Pencarian

Pahala Dan Murka 14

Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen Bagian 14


paginya mereka sudah melintasi Gan-bun-koan. Di luar benteng itu
adalah daerah kontak antara bangsa Tartar lan bangsa Han.
Orang Mongol hidup dengan mengembara dan berkelana kian
kemari, anak perempuan sudah terbiasa naik kuda. Sebab itulah In
Lui tidak perlu berganti pakaian orang lelaki lagi.
Bersanding dengan si cantik dan berkuda di padang pasir yang
luas, hati Tan-hong riang gernbira.
Sehabis perang, sisa-sisa bekas peperangan masih tertampak di
sana sini.
Selagi Tan-hong merasa terharu, tiba-iba terdengar In Lui
menghela napas.
"Ada apa, adik cilik?" tanya Tan-hong.
"Aku jadi teringat kepada kejadian masa kecilku waktu ikut
pulang bersama kakek dulu," tutur In Lui. "Ai, tanpa terasa sepuluh
tahun sudah berlalu. Justru di sinilah tempatnya, kuingat malam itu
tanggal 15 bulan sepuluh, di sinilah kakek menyerahkan surat
wasiat berdarah kepadaku."
Menyinggung urusan surat berdarah itu, tanpa terasa hatinya
sedih sekali.Pahala dan Murka - 22 12
"Ah, orang hidup bisa berapa lama, buat apa selalu mengingat
hal-hal yang tidak menyenangkan," kata Tan-hong. In Lui diam saja,
sejenak kemudian, ia berkata lagi, "Orang hidup sungguh aneh."
"Aneh bagaimana?" tanya Tan-hong.
Dengan malu-malu In Lui memandangnya sekejap dan urung
bicara.
"Kejadian di dunia ini memang serupa khayalan dan sering di
luar dugaan manusia," ujar Tan-hong. "Seperti diriku sendiri,
kukira selama hidup ini takkan keluar Gan-bun-koan lagi, siapa
tahu sekarang aku berada di sini pula. Sebab itulah sesuatu yang
kau anggap aneh sebenarnya juga belum tentu aneh. Ada sementara
uruian yang tampaknya tidak mungkin terjadi, tapi bisa mendadak
terselesaikan begitu saja."
Ucapannya mengandung arti yang dalam, sekilas terbayang oleh
In Lui surat berdarah, sang kakek dan terbayang pula wajah In
Tiong yang kereng itu. Tapi ketika menengadah dan melihat wajah
Tan hong yang tersenyum hangat seketika bayangan gelap yang
meliputi perasaannya tersapu bersih.
Begitulah selagi mereka melanjutkan perjalanan, sekonyong-
konyong kuda Tan-hong itu meringkik panjang, lalu membedal
secepat terbang ke depan.
Mendadak kuda putih ini tidak mau lagi tunduk kepada perintah
Tan-hong, sungguh peristiwa yang belum pernah terjadi.
Setelah berusaha mengendalikan dan tidak berhasil, tiba-tiba
terpikir oleh Tan-hong, "Kuda ini berlari secepat ini, tentu ada
sebabnya, biarlah kulihat akan membawaku ke mana?"
Maka ia lantas mengendorkan tali kendalinya dan membiarkan
kuda itu lari sesukanya. Kuda putih ini tidak lagi mengikuti jalan
besar melainkan terus menyusuri jalan kecil di kaki gunung yangPahala dan Murka - 22 13
berliku, melompat ke atas dan ke bawah sambil meringkik
sepanjang jalan.
Dengan sendirinva In Lui membedal kudanya untuk
menyusulnya, namun selalu ketinggalan hampir satu li jauhnya.
Setelah berlari sekian lamanya, tiba-tiba terdengar di depan sana
juga ada suara ringkik kuda yang ramai dan sahut-menyahut.
Waktu Tan-hong memandang kesana, tertampak di bawah lereng
sana ada dua orang sedang bertempur, ada seekor kuda putih
serupa Ciau-ya-sai-cu-ma berlari menyongsong ke arahnya.
Setelah mengawasi lebih jelas, Tan-hong terkejut. Kiranya kedua
lelaki yang sedang bertempur itu ada yang dikenalnya, yaitu
seorang di antaranya ialah Tiau-im Hwesio, paman gurunya.
Lawannya seorang lelaki setengah umur dengan badan agak gemuk,
namun gerak-geriknya sangat gesit.
Tiau-im Hwesio memutar tongkatnya yang antap itu sehingga
menimbulkan deru angin yang dahsyat. Nyata ia melancarkan
permainan tongkat Hok-mo tiang-hoat yang lihai dari
perguruannya.
Kungfu lelaki lawannya juga sangat hebat, sebentar
menghantam dengan telapak tangan, lain saat mendadak menutuk
dengan jari, terkadang menabas dan mencengkeram, gerak
serangan cepat dan aneh, betapa lihai tongkat Tiau-im Hwesio
selalu tersampuk oleh pukulan lawan, bahkan lelaki itu selalu
mendesak maju untuk menutuk hiat-to Tiau-im, meski Tiau-im
dapat mengelak, tapi setiap kali pun Tiau-im merasa menggigil.
Tan-hong terkesiap, kungfu lelaki ini ternyata serupa dengan
orang berkedok yang dijumpainya tempo hari, sama menggunakan
ilmu pukulan Thi-pi-pe-ciang-hoat dan ilmu tutukan It-ci-sian yang
ampuh.Pahala dan Murka - 22 14
Malahan di bawah lereng tampak berdiri lagi seorang
perempuan yang sedang menyaksikan pertarungan itu dengan
tersenyum. Usia perempuan ini antara 30 lebih, mukanya bulat
serupa bulan purnama dan anggun, tampaknya seorang nyonya
rumah keluarga terhormat, padahal yang benar adalah seorang
perawan tua yang belum menikah.
Dalam pada itu Tiau-im Hwesio kelihatan terdesak oleh lawan
sehingga agak kelabakan. Agaknya dia menjadi murka dan nekat,
mendadak tongkatnya mengemplang, namun dengan gesit lelaki itu
sempat menghindar, saking keras kemplangan Tiau-im sehingga
tidak sempat ditahan, tongkat mengenai tanah dan membuat batu
pasir muncrat.
Lelaki itu tergelak, secepat kilat ia tutuk iga Tiau-im Hwesio.
Namun Tiau-im juga tidak lemah, pada saat berbahaya segera ia
meloncat ke atas dengan tongkat sebagai penyanggah, lalu
berjumpalitan dl udara dan turun kembali ke bawah.
Perempuan yang mengikuti pertarungan itu terbahak geli,
serunya, "Hah, anak murid Hian-ki It-su ternyata juga cuma begini
saja. Huh, hanya nama kosong belaka!"
Kening Tan-hong bekernyit dan segera bermaksud menerjang
maju, tapi lantas teringat olehnya bahwa lelaki ini jelas orang
berkedok yang dulu itu, dia datang bersama begundal Yasian ke
tempat Soa Tiu, kemudian memancing kedatangan Ciu San-bin pula
untuk menolongnya, sungguh sukar untuk diraba bagaimana asal-
usulnya, dan entah mengapa dia senjaja bergebrak dengan paman
gurunya pula?
Waktu ia menoleh, dilihatnya In Lui sudah menyusul tiba. Ciau-
ya-sai-cu-ma yang dilepaskan di lereng tadi sedang bercanda
dengan kuda putih tunggangan Tiau-im Hwesio.Pahala dan Murka - 22 15
Kiranya kuda putih yang dibawa Tiau-im itu adalah kuda
tunggangan Thio Cong-ciu, dahulu waktu Tiau-im menyusup ke
istana Thio Cong-ciu, diam-diam Cia Thian-hoa telah membantunya
meloloskan diri dengan mencurikan kuda putih itu.
Kuda putih ini dan Ciau-ya-sai-cu-ma adalah induk dan anak,
sebab itulah ketika mendengar suara sang induk dari jauh, Ciau-ya-
sai-cu-ma itu lantas tidak mau tunduk lagi atas perintah sang
majikan dan terus membedal ke sini.
Sementara itu In Lui sudah mendekat, melihat pertempuran
sengit itu, ia pun berseru, "He, bukankah dia Tiau-im Supek? Wahai,
Tiau-im Supek!"
Saat itu Tiau-im sedang terdesak sehingga tidak sempat
mempethatikan urusan lain, meski mendengar suara In Lui juga
tidak sempat menjawabnya.
Sebaliknya lelaki berkedok itu lantas tertawa lebar terhadap Tan-
hong dan In Lui, katanya, "Aha. sungguh dunia ini terasa sempit, di
mana-mana selalu kita bertemu. Masa hwesio konyol ini adalah
Supek kalian?"
Dengan gusar Tiau-im putar tongkatnya menyerampang
sekuatnya, namun apa mau dikatakan lagi, lawan terlampau
tangguh baginya, ia berbalik tergetar lempoyongan oleh tenaga
pukulan lawan.
Di antara keempat murid Hian-ki It-su, ilmu silat Cia Thian-hoa
terhitung paling tinggi, guru In Lui, yaitu Hui-thian liong li Yap Ing
ing, setelah bersemadi 12 tahun, kini kungfunya juga jauh lebih
maju dan tidak di bawah Cia Thian-hoa.
Murid pertama Thian-ki It-su, yaitu Kim-kang-jiu Tang Gak,
ilmu silatnya tidak setinggi Cia Thian-hoa dan Yap Eng-eng, tapiPahala dan Murka - 22 16
kekuatan luar justru mencapai puncaknya dan jarang ada
tandingannya.
Mengenai Tiau im Hwesio, lantaran wataknya berangasan
sehingga ilmu silatnya sukar mencapai puncak, ia hanya mendapat
ajaran ilmu permainan tongkat penakluk iblis atau Hok-mo-tiang-
hoat dan kekuatan fisik.
Meski cuma mengandalkan permainan tongkat saja sudah jarang
ada tandingannya di dunia kangouw. Tapi sekarang demi
berhadapan dengan tokoh kelas tinggi seperti lelaki berkedok ini
seketika kelihatan kelemahannya dan kecundang.
Segera Tan hong berseru, "Jisupek, silakan mengaso dulu, biar
kugantikan menahannya beberapa jurus!"
Segera ia lolos pedang dan berkata kepada lelaki itu. "Harap
Cianpwe memberi petunjuk, kami adalah murid angkatan ketiga
Hian-ki It-su, bila kaum muda minta petunjuk kepada kaum tua,
terpaksa kami tidak berani satu lawan satu, maafkan, biar kami
maju sekaligus saja."
Habis bicara ia putar pedangnya dan berseru kepada In Lui.
"Adik cilik, ayolah maju bersama untuk meminta petunjuk kepada
Lo-cianpwe ini!"
In Lui mengiakan sambil melolos pedang, sekali kedua pedang
bergabung, serentak cahaya perak berkelebat terus mengancip ke
depan.
Cepat lelaki itu menghantam ke arah Tan-hong, berbareng jari
menutuk In Lui, ia lancarkan Thi-pi-pe jiu dan It-ci-sian sekaligui
terhadap kedua lawan muda itu.
Gabungan kedua pedang sungguh lihai luar biaia, serangan demi
serangan semakin kencang, ditambah lagi kungfu Tan-hong
sekarang telah maju pesat setelah membaca kitab pusaka itu, makaPahala dan Murka - 22 17
setelah belasan jurus orang itu sudah terdesak, hanya mampu
menangkis dan tidak sanggup balas menyerang.
"Gabungan dua pedang memang luar biasa," seru orang itu.
"Sumoay, silakan kaupun maju untuk belajar kenal dengan
mereka." Perempuan setengah umur yang menonton disamping itu
mengiakan, tidak kelihatan dia bergerak, tahu-tahu ia sudah
melompat ke tengah kalangan, "sret-sret", dua jenis senjata
dikeluarkannya, yang dipegang tangan kiri adalah sebuah kaitan
emas dan tangan kanan memakai pedang bercahaya perak. Sekali
pedang menuding dan kaitan menarik, seketika Tan-hong dan In
Lul merasakan diterjang oleh suatu arus tenaga yang dahsyat,
ketambahan lagi jari dan telapak tangan lelaki itu juga menyerang
serentak, tanpa terasa Tan-hong berdua terdesak mundur dua-tiga
tindak.
Cepat pedang Tan-hong berputar ke kiri dan pedang In Lui ke
kanan sehingga membentuk suatu lingkaran, kontan mereka pun
balas mendesak mundur pasangan lawan.
Perempuan setengah umur itu sangat lihai, begitu mundur,
segera kedua jenis senjatanya yang berbeda itu melancarkan lagi
dua-tiga kali serangan, sedangkan si lelaki jugu menghantam dan
meeutuk dengan cepat.
Dengan kerja sama yang rapi Tan-hong dan In Lui menangkis
serangan lawan, sekaligus daya serang kedua jenis senjata, pukulan
dan tutukan musuh tertahan.
Mau tak-mau perempuan tadi berseru memuji, "Bagus!"
"Numpang tanya, apa sebutan kalian dengan Ciamtai Biat-
beng?" tanya Tan-hong tiba-tiba.
Kiranya Tan-hong melihat gaya serangan Thi-pi-pe-jiu lelaki itu
serupa dengan Ciamtai Biat-beng, sedangkan gerak kaitanPahala dan Murka - 22 18
perempuan ini juga sama dengan pedang berkait Ciamtai Biat-beng,
cuma senjata andalan Ciamtai Biat-beng adalah sepasang kaitan,
sedangkan perempuan ini selain memakai kaitan emai juga
menggunakan pedang sehingga jurus serangan terlebih aneh.
Perempuan itu melengak oleh pertanyaan Tan-hong, katanya
dengan tertawa, "kami cuma ingin belajar kenal dengan ilmu silat
ciptaan Hian-ki It-su, siapa mau bicara tentang asal usul
denganmu?: Sekali tangan kiri bergerak, sinar emas berkelebat,
kembali kaitannya menggantol ke depan.
Karena jawaban yang ketus itu, diam-diam Tan-hong
mendongkol juga, ia pikir harus kuperlihatkan ilmu silat kakek guru
agar lawan tahu kelihaiannya.
Segera ia pergencar serangannya, gabungan pedang mereka
sebentar merapat dan sebentar lagi terpencar, dengan aneka
macam gerak perubahan mereka mengurung kedua lawan di tengah
cahaya pedang.
Namun kungfu kedua orang itu memang terlampau kuat,
lahirnya kelihaian mereka terkurung dan tidak mampu balas
menyerang. Tapi sebenarnya meraka bergerak dengan cara yang
lain daripada lain untuk balas menggempur.
Hanya sebentar saja sudah berlangsung lebih 50 jurus,
mendingan Thio Tan-hong, karena lwekang In Lui kurang kuat,
lama-lama ia merasakan tekanan lawan semakin berat, napasnya
mulai tersengal.
Diam diam Tan hong menarik napas dingin, ia pikir di atas langit
benar masih ada langit, di atas orang pandai memang masih ada
yang lebih pandai. Semula ia sangka gabungan pedang mereka pasti
tidak ada tandingannya di dunia ini, siapa tahu sekarang pasangan
lawan ini toh dapat mengatasi mereka.Pahala dan Murka - 22 19
Padahal sebenarnya bukan karena ilmu pedang gabungan
mereka itu kurang lihai, soalnya tenaga dalam In Lui memang
selisih jauh dibandingkan musuh, sebab itulah daya serang
gabungan pedang mereka tidak dapat dipancarkan sepenuhnya.
Dalam pada itu Tiau-im Hwesio sudah sempat mengaso sekian
lamanya, melihat Tan-hong berdua tetap tidak mampu
mengalahkan musuh, segera ia putar tongkat dan terjun lagi ke
inedau tempur.
Tenaga Tiau-im masih di bawah Tan-hong, tapi di atas In Lui.
Dengan ikut sertanya, tiga lawan dua, keadaan lantas berubah
menjadi sama kuat.
Pertarungan sengit berlangsung lagi hampir 50 jurus dan tetap
sukar menentukan kalah dan menang. Tiba-tiba terdengar mara
derapan kuda lari dari kejauhan, lebentar lagi terlihatlah muncul
seorang penunggang kuda dengan pedang tergantung di pinggang,
sikapnya kelihatan gagah.
Sekilas pandang, tiba-tiba ia betkata dengan tertawa, "Hah,
terhadap muridku saja kalian tidak mampu menang, memangnya
masih berani berlagak jaga gengii bagi Siangkoan-lokoay?"
Girang sekali Tan-hong demi mengenali pendatang ini, serunya,
"Suhu!" Kiranya orang ini tak-lain-tak-bukan ialah Cia Thian-hoa.
"Tiau-im Suheng, silakan mengaso sebentar, biar aku belajar
kenal dengan anak murid Siangkoan-lokoay," seru Cia Thian-hoa.
"Nah, Kim-kau Siancu, biar kubelajar kenal dulu denganmu. Oh loji
boleh kau lanjutkan menghadapi muridku."
Kiranya kedua lelaki dan perempuan itu, yang lelaki bernama Oh
Mong-fu, tadinya ia adalah murid kedua Siangkoan Thian-ya. Dulu
Siangkoan Thian-ya pernah berebut kuasa di dunia persilatanPahala dan Murka - 22 20


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan Hian-ki It-su, mereka bertempur tiga-hari-tiga-malam tetap
sukar menentukan kalah dan menang.
Siangkoan Thian-ya mempunyai beberapa jenis kungfu yang
lihai, satu di antaranya adalah It-ci-sian. Hanya cara belajar
kungfunya itu sangat aneh, seperti It-ci-sian, untuk belajar ilmu jari
sakti ini harus dilatih oleh anak lelaki atau perempuan yang masih
suci nurni. Umpama sudah berhasil meyakinkan kungfu tersebut,
bilamana menikah juga kekuatannya akan banyak berkurang.
Sebab itulah setiap kali sehabis menerima nurid, tentu
Siangkoan Thian-ya tanya muridnya selama hidup ini akan menikah
atau tidak, jika rela takkan menikah barulah akan diajarkan It-ci-
sian kepadanya.
Muridnya yang pertama, yaitu Ciamtai Biat-beng, karena
segenap keluarganya sengaja hijrah ke negeri asing untuk
menghindari pencarian musuh, dengan sendirinya tidak ingin putus
keturunan, maka tidak sanggup menerima syarat berat itu, sebab
itulah dia cuma mendapat ajaran ilmu pedang berkait dan kungfu
kekuatan fisik yang lain tanpa It-ci-sian.
Sedangkan murid kedua, Oh Mong-fu karena serakah ingin
mendapatkan ajaran kungfu sakti, begitu masuk perguruan lantas
bersumpah takkan menikah selama hidup.
Adapun perempuan tadi, Sumoaynya, bernama Lim Sian-im
berjuluk Kim-kau-siancu atau si dewi kaitan emas. Dia murid
ketigai Siangkoan Thian-ya, dia juga berjanji takkan menikah ketika
masuk perguruan.
Belasan tahun yang lalu kecantikan Lim Sian-im sangat
mempesona, sebagai saudara seperguruan, setelah berkumpul lama
akhirnya timbul cinta Oh Mong-fu kepada sang Sumoay.Pahala dan Murka - 22 21
Sebagai orang perempuan, watak Lim Siam-im lebih pendiam
sehingga tidak berani memperlihatkan perasaannya. Sebaliknya Oh
Mong-fu berani mengejar secara terang-terangan sehingga banyak
perbuatan menyolok di ketahui Siangkoan Thian-ya.
Sebenarnya Siangkoan Thian-ya bertekad mendidik beberapa
murid kelas wahid, tujuannya ingin bertanding dengan Hian-ki It-
su, dia juga tidak suka kepada orang yang tidak pegang janji, apalagi
melanggar sumpah. Maka begitu mengetahui Oh Mong fu jatuh hati
kepada Lim Sian-im, ia menjadi murka dan kontan memecat serta
mengusirnya.
Sebab itulah bilamana Ciaintai Biat-beng bicara dengan orang
luar, ia selalu mengaku cuma mempunyai seorang Sumoay tanpa
menyinggung Oh Mong fu.
Setelah diusir dari perguruannya, di samping merasa masih
sayang terhadap perguruannya, diam-diam Oh Mong fu juga sedih
dan penasaran. Ia pikir masa di dunia ini tidak ada kungfu kelas
wahid yang dapat diyakinkan bersama oleh suami istri?
Konon It-ci-sian ajaran Suhu itu setelah menikah akan banyak
berkurang kekuatannya, menurut cerita Suhu, hal itu karena
hilangnya kesucian orang yang melatihnya. Tapi kalau ada
semacam lwekang lain yang dapat mempertahankan kekuatan
murni itu, lalu apa halangannya menikah?
Lantaran pikiran tersebut, maka Oh Mong-fu sengaja berkelana
mengelilingi jagat dengan tujuan ingin menemukan semacam
lwekang yang lebih tinggi, tapi sudah belasan tahun belum juga
ditemukannya ilmu mujizat itu.
Pada waktu mudanya Oh Mong fu pernah mendengar dari
Ciamtai Biat-beng cerita tentang Thio Su-sing dan Pang-hwesio.
Konon Pang hwesio meninggalkan sejilid buku dengan judul "Hian-Pahala dan Murka - 22 22
kang-yau-koat" (kunci ilmu sejati). Meskipun betapa isinya tidak
diketahui, tapi dinilai dari kepandaian Pang-hwesio yang tinggi itu,
sesuai dengan judul bukunya tentu isinya lain daripada yang lain.
Sebab itulah dia bertekad akan mencari kitab tersebut.
Sebulan yang lalu ia pulang ke Mongol dan bertemu dengan
Ogito dan didengarnya bahwa harta pusaka Thio Su-sing dipendam
di daerah Sohciu, untuk menemukan pusaka itu kuncinya terletak
pada sebuah lukisan yang berada di rumah Ciok Eng.
Ogito tahu Oh Mong-fu adalah saudara seperguruan Ciamtai
Biat-beng, maka dia minta bantuannya. Karena tidak ada alasan
untuk menolak, terpaksa Oh Mong-fu ikat Ogito ke sarang Soa Tiu
dan kebetulan kepergok Thio Tan-hong, di situ baru diketahui kitab
yan dicarinya itu sudah ditemukan lebih dulu oleh Tan-hong,
Karena menganggap dirinya angkatan lebih tua, juga terhitung
tokoh Bulim yang sudah punya nama, dengan sendirinya tidak enak
baginya untuk minta kitab tersebut pada Thio Tan-hong, sebab
itulah diam-diam ia tinggal pergi.
Ia juga tidak suka kepada bangsa lain, tapi lantaran hasrat ingin
belajar lwekang kelas tinggi, ia pun tidak menaruh perhatian
terhadap sengketa kerajaan Beng dengan pihak Watze, tapi dia juga
tidak ingin Thio Tan-hong dihancurkan oleh Ogito dan Soa Tiu
sehingga kitab pusaka itu akan jatuh ke tangan jago Mongol, maka
setelah meninggalkan sarang Soa Tiu, diam diam ia menyampaikan
berita rahasia kepada Kim to-cecu.
Mengenai Kim-kau siancu, meski di luar tidak memperlihatkan
sesuatu perasaan, namun dalam hati juga tidak melupakan Oh
Mong-fu. Sesudah belajar sepuluh tahun dalam perguruan, ilmu
silatnya sudah mencapai tingkatan tertentu, Siangkoan Thian-ya
mengutusnya turun gunung untuk mendirikan perguruan sendiri.Pahala dan Murka - 22 23
Seterusnya ia berdiam di sebuah gunung di luar Gan-bun-koan
dan tekun menyakinkan kungfunya terlebih tinggi, sejauh itu ia pun
tidak menerima murid.
Beberapa hari yang lalu Oh Mong-fu dapat menemukan dia,
keduanya bercerita perasaan masing-masing setelah berpisah dan
sama terharu. Lantaran terikat oleh peraturan perguruan, mereka
tetap tidak berani bicara tentang pernikahan segala.
Kemudian Oh Mung-fu bicara tentang kabar yang didengarnya,
yaitu dua orang murid Hian-ki It-su, selekasnya akan datang ke
daerah Mongol.
Lim Sian-im menyatakan adalah menjadi cita-cita guru mereka
selama berpuluh tahun ini, yaitu ingin mengalahkan Hian-ki It-su,
cuma aelama ini tidak diketahui kungfu khai apa yang telah
diciptakan lawan itu. Sang guru juga berharap anak murid sendiri
melebihi anak murid Hian-ki It-su, sedikitnya hal ini akan
menaikkan genglinya. Maka Lim Sian-im mengajak Oh Mong fu
keluar Gan-bun-koan untuk menempur kedua murid Hian-ki Yaitu,
kalau menang berarti tercapailah tujuan sang guru, umpama
takdapat menang sedikitnya dapat menjajaki sampai di mana
kelihaisn kungfu ajaran Hian-ki It-su dan berjasa bagi perguruan.
Hati Oh Mong-fu tertarik oleh ajakan Lim Sian-im itu. mereka
lantas keluar Gan-bun-koan dan menunggu di suatu tempat
strategis, Oh Mong-fu memang sudah mendapat kabar bahwa
kedua murid Hian-ki It-su itu terdiri dari seorang lelaki dan seorang
perempuan. Tapi ketika kepergok, yang terlihat cuma Tiau-im
Hwesio saja seorang. Itulah awal mulanya terjadi pertarungan
antara Oh Mong-fu dan Tiau-im Hwesio.
Begitulah selagi pertempuran berlangsung dengan sengit,
datanglah Cia Thian-hoa membantu dan langsung menantang Lim
Sian im.Pahala dan Murka - 22 24
"Apakah engkau ini Cia Thian-hoa?" tanya Lim Sian-im.
"Betul, aku inilah orang she Cia," jawab Thian-hoa.
"Sudah lama kudengar di antara anak murid Hian ki It-su, konon
ilmu silat Cia Thian-hoa paling tinggi," kata Sian-im.
"Kedatanganmu sekarang sungguh sangat kebetulan, aku ingin coba
belajar kenal dengan kungfumu."
Begitu tangan kiri bergerak, kontan kait annya menyabet. Cepat
pedang Cia Thian-hoa berputar, menangkis sambil menarik, Lim
Sian-im terseret maju dua tindak, kaitan emas hampir saja terlepas
dari cekalan, keruan ia terkejut.
Hendaknya maklum, senjata sejenis kaitan mempunyai daya
guna mengatasi golok dan pedang, tapi sekarang kaitan emas Lim
Sian-im berbalik diatasi oleh pedang Cia Thian-hoa. kejadian yang
luar biasa ini tentu saja membuatnya kaget.
Cia Thian-hoa terus berputar mengikuti gerakan pedang, sambi!
mengisar setengah lingkaran, pedang berputar dan menempel
kaitan lawan pula, berbareng ujung pedang menusuk pergelangan
tangan musuh, inilah jurus serangan yang paling lihai dari Hian ki-
kiam-hoat yang banyak variasi itu.
Namun pedang Lim Sian im mendadak juga menusuk dengan
jurus "Giok-li coau-ciam" atau si gadis ayu menyisip jarum, cepat ia
menusuk dada Cia Thian-hoa. Inilah jurus berbahaya yang
memnksa Cia Thian hoa harus menyelamatkan diri lebih dulu jika
tidak ingin gugur bersama. Diam-diam Thian-hoa tertawa geli,
"Memangnya dapat kautumis diriku?"
Sedikit ia mengegos, batang pedangnya tetap menempel kaitan
orang, ujung pedang terus menjungkit ke atas.
Siapa duga pada saat itu juga, selagi Thian-hoa sedikit
kehilangan keseimbangan, mendadak Lim Sian-im menarikPahala dan Murka - 22 25
kaitannya, sinar pedang berkelebat, segera ia ganti serangan
menjadi menabas.
Kedua gerakan itu cepat lagi tepat waktunya, dari terdesak
segera berubah menjadi pihak yang menyerang.
Tanpa terasa Cia Thian hoa berseru memuji, "Bagus, Kim-kau-
siancu memang benar tidak bernama kosongi"
Berbareng pedang menangkis, sekaligus kedua jenis senjata
musuh terguncang ke samping, malahan dia terus menabas ke
kanan dan ke kiri delapan kali dengan gerakan yang sama,
tampaknya tiada sesuatu yang luar biasa, tapi Lim Sian-lm terdesak
sehingga cuma mampu menangkis tanpa bisa menyerang lagi. Mau-
tak-mau ia pun merasa kagum akan ilmu silat Cia Thian-hoa yang
memang jauh lebih tinggi daripada Suhengnya.
Waktu Cia Thian-hoa bergebrak dengan Lim Sian-im, sementara
itu Thio Tan-hong juga bertempur lagi melawan Oh Mong-fu. Sekali
ini mereka satu lawan satu, Tan-hong sengaja mengalah tanpa
gabungan pedang dari In Lui.
Sebenarnya Tan liong bukan tandingan Oh Mong-fu jika satu
lawan satu, tapi lantaran tadi Oh Mong-fu sudah bertempur dulu
melawan Tiau ini Hwesio, kemudian dikerubut Tan hong dan In Lui,
dengan sendirinya tenaga sudah banyak terkuras maka dalam 30-
40 jurus dia tidak dapat mengatasi Tan-hong.
Sekilas pandang melihat kungfu murid kesayangan banyak lebih
maju, bahkan sangat lihai, tentu saja Cia Thian hoa tercengang,
serunya sambil tertawa, "Haha, Oli Mong-fu, masa muridku saja
tidak dapat kau kalahkan?"
Oh Mong fu menjadi murka, beruntun ia menghantam tiga kali,
di bawah bayangan pedang ia mendesak maju, dengan tenaga It-ci-
sian ia tutuk hiat-to Tan-hong.Pahala dan Murka - 22 26
Namun Tan-hong sangat cerdik, ia putar pedangnya dengan
kencang untuk melindungi seluruh tubuh, meski serangan Oh
Mong-fu sangat lihai, seketika sukar juga menembus pertahanan
Tan-hong.
Silang sebentar lagi, kedua pihak sudah saling gebrak 70-80
jurus, Lim Sian-im tampak mundur terdesak oleh Cia Thian hoa,
pertahanannya mulai payah. Di sebelah sini Oh Mong-fu juga diatas
angin, namun Tan-hong masih sanggup bertahan.
"Haha, Oh-loji, sudah dekat seratus jurus, masa engkau belum
dapat mengalahkan muridku?" seru Thian-hoa dengan tergelak.
Tidak dapat mengalahkan seorang anak muda ini memang
dirasakan kikuk oleh Oh Mong-fu, apalagi dilihatnya Lim Sian-im
juga terdesak di bawah angin, ia tidak bertempur lebih lama lagi, ia
menjawab, "Cia Thian-hoa, muridmu memang boleh juga.
Tampaknya kaupun tidak banyak lebih hebat daripada dia. Biasanya
aku memang sayang terhadap anak muda yang berbakat, biarlah
hari ini tidak perlu bertempur lagi, kelak akan kucoba dirimu
sendiri."
Bersama Lim Sian-im mereksi terus melompat keluar kalangan
dan berlari ke arah barat laut.
Cia Thian-hoa membiarkan kepergian mereka, katanya dengan
tertawa terhadap Tan-hong, "Darimana kau belajar kungfu sehebat
ini? Lewat dua tahun lagi aku benar-benar tidak berani lagi
mengaku sebagai gurumu." Lalu ia berkata kepada Tiau-im Hwesio,
"Jisuheng, meski pertempuran ini pihak kita sedikit di atas angin,
namun kungfu kedua orang tadi memang jarang terlihat di dunia
persilatan. Jika muridnya saja begini lihai, apalagi Siangkoan-lokoay
sendiri tentu saja sukar diukur. Kalau guru kita tidak ingin
bergebrak langsung dengan Siangkoan-lokoay, mungkin gabungan
Simoay denganku juga sukar mengalahkan dia."Pahala dan Murka - 22 27
Selagi Tan-hong hendak menjelaskan kepada sang guru tentang
kitab pusaka tinggalan Pang-hwesio yang diperolehnya itu tiba-tiba
dilihatnya air muka Tiau-im Hwesio merah padam dan menjengak
terhadap Cia Thian hoa, "Hm, masa engkau masih ingat kepada
Suhu?"
"He, kaubilang apa Suheng?" Thian-hoa melengak.
"Hm, kukira hari ini engkau takkan datang kemari," jengek Tiau-
im pula.
"Ai, apakah Suheng marah karena kedatanganku yang terlambat
ini?" tanya Thian-hoa.
"In Lui," seru Tiau-im mendadak, "kebetulan kedatanganmu ini.
Apakah masih ingat hari apakah hari ini?"
In Lui melenggong, rupanya dalam perjalanan jauh ia lupa akan
waktu, tetapi kemarin dan semalam jelas bulan purnama, rasanya
kalau tidak tanggal 15 tentulah tanggal 16.
Maka Tan-hong menyela, "Hari ini tanggal 16 bulan sepuluh."
Baru sekarang In Lui teringat hari inilah dasawarsa sang kakek
tertimpa musibah dulu, adegan masa lampau kembali terbayang
dalam benaknya, keadaan yang sudah samar samar itu kiri
mendadak terbayang jelas, tanpa terasa air matanya bercucuran.
Tiba-tiba Tiau im Hwesio berseru pula, "Cia Thian-hoa, sepuluh
tahun yang lalu apa yang kita sepakati di sini?"
''Kita berjanji membagi tugas masing-masing, yang satu
membesarkan anak piatu, yang lain menuntut balas," jawab Thian-
hoa, "Engkau membawa cucu perempuan In Cing dan akan
diserahkan kepada Simoay untuk dibesarkan, sedang aku bertugas
ke Watze untuk membunuh Thio Cong-ciu."Pahala dan Murka - 22 28
"Bagus!" jengek Tiau-im sambil mendongak. "Ternyata engkau
masih ingat dengan baik. Coba kemari, In Lui!"
Segera In Lui tampil ke depan, lalu Tiau-im berkata pula. "Coba
lihat, anak dara cilik dulu itu sekarang sudah tumbuh besar menjadi
seorang pendekar pedang perempuan terkemuka, tugasku sudah
kulaksanakan dengan baik. Dan kau? Sudahlah kau bawa kepala
Thio Coug-ciu kesini?"
"Tidak ada," jawab Thian-hoa.
"Hm, nyata engkau ini manusia yang tamak hidup dan kemaruk
kedudukan, engkau rela mengabdi kepada musuh," ejek Tiau-im,
berbareng tongkatnya terus mengemplang kepala Cia Thian-hoa.
Cepat Thian-hoa mengelak sambil berseru, "Nanti dulu! Di mana
Simoay? Apakah dia sudah datang?"
Bentak Tiau-im dengan murka, "Hm, kau berani kepada Suheng
sendiri karena mengira kepandaianmu lebih kuat? Aku tidak perlu
bantuan simoay, biar kuhajar adat dulu kepadamu. Kalau berani,
boleh coba kau bunuh diriku."
"Tidak, bukan begitu maksudku," kata Thian-hoa. "Kukira
Simoay datang bersamamu, mengapa dia tidak kelihatan?"


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebenarnya Tiau im sudah berjanji denan Yap Eng-eng akan
keluar Gan-bun-koan bersama untuk mencari dan membikin
perhitungan dengan Cia Thian-hoa, rupanya kuda Tiau-im lebih
cepat dan tiba lebih dulu di tempat tujuan. Tapi mengingat sudah
berselang sekian lamanya, sepantasnya Yap Eng-eng juga harus
tiba, tapi sang Sumoay masih juga belum muncul, hal ini
membuatnya tertegun juga.
"Tunggu dulu kedatangan Simoay, nanti boleh kita bicara
sejelasnya," ujar Thian-hoa.Pahala dan Murka - 22 29
Tiau-im Hwesio naik pitam pula, bentaknya, "Hah, jadi engkau
memang meremehkan diriku sebagai Suheng ini?" Sambil
membentak segera tongkatnya mengemplang lagi.
Watak Tiau-im memang berangasan, bilamana sudah marah,
sukar lagi dicegah, sekali-gus tongkatnya mengemplang dan
menyeram-pang beberapa kali sehingga Cia Thian-hoa merasa
serba susah, terpaksa ia menggunakan tenaga dalam yang kuat,
lengan baju mengebas dan tongkat Tiau-im dapat dibelitnya.
"Tan-hong," seru Thian hoa dengan tertawa, "kebetulan juga
kedatanganmu, boleh kau jelaskan kepada Jisupekmu."
"Urusan Tan-hong sudah banyak yang kuketahui," seru Tiau-im,
"Dia memang harus diakui sebagai seorang lelaki sejati. Tapi ayah
adalah ayah dan anak tetap anak, naga pun dapat melahirkan
sembilan jenis anak yang berlainan. Betapapun Thio Cong-ciu
adalah perdana menteri Watze, pengkhianat yang tak-dapat
diampuni. Urusan ini tidak ada sangkut pautnya dengan Tan-hong.
Aku cuma minta pertanggungan jawabmu sendiri."
Begitulah Tiau-im terus mencerocos sendiri tanpa memberi
kesempatan bicara kepada orang lain, belum habis ucapannya
segera tongkatnya ditarik dan mengemplang lagi ke atas kepala Cia
Thian-hoa.
Thian-hoa hanya menggeleng kepala dan terpaksa berkelit ke
sana dan menghindar ke sini.
Teringat kepada keruwetan urusan ini, Tan-hong pun tidak tahu
cara bagaimana harus melerai mereka. Selagi ia hendak
membujuknya, tiba-tiba terdengar suara aneh menggema di udara,
suaranya serupa terompet tanduk orang Tartar, namun jauh lebih
melengking.Pahala dan Murka - 22 30
Air muka In Lui kelihatan berubah, serunya, ?Toako, lekas ikut
padaku!"
"Urusan apa?" tanya Tan-hong.
Belum lenyap suaranya, mendadak lengan baju Cia Thian-hoa
mengebas sehingga tongkat Tiau-im tersampuk ke samping,
berbareng ia terus melayang ke sana secepat terbang dan
mencemplak ke atas kuda putih tunggangan Tiau-im Hwesio.
Karena kaget kuda itu berjingkrak ke atas, pelahan Thian-hoa
menepuk leher kuda itu terus dilarikan ke depan dengan cepat, kuda
itu meringkik tiada hentinya, seperti tidak menurut, tapi tidak
berdaya terhadap kepandaian menunggang kuda Thian-hoa.
Tiau im menjadi gusar, bentaknya, "Kau berani mencuri
kudaku?"
Padahal kuda putih ini dahulu diperolehnya dari Cia Thian-hoa
juga, yaitu Thian-hoa mencurinya dari Thio Cong-ciu.
Sementara itu kelihatan In Lui juga sudah melarikan kudanya ke
depan, sambil membedal kudanya ia menoleh dan menanggapi
kepada Tan-hong.
Cepat Tiau-im berseru, "Tan-hong, berikan kudamu kepadaku!"
Tapi Tan-hong menjawab dengan tertawa, "Jisupak, engkau
sudah lelah bertempur, silakan mengaso saja, nanti kita bertemu
lagi" Segera ia cemplak ke atas kuda sendiri, tanpa menghiraukan
Tiau-im lagi, secepat terbang ia melarikan kudanya menyusul ke
arah In Lui.
Keruan Tiau-im berjingkrak gusar seperti kebakaran jenggot,
terpaksa ia menggunakan kuda Cia Thian-hoa dan menyusul ke
sana. Cuma ketiga kuda yang dikejarnya itu adalah kuda mestikaPahala dan Murka - 22 31
yang jarang ada di dunia ini, biarpun kuda Thian-hoa itu pun kuda
perang pilihan tetap tertinggal jauh di belakang.
Giau-ya-sai-cu-ma milik Tan-hong paling cepat, hanya sebentar
saja ia sudah melampaui sang guru. Meski Thian-hoa sudah dapat
mengendalikan kuda putih itu, namun belum terlalu apal, sembari
lari kuda itu masih berusaha membangkang, karena itulah dia
tertinggal di belakang In Lui.
"Ada apa, Suhu?" tanya Tan-hong ketika melampaui sang guru.
Thian-hoa memberi tanda, ''Susul dulu nona In ke sana, tidak
perlu tanya sekarang."
Segera Tan hong membedal kudanya terlebih cepat, hanya
sebentar saja In Lui sudah disusulnya, Pada saat itulah suara aneh
tadi kedengaran menggema pula di udara, suaranya yang s-rtu
panjang dan yang lain pendek, makin didengarkan makin jelas.
Kini kuda Tan-hong berlari sejajar dengan kuda In Lui, sejenak
kemudian, suara aneh tadi kembali bergema lagi dengan lebih
mendesak, habis itu lantas lenyap.
Wajah In Lui tampak pucat, ia coba mendengarkan dengan
cermat, lalu bersuara heran, katanya, "Toako, mengapa suara tadi
lenyap mendadak?"
Tan hong tidak tahan lagi, tanyanya, "Adik cilik, sesungguhnya
apa yang terjadi? Suara apa tadi? Kenapa engkau menjadi gugup
dan kuatir?"
"Guruku menghadapi bahaya," tutur In Lui.
Tan-hong terkejut dan menegas. "Gurumu !"
"Ya, suara itu adalah tanda bahaya yang dikeluarkan guruku,"
tutur In Lui. "Hanya aku dan Samsupek yang kenal suaranya ini."Pahala dan Murka - 22 32
"Ilmu silat gurumu sangat tinggi, orang yang dapat menandingi
dia sangat terbatas, masa dia bisa terancam bahaya?" ujar Tan hong.
"Tapi itu memang benar suara tanda bahaya yang dikeluarkan
guruku," kata In Lui.
Kiranya suara suitan tadi adalah itu semacam sempritan, yaitu
dibuat dari semacam bumbung bambu kecil yang tumbuh di Siat-
han-sun, tempat kediaman Hui-thian-liong-li Yap Eng-eng, suara
sempritan ini melengking tajam, ditambah lagi lwekang Yap Eng-
eng, setiap kali ditiup dapat terdengar belasan li jauhnya.
Pada waktu sebelum Yap Eng-eng dihukum semadi oleh
gurunya, sering dia main sempritan bambu itu dan bergurau
dengan Cia Thian hoa, ia pernah menyatakan selanjutnya bila ada
urusan penting, akan digunakan suara sempritan bambu itu untuk
memanggilnya.
Sesudah In Lui diterima menjadi murid antara guru dan murid
hidup berdampingan sepuluh tahun dan segala apa dibicarakan,
maka In Lui juga kenal baik suara sempritan itu, sebaliknya saudara
seperguruan Yap Eng-eng yang lain tidak ada yang tahu.
Bahwa suara sempritan tadi mendadak terhenti, dengan
sendirinya ada sebabnya, mungkin mengalami bahaya.
Karena itulah Tan-hong juga terkesiap, untuk bisa mengalahkan
Hui-thian-liong-li Yap Eng-eng, kecnali Siangkoan Thian-ya yang
jauh tinggal di daerah perbatasan Mongol dan Tibet, di dunia ini
mungkin hanya guru Yap Eng-eng sendiri, yaitu Hian-ki It-su, orang
lain, termasuk Ciamtai Biat-beng, Cia Thian-hoa dan sebagainya,
paling-paling hanya mampu menandinginya dengan sama kuat. Jika
demikian, apakah mungkin sekarang Yap Eng-eng kepergok
Siangkoan Thian-ya? Kalau bukan, habis siapa yang memiliki
kepadaian setinggi itu?Pahala dan Murka - 22 33
In Lui juga mempunyai pikiran yang sama, karena itulah ia
merasa cemas.
Setelah suara sempritan berhenti, mereka menjadi bingung ke
arah mana harus mencari.
"Bagaimana, Toako?" tanya si nona.
Dengan sendirinya Tan-hong tak dapat menjawab, sebab ia
sendiri merasa bingung. Tiba-tiba terlihat di depan dua penunggang
kuda sedang membedal kesana, rupanya karena kuda Tan-hong dan
In Lui terlampau cepat sehingga dapat menyusul Oh Mong-fu dan
Lim Sian-im yang berangkat lebih dulu.
Melihat Tan-hong berdua menyusul tiha, Oh Mong-fu menoleh
dan menegur, "Thio Tan-hong, apakah kalian ingin bertempur
lagi?"
"Tidak, kami ingin tanya, apakah di sekitar sini berdiam seorang
tokoh kosen?" tanya Tan-hong.
"Orang kosen masakah dapat kalian temui begitu saja?" ujar Oh
Mong fu tertawa.
"Apakah beliau mau menemui kami atau tidak, yang penting
mohon Cianpwe sudi memberi petunjuk," pinta Tan-hong.
''Ehm. engkau ternyata sangat sopan," kata Oh Mong-fu.
"Baiklah, Sumoay, coba tanyakan."
Segera Kim kau-siancu bersuit panjang. Selang sejenak
kemudian, terdengarlah suara suitan lain berkumandang dari
udara, begitu keras sehingga serupa orang yang bersuara itu berada
di samping mereka. Sungguh sukar dibayangkan betapa hebat
lwekangnya.
Sian-im lantai menggeleng kepala, katanya, "Tokoh kosen ini
hari ini tidak mau menemui siapa pun."Pahala dan Murka - 22 34
Namun dari jarak suara itu, menurut perkiraan Tan-hong datang
dari bukit yang terletak tidak jauh dari situ.
Ia mengucapkan terima kasih kepada Oh Mong-fu berdua, lalu
bersama In Lui melarikan kuda mereka ke depan.
"Hei, tanpa izin kalian berani menerobos ke sana, apakah kalian
mencari mampus?" teriak Lim Sian-im. "Anak muda serupa kalian,
kalau mati penasaran kan sayang?"
Namun Tan-hong dan In Lui tidak hiraukan kata-katanya,
mereka melarikan kuda secepat terbang, hanya sebentar sa ja sudah
sampai di kaki gunung lana. Oh Mong-fu berdua sudah tertinggal
jauh di belakang.
Tan-hong dan In Lui melepaskan kuda mereka, lalu
menggunakan ginkang dan berlari ke atas gunung. Setiba di
pinggang gunung, dari angin yang bertiup semilir tercium bau
harum yang aneh dan memabukkan, "Itulah wewangian yang biasa
digunakan guruku, namanya Pek hoa luang (harum seratus
bunga)," kata In Lui.
Lega hati Tan-hong mendengar keterangan itu. Nyata Hui-thian-
liong-li Yap Eng-eng memang berada di sini. Segera mereka
mempercepat larinya, hanya sebentar lagi sudah sampai di puncak
gunung.
Di atas gunung ada sebuah biara nikoh (biksuni), di samping
biara ada sebidang hutan bambu, biara itu dikelilingi tembok warna
merah, pemandangan indah permai. Semakin dekat dengan biara
itu bau harum tadi semakin keras.
"Mengapa tidak terdengar suara benturan senjata?"' kata Tan-
hong heran.
In Lui juga sangsi, segera ia melolos pedangnya, sekali lompat,
dengan ginkang yang tinggi ia terus mengapung ke atas.Pahala dan Murka - 22 35
"Awas tempat ini pasti ada orang kosen angkatan tua, jangan
gegabah!" seru Tan-hong dan bermaksud menarik si nona, namun
sudah terlambat.
Begitu In Lui melompat ke atas pagar tembok, tiba-tiba
terdengar suara orang menjengek, rasanya seperti ada orang
membentak di tepi telinganya, "Lepas pedang!"
Suaranya halus lembut, serupa suara orang perempuan.
Hati In Lui terkesiap, dirasakan batang pedang sendiri tergetar,
seperti dibetot oleh sesuatu, berbareng tubuh In Lui juga tergeliat
dan hampir terjungkal ke bawah.
Untung ilmu silatnya akhir-akhir ini maju pesat, pedang tidak
sampai terlepas. Waktu ia berpaling, dilihatnya Tan-hong juga
sudah ikut melompat ke atas tembok, wajahnya juga mengunjuk
rasa kaget dan heran.
Kiranya Tan hong juga merasakan apa yang terjadi atas diri In
Lui, juga mendengar suara bentakan orang di tepi telinga, cuma dia
lebih kuat daripada In Lui, ketika ia dapat mendengar desah angin,
cepat lengan bajunya mengebal, "cret", senjata rahasia hinggap
pada lengan baju, waktu diperiksanya, ternyata sehelai daun
bambu, bahkan lengan bajunya terobek sebagian serupa disayat
oleh pisau tipis.
Keruan Tan-hong terkejut, baru pertama kali ini dia
menyaksikan kungfu "memetik daun dan bunga untuk
membinasakan orang" seperti apa yang pernah didengarnya dari
sang guru dulu.
Waktu ia periksa pedang In Lui, tertampak batang pedang
terbungkus oleh dua helai daun bambu yang tipis. Padahal pedang
In Lui itu mampu menahas besi serupa memotong sayur, tapi
terhadap daun bambu yang tipis ini ternyata tidak bisa berbuat apa-Pahala dan Murka - 22 36
npa. Sungguh sukar dibayangkan cara bsgaimana orang itu berlatih
sehingga daun bambu setipis ini dapat digunakan sebagai senjata
rahasia.
Pada saat itu juga tiba-tiba dari dalam hutan bambu juga
berkumandang suara orang merasa heran, agaknya tokoh kosen tak
kelihatan itu juga merasa di luar dugaan atas ketangguhan Tan-
hong berdua.
"Tecu Thio Tan-hong dan In Lui kebetulan lalu di pegunungan
ini dan tidak tahu Cianpwe berada di sini, mohon maaf atas
kecerobohan kami," seru Tan-hong segera.
Suara yang terdengar tadi birkata pula. "Apakah kalian juga
murid Hian-ki It-su? Baik, turun kemari semuanya !" Sambil
mengucap maaf, Tan-hong dan In Lui lantas melompat turun ke
sana. Tertampak di tengah hutan bamhu sana ada dua orang
perempuan sedang bertanding pedang, yang seorang adalah
perempuan cantik setengah baya, seorang lagi sudah nenek-nenek
dengan rambut memutih perak.
In Lui terkejut dan bergirang, serunya, "Suhu, Tecu datang
kemari!"
Perempuan cantik itu sedang terdesak, ia hanya bersuara
pelahan saja dan tidak berani bicara.
Dari seruan In Lui itu, dengan sendirinya Tan-hong tahu
perempuan cantik setengah umur itu ialah Hui thian-liong li Yap
Eng-eng. Sudah lama ia dengar bibi guru ini sama lihainya dengan
gurunya sendiri, setelah dilihatnya sekarang, tertampak Yap Eng-
eng memakai sebatang pedang biasa, jurus yang digunakan sama
dengan ilmu pedang In Lui namun kecepatan dan kelincahannya
entah berlipat berapa kali.Pahala dan Murka - 22 37
"Sungguh tidak bernama kosong" demikian Tan-hong
membatin. "Sayang guruku tidak sempat menyusul kemari, kalau
tidak, dengan gabungan ilmu pedang mereka pasti dapat
mengalahkan nenek ini."
Rupanya meski Hui-thian-liong-li cukup lihai, namun nenek itu
jauh lebih hebat, senjata yang digunakannya hanya bambu tipis
yang dipotong berbentuk pedang, walaupun dia terkurung oleh
sinar pedang Yap Eng-eng, namun Tan-hong dapat melihatnya
justru Yap Eng-eng sendiri yang terkunci oleh serangan lawan.
Sebab apakah Hui-thian-liong-li Yap Eng-eng bisa datang ke
hutan bambu ini?
Kiranya keberangkatannya sekali ini penuh diliputi tekanan
batin. Tiau-im Hwesio mengajaknya pergi minta pertanggungan
jawab Cia Thian-hoa, bilamana Thian-hoa terbukti berkhianat dan
menggabungkan diri dengan musuh, maka Tiau-im minta dia
mengerubut Thian-hoa dan membunuhnya.


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Padahal antara Yap Eng-eng dan Cia Thian-hoa ada jalinan cinta,
meski sudah berpisah 12 tahun, keduanya masih saling merindukan
pihak lain.
Yap Eng-eng kenal watak Cia Thian-hoa yang cermat dan bisa
berpikir panjang, jika benar Thian-hoa bekerja bagi Thio Cong ciu
pasti ada maksud tujuan tertentu. Akan tetapi sebelum ada bukti
nyata, sukar baginya untuk memberi penjelasan kepada Tiau-im
Hwesio, sebab itulah ia tidak dapat membela Cia Thian-hoa dan
terpaksa ikut berangkat bersama Tiau-im.
Ketika mendekati Gan-bun-koan, hati Yap Eng-eng sangat kusut
dan serba salah, di samping terharu karena segera akan bertemu
dengan kekasih lama, sekaligus juga kuatir Cia Thian-hoa tidak akan
menjelaskan duduknya perkara yang sebenarnya, bilamana terjadiPahala dan Murka - 22 38
begitu, tentu serba susah baginya bila Tiau-im mendesak dia
melabrak Thian-hoa.
Setelah berpikir, ia mendapat akal. Pada malamnya waktu
berada di rumah penginapan Gan-bun-koan, ia bilang pada Tiau-im
berhubung perjalanan jauh beberapa hari cukup melelahkan, maka
esoknya mungkin tak dapat berangkat pagi pagi. Tiau im diminta
berangkat lebih dulu dan dirinya akan menyusul kemudian. Padahal
sebelum fajar menyingsing ia sudah mendahului berangkat,
maksudnya hendak tiba lebih dulu di tempat tujuan untuk menemui
Cia Thian-hoa dan akan ditanyai duduk perkara yang sebenarnya.
Ia menduga tindakan Cia Thian-hoa itu pasti berhubung dengan
sesuatu urusan rahasia dan mungkin tidak leluasa untuk
diberitahukan kepada Tiau-im Hwesio, tapi pasti dapat diceritakan
kepadanya.
Tiau-im seorang kasar, tentu saja ia tidak tahu maksud sang
Sumoay, maka ketika ia berangkat, disangkanya, Yap Eng-eng
masih tidur nyenyak.
Ginkang Yap Ing ing di antara sesama saudara seperguruan
terhitung nomor satu, maka baru fajar menyingsing ia sudah
sampai di tempat tujuan, namun meski ia bsrputar sekeliling sekian
lamanya di situ tetap tidak tampak bayangan Cia Thian-hoa.
Diam-diam ia menyesali dirinya sendiri yang terlalu buru nafsu
dan datang terlalu dini, pelahan ia lantas menyusuri lembah gunung
yang merupakan selat berbahaya yang harus dilalui bilamana dari
Watze hendak menuju ke Gan-bun-koan.
Hawa di tengah lembah ini sejuk, bunga mekar mewangi,
pemandangan indah permai. Di sinilah Yap Eng-eng menantikan
kedatangan Cia Thian-hoa.Pahala dan Murka - 22 39
Ketika tiba-tiba di tengah tiupan angin terendus bau wangi yang
memabukkan, hati Eng-eng terkesiap, sebab bau harum semacam
ini dulu sering diciumnya di kamar sang guru, bau harum yang
khas, bukan bau harum anggrek dan bukan harum mawar, dulu ia
merasa heran sang guru yang sudah tua itu mengapa masih suka
pada wewangian. Cuma sebagai murid, ia tidak berani bertanya.
Sakarang bau harum khas itu tercium lagi di lembah gunung ini,
tentu saja ia merasa heran.
Dilihatnya hari masih jauh daripada lohor, timbul hasratnya
untuk menyelidiki dari mana datangnya bau harum khas ini. Ia
terus mendaki ke atas gunung, dilihatnya sebuah biara di situ
dengan hutan bambunya, dari dalam hutan inilah bau harum itu
tersiar.
Pelahan Eng-eng menyusuri hutan itu, serupa Tan hong dan In
Lui, ia juga diserang oleh nenek itu dengan senjata rahasia daun
bambu. Dengan kepandaiannya dengan sendirinya ia tidak mudah
dicederai, tapi segera diketahuinya orang yang berada di balik hutan
bambu itu pastilah seorang kosen angkatan tua.
Segera ia berseru memperkenalkan diri, "Tecu anak murid Hian-
ki It-su, mohon tanya siapa gelaran Cianpwe?"
Baru lenyap suaranya tahu-tahu muncul seorang nenek dan
mendengus, "Hm, jadi kau murid Hian ki It-su? Sudah lama
kudengar kungfu Hian-ki It-su nomor satu di dunia, kau berani
masuk hutan ini dengan membawa pedang, tentu ilmu pedangmu
sangat hebat. Baik, akan kucoba dirimu untuk menilai gurumu,
ingin kutahu apakah Hian-ki It-su mempunyai jurus ilmu pedang
ciptaan baru?"
(Bersambung Jilid ke 23)Pahala dan Murka - 23 0Pahala dan Murka - 23 1
PAHALA DAN MURKA
Oleh : gan k.l.
Jilid ke 23
ARENA nada ucapan orarg seperti kenal baik gurunya,
tentu saja Yap Irg-ing tidak berani sembarangan turun
tangan, cepat ia minta maaf, "Tecu tidak tahu peraturan
di sini yang melarang orang masuk hutan dengan membawa
senjata, mohon maaf karena kesalaan ini."
Tak terduga nenek ini ternyata berwatak aneh, semakin Yap
Eng-eng rendah hati, semakin gusar dia dan memaksa Yap Eng-eng
bergebrak dengan dia.
Tiada jalan lain, terpaksa Yap Eng-eng melolos pedang, katanya,
"Baiklah, silakan Cianpwe memberi petuijuk."
Si nenek sekenanya mengambil sepotong belahan rambu dan
ditabas dengan telapak tangan sehingga berbentuk serupa pedang,
lalu berkata, "Nah, jika dapat kau tabas putus belahan bambuku ini
segera kulepaskan kaupergi. Kalau tidak, maka harus kau tinggal di
sini untuk menemani aku dan menunggu sampai gurumu datang
sendiri untuk, membawamu pulang."
Hui-thian-liong-li Yap Eng-eng juga berwatak keras dan tidak
mau mengalah kepada orang lain, ucapan si nenek membuatnya
mendongkol, pikirnya "Betapa lihai ilmu pedangku, masa tidak
mampu menabas putus sepotong bambu? Aku hanya
menghormatimu sebagai angkatan tua, memangnya benar aku
gentar kepadamu?"
Begitulah kedua orang lantas serang menyerang dengan ilmu
pedang masing-masing, Yap Eng-eng memainkan Hian-ki-kiam-Pahala dan Murka - 23 2
hoat dengan cepat, sinar pedang bergulung-gulung dari berbagai
arah dan bermaksud memotong patah pedang bambu lawan.
Siapa tahu kungfu si nenek memang sangat ajaib, pedang
bambunya selalu lolos dari lingkaran sinar pedang Yap Eng-eng,
bahkan dapat menerobos dan balas menyerang.
Jika Yap Eng-eng bermaksud menabas pedang bambu lawan, ia
selalu membayangi pedangnya dan menempel pada batang
pedangnya. Betapapun cepat gerakan Yap Eng-eng, pedang
bambunya selalu dapat mengikuti sambaran pedangnya kian
kemari, jangankan hendak menabas pedang bambu, ingin
menyentuh ujung bajunya saja sukar.
Keruan Hui-thian-liong-li terkesiap, sedapatnya ia melancarkan
serangan gencar dengan bersemangat. Namun si nenek tetap hanya
mempercepat daya tempelnya dan daya serangan Yap Eng-eng
dapat dipatahkan dengan mudah.
"Hm, ilmu pedang ciptaan Hian-ki It-su ternyata juga sebegini
saja," demikian jengek si nenek. "Tampaknya sudah jelas harus kau
tinggal di sini untuk menemani aku,"
Sementara itu sang surya sudah menggeser sampai di tengah
langit, tampaknya sudah dekat lohor. Tentu saja Hui-thian-liong-li
cemas dan gusar, ingin melepaskan diri justru tidak bisa karena
tertempel oleh pedang bambu lawan.
Karena gugupnya itulah dia mengeluarkan sempritan bambu
dan meniupnya untuk memanggil kawan Setelah mendengar
sejenak suara sempritan bambu, si nenek berkata, "Eh, menarik
juga sempritanmu ini. Mengapa hutan bambuku ini tidak terdapat
bambu bagus semacam ini? Suaranya juga sangat enak didengar,
boleh coba kupinjam lihat?"Pahala dan Murka - 23 3
Yap Eng-eng tidak menghiraukannya, sembari bergebrak
dengan si nenek, sekuatnya ia meniup terlebih nyaring suara
sempritannya.
Mendadak pedang bambu si nenek menyampuk ke samping
sehingga pedang Yap Eng-eng ikut tertolak, lalu sebelah tangannya
hendak merampas sempritan bambunya.
Selama tirakat 12 tahun di Siau-han-san, kecuali meyakinkan
ilmu pedangnya dengan lebih sempurna, ia pun berhasil menguasai
dua macam kungfu maha lihai, yang semacam adalah Liu-in-siu-
hoat atau kungfu mengebut dengan lengan baju untuk melibat
senjata musuh. Semacam lagi adalah Kiu-sing-ting-hing-ciam atau
jarum maut sembilan bintang, senjata rahasia jarum yang sekaligus
dapat mengincar sembilan hiat-to di tubuh musuh.
Kini dilihatnya si nenek hendak merebut sempritannya sehingga
sebelah kanan ada peluang, langsung lengan bajunya mengebas
untuk membelit pedang bambu lawan, selagi hendak dibetotnya,
sekonyong-konyong terdengar "bret", lengan baju sendiri terobek
oleh goresan jari si nenek, tahu-tahu sempritan bambu juga
terampas.
Terdengar si nenek berucap dengan tertawa, "Haha, boleh juga
kepandaianmu ini, cuma sayang kurang tenaga sehingga tidak
dapat mematahkan pedang bambuku. Nah. kukira engkau tetap
harus tinggal menemaniku di sini."
Meski pedang bambu si nenek yang terbelit lengan baju Yap Eng-
eng dapat ditariknya kembali dalam sekejap, tidak urung pedang
bambu itu tergetar pecah juga, hanya tidak sampai patah.
Sebaliknya lengan baju Yap Eng-eng justru terobek, sempritannya
juga terampas, kalau dihitung, jelas si nenek jauh di atas angin.
Akan tetapi dia tokoh angkatan tua yang terhormat, diam-diam ia
pun kagum terhadap kungfu Yap Eng-eng yang hebat itu.Pahala dan Murka - 23 4
Setelah kecundang, segera Yap Eng-eng mengeluarkan lagi
kungfu andalan yang lain, sekali tangan bergerak, serentak jarum
yang sudih siap diselentikkan secara beruntun-runtun, lihai sekali
jarum yang sekaligus mengincar sembilan hiat-to ini.
Setelah berhasil merampas sempritan bambu orang, si nenek
tertawa dan berkata, "Menarik juga mainan ini, biar kucoba
meniupnya."
Segera sempritan didekatkan bibir dan ditiupnya, seketika
terdengar suara nyaring keras, jauh lebih keras daripada tiupan Yap
Eng-eng. Pada saat itulah Yap Eng-eng juga menyambitkan jarum
sehingga sama terpental oleh tenaga tiupan si nenek.
"Tampaknya ilmu pedangmu tadi belum kau mainkan
seluruhnya, marilah kita coba bertanding pedang lagi," kata si
nenek dengan tertawa, sekali pedang bambu bergerak, kembali
pedang Yap Eng-eng ditempelnya.
Sementara itu sang surya sudah doyong ke barat, sudah lebih
satu jam mereka bertempur dan Hui-thian-liong-li Yap Eng-eng
masih sukar melepaskan diri. Teringat olehnya saat ini seharusnya
Cia Thian-hoa sudah sampai di tempat pertemuan yang dijanjikan
itu, entah suara, sempritannya tadi didengarnya atau tidak, mau-
tak-mau hati Yap Eng-eng menjadi cemas dan gelisah.
Pada saat itulah tiba-tiba dilihatnya ada orang melompat masuk,
semula disangkanya Cia Thian-hoa sudah datang, tak terduga
adalah In Lui, murid kesayangannya. Malahan menyusul pula
seorang pemuda cakap.
Meski belum pernah kenal Thio Tan-hong, tapi sekali pandang
saja Yap Eng-eng dapat merasakan keperkasaan anak muda itu, ia
merasa kepandaian orang ini pasti tidak di bawah muridnya sendiri.Pahala dan Murka - 23 5
In Lui terkejut ketika melihat gurunya tidak mampu menandingi
si nenek, segera ia memberi isyarat kepada Thio Tan-hong, lalu
tampil ke depan dan berkata. "Suhu, segala urusan biarlah murid
yang bekerja bagimu, biarlah kami yang akan minta petunjuk
beberapa jurus kepada Locianpwe ini sekaligus untuk menambah
pengalaman."
Hui-thian-liong-li memandang mereka sekejap, ia pikir aku saja
bukan tandingan nenek ini, masakah kalian sanggup
menghadapinya, sungguh anak muda yang tidak tahu tingginya
langit dan tebalnya bumi. Tapi perasaan ini tidak dapat
dikemukakannya di depan orang luar.
Selagi ragu, mendadak si nenek menarik kembali pedang
bambunya dan melompat ke luar kalangan, katanya dengan
tertawa, "Baik juga, aku paling suka kepada anak muda yang
bernyali. Apakah kalian ini murid angkatan ketiga Hian-ki It-su?
Kepandaian apa yang telah kalian kuasai, boleh juga coba maju,
akan kulihat kungfu kalian."
Yap Eng-eng merasa lega, sebab dari nada ucapan si nenek jelas
tidak bermaksud jahat, ia menduga orang pasti takkan bertindak
kejam terhadap dua anak muda, maka ia lantas menanggapi, "Baik,
boleh kalian coba hadapi beberapa jurus Locianpwe ini, tapi perlu
hati-hati!"
Nenek itu sama sekail tidak mengacuhkan kedua anak muda
yang akan dihadapinya, ia lin-tangkan pedang bambu yang pecah
bercabang itu di depan dada, katanya, "Nah, kenapa tidak
melancarkan serangan?!"
Tan-hong dan In Lui sama meraba tangkai pedang masing-
masing sambil memberi hormat, kata mereka, "Mohon petunjuk
Locianpwe!"Pahala dan Murka - 23 6
Begitu bersuara, serentak kedua pedang mereka bergerak
bersama, yang satu dari kanan dan yang lain dari kiri, sampai di
tengah jalan, sekonyong-konyong kedua pedang berputar suatu
lingkaran terus mcngacip pinggang lawan.
Menurut perkiraan semula si nenek, bilamana kedua anak muda
ini adalah murid angkatan ketiga Hian-ki It-su, betapapun tinggi
kungfu mereka juga terbatas, maka caranya menghadapi mereka
hanya karena iseng saja dan ingin menguji anak muda. Siapa tahu
gabungan kedua pedang ternyata sedemikian lihai.
Keruan si nenek terkejut menghadapi ancaman maut itu,
jaraknya sudah sangat dekat, ingin menangkis sudah tidak keburu
lagi, dalam sekejap itu mendadak terlihat sesosok bayangan
mengapung ke atas secepat terbang.
Berbareng itu Tan-hong juga cepat menyikut In Lui sehingga
nona itu tertumbuk mundur beberapa langkah. Kejap lain dilihatnya
si nenek sudah mengadang lagi di depannya dengan tertawa dan
memuji, "Bagus! Ayolah maju lagi, anak muda!"
Rupanya dalam keadaan mendadak dan tidak sempat lagi
menangkis dengan pedang bambu, terpaksa si nenek mengeluarkan
kepandaian andalannya, mendadak ia meloncat setingginya dan
melesat mundur, pada saat meloncat itu kedua lengan bajunya
sekaligus mengebas ke kiri dan ke kanan.
Lwekang si nenek sudah mencapai puncaknya sempurna, tenaga
kebasan lengan bajunya luar biasa dahsyatnya, bukan saja kedua
pedang Tan-hong dan In Lui tergetar ke samping, bahkan daya
kebutnya masih terus menyambar ke tubuh kedua anak muda itu.
Tan-hong tahu kelihaian itu, cepat ia menggunakan gerakan
lincah untuk menyikut mundur In Lui, ia sendiri pun cepat berkelit
sehingga kedua pihak tidak sampai mengalami cedera.Pahala dan Murka - 23 7
Tadinya nenek itu menyesal dengan kebasan lengan bajunya itu,
kuatir akan melukai kedua lawan muda itu. Tak tersangka Tan-hong
telah memperlihatkan gerakan yang indah, tentu saja si nenek
terkejut, heran dan juga girang. Cepat ia putar pedang bambu dan
mengadang di depan kedua anak muda itu dan pertarungan
berlangsung lagi.
Sekarang si nenek sudah tahu kehebatan daya serang gabungan
kedua peding anak muda itu, ia tidak berani lagi bersikap
mempermainkan. Segera ia putar pedang bambu dengan gencar,
jauh lebih serius daripada waktu menempur Hui-thian-liong-li Yap


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Eng-eng tadi.
Tan-hong dan In Lui juga mengeluarkan segenap kemahirannya
untuk melayani serangan si nenek, dalam 50 jurus ternyata si nenek
tidak dapat mengatasi mereka.
Sampai terkesima Hui-thian-liong-li Yap Eng-eng menyaksikan
pertandingan seru ini. Ia heran ilmu pedang anak muda ini dapat
bekerja sama serapi ini dengan ilmu pedang In Lui ajarannya itu,
setiap jurus dilancarkan dengan wajar, keduanya seperti waktu
latihan saja, tapi daya serang gabungan kedua pedang justru
sedemikian rapatnya dan tiada setitik peluang pun bagi musuh.
Yang lebih aneh adalah ilmu pedang yang dimainkan Tan-hong
itu dirasakan Yap-Eng-eng seperti dikenalnya, cuma sukar baginya
untuk menyebut namanya.
Tentu saja Yap Eng-eng terkeran-heran, tiba tiba tergerak
hatinya, pikirnya, "Dahulu Suhu mengajarkan dua macam ilmu
pedang kepadaku dan Thian-hoa dengan larangan tidak boleh saling
mengajarkan lagi. Memangnya ilmu pedang anak muda ini adalah
ilmu pedang yang di kuasai Thian-hoa yang juga belum pernah
kulihat itu?"Pahala dan Murka - 23 8
Dalam pada itu pertarungan di tengah kalangan semakin sengit,
lama-lama si nenek kelihatan sudah mulai di atas angin, meski yang
digunakan cuma pedang bambu, namun penuh tenaga dan
membuat lawan tertekan hingga hampir sukar bernapas.
Sejak kenal dan bergabung, kedua pedang Tan-hong dan In Lui
tidak pernah ketemu tandingan, sekalipun gabungan Oh Mong-fu
dan Lim Sian-im juga cuma bertarung sama kuat dengan mereka,
siapa sangka pedang bambu si nenek sekarang dapat mematahkan
semua jurus serangan kedua pedang mereka, bahkan dapat
mengatasi dan mendesak kedua anak muda itu hingga cuma
mampu menangkis dan tidak sanggup balas menyerang lagi.
Selagi Tan-hong hendak mengaku kalah, tiba-tiba didengarnya si
nenek berseru, "Siapa itu yang datang? Serahkan pedangmu!"
Waktu ia putar pedang dan berpaling, sekalian ia petik
segenggam daun bambu, dengan gaya "hujan gerimis memenuhi
langit", sekaligus ia hamburan daun bambu itu.
Dalam sekejap itu terdengarlah suara mencicit beberapa kali,
belasan helai daun bambu beterbangan menari di udara dan jatuh
ke tanah dengan pelahan.
Si nenek juga sudah menduga pendatang pasti musuh tangguh,
maka sekaligus menghamburkan belasan helai daun bambu, siapa
tahu senjata orang tetap tidak dapat dipaksa terlepas. Tampaknya
kepandaian pendatang ini terlebih tinggi lagi daripada Hui-thian-
liong-li Yap Eng-eng.
Terbeliak juga mata Yap Eng-eng ketika diketahuinya orang yang
melompat turun dari pagar tembok itu tak-lain-tak-bukan adalah
Cia Thian-hoa yang dirindukannya selama 12 tahun ini.
"Baik-baik, Simoay?!" segera Cia Thian-hoa menyapa.Pahala dan Murka - 23 9
"Engkau juga baik, Samko," jawab Yap Eng-eng. "Apakah sudah
bertemu dengan Jisuheng?" Selagi Cia Thian-hoa hendak
menjawab, terdengar si nenek lagi berseru, "Apakah kaupun murid
Hiat-ki It-su? Baik, boleh juga ikut maju untuk coba-coba beberapa
jurus denganku."
"Simoay, kita jangan bicara urusan pribadi dulu," ucap Thian-
hoa dengan tertawa. "Mumpung kebetulan bertemu dengan orang
kosen di sini, marilah kita coba berlatih ilmu pedang gabungan kita.
Nah, Tan-hong, kalian bukan tandingan Lo-cianpwe ini, lekas
mengaku kalah saja!"
Serentak Tan-hong dan In Lui melompat keluar kalangan, lalu
mereka memberi hormat dan berkata, "Terima kasih atas
pengajaran Lo-cianpwe sehingga banyak menambah pengetahuan
kami."
Sikap mereka tenang dan lugas, meski kalah, tapi tidak bingung.
"Kalian mampu menahan lebih 50 jurus seranganku dan tidak
dapat di anggap kalah," kata si nenek. "Baiklah, biar bergantian
guru kalian yang maju."
"Kami berdua maksudmu?" tanya Hui-thian-liong-li Yan Eng-
eng, tenaganya sudah pulih setelah istirahat.
"Begitulah lebih baik, aku memang ingin belajar kenal dengan
ilmu silat ajaran Hiat-ki It-su yang paling hebat," kata si nenek.
Cia Thian-hoa melirik si nenek sekejap, tanyanya, "Dapatkah
Locianpwe menjelaskan hubungan apa antara Locianpwe dengan
guru kami?"
Mendadak si nenek marah, damperatnya, "Hian-ki It-su
menganggap kungfunya nomor satu di dunia, mana nenek reyot
seperti diriku berani mengaku ada hubungan dengan dia. KalianPahala dan Murka - 23 10
juga tidak perlu bicara tentang hubungan baik segala, keluarkan
saja segenap kepandaian kalian ajaran Hian-ki It-su."
Diam-diam Yap Eng-eng merasa heran, sebab dari nada ucapan
si nenek rasanya seperti ada sesuatu perkara dengan gurunya
sendiri.
Dilihatnya Cia Thian-hoa menjawab dengan tersenyum, "Baik,
kami menurut saja atas kehendak Locianpwe, mohon petunjuk,
maaf!"
"Sret", kontan ia mendahului menusuk ke depan, menyusul Hui-
thian-liong-li juga melancarkan serangan. Gerak pedang mereka
sebenarnya cuma geran pembukaan yang sangat umum, siapa tahu
gabungan kedua pedang justru menimbulkan daya serang yang
sangat lihai sehingga nenek itu didesak mundur dua-tiga tindak.
Eng-eng sangat girang, pikirnya, "Ilmu pedang ciptaan Suhu
ternyata sangat ajaib."
Ilmu pedang yang dimainkan Cia Thian-hoa dan Yap Eng-eng
sekarang sebenarnya sama dengan gabungan kedua pedang Tan-
hong dan In Lui, bedanya hanya terletak pada kekuatan saja
sehingga daya tekannya juga berlipat.
"Bagus, baru sekarang kukenal kepandaian sejati Hian-ki It-su,"
seru si nenek, pedang bambu lantas berputar, seketika tertampak di
tcngali hutan penuh bayangan si nenek dengan rambutnya yang
ubanan itu berkibar, lengan baju mengebas membuat daun bambu
sama rontok, ditambah lagi keajaiban jurus serangan pedang
bambu, sungguh daya serangnya sangat mengejutkan.
Cia Thian-hoa tidak menjadi gugup, ia bertahan dengan kuat di
tempatnya, ia keluarkan ilmu pedang ajaran sang guru. Yap Eng-
eng juga menirukan cara sang Suheng, Hian-ki-kiam-hoat
dimainkannya dengan kencang sehingga air hujan pun sukarPahala dan Murka - 23 11
menembusnya. Betapapun si nenek berputar kian kemari dengan
cepat selalu tertahan oleh kedua pedang lav.au dan sukar mendekat.
Sampai berkunang-kunang Tan-hong dan In Lui mengikuti
pertarungan luar biasa itu, tapi juga makin memahami betapa lihai
gabungan ilmu pedang mereka.
Setelah bergerak 50-an jurus, tiba-tiba Cia Thian-koa berseru,
"Maaf atas tindakanku yang tidak sopan ini!"
Mendadak tubuhnya mengapung ke atas, Yap Eng-eng juga
lantas berputar dan menabas ke belakang, kedua pedang
menyerang dengan cepat, terdengar suara kain robek dan bambu
pecah, ternyata pedang bambu si nenek sudah tertabas menjadi
empat dan kedua lengan bajunya juga terobek, berbareng Cia Thian-
hoa dan Yap-Eng-eng menarik kembali pedangnya dan berkata,
"Maaf!"
Si nenek membuang pedang bambunya, ucapnya dengan lesu,
"Tak dapat kutahan kalian di sini, nah, boleh kalian pergi saja."
Berpuluh tahun ia tirakat dan meyakinkan ilmu di tengah hutan
bambu ini, ia sangka akan dapat menandingi Hian-ki It-su, siapa
tahu menempur murid orang saja kalah, tentu saja ia sangat kesal.
Begitulah Cia Thian-hoa berempat lantas meninggalkan hutan
bambu itu.
"Ilmu silat nenek ini sungguh tak dapat kita tandingi," kata Yap
Eng-eng. "Kukira pada jaman ini kecuali guru kita dan si iblis tua
Siangkoan Thian-ya, urutan selanjutnya mungkin adalah si nenek
ini."
"Wah, alangkah menariknya jika terjadi pertandingan di antara
mereka," tukas In Lui.Pahala dan Murka - 23 12
"Bisa jadi sejak dulu mereka sudah pernah saling ukur
kepandaian," ujar Thian-hoa dengan tertawa. "Cuma kita dilahirkan
terlambat dan tidak sempat menyaksikannya,"
"Tampaknya dia ada hubungan erat dengan guru kita," kata Eng-
eng. "Samko, dari nada ucapanmu, agaknya kau tahu asal-usulnya?"
"Ya, orang perguruan kita yang tahu jelas asal-usulnya kecuali
Suhu mungkin hanya Toa-suheng saja," tutur Thian-hoa. "Samar-
samar pernah kudengar cerita Toasuheng, katanya permusuhan
antara Suhu dengan Siangkoan Thian-ya tidak cuma soal berebut
memimpin dunia persilatan saja, tapi di dalam urusan mereka
menyangkut pula seorang perempuan kosen, waktu itu kutanya
penjelasan lebih lanjut, tapi Toasuheng tidak mau bicara kisah Suhu
masa lampau itu."
"Di manakah Toasuheng sekarang?" tanya Yap Eng-eng.
"Sudah sekian tahun tidak kulihat dia, kabarnya kalian rada tidak
puas dan ada salah paham kepadaku," kata Thian-hoa.
"Memang betul," ujar Eng-eng. "Sepuluh tahun engkau tinggal
di negeri Watze, sesungguhnya apa yang telah kaukerjakan?
Mengapa bisa bekerja bagi Thio Cong-ciu malah?"
Thian-hoa tertawa, katanya, "Tan-hong, kuperkenalkan
padamu. "Nah, Simoay, dia inilah putra Thio Cong-ciu, muridku
yang kuterima selama di Watze."
Yap Eng-eng tercengang, "Hah, sungguh murid yang baik, pantas
tadi dia dapat bergabung dengan anak Lui, gabungan pedang
mereka sanggup menandingi si nenek dalam 50 jurus dan tak
terkalahkan."
Dalam hati ia pun sangsi masa demi menerima seorang murid
bagus harus merendahkan dirinya bekerja bagi Thio Cong-ciu dan
rela dimarahi saudara seperguruannya?Pahala dan Murka - 23 13
"Urusanku cukup panjang untuk diceritakan," kata Thian-hoa.
"Sekarang lebih baik kita mencari Jisuheng dulu."
Setiba di kaki gunung, In Lui dan gurunya menunggang satu
kuda dan Tan-hong satu tunggangan bersama gurunya pula. Tidak
lama kemudian mereka sudah sampai di tempat yang dijanjikan
untuk bertemu dengan Tiau-im Hwesio di luar Gan-bun-koan
Anehnya Tiau-im Hwesio tidak terlihat lagi di situ.
"He, ke mana perginya Jisuheng?" ucap Eng-eng dengan heran.
"Dengan kecepatan kuda kita kalau kita menjelajahi sekitar sini
tentu akan dapat menemukan dia," ucap Thian-hoa.
"Jika begitu marilah kita mencarinya dengan membagi arah,"
kata Tan-hong.
"Kalian tidak perlu ikut cari," ujar Thian-hoa. "Saat ini di dalam
negeri Watze sedang terjadi keributan, sangat mungkin ayahmu
akan terancam bahaya. Bilamana bukan lantaran ingin bertemu
dengan Jisuheng, tentu hari ini aku takkan kemari. Maka sekarang
lekas kalian pulang dulu ke Watze."
"Bahaya apa maksud Suhu?" tanya Tan-hong.
"Yasian sudah mencurigai ayahmu, maka setelah dia membawa
pasukannya pulang ke Watze maksudnya merebut kekuasaan
bertambah keras, bukan mustahil dalam waktu singkat kudeta akan
dilaksanakan olehnya."
Tan-hong merasa keterangan Suhu ini seperti pendirian ayahnya
sudah ada perubahan dan diam-diam bersedia membantu kerajaan
Beng. Tentu saja ia girang dan juga kuatir, ia tidak sempat banyak
tanya lagi, segera ia mohon diri kepada sang guru dan bersama In
Lui berangkat pulang ke Watze.Pahala dan Murka - 23 14
Memandangi bayangan kedua muda-mudi itu, dengan
tersenyum Cia Thian-hoa berkata, "Nyata mereka jauh lebih
beruntung daripada kita,"
Muka Hui-thian-liong-li Yap Eng-eng menjadi merah. Thio Tan-
hong dan In Lui memang terasa seperti bayangan dirinya dengan
Cia Thian-hoa.
Begitulah Tan-hong dan In Lui menempuh perjalanan dengan
cepat pulang ke Watze, tujuh hari kemudian mereka sudah sampai
di padang rumput Cumusin, setelah melintasi padang rumput ini,
antara tiga ratus li lagi akan sampai di ibukota Watze.
Kuda tunggangan Tan-hong dan In Lui sama kuda pilihan yang
sehari sanggup berlari ribuan li. perasaan Tan-hong terasa lega,
katanya dengan tertawa, "Dua hari lagi kita akan sampai di rumah."
Ia tanggalkan sebuah buli-buli arak yang tergantung di atas
pelana, isi buli-buli itu adalah arak susu kuda yang dibelinya dalam
perjalanan, katanya, "Sudah lama tidak merasakan arak jenis ini.
Apakah kaupun ingin minum setitik, adik cilik."
Sudah turun temurun keluarga Thio tinggal di negeri Watze,
dengan sendirinya sudah terbiasa dengan adat istiadat dan cara
hidup orang Mongol. Meski arak susu kudi itu tidak lebih sedap
daripada arak Tiongkok yang terkenal, namun Tan hong telah
minum dengan nikmat.
"Aku tidak mau minum, rasanya tidak enak." demikian, jawab In
Lui. Tan-hong membuka tutup botol dan menenggak isinya, lalu
bersenandung membawakan syair pujangga yang memuji
kebesaran negara dan bangsanya.
Ketika dilihatnya In Lui diam saja dan termenung, ia coba
menegurnya, "'Eh, adik cilik, engkau mengelamun apa?"Pahala dan Murka - 23 15
"Aku lagi pikir mengapa . .. mengapa sudah sekian hari kita
dalam perjalanan dan tidak terlihat kaum penggembala hijrah ke
selatan untuk menghindari musim dingin," kata In Lui.
Biasanya bilamana musim dingin tiba, sering ada rakyat
penggembala hijrah ke selatan, di samping berdagang juga sekaligus
membeli barang-barang keperluan sehari-hari, jika musim semi
tiba barulah mereka pulang ke utara.
Memang sudah beberapa hari Tan-hong juga merasa heran
sebab tidak terlihat gerombolan hewan yang biasa dihela kaum
gembala.
Selagi bicara, tiba-tiba terdengar suara keleningan unta.
"Lihat itu, bukankah kaum gembala yang sedang hijrah ke
selatan?" ucap Tan-hong dengan tertawa.
Waktu mereka memandang jauh ke sana tertampak seekor unta
dan beberapa ekor kuda sedang lari menuju ke arah mereka.
"Tampaknya cuma satu keluarga gembala yang sedang hijrah ke
selatan," kata In Lui, "Biasanya mereka hijrah secara berkelompok
dan beramai-ramai."
"Coba lihat, di belakang mereka masih ada.. .. Eh, itu bukan kaum
gembala melainkan tentara Mongol," seru Tan-hong.
Terlihat debu pasir mengepul, kira-kira belasan tentara Mongol
berkuda sedang mengejar kemari. Hanya sebentar saja beberapa
rakyat gembala itu sudah tersusul, lalu diseret dan ditarik, dalam
sekejap terdengarlah suara jeritan orang lelaki dan tangis orang
perempuan.
"Hah, tampaknya sedang terjadi mencari kuli paksa, kenapa
kaum wanita juga dipaksa?" kata In Lui. "Hin, jika hal ini sudah
kepergok kita betapapun tak dapat kita diamkan.!"Pahala dan Murka - 23 16
Tan-hong sudah terpengaruh oleh arak susu kuda, mendengar
ucapan In Lui yang bersemangat itu, segera ia menjawab, "Baik
marilah kita bunuh tentara Mongol itu dan berikan kuda mereka
kepada rakyat gembala."
"Tidak, jangan kau bunuh seorang pun, halau mereka sudah
cukup," kata In Lui.


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tan-hong tahu hati si nona welas-asih, sebenarnya ia cuma
bergurau saja, maka katanya lagi "Baiklah, kuturuti kehendakmu!"
Segera mereka melarikan kuda ke depan, terlihat beberapa
tentara Mongol sedang menyeret seorang perempuan muda,
beberapa tentara Mongol yang lain lagi mengancam dua gembala
lelaki dengan panah mereka sambil mendamperat, "Kurang-ajar!
Kenapa kalian tidak tunduk pada perintah Thaysu (perdana
menteri) dan berani sembarangan pindah?"
Kedua rakyat gembala itu terdiri dari seorang tua dan seorang
muda, yang tua lantas menjawab, "Kami akan ikut pulang bersama
kalian, cuma anak . . . anak perempuanku janganlah kalian bawa!"
Seorang tentara Mongol membentak, "Kalian berani
membangkang terhadap perintah Thaysu, segenap anggota
keluargamu harus dihukum."
Mei dengar pembicaraan itu, In Lui sangat gusar, segera ia
menerjang ke depan.
"Eh, bagus benar kedua ekor kuda mereka ini," seru kawanan
tentara Mongol itu. "Hah, kedua penunggangnya adalah orang
Han."
Serentak kawanan tentara itu pun menyongsong ke depan.Pahala dan Murka - 23 17
"Aha, jika kalian menghendaki kuda, biarlah kami berikan
padamu, cuma kukuatir kalian tidak mampu mengendalikannya,"
ucap Tan-hong dengan tertawa.
Sembari bicara Tan-hong sengaja mendekatkan kuda putih ke
depan kawanan tentara itu, kontan Ciau-ya-sai-cu-ma mendepak
kian kemari, beberapa tentara Mongol itu terdepak hingga jungkir
balik.
Seorang bintara Mongol menyangka In Lui adalah anak
perempuan yang lemah, segera ia hendak-menangkapnya, Tak
terduga sekali lengan baju In Lui mengebas, kontan bintara itu jatuh
terjungkal.
"Hm, jika kalian berani mengganas lihatlah kuda ini sebagai
contoh," bentak Tan-hong sambil menepuk pelahan dengan telapak
tangannya, namun tenaga yang digunakan adalah pukulan berat
Tai-lik-kim-kong-ciang. Kontan kuda tunggangan bintara Mongol
itu kepala pecah dan otak berantakan serta roboh binasa.
Keruan kawanan tentara Mongol itu ketakutan setengah mati
melihat kelihaian Thio Tan-hong, semuanya melongo seperti
patung.
Rasa gemas In Lui rada terlampiai, melihat kelakuan kawanan
tentara yang kesima itu, ia tertawa geli dan membentak, "Kenapa
tidak lekas enyah? Apa minta mampus?!"
Kawanan tentara Mongol itu berteriak terus mencemplak ke atas
kud i masing-masing dw kabur secepatnya. Yang konyol adalah
bintara tadi, ia kehilangan kuda, terpaksa lari terbirit-birit dan jatuh
bangun.
Gembala tua tadi mendekati Tan-hong dan mengucapkan terima
kasih.Pahala dan Murka - 23 18
"Tadi mereka bilang ada perintah Thaysu, sesungguhnya
perintah apa?" tanya Tan-hong.
"Setelah Thaysu (maksudnya Yasian) pulang, segera beliau
memberi perintah bahwa musim dingin ini tiada seorang pun
diperbolehkan hijrah ke selatan, harus menungga setelah
pendaftaran wajib militer baru boleh pindah tempat," tutur si
gembala tua. "Banyak anak muda yang telah dipaksa menjadi
tentara. Usiaku sudah tua dan cuma punya seorang putra dan
seorang putri, bilamana anak lelaki dipaksa dinas tentara, tentu
hidupku bersama anak perempuan ini akan runyam. Sebab itulah
kami melarikan diri, maksudku bila ketahuan akan mengaku tidak
tahu menahu adanya larangan pindah tempat. Siapa tahu mereka
sama sekali tidak menghiraukan keteranganku dan bermaksud
merampas anak perempuanku."
Diam-diam Tan-hong pikir kalau Yasian terburu-buru
mengumpulkan tentara, mungkin selekasnya dia akan kudeta,
merebut singgasana raja Watze sekarang. Dengan sendirinya ia
menguatirkan keselamatan ayahnya, tanpa banyak tanya lagi segera
ia hendak tinggal pergi.
Tiba-tiba dilihatnya In Lui sedang menarik tangan si gadis dan
lagi ditanyai, "Kalian orang dari mana? Siapa namamu?"
Sorot mati In Lui kelihatan gembira dan sikapnya rada aneh.
Terdengar gadis Motgol itu menjawab, "Kami penduduk
kelompok Olo, semula tinggal di selat gunung Tengra sebelah
selatan. Namaku Acila ...."
Tiba-tiba In Lui menukas, "Enci Acila, baik-baikkah engkau
selama ini?"Pahala dan Murka - 23 19
Gadis Mongol itu tercengang karena orang menyebut namanya,
ia mengawasi In Lui dengan heran, ia merasa seperti sudah pernah
mengenalnya, cuma seketika tidak ingat di mana.
Tan-hong juga merasa heran.
Terdengar In Lui berkata pula dengan suara rada gemetar, "Enci
Acila, apakah . . . apakah bibi Miya masih tinggal di sana?"
"Hah, engkau maksudkan bibi Miya yang menikah dengan orang
Han itu?" si gadis Mongol menegas.
"Betul," jawab In Lui.
"Ah, kiranya engkau In . . . In . ..."
Belum lanjut ucapan orang In Lui lantas memotong, "Betul, aku
In Lui, engkau ingat sekarang? Waktu kecil kita sering main
bersama dan ikut mengembala domba di selat gunung itu."
In Lui meningalkan negeri Mongol sejak berumur tujuh, maka
lamat-lamat masih ingat masa anak-anak dulu. Gadis Mongol ini
adalah teman main waktu kecilnya, Miya yang ditanyakannya itu
bukan lain adalah ibunya.
Dahulu ayah In Lui, yaitu In Ting, waktu mengasingkan diri di
Mongol, sempat menikah dengan gadis Mongol yang merupakan
suatu kelompok suku dengan gadis yang bernama Acila tadi. Ketika
In Ting meninggalkan Mongol, kuatir kaburnya akan diketahui
musuh, terpaksa ia pergi secara diam-diam, sampai istri pun tidak
diberitahu.
Melihat teman main waktu kecil kini sudah berubah menjadi
seorang pendekar perempuan perkasa, tentu saja hati gadis Mongol
tadi, sangat senang, tapi ketika dilihatnya In Lui menjadi berduka
waktu tanya keadaan ibunya, segera si kakek menggantikan anak
perempuannya menjawab, "Sejak kalian menghilang dulu, siangPahala dan Murka - 23 20
dan malam ibumu menangis sedih sehingga mata pun rusak. Kepala
suku merasa kasihan padanya dan menyuruhnya bekerja piara
kuda, mungkin sekarang masih tinggal di rumah kepala suku. Sebab
itulah kepala suku bilang orang Han kebanyakan tak dapat
dipercaya dan menyatakan selanjutnya anak perempuan bangsa
kami dilarang kawin dengan orang Han."
Mendengar itu, tak tahan lagi tangis In Lui dengan sedihnya,
"Jangan menangis, adik cilik," bujuk Tan-hong "Nanti kalau urusan
kita sudah selesai, segera kita mencari ibumu. Syukur bibi masih
hidup di dunia ini, juga sudah diketahui tempat tinggalnya, sungguh
masih beruntung bagimu, masa menangis malah?"
In Lui melirik Tan-hong sekejap, ia mengusap air mata, lalu
mencemplak ke atas kudanya dan melanjutkan perjalanan.
Tan-hong merasa kesal juga, ikut berduka bagi nasib ibu In Lui,
terlebih bila diingat sebabnya ibu In Lui sampai menderita, awal
mulanya juga akibat tindakan ayahnya yang keliru, hal inilah yang
membuatnya menyesal, diam-diam ia bersumpah kelak pasti akan
berusaha menembus dosa ayahnya itu.
Begitulah mereka terus menuju ke utara, makin jauh makin
banyak tentara Mongol yang ditemui mereka, untung kuda mereka
sangat cepat, bila tepergok lantas berputar ke arah lain, biarpun
tentara Mongol ingin menanyai mereka juga sukar menyusulnya
Dua hari kemudian sampailah mereka di kota-raja Watze,
sebelumnya Tan-hong dan In Lui sudah berganti pakaian rakyat
gembala setempat, seperti orang yang masuk kota untuk membeli
barang keperluan musim dingin.
Setelah mendapatkan sebuah hotel kelas menengah, selesai
mengatur kudanya, lalu mereka keluar. Istana keluarga Thio
berdekatan dengan istana raja, tepat di depan jalan simpang empat,
biasanya lalu lintas sangat ramai, tapi hari ini ternyata sunyi sepi,Pahala dan Murka - 23 21
begitu tiba di jalan raya ini lantas dirasakan oleh Tan-hong suasana
yang aneh, diam-diam ia merasakan firasat yang tidak enak.
Mestinya setelah melintas jalan raya itu sudah terlihat istana
perdana menteri, mendadak Tan-hong berganti rencana, ia bawa In
Lui memutar ke sana melalui sebuah gang kecil, lebih dulu ia
sembunyi di ujung gang dan mengintip keluar, dilihatnya di depan
rumahnya banyak pengawal yang meronda kian kemari, bahkan
perajurit itu terasa asing, tiada satu pun dikenal Tan-hong, jelas
mereka bukan pengawal istana perdana menteri.
Tan-hong menarik In Lui dan cepat mengeluyur pergi dari situ,
setelah membelok beberapa tikungan jalan, mereka mendapatkan
sebuah rumah minum kecil.
"Mari kita isi perut dulu," kata Tan-hong.
Mereka masuk ke rumah makan kecil itu, ia minta satu kati
daging pindang dan dua kati arak merah, semacam arak khas
daerah Mongol.
Daging sapi adalah makanan yang sangat umum di negeri
Mongol, dengan sendirinya tersedia di rumah makan ini, tapi arak
merah yang diminta tidak ada. Tan-hong lantas mengeluarkan
sepotong uang perak dan suruh pelayan membeli di luar.
Melihat keroyalan kedua "gembala" ini, si pelayan melengak
heran. Ketika arak sudah dibelikan dan disajikan, lalu ia
menyodorkan uang kembali dengan menyebut harganya.
Tak terduga Tan-hong lantas memberi tanda, katanya,
"Sudahlah, sisa uang itu untukmu."
Padahal uang kembali itu lebih banyak daripada harga arak yang
dibelinya, keruan pelayan kegirangan serupa putus lotre, berulang
ia mengucapkan terima kasih. Karena tiada tamu lain, pelayan
lantas berdiri di samping untuk meladeni mereka.Pahala dan Murka - 23 22
Sitelah minum dua cawan, dengan lagak seperti tidak sengaja
Tan-hong coba bertanya kepada pelayan, "Eh, rumah besar di jalan
raya sebelah sana itu tempat tinggal siapa?"
"Masa tuan tamu tidak tahu, itulah istana wakil perdana menteri
Thio Cong-ciu," tutur si pelayan.
"Ah, pantas begitu megah," ucap Tan-hong. "Di depan istana
kelihatan banyak pengawalnya, orang jalan tidak berani lewat di
sana, orang yang berdagang di jalan itu kan ikut susah?"
"Tadinya tidak terdapat pasukan pengawal sebanyak itu,
kabarnya pasukan pengawal itu dikirim ke sana oleh Thaysu," kata
si pelayan.
"Oya? Apakah Thio-caisiang (perdana menteri Thio) berbuat
salah terhadap Thaysu, maka Thaysu hendak menyita istananya?"
tanya Tan-hong pula.
Pelayan menggeleng, "Wah, hal ini kami tidak tahu. Cuma setiap
hari terlihat ada pegawai istana perdana menteri keluar belanja di
bawah pengawasan penjaga itu, kabarnya Thio-caisiang masih
tinggal di situ."
"Beritamu ternyata cukup jelas," puji Tan-hong.
Sudah mendapat tip, dipuji pula oleh Tan-hong, tanpa ditanya
segera si pelayan bercerita pula, "Meski dari sini terpisah satu jalan
dengan istana perdana menteri, namun terhitung juga tetangga
dekat, setiap hari bila Thio-caisiang menghadiri sidang kerajaan
tentu lewat di sini, tapi sudah beberapa hari ini tidak kelihatan
beliau menghadiri sidang pagi. Biasanya Thio-caisiang suka makan
jerohan kambing, beberapa hari ini kegemarannya itu tetap
dibelikan."
Diam-diam hati Tan-hong rada lega, pikirnya, "Kiranya ayah
hanya ditahan rumah oleh mereka, untuk apa ayah ditahan rumahPahala dan Murka - 23 23
jika tidak berani menindaknya?" Setelah memperoleh berita
tersebut, mereka lantas pulang ke hotel.
"Adik cilik," kata Tan-hong. "Silakan engkau mencari kamar di
hotel sebelah, jika malam nanti tidak terjadi sesuatu, tentu akan
kubawamu menyelidiki ke rumahku."
"Kenapa harus bertindak demikian?" tanya In Lui.
"Lebih baik berjaga segala kumungkinan, kan tidak ada jeleknya,
hendaknya kauturut permintaanku," kata Tan-hong.
"Jika begitu, baiklah aku menurut," jawab In Lui. "Malam nanti
kutunggu kedatanganmu, tapi aku tidak mau pergi ke rumahmu."
Tan-hong tahu nona itu masih merasa sirik, makanya dengan
tertawa, "Terserah, urusan ini bo-eh kita bicarakan lagi kelak.
Sekarang kumohon lagi sesuatu padamu, hendaknya engkau suka
memberi tanda rahasia di kaki tembok pada jalan dan gang di
sekitar sini."
Lalu ia memberitahukan beberapa tanda rahasia perguruannya
dan suruh nona itu melaksanakan apa yang dimintanya.
Setelah makan malam, hari sudah mulai gelap, selagi Tan-hong
hendak menemui In Lui, tiba-tiba pelayan datang memberitahu,
"Ada pembesar ingin bertemu dengan Tuan."
Tan-hong terkesiap, belum sempat dia bertanya, pintu kamar
terbentang dan masuklah seorang perwira Mongol, ternyata Ogito,
jago nomor satu andalan Yasian.
"Haha, besar amat nyalimu, Thio Tan-hong, berani kau pulang
kemari?!" segera Ogito menegur dengan tergelak.
Tan-hong juga tertawa, jawabnya, "Kaupun amat berani datang
ke sini. Apakah lukamu sudah sembuh?"Pahala dan Murka - 23 24
Ketika di tempat Soa Tiu tempo hari Ogito kecundang oleh Thio
Tan-hong dan dipukul sekali juga oleh Ciok Eng, untung dia
memakai rompi perang yang kuat sehingga tidak terluka dalam,
setelah merawat diri setengah bulan, kiai sudalt sembuh, "Terima
kasih atas hadiahmu dahulu, untung tulangku masih sanggup
bertahan sehingga tidak sampai bikin malu," ujar Ogito.
"Dan apa maksud kedatanganmu sekarang? Di sini bukan tempat
untuk berkelahi," kata Tan-hong.
"Kedatanganku ini bukan untuk menuntut balas kepadamu,"
sahut Ogito. "Dengan sendirinya, bilamana kau mau, kelak kita
masih boleh coba-coba ukur tenaga lagi. Tapi kedatanganku
sekarang justru hendak mengucapkan selamat kepadamu."
"Selamat apa?" tanya Tan-hong.
"Sungguh engkau sangat beruntung, setelah mengetahui
perbuatanmu toh Thaysu masih menaruh perhatian padamu,
malam ini juga beliau mengundangmu menghadiri perjamuannya."
"Hah, aku diundang menghadiri perjamuan?" Tan-hong
menegas.
"Betul, maka lekas kau ganti pakaian. Urusan sudah sejauh ini,
kaupun tidak perlu main sembunyi dan menyamar sebagai
penggembala lagi."
Tan-hong menurat, sambil ganti pakaian ia berkata dengan
tertawa, "Wah, mata telinga Thaysu sungguh tajam juga."
"Memangnya hanya engkau saja yang cerdik dan orang lain
mesti bodoh?" ujar Ogito. "Thaysu bilang biarpun engkau memang
cerdik, akhirnya juga bisa keblingar."
"Keblingar bagaimana?" tanya Tan-hong.Pahala dan Murka - 23 25
"Caramu memberi persen begitu royal, tentu saja si pelayan
curiga dan lekas lapor kepada yang berwajib," tutur Ogito.
Padahal kemungkinan ini sudah dipikirkan Tan-hong, ia pun
menduga Yasian akan mengundangnya, maka setelah
meninggalkan restoran itu segera ia minta In Lui pindah ke hotel


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lain.
"Eh, di manakah binimu yang molek itu?" tanya Ogito tiba-tiba.
"Hus, dia Sumoayku, jangan sembarang omong," omel Tan-
hong.
"Ya, apakah dia binimu atau Sumoaymu, aku cuma ingin tahu
sekarang dia berada di mana?" tanya Ogito.
Tan-hong tertawa, jawabnya, "Perhitungan Thaysu sangat jitu,
masakah di mana Sumoayku tidak diketahuinya? Hendaknya
maklum, Sumoayku itu jauh lebih cerdik daripadaku. Jika kupulang
kemari dengan nekat, dia justru tidak mau menyerempet bahaya
dan ingin hidup lebih lama beberapa tahun ini. Maka supaya tidak
tersangkut, sejak siang tadi dia sudah pergi."
Ogito memang sudah tanya pelayan hotel dan diketahui sebelum
lohor In Lui sudah pergi lebih dulu, maka ia percaya atas keterangan
Tan-hong itu, katanya dengan tertawa, "Untung dia tahu gelagat,
sebab Thaysu jelas tidak mengizinkan dia berada di sini. Nah, mari
berangkat, Thaysu sangat baik padamu, tidak perlu kau sangsi."
Tan-hong lantas ikut berangkat bersama Ogito dengan
menumpang kereta, tidak lama kemudian sodah sampai di istana
Yasian.
Istana perdana menteri jelas jauh lebih megah daripada
kediaman Thio Cong-ciu, berturut kereta menembus enam lapis
pintu besi, terdengar penjaga berteriak, "Tamu datang!"Pahala dan Murka - 23 26
Mendadak pintu tengah terbuka, tertampak di dalam ruangan
cahaya lampu terang benderang. Yasian duduk di tengah dan
memberi perintah, "Silakan tamu masuk kemari!"
Dengan tenang dan gagah Tan-hong mendaki undak-undakan
batu, tiba-tiba seorang Busu menyongsongnya sambil berseru,
"Selamat datang! Undakan batu ini terlalu tinggi, hati-hati sedikit!"
Berbareng ia berlagak hendak memayang Tan-hong. Dari gerak
tangan orang Tan-hong tahu Busu ini ahli Tai-lik-eng-jiau-kang,
ilmu cakar elang bertenaga raksasa. Ia tertawa dan menjawab, "Ah,
tak apa-apa, aku sanggup mendaki undakan batu ini. Engkau sendiri
justru perlu hati-hati!"
Serentak tangannya 'erangkat sehingga Busu itu tertolak
mundur sempoyongan, namun lengan Tan-hong yang
tercengkeram Busu itu pun dirasakan kemang.
Keruan Tan-hong terkejut, kungfu Busu ini ternyata lebih hebat
daripada Ogito. Namun dia tetap tenang saja dan masuk ke sana
dengan langkah tegap.
"Aha, dua tahun tidak bertemu, Hiantit (keponakan baik)
ternyata sudah tumbuh dewasa dan segagah ini," dengan tergelak
Yasian menyapa. "?Cakap dan perkasa, sungguh lain daripada yang
lain, selamat, selamat!"
Tan-hong balas menghormat, jawabnya lantang "Dua tahun
tidak bertemu, Thaysu sendiri pun bertambah jaya. Kedudukan
tambah kukuh, kekuasaan tambah besar. Rakyat sama tahu Thaysu
dan lupa kepada Sri Baginda, sungguh bahagia dan berjaya!"
Jawabannya cukup tajam, kedengarannya menyanjung puji,
yang benar menyindirnya. Bagian depan mengejeknya gagal
menyerbu ke daerah Tionggoan, bagian belakang memaki dia
berambisi besar hendak merebut kekuasaan dan menjadi raja.Pahala dan Murka - 23 27
Yasian terkekeh, "Hehe, masa begitu? Hiantit baru pulang dari
tempat jauh, silakan duduk dan minum dulu."
Di samping Yasian berduduk seorang hwesio bertubuh tinggi
besar, ia menuang secawan arak, katanya tiba-tiba, "Biar kuhormati
dulu secawan kepada Thio-kongcu."
Ia angkat cawan arak dengan dua jari, pelahan dipelintirnya,
serentak cawan itu meluncur ke depan sambil berputar serupa
kitiran dan isinya tidak tercecer setitik pun.
Melihat cara menyuguh arak hwesio ini sangat aneh, cawan arak
itu menyambar tiba dengan cepat dan kuat, Tan-hong tersenyum,
ucapnya, "Mohon tanya siapa gelaran suci Taysu ini?!"
Berbareng telapak tangannya terjulur ke depan, dengan tepat ia
tahan cawan itu, daya tolak lawan dibuyarkan, cawan itu terus
diangkat, isi cawan ditenggaknya hingga habis.
Air muka hwesio itu rada berubah, Tan-hong sendiri pun
terkesiap. Cara hwesio itu menolak cawan arak tampaknya seperti
permainan sunglap saja, yang benar membawa tenaga dalam yang
maha kuat, bilamana Tan-hong tidak belajar lwekang ajaib dari
kitab pusaka yang ditemukannya di Sohciu tempo hari, dengan
menangkap cawan arak tadi, umpama tidak terluka tentu juga isi
cawan akan tumpah.
Diam-diam Tan-hong mengakui kepandaian hwesio ini terlebih
tinggi setingkat lagi daripada Busu tadi, jika Busu itu masih dapat
diatasinya, maka terhadap hwesio ini dia tidak berani yakin akan
mampu melawannya. Sungguh ia tidak tahu dari mana Yasian
mengundang tokoh sakti sebanyak ini.
?Ini, kuperkenalkan kepada Hiantit," kata Yasian. "Inilah Jing-kok
Hoatsu dari agama (Lama) merah Tibet."Pahala dan Murka - 23 28
Lalu ia tuding Busu tadi dan menyambung. "Dan ini Mahikhan
jago terkemuka dari Turfan."
Tan-hong berturut-turut menenggak secawan arak dengan
kedua orang itu sebagai tanda perkenalan.
Lalu Yasian berkata pula, "Kusangka kepergian Hiantit sekali ini
jauh pesiar ke selatan tentu lupa pulang, tentu juga sudah banyak
tempat yang telah kau jelajahi."
Tan-hong tertawa dan menjawab, "Ya, sekali ini dari gurun pasir
utara kukunjungi daerah kang-lam yang indah permai, negeri
Tionggoan memang kaya raya dengan hasil buminya yang
berlimpah, manusianya terpelajar dan orangnya cakap, kotanya
ramai, sungguh negeri yang indah. Sayang Thaysu sendiri hanya
sempat sampai di luar kota Peking, lalu putar balik lagi."
Air muka Yasian berubah, ucapnya, "Pada suatu hari kelak aku
pasti akan menjelajahi negeri Tionggoan itu, tatkala mana kuharap
Hiantit akan menjadi petunjuk jalan bagiku."
Tan-hong mendengus, "Semalam dalam mimpiku juga pernah
berkunjung lagi ke Tionggoan, cuma sayang mimpi yang tidak
panjang, hanya sebentar lantas terjaga bangun."
Ucapan Tan-hong singkat dan tajam, berolok-olok dan
menyindir.
Sedapatnya Yasian menahan perasaannya, ia terbahak dan
menenggak araknya, lalu berkata pula, "Haha, tampaknya Hiantit
semakin pintar bicara. Orang tua semakin pikun dan suka bicara
yang bukan-bukan, hendaknya tidak menjadikan pikiran Hiantit."
"Mohon petunjuk atas undangan Thaysu padaku," kata Tan-
hong.Pahala dan Murka - 23 29
"Kepulangan Hiantit ini kukira belum lagi sempat bertemu
dengan ayahmu," ucap Yasian. "Jika kuadakan sambutan dulu
kepadamu, kukira ayahmu takkan marah padaku."
"Atas nama ayah kuucapkan terima kasih atas kebaikan Thaysu,"
kata Tan-hong.
Yasian jadi melengak, "Terima kasih apa?"
"Sepanjang tahun ayahku sibuk bekerja, atas kemurahan hati
Thaysu, sekali ini beliau dapat terlepas dari kesibukan tugas dan
tetirah di rumah, sungguh hal yang sangat diharapkannya, kan
harus kuucapkan terima kasih kepada Thaysu?"
Mendengar itu, mendadak Yasian terbahak-bahak.
"Apakah ucapanku keliru sehingga membuat Thaysu merasa
geli?" tanya Tan-hong.
"Tidak, Hiantit tidak keliru omong, hanya sengaja menutupi
urusan yang sebenarnya," ujar Yasian. "Pepatah menyatakan hanya
ayah yang kenal watak anaknya, dengan sendirinya juga cuma anak
yang kenal watak sang ayah. Bahwa aku ingin menjelajah
Tionggoan, mustahil ayahmu tidak ingin pulang ke tanah leluhur?
Maka bolehlah kita bicara secara blak-blakan saja, apakah ayahmu
dapat pulang ke tanah leluhur atau tidak selanjutnya akan
bergantung kepada Hiantit seorang."
"Sungguh aku tidak mengerti, mohon Thaysu sudi menjelaskan,"
kata Tan-hong.
"Meski pasukanku telah menyerbu sampai di luar kota Peking,
tapi akhirnya mengalami gagal total, perlawanan Ih Kiam memang
di luar dugaanku, tapi kericuhan di garis belakang juga sebab
musabab yang memaksa mundurnya pasukanku. Hiantit adalah
orang kita sendiri, maka kubicara terus terang padamu."Pahala dan Murka - 23 30
"Masa ayahku berani mengganggu Thaysu?" ujar Tan-hong.
"Yang kumaksudkan bukan ayahmu melainkan Aji," ujar Yasian
tertawa. "Aji memegang kekuasaan militer di sebelah barat dan
membangkang terhadap perintahku, masa Hiantit belum tahu akan
hal ini?"
"Aku baru saja pulang, maka tidak tahu," jawab Tan-hong.
"Keadaan negeri ini sekarang terbagi menjadi tiga, raja lemah
dan bodoh, tidak mampu menanggung nasib negara, jika ingin
merajai wilayah utara dan memerintah daerah selatan, rasanya
cuma aku dan Aji saja yang sanggup melaksanakannya."
Tan-hong mendengus.
Terdengar Yasian menyambung lagi, "Namun Aji berwatak
berangasan, tangkas tapi tidak punya otak, bukan aku sombong, dia
tidak berarti bagiku. Hanya saja, bilamana ayahmu mau bekerja
sama denganku, tentu segalanya akan berjalan terlebih lancar dan
Aji akan mudah ditumpas, habis itu pasukan kita dikerahkan ke
selatan dan cita-cita ayahmu kembali ke tanah leluhur pun akan
terkabul."
Gusar sekali Tan-hong. namun sedapatnya ditahan.
Terdengar Yasian berkata pula, "Lima hari yang lalu pernah
kukirim surat rahasia kepada ayahmu untuk berunding dan sampai
sekarang belum ada jawaban dari ayahmu. Thio-kongcu adalah
orang bijaksana, maka kuharap setiba di rumah dapatlah kau bantu
membujuk ayahmu."
Bicara sampai di sini tahulah Tan-hong maksud orang, nyata
Yasian ingin bekerja sama dengan ayahnya untuk menumpas Aji,
habis itu Yasian akan merampas kedudukan dan mengangkat diri
sendiri sebagai raja. Agaknya karena ayah belum memberi jawaban
atas ajakannya, maka ayah telah ditahan rumah.Pahala dan Murka - 23 31
Diam-diam Tan-hong menimang keadaan, saat ini kekuasaan
militer berada di tangan Yasian, jiwa ayahnya juga terletak di
tangan orang. Jika lantaran tidak tahan gusar dan bicara ketus
terhadapnya, akibatnya tentu runyam. Apalagi urusan ini juga
menyangkut nasib Tiongkok selanjutnya, melihat gelagatnya
sekarang Aji juga bukan tandingan Yasian, umpama Yasian fidak
bekerja sama dengan ayah juga Aji dapat ditumpasnya, sebabnya dia
minta bantuan ayah tiada lain hanya untuk lebih mengukuhkan
kedudukannya saja.
Jalan yang paling baik, sekarang Tan-hong pikir liarus pakai
siasat ulur waktu, bila Ih Kiant sudah berhasil memupuk pasukan
baru, umpama Yasian berhasil merajai Watze juga tidak perlu takut
lagi.
Namun sekarang Yasian sedang menantikan jawabannya dan
sukar untuk mengulur waktu.
Kembali Yasian mendesak lagi, "Turun temurun kita
berhubungan baik dan segalanya dibicarakan secara terbuka. Nah,
bagaimana pendapat Hiantit atas gagasanku tadi, dapatkah
kaujawab?"
Mendadak Tan-hong bergelak tertawa, "Haha, malam sinar
bulan purnama dengan perjamuan se marak, kan kurang serasi jika
bicara tentang urusan negara? Marilah Thaysu, kuhormati dulu
padamu tiga cawan. Mari, minum!"
Yasian melengak dan merasa kurang senang, tapi untuk sopan
santun, terpaksa ia mengiringi minum.
Habis menenggak tiga cawan arak, selagi Yasian hendak bicara
pula, tiba-tiba terdengar suara gemerincing perhiasan, tirai
tersingkap dan muncul seorang gadis jelita Gadis ini tak-lain-tak-
bukan adalah putri Yasian, Topua.Pahala dan Murka - 23 32
"Aha, Thio-toako, ternyata benar engkau adanya, tadinya
kusangka ayah dusta padaku." seru Topua dengan suara merdu.
Kiranya sehabis kejadian di To-bok-po dulu. Setelah Yasian tahu
isi hati putri kesayangannya, pernah ia berjanji kepada putrinya
akan mencarikan Thio Tan-hong dan menjodohkan mereka. Tapi
tidak lama kemudian pasukan Yasian lantas kalah dan mundur
kembali ke Watze, sejak itu Topua mengira selama hidup ini takkan
berjumpa lagi dengan Thio Tan-hong. Maka ketika ayahnya
memberitahu padanya bahwa malam ini akan hadir dalam
perjamuan orang yang sangat ingin dilihat putrinya itu, Topua
mengira sang ayah sengaja hendak meggodanya.
Sebenarnya Yasian telah memberi pesan agar Topua baru
muncul bilamana perjamuan hampir selesai, namun nona itu tidak
sabar lagi, bara saja mulai minum arak dia sudah keluar lebih dulu.
Tan-hong merasa kebetulan malah dengan kemunculan si nona,
cepat ia menyongsongnya dan memberi hormat, "Sungguh
beruntung dapat bertemu pula, mari kubormatimu tiga cawan
juga,"
Dengau tertawa senang Topua mengiringi Tan-hong
menghabiskan tiga cawan arak.
Sebelum Yasian bersuara Tan-hong lantas berkata pula, "Waktu
di To-bok-po dulu engkau telah sudi memberi pelayanan yang baik,
biarlah kuhormatimu lagi tiga cawan!"
Topua tertawa genit, "Dan engkau pun harus ikut minum
bersamaku."
"Tentu," ujar Tan-hong. Tanpa disuruh lagi segera ia angkat
cawan dan meneggak lagi tiga cawan.
Kening Yasian bekernyit, katanya, "Putriku, jangan kau minum
sampai mabuk, bisa ditertawai Toako."Pahala dan Murka - 23 33
Dia seperti mengomeli putrinya, tapi sebenarnya ditujukan
terhadap Thio Tan-hong. Topua tidak tahu maksud sang ayah, ia
menjawab dengan tertawa, "Ah, hanya beberapa cawan saja masa
dapat membuatku mabuk? Mumpung Thio-toako sedemikian
gembira dan mau minum . . . . "
Kembali kening Yasian bekernyit.
"Baiklah, ayah, aku tidak minum lagi," cepat Topua berseru
dengan tertawa. "Nah, Thio-toako, biar kubalas menghormat tiga
cawan padamu."
Sebelum si nona menuangkan arak, segera Tan-hong berseru,
"Bagus, bagus! Kuterima dengan senang hati!"
Segera ia menuang arak sendiri dan ditenggak habis.
Topua kegirangan, kalanya dengan tertawa, "Hah, Thio-toako
sungguh orang yang menyenangkan. Kukira engkau masih harus
minum tiga cawan lagi. Ketika di To-bok-po engkau pergi tanpa
pamit, coba apakah tidak perlu didenda?"
"Ya, benar, harus didenda," seru Tan-hong, kembali ia menuang
tiga cawan dan diminum habis lagi.
"Arak sudah cukup banyak ditenggak, sekarang silakan
bersantap," kata Yasian.
Mendadak Tan-hong membuka kancing baju sehingga bagian
dada tersingkap, serunya dengan terbahak, "Haha, minum bersama
sahabat karib seribu cawan pun kurang, bila bicara tidak cocok
sepatah pun terlampau banyak. Ah, masa aku baru minum belasan
cawan sudah dianggap banyak dan tidak boleh minum lagi?!"
"Wah, Thio-kongcu sudah mabuk," kala Yasian.Pahala dan Murka - 23 34
Tan-hong sengaja berjingkrak dan menari, serunya, "Siapa
bilang aku mabuk, siapa bilang aku mabuk? Lihat, aku masih


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sanggup minum lagi!"
Segera ia raih poci dan hendak menuang arak lagi.
Cepat Yasian memberi tanda, jago Turfan yang bernama
Mohikhan tadi lantas tampil untuk mencegahnya, "Thio-kongcu
jangan minum lagi!"
Sembari bicara ia terus memegang poci arak.
"Berani kau rintangi aku minum arak?" bentak Tan-hong,
tangannya mengebas dan Mohikhan tergetar mundur, poci arak
pun jatuh dan tumpah.
"Hati-hati Hiantit, arak bisa merusak kesehatan, jangan minum
lagi," kata Yasian.
"Haha, sejak dulu kala umumnya tuan rumah membujuk
tamunya minum sebanyaknya, masa sekarang tuan rumah
melarang tamu minum malah? Haha . . . hahaha . . . ."
Begitulah Tan-hong berteriak-teriak dan berjingkrak-jingkrak
serupa orang mabuk benar.
"Thio-kongcu benar sudah mabuk, lekas ambilkan sedikit
makanan penyegar," seru Yasian.
"Aku tidik mabuk!" teriak Tan-hong sambil menari, "bluk",
mendadak ia jatuh tersungkur, mulut mengeluarkan liur, lalu arak
pun tertumpah, bau arak yang menusuk hidung itu membuat orang
mual, Yasian geleng-geleng kepala, "Sialan, bocah ini sengaja
minum sampai mabuk. Hm, masa akan kulepaskanmu begitu saja?"
"Kau bilang apa, ayah?" tanya Topua.
"Bukan urusanmu," jawab Yasian. "Asalkan dia menuruti
perkataanku, tentu takkan kubunuh dia."Pahala dan Murka - 23 35
"Tidak menurut juga jangan dibunuh," kata Topua aleman.
"Jangan ikut bicara, lekas suruh orang membawanya ke kamar
belakang," ucap Yasian.
Kedua mata Tan-hong terpejam rapat, kaki dan tangan
dilemaskan, mulut melongo dan menyemburkan bau arak,
mukanya yang putih cakap itu berubah merah membara, serupa
benar seorang pemabuk yang lupa daratan, namun pikirannya
justru sangat sadar.
Didengarnya Jing-kok Taysu mendekatinya? lalu memeriksa urat
nadinya, diam-diam Tan-hong mengerahkan tenaga dalam
sehingga denyut nadinya menjadi kacau, napas pun tidak teratur.
Sejenak Jing-kok Taysu memeriksa nadi Tan-hong, lalu berkata
dengan tertawa, "Bocah ini memang betul mabuk."
"Bocah ini sungguh licin sekali," ucap Mohikhan. "Tampaknya
dia sengaja membuat mabuk sendiri."
"Jangan kuatir, ayahnya berada dalam cengkeramanku, masa dia
dapat kabur," ujar Yasian. "Sekarang dia mabuk, besok dia akan
memberi jawaban juga. Suruh orang menggotong dia ke kamar
belakang. Anak Pua, boleh kau jaga dia."
Topua mengiakan, lalu Tan-hong merasakan dua orang
menggotongnya, diam-diam ia merasa geli tapi sengaja berlagak
tidur pulas dalam keadaan mabuk dengan suara ngorok yang keras.
Terdengar Yasian bertanya, "Jing-kok Taysu, sudah beberapa
hari engkau bekerja keras, apakah di istana tidak terjadi sesuatu
yang mencurigakan?".
Lalu terdengar Jing-kok Taysu menjawab, "Istana seluruhnya
berada dalam pengawasan kami, tidak ada orang berani
sembarangan masuk keluar, Thaysu jangan kuatir."Pahala dan Murka - 23 36
Tan-hong terkesiap, baru sekarang ia tahu sedemikian mendesak
persoalannya, nyata Yasian terburu-buru hendak mengadakan
kudeta, maka raja Watze juga sudah diawasi mereka secara diam-
diam.
Dalam pada itu ia telah digotong ke kamar belakang dan
dibaringkan di tempat tidur yang dilandasi kasur yang empuk,
kamar terhias indah dan berbau harum.
Selang tak lama, terlihat Topua masuk ke kamar dan duduk di
tepi ranjang, dengan suara merdu ia berkata, "Masa begini hebat
mabukmu?"
Tan-hong pura-pura tidur nyenyak dan tak menghiraukannya,
tiba-tiba terasa hidung terangsang bau pedas yang menusuk, tanpa
kuasa ia bersin. Kiranya Topua menggunakan semacam wewangian
khas Mongol untuk menyadarkan Tan-hong dari mabuk arak.
Setelah bersin, Tan-hong membalik tubuh.
"Hihi, ayo bangun, kubawakan kuah penawar arak bagimu,
minumlah," kata Topua dengan tertawa.
Mendadak Tan-hong bersuara seperti orang mengigau, lalu
tergelak, "Hah malam ini aku tidak mau pergi, di luar sana mayat
bergelimpangan, aku takut, takut!"
"Huh, sembarang omong, lekas bangun!" seru Topua. "Di sini
Ratu Pemikat 1 Burung Merak Karya Maria A. Sardjono Istana Tanpa Bayangan 2
^