Pencarian

Mencari Busur Kumala 2

Mencari Busur Kumala Karya Batara Bagian 2


berhubungan badan maka kakek-kakek gagah ini
segera menanyakan tingkat kesehatan pangeran
apakah sudah ada kemajuan.
"Hm, masih lemah, tubuhku lemah. Yok-ong
telah berusaha sekuat tenaga, goanswe, tapi ah...
entahlah, aku tak dapat ke mana-mana."
"Hamba telah mendengar cerita tentang
paduka, akan tetapi hamba bersumpah untuk
menemukan obatnya. Kami datang memang untuk
45 melawan penyakit ini, pangeran, meskipun bukan
seorang tabib tapi kami berdua telah bertekad untuk
menangkal dan melawan penyakit jahanam ini. Kami
akan mencari informasi, dan segera memberitahukan
nya kepada Yok-ong dan harap paduka bersabar."
"Terima kasih, kalian baik. Kedatangan kalian
membawa semangat, goanswe, aku senang. Semoga
berhasil dan kudoakan dari sini."
Bu-gounswe dan Kok-taijin merasa cukup. Baru
kali ini mereka melihat korban Penyakit Kutukan
Dewa. Tubuh yang kurus dan pucat itu memelas sekali,
untung lah Yok-ong seorang tabib pandai yang dapat
memberikan daya tahan bagi si penderita, paling tidak
menahan penyakit itu tidak meluas jauh meskipun
harus secepatnya ditemukan obat penawar. Dan
ketika mereka hendak pamit dan mendoakan
kesembuhan mendadak masuklah pengawal memberi
tahu bahwa Bu-goanswe dan Kok-taijin ditunggu
kaisar. "Sri baginda telah mendengar kedatangan
kalian, diharap menuju Ruang Hijau. Kalau goanswe
telah selesai hamba siap mengantar."
46 "Ah, kami memang akan ke sana. Baiklah,
pangeran, lain kali kami berkunjung lagi. Selamat
beristirahat dan cepat menemukan obatnya!"
Tiga orang ini meninggalkan kamar. Yok-ong
mengikuti karena iapun mendapat perintah. Lalu
ketika mereka sudah berada di Ruang Hijau, sebuah
ruangan, sejuk berdinding dan berlampu serba hijau
maka sri baginda ternyata telah duduk di kursinya
menunggu tiga orang ini.
"Kami memberikan sembah hormat," Bugoanswe dan Kok-taijin membungkukkan tubuh
dalam-dalam, tak perlu berlutut. "Semoga paduka
panjang usia dan sehat selalu, sri baginda. Tak kami
sangka paduka mendahului kami memanggil ke sini.
Kami memang ingin menghadap paduka!"
"Duduklah, selamat datang. Beberapa hari yang
lalu aku juga kedatangan tamu-tamu menyenangkan,
goanswe, dan sekarang kalian berdua tiba di sini pula.
Ah, senang sekali hatiku!"
Bu-goanswe dan Kok-taijin sudah dipersilakan
duduk. Ruang Hijau adalah ruang khusus di mana
biasanya kaisar menemui pembantu-pembantu
utamanya, para jenderal atau panglima perang. Dan
karena ruangan ini sejuk dan segar, enak untuk
47 menentukan taktik atau strategi biasanya di tempat ini
pulalah sri baginda menerima bekas jenderal itu. Tapi
kali ini tentu saja bukan untuk perang melawan
musuh. Tanya jawab segera dimulai. Sri baginda
menanyakan kapan dua orang itu datang dan apakah
keperluannya. Lalu ketika dijawab bahwa selain
hendak menemui sri baginda juga menemui Yok-ong,
mereka tergugah untuk melawan Penyakit Kutukan
Dewa maka sri baginda menarik napas dalam-dalam
dan tampak murung.
"Seharusnya kalian hidup tenang di tempat
peristirahatan kalian. Kalian telah memasuki masa tua
dan pensiun, goanswe, tak perlu memikirkan macammacam. Di sini telah ada yang memperhatikan."
"Benar, akan tetapi pengabdian dan rasa
kemanusiaan kami bangkit. Mendengar rakyat
terserang penyakit ganas ini mana mungkin kami
berdua diam, sri baginda. Usia tua bukan halangan dan
justeru mencambuk kami untuk memupuk pahala.
Kami masih sehat dan mampu berbuat sesuatu!"
"Hm-hm, kau tak kehilangan sikap kerasmu itu.
Kau masih gagah dan patriotik goanswe, selalu
memikirkan orang banyak. Sungguh bangga aku di sini.
48 Sekarang apa, yang hendak kaukerjakan dan kabarnya
kalian berdua baru saja menengok adikku Kamongya."
"Benar, kami telah melihat si sakit, dan kami
trenyuh. Kami semakin bangkit melihat tantangan ini,
sri baginda. Kami akan menghabiskan sisa hidup kami
untuk menumpas penyakit jahanam itu!"
Sri baginda mengangguk-angguk, tersenyum.
Watak keras dan pantang menyerah masih juga tak
hilang dari bekas jenderal ini, sementara Kok-taijin
tetap bersikap tenang akan tetapi sepasang matanya
tajam berpikir ke depan. Meskipun tak banyak mulut
akan tetapi bekas menteri inipun tak kalah menonjol
dengan Bu goanswe, sekali bertindak biasanya bakal
membuat kejutan. Yang satu diam sementara yang
lain garang. Dan ketika pembicaraan dilanjutkan lagi
dan suasana tampak serius maka Yok-ong lebih
banyak mendengarkan sampai akhirnya sri baginda
bertitah, "Baiklah, restuku untuk kalian. Kalau kalian
hendak ke Liang-san sampaikan salamku untuk paman
Fang Fang dan keluarganya, goanswe. Katakan bahwa
aku kangen mereka dan kapan berkunjung. Kalian
boleh membantu Yok-ong dan lakukan apa saja yang
49 kalian butuhkan di sini. Terima kasih untuk kesediaan
kalian."
Bu-goanswe memberi hormat. Kunjungan
kepada kaisar ini lebih dari setengah jam dan masingmasing puas. Sri baginda telah mendengar maksud
dan keinginan bekas jenderal itu, apa yang hendak
50 dikerjakan dan rencananya menuju Liang-san. Maka
ketika semua selesai dan berpamit segera dua orang
ini meninggalkan kaisar dan Yok-ong kembali ke
rumahnya sendiri. Dua kakek itu teringat cucu dan
anak angkatnya.
"Cukup, sampai di sini saja. Lain kali kami datang
lagi, Yok-ong. Kami sudah puas. Terima kasih untuk
kesediaanmu sampai ketemu lagi!"
Akan tetapi Bu-goanswe tertegun. Kang Hu,
cucunya yang berada di gedung Cao-ciangkun ternyata
berburu. Kui Yang yang menemui temannya Ih Bing
juga ke luar kota, mereka berempat berburu satu
kereta dan dua anak muda itu meninggalkan pesan
agar ayah dan kakek mereka bersabar dulu. Dan ketika
jenderal ini mengumpat memaki cucunya, Caociangkun tertawa maka perwira itu berkata bahwa ia
tak dapat mencegah anak-anak muda itu melepas
senangnya. Dialah yang memberitahukan kepergian
anak-anak itu.
"Maafkan kami di sini. Aku tak dapat mencegah
dan menahan mereka, goanswe, mau apalagi. Entah
siapa yang mengajak tapi yang jelas mereka tampak
begitu gembira. Harap maklum saja, sudah lama
mereka tidak saling bertemu."
51 "Tapi kami akan segera ke Liang-san, kurang ajar
cucuku itu. Kalau ia tidak segera kembali biar kuketok
kepalanya!"
"Tidak, nona Kui Yang yang mengajak. Tadi gadis
itu yang membujuk, goanswe. Mereka datang ke sini
sudah membawa kereta."
"Sst!" Cao-ciangkun menegur isterinya,
terlambat. "Nona Kui Yang telah meminta ijin padaku,
goanswe, kalau salah maka akulah yang harus
disalahkan. Jangan salahkan anak-anak itu!"
"Hm, anakku membuat ulah," Kok-taijin tertawa
dan mengurut janggutnya. "Tak kunyana anak
perempuan bisa bikin gara-gara, goanswe. Kalau
begitu aku ayahnya yang harus didamprat. Biarlah kau
tegur aku dan terpaksa perjalanan ditunda dulu,
jangan salahkan Cao-ciangkun."
Bu-goanswe tertawa juga. Mana mungkin ia
marah kalau sahabatnya dan Cao-ciangkun sudah
bicara seperti ini, bukankah anak-anak itu sahabat
karib dan mereka tak mungkin lama meninggalkan
rumah. Maka ketika Cao-ciangkun menjamunya dan
perjalanan terpaksa ditunda, tuan rumah mengajak
mereka masuk maka jenderal ini dan sahabatnya
menunggu sabar namun mulailah kakek itu gelisah
52 karena sampai hari mulai gelap belum juga anak-anak
itu muncul.
"Keparat!" Bu-goanswe mengutuk sambil
mengepal tinju, tuan rumah mempersilakan mereka
beristirahat. "Apa-apaan si Kang Hu ini, taijin. Biarpun
puterimu yang mengajak namun ia laki-laki,
seharusnya tahu waktu dan tahu pulang!"
"Biarlah kuselidiki," Kok-taijin tak enak juga,
malam mulai tiba. "Kalau mereka sudah kembali
biarkan di sini, goanswe, dua tiga jam aku pulang."
"Aku saja yang mencari, geram rasanya pada si
Kang Hu ini!"
"Tidak, jangan. Betapapun anak-anak itu tak
boleh kaumarahi, goanswe, kegembiraan bakal
terganggu nanti. Kau di sini dan aku yang mencari.
Ingat, jangan marah-marah!"
Lalu tak membiarkan rekannya melepas gusar
menteri ini berkelebat dan meninggalkan gedung Caociangkun. Kebetulan seorang pengawal tahu ke mana
anak-anak muda itu berangkat, yakni ke hutan sebelah
barat kota raja. Dan ketika menteri itu menyelinap dan
keluar lewat pintu gerbang barat maka penjaga
mengucek matanya karena tahu-tahu bagai siluman
53 saja tubuh Kok-taijin meluncur dan lewat sisinya,
lenyap! "Eh, apa yang kulihat, hantu atau manusia!"
Temannya juga terbelalak. Mereka hendak
menutup pintu gerbang ketika tahu-tahu dengan
kecepatan tinggi menteri, ini lolos dan menyelinap
keluar. Hampir saja tubuhnya tergencet, pintu berat
itu luar biasa ukurannya, setinggi lima meter. Namun
karena sang menteri bukanlah orang biasa dan tadi
kakek ini mengerahkan Jouw-sang-hui-tengnya
(Terbang Di Atas Rumput) maka bak kilat menyambar
ia melesat dan lenyap menerobos pintu gerbang itu.
Sang penjagu ketakutan. Sambil berteriak buruburu ia mendorong dan menutup pintu raksasa itu,
berdebam. Lalu ketika gembok besar dan rantai
panjang dililit-lilitkan cepat maka penjaga ini memutar
tubuhnya dan... lari lintang-pukang, disusul temannya.
"Hantu... siluman magrib. Awas dan ber
sembunyi di rumahmu, A-bun. Ada setan-setan
gentayangan!"
"Benar, ada setan gentayangan. Aih, kau pun
cepat pulang ke rumahmu, A-lun. Aku akan berlindung
di balik ketiak isteriku. Katanya setan tak tahan bau
kecut!"
54 "Aku akan bakar kemenyan, lalu membuang
kembung setaman. Hihh, saat magrib saat hantu dan
iblis berkeliaran!"
Kok-taijin tak mendengar ini dan sayangnya
bergerak terlalu cepat. Ia tak tahu betapa tiba-tiba dari
sebelah kanan melaju sebuah kereta berderap-derap.
Jalan kecil menyusur tembok benteng tertutup
rimbunnya semak-belukar. Kereta inipun berderap
memecah sunyi, menerabas dan memotong semaksemak di kiri kanan jalan yang sempit. Dan ketika
kereta berhenti tepat di pintu gerbang, dua anak
muda meloncat keluar maka mereka tertegun melihat
pintu tertutup rapat. Itulah Kang Hu dan Kui Yang.
"Celaka, terlambat. Kita tak dapat memasuki
kota, Kui Yang. Penjaga telah menutup pintunya."
"Benar, dan ini gara-gara si sombong itu. Kalau
ia tak mengganggu kita dan tak memanaskan hati
tentu kita sudah sampai. Ah, bagaimana sekarang dan
apa kata ayah nanti. Tentu aku kena damprat!"
"Aku juga, tapi kita harus berusaha. Biar
kupanggil penjaga siapa tahu dapat membuka pintu!"
pemuda ini sudah menggedor-gedor pintu gerbang
akan tetapi ia tak tahu bahwa perbuatannya itu
justeru membuat si penjaga lari kencang. Begitu
55 dibentak dan digedor-gedor seketika dua orang ini lari
cepat, mereka belum hilang kagetnya oleh bayangan
Kok-taijin tadi. Dan ketika sia-sia pemuda itu berteriak
dan memanggil akhirnya dua anak muda lain keluar
pula dari kereta, menggigil, inilah Cao Wi dan Ih Bing,
putera Cao-ciangkun dan puteri Ih-taijin, masingmasing gemetaran.
"Tak usah berteriak-teriak, percuma kita minta
tolong. Sebaiknya kita diam dan tinggal saja di kereta,
Kang Hu, sampai besok. Tanpa dimintapun besok pasti
dibuka."
"Mana mungkin, kakekku bisa marah-marah.
Kalau malam ini aku tak pulang ia bakal menghajarku,
Cao Wi, daripada dihajar lebih baik pulang!"
"Benar, ayahpun tak akan mengampuni aku.
Biarpun ia sayang namun perbuatanku kali ini
keterlaluan, Cao Wi, bisa tidak bisa harus masuk!"
Kui Yang tak kalah gelisah, memandang dan
tiba-tiba ia mengangkat wajahnya mendongak


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tembok gerbang yang tinggi. Kalau pintunya saja lima
meter maka tembok benteng itu tujuh delapan meter,
bukan main tingginya. Dan ketika Kang Hu juga
mendongak dan mengerti maksud temannya maka
pemuda ini bergerak dan tahu-tahu telah meloncat
56 dan... mendaki dengan cara merayap, telapak kaki dan
tangannya melekat seperti cecak. Inilah Pek-houw-yuchong (Ilmu Cecak) yang diwarisi dari kakeknya yang
membuat Ih Bing menjerit ngeri.
"Aih, apa yang hendak kaulakukan. Turun, Kang
Hu, nanti jatuh!"
"Benar, akupun akan mencoba. Jangan
berteriak dan membuat gaduh, Ih Bing. Kalau aku
dapat merayap nanti kau kugendong!"
Kui Yang tak mau kalah dan tiba-tiba meloncat
pula. Bagai cecak betina ia telah menyusul dan
mengejar Kang Hu, kedua kaki terutama tangannya
mencengkeram dan melekat. Namun karena Kang Hu
lebih dulu dan lebih cepat, dua anak muda ini
berlomba akhirnya tembok setinggi tujuh delapan
meter itu terlampaui, menjejak dan melempar tubuh
ke atas, selamat sampai di sana.
(Nyambung jilid 3)
57 COVER 1 =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0=
Karya : Batara
Jilid III *** "AH, kalian... kalian mengagumkan!"
Ih Bing berseru, ngeri tapi kagum bukan main melihat
sahabat-sahabatnya itu telah tiba di atas. Kang Hu dan
Kui Yang memang telah mencapai tembok tinggi itu
dan tertawa di sana. Di sini mereka memandang ke
dalam, melihat gembok dan rantai melilit-lilit itu, tak
ada penjaga dan siapapun. Dan ketika pemuda itu
memberi isyarat dan merasa cukup akhirnya Kang Hu
mengembangkan kedua lengannya dan... terjun bebas
ke bawah. "Kita naik lagi membawa mereka. Turun, Kui
Yang, sudah cukup!"
Ih Bing menjerit tertahan melihat itu. Kang Hu
tentu saja mengerahkan ilmunya meringankan tubuh
melayang ke bawah, disusul Kui Yang yang membuat
temannya semakin ngeri. Jantung lh Bing rasanya
3 copot. Namun ketika dua muda-mudi itu selamat tiba
di tanah, bagai seekor kucing yang enteng dan ringan
maka gadis ini membuka matanya kembali dan
akhirnya menubruk Kui Yang.
"Kalian membuatku takut, jantung serasa
copot. Ah, jangan naik turun seperti itu lagi, Kui Yang,
aku ngeri!"
"Benar, kalian membuatku gemetaran," Cao Wi
juga menggigil, lega namun ngeri. "Kalian seperti
burung besar hinggap di tanah, Kang Hu, hebat sekali
ilmu meringankan tubuhmu itu. Tapi kami takut,
tembok itu terlalu tinggi!"
"Tak usah khawatir," pemuda ini tertawa.
"Justeru kami hendak membawa kalian naik, Cao Wi,
kita harus cepat-cepat pulang. Mari kugendong dan
tinggalkan kereta."
"Apa, naik dan terjun lagi ke bawah?"
"Tak ada jalan lain, Cao Wi. Pintu itu digembok
dari dalam dan dirantai. Kita harus pulang, atau orangorang tua kami bakal marah-marah dan kami di
hukum."
"Tidak, kalian saja pulang!" Ih Bing berseru,
pucat. "Aku tak berani digendong seperti itu, Kang Hu,
4 bagaimana ka lau jatuh. Kalian laporkan saja kepada
ayah dan kami menunggu di sini!"
"Benar," Cao Wi mengikuti. "Tembok itu terlalu
tinggi dan berbahaya, Kang Hu, sekali jatuh tak
mungkin selamat, Kalian pulang saja laporkan ayah
dan kami di sini."
"Hm," Kang Hu berpandangan dengan Kui Yang.
"Bagaimana, Kui Yang, apa yang harus kita lakukan."
"Aku tak berani pulang tanpa mereka. Kalau ada
apa-apa di sini selama kita pergi tentu kesalahan kita
semakin berat, Kang Hu. Bagiku tetap bersama atau
tidak sama sekali!" Gadis ini mengerutkan kening.
"Benar," Kang Hu tak melihat jalan lain. "Takut
atau tidak kalian harus kami bawa, Cao Wi. Kami tak
berani meninggalkan kalian sendirian di sini. Kalau ada
apa-apa kesalahan kami semakin berat, naiklah ke
punggungku dan ikat pinggang ini rasanya kuat!"
pemuda itu melolos ikat pinggangnya dan menimangnimang itu di depan temannya. Cao Wi membelalak
kan mata dan ngeri akan tetapi Kui Yang juga
melakukan hal yang sama. Gadis itu tiba-tiba menotok
roboh Ih Bing, puteri Ih-taijin ini mengeluh dan lemas.
Lalu ketika gadis ini membelit temannya di belakang
punggung, mengikat erat dengan ikat pinggangnya
5 pula tiba-tiba Kui Yang telah meloncat dan mendaki
tembok tinggi itu.
"Kang Hu, menunggu mereka hanya
membuang-buang waktu saja. Cao Wi laki-laki, masa
kalah dengan wanita. Suruh ia naik atau robohkan
pula!"
"Tidak," pemuda ini mengertak gigi, terpukul
oleh kata-kata itu. "Aku naik ke punggungmu, Kang
Hu, dan tak usah ikat pinggang itu. Mari naik dan aku
berani!"
Kang Hu tersenyum, membalik dan
memberikan punggung. Lalu ketika Cao Wi meloncat
dan memeluk lehernya erat-erat, tentu saja ia tercekik
maka ia berseru agar tak terlalu kuat pelukan itu,
meloncat dan mendaki pula tembok tinggi, menyusul
atau mengejar Kui Yang yang sudah bergerak duluan.
Dan ketika dua anak muda ini memanjat bagai
sepasang kera besar, cepat dan lincah serta cekatan
maka tiba di tengah-tengah putera Cao-ciangkun itu
memejamkan mata dan nyaris semangatnya seakan
terbang. "Pelan-pelan... pelan-pelan. Aku ngeri terjatuh
ke bawah, Kang Hu, jangan cepat-cepat. Pelan-pelan
saja...!"
6 Kang Hu tak menggubris dan terus memanjat
cepat. Kui Yang sudah hampir di atas dan sekali gadis
itu membentak iapun berjungkir balik mencapai
puncak tembok yang tinggi. Kang Hu menyusul dan
tiba pula dengan selamat. Dan ketika keduanya
tertawa dan mengangguk maka Cao Wi seakan lepas
sukmanya dibawa terjun ke bawah. Kui Yang dan Kang
Hu sama-sama mengembangkan lengan di kiri kanan
tubuhnya. "Mati aku!"
Akan tetapi Kui Yang dan Kang Hu mengerahkan
ilmu meringankan tubuh mereka. Kalau tadi di waktu
merayap mereka mengerahkan sinkang di kedua kaki
terutama tangan maka kini terjun ke bawah mereka
memusatkan ilmu meringankan tubuh di telapak kaki.
Bagai jatuhnya seekor kucing yang empuk dan ringan
dua anak muda ini telah selamat menginjak tanah, Cao
Wi membuka mata dan kagum. Dan ketika Kui Yang
membebaskan totokan Ih Bing maka puteri Ih-taijin itu
mengeluh dan seakan melewati mimpi buruk,
menangis. "Kau... kau membuatku takut. Bagaimana kalau
kita terjatuh, Kui Yang, tentu hancur. Ah, aku ngeri dan
kalian tak kasihan kepadaku!"
7 "Maaf, semua sudah lewat. Lihat gembok dan
rantai besar itu, Ih Bing, kalau tidak begini kapan
masuk. Sudahlah hapus air matamu dan jangan buat
ayah ibumu ketakutan. Biar kereta itu di luar dan mari
pulang!"
"Benar, kita sudah selamat. Justeru kita harus
berterima kasih dan bangga mempunyai sahabat
seperti ini, Ih Bing, aku bahkan ingin belajar silat dan
malu terhadap Kui Yang. Ia wanita namun lebih gagah
daripada aku!" Cao Wi bersikap mengiyakan dan katakatanya ini disertai pandangan mata bersinar-sinar.
Memang ia malu terhadap Kui Yang, gadis itu gagah
sekali, jauh dibanding dirinya yang lemah. Namun
ketika Kui Yang hanya tersenyum saja dan memberi
isyarat kepada Kang Hu maka gadis ini telah
menyambar temannya dan sekali berkelebat
meninggalkan tempat itu. Kereta ditinggalkan di luar
pintu gerbang.
"Kita pulang, ayah tentu menunggu-nunggu.
Mari, Kang Hu, bawa temanmu itu!"
Kang Hu mengangguk dan menyambar pula Cao
Wi. Sama seperti tadi iapun me ngerahkan ilmu lari
cepatnya meninggalkan tempat itu, di sana Kui Yang
telah terbang dan membuat Ih Bing menjerit. Puteri
8 Ih-taijin itu memejamkan mata. Dan ketika dua
bayangan anak muda ini meluncur di antara rumahrumah penduduk, yang melihat terpekik dan
menyangka setan maka tiba di istana Bu-goanswe
tentu saja merah padam, lupa kepada nasihat Koktaijin.
"Dari mana saja kau, apa yang kaulakukan. Lihat
perbuatanmu mengganggu perjalananku, Kang Hu,
pamanmu Kok-tai jin mencari-cari. Keparat kau ini,
ceritakan dan pertanggungjawabkan perbuatanmu,
atau sekarang juga enyahlah dan tinggal di rumah!"
"Maaf, ada gangguan di jalan," Kang Hu cepatcepat menunduk dan menyabarkan kakeknya ini,
merasa bersalah. "Kalau tak ada gangguan itu kami
berdua sudah pulang, kong-kong. Tapi anak itu..."
"Anak apa, jangan mencari-cari alasan!" Bugoanswe memotong dan membentak cucunya ini,
hampir saja melayangkan tangan. "Kau laki-laki tak
tahu waktu, Kang Hu, mana Ih-siocia dan Caokongcu!"
"Mereka sudah pulang," Kui Yang muncul dan
gadis inilah yang menahan tempelengan Bu-goanswe.
"Kesalahan berada di pundakku, paman, jangan
salahkan Kang Hu. Akulah yang mengajak dan akulah
9 yang bertanggung jawab. Kang Hu hanya mengikuti
kehendakku."
Jenderal itu menoleh dan kemarahannya berkurang.
Terpaksa ia bersenyum masam dan gadis ini
melindungi Kang Hu. Ia mencari-cari ayahnya namun
tidak ada, muncullah pula Cao-ciangkun dan isterinya.
Dan ketika dua orang itu mengurangi lagi kemarahan
Bu-goanswe maka Kui Yang bertanya di mana
ayahnya. Ih Bing telah dikembalikan di rumah orang
tuanya sementara Cao Wi bersembunyi di belakang,
kena damprat ayah ibunya pula.
"Aku mencari ayah, barangkali paman tahu."
"Ayahmu mencari kalian, sekarang kalian telah
pulang. Eh, coba ceritakan apa yang terjadi, Kui Yang,
kalian membuat kami khawatir di sini. Coba ceritakan
dan kuharap kalian tidak mengulanginya lagi."
"Maaf," gadis ini merasa bersalah, melirik Kang
Hu. "Semuanya ini bermula dari aku, paman, yang lain
hanya ikut-ikutan saja. Aku mengajak mereka berburu
ke hutan, dan tiba-tiba muncullah bocah keparat itu!"
"Hm-hm, siapa dia, apa yang dia lakukan."
10 "Kami tak tahu siapa dia, tapi yang jelas seorang
ahli panah yang baik dan sombong. Anak itu membidik
setiap buru an kami dan berebut memiliki!"
"Benar," Kang Hu memotong. "Kalau anak itu
seorang bangsawan atau hartawan tentu kami tak
mau mengalah, kong kong. Hasil buruan kami akhirnya
kami serahkan semua. Hanya karena dia anak kecil dan
kami orang dewasa maka kami mundur dan memberi
kan itu. Tapi sikapnya yang membuat kami men
dongkol!"
"Dia sombong dan pongah!"
"Akan tetapi harus diakui seorang ahli panah
jempolan, sekecil itu sudah mampu menandingi
kami!"
"Hm-hm!" Bu-goanswe mengerutkan kening
dan bersinar-sinar, tertarik. "Kalau begitu lain kali kita
cari, Kang Hu, sekarang baiklah beristirahat. Besok kita
harus ke Liang-san."
"Ke Liang-san?" pemuda itu terlonjak.
"Benar, ada perubahan acara. Kami ingin
menemui Fang Fang."
"Bagus, kalau begitu dapat menambah ilmu. Ah,
rejeki kita, Kui Yang, untung sekali!"
11 "Benar, dan aku dapat bertemu enci Kiok Eng.
Wah, benar-benar kebetulan!"
Akan tetapi ketika Bu-goanswe melotot kepada
Kang Hu maka pemuda itu mengkeret. "Kita ke sana
bertamu, bukan untuk bersenang-senang. Kalau di
sana kau membuat ulah terpaksa aku memulangkan
mu, Kang Hu. Sekali lagi harap ingat bahwa perjalanan
kita ini untuk sua tu keperluan penting!"
Pemuda itu mengangguk-angguk, diam. Kui
Yang juga menekan kegembiraannya dan tiba-tiba
berkelebatlah bayangan sang ayah, Kok-taijin muncul.
Dan ketika menteri ini mendesah namun lega anakanak muda itu di situ maka kakek ini berseru, "Celaka,
rupanya kalian sudah di sini. Mana Ih Bing dan Cao Wi,
Kui Yang. Kenapa kereta di luar pintu gerbang. Kalian
membuat aku khawatir mencari-cari!"
"Maaf," Kui Yang menyambut, cepat memegang


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lengan ayahnya itu, manja. "Kami diganggu seorang
bocah cilik, ayah, baru saja kuceritakan kepada Bu-loenghiong. Ih Bing dan Cao Wi sudah berada di
kamarnya masing-masing dan kereta kami tinggalkan
di sana karena pintu gerbang tutup."
"Wah-wah, kau anak nakal. Katanya kaulah
yang menjadi gara-gara membawa teman-temanmu
12 yang lain. Hayo minta maaf pada pamanmu dan
jangan diulangi lagi lain kali!"
"Sudahlah," Bu-goanswe tertawa dan lega
melihat rekannya kembali. "Puteri-mu tak melakukan
apa-apa, taijin, Kang Hu inilah yang seharusnya minta
maaf ke padamu. Ia tak bersikap sebagaimana seharus
nya seorang pemuda melindungi teman-teman puteri
nya. Ia terbawa dan rupanya dibakar oleh bocah cilik
ahli panah itu. Mereka sudah kembali, syukur. Biarlah
sekarang beristirahat karena besok ki ta menuju Liangsan."
"Hm, baiklah, dan maaf terhadap Cao ciangkun.
Anak-anak ini membuat repot tuan rumah. Kau benar
dan besok kita ke Liang-san."
"Tak apa," tuan rumah tertawa dan lega. "Aku
juga bersalah mengijinkan mereka, taijin, tapi
sekarang semua sudah kembali dan selamat. Jangan
marahi mereka berlebihan karena betapapun bukan
salah mereka. Kereta akan kuurus, kuperintahkan
orang mengambilnya. Silakan beristirahat dan selamat
malam!"
Kui Yang dan Kang Hu saling lirik de ngan mulut
tersenyum lega. Dua anak muda ini mundur dan
malam itu mereka beristirahat, ayah dan kakek
13 mereka masih bicara sebentar. Dan ketika keesokan
nya mereka bangun pagi-pagi, dua orang tua mereka
telah bersiap maka berangkat lah rombongan ini
menuju Liang-san. Tuan rumah memberikan empat
ekor kuda yang bagus untuk perjalanan cukup jauh itu.
*** Marilah kita mendahului rombongan ini melihat
Liang-san. Pegunungan itu ada lah bekas tempat
tinggal Dewa Mata Ke ranjang Tan Cing Bhok, kini
dihuni oleh muridnya yang sakti, Fang Fang. Dan
karena pendekar ini memiliki tiga orang isteri, Ming
Ming dan Ceng Ceng serta Eng Eng maka tinggallah
empat orang itu di bekas kediaman Dewa Mata
Keranjang ini.
Sebenarnya Fang Fang tak mau tinggal di situ.
Tan Hong, sutenya sekaligus putera Dewa Mata
Keranjang lebih berhak. Akan tetapi karena pemuda
itu menolak dan mengikuti isterinya di Bukit Angsa,
tempat di mana dulu gadis itu tinggal maka pendekar
ini menerimanya dan Mien Nio, isteri mendiang
suhunya akhirnya tinggal pula di bukit itu, tak jauh dari
sebuah hutan kecil dan jadilah pewaris Dewa Mata
Keranjang ini hidup sendiri-sendiri. Fang Fang dan tiga
14 isterinya di Liang-san sementara Kiok Eng dan Tan
Hong di Bukit Angsa (baca: Play Girl Dari Pak-King).
BARU! EDISI BARU!
Telah terbit dengan gaya dan edisi baru kisah
seru dan menarik berjudul PEDANG MEDALI NAGA.
Khusus untuk ini penulis Anda Batara menulisnya
dengan naskah baru. Tetap merupakan Serial Bu-beng
Sian-su yang menarik itu. Setelah tamat Anda akan
mengikuti lanjutannya :
SEPASANG JAGO KEMBAR
Menceritakan tentang keturunan si jago pedang
Bu-tiong-kiam Kun Seng, juga keluarga Pendekar Gurun
Neraka yang sakti itu. Silakan Anda ikuti dan dapatkan
di toko-toko buku langganan Anda.
Penerbit "Aku tak mau di tempatmu itu. Kalau kau ingin
berdekatan dengan aku tinggallah di Bukit Angsa,
15 Hong-ko, atau silakan sendiri di sana dan biar aku di
sini." Kiok Eng, gadis yang membuat Tan Hong jatuh
bangun itu mengajukan syarat kepada pemuda ini
menjelang pernikahan mereka. Bukan tanpa maksud
kalau gadis itu mengajukan syarat, bukan apa-apa
melainkan semata tak senang melihat Liang san.
Tempat ini sering membuat Kiok Eng berkerut kening,
sebal dan bermacam perasaan mengaduk hatinya
karena di tempat itulah ia banyak mengalami hal-hal
tak menyenangkan. Pertama adalah Dewa Mata
Keranjang sendiri, betapa kakek itu menjalin cinta
dengan sekian banyaknya wanita hingga isterinya
selusin. Lalu ayahnya, yang juga memiliki tiga orang
isteri di mana semuanya itu berawal dari Liang-san.
Dan karena Tan Hong juga berasal dari sini dan ia takut
pemuda itu seperti ayahnya kelak, galang gulung
membagi cinta maka ia tak senang berada di tempat
itu dan menghendaki tinggal di tempatnya sendiri,
Bukit Angsa.
"Aku tak mungkin seperti ayah, cintaku hanya
untukmu seorang. Hidup seperti ayah tak ada
senangnya, Kiok Eng, lihat betapa ia dikejar-kejar dan
dimusuhi. Aku tak ingin seperti itu, ingin hidup tenang
dan damai. Kalau kau tak ingin di sana baiklah aku di
sini, hanya bagaimana ibu, juga guru-gurumu."
16 "Subo sekalian akan di sini menemani aku, tak
masalah. Untuk ibumu terserah dia, Hong-ko, tapi
sebaiknya di sini pula, kalau dia mau. Kalau tidak
terserah kau, berat ibu atau aku!"
"Wah-wah, semuanya berat. Kau atau ibu
adalah bagian hidupku, Kiok Eng, mana mungkin
dipisah. Kupikir ibu mau di sini tapi Liang-san harus
dijaga. Biarlah kuserahkan itu kepada ayahmu."
Jadilah, menuruti Kiok Eng pemuda itu akhirnya
pindah tempat. Mien Nio, wanita bijaksana itu
mengikuti puteranya, tinggal pula di Bukit Angsa. Dan
ketika Fang Fang menerima usulan sutenya itu, yang
sekaligus juga menantunya maka pendekar ini
menarik napas dalam dan berkata, diam-diam maklum
bahwa semua ini tentu bersumber dari puterinya.
"Aku tak keberatan menjaga Liang-san, hanya
tempat ini tetap menjadi hak mu. Kalau sewaktuwaktu diperlukan atau ada sebab-sebab penting
terimalah kembali, sute. Betapapun ini adalah
peninggalan ayahmu."
"Tapi suheng juga pewaris ayah, bukan orang
lain. Tempatku atau tempatmu sama saja, suheng,
bagiku tak ada perbedaan. Kenapa suheng sungkan
dan menganggap itu milikku. Liang-san juga milikmu!"
17 "Baiklah," Fang Fang. tersenyum. "Kita saling
menjaga, sute, terima kasih untuk kepercayaanmu
kepadaku. Tinggallah di sana dan aku di sini."
Dua orang itupun berpindah tempat. Tan Hong,
yang semula tinggal di Liang-san akhirnya berada di
Bukit Angsa. Tempat ini juga tenang dan damai,
apalagi bersama isteri tercinta. Dan ketika pemuda itu
meninggalkan Liang-san sementara Fang Fang
menjaga di situ maka hubungan mereka terjaga baik
hanya untuk sebutan kadung-kadang pemuda ini
kikuk. Bagaimana tidak kikuk kalau ayah mertua
disebut juga suheng (kakak seperguruan)!
"Sebut-menyebut hanya tata-krama saja dalam
kehidupan sehari-hari, yang penting adalah kelakuan
atau sikap yang bersangkutan. Percuma kita
menyebut orang setinggi mungkin namun hati atau
pikiran kita tidak sama, sute. Menghormat dengan
ucapan namun diam-diam memaki dan memusuhi.
Sebutlah seperti biasa karena akupun menyebut subo
(ibu guru) ke pada ibumu. Aku bukan orang yang gila
sebutan!" begitu kata-kata Fang Fang ketika suatu hari
pemuda ini tampak bingung dan gugup. Fang Fang
adalah pria bijaksana yang mampu menangkap yang
tersirat ataupun tersurat, itulah sebabnya iapun cepat
menenteramkan sutenya dalam soal sebut-menyebut.
18 Percuma membungkuk dan menyoja-nyoja kalau hati
atau pikiran sebenarnya memaki-maki. Lebih baik
bersikap wajar saja namun tulus daripada munafik.
Maka ketika pemuda itu tenteram dan jadilah
menyebut suheng kepada ayah mertua maka Fang
Fang pun menyebut sute (adik seperguruan) kepada
menantunya itu. Orang seperti pendekar ini memang
tidak terikat lagi oleh segala basa-basi yang biasanya
palsu belaka! Dan kehidupanpun berjalan seperti
biasa. Baik Tan Hong maupun suhengnya menikmati
hari-hari indah mereka di tempat masing-masing. Pria
sakti ini bahagia setelah dua puluh tahun berpisah
dengan isteri-isterinya. Dan ketika hari-hari dilewat
kan cepat tanpa terasa, dua keluarga itu saling
mengunjungi maka suatu hari datang berita bahwa
Kiok Eng hamil.
"Ha-ha, sebentar lagi kita menjadi kakek dan
nenek-nenek. Bagaimana perasaanmu, Ceng-moi,
tidakkah kita semua semakin tua!" pendekar itu
menggoda isterinya Ceng Ceng ketika sore itu mereka
menghangati diri dengan sinar mentari senja. Ceng
Ceng, ibu Kiok Eng tampak berbinar-binar. Ia
tersenyum dan malu-malu digoda suaminya itu.
Namun ketika ia belum menjawab maka bayangan
merah berkelebat.
19 "Untuk apa takut. Tua tidak tua asal suami tetap
mencinta tak apa-apa, Ceng moi. Bukankah itu
jawaban kita untuk pertanyaan ini!"
Ceng Ceng, wanita empat puluhan ini menoleh.
Madunya, Ming Ming datang tertawa-tawa, men
jawab dan mendahului itu. Dan ketika ia mengangguk
dan bangkit tertawa maka iapun menyambut madu
nya itu, memeluk.
"Kau benar, tua tidak tua tak menjadi masalah.
Asal suami kita tetap mencinta tak ada artinya usia
tua, Ming-ci-ci. Mari duduk dan mana enci Eng!"
"Aku di sini, membuat kue ini untuk kalian. Ih,
nikmat benar kalian bercengkerama, Ceng-moi, aku
bisa iri!" muncul wanita baju hijau dan inilah Eng Eng
atau ibu dari Kong Lee. Wanita itu tertawa-tawa
membawa senampan kue kering, hangat dan masih
mengepul lalu berturut-turut meletakkan minuman
dan cawan di meja. Kesibukannya ini membuat dua
yang lain tergopoh-gopoh, baik Ceng Ceng maupun
Ming Ming membantu. Dan ketika semua siap dan
duduk di meja, suami di tengah maka Fang Fang
berseri-seri penuh bahagia. Benar-benar nikmat
dikerubung begini, tak ada iri atau cemburu.
20 "Wah, seperti di sorga saja. Apa yang kalian
lakukan ini, Eng-moi, ulang tahun siapa ini. Dan kue ini,
ah... lapis legit kesukaanku. Dan itu, wow... Tart
Pelangi Warna-Warni. Aduh, kapan semua ini
disiapkan, Eng-moi. Hari bahagia siapa i-ni, ha-ha!"
Fang Fang disuguhi kue-kue itu dan minuman pun
dituangkan ke dalam cawannya. Eng Eng dan Ming
Ming begitu gembira sementara Ceng Ceng sedikit
tertegun. Ia tak menyangka kesibukan madunya ini.
Dan ketika dua wanita itu tertawa dan Eng Eng berseru
bahwa semua itu untuk menyambut calon bayi Kiok
Eng maka Ceng Ceng tersipu semburat dengan wajah
kemerah-merahan.
"Untuk siapa lagi semua ini kalau bukan
menyambut kabar gembira itu. Kami berdua
menyiapkannya diam-diam, suamiku, dan selamat
untuk kebahagiaan Ceng Ceng. Ia akan menjadi nenek
pertama di antara kami!"
"Benar, nenek di antara nenek-nenek. Hi-hik,
kau pun segera menyusul, Eng-ci-ci, menantumu pasti
hamil pula dan cucu mu berdarah Barat. Pasti cantik
dan pirang seperti ibunya!"
"Hush, kaulah yang lebih beruntung.
Menantumu laki-laki, Ming-moi, ayahnya orang Barat,
21 pasti ganteng dan gagah. Kong Lee laki-laki kate dan
anaknya pasti pendek kecil, keturunan Timur. Aku
tentu kalah dan kau yang menang!"
Dua wanita itu terkekeh-kekeh dan Ceng Ceng
tertawa pula melihat dan mendengar gurauan ini.
Memang Ming Ming bermenantukan Franky, karena
puterinya Beng Li mendapatkan pemuda gagah
ganteng itu, bangsa kulit putih dari negeri seberang.
Dan ketika semuanya tertawa dan membagi-bagikan
kue maka wanita ini berkata.
"Yang paling beruntung tentu suami kita Fang
Fang. Ia dapat memiliki bermacam cucu dari jenis
berbeda-beda, enci Eng. Ada yang besar ada yang
kecil, ada yang pendek ada yang tinggi. Biarlah semua
ini untuk suami kita tercinta dan-mari kita berikan
ucapan selamat!"
Fang Fang terkejut dan menyambar ketiga
isterinya tertawa-tawa. Ciuman pertama diberikan
Ceng Ceng, diikuti yang lain hingga berturut-turut
pipinya penuh gmcu. Dan ketika semua terbahak
sampai keluar air mata maka pendekar ini balas
mencium isterinya dengan lembut dan mesra.
"Ceng-moi, Ming-moi, kalian bertiga tak pernah
melupakan aku. Sungguh bahagia mendapatkan cinta
22 kalian dan terima kasih untuk perhatian ini. Biarlah


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kukembalikan kepada kalian dan kebahagiaan ini
untuk kita semua... cup-cup-cup!" ciuman hangat dan
mesra itu diberikan masing-masing wanita dan tiga
orang isteri ini bahagia sekali. Mereka berseri dan
merapatkan tubuh dengan manja, kalau sudah begini
maka suami biasanya bingung, siapa yang lebih dulu
dipegang. Namun ketika Fang Fang mendorong
masing-masing isterinya itu, berkata bahwa besok
atau lusa mengunjungi Bukit Angsa maka Ming Ming
dan Eng Eng mengerutkan kening, juga Ceng Ceng.
"Kalian duduklah baik-baik, besok atau lusa aku
akan mengunjungi Kiok Eng. Kalian sebaiknya di sini
dulu menunggu aku. Nanti saat kelahiran kita semua
ke sana."
"Tidak adil, masa begitu!" Eng Eng tiba-tiba
berseru. "Yang lebih berkepentingan adalah Cengmoi, suamiku. Ia ibunya Kiok Eng, seharusnya kalian
berdua. Masa kau sendiri!"
"Benar," Ming Ming mengangguk, sependapat.
"Kiok Eng tentu kangen ibunya, suamiku, masa kau
sendiri. Seharusnya kau dan Ceng-moi berdua."
"Hm, Ceng-moi sakit perut, masa melakukan
perjalanan jauh. Kalian bertiga di sini saja kecuali..."
23 "Tidak! Kalau begitu ditunda dulu perjalanan
mu, suamiku, tunggu sampai ia sembuh. Betapapun
Ceng-moi harus ikut!" Eng Eng kembali berseru dan
wanita ini memang paling keras. Akan tetapi ketika
Ceng Ceng menghela napas dan terharu oleh
pembelaan madunya ini maka wanita itu berkata
bahwa biarlah suami mereka berangkat sendiri, ia tak
apa-apa. "Sebenarnya perutku sedikit mengganggu, tapi
berita ini tentu harus cepat ditanggapi. Biarlah suami
kita pergi dan besok kalau kelahiran kita semua samasama ke sana."
"Nah," Fang Fang tersenyum. "Dengar sendiri
kata-kata Ceng Ceng, Eng-moi. Kalau aku tidak cepat
ke sana jangan-jangan dikira acuh. Menunggu Cengmoi bisa lima sampai tujuh hari, ini kebiasaan wanita."
Ceng Ceng semburat, menunduk.
"Bagaimana?"
"Baiklah," Eng Eng rupanya mengerti, tersipu
juga. "Kalau itu masalahnya tentu kami mengerti.
Berangkatlah dan kami menunggu di sini."
Fang Fang mencium isterinya itu penuh kasih
sayang. Biasanya Eng Eng inilah yang sulit dikendali
24 kan, Ming Ming dan Ceng Ceng lebih halus. Dan ketika
dua hari kemudian ia berangkat maka tak lama
kemudian, beberapa bulan berikutnya keluarga ini
menuju Bukit Angsa. Kiok Eng telah melahirkan!
Bukan main gembiranya keluarga Bukit Angsa.
May-may, nenek lihai itu meledak-ledakkan rambut
nya terkekeh-kekeh. Bhi-kong-ciang Lin Lin atau nenek
kedua tertawa-tawa pula. Lui-pian Sian-li Yan Bwee
Kiok yang merupakan nenek paling bahagia
menjeletar-jeletarkan cambuknya. Nenek inilah yang
merupakan orang pertama bagi Ceng Ceng
menyambut dengan tawa nyaring, hampir bersamaan
dengan tawa si bayi yang melengking-lengking. Dan
ketika semua bergembira dan mengadakan selamatan
keluarga, anak itu laki-laki yang sehat dan montok
maka Kiok Eng sendiri menangis bahagia menyambut
buah hatinya itu. Betapa tidak bahagia kalau di saat
kelahiran ini semua orang-orang tua hadir.
"Aku... aku minta ayah memberikan nama.
Siapa nama anak itu, ayah, kuserahkan padamu." Kiok
Eng terbata-bata dan suaranya tersendat-sendat oleh
keharuan dan kebahagiaan yang dalam. Ibu mana tak
bahagia mendapatkan anaknya, tugas mulia itu telah
dilaksanakan. Dan ketika Fang Fang berpikir sejenak
maka pendekar itu tertawa.
25 "Bagaimana kalau dinamakan Tan Cit Kong. Ia
tampan dan bersinar, Kiok Eng, dan sinar itu tepat
untuk namanya. Siapa ada usul atau nama lain."
Semua mengangguk-angguk. Kong (Sinar)
memang tepat untuk anak laki-laki ini, wajahnya
gagah dan tangisnyapun nyaring melengking, tanda
atau petunjuk bahwa anak itu sehat dan kuat. Dan
ketika semua setuju bahwa anak itu bernama Cit Kong,
Tan Hong begitu gembira akan puteranya ini maka
pemuda itupun mengangguk berseru,
"Nama itu bagus, cocok sekali. Terima kasih
untuk nama ini dan biar kubeli pakaian bayi yang
bagus-bagus!" dan tidak menunggu waktu lagi segera
Tan Hong berkelebat keluar mencari pakaian di kota.
Semua tertawa melihat sikap pemuda itu dan Fang
Fang pun tersenyum le bar. Ada kebahagiaan sendiri
menyambut cucu pertama ini, gagah dan laki-laki. Dan
ketika hampir seminggu mereka berkumpul maka
tibalah waktunya untuk pulang. Akan tetapi Kiok Eng
ternyata meminta ibunya di situ.
"Aku masih gugup, serba canggung. Biar ibu di
sini dulu menemani aku. Bagaimana nanti kalau Cit
Kong ingin pipis dan mandi!"
26 Fang Fang pun tak keberatan. Memang sebagai
ibu muda tentu puterinya itu masih canggung dan
bingung. Mengganti popok saja gemetaran, apalagi
memandikan.
Namun ketika Ceng Ceng mengerutkan kening
mendengar itu ternyata wanita ini tidak enak, berkata
halus, melirik pula ibu Tan Hong yang ada di situ.
"Kau seperti kanak-kanak saja. Di sini banyak
terdapat pendampingmu, Kiok Eng, selain subo masih
juga ada ibu mertuamu pula. Bukankah ia dapat
membantu, masa ibu harus di sini."
"Tapi aku ingin ibu!"
"Tak apalah," Mien Nio memotong lembut,
cepat menyela bijak. "Hubungan kalian ibu dan anak
tentu lebih dekat Ceng Ceng. Biarlah kau di sini
menemani cucumu ini. Aku tak apa-apa, semuanya
wajar."
"Tapi..."
"Tapi apa?"
Ceng Ceng jengah. Ia melirik suaminya dan Fang
Fang cepat tanggap. Isterinya ini ternyata tak mau
ditinggal! Maka ketika ia menggenggam dan
menyambar lengan itu segera ia melirik dua isterinya
27 yang lain. Ming Ming dan Eng Eng ternyata mengerti,
berkelebat keluar.
"Kupikir besok saja baru pulang, sehari ini aku
masih di sini!"
Ceng Ceng berbinar. Ia tersipu-sipu malu men
dengar batuk subonya, yang juga keluar penuh arti.
Dan ketika Kiok Eng tertegun namun mengerti pula
kehendak ibunya akhirnya iapun tersenyum dan
memandang Tan Hong penuh mesra.
Wanita memang butuh perhatian. Hari itu Fang
Fang menunda kepulangannya dan malam itu
sepenuhnya untuk Ceng Ceng. Ming Ming dan Eng Eng
yang sengaja memberikan kesempatan membiarkan
suami dan madu mereka itu bermandi cinta. Mereka
tak memiliki lagi cemburu atau panas, bahkan Eng Eng
menggoda madunya itu dengan senyum nakal. Dan
karena masing-masing ada pengertian dan rasa ikhlas
yang besar, dua puluh tahun cemburu sudahlah cukup
akhirnya keesokan harinya barulah Fang Fang
meninggalkan tempat itu bersama dua isterinya yang
lain. Ceng Ceng memeluk dan mencium haru dua
madunya ini.
"Terima kasih untuk kesempatan yang kalian
berikan. Jaga dan cintailah suami kita baik-baik, Eng28
cici. Sebulan dua lagi aku pulang. Bersenang-senang
lah, bagianku sudah cukup!"
"Akan kusisakan untukmu. Betapapun orang
yang kucinta adalah milik kita bertiga, Ceng-moi,
selamat tinggal dan hati-hati di sini. Kutunggu pulang
mu nanti!"
Tiga orang itu berkecup-kecupan. Memang mereka
sudah merasa sehati sejiwa setelah masing-masing
berpisah dan bertengkar. Badai telah lewat dan
sekarang ini adalah kebahagiaan. Masing-masing telah
mendapatkan keturunan dari orang yang mereka
cinta. Dan ketika hari itu Fang Fang kembali ke Liangsan maka di sini pendekar itu tinggal bersama dua
isterinya. Ceng Ceng menemani Kiok Eng dalam
merawat bayi.
Dan saat itu datanglah serombongan besar
orang-orang kulit putih dipimpin dua muda-mudi Han.
Inilah Kong Lee dan Beng Li bersama isteri dan suami
mereka. Dua pasangan itu memimpin rombong an ini,
menyuruh mereka berhenti di lereng gunung dan
empat orang muda itulah yong mendaki puncak. Dan
ketika Eng Eng terkejut namun gembira bukan main,
juga Ming Ming maka pertemuan itu disambut jerit
dan peluk ketat.
29 "Ibu...!"
"Kong Lee... Beng Li!"
Empat orang itu saling tubruk penuh
kebahagiaan. Hal ini dapat dimaklumi karena sejak
menikah baru kali itulah dua muda-mudi ini pulang.
Beng Li maupun kakaknya sama-sama di tanah
seberang. Dan ketika dua wanita itu bertangistangisan menyambut puteri-puteri mereka, menantu
mereka mengusap air mata maka Franky maupun
Yuliah menjatuhkan diri berlutut.
"Gak-bo...!"
Eng Eng dan madunya baru sadar. Mereka baru
tahu bahwa selain putera-puteri mereka juga dua
menantu mereka itu menunggu di situ. Gadis kulit
putih itu tampak cantik dan bersih. Maka ketika Eng
Eng mengangkat bangun gadis ini sementara Ming
Ming menyuruh bangun menantunya laki-laki maka
Fang Fang muncul dan kegembiraan itu tentu saja
bertambah.
"Ayah!"
"Gak-hu!"
Keluarga ini benar-benar mencapai ke
bahagiaannya. Fang Fang tersenyum menyambut anak
30 dan dua menantunya itu dan masing-masing
menitikkan air mata haru. Pendekar itu menepuknepuk pundak putera dan menantunya laki-laki. Dan
ketika tiba giliran Beng Li dan Yuliah maka mata
pendekar ini yang tajam melihat perobahan kecil di
tubuh mereka. Tubuh yang telah berisi.
"Hm, kalian datang membawa kabar bahagia,
bukan? Dan tubuh kalian sedikit gemuk. Agaknya
kalian benar-benar bahagia, Beng Li, dan Yuliah
semakin canti jelita saja. Syukurlah dan ada berita
bahagia pula di sini. Enci kalian Kiok Eng telah
melahirkan. Ha-ha, kapan kalian berdua!"
"Ah, enci Kiok Eng melahirkan? Laki-laki atau
perempuan?"
"Laki-laki, Beng Li, dan kebetulan kalian datang.
Ayo duduk dan cerita yang enak."
"Nanti dulu, tunggu. Siapa namanya, ayah. Kami
ingin ke sana!"
"Benar, kami akan ke sana. Dan Beng Li akan
menyusul!"
"Ih, jangan bikin malu. Kau juga menyusul, Yuli.
Hayo bilang pada kami kalau tidak!"
"Wah, jangan bongkar rahasia. Itu milik kita!"
31 "Kau duluan, meledek aku. Hayo siapa yang
nakal dan patut dihukum!" lalu ketika dua wanita itu
tertawa dan saling cubit maka Fang Fang yang sudah
melihat tanda-tanda itu mengerdip pada isterinya,
memperhatikan dan barulah sekarang Ming Ming
maupun Eng Eng bahwa tubuh menantu dan puteri
mereka itu sedikit lain. Tanda wanita hamil terdapat di
situ. Maka ketika dua wanita ini berseri dan memeluk
Yuliah maupun Beng Li masing-masing berbisik
bertanya, mata berbinar-binar.
"Kau... kalian, eh... telah sama-sama berisi, Yuli?
Kalian akan memberikan cucu kepada kami?"
"Ah, Beng Li memang nakal. Ia lebih dulu,
gakbo, selisih beberapa hari dengan aku. Kami... kami
memang ingin punya turunan."
"Ha-ha!" Fang Fang tergelak, pembicaraan
orang-orang muda ini memang sudah terbiasa, lebih
bebas. "Kalau begitu kalianpun tak perlu iri, Ming
Ming. Kalian sama-sama seperti Ceng Ceng, masingmasing menjadi nenek. Hayo rayakan berita ini dan
mari minum anggur manis!"
Semua tergelak dan keadaan semakin gembira
lagi. Sebagai orang-orang yang hidup di alam Barat
memang dua muda-mudi ini bersikap bebas. Tak ada
32 malu-malu atau canggung seperti kebanyakan wanita
Han, semua begitu wajar dan terbuka. Maka ketika
pesta kecil menyambut berita gembira itu, juga
datangnya anak-anak muda ini maka Beng Li hampir
melupakan pertanyaannya tadi.
"Eh, siapa anak laki-laki enci Kiok Eng tadi. Siapa
namanya!"
"Cit Kong, namanya Cit Kong. Ia gagah seperti
bapaknya, Beng Li. Kalian boleh mengunjungi kalau
kami sudah puas di sini. Ayo, ambil makanan ini'"
Pasangan itu betul-betul gembira. Mereka
melupakan yang di bawah gunung dan baru teringat
menjelang senja. Untunglah rombongan itu berbekal


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cukup dan Fang Fang menyuruh mereka naik. Namun
ketika Kong Lee menggeleng dan berkata biarlah di
bawah saja maka pemuda itu berkata bahwa jumlah
mereka terlalu banyak, empat puluh orang.
"Kami akan meninggalkan pesan sedikit saja,
besok baru diurus. Biar mereka di sana dan kami di
sini."
Malam itu keluarga ini hampir melupakan yang
lain-lain. Beng Li segera bercakap-cakap dengan
ibunya sementara Kong Lee dan Franky menemani
ayah mereka. Yuliah di kamar Eng Eng. Dan ketika
33 empat orang muda itu bercakap tak habis-habisnya
maka Kong Lee menyampaikan salam kaisar.
"Kami baru saja dari kota raja, menemui sri
baginda. Ayah mendapat titipan salam dan kami
menyampaikan pula hormat dan salam Gubernur.
Sebenarnya kedatangan kami bukan sekedar
melancong melainkan juga melaksanakan tugas."
"Benar, dan inilah yang penting. Negeri kami
mendapat musibah, gak-hu, dan bangsa Han ternyata
juga mengalami nasib serupa. Kami datang untuk
menumpas bahaya besar!"
Fang Fang terkejut mendengar cerita anak dan
menantunya itu. Franky mengepal tinju sementara
Koijg Le mengangguk-angguk, sikap mereka tiba-tiba
begitu serius. Dan karena ia begitu bahagia dan
tenteram hidup di Liang-san, perobah an dan segala
yang terjadi di kota raja tak ia ketahui maka pendekar
ini bertanya apa bahaya itu.
"Kalian tampaknya bersungguh-sungguh Coba
ceritakan masalah itu dan bahaya apa yang kalian
hadapi."
"Penyakit. Ada penyakit ganas menyerang
dunia, gak-hu. Pertama negeri kami, dan sekarang
negeri ini!"
34 "Hm, seingatku tenang-tenang saja."
"Salah, kota raja sudah gempar. Kau ternyata
tak mengikuti ini, ayah. Penyakit ganas menyerang
rakyat. Dan di sini Yok-ong kelabakan!" Kong Lee
mendahului dan kini pemuda itu mulai bicara. Ia
sambung-menyambung dengan temannya dan
terbelalaklah Fang Fang mendengar ini. Dan ketika
dua orang muda itu mulai bercerita tentang PKD, sang
ayah semakin terkejut maka Fang Fang berseru
tertahan mendengar itu.
"Di negeri kami semua ini berawal dari Leiker.
Dialah biang penyakit itu, ayah, dan kami mendapat
tugas Gubernur untuk menangkap dan membawanya
pulang. Ia bom berjalan yang dahsyat sekali, jejaknya
kami temukan di daratan sini!"
"Dan di kota raja bersumber dari Gok-ongya.
Pangeran inilah biang utama, gak-hu, dan kemungkin
an ia pernah berhubungan dengan si Leiker itu.
Keparat itu memang jahat!"
"Hm-hm, perlahan sedikit. Apa itu PKD dan
siapa pula Leiker itu. Ia orang atau nama penyakit."
"Leiker adalah laki-laki sekitar tiga puluh
delapan tahun, bekas penari balet di tempat
Gubernur. Namun karena ia laki-laki menyimpang dan
35 berhubungan secara kotor maka ia wadah penyakit
dan sampah dunia!"
"Hm, maksudmu laki-laki menyimpang?"
"Ia seorang homo, ayah, suka berhubungan
dengan sesama jenisnya. Ia tak petuah bergaul dengan
wanita karena kesukaannya dengan laki-laki!"
"Hm!" Fang Fang terkejut, menganggukangguk. Akan tetapi karena pendekar ini seorang yang
luas pengalaman dan banyak tahu penyimpangan
dunia maka pendekar itupun menarik napas dalam
dan sorot matanya getir bercampur iba.
"Dan PKD itu..."
"Singkatan Penyakit Kutukan Dewa. Yok-ong
menamakannya begitu karena ia bingung menemukan
jenis penyakit yang belum dikenal sejarah pertabiban
ini. Dianggap terkutuk karena penyimpangan
seksual!"
"Hm-hm...!"
"Tapi di negeri kami ahli-ahli kami
menamakannya Ahiv, gak-hu, singkatan dari Akibat
Hubungan Informal Variatif!"
36 Fang Fang kembali mengangguk-angguk. Ia tibatiba menerima berita itu dengan serius, sesuatu tibatiba menggetarkannya. Dan ketika ia minta dua
pemuda itu bicara lagi maka dibeberkanlah semua itu,
sampai jelas.
"Baiklah," pendekar ini mengakhiri. "Malam ini
aku akan bersamadhi mencari penerangan batin,
Franky. Kucoba menolong kalian dengan petunjuk
getaran batin. Tugas kalian berat, akan tetapi penting.
Beristirahatlah dan besok kuberi tahu."
Dua orang muda itu girang sekali. Memang
harus diakui bahwa di samping kepandaiannya yang
tinggi ayah mereka ini memiliki kelebihan yang tak
dipunyai orang lain, mampu menangkap petunjukpetunjuk dari getaran gaib. Hal itu terjadi setelah
pendekar ini melakukan tapa Hening, ketika dulu
dalam meraih puncak kesaktiannya bertapa empat
puluh hari empat puluh malam di Liang-san. Kekuatan
inilah yang membuat kesaktiannya bertambah,
melampaui mendiang Dewa Mata Keranjang dan
untuk saat itu barangkali hanya pendekar inilah satusatunya yang paling hebat. Dan ketika dua orang muda
itu beristirahat di kamar masing-masing, bersama
pasangan mereka maka samadhi Fang Fang membuat
pendekar ini tertegun. Malam itu pria ini melihat
37 sesuatu melayang-layang dari arah timur, bentuknya
seperti panah dan tiba-tiba dengan kecepatan kilat
panah ini melesat ke barat. Lalu ketika dari arah utara
muncul pula benda serupa tapi berwarna merah, bak
api atau obor panjang maka benda inipun melesat ke
barat menyusul benda pertama itu, lenyap dan tibatiba muncul lagi di atas. Dari delapan penjuru menda
dak muncul pernik-pernik biru menuju Liang-san,
mengepung atau mengelilingi dua panah kuning dan
merah ini. Lalu ketika mereka meledak dan pecah
berhamburan maka pendekar ini terkejut karena
firasat jelek memberitahunya. Liang-san akan
diguncang malapetaka!
Pagi-pagi pendekar ini mengenakan pakaian
serba putih, berkelebat dan menuju tebing dari mana
ia dapat memandang ke bawah. Semalam dua panah
kuning merah itu jatuh di kaki Liang-san, tepatnya di
bawah tebing di mana rombongan orang-orang kulit
putih itu berkemah. Dan ketika pendekar ini
mengerutkan kening merasa berdebar tiba-tiba dua
isterinya berkelebat datang.
"Kau tampak tegang. Apa yang kau rasakan,
suamiku. Apa yang kaulihat!"
38 "Benar, semalam kau gelisah. Panggilan kami
tak kau dengar," Ming Ming, isterinya berbaju merah
sudah berada di kiri tubuhnya dan melihat baju merah
ini mendadak Fang Fang berseru tertahan. Dia mundur
dan membelalakkan mata, arah itu jelas. Dan ketika
bagai kilat menyambar ia teringat isterinya Ceng Ceng,
betapa isterinya itu berbaju kuning tiba-tiba pendekar
ini mengeluh dan terhuyung, mukanya pucat.
"Tidak, jangan...! Oh, tidak, Thian Yang Agung.
Jangan terjadi ini menimpa keluargaku!"
Ming Ming dan Eng Eng tentu saja terkejut.
Mereka berseru tertahan melihat sikap suaminya itu
dan Eng Eng berkelebat menyambar lengan. Ming
Ming terisak memeluk pundak. Lalu ketika Eng Eng
bertanya apa yang terjadi maka Fang Fang pun sadar.
Panah merah dan kuning itu adalah pertanda dua
isterinya ini!
"Thian Yang Agung, cobaan akan datang. Duh
semoga kita semua waspada akan ini, Eng-moi.
Semalam kulihat tanda-tanda malapetaka. Ming-moi
dan Ceng moi akan bermusuhan!"
Ming Ming tersentak mundur. Ia menjerit
mendengar ini dan Eng Eng pun berubah. Kata-kata itu
bukan main-main, hebat sekali artinya. Dan ketika Eng
39 Eng mencengkeram lengan suaminya sementara Ming
Ming tersedu-sedu maka wanita itu mengguguk dan
pucat. "Apa... apa katamu itu. Jelaskanlah semua ini
dengan terang, suamiku. Apa artinya kata-katamu itu.
Kenapa Ceng-moi harus memusuhiku!"
Fang Fang tergetar dan masih terbelalak ngeri.
Ia melihat dua panah berapi itu sebagai lambang dua
isterinya sendiri, mereka saling tabrak dan akhirnya
jatuh di kaki gunung. Dan ketika ia memejamkan mata
menguatkan batin, sungguh tak diduganya kejadian
itu maka pendekar ini akhirnya terhuyung dan duduk
di sebuah batu besar, gemetar.
"Semalam kulihat tanda-tanda gaib. Franky dan
Kong Lee minta tolong untuk menangkal bahaya,
Ming-moi, kubantu dan kucarikan jalan keluarnya.
Tapi... tapi panah api itu, ah, ia perlambang kalian
sendiri. Ceng-moi harus segera kuambil dan kuberi
tahu!"
"Ceritakanlah yang jelas, apa yang kaulihat."
"Aku melihat dua panah kuning dan merah
meluncur ke barat, lenyap. Lalu muncul pernik-pernik
biru dari delapan penjuru. Dan ketika dua panah ini
muncul lagi di Liang-san, saling tabrak dan jatuh ke
40 bawah maka pernik-pernik biru itu mengejar dan
menyerang mereka. Kita harus waspada akan ini!"
Ming Ming tersedu-sedu dan ngeri serta
ketakutan. Suami mereka ini tak pernah main-main
dan dapat dipercaya. Maka ketika wanita itu
mengeluh dan roboh lemas, ditangkap madunya maka
Eng Eng bangkit dan berapi-api, bertolak pinggang.
"Aku tak menghendaki keluarga kita pecah. Kau
yang pertama menemukan dan memberi tahu ini,
suamiku, maka kau pula yang harus menangkalnya.
Aku tak mau Ceng-moi maupun Ming-moi ber
musuhan!"
Fang Fang tertegun. Di wajah isterinya ini ia
melihat api yang terbakar, mata itu merah sekali. Akan
tetapi ketika ia cepat menenangkan guncangan
jantung nya dan sadar bahwa semua yang terjadi bakal
terjadi, kehendak Yang Maha Kuasa tak mungkin
ditolak maka ia berhasil menenangkan dirinya lagi dan
saat itulah bayangan orang-orang muda itu muncul.
"Ayah, ibu, apa yang kalian lakukan di sini!"
Fang Fang cepat berbisik agar Ming Ming
maupun Eng Eng tak memberitahukan itu. Anak-anak
muda ini tampak heran kenapa ibu mereka Eng Eng
bertolak pinggang di depan sang ayah, marah-marah
41 dan rupanya tampak cekcok. Aneh, pagi-pagi sudah
ribut! Akan tetapi ketika Fang Fang tersenyum dan
telah dapat menguasai hatinya lagi, tidak seperti dua
isterinya yang belum pulih maka anak-anak muda itu
memandang curiga kepada ibu-ibu mereka ini, apalagi
Ming Ming jelas menangis.
"Maaf, tak ada apa-apa. Kami sedang
menikmati hawa segar, Beng Li, ada apa datang di sini.
Sudahkah menyiapkan minuman atau makanan pagi
untuk suami kalian."
"Tapi ibu menangis!" Beng Li tak tedeng alingaling lagi, menyambar dan memeluk ibunya itu. "Ada
apa, ibu. Kenapa pagi-pagi menangis, apakah ayah
mema-rahimu!"
Ming Ming masih teringat kata-kata suaminya
tadi. Sebagai wanita tak mungkin ia cepat selesai,
apalagi berita itu hebat sekali baginya. Maka ketika ia
melompat dan tersedu-sedu iapun meninggalkan
tempat itu membuat Fang Fang berkerut.
"Ayahmu tak melakukan apa-apa kepadaku, ia
baik-baik saja. Aku hanya sedikit tak enak badan, Beng
Li, jangan ganggu dan siapkan makanan bantu ibumu
Eng Eng!"
42 Beng Li bukanlah anak kecil lagi. Ia semakin
terkejut melihat sikap ibunya itu, padahal semalam
begitu gembira. Maka ketika ia melompat mengejar
ibunya iapun tak perduli lagi meninggalkan pula
suaminya Franky, disusul Yuli yang tak enak di situ.
"Ibu bohong, aku tak mau menyiapkan makan
an siapapun. Biar kutemani kau kalau tak enak badan
dan nanti makan bersama!"
Terganggulah suasana. Franky dan Kong Lee
mengerutkan kening dan masing-masing saling
pandang. Tentu saja mereka juga heran dan tak enak
melihat pemandangan itu. Maka tak ingin meng
ganggu ayah ibunya pemuda inipun berkelebat dan
naik lagi ke puncak, Franky menyusul.
"Maafkan kami, ayah. Biar kami siapkan
keperluan kami sendiri dan harap jangan pikirkan
sarapan pagi!"
Fang Fang semakin runyam. Tiba-tiba ia
melepas Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh)
kepada isterinya Ming Ming agar tak menceritakan
apapun kepada anak-anak muda itu. Mereka tak boleh
tahu. Dan ketika ia menggerakkan lengan bajunya
menahan dua pemuda itu iapun berseru, "Kau dan
43

Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Franky di sini saja. Ada sesuatu yang hendak
kusampaikan, anak-anak, jangan pergi!"
Kong Lee dan Franky terkejut. Mereka sudah
meluncur ketika tiba-tiba terta han di tengah jalan,
Franky bahkan tertarik dan kembali lagi ke belakang,
hampir saja terpelanting. Dan ketika pemuda itu
berseru membiarkan diri tertarik, berjungkir balik ke
belakang maka iapun telah berdiri di depan gak-hunya
itu dengan sinar mata kagum, juga kecut!
"Kami sebenarnya tak ingin mengganggu gakhu..."
"Tak apa-apa, tidak. Tak ada apa-apa di antara
kami. Duduklah dan tidakkah kalian ingin tahu hasilku
semalam!"
Franky dan Kong Le girang. Eng Eng akhirnya
bergerak mengejar madunya itu sadar bahwa anakanak itu tak boleh melihat kelakuannya yang keras. Ia
telah mengejutkan menantu dan puteranya dengan
berkacak pinggang tadi. Maka ketika ia berseru bahwa
tak ada apa-apa di antara suami isteri iapun
memperbaiki sikap dengan kata-kata terhadap
suaminya yang lembut.
"Maafkan aku tadi. Biarlah kususul Ming-moi
dan kutunggu kalian di meja makan!"
44 Dua pemuda itu lega. Ternyata Eng Eng bersikap
halus dan tidak marah-marah lagi, Kong Lee melambai
pada ibunya itu. Dan ketika dua anak muda itu
membalik berhadapan lagi dengan ayah mereka maka
keduanya yang tertarik berita semalam sudah melupa
kan peristiwa tadi dan menganggap bahwa mungkin
ada semacam pertikaian kecil di antara ibu-ibu mereka
tadi. Bukankah wanita biasanya manja dan ingin
perhatian penuh.
"Duduklah," Fang Fang menarik napas dalam,
mencari akal bagaimana menceritakan semua itu
kepada anak-anak muda ini. Ada hal-hal yang tak
semuanya harus mereka ketahui. "Semalam aku telah
bersamadhi dan menangkap hasilnya, Kong Lee, akan
tetapi justeru untuk diriku sendiri. Peristiwa itu akan
berakhir di sini dan sementara ini dapat kujelaskan
kepada kalian bahwa sesuatu yang hebat bakal terjadi.
Dan kau," pendekar ini menunjuk Franky, "jaga diri
baik-baik dan awasilah isterimu lebih dari biasanya.
Aku tak dapat memberi tahu lebih jauh karena bersifat
rahasia."
Dua anak muda ini tertegun. Fang Fang adalah
pendekar berhati bersih yang menjauhi segala
kebohongan. Sejak menemukan kesadarannya dan
hidup bagai pertapa pendekar ini tak mau berkata
45 dusta. Untuk yang rahasia dikatakannya rahasia pula.
Namun justeru karena anak-anak muda itu menjadi
penasaran, Franky saling pandang dengan Kong Lee
maka dua anak muda itu memandang lagi ayah
mereka. "Tempat itu," Fang Fang menunjuk, kali ini ke
rombongan orang-orang kulit putih itu. "Hati-hati
dengan orangmu, Franky. Ada asap hitam kulihat di
sana. Aku belum tahu pasti namun tak perlu di
ragukan bahwa dari rombonganmu akan muncul
percikan-percikan kecil. Kalau ini tidak segera kau
waspadai maka percikan itu bakal menjadi bahaya."
"Terima kasih," pemuda ini menganggukangguk. "Akan kuperhatikan semua pesanmu, gak-hu.
Akan kuwaspadai orang-orangku itu dan kupadamkan
apinya sebelum besar."
"Bagus, dan kau," pendekar itu menunjuk Kong
Lee. "Jangan termakan oleh segala hasutan atau katakata manis, puteraku. Jangan buru-buru pulang
karena tenagamu mungkin kuperlukan."
"Baiklah, aku terima. Lagi pula tugas ini berat
dan rasanya panjang, ayah, tak mungkin aku cepatcepat pulang." pemuda itu mengiyakan.
46 Fang Fang tak bicara lagi karena tiba-tiba ia
berkelebat naik. Nasihat itu di rasanya cukup dan ia
pun harus waspada akan sesuatu. Terus terang
debaran hatinya tak kunjung selesai, jantung di
sebelah kirinya itu masih berdegup kencang. Dan
ketika pagi itu suasana menjadi terganggu oleh isak
dan tangis Ming Ming, ternyata wanita ini tak mampu
menguasai hatinya juga maka Beng Li menjadi jengkel
mengajak ibunya ke Bukit Angsa. Wanita muda ini tak
berhasil mengorek apapun dari ibunya, hati diamdiam panas.
"Tak ada apa-apa... tak ada apa-apa. Aku dan
ayahmu sama sekali tak bertengkar, Beng Li, aku... aku
hanya tak enak badan. Sudahlah tak usah kautanya
karena kami betul-betul tak ada apa-apa!"
"Tapi ibu menangis!" Beng Li mendesak. "Dan
tadi ibu Eng Eng bertolak pinggang marah-marah.
Kalau ayah tak adil biar kuhadapi dan kumarahi!"
"Tidak, jangan!" sang ibu tentu saja terkejut dan
panik. "Ayahmu adil dan bijaksana, Beng Li. Ia memper
lakukan ibumu dengan lembut dan kasih sayang.
Jangan marahi ayahmu karena ia tak bersalah!"
"Tapi ibu..."
47 "Sudahlah tak perlu mencampuri urusan ibu
tapi aku dan ayahmu benar-benar tak ada apa-apa!"
lalu ketika wanita ini menyuruh puterinya diam, Beng
Li bersungut-sungut maka tiba-tiba timbul pikirannya
jangan-jangan ibunya ini ada masalah dengan Ceng
Ceng, ibunya yang lain, dan sang ayah membela ibu
tirinya itu!
"Hm," kata-kata selanjutnya mengejutkan sang
ibu. "Kau ada urusan dengan ibu Ceng Ceng, ibu? Ayah
membelanya dan kau sakit hati?"
Ming Ming tersentak pucat. Memang ia sedang
terhimpit oleh madunya Ceng Ceng dan kini tiba-tiba
saja puterinya itu menebak cocok. Tak dapat disangkal
saat itu seluruh kekalutannya bersumber pada katakata suaminya tadi, bahwa ia akan bermusuhan
dengan Ceng Ceng. Maka ketika ia terkejut dan
berubah mendengar todongan ini, mengeluh dan
membalik tiba-tiba tangis dan sedu-sedannya tak
dapat ditahan lagi, pecah.
Gadis ini mengerutkan kening dan mulai merah,
la menjadi curiga dan tak senang. Dugaannya cocok!
Maka ketika ia mendengus dan mendesak ibunya itu
akhirnya Ming Ming hampir histeris dan men
cengkeram puterinya itu, betapapun kata-kata suami
48 nya masih diingat dan dipegangnya. Ia tak boleh
memberi tahu anak-anak.
"Kau tak perlu mencampuri urusan ibu, cukup.
Tutup mulutmu dan tak perlu bertanya-tanya!" Beng
Li mengatupkan mulut. Dia adalah wanita keras yang
selama ini tertutup lembut oleh kasih sayang suami
dan ayahnya. Dulu sebelum ibunya ini bertemu ayah
dia adalah gadis pemberani dan tak kenal takut. Masa
kecilnya yang penuh prihatin melihat penderitaan ibu
membuat gadis ini mudah meledak. Kini perasaan itu
muncul lagi, dugaannya kuat bahwa ada apa-apa
antara ibunya dengan Ceng Ceng. Dan sang ayah
rupanya membela ibu tirinya itu, ibu kandung disalah
kan. Maka ketika ia terbakar dan marah oleh bentakan
ini, pagi itu juga ia berwajah gelap maka siapapun
terkejut ketika tiba-tiba ia menyambar buntalan dan
lari turun gunung.
"Akan kucari ibu Ceng Ceng, akan kulabrak dia.
Siapa kira takut dan lihat bagaimana ayah nanti!"
Ming Ming terkejut setengah mati. Sebagai ibu
kandung tentu saja ia kenai baik watak anaknya ini,
bahkan sebenarnya Beng Li lebih keras dari dirinya
sendiri. Maka ketika ia terkejut melihat anaknya
menyambar buntalan, berkelebat meninggalkan
49 Liang-san pucatlah wanita ini men dengar kata-kata
itu. Ancaman ini bukan bohong!
"Beng Li, kembali!" bentakan itu disusul
bayangan Ming Ming yang mengejar puterinya.
Dengan gugup dan panik wanita ini mengejar gadis itu,
Beng Li tak perduli dan terus meluncur turun. Akan
tetapi ketika Franky dan lain-lain berkelebatan di kiri
kanan, tentu saja ribut-ribut itu didengar maka gadis
atau wanita muda ini disambar. Sang suami malah
berseru bingung.
"He, ke mana kau, Beng Li, ada apa. Berhenti
dan dengar seruan ibumu!"
"Lepaskan aku!" wanita itu mengipatkan tangan
suami. "Aku pergi mencari angin, Franky, nanti
kembali!"
Akan tetapi mana mungkin pemuda itu melepas
kan isterinya. Muka Beng Li merah padam dan jelas
marah besar. Ia tahu betul isterinya ini bohong. Maka
ketika ia melompat dan mengejar lagi, gagal dan
terpelanting maka Kong Lee menghadang dan
membentak adiknya itu.
"Beng Li, ada apa dengan ibumu. Berhenti!"
50 Beng Li membalik dan tiba-tiba meledakkan
rambutnya. Ia adalah pewaris nenek May-may dengan
ilmu rambutnya Sin-mauw-kang (Rambut Sakti), sekali
sabet kepala kerbau pun bakal pecah. Maka ketika
Kong Lee terkejut oleh serangan itu, mengelak dan
menangkis dengan pukulan Sinar Birunya (Bhi-kongciang) maka pemuda itu tergetar dan terhuyung akan
tetapi Beng Li menjerit dan menjadi kalap, tiba-tiba
tersedu-sedu.
"Aku tak ingin kalian halangi, pergi atau
kubunuh!"
Untunglah sang ayah muncul dengan cepat.
Fang Fang menyambar di belakang puterinya itu dan
menotok, Beng Li roboh dan menangis. Dan ketika
pendekar itu bertanya apa yang terjadi maka Ming
Ming bungkam, justeru merasa bingung.
"Dia... dia kumarahi, tadi kuhardik. Aku
menyesal dan biar Franky membawanya ke dalam!"
Fang Fang mengerutkan kening memandang
isterinya itu. Tentu saja ia tak menerima kata-kata
isterinya ini begitu saja. Akan tetapi karena di situ
banyak orang dan Franky menerima serta membawa
isterinya ke puncak maka di kamar pendekar ini
51 meminta penjelasan. Sungguh persoalan menjadi
berkembang.
"Ia mendesakku dan membuatku marah,
akhirnya kubentak dan ia ganti marah. Karena kuingat
kata-katamu tadi ma ka aku tak berani mengatakan
nya. Itulah yang terjadi dan ia tiba-tiba lari turun
gunung!"
Fang Fang menarik napas dalam. Ia tak mengira
bahwa isterinya bicara sebagian saja. Yang penting,
tentang dugaannya terhadap Ceng Ceng disembunyi
kan. Ming Ming tak menceritakan itu semata agar
suaminya tak menjadi marah. Ia tak ingin semuanya
marah-marah dan apa jadinya nanti. Maka ketika
suasana menjadi berubah dan tidak enak, sehari itu
Beng Li tak mau menampakkan diri maka kegembiraan
keluarga ini benar-benar terganggu dan yang paling
bingung barangkali Franky!
Betapa tidak. Malam itu mengurung diri tibatiba isterinya berkemas. Beng Li mengambil lagi
buntalannya dan berkata mau pergi, entah suami ikut
atau tidak. Dan ketika pemuda ini kelabakan dan
gugup serta panik maka Beng Li telah menyambar
pedangnya dan menyisipkannya di punggung.
Sikapnya seperti mau perang!
52 "Aku tak mau lagi tinggal di sini, ibu menyakiti
ku. Kalau kau ikut silakan, tidak juga tak apa. Jangan
ribut-ribut atau seumur hidup aku tak sudi kaudekati!"
Suami mana tak bakal seperti kambing
kebakaran jenggot. Beng Li keluar dan telah
melompati jendelanya, masuk dan hilang di malam
gelap. Dan karena ancaman itu tak mungkin
dilawannya, pemuda ini berseru mengejar maka
Franky sempat menulis surat memberi tahu keluarga
Liang-san, "Aku buru-buru, maaf. Beng Li ngamuk dan
marah-marah tak keruan juntrungnya. Kususul dia dan
entah ke mana!"
Tentu saja Fang Fang dan lain-lainnya terkejut.
Mereka baru tahu keesokan harinya, melihat pintu
kamar terbuka dan juga sepucuk surat itu. Dan ketika
semua menjadi kacau dan hanya Ming Ming yang tahu
persis maka wanita inipun lenyap dan meninggalkan
sepucuk surat pendek untuk suaminya:
Aku ke Bukit Angsa!
Bagai dihentak jantungnya denyut nadi
pendekar ini bertambah. Fang Fang berubah dan
pucat, tahulah ia apa yang bakal terjadi. Akan tetapi
ketika ia hendak pergi maka Kong Lee dan Yuliah pamit
lebih dulu. Tinggallah dia bersama Eng Eng, berdua.
53 Dan ketika pendekar ini berubah dan bingung serta
kaget, juga marah maka muncullah Bu-goanswe dan
Kok-taijin. Rombongan orang kulit putih itu telah
meninggalkan Liang-san.
"Ha-ha, selamat bertemu. Apa kabar pangeran,
paduka pagi ini tampak pucat. Eh, mana ketiga
isterimu itu!" Bu-goanswe maksudnya bergurau akan
tetapi pendekar ini tambah pucat. Eng Eng, isterinya
lenyap pula di situ! Dan ketika ia terduduk dan
terhenyak pucat, menggigil sendirian maka Kok-taijin
memberi hormat dan tahu keadaan. Ada sesuatu yang
gawat di situ.
"Maaf, kedatangan kami rupanya tak tepat. Apa


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang mengganggu dirimu, tai-hiap, bolehkah kami
tahu dan mana penghuni lain. Atau kami pulang dan
lain kali ke sini lagi."
Tak mungkin bagi Fang Fang menghalau tamutamunya ini. Dua anak muda itu, Kang Hu dan Kui Yang
mengkeret melihat wajahnya. Sinar berapi dan muka
gelap terbayang. Dan ketika Fang Fang menahan
semua gemuruh dan terpaksa menerima tamu, bicara
apa adanya maka Kok-taijin dan Bu-goanswe terkejut.
Mereka tiba-tiba tak enak.
54 "Aku harus mengejar anak isteriku. Ada sesuatu
yang harus kucegah, goan-swe, kalau kalian tidak
keberatan penuhilah permintaanku, yakni jagalah
tempat ini. Tunggu aku kembali dan setelah itu kita
bercakap-cakap enak!"
Empat tamu itu melenggong. Mereka tahu
betapa gugupnya tuan rumah dan Bu-goanswe
menekan guncangan hatinya pula. Dari kegelisahan
dan kemarahan pendekar itu dapat mereka rasakan
kesungguhannya. Maka ketika semua mengangguk
dan Fang Fang berkelebat lenyap, bayangannya tahutahu di bawah gunung maka Kui Yang dan Kang Hu
berseru kagum. Pendekar itu bagai iblis saja melesat.
"Ih, dia sudah di sana. Lihat, ayah, Fang-taihiap
di kaki gunung!"
"Dan gerakannya seperti siluman saja, cepat
bukan main. Kong-kong kalah jauh dan kita ini bahkan
bukan apa-apa!"
"Tentu, mana mungkin kalian. Mendiang
gurunya sendiri sudah bukan tandingannya, anakanak. Lihat dia lenyap dan kita menjadi penunggu
gunung. Eh, Liang-san berganti tuan rumah!"
Sayang empat orang itu harus mengernyitkan
kening. Kegembiraan bertemu kawan lama tak dapat
55 dilepaskan dulu, pendekar itu mempunyai urusan
penting. Dan ketika mereka berada di Liang-san
menunggu pemiliknya maka di Bukit Angsa memang
terjadi geger!
*** Wanita seperti Beng Li memang ber
temperamen keras. Ia mudah terbakar menerima
sesuatu yang menyakiti perasaannya. Dugaannya
bahwa sang ayah membela Ceng Ceng menyalahkan
ibu kandung membuat wanita ini panas. Siapa sih
wanita mau dimadu. Kalau ada laki-laki berani begitu
harap terima saja resikonya. Kalau tidak membela sini
ya membela sana, kalau tidak cekcok sini ya cekcok
sana. Dan karena ia hamil dan kelebihan hormon bagi
wanita hamil merubah pula watak dan perilakunya,
bisa menjadi lebih ganas dan keras maka seperti itu
pula yang dialami wanita muda ini mendengar ibunya
menangis sedih. Dan ia didamprat padahal membela.
Siapa tidak naik darah. Maka ketika ia meluncur dan
malam itu meninggalkan Liang-san adalah suaminya
yang jatuh bangun mengikuti di belakang. Dalam ilmu
silat memang pemuda kulit putih ini di bawah
isterinya.
56 "He, tunggu, jangan seperti harimau kehilangan
anaknya. Apa-apaan demikian cepat, Li-moi. Tunggu
aku dan lihat di sini, aduh bress!" pemuda itu jatuh
terpelanting di semak terantuk akar perdu. Beng Li
terkejut dan menoleh, betapapun ia terharu. Dan
ketika ia berjungkir balik menyambar suaminya itu,
pakaian dan baju serba kotor maka ia berkata
sebaiknya suaminya berpegangan tangannya.
(Nyambung jilid 4)
57 COVER 1 =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0=
Karya : Batara
Jilid IV *** "JANGAN berteriak-teriak, jangan ribut. Pegang
tanganku dan mari sama-sama pergi!"
"Baik, tapi ke mana. Kau seperti kambing
kebakaran jenggot."
"Kita ke Bukit Angsa."
"Bukit Angsa? Sendirian begini?"
"Tak perlu banyak tanya, Franky, kita ke sana
dan titik!"
Pemuda ini mengangguk-angguk. Ia tahu kapan
istrinya marah dan kapan tidak, maka diam saja tak
bertanya lagi ia pun sudah berpegangan tangan
isterinya itu dan meluncur terbang di malam buta.
Kalau saja Beng Li tak mengenal medan tentu wanita
ini tak berani mengerahkan ilmunya berlari cepat
seperti setan. Ia begitu buru-buru dan tak sabar.
3 Namun karena tempat itu cukup jauh dan tak mungkin
dilalui semalam saja, keesokannya sang suami
mengeluh dan kecapaian maka Franky berkata apakah
tidak sebaiknya perjalanan dihentikan dulu.
"Aku capai, kakiku sakit-sakit. Pundak dan
lututku ngilu semua, Beng Li, apakah tidak berhenti
dulu. Untuk apa buru-buru."
"Kalau begitu kau naik di punggungku, jangan
cecowetan. Kita terus melakukan perjalanan dan
harus sampai secepat nya!"
Pemuda ini meleletkan lidah. Ia dianggap
monyet yang cecowetan, kalau saja dalam keadaan
biasa tentu akan tergelak-gelak. Akan tetapi melihat
betapa sang isteri begitu serius dan marah besar iapun
menjadi khawatir dan tiba-tiba ia mengaduh terantuk
batu, terjerembab.
"Augh!"
Beng Li berhenti menolong suaminya itu. Sang
suami meringis akan tetapi ia mengertakkan gigi.
Suaminya ini memang tak sekuat, dirinya. Maka
menyambar dan menggendong suaminya di punggung
iapun berseru agar suaminya itu berpegang erat-erat
di belakang leher.
4 "Aku tak ingin tertunda, tak mau mengaso.
Pegang leherku erat-erat dan awas...!" wanita itu
sudah meluncur lagi dan Franky menjadi tak enak.
Mulailah dirasakan adanya yang tidak beres. Detak
jantungnya mengatakan bahwa isterinya akan
mengamuk di tempat orang. Maka ketika ia tertegun
namun meram-melek di belakang punggung,
betapapun ia merasa nikmat mendadak dipeluklah
leher itu dan diciumnya belakang tengkuk dengan
lembut. Ciuman yang membuat wanita itu gemetar!
"Li-moi, kau membuatku seperti anak kecil saja.
Lihat apa kata orang kalau aku di punggungmu begini.
Ingatlah si kecil di perutmu itu, ia rasanya menendangnendang tumitku."
Beng Li menggigil, memejamkan mata. Ia masih
hendak meneruskan larinya lagi ketika tiba-tiba
perutnya bergerak-gerak. Si kecil, yang masih ada di
kandungannya meronta, dan iapun tiba-tiba melilit.
Dan ketika sekali lagi Franky mendaratkan ciuman
begitu lembut, berbisik halus di pinggir telinganya
mendadak wanita inipun terisak dan jatuh terguling,
untung pemuda itu melompat turun.
5 "Sudahlah, sudah. Berhenti ya berhenti. Akan
tetapi tidak lama-lama dan carikan buah-buahan.
Perutku lapar!"
"Si kecil memberontak?"
"Kau gara-garanya, Franky, kau membuat
perutku sakit. Biar istirahat sebentar dan carikan
buah-buahan!"
Pemuda itu menarik napas dalam. Ia lega bahwa
sang isteri tak memaksa melakukan perjalanan lagi,
bukan apa-apa karena iapun merasa khawatir akan
janin di perut isterinya itu. Maka ketika dengan hatihati namun tersenyum mencarikan buah-buahan
segar, kebetulan di hutan itu ia tak memperoleh
kesulitan maka tak lama kemudian Beng Lipun telah
mendapatkan apa yang diminta. Perutnya minta diisi.
Franky tertawa manis. Ia segera duduk di
samping isterinya itu memeluk lembut. Dengan
usapan dan belaian kasih ia mencoba mengorek
keterangan, kalau sudah begini biasanya sang isteri
reda. Namun ketika jawaban yang keluar adalah
dengus dan wajah ditekuk iapun tersenyum pahit
mendengar kata-kata isterinya.
6 "Aku marah kepada ibu, akan tetapi sumbernya
di Bukit Angsa. Nanti kau tahu juga dan tak perlu
mengorek-ngorek!"
"Akan tetapi aku suamimu, betapapun perlu
tahu. Kalau ada yang salah pasti aku terlibat, Li-moi,
tak mungkin melepaskan dirimu."
"Kelak kau tahu, sekarang ayo berangkat lagi!"
Pemuda ini mengernyitkan dahi melihat sikap
itu. Tahulah dia bahwa sesuatu yang besar disimpan
isterinya ini, isterinya betul-betul marah. Maka
khawatir dan mencari akal iapun mencoba membujuk
atau menghalangi, namun sang isteri melompat dan
malah terbang lari!
"Baik, kau tak mau naik di punggung. Kalau
begitu susullah dan biar aku duluan!"
"Hei!" pemuda ini berteriak. "Tunggu, Beng Li.
Aku hanya main-main saja!"
Akan tetapi wanita itu menghilang dan lenyap.
Kali ini Beng Li tak mau perduli dan kelabakanlah
pemuda kulit putih itu. Franky mengeluh dan
berulang-ulang mengatakan celaka. Dan ketika ia
sendirian mengejar tergopoh, jatuh bangun maka
7 Beng Li telah tiba di Bukit Angsa keesokan harinya.
Namun tempat itu lengang!
Wanita ini tertegun mengusap keringat. Ia telah
memasuki hutan kecil itu dan tak lupa tempat ini.
Bukit di belakang hutan itu lengang, berkelebat dan
tiba di sini akan tetapi suasananya tak berpenghuni. Ia
tak tahu bahwa Kiok Eng dan seluruh keluarganya
sedang ke kota. Cit Kong, si kecil telah berusia tiga
puluh lima hari dan adat wanita Han untuk sekedar
selapanan, itulah yang terjadi. Maka ketika ia
menjublak tak melihat siapa-siapa, hanya rumah
mungil itu tak ditutup jendelanya maka iapun
melayang masuk dan sudah menunggu di ruang depan
dengan wajah kemerah-merahan. Matanya berapi.
"Akan kutunggu dan kutanya ibu Ceng Ceng.
Kalau ia bohong kulabrak!" Beng Li sudah mengambil
keputusan dan sikap ini tentu saja membuatnya
semakin garang. Ia mirip harimau betina diganggu
anaknya, siapapun bakal disikat. Dan ketika matahari
naik di kepala maka muncullah orang yang dicari-cari,
kebetulan bersama nenek gurunya May-may.
"Bagus!" wanita ini langsung meloncat keluar.
"Sudah lama aku menunggu-nunggumu ibu. Apa yang
8 kaulaporkan kepada ayah hingga ibuku menangis
tiada hentinya!"
Ceng Ceng terkejut dan nenek May-may juga
melengak. Mereka sudah tahu bahwa di dalam rumah
ada seseorang duduk menanti, berkelebat namun
disambut bentakan itu. Beng Li merah padam dan
berapi-api, sikap dan kata-katanya ketus hingga sang
ibu tiri terkejut. Akan tetapi ketika Ceng Ceng
tersenyum dan berseru girang, menganggap gadis ini
sedang kemasukan "angin" jahat maka ia tertawa
menenangkan guncangan.
"Beng Li, kau ini! Ah, ada apa dengan ibumu dan
kapan kau datang. Mana suamimu dan yang lain!"
Ceng Ceng tersentak ketika tiba-tiba ia didorong
mundur. Kalau saja May-may tidak menahannya tentu
wanita ini terjengkang. Beng Li sungguh-sungguh dan
kasar! Dan ketika wanita itu semakin terkejut
sementara Beng Li berapi-api, bertolak pinggang dan
menuding calon ibu muda itu berseru, kata demi kata
bak pedang berkarat yang ujungnya menyayat-nyayat.
"Kau, tak usah berpura-pura! Aku datang
menuntut tanggung jawabmu, bibi. Apa yang kau
katakan kepada ayah dan laporan apa saja yang
kaulontarkan. Ibu menangis tersedu-sedu. Kalian
9 tentu cekcok dan ayah membelamu. Katakan apa yang
kaulakukan atau aku tak menerima ini dan datang
mencari keadilan!"
Kagetlah wanita itu mendengar bentakan dan
kata-kata ini. Ceng Ceng yang semula bertahan dan
mengira gadis itu kesurupan tiba-tiba merah padam.
Beng Li, anak tirinya ini menyebutnya bibi, bukan lagi
ibu. Dan ketika ia berapi namun didahului May-may
mendadak nenek itu berkelebat menegur keras.
Nenek ini juga kaget dan marah.
"Beng Li, apa yang kaulakukan ini. Ada apa
dengan ibumu. Kau seperti setan kehabisan mangsa
dan marah-marah di sini. Katakan atau nanti aku
menghajarmu!"
"Hm, nenek jangan membela wanita ini. Sudah
cukup ibu menderita, nek, jangan ditambah lagi. Bibi
Ceng Ceng menyakiti hatinya dan kini ibu menyakiti
aku pula. Ia menghardik dan membuatku panas. Aku
datang untuk bertanya dan bukan ditanya!"
Nenek itu tertegun. Sebagaimana diketahui
nenek ini adalah subo atau guru Ming Ming, ibu Beng


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Li. Meskipun hubungannya terhadap Ceng Ceng baik
akan tetapi ikatan batin terhadap murid tentu lebih
baik lagi. Maka ketika ia terbelalak dan memandang
10 Ceng Ceng, mulai ragu maka nenek itupun curiga
jangan-jangan Ceng Ceng berbuat yang tidak-tidak.
Harap dimaklumi saja karena bukankah wanita ini
bermadu dengan Ming Ming, muridnya. Dan karena ia
juga bermadu dengan bekas isteri-isteri Dewa Mata
Keranjang, tahu benar hasutan dan gosokan terhadap
suami maka nenek ini tiba-tiba saja berbalik haluan
dan matanya yang berkilat tentu saja membuat Ceng
Ceng menjadi marah.
"Kau!" nenek itu menegur. "Apa yang kau
lakukan hingga madumu menangis, Ceng Ceng. Tak
mungkin Beng Li bohong kalau keadaan tak seserius
ini. Katakan dan jangan bohong kepadaku!"
"Aku tak melakukan apa-apa," Ceng Ceng
histeris dan melengking. "Justeru anak inilah yang
membuatku penasaran, subo. Aku tak melakukan apaapa kepada Ming Ming dan hubungan kami selalu
baik-baik saja!"
"Dan begitu baiknya hingga aku dibentak dan
dimaki-maki. Jangan bohong, bibi, atau aku
menyeretmu ke Liang-san!" Beng Li mengejek dan
kata-kata itu membuat sang ibu meledak. Ceng Ceng
tak tahan dan tiba-tiba membentak, menerjang atau
menampar gadis ini. Akan tetapi ketika Beng Li berkelit
11 dan nangkis maka May-may berkelebat men
cengkeram pundaknya. Nenek ini mulai percaya
bahwa Ceng Ceng melakukan sesuatu.
"Jangan menyerang kalau memang bersalah.
Katakan atau aku menghajarmu!"
Ceng Ceng menjerit. Merasa tak mampu
menghadapi lawan tangguh wanita ini pun meronta,
malu dan gusar dan akhirnya terlepas. May-may
memang tak sungguh-sungguh
menekankan
cengkeraman. Dan begitu wanita itu memutar tubuh
segera Ceng Ceng memanggil puteri atau
menantunya.
"Kiok Eng, Tan Hong, tolong! Ada siluman
berbisa menyerang ibumu!"
May-may terbelalak memandang Ceng Ceng.
Nenek ini tergetar juga mendengar lengkingan itu,
sadar bahwa di balik sana masih terdapat Kiok Eng dan
Tan Hong. Dua orang muda itu bukanlah tandingannya
dan ragulah nenek ini mengejar. Akan tetapi Beng Li
yang seperti harimau haus darah tiba-tiba membentak
dan mengejar.
"Ketahuan belangnya. Berhenti dan akui dulu
perbuatanmu, bibi, kembali ke Liang-san dan minta
maaf kepada ibu!"
12 Ceng Ceng panik. Ia mengira nenek itu
mengejarnya pula, bayangan Beng Li dikelit. Akan
tetapi karena Beng Li terus mengejar dan ia begitu
gugup akhirnya jambakan kuat membuat Ceng Ceng
tersentak dan terputar, kena tendangan dan tergulingguling. Namun ketika Beng Li hendak meneruskan
serangannya dan merobohkan lawan, kebencian
sudah menjadi satu tiba-tiba berkelebat bayangan
hitam dan... tar-tar, gadis itu terpelanting.
"Bocah kurang ajar, berani kau menghina ibumu
sendiri. Berhenti dan jangan macam-macam, Beng Li,
atau aku membunuhmu!"
Beng Li terpelanting bergulingan meloncat
bangun. Wanita seperti dia mudah sekali terbakar, ibu
hamil memang mudah meledak emosinya. Akan tetapi
ketika gadis itu melompat bangun dan mencabut
pedang maka May-may, nenek gurunya berkelebat.
Bayangan hitam itu adalah Lui-pian Sian-li Yan Bwee
Kiok, si Dewi Cambuk Kilat.
"Tua sama tua, jangan mengganggu anak-anak
muda. Kalau kau merasa gagah hadapilah aku, Bwee
Kiok, biarkan Beng Li menghadapi Ceng Ceng dan
urusan mereka diselesaikan tanpa dicampuri!"
13 Bwee Kiok, nenek bercambuk itu terkejut. Maymay yang berang dan kemerah-merahan ini jelas
membela muridnya sendiri. Ia datang mencegah Beng
Li akan tetapi May-may terang-terangan membela
murid. Sebenarnya ia belum tahu jelas duduk
persoalannya, kebetulan datang karena Kiok Eng dan
lain-lain masih di belakang. Mereka ini pulang susulmenyusul dan jadilah seperti itu, dengan Ceng Ceng
dan nenek May-may sebagai yang paling depan. Maka
ketika nenek itu mengerutkan kening sementara Maymay menghadang dan melecutkan rambut, sikapnya
penuh tantangan maka Beng Li merasa dilindungi dan
menyerang ibu tirinya lagi.
"Bagus, bantuanmu sudah datang. Betapapun
aku tak takut, bibi, yang salah harus ditindak dan yang
benar pasti menang!"
Ceng Ceng membentak dan menangkis. Setelah
subonya datang dan ia sedikit tenang maka terjangan
gadis itu diterima, pedang dikelit dan hampir saja
mengenai lehernya. Dan ketika bertubitubi lawan
menyerang dan menusuk lagi, kemarahan Beng Li jelas
semakin menjadi maka wanita inipun mencabut
senjatanya dan cambuk seperti gurunya meledak dan
membentur.
14 "Bocah tak tahu adat, kurang ajar. Kau seperti
orang gila tidak waras, Beng Li. Kalau kau tidak takut
akupun tidak takut... tar-tar!" cambuk menangkis
pedang akan tetapi karena tidak seperti anak muda
maka nyonya itu terhuyung. Tenaga Beng Li lebih kuat.
Dan ketika ia mengelak dan menangkis sana-sini,
tergetar dan terhuyung maka wanita ini menjadi pucat
karena harus diakui setelah bahagia dan hidup di
samping suaminya ia jarang berlatih lagi. Siapa berani
mengganggu Liang-san yang dihuni seekor naga
seperti Fang Fang itu.
"Plak-plak!" rambut coba membelit akan tetapi
malah putus. Sebentar kemudian ibu tiri ini terdesak
dan nenek Bwe Kiok tentu saja marah. Siapa senang
melihat murid dihajar. Maka ketika nenek itu memekik
dan berkelebat maju iapun telah memutari nenek
May-may menangkis atau mementalkan pedang Beng
Li. "Pergi dan enyahlah buang sial. Kau memuak
kan hatiku, Beng Li, panggil ayah mu dan ibumu itu...
plak-plak!" cambuk nenek ini lebih lihai dan Beng Li
terpelanting. Wanita itu menjerit dan marahlah nenek
May-may. Nenek itupun tak mau melihat cucu dihajar.
Maka ketika ia melengking dan menyabet si Cambuk
15 Kilat akhirnya Bwee Kiok berhadapan dengan
musuhnya itu, sekaligus madunya.
"Jangan menghina anak kecil. Tua sama tua,
Bwee Kiok, mari hadapi aku dan biarkan yang muda
bersama yang muda... tar-tar!" rambut meledak dan
May-may menerjang lawannya. Bwee Kiok tentu saja
terkejut akan tetapi nenek ini pun marah. Maka ketika
ia mengelak dan membalas lawan nenek itupun
melengking dan berkelebatan cepat. Emosi sudah
meledak-ledak.
"Bagus, siapa takut. Mari lihat tulang siapa yang
lebih rapuh, May-may. Kau selalu membela murid
sendiri tak mau bersikap adil!"
Jadilah dua nenek itu bertanding. Sebenarnya
mereka masih setengah hati ketika mengelak dan
menangkis, akan tetapi ketika kemarahan dan
penasaran membuat panas akhirnya mereka
bersungguh-sungguh dan rambut serta cambuk
meledak-ledak bagai halilintar!
Ceng Ceng marah sekali. Ia melihat betapa dua
orang tua itu saling terjang dengan sengit, dan karena
ini semua berawal dari Beng Li maka iapun marah
kepada gadis itu, apalagi ketika tanpa ampun lagi gadis
itu menyerang dan. mendesaknya, berulang-ulang
16 hendak menyeretnya ke Liang-san. Dan karena gadis
itu adalah anak tirinya maka iapun membalas dan
terjadilah pertempuran mati-matian di sini.
Akan tetapi Ceng Ceng mengeluh. Dari benturan
atau pertemuan pedang ternyata ia benar-benar kalah
kuat. Menyesallah dia kenapa jarang berlatih. Dan
ketika ia mulai terhuyung dan terdesak hebat, lawan
begitu ganas akhirnya pedang membabat pundaknya.
"Bret!" darah mengucur, Ceng Ceng menggigit
bibir dan melihat darah justeru lawan semakin
beringas. Berulang-ulang gadis itu gagal memaksa
lawan agar menyerah, sebenarnya Beng Li tak
bermaksud melukai apalagi membunuh. Akan tetapi
karena hati panas membuat darah cepat mendidih,
kebandelan wanita itu membuat gadis ini gusar
akhirnya sebuah tikaman mengenai lagi pangkal
lengan wa nita itu. "Cet!"
Ceng Ceng mengeluh dan terhuyung-huyung.
Sebagai wanita yang lebih tua dan memiliki harga diri
tentu saja wanita itu tak mau menyerah apalagi
dibawa dengan paksa. Baginya lebih baik mati dan
roboh di situ. Dan karena ia merasa tak bersalah
sementara sikap lawan membuatnya naik pitam maka
17 wanita inipun tak mau sudah dan ia atau lawan yang
mati. "Bagus, kau atau aku roboh. Kau anak durhaka,
Beng Li, tak tahu aturan. Tak sudi aku ke Liang-san dan
mati hidup lebih baik di sini!"
Beng Li menganggap kata-kata ini sebagai bukti
tak langsung. Kata-kata itu dianggapnya sebagai
jawaban takut, orang bersalah memang takut! Maka
ketika ia mendengus dan terus mendesak, di sana
Bwee Kiok pucat melihat keadaan Ceng Ceng maka
satu babatan hampir saja membuat leher wanita itu
putus. "Keji!" Cambuk Kilat Yan Bwee Kiok melengking.
"Kau benar-benar ingin membunuh ibu tirimu, Beng Li,
keparat. Terkutuk kau dan mampuslah!" nenek ini
meledakkan cambuknya akan tetapi May-may
menangkis. Berulang-ulang lawannya itu menghalangi
dia menyerang Beng Li, tua sama tua dan yang muda
biar dengan yang muda. Namun ketika Ceng Ceng se
makin kritis dan terdesak begitu hebat, roboh dan
bangun lagi maka terdengarlah lengking menggetar
kan disusul bayangan hitam.
"Bedebah keparat! Berani kau menyerang
ibuku, Beng Li, dan berani kau hendak membunuhnya.
18 Aih, jahanam terkutuk!" Kiok Eng muncul dengan
muka merah padam dan menyambar bagai seekor
burung betina gadis ini melancarkan Kiam ciang
(Tangan Pedang). Ilmu itu di tangan wanita ini amatlah
hebatnya, sebelas gurunya saja kewalahan. Maka
ketika tangan yang penuh getaran tenaga sakti itu
menampar pedang di tangan Beng Li, gadis ini terpekik
maka seketika itu juga pedang lawan patah. "Plak!"
Beng Li terpelanting dan mengaduh. Ia menjerit
dan bergulingan dengan muka pucat, di tangannya
tinggal sepotong gagang tak berarti. Dan ketika ia
meloncat bangun dan berhadapan dengan lawannya
itu, Kiok Eng yang berapi-api maka entahlah siapa
lebih membakar di antara dua pasang mata yang
sebenarnya sama-sama jeli dan indah itu. Mata yang
sebenarnya penuh daya pikat bak bintang kejora.
"Kau!" Beng Li membentak. "Bagus kau
membantu ibumu, Kiok Eng, jangan kira aku takut dan
siapa gentar melawanmu!" menerjang lagi dengan
pedang buntung gadis ini melompat dan menusuk
cepat. Kiok Eng mendorong ibunya mundur dan
menangkis, kemarahannya bertambah. Dan ketika
pedang mencelat dan gadis itu berkelebat menyambar
maka Kiok Eng yang mirip singa betina ini membalas
dan menampar lawannya, dikelit dan ditangkis akan
19 tetapi Tangan Pedang membuat Beng Li menjerit.
Kiam-ciang sanggup memukul patah pedang atau
segala macam senjata. Maka ketika sebentar
kemudian tangan gadis itu luka-luka, hanya dengan
pengerahan sinkang sekuatnya Beng Li bertahan matimatian maka gadis ini terdesak hebat dan memang
kepandaiannya kalah tinggi dengan Kiok Eng,
mengeluh dan jatuh bangun dan celakanya Kiok Eng
begitu ganas. Melihat sang ibu luka-luka membuat
gadis itu haus darah. Harap dimaklumi bahwa masingmasing sama berwatak keras, temperamennya tak
jauh berbeda dan ketika satu pukulan mendarat maka
robohlah Beng Li. Tidak cukup ini saja tendanganpun
dikeluarkan, tepat mengenai perut. Dan ketika jerit
tertahan disusul robohnya gadis itu, Beng Li muntah
darah maka bersamaan itu muncullah bayanganbayangan lain dan Franky serta Tan Hong dan Mien
Nio berkelebat, juga Ming Ming dan Eng Eng!
Terdengar pekik memilukan ketika Ming Ming
menubruk puterinya itu. Franky yang terkejut dan
pucat juga melompat dan menubruk isterinya. Ia ngeri
oleh tendangan ke perut tadi. Dan ketika semua
berhamburan dan May-may serta Bwee Kiok otomatis
berhenti, pecahlah tangis anak kecil maka Cit Kong,
20 yang berada di gendongan ayahnya melengkinglengking dan membuat keadaan semakin panas.
"Beng Li, kau tak mendengar kata-kata ibumu.


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kau keras kepala. Kau... ah!"
Ming Ming tersedu-sedu dan berulang kali ibu
yang cemas ini menotok dan mengguncang puterinya.
Akan tetapi karena Beng Li tak sadar dan masih juga
pingsan, pucat pasi maka sesuatu keluar dari bawah
perutnya. Darah!
"Beng Li...!!"
Jerit histeris ini menggetarkan setiap kalbu. Kiok
Eng yang terkejut oleh darah di bawah perut itu
terkesiap. Ia tak merasa melakukan pukulan di sana.
Dan ketika Ming Ming menjerit dan menyambar
puterinya maka wanita itu telah memondong dan
melompat masuk.
"Kau... kau membunuh cucuku. Ah, kau keji,
Kiok Eng. Keji!"
Kiok Eng tersirap dan pucat. Tiba-tiba semua
wanita merubung dan menolong Beng Li di dalam.
Wajah adiknya itu pucat sementara Tan Hong
melompat keluar, mengajak isterinya dan bergeraklah
wanita itu mendiamkan tangis Cit Kong yang menjadi21
jadi. Dan ketika di dalam rumah itu terdengar raung
dan jerit histeris, Beng Li mengalami pendarahan
ternyata gadis atau wanita ini keguguran.
Ngerilah semua yang menolong. Sungguh tak
mereka sangka bahwa gadis itu hamil. Memang
kehamilan yang masih muda belum begitu kentara,
Kiok Eng sendiri juga tak tahu dan itulah sebabnya ia
melepaskan tendangan. Kalau tahu tak mungkin ia
begitu, siapa mau berbuat gila. Maka ketika Ming
Ming menjerit dan melolong-lolong, Kiok Eng pucat di
sana ternyata gadis itu hancur janinnya.
Pendarahan terjadi, hebat. Berulang-ulang
nenek May-may dan Bwee Kiok mengurut perut. Apa
boleh buat mereka harus mengeluarkan sisa janin di
perut Beng Li, anak atau orok kecil itu hancur. Dan
ketika Beng Li tak sadarkan diri nyaris tewas, tiga hari
dua nenek ini bekerja keras maka Fang Fang muncul di
Situ. Wajah pendekar ini pucat, gelap berganti-ganti.
"Kau membunuh cucuku, jahanam keparat. Kau
membunuh cucuku, Kiok Eng, kubunuh kau!"
Kiok Eng disembunyikan Tan Hong. Melihat
keadaan begitu mengancam cepat saja pemuda ini
menyingkirkan isterinya, bukan apa-apa semata
menjaga persoalan kian keruh. Kiok Eng juga wanita
22 keras yang temperamennya tinggi, sekali meledak
susah dikendalikan. Dan karena Fang Fang juga setuju
gadis itu menghilang sejenak maka Ming Ming
memaki-maki dan hampir saja baku hantam dengan
Ceng Ceng.
"Kau!" bentakan itu diterima Ceng Ceng dengan
kening berkerut. "Puterimu membunuh cucuku, Ceng
Ceng. Berikan Cit Kong dan biar kubunuh pula dia.
Mana anak itu, mana Kiok Eng!"
"Aku minta maaf," Ceng Ceng menunduk dan
berusaha menyabarkan madunya ini. "Kiok Eng tak
sengaja membunuh siapapun, enci Ming, ia tak tahu
Beng Li hamil. Puterimu datang marah-marah dan
hampir membunuhku."
"Aku tak berurusan denganmu, aku berurusan
dengan Kiok Eng. Mana jahanam itu dan mana Cit
Kong. Biar kubunuh dia!"
"Anak kecil tak tahu apa-apa. Yang tua
berurusan dengan yang tua, enci, Cit Kong tak berdosa
kepadamu..."
"Tapi aku ingin impas, hutang ini harus dibayar.
Mana Kiok Eng atau bunuh sekalian aku!" Ming Ming
melompat dan memaki-maki Kiok Eng dan lama-lama
wanita ini panas juga. Kalau ditelusur obyektip justeru
23 Beng Li itulah yang salah, datang-datang melampias
marah padahal ia tak tahu apa-apa. Maka ketika batin
seorang ibu memberontak melihat anaknya dimakimaki akhirnya Ceng Ceng pun marah dan menegur
bahwa biang utama adalah Beng Li. Kalau gadis itu
tidak ngamuk seperti orang gila tak mungkin Kiok Eng
membela dan melindunginya. Tapi apa yang didapat?
Ming Ming malah menerjang madunya ini, mata gelap.
"Bagus, kalau begitu kau saja yang membayar
hutang. Lihat Beng Li hampir mati sementara cucuku
hilang jiwanya!"
Siapa mau dibunuh. Ceng Ceng mengelak dan
tentu saja membalas, ia dikejar dan menangkis.
Namun ketika dua orang itu siap mati hidup maka Fang
Fang melerai dan berkelebat datang.
"Tahan, Beng Li memanggilmu. Hentikan
seranganmu, Ming Ming. Dan kau menyingkirlah!"
Fang Fang mengibas Ceng Ceng dan dua wanita itu
terhuyung disapu minggir. Ceng Ceng tersedu
melompat keluar dan Ming Ming mengguguk ke kamar
puterinya. Beng Li sadar, merintih dan mencari ibunya.
Dan ketika gadis itu menangis dan kesakitan ternyata
ia minta pulang.
24 "Aku... aku tak mau tinggal di sini. Bawa aku
pulang, ibu, aku tak mau di sini...!"
"Baik, tempat ini memang kotor untukmu. Mari
pulang, Beng Li, kulindungi kau. Biar jahanam itu kita
urus lain kali dan kita pulang sama-sama!"
"Juga Franky..."
"Ya, aku di sini, Beng Li, kita pulang sama-sama."
Ming Ming bergerak dan menyambar puterinya.
Tanpa ba-bi-bu lagi ia keluar, melompat dan turun
bukit. Lalu ketika Franky mengikuti gak-bonya
menuruni Bukit Angsa maka Fang Fang muncul
dibentak sang isteri, mengira mereka akan ke Liangsan.
"Pergi, aku tak mau kautemani, atau aku
mengadu jiwa denganmu!"
Fang Fang mengelak dan membiarkan sang
isteri menangis tersedu-sedu. Sekilas Beng Li
memandang ayahnya dengan sikap tak senang,
kebencian dan kemarahan menyorot pula di situ. Dan
karena mendampingi orang marah adalah pekerjaan
berat, pendekar itu menarik napas dalam maka Fang
Fang membiarkan tiga orang itu menuruni bukit dan
25 tiba-tiba May-may nenek berangasan itu ikut pula,
lewat dan mendengus di samping pria ini.
"Tunggu,
aku ikut. Kita sama-sama sepenanggungan, Ming Ming, biar kubantu kau!"
Pendekar ini menarik napas dalam lagi.
Wajahnya berkerut-kerut dan keadaan seperti itu tak
mungkin dipulihkannya cepat, semua butuh waktu.
Maka menganggap mereka kembali ke Liang-san maka
pria ini kembali masuk dan karena ia sudah tahu duduk
persoalannya maka dilewatkannya hari-hari berikut
sambil menunggu redanya Ming Ming, sampai akhir
nya seminggu kemudian pulanglah dia ke Liang-san,
menyusul anak isterinya itu.
"Kupikir cukup, hati-hati menjaga Cit Kong. Aku
akan kembali ke Liang-san, Kiok Eng, biar ibumu di sini
dulu dan aku ditemani ibumu Eng Eng."
Memang wanita baju hijau inilah yang
menemani Fang Fang. Tak berani mencampuri urusan
ibu Kong Lee ini diam saja berdebar melihat semua itu.
Ia ngeri oleh akibat dari semuanya ini. Dan ketika sang
suami pulang ke Liang-san ia pun terisak mengikuti,
tapi alangkah kagetnya ketika Beng Li dan ibunya tak
ada di situ.
26 "Jangankan datang, melihat bajunya saja tidak,
taihiap. Sungguh mati tak ada siapapun datang ke sini.
Maaf, apa yang terjadi dan bolehkah kami tahu!"
Bu-goan swe yang bingung di tempat keheranheranan menyambut dan menjawab apa ada nya.
Fang Fang tak tahu bahwa Ming Ming meninggalkan
Tiong-goan ke negeri seberang. Beng Li meminta
ibunya pulang ke mertua, bukan ke Liang-san. Dan
ketika di tengah jalan kebetulan bertemu Kong Lee,
juga Yuliah maka Franky minta agar adiknya itu
mengantar isterinya pulang, menceritakan singkat tapi
jelas semua peristiwa itu, yang tentu saja membuat
wanita kulit putih itu terkejut setengah mati.
"Aku masih harus melaksanakan tugas, kalian
para wanita kurang berkepentingan. Bawa Beng Li
pulang, Yuliah, dan suruh ibu merawatnya. Kong Lee
akan menemaniku dan tugas Gubernur baru kulacak!"
Yuliah lalu berbalik dan membawa pulang Beng
Li. Ming Ming tentu saja ikut akan tetapi nenek Maymay ragu-ragu. Negeri asing itu masih aneh bagi nenek
ini. Maka ketika ia berkerut dan mengepal tinju tibatiba nenek ini berkata bahwa ia di Tiong-goan saja, tak
usah ikut.
27 "Aku akan diam-diam menculik Cit Kong,
kubunuh anak itu nanti. Kalian pergilah dan tenangkan
hati!"
Beng Li menangis dan memeluk nenek gurunya
itu. Apalagi yang dapat dikerjakan nenek ini kalau
bukan membunuh Cit Kong. Menghadapi Kiok Eng
atau Tan Hong tak mungkin ia lakukan. Maka ketika ia
berjanji dan tentu saja akan melakukan secara diamdiam, biarlah impas hutang keluarga itu maka nenek
ini kembali dan berpisah. Ancaman baru menggetar
kan keluarga Kiok Eng!
Fang Fang tak tahu ini. Ia tertegun ketika Beng
Li maupun ibunya tak ada di Liang-san. Bu-goanswe
dan tiga tamunya itu menggeleng-geleng. Dan ketika
ia menghempaskan diri dengan wajah begitu pucat
maka peristiwa itupun akhirnya diceritakan kepada
kakek gagah ini, juga Kok-taijin.
*** "Begitulah," Bu-goanswe dan teman-temannya
terbelalak, bulu kuduk merinding. "Kiok Eng
membunuh tanpa sengaja bayi Beng Li, goanswe, dan
akibatnya ibu dan anak marah besar. Beng Li minta
pulang, kupikir ke Liang-san, tapi ternyata tak ada dan
mereka entah ke mana."
28 "Mungkin ke Lembah Mawar, di telaga Chinghai!" Kok-taijin tiba-tiba berseru mengejutkan tuan
rumah. "Sudahkah kaucari di sana, taihiap, siapa tahu
mereka di sana!"
Fang Fang tertegun, bersinar-sinar. "Lembah
Mawar? Hm, mungkin saja, tapi aku belum ke sana.
Coba kucari nanti dan sekarang biarlah urusan kalian.
Ada apa kalian datang dan pasti membawa sesuatu
yang penting. Ceritakanlah dan maaf bahwa beberapa
hari ini kalian kutinggal."
Bu-goanswe menelan ludah. Tentu saja ia
terharu akan tetapi juga kagum akan pria di depannya
ini. Urusan sendiri ditangguhkan dan urusan orang lain
didengar, inilah benar-benar pendekar sejati. Akan
tetapi ketika Kok-taijin menginjak kakinya dan
melarang bicara, agaknya semua masih tak enak maka
jenderal ini batuk-batuk dan ragu tak menjawab.
"Kami, hmm... kami..."
"Ceritakanlah, tak apa-apa. Aku siap menerima
kalian, goanswe, sudah waktunya kita bicara. Atau aku
harus pergi ke Lembah Mawar!" tuan rumah tanggap.
"Maaf," Kok-taijin bangkit berdiri. "Urusanmu
demikian berat, taihiap, kami tak sampai hati
29 menambah persoalan lagi. Biarlah kami pulang dan
maaf telah mengganggu."
"Benar," Bu-goanswe juga bangkit. "Tak enak
menambah bebanmu, taihiap, biarlah kami selesaikan
dan lain kali saja!"
"Kalau begitu kedatangan kalian sia-sia. Aku
sendiri sudah membuka hati, goanswe, tak apa kalian
bicara."
"Biar aku saja!" Kang Hu tiba-tiba melompat
bangun. "Maafkan kalau kata-kataku lancang, taihiap.
Kong-kong dan Kok-lo-enghiong sebenarnya datang ke
sini untuk minta bantuanmu. Negeri terancam
penyakit ganas, mereka berdua belum mampu
mengatasi!"
"Benar, kami datang untuk itu. Rakyat terancam
bahaya besar, taihiap. Kalau saja tak ada persoalan ini
tentu ayah dan Bu-lo-enghiong tak mungkin
mengganggumu. Kami orang-orang muda juga ingin
berbuat sesuatu!" Kui Yang, yang bangkit dan hilang
takutnya sudah menyambung kata-kata atau seruan
Kang Hu. Sebagai orang-orang muda bersemangat
besar mereka tak tahan menutup-nutupi lagi, apalagi
tuan rumah membuka diri. Maka ketika masingmasing begitu berani dan Kok-taijin serta Bu-goanswe
30 tentu saja kaget maka dua kakek itu berdiri dan
membentak.
"Kang Hu, Kui Yang, jangan lancang di depan
Fang-taihiap. Tutup mulut kalian dan ingat bahwa tuan
rumah sedang berduka!"
Akan tetapi Fang Fang bersinar-sinar. Tiba-tiba
tanpa diketahui dua orang itu ia melihat adanya
seberkas cahaya di atas kepala orang-orang muda ini.
Ia terkejut dan memperhatikan, cahaya itu lenyap dan
berdebarlah hatinya menangkap sebuah firasat asing.
Dan ketika ia kagum dan tertarik memandang dua
orang itu, menarik napas dalam dan tersenyum
akhirnya ia berkata bahwa dua anak-anak muda itu
tidak bersalah.
"Semangat mereka tinggi, jiwa perjuanganpun


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggebu-gebu. Biarkan mereka bicara dan jangan
dihalangi, goanswe. Anak-anak muda ini menarik
perhatianku."
"Akan tetapi kau..."
"Sudahlah, duduklah. Biarkan mereka bicara
dan aku mendengarkan."
Bu-goanswe duduk lagi dan dua anak muda
itupun menjadi berani. Sejenak mereka mengkeret
31 oleh bentakan tadi, Kui Yang menunduk namun
wajahnya kemerah-merahan, jelas masih menyimpan
tidak puas. Maka ketika pendekar ini membela mereka
dan iapun bangkit lagi maka gadis ini mendahului
temannya. "Rakyat terancam musibah, penyakit kutukan
menyerang ganas. Kami telah datang di kota raja,
taihiap, akan tetapi ayah dan Bu-lo-enghiong merasa
tak mampu. Karena itulah kami datang untuk mohon
petunjuk!"
"Dan kami juga ingin berbuat sesuatu. Kami
ingin menyumbangkan tenaga dan apa saja untuk
negara, taihiap. Kami pun tak dapat berpeluk tangan
melihat semuanya ini. Kami ingin menyingsingkan
lengan baju!"
Fang Fang mengangguk-angguk. Kok-taijin dan
Bu-goanswe melotot tak dapat berkata apa-apa dan
segera dua orang muda itu yang bicara begitu
bersemangat. Kang Hu persis kakeknya yang gagah
perkasa itu. Dan ketika tuan rumah bersinar-sinar dan
kagum melihat keduanya, sinar itu tiba-tiba muncul
dan lenyap lagi tahulah Fang Fang bahwa dua orang
muda ini akan memelopori sesuatu dan iapun tertarik,
berdebar. 32 "Baiklah, terima kasih. Cerita itu sudah
kudengar dari anak dan menantuku, Kang Hu, tapi
betapapun cerita kalian tetap berharga. Kalau kalian
ingin membantunya biarlah kalian di sini dulu
menunggu Liang-san. Kakek kalian, hmm... kira nya
boleh pulang karena aku juga akan ke Lembah Mawar
mencari anak isteriku dulu."
Bu-goanswe dan Kok-taijin girang. Sebagai
orang-orang tua yang cepat mengerti tentu saja
mereka gembira bukan main. Perintah itu berarti
hadiah bagi anak-anak muda itu. Tuan rumah akan
memberikan sesuatu. Maka ketika jenderal itu
tertawa dan menyuruh cucunya berterima kasih
Anak Pendekar 10 Balada Padang Pasir Karya Tong Hua Pusaka Gua Siluman 14
^