Pencarian

Pahala Dan Murka 13

Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen Bagian 13


baju mereka, kemudian kedua perajurit itu diikat di batang pohon.
Baju rampasan disuruh pakai Thio Hong-hu lalu kabur dengan
menunggang kuda rampasan.
Thio Hong-hu kenal benar jalan di situ, yang dipilihnya adalah
jalan kecil untuk menghindari peronda musuh. Bila kepergok,
asalkan mengucapkan kata sandi segera dapat lalu dengan selamat.
Sebelum matahari terbenam mereka sudah sampai di luar kota
Peking, pasukan pelopor Watze sudah mengatur posisi tempur di
luar kota, kedua pihak berhadapan, di bagian tengah adalah daerah
tak bertuan yang luas.
Dengan menyerempet bahaya Thio Hong-hu bertiga terus
menerjang ke sana, dengan sendirinya mereka dihujani anak panah,
terutama oleh pasukan kerajaan Beng.
Sembari menyampuk panah dengan senjata masing-masing,
mereka dapat menerobos sampai di depan jembatan gantung yang
ledang dibuai pasukan Beng di bawah pimpinan wakil komandan
Han-lim-kun, yaitu Nyo Wi dan pembantunya, Hoan Cun.
Sebelum dekat Thio Hong-hu sudah dapat dikenali, segera Nyo
Wi memberi perintah berhenti memanah dan menyambut
kedatangan ketiga orang itu.
Begitu berhadapan segera Tan hong minta diantar menghadap
Ih Kiam.
Hoan Cun juga lantas tanya keadaan kakaknya dan kaisar, Thio
Hong-hu menceritakan bahwa kaisar Ki-tin sudah tertawan musuh
dan Hoan Tiong telah gugur setelah membunuh Ong Cin, peristiwa
ini membuat semua orang terharu.Pahala dan Murka - 20 26
Nyo Wi lantas menyuruh mereka berganti baju, lalu mengantar
mereka ke dalam kota. Setiba di tempat kediaman Ih Kiam,
sementara itu sudah lewat tengah malam, namun rumah Ih Kiam
masih kelihatan terang benderang.
Setelah dilaporkan penjaga, segera Ih Kiam menerima Tan-hong
dan In Lui.
Ternyata pembesar setia itu sepanjang malam terus bekerja dan
sedih atas situasi buruk yang menimpa negara ini.
Waktu Tan-hong masuk, dilihatnya orang tua itu lagi mondar
mandir sendirian di tengah ruangan, jelas menanggung beban
pikiran yang sangat mendalam.
Segera Tan-hong melaporkan tentang tertawannya kaisar Ki-tin
oleh musuh serta meminta Ih Kiam lekas ambil kebijaksanaan,
misalnya dengan mengangkat kaisar baru demi pemusatan
kekuatan perlawanan terhadap musuh.
Ih Kiam berkata dengan menyesal, "Tampaknya cuma Hiantit
saja yang tahu isi hatiku, memang begitulah jalan keluarnya. Cuma
urusan ini maha penting, aku kuatir kelak akan menimbulkan
prasangka jelek terhadap maksud baik kita ini."
"Kaisar sekarang sudah tertawan, yang harus kita pikirkan
adalah keselamatan negeri ini, keputusan tegas, cepat dan tepat
harus dilakukan sekarang juga, asalkan kita bertindak berdasarkan
hati nurani yang suci bersih, peduli prasangka orang lain," ujar Tan-
hong.
Sesudah tukar pikiran lagi, akhirnya Ih Kiam memutuskan besok
juga akan mengangkat raja baru dan membunuh segenap
komplotan pembesar dorna Ong Cin, lalu akan memimpin sendiri
pertempuran melawan pasukan Watze.Pahala dan Murka - 20 27
Esoknya, Ih Kiam mengadakan sidang terbuka dengan para
pembesar dan memutuskan siasat menghadapi musuh. Lebih dulu
adik Ki tin, yaitu Ki Gik, diangkat menjadi kaisar baru dengan gelar
Beng-tai-cong. Lalu kaisar diminta menitahkan penangkapan dan
menghukum mati semua begundal Ong Cin.
Selanjutnya kaisar mengangkat Ih Kiam sebagai Menteri
Pertahanan, memimpin pasukan dan menggempur musuh.
Perubahan susunan pemerintahan ini seketika membangkitkan
semangat tempur setiap perajurit dan rakyat, semuanya bertekad
menggempur musuh dan mempertahankan kotaraja.
Semula dengan menawan kaisar Ki tin, Yasian mengira pasti
akan dapat menduduki Peking dengan mudah dan seluruh negeri
Tionggoan akan dapat ditaklukkannya. Siapa tahu Ih Kiam lantas
mengangkat kaisar baru serta menghimpun kekuatan patriotik
untuk mengusir penjajah.
Tentu saja Yasian terkejut dan gusar, segera ia memerintahkan
pasukannya mengepung dan menggempur Peking. Namun setiap
orang di kotaraja itu bangkit ikut bertempur melawan musuh,
terjadilah pertempuran dahsyat selama delapan hari, beberapa kali
pasukan Watze membobol benteng dan menerjang masuk, tapi
segera digempur mundur kembali dengan meninggalkan korban
yang tidak sedikit.
Dalam pada itu bala bantuan dari berbagai daerah berturut-turut
telah tiba, di bawah gempuran dari luar-dalam, pasukan Watze
merasa terjepit, agar tidak mengalami keruntuhan, terpaksa Yasian
mengundurkan pasukannya. Seluruhnya pasukan Watze jatuh
korban hampir ratusan ribu jiwa dan tanpa memperoleh sesuatu
apapun.
Mundurnya pasukan Watze dirayakan setiap orang dengan
gembira. Ih Kiam lantas menerima pimpinan berbagai kelompokPahala dan Murka - 20 28
bala bantuan dari daerah. Diketahuinya salah satu laskar patriotik
itu berasal jauh dari Kangsoh di selatan yang jumlahnya cuma
terdiri dari beberapa ratus orang saja.
Kiranya laskar ini di bawah pimpinan In Tiong dengan kekuatan
pokok anggota perkampungan Ciamtai san-ceng dan dikepalai
Ciamtai-cengcu. Di tengah jalan mereka dapat menyeret lagi
beberapa ratus orang sehingga jumlahnya lebih seribu.
Sesudah bertempur dan mengalami korban lebih dari separoh,
bahkan In Tiong juga hilang di medan tempur.
Sekarang laskar ini dipimpin oleh Liong Tin-hong. Mereka
ternyata tidak mengecewakan permintaan Thio Tan-hong, harta
pusaka simpanan Thio Su-sing telah diangkut ke Peking tanpa
kurang sesuatu apa pun.
Lekas Ih Kiam mempertemukan Liong Tin-hong dan kawan-
kawannya dengan Thio Tan-hong dan In Lui.
Tentu saja In Lui kaget dan kuatir ketika mendengar In Tiong
hilang di medan perang, cepat ia tanya kejadian yang sebenarnya.
Menurut cerita Liong Tin-hong, dalam pertempuran sengit, In
Tiong menyuruh yang lain mengawal harta benda dan menerjang
ke depan, ia sendiri berjaga di belakang untuk menahan pasukan
musuh yang mengejar. Ciam-tai Keng-beng bersama belasan
centing juga ikut mengawal harta pusaka itu disayap kiri, tapi ketika
terjadi pertempuran sengit akhirnya barisan mereka terpotong oleh
palukan musuh. In Tiong bertempur dengan perkasa dan
tampaknya tidak sulit baginya untuk menyusul kawan yang di
depan. Tak terduga mendadak Ciamtai Keng-beng terkena panah
dan sukar menembus kepungan musuh terpaksa In Tiong memutar
ke sana untuk menolongnya dan keduanya lantas kehilangan jejak
begitu saja.Pahala dan Murka - 20 29
Dengan sendirinya In Lui merasa sedih atas lenyapnya sang
kakak.
"Untunglah pasukan musuh sudah mundur, segera akan
kuperintahkan mengadakan pencarian, kukira akhirnya pasti akan
ditemukan kembali," kata Ih Kiam.
Agak terhibur juga hati In Lui oleh janji Ih Kiam itu walaupun
sukar diramalkan apakah In Tiong dapat lolos dengan selamat
ketika berusaha menolong Ciamtai Keng-beng.
Kiranya kejadian itu memang penuh risiko bagi In Tiong. ketika
ia memburu ke sana untuk menolong Ciamtai Keng-beng yang
terkena panah, ia aendiri segera terjeblos ke dalam kepungan
musuh. Namun dengan tangkas ia putar goloknya untuk melindungi
Ciamtai Keng-beng, dengan pukulan dahsyat tangan kiri ia hantam
setiap musuh yang berusaha mendekat.
Setelah menerjang sekian lamanya, berpuluh musuh telah
dibinasakan, namun kepungan musuh tambah rapat dan tidak habis
terbunuh, lambat-laun ia kehabisan tenaga.
Selagi keadaan tambah gawat, mendadak terdengar suara
terompet berbunyi, pasukan musuh yang mengepungnya beramai-
ramai sama membanjir ke depan. Kiranya dari dalam kota
menerjang keluar pasukan Bang, terpaksa pasukan Watze yang di
belakang ditarik maju untuk membantu garis depan sehingga daya
tekanan terhadap In Tiong menjadi longgar.
In Tiong tidak tahu sebab musababnya, begitu melihat ada
kesempatan segera ia larikan kudanya dan melindungi Ciamtai
Keng-beng lari ke tempat yang sepi. Kira-kira setengah jam
kemudian, pasukan musuh sudah jauh tertinggal di belakang.
Legalah hati In Tiong, tiba-tiba dilihatnya wajah Ciamtai Keng-
beng pucat pasi, cepat ia tanya, "Ada apa?"Pahala dan Murka - 20 30
"Oo, tidak apa-apa," jawab Keng-ben, namun tubuhnya lantas
bergoyang dan hampir jatuh terjungkal dari kudanya.
In Tiong tersenyum, katanya lembut, "Adik Ciamtai, ketika aku
terluka tempo hari juga banyak mendapat pertolonganmu, waktu
itu pernah kau rawat diriku tanpa kenal lelah."
Habis berkata ia terus melompat ke atas kuda si nona dan
memeganginya supaya tidak jatuh.
"Ciamtai-moaycu," kata In Tiong pula, "biarlah kita mencari
suatu tempat untuk bersembunyi, setelah sembuh lukamu barulah
kita berdaya masuk ke kotaraja."
Sebenarnya Ciamtai Keng-beng tidak mempunyai kesan baik
terhadap In Tiong, tapi karena orang meladeninya dengan penuh
perhatian, mau-tak-mau terharu juga dia.
Pedusunan yang berdekatan dengan medan perang sama ikut
menjadi korban, rusak dan terbakar sehingga tidak tampak ada
jejak manusia lagi. Selagi In Tiong merasa sedih, tiba-tiba dilihatnya
pedusunan di depan sana ada sebuah rumah yang dibangun
membelakangi bukit yang kelihatan masih baik, dengan girang ia
berseru, "Aha, syukurlah di sini masih ada tempat baik untuk
mondok."
Keng-beng menggeleng kepala, katanya, "Penghuni rumah ini
mungkin bukan orang baik, hendaknya In-heng hati-hati."
"Jangan pikirkan orang macam apa, yang penting merawat
lukamu," kata In Tiong sambil membantu Ciamtai Keng-beng turun
dari kudanya, lalu ia mengetuk pintu.
Di dalam ada orang berseru, "Siapa itu?" In Tiong merasa suara
orang seperti sudah dikenalnya, jawabnya, "Kami anggota laskar
dari Kangsoh, ingin mohon mondok semalam." Segera pintuPahala dan Murka - 20 31
terbuka, terdengar orang di dalam berseru, "Ai, kiranya In-
conggoan adanya."
Suaranya rada gemetar, seperti terkejut dan bergirang, waktu In
Tiong memandangnya, tertampak dua orang berdiri berjajar di situ,
ternyata Loh Beng dan Loh Liang adanya, yaitu kedua jago andalan
Ong Cin.
"Kenapa kedua Loh-heng berada di sini? tanya In Tiong heran.
Loh Beng menjawab, "Setengah bulan yang lalu kami minta cuti
pulang kemari dan bermaksud membawa keluarga mengungsi ke
Kotaraja, siapa tahu kedatangan pasukan musuh terlampau cepat
sehingga hubungan terputus, terpaksa kami berdiam di sini. Eh.
apakah nona ini terluka? Lekas masuk kemari, ada obat luka di sini."
Lalu ia membawa In Tiong berdua ke ruangan tamu.
"Silakan istirahat dan minum dulu," kata Loh Liang, segera ia
menyuruh pelayan menyuguhkan teh.
Ciamtai Keng-beng dapat berpikir cermat, ia heran kedua jago
istana ini mengapa minta cuti pada saat gawat begini. Apalagi
daerah yang dilalui pasukan Watze hampir tidak ada sebuah rumah
pun yang selamat, mengapa keluarga mereka ini bisa aman tanpa
rusak sedikit pun.
Dilihatnya In Tiong sedang mengangkat cangkir hendak minum
teh, berulang ia memberi tanda, tapi In Tiong seperti tidak tahu,
keruan Keng-beng kelabakan dan hampir saja ia berteriak.
Syukurlah baru saja cangkir menempel bibir In Tiong, mendadak
cangkir jatuh dan pecah berantakan.
"Wah, maaf atas kecerobohanku," seru In Tiong.
Baru bersuara, tertampak air teh yang menyiram lantai itu
mengeluarkan asap, jelas itu bukan air teh melainkan racun.Pahala dan Murka - 20 32
Rupanya In Tiong juga sudah merasa curiga sebab mendadak
teringat olehnya Loh Beng dan Loh Liang adalah orang kepercayaan
Ong Cin, walaupun belum diketahuinya tentang pengkhianatan Ong
Cin dan telah dihajar mampus oleh Hoan Tiong di To-bok-po.
namun kejahatan Ong Cin sudah diketahui setiap orang, tanpa
diberi tanda Ciamtai Keng-beng juga dia sudah siap sedia.
Begitulah ketika mengetahui muslihat mereka ketahuan,
serentak kedua Loh bersaudara meraung sambil menjemput senjata
masing-masing, lalu menerjang maju.
Loh Beng menggunakan pedang dan Loh Liang memakai perisai,
mereka selalu bertempur bersama, perisai bertahan dan pedang
menyerang, gabungan perisai dan pedang kedua Loh bersaudara ini
sangat terkenal.
Sambil melayani kerubutan orang, In Tiong membentak,
"Apakah kalian hendak memberontak."
"Hehe, memang betul kami memberontak," jawab Loh Beng
dengan tertawa. "Tampaknya engkau masih belum tahu apa yang
terjadi. Ketahuilah rajamu sudah menjadi tawanan Watze, lebih
baik kalian tahu gelagat dan lekas menyerah saja kepada Watze,
dengan begitu selain jiwamu dapat diselamatkan juga pasti akan
mendapat kedudukan yang pantas Kalau tidak, biarpun kami tidak
membunuhmu juga kalian takkan lolos dari kepungan pasukan
Watze yang sudah membanjir tiba itu."
Tidak kepalang gusar In Tiong, jengeknya, "Hm, jadi kalian inilah
pahlawan yang bisa melihat gelagat, sungguh hebat! Serahkan jiwa
anjing kalian!"
Sambil berteriak golok In Tiong terus membacok, "Treng", tahu-
tahu pedang Loh Beng tertabas kutung sebagian. Karena tidak
terduga-duga, hampir saja pedang terlepas dari pegangan Loh Beng,Pahala dan Murka - 20 33
malahan daya bacokan yang luar biasa itu terus membentur tameng
Loh Liang dan membuat tangannya sakit pedas.
Loh Beng menjadi gusar, "Kurangajar! Berapa tinggi
kepandaianmu, berani omong besar!"
Segera golok membacok dan tameng mengepruk lagi, kedua Loh
bersaudara menyerang lagi dengan lebih gencar.
Waktu In Tiong mengelak, mendadak golok Loh Beng menabas
ke arah Ciamtai Keng-beng.
Nona itu terluka dan tak bertenaga, terpaksa ia menangkis
dengan pedangnya dan hampir saja ia tergetar jatuh. Cepat In Tiong
menubruk maju, dengan mati-matian ia mendesak mundur Loh
Beng.
Ciamtai Keng-beng mundur ke pojok ruangan dan berseru, "In-
toako, hadapi musuh sebisanya, jangan menghiraukan diriku!"
In Tiong merasa lega karena nona itu tidak mengalami cedera,
segera ia menerjang maju lagi.
Permainan pedang dan tameng kedua Loh bersaudara sudah
terlatih dengan baik, kerjasama mereka sangat rapat, dahulu
mereka pernah bertanding dengan Thio Hong-hu dan tidak
terkalahkan. Padahal kekuatan In Tiong di bawah Thio Hong-hu,
dengan sendirinya ia kewalahan menghadapi kerubutan Loh
bersaudara. Apalagi ia sudah bertempur di tengah pasukan


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setengah harian, tenaga sudah banyak berkurang, lambat-laun ia
mulai lemas, serangannya juga agak lamban.
Sebaliknya kedua Loh bersaudara menyerang terlebih gencar,
setelah dua puluhan jurus lagi, Loh Beng mengejek, "Hehe, In Tiong,
tidak lekas menyerah saja? Mungkin jiwamu masih dapat kami
ampuni."Pahala dan Murka - 20 34
In Tiong menjadi gusar dan tambah nekat, namun dirasakan
golok dan tameng musuh bertambah berat rasanya dan sukar
ditahan. Ia pikir bila perlu biar kubunuh diri saja, tapi bagaimana
dengan nona Ciamtai?
Teringat kepada Ciamtai Keng-beng, ia coba melirik si nona,
dilihatnya Keng-beng juga sedang mengawasinya dengan penuh
rasa cemas dan juga terima kasih, penuh rasa kepercayaan dan
dorongan, semua ini seketika membangkitkan semangat In Tiong.
mendadak ia menggertak sekerasnya, sebelah tangan terus
menghantam.
Pukulan ini menggunakan segenap tenaganya. Jurus serangan
maut Kim-kong-tai-lik-jiu yang ampuh, "brang", dengan tepat
pukulan dahsyat ini mengenai tameng, Loh Liang berteriak kaget,
tameng, terlepas dan lengan terasa kaku.
Kejadian ini sama sekali diluar dugaan kedua Loh bersaudara.
Sebaliknya setelah pukulannya berhasil, serupa benteng ketaton In
Tiong lantas menubruk maju lagi sambil membentak, kembali ia
hantam sekuatnya kepinggang Loh Beng.
Cepat Loh Beng melompat mundur, kedua Loh saudara seakan
akan ada hubungan batin, berbareng keduanya lantas melompat
keluar ruangan sambil tertawa panjang.
In Tiong berbalik tercengang, selagi hendak memburu ke sana,
tiba-tiba terdengar Keng-beng berteriak, "Wah, celaka!"
Tahu-tahu ruangan itu bisa berputar, dalam sekejap saja
keadaan menjadi gelap gulita disertai suara gemuruh, kiranya
ruangan ini memakai pesawat rahasia, sekeliling ruangan diberi
lapis baja, sekarang lapis baja itu sama anjlok sehingga ruang tamu
tadi seketika berubah menjadi sebuah kerangkeng.Pahala dan Murka - 20 35
Dengan murka In Tiong menghantam, tapi tangan sendiri lantas
kesakitan, sebaliknya dinding baja tidak bergeming sedikit pun.
Malahan terdengar Loh Liang mengejek di luar, "Jangan marah,
In Tiong, boleh kau-tidur saja beberapa hari di situ, kami tidak
melayanimu lagi."
Nadanya jelas hendak membuat In Tiong kelaparan beberapa
hari, habis itu baru akan dibereskannya.
Tentu saja In Tiong sangat gusar, tapi tak berdaya.
Kiranya beberapa hari yang lalu Loh Beng dan Loh Liang baru
kabur dari kotaraja, waktu itu Ih Kiam telah mengangkat kaisar
baru dan menangkapi begundal Ong Cin. Begitu melihat gelagat
tidak enak serentak Loh Beng berdua kabur. Lebih dulu mereka
pulang ke rumah, mereka sedang mencari jalan untuk berbuat jasa
agar dapat digunakan sebagai bekal pengabdian mereka kepada
pihak Watze. Dan kebetulan datang In Tiong sehingga kena dikerjai
mereka.
Dalam kegelapan In Tiong meraba-raba, mendadak Ciamtai
Keng-beng menjerit kesakitan, kiranya tanpa sengaja In Tiong
menyentuh luka di bahu Keng-beng-"O, maaf, nona Ciamtai," kata
In Tiong "Ai, kematianku tidak menjadi soal, hanya engkau ikut
menjadi korban."
"Ah, akulah yang membikin susah padamu, mestinya engkau
sendiri dapat melarikan diri," ujar Keng-beng.
"Sakitkah lukamu?" tanya In Tiong. "Bagaimana kalau kububuhi
obat pada lukamu?"
Setelah kejadian ini, rasa jemu Ciamtai Keng-beng terhadap In
Tiong sudah banyak berkurang, mendengar ucapannya, hatinya
tambah terharu, ia menunduk tanpa menjawab.Pahala dan Murka - 20 36
"Buka bajumu, biar kububuhi obat." kata In Tiong pula.
Setiap orang persilatan umumnya pasti membawa obat luka,
cuma dalam keadaan sibuk tadi dia tidak sempat memberi obat
kepada li nona.
Sembari bicara pelahan In Tiong mengangsurkan tangannya dan
berkata, "Pegang tanganku dan dekatkan pada lukamu."
Muka Keng-beng terasa panas, tapi mengingat keadaan gelap
gulita, andaikan buka baju juga tidak terlihat. Apalagi watak Keng-
beng memang bukan anak perempuan pingitan, maka ia tidak
menolak tangan In Tiong itu, ia membuka baju bagian atas dan
membiarkan anak muda itu membubuhi obat. Sentuhan tangan dan
kulit badan yang halus itu tentu saja menimbulkan perasaan yang
sukar dilukiskan bagi In Tiong.
Tiba-tiba terdengar Keng-beng berucap dengan menyesal,
"Engkau masih muda dan gagah perkasa, jika harus mati begini saja
sungguh harus disesalkan."
"Tekadku adakah setia kepada negara dan berkorban bagi
bangsa, kuyakin harta pusaka kiriman Tan-hong itu hari ini pasti
dapat sampai di kotaraja, sedikitnya sudah kupenuhi kewajiban
sekadarnya, biarpun mati aku tidak menyesal lagi." ucap In Tiong
tegas.
Terharu juga perasaan Keng bing, kesannya terhadap In Tiong
bertambah baik lagi, pikirnya, "Meski watak orang ini agak kepala
batu, jiwanya juga rada sempit, namun dia juga ada segi baiknya."
Begitulah kedua muda-mudi itu duduk diam saja di ruangan
gelap itu. Entah berselang berapa lama lagi, tiba-tiba terdengar
suara ringkik kuda ramai di luar, agaknya yang datang bukan cuma
seorang saja.Pahala dan Murka - 20 37
"Celaka," ucap In Tiong. "Kotaraja berada dalam kepungan
musuh, yang datang ini pasti pasukan Watze. Jika kita ditawan dan
diserahkan kepada pihak musuh, maka aku lebih baik bunuh diri
saja. Untuk ini hendaknya engkau memaafkan padaku, tak dapat
kubela lagi dirimu."
"Jika kau mati, memangnya aku mau hidup sendiri?" ujar Keng-
beng. "Jika aku tamak hidup juga malu terhadap Thio Tan-hong."
Hati In Tiong terasa bahagia oleh ucapan si nona. Tapi demi
mendengar si nona menyebut Thio Tan-hong, ia menjadi dingin
lagi, ia pikir ternyata si nona memandang Thio Tan-hong jauh lebih
penting daripadaku.
Terdengar suara derapan kaki kuda ramai sudah mendekat, lalu
berhenti di depan pintu, selang sebentar terdengarlah langkah
orang masuk ke situ.
Tanpa terasa In Tiong saling berjabat tangan dengan Ciamtai
Keng-beng karena tegangnya.
Lewat sejenak lagi, tiba-tiba terdengar orang bicara dengan
suara kasar, "Siapa itu yang terkurung di situ?"
In Tiong terkejut demi mengenali luara orang, biliknya kepada
Ciamtai Keng-beng, "Wah, celaka! Itulah Ciamtai Biat-beng, jago
nomor satu dari Watze."
"Ya, kutahu, dia saudara sepupuku," kata Keng-beng. "Bulan
lima tahun ini dia pernah ke Sohciu dan mengunjungi kami selama
beberapa hari."
In Tiong belum tahu jelas seluk-beluk keluarga Ciamtai, dengan
sendirinya ia sangsi dan kuatir, ia pikir ilmu silat Ciamtai Biat-beng
memang sangat tinggi, jika sampai tertangkap olehnya, ingin bunuh
diri saja tidak bisa lagi.Pahala dan Murka - 20 38
Didengarnya Keng-beng berbisik padanya, "Jangan bersuara,
rasanya kita belum ditakdirkan mati hari ini. Coba dengarkan
Kakakku bicara apa dengan mereka?"
Maka terdengar Loh Beng sedang menjawab, "Lapor Ciamtai
ciangkun, yang terkurung di sini boleh dikatakan tokoh yang luar
biasa."
"Tokoh luar biasa apa?" tanya Ciamtai Biat-beng.
"Kuyakin Ciamtai-ciangkun pasti merasa senang juga jika
kuberitahu," kata Loh Liang "Yang terkurung ini tak-lain-tak-bukan
adalah In Tiong, Buconggoan yang baru saja lulus ujian tahun ini. Ia
pernah menjabat komandan Han-lim-kun, tempo hari waktu
Ciangkun datang tentu juga pernah melihatnya. Kedudukannya
dalam pasukan pengawal kotaraja hanya di bawah Thio Hong-hu,
bukankah dia termasuk tokoh penting? Dan seorang lagi adalah
perempuan, konon datang dari Kangsoh. Hah, cantik benar yang
betina ini. Mestinya hendak kami ringkus mereka dan digusur
kepada Ya-lian Thaysu, kebetulan kedatangan Ciangkun ini, biarlah
mereka kuserahkan kepadamu saja."
"Oo, seorang lagi orang perempuan dari Kangsoh katamu?"
Ciamtai Biat-beng menegai. "Siapa namanya?"
"Kami belum semoat menanyai dia," jawab Loh Beng. "Boleh
Ciangkun periksa dia, kalau suka, silakan ambil saja."
Ternyata Ciamtai Kang-beng dianggap sebagai barang hadiah
saja oleh Loh Beng dan akan diberikan kepada kakaknya sendiri,
keruan Keng-beng mendongkol dan juga geli mendengarnya.
Terdengar Ciamtai Biat-beng berkata, "Baik coba keluarkan
mereka, biar kulihat sendiri."Pahala dan Murka - 20 39
Segera ruangan itu bergemuruh dan berputar pula, lapisan baja
lantas terbuka, pandangan In Tiong terbeliak, seketika pintu kamar
juga terbentang.
Tertampaklah dengan wajah dingin Ciam-tai Biat-beng berdiri di
situ dan lagi tanya Loh Beng, "Mereka ini yang kau maksudkan?"
"Betul, Ciangkun. mereka .... Eh, ada . . . ada apa . . . ." mendadak
Loh Beng berseru dan menyusul lantas terdengar suara "blang"
yang keras.
Ternyata Ciamtai Biat-beng telah bertindak secepat kilat, tahu-
tahu Loh Beng dan Loh Liang telah dicengkeram keduanya, lalu
kepala diadu dengan kepala, kontan kepala pecah dan otak
berantakan, tentu saja keduanya binasa.
Saking kegirangan Keng-beng menangis, ia memburu maju dan
merangkul Ciamtai Biat-beng sambil berseru, "Oo, Koko!"
"Wah, engkau terluka panah, coba kulihat. Ah, tidak apa," kata
Biat-beng. "Tentu engkau tersiksa oleh kedua keparat tadi. Tapi
anak muda juga perlu gemblengan agar tambah masak."
In Tiong berdiri melenggong di samping sambil memandang
Ciamtai Biat-beng dan tidak sanggup bersuara.
"In-heng, sungguh sangat kebetulan, kembali kita bertemu lagi,"
sapa Biat-beng. "Tapi sekali ini tidak perlu kau labrak diriku lagi
bukan ? Eh, kedatanganmu ko Sohciu apakah bertemu dengan Thio
Tan-hong?"
"Bertemu," jawab In Tiong.
"Dan permusuhan kedua keluarga kalian sudah dapat
didamaikan?" tanya Biat-beng pula.
In Tiong diam saja tanpa menjawab.
Sedangkan Ciamtai Keng-beng lantas menggeleng kepala.Pahala dan Murka - 20 40
"Ya, sudahlah, urusan keluarga kalian tidak enak aku ikut urus,"
kata Biat-beng. "Cuma ingin kutitip pesan padamu, bila di Peking
engkau bertemu lagi dengan Thio Tan-hong, hendaknya suruh dia
jangan kuatir, kepungan terhadap Peking sudah longgar, pasukan
Watze dalam waktu singkat mungkin juga akan ditarik mundur."
"Hah, apa betul?" seru Keng-beng girang. "Apakah hal ini Koko
dengar dari Yasian?"
"Tidak nanti dia katakan padaku," tutur Biat-beng. "Cuma dari
keadaannya kuyakin pasukan Watze pasti ditarik mundur. Semula
aku ditugaskan menjaga Gan-bun-koan, lalu sebagian pasukanku
diperintahkan kemari untuk membantunya. Diam-diam kuberi
kabar kepada Kim-to-cecu agar menyerang Gan-bun-koan setelah
kuberangkat. Kemarin kuterima berita bahwa sebagian perajurit
penjaga Gan-bun-koan menjadi korban serbuan Kim-to-cecu. Tentu
Yasian tidak menduga kejadian ini adalah perbuatanku. Merasa
tergencet dari muka dan belakang, ditambah keamanan dalam
negeri Watze juga tidak mantap, kukira dalam waktu singkat dia
pasti akan mengundurkan pasukannya."
(Bersambung Jilid ke 21)Pahala dan Murka - 21 0Pahala dan Murka - 21 1
PAHALA DAN MURKA
Oleh : gan k.l.
Jilid ke 21
N TIONG melenggong oleh cerita Ciamtai Biat-bing itu, sama
sekali tak terpikir olehnya orang bisa bertindak demikian
untuk membantu pihak kerajsan Beng.
"Bagaimana keadaan Cukong kita sekarang?" tanya Keng-bing
komudian.
"Cukong" yang dimaksudkan ialah ayah Thio Tan-hong, yaitu
Thio Cong-ciu.
In Tiong terkesiap pula mendengar mereka menyebut nama
musuhnya.
Terdengar Ciamtai Biat bing berkata, "Akhir-akhir ini Cukong
sangat kesal, dia tidak pernah lupa akan membangun kembali
kerajaan Ciu raya, tapi juga tidak suka Watze menduduki daerah
Tionggoan. Sebab itulah terjadi pertentangan batin dan sukar ku-
hiburnya."
Ia melihat cuaca icjenalc, lalu berkata pula, "Ako mendapat
perintah dari Yaiian untuk membawa pulang Loh Beng dan Loh
Liang, sekarang terpakia kulaporkan mtreka sudah mati terbunuh
musuh. Hari sudah dekat petang, aku harui pergi dulu."
Hsbis bicara ia lantai meninggalkan rumah itu beriama anak
buahnya yang maiih menjaga di luar.
Setelah Ciamtai Biat-bing pergi, cepat In Tiong dan Keng-bing
mencemplak ke atas kuda maling masing dan dilarikan ke kotaraja.
Kepungan terhadap Peking ternyata ludah dibubarkan, beberapa
puluh li lekitarnya tidak nampak bayangan muiuh. Antara 30 liPahala dan Murka - 21 2
mereka melarikan kudanya lantas bertemu dengan palukan
kerajaan Beng dan disongsong ke dalam kota untuk bertemu dengan
Thio Tan-hong dan In Lui.
Tentu saja In Tiong sangat gembira. Sejak pertempuran ini, raia
benci In Tiong terhadap Tan-hong kembali berkurang beberapa
bagian lagi.
Bala bantuan dari daerah berturut masuk kotaraja, Ih Kiam
menggunakan harta pusaka tinggalan Thio Su ling sebagai ganjaran
dan perangsang prajurit, ditambah lagi mendapat peta rahasia yang
sangat besar manfaatnya, seketika semangat tempur pasukan Beng
menyala-nyala, berturut menang lagi beberapa kali pertempuran,
setengah bulan kemudian pasukan Watze benar-benar ditarik
mundur seluruhnya keluar Gan-bun-koan.
Suatu hari Ih Kiam memanggil Tan-hong dan In Lui ke
kediamannya, katanya, "Ada suatu pekerjaan sulit, apakah Hiantit
mau melaksanakannya?"
"Apa perintah Taijin, biarpun terjun ke lautan api pun takkan
kutolak," kata Tan-hong.
"Kita telah menang perang, tapi Sri Baginda Ki-tin menjadi
tawanan musuh, kupikir kita harus berusaha mengadakan
perdamaian dengan pihak Watze dan semoga dapat memulangkan
dia ke sini," demikian tutur Ih Kiam. "Untuk itu, kuminta engkau
suka kembali ke negeri Watze, bujuklah ayahmu bersama Aji untuk
mengatasi pendirian Yasian yang ambisius itu. Bagi Hiantit hal ini
sungguh merupakan suatu pahala besar."
Tan-hong berpikir sejenak, jawabnya kemudian. "Baik, besok
juga segera kuberangkat."Pahala dan Murka - 21 3
Mestinya aku tidak ingin pulang lagi ke negeri Watze, tapi demi
urusan ini, biarpun masuk ke hutan golok juga kusiap
menghadapinya. Apakah hanya aku sendiri yang pergi?''
"Sudah kubicarakan dengan In Tiong," kata Ih Kiam, "biarlah In


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lui berangkat bersamamu. Konon gabungan pedang kalian selama
ini tidak ada tandingannya, apa betul?"
"Ah, mungkin karena belum menemukan lawan tangguh," ujar
Tan-hong. "Cuma, bila ditemani dia tentu akan lebih baik,
betapapun musuh yang lihai dapat kami hadapi bersama."
Ih Kiam tertawa penuh arti.
Esoknya Tan-hong dan In Lui lantas mohon diri kepada orang
banyak dan bersama meninggalkan kotaraja. Perjalanan jauh sekali
ini membuat perasaan mereka terlebih senang.
Ditengah jalan Tan-hong berkata dengan tertawa, "Adik cilik,
tempo hari waktu kita berangkat dari Kangsoh ke kotaraja pernah
kau katakan perjalanan singkat menyusahkan, sekarang kepergian
kita ke Watze ini jelas perjalanan yang sangat jauh."
In Lui terienyum, "Tapi perjalanan betapa jauhnya pada suatu
hari akan sampai juga."
"Perjalanan orang hidup betapa banyak rintangannya, entah
berapa jauh kita masih harus menempuh perjalanan ini," kata Tan-
hong.
Mendengar pemuda itu memakai perkataan "perjalanan hidup
kita", In Lui tahu orang bermaksud minta dirinya menjadi teman
hidup selamanya, dengan sendirinya tersentuh juga perasaan si
nona, tapi bila teringat kepada pesan sang kakak, tanpa terasa ia
sedih.Pahala dan Murka - 21 4
Terpaksa ia pura-pura tidak tahu, katanya dengan tertawa, "Eh,
kita percepat perjalanan, kalau tidak, bisa jadi akan turun salju
sebelum kita tiba di daerah perbatasan."
Begitulah sepanjang jalan mereka bergurau sehingga tidak
merasakan kesepian, cuma bilamana Tan-hong bicara
menyinggung urusan pribadi mereka berdua, selalu In Lui berusaha
mengelaknya.
Suatu hari sampailah mereka di Yangkik, meski pasukan Watze
sudah mundur, namun suasana kota masih tepi, sebagian besar toko
belum lagi buka pintu. Tapi restoran yang dulu untuk pertama
kalinya Tan-hong bertemu dengan In Lui disitu kelihatan sudah
buka, panji pengenalnya tampak berkibar.
"Adik, cilik, apakah masih ingat kepada restoran ini?" tanya Tan-
hong tertawa.
"Selama hidup takkan lupa," jawab si nona.
"Ah, sungguh antara kita ada kesatuan perasaan "
"Kesatuan perasaan apa? Maksudku takkan kulupakan engkau
mencuri uangku di restoran ini sehingga waktu itu aku mendapat
malu besar," sela In Lui.
Tan-hong agak kecewa, tapi segera ia berkata dengan tertawa,
"Sudahlah, jangan kita recoki kejadian dulu Setelah tiba di tempat
lama, sepantasnya kita mampir lagi untuk makan minum. Jangan
kuatir, adik cilik, sekali ini aku mentraktirmu dan takkan kubilang
engkau makan tidak bayar."
Menyinggung kejadian dahulu, In Lui tertawa juga, kalanya, "Jika
kau berani main gerayang uangku lagi, tentu kupukul patah tulang
tanganmu."Pahala dan Murka - 21 5
Begitulah mereka lantas menambat kuda dan masuk ke restoran
yang dimakiud.
Kota Yangkik baru diduduki kembali oleh pasukan kerajaan
Beng, tetitmu belum banyak, Tan-hong masih ingat tempat
duduknya dahulu, segera bersama In Lui mengambil meja itu lagi.
Ia pesan pelayan membawakan sepoci arak, dua kati daging rebus
Sekaligus ia minum tiga cawan, lalu berucap dengan tertawa,
?Waktu itu aku minum sendirian di sini, engkau juga sendirian.
Kuingat engkau terus menerus melirikku. Tapi sekarang kita
berduaan dan tidak perin main lirik lagi."
"Sisu," desis In Lui malu. "Jangan bicara terlalu keras. Memang
siapa yang melirikmu? Soalnya waktu itu kulihat lagak-lagumu
yang menggelikan, maka aku menaruh perhatian padamu. Ai, siapa
tahu engkau yang sengaja mempermainkanku. Ah, sudahlah,
kejadian lama jangan diungkat lagi, kalau dibicarakan aku menjadi
gemas lagi padamu."
"Wah, masa begitu?" Tan-hong berseloroh pula.
In Lui mendongkol, "Ai, hatimu memang busuk."
"O, jika begitu aku ini kakak yang busuk", kata Tan hong.
"Jika kaubikin marah lagi padaku, aku takkan bicara pula
denganmu."
Tan-hong minum lagi secawan, katanya dengan tertawa,
"Kuingat kedua penjahat kecil yang mengincarku dahulu itu duduk
di sebelah sana."
Sembari bicara ia pun menoleh, dilihatnya tempat yang
dimaksud itu sekarang juga diduduki orang, yaitu seorag Tosu
berjubah hijau yang kelihatan gagah.Pahala dan Murka - 21 6
"Yang duduk di situ sekarang tentu bukanlah penjahat," dengan
tertawa In Lui menambahkan, lalu ia pun minum secawan.
Walaupun tidak ingin mengungkat lagi kejadian dulu, tapi
berada di tempat lama, mau tak-mau terbayang olehnya kejadian
masa lampau, pikirnya, "Waktu itu aku sangat benci padanya, tak
tersangka sekarang menjadi aahabat karib, terlebih tak terduga dia
adalah musuhku, musuh kakak yang sukar dilupakan. "Ai, orang
hidup ini memang macam-macam."
Begitulah mereka bicara ke timur dan ke barat dengan akrab,
tanpa terasa In Lui minum lagi beberapa cawan.
Tiba tiba Tan-hong berkata. "Adik cilik, belasan li ke sana lagi
adalah Oh-ciok-ceng. Apakah engkau tidak ingin mengunjungi ayah
mertuamu?"
In Lui melenggong, teringat olehnya peristiwa lucu ketika ia
bermalam pengantin dengan Giok Gui-hong dulu, hampir saja arak
yang diminumnya tersembur keluar.
Dengan sungguh-sungguh Tan-hong berkata pula, "Tentunya
istrimu yang cantik itu telah menunggu dengan hampa sekian
lamanya akan kedatanganmu, sekarang setelah mengalami
musibah peperangan, sepantasnya kau jenguk dia supaya lega
hatinya."
Hati In Lui tergerak, teringat olehnya cinta Ciok Cui-hong yang
salah wesel itu, ia pikir memang seharusnya kujenguk dia, cuma
apakah perlu kuberitahukan wajah asliku atau tidak?
Maklumlah, ketika baru berkecimpung di dunia kangouw dulu In
Lui belum lagi hilang sifat kekanak-kanakannya. Dia menyamar
sebagai lelaki dan memalsu sebagai pengantin lelaki, semua itu
hanya untuk main-main saja. Tak tersangka Ciok Cui-hong benar-
benar jatuh cinta padanya dan menganggapnya sebagai suami yangPahala dan Murka - 21 7
dapat diandalkan. Sekarang setelah In Lui tergembleng sekian lama
di dunia kangouw, orangnya sudah jauh lebih dewasa, maka timbul
rasa menyesalnya sekarang bila teringat kejadian dulu.
Waktu ia menengadah, dilihatnya Tan-hong sedang
memandangnya seperti senyum tak senyum.
"Apa yang kau tertawakan?" tanya In Lui dengan mendongkol,
"Bukankah kaupun pernah menyamar sebagai perempuan dan
hampir saja menjadi pengantin dengan putri Yasian?"
"Tapi aku kan tidak menikah dengan orang," ucap Tan-hong
dengan Tan-hong dengan tertawa.
"Baiklah, lekas kita minum, segera kila mencarinya untuk
memberitahukan duduk perkara yang sebenarnya." ujar In Lui.
"Cuma, ai, entah sekarang Ciu San-bin berada di mana?"
"Urusanmu sendiri belum lagi beres. masa sudah ingin menjadi
comblang bagi orang lain?" kata Tan-hong. "Coba kutanya, perlu
tidak kau ganti pakaian, kalau tidak, bila dilihat Ciok-siocia. tentu
engkau akan diganduli dan takkan dilepaskan lagi."
Ketika berangkat dari kotaraja In Lui telah menyaru sebagai
lelaki pula, maka ia merasa geli juga setelah memandang baju
sendiri, katanya. "Ssst, jangan terlalu keras bicaramu. Tosu
disebelah seperti sedang memperhatikan kita."
"Dia bukan penjahat, tidak perlu kuatir," kata Tan-hong, Karena
menanggung pikiran, bergegas In Lui menghabiskan isi cawannya,
lalu mendahului hendak membayar, katanya dengan tertawa,
"Sekali ini yang . . . . "
Baru bicara sampai di sini, tangan yang merogoh saku seketika
tak bergerak lagi, ia melenggong, sebab dompetnya telah terbang
tanpa sayap.Pahala dan Murka - 21 8
"Ah, tentu Toako menggodaku lagi," demikian ia pikir, segera ia
berseru, "Ayo, kembalikan dompetku."
Waktu ia berpaling, dilihatnya si tosu baju hijau tadi berdiri di
samping, kontan Tan-hong memukulnya sambil membentak. "Di
tengah siang hari bolong berani kau jadi maling?'' Tosu itu
menangkis pukulan Tan-hong dengan enteng, serunya, "Hei, berani
kau pukul orang?" In Lui terkejut oleh kecepatan si tosu, sungguh
tak terduga pukulan Tan-hong itu dapat ditangkisnya. Selagi ia
hendak ikut menghajar si tosu dilihatnya Tan-hong telah
melancarkan serangan lain dengan cepat sambil menjengek, "Hm.
kiranya engkau ini seorang pandai juga!" Sekali cengkeram, kontan
dompet In Lui yang sudah dicopet orang itu direbutnya kembali, lalu
bentaknya pula, "Bukti barang curianmu berada di sini, apa yang
akan kau katakan lagi?"
Terdengar suara "bret" sekali, jubah si tosu terobek sepotong
oleh cengkeraman Tan hong Tapi dengan gerakan "Kim-sian-toat-
kak" atau tonggeret emas melepas kulit, dengan gesit ia melepaskan
diri dari tenaga cengkeraman Tan-hong. menyusul ia terus
melompat keluar melalui daun jendela.
"He hei, bayar dulu!" teriak kuasa restoran. "Wah, mana penjaga,
itu dia ada penjahat, habis makan terus lari tanpa bayar!" Cepat Tan
hong membuka dompet dan melemparkan sepotong perak ke meja,
katanya, "Jangan ribut, semuanya aku yang bayar."
Sepotong perak itu bobotnya lebih sepuluh tahil, jauh lebih
daripada cukup untuk membayar rekening minum Tan-hong dan In
Lui ditambah si tosu tadi.
Kuasa restoran kegirangan, selagi hendak mengucapkan terima
kasih, cepat Tan-hong menarik In Lui dan berbareng mereka pun
melompat keluar.Pahala dan Murka - 21 9
Orang berlalu lalang di jalan raya tidak banyak, terlihat si tosu
tadi menunggang kuda dan sudah menerjang keluar gerbang kota.
Cepat Tan-hong menarik In Lui mencemplak ke atas kuda putih
Ciau-ya sai cu-ma dan berseru, "Mari, kejar!"
"Ai, sudahlah," kata In Lui. "Dompet sudah direbut kembali, buat
apa cari perkara lagi padanya."
?Tidak, aku tertarik kepada kepandaian tosu yang luar biasa itu?"
kata Tan hong. "Dia pasti bukan pencuri umum, harus kutanyai dia
sejelasnya."
Sekali meringkik, Ciau-ya-iai-cu-ma terui membedol dengan
cepat dan terpaksa In Lui mengikut dari belakang.
Kuda tunggangan In Lui juga kuda pilihan pemberian Ih Kiam,
meski tidak sebagus kuda putih Tan-hong, tapi larinya cukup cepat
juga.
Tidak seberapa lama setelah mengejar keluar kota, dapatlah
mereka menyusul si tosu jubah hijau.
"Berhenti!" segera Tan-hong membentak.
Dengan bingung tosu itu berpaling, mendadak ia tergelak,
katanya, "Haha, rupanya kau tahu aku lagi kekurangan sangu dan
sengaja mengantar uang padaku?"
"Di restoran terlalu ramai dan tidak leluasa untuk bicara,
sekarang apakah Totiang masih hendak bercanda dengan kami!"
jawab Tan-hong.
Si tosu menarik muka, "Siapa yang bercanda denganmu?"
"Kalau bukan bercanda, hendaknya menjelaskan asal-usulmu."
kata Tan hong.
"Selama ini belum pernah tertangkap tangan dalam
pekerjaanku, tadi aku tertangkap olehmu, kan sudah kukembalikanPahala dan Murka - 21 10
uangnya dan habis perkara, sekarang kalian mengejar lagi kemari,
jelas kalian orang kaya sengaja hendak mempermainkan diriku.
Hm, boleh coba rasakan dulu pedangku!"
Cara bicaranya sangat serius dan tidak mirip bergurau. Benar
juga, selesai bicara segera melolos pedang dan kontan menusuk.
Cepat Tan-hong menghindar. Tapi si totu serantak menyerang
tiga kali lagi. Dari gaya serangan orang Tan-hong tahu orang dari
aliran Bu-tong.
Terdengar si tosu membentak, "Hm, kudamu memang cepat,
terhitung orang gagah macam apa?? Tergerak hati Tan-hong, ia
pikir jangan-jangan orang sengaja hendak menguji ilmu pedangnya.
Segera ia melompat turun dari kudanya dan berkata, "Baik, boleh
kita coba beberapa jurus."
Tosu itu lantas melompat turun juga tanpa bicara pedang
menusuk pula dengan jurus lihai.
Dengan mendongkol balas menabas, me nyusul pedang bergetar,
sekaligus ia tutuk tiga hiat-to penting lawan.
"Hah, lihai jaga!" seru si tosu sembari menggeser ke samping,
sambil mengelak kontan ia balas menusuk pula.
Diam-diam Tan-hong merasa kagum, ia pikir ilmu pedang orang
ini jauh di atas Siong-ciok Tojin, tentu tokoh Bu-tong-pai
terkemuka.
Ia tidak berani gegabah lagi segera dikeluarkannya Hian-ki-
kiam-hoat yang ampuh dengan gerak serangan yang sukar diraba,
ia kaligus ia melancarkan delapan kali tusukan. Habis ini, selagi si
tosu sempat ganti napas "sret", diluar dugaan lawan kembali Tan-
hong menambahi sekali tabasan, "erat", tahu-tahu kopiah si tosu
tertabas lepas.Pahala dan Murka - 21 11
Tosu itu berteriak kaget dan melompal mundur, "Haye, sungguh
sialan, ingin mencuri ayam malah kehilangan segenggam beras.
Pantas Siong-ciok Sute kecundang dan bersumpah selama hidup
tidak mau memakai pedang lagi."
Siong-ciok Tojin adalah tosu yang dulu membantu Soa Tiu
hendak mcmbegal kuda putih Thio Tan-hong dan dikalahkan oleh
Tan-hong dengan mengenalkan itu.
Mendengar ucapan orang, Tan-hong menjadi curiga, ia berhenti
menyerang dan bertanya, "Apakah kedatangan Totiang ini hendak
menuntut balas bagi Siong-ciok Tojin?"
Si tosu jubah hijau terbahak, "Hahaha, hanya persoalan sekecil
ini juga harus menuntut balas, masakah begitu banyak waktu
isengku? Dari kuda tunggangnnmu dan ilmu pedangmu, tentu
engkau inilah Thio Tan-hong. Untung kucoba dulu dirimu, kalau
tidak kalian pasti akan menempuh perjalanan sia-sia. Coba jawab,
kalian mau pergi ke Oh-ciok-ceng bukan?"
Tan-hong melengak, tanyanya, "Memastinya kenapa?"
"Tidak apa-apa," kata si tosu. "Cuma setiba kalian di Oh-ciok-
ceng pasti takkan bertemu dengan Hong-thian-lui."
"Memangnya dimana dia kalau tidak berada di Oh-ciok-ceng?"
Tan-hong menegas.
"Dia berada di pangkalan saudara angkatnya, Soa Tiu," tutur si
tasu.
Meski ada hubungan baik, antara Ciok Eng dan Soa Tiu, tapi
sejak Giok Eng menjodohkan putrinya kepada In Lui, Soa Tiu dan
anaknya sudah renggang berhubungan dengan Ciok Eng.
Karena itulah Tan-hong merata sangsi, tanyanya pula, "Apakah
ucapanmu dapat dipercaya?"Pahala dan Murka - 21 12
"Untuk apa kubohongimu?" kata si tosu. "Baru baru ini Soa Tiu
mengundang para ksatria dunia persilatan, aku pun termasuk
undangannya, namun aku tidak suka ke sana. Aku hanya


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyampaikan kartu tanda terima kasihku kepadanya dari kaki
gunung, lalu kutinggal pergi, kebetulan di sana aku bertemu dengan
Ciok Eng yang baru datang."
"Dan bagaimana dengan putrinya?" tiba-tiba In Lui menyela.
"Dengan sendirinya ia berada bersama putrinya masa perlu
ditanyakan lagi?" tutur si tosu dengan tertawa.
"Mohon tanya siapakah gelar Totiang yang mulia?" tanya Tan-
hong.
"Aku Jik-he dari Bu-tong san," jawab it tosu.
"O, kiranya Jik he Totiang adanya, sudah lama kukagumi nama
Totiang," ujar Tan-hong.
Ucapan Tan-hong bukan cuma basa-basi saja, sebab Jik he Tojin
ini memang terhitung mempunyai reputasi baik di antara kawasan
tosu Bu tong-pai.
Tiba-tiba Jik-he Tojin berkata pula. "Dalam perjalanan kudengar
pula sedikit desas-desus, entah benar atau tidak?"
"Desas-desus apa?" tanya Tan-hong.
"Konon ketika pasukan Watze menduduki wilayah sekitar sini,
orang Mongol itu agak baik terhadap Soa Tiu, maka pangkalannya
dapat bertahan sampai sekarang."
Tan-hong terkejut, katanya, "Apakah Ciok Eng tahu hal itu?"
"Entah, aku sendiri tidak jelas," ujar Jik-he. "Sebenarnya hendak
kukatakan kepada Ciok Eng, namun waktu itu dia didampingi anak
buah Soa Tiu sehingga tidak sempat kubicara langsung dengan dia."Pahala dan Murka - 21 13
Tan-hong bersuara kuatir, serunya, "Terima kasih atas petunjuk
Totiang."
Segera ia cemplak kudanya dan dilarikan capat. Jik-he Tojin
lantas pergi juga ke arahnya sediri.
Di tengah jalan In Lui tanya Tan-hong, "Ada urusan apa dengan
perkataan si tojin tadi?"
"Dari nada ucapannya, pasti ada intrik tertentu dari Soa Tiu dan
anaknya, sangat mungkin dia sengaja memasang perangkap untuk
menjebak Ciok Eng," tutur Tah-hong. "Tadi dia sengaja menguji kita
di restoran tujuannya ingin tahu siapa kita untuk memberi info agar
kita pergi menolong Ciok Eng."
"Masa begitu gawat urusannya?" tanya In Lui kurtir.
"Biarlah kita pergi dulu ke Oh-ciok-ceng," kata Tan-hong. "Jika
benar Ciok-locianpwe benar tidak berada di sana barulah kita susul
ke tempat Soa Tiu."
Begitulah mereka terus melarikan kuda secepatnya, tidak sampai
setengah jam mereka sudah tiba di Oh-ciok-ceng Pintu gerbang
perkampungan itu kelihatan terpentang lebar, di dalam terdengar
suara riuh ramai, suara pertempuran.
Segera Tan-hong dan In Lui melolos pedang dan menerjang ke
dalam. Mereka dicegat oleh dua orang yang mirip Thaubak kaum
bandit, baru dua-tiga gebrakan mereka sudah dirobohkan Tan-
hong.
Terlihat hampir semua centing Oh-ciok-ceng telah diringkus
musuh, hanya tersisa beberapa orang yang berkepandaian agak
tinggt masih bertempur mati-matian.
Tan-hong dan In Lui terus memperlihatkan ketangkasan
mereka, mereka menerjang ke sana sini, hanya sebentar sajaPahala dan Murka - 21 14
segenap penyatron itu sudah ditutuknya hingga tak bisa bergerak
lagi, mereka membebaskan kawanan centing dari ringkusan musuh
dan dimintai keterangan.
Seorang centing bertutur, "Sesudah Cengcu pergi, tidak sampai
setengah hari kemudian kawanan bandit ini lantas menyerbu
kemari. Semula kami mengira mereka adalah anak buah Soa Tiu
yang ada hubungan baik dengan Cengcu, tanpa curiga kami
membiarkan mereka masuk ke sini. Siapa tahu mereka lantas
membakar, membunuh dan merampok. Sungguh suatu penghinaan
bagi Oh-ciok-ceng, bilamna diketahui Cengcu tentu jiwa anjing
mereka takkan diampuni."
Tan-hong membuka hiat-to salah seorang thaubak yang
ditutuknya. lalu dibentak, "Soa Tiu yang menyuruh kalian ke sini
bukan? Kalian diperintahkan berbuat apa?"
Thaubak itu cukup bandel, ia tutup mulut tanpa menjawab Tan-
hong tersenyum, pelahan ia tutuk iga orang dan membentak pula,
"Kau mau bicara atau tidak?"
Tutukan khas Tan-hong itu membuat si thaubak merasa sekujur
badan serupa ditusuk jarum yang tak terhitung jumlahnya, saking
tak tahan lekas ia minta ampun, tuturnya, "Soa-cecu menyuruh
kami memboyong pulang segala barang yang berada di Oh-ciok-
ceng sini, terlebih mengenai lukisan dan benda seni lain, satu pun
jangan dilewatkan."
Tan-hong pikir tujuan Soa Tiu pasti bukan pada benda Ciok Eng
melainkan ingin mencari lukisannya, agaknya Soa Tiu mengira peta
rahasia itu masih tersimpan di rumah Ciok Eng. Anehnya dari mana
Soa Tiu mengetahui urusan ini?
"Apa yang kau renungkan, Toako?" tanya In Lui ketika melihat
Tan-hong termenung.Pahala dan Murka - 21 15
"Kukira keterangan Jik-he Totiang tidak dusta. Soa Tiu pasti
bersekongkol dengan pihak Watze," kata Tan-hong. Lalu ia pesan
kepala rumah tangga Oh-ciok-ceng, "Boleh kalian ringkus kawanan
bandit ini, terserah kepada Ciok-cengcu nanti untuk ditindak
bagaimana kehendaknya."
Segera Tan-hong dan In Lui meninggalkan Oh-ciok-ceng dan
menuju ke tempat Soa Tiu.
Sarang Soa Tiu terletak di lereng Liok-ciang-san. kira-kira 30 li
dari Oh-ciok-ceng. Dengan kuda mereka yang cepat, tidak sampai
setengah jam Tan-hong berdua sudah sampai di kaki gunung.
Dari jauh kelihatan benteng kayu dibangun melingkari lereng
gunung serupa seekor naga yang panjang, pertahanan kelihatan
cukup kuat.
Tan-hong dan In Lui melepaskan kuda mereka, lalu mendaki
gunung dengan ginkang yang tinggi "Siapa itu?!" bentak pengintai
ketika melihat kedatangan Tan-hong berdua.
"Tetamu undangan Cecu kalian," jawab Tan-hong.
"Coba perlihatkan kartu undangan," kata penjaga itu.
"Ini, lihatlah yang jelas," seru Tan-hong sambil angkat sebelah
tangannya.
Waktu penjaga itu memandang, ternyata tidak terlihat sesuatu,
selagi hendak menegur pula, mendadak hulu hati terasa kaku dan
kontan jatuh kelengar.
Kiranya Tan-hong telah menggunakan jarumnya untuk
menusuk hiat-to orang, untuk bisa sadar kembali dengan sendirinya
diperlukan waktu 12 jam.
Begitulah Tan-hong dan In Lui terus mendaki ke atas, setiap
rintangan sedapatnya dihindari, kalau kepergok terpaksaPahala dan Murka - 21 16
menyambitnya dengan jarum. Tidak lama kumudian sampailah
mereka di atas gunung.
Tertampak di depan mengadang tebing yang menjulang tinggi,
kecuali sepotong jembatan batu tiada jalan lintas yang lain.
"Awas, tempat ini kelihatan berbahaya," kata Tan-hong, Segera
ia mendahului menyeberangi jembatan balok batu itu dekati In Lui
dari belakang. Baru sampai tengah jembatan, mendadak terdengar
suara jepretan busur, dari belakang mereka dihujani anak panah.
In Lui sudah siapkan pedangnya, sekali berputar hujan anak
panah sama rontok, katanya dengan tertawa, "Huh, hanya panah
saja bisa mengapakan diriku?"
Belum lenyap suaranya mendadak dari atas tebing melompat
turun satu orang, kontan pedang Tan-hong menusuk ke atas
dengan gerakan "Ki-hwe-liau-thian" atau angkat obor menerangi
langit. Dirasakan tenaga pendatang ini sangat kuat, "trang", terjadi
adu senjata, tangan Tan-hong terasa panas pedas.
Dalam pada itu orang itu sudah hinggap di atas balok batu,
mengalang di tengah antara Tan hong dan In Lui, rupanya
bermaksud mendesak In Lui supaya terjerumus ke bawah.
Jembatan balok batu itu sangat sempit sehingga gabungan ilmu
pedang Tan-hong dan In Lui sukar dikembangkan.
Mendadak Tan-hong menjerit, tubuhnya bergeliat dan melompat
ke sisi jembatan. In Lui juga berteriak kaget.
Tentu saja orang itu bergirang. disangkanya Tan-hong
terjerumus ke bawah, segera ia susuli suatu tendangan.
Tak terduga Tan-hong sengaja menggunakan tipu muslihat,
hanya tubuhnya saja kelihatan doyong keluar jembatan, tapi keduaPahala dan Murka - 21 17
kaki masih menyangkol kuat pada jembatan batu, berbareng itu
segenggam jarum terus dihamburkan.
Dalam keadaan tak dapat menghindar, terpaksa orang itu
melompat ke atas pada saat terakhir sehingga hamburan jarum itu
sempat dihindarkan. Namun kesempatan itu juga lantas digunakan
Tan-hong dan In Lui untuk menyeberang ke sana.
Orang itu berteriak murka dan menubruk turun lagi, dalam pada
itu dari atas juga melompat turun pula beberapa orang, posisi Tan-
hong dan In Lui sekarang jadi terkepung. Mau-tak-mau Tan-hong
terkesiap melihat kelihaian kungfu orang tadi.
Tiba-tiba terdengar orang tadi berteriak kaget, "Hah, kiranya
kau!!"
Tan-hong juga balas membentak, "Hm, kiranya kaul"
Meski kedua orang sudah bergebrak di tengah jembatan balok
batu tadi, tapi karena serang menyerang sama dilakukan secepat
kilat. Kedua pihak lama memperhatikan gerak serangan lawan yang
lihai sehingga belum sempat mengamat-amati wajah masing-
masing, sekarang setelah melihat jelas, keduanya sama berteriak
kaget pula.
Orang ini tak-lain-tak-bukan ialah jago nomor satu andalan
Yasian, yaitu Ogito, di To-bok-po dulu Tan-hong pernah bergebrak
dengan dia dan cukup tahu betapa tinggi ilmu silatnya, di negeri
Watze kepandaian Ogito hanya di bawah Ciamtai Biat-beng saja.
Tan-hong tidak berani gegabah, segera ia berseru, "Adik cilik,
menangkap penjahat harus menangkap dulu pentolannya, mari kita
tumpas dulu keparat ini."
Tanpa bicara, pedang In Lui terus berputar dan menusuk,
gabungan dua pedang memang maha sakti, belum lagi OgitoPahala dan Murka - 21 18
menyerang, tahu-tahu kedua pedang lawan sudah menyambar ke
mukanya.
Dengan kaget Ogito membentak dan cepat menangkis, akan
tetapi sukar lagi bertahan, terdengar suara "krek-krek" dua kali,
pedangnya patah menjadi empat bagian. Cepat Ogito melompat
mundur, celakalah dua anak buahnya yang berada di sebelahnya,
mereka yang menjadi korban sambaran pedang yang belum lagi
berhenti itu.
Dari seorang kawannya Ogito merampas sebilah pedang, ketika
kedua pedang lawan menyambar tiba pula, sekali ini dia tidak
berani lagi menangkis, ia putar pedangnya hingga menimbulkan
suara mendengung sesuai dengan nama ilmu pedangnya, yaitu
Hong-lui-kiam-hoat, ilmu pedang angin dan petir Cahaya pedang
berubah menjadi berpuluh jalur dan menyilaukan mata.
"Bagus!" seru Tan-hong, kedua pedang mereka menyambar lagi,
kembali terdengar suara "sret", kopiah Ogito tertabas, namun dia
sempat lagi melompat mundur, pedangnya juga tidak tertabas
kutung, hal ini rada di luar dugaan Tan-hong.
Dalam pada itu pedang mereka bergerak lagi, In Lui menusuk
hulu hati lawan, pedang Tan-hong menabas bagian kaki musuh.
Serba susah bagi Ogito, jika dia menangkis serangan atas berarti
kaki akan buntung, bila bertahan bagian bawah mungkin jiwanya
akan melayang.
Ia pikir biarpun mati juga tak mau terhina dengan kaki
terkutung. Segera ia gunakan pedangnya untuk melindungi kaki.
Dengan sendirinya tusukan In Lui segera akan menembus dadanya.
Pada saat itulah mendadak serangkum angin kuat menyambar
tiba. Terpaksa In Lui mengegos sehingga tusukannya mengenaiPahala dan Murka - 21 19
tempat kosong. Selagi ia hendak ganti serangan, sekonyong-
konyong Ogito menjerit dan melompat mundur.
Menyusul seorang bersuara serak keras membentak, "Berhenti!''
Tahu-tahu di depan mereka telah bertambah seorang dengan wajah
berkedok, hanya kelihatan kedua matanya yang besar dan bersinar.
Rupanya orang inilah yang melancarkan pukulan dahsyat untuk
menyelamatkan jiwa Ogito.
Beberapa hal ini terjadi dengan amat cepat, meski pedang Ogito
tertabas kutung oleh Thio Tan-hong dan tulang betis juga terluka,
namun jiwa selamat, saat ini dia lagi berdiri di samping dengan
napas tersengal.
Orang berkedok itu lantas berkata, "Jika kalian sudah datang
mengunjungi gunung, sesuai peraturan kangouw, silakan naik dulu
ke atas masa tanpa bicara terus bertempur di sini?"
Bahwa orang ini sanggup menyelamatkan Ogito di bawah
gabungan ilmu pedang Tan-hong dan In Lui, betapa tinggi
kungfunya sukar diukur. Tentu saja Tan-hong juga terkejut, ia
heran dari mana Soa Tiu bisa mengundang tokoh selihai ini.
Rasanya urusan hari ini tidak mudah diselesaikan.
Tibat-iba In Lui menegur, "Engkau ini bangsa Han atau orang
asing?"
Orang itu melenggong, katanya, "Apa maksudmu?"
"Melihat bentuk mukamu serupa orang Han, tapi engkau
membantu orang asing, jangan-jangan engkau juga tahu malu,
makanya pakai kedok segala?" kata In Lui.
Orang itu menjadi murka, serentak ia melompat maju terus
menghantam. Cepat Tan-hong menusuk dengan pedangnya disusul
dengan In Lui, gabungan kedua pedang sekaligus menusuk Koh-
cing-hiat kanan-kiri bahu lawan.Pahala dan Murka - 21 20
Ilmu pukulan orang berkedok itu sangat aneh, setiap
serangannya seakan-akan dilancarkan untuk menyerang dua orang
sekaligus, gerak serangannya melayang kian kemari dengan cepat
dan sukar diduga, hanya sekejap saja ia melancarkan tiga kali
pukulan.
Padahal ilmu pedang gabungan Tan-hong dan In Lui itu adalah
ciptaan Hian-ki It-su yang hebat, namun sedikit pun dia tidak gentar
menghadapi serangan Tan-hong berdua, tapi ketika Tan-hong dan
In Lui mempergencar serangannya, lambat laun orang itu rada
kewalahan juga dan terdesak mundur berulang-ulang.
"Hm, setiap pengkhianat boleh dibunuh oleh siapa pun, tidak
perlu bicara tentang peraturan kangouw segala," jengek In Lui
sambil menyerang terlebih gencar.
Setelah beberapa jurus lagi, orang itu kelihatan cuma sanggup
bertahan saja dan tidak mampu balas menyerang lagi.
Mendadak Tan-hong berseru, "Berhenti dulu, adik cilik!"
"Ada apa?" In Lui melengak.
"Orang ini mampu melayani kita dengan bertangan kosong
sampai puluhan jurus, betapapun dia terhitung seorang gagah,
andaikan kita bunuh dia juga membuatnya penasaran," kata Tan-
hong. "Maka biarlah kita terima undangannya, mari kita coba lihat
dulu ke atas gunung."
Meski di dalam hati In Lui tidak sependapat, namun di depan
orang banyak tidak enak baginya untuk menentang kehendak Tan-
hong, terpaksa ia berhenti menyerang.
Ia tidak tahu bahwa Tan-hong sedang meraba-raba asal-usul
orang itu, meski aneh ilmu silat orang itu, tapi setelah bergebrak
berpuluh jurus, rasanya Tan-hong sudah dapat menemukan ciri
kungfu orang berasal dari mana. Orang berkedok itu memandangPahala dan Murka - 21 21


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tan-hong dan In Lui sekejap, katanya tiba-tiba, "Ilmu pedang kalian
ini ajaran siapa?"
"Hm, dengan hak apa kau tanya guru kami?" jawab In Lni ketus.
Orang itu menjadi gusar pula dan bermaksud menerjang lagi,
tapi urung, jengeknya, "Hm, anak perempuan tidak tahu diri,
sebentar biar kubikin perhitungan lagi denganmu."
Begitulah orang berkedok itu lantas membawa mereka menuju
ke atas gunung, setelah masuk ke ruangan pendopo, ternyata di situ
sudah penuh berduduk tokoh dari berbagai penjuru. Semua orang
sama tertarik oleh sikap Tan-hong dan In Lui yang tidak gentar itu.
Waktu In Lui melirik kesana, tertampak Ciok Eng dan Cui-hong
terkurung di tengah, Cui-hong sedang memandangnya dengan
sorot mata yang sayu, serupa girang dan juga seperti menyesal.
Tampaknya Cui-hong hendak menyapa, tapi Ciok Eng telah
mendahului buka suara, "Ah, Hiansai (menantu yang baik), engkau
juga datang. Urusan di sini sama sekali tidak ada sangkut-pautnya
denganmu."
Tan-hong tersenyum, katanya, "Tidak ada sangkut-pautnya
dengan dia, tentunya ada sangkut-paut denganku."
Sembari bicara ia terus duduk di samping Ciok Eng.
Soa Tiu memandangnya dengan mendelik, "Bagus, kau pun cari
urusan ke sini, kebetulan sekali!"
Putra Soa Tiu, yaitu Soa Bu-ki terlebih gusar, ia melototi In Lui
seakan-akan ingin menelannya bulat-bulat. Rupanya dia
menyangka In Lui sudah menjadi suami-istri dengan Ciok Cui-hong,
dipandangnya sebagai saingan yang telah merebut gadis
kesayangannya.Pahala dan Murka - 21 22
Tan hong lantas tanya, "Ciok-loenghiong, sesungguhnya apa
yang terjadi?"
Belum lagi Ciok Eng menjawab, dengan suara lantang Soa Tiu
lantas berkata, "Ciok-toako, orang yang dapat melihat gelagat
adalah pahlawan sejati. Buat apa engkau ingin menjadi budak orang
dan mau mati-matian menjaga harta pusakanya?".
Meski tua, tapi tua-tua jahe, makin tua makin pedas. Ciok Eng
menjadi gusar mendengar ucapan Soa Tiu itu, jengeknya dengan
menahan perasaannya, "Hm, kalau menurut pendapatmu, apakah
kita lebih baik menjadi budak orang Watze malah?"
Muka Soa Tiu menjadi merah dan tampak kikuk, ucapnya
dengan menyengir, "Ciok-toako, urusannya bukan begitu."
"Memangnya bagaimana kalau bukan begitu?" bentak Ciok Eng.
"Cukup engkau mengeluarkan peta pusaka itu, marilah kita
menemukan harta karun Thio Susing itu, selagi dunia ini kacau
balau, banyak pula yang dapat kita perbuat, sekalipun tidak perlu
menghamba kepada orang Watze juga dapat mengangkat diri
sendiri sebagai raja.
"Siapa yang bilang aku mempunyai peta pusaka? Siapa yang
bilang?!" tanya Ciok Eng.
Betapapun Ciok Eng adalah ketua perseritakan dunia persilatan
propinsi Soasai dan Siamsai, biarpun berada di tengah musuh dia
tetap berwibawa.
Tertatap oleh sinar mata Ciok Eng yang tajam, tergetar juga hati
Soa Tiu, seketika ia menjadi gelagapan dan tak bisa menjawab.
Tiba-tiba seorang bersuara serak menukas, "Akulah yang bilang
padanya. Mau apa?"Pahala dan Murka - 21 23
Waktu Ciok Eng berpaling, dilihatnya pembicara itu bermuka
biru bengkak, potongannya kasar, matanya mendelik, sikapnya
tidak sopan.
Tentu saja Ciok Eng gusar, bentaknya sambil menuding orang,
"Siapa kau?"
Tiba-tiba Tan-hong menjengek dan menyela, "Dia inilah jago
nomor satu andalan Yasian, Ogito adanya. Betul tidak?"
Watak Ogito kasar dan tak dapat berpikir, meski dia kecundang
oleh kerubutan Tan-hong dan In Lui tadi, namun dia belum lagi
kapok, rasa gemasnya belum terlampias, ketika melihat Soa Tiu
gelagapan, dengan mendongkol ia ikut bicara.
Ia pun tidak menyangkal ucapan Tan-hong itu, jawabnya, "Betul,
kerajaan Watze kami kuat dan disegani, kami ingin bersekutu
dengan kalian, itu merupakan suatu kehormatan bagimu. Hm, anak
muda seperti kalian ini juga berani bicara, marilah kita satu lawan
satu dan coba-coba lagi."
Ucapannya itu setengahnya ditujukan kepada Tan-hong dan
setengahnya ditujukan kepada Soa Tiu. Maka kecuali sebagian
begundal Soa Tiu, selebihnya menjadi was-was dan diam-diam
mengambil keputusan takkan membantu Soa Tiu lagi.
Dengan mendelik Ciok Eng berbangkit, selagi ia hendak
mengumbar perasaannya, terdengar Tan-hong berkata pula,
"Rasanya kalian terlampau berlebihan bertindak, hanya sehelai peta
begitu saja kalian memancing Ciok-loenghiong kesini, bahkan
perkampungannya dirampok habis-habisan, akhirnya toh sia-sia
usaha kalian dan tidak mendapat sesuatu apa pun. Huh, seorang
cecu terhormat dan berbuat serupa kaum pencuri rendahan, apa
tidak takut ditertawai ksatria sedunia?"Pahala dan Murka - 21 24
Mendengar rumahnya dirampok, Ciok Eng tambah murka,
"brak", meja di depannya digebrak sehingga sempal sebagian,
teriaknya, "Bangsat Soa Tiu, sejak saat ini kita putus persaudaraan,
jika kau paksa lagi diriku tentu aku pun tidak sungkan lagi padamu."
Muka Soa Tiu menjadi merah padam, mendadak ia pun nekat
dan membentak, "Tua bangka she Ciok, pendek kata kalau hari ini
peta tidak kau serahkan, maka jangan kauharap akan dapat
meninggalkan tempat ini dengan hidup."
Segera ia memberi tanda dan bermaksud mengerubut.
Tak terduga mendadak sinar pedang berkelebat, tahu-tahu Tan-
hong sudah melolos pedangnya sambil menyikut, kontan Soa Tiu
tergetar mundur dua-tiga langkah.
Begundal Soa Tiu menjadi panik, serentak mereka bermaksud
menerjang maju, terlihat tangan kanan Tan-hong monghunus
pedang dan tangan kiri telah membentangkan sehelai peta, sambil
terbahak anak muda itu berkata, "Ini, siapa yang ingin memiliki
peta ini boleh hadapi diriku. Akulah pemilik sejati lukisan ini. Cuma,
biarpun kalian berhasil menguasai gambar ini juga tidak ada
gunanya, sebab harta pusaka dan petanya sudah kuambil dan telah
kupersembahkan kepada kaisar Beng sekarang."
Keterangan ini membuat semua orang melongo kaget, mereka
sama tidak tahu orang macam apakah anak muda yang bicara ini
dan dari mana asal-usulnya, keterangannya betul atau tidak?
Pada saat itulah tiba-tiba seorang pun mendengus,"Hm. Thio
Tan hong, memangnya setiap orang dapat kau bohongi begitu saja?"
Pembicara ini adalah Kecangka. pembantu Ogito, juga seorang
jago andalan Yasian, dia jarang di tengah pasukan, maka kenal Thio
Tan-hong.Pahala dan Murka - 21 25
Ogito melengak oleh ucapan pembantunya itu. serunya, "Hei,
jadi engkau inilah putra Thio-taijin? Thaysu (Yasian) sedang
mencarimu, lekas ikut kami pulang."
"Aku memang ingin menemui Thaysu kalian." jawab Tan-hong.
"Tapi tidak boleh dikatakan ikut pulang bersama kalian, sebab aku
bangsa Han, memangnya kau kira aku ini kawula Watze kalian?"
"Keluarga Thio kalian adalah musuh bebuyutan keluarga Cu
yang menjadi raja Beng sekarang, jika benar harta pusaka dan peta
sudah kau temukan, masa kau serahkan kepada musuhmu malah?"
ujar Kecangka. "Kukira begini saja, harta pusaka itu tetap menjadi
milik keluarga kalian, kami tidak mau tanya, cuma peta pusaka itu
hendaknya kau serahkan padaku, akan kupersembahkan kepada
Thaysu saja. Hendaknya engkau jangan bergurau lagi."
Dengan sebelah kaki menginjak kursi, Tan hong mengangkat
lukisan ke atas sambil berteriak, "Siapa yang bercanda denganmu?
Jika kau berani ayolah ambil lukisan ini!"
Kecangka merasa sangsi dan tidak berani maju. Beberapa jago
Mongol yang tersembunyi juga tidak berarti memperlihatkan diri,
berbagai tokoh kalangan hitam yang hadir hampir semuanya tidak
suka ikut tersangkut perkara ini. Sedangkan begundal Soa Tiu
terpengaruh oleh wibawa Tan-hong, seketika belum ada yang
berani tampil ke muka.
Dalam pada itu Cui-hong duduk menggelendot di samping In Lui
dan lagi berbisik dengan mesra, "Ai, selama ini ke mana saja
engkau? Masa tidak rindu padaku?"
"Ssst, jangan bicara keras-keras, lihatlah orang semua
memperhatikan kita," desis In Lui. "Dalam keadaan gawat begini
masakah engkau masih bisa mengobrol iseng denganku."Pahala dan Murka - 21 26
Pihak musuh sudah mengepung rapat seluruh ruangan itu, di
pihak Ciok Eng hanya terdiri dari empat orang saja, betapa tinggi
kepandaian mereka juga sukar menerjang keluar.
Tapi terhadap semua itu Cui hong sama sekali tidak menaruh
perhatian, katanya pula dengan suara pelahan, "Sudah hampir
setahun kutahan rasa kesalku, jika tidak kubicarakan sekarang mau
tunggu kapan lagi. Urusan hari ini umpama tidak dapat lolos dari
sini, asalkan dapat mati bersamamu juga kurela."
Selama ini Cui-hong dan In Lui hanya resminya saja suami-istri,
pada hakikatnya tidak pernah ada praktek sebagai suami-istri sejati.
Setelah berpisah sekian lama, rasa rindu Cui-hong tentu saja tak
tertahankan, maka meski suasana ruangan itu riuh ramai, ia justru
lagi khusuk masyuk dengan In Lui.
In Lui tidak dapat bertindak apa-apa. Tiba-tiba dilihatnya dua
orang lelaki kekar tampil ke depan terus menerjang Tan-hong,
Kedua orang itu adalah bala bantuan undangan Soa Tiu, mereka
menguasai kungfu ilmu pukulan sakti, melihat usia Tan-hong masih
muda belia, mereka meremehkannya dan begitu menerjang maju,
yang seorang segera hendak menelikung tangan Tau-hong dan yang
lalu terus merebut lukisan.
Tak terduga, dengan cepat luar biasa sebelah kaki Tan-hong
terus menendang, lelaki yang hendak menelikung tangan Tan hong
itu belum sempat menyentuh sasarannya tahu-tahu lengan sendiri
sudah tertabas buntung oleh pedang Tan-hong dan kontan roboh
binasa.
Orang yang hendak merebut lukisan itu pun tertendang hingga
mencelat dan patah tulang betis.Pahala dan Murka - 21 27
Dengan pedang melintang di depan dada Tan-hong lantas
membentak, "Hm, tidak tahu malu, hanya pandai main kerubut
saja!"
Merah padam muka Soa Tiu, ia pikir dalam keadaan begini siapa
pula yang mau bicara peraturan kongouw lagi?
Baru saja ia hendak memberi tanda mengerubut, mendadak
orang berkedok yang menyelamatkan Ogito tadi berseru, "Haha,
bagus, bagus sekali! Hari ini cerah dan hawa nyaman, kalau satu
lawan satu memang sangat cocok dengan seleraku!"
Suaranya lantang serupa bunyi genta sehingga mendengung dan
menggetar ruangan.
Soa Tiu memandangnya sekejap, tampaknya mau bicara, tapi
urung. Ia pikir umpama satu lawan satu, akhirnya anak muda itu
juga akan mati kelelahan.
Saat itu Cui-hong sedang menggelendot di bahu In Lui dan asyik
bicara mendadak Soa Bu ki melompat maju sambil berteriak, "Biar
kubelajar kenal beberapa jurus dengan In-siangkong!"
Ia sangat benci kepada In Lui, apalagi menyaksikan keduanya
khusuk masyuk di situ, hatinya tambah panas, kontan ia menantang
In Lui dulu.
Cepat In Lui mendorong Cui-hong dan melolos pedang. Ia sudah
pernah bertempur dengan Soa Bu-ki di hutan dekat Oh-ciok-ceng
dahulu dan cukup kenal kungfunya yang tidak lemah itu. Namun
tetap bukan tandingan sendiri, sebab itulah In Lui tidak gentar.
Siapa tahu gerak serangan Soa Bu ki sangat cepat, ilmu
pukulannya juga aneh, mendadak pukulannya melingkar dari dalam
keluar, menyusul tangan yang lain terus menyodok.Pahala dan Murka - 21 28
Tapi In Lui sempat menggeser ke samping, menyusul pedang
menabas pula pergelangan lawan. Namun Soa Bu-ki juga cukup
gesit, tangan yang menyampuk melingkar ditarik, sodokan tangan
kaitan terus mendahului menyambar ke depan, sayup-sayup angin
pukulannya membawa bau amis.
Selagi In Lui terkesiap, terdengar Soa Bu-ki membentak, "Kena!"
Ternyata telapak tangannya yang berwarna biru hangus sudah
menyambar sampai di depan dada In Lui.
Untunglah pada saat itu sesosok bayangan melayang tiba, "bret",
langkah Soa Bu-ki tampak terhuyung, kaki celananya terobek oleh
pedang. In Lui lantas melompat pergi, kejadian ini sungguh di luar
dugaan mereka berdua. Kiranya sejak mengalami kekal'ahan tempo
hari, dengan segala daya upaya Soa Bu-ki berusaha membalas
dendam, maka ia telah mengangkat guru kepada seorang tokoh
aneh di daerah Miau, berhasil diyakinkannya semacam ilmu
pukulan berbisa yang bernama Im-hong-tok-soa ciang, selain gerak
pukulannya aneh, tenaga pukulannya juga berbisa. Lawan yang
kurang tangguhpun akan keracunan bila tersampuk oleh angin
pukulannya. Bagi yang lihai, kalau terkena telak pukulannya juga
akan mati keracunan tujuh hari kemudian.
Serangan mendadak Soa Bu-ki tadi disangkanya pasti akan
mengenai sasarannya dengan telak, siapa tahu meski In Lui tidak
kenal ilmu pukulannya, tapi kepandaiannya masih di atas Soa Bu-
ki, terlebih kegesitannya, maka pada saat berbahaya itu si nona
sempat menghindari pukulannya, bahkan balas menusuknya.
Meski tulang tidak patah terkena pedang In Lui, namun cukup
membuat Soa Bu ki berkaok kesakitan, dengan murka segera in
menerjang maju lagi.Pahala dan Murka - 21 29
In Lui melayani dengan lebih hati-hati, kini ia main menyelinap
kian kemari dengan gesit, dalam sekejap saja sekeliling seakan-akan
bayangan In Lui melulu, ujung baju si nona saja tak dapat disenggol
oleh Soa Bu ki.
Kira-kira belasan jurus lagi, serangan pedang In Lui tambah
gencar, Soa Bu-ki menyadari bukan tandingan si nona, tapi
penasaran untuk mengaku kalah, ia menjadi nekat, dengan risiko
gugur bersama musuh ia terus menubruk maju di bawah sinar
pedang lawan, dengan jurus "Sia-pi-hoa-san" atau membelah
gunung Hoa dengan miring, tanpa menghiraukan lengannya akan
tertabai, asalkan telapak tangannya yang berbisa mengenai tubuh
In Lui, Namun In Lui cukup cerdik, dengan menundukkan kepala
pedang terus memotong ke atas malah, lengan Soa Bu-ki tampaknya
segera akan terkutung mentah-mentah.
Untung juga pada saat itu seorang melompat maju dari samping,
sekali tarik Soa Bu-ki dilemparkan ke belakang, berbareng tangan
lain terus mencengkeram tangan In Lui.
Wajah orang ini sangat aneh, perawakannya tinggi kurus serupa
galah bambu, kesepuluh jarinya panjang dan hitam gdap, ucapnya
dengan tertawa seram, "Hehe, menantu kesayangan Ciok-cengcu
memang luar biasa, biar kubelajar kenal beberapa jurus
denganmu."
Kiranya orang ini adalah guru Soa Bu-ki yang baru, tokoh kosen
dari daerah Miau, namanya Jik-sin-cu. Dia jauh datang dari daerah
Kuiciu di selatan sehinga kebanyakan tokoh persilatan daerah utara
tidak kenal asal usulnya.
Tengah bicara kedua orang sudah saling gebrak.
Walaupun sama ilmu pukulan yang digunakan, tapi dalam
permainan Jik-sin-cu ternyata berpuluh kali lebih lihai daripada SoaPahala dan Murka - 21 30
Bu ki. Di bawah berkelebatnya cahaya pedang ia telah menggunakan


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jarinya yang serupa cakar untuk mencengkeram, merobek dan
meraih seperti cakar setan. Setiap gerakannya selalu menerbitkan
suara keriat-keriut. Tentu saja In Lui terheran-heran, cepat ia putar
pedangnya hingga berwujud suatu lingkaran cahaya perak, ia
bertahan lebih jauh dan tidak tergesa untuk menyerang.
Beberapa kali Jik-sin-cu menubruk maju dan tidak berhasil,
mendadak ia meraung sekerasnya, kedua telapak tangan memukul
susul menyusul, angin pukulan mendampar, hawa dingin
menyambar, pedang In Lui terdampar menceng, yang mengejutkan
adalah perasaan si nona ikut terangsang panas, seperti terpancing
marah dan sukar ditahan.
Semula dia hanya ingin bertahan dan tidak mau menyerang
dulu, tapi setelah belasan jurus lagi, mendadak ia tidak tahan rasa
gemasnya. beberapa kali ia melayani pukulan dahsyat Jik-siu-cu.
Kiranya ilmu pukulan Jik-sin cu tidak cuma mengandung racun
saja, tapi angin pukulannya yang maha dingin juga dapat
merangsang saraf lawan dan mengacaukan pikiran.
Justru Jik-sin cu sengaja memancing emosi In Lui agar
melancarkan serangan padanya. Dalam pertarungan sengit itu
pedang In Lui menusuk ke hulu hati lawan, ganas dan tepat,
tampaknya Jik sin-cu sukar mengelak lagi.
Tak terduga mendadak Jik sin-cu meraung pula sambil
melompat ke atas, menyusul kesepuluh jarinya serupa cakar terus
mencengkeram ke bawah.
Cui-hong menjerit kuatir dan hampir saja jatuh kelengar saking
cemasnya. Siapa tahu mendadak terdengar gelak tertawa orang
banyak, waktu ia membuka mata dan memandang ke sana, seketika
ia melongo.Pahala dan Murka - 21 31
Kiranya jarak Jik sin cu dengan In Lui sekarang ada setombak
lebih, bajunya kelihatan robek, keadaannya sangat mengenaskan.
Sebaliknya kekasih dalam pandangan Cui-hong itu terlebih runyam
daripada lawan, kelihatan rambutnya yang panjang dengan pita
merah, jelas itulah rambut orang perempuan.
Rupanya dalam gebrakan tadi kedua pihak sama-sama
menyerempet bahaya, In Lui terdesak di bawah angin dan menjadi
nekat, digunakannya jurus maut dengan pedang menabas, dalam
keadaan begitu jika cengkeraman Jik-sin cu tetap diteruskan, meski
kepala In Lui bisa teremas hancur, tapi pedang si nona juga dapat
menembus dada Jik-jin-cu.
Lantaran itulah kedua pihak sama-sama berusaha mengelak
sehingga pedang In Lui hanya merobek baju lawan, sebaliknya
cengkereman Jik-sin-cu merusak ikat kepala In Lui sehingga
kelihatan rambutnya yang panjang.
Di tengah gelak tertawa orang banyak, Jik-sin-cu meludah,
dengusnya, "Huh, sialan, ketemu siluman semacam kau, buat apa
bertarung dengan kaum betina!" Merah padam muka In Lui saking
dongkolnya, tegera pedang bergerak dan bermaksud menerjang
maju lagi.
Tiba-tiba terdengar Tan-hong berseru kepadanya, "Istirahat
dulu adik cilik!"
Sambil bicara ia lantas mencegat di depan Jik-sin-cu dan
keduanya terus bertempur dengan sengit.
Dengan sendirinya Ciok Eng dan Cui-hong juga melongo heran
melihat keaslian In Lui itu, terlebih Cui hong, sukar dilukiskan
betapa perasaannya, sungguh tak terpikir olehnya kekasih yang
dirindukannya siang dan malam itu ternyata sejenis dengan dirinya.Pahala dan Murka - 21 32
In Lui sendiri serba kikuk, cepat ia membetulkan ikat kepala
dengan muka malu sebagaimana layaknya anak gadis.
Keruan Cui-horig sangat kecewa, tapi ia belum mau percaya,
tanpa menghiraukan di depan umum atau tidak, ia mendekati In Lui
dan berbisik padanya, "In-siangkong, ken.. kenapa engkau
memiara rambut sepanjang ini? Sesungguhnya engkau ini lel.
lelaki atau perempuan?"
Muka In Lui merah jengah, sebenarnya ia hendak bicara terus
terang kepada Cui-hong, tapi dalam keadaan demikian dan didesak
oleh pertanyaan Cui-hong, ia berbalik gelagapan dan sukar untuk
menjelaskan.
Selagi Cui-hong hendak tanya lagi, tiba-tiba dirasakan suasana
agak aneh, suara tertawa orang banyak telah berhenti, rupanya
perhatian semua orang sedang tertarik oleh pertarungan antara
Thio Tan-hong dan Jik-lin-cu yang sengit itu.
Cui-hong melihat In Lui juga terkesima memandangi
pertempuran itu, sorot matanya cemas dan penuh perhatian. Hati
Cui-hong kembali tertusuk, pandangan demikian dan perhatiannya
hanya terjadi antara kekasih dan sukar diberi jawaban lain.
Tampaknya perhatiannya terhadap Thio Tan-hong jauh melebihi
siapa pun. Hancur luluh perasaan Cui-hong, sukar dijelaskan
apakah menyesal atau berduka.
Di tengah kalangan pertarungan Tan-hong dan Jik-sin-cu
berlangsung seratus jurus, lwekang Tan-hong jauh lebih kuat
daripada In Lui, angin pukulan Jik-sin-cu yang dingin dan berbisa
tidak menimbulkan daya serang baginya, semuanya dapat
dipatahkan oleh Tan-hong dengan tenang, sedikit pun Jik-sin-cu
tidak memperoleh keuntungan, sebaliknya lambat laun ia sendiri
menjadi tidak sabar.Pahala dan Murka - 21 33
Sekonyong-konyong Jik-sin-cu meraung murka, pukulan dan
cengkeraman dilancarkan sekaligus, terkadang menubruk dari atas,
lain saat main seruduk dan mencengkeram dengan jarinya yang
serupa cakar itu, kukunya yang hitam gelap dan panjang seperti
pisau tajam, serangan ganas tanpa kenal ampun.
Namun Tan-hong tetap melayaninya dengan tenang, gerak
pedangnya tetap teratur, sinar pedang terkadang terpancar, lalu
menciut kembali, setiap serangan selalu mendahului lawan.
Mau-tak-mau Jik-sin-cu merasa ngeri, ia heran sekali mengapa
ilmu pukulannya yang khas dengan menirukan gaya pertarungan
binatang buas di pegunungan Miau, Soa Bu-ki saja baru diajarkan
sebagian suaja, mengapa anak muda itu seakan-akan sudah paham
benar ilmu pukulannya, orang selalu mendahului menyerangnya
setiap kali baru saja ia hendak ganti jurus serangan sehingga sukar
baginya untuk mengembangkan ilmu pukulannya yang berbisa itu.
Tentu saja ia tidak tahu bahwa sejak Tan-hong mempelajari
lwekang istimewa dari kitab tinggalan Pang-hwesio di dalam gua ba
wah tanah di Sohciu itu, ia telah menguasai semua teori ilmu silat
dari berbagai golongan dan aliran, apapun bila dilihatnya sekilas
saja lantas dikuasainya dengan baik.
Tadi ia telah menyaksikan pertarungan antara Soa Bu ki dan In
Lui, juga sudah mengikuti pertempuran Jik-iin-cu dan nona itu,
sekarang ia sendiri sudah ratusan jurus menempur Jik-sin-cu
sehingga gerak perubahan ilmu pukulan ciptaan Jik-sin-cu itu sudah
dipahami dengan baik, ketambahan lagi lwe-kang Tan-hong
sekarang juga lebih kuat daripada Jik-sin-cu, pedang yang
digunakan juga pedang pusaka, semua ini membuat Jik sin-cu
terdesak di bawah angin dan tidak mampu balas menyerang lagi.Pahala dan Murka - 21 34
Merasa gelagat tidak menguntungkan, hati Jik-sin-cu tambah
gugup, mendadak ia berlagak mencengkeram ke depan, tapi segera
ia hendak melarikan diri.
"Hm, manusia siluman, tinggalkan sedikit tanda mata," jengek
Tan hong, angin pukulan dan cahaya pedang berkelebat, "sret",
kontan sebelah lengan Jik-sin-cu tertabas kutung.
Tokoh kalangan hitam yang hadir di situ sama menjerit kaget.
Sambil memegangi lengan sendiri yang buntung, Jik-sin-cu
menerobos keluar di antara orang banyak sambil berteriak, "Anak
keparat, sepuluh tahun lagi pasti kucari dan tuntut balas padamu."
Tan-hong membersihkan pedangnya sambil menjawab. "Baik,
akan kutunggu!"
Melihat Jik-sin-cu yang maha lihai itupun dicederai oleh Tan-
hong, tentu saja orang lain menjadi gentar dan tidak ada yang
berani tampil untuk menantang. Soa Tiu menjadi nekat, segera ia
hendak memberi perintah kepada anak buahnya untuk main
kerubut.
Pada saat itulah terdengar seorang berseru dengan tertawa,
"Haha, sungguh ilmu pedang yang hebat! Biarlah aku pun minta
belajar kenal beberapa jurus padamu!"
Waktu Tan-hong memandang ke sana, yang menantangnya
ternyata si orang berkedok, terlihat kedua matanya yang besar
bersinar mencorong sehingga menambah misteriusnya.
In Lui terkesiap, jika satu lawan satu iu kuatir Tan hong bukan
tandingan orang.
Sementara itu orang berkedok telah pasang kuda-kuda dan
membentak, "Ayo, silakan menyerang!" Tan-hong simpan kembali
pedangnya dan berkata. "Karena anda tidak mau menggunakan
senjata, biarlah kulayanimu dengan bertangan kosong."Pahala dan Murka - 21 35
Kening In Lui bekernyit, ia anggap Thio Tan-hong agak
terlampau tinggi hati. Jika orang berkedok ini mampu melawan
gabungan ilmu pedang mereka tadi hingga berpuluh jurus, jelas
lwekangnya lain daripada yang lain, kalau menggunakan pedang
mungkin masih mampu menghadapinya dengan sama kuat, bila
bertanding dengan tangan kosong jelas Tan-hong pasti akan kalah.
Karena itulah diam-diam In Lui kuatir bagi anak muda itu.
Orang berkedok terbahak-bahak, katanya, "Baik, jika begitu
silakan anda mulai serang dulu!"
"Tidak, tuan rumah tidak berebut dulu dengan tamu,
sepantasnya anda yang mulai dahulu," ujar Tan-hong.
Orang itu tertawa, "Haha, dalam segala hal Thio-siangkong tidak
menarik keuntungan dari orang lain, sungguh gaya anak murid
perguruan ternama. Padahal sebenarnya kita sama-sama tamu.
Tapi kalau Thio-siangkong menghendaki aku memperlihatkan
kebodohanku dulu, terpaksa aku menurut saja."
Sebelah tangannya terus melingkar dari luar kedalam dengan
gaya "Wan-kiong-sia-gwe" atau menarik busur memanah bulan,
jarinya terus menutuk Hian-ki-hiat yang berbahaya di bagian dada
Thio Tan-hong.
Gerak tutukan orang berkedok ini cepat luar biasa, tapi Thio Tan-
hong juga bukan semberangan jago silat, mana dia dapat tertutuk
begitu saja. Justru pada detik terakhir sebelum tertutuk, sekonyong-
konyong Tan-hong menarik perut dan mendekuk dada, tubuhnya
mendadak seperti menyurut mundur satu kaki jauhnya, berbareng
telapak tangan kanan terus memotong ke depan sehingga tepat
mengenai jari lawan.Pahala dan Murka - 21 36
Pukulan Tan-hong ini sangat kuat, biarpun lawan menguasai
lwekang tinggi pasti juga jarinya akan terpotong patah oleh tabasan
telapak tangannya.
Siapa duga jari orang berkedok itu mendadak mengeras serupa
baja, begitu menyentuh telapak tangan Tan-hong terus ditarik
kembali, pujinya, "Sungguh anak muda yang lihai, coba terima lagi
ini!"
Jarinya berubah menjadi pukulan telapak tangan dan menerobos
dari bawah lengan lain, pelahan ia menyodok ke depan.
Terkesiap hati Tan hong, ketika telapak tangannya tertusuk jari
orang barusan, dirasakan linu pegal, kalau lwekangnya akhir-akhir
ini tidak maju pesat rasanya hampir tidak tahan.
Selagi kejut dan heran, dilihatnya pukulan orang menyambar
tiba dengan ringan, ia tidak berani ayal, cepat ia sambut dengan Tai-
lik-kim-kong-ciang yang baru saja dipelajarinya.
Pukulan orang itu sangat ringan tapi begitu beradu tangan
serentak tenaga dahsyat membanjir serupa gugur gunung
hebatnya, kedua orang sama tergetar mundur, namun air muka
orang itu tidak berubah, sebaliknya tangan Tan-hong kesakitan.
Orang lain tidak tahu, namun Tan-hong menyadari tenaga orang
berkedok Ini sesungguhnya diatasnya.
Timbul berbagai tanda tanya dalam benak Tan-hong, tenaga jari
sakti yang diperlihatkan orang ini tadi jelas adalah It-ci-sian-kang
yang terkenal di dunia persilatan, sedangkan ilmu pukulannya juga
berdaya Thi-pi-peh yang luar biasa lihainya.
Tan-hong menjadi heran, orang berkedok ini jelas tokoh kelas
tinggi dunia persilatan, mengapa bisa bergaul dengan orang
semacam Soa Tiu, malahan dari nada ucapannya seperti juga tahuPahala dan Murka - 21 37
perguruannya. Tan-hong tambah tidak mengerti akan asal-usul
orang.
"Haha, sudah lama aku tidak berhadapan dengan lawan tangguh,
hari ini dapat bergebrak dengan murid perguruan ternama,
sungguh sangat menyenangkan."
Sambil bicara kembali orang itu melancarkan tiga kali pukulan
lihai tapi dengan lincah Tan-hong mengegos dan balas menyerang
pula tiga jurus yang tidak sama.
Begitulah kedua orang saling gempur dengan sengit, dalam
sekejap saja 20-30 jurus sudah lalu. Setelah mengamati jurus
serangan lawan, Tan-hong semakin sangsi. Ilmu pukulan Thi-pi-
peh-jiu orang berkedok ini sangat lihai, malahan terkadang diselingi
lagi dengan tutukan It-ci-sian-kang yang ampuh, bagian yang
ditutuk selalu hiat-to maut di tubuh manusia.
Dari Thi pi-peh-jiu lawan yang lihai inilah menimbulkan curiga
Thio Tan-hong, ia merasa kungfu orang ini tidak banyak berbeda
dengan kepandaian Ciamtai Biat-beng, namun jelas diketahuinya
Ciamtai Biat-beng tidak menguasai It-ci-sian-kang. Tapi bila mereka
bukan berasal dari satu perguruan yang sama, mengapa Thi-pi-peh-
jiu mereka sedemikian mirip?
Sebaliknya kalau mereka berasal dari suatu perguruan, mengapa
orang ini mahir It-ci-sian kang dan Ciamtai Biat-beng tidak? Masa
guru mereka pilih kasih? Pula Ciamtai Biat-beng pernah
mengatakan cuma mempunyai seorang Sumoay dan tidak
mempunyai saudara seperguruan lain. Apakah antara mereka ada
hubungan perguruan, hal ini menjadi sukar diraba.
Setelah beberapa puluh gebrakan pula, orang berkedok itu masih
terus mencecar Tan-hong dengan beraneka ragam jurus serangan.Pahala dan Murka - 21 38
Meski ilmu pukulan Tan-hong juga sangat lihai, namun ia kalah
ulet, lambat-laun ia merasakan kewalahan.
Pada suatu saat, mendadak orang berkedok itu membentak,
"Awas serangan!" Dengan tangan kiri ia menangkis pukulan Tan
hong, jari tangan kanan terus menutuk. Bila Tan-hong mau
menghindarkan It-ci-sian-kang ini mau-tak-mau dia akan terpental
oleh sengkelitan lawan.
Disinilah Tan-hong memperlihatkan ketangkasannya, kedua
jarinya memotong, telapak tangan menyampuk balik, tamparan ini
pun gerakan Thi pi-peh-jiu, sedangkan goresan jari serupa It ci-
siang-kang, semua ini dilakukannya berdasarkan ilmu yang
dipelajarinya dari kitab pusaka tinggalan Pang hwesio yang
dibacanya di dalam gua itu.
Keruan hal ini cukup membuat orang berkedok itu terkejut dan
terheran-heran, daya serangannya lantas mengendur dan bersuara
kaget.
Kesempatan itu digunakan Tan hong untuk mendesak maju,
dengan Hian-ki-ciang-hoat ia menduduki posisi yang yang lebih
menguntungkan.
Kembali orang itu melengak, tapi mendadak ia tergalak, "Haha,
pintar benar kau, hampir saja aku tertipu!"
Jari serupa belati, kontan ia menutuk lagi Thian-cu hiat di
panggung Thio Tan-hong.
Dengan gesit Tan-hong mengegos, cepat orang itu menyusuli
tiga kali serangan lagi, ditangkis oleh Tan-hong.


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kembali belasan jurus sudah berlangsung lagi, mendadak kedua
telapak tangan orang itu menghantam sekaligus, yang sebelah cuma
gerak pancingan, yang lain hantaman dahsyat.Pahala dan Murka - 21 39
Ketika Tan-hong menangkis tangan kiri lawan sepenuh tenaga,
tahu-tahu terasa hampa, ia sadar tertipu, dalam pada itu tangan
kanan lawan telah menghantam dan kedua tangan Thio Tan-hong
terpaksa ditarik kembali untuk menangkis lagi.
"Hahaha," orang itu tertawa, "ucapanmu memang betul, harta
pusaka dan kitab tinggalan Pang-hwesio memang betul sudah
berhasil kau gali, apa artinya pula aku berada disini."
Habis berkata, mendadak ia berlagak menyerang lagi, tapi segera
melompat mundur dan berlari keluar sarang Soa Tiu itu.
Orang berkedok ini datang pergi begitu saja, hal ini membuat
semua orang tercengang, Tan-hong sendiri pun merata bingung,
padahal kalau pertarungan diteruskan, jelas orang itu pasti akan
menang, mengapa dia tinggal pergi malah secara mendadak?
Kiranya orang itu datang bersama Ogito, cuma sejauh itu wajah
aslinya tidak mau diperlihatkan kepada siapapun, Soa Tiu juga tidak
tahu asal-usul tamunya itu, hanya karena melihat ilmu silat orang
sangat tinggi, maka dihormat dan diseganinya.
Karena kepergian orang berkedok itu, Soa Tiu tahu gelagat tidak
menguntungkan, cepat ia beri perinlah main kerubut.
Tadi Ogito kecundang dengan pedang patah, sekarang ia pun
ingin membalas dendam, Segera ia mendahului menerjang maju.
Tan-hong terbahak-bahak, begitu memberi tanda, bersama In Lui
serentak mereka melolos pedang. Ogito juga sempat merampas
sebatang pedang untuk menangkis. Tapi baru dua jurus, serangan
gabungan Tan-hong dan Lui terlampau cepat, sebelum anak buah
Soa Tiu datang membantu, "krek", pedang Ogito tertabas patah lagi.
(Bersambung Jilid ke 22)Pahala dan Murka - 21 40Pahala dan Murka - 22 0Pahala dan Murka - 22 1
PAHALA DAN MURKA
Oleh : gan k.l.
Jilid ke 22
EPAT Kecanga, pembantu Ogito, berteriak, "Thio Tan-
hong, keluarga kalian turun temurun bernaung di bawah
lindungan kerajaan kami, mata engkau lupa budi?"
Sembari bicara segera ia pun menerjang dengan goloknya.
Tabasan pedang Tan-hong yang kuat itu terus melingkar dan
mengutungi pula golok Kecanga.
Keruan Kecanga kaget, teriaknya, "Thio Tan-hong, kau . . ."
Beum lanjut ucapannya, tahu-tahu pedang In Lui juga
menyambar tiba.
Ilmu silat Kecanga jauh di bawah Ogito, mana dia mampu
menahan serangan gabungan pedang Tan-hong dan In Lui, keruan
tubuhnya tertabas oleh pedang In Lui dan binasa.
Cepat Ogito melompat ke sana, mendadak seorang membentak,
belum tiba orangnya angin pukulannya sudah menyambar tiba.
Kiranya kebetulan dia menghadapi pukulan Ciok Eng yang
dahsyat. Ciok Eng Berjuluk Hong-thian-lui atau si halilintar
mengguncang langit, terkenal pula ilmu pedang Liap-in-kiam-hoat
dan senjata rahasia batu belalang. Tenaga pukulannya itu berbobot
ribuan kati kerasnya, Ogito baru saja kelabakan terjerang oleh
gabungan pedang Tan-hong dan In Lui, sekarang kebentur lagi
kepada Ciok Eng, dalam keadaan bingung ia tidak sempat
menghindari pukulan Giok Eng, "blang", dengan tepat punggung
terhantam, kontan tumpah darah, untung juga dia memakai
pakaian perang yang tebal, kalau tidak jiwa pasti melayang seketika.Pahala dan Murka - 22 2
Walaupun begitu, tidak urung ia pun jatuh kelengar. Kawanan
Busu yang datang bersama dia cepat mengangkatnya dan dibawa
kabur.
Tetamu yang didatangkan Soa Tiu itu sebagian besar berpikiran
cabang, begitu melihat gelagat tidak enak, serentak mendahului
angkat kaki. Tersisa sebagian kecil yang merupakan begundalnya
yang setia, melihat betapa lihai gabungan pedang Tan-hong berdua
tanpa bertempur sudah gentar lebih dulu.
Tan hong terbahak-bahak, ia serang sini dan hantam sana,
kawanan bandit dihajar hingga kocar-kacir, cuma jumlah musuh
terlampau banyak, seketika sukar baginya untuk menerjang keluar
kepungan.
"Tangkap penjahat harus tangkap benggolannya dulu," bentak
Ciok Eng mendadak. "Bangsat tua she Soa, biar kubikin perhitungan
dulu denganmu."
Segera ia menerjang ke tengah orang banyak untuk mengejar
Soa Tiu.
Mendadak Soa Tiu bersuit, serentak begundalnya menyurut
mundur teratur dengan cepat.
Tentu saja Tan-hong dan lain-lain sama melengak.
Begitu kawanan bandit sudah mundur keluar ruangan besar,
sekonyong-konyong terdengar suara gemuruh, begundal Soa Tiu
telah membuka pesawat rahasia, sepotong lapis baja seberat ribuan
kati terus anjlok ke bawah dan memisahkan antara ruang dalam
dan luar.
Di bagian luar sudah siap pasukan pemanah dan regu tombak
berkait, umpama tenaga Tan-hong dan Ciok Eng sanggup nseng-
angltat papan baja yang berat itu, namun serentak panah berbisa di
bagian luar pasti akan segera menghujani mereka dan sukarPahala dan Murka - 22 3
ditahan, Ciok Eng menghela napas, "Akhirnya kita terkurung juga
di sini"
Terdengar Soa Tiu berteriak di luar sana, "Serahkan lukisan itu
kepadaku dan taruh senjata kalian, mengingat hubungan
persaudaraan kita yang lalu, biarlah kubebaskan kalian pergi dari
lini."
Dengan tertawa In Lui berkata, "Toako, mereka tidak percaya
harta karun sudah kau gali, umpama lukisan yang dimintanya kau
serahkan juga tak berguna baginya."
"Tak nanti kuserahkan padanya," ucap Tan-hong tegas, "Betul,"
tukas Ciok Eng. "Barang tinggalan Cukong tua mana boleh
diserahkan kepadanya," kata Ciok Eng.
"Aku hanya bergurau saja," ujar In Lui tertawa. "Sekalipun kita
bakal mati terkurung di sini juga takkan menyerah untuk mencari
selamat."
"Adik cilik," kata Tan-hong, "selama ini kuanggap dirimu lemah
lembut, rupanya engkau juga punya semangat jantan."
"Huh, memangnya cuma kaum lelaki kalian saja yang boleh
menjadi pahlawan?" jawab In Lui tegas.
Di ruangan ini sekarang tertinggal Ciok Eng berempat saja,
ucapan In Lui ini membuat Ciok Eng dan putrinya sama melengak,
segera Cui-hong mendekati In Lui dan berbisik padanya, "In-
siangkong, jadi engkau benar orang perempuan?"
Muka In Lui menjadi merah, jawabnya lirih, "Ciok-cici, memang
betul, aku ini memang seorang perempuan."
Seketika muka Cui-hong berubah pucat, ucapnya sambil
menuding In Lui, "O, ken . . . kenapa . . . ."
Suaranya menjadi tersendat dan tidak sanggup meneruskan.Pahala dan Murka - 22 4
In Lui merasa malu dan menyesal, ucapnya, "Cici yang baik,
lantaran kejahilanku sehingga engkau tertipu, Cici, kuharap engkau
jangan marah, ada . . . ada seorang saudara angkatku . . . ."
Mendadak Cui hong mendelik dan mendamperat, "Siapa peduli
saudara angkatmu segala. O, ternyata engkau sama sekali tidak tahu
perasaanku."
Meski sekarang Cui-hong sudah tahu In Lui adalah anak
perempuan, namun nada ucapannya masih memandangnya sebagai
lelaki saja, keruan Tan-hong merasa geli.
Ciok Eng terhitung orang tua yang bijaksana, ia coba menarik
Tan-hong ke pinggir sana dan minta keterangan kepadanya.
Terpaksa Tan-hong menceritakan asal-usul In Lui, katanya
dengan tertawa, "Waktu itu engkau sendiri terburu-buru ingin
mencari menantu, watak In Lui juga terlalu kekanak-kanakan dan
jahil, kalau tidak tentu takkan terjadi kelakar serupa ini. Untung hal
ini cuma berlangsung sebentar saja sehingga Ciok-siocia tidak
sampai telantar. Putra Kim-to Ciu Kian sudah pernah kau lihat,
menurut pandanganmu, di antara angkatan muda dia terhitung
juga seorang ksatria muda bukan!"
Dengan sendirinya Cik Eng tahu maksud tujuan ucapan Tan-
hong itu, jawabnya dengan lesu, "Urusan jodoh anak takkan
kupeduli lagi. Tentang Ciu San-bin, bilamana dibandingkan In-
siangkong jelas kalah jauh, tapi dia memang juga terhitung anak
yang baik."
Karena sudah terbiasa, sebutan Ciok Eng terhadap In Lui masih
memakai kota "siang-kong". Keruan Tan hong tertawa geli pula.
Tiba-tiba Ciok Eng berkata, "Siaucujin, meski aku kehilangan
menantu, tapi harus kuucapkan selamat kepadamu,"Pahala dan Murka - 22 5
Ia berbalik bergurau dan menggoda Thio Tan-hong, karena itu
jadi menyinggung perasaan Tan-hong, kata anak muda itu dengan
gegetun, "Selamat apa?"
"Kalian kan suatu pasangan yang sangat setimpal, budak Hong
mana sesuai bagi In-siangkong, umpama dia tidak mau juga akan
kusuruh dia menyerahkan In-siangkong kepadamu. Haha, bilakah
kalian akan mengadakan pesta? Sungguh akan merupakan suatu
peristiwa menggemparkan di dunia persilatan."
"Ah, terlalu dini untuk membicarakan hal itu," ujar Tan hong
"Rupanya Ciok-loenghiong belum lagi mengetahui persoalannya."
Lalu ia pun menuturkan permusuhan antara kedua keluarga In
dan Thio. Tentu saja Ciok Eng tercengang dan melongo akan kisah
tersebut. Di sebelah sana Cui-hong juga asyik bicara dengan In Lui.
Selama ini Cui-hong memandang In Lui sebagai suami yang ideal,
sekarang segalanya berubah menjadi impian belaka, tentu saja dia
berduka.
In Lui merasa rikuh dan juga terharu katanya tiba-tiba, "Eh, Cici
yang baik, biarlah selama hidupku ini takkan menikah, akan
kudampingimu saja."
"Oo, apa betul perkataanmu ini?" Cui-hong menegas.
"Kenapa tidak betul?" ujar In Lui seperti anak kecil. "Cuma, Cici
yang baik, sedikitnya aku masih mempunyai seorang adik yang baik
dan engkau tidak punya. Kalau aku tidak menikah takkan menjadi
persoalan, sebaliknya bila engkau tidak menikah, lalu siapa yang
akan menyambung keturunan keluarga Ciok kalian?"
Cui-hong menjawab sambil melirik Tan-hong sekejap, "Ah,
kutahu ucapan In-siang-kong tidak sesuai dengan pikiranmu. Meski
aku ini orang bodoh juga dapat melihat sesungguhnya siapa jantung
hatimu."Pahala dan Murka - 22 6
Perasaan In Lui tersinggung oleh ucapannya, ia menghela napas
dan berkata dengan lesu, "Selama hidupku ini takkan menikah, bila
engkau tidak percaya, biar aku bersumpah di depanmu."
Cepat Cui-hong mendekap mulut In Lui dan berseru, "Sudahlah,
tanpa sebab kenapa mesti bersumpah segala. Ai, mempunyai
seorang adik baik serupa dirimu, masa aku tidak puas?"
Watak Ciok Eng memang terbuka, meski merasa kesal
sementara, dengan cepat perasaan itu pun hilang, katanya kepada
Cui-hong dengan tertawa, "Bagus sekali, jika kalian sudah saling
mengaku sebagai taci dan adik, kenapa In-siangkong tidak lekas
memberi hormat kepadaku sebagai ayah angkat?"
In Lui tertawa, ia benar-benar mendekati Ciok Eng dan memberi
sembah hormat.
Ciok Eng mengangkatnya bangun din berkata. "In-siangkong,
terima kasih ya?"
Tau-hong berbahak, "Haha, masih memanggil Sinngkong?!"
Ucapan ini membuat semua orang tergelak pula.
Sementara itu sudah dekat magrib, suara ribut di luar masih
ramai sekali. Di dalam ruangan berkumpul ini tidak ada makanan.
Untung Tan-hong dan In Lui membawa rangsum kering dan dapat
dimakan bersama mereka berempat.
"Selewatnya hari ini, lalu bagaimana besok?" tanya In Lui.
"Besok urusan besok, jangan dipikir dulu," kata Tan-hong.
Begitulah mereka bicara dan bergurau di dalam. Sebaliknya Soa
Tiu dan lain lain yang berada di luar juga tidak berani menyerbu ke
dalam karena gentar terhadap kelihaian gabungan pedang mereka.
Malamnya Thio Tan-hong dan Ciok Eng bergiliran jaga, In Lui
dan Cui-hong duduk berendeng dan asyik bicara mengenaiPahala dan Murka - 22 7
pengalaman masing-masing sejak berpisah, akrab sekali hubungan
mereka serupa kakak beradik benar-benar.
"Waktu kita berpisah di Jing-liong-kiap dulu, ayahmu mengirim
surat dan menyuruhmu pulang, sesungguhnya karena urusan apa?"
demikian tanya In Lui.
"Apalagi kalau bukan lantaran lukisan aneh itu," jawab Cui-hong.
"Menurut cerita ayah, entah dari mana orang Watze mengetahui
lukisan itu berada di rumahku dan hendak mengirim orang untuk
merampasnya. Sebab itulah ayah menyuruhku pulang dan
sekeluarga mengungsi ke tempat Na-cecu di Im-ma-joan, sehabis
terjadi peperangan barulah kami pulang. Tak tersangka bangsat tua
Soa Tiu itu bersekongkol dengan Yasian dan tetap mengincar kami."
In Lui tertawa, katanya, "Mana mereka tahu bahwa lukisan itu
sudah jatuh ke tangan Toakoku."
Mendengar panggilan "toako" In Lui itu sedemikian mesranya,
hati Cui-hong terasa kecut, katanya, "Sesudah mempunyai Toako,
lantas kau lupakan Taci bukan?"
Kembali In Lui menghela napas, sebagai anak perempuan,
dengan sendirinya tidak leluasa baginya untuk mengungkapkan isi
hatinya terhadap Ciok Cui-hong.
Melihat kelakuan In Lui yang aneh itu, Cui-hong merasa heran,
tapi ia pun tidak enak untuk bertanya. Akhirnya keduanya terpulas
tanpa terasa.
Entah berapa lama mereka tidur, tiba-tiba terdengar suara ribut
di luar dan Tan-hong lagi berseru, "Hei, adik cilik, lekas bangun dan
coba libat apa itu? Baru saja kau bicarakan dan sekarang juga
saudara angkatmu itu sudah muncul."
Waktu In Lui bangun, ternyata sudah esok berikutnya, lapis baja
itu hanya menutup pintu gerbang, dinding kedua sisi masih adaPahala dan Murka - 22 8
lubang panah, maka keadaan di luar terlihat dengan jelas, di luar
panji berkibar tertiup angin, ada dua panji besar yang sangat
menyolok, sebuah berlukis matahari dan yang lain bergambar
rembulan. Itulah Jit-goat-ki atau panji matahari dan bulan, panji
pengenal Kim-to-cecu. Terdengar pula gemuruh suara pertempuran
di luar.
"Kedatangan Ciu San-bin sungguli tepat pada waktunya," ucap
Tan-hong. Kata-kata yang bermakna ganda. In Lui pun tersenyum
penuh arti.
Selang tak lama, suara pertempuran mulai mereda, lapis baja
yang menutup ruangan tamu itu pun dicongkel orang sehingga
terkerek lagi ke atas, cahaya matahari menyilaukan mata, kelihatan
Ciu San-bin masuk ke ruangan pendopo itu.
Karena jenis kelaminnya kemarin sudah ketahuan, sekalian In
Lui lantas berdandan kembali sebagai wanita, tentu saja San-bin
terheran-heran melihatnya, sambil tegur sapa dengan orang
banyak, tiada hentinya ia memandang In Lui.
"Urusan yang kuminta tolong padamu sudah kujelaskan tadi,"
kata In Lui dengan tertawa.
Dalam pakaian wanita disertai tersenyum, sujen pada pipi In Lui
sungguh sangat menggiurkan, tanpa terasa hati Ciu San-bin
terguncang.


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maklumlah, sebenarnya Ciu San-bin diam-diam mencintai In
Lui, tapi sejak diketahuinya hati si nona sudah tertambat atas diri
Thio Tan-hong, sedapatnya ia mengekang diri, apalagi ketika
Ciamtai Biat-beng diam-diam membantu kemenangan mereka dan
menjelaskan maksud baik Thio Tan-hong, tekad San-bin bertambah
bulat untuk menarik diri dari persaingan cinta ini. Maka guncanganPahala dan Murka - 22 9
perasaannya sekarang hanya timbul sekejap dan segera diatasinya
kembali.
"Ciu-hiantit," segera Ciok Eng berkata, "dari mana kau tahu kami
terkurung di sini dan datang membantu dengan pasukanmu?"
San-bin menjawab, "Waktu pasukan Watze menyerbu ke
Tionggoan, pasukan kami sengaja dipencarkan ke berbagai tempat,
sekarang peperangan sudah berakhir, kami menghimpun kembali
kekuatan semula dan hendak pulang ke pangkalan lama. Ketika
pasukan berkemah di sekitar sini kemarin, malamnya lantas terjadi
suatu peristiwa aneh."
"Peristiwa aneh apa? ? tanya Ciok Eng.
"Ada seorang berkedok malam-malam menyusup ke tengah
perkemahan kami dan menyampaikan surat dengan sambitan
pisau, dalam surat tertulis dengan jelas, katanya kalian
terperangkap oleh Soa Tiu dan terkurung di sini. Kungfu orang
berkedok itu sangat tinggi, ketika kami menemukan suratnya, dia
sudah keburu kabur."
"Seorang berkedok?" tukas Tan-hong dengan mrlengak.
"Ya, orang ini datang dan pergi serupa setan, entah dari mana
asal-usulnya," tutur San-bin. "Menurut pendapat ayah, lebih baik
percaya daripada tidak, kalau benar Ciok-loenghiong menghadapi
kesulitan, betapapun harus kita tolong. Sebab itulah aku
diperintahkan membawa pasukan ke sini."
Diam diam Tan-hong dan In Lui lagi berpikir apakah orang
berkedok yang diceritakan Giu San-bin sama dengan orang
berkedok tempo hari itu?. San-bin berkata pula, "Pada waktu
pasukan Watze menyerbu tiba beberapa, kali ayah pernah mengirim
orang menjenguk keadaan tempat paman Ciok, tapi rupanya pamanPahala dan Murka - 22 10
Ciok belum pulang dari mengungsi sehingga tidak diperoleh sesuatu
keterangan."
"Terima kasih atas perhatian ayahmu, kelak pasti akan kutemui
untuk memberi salam padanya," kata Ciok Eng. Setelah
berhadapan, ia lihat Ciu San-bin juga gagah perkasa, meski tidak
dapat menandingi Thio Tan-hong, tapi juga lain daripada yang lain.
Begitulah mereka makan lohor di sarang Soa Tiu itu, karena buru
buru hendak melanjutkan perjalanan, maka Tan-hong dan In Lui
lantas mohon diri dulu. Mereka diantar oleh Ciok Eng, Cui-hong dan
Ciu San-bin, ke bawah gunung.
Sekali Tan-hong dan In Lui bersuit, kuda mereka segera datang
susul menyusul.
Melihat In Lui sudah mencemplak ke atai kudanya, tiba-tiba San-
bin ingat sesuatu, serunya, "Nona In, nanti dulu!"
"Ada apa, Ciu-toako?" tanya In Lui sambil berpaling.
"Jika urusanmu dengan nona Ciok sudah diselesaikan, maka aku
pun tidak perlu buang tenaga lagi bagimu untuk menjelaskannya,"
kata San-bin. "Dan barang ini silakan terima kembali saja."
Sembari bicara ia lantas mengeluarkan setangkai bunga karang
hijau, yaitu benda tanda mata pemberian Ciu Kian kepada In Lui
dulu, oleh In Lui bunga karang ini diberikannya kepada Cui-hong
sebagai "emas kawin", kemudian In Lui menyerahkannya pula
kepada San-bin dan minta anak muda itu menjelaskan duduknya
perkaia kepada Ciok Eng, maksudnya membatalkan
pertunangannya dengan Cui-hong.
Melihat bunga karang ilu, Cui-hong jadi teringat kepada berbagai
kejadian yang mengesalkannya, tanpa terasa mukanya menjadi
merah.Pahala dan Murka - 22 11
Dengan tertawa In Lui lantas berkata, "Hah, bunga karang itu
asalnya memang milik keluarga Ciu kalian, untuk apa diberikan lagi
kepadaku?"
Sekali ia tepuk kudanya, serentak kudanya membedal ke depan
dengan cepat bersama Thio Tan-hong, hanya sekejap saja mereka
sudah menghilang di kejauhan, tertinggal Ciu San-bin yang masih
berdiri terkesima di situ.
Perjalanan Tan-hong berdua diteruskan degan cepat, esok
Jari Malaikat 2 Fear Street Sketsa Kematian Face Silence 5
^