Pencarian

Pahala Dan Murka 12

Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen Bagian 12


kitab yang dibacanya di dalam gua tadi, Tan hong telah memahami
di mana letak kelemahan dan keunggulan musuh, maka dalam
sekejap itu ia berhasil menusuk Calut tiga kali.
Setelah membacok secara ngawur sekian lama, mata kapak pun
sama tumpal, hati Calut jadi terkesiap juga, disadarinya bilamana
main keras begitu hanya akan mendatangkan kerugian baginya.
Apalagi lawannya pergi datang sukar diraba, mau-tak-mau timbul
juga rasa gentarnya.Pahala dan Murka - 18 38
Segera ia mencari tempat yang agak longgar, ia putar kapaknya
dengan kencang untuk bertahan.
Tan-hong tertawa dan tidak menghiraukannya lagi, ia terus
menyelinap kian kemari di tengah barisan batu, sebentar serang
sini, lain saat sergap sana, dalam sekejap beberapa musuh
dilukainya lagi.
Cuma jumlah musuh terlampau banyak dan sukar dikalahkan
seluruhnya. Di tengah pertarungan sengit dua jago istana di pihak
sendiri terbinasa pula oleh kerubutan musuh.
Dengan tenaga pukulannya yang dahsyat In Tiong juga berhasil
membunuh beberapa orang musuh. Tiba-tiba dilihatnya Ang-hoat-
yau-liong Kwe Hong lagi terdesak oleh Tong-ting-cengcu, jaraknya
cuma beberapa langkah di sebelahnya.
In Tiong sangat benci kepada Kwe Hong, segera ia desak mundur
musuh dan mendadak melompat ke sana, langsung ia menghantam
kepala Kwe Hong dengan tenaga raksasa.
Mendadak terdengar Tan-hong bereru, "Awas, tangan keparat
rambut merah itu beracun!"
Kaget juga In Tiong, tapi tidak dapat lagi menahan pukulannya,
dilihatnya Kwe Hohg mengangkat tangan dan telapak tangan
kelihatan merah darah, "blang", kedua tangan beradu. Kwe Hong
menjerit, sendi pergelangan tangan tergetar patah oleh oleh tenaga
pukulan In Tiong yang dahsyat sehingga tangan terjulur sukar
diangkat lagi.
In Tiong juga merasa telapak tangan kesemutan dan cepat
melompat mundur.
"Lekas mengerahkan tenaga, In-heng, jaga supaya racun tidak
menjalar," seru Tan-hong pula In Tiong memandang Tan-hong
sekejap, lalu duduk di tanah.Pahala dan Murka - 18 39
"Jaga dia, Keng-beng," kata Tan-hong lagi.
Ciamtai Keng-beng juga memandang Tan-hong sekejap, tanpa
bicara ia jaga di samping In Tiong dengan pedang terhunus.
Ciamtai Keng-beng cukup paham barisan ajaib, pula Tan-hong
dan lain-lain menahan serbuan musuh di garis luar, pertahanan
menjadi cukup ketat.
Setelah sendi pergelangan tangan tergetar hancur oleh pukulan
In Tiong. Kwe Hong merasa kesakitan sekali, mendadak ia
merampas golok salah seorang kawannya, "cret" tanpa pikir ia tabas
tangan sendiri sebatas pergelangan tangan, lalu dibubuhi obat luka
dan dibalut dengan kain baju, lalu berteriak dengan beringas, "Aku
takkan mati, pergencar serangan kalian!"
Melihat keganasan Kwe Hong, baik kawan maupun lawan sama
terkesiap.
Setelah berkurang seorang jago kelas tinggi seperti Kwe Hong,
meski kekuatan pihak sana rada berkurang, namun tidak
mengurangi gempuran mereka.
Sebaliknya di pihak Tan-hong sini juga berkurang In Tiong,
malahan harus menyuruh Ciamtai Keng-beng untuk menjaga
keselamatannya. Karena kalah jumlah orang, pertahanan menjadi
longgor.
Kwe Hong duduk di atas tanah dan memimpin pertempuran
dengan sebelah tangan, ia terus memberi komando agar menyerang
terlebih gencar.
Melihat gelagatnya bila berlangsung lebih lama lagi pihaknya
tentu akan kecudang, seketika sukar bagi Tan-hong mencari akal
lain untuk menghadapi musuh, diam-diam ia mengeluh.Pahala dan Murka - 18 40
Setelah bertahan lagi sebentar, meski berturut beberapa musuh
dirobohkan, tapi pihak sendiri juga terluka seorang jago istana dan
dua orang petani, keadaan tambah gawat.
Tengah gelilah tiba-tiba terdengar suara seruling berkumandang
dari lereng sana, ada orang bernyanyi memuji keindahan daerah
Kanglam, yang didendangkan itu adalah syair pada lukisan Tan
hong itu.
Seketika hati Tan-hong tergetar serupa dialiri arus listrik.
Dilihatnya dari balik pepohonan sana muncul seorang gadis dengan
membawa suling dan melangkah kemari dengan perlahan.
Bajunya yang biru laut tampak berkibar tertiup angin,
langkahnya gemulai laksana bidadari.
(Bersambung Jilid ke 19)Pahala dan Murka - 19 0Pahala dan Murka - 19 1
PAHALA DAN MURKA
Oleh : gan k.l.
Jilid ke 19
IAMTAI KENG-BENG terkejut, ia pikir apakah bidadari
dari kayangan turun ke danau sini?
Biasanya dia suka menganggap Kecantikan sendiri jarang
ada bandingannya. Sekarang dilihatnya wajah gadis pendatang ini
serupa anggrek di lembah sunyi, cantik lagi murni, seketika ia
merasa asor.
Terdengar Tan-hong lagi berseru dengan suara rada gemetar
"Adik cilik!"
Seketika hati Ciamtai Keng-beng merasa kecut. Sedangkan mata
In Tiong seakan-akan memancarkan cahaya yang aneh.
Munculnya gadis jelita yang mendadak ini mengakibatkan
pcrtarungan kedua pihak tanpa terasa mereda.
Segera Kwe Hong berteriak, "Gadis ini pasti tidak beres, bagi
orangnya dan rintangi dia."
Namun gadis cantik itu tidak bersuara dan tetap melangkah
pelahan ke depan.
Semangat Tan-hong seketika terbangkit, mendadak ia bersuit
dan melayang keatas seonggok tumpukan batu, lalu melompat lagi
keatas onggokan batu kedua, pedang berputar cepat, sekaligus
beberapa musuh dilukainya. Hanya sekejap saja ia sudah menerjang
keluar barisan batu, dipegangnya tangan nona jelita itu dan berkata
dengan air mata berlinang, "Adik cilik, kaupun datang kemari?!"
Gadis itu melemparkan tangan Tan-hong, "sret", ia lolos pedang
dan berseru, "Di mana kakakku?"Pahala dan Murka - 19 2
Gadis cantik ini memang benar In Lui adanya. Setiba di daerah
selatan, karena merasa tidak perlu menyamar lagi sekarang dia
telah kembali pada dandanan orang perempuan.
"Kakakmu terkurung di tengah barisan batu," jawab Tan-hong.
"Marilah kita halau musuh dulu, nanti kita bicara lagi."
Meski sebelah lengan sudah buntung, namun Kwe Hong masih
memimpin pertempuran ini, ia menarik lima jago pilihan untuk
mencegat Tan hong dan In Lui.
Mereka mengangap In Lui cuma seorang nona lemah, maka tiga
di antara kelima jago itu berebut mendahului menerjang si nona.
Tak tersangka, sekali In Lui lolos pedang dan berputar, seketika
cahaya hijau bertebaran, dalam pada itu dengan cepat sekali Tan-
hong juga bergerak, cahaya perak beterbangan. Sinar hijau dan
cahaya putih bersimpangan dan menimbulkan warna yang
menakjubkan.
Ketika sinar pedang yang berwarna-warni itu lenyap, tahu-tahu
hiat-to kelima lawan ludah tertutuk. bersuara saja tidak sempat
mereka sudah dirobohkan dan terguling ke bawah bukit.
Keruan Kwe Hong terkejut, dilihatnya Tan-hong dan gadis jelita
itu telah menyelinap ke dalam barisan batu, keduanya berlari kian
kemari, pedang berputar dengan cahayanya yang menyilaukan, di
mana-mana seolah-olah bayangan kedua muda mudi itu melulu.
Hanya dalam sekejap saja hampir sebagian besar begundal Kwe
Hong telah dirobohkan, kalau tidak mampus tentu terluka parah.
Calut tidak tahan, segera ia memburu maju dan memapak kedua
muda mudi itu, kedua kapaknya membacok sekuatnya.
Tan hong tertawa panjang, pedang berputar setengah lingkaran
dari kiri ke kanan, sebaliknya pedang In Lui serentak berputar dari
kanan ke kiri, perpaduan kedua pedang sungguh maha sakti,Pahala dan Murka - 19 3
serentak terdengar suara mendering nyaring, kedua kapak Calut
tergetar balik dan hampir terlepas dari tangan.
Padahal biasanya Calut sok bangga atas tenaga sendiri yang
sangat kuat, tak terduga perpaduan pedang Tan-hong dan In Lui
mampu menangkis kapaknya, bahkan terlebih kuat daripada dia.
Diam-diam Tan-hong juga terkejut melihat kapak lawan tidak
terlepas, serunya, "Sambut lagi serangan ini!"
Mendadak pedang menabas dari samping. Cepat Calut
menangkis, kapak lain terus membacok kaki lawan.
Siapa tahu pedang Tan-hong terus berkelebat ke samping,
sedang pedang In Lui lantas menyambar tiba dari arah yang tak
terduga, dengan gugup kapak Calut digunakan menangkis, namun
pedang Tan-hong lantas menutul punggungnya.
Calut menjerit dan melemparkan kapaknya, darah tersembur
dari mulutnya dan jatuh terguling, nyata jiwanya sudah melayang.
Keruan Kwe Hong pecah nyalinya, segera ia bermaksud kabur,
namun Ciamtai Keng-beng sudah mengincarnya, sambil memburu
maju dan membentak, "Lari ke mana?"
Sekali tusuk dengan pedangnya, langsung tubuh Kwe Hong
tertembus dan binasa.
Sungguh dahsyat sekali pertarungan ini, Kwe Hong dan anak
buahnya terbunuh seluruhnya, di pihak Tan-hong jatuh korban
empat jago istana dan terluka seorang. Di antara ketujuh jago istana
hanya Thi-pi-kim-goan dan Sam-hoa-kiam saja yang luput dari
cedera.
Genting keluarga Ciamtai juga jatuh korban beberapa orang, In
Tiong juga terluka oleh pukulan berbisa dan belum jelas bagaimana
keadaannya.Pahala dan Murka - 19 4
Sesudah keadaan aman, Tan-hong membawa In Lui ke depan In
Tiong, tertampak mata In Tiong setengah terpejam, lengan bengkak
besar.
"Kakak!" dengan air mata berlinang In Lui mendekap In Tiong.
"Jangan mengganggu kakakmu, adik cilik," kata Tan-hong.
"Biarlah dia istirahat saja, marilah kita membawanya pulang ke
perkampungan sana."
Pukulan berbisa Ang-hoat-yau-liong Kwe Hong sunguh sangat
lihai, untung lwekang In Tiong cukup sempurna sehingga racun
tidak sampai menyerang jantung dan jiwa dapat di selamatkan.
Dengan maksud baik Tan-hong mencegah In Lui jangan
mengajak bicara dengan In Tiong, namun ia tidak tahan akan
emosinya, ia berseru pula, "O, Koko, bagaimana keadaanmu."
Mendadak In Tiong membuka mata dan bertanya, "Siapa kau?"
"Koko, aku inilah adik perempuanmu," seru In Lui.
In Tiong melirik Tan-hong sekejap, dengusnya, "Engkau adik
perempuanku? Hm, apakah tidak salah mengenali orang?"
"O, Koko," ratap In Lui. "Sungguh tega engkau sudah lama kucari
engkau dengan susah payah."
"Mana aku mempunyai adik perempuan sebaik ini?" ucap In
Tiong.
"Aku benar-benar adik kandungmu," ratap In Lui. "Jika engkau
tidak percaya, coba lihatlah ini . ..."
Segera ia mengeluarkan surat berdarah kulit kambing tinggalan
sang kakek.Pahala dan Murka - 19 5
Antara kedua kakak beradik masing-masing memegang secarik
kulit kambing seperti itu, dengan sendirinya benda ini merupakan
barang bukti otentik yang tidak perlu diragukan lagi.
Sekilas pandang In Tiong melihat air mata meleleh pada muka In
Lui, segera ia menjengek, "Hm, engkau tidak malu memperlihatkan
surat berdarah kakek ini?"
Ia menuding Tan-hong dan hendak bicara pula, namun Tan-
hong mendadak melompat maju dan menutuk lengan In Tiong.
"He, apa yang kaulakukan?" seru In Lui kaget.
"Tidak perlu kaucari muka padaku, Thio Tan-hong," kata In
Tiong. "Biarpun mati juga aku tidak sudi menerima budimu."
Baru sekarang In Lui tahu apa maksud tindakan Thio Tan-hong
itu, rupanya anak muda itu hendak mencegah menjalarnya racun
dalam tubuh In Tiong.
"Adik cilik, lekas kita pulang ke perkampungan sana saja," ucap
Tan-hong sambil menarik lengan baju In Lui.
Nona itu memandang sekejap kakaknya, mendadak ia
mengipatkan tangan Tan-hong, dengan muka pucat ia diam saja.
Tentu saja Tan-hong merasa pedih, terpaksa ia menyurut
mundur dengan kikuk.
Ciamtai-toanio menggeleng kepala. Sedangkan Ciamtai Keng-
beng merasa heran dan bingung, padahal dari nada ucapan Tan
hong ketika di gua batu sana, jelas anak muda itu sangat mesra
terhadap "adik cilik" yang berulang disebutnya, bilamana gadis ini
benar buah hatinya, kenapa bersikap dingin begini ?
Waktu ia berpaling kesana, dilihatnya Tan-hong lagi menggapai
padanya. Dengan sangsi Keng-beng mendekatinya.Pahala dan Murka - 19 6
Terdengar Tan-hong berkata dengan suara perlahan, "Luka
berbisa yang diderita In Tiong itu takkan dapat disembuhkan
olehnya sendiri. Aku mempunyai obat mujarab keluargaku, akan
kuajarkan cara menyembuhkan dia, hendaknya kau gantikan aku
memberi obat ini padanya."
Keng-beng menerima obat dan bertanya, "Siapakah nona itu?"
"O, aku musuhnya," jawab Tan-hong dengan tersenyum kecut.
Keng-beng melenggong, "Apa katamu? Dia musuhmu?"
"Bukan dia musuhku, tapi aku musuhnya, dia memandangku
sebagai musuhnya," tutur Tan-hong.
"jika begitu mengapa tidak kau obati dia agar permusuhan ini
bisa hapus," kata Keng-beng.
Tan-hong tertawa, "Justru aku tidak ingin diketahuinya supaya
aku tidak dianggap sengaja cari muka padanya."
Dalam pada itu Tong-ting-cengcu telah memanggil seorang
centingnya memanggul In Tiong ke perkampungan, In Lui
mengikut di belakang. Waktu ia melirik ke belakang, dilihatnya Tan
hong sedang bicara dengan Ciamtai Keng-beng, tanpa terasa pedih
pula hatinya, Pikirnya, "Baik, engkau tidak menggubris diriku, aku
juga takkan gubris dirimu. Biarlah anggap saja tidak pernah
berkenalan dan habis perkara."
Tiba-tiba dirasakan remuk rendam hatinya, air mata pun tak
terbendung lagi. Tong-ting cengcu heran melihat nona itu
menangis, katanya, "Luka kakakmu tidak berbahaya, jangan
kuatir."
Setiba di Tong-ting san ceng, hari sudah dekat magrib. Tong
ting-cengcu menaruh In Tiong di sebuah kamar dan menyuruhPahala dan Murka - 19 7
pelayan melayaninya dengan baik. Lalu sibuk menyiapkan makan
malam.
Thi-pi-kim-goan dan Sam hoa kiam merasa tidak enak hati.
Namun Tong-ting cengcu memang berjiwa besar, sama sekali ia
tidak menyinggung urusan harta pusaka yang diincar kedua orang
itu. Pada waktu makan Sam-hoa-kiam berdua juga mengucapkan
terima kasih atas pertolongan Thio Tan-hong yang telah
menyelamatkan jiwa mereka.
Karena mendapat pesan dari Tan-hong sehabis makan malam


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keng-beng lantas membawa obat dan mendatangi kamar In Tiong.
Di bawah cahaya lilin di dalam kamar tampak bayangan In Lui,
segera Keng-beng berhenti di luar kamar. Terdengar In Lui lagi
berkata, "Koko, bukan ayahnya yang membikin celaka kakek. Hal
ini sudah diceritakan dengah jelas oleh Ih-taijin, kukira permusuhan
ini tidak perlu lagi dituntut balas."
"Lantas dendam mengangon kuda selama 20 tahun cara
bagaimana menyelesaikannya?" tanya Ih Tiong.
"Tindakan ayahnya itu memang tidak pantas, namun persoalan
ini juga tidak perlu harus menimbulkan dendam kesumat
sedemikian mendalam," ujar In Lui.
"Hm, pandai juga caramu bicara bagi musuh," jengek In Tiong.
"O, Koko," keluh In Lui.
"Bagaimana?" tanya In Tiong. "Keturunan keluarga In tidak
boleh lemah begini."
Dengan mengertak gigi In Lui menahan tangisnya, katanya,
"Suhumu juga bicara demikian, beliau bilang Thio Tan-hong adalah
kaum kita sesama patriot yang mengutamakan lawan musuh dariPahala dan Murka - 19 8
luar. Kalau permusuhan pribadi dapat diakhiri hendaknya
diselesaikan saja."
Kembali In Tiong mendengus. katanya, "Ya, kutahu kau suka
kepada bocah she Thio itu."
Tentu saja In Lui malu, gemas dan mendongkol, jawabnya.
"Siapa bilang aku suka padanya ? Dia ...."
"Sudahlah, apakah kau suka padanya atau tidak bukan soal,
pendek kata, aku tidak mengizinkan kau jadi istrinya."
In Lui tidak tahan lagi, katanya, "Dia sudah punya pilihan sendiri,
bagiku selama hidup ini takkan menikah, tidak perlu kau pikirkan
urusanku."
In Tiong melengak, pikirnya dengan mendongkol, "Ah, rupanya
karena kularang kau jadi istrinya, maka selama hidupmu takkan
menikah."
Ketika ia hendak mengomel lagi, dilihatnya mata In Lui merah
bendul, teringat dirinya cuma mempunyai seorang adik perempuan,
bahkan berpisah belasan tahun dan baru sekarang bertemu, maka
ia tidak tega mengomel lagi.
Pada saat itulah tiba-tiba di luar ada suara orang berdehem
pelahan, pintu kamar lantas terbuka dan masuklah Ciamtai Keng-
beng.
Baru saja In Lui menyinggungnya, tahu-tahu si nona lantas
muncul, ia tersenyum kikuk kepada Keng-beng.
"Coba kuperiksa lukamu," kata Keng-beng kepada In Tiong.
"Ah, tidak apa apa, terima kasih atas perhatianmu," jawab In
Tiong. "Adik Lui, antar nona Ciamtai kembali ke kamarnya."
Mestinya hati Ciamtai Keng-beng merasa mendongkol, sekilas
pandang dilihatnya In Tiong berlagak tidak apa-apa, tanpa terasa iaPahala dan Murka - 19 9
tertawa geli, katanya, "Apa betul tidak apa-apa? Coba kau tarik
napas." Karena banyak bicara dan marah kepada In Lui tadi,
sebenarnya racun dalam tubuh In Tiong telah menjalar lagi, maka
ketika ia tarik napas, dada terasa mual dan ingin tumpah.
"Nah, bila tidak segera diobati, kukira jiwamu takkan bertahan
sampai tengah malam nanti," kata Keng-beng. "Meski seorang lelaki
memandang mati serupa pulang, namun kematian cara begini kari
tidak berharga? Kalau aku, betapapun aku tidak mau berlagak
pahlawan seperti ini."
Air muka In Tiong rada berubah, seketika lengan terasa
kesakitan.
"Bagaimana nona Ciamtai, dapat disembuhkan?" tanya In Lui.
"Soalnya kukuatir kakakmu tidak sudi menerima bantuan
orang," kata Keng-beng. Ucapan ini bernada mengejek, yaitu karena
In Tiong telah menolak maksud baik Thio Tan-hong itu.
Namun In Tiong tidak merasakannya, jawabnya, "Ah, jangan
nona berkata demikian, soalnya aku kan tamu di sini, maka tidak
berani merepotkan nona."
Sedangkan hati In Lui lantas tergerak, ia pikir tentu Thio Tan-
hong telah menceritakan segala sesuatu kepada nona Ciamtai ini.
Kembali hati terasa pedih, tapi demi keselamatan kakaknya,
terpaksa ia menahan perasaan dan berkata, "Bilamana nona sudi
mengobati Koko, sungguh kami akan sangat berterima kasih."
"Terima kasih sih tidak perlu," ucap Keng-beng, mestinya ia
hendak bilang asalkan kalian tidak memaki dan membenci padaku
sudah cukup bagiku. Tapi kata-kata ini mendadak ditelannya
kembali, dalam benaknya terbayang sorot mata Tan-hong yang
tulus itu, ia pikir tidaklah pantas bila kulukai hati gadis yang
dicintainya.Pahala dan Murka - 19 10
Ia melirik In Lui sekejap, diam-diam ia menyesal, "Betapapun
nona In ini memang lebih beruntung daripadaku."
Dalam pada itu Keng-beng lantas mengeluarkan obat yang
terdiri dari dua macam, yang satu obat dalam, yang lain obat luar.
Lalu dikeluarkan lagi sebilah pisau perak dan sebungkus kapas. Ia
minta bantuan In Lui menyingsingkan lengan baju In Tiong, dengan
pisau ia gores silang di lengan In Tiong, lalu dipencetnya agar darah
hitam mengucur, darah berbisa yang berbau busuk dan amis, lalu
dibubuhi obat luar.
Tadinya lengan In Tiong sudah terasa kaku dan mati rasa, lambat
laun dapat dirasakan pijatan jari Ciamtai Keng-beng yang halus itu
dan terasa enak.
In Tiong dibesarkan di daerah utara, di negeri gurun, jarang dia
berdekatan dengan anak perempuan, apalagi gadis secantik molek
ini, seketika jantungnya berdebar dan muka terasa panas, ucapnya
dengan kikuk, "Banyak terima kasih atas pertolongan nona,
sungguh tak terlupakan budi kebaikanmu."
Tanpa menoleh Ciamtai Keng-beng berkata dengan tak acuh,
"Ah, tampaknya engkau seorang lelaki gagah perkasa, kenapa jadi
lemah serupa anak perempuan?"
Biasanya In Tiong suka anggap dirinya seorang lelaki sejati, jika
diumpamakan anak perempuan akan dirasakan sebagai
penghinaan, tapi olok-olok Keng-beng ini ternyata diterimanya
dengan senang dan muka merah saja.
"Terima kasih, Cici, obat sudah dibubuhkan, biarlah kulayani
Koko," kata In Lui kemudian.
Memangnya Ciamtai Keng-beng hendak tinggal pergi setelah
membubuhkan obat, maka ia lantas memberi pesan beberapa halPahala dan Murka - 19 11
yang perlu diperhatikan dalam perawatan selanjutnya, lalu tanpa
banyak omong ia tinggal pergi.
Diam-diam In Lui heran, jika nona rumah ini datang untuk
memberi obat, kenapa sikapnya sedemikian dingin, jangan-jangan
apa yang kubicarakan dengan Koko telah didengar olehnya. Karena
pikiran ini, hatinya menjadi tidak tentram.
Setelah suara langkah orang sudah pergi jauh, dengan terharu
baru In Tiong berkata. "Nona Ciamtai ini sungguh sangat baik."
Hati In Lui tergerak, teringat keakraban dirinya dengan Tan-
hong siang tadi, dipandangnya sekejap sang kakak, hendak bicara
tapi urung.
Melihat bibir In Lui bergerak dan sorot matanya menampilkan
semacam perasaan aneh, serupa kasihan dan juga seperti cemas dan
tidak tentram, tentu saja In Tiong merasa bingung.
Keng-beng tinggal pergi dengan perasaan bimbang, ia
menyusuri serambi dan memutar ke balik gunung-gunungan,
hendak ditemuinya Tan-hong untuk melaporkan tugasnya.
Tempat tinggal Tan-hong itu dibangun di tengah kolam, saat itu
bulan sabit baru menongol di ujung langit, di bawah sinar bulan
yang remsng suasana terasa tenang dan sunyi.
Dari jauh kelihatan Thio Tan-hong dengan bajunya yang putih
bersih lagi berdiri bersandar lankan dan memandangi bunga teratai
di dalam kolam.
Waktu Keng-beng berhenti di belakang gunung-gunungan,
didengarnya Tan-hong sedang bersenandung membawakan syair
pujan ga kuno yang memuja tanah air yang jaya. Habis itu ia
berdeklamasi pula membawakan syair merindukan kekasih,
akhirnya bergumam, "Ai, adik cilik, kurela berbuat apa pun bagimu.Pahala dan Murka - 19 12
biarpun tersiksa batinku karena sikapmu yang ketus itu juga aku
tidak menyesal."
Ciamtai Keng-beng terharu melihat kemurungan Thio Tan-hong
itu. pikirnya, "Kiranya sedemikian mendalam cintanya terhadap In
Lui. Ai bilamana ada orang bersikap demikian padaku, umpama aku
harus mati seketika juga rela."
Lalu terpikir lagi olehnya, "Sayang kedua keluarga mereka
terikat permusuhan sedimikian mendalam dari percakapan mereka
kakak beradik tadi, tampaknya In Tiong sangat kukuh pada
pendiriannya dan ingin menuntut balas, lantas bagaimana
baiknya?"
Dalam sekejap itu pikirannya lantas bergolak juga, sungguh ia
mengharapkan cinta kasih antara Thio Tan-hong dan In Lui dapat
terlaksana dengan bahagia. Tapi ketika dalam benaknya timbul
bayangan Tan-hong dan In Lui yang mesra, tiba-tiba ia merasakan
pula seperti kehilangan apa-apa.
Angin malam mendesir dingin, Ciamtai Keng-beng berdiri
termenung di balik gunung-gunungan itu, entah berselang berapa
lama, waktu ia memandang lagi ke sana, ternyata Thio Tan-hong
sudah tidak tertampak lagi.
"Mungkin dia tidak sabar menunggu dan masuk kamar untuk
tidur," demikian pikir Keng-beng.
Baru saja ia hendak melangkah ke depan, tiba-tiba teorang
muncul, ternyata In Lui adanya.
Segera Keng-beng menyongsongnya dan menegur. "In-cici,
sudah malam, belum tidur?"
In Lui tampak melengak demi melihat Keng-beng di situ,
jawabnya dengan samar-samar, "Oo, aku baru saja meladeni Koko
tidur, sekarang ingin jalan jalan sebentar."Pahala dan Murka - 19 13
"Bagaimana keadaan luka kakakmu?" tanya Keng-beng.
"Terima kasih, cara pengobatanmu sungguh sangat hebat," puji
In Lui. "Bengkak lengan kakak sekarang sudah banyak berkurang,
tampaknya besok sudah dnpat bangun."
Keng-beng tersenyum, pelahan ia pegang bahu In Lui dan
membisikinya, "Cici, jangan berterima kasih padaku, tapi engkau
harus berterima kasih kepada Tan-hong."
"Apa katamu?" tanya In Lui.
"Obat itu pemberiannya, cara mengobati juga dia yang
mengajarkan padaku," tutur Keng-beng.
"Ahhh," In Lui hanya bersuara singkat dan tidak dapat bicara
seketika.
Terdengar Keng-beng berkata pula, "Kemarin dia melihat In-
toako memaksamu mengeluarkan surat berdarah, maka dia enggan
diketahui kalian bahwa dia yang memberi obat dan sengaja
disalurkan melalui tanganku."
Baru sekarang In Lui tahu duduknya perkara, pikirnya, "Kiranya
yang dibicarakan mereka kemarin adalah urusan ini, jadi akulah
yang salah paham."
Bila teringat kepada maksud baik Thio Tan-hong, diam-diam In
Lui merasa terharu, tanpa terasa ia berkata, "Ai, kenapa dia berbuat
begitu?"
Kembali Keng-beng tersenyum dan berkata "Jika aku benar-
benar menyukai seseorang, aku pasti juga akan berbuat demikian.
Asalkan pihak lain merasa bahagia, apalah artinya bila diri sendiri
menderita sedikit."
Kembali In Lui melenggong, pikirnya "Nona ini baru saja
berkenalan, kenapa terus bercanda denganku?"Pahala dan Murka - 19 14
Ciamtai Keng-beng sangat cerdik, melihat gerak-gerik In Lui itu
segera diketahui rasa sangsi orang belum lagi lenyap, sedapatnya ia
menahan gejolak perasaan sendiri, katanya pula dengan tertawa,
"Kakakmu juga seorang lelaki hebat, cuma sayang agak kepala
batu."
Bahwa nona ini memuji kakaknya, hal ini rada di luar dugaan In
Lui, ia hanya tertawa saja.
Tiba-tiba Keng-beng bertanya, "Engkau cuma mempunyai
seorang kakak ini?"
"Ya, aku hanya mempunyai seorang kakak saja," jawab In Lui.
"Di rumahku hanya ada ibu, saat ini jejak beliau pun tidak jalas,
kelak masih harus kucari dia."
"Kecuali ibu, apa tiada sanak famili lain?" Keng-beng
menegaskan.
"Tidak ada, kakak pun belum menikah," tutur In Lui.
"Ah, jadi engkau belum mempunyai enso (kakak ipar, istri
kakak)?" kata Keng-beng.
Melihat cara bicara orang seakan-akan sengaja memancingnya,
hati In Lui bergirang, teringat olehnya kalau kakaknya juga cukup
baik terhadap nona Ciamtai ini, padahal dirinya semula menyangka
nona ini suka kepada Thio Tan-hong, siapa tahu dia justru rada
memperhatikan kakak. Kerena senangnya, hampir saja ia telanjur
omong, "Alangkah baiknya bilamana engkau mau menjadi ensoku."
Cuma In Lui memang lebih pendiam, terhadap orang yang baru
dikenalnya tidak mau sembarangan bergurau, maka cuma pada
wajahnya ia memperlihatkan rasa senang, katanya dengan
tertenyum, "Ya, aku belum mempunyai enso."Pahala dan Murka - 19 15
Tentu saja In Lui tidak tahu bahwa Ciamtai Keng-beng sengaja
menahan perasaan sendiri dan ingin menghapus rasa sangsi In Lui
kepadanya.
Bicara punya bicara, kedua nona itu merasa cocok satu sama lain,
keduanya berjabat tangan dan saling pandang dengan akrab.
Ketika memandang ke seberang kolam sana, dari balik jendela
tampak bayangan orang di dalam kamar, dengan tersenyum Keng-
beng berkata pula, "Thio-kongcu belum lagi tidur, dia sedang
menunggu dirimu."
Muka In Lui menjadi merah karena rahasia hatinya kena
dibongkar oleh Ciamtai Keng-beng. Segera ia hendak mencubit, tapi
Keng-beng terus melepaskan diri dengan tertawa dan berlari ke
balik gunung-gunungan sana.
Waktu ia berpaling, dilihatnya Tan-hong sedang membuka
jendela dan melongok keluar sambil berseru, "Eh, adik cilik!"
In Lui tidak menjawab, tampaknya agak bimbang, namun
melangkah juga ke sana dengan pelahan.
Pedih dan girang Ciamtai Keng-beng, tiba-tiba hati terasa kecut
pula dan hampir saja mencucurkan air mata.
Mengenai In Tiong, semalaman dia tidur dengan nyenyak, ketika
bangun keesokannya, ia coba menggeraki lengannya, terasa sudah
pulih seperti semula, hanya tubuh saja masih terasa lemas.
Sehabis cuci muka, ia keluar dari kamar tidur, dilihatnya
pemandangan perkampungan ini teratur dengan indah laksana
lukisan.
Ia terus berjalan ke depan mengelilingi taman, setiba di depan
sebuah gunung-gunungan, tiba-tiba terdengar di belakang sana ada
orang sedang berdebat.Pahala dan Murka - 19 16
Seorang lagi berkata, "Harta pusaka ini sudah turun temurun
kita jaga bagi Cukong tua dan sekarang malah akan diserahkan
kepada musuh beliau, diberikan kepada raja keluarga Cu, bilamana
diketahui Cukong tua di alam baka beliau pasti akan marah dan
penasaran."
"Jangan kaupikir b egitu," ujar suara seorang tua, "Justru benar
seperti apa yang dikatakan Cukong muda, pertengkaran dahulu


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adalah dua keluarga sesama bangsa, sebaliknya sekarang adalah
antara bangsa kita menghadapi penjajahan bangsa asing, urusan
harus kita bedakan penting dan tidak, kau lebih utama bersatu-padu
menghadapi musuh dari luar."
Lalu seorang lagi berkala, "Aku tidak percaya raja keluarga Cu
itu benar-benar mau melawan penjajahan dari luar."
Suara orang tua tadi berkata pula, "Terdesak oleh situasi, mau
tak mau dia harus mengadakan perlawanan. Apalagi ada pembesar
setia serupa Ih Kiam dan sebagainya. Pendek kata tekadku sudah
bulat untuk taat kepada perintah Cukong muda, hendaknya kalian
jangan banyak omong lagi."
Dari suaranya dapat dibedakan oleh In Tiong, suara orang tua itu
ialah Tong ting-cengcu. Setelah perdebatan itu, jelas semuanya
menyetujui keputusan orang tua itu.
Tergetar juga hati In Tiong, pikirnya, "Sungguh tak terduga,
Hongsiang semula mengira tujuan Thio Tan-hong mencari harta
karun dan peta rahasia itu adalah karena ingin mengadakan
perlawanan padanya, tak tahunya semua itu justru akan diserahkan
kepada Hong-siang."
Sungguh semangatnya terangsang dan darah bergolak.
Pada saat itulah mendadak seorang berseru, "Aha. Congkoan-
taijin, engkau juga datang kemari?"Pahala dan Murka - 19 17
Waktu In Tiong berpaling, dilihatnya dari serambi sana muncul
dua orang, yaitu kedua ibu dan putrinya yang dilihatnya di gardu
minum tempo hari.
Sekarang In Tiong sudah tahu siapa mereka, cepat ia memanggil,
"Pokbo (bibi)!"
Yang datang itu memang Ciamtai-toanio dan putrinya, Ciamtai
Giok-beng.
"Wah, lukamu sudah sembuh, untung juga bagimu," kata
Ciamtai-toanio.
Nona cilik alias Ciamtai Giok-beng kelihatan binal, dengan
tertawa ia berolok, "Menurut cerita Cici, katanya semalam dia sok
berlagak gagah."
Muka In Tiong menjadi merah, sedang Ciamtai Giok-beng lantas
mengeluarkan sepotong kain sutera dan dibentangkan, tertampak
kain sutera itu tersulam sepuluh kuntum bunga merah yang
menyolok.
"Ai, jangan menakuti tamu, anak Giok," kata Ciamtai-toanio
dengan tertawa, Giok-beng tersenyum, dangan jarinya ia
menggores tujuh kuntum bunga merah di antaranya dan berkata,
"Ketujuh orang jahat yang hendak membikin susah Thio-toako ini
sudah kita bereskan semua. Tertinggal ketiga kuntum ini. tapi,
hehe, Thio-toako minta kita jangan mengganggunya."
In Tiong tahu ketiga kuntum bunga itu melambangkan dirinya
dan Thi pi-kim-goan serta Sam-hoa-kiam. Diam-diam ia
mendongkol juga.
Dengan tertawa Ciamtai-toanio lantas berkata pula, "Waktu di
gardu minum sudah dapat kami duga In-siangkong adalah orang
baik. Jangan cari perkara lagi, anak Giok."Pahala dan Murka - 19 18
Kiranya keluarga Ciamtai mengemban tugas berat menjaga
harta pusaka itu, maka Tong-ting cengcu Ciamtai Tiong-goan
sendiri menjaga di Tong-ting-san, sedangkan istri dan putrinya
ditaruh di pos depan, yaitu di gardu minum itu sebagai pos
pengintai. Sebelum datang di Tong ting-san-ceng, biarpun Tan-
hong juga tidak tahu hubungan antara ibu dan anak itu dengan
Tong-ting-ccngcu.
"In-siangkong," kata Ciamtai-toanio kemudian, "mari kita
melihat sesuatu."
In Tiong ikut dia melalui serambi panjang dan memutar ke balik
gunung-gunungan, mendadak pandangannya terbeliak, tertampak
di tanah lapang sana penuh tertimbun harta mestika, emas intan
dan batu permata yang tak ternilai jumlahnya. Tong-ting-cengcu
dan beberapa orang yang berdandan sebagai petani berdiri di
samping sana.
"Kebetulan kedatanganmu, In-taijin," ucap Tong-ting-cengcu.
Lalu ia memberi perintah kepada anak buahnya, "Undang Thio-
siangkong kemari."
Sebenarnya Tong ting cengcu memanggil Tan-hong sebagai
Siaucujin atau majikan muda, tapi Tan-hong merasa keberatan,
maka sekarang memakai panggilan Siangkong atau tuan muda.
Tidak lama kemudian tampak Tan-hong dan In Lui muncul dari
sana, begitu melihat sang kakak berada di situ, segera In Lui
memperlambat langkahnya hingga ketinggalan di belakang Tan-
hong.
Diam-diam In Tiong menghela napas, meski tetap bersungut,
namun tidak marah lagi seperti kemarin.
"Bagaimana keadaan luka In-heng?" tanya Tan-hong.Pahala dan Murka - 19 19
Mestinya In Tiong tidak mau menjawab, tidak urung ia
mengangguk dan berucap, "Tidak perlu kuatir, aku masih hidup."
Tan-hong tersenyum, katanya, "Syukurlah kalau begitu."
Padahal ia yakin obatnya pasti cespleng, pertanyaannya hanya
sebagai basa-basi saja.
Tong-ting-cengcu lantas berkala, "Harta pusaka ini sudah kami
jaga turun temurun, sekarang dapatlah kami terbebas dari tugas.
In-taijin, setelah istirahat lagi dua hari kuharap dapat mengangkut
harta pusaka ini ke kotaraja dan diserahkan kepada rajamu untuk
biaya pasukan."
Keterangan Ang-hoat-yau-liong kemarn ternyata tidak dusta,
kata Tan-hong. "Kini sudah kuperoleh berita yang meyakinkan,
pasukan Watze memang benar telah menyerbu masuk Gan-bun-
koan, kedua negara sudah perang."
Seketika In Tiong merasa gusar, "brak", ia menghantam batu
gunung-gunungan dan berteriak, "Aku bersumpah takkan menjadi
manusia jika tidak kusapu bersih negeri Watze. Baik, segera akan
kubawa pulang harta pusaka ini."
Mendadak tubuhnya sempoyongan dan tumpah darah.
Keruan In Lui kaget, cepat ia memayang sang kakak. Tan-hong
lantas memeriksa nadinya dan berkata, "Jangan kuatir, karena
marah seketika saja. Dua hari lagi In-heng akan sembuh seluruhnya,
walaupun situasi agak genting, tapi terlambat beberapa hari juga
tidak menjadi soal. Justru harta pusaka ini urusan sangat penting,
nanti masih diharapkan Cengcu suka membantu pengangkutannya
supaya tidak dirampas orang di tengah jalan."
"Dan engkau sendiri?" tanya Tong ting-cengcu.Pahala dan Murka - 19 20
"Aku wasih ada urusan yang jauh lebih penting daripada harta
pusaka ini," kata Tan-hong.
"Ehm. maksudmu peta pusaka itu?" tanya Tong-ting-cengcu.
"Betul," jawab Tan-hong. "Keadaan sekarang pihak musuh lebih
kuat daripada pihak kita, dengan memegang peta pusaka ini, musuh
berada di pihak yang gelap dan kita di pihak yang terang, hal ini
jauh lebih bermanfaat daripada menambah berpuluh laksa
perajurit."
Mendadak Toug-ting-cengcu menggeleng kepala, wajah
menampilkan rasa kuatir. Katanya, "Thio siangkong, meski engkau
serba mahir, tapi sendirian, sungguh aku merasa cemas. Peta
pusaka ini menyangkut nasib negara dan bangsa, menteri dorna
Ong Cin juga sudah mengetahui adanya peta rahasia ini, meski
antek-anteknya yang dikirim kemarin itu sudah kita tumpas
seluruhnya, namun sukar diduga takkan muncul lagi begundalnya
yang lain. Engkau sendirian dalam perjalanan yang jauh ini, bila
terjadi sesuatu alangan juga takkan kita ketahui."
Tan-hong diam saja tanpa menanggapi.
Maka Tong-ting-cengcu berkata pula.
"Mestinya hendak kukirim orang membantumu, tapi anak
buahku tiada seorang pun yang dapat mengimbangi kepandaianmu,
bila ketemu musuh tangguh juga takkan banyak membantu."
"Meski kepergianku ini rada berbahaya, tapi cuma mengenai
sehelai peta saja, kan tidak menyolok mata," kata Tan-hong.
"Sebaliknya kalian mengangkut harta benda sebanyak ini, justru
inilah perlu pembantu yang banyak, tidak perlu kaupikirkan diriku."
Mendengar percakapan mereka yang belum ada keputusan itu,
hati In Tiong ikut bergolak, mendadak ia menengadah dan berseru,
"Adik Lui, boleh kau ikut pergi bersama dia."Pahala dan Murka - 19 21
Ucapan ini membuat semua orang sama melenggong. In Lui juga
terkejut dan girang, hatipun berdebar.
"Kutahu perpaduan pedang kalian dapat menghadapi, musuh
yang betapapun lihainya, jika adik Lui ikut pergi tentu tidak perlu
kukuatir lagi," kata In Tiong pula.
Tan hong menjura, katanya, "Terima kasih, In-heng."
"Hm, terima kasih saja?" jengek In Tiong. "Keputusanku ini
bukan demi kepentinganmu"
"Kutahu, tujuanmu adalah demi peta rahasia itu," kata Tan-
hong. "Maka biarlah kuberi hormat padamu atas nama kerajaan
Beng."
"Baik, kau mau berbuat bagi kepentingan kerajaan Beng, biarlah
kubalas hormat padamu," habis berkata In Tiong lantas menjura
juga kepada Tan-hong.
Tanpa terasa In Lui tersenyum senang.
"Kemari, adik Lui," kata In Tiong pula, lalu ia mengajak nona itu
ke kerimbunan tetumbuhan sana.
Pelahan In Tiong membelai rambut adik perempuannya dengan
penuh kasih sayang, ucapnya dengan suara lembut, "Adikku sayang,
apakah kau marah padaku?"
"Masa marah, Koko, aku gembira sekali," jawab In Lui.
"Semenjak berpisah semasa kecil, senantiasa kupikirkan dirimu,
dalam mimpipun sering kulihat dirimu dalam bentuk masih kecil
dulu," tutur In Tiong. "Masih terbayang olehku rambutmu yang
dikepang menjadi dua kuncir kecil dan menunggui ibu mengangon
biri-biri."
Gembira dan terharu In Lui, ucapnya dengan menangis, "Kutahu
Koko sayang padaku." Tiba-tiba In Tiong menghela napas, katanya.Pahala dan Murka - 19 22
"Kemudian, untuk pertama kalinya kita bertemu di Jing-liong-kiap,
waktu itu engkau menyamar sebagai pemuda dan membantu pihak
musuh bertempur denganku, pada saat itu juga sudah timbul
pikiranku seperti sudah kenal dirimu, rasanya serupa sanak
keluargaku sendiri, betapapun aku tidak sampai hati bertempur
mati-matian denganmu."
"Ya, aku pun berpikir begitu ketika itu, rupanya ada kontak batin
antara kita," ucap In Lui.
"Dan kemarin, setelah kutahu engkau memang betul adik
perempuanku, sungguh aku sangat gembira dan juga pedih," kata
In Tiong pula. "Soalnya, ai, ternyata engkau sedemikian akrab
dengan dia."
Tergetar hati In Lui, ia menunduk dan mencucurkan air mata.
"Adik Lui, ilmu pedangmu sudah cukup kuat untuk menjelajah
kangouw, cuma sayang pribadimu agak lemah," kata In Thiong,
"Adik Lui, sebagai anggota keluarga In, kuharap kau kuatkan
hatimu untuk menyanggupi sesuatu permintaanku."
Muka In Lui berubah pucat, jawabnya lirih, "Silahkan koko
bicara."
"Dendam kepada keluarga Thio boleh tidak kutuntut lagi kepada
Thio Tan-hong," kata In Tiong "Tapi apa pun juga dia adalah putra
musuh yang dibenci oleh kakek, maka selama hidup ini tidak boleh
kau jadi istrinya. Bahwa kau bantu dia mengantar peta pusaka itu
adalah demi kerajaan Beng kita. Dalam perjalanan hendaknya
waspada, jangan sampai tertipu oleh mulut manisnya. Jika sampai
kau suka padanya, maka hubungan kakak beradik antara kita akan
putus. Nah, adik Lui, tegasnya kularang kau jadi istrinya, hanya ini
pesanku, mau kau turut atau tidak terserah padamu. Coba
katakan!"Pahala dan Murka - 19 23
Seketika In Lui merasa pedih sekali, bilamana sang kakak marah-
marah padanya seperti kemarin, bisa jadi dia juga akan
membangkang dengan sikap keras. Tapi sekarang kakaknya
memohon dengan kata halus, di bawah rangsangan emosi In Lui
menahan rasa pedihnya dan memandang sang kakak dengan sayu,
jawabnya tegas, "Baik, Koko, aku berjanji."
ooOoo
Sehabis sarapan pagi, Tan-hong dan In Lui lantas mohon diri
kepada orang banyak dan berangkat.
Keluarga Ciamtai mengantar kedua muda-mudi itu turun
gunung dan sampai di tepi danau, di situ sudah siap sebuah perahu
dengan segala perlengkapannya.
Dengan perasaan berat In Lui berkata, "Enci Keng-beng, harap
engkau suka menjaga kakakku, sampai bertemu pula kelak di
kotaraja."
Keng-beng menjawab dengan tertawa, "Enci Lui, banyak terima
kasih juga atas bantuanmu kepada Siaucujin kami."
"Ya, semoga kalian selamat dan sukses membawa peta sampai di
kotaraja sehingga tidak sia-sia jerih payah kami turun tumurun
selama ini," tukas Ciamtai-cengcu.
Setelah mengalami berbagai persoalan sekarang dapat
berkumpul dengan In Lui, tentu saja Tan-hong sangat terhibur,
segera ia meluncurkan perahu sambil bersenandung. Ketika ia
menoleh, dilihatnya Ciamtai Keng-beng sedang memandangnya
dengan mengembeng air mata.
Meski hati In Lui juga merasa gembira, tapi di tengah gembira
itu terasa pedih pula, meski bayangan surat berdarah itu sudah
mulai buyar, tapi bayangan gelap baru kembali menekanPahala dan Murka - 19 24
perasaannya, yaitu bayangan gelap yang timbul atas pesan In Tiong
itu. Melihat In Lui diam saja, Tan-hong berkata, "Ayolah adik cilik,
kenapa tidak tertawa."
"Tertawa apa?" ujar In Lui dengan kikuk, "Kita dapat menempuh
perjalanan bersama, bukankah hal yang menggembirakan?" kata
Tan-hong.
"Tapi kurasa perjalanan agak terlampau pendek," ujar In Lui.
Tan-hong melengak, segera ia paham arti ucapan si nona,
pikirnya, "Ya, perjalanan hidup manusia terlampau jauh, maka
perjalanan kami sekarang memang terlalu pendek."
Ia lantas berkata, "Tidak perlu kau katakan juga dapat kuduga
apa yang dikatakan kakakmu kepadamu. Mengenai hal ini tidak
perlu kau cemas. Bila kakakmu sudah memperbolehkan engkau ikut
dalam perjalanan singkat ini, bisa jadi kelak dia akan menyetujui
perjalanan kita yang terlebih jauh."
Ucapan ini membuat hati In Lui tergerak, pikirnya, "Memang
bonar sudah ada perubahan sikap kakak kemarin dan pagi tadi. Jika
dulu, mana dia memperbolehkan kupergi bersama Tan-hong?
Pendiriannya yang kukuh menuntut balas terhadap Thio Tan-hong
sudah banyak berkurang sekarang. Ai, ucapan Toako memang
benar, di dunia ini tidak ada sesuatu yang tidak pernah berubah."
Tapi lantas terpikir lagi olehnya, "Apa yang diucapkan kakak pagi
tadi semuanya timbul dari lubuk hatinya yang dalam, kukira dia tak
mau mengalah lagi."
Teringat demikian, kembali ia merasa murung.Pahala dan Murka - 19 25
Tan-hong terus memandangi In Lui dengan tersenyum, agaknya
dia sudah dapat meraba pikiran nona itu, namun dia tak mau
mengganggunya dan membiarkan orang melamun sendiri.
Menjelang petang sudah dapat menyeberangi danau, mereka
bermalam di Sohciu, Tan-hong mengambil kembali kuda Ciau-ya-


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sai-cu-ma yang dititipkannya di rumah seorang penduduk. Esoknya
mereka lantai berangkat ke utara.
Sepanjang jalan tampak lalu lintas cukup ramai, jelas akibat
situasi yang semakin genting.
Ketika masuk wilayah propinsi Hopak, suasana tambah gawat,
orang yang menuju ke utara semakin sedikit, pengungsi yang lari ke
selatan tambah banyak.
Lewat dua hari lagi, orang yang pergi ke utara selain mereka
berdua boleh dikatakan tidak ada lagi, di tepi jalan penuh kaum
pengungsi yang menyedihkan keadaannya.
Menurut berita orang lalu, ada yang bilang pasukan Mongol
ludah menyerbu masuk Ki-yong-koan, ada yang mengatakan orang
Mongol sudah berhasil merebut dua kota kecil Hoayu dan Bityun di
dekat Peking. Malahan ada yang bilang pasukan penyerbu sudah
menduduki bukit Pat-tat-nia di luar kotaraja itu sehingga praktis
Peking sudah terkepung.
Ketika kaum pengungsi mengetahui Tan-hong dan In Lui hendak
menuju ke Peking, banyak diantaranya menganjurkan agar mereka
membatalkan perjalanan dan jangan mengantarkan kematian
mereka.
Tan-liong sangat gelisah, ia sengaja memilih jalan kecil yang sepi.
Dua hari lagi, orang lalu lalang sama sekali tidak kelihatan lagi,
setiap pedusunan juga kosong ditinggalkan penduduknya. MungkinPahala dan Murka - 19 26
sudah dekat medan perang, maka penduduk setempat sudah sama
mengungsi.
Pada hari itu mereka sampai di suatu pedusunan kecil di kaki
bukit, setelah dicari sekian lama, akhirnya ditemukan satu keluarga
petani yang tidak mengungsi.
Anggota keluarga pelani ini terdiri dari seorang nenek dan
seorang pemuda, sang ibu yang tua itu kelihatan loyo, gerak-gerik
kurang leluasa, karena itulah rupanya si anak tidak sampai hati
kabur sendiri meninggalkan ibundanya.
Waktu Tan-hong mengetuk pintu dan minta mondok semalam,
dengan senang hati si nenek menerima mereka.
Malahan ia menyuruh anaknya meladeni kedua tamunya, cuma
di rumah tidak ada sesuatu persediaan sehingga tidak ada yang
dapat dimakan.
Untung Tan-hong membawa sekantung beras goreng, ia
memberikan setengah kantung kepada ibu dan anak itu dan
memeriksa pula sakit si nenek. Diketahuinya nenek itu cuma
menderita sakit panas biasa. Tan hong membawa obat keperluan
sehari hari, ia lantas memberikan obat yang diperlukan sehingga
dengan cepat sakit si nenek dapat disembuhkan.
Ketika ditanya keadaan peperangan, ibu dan anak itu tidak dapat
memberi keterangan yang jelas, hanya dua hari sebelumnya dari
sanak famili mereka mendengar kota kecil Hoayu memang sudah
diduduki musuh, kota tersebut hanya berjarak ratusan li dari dusun
tempat tinggal mereka sekarang.
Dalam perjalanan ini kembali In Lui menyamar sebagai lelaki. Di
rumah petani yang tidak banyak kamar mi mereka berdua mondok
di ruang dapur. Keduanya sama memikirkan situasi yang genting
sehingga tidak dapat pulas.Pahala dan Murka - 19 27
Menjelang tengah malam, mendadak terdengar suara "blang"
yang keras, pintu rumah petani itu didobrak orang. Cepat Tan-hong
melompat bangun dan keluar melihatnya, tertampak seorang
berdandan sebagai perwira dengan muka penuh noda darah sedang
memegangi pemuda tani itu sambil berieriak, "Lekas ambilkan
makanan bagiku, kalau tidak bisa kubunuh kau!"
Dengan terhuyung si nenek memburu keluar dan memohon,
"Kasihan kapten, ampuni anakku dan bebaskan dia."
Perwira itu mendengus, "Hm, boleh juga kulepaskan anakmu,
tapi lekas ambilkan makanan. Hah, bagus sekali, di sini masih ada
dua ekor kuda."
"Makanan boleh kapten ambil seadanya, tapi anakku jangan kau
bawa pergi, dua diantara ketiga anakku sudah dipaksa menjadi kuli
tentara, sekarang tersisa anak ini saja, mohon kapten suka
membebaskan dia," ratap si nenek.
"Tua bangka pikun, pasukan Mongol sudah menyerbu tiba, siapa
lagi yang mau perang?" kata perwira itu.
Sekilas dilihatnya Thio Tan-hong berdiri di pojok sana, di bawah
cahaya pelita yang suram wajah Tan liong tidak terlihat jelas,
mendadak perwira itu tertawa, "Hah, pandai juga kau bohong,
bukankah di situ masih ada seorang anakmu?"
Sambil mencengkeram pemuda tani si perwira terus menubruk
ke sana, dengan tangan lain ia hendak mencengkeram Tan hong.
"Hm, seorang perajurit harus berada di medan perang, kenapa
malah menganiaya rakyat jelata bangsa sendiri?" jengek Tan-hong
sambil menangkis.
Perwira itu terkejut karena orang yang di sangkanya anak udik
itu ternyata menguasai kungfu yang tinggi. Segera ia menhantam
lagi.Pahala dan Murka - 19 28
Dari gaya serangan orang, Tan-hong melihat lawan
menggunakan kungfu Tiam-jong-pai yang lihai, dengan heran ia
berkelit ke samping, berbareng sebelah kakinya melayang untuk
menendang pergelangan tangan lawan.
Terpaksa perwira itu melepaskan anak petani tadi, sebelah
tangan terus meraih ujung kaki Tan-hong. Namun mendadak Tan-
hong menarik kakinya terus mendepak. Kontan perwira itu
menjerit dan jatuh terguling.
Mendadak ia berseru, "He, bukankah engkau ini Thio Tan-hong?
Ah, hendaknya ampun, jangan membawaku ke Mongol."
"Omong kosong, siapa yang akan menawanmu ke Mongol?"
bentak Tan-hong.
Waktu Tan-hong membersihkan darah yang mengotori muka
orang, setelah diperiksa, kiranya perwira ini adalah kepala rumah
tangga istana Kang Ciau-hai adanya.
Tempo hari waktu Tan-hong ikut bertanding untuk berebut
Conggoan dilihatnya Kang-Ciau-hai menjadi penguijinya di
panggung utama bersama kaisar.
Luka Kang Ciau-hai cukup berat tubuhnya terkena belasan
panah, baju berlumuran darah, malahan dua anak panah masih
menancap di tubuhnya, cuma semuanya luka luar sehingga tidak
membahayakan jiwanya.
Diam-diam Tan-hong memuji ketangkasan orang, meski dalam
keadaan terluka masih anggap menahan serangannya. Segera ia
mencabut panah yang masih menancap di tubuh orang serta
dibubuhi obat luka.
"Apakah kapten ini sahabatmu?" tanya si nenek petani kepada
Tan-hong.Pahala dan Murka - 19 29
Tan-hong mengiakan dengan samar-samar, dalam hati ia
merasa malu, pikirnya, "Jika mereka tahu orang ini adalah kepala
rumah tangga istana, tentu kaisar juga akan kehilangan muka."
Lalu ia minta nenek dan anaknya pergi tidur, ia sendiri yang akan
meladeni Kang Ciau-hai. Segera ia mengambil sebagian beras
goreng dan diaduk dengan air minum, diberikannya kepada Kang
Ciau-hai dan berkata, "Kang-congkoan, silakan makan saja
seadanya."
Ketika berebut Bu-cong-goan dahulu Kang Ciau hai pernah
memberi perintah penangkapan terhadap Thio Tan hong, tapi
sekarang anak muda ini tidak dendam padanya, sebaliknya malah
memberi obat dan makanan padanya, tentu saja Kang Ciau-hai tidak
berani banyak bicara, lekas ia makan semangkuk beras goreng
bersama air minum itu, lambat-laun mulai pulihlah tenaga dan
semangatnya.
Kemudian Tan-hong bertanya, "Kang-congkoan, kenapa engkau
tidak ikut mendampingi Hongsiang, tapi lari sendirian ke sini?"
"Ai, seketika takkan habis kuceritakan," tutur Kang Ciau-hai.
"Semula aku memang ikut Hongsiang, pasukan besar kita sebesar
50 laksa perajurit telah hancur seluruhnya, jika aku tidak lekas
kabur tentu jiwakupun akan melayang."
"Apa katamu?" Jadi semula engkau memang mendampingi
Hongsiang?" Tan-hong menegas. "Apakah mungkin pasukan
Mongol sudah masuk kotaraja?"
"Tidak," jawab Ciau-hai. "Hongsiang sendiri yang memimpin
pasukan dan melawan musuh, saat ini berada di luar Hoayu dan
terkepung."
"Hah, bisa juga Hongsiang memimpin pasukan sendiri? Atas usul
siapa beliau bertindak demikian?"Pahala dan Murka - 19 30
"Usul Ong-kongkong," tutur Kang Ciau-hai. Maksudnya Ong Cin.
Tan-hong menjadi gusar, "brak", ia hantam permukaan meja
hingga ujungnya sempal, teriaknya, "Keji amat keparat Ong Cin ini."
Kang Ciau-hai tidak berani bersuara.
"Kenapa tidak Ih-tayjin yang disuruh memimpin pasukan?"
tanya Tan-hong.
"Urusan pemerintah mana kutahu," ujar Kang Ciau-hai.
"Menurut apa yang kudengar konon disebabkan Ih Kiam adalah
pembesar sipil dan tidak dapat memimpin tentara."
"Hm, lantas bagaimana sekarang setelah tentara dipimpin
mereka?" tanya Tan hong pula.
"Pasukan di bawah pimpinan Hongsiang dan Ong-kongkong
berangkat dari kotaraja pada pertengahan bulan tujuh, waktu itu
sepanjang jalan sering hujan lebat, perajurit tidak diberi perbekalan
baju tebal sehingga beberapa puluh ribu mati kedinginan dalam
perjalanan, jadi sebelum berhadapan dengan musuh pasukan kita
sudah kacau lebih dulu. Ketika terjadi kontak pasukan kedua pihak,
tentu saja semangat tempur pasukan kita runtuh dan kalah habis-
habisan. Terpaksa Hongsiang memerintahkan mundur dan
akhirnya terkepung di To-bok-po."
Makin mendengarkan cerita itu makin gemas hati Thio Tan-
hong, sebabnya raja Beng sampai maju sendiri ke garis depan dan
mengalami kekalahan besar, semua ini jelas tipu muslihat yang
telah diatur oleh Ong Cin. Didengarnya Kang Ciau-hai berkata pula,
"Untung aku dapat melihat gelagat, tengah malam kuterjang keluar
kepungan musuh, kalau tidak, bila tetap terkepung di To-bok-po,
andaikan tidak terbunuh musuh juga pasti akan mati kelaparan!"
Mendadak Tan-hong mendengus, "Hm, bungkusan besar apa
yang kau panggul ini?" Air muka Kang Ciau-hai berubah hebat.Pahala dan Murka - 19 31
Tiba-tiba Tan-hong turun tangan, secepat kilat ia rampas rangsel
orang dan dibanting ke lantai. Seketika isi rangsel bertebaran,
ternyata semuanya adalah Kim-goan-po atau emas lantakan.
"Hm, rupanya yang kau pikirkan adalah harta benda daripada
tugas," jengek Tan-hong.
Kang Ciau hai cengar-cengir, katanya, "Sedikit harta
simpananku ini adalah hadiah Hongsiang selama ini dan bukan
harta tidak halal. Atas pertolonganmu sekarang, boleh juga kita bagi
menjadi dua."
"Hm, percuma kau jadi Congkoan istana, malahan berani
menyinggung kebaikan Hongsiang padamu, nyatanya pada saat
genting kautinggalkan jonjunganmu dan menyelamatkan diri
sendiri," damperat Tan-hong.
Kang Ciau-hai melenggong, ia tahu Thio Tan-hong adalah musuh
raja Beng, tak terduga anak muda ini berbalik mendamperatnya.
Terdengar Tan hong berkata pula, "Malam ini boleh kau tinggal
di sini, esok pagi boleh kita menuju kembali ke To-bok-po."
"Hah, apakah hendak mengantarnya nyawa?" kata Ciau hai.
"Kau makan gaji pemerintah, umpama betul mengantar nyawa
juga pantas," kata Tan-hong. "Apalagi yang akan mengantar nyawa
bukan cuma dirimu saja, biar kami ikut antar nyawa bersamamu."
Muka Kang Ciau-hai berubah pucat, mendadak ia berjongkok
dan memungut setiap potong lantakan emas itu.
Tan-hong dan In Lui hanya mendengus saja tanpa merintangi
perbuatan orang.
Beberapa potong emas itu menggelinding keluar emper rumah,
di situ tertambat kuda putih Tan-hong dan kuda merah In Lui.Pahala dan Murka - 19 32
Ketika Kang Ciau-hai memungut emas yang jatuh dekat kuda,
mendadak ia melompat bangun sambil memegang leher kuda putih.
Giau-ya-sai-cu-ma itu sangat tangkas dan cerdik, mendadak
kuda itu meringkik sambil menyepak ke belakang.
Tan-hong juga membentak, "Kau mau apa?"
Seketika Kang Ciau-hai tidak mampu mengatasi kuda putih itu,
segera ia melompat ke atas kuda merah In Lui, serunya dengan
tertawa, "Haha. orang she Kang ingin hidup senang beberapa tahun
lagi, aku tidak mau ikut mengantar nyawa bersama kalian!"
Ia tusuk bokong kuda merah itu, karena kesakitan, segera kuda
itu membedal secepat terbang dan menerjang keluar, hanya sekejap
saja sudah menghilang dalam kegelapan malam "Kejar dia, Toako,"
seru In Lui.
Tan-hong menggeleng, katanya, "Orang semacam itu, biarpun
kita bekuk kembali juga tidak ada gunanya."
Keduanya menjadi gelisah mengingat situasi medan perang yang
genting itu, sebelum fajar menyingsing mereka lantas mohon diri
kepada ibu dan anak petani itu, keduanya menunggang kuda
putihitu bersama dan dilarikan dengan cepat.
Tidak lama terdengarlah suara gemuruh di kejauhan. Waktu
Tan-hong mendaki suatu tempat ketinggian dan memandang jauh
ke sana, terlihat di depan sana panji berkibar, di mana-mana penuh
perajurit Mongol.
"Wah, kita tak dapat lewat," keluh In Lui "Jangan kuatir, aku
punya akal," kata Tan-hong, ia suruh In Lui sembunyi di situ, ia
sendiri lantas membedal kuda ke tengah pasukan musuh.Pahala dan Murka - 19 33
Tentu saja In Lui kebat-kebit. Tidak lama kemudian tertampak
Tan-hong kembali dengan membawa dua perwira Watze. Keruan In
Lui merasa heran.
Kiranya Tan-hong mahir bahasa Mongol, padanya masih
tersimpan panah tanda pengenal pasukan Watze yang dibawanya
ketika lari dari Mongol dahulu, kepada kedua perwira itu ia
mengaku sebagai mata-mata yang dikirim kerajaan Watze sebelum
terjadi perang ia melaporkan bahwa di dekat bukit ada orang yang
mencurigakan dan kedua perwira itu diminta coba memeriksa ke
situ.
Kedua perwira Watze itu percaya begitu saja dan ikut Tan-hoog
ke bukit ini, tapi begitu tampai di tempat sembunyi In Lui tadi
serentak Tan-hong membinasakan kedua perwira itu.
Jarak bukit ini dengan medan perang ada tujuh-delapan li
jauhnya sehingga perbuatan Tan-hong itu tidak diketahui musuh.
"Nah, sekarang boleh kita menyaru sebagai perwira muruh,
tentu engkau belum lupa bahasa Mongol bukan?" kata Tan-hong.
In Lui tertawa dan mengiakan.
"Sudah kuselidiki dengan jelas, pasukan mereka ini adalah
pasukan cadangan yang kebetulan kepergok oleh pasukan pengawal
kota-raja yang dipimpin Thio Hong-hu dan dilabrak habis-habisan,
sekarang mereka sedang menyusun sisa perajurit untuk bergabung
dengan pasukan induk yang mengepung To-bok-po, jika kita
menyamar menyusup ke dalam pasukan yang kacau itu tentu
takkan dikenali. Ingat, namamu Hawa dan aku Talai."
Begitulah mereka lantas membelejeti seragam kedua perwira
Watze tadi, meski tidak begitu cocok, tapi cukup untuk mengelabui
mata orang.Pahala dan Murka - 19 34
Mereka menunggu sampai malam barulah menyusup ke tengah
pasukan Watze. Karena sudah paham benar susunan pasukan


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

musuh, dengan mudah Tan-hong dapat mengelabuhi mereka dan
ditampung dalam suatu kompi yang dibentuk kembali dari sisa
pasukan yang kalah itu.
Esok paginya, beberapa pasukan cadangan Watze dikerahkan
untuk membantu pengepungan terhadap To-bok-po.
Menjelang lohor pasukan mereka sudah sampai di medan
perang. Terlihat pasukan kerajaan Beng sudah tercerai-berai
menjadi beberapa kelompok, tentu saja Tan-hong terkejut melihat
keadaan yang runyam itu.
Terdengar suara trompet berbunyi tanda serbu, genderang pun
bertalu-talu, di puncak bukit sana berkibar sebuah panji dengan
tulisan "komando", seorang berdandan sebagai pangeran Mongol
berada di atas kudanya dengan gagah perkasa dan sedang
memimpin serbuan pasukannya, dia inilah penguasa militer
kerajaan Watze, Yasian.
Kelompok pasukan Beng yang tercerai-berai itu menerjang kian
kemari dan selalu ter bendung oleh pasukan Watze yang jauh lebih
kuat.
Di tengah pertempuran gardu itu, tiba-tiba kelihatan sekelompok
kecil pasukan Beng di ujung timur sana mengibarkan panji berkuku
naga, serentak perajurit Watze sama berteriak, "Hah, kaisar Beng
berada disana!"
Sungguh tidak kepalang gemas Tan-hong ia pikir keparat Ong
Gin itu benar-benar manusia berhati binatang, jelas dia sengaja,
memberi tanda panji itu agar musuh tahu di mana beradanya kaisar
Beng.Pahala dan Murka - 19 35
Panji kebesaran itu memang benar menandakan tempat
beradanya raja Beng, yaitu Ki-tin. Dia sudah terkepung sehari
semalam di To-bok-po, tampaknya pasukannya sudah runtuh dan
sukar bertahan lagi, selagi dia berunding dengan Thio Hong-hu
untuk mencati jalan menerjang keluar kepungan musuh, tiba-tiba
terlihat Ong Cin melapor dengan muka pucat, "Wah, celaka,
Hongsiang, pasukan pelopor musuh sudah menerjang tiba, lekas
minta Thio-tongling keluar menahan mereka."
"Jangan kuatir, Hongsiang," seru Thio Hong-hu. "Biarpun mati
juga akan kucarikan jalan keluar bagi Hongsiang."
Cepat ia berdiri dan melangkah keluar perkemahan.
Sesudah Thio Hong-hu pergi, mendadak Ong Cin berkata pula,
"Hongsiang, uruian hari ini rasanya tidak ada jalan lain kecuali
menyerah saja. Hendaknya Hongsiang suka mengadakan
perdamian dengan pasukan musuh."
Keruan Ki-tin terkejut, "Hei, kenapa kau bicara demikianl"
Seketika Ong Cin menarik muka dan membentak, "Di mana
pengawalku?!"
Serentak dari luar kemah membanjir masuk orang kepercayaan
Ong Cin dan Ki-tin lantai diringkus.
Dalam pada itu Thio Hong-hu telah berlari keluar kemah, tiba-
tiba dilihatnya panji pengenal Hongsiang berkibar di luar, segera ia
menyadari tipu keji Ong Cin itu, baru saja ia bermaksud lari masuk
lagi ke kamar untuk melindungi kaisar, namun kedatangan pasukan
Watze sangat cepat, dalam sekejap saja ia sudah terpotong dan
terkepung.
Sementara itu In Lui ledang mendesak Tan-hong. "Ayo, Toako,
lekas kita menolong Hongsiang dan membunuh Ong Cin."Pahala dan Murka - 19 36
Namun pasukan mereka terhimpit di tengah pasukan induk,
biarpun mereka menunggang kuda tangkas juga sukar menerjang
ke sana.
"Urusan sekarang sukar untuk diselesaikan dengan main
kekerasan, marilah kita melihat keadaan dulu di tempat
ketinggian," kata Tan-hong.
Dari jauh terlihat Ong Cin meringkus kaisar Beng di atas kuda,
Ong Cin sendiri membawa bendera putih. Ada beberapa jago
pengawal yang setia kepada raja bermaksud menolong
junjungannya, tapi tertahan oleh pengawal Ong Cin.
Mendadak terdengar suara orang berteriak, Hoan Tiong tampak
menerjang maju ke sana, namun ia dikerubut oleh pasukan Watze
dan pengawal Ong Cin, di bawah hujan panah Hoan Tiong putar
senjata gandennya untuk melindungi kepala dan hulu hati sendiri
tanpa menghiraukan bagian lain, maka bahu, punggungnya sudah
tertancap belasan anak penah, namun dia tetap tidak roboh dan
masih terjang ke depan seperti kesetanan.
Melihat kegagahan orang, Ong Cin terkejut, serunya, "Hei, Hoan-
ciangkun, ada urusan apa boleh bicara saja."
Tapi Hoan Tiong lantas membentak, "Bangsat, biar
kumampuskan kau!"
Berbareng gandennya lantas menghantam, kontan Ong Cin
terguling. Sambil terbahak Hoan Tiong lantas putar ganden dan
menghantam pula kepala sendiri, ia pantang menyerah, lebih baik
mati daripada tertawan musuh.
Dalam pada itu pasukan Watze sudah membanjir tiba, segera
kaisar Ki-tin tertawan.
Di bawah terjang an pasukan musuh, beberapa pembesar setia
yang ikut perang bersama kaisar juga gugur terbunuh dan terinjakPahala dan Murka - 19 37
kuda musuh. Dalam sejarah pertempuran ini tercatat sebagai
"peristiwa To-bok po".
Melihat kaisar tertawan musuh, saking cemasnya Thio Hong-hu
tumpah darah, dengan murka ia putar goloknya dan sekaligus
membinasakan belasan musuh, tapi perajurit musuh makin lama
makin banyak, mana dia mampu menerjang keluar.
Mendadak ia berteriak terus hendak membunuh diri. Tapi
sebatang anak panah menyambar tiba dan mengenai pergelangan
tangannya, goloknya jatuh ke tanah, ia pun tertawan musuh.
Setelah mendapat kemenangan total pasukan Watze lantas
membunyikan tambur kemenangan dan tanda berhenti bertempur
untuk membersihkan medan perang dan pasang tenda serta
berpesta pora merayakan kemenangan mereka.
Tan hong dan In Lui juga bercampur di tengah pasukan Watze
dan mengikuti pembicaraan orang Mongol.
Terdengar seorang perwira berkata, "Malam nanti di kemah
pimpinan pasti ada tontonan menarik, sayang pangkatku belum
memenuhi syarat untuk ikut menyaksikan sandiwara menarik itu."
"Sandiwara menarik apa?" tanya seorang perwira lain.
"Konon malam nanti pimpinan kita akan memaksa raja Beng
menjadi pelayan, kan lucu dan menarik?" tutur perwira pertama
tadi.
Seorang lagi lantas menanggapi, "Raja Beng sudah kita tawan,
kukira peperangan ini pun selekasnya akan berakhir dan kita pun
dapat pulang untuk merayakan tahun baru di rumah."
Temannya berkata, "Ah, jangan bicara seenaknya, negeri
Tiongkok ini sangat luas dan manusianya banyak, takkan habis
habis dibunuh, masa begitu cepat peperangan ini dapat berakhir?"Pahala dan Murka - 19 38
Dengan tertawa perwira tadi berkata, "Bangsa Han menganggap
rajanya seperti naga tulen, jika sekarang naga sudah tidak punya
kepala, mana mereka sanggu p perang lagi. Dan kalau rajanya ingin
menyelamatkan jiwanya, terpaksa dia harus menyerah, lalu kita
dapat menyuruh dia memberi perintah kepada rakyatnya agar
tunduk kepada kita, dengan begitu negeri ini pun akan menjadi
jajahan kita."
Sungguh perasaan Tan hong seperti di bakar, pikirnya, "Jika
terjadi demikian memang betul sangat menyedihkan. Semoga raja
Beng ini bukanlah manusia yang tamak hidup dan takut mati."
Terdengar perwira yang pertama tadi lagi berkata, "Pasukan
Beng tidak perlu ditakuti, malahan Kim-to-cecu yang bercokol di
luar Gan-bun-koan itu sampai saat ini masih berkeliaran dan sukar
dibasmi, inilah yang harus dipikirkan."
"Tapi markasnya kan sudah kita hancurkan," ujar perwira satu
lagi. "Meski si tua bangka Kim-to-cecu dan putranya dapat lolos
kukira mereka pun tidak besar artinya bagi kita. Apalagi Ciamtai-
ciangkun yang menjaga Gan-bun-koan, apa yang perlu kita
kuatirkan "
Mendengar Ciu Kian dan Ciu San-bin tidak mengalami bahaya,
pula diketahui jejak Ciamtai Biat-beng, hati Tan-hong dan In Lui
merasa agak lega.
Mengenai kaisar Ki tin, setelah tertawan, Yasian menyekapnya
dalam perkemahannya dan diberi penjagaan yang ketat. Selain itu
ditugaskan lagi tiga jago pengawal kelas tinggi untuk mengawasi
tawanannya ini.
Salah seorang jago kelas tinggi ini adalah jago andalannya, yaitu
Okito, orang ini selain lihai ilmu pedangnya Hong-lui-kiam-hoat,
otaknya juga bisa berpikir.Pahala dan Murka - 19 39
Setelah menjadi tawanan, tentu saja kaisar Ki-tin merasa malu,
gemas, menyesal dan juga murka, ketika didengarnya malam nanti
Yasian akan menyuruhnya menjadi pelayan, ia tambah malu dan
gemas tak terkatakan. Perataannya bergolak dengan hebat
memikirkan apa yang harus diperbuatnya nanti.
Ia pikir bilamana dia jadi disuruh melayani pembesar musuh, itu
berani menurunkan martabat negara dan bangsa dan akan di
tertawakan dalam sejarah. Jika dia menolak permintaan musuh,
mungkin akan membahayakan jiwanya pula seketika ia menjadi
bingung.
Pada saat itulah tiba-tiba ada orang berseru di luar kemah,
"Thaysu (perdana mentri) mengundang Okito-ciangkun untuk
bicara di markas."
Lalu seorang perwira Watze masuk dengan membawa panah
tanda perintah."
Okito memang orang yang cermat, lebih dulu ia periksa
kebenaran panah tanda perintah itu, sesudah jelas panah itu
memang tulen, panah yang cuma dimiliki oleh pucuk pimpinan saja,
asal panah ini adalah pemberian raja Watze, terbuat dari kemala
hijau.
Karena mengira Yasian ingin berunding urusan penting dengan
dia, setelah terima panah kebesaran itu segera ia berangkat.
Begitu Okito sudah melangkah keluar, mendadak perwira yang
menyampaikan perintah itu melompat maju, sekaligus ia serang
kedua jago kawan Okito. Meski kedua orang itu tergolong jago kelas
tinggi, tapi karena tidak terduga-duga, sebelum sempat menangkis
dan bersuara mereka sudah ditutuk roboh. Lalu perwira itu
membuka kopiahnya, katanya dengan tersenyum kepada Ki tin,Pahala dan Murka - 19 40
"Apakah Hongsiang masih kenal diriku?" Kiranya perwira
gadungan ini ialah Thio Tan-hong.
Sebagaimana diketahui, ayah Tan-hong, yaitu Thio Cong-ciu
adalah wakil perdana menteri kerajaan Watze, jabatannya setingkat
dengan Yasian dan sama sama menjadi menteri kesayangan raja.
Kedua orang sama menerima anugrah panah kerajaan sebagai
tanda kebesaran, panah kemala itu dapat digunakan memberi
perintah kepada pembesar mana pun.
Lantaran pengaruh Yasian makin lama makin besar sehingga
Thio Cong ciu terdesak, terutama dalam bidang militer hampir
dikuasai seluruhnya oleh Yasian, maka sudah belasan tahun Thio
Cong-ciu tidak pernah menggunakan panah kebesaran itu. Tak
terduga ketika Tan-hong minggat dari negeri Watze dan membawa
sekalian panah kemala itu, sekarang ternyata ada gunanya.
Ki-tin sangat kaget demi mengenali siapa Tan-hong, "Surat yang
kuberikan padamu waktu pertandingan tempo hari tentu sudah kau
baca bukan?" tanya Tan-hong.
Dengan suara rada gemetar kaisar menjawab, "Jadi engkau ini
Thio . . . Thio Tan-hong?"
"Betul, aku inilah musuh yang hendak kau tangkap itu," jawab
anak muda itu.
"Baik, sekarang aku yang jatuh di tanganmu, engkau pun tidak
perlu banyak omong, lekas kau bunuh diriku saja," kata Ki tin.
(Bersambung Jilid ke 20)Pahala dan Murka - 20 0Pahala dan Murka - 20 1
PAHALA DAN MURKA
Oleh : gan k.l.
Jilid ke 20
IKA kumau membunuhmu masa perlu menunggu sampai
sekarang?" kata Tan-hong dengan tertawa. "Meski aku
berbaju orang asing, namun hatiku berada pada bangsa
Han."
"Kalau begitu hendaknya kau tolong diriku," pinta kaisar.
Padahal penjagaan di luar sangat ketat, untuk melarikan diri
tidaklah mudah.
Tan-hong tersenyum, ucapnya, "Hongsiang, urusan sekarang
hanya engkau sendiri saja yang dapat menolong dirimu sendiri."
"Apa artinya?" tanya kaisar Ki-tin.
"Malam ini Yasian tentu akan memaksa padamu supaya
menyerah," tutur Tan-hong. "Bilamana engkau menyerah, itu
berarti tamatlah negara ini dan jiwamu sendiri pun sukar
dipertahankan. Tapi bila engkau tidak takluk, Ih Kiam pasti akan
berjuang dan menghimpun kekuatan untuk mengusir musuh.
Dalam pemerintah Watze sendiri juga terjadi pertentangan, kelak
kami berdaya menyelamatkan dirimu. Kuyakin engkau bukanlah
orang bodoh, dalil ini hendaknya kau pikirkan dengan baik."
Ki tin diam saja.
Maka Tan-hong menyambung pula, "Harta pusaka dan peta
rahasia leluhurku sudah kuambil dan dalam waktu singkat dapat
kuantar ke kotaraja, pasti akan kubantu Ih Kiam sepenuh tenaga
dan besar harapan akan berhasil, hendaknya engkau jangan sangsi."Pahala dan Murka - 20 2
Sorot mata Tan-hong yang mencorong tajam itu tentu saja cukup
meyakinkan orang. Bibir kaisar Ki-tin bergerak, seperti mau bicara
tapi urung.
Tan-hong mendelik, ucapnya tegas "Pembesarmu In Cing pernah
ditawan dan disuruh angon kuda selama 20 tahun di negeri asing,
selama itu dia pantang menyerah. Sebagai seorang kepala negara,
masakah engkau lebih lemah daripada bawahan."
"Baik, aku pun tidak berharap akan pulang dengan hidup,
kuturut ucapanmu," jawab kaisar Ki tin.
Selagi Tan-hong hendak bicara lagi, mendadak terdengar suara
"bret", Terpal kemah dirobek orang dan Otito menerjang masuk
begitu dia melihat kedua kawannya yang menggeletak di tanah itu,
segera ia membentak dengan murka, "Bangsat, rasakan pedangku!"
Sekali pedang berputar, secepat kilat pedang Okito menusuk
leher Tan hong.
Walaupun tahu tipunya menyampaikan perintah palsu itu dapat
mengelabui musuh untuk sementara, tapi Tan-hong juga tidak
menyangka Okito akan datang kembali secepat ini.
Kiranya Okito ini sangat cerdik, setelah menerima panah
perintah, baru saja malangkah keluar kemah segera terpikir
olehnya, "Thaysu menyuruhku mengawasi raja Beng, urusan ini
jelas sangat penting, masa sekarang aku ditugaskan ke tempat lain?
Apalagi perwira yang menyampaikan perintah ini tidak kukenal.
Jika benar Thaysu memberi perintah seharusnya mengirim orang
kepercayaan yang sudah kukenal. Setelah menyampaikan perintah
orang ini juga tidak ikut pergi bersamaku, sungguh meragukan."
Makin dipikir makin tidak enak segera ia putar balik dan
menyingkap kemah, maka terlihatlah kedua kawannya sudah
terkapar di situ, jelas tertutuk kaku oleh lawan, tidak perluPahala dan Murka - 20 3
disangsikan lagi perwira ini adalah agen rahasia musuh, maka tanpa
bicara ia terus menyerang.
Cepat datangnya serangan ini, diam-diam Tan-hong memuji


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelihatan Hong-lui-kiam-hoat musuh, lekas ia menunduk
menghindarkan tusukan orang.
Tak terduga ilmu pedang Okito itu cepat lagi ganas, serangan lain
segera menyusul terlebih lihai Luas kemah itu hanya letombak
lobih, dengan sendirinya sukar bagi Tan-houg mengembangkan
ginkangnya.
Dalam pada itu terdengar suara orang ramai di luar, dalam
sekejap saja anak buah Okito tentu akan tiba.
Tiba-tiba terdengar "creng". pedang Okito kena tabas kopiah
Thio Tan-hong, tapi ujung pedang lantas melenceng ke samping.
Kiranya pada saat bahaya mendadak Tan-hong mengeluarkan
gerakan penuh risiko, ia sengaja membiarkan kopiahnya tersabet
pedang musuh, berbareng ia mengegos ke samping. Kesempatan itu
segera digunakan untuk melolos pedang terus balas menabas,
"trang," ujung pedang Okito terkutung sebagian.
Padahal pedang Okito itu pun gemblengan dari baja murni dan
jangat tajam, tak tersangka sekali beradu senjata lantas terkutung
oleh pedang pusaka Tan-hong, keruan ia terkejut.
Dalam pada itu dengan cepat sekali Tan-hong telah putar
pedangnya dan merobek kain terpal kemah, lalu menerobos keluar
dari lubang robekan.
Beberapa gerakan itu dilakukan Tan-hong dengan sekaligus dan
cepat luar biasa, kejut dan kagum Okito, tak tersangka olehnya
mata-mata musuh ini bisa sedemikian tangkasnya.Pahala dan Murka - 20 4
Namun Okito juga jago kelas tinggi yang dapat dihitung dengan
jari dinegeri Watze, mana dia rela kecundang begitu, segera ia pun
menerobos keluar melalui lubang kemah yang dirobek oleh Tan-
hong itu.
"Tangkap penjahat!" teriak Okito di luar kemah sambil
mengejar.
Sekonyong-konyong terdengar suara mendesing ramai, Tan-
hong menghamburkan segenggam senjata rahasia, bagaikan hujan
gerimis terangkum cahaya perak menyambar ke muka Okito.
Itulah tenjata rahasia jarum andalan Thio Tan-hong. Rupanya
Okito juga menyadari kelihaian senjata rahasia lawan, cepat ia putar
pedangnya, sekali Hong-lui-kiam-hoat dikembangkan, hujan angin
pun tak tembus. Jarum yang dihamburkan Tan-hong sama
tersampuk jatuh. Tapi pada kesempatan itu juga dia lantas
melayang lagi ke atap kemah berikutnya.
Dalam pada itu hari sudah mulai gelap, jago Watze sama
melompat keluar, terdengar suara tanda bahaya dibunyikan di sana
sini disertai berhamburnya anak panah, semuanya tertuju ke titik
bayangan Thio Tan-hong di puncak kemah.
Tan-hong tidak berani melompat turun, sekaligus ia melayang
lewat belasan buah perkemahan, Okito dan anak buahnya masih
terus mengejar.
Ginkang Tan hong jauh di atas Okito, dengan sendiri tak dapat
Okito menyusulnya. Namun karena tanda bahaya sudah dibunyikan
di seluruh kemah pasukan Watze, jago musuh sama bermunculan.
Jejak Tan-hong sendiri sudah diketahui dan telah menjadi sasaran
pemanah, ingin lolos jelas sangat sukar.Pahala dan Murka - 20 5
Tan-hong terus putar pedangnya untuk menyampuk hujan
panah sambil melompat kian kemari di atas kemah, terdengar suara
mendenging panah yang berseliweran di udara.
Itulah panah tanda bahaya dari pasukan Watze, dalam sekejap
saja segenap pasukan sudah tahu apa yang terjadi, dalam keadaan
demikian biarpun mempunyai kepandaian setinggi langit juga sukar
lolos dari perkemahan pasukan Watze yang beratus li panjangnya
itu. Berturut-turut Tan-hong melayang lewat beberapa puluh buah
kemah, tiba-tiba terlihat di depan ada tanah lapang yang
memisahkan perkemahan pasukan. Perkemahan didepan meski
juga terang benderang oleh cahaya obor, di depan tiap kemah juga
ada peronda, tapi tidak setegang perkemahan di sebelah sini.
Diam-diam Tan hong merasa heran, setahunya disiplin pasukan
Watze sangat keras begitu tanda bahaya disiarkan, serentak
pasukan akan bergerak, tidak mungkin ada satu bagian tegang dan
bagian lain santai.
Ia pikir jangan-jangan kedua bagian ini dipimpin oleh komandan
yang tidak sama? Tapi umpama dua komandan yang berbeda,
menurut disiplin pasukan Watze juga tidak mungkin ada
perbedaan.
Meski merasa ragu, namun keadaan cukup gawat, tanpa pikir
Tan-hong lantas melompat turun terus melayang beberapa tombak
jauhnya ke depan, dilihatnya dari belakang sudah ada penunggang
kuda yang mengejar tiba.
Dilihatnya di tanah lapang ini ada belasan onggok rumput yang
tinggi membukit, inilah rumput makanan kuda yang dikumpulkan
oleh perajurit Watze dengan menggunakan kuli paksa rakyat jelata.Pahala dan Murka - 20 6
Tanpa pikir Tan-hong terus menyusup ke dalam seonggok
rumput, ia sudah mengambil keputusan bilamana tempat
sembunyinya tidak ketahuan, nanti kalau sudah larut malam dan
sepi baru akan mengeluyur pergi. Sebaliknya kalau musuh
mencarinya di sekeliling onggok rumput yang berjumlah belasan
ini, tentu harus dikerahkan cukup banyak orang, kesempatan itu
dapat digunakannya unluk membaurkan diri di tengah perajurit
Watze karena dirinya sekarang memakai seragam perwira Watze.
Siapa tahu, baru saja ia menyujup ke tengah onggokan rumput,
tiba-tiba terdengar suara orang mengikik tawa, lalu ada benda
dingin sebangsa besi menyentuh punggungnya dan suara orang
yang lembut merdu berkata, "Aha, sudah sekian lama kutunggu,
baru sekarang kau datang. Nah, jangan sembarangan bergerak,
sekali bergerak segera aku berteriak."
Tentu saja Tan-hong kaget dan kuatir, ia heran dari mana
datangnya orang perempuan di medan perang ini? Dari nada
ucapannya tampaknya tidak bermaksud jahat. Segera ia menjawab,
"Baik, aku takkan sembarang bergerak."
Kembali perempuan itu terkikik, lalu melemparkan sepotong
baju dan berkata, "Lekas tanggalkan seragammu dan ganti baju ini.
Sebentar akan kutemuimu lagi."
Habis berkata ia lantas menerobos keluar onggokan rumput
Menyusul lantas terdengar suara orang ramai dan detak kuda lari
lewat tanah lapang.
Terdengar ada orang bertanya, "Apakah Keke melihat seorang
perwira lari lewat sini?" Lalu perempuan muda tadi menjawab,
"Oya, kulihat dia lari ke sana, sangat cepat larinya dan sukar
kususul. Itu, ke sana, mungkin sekarang sudah jauh."Pahala dan Murka - 20 7
Para pengejar itu berteriak terus memburu ke depan, dalam
sekejap saja sudah pergi semua.
Di bawah remang cahaya obor Tan-hong dapat melihat baju
pemberian perempuan tadi adalah baju penunggang kuda
perempuan Mongol. Biasanya orang Mongol menyebut putri
kerajaan sebagai "Keke". Maka Tan-hong menjadi sangsi siapakah
gerangan anak perempuan tadi.
Tapi supaya lolos dari bahaya, terpaksa ia pakai juga baju itu.
menyamar sebagai penunggang kuda perempuan Mongol.
Selang tak lama, terdengar anak perempuan tadi lagi berseru,
"Sudah ganti baju belum? Sekarang boleh keluar!"
Tan-hong menggulung baju sendiri menjadi satu bungkusan,
lalu menerobos keluar onggokan rumput.
Terdengar anak perempuan tadi mengikik tawa pula dan
berkata, "Mari ikut padaku!"
Tan-hong merasa perawakan si nona sudah pernah dilihatnya,
entah di mana, seketika tidak teringat.
Nona itu berjalan di depan dan membawa Tan-hong ke dalam
sebuah kemah, di dalam kemah semuanya perajurit wanita.
Baru sekarang Tan-hong menyadari duduknya perkara. Kiranya
perkemahan ini adalah markas pasukan wanita, pantas
perkemahan mereka terpisah dengan perkemahan pasukan Mongol
yang lain, tadi mereka juga cuma berjaga di perkemahan sendiri dan
tidak ikut keluar mencari musuh.
Perajurit perempuan yang berjaga di situ memandang Tan-hong
dengan heran, kikuk juga Tan-hong dipandang mereka dan tanpa
terasa menunduk.Pahala dan Murka - 20 8
Terdengar kawanan perajurit wanita itu bertanya, "Keke sudah
pulang? Di luar sana seperti terjadi sesuatu?"
"Ya, kabarnya sedang menangkap mata-mata musuh, kalian
tidak perlu urus," jawab si nona tadi.
Kembali kawanan perajurit wanita mengawasi Tan-hong
sekejap, tapi tidak berani bertanya lagi.
Nona itu membawa Tan-hong masuk ke sebuah kemah,
terenduslah bau harum yang memabukkan.
Waktu Tan-hong memandang ke sana, terlihat di dalam kemah
menyala sebuah anglo yang sedang mengepulkan asap wangi
terletak di atas sebuah meja batu marmer, di samping ada lagi
sebuah meja kemala hijau kecil, di atas meja ada pot bunga bwe
yang kelihatan segar. Meski perkemahan di tengah pasukan, iiamun
pajangannya serupa kamar anak perawan, indah dan damai
rasanya.
Nona tadi lantas menanggalkan ikat kepalanya sambil berpaling
dan tertawa, katanya, "Tan-hong, masih kenal padaku tidak?"
Di bawah cahaya lilin terlihat wajah nona yang cantik itu sedang
memandangnya. Tan-hong tercengang, segera teringat olehnya,
"Hah, engkau Topua."
Nona itu mengangguk dan menjawab, "Ya, sudah sekian tahun
berpisah, syukur engkau belum lagi lupa padaku,"
Diam-diam Tan-hong mengeluh. Kiranya Topua ini adalah putri
panglima besar Watze Yasian. Waktu kecil mereka sering main
bersama, ketika berumur 13-14, lantaran kurang akrabnya Thio
Cong-ciu dengan Yasian, pula keduanya sudah meningkat remaja,
muka keduanya lantas berpisah.Pahala dan Murka - 20 9
Begitulah terdengar Keke atau Putri Topua berkata dengan
tertawa, "Eh, aku masih ingat, waktu kecil dahulu pernah kita pergi
berburu bersama setiba di sebuah sungai kita bercermin air sungai
dan kau bilang aku mirip anak lelaki, sebaliknya kubilang engkau
serupa anak perempuan. Masih ingat tidak?"
Tan-hong mengiakan secara samar-samar.
Mendadak Topua menarik Tan hong ke depan sebuah cermin,
katanya dengan tertawa, "Coba lihat, sekarang kau pakai bajuku,
kan lebih mirip anak perempuan?"
Muka Tan-hong menjadi merah, teringat olehnya In Lui yang
menyamar sebagai lelaki sebaliknya sekarang dirinya menyaru
sebagai perempuan, kalau diketahui In Lui pasti akan
ditertawakannya.
Dengan tertawa Topua berkata pula, "Sebelum pasukan kita
berangkat, kudengar engkau telah menyusup ke daerah Tionggoan.
Kutanya paman Thio, beliau tidak mau menerangkan. Kukira
selama hidup ini kita takkan berjumpa pula. Siapa tahu, berkat Allah
Maha Kuasa, kita justru dipertemukan di sini. Sudah lama kita tidak
bertemu, sekali ini harus kau tinggal beberapa hari di sini."
"Wah, mana boleh," seru Tan-hong kaget.
"Kenapa tidak boleh? Kujamin tidak ada yang tahu." ucap Topua
"Umpama ada yang tahu, mereka adalah anak buah kepercayaanku,
pasti tidak berani membocorkan rahasiaku."
Tan-hong menggoyang tangan berulang-ulang.
Mendadak Topua mengancam, "Jika engkau tetap menolak,
segera aku berteriak!"
"Baiklah, boleh berteriak," kata Tan-hong. "terus terang,
sekarang aku adalah musuhmu, boleh kau ringkus diriku danPahala dan Murka - 20 10
diserahkan kepada ayahmu Jika kuberani masuk ke tengah pasukan
kalian memang jiwaku sudah siap kukorbankan."
Mendengar ucapan ini, mendadak si nona mengikik tawa lagi
"Apa yang kautertawakan?" tanya Tan-hong dengan gusar.
"Hihi, tampaknya sifatmu masih tetap serupa waktu kecil, suka
bertengkar denganku," kata Topua. "Kau bilang engkau adalah
musuhku, aku justru tidak memandangmu sebagai musuh. Pula,
jiwamu tidak kau pikirkan, apakah keselamatan ayahmu juga tidak
kaupikiran ?"
Diam-diam Tan-hong terkejut pikirnya, "Betul juga. Ayah masih
berada di Watze, sukar bagi beliau lolos dari cengkeraman Yasian.
Pula kalau kelak perlu kugerakkan kerusuhan di negeri Watze juga
masih perlu bantuan ayah. Rasanya untuk sementara ini aku harus
bersabar dan menerima hinaan dulu."
Melihat anak muda itu menunduk tanpa bicara, Topua
menyangka Tan-hong dapat menerima perkataannya, dengan
tertawa ia sambung lagi, "Apa jeleknya tinggal di sini? Kemana pun
sukar bagimu mencari tempat baik serupa tempat tinggalku ini."
"Kau . . . kau bilang aku harus tinggal disini?" tanya Tan-hong
mendadak.
"Habis tinggal di mana kalau tidak tinggal di sini?" jawab Topua.
"Memangnya suruh kau keluar dan tinggal bersama perajurit
wanita? Engkau mau, akulah yang malu."
Tan hong pikir urusan ini memang pelik. Teringat kepada In Lui,
diam-diam ia mengeluh.
Segera Topua menyuruh seorang perajurit membawakan
seember air panas dan menyilakan Tan-hong mencuci badan.Pahala dan Murka - 20 11
Lalu ia menarik tabir pemisah dan mendorong Tan-hong ke balik
tabir, "Jangan kuatir, tak ada orang mengintip. Sebentar aku ingin
bicara lagi denganmu."
Diam-diam Tan-hong memikirkan cara melarikan diri, tapi tetap
tak berdaya.
Tiba-tiba terdengar suara peronda membunyikan tanda tengah
malam. Seorang perajurit wanita masuk melapor, "Keke, Thaysu
datang menjengukmu!"
"Silakan beliau masuk," kata Topua.
Baru saja perajuric perempuan itu keluar, Topua lantas berkata
kepada Tan-hong dengan tertawa, "Engkau jangan bersuara, takkan
kukatakan kepada ayah."
Tentu saja jantung Tan-hong berdebar.
Tidak lama kemudian terdengarlah Yasian melangkah masuk ke
dalam kemah.
Segera Topua menyapa. "Ayah, kabarnya malam ini engkau
sengaja berpesta dengan raja Beng sebagai pelayan, kenapa ada
waktu luang untuk datang kemari? Eh, ada urusan apa, tampaknya
ayah merasa kurang senang?"
Tan-hong menahan napas dan coba mengikuti pembicaraan
mereka.
Terdengar Yasian lagi berkata, "Ya, urusan malam ini sungguh
di luar dugannku."
"Di luar dugaan bagaimana?" tanya Topua.
"Semula kusangka raja Beng itu pasti taat mati, asalkan kugertak
dia dan mau menyerah, maka dapatlah kita memperalat dia untuk
menyuruh bawahannya mengikuti jejaknya, tatkala mana negeri
bangsa Han yang luas akan tergenggam olehku. Siapa tahu diaPahala dan Murka - 20 12
justru berani membangkang kehendakku dan tidak mau hadir
dalam pesta."
"Oo, dia begitu berani?" Topua menegas.
"Ya, makanya aku bilang di luar dugaan," kata Yasian.
Diam-diam Tan-hong merasa senang, pikirnya, "Nyata Ki-tin
masih mempunyai sedikit jiwa patriotik, tidak sia-sia jerih payah


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

usahaku."
Terdengar Yasian bicara lagi, "Tidak sulit untuk membunuhnya,
tapi sesudah kubunuh dia, mungkin akan makin membangkitkan
semangat perlawanan anak buahnya, bilamana terjadi pertempuran
jangka panjang mungkin takkan menguntungkan pihak kita.
Kudapat info bahwa Aji (yaitu pangeran yang diutus ke Peking dulu)
diam-diam sedang menghimpun kekuatan di dalam negeri, bukan
mustahil akan merebut kekuasaanku pada waktu kita mengerahkan
pasukan ke sini. Untuk itulah hatiku merasa tidak tentram."
"Kepandaian ayah tidak ada bandingannya. kenapa mesti
kuatir," kata Topua. "Pula kita sedang memperoleh kemenangan
gemilang, jangan ayah berpikir hal-hal yang melemahkan
semangat."
Yasian tertawa, "Betul juga ucapanmu. Baiklah akan kubicara
urusan yang membuatmu senang. Eh, apakah ingat kepada putra
Thio Cong-ciu, yaitu Thio Tan-hong?"
Tan-hong terkejut karena namanya disebut.
Terdengar Topua menjawab, "Memangnya ada apa?"
?Meski Thio Cong-ciu tidak bicara padaku juga kutahu anaknya
telah menyusup ke Tiongkok," kata Yasian. "Dan urusan inilah yang
membuatku sangsi."
"Apa yang membuat ayah sangsi?" tanya Topua pula.Pahala dan Murka - 20 13
"Kau tahu keluarga Thio adalah musuh raja Beng turun-
temurun, sepantasnya Thio Tan-hong tidak nanti membantu pihak
musuh," tutur Yasian. "Tapi sejak pasukan kita berangkat hingga
sekarang sudah ada sebulan lamanya, bila Tan-hong berada di
daerah Tiongkok, kenapa dia tidak melaporkan diri kepadaku?
Bukankah inilah kesempatan baik baginya untuk menuntut balas
sakit hati leluhurnya?"
"Mungkin dia teralang oleh pertempuran dan belum sempat
datang kemari," ujar Topua. "Nanti kalau ayah sudah menduduki
seluruh negeri ini, kuyakin dia pasti akan menghadap ayah."
"Itu sudah jelas," kata Yasian tertawa. "Penyerbuan kita
sekarang justru akan menawan kedua orang ini."
"Kedua orang siapa?" tanya Topua.
"Orang pertama adalah raja Beng, setelah menawannya, biarpun
dia tidak mau menyerah juga akan berpengaruh terhadap pasukan
Beng, cepat atau lambat negeri Beng akan tergenggam olehku."
"Dan siapa orang kedua?" Topua menegas.
"Yang kedua ialah Thio Tan-hong," jawab Vas ian.
"Ayah hendak menangkapnya karena kesalahannya menyusup
ke negeri ini?"
"Betul dan tidak," kata Yasian.
"Apa artinya?"
"Tan-hong memang serba pandai, dapat diandalkan bakatnya.
Jika menemukan dia, kalau dia tidak mau menurut, tentu akan
kujatuhi hukuman karena berani menyusup ke negeri ini. Akan
kubunuh dia supaya tidak mendatangkan bahaya di kemudian hari."
"Ai, tidakkah terlampau kejam," seru Topua.Pahala dan Murka - 20 14
Yasian tertawa, "Dia bermusuhan dengan kerajaan Beng, sangat
mungkin dia akan menurut padaku. Untuk itu berarti peristiwa
bahagia bagimu, anakku."
Topua berlagak malu, ucapnya dengan muka merah, "Eh,
kembali ayah menggodaku lagi."
"Ayah bukan orang bodoh, masa aku tidak tahu sejak dulu kau
suka kepada bocah ini," ucap Yasian dengan tertawa. "Tahun ini
usiamu sudah 23, menurut adat Watze kita seharusnya sudah lama
kau kawin. Sudah banyak lamaran dari kaum bangsawan tapi selalu
kau tolak, selama ini ayah juga tidak memaksa, tentu ini juga ada
sebabnya, yaitu karena kutahu ingin kau tunggu bocah she Thio itu.
Maka, ayah tentu akan mengabulkan harapanmu."
Tentu saja Topua, sangat gembira ia menunduk tanpa bicara.
Tiba-tiba Yasian berkata pula, "Cuma penjahat yang mengacau
malam ini juga terlampau berani, ia bermaksud merampas raja
Beng, bahkan membawa panah kemala tanda perintah, aku menjadi
rada curiga."
"Ayah mencurigai siapa"" tanya Toau3.
"Kucuriga jangan-jangan pengacau ini ialah Thio Tan-hong."
"Bukankah ayah sudah bilang dia dan raja Beng adalah musuh
bebuyutan?"
"Makanya aku belum berani memastikan dia," ucap Yasian.
"Setahuku, panah kemala semacam itu oleh mendiang raja kita
hanya dianugrahkan kepada tiga orang, yang pertama ialah ayahmu
ini, kedua ialah Thio Cong-ciu dan ketiga kepada pangeran Aji.
Sebab itulah kuyakin pengacau malam ini kalau bukan anak buah
pangeran Aji tentukan Thio Tan-hong adanya. Mungkin dia jnga
bermaksud menawan raja Beng untuk digunakan sebagai modal
pertarungan denganku. Syukurlah urusan ini tidak sulit kuselidiki,Pahala dan Murka - 20 15
nanti kalau pasukan s udah pulang ke Watze tentu akan kuselidiki
sehingga terang. Jika benar perbuatan Thio Tan-hong, maka apa
boleh buat, biarpunaku juga sayang padanya, terpaksa dia akan
kubunuh."
Mendengar ini, diam-diam Topua bersyukur belum lagi
memberitahukan jejak Tan-hong kepada sang ayah.
Waktu Yasian berpaling ke sana untuk menuang secangkir air
teh, sekilas dilihatnya tabir sedikit bergerak dan seperti ada sesuatu
suara, serentak Yasian berdiri dan membentak, "Siapa itu di
belakang tabir?"
la berpaling kembali dan dilihatnya anak perempuannya sedang
mengebaskan kipasnya sambil menjawab, "Mana ada orang?
Tampakny ayah telah kebingungan karena pengacauan penyatron
tadi sehingga suka curiga ini dan itu."
Yasianterba hak-bahak, " Haha, kiranya kipasmu itulah
membuat kain tabir bergerak, kukira ada orang bersembunyi di
situ."
Ia tidak tahu, justru Topua lebih dulu melihat tabir bergerak,
maka cepat ia ambil kipas dan pura-pura mengipas sehingga
menghindarkan curiga sang ayah.
Diam-diam ia pun menyesali Thio Tan-hong yang terlalu
gegabah, didengarnya sang ayah berkata pula, "Sekarang sudah
kuperintahkan bilamana tidak ada perintah tertulis dariku
ditambah dengan cap kebesaran, siapa pun tidak boleh mendekati
raja Beng itu. Juga telah kukerahkan ke 12 jago utama untuk
menjaganya. Di sana masih ada lagi seorang panglima Beng yang
perkasa, namanya Thio Hong-hu. Bilamana dapat kutaklukkan
orang ini, tentu jauh lebih berguna daripada ke-15 jago pengawalku
itu. Untung dia terluka parah dan tidak perlu dijaga terlalu ketat,Pahala dan Murka - 20 16
dengan begitu baru dapat kukerahkan ke-12 jago utamaku untuk
menjaga raja Beng."
Topua tidak tertarik oleh Thio Hong-hu, yang dikuatirkan adalah
urusannya dengan Thio Tan-hong, tiba-tiba teringat sesuatu
olehnya, segera ia tanya, "Apakah antara ayah dan Thio Cong-ciu
sekarang sudah ada kecocokan?"
"Tidak ada soal cocok atau tidak," kata Yasian. "Kelak kalau
sudah besanan tentu lebih baik lagi. Kukira Thio Cong-ciu juga tak
kan terlepas dari genggamanku. Mereka sudah turun temurun
membantu pembangunan negeri kita, jasanya juga tidak kecil.
Cuma mereka bermimpi akan mempcralat kekuatan militer negeri
kita untuk membangun kembali kerajaan Ciu leluhurnya, mana bisa
terjadi urusan semudah itu. Sebab itulah sekali ini kubiarkan dia
yang berjaga di garis belakang. Anehnya dia tidak keberatan,
tampaknya malah merasa senang, hal ini membuatku heran juga.
Cuma, dia memang seorang pandai juga, kelak bila negeri
Tionggoan ini sudah kududuki dan menjadi raja sendiri, bukan
mustahil akan kuangkat dia sebagai perdana menteri. Bila aku
menjadi raja, tentu kaupun akan menjadi Tuan Putri. Tiba-tiba
terdengar kentongan tanda tengah malam, dengan tertawa Topua
berkata, "Sudah jauh malam, ayah, engkau perlu istirahat, besok
juga harus memimpin pasukan dan selekasnya menduduki Peking,
dengan begitu ayah akan segera menjadi raja dan aku pun akan
menjadi Tuan Putri."
Yasiati tertawa dan mencium anak perempuannya sekali, lalu
tinggal pergi.
Sesudah Yasian pergi, Topua menghela napas lega, serunya
kemudian, "Nah, kau dengar sendiri, kakak Hong, ayahku cukup
sayang kepadamu, bukan?"
Namun tidak terdengar sesuatu suara jawaban dari balik tabir.Pahala dan Murka - 20 17
Dengan tertawa Topua berkata pula, "Ayahku sudah pergi, kakak
Hong, lekas kau cuci badan. Eh, barangkali airnya sudah dingin,
apakah perlu ganti air panas?"
Tapi tetap tiada sesuatu suara di balik tabir "He, kenapa diam
saja, tidak kau gubris padaku" omel Topua.
Karena masih juga tidak ada jawaban, dengan marah Topua
lantas mendekati tabir, maksudnya hendak menyingkap tabir, tapi
urung, sebab kuatir Tan-hong dalam keadaan bugil, kan malu.
Maka ia memanggil lagi dua kali, namun tetap tidak ada jawaban
Tan-hong. Karena gusarnya, tanpa pikir lagi Topua mendadak
menarik kain tabir.
Seketika ia melongo, karena di balik tabir kosong melompong
tiada bayangan seorang-pun, waktu ia periksa, kiranya di bagian
belakang kemah telah dirobek dengan pedang, dari lubang robekan
itulah Thio Tan-hong melarikan diri.
Sungguh tidak kepalang gemas Topua, pikirnya, "Bodoh amat
aku ini, tidak seharusnya kubiarkan dia mandi dengan membawa
pedang."
Waktu ia periksa lagi lebih teliti, dilihatnya di tanah ada
beberapa baris huruf kecil yang digores dengan ujung pedang,
bunyinya: "Terima kasih atas pertolonganmu, budi ini kelak pasti
kubalas. Keadaan sekarang mendesak dan tidak sempat
bercengkerama urusan masa kecil, pula dalam keadaan bertempur,
bukan waktunya untuk bicara urusan pribadi. Kupergi dulu. Tan-
hong".
Dengan marah Topua berlari keluar kemah dan tanya penjaga,
diketahuinya Tan-hong sudah pergi sekian lama.
"Kenapa tidak kau rintangi dia?" omel Topua terhadap anak
buahnya.Pahala dan Murka - 20 18
Dengan sendirinya perajurit wanita itu belum lagi tahu Tan-
hong seorang lelaki, ia menjawab, "Dia datang bersama Keke, kami
pun dipesan jangan banyak tanya. Maka hamba tidak berani
merintanginya ketika melihat, dia keluar."
Mendongkol dan gusar Topua, tapi tidak enak untuk
menyalahkan penjaga itu.
ooOoo
Bercerita tentang Thio Hong-hu. Setelah tertawan musuh, ia
dikurung di bagian kiri perkemahan pasukan dan dijaga dua jago
pengawal.
Thio Hong-hu sudah bertekad akan setia kepada kerajaan Beng
sampai mati, maka ia mogok makan dan berusaha supaya mati.
Namun penjaga sudah dipesan oleh Yasian, mereka mencekoki Thio
Hong hu dengan kuah jinsom dan memberi obat luka pula.
Luka Thio Hong-hu hanya terkena panah saja, luka luar dan tidak
parah, sesudah minum kuah jinsom dan dibubuhi obat luka serta
istirahat, dalam waktu singkat tenaga sudah pulih dan semangat
segar.
Ia pikir daripada mati konyol biarlah ku mati dengan membunuh
beberapa orang musuh supaya tidak rugi. Maka selanjutnya ia
makan dengan lahapnya.
Penjaga mengira dia sudah berubah pendirian dan bergirang.
Tak tahunya Thio Hong-bu ingin mengumpulkan tenaga untuk
melepaskan diri dari belenggu kaki dan tangan, lalu akan menerjang
musuh lagi.
Lewat tengah malam, suasana di perkemahan pasukan Watze
sunyi senyap, kecuali penjaga dan peronda yang bergiliran dinas,
perajurit lain sudah sama tidur.Pahala dan Murka - 20 19
Melihat waktunya sudah tiba, sejera Thio Hong-hu mengerahkan
tenaga, tak terduga borgol tangan dan kakinya sangat kuat dan
sukar dipatahkan, sebaliknya perbuatannya menerbitkan suara
gemerantang nyaring dan mengejutkan penjaga.
"Kaumau apa ?" bentak kedua Busu penjaga.
Sekuatnya Thio Hong-hu meronta lagi, "pletak", sebuah gelang
borgol tangan tergetar patah.
Kedua penjaga terkejut dan segera menubruk maju hendak
membekuknya. Namun mata Thio Hong-hu sudah marah, sambil
menggertak, "Yang beruni mendekat mati !" Berbareng borgol yang
masih mengikat sebelah tangannya terus menyabet. Busu pertama
coba berkelit ke samping, lalu golok menabas kaki Hong-hu.
Tak terduga Hong-hu sudah memperhitungkan ini, cepat ia
melompat dan sekali lagi borgol menyapu, kontan Busu itu
menjerit, tulang betis tersapu patah dan roboh terjungkal.
Busu yang lain lebih tangkas, juga lebih cerdik, melihat gelagat
jelek, segera ia membacok dengan goloknya. Cepat Hong-hu
melompat mundur, menyusul ia balas menyerampang dengan
borgolnya.
Busu itu pun sempat menghindar, menyusul ia balik menabas
tiga kali. Lantaran kaki masih terbelenggu, gerak-gerik Thio Hong-
hu kurang leluasa. Mendadak golok Busu itu membacok pundak
Thio Hong-hu, bilamana kena, andaikan tidak mati juga Thio Hong-
hu akan cacat selamanya.
Pada detik yang gawat itu, tiba tiba terdengar "tring" sekali,
golok Busu itu jatuh terpental malah. Tentu saja Hong-hu sangat
heran, waktu ia berpaling, terlihat dua Busu berkedok menerjang
masuk.Pahala dan Murka - 20 20
Busu di dalam kemah berseru girang, "Lekas bantu mumbekuk
tawanan ini!" Segera ia memburu kesamping dan hendak
menjemput kembali goloknya. Siapa tahu kedua Busu pendatang ini
serentak menyerang, bukan Thio Hong-hu yang menjadi sasaran,
sebaliknya tubuh Busu tadi terkutung menjadi tiga bagian.
"He, kalian . . . ." seru Hong-hu kegirangan. Segera kedua Busu
itu menyingkap kedok masing-masing, seorang berkata dengan
tertawa, "Betul, memang akulah adanya!"
Kiranya kedua orang ini adalah Thio Tan-hong dan In Lui.
Setelah mendengar cerita Yasian, Tan-hong tahu penjagaan
terhadap Thio Hong-hu agak longgar, segera ia kabur dari tempat
Topua, ia ganti lagi memakai seragam perwira Mongol, dengan
ginkang yang tinggi ia pukang ke perkemahan semula untuk
mengajak In Lui dan tepat pada waktunya datang ke tempat
tahanan Thio Hong-hu ini.
Dengan pedang pusaka mereka, dalam sekejap saja Tan-hong
dan In Lui telah melepaskan belenggu Thio Hong-hu.
Dalain pada itu terdengar suara ribut di luar, tampaknya
pasukan Watze akan menyerbu ke dalam kemah.
"Haha, bagus sekali!" seru Thio Hong-hu dengan tertawa. "Hari
ini akan kubunuh musuh sepuasnya, matipun harus mendapat
untung, sedikitnya akan kubinasakan sepuluh orang."
Segera ia merampas golok penjaga tadi dan bermaksud
menerjang keluar.
Tak terduga mendadak jari Tan-hong menutuk, keruan Hong-hu
terkejut, "Hei, kau . . . kenapa . . . ."
Belum lanjut ucapannya mata lantas terpejam dan tak sadarkan
diri.Pahala dan Murka - 20 21


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

In Lui memandang Tan hong dengan melenggong, cepat anak
muda itu menjelaskan, "Supaya ia tidak mengadu jiwa dengan
musuh!"
Segera ia memanggul Thio Hong-hu, bersama In Lui siap
melabrak musuh. Terlihat terpal kemah telah dirobek dan berpuluh
Busu menyerbu masuk.
Serentak pedang Tan-hong dan In Lui bekerja sama, terdengar
serentetan suara mendering nyaring, senjata kawanan Busu sama
terkutung, bahkan kedua pedang Tan-hong dan In Lui masih terus
menyambar sehingga terpaksa kawanan Busu sama melompat ke
samping untuk menghindar.
Peluang itu segera digunakan Tan-hong berdua untuk
menerobos keluar dan melompat ke atas kemah yang paling dekat.
Karena ke-12 jago utama pasukan Watze itu sudah ditarik ke
markas pusat untuk menjaga raja Beng, kawanan Busu yang jaga di
sini hanya jago kelas dua, ginkang mereka jauh di bawah Tan-hong
dan In Lui, maka dengan leluasa Tan hong berdua dapat melayang
lewat belasan kemah tanpa rintangan.
Segera Tan-hong bersuit, terdengar ringkik kuda di sebelah sana.
"Bagus, dapatlah kita lolos dari bahaya," kata Tan-hong sambil
melompat turun ke balik kemah sana, benarlah dilihatlah kuda
putih Ciau-ya-sai-cu-ma sudah menunggu sang majikan di situ.
Waktu itu sudah dekat pagi, kecuali kawanan Busu yang dinas
jaga, perajurit Watze umumnya masih tidur nyenyak, meski terjadi
ribut-ribut, tapi lantaran lari Tan-hong berdua terlampau cepat,
ketika mereka terjaga dan mengejar keluar, namun Tan-hong sudah
membawa Thio Hong-hu ke luar dari daerah bahaya.
Tan-hong mengikat Hong-hu di bawah perut kuda, ucapnya
dengan tertawa, "Biarkan dia tidur sepuasnya."Pahala dan Murka - 20 22
Kiranya Thio Hong-hu telah tertutuk hiai-to tidurnya tanpa
membahayakan jiwanya. Sebabnya Tan-hong bertindak demikian
adalah karena luka panah Thio Hotig-hu belum sembuh dan tidak
kuat bertempur, jika Tan-hong membujuknya secara halus tentu
Hong-hu takkan menurut, karena dia sudah bertekad akan gugur
demi membela negara dan setia kepada rajanya, sebab itulah
terpaksa Tan-hong menutuknya pingsan.
"Ayo adik cilik, lekas naik kemari!" seru Tan-hong sesudah
mencemplak ke atas kuda putih.
In Lui ragu sejenak, akhirnya ia pun melompat ke atas kuda,
keduanya berjubel dan dengan sendirinya terjadi persentuhan
badan. Seketika In Lui merasa seperti dialiri hawa hangat dari tubuh
Tan-hong, mukanya menjadi merah seakan-akan mabuk.
Begitu meringkik, segera kuda putih itu membedal cepat ke
depan dengan membawa dua orang.
Meski pasukan Watze segeea mengejar, namun sukar lagi
menyusulnya.
Kuda putih ini sangat tangkas, hanya sebentar saja sudah
mencapai 30-40 li jauhnya, markas pasukan musuh sudah
tertinggal jauh di belakang, meski sepanjang jalan terkadang dicegat
oleh peronda, dengan sendirinya mereka tidak sanggup menahan
pedang Tan-hong berdua dan cuma mengantar nyawa percuma
saja.
Setelah lolos dari daerah bahaya, tentu saja Tan-hong sangat
senang.
Kuda putih itu terus berlari secepat terbang, rambut In Lui yang
panjang tertiup angin dan sebagian melibat di leher Tan-hong dan
menimbulkan rasa geli.Pahala dan Murka - 20 23
Setelah mengalami berbagai gelombang dan macam-macam
bahaya, baru sekarang keduanya dapat menunggang kuda bersama,
sungguh sukar dilukiskan perasaan kedua muda-mudi itu, namun
apa yang menjadi isi hati keduanya rasanya juga sudah tahu sama
tahu dan tidak perlu diutarakan.
Lari kuda putih kemudian diperlambat, tanpa terasa langit di
ufuk timur sudah mulai terang, perkemahan pasukan Watze di
depan samar-samar sudah terlihat.
Meski markas induk Yasian berada di To-bok-po, namun barisan
pelopornya sudah mendekati Peking, maka sepanjang 200-an li
perjalanan, setiap belasan li tentu terdapat pos penjaga pasukan
Watze.
"Thio Hong-hu sudah boleh diturunkan," kata Tan-hong
kemudian.
Ternyata Thio Hong-hu masih tidur nyenyak terikat di bawah
perut kuda, setelah melepaskan ikatannya, perlahan Tan-hong
menepuk punggung Hong-hu dan sadarlah dia.
Hong-hu merasa semangat segar dan badan kuat, waktu ia
memandang sekelilingnya, ia tanya dengan heran, "Hei, tempat
apakah ini?"
"Di sini sudah berjarak ratusan li dari To-bok-po," tutur Tan-
hong.
"Tan-hong," Thio Hong-hu menghela napas gegetun. "Kenapa
kau cegah aku mati setia bagi tugas?"
"Kematianmu urusan kecil, tapi kalau setiap orang ingin mati
seperti dirimu, lalu siapa pula yang akan berjuang membela negeri
ini?" ujar Tan-hong. "Kalau raja mati masih bisa diangkat raja yang
lain. Kalau tanah air ini dicaplok musuh, sukarlah untuk
merebutnya kembali. Apalagi rajamu juga belum mati."Pahala dan Murka - 20 24
Hong-hu merasa ucapan Tan-hong juga cukup beralasan,
katanya pula. "Tapi cara bagaimana kita akan sampai di Peking?"
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara derap kuda dari depan,
kiranya dua peronda perajurit Watze. Dengan tertawa Tan-hong
berkata, "Untuk sampai di Peking justru dapat kita cari jalannya atas
diri kedua orang ini."
Ketika melihat Tan-hong dan In Lui memakai seragam perwira
Watze, tapi mendampingi seorang perwira Han, tentu saja kedua
peronda itu sangat heran, cepat mereka mendekat dan menegur.
Akan tetapi secepat kilat Tan-hong dan In Lui lantas turun
tangan, sekali bergerak saja senjata kedua peronda itu lantai
terlepas dari tangannya, lalu pedang Tan-hong berdua mengancam
leher mereka sambil membentak, "Ingin mati atau mau hidup?"
"Mohon hidup," jawab kedua orang itu.
"Baik," kata Tan-hong. "Nah, adik cilik, seret yang seorang ke
sana, tanyai apa kata sandi yang digunakan hari ini."
In Lui menurut dan menyeret orang itu agak jauh ke sana. Lalu
Tan-hong bicara kepada In Lui dengan ilmu gelombang suara agar
nona itu mulai tanya tawanannya, bila jawaban yang diperoleh tidak
sama, tentu mereka berdusta dan akan dibunuhnya, Diam-diam
Thio Hong-hu mengakui kecermatan Tan-hong, caranya menanyai
tawanannya memang sangat tepat, bila salah seorang berdusta
segera akan ketahuan.
Setelah kedua tawanan ditanya dan dicocokkan. ternyata kata
sandinya sama, yaitu "bidadari".
Kiranya semalam adalah malam bulan purnama yang menurut
tradisi orang merayakan pertemuan dewi rembulan. Maka hal ini
telah dijadikan kata sandi oleh pasukan Watze.Pahala dan Murka - 20 25
"Rupanya benar, mereka tidak dusta," kata Tan-hong kemudian.
Segera In Lui menyeret kembali tawanannya, lalu membelejeti
Darah Pendekar 7 Dewi Olympia Terakhir The Last Olympian Percy Jackson And The Olympians 5 Karya Rick Riordan Sumpah Palapa 2
^