Pencarian

Mencari Busur Kumala 3

Mencari Busur Kumala Karya Batara Bagian 3


cepat-cepat kakek ini mendorong kuat,
"Tunggu apalagi, terima dan ucapkan terima
kasih. He, calon gurumu ini bukan sembarangan
menyuruhmu di sini, Kang Hu. Kau disuruh menjaga
gunung akan tetapi disangoni oleh-oleh. Ayo, berlutut
dan ucapkan terima kasih!"
Kang Hu terkejut. Tentu saja ia tak menduga
akan tetapi iapun cepat menjatuhkan diri berlutut.
Kok-taijin juga berseru pada puterinya dan Kui Yang
mengikuti dengan bingung. Dan ketika ia mengucap
kan terima kasih dengan muka keheran-heranan, Bu33
goanswe tertawa bergelak maka Fang Fang tersenyum
diduga maksudnya, menyuruh dua anak muda itu
bangun. "Kakek dan ayah kalian berlebihan. Kalaupun
aku memberikan sedikit kepandaian maka itu bukan
berarti langsung menjadi murid, Kang Hu. Nanti
setelah pulang kulihat dulu bakat-bakat kalian. Aku
hanya memolesnya karena ayah atau kakek kalian pun
bukan orang sembarangan."
"Ha-ha, tapi mana menandingi pemilik Liangsan. Seribu tahun kami belajar tetap bukan tandingan
mu, Fang Fang. Sedikit atau banyak sudah merupakan
rejeki bagi anak-anak itu. Kami pun berterima kasih!"
Kok-taijin mengangguk-angguk dan berseri.
Memang dengan cepat mereka tanggap akan maksud
tuan rumah. Kalau mereka disuruh pulang sementara
anak-anak itu di situ apalagi maksudnya kalau bukan
memberi kepandaian. Tentu saja mereka girang dan
agak heran bahwa begitu tiba-tiba pendekar ini
mengambil sikap. Mereka tak tahu bahwa cahaya di
atas kepala itulah yang menggerakkan Fang Fang
mendekati dua anak muda ini, berdebar dan
menangkap sesuatu dan memang ingin melihat lebih
jauh watak dan sepak terjang mereka. Untuk ini tentu
34 saja mereka harus tinggal di situ. Akan tetapi karena ia
harus mencari dulu Beng Li dan ibunya, biarlah anakanak itu di situ maka pendekar ini mempersilakan Bugoanswe pulang sementara pasangan anak muda itu
menunggu Liang-san.
Kok-taijin mengucap terima kasih dan girang
bukan main memandang puterinya itu. Sekarang
barulah gadis ini tahu dan tentu saja Kui Yang girang.
Siapa tidak tahu kepandaian pendekar ini. Tapi ketika
dua kakek itu akan meninggalkan gunung tiba-tiba
Fang Fang berkata bahwa sebaiknya mereka kembali
lagi ke istana.
"Aku melihat sesuatu di sana, belum jelas. Coba
sekali lagi kalian masuk namun secara diam-diam saja.
Kalau benar tak ada apa-apa silakan kalian pulang dan
tunggu di rumah."
"Baik, akan kuikuti petunjukmu. Dan sekali lagi
terima kasih untuk anak-anak ini, Fang Fang.
Kugantungkan harapanku di pundakmu!"
"Aku tidak mengambil murid, hanya memoles
sana-sini saja. Kepandaian kalian tetap berharga,
goanswe, dan itulah yang akan kutingkatkan. Jangan
berharap berlebihan karena betapapun aku tak mau
dipanggil guru."
35 Jenderal itu tertawa. Bersama rekannya ia
berkelebat keluar, turun gunung. Dan ketika ia
melambai dan disambut anak-anak muda itu, Fang
Fang tersenyum maka pendekar ini membalik dan
memasuki rumahnya.
Fang Fang berkata bahwa hari itu juga ia ke
telaga Ching-hai, anak-anak muda itu diminta menjaga
Liang-san. Dan ketika ia menunjuk kamar belakang ia
berkata bahwa di situ anak-anak muda itu boleh
tinggal. "Aku tidak akan lama, paling empat lima hari.
Kamar besar di belakang itu cukup untuk kalian berdua
dan silakan beristirahat."
Kang Hu dan Kui Yang mengangguk terima
kasih. Pendekar ini pun berkelebat dan tak lama
meninggalkan Liang-san, Eng Eng tentu saja mengikuti
suaminya. Namun ketika malam hari itu muda-mudi
ini memasuki kamar yang dimaksud ternyata kamar itu
hanya sebuah, memang besar namun hanya satu itu
saja. "Eh!" Kang Hu tak tahu maksud Fang Fang.
"Kamar ini ternyata satu saja, Kui Yang, mana mungkin
tidur berdua. Kau saja yang di situ dan aku di luar!"
36 "Benar," gadis ini kemerah-merahan. "Kamar ini
hanya satu, Kang Hu, bagaimana Fang-taihiap tadi
menyuruh kita tidur di sini. Masa berdua!"
"Tak mungkin. Tentunya untukmu, Kui Yang,
aku di luar. Biarlah kau masuk dan aku di sini!"
Dua anak muda itu semburat sejenak namun
karena berhati polos dan bersih merekapun tak
berbuat lebih. Mereka tak tahu betapa dua pasang
mata mengintai penuh perhatian, ingin tahu dan
mengamati dua muda-mudi itu sampai Kui Yang
masuk kamar. Kang Hu sendiri melempar tubuh di
lantai, berbantal lengan. Lalu ketika pemuda itu pulas
dan benar-benar tak ada apa-apa di antara pasangan
ini maka dua pengintai itu saling pandang dan yang
satu tiba-tiba menyambar temannya berkelebat
lenyap. "Bagus, hati mereka benar-benar bersih.
Sekarang kita benar-benar pergi, Eng moi. Mari ke
Ching-hai dan kupercaya mereka!"
Kiranya bayangan itu adalah Fang Fang dan Eng
Eng. Pura-pura meninggalkan gunung sebenarnya
pendekar ini kembali lagi dan mengintai. Ia sengaja
menguji dua muda-mudi itu di Liang-san. Sekarang tak
ada siapa-siapa di sana kecuali mereka berdua.
37 Apapun dapat bebas dilakukan. Tapi ketika mudamudi itu tak melakukan apa-apa dan mereka benarbenar bersih, puaslah pendekar ini maka Fang Fang
benar-benar meninggalkan gunung dan langsung ke
bukit atau Lembah Mawar di telaga Ching-hai. Kang Hu
dan Kui Yang lolos dalam sebuah ujian tanpa mereka
sadari! *** Bu-goanswe dan Kok-taijin telah kembali ke
kota raja. Seperti yang diminta pendekar itu agar
datang secara diam-diam maka dua orang ini pun
datang tanpa diketahui siapapun, bahkan Caociangkun pun tidak. Dan ketika mereka berada di
istana sedikit kebingungan, apa yang harus dilakukan
maka di sudut tembok tinggi mereka berhenti sejenak,
untuk kesekian kalinya lagi jenderal ini keheranheranan oleh sikap pendekar Liang-san itu.
"Aneh, apa yang dia lihat. Kalau kita disuruhnya
pulang untuk apa diminta ke sini lagi, taijin. Daripada
buang-buang waktu lebih baik mendengkur di rumah.
Aku ingin menikmati kegembiraanku setelah Kang Hu
berada di Liang-san!"
"Benar, akupun gembira. Kalau anak-anak itu
mendapat sedikit kepandaian tentu keuntungannya
38 besar, goanswe, paling tidak orang tua seperti aku ini
mendapat perlindungan lebih baik. Mereka tentu
bakal lebih lihai!"
"Tapi Fang Fang mendapat musibah, hmm...
sungguh tak kusangka keluarga Liang-san bakal seperti
itu. Aku ngeri oleh sepak terjang si Kiok Eng itu, dia
masih ganas dan dapat sewaktu-waktu kumat!"
"Akan tetapi ayahnya dapat mengendalikan.
Aku juga prihatin oleh peristiwa itu, goanswe, namun
apa yang dapat kita lakukan. Mudah-mudahan saja
Beng Li dan ibunya dapat menerima itu sebagai
sebuah ketidaksengajaan. Kalau tidak, hmmm...
entahlah apa yang akan terjadi."
Bu-goanswe mengangguk dan merasa ngeri.
Akan tetapi karena ia tak mau berpikir itu maka ia pun
bertanya apa yang akan mereka kerjakan di situ.
Beberapa lampu di sudut istana tiba-tiba padam.
"Eh," jenderal ini heran. "Lampu di sebelah
barat itu mati, taijin, tadi masih hidup!"
"Dan lampu di belakangmu itu juga padam. Eh,
kenapa mendadak hampir berbarengan, goanswe,
rasanya ada yang tidak beres!"
39 "Coba kita selidiki. Kau di sebelah kiri aku di
sebelah kanan!" Bu-goanswe membelalakkan mata
dan sebagai seorang bekas perwira tinggi tentu saja ia
mencium gelagat mencurigakan. Tanpa banyak cakap
ia berkelebat. Dan ketika ia bergerak di sebelah kanan
dan terkejut bahwa di sebuah pos penjagaan ada lima
pengawal tidur mendengkur maka kakek itu marah
akan tetapi menahan tangannya ketika hendak
menampar lima penjaga itu.
"Keparat!" ia mendesis. "Ada maling hendak
main gila!"
Kakek tinggi besar ini cepat melangkahkan
kakinya dengan ringan dan ingat bahwa kedatangan
nya tak boleh diketahui istana iapun menyelinap dan
masuk dengan cepat. Matanya kian membelalak
melihat tubuh-tubuh pengawal bergelimpangan,
semuanya pulas tidur. Dan ketika ia mencium bau
dupa dan kepalanya menjadi pening maka kakek ini
kaget karena ilmu sirep menyebar istana. Ia baru sadar
setelah masuk dan merasa kantuk.
"Jahanam!" jenderal ini mengutuk. "Apa
maksudmu, maling hina. Kau hendak mengganggu
istana!" Cepat mengerahkan batinnya kakek ini
mengusir kantuk dengan hembusan kuat. Ia adalah
40 seorang gagah yang matang dan cukup ber
pengalaman, mengikuti bau dupa itu dan ternyata di
mana-mana para pengawal tergolek malangmelintang. Dari situ dapat di ketahui betapa kuat ilmu
sirep ini, semakin ke dalam rasanya semakin hebat. Ia
harus menghembus dan menambah kekuatan
batinnya berulang-ulang. Dan ketika jenderal itu
berhasil menguasai ilmu sirep dan marah melacak
jejak maka tiba-tiba bau dupa meluncur di luar dan
seseorang mendadak berkelebat dari gedung pusaka.
"Hei!" Bu-goanswe membentak. "Berhenti,
tikus busuk. Siapa kau!"
Orang itu terkejut. Ia membawa sesuatu di
belakang punggung seakan gendewa, cepat menoleh
dan jenderal itu berkelebat datang. Dan ketika Bugoanswe terbelalak melihat seorang laki-laki
bertopeng, berpakaian serba hitam maka jenderal ini
marah sekali dan kedua tangannya langsung
menyambar. Kedok atau topeng itu menjadi sasaran.
"Siapa kau, buka topengmu!"
Orang itu mengelak. Rupanya ia kaget bahwa
ilmu sirepnya tidak mempan terhadap kakek tinggi
besar ini, meloncat dan lari meninggalkan jenderal itu
akan tetapi Bu-goanswe tentu saja mengejar. Mana
41 mungkin kakek ini membiarkan lolos. Maka ketika ia
menghantam dan pukulan jarak jauhnya menyambar
punggung, laki-laki itu membalik maka dua pukulan
bertemu akan tetapi kakek ini terpental.
"Dukk!" Bu-goanswe terkejut. Lawan ternyata
amat lihai namun karena berada di istana ia tak mau
melayani jenderal ini, buktinya ia membalik dan lari
lagi. Akan tetapi karena Bu-goanswe marah dan
menendang batu-batu kecil maka batu-batu itu
merupakan amgi (senjata gelap) menyambar laki-laki
ini. "Plak-plak-plak!" semua batu dikebut runtuh.
Bu-goanswe semakin terkejut akan tetapi karena ia
terus mengejar maka pukulannya kembali
menyambar. Kakek ini tak mencabut pedang di
pinggang. Dan ketika lawan rupanya marah sementara
Bu-goanswe bersuit memanggil Kok-taijin maka lakilaki berkedok itu membentak dan sebatang pedang
panjang tahu-tahu dicabut dan mendesing ke leher
Bu-goanswe.
"Plak-wutt!" hampir saja jenderal ini menjadi
korban. Ia menarik tangan kanannya sementara
tangan kiri memukul gagang pedang. Lawan melotot
dan melihat bayangan Kok-taijin. Dan ketika ia gugup
42 ada seorang lagi tak mempan ilmu sirep, ia mendesis
maka laki-laki itu melompat dan lari meninggalkan
ruangan. "Kejar, awas tangkap dia!" Bu-goanswe tak
mungkin mundur dan kakek ini pun menendang lagi
batu-batu kecil. Suara tang-ting disusul runtuhnya
batu-batu itu, tanpa menoleh laki-laki berkedok ini
menangkis. Dan ketika di sana Kok-taijin sudah
menghadang dan membentaknya maka penjahat ini
marah dan iapun menusuk tenggorokan lawan dengan
mata berkilat.
"Singgg!" Kok-taijin mengelak akan te tapi
pedang membalik dan menyambar la gi. Tidak hanya
itu melainkan kaki lawan juga menendang, nyaris
mengenai selangkangannya. Dan ketika pembesar ini
mun dur dan Bu-goanswe sudah melompat di situ
maka jenderal ini berseru bahwa lawan cukup lihai.
"Awas, pedangnya berbahaya. Cabut senjata
dan robohkan dia!" jenderal ini sudah mencabut
pedangnya dan ia pun menerjang dengan amat marah,
Meskipun usianya sudah enam puluhan tahun akan
tetapi kakek ini amat tangkas, ia menggerakkan
tangan kirinya mengiringi tusukan-tusukan pedang,
tak kalah dengan lawan akan tetapi tenaga kurang
43 kuat. Tiga kali jenderal itu terpental. Dan ketika


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rekannya juga mencabut senjata namun Kok-taijin
berhati-hati, pedang di tangan tak bermaksud
membunuh maka konsentrasi penjahat ini membuat
ilmu sirepnya perlahan-lahan pudar, karena pengawal
mulai bangun berdiri dan tiba-tiba berkelebat
bayangan Cao-ciangkun sebagai komandan istana.
44 "Hei, goanswe dan Kok-taijin kiranya. Siapa
penjahat ini!"
"Entahlah, ia keluar dari ruang pusaka dan aku
memergokinya. Awas, ciang-kun, pedangnya ber
bahaya dan panggil semua pengawalmu... tringtrangg!" bunga api berpijar dan Bu-goanswe meng
hentikan kata-katanya karena lawan menjadi ganas
dan membentak marah. Tangkisannya membuat
lawan mundur dan jenderal itu terhuyung, Kok-taijin
juga terpental dan berseru kaget. Dan ketika Caociang-kun menerjang dengan goloknya namun
mencelat terlepas, terpekiklah perwira ini maka
seruan Bu-goanswe untuk memanggil dan
mengerahkan pasukan cepat diikuti.
Akan tetapi laki-laki bertopeng mendengus. Ia
tak mau dikeroyok dan melompat kabur, tangan
kirinya bergerak dan belasan jarum halus menyambar.
Dan karena saat itu goanswe dan taijin terhuyung
mundur maka laki-laki itu melarikan diri dan sekali
kakinya mengenjot ia pun telah melewati tembok
istana bertepatan dengan masuknya pengawal berlari
datang. "Kejar, kepung dia. Tangkap!"
45 Namun sinar-sinar hitam kembali menyambar.
Pengawal yang ada di luar tembok menjerit, mereka
roboh dan berkelebatlah laki-laki itu meninggalkan
istana. Dan ketika Bu-goanswe mengejar dan
menyumpah serapah, laki-laki itu menghilang di
kegelapan malam maka sukar bagi kakek tinggi besar
ini mengejar lawan. Sesekali penjahat itu meloncat di
atas genting, berlarian dan turun lagi menghindar
pengawal di bawah. Dan karena ilmu meringankan
tubuhnya hebat sekali dan jarum-jarum hitam
memaksa jenderal itu berhenti menangkis maka lakilaki itu lenyap dan Bu-goanswe merah padam di luar
kota raja. Kok-taijin berkelebat dan berdiri di
sampingnya, istana geger.
"Busur Kumala lenyap. Penjahat itu membawa
lari Busur Kumala!"
Dua orang ini tertegun. Cao-ciangkun, yang
menyambar dan turun di dekat mereka berseru
dengan muka pucat. Pengawal berdatangan dan
mereka telah memeriksa isi gedung pusaka, melihat
bahwa yang hilang adalah Busur Kumala itu, satu dari
sekian senjata keramat yang dituahkan istana. Dan
ketika keributan itu membangunkan kaisar, laporan
diberikan maka sri baginda terkejut dan merah
padam. 46 Bu-goanswe dan Kok-taijin diminta datang.
Kembalinya dua purnawirawan ini akhirnya diketahui
pula oleh istana, Cao-ciangkun dan anak buahnya
melihat mereka. Maka ketika di pintu gerbang seorang
utusan memberi hormat, datang menyampaikan
permintaan kaisar maka dua orang ini tak mungkin
menolak. "Sri baginda ingin jiwi berdua datang meng
hadap. Cao-ciangkun silakan mengiringi."
Tiga orang itu bergerak. Bu-goanswe melihat
terakhir kalinya laki-laki bertopeng berjungkir balik
melampaui pintu gerbang setinggi tujuh delapan
meter itu, diam-diam terkejut karena ia sendiri tak
mungkin mengenjot tubuh sekali jejak. Dan ketika
Kok-taijin memandangnya dan menarik napas dalam
maka rekannya itu memutar tubuh dan kejadian
malam itu benar-benar mengejutkan.
Sri baginda bermuka gelap. Betapapun Caociangkun adalah komandan di situ, harus bertanggung
jawab dan masuknya penjahat mencoreng seluruh
istana. Maka biarpun perwira itu bersama Bugoanswe dan Kok-taijin tetap saja wajah kaisar tak
bersahabat. Dan Cao-ciangkun berlutut cepat
tanggap, sadar akan kesalahannya.
47 "Mohon ampun, hamba siap menerima
hukuman. Tak ada yang perlu hamba bela, sri baginda,
kesalahan sepenuhnya di pundak hamba. Hamba
kecolongan dan tak akan membela diri."
"Bagus, kesalahanmu berat. Dua pilihan yang
harus kaupilih, ciangkun, letakkan jabatan dan pergi
dari sini atau cari penjahat itu dan temukan kembali
Busur Kumala!" lalu memandang Bu-goanswe dan
Kok-taijin sri baginda agak berubah sikap. "Kalian
berjasa memergoki penjahat. Kalau tak ada kalian
berdua entahlah apa yang akan diambil lagi, goanswe,
kami ingin memberi penghargaan dan kedatangan
kalian sungguh tepat sekali!"
"Maaf," Bu-goanswe mengerutkan kening.
Kedatangan kami sebenarnya tak sengaja, sri baginda.
Kami datang semata atas petunjuk Fang Fang. Dari
Liang-san kami diminta ke sini lagi, dan tiba-tiba kami
melihat penjahat itu. Kalau kami akan diberi sesuatu
bolehkah kami usul, yakni bagaimana kalau Caociangkun bersama kami mencari penjahat itu, jangan
dicabut kedudukannya. Maling itu amat lihai dan
biarpun kami masih memegang kedudukan terus
terang saja kami pun tak mampu menahan!"
48 "Benar," Kok-taijin mengangguk pula, di depan
kaisar mereka bebas bicara. "Terus terang saja kami
pun tak mampu, sri baginda. Kalau Cao-ciangkun
seorang diri ia hanya akan celaka. Kalau boleh biarlah
kami bawa serta dan paduka jangan buru-buru
menjatuhkan hukuman."
"Baiklah," sri baginda setuju setelah berpikir
sejenak, pengaruh dua bekas pembantunya ini masih
kuat. "Hanya tahukah kalian pentingnya busur itu,
goanswe, karena di samping sebuah senjata yang
dikeramatkan iapun memiliki sisi lain bagi istana ini,
hubungan baik dengan negeri Tibet. Ketahuilah bahwa
Busur Kumala itu hadiah persahabatan Raja Bhu Yung
kepada mendiang kakek-buyut seratus tahun silam.
Kalau ia hilang maka Tibet akan menyangka kita tidak
menghargai pemberiannya dan ini berakibat renggang
nya persahabatan dua negara, apalagi kalau sampai
tercuri dan kita tidak cepat mencarinya!"
Bu-goanswe mengangguk-angguk, bertemu
pandang dengan rekannya dan dua orang ini diamdiam terkejut. Baru mereka tahu bahwa Busur Kumala
itu berawal dari hadiah Raja Tibet. Kalau kini hilang
dan dibiarkan saja jelas Tibet akan menganggap
mereka acuh dan tidak menghargai cinderamata. Ini
bisa berakibat buruk bagi negara dan persahabatan
49 yang sudah dibina bisa hancur. Maka ketika mereka
saling mengangguk dan mengerti betapa pentingnya
Busur Kumala itu, apalagi kalau sampai dipakai mainmain maka beberapa keterangan didapat dari kaisar.
Hanya sri baginda inilah yang tahu persis tanda-tanda
busur keramat itu.
"Gagangnya terbuat dari emas, ujung kedua
busur dihiasai mainan batu giok (kumala) yang amat
berharga, empat belas jumlahnya. Dan karena busur
ini satu-satunya di dunia, terdapat gambar hong dan
liong sebagai lambang kedua negara maka tak ada
satupun yang mirip dan ia mudah dikenal sementara
tali busurnya terbuat dari urat kerbau yang direndam
belasan tahun lamanya."
"Hamba akan memperhatikan semua itu, akan
hamba cari dan rampas Busur Kumala itu. Biarlah kami
bertiga mencari dan melaksanakan tugas ini, sri
baginda, sekarang biarlah kami pamit dan mohon
restu."
"Baiklah, dan cepat dapatkan kembali busur itu.
Jaga jangan sampai Tibet mengetahui ini, goanswe,
atau hubungan kami buruk!"
"Hamba mengerti, rahasia ini akan kami tutup
rapat. Permisi, baginda, kami pamit mundur."
50 Bu-goanswe dan Kok-taijin serta Cao-ciangkun
meninggalkan ruangan. Kaisar memberikan restu dan
malam itu juga semua orang dilarang bicara. Tibet tak
boleh tahu kejadian ini, istana harus menjaga diri dan
menjaga hubungan baik dua negara. Akan tetapi
karena serapat-rapatnya penjagaan itu tetap juga
rahasia ini bocor maka berita dari mulut ke mulut
dilakukan secara bisik-bisik dan mulailah orang
tertarik untuk mendapatkan Busur Kumala itu,
terutama orang kang-ouw!
Bu-goanswe sendiri sudah meninggalkan istana
dan kembali ke Hutan Jago. Cao-ciangkun mengikuti
mereka berdua. Dan karena di sanalah mereka hendak
mengatur rencana maka selentingan ini baru mereka
ketahui setelah datangnya orang-orang kang-ouw
yang menguntit mereka, atau tepatnya menguntit
Cao-ciang kun karena perwira itulah yang mendapat
tugas langsung mencari dan menemukan Busur
Kumala! *** Seorang anak kecil mendaki Liang-san. Usianya
sekitar sebelas atau dua belas tahun dan wajahnya
yang bulat dengan sepasang mata tajam bersinarsinar menunjukkan bahwa anak laki-laki ini seorang
51 bocah pemberani dan cerdik. Ia membawa busur di
tangan kanannya sementara di belakang punggungnya
bergelantungan hasil buruan berupa dua ekor gagak
dan tiga ekor kelinci hutan, juga belasan burung
tekukur dan bajing. Gerak-geriknya gesit dan orang
akan terheran-heran melihat sepasang kakinya
demikian lincah mendaki tempat-tempat terjal,
keheranan bercampur kagum. Dan ketika ia terus naik
begitu tinggi dan berhenti di lereng terjal, kelepak
seekor elang membuat matanya menyambar tajam
tiba-tiba saja anak ini menyelinap dan bersembunyi di
belakang sebuah batu besar, busur di tangan sudah
meregang dan sebatang anak panah siap meluncur.
Akan tetapi anak ini mendesah. Sang elang
lenyap di balik gunung ketika dengan tiba-tiba muncul
seorang dara menggebah nyaring. Seekor harimau
kumbang meloncat terbang menggigit seekor
kambing, melesat dan dikejar dan gadis itu marahmarah. Inilah Kui Yang yang berburu membuang sepi,
dan tempat lain muncullah Kang Hu yang juga
membawa busur. Mereka tak memperhatikan elang di
atas karena harimau itu lebih berharga, dagingnya
lebih sedap dan santapan ini jelas merangsang selera.
Maka ketika tiba-tiba gadis itu berseru agar temannya
mencegat di depan, sang harimau terkejut maka
52 pemuda itu menjepretkan anak panahnya serentak
dengan Kui Yang yang juga membidik dan berang
bahwa lawan berkali-kali lolos. "Sing-sing-sing!"
Tiga anak panah meluncur dari tiga arah. Kang
Hu dan Kui Yang sama-sama terkejut karena dari balik
batu hitam me nyambar panah lain, mereka tak
melihat bahwa di balik itu bocah itu sedang
bersembunyi, mengincar elang akan tetapi sang
harimau kumbang berlari ke arahnya. Maka ketika
panah dilepaskan dan anak inilah yang lebih
beruntung, harimau itu menuju arahnya maka justeru
panah di tangannya itulah yang paling dulu mengenai
sasaran disusul dua panah Kang Hu dan Kui Yang yang
menancap di pantat dan kaki depan harimau itu.
Panah si bocah mengenai leher.
"Crep-crep-crep!"
Harimau roboh disusul sorak dan munculnya
anak ini. Dia langsung berlari dan menubruk
mangsanya, sebilah pisau dicabut dan dengan gagah
berani ia telah menyerang dan menghujani harimau
kumbang ini. Binatang itu meraung dan roboh akan
tetapi belum mati, kambing di mulutnya terlepas.
Maka ketika ia ditubruk dan semakin terkejut,
mencakar dan menggigit namun anak ini telah
53 menghunjamkan pisaunya berulang-ulang maka
binatang itu roboh dan akhirnya mati. Sebelas luka
menghias tubuhnya mandi darah.
"Ha-ha-ha, kalian kalah cepat!"
Kui Yang dan Kang Hu tertegun. Mereka telah
berkelebat dan tiba di situ dengan mata terbelalak
kaget, juga marah. Bocah ini adalah anak yang dulu
mengganggu di luar kota raja itu, yang membuat
mereka kemalaman dan terlambat pulang! Maka
ketika Kui Yang berseru kaget dan merebut bangkai
binatang itu, si anak terkejut maka anak itu
menusukkan pisau belatinya ke tangan lawan.
"Kembalikan dan serahkan buruanku!"
Kui Yang menyampok. Ia marah oleh tusukan ini
akan tetapi anak itu menggerakkan gendewa, kali ini
dipukulan ke kepala gadis itu. Dan ketika Kui Yang
semakin marah dan balas menangkis maka gendewa
nya menghantam kepala anak itu.
"Buk-takk!"
Dua orang ini sudah saling pukul dan tangkis.
Pisau mencelat akan tetapi lengan Kui Yang tergurat,
anak itu terjengkang, kepalanya benjut. Dan ketika ia
bergulingan bangun dengan pekik seorang pemburu,
54 siap menerjang lagi maka Kang Hu meloncat buruburu mencegah dua orang ini.
"Stop, tahan. Berhenti! Jangan serang anak ini,
Kui Yang, dan kau sobat cilik juga jangan menyerang.


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berhenti dan biarlah harimau ini untuknya!"
"Apa, buat dia? Enak saja! Tidak kuberikan dan
jangan serakah. Ia buruanku, Kang Hu, kukejar sejak
tadi. Ia tinggal memanah dan enak menikmati. Tidak,
tidak kuberikan!"
"Kaulah yang tak akan kuberi. Aku yang
membunuhnya, enci bawel. Tanpa panahku tak
mungkin ia roboh, lagi pula pisauku mematikannya.
Aku yang lebih berhak!"
"Tak tahu malu!"
"Kau yang tak tahu malu!"
Lalu ketika dua orang ini ribut dan. Kang Hu
menjadi bingung, harus diakui bahwa panah itu lah
yang membuat si harimau roboh akhirnya ia
mengangkat tangan tinggi-tinggi berseru,
"Sudah, tunggu dulu. Kita bagi tiga saja kalau
masing-masing ngotot. Kau sobat cilik harap jangan
menarik urat dengan seorang wanita!"
55 "Boleh, dan ia sedikit daging di pantat.
Panahnya kena pantat!"
"Siapa sudi makan pantat. Kau bocah cilik
benar-benar kurang ajar dan menghina orang lain.
Kalau bukan aku yang mengejar-ngejar dan
memburunya sampai ke sini tak mungkin kau
memanah. Kau leher ke atas dan yang lain punya
kami!"
Kang Hu sibuk melerai dan berteriak berulangulang. Saking jengkel akhirnya pemuda ini
membentak, harimau ditendang dan terlempar ke
dalam jurang. Dan ketika dua orang itu terkejut dan
marah memandangnya maka Kui Yang berkelebat
menuding hidungnya.
(Nyambung jilid 5)
56 COVER 1 =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0=
Karya : Batara
Jilid V *** "KAU! Apa-apaan kau ini? Berani kau melempar
dan membuang buruanku? Hayo ganti, atau ambil
kembali. Aku tak mau kau melempar buruanku, Kang
Hu, itu milikku. Hayo ambil!"
"Sabar, nanti dulu. Aku tak mau kalian ributribut."
"Ribut apa!" si bocah membentak dan maju
pula, marah. "Kau yang kurang ajar membuat ributribut ini, engkoh gede. Kalau kau tidak membuang
binatang itu rasanya mau aku berbagi adil. Kau kurang
ajar, enak saja menendang harimau itu. Hayo ambil
kembali atau aku menyerang mu!"
"Wah-wah!" Kang Hu melotot dan merah
mukanya. "Kau ikut-ikutan membela Kui Yang? Kau
siluman cilik ini menyuruh aku mengambil kembali?
He, dengarkan dan buka matamu baik-baik. Harimau
3 itu pangkal keributan kalian. Kalau aku tidak
melemparnya tentu kalian terus bertengkar. Daripada
membuat sebal lebih baik dibuang. Nah, bukankah
baik dan tidak ribut-ribut lagi!"
"Baik gundulmu!" anak itu memaki. "Aku susah
payah memanahnya, siluman gede. Kalau sekarang
kau membuangnya maka aku menuntut ganti rugi.
Aku tidak dapat menerima omonganmu dan ambil
atau ganti yang lain!"
Kang Hu marah. Ia menampar anak ini akan
tetapi ditangkis gendewa, maju dan menotok akan
tetapi bocah itu berkelit. Dan ketika Kui Yang
terbelalak melihat itu tiba-tiba gadis ini membentak
dan berkelebat memaki anak itu, betapa pun merasa
harimau itu adalah buruannya.
"Kau tak berhak ikut campur, berani kau
memaki temanku. Kalau sekecil ini sudah kurang ajar
tentu kalau besar semakin menjadi. Hayo pergi dan
jangan turut urusan!"
Anak itu terkejut dan sibuk dan satu tamparan
Kui Yang akhirnya mengenai pundaknya. Ia terjungkal
dan roboh menjerit dan marah sekali. Gadis itu tibatiba mengeroyoknya. Maka ketika ia meloncat bangun
dan mengayunkan gendewanya segera ia memukul
4 gadis itu dan Kui Yang berkelit, Kang Hu mundur
menjauh dan dua orang itu berkelahi seru. Kui Yang
menggerakkan gendewanya pula menangkis dan
memukul. Dan ketika masing-masing sama marah dan
mengayun atau memukulkan gendewanya segera dua
orang itu caci-mencaci dan Kang Hu menonton dengan
perasaan bingung.
Sebenarnya pemuda ini juga marah kepada
anak laki-laki keras kepala itu. Sikap dan kata-katanya
dinilai sombong akan tetapi satu yang membuat ia
kagum, yakni keberanian anak itu. Maka ketika ia
membiarkan keduanya bertempur namun perlahan
tetapi pasti Kui Yang mendesak si bocah akhirnya anak
ini mundur-mundur dan empat lima kali gendewa di
tangan Kui Yang menghajar tubuhnya.
"Buk-bukk!"
Dan ketika masing-masing sama marah dan
mengayun atau memukulkan gendewanya segera dua
orang itu caci-mencaci dan Kang Bu menonton...
Anak ini mendesis namun daya tahan tubuhnya
kuat benar. Ia terhuyung namun maju lagi dan Kui
Yang kagum akan keberaniannya. Memang anak ini
pemberani dan gagah. Akan tetapi karena ia tak mau
mengalah dan keberanian anak itu membuatnya
5 terbakar maka sekali lagi ujung gendewa menghajar
pundak, disusul tamparan kuat hingga anak itu
terpelanting. Dan ketika anak itu mengeluh dan Kang
Hu tak tahan maka pemuda ini melompat berseru
pada temannya,
6 "Cukup, stop! Jangan hajar lagi! Biarkan ia pergi,
Kui Yang. Berhenti dan kasihan dia!"
"Aku tak mau pergi, kalian licik dan curang. Aku
berhak atas binatang buruanku itu, engkoh siluman.
Biarpun mati aku tetap di sini. Aku tak mau pergi!"
"Nah, lihat itu, apa katanya!" Kui Yang berseru
marah. "Anak seperti ini tak perlu dikasihani, Kang Hu,
biar kulempar ia ke dalam jurang agar tahu rasa!"
"Jangan!" Kang Hu menangkis. "Kesalahan
sekecil ini tak perlu mengorbankan jiwa, Kui Yang.
Tahan dan jangan lempar dia ke dalam jurang... trakk!"
dua gendewa sama-sama terpental dan selamatlah
anak itu dari keberingasan Kui Yang. Ia meloncat
bangun dan babak bengap namun bersiap dengan
gendewanya di tangan, sikapnya gagah dan pandang
matanya berapi. Akan tetapi karena Kang Hu sudah
menangkis temannya memukul mundur maka
pemuda ini berseru mengangkat tangan tinggi-tinggi.
"Cukup, aku mengalah. Biar binatang itu
kuambil lagi dan dibagi dua. Bagianku untuk kalian
semua. Jangan bertempur dan tunggu sebentar!" lalu
ketika pemuda ini terjun dan merayap di dalam jurang,
cepat namun hati-hati maka pemuda itu mengambil
lagi bangkai harimau yang untung terlempar tidak
7 begitu dalam, diangkat dan dibawa naik dan tampak
betapa pakaian dan wajah pemuda ini kotor. Susah
payah juga Kang Hu mengambil buruan itu. Dan ketika
ia meloncat naik dan tiba di atas maka anak itu berseriseri namun Kui Yang cemberut.
"Nih, kalian sama-sama mendapat separoh.
Bagianku untuk kalian berdua dan jangan bertengkar
lagi."
"Aku tak sudi lagi menerimanya!" Kui Yang tibatiba membalik dan meloncat marah. "Biar dia rakus
menikmati bangkai itu, Kang Hu. Persetan dengannya
tapi awas kalau lain kali bertemu lagi!"
"He," pemuda ini terkejut. "Susah payah aku
mengambilnya, Kui Yang, masa kautinggalkan begitu
saja!"
"Aku tak butuh bangkai itu, biar tikus busuk itu
melahapnya!"
"Akupun tak sudi!" anak itu tiba-tiba berteriak
pula. "Kalau kau menyebutnya bangkai siapa sudi
makan bangkai, enci siluman. Biarlah kau yang
melahapnya dan kaulah yang rakus dan awas pula
kalau lain kali bertemu!"
8 Kang Hu terkejut dan membelalakkan matanya.
Baik anak itu maupun Kui Yang sama-sama meloncat
dan meninggalkan dirinya. Mereka saling maki dan
mengeluar kan kata-kata pedas. Dan ketika mereka
menghilang di balik gunung, tinggallah dia bersama
bangkai harimau dan kambing itu mendadak Kang Hu
merasa gemas dan mendongkol.
"Bocah siluman, akupun tak mau membawa
bangkai-bangkai ini!"
"Berikan kepada siluman betina itu. Aku tak sudi
makan bangkai!"
"Kalau begitu kubuang lagi. Keparat, aku
bekerja sia-sia dan kalian enak saja meninggalkan
bangkai-bangkai ini!" Kang Hu marah dan akhirnya ia
menendang lagi bangkai harimau itu. Tidak itu saja
bangkai kambing pun ditendangnya masuk jurang,
tentu saja ia tak sudi memanggul atau membawa
bangkai-bangkai ini, sementara Kui Yang maupun anak
itu telah meninggalkannya begitu saja. Maka ketika ia
melampiaskan kemarahannya dan meninggalkan
tempat itu pula pemuda ini pun berkelebat ke atas
menuju puncak, memaki-maki. Ia marah merasa
dipermainkan namun tentu saja kemarahannya lebih
tertuju kepada anak laki-laki itu, karena betapa pun
9 sedikit banyak ia membela teman sendiri. Namun
ketika ia mencari Kui Yang di puncak ternyata gadis itu
tak ada. "Kui Yang, di mana kau!"
Tak ada jawaban. "Hei, di mana kau, Kui Yang.
Bocah itu sudah pergi!" akan tetapi setelah tiga kali
berturut-turut tak ada jawaban dan Kang Hu menjadi
khawatir, tak mungkin Kui Yang meninggalkan puncak
mendadak ia mendengar pekik dan jerit temannya di
tebing sebelah kanan.
Cepat pemuda ini menuju ke tempat itu dan
alangkah heran serta kagetnya ke tika melihat
temannya sedang bertanding sengit dengan seorang
kakek bermuka merah. Kakek itu tertawa-tawa
sementara Kui Yang mati-matian menggerakkan
gendewanya. Senjata di tangan pletak-pletok bertemu
jari-jari si kakek bagai batang bambu dipukul-pukul.
Dan ketika ia tertegun dan membelalakkan mata maka
kakek itu terkekeh berseru,
"Heh-heh, segala macam gendewa tak ada
artinya bagiku. Kau anak kecil tak pantas memegang
busur, bocah, memegang panah saja belum bisa. Hayo
buang senjatamu dan cepat menyebut suhu!"
10 "Suhu apa, kau tua bangka berani nya hanya
kepada anak perempuan. Kalau Fang-taihiap ada di
sini tak mungkin kau berani mengganggu aku, kakek
keparat. Aku tak mau menjadi muridmu dan siapa
takut padamu... krakk!"
Kui Yang menjerit marah, gendewa patah
ditangkis kakek itu dan berhentilah ketawa si kakek
menjadi bentakan. Rupanya ia hendak memaksa gadis
ini menjadi muridnya, ditolak dan akhirnya terjadilah
pertandingan itu. Namun melihat betapa si kakek
mengelak mudah ke kiri kanan, juga tangkisan atau
buku-buku jarinya membuat gendewa terpental maka
Kang Hu semakin terkejut lagi ketika busur di tangan
temannya malah patah. Dan saat itu kakek ini melotot,
tangannya menyambar pundak dan angin berkesiur
dahsyat. Kui Yang berteriak membanting diri berguling
an. Akan tetapi ketika si kakek mengejar dan kelima
jarinya mencengkeram ubun-ubun, Kang Hu menjadi
marah maka pemuda itu membentak dan tak ayal lagi
sebatang panahnya menjepret menyambar punggung
tangan lawan.
"Kau siapa berani menghina dan main-main
dengan temanku. Berhenti dan jangan menyerang!"
11 Akan tetapi Kang Hu terkejut. Kakek itu
menoleh dan menampar dan panah yang menyambar
patah, gagangnya menuju ke arah Kui Yang sementara
mata panah menyambar ke arahnya. Tentu saja ia
terkejut dan menangkis, gagang gendewa dipukulkan
cepat. Namun ketika ia terpelanting dan kakek itu
terkekeh maka Kui Yang juga mengeluh karena gagang
panah menghantam pundaknya dan sejenak ia merasa
remuk, terbanting dan meloncat bangun lagi.
"Heh-heh, dua anak muda sama-sama
memegang busur. Ha, siapa kau, anak muda. Seingat
ku pemilik Liang-san tak mempunyai murid. Fang Fang
bukan seorang ahli panah!"
"Aku Kang Hu dan temanku ini Kui Yang. Kami
menjaga gunung atas perintah Fang-taihiap. Kau
siapakah dan kenapa mengganggu temanku!" pemuda
ini berubah pucat dan iapun memandang kakek itu
dengan gentar. Kui Yang memaki-maki dan membersih
kan pakaiannya yang kotor penuh debu. Ia terbanting
dan bergulingan menghadapi kakek ini. Dan ketika
Kang Hu melompat di dekatnya dan gadis ini merah


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padam maka ia menuding dan memberi tahu.
"Kakek ini menghadang dan menggangguku di
tengah jalan. Ia minta aku menjadi muridnya. Dan
12 ketika aku menolak dan menyerangnya ia pun marah
dan mempermainkan anak perempuan!"
"Heh-heh, aku tertarik melihat gerak-gerikmu
itu. Kau memiliki sepasang lengan lembut namun
cekatan, bocah perempuan, cocok menjadi muridku
dan calon ahli panah jempolan. Aku tak memak sa
kalau kau mau ikut baik-baik, tapi kau menolak, yah...
apa boleh buat harus kuberi pelajaran. Ilmumu
memanah belum seahli aku. Dan kau!" kakek itu
menuding Kang Hu. "Kaupun memiliki bakat sebagai
pemanah ulung, anak muda. Namun jepretanmu
belum baik dan kalian harus menjadi muridku. Aku Siatiauw-eng-jin (Bayangan Pemanah Rajawali) tak
pernah mengecewakan dalam hal memanah. Lihat
ini!" tiba-tiba kakek itu melontarkan sebutir batu kecil,
tinggi dan lenyap melesat di angkasa biru. "Siapa
mampu melakukan ini kalau bukan seorang ahli panah
jempolan!"
Kang Hu membelalakkan mata dan menajam
kan penglihatannya akan tetapi ia tak mampu
mengikuti melesatnya batu itu. Di samping terlalu
kecil juga lontaran kakek itu hebat sekali, lebih dari
sepuluh pohon kelapa. Betapa hebat tenaga yang
melontarkan itu. Dan ketika ia terbelalak tak tahu yang
terjadi mendadak terdengar suara keras dan di langit
13 biru tiba-tiba memuncrat lelatu bunga api, tujuh
jumlahnya dan kemudian runtuhlah batu itu
terpotong-potong. Hampir bersamaan dengan ini
jatuhlah pula sebatang panah kecil, tak lebih dari
sejengkal panjangnya. Dan ketika kakek itu terkekehkekeh dan terkejutlah Kang Hu maka pemuda ini
mendecak kagum dan Kui Yang juga terkejut sekali
menyaksikan kepandaian luar biasa ini. Tadi dalam
kecepatan yang amat mentakjubkan bagai meteor
saja kakek ini menimpukkan panah itu membentur
atau mengejar batu kecil yang kecepatannya
sebenarnya sudah sukar diikuti pandangan mata!
"Ha-ha, lihat itu, mampukah kalian mencoba
nya. Kalau ingin yang lebih hebat lepaskan panah
kalian dan aku akan menusuknya pecah tepat di
tengah-tengah!
Kang Hu benar-benar kagum. Tidak seperti Kui
Yang biarpun kagum namun sudah tidak merasa
senang maka pemuda ini ingin membuktikan kata-kata
itu. Ia-pun mencabut dan melepaskan panahnya
dengan cepat, tak memberi kesempatan kakek itu
bersiap lebih dulu. Dan ketika ia berseru dan
mendesingkan panahnya maka panah pemuda ini
menyambar tinggi ke angkasa biru.
14 "Coba buktikan!" katanya. "Tunjukkan kepada
kami omonganmu, orang tua. Kalau kau mampu
mengejar dan memanah panah ini maka kau benarbenar hebat!"
Kakek itu tertawa. Panah Kang Hu melesat dan
tentu saja mendahului kata-katanya. Hal ini disengaja
agar si kakek tak bersiap. Namun ketika kakek itu
mengeluarkan sebuah gendewa kecil dan menjepret
pula, lenyap menyambar maka ter dengar suara "tak"
dan... jatuhlah panah Kang Hu, tepat terbelah dua
bagian belakangnya.
"Ha-ha, lihat itu, apakah tidak hebat!"
Kang Hu terkejut sekali. Ia melihat panah si
kakek menancap di tengah-tengah panahnya dan
tentu saja ia kagum bukan main. Akan tetapi belum
puas akan ini iapun menjepret dan lagi-lagi berseru,
cepat melebihi tadi, "Kau memang hebat, tapi coba
sekali lagi. Nih, panahku meluncur lurus, orang tua.
Kejar dan runtuhkan pula!"
Kakek itu tersenyum. Entah kapan dicabutnya
tahu-tahu iapun telah memegang sebatang panah
kecil, menyusul gerakan Kang Hu dan tiba-tiba dengan
satu seruan nyaring ia melepaskan panahnya. Panah
Kang Hu sudah meluncur lenyap akan tetapi terdengar
15 denting keras, bunga api berpijar di depan. Dan ketika
Kang Hu terkejut dan meloncat berlari maka ia
mendapatkan betapa panahnya terhantam dan
tersuruk patah di celah sebuah batu hitam.
"Ha-ha!" tawa itu menggetarkan pemuda ini.
"Bagaimana hasilnya, anak muda. Masihkah tidak
puas!"
Kang Hu terguncang, benar-benar kagum.
"Dan ini yang terakhir," kakek itu berseru.
"Elang di atas itu kubidik punggungnya, anak muda.
Lihat dan mampukah kau... sssinggg!" bagai kilat
menyambar tahu-tahu kakek ini melepaskan panah
nya yang kecil ke arah seekor elang yang tiba-tiba
berputaran di atas. Itulah elang yang tadi diincar si
bocah lelaki, gagal dan kini dihantam kakek itu. Dan
ketika Kang Hu terbengong betapa panah kecil itu
meliak-liuk, si elang terkejut dan mengelepakkan
sayapnya mendadak burung itu melesat ke atas akan
tetapi bersamaan itu panah kecil menyambar
punggungnya.
"Cep-bluk!"
Kang Hu bagai mimpi saja melihat elang itu
roboh dan terbanting. Memanah dengan anak panah
meliak-liuk baru kali itu dilihatnya seumur hidup. Juga
16 memanah punggung burung yang sedang terbang!
Maka ketika ia berseru tertahan dan kagum serta
takjub, itulah ilmu memanah tingkat sempurna maka
pemuda ini terbengong-bengong sementara Kui Yang
juga mengerutkan kening dan terkejut. Kakek itu
terkekeh-kekeh.
"Bagaimana," serunya. "Adakah kau mampu
menandinginya, anak muda. Atau siapa di dunia ini
mampu mengimbangi Sia-tiauw-eng-jin, heh-heh!"
"Kau hebat," Kang Hu memuji jujur. "Baru kali
ini kulihat sebatang panah meliak-liuk, orang tua. Aku
suka menjadi muridmu akan tetapi dalam hal
memanah saja."
"Bukan hanya kau," kakek itu berseru.
"Temanmu itu juga, anak muda. Kalian berdua harus
menjadi muridku, bukan hanya ilmu memanah,
melainkan juga yang lain!"
"Aku tak sudi!" Kui Yang berseru dan tiba-tiba
berkelebat pergi. "Kau boleh hebat ilmumu memanah
namun tak mungkin menandingi pemilik Liang-san,
orang tua. Sekali Fang-taihiap ada di sini kau tak
berarti apa-apa!"
"Eh!" kakek itu terkejut, marah. "Kau mau pergi
begitu saja? Tidak boleh, tanpa seijinku siapapun tak
17 boleh pergi... wut!" Kui Yang terkejut, kakek itu meng
gerakkan tangan kanannya dan tiba-tiba serangkum
angin dingin menahan gerakannya. Dari depan dan kiri
kanan ia dihadang pukulan ini. Dan ketika gadis itu
berteriak meloncat ke belakang, berjungkir balik maka
kakek itu terkekeh dan telah berada di depannya.
"Heh-heh, susah payah mencari murid
berbakat. Sekali ketemu tak akan kulepaskan, bocah.
Kau harus ikut aku dan menjadi muridku!"
Kui Yang marah sekali. Gendewanya telah
dipatahkan kakek ini dan kini ia tak bersenjata. Akan
tetapi tidak takut dan berseru keras ia menerjang dan
menyerang kakek ini, dikelit dan menendang akan
tetapi si kakek begitu lihai. Sambil mendoyongkan
tubuhnya ke kiri kanan kakek itu berseru bahwa mau
tidak mau Kui Yang harus menjadi muridnya. Dan
ketika Kui Yang memaki-maki dan berkerutlah kening
Kang Hu maka pemuda itu maju dan tiba-tiba
membentak pula, membantu temannya.
"Orang tua, kau tak boleh memaksa. Jangan
serang temanku dan berhenti dulu, akupun ingin
bicara!"
18 "Ha-ha, bicara apa. Kaupun calon muridku, anak
muda. Kalian berdua harus menjadi muridku... plakdukk!"
Kang Hu terpelanting dan gendewanya terlepas
mencelat, terkejut dan memekik akan tetapi kakek itu
sudah menyerang dan mengejar temannya. Kui Yang
tak mampu mengelak lagi ketika kakek itu menotok,
roboh dan berseru tertahan. Dan ketika kakek itu
tertawa bergelak menendang gadis itu, berkelebat
dan menotok Kang Hu maka pemuda ini pun terguling
dan mengeluh. Sekarang kedua-duanya tak berdaya.
"Ha-ha, kalian harus menyebutku suhu. Ayo
panggil namaku dan kalian menjadi murid Sia-tiauweng-jin!"
"Aku tak sudi menjadi muridmu, aku tak mau
belajar apa-apa. Calon guruku adalah Fang-taihiap,
kakek keparat, aku tak mau menjadi muridmu!" Kui
Yang memaki-maki dan wajah kakek itu tiba-tiba
memerah. Ia menghentikan tawanya dan mendadak
menjadi bengis. Lalu ketika gadis itu masih memakimakinya dan Kang Hu menjadi khawatir tiba-tiba
kakek itu bergerak dan telah mencengkeram kepala
gadis ini. Rambutnya dijambak.
19 "Kau tak boleh merendahkan aku seperti itu.
Siapa itu Fang Fang yang kau-agul-agulkan. Heh, ia
anak kemarin sore yang tak perlu kutakuti, bocah.
Akan kurobohkan dan kubunuh dia di depan mata mu.
Kalau kau tetap menolak maka kau pun kubunuh!" dan
membalik menghadapi Kang Hu kakek inipun
bertanya, bengis, "Kau pun tak mau menjadi muridku?
Kau ingin menghina dan merendahkan aku pula?"
Kang Hu tergetar. Setelah bergebrak dan
melihat ilmu kepandaian kakek ini maklumlah dia
bahwa kakek ini benar-benar lihai. Akan tetapi ia lebih
tertarik ilmu panahnya itu, bukan kepandaiannya yang
lain. Dan karena ia menganggap bahwa Fang Fang
itulah yang pantas menjadi gurunya, diam-diam
bersama Kui Yang ia ingin menjadi murid Liang-san
maka pemuda ini menarik napas dalam berkata pucat,
hati-hati, "Aku pribadi ingin menimba ilmu sebanyakbanyaknya, siapa tidak ingin menjadi pandai. Akan
tetapi aku lebih tertarik ilmu panahmu, locianpwe.
Kalau aku menjadi muridmu maka yang ingin
kupelajari adalah ilmumu memanah itu. Yang lain,
hmm... biarlah belakangan saja, gampang."
Kakek itu berkerut. "Kalau begitu kau tidak
sungguh-sungguh, niatmu hanya setengah-setengah.
20 Rupanya kaupun menyangsikan kepandaianku di
bawah si Fang Fang itu!"
"Aku tidak berkata begitu..."
"Tapi sikap dan kata-katamu jelas. He kau bocah
lelaki tak usah plin-plan, anak muda. Kalau begitu akan
kutunjukkan kepada kalian bahwa akupun dapat
merobohkan pemilik Liang-san ini. Mari, kita tunggu di
puncak dan kalau tiga hari ia tak datang kalian harus
menjadi muridku. Atau, hmm... kucari yang lain dan
kubunuh kalian!"
Kang Hu bergidik. Sikap dan pandang mata
kakek itu begitu bengis dan ia tergetar. Ancaman itu
rupanya tidak main-main. Dan ketika kakek itu
menyambar mereka berdua dan naik ke atas, memang
gul dua anak muda ini di kedua pundaknya maka Kang
Hu kagum karena dengan gerakan begitu ringan dan
gesit kakek itu meluncur dan terbang ke puncak,
berkelebat dan tahu-tahu telah berada di tempat
tinggal bekas Dewa Mata Keranjang itu. Lalu
melempar dua muda-mudi ini sambil bersungut kakek
itupun berkelebat dan duduk di ruang depan, bersila.
"Kalian tunggu dan lihat di situ. Kalau Fang Fang
datang akan kuhajar dia. Siapa berani merendahkan
Sia-tiauw-eng-jin!"
21 Kui Yang mengeluh akan tetapi girang
memandang Kang Hu. Kebetulan me reka berhadaphadapan. Maka ketika gadis itu mendesis semoga
kakek itu celaka, Kang Hu mengedip bergumam hatihati maka dua anak muda ini saling berbisik melihat
kakek itu memejamkan mata. Mereka terbanting di
sudut sementara kakek itu bersila di tengah ruangan.
"Sst, kakek ini rupanya tidak main-main. Kalau
ia berani menantang dan menunggu Fang-taihiap
tentu ia percaya kepandaian sendiri, Kui Yang. Jangan
membuatnya marah dan tunggu sampai semuanya
terjadi."
"Aku tak sudi menjadi muridnya, biarpun ia
lihai. Ia sombong dan merendahkan orang lain!"
"Bersabarlah, tunggu sampai tiga hari dan lihat
apa yang terjadi. Aku heran siapa kakek ini dan ilmu
memanahnya luar biasa sekali!"
Kang Hu maupun Kui Yang memang tak akan
mengetahui siapa kakek ini karena Sia-tiauw-eng-jin
adalah orang yang sejajar dengan mendiang Dewa
Mata Keranjang dulu. Hampir empat puluh tahun yang
lalu di saat Fang Fang sendiri masih kecil sebenarnya
hidup empat tokoh besar yang kepandaiannya
setingkat. Mereka adalah Dewa Mata Keranjang
22 sendiri dan Sin-kun Bu-tek, Malaikat Tanpa Tanding
yang suka berpindah-pindah tempat itu. Dan karena
Dewa Mata Keranjang menempati Liang-san sebagai
tempat tinggalnya maka dua yang lain, yang
merupakan suheng dan sute (kakak adik seperguruan)
adalah Sia-tiauw-eng-jin ini dan Hian-ko Sin-kun
(Malaikat Penyuguh Buah) Ma Kim Beng. Akan tetapi


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dua orang ini tak pernah akur. Sia-tiauw-eng-jin adalah
laki-laki yang suka membuat onar, kesenangannya
mengambil benda-benda milik orang lain dan tak
perduli kepada si empunya. Suatu hari ia memasuki
kota raja membuat gempar, datang ke Wu-chi-koan
(gudang senjata) mengambil tiga barang keramat,
yakni sebuah tombak dan hio-lou (tempat abu) serta
bendera kerajaan. Tentu saja perbuatannya membuat
geger dan marah para perwira, dikepung dan
dikeroyok akan tetapi tak ada satupun yang menang.
Sia-tiauw-eng-jin memang seorang laki-laki tangguh.
Dan ketika istana akhirnya melapor dan mencari Hianko Sin-kun, sang suheng maka Sia-tiauw-eng-jin
berhadapan dengan suhengnya itu dan dalam sebuah
pertandingan seru kakak beradik seperguruan ini
nyaris sama-sama binasa.
Akan tetapi muncullah Dewa Mata Keranjang
Tan Cing Bhok. Karena mendengar sepak terjang Sia23
tiauw-eng-jin maka kakek ini membantu sang suheng.
Sia-tiauw-eng-jin dikeroyok. Dan karena yang maju
adalah tokoh setingkat maka Sia-tiauw-eng-jin
terdesak dan akhirnya roboh, barang-barang curian
nya dikembalikan.
Kakek yang satu ini memang memiliki
keanehan. Dalam setiap perbuatannya tak pernah ia
sembunyi-sembunyi, semua dilakukan terangterangan. Maka ketika perbuatannya di kota raja itu
diketahui orang dan iapun akhirnya berhadapan
dengan sang suheng, roboh setelah Dewa Mata
Keranjang membantu maka kakek ini berkata bahwa
satu saat kelak ia akan membalas dendam, terutama
kepada Dewa Mata Keranjang Tan Cing Bhok.
"Aku tak akan melupakan peristiwa ini. Kau
telah mencampuri dan mengeroyok aku. Lain kali aku
akan datang dan menagih hutang, Dewa Mata
Keranjang. Bersiaplah dan ingatlah bahwa
pengeroyokanmu meninggalkan dendam di hatiku!"
Dewa Mata Keranjang tak menjawab. Ia tahu
kebiasaan buruk Sia-tiauw-eng-jin ini, seorang yang
sejak kecil menderita sebuah kelainan jiwa dengan
suka mencuri. Apa saja yang menarik dan meliarkan
matanya disambar. Kalau bukan benda-benda
24 keramat barangkali dibiarkan, karena biasanya setelah
bosan dengan hasil curiannya itu Sia-tiauw-eng-jin
akan mengembalikan kepada pemiliknya. Inilah
keganjilan kakek itu. Akan tetapi karena yang diambil
adalah pusaka istana, Sia-tiauw-eng-jin dianggap
keterlaluan maka Dewa Mata Keranjang tak
membiarkan itu dan kebetulan
dilihatnya
pertandingan seru antara suheng dan sute itu, di mana
akhirnya Sia-tiauw-eng-jin roboh dan tombak serta
benda-benda keramat lain dikembalikan.
Akan tetapi sejak itu Bayangan Pemanah
Rajawali ini tak pernah muncul. Ia menghilang sejak
dirobohkan suheng dan lawannya dan bersamaan itu
hilang pula si Malaikat Penyuguh Buah. Orang tak tahu
betapa Sia-tiauw-eng-jin keluar meninggalkan Tionggoan untuk merantau ke Nepal, dikuntit atau
dibayangi suhengnya yang mengawasi ke manapun
dia pergi. Dan ketika di perjalanan ini Sia-tiauw-eng-jin
bertemu raja Nepal, diangkat dan menjadi penasihat
utama maka sejak itu kakek ini tinggal di negeri orang
dan ia menikah dengan seorang puteri istana dan
mendapatkan seorang anak perempuan, di mana
bersamaan itu kakek ini mendapatkan seorang murid
laki-laki yang dulunya adalah kacung istana dan amat
disayangi.
25 Bersamaan itu Sia-tiauw-eng-jin tak pernah
melakukan pencurian lagi. Hal ini disebabkan dua hal,
pertama rakyat atau penduduk Nepal yang bersifat
lugu, tanpa dicuripun barang yang disuka boleh saja
diambil. Ini yang mencengangkan Sia-tiau eng-jin. Dan
karena ia sudah menjadi penasihat raja dan tentu saja
memiliki kedudukan tinggi, juga isteri yang cantik
berdarah biru maka kedudukannya itu menahan
gatalnya tangan untuk melakukan kebiasaan aneh
yang tidak terpuji itu. Perlahan-lahan kakek ini
sembuh dengan sendirinya, melegakan sang suheng
dan tentu saja Hian-ko Sin-kun Ma Kim Beng tak perlu
lagi menguntit atau membayangi sutenya itu. Dan
ketika dilihat bahwa sutenya sudah tobat dan sadar
maka pendekar ini meninggalkan Nepal dan tidak
mengawasi adik seperguruannya itu lagi.
Keadaan barangkali benar-benar akan baik
kalau saja tak terjadi perobahan. Pertama yang
mengguncang adalah wafatnya raja. Sia-tiauw-eng-jin
terpukul ketika tiga bulan kemudian kedudukannya di
ambil. Raja sekarang adalah keponakan raja lama yang
diam-diam mencintai isterinya. Hal ini baru diketahui
kakek itu setelah terjadi geger besar, yakni ketika
kedudukannya dicopot dan raja baru merasa tak perlu
seorang penasihat. Ia memiliki pembantu-pembantu
26 nya sendiri dan kakek itu diminta menanggalkan
jabatan. Dan karena ia bukan bangsa Nepal dan
keberadaannya mulai diusik-usik sebagai orang asing
maka setahun kemudian ia di minta meninggalkan
istana dan sang isteri tersedu-sedu dihadapkan dua
pilihan: ikut suami dan hilang semua kedudukan dan
kemuliaan itu atau tetap di istana dan menjadi janda!
Sia-tiauw-eng-jin
terpukul hebat. Ia membelalakkan mata dan timbul keberingasan.
Hanlun, muridnya ketakutan melihat wajah guru yang
memerah. Sinar berapi yang membakar kakek itu
seakan lautan gemuruh yang penuh hawa kemarahan.
Siapapun yang melihat pasti gentar dan ngeri. Kakek
ini berbahaya kalau sudah mengamuk. Tak ada
seorangpun di Nepal yang mampu menghadapinya.
Akan tetapi karena keputusan raja dijunjung tinggi
semua ponggawa, tinggallah kakek itu bersama
isterinya maka di dalam kamar sang isteri tak dapat
menentukan. Hidup di luar Nepal adalah hidup
menyongsong sengsara, begitu bagi puteri yang
terbiasa hidup enak ini.
"Aku... aku tak tahu. Kau pergilah dan biarkan
aku berpikir sesaat, suamiku. Aku tak dapat menjawab
saat ini. Biarlah kauberikan waktu dan aku berpikir."
27 "Tapi tiga hari lagi waktu kita habis. Aku telah
memberimu kesempatan tiga puluh hari, Simuna,
cukup bagimu menentukan sikap. Aku dapat
membawamu ke Tiong-goan dan hidup di sana. Aku
memiliki sahabat dan juga seorang suheng!"
"Dan tinggal di puncak gunung atau berbaur
dengan penduduk Han sementara aku bangsa Nepal?
Membiarkan mereka mengejek dan ganti mencemooh
aku? Ah berat, suamiku, aku rasanya tak sanggup.
Kalau kau menempatkan aku seperti di istana ini tentu
aku tak pikir panjang, akan tetapi di puncak gunung
dan berbaur dengan penduduk dusun?" sang isteri
menangis tersedu-sedu dan Sia-tiauw-eng-jin terpaku
bergetar. Memang harus diakuinya bahwa isterinya
yang berkulit hitam manis ini bakal menjadi orang
asing di tengah pedalaman Tiong-goan, sama seperti
dia yang hidup di tengah-tengah bangsa Nepal. Maka
ketika ia terpaku dan tertegun membelalakkan mata,
semua ini benar-benar di luar dugaan dan
membantingnya dari alam kenikmatan maka ia tibatiba merasa marah kepada raja baru itu.
"Apa salahku dan kenapa dia tiba-tiba begini.
Keparat saudaramu itu, Simuna. Ia mencopot
kedudukanku dan sekarang mengusirku. Biar kubunuh
dia atau kutanya sebab-sebabnya!"
28 "Jangan!" sang isteri terpekik. "Membunuh raja
adalah bahaya, suamiku, rakyat bisa marah. Jangan
kau ke sana dan biar kupikir hal ini baik-baik!"
"Akan tetapi kau mengulur-ulur waktu, waktu
kita habis. Biar kutanya si gila itu dan kenapa ia tibatiba membuatku begini!" Sia-tiauw-eng-jin berkelebat
dan lenyaplah dia disusul jerit tangis isterinya. Dengan
muka merah padam dan sinar mata berapi kakek ini
memasuki ruangan di mana biasanya raja berada,
kosong dan mencari di tempat lain dan tiba-tiba ia
terkejut melihat raja bersama tiga orang pembantu
nya. Mereka bercakap bisik-bisik dan kakek ini
menghentikan langkah, menempelkan telinga di tirai
tebal dan meledaklah marahnya mendengar sesuatu
yang tidak disangka. Raja menyingkirkannya karena
hendak mengambil isterinya. Tiga pembantunya
berbisik-bisik membicarakan dirinya, membicarakan
bahwa tampak keraguan di hati Simuna mengikuti
suami. Maka ketika ia memekik dan berkelebat keluar,
semua terkejut dan tampak kaget maka tepat ia
melayang di dekat sri baginda maka saat itulah sri
baginda menekan sesuatu dan lantai di mana Siatiauw-eng-jin terinjak seketika amblong dan sumur
amat dalam menerima kakek ini.
Sia-tiauw-eng-jin mengamuk.
29 Raja cepat menyingkir dari tiga pembantunya
tergopoh memanggil pengawal. Ponggawa dan
perwira buru-buru berlarian. Dan ketika pintu lubang
menutup akan tetapi secepat itu Sia-tiauw-eng-jin
mencabut panah-panah kecilnya, menimpuk dan
menancap di dinding maka dengan cepat dan luar
biasa kakek ini telah menginjak dan berjungkir balik
keluar, tepat di saat beberapa inci saja tubuhnya
terjepit! Gemparlah istana. Kakek ini mengamuk dan
pengawal maupun perwira disambar pukulannya.
Panah-panah kecil dilepaskan lagi dan mereka
menjerit, dada maupun leher mereka tertusuk tewas.
Dan ketika kakek itu memaki-maki dan mencari sri
baginda, melayang dan berkelebatan mendobrak
pintu-pintu kamar maka Nepal dibuat geger oleh
kemarahan Sia-tiauw-eng-jin.
Pasukan khusus menyerang keluar. Cepat dan
gempar kakek itupun dikeroyok. Puluhan bahkan
ratusan pengawal mengepungnya. Akan tetapi karena
ia berkepandaian tinggi dan memang tak ada yang
mampu menandingi kakek ini akhirnya jatuhlah
korban secara sia-sia. Balairung menjadi ajang
pembantaian. Jerit dan pekik kematian susulmenyusul. Dan ketika sebentar kemudian istana
30 menjadi banjir darah maka sebuah bentakan
membuat kakek itu menoleh.
"Berhenti, dan lihat ini. Menyerah atau kami
membunuhnya, Sia-tiauw-eng-jin. Kau melawan
istana dan menjadi pemberontak. Hentikan
amukanmu atau anak ini kami bunuh!"
Kakek itu merah kehitaman. Di atas menara,
tinggi dijaga ratusan orang tampaklah Gadira
mengamang-amangkan golok mengkilat di leher
seorang anak perempuan kecil yang menjerit-jerit.
Itulah panglima pasukan yang mengancam puterinya,
Huli. Dan ketika di tempat lain terdengar jerit dan
tangis melolong-lolong, itulah isterinya dalam
tangkapan seorang perwira lain maka kakek ini benarbenar murka dan tiba-tiba dengan kecepatan kilat ia
menimpukkan sebatang anak panah kecil menyambar
leher panglima itu,
"Kau bangsat keparat!"
Akan tetapi Gadira menghindar lenyap. Begitu
kakek itu menggerakkan lengannya maka panglima ini
segera menghilang. Ia tak berani menangkis atau
menerima serangan itu, tahu benar kelihaian Sia-tiaueng-jin. Dan ketika kakek ini berkelebat menerjang
pengawal, berjungkir balik dan membobolkan
31 kepungan maka panglima itu muncul lagi di tempat
lain. Isterinya lenyap entah ke mana.
"Berhenti, atau kami membunuhnya. He,
dengar kata-kata dan ancamanku, Sia tiauw-eng-jin.
Jangan bergerak dan kami membunuhnya!"
Akan tetapi Sia-tiauw-eng-jin melepas panah
tanpa membalik. Dengan kepandaiannya yang begitu
mengagumkan ia membuat panglima lengah, tak
menyangka ketika tiba-tiba dari bawah ketiak
menyambarlah anak panah itu. Tanpa menoleh dan
hanya mendengarkan lewat pendengaran kakek ini
tahu di mana lawan berada, menjentik dan
meluncurlah panah kecil itu ke kepala lawan. Dan
ketika panglima menjerit tertembus dahinya, roboh
dan tewas maka Sia-tiauw-eng-jin melesat namun
sayang sekali seorang perwira di dekat panglima ini
mengayunkan golok dan membabatkannya ke
pinggang puterinya yang kecil. Memang telah diambil
kenekatan bahwa anak itu benar-benar harus dibunuh
kalau Sia-tiauw-eng-jin tidak menyerah.
"Cratt!" darah menyembur dari luka menganga
itu. Anak perempuan itu terbelah dan kakek ini
menjadi histeris. Ia memekik dan menyambar perwira
itu, satu di antara tiga pembantu raja yang tadi
32 bercakap di dalam ruangan. Dan ketika pengawal itu
ngeri mengayunkan golok, badan golok masih
bersimbah darah maka Sia-tiauw-eng-jin tak perduli
dan menyambut bacokan itu dengan telapak
tangannya yang hitam hangus, Hoa-kut-ciang (Tangan
Penghancur Tulang).
"Kraaakk!"


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Golok dan kepala perwira itu sama-sama remuk.
Hantaman pukulan ini membuat tubuh si perwira
terjengkang, darah dan otaknya berhamburan. Dan
ketika Sia-tiauw-eng-jin mengguguk menyambar
mayat puterinya, tak perduli darah yang membuat
tubuh dan pakaiannya berlepotan maka kakek ini
meraung-raung dan ia pun diserang hujan serangan
oleh pasukan yang marah panglima mereka tewas.
Panah dan tombak menyambar kakek ini akan tetapi
Sia-tiauw-eng-jin meloncat. Sekali raup ia menangkap
semua senjata-senjata itu. Lalu ketika ia memekik
menimpuk dahsyat maka belasan senjata itu
menyambar tuannya dan mereka roboh oleh senjata
sendiri. Sia-tiauw-eng-jin melayang turun bersama
jenasah puterinya. Ia mengamuk dan menerjang siapa
saja. Tubuh dan pakaiannya yang penuh darah
33 amatlah mengerikan, belum lagi wajah yang merah
kehitam-hitaman itu. Dan ketika semalam ia
mengamuk dan mundurlah semua musuh-musuhnya,
kakek ini benar-benar gagah berani akhirnya
pembunuhan yang menguras tenaga ini membuat Siatiauw-eng-jin kelelahan. Mayat puterinya tersampir di
pundak dan ia terhuyung-huyung. Akan tetapi jangan
coba-coba mendekati kakek ini. Siapapun yang
berhadapan berarti siap menerima maut. Malam
berangsur lenyap dan datanglah matahari pagi. Mayat
bergelimpangan di mana-mana, tak kurang dari seribu
orang. Dan ketika semua mundur dan membiarkan
kakek itu jatuh terduduk, semua mengepung dari jauh
maka Sia-tiauw-eng-jin hampir pingsan oleh pukulan
batin amat berat ini.
Akan tetapi kakek itu benar-benar manusia luar
biasa. Ia dikepung dan dibiarkan sehari penuh, kalau
menyerang maka pasukanpun mundur. Terdengar
aba-aba bahwa biarkan kakek itu mati kelaparan dan
tercekik haus. Dan ketika semua ini membuat Siatiauw-eng-jin tersiksa dan marah bukan main maka di
hari ketiga di saat matahari memanggang tubuhnya
iapun roboh dan terguling.
Akan tetapi tak ada yang berani mendekat.
Sudah ada yang mencoba namun tiba-tiba sebatang
34 panah meluncur. Perwira Ceh roboh. Dan ketika kakek
itu dibiarkan terguling dan siapapun gentar mendekati
maka dua hari dua malam kakek ini siuman dan
pingsan berulang-ulang.
Musuh tak menyerangnya lagi kecuali berjagajaga. Sia-tiauw-eng-jin bagaikan seekor harimau tlia
yang dibiarkan kelaparan. Lambat tetapi pasti kakek
itu bakal binasa. Semua minum dan ransum
disembunyikan pasukan. Dan ketika malam keempat
kakek ini menggeliat dan roboh lagi maka
berkelebatlah sesosok bayangan putih menyambar.
Orang tak sempat tahu karena begitu cepatnya
kejadian ini. Sebuah sinar berkelebat dan pengepung
terjengkang bergelimpangan. Mereka menjerit dan
tumpang tindih dan bayangan putih itu melesat ke
arah Sia-tiauw-eng-jin. Dan ketika pengawal meloncat
bangun berteriak kaget maka bayangan itu
menyambar mereka dan sebuah suling mendengung
merobohkan perajurit-perajurit Nepal ini.
"Wut-wut-wutt!"
Dengung dan bayangan putih itu menyebabkan
setiap orang silau. Samar-samar mereka melihat
seorang laki-laki ber tubuh tegap gagah beterbangan
di antara mereka. Geraknya bagai burung
35 menyambar-nyambar dan sekejap kemudian
kepungan cerai-berai. Dengung atau suara suling itu
menciptakan deru lembut, mendayu namun
bergemuruh dan akhirnya seperti topan badai.
Siapapun yang tersambar terlempar bergulingan. Dan
ketika se mua berteriak dan menyelamatkan diri maka
bayangan itu telah lenyap membawa Sia-tiauw-engjin, juga mayat puterinya.
Istana benar-benar gempar. Untuk kedua
kalinya mereka dibuat pucat oleh ke jadian ini.
Rupanya ada sahabat atau teman Sia-tiauw-eng-jin
datang, menolong dan menyelamatkan kakek itu. Dan
ketika selanjutnya mereka bersiap dan melapor sri
baginda, raja bersembunyi di ruang bawah tanah
maka sri baginda tampak pucat dan menggigil. Ia
sungguh-sung guh tak tahu bahwa sedemikian hebat
ekor peristiwa itu.
"Jaga dan perketat penjagaan. Awas kalau ia
datang lagi!"
"Dan isterinya?"
"Kurung ia di dalam kamar dan aku membujuk
nya nanti!"
Akan tetapi Simuna, wanita itu tewas bunuh
diri. Sri baginda tertegun dan kecewa melihat betapa
36 orang yang dicintainya melilitkan leher di atas
belandar. Rupanya tak kuat dan menderita guncangan
batin hebat akhirnya wanita ini menggantung diri.
Habislah harapannya melihat anaknya terbunuh. Dan
karena mengikuti Sia-tiauw-eng-jin merupakan
bayangan suram bagi wanita ini, lebih baik ia melepas
kan hidupnya maka itulah pilihannya dan wanita ini
terkulai lemas dan mati secara menyedihkan.
Raja terguncang lagi. Peristiwa itu pukulan
berat baginya. Dan ketika rakyat akhirnya tahu apa
yang menjadi sebab amukan Sia-tiauw-eng-jin maka
mereka tiba-tiba tak senang kepada rajanya sendiri
terutama bagi mereka yang kehilangan ayah atau anak
di tangan laki-laki gagah itu.
Dengung ketidaksenangan ini memasuki telinga
sri baginda. Raja mulai dimusuhi secara diam-diam
hingga akhirnya jatuh sakit. Ancaman pembalasan Siatiauw eng-jin masih juga merupakan bayang-bayang
mengerikan. Siapa mau terbunuh di tangan laki-laki
gagah perkasa itu. Dan ketika raja tak mampu bangun
lagi dari sakitnya yang berat akhirnya raja meninggal
dunia dan Nepal mengangkat raja baru, yang lebih
bijak dan tahu perasaan rakyat.
37 Anehnya Sia-tiauw-eng-jin tak pernah muncul
juga. Hanlun, muridnya menghilang pula entah ke
mana. Dan ketika rakyat mulai tenang dan raja
berganti dua kali, peristiwa itu sudah dilupakan orang
maka empat puluh tahun kemudian kakek ini muncul
di Liang-san, menangkap atau merobohkan Kui Yang
dan Kang Hu.
Dua muda-mudi itu sendiri tentu saja tak tahu
siapa kakek ini. Bahkan Fang Fang pun tidak. Maka
ketika hari itu dilewatkan tanpa terasa dan Sia-tiauweng-jin menunggu tiga hari ternyata yang muncul
kemudian adalah bocah laki-laki, si pemanah lihai yang
datang ke puncak dengan beberapa hewan buruan ai
pundaknya!
Tentu saja kakek ini terbelalak melihat seorang
anak laki-laki datang dengan langkah berani. Terbiasa
naik turun gunung mendaki tempat-tempat terjal
membuat anak laki-laki ini tak kesulitan mendaki
Liang-san. Ia sendiri sebenarnya masih berkeliaran di
tempat itu setelah tiga hari yang lalu bertengkar
dengan Kui Yang, melihat betapa tempat itu sepi dan
enak untuk berburu. Maka ketika ia naik ke atas dan
heran melihat sebuah bangunan kecil di puncak, sunyi
dan tak ada orangnya anak inipun naik dan si kakek
38 tiba-tiba menghilang untuk mengikuti anak itu dari
jauh. Anak ini terkejut melihat Kui Yang dan Kang Hu
roboh di sudut. Dua muda-mudi itu memang masih
tertotok dan belum dibebaskan. Mereka juga terkejut
dan heran melihat anak ini tiba-tiba di situ. Akan tetapi
ketika anak itu tertawa dan meloncat ke depan maka
ia menudingkan gendewanya di hidung gadis ini.
"Kau, ha-ha! Kalian meringkuk seperti tikus
kena perangkap. He, kenapa rebahan seperti ini, enci
siluman. Rumah siapa ini dan tampaknya kosong pula.
Apakah kalian dirobohkan setan!"
"Tutup mulutmu dan pergi dari sini. Kau tak
boleh menginjakkan kaki di sini, anak setan. Kakimu
terlalu kotor masuk ke tempat ini. Enyahlah dan
jangan banyak mulut!"
"Ha, kau selalu memusuhiku, dan kalian
tampaknya lapar. Kebetulan aku mendapatkan kelinci
hutan ini dan biar kubakar di sini. Kalau kalian mau
baik-baik kepadaku mungkin dapat kutolong, tapi
kalau tidak biarlah kalian menonton saja dan jangan
ganggu aku. Rumah ini jelas bukan milik kalian!" dan
menurunkan hewan buruannya serta busur di tangan
anak ini tertawa-tawa melihat dua muda-mudi itu
39 tertotok, jelas bersikap mengejek dan tak lama
kemudian ia sudah mengumpulkan kayu-kayu kering.
Di depan mereka berdua anak ini lalu membuat api
unggun, lalu ketika ia menguliti dan memanggang
kelinci gemuk itu, cekatan dan pandai maka Kang Hu
menahan napas karena bau sedap segera keluar dan
menyerang hidung. Perutpun tiba-tiba berkeruyuk,
maklum tiga hari ini si kakek tak mengurus makan
minum mereka.
"Ha-ha, lezat sekali. Ah, gurih dan sedap benar
kelinci panggangku ini. Kalau aku tidak dapat
menghabiskannya sendirian bukanlah Siauw-toh
(Unta Kecil) nama ku!"
Kui Yang memaki-maki sementara Kang Hu
menelan ludah dan memandang anak itu lekat-lekat.
Sekarang setelah sama-sama di ruangan itu dan si
bocah menikmati makanannya ia dapat memandang
jelas anak laki-laki ini. Wajahnya bundar bulat dengan
hidung sedikit bengkok. Alisnya hitam tebal dan
kulitnyapun agak coklat kehitam-hitaman. Anak ini
rupanya bukan seorang anak Han murni, campuran
dengan suku bangsa lain dan Kang Hu tertarik. Namun
ketika ia mengamati dan si anak tertawa-tawa,
menggigit paha kelinci yang gemuk tebal mendadak
40 berkesiur angin dingin dan lenyaplah sisa kelinci di api
unggun. "He!" anak itu terkejut. "Siluman dari mana ini
berani mengambil makananku!"
Kui Yang yang memaki-maki mendadak
terkekeh dan terpingkal. la melihat bayangan Siatiauw-eng-jin berkelebat dan kakek itu mengambil
makanan si bocah. Siauw-toh berlari keluar mencari
kakek ini. Akan tetapi karena kakek itu lenyap dan
hanya bayangannya yang sempat ditangkap anak ini
maka anak itu mengejar dan membentak keluar,
celingukan.
"He, siapa berani main-main dengan aku. Setan
dari mana berani mencuri makananku. Keluarlah dan
hadapi aku secara jantan!"
"Hi-hik, heh-heh-heh!" Kui Yang tak dapat
menahan gelinya, mendapat kesempatan membalas.
"Kau berteriak-teriak tak ada gunanya, tikus cilik. Lihat
makananmu yang lain lenyap pula!"
Anak itu terkejut dan berlari masuk. Benar saja
tiga tekukur dan seekor bajing hasil buruannya lenyap.
Ia kelabakan dan memaki-maki. Dan ketika ia mencakmencak sementara Kui Yang semakin terkekeh dan
41 geli mendadak anak itu membentaknya dan gendewa
disambar dipukulkan ke pundak gadis ini.
"Diam kau dan jangan menghina aku!"
Kui Yang menjerit. Ia kesakitan dan
menyumpah-serapah, Kang Hu terkejut dan
membentak agar anak ini tidak memukul temannya.
Akan tetapi ketika anak itu geram dan mengayunkan
gendewanya pula maka... buk, leher Kang Hu kena
hantam. Tentu saja pemuda ini marah dan memaki-maki.
Kalau saja mereka tak tertotok dan bebas bergerak
pasti ia menghajar anak ini. Siauw-toh marah-marah
makanannya disambar orang. Dan ketika mereka
bertengkar dan ribut mulut mendadak Sia-tiauw-engjin muncul. Kakek ini tertawa-tawa dan mulutnya
penuh potong an daging kelinci, nikmat menggayem
dan memuji masakan anak itu.
"Heh-heh, sedap. Kau setan cilik benar-benar
pandai membuat makanan men takjubkan. He, aku
yang mencuri dan mengambilnya, bocah. Kau siapa
dan dari mana. Apakah panah di punggungmu itu
benar-benar dapat kaugunakan!"
Anak ini terkejut, membalik. Ia telah
berhadapan dengan kakek itu dan melihat potongan
42 daging di mulut. Nikmat benar kakek ini menggayem
makanannya. Akan tetapi ketika ia marah dan sadar
maka ia membentak kakek itu, sikapnya yang tidak
kenal takut membuat Sia-tiauw-eng jin kagum.
"Kau siapakah mengganggu anak kecil. Kenapa
mencuri dan mengambil makananku. Hayo tukar atau
ganti rugi!"
"Heh-heh, ha-ha-ha. Kau anak kecil tahu apa.
He, aku mengambilnya karena lapar, bocah. Tapi kalau
panggang kelincimu tidak enak tak mungkin pula
kuambil. Kau pintar, rupanya anak seorang pemburu
dan agaknya sudah kenal dengan calon-calon muridku
ini. Bagus, nih buruanmu yang lain dan pangganglah
lagi sesedap mungkin. Perutku masih lapar!"
Kakek itu membuang tekukur dan bajing hasil
curiannya tadi dan anak laki-laki itu membelalakkan
mata. Tadinya ia marah dan siap menyerang kakek Ini


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau saja si kakek tidak memuji-muji dan
mengembalikan buruannya. Siapa tidak senang dipuji.
Maka ketika ia berseri menangkap burung-burung itu,
tertawa dan bangga panggang kelincinya enak iapun
berkata bahwa kakek itu boleh menikmati burung
tekukurnya, juga tupai yang gemuk dan berdaging
tebal itu.
43 "Akan tetapi jangan suruh aku merugi, masa kau
makan gratisan saja. Apa yang dapat kauberikan
padaku kalau kubuatkan lagi masakan yang sedap.
Dan mereka ini, eh... calon-calon muridmu?"
"Ha-ha, benar, akan tetapi mereka kurang ajar
dan masih kuhukum. Aku dapat memberimu apa saja
yang kauminta. Hayo panggang mereka itu dan
buatkan yang lebih enak!"
Anak ini tersenyum dan mengerjakan apa yang
diminta. Ia melirik Kang Hu dan Kui Yang kemudian
duduk memanggang daging buruan itu. Sedikit bumbu
ia usap kan lembut. Lalu ketika tak lama tercium bau
sedap, tekukur dan bajing itu dibolak-balik maka kakek
inipun menyambar terkekeh-kekeh.
"Nanti dulu," anak itu berseru. "Apa yang akan
kauberikan padaku sebagai penukar ini!"
"Apa saja dapat kuberikan, uang atau baju
baru."
"Wah, aku tak butuh uang, juga baju. Aku ingin
kau mengajarkan ilmumu menghilang itu!"
"Apa?"
"Benar," si bocah ternyata cerdik. "Tadi kau
mengambil dan mencuri makananku, kakek gagah,
44 pergi dan datang seperti siluman. Kau pandai
menghilang. Nah, ajarkan itu dan boleh kau
merasakan daging bakarku. Atau aku tak mau
membuat lagi dan cukup ini saja!"
Kakek itu tertawa bergelak. la menepuk lantai
hingga si bocah terlempar mencelat, kaget dan
berseru keras akan tetapi kakek itu sudah
menangkapnya lagi. Dan ketika anak ini tertawa hilang
kagetnya maka kakek itu berseru padanya, "Tahukah
kau dengan siapa kau berhadapan. Aku adalah Siatiauw-eng-jin, setan cilik. Melihat panah di
punggungmu mengingatkan aku akan dua calon
muridku ini. Kalau ingin belajar menghilang coba dulu
kepandaianmu memanah, mana lebih baik mereka itu
ataukah kau!"
"Kau ingin menguji? Tiga hari yang lalu mereka
ini berebut denganku, tapi aku kalah karena
dikeroyok. Tentu saja aku pandai memanah dan lihat
ini!" cepat dan tidak terduga-duga mendadak anak itu
menjepretkan panahnya ke arah Kui Yang.
Gerakannya begitu refleks ketika menyambar busur.
Dan ketika Kui Yang terkejut sementara Kang Hu juga
berseru keras, kaget temannya dipanah maka anak
panah mendesing namun yang menjadi sasaran
adalah ikat rambut di atas kepala gadis itu. Kui Yang
45 sendiri tersirap dan berhenti darahnya. Siapa tidak
kaget diserang seperti itu.
"Ha-ha, lihat!" anak ini tertawa gembira. "Dia
pucat dan ketakutan, orang tua. Kalau aku menyerang
matanya tentu mampus dan roboh dia. Tidakkah
ilmuku memanah hebat!"
Kakek itu tertawa memuji, la bertepuk tangan
dan mengangguk-angguk akan tetapi bangkit dan
berkata bahwa anak itu masih bodoh. Kepandaiannya
memanah belum baik benar. Dan ketika anak ini
mengerutkan kening dan penasaran maka kakek itu
mengeluarkan sebuah panah kecil menunjuk dinding.
"Kau tak perlu bangga berlebihan, coba panah
lah semut kecil itu tepat kepalanya."
Anak ini terkejut, membelalakkan
"Semut, mana ada semut?"
mata. "Ha-ha, ada tiga ekor beriringan. Di dinding itu
ada semut, bocah, lihat dan dekatilah. Kalau kau dapat
memanah dan tepat mengenai kepalanya barulah ilmu
memanahmu hebat. Kalau tidak jangan kau
sombong."
Anak ini melompat dan penasaran. Ia melihat
dinding yang ditunjuk kakek itu dan terkejut. Setelah
46 dekat barulah tampak semut-semut itu, kecil
beriringan dan tentu saja ia tertegun. Dari jarak empat
lima tombak semut-semut ini tak kelihatan, mana
mungkin dipanah, apalagi mengenai kepalanya! Maka
ketika ia terkejut menahan napas, menoleh maka
kakek itu terbahak terkekeh-kekeh.
"Bagaimana," serunya. "Mampukah kau
memanah semut-semut kecil itu. Kalau tidak maka
katakan menyerah saja!"
"Binatang itu terlalu kecil," anak ini berteriak.
"Kau main-main, orang tua, mana mungkin memanah
nya. Biarpun mereka berdua juga tak mampu
memanah, apalagi tepat mengenai kepala!"
"Ha-ha, bagaimana kalian," kakek itu
memandang Kang Hu dan Kui Yang. "Kalau dapat
kubebaskan totokan kalian dan boleh makan
bersama!"
Kang Hu dan Kui Yang membelalakkan mata.
Setelah kakek itu bertanya jawab dengan si bocah mau
tak mau mereka tertarik juga. Merekapun ahli-ahli
panah yang baik. Hanya dengan pengerah an tenaga
saja mereka baru dapat menangkap semut-semut itu,
membawa makanan dan beriringan dan anak itu
rupanya memandang dengan pandang mata biasa.
47 Dan Kang Hu yang tertarik dan penasaran tiba-tiba
berseru, "Kupikir kami berdua dapat melakukan itu!"
"Benar," Kui Yang tak mau kalah.
"Rasanya aku mampu dan dapat melakukan
nya!"
"Kalian dapat?" anak ini terkejut. "Tak mungkin,
kalian bohong!"
"Ha-ha, berarti kepandaianmu kalah tinggi.
Biarkan mereka mencobanya, bocah, minggir dan
biarkan ini mereka coba!" kakek itu mengebutkan
lengan bajunya dan tiba-tiba dua muda-mudi itu dapat
melompat bangun. Totokan mereka dibuka dan kakek
itu melempar sebuah gendewa kecil dengan anak
panahnya yang kecil pula, hanya sebesar jarum! Dan
ketika Kang Hu terkejut tak biasa itu maka ia terbelalak
dan tampak bingung. Kui Yang juga terkejut karena se
lama hidup mereka tak pernah mempergunakan busur
sekecil itu, busur super mini.
"Ayo, jangan mendelong saja. Mereka akan
segera lenyap!"
"Ini... ini..." pemuda itu gugup.
48 "Anak panahmu demikian kecil, locianpwe
Mana mungkin dipakai. Selama hidup aku tak pernah
memakai sekecil ini!"
"Kalau begitu kau mundur dan berikan teman
mu!" "Aku juga sulit mempergunakannya," Kui Yang
menggeleng dan merasa tak mungkin. "Kalau kau
mampu cobalah kau sendiri!"
"Heh, belum apa-apa menyerah? Sungguh
bodoh, berikan dan lihat ini!" si kakek merebut dan
tahu-tahu gendewa super kecil itu dijepret, anak
panah melesat dan lenyap akan tetapi karena begitu
kecil dan halusnya maka tak tampak apa-apa di
dinding. Kakek itu tertawa bergelak sementara tiga
anak muda ini terbelalak. Akan tetapi ketika Kang Hu
dan Kui Yang mengerahkan pandang mata mereka
maka terkejutlah mereka karena semut di tengah itu
terpantek dan dua yang lain berhamburan dan lari
pergi. Dengan pandang mata biasa tak mungkin
kejadian itu dilihat.
"Hebat!" pemuda ini kagum dan memuji. "Kau
betul-betul hebat, locianpwe, kami mengaku kalah!"
Akan tetapi Siauw-toh berlari menghampiri.
Anak laki-laki ini sendiri tak melihat itu karena tak
49 sanggup, penasaran dan terkejut ketika melihat
betapa anak panah kecil itu menancap di sasarannya,
tepat di kepala semut yang amat kecil. Dan ketika ia
tertegun membelalakkan mata maka kakek itu
terkekeh-kekeh berseru padanya.
"Bagaimana, apa yang kaulihat. Tidak kah
sasaranku tepat di kepalanya!"
"Kau mengagumkan," anak ini mendecak. "Kau
betul-betul hebat, orang tua. Aku tak mampu
melakukan ini!"
"Kalau begitu kalian menjadi muridku semua.
Akupun tertarik kepadamu dan kita tinggalkan tempat
ini. Fang Fang tak datang!"
"Tunggu!" Kui Yang meloncat mundur, bersinarsinar. "Kami berdua diminta menjaga tempat ini,
locianpwe. Kalau kau hendak mengambilku sebagai
murid ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.
Pertama!" gadis itu tak memperdulikan Kang Hu. "Tak
mungkin bagi kami meninggalkan tempat ini begitu
saja, apa kata Fang-taihiap kepada kami. Kalau kau
ingin menurunkan ilmu panahmu biarlah belajar di sini
dulu. Kedua, bocah siluman itu tak boleh ikut. Aku tak
mau bersamanya dan kalau kau memaksa pilih saja di
antara kami, aku atau dia!"
50 Kakek itu terbelalak dan bocah laki-laki itu
marah. Kang Hu sendiri terkejut mendengar kata-kata
temannya ini akan tetapi akhirnya menganggukangguk. Rupanya Kui Yang cerdik. Setelah kakek itu
tampak akrab dengan lawan mereka dan betapa ilmu
panah itu memang hebat sekali maka mau tak mau
gadis ini tertarik juga mempelajari kepandaian itu.
Harus diakui bahwa kakek ini luar biasa sekali. Akan
tetapi karena kepandaiannya yang lain belum tentu
selihai Fang Fang maka secara cerdik dan pintar Kui
Yang hendak menahan kakek itu di situ. Kalau Fang
Fang datang tentu dapat dilihat siapa lebih unggul,
betapapun penghuni Liang-san ini bukan orang
sembarangan. Dan karena Kui Yang tak menyukai anak
laki-laki itu yang mengganggu dan selalu bentrok
dengan mereka maka gadis ini memaksa kakek itu agar
si bocah tak perlu menjadi muridnya, atau dia mundur
dan keluar tak menerima kakek ini menjadi guru!
"Ha-ha, heh-heh-heh!" akhirnya kakek itu
tertawa terkekeh-kekeh. "Baru kali ini calon murid
mengikat calon guru, bocah perempuan. Belum
pernah kudengar hal seperti ini diucapkan orang
kepadaku. Dia menjadi muridku atau tidak terserah
aku, akan tetapi aku juga menginginkan seorang murid
perempuan. Hm, kau!" tiba-tiba dia memandang Kang
51 Hu. "Bagaimana pendapatmu, apakah permintaan
temanmu ini kuturuti?"
Kang Hu menarik napas dalam, berat. Akan
tetapi karena ia pun khawatir kalau anak itu semakin
lihai dan sombong apa boleh buat iapun mengikuti
temannya. "Aku pribadi membenarkan temanku,
bocah ini selalu memusuhi kami. Kalau kami bertiga
menjadi muridmu dan selalu bertengkar memang
rasanya tidak baik. Kui Yang sudah merobah
pikirannya, ia mau menjadi muridmu. Akan tetapi
karena anak itu mengganggu dan kami juga sedang
mendapat tugas menjaga tempat ini harap kau orang
tua berpikir lurus dan panjang. Pilihlah di antara kami
siapa yang lebih kau suka, dia atau kami!"
"Repot," kakek itu menggaruk-garuk ubannya.
"Kalian berdua lebih dulu menarik perhatianku, anak
muda, akan tetapi bocah ini juga tak kalah dengan
kalian. Melepaskan dia rugi pula bagiku, bakatnya
besar. Sedang melepaskan kalian? Ah, terus terang
juga berat. Kalian tak kalah bagus. Aku jadi pusing
memilih begini. Kalian bocah-bocah ingusan membuat
aku serasa kopyor!"
"Aku juga tak sudi kalau dia kau ambil murid!"
anak laki-laki itu tiba-tiba berseru. "Ayahku pun
52 seorang ahli panah jempolan, orang tua. Kalau ia ada
di sini dan bertanding denganmu belum tentu ia
kalah!"
"Ha, siapa ayahmu!" kakek itu seakan teringat
sesuatu. "Kau dari mana dan mana ayahmu itu!"
"Aku tak tahu di mana ia berada, ia pergi sejak
lama. Justeru aku berkeliaran di sini karena mencari
dan ingin menemukannya!"
"Siapa ayahmu itu?"
"Ahli panah dari Barat, aku tak tahu namanya
karena hanya kutahu dari ibu."
"Weh, siapa ibumu?"
"Ibuku sudah meninggal dunia, aku tak ingin
menyebut namanya!"
Kakek itu tertegun, dan Kang Hu tiba-tiba
merasa haru. Baru sekarang ia tahu bahwa anak ini
seorang anak malang, ayahnya pergi sementara sang
ibu meninggal dunia. Pantas gerak-geriknya begitu
mandiri dan tidak kekanak-kanakan, layaknya seorang
laki-laki dewasa saja. Dan Kui Yang yang berkerut
namun mencibir ternyata sama sekali tidak merasa


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

iba. Dia masih marah betapa anak itu tadi
memanahnya secara kurang ajar.
53 "Baiklah," kakek itu tiba-tiba mengangguk. "Biar
kupikir dulu siapa di antara kalian yang lebih menarik.
Karena kalian sama-sama tak bisa akur dan rupanya
bermusuhan saja baiklah semalam ini kupikir baikbaik. Aku butuh murid perempuan juga, namun kalau
mendesak dan merepotkan aku agaknya anak ini lebih
berharga!"
Kang Hu terkejut dan berdebar. Kui Yang juga
sedikit berubah namun karena menganggap pemilik
Liang-san masih lebih lihai maka gadis ini menekan
perasaannya. Kakek itu hanya hebat ilmu panahnya
saja, bukan kepandaian lain sebagaimana misalnya
Fang Fang, tokoh yang di kagumi dan terus terang
ingin diwarisi ilmunya. Maka ketika kakek itu
mengangguk-angguk dan malam itu mereka
menunggu ternyata keesokannya kakek ini memilih
Siauw-toh, bocah lelaki itu, berkelebat dan lenyap.
"Aku tak mau dibuat pusing oleh tingkah kalian,
aku telah menemukan jawabnya. Biarlah anak ini
menjadi muridku dan kelak ia akan mengalahkan
kalian, ha-ha!"
Siauw-toh anak laki-laki itu terkejut. Semalam ia
duduk di sudut bersungut-sungut, beringsut dan mau
keluar akan tetapi kakek itu menggerakkan tangannya.
54 Setiap mengebut anak itu roboh kembali. Dan ketika
anak ini memaki-maki namun akhirnya diam,
melempar tubuh dan tidur mendengkur maka pagi itu
ia tercekat dibawa terbang. Kakek ini meluncur dan
turun gunung dengan amat cepatnya.
Dan bersamaan itu tentu saja Kui Yang maupun
Kang Hu kecewa, terutama Kang Hu.
"Ia telah menjatuhkan pilihannya. Ia membawa
anak siluman itu. Ah, ia bakal semakin lihai dan hebat
di masa mendatang, Kui Yang, kau terlalu keras kepada
kakek itu dan sekarang meninggalkan kita!"
"Apa perdulimu!" gadis ini membentak "Dia
boleh hebat tapi hanya ilmu panahnya, Kang Hu, aku
sendiri lebih suka tinggal di sini menjadi murid Fangtaihiap. Bukankah ia sudah berjanji untuk menambah
kepandaian kita!"
"Benar, akan tetapi anak itu..."
"Ia hanya akan pandai memanah, selebihnya
tidak. Betapapun tak mungkin kakek itu mampu
mengalahkan Fang-taihiap ...i"
Tiba-tiba terdengar desir angin dan Kui Yang
maupun Kang Hu terkejut. Baru saja Sia-tiauw-eng-jin
lenyap mendadak muncul kakek lain berwajah putih.
55 Kakek ini berpakaian serba putih dan alis serta jenggot
dan rambutnya putih melulu. Ia muncul bagai iblis
atau siluman saja, dua anak muda ini mencelat. Akan
tetapi ketika mulut di balik kumis dan jenggot berbulu
lebat itu tersenyum, disusul tawa dan kata-katanya
yang renyah maka Kui Yang maupun temannya
tertegun. Darah mereka serasa berhenti berdenyut
melihat kakek ini, kakek berpakaian dan
berpenampilan serba putih!
(Bersambung jilid VI.)
56 COVER 1 =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0=
Karya : Batara
Jilid VI *** "KALIAN tak usah bertengkar, jodoh sudah di
tangan sendiri-sendiri. Kalian sama-sama benar akan
tetapi Tuhanlah penentunya, anak-anak. Suteku juga
benar akan tetapi bukan dia seorang ahli panah di
dunia ini. Kalau jodoh menentukan aku pun dapat
memberikan ilmu panah kepada kalian."
Dua muda-mudi itu terkejut dan Kui Yang
menggigil di belakang Kang Hu. Gadis ini menyangka
bertemu hantu akan tetapi segera lega, kakek itu
sareh dan kakinyapun menginjak bumi. Kalau hantu
tentu menggantung! Maka ketika ia hilang kagetnya
dan melepaskan pegangannya kepada Kang Hu, ia tadi
mencekal pemuda ini erat-erat maka gadis itupun
timbul keberaniannya berseru heran. Kemarahannya
hilang mendengar semua kata-kata ini yang memang
benar. 3 "Kau siapa, kedatanganmu mengejutkan. Kau
seperti iblis yang muncul begitu saja, orang tua, aku
sampai kaget dan menyangkamu hantu!"
"Heh-heh, aku pengelana seperti sute-ku itu.
Tiga hari aku mengawasi gerak-geriknya, nona, untung
tak sampai mencelakai kalian. Sudahlah, maaf kalau
aku mengejutkan tapi aku datang untuk melerai
kalian. Tak ada gunanya bersitegang leher karena
kalian sama-sama benar. Kalian sama-sama keras akan
tetapi sebaiknya yang lelaki mengalah kepada yang pe
rempuan."
Kang Hu mengangguk-angguk, kagum, bertemu
sorot mata halus itu dan tertarik. Sesungguhnya ia pun
akan mengalah kepada Kui Yang, kata-kata itu tepat.
Akan tetapi mengerutkan alis bahwa Sia-tiauw-eng-jin
adalah sute kakek ini iapun memandang bersinar dan
kagetpun hilang. Iapun tadi menyangka bahwa kakek
ini hantu.
"Locianpwe adalah suheng kakek
Locianpwe juga seorang ahli panah jempolan?"
itu? "Heh-heh, tak berani aku mengatakan begitu.
Yang jelas aku mampu mengimbangi suteku itu, anak
muda, tentang jempol tak ada yang jempolan. Di dunia
ini banyak yang lebih tinggi di antara yang tinggi."
4 "Kalau begitu coba locianpwe
seberapa hebat ilmu panah locianpwe!"
buktikan, Kakek itu tertawa geli. Ia mengatakan bahwa
ilmu kepandaian bukan untuk dipamer-pamerkan,
apalagi ilmu panah. Sekali busur menjepret nyawalah
taruhan nya. Dan ketika anak muda itu tertegun kakek
ini menarik napas dalam, berkata, "Aku bukan anak
kecil yang suka diadu seperti layaknya orang mengadu
jengkerik. Kalau kau percaya bagus tidak percaya pun
tak apa, anak muda. Yang jelas aku mampu
mengimbangi ilmu panah suteku itu. Sudahlah aku
datang bukan untuk memamerkan ini melainkan
melerai kalian. Hati-hati kalau bertemu suteku dan
waspadalah terhadap anak laki-laki itu."
"Tunggu!" Kang Hu meloncat melihat kakek itu
hendak pergi. "Kau hendak ke mana, locianpwe,
bolehkah kami bertanya lebih jauh tentang dirimu.
Siapa kau dan dari mana. Apakah Fang-taihiap
mengenalmu!"
"Heh-heh, pendekar itu belum ada ketika aku
sudah ada. Rasanya ia tak mengenalku, anak muda,
akan tetapi tak menjadi soal. Aku seorang pengelana
dan tadi sudah kujawab."
5 "Tidak, bukan itu. Locianpwe belum memberi
tahukan nama atau gelar yang terhormat!"
"Gelar? Ha-ha-he-he-heh! Aku si tua ini lak lagi
dikenal orang, anak muda, lagi pula apa artinya nama.
Aku lupa namaku, dan tak perduli namaku. Kalau ingin
mencari aku buah inilah tandanya. Aku suka
menyuguh buah!" lalu mengeluarkan sesuatu dari
saku jubahnya. Kang Hu pun tertegun melihat sebutir
apel yang merah manis disodorkan kakek itu, ramah
dan berseri-seri sementara bibir kakek itu bergerakgerak seperti orang bergumam. Kang Hu tertegun
akan tetapi secara tak sadar menerima itu. Lalu ketika
ia merasa betapa buah itu amat berat dan dingin, ia
pun terkejut maka kakek itu memutar tubuhnya dan
tahu-tahu meluncur bagai terbang.
"Locianpwe!"
Kakek itu melambaikan tangan. Tanpa menoleh
ia terus meluncur meninggalkan anak-anak muda ini,
begitu cepatnya hingga tahu-tahu sudah di kaki
gunung. Akan tetapi ketika Kang Hu terkejut berseru
keras tiba-tiba pemuda itu pun mengejar dan
berteriak ulang.
"Locianpwe!"
6 Kui Yang terkejut. Temannya mengerahkan
seluruh ilmu cepat akan tetapi larinya seperti siput
dibanding kakek itu. Si kakek tahu-tahu hampir lenyap
di kaki gunung. Dan ketika Kang Hu berteriak agar ia
mengejar, kakek itu berhenti tapi melanjutkan larinya
lagi, mendadak Kui Yang berdesir melihat Kang Hu
melepas panah menyambar punggung kakek Itu,
menyuruh agar ia menyerang pula.
"Cegat dan jangan biarkan ia hilang. Kepung
dengan pagar panah!"
Kui Yang baru mengerti. Kiranya temannya
bukan menyerang sungguh-sungguh melainkan
mengurung kakek itu dengan pagar panah. Sebelas
panah dilepas dengan amat cepatnya dan masingmasing menancap membentuk pagar senjata, kakek
itu berada di tengah. Akan tetapi ketika si kakek
tertawa dan meloncat ke atas, berkelebat dan lolos
maka gadis itu lah yang diminta menyambar dan
mengepung dengan sebelas panahnya. Kui Yang pun
tak kalah tangkas dibanding pemuda ini.
Akan tetapi Kui Yangpun terbelalak. Si kakek
mengebut dan semua panahnya buyar. Dan ketika
saat itu temannya membentak melepas panah lagi
mendadak kakek itu membalik dan... trik-trik-trik,
7 sebelas panah Kang Hu terpental oleh sebelas panah
kecil yang jatuh dan menancap membentuk huruf
Hian-ko (Penyuguh Buah).
"Ah!" dua muda-mudi itu kaget berseru keras.
Sekarang terlihat si kakek membawa gendewa kecil.
Gendewa ini tak kalah kecil dengan yang dimiliki Siatiauw-eng-jin hanya gendewa di tangan kakek itu
berkilau-kilauan seperti emas. Ya, gendewa itu terbuat
dari emas! Dan ketika dua muda-mudi itu tertegun
akan tetapi mengejar lagi, si kakek melambai maka
Kang Hu bertanya keras di mana si kakek bisa
dijumpai, di mana tempat tinggalnya.
"Locianpwe harap beritahukan di mana tempat
tinggalmu. Bagaimana kalau satu saat kami ingin
menemuimu. Apakah Fang-taihiap tahu di mana kau
tinggal!"
"Heh-heh, tak ada yang tahu. Kalau ingin
menemuiku tepuk saja buah itu, anak muda, kau akan
segera tahu di mana aku berada. Selamat tinggal!"
Kang Hu tak mungkin lari mengejar kakek ini
yang tiba-tiba meledak dan hilang. Di balik asap putih
tebal ia tak melihat apa-apa lagi. Maka ketika ia
berhenti dan terbelalak di sini, mengusap keringat
8 maka Kui Yangpun terkagum-kagum dan heran serta
takjub. "Dia seperti iblis, lenyap begitu saja!"
"Benar, dan ia tak memberitahukan apa-apa
kepada kita. Ah, kakek itu hebat sekali, Kui Yang,
sayang ia pergi!"
"Akan tetapi ia memberikan sesuatu kepadamu,
buah itu!"
"Benar, akan tetapi, ah... buah ini tak dapat
dimakan!" Kang Hu menggeleng dan Kui Yang pun
terkejut. Gadis ini melihat buah itu dan ternyata ini
adalah apel yang sudah membatu. Mereka tak tahu
bahwa itu bukan sembarang buah. Inilah buah Sin-ko
yang usianya ratusan tahun, mampu menawarkan
racun dan memiliki keistimewaan yang lain, yakni
pemiliknya kebal senjata. Namun karena mereka tak
tahu dan Kui Yang menyerahkan kembali buah itu,
terkejut bahwa buah ini demikian berat maka Kang Hu
menyimpannya hati-hati karena saku bajunya robek
dan harus diikat kuat. Buah ini seperti besi!
"Ia berkata kau akan dapat menemuinya kalau
mempergunakan buah ini. Berarti setiap saat kakek itu
dapat dihubungi, Kang Hu, beruntung kau akan tetapi
berhati-hatilah. Siapa tahu dia menipu!"
9 "Kupikir tidak, ia kakek baik-baik. Kalau jahat
untuk apa menasihati kita, Kui Yang. Sikap dan tutur
katanya mengesankan."
"Akan tetapi ia suheng Sia-tiauw-eng-jin!"
"Betapapun ia lembut, tidak kasar. Dan ia
ternyata mengawasi sutenya di sini. Hm, aku suka
kakek itu akan tetapi sayang telah pergi. Kalau saja..."
"Kalau
muridnya?"
saja apa? Kau hendak menjadi "Entahlah, kenapa cemberut. Aku tak bilang itu
dan, he... itu panah-panahnya tadi. Baru kuingat!"
Kang Hu menyambar panah-panah kecil itu dan
kaget bahwa panahnya sendiri tertusuk tepat tengah.
Dari tusukan dan panah yang malang-melintang inilah
terdapat huruf-huruf Hian-ko, indah dan menakjubkan


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekaligus memukau Kang Hu bahwa kakek itu memang
tukang panah jempolan. Maka ketika ia terkagumkagum dan bengong memandang anak-anak panah
ini, memungut dan menyimpannya maka Kui Yang pun
minta bagian dan menyimpannya lima buah.
"Aku mengagumi kakek ini, akan tetapi masih
lebih mengagumi Fang-taihiap. Mari pulang dan kelak
10 kita ceritakan ini, Kang Hu. Siapa tahu Fang-taihiap
mengenal mereka!"
Pemuda itu mengangguk dan kembali ke atas.
Mereka turun di bawah gunung sampai jauh
mendekati perkampungan terdekat, terlalu jauh
mereka mengejar kakek itu. Akan tetapi baru saja di
pinggang gunung mendadak terdengar lengking
menggetarkan. Sesosok bayangan hitam berkelebat
disusul bayangan putih.
"Subo,
mampus!"
kembalikan
puteraku atau kau Dan baru saja bayangan ini lewat berkelebatlah
bayangan putih itu, membentak atau mengejar
bayangan hitam.
"Eng-moi, jangan gegabah. Tanya dulu ayah dan
jangan menuduh May-may locianpwe!"
"Persetan dengan itu. Dialah yang kulihat
pertama kali, Hong-ko. Kembalikan puteraku atau
siapapun mampus... bress!" Kang Hu terlempar ketika
dikibas dan terbanglah dua sosok tubuh itu ke atas.
Begitu cepatnya gerakan mereka hingga
pemuda ini tak sempat minggir memberikan jalan.
Kang Hu bergulingan bangun dengan muka pucat. Dan
11 ketika Kui Yang juga terpelanting dan kaget bukan
main, gadis itu memaki-maki maka ia telah
mendahului Kang Hu mengejar ke atas.
"Jahanam, enak saja menabrak orang. Kalian
siapa datang-datang tak punya aturan, tikus-tikus
busuk. Jangan kira aku takut. Berhenti!" gadis ini
berkelebat dan naik dengan cepat akan tetapi dua
orang itu sudah lenyap di puncak. Ia memaki-maki
melepas marah sambil mencabut busurnya dan
dengan anak panah siap di tangan gadis ini mendaki
puncak. Dan ketika Kang Hu juga menyusul akan tetapi
pemuda itu mencekal lengan temannya, berseru agar
hati-hati maka Kui Yang membentak dan bersikap tak
perduli. "Takut apa, siapa suruh mereka begitu kurang
ajar. Biarpun mereka lihai akan tetapi kita di pihak
yang benar, Kang Hu. Jelek-jelek kitapun penghuni
Liang-san saat ini. Kalau orang seenaknya saja
mengacau di sini apa kata Fang-taihiap nanti, kita
dianggapnya tak becus!"
"Benar, akan tetapi jangan gegabah. Yang
wanita itu tampaknya marah sekali, Kui Yang, dan
menghadapi orang marah sama seperti menghadapi
iblis. Hati-hati dan jangan sembrono!"
12 Gadis itu mendengus. Mereka bergerak cepat
dan di puncak sana akhirnya berdiri tertegun. Kang Hu
melihat bayangan hitam melengking naik turun
menyambar ini-itu. Setiap sentuhan membuat apa
saja hancur. Dan ketika bayangan putih berkelebat
menangkis bayangan ini, ternyata mereka seorang
pemuda gagah dan seorang wanita cantik berusia
duapuluh empat tahunan maka tangkisan pemuda itu
membuat suara begitu kerasnya hingga Kang Hu
berdua terpelanting, padahal jarak di antara mereka
lebih sepuluh tombak.
"Dengar dan hentikan kemarahanmu. Ayahmu
tak ada di sini, Eng-moi, tempat ini ternyata kosong.
Daripada mengamuk tak keruan lihat dan dengar katakataku ... dukk!" suara itu begitu kuat hingga lembah
dan puncak Liang-san tergetar. Pohon di samping
mereka roboh. Dan ketika wanita itu terpental
sementara yang lelaki terhuyung maka pemuda ini
bergerak dan telah menangkap pergelangan
temannya itu. Mereka ini bukan lain Kiok Eng dan
suaminya, Tan Hong.
"Ayah dan siapapun tak ada di sini. Dengar dan
sebaiknya turut nasihatku, Eng-moi. Semua ini harus
dihadapi penuh kesabaran dan kepala dingin. Kalau
13 kau marah-marah dan seperti kesetanan begini apa
pun tak dapat diselesaikan."
"Tapi Cit Kong, puteraku...!" wanita itu tersedusedu.
"Kita tetap mencarinya dan sabar. Ayahmu tak
di sini dan lihat dua muda-mu di itu."
Kang Hu dan Kui Yang tercekat ketika pria dan
wanita itu memandang mereka. Terutama wanita baju
hitam itu berkilat matanya dan sekonyong-konyong
berkelebat, lepas dari suaminya. Dan ketika pemuda
ini tersentak kaget iapun tahu-tahu diangkat dan
dibanting.
"Tikus dari mana berani menginjak tempat ini.
Pergi! Dan kau...!" Kui Yang juga terkejut. "Enyahlah
dan jangan nguping pembicaraan orang!"
Dua muda-mudi itu kaget bukan main karena
tanpa dapat dicegah lagi mereka sama-sama
terlempar dan bergulingan. Kang Hu bahkan jauh di
pinggang gunung, terbanting babak-belur. Dan karena
Kui Yang rupanya sama-sama wanita dan sedikit lebih
lunak, gadis itu hanya terangkat dan terlempar di
semak-semak maka gadis ini lecet kulitnya kena duri.
Akan tetapi gadis inilah yang justeru lebih marah.
Begitu memaki dan meloncat bangun langsung
14 menjepretkan gendewanya melepas dua panah
sekaligus.
"Kurang ajar, siluman kuntilanak jahanam.
Kalau kau mengira dirimu terlalu gagah sambutlah
ini... sing-singg!" dua panah Kui Yang melesat dari
busurnya akan tetapi dengan mudah ditangkis. Kang
Hu berteriak agar temannya tidak gegabah. Dan ketika
gadis itu terkejut melepas panahya lagi maka sebelum
ia membidik lawanpun hilang dan... plak, gadis ini
terpelanting dan roboh pingsan.
Wanita baju hitam itu menampar tengkuknya.
"Jangan celakai temanku!" Kang Hu terkejut
berseru tertahan. Ia telah melompat bergulingan dan
kaget serta pucat. Kui Yang tak bergerak-gerak lagi.
Akan tetapi ketika dilihatnya temannya masih
bernapas dan wanita baju hitam itu mau
menyerangnya lagi maka pemuda di sampingnya
berkelebat dan menahan lengannya. Bukan main
telengas dan ganasnya wanita itu. Kang Hu tergetar
oleh pandang mata seperti api membara.
"Siapa kau dan kenapa di sini. Tidak tahukah
bahwa tempat ini bukan sembarang tempat. Pergi dan
bawa temanmu dan jangan ladeni isteriku yang
sedang marah-marah!" pemuda itu berkata kepada
15 Kang Hu dan melihat sikapnya yang lebih lunak
tahulah Kang Hu bahwa lawan yang berbahaya adalah
wanita itu. Sinar matanya benar-benar berbahaya,
bagai api. Akan tetapi karena ia menjaga Liang-san dan
betapapun tak boleh takut maka ia mengeraskan
hatinya berkata lan tang, balik bertanya.
"Justeru kalian siapakah, ada apa di tempat ini.
Aku Kang Hu mewakili Fang taihiap menjaga Liang-san.
Siapa kalian dan telengas benar isterimu itu meroboh
kan temanku!"
"Kau menjaga
menyuruhmu di sini?"
Liang-san?
Fang-suheng
Kang Hu terkejut. Pemuda itu membelalakkan
mata dan balas memandang dengan muka terheranheran. Dia menyebut pemilik Liang-san sebagai "Fangsuheng", berarti pemuda ini sute (adik seperguruan)
Fang-taihiap! Maka ketika Kang Hu terkejut dan heran
serta kaget tiba-tiba saja pemuda ini merobah sikap.
Pemuda ini berarti tuan rumah!
"Maaf, jiwi (kalian berdua) siapakah. Memang
betul aku disuruh menjaga gunung dan itu temanku
Kui Yang. Kami sudah beberapa hari di sini."
"Aku Tan Hong, dan itu isteriku Kiok Eng..."
16 "Ah, enci Kiok Eng? Kalau begitu maaf, aku cucu
Bu-goanswe!" Kang Hu buru-buru berseru dan ia tentu
saja berubah bahwa wanita baju hitam itu adalah Kiok
Eng. Siapa tidak kenal wanita gagah yang pernah
mengobrak-abrik istana ini. Siapa tidak kenal puteri
Fang-taihiap yang keras namun berkepandaian tinggi
itu! Maka ketika ia terkejut dan buru-buru merobah
sikap, pantas wanita itu demikian galak dan amat lihai
maka Kang Hu cepat memperkenalkan dirinya sebagai
cucu Bu-goanswe.
Dan benar, dua orang itu juga terkejut. Kiok Eng
yang telah melempar dan membanting pemuda ini
tiba-tiba berubah, begitu pula Tan Hong yang tak
menyangka bahwa pemuda di depan mereka ini
adalah cucu Bu-goanswe. Siapa tidak kenal kakek
gagah itu, bahkan Tan Hong dua tiga kali disambut baik
di istana. Maka ketika pemuda itu terkejut namun
buru-buru maju, menyambar dan memegang pemuda
ini maka Kang Hu ditanya siapa gadis temannya itu, di
mana Fang Fang dan lainnya.
"Kui Yang adalah puteri Kok-taijin, sedang Fangtaihiap dan hujin katanya ke Bukit Mawar, di Chinghai. Entah kenapa kalian marah-marah dan mengamuk
di sini, Tan-twako. Tentu sesuatu yang hebat menimpa
kalian."
17 Tan Hong tertegun. Lagi-lagi ia terkejut bahwa
gadis di sana itu puteri Kok-taijin. Siapa pula tak kenal
menteri gagah perkasa ini. Maka ketika ia melirik
isterinya dan menyesal telah menghajar anak-anak
muda itu, ia berkelebat dan menotok Kui Yang maka ia
berseru bahwa sesuatu memang membuat mereka
marah, tentu saja sekaligus minta maaf atas
perbuatan isterinya tadi.
"Tak kusangka kalian adalah sahabat-sahabat
sendiri, bahkan cucu dan putera Kok-taijin. Maafkan
kami berdua, Kang Hu, tapi harap maklum akan
kemarahan isteriku itu. Anak kami diculik, seseorang
mengambilnya!"
"Hilang? Diculik orang?"
"Ya, dan kami menduga seseorang, datang dan
ternyata kecele di sini. Ah, sudahlah maafkan kami dan
temanmu sadar!"
Benar, Kui Yang mengeluh dan membuka mata.
Namun begitu melihat Tan Hong tiba-tiba gadis itu
menjerit dan menyerang marah. Untunglah Kang Hu
berseru menyambar temannya itu dan berkata bahwa
mereka ini adalah keluarga Liang-san, wanita itu
bahkan puteri Fang-taihiap adanya.
18 "Tunggu, tahan seranganmu. Ia Tan Hong
putera locianpwe Dewa Mata Keranjang, Kui Yang,
sedang itu Kiok Eng ci-ci puteri Fang-taihiap. Anak
mereka hilang diculik orang dan ingat cerita Fangtaihiap sebelum meninggalkan rumah!"
Kui Yang tertegun, menahan serangan. Ia masih
marah sekali oleh pukulan Kiok Eng akan tetapi
seketika menjadi terkejut. Wanita itu puteri Fangtaihiap? Kiok Eng yang ganas dan keras itu? Pantas!
Maka ketika ia terpaku dan membelalakkan mata, Kiok
Eng terisak tak enak hati segera wanita ini menyambar
gadis itu berkata menahan tangis.
"Seseorang menggangguku sedemikian hebat,
aku tak dapat menahan diriku. Maaf bahwa aku
menghajar kalian, Kui Yang, aku tak tahu bahwa kau
puteri Kok-taijin. Biar kusampaikan penyesalanku
nanti kepada ayahmu pula. Cit Kong, anakku... ahh!"
wanita itu mengguguk, balik disambar Kui Yang dan
selanjutnya Kiok Eng yang gagah perkasa ini tersedusedu. Tampaklah bahwa tangis senjata yang paling
kuat, itulah milik wanita pelampias duka. Dan ketika
Kui Yang tertegun namun merangkul cepat,
kemarahan pun hilang maka ia mendengar berita
lenyapnya Cit Kong. Kang Hu menuturkan cepat dan
19 penuh kekhawatiran,
mengangguk-angguk.
sementara Tan Hong "Nah, begitulah. Pantas mereka marah dan
siapa dapat mengendalikan ini. Mereka benar-benar
dirundung malang, Kui Yang, kasihan enci Kiok Eng!"
Gadis itupun bercucuran air mata. Tangis
mudah menular dan kemarahan serta ketidak
senangan Kui Yang lenyap. Gadis ini bertangistangisan pula. Akan tetapi setelah Tan Hong batukbatuk dan menyentuh pundak isterinya maka pemuda
itu berkata bahwa mereka harus melanjutkan
perjalanan lagi.
"Di sini tak ada, siapapun pergi. Mari ke lain
tempat dan cari sampai dapat, Eng-moi. Terima kasih
kepada Kang Hu dan Kui Yang yang telah membantu
ayahmu. Tanpa mereka tentu tempat ini kosong."
"Twako jangan bicara seperti itu. Kami di sini
atas perintah orang-orang tua kami dan kebetulan
Fang-taihiap kesusahan. Melihat sesama berduka
mana mungkin tinggal diam. Sudahlah kalian cari anak
itu dan nanti kalau Fang-taihiap datang segera kami
laporkan. Maaf kami tak dapat meninggalkan


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gunung!"
20 "Tak apa, terima kasih bahwa kalian turut
merasa prihatin. Baiklah kami harus pergi dan
sampaikan semuanya ini bila mereka kembali, Kang
Hu, katakan bahwa Cit Kong diculik orang. Kami juga
tak dapat lama-lama di sini karena mereka juga tak
ada."
"Dan katakan bahwa tuduhan kami ke pada
nenek May-may. Nenek itulah yang kulihat bayangan
nya dan akan kucari sampai dapat!"
"Maaf, ini baru dugaan. Isteriku melihatnya
begitu, Kang Hu, akan tetapi siapa sebenarnya akupun
masih ragu!" Tan Hong memotong isterinya dan Kang
Hu lagi-lagi mengangguk. Untuk kesekian kalinya lagi
pemuda itu melihat betapa putera Dewa Mata
Keranjang ini lebih halus dan berhati-hati, jauh sekali
dengan Kiok Eng yang keras dan pemberang. Maka
ketika ia mengiyakan berulang-ulang sementara Kui
Yang melepaskan wanita itu maka Kiok Eng berkelebat
setelah se kali lagi minta maaf kepada mereka berdua.
Untunglah tangannya yang ganas tak sampai
membunuh dua muda-mudi itu!
"Sekali lagi maaf. Selamat tinggal dan sampai
ketemu lagi, Kui Yang. Aku tak akan mengulangi
21 kesalahanku tadi dan harap kalian tak menaruh di
hati!"
"Encipun turutlah kata-kata suami. Tan-twako
juga benar, Eng-cici, hati-hati dan akan kulaporkan ini
kepada ayah kalian!"
Tan Hong berkelebat dan membalik mengejar
isterinya itu. Mereka tak bertemu ayah di sini
sementara bayangan nenek May-may juga tak
Badik Buntung 2 Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo Pendekar Tanpa Tanding 2
^