Pencarian

Rahasia Stacey 2

Baby Sitter Club 3 Rahasia Stacey Bagian 2


"Ya..."
"Wah, bagaimana, ya?"
"Riskan juga, nih," tambahku.
Kristy menatap kami dengan pandangan menyesal. "Tapi
sekarang sudah terlambat. Kita harus berani mengambil risiko itu."
Claudia menemukan beberapa permen butter-scotch di dalam
sarung bantal, lalu membagi-bagikannya pada Kristy dan Mary Anne.
Mereka membuka kertas pembungkusnya, dan langsung mulai
mengunyah.
"Hmmm, paling tidak ada satu hal yang menggembirakan," aku
angkat bicara.
"Apa?" teman-temanku bertanya dengan tidak sabar.
"Kalau apa yang dikatakan Janet dan Leslie tentang Baby-sitters
Agency memang benar, maka ada kemungkinan saingan kita itu akan
cepat bubar."
"Yeah," yang lain setuju.
Kami duduk membisu. Beberapa saat kemudian baru kusadari
bahwa kami berempat sedang menatap pesawat telepon. "Mungkin
kita bisa membuatnya berdering, kalau kita semua berkonsentrasi
penuh," aku mengusulkan. Kami mencobanya, tapi tak berhasil.
Tepat jam enam pertemuan rutin Baby-sitters Club berakhir.
Kami tidak menerima satu telepon pun pada hari itu.
Bab 9KEESOKAN sorenya kami berkumpul di rumah keluarga
Thomas. Tidak seorang pun dari kami punya tugas menjaga anak.
Karena kami sudah bosan menganggur, maka Kristy lalu menelepon
Bu Newton?yang sudah pulang dari rumah sakit ?untuk
menanyakan apakah kami boleh berkunjung ke rumahnya untuk
melihat bayinya. Kami sangat gembira waktu Bu Newton bilang
boleh.
"Oh, asyik!" seru Kristy setelah meletakkan gagang telepon.
"Aku sudah menyiapkan hadiah untuk bayinya, dan juga untuk
Jamie."
"Aku juga," tambahku.
"Aku juga," ujar Claudia.
"Aku juga," kata Mary Anne.
"Apakah hadiah kalian sudah dibungkus?" tanya Claudia.
"Belum," kami menjawab bersamaan.
"Bagus. Kalau begitu ambil hadiah kalian sekarang juga. Nanti
kita berkumpul lagi di kamarku. Aku punya banyak barang yang
bagus-bagus untuk membungkus dan menghias hadiah-hadiah kalian."
Setelah tiba di kamar Claudia, kami langsung memamerkan
hadiah masing-masing. "Oh, lucunya!" kami mulai berseru sambil
mengagumi hadiah-hadiah yang kami bawa.
Kristy telah membelikan mobil-mobilan kecil untuk Jamie, dan
mainan berbentuk bebek yang kalau digerak-gerakkan akanmengeluarkan bunyi gemerincing untuk Lucy. Claudia membelikan
boneka dinosaurus untuk Jamie, dan membuat lukisan anak-anak
kucing untuk digantungkan di kamar bayi. Aku membawa dua buku:
Mike Mulligan and his Steam Shovel untuk Jamie, dan Pat the Bunny
untuk Lucy.
Hadiah dari Mary Anne adalah yang terbagus: topi rajut merah
untuk Jamie, dan topi rajut merah jambu untuk si bayi.
"Aku sendiri yang membuatnya," ia mengaku dengan malu-
malu. "Kelihatan, tidak?"
"Jangan bercanda!" seruku. "Kamu bisa membuat itu?"
"Kalau begitu tidak kelihatan seperti buatan sendiri, ya?"
"Jelas tidak!"
"Mary Anne, aku baru tahu kalau kamu bisa merajut," kata
Kristy.
Mary Anne menoleh kepada Claudia, yang sedang tersenyum
padanya.
"Dia belajar dari Mimi," Claudia menjelaskan. "Sudah lama
Mimi ingin mengajarkan kepandaiannya ini pada seseorang, tapi
Janine dan aku tidak tertarik."
"Mimi masih ingat pada ibuku," tambah Mary Anne. "Dia
banyak bercerita tentang ibuku, sementara aku merajut."
"Bagus... bagus, dong," kataku. (Aku tidak tahu apakah itu yang
harus kukatakan.)
Mary Anne kelihatan berseri-seri. "Mimi juga akan
membantuku membuat syal untuk ayahku."
"Wow!" Kami semua sangat kagum.Claudia mengeluarkan sebuah kardus besar dari dalam
lemarinya. "Oke, kita mulai saja," ujarnya.
Kami melihat ke dalam kotak itu. Isinya aneka macam barang
yang dikumpulkan Claudia selama beberapa tahun terakhir: bunga-
bunga plastik, potongan-potongan kertas berbentuk hati, manik-
manik, pita-pita berwarna-warni, dan boneka-boneka binatang.
"Semuanya bisa dipakai untuk menghias kado," dia menerangkan pada
kami. "Kita bisa membuat bungkus hadiah istimewa dengan barang-
barang ini." Dia membuka sebuah kotak sepatu yang penuh dengan
stempel karet. "Nah, aku punya empat bantalan stempel dengan warna
yang berbeda-beda. Kalian bisa mencap kertas putih ini untuk
membuat gambar atau motif apa saja, sesuai yang kalian inginkan.
Setelah hadiah-hadiah kita dibungkus dengan kertas ini, baru kita hias
semuanya."
Kami langsung menyibukkan diri. Aku mengambil stempel-
stempel karet bermotif hati, bunga, dan kodok. Kemudian aku mencap
kertas untuk membungkus hadiah Lucy dengan motif hati berwarna
merah, dan dengan motif bunga berwarna biru. Kertas pembungkus
untuk hadiah Jamie kustempel dengan motif kodok berwarna hijau.
Setelah selesai, kami beristirahat sejenak untuk mengagumi hasil
karya masing-masing, kemudian berlari ke rumah keluarga Newton.
Jamie yang membuka pintu. "Hi-hi," dia menyambut kami
dengan riang gembira.
Bu Newton muncul di belakangnya. "Halo, anak-anak! Oh,
senang sekali kalian mau datang kemari! Jamie sudah kangen, nih.
Dan aku sudah tidak sabar untuk mengajak kalian melihat Lucy. Ayo
masuk."Kami berjalan masuk. Aku heran melihat Bu Newton masih
tetap kelihatan... ehm... gendut. Maksudku, bukan gendut seperti
orang hamil, tapi juga bukan seperti yang kubayangkan kalau dia
sudah melahirkan.
"Oh, kalian baik sekali, membawakan hadiah segala.
Sebenarnya kalian tidak perlu melakukan semua ini."
"Kami tahu," sahut Kristy dengan senyum lebar.
"Kami sendiri yang kepingin," tambahku.
"Yeah," ujar Mary Anne. "Kelahiran seorang bayi adalah saat
yang istimewa."
Jamie memperhatikan hadiah-hadiah yang kami bawa,
kemudian menoleh pada ibunya. "Apa ada hadiah untukku, Ma?"
"Jamie! Tidak sopan bertanya seperti itu!" Bu Newton menoleh
pada kami. "Maaf, ya. Sudah seminggu ini dia selalu uring-uringan.
Jamie agak C-E-M-B-U-R-U," dia mengeja. "Soalnya L-U-C-Y
mendapat banyak H-A-D-I-A-H."
"Wah, kalau begitu kali ini kamu beruntung, Jamie," kata
Claudia. "Empat dari hadiah-hadiah yang kami bawa ini untuk kamu,
lho."
"Empat!" seru Jamie.
Kami tidak membiarkannya menunggu lebih lama lagi. Kami
segera menyerahkan hadiah-hadiahnya, dan Jamie langsung merobek
kertas pembungkusnya.
"Eh, bilang apa, Jamie?" ujar Bu Newton.
"Makasih," sahut Jamie secara otomatis. Semua hadiah sudah
dibukanya. Dia telah memakai topi rajut buatan Mary Anne, dan
mencoba untuk membaca sambil bermain sekaligus.Kemudian kami memberikan hadiah-hadiah Lucy pada Bu
Newton.
"Ayo kita tengok bayinya dulu sebelum membuka hadiah-
hadiah ini," katanya. "Sayangnya Lucy sedang tidur, jadi kalian tidak
bisa menggendong dia."
Bu Newton mengajak kami ke lantai atas, lalu masuk ke sebuah
kamar kecil yang memang disiapkan untuk Lucy. Sebuah tempat tidur
bayi berukuran besar terletak di pojok kamar, tapi Lucy sedang tidur
di dalam keranjang-goyang berwarna biru di dekat pintu. "Dia masih
terlalu kecil untuk ditidurkan di tempat tidur bayi itu," Bu Newton
berbisik. "Bayi-bayi merasa lebih aman kalau ditidurkan di tempat
tidur yang kecil."
Para anggota Baby-sitters Club mengerumuni keranjang-goyang
itu tanpa bersuara, kemudian melihat ke dalamnya.
"Ohhh," aku menahan napas.
"Dia kecil sekali," bisik Mary Anne.
Memang, Lucy sangat kecil. Aku tidak menyangka bahwa bayi
yang baru lahir sekecil ini.
"Bolehkah saya menyentuhnya?" aku berbisik pada Bu Newton.
Dia mengangguk.
Aku membungkuk, lalu mengelus tangan Lucy yang sangat
kecil itu dengan jariku. Rasanya lembut seperti sutera, dan bentuknya
sempurna. Ada empat jari mungil dan sebuah jempol. Di masing-
masing ujung jarinya ada kuku yang hanya sebesar titik. Aku menarik
napas. Lucy wangi sekali. Wanginya seperti bedak bayi dan susu.
Perlahan-lahan aku mengusap rambutnya yang berwarna hitam
dengan sebelah tangan. Lucy menggeliat, dan membuka matanyasebentar. Aku sempat melihat bahwa matanya berwarna biru.
Kemudian dia memejamkan matanya lagi.
Aku menengadah. Claudia, Kristy, dan Mary Anne kelihatan
terpesona.
Beberapa saat setelah itu kami sudah kembali ke bawah. Kami
berkumpul di ruang duduk, sambil memperhatikan Bu Newton
membuka hadiah-hadiah Lucy. Dia berseru tertahan setiap kali
melihat sebuah hadiah, dan tak henti-hentinya memuji bungkusannya
yang lucu.
"Apakah topinya kira-kira cukup untuk Lucy?" Mary Anne
bertanya dengan cemas.
"Beberapa minggu lagi pasti sudah cukup."
Mary Anne mendesah dengan lega.
"Bu Newton?" Kristy berkata. "Bolehkah saya menanyakan
sesuatu?"
"Tentu saja."
Tiba-tiba perutku rasanya seperti bergolak. Aku punya perasaan
tidak enak karena aku sudah tahu apa yang akan ditanyakan oleh
Kristy. Aku menoleh pada Claudia, dan ternyata dia juga sedang
melihat ke arahku. Kedua matanya seakan-akan berkata: Aduh, aku
tidak percaya Kristy mau membicarakan masalah ini sekarang.
Tapi itulah yang dilakukan Kristy.
"Saya tidak tahu bagaimana caranya mengatakan ini," Kristy
memulai, "tapi waktu Jamie dititipkan di rumah saya minggu lalu, dia
bercerita bahwa kami tidak bisa lagi menjadi baby-sitter-nya. Ehm,
bukan begitu... Maksud saya, Jamie bilang dia mendengar Ibu
berbicara dengan Liz Lewis dari Baby-sitters Agency lewat telepon.Apakah...? Apakah kami tetap bisa...?" Kristy tidak tahu bagaimana
menyelesaikan pertanyaannya.
Wajah Bu Newton bersemu merah.
Aku yakin wajahku juga begitu, soalnya panas sekali rasanya.
"Seharusnya aku memang memberitahu kalian," ujar Bu
Newton. "Aku tahu kalian sudah menunggu-nunggu kelahiran Lucy.
Dan tentu saja kalian tetap menjadi baby-sitter favorit kami. Tapi bayi
yang baru lahir masih begitu lembut, dan membutuhkan perhatian
istimewa..."
"Tapi kami cukup bertanggung jawab," potong Kristy.
"Saya sudah pernah menjaga bayi," tambahku.
"Yang baru lahir?" tanya Bu Newton.
"Tidak juga, sih. Ada yang umurnya sepuluh bulan, dan ada
yang delapan bulan."
"Perbedaannya sangat besar, lho," lanjut Bu Newton. "Bayi
berumur tiga bulan pun sudah berbeda jauh dengan bayi yang baru
lahir. Yang ingin aku katakan adalah: Untuk beberapa bulan berikut
ini, aku merasa lebih aman kalau Lucy dijaga oleh baby-sitter yang
lebih tua. Tapi kalau Lucy ikut pergi bersamaku dan Jamie tinggal di
rumah sendiri, dengan senang hati aku akan meminta jasa Baby-sitters
Club untuk menjaga Jamie."
"Saya mengerti," kata Claudia lambat-lambat.
"Syukurlah Ibu masih mau memakai jasa kami untuk menjaga
Jamie," ujar Kristy.
"Dan kalau Lucy sudah bertambah besar nanti, aku harap kalian
mau menjadi baby-sitter tetap untuk dia dan Jamie," tambah Bu
Newton."Oh, tentu saja!" kataku dengan riang, walaupun hati kecilku
tidak seriang itu. Sepertinya Baby-sitters Club sedang menghadapi
cobaan yang tidak kepalang tanggung.
***********
Keesokan harinya seusai sekolah, aku bertemu dengan Janet
dan Leslie untuk pertama kalinya. Mereka datang tepat jam setengah
enam untuk menghadiri pertemuan rutin Baby-sitters Club pada hari
Rabu.
Aku mengamati mereka dengan saksama. Memang mereka
sudah menjadi anggota klub, tapi aku tidak dapat menahan diri untuk
mengajukan beberapa pertanyaan pada mereka.
"Apakah kamu sudah sering bertugas sebagai baby-sitter?" aku
bertanya pada Janet.
"Oh, sudah ribuan kali," dia menyahut sambil mengunyah
permen karet. Kemudian dia membuat gelembung yang pecah dengan
suara keras.
"Kamu juga?" tanyaku pada Leslie.
Leslie kelihatannya sudah mulai bosan. Dia menyibakkan
rambutnya yang kusut dari wajahnya. Aku memperhatikan bahwa dia
memakai make-up. Cukup tebal, lagi.
"Tentu saja," sahutnya. Dia menoleh kepada Janet, dan mereka
bertukar senyum.
"Di mana?" tanya Mary Anne. Aku agak kaget karena dia juga
ikut bertanya, tapi aku tahu bahwa dia pun memikirkan reputasi kami.
"Di seberang kota," jawab Janet. (Nyam, nyam. Blep.) "Kamu
pasti tidak kenal orang-orang di sana.""Berapa umur anak paling kecil yang pernah kalian jaga?" tanya
Claudia.
"Kira-kira sembilan bulan," ujar Leslie.
"Aku (nyam) juga sama," sahut Janet.
Kristy mengamati kami dengan gelisah. Pandangannya mondar-
mandir dari anak-anak baru ke anggota-anggota yang lama.
"Berapa anak yang bisa kalian jaga sekaligus?" aku ingin tahu.
"Oh, tiga atau empat, mungkin," jawab Leslie.
"Yeah," sahut Janet. (Nyam, blep.)
Pada saat itulah Kristy memutuskan bahwa sudah saatnya untuk
membuat kami terkesan. "Sampai jam berapa kalian boleh bertugas
pada malam hari?" tanyanya.
"Jam sebelas pada hari biasa," jawab mereka bersamaan.
"Malam Sabtu dan malam Minggu (nyam) aku bisa bertugas
sampai tengah malam (blep)," tambah Janet.
"Aku bisa bertugas sampai jam berapa pun pada akhir pekan,
asal sebelumnya sudah memberitahu ibuku," ujar Leslie.
Rahangku rasanya hampir copot karena terbengong-bengong.
"Berapa, sih, umur kalian?"
"Empat belas," Leslie menyahut.
"Aku tiga belas," ujar Janet.
Aku mulai merasa sedikit kagum.
Kristy melihat berkeliling dengan perasaan menang. "Aku rasa
yang harus kita lakukan adalah memperkenalkan anggota-anggota
baru ini kepada klien-klien kita." Dia menarik fotokopi selebaran


Baby Sitter Club 3 Rahasia Stacey di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baby-sitters Club yang lama dari dalam map yang dibawanya. "Nah,
kita tinggal menambahkan nama Janet dan Leslie serta umur merekadi sini, dan menyesuaikan jam kerja yang dicantumkan. Kemudian
aku bisa minta tolong ibuku untuk membuat beberapa fotokopi
selebaran yang baru. Setelah itu kita langsung bisa menyebarkan
selebaran-selebaran ini. Siapa yang bisa membantuku besok seusai
sekolah?"
"Aku bisa," sahut Claudia, Mary Anne, dan aku bersamaan.
Kami menoleh pada Janet dan Leslie. Mereka berpandangan.
"Sebenarnya," sahut Janet (nyam, nyam), "kami ingin
membantu kalian, tapi besok kami punya tugas menjaga anak (nyam).
Sudah janji, sih."
Kristy menoleh kepadaku seakan-akan berkata, Nah, kamu bisa
lihat sendiri bahwa mereka sangat bertanggung jawab!
"Baiklah," ujar Kristy. "Begini rencana kita. Besok, kita akan
sebarkan selebaran-selebaran ini. Selain itu kita juga akan menelepon
pelanggan-pelanggan terbaik untuk memberitahu mereka secara
langsung. Hari Jumat kita bertemu lagi."
Kami melaksanakan rencana Kristy. Dan pada pertemuan rutin
hari Jumat, kami mendapatkan empat tugas. Dua di antaranya
merupakan tugas mendadak untuk malam Minggu. Karena yang
diperlukan adalah baby-sitter yang bisa bertugas sampai larut malam,
maka kedua tugas itu kami berikan pada Janet dan Leslie. Kami tidak
sabar menunggu pertemuan rutin hari Senin untuk mendengar laporan
mereka.
Kelihatannya Baby-sitters Club mulai bangkit kembali.Bab 10WAH! Kejadian hari Senin itu merupakan salah satu kejadian
paling buruk dalam perang antara Baby-sitters Club dengan Baby-
sitters Agency. Seperti yang dituliskan Claudia, kami berempat? para
anggota klub yang lama?memang berkumpul lebih awal pada
pertemuan rutin hari itu. Kami tidak sabar untuk mendengar berita
dari Janet dan Leslie.
Meskipun jam digital di kamar Claudia sudah menunjukkan
pukul setengah enam lewat lima menit dan kedua anggota baru itu
belum muncul juga, pertemuan kali itu tetap berawal dengan baik.
Pertama, Bu Marshall menelepon, karena dia memerlukan seseorang
untuk hari Rabu siang. Mary Anne yang mengambil tugas itu.
Kemudian Watson, calon ayah tiri Kristy, perlu seseorang untuk hari
Rabu sore. Tentu saja Kristy yang mengambil tugas itu. Lalu Bu
Newton menelepon! Dia perlu seseorang untuk menjaga Jamie hari
Rabu siang, karena dia akan mengantar Lucy untuk check-up ke
dokter anak. Aku yang mengambil tugas itu, karena Claudia kebetulan
berhalangan. Dia ada kursus melukis. Kami begitu sibuk menerima
telepon, sampai-sampai tidak menyadari bahwa sudah jam enam
kurang sepuluh menit. Janet dan Leslie ternyata belum juga datang.
"Setidak-tidaknya mereka harus menelepon dong, kalau mereka
tidak bisa datang ke pertemuan sore ini," aku menggerutu.
Bahkan Kristy pun kelihatan jengkel. "Tadi siang aku bertemu
dengan Janet di sekolah, tapi dia tidak mengatakan kalau tidak bisa
datang ke sini."
"Rasanya agak aneh bahwa kedua-duanya tidak muncul," ujar
Mary Anne. "Ada kejadian apa, ya, sehingga mereka berdua
terlambat?"Kristy mengangkat bahunya. "Mungkin mereka lupa."
"Tapi kita sudah mengingatkan mereka beribu-ribu kali tentang
pertemuan sore ini," kata Claudia. "Kalau mereka sampai lupa, berarti
mereka tidak bertanggung jawab."
"Baiklah, aku akan menelepon mereka," sahut Kristy. Dia
menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres, karena pada saat
itulah dia meminta Claudia untuk mencatat kejadian itu di buku
catatan klub.
"Jangan, biar aku saja yang menelepon mereka," ujarku.
"Memangnya mereka menganggap diri mereka sudah hebat!"
"Jangan marah, dong," kata Kristy. "Sikap seperti itu tidak akan
membantu. Akulah yang akan menelepon. Aku ketua di sini."
"Tidak, aku yang menel..."
Telepon berdering. Kristy dan aku berusaha untuk saling
mendahului. Tapi Mary Anne duduk paling dekat dengan pesawat
telepon, sehingga dialah yang berhasil mengangkat gagangnya.
"Halo, Baby-sitters Club," katanya. "...Bukan, saya Mary Anne
Spier. Ada yang bisa saya bantu? ... Oh, hai, Pak Kelly.... Dia tidak
muncul?"
Kristy, Claudia, dan aku langsung memasang kuping. Keluarga
Kelly adalah klien baru kami. Pak Kelly menghubungi Baby-sitters
Club setelah mendapatkan selebaran kami yang sudah diperbarui.
Leslie dijadwalkan untuk bertugas di sana pada malam Minggu yang
lalu.
"Pak Kelly," Mary Anne sedang berkata. "Saya minta maaf atas
kejadian ini. Saya tidak tahu kenapa dia tidak datang.... Ehm ya, tapi
kebetulan dia tidak ada di sini sekarang. Saya rasa Bapak bisamenelepon dia di rumahnya.... Oh, begitu. Ehm, apakah Bapak ingin
bicara dengan ketua kami? ... Oke... Tentu. Dan... sekali lagi saya
minta maaf atas kejadian ini."
Wajah Mary Anne memerah karena marah. Dia menutup
gagang telepon dengan sebelah tangan. Dan sambil menyerahkan
gagang pada Kristy, dia berbisik, "Leslie tidak muncul hari Sabtu
kemarin. Dia bahkan tidak memberitahu keluarga Kelly bahwa dia
tidak bisa datang."
Kristy meraih gagang telepon. Dengan mata terpejam,
dikuatkannya dirinya untuk menghadapi Pak Kelly. "Di sini Kristy
Thomas," ujarnya setelah beberapa saat, "ketua klub.... Ya, Mary
Anne sudah memberitahu saya. Saya juga minta maaf. Leslie tidak
mengatakan pada saya bahwa dia tidak bisa menepati janjinya dengan
Bapak. Seandainya dia mengatakannya, maka saya pasti akan
mengirimkan anggota lain dari klub kami sebagai penggantinya....
Saya harap Bapak bersedia menerima permintaan maaf kami....
Tentu.... Tentu. Oke, sampai jumpa."
Kristy meletakkan gagang telepon. Aku tidak tahu apakah dia
marah atau takut atau malu. Mungkin ketiga-tiganya. Dia terdiam
begitu lama, sampai aku akhirnya berkata, "Pak Kelly marah sekali,
ya?"
"Yap. Dia dan istrinya sudah membeli karcis untuk menonton
pertunjukan konser adik istrinya di Stamford. Ketika Leslie tidak
muncul, Pak Kelly menelepon ke rumahnya, tapi tidak ada yang
mengangkat. Pak Kelly dan istrinya jadi kalang-kabut mencari orang
untuk menjaga anak-anak mereka. Akhirnya mereka menitipkan anak-
anak mereka pada seorang tetangga. Tapi waktu mereka sampai digedung pertunjukan, acara sudah berlangsung selama dua puluh
menit."
"Aduh," ujar Claudia.
"Kenapa mereka tidak menelepon salah satu dari kita?"
tanyaku.
"Sederhana saja," bentak Kristy. "Mereka sudah tidak percaya
lagi pada kita, dan itu wajar, kan?! Pak Kelly menelepon kemari
hanya untuk memastikan bahwa kita tahu apa yang telah dilakukan
Leslie. Aku punya firasat bahwa keluarga Kelly tidak akan memakai
jasa Baby-sitters Club lagi."
"Oh, bagus," kataku sambil mengembuskan napas yang secara
tidak sadar sudah kutahan dari tadi. "Tunggu saja sampai berita ini
sempat tersebar."
Telepon berdering lagi. Tidak ada yang bergerak untuk
mengangkatnya. Akhirnya aku mengangkatnya pada deringan ketiga.
"Halo, Baby-sitters Club," kataku dengan muram. "Stacey McGill di
sini.... Ya? ... Oh, jangan main-main! Maksud saya, saya sangat
menyesal. Amat sangat menyesal. Kami tidak tahu. Mungkin Anda
ingin bicara dengan ketua kami.... Oke, tunggu sebentar." Aku
memberikan gagang telepon pada Kristy, sambil berbisik, "Rasanya
aku tidak percaya. Ini Bu Jaydell, klien baru kita yang satu lagi.
Wanita yang meminta Janet untuk bertugas di sana. Ternyata Janet
juga tidak muncul."
Sekarang giliran Kristy yang marah. Dia mengambil gagang
telepon dengan mata berapi-api, lalu menggertakkan rahangnya
sebelum berkata (dengan ramah), "Kristin Thomas di sini."Aku sudah pernah melihat Kristy marah, tapi belum pernah
sehebat sekarang.
Percakapannya dengan Bu Jaydell kurang lebih sama dengan
percakapannya dengan Pak Kelly beberapa menit yang lalu.
Perbedaannya adalah bahwa Bu Jaydell dan suaminya tidak berhasil
mendapatkan seorang baby-sitter sebagai pengganti Janet, sehingga
mereka terpaksa tidak bisa menghadiri sebuah pesta.
Ketika Kristy meletakkan gagang telepon, tangisnya mulai
meledak. Baru pertama kali itu aku melihat dia menangis.
"Yah, semuanya sudah terjadi," kataku sambil memberikan tisu
yang kuambil dari meja di sebelah tempat tidur Claudia padanya.
"Berapa nomor telepon Janet dan Leslie? Aku akan menelepon
mereka sekarang juga. Kelakuan mereka betul-betul merugikan kita."
"Jangan," ujar Kristy sambil mengeringkan air matanya.
"Jangan telepon mereka. Aku ingin mengadakan perhitungan dan
berhadapan langsung dengan mereka. Kita akan bicara dengan mereka
di sekolah besok. Ini bukan lagi suatu kebetulan. Mereka sengaja tidak
mengerjakan tugas-tugas mereka. Aku yakin sekali."
"Tapi kenapa?" tanya Claudia.
"Mana aku tahu?" sahut Kristy. "Siapa yang akan membantuku
menghadapi pengkhianat-pengkhianat itu besok?"
"Aku!" seruku.
"Aku!" kata Claudia.
Kami menoleh pada Mary Anne. "Tidak bisakah kita
melakukannya melalui telepon?" tanyanya.
"Tidak bisa," kataku dengan tegas.
"Kita harus berhadapan secara langsung.""Harus begitu?"
"Ya, harus!"
"Semuanya," tambah Kristy. "Semua anggota klub. Bersatu kita
teguh."
"Baiklah," sahut Mary Anne akhirnya.
************
Keesokan harinya, tak seorang pun dari kami berminat untuk
pergi ke sekolah. Kami berangkat bersama-sama, tapi sengaja berjalan
lambat-lambat ?hampir selambat keong.
"Kapan kita akan membuat perhitungan dengan mereka?"
tanyaku pada Kristy sesaat setelah kami sampai di Stoneybrook
Middle School.
"Yeah," tambah Claudia. "Kita bahkan tidak pernah sekelas
dengan mereka."
"Sekarang juga kita akan membuat perhitungan dengan
mereka," jawab Kristy. "Aku tahu homeroom mereka. Kita tunggu
mereka di depan pintu."
"Penyergapan," komentar Mary Anne.
Homeroom Janet dan Leslie berbeda, tapi letaknya berhadap-
hadapan. Kristy dan Mary Anne menunggu di depan homeroom Janet;
Claudia dan aku menunggu di depan homeroom Leslie.
Kira-kira lima menit kemudian, aku melihat mereka muncul di
ujung lorong. "Sst! Kristy!" kataku. "Mereka datang. Dua-duanya."
"Hei," Claudia berbisik padaku. "Lihat siapa yang berjalan
bersama mereka."
Aku memasang mata. Ternyata Liz Lewis. "Kupikir mereka
tidak suka pada Liz," ujarku."Memang," sahut Claudia sambil mengerutkan dahinya.
Kami mengamati anak-anak itu berhenti beberapa saat;
kelihatannya mereka terlibat dalam percakapan serius. Kemudian Liz
melambaikan tangan, lalu masuk ke ruang kelasnya.
Janet dan Leslie sudah melihat kami sebelum sampai di depan
homeroom mereka. Mereka saling sikut sambil tertawa mengejek.
Para anggota Baby-sitters Club mengepung mereka.
"Ke mana kalian kemarin?" tuntut Kristy.
"Hei (nyam,nyam), sapaan macam apa itu?" tanya Janet sambil
mengunyah. Dia pasti menyimpan dua belas permen karet di dalam
mulutnya.
"Aku tidak main-main," sahut Kristy. "Aku ingin tahu ke mana
kalian kemarin, dan aku kepingin tahu kenapa kalian kemarin tidak
muncul di tempat-tempat kalian seharusnya bertugas. Klub kita sudah
terkenal karena beranggotakan para baby-sitter yang bertanggung
jawab."
"Terus kenapa?" ujar Leslie.
"Terus kenapa!" teriak Kristy. "Kalian telah membuat reputasi
klub menjadi buruk. Kami minta kalian keluar dari Baby-sitters Club."
"Boleh-boleh saja," jawab Janet. "Kami," tambah Janet dengan
senyum dibuat-buat, "adalah anggota-anggota Baby-sitters Agency."
Dia dan Leslie mulai tertawa histeris.
"Tapi... tapi...," Kristy tergagap.
"Kami sudah berhasil menipu kalian!"
"Kalian brengsek!" teriakku tiba-tiba. "Kalian benar-benar
brengsek. Kalian melakukan semua ini untuk merusak nama baik
kami! Itu... itu... permainan busuk. Tidak adil."Janet dan Leslie tidak bisa berhenti tertawa. Dan aku tidak bisa
berhenti mencaci maki mereka. "Kalian pembohong! Dan... dan
wanita karier yang busuk!"
"Waduh," ujar Leslie. "Dengar, tidak? Wanita karier yang
busuk. Pembicaraan kelas tinggi, nih."
"Dan mungkin juga baby-sitter yang goblok," Kristy
menambahkan.
Leslie agak tersentak mendengar itu, dan langsung membela
diri. "Kami bukan baby-sitter yang goblok," katanya menangkis.
"Jadi apa dong, sebutan yang pantas untuk seorang baby-sitter
yang tidak menepati janji dan tidak memberitahu klien kalau dia
berhalangan datang?"
"Hmm," sahut Leslie. "Janet, kira-kira apa sebutan yang cocok
untuk baby-sitter semacam itu?"
"Boleh sebut apa saja. Tapi yang jelas baby-sitter itu bukanlah
tipe orang yang suka membuang-buang waktu!"
Tawa Leslie dan Janet semakin menjadi-jadi karena lelucon
mereka yang tidak lucu itu.
"Diam! Diam!" teriak Kristy. "Aku harap kalian sadar bahwa
kalian terlibat dalam masalah besar."
"Dengan siapa?" tanya Janet, masih sambil tertawa.
"Dengan... dengan para klien. Aku akan menelepon mereka dan
mengatakan semua kejadian ini pada mereka. Kemudian mereka akan
menelepon teman-teman mereka, dan teman-teman mereka akan
menelepon teman-teman mereka, dan seterusnya. Berita ini akan cepat
menyebar. Dan kalian akan menyesal."Akhirnya mereka berhenti tertawa. "Kamu tidak akan berani
melakukan itu," ujar Janet. Dan pada saat yang sama Leslie berkata,
"Justru kamu yang akan menyesal, tukang ngadu."
"Aku? Kenapa aku harus menyesal?" tanya Kristy.
"Karena," sahut Leslie, "Liz dan Michelle pasti tertarik pada
rencanamu itu. Mereka hanya perlu bekerja sedikit lebih keras lagi
untuk menjadi kelompok baby-sitter yang terbaik di Stoneybrook.
Tapi mereka tidak keberatan untuk melakukan itu."
"Kalian...," teriak Kristy, mulai mendidih "...kalian busuk!"
Janet membuat gelembung dengan permen karetnya, lalu
meniupnya sampai meletus. "Maaf, anak-anak." Dia dan Leslie
berpisah, kemudian masuk ke homeroom masing-masing.
Kristy, Claudia, Mary Anne, dan aku masih berdiri di lorong
sekolah. Untuk kedua kalinya dalam dua hari ini, Kristy mulai
menangis. Kami mengerumuni dia, dan menuntunnya masuk ke toilet
putri terdekat. Ternyata di dalam toilet juga ramai dengan anak-anak.
Kami berkerumun di salah satu sudut, sehingga tidak menarik
perhatian mereka.
"Aku malu sekali," Kristy berkata sambil terisak-isak. "Rasanya
tidak adil. Ini benar-benar tipuan yang busuk. Di samping itu,


Baby Sitter Club 3 Rahasia Stacey di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendirikan klub yang anggotanya para baby-sitter kan ideku?bukan
ide Liz. Kita sudah bekerja begitu keras untuk klub kita. Dan waktu
Baby-sitters Agency berdiri, kita juga tidak pernah mencoba
menjatuhkan mereka. Kita hanya mencoba melindungi apa yang kita
punya." Dia membersit hidungnya dengan kertas tisu. "Tapi mereka
sengaja berusaha untuk menghancurkan klub kita.""Jadi Liz menyuruh Janet dan Leslie melakukan semua itu,"
kataku pelan-pelan.
Kristy mengangguk. "Ya. Dan semua itu salahku. Akulah yang
telah menerima mereka menjadi anggota klub. Mary Anne benar.
Seharusnya aku cari informasi dulu tentang mereka."
"Oke," ujar Claudia, "aku sependapat bahwa apa yang telah
dilakukan Baby-sitters Agency memang licik sekali. Tapi kita
berempat tidak boleh putus asa, tetap berdiri tegak, dan mengerjakan
tugas-tugas dengan baik. Oke, memang kita tidak bisa bertugas
sampai larut malam. Memang kita baru berumur dua belas tahun. Tapi
toh banyak pelanggan yang suka pada kita. Asal kita selalu
bertanggung jawab dan bersikap ramah terhadap anak-anak, dan...
dan... Ah, kata apa yang artinya kita harus bisa menyesuaikan diri
dengan kebutuhan setiap orang?"
"Luwes?" usul Mary Anne.
"Hampir begitu," Claudia menyahut. "Bukan itu kata yang
tepat, tapi paling tidak artinya mendekati."
"Aku tahu maksudmu," ujar Kristy. "Dan aku rasa kamu benar.
Yang jelas, aku akan menjelaskan duduk perkaranya pada Pak Kelly
dan Bu Jaydell."
"Dan," aku menambahkan cepat-cepat, "kan masih ada jalan
lain seperti menurunkan tarif kita, mengerjakan pekerjaan rumah
tangga, dan potongan istimewa untuk pelanggan terbaik."
"Tidak," kata Kristy. "Aku sudah memutuskan bahwa kita tidak
akan memakai satu pun dari gagasan-gagasan itu. Klub akan berjalan
terus, tapi kita tidak mau menjadi budak. Paling tidak untuk sekarang
ini kita tidak bisa berpikir ke arah itu. Kita justru harus memikirkanbagaimana caranya membuktikan kepada para klien bahwa kita lebih
baik dari Baby-sitters Agency."
Pada saat itu, bel berbunyi, dan para anggota Baby-sitters Club
meninggalkan toilet putri dengan membisu.
Bab 11BABY-SITTERS AGENCY sudah menyulutkan api
permusuhan, dan Kristy tidak tinggal diam. Dia langsung bereaksi
dengan menelepon keluarga Kelly dan keluarga Jaydell untuk
menjelaskan duduk perkaranya. Ternyata mereka tertarik dan mau
bersikap lebih ramah daripada sebelumnya. Tapi Kristy tidak yakin
apakah mereka masih mau memakai jasa Baby-sitters Club lagi.
Setidak-tidaknya, dia sudah mengatakan hal yang sebenarnya.
Kemudian Kristy membuat rencana untuk mengiklankan Baby-
sitters Club di Washington Mall. Dia sudah mulai membuat papan-
papan reklame yang baru. Masing-masing papan reklame akan
menampilkan slogan yang berbeda. Kami membantu Kristy mencari
kata-kata yang cocok. Dan hasilnya adalah sebagai berikut:
LEBIH MUDA LEBIH BAIK!
BERTANGGUNG JAWAB + TEPAT WAKTU =
BABY-SITTERS CLUB
JASA PENJAGAAN ANAK YANG PERTAMA DAN
TERBAIK
KUALITAS TERBAIK UNTUK ANAK-ANAK
Kunjungan pertama ke Washington Mall dijadwalkan untuk
akhir pekan, tapi aku tidak bisa ikut. Aku harus menahan siksaan di
tangan Dokter Barnes.
**********Pada Rabu siang, aku bertugas menjaga Jamie. Kelihatannya
ada sesuatu yang mengganggunya. Dia murung terus seakan-akan
baru kehilangan sahabat karib. Dia menyapaku dengan cukup riang
waktu aku datang. Tapi begitu Bu Newton keluar dari pintu belakang
sambil menggendong Lucy, wajah Jamie langsung berubah menjadi
murung. Dia berputar-putar di ruang bermain, kemudian menyetel TV,
dan merebahkan badannya di sofa. Dia tidak berusaha mencari
program TV yang disukainya, bahkan sepertinya dia tidak peduli
dengan apa yang ditontonnya. Biasanya dia tidak suka menonton acara
TV selain dari Sesame Street atau Mister Roger's Neighborhood.
Aku pikir aku tahu apa yang membuatnya bertingkah laku
seperti itu. "Memang agak sulit untuk menerima kehadiran seorang
adik baru," aku memancing.
Jamie mengangkat bahunya. "Tidak apa-apa, kok"
"Pasti dia banyak menangis, ya?"
"Tidak juga. Kalau sudah digendong Mama, dia pasti berhenti."
Aku berpikir selama beberapa saat. "Aku ingat waktu temanku
Allison punya adik perempuan. Allison membencinya."
Jamie kelihatan kaget. "Aku tidak benci pada Lucy," katanya.
"Apakah Lucy baik-baik saja?"
Jamie mengangguk.
"Tapi kamu kelihatan agak sedih," kataku beberapa saat
kemudian.
Jamie mendesah panjang, seolah-olah sedang memikul beban
yang sangat berat di pundaknya. "Dulu-dulu kalau dijaga baby-sitter
kok enak ya," katanya.
Aku mengerutkan dahi. "Apa maksudmu?""Biasanya baby-sitter mengajakku bermain, dan mendorongku
di ayunan, dan ikut mewarnai gambar monster, dan membacakan
buku-buku cerita untukku."
Aku masih belum bisa beranjak dari masalah cemburunya Jamie
pada Lucy. "Dan sekarang mereka terlalu sibuk mengurusi Lucy?"
"Bukan. Mereka terlalu sibuk nonton TV... Kamu mau nonton
apa siang ini?"
"Aku? Aku tidak akan nonton TV. Aku justru mau tanya apakah
kamu mau dibacakan cerita Where the Wild Things Are dan membuat
gambar-gambar monster."
Jamie kelihatan gembira mendengar kata-kataku.
"Ditambah lagi, aku membawa kotak Kid-Kit untuk kamu."
"Betulkah? Aku kok tidak melihatnya. Di mana?"
"Ada di ruang duduk. Tapi tunggu sebentar, Jamie. Tolong
cerita dulu tentang baby-sitter-mu yang baru. Maksudmu, kerja
mereka cuma nonton TV?"
"Dan mereka"?dia mencondongkan tubuhnya, lalu mulai
berbisik?"mereka sering membuat kecelakaan."
"Kecelakaan?" aku balik berbisik.
"Yeah."
"Kecelakaan macam apa?"
Dia berdiri dan menggandengku menyeberangi ruangan menuju
sebuah kursi. "Seperti ini," bisiknya. Dia menunjuk sesuatu pada
bantalan kursi itu.
Aku mengamatinya dengan saksama. Ada noda seperti bekas
terbakar. Sebenarnya bukan hanya noda, tapi lubang. Mataku
membesar. "Salah satu baby-sitter-mu yang melakukan ini?" tanyaku.Jamie mengangguk. "Dengan... dengan rokoknya." Dia
mengucapkan kata "rokok" seakan-akan itu merupakan kata kotor.
Kedua orangtuanya tidak merokok.
"Astaga," ujarku. "Terus ada apa lagi?"
"Kadang-kadang mereka berbicara di telepon? lama sekali.
Lebih lama daripada Mama atau Papa kalau menelepon... Stacey?"
"Yeah?"
"Pacar itu apa, sih?"
Aku menelan ludah. Aku tidak siap untuk menjawab pertanyaan
itu. "Itu," kataku sambil berpikir, "itu adalah, ehm, artinya sama
dengan teman dekat, bisa laki-laki atau perempuan."
"Apakah aku pacarmu?" tanya Jamie.
"Tidak juga, sih. Dengar, Jamie. Siapa saja baby-sitter-mu yang
baru? Apakah kamu tahu nama-nama mereka?"
Wajah Jamie kelihatan serius. "Tammy," katanya. "Dan
Barbara. Dan yang satu anak laki-laki."
Aku tidak kenal Tammy dan Barbara ataupun baby-sitter cowok
itu. Mungkin mereka anak-anak high school.
"Nah, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan?" kataku.
"Kalau kamu tidak menyukai baby-sitter-mu, kamu harus bilang pada
ibumu. Ceritakan pada ibumu bahwa yang mereka kerjakan hanyalah
nonton TV dan mengobrol lewat telepon. Dan tunjukkan juga kursi
yang terkena rokok. Oke? Kamu bisa, kan?" Memang kukatakan itu
demi Baby-sitters Club, tapi sungguh, aku juga tidak suka melihat
Jamie bersedih.
"Yap.""Anak pintar. Nah... kamu tidak kepingin nonton Gilligan's
Island, kan?" tanyaku sambil menoleh ke pesawat televisi.
"Yak." Jamie langsung melompat lalu mematikan TV.
"Sekarang mau pilih yang mana?" tanyaku. "Wild Things atau
Kid-Kit?"
"Kid-Kit!"
"Oke." Aku mengambil kotak Kid-Kit lalu mengeluarkan
barang-barang yang kira-kira bisa menarik perhatian anak yang
hampir berusia empat tahun. Jamie bermain dengan gembira sampai
Bu Newton dan Lucy pulang.
***********
Waktu aku sampai di rumah sore itu, aku mendengar telepon
berdering. Rupanya ibuku sedang tidak ada di rumah. Aku menyerbu
ke dapur dan mengangkat gagang telepon. "Halo?"
"Halo, Stacey?"
"Ya?"
"Oh, hai, Sayang. Di sini Dokter Johanssen. Hampir saja aku
menutup telepon, karena lama tidak diangkat-angkat."
"Maaf," ujarku. "Saya baru saja pulang."
"Begini, Stacey, aku tahu sebentar lagi Baby-sitters Club akan
mengadakan pertemuan rutin. Tapi kupikir lebih baik kalau aku
menelepon kamu sebelum itu. Aku perlu seseorang untuk menjaga
Charlotte malam ini. Memang agak mendadak, tapi belum terlambat,
kan? Akhir-akhir ini Charlotte sering sekali menanyakan kamu."
"Betulkah?" sahutku, merasa senang.
"Terus-menerus, lho," ujar Dokter Johanssen dengan riang.
"Bisakah kamu datang pada jam tujuh?""Tentu!" jawabku. (Sebenarnya, aku tidak diizinkan untuk
bertugas dua kali pada hari sekolah. Tapi karena hari ini tidak banyak
PR, kupikir orangtuaku pasti tidak keberatan.)
"Bagus. Sampai ketemu nanti, ya," kata Dokter Johanssen
dengan lega.
"Bye." Kami memutuskan hubungan.
Ada dua hal yang menyebabkanku merasa gembira. Yang
pertama, aku gembira karena mendapat tugas malam hari di rumah
keluarga Johanssen (sudah agak lama aku tidak mendapat tugas
seperti itu). Dan yang kedua, aku gembira karena aku sudah
memikirkan sebuah rencana sehubungan dengan perjalananku ke New
York, dan aku perlu mendiskusikannya dengan Dokter Johanssen. Di
samping itu aku juga perlu menanyakan beberapa hal padanya.
Rencanaku begini: Aku akan membiarkan ibu dan ayahku
membawaku ke Dokter Bames pada hari Sabtu. Aku sudah bisa
membayangkan apa yang akan terjadi pada pertemuan kami dengan
dokter itu: sejuta pertanyaan akan diajukan, terutama tentang dietku
dan insulin dan riwayat kesehatanku. Kemudian mungkin akan
diadakan beberapa tes, yang diikuti oleh rencana untuk pemeriksaan
lanjutan di kliniknya pada hari Senin dan Selasa. Pokoknya segala hal
yang biasa kukerjakan kalau aku mengunjungi seorang dokter baru.
Dan itu sudah sering kulakukan. Kemudian aku akan bercerita kepada
kedua orangtuaku, bahwa aku sendiri juga sudah mengadakan
penelitian kecil-kecilan tentang penyakit diabetes, dan aku tahu dokter
mana yang ingin kutemui. Dalam hal inilah aku memerlukan bantuan
Dokter Johanssen. Aku ingin meminta dia untuk mengusulkan seorang
dokter yang bijaksana. Seorang dokter yang menganggap bahwa apayang selama ini telah kami lakukan untuk mengatasi penyakit diabetes
adalah benar. Seseorang seperti Dokter Werner. Lebih jauh lagi,
dokter tersebut harus memiliki tempat praktek yang bagus dan
mempunyai banyak ijazah, supaya orangtuaku percaya padanya.
***********
Malam itu, setelah makan malam, aku berjalan ke rumah
keluarga Johanssen dengan membawa kotak Kid-Kit dan senter.
Untuk menghemat waktu, aku lewat jalan potong yang melalui
pekarangan belakang tetangga sebelah. Dokter Johanssen
menyambutku di pintu depan rumahnya.
"Hai, Stacey," dia menyapaku. "Senang sekali kamu bisa
datang." Dia menutup pintu dan membantuku melepaskan mantel.
Kemudian dia menoleh ke arah Charlotte yang sedang duduk
mengerjakan PR-nya di meja dapur. Dokter Johanssen merendahkan
suaranya. "Charlotte bersikap agak aneh akhir-akhir ini," dia berkata
padaku. "Sangat pendiam, dan kurang bersemangat. Kalau ditanya, dia
hanya bilang bahwa dia tidak apa-apa. Rasanya ada sesuatu yang tidak
dikatakannya padaku. Kupikir, mungkin itu ada hubungannya dengan
sekolah. Oleh sebab itu aku sudah membuat janji untuk membicarakan
hal ini dengan wali kelasnya. Aku hanya ingin supaya kamu mengerti
dan tidak perlu kuatir kalau dia bersikap seperti itu malam ini."
"Oke," sahutku.
"Pak Johanssen kerja lembur malam ini," Dokter Johanssen
melanjutkan dengan nada biasa, "dan aku ada pertemuan di sekolah
Charlotte. Tapi kami akan pulang sebelum jam sembilan.""Baiklah... Oh ya, Dokter Johanssen, kalau Anda pulang nanti,
bisakah saya bicara sebentar? Kami sekeluarga akan pergi ke New
York hari Sabtu, dan saya punya ide."
"Tentu saja, Sayang. Aku pun ingin mengatakan sesuatu
padamu." Dokter Johanssen berjalan ke dapur. "Nah, Manis," katanya
pada Charlotte, "Mama tidak akan lama. Selesaikan PR-mu, dan
setelah itu kamu bisa bermain dan bersenang-senang dengan Stacey
sampai Papa dan Mama pulang... Oke?"
Charlotte mengangguk.
"Bye, Manis."
"Bye," Charlotte menyahut tanpa mengangkat kepalanya.
Begitu Dokter Johanssen keluar dari rumah, aku langsung
duduk di sebelah Charlotte. "Wow, PR kelas dua. Pasti penting sekali,
ya. Aku tidak pernah punya PR waktu di kelas dua."
"Cuma dua lembar. Dua lembar PR yang brengsek," sahut
Charlotte.
"Kamu perlu bantuan untuk mengerjakannya?"
Dia menggelengkan kepalanya. "Gampang, kok. PR brengsek
ini gampang sekali."
"Kalau begitu kamu tidak perlu lama-lama mengerjakannya,
dong?"
"Kamu tidak usah ikut campur!"
"Charlotte!" seruku. "Kenapa kamu bicara seperti itu padaku?
Kalau kamu marah padaku, tolong katakan apa salahku, karena aku
bukan peramal yang bisa membaca pikiran orang."
Charlotte membungkukkan badannya di atas kertas-kertas PR-
nya. "Aku tidak marah, kok.""Tapi sikapmu seperti orang yang sedang marah." Aku merasa
seperti sedang bertengkar dengan Laine Cummings. "Aku hanya
kepingin tahu, karena kalau kamu sudah selesai dengan PR-mu, kita
bisa membaca The Cricket in Times Square."
"Oh, tentu," dia berkata dengan sinis.
"Charlotte, ada apa, sih? Ibumu bilang kamu minta dijaga
olehku malam ini."
"Aku memang kepingin kamu datang ke sini. Tapi aku tidak
mau dijaga oleh kamu."
"Aku tidak mengerti maksudmu, Charlotte."
"Stacey, kenapa kamu mau menjagaku?"
"Karena aku suka," jawabku. "Kamu salah satu anak yang
paling kusuka dari sekian banyak anak yang pernah kujaga."
Charlotte tersenyum samar-samar. Kemudian dia bertanya lagi,
"Sebenarnya, kenapa kamu mau menjadi baby-sitter?"


Baby Sitter Club 3 Rahasia Stacey di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Karena aku suka anak-anak. Lagi pula aku pendatang baru di
Stoneybrook, dan aku ingin berkenalan dengan orang-orang di sekitar
sini."
"Bagaimana dengan uangnya?"
Uang? Apa yang menyebabkan Charlotte berpikir ke arah itu?
"Yah, tentu saja uang juga penting. Aku senang karena bisa
menghasilkan uang sendiri."
"Nah, kan."
"Tapi aku juga menyukai kamu. Aku tidak mau menjaga
sembarang anak. Dan coba dengar kata-kataku ini: Kalau suatu hari
nanti ibu atau ayahmu meneleponku dan berkata, 'Kami memerlukankamu untuk menjaga Charlotte malam ini, tapi kami kehabisan uang
sehingga tidak bisa membayarmu,' maka aku akan tetap datang."
"Betulkah?"
"Ya. Aku kan sudah bilang kalau aku menyukaimu."
"Ada baby-sitter yang bekerja hanya karena mereka
menginginkan uangnya. Mereka tidak peduli dengan anak-anak yang
dijaga."
"Baby-sitter yang mana?"
"Yang baru," Charlotte menggumam tidak jelas.
"Apa?"
"Baby-sitter-ku yang baru," katanya pelan.
"Siapa nama mereka?"
"Michelle Patterson, Leslie siapa?aku lupa, dan Cathy
Morris."
"Mereka yang mengatakan itu padamu?"
"Bukan. Ellie Morris yang bilang padaku."
"Siapa Ellie Morris?"
"Adik perempuan Cathy. Dia sekelas denganku. Dia benci
padaku."
Ini dia, pikirku.
Charlotte memandangku dengan sedih. "Ellie bilang, 'Oh,
Charlotte, kamu anak emas Bu Guru, anak emas Bu Guru,' dan aku
jawab, 'Bukan,' dan dia berkata, 'Ya, dan kamu tidak punya seorang
teman pun,' Dan aku berkata, 'Aku punya baby-sitter. Mereka teman-
temanku,' Dan dia berkata, 'Bukan. Kakakku Cathy tidak
menyukaimu.' Dan aku berkata, 'Terus kenapa dia mau menjagaku?'Dan dia berkata, 'Karena orangtuamu memberi dia uang banyak,
bego.'"
Aku mulai mengerti apa yang dimaksudnya. Aku tahu Charlotte
tidak punya teman-teman yang seumur dengan dia. Rupanya dia
beranggapan bahwa para baby-sitter adalah teman-temannya.
Kemudian Ellie merusak semua yang selama ini diyakini Charlotte.
Oleh sebab itulah Charlotte menanyakan aku terus. Seandainya aku
datang sekadar untuk berkunjung (bukan untuk menjaganya), maka itu
akan membuktikan bahwa aku benar-benar mau berteman dengannya.
Tidak heran kalau dia bersedih.
"Hei, Char," ujarku, "ingat tidak, waktu kita bikin pesta untuk
Jamie Newton di rumah Kristy? Akulah yang mengundangmu. Nah,
waktu itu aku kan sedang tidak bertugas menjagamu."
"Yeah...," ujar Charlotte lambat-lambat.
"Apa saja yang dikerjakan Michelle, Leslie, dan Cathy kalau
mereka bertugas menjagamu?"
"Nonton TV. Mengobrol lewat telepon. Pernah sekali Leslie
mengajak pacarnya ke sini." Alisku terangkat mendengar itu. "Cathy
selalu mengerjakan PR-nya di sini, tapi dia tidak mau membantuku
mengerjakan PR-ku. Dia selalu bilang, 'Aku lagi sibuk, nih.'"
"Apa yang aku lakukan kalau aku bertugas menjagamu?"
"Kamu membawa kotak Kid-Kit. Kita membaca cerita-cerita
dari buku, berjalan-jalan, dan bermain-main."
"Memang begitu seharusnya kalau berteman, kan?" tanyaku
padanya.
Tiba-tiba Charlotte memelukku erat-erat. "Ya," sahutnya.
"Maaf, Stacey, aku sudah marah-marah padamu.""Tidak apa-apa, kok." Aku berjanji pada diri sendiri, bahwa aku
akan membantu Charlotte untuk mendapatkan beberapa orang
teman?yang sebaya dengannya?di sekitar sini. Kalau tidak salah,
keluarga Pike punya anak berumur tujuh tahun. Kemudian aku
mengulangi pesanku pada Jamie sore itu?bahwa kalau Charlotte
tidak menyukai baby-sitter-nya yang baru, dia harus bilang pada
orang-tuanya. Dan yang lebih penting lagi, dia harus bilang bahwa
Leslie pernah mengajak pacarnya pada waktu bertugas.
Pada saat Dokter Johanssen pulang, Charlotte sudah bersikap
seperti biasa lagi.
Dan Dokter Johanssen sangat banyak membantuku. "Aneh
sekali," katanya, setelah aku menceritakan rencanaku padanya. "Kamu
tahu apa yang ingin kukatakan padamu? Aku ingin memberitahumu
bahwa aku sudah menemukan seorang dokter di New York, yang
persis seperti yang kauinginkan. Rupanya kita punya pikiran yang
sama, ya."
Aku langsung menanyakan tentang tempat praktek dokter itu,
dan apakah dia punya banyak ijazah. Dari keterangan Dokter
Johanssen, aku mendapat kesimpulan bahwa dokter itu persis seperti
apa yang kubayangkan. "Menurut Anda, apakah saya masih bisa
membuat janji untuk Sabtu sore?" tanyaku. "Waktunya tinggal tiga
hari lagi."
"Itu bisa diatur," ujar Dokter Johanssen. "Tapi sebaiknya
kujelaskan dulu hal ini pada orangtuamu."
"Oh, jangan. Tolong, jangan!" seruku. "Ini harus merupakan
kejutan. Kalau tidak, rencana saya takkan berhasil.""Ehm, bagaimana kalau aku menulis surat saja untuk
orangtuamu? Kamu bisa menyerahkan surat itu sebelum hari Sabtu?
sebelum kamu menemui dokter itu."
"Baiklah," sahutku akhirnya. Ini sebenarnya tidak sesuai dengan
rencanaku, tapi aku memang harus berkompromi. Aku tidak ingin
Dokter Johanssen mendapat kesulitan. "Beres semuanya, ya," kataku,
lalu mengucapkan terima kasih padanya.
Aku berlari pulang dengan gembira.
Rencanaku sudah mulai berjalan.Bab 12
AKU membaca tulisan Mary Anne tentang pertempuran dan
perang di buku catatan klub kami, dan terus terang saja, aku merasa
bahwa dia agak berlebihan. Tapi dalam satu hal dia benar?pertemuanitu memang sangat bermanfaat. Dengan diadakannya pertemuan
darurat itu, kami mulai memikirkan beberapa hal penting.
Menemukan tempat untuk pertemuan itu merupakan masalah
tersendiri. Kristy bersikap seolah-olah seluruh gedung sekolah sudah
disadap oleh pihak lawan.
"Bagaimana kalau kita duduk di meja yang agak terpisah di
kantin?" usul Claudia.
"Kamu jangan bercanda! Tidak bisa!" sahut Kristy. "Pasti ada
yang mendengar pembicaraan kita."
"Apakah ada kelas kosong yang bisa kita pakai?" tanya Mary
Anne.
Kristy juga menolak usul Mary Anne itu. "Waduh! Itu justru
mempermudah orang untuk menguping. Dia tinggal berdiri di dekat
pintu, lalu mendengarkan semua yang kita bicarakan."
"Aku rasa toilet putri akan lebih..."
"Lebih mustahil lagi. Orang tinggal bersembunyi di salah satu
WC sambil berdiri di atas kloset. Tidak akan ada orang yang
mengetahuinya. Dan setiap kata yang kita ucapkan kedengaran jelas."
"Nah, bagaimana dengan taman bermain?" ujarku. "Kita pergi
berempat, lalu berdiri di tempat yang terbuka. Dengan cara itu tidak
ada yang bisa menguping. Dan kalau ada yang mulai mendekat, kita
tinggal pindah ke tempat lain saja."
Usul itulah yang akhirnya diterima. Kami cepat-cepat makan
siang, lalu berkumpul di taman bermain. Karena tidak ada yang
memakai lapangan baseball, maka kami berdiri di tengah-tengahnya.
Semalam sempat turun hujan salju, sehingga lapangan tempat kami
berdiri tertutup salju setebal kira-kira tujuh setengah sentimeter.Kakiku rasanya sudah mulai beku sebelum kami sempat bicara. (Di
New York City, salju setebal tujuh setengah sentimeter takkan
bertahan lama, sebab butir-butir salju yang jatuh akan langsung
mencair begitu sampai di tanah.)
"Oke, Stacey," kata Kristy. "Kenapa kamu mengadakan
pertemuan darurat ini?"
"Ada masalah baru lagi, nih."
"Apa lagi?"
"Masalah besar. Tapi justru mungkin bisa berakibat baik bagi
Baby-sitters Club," sahutku.
"Bagus, dong," komentar Claudia. "Aku sudah bosan mendapat
berita buruk."
"Kejadiannya begini," aku memulai sambil menyelipkan
tanganku yang juga sudah mulai membeku (padahal aku sudah
memakai sarung tangan) ke bawah ketiak. "Kemarin aku punya dua
tugas. Kalian masih ingat, waktu pertemuan terakhir aku cerita bahwa
aku sempat menjaga Jamie, dan bahwa ia kesal pada baby-sitter-nya
yang baru?"
Teman-temanku menganggukkan kepala.
"Nah, ada yang lupa kukatakan pada kalian. Aku sudah
berpesan pada Jamie supaya dia memberitahu ibunya kalau dia tidak
menyukai baby-sitter-nya yang baru. Maksudku, kita kan tidak bisa
mengadukan hal ini pada para orangtua mereka, tapi anak-anak yang
kita jaga bisa melakukannya."
"Oh, ide bagus, tuh," puji Kristy.
"Nah, pada malam harinya aku bertugas menjaga Charlotte.
Ternyata dia juga sangat kecewa pada baby-sitter-nya yang baru.Maka aku juga mengatakan padanya, agar menceritakan hal ini pada
orangtuanya. Mungkin mulai sekarang, kita harus lebih
memperhatikan tanda-tanda bahwa anak-anak yang biasanya kita jaga
tidak senang dengan para baby-sitter dari Baby-sitters Agency. Lalu
kita harus mendorong mereka supaya mau bicara. Dan mereka
memang punya hak untuk itu."
Kristy, Claudia, dan Mary Anne menyetujui usulku itu, dengan
sepenuh hati.
Kami juga sependapat bahwa para baby-sitter dari Baby-sitters
Agency, kalah kalau dibandingkan dengan para anggota Baby-sitters
Club. Kami baby-sitter yang baik, sedangkan mereka... Yah, mereka
tidak. Walaupun sudah mengetahui hal itu, kami tetap kaget setengah
mati melihat keteledoran mereka dalam perjalanan pulang dari sekolah
sore itu.
Cuaca hari itu sangat buruk. Langit berwarna kelabu, dan angin
bertiup tanpa henti. Udara sangat dingin. Salju yang belum
dibersihkan dari jalanan telah berubah menjadi lumpur salju. Kami
semua menggigil kedinginan, dan gigiku gemeletuk. Ketika kami
membelok ke jalan tempat Kristy, Mary Anne, dan Claudia tinggal,
kami hampir bertubrukan dengan Jamie Newton. Dia sedang berdiri
sendirian pada jalur rumput yang memisahkan trotoar dengan jalanan.
"Hi-hi!" Jamie menyapa begitu melihat kami.
"Jamie!" Kristy berseru. "Sedang apa kamu di sini?"
"Bermain," sahutnya.
"Tapi kamu bermain terlalu dekat dengan jalan raya. Kamu kan
seharusnya bermain di pekarangan belakang rumahmu!" Kristy
menatap kami seakan-akan ingin berkata, ada apa dengan Bu Newton?"Dan di mana sarung tanganmu, Jamie?" aku menambahkan.
"Dan topimu? Udaranya dingin sekali. Apakah ibumu terlalu sibuk
mengurus Lucy hari ini?"
Jamie menggelengkan kepalanya. "Mama sedang rapat. Dan
Lucy sedang tidur."
Sebuah mobil melintas di jalanan. Kami semua terkena cipratan
salju. Aku menggigil, dan berusaha untuk tidak membayangkan apa
yang mungkin terjadi kalau Jamie bermain di tengah jalan.
"Jamie,", Mary Anne tiba-tiba berkata, "apakah ada baby-sitter
yang menjagamu hari ini?"
"Yap."
"Siapa namanya?"
"Barb... bukan, Cathy."
"Cathy Morris?" tanyaku.
"Yap."
"Apakah dia tahu kamu bermain di luar?" Kristy bertanya
dengan curiga.
Jamie mengangkat bahunya. "Dia bilang aku boleh bermain di
luar kalau aku mau."
Aku menoleh ke arah Kristy, Claudia, dan Mary Anne.
"Menurut kalian, apa yang harus kita lakukan?" aku bertanya pada
mereka.
"Entahlah," jawab Kristy perlahan-lahan.
"Begini," kataku sambil berlutut di depan Jamie. "Bisakah kamu
melakukan dua hal istimewa untuk kami?"
"Ya," dia menjawab dengan bersungguh-sungguh."Anak pintar. Yang pertama adalah kembali ke rumahmu dan
ambil topi dan sarung tanganmu di situ. Kalau kamu tidak bisa
mengambilnya, minta tolong pada Cathy. Tapi jangan ke luar rumah
tanpa memakainya, oke?"
"Ya."
"Yang kedua, pergilah ke halaman belakang rumahmu, kalau
kamu memang kepingin main di luar. Bermain di jalanan seperti ini
terlalu berbahaya. Kamu main ayunan saja, oke?"
"Ya."
Kami menunggu sampai Jamie menyeberangi halaman rumput
lalu masuk ke rumahnya. Baru setelah itu kami meneruskan perjalanan
pulang.
"Wah," ujar Kristy. "Ini sudah keterlaluan. Baby-sitter itu?
siapa pun dia... pokoknya ditugaskan oleh Baby-sitters Agency untuk
keluarga Newton? membiarkan anak umur tiga tahun bermain di luar
sendirian. Apakah kalian sadar apa yang mungkin terjadi pada Jamie?"
"Dia bisa tertabrak mobil," sahut Claudia.
"Dia bisa hilang," kata Mary Anne. "Kalian tahu, air sungai kan
belum beku seluruhnya. Bagaimana kalau dia jatuh ke dalamnya?"
"Masih ada kemungkinan yang lebih buruk lagi," tambahku.
"Bagaimana dengan berita-berita anak hilang yang sering kita dengar?
Bisa saja seseorang lewat naik mobil di sini, lalu berhenti dan menarik
Jamie ke dalam mobilnya. Apalagi pada cuaca seburuk hari ini"?aku
melambai-lambaikan tanganku untuk menunjukkan betapa buruknya
cuaca? "kemungkinan besar tidak ada orang yang melihat kejadian
itu, karena semuanya enggan ke luar rumah. Si pengemudi tidak perlurepot-repot membujuk Jamie agar mau masuk ke dalam mobilnya. Dia
tinggal... tinggal menculiknya."
"Oh, terlalu, ya," seru Kristy.
"Memang."
"Nah, rasanya sudah waktunya kita mengambil tindakan untuk
mengatasi Baby-sitters Agency. Bukan sekadar berpesan pada anak-
anak untuk bercerita pada orangtua mereka. Masalahnya," Kristy
berkata dengan serius, "apa yang harus kita lakukan? Mungkin ada
baiknya kalau kita bicara dengan orangtua kita masing-masing. Ibuku
biasanya tahu apa yang harus dilakukan."
"Aku pikir tidak ada masalah," ujar Claudia. "Kalau saja aku
tahu di mana Bu Newton berada sekarang, maka aku akan langsung
meneleponnya untuk menceritakan kejadian tadi. Setelah itu aku akan
memberitahu semua orang yang berkepentingan."
Kami sudah sampai di depan rumah Kristy. Walaupun tubuh
kami menggigil kedinginan, kami masih tetap berdiri di situ untuk
membicarakan hal ini.
"Jangan," kataku. "Aku mengerti apa yang dimaksud Kristy.
Kalau kita mulai menelepon para orangtua yang memakai jasa Baby-
sitters Agency, maka mereka malah akan berangggapan bahwa kita
tidak bisa menerima kekalahan. Dan bahwa kita melakukan itu hanya
untuk menjelek-jelekkan nama agen tersebut, karena mereka sudah
merampas klien-klien kita."
"Oh," kata Claudia. "Betul juga."
"Jadi sebaiknya kita semua pulang saja," Mary Anne


Baby Sitter Club 3 Rahasia Stacey di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengusulkan. "Mungkin kita memang harus bicara dengan orangtuakita masing-masing. Yang penting kan, untuk sementara Jamie sudah
aman."
"Baiklah," Kristy menyetujui dengan ragu-ragu.
Claudia, Kristy, dan Mary Anne masuk ke rumah masing-
masing, dan aku meneruskan perjalanan ke rumahku. Begitu sampai di
rumah, aku langsung menemui ibuku di dapur. Dia sedang membaca
koran dengan secangkir kopi di depannya.
"Hai, Sayang," dia menyapaku. "Bagaimana dengan sekolahmu
hari ini?"
"Baik... Ma?"
"Ya?"
Aku telah menggantungkan mantelku, dan sedang menuang
segelas susu. Aku kemudian duduk di sebelah Mama. "Seandainya
Mama tahu bahwa seseorang melakukan sesuatu yang bisa
membahayakan orang lain, apa yang akan Mama lakukan?"
Mama menatapku sambil berpikir. "Mama rasa Mama perlu
informasi yang lebih lengkap," ujarnya.
"Baiklah. Bagaimana kalau yang mungkin terancam bahaya itu
adalah seorang anak kecil, sedangkan orang yang melakukannya
adalah orang yang dipercaya oleh orangtua anak itu. Tapi kalau kita
mengatakan hal ini pada orangtuanya, kita akan kelihatan buruk di
mata mereka."
"Stacey Elizabeth," ibuku berkata dengan tajam. "Kamu bukan
membicarakan penyiksaan terhadap anak-anak, kan?"
"Oh, bukan. Bukan seperti itu."Aku bisa melihat rasa lega pada sorot mata Mama. "Dan,"
tanyanya, "apakah kamu bicara tentang seorang temanmu dari Baby-
sitters Club?"
"Tidak! Sumpah! Maksudku, orang yang menyebabkan masalah
ini bukan anggota klub kami."
"Baiklah. Sekarang apa maksudmu dengan 'kita akan kelihatan
buruk di mata mereka'?"
"Maksudku, kita bisa dianggap sebagai orang yang tidak bisa
menerima kekalahan, atau tukang mengadu. Ungkapan apa yang biasa
dipakai Papa untuk hal ini?"
"Tidak sportif?"
"Yeah. Itu dia."
"Ini cuma pendapat Mama, lho," kata Mama, "karena kamu
tidak menceritakan kejadian sebenarnya. Tapi menurut Mama,
seseorang yang mau mengatakan kebenaran memang harus berani
menerima risiko 'kelihatan buruk'. Apalagi kalau seorang anak kecil
terancam bahaya. Menurut Mama, itu sudah tidak bisa ditawar-tawar
lagi, walaupun sulit untuk melakukannya."
Aku mengangguk. "Oke. Terima kasih, Ma."
Aku berlari naik ke kamar tidur orangtuaku, lalu menelepon
Kristy.
"Aku sudah menelepon ibuku di kantor," Kristy berkata padaku,
"dan dia mengatakan hal yang sama dengan ibumu, cuma bedanya aku
menceritakan seluruh kejadian padanya. Mary Anne belum berhasil
menghubungi ayahnya, tapi Claudia sudah bicara dengan Mimi, dan
Mimi juga sependapat." (Claudia biasa mendiskusikan semua
masalahnya dengan Mimi. Dia sangat dekat dengan Mimi.)"Jadi?" aku bertanya.
"Jadi..." Kristy menelan ludah. "Aku baru saja melihat mobil Bu
Newton lewat. Dia sudah pulang. Aku rasa kita harus bertindak
sekarang, atau tidak sama sekali."
Lima belas menit kemudian kami bertemu di teras depan rumah
keluarga Newton. Tidak ada yang mau memencet bel. Setelah kasak-
kusuk beberapa saat, akhirnya Claudia yang memberanikan diri.
Jamie membuka pintu. "Hi-hi, lagi," katanya. "Ibuku sudah
pulang sekarang!" Kedengarannya dia sangat gembira.
"Bagus," ujar Claudia. "Kami memang ingin bertemu dengan
ibumu, Jamie."
Bu Newton menggiring kami ke ruang duduknya. "Kalian
kelihatan serius," katanya. "Ada masalah?"
"Hmm, begitulah," sahut Kristy. Sekilas dipandangnya Jamie,
yang sedang berusaha untuk memanjat ke pangkuan ibunya. "Bisakah
kami bicara dengan Ibu sendiri?"
"Yah... tentu saja." Bu Newton kelihatan heran. Aku tidak bisa
menyalahkannya. "Jamie," ujarnya, "coba kamu lihat di TV, apakah
Sesame Street-nya sudah mulai. Oke?"
Jamie berlari meninggalkan ruang duduk.
"Kami sebenarnya tidak tahu bagaimana caranya menceritakan
hal ini pada Ibu," Kristy memulai dengan kaku, "tapi saya rasa
sebaiknya kami mulai dengan apa yang telah terjadi tadi sore." Dia
menoleh ke arah kami.
Bu Newton mengangguk dengan sabar."Begini, ehm, kami sedang berjalan bersama-sama pulang dari
sekolah. Ketika kami sampai di depan rumah Ibu, kami melihat Jamie
sedang bermain di luar rumah."
"Sendirian," tambah Mary Anne.
"Di pinggir jalan," tambah Claudia.
"Tanpa memakai topi ataupun sarung tangan," tambahku.
"Dia bilang pada kami, bahwa Cathy Morris sedang bertugas
menjaga dia," Kristy meneruskan. "Tapi Cathy berada di dalam
rumah. Kami tidak yakin apakah dia tahu di mana Jamie berada waktu
itu... Kami pikir Ibu perlu diberitahu."
Bu Newton tidak berkata apa-apa. Dia kelihatan terkejut sekali
mendengar penjelasan kami.
"Kami minta maaf karena sudah menjadi tukang mengadu,"
ujarku dengan gelisah, "tapi kami..."
"Tidak, tidak. Oh, anak-anak, aku justru sangat berterima kasih
karena kalian mau menceritakan hal ini padaku. Aku tahu, pasti sulit
sekali bagi kalian untuk mengungkapkannya. Aku hanya... rasanya
aku tidak bisa percaya... Maksudku, perbuatan Cathy sangat tidak
bertanggung jawab."
Aku memutuskan untuk menceritakan semuanya pada Bu
Newton. "Sebenarnya saya sudah tahu sejak kemarin, bahwa Jamie
tidak menyukai baby-sitter-nya yang baru. Tapi kami tidak
mengatakannya pada Ibu, karena takut disangka menjelek-jelekkan
saingan kami. Jamie bercerita pada saya bahwa sebagian besar dari
baby-sitter-nya yang baru itu kerjanya hanya nonton TV, dan
mengobrol lewat telepon. Sampai-sampai dia berpikir bahwa saya
juga sama saja dengan mereka, dan tidak mau memperhatikan dia.Salah seorang baby-sitter yang pernah bertugas di sini adalah seorang
perokok. Api rokoknya telah merusak bantalan kursi. Charlotte
Johanssen juga kecewa dengan para baby-sitter-nya yang baru. Kami
sempat berbicara panjang-lebar mengenai hal ini kemarin malam.
Charlotte bilang salah satu baby-sitter-nya mengajak pacarnya waktu
bertugas."
"Kalau begitu," ujar Bu Newton dengan tegas, "aku tidak akan
mau memakai jasa agen itu lagi, walaupun kami sempat mendapatkan
seorang baby-sitter berumur tujuh belas tahun yang sangat
menyenangkan. Dia akan kami pakai terus, tapi yang lainnya tidak.
Aku harus mengakui bahwa Jamie memang kelihatan kurang ceria
akhir-akhir ini. Tapi tadinya aku menganggap semua itu disebabkan
oleh kecemburuannya pada adiknya yang baru. Yah, yang jelas, aku
akan menelepon Peggy Johanssen dan beberapa orangtua lain yang
juga memakai jasa Baby-sitters Agency. Mereka harus diberi tahu.
Setelah itu aku akan menelepon Michelle dan Liz, kedua-duanya. Dan
Cathy Morris, tentu saja. Sayangnya aku tidak tahu siapa di antara
mereka yang merokok di sini."
"Bu Newton," Kristy berkata tiba-tiba, "saya tahu Ibu ingin
bicara sendiri dengan Cathy sore ini. Tapi biar kami saja yang bicara
dengan Liz dan Michelle, ya. Kami perlu membuat perhitungan
dengan mereka."Bab 13
HAL pertama yang kami lakukan keesokan paginya adalah
membuat perhitungan dengan Liz dan Michelle. Kami bergegas
menuju sekolah, lalu menunggu di depan homeroom mereka.
Ternyata mereka pun datang pagi-pagi.
"Hei," kata Liz. "Coba lihat siapa yang nongkrong di situ. Baby
Club."
"Ha-ha," sahut Kristy.
Aku tertawa cekikikan. Michelle merengut.
"Apakah kalian akhirnya datang untuk mengemis?" tanya Liz.
"Kalau klub kalian sudah bubar, kalian masih bisa bekerja untuk
kami."
"Enak saja," sahut Kristy. "Kami kemari untuk membicarakan
masalah bisnis yang penting dengan kalian."
"Yeah," kataku.
"Dan masalah penting apakah itu?" ejek Liz.
"Masalahnya," ujar Kristy, "kemarin Cathy Morris bertugas
menjaga anak umur tiga tahun, dan dia membiarkan anak itu bermain
di luar sendirian."
"Terus?""Terus?! Kami menemukan anak itu sedang bermain di tepi
jalan?tanpa memakai topi ataupun sarung tangan. Maka kami
menyuruh dia masuk ke rumahnya. Kalau kami tidak datang, dia
mungkin tertubruk mobil. Anak umur tiga tahun tidak bisa bermain
sendirian di luar. Dan seorang baby-sitter yang baik seharusnya
mengetahui hal ini."
"Kalau begitu kami tidak akan memberikan tugas lagi pada
Cathy," Michelle angkat bicara. "Dia memang tidak begitu suka
pekerjaan itu."
"Tidak heran kalau begitu," komentar Claudia.
"Apa maksudmu?" balas Liz.
"Maksudku," ujar Claudia, "anak-anak yang kami kenal tidak
menyukai baby-sitter yang dikirim oleh kalian."
"Apakah kamu mau bilang bahwa kami bukan baby-sitter yang
baik?" tanya Michelle.
"Begini," kataku, "seorang baby-sitter yang baik akan
melewatkan waktunya dengan bermain bersama anak-anak yang
dijaganya. Dia tidak akan mendiamkan anak-anak itu, dan hanya sibuk
menelepon atau nonton TV terus-menerus."
"Oh, kami selalu bermain dengan anak-anak yang kami jaga.
Dan kami juga sudah mewanti-wanti para baby-sitter kami untuk
bersikap sama. Betul, kan, Michelle?"
"Oh, ehm, betul."
"Kalau begitu," tantang Kristy, "mestinya kalian sekarang sudah
kenal baik dengan anak-anak itu, dong. Seorang baby-sitter yang baik
pasti tahu banyak tentang anak-anak yang pernah dijaganya. Tahukah
kamu roti kegemaran Jamie Newton?"Liz terdiam sejenak. "Aku baru sekali menjaga dia," jawabnya.
"Roti panggang berisi selai kacang dan madu," Mary Anne
memberanikan diri untuk berkata.
"Acara TV apa yang paling disukai Charlotte Johanssen?" tanya
Kristy.
Liz dan Michelle berpandangan. "Mister Rogers," Michelle
berkata dengan nada penuh kemenangan.
"Michelle, umur Charlotte Johanssen hampir delapan tahun.
Acara TV yang paling disukainya adalah The Cosby Show."
"Pernahkah kamu bertugas di rumah keluarga Marshall?" tanya
Claudia.
"Aku pernah," sahut Liz. "Dua anak perempuan: Nina, tiga
tahun, dan Eleanor, satu tahun." Dia mengatakannya dengan penuh
keyakinan.
"Betul," ujar Claudia. "Dan tahukah kamu apa artinya kalau
Eleanor mengusap-usap telinga?"
"Telinganya sedang gatal?"
"Bukan. Itu artinya dia lapar."
"Nah, sekarang tentang Nina. Kamu ingat tidak, dia alergi
terhadap apa?"
"Ya ampun, apa-apaan sih ini?kalian menginterogasi kami?"
"Ayolah," ejek Kristy. "Kamu bilang kamu pernah menjaga dia.
Aku bantu sedikit, deh. Dia alergi terhadap satu jenis makanan.
Makanan apa yang bisa membuat kulitnya gatal-gatal dan berbercak
merah?"
"Aku tidak tahu, oke?" Liz berkata dengan marah. Pada saat
yang sama Mary Anne menyahut,"Strawberry."
"Apa sih yang ingin kalian buktikan?" tanya Michelle. Tapi
kemudian dia sendiri yang menjawab pertanyaannya itu. "Bahwa
kalian baby-sitter yang lebih baik dari kami?"
"Kamu yang bilang, lho, bukan aku," jawab Kristy.
"Oke, jadi kalian sudah membuktikannya," ujar Liz. "Sekarang
pergi dan jangan ganggu kami lagi."
Itulah yang kami lakukan. Kemudian kami berkumpul di toilet
putri. "Menurut kalian, apa artinya kejadian tadi?" aku bertanya.
Kristy, Claudia, dan Mary Anne menggelengkan kepala.
Kayaknya sih kami menang, tapi kami tidak yakin betul. Kami lalu
membayangkan apa yang terjadi waktu Bu Newton menelepon Cathy.
Kami juga bertanya-tanya apa yang akan terjadi kalau para klien
mendengar berita tentang para baby-sitter yang ditugaskan oleh Baby-
sitters Agency? Dan bagaimana kalau para orangtua mulai
membicarakan masalah itu dengan anak-anak mereka? Kami berharap
bisa mengetahui hasilnya pada akhir pekan ini.
**********
Sayangnya, aku melewatkan akhir pekan yang penting itu di
New York. Orangtuaku menjemputku seusai sekolah hari Jumat. Aku
sudah siap berangkat. Tas berisi pakaian yang kusiapkan pada malam
sebelumnya sudah ada di bangku belakang mobil kami, berikut bantal,
buku karangan Judy Blume, apel, dan PR-ku untuk minggu depan.
Dan yang lebih penting lagi, aku sempat menemui Dokter Johanssen
malam sebelumnya, dan pertemuan khusus dengan dokter yang
kuinginkan sudah diatur untuk Sabtu sore. Sebelum aku meninggalkanrumahnya, Dokter Johanssen memberiku sebuah amplop yang
kelihatannya resmi dengan nama orangtuaku tertulis di depannya.
Aku melambaikan tangan pada Claudia, Mary Anne, dan Kristy
dari jendela mobil. "Sampai Rabu, ya!" aku berseru pada mereka.
Ayahku membelokkan kemudi, dan mobil kami mulai melaju
untuk menempuh perjalanan selama dua jam ke New York City.
Waktu kami mencapai jalan bebas hambatan, aku berkata, "Kita akan
menginap di mana nanti?di rumah Bibi Beverly dan Paman Lou, atau
di rumah Bibi Carla dan Paman Eric?" Aku berharap kami akan
menginap di rumah Bibi Beverly dan Paman Lou. Aku lebih
menyukai anak-anak mereka, Jonathan dan Kirsten, daripada Cheryl
(anak Bibi Carla dan Paman Eric).
Mama dan Papa berpandangan, lalu tersenyum. Kemudian
Mama menoleh dan menatapku. "Sebenarnya kami ingin memberi
kejutan padamu, dan baru mengatakannya kalau kita sudah sampai di
New York. Tapi tidak jadi masalah kalau kami mengatakannya
sekarang. Kita tidak akan menginap di rumah keluarga Spencer
maupun keluarga McGill."
"Horeee! Maksud Mama, kita akan tinggal di hotel?" Aku
sangat suka tinggal di hotel.
"Tidak juga... Kita akan menginap di rumah keluarga
Cummings. Kamu bisa bertemu lagi dengan Laine."
"Menginap di rumah keluarga Cummings!" seruku. "Apakah
mereka sudah mengetahui penyakitku? Apakah Mama dan Papa sudah
memberitahu mereka?""Ya, akhirnya kami memberitahu mereka. Memang aneh... tapi
setelah keadaanmu membaik, sepertinya tidak ada alasan lagi untuk
tidak memberitahu mereka."
"Apakah Laine tahu?"
"Ya. Bu dan Pak Cummings sudah menceritakan hal ini
padanya."
"Mama dan Papa kok tega sekali, sih! Mama dan Papa kan tahu
bahwa Laine membenciku. Dan aku benci padanya."
"Oh, Stacey," ujar Mama, "itu kan sudah berbulan-bulan yang


Baby Sitter Club 3 Rahasia Stacey di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lalu. Mama yakin kamu dan Laine sudah melupakan pertengkaran itu.
Apalagi sekarang Laine sudah tahu rahasiamu."
Aku merosot di kursiku. "Belum, kami belum melupakannya,"
sahutku.
"Yah, Mama yakin kamu akan berubah pikiran kalau kamu
sudah bertemu dengannya."
"Tidak, tidak mungkin."
Pendirian Laine juga belum berubah. Ketika Bu Cummings
membuka pintu apartemen mereka dan mempersilakan Mama, Papa,
dan aku masuk, aku tidak melihat Laine. Bu Cummings menyapa
kami dengan hangat, lalu menunjukkan kamar tidur tamu yang sudah
disiapkan untuk Mama dan Papa. Kemudian dia menyuruhku masuk
ke kamar Laine. Dengan enggan aku menyeberangi ruang depan
menuju kamar tidurnya. Rasanya agak aneh berada di apartemen
keluarga Cummings setelah sekian lama.
Pintu kamar Laine tertutup. Ada tulisan besar-besar di depan
pintunya: KETUK DULU BARU MASUK.
Aku mengetuk."Siapa?" Laine berseru.
"Stacey."
Tidak ada jawaban.
"Boleh masuk?"
Sekali lagi tidak ada jawaban.
Aku masuk juga, walaupun tidak dipersilakan. Aku melempar
tasku ke atas tempat tidur. (Di kamar Laine ada dua tempat tidur.)
Laine sedang berbaring di tempat tidurnya sambil membaca
buku. Dia sama sekali tidak menoleh ke arahku.
Aku berjalan kembali ke pintu. "Asal tahu saja," kataku
sebelum menutup pintu, "aku juga tidak suka menginap di sini.
Sebenarnya aku ingin menginap di hotel. Malahan mungkin masih
lebih baik tinggal di rumah Cheryl daripada di sini."
Laine akhirnya menurunkan buku yang sedang dibacanya dan
melihat ke arahku. "Stacey..."
Tapi aku keburu melangkah ke luar, sambil membanting pintu.
Suara para orangtua yang sedang asyik berbincang-bincang terdengar
dari arah ruang duduk, maka aku langsung menuju kamar tidur tamu.
Cuma di situ aku bisa sendirian.
Laine dan aku tidak berbicara sepanjang malam. Tapi aku tahu
bahwa dia sering mengamati gerak-gerikku dengan diam-diam,
terutama pada waktu makan malam. Namun ia tidak sempat melihat
hal yang aneh. Aku menghabiskan makanan di piring sampai licin.
Makanan penutupnya adalah buah-buahan, jadi aku juga boleh ikut
makan. Dan waktu aku perlu menyuntikkan insulin, aku
melakukannya dengan cepat di kamar mandi. Aku tidak tahu apa
sebenarnya yang diharapkan Laine malam itu, tapi yang jelas, akutidak pingsan atau lemas. Aku juga tidak kelebihan maupun
kekurangan berat badan, dan tidak seorang pun memberikan perhatian,
makanan, maupun bantuan khusus padaku.
Aku sama normalnya dengan dia, cuma bedanya aku punya
penyakit yang disebut diabetes.
**********
Sekitar jam sebelas keesokan paginya, orangtuaku dan aku
berangkat ke klinik Dokter Barnes. Kami ingin menikmati kota, jadi
kami memutuskan untuk berjalan kaki saja. Kami menyusuri Central
Park West, dengan tamannya di sebelah kiri kami.
Kemudian kami membelok ke West Sixty-Third Street.
Tempat praktek Dokter Barnes tidak jauh dari rumah Laine.
Klinik itu menempati beberapa ruangan di lantai dasar sebuah
bangunan apartemen modern bertingkat tinggi. Mama menyebutkan
nama kami pada resepsionis di ruang tunggu, lalu kami duduk di kursi
berjok keras. Hanya kami yang ada di situ.
Lima belas menit kemudian, seorang juru rawat masuk ke ruang
tunggu. Dia mengatakan pada orangtuaku bahwa Dokter Barnes
sebentar lagi akan menemui mereka. Lalu dia membawaku menyusuri
lorong menuju kamar periksa.
Dan tes-tes itu pun dimulai.
Aku diperiksa, dibolak-balik, dan ditusuk. Mereka mengambil
contoh darahku. Aku diberi makan siang yang disiapkan secara
khusus, kemudian contoh darahku diambil lagi. Wanita yang
membawa beberapa lembar kertas memintaku melakukan hal-hal
aneh, seperti membuat gambar keluargaku, mengamati noda tinta lalu
menjelaskan apa yang kulihat, dan membuat menara dari balok-balokmainan anak-anak. Aku berlari di atas treadmill (alat untuk lari di
tempat), dan mencoba melakukan sit-up dan push-up. Aku juga
menggenjot exercise bicycle (sepeda diam). Dan akhirnya aku disuruh
mengerjakan tes tertulis. Mungkin semacam tes IQ, tapi aku tidak
yakin. Pokoknya tesnya panjang sekali. Aku telah membuat janji
untuk bertemu dengan dokter yang satu lagi jam lima sore, dan aku
masih belum mengatakan hal itu pada kedua orangtuaku. Pukul 15.10,
aku mulai gelisah. Pukul 15.20, aku mulai berkeringat dingin. Tapi
tepat pukul 15.30, seorang juru rawat datang untuk mengambil kertas-
kertas tes yang kukerjakan. Wow! Tepat pada waktunya.
Aku dibawa kembali ke ruang tunggu. Sudah empat jam aku
berada di klinik itu, tapi anehnya aku belum juga melihat orang yang
bernama Dokter Barnes.
Tapi kedua orangtuaku sudah menemuinya, dan mereka tampak
agak bingung. Ini dia kesempatan untuk bicara dengan mereka. Aku
melihat sebuah kafetaria di seberang jalan di depan klinik. "Kita cari
minuman di situ, yuk," aku mengusulkan.
Pada saat kami bertiga sudah duduk di salah satu pojok
kafetaria itu, Papa berkata, "Nah, apa saja yang kaukerjakan tadi,
Sayang?"
Aku menceritakan pengalamanku pada mereka? secara
singkat.
Seorang pelayan mengantarkan pesanan kami.
Ketika Mama dan Papa menghirup kopi masing-masing, aku
berkata dengan hati-hati, "Setelah kupikir-pikir, ternyata ucapan
Mama dan Papa tempo hari ada benarnya juga."
"Ucapan kami yang mana?" tanya Mama."Bahwa mempelajari diabetes itu sangat penting, dan bahwa
kita harus melakukan segala sesuatu yang bisa dilakukan untuk
menyembuhkannya, atau setidaknya menguranginya. Karena itu... aku
sendiri sudah mulai mempelajarinya dan mencari informasi tentang
pengobatannya."
"Oh, ya?" ujar Papa. "Bagus, dong."
"Yeah. Dan aku menemukan seorang dokter bernama Graham.
Dia ahli penyakit anak-anak, terutama penyakit diabetes. Dia sudah
sering melakukan penelitian, dan bahkan sudah mendirikan organisasi
yang khusus mempelajari diabetes."
Papa mengangkat alisnya, dan mengangguk-anggukkan
kepalanya.
"Begini," aku melanjutkan, "aku sudah berjanji untuk
menemuinya hari ini. Ini semacam... kejutan. Jam lima kita sudah
harus berada di tempat prakteknya." Aku mengeluarkan surat dari ibu
Charlotte. "Ini ada surat dari Dokter Johanssen. Aku rasa ada baiknya
kalau dibaca sekarang."
"Apa?" protes Mama. "Sayang, Mama..."
"Coba dibaca dulu," aku memotong. Dokter Johanssen sempat
memperlihatkan surat itu padaku sebelum ia mengelem amplopnya,
jadi aku sudah tahu apa isinya. Surat itu menjelaskan bahwa dia dan
aku sudah berdiskusi tentang Dokter Graham; bahwa aku sangat
berminat untuk menemui dokter itu; dan bahwa aku minta tolong pada
Dokter Johanssen untuk membuat janji dengannya. Surat itu juga
menjelaskan bahwa aku minta Dokter Johanssen untuk merahasiakan
hal ini, sehingga dia tidak menghubungi orangtuaku secara langsung.
Dia mengakhiri suratnya dengan memuji-muji keahlian DokterGraham, meminta maaf pada Mama dan Papa kalau ada hal-hal yang
kurang berkenan, dan menawarkan diri untuk berbicara dengan
mereka sekembalinya kami ke Stoneybrook.
Kedua orangtuaku membaca surat itu bersama-sama, sambil
berkali-kali mengerutkan dahi.
"Stacey, Papa tidak tahu harus bilang apa tentang semua ini,"
ujar Papa, setelah surat itu dimasukkannya kembali ke dalam amplop.
"Kupikir Mama dan Papa akan senang dengan kejutan ini,"
kataku, walaupun aku sendiri tidak begitu yakin.
"Memang, sih," sahut Papa. "Cuma... semua ini sungguh di luar
dugaan. Kami tidak tahu berapa tarif dokter itu. Kami juga belum tahu
banyak tentang dia. Papa sebenarnya lebih suka kalau kamu mau
mendiskusikannya dulu dengan kami sebelum membuat janji."
"Mama dan Papa juga sudah membuat janji tanpa bertanya dulu
padaku," aku menuduh.
"Betul juga...," ujar Mama. "Hmmm, Dokter Graham. Rasanya
Mama pernah mendengar nama itu... Philip Graham. Kalau tidak
salah, Mama pernah mendengar atau membaca tentang dia." Mama
mulai terkesan. "Kata orang dia dokter yang hebat, tapi sangat sibuk,
sehingga sulit untuk bertemu dengannya. Kamu beruntung bisa
membuat janji untuk bertemu dengan dia hari ini, Stacey."
"Nah," kataku dengan tergesa-gesa, mumpung Mama masih
terkesan, "tempat prakteknya agak jauh, di perempatan East Seventy-
Seventh Street dan York Avenue. Sebaiknya kita cepat-cepat ke sana."
Papa melihat arlojinya. "Sebaiknya kita berangkat sekarang
juga." Dia membayar di kasa, kemudian kami cepat-cepat keluar dan
memanggil taksi.Aku langsung masuk dan duduk di bangku belakang, di antara
Mama dan Papa. Dalam hati aku berharap agar rencanaku terus
berjalan dengan lancar.
Tempat praktek Dokter Graham persis seperti bayanganku
tentang tempat praktek dokter anak. Ruang tunggunya kecil dan
menyenangkan, dengan dua sofa besar dan segudang kursi anak-anak.
Di atas meja kecil di dekat jendela ada beberapa teka-teki potongan
gambar, setumpuk buku cerita bergambar, dan beberapa eksemplar
majalah Cricket. Di dalam sebuah kotak besar ada berbagai mainan,
seperti mobil-mobilan, boneka, dan mainan lainnya. Aku meraih
majalah Seventeen edisi terbaru, lalu duduk dan mulai membaca.
Sementara itu Mama berbicara dengan resepsionis. Beberapa saat
kemudian Dokter Graham sendiri yang keluar. Dia seorang pria
berkulit hitam dan berbadan tinggi, dengan mata bercahaya dan suara
yang dalam. Aku langsung menyukainya.
"Nah, Stacey," dia berkata sambil menjabat tanganku, "aku
senang bertemu denganmu. Kamu pasienku yang terakhir untuk hari
ini. Dan ini pasti orangtuamu."
Mama dan Papa serta Dokter Graham saling memperkenalkan
diri. Papa langsung minta maaf karena aku sudah membuat janji tanpa
memberitahu mereka lebih dulu.
Dokter Graham berkata bahwa itu tidak jadi soal. Kemudian dia
menggiring kami masuk ke ruang prakteknya. Bayanganku tentang
tempat itu ternyata tidak meleset sedikit pun. Malahan ijazah yang
dimilikinya lebih banyak dari yang kuduga. "Saya tidak akan
memeriksa Stacey," katanya. "Pertemuan kali ini hanya untuk
konsultasi. Saya cuma ingin mengajukan beberapa pertanyaan."Beberapa pertanyaan! Dia mengajukan sejuta pertanyaan. Dia
bertanya tentang kelahiranku, tentang kesehatanku sebelum aku
terserang diabetes, tentang perkembangan penyakitku, dan tentang
usaha kami untuk menanggulanginya. Dia bertanya tentang dokter-
dokter yang pernah kutemui, dan tentang dokter baruku di
Stoneybrook. Dia juga bertanya bagaimana prestasiku sekolah,
bagaimana aku menyesuaikan diri setelah kepindahan kami, dan
apakah aku sudah punya teman di sana. Akhirnya, dia meminta
orangtuaku untuk menunggu di luar, lalu mengajukan beberapa
pertanyaan yang bersifat pribadi padaku. Misalnya, bagaimana
perasaanku tentang dokter-dokter yang pernah kutemui, tentang
penyakitku, dan bahkan tentang ibu dan ayahku.
Rasanya kami bicara lama sekali, dan dia mencatat semua yang
kukatakan pada lembaran-lembaran kertas berwarna kuning.
Kemudian dia memanggil orangtuaku kembali.
"Nah," Dokter Graham berkata pada mereka, "Ibu dan Bapak
pasti sangat bangga terhadap Stacey. Saya yakin Ibu dan Bapak
merasa beruntung memiliki anak seperti dia."
Kedua orangtuaku mengangguk sambil tersenyum. "Kami
punya lebih dari satu alasan untuk itu," tambah Mama.
"Syukurlah kalau Ibu menyadari itu," kata Dokter Graham,
sambil balas tersenyum. "Dari apa yang Ibu dan Bapak katakan pada
saya tadi, saya menarik kesimpulan bahwa penyakit Stacey dulu
sempat parah. Tapi kelihatannya dia cocok sekali dengan pengobatan
yang telah ditempuhnya selama ini. Secara jujur, tanpa melakukan tes
pun, saya sudah bisa melihat bahwa hanya ada satu masalah."
Ibuku agak pucat mendengarnya."Apa itu, Dokter?" Papa bertanya dengan gelisah.
"Walaupun Stacey tidak mengalami kesulitan yang berarti
dalam hal kepindahannya ke Connecticut berikut semua
konsekuensinya?pindah sekolah, ganti teman?dia kelihatannya
masih agak terombang-ambing dalam menghadapi penyakitnya. Dia
ingin bisa mengontrolnya, tapi sekaligus dia juga agak takut. Begitu,
Stacey?"
"Ehm..." Aku meremas kedua tanganku. Aku merasa kikuk
karena kedua orangtuaku ada di situ. "Rasanya sih, betul. Maksud
saya, setiap kali saya merasa bahwa saya mulai memahami bagaimana
caranya mengobati penyakit saya ini, kami sudah menemui dokter lain
yang mengharuskan kami melakukan sesuatu yang berbeda.... Saya
sudah bertanya pada Dokter Johanssen tentang Dokter Barnes dan
kliniknya. Dia mengatakan bahwa Dokter Barnes mungkin menyuruh
saya menemui seorang psikiater, dan bahkan mungkin menganjurkan
agar saya pindah sekolah." Aku berhenti, dan menarik napas panjang.
Rasanya aku ingin menangis. "Saya tidak mau pindah sekolah lagi.
Saya ingin tetap berkumpul dengan Claudia, Kristy, dan Mary Anne.
Saya tidak mau menemui seorang psikiater, atau mengikuti latihan-
latihan khusus, dan sebagainya."
Selama beberapa detik suasana menjadi hening.
Lalu Dokter Graham berkata dengan suara pelan, "Dokter
Werner seorang dokter yang hebat," ujarnya. "Dia punya reputasi yang
baik, dan sangat dihormati oleh sesama dokter. Menurut saya, tidak
ada dokter yang bisa menangani Stacey dengan lebih baik lagi?
kecuali saya sendiri, lho," dia menambahkan sambil tersenyum.Ibu dan ayahku tertawa, tapi mereka belum mengatakan apa-
apa. Aku melihat mereka sedang mengamati semua ijazah, sertifikat,
dan piagam penghargaan yang terpajang di dinding.
Papa berdehem. "Terus terang," katanya, "kami sempat dibuat
heran oleh beberapa hal yang terjadi hari ini..."
"Banyak hal," Mama memotong.
"...terutama oleh apa yang telah dikatakan Dokter Barnes pada
kami. Tes-tes yang dianjurkannya untuk hari Senin dan Selasa
sepertinya agak... tidak lazim. Dan sangat mahal. Tentu saja kami
tidak keberatan kalau itu demi kesehatan Stacey," Papa menambahkan
dengan cepat.
"Dokter Graham," tanya Mama, "apa saja yang Anda ketahui
tentang klinik Dokter Barnes?"
Dokter Graham menjawab dengan terus terang. "Saya pikir
semuanya itu omong kosong. Apa yang akan dilakukan Dokter Barnes
memang tidak akan membahayakan Stacey, tapi saya tidak yakin
bahwa itu memang perlu. Saya berpendapat bahwa yang dibutuhkan
Stacey adalah stabilitas. Saat ini, yang paling penting bagi dia adalah
memahami penyakitnya. Dan dia tidak bisa melakukan itu, kalau
setiap dokter baru yang ditemuinya selalu menganjurkan agar dia
mencoba sesuatu yang lain.
"Seperti yang sudah saya katakan, saya belum melakukan tes
sama sekali, tapi kelihatannya kondisi kesehatan Stacey cukup baik?
apalagi kalau dibandingkan dengan keadaannya setahun yang lalu.
Dan semua ini hanya berkat satu hal: mengatur kadar insulin di dalam
tubuhnya. Anda tentu sudah tahu, cara terbaik untuk melakukan ituadalah dengan menyuntikkan insulin dan dengan menjalankan diet.


Baby Sitter Club 3 Rahasia Stacey di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedua cara itu sudah dilakukan dengan baik oleh Stacey."
Mama dan Papa bertukar pandang. Kemudian mereka
menatapku. "Mungkin," Mama berkata, "sudah saatnya Stacey diajak
bicara juga tentang pengobatannya. Apakah kamu mau kembali ke
klinik Dokter Barnes hari Senin nanti?"tanyanya.
"Tidak," ujarku, "tapi aku ingin bertemu Dokter Werner
sementara kita berada di New York. Hanya untuk check-up, kalau kita
bisa bikin janji untuk bertemu hari Senin."
"Apa kamu belum membuat janji dengannya?" Papa menggoda.
"Belum," aku berkata sambil tertawa cekikikan. "Dan sesudah
itu kita bisa pulang, kembali ke sekolah, ke sahabat-sahabatku, dan
Baby-sitters Club."
"Hmm," sahut Papa, "kita akan membicarakannya nanti
malam."
Semuanya berdiri dan mulai berjabatan tangan. Aku
mengucapkan terima kasih pada Dokter Graham. Dia mengedipkan
matanya padaku, lalu berkata, "Semoga sukses. Dan kalau ada
pertanyaan, silakan telepon aku kapan saja." Kemudian dia
memberikan kartu nama lengkap dengan nomor teleponnya.
Malam itu kami berbincang-bincang?Mama, Papa, dan aku.
Mereka mulai melibatkan aku dalam pembicaraan tentang penyakitku.
Kami makan malam di restoran, dan berbincang-bincang selama dua
jam. Hasilnya? Tidak ada lagi pertemuan dengan Dokter Barnes.
Mama dan Papa ternyata juga tidak menyukainya. Mereka tidak bisa
berjanji bahwa mereka tidak akan membawaku ke dokter baru lagi,
tapi paling tidak, untuk sementara waktu mereka akan berusaha lebihmenahan diri. Selain itu, mereka juga akan lebih sering mengajakku
untuk ikut mengambil keputusan. "Boleh saja," ujarku sambil
menghabiskan makan malamku dengan lahap. "Aku sehat begini,
kok!"
"Sehat seperti seekor kuda," sahut Papa menyetujui.Bab 14
SELESAI makan malam, kami menemui Pak dan Bu
Cummings serta Laine, dan kami berenam pergi nonton. Kami agak
terlambat sampai di gedung bioskop, sehingga tidak bisa mendapatkan
tempat duduk yang berdekatan. Laine dan aku akhirnya kebagian kursi
di baris paling belakang. Kami berjanji akan menemui para orangtua
di pintu bioskop, kalau filmnya sudah selesai.
Waktu bioskop sedang menayangkan iklan, Laine berdiri dan
beijingkat-jingkat ke lobi. Dia kembali beberapa menit kemudian
dengan sekaleng soda dan sebungkus permen cokelat isi kacang.
"Terima kasih karena kamu sudah menawarkan untuk
membelikan sesuatu untukku," aku berbisik dengan nada tersinggung.
Laine memandangku dengan heran. "Untuk kamu? Aku pikir
kamu tidak boleh jajan."
"Aku boleh makan popcorn. Aku boleh minum soda diet."
"Tapi aku kan tidak tahu."
"Mana mungkin kamu tahu kalau kamu tidak bicara denganku?"
"Kamu..."
"Ssst!" Pria yang duduk di depan Laine menoleh dan
memelototi kami.Laine merendahkan suaranya. "Kamu sendiri juga tidak mau
bicara denganku. Kamu bahkan merahasiakan... merahasiakan
penyakitmu."
"Kenapa aku harus bicara dengan seseorang yang
menelantarkan aku, dan menghasut teman-teman yang lain untuk
memusuhiku..."
"SSST!" Pria itu menoleh lagi.
Wanita yang duduk di sebelahnya juga ikut menoleh. "Filmnya
sudah mulai," katanya, "dan saya ingin mendengarkan ceritanya."
Aku berdiri. "Permisi, Laine, aku mau lewat," aku berkata
dengan sopan-santun yang dibuat-buat. "Aku ingin membeli sesuatu."
Aku berjalan ke luar dari kegelapan ruang pertunjukan?tapi
aku tidak sendirian. Laine berjalan tepat di belakangku. Aku pura-pura
tidak tahu, dan terus saja menuju tempat penjualan makanan kecil.
"Satu kaleng kecil soda diet, dan satu bungkus popcorn, yang kecil
saja," kataku.
"Satu dolar tujuh puluh lima sen," sahut pemuda di balik
counter.
Aku menelan ludah. Aku lupa bahwa harga barang di New
York mahal-mahal. Di bioskop di Stoneybrook, aku bisa mendapatkan
sekaleng soda diet dan sebungkus popcorn hanya dengan sembilan
puluh lima sen.
Pemuda itu mendorong pesananku di meja counter. "Ini,"
katanya.
Aku merogoh saku, dan mengeluarkan selembar uang kertas
satu dolar. Hanya itu uang yang kupunya.
Wajahku langsung merah."Ini ada tujuh puluh lima sen." Laine menyerahkan tiga keping
uang logam dua puluh limaan pada si penjual.
"Makasih," aku menggumam.
"Stacey?" Laine berkata, sesaat setelah aku membalikkan badan
sambil membawa makanan tadi.
"Yeah?"
"Maaf, ya."
Dia tidak perlu mengatakan apa sebabnya dia minta maaf. Aku
sudah tahu. "Betul, nih?"
"Yeah."
"Aku juga minta maaf. Memang seharusnya aku menceritakan
semuanya padamu, tapi ibu dan ayahku tidak ingin orang lain tahu,
selain keluarga sendiri.... Tapi apa sebabnya kamu tidak mau lagi
menjadi sahabatku?"
Laine menatap kakinya. "Entahlah, aku sendiri tidak tahu." Dia
duduk di sebuah kursi dekat toilet wanita.
Aku ikut duduk di sebelahnya, sambil tetap memegangi soda
dan popcorn tadi.
"Maksudku, sebenarnya sih aku tahu. Ini memang tidak masuk
akal, tapi aku iri padamu."
"Iri? Padaku? Kamu kepingin sakit seperti aku?"
"Tentu saja tidak. Kalau saja aku tahu apa sebenarnya yang
terjadi denganmu, aku pasti akan bersikap lain. Tapi waktu itu kamu
menjadi pusat perhatian semua orang. Guru-guru selalu menanyakan
kesehatanmu. Mereka selalu mengizinkanmu untuk mengumpulkan
PR lebih lambat dari anak-anak yang lain. Dan kamu begitu sering
tidak masuk sekolah.""Laine, aku hampir-hampir tidak naik kelas."
"Masa, sih. Aku tidak tahu kalau... Begini," lanjutnya, "kamu
masih ingat Bobby Reeder?"
Aku mengangguk.
"Dia bilang padaku bahwa penyakitmu menular. Aku tidak tahu
kenapa aku sampai percaya padanya, tapi waktu itu aku percaya. Dan
karena aku sahabatmu, maka aku yakin bahwa aku pasti akan
ketularan, apa pun penyakitmu itu. Aku ketakutan setengah mati. Aku
jadi ngeri untuk berdekatan denganmu. Waktu ibu dan ayahku
akhirnya mengetahui pertengkaran kita, mereka agak marah. Kami
berbicara panjang-lebar tentang itu, tapi aku tidak tahu bagaimana
harus minta maaf padamu. Itulah sebabnya aku tidak pernah menulis
surat sejak kamu pindah ke Connecticut. Di samping itu, aku juga
tidak yakin bahwa kamu mau menerima permintaan maafku. Kalau
aku jadi kamu, aku tidak akan mau lagi berteman dengan orang seperti
aku."
Aku tertawa cekikikan. "Hmmm," ujarku setelah beberapa saat,
"waktu itu aku memang sangat marah. Kamu melakukan hal-hal yang
menyakitkan. Tapi aku rasa, keadaannya pasti berbeda kalau aku
menceritakan semua rahasiaku. Akhir-akhir ini aku sering teringat
pada New York, dan kadang-kadang terpikir olehku, Wah, Laine tahu
nggak, ya.... Beberapa kali aku malah hampir menulis surat padamu,
untuk menanyakan perkembangan di sini."
"Apa sih, yang mau kamu tanyakah?"
"Yah, misalnya soal Deirdre Dunlop. Dulu kita selalu bilang,
dialah anak cewek pertama di kelas kita yang akan memakai BH. Jadi
aku bertanya-tanya?bagaimana akhirnya?"Laine tertawa, sampai hampir menyemburkan root beer dari
hidungnya. "Ya, memang betul!" dia berseru. "Kamu masih ingat
Lowell Johnston?"
"Yeah."
"Pada hari pertama Deirdre memakai BH barunya, Lowell
langsung mengajaknya kencan."
"Kamu bercanda!"
"Tidak. Betul, kok. Sumpah."
Aku terus memberondong Laine dengan seribu satu pertanyaan,
dan dia terus menjawab. Baru sekarang aku menyadari betapa aku
kangen padanya.
Tiba-tiba kami melihat para penonton keluar dari ruang
pertunjukan, menuju lobi. Ternyata filmnya sudah habis!
"Wah, kita batal nonton, deh," aku berkata pada Laine. "Tapi
tak apalah, toh lain kali masih bisa. Sedangkan kesempatan ngerumpi
begini kan jarang, hari Senin kami sudah pulang lagi ke Connecticut."
Kami membuang kaleng-kaleng minuman dan kardus-kardus
yang telah kosong ke tempat sampah, lalu berjalan ke pintu bioskop
untuk menunggu para orangtua.
************
Malam itu, Laine dan aku mengobrol sampai jam setengah tiga
pagi. Meski masih agak capek keesokan paginya, kami tetap
memutuskan untuk bersenang-senang sepanjang hari. Kami sarapan
berdua di Leo's Coffee Shoppe, yang terletak di pojok jalan dekat
gedung apartemen Laine. Kemudian kami berjalan-jalan ke Central
Park. Sore harinya keluarga Cummings, Mama, Papa, dan aku pergi
bersama-sama untuk nonton Paris Magic. Pertunjukan itu ternyatapertunjukan musik terindah yang pernah kutonton. Setelah itu, kami
makan malam di salah satu restoran kesukaanku, Joe Allen's.
Waktu kami tiba kembali di apartemen Laine, dia dan aku
merencanakan untuk mengobrol lagi malam itu, tapi Bu Cummings
berkata, "Lampu harus dimatikan pada jam sepuluh, lho," karena
Laine harus sekolah besok. Pada saat kami akan tidur malam itu, aku
merasa bahwa dua beban berat yang selama ini kupikul sudah
terangkat. Beban yang satu adalah pertengkaran dengan Laine. Dan
beban yang satu lagi adalah Dokter Barnes dan kliniknya. Kini aku
tidak perlu kuatir lagi mengenai kedua hal itu.
Hari Senin, pagi-pagi sekali, Mama menelepon Dokter Werner
di tempat prakteknya. Resepsionis yang menerima telepon berkata
bahwa dia bisa menyelipkan namaku di antara pasien-pasien yang
telah mendaftar. Maka aku bisa menemui Dokter Werner pada jam
setengah sebelas. Dia mengatakan bahwa kondisi kesehatanku baik-
baik saja.
Setelah itu kami pulang. Aku hampir tidak percaya bahwa aku
begitu gembira karena kembali ke Stoneybrook. Dan aku sudah tidak
sabar menunggu sekolah bubar, supaya bisa mengobrol dengan para
anggota Baby-sitters Club. Untung saja aku tidak perlu menunggu
lama-lama.
Begitu aku melihat anak-anak sekolah lewat naik sepeda di
depan rumahku, aku langsung menelepon keluarga Kishi.
Mimi yang mengangkat telepon.
"Hai, Mimi," ujarku. "Ini Stacey."
"Stacey! Kamu sudah pulang? Claudia bilang kamu baru pulang
hari Rabu. Aku harap, semuanya baik-baik saja.""Oh, ya! Semuanya baik-baik saja, kok. Malahan baik sekali!
Aku senang karena sudah sampai di sini. Apakah Claudia sudah
pulang dari sekolah?"
"Dia sedang berjalan masuk. Tunggu sebentar, ya. Aku akan
memanggilnya."
"Halo?" kata Claudia, setelah beberapa detik.
"Claud, ini aku, Stacey! Aku pulang lebih cepat! Urusan dengan
Dokter Barnes sudah beres. Ada kejadian apa selama akhir pekan
kemarin? Kamu jadi pergi ke Washington Mall? Apakah ada orang-
tua yang menelepon Liz atau Michelle?"
"Ada beberapa," Claudia menjawab dengan puas. "Charlotte,
Jamie, dan anak-anak lain menceritakan semuanya pada orangtua
mereka. Sayang sekali kamu tidak sempat melihat tampang Liz dan
Michelle di sekolah hari ini! Seandainya seseorang bisa membunuh
musuhnya dengan tatapan mata, maka kamulah satu-satunya anggota
Baby-sitters Club yang masih hidup sekarang."
"Wow," sahutku sambil tertawa cekikikan.
"Aku rasa pertemuan rutin sore nanti akan sangat menarik."
"Aku ke rumahmu sekarang, ya? Aku tidak bisa menunggu
lebih lama lagi, nih."
"Boleh-boleh saja."
Saat itu juga aku berlari ke rumah Claudia. Di jalan aku
berpapasan dengan Sam Thomas. Aku baru menyadari bahwa aku
hampir tidak pernah memikirkan dia lagi akhir-akhir ini. Pikiranku
terlalu sibuk dengan para dokter dan urusan Baby-sitters Club. Lagi
pula, aku sudah membuat janji dengan Pete Black untuk pergi
bersama-sama ke Snowflake Dance."Hai, Stacey!" Sam memanggil.
"Hai, Sam!" aku menyahut, dan terus berlari.
Claudia menungguku di depan pintu rumahnya. Kami langsung
ke atas. Karena situasinya sudah berubah, maka Claudia, Kristy, dan
Mary Anne tidak jadi pergi ke Washington Mall untuk
mempromosikan Baby-sitters Club. Mereka sudah memutuskan untuk
menunda kunjungan ke Washington Mall sampai minggu depan?itu
juga kalau masih diperlukan.
Telepon mulai berdering jam setengah lima, satu jam sebelum
pertemuan dimulai. Kristy dan Mary Anne belum datang. Aku
menjawab telepon pertama itu. Ternyata dari Bu Newton. "Hai,
Stacey," katanya. "Aku akan mengadakan pertemuan Klub Buku di
rumahku pada hari Jumat sore. Dan aku memerlukan seseorang untuk
menjaga Lucy dan menemani Jamie selama dua jam."
Menjaga Lucy! Aku gembira sekali. "Oh, dengan senang hati!"
ujarku. "Jam berapa?"
"Jam setengah empat sampai jam setengah enam."
"Oke! Saya pasti datang."
"Oh ya, Stacey, kamu kan belum mendengar bahwa aku sudah
berbicara dengan Cathy Morris. Mudah-mudahan saja aku tidak
terlalu keras menegur dia. Aku menjelaskan padanya bahwa seorang
baby-sitter harus memiliki rasa tanggung jawab yang besar, dan
bahwa aku sangat kecewa karena kelakukannya itu. Tapi aku
mendapat kesan, dia benar-benar tidak tahu bahwa yang dilakukannya
itu salah. Dia juga bercerita padaku bahwa dia sudah mendapatkan
pekerjaan di Polly's Fine Candy. Dan sepertinya dia menyenangi
pekerjaan itu.""Kebetulan, kalau begitu," kataku. "Dengan cara itu dia
mungkin bisa menghasilkan uang lebih banyak."
"Aku juga menelepon keluarga Johanssen, keluarga Marshall,
keluarga Pike, keluarga Spencer, keluarga Gianmarco, keluarga
Dodson, dan bahkan ibu Kristy. Siapa tahu suatu hari dia
mempertimbangkan untuk memakai jasa Baby-sitters Agency untuk
menjaga David Michael. Mereka semua sependapat denganku, bahwa
kita perlu mengenal baby-sitter yang akan bertugas di rumah kita, dan
bukannya percaya begitu saja pada para baby-sitter yang didapat
melalui Baby-sitters Agency. Di samping itu, aku juga mendengar
banyak keluhan dari para orangtua yang lain. Ternyata bukan hanya
Jamie dan Charlotte saja yang uring-uringan. Aku ingin
menyampaikan bahwa kami, para orangtua, sangat berterima kasih,
karena kalian memiliki cukup keberanian untuk menceritakan keadaan
sebenarnya pada kami."
"Ehm... itu memang tidak mudah," sahutku, "tapi saya gembira
karena kami telah melakukannya."
Semenit kemudian aku menutup telepon dan mulai mengoceh
tentang segala sesuatu yang dikatakan Bu Newton di telepon.
Tapi Claudia hanya menatapku dengan tajam.


Baby Sitter Club 3 Rahasia Stacey di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada apa?" ujarku. "Kenapa, sih?"
"Stacey, kamu langsung menerima tugas yang ditawarkan Bu
Newton. Padahal kamu kan tahu peraturan kita."
Aduh. "Oh, yeah," jawabku. "Maaf, deh." Peraturannya adalah
bahwa semua tugas yang datang harus ditawarkan dulu pada semua
anggota klub sebelum seseorang berhak menerimanya. Aku baru saja
melanggar salah satu peraturan yang paling penting."Aku juga kepingin sekali menjaga Lucy, lho," kata Claudia.
"Dan aku berani bertaruh bahwa Kristy dan Mary Anne juga merasa
begitu."
"Maaf, deh," ujarku lagi. "Aku betul-betul lupa. Aku terlalu
bersemangat tadi."
"Sudahlah," jawab Claudia. "Kalau aku jadi kamu, aku juga
akan bersikap seperti kamu. Lagi pula, aku sendiri sudah sering
melanggar peraturan itu."
Aku tersenyum lebar. Itu memang benar.
Dalam setengah jam berikutnya, Bu Marshall dan Pak
Johanssen menelepon. Mereka memerlukan jasa kami untuk tugas-
tugas mendadak. Sebenarnya mereka sudah minta orang dari Baby-
sitters Agency, tapi semua janji itu telah mereka batalkan.
Tidak lama setelah itu Kristy dan Mary Anne datang. Kami
mendapat tawaran empat tugas lagi. Yang satu dari klien baru. Pukul
enam kami akhirnya selesai menerima telepon dari para klien.
"Kira-kira ada tidak ya, klien yang menelepon ke rumah kita
masing-masing malam ini?" tanya Mary Anne.
"Mungkin saja," sahut Kristy. "Hari Natal kan sudah dekat.
Semua orang akan pergi ke pesta, atau ke jamuan makan malam, atau
nonton konser musik... Ini akan menjadi bulan tersibuk bagi kita."
"Hmmm," ujarku, "kita telah mengalami masa-masa sulit, tapi
kita tetap bertahan dan berhasil mengalahkan Baby-sitters Agency."
"Yang lebih penting lagi," tambah Kristy, "mereka kalah karena
kita memang baby-sitter yang baik."
"Kita telah memenangkan pertempuran dan perang," kata Mary
Anne."Kita yang terbaik!" seru Claudia.
"Rasanya kemenangan ini perlu kita rayakan dengan meriah,"
kataku. "Hidup Baby-sitters Club! Hip, hip, hura! Hip, hip, hura!"
"Bagaimana kalau kita merayakannya sambil makan camilan?"
tanya Claudia. Dia menarik sekantong permen (dan sekantong biskuit
asin untukku) dari balik bantalan kursinya.
Kami berempat bertatapan. "Selamat, ya!" kami berkata dengan
khidmat.
"Kita berhasil," tambahku.
Claudia mulai mengedarkan makanan.Bab 15
Kring, kring.
"Halo?"
"Halo... Stacey?"
"Ya... Laine, hai! Oh, aku sangat senang mendengar suaramu.
Tunggu sebentar, ya?" Aku meletakkan gagang telepon di meja dapur.
"Ma, Laine meneleponku. Aku pinjam pesawat telepon di kamar
Mama untuk bicara dengan dia, oke? Tolong tutup telepon di dapur
kalau Mama sudah mendengar suaraku, ya!" Aku berlari ke atas, dan
menutup pintu kamar orangtuaku. "Sudah, Ma." Aku mendengar suara
klik, yang artinya telepon di dapur sudah ditutup Mama. "Nah,
sekarang kita bisa mulai mengobrol," aku bilang pada Laine. "Ada
apa, nih?"
"Aku cuma ingin tahu bagaimana kabarnya Baby-sitters Club.
Minggu lalu kan kamu bilang ada masalah dengan kelompok saingan."
"Oh, kamu pasti kaget, deh! Agen baby-sitter itu sudah bubar!"
"Jangan bercanda, Stace!"
"Tidak. Aku serius," sahutku. "Para orangtua tidak mau lagi
memakai jasa Baby-sitters Agency. Mereka memutuskan bahwa
mereka tidak bisa mempercayai Liz dan Michelle?kamu ingat kan,
kedua cewek yang kuceritakan?untuk mencarikan baby-sitter yangbaik buat mereka. Senin kemarin Claudia menceritakan semua ini
padaku. Tapi coba kamu tebak apa yang terjadi kemudian? Waktu
kami ke sekolah hari Selasa, kami melihat Liz sedang berdiri di
pekarangan sekolah sambil membawa papan reklame dengan tulisan
'Konsultan Make-up'. Michelle berdiri di sebelahnya sambil membagi-
bagikan selebaran. Kristy, ketua klub kami, langsung curiga melihat
mereka. Dia menghampiri mereka dan mengambil sehelai selebaran,
walaupun Michelle menatapnya dengan pandangan jijik, seakan-akan
Kristy itu ular atau kecoak."
Laine tertawa cekikikan.
"Kami membaca selebaran itu bersama-sama," sambungku,
"dan ternyata Liz dan Michelle sudah punya usaha baru! Kita bisa
memanggil mereka ke rumah dengan membayar lima dolar. Dan
mereka akan menunjukkan bagaimana caranya memakai make-up,
bagaimana caranya menata rambut, pokoknya hal-hal semacam itu.
Tapi itu malah cocok buat mereka, karena mereka memang hanya
peduli pada hal-hal seperti itu. Lalu, kalau kita membayar lima dolar
lagi, mereka akan mengajak kita berbelanja dan membantu kita
memilih pakaian baru, perhiasan, dan lain-lain. Mereka bahkan
menawarkan harga istimewa sebelum pesta dansa di sekolah dan
liburan. Cewek-cewek itu memang cerdik, Laine. Bisa jadi dengan
cara ini mereka menghasilkan uang lebih banyak daripada lewat usaha
agen baby-sitter itu.
"Aduh," aku meneruskan, "rasanya begitu banyak yang mau
kuceritakan, nih! Kemarin aku bertugas menjaga Lucy Newton, bayi
perempuan yang pernah kuceritakan padamu."
"Masa?" pekik Laine. "Kamu menjaga dia?""Sebenarnya sih, ibunya ada di rumah, tapi aku mengawasi dia
dan kakaknya selama dua jam, sementara Bu Newton mengadakan
pertemuan di rumahnya. Dan aku juga menggendongnya dan
memberikan susu padanya. Asyik sekali, lho! Rasanya tidak sabar aku
menunggu saat aku benar-benar diperbolehkan untuk menjadi baby-
sitter-nya. Dan kamu tahu ada apa lagi?"
"Apa?"
"Ingat Charlotte Johanssen, anak perempuan yang punya
masalah dengan teman-temannya di sekolah?"
"Yeah."
"Orangtuanya sudah membicarakan masalah ini dengan wali
kelasnya, dan mereka memutuskan untuk memindahkan Charlotte ke
kelas tiga. Pelajaran di kelas dua terlalu mudah untuknya. Dan teman-
teman sekelasnya tidak suka padanya, karena dia selalu mengerjakan
tugas-tugas dengan cepat dan tidak pernah membuat kesalahan. Wali
kelasnya berpendapat bahwa ada baiknya kalau dia dipindahkan ke
kelas yang baru, dengan teman-teman baru, dan pelajaran yang lebih
menantang. Charlotte sendiri kelihatannya sangat gembira. Dia akan
pindah ke kelas barunya setelah Natal nanti."
"Bagus, dong. Aku kepingin sekali bertemu dengan semua
orang yang telah kamu ceritakan, Stace. Rasanya aku sudah mengenal
mere... Tunggu sebentar..Stacey, ibuku bilang aku harus menutup
telepon dua menit lagi."
"Oh, gawat" aku berseru. "Oke, kalau begitu aku akan bicara
dengan cepat. Alu pergi ke Snowflake Dance dengan Pete dan kami
bersenang-senang di sana. Aku memakai baju baru, lho. Dan sebagai
hadiah Natal, Mama dan Papa akan memberiku pesawat telepon yangakan dipasang di kamarku sendiri. dengan begitu aku bisa
meneleponmu, dan kita dapat mengobrol dengan bebas! Dan aku juga
kepingin tahu sudah berapa kali Deirdre dan Lowell pergi berduaan,
tolong dihitung semuanya, biar cuma ke perpustakaan. Dan ngomong-
ngomong, kamu minta hadiah apa untuk Natal?"
"Aku... Ibuku bilang dia mau pakai teleponnya sekarang. Aku
harus tutup dulu, nih."
"Tapi, Laine, kamu belum sempat menceritakan apa-apa tentang
kamu, lho."
"Memang, sih."
"Hei, kamu akan menjadi orang pertama yang kutelepon, kalau
aku sudah punya telepon pribadi, oke?"
"Oke! Boleh juga, tuh!" Laine merendahkan suaranya sampai
hampir berbisik. "Ibuku tidak tahu, nih, tapi aku akan meneleponmu
pada hari Natal, oke?"
"Sip, deh!"
"Sampai ketemu, Stace."
"Bye! Makasih atas teleponnya."
"Sampai telepon yang akan datang, ya."
"Ditunggu, lho."
"Aku sudah tidak sabar, nih."
"Aku juga."
"Bagaimana caranya kita mengakhiri obrolan ini?"
"Tidak tahu."
"Aku kangen sama kamu."
"Aku juga kangen sama kamu."
"Sekarang aku betul-betul harus menutup telepon.""Bye, Laine."
"Bye, Stacey."
Kami meletakkan gagang telepon masing-masing. Senyum
lebar menghiasi wajahku. Aku punya ide bagus. Kalau kapan-kapan
Laine mengunjungiku di Stoneybrook, dia akan kujadikan anggota
kehormatan Baby-sitters Club.END
Petualangan The Journey 2 Pendekar Rajawali Sakti 185 Geger Di Telaga Warna Enigma 3
^