Pencarian

Mary Anne Jadi Pahlawan 2

Baby Sitter Club 4 Mary Anne Jadi Pahlawan Bagian 2


"Bagus," aku menjawab sama dinginnya dengan dia.
Tapi aku mulai bertanya-tanya, seberapa baguskah gagasan ini
sebenarnya? Bagaimana kami bisa membantu penyelenggaraan sebuah
pesta, kalau kami saling berdiaman? Meskipun begitu, aku berbalik
dan kembali ke kamar Claudia untuk menelepon Kristy?untuk ketiga
kalinya.
"Ada apa lagi, sih?" dia bertanya dengan ketus.
Aku memberitahunya tentang pesta ulang tahun Jamie.
Kristy menarik napas. "Oh, baiklah. Aku akan datang."
"Jangan memaksakan diri, lho," ujarku. "Aku bisa menelepon
Bu Newton untuk mengatakan bahwa kamu sibuk dan berhalangan
datang."
"Jangan coba-coba!"
"Aku kan cuma berusaha menolongmu."
"Oh, ya?"
Kami meletakkan gagang telepon masing-masing.
Sudah hampir jam enam, tapi aku masih menerima dua tugas
lagi untuk Baby-sitters Club. Yang satu dari Bu Prezzioso. Dia ingin
aku menjaga Jenny. Aku memeriksa buku agenda klub, untuk
memastikan bahwa aku bisa mengerjakannya. Kemudian aku
mengatakan padanya bahwa aku senang sekali mendapat kesempatan
untuk menjaga Jenny lagi.
Dan yang kedua dari Bu Pike, ibu delapan orang anak. Keluarga
Pike pelanggan yang baik, walaupun biasanya yang kami jaga cumaClaire, Margo, dan anak-anak lain yang masih kecil-kecil. Anak-anak
yang lebih besar sudah bisa mengurus diri sendiri. Hanya saja, kali ini
permintaan Bu Pike tidak seperti biasanya.
"Hai, Mary Anne," katanya. "Pak Pike dan saya mendapat
undangan untuk menghadiri pesta koktil di Levittown. Pestanya
dimulai sore hari?kami akan pulang sekitar jam sembilan?tapi kami
tidak ingin meninggalkan anak-anak sendirian sementara kami ke luar
kota. Jadi kami membutuhkan seseorang untuk menjaga mereka
semua. Tepatnya, kami memerlukan dua orang."
"Oke," sahutku. Kami sudah pernah kok, mengirim dua orang
baby-sitter ke rumah keluarga Pike.
Bu Pike memberikan beberapa informasi padaku, dan aku
berkata bahwa aku akan meneleponnya kembali dalam beberapa
menit, setelah aku menemukan seseorang yang dapat pergi
menemaniku. Aku memeriksa buku agenda klub. Dan aku kaget
setengah mati.
Satu-satunya orang yang punya waktu adalah Kristy.
Sebelum sempat mendesah ataupun merasa gelisah, aku cepat-
cepat mengangkat gagang telepon dan memutar nomor telepon
keluarga Thomas.
Kristy yang menjawab.
"Hai, ini Mary Anne lagi," aku berkata dengan terburu-buru.
"Keluarga Pike perlu dua orang baby-sitter untuk hari Jumat,
sementara suami-istri Pike pergi menghadiri pesta di Levittown.
Hanya kamu dan aku yang punya waktu untuk mengerjakannya. Kita
akan menjaga semua anak keluarga Pike. Kamu mau
mengerjakannya?""Berdua denganmu?"
"Ya."
"Tidak juga, sih."
"Bagus. Kalau begitu aku akan menelepon Dawn Schafer untuk
menemaniku menjaga mereka. Aku tidak ingin mengecewakan Bu
Pike."
"Kamu jangan coba-coba melakukan itu."
"Tapi aku harus melakukannya."
"Mary Anne Spier, untuk seseorang yang mengaku pemalu
seperti kamu, kamu betul-betul..."
"Apa? Kamu mau bilang apa?"
"Ah, tidak. Tidak apa-apa. Aku akan ikut bersamamu menjaga
mereka."
"Kita harus bertindak dewasa. Ini kan masalah bisnis."
"Berani betul kamu menyebut-nyebut soal kedewasaan!"
"Aku serius, Kristy. Aku tidak ingin anak-anak keluarga Pike
melihat kita bertengkar, atau apa, lalu melaporkannya pada orangtua
mereka."
"Kupikir itu takkan terjadi."
"Kenapa?"
"Aku toh tidak akan bicara denganmu."
"Bagus," ujarku. Aku membanting gagang telepon. Kemudian
aku mencatat tugas kami di buku agenda klub, lalu menelepon Bu
Pike lagi.
Aku sama sekali tidak kepingin menjaga anak bersama dengan
Kristin Amanda Thomas.Bab 9
KRISTY salah. Yang diperlukan bukan cuma daya khayal, tapi
juga pertarungan yang hebat. Hanya dalam keadaan betul-betul marah,
orang bisa bertindak seperti Kristy dan aku di rumah keluarga Pike
pada sore itu.Sebelum aku menceritakan kejadian ini lebih jauh, aku ingin
bercerita sedikit tentang anak-anak keluarga Pike. Yang paling
menarik dari keluarga ini adalah bahwa mereka mempunyai anak
kembar tiga, yaitu Byron, Adam, dan Jordan?tiga anak laki-laki yang
sangat mirip satu dengan lainnya. (Kristy dan aku sudah dapat
membedakan mereka.) Mereka berumur sembilan tahun. Anak tertua
adalah Mallory, yang berumur sepuluh tahun. Dia selalu banyak
membantu baby-sitter yang sedang bertugas. Setelah si kembar tiga,
masih ada Vanessa, yang berumur delapan tahun; Nicholas (Nicky),
yang berumur tujuh tahun; serta Margo dan Claire, yang berumur
enam dan empat tahun. Bayangkan saja betapa repotnya menjaga
begitu banyak anak.
Sebenarnya, anak-anak keluarga Pike adalah anak-anak yang
manis dan tidak rewel. Tapi orangtua mereka telah mendidik mereka
secara bebas (itu menurut ayahku). Akibatnya, mereka tidak ragu-
ragu sama sekali untuk melakukan hal-hal yang tak pernah
terbayangkan olehku sebelumnya?sekalipun dalam mimpi. Misalnya,
Claire kadang-kadang melepaskan seluruh pakaiannya, kemudian
berlari- lari mengelilingi rumah dalam keadaan telanjang bulat. Tapi
tak seorang pun memperhatikan tingkahnya itu. Setelah beberapa saat,
Claire menjadi bosan sendiri, lalu mengenakan pakaiannya kembali.
Contoh lain, walaupun masing-masing anak harus masuk tempat tidur
pada jam tertentu, mereka tidak perlu mematikan lampu sebelum
merasa mengantuk. Asal mereka sudah ada di tempat tidur, mereka
boleh bangun sampai jam berapa saja. Dan mereka juga tidak pernah
dipaksa untuk menghabiskan makanan yang tidak mereka sukai.Pada hari Jumat itu, Kristy dan aku sampai di rumah keluarga
Pike tepat jam lima sore. Tentu saja kami datang tidak berbarengan,
melainkan sendiri-sendiri. Tapi aku harus mengakui bahwa diam-diam
aku telah menguntit Kristy sepanjang jalan ke situ. Karena rumah
keluarga Pike tidak jauh dari Bradford Court, kami berjalan kaki ke
sana, dan aku berada tidak jauh di belakang Kristy. Aku harus berhati-
hati, supaya dia tidak tahu bahwa aku mengikutinya dari belakang.
Pernah sekali dia menoleh secara tiba-tiba, sehingga aku terpaksa
bersembunyi di balik semak-semak sambil berharap-harap bahwa dia
tidak melihatku. Waktu kami sampai di sana, aku langsung
bersembunyi di depan garasi, sementara Kristy berjalan ke teras depan
rumah keluarga Pike. Aku menunggu sampai dia masuk dan pintu
depan tertutup lagi. Baru setelah itu aku berjingkat-jingkat menuju
pintu depan dan memencet bel.
Pak dan Bu Pike kelihatannya terburu-buru. Bu Pike cepat-
cepat mempersilakan aku masuk, kemudian dia dan suaminya
memberikan beberapa petunjuk pada Kristy dan aku. Sebelum aku
menyadarinya, mereka telah berangkat. Begitu mereka pergi, anak-
anak langsung mulai mengerubungi Kristy dan aku. Mereka menyukai
baby-sitter.
"Makan apa kita malam ini?" tanya Byron, yang hobinya
memang makan.
"Ayam goreng dingin, atau roti isi ikan tuna," sahut Kristy.
"Bagaimana kalau kedua-duanya?"
"Tidak bisa, dong," ujar Kristy.
"Boleh saja," kataku.
"Tapi aku tidak suka ayam maupun ikan tuna," Margo protes."Kalau begitu kamu kan bisa membuat roti berisi selai kacang,"
Mallory mengusulkan.
"Oke," Margo setuju.
"Kapan kita mulai makan?" tanya Byron lagi.
"Jam enam," jawabku.
"Jam setengah tujuh," ujar Kristy.
"Bolehkah aku nonton film kartun di TV?" tanya Claire.
"Bolehkah kami mengadakan perlombaan lari gawang di ruang
duduk?" tanya Jordan, mewakili si kembar tiga.
"Bolehkah aku membaca saja?" tanya Vanessa, si pendiam.
"Aku sedang membaca buku The Phantom Tollbooth."
"Bolehkah aku mewarnai gambar?" tanya Margo.
"Bolehkah kami bermain baseball?" tanya Nicky.
"Bolehkah aku membantu menyiapkan makan malam?" tanya
Mallory.
"Ya, tidak, ya, ya, tidak, dan ya," sahutku.
Anak-anak tertawa mendengarku. Kristy merengut.
"Ayo, kita lakukan sesuatu bersama-sama," ujar Adam. "Di sini
ada sepuluh orang. Kita bisa membagi diri menjadi dua tim, masing-
masing beranggotakan lima orang."
"Hei, Kristy," kataku. Tiba-tiba aku mendapat ide. "Bagaimana
kalau kita main sandiwara?"
Kristy pura-pura tidak mendengarku.
Giliranku yang merengut.
"Mallory," kataku, "tolong bilang pada Kristy bahwa kita akan
main sandiwara.""Kristy," Mallory mulai, "Mary Anne bilang... Hei, kenapa dia
tidak mendengarmu, Mary Anne? Dia kan tidak tuli."
"Memang, sih." Aku mencoba memikirkan bagaimana caranya
menjelaskan kejadian ini. "Kita sedang... kita sedang bermain telepon-
teleponan."
"Oh ya? Kalau begitu tunggu sebentar. Dengar, semuanya,"
Mallory berkata pada adik-adiknya. "Kita akan duduk berderetan, di
sini, di ruang duduk. Kristy, kamu duduk di ujung sini, dan Mary
Anne, kamu duduk di ujung yang satu lagi. Nah, sekarang permainan
bisa dimulai, Mary Anne."
Tiba-tiba muncul pikiran untuk berbuat iseng. Aku
mencondongkan diri ke arah Adam, yang duduk di sebelahku, lalu
berbisik, "Kristy Thomas sok tahu dan sok penting."
Adam ketawa cekikikan. Kemudian dia berbisik pada Jordan,
dan Jordan berbisik pada Claire. Permainan berlangsung terus.
Setelah pesan itu sampai pada Kristy, dia kelihatan sangat
bingung.
"Apa?" tanya Mallory. "Apa yang kamu dengar?"
"Aku mendengar, 'Keringat Tomi suka bau dan bikin
merinding'."
Anak-anak keluarga Pike tertawa histeris.
"Oke, Mary Anne, sekarang katakan pada kami apa sebenarnya
yang kamu katakan tadi?" seru Mallory.
Apa yang sebenarnya aku katakan? Aku lupa kalau aku harus
melakukan itu. Tidak mungkin aku mengatakan pada mereka yang
sebenarnya. Aku berpikir beberapa saat, lalu berkata, 'Tambur
kristal...""Bukan, kamu tidak berkata begitu tadi," Adam memotong.
"Kamu bilang 'Kritikal...' maksudku 'Kristofer...' maksudku... Oh, aku
tidak ingat apa yang kamu katakan."
Semua orang tertawa lagi. "Kristy, kamu yang mulai sekarang,"
aku mengusulkan.
Kristy mengabaikanku.
Oh, gawat.
Aku berbisik pada Adam, "Bilang pada Kristy untuk memulai
permainan."
Pada saat pesan itu sampai pada Kristy, dia berkata, "Pulang
dengan kereta dan mulai berdandan?"
"Bukan, memulai permainan!" teriak Adam.
Kami bermain untuk beberapa lama, dan secara bergilir tiap
anak mendapat kesempatan duduk di ujung barisan. Untungnya Kristy
dan aku tidak pernah duduk bersebelahan.
Tepat jam enam, Byron melihat arlojinya dan mengumumkan,
"Sudah waktu makan malam! Ayo kita makan dulu!"
"Oke," sahut Kristy. "Semua masuk ke dapur!" Sepertinya dia
sudah lupa kalau dia tadi mengatakan bahwa makan malam dimulai
jam setengah tujuh.
Aku tahu bahwa kali ini dialah yang ingin mengatur. "Cuci
tangan kalian," aku berkata pada anak-anak.
"Tidak mau. Kami tidak harus melakukan itu," ujar Nicky.
"Kecuali kalau kami menginginkannya," tambah Margo.
Kristy menyeringai ke arahku.
Suasana di dapur benar-benar hiruk-pikuk. Sepuluh orang
mondar-mandir ke sana-kemari. Masing-masing sibuk mengambilpiring, garpu, sendok, dan gelas, dan mengeluarkan makanan dari
kulkas.
Kristy memasukkan jari-jarinya ke dalam mulut dan bersuit
dengan nyaring.
Hening.
"Coba dengarkan!" kata Kristy.
"Kita perlu aturan," aku menambahkan.
"Apa?" tanya Kristy. "Apakah ada seseorang yang mengatakan
sesuatu?"
"Dia bilang kita perlu aturan," sahut Mallory.
"Kita perlu aturan," Adam bilang pada Byron.
"Kita perlu aturan," Byron bilang pada Jordan.
"Kita perlu aturan," Jordan bilang pada Vanessa.
"Kita perlu aturan," Vanessa bilang pada Nicky.
"Kita perlu aturan," Nicky bilang pada Margo.
"Kita perlu aturan," Margo bilang pada Claire.
Claire memeluk kaki Kristy dan menengadah padanya sambil
tersenyum lebar. "Kita perlu aturan, Kristy," katanya. "Apa pun
artinya."
Kristy tersenyum. "Bilang pada Margo untuk duduk."
"Duduk," ujar Claire, sambil mencari tempat duduknya di meja
makan yang panjang itu.
Margo duduk "Duduk," dia bilang pada Nicky.
Nicky duduk. "Duduk," dia bilang pada Vanessa.
Vanessa duduk "Duduk," dia bilang pada Jordan.
Jordan duduk "Duduk," dia bilang pada Byron.Byron sudah duduk duluan, sambil menunggu makanan
dihidangkan di depannya. "Aku sudah duduk, kok," katanya. "Duduk,"
dia lalu bilang pada Adam.
Adam duduk. "Duduk," dia bilang pada Mallory.
Mallory duduk "Duduk," dia bilang padaku.
"Tidak," kataku sambil tersenyum. "Aku akan melayani kalian."
Dan begitulah kejadiannya selama makan malam. Tak sekali
pun Kristy dan aku bertukar kata. Tapi anak-anak keluarga Pike tidak
menyadari ketidakberesan itu. Mereka malah senang, dan berpikir
bahwa kami sedang mengadakan permainan yang hebat. Dan aku
yakin mereka akan mengadakan permainan seperti itu terus, walaupun
kami tidak berada bersama mereka. Dalam hati aku merasa agak
kasihan pada kedua orangtua mereka.
Pada saat kami selesai makan malam, sudah jam tujuh lewat.
Tidak seperti biasanya, makan malam kali ini memakan waktu yang
agak lama. Soalnya, setiap kata dan percakapan harus diulangi
sebanyak sembilan kali, lagi pula sering diselingi dengan ketawa
cekikikan. Akhirnya aku mengakhiri acara makan malam itu setelah


Baby Sitter Club 4 Mary Anne Jadi Pahlawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nicky, yang duduk di antara Claire dan Jordan, mulai usil. Dia berkata
pada Jordan, "Bilang pada Claire jangan suka bengong."
"Claire, jangan suka bengong," Jordan bilang pada Vanessa.
"Claire, jangan suka bengong," Vanessa bilang pada Adam.
Pada waktu kalimat itu sampai pada Claire dan dia berkata pada
dirinya sendiri, "Claire, jangan suka bengong," Nicky tertawa dengan
keras sampai-sampai susu di mulutnya muncrat ke seberang meja."Oke, anak-anak," ujarku. "Acara makan malam selesai. Bantu
kami membersihkan meja dan menyingkirkan piring-piring ke tempat
cuci piring. Setelah itu kita akan melakukan sesuatu."
"Apa?" tanya Mallory.
"Main sandiwara, dong," kataku dengan yakin, tanpa menoleh
ke arah Kristy. Aku tidak peduli apakah dia suka atau tidak, dan aku
tidak kepingin repot-repot mengulangi pertanyaanku sebanyak
sepuluh kali, cuma untuk mendapatkan jawaban darinya.
Pada waktu dapur sudah bersih (menjaga kebersihan adalah
salah satu tugas baby-sitter, dan kami selalu meninggalkan rumah para
klien dalam keadaan bersih), aku mengumpulkan anak-anak di ruang
bermain. Kristy mengikuti kami dengan enggan. "Sekarang," aku
memulai, "kita akan mementaskan..."
"...apa saja yang kamu suka," Kristy ikut-ikutan.
Walaupun marah, aku berusaha untuk tidak memperlihatkannya
di depan mereka. Sebenarnya aku merencanakan untuk mementaskan
kisah Wini si Beruang, sebab tokoh-tokohnya banyak dan kupikir
Claire dan Margo pun mengenal sebagian dari mereka.
Tapi karena Kristy sudah nyeletuk, semua anak mulai berteriak-
teriak.
"The Phantom Tollbooth!" teriak Vanessa.
"Chuck Norris!" seru Adam dan Jordan.
"Peter Rabbit," usul Claire.
Setelah tawar-menawar selama beberapa menit, akhirnya kami
memutuskan untuk membuat dua pertunjukan. Di bawah pimpinan
Kristy, si kembar tiga dan Mallory akan mementaskan Super-Girl
Meets the Super-Nerds. (Latar belakang musik akan ikut mengisipertunjukan itu.) Sedangkan di bawah pimpinanku, Nicky, Vanessa,
Claire, dan Margo akan menampilkan Peter Rabbit. Aku mengajak
mereka ke ruang duduk di lantai atas untuk berlatih.
Anak-anak keluarga Pike sangat senang dengan pementasan
sandiwara itu. Pada saat aku melihat arlojiku, waktu sudah
menunjukkan pukul setengah sembilan. Waduh! Seharusnya Claire
dan Margo sudah berada di tempat tidur. Nicky dan Vanessa pun
seharusnya sudah bersiap-siap untuk tidur. Kalau dalam dua puluh
menit lagi Pak dan Bu Pike belum pulang, aku tidak akan bisa sampai
di rumah pada jam sembilan. Tapi mereka sudah berjanji, dan
biasanya mereka menepati janji.
Aku mengajak Margo dan Claire ke atas, lalu mengantar
mereka ke tempat tidur masing-masing. Sementara itu Nicky dan
Vanessa mengganti baju mereka dengan baju tidur. Kristy tetap
tinggal di bawah dengan Mallory dan si kembar tiga. Ketika si bungsu
dan Margo sudah tertidur, aku keluar dari kamar mereka, lalu menutup
pintu dengan perlahan-lahan.
"Kalian mau dibacakan cerita?" tanyaku pada Nicky dan
Vanessa.
"Ya! Ya! Kami sedang membaca Pippi si Kaus Panjang!"
Kami membaca beberapa halaman dari buku cerita itu. Aku
melirik arlojiku. Jam sembilan kurang lima menit! Apa yang harus
kulakukan? Kalau aku pulang sekarang, suami-istri Pike pasti akan
jengkel. Bagaimanapun juga, mereka kan membayar untuk dua baby-
sitter. Tapi kalau aku pulang terlambat, Papa yang akan jengkel.
Untungnya, sebelum aku sempat panik, aku mendengar suara
mereka datang. Aku menghalau Nicky dan Vanessa ke kamar mereka."Ayah dan ibu kalian sebentar lagi akan ke sini untuk mengucapkan
selamat malam," aku meyakinkan mereka.
Kemudian aku berlari menuruni tangga. Tidak ada waktu lagi
untuk gengsi-gengsian. "Bu Pike," kataku tersengal-sengal, tanpa
menoleh ke arah Kristy, "saya harus pulang sekarang juga! Sudah
hampir jam sembilan."
"Aku tahu, Mary Anne. Maafkan kami pulang terlambat. Kami
terperangkap dalam kemacetan lalu lintas dalam perjalanan pulang.
Ayo, sekarang kalian masuk ke dalam mobil," Bu Pike berkata pada
Kristy dan aku. "Pak Pike akan mengantar kalian pulang. Oh, dan dia
akan membayar kalian pada saat menurunkan kalian nanti."
"Oke," kataku. "Terima kasih. Sampai ketemu!"
Ketika Pak Pike menurunkan kami di depan rumah kami, sudah
jam sembilan lewat lima menit. Dia membayar uang ekstra pada kami.
Dia merasa bersalah karena pulang terlambat. Kemudian dia berlalu
meninggalkan kami. Aku berlari cepat-cepat ke pintu depan rumahku.
Begitu sampai di sana, aku mendengar suara Kristy dalam kegelapan
malam, "Dasar bayi, bayi, bayi!"
Dengan perasaan terhina, aku masuk ke dalam rumah.
Papa telah menungguku.Bab 10
"SELAMAT malam, Pa," aku menyapanya dengan perasaan
waswas.
"Mary Anne, Papa sudah mulai cemas karena kamu belum
pulang-pulang juga."
"Maaf kalau aku terlambat pulang. Bapak dan Ibu Pike terjebak
dalam kemacetan lalu lintas waktu mereka kembali dari pesta. Mereka
tidak bisa berbuat apa-apa... Aku juga tidak bisa berbuat apa-apa."
"Tidak apa-apa. Sekarang baru jam sembilan lewat lima menit.
Papa sudah menduga bahwa ada sesuatu yang menghambatmu untuk
pulang."
Aku sangat lega mendengar kata-kata Papa itu. Ternyata dia
tidak marah. Aku segera memanfaatkan kesempatan itu untuk sekali
lagi membicarakan masalah kelonggaran jam tugasku sebagai baby-
sitter. "Pa," aku memulai, "sebenarnya akan lebih memudahkan para
klien, kalau aku bisa bertugas sampai agak lebih malam?misalnya
sampai jam sepuluh. Atau setidak-tidaknya sampai jam setengah
sepuluh. Itu pun sudah cukup."
"Mary Anne," Papa berkata dengan lembut, "kita kan sudah
membicarakan masalah itu. Kalau klien-klien kalian memang
memerlukan seseorang yang bisa bertugas sampai larut malam, makamereka harus menyewa baby-sitter yang umurnya lebih tua dari
kamu."
"Tapi Kristy, Claudia, dan Stacey..."
"Papa tahu. Mereka semua diizinkan untuk bertugas sampai
lebih malam dari kamu, padahal ketiga-tiganya seumur dengan kamu."
"Betul."
"Tapi kamu tidak sama dengan mereka. Dan Papa tidak sama
dengan orangtua mereka. Papa yang harus memutuskan apa yang
terbaik untuk kamu."
Aku mengangguk.
"Dan lain kali, kalau kelihatannya kamu akan terlambat
pulang?dengan alasan apa pun?sebaiknya kamu menelepon ke
rumah untuk memberitahu Papa. Oke?"
"Oke."
Apa yang tersirat di balik kata-kata Papa itu? Apakah Papa
bermaksud menunjukkan bahwa aku masih belum cukup bertanggung
jawab? Mungkin kalau aku sedikit lebih bertanggung jawab, dia akan
melonggarkan jam tugasku. Mungkin dia mengambil keputusan
berdasarkan besar-kecilnya tanggung jawab yang kuperlihatkan
padanya, bukan berdasarkan umur. Rasanya aku perlu
mempertimbangkan kemungkinan ini.
Aku mulai memikirkannya, saat itu juga, dalam perjalanan
menuju kamarku. Aku merasa bahwa tindakanku sudah cukup
bertanggung jawab. Aku selalu mengerjakan PR, dan aku menduduki
ranking yang baik di sekolah. Aku selalu tepat waktu kalau
mengerjakan apa pun. Aku selalu menyediakan makan malam untuk
Papa dan aku. Hampir semua kata-kata Papa aku turuti. Tapi...mungkin saja masih ada yang kurang. Mestinya aku menelepon Papa
dari rumah keluarga Pike, bukannya panik tidak keruan. Aku harus
bangkit dan berani menghadapi hal-hal yang selama ini kutakuti.
Salah satu hal yang paling kutakuti adalah berhadapan dan
berurusan dengan orang-orang yang tidak kukenal?seperti
menelepon seseorang untuk mendapatkan informasi, atau berbicara
dengan penjaga toko, atau menegur seseorang yang kebetulan
berpapasan di jalan untuk menanyakan alamat padanya. Papa tahu
persis bahwa aku suka menghindari masalah-masalah seperti itu.
Mungkin kalau aku bisa memperbaiki sikapku, Papa akan
menganggapku lebih bertanggung jawab.
Walaupun Papa tidak mengetahui pertengkaran yang terjadi
dalam Baby-sitters Club, aku memutuskan bahwa sudah saatnya aku
melakukan sesuatu yang bisa menjernihkan suasana. Tidak peduli
siapa yang bersalah, pokoknya aku ingin memperbaiki keadaan ini.
Nah, inilah yang disebut bertanggung jawab.
Aku sadar betul bahwa tugas di rumah keluarga Pike pada hari
Jumat itu bisa menjadi malapetaka bagi kami. Kalau saja ada anak
yang memperhatikan dan mengetahui bahwa Kristy dan aku sedang
bertengkar, maka nama klub kami akan menjadi jelek. Untungnya,
anak-anak keluarga Pike mudah menyesuaikan diri dan punya rasa
humor.
Untung saja.
Bagaimana kalau salah seorang dari mereka terluka, sedangkan
Kristy dan aku tidak bisa mencapai kata sepakat tentang apa yang
harus kami lakukan? Bagaimana kalau anak-anak keluarga Pike
menyadari apa yang sedang terjadi? Mereka pasti mengoceh danmelaporkannya pada orangtua mereka. Dan itu artinya Baby-sitters
Club akan kehilangan beberapa klien terbaiknya.
Di samping itu, mencoba menjalankan suatu klub tanpa
mengadakan pertemuan rutin adalah tindakan yang sangat bodoh.
Sudah waktunya untuk mempersatukan kembali klub kami,
sebelum benar-benar pecah. Karena Kristy adalah ketua klub, maka
aku berpendapat bahwa cara yang paling tepat adalah berbaikan dulu
dengannya. Ini suatu tantangan besar. Dan hanya orang yang penuh
rasa tanggung jawab yang bisa mengatasi tantangan itu.
*************
Bagaimana caranya berbaikan dengan Kristy? Pertanyaan itu
tetap mengganggu pikiranku pada saat aku terbaring di atas tempat
tidur, lama setelah aku mematikan lampu kamar. Barangkali aku bisa
mencoba menulis surat padanya?surat yang betul-betul bisa
kukirimkan padanya:
Kristy yang baik,
Aku sangat menyesali pertengkaran kita. Aku ingin berbaikan
denganmu dan berteman lagi.
Sahabat karibmu (aku harap), Mary Anne
Surat yang bagus?singkat, tapi manis.
Dan isinya memang benar. Aku betul-betul sangat menyesali
pertengkaran kami. Aku tidak peduli lagi siapa yang memulai dan
siapa yang bersalah. Aku cuma kepingin agar kami berempat bisa
berteman lagi seperti semula.
***********Keesokan harinya adalah hari Sabtu, tapi aku bangun pagi-pagi.
Seperti biasa, aku sarapan bersama Papa. Kemudian aku kembali ke
kamarku dan menulis surat untuk Kristy.
Nah, sekarang tinggal mencari cara untuk memberikan surat itu
pada Kristy. Kalau aku datang ke rumahnya untuk menyerahkan
suratku, dia pasti akan membanting pintu lagi tepat di depan
hidungku. Mungkin aku bisa memasukkannya ke kotak surat di depan
rumahnya, atau memberikannya pada David Michael agar dia
menyerahkannya pada Kristy. Ebukulawas.blogspot.com
Tidak. Bagaimana aku bisa memastikan bahwa Kristy akan
membacanya? Sepertinya, menulis surat bukan ide yang bagus. Tapi
aku tidak bisa memikirkan cara lain untuk berbaikan dengan Kristy.
Aku begitu sibuk memikirkan masalah itu, sehingga tidak
mendengar telepon berdering. Beberapa saat kemudian, Papa
memanggilku dari bawah, "Mary Anne! Ada telepon untuk kamu!"
"Oke!"
Pada saat aku berlari menuruni tangga, tiba-tiba aku dirasuki
pikiran bahwa Kristy-lah yang menelepon untuk minta maaf padaku.
Sayang sekali hari itu bukan hari keberuntunganku. Ternyata
cuma Dawn yang menelepon. Tapi itu tidak berarti bahwa aku tidak
senang mendapat telepon darinya.
"Hai!" kataku.
"Hai! Apa yang akan kamu kerjakan hari ini?"
"Aku belum ada rencana. Kamu sendiri bagaimana?"
"Sama saja."
"Kamu mau datang ke sini?"
"Oh, tentu! Sekarang, nih?""Yeah. Aku belum tahu apa yang akan kita kerjakan, tapi kita
bisa memikirkannya bersama-sama."
"Oke. Aku akan ke sana."
"Aku tunggu, ya," sahutku. Kami meletakkan gagang telepon
masing-masing.
Tak lama kemudian, Dawn sudah tiba di rumahku. Pasti dia
memecahkan rekor kecepatan bersepeda pagi itu!
Aku membukakan pintu depan, lalu kami berlari naik ke
kamarku. Yang pertama-tama dikatakan Dawn adalah, "Mary Anne,
waktu aku naik sepeda ke sini, aku tiba-tiba sadar bahwa kita telah
melupakan sesuatu."
"Apa itu?" tanyaku.
"Kita belum mencari tahu apakah ayahmu dan ibuku saling
mengenal waktu mereka masih muda."
"Oh, betul juga!" seruku. "Apakah ibumu bersekolah di
Stoneybrook High School?"
"Yap," sahut Dawn. "Ayahmu juga?"
"Yap! Wah, ini sangat menegangkan!"
"Tahun berapa ayahmu lulus?" Dawn bertanya lagi.
"Waduh," kataku lambat-lambat, "aku tidak tahu."
"Ehm, berapa umurnya sekarang?"
"Tunggu dulu. Umurnya... empat puluh satu.... Bukan, empat
puluh dua. Ya, empat puluh dua tahun."
"Oh, ya? Sama dengan ibuku, dong!"
"Masa, sih? Kalau begitu mereka pasti saling mengenal. Ayo,
kita tanyakan saja pada ayahku."Penuh semangat kami berlari-lari menyusuri lorong. Kami baru
saja menginjak anak tangga teratas, ketika Papa muncul di kaki
tangga. "Mary Anne," dia berkata, "Papa harus pergi ke kantor selama
beberapa jam. Papa akan pulang sekitar jam makan siang. Tolong
panaskan makanan di dalam panci untuk makan siang. Dawn boleh
ikut makan bersama kita. Oke?"
"Oke. Terima kasih, Pa. Sampai nanti."
Dawn menyikutku. Aku tahu dia berharap agar aku
menanyakan soal Bu Schafer pada Papa. Tapi aku tahu bahwa
sekarang bukan saat yang tepat. Papa sedang terburu-buru, dan dalam
keadaan seperti itu, dia tidak suka diganggu dengan segala macam
pertanyaan.
Begitu Papa pergi, Dawn berkata dengan nada menuduh,
"Kenapa kamu tidak menanyakannya pada ayahmu?"
"Waktunya kurang tepat. Percaya, deh. Lagi pula aku punya ide
lain. Buku-buku tahunan sekolah ada di ruang kerjanya. Ayo, kita ke
sana. Waktu aku masih kecil, aku sering melihat-lihat buku-buku itu.
Tapi rasanya aku sudah tidak pernah lagi melihatnya sejak aku
berumur sembilan tahun."
"Oh, idemu hebat juga. Yeah, buku-buku tahunan!" Dawn
menanggapi ideku sambil tersenyum.
Di ruang kerja Papa, kami berdiri di hadapan sebuah rak berisi
buku-buku tahunan. Selain tua dan berat, buku-buku itu juga sudah
berdebu.
"Lho, kenapa banyak sekali?" tanya Dawn.
"Ini buku-buku tahunan milik ibu dan ayahku? waktu mereka


Baby Sitter Club 4 Mary Anne Jadi Pahlawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di high school dan di college. Semuanya ada enam belas buku. Cobakita lihat dulu. Nah, ini buku tahunan Stoneybrook High School. Buku
ini kepunyaan Papa, karena Mama dibesarkan di Maryland. Hmm,
yang mana yang akan kita lihat dulu?"
"Buku tahunan terakhir sebelum ayahmu lulus dari high
school," Dawn langsung menjawab. "Fotonya pasti besar-besar. Nah,
buku tahun berapa ini? Oh, ayahmu dan ibuku lulus pada tahun yang
sama! Ternyata mereka satu angkatan. Kalau begitu, sih, sudah bisa
dipastikan bahwa mereka saling mengenal."
Dawn menarik buku itu dari rak, dan aku meniup debu yang
melekat pada sampulnya. "Iih!" ujarku. Kami berhenti beberapa saat
untuk melihat-lihat buku itu. Tahun kelulusan Papa ditulis dengan
angka-angka besar di sampul depannya.
Kami membuka-buka halaman buku dengan sangat perlahan-
lahan, seakan-akan takut buku itu akan hancur kalau diperlakukan
dengan kasar.
"Ini foto-foto para siswa yang lulus pada tahun itu," ujar Dawn
sambil membalik halaman depan buku itu. Kami mengamati foto-foto
hitam-putih itu baris demi baris. Para siswa kelihatan aneh dan
penampilan mereka kuno sekali. Di bawah setiap foto ada beberapa
kata kenang-kenangan, tapi kata-kata itu tidak berarti apa-apa buat
Dawn dan aku. Mungkin senda gurau di antara mereka. Aku bertanya-
tanya dalam hati, apakah dua puluh lima tahun kemudian orang yang
menuliskan kata-kata itu masih mengingat artinya? Di bawah sebuah
foto cowok tertulis: "Thumpers... Apple Corps... Arnie dan Gertrude...
S.A.B." Di bawah sebuah foto cewek tertulis: "'61 White Phantom
Chevy... 'Broc' junior homeroom... 'Rebel Rousers' & George." Adacowok yang malah menggunakan bahasa kode. (Itu menurut Dawn
dan aku, lho.) E.S.R., A.T., DUDE, FIBES, G.F.R.... AL-RIGHT.
"Tulisan 'all right'-nya salah," komentar Dawn.
Kemudian kami mulai ketawa cekikikan. "Eh, lihat rambut
cewek ini!" aku terpekik. "Sepertinya dia telah memompa rambutnya
dengan pompa sepeda!"
Dawn berguling-guling di lantai, sambil ketawa cekikikan.
"Kalau tidak salah, gaya rambut seperti itu disebut bouffant, atau
pompadour, atau seperti itulah."
"Ayahku punya banyak rekaman tua," ujarku. Aku menarik
beberapa piringan hitam dari rak buku, kemudian menunjukkannya
pada Dawn. "Semuanya rekaman penyanyi wanita. Dia punya
rekaman Connie Francis, Shelley Fabares, dan Brenda Lee. Dan ini
ada beberapa grup penyanyi?Shirelles, Marvelettes, serta Martha
Reeves dan Vandellas. Coba perhatikan cewek di buku tahunan tadi?
rambutnya persis seperti rambut Shelley Fabares di sampul piringan
hitam ini!"
Dawn mulai tertawa lagi. "Sekarang kita cari foto ayahmu," dia
mengajak.
Foto-foto para siswa berurutan menurut abjad. Kami langsung
mencari foto-foto dengan deretan nama-nama yang diawali dengan
huruf S.
"Ini dia!" seruku sambil menunjuk foto yang terletak di sudut
sebelah kiri. "Ini ayahku! Oh, wow, aku lupa betapa anehnya tampang
Papa dulu! Sama sekali tidak mirip dengan tampangnya sekarang. Dia
kelihatan seperti... seperti makhluk angkasa luar!""Jelas saja. Waktu itu kan umurnya baru tujuh belas tahun,"
Dawn berkomentar. "Tapi di foto ini, tampangnya kelihatan lebih tua
dari umurnya."
"Potongan rambutnya seperti tentara! Coba kita lihat apa yang
tertulis di bawah. fotonya... Wah, aneh. Di sini tertulis: 'Untuk S.E.P.:
Jangan berjalan di depanku?mungkin saja aku tidak bisa
mengikutimu. Jangan berjalan di belakangku?mungkin saja aku tidak
bisa menunjukkan jalan bagimu. Berjalanlah di sebelahku?dan
jadilah sahabatku. Camus.' Siapa, sih, Camus?" tanyaku.
"Mana aku tahu," sahut Dawn, "tapi S.E.P. itu inisial ibuku
sebelum menikah."
Dawn dan aku berpandangan sambil membelalakkan mata.
"Ayo!" Dawn berseru. "Kita cari halaman dengan deretan nama
yang dimulai dengan huruf P! Kita harus menemukan nama Sharon
Porter."
Dengan terburu-buru, kami membalik-balik halaman buku tua
itu. "Hei, pelan-pelan! Kita sekarang sudah sampai huruf M!"
Kami masih membalik beberapa halaman lagi.
"Ini dia!" Dawn berseru. "Sharon Emerson Porter. Cuma itu
yang tertulis di bawah fotonya. Cuma namanya. Tidak ada kata-kata
mutiara ataupun senda gurau."
"Tapi dia menandatangani buku tahunan Papa," aku berkata,
sambil memperhatikan goresan tinta biru yang mengenai wajah
Sharon Porter.
Kami mengamati foto itu dengan saksama.
"'Richie tersayang,'" Dawn membaca."Richie!" seruku. "Aku belum mendengar ayahku dipanggil
dengan nama Richie!"
Dengan takjub Dawn meneruskan, "'Empat tahun masih belum
cukup. Kita harus mulai lagi. Bagaimana kita bisa berpisah? Kita
masih punya satu musim panas lagi. Berharaplah, Richie. (Cinta itu
buta.) Selalu dan selamanya, Sharon.'"
"Sekarang aku yakin bahwa mereka saling mengenal," ujar
Dawn akhirnya.
"Yeah," kataku. "Kelihatannya memang begitu."Bab 11
DAWN dan aku hampir terkena serangan jantung ketika
membaca apa yang tertulis di buku tahunan Papa. Setelah agak tenang
kembali, kami bersepakat untuk tidak menceritakan apa yang telah
kami ketahui pada orangtua kami masing-masing. Tapi kami sendiri
tidak tahu kenapa kami merasa perlu merahasiakan hal tersebut. Kami
menghabiskan sisa waktu pada hari itu sambil mengobrol.
Kemudian, pada hari Minggu, kami memutuskan untuk melihat-
lihat buku tahunan Bu Schafer. Tapi buku itu ternyata sulit ditemukan,
karena, masih berada di dalam salah satu kardus yang belum
dibongkar. Setelah mencari agak lama, akhirnya kami menemukannya
di dasar sebuah kardus bertulisan BARANG-BARANG DAPUR.
"Barang-barang dapur?" aku bertanya pada Dawn.
Dia mengangkat bahu. "Jangan tanya soal itu, deh."
Sebelum membuka buku tahunan itu, kami sudah tahu halaman
mana yang harus kami periksa. Sebuah pesan dengan tulisan tangan
yang sangat kukenal melintang pada foto ayahku: "Untuk Sharon,
yang sudah tahu apa artinya ini." (Sebuah anak panah menunjuk pada
kata-kata yang dikutip dari orang yang bernama Camus.) "Ingatlah?
musim panas bisa berlangsung sepanjang masa. Dengan penuh cinta,
Richie.""Gaya bicara anak-anak high school zaman dulu persis seperti
penyair, ya?" Dawn berkomentar. "Apa sih, yang dimaksud ayahmu
dengan 'musim panas bisa berlangsung sepanjang masa'?"
Aku pun tidak tahu. Tapi yang lebih menarik daripada apa yang
ditulis Papa, adalah apa yang terimpit di antara halaman huruf "S"
dalam buku tahunan Bu Schafer. Sekuntum bunga mawar yang telah
mengering dan telah berubah warna menjadi cokelat. Batangnya
dihiasi oleh pita satin yang telah luntur dan berwarna kekuning-
kuningan.
************
Sebenarnya aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk
mencari jalan agar para anggota Baby-sitters Club dapat berbaikan
lagi. Tapi melaksanakan janji itu ternyata lebih sukar dari yang
kuduga. Ada saja gangguan yang menghalangi niatku itu. Yang paling
menyita perhatianku adalah kenyataan bahwa Bu Schafer dan ayahku
pernah berteman akrab ketika mereka masih sama-sama duduk di
bangku high school. Sepanjang minggu, Dawn dan aku terus-menerus
membicarakan hal itu. Kami punya berjuta-juta pertanyaan, tapi kami
hanya dapat menebak-nebak jawabannya.
"Menurutmu, bunga mawar itu dari siapa?" tanya Dawn.
"Mungkin ayahku memberikan mawar itu pada waktu pesta
perpisahan sekolah?" aku menebak. "Aku yakin ayahku dan ibumu
pergi bersama-sama ke pesta itu. Kira-kira seperti apa, ya, baju yang
mereka pakai waktu itu?"
"Hei," ujar Dawn. Dia mengunyah seledri dengan suara keras.
Dawn tidak pernah mau membeli makan siang di kantin sekolah. Dia
bilang makanan di situ terlalu banyak mengandung tepung dan tidakmembangkitkan selera. Sejak dapur di rumahnya selesai dibereskan,
Dawn setiap hari membawa makan siangnya dari rumah. "Bukankah
para orangtua selalu memotret anak-anak mereka sebelum pergi ke
pesta perpisahan sekolah?" tanyanya. "Maksudku, pada zaman dulu
pun hal itu mestinya sudah menjadi semacam keharusan. Coba
bayangkan: Teman kencan anak gadis mereka datang untuk
mengajaknya pergi ke pesta perpisahan sekolah. Si pemuda memakai
jas, sedangkan si gadis mengenakan gaun baru sambil membawa syal.
Kemudian orangtua si gadis menyuruh mereka berdua berpose di
depan perapian di ruang keluarga untuk membuat foto resmi. Foto itu
lalu dikirimkan kepada sanak keluarga mereka, dan juga kepada
orangtua si pemuda."
Aku ketawa cekikikan. "Lucu juga, ya? Tapi apa hubungannya
dengan kedua orangtua kita?"
"Kalau ayahmu dan ibuku memang pergi bersama-sama ke
pesta perpisahan sekolah, mereka pasti punya foto resmi semacam itu.
Dan kalau kita bisa menemukan foto itu, kita akan bisa memastikan
apakah ibuku memakai bunga mawar di dadanya. Bunga mawar yang
tangkainya dihiasi pita satin."
"Oh! Ide bagus," ujarku. Sayangnya kami tidak berhasil
menemukan foto mereka berdua.
Pada hari berikutnya kami mencoba menebak-nebak apa yang
ingin disampaikan ayahku dan Bu Schafer, ketika mereka saling
menuliskan pesan di buku tahunan masing-masing.
"'Kita masih punya satu musim panas lagi'" dengan sedih aku
mengulangi kata-kata yang dituliskan Bu Schafer. "Aku heran,
bagaimana mereka bisa tahu bahwa mereka akan berpisah pada akhirmusim panas itu? Atau, mungkin juga, bukan itu yang mereka
maksudkan."
"Pasti itu maksud mereka. Yang aku tidak mengerti, kenapa
mereka harus berpisah?"
"Aku tidak tahu."
"Aku kepingin tahu, apa yang dimaksud ibumu dengan 'cinta itu
buta,'" kataku pada Dawn, pada hari Jumat.
"Mungkin ada seseorang yang tidak menyetujui hubungan
ayahmu dengan ibuku, tapi jalinan cinta di antara mereka begitu kuat,
sehingga mereka tidak menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak
beres."
"Tapi apa yang tidak beres?"
"Entahlah," sahut Dawn. "Tapi aku berani bertaruh bahwa ada
seseorang yang tidak menyetujui hubungan mereka."
"Tapi kita tidak bisa memastikan hal itu," aku menanggapinya.
"Memang, sih."
*********
Pada hari Sabtu, aku mengalami peristiwa yang begitu
menegangkan, sehingga lagi-lagi aku tidak sempat memikirkan Baby-
sitters Club. Peristiwa itu merupakan pengalamanku yang paling
menakutkan selama aku bertugas sebagai baby-sitter. Di awal minggu,
Bu Prezzioso telah memberitahuku bahwa dia akan memerlukan
seorang baby-sitter untuk Jenny pada Sabtu siang sampai sore.
Walaupun keluarga Prezzioso agak aneh, aku menyukai Jenny. Karena
itulah aku memutuskan untuk mengerjakan tugas itu.
Aku tiba di rumah keluarga Prezzioso tepat jam setengah dua
belas. Aku memencet bel di teras depan.Beberapa saat kemudian aku mendengar suara kaki-kaki kecil
berlari ke arah pintu. Kemudian aku mendengar kunci pintu diputar.
"Tunggu dulu, Jenny!" aku memanggil. "Tanyakan dulu siapa di luar."
"Oh, yeah," aku mendengarnya berkata. "Siapa di luar?"
"Aku, Mary Anne Spier, baby-sitter-mu."
"Apakah aku kenal kamu?"
Aku menarik napas panjang. "Aku Mary Anne. Kamu sudah
mengenalku."
Pintu terbuka.
"Hai, Mary Anne," ujar Jenny. Hari itu dia memakai baju biru
muda, dengan kerah dan manset putih. Ikat pinggangnya juga putih.
Begitu juga sepatu dan pita rambutnya. Tiba-tiba aku mendapat firasat
bahwa aku bakal menemui banyak kesulitan.
Bu Prezzioso muncul di belakang putrinya. "Nah," dia mulai
berkata, sambil mengusap-usap gaun suteranya yang sebenarnya tidak
kusut sama sekali. "Pak Prezzioso dan saya akan pergi ke Chatham
untuk menyaksikan pertandingan bola basket." (Bu Prezzioso
memakai gaun sutera hitam untuk nonton pertandingan bola basket?)
"Tim alumni universitas suami saya akan berhadapan dengan musuh
bebuyutan mereka. Kalau tidak salah, pertandingan itu merupakan
bagian dari kejuaraan yang sangat penting. Suami saya merasa
berkewajiban untuk hadir. Karena itulah kami akan pergi ke sana,
bertemu beberapa teman lama, menyaksikan pertandingan, lalu makan
malam agak awal. Kami akan pulang paling lambat jam tujuh.
"Sebenarnya saya agak gelisah, karena kepergian kami kali ini
agak jauh," tambahnya. (Chatham terletak di sebelah utaraStoneybrook, dan perjalanan ke sana memakan waktu sekitar satu
jam.)
"Saya yakin semuanya akan baik-baik saja," ujarku.
"Mudah-mudahan. Saya telah meninggalkan beberapa nomor
telepon penting?nomor telepon dokter langganan Jenny, nomor
telepon gelanggang olahraga tempat pertandingan bola basket berlang-
sung, nomor telepon tetangga-tetangga kami, dan nomor-nomor
telepon penting yang biasa."
"Oke," kataku. Aku menyadari bahwa Jenny agak pendiam hari
itu. Dalam hati aku bertanya-tanya apakah dia sedang merahasiakan
sesuatu.
Tapi aku tidak punya banyak waktu untuk memikirkannya,
sebab tepat pada saat itu Pak Prezzioso berlari-lari menuruni tangga.
Dia memakai blue jeans dan T-shirt bergaris-garis. Aku berani
menjamin bahwa dia dan istrinya pasti sudah berselisih pendapat
tentang pakaian yang dikenakannya itu. Mungkin itulah yang
menyebabkan Jenny menjadi begitu pendiam.
Aku menoleh ke arah gadis cilik itu. Dia sedang duduk di kursi
malas di ruang duduk. Kakinya terjulur ke depan. Dengan lesu dia
menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi. Kelihatannya dia
sedang mendengarkan percakapan antara ibunya dan aku.
Aku memperhatikan bahwa Bu Prezzioso kali ini tidak berdiri
di sebelah suaminya untuk menanyakan pendapatku mengenai
penampilan mereka. Sebenarnya, aku tidak menyalahkan Pak
Prezzioso karena berpakaian santai seperti itu. Tapi aku
menyayangkan kalau pakaiannya itu telah menyulut pertengkaran,
yang kemudian membuat anak gadis mereka menjadi sedih.Akhirnya, setelah memberikan segudang petunjuk dan larangan,
suami-istri Prezzioso berangkat ke Chatham. Jenny bahkan tidak
berminat untuk melambaikan tangan pada orangtuanya.
"Nah," aku berkata padanya, "apa yang ingin kamu kerjakan
hari ini? Kita punya waktu sepanjang siang dan sore untuk bermain,
lho."
Jenny menjulurkan bibir bawahnya. "Tidak ada."
"Kamu tidak mau mengerjakan apa-apa?"
Dia menyilangkan lengannya. "Tidak."
"Hei, ayolah. Di luar tidak dingin, kok. Bagaimana kalau kita
ajak Claire Pike bermain bersama-sama?"
"TIDAK-TIDAK-TIDAK-TIDAK-TIDAK!"
Hebat juga dia bisa berkata sepanjang itu tanpa menarik napas.
Walaupun Jenny masih kecil, rupanya paru-parunya besar juga, lho!
"Oke, oke," aku mengalah. Rupanya firasatku tadi memang
beralasan. "Aku membawa Kid-Kit, nih," aku lalu berkata pada Jenny,
setelah terdiam beberapa saat.


Baby Sitter Club 4 Mary Anne Jadi Pahlawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tahu. Tadi aku sudah melihatnya."
Yang tidak diketahuinya adalah bahwa tidak ada lagi permainan
yang bisa membuat kotor bajunya. Buku "melukis dengan air" sudah
kutinggalkan di rumah, di atas tempat tidurku.
Aku memutuskan untuk mencoba satu hal lagi. "Apakah kamu
mau dibacakan cerita?"
Jenny mengangkat bahu. "Boleh juga."
Akhirnya. Aku bisa menarik napas lega. Aku mengambil buku
Blueberries For Sal, The Tale of Squirrel Nutkin, dan Caps For Sale
dari dalam kotak Kid-Kit. "Kamu mau yang mana?" tanyaku.Jenny mengangkat bahunya lagi.
Aku memilih Blueberries For Sal. "Sini, duduk di sebelahku."
Tanpa berkata apa-apa, Jenny berdiri, melompat ke sofa, lalu
bersandar padaku. Aku mulai membaca. Anehnya, pada waktu aku
sampai di bagian cerita yang menurutku paling menarik, Jenny malah
tidak bersuara sama sekali. Aku melirik padanya. Dia tertidur dan
napasnya agak keras.
Aneh, pikirku. Bu Prezzioso tadi memberitahuku bahwa Jenny
bangun agak siang pagi itu, jadi ada kemungkinan dia tidak mau
beristirahat siang. Tapi ternyata dia sudah tertidur pada jam dua belas
siang.
Aku berdiri, lalu membaringkan Jenny di sofa. Baru saat itu
kusadari bahwa suhu badannya sangat tinggi. Langsung saja aku
tempelkan telapak tanganku di dahinya.
Ternyata panas sekali.
Aku mengguncang-guncang badannya dengan lembut. "Jenny!
Jenny!"
"Mmphh," dia bergumam tak jelas. Dia menggeliat sedikit, tapi
tidak membuka matanya.
Jantungku berdebar-debar. Aku menyerbu menaiki tangga,
kemudian menuju kamar mandi orangtua Jenny di kamar tidur
mereka. Dengan gelisah aku memeriksa isi lemari obat. Setelah
menemukan termometer aku langsung berlari kembali ke lantai
bawah.
Walaupun Jenny masih tertidur, aku menyelipkan termometer
itu ke bawah lidahnya. Selama kurang-lebih tiga menit aku duduk
membisu di samping Jenny. Kemudian aku mencabut termometer itu,dan memutar-mutarnya sampai aku bisa melihat ketinggian air raksa
di dalamnya.
Astaga, empat puluh derajat Celcius!
Empat puluh derajat! Aku belum pernah mengalami demam
setinggi itu.
Aku mulai memutar pesawat telepon.
Pertama-tama aku menelepon dokter Jenny, tapi ternyata dia
tidak sempat berbicara denganku. Dengan nada bosan petugas
penerima teleponnya mengatakan bahwa dokter akan menelepon
kembali secepat mungkin.
Secepat mungkin? Itu bisa berarti lima menit, setengah jam,
atau bahkan lebih dari satu jam. Aku tidak berani mengambil risiko.
Karena itu aku memutar nomor telepon keluarga Pike. Tidak ada yang
menjawab.
Aku menelepon tetangga-tetangga yang lain. Tapi ternyata
mereka pun tidak menyahut.
Dalam keadaan kalang-kabut aku menelepon ayahku, walaupun
aku tahu dia sedang keluar untuk berbelanja. Tidak ada jawaban.
Aduh, apa yang harus kulakukan? Aku tidak berani menelepon
para anggota Baby-sitters Club yang lain. Akhirnya aku memutuskan
untuk menelepon Dawn.
"Aku akan ke sana," dia berjanji padaku.
Sementara menunggu dia, aku menelepon gelanggang olahraga
di Chatham. Aku tahu suami-istri Prezzioso masih dalam perjalanan.
Karena itu, aku meninggalkan pesan pada operator telepon. Aku
menegaskan bahwa ini adalah keadaan darurat, lalu minta agar
pesanku diumumkan lewat pengeras suara. Dengan demikian suami-istri Prezzioso bisa segera menelepon ke rumah, begitu mereka tiba di
tempat pertandingan.
Waktu Dawn datang, aku mengajaknya melihat Jenny yang
tertidur di sofa. Kemudian aku menjelaskan apa saja yang telah
kulakukan.
"Dan dokternya belum menelepon kembali?" Dawn bertanya.
Aku menggelengkan kepala. "Sebenarnya, kita bisa saja
memanggil ambulans. Tapi Jenny kan cuma demam. Maksudku, dia
tidak patah kaki atau semacam itu."
"Memang, sih," ujar Dawn. "Kalau ibuku ada di rumah, dia
pasti mau mengantarkan kita naik mobil ke bagian gawat darurat di
rumah sakit. Tapi dia sedang pergi ke Washington Mall dengan
adikku. Hei, coba telepon sembilan satu satu. Barangkali petugas di
sana bisa membantu kita. Setidak-tidaknya, kita bisa menanyakan
apakah kita perlu memanggil ambulans atau tidak."
"Oke," aku setuju.
Dawn duduk menunggui Jenny sementara aku menelepon.
Seorang pria menjawab teleponku. Suaranya tenang dan
menyenangkan.
"Hai," kataku. "Saya sedang menjaga anak berumur tiga tahun,
dan sekarang dia sedang tidur. Tapi ternyata dia demam. Suhu
badannya empat puluh derajat Celcius. Dan," dengan terburu-buru aku
melanjutkan, "saya tidak dapat menghubungi orangtuanya, atau ayah
saya, atau tetangga-tetangga, dan saya sudah menelepon dokternya,
tapi tidak dapat berbicara langsung dengannya, dan sampai sekarang
dokter belum menelepon kembali dan saya sangat cemas.""Baiklah. Sekarang coba tenangkan dirimu dulu," pria itu
berkata. "Anak-anak kecil memang sering mengalami demam. Itu
mungkin hanya tanda bahwa ada infeksi di salah satu bagian
tubuhnya. Malahan kadang-kadang tidak serius sama sekali. Tapi yang
jelas, suhu empat puluh derajat cukup tinggi, dan dia harus segera
diperiksa dokter. Saya rasa, cara terbaik adalah membawanya ke
bagian gawat darurat di rumah sakit."
"Saya baru dua belas tahun," ujarku. "Saya tidak dapat
mengendarai mobil."
"Dan kamu sudah mencoba menghubungi tetangga-tetangga?"
"Ya, beberapa dari mereka. Dan juga ayah saya."
"Kalau begitu, saya akan mengirim ambulans ke sana."
"Betul?" tanyaku dengan gembira.
"Tolong sebutkan alamatnya."
Aku langsung memberitahukan alamat keluarga Prezzioso pada
petugas itu. Kemudian dia memberi petunjuk agar aku segera
menyiapkan Jenny untuk meninggalkan rumah. Dia juga mengatakan
agar aku tetap memasang kompres di kepalanya sampai ambulans
datang. Aku mengucapkan terima kasih padanya, lalu meletakkan
gagang telepon.
"Oke, Dawn," kataku sambil berlari masuk ke ruang duduk.
"Sebentar lagi ambulans akan datang ke sini. Aku telah berbicara
dengan seorang petugas, dan dia mengatakan agar Jenny disiapkan
untuk pergi. Tapi kepalanya harus tetap dikompres sampai ambulans
datang."
"Aku akan membuat kompresnya, kamu mengambil baju
hangatnya," ujar Dawn.Dawn menyerbu masuk ke dapur, sementara aku mencari baju
hangat dan sarung tangan buat Jenny di dalam lemari di ruang depan.
Tapi barang-barang itu hanya kusiapkan di sebelah Jenny, tidak
kupakaikan padanya, sebab aku tidak ingin dia merasa lebih panas
lagi.
Dawn datang dengan membawa lap piring yang telah
dicelupkan ke dalam air. Langsung saja aku memasang kompres itu di
dahi Jenny. "Oh, ya," ujarku. "Di dapur dekat pesawat telepon ada
nomor telepon Gelanggang Olahraga Lewiston di Chatham. Tolong
telepon ke sana, dan tinggalkan pesan agar suami-istri Prezzioso
segera kembali begitu mereka sampai di gelanggang olahraga itu.
Katakan juga agar mereka langsung menuju bagian gawat darurat di
rumah sakit. Aku tadi cuma meninggalkan pesan agar mereka segera
menelepon ke rumah. Padahal kita kan mau pergi ke rumah sakit.
Mereka pasti tambah panik kalau ternyata tidak ada yang mengangkat
telepon."
"Oke." Dawn segera masuk ke dapur dan menyambar gagang
telepon. Setelah meninggalkan pesan untuk orangtua Jenny, dia
kembali dan berdiri di depan jendela sambil melihat ke jalanan di
depan rumah. "Coba bangunkan Jenny," katanya beberapa saat
kemudian. "Ambulans sudah datang."
"Oke... Ayolah, Jenny-Bunny," kataku. Aku mengguncang-
guncang bahunya, lalu menariknya sampai terduduk. Dengan lemas,
dia jatuh ke samping?persis seperti boneka yang terbuat dari kain.
"Waktu tidur sudah habis. Bangun, dong."
Jenny membuka matanya sedikit. "Tidak mau," katanya dengan
mengantuk."Sori, Jenny. Aku tahu kamu sedang tidak enak badan, jadi
kamu harus diperiksa dokter."
Kata-kataku itu membangunkannya?sedikit. "Dokter?" dia
mengulangi.
"Yap. Dokter akan membuatmu merasa lebih sehat. Ayolah, aku
ingin membantumu memakai baju hangat ini."
Jenny membiarkanku memakaikan baju hangat dan sarung
tangan, sementara Dawn membukakan pintu untuk para petugas
ambulans. Mereka mengeluarkan sebuah tandu dari dalam mobil, lalu
menggotongnya ke dalam melalui pintu depan.
"Siapa yang sakit? Anak perempuan itu?" tanya seorang pria
sambil menunjuk ke arah Jenny.
"Ya," sahutku, "dan demamnya sangat tinggi, tapi dia tidak
terluka. Saya rasa tidak perlu tandu untuk membawanya."
Mereka sependapat. Salah seorang-petugas mengangkat Jenny
dengan hati-hati, lalu menggendongnya ke ambulans. Aku berlari
mengiringi mereka. "Tolong kunci pintu depan!" aku berteriak sambil
menoleh ke arah Dawn, yang baru keluar dari pintu sambil membawa
jaket-jaket kami.
Para petugas sudah membaringkan Jenny di dalam ambulans.
Dia masih tetap mengantuk. Aku duduk di belakang untuk menemani
Jenny, sedangkan Dawn duduk di depan, di sebelah sopir. Baru kali
ini aku naik ambulans, tapi aku tidak sempat merasa ngeri, sebab aku
terlalu cemas memikirkan Jenny.
Sesaat setelah ambulans melesat (dengan kecepatan tinggi, tapi
tanpa menyalakan sirene atau lampu darurat) salah seorang petugas
ambulans mengukur suhu badan Jenny (tetap 40 derajat). Petugas itujuga memeriksa denyut nadi dan tekanan darah Jenny, mendengarkan
detak jantungnya, dan memeriksa telinganya. Dia terus berbicara
dengan Jenny, dan mengajukan berbagai macam pertanyaan. Aku
mengamatinya dengan bingung.
"Saya cuma berusaha agar dia tetap terjaga," dia berkata
padaku.
Aku mengangguk.
Kami tiba di Stoneybrook General Hospital dan langsung
menuju pintu masuk bagian gawat darurat. Salah seorang petugas
ambulans membawa Jenny masuk. Dawn dan aku mengikuti mereka.
Si petugas melapor pada seorang juru rawat, yang kemudian
mengantarkan kami ke ruang pemeriksaan berukuran kecil, yang
hanya dibatasi oleh tirai. Setelah itu si petugas ambulans pergi. "Saya
perlu beberapa keterangan tentang anak ini," ujar juru rawat yang
mengantarkan kami. Dia meraih bolpen dan papan penjepit kertas, lalu
mulai mengajukan berbagai pertanyaan tentang Jenny. Aku berusaha
menjawab sedapat mungkin. Akhirnya aku berkata padanya, "Sebentar
lagi orangtua Jenny sudah datang. Mereka pasti bisa menjawab semua
pertanyaan yang tidak bisa saya jawab."
Si juru rawat mengangguk. "Teman kalian ini akan segera
diperiksa dokter," ujarnya. Kemudian dia menarik tirai dan bergegas
meninggalkan kami menuju lorong. Beberapa saat setelah itu, dia
kembali dengan sebuah kompres dingin, lalu menghilang lagi.
Dawn dan aku berpandangan. "Sekarang bagaimana?" tanya
Dawn.
"Sekarang kita cuma bisa menunggu." Aku membetulkan letak
kompres di dahi Jenny. "Bagaimana rasanya sekarang?" tanyakupadanya. Dia kelihatan mulai bereaksi, tapi demamnya masih tetap
tinggi.
"Panas," sahutnya. "Dan tenggorokanku sakit. Juga kepalaku."
"Waduh," ujarku. "Kamu pasti tersiksa sekali. Tapi jangan
takut, dokter sebentar lagi akan datang. Dia akan membantumu, dan
membuat kamu merasa lebih enak."
"Lihat apa yang kubawa," Dawn angkat bicara.
"Hei, itu siapa?" tanya Jenny. Baru sekarang dia sadar bahwa
ada orang lain di dekatnya.
"Itu temanku. Namanya Dawn, Dawn Schafer."
"Hai, Jenny," ujar Dawn.
"Hai... Apa yang kamu bawa?"
"Ini." Dawn memperlihatkan buku Blueberries For Sal.
"Oh, asyik," sahut Jenny dengan suara lemah.
Aku mulai membacakan buku itu. Kami sudah membaca
setengah buku, ketika seorang dokter menyembulkan kepala melalui
tirai. Ternyata seorang dokter wanita.
"Jenny Prezzioso?" tanyanya.
"Itu Jenny," aku berkata sambil menunjuk. "Nama saya Mary
Anne Spier. Saya baby-sitter-nya."
"Coba saya periksa sebentar, ya?"
Dokter itu memeriksa Jenny dengan hati-hati.
"Sepertinya dia terkena radang tenggorokan," si dokter berkata
setelah beberapa saat. "Saya akan mengambil darahnya dan sedikit
lendir dari tenggorokannya untuk memastikannya, tapi saya pikir
penyakitnya tidak akan lebih parah dari itu... Di mana orangtuanya?"Aku menjelaskan duduk perkaranya. Kemudian aku melihat
arlojiku. "Kalau orang-orang di gelanggang olahraga segera
memberitahu mereka, mereka akan sampai di rumah sakit sekitar
setengah jam sampai empat puluh lima menit lagi."
Dokter mengangguk. "Nah, Jenny boleh tinggal di sini sampai
orangtuanya datang. Sementara kami mengadakan beberapa tes,
seorang perawat akan saya suruh kemari untuk menurunkan
demamnya. Tapi saya ingin berbicara dengan suami-istri Prezzioso
sebelum Jenny meninggalkan rumah sakit."
"Oke," sahutku.
Seorang perawat masuk. Dia mengambil darah Jenny, yang
membuatnya menangis, lalu mengambil contoh lendir di
tenggorokannya, yang membuat Jenny terbatuk-batuk. Tapi waktu
perawat itu mulai mengusap-usap kulit Jenny dengan alkohol, Jenny
berkata, "Oh, rasanya enak."
Suhu badannya turun hampir satu derajat.
Pada saat Pak dan Bu Prezzioso tiba di rumah sakit, Jenny
sudah mulai bisa ngambek. Menurutku, itu pertanda keadaannya
sudah membaik.Bab 12
BU PREZZIOSO hampir histeris. Setengah berlari dia menuju
ruang tempat Jenny dirawat, di bagian gawat darurat. Sambil terisak-
isak, dia memeluk anaknya, lalu menekan wajah Jenny ke gaun
pestanya. "Oh, anakku!" serunya. "Bidadariku, bagaimana
keadaanmu?"
"Sudah agak baikan, Mi," Jenny berkata. "Enak dan dingin
rasanya."
Suhu badannya masih tiga puluh delapan koma tiga derajat.
Aku cuma bisa menebak-nebak, bagaimana rasanya waktu panas
badannya mencapai empat puluh derajat.
Dokter sudah kembali. Dengan sikap tenang, dia berbicara pada
kedua orangtua Jenny dan meyakinkan mereka bahwa kondisi Jenny
sudah membaik. "Saya akan memberikan resep dan menjadwalkan
untuk bertemu lagi dengan Jenny pada hari Senin," tambahnya. "Dan
saya minta agar Bapak atau Ibu bersedia mengisi beberapa formulir."
"Kamu saja yang melakukannya, Sayang," Pak Prezzioso


Baby Sitter Club 4 Mary Anne Jadi Pahlawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata pada istrinya, "sementara aku mengantar Mary Anne dan
Dawn pulang ke rumah mereka. Aku akan cepat kembali untuk
menjemputmu dan bidadari kita."Bu Prezzioso mengangguk. Dawn dan aku mengucapkan
"Sampai jumpa" pada si bidadari dan ibunya. Kemudian kami berjalan
ke luar, dan mengikuti Pak Prezzioso ke mobilnya.
"Sebenarnya, kami perlu mampir sebentar ke rumah Bapak,"
aku berkata pada Pak Prezzioso. "Ada barang saya yang masih
tertinggal di sana. Dan sepeda Dawn juga masih di sana."
"Baiklah," sahutnya.
Dalam perjalanan ke sana, Pak Prezzioso terus-menerus berkata
pada Dawn dan aku, bahwa dia sangat mengagumi cara kerja kami.
Dan dia sangat bangga pada kami berdua.
"Saya harap Bapak tidak keberatan karena saya telah minta
tolong seorang teman," kataku dengan waswas. "Saya betul-betul
memerlukan bantuan, sedangkan saya tidak dapat menghubungi para
tetangga atau ayah saya."
"Atau ibu saya," tambah Dawn.
"Itu tidak jadi masalah," ujar Pak Prezzioso. "Menurut saya,
kalian telah mengambil tindakan yang tepat. Saya bersyukur kalian
sempat teringat untuk meninggalkan pesan di gelanggang olahraga.
Begitu menerima telepon dari kalian, petugas di gelanggang langsung
mulai memanggil-manggil nama kami melalui pengeras suara. Hal itu
terus mereka lakukan sampai kami tiba di gelanggang. Jadi yang
pertama kami dengar ketika memasuki gelanggang olahraga adalah
nama kami sendiri. Bagaimana caranya kalian membawa Jenny ke
rumah sakit?"
"Saya menelepon nomor sembilan satu satu, lalu menceritakan
masalah Jenny pada petugas yang menerima telepon. Saya juga
mengatakan bahwa kami tidak dapat menghubungi siapa pun untukmengantar Jenny ke rumah sakit. Petugas itulah yang kemudian
mengirim ambulans... Oh, dokter Jenny mungkin akan menelepon
kembali hari ini. Dialah orang pertama yang saya hubungi, dan saya
meninggalkan pesan pada petugas penerima teleponnya. Dia belum
menelepon kembali sampai kami pergi ke rumah sakit."
Sekali lagi Pak Prezzioso tampak terkesan. "Kami sangat
berterima kasih padamu, Mary Anne," ujarnya. "Juga padamu, Dawn.
Saya dan istri saya akan selalu merasa tenang, kalau Jenny berada di
tangan kalian yang terampil."
Wow, pikirku. Tangan kami yang terampil. Pujian itu sangat
berarti bagiku.
Setelah Dawn mengambil sepedanya dari garasi keluarga
Prezzioso, dan aku mengambil kotak Kid- Kit di ruang duduk, Pak
Prezzioso mengeluarkan dua lembar uang sepuluh dolar dari
dompetnya? masing-masing selembar untuk Dawn dan aku. "Ini
sebagai tanda penghargaan kami terhadap tanggung jawab yang telah
kalian tunjukkan hari ini," ujarnya.
"Terima kasih!" seruku. "Terima kasih banyak!"
"Yeah," tambah Dawn. "Tapi sebenarnya Bapak tidak perlu
membayar saya."
"Memang," sahut Pak Prezzioso, "tapi kamu berhak
mendapatkannya." Kemudian dia menjalankan mobilnya kembali ke
rumah sakit.
"Kamu mau mampir sebentar di rumahku?" tanyaku pada
Dawn. Langit telah berubah menjadi mendung, dan hujan rintik-rintik
mulai turun. Aku pikir kami bisa menghabiskan siang ini dengan
bersantai di kamarku. Aku telah menemukan dua album foto di ruangkerja Papa. Dan dengan susah payah aku telah berhasil menahan diri
untuk tidak melihatnya dulu. Aku ingin menikmatinya bersama Dawn.
"Boleh juga," sahut Dawn. "Tapi tolong ingatkan aku untuk
menelepon ibuku. Aku perlu memberitahukan padanya bahwa aku ada
di rumahmu."
Dawn mengendarai sepedanya pelan-pelan menuju rumahku,
sementara aku berjalan di sebelahnya. Dawn dan aku masuk ke ruang
depan, lalu aku memanggil-manggil Papa. Tapi ternyata dia belum
pulang. Kemudian Dawn menelepon ibunya, yang juga belum pulang
ke rumahnya. Dia meninggalkan pesan pada mesin penerima telepon
otomatis di rumahnya.
"Kamu lapar?" tanyaku. Setelah peristiwa yang menegangkan
itu lewat, baru kusadari betapa laparnya aku.
"Sangat lapar," sahut Dawn.
Kami membuat sandwich dan memakannya di dapur, sambil
membicarakan pengalaman kami tadi. "Bu Prezzioso agak aneh, ya?"
kataku. "Kamu lihat tidak, gaun sutera hitam yang dipakainya tadi?
Dia memakai gaun seperti itu untuk nonton pertandingan bola basket!"
"Dan dia menyebut Jenny bidadarinya."
Aku ketawa cekikikan. "Yeah. Pak Prezzioso juga
memanggilnya begitu. Tapi aku menyukai dia."
"Dia murah hati, ya," tambah Dawn. "Coba pikir... kita masing-
masing mendapat sepuluh dolar."
Waktu kami selesai makan siang, aku berkata, "Yuk, kita naik.
Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu."
Kami berlari menaiki tangga menuju kamarku. Dengan penuh
gaya, aku menarik dua album foto dari bawah tempat tidurku. "Kitabelum pernah melihat yang ini," aku berkata pada Dawn. "Aku tidak
tahu apa yang ada di dalamnya, tapi ada kemungkinan kita akan
menemukan foto-foto perpisahan sekolah."
"Yeah!"
Kami duduk bersebelahan di atas tempat tidurku, lalu membuka
satu dari kedua album foto yang berat itu. Karena besarnya, album itu
harus digelar di atas pangkuan kami berdua.
"Foto-foto ini tampak tua," Dawn berkata.
"Yeah, memang," aku sependapat. Warnanya sudah kekuning-
kuningan karena dimakan waktu. Tidak ada satu pun wajah yang kami
kenal. "Aku tidak mengenal satu pun dari antara orang-orang ini,"
ujarku.
"Jangan-jangan... Wah, ini menggelikan sekali. Bagaimana
kalau album foto ini ternyata sama sekali bukan kepunyaan
keluargamu? Bagaimana kalau album foto ini tertukar dengan album
foto keluarga lain? Misalnya saja dengan keluarga Joe Schmoe. Itu
berarti bahwa kita sudah membuang-buang waktu untuk mencari foto-
foto orangtua kita di antara foto-foto keluarga Schmoe."
Aku mengangkat kepala dan tertawa mendengar lelucon Dawn.
Pada saat aku menunduk kembali, aku melihat lurus ke depan?ke
luar jendela kamarku, tepat ke kamar Kristy.
Kristy sedang menatap ke arah kami.
Karena hari agak mendung, aku telah menghidupkan lampu
kamar. Dan karena kamarku terang, Kristy dapat melihat dengan jelas
bahwa Dawn dan aku sedang duduk bersebelahan di atas tempat
tidurku sambil tertawa-tawa.Kristy kelihatan sangat marah. (Bagus, itu artinya dia cemburu.)
Tapi dia juga kelihatan... sakit hati? Atau merasa dikhianati? Aku
tidak tahu. Mungkin aku jahat, ya, tapi aku kok merasa berada di
pihak yang menang. Aku telah memberi pelajaran pada Kristy. Aku
bukan lagi Mary Anne yang dulu, yang selalu bergantung padanya
untuk mendapatkan teman, dan selalu setuju pada apa yang
dikatakannya ataupun dilakukannya. Sekarang aku bisa mengurus diri
sendiri. Aku bisa mencari teman sendiri.
Untuk lebih memastikan bahwa Kristy menangkap maksudku,
aku sengaja melingkarkan lenganku di bahu Dawn. Kemudian aku
menjulurkan lidah ke arah Kristy.
Kristy membalas dan menjulurkan lidahnya ke arahku.
Dawn mengangkat kepalanya dari album foto, tepat ketika aku
menjulurkan lidahku. "Mary Anne, apa...," dia mulai berkata. Lalu dia
mengikuti arah pandanganku, ke luar jendela kamarku lalu
menyeberang ke jendela kamar Kristy.
Dia melihat padaku, lalu pada Kristy, kemudian kembali lagi
padaku. "Siapa dia, dan apa yang sedang kamu lakukan?" dia bertanya
padaku.
Kristy membelalakkan matanya ke arah kami, kemudian dia
menutup tirai jendelanya.
"Ada apa, sih?" Dawn ingin tahu. "Rasanya aku kenal cewek
itu. Aku sering melihatnya di sekolah. Betul, kan?"
"Oh, itu cuma Kristy Thomas. Dia bukan apa-apaku, kok."
Dawn kelihatan ragu-ragu. "Kalau dia bukan apa-apamu,
kenapa kalian harus repot-repot saling menjulurkan lidah?"Aku menarik napas panjang. Tapi sebelum aku sempat
mengatakan sesuatu, Dawn melanjutkan, "Dan kenapa kamu
melingkarkan lengan di bahuku tadi? Kamu sengaja melakukan itu
agar Kristy melihatnya, ya?"
"Begini," aku memulai, "sebenarnya Kristy dan aku pernah
bersahabat." (Cepat atau lambat aku toh harus berterus terang juga.)
"Tapi sekarang kalian sedang bertengkar, kan?" tanya Dawn.
Dia meletakkan album foto ke atas tempat tidur, lalu berdiri.
"Ya...."
"Mary Anne, pada hari pertama kita bertemu? ketika kita
makan siang di kantin sekolah?kamu bilang padaku bahwa kamu
duduk sendirian, karena teman-temanmu sedang tidak masuk sekolah.
Apakah Kristy salah satu dari mereka?"
"Yeah...."
"Dan setelah itu kamu selalu mengatakan bahwa teman-
temanmu masih juga belum masuk," Dawn melanjutkan sambil
berpikir keras. "Sebenarnya aku sudah mulai curiga. Tapi karena aku
sangat membutuhkan teman, aku berusaha untuk tidak memikirkan
teman-temanmu yang lain. Kenapa kamu bilang mereka tidak masuk
sekolah?"
"Yah, sebenarnya kami habis bertengkar dengan sengit,
sehingga kami tidak saling bicara...." aku mengakui.
Dawn menganggukkan kepalanya. Ekspresi wajahnya
menunjukkan bahwa dia muak terhadapku. "Jadi kamu sudah
berbohong padaku," ujarnya.
"Begitulah," aku menjawab dengan kikuk."Sejak hari pertama persahabatan kita, ternyata kamu sudah
berbohong padaku."
Aku tidak tahu harus berkata apa.
"Menyembunyikan kebenaran dari orang lain," Dawn
melanjutkan, "sama buruknya dengan berbohong. Dan selama kita
bersahabat kamu terus-terusan membohongiku. Kamu tahu itu?"
"Hei, bukan begitu maksudku!" aku berseru, sambil melompat
berdiri.
"Kenapa aku harus repot-repot percaya padamu? Kata-kata itu
keluar dari mulut seorang pembohong. Aku akan mengatakan padamu
apa yang aku yakini. Aku yakin kamu hanya memperalat aku, karena
kamu membutuhkan seorang teman baru... Jangan, jangan berkata
apa-apa, Mary Anne," dia cepat-cepat melanjutkan ketika aku mulai
membuka mulut untuk protes. "Sekarang semuanya sudah gamblang.
Sampai ketemu lagi." Dawn berderap menuruni tangga.
Aku melompat dan berlari mengejarnya. "Hati-hati menuruni
tangga," kataku dengan sinis. "Semoga perjalananmu mengesankan."
"Semoga hidupmu mengesankan," Dawn berteriak sambil
menoleh ke belakang. Dia keluar sendiri melalui pintu depan. Aku
kembali berlari ke kamarku dan berdiri di depan jendela yang
menghadap ke jalan di depan rumahku.
Aku mengawasi sahabatku yang terakhir tergesa-gesa
mengayuh sepedanya meninggalkan rumahku.
Setelah itu aku merebahkan diriku di atas tempat tidur dan
menangis sejadi-jadinya.Bab 13
AKU menghabiskan sore itu dengan bermuram durja di
kamarku. Papa menelepon untuk mengatakan bahwa dia mampir ke
kantornya, dan bahwa dia tidak akan pulang sebelum jam enam. Dia
minta tolong padaku untuk menyiapkan makan malam kami.
Aku mengerjakan tugas itu tanpa semangat sama sekali.
Ketika Papa pulang, kami bersama-sama menyantap makan
malam kami: hamburger, kacang polong, dan kentang goreng. Papa
berusaha keras untuk menjalin percakapan denganku, tapi aku tidak
kepingin bicara dengan siapa pun. Kami berdua merasa lega sekali
ketika telepon berdering.
"Biar Papa yang angkat," ujar Papa. "Papa rasa itu telepon dari
seorang klien." Dia menggapai-gapai ke belakangnya, lalu
mengangkat gagang telepon. "Halo, Richard Spier.... Maaf? Antibiotik
apa? ... Oh, betulkah? ... Tidak. Tidak, dia tidak... Wah, saya merasa
tersanjung mendengarnya. Ya, saya juga bangga padanya.... Saya akan
menyampaikan kabar baik ini padanya." Papa menatapku sambil
mengangkat alisnya.
"Apa?" tanyaku tanpa suara.Dia menggelengkan kepalanya. Maksudnya, nanti Papa
beritahu. "Ya, pasti," ujarnya. "Baiklah.... Terima kasih banyak.
Sampai bertemu."
Papa meletakkan gagang telepon. Dia kelihatan agak bingung.
"Mary Anne?" dia bertanya. "Apakah hari ini ada kejadian yang...
yang tidak biasa?"
Karena aku masih sangat sedih akibat pertengkaranku dengan
Dawn (itu kejadian yang tidak biasa), maka hanya hal itulah yang
langsung terpikir olehku. Tapi bagaimana sampai Papa mendengar
tentang kejadian itu? Pasti bukan Bu Schafer yang menelepon tadi,
karena Papa berkata bahwa dia sangat bangga padaku. (Kalau
memang betul aku yang dimaksudnya.)
Tiba-tiba aku teringat pada Jenny Prezzioso. Perjalanan ke
rumah sakit rasanya sudah terjadi berabad-abad yang lalu. "Oh, ya
ampun!" aku berseru. "Bagaimana mungkin aku sampai lupa
menceritakannya pada Papa? Ya, aku... Siapa tadi yang menelepon?"
"Bu Prezzioso. Dia menelepon untuk mengatakan pada Papa
bahwa mereka sangat terkesan dengan sikap dewasa dan tanggung
jawab yang kautunjukkan hari ini. Dan dia juga ingin memberitahukan
padamu bahwa Jenny memang sakit radang tenggorokan, tapi
sekarang keadaannya sudah jauh lebih baik. Papa tadi agak tidak enak
untuk mengakui bahwa Papa belum tahu apa-apa tentang apa yang
dikatakan Bu Prezzioso. Sekarang pun Papa masih belum mendapat
gambaran yang jelas tentang kejadian itu. Bu Prezzioso berbicara
sangat cepat. Dia terus-menerus menyebut-nyebut seorang bidadari."Aku tersenyum. "Yang dimaksud adalah Jenny. Pak dan Bu
Prezzioso biasa memanggil anak mereka itu dengan sebutan bidadari
kecil."
"Nah, sekarang ceritakan pada Papa apa yang telah terjadi tadi.
Sepertinya pengalamanmu hari ini cukup menegangkan."
"Kalau dipikir-pikir memang begitu. Tapi tadi siang aku begitu
cemas mengenai Jenny, sehingga aku tidak sempat merasa tegang
ataupun takut. Begini ceritanya: Tadi siang kan aku bertugas menjaga
Jenny Prezzioso. Waktu aku sampai di rumah keluarga Prezzioso, aku
langsung menyadari bahwa Jenny kelihatan agak lesu dan pendiam.
Mula-mula aku tidak terlalu ambil pusing. Tapi semakin lama dia
semakin lesu, dan akhirnya dia jatuh tertidur ketika aku sedang
membacakan sebuah buku. Pada saat itulah aku menyadari bahwa
Jenny sedang demam. Cepat-cepat aku mengambil termometer untuk
mengukur suhu badannya. Dan ternyata suhu badannya mencapai
empat puluh derajat Celcius!"
"Empat puluh derajat!"
"Ya, aku sendiri juga kaget sekali. Aku langsung menghubungi
dokter, tapi yang menyahut hanyalah petugas penerima teleponnya.
Kemudian aku mulai menghubungi para tetangga, soalnya aku harus
mendapatkan seseorang yang bisa mengantarkan kami ke dokter atau
ke rumah sakit. Tapi ternyata tak seorang pun berada di rumah..."
"Termasuk Papa," Papa menambahkan.
"Termasuk Papa. Dan juga ibu Dawn. Tapi Dawn datang untuk
membantuku. Dia mengusulkan agar aku menghubungi nomor telepon
sembilan satu satu. Aku melakukannya, dan aku menjelaskan masalahyang kuhadapi pada petugas yang menjawab teleponku. Dia lalu
mengirim ambulans untuk mengantar Jenny ke rumah sakit.
"Kalau kuingat-ingat kejadian tadi," aku melanjutkan, "aku
sendiri merasa heran bahwa ternyata aku bisa melakukan semua itu.


Baby Sitter Club 4 Mary Anne Jadi Pahlawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku ingat untuk menelepon ke gelanggang olahraga di Chatham,
sehingga Pak dan Bu Prezzioso bisa diberitahu untuk segera pulang;
aku ingat semua petunjuk yang diberikan si petugas melalui telepon;
dan aku juga ingat untuk mengunci pintu depan rumah keluarga
Prezzioso pada saat kami meninggalkan rumah bersama para petugas
ambulans."
Papa tersenyum padaku. "Bu Prezzioso bilang dia sangat
bangga padamu."
"Begitu juga suaminya," aku menambahkan.
"Dan juga Papa," sahut Papa.
"Betulkah?"
"Ya, Papa sangat bangga."
"Terima kasih, Pa," ujarku.
Papa mendesah tertahan.
"Ada apa, Pa?"
"Mary Anne, kamu sudah semakin besar," katanya, seakan-akan
baru menyadari hal itu. "Kamu menjadi dewasa tepat di depan mata
Papa."
"Memang, aku kan sudah dua belas tahun."
"Papa tahu. Tapi umur dua belas tahun berbeda-beda artinya
untuk setiap orang. Persis seperti pakaian. Ada model baju yang bisa
membuat seseorang kelihatan lebih cantik, atau lebih gagah. Tapi
kalau baju itu dipakai oleh orang lain, bisa saja penampilan orang itujustru menjadi jelek. Nah, umur juga seperti itu. Semuanya tergantung
pada bagaimana kamu bersikap dan bertindak."
"Maksud Papa, ada anak-anak umur dua belas tahun yang sudah
siap untuk berkencan, sementara anak-anak seumur yang lain masih
perlu dijaga baby-sitter?"
"Tepat."
"Tapi itu kan artinya ukurannya ganda, Pa."
"Tidak, malah sebaliknya. Begini contoh ukuran ganda:
Seorang gadis atau pemuda didorong-dorong untuk berkencan hanya
karena dia sudah berumur empat belas tahun. Padahal mungkin saja
dia belum cukup dewasa untuk itu. Sebaliknya anak umur tiga belas
tahun sama sekali tidak dianjurkan untuk berkencan, walaupun
sebetulnya dia sudah siap."
"Oh... Apakah aku..." Sulit sekali bagiku untuk mengajukan
pertanyaan ini. "Apakah aku sudah lebih dewasa dari apa yang
dibayangkan Papa?"
"Ya. Ya, kelihatannya begitu, Mary Anne."
"Apakah aku..." Oh, Tuhan, tolonglah agar Papa mau menjawab
ya. "...Apakah aku sudah cukup umur untuk diizinkan keluar malam
agak lebih larut kalau aku sedang bertugas sebagai baby-sitter?"
Selama beberapa saat, Papa tidak menjawab. Tapi kemudian dia
berkata, "Sebenarnya jam sepuluh terlalu malam untuk hari-hari
sekolah. Bagaimana kalau Papa mengizinkanmu keluar-sampai
setengah sepuluh pada hari-hari sekolah, dan sampai jam sepuluh pada
hari Jumat dan Sabtu?"
"Oh, Pa, itu pun sudah bagus sekali! Terima kasih banyak!"
Aku mulai berdiri untuk memeluknya, tapi kami tidak biasaberpelukan. Karena itu aku duduk kembali. Kemudian aku punya ide
bagus. "Pa, aku ingin menunjukkan sesuatu pada Papa," ujarku.
"Tunggu sebentar, ya! Aku akan segera kembali." Aku berlari ke atas,
ke kamarku, menarik karet yang mengikat kepangan rambutku,
kemudian menyikat rambutku dengan hati-hati. Di cermin aku melihat
rambutku terurai sampai ke bahu dan agak berombak, sebab pagi itu
aku mengepang rambutku ketika masih agak lembap. Setelah itu aku
berlari menuruni tangga menuju dapur, lalu berdiri di hadapan Papa.
"Bagaimana penampilanku?" aku bertanya padanya.
Aku mengamati wajah Papa berubah dari serius menjadi
lembut. "Manis sekali," akhirnya dia berkata.
"Apakah Papa setuju kalau aku menata rambutku seperti ini?
Maksudku hanya sekali-sekali saja, bukan setiap hari."
Papa mengangguk.
"Dan mungkin," aku meneruskan, sambil berharap agar aku
tidak dianggap melunjak oleh Papa, "aku bisa menurunkan gambar
Humpty Dumpty dari dinding kamarku, dan menggantinya dengan
poster yang memperlihatkan kota Paris atau New York?" Soal gambar
Elisa di Negeri Ajaib kutanyakan lain kali saja.
Sekali lagi Papa mengangguk. Kemudian dia merentangkan
kedua tangannya lebar-lebar. Aku berlari menyeberangi ruangan, lalu
melemparkan diriku ke dalam pelukannya.
"Terima kasih, Pa," aku berkata penuh haru.
Sebelum aku pergi tidur malam itu, aku menulis dua pucuk
surat. Yang satu untuk Kristy dan yang satu lagi untuk Dawn.
Keduanya berisi permintaan maaf.Bab 14
BELAKANGAN terbukti bahwa ramalan Stacey benar,
sekaligus salah. Pesta ulang tahun Jamie memang hampir menjadi
malapetaka bagi kami. Tapi di samping itu, pestanya juga
menciptakan harapan baru. Oh maaf, ceritaku sudah terlalu jauh
melompat ke depan. Sebaiknya aku mulai dari hari Senin saja. Pada
pagi hari itulah Stacey menuliskan pendapatnya di buku catatan klub.Waktu aku tiba di sekolah, yang pertama-tama kulakukan
adalah mencari Dawn. Aku menyerahkan suratku padanya, dan berdiri
di sebelahnya di lorong sementara dia membacanya. Surat itu kutulis
dengan sejujur-jujurnya. Aku menjelaskan bahwa aku sudah beberapa
kali memanfaatkan dia untuk membuat Kristy marah. Kemudian aku
menambahkan bahwa aku betul-betul suka padanya, dan bahwa aku
menganggap dia sebagai salah satu teman terbaik yang pernah
kumiliki?dengan ataupun tanpa Kristy. Setelah itu aku baru minta
maaf.
Dawn membaca suratku secara perlahan-lahan. Kemudian dia
membacanya sekali lagi. Lalu dia memelukku. Aku tahu itu berarti
pertengkaran kami sudah berakhir.
Beberapa saat kemudian aku baru menyadari bahwa Dawn
sedang menatapku. "Ada apa, sih?" tanyaku.
"Mary Anne, rambutmu... Rambutmu tidak dikepang lagi?"
Aku tersenyum lebar. "Kamu menyukainya?"
"Ya, aku suka sekali! Kamu kelihatan lebih manis kalau
rambutmu diurai seperti ini!" Dawn memutar tubuhku, sehingga dia
bisa melihatku dari setiap sisi.
"Makasih. Aku memang berniat untuk lebih sering membiarkan
rambutku terurai." Aku membuka locker-ku, menyimpan kotak makan
siang, mengambil beberapa buku yang kuperlukan, lalu membanting
pintu locker sampai tertutup. "Nah," aku melanjutkan, "aku sudah
berhasil berbaikan denganmu. Sekarang aku masih harus berbaikan
dengan Kristy." Aku mengeluarkan surat kedua yang telah kutulis
semalam. "Surat ini untuk Kristy. Aku harus memberikan surat ini
padanya sekarang juga."Aku mencari Kristy di seluruh sekolah, tapi tidak berhasil
menemukannya. Ketika bel pertama akhirnya berbunyi, aku
menyelipkan suratku ke dalam locker Kristy. Beberapa kali dalam
sehari itu aku melihat Kristy di lorong sekolah, tapi setiap kali aku
melihatnya, selalu hanya sepintas lalu saja. Aku tahu dia juga
melihatku, tapi dia tidak menunjukkan reaksi sama sekali. Tingkah
lakunya masih sama seperti pada minggu-minggu terakhir ini.
Apakah dia sudah menemukan suratku? Atau mungkin aku
telah menyelipkan suratku ke locker yang salah. Atau mungkin juga
surat itu terselip di antara buku-bukunya, sehingga dia tidak
melihatnya.
Mungkin juga dia memang masih marah padaku.
************
Pesta ulang tahun Jamie dimulai jam setengah empat sore. Aku
pergi ke sana dengan perasaan kacau balau?antara tegang dan
waswas. Pesta itu bisa berlangsung dalam suasana menyenangkan.
Tapi ada juga kemungkinan pestanya justru memperuncing
pertengkaran di antara para anggota Baby-sitters Club. Yang jelas,
semuanya akan hadir, sebab masing-masing sudah berjanji untuk
membantu Bu Newton.
Jam tiga lewat lima belas menit, aku memencet bel rumah
keluarga Newton sambil menggenggam hadiah untuk Jamie. Aku
sengaja datang lebih awal agar dapat membantu Bu Newton.
"Hi-hi!" Jamie menyapaku dengan ceria. "Hari ini aku berumur
empat tahun! Empat tahun! Nih, lihat!" Dia mengacungkan empat jari
mungil."Hai, Mary Anne," Bu Newton berseru dari dapur, setelah
Jamie mempersilakan aku masuk. "Syukurlah kamu datang lebih pagi.
Soalnya aku betul-betul butuh bantuan." Dia minta tolong padaku
untuk mengisi kue-kue ke dalam kantong-kantong plastik yang akan
dibawa pulang oleh teman-teman Jamie. Tugas berikutnya adalah
membuat punch (minuman campuran terdiri dari anggur, gula,
rempah-rempah). Pada saat aku menyelesaikan tugasku yang kedua,
teman-teman Jamie sudah berdatangan.
Ruang duduk berubah menjadi taman bermain anak-anak.
Semua anak memakai pakaian pesta. Mereka berlari-lari berkeliling
ruangan, sambil berteriak-teriak dan memekik gembira. Mereka juga
meminta Jamie untuk membuka hadiah-hadiah yang mereka bawa. Bu
Newton mengumpulkan Kristy, Claudia, Stacey, dan aku di depan
pintu dapur.
"Coba usahakan agar mereka mau duduk. Acara pertama adalah
membuka hadiah-hadiah, karena sepertinya semua anak sudah tidak
sabar menunggu. Kurasa acara itu tidak akan makan waktu lama."
Para anggota Baby-sitters Club mengangguk. Tapi semuanya
berusaha agar tidak perlu saling menatap.
Bu Newton menepuk tangannya. "Anak-anak, sekarang kita
mulai dengan acara membuka hadiah!" dia berseru.
Kristy menghampiri empat anak, kemudian menyuruh mereka
duduk di sofa. "Kalian duduk di sini," katanya pada mereka.
Stacey juga mengumpulkan empat anak, lalu menyuruh mereka
duduk di lantai di depan perapian.
Claudia mengajak beberapa anak perempuan duduk di lantai, di
dekat piano.Oh-oh, pikirku. "Bukan begitu caranya! Kumpulkan mereka di
satu tempat, dong!" aku mengatur.
Claudia, Stacey, dan Kristy langsung memelototiku.
"Di sekitar sofa saja," ujar Bu Newton.
Kristy tersenyum penuh kemenangan, karena dia sudah lebih
dulu memilih tempat itu.
Setelah Jamie membuka semua hadiahnya, Bu Newton
mengumumkan bahwa sudah waktunya untuk acara permainan
memasang buntut keledai. "Aku perlu bantuan tiga orang dari kalian.
Yang satu lagi tolong tengok Lucy di kamarnya," Bu Newton berkata.
Secara spontan, kami berempat langsung menyerbu ke tangga.
"Aku yang akan menengok Lucy," ujar Kristy.
"Tidak, aku," kata Stacey.
"Tidak, akulah yang akan melakukannya," kataku.
"Kalian tidak perlu repot-repot, soalnya aku yang akan ke
kamar Lucy!" Claudia berseru.
Kami berempat berdesak-desakan di ujung tangga. Semuanya
berusaha untuk jadi orang pertama yang bisa berlari ke kamar Lucy.
"Anak-anak!" seru Bu Newton.
Kami menoleh dengan perasaan bersalah. Bu Newton menatap
kami sambil mengerutkan kening.
"Stacey, tolong tengok Lucy di kamarnya, ya?" ujar Bu
Newton. "Yang lainnya bisa membantuku di sini."
Sekarang giliran Stacey yang tersenyum penuh kemenangan.
"Ha, ha," ujarnya dengan nada mengejek, kemudian langsung berlari
menaiki tangga.
"Dasar brengsek," Kristy menggerutu pada saat kami membalik.Bu Newton menugaskanku untuk menutup mata anak-anak
yang akan bermain dengan sehelai kain; Kristy bertugas mengarahkan
anak-anak yang telah ditutup matanya, agar mereka tidak berjalan
terlalu jauh dari gambar keledai di dinding; dan Claudia bertugas
mengawasi anak-anak yang menunggu giliran. Setelah memberikan
beberapa petunjuk, Bu Newton bergegas kembali ke dapur.
Begitu Bu Newton pergi, aku langsung menutup mata Claire
Pike. Pada saat itu aku merasa bahwa ada sesuatu yang menginjak
kakiku.
"Aduh!" seruku.
"Oh, beribu-ribu maaf!" aku mendengar sebuah suara berkata.
"Aku tidak menyangka bahwa yang kuinjak ternyata kakimu."
Aku menegakkan badan, lalu menatap Kristy sambil
menyipitkan mata. "Ya, Kristin Amanda Thomas, itu tadi kakiku," aku
menanggapinya dengan dingin. "Apakah ada yang kurang berkenan di
hatimu?"
"Ya."
"Memang sudah kuduga."
"Kakimulah yang telah menghalangi jalanku."
Aku menjulurkan lidahku ke arahnya.
Untung saja selama permainan berlangsung tidak terjadi
"kecelakaan" lagi. Bahkan semuanya berjalan dengan lancar, sampai
tiba waktunya untuk acara makan kue tart dan es krim. Bu Newton
sudah menyiapkan meja di ruang makan. Kertas krep berwarna-warni
saling silang di langit-langit, dan segerombol balon terikat di tengah-
tengahnya. Meja makan telah diatur dengan rapi, dan semua
perlengkapan menampilkan gambar teddy bear: piring-piring kertasdan gelas-gelas plastik, taplak meja, dan bahkan ada boneka-boneka
teddy bear kecil yang bisa dibawa pulang sebagai tanda mata.
Anak-anak mulai berteriak kagum pada saat mereka masuk ke
ruangan itu. Bu Newton segera membantu mereka memilih tempat
duduk. "Ayo, kalian juga ikut duduk di sini!" dia berkata pada
keempat anggota Baby-sitters Club. "Cari saja tempat yang enak, agar
kalian bisa mengedarkan makanan dan membantu anak-anak yang
membutuhkan bantuan."
Setelah sedikit sikut-sikutan dengan Claudia, akhirnya aku
duduk di sebelah Jamie, di salah satu ujung meja. Kristy duduk di
salah satu sisi panjang, dalam jarak dua kursi dari tempatku. Stacey
mengambil tempat berseberangan dengan Kristy, dan Claudia duduk
berseberangan denganku, di ujung meja yang satu lagi.
"Mary Anne, tolong bagi-bagikan punch yang kamu buat tadi,"
ujar Bu Newton ketika kami semua sudah mendapat tempat. "Aku
mau ke dapur dulu untuk mengambil kue tart."
"Beres," jawabku. Dia menyerahkan teko beling berisi jus
merah itu kepadaku, dan aku mulai berjalan mengelilingi meja untuk
membagi-bagikannya. Dengan hati-hati aku mengisi setiap cangkir
sampai setengah penuh. Waktu sampai pada Kristy, aku mengisi
cangkirnya sampai penuh?dan terus mengisinya.
"Hei, Non! Jangan melamun!" serunya.
Aku diam saja, sambil menunggu reaksi Kristy selanjutnya.
"Oh... rokku basah!" Dia melompat berdiri.
"Oh, beribu-ribu maaf. Aku tidak sengaja," ujarku.
"Tentu saja kamu sengaja! Ada yang kurang berkenan di
hatimu?""Kurang berkenan? Kurang berkenan, katamu? Ya, aku tidak
suka kalau kamu sengaja menginjak kakiku, dan sengaja tidak mau
membalas suratku."
"Surat apa?"
"Jangan pura-pura tidak tahu."
"Aku memang tidak tahu." Kristy duduk, lalu mulai mengusap-
usap roknya yang basah dengan sepotong serbet kertas.
Pada saat itu, Claudia datang sambil menggenggam serbet
kertas di tangannya. Dia melap punch yang tumpah di piring Kristy,
kemudian berjalan mengelilingi meja dan melemparkan serbet kertas
yang basah itu ke wajah Stacey.
"Hei!" Stacey langsung melompat berdiri. Wajahnya merah
padam. Dia berlari mengejar Claudia dan menempelkan serbet kertas
itu ke wajahnya.
Ruang makan menjadi gaduh. "Ma!" teriak Jamie. Dia sudah
hampir menangis.


Baby Sitter Club 4 Mary Anne Jadi Pahlawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tepat pada saat itu Bu Newton masuk. Dia membawa kue ulang
tahun Jamie yang dihiasi lima batang lilin di atasnya (empat tambah
satu, supaya Jamie cepat bertambah besar). Lilin-lilin itu berkelap-
kelip dengan ceria, amat kontras dengan sua-sana ruangan saat itu.
Dia tertegun sebelum sempat mencapai meja makan.
"Anak-anak, ada apa dengan kalian?" Dia menatap kami
berempat. Seketika ruangan menjadi hening. Para anggota Baby-
sitters Club berkumpul di sekeliling Kristy, yang roknya masih basah
karena ketumpahan punch. Aku masih memegang teko, sementara
Stacey masih menempelkan serbet kertas yang basah ke pipi Claudia.
Air mata mulai mengalir di pipi Jamie.Tak seorang.pun berani membuka mulut.
Sesaat kemudian, aku mengambil serbet basah dari tangan
Stacey, mengambil sehelai lagi yang baru, dan menaruh mereka di
atas tumpahan punch di meja. "Ada kecelakaan kecil," aku berusaha
menjelaskan pada Bu Newton. "Maafkan saya. Maafkan kami semua."
Aku memandang teman-temanku dengan tatapan penuh arti. "Kristy,
lebih baik kamu pergi ke dapur untuk membersihkan rokmu yang
basah itu." Kristy bergegas keluar dari ruang makan. "Ayo, ikut!"
kataku pada Claudia dan Stacey. "Sebentar, Bu Newton. Kami akan
membantu Kristy dulu. Kami akan segera kembali."
Di dapur, teman-temanku menatapku.
"Aku tidak peduli apa yang kalian pikirkan, atau apa yang
hendak kalian katakan," dengan gagah aku menegur mereka.
"Pokoknya aku akan mengadakan pertemuan darurat Baby-sitters
Club seusai pesta ini. Semua harus datang," aku menambahkan.
Kemudian aku kembali ke ruang makan untuk membagi-bagikan
potongan kue ulang tahun.Bab 15
SAMPAI pesta Jamie berakhir, tidak ada kejadian memalukan
lagi. Semua anggota Baby-sitters Club merasa begitu bersalah karena
hampir merusak suasana pesta, sehingga masing-masing berusaha
dengan sekuat tenaga untuk bersikap manis pada Jamie, dan
membantu Bu Newton.
Menjelang akhir pesta, suasana sempat kalang-kabut lagi?kali
ini bukan karena ulah kami. Teman-teman Jamie kebingungan
mencari mantel, topi, sarung tangan, dan sepatu masing-masing. Kami
semua membantu Bu Newton agar tidak ada yang tertukar, sekaligus
membagi-bagikan hadiah dan kantong kue untuk dibawa pulang. Bu
Newton begitu sibuk, sehingga pada saat semua tamu pulang, dia
kelihatannya sudah melupakan pertengkaran di antara kami. Paling
tidak, itulah yang kami harapkan. Kami tidak ingin Bu Newton
menganggap kami kekanak-kanakan dan tidak bertanggung jawab.
Ketika Kristy, Claudia, Stacey, dan aku meninggalkan rumah
keluarga Newton, kami berempat sempat berdiri dengan perasaan
tidak enak di halaman depan rumah itu.
"Di mana kita akan mengadakan pertemuan?" tanyaku.
"Claudia? Bagaimana kalau di kamarmu saja, seperti biasanya?"
Dia mengangkat bahu. "Aku tidak peduli.""Bagus. Kalau begitu kita menuju rumah keluarga Kishi
sekarang," ujarku dengan tegas.
Kristy mengangkat alisnya sedikit, tapi dia tidak mengatakan
apa-apa.
Mimi menyapa kami dengan hangat ketika kami masuk lewat
pintu depan. "Halo, anak-anak!" serunya. "Senang sekali bisa melihat
kalian lagi."
Aku tahu apa yang dimaksud Mimi sebenarnya: Senang sekali
bisa melihat kalian bersama-sama lagi.
"Hai, Mimi," sahutku, dan langsung memeluknya. "Coba tebak!
Aku sudah hampir selesai merajut syal untuk Papa. Tinggal bagian
ujungnya saja yang masih harus kukerjakan."
"Bagus sekali, Mary Anne," Mimi menjawab dengan hangat.
"Aku akan senang membantumu mengerjakan itu."
"Kami cuma mau mengadakan pertemuan sebentar," ujar
Claudia pada neneknya. "Tidak akan memakan waktu lama, kok."
"Boleh saja, Claudia-ku. Boleh saja."
Kami menaiki tangga, bergegas melewati pintu kamar Janine,
lalu mencari tempat duduk masing-masing di kamar Claudia. Semua
orang memandang padaku.
Aku menelan ludah. Tiba-tiba aku mulai merasa panik. Tapi
kemudian aku teringat waktu Jenny sakit, dan bagaimana aku berhasil
mengatasi keadaan ketika itu. Aku juga teringat bahwa aku sudah bisa
mencari teman sendiri, dan bahwa aku telah berhasil mengatasi
beberapa masalah dengan Papa.
Aku menarik napas panjang. "Sudah berminggu-minggu kita
bermusuhan," ujarku. "Dan sudah waktunya untuk menghentikansemua itu. Tadi kita hampir saja merusak pesta Jamie. Aku merasa
malu sekali pada Bu Newton. Dan aku tahu kalian juga merasa
begitu."
Mereka mengangguk dengan tersipu-sipu.
"Nah," aku melanjutkan, "kita punya dua pilihan: berbaikan,
atau bubar saja. Membubarkan klub, maksudku. Kita tidak akan bisa
menjalankan klub ini dengan baik, kalau kita tetap marahan seperti ini.
Aku tidak tahu bagaimana pendapat kalian, tapi aku tidak kepingin
klub ini bubar. Soalnya aku telah bekerja keras agar bisa menjadi
anggota klub ini."
Stacey mulai angkat bicara. "Aku juga tidak mau kalau klub ini
harus bubar," dia berkata dengan lembut. "Cuma kalianlah yang aku
anggap sebagai sahabat-sahabatku di sini, di Stoneybrook."
"Kristy?" tanyaku.
"Rasanya aku juga ingin berbaikan saja," sahutnya. "Tapi ada
seseorang yang harus minta maaf dulu padaku. Kita semua harus
saling minta maaf."
"Siapa yang harus minta maaf dulu padamu?" tanya Claudia.
Kristy diam beberapa saat. "Aku sudah tidak ingat lagi!" dia
berseru pada akhirnya. "Aku sudah tidak ingat lagi pada siapa aku
marah, dan apa sebabnya!"
Aku mulai ketawa cekikikan. "Aku juga begitu," kataku.
Kami semua mulai tertawa. Claudia tertawa begitu keras,
sampai dia terguling dari tempat tidurnya.
"Sekadar biar resmi," ujarku, "sebaiknya kita saling minta maaf.
Sekarang juga. Siap? Satu, dua, tiga...""Maafkan aku!" kami berempat berseru, sambil tetap tertawa-
tawa.
Kemudian aku menambahkan, "Aku menyesal karena aku
sering bersikap pengecut, tidak berani mengambil risiko, atau
mengambil keputusan, atau menjadi pemimpin. Dan aku juga
menyesal atas kejadian dengan Mimi, Claudia."
Kristy dan Stacey bertukar pandang dengan bingung. Tapi
kemudian mereka cuma mengangkat bahu masing-masing.
"Tidak apa-apa. Sebenarnya, akulah yang harus minta maaf
padamu," sahut Claudia. "Dan maafkan juga kalau aku sudah bersikap
ceroboh dan pelupa. Aku akan berusaha untuk berubah."
Stacey berdehem. "Aku minta maaf kalau aku terlalu
membangga-banggakan New York. Sebenarnya, aku sepuluh kali
lebih menyukai Stoneybrook dibandingkan dengan New York. Dan
kalian semua jauh lebih baik daripada kebanyakan teman-temanku
yang dulu."
"Ehm," ujar Kristy, "percayalah, sulit bagiku untuk mengatakan
ini... tapi aku menyesal karena aku terlalu bersikap sok ngatur.
Maksudku, aku memang ketua klub ini, tapi itu tidak berarti bahwa
selalu harus aku yang menentukan segala sesuatunya. Dan kalau
melihat sikap Mary Anne sekarang ini, kelihatannya aku tak bakal
dapat kesempatan lagi untuk bertingkah macam-macam. Apa yang
telah terjadi padamu, Mary Anne? Kamu sudah banyak berubah sejak
pertengkaran kita tempo hari."
Wajahku bersemu merah. "Sejuta hal telah terjadi," sahutku.
"Dan semuanya sulit untuk dijelaskan.""Gaya rambutmu juga lain sekarang," Stacey berkomentar.
"Kamu kelihatan lebih manis dengan rambut seperti ini."
"Terima kasih."
"Jadi akhirnya ayahmu menyerah juga?" tanya Kristy, tanpa
berusaha untuk menyembunyikan rasa herannya. "Ajaib."
"Dia tidak menyerah begitu saja," sahutku. "Aku terpaksa
sedikit ngotot. Tapi sekarang kami sudah saling mengerti. Ngomong-
ngomong, aku ingin mengumumkan bahwa aku juga sudah diizinkan
untuk bertugas sampai jam sepuluh pada hari Jumat dan Sabtu, dan
sampai jam setengah sepuluh pada hari-hari sekolah."
Kristy makin terbengong-bengong. "Astaga...," katanya.
Semua orang mulai berbicara secara bersamaan. Sementara
Claudia memperlihatkan beberapa eye-shadow yang baru dibelinya
pada Stacey, Kristy mencondongkan tubuhnya ke arahku dan berkata,
"Mary Anne, ada satu hal yang belum kumengerti. Surat apa yang
kamu bicarakan di pesta Jamie tadi?"
"Tadi pagi aku menyelipkan sepucuk surat ke dalam locker-mu.
Semalam aku memutuskan bahwa pertengkaran kita sudah
berlangsung terlalu lama, dan karena itu aku menulis surat untuk
minta maaf padamu. Aku pikir paling tidak kamu bisa mengakui
bahwa surat itu sudah kamu terima."
"Tapi aku belum menerima suratmu," balas Kristy. "Aku..."
"Oh, gawat!" aku memotong pembicaraannya. "Kalau begitu
aku pasti menyelipkannya ke locker yang salah!"
"Belum tentu juga. Kamu tidak tahu locker-ku sedang rusak,
ya? Kuncinya macet. Karena itu aku belum sempat membuka locker-
ku hari ini. Aku sudah lapor ke penjaga sekolah, dan dia bilang diaakan mencoba membukanya lalu memasang kunci baru. Tapi
kelihatannya baru besok dia bisa mengerjakannya."
"Oh... Kristy, maaf, ya."
"Ah, sudahlah! Rasanya sudah terlalu banyak kata-kata
penyesalan yang kita ucapkan hari ini. Bagaimana, kita bersahabat
lagi?"
"Jelas!"
Dia mengulurkan tangannya, dan kami berjabatan tangan untuk
persahabatan kami.
************
Sore itu aku baru tiba di rumah jam enam lewat lima menit.
Begitu sampai di teras depan, aku mendengar telepon berdering.
Cepat-cepat aku membuka kunci pintu, lalu bergegas menuju dapur.
Telepon telah berdering enam kali dan masih terus berdering.
Langsung saja aku menyambar gagangnya.
"Halo?" kataku dengan napas tersengal-sengal.
"Hai, ini aku, Dawn. Oh, untung saja kamu ada di rumah."
"Ada apa, sih?"
"Mary Anne, kamu pasti akan kaget mendengar ini. Kamu kan
tahu bahwa ibuku tidak pernah bisa rapi? Nah, ibuku baru saja
membongkar kardus bertulisan PERALATAN OLAHRAGA. Dan
coba tebak apa yang ada di dalamnya?"
"Apa?"
"Album foto?album foto yang sudah tua. Dan coba tebak ada
apa di dalamnya?"
"Apa? Apa?""Foto yang diambil tepat sebelum pesta perpisahan
sekolahnya."
"Oooh! Apakah itu foto ayahku dan ibumu?"
"Ya! Dan ternyata ibuku memang memakai bunga mawar
berhias pita di dadanya. Pita yang sudah kekuning-kuningan itu
ternyata tadinya putih, lho! Ketika aku bertanya siapa pemuda yang
berdiri di sebelahnya, pandangan ibuku tiba-tiba menerawang jauh.
Dengan suara lembut dia lalu berkata, 'Oh, itu Richie Spier... Entah
bagaimana kabarnya sekarang.' Lalu aku berkata, 'Dia baik- baik saja.'
Ibuku langsung kaget. 'Baik-baik saja?' dia bertanya padaku. 'Dari
mana kamu tahu?' Dan aku menjawab, 'Aku tahu karena dia ayah
Mary Anne. Dan dia masih tinggal di sini, di Stoneybrook.' Wah,
ibuku hampir pingsan waktu mendengar kata-kataku itu!"
"Wow!" aku berseru. "Aku jadi penasaran, nih. Barangkali...
Eh, tunggu sebentar, Dawn. Sepertinya ada orang... Dawn, ayahku
sudah pulang! Aku harus menanyakan soal ini padanya! Aku tidak
bisa menunggu lebih lama lagi! Nanti aku telepon lagi, ya, setelah
makan malam. Bye!"
Aku sadar betul bahwa aku harus memakai taktik khusus agar
Papa mau bercerita tentang masa mudanya. Karena itu aku sama
sekali tidak menyinggung ibu Dawn sampai makan malam tersaji di
atas meja dan kami sudah mulai makan.
Mula-mula aku bertanya tentang kesibukannya di kantor hari
itu. Dia bertanya tentang kegiatanku di sekolah.
Kemudian aku bertanya apakah Papa sudah memperoleh
kemajuan dalam kasus-kasus yang sedang ditanganinya.Papa bertanya tentang Baby-sitters Club.
Kemudian aku berkata, "Pa? Apakah Papa pernah kenal
seseorang bernama Sharon Porter?"
Ayahku nyaris tersedak ketika mendengar kata-kataku. Dia
harus minum beberapa teguk air sebelum bisa menjawab
pertanyaanku. "Sharon Porter? ...Ya, Papa pernah kenal dia. Kenapa
kamu menanyakan ini?"
"Begini, Dawn baru saja memberitahuku bahwa sebelum
menikah, ibunya bernama Sharon Porter, dan bahwa dia dibesarkan di
Stoneybrook. Dawn dan aku jadi bertanya-tanya apakah Papa dan
ibunya saling mengenal waktu di high school."
"Memang, kami saling mengenal."
"Apakah Papa dan dia berteman?"
Papa terdiam. "Ya," dia berkata dengan lembut. "Kami teman
dekat. Tapi akhirnya kami berpisah, dan tidak pernah lagi saling
menghubungi. Orangtua Sharon tidak pernah bisa cocok dengan
Papa.... Sharon dan Papa lulus dari high school, dan sepanjang musim
panas pada tahun itu kami sering pergi bersama-sama. Kemudian kami
masuk college. Setelah lulus dari college, Sharon pindah ke
California. Mulai saat itu Papa kehilangan jejaknya.... Jadi, Sharon
sudah menikah?"
"Dan sudah bercerai," aku menambahkan. "Dia mengajak Dawn
dan adik laki-lakinya kembali ke Stoneybrook, sehingga mereka bisa
memulai hidup baru.... Kenapa Papa dan keluarga Porter tidak bisa
cocok?""Oh, ceritanya panjang. Tapi singkatnya, mereka berpendapat
bahwa Papa tidak cukup baik untuk putri mereka. Keluarga Papa
bukan keluarga kaya."
"Kakek kan... tukang pos?" tanyaku sambil mencoba
mengingat-ingat. Kedua orangtua Papa sudah meninggal waktu aku
masih duduk di kelas satu.
"Betul. Sedangkan Pak Porter dulunya?dan sampai sekarang
mungkin?adalah bankir besar."
"Hmm, siapa tahu sekarang Papa sudah cukup baik untuk ibu
Dawn," aku berkomentar.
Senyum tipis tersungging di bibir Papa. "Jangan punya pikiran
yang aneh-aneh, Mary Anne," cuma itu yang dikatakannya.
Waktu kami selesai makan malam, aku bertanya, "Pa, boleh aku
memakai telepon? Cuma beberapa menit saja, kok. Aku tidak punya
banyak PR malam ini."
"Baiklah," dia bergumam tidak jelas.
Aku berlari menaiki tangga untuk menelepon dari telepon
paralel di atas, lalu memutar nomor telepon keluarga Schafer.
"Dawn!" aku berseru ketika dia menyahut. "Aku sudah tahu ceritanya.
Atau paling tidak, sebagian ceritanya. Ayahku juga mulai melamun.
Sampai sekarang pun dia masih melamun." Aku menceritakan semua
yang baru saja kudengar dari Papa.
"Hmmm," ujarnya. "Kita harus melakukan sesuatu, nih."
"Yeah," aku sependapat. "Wow, hari ini benar-benar hari yang
istimewa. Tadi sore aku sudah berbaikan dengan Kristy. Malahan
semua anggota klub sudah saling berbaikan."
"Oh, ya?" tanya Dawn. Dia kedengarannya agak sedih."Yap. Wah, coba kalau kamu juga menjadi anggota Baby-sitters


Baby Sitter Club 4 Mary Anne Jadi Pahlawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Club. Kamu cekatan sekali waktu menangani Jenny hari Sabtu yang
lalu. Apakah kamu sering bertugas sebagai baby-sitter sebelum pindah
ke Stoneybrook?"
"Sering sekali," sahutnya.
Aku mulai memutar otak. "Dawn, sudah dulu, ya. Sampai
ketemu besok di sekolah, oke?"
"Oke. Sampai ketemu juga."
"Bye." Aku meletakkan gagang telepon. Moga-moga Papa
mengizinkanku untuk menelepon sekali lagi. Aku punya persoalan
mendesak yang perlu dibahas bersama Kristy.Bab 16
AYAHKU sudah sinting. Sungguh. Rasanya aku tidak percaya
apa yang dikatakannya pada hari itu. Dia bilang, "Ya." Yang ajaib
adalah bahwa dia bilang ya setelah aku bertanya, "Pa, bolehkah aku
mengadakan pesta Baby-sitters Club di rumah kita?"
Jadi kemarin, pada hari Jumat, aku mengadakan pesta istimewa
di rumah kami. Aku menyebutnya pesta istimewa, karena selain
Kristy, Claudia, dan Stacey, ada seorang tamu lagi yang tidak?atau
lebih tepat, belum?menjadi anggota klub, yaitu Dawn. Aku sudah
menceritakan semua yang kuketahui tentang dia pada para anggota
klub, dan mereka ingin bertemu dengannya. Mereka tahu bahwa aku
berharap agar Dawn bisa diterima sebagai anggota baru. Tapi aku
tidak tahu bagaimana sikap Kristy, Stacey, dan. Claudia tentang hal
itu. Beberapa waktu yang lalu, kami pernah menerima dua orang
anggota baru, dengan hasil yang sangat tidak menyenangkan. Tapi
Dawn lain dengan mereka.
Pesta kami diadakan mulai jam lima sore sampai jam delapan
malam. Papa dan aku telah memesan pizza berukuran besar. Papa
bahkan pulang kantor lebih cepat untuk membantuku membuat salad.
(Kami membuat hamburger berisi sayuran untuk Stacey, soalnya diatidak boleh makan keju yang terdapat dalam pizza, karena dia
penderita diabetes.)
Jam lima kurang seperempat, bel pintu berbunyi.
"Waduh! Pesta sudah dimulai," ujarku pada Papa. "Dan mereka
datang lebih cepat! Tapi aku rasa semuanya sudah siap."
Menurut rencana, acara pertama adalah perkenalan dengan
Dawn. Acara itu akan berlangsung di kamarku. Setelah itu kami akan
makan di dapur (bersama Papa?dia ngotot). Dan setelah kenyang,
kami akan kembali ke kamarku untuk ngobrol-ngobrol.
"Jangan kuatir, pestamu pasti akan sukses," Papa berusaha
meyakinkanku. "Tapi sebaiknya kamu mempersilakan para tamu
masuk," ia menambahkan ketika bel pintu berbunyi untuk kedua
kalinya.
"Oke," sahutku. Aku begitu senewen, sehingga tidak melihat
kotak pizza kosong yang tergeletak di lantai (pizza-nya sedang
dipanaskan di dalam oven). Aku tersandung, kehilangan
keseimbangan, menabrak meja dapur, lalu menumpahkan segelas soda
diet dan menjatuhkan tumpukan kulit wortel ke lantai.
"Aduh, gawat!" aku berseru, sambil menatap rok jeans-ku yang
basah karena ketumpahan soda.
"Jangan panik, Mary Anne," ujar Papa dengan tenang. "Papa
akan membukakan pintu. Kamu bersihkan rokmu dulu."
Aku mendesah. "Baiklah. Bukan begini caranya memulai
pesta."
Papa memperbaiki letak kacamatanya, kemudian bergegas ke
pintu depan. Aku mengambil serbet kertas dan mulai membersihkan
rokku yang basah.Baru beberapa saat kemudian aku menyadari bahwa setelah aku
mendengar pintu depan terbuka, suasana tiba-tiba menjadi hening.
Aku menunggu sebentar, kemudian bergegas menuju ruang depan.
Apa yang kulihat membuatku hampir tidak bisa bernapas. Dawn
sedang berdiri di ruang depan sambil membuka mantelnya. Ibunya
dan ayahku masih berdiri di pintu depan, berpandang-pandangan.
Dawn melihatku. Dia tersenyum lebar, lalu mengacungkan jempolnya.
Aku membuka mataku lebar-lebar. Kemudian aku tersenyum.
Meskipun tanganku masih agak lengket dan potongan kulit wortel
masih menempel di rokku, aku menggabungkan diri dengan mereka di
ruang depan.
"Papa," kataku, "ini Bu Schafer, ibu Dawn. Bu Schafer, ini ayah
saya, Pak Spier." Aku menunggu reaksi mereka. "Saya rasa Papa dan
Bu Schafer sudah saling mengenal."
Papa mulai bisa menguasai dirinya. "Ya, tentu saja kami sudah
saling mengenal. Sharon, aku sangat senang bisa berjumpa lagi
denganmu. Sudah bertahun-tahun kita tidak pernah bertemu."
"Aku juga senang bertemu dengan kamu, Richie," sahut ibu
Dawn.
Richie! Aku cepat-cepat menutup mulutku dengan sebelah
tangan untuk menahan tawa.
"Silakan masuk," Papa melanjutkan.
"Oh, terima kasih, tapi aku tidak bisa tinggal lama-lama," ujar
Bu Schafer. "Aku harus menjemput adik Dawn. Dia sedang latihan
hoki."
"Dawn," kataku cepat-cepat, "ada sesuatu yang tumpah di
dapur. Tolong bantu aku membersihkannya.""Oh, boleh saja," dia menyahut. Kami berlari memasuki dapur.
Tapi bukan untuk membersihkan yang tumpah. Kami tetap berdiri di
balik pintu dapur, sambil mencoba untuk mendengarkan apa yang
terjadi di mang depan.
"Aku senang kamu telah kembali ke Stoneybrook," Papa
berkata. "Kalau kamu ada waktu, maukah kamu makan malam
bersamaku?"
"Tentu saja. Kapan?" Bu Schafer balik bertanya.
"Kapan?" Papa mengulangi. Kedengarannya dia agak bingung.
"Ehm, bagaimana kalau besok malam?"
"Boleh juga."
"Oke, sampai bertemu besok," ujar Papa.
Dawn dan aku berpandangan. Kami berpegangan tangan dengan
gembira. Orangtua kami akan pergi bersama-sama dalam rangka
berkencan!
"Oh, nanti malam aku akan mengantar Dawn pulang," tambah
Papa. "Kamu tidak perlu repot-repot menjemputnya."
Bu Schafer mengucapkan terima kasih pada Papa, lalu pergi.
Papa kembali ke dapur dengan wajah gembira, kaget, dan bingung
bercampur aduk.
Kami, Dawn dan aku, juga merasakan hal yang sama.
Sepertinya, setelah kejadian tadi, aku tidak akan bisa berkonsentrasi
penuh pada pestaku. Tapi sesudah kami selesai membersihkan dapur,
aku telah berganti rok, para anggota Baby-sitters Club telah
berkumpul dan kami duduk-duduk di kamarku, aku sudah merasa jauh
lebih tenang.Dawn telah kuperkenalkan pada teman-temanku waktu mereka
baru tiba tadi. Kini dia dan Kristy berpandangan dengan curiga.
"Mary Anne bilang, kamu sudah sering bertugas sebagai baby-
sitter," ujar Kristy.
"Oh, ya," sahut Dawn. "Di California?sebelum pindah ke
Stoneybrook aku tinggal di sana?aku sering menjaga anak-anak.
Kami tinggal di daerah yang penuh dengan keluarga-keluarga yang
punya anak kecil. Aku sudah mulai menjaga anak-anak sejak berumur
sembilan tahun. Rasanya aku pernah menjaga semua anak yang
rumahnya berdekatan dengan rumahku."
"Pernahkah kamu mengalami keadaan darurat?"
Aku menyadari bahwa Kristy, sebagai ketua klub, sedang
berusaha meneliti latar belakang Dawn sampai hal yang sekecil-
kecilnya. Tapi di pihak lain, itu memang salah satu tugasnya.
"Keadaan darurat?" ujar Dawn. "Ehm...."
"Dia sangat cekatan waktu Jenny Prezzioso sakit," aku
memotong. Aku sudah menceritakan kejadian itu pada para anggota
Baby-sitters Club.
Kristy mengangguk-angguk.
"Dan pernah sekali," tambah Dawn, "ada kebakaran di rumah
tempat aku sedang bertugas. Ada yang kurang beres dengan kabel-
kabel listrik di rumah itu. Aku langsung membawa anak-anak ke luar
dan menelepon pemadam kebakaran."
"Wow," seru Claudia. Ia nampak terkesan. "Lalu apa yang
terjadi?"
"Para petugas pemadam kebakaran datang dengan sangat cepat,
dan dalam waktu singkat mereka berhasil menguasai keadaan. Dapurdi rumah itu menjadi basah, berasap, dan hitam, tapi tidak ada ruangan
lain yang tersambar api."
"Yeah, itu baru yang disebut keadaan darurat," ujar Stacey.
Tampaknya dia berusaha meyakinkan Kristy.
Aku tersenyum ke arah Stacey, mengucapkan terima kasih
tanpa suara.
Tapi Kristy belum selesai juga. "Pernahkah kamu menjaga
bayi? Maksudku, betul-betul bayi?yang baru lahir?"
Dawn terdiam. "Belum. Aku belum pernah menjaga bayi yang
baru lahir," sahutnya lambat-lambat.
"Aku rasa anak paling kecil yang pernah kujaga adalah Georgie
Klein. Umurnya tujuh bulan."
"Sampai jam berapa kamu diizinkan keluar malam?" (Itu
pertanyaan favorit Kristy.)
"Wah, aku tidak tahu pasti," ujar Dawn. "Aku harus
menanyakannya dulu pada ibuku. Mungkin sampai jam sepuluh? Aku
juga belum tahu jam berapa aku harus pulang pada hari-hari sekolah.
Sudah agak lama aku tidak bertugas sebagai babysitter, kecuali untuk
adikku sendiri. Terakhir kali waktu aku masih tinggal di California,
soalnya aku belum banyak kenalan di sini. Ada kemungkinan ibuku
akan membuat peraturan baru. Keadaan di sini kan berbeda dengan di
California."
Kristy kelihatan puas.
"Kenapa kamu pindah ke Stoneybrook, Dawn?" tanya Stacey.
"Apakah ayahmu dimutasikan oleh kantornya?"Dawn menoleh padaku, kemudian mengarahkan pandangannya
ke lantai. "Kami terpaksa pindah karena orangtuaku bercerai,"
ujarnya.
"Orangtuamu bercerai?" ulang Kristy. Tiba-tiba suaranya
kedengaran penuh pengertian. "Wah, aku juga mengalami hal seperti
itu. Orangtuaku juga bercerai."
"Dan aku tahu bagaimana rasanya pindah kota," ujar Stacey.
"Orangtuaku dan aku pindah ke sini dari New York musim panas yang
lalu. Pada mulanya aku memang tidak kerasan, tapi sekarang
keadaannya sudah jauh lebih menyenangkan."
"Yeah, soalnya dia sudah mendapatkan sahabat-sahabat yang
baik!" Claudia melambaikan tangannya ke arah para anggota klub.
"Dan sekarang, Dawn juga sudah bertemu dengan kita. Pasti dia
juga akan kerasan tinggal di sini," aku menambahkan. Aku menoleh
ke arah Kristy untuk minta pendapatnya.
Dia tersenyum padaku. "Kami sekarang sudah punya banyak
klien. Kadang-kadang, saking banyaknya tugas, kami tidak sanggup
mengerjakan semuanya. Kami perlu bantuan." Dia menoleh pada
Claudia dan Stacey. Kedua-duanya menganggukkan kepala dengan
gerakan yang hampir tak terlihat.
"Mary Anne?" ujar Kristy. "Bagaimana kalau kamu saja yang
mengatakannya?"
Aku tersenyum lebar. "Boleh juga. Dawn Schafer, maukah
kamu bergabung bersama Baby-sitters Club?"
Senyum yang tersungging di wajah Dawn adalah senyum paling
cerah yang pernah kulihat. "Kalian bersungguh-sungguh?" pekiknya."Maksudku, ya! Ya, aku mau bergabung bersama kalian. Terima
kasih, teman-teman."
Aku melompat berdiri. "Nah," ujarku, "pizza-nya sudah
dipanaskan dan aku sangat lapar. Baby-sitters Club bisa mulai
melahapnya."
Kristy, Stacey, Claudia, Dawn, dan aku berlari-lari menuruni
tangga, lalu segera menyerbu dapur. Kristy dan Claudia langsung
mulai memotong-motong pizza.
"Papa?" panggilku. "Kita mulai makan sekarang!"
Papa memasuki dapur. Dia masih melamun, dan sepertinya
pikirannya sedang menerawang jauh. Dawn dan aku berpandangan.
Kami berdua tahu apa yang sedang dipikirkan Papa, dan kami sudah
tidak sabar menunggu sampai Minggu pagi, untuk mendengar cerita
tentang kencan orangtua kami.
Untunglah Baby-sitters Club telah berkumpul kembali?malah
anggotanya lima orang sekarang? sehingga pikiranku tidak terus-
terusan tertuju ke acara malam Minggu itu.
Aku mengambil sepotong pizza, lalu mengangkatnya tinggi-
tinggi. "Pizza toast!" seruku. Kristy, Claudia, dan Dawn mengangkat
potongan pizza masing-masing, dan Stacey mengangkat hamburger-
nya. (Sedangkan Papa kelihatannya tidak menyadari apa yang sedang
terjadi.)
"Untuk anggota baru," ujarku.
"Yeah, untuk anggota baru," ujar Kristy, Stacey, dan Claudia
bersamaan.
"Untukku!" seru Dawn. "Terima kasih, karena kalian telah
menerimaku untuk ikut bergabung bersama Baby-sitters Club." END
Malaikat Bukit Pasir 2 Hancurnya Sian Thian San Seri Pengelana Tangan Sakti Seri Ke Iv Karya Lovelydear Kutang Kunang 1
^