicara
dengan Ellen." Meg senang karena bisa mengalihkan pembicaraan.
"Aku meneleponnya. Kedengarannya dia senang. Katanya dia tak
sabar ingin segera ke sini dan bertemu kawan-kawan."
"Aku senang mendengarnya," kata Shannon. "Harus kuakui,
aku keliru soal pesta itu. Itu ide bagus. Kau benar."
"Bagus!" kata Meg. "Maksudku asyik! Berarti... kau bersedia
membantuku?"
"Ya, tentu," sahut Shannon sambil mengangkat bahu. "Mengapa
kita berdua tidak mempertaruhkan nyawa kita? Mempertaruhkan
nyawa demi pesta itu! Ya!"
Meg tertawa, walaupun menurutnya itu tidak begitu lucu.
"Oh, sebelum aku lupa," kata Shannon, "Mike akan pulang
akhir pekan itu, jadi kita harus mengundangnya meskipun dia tak
begitu kenal Ellen."
Mike adalah adik tiri Shannon. Setelah ibu Shannon meninggal,
ayahnya menikah lagi. Lalu Mike lahir. Meg jarang bertemu Mike.
Dia bersekolah di New England.
"Bagus," kata Meg. "Mike cakep dan menggemaskan."
"Dia sangat mirip Evan. Aku suka ngeri jadinya," kata Shannon
sambil menerawang. "Eh... menurutmu siapa yang ingin membatalkan
pesta itu?" tanyanya. Kemudian dia mendesah sedih. Evan sudah
meninggal setahun, tetapi Shannon masih enggan bicara tentang
kakaknya itu."Aku tak bisa memperkirakan siapa orangnya," kata Meg
sambil memindahkan letak kakinya ke kursi yang tidak nyaman.
"Urusan ini membuatku gila."
"Pasti orang yang benar-benar membenci Ellen," kata Shannon
sambil menggeleng-geleng.
"Tapi siapa?" tanya Meg. "Ellen cewek paling populer di
Shadyside."
"Aku sependapat tentang itu," kata Shannon. "Aku juga tak
punya jejak. Hei... mungkin ancaman itu tak ada hubungannya dengan
Ellen. Mungkin orang itu justru membencimu." Shannon tertawa. Dia
pikir gagasan itu lucu.
Meg kaget sekali. Pikiran seperti itu tak pernah terlintas di
benaknya. "Hah? Siapa misalnya?"
"Aku tak tahu. Lupakan," sahut Shannon cepat-cepat. "Ide tolol.
Seseorang ingin membatalkan pesta ini. Dia tak ingin pesta itu
terlaksana. Dia ingin mencegah kita berkumpul lagi. Tapi... kenapa?"
"Apa yang ditakutkan orang itu?" tanya Meg sambil berpikir
keras. "Hmm... Takut kalau-kalau kita bicara tentang dia? Takut
kalau-kalau rahasianya terbongkar? Takut kalau-kalau Ellen akan
menceritakan sesuatu?"
"Mungkin, mungkin." Dengan gugup Shannon mengetuk-
ngetukkan jarinya ke meja kopi yang antik. "Siapa yang punya rahasia
dan tak ingin kita tahu bahwa..." Tiba-tiba wajah Shannon menjadi
tegang. Ekspresinya murung. "Brian!" serunya.
Meg menatapnya kaget. "Brian?" Meg membayangkan daftar
orang yang dicurigainya. Brian, namanya paling atas. "Apa yang
membuatmu menyebut-nyebut Brian?""Hmm... dia itu aneh sekali, Meg. Aku tahu dia sepupumu. Tapi
dia aneh sekali. Dan dia semakin aneh sejak... sejak hari itu. Kau tak
pernah menebak-nebak apa yang dilakukan Brian di hutan, bagaimana
dia bisa kebetulan menemukan Evan hanya beberapa detik setelah...
setelah..." Dia tak mampu menyelesaikan kalimatnya.
"Shannon, kaupikir Brian ada kaitannya dengan..."
Shannon menatap mata Meg. "Itu mungkin, kan?"
"Ya, tapi..." Meg tahu Brian memang aneh. Dia selalu berpikir
adalah suatu kebetulan bahwa Brian menemukan Ellen dan Evan tepat
setelah tanpa sengaja Evan menembak dirinya sendiri. Tapi karena
kepolosannya, Meg tidak pernah curiga bahwa mungkin Brian ada
kaitannya dengan kematian Evan.
"Aku harus mendatangi Brian," kata Meg.
"Cobalah lebih diplomatis. Jangan seperti yang kaulakukan
padaku," kata Shannon terus terang.
Kedua cewek itu tertawa. Meg senang dia memutuskan datang
ke rumah Shannon. Sekarang dia bisa pulang dan berkonsentrasi
mengerjakan makalah psikologi.
Dia berpamitan kepada Shanon, keluar lewat pintu depan,
menyusuri jalur masuk yang panjang, lalu berlari pulang. Rupanya
waktu dia sedang di rumah Shannon, hujan turun lagi. Sekarang
jalanan sangat basah. Air mengalir deras di kedua sisi jalan, masuk ke
lubang gorong-gorong.
Meg mengangkat wajahnya, melihat lampu depan dan sosok
gelap mobil di belakangnya. Mobil itu meluncur cepat ke arahnya.
Rodanya memercikkan tirai air ke kanan-kirinya.Meg tetap berlari di trotoar. Tiba-tiba larinya terhenti saat dia
sadar mobil itu naik ke trotoar dan meluncur kencang ke arahnya.
Mobil itu menambah kecepatan.
Meg tak punya waktu untuk bergerak atau melompat
menghindar.
Tubuhnya membeku seperti rusa ketakutan. Meg mengangkat
kedua tangannya, seolah hendak melindungi diri, sambil menjerit-jerit.
Mobil itu semakin dekat.BAB
9 Kamis Larut Malam
PENGEMUDI itu membelokkan mobil ke trotoar di depan
rumah lalu menghentikannya. Jantungnya berdegup keras, seirama
bunyi wiper di kaca depan. Dug-DUG Dug-DUG Dug-DUG.
Dia mematikan mesin. Wiper-nya berhenti di tengah kaca, tapi
jantungnya masih terus berdegup keras. Dia tidak beranjak turun dari
mobil. Dia tidak tahu apakah dirinya masih sanggup berjalan atau
tidak. Matanya nanar memandang ke luar kaca depan, menunggu
debar jantungnya mereda, menunggu perasaannya lebih tenang, lebih
normal.
Mungkin dia takkan pernah merasa normal lagi.
Hujan sudah berhenti sama sekali. Tadi badai hujan mengamuk
cepat, lalu tiba-tiba reda. Itu hanya berlangsung kira-kira semenit.
Di mana dia?
Dia memandang sekelilingnya. Beberapa saat kemudian baru
dia ingat. Dia ada di depan rumah Mark, sepupunya. Dia mengendarai
mobil Mark. Dia. meminjam mobil itu tadi pagi. Dia sedang akan
mengembalikannya ketika melihat Meg berlari di jalan. Lalu... lalu...Dia memacu mobilnya ke arah Meg.
Tidak, bukan begitu.
Tapi, dia nyaris menabraknya.
Apa yang merasuki pikirannya? Apa yang terjadi dengan
otaknya? Kini badannya basah berkeringat. Butir-butir keringat
menetes-netes dari dahinya. T-shirt-nya basah kuyup. Sekujur
tubuhnya panas. Belum pernah badannya sepanas ini.
Apa yang terjadi dengan otaknya?
Kaca depan beruap. Dia akan terkurung dalam kepompong ini.
Tak seorang pun bisa melihatnya. Tak seorang pun tahu dia di dalam
mobil itu. Mungkin dia akan bersembunyi di situ, selamanya.
Hampir saja dia menabrak Meg. Dia memang mengarahkan
mobilnya ke cewek itu dan menginjak pedal gas sampai mentok.
Dia mendengar cewek itu menjerit mengatasi deru mobil.
Dia melihat Meg membelalak liar.
Dia melihat cewek itu melindungi wajahnya dengan kedua
tangannya. Tapi dia tetap menginjak pedal gas. Dia tidak membanting
setir.
Kemudian dia melihat Meg melompat ke samping, jatuh
membentur trotoar dengan keras.
Akhirnya dia membanting setir, mobil membelok tajam ke kiri.
Dia ingat dan berusaha menguasai setir. Memutar-mutarnya berkali-
kali sampai arah mobil itu benar. Kemudian dia meluncur pergi. Dia
bahkan tidak menoleh lagi.
Mungkin dia takkan bisa merasa normal lagi.
Dia hanya ingin menakut-nakuti Meg.Itu saja. Benar-benar menakut-nakuti Meg. Membuktikan
bahwa dia bersungguh-sungguh, dia takkan main-main lagi dengan
ancaman lewat telepon dan surat, atau dengan darah palsu dalam
kantong bekal makan siang.
Tapi ketika melihat cewek itu di jalan, dia lupa apa yang
dilakukannya. Yang diingatnya hanyalah dia harus menakut-nakuti
Meg. Dia ingat, mengapa dia tidak akan membiarkan pesta itu
dilaksanakan. Ya, ya, ya...
Tetapi dia lupa apa yang dilakukannya. Lupa kakinya
menginjak pedal gas sampai mentok. Lupa tangannya mencengkeram
setir dengan mantap.
Dia tak bermaksud membunuh Meg. Dia hanya ingin membuat
cewek itu takut.
Aku kalah, pikirnya. Aku kalah secara memalukan.
Tapi... kali ini dia masih beruntung. Gadis itu melompat
menghindar. Dia selamat. Meg selamat.
Tapi... apakah Meg takut?
Mungkin sekarang dia benar-benar takut lalu membatalkan
pesta itu. Dan semuanya akan normal kembali... ya, kan?
Dengan demikian dia pun bisa merasa normal kembali.
Tapi pembunuhan yang lain itu tetap akan menghantui
pikirannya. Setiap hari. Seumur hidup.
Dengan marah dibenturkannya kepalanya ke jendela samping.
Tidak. Kendalikan dirimu, man. Kendalikan dirimu.
Kini sisi kiri kepalanya terasa sakit. Bagus. Itu artinya normal.
Sakit kepala membuatnya merasa lebih normal.Santai saja, man. Ambil napas dalam-dalam. Ya, sekarang lebih
baik.
Kau kan hanya berniat menakut-nakutinya.
Kau harus menakut-nakuti Meg karena dia ingin mengadakan
pesta itu.
Kau tak punya pilihan. Kau tak mungkin membiarkan pesta itu
jadi diadakan. Kau takkan membiarkan mereka semua berkumpul lagi.
Kau takkan membiarkan Ellen datang dan menceritakan bahwa...
Kau takkan membiarkan Ellen menceritakan apa yang
sebenarnya terjadi tahun lalu....
**********
Meg melepas bajunya yang basah berlumpur dan
melemparkannya ke tumpukan baju kotor di lantai kamarnya. Lalu
cepat-cepat dia mandi air panas.
Kecuali memar di bahunya yang membentur trotoar, dirinya
baik-baik saja. Tetapi tangannya belum berhenti gemetar, jantungnya
masih berdegup kencang, dan kakinya pun masih gemetaran.
Setelah mandi air hangat lama-lama, mungkin dia akan segera
pulih. Untung kedua orangtuanya tidur sore-sore. Dia tidak berminat
menjelaskan mengapa dia pulang dengan baju seperti habis dipakai
berenang di kubangan.
Bagaimana dia akan bisa menjelaskan?
Dia sendiri tidak yakin akan apa yang baru saja dialaminya.
Apakah sebaiknya menelepon polisi?
Apa yang bisa dilaporkannya?
Dia tidak benar-benar melihat sosok mobil di balik kedua lampu
depannya. Dia tak bisa memberikan gambaran tentang mobil itu.Terlalu gelap... lalu tiba-tiba terlalu terang ketika kedua lampu depan
itu menyorot langsung ke arahnya dan mendekat dengan cepat.
Apakah mobil itu benar-benar berniat menabraknya? Apakah
pengemudinya kehilangan kontrol sesaat?
Jalanan sangat licin karena badai hujan yang tiba-tiba
mengamuk tepat sebelum dia meninggalkan rumah Shannon. Mungkin
mobil itu selip. Mungkin pengemudinya, siapa pun dia, tidak
melihatnya. Mungkin Meg berkhayal dan mengada-ada.
Mengada-ada?
Dia nyaris mati ditabrak.
Meg menggigil. Air panas yang mengucur tidak menghangatkan
badannya.
Cepat-cepat dia mengeringkan badannya yang masih
gemetaran, lalu mengenakan piama flanelnya yang paling hangat.
Setelah itu dia mengumpulkan pakaiannya yang kotor dan
memasukkannya ke kantong cucian.
"Apa yang bisa membuatku merasa lebih enak?"
Tony.
Tony pasti bisa menemukan kata-kata yang tepat. Tony pasti
tahu cara menenangkanku.
Dia sangat merindukan Tony. Dia membutuhkan Tony
sekarang.
Meg mengenakan kimono katun merah jambu di luar piamanya,
lalu duduk menelepon Tony. Dia mengangkat wajahnya dan melihat
bulan setengah muncul di langit. Langit sudah terang.
Dia menekan nomor telepon Tony. Telepon berdering dua kali,
tiga kali, dan beberapa kali lagi."Ayolah, Tony. Kau di mana?"
"'Lo?"
"Tony?"
"Bukan. Ini a-a-yahnya."
Meg mengenali suara Mr. Colavito yang gagap. Itu artinya ayah
Tony baru pulang dari bar. Kejutan?! Mr. Colavito menghabiskan
setiap malam di bar.
"Saya... Meg, Mr. Colavito."
"M-Meg?" Pria itu seperti mencoba mengingat-ingat, apakah
sudah pernah mendengar nama itu.
"Ya. Meg. Tony ada?"
"Tidak. Sekarang tidak."
"Tidak?"
"Tidak. Dia sedang pergi."
Bagus. Selalu siap menolong, seperti biasa. "Oh. Hmm... terima
kasih. Maaf, telah membangunkan Anda."
"Tak apa-apa. Aku hanya tidur."
Meg meletakkan gagang telepon. Akhir-akhir ini ayah Tony
semakin banyak minum. Tony tak banyak bicara tentang ayahnya, tapi
Meg tahu dia sangat kuatir.
Meg menatap telepon. Di mana Tony malam-malam begini?
Besok kan tidak libur.
Dia mengirimkan telepati: "Tony?aku membutuhkanmu.
Telepon aku. Telepon aku, Tony. Kau terima pesan ini?" Dia
berkonsentrasi, memusatkan kekuatan telepati yang mungkin
dimilikinya.
Tapi... pikiran buruk menyela konsentrasinya.Apakah Tony sedang berkencan dengan cewek lain?
Mungkinkah?
*********
Tony, yang sedang berjalan cepat-cepat, tidak menangkap
sinyal telepati dari Meg. Dia berada enam blok dari rumahnya di
Canyon Road. Sepatu ketsnya basah, begitu pula ujung celana jinsnya.
Dia pasti menginjak genangan air tanpa sadar. Dia ingin segera
sampai rumah dan mengganti pakaiannya yang basah dengan yang
kering.
Jalanan sunyi. Hanya terdengar bunyi air menetes dari pohon-
pohon tinggi dan bunyi kedut sepatunya yang menginjak trotoar.
Tiba-tiba dia mendengar degup yang keras dan kuat. Secara
spontan Tony meraba dadanya. Bukan... bukan degup jantungnya.
Bunyi itu berasal dari jalur masuk rumah di depannya. Beberapa
lampu spot putih menyinari jalur masuk dan sisi rumah itu. Nyalanya
terang sekali, seperti siang hari. Tony terkagum-kagum.
Dia terus berjalan sampai melihat seorang cowok sedang


Fear Street Pesta Kejutan The Surprise Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melempar-lemparkan bola basket ke ring basket yang menempel pada
dinding garasi. Tempat itu terang benderang. Pemuda itu kawan Brian
di Wizards & Dungeon. "Hei... Dwayne!"
Dwayne Colligan tidak menoleh. Dia sedang mendribel bola
lalu melemparkannya. Lemparannya meleset. Dia mengambil bola,
lalu men-dribel lagi. "Aku mencium baumu di sekitar sini, Colavito,"
sapanya riang.
Tony lari menyeberangi halaman rumah tetangga ke jalur
masuk di halaman rumah Dwayne. "Hei, Tony... kau mencemari
bolaku, man!""Perhatikan baik-baik, Colligan," kata Tony, lalu melempar
bola. Wussh. Bola itu sama sekali tidak menyentuh pinggiran ring.
"Tembakan untung-untungan," gerutu Dwayne.
"Ngapain kau di sini tengah malam begini?" tanya Tony sambil
memandang lampu spot yang menyala terang.
"Aku suka main basket malam-malam, man," sahut Dwayne
sambil mendribel bola. Kemudian dia melompat sambil melempar
dengan anggun. "Bikin pikiran jadi tenang." Dia menangkap bola lagi,
lalu melempar secepat kilat. Lengannya sangat kuat. Badannya tidak
mirip badan remaja. Dia sudah berlatih ribuan jam untuk membentuk
badannya hingga seperti itu.
"Hmm, bagaimana kabarmu?" tanya Tony sekadar mengajak
Dwayne ngobrol ketika lemparan cowok itu meleset.
"Baik," jawab Dwayne sambil mengangkat bahu. Dia
menyambar bola lalu mendribel menjauhi Tony.
"Bagaimana hubunganmu dengan Shannon?" Tony bertanya
sambil menyeringai.
"Tidak baik," sahut Dwayne sungguh-sungguh. Dia
melontarkan bola asal-asalan. Bola itu dipantulkan dinding garasi.
"Dia nggak mau jalan sama aku."
"Itu namanya pesimis, man," kata Tony sambil mengejar bola.
"Aku nggak ngerti," kata Dwayne sambil menekankan kedua
telapaknya ke dinding rumah lalu melakukan beberapa gerakan
peregangan. "Kakaknya memang membenciku."
"Evan?""Evan setengah mati membenciku. Dia bilang aku tak boleh
dekat-dekat adiknya. Dia tahu aku ngincar adiknya. Dia mengancam
akan bikin aku menyesal kalau aku berani dekat-dekat Shannon."
"Oh ya?" Tony mendribel bola dengan keras di aspal jalur
masuk. Dia tak pernah tahu itu. Evan tak pernah cerita tentang
Dwayne.
"Kau tahu, man?" Dwayne tersenyum lebar. "Ketika Evan
ditemukan tertembak mati di hutan, itu artinya kabar baik bagiku. Aku
senang. Kalau Evan tak ada, berarti aku bisa mendekati adiknya."
Tony merasa dadanya panas karena marah. Kemudian panas itu
menyebar ke sekujur tubuhnya.
"Evan sahabatku!"
Dia berteriak keras sekali sampai tenggorokannya sakit.
Dia memegangi bola basket dengan satu tangan, lalu
melemparkannya kuat-kuat ke perut Dwayne.
Dwayne mengerang kaget. Tony lari terpeleset-peleset di jalur
masuk yang basah. Dia sudah melewati tiga rumah ketika Dwayne
berteriak, "Apa masalahmu, sinting?!" Tapi dia tidak mengejar Tony.
Tony terus berlari, semakin cepat.
"Kau benar-benar sinting, man!" teriak Dwayne sambil
menekankan bola ke perutnya dengan kedua tangannya yang besar.
"Kau nggak beres! Dasar sinting!"
Tony berlari dua blok sebelum berhenti. Sekarang dia basah
kuyup karena keringat. Tetapi perasaannya lebih baik.
Dia malah merasa senang sekali.
Dia tidak suka orang menjelek-jelekkan Evan. Dia tidak tahan
mendengarnya.Evan cowok hebat.
Dan Dwayne cowok paling menyebalkan.
Dia tak tahan mendengar cowok seperti Dwayne senang karena
Evan mati. Maka dilemparnya cowok itu dengan bola basket. Dia
harus menyakiti Dwayne karena omongannya. Dia harus melakukan
sesuatu... dan itu benar-benar dilakukannya.
Tony senang karenanya. Dia senang sekali. Dia terus lari
sampai ke rumahnya, empat blok panjang tanpa sekali pun
melambatkan larinya.BAB
10 Jumat Malam
MEG tahu dia akan mendapat kesulitan besar karena
makalahnya belum selesai. Dia sudah terlambat tiga hari. Dia baru
menyelesaikan dua paragraf. Itu pun isinya tidak meyakinkan.
Namun apa yang bisa dilakukannya? Pikirannya kacau. Banyak
masalah memenuhi otaknya.
Kalau saja dia bisa bicara dengan Tony, menceritakan apa yang
terjadi, tentang kantong bekal makan siangnya yang diisi darah palsu,
tentang mobil yang nyaris menabraknya... mungkin.
Dia mencari-cari cowok itu di sekolah. Tetapi yang dicarinya
tak ada.
Dia melemparkan penanya lalu meremas-remas kertas yang
disobeknya dari buku tulisnya. Dia tak bisa menemukan bahan untuk
ditulis. Aku harus bertemu Tony sekarang juga, pikirnya. Sekarang
Jumat malam. Seharusnya aku tidak sedang duduk sendirian di sini
sambil mencoba merampungkan makalah yang membosankan.Tony sedang ingin membuktikan apa sih? Bahwa dia sama
keras kepalanya dengan Meg? Kenapa Tony tidak meneleponnya?
Meg melompat dari mejanya. "Aku akan ke sana," katanya
keras-keras. "Sekarang juga."
Dia pamit pada orangtuanya dan mengatakan akan pergi ke
rumah Tony. Dia mengambil kunci mobil dari rak di samping pintu,
lalu mengendarainya sampai ujung Canyon Road, ke rumah kecil
tempat tinggal Tony dan ayahnya.
Sambil memikirkan apa saja yang akan dikatakannya pada Tony
dan membayangkan mereka akan berbaikan, Meg memarkir mobilnya
di pinggir jalan. Setelah turun, dia lari menyeberangi halaman dan
menaiki undakan ke pintu depan rumah Tony.
Pintu terbuka sebelum dia sempat mengetuknya. Ayah Tony
keluar. Topi Cubs yang selalu dikenakan Mr. Colavito terpasang
rendah menutupi keningnya. Pria itu kaget melihat Meg, begitu pula
sebaliknya. Meg selalu kaget melihat kemiripan Mr. Colavito dengan
putranya. Bedanya, si ayah lebih kurus dan rambutnya sudah kelabu.
"Hai. Apa kabar?" mereka bicara serentak.
"Aku akan keluar... mau... eh... uh... jalan-jalan," kata Mr.
Colavito. Itu artinya dia akan pergi ke bar.
"Tony ada?"
"Tidak."
"Tidak?"
"Tidak. Maaf. Bisa kubantu? Kau baik-baik saja?"
"Ya. Saya... baik. Anda tahu dia pergi ke mana?"Mr. Colavito menuruni undakan. Meg berjalan menjajarinya.
Seekor kucing mengeong keras-keras di jalanan. Suara itu membuat
seluruh anjing di blok itu menyalak keras-keras. Bising sekali.
"Dia pergi bersama Brian. Dia sepupumu, kan?"
"Brian? Tony pergi dengan Brian?" Sejak kapan Tony punya
urusan dengan Brian?
"Ya. Mereka pergi main game." Mr. Colavito berjalan cepat.
Dia sudah tak sabar ingin segera sampai di bar.
"Wizards and Dungeons?"
"Ya. Itu dia. Kurasa itu namanya. Tony bilang aku tak perlu
mencemaskannya. Dia takkan pulang malam-malam. Kau bisa
mencoba meneleponnya nanti." Mr. Colavito mempercepat
langkahnya.
"Oke. Terima kasih," Meg berseru dari belakangnya. "Mereka
bilang ke mana perginya?"
"Tidak. Mereka tak bilang," ayah Tony berteriak ke belakang,
lalu menghilang di tikungan.
Meg pelan-pelan masuk ke mobilnya. Dia semakin bingung.
Tony tidak suka Wizards & Dungeons. Dia juga tak pernah tahan
bergaul dengan Brian. Kenapa sekarang dia pergi dengan Brian? Dan
memainkan permainan yang dibencinya itu malam-malam begini?
Apakah mereka pergi ke hutan Fear Street? Brian dan Dwayne
selalu pergi ke sana untuk memainkannya. Apakah dia benar-benar
pergi ke hutan yang seram itu dengan Brian, setelah semua yang
terjadi di sana?Meg berpikir, sebaiknya dia berputar-putar sebentar. Tetapi
tiba-tiba badannya letih sekali. Meg pulang, memasukkan mobil ke
halaman, berlari masuk rumah, lalu langsung naik ke kamarnya.
Dia baru bisa tidur setelah sejam lebih. Dia bermimpi.
Mimpinya aneh dan penuh warna. Dalam mimpinya dia mengejar-
ngejar orang, tetapi keliru mengejar orang yang tidak dikenalnya.
Dering telepon membangunkannya. Lama dia mengira dia
masih bermimpi. Masih mengejar-ngejar. Masih dikejar-kejar.
Dengan enggan dia mengangkat telepon. "Halo?" Suaranya
tidak jelas karena mengantuk.
"Halo, Meg? Brian dan Tony di situ?"
"Tidak. Ini siapa?"
"Ini ayah Tony."
"Oh. Hai. Maaf. Saya tidur tadi. Saya..."
"Mereka tidak di situ?" Suara Mr. Colavito terdengar aneh dan
sangat tegang. Kata-katanya terlalu jelas, terlalu jernih, seakan-akan
dia kebanyakan minum dan berusaha menutupi kenyataan itu.
"Tidak. Tentu saja tidak."
"Sekarang jam empat pagi," kata Mr. Colavito. "Ibu Brian
meneleponku. Brian tak ada di rumah, begitu pula Tony. Kau tahu
nggak, di mana mereka mungkin memainkan permainan konyol itu?"
"Hmm... uh... saya tak tahu. Hutan Fear Street mungkin..." Meg
memaksa diri bangun. Apa-apaan ini? Apa yang terjadi? Mengapa Mr.
Colavito kedengaran cemas sekali?
"Aku akan menelepon polisi," dia berkata kepada Meg. "Tony
dan Brian hilang."BAB
11 Jumat, Setelah Tengah Malam
MEG benar-benar terjaga sekarang. Seratus persen terjaga.
Pikirannya penuh bayangan-bayangan mengerikan tentang Tony dan
Brian, tentang hutan lebat yang mengerikan tempat begitu banyak
tragedi terjadi, yang bisa dijelaskan maupun yang tidak.
Tony, apa yang kaulakukan di sana? pikir Meg. Kenapa kau
berada di hutan itu bersama Brian malam ini?
Dan kenapa kau tak keluar dari sana?
Meg tahu, dia harus pergi ke sana. Dia harus memastikan
mereka baik-baik saja. Dia berjalan ke lemarinya, mengeluarkan jins
yang tadi dipakainya dan berusaha mengenakannya dalam gelap.
Tubuhnya oleng dan membentur meja. Lampu meja terbanting ke
lantai.
"Apa itu?" Dia mendengar ibunya berteriak dari kamar sebelah.
Beberapa menit kemudian ayahnya keluar untuk memeriksa.
Setelah menyalakan lampu selasar, dia melongok ke kamar Meg."Meg... mau ke mana? Jam berapa sekarang?" Ayahnya seperti
beruang yang baru bangun dari hibernasi?masa tidur panjang di
musim dingin. Ayahnya menguap lebar-lebar dan menyipitkan mata
memandang Meg.
"Ini memang masih malam, Dad. Tapi aku harus pergi."
"Pergi ke mana?" ulangnya sambil menggosok-gosok jenggot
hitamnya yang tebal. Dia tampak sangat bingung.
"Uh... hmm... Tony hilang."
"Hilang? Apa maksudmu hilang? Di mana?"
"Mungkin di hutan Fear Street."
Ayahnya mencerna kata-kata itu sebentar. Meg mengenakan
sweter wol tebal lewat atas kepalanya. Dia sudah memasukkan
lengannya, ketika menyadari sweter itu terbalik. Ah, biar saja terbalik,
katanya dalam hati.
"Dengar, apakah kesimpulan Dad benar? Kau akan pergi ke
hutan Fear Street?" Sekarang ayahnya benar-benar terjaga.
"Ya. Aku harus ke sana. Tony dan Brian pergi ke sana tadi.
Sekarang mereka hilang."
"Fear Street?" Ayahnya berusaha keras memahami apakah yang
dikatakan Meg masuk akal. Tentu saja itu tidak masuk akal. "Sori,
Dad takkan mengizinkanmu ke sana malam-malam begini."
"Tapi, Tony... Dad, tolonglah... aku harus ke sana! Brian pernah
menunjukkan gua tempat dia bermain Wizards and Dungeons padaku.
Aku pasti bisa menemukan gua itu. Polisi takkan tahu di mana
letaknya. Aku bisa membantu mereka."Ayahnya berpikir keras sambil menggosok-gosok jenggotnya.
"Baiklah. Tapi Dad akan menemanimu. Tunggu sebentar." Dia
kembali ke kamarnya.
Meg berdiri di selasar. Dia mendengar ayahnya dengan cepat
menjelaskan kepada ibunya. Dia mendengar ayahnya menabrak
perabotan ketika tergesa-gesa berpakaian. Meg berniat berlari ke
mobil dan pergi sebelum ayahnya selesai berpakaian. Tetapi sesuatu
mencegahnya. Dia senang karena ayahnya menemaninya.
Bahaya-bahaya di hutan Fear Street bukan hanya desas-desus.
Memang pernah ada orang hilang di bukit-bukitnya yang gelap, yang
panjangnya bermil-mil sampai melewati ujung Fear Street. Di sana
banyak kecelakaan yang tidak masuk akal yang sering dimuat di
koran. Pohon-pohon bertumbangan tanpa sebab. Binatang-binatang
menyerang dengan garang dan galak. Sungguh mengerikan.
Yang paling aneh adalah kenyataan bahwa di hutan itu tak ada
burung. Tak ada burung yang mematuki buah-buah beri liar, atau
mencari cacing di tanah yang empuk, atau membuat sarang di
pepohonan. Selama bertahun-tahun, berbagai tim dari berbagai
universitas di seluruh negeri datang menyelidiki, ingin mencari
penjelasan mengapa hutan itu bebas burung. Tetapi mereka semua
kembali tanpa tambahan pengetahuan apa pun.
"Siap?" Mr. Dalton muncul kembali di selasar. Dia mengenakan
kemeja wol tebal dan celana korduroi. "Tunggu, Dad ambil senter
dulu. Kau bisa cerita sambil jalan."
Tak banyak yang bisa diceritakan. Sambil bermobil sepanjang
jalan-jalan yang lengang ke Fear Street, Meg bercerita tentang Tonydan Brian yang pergi bermain Wizards & Dungeons, dan tentang
telepon dari ayah Tony.
"Bukankah Tony tak suka mainan itu?" tanya ayahnya sambil
menghidupkan wiper untuk menghilangkan kabut yang menempel di
kaca depan.
"Memang tidak," jawab Meg lirih. "Dia tak suka."
"Dad pikir juga begitu. Bukan tipenya."
Meg terlalu letih untuk bertanya apa maksud ayahnya dengan
kata-kata itu. Dia tahu ayahnya tidak setuju dia pacaran dengan Tony.
Mungkin ayahnya sengaja menyindirnya. Tetapi saat ini Meg sedang
malas berdebat. Dia sedang memikirkan keselamatan Tony dan Brian.
Mereka membelok di Fear Street dan langit tampak semakin
gelap. Meg tahu itu karena pohon-pohon lebat yang tegak di kanan-
kiri jalan. Mereka melewati kuburan tua, lalu menyusuri jalan sempit
yang berkelok-kelok sampai ke ujungnya.
Lampu-lampu merah yang berkelebatan menunjukkan bahwa
polisi sudah ada di sana. Dua mobil patroli diparkir di pinggir hutan.
Lampu merah darah di atapnya berputar-putar tanpa suara, seperti
alarm tanpa bunyi yang membuat jantung Meg sesaat berhenti
berdetak. Perasaan ngeri yang sejak tadi ditahannya kini menyembul
sampai ke lehernya.
Dia melompat turun sebelum ayahnya menghentikan mobil, lalu
lari menyeberangi tanah yang basah. Matanya menyipit, silau karena
cahaya lampu-lampu merah itu. Dilawannya rasa takutnya dan dengan
susah payah dia mengatur napasnya.
"Oh. Hai." Meg nyaris menabrak ayah Tony yang bersandar
pada mobil patroli sambil mencoba mengembalikan keseimbangantubuhnya. Mata Mr. Colavito tampak merah dan berair dalam cahaya


Fear Street Pesta Kejutan The Surprise Party di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merah terang itu.
Dia menunjuk ke hutan. "Mereka ada di sana. Polisi
menemukan jejak kaki. Mereka akan menemukannya." Ayah Tony
sedang mabuk. Meg harus bersusah payah untuk mencoba mengerti
kata-katanya.
Sid dan Marge, orangtua Brian serta paman dan bibi Meg,
datang cepat-cepat. Wajah mereka tegang karena cemas. "Meg, kau
tak harus datang ke sini," kata Sid sambil meremas lengan Meg untuk
memastikan cewek itu memang ada di situ. "Aku yakin Brian dan
Tony pasti... Oh. Hai, Todd."
Ayah Meg menyusul di belakang Meg, tampangnya murung
dan perasaannya tidak enak. "Sudah ada tanda-tanda tentang mereka?"
"Belum. Tapi mereka memang di sana," sahut Marge, suaranya
hanya bisikan. Dia mengalihkan pandangan.
"Kami tak mengerti mengapa Brian sangat suka permainan itu,"
kata Sid. "Mungkin dia hanya lupa waktu. Akhir-akhir ini dia semakin
sering memainkannya."
"Mungkin itu sebabnya," kata ayah Meg, tidak terlalu yakin.
Mr. Dalton memandang ayah Tony yang masih bersandar ke mobil
patroli dan melihat matanya yang berair. Mr. Dalton mengerutkan
dahi, lalu tiba-tiba ingat senter-senter yang dibawanya. "Ayo. Kita
bisa bantu polisi mencari mereka." Dia mengulurkan senter kepada
ayah Brian.
Sid hendak menerimanya, tetapi Marge menarik tangannya.
"Jangan. Di sini saja denganku. Polisi menyuruh kita menunggu di
sini, dekat mobil. Kita tak perlu ikut mencari.""Aku tak mau cuma berdiri di sini," kata Mr. Dalton tidak sabar.
"Mereka tak menyuruhku menunggu di sini."
"Aku ikut," kata Meg sambil meraih senter. "Aku tahu letak gua
tempat mereka biasa bermain. Ikuti aku."
Mr. Dalton ragu-ragu sebentar sambil menahan senter itu.
Tetapi melihat kecemasan di wajah Meg, dia menyerah. "Oke. Tapi
dekat-dekat Dad. Kau tak boleh jauh-jauh dari Dad, mengerti?"
Meg mengangguk setuju, menyalakan senter, lalu mengikuti
berkas cahayanya masuk ke hutan. Tanah berlapis daun-daun kering
dan ranting-ranting yang gugur. Setiap langkah membuat bunyi
keresak nyaring yang dipantulkan pepohonan. Meg menghentikan
langkahnya. Dia merasa ada yang mengikuti mereka. Ternyata... bunyi
sepatu ketsnya yang menginjak dedaunan kering.
"Harus ada yang memarahi kedua anak itu," kata Mr. Dalton
sambil menyenteri kakinya, tapi tetap tersandung cabang pohon yang
jatuh melintang di tanah. Dia terjungkal dengan keras, tetapi cepat-
cepat berdiri dan melangkah lagi. "Mereka tak punya hak membuat
kita repot dan cemas begini."
Meg diam saja. Dia membayangkan Evan. Dia membayangkan
Brian. Dia membayangkan Brian menemukan Evan tertembak mati di
hutan ini.
Ayah Meg membelok ke kiri. Meg bisa melihat berkas cahaya
senternya di antara pepohonan. Tenggelam dalam pikiran masing-
masing, tanpa sadar mereka menuju ke arah yang berbeda.
Meg bergidik. Udara basah dan dingin.
Malam-malam begini, suasana di dalam hutan tidak seperti di
musim semi. Tiba-tiba katak-katak pohon melengking memekakkantelinga. Dia mendengar bunyi berkelepak di atas kepalanya. Bukan
burung. Pasti kelelawar.
"TONY!" tiba-tiba Meg memekik. Suaranya ganjil, sama sekali
tidak mirip suaranya. Lebih mirip suara cewek yang ketakutan dalam
film horor. Nightmare on Fear Street?Mimpi Buruk di Fear Street,
pikirnya. Freddy datang. Freddy datang!
Tidak!
Hentikan pikiran-pikiran konyol itu!
"TONY! TONY!" Dia tidak peduli suaranya terdengar ganjil.
Dia hanya ingin menemukan cowok itu.
Sesuatu berkelebat di balik pokok lebar sebatang pohon mapel
tua. Sesuatu... atau seseorang?
"TONY? BRIAN? KALIAN DI SITU?"
Bukan. Itu binatang, seekor rakun berkelebat keluar dari
lingkaran berkas cahaya senternya, lalu bersembunyi dalam gelap.
Tanpa berpikir Meg mengikuti binatang itu dan mencoba
menyinarinya dengan senternya. Meg berhenti ketika sadar sudah
menyimpang jauh. Dia mengubah arah sambil menggerak-gerakkan
senternya membuat lingkaran- lingkaran lebar. Tiba-tiba semua katak
pohon berhenti melengking, begitu tiba-tiba... seperti ketika mulai
tadi. Sekarang yang terdengar bunyi sepatu ketsnya yang menginjak
dedaunan kering dan...
"Dad?"
Di mana Dad?
Meg merasa selalu bisa melihat cahaya senter ayahnya dengan
sudut matanya. Tetapi sekarang dia tak dapat menemukannya.
"Dad? Hai... Dad?"Tak ada jawaban.
Meg telah menyimpang terlalu jauh, mengikuti rakun tolol itu,
dan tenggelam dalam pikiran mengerikan yang berkecamuk di
benaknya. Sekarang dia sendirian. Setidak-tidaknya sampai dia bisa
menemukan ayahnya. Atau sampai dia bisa menemukan Tony dan
Brian.
"TONY? TONY? KAU BISA DENGAR AKU?"
Di mana polisi-polisi itu? Di mana cahaya senter mereka?
Berapa jauh dia telah menyimpang? Ke mana dia pergi?
Meg membelok. Kemudian membelok lagi. Sekitarnya gelap
gulita. "TONY? BRIAN?"
Dia mendaki bukit rendah, terpeleset-peleset menginjak daun-
daun basah. Hutan Fear Street tidak datar. Bukit-bukit rendah dan
jurang dalam yang membuat kegiatan hiking berbahaya di siang hari...
menjadi semakin berbahaya di malam gelap begini. "TONY? DAD?"
Lengang.
Aku tak takut, tegasnya dalam hati. Tapi... kenapa
kerongkongannya serasa tersumbat?
Kenapa kakinya lemas seperti karet? Kenapa jantungnya
berdegup kencang?
Tidak. Aku tak takut. Aku tak bisa lebih takut lagi dari
sekarang, karena aku memang sudah takut. "DAD?" suaranya lemah.
Dia mencoba berteriak, tetapi tak bisa. Mulutnya kering sekali.
"DAD? TONY?"
Di mana mereka?
Di mana dia?Meg maju beberapa langkah, kemudian membelok. Dia
mengikuti cahaya senternya menembus pepohonan. Sepetak semak
lebat berbunga kelihatan seperti sosok manusia yang mencondongkan
badan ke arahnya. Dia menghindari semak itu, merasakan kengerian
merembes sepanjang punggungnya. Dia maju beberapa langkah lagi.
Benarkah dia melangkah maju? Apakah sebenarnya dia justru
mundur? Dia menggerakkan senternya membentuk lingkaran.
Kepalanya berputar-putar. Tidak. Tanah di bawah kakinyalah yang
berputar-putar.
STOP!
Meg melangkah maju dengan mantap, hati-hati tapi mantap. Dia
maju membuat garis lurus, ranting-ranting berkeretak nyaring terinjak
kakinya. Seekor binatang berbulu kelabu berkelebat menghindari
berkas cahaya senternya yang terus disorotkannya ke depan.
'"TONY? DAD? ADA YANG DENGAR AKU?"
Dia berhenti.
Tetapi bunyi keretak ranting masih terdengar beberapa saat
kemudian.
Meg memutar badan. "Siapa?"
Sepi.
Apakah itu imajinasinya? Kedengarannya seperti langkah kaki.
Meg berjalan lagi. Sebatang ranting berkeretak nyaring sekali di
belakangnya, seperti letusan senapan.
Meg berhenti. Seseorang ada di belakangnya. "Tony? Kaukah
itu? Brian?" Dia menyorotkan senternya memutar, menggerakkannya
pelan-pelan membuat lengkungan. Tak ada siapa-siapa.Apakah itu polisi? Ayahnya? Bukan. Mereka pasti akan
menjawab.
Apakah ada orang lain berkeliaran di hutan ini? Orang tak
dikenal?
Meg melangkah cepat. Detak langkah di belakangnya ikut-
ikutan cepat. Malah lebih cepat. Kini Meg lari kencang, mencoba
menghindar, mencoba melewati tanah yang penuh akar dan ranting
yang berjalinan.
Tapi... orang yang mengejarnya ternyata lebih cepat.
"OHHH!"
Satu tangan terulur dan mencengkeram bahunya dengan kasar
dari belakang.BAB
12 Jumat, Lewat Tengah Malam
SENTERNYA ditendang lepas dari tangannya. Jatuh ke balik
setumpuk daun kering, cahayanya terkubur. Meg mencoba
melepaskan diri. Tetapi tangan itu mencengkeramnya kuat-kuat dan
menekan bahunya semakin keras. Meg meronta dan melawan.
Napasnya tersengal-sengal. Rasa sakit yang tajam merambat dari
bahunya... ke tangannya, ke pinggangnya, lalu ke sekujur badannya.
Cengkeraman itu semakin kuat. Meg merasa uap panas
menyembur ke pipinya. Dia mencium bau bawang dan kentang
goreng.
"Sudah kuperingatkan... batalkan pesta itu."
Kata-kata itu hanya bisikan, tetapi terdengar bagai auman.
Dengan sentakan sekuat tenaga Meg membebaskan diri dari
cengkeraman yang membuatnya tercekik itu. Dia melompat
maju...dan menjerit keras ketika jatuh. Dia mengangkat tangannya
untuk berpegangan pada sesuatu. Tapi... tak ada apa-apa yang bisa
dipegangnya.Meg jatuh ke jurang yang curam dengan kepala di bawah,
kemudian terguling-guling. Kepalanya membentur sesuatu yang keras,
entah batu entah batang pohon.
Matanya berkunang-kunang. Kepalanya berdenyut-denyut, sakit
sekali. Beribu cahaya berkelebatan di dalam kepalanya.
Cahaya-cahaya itu terus berkelebatan meskipun dia pingsan.
Meg terlalu cepat siuman. Kepala dan bahunya terasa sakit
sekali. Tak sadar, ada di mana sekarang. Dia mencari langit-langit
kamarnya, meja riasnya, dan meja belajarnya. Namun dia tidak sedang
di ranjangnya.
Dia terbaring di tanah basah, terbenam dalam tumpukan daun
dan rumput busuk yang baunya menyengat.
Meg duduk. Kepalanya berdenyut semakin kencang. Sekarang
dia ingat.
"Hai..." Dia mencoba berteriak, tetapi suaranya tidak keluar.
Dia meraba kepalanya lalu membuang ranting-ranting kering.
Rambutku. Tampangku pasti kacau, pikirnya.
Gila! Sempat-sempatnya aku mencemaskan penampilanku! Apa
aku sudah gila?
Sehelai daun menancap di tengkuknya. Meg menariknya hingga
lepas. Perutnya langsung mual dan kepalanya pening. Perasaan itu
dilawannya. Meg duduk tegak lalu mengambil napas dalam-dalam.
Dia ingin mengenyahkan rasa pening di kepalanya.
Pelan-pelan.Meg berdiri.
Lalu... dia melihat ada tubuh manusia tergeletak dekat kakinya.Meg melihat sebagian tubuh itu. Pullover yang tergulung ke
atas memperlihatkan kulit yang telanjang. Bagian belakang pullover
itu robek-robek dan penuh bercak. Jins biru. Sebuah lengan.
Tunggu. Apakah matanya jadi kacau? Apakah dia kena
halusinasi gara-gara jatuh tadi?
Meg berlutut untuk melihat lebih dekat. Bukan, ini bukan
halusinasi. Ini memang tubuh manusia. Tubuh itu bergerak, mulutnya
mengerang.
Tubuh itu masih hidup.
Bercak-bercak di pullover itu. Bercak-bercak itu...
Meg mengulurkan tangannya... menyentuh lengan itu. Secepat
kilat dia menarik tangannya ketika merasa menyentuh sesuatu yang
basah dan hangat. Darah.
Dia merangkak mengelilingi tubuh itu, lalu membalikkannya
agar bisa melihat wajahnya.
Brian.
Bukan Tony. Brian.
Meg merasa sangat bersalah karena berprasangka buruk
terhadap Brian. Tapi perasaannya tetap tidak enak. Meg belum dapat
menghilangkan prasangkanya.
"Brian... kau sadar? Kau bisa dengar aku?"
Cowok itu mengerang lagi, tetapi tak bergerak. Mulutnya
berdarah.
Dalam berkas cahaya Meg melihat wajahnya. Wajah itu
Bayangan Berdarah 16 Lima Sekawan Nyaris Terjebak Pendekar Bayangan Setan 4
^