Pencarian

Mary Anne Jadi Pahlawan 1

Baby Sitter Club 4 Mary Anne Jadi Pahlawan Bagian 1


BAB 1
"KRISTY! Hei, Kristy!" aku memanggil.
Aku baru saja melangkah keluar dari rumah dan sedang berdiri
di teras depan rumahku. Dari situ aku bisa melihat Kristy, yang juga
baru keluar dari rumahnya. Rumah kami bersebelahan. Seperti biasa
pada Senin sore jam setengah enam, kami hendak berangkat ke
pertemuan rutin Baby-sitters Club.
Kristy adalah ketua Baby-sitters Club. Dia juga sahabat karibku.
Kami berteman sejak kecil. Ibuku meninggal ketika aku masih sangat
kecil, dan aku hanya hidup berdua dengan ayahku. Karena itu Kristy
sudah kuanggap sebagai saudaraku sendiri, dan Bu Thomas?ibu
Kristy?sebagai ibuku sendiri. (Kedua orangtua Kristy bercerai
beberapa tahun yang lalu, dan ayahnya telah pergi meninggalkan
mereka. Tapi ayahku tidak pernah bersikap seperti seorang ayah
terhadap Kristy. Dia tidak ramah dan terbuka seperti Bu Thomas.)
"Hai, Mary Anne," Kristy menyahut.
Kami berlari menyeberangi halaman rumput di depan rumah
kami masing-masing, sambil menginjak sisa-sisa salju di bulan
Januari, lalu bertemu tepat di perbatasan halaman rumah kami. Setelah
itu kami bersama-sama menyeberangi jalan menuju rumah Claudia
Kishi. Claudia adalah wakil ketua Baby-sitters Club. Kami selalumengadakan pertemuan rutin di rumahnya, karena dia mempunyai
pesawat telepon pribadi di kamar tidurnya.
Kalau melihat cara kerjanya, sesungguhnya Baby-sitters Club
lebih cenderung mengarah pada bisnis daripada hanya sekadar klub.
Begini cara kerja klub: Pada hari Senin, Rabu, dan Jumat sore, para
anggota klub mengadakan pertemuan rutin dari jam setengah enam
sampai jam enam. Pada saat itu klien-klien menghubungi kami?
melalui nomor telepon Claudia?kalau mereka memerlukan
babysitter. Kemudian salah satu dari kami akan menerima pekerjaan
itu. Memang sederhana?tapi hebat, kan? (Semua itu gagasan Kristy.)
Kecanggihannya adalah karena jumlah kami ada empat orang, maka
kami bisa menjamin bahwa setiap klien pasti akan mendapatkan
seorang baby-sitter.
Tentu saja, klub kami tidak sempurna. Contohnya, para
anggotanya?Kristy, Claudia, aku (aku menjabat sebagai sekretaris),
dan Stacey McGill, bendahara klub?baru berumur dua belas tahun.
Karena itu kami cuma bisa bertugas sampai jam sepuluh malam. Atau
lebih tepatnya, hanya Stacey yang diizinkan orangtuanya untuk
bertugas sampai jam sekian. Claudia akhir-akhir ini juga sudah mulai
diizinkan orangtuanya, tapi Kristy dan aku harus sudah berada di
rumah jam setengah sepuluh pada akhir pekan, dan jam sembilan pada
hari-hari sekolah. Dan gara-gara hal ini, klub kami pernah hampir
bubar. Baru-baru ini, sekelompok anak cewek meniru kami. Mereka
mendirikan sebuah usaha bernama Baby-sitters Agency. Agen itu
terdiri dari anak-anak yang lebih tua dari kami, sehingga mereka bisa
bertugas sampai jam berapa pun. Banyak klien kami yang berpaling
pada Baby-sitters Agency dan mulai memakai jasa mereka. Tapi halitu tidak berlangsung lama. Saingan kami itu terpaksa gulung tikar,
karena para anggotanya ternyata bukanlah anak-anak yang
bertanggung jawab. Sejak itu keadaan kembali normal, dan kami
gembira karena tahun baru ini dimulai dengan semangat baru pula.
Kristy memencet bel rumah keluarga Kishi. Mimi yang
membukakan pintu. Mimi adalah nenek Claudia. Dia tinggal di rumah
keluarga Kishi untuk membantu mengawasi Claudia dan kakaknya,
Janine, karena kedua orangtua mereka bekerja.
"Halo, anak-anak manis," ujar Mimi dengan suara lembut.
Keluarga Kishi masih keturunan Jepang. Claudia dan Janine
dilahirkan di Amerika Serikat. Kedua orangtua mereka datang ke
Amerika ketika masih kecil. Tapi Mimi sudah berumur tiga puluhan
waktu meninggalkan Jepang, sehingga logat Jepangnya masih sangat
kentara. Aku menyukai logatnya itu. Lembut dan enak didengar.
"Hai, Mimi," kami menyahut.
"Bagaimana perkembangan syalmu, Mary Anne?" dia bertanya.
(Mimi mengajarku merajut. Dan dia sedang membantuku membuat
syal untuk Papa.)
"Lumayan," jawabku. "Sudah hampir selesai, tapi aku masih
perlu bantuan Mimi untuk membuat rumbai-rumbai di kedua
ujungnya."
"Boleh-boleh saja, Mary Anne."
Aku mengecup pipi Mimi dengan cepat. Kemudian Kristy dan
aku bersiap-siap untuk berlari menaiki tangga dan langsung masuk ke
kamar Claudia. Kami harus melakukan itu dengan cepat, karena kalau
Janine ada di rumah, kami harus berusaha untuk bisa melintas di
depan kamarnya tanpa harus berbicara dengan dia.Janine adalah anak yang jenius. Betul-betul jenius. Walaupun
baru berumur lima belas tahun, dia sudah dapat mengikuti beberapa
mata kuliah di Stoneybrook University. Dia sangat teliti, dan selalu
mengoreksi hampir setiap kata yang diucapkan orang padanya. Kristy
dan aku selalu berusaha sedapat mungkin untuk menghindari dia.
Hari itu kami beruntung. Janine tidak ada di rumah. Kamarnya
gelap waktu kami berlari lewat di depannya.
"Hai!" kami menegur Claudia.
"Hai," sahutnya. Suaranya agak teredam. Dia sedang sibuk
menggeledah sebuah kantong besar. Kepalanya hampir tenggelam ke
dalamnya, sementara tangannya menggerayangi dasar kantong itu.
Beberapa saat kemudian dia berdiri tegak, dan dengan bangga
memperlihatkan tiga batang cokelat Ring-Ding yang telah berhasil
ditemukannya. Ebukulawas.blogspot.com
Claudia adalah pecandu camilan. Dia membeli berbagai macam
permen, kue-kue, minuman, dan menyembunyikannya di setiap sudut
kamarnya. Dengan cara itu, dia bisa makan camilannya kapan saja.
Tapi dia tetap menghabiskan sarapannya, makan siangnya, dan makan
malamnya dengan teratur. Anehnya, berat badannya tidak pernah naik
satu ons pun. Dan wajahnya tidak pernah berjerawat.
Claudia menyodorkan dua batang cokelat kepada kami, tapi aku
menolak. Papa suka marah kalau aku tidak menghabiskan makan
malamku (atau sarapanku, atau makan siangku). Dan aku bukan tipe
anak yang punya selera makan baik. Claudia mengembalikan cokelat
bagianku ke dalam kantong. Dia tidak akan menawarkannya pada
Stacey, sebab Stacey penderita diabetes dan tidak diperbolehkan
banyak makan yang manis-manis."Sudah ada yang menelepon?" tanyaku. Sebenarnya jam
dinding di kamar Claudia belum menunjukkan pukul setengah enam,
tapi kadang-kadang klien-klien kami menelepon lebih awal.
"Ada satu orang," sahut Claudia. "Ibu Kristy. Dia perlu
seseorang untuk menjaga David Michael hari Kamis nanti."
Kristy mengangguk. "Baby-sitter yang biasanya menjaga David
Michael dua kali seminggu itu, sudah berhenti. Sebelum mendapat
penggantinya, Mama pasti akan sering menelepon kemari."
Kristy punya dua kakak laki-laki di high school, Sam dan
Charlie. David Michael adalah adik laki-lakinya yang baru berumur
enam tahun. Sam, Charlie, dan Kristy ikut bertanggung jawab
menjaga adik mereka itu. Masing-masing bertugas satu kali dalam
seminggu. Pada hari-hari kerja lainnya David Michael dijaga oleh
baby-sitter langganan Bu Thomas, tapi akhir-akhir ini dia memang
sering berhalangan datang.
"Hei, teman-teman!" panggil sebuah suara. Stacey masuk ke
kamar Claudia?seperti biasanya, dengan penampilan yang menawan.
Kalau ditanya, Stacey akan menjawab bahwa penampilannya
biasa-biasa saja. Tapi aku tidak sependapat. Stacey betul-betul
mempesona. Dia pindah dari New York ke sini?ke Stoneybrook,
Connecticut?pada musim panas yang lalu. Dia termasuk cewek yang
sangat memperhatikan penampilannya, bahkan dia diizinkan oleh
orangtuanya untuk mengeriting rambutnya. Dan rambutnya yang
pirang berombak itu membuat penampilannya semakin mempesona
saja. Pakaiannya juga selalu mengikuti mode?blus gombrong dengan
celana panjang ketat?dengan aksesori yang aneh-aneh tapi bagus,
misalnya bros berbentuk burung kakaktua, atau pohon kelapa. Diabahkan punya sepasang anting-anting berupa anjing untuk telinga
yang satu dan tulang untuk telinga yang lain.
Aku rela memberikan apa saja asal aku bisa seperti Stacey.
Tentu saja aku tidak berharap terkena penyakit diabetes. Tapi aku
kepingin mencicipi kehidupan di New York dan berpakaian seperti
peragawati setiap hari. Sebenarnya sih Papa tidak melarangku tampil
seperti peragawati?tapi peragawati yang memperagakan pakaian
anak-anak umur enam tahun. Aku harus selalu mengepang rambutku
(itu sudah merupakan peraturan), dan setiap hari aku harus meminta
persetujuan Papa tentang penampilanku. Sebenarnya ini agak tidak
masuk akal, karena Papa-lah yang membeli dan memilih semua
pakaianku. Dan yang dibelinya selalu saja rok-rok dari bahan
korduroi, sweter-sweter polos, blus-blus, dan sepatu-sepatu yang
modelnya sudah ketinggalan zaman.
Pingin deh aku pergi ke sekolah dengan penampilan lain. Sekali
saja! Aku akan memakai celana panjang ketat berwarna biru kehijau-
hijauan?dengan baju Hawaii seperti milik Stacey, yang bergambar
burung-burung flamingo dan toucan?dilengkapi dengan sepatu
kanvas tinggi berwama merah menyala. Aku ingin membuat gempar
anak-anak sekolah?membuat sensasi. (Kalau kupikir-pikir lagi, cuma
setengah dari diriku yang menginginkan hal itu. Yang setengah lagi
terlalu pemalu, tidak berani menarik perhatian orang.)
Stacey sering membuat sensasi.
Begitu juga Claudia. Walaupun dia tidak secanggih Stacey
(pernah tinggal di New York adalah pengalaman paling hebat yang
bisa kubayangkan), dia juga sangat memperhatikan penampilannya.Rambutnya panjang, hitam, dan mengkilap. Dan selalu
ditatanya sedemikian rupa, sehingga hampir setiap hari modelnya
berbeda. Kadang-kadang dia mengepang rambutnya menjadi untaian
kecil-kecil, kadang-kadang dia mengumpulkan rambutnya di ujung
kepala lalu mengikatnya dengan jepit yang aneh-aneh. Kali ini dia
hanya mengurai rambutnya, tapi dia memasang dua buah sirkam besar
berwarna kuning dan berbentuk bunga untuk menarik rambutnya ke
belakang.
Untung saja masih ada Kristy. Cara dia berpakaian lebih mirip
aku daripada Claudia dan Stacey. Aku merasa cukup aman karena ada
orang lain seumurku yang juga berpenampilan seperti anak kecil.
Sebenarnya Bu Thomas tidak pernah mengatur-atur cara Kristy
berpakaian. Kristy sendiri yang tidak terlalu peduli pada
penampilannya. Rambutnya yang berwama cokelat itu selalu kelihatan
berantakan. Dan dia tidak pernah memperhatikan apa yang
dipakainya. Sepertinya dia berpakaian hanya karena dilarang pergi ke
sekolah tanpa pakaian.
"Bagaimana? Sudah ada yang menelepon?" tanya Stacey.
"Baru seorang," sahut Kristy. "Ibuku perlu seseorang untuk
menjaga David Michael pada Kamis siang."
Aku membuka buku agenda klub. Baby-sitters Club punya dua
buku penting: buku agenda dan buku catatan. Buku agenda, seperti
juga namanya, berfungsi untuk mencatat segala kegiatan klub. Isinya
meliputi perjanjian dengan klien, alamat dan nomor telepon klien, dan
keterangan-keterangan lain seperti jumlah uang yang dibayarkan
klien, berapa banyak penghasilan tiap-tiap anggota untuk tiap-tiap
tugas, dan siapa saja yang sudah atau belum membayar uang iuranklub. Stacey yang mengurus segala sesuatu yang menyangkut uang
dan angka-angka.
Buku catatan klub adalah sebuah buku yang fungsinya lebih
seperti buku harian. Kristy meminta kami untuk menuliskan semua
kejadian yang kami alami pada waktu bertugas. Hal ini penting,
karena dengan demikian para anggota klub yang lain bisa ikut
mengetahui dan mempelajari masalah-masalah yang dihadapi dengan
para klien. Selain itu kami juga bisa mengetahui kebiasaan-kebiasaan
rnereka serta hal-hal khusus yang perlu kami perhatikan. Misalnya
saja, setelah Claudia pertama kali bertugas menjaga Eleanor dan Nina
Marshall, dia menuliskan pengalamannya di buku catatan klub dan
menjelaskan bahwa Nina alergi terhadap strawberry. Karena para
anggota klub diharuskan membaca buku catatan itu, maka dalam
waktu singkat kami semua sudah tahu bahwa kami tidak boleh
memberikan strawberry pada Nina Marshall.
Kalian lihat sendiri, kan, klub kami berjalan dan terorganisasi
dengan baik. Kami merasa berterima kasih pada Kristy untuk semua
itu, walaupun kadang-kadang (sering malah) dia suka sok ngatur.
Aku membuka buku agenda klub pada bagian yang berisi
perjanjian dengan klien. "Coba aku lihat dulu," ujarku. "Hari Kamis...
Claudia, kamulah satu-satunya yang menganggur. Kamu mau kan
menjaga David Michael?"
"Tentu," jawabnya.
Aku mencatat namanya di buku agenda. Sementara itu Claudia
menelepon kembali Bu Thomas di kantornya, untuk memberitahukan
bahwa dialah yang akan bertugas pada hari Kamis.Sesaat setelah dia meletakkan gagang telepon, telepon berdering
lagi.
Claudia yang menjawab, soalnya tangannya masih memegang
gagang telepon. "Halo, Baby-sitters Club.... Ya? ... Oh, hai.... Hari
Sabtu siang? Saya akan memeriksa jadwal kami dulu dan setelah itu
menelepon Anda kembali.... Oke. Bye."
Aku sudah membalik halaman buku agenda klub untuk
perjanjian hari Sabtu.
"Watson yang telepon, Kristy. Dia memerlukan seseorang?
selama kira-kira dua jam?untuk hari Sabtu, dari jam dua siang
sampai jam empat sore."
Watson adalah tunangan Bu Thomas. Mereka telah membuat
rencana untuk menikah pada musim gugur mendatang. Seperti halnya
Bu Thomas, Watson juga sudah bercerai. Dia punya dua anak yang
masih kecil-kecil: Karen yang berumur lima tahun, dan Andrew yang
berumur tiga tahun. Dua minggu sekali, anak-anaknya berakhir pekan
bersamanya. Kalau nanti Watson sudah menjadi ayah tiri Kristy, maka
Kristy akan punya dua adik tiri.
Kristy sangat menyukai Karen dan Andrew, dan dia pasti
kepingin sekali mengambil tugas hari Sabtu itu. Tapi klub kami punya
peraturan, bahwa setiap tugas yang datang harus ditawarkan dulu pada
semua anggotanya. "Wah," kataku, "sepertinya belum ada orang yang
punya tugas pada hari Sabtu."
"Memang tidak," ujar Stacey, "tapi hari itu aku harus ke
dokter."
"Dan Mimi akan mengajakku berbelanja," kata Claudia."Jadi, tinggal kamu dan aku yang menganggur, nih," aku
berkata pada Kristy. "Kamu, deh, yang mengambil tugas itu. Aku tahu
kamu kepingin sekali ketemu Karen dan Andrew."
"Makasih, ya!" jawab Kristy dengan gembira.
Aku memang sudah berbuat baik, tapi sekaligus bersikap
pengecut. Di sebelah rumah Watson tinggal seorang wanita aneh
bernama Bu Porter. Karen bilang dia seorang nenek sihir, dan
namanya sebenarnya Morbidda Destiny. Karen takut sekali padanya.
Begitu juga aku. Itulah yang menyebabkan aku tidak merasa keberatan
sama sekali menyerahkan tugas itu pada Kristy.
Claudia menelepon Watson kembali.
Setelah itu kami masih mendapat dua tugas lagi.
Telepon berdering lagi untuk kesekian kalinya. Kristy yang
menjawab. "Halo, Baby-sitters Club.... Hai, Bu Newton!"
Bu Newton adalah salah satu klien favorit kami. Dia punya
seorang anak laki-laki yang lucu, bernama Jamie... dan seorang bayi
perempuan yang baru lahir! Lucy belum lagi berumur dua bulan.
Karena Lucy masih terlalu kecil, Bu Newton jarang memakai jasa
Baby-sitters Club untuk menjaganya. Oleh sebab itu, setiap telepon
dari Bu Newton selalu membuat kami menjadi tegang.
Penuh rasa ingin tahu Claudia, Stacey, dan aku mendengarkan
percakapan Kristy dengan Bu Newton. Kami bertanya-tanya apakah
Bu Newton cuma memerlukan baby-sitter untuk Jamie, atau juga
untuk Lucy? Kami masing-masing berharap untuk mendapatkan


Baby Sitter Club 4 Mary Anne Jadi Pahlawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesempatan menjaga bayi yang mungil itu.
"Ya," Kristy berkata. "Ya.... Oh, Jamie dan Lucy." (Claudia,
Stacey, dan aku memekik tertahan.) "Hari Jumat... jam enam soresampai jam delapan malam.... Tentu saja. Saya yang akan datang.
Pasti. Sampai ketemu." Dia meletakkan gagang telepon.
Kristy yang akan datang?! Bagaimana dengan penawaran tugas
pada anggota lain? Claudia, Stacey, dan aku berpandangan. Aku sudah
tidak tahu lagi seperti apa tampangku waktu itu, tapi aku bisa melihat
campuran rasa kaget dan marah pada dua wajah yang lain.
Sebaliknya Kristy justru berseri-seri. Dia begitu gembira karena
mendapat kesempatan untuk menjaga Lucy, sehingga pada mulanya
dia sama sekali tidak menyadari apa yang telah dilakukannya.
"Keluarga Newton akan mengadakan pesta koktil pada hari
Jumat. Mereka memerlukan seseorang untuk menjaga anak-anak,
sementara mereka sibuk dengan para tamu," Kristy menjelaskan.
"Rasanya aku sangat tegang! Jam enam sampai jam delapan... Mudah-
mudahan aku sempat memberi Lucy susu dan..." Kristy terdiam.
Akhirnya dia menyadari bahwa orang-orang di sekelilingnya tidak
segembira dia. "Oh," katanya tersipu-sipu. "Maaf."
"Kristy!" teriak Claudia. "Seharusnya kamu menawarkan tugas
itu pada kami dulu. Kamu tahu bahwa itu sudah menjadi peraturan di
sini. Dan peraturan itu kamu yang buat. Aku kan juga kepingin
mendapat kesempatan menjaga Lucy."
"Begitu juga aku," tambah Stacey.
"Aku juga." Aku memeriksa buku agenda klub. "Dan kami
semua tidak punya tugas untuk hari Jumat."
"Waduh," ujar Claudia dengan cemberut. Dia mengambil
permen karet besar dari bawah selimut di atas tempat tidurnya,
membuka bungkusnya, memasukkan isinya ke dalam mulutnya,kemudian mengunyahnya dengan suara keras. "Ternyata di ruangan
ini ada orang yang suka memonopoli tugas."
"Aku sudah bilang maaf," sera Kristy. "Di samping itu, jangan
ngomong sembarangan. Sadar sedikit, dong."
Oh-oh, pikirku. Bakalan ada perang, nih.
"Apa maksudmu dengan sadar sedikit?" ujar Claudia.
"Begini," Stacey memulai, dan menurutku dia berusaha
berbicara dengan sopan, "kamu kan sudah sering melakukan hal yang
sama. Kamu ingat waktu ada tugas menjaga Charlotte Johanssen? Dan
tugas di rumah keluarga Marshall?"
"Dan tugas di rumah keluarga Pike?" aku menambahkan dengan
hati-hati. Memang benar. Claudia sendiri sudah sering lupa pada
peraturan itu.
"Hei, kalian ini apa-apaan, sih? Kok main keroyokan? Apa
kalian tidak pernah lupa?"
"Yah, sekali-sekali sih pernah," sahut Kristy.
"Betul-betul keterlaluan!" teriak Claudia. "Kamu" ?dia
menunjuk Kristy dengan penuh tuduhan? "yang melanggar peraturan
kita, tapi semua orang menyalahkan aku! Aku kan tidak melakukan
apa-apa. Aku tidak bersalah."
"Kali ini" gumam Stacey.
"Hei," ujar Claudia. "Kalau memang kamu kepingin punya
teman baru di Stoneybrook, jangan coba-coba bikin masalah dengan
teman yang sudah berhasil kamu dapatkan."
"Kamu mengancam?" seru Stacey. "Oke, kalau begitu, aku
tidak membutuhkan kalian lagi. Kalian jangan lupa asal-usulku.""Kami tahu, kami tahu?New York. Memang cuma itu yang
sering kamu sebut-sebut."
"Jangan potong omonganku," Stacey melanjutkan dengan lagak
sombong. "Aku ingin mengingatkan kalian bahwa aku tahan banting.
Aku biasa berjuang untuk diriku sendiri, dan aku tidak memerlukan
siapa-siapa. Aku tidak butuh orang rakus yang suka merebut tugas"?
dia melihat ke arah Claudia?"atau orang yang suka ngatur dan sok
tahu"?Kristy?"atau anak ingusan yang pemalu." Aku.
"Aku bukan anak ingusan!" kataku. Tapi baru saja aku selesai
berkata, daguku mulai bergetar dan air mata mulai menggenangi
mataku.
"Oh, tutup mulutmu! Jangan cengeng," Kristy menghardik
dengan tajam. Kadang-kadang dia tidak sabar menghadapiku.
Tapi aku sudah muak diperlakukan begitu. Aku melompat
berdiri. "Tidak, kamu yang tutup mulut," aku berseru kepada Kristy.
"Dan kamu juga," aku berkata pada Stacey. "Aku tidak peduli
seberapa tahan bantingnya kamu, atau seberapa istimewanya kamu
gara-gara penyakit diabetes brengsek itu. Yang jelas, kamu tidak
punya hak..."
"Jangan bilang penyakit Stacey brengsek!" Claudia memotong
kata-kataku.
"Dan kamu tidak perlu repot-repot membelaku," Stacey balas
berteriak pada Claudia. "Aku tidak perlu bantuanmu."
"Terserah," Claudia menyahut dengan dingin.
"Hei," Kristy tiba-tiba berkata. "Siapa yang kamu maksud
waktu kamu menyinggung soal suka mengatur dan sok tahu tadi?"
"Siapa lagi?" sahut Stacey."Aku?!" Kristy menoleh ke arahku.
"Tadi kamu menyuruhku tutup mulut. Jadi jangan
mengharapkan bantuan dariku," aku berkata pada Kristy.
Kristy terkejut mendengar kata-kataku. Wajahnya mirip wajah
seseorang yang baru diberitahu tentang penemuan baru para ilmuwan,
yang membuktikan bahwa bulan sebenarnya terbuat dari keju.
"Mungkin aku memang pemalu," kataku dengan keras, sambil
berjalan ke arah pintu. "Dan mungkin juga aku sangat pendiam. Tapi
itu tidak berarti kalian bisa menginjak-injakku. Kalian mau tahu
pendapatku tentang kalian? Menurutku, kamu, Stacey, orang yang
sombong dan terlalu membanggakan diri; kamu, Claudia, pemburu
tugas yang rakus; dan kamu, Kristin Amanda Thomas, orang yang
paling suka ngatur dan paling sok tahu di seluruh dunia. Aku tidak
peduli walau sampai mati tidak ketemu dengan kalian lagi!"
Aku keluar dari kamar Claudia. Pintu kamarnya kubanting
dengan keras, sampai dinding-dinding rumahnya ikut bergetar. Lalu
aku berlari menuruni tangga. Di belakangku aku bisa mendengar suara
Claudia, Stacey, dan Kristy yang masih ramai bertengkar. Pada saat
aku sampai di ruang depan rumah keluarga Kishi, aku mendengar
pintu kamar Claudia dibanting lagi. Dua pasang kaki berlari menuruni
tangga.
Aku berlari pulang, setengah berharap Kristy atau Stacey akan
berteriak memanggilku. Tapi tidak satu pun dari mereka melakukan
itu.Bab 2
SETELAH pertengkaran sengit tadi, aku sebenarnya sama
sekali tidak berminat makan malam bersama Papa. Tapi Papa
menganggap makan malam sebagai acara keluarga yang tidak boleh
dilewatkan. Papa dan aku bergantian menyiapkannya. Pokoknya kami
harus sudah duduk di dapur untuk bersantap malam pada jam setengah
tujuh.
Aku merasa lega, karena waktu aku pulang dari rumah Claudia
sore itu, Papa ternyata masih di kantor. Mataku sembap dan aku tidak
kepingin bicara dengan siapa pun pada saat-saat seperti itu. Aku
membanting-banting semua barang di dapur dengan marah. Aku
mengeluarkan panci berisi daging panggang sisa tadi malam dari
dalam kulkas, membanting pintu kulkas, memasukkan panci ke dalam
oven, lalu menutup pintu oven dengan keras. Kemudian aku
mengeluarkan piring dan gelas, pisau dan garpu, lalu membanting dua
pintu lemari dan mendorong sebuah laci dengan keras. Aku setengah
melempar barang-barang itu satu per satu ke atas meja. Delapan
lemparan.
Setelah itu aku naik untuk cuci muka. Pada saat Papa pulang,
keadaanku sudah jauh lebih baik, dan perasaanku juga sudah agak
tenang."Mary Anne?" dia memanggil.
"Sebentar," aku menyahut. Aku berlari menuruni tangga dengan
penampilan lebih rapi. Sebelumnya aku telah menyisir rambutku,
memasukkan blus ke dalam rok, dan menarik kaus kaki sampai ke
bawah lutut. Papa selalu bilang bahwa penting sekali untuk
berpenampilan baik pada waktu-waktu makan.
"Hai," aku berkata.
"Halo, Mary Anne." Papa beranjak mendekatiku dan
membungkuk, sehingga aku bisa mengecup pipinya. "Apakah makan
malam sudah disiapkan?"
"Ya." (Papa tidak suka mendengar orang berkata yeah. Dia juga
benci dengan kata-kata tutup mulut, hei, sebal, brengsek, dan masih
segudang kata-kata lain yang sering kugunakan kalau aku tidak berada
di dekatnya.) "Aku sedang memanaskan daging panggang yang
kemarin."
"Bagus," ujar Papa. "Ayo kita membuat salad, supaya makan
malamnya bertambah lengkap."
Papa dan aku mengeluarkan daun selada, tomat, ketimun, dan
wortel. Kami mengupas dan mengiris-iris bahan-bahan itu sambil
membisu. Tidak berapa lama kemudian, semangkuk besar salad sudah
tersedia di tengah-tengah meja makan. Papa mengeluarkan daging
panggang dari oven, memotong-motongnya, lalu membaginya
menjadi dua porsi.
Kami duduk sambil menundukkan kepala, sementara Papa
memanjatkan doa. Pada akhir doanya, sebelum mengucapkan "Amin",
Papa memohon agar Tuhan melindungi Abigail. (Abigail adalah nama
ibuku.) Sepanjang pengetahuanku, kata-kata itu selalu diucapkan Papasebelum makan, dan kadang-kadang aku berpikir bahwa itu terlalu
berlebihan. Bagaimanapun juga, sudah hampir sebelas tahun Mama
meninggal. Aku juga selalu berdoa untuk Mama setiap malam
sebelum tidur, dan menurutku itu sudah cukup.
"Nah, bagaimana pengalamanmu hari ini, Mary Anne?"
"Baik," jawabku.
"Bagaimana dengan ulangan bahasamu?"
Aku menyuapkan sesendok salad ke dalam mulut, walaupun
sebenarnya aku tidak merasa lapar. "Baik. Aku dapat sembilan puluh
sembilan. Itu nilai..."
"Mary Anne, tolong jangan bicara dengan mulut penuh
makanan."
Aku menelan makanan di mulutku. "Aku dapat sembilan puluh
sembilan," aku mengulangi. "Itu nilai tertinggi di kelas."
"Bagus sekali. Papa sangat bangga mendengarnya. Dengan
begitu kamu tidak sia-sia belajar."
Aku mengangguk.
"Apakah klubmu mengadakan pertemuan rutin sore ini?"
tanyanya.
"Yeah... ya."
Kristy, Claudia, dan Stacey semuanya merasa heran karena
Papa mengizinkanku untuk ikut menjadi anggota klub. Mereka juga
heran aku diperbolehkan untuk mengerjakan begitu banyak tugas
sebagai baby-sitter. Tapi mereka tidak tahu alasan sebenarnya kenapa
Papa menyukai Baby-sitters Club. Papa berpikir bahwa dengan ikut
berorganisasi, aku bisa belajar bertanggung jawab, belajar membuatrencana untuk masa yang akan datang, belajar menabung?pokoknya
hal-hal semacam itu.
"Ada kejadian apa tadi? Ada yang istimewa?" Papa mencoba
tersenyum.
Aku menggelengkan kepala. Aku tidak akan menceritakan
pertengkaran sengit tadi padanya.
"Baiklah," ujar Papa, mencoba untuk menjalin percakapan,
"kasus yang sedang Papa tangani berjalan dengan... dengan sangat
baik hari ini. Dan sangat lancar. Papa merasa yakin bahwa kami akan
memenangkannya."
Aku bergerak-gerak dengan salah tingkah di tempat dudukku.
Aku tidak mengerti kasus mana yang sedang dibicarakan Papa, tapi
aku punya perasaan bahwa seharusnya aku tahu. Mungkin Papa
pernah menceritakannya padaku. "Hebat, Pa."
"Ya. Terima kasih."
Selama beberapa menit kami meneruskan makan malam kami
sambil membisu.
"Kasus ini sangat menarik, karena menunjukkan bahwa
kejujuran adalah hal yang paling penting dalam perjanjian bisnis," dia
akhirnya berkata.
"Kamu harus selalu ingat itu, Mary Anne. Kalau kamu berbuat
jujur dan tidak curang, maka kamu akan menjadi orang yang
berguna."
"Akan kuingat, Pa."
Kami makan sambil membisu lagi. Aku baru menyadari bahwa
Papa dan aku duduk berhadap-hadapan begini dua kali sehari pada
hari kerja, dan tiga kali sehari pada akhir pekan. Kalau tiap kali makanmenghabiskan waktu kira-kira setengah jam, maka itu artinya kami
menghabiskan waktu lebih dari empat ratus jam dalam setahun untuk
makan bersama, mencoba menjalin percakapan?dan membicarakan
hal-hal yang itu-itu juga. Papa sepertinya orang asing, yang kebetulan
ikut makan bersamaku enam belas kali dalam seminggu.
Aku mendorong-dorong daging panggang di piringku.
"Kamu tidak makan, Mary Anne," ayahku berkata. "Apakah
kamu tidak enak badan?"
"Tidak, aku baik-baik saja."
"Betulkah? Kamu tidak makan kue atau cokelat di rumah
keluarga Kishi, kan?"
"Tidak, Pa, sump... sungguh. Aku hanya tidak terlalu lapar
malam ini."
"Baiklah, setidak-tidaknya kamu harus mencoba menghabiskan
salad-nya. Setelah itu kamu boleh mulai mengerjakan PR."
Papa mengucapkannya sedemikian rupa, seakan-akan
mengerjakan PR adalah semacam hadiah untukku.
Aku berusaha menelan sebanyak mungkin makanan. Kemudian
Papa menyetel radio untuk mendengarkan musik klasik, sementara
kami membersihkan dapur. Akhirnya aku bisa melarikan diri ke
kamarku.
Aku duduk di meja belajar dan membuka buku matematika.
Selembar kertas sudah tersedia di hadapanku, dengan dua batang
pensil yang telah diruncingkan dan penghapus karet berwarna merah
jambu. Tapi aku tidak bisa memusatkan pikiran. Sebelum sempat
menulis sebuah angka pun, aku sudah berdiri lalu merebahkan diri di
atas tempat tidur.Aku teringat pada apa yang telah kukatakan pada teman-
temanku: orang sombong yang suka membanggakan diri; pemburu
tugas yang rakus; orang paling suka ngatur dan paling sok tahu di
seluruh dunia. Aku sangat menyesal karena telah mengatakan semua
itu. Tapi kemudian aku teringat bahwa mereka juga mengataiku
anak ingusan dan menyuruhku tutup mulut dengan kasar. Aku sangat
menyesalkan Stacey dan Kristy yang telah bertindak seperti itu.
Aku kepingin sekali bisa bicara dengan seseorang. Mungkin
aku bisa menelepon Claudia. Paling tidak, tadi sore dia tidak
mengatai-ngatai aku. Dia cuma bilang bahwa aku tidak boleh
menyebut penyakit Stacey brengsek. Tapi aku tidak diizinkan untuk
menggunakan telepon setelah makan malam, kecuali untuk
mendiskusikan soal PR.
Sebenarnya aku bisa minta izin khusus pada Papa untuk
menggunakan telepon. Repotnya, Papa pasti kepingin tahu untuk
urusan apa.
Aku menarik napas.
Aku memandang ke luar jendela kamarku. Jendela itu tepat
berhadap-hadapan dengan jendela kamar Kristy di rumah sebelah.
Dari jendelaku, aku bisa mengamati kamar Kristy. Lampunya tidak
menyala dan kamarnya gelap.
Aku duduk bersila di atas tempat tidur sambil melihat
berkeliling. Tidak heran kalau Stacey menyebutku anak ingusan.
Kamarku tampak seperti kamar bayi. Memang tidak ada tempat tidur
bayi ataupun lemari pakaian bayi, tapi pada dasarnya kamarku belum


Baby Sitter Club 4 Mary Anne Jadi Pahlawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengalami banyak perubahan sejak aku berumur tiga tahun. Warna-warna yang dominan adalah merah jambu dan putih. Ayahku
beranggapan bahwa setiap anak perempuan pasti menyukai warna
merah jambu, padahal sebenarnya aku lebih menyukai warna kuning
dan biru laut. Bagiku, merah jambu adalah warna pilihan terakhir.
Tirai-tirai jendela yang berlipit, terbuat dari bahan bermotif
bunga-bunga dengan warna dasar merah jambu. Tirai-tirai itu diikat ke
sisi-sisi jendela dengan pita-pita yang juga berwarna merah jambu.
Warna seprai senada dengan tirai. Karpet di samping tempat tidurku
terbuat dari bulu kasar, dan berwarna merah jambu muda. Bagian atas
dinding kamar dicat putih. Bagian bawahnya, sampai kira-kira
setinggi satu meter, dilapisi kayu yang dicat merah jambu.
Tinggal di kamar seperti ini rasanya seperti hidup di dalam
mesin pembuat gula-gula.
Yang paling menggangguku adalah apa yang terdapat di
dinding?tepatnya, apa yang tidak terdapat di dinding. Aku sering
menghabiskan waktu di kamar Kristy dan Claudia. Aku juga pernah
dua kali masuk ke kamar Stacey. Berdasarkan pengalamanku itu, aku
mengambil kesimpulan bahwa kita dapat mengenal sifat, kesukaan,
dan kebiasaan seseorang hanya dari dinding kamarnya. Misalnya,
Kristy sangat menyukai olahraga, jadi dinding kamarnya dipenuhi
poster-poster Olimpiade, serta gambar-gambar pesenam dan pemain
sepakbola. Claudia adalah pelukis dan semua hasil karyanya dipajang
di dinding kamarnya. Dia sering mengganti-gantinya. Mencopot
lukisan-lukisan atau gambar-gambar lama, lalu memasang yang baru.
Dan Stacey, yang selalu kangen pada New York City (lebih dari yang
diakuinya), memasang poster kota itu di waktu malam, poster Empire
State Building, dan peta Manhattan.Nah, bandingkan dengan apa yang tergantung di dinding
kamarku: foto kedua orangtuaku dan aku yang diambil pada saat aku
dibaptis, gambar si manusia telur Humpty Dumpty (sebelum dia
pecah), dan ada dua lagi gambar tokoh-tokoh dalam cerita Elisa di
Negeri Ajaib. Semuanya diberi bingkai berwarna merah jambu.
Tahukah kalian apa yang ingin kupasang di dinding kamarku?
Aku sudah berkali-kali memikirkannya, siapa tahu tiba-tiba Papa
menjadi sinting dan bilang bahwa aku bisa mengatur sendiri kamarku.
(Sori nih, ya, aku menggunakan istilah "sinting", soalnya sikap Papa
begitu keras padaku sehingga kalau sampai ia berubah pikiran,
kuanggap ia sudah sinting.) Aku tidak diizinkan untuk memasang
poster, karena Papa tidak suka kalau paku-pakunya membuat banyak
lubang di dinding. Tapi anggap sajalah Papa benar-benar hilang
ingatan, dan tidak peduli lagi dengan lubang-lubang di dinding. Nah,
kalau begitu, aku akan memasang poster besar bergambar seekor atau
beberapa ekor anak kucing, foto besar para anggota Baby-sitters Club,
poster kota New York, dan mungkin sebuah lagi yang memperlihatkan
kota Paris.
Aku akan mencopot gambar Humpty Dumpty dan Elisa, tapi
membiarkan foto keluargaku tetap terpasang di dinding.
Pandanganku beralih dari dinding ke jendela. Jantungku
berdegup lebih kencang melihat cahaya di kamar Kristy. Mungkin aku
bisa melambaikan tangan padanya, untuk menunjukkan bahwa aku
sudah melupakan pertengkaran tadi. Tapi Kristy cepat-cepat menutup
tirai jendelanya, tanpa sedikit pun menoleh ke arahku.
Aku melihat arloji. Sudah hampir jam delapan. Satu jam lagi
aku bisa mencoba memberi sinyal-sinyal padanya denganmenggunakan senter. Bahasa kode itu kuciptakan agar kami bisa
bercakap-cakap pada malam hari tanpa menggunakan telepon. Salah
satu dari kami biasanya memberi tanda pada yang lain dengan
menyalakan senternya beberapa saat setelah jam sembilan malam.
Pada saat itu, ayahku sudah masuk ke kamarku untuk mengucapkan
selamat malam. Setelah itu, aku masih boleh membaca di tempat tidur
sampai jam setengah sepuluh, tapi aku tahu Papa tidak akan masuk
lagi ke kamarku. Sudah lama Kristy dan aku melakukan hal ini, dan
kami belum pernah tertangkap basah.
Aku menyelesaikan PR-ku, lalu memakai baju tidur. Lima
menit sebelum jam sembilan, aku sudah berada di tempat tidur, sambil
membaca sebuah buku yang menarik berjudul A Wrinkle in Time.
Papa menyembulkan kepalanya di pintu. "Oh, bagus. Kamu
sudah siap untuk tidur."
Aku mengangguk.
"Apa yang kamu baca?"
"A Wrinkle in Time. Buku ini termasuk dalam daftar buku Pak
Counts." (Pak Counts adalah penjaga perpustakaan sekolah.)
"Bagus. Nah, selamat malam, Mary Anne."
"Selamat malam, Papa."
Dia menutup pintu kamarku. Aku bisa mendengar suara
langkahnya menuruni tangga.
Aku tahu Papa sayang padaku. Dan aku tahu apa sebabnya dia
mendidikku dengan sangat keras.
Dia ingin menunjukkan pada semua orang bahwa aku bisa
tumbuh menjadi gadis yang baik, walaupun tanpa seorang ibu. Tapi
kadang-kadang aku menginginkan adanya perubahan.Aku mengeluarkan senterku dari dalam laci meja belajar. Lalu
aku mematikan lampu kamar, dan berjingkat-jingkat ke depan jendela,
sambil berharap cemas bahwa Kristy akan melakukan hal yang sama.
Aku merencanakan untuk mengirim sinyal MAAF padanya.
Sudah lima belas menit aku berdiri di depan jendela, tapi
bayangan Kristy belum juga tampak.
Pada saat itu aku sadar bahwa dia sangat marah padaku.Bab 3
KEESOKAN harinya aku bangun tidur dengan perasaan sedih.
Belum pernah Kristy marah padaku begitu lama. Tapi, aku memang
belum pernah mengatainya orang paling suka ngatur dan paling sok
tahu di seluruh dunia. Aku berpakaian sambil mencoba menghibur
diri. Permusuhan di antara kami? para anggota Baby-sitters Club?
pasti tidak akan berlangsung lama. Bagaimanapun juga kami kan
punya bisnis yang harus dijalankan bersama-sama. Selambat-
lambatnya, segalanya pasti akan berakhir besok, pada pertemuan rutin
klub.
Selesai sarapan, aku mencium Papa untuk berpamitan, lalu
berlari ke pintu depan. Semoga saja Papa tidak memperhatikan bahwa
pagi itu aku berjalan sendirian ke sekolah. Kalau sampai Papa
mengetahuinya, maka dia pasti curiga bahwa ada sesuatu yang tidak
beres.
Baru enam kali aku berjalan ke sekolah sendirian, sejak di
Taman Kanak-kanak. Empat kali karena Kristy sakit dan harus tinggal
di rumah; sekali karena Kristy dan keluarganya pergi berlibur ke
Florida sehari sebelum liburan musim semi dimulai; dan sekali lagi
karena Kristy terlalu sedih gara-gara ayah-ibunya mau bercerai.Claudia kadang-kadang ikut berjalan bersama-sama kami, tapi
kadang-kadang juga tidak. Tapi, sejak kami berempat mendirikan
Baby-sitters Club, hampir setiap hari Kristy, Claudia, Stacey, dan aku
berjalan bersama-sama dari dan ke sekolah.
Aku berjalan menyusuri trotoar, lalu berhenti sebentar ketika
sampai di depan rumah Kristy. Aku mencoba untuk memutuskan
apakah sebaiknya aku memencet bel rumahnya dan mencoba
berbicara dengan dia. Tapi akhirnya aku meneruskan langkahku. Pada
dasarnya, aku memang pengecut. Aku tidak akan berani ngotot-
ngototan dengan Kristy di depan seluruh anggota keluarganya.
Aku berjalan cepat-cepat menuju sekolah, sambil sebentar-
sebentar melirik, kalau-kalau ada Kristy, Claudia, atau Stacey. Tapi
aku tidak melihat satu pun dari mereka. Pikiran buruk mulai
menghantuiku. Jangan-jangan mereka semua sudah berbaikan, dan
tinggal aku sendiri yang masih dimusuhi. Dengan perasaan tidak
keruan, aku memasuki gerbang sekolah.
Orang pertama yang kulihat adalah Kristy! Tapi dia pun
sendirian, tidak bersama Claudia ataupun Stacey. Perasaanku mulai
agak tenang.
Aku melambaikan tangan padanya.
Aku yakin bahwa Kristy sedang melihat ke arahku. Dan dia
pasti melihatku melambaikan tangan kepadanya.
Tapi dia malahan menegakkan kepala, berbalik, lalu berjalan
sambil mengentak-entakkan kaki menuju lorong sekolah. Aku
terpaksa mengikuti dia, soalnya homeroom kami bersebelahan. Tapi
aku berusaha untuk tetap menjaga jarak.Pada saat aku hampir sampai di homeroom, tiba-tiba aku
melihat Claudia memasuki lorong sekolah lalu berjalan ke arah Kristy
dan aku.
"Hei, Kristy!" Claudia memanggil.
Oh, gawat, pikirku. Ternyata mereka sudah berbaikan.
Tapi Kristy pura-pura tidak melihat Claudia.
"Kristy," Claudia berkata lagi.
"Apakah kamu bicara padaku?" Kristy berkata dengan dingin.
"Atau pada pemburu tugas yang lain?"
Wajah Claudia langsung berubah menjadi kaku. "Bukan,
kamulah satu-satunya pemburu tugas yang aku lihat sekarang ini."
"Ngaca dulu, dong," tangkis Kristy.
Claudia kelihatan sangat marah dan bersiap-siap untuk
membalas dengan lebih keji. Tapi sebelum dia sempat memikirkan
kata-kata yang tepat, Kristy sudah berjalan masuk ke homeroom-nya
lalu membanting pintu.
Aku bertanya-tanya apakah cukup aman kalau aku mencoba
mendekati Claudia. Bagaimanapun juga, dia kan sudah menunjukkan
bahwa dia ingin berbaikan dengan Kristy. Tapi sebelum aku bisa
memutuskan, bel sudah berbunyi.
Claudia masuk ke homeroom-nya; begitu juga aku.
Pagi itu, waktu rasanya berjalan sangat lambat. Aku tidak bisa
memusatkan pikiran pada pelajaran. Kepalaku dipenuhi dengan
berbagai macam surat permintaan maaf pada teman-temanku. Tapi
aku kemudian menyadari bahwa ternyata hati kecilku masih belum
bisa memaafkan mereka. Bunyi dari beberapa surat yang kukarang
tidak begitu ramah:Stacey yang baik,
Aku sangat, sangat menyesal karena kamu mengataiku anak
ingusan. Aku harap kamu juga menyesal.
Kristy yang baik,
Aku menyesal karena kamu orang paling suka ngatur dan paling
sok tahu di seluruh dunia, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Apakah
kamu pernah mempertimbangkan untuk minta bantuan seorang ahli
jiwa?
Claudia yang baik,
Aku menyesal karena telah mengataimu pemburu tugas yang
rakus. Kamu tidak begitu, kok, dan aku pun tidak bersungguh-
sungguh. Kuharap kamu mau memaafkan aku.
Temanmu,
Mary Anne
Hm, rasanya cuma surat untuk Claudia saja yang layak dikirim.
Pada pelajaran bahasa Inggris, aku cepat-cepat menyelesaikan
tugas yang diberikan guru. Kemudian dengan hati-hati aku mencopot
selembar kertas looseleaf dari buku catatanku, lalu mengambil sebuah
pena (yang jarang kupakai) dari dalam tas. Pena itu sudah kuisi
dengan tinta berwarna biru tua. Dan karena bentuk mata penanya
bagus, maka tulisanku kelihatan seperti diukir, dan melingkar-lingkar
seperti kaligrafi.
Aku menulis perlahan-lahan, sambil memastikan diri bahwa
semua huruf sudah tertulis dengan bagus dan tidak ada ejaan yang
salah. Setelah itu aku mengibas-ngibaskan kertas supaya tintanya
cepat kering, melipatnya dua kali (aku berusaha agar lipatannya benar-benar lurus), lalu memasukkannya ke dalam tas. Pada saat makan
siang nanti aku akan memberikan surat itu pada Claudia.
Lututku terasa lemas waktu aku berjalan ke kantin beberapa
menit kemudian. Dalam hati aku bertanya-tanya apakah Stacey dan
Claudia sudah berbaikan, atau masih tetap bermusuhan. Mereka kan
selalu duduk di satu meja?bersama anak-anak top lainnya yang
beberapa di antaranya adalah cowok.
Pada waktu memasuki kantin, yang pertama-tama kulakukan
adalah melihat sekeliling ruangan. Aku kepingin tahu apa yang
dilakukan teman-temanku. Mataku tertumbuk pada meja Claudia dan
Stacey. Aku tidak melihat adanya perubahan. Gerombolan anak-anak
yang duduk di meja itu tetap lengkap, atau hampir lengkap. Ada Pete,
Howie, Rick, Dori, Emily, dan Stacey. Tapi Claudia tidak kelihatan.
Kalau begitu, Claudia dan Stacey belum berbaikan juga.
Mataku terus mencari-cari sekeliling ruang makan, sampai
akhirnya kutemukan Claudia. Ternyata dia duduk bersama Trevor
Sandbourne. Cuma berduaan. Trevor adalah cowok yang ditaksir
Claudia, dan mereka sudah beberapa kali pergi bersama-sama. Claudia
bertopang dagu, rambutnya terurai jatuh di atas bahunya. Dia sedang
berbisik-bisik pada Trevor, sementara Trevor mendengarkannya
sambil tersenyum-senyum. Mereka kelihatan sangat intim dan sangat
senang.
Aku berjalan melintasi meja-meja yang sudah penuh dengan
anak-anak. Kemudian aku melangkah menuju ke tempat Kristy dan
aku biasa duduk bersama dengan si kembar Shillaber?Mariah dan
Miranda. Meja itu berbentuk bundar dengan empat buah kursi, cocok
untuk grup yang biasa duduk di situ. Tapi di tengah perjalanan, akumenghentikan langkahku. Ternyata Kristy dan si kembar sudah lebih
dulu duduk di meja itu. Mereka sengaja menyebar makan siang
mereka sehingga memenuhi seluruh permukaan meja. Itu artinya tidak
ada lagi tempat kosong untuk meletakkan makan siangku. Tiba-tiba
aku menyadari bahwa kursi keempat pun sudah tidak ada di
tempatnya. Mungkin mereka sudah memindahkannya, atau
meminjamkannya pada anak lain, atau apa pun. Aku tidak peduli apa
yang telah mereka lakukan dengan kursiku. Pokoknya, tindakan
mereka itu menunjukkan bahwa mereka tidak mengharapkan
kehadiranku di situ.
Aku mengamati teman-temanku selama beberapa saat. Kristy
duduk menghadap ke arahku. Dia sedang mengoceh secepat kereta api
sementara Mariah dan Miranda ketawa cekikikan.
Kristy menengadah dan menatapku. Lalu dia mulai nyerocos
lagi dengan lebih bersemangat. Dia memberi isyarat pada si kembar
untuk mendekatkan wajah mereka padanya, kemudian dia sengaja
berbisik-bisik pada mereka sambil tertawa gelak-gelak.
Aku langsung membalikkan badan.
Tiba-tiba aku merasa seperti anak baru di sekolah itu. Aku tidak
tahu harus duduk dengan siapa lagi. Sejak permulaan masuk middle
school, aku selalu makan siang bersama Kristy, Mariah, dan Miranda.
Aku bisa meramalkan apa yang akan dilakukan Kristy,
seandainya dia mengalami hal seperti aku. Tanpa segan-segan dia
akan ikut bergabung dengan sekelompok anak lain, walaupun dia
tidak mengenal mereka dengan baik. Tapi bagaimana dengan aku?
Rasanya aku bisa mati karena malu. Aku tidak akan pernah bisa
bertindak seperti itu.Aku berjalan mengelilingi kantin sampai kutemukan sebuah
meja kosong. Aku menjatuhkan diri di kursi, kemudian membuka
kotak makananku. Karena makan siangku kubawa dari rumah, aku
tidak perlu membeli makanan kantin yang kadang-kadang
memuakkan. Tapi ada ruginya juga, sih, aku tak pernah mendapat
kejutan waktu makan siang.
Aku menggelar serbet kertas di atas meja, lalu menyusun makan
siangku di atasnya: roti isi selai kacang, jus apel, kentang goreng, dan
pisang. Aku memperhatikan bekalku itu, lalu menyadari bahwa
ternyata aku tidak merasa lapar.
Aku masih memandangi makananku, ketika sebuah suara di
sebelahku berkata, "Maaf, bolehkah aku ikut duduk di sini?"
Aku menengadah. Tepat di sebelahku berdiri seorang gadis
berbadan tinggi dengan rambut pirang. Baru sekali ini aku melihat
orang dengan rambut begitu pirang?pucat sekali sampai hampir
putih. Dan rambut pirang itu sangat lurus dan mengkilap sampai ke
ujung-ujungnya.
"Tentu saja," ujarku, sambil melambaikan tangan ke arah kursi-
kursi yang masih kosong.


Baby Sitter Club 4 Mary Anne Jadi Pahlawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia duduk sambil menarik napas, lalu meletakkan nampannya
di meja. Aku melihat isi nampannya dan merasa bersyukur karena aku
membawa makan siang sendiri. Aku tahu Stacey dan Claudia selalu
menganggap Kristy dan aku seperti anak kecil, karena kami masih
suka membawa bekal ke sekolah. Tapi bagaimana lagi? Terus terang
aku muak melihat makaroni panggang yang ada di nampan gadis itu.
Makaroni itu dikelilingi oleh wortel berwarna jingga terang yang
menyerupai bubur, sehelai daun selada yang sudah layu, dan sepotongdaging yang keras. Tak ada cara untuk memotong daging itu selain
menggunakan gergaji listrik.
Gadis itu tersenyum malu-malu padaku. "Kamu pasti anak baru
juga, ya?" dia berkata.
"Baru?" Wajahku memerah. Jelas saja dia mengira begitu.
Kalau aku bukan anak baru, mana mungkin aku duduk sendirian.
"Oh," aku tergagap, "ehm, bukan. Cuma, ehm... semua temanku...
tidak masuk hari ini."
"Oh," gadis itu berkata dengan nada kecewa.
"Apa... apakah kamu anak baru?" aku bertanya setelah hening
beberapa saat.
Dia mengangguk. "Aku baru dua hari di sini. Tidak ada orang
yang mau menerima anak baru duduk bersama-sama dengan mereka.
Dan aku agak malu untuk duduk sendirian. Tadinya kupikir aku telah
menemukan seorang teman yang mau duduk bersamaku?anak baru
juga."
Aku tersenyum. "Aku tidak keberatan untuk duduk bersamamu.
Walaupun aku bukan anak baru."
Gadis itu tersenyum padaku. Menurutku, wajahnya tidak begitu
cantik, tapi menyenangkan dan ramah. Itu yang lebih penting.
Terutama karena pikiranku masih dipenuhi oleh tiga wajah yang tidak
menyenangkan.
"Namaku Dawn," ujarnya. "Dawn Schafer."
"Dawn," aku mengulang. "Namamu bagus sekali. Aku Mary
Anne Spier."
"Hai, Mary Anne Spier." Mata Dawn yang berwarna biru pucat,
hampir sepucat rambutnya, bersinar-sinar dengan gembira."Apakah kamu baru pindah kemari?" tanyaku. "Atau pindah
sekolah atau apa?"
"Aku baru pindah kemari," sahutnya. "Minggu lalu." Dia mulai
makan dengan perlahan-lahan tapi teratur. Pertama-tama dia menyuap
makaroninya, lalu wortelnya, kemudian salad-nya. Dia menghabiskan
makanan di piringnya dengan cara berputar. "Rumah kami masih
berantakan," dia melanjutkan. "Kardus-kardus berisi barang-barang
masih tersebar di mana-mana. Kemarin, waktu makan malam, aku
perlu waktu dua puluh menit untuk menemukan adik laki-lakiku di
antara kardus-kardus itu."
Aku ketawa cekikikan. Pada saat itu juga, secara spontan aku
melihat ke seberang kantin, ke meja Kristy. Ternyata dia sedang
mengawasiku. Begitu pandangan kami bertemu, dia langsung bicara
lagi dengan Mariah dan Miranda. Dia sengaja menciptakan suasana
meriah, seakan-akan ingin menunjukkan bahwa tanpa aku pun mereka
dapat bersenang-senang.
Aku juga bisa melakukan permainan seperti itu, pikirku.
Walaupun aku kurang terampil dalam menghadapi orang lain yang
tidak kukenal dengan baik, aku masih bisa melakukannya. Dengan
gaya berkomplot, aku mendekatkan wajahku pada Dawn.
"Kamu kepingin tahu, siapakah anak yang paling aneh di
sekolah ini?"
Dia mengangguk dengan penuh semangat.
Anak yang kumaksud itu duduk di meja tepat di sebelah meja
Kristy. Aku segera memanfaatkan kesempatan ini untuk menunjuk ke
arahnya. "Nah, itu dia. Namanya Alexander Kurtzman. Cowok yangmemakai pakaian lengkap?pantalon, hem, dasi, rompi, dan jas.
Kamu lihat, tidak?" aku berbisik pada Dawn.
Dawn mengangguk.
"Jangan sekali-kali menyerobot ke depannya kalau dia sedang
antre untuk mengambil makan siang. Juga jangan coba-coba untuk
menyerobot ke belakangnya, kecuali kalau dia berada di urutan paling
belakang. Asal tahu saja, dia itu gila peraturan."
Giliran Dawn yang tertawa. "Siapa lagi yang perlu kuketahui?"
dia bertanya.
Aku menunjuk beberapa orang anak lagi.. Dawn dan aku
menghabiskan waktu makan siang kami sambil berbisik-bisik dan
tertawa-tawa. Dua kali aku memergoki Kristy sedang mengamati
kami. Dia menatap kami dengan pandangan penuh kebencian. Aku
menyadari bahwa apa yang kulakukan sebenarnya justru
memperburuk keadaan. Tapi senang juga rasanya bisa membalas
dendam, sebab dia telah menyingkirkan aku dari meja kami.
"Hei, kamu mau mampir ke rumahku seusai sekolah besok?"
Dawn bertanya.
"Ehm... ehm, boleh juga," sahutku. Rasanya agak kikuk
mengobrol dengan orang selain Kristy, Claudia, Stacey, atau si
kembar Shillaber. Sebelum ini, aku belum pernah mencari teman
sendiri. Mariah dan Miranda menjadi teman-temanku karena mereka
teman-teman Kristy. Stacey menjadi temanku karena dia teman
Claudia. Sedangkan Kristy dan Claudia sudah berteman denganku
sejak kecil.
"Sip!" seru Dawn. Kelihatannya dia merasa kesepian karena
belum punya teman di Stoneybrook.Aku mulai merasa bersalah. Aku menyadari bahwa satu-satunya
alasan kenapa aku mau main ke rumah Dawn adalah karena aku ingin
membuat Kristy (dan Stacey dan Claudia) bertambah kesal.
Diam-diam aku berharap agar Kristy melihatku berjalan pulang
bersama Dawn besok, seusai sekolah. Aku juga berharap bahwa dia
akan kaget melihat kami. Lebih bagus lagi kalau dia marah (lebih
daripada sebelumnya). Bahkan kalau mungkin aku ingin membuatnya
sakit hati (sedikit saja).
"Pasti asyik, ya," aku menambahkan. "Kamu tinggal di mana,
sih?"
"Di Jalan Burnt Hill."
"Wah, kalau begitu tidak jauh dari rumahku, dong! Aku tinggal
di Bradford Court."
"Bagus! Eh, kami punya video-tape. Bagaimana kalau kita
nonton film?"
"Oke, deh!"
Dawn dan aku berdiri, lalu membereskan meja tempat kami
makan.
"Apakah besok kamu mau makan bersamaku lagi?" tanya
Dawn. "Atau mungkin teman-temanmu sudah kembali masuk
sekolah?"
Aku terdiam beberapa saat. Bagaimana kalau kami berempat
sudah berbaikan besok? Yah, bagaimana nanti sajalah.... "Entahlah,"
sahutku.
"Ya sudah. Tidak apa-apa, kok," Dawn berkata perlahan-lahan.
"Oke. Sampai ketemu, ya."
Kami meninggalkan kantin.Hari itu aku tidak melihat Kristy, Claudia, ataupun Stacey lagi
sampai bubar sekolah. Sesaat setelah bel terakhir berbunyi, aku berdiri
di gerbang sekolahku?Stoneybrook Middle School?sambil melihat
ke seberang lapangan rumput di depan gedung sekolah.
Aku melihat mereka, ketiga-tiganya. Mereka sedang berjalan
meninggalkan sekolah. Masing-masing berjalan sendiri. Masing-
masing masih menyimpan dendam.
Aku berjalan pelan-pelan setelah mereka berlalu. Setiba di
rumah baru aku menyadari bahwa aku belum sempat memberikan
surat yang telah kutulis pada Claudia.Bab 4
WAKTU aku bangun tidur keesokan harinya, hal pertama yang
kuingat adalah bahwa hari itu hari Rabu, dan bahwa kami akan
mengadakan pertemuan rutin Baby-sitters Club. Kita tidak bisa terus
bermusuhan, aku berkata dalam hati, kecuali kalau kita mau
membatalkan pertemuan. Dan selama ini, tidak pernah ada pertemuan
rutin yang dibatalkan. Tiba-tiba aku merasa sangat yakin bahwa
permusuhan di antara para anggota Baby-sitters Club sudah berakhir.
Karena begitu yakinnya, maka dalam perjalanan ke sekolah
pagi itu aku berhenti di depan rumah Kristy, kemudian memencet bel
rumahnya. Aku beranggapan bahwa kami bisa berjalan ke sekolah
bersama-sama dan saling meminta maaf.
Ding-dong.
David Michael yang membukakan pintu. "Hai, Mary Anne!"
katanya.
"Hai," sahutku. "Kristy belum berangkat?"
"Yap," ujar David Michael, "dia masih..."
"Aku tidak ada di rumah!" Aku mendengar Kristy berteriak dari
ruang duduk.
"Tapi kamu kan masih di rumah, Kristy. Kamu ada di..."
"David Michael, coba kamu ke sini sebentar," seru Kristy.David Michael meninggalkan ruang depan.
Beberapa detik kemudian, aku mendengar suara langkah kaki
berjingkat-jingkat ke ruang depan. Tiba-tiba pintu di depanku
dibanting dengan keras ?tepat di depan hidungku.
Aku berdiri di teras depan rumah keluarga Thomas dengan
gemetar.
Kemudian aku membalikkan badan, lalu menyeberangi
lapangan rumput di depan rumah Kristy.
Sepanjang perjalanan ke sekolah, teriakan marah Kristy dan
suara bantingan pintu terngiang-ngiang terus di telingaku. Yah,
pikirku, toh masih ada Dawn. Memang Dawn tidak seperti Kristy atau
teman-temanku yang lain, tapi ada sesuatu yang istimewa pada
dirinya.
Pada waktu makan siang, Dawn dan aku duduk bersama-sama
lagi. "Teman-temanmu tidak masuk lagi hari ini?" Dawn bertanya. Dia
kelihatan agak bimbang.
"Yeah," sahutku. Aku memutuskan untuk tidak menyinggung-
nyinggung masalah itu.
Aku melihat berkeliling di kantin, mencari para anggota Baby-
sitters Club yang lain. Hari itu agak berbeda dari kemarin. Kristy tetap
makan bersama si kembar Shillaber, tapi kursi keempat sudah
ditempati oleh seorang teman lain: Jo Deford.
Claudia dan Trevor bergabung dengan Rick dan Emily. Mereka
duduk di ujung sebuah meja panjang. Di ujung yang satu lagi ada
Dori, Howie, Pete, dan Stacey. Beberapa kali aku melihat Stacey
mengangkat wajahnya, lalu menatap Claudia dengan pandangan
penuh kebencian. Claudia juga begitu. Dia membisikkan sesuatu padaTrevor, lalu memandang ke arah Stacey dan tertawa sekeras-
kerasnya. Pernah sekali aku melihat dia menjulurkan lidahnya ke arah
Stacey.
Ternyata situasinya lebih buruk dari kemarin. Aku tidak heran
kalau Kristy masih mendendam padaku. Tapi aku tidak menyangka
bahwa Stacey dan Claudia pun masih bermusuhan. Aku pikir mereka
pasti sudah berbaikan, atau setidak-tidaknya pura-pura berbaikan di
depan teman-teman mereka. Aku tidak mengira bahwa Claudia yang
keren ternyata bisa menjulurkan lidahnya kepada seseorang di depan
Trevor Sandbourne. Biasanya dia malu untuk melakukan hal-hal
seperti itu, apalagi di depan cowok yang ditaksirnya.
"Gawat," aku berkata sambil mendesah.
"Apa?" tanya Dawn.
Aku mendesah lagi. "Tidak apa-apa."
***********
Bel terakhir tanda usai sekolah berbunyi. Aku menyerbu ke
pintu gerbang sekolah, karena sudah berjanji untuk menemui Dawn di
situ. Aku mereka-reka bagaimana caranya agar Kristy melihatku
berjalan pulang bersama-sama dengan teman baruku itu. Aku
memutuskan untuk bersikap biasa-biasa saja waktu menemui Dawn,
lalu berjalan lambat-lambat meninggalkan sekolah. Tapi ternyata
kejadiannya jauh lebih baik dari yang kuduga.
Beberapa saat setelah aku sampai di gerbang sekolah, anak-
anak lain yang baru bubar dari kelas masing-masing, mulai
bergerombol melintasi gerbang. Mataku terus mencari-cari Kristy di
antara kerumunan anak-anak itu. Tidak lama kemudian aku
melihatnya. Pada saat itu, dia juga melihat ke arahku. Ekspresiwajahnya antara merengut dan mengejek. Kalian tahu apa yang
kulakukan? Aku tersenyum. Bukan kepada Kristy, tapi kepada Dawn
yang kebetulan berdiri di depannya. Aku yakin betul bahwa pada saat
itu Kristy pasti berpikir bahwa aku ingin berbaikan dengan dia.
Dia kaget setengah mati waktu mendengar Dawn berseru
padaku, "Hai, Mary Anne!" lalu berlari ke arahku.
"Hai," sahutku. Aku tersenyum lagi padanya. Dan pada waktu
kami berjalan meninggalkan gerbang sekolah, aku menoleh ke
belakang untuk melihat Kristy yang berdiri terbengong-bengong.
Dawn dan aku berjalan menyeberangi lapangan rumput di
depan sekolah, sambil bercakap-cakap dengan seru. Kami bahkan
sempat melewati Claudia dan Trevor?membuat siang itu lebih
mengasyikkan lagi bagiku.
Rumah baru Dawn ternyata rumah kuno.
"Bekas rumah petani," dia menjelaskan, "dan umurnya sudah
sangat tua. Rumah ini dibangun tahun 1795."
"Wow!" kataku. "Masa, sih! Kamu beruntung, lho, bisa
membeli rumah tua seperti ini."
"Memang, sih. Walaupun memerlukan banyak sekali perbaikan
di sana-sini, dan ukurannya tidak terlalu besar. Pokoknya nanti kamu
bisa lihat sendiri, deh."
Kami berjalan menuju pintu depan rumahnya. "Kalau ayahku
ada di sini," ujarnya, "dia pasti terpaksa membungkukkan badannya
agar bisa melewati pintu ini."
Aku mendongak. Ternyata ambang atas kusen pintu itu cukup
dekat di atas kepalaku."Orang-orang dulu memang lebih pendek daripada orang-orang
zaman sekarang," Dawn menjelaskan.
Aku berjalan masuk, lalu menutup pintu. Ruangan yang
kumasuki amat berantakan. Kardus-kardus besar berserakan di mana-
mana?ada yang sudah kosong, ada yang sudah terbuka tapi masih
ada isinya, dan beberapa malahan masih belum dibuka. Kecuali itu
masih ada tumpukan kertas koran yang bercampur baur dengan segala
macam... ehm... tetek-bengek lainnya. Kayaknya sih aku berada di
ruang duduk, tapi anehnya di situ ada juga piring-piring, mainan,
seprai, dan selimut, tirai plastik, ban sepeda, bahkan buah peach
kalengan.
"Ibuku belum sempat membereskan semua ini," kata Dawn.
"Tapi dia memang tidak pernah bisa benar-benar membereskan
sesuatu. Ma!" dia memanggil. "Ma, aku sudah pulang!"
"Mama di dapur, Sayang."
Dawn dan aku terpaksa melangkahi dan menghindari segala
macam barang, tapi akhirnya kami berhasil sampai di dapur tanpa
menyenggol sesuatu.
Aku mulai mengerti apa yang dimaksud Dawn waktu
mengatakan bahwa rumahnya berukuran kecil. Dapurnya begitu
sempit, sehingga tidak bisa menampung meja makan dan kursi-kursi.
Dan keadaan di dalam dapur sangat gelap, karena bagian luar kaca
jendelanya telah ditumbuhi tanaman liar yang menjalar.
Seorang wanita cantik?dengan rambut pendek berombak yang
sama mengkilapnya dengan rambut Dawn?sedang berdiri di meja
dapur sambil perlahan-lahan membolak-balik halaman sebuah album
foto.Dawn melihat barang-barang yang masih berantakan (keadaan
di dapur sama berantakannya dengan di ruang duduk) lalu beralih ke
album foto yang dipegang ibunya. "Ma!" dia berseru. "Mama lagi
ngapain, sih?"
Bu Schafer mengangkat wajahnya dengan rasa bersalah. "Oh,
Sayang," ujarnya, "perhatian Mama terpecah terus. Mama sebetulnya
sedang bekerja tadi, waktu kebetulan menemukan album ini, juga
amplop berisi foto dengan tulisan UNTUK DITEMPEL DI ALBUM


Baby Sitter Club 4 Mary Anne Jadi Pahlawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

FOTO di depannya. Mama langsung berhenti bekerja, lalu mulai
memasukkan foto-fotonya ke dalam album."
Dawn tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ah, Mama selalu begitu. Mungkin ada baiknya kalau kita biarkan
rumah seperti ini saja. Jadi kalau sewaktu-waktu kita perlu pindah
lagi, maka kita tinggal melemparkan kembali barang-barang itu ke
dalam kotaknya."
Bu Schafer tertawa mendengar ucapan Dawn.
"Ma, ini temanku Mary Anne. Kami selalu makan siang
bersama-sama."
Bu Schafer menjabat tanganku. "Hai, Mary Anne. Senang bisa
berkenalan denganmu. Maaf, lho, kalau rumahnya masih berantakan.
Tapi kalau kamu naik ke kamar Dawn nanti, kamu akan menemukan
satu-satunya ruangan yang teratur rapi di rumah ini. Sehari setelah
kepindahan kami kemari, Dawn sudah membersihkan kamarnya,
membongkar barang-barangnya, dan membereskan semuanya."
Dawn mengangkat bahu. "Bagaimana lagi? Aku tidak suka
kalau berantakan, sih."
"Kalian mau makanan kecil, anak-anak?" tanya Bu Schafer."Memangnya ada makanan apa?" Dawn balik bertanya.
"Kita masih punya agar-agar rasa anggur," ibunya menjawab,
"dan sekaleng buah peach."
"Selama ini kami makan di luar," Dawn berkata padaku.
"Maklum, rumahnya masih seperti ini." Ia kembali berpaling pada
ibunya. "Terima kasih, Ma, lain kali saja."
Dawn dan aku berlari menaiki tangga. Semuanya berukuran
serba kecil atau rendah: ruang makannya, juga tangga yang menuju ke
lantai atas. Tangga yang sempit dan gelap itu menuju ke sebuah
lorong yang sama sempit dan gelapnya. Kamar Dawn terletak di ujung
lorong itu. Kamarnya juga kecil, dengan langit-langit rendah dan
lantai kayu yang berderak-derak kalau kita berjalan di atasnya.
"Wow, aku suka kamarmu," ujarku, "tapi, astaga, kelihatannya
orang-orang zaman dulu betul-betul kerdil, ya?"
"Mungkin juga," sahut Dawn. "Tapi ada dua keistimewaan
kamar ini. Ini yang pertama." Dia menunjuk jendela kecil berbentuk
bundar yang terletak di dekat langit-langit. "Aku tidak tahu kenapa
jendela itu ada di situ, tapi aku menyukainya."
"Mirip jendela di kapal," aku berkomentar.
Dawn mengangguk. "Dan yang satu lagi ini." Dia memencet
beberapa tombol di dinding. Tiba-tiba kamarnya menjadi terang
benderang, karena begitu banyak bola lampu yang menyala. "Aku
paling tidak suka kamar yang suram," Dawn menjelaskan. "Karena itu
ibuku membelikan banyak lampu untukku, dan semuanya kupasangi
bohlam seratus watt. Mudah-mudahan saja kabel-kabel listrik di
rumah tua ini mampu menahan daya sebesar itu.""Hei!" aku berseru. "Video-tape-nya ada di kamarmu? Waduh,
kamu beruntung sekali. Kamu punya TV dan video-tape pribadi."
"Ini cuma untuk sementara, kok. Nanti kalau seluruh rumah
sudah beres, TV dan video-tape akan dipindahkan ke ruang duduk.
Kamu kepingin nonton film apa?"
"Film apa yang kamu punya?"
"Hampir semuanya. Ibuku suka sekali nonton film. Dia selalu
memeriksa TV Guide dan sering merekam film-film yang ada di TV."
"Kalau begitu, kamu pasti punya film The Parent Trap, dong?"
"Jelas saja aku punya. Itu film terakhir yang direkam ibuku
sebelum..."
"Sebelum apa?" tanyaku.
Dawn menatap lantai. "Sebelum kedua orangtuaku bercerai,"
dia berbisik. "Itulah yang menjadi penyebab kepindahan kami. Karena
Mama dan Papa bercerai."
"Tapi kenapa kamu pindah ke sini?"
"Orangtua ibuku tinggal di sini. Ibuku lahir dan dibesarkan di
Stoneybrook."
"Oh! Ayahku juga begitu. Kalau begitu ada kemungkinan
bahwa mereka saling mengenal."
"Siapa nama ayahmu?"
"Richard Spier. Siapa nama ibumu? Maksudku, namanya
sebelum dia menikah?"
"Sharon, ehm, Porter."
"Nanti kutanyakan pada ayahku. Wah, rasanya lucu juga kalau
ternyata mereka berdua betul-betul saling mengenal, ya?"
"Yeah." Dawn masih tetap menatap lantai."Hei," kataku, "aku mengerti perasaanmu. Memang tidak enak
rasanya kalau orangtua kita berpisah, tapi kejadian seperti itu kan
sudah jamak. Banyak anak yang orangtuanya bercerai. Misalnya
Kristy Thomas, saha... tetanggaku. Orangtuanya bercerai bertahun-
tahun yang lalu. Dan ibunya kini berpacaran dengan seorang laki-laki
menyenangkan yang juga sudah bercerai dengan istrinya. Dan..."
(Hampir saja aku menceritakan padanya bahwa orangtua si kembar
Shillaber juga sudah bercerai. Tapi aku tidak ingin berbicara tentang
mereka.) "Dan, maksudku, aku tidak peduli orangtuamu sudah
bercerai."
Dawn tersenyum samar-samar. "Di mana ibumu dibesarkan?"
tanyanya. Aku langsung tahu bahwa dia ingin mengalihkan topik
pembicaraan kami.
"Di Maryland, tapi dia sudah meninggal. Ibuku sudah lama
meninggal."
"Oh." Wajah Dawn memerah. Kemudian dia menyelipkan
sebuah kaset-video ke dalam video-tape-nya. Tidak lama setelah itu
kami sudah asyik menonton film The Parent Trap.
"Bagus sekali filmnya," ujar Dawn sambil menarik napas sesaat
setelah film itu berakhir.
"Memang. Itu salah satu film kesukaanku." Aku melihat arloji.
Jam 17.15. "Oh, aku harus pulang dulu, nih," ujarku. "Mengasyikkan
sekali, ya?"
"Ya. Aku senang karena kamu mau mampir kemari," sahut
Dawn.
"Aku juga."
Dengan gaduh kami menuruni tangga kayu yang sempit."Sampai besok, ya!" aku berseru sambil keluar dari rumah
Dawn. Kemudian aku langsung berlari ke rumah Claudia. Perutku
mulai terasa bergolak. Kini aku akan menghadiri pertemuan rutin
Baby-sitters Club.
Dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi.Bab 5
SEPANJANG perjalanan aku terus memutar otak. Apakah
Claudia yang akan membukakan pintu untukku? Bisa saja dia
menyuruh orang lain sebenarnya, tapi kalau sampai dia sendiri yang
membukakan pintu untukku, maka itu merupakan pertanda baik.
Sebab itu artinya dia sudah tidak marah lagi?atau setidak-tidaknya
sudah tidak terlalu marah.
Aku memencet bel.
Mimi yang membukakan pintu. Dari ekspresi wajahnya aku
langsung bisa menebak bahwa ada sesuatu yang membuatnya cemas.
"Halo, Mary Anne," ujarnya.
"Hai, Mimi." Aku terdiam sejenak. Biasanya, aku langsung
berlari naik ke kamar Claudia. "Claudia ada di rumah, kan?"
"Ya, tentu saja. Stacey juga sudah datang..."
Aku tahu bahwa Mimi ingin mengatakan sesuatu, tapi dia
terlalu bijaksana untuk ikut campur urusan orang lain. Jadi dia diam
saja.
"Baiklah, aku naik dulu, ya. Sampai nanti, Mimi." Aku berjalan
perlahan-lahan menaiki tangga, melintas cepat-cepat di depan pintu
kamar Janine, lalu masuk ke kamar Claudia.Stacey dan Claudia sudah ada di situ. Stacey duduk bersila di
tempat tidur sambil menundukkan kepala. Dia sedang memperhatikan
jari-jari tangannya. Claudia duduk tegak di kursi belajar sambil
melihat ke luar jendela. Tidak ada yang mengatakan apa-apa waktu
aku masuk.
Tiba-tiba aku teringat kejadian tadi pagi di rumah Kristy. Dan
aku tidak ingin kejadian seperti itu terulang lagi. Oleh sebab itu, aku
memutuskan untuk tetap bungkam. Aku tidak mau lagi menjadi
pelopor perdamaian. Sambil tetap membisu, aku duduk di lantai.
Telepon berdering. Claudia yang mengangkat, karena dialah
yang paling dekat dengan pesawat telepon. "Halo, Baby-sitters Club....
Oh, hai.... Hari Sabtu pagi? ... Oke... oke. Saya akan menelepon
kembali.... Harap tunggu sebentar."
Nah, pikirku, sekarang tak ada pilihan lagi. Seseorang harus
mulai mengatakan sesuatu.
Claudia meletakkan gagang telepon. "Dari keluarga Johanssen.
Mereka perlu seseorang untuk menjaga Charlotte hari Sabtu pagi.
Siapa yang punya waktu?"
"Aku," kata Stacey tanpa menoleh.
"Mary Anne?"
Aku menggelengkan kepala.
"Aku juga tidak bisa," ujar Claudia. "Berarti tugas ini untuk
Stacey."
"Boleh." Stacey nampak gembira, soalnya Charlotte adalah
anak yang paling disukainya.
"Bagaimana dengan Kristy?" tanyaku."Dia tidak hadir," sahut Claudia singkat. "Dia kan tahu
peraturan klub kita. Dia sendiri yang membuat peraturan itu. Kalau dia
tidak menelepon untuk memberitahukan bahwa dia akan terlambat
atau tidak bisa hadir, maka dia tidak kebagian tugas. Aku akan
menelepon Dokter Johanssen untuk mengabarkan bahwa dialah..."
Claudia menatap Stacey dengan pandangan penuh kebencian "...yang
akan bertugas menjaga Charlotte." Ketika Claudia membalikkan
badannya untuk mengangkat gagang telepon, Stacey menjulurkan
lidah ke arahnya.
Claudia selesai menelepon, lalu meletakkan gagang telepon.
Setelah itu suasana sepi lagi. Tidak ada yang bicara.
Beberapa menit kemudian, telepon berdering lagi. Setelah
deringan ketiga, Claudia berkata, "Kalian saja yang mengangkatnya.
Aku kan bukan budak."
Aku yang menjawab. "Halo? ... Oh, hai, Bu Thomas. Ada apa
dengan Kristy? Apakah dia sakit? ... Dia ada di mana? ... Oh. Tidak,
tidak terlalu penting, kok.... Untuk menjaga David Michael? Tentu,
saya akan segera menelepon kembali." Aku meletakkan gagang
telepon. "Kristy," kataku, siapa tahu ada yang berminat
mendengarkannya, "ada di rumah keluarga Shillaber, dan Bu Thomas
perlu seseorang untuk menjaga David Michael hari Kamis siang....
Aku bisa."
"Aku juga," ujar Claudia.
"Aku juga," tambah Stacey.
Oh-oh. Biasanya, kalau ada kejadian seperti ini, maka kami
langsung mulai berkata seperti ini, "Kamu saja, deh, yang
mengerjakan tugas ini. Aku sudah mendapat dua tugas minggu ini,"atau, "Aku tahu kamu sudah lama tidak menjaga David Michael, jadi
kamu saja yang mengambil tugas ini."
Entah kenapa, aku berani bertaruh bahwa kali ini tidak ada di
antara kami yang mau berkata seperti itu.
Dugaanku ternyata benar.
Sebagai gantinya, Claudia mengambil sehelai kertas,
merobeknya menjadi tiga bagian, membuat gambar bintang pada salah
satu sobekan, menggulung ketiga potong kertas itu, memasukkan
ketiga-tiganya ke dalam kotak sepatu, mengguncang-guncang kotak
itu, lalu berkata, "Masing-masing ambil satu potong kertas. Siapa
yang mendapat kertas bergambar bintang berhak menjaga David
Michael."
Ternyata Claudia yang mendapatkannya.
"Hei!" teriak Stacey. "Jelas saja kamu yang dapat. Pasti kamu
tahu sobekan yang mana yang bergambar bintang."
"Mana mungkin!" seru Claudia. "Bagaimana aku bisa tahu?"
"Kan kamu sendiri yang membuat sobekan kertas itu."
"Jadi kamu menuduhku bermain curang?"
"Itu kamu yang bilang, lho, bukan aku."
Oh, gawat, pikirku. Mulai lagi, nih.
Akhirnya Stacey membiarkan Claudia mengambil tugas itu.
Telepon masih berdering dua kali lagi, sebelum pertemuan berakhir.
Dan kami berhasil menangani pembagian tugas, tanpa terjadi
pertumpahan darah.
Tepat jam enam, Stacey berdiri lalu bergegas keluar dari kamar
Claudia. Dia pergi begitu saja, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Claudia dan aku berpandangan, tapi Claudia juga diam saja. Karenaitu aku mengikuti jejak Stacey. Mimi memperhatikan kami, saat kami
meninggalkan rumah keluarga Kishi sambil membisu.
Begitu kami sampai di halaman rumput di depan rumah
Claudia, Stacey langsung berlari. Tapi karena beberapa alasan, aku
berhenti lalu menoleh kembali ke rumah Claudia. Claudia masih
berdiri di depan jendela kamarnya. Aku ragu-ragu sejenak. Kemudian
aku melambaikan tangan ke arahnya.
Dia tersenyum, lalu membalas lambaianku.
Tanpa pikir panjang aku berlari kembali ke teras rumah
keluarga Kishi, membuka pintu depan, memanggil Mimi, lalu
menitipkan surat yang telah kutulis untuk Claudia. Setelah itu aku
berlari menyeberangi jalan menuju rumahku.
Ternyata Papa belum pulang. Jam digital sudah menunjukkan
angka 6.15, tapi dia masih belum pulang juga. Aku menganggap ini
sebagai pertanda bahwa aku harus menelepon Claudia. Kalau tidak
menelepon sekarang, berarti aku harus menunggu sampai besok pagi.
Aku memutar nomor telepon kamar Claudia.
"Halo?"
"Hai, Claudia," ujarku dengan waswas. "Ini Mary Anne."
"Oh. Hai."
"Begini, aku..."
"Aku sudah terima suratmu. Mimi memberikannya padaku.
Makasih, ya."
"Makasih kembali."
"Aku memaafkanmu. Dan aku juga menyesal karena sudah
marah-marah," Claudia berkata dengan agak kaku."Yah..." Aku tidak tahu apa lagi yang harus kukatakan. Apakah
ini berarti pertengkaran kami telah berakhir? "Ehm... aku
meneleponmu karena Kristy," ujarku. "Kau kan tahu bahwa dia pergi
ke rumah keluarga Shillaber dan tidak menghadiri pertemuan hari ini.
Menurutku, itu artinya dia sudah tidak mau lagi melibatkan diri dalam
kegiatan klub kita. Maksudku, ehm, aku tidak yakin apakah..."
"Memang, aku juga berpendapat begitu. Kelihatannya Kristy
sudah tidak berminat?setidak-tidaknya untuk sementara waktu,"
Claudia menyetujui pendapatku.
"Lalu apa yang harus kita lakukan? Maksudku, dia kan
menjabat sebagai ketua klub."
"Memang, sih. Aku juga sudah memikirkan hal itu. Sebenarnya
kita tidak boleh terus-terusan menerima tugas, tanpa bertanya lebih
dulu padanya, apakah dia dapat mengerjakannya atau tidak."
"Yeah. Tapi sebaliknya, dia juga harus menghadiri pertemuan
klub, dong."
Claudia tidak mengatakan apa-apa.
"Claud?"
"Aku tidak tahu harus berbuat apa. Stacey hampir sama
marahnya dengan Kristy."
"Anehnya," ujarku, "Kristy sama sekali tidak berkeinginan
untuk membicarakan nasib klub kita: Apakah kegiatannya akan
diteruskan, atau dihentikan sementara waktu, atau dibubarkan sama
sekali. Sepertinya dia sudah tidak menaruh perhatian sama sekali.
Padahal klub ini kan gagasannya. Kenapa justru dia membiarkan kita
menjalankan klub, padahal dia kan sedang marah pada kita?"Claudia pasti sedang mengangkat bahunya. "Mungkin kamu
dan aku harus bicara dengan Stacey dan Kristy besok, supaya kita tahu
bagaimana sikap mereka terhadap klub kita. Yang jelas, kita tidak bisa
mengadakan pertemuan seperti tadi lagi. Kalau kamu mau bicara
dengan Kristy, maka aku akan bicara dengan Stacey."


Baby Sitter Club 4 Mary Anne Jadi Pahlawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah," aku menyetujui usul Claudia, "tapi itu tidak mudah,
lho." Aku tidak bercerita bagaimana Kristy membanting pintu
rumahnya tepat di depan hidungku. Aku tahu bahwa persoalan antara
Claudia dan Stacey sama ruwetnya dengan persoalan antara Kristy
dan aku.
************
Bagaimana caranya bicara dengan Kristy? Aku tidak mau pergi
ke rumahnya lagi, dan aku punya firasat bahwa dia akan langsung
meletakkan gagang telepon kalau tahu aku yang meneleponnya. Satu-
satunya cara adalah dengan membuat kejutan.
Keesokan paginya di sekolah, aku mencegat Kristy di depan
toilet putri. Ketika dia keluar, aku langsung menghadangnya.
"Permisi," ujar Kristy dengan angkuh.
Jantungku berdebar-debar, tapi aku tidak mau menyingkir.
"Aku harus bicara denganmu," sahutku.
"Siapa bilang harus?"
"Aku yang bilang."
"Tidak perlu."
"Harus."
"Tidak."
"Kita harus mengambil keputusan tentang nasib Baby-sitters
Club. Apakah kamu ingin keluar dari klub?""Keluar dari klub? Itu kan klubku."
"Justru karena itu."
"Apa maksudmu dengan 'justru karena itu'?"
"Maksudku, kalau kamu masih menganggap Baby-sitters Club
milikmu, kenapa kamu tidak menghadiri pertemuan kemarin?"
"Justru karena klub itu milikku, maka aku tidak diharuskan
datang ke pertemuan. Aku bebas untuk melakukan apa saja, dong."
"Tapi kamu sudah kehilangan banyak tugas yang menarik, lho."
Kristy menendang kertas bungkus kacang yang tergeletak di
lantai lorong sekolah.
"Maksudku," aku melanjutkan, "kami keberatan kalau kami
harus menelepon ke rumah keluarga Shillaber setiap kali ada tawaran
tugas... hanya untuk menanyakan apakah kamu berminat atau tidak."
"Tapi seharusnya kalian melakukan itu," dia berkata sambil
merengut. Ebukulawas.blogspot.com
Sudah mulai sulit bagiku untuk terus berbantahan dengannya.
Biasanya, kalau sudah begini, aku langsung menyerah kalah. Aku
menarik napas panjang. "Tapi itu kan tidak sesuai dengan peraturan."
"Yeah."
"Pokoknya, Claudia mengusulkan, sebaiknya kita semua ikut
memikirkan cara terbaik menjalankan klub sementara"?aku hampir
saja mengatakan "sementara kita masih saling bermusuhan", tapi
kemudian aku sadar bahwa kata-kata itu kurang bijaksana?
"sementara..."
"Sementara kita masih saling bermusuhan?" Kristy nyeletuk.
"Ehm... ya. Aku rasa, baru Claudia dan aku saja yang sudah
mulai saling berbicara, dan kemar...""Kamu dan Claudia sudah berbicara?"
"Ya."
"Oh, hebat! Ke mana, tuh, rasa kesetiakawananmu?"
"Kesetiakawanan?" seruku. "Kamu sendiri membanting pintu
tepat di depan hidungku!"
"Oke, oke, oke. Bagaimana kalau kita bergantian menjawab
telepon di rumah Claudia? Jadi setiap pertemuan rutin, cuma ada satu
orang yang perlu hadir. Kalau hari ini kamu, maka pertemuan
berikutnya aku..."
"Soal menawarkan tugas pada para anggota lain itu bagaimana?
Kalau kita harus menelepon semua anggota klub setiap kali ada tugas
yang masuk, maka kita akan kehilangan banyak waktu cuma untuk
menelepon ke sana-kemari."
Kristy menatap langit-langit, seolah-olah berharap untuk
menemukan jawaban di situ. "Anggota yang sedang bertugas berhak
mengambil semua tugas yang datang hari itu. Yang perlu
ditawarkannya kepada anggota lain hanyalah tugas-tugas yang tak
dapat dikerjakannya sendiri. Bagaimana kalau begitu?"
"Adil," kataku. "Aku akan mengatakannya pada Claudia."
Kristy mengangguk.
"Hai, Mary Anne!" panggil sebuah suara dari ujung lorong.
Ternyata Dawn.
Aku menoleh lalu melambaikan tangan. Dia berlari ke arahku.
"Apa kabar, Mary Anne? Wah, kemarin mengasyikkan sekali, ya?"
"Memang," aku sependapat. "Aku juga mau tanya padamu,
apakah kamu mau main ke rumahku hari Sabtu nanti? Aku tidak
punya video-tape, tapi mungkin kita bisa membuat popcorn manisatau memanggang kue." Aku melirik ke arah Kristy, yang sedang
memperhatikan adegan itu sambil melotot. Kalau saja dia
membelalakkan matanya sedikit lagi, maka bola matanya akan
menggelinding jatuh ke lantai.
"Boleh saja!" seru Dawn.
"Bagus! Sampai makan siang, ya?"
"Sampai makan siang." Dengan gembira Dawn berlari
menyusuri lorong sekolah.
Kristy masih terbengong-bengong. Tapi akhirnya dia berhasil
juga mengatakan sesuatu. "Kamu baru saja mengundangnya untuk
datang ke rumahmu?"
"Betul."
"Tapi kamu belum pernah mengundang orang selain aku.
Bahkan kamu belum pernah mengundang Claudia maupun Stacey ke
rumahmu."
Aku mengangkat bahu. "Dawn teman yang baik."
Kristy menyipitkan matanya. Aku rasa dia sudah tahu
sandiwara apa yang sedang kumainkan, dan dia memanfaatkan
kesempatan itu untuk membalas.
"Eh, ngomong-ngomong," katanya, "ibuku telah
memperpanjang batas waktu keluar malam untukku. Mulai sekarang
aku bisa bertugas sampai larut malam seperti Stacey: sampai jam
sepuluh pada akhir pekan, dan sampai jam setengah sepuluh pada hari
sekolah."
Sekarang giliran aku yang melotot. Sampai jam sepuluh? Kristy
diizinkan keluar malam sampai jam sepuluh? Itu artinya aku harus
pulang lebih dulu daripada para anggota klub yang lain.Aku bisa merasakan wajahku mulai memerah. Ucapan Kristy
itu sama saja dengan menempelkan kertas bertulisan "ANAK
INGUSAN" di keningku, karena memang begitulah keadaanku
sekarang. Akulah satu-satunya bayi di Baby-sitters Club.
Kristy meninggalkanku sambil tersenyum mengejek.
Aku menundukkan kepala. Jengkel pada Kristy dan jengkel
pada Papa.
Aku tahu bahwa aku harus melakukan sesuatu? tapi apa?Bab 6
SESUAI dengan kesepakatan kami dalam menghadapi keadaan
darurat kali ini, maka pada setiap pertemuan rutin Baby-sitters Club
hanya ada satu orang yang bertugas menerima telepon, dan berhak
menerima tawaran tugas. Giliranku yang pertama tiba pada hari Jumat
sore. Karena Claudia dan aku sudah berbaikan, maka dia ikut
menemaniku di kamarnya. Tapi kami tetap menjalankan peraturan
baru yang telah ditetapkan Kristy. Semua tawaran tugas pada sore itu
kuambil sendiri, kecuali satu..
Telepon terakhir datang dari seorang wanita bernama Bu
Prezzioso. Sebenarnya, aku tidak terlalu mengenal keluarga Prezzioso.
Aku cuma tahu bahwa mereka tinggal di Jalan Burnt Hill, tidak jauh
dari rumah Dawn. Mereka berteman baik dengan keluarga Pike,
keluarga dengan delapan orang anak yang sering memakai jasa Baby-
sitters Club. Pernah beberapa kali aku bertemu dengan suami-istri
Prezzioso dan putri mereka di rumah keluarga Pike.
"Halo, di sini Baby-sitters Club," kataku waktu menjawab
telepon Bu Prezzioso.
"Halo. Ini Madeleine Prezzioso dari Jalan Burnt Hill. Dengan
siapa saya bicara?"
Astaga! Formal betul dia. "Ini Mary Anne Spier," ujarku."Oh, Mary Anne. Halo, Sayang. Apa kabar?"
"Baik, terima kasih," jawabku dengan sopan. "Apa kabar, Bu
Prezzioso?"
Perlu kujelaskan di sini bahwa ketiga anggota keluarga
Prezzioso selalu berpenampilan necis dan sopan?tapi sebenarnya
semua itu hanya karena kehendak Bu Prezzioso. Dia wanita yang
sangat teliti dan sangat cerewet soal penampilan. Sikapnya selalu
sopan, dan sehari-hari pun dia berusaha tampil seperti wanita idaman
yang biasanya hanya ada di majalah-majalah. Dialah yang selalu
memilih pakaian dan perlengkapan yang akan dipakai oleh para
anggota keluarganya. Dia selalu membelikan setelan jas lengkap, serta
saputangan berinisial nama untuk suaminya. Dan Jenny, anak
perempuan mereka yang baru berumur tiga tahun, setiap hari
didandani seakan-akan dia mau ke pesta. Rambutnya selalu dihiasi
pita, dan dia selalu memakai kaus kaki berenda. Pokoknya, aku belum
pernah melihat Jenny memakai celana, baik celana pendek maupun
celana panjang. Sepertinya Bu Prezzioso beranggapan bahwa jeans
adalah jenis pakaian yang tidak pantas untuk anak-anak gadis.
Padahal, Jenny yang malang itu tampaknya sama sekali bukan
tipe anak yang rapi dan cerewet. Dia selalu berusaha keras, tapi tidak
pernah bisa memenuhi harapan dan keinginan ibunya. Begitu juga
dengan Pak Prezzioso. Kalau mengamati tingkah lakunya, maka aku
berani bertaruh bahwa dia akan lebih senang kalau bisa tidur-tiduran
di depan TV dengan memakai overall, T-shirt, dan kaus kaki yang
berbeda-beda kiri dan kanan.
Bu Prezzioso dan aku berbasa-basi selama hampir satu menit.
Baru setelah itu Bu Prezzioso membicarakan maksud sebenarnya."Saya menyadari bahwa pemberitahuan ini sangat mendadak,
Sayang," ujarnya, "tapi saya memerlukan seorang baby-sitter untuk
hari Minggu sore. Pak Prezzioso dan saya diundang minum teh pada
hari itu."
"Jam berapa acaranya dimulai?" tanyaku.
"Jam empat sore. Kami akan pulang sekitar jam enam atau
setengah tujuh."
"Oke, saya yang akan datang."
"Bagus sekali, Sayang. Terima kasih. Saya tunggu kamu jam
empat. Sampai hari Minggu!"
Aku meletakkan gagang telepon sambil merenung. Sore hari di
rumah keluarga Prezzioso bisa menjadi sore yang sangat menarik.
************
Hari Minggu sore, tepat jam setengah empat aku memencet bel
rumah keluarga Prezzioso. Jenny berlari-lari ingin membuka pintu.
Aku bisa mendengarnya berkata halo, lalu memutar kunci. Beberapa
saat kemudian dia sudah menarik pintu itu sampai terbuka?tapi
ternyata rantai penguncinya masih terpasang. KREK!
"Jenny!" sebuah suara berseru di belakangnya. "Apakah kamu
sudah menanyakan siapa di luar sebelum kamu membuka pintu?"
"Belum, Mi."
"Nah, apa yang harus kamu lakukan kalau bel pintu berbunyi?"
"Bilang, 'Siapa di luar?'"
"Jadi tolong lakukan itu." Pintu ditutup, kemudian dikunci lagi.
"Mary Anne," Bu Prezzioso memanggilku, "tolong tekan belnya
sekali lagi, ya?"
Aku mendesah. Ding-dong."Siapa di luar?" aku mendengar suara Jenny.
"Aku, Mary Anne Spier."
"Apakah aku kenal kamu?"
"Ya, aku baby-sitter-mu."
"Sekarang dia sudah boleh masuk, Mi?"
"Ya, Manis. Begitu lebih baik"
Akhirnya pintu terbuka juga. Aku melangkah masuk, lalu
membuka mantelku. Mereka berdua? Bu Prezzioso dan Jenny?
berpakaian lengkap. Bu Prezzioso kelihatannya seperti akan pergi ke
jamuan minum teh yang mewah. Tapi pakaian Jenny tampak agak
berlebihan untuk membaca cerita, bermain-main, dan bersenang-
senang di rumah sendiri. Dia memakai gaun putih yang bagian
bawahnya bertumpuk-tumpuk. Gaun itu dihiasi dengan renda dan pita
berwarna lembayung muda. Kaus kakinya berwarna lembayung yang
senada, dan sepatunya terbuat dari kulit asli berwarna hitam
mengkilap. Rambutnya dikeriting dan dikucir dua dengan hiasan pita-
pita panjang. Wah, dengan penampilan seperti ini, Jenny pantas
menjadi boneka pajangan di etalase toko.
"Halo, Mary Anne," Bu Prezzioso menyapaku.
"Hai," jawabku. "Hai, Jenny."
Dengan sedih Jenny memandang rok jeans biru yang kupakai.
"Aku suka rokmu, Mary Anne," katanya.
"Jenny," ujar Bu Prezzioso cepat-cepat, "memang itu rok yang
sangat bagus, tapi tidak sebagus gaun baru yang dipakai bidadari
kecilku ini!" Dia menarik Jenny ke dekatnya, lalu menciuminya
dengan suara yang sangat keras. "Ayo, siapa bidadari kecilku?" dia
bertanya.Wajah Jenny terperangkap dalam pelukan ibunya. "Mmmphh,"
katanya.
Bu Prezzioso bertanya lagi. "Siapa bidadari kecilku?"
Jenny melepaskan diri dari pelukan ibunya. "Aku, Mami."
"Dan kamu terbuat dari apa?"
"Gula-gula dan semua yang manis-manis."
Astaga! Itu kan sajak kanak-kanak! Aku jadi ingat sajak lain,
begini bunyinya: "Ada gadis kecil yang punya poni mungil. Kalau lagi
manis, dia amat sangat manis. Tapi kalau lagi nakal, nakalnya tidak
ketolongan."
"Bukankah bidadari kita cantik hari ini?" Bu Prezzioso bertanya
padaku.
Bidadari kita! "Ya, dia betul-betul cantik," sahutku.
Jenny tersenyum dengan manis.
"Baiklah, aku sudah siap, Madeleine," sebuah suara besar yang
nyaring terdengar dari arah tangga. Pak Prezzioso sedang bergegas
menuruni tangga.
"Oke, bidadariku, kamu jangan merepotkan baby-sitter-mu, ya.
Janji pada Papi?" Dia mengangkat Jenny tinggi-tinggi, sampai Jenny
memekik kesenangan.
"Oh, hati-hati!" teriak Bu Prezzioso. "Nanti baju barunya
kusut... dan dasimu juga. Jangan begitu, Nick."
Pak Prezzioso meletakkan anaknya kembali ke lantai dengan
selamat. "Mari kita berangkat. Terima kasih atas kedatanganmu, Mary
Lou."
"Mary Anne," Jenny membetulkan.Bu Prezzioso berdiri di depan suaminya. Dia mengencangkan
dasinya, merapikan jasnya, lalu mengatur letak saputangan di kantong
jasnya, sehingga inisial namanya tepat terletak di tengah-tengah.
Kemudian dia berbalik dan berdiri di sebelah suaminya.
"Bagaimana penampilan kami?" dia bertanya padaku.
Aku melirik pada Jenny. Jenny juga menatapku.
Mukaku memerah. "Bapak dan Ibu kelihatan..." Rasanya
"sangat serasi" masih kurang sesuai. "Bapak dan Ibu kelihatan seperti
pasangan suami-istri ideal di sebuah majalah," aku akhirnya berkata.
Memang seperti itulah penampilan mereka?serba kaku dan diatur.
Bu Prezzioso nampak agak bingung, tapi dengan cepat dia dapat
mengatasi keadaan. "Terima kasih, Sayang."
Hening beberapa saat. "Terima kasih kembali," sahutku, untuk
mengisi keheningan itu.
"Nah, kami akan berada di rumah keluarga Elliot Taggart sore
ini," Bu Prezzioso menjelaskan. "Nomor telepon mereka sudah saya
catat pada papan tulis di dapur. Nomor-nomor telepon darurat ada di
sebelah pesawat telepon. Kalau kami belum tiba di rumah pada jam
enam, kamu boleh memberi Jenny setangkup roti sebagai makan
malam."
"Oke," sahutku. Jenny dan aku mengantarkan orangtuanya ke


Baby Sitter Club 4 Mary Anne Jadi Pahlawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pintu belakang. "Selamat bersenang-senang!" seruku pada saat mereka
memasuki mobil.
Aku menutup pintu, lalu bersandar di situ selama beberapa saat.
"Nah, bidadari kecil," ujarku pada Jenny, "apa yang ingin kamu
lakukan sekarang?"Sambil merengut Jenny merebahkan dirinya di atas sofa di
ruang bermain. "Tidak ada," jawabnya dengan ketus.
"Oh, ayolah," kataku penuh semangat, "pasti ada sesuatu yang
ingin kamu lakukan. Kita punya waktu dua jam, lho, untuk bermain."
Jenny menjulurkan bibir bawahnya sambil menggeleng-
gelengkan kepala. "Malas, ah!"
"Kalau begitu," ujarku, "aku akan bermain dengan Kid-Kit
sendirian saja."
Kid-Kit adalah salah satu ide Kristy. Kid-Kit dirancang untuk
anak-anak, agar mereka lebih menyukai kami dan selalu
mengharapkan kedatangan kami lagi untuk menjaga mereka. Cara
membuatnya sederhana saja: masing-masing dari kami menghias
sebuah kotak karton lalu menempelkan tulisan KID-KIT pada bagian
depannya. Kami mengisi kotak itu dengan buku-buku cerita, berbagai
permainan (milik kami masing-masing), ditambah buku-buku milik
bersama yang dibeli dengan uang iuran klub. Dan ternyata ide itu
berhasil. Anak-anak senang bermain dengan Kid-Kit, dan mereka
selalu berpesan pada kami agar lain kali kami membawanya lagi.
Tapi Jenny belum pernah melihat kotak itu. "Apa itu Kid-Kit?"
tanyanya.
"Oh, cuma sesuatu yang kubawa dari rumahku." Aku sengaja
meninggalkan Kid-Kit di teras depan, karena ingin membuat kejutan
untuk Jenny, setelah kedua orangtuanya pergi. Aku mengambil kotak
Kid-Kit, lalu duduk di lantai di tengah-tengah ruang bermain. Aku
membuka kotak itu dan mengeluarkan barang-barang dari dalamnya:
tiga buku cerita, dua jenis permainan, sekantong alat-alat memasak
yang terbuat dari plastik berwarna-warni, buku stiker, dan buku"melukis dengan air". Aku membelakangi Jenny, kemudian mulai
mencopot gambar tempel bergambar balon-balon aneka warna dari
halaman belakang buku stiker.
Tidak lama kemudian, Jenny meninggalkan tempat duduknya
lalu beranjak ke arahku?ke arah Kid-Kit. Dia mengamati aku
menempelkan stiker itu ke dalam buku. Kemudian dia memandang
barang-barang yang telah kukeluarkan dari kotak. Dengan malu-malu
dia membuka kantong berisi alat-alat memasak. Barang itu punyaku
sewaktu kecil, dan namanya Mrs. Cookie's Kitchen. Jenny memegang-
megang isinya: baskom, panci, dan makanan, yang semuanya terbuat
dari plastik berwarna-warni. Tapi kemudian dia menarik tangannya,
lalu menutup kembali kantong itu.
"Aku boleh bermain dengan barang-barang ini?" tanyanya.
"Tentu saja. Itu sebabnya barang-barang ini kubawa."
"Aku boleh bermain sesukaku?"
"Tentu boleh."
"Ini buku untuk melukis, ya?"
Aku menengadah ke arahnya. "Oh... ya. Tapi kan lebih
menyenangkan kalau kita bermain menempel stiker!"
"AKU KEPINGIN MELUKIS!"
"Oke, oke." Aku memandang baju Jenny yang putih bersih. Aku
memandang buku yang sedang dipegangnya. Yah, kukira buku
"melukis dengan air" ini tidak akan mengotori Jenny. Bukankah justru
di situ letak kelebihannya?
Aku beranjak ke dapur sambil membawa sebuah mangkuk
plastik, lalu mengisinya dengan air sampai setengah penuh. Kemudian
aku kembali lagi ke ruang bermain, membuka buku tersebut, danmengatur segala sesuatunya di lantai. "Oke, sekarang kamu boleh
mulai," ujarku. "Celupkan kuasmu ke dalam air, lalu oleskan di atas
buku gambar ini. Nanti, warnanya akan muncul dengan sendirinya.
Kalau mengoleskan kuas, usahakan jangan sampai melewati garis-
garis di buku gambar, supaya warnanya tidak tercampur. Dan setiap
kali selesai mengoles, jangan lupa mencelupkan kuasnya ke dalam air.
Oke?"
Jenny mengangguk.
"Dan... hati-hati," tambahku.
Jenny duduk bersila di lantai. Buku gambar terletak tepat di
depannya. Dia mencelupkan kuas ke dalam air, mengangkatnya,
kemudian mengoleskannya di atas kertas dengan perlahan-lahan. Tes,
tes, tes. Tiga noda basah muncul di atas bajunya yang putih bersih itu.
Aku menutup mataku. Memang cuma air, sih, tapi...
"Jenny, bagaimana kalau kamu memakai baju bermain saja
sementara kamu melukis?" Aku pikir dia pasti punya sesuatu yang
lebih santai daripada apa yang dipakainya sekarang ini.
"Tidak mau."
"Tidak mau? Bagaimana dengan baju pelapis? Kamu bisa
memakainya di luar bajumu."
"Tidak mau."
"Bagaimana dengan celemek ibumu?"
"AKU TIDAK MAU PAKAI CELEMEK!"
Aku memperhatikan Jenny, yang sedang mengoleskan kuasnya
ke atas gambar apel besar. Apel itu berubah menjadi merah. Jenny
mengangkat kuasnya, lalu mencelupkannya ke dalam mangkuk berisi
air. Tidak terjadi apa-apa. Untuk sementara masih aman.Aku agak tenang.
Kemudian Jenny mengayunkan kembali kuasnya yang masih
basah ke atas kertas. Dua tetesan cat membuat bercak merah jambu di
atas bajunya yang putih. Biarlah, pikirku, toh bercak itu bisa
dibersihkan dengan air.
Tapi aku tidak yakin betul. Karena itu keputuskan bahwa aku
harus memaksanya memakai celemek. Aku bergegas menuju dapur.
Aku baru saja menemukan sehelai celemek, ketika aku mendengar
Jenny berkata, "Aduh."
"Jenny?" panggilku. "Ada apa?"
Hening beberapa saat. "Tidak apa-apa, kok."
Wah, gawat! Dari pengalamanku sebagai baby-sitter, aku tahu
bahwa jawaban seperti itu biasanya justru berarti ada apa-apa. Aku
berlari kembali ke ruang bermain?dan terkesiap melihat apa yang
terjadi. Jenny telah menumpahkan seluruh isi mangkuk plastik ke atas
pangkuannya. Air berwarna merah jambu menyebar dengan cepat dan
membasahi bajunya.
"Oh, Jenny!" seruku.
Jenny menatapku dengan mata lebar. Pandangannya seolah-olah
mengatakan bahwa aku harus melakukan sesuatu.
"Oke. Buka bajumu. Sekarang juga."
"TIDAK MAU, TIDAK MAU, TIDAK MAU!" Jenny
berbaring tengkurap di lantai dan mulai menendang-nendangkan
kakinya.
Aku memanfaatkan kesempatan itu untuk membuka kancing
bajunya. "Ayo buka," ujarku. "Nanti aku akan membuat pertunjukan
sulap."Jenny berhenti berteriak dan menendang-nendang. "Kamu bisa
sulap?"
"Yeah." Dalam hati aku berharap bahwa tipuanku akan berhasil.
Jenny membiarkanku membuka bajunya. Dia mengikutiku ke
dapur dan duduk di meja dapur, di sebelahku. Sementara itu aku
meletakkan bajunya di tempat cuci piring, membuka keran air, dan
mulai mengucek-ngucek bagian yang kena bercak cat. Jenny
mengamati pekerjaanku sampai seluruh bercak catnya hilang dari
permukaan gaun putihnya.
Aku menarik napas lega. "Apakah ibumu punya pengering
rambut?" tanyaku.
"Yap."
"Ayo, tolong tunjukkan di mana tempatnya."
Beberapa saat kemudian, sambil ketawa cekikikan, Jenny
membantuku mengeringkan bajunya dengan menggunakan pengering
rambut. Aku mengatakan padanya bahwa dia harus memakai baju
bermain, kalau dia masih mau menyelesaikan lukisannya. Dia
mengajakku ke kamar tidurnya, kemudian menunjuk sebuah laci di
lemari pakaiannya sambil berkata, "Baju bermainku ada di dalam
situ."
Aku menarik laci itu, lalu menatap isinya sambil terheran-heran.
Tiga tumpukan baju terlipat dengan rapi dan bersih. Tidak tampak
noda kotoran sedikit pun. T-shirt, blus, dan celana panjang, semuanya
kelihatan masih seperti baru. "Ini baju bermainmu?"
Jenny menatapku dengan pandangan yang jelas-jelas
mengatakan, Kan sudah kubilang!Aku menutup kembali laci itu. "Oke, Jenny-Bunny," ujarku.
"Apakah kamu masih berminat menyelesaikan lukisanmu?"
"Ya."
"Baiklah. Ayo ikut aku." Kami kembali turun ke ruang bermain,
dan Jenny menghabiskan sisa waktu pada sore itu untuk
menyelesaikan lukisan?dengan hanya mengenakan pakaian dalam.
Aku memakaikan kembali bajunya kira-kira lima menit sebelum
suami-istri Prezzioso pulang.
"Bagaimana dia?" tanya Bu Prezzioso.
Aku melirik pada Jenny. "Seperti bidadari," sahutku. "Betul-
betul seperti bidadari."
Jenny tersenyum padaku. Rahasia kami tetap aman.Bab 7
AKU sudah tidak tahan lagi. Aku memutuskan untuk bertanya
pada Papa apakah jam tugasku sebagai baby-sitter bisa dilonggarkan.
Kalau para anggota klub yang lain diizinkan bertugas sampai jam
sepuluh malam oleh orangtua mereka, kenapa aku tidak?
Bagaimanapun juga, aku seumur dengan mereka, punya tanggung
jawab yang sama dengan mereka, dan punya PR yang sama
banyaknya dengan mereka.
Ada satu tugas yang tidak dapat kuambil pada hari Jumat lalu,
saat giliranku untuk menerima telepon. Dan sebabnya bukan karena
aku tidak mau, tapi karena klien tersebut memerlukan seseorang untuk
menjaga anaknya sampai jam sepuluh pada malam Minggu. Akhirnya
Kristy yang mengambil tugas itu.
Aku merasa malu dan terhina.
Tapi aku juga merasa gelisah karena harus menghadapi ayahku.
Sebenarnya Papa tidak akan marah. Tapi dia tidak akan bisa menerima
alasanku. Kecuali kalau aku bisa menemukan cara yang tepat untuk
membujuknya. Masalahnya, aku sendiri tidak begitu yakin bahwa aku
bisa menemukan cara yang tepat.
Tapi pada malam Selasa aku akhirnya merasa siap untuk
berbicara dengan ayahku?apa pun yang akan terjadi.Sayangnya, Papa pulang dari kantor dengan wajah kesal.
"Kami kalah dalam kasus Cutter," aku diberitahunya. "Papa
tidak habis pikir. Tadinya Papa mengira bahwa kami pasti bisa
memenangkan kasus ini. Keputusan juri betul-betul tidak masuk akal."
Aku mengangguk. "Pa..."
"Terus terang saja, Papa tidak mengerti kenapa orang kadang-
kadang begitu tidak adil... Bukan, bukan tidak adil, tidak mau
menggunakan akal sehat. Ya, itu dia, mereka tidak mau menggunakan
akal sehat."
Kami mulai mengatur meja untuk makan malam.
"Pa...," kataku lagi.
"Coba kamu bayangkan! Bagaimana mungkin juri
membebaskan seseorang yang jelas-jelas bersalah?seseorang yang
jelas-jelas terlibat dalam suatu pencurian besar?"
Aku menggelengkan kepala. "Itu memang tidak masuk akal,
tapi..., Pa?"
"Ada apa, Mary Anne?"
Melihat suasana pada saat itu, seharusnya aku memutuskan
untuk tidak jadi mengatakan apa yang mengganjal pikiranku akhir-
akhir ini. Tapi aku sudah memikirkan rencana ini masak-masak.
Seharian penuh aku menyiapkan kata-kata yang akan
kusampaikan pada Papa. Aku tidak tahu apakah rencanaku ini akan
berhasil, tapi yang jelas, aku harus bersikap tenang dan rasional. Inilah
yang akan kukatakan: "Pa, ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengan
Papa. Aku kan sudah dua belas tahun sekarang, dan aku merasa bahwa
aku sudah cukup umur untuk diizinkan keluar sampai jam sepuluh
malam. Maksudku, dalam rangka bertugas sebagai baby-sitter. Tentusaja bukan pada hari sekolah, karena aku juga tahu bahwa aku perlu
cukup istirahat. Hanya pada akhir pekan saja, pada hari Jumat dan
Sabtu."
"Pa, ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengan Papa," aku
memulai.
Tiba-tiba telepon berdering.
Papa beranjak mendekati pesawat telepon, lalu mengangkat
gagangnya. "Halo? ... Ya, saya tahu.... Saya tahu.... Betul, kita harus
naik banding. Saya juga telah memikirkan hal itu.... Apa? ... Oh, ya.
Tentu saja...." Percakapan masih berlangsung selama sepuluh menit.
Sementara itu, pizza kami? yang tadinya beku karena baru
dikeluarkan dari kulkas?telah selesai dipanggang dan mulai
mengering di dalam oven.
Akhirnya Papa meletakkan gagang telepon, tapi sedetik
kemudian telepon berdering lagi. Ketika Papa meletakkan gagang
telepon untuk kedua kalinya, aku setengah melempar piring berisi
potongan pizza ke hadapan Papa.
"Pa, aku ingin diizinkan keluar sampai jam sepuluh, kalau ada
tugas menjaga anak pada malam hari." Kata-kataku langsung
menghambur keluar tanpa dipikir-pikir lagi.
Papa menatapku dengan pandangan kosong. "Apa? ...Oh! Tidak
bisa, Mary Anne," dia berkata dengan tegas. "Papa rasa permintaanmu
terlalu berlebihan, dan tidak mungkin bisa diterima."
"Tapi, Papa, semua temanku diizinkan oleh orang-tua mereka."
"Papa yakin tidak semua temanmu diizinkan keluar sampai jam
sepuluh. Papa tidak percaya bahwa kamu satu-satunya anak kelasenam yang harus pulang pada jam sembilan atau setengah sepuluh
malam."
"Pa, aku sudah kelas tujuh, dan akulah satu-satunya anggota
Baby-sitters Club yang tidak bisa bertugas sampai jam sepuluh. Papa
selalu memperlakukan aku seperti anak kecil, padahal aku bukan anak
kecil lagi. Aku sudah setengah tahun duduk di bangku kelas tujuh.
Satu setengah tahun lagi aku akan masuk high school."
Untuk beberapa saat, Papa kelihatan tercengang. Tapi kemudian
ekspresi wajahnya berubah. Dengan lesu Papa mengusap-usap
matanya. Dan akhirnya dia berkata, "Memang tidak mudah bagi
seorang ayah untuk membesarkan anak gadisnya seorang diri. Papa
harus bertindak sebagai ayah, sekaligus sebagai ibu. Di samping itu,
Papa jarang ada di rumah. Percayalah, Papa sudah berusaha sekuat
tenaga."
"Tapi Kristy, Claudia, dan Stacey..."
"Apa yang dilakukan Kristy, Claudia, Stacey, dan para orangtua
mereka bukan urusan kita."
"Kalau begitu, Papa tidak adil! Apakah Papa berpendapat
bahwa Bu Thomas bukan seorang ibu yang baik? Apakah Papa
menganggap bahwa Mimi dan suami-istri Kishi tidak menyayangi
Claudia?"
"Itu bukanlah pokok permasalahannya," Papa berkata. "Pokok
permasalahan di sini adalah kamu dan Papa dan jam berapa kamu
harus tidur."
"Pa, aku sudah cukup umur untuk bisa keluar sampai jam
sepuluh malam. Aku sudah dua belas tahun, dan aku sangat
bertanggung jawab dan bisa bersikap dewasa. Buktinya, wali kelaskuselalu menuliskan hal-hal itu di buku raporku. 'Mary Anne sangat
menyenangkan di kelas. Dia bertanggung jawab dan selalu bersikap
dewasa.'"
"Tapi sekarang ini kamu tidak bersikap dewasa."
Memang tidak. Aku sedang merengek-rengek di depan Papa.
Tapi sudah terlambat untuk menghentikannya. Karena itu aku
mengeluarkan semua unek-unekku. "Aku juga sudah terlalu besar
untuk mengepang rambutku seperti ini, dan tidur di kamar yang
kelihatannya seperti kamar bayi. Kamar tidurku lebih cocok untuk


Baby Sitter Club 4 Mary Anne Jadi Pahlawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anak berumur lima tahun."
Papa menatapku dengan tajam. "Mary Anne, Papa tidak
menyukai nada bicaramu."
"Papa kan tahu bahwa Papa bukan satu-satunya orangtua yang
jarang berada di rumah," aku meneruskan, pura-pura tidak mendengar
komentar Papa. "Bu Thomas juga jarang berada di rumah. Dia harus
membesarkan sendiri Kristy dan ketiga saudaranya. Tapi Sam dan
Charlie tidak punya boneka Peter Rabbit di kamar tidur mereka. Aku
ingin mengubah beberapa hal di rumah ini. Aku ingin diperbolehkan
untuk memilih sendiri baju-bajuku. Aku sudah bosan mengepang
rambutku. Aku ingin memakai cat kuku, stoking, dan lipstik. Dan
kalau ada anak cowok mengajakku nonton film di bioskop, maka aku
ingin punya hak untuk mengatakan ya?tanpa harus minta izin pada
Papa dulu. Papa sadar, tidak? Kadang-kadang Papa tidak bersikap
seperti seorang ayah terhadapku, tapi seperti sipir penjara."
Pada saat itu aku baru menyadari bahwa apa yang kukatakan
sudah keterlaluan.Papa membalikkan badannya, dan membelakangiku. Kemudian,
dengan suara yang sangat tenang, Papa berkata, "Mary Anne,
pembicaraan ditutup. Sekarang kamu pergi ke kamarmu."
Aku menuruti perintahnya. Dalam hati aku merasa bersalah
sekali. Aku tahu bahwa aku telah menyinggung perasaan Papa,
padahal aku tidak pernah punya niat untuk melakukan hal itu. Tapi
aku tidak mengerti apa yang ditakutkan Papa kalau aku mengurai
rambutku, atau mencopot gambar Humpty Dumpty dari dinding
kamarku. Apakah Papa takut aku akan kabur dari rumah, atau mulai
keluyuran di pusat pertokoan dengan anak-anak berandal? Dan apa sih
yang bisa terjadi antara jam sembilan dan jam sepuluh malam? Kalau
memang akan ada apa-apa, bukankah sebelum jam sembilan pun hal
itu bisa saja terjadi?
Aku tidak bisa menjawabnya. Tapi aku tahu bahwa ada
seseorang yang bisa membantuku menjawab pertanyaan-pertanyaan
itu?Mimi. Dia pendengar yang sabar, dan aku sering bercerita
padanya tentang hal-hal yang seharusnya kubicarakan dengan ibuku.
Hal-hal yang tak dapat kudiskusikan dengan Papa, deh, pokoknya.
***********
Aku mengunjungi Mimi keesokan harinya, seusai sekolah. Aku
telah minta maaf dua kali pada Papa pagi itu, dan Papa bilang dia
menerima permintaan maafku. Walaupun begitu, suasana di antara
Papa dan aku tetap terasa kaku.
"Hai, Mimi," aku menyapa Mimi waktu dia membuka pintu
rumah keluarga Kishi.
"Halo, Mary Anne," dia berkata dengan lembut. "Bagaimana
dengan rajutan syalmu?""Baik. Sudah mulai kelihatan bagus. Moga-moga Papa
menyukainya. Kalau aku bekerja keras, syal itu bisa selesai pada saat
ulang tahun Papa."
"Itu akan menjadi kejutan yang menyenangkan untuk ayahmu."
Aku membuka mantelku, dan Mimi menggantungkannya di lemari
tempat mantel di ruang depan. "Nah," Mimi melanjutkan, "apakah
kamu ke sini untuk menemui Claudia? Dia belum pulang. Kalau aku
tidak salah, seusai sekolah Claudia langsung ke rumah keluarga
Marshall. Dia bertugas menjaga Nina dan Eleanor Marshall sore ini."
"Ehm... Sebenarnya aku datang untuk menemui Mimi. Apa
Mimi sempat ngobrol-ngobrol sebentar?"
"Tentu saja. Silakan masuk. Kamu mau minum teh, Mary
Anne?"
"Ya. Terima kasih." Aku tidak begitu suka teh, tapi aku suka
minum teh bersama Mimi. Mimi selalu membuat teh di dalam poci
yang terbuat dari tanah liat, lalu menyajikannya dengan mangkuk-
mangkuk kecil yang juga terbuat dari tanah liat. Selain itu, dia juga
selalu menyediakan susu dan gula untuk dicampurkan ke dalam teh.
Aku mengikutinya masuk ke dapur. Mimi mulai mengatur
peralatan untuk minum teh di atas meja, lalu menjerang air. Setelah
itu, dia mengeluarkan biskuit tawar dari dalam stoples, dan
mengaturnya di sebuah piring.
Setelah semuanya siap, kami duduk berhadapan di meja dapur.
Mimi menuang teh ke dalam mangkukku dengan menggunakan
saringan, agar daun tehnya tidak ikut masuk ke dalam mangkuk. Tapi
Mimi tidak pernah menyaring teh untuk dirinya sendiri. Dibiarkannya
daun-daun teh itu melayang-layang sampai tenggelam ke dasarmangkuknya. Aku mulai mencampurkan susu dan gula. Mimi tidak
mencampur apa-apa ke dalam tehnya. Dia lebih suka teh yang tawar?
dan pekat.
"Cuaca akhir-akhir ini sangat suram, ya," Mimi berkomentar
sambil melihat ke luar jendela. Ia memperhatikan pohon-pohon
gundul yang sedang diterpa angin dan hujan
"Yeah," aku menyetujuinya dengan murung.
"Kalau cuacanya lagi seperti ini," Mimi melanjutkan, "aku
selalu berharap agar musim semi cepat datang. Hujan salju
membuatku bersyukur bahwa ada musim dingin. Tapi dengan cuaca
buruk dan serba kelabu seperti sekarang, aku berharap agar musim
dingin cepat berakhir."
Aku tersenyum. "Memang, aku juga berharap begitu."
"Dan bagaimana keadaanmu dalam cuaca suram seperti ini?"
Aku menatap Mimi. Rambutnya yang hitam, dengan sedikit
kombinasi rambut putih di sana-sini, diikat ke belakang dan dibentuk
menjadi konde tepat di atas tengkuknya. Dia tidak memakai perhiasan
ataupun make-up, dan kulit wajahnya berkerut-kerut. Walaupun
begitu, dia tetap kelihatan cantik. Mungkin juga kecantikannya itu
disebabkan oleh sikapnya yang selalu sabar dan tenang.
"Aku rasa, aku cukup sehat untuk menghadapi cuaca suram
ini," sahutku, "tapi aku tidak cukup berhasil dalam menghadapi
ayahku. Mimi, apakah menurut pendapat Mimi, tingkah lakuku sama
normalnya dengan anak-anak lain yang seumur denganku?"
"Coba kamu jelaskan apa yang dimaksud dengan normal."
"Maksudku... seperti anak-anak umur dua belas tahun pada
umumnya. Apakah aku cukup bertanggung jawab dan cukup dewasadan cukup cerdas untuk anak berumur dua belas tahun? Dan apakah
hal-hal yang menarik bagiku juga sama menariknya bagi mereka?"
Nah, kalau orang-orang dewasa dihadapkan pada pertanyaan
seperti ini, maka biasanya mereka akan menjawab begini, "Sepertinya
pertanyaanmu terlalu membingungkan," atau "Apa sebenarnya yang
ingin kamu katakan?" Lain halnya dengan Mimi. Dia meletakkan
mangkuk tehnya, menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi,
kemudian mempertimbangkan pertanyaanku dengan sungguh-
sungguh. Akhirnya dia menjawab, "Ya, menurutku, kamu bertingkah
laku normal seperti halnya anak-anak umur dua belas tahun. Memang
kamu tidak berpakaian seperti Claudia, tapi menurut hematku, hal itu
tidak menjadi masalah. Kamu anak yang bertanggung jawab, dan
kamu juga bersikap sangat dewasa. Selain itu, kamu juga serius. Tapi
membanding-bandingkan keseriusan dengan kedewasaan seseorang
bukanlah tindakan yang bijaksana."
Aku tidak begitu memahami maksud Mimi. Tapi yang penting,
dia berpikir bahwa aku bertingkah laku normal, seperti anak-anak
seumurku. "Terus, Mimi," aku melanjutkan, "kenapa aku tidak
diizinkan untuk mengatur sendiri kamar tidurku, supaya tidak tampak
seperti kamar bayi? Mimi tahu gambar apa yang tergantung di dinding
kamarku? Elisa di Negeri Ajaib dan Humpty Dumpty... Mimi tahu,
kan siapa Humpty Dumpty?"
"Oh ya, si telur yang pecah."
Aku ketawa cekikikan. Tapi aku cepat-cepat menguasai diri dan
kembali pada pembicaraan semula. "Betul, tapi dia tokoh dalam sajak
kanak-kanak Mother Goose, Mimi. Sajak kanak-kanak! Itu kan
cocoknya untuk balita, bukan untuk anak berumur dua belas tahun.Kenapa Papa melarangku mencopot gambar itu dari dinding kamarku?
Bahkan kalau aku mengusulkan untuk membiarkan saja gambar itu
tetap tergantung di tempatnya, lalu memasang poster baru di
sampingnya, Papa tetap menolak. Papa juga tidak mengizinkan aku
untuk mengurai rambut, memakai cat kuku, atau keluar malam lewat
dari jam setengah sepuluh. Sedang Claudia, Stacey, dan bahkan
Kristy, diizinkan oleh orangtua mereka untuk melakukan hal-hal itu?
dan masih banyak lagi. Rasanya ke mana pun aku melangkah, selalu
saja aku terbentur pada peraturan-peraturan Papa: Kamu tidak boleh
naik sepeda ke pusat kota, kamu tidak boleh memakai celana panjang
ke sekolah, kamu tidak boleh melakukan ini dan itu."
Aku berhenti untuk menarik napas.
Mimi mengangkat alisnya sedikit. "Aku mengerti bahwa
segalanya tidak mudah bagimu," dia berkata perlahan-lahan, lalu
menghirup tehnya. "Dan aku yakin kamu sudah mendengar dari
orang-orang bahwa ayahmu telah berusaha untuk melakukan yang
terbaik bagi keluarganya."
Aku mengangguk. Sepertinya semua orang di seluruh dunia
pernah mengucapkan kata-kata itu padaku.
"Nah, aku ingin mengatakan sesuatu yang sudah berkali-kali
aku katakan pada Claudia-ku. Yaitu: kalau kamu tidak menyukai
keadaanmu sekarang, maka kamu sendirilah yang harus
mengubahnya."
"Tapi aku sudah mencoba!" seruku.
"Mungkin kamu belum menemukan cara terbaik. Kalau semua
itu memang sangat penting bagimu, aku yakin bahwa pasti ada jalanuntuk mengatasi masalah ini. Dan aku yakin, Mary Anne-ku, cepat
atau lambat kamu akan menemukan jalan itu."
Pada saat itu, Claudia menyerbu masuk ke dapur.
"Apa yang baru saja Mimi katakan?" serunya penuh tuduhan.
"Claudia, kamu sudah pulang dari rumah keluarga Marshall?"
tanya Mimi.
Claudia mengabaikan pertanyaan Mimi. "Aku mendengar apa
yang Mimi katakan!" dia berteriak sambil memelototi neneknya.
"Mimi memanggil dia," pandangannya beralih padaku, "Mary Anne-
ku."
"Memang, aku berkata begitu," Mimi berkata dengan pelan.
"Tapi, bukankah cuma aku yang punya panggilan seperti itu?
Mimi bahkan tidak pernah menyebut Janine, Janine-ku... Aku pikir
cuma aku satu-satunya kesayangan Mimi."
Belum pernah aku melihat Claudia begitu kecewa dan marah.
Lebih daripada waktu dia mendapat nilai buruk, atau waktu Baby-
sitters Agency merampas klien-klien kami. Dia masih berdiri di situ,
di depan Mimi dan aku, dengan air mata membasahi pipinya.
Kemudian dia berbalik dan berlari. Aku bisa mendengar suara
langkahnya menaiki tangga dan melewati lorong di atas dan masuk ke
kamar tidurnya.
"Oh, gawat," aku berkata pada Mimi.
"Jangan kuatir, Mary Anne," dia berusaha menenangkanku.
"Aku yang salah, karena tidak memperhitungkan kemungkinan ini.
Tapi aku akan bicara dengan Claudia dan menjelaskan
kesalahpahaman ini." Mimi berdiri.
Aku juga berdiri. "Terima kasih, Mimi," ujarku.Mimi memelukku, lalu berjalan menaiki tangga. Aku berjalan
sendiri ke pintu depan.
Bagaimana cara terbaik untuk mengubah keadaan ini? aku
bertanya-tanya pada diri sendiri. Aku menyadari bahwa aku harus
bertekad untuk menemukannya sendiri.Bab 8
ADUH! Belum pernah Claudia marah seperti ini. Mimi sudah
minta maaf padanya, dan mencoba untuk menjelaskan duduk
perkaranya. Tapi Claudia tidak mau mengerti. Dia malahan mulai
memusuhi aku lagi. Itu artinya kejadian yang lalu terulang kembali:
semua anggota Baby-sitters Club mengadakan aksi bisu.Sudah dua kali aku mencoba menunggu Kristy di depan jendela
kamarku?sesaat setelah Papa mengucapkan selamat malam?sambil
menggenggam senter. Yang pertama, tidak ada tanda-tanda
kehadirannya sama sekali. Kamar Kristy tetap gelap. Dan yang kedua,
dia tidak tertarik sama sekali untuk melirik ke luar jendela kamarnya.
Tirai jendelanya terbuka dan aku bisa mengamati apa yang
dilakukannya di dalam kamarnya?mengerjakan PR, bercakap-cakap
dengan ibunya, dan bermain-main dengan anjingnya, Louie. Tapi
tidak sekali pun dia melihat ke arah kamarku. Sampai kapan kami
dapat bertahan seperti ini?
Aku mempertimbangkan untuk menceritakan semua kejadian
ini pada Dawn. Tapi akhirnya, setelah kupikir-pikir, aku memutuskan
untuk tidak melakukannya.
*************
Sudah sampai giliranku lagi untuk menjawab telepon dari para
klien Baby-sitters Club. Dan kali ini tidak semudah waktu yang lalu.
Pertama, karena Claudia ada di rumahnya, dan dia tidak senang aku
berada di kamarnya. Dia memasukkan kaset ke dalam tape-deck-nya
lalu memutar volumenya sekeras-kerasnya, sampai-sampai aku
hampir tidak dapat mendengar deringan telepon yang pertama.
"Halo!" aku berteriak setelah mengangkat gagang telepon.
"Baby-sitters Club!"
Aku yakin si penelepon mengatakan sesuatu padaku, tapi yang
dapat kudengar hanyalah: "DUM- DE-DUM-DE-DUM DUM. CAN'T
LIVE WITHOUT YOU-OU-OU-OU-OU."
"Apa?" tanyaku setengah berteriak."DE-DOOOO. DE-DOOOO. MY LIFE IS YOU- OU-OU-OU-
OU."
"CLAUDIA, TOLONG PELANKAN SEDIKIT!" aku berteriak
lagi.
Claudia pura-pura tidak mendengar. Dia malah mulai ikut
bernyanyi-nyanyi. "DE-DOOOO, DE- DOP. IT'S LIFE AT THE
TOP, THE TOP!"
Aku mencoba menutup telingaku dengan sebelah tangan.
"HALO?"
Secara samar-samar aku bisa mendengar sebuah suara
mengatakan, "Kenapa kamu berteriak-teriak? Ada sesuatu yang tidak
beres?"
"BU NEWTON? MAKSUDKU, Bu Newton, ya?"
"Ya. Mary Anne? Suara apa itu?"
"Oh... cuma suara musik, kok."
"Coba kamu dengarkan, ya. Aku perlu seorang baby-sitter
untuk Jamie pada hari Rabu sore. Aku akan mengunjungi seorang
teman selama beberapa jam, dan aku akan membawa Lucy ke sana.
Apakah di antara kalian ada yang punya waktu?"
Musik berhenti sejenak karena lagunya sudah habis, sehingga
aku bisa mendengar dengan lebih jelas. "Saya harus menanyakannya
dulu pada yang lain," sahutku, "karena saya sendiri tidak bisa
mengerjakannya."
"Bisakah kamu menanyakannya dulu pada Kristy? Kurasa
Jamie akan senang kalau bisa bertemu dengannya."
"Baiklah," aku menyetujui?dengan berat hati.
Sial. Aku harus menelepon Kristy."Saya akan menelepon kemb..."
"OH, My, My. OH, My, My. My BABY'S SAD AND SO AM
I." Lagu berikutnya sudah mulai menggelegar.
Bu Newton dan aku meletakkan gagang telepon masing-masing.
Pada saat irama lagu di tape-deck Claudia bertambah cepat,
Mimi menyembulkan kepalanya. Aku yakin dia sudah mengetuk
pintu, tapi tentu saja kami tidak dapat mendengarnya.
Dia memberi isyarat pada Claudia. Kemudian Claudia
mengecilkan volumenya?sedikit.
"Claudia," ujarnya. "Aku terpaksa memintamu mengecilkan
volume musikmu, karena terlalu ribut. Selain itu, aku juga ingin
mengajakmu turun untuk minum teh bersama-sama, sementara Mary
Anne menjawab telepon-telepon yang masuk."
Claudia mempertimbangkan tawaran Mimi itu.
Akhirnya dia mematikan musiknya, lalu beranjak meninggalkan
kamarnya bersama Mimi. Sebelum keluar, sempat dia menjulurkan
lidahnya ke arahku.
Aku membalasnya dengan cara yang sama.
Dia keluar sambil membanting pintu.


Baby Sitter Club 4 Mary Anne Jadi Pahlawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan tangan gemetar, aku memutar nomor telepon keluarga
Thomas.
Kristy yang menjawab telepon.
"Halo?" ujarku. "Ini Mary Anne Spier."
Hening beberapa saat. "Ada apa?"
Tadinya aku pikir dia akan mengatakan "halo" padaku.
"Bu Newton perlu baby-sitter untuk Jamie pada hari Rabu sore.
Jamie kepingin kamu yang menjaganya. Kamu punya waktu?""Yap."
"Baiklah, aku akan mengatakannya pada Bu Newton."
"Hei, jangan tutup dulu!"
Jangan? Waduh. Kristy akan minta maaf padaku. Rasanya tidak
bisa dipercaya. Ternyata kali ini, Kristy si suka ngatur akan mengalah
lebih dulu, sementara, aku, Mary Anne si pemalu, sudah sanggup
bertahan dan tidak menyerah dengan mudah. Akhirnya pertengkaran
kami berakhir juga! Aku begitu gembira sampai-sampai aku ingin
memeluk diriku sendiri. "Yeah?" kataku.
"Jam berapa dia memerlukanku?"
"Tanyakan sendiri," sahutku, lalu langsung memutuskan
hubungan. Setelah itu aku menelepon Bu Newton untuk
memberitahukan bahwa Kristy bisa menjaga Jamie pada hari Rabu
sore.
Telepon berikutnya datang dari Watson. Dia perlu seseorang
untuk menjaga Karen dan Andrew pada hari Sabtu sore yang akan
datang. "Aku tahu ini bertentangan dengan peraturan klub kalian," ujar
Watson, "tapi dapatkah kamu menanyakannya dulu pada Kristy? Aku
ingin Andrew dan Karen sesering mungkin bertemu dengannya,
karena dia sebentar lagi akan menjadi saudara tiri mereka."
"Tentu," aku menjawab dengan kesal. Perasaanku makin kacau.
Untuk kedua kalinya aku memutar nomor telepon Kristy.
David Michael yang mengangkat telepon. "Halo, di sini David
Michael. Tolong beritahu nama Anda?"
"Di sini Mary Anne," sahutku."Hai!" dia berseru. "Kapan kamu akan ke sini lagi untuk
menjagaku? Kamu ingat waktu terakhir kali kamu datang ke sini? Kita
main bola gelinding di lantai bawah."
"Yeah, senang sekali, ya?"
"Yeah!"
"David Michael, tolong panggilkan Kristy, dong. Aku perlu
bicara dengan dia."
"Sebentar, ya."
Kristy sudah memegang gagang telepon, tapi dia tidak
mengucapkan satu kata pun. Aku bisa menebak karena secara samar-
samar aku mendengar suara napasnya.
"Kristy?"
"APA?"
"Watson ingin kamu menjaga anak-anaknya pada hari Sabtu?
dari jam setengah tiga sampai jam lima," aku menambahkan dengan
tajam.
"Boleh."
"Aku akan meneleponnya kembali. Sampai ketemu."
Kami meletakkan gagang telepon masing-masing.
Telepon berdering lagi. "Halo, Baby-sitters Club," ujarku.
"Hai, Mary Anne. Ini Bu Newton lagi. Aku lupa untuk
menanyakan apakah kamu, Kristy, Claudia, dan Stacey bisa datang
pada hari ulang tahun Jamie yang keempat? Kira-kira dua minggu
lagi. Dan selain sebagai tamu, kuharap kalian juga mau ikut
membantu. Kami telah mengundang enam belas anak, sehingga pasti
butuh bala bantuan.""Boleh saja!" aku berseru. "Maksudku, kalau kami semua tidak
berhalangan, pasti akan sangat menyenangkan. Tapi saya harus
menanyakannya dulu pada yang lain."
Bu Newton memberikan beberapa informasi tentang pesta yang
akan diadakannya, dan setelah itu aku mulai menelepon para anggota
klub. Untungnya, Stacey tidak ada di rumah. Jadi aku hanya perlu
meninggalkan pesan pada Bu McGill agar Stacey menelepon Bu
Newton.
Satu beres, tinggal dua lagi. Aku tidak mau menelepon Kristy
untuk ketiga kalinya, tapi aku juga tidak mau berbicara langsung
dengan Claudia.
Aku melempar sebuah mata uang untuk menentukan siapa yang
akan kuberitahu lebih dulu. Claudia.
Aku berjalan pelan-pelan menuruni tangga dan melihatnya
sedang minum teh bersama Mimi.
"Claud?" aku memberanikan diri.
Claudia meletakkan cangkirnya dan menutup telinganya dengan
kedua tangannya. "HMM, HMM, HM-HM." Dia memejamkan
matanya dan bersenandung dengan keras. "AKU TIDAK BISA
MENDENGARMU."
Aku menatap Mimi dengan tidak berdaya.
Mimi menjulurkan lengannya ke seberang meja, lalu menyentuh
tangan Claudia dengan lembut. Sentuhan Mimi ternyata bisa membuat
tingkah laku Claudia kembali normal. Dia membuka matanya dan
mulai mendengarkan.
"Bu Newton menginginkan seluruh anggota Baby-sitters Club
untuk ikut membantu penyelenggaraan pesta ulang tahun Jamie yangkeempat," ujarku. Aku mengatakan padanya kapan pesta itu akan
berlangsung. "Apakah kamu mau datang ke sana?"
"Ya," dia menyahut dengan dingin. "Aku akan datang."
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 1 Pendekar Mabuk 044 Pusaka Bernyawa Kisah Tiga Kerajaan 2
^