Pencarian

Pahala Dan Murka 11

Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen Bagian 11


dimaksudkan itu Thio Tan-hong adanya.
Si nenek tampak mendelik, jawabnya sambil memasang tangan
di tepi telinga, "Apa katamu?!"
Penunggang kuda ilu melompat turun dan berteriak pula,
"Kutanya adakah kaulihat seorang Pek-ma-Suseng?"
Suaranya keras menggeletar, namun si nenek menggeleng
sebagai tanda tidak mendengar jelas.
Keruan penunggang kuda menjadi gujar bentaknya, "Sialan!
Umpama orang tuli pasti juga mendengar teriakanku!"
Segera ia matuk ke dalam gardu dan bermaksud meraih si nenek.
In Tiong tahu ada sesuatu yang tidak beres, pelahun ia
menangkis tangan si penunggang kuda, cukup dia mengerahkan
3cdikit tenaga, kontan penunggang kuda itu hampir tergetar jatuh.
Baru sekarang penunggang kuda itu menyadari berh.idapan
dengan orang kosen, ia tidak berani main garang lagi.
"Ada urusan apa hendaknya bicara baik-baik, kenapa mesti
marah?" ujar In Tiong. "Soalnya kuping nenek ini memang kurang
pendengaran."
Padahal tadi si nenek sudah pasang omong dengan In Tiong,
keterangan In Tiong ini hanya untuk membela si nenek saja.
Tapi si nenek lantas bergelak tertawa, katanya, "Telingaku
memang aneh, terlalu keras tidak dengar, terlalu lirih juga tidak
dengar. Harus bicara tidak keras dan tidak lirih baru dapat
kudengar. Eh, tadi kautanya apa? Coba ulangi sekali lagi"Pahala dan Murka - 17 13
Penunggang kuda itu menahan rasa gusarnya, dengan suara
halus ia tanya, "Kutanya adakah seorang Pek-ma-Suseng lewat di
sini kemarin?"
"O, Pek-ma-Suseng?" si nenek menegas. "Oya, memang ada
seorang Pek-ma-Suseng pada waktu lohor seperti ini kemarin lewat
di sini. Ia malah memberi pesan padaku, katanya kalau ada orang
menanyakan dia hendaknya disilakan datang menemuinya besok
siang di Koai-hoat-lim (taman gembira) di Sohciu, dia sudah
menyediakan arak di sana."
Setelah mendapat keterangan, segera penunggang kuda itu
mencemplak lagi ke atas kudanya dan berlalu.
Si nenek menjengek, "Hm, catat lagi, anak Heng!"
Si gadis tadi asyik menyulam di samping, ia mengiakan dengan
tertawa, "Baik, sudah kucatat."
Berbareng ia memperlihatkan kain sutera yang di sulamnya, di
atasnya tersulam tujuh kumum bunga merah, ada besar dan ada
kecil, katanya pula, "Inilah yang ketujuh."
In Tiong tahu kedua orang perempuan ini pasti bukan orang
biasa, tapi kepandaian tinggi dan nyalinya besar, tanpa pantang
sirikan orang kang-ouw lantas tanya, "Pek-ma-Suseng apa yang
dimaksudkannya tadi? Koai-lok-lim itu tempat macam apa pula?"
Si nenek melirik In Tiang sekejap, jawabnya dengan tertawa,
"Tuan tamu ini sangat baik, biarlah kujelaskan padamu. Koai-lok-
lim adalah sebuah tempat hibutan di Sohciu, konon dulu waktu Thio
Su-sing menjadi raja di Sohciu, pernah dia membangun tempat itu
menjadi kantornya. Kemudian Thio Su-sing mati di medan perang,
taman hiburan itu lantai disita pihak berwajib dan dijual kepada
seorang saudagar kaya. Sekarang pemilik Koai-lok-lim itu bernama
In Thian-kam, berjuluk Kiu-tau-saycu (singa sembilan kepala).Pahala dan Murka - 17 14
Taman indah permai itu telah dipermaknya menjadi sebuah rumah
judi, dia banyak mengeruk keuntungan, lalu membeli tanah dan
sawah, bahkan banyak tanah di Gokoan kami ini juga disikatnya.
Sebagian besar tanah di dusun ini juga miliknya."
"Jika demikian, Kiu-tau-saycu itu boleh dikatakan seorang
berpengaruh besar di sini, lantas ada hubungan apa antara dia
dengan Pek-ma-suseng?" tanya In Tiong.
"Tanah bangunan gardu kami ini juga miliknya, setiap bulan
kami ditarik sewa tanah tiga tahil perak, kami menunggak sewa tiga
bulan, kemarin ia lantas mengirim tiga tukang pukul, katanya Beng-
ji akan disandera sebagai budaknya untuk melunasi uang sewa,"
demikian tutur si nenek. "Untung si Pek-ma-Suseng kebetulan lalu
disini, dia telah membayarkan sewa tanah kami, bahkan ketiga
tukang pukul itu dihajarnya hingga babak-belur."
Tiba-tiba si gadis menyila, "Bu, Pek-ma-Suseng itu tidak pernah
menghajar mereka, tapi ketiga tukang pukul itu yang
menyerangnya. Hah, sungguh lucu, baru saja kepalan tukang pukul
itu menyentuh tubuhnya lantas menjerit sendiri. Susing itu tidak
kelihatan balas memukul, tahu-tahu kedua bicokot itu sama roboh
terguling. Waktu mereka merangkak bangun, kulihat kepalan
mereka bengkak sebesar mangkuk."
"Meski sudah keok, ketiga tukang pukul itu masih bermulut
garang, dia menantang Pek-ma-Suseng itu, katanya kalau berani
supaya datang ke Koai-lok-lim dan menemui bosnya." tukas si
nenek. "Pek-ma-Suseng tertawa dan menjawab, "Haha, dua hari
lagi akan kutemui dia, ingin kutahu betapa garangnya Kiu-cu-saycu
itu."
Tentu saja In Tiong sangat heran, pikirnya, "Jelas kedatangan
Thio Tan-hong ke Sohciu ini bermaksud mencari peta dan harta
pusaka leluhurnya, mengapa tanpa sebab ia mencari perkara danPahala dan Murka - 17 15
memusuhi seorang Ok-pa (buaya darat), masa dia tidak kuatir asal-
usulnya akan terbongkar?"
Tapi bila teringat tindak-tanduk Tan-hong biasanya memang
sukar diraba, namun juga berencana serta mengandung maksud
mendalam, mau-tak-mau ia merasa sangsi pula.
Didengarnya si nenek lagi menyambung, "Sesudah Pek-ma-
Suseng itu menghajar lari kedua tukang pukul itu, lalu ia berkata
kepadaku agar semua orang lelaki kampung ini hari lusa dikerahkan
melihat keramaian ke Koai-lok-lim, setiap orang yang hadir akan
diberi persen pula. Tuan tamu tentu saja tidak mengharapkan
persennya, tapi tontonan menarik tentu perlu dilihat."
"Ya, sudah lama kudengar taman hiburan Sohciu yang
termasyhur itu, apalagi ada tontonan menarik pula, pasti aku akan
ke sana," kata In Tiong.
Ia membayar uang minum, lalu mohon diri. Sekilas lirik, di
lihatnya si gadis tadi sedang menyulam bunga kedelapan.
In Tiong melarikan kudanya dengan cepat, sebelum matahari
terbenam ia sudah sampai di Sohciu. Dilihatnya jalan raya ditata
dengan batu telur yang beraneka warna sehingga menimbulkan
perasaan serba baru. Keindahan bangunannya juga lain daripada
yang lain. Di mana-mana pepohonan menghijau permai sehingga
menimbulkan kesan kota penuh taman, sungguh sangat kontras
dengan pemandangan gurun yang dikenal In Tiong.
Dengan membawa surat perintah rahasia kaisar. In Tiong coba
tanya ke kantor gubernur, ternyata ketujuh jago pilihan itu belum
satupun yang datang.
Karena mengemban tugas langsung atas titah kaisar, meski
teman belum datang, setelah tahu jejak Thio Tan-hong, ia jadi inginPahala dan Murka - 17 16
mengusutnya lebih dulu. Maka esok paginya ia lantas menyamar
sebagai pelancong biasa dan berkunjung ke Koai-hoat-lim.
Taman hiburan itu terletak di utara kota Sohciu, bentuknya
adalah sebuah taman yang sangat luas. Begitu memasuki pintu
gerbang lantas menyusuri serambi yang amat panjang, kedua
dinding di kanan kiri banyak dihias dongan ukiran gambar dan
tulisan seniman ternama jaman kuno. Cuma pemilik taman ini
mungkin orang yang tidak tahu nilai barang seni sehingga kurang
perawatan.
Setelah menembus serambi panjang, di depan adalah pepohonan
yang rindang dengan gunung-gunungan, kolam, gardu
pemandangan dan sebagainya. Namun di dalam taman juga
berjubal orang berjudi dan terapat minum. Suara hiruk-pikuk
sehingga tidak cocok dengan pemandangan tamannya.
Diam-diam In Tiong menaruh perhatian, dirasakan di dalam
taman penuh tukang pukul, mungkin Kiu-tau-saycu sudah
mengadakan persiapan menghadapi Pek-ma-Suseng.
In Tioug duduk menunggu sampai hari sudah lewat lohor,
namun Thio Tan-hong belum tampak muncul, ia heran jangan
jangan terjadi sesuatu dan orang tidak datang ke situ.
Selagi menduga-duga, tiba-tiba terdengar suara ramai,
serombongan orang membanjir masuk taman dikepalai seorang
lelaki berewok berusia 50-an, begitu datang segera ia berteriak,
"Kiu-tau-saycu, hari ini kudatang untuk bermain iseng denganmu."
Suasana taman seketika berubah sunyi, meja judi yang ramai
dikerumuni orang juga sama berhenti.
In Tiong mendengar seorang lagi berbisik, "Liong-pangcu dari
Hai-liong-pong juga datang, jelas dia sengaja hendak mencariPahala dan Murka - 17 17
perkara kepada Kiu-tau-saycu, tampaknya segera akan ada
tontonan menarik."
Tentu saja hal ini juga di luar dugaan In Tiong, yang ditunggunya
ialah Thio Tan-hong, siapa tahu muncul seorang Liong-pang-cu
segala. Dari nada ucapan orang tadi, agaknya ketua Hai-liong-pang
atau gerombolan naga laut ini pun orang berkuasa di daerah Soh-
ciu. Terlihat orang sama menyingkir, seorang lelaki kekar kasar
dengan mata besar dau alis tebal, tapi berjubah seperti orang
terpelajar tampil ke depan dengan membawa beberapa tukang
pukul.
"Liong pangcu," segera ia memberi hormat, "angin apa yang
membawamu ke sini. Silakan duduk, mari minum dulu. Ayo, anak-
anak, suruh siapkan beberapa macam makanan."
Namun muka Liong-pangcu itu kelihatan kaku dan dingin,
jengeknya, "Kiu-tau-saycu, entah mengapa hari ini tiba-tiba timbul
hasratku untuk bertaruh denganmu. Soal minum boleh ditunda
nanti, marilah sekarang kita berjudi dulu."
Agaknya Kiu-tau-saycu itu rada jeri terhadap Liong-pangcu ini,
dengan tersenyum ia menjawab, "Ah, buat apa kita cekcok sendiri.
Liong-pangcu menghendaki apa, asalkan dapat kulaksanakan, tentu
akan kupenuhi."
Kembali Liong-pangcu mendengus, "Kiu-tau-saycu, orang yang
membuka rumah makan masa takut kepada tukang makan yang
berperut besar. Jika kau buka rumah judi, mana boleh kau tolak
bertaruh denganku. Memangnya kau kuatir aku tidak punya duit?
Kau bilang akan memenuhi kehendakku, nah justru aku minta
berjudi denganmu, tentu boleh kan?"Pahala dan Murka - 17 18
Air muka Kiu-tau-saycu In Thian-kam berubah merah padam,
jawabnya, "Manusia punya muka, pohon punya kulit. Jika engkau
sudah memperolok diriku di depan umum, terpaksa kuiringi
kehendakmu. Baiklah, kau mau berjudi apa?"
"Lempar dadu saja cepat lagi terbuka." kata Liong-pangcu. "Hei,
Lau Kwe, kukira tanganmu lebih panas, boleh kau wakilkan aku
saja. Dan kau bagaimana, apakah kau lempar sendiri atau
menyuruh jagomu?"
Segera dari samping Liong-pangcu menongol seorang kakek
kurus kering yang wajahnya tiada sesuatu yang luar biasa, ia
menanggalkan kopiahnya yang berbentuk kulit semangka itu, lalo
berkata, "Terimalah hormat Kwe Hong."
Sekali kopiahnya ditanggalkan, seketika menarik perhatian
semua orang. Rupanya memang tidak luar biasa, tapi rambutnya
yang luar biasa. Yaitu rambut merah semrawut dan terikat di atas
kepala sehingga mirip segumpal mega api.
Terkejut juga In Tiong, pikirnya, "Hah, kiranya dia Kwe Hong
alias Ang-hoat-yau-liong, kenapa dia juga datang kemari?"
Kiranya Kwe Hong ini adalah jago kepercayaan menteri kebiri
Ong Cin, selama ini dia dinas mengawal pribadi Ong Cin dan jarang
keluar, sebab itulah namanya jarang diketahui orang kangouw,
bahkan tokoh persilatan di kotaraja juga jarang yang kenal
mukanya.
Lantaran warna rambutnya merah khas, Thio Hong-hu pernah
melihatnya, dari rambutnya yang merah itu segera diketahuinya
inilah tokoh misterius andalan Ong Cin itu.
Dengan sendirinya In Tiong heran, ia tahu Ong Cin cukup kaya
raya, buat apa mengirim utusan untuk berebut Koai-boat-lim
dengan seorang buaya darat? Dengan kedudukan Kwe Hong jugaPahala dan Murka - 17 19
tidak pantas menjadi begundal seorang Pangcu segala. Sungguh hal
ini sukar dimengerti.
Dalam pada itu terdengar Kiu-tau-saycu In Thian-kam lagi
berkata, "Jadi Kwe-suhu ini yang akan melemparkan dadumu? Aku
sih tidak perlu pakai wakil biar aku sendiri yang turun kalangan."
"Haha, bagus!" sambut Liong-pangcu dengan tertawa. "Sudah
kusediakan ginbio (sebangsa cek) berharga nominal sepuluh laksa
tahil perak, ginbio dari ginceng (sebangsa bank) terkenal. Nah,
taruhan pertama ini adalah sepuluh laksa tahil perak.
"Tapi padaku mana ada uang kontan sebanyak ini?" ujar Kiu-
tau-saycu.
Kembali Liong-pangcu terbahak, "Haha, tidak menjadi soal.
Memangnya aku tidak tahu berapa banyak kekayaanmu? Semua
tanah dan perusahaanmu kutaksir bernilai 40 laksa tahil, Koai-hoat-
lim ini boleh juga kunilai 10 laksa tahil, jadi modal taruhanmu
seluruhnya ada 80 laksa tahil, maka tidak perlu kau kuatir takkan
terbayar."
Saking mendongkol In Thian-kam juga tertawa, "Haha, rupanya
Liong-pangcu mengincar Koai-hoat-lim ini."
"Memangnya belum lagi bermain engkau sudah takut kalah?"
sindir Liong-pangcu.
"Kalah atau menang belum jelas, marilah kita mulai," kata In
Thian-kam. "Nah, lihat dadu ini."
Kwe Hong lantas meraup ketiga biji dadu yang tersedia di dalam
mangkuk besar.
"Kwe-toako, kuyakin dia takkan berani main kayu!" seru Liong-
pangcu.Pahala dan Murka - 17 20
Kwe Hong lantas menyodorkan dadu kepada In Thian-kam,
katanya, "Kiu-tau-saycu, engkau adalah bandar di sini, boleh kau
lempar dulu!"
Tanpa sungkan In Thian-kam terima ketiga biji dadu, dikocoknya
dengan kedua tangan, lalu dilemparkan ke dalam mangkuk besar
sambil berteriak, "Sapu bersih!"
Ketiga biji dadu berputar di dalam mangkuk, lalu berhenti, maka
berteriaklah petugas judi, "Dua enam satu empat, 16, besar!"
Hendaknya maklum, setiap biji dadu terdapat satu titik sampai
dengan enam titik. Jumlah terbesar adalah tiga kali enam sama
dengan 18 Maka jumlah 16 titik boleh dikatakan sudah cukup
terjamin akan menang.
Sambil mengusap keringat, lalu In Thian-kam berkata, "Nah.
orang she Kwe, sekarang giliranmu!"
Kakek rambut merah tersenyum, dengan tenang ia pegang dadu,
setelah dikocok dua kali mendadak dilemparkan ke dalam mangkuk.
Segera petugas berseru pula, "Dua enam satu lima, 17, besar!"
Air muka In Thian-kam tampak pucat, teriaknya, "Ada setan
barangkali! Coba lagi!"
"Baik, lagi, dan taruhan kedua ini adalah 90 laksa tahil perak!"
sahut Kwe Hong.
In Thian-kam meraup dadu lagi dan dikocok-kocok dengan
kedua tangan, lalu dilempar ke dalam mangkuk sambil berteriak,
"Kayun!"
"Kayun" adalah istilah main dadu, artinya tiga dadu
menampakkan angka sama. Dan biasanya baik tiga kait satu titik


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kayun sampai tiga kali enam titik dianggap pemenang tanpa pihak
lawan perlu melempar dadu lagi.Pahala dan Murka - 17 21
Namun setelah dadu berhenti, petugas kembali berteriak, "Dua
enam satu lima! Wah, sungguh kebetulan, kembali 17 lagi."
Angka 17 boleh dikatakan pasti akan menang kecuali pihak lawan
dapat menghasilkan angka "kayun".
Maka In Thian-kam tersenyum senang, ia yakin sekali ini pasti
akan meraih kemenangan.
Dilihatnya si kakek rambut merah tetap tenang saja, ia raup
ketiga biji dadu dan dilemparkan begitu saja tanpa pikir.
Seketika para penonton sama melongo, sebab petugas lantas
berteriak, "Empat kayun satu warna, makan semua!"
"Haha, kau minta tidak diberi, aku tidak minta malah datang
sendiri," ujar Kwe Hong dengan tertawa. "Ayo lagi, sekarang
bertaruh 40 laksa tahil."
Air muka In Thian-kam tambah pucat sehingga urat hijau sama
merongkol di keningnya, katanya kemudian, "Baik, sekali ini boleh
kau lempar lebih dulu!"
"Baik," sahut Kwe Hong sambil memegang dadu dan digosok-
gosok pada telapak tangannya, lalu dilemparkan ke dalam
mangkuk.
Seketika suasana sunyi lenyap, muka In Thian-kam sepucat
mayat. Selang sejenak, petugas berteriak lagi, "Tiga kali enam,
kayun! Sapu bersih!"
Menurut peraturan permainan dadu, lemparan tiga kali enam
merupakan angka yang tak terkalahkan dan lawan pun tidak berhak
melempar dadu lagi.
Setelah sunyi sebentar, lalu meledaklah suara gempar orang
banyak. Semua orang terheran-heran mengapa tangan si kakekPahala dan Murka - 17 22
rambut merah sedemikian panas, setiap kali lemparannya selalu
mendapatkan angka paling tinggi.
In Tiong menonton di samping, diam-diam ia dapat melihat di
mana letak penyakitnya.
Kiranya dengan tenaga dalam seorang ahli senjata rahasia tentu
dapat mengendalikan perputaran dadu itu, cuma kepandaian luar
biasa ini tidak dimengerti orang awam, sekalipun Kiu-tau-saycu In
Thian-kam juga melongo bingung.
Sebagai orang kangouw terkemuka, kalau kalah harus mengaku
kalah, apalagi dadu berasal dari rumah judinya, betapapun In
Thian-kam tidak dapat menuduh lawan main curang. Sebab itulah
meski hati terasa sakit, terpaksa ia menyerah, katanya dengan
tertawa, "Baiklah, orang she Liong, Koai-hoat-lim ini adalah
milikmu sekarang."
"Seluruh modal taruhanmu ada 80 laksa tahil. sekarang engkau
baru kalah 70 laksa tahil masih ada sisa sepuluh laksa tahil, apakah
kauminta kontan atau barang, terserah kepadamu," kata Liong-
pangcu. "Dengan sisa sepuluh laksa tahil pun sudah cukup untuk
hidup mewah bagimu, selamanya aku tidak suka membikin lawan
habis-habisan, tentu dapat kau terima bukan?"
"Tidak perlu banyak omong lagi, pendek kata, sebelum matahari
terbenam hendaknya Koai-hoat lim ini harus dikosongkan!" jelas
Kwe Hong mendadak.
Tiba-tiba seseorang tertawa nyaring dan berseru, "Nanti dulu,
aku pun ingin ikut bertaruh!"
Pandangan In Tiong terbeliak, kelihatannya Thio Tan-hong yang
berbaju plitih tipis itu muncul dari kerumunan orang banyak.
Rupanya anak muda ini sudah datang sejak tadi, tapi lantaran InPahala dan Murka - 17 23
Tiong lagi memperhatikan pertaruhan di tengah kalangan sehingga
tidak tahu kapan kedatangan Tan-hong.
Mata Kiu-tau-saycu mendelik, sebab dari laporan anak buahnya
dapatlah diketahui anak muda inilah Pek-ma Suseng yang telah
menghajar tukang pukulnya di Gokoan. Tapi sekarang dia habis
kalah bertaruh 70 laksa tahil perak sehingga Koai hoat-lim pun
amblas, mana ada hasrat lagi untuk berurusan dengan Thio Tan-
hong, maka dia hanya berdiri diam saja di samping untuk melihat
apa tanggapan si kakek rambut merah.
Air muka Liong-pangcu dan Kwe Hong seketika berubah juga
demi melihat Tan-hong.
"Haha, bagaimana, kalian tidak berani bertaruh denganku?"
tanya Tan-hong lagi dengan tertawa.
Kiranya dengan dandanan dan gaya Thio Tan-hong yang
istimewa itu, begitu dia sampai di Sohciu segera menimbulkan
perhatian Hai-liong-pang. Beberapa tokoh Hai-liong-pang diam-
diam telah melacaknya hingga anak muda itu masuk ke hotel.
Dengan sendirinya Tan-hong tahu dirinya dikuntit orang, cuma
dia pura-pura tidak tahu, ia malah sengaja pamer harta bendanya
yang dibawanya ketika membayar makanan. Hal ini berbalik
membuat beberapa jago Hai-liong-pang tidak berani sembarangan
bertindak, cepat mereka pulang ke markasnya dan lapor pada sang
Pangcu.
Mestinya setelah mengambil alih Koai-hoat-lim barulah Liong-
pangcu hendak menyelidiki seluk-beluk Thio Tan-hong untuk
kemudian baru menentukan harus turun tangan atau tidak
terhadap anak muda itu. Tak terduga sekarang Tan-hong justru
datang sendiri dan menantang bertaruh padanya.Pahala dan Murka - 17 24
Si kakek rambut merah melirik hina Tan-hong sekejap,
tanyanya, "Kau mau taruhan berapa?"
"Ada berapa modal taruhanmu?? tanya Tan-hong dengan
tertawa.
"Hm, sedikitnya segenap harta benda Kiu-tau-saycu dapat
kugunakan sebagai modal taruhan denganmu," tukas Liong-
pangcu.
"O, jika begitu, termasuk ginbio 10 laksa tahil yang kau bawa ini
seluruhnya ada 90 laksa " kata Tan-hong. "Baik, boleh kita coba-
coba."
"Berapa taruhanmu," tanya Kwe Hong.
Tan-hong tersenyum, dikeluarkannya serenceng mutiara besar
lagi bulat dan berwarna putih mulus, sekali pandang saja dapat
diketahui pasti benda mestika yang bernilai tinggi.
Kalung mutiara itu memakai sebuah mainan batu mulia
berwarna hijau jamrud.
"Nah, taruhanku adalah kalung mutiara dengan batu mulia ini,"
kala Tan-hong. "Berapa harganya boleh kau taksir sendiri."
Liong-pangcu coba menerima kalung mutiara itu dan diperiksa
kian kemari, lalu berkata, "Taruhan kita harus dilakukan dengan
adil. Kalung mutiaramu ini berjumlah seratus biji mutiara, ukuran
besar-kecil mutiara ini sama, semua putih mulus tanpa cacat.
Mutiara semacam ini memang sukar dicari. Kutaksir setiap bijinya
di pasaran laku seribu lima ratus tahil perak. Tapi kalung ini
berjumlah seratus biji mutiara, nilainya harus dipertinggi, maka
hitung saja berharga 20 laksa tahil perak."
"0, rupanya kaupun cukup tahu kualitas barang. Dan batu mulia
jamrud itu bagaimana?"Pahala dan Murka - 17 25
"Batu mulia ini juga sukar dicari, aku pun tidak berani
sembarangan menaksir harganya, kalau dinilai menjadi sepuluh
laksa tahil, setuju?"
"Kalau sepuluh laksa terasa agak rendah, tapi sepuluh atau dua
puluh laksa tetap kugunakan sebagai taruhan, maka aku pun tidak
ingin tawar menawar denganmu. Hah, baiklah, seluruhnya menjadi
30 laksa tahil perak untuk sekali taruhan ini. Sekarang kuminta
dadu diganti dadu yang lain."
Tan-hong menimang-nimang bobot dadu itu lalu berkata, "Jika
kulempar lebih dulu, kalau menghasilkan kayun akan berani engkau
kehilangan kesempatan untuk menang. Bagiku kemenangan ini
tidak adil, aku tidak suka menarik keuntungan demikian dan
membuat lawan penasaran. Maka boleh kuberi padamu hak lempar
lebih dulu."
Diam-diam In Tiong merasa tidak mengerti. Ia tahu kepandaian
menggunakan senjata rahasia Tan-hong jarang ada bandingannya
di dunia ini, bilamara dilempar dadu lebih dulu, kemenangan pasti
akan tergenggam olehnya. Sekarang dia menyuruh lawan
melempar lebih dulu, terang Tan-hong pasti akan kalah.
Tanpa sungkan Kwe Hong lantas memegang dadu dan ditimbang
sejenak, ia merasa bobot dadu agak ringan, tapi hal ini pun tidak
dipikirkan, setelah dikocok dua kali, segera dilemparkan ke dalam
mangkuk sambil berteriak.
Lebih dulu dua biji menunjukkan angka enam titik, dadu ketiga
masih berputar. Mata si kakek rambut merah melotot, ketika dadu
terakhir berhenti, ternyata angka lima titik.
Kembali petugas berteriak, "Dua enam tambah lima, tujuh
belas!"Pahala dan Murka - 17 26
Sebenarnya si kakek rambut merah ingin melempar angka tiga
kali enam, ternyata maksudnya tidak terkabul namun tujuh belas
titik juga sukar dicari, terpaksa ia menyengir dan berucap, "Tujuh
belas juga lumayan. Nah, sekarang giliranmu!"
Tan-hong lantas memegang dadu, katanya, "Wah, sukar juga
untuk melampaui tujuh belas!"
Habis berkata, tanpa memandang dadu lantas dilemparkan,
seketika suasana sunyi senyap, mata si kakek rambut merah
kembali melotot.
Terdengar petugas berseru, "Satu titik tiga kali, kayun!"
Bahwa lemparan Tan-hong itu pasti menang tidak
mengherankan In Tiong, justru orang lain yang terheran-heran.
Diam-diam si kakek rambut merah juga merasa sangsi, ia
menguasai kungfu Tok-liong ciang, pukulan naga berbisa, caranya
melempar dadu juga sudah terlatih dan hampir dapat dikuasai
sesuka hatinya, tak terduga sekarang justru dikalahkan Thio Tan
hong.
Dengan sendirinya ia tidak tahu bahwa dadu itu telah dikerjai
Tan-hong tadi, yaitu ketika dipegang dan digosok diam-diam telah
dikerahkan tenaga dalam untuk membuat kadar dadu menjadi agak
lunak, cara ini harus dikerjakan dengan tepat supaya dadu tidak
retak atau pecah, dan hal ini ternyata dapat mengelabuhi Kwe Hong.
Setelah menang satu babak, dengan tak acuh Tan-hong berkata,
"Sekarang modal ditambah kemenanganku berjumlah 60 laksa
tahil, maka taruhan kedua boleh berjumlah 60 laksa."
Si kakek berpikir sejenak, lalu menjawab, "Baik, coba sekali ini.
Sekarang kau lempar dulu!"Pahala dan Murka - 17 27
Ucapan ini kembali membuat heran In Tiong, padahal setelah
kejadian tadi seharusnya Kwe Hong tahu lawannya pasti juga
seorang ahli, mengapa dia berani membiarkan lawan lempar dadu
lebih dulu?
Terdengar Tan-hong berkata dengan tertawa. "Aku lempar dulu
juga boleh, cuma engkau jangan menyesal."
Segera ia pegang dadu, tanpa melihat terus di lemparkan.
Selagi dadu sedang berputar mendadak si kakek membentak,
"Sapu bersih!''
Ketika dadu berhenti petugas berseru, "Dua-dua satu, lima!
Kecil!"
"Haha, kiranya lima busuk!" seru si kakek dengan tertawa.
Angka dadu paling kecil adalah empat, kini Tan-hong hanya
menghasilkan lima, jelas polisinya tidak menguntungkan.
Dari suara bentakan si kakek segera In Tiong tahu orang sengaja
mengunakan suaranya untuk mengguncangkan berputarnya dadu
sehingga berubah dari angka semestinya. Di tempat judi suara
teriakan dan bentakan adalah kejadian biasa sehingga tidak
mungkin dilarang. In Tiong pikir sekali ini Tan-hong pasti kalah
tanpa bisa bicara lagi.
Si kakek tampak gembira, dadu diraupnya dan diguncang sekali,
lalu di lemparkan ke dalam mangkuk.
Tan-hong hanya tertawa saja. Petugas lantas berteriak, 'Satu,
satu . . . dua . . . ."
Suara petugas itu menjadi lemas dan agak gemetar.
Sebaliknya Tan-hong lantas berseru, "Aha kiranya empat
busuk!"Pahala dan Murka - 17 28
Muka si kakek berubah pucat, kalau lemparan dadunya kalah
sama artinya kalah dalam hal kepandaian menggunakan senjata
rahasia dan tenaga dalam.
"Nah, dua kali taruhan berjumlah 90 laksa tahil perak, jadi
segenap modal taruhanmu telah ludes, sekarang Koai-hoat-lim ini
adalah milikku," seru Tan-hong dengan gelak tertawa.
Mendadak Kiu-tau-saycu melompat maju terus mencengkeram
pundak Tan-hong sambil membentak, "Hm, penipu, berani kau
rampas Koai-hoat-limku?"
Belum lenyap suaranya, mendadak ia menjerit dan jatuh
tersungkur.
"Haha, cakar singa putus!" seru Tan-hong dengan tertawa.
Waktu semua orang memandangnya, ternyata kelima jari In
Thian-kam telah patah sebatas ruas jari dan berlumuran darah,
saking kesakitan telah jatuh pingsan.
Serentak kawanan tukang pukul In Thian-kam merubung maju,
tapi Tan-hong lantai mendamperat, "Huh, tidak tahu malu! Berani
berjudi harus berani kalah, apalagi Koai-hoat-lim ini juga bukan
kemenanganku dari tangan orang she In."
Sambil bicara ia terus menghajar kawanan tukang pukul itu,
dengan gesit ia memukul sini dan menendang sana, dalam sekejap
kawanan tukang pukul itu sudah direbohkmnya semua.
Si kakek rambut merah lantai menangkisnya sambil berseru,
"Kiu tau-saycu, jangan kau bikin malu lagi orang kangouw!"
Tampaknya ia memaki In Thian-kam, tapi sebenarnya
menghadapi Tan-hong dengan pukulan berbisa.
Siapa tahu Tan-hong cukup cerdik, ia tahu tangan si kakek
berbisa, sebelum beradu tangan lengan baju lantas dikebaskanPahala dan Murka - 17 29
sehingga tangkisan orang mengenai tempat kosong, ia berlagak
tidak tahu dan berkata, "betapapun ucapan orang tua lebih tahu
aturan."
Lalu ia minum seceguk teh dan disemburkan ke muka In Thian-
kam, pelahan barulah Kiu-tau-saycu itu siuman.
"Kiu-tau-saycu," seru Liong-pangcu. "sekali ini kami pun
mengaku kalah. Bagimu masih terbuka jalan untuk
menggabungkan diri dengan Hai-liong-pang kami, kita lihat saja
Koai-hoat-lim ini dapat bertahan berapa lama di tangannya."
Liong-pangcu juga jago kelas tinggi, ia tahu si kakek Kwe Hong
bukan tandingan Tan-hong, terpaksa ia berlagak ksatria dan
mengaku kalah terus terang.
"Nah, Kiu-tau-saycu. lekas keluarkan segenap bukti pemilikan
harta bendamu dan semua emas perak dan uang kontan yang kau
punyai." bentak Tan-hong.
Selesai mengobati dan membalut tangannya. dengan lesu In
Thian-kam berkata, "Baik, semua kuserahkan!"
"Hendaknya tahu diri," ancam Tan-hong. "Berapa banyak harta
kekayaanmu cukup kuketahui, kalau main gila, jangankan cuma
sembilan kepala (Kiu-tau), sepuluh kepala juga akan kupenggal.
Wahai, kawan-kawan, boleh kalian ikut dia untuk mengangkut
barang."
Serentak orang ramai bersorak-sorai dan berkerumun maju,
kiranya para penonton ini sebagian adalah penduduk dusun
Ciamtai, sebagian adalah orang miskin kota Sohciu, semuanya
datang atas anjuran Tan-hong.
Di depan umun Tan-hong lantas membakar bukti-bukti


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemilikan tanah dan sawah, juga berbagai surat pinjam orang
miskin dibakarnya seluruhnya. Lalu ia membagikan harta bendaPahala dan Murka - 17 30
kepada kaum miskin itu, setelah sibuk setengah harian baru
semuanya beres.
Dengan sendirinya Kiu-tau-saycu Liong-pangcu dan Kwe Hong
sama merasa kehilangan muka, diam-diam mereka sudah
mengeluyur pergi sejak tadi.
Sekembalinya In Tiong di gubernuran, dilihatnya dua di antara
jago kiriman kaisar sudah datang, mereka adalah kedua paman
guru Kang Ciau-hai, yaitu Liong Cin-hong dan Hian-leng-cu.
Pada waktu berebut Bu-cong-goan In Tiong pernah
mengalahkan murid keponakan kedua orang ini, jadi di antara
mereka terhitung ada sengketa, tapi sekarang sama-sama mendapat
tugas dari kaisar, mau-tak-mau kedua pihak tidak dapat
mempersoalkan permusuhan itu.
In Tiong lantas menceritakan apa yang dilihatnya di Koai-hoat-
lim, sebagai jago kawakan kangouw, setelah mendengar cerita itu,
Liong Cin-hong dan Hian-leng-cu saling pandang sekejap, keduanya
sama mengernyitkan kening.
Selang sejanak baru Liong Cin-hong berkata, "Urusan ini agak
janggal. Ang-hoat-yau-liong adalah jago andalan Ong Cin, mengapa
dia membantu Hai-liong-pang berebut Koai-hoat-lim dengan Kiu-
tau-saycu. Thio Tan-hong sangat royal, jejaknya tidak menentu,
buat apa dia juga ikut berebut taman hiburan itu. Menurut
ceritamu, Koai-hoat-lim ini adalah tempat kediaman Thio Suseng
dahulu, bisa jadi harta pusaka dan peta rahasianya tersembunyi di
taman ini."
In Tiong merasa beralasan juga ucapan orang. Maka setelah
makan malam dan istirahat sebentar, menjelang tengah malam
mereka lantas berganti pakaian peranti berjalan malam, lalu
berangkat menuju Koai-hoat-lim.Pahala dan Murka - 17 31
Antek Kiu-tau-saycu di Koai-lok-lim sudah diusir semua oleh
Tan-hong. Suasana taman hiburan ini sekarang menjadi sunyi sepi.
Ginkang ketiga orang sama tingginya, mereka melintas pagar
tembok dan masuk ke dalam. Selagi mereka hendak memisahkan
diri untuk menyelidiki, tiba-tiba terdengar gema suara dari sebelah
timur sana.
Cepat mereka mendekam di tanah dan sembunyi di belakang
gunung-gunungan. Terdengar seorang lagi berkata, "Bocah she
Thio itu mungkin jeri kepada kita, maka sebelumnya sudah kabur
lebih dulu."
"Jangan-jangan dia sudah berhasil menemukannya!" kata pula
seorang lain.
Seorang lagi menanggapi, "Dugaan Ong-kongkong ternyata
tidak salah, kedatangan kita tepat pada waktunya."
Yang bicara ini jelas Ang-hoat-yau-li Ong Kwe Hong adanya.
Diam-diam In Tioug terkejut, pikirnya, "Kiranya rombongan
orang ini memang dikirim oleh Ong Cin. Mengapa kedatangan Thio
Tan-hong ke Sohciu untuk mencari harta pusaka juga bisa tersiar?"
Tapi setelah dipikir lagi, mata-telinga Ong tentu sangat banyak,
tentu urusan jejak Thio Tan-hong telah diketahui kaisar dan dirinya
diutus ke Sohciu sini, semua ini tentu juga sudah dapat diketahui
Ong Cin.
Terdengar Kwe Hong berkata lagi. "Menurut petunjuk peta,
tentu inilah tempatnya. Coba kau lihat, di sini ada bekas galian, tapi
batu gunung belum lagi terbongkar, agaknya karena bocah itu
sendirian sehingga sebelum dia berhasil menemukan barangnya
lantas kabur lebih dulu ketika mendengar ke datangan kita."Pahala dan Murka - 17 32
Menyusul lantas terdengar suara cangkul menggali tanah serta
suara batu didongkel.
Baru saja In Tiong bermaksud merunduk ke sana, mendadak
Hian-leng-cu menarik bahunya dan berbisik, "Nanti dulu, biarkan
saja mereka menggali, habis itu baru kita merampas hasilnya dari
mereka."
Waktu In Tiong mengintip ke sana melalui celah batu, tertampak
di depan sepotong batu karang berkerumun belasan orang dan lagi
sibuk menggali.
Selang tak lama, seorang berseru, "Ini dia sudah ketemu. Coba
lihat liang ini, hah, ternyata ditutup dengan sepotong batu pualam."
Segera seorang mengayun cangkul dengan keras, "cret", mendadak
lelatu muncrat, Kwe Hong berteriak, "Lekas menyingkir!"
Serentak dari dalam liang menyambar keluar berpuluh anak
panah, kontan ada beberapa orang menggeletak mati dengan tubuh
berubah hitam hangus.
"Hah, lihai amat panah beracun ini!" kata Kwe Hong.
Ditunggu lagi sejenak sehingga anak panah habis terbidik keluar,
namun Hwe Hong masih kuatir diambilnya sebuah tameng, sambil
berlindung di balik tameng iu memeriksa keadaan liang itu, tiba-
tiba ia berteriak, "Kurang ajar! Rupanya kita telah dikibuli bocah
itu."
Ia mundur beberapa tindak, diambilnya sebuah cangkul dan
dilemparkan sekuatnya, batu pualam itu tertimpuk roboh, ternyata
liang kosong tanpa sesuatu.
Berpuluh orang itu sama mencaci-maki, terpaksa mereka
mengeluyur pergi dengan menggotong kawan mereka yang terluka
dan binasa itu.Pahala dan Murka - 17 33
"Mari kita memeriksanya," ajak Liong Cin-hong.
Dengan hati-hati In Tiong mendekati liang itu, ternyata pada
batu pualam berbentuk nisan itu tertulis empat baris huruf indah
yang berbunyi: "Manusia mati karena harta, burung mati lantaran
pangan. Anda sudah datang kemari, boleh rasakan panah berbisa.
Dihaturkan raja Ciu raya, Thio Suseng".
Diam-diam In Tiong merasa ngeri, rupanya Thio Su-sing sudah
menduga bakal ada orang mengincar dan menggali harta
pusakanya, maka lebih dulu telah dipasangnya panah beracun,
caranya ini sungguh sangat keji.
Namun lubang itu kelihatan sangat cetek, menurut cerita, harta
pusaka Thio Su-sing itu berjumlah tidak sedikit, masa disimpan di
tempat sekecil ini? Seketika mereka hanya saling pandang dengan
bingung.
"Kukira Thio Tan-hong pasti belum berhasil menggali harta
pusaka ini," kata Sam-hoa-Yiam Hian-leng-cu.
"Apa alasanmu?" tanya In Tiong.
"Pertama, tempat ini tidak mirip tempat penyimpanan harta
pusaka," ujar Hian leng-cu. "Pula Thio Tan-hong cuma sendirian,
mana mungkin dia membawa kabur harta benda sebanyak itu di
bawah pengawasan ketat Kwe Hong dan begundal Hai-liong-pang?"
"Pendapat Sute memang tidak salah." tukas Liong Cin-hong.
"Tapi kalau dia belum menemukan harta pusaka, kenapa dia
meninggalkan Koai-hoat-lim? Jangan-jangan telah diketahuinya
harta pusaka itu tidak tersimpan di sini?"
Waktu In Tiong memeriksa lagi lebih teliti, tiba-tiba dilihatnya di
samping batu pualam itu tertempel lagi secarik kertas dengan
tulisan: "Yang satu mencari, yang lain menguntit. Jika memang
sudah dunianya keluarga Cu, buat apa lagi buang-buang tenaga.Pahala dan Murka - 17 34
Saudara In Tiong, silakan angkat kaki saja. Pesan dari Thio Tan-
hong."
In Tiong sangat mendongkol setelah membaca tulisan itu, Liong
Cin-hong dan Hian-leng-cu hanya saling pandang saja tanpa bicara.
Dalam pada itu subuh sudah tiba.
Waktu itu Thio Tan-hong sedang mendayung perahu di tengah
danau sambil memegang sebuah anak kunci emas yang gemerlapan.
Kunci emas itu diperolehnya di bawah batu karang di taman
hiburan Koai-hoat-lim itu. Menurut petunjuk peta, diketahuinya
harta pusaka terpendam di dalam taman, sebab itulah dia sengaja
bertaruh besar-besaran di sana.
Sebelumnya sudah diketahuinya dari pesan leluhur bahwa
tempat harta pusaka itu terpasang anak panah berbisa, maka lebih
dulu ia sudah berjaga-jaga sehingga tidak mengalami sesuatu
cedera api pun. Siapa tahu setelah batu pualam peniup liang itu
digeser, di dalam liang hanya terdapat sebuah anak kunci emas saja
dan tiada benda lain.
Tapi di atas anak kunci emai itu terukir dua baris huruf kecil
yang berbunyi: "Di tengah Thayouw, di barat Tong ting-san, dengan
anak kunci ini dapat ditemukan harta pusaka."
Rupanya dulu waktu Thio Su-sing hendak menyembunyikan
harta bendanya, lebih dulu ia telah memilih tempat yang baik dan
dipertimbangkan secara masak. Ia bertempat tinggal di Sohciu, jika
harta pusaka dipendam di kota itu, tentu nanti akan ditemukan Cu
Goan-ciang. Tapi bila dipendam di tempat lain, karena harus
diangkut kian kemari, mudah pula tersiar berita ini.
Akhirnya dia memutuskan menyembunyikan harta pusaka di
barat bukit Tong-ting yang terletak di tepi danau Thayouw. Tempat
itu dekat Sohciu, berangkat pagi akan sampai pada petangnya.Pahala dan Murka - 17 35
Selain itu juga telah diaturnya dengan baik tempat harta
terpendam itu. Mengenai tempat yang ditunjuk di Koai-hoat-lim itu
hanya sebagai pancingan belaka. Di situ selain disimpan anak kunci
yang diperlukan untuk menemukan harta pusakanya, juga dipasang
anak panah berbisa yang sangat lihai.
Supaya rahasianya tertutup rapat, waktu itu dia cuma memberi
peta rahasia tempat harta karun terpendam itu kepada putranya
yang berhasil melarikan diri bersama pengawal pribadinya. Dengan
sendirinya kepada pengawal kepercayaan itu diberitahu pula
perangkap yang terdapat di dalam liang serta cara membuka dan
sekaligus menghindari panah berbisa.
Mengenai anak kunci yang tersimpan di dalam liang serta tempat
harta terpendam yang sesungguhnya dan juga rahasia lain, biarpun
pengawal pribadi itu juga tidak diberitahu.
Setelah Tan-hong mendapatkan anak kunci emas, ia lantas
mengatur kembali liang itu serupa semula dan sebelum rombongan
Kwe Hong tiba ia sudah meninggalkan Koai-hoat-lim. Ia titip kuda
putih kepada seorang sahabatnya, lalu dia menumpang perahu yang
sudah disediakan oleh sahabat itu malam itu juga dia mendayung
perahu ke Thayouw.
Di tengah danau yang luas dan sunyi itu, lamat-lamat dilihatnya
sekelilimg danau puncak gunung belaka, namun Tan-hong tidak
tertarik oleh pemandangan permai itu, berulang-ulang ia hanya
mengamat-amati anak kunci emas itu.
Ia pikirkan tulisan petunjuk pada anak kunci itu. Namun luas
Thayouw berpuluh kali luas Koai-hoat-lim, mencari tempat harta
terpendam itu serupa mencari jarum di dasar laut. Akan tetapi ia
harus menemukannya, selain harta pusaka leluhur, peta rahasia itu
terlebih penting lagi, sebab menyangkut nasib negara dan bangsa.Pahala dan Murka - 17 36
Waktu ia menengadah, dilihatnya puncak tertinggi di barat
danau itu menjulang tinggi di depan.
Meski Tong-ting san barat ini tidak dapat dibandingkan kelima
gunung ternama namun gunung ini pun kelihatan terjal dengan
tebing karang yang aneh.
Tan-hong meninggalkan perahunya dan mendarat, dilihatnya
sawah ladang tersebar di kaki gunung, lereng gunung penuh
pepohonan dengan bunga yang sedang mekar.
Perlahan Tan-hong mendaki gunung melalui sebuah jalan
setapak. Tiba-tiba dari atas datang dua anak gembala menunggang
kerbau. Melihat Tan-hong, kedua kacung itu tampak heran.
"Aku pelancong biasa, numpang tanya kedua engkoh cilik,
apakah mendaki gunung dari ini jalannya cukup baik?" tanya Tan
hong.
Tapi kedua kacung itu hanya saling pandang sekejap, lalu
menjawab dengan kasar, "Tidak tahu!"
Tan hong heran mengapa sikap kedua kacung ini sedemikian
kasar, jauh berbeda dengan dusun Ciamtai yang berpenduduk
sopan santun.
Mendadak kedua anak gembala kerbau lagi bertengkar, anak
yang di belakang menuduh kawannya sengaja membikin kerbaunya
menginjak lumpur sehingga bajunya kotor terciprat lumpur.
Sebaliknya kacung di depan bilang kawannya yang sengaja
menimpuknya dengan batu.
Tan-hong merasa geli, selagi dia hendak melarai, mendadak dari
bertengkar mulut kedua anak gembala itu berubah menjadi
berhantam, malahan keduanya lantas melarikan kerbau masing-
masing menerjang ke bawah gunung, jalan setapak sesempit itu,
karuan Tan-hong pasti akan diseruduk kerbau.Pahala dan Murka - 17 37
Karena tidak menyangka, tentu saja Tan-hong kaget, karena
tidak dapat menghindar lagi, terpaksa ia mengerahkan tenaga sakti,
kedua tangan meraih ke depan terus ditolak ke samping sambil
menggertak.
Maka terdengarlah suara "blang-blang" dua kali, kedua ekor
kerbau itu tergetar oleh tenaga sakti Tan-hong dan terlempar jatuh.
Kedua kacung sama menjerit kaget. Padahal Tan-hong tidak
mengeluarkan segenap tenaga, ia pikir mungkinkah kedua anak itu
terbanting jatuh. Waktu ia berpaling, ia terkejut, dilihatnya kedua
ekor kerbau lagi berlarian, namun kedua anak gembala
penunggangnya suidah hilang.
Tentu saja Tan-hong sangat heran, selagi ia hendak memeriksa
ke sana, mendadak dari lereng bukit muncul dua orang petani
sambil membentak, "Hoi, di tengah siang bolong, dari mana
datangnya bandit . ."
"Aku bukan bandit, kedua Toako ini ....." Tan-hong berusaha
menjelaskan.
Tapi belum habis dia bersuara, mendadak kedua petani itu
membentak pula, "Kalau bukan bandit, kenapa kau bikin celaka
kerbau kami dan menculik anak kecil."
"Siapa bilang kuculik anak kalian? Di .... mereka ...."
"Hm, mereka kenapa? Mereka tidak kelihatan lagi, bukankah
telah kau sembunyikan atau telah kau serahkan kepada
komplotanmu dan telah dibawa lari."
"Mana ada kejadian begitu? Kenapa kalian tidak memeriksa dulu
apakah kerbau kalian terluka dan di mana kedua anak tadi?"Pahala dan Murka - 17 38
Tapi kedua petani itu tidak mau banyak omong lagi, segera
mereka mengayun caugkul, kontan mereka menghantam kepala
Tan-hong.
Terkejut juga Tan-hong ketika melihat gerakan kedua petani itu
ternyata sangat gesit. Cepat ia menggeser ke samping terus
menarik, sekaligus kedua pacul lawan dirampasnya.
"Tolong! Ada rampok!" teriak kedua petani itu.
Gemas dan geli juga Tan hong, katanya, "Jika ada niatku
membunuh kalian tentu jiwa kalian sudah amblas, kenapa berkaok-
kaok?!??
Segera ia melemparkan kedua pacul rampasan ke lereng gunung.
Dalam pada itu mendadak dari lereng sana berlari datang lagi
tujuh atau delapan orang petani lain, semuanya membawa cangkul
dan tanpa bicara terus mengeroyok Tan-hong.
Mau-tak-mau mendongkol juga anak muda itu, ia pikir
pertempuran tanpa sebab ini sungguh tiada artinya. Segera ia
bermaksud menyelinap keluar dari peluang mereka.
Siapa tahu cangkul mereka seperti sudah terjalin menjadi sebuah
jaring dan mengurung dari berbagai penjuru, kemanapun Tan-hong
hendak menerobos selalu tertutup dan dipapak dengan pukulan
pacul.
Terkesiap hati Tan-hong, jelas inilah barisan pacul yang sudah


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlatih. Ia tidak berani gegabah lagi, dengan penuh semangat ia
layani mereka, namun kerja sama barisan pacul kawanan petani itu
memang sangat rapat, kecuali Tan-hong melukai atau merobohkan
satu-dua di antara mereka, kalau tidak, jelas tidak mudah baginya
untuk merampas pacul mereka.Pahala dan Murka - 17 39
Mendadak Tan-hong bersuit panjang, sekaligus beberapa
pukulannya membuat kawanan petani itu terdesak mundur, lalu
katanya dengan tertawa, "Jika kalian tidak berhenti, terpaksa aku
tidak sungkan lagi."
"Tidak sungkan lagi lantas mau apa ? Rampok keparat,
memangnya kau kira kami takut padamu?" teriak petani yang
menjadi kepala mereka itu.
Betapa sabarnya Tan-hong akhirnya marah juga, pikirnya, "Bila
kukeluarkan pedang pusaka dan menabas pacul kalian, coba kalian
dapat berbuat apa lagi?'?
Selagi ia hendak melolos pedang, tiba-tiba ada orang berseru di
atas gunung, "Hei, ada apa kalian berkelahi?"
Waktu Tan-hong menengadah, dilihatnya seorang lelaki
berjenggot cabang tiga, kening lebar dan hidung besar, berdandan
sebagai kaum terpelajar, tapi mukanya kereng seperti orang
persilatan.
"Rampok ini melukai kerbau kita dan menculik pula anak-anak,"
tutur petani tadi.
"Tampaknya kerbau tidak terluka", ujar orang itu. "Hoi, A Ciau,
A Seng . . . ."
Waktu Tan-hong memandang kesana, kedua kerbau yang
semula tampak lari berputar-putar itu mendadak berhenti. Lalu
kedua anak gembala menongol dari bawah perut kerbau sambil
tertawa. Mereka mencibir kepada Tan-hong.
Mau-tak-mau Tan-hong tertawa geli, baru sekarang ia tahu
sebabnya kedua ekor kerbau itu berputar disitu, rupanya karena
perbuatan kedua setan kecil ini. Tampaknya kepandaian mereka
menunggang kerbau terlebih mahir daripada ilmu menunggang
kuda orang Mongol.Pahala dan Murka - 17 40
Tapi lantas terpikir pula kedatangan orang ini sangat aneh, entah
sengaja atau tidak, betapapun harus waspada.
Terdengar orang tua di lereng gunung tadi sedang berkata,
"Kaum petani kasar dan kurang sopan, harap Tuan tamu jangan
marah. Ayo, lekas kalian minta maaf kepada Siangkong ini, lalu
kembali ke sawah masing-masing,''
Beberapa orang petani dan kedua anak gembala tadi lantas
memberi hormat kepada Tan-hong, lalu pergi semuanya.
"Apakah Siangkong ingin melancong di pegunungan ini?" tanya
si kakek.
Tan-hong membenarkan.
"Ke-72 puncak gunung di sini takkan rata diselusuri dalam
waktu singkat, jika Siangkong memang ingin pesiar di sini,
sedikitnya perlu tinggal beberapa hari lamanya."
Melihat tutur kata si kakek lain daripada orang biasa, dengan
hormat Tan-hong bertanya lagi. "Numpang tanya, siapakah nama
Lotiang yang mulia?"
"Ah, orang hidup paling-paling seratus tahun dan berlalu dengan
cepat, buat apa mesti memikirkan nama," ujar kakek itu dengan
tertawa. "Bolehlah kau sebut Lotiang padaku dan kusebut engkau
Siangkong, kau sederhana, buat apa mesti mengingat-ingat soal
nama segala."
Watak Tan-hong memang suka bebas, ucapan si kakek justru
cocok dengan jiwanya.
Kakek itu bicara lagi, "Tempat tinggalku terletak di atas gunung,
ada sahabat yang memberi nama pada tempat kediamanku itu
sebagai Tong-ting-san-ceng, kalau Siangkoan mau melancongPahala dan Murka - 17 41
sekian hari disini, bila tidak menolak boleh kujadi tuan rumah
sekadarnya."
(Bersambung Jilid ke 18)Pahala dan Murka - 18 0Pahala dan Murka - 18 1
PAHALA DAN MURKA
Oleh : gan k.l.
Jilid ke 18
OTIANG ternyata sangat baik hati, jika kutolak rasanya
kurang hormat," ucap Tan-hong. "Hanya mungkin akan
membikin repot padamu."
"Haha, repot apa?" ujar ti kakek. "Boleh kau pesiar sesukamu,
kalau lelah silakan istirahat di tempatku, kalau jodoh dapat
berkumpul lebih lama, bila sudah puas bolehlah berpisah, masa ada
repot segala?"
Niat Tan-hong memang hendak mencari harta pusaka seorang
diri, ucapan si kakek cocok benar dengan jalan pikirannya.
Si kakek lantas menunjuk rumah di pinggang gunung, katanya.
"Meski di rumahku tidak ada persediaan apa-apa, kalau makanan
sih selalu siap. Bila Siangkong mau pesiar boleh silakan, malam
nanti baru kita minum bersama dan bicara lagi."
Tan-hong memberi hormat dan mengucapkan terima kasih. Ia
pikir kakek ini kalau bukan pertapa yang saleh tentu juga orang
kosen dunia kangouw. Andaikan peta rahasia tidak ditemukan,
persahabatan dengan orang tua ini tetap harus dipupuk. Kawanan
petani tadi tampaknya juga bukan orang biasa, tidak boleh
kukesampingkan kesempatan baik ini untuk bersahabat."
Begitulah pikiran Tan-hong terus bergolak, setengah harian ia
pesiar di Tong-ting-san, sering ditemuinya tukang pencari kayu
atau tukang buah sama melirik padanya, semua ini menambah rasa
misteriusnya.Pahala dan Murka - 18 2
Setengah harian menjelajah pegunungan itu, diam-diam ia ingat
baik-baik keadaan tempat itu. tampaknya sang surya sudah hampir
terbenam, sesuai pesan kakek, ia putar balik ke perkampungan
Tong-ting san-ceng.
Setelah mengetuk pintu, mata Tan hong terbeliak ketika pintu
terbuka, di depannya berdiri seorang gadis jelita.
Tan-hong tercengang, ia pikir kalau kecantikan In Lui serupa
anggrek, maka kecantikan gadis ini serupa mawar.
Selagi ia hendak bertanya, dilihatnya gadis itu telah menyapa
dengan tertawa, "Tuan tentulah Siangkong yang datang pesiar itu?
Ayah sudah pesan padaku, silakan masuk!"
Tan-hong memberi hormnt dan ikut si nona masuk ke dalam,
tertampak pepohonan rindang dan bunga mekar semarak,
pengaturan halaman sangat indah, meski tidak seluas taman
hiburan Koai-hoat-lim, tapi keindahannya tidak kalah.
Si kakek sudah menunggunya di suatu gardu pemandangan
dengan arak, melihat Tan-hong sudah pulang, dengan tertawa ia
menyapa, "Bagaimana panorama danau dan gunungnya?"
"Sungguh indah permai laksana lukisan," ujar Tan-hong.
"Cuma sayang ada sementara orang tidak menikmati keindahan
alamnya melainkan cuma memikirkan bau busuk harta bendanya,
orang demikian sungguh menggelikan dan juga harus dikasihani,"
kata kakek itu dengan tertawa.
Terkesiap Tan hong, ia pikir jangan-jangan orang sudah
mengetahui kedatanganku ini adalah untuk mencari harta pusaka?
Tapi lantas terpikir lagi olehnya, "Ah, kenapa aku banyak curiga.
Leluhurku menanam harta pusaka disini dengan petanya adalah
uruian maha rahasia, aku pun baru mengetahui tempat ini setelahPahala dan Murka - 18 3
mendapatkan anak kunci emas itu, dari mana kakek ini mengetahui
hal ini? Apa yang diucapkannya mungkin cuma secara kebetulan
saja."
Begitulah keduanya lantas minum arak sambil mengobrol
tentang keindahan alam, disambung lagi pengetahuan tentang seni
budaya, tampaknya keduanya sangat cocok. Cuma keduanya sama
menghindari tanya asal-usul masing-masing.
Setelah minum beberapa cawan arak, si kakek kelihatan rada
terpengaruh oleh alkohol, ia menguap kantuk, katanya. "Rasanya
aku ingin tidur, silakan Siangkong bergerak dengan bebas, bilamana
Siangkong ada minat untuk pesiar ke danau dan menikmati malam
terang bulan, boleh juga berangkat sendiri atau kusuruh anak
perempuanku mengiringimu, supaya pulangnya nanti tidak perlu
mengetuk pintu" Lalu ia menyuruh anak perempuan tadi menemani
Tan-hong, ia sendiri lantas kembali ke kamarnya.
"Apakah Siangkong baru pertama kali ini pesiar ke sini?" tanya
si nona dengan tertawa, Tan-hong membenarkan.
"Siangkong mengaku dari utara, kulihat engkau mirip orang
Kanglam," kata si nona, "Malahan rasanya kita sudah pernah
bertemu entah di mana."
"Ah, jangan nona bergurau," sahut Tan-hong. "Aku justru
berharap sejak dulu kenal nona, cuma sayang baru hari ini dapat
bertemu."
Si gadis tertawa dan tidak menanggapi, mereka berjalan sampai
di suatu gubuk indah, kata nona itu, "Siangkong boleh tinggal saja
di sini, tempatnya sederhana, jangan kau cela."
Tan-hong melihat gubuk indah itu di bangun di tepi kolam
teratai yang sedang mekar.Pahala dan Murka - 18 4
"Keindahan tempat ini serupa di surga-loka, biarpun raja juga
tidak punya tempat begini, masa engkau bilang sederhana." ujar
Tan-hong.
Si nona tertawa dan mengundurkan diri.
Tan-hong duduk sendirian di dalam gubuk, cahaya bulan di luar
tampak terang benderang, ia membuka pintu belakang yang
membelakangi bukit.
Ia mendak ke atas untuk menikmati pemandangan danau di
waktu malam.
Pegunungan Tong-ting ini berada di tengah danau dengan
puncaknya yang berderet memanjang, keindahannya sukar
dilukiskan.
Tan-hong seperti mabuk oleh pemandangan menakjubkan ini.
Pada saat itulah terdengar suara si nona tadi bersenandung di
sebelah tana. Suaranya merdu memikat. Tanpa terasa Tan-hong
juga bersuara mengiringi nyanyian si nona.
Dan begitu nyanyian mereka berhenti, tiba-tiba si nona muncul
dari balik batu karang sana dengan tertawa dan sedang menggapai
padanya.
Tanpa terasa Tan-hong melangkah ke sana.
Mendadak si nona menegur, "Apakah engkau benar-benar tetap
pada pendirianmu?"
Tan-hong melengak, "Apa . . . apa maksud ucapan nona? Cuma
setiap langkah seorang lelaki bila harus dilaksanakan tidak nanti
berubah lagi."
Air muka gadis itu rada berubah, jengek-nya, "Hm, kutahu,
tujuanmu ke sini hendak mencuri harta pusaka, hendaknya jangan
kau mimpikan hal ini."Pahala dan Murka - 18 5
Mendadak cahaya hijau berkelebat, tahu- tahu si nona telah lolos
pedang pandak dan langsung menusuk dada Tan-hong.
Tentu saja anak muda itu terkejut, cepat ia mengelak sambil
berseru, "Hei, siapa nona sebenarnya?"
Gesit sekali gerakan si nona, hanya sekejap saja ia sudah
menyerang beberapa kali. Tan-hong terpaksa mengelak sini dan
menghindar sana, ia terdesak masuk ke tengah batu karang sambil
berteriak, "Hei, berhenti dulu, dengarkan penjelasanku."
Belum lenyap suaranya, tahu-tahu dari balik batu karang sana
muncul pula beberapa orang, si kakek tuan rumah kelihatan
membawa senjata berbentuk garpu, sekali melompat ke atas
sepotong batu segera garpunya menusuknya.
Dari sambaran angin senjata yang keras itu dapat diduga si kakek
adalah seorang jago kelas tinggi.
"Hei, kenapa Lotiang menyerangku tanpa alasan?" teriak Tan-
hong.
"Hm, tentunya kau tahu sebabnya," jengek kakek itu. "Melihat
tampangmu kukira engkau ini seorang terpelajar, tak tahunya juga
seorang lelaki kotor yaug tamak harta dan kemaruk pangkat."
Beberapa orang yang lain ternyata para petani yang dijumpainya
siang tadi, mereka sama membentak, "Memang sudah kuduga
bocah ini pasti bukan orang baik. Lihat senjata!"
Sekarang yang dibawa kawanan petani itu bukan lagi cangkul
melainkan senjata sebangsa pedang, tombak dan sebagainya.
Kejut dan gelisah Tan-hong, ia hendak memberi penjelasan,
namun senjata orang sudah menghujaninya, terlebih garpu si kakek
dan pedang pandak si gadis, serangan mereka terlebih cepat dan
gencar sehingga tiada peluang bagi Tan-hong untuk bicara.Pahala dan Murka - 18 6
Karena kepepet, terpaksa Tan-hong melolos pedang pusaka Pek-
in-pokiam, sekali menabas, kontan senjata dua orang petani
tertabas kutung dan cepat melompat mundur.
"Berhenti dulu!" tekiak Tan-hong.
Si kakek menjawab dengan tertawa, "Berhenti apa? Sekali
kejeblos ke dalam barisan kami, biarpun pedang pusaka juga tidak
berguna."
Sekali garpu berputar, kembali ia menerjang maju.
Sedikit banyak Tan-hong menaruh hormat kepada kakek itu,
maka ia sungkan menabas senjatanya, ia mencari sasaran yang lain.
Tak terduga kawanan petani dapat bekerja sama dengan cepat
dan rapat, yang satu mundur segera yang lain maju. Ketika
kewalahan menghadapi pedang pusaka, serentak mereka
menyelinap ke balik batu padas, gerakan mereka aneh dan cepat,
betapapun taagkas Tan-hong sukar lagi menabas senjata mereka.
Termasuk si kakek dan gadisnya, lawan Tan-hong seluruhnya
ada delapan orang, mereka menduduki delapan sudut dan main
putar di antara batu padas, yang satu muncul segera yang lain
menghilang, yang kanan menyerang, dari kiri juga menyergap
sehingga Tan-hong agak kerepotan. Ia pikir jika kukejar saja
seorang, coba akan lari ke mana?
Segera ia menguber salah seorang petani, dilihatnya gerakan
orang sangat licah, hanya putar sana dan belok sini, tahu-tahu
jejaknya sudah hilang. Sebaliknya si gadis dan seorang petani lain
lantas muncul dari kanan-kiri dan menyerangnya.
Waktu ia kejar si nona, dalam sekejap nona itu pun menghilang
di balik batu, sebagai gantinya si kakek menongol dengan garpunya
yang gemerdep dan menerjangnya.Pahala dan Murka - 18 7
"Bagaimana baiknya kuhadapi pertempuran cara begini?"
demikian Tan-hong rada bingung.
Di antara kedelapan lawannya kecuali si kikek dan gadisnya,
enam orang selebihnya juga lumayan ilmu silatnya, tapi bagi Tan-
hong tidak berat. Namun barisan mereka main putar, sebentar
muncul dan sebentar menghilang, itulah yang membingungkan.
Tan-hong tahu bilamana salah seorang dirobohkan tentu dapat
lolos dari kepungan, namun meski dia berusaha membobol barisan
lawan sebaliknya makin jauh kejeblos.
Selang sebentar lagi, kepungan musuh semakin rapat dan
gencar. Tan-hong sekarang yang harus menghindar kian kemari,
ingin menjaga diri saja sukar, apalagi hsndak balas menyerang.
Untungnya dia membawa pedang pusaka, musuh agak kuatir kalau
senjata tertabas putus, maka tidak berani terlalu mendekat.
Mendadak Tan-hong menyadari barisan yang diatur musuh ini
adalah barisan Pat-kwa ciptaan Khong Bing di jaman Samkok,
rupanya musuh menyelinap kian kemari tujuannya untuk
memancingnya menuju ke jalan buntu, di situ barulah mereka akan
menyergapnya serentak.
Sungguh Tan-hong tidak menduga akan dapat melihat barisan


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ajaib ini di sini. Waktu ia memperhatikan lebih lanjut, dilihatnya
orang yang berjaga di sudut "hidup" adalah si gadis berpedang
pandak itu.
Setelah mengetahui barisan musuh, Tan-hong tidak ayal lagi,
segera ia melompat ke sana, dari beberapa sudut berbahaya ia
menerjang ke sudut "hidup".
Keruan barisan musuh seketika menjadi kacau, gadis itu
kelihatan rada gugup dan berusaha menghindar, mesti hati merasa
tidak tega, tapi demi untuk menerobos keluar kepungan, terpaksaPahala dan Murka - 18 8
Tan-hong terus mencecar si nona, pedangnya terus mengancam
dan memaksa gadis itu membawanya keluar.
Tampaknya segera Tan-hong dapat lolos dari kepungan,
mendadak gadis itu menjerit seperti jeritan kaget.
Seketika Tan-hong melenggong, disangkanya pedang sendiri
salah melukai gadis itu.
Siapa tahu, hanya merandek sejenak saja, sekonyong-konyong
dirasakan langit seakan ambruk dan bumi berputar, "blang",
menyusul suara gemuruh itu, permukaan tanah mendadak
berlubang besar dan Tan hong lantas kejeblos.
Kiranya tempat berpijaknya itu tepat di atas sebuah lubang
perangkap, di atas lubang diberi lapisan pasir mengambang.
Bilamana menggunakan ginkang seperti biasa, dengan enteng saja
Tan-hong dagat melompat lewat tapi karena jeritan si nona, Tan-
hong melengak sehingga tubuhnya telanjur kejeblos ke bawah.
Tapi di sini pula terujuk ketangkasan Thio Tan-hong, ia sempat
berjumpalitan untuk mengurangi daya turunnya sehingga dapatlah
dia menginjak tanah dengan ringan.
Di dalam lubang itu gelap gulita, cepat ia mengeluarkan
serenceng mutiara mustika yang bercahaya sekadar menerangi
lubang ini.
Dilihatnya lubang gua ini sangat dalam, untuk memanjat ke atas
jelas sangat sukar. Dasar gua juga tidak rata, malahan terasa lembab
dan berbau busuk, seperti sebuah lorong bawah tanah yang sudah
lama tidak terpakai.
Tanpa pikir Tan Hong menyusuri lorong itu, agak lama barulah
mencapai ujungnya. Ia coba merabanya, ternyata dinding batu.Pahala dan Murka - 18 9
"Tak tersangka jiwaku akan melayang di sini, sungguh mati
penasaran," pikir Tan-hong dengan menyesal.
Teringat kepada cita-cita sendiri yang belum tercapai, sungguh
ia sangat gusar, mendadak ia menghantam dinding batu itu.
Di luar dugaan, dinding itu terasa berguncang.
Keruan ia sangat girang, cepat ia mengorek dengan pedangnya
pada dinding itu, dinding batu itu ternyata tidak keras, hanya
sebentar saja pasir batu sama rontok, rupanya dinding jtu cuma
batu pasangan saja, bila pasir sekeliling batu dikorek keluar, batu
akan dapat digeser.
Tan-hong mengeluarkan tenaga dan coba mendorong, "blang",
batu penutup itu roboh ke depan, segera terlihat sebuah lubang
yang cukup untuk diterobos seorang.
Cepat Tan-hong menerobos keluar, tiba-tiba pandangannya
terasa silau, setelah diawasi, ia terkejut dan bergirang. Kiranya di
sebelah sana kembali ada sebuah lorong, cuma lorong itu sangat
pendek, pada ujung lorong ada sebuah sayap pintu batu putih, itulah
batu pualam, kristal yang sukar dinilai harganya.
Cepat Tan-hong menyimpan mutiara dan pedangnya, ia
mendekat dan meraba pualam itu, terasa dingin dan licin. Setelah
diperiksa lebih teliti, diketahuinya di sisi pintu batu pualam ini ada
sebuah lubang kunci kecil.
Tergerak hati Tan-hong. ia coba mengeluarkan anak kunci emas
yang dibawanya, anak kunci dimasukkan ke lubang kunci pintu
pualam, lalu diputar. Ternyata dengan mudah sekali pintu pualam
itu terbuka.
Setelah menyimpan anak kunci, Tan-hong melangkah ke dalam
sambil merapatkan pintu.Pahala dan Murka - 18 10
Dilihatnya di dalam gua ini cahaya terang gemerlap menyilaukan
matn, dimana-mana penuh tertumpuk emas intan dan batu
permata.
Cepat Tan-hong mencari di tengah tumpukan harta pusaka itu
dan ditemukan sebuah kotak pualam. Kotak itu dibuka, terlihatlah
sehelai peta yang dilipat.
Peta dibentangnya, di bawah cahaya batu permata yang cukup
terang itu ia coba membaca peta yang terlukis dengan sangat jelas.
Itulah peta negeri Tionggoan dengan tempat-tempat yang strategis,
tiap-tiap tempat itu diberi catatan dan komentar tentang cara
bagaimana harus bertahan dan menghadapi serbuan musuh.
Hendaknya maklum, pada jaman kuno komunikasi antar daerah
sangat sulit, jarang ada yang dapat menjelajahi seluruh negeri untuk
mengamati keadaan setiap daerah, maka peta lengkap serupa ini
boleh dikatakan adalah benda mestika yang sukar dicari.
Teringat betapa susah payah Peng-hwesio ketika berusaha
membuat peta militer ini, tanpa terasa Tan-hong mencucurkan air
mata terharu.
Waktu ia periksa lagi lebih teliti, dilihatnya di alas kotak pualam
itu ada dua baris huruf kecil, bunyinya: "Bila peta ini lahir, Ciu raya
akan berjaya lagi".
Mungkin leluhur Tan-hong, yaitu Thio Su-sing, sudah menduga
keturunannya akan menemukan ini, maka ditinggalkan pesan ini
agar anak cucunya melanjutkan usaha menumpas kerajaan Bing
dan membangun kembali kerajaan Ciu.
Tan-hong menyembah delapan kali terhadap kotak pualam itu
sambil berdoa, "Cucu tak becus Thio Tan-hong mohon maaf kepada
leluhur bahwa tugas menumpas Bing dan membangun kembali Ciu
mungkin tidak dapat kulaksanakan lagi."Pahala dan Murka - 18 11
Kiranya maksud tujuan Tan-hong mencari harta pusaka ini
mengandung arti yang dalam, yaitu ingin memberikan peta kepada
Ih Kiam agar menteri setia itu melawan musuh dari luar. Harta
pusaka juga akan diserahkannya sebagai dana untuk membela
negara dan bangsa.
Tan-hopg melipat kembali peta itu, pikirnya, "Biar aku berteriak
di mulut gua sana untuk menjelaskan maksudku dan semoga di
dengar oleh Tong-ting-cengcu itu, bila dia dapat memaklumi
maksudku yang luhur ini, tentu dia akan memberi tali panjang
untuk menarik aku ke atas."
Setelah ambil keputuian, ia coba membuka pintu itu, tapi meski
didorong dan ditarik pintu pualam itu tidak bergeming.
Kiranya pada waktu masuk tadi, sekalian ia merapatkan kembali
pintunya sehingga terkunci kembali. Padahal luar-dalam pintu itu
pakai kunci, segera Tan-hong menggunakan anak kunci lagi untuk
membukanya, namun tidak berhasil, rupanya kunci dari luar dan
bagian dalam tidak sama.
Diam diam Tan-hong mengeluh. Gua ini berada di dalam perut
gunung, betapa tinggi kepandaiannya juga sukar menjebolnya
keluar. Daun pintu batu pualam itu pun sekeras baja, biarpun
pedang pusaka juga sukar membobolnya.
Sia-sia saja di dalam gua penuh emas intan, tapi tidak ada
makanan, sekalipun orang di luar hendak menolongnya, tanpa anak
kunci yang dipegangnya ini tentu juga tidak dapat membuka pintu
dari luar. Tan-hong pikir dirinya sekali ini pasti akan mati
kelaparan.
Biarpun tabah, tidak urung sekarang Tan-hong pun merasa ngeri
akan bayangan maut yang mengancam. Ia coba berteriak beberapaPahala dan Murka - 18 12
kali, suara hanya berkumandang di dalam gua dan memekak
telinga. Jelas tipis sekali harapan untuk keluar dari gua ini.
Setelah menenangkan diri, Tan-hong pikir apa yang harus
dilakukannya selama tertahan di sini sebelum ajal tiba?
Terbayang olehnya permusuhan antar keluarga Cu dan Thio
serta antar keluarga Thio dan In. Tiba tiba bayangan In Lui seakan-
akan muncul di depan mata, ia menghela napas, "Adik cilik, selama
hidup ini mungkin kita tidak akan bertemu lagi."
Saking isengnya terkurung di dalam gua, Tan-hong coba
memeriksa, segenap pelosok gua itu untuk melihat barang pusaka
apa saja tinggalan leluhurnya.
Tiba-tiba di tengah tumpukan harta pusaka itu ditemukan lagi
sebuah kotak yang lain, ia coba membukanya, ternyata isi kotak
hanya berpuluh carik kertas vang berisi catatan melulu, rupanya
itulah seketsa keadaan setiap tempat strategis yang pernah
didatanginya, dari seketsa ini kemudian dilukis peta lengkap yang
dilihatnya tadi.
Selain macam-macam catatan itu. ditemukan lagi sejilid buku
kecil dengan judul "Hian-kang-yau-koat" atau kunci utama berlatih
lwekang.
Dibukanya halaman kitab itu, ternyata isinya adalah penjelasan
lengkap cara-cara berlatih lwekang kelas tinggi. Sampai di sini baru
disadari Tan-hong bahwa apa yang dipelajarinya sebenarnya masih
belum seberapa.
Hendaknya maklum, Peng-bwesio atau Peng Ing-giok itu adalah
guru Cu Goan-ciang dan Thio Su-sing. dengan sendirinya
kepandaiannya jauh di atas kedua muridnya itu.
Tan-hong memang pemuda cerdas, apalagi dasarnya sudah kuat,
selesai membaca kitab kecil itu, segalanya menjadi serba membaur,Pahala dan Murka - 18 13
segala tanda tanya sebelumnya yang sukar dipecahkan kini dapat
dipahami seluruhnya.
Bila dia membayangkan Tai-lik-kim-kong-jiu andalan
Toasupeknya atau ilmu pukulan Tiau-im Hwesio, ia merasa
semuanya seperti dapat diikutinya tanpa guru.
Sungguh ia girang sekali, ia pikir dengan memiliki kitab ini dan
menekuni isinya, kelak tentu akan sangat mudah baginya untuk
mempelajari ilmu silat dari aliran mana pun.
Tapi bila teringat lagi keadaan sendiri yang terkurung di gua ini,
biarpun mempunyai kepandaian setinggi langit juga tidak ada
gunanya, seketika ia sedih lagi.
Akan tetapi daripada menganggur, kitab kecil itu lantas dibalik-
balik lagi dan dibaca berulang, malahan ia lantas berlatih lwekang
menurut ajaran kitab itu.
Setelah bertempur setengah harian, sebenarnya Tan-hong terasa
lelah dan lapar, sesudah berlatih Iwekang rasanya menjadi segar
malah, lalu ia tidur dengan nyenyak.
Waktu mendusin, keadaan di dalam gua terang benderang oleh
cahaya batu permata sehingga tidak diketahui siang atau malam
hari.
Kembali ia berlatih menurut isi kitab, dicobanya pada ilmu
pukulan Tai-lik-kim-kong-jiu andalan Tang Gak, dilakukannya
pukulan demi pukulan sehingga pintu pualam tergetar hebat, meski
tidak sampai terbuka, namun dari suara getarannya dapat diketahui
ilmu pukulan yang dikuasainya tanpa guru ini ternyata cukup lihai.
Rasa lapar masih mending, yang tidak tahan adalah rasa haus.
Orang tanpa makan sanggup bertahan hingga tujuh hari baru
mati, jika tidak minum, paling hanya tahan tiga hari. Meski ilmuPahala dan Murka - 18 14
silat Tan-hong sangat tinggi, tapi karena tidak makan minum lebih
seharian, perut kosong terasa panas pedas.
Mulut yang kering dapatlah dibasahi dengan sedikit tetesan air
yang merembes dari celah dinding batu, namun tetap tidak dapat
mengurangi rasa dahaga.
Sedapatnya Tan-hong bertahan, ia mengulangi lagi
mengapalkan isi kitab pusaka itu untuk melupakan rasa lapar dan
haus.
Selagi asyik merenungkan intisari Iwekang itu, tiba-tiba
didengarnya suara gemersik, lalu ada suara alat mengorek tanah.
Serentak Tan-hong melompat bangun sambil berteriak, "Siapa
itu?"
Tapi tidak ada sesuatu jawaban di luar, terdengar suara tanah
dikorek masih terus berlangsung.
Tentu saja Tan-hong heran, "Jika tujuannya menolongku, kenapa
tidak memberi jawaban?"
Setelah menggali sekian lama orang di luar itu, mendadak Tan-
hong mengerahkan tenaga dan menghantam daun pintu sekuatnya
"Blang", pintu pualam itu tidak bergeming, sebaliknya lengan
sendiri tergetar sakit dan hampir keseleo.
Sejenak kemudian, tiba-tiba terlihat bagian bawah pintu tanah
pasir bertebaran dan mulai longgar, cepat Tan-hong ikut menggali
dengan pedangnya dari bagian dalam untuk menyambung galian
dari luar itu.
Hanya beberapa kali mengorek saja dengan pedang, segera dari
luar menembus masuk cahaya terang. Ternyata orang di luar itu
sudah berhasil menggali satu lubang kecil di bawah pintu batu
pualam.Pahala dan Murka - 18 15
Tan-hong merasa heran, ia pikir apakah orang bermaksud
mengantarkan makanan-kepadanya melalui lubang itu? Tapi
rasanya lubang ini pun terlalu kecil untuk bisa dimasuki tempat
makanan.
Didengarnya orang di luar sudah berhenti menggali, mendadak
ada sesuatu benda kecil dijejalkan dari lubang kecil itu.
Waktu Tan-hong memperhatikan benda itu, seketika matanya
terbeliak, kiranya benda itu adalah sebuah anak kunci warna emas.
Cepat ia mengambilnya dan diperiksa, ternyata serupa dengan anak
kunci sendiri yang ditemukannya di Koat-hoat-lim itu.
Tan-hong cukup cerdik, segera ia gunakan anak kunci itu untuk
membuka pintu, sekali diputar segera pintu terbuka. Segera terlihat
seorang gadis berdiri di luar dengan tersenyum simpul.
Melihat si nona, Tan-hong merasa serupa dalam mimpi, gadis itu
kelihatan tersenyum manis dengan pipi bersemu merah, siapa lagi
dia kalau bukan putri Tong-ting-cengcu.
Terlihat tangan kiri si nona memegang pedang, tangan kanan
membawa linggis, ujung pedang masih berlepotan tanah, di mulut
gua bergantung sebuah lentera berkerudung, mungkin dibawanya
kemari untuk penerangan. Sesudah pintu terbuka, cahaya
gemerlapan batu permata membuat cahaya lentera itu menjadi
guram tampaknya.
Dengan rasa sangsi Tan-hong lantas memberi hormat, katanya,
"Terima kasih atas pertolongan nona."
Tiba-tiba nona itu mengikik tawa, katanya, "Siaucujin (majikan
muda), keluarga kami menanti kedatanganmu selama tiga turunan,
semalam kami tidak tahu akan dirimu dan hampir taja membikin
celaka jiwamu. Engkau tidak marah kepada kami, masa malah
berterima kasih?"Pahala dan Murka - 18 16
Seketika Tan-hong tahu duduknya perkara, serunya dengan
tertawa, "Haha, jangan kau-panggil aku dengan cara begitu, bahwa
leluhurku secara kebetulan menjadi raja kan tidak ada
hubungannya denganku? Aku bernama Tan hong, selanjutnya boleh
kau sebut namaku saja."
"Dua bulan yang lalu sudah kutahu namamu," ujar si nona.
"Sudah kubayangkan namamu yang indah serupa dengan
pepohonan yang rindang di tempat kami ini, kan kau lihat sendiri."
Gadis ini bicara dengan lugas, meski baru bertemu dengan Tan-
hong, namun sikapnya seperti kenalan lama.
Diam-diam Tan-hong merasa senang juga, katanya, "Eh, rasanya
aku pun ingin menebak namamu, kalau tidak salah, engkau she
Ciam-tai, namanya ada kata Beng, begitu bukan?"
"Tepat sekali tebakanmu, apakah Ciamtai Biat-beng telah
menceritakannya kepadamu?"


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ciamtai-ciangkun justru tidak pernah bicara padaku mengenai
adik perempuannya yang pintar serupa dirimu ini."
"Ya, mungkin sebelum ini dia juga tidak tahu adanya budak nakal
seperti diriku ini," ujar si nona dengan tertawa. "Bulan yang lalu dia
datang kemari dengan tergesa-gesa, sesudah beramah-tamah
dengan anggota keluarga yang baru pertama dikenalnya, hanya
tinggal semalam saja dia lantas berangkat lagi."
Tan-hong coba menghitung harinya, rupanya kedatangan
Ciamtai Biat-beng ke Tong-ting-oh ini terjadi pada waktu pangeran
Mongol itu hampir pulang ke negerinya, yaitu sesudah Tan-hong
bertemu dengan Ciamtai Biat-beng dan Ih Kiam di kotaraja tempo
hari. Ternyata diam-diam ia meninggalkan kotaraja tanpa diketahui
kawanan jago pengawal.Pahala dan Murka - 18 17
"Jika demikian, agaknya setelah datang kemari Ciamtai Biat-
beng tidak sempat menemuimu lagi," kata si gadis. "Waktu dia
datang, dia menceritakan dirimu yang menyusup ke daerah
Tionggoan dan ada kemungkinan datang ke Sohciu untuk mencari
harta pusaka leluhur, maka kami diminta menaruh perhatian.
Sayang dia datang dan pergi dengan terburu-buru dan tidak sempat
menguraikan bentuk wajahmu dengan jelas. Kami sangka engkau
pun serupa dia, karena lama tinggal di Mongol, tentu bentuk kalian
serupa orang asing di sana. Siapa tahu engkau justru jauh lebih
tampan daripada pemuda daerah Kanglam sini."
Habis berkata mendadak ia tertawa sambil mendekap mulut, ia
merasa seperti cara bicara sendiri agak terlalu lepas, namun juga
tidak kikuk serupa anak gadis yang pemalu.
Diam-diam Tan-hong tertawa geli, bahwa Ciamtai Biat-beng
berwajah serupa orang Mongol adalah karena kakek dan ayahnya
sama kawin dengan perempuan setempat, jadi bukan lantaran
tinggal lama di Mongol, lalu bentuknya berubah.
Didengarnya si nona bercerita pula, "Kemarin waktu engkau
datang, kami lantas mencurigai dirimu, sebab akhir-akhir ini
kebetulan terjadi suatu peristiwa, yaitu konon seorang pengkhianat
berhasil mencuri salinan peta Soh-ciu dan mengira harta pusaka
terpendam di Koai-hoat-lim, maka selama setengah bulan berturut-
turut kedatangan beberapa kelompok orang yang mengobrak-abrik
taman hiburan itu. Meski rahasia tempat kami ini tidak diketahui
orang luar, namun kami harus berjaga segala kemungkinan. Sebab
itulah waktu kau datang kemari, kami sangka juga penjahat yang
ingin mencuri harta pusaka kita,"
"Apakah kau lihat aku mirip penjahat?" tanya Tan-hong dengan
tertawa.Pahala dan Murka - 18 18
"Justru karena tidak mirip, kalau tidak mustahil jiwamu tidak
melayang sejak tadi," kata si nona dengan tertawa. "Dari cara tutur
katamu ayah sukar meraba asal usulmu. Beliau ingin menguji
apakah engkau majikan muda atau bukan, tapi kuatir pula kalau
keliru dan akan membocorkan rahasia besar ini. Terpaksa kami
bertindak dan mengurungmu dengan Pat-kwa-tin. Kami juga kuatir
salah membikin susah orang baik, maka cara kami menyerangmu
pakai perhitungan, kalau tidak, betapapun engkau jangan harap
akan dapat menerobos keluar kepungan."
"Dan kemudian cara bagaimana engkau tahu asal-usulku?" tanya
Tan-hong.
"Di kolong langit ini, kecuali engkau seorang, siapa pula yang
dapat membuka pintu pualam ini dari luar?" kata si nona dengan
tertawa.
Tan-hong juga tertawa, "Dan di seluruh dunia ini, kecuali engkau
seorang, juga tiada orang lain yang mampu menolongku keluar."
Gadis itu tampak senang, katanya, "Memang sangat ajaib, anak
kunciku tidak dapat dibuat membuka dari luar, anak kuncimu juga
tidak dapat digunakan membuka dari dalam."
Tiba-tiba Tan-hong bertanya, "Namamu baru kuketahui
sebagian, masih ada satu huruf belum diketahui."
"Ya, saking senangnya sampai aku lupa," kata nona itu. "Namaku
Ciamtai Keng-beng dan ayahku bernama Ciamtai Tiong-goan,
leluhur kami bernama Ciamtai Kui-cin adalah panglima perang di
bawah leluhurmu."
"Nama leluhurmu sudah kuketahui," ujar Tan-hong. "Sungguh
aku harus berterima kasih kepada keluargamu, Ciamtai-ciangkun
rela ikut kami menyingkir jauh ke negeri orang, sedang kalian rela
tinggal turun temurun di tempat terpencil seperti ini."Pahala dan Murka - 18 19
"Apa jeleknya tempat ini? Setiap hari menghadapi pemandangan
indah permai, masa tidak senang?" ujar si nona alias Ciamtai Keng-
beng.
Tan-hong tersenyum.
Mendadak Keng-beng berseru, "Hah, kembali kulupa sesuatu."
"Lupa apa?" tanya Tan-hong.
"Lupa sudah sehari-semalam engkau terkurung di sini," kata si
nona. "Lihatlah, kubawakan barang-barang ini."
Waktu mereka keluar gua, tertampak ada sebuah keranjang
berisi macam-macam makanan kecil, ada kacang, ada dendeng.
Waktu disodorkan, tanpa sungkan Tan-hong lantas makan dengan
lahapnya.
Selagi Tan-hong makan, Ciamtai Keng-beng berjalan kian
kemari di dalam gua, ia pegang ini dan raih itu, beberapa benda
mestika dibuatnya mainan.
"Pantas sejak dulukala banyak orang ingin menjadi raja,
leluhurmu hanya menjadi raja beberapa tahun dan sudah
mengumpulkan barang sebanyak ini," kata nona itu dengan
tertawa.
Ia melemparkan beberapa biji mutiara besar lalu ditangkapnya
kembali, serupa anak kecil main bola, lalu katanya lagi dengan
tertawa, "Barang-barang ini memang menarik, cuma tidak dapat
dibuat tahan lapar, juga tidak bisa menghilangkan haus. Kulihat
barang ini tidak lebih baik daripada makanan yang kubawa ini."
"Betul, maka aku pun lebih suka makan daripada memikirkan
barang-barang itu?" kata Tan-hong dengan tertawa.Pahala dan Murka - 18 20
"Bicaramu enak didengar, padahal kalau engkau tidak
menghendaki benda mestika ini, kenapa engkau menyerempet
bahaya jauh-jauh datang dari Mongol ke danau sini?"
"Kucari harta benda ini untuk disumbangkan kepada orang lain,"
kata Tan-hong.
"Disumbangkan kepada siapa?" tanya Keng-beng.
"Kepada raja Bing."
"Apa katamu? Raja Bing? Bukankah kerajaan Bing adalah musuh
bebuyutan keluarga Thio kalian?"
"Betul, raja Bing adalah musuh keluarga kami."
"Jika begitu mengapa kau sumbangkan harta pusaka ini
kepadanya? Hm, tidak boleh jadi. Meski harta pusaka ini milik
keluarga Thio kalian, tapi sudah turun temurun kami berjaga
bagimu. Sekarang hendak kau serahkan saja kepada orang lain,
untuk ini kau perlu minta persetujuan kami."
"Jika sudah kuterangkan pasti kalian akan setuju," ujar Tan-
hong.
Lalu ia menceritakan maksud tujuan dan cita-citanya.
"Hah, kiranya bukan maksudmu hendak diberikan kepada raja
Bing melainkan diserahkan kepada orang yang hendak melawan
penjajah Mongol, jadi aku salah mengerti," ucap Keng-beng.
Sementara itu Tan-hong sudah selesai bersantap dan Ciamtai
Keng-beng masih mengiringinya bicara seakan akan lupa di luar
masih ada orang menantikan kabarnya.
Dari uraian si nona dapatlah Tan-hong mengetahui berbagai
urusan yang menyangkut keluarga Ciamtai.Pahala dan Murka - 18 21
Kiranya pada waktu gerakan Thio Suseng mengalami
keruntuhan, dia telah menyerahkan putranya kepada Ciamtai Kui-
cin, yaitu kakek Ciamtai Biat-beng, supaya dibawa kabur ke Mongol,
lalu peta rahasia Koai-hoat-lim diserahkan kepada seorang
pengawal pribadi she Ciok, yaitu leluhur Hong-thian-lui Ciok Eng,
diam-diam adik Ciamtai Kui-cin, yaitu ayah Ciamtai Keng-beng
diminta menjaga di Tong ting-jan untuk mengawasi harta pusaka
yang terpendam di situ, untuk itu ditinggalkan juga sebuah anak
kunci yang khusus untuk membuka pintu gua dari dalam.
Semua itu telah diperhitungkan dengan rapi, selama ini pun
tidak pernah terjadi sesuatu yang tak diinginkan.
Kalau bicara tentang tingkatan, Ciamtai Biat-beng dan Ciamtai
Keng-beng adalah saudara sepupu, namun keduanya hidup
terpisah, yang satu jauh di daerah gurun dan yang lain di Kanglam,
sudah sekian turunan tidak saling berhubungan. Baru bulan yang
lalu ketika Ciamtai Biat-beng mengawal pangeran Mongol ke
Tionggoan, kesempatan itu digunakannya untuk menjenguk sanak
famili di daerah Tong-ting-oh dan baru diketahui oleh mereka
bahwa Thio Susing meninggalkan keturunan di Mongol.
Melihat tutur kata si nona yang lugas dan sikapnya yang bebas,
hati Tan-hong rada tergiur, katanya. "Jika adik cilikku melihatmu
pasti akan suka padamu."
"Apa? Adik cilikmu? Kenapa dia suka padaku?" Keng-beng
menegas.
"Adik cilikku sejak kecil sudah kehilangan sanak keluarga dan
hidup sebatangkara, jarang ada teman memainnya, usiamu sebaya
dengan dia, bukankah kalian dapat menjadi kawan yang karib?"
"Ken . . . kenapa kau suruh aku sembarangan memain dengan
bocah yang tidak kukenal?" omel Keng-beng dengan gusar.Pahala dan Murka - 18 22
"Oya, harus kujelaskan, dia bukan bocah lelaki tapi seorang nona
cilik," tutur Tan-hong. "Waktu kukenal dia, karena dia menyamar
sebagai anak lelaki dan kupanggil dia adik cilik, kebiasaan ini sukar
berubah."
Melihat ketika menyebut "adik cilik", sikap Tan-hong kelihatan
sangat mesra, tiba-tiba timbul rasa kecut dalam hati Keng-beng
yang selama ini belum pernah dirasakannya. Cuma rasa kecut ini
hanya timbul sekilas saja dari segera lenyap, pada air mukanya juga
tidak terunjuk sesuatu perasaan.
Namun Thio Tan-hong seakan-akan dapat merasakan sesuatu,
rasanya ia rada menyesak terhadap nona jelita ini.
Setelah keduanya terdiam sejenak, tiba-tiba Tan-hong ingat
sesuatu dan berkata, "Eh, kenapa ayahmu tidak turun kemari?"
"Tadi ayah melihat ada musuh naik ke atas gunung, maka beliau
sibuk mengatur Pat-kwa-tin untuk menghadapi musuh," tutur
Keng-beng.
Tan-hong terkejut, "Wah, jika kedatangan musuh, tentu bukan
sembarangan musuh, mari lekas kita keluar."
"Betapa tangguhnya musuh rasanya juga tidak mampu
menerobos rintangan garpu ayah," kala Keng-beng "Umpama
mampu melawati rintangan ayah pasti juga tidak sangggup
menerjang Pat-kwa-tin."
Nyata nona itu sangat yakin akan kemampuan sang ayah dengan
barisannya yang lihai itu.
Tan-hong pikir anak dara ini tidak tahu di atas langit masih ada
langit dan di atas orang pandai masih ada yang lebih pandai,
bilamana musuh yang datang ini bukan tokoh sebangsa Ang-hoat-
yau-liong tentu juga jago kelas tinggi dari istana.Pahala dan Murka - 18 23
Karena itulah ia mengajak pula. "Betapapun marilah kita
melihatnya ke sana."
"Baik, marilah kita naik keatas," kata Keng-beng.
Mereka menutup pintu pualam, lalu menerobos lorong itu, di
mulut gua sudah disiapkan tali panjang, keduanya lantas manjat ke
atas. Di atas cahaya matahari terang benderang, tampaknya waktu
lohor.
Ketika mereka memandang jauh ke depan sana, pintu
perkampungan tampak tertutup rapat, bayangan orang
berseliweran di pinggang gunung, terkadang ada suara gemerincing
beradunya senjata.
Cepat Tan-hong berlari ke sana untuk membantu.
"Buat apa terburu-buru," ujar Keng-beng.
"Ibuku dan adik perempuanku sudah datang semua, masa perlu
takut kedatangan musuh tangguh?"
Padahal semalam ketika tinggal di Tong-ting-san-ceng tidak
terlihat oleh Tan hong ada nyonya ramah dan orang lain, maka ia
menanggapi dengan heran, "He, jadi ada juga ibumu di sini?"
"Tentu saja aku punya ibu, cuma dia tinggal di tempat lain,
sepuluh hari atau setengah bulan pulang sekali," tutur Keng-beng.
"Tadi kulihat ibu sudah dekat rumah, maka tanpa kuatir kuturun ke
dalam untuk menolongmu" Diam-diam Tan-hong merasa heran
kenapa suami-istri itu tidak tinggal bersama di tempat indah permai
mi, tapi hidup berpisah, entah apa sebabnya?
Tapi karena ingin cepat membantu orang, ia tidak sempat
bertanya lagi.
Ketika sampai di depan Pat-kwa-tin, mereka jadi terkejut.Pahala dan Murka - 18 24
Ternyata musuh yang terkurung di dalam barisan ajaib itu rata-
rata kelihatan sangat tangguh, terlebih seorang tua dan seorang
Tojin.
Senjata kakek itu sangat aneh, pangkal tongkat serupa kepala
naga, tapi ada benda lain pada tongkatnya, yaitu bagian ujung
berbentuk seperti telapak tangan dengan lima buah kaitan tajam
serupa jari.
Bentuk lain adalah batang tongkatnya penuh berduri tajam, bila
tongkat diputar menjadi serupa lengan orang hutan yang ganas.
Adapun senjata tojin itu adalah sebatang pedang panjang, meski
tidak luar biasa, tapi waktu diputar menimbulkan cahaya yang
menakutkan.
Selain itu terdapat lagi seorang perwira muda, tenaga
pukulannya dahsyat sehingga batu padas yang agak kecil di tengah
barisan itu sama tergetar mencelat.
Waktu Ciamtai Keng-beng memperhatikan lebih lanjut, terlihat
ayahnya bertahan mati-matian di sudut "maut" pada barisan Pat-
kwa itu, di bawah gempuran musuh yang kuat itu barisan ajaib itu
sukar dikembangkan.
Sambil membentak segera Ciamtai Keng-beng melolos pedang
dan hendak menerjang ke dalam barisan. Ketika dilihatnya Tan-
hong berdiri tertegun tanpa bergerak, nona itu mengomel, "Hm,
bagaimana kau ini? Tadi terburu-buru, sekarang malah diam saja
tidak memberi bantuan kepada ayahku. Apa yang kau tunggu?"
Ia tidak tahu bahwa diam-diam Tan-hong lagi mengeluh.
Kiranya orang tua itu dan si tojin bukan lain ialah Thi-pi-kim-
goan Liong Tin-hong dan Sam-hoa-kiam Hian-leng-cu. Mendingan
kedua orang ini, si perwira muda itu tak-lain-tak-bukan adalahPahala dan Murka - 18 25
kakak In Lui, yaitu In Tiong yang baru saja lulus sebagai Bu-cong-
goan.
Melihat pertarungan sengit kedua pihak itu, mungkin sekali
segera akan jatuh korban.
Tan-hong pikir meski sudah kubanlu In Tiong menjadi Bu cong-
goan, namun rasa permusuhannya padaku belum lagi hapus, biar
pun kujelaskan duduknya perkara juga dia tidak percaya, lantas apa
dayaku? Kalau kumaju menempurnya tentu akan memperdalam
salah paham kedua pihak.
Pada saat itulah mendadak dilihatnya Hian-leng-cu melancarkan
serangan maut, pedangnya menyambar seorang nenek yang berjaga
di sudut tengah, nenek itu memakai senjata tongkat cepat ia
menangkis dan belas menyerang.
Serentak In Tiong juga menghantam dua-tiga kali untuk
membantu Hian-leng-cu sehingga si nenek juga terdesak mundur


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari posnya, Tentu saja Tan-hong kuatir.
Dilihatnya seorang gadis lagi yang berjaga di sudut sebelah si
nenek juga lagi terdesak musuh hingga kalang kabut.
"Apakah meresa itu ibu dan adikmu?" tanya Tan-hong.
"Memangnya apa yang kau tunggu lagi?" sahut Keng-beng
dengan gusar. Sambil bicara ia terus berlari maju.
"Kiranya sudah kenal semua," ucap Tan-hong dengan tertawa,
sekali bergerak ia sudah mendahului di depan Ciamtai Keng-beng
dan menerjang ke dalam barisan.
Begitu menerjang masuk barisan, segera Tan-hong berseru.
"Jaga sudutmu serapatnya Adik Giok-beng, geser ke samping,
kudatang membantu!" Sekali lompat ia melayang lewat di atas
kepala Liong Tin-hong dan masuk ke sudut "hidup" sehingga berdiriPahala dan Murka - 18 26
berjajar dengan Ciamtai Tiong-goan, barisan Pat-kwa-tin yang
semula rada kacau dapatlah dipertahankan lagi dengan kuat.
Mengenai In Tiong, sejak lama dia tidak mendapatkan sesuatu di
Koai-hoat-lim dan merasa dicemooh oleh Thio Tan-hong dengan
suratnya itu, dengan mendongkol ia pulang ke gebernuran. Esoknya
ketujuh jago dari kotaraja sudah datang semua.
Berita tentang Thio Tan-hong sudah menuju ke Tong-ting-oh
telah mereka terima, setentak ketujuh jago utama bersama In Tiong
cepat menyusul ke sana. Pada hari kedua setelah Tan-hong kejeblos
ke dalam gua itulah mereka pun sampai di atas gunung.
Selagi mereka menyusuri lereng gunun. untuk mencari, tiba-tiba
terdengar orang menjengek.
Waktu mereka berpaling, terlibat seorang nenek beruban lagi
membentangkan sehelai kain sutera bersulam sepuluh kuntum
bunga besar dan tujuh bunga itu dilingkari pula dengan benang
merah, kelihatan sangat menyolok.
Salah seorang jago Istana itu berkata dengan heran, "Hei,
bukankah dia ini si nenek penjual minuman di gardu kampung
Ciamtai sana? Di mana anak perempuannya? Tempo hari kulihat
dia sedang menyulam bunga merah ini."
Seorang kawannya menanggapi, "Betul, fakta lalu di gardu
minum itu memang kulihat dia sedang menyulam bunga merah ini.
malahan dia bilang bunga ini adalah bunga yang kesepuluh."
Terkesiap hati In Tiong, teringat olehnya waktu meninggalkan
gardu minum itu tempo hari, bunga merah yang disulam si gadis
cilik itu baru bunga yang kedelapan, cepat ia tanya, "Waktu itu
apakah kalian sama tanya kedatangan Thio Tan-hong kepada
mereka?"Pahala dan Murka - 18 27
Kedua jago pengawal itu mengiakan, "Ya, memangnya ada
hubungan apa dengan bunga merah yang disulamnya ini?"
"Nenek ini pasti begundal bocah she Thio itu," kata In Tiong
sambil memburu ke sana.
Sambil berlari nenek itu mengayun kain siluman itu, jengeknya,
"Hm, sayang kau pun datang kemari. Agaknya ketiga kuntum bunga
ini akan dipetik juga oleh anak Giok."
Thi-pi-kim-goan Liong Tin-hong menjadi guiar, bentaknya, "Hai,
perempuan tua, apa maksudmu main gila dengan kami?"
Segera ia membawa kawannya mengejar ke depan. Namun gerak
langkah nenek itu sangat cepat dan aneh, ia membelok ke kanan dan
memutar ke kiri, hanya sebentar saja dia sudah memancing In
Tiong dan ketujuh jago pengawal istana itu ke tengah Pat-kwa-tin.
Melihat barisan batu padas itu sungsang timbul dan tertumpuk
dengan teratur, malahan terasa seram. Meski dia tidak kenal Pat-
kwa-tin, sedikitnya ia pernah membaca kitab militer, maka ia
menjadi ragu dan berhenti mengejar.
Pada saat itulah dari balik onggokan batu sana muncul seorang
gadis jelita, tegurnya dengan tertawa, "Hah, kalian sudah datang
semua? Mereka sudah tidak sabar menunggu lagi kedatangan
kawannya."
Ia bicara sambil menuding ke sana. Maka terlihatlah di atas
gundukan batu di sebelah kiri sana berjajar tertaruh tujuh buah
kepala manusia. Entah direndam dengan obat apa, wajah kepala
manusia itu masih kelihatan segar, In Tiong kenal satu di antaranya,
yaitu si busu yang juga pernah lewat di gardu minum itu.
Segera Liong Tin-hong dan Hian-leng cu juga mengenali dua di
antaranya adalah jago pengawal istana Ong Cin. Seorang jago
pengawal yang lain juga mengenali salah satu kepala itu adalahPahala dan Murka - 18 28
wakil pangcu Hai-liong-pang. Tentu kepala mereka terpenggal oleh
si nenek dan putrinya ketika mereka berusaha mencari berita
tentang Thio Tan-hong.
Ketujuh jago utama istana itu terpancing marah, tanpa pikir lagi
mereka menerjang ke dalam Pat-kwa-tin, mau-tak-mau terpaksa In
Tiong ikut menyerbu ke dalam basisan bersama orang banyak.
Serentak terdengar suara teriakan aneh di sana-sini, tiba-tiba
seorang kakek berjenggot cabang tiga dengan senjata garpu muncul
di depan, menyusul muncul lagi beberapa petani, yang dibawa
mereka bukan cangkul melainkan sebangsa golok dan sebagainya.
Mereka muncul dan segera menghilang lagi dengan cepat sehingga
sukar diraba jejaknya.
Dengan gusar Liong Tin-hong membentak "Tangkap dulu tua
bangka itu!"
Tong-ting-cengcu terbahak-bahak, langsung garpunya
menjojoh. Cepat Liong Tin hong menangkis dengan tongkatnya,
menyusul ia balas menyerampang.
Segera si kakek menghilang ke balik batu, berbareng itu dari
belakang ada angin tajam menyambar tiba, kiranya gadis tadi
sedang menabas dengan sepasang golok.
Cepat In Tiong menghantamnya dengan dahsyat.
"Lihai amat!" teriak gadis itu sambil menarik diri dan tahu-tahu
sudah menghilang d balik batu.
Baru saja Hian-leng-cu mengejar kesana tiba-tiba si nenek
muncul lagi entah dari mana, jarinya yang serupa cakar terus
mencengkeram muka Hian-leng-cu, yang digunakan ternyata Tai-
lik-eng-jiau-kang atau ilmu cakar elang bertenaga raksasa.Pahala dan Murka - 18 29
Keruan Hian-leng-cu terkesiap, cepat ia putar pedangnya
sehingga terpaksa si nenek menarik kembali tangannya, segera ia
menyelinap masuk sudut lain Barisan Pat-kwa berputar, dalam
sekejap saja In Tiong berdelapan terkurung rapat di tengah, barisan.
Meski kedelapan orang itu memiliki berbagai kungfu sakti,
namun mereka tidak kenal barisan itu, musuh muncul dan
menghilang lagi seperti setan, mereka jadi terpecah sehingga sukar
untuk saling membantu, sebaliknya selalu terserang.
In Tiong lebih cerdik, melihat gelagat tidak enak, cepat ia
berseru, "Tampaknya mereka berdelapan, kita juga delapan orang,
kita masing-masing cecar seorang saja dan jangan sembarangan
mengejar!"
Semua orang menurut, dengan demikian pertahanan mereka
jadi lebih mantap.
Meski Pat-kwa-tin itu sangat ajaib, namun Tong-ting-cengcu.
sendiri juga cuma menguasai beberapa bagian saja dan tidak dapat
mengerahkan segenap kelihaian barisan. Ketambahan lagi hanya
dia bersama istri dan putrinya saja yang sanggup menghadapi
lawan yang kuat, selebihnya kepandaian sedang saja dan sukar
melawan jago pengawal istana yang lihai itu.
Untunglah berkat keanehan barisan sehingga musuh yang lebih
kuat dapat dikurung di dalam barisan. Namun kedua pihak tetap
ukar mengatasi pihak lain.
Selagi pertempuran sengit berlangsung, lambat-laun In Tiong
dapat melihat titik lemah barisan itu. Selagi dia bersama Liong Tin-
hong mendesak si nenek, mendadak Thio Tan-hong memburu tiba.
Keruan ia terkejut dan gusar pula, teriaknya, "Awas!"
Mereka pernah dikalahkan anak muda itu dan In Lui, kini
bertemu lagi di sini, tentu saja mereka ingin membalas dendamPahala dan Murka - 18 30
Serentak mereka menerjang. Namun sedapatnya Tan-hong
menghindari berhadapan dengan merekat, justru melompat kian
kemari dan mencecar lima orang lainnya sehingga mereka dipaksa
terpencar.
"Bagus!" seru Ciamtai Keng-beng.
Melihat cara bertempur Tan-hong, menerjang musuh secara
berpindah-pindah, sebentar serang sini lain saat hantam sana,
namun sudut maut selalu dijaga dengan rapat, tampaknya cukup
memahami di mana letak inti kekuatan barisannya, tentu saja
Ciamtai Tiong-goan sangat girang, serunya, "Locukong mempunyai
keturunan baik, besar harapan membangun kembali Ciu raya!"
Meski Thio Susing sudah wafat beberapa puluh tahun, namun
keluarga Ciamtai tetap menyebutnya sebagai Locukong atau
majikan tua.
Kepandaian mengatur Pat-kwa-tin ini diajarkan Peng Eng-giok
kepada Thio Susing, agar Ciamtai Kui-cin dapat membela harta
pusakanya, Thio Susing mengajarkannya kepada panglima
kepercayaannya itu, sekarang Ciamtai Tiong-goan melihat Thio
Tan-hong paham inti barisan ini, tidak perlu ditanya lagi tentu anak
muda ini adalah majikan mudanya.
Begitulah, setelan Tan-hong dan Keng-beng ikut masuk dalam
pertempuran, keadaan segera berubah.
Jika tadi kedelapan jago istana itu berada di atas angin, sekarang
mereka berbalik terdesak. Ciamtai Keng-beng terus berputar kian
kemari, selalu ia incar lawan yang dipusingkan oleh serangan Tan-
hong yang sukar diraba itu.
Gadis yang berjaga di sudut tengah itu memang benar adik Keng-
beng, namanya Ciamtai Giok-beng, Tadi ia hampir saja roboh oleh
pukulan In Tiong yang dahsyat, sekarang setelah posisinya berubahPahala dan Murka - 18 31
kuat dan lawan cuma bertahan belaka, segera ia melompat keluar
dari posnya dan berseru sambil menuding In Tiong, "Cici, marilah
kita hajar keparat ini, tadi dia menyerangkul"
"Baik, kau serang dari kiri," sahut Keng-beng sambil mendahului
menusuk In Tiong dari kanan, dengan jurus Pek-hong-koan-jit atau
pelangi menembus cahaya matahari, segera ia menusuk hulu hati In
Tiong.
Dengan suatu pukulan jauh In Tiong mengguncang pedang
lawan ke samping, berbareng goloknya bergerak dan bermaksud
balas menyerang, tahu-tahu sinar perak berkelebat, Ciamtai Giok-
beng telah menusuk juga dari kiri, dari tempat yang jitu dan sukar
dicapai oleh tenaga pukulannya.
Terpaksa In Tiong melompat untuk mengelak.
Ciamtai Keng-beng tidak tinggal diam, ia pun memburu maju,
pedang menusuk lagi muka orang, serangan cepat lagi berbahaya,
In Tiong terdesak di tangah dua gundukan batu, karena tempat
terlalu sempit, sekalipun dapat menghindari mukanya dari tusukan,
mungkin pundak akan dttambus pedang juga.
Dengan kekuatan In Tiong sepantasnya dia takkan kalah
dikerubut kedua taci beradik itu sekalipun sukar juga untuk
menarik. Namun kedua anak gadis itu mendapat bantuan barisan
batu yang aneh itu, In Tiong didesak dulu ke sudut yang tidak
menguntungkan, habis itu baru menyerang serentak, tentu saja In
Tiong terdesak dan terancam bahaya.
Mendadak Keng-beng menusuk lagi, tampaknya In Tiong bisa
celaka, syukurlah segera terdengar suara "tring" sekali, tahu-tahu
Tan-hong melompat keluar dari samping dan menangkis pedang
Keng-beng itu.Pahala dan Murka - 18 32
Tindakan Tan-hong sungguh di luar dugaan Keng-beng,
bentaknya, "Hei, apa maksudmu?"
"Hendaknya mengingat padaku, jangan tusuk dia," kata Tan-
hong.
Ciamtai Keng-beng merasa bingung, dilihatnya Tan-hong lagi
memandangnya dengan tertawa. Tergerak hatinya, dirasakan sinar
mata anak muda itu seperti membawa semacam kekuatan gaib,
tanpa terasa ia menarik kembali pedangnya, Tong-ting-cengcu,
Ciamtai Tiong-goan juga heran, serunya, "Siapakah perwira ini?"
"Menurut dia, katanya aku musuhnya," kata Tan-hong.
Dengan gusar In Tiong menanggapi. "Siapa minta kemurahan
hatimu, permusuhan antara keluarga kita jangan harap akan kau
hapus selamanya."
Habis bicara, kontan ia menghantam lagi dengan lebih dahsyat.
Ciamtai Tiong-goan tambah sangsi, melihat gelagatnya, rasa
permusuhan In Tiong memang sangat mendalam terhadap Tan-
hong, entah mengapa Tan hong berbalik membelanya.
Pada saat itulah Tan-hong juga membuat gaya pukulan serupa
lawan dan didorong pelahan.
In Tiong terkesiap, ia heran bilakah orang juga belajar Tai-lik-
kim-kong-ciang yang lihai?
"Blang", kedua tangan beradu, kedua orang sama tergentar
mundur.
"In-heng, kukira angkat kaki paling selamat." kata Tan-hong.
"Siapa mengaku bersaudara danganmu?" teriak In Tiong dengan
gusar karena sebutan Tan-hong itu.
Sembari bicara, "wutt", kembali ia menghantam.Pahala dan Murka - 18 33
"Ingin kutanya, untuk apa kau datang kemari?"
"Serahkan harta karun di sini dan segera kami pergi," teriak Thi-
pi-kim-goan Liong Tin-liong.
Ucapannya ini sebenarnya garang di luar tapi di dalam hati
gentar, sebab ia tahu urusan hari ini takkan menguntungkan, asal
saja Tan-hong inau membiarkan mereka pergi sudah untung
baginya. Tentang harta karun yang diminta sekedar disinggungnya
saja sebagai alasan.
Siapa tahu Tan-hong lantas terbahak, katanya, "Hahaha, kiranya
kedatangan kalian ini adalah untuk mencari harta karun leluhurku.
Padahal barang ini memang ingin kuserahkan kepada raja Bing, jika
kalian mau membawanya ke sana, kan kebetulan bagiku,"
Ucapan ini sungguh membuat kejut Ciamtai Tiong-goan dan
lain-lain kecuali Ciamtai Keng-beng yang sudah tahu maksud tujuan
Thio Tan-hong, "Siaucujin, apa arti ucapanmu ini?" seru Ciamtai
Tiong-goan.
Namun In Tiong lantas menanggapi, "Seorang lelaki sejati
biarpun mati juga pantang dihina. Thio Tan-hong, memangnya
sengaja hendak kau permainkan diriku?" Nyata ia anggap ucapan
Tan-hong yang serius itu sebagai kelakar balaka.
"Cara bagaimana baru kau mau percaya?" tanya Tan-hong.
In Tiong tidak bicara lagi, sekaligus ia menghantam pula tiga kali.
Sungguh Tan-hong sangat mendongkol, tapi tak berdaya.
Tiba-tiba terdengar suara suitan di sana sini, mendadak dari
balik semak belukar lereng gunung muncul serombongan orang,
perawakan orang-orang itu tidak sama, bentuknya juga aneh,
serentak menyerbu datang dari berbagai penjuru.Pahala dan Murka - 18 34
Waktu Tan-hong mengawasi, dua orang yang menjadi
pimpinannya, yang seorang berambut merah dan terikat tinggi di
atas kepala, jelas orang inilah Ang-hoat-yau-liong Kwe Hong yang
kemarin baru saja bertaruh besar besaran dengan dirinya di Koai-
lok-lim itu. Mendingan cuma Kwe Hong saja, seorang lagi kelihatan
berhidung besar dan bermata siwer, tinggi badan lebih tujuh kaki,
bersenjata kapak besar, nyata orang ini adalah jago nomor satu
bernama Calut, anak buah imam negara Watze. Tinggi kungfu Calut
ini di negeri Watze hanya di bawah Ciamtai Biat-beng saja.
Keruan Tan-hong terkejut, pikirnya, "Kwe Hong adalah orang
kepercayaan Ong Cin, kenapa dia berada bersama jago Watze,
jangan-jangan pasukan Watze sudah menyerbu masuk ke
pedalaman?"


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terdengar Thi-pi-kim-goan bersorak gembira, teriaknya, "Aha,
kebetulan sekali kedatangan kalian, bekuk dulu pengkhianat Thio
Tan-hong, dia berada di sini."
Kwe Hong terkekeh dan memberi tanda, serentak anak buahnya
mengepung rapat serma orang yang hadir di situ, baik pihak lawan
maupun ketujuh jago utama istana.
Keruan kejut Thi-pi-kim gosn tak terkatakan, teriaknya, "Hei,
masa kalian tidak kenal aku lagi? Kami berdelapan kan utusan Sri
Baginda?"
"Tidak, kita bukan utusan Sri Baginda lagi," jengek Kwe Hong.
"Ayo, serahkan semuanya, baik peta maupun harta karun."
Dengan gusar In Tiong mendamperat. "Kalian berani
memberontak? Peta dan harta pusaka ini diminta oleh Sri Baginda"
"Hehe, boleh kau cari Sri Baginda di negeri Watze saja," jawab
Kwe Hong. "Peta dan harta karun ini justru diminta oleh Ong-kong-
kong."Pahala dan Murka - 18 35
"Apa katamu?" In Tiong melengak. "Bagaimana dengan
Hongsiang?"
"Tidak ada apa-apa, hanya pasukan Watze sudah masuk Gan-
bun-koan dan Hongsiang pujaanmu sudah menjadi tawanan
kerajaan Watze," tutur Kwe Hong dengan tertawa.
"Nah, In-heng, sekarang tentu kau tahu duduknya perkara
bukan?" seru Tan-hong, "Sepantasnya sekarang kita bekerja sama
menghadapi serbuan dari luar, itulah soal utama." Habis bicara ia
lantas melompat maju, kontan ia menusuk Kwe Hong.
In Tiong juga meraung murka, golok membacok dan tangan
memukul, langsung ia serang jago Mongol itu.
Waktu Calut menangkis, tangan In Tiong tergetar sakit, golok
hampir terlepas, namun kapak Calut sendiri pun terguncang ke
samping, serunya, "Bagus, kau bocah ini boleh juga!"
Sepenuh tenaga kedua kapaknya segera membacok lagi.
Sementara itu pedang Tan-hong juga menyerang dengan gencar,
Kwe Hong sudah kenal kelihaian anak muda itu, ia tidak berani
keras lawan keras, cepat ia menggeser ke samping dan balas
menyerang.
Pada suatu kesempatan, Tan-hong mendesak mundur Kwe
Hong, menyusul pedangnya nenyampuk ke samping dan tepat
mendorong kapak Calut yang sedang membacok sehingga In Tiong
terhindar dari tekanan yang berat.
Mata Calut mendelik, teriaknya "Aha, kiranya kau, Thio-
kongcu!"
"Engkau tidak berdiam di Watze, untuk apa ke sini? Lekas enyah
pulang!" bentak Tan-hong.Pahala dan Murka - 18 36
"Hah, keluarga kalian utang budi kepada Sri Baginda kami,
sekarang kaupun berani berkhianat?" damperat Calu. "Memang
sudah kulihat hatimu bercabang, ternyata benar kau lari pulang ke
sini untuk memusuhi kami. Hm, rasakan kapak ini!"
"Sret-sret", Tan-hong menyerang lagi dua kali dan keduanya
lantas terlibat dalam pertarungan sengit.
Keadaan sekarang menjadi kacau, pertempuran berlangsung
serabutan. Orang yang dibawa Kwe Hong berjumlah 30-40 orang,
sebagian adalah antek Ong Cin, sebagian lagi adalah jago kangouw
kalangan hitam. Pangcu Hai-liong-pang yang tempo hari ingin
merebut Koai-lok-lim juga ikut datang. Pihak Kwe Hong menang
dalam jumlah orang lebih banyak, sedangkan pihak Thio Tan-hong
unggul oleh beberapa tokoh kelas tinggi. Thi-pi-kim-goan, Sam-
hoa-kiam, In Tiong, Tong-ting-cengcu dan istrinya, semuanya
berkepandaian tinggi, namun mereka harus menghadapi kerubutan
orang banyak sehingga rada kerepotan juga.
"Semua mundur ke dalam Pat-kwa-tin," seru Tan-hong.
"Haha, hanya barisan batu begitu bisa mengapakan aku?" ejek
Calut dengan bergolak tertawa.
Ia putar kedua kapaknya, segunduk batu padas dibacoknya
hingga runtuh.
Dua jago istana coba mengadangnya, tapi lantaran mereka
sendiri tidak kenal keajaiban barisan batu, mereka berbalik
memasuki sudut "kematian".
"Lekas mundur!" cepat Tan hong memperingatkan.
Namun agak terlambat, mendadak kapak Calut membacok,
sedang kedua jago istana terjepit di tengah onggokan batu dan sukar
unuk menghindar, mereka terbelah menjadi dua dari atas kepala
hingga ke pinggang.Pahala dan Murka - 18 37
Calut terbahak-bahak senang, mendadak terasa angin tajam
menyambar dari belakang, cepat kapak menangkis ke belakang, tapi
mengenai tempat kosong, "bret", tahu-tahu lengan baju tertembus
pedang Tan-hong.
Segera Calut hendak menyerang lagi, tapi mendadak bayangan
Tan-hong sudah menghilang. Baru saja ia hendak memburu maju,
tiba-tiba bayangan putih berkelebat, tahu-tahu Tan-hong muncul
lagi dari balik batu sebelah lain dengan tertawa, "sret", lengan
kanan Calut tertusuk dan darah bercucuran.
Keruan Calut berjingkrak murka, kedua kapak membacok dan
menabas serabutan sehingga terdengar suara gemuruh dan batu
berlebaran.
Namun sekali menyelinap, mendadak bahu Calut kena ditusuk
pedang Tan-hong lagi.
Ketika Calut hendak balas menyerang, di tengah batu pasir yang
berhamburan Tan-hong sudah menghilang lagi.
Keuletan Calut sebenarnya masih diatas Tan-hong, tapi lantaran
anak muda itu paham keajaiban barisan batu itu, maju dan mundur
cukup leluasa. Kedua ginkangnya juga lebih tinggi, hal ini sangat
menguntungkan dia. Ketiga, setelah mempelajari inti lwekang dari
Ali Topan Anak Jalanan 1 Pendekar Naga Putih 15 Pendekar Murtad Senja Di Pulau Cinta 1
^