Pencarian

Mencari Busur Kumala 5

Mencari Busur Kumala Karya Batara Bagian 5


panah kedua begitu seterusnya sampai panah
terakhir, tentu saja selisihnya hanya sepersekian detik
saja. 9 "Tak-tak-tak-tak!"
Gemuruhlah tepuk riuh sorak penonton.
Mereka yang kebingungan dan merasa tak sanggup
mematahkan empat panah itu tiba-tiba menjadi
takjub dan kagum bukan main. Begitu hebat dan
tepatnya kakek itu meruntuhkan panah panglima
Homba dan kawan-kawan. Satu persatu di buat rontok
dan saat itulah si kakek benar-benar memperlihatkan
kepandaiannya. Maka ketika mereka terkejut dan
sadar serta kagum memuji kakek itu, Siang Lun Mogal
terbahak-bahak adalah empat panglima menjadi
pucat dan kaget serta bengong. Dengan mata kepala
sendiri mereka melihat betapa anak-anak panah
mereka dijatuhkan satu persatu untuk kemudian
runtuh dan patah ke tanah.
"Ha-ha-ha, kurang apalagi. Biarpun licik dan
cerdik kalian menyembunyikan panah akan tetapi
semuanya dapat kurontokkan, Homba. Bukti apalagi
yang ingin kalian peroleh sebelum benar-benar puas
menjadi pembantuku!"
Homba dan tiga rekannya terkagum-kagum
akan tetapi segera sadar dan mengakui kekalahan.
Raja bertepuk tak habis-habisnya dan semburatlah
wajah mereka. Kakek ini benar-benar hebat! Akan
10 tetapi karena masih ada sebuah pertandingan lagi dan
itulah keroyokan satu lawan empat, di sinilah mereka
habis-habisan hendak menguji kakek ini maka Homba
melompat ke depan membuang busur dan anak
panahnya, membungkuk dalam-dalam.
"Lo-enghiong benar-benar luar biasa, juga
cerdik menandingi kami. Karena kami kembali kalah
maka dengan jujur kami akui kehebatan dirimu. Akan
tetapi masih ada sebuah pertandingan lagi, sang
gupkah lo-enghiong menghadapi kami ber empat!"
"Ha-ha, jangankan berempat. Bersepuluh pun
kalian bakal kurobohkan, Homba, tak ada yang
kutolak. Hayo tambah dengan pembantu-pembantu
terkuatmu dan biarlah kuhadapi kalian sepuluh orang
sekaligus!"
Bukanlah kesombongan kalau kakek ini bicara
seperti itu. Sebagai seorang ahli silat sekaligus tokoh
terkenal yang ditakuti dunia kang-ouw kata-kata Siang
Lun Mogal tidaklah berlebihan. Dikeroyok seratus pun
dia tak takut, bukankah empat panglima itu hanya
orang-orang biasa saja, bukan golongan persilatan.
Akan tetapi karena jelek-jelek mereka itu ahli perang
yang baik, juga merupakan panglima-panglima
pembantu Raja Sabulai maka ejekan atau kata-kata
11 kakek ini memerahkan telinga memanaskan hati,
membakar! Homba dan tiga rekannya saling lirik dan
masing-masing bersuit, enam orang berloncatan dan
itulah pemuda-pemuda Mongol yang gagah dan tegap
kuat. Mereka adalah perwira bawahan empat
panglima ini dan tantangan kakek itu disambut. Dan
ketika masing-masing sudah menyambar tombak dan
riuhlah penonton memberi tepuk tangan, Siang Lun
Mogal terkekeh-kekeh maka Sabulai mengerutkan
kening dan agak khawatir. Betapapun dia tahu bahwa
sepuluh orang itu adalah pembantunya paling
terpercaya dan juga ahli keroyok, terutama enam
perwira muda yang matanya tajam bersinar itu,
pemuda-pemuda gagah yang sekali maju bagaikan
harimau-harimau kelaparan yang haus darah!
"Siang Lun lo-enghiong sebaiknya beristirahat
dulu, atau keroyokan dibatasi dan masing-masing
sepuluh jurus!"
"Ha-ha, tak perlu. Pembatasan hanya
mengurangi kepercayaan saja, sri baginda. Biarlah
mereka bertanding dan mengeroyok hamba sepuaspuasnya. Terima kasih atas kekhawatiran paduka!"
Raja Sabulai tak dapat berbuat apa-apa. Ia telah
melindungi kakek ini akan tetapi si kakek sendiri tak
12 mau, apa boleh buat ia pun memandang saja dengan
berdebar. Sepuluh orang itu telah berlompatan dan
mengepung kakek ini, gigi mereka gemeretuk
sementara tombak di tangan bergetar siap serang.
Sekali aba-aba dilepaskan hancurlah kakek itu di
tengah. Maka ketika Raja menarik napas dalam-dalam
dan menganggap kakek itu keterlaluan juga, apa boleh
buat ia harus merelakan para pembantunya
membantai kakek itu maka Sabulai mengernyitkan
kening sementara Homba berseru apakah kakek itu
sudah siap.
"Siap? Ha-ha, sejak tadi. Maju dan seranglah
aku, Homba, jangan banyak cakap. Sedikit saja bajuku
robek kalian kuanggap menang!"
Bentakan dan kemarahan tak dapat di tunda
lagi. Panglima itu menerjang dan tombak di tanganpun
menusuk. Gerakannya ini disusul panglima Sodor dan
Sabhu, juga Honga. Lalu ketika enam perwira lain juga
bergerak dan menusuk cepat, masing-masing
berlomba merobohkan kakek ini maka Siang Lun
Mogal tertawa bergelak dan tiba-tiba menghilang.
Kakek ini menotolkan kedua kakinya dengan amat
cepat dan tahu-tahu melejit ke atas.
"Trang-trang-tranggg!"
13 Tak dapat dicegah lagi tombak di tangan
sepuluh orang itu berbenturan. Masing-masing
terkejut dan berseru keras dan saat itulah si kakek
melayang turun. Hanya penonton yang melihat
betapa kakek ini meloncat tinggi sekali, membiarkan
tombak bertemu dan kini meluncur turun. Dan ketika
dengan kedua kaki bergerak cepat ke kiri kanan,
menyapu atau menendang maka Homba dan rekanrekannya terlempar dan tak ayal lagi mereka pun
menjerit bergulingan. Sapuan itu bagai sepasang kipas
besi menghajar pundak atau leher mereka.
"Ha-ha, ayo bangun. Sambar dan cekal kuatkuat senjata kalian, Homba, jangan begitu lemah. Ayo,
bangun!"
Sepuluh orang itu bergulingan meloncat bangun
dengan muka pucat. Mereka tak tahu kapan dan dari
mana kakek itu tahu-tahu menendang. Yang mereka
lihat adalah sasaran yang hilang dan sepasang kaki
yang tahu-tahu begitu cepatnya menghantam
mereka. Pundak atau leher seakan patah-patah. Akan
tetapi karena itu baru segebrakan dan siapa puas,
mereka tak melihat atau penasaran akan kepandaian
kakek ini maka Homba dan rekan-rekannya bangkit
lagi dan menerjang. Gaya serangan mereka tentu saja
gaya orang perang, bukan ahli silat. Dan begitu mereka
14 menerjang sementara kakek ini kembali tertawa
bergelak maka Siang Lun Mogal menghilang untuk
kedua kalinya dan kali ini berada di luar kepungan. Ia
menunjukkan ginkang atau ilmu meringankan tubuh
tingkat tinggi.
"Tring-crang-cranggg!"
Kakek itu terkekeh-kekeh. Ia membiarkan
sepuluh tombak berbenturan dan lawan tentu saja
kaget. Mereka terhuyung bahkan ada yang
terpelanting. Maka ketika tawa itu mengejutkan
mereka sekaligus mengherankan pula, bagaimana si
kakek tahu-tahu di luar kepungan maka Homba tak
dapat menahan kemarahannya setelah sadar, begitu
juga ketiga rekannya. Mereka ini seakan dipermainkan
dan bagaikan anak kecil pula di hadapan kakek itu,
padahal mereka adalah panglima Raja Sabulai yang
terkenal. Maka merah terpukul perasaannya, juga
geram sekaligus gusar akhirnya empat panglima ini
membentak dan mengejar kakek itu. Enam yang lain
terbengong-bengong akan tetapi sudah maju pula.
Merekapun terkejut akan tetapi tak dapat berpikir
panjang. Heran dan segalanya harus dibuang. Maka
ketika melompat dan membantu pimpinan mereka,
membentak dan menusuk akhirnya sepuluh orang ini
kembali menyerang si kakek gundul akan tetapi kali ini
15 Siang Lun Mogal berkelebatan terkekeh-kekeh,
mengelak dan menangkis sementara kaki tangannya
tentu saja tak tinggal diam. Ia menampar dan
memukul akan tetapi mengendalikan tenaganya.
Lawan berteriak dan terjungkal akan tetapi
menyerang lagi. Bagian yang dipukul atau ditampar
hanya terasa panas. Maka ketika menerjang dan
melompat bangun lagi, begitu berulang-ulang
akhirnya keluarlah bentakan kakek ini bahwa
pertandingan akan diakhiri. Ia sudah empat lima kali
merobohkan lawan.
"Cukup, sekarang tak perlu diperpanjang lagi.
Kalian orang-orang bodoh tak tahu betapa aku telah
banyak mengalah. Awas!" lalu ketika kakek ini
berjongkok dan mengeluarkan suara aneh dari dalam
perut, itulah Ang-mo-kang yang amat dahsyat maka
sekali ia mendorongkan ke dua tangannya tiba-tiba
sepuluh orang itu menjerit dan berteriak. Pukulan
Katak Merah menyambar akan tetapi tetap dalam
batas pengendalian.
"Bresss!" terlemparlah Homba dan kawankawan dan kali ini tombak di tangan patah-patah,
tubuh berdebuk dan terbanting sementara mereka
menggeliat dan roboh. Sepuluh orang itu terlempar
dan terhembus bagai layang-layang layaknya, tak
16 satupun kuat dan bangsa Mongol tentu saja bersorak
gemuruh. Mereka tadinya terkejut dan pucat akan
tetapi lega bahwa Homba dan kawan-kawan tidak
tewas, mereka menggeliat dan mengerang-erang di
tanah. Lalu ketika kakek itu berkelebat dan
menyembuhkan bekas pukulan dengan usapan dan
tepukan, bangkitlah sepuluh perwira itu akhirnya
tepuk riuh tak dapat dicegah lagi. Kakek itu luar biasa
dan betul-betul lihai.
"Siang Lun lo-enghiong menang. Siang Lun loenghiong telah menyelesaikan semua ujian!"
Yang paling berseri tentu saja Raja Sabulai. Tak
menyangka bahwa sepuluh pembantunya dirobohkan
demikian mudah Sabulai meninggalkan kursinya
berlari-lari. Ia memeluk dan menepuk-nepuk kakek itu
dengan penuh bangga. Lalu ketika pengawalnya
mengangkat kakek ini tinggi-tinggi dibawa lari
berputaran, rakyat sorak dan memuji maka Siang Lun
Mogal terkekeh-kekeh di atas bahu pemuda-pemuda
Mongol yang kuat ini.
Homba dan rekannya termangu-mangu
Sekarang tak ada lagi alasan untuk tidak mempercayai
kakek ini. Mereka telah pecundang. Maka ketika
semua menarik napas dan hari itu mengakui
17 kekalahan, selanjutnya menjadi pembantu kakek ini
maka Siang Lun Mogal menjadi panglima dan tugas
menggempur suku-suku Uighur maupun Turfan dan
Huna menjadi mudah. Begitu mudahnya hingga tak
sampai enam bulan suku bangsa Mongol menjadi
besar. Musuh yang takluk bergabung dengan mereka.
Dan ketika selanjutnya suku-suku lain yang lebih kecil
akan tetapi banyak jumlahnya diserang kakek ini,
tentu saja Homba dan rekannya merupakan penasihat
perang maka tak sampai setahun kemah bangsa
Mongol telah menjadi puluhan ribu!
Raja benar-benar meluap kegembiraannya. Cit
Kong, si pembawa Ceng-bong-toh benar-benar
membawa rejeki. Datangnya anak ini telah merobah
segala-galanya. Maka ketika bangsa Mongol telah
menjadi demikian besar terdiri dari gabungan sukusuku bangsa taklukan maka raja merencanakan untuk
menyerang atau menyerbu bangsa Han!
"Kupikir kekuatan kita cukup, bala tentara dan
ahli-ahli perang siap. Bagaimana menurut pendapat
mu kalau kita serang bangsa Han, Siang Lun loenghiong. Dengan pimpinan di tanganmu tentu
semuanya berhasil!"
Kakek ini tergetar, akan tetapi tersenyum pahit.
18 "Paduka belum saatnya menyerang bangsa di
selatan itu. Di samping banyak orang-orang ber
kepandaian tinggi juga karena persiapan di sini
sesungguhnya belum cukup. Untuk menyerang bangsa
itu diperlukan ahli-ahli silat di samping ahli perang.
Tidakkah paduka ingat peristiwa seminggu setelah
hamba di sini."
"Nenek itu?"
"Ya, dan di sana masih terdapat yang jauh lebih
tinggi. Padahal sepuluh perwira paduka tak mampu
mengalahkan nenek itu!"
Raja diam, menarik napas dalam-dalam. Lalu
ketika wajahnya tampak kecewa dan mengepal tinju
maka terbayanglah olehnya nenek gagah yang
akhirnya tewas itu. Nenek yang hendak membunuh
Sabuci! Malam, itu seminggu setelah kakek ini
memenangkan pertandingan maka Siang Lun Mogal
bersenang-senang di kemah seorang selir. Setelah ia
mengalahkan Homba dan rekan-rekannya maka Siang
Lun Mogal tiada ubahnya Raja Sabulai sendiri. Ia bebas
keluar masuk kamar selir asal tidak dipakai Sabulai.
Hanya satu larangannya, tak boleh mengganggu
Kayima yang menyusui Cit Kong, yang kini berganti


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

19 nama menjadi Sabuci itu. Maka ketika ia terlelap dan
mabok dalam dekapan selir cantik, demikian bebasnya
ia berbuat tak ubahnya Sabulai sendiri maka kakek ini
akhirnya tertidur dan tergolek di paha selir itu sampai
akhirnya jerit atau pekik gaduh menyadarkannya dan
membuatnya mencelat dari paha selir itu, tepat di saat
panglima Sabhu berlari-lari ke kemahnya dengan
tubuh penuh luka.
"Siang Lun lo-enghiong, tolong. Seorang nenek
mengamuk. Ia hendak membunuh Sabuci. Tolong
cepat ia sudah dekat... bruukk!" panglima itu roboh
tepat di saat kakek ini berkelebat keluar. Sebagai
seorang ahli silat yang sudah begitu mendarah-daging
maka segala kejadian membuat kakek ini bergerak
secara refleks. Syarafnya cepat bekerja dan adanya
bahaya membuat kakek itu bergetar seluruh
tubuhnya. Sedikit gerakan membuat ia bergerak amat
tangkas. Maka ketika Sabhu roboh terjerembab akan
tetapi ia sudah melesat keluar maka tiga ratus meter
dari tempat itu di mana bentakan dan bunyi nyaring
dentang senjata membuat kakek ini terbelalak maka
Siang Lun Mogal berdesir melihat seorang nenek
berambut panjang menjeletar-jeletarkan rambutnya
merobohkan pengawal dan juga Homba serta kawankawannya.
20 "May-may!" kakek ini tak dapat menahan
marah ketika ia mengenal nenek itu. Cepat ia
membentak dan terlemparlah semua orang ketika ia
mendorong dan melempar-lemparkan mereka. Nenek
itu dikeroyok seratus lebih akan tetapi ia hebat dan
amat ganas. Sin-mauw-kang atau Silat Rambut Sakti
memang bukan lawan orang-orang Mongol ini. Nenek
itu hendak menyerbu sebuah kemah di mana
terdengar jerit tangis bayi. Itulah Cit Kong atau Sabuci.
Maka ketika kakek ini berke lebat dan buyarlah
kepungan dilempar kakek itu maka si nenek terkejut
dan kaget serta gentar.
"Kau!" kakek itu menggigil. "Apa maksudmu
datang ke sini, May-may. Benarkah kau hendak
membunuh Sabuci!"
Nenek itu mundur, akan tetapi kepalang basah.
Dan karena para pengepung berteriak dan memakimaki, tak mungkin ia lolos akhirnya nenek itu
melengking dan tanpa banyak bicara lagi menyerang
kakek ini.
"Kau begundal Raja Sabulai yang tak tahu malu.
Aku hendak mengambil cucuku dan membawanya
keluar, Siang Lun Mogal. Aku tak rela kau menyerah
kannya kepada orang lain!"
21 Kakek ini mengelak, maju mundur. Ia memaki
nenek itu bahwa si nenek telah bersikap kelewat jauh,
la tak mungkin mengampuni. Dan ketika nenek itu
merangsek dan mendesak kian kalap, memang inilah
May-may yang hendak membunuh Cit Kong maka
kakek gundul tak mau mengelak lagi dan menangkis.
"Dukk!" nenek itu terjengkang dan menjerit.
Selanjutnya ia bergulingan namun meloncat bangun
lagi, tiga orang Mongol menyerangnya. Akan tetapi
karena nenek ini tetap merupakan lawan berbahaya
dan Siang Lun Mogal berseru agar jangan mendekat,
terlambat maka rambut nenek itu menyambar dan...
plak, robohlah tiga orang itu dengan kepala pecah.
May-may memang bukan lawan orang-orang Mongol
ini. "Minggir, kalian tikus-tikus busuk jangan banyak
mencampuri. Kepung dan tetap berjaga saja di
tempat!"
Memang nenek ini tetap berbahaya. Sebagai
bekas isteri Dewa Mata Keranjang yang lihai dan
bukan sembarangan maka perajurit atau pengawal
Mongol bukan apa-apa bagi nenek ini. Hanya karena
berjumlah banyak dan menang kepungan membuat
nenek itu tak mudah maju.
22 la tertahan dan mengamuk di situ. Maka ketika
puluhan orang tewas namun kini kakek gundul itu
muncul dan datang, ini lah yang membuat nenek itu
gelisah maka May-may menjadi mata gelap dan tidak
menghiraukan keselamatan diri lagi.
Malam itu, seminggu setelah Cit Kong
diserahkan Sabulai nenek ini menunggu kesempatan.
Enam hari ini ia mengintai di luar namun melihat
bayangan kakek gundul itu. Ia meninggalkan Siang Lun
Mogal akan tetapi bukan berarti meninggalkan tempat
bangsa Mongol itu. Ia tetap mencari-cari kesempatan.
Dan ketika ia menjadi marah dan gelisah kakek itu
selalu muncul di antara kemah-kemah besar, enam
hari bukanlah penantian yang tidak menghabiskan
kesabaran akhirnya pada hari ketujuh itu ia nekat
untuk masuk dan menerobos. Ia hendak membunuh
Cit Kong lalu kabur!
Maka masuklah nenek ini dengan amat hatihati. Ia sengaja masuk di malam gelap dan telah
mengetahui bahwa di kemah berwarna hijau
terdapatlah Cit Kong. Tangis anak itu dikenalnya. Akan
tetapi karena Cit Kong adalah anak pembawa Rejeki
Dunia (Ceng-bong-toh), belum tentu satu di antara
sejuta anak memiliki ini maka Sabulai benar-benar
memberikan perhatian khusus dan pengawal yang tek
23 tampak maupun tampak diwajibkan melindungi
kemah itu, apalagi Siang Lun Mogal sendiri
mendukung.
"Benar, hamba tak mungkin dua puluh empat
jam menjaga terus-menerus. Pengawal yang resmi
maupun tidak harus melindungi kemah itu, baginda.
Kalau ada apa-apa maka yang bersembunyi ini dapat
membantu. Hamba akan muncul kalau diberi tahu."
Demikianlah, sepuluh pengawal berjaga
melindungi kemah sementara sepuluh yang lain
berada di sudut-sudut gelap. Inilah yang tak diketahui
May-may dan ketidaksabaran nenek itu menjebloskan
nya juga. Meskipun ia hati-hati akan tetapi
perhatiannya lebih tertuju kepada sepuluh pengawal
yang tampak ini. Yang tidak, yang bersembunyi
terlewatkan. Maka ketika dengan mudah ia
merobohkan sepuluh pengawal itu akan tetapi
berbareng dengan itu terdengar jerit tangis Cit Kong,
entah kenapa anak ini seakan mencium bahaya maka
sepuluh pengawal jang bersembunyi berlompatan
keluar ketika tepat nenek itu menghajar roboh teman
terakhir. "Heiii...!" bersamaan ini menyeranglah orangorang itu. Tidak hanya di situ akan tetapi satu di
24 antaranya meniup terompet kecil. Terompet ini
mengejutkan panglima Sabhu dan kawan-kawan dan
serentak berlompatanlah mereka itu. Dan ketika tahutahu tempat itu telah dikepung akan tetapi si nenek
telah meroboh kan sepuluh pengawal bayangan ini
maka Homba marah bukan main melihat apa yang
terjadi. Rekannya Sabhu telah menusuk dan memaki
nenek itu.
"Keparat, siapa kau. Berani benar malammalam membunuh orang!"
May-may menjadi terkejut. Langkahnya yang
semula hendak dilakukan sembunyi-sembunyi
mendadak sudah tak dapat dilakukan lagi. Ia telah
dikepung. Dan ketika obor-obor besar dipasang di
mana-mana, ia tak dapat menyembunyikan wajahnya
lagi maka bangsa Mongolpun terkejut bahwa seorang
nenek asing tahu-tahu menyelinap dan memasuki
kemah mereka.
"Ia hendak menyerbu kemah Sabuci, nenek ini
hendak membunuh. Awas kepung rapat-rapat dan
jangan biarkan ia lolos!"
"Keparat, kalian cacing-cacing busuk. Aku
datang untuk mengambil dan membunuh cucuku
sendiri yang bernama Cit Kong. Ia bukan milik kalian
25 dan jangan macam-macam. Minggir!" May-may mulai
mengamuk karena ia dihalang-halangi dan tak mampu
menerobos kemah hijau. Di situ tangis Cit Kong
semakin nyaring dan ia semakin tak sabar. Ia harus
bergerak cepat sebelum kakek gundul datang. Akan
tetapi karena anak itu sudah diserahkan Sabulai dan
kini menjadi milik bangsa Mongol, omongan atau katakata nenek ini bahkan dianggap gila maka Sabhu
menusukkan tombaknya dan berteriak.
"Kau nenek tidak waras, mana mungkin cucu
sendiri dibunuh. Robohlah!" akan tetapi ketika
tombak ditangkis rambut, terpental dan menyambar
pundak panglima itu sendiri maka Sabhu menjerit dan
melempar tubuh bergulingan.
Akan tetapi Honga dan Sodor tak mendiamkan
rekannya dicelakai, begitu juga panglima Homba yang
merupakan panglima tertua. Maka ketika semua
menerjang dan ribut-ribut pecahlah sudah, nenek ini
marah maka May-may mengamuk dan ia membuat
empat panglima terkejut dipaksa mundur dan
terhuyung-huyung. Anak buah mereka pecah
kepalanya disambar rambut!
"Panggil Siang Lun lo-enghiong ke mari. Cepat,
panggil dia datang!"
26 May-may melotot. Sabhu meninggalkan
pertempuran akan tetapi ia tak biarkan begitu saja.
Belasan jarum menyambar. Dan ketika laki-laki itu
menjerit dan terpelanting roboh, ia luka-luka maka
nenek ini menggeram melampiaskan marah. Ia tahu
apa artinya itu kalau si gundul datang.
"Tak usah cuap-cuap. Aku akan pergi kalau
cucuku sudah kubawa. Minggir dan biarkan aku
membawa Cit Kong, tikus-tikus busuk, aku tak
mengganggu kalian!"
"Kau nenek gila tak tahu diri. Anak itu adalah
putera junjungan kami Raja Sabulai, nenek tidak
waras. Siapa kau mengaku-aku sebagai neneknya.
Tunggu Siang Lun lo-enghiong dan kau boleh
memintanya!"
"Cerewet, untuk apa menunggu orang lain. Kau
mampuslah dan jangan banyak mulut... tarr!" Honga
hampir saja tersabet kalau laki-laki ini tidak melempar
tubuhnya. Ia cepat menggerakkan tombak akan tetapi
patah. Dan ketika ia bergulingan akan tetapi tiga sinar
hitam menyambar, itulah jarum-jarum milik si nenek
maka panglima ini berteriak dan May-may
melepaskan pula pada lawan-lawannya yang lain.
Sodor dan Homba ikut terkena dan puluhan yang lain
27 saling mengaduh. Akan tetapi karena jumlah mereka
banyak sementara persediaanpun habis, jarum si
nenek hanya sekantung maka May-may tak dapat
menerobos kepungan yang amat ketat. Roboh dua
maju empat, roboh empat maju delapan! Dan bangsa
Mongol memang akan mati-matian mempertahankan
Cit Kong! Untunglah di saat itu muncullah si kakek gundul.
Kaget dan marah kelelapan tidurnya terganggu kakek
ini segera mendelik melihat siapa yang datang. Maymay tak akan sudah kalau tidak dibunuh. Dan karena
diam-diam ia khawatir nenek ini memberi tahu Kiok
Eng, bahwa Cit Kong ada di situ akhirnya timbul
keputusan bulat di hati kakek ini bahwa nenek itu
harus dilenyapkan. Dan inilah nasib yang harus
diterima nenek itu.
"Kau kelewatan menggangguku. Sudah berkalikali kubilang jangan ganggu anak itu, May-may, akan
tetapi kau tak mau dengar. Baiklah, malam ini
kematianmu dan menyesal aku tak mengampunimu
lagi!" kakek ini membungkuk dan berjongkok ketika
Sin-mauw-kang menyambar. Tidak seperti ketika
menghadapi panglima Homba dan kawan-kawan
adalah kali ini kakek itu bersungguh-sungguh. Bunyi
kok-kok dari perutnya amat keras, perut itu pun
28 menggelembung dan menerima pukulan si nenek. Dan
ketika tepat rambut menghantam sementara si kakek
tak mengelak, kedua tangannya mendorong maka
May-may roboh menjerit akan tetapi rambutnya
melekat di perut kakek itu.
"Desss!"
Ang-mo-kang bukanlah pukulan main-main.
Menyambut dan menerima Sin-mau kang sudah
merupakan kehebatan tersendiri bagi ilmu pukulan
ini. Rambut nenek itu tak dapat ditarik ketika
mengenai perut, tersedot atau tertarik sementara dari
kedua tangan kakek itu meluncurlah hawa pukulan
kuat menyambar ke depan. Ang-mo-kang
menghantam nenek ini tepat di depan, terdengar
suara krek-krek ketika tulang dada nenek itu patah.
Lalu ketika nenek ini mendelik akan tetapi bersamaan
itu perut mengempis kembali, kakek ini melepaskan
lawannya maka May-may roboh dan tewas
terjengkang. Dari mulut dan telinganya keluar darah.
"Kuburkan nenek ini baik-baik, jangan dibuang
mayatnya!" Siang Lun Mogal membersihkan kedua
ujung bajunya dan tentu saja kehebatannya ini
semakin menambah pamornya. Tanpa banyak susahdan begitu gampang ia membunuh lawannya, padahal
29 pengawal dan panglima Mongol mati-matian
mempertahankan diri. Dan ketika malam itu keributan
berakhir sementara Sabulai mendapat laporan, raja
tentu saja kian kagum dan menaruh kepercayaan
besar maka sejak itu Cit Kong atau Sabuci tak pernah
diganggu musuh lagi. Anak ini telah aman dari


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ancaman nenek May-may.
Sampai di sini Sabulai melempar kenangannya
dan ia terpaksa mempercayai kata-kata kakek ini.
Maksud menyerbu selatan ditunda. Siang Lun Mogal
berkata biarlah menunggu Sabuci besar, mungkin
anak itulah yang kelak dapat meraih cita-cita. Dan
karena di tangan kakek inilah kegagalan atau
keberhasilan didapat, Sabulai tak memaksa maka lima
tahun kemudian anak ini telah menjadi seorang anak
laki-laki yang sehat dan berpenampilan tangkas. Siang
Lun Mogal diam-diam girang bukan main melihat
tanda-tanda kecerdasan tingkat tinggi yang dimiliki
anak itu. "Sekarang hamba menuntut janji hamba. Sabuci
telah berusia lima tahun, sri baginda. Hamba ingin
mendidiknya dengan ilmu silat, berarti sering keluar
bersama hamba untuk digembleng atau menerima
pelajaran!"
30 "Ya, aku menepati janjiku. Tanpa kau mintapun
aku ganti memintamu, lo-enghiong. Di bawah
bimbinganmu aku ingin anakku pandai. Ia harus
menjadi satu di antara putera Mongol yang hebat."
"Jadi paduka tak keberatan?"
"Tidak, justeru aku bangga. Kalau ia sehebat
dirimu dan kelak memimpin bangsa ini maka
kebanggaanku tak terlukiskan lagi. Panggil dia dan
mana anak itu!"
Kakek gundul berseri-seri dan ia telah
membayangkan muridnya yang cilik ini. Di bawah
bimbingannya akan diciptanya Wi Tok yang lain. Di
bawah bimbingannya akan diaturnya anak itu agar
kelak menggempur bangsa Han. Akan tetapi ketika
anak itu datang dan Sabuci demikian gagah perkasa,
menyandang panah kecil dan gendewa kecil maka
anak ini berlutut di depan ayahnya berseru nyaring.
Sikap dan kata-katanya membayangkan keberanian
dan kejujuran besar. Selama ini, ia telah menjadi
murid panglima Homba dan rekan-rekannya dalam hal
memanah dan berburu.
"Ayah ada keperluan apa memanggilku. Aku
sedang berburu di tepi hutan. Kalau ayah ingin aku
31 menangkap seekor harimau akan kucoba bersama
paman Homba!"
"Ha-ha, kau anak kecil terlampau bersemangat.
Eh, taruh dan singkirkan busur dan panahmu itu, Buci,
ayah takut melihatnya. Masa di depan ayahmu kau
bersikap seperti pemburu. Hayo, ke sini dan dengar
kata-kata ayah akan tetapi cerita kan dulu apa yang
kau dapat!" Sabulai menyambar dan memeluk
puteranya ini dan diciumnya anak itu penuh bangga.
Dengan pakaian berburu dan mantol tebal puteranya
ini tampak gagah perkasa. Cilik-cilik calon pemburu
ulung. Lalu ketika anak itu meletakkan busur dan anak
panahnya membalas ciuman sang ayah, inilah yang
biasa dilakukan maka anak itu berkata bahwa ia baru
mendapatkan seekor kelinci gemuk.
"Seekor kelinci? Ha-ha, kukira singa. Wah, untuk
apa itu dipamerkan ayahmu!"
"Tunggu, ada seekor anak singa yang akan
kukejar ketika panggilan ayah tiba-tiba datang. Kalau
tidak tentu kutangkap dan kurobohkan dia!"
"Benarkah? Bagus, itu baru mengagumkan.
Akan tetapi jangan sendiri karena kau masih kecil dan
terlampau lemah. Mana pamanmu Homba!"
32 "Hamba di sini," panglima itu muncul "Hamba
menjaga dan melindunginya, sri baginda, juga rekan
Sabhu dan Sodor."
"Bagus, akan tetapi aku mau bicara serius. Hm,
kau..." Raja membalik dan menghadapi puteranya ini,
Cit Kong berpakaian seperti layaknya pemburu
Mongol akan tetapi kulit dan wajah anak itu jelas
bangsa Han, hal yang diam-diam sedikit disesali lelaki
ini kenapa bukan Mongol asli. "Aku memanggilmu
karena suatu kepentingan, Buci, bahwa semakin
sering kau ke hutan semakin besar bahaya yang
mengancammu..."
"Ada paman Homba dan lain-lain di sekelilingku.
Bahaya apa, ayah, mereka akan menghalaunya!"
"Diamlah, dengar dulu kata-kataku. Maksudku
bahwa tak mungkin selamanya semua orang harus
menungguimu. Suatu saat kau harus sendirian dan di
situlah sesuatu diperlukan!"
Anak ini mengernyitkan kening, akan tetapi
tertawa dan menendang-nendang-kan kakinya secara
lucu ia berkata, "Benar, kalau aku pipis atau buang air
besar tentu saja para paman harus meninggalkanku.
Mereka tak boleh melihat!"
33 Sabulai tertawa, dan orang lainpun tersenyum.
Akan tetapi mengelus dan mengusap-usap pundak
anak ini raja berkata, "Bukan itu, itu tak masuk
hitungan. Maksudku adalah bila kau sendirian dan
bahaya mengancammu, Buci, kau harus dapat
menyelamatkan diri dan gendewa serta sekedar anak
panahmu itu kurang berarti!"
"Maksud ayah?"
"Berapa usiamu sekarang."
"Lima tahun."
"Dan tahukah kau bahwa usia seperti inilah
yang tepat sekali untuk menempa dirimu menjadi
orang pandai. Eh, aku hendak mengatakan bahwa
sudah waktunya kau belajar ilmu yang lain, puteraku,
ilmu silat dan kepandaian tinggi seperti yang dimiliki
Siang Lun lo-enghiong ini.
Anak itu tertegun, tampak terkejut. Akan tetapi
diam dan tidak menjawab ia mendengarkan lagi katakata ayahnya.
"Aku ingin kau menjadi seorang lihai seperti
Siang Lun lo-enghiong ini. Ketahuilah bahwa saatnya
aku membayar janji karena dulu lima tahun yang lalu
lo-enghiong ini ingin mengambilmu sebagai murid,
34 aku setuju. Dan karena waktunya sudah tiba maka
bergurulah kepadanya dan kurangi kegiatanmu
berburu itu. Kau harus belajar silat!"
Aneh, anak ini tiba-tiba mengeluh. Lalu
melepaskan diri dari ayahnya dan tampak khawatir ia
berkata, "Maaf, untuk ini aku tak suka. Ilmu silat
adalah ilmu kasar, ayah, dipakai untuk memukul dan
menyakiti orang. Aku tak mau!"
Raja melengak dan bukan hanya raja melainkan
Siang Lun Mogal juga terkejut dan membelalakkan
matanya. Angan-angan besar di kepalanya mendadak
terguncang, jawaban itu benar-benar tak disangka, la
pi ketika Sabulai terbahak dan menangkap kembali
puteranya itu maka raja ber seru,
"Bodoh, omongan apa yang kaulepaskan ini.
Ilmu silat bukan ilmu kasar, Buci, ilmu silat adalah ilmu
melindungi diri sendiri. Dengan ilmu itu kau dapat
menjaga dirimu dan mempertahankan nyawamu!"
"Akan tetapi aku tak suka. Aku lebih senang
bermain panah dan berburu, ayah, seperti kebiasaan
bangsa kita. Aku tak suka ilmu silat!"
Sabulai terkejut dan semburat mukanya dan
tampak mulai marah. Ia menganggap puteranya
35 membantah dan ia tak suka. Akan tetapi sebelum ia
bicara maka Homba menjatuhkan diri berlutut,
"Maafkan hamba. Pikiran dan omongan anak
kecil biasanya berubah-ubah, sri baginda. Mendesak
dan memaksanya sekarang hanya berakibat tidak baik.
Sebaiknya paduka bersabar dan perlahan-lahan bicara
lagi."
"Benar," Sabhu mengangguk dan muncul di situ,
berlutut. "Biarlah paduka biarkan anak ini berpikir
panjang, sri baginda. Mendesak dan memaksanya
sekarang hanya berakibat tidak baik."
Sabulai menarik napas, memukul permukaan
kursi. Akan tetapi karena kata-kata kedua pembantu
nya tidak salah dan omongan anak kecil bisa berubahubah, ju ga mendesak dan memaksa di saat itu hanya
berakibat tidak baik maka dengan mendongkol ia
berkata, "Baiklah, tugas kalian membujuk dan
menyuruhnya berpikir panjang. Bawa anak ini dan
jangan ia membantah lagi, Homba, betapapun aku
telah terikat perjanjian dan tak mungkin dibatalkan!"
Homba dan rekannya mengangguk sementara
kakek gundul diam-diam berkelebat lenyap. Ia kecewa
anak itu berkata seperti itu akan tetapi karena masih
menaruh harapan iapun tidak terlalu marah. Ia tak
36 tahu bahwa sesungguhnya anak ini tak senang
kepadanya, ada sesuatu pada wajah dan pandang
mata kakek itu yang tak disukai Sabuci. Batin anak itu
menangkap sesuatu yang tidak bersih pada kakek
gundul ini. Dan karena anak itu telah mendengar
tewasnya May-may, betapa dengan kejam dan ringan
hati kakek ini membunuh seorang nenek maka diamdiam timbul semacam ketidaksenangan di hati Sabuci
terhadap Siang Lun Mogal, apalagi kalau bertemu
sorot hijau di sepasang mata kakek itu. Sorot seorang
iblis! Sorot yang timbul dari Hoat-lek-kim-ciong-ko
yang sesat!
Dan ternyata tidak mudah membujuk anak ini.
Kalau dulu Homba maupun Sabhu menganggap
pikiran seorang anak kecil berubah-ubah ternyata dua
orang itu menghadapi kenyataan mengejutkan. Sikap
dan kata-kata anak ini dipegang teguh. Maka ketika
seminggu setelah peristiwa itu Homba membujuk
namun gagal maka panglima ini pucat mendengar
kata-kata anak itu.
"Paman jangan menganggapku main-main. Aku
boleh jadi seorang bocah, akan tetapi pikiran dan
sikapku tegas, aku tak suka belajar silat, apalagi
kepada Siang Lun lo-enghiong itu!"
37 "Sst, jangan keras-keras. Kenapa kau bersikap
seperti ini, Buci, tidak tahukah kau bahwa ayahmu
nanti marah. Aku dan pamanmu yang lain juga bakal
kena hukuman. Kenapa kau demikian tak senang dan
tampak benar-benar tak suka!"
"Aku tak suka karena matanya jahat. Siang Lun
lo-enghiong itu bukan orang baik-baik, paman. Bahwa
ia sering keluar masuk di kamar ibu-ibu tiriku cukup
membuat aku tak suka. Ia tak memandang sebelah
mata kepada ayah!"
"Hush, itu urusan lain. Masalah ibu tirimu
adalah kehendak ayahmu sendiri, Buci, bukan
keinginan kakek itu."
"Akan tetapi tak seharusnya ia menerimanya
begitu saja, kesannya rakus dan jelas tidak baik. Masa
begitu enak ia meniduri selir-selir ayah sementara
ayah masih hidup!"
"Hm, ini...!" Homba mengangguk-angguk dan
terkejut. "Anak sekecil kau tak seharusnya memikirkan
hal-hal begini, Buci, itu urusan orang-orang tua dan
jangan ikut campur. Itu hadiahnya atas jasanya yang
besar."
"Baik, jasa apa. Jasa karena ia menyerahkan aku
kepada ayah? Bahwa ayah tak mempunyai putera laki38
laki karena semuanya perempuan? Jasa seperti ini tak
perlu dihadiahi berlebihan, paman, apalagi menyerah
kan sekian banyak selir. Kakek itu rakus, aku tak suka!"
Kalau ada geledek di siang bolong barangkali tak
sekaget ini panglima itu mendengar kata-kata Sabuci.
Kata demi kata menyambar pedas dan apa yang keluar
tak selayaknya keluar dari mulut anak berusia lima
tahunan ini. Kata-kata dan sikap itu layaknya keluar
dari mulut seorang dewasa! Maka ketika panglima ini
tersentak dan mencengkeram serta menutup mulut
anak itu agar tidak bicara lagi maka sang panglima
menggigil bertanya,
"Buci, kau... dari mana tahu semuanya ini? Siapa
yang bilang bahwa kau diserahkan kakek itu? Hatihati, ini bukan omongan biasa lagi. Ayahmu bisa
marah besar dan kakek itu bakal lebih lagi!"
"Lepaskan aku, harap paman tenang," si anak
membuat sang panglima tertegun.
"Karena aku sudah besar dan dapat berpikir
panjang maka semuanya itu kuketahui juga. Aku
bukan bayi merah lagi, paman, aku bergaul dengan
paman dan ibu-ibu tiriku serta teman-teman sebayaku
yang lain. Di situlah aku melihat kejanggalan."
39 "Kejanggalan apa," sang panglima masih
gemetar. "Bahwa aku tidak seperti anak-anak Mongol
lain. Bahwa kulitku, mataku... hmm, bahwa aku
berbeda dengan mereka. Dan di saat aku berkumpul
dengan teman-teman sebayaku maka kuketahuilah
secara bisik-bisik bahwa kakek itu memberiku kepada
ayah."
"Buci!"
"Tunggu, paman tak usah berteriak. Aku tetap
dapat bergaul dengan bangsa kita hanya sukar rasanya
bergaul dengan kakek itu, apalagi menjadi muridnya!"
lalu ketika anak ini bangkit dan mengepal tinjunya
maka ia berkata bahwa ia tak mau dipaksa. "Aku tetap
ingin belajar memanah dan berburu saja dari paman,
atau aku minggat kalau menjadi murid kakek itu!"
"Ooh!" sang panglima menerkam dan


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengguncang-guncang anak ini. "Jangan... jangan
katakan lagi kata-kata seperti itu, Buci. Jangan
susahkan aku dan paman-pamanmu yang lain di sini.
Sekarang mati hidup pamanmu tergantung padamu!"
"Apa maksud paman."
40 "Kau tentu dengar bahwa aku dan pamanmu
Sabhu mendapat tugas menyadarkan dirimu. Bahwa
kau harus belajar silat. Kalau ini gagal tentu kami
berdua menerima hukumannya, Buci, dianggap
melindungi dan membelamu dan alangkah marah
besar kakek itu. Ia dapat membunuhku. Sekarang
mestikah semuanya itu terjadi dan kami menjadi
korban atas ke kerasan kepalamu!"
"Jadi paman hendak memaksaku?"
"Tidak, tidak anak baik, akan tetapi selamatkan
lah kami dari kemarahan ayahmu. Jangan-jangan kami
dianggap membujukmu hingga tak mau belajar silat!"
"Aku dapat berkata sendiri kepada ayah!"
"Akan tetapi tidak kepada kakek itu!"
"Maksud paman?"
"Dengarlah," panglima ini menggigil, wajahnya
merah pucat berganti-ganti. "Belajar kepada kakek itu
tidak harus belajar secara keseluruhan, Buci, ambil
saja yang penting dan kau suka, misalnya ilmu lari
cepatnya itu. Kau dapat berpura-pura menuruti
permintaannya akan tetapi katakan dulu bahwa kau
ingin belajar ginkang. Kulihat bahwa ginkang atau ilmu
meringankan tubuh kakek ini tak jahat. Yang jahat
41 adalah pukulannya. Nah, kalau kau sudah belajar
ginkang nanti dicari lagi ilmu-ilmunya yang lain yang
kau suka. Kalau tidak, yach... pergi dan larilah saja dari
sini. Aku melindungi mu dari belakang!"
"Benar!" panglima Sabhu tiba-tiba muncul dan
berseru mendukung. "Pamanmu Homba tidak salah,
Buci, belajarlah ginkang saja dan selebihnya tolak. Aku
pun sesungguhnya tak suka kakek itu terutama
pukulannya yang ganas!"
Homba terkejut akan tetapi lega dan girang
bahwa rekannya ini yang bicara. Memang mereka
berdua inilah yang paling dekat dengan Sabuci di
samping rekan mereka yang lain Honga dan Sodor. Di
bawah bimbingan mereka empat panglima tangguh
maka anak ini telah tangkas berburu dan memanah,
juga naik kuda. Maka ketika tiba-tiba rekannya ini
muncul dan rupanya mendengar pembicaraan
mereka, sesungguhnya terdapat ketidaksenangan
secara diam-diam terhadap kakek gundul itu maka
Homba menjadi girang mendapat pendukung. Siang
Lun Mogal sering menunjukkan kesombongan dan
kepongahannya setelah menjadi tangan kanan Raja
Sabulai. 42 "Ah, paman Sabhu!" Sabuci juga terkejut akan
tetapi anak ini girang mendapat pendukung. Di bawah
dua orang ini ia mendapat kasih sayang besar, bahkan
demikian besar para panglima itu hingga sering
berkorban. Seperti sekarang ini misalnya, disuruh lari
dan pergi kalau sudah mendapat ginkang, karena
memang pukul an kakek itu dikenal jahat dan telengas.
Maka ketika pamannya ini muncul sementara Sabhu
sudah berpandangan dengan rekannya maka Homba
mengangguk dan sekali lagi berkata kepada anak itu,
"Pikirkan baik-baik kata-kataku tadi. Kami tidak
membujuk, akan tetapi semua nya itu ada manfaatnya
bagimu. Berlatihlah ginkang atau apa yang kau suka,
Buci, lalu pergi dan larilah kalau dipaksa. Bila perlu
kami mengiringimu!"
"Benar, kami mengiringimu. Asal belajar dan
menuruti permintaannya berarti tak mempermalukan
ayahmu, Buci, bukan kah janji seorang gagah harus
dipegang teguh. Ayahmu memang sudah berjanji!"
Anak ini tersudut, menarik napas dalam. Dan
karena akhirnya ia menyadari bahwa dua orang ini
bisa terancam bahaya kalau ia menolak maka iapun
mengangguk dan kata-katanya menggirangkan dua
panglima ini.
43 "Paman bicara benar, dan aku tak ingin
mencelakai paman pula. Baiklah kuterima perintah
ayah akan tetapi pelajar anku bersyarat. Aku hanya
ingin belajar ginkang dulu!"
Jadilah, Sabulai tergelak-gelak mendengar
jawaban puteranya ini. Ia menganggap lucu anak
sekecil itu memberi syarat. Siang Lun Mogal
mengangguk-angguk dan tersenyum serta geli juga.
Dan ketika hari itu anak ini benar-benar belajar
ginkang, setahun dua tahun dan akhirnya lima tahun
ternyata kakek gundul menjadi berang karena anak itu
benar-benar hanya belajar ilmu meringankan tubuh
tak mau yang lain. Anak ini teguh pendirian!
"Kau bukan kudidik untuk menjadi seorang
pengecut yang kelak bisanya hanya melarikan diri saja.
Ginkang yang kumiliki sudah kauwarisi semua, Buci,
sekarang harus ilmu silat. Aku ingin menurunkan Angmo-kang dan kelak Hoat-lek-kim ciong-ko kepadamu!"
Anak ini mengerutkan kening, diam. Dan karena
sudah beberapa minggu ini gurunya marah-marah,
kalau sudah begitu ia selalu diam dan tidak menjawab
maka iapun mengeluarkan pekik nyaring dan...
berkelebat mempraktekkan ilmu lari cepatnya itu.
Seekor kijang melesat kaget oleh gerakannya.
44 "Hyehh, kutangkap kau. Ayo lari, kijang emas.
Awas kunaiki punggungmu!" Buci berkelebat dan anak
yang kini berusia sepuluh tahun ini menyambar bak
panah terlepas dari busurnya. Orang akan kagum dan
terkejut bahwa tubuh kecil itu lenyap ke depan, tahutahu meloncat dan telah duduk di punggung kijang
betina ini. Lalu ketika sang kijang menguak dan kaget
serta ketakutan, itulah saatnya Buci tertawa-tawa
maka anak ini melupakan pertengkarannya dengan
sang guru.
Siang Lun Mogal bersinar-sinar. Setelah lima
tahun ia mendidik dan menggembleng anak itu
dengan Jouw-sang-hui-teng (Terbang Di Atas Rumput)
maka gerakan serta kelincahan muridnya ini benarbenar mengagumkan. Seekor kijang atau harimau pun
dapat dikejar, bahkan pernah dengan amat cepat dan
luar biasa muridnya menyambar sepasang kijang yang
melompat berlainan arah. Akan tetapi karena
kepandaian muridnya hanya ilmu meringankan tubuh
dan inilah yang membuat ia tak puas, sama sekali anak
itu tak mau belajar Ang-mo-kang akhirnya ia berseru
keras dan ketika Sabuci tertawa-tawa mengendalikan
binatang itu mendadak ia mendorong dan melepas
pukulan jarak jauhnya di saat kijang itu lewat di
depannya. 45 "Bukk... suhu!" Buci terpelanting dan kijang itu
roboh akan tetapi anak ini berjungkir balik
menyelamatkan diri. Ia tak menyangka gurunya
memukul binatang itu di saat ia tertawa-tawa. Ia
membuat binatang itu berputaran dan empat kali
lewat di depan gurunya. Maka ketika kijang itu roboh
dan tentu saja tewas seketika, inilah Ang-mo-kang
yang membuat isi perut binatang itu remuk maka
Sabuci berjungkir balik dan telah melayang turun ke
tanah. Wajahnya pucat.
"Kenapa kau membunuhnya!" anak itu berseru.
"Kau kejam dan tak mengenal perasaan, suhu, apa
dosa dan salah binatang itu kepadamu. Kau jahat!"
Kakek gundul ini menyeringai. Ia bahkan
menendang dan membuang bangkai binatang itu
sambil mendengus. Kalau bukan Sabuci tentu
dilemparnya anak itu pula, ia dikata jahat! Lalu
membalik dan menghadapi anak ini ia membentak,
"Kau! Baru kali ini seorang murid banyak membantah,
Buci, kalau kulaporkan ayahmu tentu kau kena
tendang! Ilmu meringankan tubuh sudah habis
kuwariskan, masa ilmu silat benar-benar tak mau
kaupelajari. Karena kau muridku dan sudah
menyebutku suhu maka jangan buat aku malu.
Bagaimana kalau tadi musuh menyerangmu, dan kau
46 roboh. Masa murid Siang Lun Mogal pandainya
berlari-lari. Memangnya aku mendidikmu untuk
menjadi maling cilik, kabur kalau dikejar musuh. Tidak,
besok kau harus belajar ilmu pukulan dan hari ini aku
akan bicara dengan ayahmu. Kau akan berhadapan
dengan ayahmu yang kuanggap ingkar janji kalau tidak
belajar silat!"
Anak ini tertegun dan berubah-ubah
mendengar semua omongan dan caci-maki itu.
Memang kakek ini habis sabar sementara
kekagumannya kian memuncak. Harap diketahui saja
bahwa dulu muridnya Wi Tok sepuluh tahun baru
menguasai ginkang, sementara anak ini hanya
separuhnya saja. Maka ketika ia uring-uringan dan
lagi-lagi anak itu diam, inilah kebiasaan. Sabuci bila
dimarahi maka anak itu tak berkata apa-apa pula
ketika suhunya berkelebat meninggalkan dirinya,
menghadap sang ayah!
Akan tetapi kegelisahan mulai tampak di wajah
anak ini, apalagi ketika tak lama kemudian ia dipanggil
ayahnya. Sabulai marah-marah dan menganggap
puteranya keterlaluan. Laporan kakek gundul di
terima sepihak dan Buci ditegur habis-habisan. Dan
ketika anak itu semakin diam dan menunduk,
47 muncullah ibunya terisak-isak maka Kayima inilah
yang menolong dan meredakan kemarahan suami.
"Mohon paduka ampunkan. Sejak dulu Buci tak
ingin belajar pukulan, sri baginda, berburu atau
memanah binatangpun tak pernah telak. Paling-paling
ia merobohkan kakinya dan menangkap hidup-hidup.
Putera paduka ini halus dan amat lembut perasaan.
Mohon jangan dimarahi lagi dan biarlah hamba
membujuknya di dalam kamar."
Sabulai tertegun dan reda sedikit. Memang
selama ini puteranya amat halus dan lembut
perasaan. Berburu atau memanah binatangpun tak
pernah telak, paling-paling melukai kakinya agar dapat
menangkap hidup-hidup, dirawat dan dipelihara baikbaik untuk kemudian tak jarang dilepaskan kembali.
Katanya kasihan! Maka ketika selirnya muncul dan
wanita ini lah yang paling dekat dengan Buci, inilah ibu
yang menyusui anak itu maka Kayima telah membawa
puteranya ke dalam, dinasihati baik-baik.
"Kau tak boleh membuat ayahmu marahmarah, akan tetapi juga tak baik memaksa dan
mendesakmu untuk melakukan hal-hal yang tak kau
suka. Sekarang kata kan kenapa kau tak suka belajar
48 silat, puteraku, kenapa demikian teguh kau menolak
itu."
Anak ini menahan jatuhnya air mata, lalu
menelungkupkan kepala di paha ibunya. Dan karena
ibunya inilah satu-satunya wanita yang paling dekat
dengannya, juga amat sayang tak kalah dengan gurugurunya panglima Homba dan lain-lain maka tiba-tiba
anak ini menangis. Hal yang jarang terjadi!
"Eh, ada apa. Kau layaknya seperti bukan putera
seorang pemimpin suku yang besar saja. Ada apa,
Buci, hentikan tangismu!"
Akan tetapi anak ini bahkan tersedu-sedu. Sang
ibu sampai kaget dan menjublak akan tetapi akhirnya
ikut-ikutan menangis. Ia tak tahu bahwa saat itu
terngianglah kata-kata panglima Homba bahwa kalau
ia sudah tak suka dan menguasai ilmu meringankan
tubuh lari dan tinggalkanlah tempat itu. Kayima tak
tahu betapa di saat tersudut dan terpojok seperti itu
muncullah tekad besar untuk pergi. Ya, anak ini ingin
minggat! Maka ketika Buci tertusuk-tusuk dan
perasaannya diguncang bermacam kenangan, betapa
ia harus meninggalkan ibu dan semuanya di situ maka
anak inipun tak dapat menguasai hatinya lagi dan
mengguguklah dia begitu sedih!
49 Kayima bingung dan tersedu-sedu memeluk
puteranya ini. Tak dapat disangkal ia jatuh sayang dan
amat mencinta puteranya ini. Sabuci adalah anak
pembawa Ceng-bong-toh, dan sejak ia mengasuh anak
ini maka perhatian raja kian besar. Ia telah diangkat
isteri oleh Sabulai, bukan sekedar selir. Dan ketika
kebahagiaan demi kebahagiaan menyusul dirinya,
harta dan kedudukan membuatnya dihormat banyak
orang maka ibu ini menjadi begitu gembira karena
semua ini diyakininya sebagai berkah dari Sabuci. Anak
itu memang pembawa rejeki.
Akan tetapi kini pembawa rejeki itu menangis.
Siapa tak bingung dan sedih mendengar tangis yang
demikian dalam. Baru kali ini Sabuci terdengar begitu
sedih, tangisnya menyayat-nyayat. Akan tetapi ketika
tak lama kemudian anak ini menghentikan tangisnya
melegakan sang ibu, Kayima memandang di balik air
matanya yang bening maka ibu itu bertanya kenapa
puteranya menangis. Dikecup dan diciumnya kening
anak itu penuh sayang.
"Katakan kepada ibu, kenapa tangismu
demikian sedih. Sedemikian hebatkah luka mu oleh
marah ayahmu, Buci. Atau ada sesuatu yang
mengganggu hatimu hingga tangismu demikian
sedih."
50

Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak, tak ada apa-apa. Hanya... hanya adakah
sesuatu yang dapat kauberikan kepadaku, ibu. Aku...
aku tiba-tiba saja ingin mendapatkan sesuatu darimu."
"Kau minta apa? Apa yang dapat ibu berikan
padamu?"
"Apa saja, misalnya hiasan rambutmu itu.
Maukah ibu memberikannya kepadaku."
Sang ibu melengak, bergetar. Tak biasanya anak
ini bersikap seperti itu dan mendadak ia pun tak
nyaman. Dan ketika dipeluk serta diciumnya pipi anak
itu kenapa si anak bersikap demikian aneh maka Buci
menjawab tenang, suaranya ditahan-tahan agar tidak
menangis. "Aku butuh semacam kekuatan untuk
menghadapi tekanan batin ini. Kalau ibu tak keberatan
tentu saja aku berterima kasih sekali."
"Ah, tentu tidak, tidak. Ambillah puteraku, tapi
jangan hilang!" Kayima mengambil tusuk rambutnya
itu dan diberikannya kepada puteranya. Buci bersinarsinar dan mencium benda ini penuh sayang. Hiasan
rambut itu terbuat dari gading dan pangkalnya yang
melengkung bertahtakan intan permata, inilah hadiah
Raja Sabulai untuk sang isteri terkasih. Dan ketika anak
itu menarik napas dalam-dalam lalu menyimpannya di
51 balik bajunya, ganti mengeluarkan sebatang anak
panah maka ia memberikannya itu kepada ibunya
seraya berkata,
"Ini untukmu, juga jangan hilang. Sama-sama
terbuat dari gading, ibu, simpan dan jagalah baik-baik.
Anggaplah itu diri ku sendiri."
Sang ibu bertanya-tanya. Tiba-tiba perasaan
menjadi tak enak akan tetapi Sabuci mengembangkan
senyum. Garis-garis ketampanan mulai tampak. Lalu
ketika anak ini mencium ibunya kemudian berkelebat
keluar, gerakannya sudah seperti siluman maka sang
ibu terpekik lirih,
"Buci, ke mana kau!"
"Aku menghadap paman Homba. Tidur dan jaga
dirimu baik-baik, ibu, selamat tinggal!" dan karena
anak ini lenyap meninggalkan kamar maka sang
ibupun tertegun mendekap anak panah gading itu,
mengeluh dan bangkit akan tetapi duduk lagi dan
malam itu wanita ini gelisah. Firasatnya sebagai ibu
menyatakan ada apa-apa. Ia bingung dan tak keruan.
Dan ketika akhirnya ia menenangkan diri dengan
duduk menyulam, lewat tengah malam tertidur tanpa
sadar maka keesokannya bangsa Mongol gempar
karena anak itu menghilang! Raja di peraduannya
52 mendapat secarik
mengembara!
kertas bahwa Sabuci ingin Maafkan puteranda,
Suasana di tempat ini sudah tidak
membuat puteranda kerasan lagi, ayah.
Puteranda ingin mengembara dan kelak
kembali lagi. Maaf dan mohon pamit, semoga
ayah tak berduka
Sabuci Bukan main kaget dan marahnya raja Sabulai.
Sepuluh tahun ia memelihara anak itu tahu-tahu sang
anak kabur. Sepuluh tahun ia merasa bahagia
mendadak kini dibuat hancur berantakan. Dan ketika
semua menjadi ribut dan pengejaran tentu saja
dilakukan, yang paling kaget adalah Siang Lun Mogal
maka kakek gundul ini maklum apa yang menjadi
penyebabnya.
"Jahanam, dasar turunan Dewa Mata
Keranjang. Keparat bedebah kau, Sabuci. Baik-baik
kujadikan orang tapi diri sendiri minta jadi
gelandangan. Awas kau, kubekuk dan kulempar ke
kaki ayahmu nanti. Kuinjak-injak!"
53 Yang tak kalah kaget tentu saja Kayima sang ibu
angkat. Begitu bangun segera wanita ini menjerit. Ia
roboh pingsan. Dan ketika bangsa Mongol benarbenar gaduh dan semua berpencar mengejar, hanya
empat panglima yang diam-diam saling pandang maka
semua dikerahkan untuk menangkap dan membawa
kembali anak itu. Sabulai benar-benar marah dan
berang bukan main.
"Tangkap dia hidup-hidup, ikat kaki tangannya.
Bawa dan lempar ke sini biar kuhajar anak keparat
itu!"
Akan tetapi mana mungkin. Sabuci meninggal
kan tempat itu dengan ilmu lari cepatnya semalam
suntuk, hanya gurunya satu-satunya yang dapat
mengejar. Akan tetapi ketika kakek ini bingung ke
mana harus mencari, ke barat atau timur maka kakek
ini termangu di tengah jalan.
Akan tetapi Siang Lun Mogal tiba-tiba
berkelebat ke selatan. Barat timur dan utara adalah
tempat suku-suku bangsa Uighur dan Turfan serta
Huna. Tak mungkin anak itu ke sana karena bakal
dikenal dan dilacak. Maka karena hanya selatan inilah
kemungkinannya yang paling besar, di situlah
tinggalnya bangsa Han yang belum pernah diserbu
54 maka kakek ini melejitkan kakinya dan terbang sambil
menyumpah-serapah.
Dan kakek ini benar. Sabuci anak itu memang
memasuki tembok besar. Dan karena itulah satusatunya tempat paling aman dari kejaran bangsa
Mongol maka anak itu melarikan diri ke sini berkat
petunjuk-petunjuk pula dari keempat gurunya
terutama Homba!
*** Malem itu selesai meninggalkan ibunya
memang anak ini menemui gurunya memanah.
Kebetulan panglima Sabhu juga ada di situ. Maka
ketika ia muncul mengejutkan dua orang ini, Sabuci
sekarang bukanlah anak lima tahun lalu maka
berkelebatnya anak itu ke dalam kemah membuat
Homba dan Sabhu tersentak, akan tetapi segera girang
bahwa murid mereka ini yang datang.
"Selamat malam, maaf aku mengganggu.
Sekarang saatnya kita bicara serius, paman. Ayah telah
memaksa dan mendesakku belajar silat. Aku ingin
pergi, aku tak kerasan lagi. Sebelum aku benar-benar
pergi mohon petunjuk atau nasihat paman ke mana
sebaiknya aku pergi."
55 Wajah panglima Homba berubah. Dialah yang
pertama kali mengusulkan itu dan kini Sabuci rupanya
benar-benar hendak memakainya. Tak ada jalan lain,
ia menyambar dan berbisik-bisik di telinga anak ini.
Lalu ketika Sabhu mengangguk dan berbisik-bisik pula,
Homba mengeluarkan sesuatu maka panglima ini
memberikan sebuah cincin Mutiara Sakti, cincin
penangkis bisa ular.
"Aku tak dapat memberimu apa-apa untuk
penawar racun, Buci, khususnya racun ular. Kalau kau
tergigit atau terancam bahaya gosok dan tempelkan
pada lukamu. Pasti sembuh!"
(Bersambung jilid IX.)
56 COVER 1 =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0=
Karya : Batara
Jilid IX *** "DAN aku ini. Gendewa dan lima panah ini
jangan hilang, Buci, racunnya ganas dan hanya dipakai
dalam keadaan darurat. Pergilah dan hati-hati," Sabhu
mengeluarkan sebatang gendewa dan lima batang
anak panahnya diberikan anak itu. Berturut-turut dua
orang ini memberi cindera-mata dan tiba-tiba muncul
lah yang lain, Sodor dan Honga. Lalu ketika dua
panglima itu juga memberikan tanda matanya sendirisendiri, masing-masing sebilah pisau dan tali urat
kerbau maka Honga berkata,
"Aku tak tahu kegunaannya bagimu. Akan tetapi
urat kerbau ini tak mudah putus oleh bacokan, Buci,
kecuali oleh pedang pusaka. Lilitkanlah di pinggang mu
dan suatu saat mungkin berguna."
Anak itu menerima, mengucap terima kasih.
Lalu ketika ia berlutut dan mohon diri, suasana tiba3
tiba begitu penuh haru maka anak ini berkata bahwa
ia tak dapat memberikan apa-apa kepada gurunya.
"Aku tak memiliki sesuatu yang pantas untuk
paman semua, aku tak dapat memberikan apa-apa.
Kalau kelak kita bertemu lagi dan aku memiliki
cendera mata biarlah kubalas semua ini di kelak
kemudian hari."
"Sudahlah, jangan pikirkan kami. Hati-hati dan
jaga diri baik-baik, Buci, kami gurumu tak mungkin
mengantar dan selamat jalan."
"Selamat tinggal, dan... dan paman semua
berhati-hati pula lah. Maafkan aku!" lalu ketika anak
ini membalik dan menghapus air matanya, empat
panglima itupun tersedak dan hampir menangis maka
Buci meloncat dan hilang di luar perkemahan itu.
Anak ini hampir tersedu. Ia menyelinap dan
keluar dengan hati-hati dan untunglah berkat
pengenalan medan membuat tak seorang penjaga pun
mengetahuinya. Bangsa Mongol baru terkejut ketika
keesokannya Sabulai marah-marah. Raja mendapat
surat yang ditinggalkan itu. Dan karena anak ini sudah
jauh meninggalkan bangsanya, semalam suntuk
berlari cepat maka Sabuci mendekati tembok besar
dan langsung meloncat serta berjungkir balik
4 melewati tembok tebal ini. Geraknya ringan dan gesit
bagai seekor burung garuda.
Akan tetapi setelah di sini anak itu bingung. Di
depannya menjulang sebuah gunung yang tinggi
sementara di kiri kanannya sepi. Tak ada tempat
bertanya, kecuali kepada penjaga yang tentu saja tak
akan dilakukannya. Maka ketika sejenak ia tertegun
dan perutpun berkeruyuk, pagi itu ia merasa lapar
maka Buci menggigit bibir namun tiba-tiba iapun
meneruskan perjalanannya menuju gunung di depan
itu. Ia harus mencari makan dan bukan hal sukar
mencari binatang buruan.
Namun anak ini merandek. Baru beberapa li ia
bergerak maka sebuah sungai menghadangnya. Dan di
seberang sana berkumpul puluhan perajurit sedang
makan! Anak ini menelan ludah. Kalau ia tetap di situ
maka kemungkinan gurunya mengejar besar sekali.
Sedang kalau ia maju dan menyeberangi sungai berarti
harus menghadapi perajurit-perajurit itu. Apa boleh
buat, ia harus menyeberang. Dan ketika dilihatnya
sebuah perahu tertambat di situ, melompatlah anak
ini maka Buci sudah mendayung dan mempergunakan
5 perahu itu, tentu saja terlihat dan membuat kaget
perajurit yang sedang makan.
"Hei, bocah cecunguk. Siapa kau dan mau apa!"
Buci tak menghiraukan. Ia mendayung dan
sebentar kemudian berada di tepi sungai. Kehadiran
nya membuat terkejut dan puluhan orang itu
berlompatan. Mereka sudah mengepung. Akan tetapi
ketika anak ini dengan tenang menarik perahu dan
menyeretnya ke tepi, ia tak gentar dan membuat
kagum orang-orang itu maka anak ini menjura dan
sikap serta kata-katanya yang halus membuat
perajurit-perajurit itu tertegun. Mereka tercengang di
samping kaget dan heran.
"Maaf, para paman, juga kakak-kakak. Aku
pemburu cilik yang kesasar di tempat ini. Aku ingin
mencari makanan dan ke gunung itu. Karena tak
melihat jalan lain dan harus melewati ini maka
kupergunakan perahu itu dan mohon maaf bila
lancang. Aku numpang lewat."
"Hm!" seorang bertubuh tinggi besar berhidung
bulat tertawa, maju dan menangkap anak ini. "Kau
datang-datang seperti siluman, bocah, dari mana
asalmu dan siapa namamu. Agaknya bukan penduduk
sini!"
6 Buci berkelit, caranya mengejutkan. Dan ketika
orang itu terbelalak dan tampak marah maka anak ini
kembali menjura dan berkata, suaranya gugup, "Aku
memang kesasar dan bukan penduduk sini. Karena
ingin lewat mohon paman semua memberi jalan. Maaf
dan biarlah kalian lanjutkan makan-makan!" lalu
menyelinap dan melewati ketiak si tinggi besar ini,
licin bagai belut maka Buci lolos dan langsung kabur!
"Heii!" si tinggi besar kaget, dialah pimpinan
atau komandan di situ. "Jangan lari, anak siluman.
Berhenti!"
Akan tetapi Buci melesat bagai kijang. Dibentak
dan dikejar iapun tancap gas. Jouw-sang-hui-teng ilmu
andalannya dipergunakan. Dan ketika ia lewat dan
lolos begitu cepat, penghadang kelabakan ketika anak
ini menyelinap dan lewat di bawah kaki, kabur bagai
kancil kesiangan maka semuanya terkejut dan marah.
Si tinggi besar berteriak-teriak.


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tangkap anak itu, ia pasti dari luar tembok
besar!"
Buci kecut. Begitu dibentak dan dituduh tepat ia
pun mengerahkan ginkangnya berlari cepat. Gerakan
nya benar-benar mengejutkan hingga semua
terbelalak. Tubuh kecil itu lincah dan gesit bukan main,
7 sungguh bagai anak kijang. Dan ketika terdengar
seruan agar menyerang dan melepas anak panah,
berhamburanlah perajurit menyerangnya maka anak
ini mengtanpa menoleh ia menangkis ke belakang.
"Trak-trak-trak!"
Semuanya runtuh. Anak-anak panah tak ada
satupun yang kena dan gendewa di tangan anak itu
demikian tepat menangkis. Semua terkejut. Dan
ketika sang komandan menjadi marah dan
menyambar kudanya maka ia berseru agar semua
mengejar dan mengambil kuda masing-masing. Kini
Buci dikejar oleh derap sekian banyak kuda.
"Berhenti, atau kau mampus!" Akan tetapi
alangkah kaget dan kagumnya orang-orang ini ketiku
bocah itu berlari seperti terbang. Bahkan jengkel di
kejar pengepung anak ini menyambar sepanci
makanan dan sepotong ayam besar. Buci
menggerogoti ayam itu sambil berlari cepat. Lucu! Dan
ketika sang komandan mencak-mencak sementara
Buci tertawa, perutnya terisi maka iapun bertambah
tenaganya dan tentu saja larinya semakin kencang.
Puluhan ekor kuda tak mampu mengejar.
"Keparat, terkutuk. Serang kembali dengan
anak panah!"
8 Akan tetapi anak itu sudah mendekati hutan. Di
sini ia berkelebat dan sosok tubuh kecil itu lenyapSang komandan menyumpah-serapah. Dan karena tak
mungkin mencari anak itu di dalam hutan, si bocah
lebih licin menghilangkan jejak akhirnya perajurit dan
komandannya ini kembali ke tepi sungai. Tempat itu
merupakan tapal batas mereka berjaga.
"Jahanam, kita kecolongan. Anak itu pasti
musuh, Kian-hui, jangan-jangan seorang mata-mata.
Celaka, bagaimana laporan kita terhadap panglima!"
"Ciangkun jangan berlebihan menduga. Kalau ia
mata-mata tak mungkin terang-terangan menemui
kita, tentu mencari tempat lain dan selalu ber
sembunyi. Kusangka ia benar-benar tersesat atau
seorang anak kebingungan yang lupa jalan."
"Atau pelarian dari Mongol. Ia nekat menerabas
kita, ciangkun, sikapnya sederhana. Tak mungkin
mata-mata!"
"Akan tetapi ia cerdik, dan ilmu lari cepatnya
hebat sekali. Ah, anak itu seperti siluman dan betapa
pun kita harus berhati-hati. Sebaiknya tak usah lapor
panglima, hanya membuat malu diri sendiri!"
Sang komandan mengangguk-angguk. Memang
hanya membuat malu diri sendiri kalau lapor
9 panglima. Mereka bahkan mendapat cemoohan,
salah-salah ditendang. Dan ketika semua mengumpat
namun kagum dan heran akan anak itu, bocah yang
demikian cepat melarikan diri maka pagi itu di balik
tembok besar anak ini menjadi buah bibir sementara
Buci sendiri sudah keluar hutan dan tiba di sebuah
perkampungan. Ayam itu habis di gerogoti, sisa nasi
dibuang dan Buci tertawa lebar. Geli!
Akan tetapi anak ini teringat nasihat gurunya,
Homba. Dalam tiga hari pertama ia tak boleh berhenti,
masih terlalu dekat dengan bangsa Mongol. Maka
ketika ia terus melanjutkan perjalanan dan melewati
perkampungan itu, tentu saja mengherankan
penduduk kenapa seorang anak kecil berjalan
sendirian maka malam harinya ia tersesat di hutan!
Buci mengutuk. Ia tak tahu bahwa dirinya
diamati beberapa pasang mata bersinar, mata heran
dan kaget akan tetapi juga bergairah. Mata para lelaki
yang buas, maka ketika ia duduk dan baru saja
melempar pantatnya, penat dan haus tiba-tiba datang
mendadak belasan orang melompat dan anak itu
dikepung. Buci berhadapan dengan sekelompok
perampok aneh yang biadab.
10 "Ha-ha, daging segar. Tak ada harta ikan pun
jadi, Giam-twako. Anak ini makanan empuk dan biar
kita santap. Eh, gendewanya bagus, dan ia memakai
cincin bertuah. Ha-ha, sungguh rejeki besar!"
Buci terkejut ketika tahu-tahu empat belas
orang mengepung dirinya. Mereka berpakaian hitam
gelap sementara beberapa di antaranya kumal. Bau
tubuh pun apek! Dan ketika mereka sudah melingkari
dan semua memandang cincinnya, di tempat gelap
cincin itu bersinar maka Buci terkejut ketika tahu-tahu
yang bicara itu menubruk dan menerkamnya. Yang
lain merebut gendewa dan sikap mereka kasar dan
buas sekali.
"Hup!" Buci menghilang dan tahu-tahu si
perampok kasar terjelungup. Dengan cepat anak itu
mempergunakan
Jouw-sang-hui-teng
dan ia berkelebat di antara tangan-tangan rakus itu.
Memang inilah keistimewaannya hingga lawan
terkejut. Anak itu tahu-tahu sudah di luar kepungan.
Dan ketika si kasar berteriak menyumpah-serapah,
hidungnya terantuk batu maka Buci terkekeh dan
tawanya ini membuat semua membalik dan melihat
anak itu terpingkal-pingkal.
11 "Hi-hik, kerbau menangkap batu. Awas hatihati, twako, salah-salah menubruk tahi kambing. Hei,
apa maksud kalian dan kenapa datang-datang
menggangguku!"
Semua terkejut dan heran. Mereka tak melihat
gerakan anak ini dan tahu-tahu lenyap. Matahari
belum gelap benar akan tetapi tak satupun dari
mereka melihat berpindahnya anak itu. Tahu-tahu
anak ini sudah di luar kepungan. Dan ketika si
penubruk terhenyak dan kaget, segera marah ia
membentak dan tiba-tiba mencabut goloknya. Senjata
itu lebar dan bergerigi.
"Bocah siluman, berani kau menghina aku. Ayo
minta ampun atau nanti kubunuh!"
Buci mengerutkan kening. Di antara bangsa
Mongol juga terdapat orang-orang kasar akan tetapi
karena dia putera raja Sabulai maka semua itu tak
berani main-main dan tunduk. Kini berhadapan
dengan orang-orang ini ia pun marah. Golok itu
didengung-dengungkan penuh ancaman. Dia percaya
lawan tak main-main, mata itu melotot. Akan tetapi
karena ia bukan penakut dan kedudukannya sebagai
putera seorang pemimpin besar menjadikan dia
memiliki keberanian sendiri maka iapun membentak
12 dan balas menuding laki-laki itu, kepungan kembali
diperketat.
"Kau, siapakah kalian ini. Kenapa mengganggu
dan mengancamku. Kalau tak ingin mencari perkara
sebaiknya pergilah, atau aku menghajar dan membuat
mu tobat!"
Kata-kata ini diterima melengak akan tetapi
bukan main marahnya si penubruk itu. Dialah wakil
pimpinan perampok, bermaksud merampas cincin
anak itu akan tetapi sekarang dibentak. Anak sekecil
itu berani menudingnya. Maka ketika ia meraung dan
menggerakkan goloknya, melompat ke depan maka
golok mendesing dan kepala anak ini dibacok.
Buci mempergunakan Jouw-sang-hui-tengnya
untuk lenyap kembali. Ia melihat betapa berbahaya
nya serangan golok dan berkelebat menghilang.
Suasana temaram membantu gerakannya yang tak
dapat diikuti pandang mata, bahkan oleh pengepung
yang lain. Namun ketika ia memukulkan gendewanya
ke kepala laki-laki itu, sebagai rasa marah maka
terdengar suara keras ketika laki-laki itu menjerit dan
bergulingan berteriak-teriak. Kepalanya benjol
sebesar telur ayam.
"Huwaduh, bangsat keparat!"
13 Buci terkekeh-kekeh geli. Untuk kedua kali ia
merasa lucu melihat lawan bergulingan kesakitan.
Kepala itu seperti kepala angsa, bertanduk. Dan ketika
kem bali ia keluar kepungan dan membuat ter kejut,
semua membalik dan melihatnya di bawah sebatang
pohon maka pimpinannya, seorang tinggi besar
bermuka bopeng ber seru keras, marah dan kaget
sekali. "Serang anak itu, robohkan!"
Buci membelalakkan mata. Ia terkejut dan
marah ketika belasan laki-laki ini tak malu-malu
menyerangnya. Dia, seorang anak kecil dikeroyok
begitu banyak orang dewasa. Akan tetapi karena ia
memiliki Jouw-sang-hui-teng dan inilah andalannya
maka iapun berseru keras menjejakkan kedua kakinya,
berkelebat dan lenyap mengejutkan orang-orang itu
dan di saat semua senjata beradu iapun mengayunkan
gendewanya. Itu adalah pemberian gurunya Sabhu
dan di kedua ujung gendewa terdapat pentolan besi
berwarna hitam. Besi inilah yang dipukul-pukulkan ke
kepala perampok-perampok itu, termasuk pimpinan
nya. Dan ketika semua berteriak dan kaget serta
kesakitan, kepalapun sudah "bertanduk" maka Buci
menghentikan gerakannya bersamaan dengan roboh
14 nya orang-orang itu. Mereka merintih dan menggeliatgeliat memegangi kepala.
"Aduh, tobat. Keparat anak itu!"
"Kepalaku benjut. Aduh, jahanam anak siluman
itu, Giam-twako. Jangan-jangan ia penunggu hutan!"
"Atau utusan Pui-wangwe. Hei, hati-hati,
kabarnya keparat she Pui itu menyewa orang!"
Semua terkejut dan terhuyung bangun. Mereka
terbelalak memandang anak ini sementara Buci
mengerutkan kening. Siapa itu Pui-wangwe (hartawan
Pui), dan ada hubungan apa dengan orang-orang ke
jam ini. Dan ketika tiba-tiba sebuah pikiran
menyelinap di benaknya, Buci mencorong marah
maka ia melompat dan gendewa di tangan siap
menjepret dengan sebatang anak panah siap
mengancam, persis di tenggorokan kepala rampok.
"Hayo kalian ceritakan tentang Pui-wangwe itu.
Di mana dia dan kalian apa kan. Tentu kalian
merampas hartanya dan mengganggunya!"
Si kepala rampok gemetar, terbelalak. Ia belum
menyaksikan kepandaian memanah anak ini akan
tetapi melihat pandainya anak itu lenyap dan muncul
se perti siluman membuat ia gentar juga. Anak ini
15 seperti iblis! Dan ketika ia tak menjawab sementara
anak itu mementang gendewanya, sungguh ia ngeri
mendadak kepala rampok ini menjatuhkan diri
berlutut, menggigil dan hampir menangis.
"Ampun... ampun, Sin-tong (Anak Sakti). Jangan
kaubunuh aku dan lepaskanlah gendewa itu. Puiwangwe belum kami apa-apakan!"
"Hm!" Buci mulai percaya, dugaannya betul.
"Kalau begitu di mana dia dan apa yang kalian
lakukan!"
"Kami hanya menawannya, meminta uang
tebusan. Dan... dan karena belum dikirim maka kami
menunggunya di sini dan kaupun muncul."
Buci adalah seorang bocah. Karena percaya dan
belum banyak pengalaman ia pun menurunkan
gendewanya. Hal ini menggirangkan si kepala rampok
dan tan pa diketahui bergeraklah wakilnya memutari
anak itu. Laki-laki ini paling sengit terhadap Buci
karena dialah yang pertama kali mendapat hajaran.
Hidung yang terantuk batupun masih sakit, belum lagi
kepala yang benjut. Maka ketika pemimpinnya
bercakap-cakap sementara ia bergerak memutar,
anak itu tak tahu menda dak ia menyergap dan
gendewa serta a-nak itu ditubruk. Kesepuluh jarinya
16 berkerotok
berbahaya.
dan cengkeramannya
pun amat "Mampus kau!"
Untunglah Buci adalah gemblengan kakek
gundul Siang Lun Mogal. Begitu terkejut dan sadar
dirinya tertangkap, tubuh seakan diremas patah-patah
iapun menggerakkan kaki ke belakang. Gerakan ini
otomatis seperti gerakan kuda menyepak, tepat sekali
mengenai selangkangan laki-laki itu dan kontan wakil
kepala rampok ini berteriak. Tumit anak itu mengenai
anggauta rahasianya. Dan ketika gendewa terlepas
akan tetapi tubrukannya juga lepas, ia menjerit dan
terjengkang maka Buci mengumpat akan tetapi
bersamaan itu belasan yang lain menyerang. Bahkan
si kepala rampok menyambar goloknya dan
membacok anak itu.
"Serang dan bunuh!"
Marahlah anak laki-laki ini. Dari sega la penjuru


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyambar senjata perampok di saat ia belum tegak
benar. Ia masih terhuyung oleh tubrukan atau
terkaman tadi. Akan tetapi karena ia memiliki Jou
sang-hui-teng dan inilah andalannya maka
membentak dan berkelebat tergesa-gesa iapun
17 menyelamatkan diri namun sayang ujung bajunya
terbabat robek, terlambat.
"Brett!"
Lawan kehilangan anak ini akan tetapi si anak
marah. Buci nyaris terbacok dan gendewanya terlepas
di sana, direbut dan disambar dua orang perampok
akan tetapi jatuh ke tangan si kurus tinggi. Saat itulah
hilang kesabarannya dan melengkinglah dia. Dan
ketika golok saling beradu dan yang lain terhuyung
dan berteriak, kaget anak itu lagi-lagi lolos maka Buci
membalik dan tahu-tahu ia berkelebatan dan sebuah
batu sekepalan tangan berada di tangannya
menyambar kepala atau tengkuk orang-orang ini.
"Tak-tak-takk!"
Menjerit dan berteriaklah orang-orang itu.
Mereka kaget dan tak mungkin menghindar dan si
kepala rampok bahkan terbanting. Wakilnya
mengaduh dan roboh pingsan sementara si kurus
tinggi terpekik dahinya dihantam. Ia kelenger. Dan
ketika Buci merampas gendewanya lagi dan berdiri
gagah, semua menggeliat dan merintih-rintih maka
barulah orang-orang ini merasa gentar dan betul-betul
jerih. Si kepala rampok pucat pasi, goloknya
terlempar.
18 "Ampun... benar-benar ampun. Kami tak berani
melawanmu lagi, Sin-tong, kami mohon ampun!"
Buci bergerak dan mementangkan gendewanya
lagi dengan sebatang anak panah. Ia membuat si
kepala rampok semakin pucat dan menggigil, berlutut
dan minta-minta ampun sementara yang lain
gemetaran. Lima di antara mereka pingsan, pukulan
batu itu amatlah kuat. Dan ketika anak ini menghardik
di mana Pui-wangwe ditangkap, si kepala rampok tak
berani bercuit maka ia menjawab bahwa hartawan itu
berikut isterinya ditawan di tengah hutan, berikut
keretanya.
"Kami tak membunuhnya, kami hanya
menunggu saisnya kembali pulang ke kota. Kami
mengancamnya untuk membawa uang tebusan, Sintong, selebihnya kami tak berbuat apa-apa!"
"Antarkan aku kepadanya, dan bebaskan suami
isteri itu. Atau kau kubunuh dan panah ini menancap
di tenggorokan-mu!"
"Tidak, jangan... ampun, Sin-tong, ampun. Aku
akan membawamu ke sana dan simpan gendewamu
itu!"
"Aku tak akan menyimpannya dan siap di
belakangmu. Hayo bangun dan antarkan aku!"
19 bentakan ini membuat si kepala rampok tak berani
macam-macam lagi dan segeralah dia membawa anak
buahnya ke tengah hutan. Mereka yang pingsan
dipanggul, barisan itupun memanjang melalui jalan
setapak. Dan karena suasana semakin gelap hingga
Buci memerintahkan membuat obor, ia di belakang
orang-orang ini maka anak panahnya yang siap
meluncur membuat semua perampok tak ada yang
melarikan diri, sampai akhirnya mereka tiba di sebuah
tempat di mana suami isteri Pui-wangwe menangis
dan meratap. Mereka diikat di dalam kereta dan
menunggu datangnya utusan, orang yang akan
membawa uang tebusan.
Alangkah heran dan terbelalaknya suami isteri
ini. Mereka adalah seorang laki-laki berusia lima puluh
tujuh tahun dan seorang wanita yang usianya juga
lima-puluhan tahun, masih cantik akan tetapi kusut
dan mereka berdua membelalakkan mata ketika Buci
dan kepala rampok membuka pintu kereta. Lalu ketika
tali dilepaskan dan mereka bebas, anak sepuluh
tahunan itu tersenyum kepada mereka maka suami
isteri ini benar-benar tertegun ketika disuruh turun
dan melihat kepala rampok serta anak buahnya
terbungkuk-bungkuk di depan anak laki-laki ini.
20 "Jiwi (kalian berdua) bebas, turunlah dan jangan
takut. Aku yang akan mengantarkan jiwi pulang dan
lihatlah mereka tak mengganggumu lagi."
Seketika tangis Pui-hujin (nyonya Pui) lenyap.
Nyonya itu terkesima dan hampir tak percaya namun
dengan halus Buci memegang lengannya, berkata
bahwa ia telah menundukkan perampok-perampok
itu dan kini tak ada siapapun yang berani mengganggu.
Dan ketika nyonya itu mengeluh dan bertanya
siapakah tuan penolongnya yang cilik ini, gagah
dengan gendewa di tangan maka Buci berkata nama
nya tak ada harganya dikenal orang.
"Nama tidak penting, yang penting jiwi bebas.
Mari keluar dan jiwi kuantar pulang."
Bukan main girangnya suami isteri i-tu. Mereka
terkagum-kagum dan segera kepala rampok menjadi
kusir. Buci duduk di sebelah laki-laki ini sementara Puiwangwe suami isteri kembali masuk kereta. Lalu
ketika anak buah perampok mengiring jalan, obor
berada di depan maka rombongan tiba di mulut hutan
dan kini Buci melompat turun. Anak panah tetap di
tangan dan inilah yang membuat perampok ngeri.
"Cukup, kau turunlah. Sekarang Pui-wangwe
mengusiri kereta dan kalian jangan macam-macam!"
21 Kepala rampok memberi tempat duduknya. Puiwangwe meloncat keluar sementara isterinya tetap di
dalam. Hartawan inilah yang mengendalikan kereta, ia
menjadi sais. Dan ketika Buci meloncat di belakang
menjaga kemungkinan, dia melindungi kereta maka
Pui-wangwe menghentak dan berderaplah kereta
meninggalkan hutan. Buci menodongkan anak panah
jika ada musuh yang ingin menyerang.
Kepala rampok mengumpat-caci. Tentu saja ia
memaki-maki dalam hati akan tetapi tak dapat
berbuat apa-apa. Korban nya yang gemuk lolos sudah,
ia menggigit jari. Dan ketika kereta akhirnya lenyap
dan Pui-wangwe tertawa-tawa, bukan main girangnya
hartawan itu maka Buci diminta ke depan mengobrol
dan menemani.
"Ha-ha, selamat sudah. Terima kasih, siauwinkong (tuan penolong cilik), bahaya sudah tak ada
lagi. Tolong ke depan dan kita bercakap-cakap!"
Buci tersenyum dan berjungkir balik melewati
atap kereta. Ia membuat terke jut ketika tahu-tahu
duduk di samping Pui-wangwe, gerakannya seperti
setan. Dan ketika sang hartawan tersentak namun
terkekeh lebar, kagumlah dia akan kegagahan anak ini
maka iapun memuji sambil mencambuk kudanya.
22 "Bagus, sudah kuduga. Kau bukan bocah
sembarangan dan perampok-perampok itu kaubuat
jera."
"Di mana tempat tinggal wangwe, jauhkah dari
sini."
"Rumahku di Cin-yang, siauw-inkong, sehari
perjalanan dari sini."
"Dan bagaimana wangwe tertangkap orangorang itu."
"Ah, mereka memang orang-orang busuk. Aku
baru saja menengok anak mantuku di Hok-yang dan
dalam pulang dicegat dan ditangkap orang-orang jahat
itu. Kalau saja Lu-kauwsu (guru silat Lu) mengawal aku
tentu tak ada kejadian itu. Saisku pulang dan minta
pertolongan dan tentu Lu-kauwsu akan datang. Akan
tetapi aku sudah kaubebaskan, dan di tengah jalan
tentu kita bertemu mereka. Ha-ha, terima kasih, siauw
inkong, kau benar-benar gagah dan mengagumkan.
Baru kali ini kujumpai seorang pendekar cilik
sepertimu ini. Tolong tanya siapa namamu dan hadiah
apa yang ingin kauperoleh dari aku!"
"Hm, aku tak ingin hadiah apa-apa. Kebetulan
saja kita bertemu dan aku menolongmu, wangwe,
jangan persoalkan itu. Aku tak butuh hadiah."
23 "Dan namamu?" Pui-wangwe kagum. "Biar
kukenang namamu seumur hidup, in kong. Harap kau
tidak keberatan memperkenalkan diri!"
Buci mengerutkan kening, menggeleng. Ia
berkata tak ada gunanya menyebut nama dan iapun
tak ingin diingat-ingat. Semua yang dilakukan bukan
untuk dicatat Pui-wangwe. Dan ketika sang hartawan
tampak kecewa akan tetapi tak dapat berbuat apaapa, Buci tak ingin memperkenalkan dirinya sebagai
anak Mongol ma ka kereta berderap semakin kencang
dan Pui-wangwe berada di jalan besar menuju Cinyang. Memang hartawan ini mengenal jalan, tidak
seperti Buci misalnya. Dan ketika semalam itu mereka
tak lagi bercakap-cakap, nyonya Pui tertidur nyenyak
maka keesokannya mereka berpapasan dengan
sebuah kereta lain menuju arah berlawanan.
"Itu Pui-wangwe!"
Seruan ini mengejutkan dan kereta i-tu tiba-tiba
berhenti. Saisnya yang berkopiah hitam meloncat, lari
dan menghambur ke kereta hartawan ini. Lalu ketika
ia berteriak dan menangis kegirangan, dari dalam
kereta muncul seorang laki-laki berpakaian silat maka
Pui-wangwe turun dan Lu-kauwsu, guru silat itu
terkejut dan girang serta heran.
24 "Wangwe!"
Hartawan itupun mengangguk dan berseri.
Guru silat itu bergerak dan sekejap sudah di depan
hartawan ini. Buru-buru ia menyoja. Dan ketika Puihujin (nyonya Pui) melongok dan girang pula, mereka
hampir tiba di Cin-yang maka wanita itu pun meloncat
dan turun berseri-seri.
"Lu-kauwsu, A-lai! Lama nian kalian datang dan
hampir saja kami celaka. Lihat, itulah tuan penolong
kami dan karena dialah kami bebas!"
"Benar," Pui-wangwe teringat. "Inilah yang
menolong dan menyelamatkan kami, Lu-kauwsu.
Perkenalkan, dia... eh, dia Bu-beng-siauw-inkong
(Penolong Tak Bernama)!" karena bingung tak
mengetahui nama Buci maka disebutlah anak itu Bubeng-siauw-inkong. Guru silat Lu tampak tercengang
akan tetapi segera ia maju dan memberi hormat. Kalau
anak sekecil ini mampu mengalahkan perampok tentu
bukanlah anak sembarangan. Ia melihat mata yang
tajam dan bersinar-sinar dari anak itu. Dan karena
iapun seorang ahli silat yang banyak pengetahuan,
tentu seorang guru lihai berada di belakang bocah ini
maka ia menghormat Buci sebagaimana layaknya
menghormat laki-laki dewasa. Buci likat dan kikuk.
25 "Saudara cilik telah menyelamatkan majikanku,
aku Lu-kauwsu menghaturkan terima kasih dan
banyak untung. Siapa nama siauw-inkong dan dari
mana berasal. Mungkin aku mengenal gurumu."
Buci mengelak. Ia jadi tak enak melihat
penghormatan ini, semua orang tampak kagum. Dan
karena lagi-lagi tak ingin memperkenalkan diri, nama
Mongolnya ha nya mengundang keheranan iapun
berkata bahwa semua itu tak perlu dipikir.
"Aku tak bermaksud melepas budi, semua
terjadi secara kebetulan saja. Karena Lu-enghiong
(orang gagah Lu) telah menyambut di sini biarlah
sekalian kuserahkan Pui-wangwe kepadamu. Selanjut
nya karena aku ingin melanjutkan perjalanan harap
Lu-enghiong terima dan tolong tanya apakah kota raja
masih dekat atau jauh, juga arah mana yang harus
kutempuh."
Lu-kauwsu saling pandang dengan Pui-wangwe.
Ternyata anak ini hendak ke kota raja dan Pui-wangwe
tiba-tiba girang. Ia memiliki banyak kenalan di sana.
Maka ketika sejenak terkejut anak ini hendak
meninggalkan dirinya, hubungan terasa begitu singkat
maka iapun berseru agar anak ini tak tergesa-gesa.
Kota raja, adalah kampung halamannya.
26 "Siauw-inkong rupanya hendak ke kota raja,
jangan khawatir. Kalau inkong setuju apakah boleh
kami antar? Kota raja masih cukup jauh, tiga hari
berkereta. Kalau tidak keberatan kami mengantarmu
akan tetapi singgah dulu di rumahku. Cin yang sudah
dekat!"
"Benar, masa tiba-tiba saja kau hendak
meninggalkan kami, inkong? Masuk dan duduk dulu di
rumah kami, kamipun ingin menjamumu!" Pui-hujin
menyambung.
"Dan aku dapat menjadi petunjuk jalan ke kota
raja. Hendak ke tempat siapakah inkong ini mungkin
saja kami kenal." Lu-kauwsu berseru pula.
Buci mengerutkan kening, bimbang. Menurut
gurunya ia diminta ke kota raja menyembunyikan diri.
Ke rumah siapa tak tahu, pokoknya bersembunyi!
Maka ketika tiba-tiba ia bingung mendengar semua
pertanyaan ini, ia ragu menjawab maka Pui-wangwe
memegang lengannya dan berkata penuh harap.
"Urusan ke kota raja dapat diatur. Aku asli sana,
inkong, banyak sahabat di sana pula. Kalau inkong
setuju dan tidak keberatan marilah singgah dulu di
rumah ku dan kita bicara. Siapapun yang kaucari dapat
27 kutemukan, aku banyak mengenal pula pejabatpejabat di sana!"
Buci akhirnya mengalah. Kalau dipikir-pikir
maka tujuannya tak menentu pula. Iapun tak tahu
siapa dan apa yang harus dicari. Tujuannya hanya


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersembunyi, ia tak ingin ditangkap atau dikejar
gurunya Siang Lun Mogal. Maka ketika ia mengangguk
dan bukan main girangnya hartawan itu, mereka
dapat mengikat anak ini segeralah dua kereta
berderap kembali memasuki Cin-yang. Ternyata Puiwangwe sudah hampir di pintu gerbang.
Dan bukan main hebatnya keluarga ini
menyambut Buci. Segera anak itu menjadi buah bibir
dan para pelayan maupun putera-puteri Pui-wangwe
bersikap demikian hormat. Hartawan itu memiliki tiga
orang anak akan tetapi yang sulung telah menikah,
baru saja melahirkan dan ditengok hartawan itu,
dicegat dan akhirnya menjadi tawanan perampok
akan tetapi Buci membebaskannya. Dan ketika di
rumah besar itu anak ini mendapat pelayanan dan
hormat tiada habisnya, Pui-wangwe memberikan
seperangkat pakaian bagus untuk Buci maka Buci
menjadi kikuk dan amat jengah.
28 "Bukan, bukan hadiah. Pakaian ini sekedar
pengganti pakaianmu, inkong, kulihat tak banyak
pakaian kaubawa. Terimalah dan harap salin, yang
kotor biar dicuci pembantu kami!"
"Dan ini untuk membeli makanan kecil. Kau
perlu uang saku, inkong. Terimalah dan belanjalah
sepuasmu. Kalau ki rang kami tambah!" Pui-hujin tak
kalah gencar dan sekantung uang diberikan Buci. Anak
itu menerima banyak hadiah akan tetapi suami isteri
ini tak mau mengatakannya begitu. Mereka cerdik dan
halus sekali membujuk. Dan karena bekal memang
serba minim dan pakaian pun hanya dua stel, Buci
menerima maka Pui-wangwe dan isterinya semakin
girang dan uang saku itu membuat anak ini terhenyak.
Bukan main banyaknya, semuanya emas dan cukup
untuk hidup sampai ia dewasa!
Akan tetapi Buci pada dasarnya seorang bocah
sederhana. Tak beda jauh dengan ayahnya Tan Hong
anak ini rendah hati dan cepat malu. Bertubi-tubi
dihujani hadiah membuat ia kikuk. Semua orang di
rumah besar itu menghormatnya berlebihan. Ia bak
pahlawan! Maka ketika ia termenung dan suatu saat
masuklah pelayan menghidangkan makanan serba
enak, juga anggur dan minuman sari buah tiba-tiba
29 Buci mengambil kantung uangnya dan memberikan
nya sebagian kepada pelayan itu.
"Pakailah, dan jangan bilang siapapun. Bawa
temanmu yeng lain dan jangan sampai diketahui Puiwangwe."
"Ini..." pelayan itu terbelalak. "Ini untukku,
inkong? Kau memberikannya kepadaku?"
"Ya, punyaku terlalu banyak. Pakai dan gunakan
lah sesuai keperluanmu, jangan bilang Pui-wangwe!"
Bukan main girangnya pelayan itu dan iapun
menjatuhkan diri berlutut mengucap terima kasih
Kemurahan Buci menambah kekaguman lagi. Dan
ketika anak itu menyuruhnya keluar memanggil yang
lain, membagi dan memberikan sebagian uangnya
dengari perasaan ringan hati maka semua pelayan
terbengong-bengong aan tetapi tentu saja girang
bukan main. Siapa tak ingin uang! Dan ketika hal itu
menjadi buah bibir pelayan, tentu saja dengan bisikbisik maka Buci mendapat penghormatan yang mulai
bersifat menjilat!
Anak ini mengerutkan kening. Sebagai putera
Sabulai pemimpin bangsa mongol yang besar tentu
saja tempat kediamannya iapun dihormati dan
disegani orang.
30 Akan tetapi penghormatan itu lebih ditujukan
kepada ayahnya. bukan kepadanya pribadi. Maka
ketika di rumah ini ia mendapat penghormatan
pribadi, juga penjilatan tiba-tiba ia merasa tak senang.
Dan kalau ia tak senang maka Buci pun biasanya
bertindak, ia pun tak kerasan lagi!
Hal ini membuat anak itu merenung di dalam
kamar. Bukan maksudnya mencari penjilatan. Bahkan
ia jijik dan muak terhadap penjilatan. Maka ketika
malam itu semua orang pergi tidur, Buci bersiap tak
ayal lagi iapun telah memegang buntalannya dan
melompat keluar. Dan begitu ia melayang melewati
jendela maka anak ini pun kabur, betah lagi tinggal di
rumah Pui-wangwe itu.
"Heii!" Buci terkejut "Siapa kau dan berhenti!"
Sesosok bayangan berkelebat akan tetapi anak
ini bahkan mengerahkan ginkangnya. Sekilas ia
menoleh dan mengenal suara itu. Lu-kauwsu! Maka
ketika ia berkelebat dan berjungkir balik melewati
pagar tembok tinggi, gedung Pui-wangwe memang
dikelilingi tembok tinggi maka Lu-kauwsu yang
terkejut dan membentak itu tertegun melihat
bayangan kecil Buci. Segera mengenal dan tentu saja
31 heran dan kaget kenapa anak itu keluar malammalam, juga jendelanya terbuka.
"Siauw-inkong!"
Buci jadi tak enak. Ternyata ia dikenal dan apa
boleh buat menoleh lagi. Ia melihat laki-laki itu
mengejarnya namun karena tak kerasan lagi iapun
melambaikan tangan. Lalu sekali bergerak dan
melemparkan belasan uang emas, berkeredep
menyambar dan ditangkap guru silat itu maka Lukauwsu tertegun mendengar kata-kata anak ini.
"Maafkan aku, aku ingin segera melanjutkan
perjalanan lagi. Terimalah sedikit uang ini untukmu,
Lu-enghiong, jangan cari dan biarkan aku pergi.
Selamat tinggal!"
Guru silat itu membelalakkan mata. Di kedua
tangannya penuh uang emas dan ia pun bengong.
Tentu saja terkejut dan heran serta girang. Akan tetapi
ketika sadar bahwa Pui-wangwe akan kecewa, pasti
anak itu tak memberi tahu maka iapun mengejar lagi
dan berseru, juga sekalian menguji kepandaian anak
itu. "Siauw-inkong, jangan pergi secara ini.
Bagaimana Pui-wangwe, tentu bakal kecewa. Berhenti
32 dan tunggu sebentar bukankah aku akan mengantar
mu ke kota raja!"
Akan tetapi alangkah kaget dan kagumnya guru
silat itu ketika si anak melesat dan lenyap. Ia
mengerahkan kepandaiannya berlari cepat akan
tetapi anak laki-laki itu melejit bak seekor kijang
jantan, dikejar namun tertinggal dan akhirnya dengan
napas memburu ia melihat bayangan anak itu lenyap
di balik pintu gerbang kota. Dan ketika ia tertegun dan
berhenti di sini, sungguh takjub maka Buci tak
menghiraukan laki-laki itu dan berlari ke kota raja. Ia
telah tahu dan mendapat petunjuk jalan.
Semalam itu Buci bagai seekor burung gembira.
Udara malam yang dingin menjadi hangat setelah ia
berlari cepat. Keringat memanaskan tubuhnya. Dan
ketika keesokannya ia tiba di Kui-cin, sebuah kota
kecamatan di pinggir sungai Huang-ho maka ia
berhenti melihat ramainya nelayan menjual ikan.
Sepagi itu para nelayan sudah hilir-mudik, tawarmenawar terdengar riuh.
Buci adalah anak yang dibesarkan di padang
rumput. Keramaian seperti ini tentu saja menarik
perhatiannya dan sebagai bocah lelaki ia merasa
gembira. Hiruk-pikuk kaum pedagang merupakan
33 kenikmatan tersendiri bagi telinganya. Semua hal itu
belum pernah dilihatnya di bangsa Mongol. Maka
ketika berhenti dan melihat-lihat, tentu saja ia
menyimpan dan membungkus busurnya agar tak
menarik perhatian maka anak ini sudah berada di
tengah-tengah para pedagang dan kaum nelayan itu.
Dan keramaian di pusat pasar tak terasa
menggerakkan kakinya ke sini, ke tempat di mana
seekor ikan besar ditawar dan dijadikan rebutan. Ikan
Tampah! "Kubeli tiga puluh tail. Hei, berikan padaku, Asam. Kubeli tiga puluh tail!" seorang laki-laki bercelana
pendek berteriak dengan suaranya yang keras. Buci
berada di belakang laki-laki ini ketika laki-laki itu
menawar. Akan tetapi ketika di sebelah kirinya
terdengar seruan empat puluh tail, disusul lima puluh
dan akhirnya enam puluh tail maka A-sam, pemilik
ikan tertawa lebar. Ia seorang nelayan muda yang saat
itu tampaknya di atas angin, gayanya sombong.
"Tidak, tidak. Ikan ini jarang kudapat. Seratus
tail tak boleh kurang, sobat-sobat, kalau mau
kuberikan. Siapa mau akan dapat."
"Terlalu mahal!"
"Benar, terlalu mahal!"
34 "A-sam mata duitan!"
Nelayan muda itu berang. Ia menoleh pada
seorang kakek yang terakhir bicara dan sikapnya
hampir memukul. Akan tetapi ketika seorang nelayan
lain menahan lengannya dan membujuk maka nelayan
itu melotot pada kakek itu.
"Kau tak usah memaki kalau tak punya uang.
Pergi dan jangan mencari gara-gara."
"Sudahlah," temannya menarik. "Tak usah kau
hiraukan Phoa-lopek itu, A-sam, tujukan saja
perhatianmu kepada ikanmu ini. Lihat, juragan Hok
datang!"
Kerumunan menyeruak ketika seorang pendek
gemuk memasuki arena. Dia tersenyum-senyum
ketika datang dan masuk, di kiri kanannya tampak dua
laki-laki menemani. Dan ketika A-sam berseri melihat
pendatang ini, juragan Hok maka laki-laki itu tertawa
besar menuding ikan di tangan si nelayan muda.
"Kau, berapa mintamu? Seratus tail? Kubayar
kontan, A-sam, berikan padaku!"
Ributlah tempat itu ketika tanpa banyak cakap
si pendek ini mengeluarkan uangnya. Dari kantungnya
yang hitam ia membuat bunyi gemerincing, semua
35 mata terbelalak ketika seratus tail diberikan. Dan
ketika ikan besar itu diterima si juragan, yang langsung
memberikannya kepada seorang pembantunya maka
tempat itu pun berisik terutama oleh mereka yang
gagal menawar. Umpat dan caci meluncur tanpa
kendali. "Jahanam, A-sam memang mata duitan!"
"Dan ia tak menghiraukan kita yang lama
menjadi langganan!"
"Awas, lain kali tak akan kuterima barang
seekorpun!"
Akan tetapi nelayan muda itu tertawa-tawa di
sana. Ia tentu saja tak menghiraukan semua kutuk dan
makian ini setelah uang di tangan. Untungnya hari itu
begitu besar. Akan tetapi ketika ia menghitung-hitung
uangnya dan ribut-ribut beralih ke lain tempat
ternyata juragan Hok menerima rejeki lebih besar lagi.
Seorang berpakaian halus menawar ikan itu dua ratus
tail! Terbeliak dan terkejutlah semua orang. Laki-laki
berpakaian halus itu, Song wangwe (hartawan Song)
ternyata datang dan menawar ikan itu. Tidak biasanya
hartawan ini masuk pasar membeli ikan, apalagi
sendiri, tanpa utusan. Dan ketika semua orang heran
36 dan terkejut maka hartawan ini tersenyum ketika
sebuah kereta berderap dan berhenti di situ. Seorang
laki-laki melompat keluar dan langsung berseru,
"Song-wangwe, berikan ikan itu kepadaku.
Berapa saja kubayar!"
Laki-laki berpakaian halus ini, tertawa. Itulah
Khu-ciangkun utusan Lam-tai-jin, pembesar Kui-cin.
Dan ketika laki-la ki itu tiba dan ingin merebut ikannya,
di elak lembut Song-wangwe bertanya berapa Khuciangkun berani bayar.
"Berapa saja, aku tak akan menawar. Lam-taijin
memerintahku dan katanya ikan ini didapat A-sam!"
"Ah, aku mendapatkannya dari tangan Hok Swi.
Aku orang ketiga pemilik ikan ini, ciangkun, harganya
sudah mahal."
"Tak apa, aku membutuhkannya dan berikan
padaku. Berapa kau minta!"
"Bagaimana kalau lima ratus tail?"
"Apa?"
"Hm, tidak mahal, ciangkun, lima ratus tail saja.
Atau kuberikan orang lain dan Kam-taijin (pembesar
Kam) tentu mau."
37 Khu-ciangkun tampak tertegun namun wajah
nya berubah mendengar disebutnya Kam-taijin itu. Ini
adalah saingan beratnya dan majikannya bisa marah
kalau keduluan. Maka ketika tanpa banyak cakap ia
lari ke kereta mengambil uangnya, membayar lima
ratus tail maka orang sepasar heboh karena ikan itu
sudah sedemikian mahal. A-sam membelalakkan mata
dan mengumpat rejekinya kalah besar dengan yang
lain, padahal dialah pemilik pertama ikan itu!
Song-wangwe tertawa-tawa. Hok Swi alias
juragan Hok mengepal tinju. Ia kalah cerdik dengan
Song-wangwe ini. Kalau saja ia mau menunggu Khuciangkun dan langsung berhadapan tentu dia lah
peraih rejeki paling besar. Manusia memang tamak.
Dan ketika Khu-ciangkun berseri membawa ikannya,
siap menaiki kereta mendadak muncullah seorang pria
lima puluhan tahun, bertubuh sedang akan tetapi
tegap. "Tunggu, sebentar dulu. Bagaimana kalau
ikanmu kubayar seribu tail, Khu-ciang kun. Berikan


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

labanya kepada Lam-taijin dan kau kuberi seratus tail
sendiri!"
Khu-ciangkun tertegun, membalik. Ia siap
meluncur ketika tiba-tiba lelaki ini datang. Sikap dan
38 gerak-geriknya jelas bukan penduduk Kui-cin. Maka
ketika ia terbelalak sementara lelaki itu sudah
mengeluarkan uangnya, seribu seratus tail maka
orang lebih gempar lagi betapa ikan itu sudah
membubung tinggi. A-sam mengepal tinju kuat-kuat!
"Bagaimana?" laki-laki itu tersenyum. "Seribu
seratus semuanya, ciangkun, untungmu sudah besar."
Sejenak perwira ini menelan ludah, tiang itu
begitu menggiurkan dan hampir ia mengangguk. Akan
tetapi teringat majikannya iapun menggeleng, akan
tetapi matanya enggan menolak mentah-mentah.
"Kau siapa dan apa keperluanmu dengan ikan
ini. Kalau ingin menawar langsung saja ke majikanku,
sobat, asal bagianku tetap dapat. Aku tak dapat
memutuskan di sini."
"Hm, majikanmu pun akan menjualnya kepada
orang lain. Kau tak akan kena marah, Khu-ciangkun,
berikanlah dan jangan khawatir."
"Akan tetapi Lam-taijin pemiliknya, aku hanya
utusan!"
"Kalau begitu bagaimana jika dua ribu tail. Aku
harus segera pergi, banyak urusan. Kalau kau setuju di
sini saja kita putuskan dan harganya kunaikkan!"
39 berkata begini laki-laki itu mengambil uangnya lagi
dan dua ribu tail penuh di tangan. Uang itu
gemerlapan dan semua terkejut. Song-wangwe sendiri
berubah dan tampak kaget. Betapa kayanya orang ini,
padahal pakaiannya biasa dan sederhana saja. Akan
tetapi sementara semua membelalakkan mata dan
terkejut serta ngilar, harga itu sudah tak masuk akal
lagi mendadak meloncatlah seorang bocah dan
membanting sepuluh keping emas yang harganya tiga
ribu tail perak!
"Aku berani seperti ini, berikan kepadaku!"
Semua berteriak dan berseru tertahan. Kalau
semula laki-laki lima puluhan tahun itu menjadi pusat
perhatian maka kini Buci, anak itu menjadi tumpuan.
Di antara mereka semua tak ada yang membawa uang
emas, dan bocah ini mendadak muncul dan
membanting sepuluh keping uang emasnya seperti
orang bermain dadu! Maka ketika semua terkejut dan
terheran-heran, wajah kaget tak dapat disembunyi
kan lagi maka Khu-ciangkun menjadi guncang dan
matanya meram-melek. Kalau seperti inipun rasanya
majikan sendiri berani dilanggar! Akan tetapi sebelum
ia bergerak dan memberikan ikan itu maka laki-laki
berpakaian sederhana itu tertawa bergelak,
40 membanting lima belas keping emas. Sungguh
mengejutkan!
"Ha-ha, lawan cilik membuatku malu. Nih, lima
belas keping emas penawaranku tertinggi, ciangkun.
Masa bocah itu berani lebih lagi!"
Akan tetapi Buci anak ini mengeluarkan sepuluh
keping emas kedua. Ia membanting dan memberikan
itu di depan Khu-ciangkun, penonton benar-benar
geger. Dan ketika semua terbelalak dan laki-laki itu
mengerutkan kening maka perwira ini tertawa nyaring
meraup uang Buci, lupa sudah kepada majikannya
karena jumlah uang itu enam ribu tail perak sungguh
luar biasa.
"Kuterima! Tawaranmu tertinggi sobat cilik.
Lam-taijin tentu tak akan marah kalau rejeki ini kubagi
dua. Baiklah, ambil dan terimalah dan ikan itu
milikmu!"
Pasar benar-benar terguncang dan hadirnya
anak ini membuat semua terkejut.
Siapa tak akan kaget dan membelalakkan mata
ada bocah membawa kepingan uang emas. Songwangwe dan Hok Swi apalagi A-sam hampir meledak.
Mereka melihat betapa beruntungnya Khu-ciangkun
itu. Laba si perwira puluhan kali lipat dibanding
41 mereka. Dan ketika semua terbelalak dan tampak
kecewa, A-sam serasa pingsan maka Khu-ciangkun
membedalkan keretanya menuju pulang. Ia tak
membawa ikan itu akan tetapi dua puluh keping emas
yang seharga enam ribu tail perak!
Buci tersenyum-senyum. Semula anak ini tak
bermaksud mengajak jor-joran. Jangankan jor-joran,
membeli saja tak ingin. Untuk apa ikan itu! Akan tetapi
melihat betapa cepatnya ikan berpindah dengan harga
yang mahal, sesuatu menarik perhatiannya maka
dengan uang emas pemberian Pui-wangwe ia
memborong dan layak nya seorang jutawan cilik!
Akan tetapi hal-hal berikut tak menjadi
perhitungannya. Sikapnya yang demikian menyolek
dan amat menarik perhatian segera menimbulkan
problem baru. Song-wangwe hartawan berpakaian
halus tiba-tiba mengedip, begitu juga Hok Swi si
juragan gemuk pendek. Dua pembantunya di kiri
kanan itu diberi isyarat. Dan ketika Buci memanggul
ikannya yang amat besar, sebesar punggungnya
sendiri maka dua pembantu juragan itu saling dorong
dan tiba-tiba menabrak anak ini. Yang satu
menyambar kantung uang!
42 "Hei, apa yang kalian lakukan. Minggir dan
jangan merubung!"
Semua tiba-tiba terpelanting. Penonton sudah
demikian banyak hingga mengurung tempat itu. Maka
ketika dua laki-laki ini mendorong dan membuat
kegaduhan, untuk akhirnya menabrak dan berpurapura memaki orang lain maka kantung Buci menjadi
sasaran dan mereka lari sebagai perampas.
"Brett!"
Buci terkejut. Ia bermaksud keluar kepungan
setelah mendapat ikan itu. Tiba-tiba ia bingung akan
diapakan ikan itu. Bukankah semua ini hanya sekedar
iseng. Maka ketika uangnya dirampas sementara dua
orang itu lari cepat, penonton berpelantingan dan
berteriak satu sama lain maka Buci menyinarkan
kemarahan melihat uangnya dibawa lari.
"Maling hina, kembalikan uangku!"
Akan tetapi Song-wangwe dan Hok Swi tiba-tiba
menghadang. Seperti tidak sengaja dan terdorong
orang banyak dua orang ini mendadak menahan Buci.
Maksudnya tentu saja agar si anak tak dapat
mengejar. Mereka memang berkomplot. Akan tetapi
karena Buci memiliki Jouw-sang-hui-teng dan inilah
andalannya maka iapun membentak dan tubuhnya
43 tahu-tahu menyambar di atas kepala dua orang itu, hal
yang mengejutkan.
"Kembalikan uangku atau kalian mampus!"
Orang sepasar membelalakkan mata. Mereka
melihat tubuh Buci melayang dan terbang di atas
kepala orang banyak, tahu-tahu keluar kepungan dan
mereka tentu saja kagum. Dan ketika Buci melayang
turun dan tangan kirinya bergerak menimpukkan batu
hitam, tangan kanan, masih memegangi ikan besar di
belakang punggung maka dua butir batu itu
menyambar ke arah dua laki-laki itu tepat di
sambungan iga mereka.
"Aduh!"
Dua laki-laki itu menjerit dan roboh
bergulingan. Mereka serasa dibetot tulang iganya dan
kantung uangpun terlempar. Buci marah sekali
menghajar mereka. Akan tetapi ketika anak ini
melayang turun dan hendak menangkap laki-laki
pertama, si perampas uangnya mendadak Songwangwe dan Hok Swi si gemuk pendek berebut
menyambar kantung itu.
"Berikan padaku!"
"Tidak, berikan aku!"
44 Dua orang itu beradu kepala ketika sama-sama
menyambar uang dan hendak merampas. Mereka
tiba-tiba begitu tak tahu malu menyambar milik orang
lain. Akan tetapi karena keduanya terantuk dan
masing-masing berteriak, kejadian ini mengundang
yang lain mendadak penonton berhamburan dan
merekapun berebut uang itu. Dan saat itulah
terdengar derap pasukan berkuda.
Buci membelalakkan mata melihat betapa
kantung uangnya menjadi rebutan. Orang sebanyak
itu tiba-tiba tak tahu malu merampas miliknya,
marahlah dia. Maka ketika ia membentak dan
melepaskan lawan, berkelebat ke orang-orang yang
berhamburan itu iapun mendorong dan kaki
tangannya memukul atau menendang lawan.
"Pergi dan jangan ambil milikku, tak tahu malu!"
Namun tebalnya orang banyak tak mampu
membuat Buci di pusat kerumunan. Kantung uang
sudah disambar dan dibawa seseorang akan tetapi
dirampas dan jatuh ke tangan yang lain. Tiga empat
kali kantung uang berpindah tempat. Dan ketika anak
itu semakin marah sementara kerumunan mulai ceraiberai, uang tiba-tiba hilang maka Khu-ciangkun
45 muncul dengan belasan anak buahnya. Perwira ini
berderap di atas kudanya.
"Minggir, serahkan anak itu kepadaku. Ia
pencuri dan penjahat!"
Semua kerumunan lari berserabutan begitu
belasan pasukan berkuda datang. Mereka berteriakteriak dan minggir menyelamatkan diri tak mau
ditabrak atau diinjak-injak kuda. Dan ketika tinggallah
Buci seorang diri, tepat pasukan mengepung maka
anak ini marah dan kaget sekali dituduh Khu-ciangkun.
"Kau kami tangkap dan hendak dihadapkan
Lam-taijin sekarang juga. Kami mencurigaimu dari
mana sebanyak itu memiliki uang emas!"
Buci terbelalak, merah padam. Uang-nya hilang
sementara tiba-tiba dirinya hendak ditangkap. Siapa
tak naik pitam. Dan ketika ia belum menjawab
sementara perwira itu sudah memberi tanda, dua
orang melompat turun maka pengawal mengecrek
anak ini dengan borgol di tangan.
"Menyerah dan jangan melakukan perlawanan.
Kami hendak memeriksamu!"
Buci tak dapat menahan diri lagi. Jangankan
belasan orang ini, puluhan pasukan di perbatasan saja
46 dapat dihindarinya. Maka begitu dua orang itu
melompat dan menangkapnya, mereka memandang
rendah seorang anak kecil maka anak inipun
berkelebat dan tahu-tahu keluar dari kepungan,
melayang atau terbang di atas kepala dua orang itu.
"Aku tak bersalah, apa-apaan ini!"
Semua terkejut. Bagai belut yang licin anak ini
lolos keluar, membentak dan berada di luar kepungan
dan Khu-ciangkun serta anak buahnya tentu saja
terkejut. Mereka berteriak dan membalik. Lalu
melihat anak itu berkacak pinggang sementara
penonton berseru penuh kagum, untuk kedua kalinya
mereka melihat kelihaian anak ini maka Khu-ciangkun
mem bentak dan mengejar lagi dengan pasukan nya.
Dua orang pertama terkejut dan berubah.
"Kau jangan membandel atau menentang. Lamtaijin mencurigaimu dari mana kaudapatkan uang
sebanyak itu!"
Buci menudingkan telunjuknya. Ia marah sekali
diganggu perwira ini sementara uangnya belum
ketemu. Entah di mana dan siapa yang merampas.
Maka membentak dan balas bersikap garang ia
melengking, "Kau! Adakah peraturan dan keharusan
menangkap penduduk yang memiliki uang banyak,
47 ciangkun. Apa sangkut pautmu dengan harta yang
kumiliki ini. Aku bukan pencuri, aku mendapatkannya
secara baik-baik. Kalau kau hendak memeriksa dan
menangkap aku sungguh tak masuk di akal. Apakah
semua orang di sini harus kaucurigai pula!"
"Kau bukan penduduk Kui-cin, kau bocah
pendatang. Dari mana asalmu dan bagaimana kau
mendapatkan uang itu harus kami periksa. Masa
sekecil ini memiliki puluhan uang emas!"
"Bagus, jadi kau mencurigai aku yang membawa
uang emas?"
"Tentu saja, dan Lam-taijin ingin menemui
dirimu. Kau akan kami bebaskan kalau memang tidak
bersalah!"
Tiba-tiba di antara penonton menyeruak lakilaki berpakaian sederhana itu. Buci melihatnya dan
kebetulan laki-laki ini tersenyum. Maka teringat
bahwa pria ini pun memiliki banyak uang emas, paling
tidak lima belas keping tadi maka ia berseru dan
menuding. "Itu! Kalau begitu itupun harus ditangkap. Kau
harus bersikap adil dan tidak berat sebelah karena
orang itupun membawa uang emas!"
48 Khu-ciangkun menoleh dan melihat laki-laki
berpakaian sederhana ini. Ia pun tertegun dan
mengernyitkan dahi akan tetapi mengangguk. Orang
itu pun pria asing! Maka ketika tiba-tiba ia membentak
dan memberi isyarat, delapan anak buahnya maju
serentak maka orang ini dikepung dan ditangkap. Lakilaki ini tak melawan!
"Nah, aku sudah bersikap adil. Dia sudah
kutangkap dan kau pun harus menyerah. Kalian kami


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

periksa dan kalau benar-benar tak bersalah tentu
dibebaskan!"
Bukan main heran dan mendongkolnya Buci. Ia
mengira laki-laki ini akan bersikap seperti dirinya,
memberontak dan tak mungkin menyerah. Maka
ketika tertegun dan membelalakkan mata, pria itu
malah tertawa maka ia berkata menasihati Buci.
"Betul, kita orang asing. Sebagai pendatang
yang memasuki wilayah orang seharusnya kita tunduk,
anak baik. Serahkan dirimu dan jangan melawan. Kita
tak bersalah, tentu bebas!"
Berat bagi Buci menuruti omongan ini karena
mana mungkin ia menyerahkan dirinya. Ia lebih
dicurigai daripada laki-laki itu. Dirinya seorang anak
laki-laki yang membawa begitu banyak uang, tentu
49 lain dengan pria itu sebagai orang dewasa. Akan tetapi
ketika ia hendak menggeleng dan membantah, ia siap
melawan tiba-tiba seakan tak sengaja pria itu
membetulkan tali sepatunya dan tampaklah ujung
kain hitam di belakang punggungnya. Kantung
uangnya! Buci terkejut. Tiba-tiba ia girang dan berseri.
Ternyata laki-laki itulah yang merampas. Hm! Akan
dihajarnya nanti! Dan menganggap pura-pura
mengalah lebih baik daripada melawan, toh dengan
mudah ia akan dapat melarikan diri maka Buci
mengangguk dan ia berseru,
"Baik, aku menyerah, akan tetapi tak mau
diborgol. Sekali kalian menggangguku maka siapapun
akan kulawan!"
Kata-kata ini gagah dan penuh kesungguhan
dan Khu-ciangkun menjadi kagum. Kalau saja ia tak
melihat anak ini mampu lolos dan keluar begitu
mudahnya tentu ia tak akan perduli. Akan ditangkap
dan di borgolnya anak ini. Akan tetapi karena bocah
itu bukan bocah sembarangan dan ia harus berhatihati, si anak sudah menyerahkan diri maka ia bertepuk
tangan dan muncullah kereta yang tadi dipakainya.
50 . "Kaiian masuk dan kami kawal, jangan
melanggar janji!"
Buci merengut akan tetapi pria kawan nya itu
Love In Kingdom Of Oil 1 Pendekar Naga Putih 15 Pendekar Murtad Walet Besi 3
^