Pencarian

Pahala Dan Murka 15

Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen Bagian 15


bukan To-bok-po, mana ada mayat bergelimpangan segala?"
"Siapa bilang bukan To-bok-po? Coba lihat, bukankah di luar
ramai suara pertempuran?" kata Tan-hong.
Topua tertawa, "Itu suara penjaga, jangan kuatir."
Di luar tahu si nona Tan-hong mengorek kerongkongan dan
menumpahkan arak dan santapan yang dimakan tadi, kontan bajuPahala dan Murka - 23 37
Topua terobek, arak dan sayur yang ditumpahkan Tan-hong sama
masuk ke dalam baju si nona.
Watak Topua suka kebersihan, karuan ia mendongkol, omelnya,
"Kenapa mabuk sehebat ini?"
Sambil pencet hidung ia membawakan semangkuk kuah
penawar arak, tapi sekali lampuk Tan-hong membuat isi mangkuk
itu tumpah dan menyiram tubuh si nona, mangkuk pun jatuh dan
pecah berantakan.
Tangan Topua terasa kesakitan tertampar tangan Tan-hong,
dilihatnya anak muda itu mendekap dan tertidur lagi.
Sekujur badan Topua penuh kotoran tumpahan Tan-hong,
baunya tidak enak, kuatir terpukul lagi, terpaksa ia keluar dan
menyuruh membersihkannya.
Setelah bebas dari recokan Topua, Tan-hong sangat senang. Tadi
bila mengingat maksud kudeta Yasian sudah sangat mendesak,
bilamana berhasil berarti malapetaka juga bagi kerajaan Beng. Ia
menjadi bingung dan sedih karena tidak tahu cara bagaimaua harus
bertindak. Sebenarnya, jika sekarang ia mau membunuh Yasian
dapat dilakukannya dengan mudah. Cuma urusannya tidak
sedemikian sederhana, hanya membunuh satu orang saja tidak
dapat menyelesaikan seluruh persoalan, yaitu bahaya perang antar
kedua negara, malahan kaisar Beng yang tertawan jtu selanjutnya
tidak ada harapan lagi untuk pulang dengan hidup.
Ih Kiam mempunyai angan-angan yang sama dengan Tan-hong,
yaitu ingin hidup berdampingan dengan damai bersama semua
negara tetangga. Sebab itulah Tan-hong tidak mau meniru
pembunuh bayaran umumnya, hanya memburu kepuasan terus
main bunuh begitu saja, tapi akhirnya akan membikin urusan
menjadi runyam.Pahala dan Murka - 23 38
Sementara itu terdengar kentongan di luar sudah dibunyikan
tanda tengah malam, memandang keluar melalui jendela,
tertampak bulan sabit menghiasi cakrawala, angin meniup sepoi-
sepoi, meski sudah dipikir sekian lama tetap Tan-hong tidak
menemukan akal yang baik.
Tiba-tiba dilihatnya dahan pohon di luar bergoyang, bayangan
orang berkelebat, belum lagi Tan-hong sempat bersuara, tahu-tahu
seorang sudah berdiri di depan tempat tidurnya. Sungguh cepat
amat gerak orang ini. Setelah melihat jelas siapa pendatang ini,
sungguh girang Tan-hong tidak alang kepalang. Kiranya gurunya
sendiri, Cia Thian-hoa adanya.
"Ssst," desis Thian-hoa. "Dari kode yang kau tinggalkan di kaki
tembok dapat kutemukan In Lui dan mengetahui engkau terkurung
di sini. Urusan tidak boleh terlambat, ayo lekas ikut aku pergi dari
sini."
"Jika murid mau pergi tentu sudah pergi sejak tadi," jawab Tan-
hong, lalu ia menuturkan kesulitannya sekadarnya.
Thian-hoa mengangguk, "Lalu bagaimana tindakanmu?"
"Apakah Sisusiok (maksudnya Hui-thian-liong-li Yap Eng-eng)
sudah datang juga?" tanya Tan-hong.
"Sudah, dia tinggal di hotel bersama In Lui," jawab Thian-hoa.
"Dan Jisupek?" tanya Tan-hong pula.
Thian-hoa menghela napas menyesal, "Tidak dapat kami
temukan."
Dia seperti mau bercerita tentang urusan ini, tapi Tan-hong
lantas memotong, "Sekarang sudah kudapatkan akal untuk
meloloskan diri, besok dapatlah kupergi dari sini, nanti mohon SuhuPahala dan Murka - 23 39
bercerita lagi. Sekarang kumohon Suhu dan Yap-susiok lekas
menuju ke istana raja."
"Untuk apa?" tanya Thian-hoa.
Tan-hong lantas membisiki telinga sang guru apa maksudnya.
Seperginya Cia Thian-hoa, legalah hati Tan-hong. Segar rasanya,
dapatlah ia tidur dengan nyenyak. Ketika tiba-tiba ia terjaga bangun
oleh suara berisik, waktu ia membuka mata, dilihatnya Yasian
sudah duduk di dalam kamar.
Cepat Tan-hong bangun duduk, dilihatnya sinar matahari sudah
menembus masuk melalui jendela, nyata sudah pagi hari
keesokannya.
"Selamat pagi, Thaysu!" sapa Tan-hong.
"Ehm, sudah sembuh mabukmu?" tanya Yasian.
"Maaf Thaysu jika semalam ada kelakuanku yang kurang sopan."
Yasian mendengus, ?TIrn, apakah sudah kaupikirkan dengan
baik? Apakah kalian ayah dan anak bersedia bergabung denganku
untuk menumpas Aji dan mencapai kebahagiaan bersama?"
"Sudah kupikirkan," jawab Tan-hong. "Justru ingin kubicarakan
dengan Thaysu."
"Coba katakan saja," ujar Yasian.
Melihat wajah orang agak muram, Tan-hong sudah menduga
apa yang telah terjadi, diam-diam ia merasa geli.
Kiranya semalam seperti biasa Jmg-kok Taysu dan Mohikhan
dinas jaga secara bergiliran di istana raja untuk mengawasi gerak-
gerik keluarga kerajaan. Lewat tengah malam, tiba-tiba terlihat dua
sosok bayangan orang melayang keluar istana.Pahala dan Murka - 23 40
Cepat mereka memburu maju dan mencegatnya untuk ditanyai.
Tak terduga kedua bayangan itu turun tangan dengan cepat, hanya
satu jurus saja kepala Mohikhan sudah terpapas pecah.
Kungfu Jing-kok Taysu lebih tinggi, tapi juga cuma dua jurus saja
dan telinganya telah ditabas musuh.
Terdengar lawan tertawa mengejek, "Nah kuampuni jiwamu
supaya dapat kaulaporkan kepada Yasian, beritahukan jika dia ingin
menjadi raja di Watze, ini hal kami tidak peduli. Tapi bilamana
sesudah merebut kekuasaan dan naik tahta, lalu hendak menjajah
daerah Tionggoan, maka tidak nanti kami ampuni jiwanya."
Jelas yang bicara itu adalah dua orang Han, habis itu keduanya
lantas menghilang dalam kegelapan.
Kejadian ini baru dilaporkan kepada Yasian pagi tadi, tentu saja
ia kaget dan juga gemas, takut dan sedih. Yang membuatnya kaget
dan takut adalah kedua jago andalannya yang terbunuh dan terluka
itu. Padahal Jing-kok Taysu adalah tokoh terkemuka agama Lama
merah di Tibet, Mohikhan Juga jago nomor satu andalan Yasian,
namun keduanya telah dibunuh dan dilukai begitu saja oleh musuh
hanya dalam sejurus dua secara mudah.
Apabila kedua penyatron itu datang ke istana Thaysu, lantas
siapa yang mampu melawannya? Yang membuat Yasian sedih
adalah kedua orang Han itu jelas datang dari Tionggoan, tapi diam-
diam membela kerajaan Watze, bahkan dapat mengetahui
maksudnya kudeta, mungkin rencananya merebut kekuasaan ini
akan mengalami rintangan besar.
Begitulah Yasian lantas mendesak Tan-hong menjawab
persoalan semalam.
Dengan tertawa Tan-hong berkata, "Thaysu sendiri sudah
berpengalaman perang, tentu engkau cukup paham ilmu siasat."Pahala dan Murka - 23 41
"Memangnya kenapa?" tanya Yasian.
"Menurut pelajaran ilmu siasat, kekuatan yang melampaui batas
pasti terpecah, tenaga yang lemah tentu kalah. Yang perlu
dipantang adalah bertempur di beberapa tempat sekaligus pada
waktu yang sama. Pada waktu perang sebaiknya banyak berkawan
daripada mengikat permusuhan."
"Tentu saja kutahu teori ini, makanya aku mengajak kalian ayah
dan anak bekerja sama dengan lebih dulu persatukan Watze baru
kemudian menghadapi negeri lain," kata Yasian.
"Sekali ini aku telah jauh menjelajahi daerah Tionggoan,
kurasakan negeri Tionggoan itu sungguh teramat luas dengan
rakyat yang banyak, bilamana yang memerintah dapat mengatur
dengan daya guna yang tepat, jangankan cuma sebuah negeri
Watze, biarpun sepuluh Watze juga takkan mampu menggoyahkan
negeri raksasa itu."
"Eh, apakah kau bicara sebagai diplomat kerajaan Beng?" tanya
Yasian.
Tan-hong tertawa, "Sejarah leluhurku tentu sudah kau ketahui
dengan jelas, masakah aku sampai bicara bagi kerajaan Beng? Jika
aku bicara demikian, yang kubela adalah negeri Tionggoan, juga
demi Watze, maka kuminta engkau suka berpikir dengan
bijaksana."
"Baik, coba lanjutkan," kata Yasian.
"Sekarang di negeri tengah itu dipimpin oleh pembesar setia
seperti Ih Kiam, baik militer maupun sipil telah ditatanya kembali,
tempo hari penyerbuanmu ke sana masih dapat mencapai kota
Peking, bilamana lain kali pasukanmu bergerak lagi ke sana,
mungkin untuk memasuki gerbang tembok besar saja sulit. Tapi
soalnya bukan cuma itu saja. Bilamana Tiongkok tahu adaPahala dan Murka - 23 42
maksudmu hendak kudeta dan mengangkat diri sendiri menjadi
raja, lalu memperluas wilayah kekuasaanmu, bukan mustahil
kerajaan Beng yang akan menyerbu ke utara untuk bersekutu
dengan Aji dan mengamankan Watze, lalu apa yang akan kau
lakukan jika terjadi begitu?"
Terkesiap juga hati Yasian. Jika uraian Thio Tan-hong ini
dikemukakan setengah tahun yang lalu, tentu akan diterimanya
dengan tertawa keras. Maklumlah, tatkala itu ia anggap Tiongkok
terlalu lemah dan mudah ditaklukkan, pasukan kerajaan Beng sama
sekali tidak terpandang olehnya.
Tapi sesudah mengalami pertempuran di luar kota Peking
barulah dirasakan Tiongkok memang tidak mudah dicaplok.
Malahan kemudian Ih Kiam juga mengadakan pengamanan di
tapal batas, berkat peta tinggalan Pang-hwesio, berturut-turut
beberapa kali perang terbuka telah mengusir pula pasukan Watze di
beberapa tempat, hal ini membuat Yasian menjadi kuatir dan
merasakan terancam malah oleh pasukan kerajaan Beng.
Maka uraian Tan-hong sekarang membuatnya terkesiap, meski
di luar ia tenang-tenaog saja, padahal di dalam hati berkuatir.
Terdengar Tan-hong berkata pula, "Setelah menjelajahi
Tionggoan, kurasakan semangat juang rakyat di sana sangat tinggi
dan sama sekali tidak boleh diremehkan. Apalagi raja mereka
ditawan olehmu di To-bok-po, hal ini dirasakan sebagaj peristiwa
yang memalukan. Mungkin sebelum pasukanmu bergerak lagi ke
selatan mereka sudah lebih dulu akan menyerbu ke utara untuk
menuntut balas. Nah, meski kekuatan tentara Thay-su cukup
tangguh, rasanya juga tidak dapat sekaligus menghadapi serbuan
kerajaan Beng dari luar dan perlawanan Aji dari dalam?"
(Bersambung Jilid ke 24)Pahala dan Murka - 24 0Pahala dan Murka - 24 1
PAHALA DAN MURKA
Oleh : gan k.l.
Jilid ke 24
ASIAN berdehem, katanya dengan berlagak ketus, "Aku
menguasai berpuluh laksa prajurit tangkas dan beribu
panglima perang perkasa, biarpun akan dikerubut dari
luar dan dalam juga tidak gentar, paling-paling juga hancur
bersama saja."
"Tapi bila terjadi sebelum pasukanmu bergerak jiwamu sudah
amblas, lalu bagaimana?" ucap Tan-hong dengan tertawa.
"Masa benar kerajaan Beng begitu benci padaku dan akan
mengirim orang untuk membunuhku?" tanya Yasian.
"Setahuku, pihak Beng memang mengirim orang ke sini, apakah
engkau akan dibunuh atau tidak itu bergantung kepada tindak-
tandukmu."
Yasian jadi teringat kepada kejadian semalam, tanpa terasa ia
mengkirik. Namun dia belum mau kalah, ucapnya dengan lagak
tertawa. "Jika pihak Beng mempunyai jago pedang lihai,
memangnya aku tidak punya jago perkasa yang dapat
mengatasinya?"
"Hahahaha!" kembali Tan-hong tergelak. "Jago pengawalmu
kebanyakan cuma tukang gegares belaka, apa gunanya? Mungkin
bila berhadapan dengan lawan, hanya satu jurus saja kepalanya
sudah ditabas orang."
Yasian melonjak kaget, "Hah, jadi kautahu peristiwa semalam?"Pahala dan Murka - 24 2
"Peristiwa apa?" Tan-hong berlagak bodoh. "Aku cuma omong
iseng saja, memangnya benar ada jagomu yang tertabas kepalanya
semalam?"
Agak sangsi juga Yasian, ia pikir anak muda ini semalam mabuk
serupa babi mampus, mungkin secara kebetulan saja ucapannya
tepat mengenai kejadiannya.
Tan-hong coba berkata lagi, "Eh, jago manakah yang terbunuh?"
"Ah, tidak, semalam memang ada penyatron, namun sudah kami
usir, ada satu-dua orang kita yang terluka," tutur Yasian.
"O, jika begitu masih untunglah bagi kalian," ucap Tan-hong
dengan tertawa.
Padahal peristiwa semalam justru dia yang mengatur. Orang
yang membunuh Mohikhan dan memotong daun kuping Jing-kok
Taisu adalah Cia Thian-hoa dan Yap Eng-eng.
Walaupun di mulut tak mau kalah, dalam hati Yasian tambah
gugup juga.
Terdengar Tan-hong berkata pula, "Kukira rencana Thaysu
sekarang bukanlah jalan yang baik."
"Lantas bagaimana pendapatmu?" tanya Yasian.
Selagi Tan-hong hendak membeberkan jalan pikirannya, tiba-
tiba terdengar suara ribut di luar, tentu saja Yasian kurang senang,
segera ia memanggil penjaga dan ditanya ada kejadian apa.
"Ada beberapa pengemis hendak menerjang masuk untuk
mengemis secara paksa, sungguh menjemukan," lapor penjaga.
"Beri sedekah sedikit atau kalau perlu usir mereka, kenapa
ribut?" kata Yasian sambil memberi tanda supaya penjaga itu pergi.Pahala dan Murka - 24 3
Dengan tersenyum Tan-hong menjawab pertanyaan Yasian tadi,
"Bilamana Thaysu ingin mengamankan bagian dalam hendaknya
berdamai dulu dengan pihak luar, dengan begitu barulah takkan
terjadi diserang dari luar dalam. Padahal negeri Tionggoan
wilayahnya luas dan penduduknya banyak, negerinya subur, kalau
Watze tidak menyerangnya tentu juga dia takkan menyerbu ke sini.
Kukira, akan lebih baik kau pulangkan kaisar Beng yang kautawan
itu dan mengadakan perjanjian perdamaian, inilah upaya yang
paling baik."
Yasian terdiam dan berpikir.
Dengan tertawa Tan-hong berkata lagi, "Pada waktu di To-bok-
po dahulu dengan berbagai daya upaya dapatlah kau tawan kaisar
Beng, tujuanmu adalah ingin menggunakan sandera agung itu
untuk memojokkan musuh. Sekarang Ih Kiam telah mengangkat
kaisar Beng yang baru, bekas kaisar yang kautawan sudah
kehilangan daya guna, jika tetap kau tahan dia di sini hanya akan
menjadi bibit penyakit saja bagi Thaysu sendiri."
Setelah direnungkan Yasian, ucapan Tan-hong itu memang
masuk diakal, katanya kemudian, "Sudah ratusan kali pasukanku
bertempur dengan pihak Beng dan lebih sering menang daripada
kalah. Memangnya sekarang harus kuantar pulang raja Beng untuk
minta berdamai dengan mereka?"
Dari nada orang Tan-hong tahu pikirannya sudah goyah, soalnya


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cuma gengsi belaka, maka dengan tertawa ia menambahkan,
"Perdamaian antara kedua negara dilakukan secara terhormat,
masa perlu merasa direndahkan? Bilamana Thaysu enggan
mengajukan perdamaian lebih dulu, bolehlah minta pihak sana
mengirim utusan lebih dulu untuk mencari perdamaian ke sini."Pahala dan Murka - 24 4
Biji mata Yasian berputar, katanya, "Masa kau berani mewakili
Ih Kiam untuk menerima syarat ini? Sesungguhnya siapa . . . siapa
kau?"
"Terus terang, kepulanganku ke Watze sekali ini memang
sebelumnya sudah kutemui Ih Kiam," tutur Tan-hong. "Apa yang
kukemukakan kuyakin takkan berbeda pendapat dengan Ih Kiam."
Yasian duduk dengan lesu, selang sejenak baru berkata pula,
"Masa sudah kau lupakan permusuhan keluargamu dan sekarang
malah mengabdi bagi kerajaan keluarga Cu?"
Tan-hong terbahak dan berkata dengan tegas, "Tidak, aku tidak
mengabdi bagi keluarga mana pun melainkan berjuang bagi
kepentingan Tiongkok dan Watze, bagi rakyat kedua negeri. Coba
pikirkan bilamana politik damai ini terlaksana, bukankah yang petik
manfaatnya adalah rakyat kedua negara?"
Yasian terdiam, selang agak lama baru bertanya lagi, "Setelah
kedua negeri berdamai, lalu engkau akan berdiam di mana?"
"Aku adalah orang sana yang mengungsi ke sini, dengan
sendirinya pulang ke kampung halaman sendiri," jawab Tan-hong.
"Jika begitu, nanti engkau akan menjadi lawanku?" kata Yasian.
"Asalkan Thaysu tidak mengerahkan pasukan dan menyerbu
kesana, untuk apa kita harus bermusuhan?" ujar Tan-hong.
"Dan bagaimana dengan ayahmu?" tanya Yasian pula.
"Tentu juga akan kubujuk beliau pulang ke negeri leluhur untuk
menghabiskan masa tua beliau," kata Tan-hong.
"Kalian tidak kuatir akan dicelakai kaisar Beng?"
"Jika terjadi begitu, itu pun karena kami sukarela dan Thaysu
tidak perlu ikut kuatir," ujar Tan-hong tertawa.Pahala dan Murka - 24 5
Yasian garuk-garuk kepala dan mondar-mandir, pikirannya
timbul tenggelam tak menentu, ia pikir uraian Tan-hong memang
cukup berdasar, menimbang untung-ruginya, bila dirinya ingin
mempersatukan Watze, jalan yang baik memang tidak harus
bermusuhan dengan pihak Beng.
Lalu terpikir pula olehnya, "Thio Cong-ciu ayah dan anak
berbakat tinggi, bila mereka tetap tinggal di negeri ini dan sukar
diperalat, bagiku tentu juga tidak ada gunanya. Lebih baik biarkan
mereka pulang ke negeri leluhurnya supaya hatiku pun bisa merasa
aman. Kelak bila Watze sudah kupersatukan, setelah prajurit kuat
dan perbekalan cukup, janji perdamaian dapat kubatalkan setiap
saat, lalu kuserbu ke sana, masa perlu kutakut lagi akan dimusuhi
Thio Tan-hong lagi. Hanya saja perjodohan putriku yang takkan
terlaksana."
Terdengar Tan-hong berkata pula, "Seorang lelaki sejati, satu
kata saja dapat menentukan segalanya. Apapula yang Thaysu
ragukan?"
Mencorong sinar mata Yasian, akhirnya ia menjawab tegas,
"Baik, kuturut kepada gagasanmu. Cuma aku juga bukan manusia
yang dapat sembarangan dipermainkan. Jika pihak Beng mengirim
pembunuh gelap lagi segera akan kuberi perintah kepada anak
buahku untuk segera menyerbu ke selatan bila terjadi apa-apa atas
diriku, biarlah kita hancur bersama."
Dia bicara dengan nada keras dan beringas, jelas dia memang
kuatir jiwa sendiri akan terancam.
Tan-hong tersenyum, katanya, "Orang sana biasanya
mengutamakan kesetiaan dan kepercayaan, bila Thaysu benar ingin
berdamai, mustahil pihak sana akan mengirim pembunuh gelap
untuk mencelakaimu?"Pahala dan Murka - 24 6
"Baik, jadi," kata Yasian. "Nanti kalau utusan Beng sudah datang,
segera kurundingkan perdamaian dengan dia. Mengenai menumpas
gerakan Aji, adakah pendapatmu pula?"
"Jika kami ayah dan anak sudah bertekad akan pulang ke negeri
leluhur, urusan dalam negeri Watze tentu kami tidak mau ikut
campur lagi," kata Tan-hong.
"Bagus, asalkan kalian tidak ikut campur, pasti juga takkan
kupersulit kalian," kata Yasian. "Sekarang bolehlah kau pulang,
besok suruh ayahmu menyampaikan surat permohonan berhenti
kepada Sri Baginda."
Bahwa akhirnya Yasian dapat dipengaruhi dengan gagasannya,
tentu saja Tan-hong sangat senang, ia lantas memberi hormat dan
mohon diri. Ketika mau melangkah keluar, tiba-tiba teringat
sesuatu olehnya dan membuatnya ragu.
"Kau mau apa lagi?" tanya Yasian.
"Bila diperbolehkan, ingin kutemui bekas kaisar Beng yang
kautawan itu," kata Tan-hong.
Yasian berpikir sejenak, katanya kemudian, "Boleh juga, katakan
padanya tentang gagasanmu, supaya dia tahu maksud baikku."
Lalu ia memanggil dua orang pengawal, setelah berpikir, tiba-
tiba ia berucap lagi, "Biarlah kupergi bersamamu."
Melihat sang Thaysu hendak membawa Thio Tan-hong untuk
menemui kaisar Beng yang ditawannya, kedua jago pengawal itu
sangat heran.
Kaisar Ki Tin terkurung di dalam sebuah menara Budha di
lingkungan istana perdana menteri. Menara itu bertingkat tiga,
setiap tingkat dijaga ketat dan sangat dirahasiakan, sampai raja
Watze juga tidak tahu tempat tahanan ini.Pahala dan Murka - 24 7
Sudah tiga bulan Ki Tin di kurung di sini, sudah tentu sangat
merana dan tersiksa. Ia terkejut ketika tiba-tiba dilihatnya Yasian
datang bersama Thio Tan-hong.
Segera Yasian tanya padanya, "Kau kenal dia tidak?"
Karena tidak tahu maksud kedatangan Tan-hong, Ki Tin merasa
sangsi dan tidak berani menjawab.
"Dia adalah musuhmu dan juga penolongmu, kau tahu tidak?"
kata Yasian pula dengan tertawa.
Segera Tan-hong berkata, "Kuharap Thaysu mengizinkan
kubicara sendirian dengan dia."
"Baik," jawab Yasian. "Sungguh aku tidak mengerti pribadi
kalian ini, kedua keluarga kalian saling berebut kuasa, sekarang
kalian ingin bicara apa?"
Puncak menara itu terbagi menjadi dua ruangan, Ki Tin
dikurung di ruangan sebelah dalam, Yasian lantas keluar ruangan
untuk omong iseng dengan penjaga.
Tidak enak perasaan Ki Tin menghadapi sorot mata Thio Tan-
hong yang mencorong tajam itu.
"Sudah terbiasa engkau menjadi raja dan tidak pernah susah,
boleh juga mencicipi sedikit penderitaan," kata Tan-hong kemudian
dengan tertawa.
Ki Tin menjadi gusar, "Hm, rupanya tempo hari engkau sengaja
pura-pura berbaik hati padaku. Ya, kutahu permusuhan orang
awam mudah dihapus, permusuhan raja sulit diselesaikan. Jika
engkau orang kepercayaan Yasian, aku cuma minta diberi mati
dengan tubuh utuh. Nah, kalau mau bunuh boleh lekas bunuh,
seorang raja tidak sudi dihina."Pahala dan Murka - 24 8
Tan-hong tersenyum aneh, tanpa menghiraukan keluhan orang,
ia berkata sendiri, "Setelah merasakan pahit getir ini, selanjutnya
tentu engkau akan paham bagaimana menjadi kaisar yang baik.
Kalau sudah pulang, janganlah melupakan penderitaan hari ini,"
Ki Tin melonjak kaget, teriaknya, "Apa katamu?"
"Kubilang, paling lama beberapa bulan lagi dapatlah kau
pulang," jawab Tan-hong hambar.
Hampir Ki Tin tidak percaya kepada telinga sendiri, ucapnya
dengan rada gemetar, "Apa . . . apa betul, Yasian sendiri yang omong
begitu kepadamu? Dia mau membebaskan kupulang dan naik tahta
kembali? Haha, naik tahta kembali?"
"Bukan Yasian mau membebaskan kau pulang, tapi Ih Kiam yang
ingin menyambut kepulanganmu," kata Tan-hong.
Seketika senyum Ki Tin lenyap, damperatnya dengan gusar,
"Meski aku tertawan, jelek-jelek aku adalah raja, berani
sembarangan kau permainkan diriku?"
Tan-hong mendongkol dan juga merasa kasihan, katanya, "Jika
kau harapkan orang membebaskanmu begitu saja, jangan kau
harap selama hidup. Hanya sesama bangsamu saja yang sanggup
menyelamatkanmu. Apakah kau kira Yasian menguasai mati-
hidupmu dan hanya dia yang dapat menentukan kebebasanmu?
Terus terang, nasibmu justru terletak di tangan Ih Kiam, kalau Ih
Kiam bilang engkau dapat pulang tentu akan terlaksana dengan
baik."
Dalam sekejap itu Ki Tin merasa sorot mata Thio Tan-hong yang
tajam dan berwibawa itu terasa sukar dibantah dan membuatnya
tidak ragu lagi, ucap Ki Tim dengan tergegap, "Sebenarnya apa . . .
apa artinya ini?"Pahala dan Murka - 24 9
"Justru karena jelek-jelek engkau adalah seorang kepala negara,
kalau tetap tinggal di tempat musuh jelas akan merupakan noda
bagi negara kita. Lantaran itulah maka kami berusaha
memulangkanmu. Hanya negara sendiri yang menjadi sandaranmu
sehingga Yasian mau-tak-mau harus membebaskanmu pulang."
Secara ringkas Tan-hong lantas menceritakan keadaan Tiongkok
dan Watze sekarang serta situasi umumnya.
Ki Tin terkejut dan bergirang, katanya, "Jika benar aku dapat
pulang dan naik tahta kembali pasti akan kuberi pangkat besar
padamu. Kau suka jabatan apa? Komandan Han-lim-kun atau
gubernur militer kotaraja? Atau boleh juga menteri militer,
semuanya dapat kupenuhi kehendakmu."
Dengan dingin Tan-hong menjawab, "Sesudah pulang, apakah
engkau akan menjadi raja lagi atau tidak adalah urusan rumah
tangga kalian sendiri, aku dan Ih Kiam tidak mau ikut campur. Aku
pun tidak ingin menjadi pembesar segala."
Ki Tin rada kecewa, gumamnya, "Baik sekali kalau bisa pulang,
baik sekali!"
Dia seperti teringat sesuatu, mendadak terbangkit semangatnya
dan berkata pula, "Segenap pembesar kerajaan adalah orang
kepercayaanku, tidak nanti Ki Gik dapat merampas tahtaku. Bila
kupulang, dengan sendirinya dia menyerahkan tahtanya padaku.
Jika engkau tidak suka menjadi pembesar, boleh juga kuberi
anugrah menurut permintaanmu."
Tan-hong merasa jemu oleh ocehan, orang, ucapnya, "Aku tidak
menghendaki apa pun, aku cuma minta sesuatu padamu."
"Urusan apa, pasti akan kuterima," jawab Ki Tin.
"Setelah pulang nanti, kalau naik tahta kembali, apa yang akan
kau lakukan terhadap Ih Kiam?" tanya Tan-hong.Pahala dan Murka - 24 10
"ini ... ini . . . . " Ki Tin tidak dapat menjawab.
"Sesudah engkau tertawan musuh, dia telah mengangkat kaisar
baru, dalam hatimu tentu kau-benci padanya, bukan?"
Cepat Ki Tin menjawab, "Ah, tidak, tidak. Sesudah pulang nanti
segera akan kunaikkan pangkatnya tiga tingkat," seru Ki Tin.
Padahal saat itu pangkat Ih Kiam sudah setingkat perdana
menteri, kalau naik tiga tingkat lagi, lalu apa pangkatnya. Jelas Ki
Tin cuma asal omong saja.
Mendongkol dan geli juga Tan-hong, katanya pula, "Ih Kiam
bukanlah manusia yang tamak harta dan kemaruk pangkat, semoga
sepulangmu nanti engkau bermurah hati dan mengampuni
kematian baginya."
"Tentu, tentu," berulang Ki Tin berkata.
"Apa betul?" bentak Tan-hong mendadak dengan bengis.
"Seorang raja tidak nanti bergurau," eepat K i Tin menjawab.
Tan-hong tersenyum, selagi hendak bicara pula, tiba-tiba
terdengar suara tembang kaum pengemis yang sedang minta
sedekah.
Lalu terdengar pula suara ribut di luar, agaknya penjaga sedang
mengusir kawanan pengemis itu, menyusul ada lagi penjaga
berteriak, "Awas, ada pembunuh gelap!"
Mendadak "bluk", suara orang roboh, seorang penjaga telah
dirobohkan.
Keruan Tan-hong terkejut juga, hebat benar kungfu pengemis
ini. Dalam pada itu dengan cepat lantas terdengar suara gemuruh
yang keras, daun jendela ruang tahanan itu telah didobrak orang
dan seorang pengemis melompat masuk, dengan tangan kanan
memegang pentung, tangan lain terus mencengkeram Ki Tin.Pahala dan Murka - 24 11
Keruan Ki Tin berkaok-kaok ketakutan.
Tan-hong tidak sempat melolos pedang, cepat jarinya menutuk.
"Hah, Thio Tan-hong!" seru pendatang itu sembari mengegos ke
samping, berbareng sebelah kakinya mendepak Ki Tin.
"Ai, kiranya Pit-locianpwe," kata Tan-hong.
Pengemis ini ternyata Pit To-hoan adanya, melihat depakannya
cukup dahsyat, terpaksa Tan-hong menggunakan gerakan Tai-lik-
kim-kong-jiu dan menolak pelahan pada telapak kaki orang. Segera
Pit To-hoan terlempar ke sana hingga menumbuk dinding.
"Thio Tan-hong, masa sekarang kau jadi anjing penjaga pintu
Yasian?" teriak Pit To-hoan dengan gusar.
"Ada urusan apa boleh dibicarakan saja, jangan mengagetkan
raja merana ini," kata Tan-liong. "Silakan Pit-locianpve
meninggalkan tempat ini dulu, katakan tempatnya, nanti
kukunjungi Locianpwe."
Pit To-hoan, tidak mau banyak omong lagi, kontan pentungnya
menghantam tiga kali, tangan lain meraih lagi hendak menangkap
Ki Tin.
Dalam pada itu terjadi pula suara ribut di bawah, terdengar
suara benturan senjata yang memekak telinga. Yasian berteriak-
teriak di luar, entah apa yang digemborkan, tak terdengar jelas oleh
Tan-hong.
Ketika pintu terbuka, dua Busu menerjang masuk dengan golok.
Cepat Pit To-hoan menggeser ke samping, pentung terus menyapu,
golok kedua Busu itu sama mencelat tersampuk.
Dengan mata mendelik Pit To-hoan membentak, "Yang
menghindar selamat, yang merintangiku mati!"Pahala dan Murka - 24 12
Pit To-hoan berjuluk "Cin-sam-kai" atau mengguncang jagat,
bentakannya menggelegar dan mengejutkan orang. Tanpa terasa
kedua Busu tergetar mundur.
Sementara itu terdengar pula suara langkah orang yang berat
disertai suara jeritan ngeri di sana-sini dan suara benturan senjata,
agaknya ada orang menerjang dari bawah ke atas.
Dengan murka Pit To-hoan menerjang sekuatnya, ia berusaha
menerobos rintangan Thio Tan-hong egar dapat menangkap Ki Tin.
"Untuk apa dia akan kau tangkap?" bentak Tau-hong.
"Masa sudah kau lupakan permusuhan leluhurmu?" bentak Pit
To-hoan. "Keparat ini tidak sesuai menjadi raja, untuk apa kau
lindungi dia? Kita bekuk dia dan bawa dia pulang ke sana, biarlah
kita membentuk kekuatan pergerakan lagi."
Tan-hong melengak, kiranya ada. maksud Pit To-hoan untuk ikut
berebut kekuasaan.
Selagi ia hendak bicara, mendadak terdengar suara keras di luar,
pintu menara tingkat tiga telah didobrak orang, terdengar seorang
bergelak tertawa, "Haha, bagus sekali! Kaupun berada di sini, coba
rasakan dulu tiga ratus pukulan tongkatku ini!"
Ternyata pendatang ini adalah Tiau-im Hwesio yang tidak
ditemukan Cia Thian-hoa dan Yap Eng-eng tempo hari.
Sekilas Tan-hong melihat Yasian bersembunyi di pojok sana dan


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang memimpin jago peng awalnya untuk mengalangi musuh.
Djam-diam Tan-hong kuatir, ia tahu watak sang paman guru itu
sangat kasar, bilamana sekali kemplang dengan tongkatnya Yasian
dibinasakan, tentu urusan akan runyam. Padahal Yasian masih
mempunyai putra dan anak buah dengan puluhan laksa prajurit,Pahala dan Murka - 24 13
bila kejadian menimbulkan perang lagi di antara kedua negara,
maka banjir darah yang lebih hebat tentu sukar dicegah.
Ia bermaksud menerjang keluar, tapi teralang oleh tongkat Pit
To-hoan.
Sesudah mempelajari isi kitab pusaka temuannya itu, kungfu
Tan-hong sekarang sebenarnya di atas Pit To-hoan, tapi seketika
sukar juga baginya untuk menerjang keluar, apalagi ia pun tidak
ingin mencelakai lawan.
Karena gugupnya, mendadak Tan-hong berteriak, "Cin-sam-kai,
engkau punya etika orang kangouw atau tidak?"
Pit To-hoan melengak bingung, "Apa katamu?"
"Jika mau berebut kuasa kan belum tiba giliran padamu?!" kata
Tan-hong.
Dahulu waktu Tan-hong baru pulang ke Tiong-goan, ia
membawa bukti pengenal leluhurnya, yaitu peta pusaka tempat
penyimpanan harui di Sohciu, ia berkunjung ke tempat kediaman
Pit To-hoan, keduanya pemah bertanding dan orang tua itu kalah
satu jurus, dengan tegas ia menyatakan bahwa urusan negara
selanjutnya akan kuserahkan seluruhnya kepada Thio Tan-hong,
artinya bilamana Tan-hong hendak berebut kekuasaan tentu dia
akan membantunya dan takkan memusuhinya.
Sekarang Tan-hong mengingatkannya ucapan orang dahulu itu,
meski hati Pit To-hoan masih penasaran, tidak urung serangan
tongkatnya menjadi kendur, mendadak ia menghela napas dan
berkata, "Baiklah, kuserahkan padamu!"
Habis itu segera ia melompat pergi melalui jendela.
Ki Tin ketakutan hingga muka pucat lesi dan sembunyi di pojok
sana, Tan-hong tidak sempat menghiraukannya, cepat ia punPahala dan Murka - 24 14
melompat keluar, dilihatnya Tiau-im Hwesio sedang memutar
tongkatnya yang besar itu sehingga menerbitkan suara menderu,
yang berhadapan dengan dia adalah Ogito dan dua orang Busu lagi.
Kungfu Ogito memang tidak lemah, tapi tongkat Tiau-im Hwesio
juga sangat lihai, hantaman tongkatnya terlampau kuat bagi
musuhnya sehingga Ogito dan kedua kawannya cuma mampu
menangkis dan tidak sanggup balas menyerang.
Sebenarnya juga kebetulan, dua jago andalan Yasian yang baru,
yaitu Jing-kok Taisu dan Mo-hik"ran sebenarnya tidak lebih lemah
daripada Tiau-im, tapi semalam mereka telah dipecundangi oleh
gabungan pedang Cia Thian-hoa dan Yap Eng-eng, hanya dua jurus
saja, yang satu sudah tewas dan yang lain terluka patah.
Lantaran itu juga maka Pit To-hoan dan Tiau-im dapat
menerjang ke menara ini dengan leluasa.
Melihat Tan-hong melompat keluar, Yasian mendengus, "Hm,
bangsa Han kalian memang tidak dapat dipercaya."
Tan-hong tidak menjawab, mendadak ia melompat maju terus
meraih tongkat Tiau-im Hwesio.
"Kau berani? Kalian guru dan murid sama bukan manusia baik,"
damperat Tiau-im dengan gusar, segera tongkat menolak ke depan.
Cepat Tan-hong menarik tangannya, dan karena itu juga Ogito
terlepas dari serangan berbahaya, begitu pula kedua Busu juga cepat
melompat mundur.
"Tan-hong, kau berani kepada orang tua?" bentak Tiau-im
dengan murka. "Berani merintangi lagi bisa segera kubinasakanmu
dengan tongkatku."
"Biarpun aku kau hantam mati juga tetap kuminta Jisupek
mundur dari sini," jawab Tan-hong.Pahala dan Murka - 24 15
Tanpa bicara lagi tongkat Tiau-im lantas menyerampang ke
pinggang Tan-hohg, tapi dengan gerak lincah dapatlah Tan-hong
mengelak, ia tidak berani menghadapi tongkat Tiau-im dengan
bertangan kosong, terpaksa ia lolos pedang untuk menangkis. Maka
terjadilah pertarungan sengit antara paman guru dan murid
kemenakan di ruang menara itu.
Dulu waktu Tan-hong mula-mula pulang ke Tionggoan
kepandaian sudah setingkat sang Supek, sekarang kungfunya maju
pesat sehingga sudah jauh di atas Tiau-im.
Belasan kali Tiau-im selalu ditahan oleh pedang Tan-hong yang
lihai.
Tiau-im tambah murka, mendadak tongkat menyapu sambil
membentak, "Sungguh terlalu kurangajar kau, Thio Tan-hong."
"Maaf, Supek," jawab Tan-hong dengan tersenyum. "Apa pun
juga hendaknya Supek mundur keluar dari sini, kelak akan kuminta
maaf lagi padamu."
Ucapan ini membuat para Busu yang berada di situ sama
terkesiap, beramai mereka mempersoalkan hal ini, "Ah, kiranya
antara mereka adalah Supek dan Sutit!"
"Aha, bagus sekali, tampaknya sang Supek tidak sanggup
melawan Sutitnya!"
"Huh, kepandaian sendiri lebih rendah, tapi jual lagak sebagai
orang tua, sungguh tidak tahu malu!"
Begitulah dari sana-sini terlontar suara cemooh terhadap Tiau-
im, keruan muka hwesio itu merah padam, mendadak ia
membentak, "Binatang cilik, biarlah kelak kuhajar adat lagi
padamu!"Pahala dan Murka - 24 16
Habis berucap ia tarik tongkatnya terus menerjang keluar
menara. Celakalah para penjaga di luar, semuanya terluka dihajar
oleh tongkat Tiau-im Hwesio.
Waktu Tau-hong melongok keluar jendela, dilihatnya Pit To-
hoan sudah menerjang keluar kepungan bersama tiga pengemis. Ia
lihat kepandaian keiiga pengemis itu pun tidak rendah, meski ada
puluhan penjaga di bawah, namun sukar merintangi mereka.
Apalagi Tiau-im juga menerjang keluar dan bergabung dengan
mereka, dengan leluasa mereka dapat membobol kepungan dengan
selamat.
"Hebat juga beberapa pengemis itu, entah dari mana mereka
mendapat kabar tentang terkurungnya Ki Tin di sini?" pikir Tan-
hong.
Yasian juga sedang memandang keluar jendela, melihat musuh
sudah pergi, ia menghela napas lega dan berpaling.
Terdengar Tan-hong lagi berkata, "Harap Thaysu memaafkan
tindakan paman guruku tadi, beliau mengira aku terkurung di sini
sehingga timbul salah paham ini, kelak tentu akan kuberi pen-
elasan padanya. Kujamin selanjutnya pasti takada Tagi orang yang
mengacau ke sini."
Yasian menyaksikan dengan mata kepala sendiri Thio Tan-hong
membelanya, dengan mati-matian, dengan sendirinya ia merasa
senang, katanya dengan tertawa, "Baiklah, kita lakukan menurut
apa yang kita bicarakan tadi, engkau pun tidak perlu banyak sangsi
lagi."
Tan-hong mengucapkan terima kasih.
"Dan sekarang bolehlah kita-menjenguk lagi Hongsiang kalian,"
kata Yasian.Pahala dan Murka - 24 17
Waktu mereka masuk lagi ke dalam, terlihat wajah Ki Tin pucat
pasi dan berdiri bersandar dinding dengan gemetar.
Yasian tersenyum melihat raja penakut itu, ia pikir jika orang ini
dipulangkan untuk menjadi raja lagi tentu bermanfaat bagiku.
Segera ia berkata, "Haii, tampaknya engkau terkejut. Sesudah pahit
datanglah manis, nanti kalau utusan kalian datang dapatlah
kaupulang ke rumah, semoga selanjutnya tidak kau lupakan
Kebaikanku kepadamu"
Selagi Ki Tin hendak mengucapkan terima kasih, tiba-tiba
terlihat Tan-hong memberi kedipan mata, segera tersadar olehnya
kedudukan sendiri sebagai seorang raja, betapapun Yasian cuma
seorang perdana menteri saja, kalau mengucapkan terima kasih
berarti merendahkan diri sendiri dan kehormatan negara dan
bangsa.
Maka ia lantas membusungkan dada dan menjawab, "Ya,
kebaikanmu tentu akan kuingat dengan baik."
"Thaysu," tukas Tan-hong, "ada lagi suatu permohonanku."
"Urusan apa? Bicara saja," jawab Yasian.
Tan-hong menanggalkan mantel bulu sendiri dan
disemampirkan di pundak Ki Tin, katanya, "Kumohon Thaysu
mengizinkan akan kuberikan mantel ini kepadanya."
"Oya, karena sibuk, aku menjadi lupa mengurus keperluan
Hongsiang kalian," seru Yasian. Lalu ia memanggil penjaga dan
diberi pesan agar memanggil tukang jahit untuk membuatkan baju
baru bagi Ki Tin, juga dipesan agar menyediakan makanan yang
baik bagi tawanannya itu.
Setelah meninggalkan mantelnya, Tan-hong lantas keluar ikut
Yasian. Sebelum pergi, sekilas dilihatnya Ki Tin mengembeng air
mata.Pahala dan Murka - 24 18
"Tampaknya dia terharu juga, semoga kejadian hari ini akan
selalu diingat olehnya, sesudah pulang nanti Ih Kiam takkan
dipersulit olehnya," demikian pikir Tan-hong.
Kuatir direcoki Topua, sesudah keluar dari menara itu cepat Tan-
hong mohon diri, lebih dulu ia menjenguk In Lui di hotelnya, tak
terduga nona itu sudah tidak di tempat dan cuma meninggalkan
sepucuk surat.
Isi surat itu sangat singkat, dipesannya bila urusan Tan-hong
sudah selesai hendaknya pergi ke Pik-lo-san untuk bertemu di sana.
Pik-lo-san adalah pegunungan ternama, tempat tamasya yang
terletak di timur kota, di atas gunung itu ada beberapa keluarga
penduduk.
Habis membaca surat itu, diam-diam Tan-hong heran.
Diketahuinya In Lui belum pernah datang ke kotaraja Watze,
mengapa sekarang bisa berkunjung ke Pik-lo-san segala? Pula
alamatnya tidak ditulis jelas, kan repot bila mencarinya nanti.
Lalu teringat lagi olehnya sebabnya si nona menyingkir ke sana
tentu karena menghindari penguntitan antek Yasian. Diam-diam ia
berkuatir juga bagi nona itu.
Karena In Lui sudah pergi, terpaksa Tan-hong pulang dulu ke
rumah. Ternyata penjaga yang semula dikirim oleh Yasian kini
sudah ditarik dari rumahnya. Yang membukakan pintu baginya
ialah Ciamtai Biat-beng. Dengan sendirinya keduanya sangat
gembira dapat bertemu lagi.
"Sekian lama kami dikurung di sini, sungguh aku ingin
menerjang keluar untuk melampiaskan rasa dongkol, cuma Cukong
melarang tindakanku ini," tutur Biat-beng.
"Memang lebih baik jangan pakai kekerasan," ujar Tan-hong
tertawa. "Di manakah ayah?"Pahala dan Murka - 24 19
"Akhir-akhir ini Cukong suka murung, kebetulan sekarang
engkau pulang," tutur Ciamtai Biat-beng. "Saat ini beliau berada di
kamar tulis."
Belakan Tan-hong masuk ke kamar tulis, dilihatnya sang ayah
sedang duduk tepekur sambil bertopang dagu, seperti sedang
merenung sesuatu.
"Ayah!" sapa Tan-hong.
Cepat Thio Cong-ciu berpaling, "Oo, kau sudah pulang, kukira
selama hidup takdapat bertemu lagi denganmu."
Karena terharu, air matanya bercucuran.
"Anak tidak berbakti pulang untuk mohon ampun," tutur Tan-
hong.
"Kudengar cerita Ciamtai-ciangkun, katanya kau datang ke
Sohciu?" tanya sang ayah.
"Betul, lantaran itulah anak ingin minta ampun," jawab Tan-
hong. "Harta pusaka dan peta rahasia tinggalan leluhur sudah
kugali, tapi telah kuserahkan kepada Ih Kiam agar dia dapat
membantu keluarga Cu untuk menggempur mundur pasukan
Watze."
"Tingkah-lakumu sudah kudengar dari Ciamtai-ciangkun," kata
Cong-ciu. "Tindakanmu ini berjasa bagi Tiongkok, tapi keluarga
Thio kita menjadi tidak ada kesempatan lagi untuk berebut dunia
dengan keluarga Cu."
Tan-hong memetik setangkai bunga bwe, katanya, "Bunga bwe
di sini sudah mekar terlebih dini daripada tahun lalu."
"Apa betul?" tanya Cong-ciu, "Sudah kau-kunjungi istana kuno
kita di Sohciu, bagaimana keadaan di sana?"Pahala dan Murka - 24 20
"Tempat itu sudah dilelang oleh pemerintah setempat dan
dijadikan taman hiburan oleh seorang pemuka," tutur Tan-hong.
"Sayang tempat itu sudah tidak terawat lagi."
Thio Cong-ciu menghela napas gegetun.
"Tapi ayah jangan risau," kata Tan-honp pula. "Tempat itu sudah
kumenangkan dari taruhan."
"Sesungguhnya apa yang terjadi?" tanya Thio Cong-ciu.
Tan-hong lantas menceritakan pengalamannya ketika bertaruh
dengan Kiu-thau-saicu di. Koai-hoat-lim dulu. Meski hati lagi
murung, tertawa gembira juga Thio Cong-ciu oleh cerita itu.
"Anak tidak berbakti, tapi semoga kelak dapat memboyong ayah
pulang ke sana agar ayah dapat menikmati hari tua dengan tenang
di sana," kata Tan-hong pula.
Kembali Thio Cong-ciu menghela napas tanpa memberi
komentar.
"Kesempatan ini kebetulan dapat digunakan ayah untuk
mengundurkan diri dari medan sengketa," ujar Tan-hong.
Tan-hong terdiam, selagi ia hendak membujuk terdengar sang
ayah berkata lagi dengan gegetun, "Setelah banyak mengalami
urusan, akhir-akhir ini semangatku sudah mulai luntur. Jabatan
perdana menteri pun tidak ingin kujabat lagi, menjadi raja tentu
akan tambah pusing. Jika kau sendiri tidak mau menjadi raja cakal-
bakal, biarlah selama hidupku ini kuhabiskan di negeri asing saja.
Apa yang kaulakukan itu takkan kusalahkan."
"Ayah," kata Tan-hong. "Daun rontok kembali pada akarnya.
Kuharap ayah tetap pulang ke negeri leluhur."Pahala dan Murka - 24 21
Kembaii Cong-ciu menghela napas, katanya sambil menggoyang
tangan, "Tentu cukup melelahkan perjalananmu yang jauh, pergilah
mengaso dulu, biarlah malam nanti kita bicara lagi."
Malamnya sehabis makan, Tan-hong dan ayahnya berjalan-jalan
di taman, tertampak di bawah sinar bulan pepohonan bergoyang
pelahan, bau harum bunga sayup-sayup menyegarkan, pem n
Jangan taman masih tetap serupa dulu, Ayah dan anak duduk di
bangku taman hingga lama tidak bicara.
Lalu ia menceritakan lagi hasil pembicaraannya dengari Yasian
siang tadi, sambungnya kemudian, "Tanpa minta persejutuan ayah
lebih dulu sudah kusepakati bersama Yasian bahwa besok juga ayah
akan mengajukan surat permohonan pensiun dan tidak mau
menjadi perdana menteri lagi segala."
"Tepat, itu memang cocok dengan maksudku." tukas Thio Cong-
ciu. "Selama 20 tahun menjadi perdana menteri, aku pun merasa
sangat lelah. Sesungguhnya dahulu aku pun tidak berniat menjabat
kedudukan tinggi ini. Kini memang sudah waktunya untuk pulang."
"Dan yang lebih penting lagi, marilah ayah, kita pulang kampung
halaman saja," kata Tan-hong. "Besok juga silakan ayah
mengajukan surat permohonan berhenti, nanti kalau utusan Beng
sudah datang dan kedua negara berdamai, segera kita pun
berangkat jrulang."
Thio Cong-ciu menghela napas pula sambil menggeleng, "Pulang


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang kumaksudkan bukan pulang ke sana seperti maksudmu."
Tan-hong melenggong, "Maksud ayah?"
"Apa pun juga usiaku sudah 60-an, itulah yang kumaksudkan."
Baru dimengerti Tan-hong bawa pulang yang dimaksudkan sang
ayah adalah pulang menuju alam baka.Pahala dan Murka - 24 22
Dengan suara gemetar Tan-hong berkata, "Kenapa ayah bicara
demikian. Dalam usia 60 fisik ayah masih sehat dan kuat, hidup
sampai satu abad pun bukan mustahil, kenapa bicara hal yang
beralamat jelek ini."
Cong-ciu tersenyum pedih, katanya, "Di dunia ini tidak ada pesta
yang tidak usai."
"Pemandangan kanglam indah permai, tiba saatnya ayah pulang
ke sana untuk tetirah." ujar Tan-hong.
"Masa aku masih ada muka untuk pulang lagi ke daerah
kanglam?" kata Cong-ciu, nyata terjadi pertentangan batinnya
sehingga hati sangat kesal.
Tan-hong hendak membujuk pula, sang ayah lantas menggoyang
tangan dan berkata, "Sudihlah, pikiranku sudah berat, jangan
banyak bicara pula. Jabatan perdana menteri boleh segera
kuhentikan, tapi tanah leluhur tak mau kuinjak lagi."
Dengan demikian, apakah ayah menganggap kepulanganku ke
sana adalah tindakan yaug salah?" tanya Tan-hong.
Thio Cong-ciu menengadah memandang langit, terdengar suara
terompet, setelah termenung sejenak baru berkata, "Bilama usiaku
lebih muda 40 tahun, aku pun akan berbuat serupa dirimu. Bekerja
sesuatu dengan mengandalkan tenaga orang lain sukarlah tercapai.
Sekarang sudah kusadari bila ingin mendirikan kerajaan Ciu raya
kita dengan meminjam kekuatan Watze, jalan pikiran ini jelas
sangat keliru."
Terharu dan girang Tan-hong, serunya, "Ayah!"
"Tidak perlu bicara lagi," potong Cong-ciu "Aku cuma ingin
mengingatkan padamu, pribadi Yasian ini sangat licik dan licin,
betapapun harus kau jaga kemungkinan dia ingkar janji. Oo,
semoga utusan Beng lekas datang kemari, biarpun kumati di WatzePahala dan Murka - 24 23
juga takkan melupakan negara leluhur. Menurut ceritamu, Ih Kiam
adalah menteri setia dan bijaksana yang sukar dicari, semoga
selanjutnya negeri Tionggoan akan makmur dan jaya, beruntunglah
jika aku masih sempat melihat utusan yang dikirimnya ke sini."
Sesaat itu Tan-hong merasa jarak antara dirinya dengan sang
ayah sedemikian dekat dan juga sedemikian jauh, ia merasakan
detak jantung sang ayah, tapi tidak memahaminya.
Selagi termenung, tiba-tiba bayangan berkelebat di bawah pohon
sana, lalu terdengar Ciamtai Biat-beng membentak, "Siapa itu,
berani sembarangan menerobos masuk ke istana perdana
menteri?"
Terdengar suara angin pukulan yang maha dahsyat, sebatang
pohon kecil lantas tumbang, seorang berbaju kelabu lantas
melompat keluar dari semak-semak dan Ciamtai Biat-beng tergetar
mundur dengan agak sempoyongan.
Tan-hong terkejut, siapa yang memiliki kekuatan sehebat itu
sehingga Ciamtai Biat-beng saja kewalahan.
Terdengar pula suara orang tertawa dan berseru, "Aha, Tan-
hong, kamu sudah pulang?"
Waktu Tan-hong mengamati siapa pendatang itu, kiranya
Toasupek atau paman guru tertua sendiri, yaitu Tang Gak.
Keruan ia sangat girang, cepat ia memperkenalkan Tang Gak
kepada sang ayah dan mengiringi mereka masuk ke ruangan tamu..
Setelah duduk dan habis minum seceguk teh, dengan tertawa
Tang Gak berkata, "Ciamtai-ciangkun, tenaga pukulanmu Pi-pa-
ciang terlebih hebat lagi daripada dulu."
Ciamtai Biat-beng menjawab dengan tertawa, "Dan engkau
punya Tai-lik-kim-kong-ciang pun tambah sulit ditahan."Pahala dan Murka - 24 24
"Banyak terima kasih atas bantuan Toasupek selama putraku
pulang ke negeri leluhur belum lama iui," kata Thio Cong-ciu.
"Aku terlebih berterima kasih atas bantuanmu kepada Suteku
selama sepuluh tahun tinggal di Watze sini," kata Tang Gak. "Baru
malam ini kutahu jiwa Caisiang (perdana menteri), keterangan
Suteku ternyata tidak salah, untung aku belum bertindak gegabah."
"Apakah Supek sudah bertemu dengan Suhu?" tanya Tan-hong.
"Sudah," jawab Tang Gak.
"Cukup lama kepergian Cia-siansing, sebelumnya aku tidak tahu
sehingga aku merasa kuatir baginya," ucap Thio Cong-ciu. "Jika
sekarang dia sudah pulang kemari, mengapa tidak datang bersama
Tang-siansing?"
Tang Gak meneguk teh lagi tanpa menjawab.
Tiba-tiba Ciamtai Biat-beng menukas, "Meski Yasian sudah
menarik begundalnya yang mengurung tempat Cukong ini, bukan
mustahil diam-diam ia mengirim lagi pengintai. Biarlah kukeluar
memeriksa sekitar sini."
Habis bicara ia terus melangkah pergi.
"Ciamtai-ciangkun terlampau banyak pikiran, jelas ia kuatir
pembicaraan kita tidak bebas dikemukakan di depannya," ujar Tan-
hong dengan tertawa.
"Betul, yang ingin kuceritakan justru menyangkut urusan
gurunya," kata Tang Gak.
Guru Ciamtai Biat-beng, Siangkoan Thian-ya, adalah musuh
bebuyutan Hian-ki It-su, tentu saja Tan-hong melengak, katanya,
"Ada apa? Bukankah iblis tua itu sudah lama mengasingkan diri,
masa sekarang muncul lagi?"Pahala dan Murka - 24 25
"Dia tidak muncul lagi, tapi kita yang akan mengunjungi dia?"
kata-Tang Gak.
"Kenapa begitu?" tanya Tan-hong.
"Entah dari mana iblis tua itu mendapat tahu beberapa saudara
seperguruan kita sama berada di Watze, maka dia mengutus orang
memberitahukan padaku agar kita mengunjunginya," tutur Tang
Gak. "Apa maksudnya?" tanya Tan-hong pula.
"Aku pun tidak tahu, mungkin ingin menguji kita," ujar Tang
Gak. "Dia kan tokoh angkatan tua, jika dia yang minta kedatangan
kita, terpaksa kita menurut." Tan-hong berpikir sejenak, katanya
kemudian, "Apakah Ciamtai-ciangkun mengetahui urusan ini?"
Tang Gak menggeleng, "Tidak, jika ia tidak menyinggungnya,
hendaknya kaupun jangan omong."
Menurut peraturan dunia persilatan, bilamana ada pertengkaran
antara dua golongan, andaikan antara murid kedua pihak ada
hubungan juga tabu untuk berhubungan lagi.
Tapi Tan-hong tidak menghiraukan peraturan tctek-bengek itn
cuma ia tidak enak untuk ikut bicara karena melihat sang Supek
bicara dengan serius, Tang Gak menyambung ceritanya, "30 tahun
yang lalu, antara Suhu dan Siangkoan Thian-ya bertanding di
puncak Go-bi-san selama tiga hari tiga malam dan sukar
menentukan siapa yang lebih unggul atau asor. Waktu itu
sebenarnya ada janji bertanding ulang 30 tahun yang akan datang,
tapi tidak lama kemudian mereka sama mengasingkan diri, yang
satu tetap di daerah Tionggoan dan yang lain jauh di daerah
perbatasan sini, sejak itu keduanya tidak pernah berhubungan lagi.
"Kukira peristiwa itu pun akan berakhir sampai di situ saja, siapa
tahu musim semi tahun ini, dari seorang kawan Bu-lim kudengarPahala dan Murka - 24 26
bahwa Siang-koan Thian-ya ada maksud menepati janji dengan
guruku dahulu, maka lekas-lekas kupulang ke sana untuk
memberitahukan kepada beliau. Waktu itu beliau tidak memberi
komentar, hanya kami dipesan agar berangkat dulu ke Watze sini.
Sejauh ini tidak kuketahui apakah Suhu akan kemari atau tidak?"
"Menurut Suhu, Hian-ki-kiam-hoat yang dimainkan dua orang
ciptaan Suco (kakek guru) memang khusus ditujukan untuk
menghadapi Siaug-koan Thian-ya, kukira beliau takkan datang
sendiri," kata Tan-hong.
"Betapa hebat gabungan dua pedang Hian-ki-kiam-hoat belum
pernah kulihat," ujair Tang Gak. "Meski kepandaian Samsute dan
Sisumoay jauh lebih kuat daripadaku, tapi bila mereka disuruh
menghadapi iblis tua itu, kukira masih selisih jauh."
Namun Tan-hong cukup kenal betapa dahsyat daya tempur
gabungan kedua pedang, maka ia tidak sependapat dengan jalan
pikiran Tang Gak. Namun dia tidak enak untuk bicara kelihaian
ilmu pedang guru sendiri di depan sang paman guru, maka ia tidak
menanggapinya.
"Tan-hong," kata Tang Gak tiba-tiba," di manakah sahabat-
cilikmu"
"Sahabat cilik" yang dimaksudkan Tang Gak jelas adalah In Lui.
Tentu saja jatung Tan-hong berdebar, sama sekali ia belum
pernah menyinggng urusan In Lui dalam pembicaraannya dengan
sang ayah, maka sekarang ia pun tidak mau membicarakannya,
segera ia memberi isyarat mata.
Namun Tang Gak seperti tidak paham, katanya malah, "Apakah
tidak kau pikirkan dia lagi?"
"Anak Hong"" kata Thio Cong-ciu. "Jika kau datang bersama
sahabat, seharusnya kau ajak dia menemuiku."Pahala dan Murka - 24 27
"Dia sudah pergi karena ada urusan," tutur Tan-hong.
"Bukankah dia hendak pergi ke lembah selatan pegunungan
Tangra untuk mencari ibunya?" tanya Tang Gak.
Hati Tan-hong bergetar lagi. Jelas Tang Gak sudah bertemu
dengan In Lui, kalau tidak dari nyana dia tahu kepergian nona itu
ke pegunungan Tangra.
Saking senangnya Tan-hong sampai menitikkan air mata. Dia
seorang cerdik, dengan sendirinya dapat menerka kepindahan In
Lui ke Pck-lo-san jelas diatur oleh Tang Gak.
Thio Cong-ciu merasa bingung, ia coba tanya, "Sahabat-apa,
anak Hong?"
"Sahabat sejati yang setia," kata Tan-hong, "Jika begitu, lain hari
harus kau ajak dia mampir ke sini," pesan Cong-ciu.
Tan-hong mengiakan. Tapi bila teringat kepada sumpah. In Lui
yang tidak sudi bertemu dengan ayahnya, hatinya terasa pedih pula.
Tang Gak berkata pula, "Iblis tua Siangkoan Thian-ya tinggal di
puncak utara pegunungan Tangra, bila mendaki puncak itu dari
lembah selatan kira-kira perlu tiga hari perjalanan. Tadi Thio-taijin
bertanya tentang Thian-hoa, dia sudah mendahului berangkat ke
sana."
"Bilakah Siangkoan Thian-ya menyuruh Supek dan Suhu
mengurjunginya?" tanya Tan-hong.
"Harinya tidak ditentukan, cuma jatuh sebelum hari Jing-ceng,"
kata Tang Gak. "Kepergian Thian-hoa lebih dulu memang atas
persetujuanku untuk menemui seorang kawan di sana, agar bila
perlu kawan itu diminta menjadi juru damai, bagaimana dengan
Jisupekmu? Katanya dia sudah datang iuga, namun aku dan Thian-
hoa belum bertemu dia."Pahala dan Murka - 24 28
"Dia berada bersama Cin-sam-kai Pit To-hoan," tutur Tan-hong.
Lalu ia ceritakan peristiwa semalam secara ringkas.
"Tabiat Tiau-im ternyata masih tetap seperti dulu," kata Tang
Gak dengan tertawa. "Baiklah, biar kutinggal lagi beberapa hari di
sini, akan ku-bicara dengan dia setelah bertemu." "Jika begitu, besok
aku akan berangkat lebih dulu," kata Tan-hong.
"He, anak Hong, baru saja pulang masa segera kaurnau pergi
lagi?" tanya Thio Cong-ciu dengan bingung.
"Suhu ada urusan, murid harus bekerja baginya," kata Tan-hong.
"Jika Suhu jelas sedang menghadapi bahaya, mana boleh kutinggal
di sini."
Teringat putranya adalah murid Cia Thian-hoa, apa yang
dikatakannya itu memang beralasan, maka Cong-ciu tidak dapat
mencegahnya lagi meski dalam hati merasa sedih. Ia cuma
bertanya, "Dan di manakah Ciau-ya-sai-cu-ma itu?"
"Dia telah dibawa kawanku yang berangkat lebih dulu itu," jawab
Tan-hong.
"Oo . . .Cong-ciu menduga sahabat anaknya itu tentu lain
daripada yang lain, ia pun tambah ingin tahu orang macam apakah
sahabat misterius itu.
Esok paginya, Tang Gak dan Tan-hong mohon diri kepada Thio
Cong-ciu.
"Biar kuantar kalian keluar," kata Cong-ciu sambil menggandeng
tangan Tan-hong dan berjalan dengan pelahan. Tang Gak ditemani
Ciamtai Biat-beng dan mendahului menunggu di depan pintu.
"Silakan ayah pulang saja, kan masih harus menghadiri sidang
pagi?" kata Tan-hong.Pahala dan Murka - 24 29
"Surat permohonan berhenti sudah kusiapkan semalam, maka
aku tidak perlu tergesa lagi, selanjutnya ringanlah hidupku tanpa
dibebani tugas, yang kuharap semoga lekas kau pulang," kata Cong-
ciu. "Jangan kuatir ayah, aku dan Suhu pasti akan pulang."
"Mungkin setelah pulang segera kaumau pergi lagi. Bila kalian
pulang mungkin utusan Beng pun sudah tiba."
"Mengapa ayah tidak ikut pulang bersama kami?"
"Kan semalam sudah kukatakan, tidak perlu banyak omong lagi."
Tiba-tiba Tan-hong bertanya, "Apakah ayah masih ingat kepada
utusan Beng dahulu yang bernama In Ceng itu?"
Thio Cong-ciu melenggong, Tan-hong. merasakan tangan sang
ayah berkeringat dan agak gemetar.
Selang sejenak barulah Thio Cong-ciu menghela napas, katanya,
"Ai, 30 tahun sudah lalu. Kejadian 30 tahun yang lalu rasanya
seperti kejadian kemarin. In Ceng adalah lelaki berjiwa teguh yang
pernah kulihat selama hidup, tentu saja aku masih ingat padanya.
Kalau dihitung, sudah ada sepuluh tahun juga sejak dia dipulangkan
ke sana."
"Tapi baru saja dia menginjak tanah airnya lantas terbunuh oleh
Ong Cin yang memalsukan titah raja," tutur Tan-hong.
"Ya, kudengar juga kejadian itu," kata Cong-ciu. "Ai, semuanya
salahku. Waktu muda aku terlampau benci kepada raja Beng, juga
orang yang setia kepadanya kubenci, akibatnya"In Ceng menderita
selama 20 tahun di tanah bersalju mengangon kuda. Meski dia
dendam padaku, aku justru sangat kagum padanya. Akhir-akhir ini
hatiku suka pedih bila teringat kepada kejadian itu. Itulah satu-
satunya dosaku selama hidup ini. Kuharapkan utusan yang akanPahala dan Murka - 24 30
dikirim pihak Beng ke sini juga serupa In Ceng, seorang lelaki sejati
dan berjiwa pahlawan."
"Kabarnya Ih Ceng meninggalkan dua orang cucu, seorang
perempuan dan yang lain lelaki, usianya sebaya denganku."
"Apa betul? Semoga aku dapat bertemu dengan mereka," kata
Thio Cong-ciu.
"Jika mereka mau minta bantuan ayah, apakah engkau mau
menerima?"
"Hanya engkau putra mestikaku, jika anakku mendukung
mereka, apa pula yang kusangsikan?" tiba-tiba Tliio Cong-ciu
menghela napas dan menyambung, "Tapi bilamana mereka masih
hidup, sesudah dewasa tentu mereka tahu peristiwa kakeknya
dahulu, tentu memandangku sebagai musuhnya, mana mungkin
mereka minta bantuan kepadaku?" Tan-hong tahu ucapan sang
ayali timbul dan lubuk hatinya yang dalam, sungguh ia merasa lega
dan terhibur.
Terdengar ayahnya berkata lagi, "Dari mana kautahu jejak kedua
anak keluarga In itu?"
Sebenarnya Tan-hong ingin menceritakan urusan dirinya
dengan In Lni, tapi segera ia berpikir lain dan urung diuraikan, ia


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cuma menjawab, "Kabarnya mereka pun berjuang bagi kerajaan
Beng dan menguasai kungfu yang tinggi, kalau tidak salah cucu
lelaki In Ceng itu sudah menduduki jabatan yang tinggi. Semua ini
kudengar dari cerita kawan kangouw."
"Jika begitu dapatlah hatiku merasa tentram," kata Cong-ciu
dengan girang. "Semoga utusan yang akan dikirim kerajaan Beng
nanti adalah cucu In Ceng itu."
Sambil bicara mereka sudah sampai di depan pintu, Tan-hong
lantas berkata, "Selamat tinggal ayah!"Pahala dan Murka - 24 31
Bersama Tang Gak segera mereka berangkat.
Di tengah jalan Tang Gak berkata, "Thian-hoa Sute sungguh
sabar dan berpandangan jauh, baru sekarang kutahu alasannya dia
tinggal selama sepuluh tahun di rumah kalian. Bila ayahmu mau
membantu kerajaan Beng, tampaknya Yasian takkan dapat berbuat
banyak."
"Supek," kata Tan-hong tiba-tiba. "Sekarang kita menuju ke
mana?"
"Tentu saja ke Pik-lo-san,": jawab Tang Gak. "Kan adik-cilikmu
itu sedang menunggumu di sana."
"Kiranya Tang-supek yang menyuruh dia tinggal di sana," kata
Tan-hong.
"Di Pek-lo-san memang ada seorang sahabatku," tutur Tang Gak.
"Kulihat bukan tempat yang aman bila In Lui tinggal di hotel, maka
kusuruh dia tinggal sementara di rumah kawanku itu."
Perjalanan mereka sangat cepat, tidak berapa lama mereka
sudah sampai di Pik-lo-sau. Musim dingin dan angin meniup
kencang, daun rontok memenuhi pegunungan, namun semangat
Thio Tan-hong juga penuh gairah, musim dingin baginya serupa
melihat musim semi.
Sampai di pinggang gunung, terlihat sebuah keluarga di lereng
gunung, rumah papan dan pagar kayu, cukup rajin bangunannya.
Di depan pintu bersandar seorang gadis jelita, siapa lagi dia kalau
bukan In Lui.
"Adik cilik, aku datang!" seru Tan-hong dari jauh.
In Lui hanya mengiakan dengan dingin, sikapnya juga sangat
hambar.Pahala dan Murka - 24 32
Tang Gak memandang mereka sekejap sambil geleng kepala,
ucapnya, "Kalian sungguh sepasang seteru bebuyutan."
"Waktu kubicara kejadian dahulu dengan ayah, beliau merasa
sangat menyesal," kata Tan-hong.
Selagi ia hendak memberitahukan nona itu bahwa betapa
ayahnya ingin melihat mereka, didengarnya In Lui berkata dengan
dingin. "Aku pun sedang menyesal."
"Menyesal apa?" tanya Tan-hong, "Kakekku disuruh mengangon
kuda, ibuku sekarang masih menggembala domba bagi orang, kelak
bilamana kita bertemu dengan ibu, entah cara bagaimana harus
kuberi penjelasan."
Tan-hong menghela napas, baru diketahuinya In Lui merasa
berdosa karena bergaul erat dengan dia, makanya bilang menyesal.
Dengan tertawa Tang Gak menyela, "Ai, kalian ini sungguh aneh,
begitu bertemu lantas mengomel dan menyesal segala. Sungguh aku
tidak habis mengerti. Marilah bicara saja di dalam."
Tan-hong berkata pula, "Biarpun terjun ke lautan api atau masuk
air mendidih juga akan membantumu menemukan ibumu,
betapapun kelak bibi akan marah padaku akan kuterima dengan
rela."
Mendadak In Lui mengikik tawa, "Untuk apa marah padamu?
Selama hidup ibu tidak pernah memarahi orang, tidak perlu
berlagak minta dikasihani."
Karena tertawanya, seketika suasana berubah menjadi riang,
serupa mendung yang buyar karena cahaya sang surya.
Sahabat yang dimaksudkan Tang Gak itu adalah seorang guru
silat suku Hwe yang bermukim di Mongol, orangnya sangat baikPahala dan Murka - 24 33
hati, kedatangan Tang Gak bertiga diterima dertgan gembira dan
diberi layanan yang baik.
"Samsupek dan Suhu sudah pergi kemarin," In Lui bertutur pula.
"Sudah kukatakan kepada Tan-hong bahwa aku masih akan
tinggal beberapa hari lagi di sini, setelah bertemu dengan Jisupekmu
dan Pit To-hoan baru akan pergi ke pegunungan Tangra untuk
memenuhi janj" pertemuan," demikian kata Tang Gak. "Bilamana
ibu anak Lui sudah ditemukan, hendaknya kalian segera juga
berangkat ke sana, mungkin kita dua angkatan akan bergabung
untuk mengembut iblis tua itu."
"Memangnya begitu lihai iblis tua itu?" tanya In Lui.
"Ya, dengan gabungan kita saja besar kemungkinan sukar
mengalahkannya," jawa"o Tan Gak.
"Wah, jika demikian, bukankah dia jauh lebih lihai daripada
nenek di hutan bambu itu?" kata In Lui.
Tang Gak melengak, "Nenek di hutan bambu apa?"
In Lui teringat kepada cerita Cia Thian-hoa bahwa urusan itu
selain kakek gurunya hanya Toa-supeksaja yang tahu sedikit, maka
ia coba tanya, "Seorang nenek yang tidak mau memperkenalkan
namanya, mahir menyerang orang dengan daun bambu. Apakah
Toasupek tahu asal-usulnya?"
Lalu secara ringkas ia ceritakan apa yang dialaminya di hutan
bambu tempo liari.
"Tak terduga Locianpwe itu masih hidup sehat di dunia ini," kata
Tang Gak. "Malahan dia tidak pernah melupakan peristiwa jaman
dahulu. Jika dia muncul juga, kelak mungkin akan ikut campur dan
urusan bisa tambah repot."
"Sesungguhnya siapakah dia?" tanya In Lui pula.Pahala dan Murka - 24 34
"Antara dia dan kakek-gurumu serta Siangkoan Thian-ya
mungkin mempunyai persoalan," tutur Tang Gak. "Cuma kaum
muda seperti kita ini sebaiknya jangan bicara tentang urusan orang
tua, kelak kalian tentu akan tahu sendiri."
In Lui tidak berani tanya lagi, tapi dalam hati pun tambah tidak
mengerti.
Habis makan, hari lewat lohor. Karena memikirkan sang ibu, In
Lui mendesak Tan-hong be-benah seperlunya, lalu mohon diri
kepada tuan rumah dan Toasupek untuk berangkat lebih dulu.
Sudah sekian hari Ciau-ya-sai-cu-ma dibawa In Lui ke sini, demi
didekati Tan-hong, seketika kuda itu menegak leher dan meringkik
panjang sebagai tanda mesra kepada sang majikan.
Tan-hong membelai bulu suri kuda putih itu, ucapnya dengan
tertawa, "Kembali kau harus bekerja keras lagi!"
Bersama In Lui mereka lantas raencemptak ke atas kuda dan
dibedal pergi, Musim dingin, makin ke utara tentu saja makin dingin
dengan angin yang kencang. Jalan sudah tertutup oleh salju, yang
terlihat cuma bumi berselimut putih dan sukar membedakan mana
jalan dan mana ladang.
Sambil melarikan kudanya, Tan-hong bersenandung dengan
suara lantang.
"Ai, dasar," omel In Lui. "Tampaknya sebentar akan turun salju
badai, coba apakah engkau takkan kedinginan?"
"Betapapun besarnya badai salju juga tak dapat membuat dingin
hatiku," kata Tan-hong dengan tertawa.
Tengah bicara, badai salju benar-benar turun dengan lebatnya.
Bunga salju berhamburan, angiu meniup menderu-deru.Pahala dan Murka - 24 35
Tan-hong dan In Lui tetap melarikan kuda dengan menyongsong
angin.
Tiba-tiba In Lui berseru, "He, dengarkan, itu suara deru angin
atau suara suitan manusia?"
Tan-hong coba mendengarkan dengan cermat, katanya dengan
heran, "Di tengah suara deru angin tercampur suara lari kuda kejar
mengejar. Orang yang bersuit itu pasti juga tokoh kelas tinggi.
Marilah kita coba melihatnya ke sana." Segera mereka melarikan
kuda terlebih cepat, tidak lama kemudian, di tanah salju yang putih
di depan terlihat segulung bayangan yang berputar kian kemari,
ternyata dua orang lelaki sedang bertarung dengan sengit. Di
samping ada lagi tiga penunggang kuda, yang dua orang
perempuan, seorang lagi lelaki berperawakan kekar.
"Tampaknya seperti kawan yang sudah kita kenal," ujar Tan-
hong.
Ia coba larikan kuda terlebih dekat, lalu mengamat-amati
keadaan di depan.
Kiranya beberapa orang itu adalah Oh-pek-mako, kedua mako
hitam dan putih bersama istri mereka. Yang sedang bertempur
dengan orang adalah Mako Hitam.
Tan-hong bersuara heran, waktu ia mengawasi lebih jelas, ia
tambah heran, sebab dikenalinya orang yang bertarung dengan
Mako Hitam ttu adalah Kang Ciau-hai, bekas Congkoan istana
kerajaan Beng yang kabur itu.
Dilihatnya Kang Ciau-hai berdandan sebagai rakyat gembala
Mongol, bajunya sudah robek beberapa bagian oleh cakaran Mako
Hitam sehingga wajahnya tambah kuyuh dan lelah.Pahala dan Murka - 24 36
Terang Kang Ciau-hai memang kalah kuat daripada Mako Hitam,
pada saat Tan-hong menonton itulah dia telah disengkelit oleh Mako
hitam hingga jatuh terguling.
Tapi cepat Kang Ciau-hai melompat bangun dan melolos sebelah
golok pandak, langsung Mako Hitam dibacoknya dengan gemas
sambil memaki, "Bandit keparat, kau berani main gila dengan tuan
besar, berani mencuri barangku, ayo lekas kembalikan. Kalau tidak
kutabas mampus kau!"
Mako Hitam terbahak, segera ia pun mengeluarkan tongkat
kemala hijau, sekali tangkis "trang", lelatu api meletik, golok Kang
Ciau-hai yang gempil malah.
"Hehe, tuan besar macam apa ini?" ejek Mako Hitam. "Jika kau
bicara dengan baik, mungkin masih bisa berunding. Jika kau ingin
main kekerasan, sini, boleh coba saja, apakah golokmu yang akan
menabas mampus diriku, atau kepalamu yang akan kukemplang
pecah dengan tongkatku ini."
Sembari bicara keduanya tetap serang menyerang beberapa kali.
Tau-hong sangat heran, la tahu Oh-pek-mako adalah saudagar
intan permata yang besar dan jarang ada bandingannya, untuk apa
mereka mencuri harta benda Kang Ciau-hai. Dilihatnya permainan
tongkat Mako Hitarn itu meski sangat lihai, tapi jelas tidak mau
menggunakan jurus mematikan, malahan seperti sengaja
mengalah.
Tan-hong tahu Kang Ciau-hai bukan tandingan Mako Hitam, ia
pikir meski tingkah laku orang ini rendah dan pengecut, jelek-jelek
pernah kenal juga denganku, entah urusan apa dia bertengkar
dengan Oh-pek-mako, bila perlu biarlah kulerai mereka. Segera ia
maju lebih dekat.Pahala dan Murka - 24 37
Tak terduga, dalam sekejap itu mendadak Kang Ciau-hai
menjerit kaget dan menyurut mundur berulang.
Mako Putih yang menonton di atas kudanya kini pun sudah
melihat jelas kedatangan Thio Tan-hong, ia pun sangat girang dan
berteriak, "Toako, Thio-kongcu berada di sini!"
"Aha, kebetulan sekali kedatanganmu, Thio-kongcu!" segera
Mako Hitam berseru. Lalu ia berkata kepada saudaranya, "Boleh kau
perlihatkan beberapa, benda mestika itu kepada Thio-kongcu.
mungkin dikenalnya."
"Mestika apa?" tanya Tan-hong.
Melibat Thio Tan-hong, tentu saja Kang Ciau-hai juga terkejut,
tapi ia pun berharap anak muda itu akan membantunya, cepat ia
berseru, "Kedua bandit ini mencuri mestikaku, Tan-hong.
hendaknya engkau memberi keadilan bagiku!"
"Oo, kau punya mestika apa?" tanya Tan-hong sambil melompat
turun dari kudanya.
Selagi ia hendak melerai, terdengar Mako Hitam tergelak dan
berkata, "Haha, memang betul, kau punya mestika apa? Kemarin
dengan tegas kamu menyangkal tidak membawa barang berharga,
mengapa sekarang kau bilang benda mestika kepunyaanmu?"
"Tapi itu memang betul mestikaku. Tan-hong," seru Kang Ciau-
hai gugup.
"Dari mana kau dapatkan benda mestika ini?" tanya Tan-hong.
Mako Putih mengangsurkan sebuah bungkusan kuning kepada
Tan-hong dan berkata, "Coba kau lihat, semua berada di sini.
Tampaknya beberapa macam barang ini tidak beres asal-usulnya,
bukan mustahil basil curian keparat ini. Coba periksakan,
barangkali beberapa benda ini dapat kaukenal?"Pahala dan Murka - 24 38
Tergerak hati Tan-hong, memang betul bungkusan kain kuning
ini pernah dilihatnva. Waktu pasukan Beng terkepung di To-bok-po
tempo hari, Kang Ciau-hai kabur di garis depan dan mondok di
rumah seorang petani, kebetulan dia dipergoki Tan-hong dan In Lui
di situ dan sebuah bungkusan kuning yang dibawanya jelas adalah
bungkusan ini, isi bungkusan itu adalah lantakan emas belaka.
Ketika itu bungkusan dilemparkan begitu saja oleh Tan-hong dan
segera dijemput oleh Kang Ciau-hai terus lari.
Diam-diam Tan-hong pikir lantakan emas itu tentu tidak
menarik bagi Oh-pek-mako, bukan mustahil masih ada benda
mestika lain. Ia coba membuka bungkusan itu, tiba-tiba berkilauan
cahaya terang, kiranya selain berpuluh lonjor emas masih ada pula
beberapa bentuk benda mestika yang aneh.
Ada sebuah bunga karang hijau sepanjang belasan senti,
seluruhnya kristal tanpa cacat, jauh lebih bernilai daripada bunga
karang pemberian In Lui kepada Ciok Cui-hong sebagai tanda
pertunangan dulu..
Ada lagi sebuah tusuk kundai dengan hiasan dua biji batu
permata dan tertulis tanda permaisuri Hiau-him. Semacam lagi
adalah mainan singa terbuat dari batu kemala yang biasa digunakan
menindih kertas di meja tulis kaisar.
Yang lain terlebih berharga lagi, yaitu sebuah sclempel pribadi
kaisar, nilai setempel ini hanya di bawah setempel pusaka negara.
Dan yang terakhir adalah sebuah barang antik berusia ribuan tahun,
yaitu serenceng kalung mutiara, barang pusaka istana yang sukar
dinilai.
"Hm, dari mana kau dapatkan benda mestika semacam ini?"
jengek Tan-hong.Pahala dan Murka - 24 39
"Itu pemberian Hongsiang kepadaku selama bertahun-tahun,"
jawab Kang Ciau-hai.
"Hah, pemberian Hongsiang? Masa sampai setempel pribadinya
dan tusuk kundai permaisurinya juga diberikan kepadamu?" jengek
Tan-hong.
Sekarang ia sudah paham dan yakin barang-barang milik pribadi
kaisar itu telah dibawa kabur oleh Kang Ciau-hai dari To-bok-po
dulu. Waktu itu setempel dan tusuk kundai tidak berani dibungkus
bersama lantakan emas, maka Tan-hong tidak melihatnya.
Dugaan Tan-hong memang tidak salah. Barang mestika itu
memang betul hasil curian Kang Ciau-hai dari kaisar. Waktu itu ia
yakin Tiongkok pasti akan dicaplok oleh Watze, dunia pasti akan
kacau balau, ia pikir dengan mencuri benda mestika itu kemudian
akan mengasingkan diri dan hidup aman tentram sebagai orang
kaya.
Tak terduga kemudian Yasian mengalami kekalahan dan
menarik mundur pasukannya, kaisar baru pun naik tahta. Orang
menjadi maling biasanya selalu diliputi rasa ketakutan, apalagi
kedua paman gurunya juga telah dapat dibujuk oleh Thio Tan-hong
dan sekarang bekerja bagi Ih Kiam, kedua paman guru itu jelas
takkan mengampuni dia atas perbuatannya desersi di garis depan


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Ia takut diusut oleh kedua paman guru dan takut pula
perbuatannya membawa lari harta mestika itu ketahuan kaisar
baru, ia menjadi nekat dan kabur ke Mongol. Ia bermaksud membeli
ladang peternakan di Mongol itu untuk menghabiskan sisa
hidupnya, cuma harta mestika yang dipegangnya itu mengalami
kesulitan untuk dijual.Pahala dan Murka - 24 40
Lalu timbul pikirannya untuk menyerahkan benda pusaka itu
kepada Yasian agar mendapatkan kedudukan atau pangkat. Selagi
dia ragu dan bingung, di tengah perjalanan dia kepergok Oh pek-
mako.
Sudah berpuluh tahun Oh-pek-mako menjadi saudagar intan
permata, sekali pandang saja mereka lantas tahu pada Kang Ciau-
hai membawa harta benda yang sangat berharga, seketika juga
timbul curiganya terhadap asal-usulnya.
Waktu itu mestinya Oh-pek-mako bermaksud membeli benda
mestika itu, tapi ketika ditanya, Kang Ciau-hai menyangkal keras
membawa sesuatu harta benda. Karena tidak sabar, segera Mako
Hitam menggunakan kepandaiannya mencuri, malamnya ia
menggerayangi Kang Ciau-hai dan membawa kabur segenap benda
mestikanya yang terbungkus rapi dalam bungkusan kuning itu.
Begitulah, maka waktu ditegur Thio Tan-hong, seketika Kang
Ciau-hai gelagapan dan tidak mampu menjawab.
"Hm, percuma kau jadi Tai-lwe-congkoan segala, biasanya
kaupun dipercaya oleh kaisar, tapi pada detik terancam bahaya kau
lari meninggalkan dia, bahkan menggondol harta bendanya,"
demikian damperat Tan-hong.
"Haha, jadi betul barang ini hasil curianmu," Mako Hitam
terbahak. "Huh, jadi kau ini Tai-lwe-congkoan segala? Baik, coba
rasakan tongkatku ni!"
Segera ia putar tongkatnya dan melancarkan serangan maut.
Kang Ciau-hai mengeluarkan segenap tenaga untuk menangkis, tapi
cuma lima jurus saja ia sanggup bertahan, pada jurus keenam ia
tidak tahan lagi, golok terpental oleh pukulan Mako Hitam dan
tongkat masih terus menghantam ke bawah, tampaknya jiwa Kang
Ciau-hai segera akan melayang.Pahala dan Murka - 24 41
Thio Tan-hong tidak sampai hati, serunya, "Ampuni jiwanya,
punahkan saja ilmu silatnya!"
Mako Hitam menurut, ia miringkan ujung tongkatnya hingga
tepat menghantam pada pundak Kang Ciau-hai, tulang pundaknya
remuk, daya kebal yang dilatihnya pun musnah, kungfunya hilang
sama sekali dan pulih serupa orang biasa.
"Manusia mati karena harta, burung gugur karena pangan,
untung engkau tidak mati, selanjutnya hendaknya kau jadi manusia
dengan baik," kata Tan-hong dengan tertawa.
Jiwa mendapatkan pengampunan, mana Kang Ciau-hai berani
bicara lagi, cepat ia lari terbirit-birit. Sekarang ia benar-benar
nelangsa, sudah punah segenap kungfunya, padanya tidak
mempunyai sesuatu barang berharga lagi alias rudin, selanjutnya
terpaksa ia bekerja sebagai tukang angon kuda dan mati di negeri
asing.
Sesudah Kang Ciau-hai kabur, lalu Oh-pek-mako beramah-
tamah dengan Tan-hong.
"Kalian datang dari mana?" tanya Tan-hong.
"Kami baru pulang dari India, kemarin dulu baru lalu di
pegunungan Tangra," tutur Mako Hitam.
Hati Tan-hong tergerak, katanya, "Di lereng pegunungan itu
berdiam suku Olo, apakah kalian bertemu dengan kepala suku di
sana?"
"Kami ini orang dagang, mana ada waktu luang untuk menemui
kepala suku," tutur Mako Putih dengan tertawa. "Kami lihat ada
serombongan orang berpangkat yang menemui beliau, beberapa
hari ini kepala suku tampak sangat sibuk."
"Siapa itu yang mengunjungi kepala suku?" tanya Tan-hong.Pahala dan Murka - 24 42
"Kabarnya utusan Yasian," tutur Mako Hitam.
"Oo, utusan Yasian," Tan-hong menegas.
"Ya, kabarnya Yasian hendak membujuknya agar mau bekerja
sama dengan dia untuk menghadapi Aji, hal ini kudengar dari cerita
sahabat di tengah jalan," tutur Mako Putih pula. "Tampaknya
selekasnya dalam negeri Watze akan timmil kekacauan, kawan
seprofesi kami kuatir akan mengalami kerugian bila terjadi huru-
hara, maka semuanya bersiap-siap hijrah ke selatan. Eh, ayahmu
kan perdana menteri Watze, masa engkau tidak tahu urusan ini?"
"Ya, memang ada juga kudengar selentingan hal demikian," kata
Tan-hong. "Eh, bagaimana kalau kalian mengoperkan kedua
macam benda mestika berikut tusuk kundai dan setempelnya
padaku. Biarlah kutukar dengan sisa harta benda ayahku yang
masih ada."
"Haha, tidak kujual," seru Mako Hitam dengan tertawa.
Rupanya Thio Tan-hong bermaksud menebus benda-benda
mestika itu untuk dikembalikan kepada kaisar Ki Tin, maka ia
merasa kecewa demi mendengar Mako Hitam tidak mau menjual
lagi barang-barang itu.
"Tidak kujual, tapi boleh kuberikan padamu dengan cuma-
cuma," seru Mako Hitam pula dengan tertawa. "Toh barang ini kami
dapatkan tanpa keluar uang. Seluruh isi bungkusan kuning ini kami
berikan padamu."
"Wah, mana . . . mana boleh?" seru Tan-hong gugup malah.
"Kenapa tidak boleh," kata Mako Hitam. "Memangnya di dunia
ini hanya engkau saja boleh membantu orang? Tempo hari engkau
telah sudi mengembalikan harta pusaka di kuburan itu kepada
kami, sekarang bila beberapa bentuk barang ini berguna bagimu,
maka akan kami berikan dan harus kau terima."Pahala dan Murka - 24 43
Berputar biji mata Thio-Tan-hong. katanya dengan tertawa,
"Baik, jika kalian sedemikian baik hati, rasanya aku pun tidak perlu
sungkan lagi dan kuterima dengan baik. Malahan ingin kuminta
tolong lagi kepada kalian agar suka melakukan sesuatu."
Selama hidupnya Oh-pek-Mako tidak gentar kepada siapa pun,
hanya terhadap Thio Tan-hong saja mereka benar-benar tunduk
lahir batin, segera ia berkata, "Baik, katakan saja, urusan betapa
besar pun akan kami laksanakan bagimu."
"Urusannya juga tidak begitu besar, aku cuma minta tolong
kalian membawakan sepucuk surat." kata Tan-hong.
"Surat untuk siapa?" tanya Mako Hitam.
"Perjalanan kalian ini tentu akan lalu di wilayah barat daerah
kekuasaan Aji bukan?" tanya Tang-hong.
"Betul, apakah kau mau kirim surat kepada Aji?" jawab Mako
Putih.
Tan-hong membenarkan. Ia lantas mulai menulis, karena tidak
membawa alat tulis, maka ia menulis dengan goresan pedang di atas
sepotong kulit domba.
Lalu ia mengambil dua macam benda mestika dan diberikan
kepada Mako Hitam bersama surat, katanya, "Tolong sampaikan
surat ini dan kedua macam benda mestika ini kepada Aji."
Mako Hitam menerimanya, mereka lantas mohon diri dan
berangkat.
"Surat apa yang kautulis, Toako?" tanya In Lu i.
"Surat bagi kepala suku Olo untuk mengajak bersekutu dengan
Aji," tutur Tan-hong.
In Lui merasa heran. "Dari mana kau tahu kepala suku Olo akan
bersekutu dengan Aji?"Pahala dan Murka - 24 44
"Urusan ini sudah kuatur dengan baik, tiga hari kemudian tentu
akan kau lihat hasilnya," kata Tan-hong dengan tertawa.
Kuda tunggangan kedua orang sama kuda mestika yang jarang
ada bandingannya, meski di bawah badai salju, jalan licin dan angin
kencang, namun mereka dapat menempuh tiga-empat ratus li
setiap hari.
Tiga hari kemudian sampailah mereka di selatan lembah
pegunungan Tangra, mereka lantas mengendurkan lari kuda dan
pelahan memasuki selat gunung.
(Bersambung Jilid ke 25)Pahala dan Murka - 25 0Pahala dan Murka - 25 1
PAHALA DAN MURKA
Oleh : gan k.l.
Jilid ke 25
ENGHADAPI tempat lama, kejadian masa kecilnya
lamat-lamat masih teringat olehnya. Sepanjang jalan
In Lui menunjuk sini-sana, di mana dia pernah
bermain dengan anak tetangga dan di samping batu karang sana ia
pernah duduk di situ, bicara punya bicara, tanpa terasa ia men
cucurkan air mata, nyata hati terasa gembira dan juga pilu.
"Segera dapat kau lihat ibumu, kenapa menangis?" ujar Tan-
hong.
"Aku terlampau gembira," kata In Lui sambil mengusap air mata,
"Eh, apakah pantas kuajak dirimu menemui ibu?"
"Kenapa tidak pantas? Kuatir ditertawai atau diomeli ibumu?"
"Aku . . . aku justru kuatir beliau mengetahui engkau adalah
musuh keluarga kami."
"Asal kau engkau tidak pandang diriku sebagai musuh, kuyakin
bibi pasti juga akan menganggap diriku sebagai kemenakan."
In Lui jadi teringat kepada sang ibu yang welas-asih, bila seluk-
beluk Thio Tan-hong diceritakan padanya, beliau pasti takkan
marah, dan asalkan ibu setuju, tentu takkan kuatir dirintangi In
Tiong lagi.
Teringat demikian, tanpa terasa ia tertawa cerah.
"Apa yang kau tertawai?" tanya Tan-hong.
"Kan segera akan bertemu dengan ibu, masa tak gembira?" ujar
si nona.Pahala dan Murka - 25 2
Tiba-tiba teringat olehnya sang ibu sekarang lagi menjadi babu
di rumah kepala suku dan entah betapa menderita hidupnya,
seketika ia merasa berduka lagi, wajahnya yang tertawa segera
berubah sedih.
Tan-hong berolok, "Huh, sebentar tertawa, sebentar menangis,
macam apa?"
"Kau sendiri kan juga begitu?" jawab In Lui.
"Wah, kalau begitu, lama-lama kita semakin mirip," kata Tan-
hong.
Muka In Lui menjadi merah, serunya, "Sudahlah, mari lekas kita
menemui kepala Suku."
Kedua muda-mudi yang gagah dan cantik dengan kudanya yang
bagus, sejak mula mereka sudah menarik perhatian orang, maka
begitu mereka memasuki lembah gunung segera ada orang
mendahului lapor kepada kepala suku.
Setiba di depan rumah kepala suku, terlihat suasana sangat
meriah, agaknya ada pesta penghormatan terhadap tamu agung.
Setelah penjaga melaporkan maksud kedatangan Tan-hong
berdua, tidak lama kemudian kepala suku mengirim orang
membawa mereka masuk ke dalam.
Mereka diantar ke ruang tamu dan disilakan duduk di atas
"siang-gong", yaitu semacam dipan yang dibuat dari tanah liat dan
di bagian kolong dibuat api pemanas, pada waktu musim dingin
tempat duduk demikian digunakan untuk menghangatkan badan.
Bila ada tamu juga disilakan duduk di situ untuk menghangatkan
tubuh.
Menurut pelayan, kepala suku sedang melayani tamu agung di
ruang depan, maka Tan-hong berdua diminta menunggu dan segeraPahala dan Murka - 25 3
akan dilayani "jui-tiong", yaitu orang yang berfungsi sebagai
"dukun" dalam setiap kelompok suku, kekuasaannya hanya di
bawah kepala suku, jadi bagi Tan-hong sudah cukup terhormat
karena kepala suku mau mengirim Jui-tiong untuk melayani
mereka.
Sebenarnya In Lui ingin cepat-cepat bertemu dengan ibunya, ia
sangat kecewa karena kepala suku tidak dapat menerima mereka.
Ketika didengarnya ringkik kuda di luar, tanpa terasa timbul rasa
sedih dan harunya bilamana sang bunda yang bekerja sebagai
tukang memberi makan kuda itu saat ini sedang memberi
komboran kepada kuda mereka, sebaliknya dirinya lagi duduk
senang di ruang tamu kepala suku.
Karena itulah hatinya merasa gundah, ia duduk di situ tanpa
bicara. Sebaliknya Tan-hong asyik mengajak bicara si pelayan.
Untuk mendapatkan informasi yang baik, lebih dulu Tan-hong
memberi persen sepotong uang emas kepada pelayan, lalu
memancing keterangan yang diperlukan.
Menurut cerita pelayan, tamu yang sedang diterima kepala suku
itu adalah utusan Yasian yang sudah datang tujuh hari lampau, akan
tetapi selama itu kepala suku belum mengambil sesuatu keputusan
dia baru hari ini mengadakan pesta untuk meresmikan
persekutuannya dengan Yasian sesuai misi yang dibawa utusan itu.
Diam-diam Tan-hong bersyukur datang tepat pada waktunya
dan masih sempat bertindak.
Karena Jui-tiong yang dikirim kepala suku belum lagi muncul.
Tan-hong lantas berdiri dan berkata kepada pelayan, "Sungguh
kebetulan, kami juga utusan Thaysu dan akan kutemui mereka.
Kami memang dikirim oleh Thaysu untuk mencari berita karena
sudah sekian lamanya mereka belum pulang melaporkan tugasnya."Pahala dan Murka - 25 4
Lalu ia mengeluarkan lagi dua potong emas dan diserahkan
kepada pelayan dengan permintaan supaya disampaikan kepada
Jui-tong sebagai uang penghormatan dan minta tidak perlu
menunggunya lagi.
Melihat Tan-hong begitu royal, pelayan pikir orang memang
benar utusan Yasian, segera ia bermaksud lapor kepada kepala
suku.
Tapi Tan-hong mencegahnya, "Biarlah kami masuk sendiri
kesana, kamu kan masih perlu menunggu kedatangan Jui-tiong di
sini."
Setelah tanya sekedarnya letak ruang depan, bersama In Lui
segera Tan-hong menuju ke sana.
Pelayan sudah terima uang, pula tidak berani merintangi,
terpaksa ia melongo saja.
Dengan cepat Tan-hong dan In Lui menuju ke ruang depan,
banyak pelayan melihat mereka, tapi semuanya mengira mereka
adalah tamu kepala suku sehingga tidak ada yang merintangi
mereka.
Begitu masuk ke ruang tamu depan, tertampak cahaya lilin
terang benderang, kepala suku sedang menjamu dua orang.
Melihat kedatangan Tan-hong berdua, seketika orang-orang
yang hadir di situ saling pandang dengan heran. Melihat dandanan
Tan-hong dan In Lui yang perlente, utusan Yasian mengira mereka
adalah tamu undangan kepala suku. Ketika beradu pandang dengan
Tan-hong, tanpa terasa mereka sama berdiri dan mengangguk
sebagai hormat.
Lantaran itulah kepala suku juga salah mengerti, disangkanya
Tan-hong berdua adalah kenalan utusan Yasian, cepat ia
menyongsong kedatangan mereka.Pahala dan Murka - 25 5
Tan-hong tersenyum dan menyerahkan sepucuk surat kepada
kepala suku, belum lagi ditanya ia mengeluarkan lagi bunga karang
hijau serta mainan singa mestika dan ditaruh di atas meja.
Kedua benda itu adalah milik kaisar, dengan sendirinya sangat
indah dan menarik, kepala suku sampai terkesima.
Dengan tersenyum Tan-hong berkata, "Sedikit tanda mata.
Cukong kami minta kepala suku suka menerimanya."


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, mana berani kuterima hadiah tanpa berjasa?" ucap kepala
suku dengan tertawa. Ia sangka yang mengirim hadiah itu ialah
Yasian, tapi ketika membaca surat dan mengetahui pengirimnya
adalah Aji barulah ia terkejut dan serba salah.
Dengan suara lantang Tan-hong lantas berkata, "Cukong kami
minta Yutiang (kepala suku) segera menanda tangani persetujuan
dan bersama-sama menghancurkan Yasian."
Ucapan Tan-hong ini membuat kaget utusan Yasian, tapi segera
mereka pun gusar, serentak mereka melompat bangun dan
membentak, "Siapa kalian?"
Tan-hong tertawa, "Ah, kita kan sama tugas, kalian utusan
Yasian, aku utusan Aji."
"Kau berani mengacau persekutuan kami," teriak utusan Yasian
dengan gusar. "Harap Yutiang memberi perintah dan tangkap
kedua orang ini untuk diserahkan kepada Thaysu."
Yutiang atau kepala suku tampak ragu.
Segera Tan-hong berkata. "Harap Yutiang berpikir dulu baru
bertindak. Yasian berwatak licik, setelah Aji ditumpas, mustahil
Yutiang dapat hidup berdampingan dengan dia?"Pahala dan Murka - 25 6
"Kurangajar!" teriak utusan Yasian. "Berani mengadu domba
dan memfitnah Thaysu? Harap lekas Yutiang memberi perintah dan
tangkap mereka."
Melihat kegarangan utusan Yasian yang berulang mendesak, hati
kepala suku merasa kurang senang, jawabnya dengan dingin, "Aku
sendiri mempunyai pertimbangan, tidak perlu kalian banyak
omong."
Dengan tersenyum Tan-hong berkata pula, "Keadaan sekarang
memang jelas Yasian lebih kuat dan Aji lebih lemah, membantu
yang kuat untuk menumpas yang lemah adalah pekerjaan gampang.
Cuma, perlu juga Yutiang pikirkan, yang kuat sukar dilawan, yang
lemah lebih muda diajak hidup damai berdampingan."
Terkesiap kepala suku, apa yang diucapkan Tan-hong itulah
ganjalan hati yang membuatnya ragu selama tujuh hari dan sukar
mengambil keputusan itu, sekarang secara tepat dikatai Tan-hong,
seketika ia seperti tersengat.
Melihat sinar mata kepala suku berbinar, jelas pikirannya lagi
bergolak, kedua utusan Yasian menjadi kuatir dan juga gusar.
Mereka adalah perwira andalan Yasian, karena kuatir tanpa pikir
mereka lantas lolos senjata dan menyerang Tan-hong.
Dengan sendirinya Tan-hong tidak dapat diserang begitu saja, ia
malah sempat mencibir, lalu melompat dan sembunyi di belakang
kepala suku.
Serangan kedua orang itu tidak sempat ditahan dan hampir saja
mengenai tubuh kepala suku, keruan kepala suku menjadi gusar
dan berteriak, "Lekas tangkap kedua pengganas ini!"
Dengan gusar kedua utusan Yasian juga membentak, "Siapa yang
berani melawanku?!"Pahala dan Murka - 25 7
Segera mereka putar golok dan hendak menerjang keluar, tapi
mendadak dengkul mereka terasa kesemutan, tanpa kuasa mereka
bertekuk lutut di depan Tan-hong.
"Eh, baru saja bicara keras, kenapa sekarang sudah menyerah?"
ujar Tan-hong dengan tertawa.
Dalam pada itu pengawal kepala suku sudah memburu maju dan
meringkus kedua utusan Yasian itu. Sesudah ditangkap pun mereka
tidak tahu bahwa mereka telah dikerjai oleh Thio Tan-hong.
Setelah memberi perintah kedua utusan Yasian digiring pergi,
dengan ikhlas kepala suku menerima ajakan Tan-hong untuk
bersekutu dengan Aji. Meski dia takut terhadap Yasian, namun
keadaan sekarang membuatnya mau-tak-mau harus bersekutu
dengan Aji bila ingin selamat.
Menyaksikan semua itu, diam-diam In Lui merasa geli dan juga
kagum atas perhitungan Tan-hong yang tepat itu, ternyata kepala
suku mau percaya saja meski anak muda itu memalsukan diri
sebagai utusan Aji.
Ia tidak tahu bahwa sebelumnya Tan-hong sudah menduga akan
kejadian sekarang, maka sewaktu titip surat pada Mako Hitam, ia
telah menulis juga rencana yang diaturnya kepada Aji, jadi
persekutuan yang disepakatinya dengan kepala suku ini kelak pasti
akan diakui oleh Aji, dengan demikian ia pun tidak dapat disebut
utusan palsu.
Setelah resmi bersekutu, kepala suku lantas mengadakan
perjamuan untuk menghormati mereka.
In Lui sangat gelisah bila ingat kepada ibunya, maka setelah
beramah-tamah sejenak segera ia tanya, "Numpang tanya Yutiang,
adalah di sini seorang ibu perawat kuda?"Pahala dan Murka - 25 8
Lalu ia menguraikan sekedarnya bentuk wajah dan perawakan
menurut ingatannya dulu.
Kepala suku merasa heran atas pertanyaan In Lui itu, ia sendiri
tidak tahu adakah seorang pekerja mak tua seperti apa yang disebut
In Lui, maka ia coba tanya petugas bagian kandang kuda.
Petugas yang dipanggil datang itu pun bingung, setelah berpikir
sejenak, akhirnya ia memberi keterangan, "Betul juga, memang ada
mak tua seperti itu."
In Lui sangat girang, segera ia minta mak tua itu dipanggil untuk
menemuinya, ia tidak jadi menjelaskan mak tua itu adalah ibunya
agar tidak membuat rikuh kepala suku.
Tapi petugas kandang kuda kembali garuk-garuk kepala,
jawabnya kemudian, "Mak tua itu sudah lama tidak bekerja lagi di
sini, kalau tidak salah . , . kalau tidak salah . . . . "
"Kenapa dia sekarang?" tanya In Lui tak sabar.
Petugas itu memandang In Lui sekejap dengan ragu, tuturnya
kemudian, "Sudah sejak tiga tahun yang lalu mak tua itu tidak
bekerja lagi di sini. Kabarnya dia pulang ke tempat tinggalnya
semula .."
Belum habis penuturan orang, serentak In Lui berdiri dan
berseru, "Baiklah, sekarang juga kami akan menemui mak tua itu.
Kami mohon diri saja."
Walaupun terheran-heran, tidak enak juga bagi kepala suku
untuk tanya, ia cuma berkata, "Apakah perlu kukirim orang
mengantar kalian ke sana?"
"Tidak perlu, kutahu tempatnya," kata In Lui.
Ia memberi hormat, lalu bersama Tan-hong mohon diri dengan
terburu-buru.Pahala dan Murka - 25 9
Setelah mengambil kuda masing-masing, mereka lantas
berangkat. Sepanjang jalan In Lui diam saja, saking terharu dan
gembiranya, air mata bercucuran tiada hentinya.
Setelah berjalan sekian jauhnya, mendadak In Lui menahan
kudanya dan berkata, "Sesudah menyeberangi sungai kecil ini,
rumah tanah liat di depan sana itulah rumahku."
Tidak lama kemudian, tertampaklah rumah yang dimaksud.
Melihat rumah sendiri dari kejauhan, haru sekali hati In Lui.
Seketika segala kejadian masa kecilnya terbayang kembali, tanpa
terasa ia bernyanyi kecil lagu kanak-kanak ajaran ibunya dahulu.
Sembari bernyanyi mereka terus mendekati rumah itu, tanpa
terasa mata Tan-hong pun basah.
Belum lagi sebuah lagu selesai dinyanyikan, tiba-tiba daun pintu
berkeriat dan terbuka, seorang mak tua dengan ikat kepala seperti
wanita Mongol umumnya melangkah keluar, wajahnya kurus dan
berkeriput, kedua matanya keriap-keriap sipit seperti kurang awas,
bajunya cukup bersih, namun banyak tambalan.
Air mata In Lui membanjir serupa hujan, ia memburu maju
secepat terbang dau merangkul mak tua itu.
Mak tua itu pun mencucurkan air mata sambil memeluk In Lui
dan berseru dengan suara gemetar. "O, anakku! Sudah kutunggu
sepuluh tahun, sungguhkah engkau sudah pulang? O, jantung
hatiku! Mestikaku!"
"Memang benar anakmu, ibu," seru In Lui dengan menahan air
mata. "Masa engkau tidak kenal lagi padaku?"
"Coba dekat lagi sedikit, biar kuteliti dirimu," kata si mak tua.
"Ah, benar, memang betul permata hatiku."Pahala dan Murka - 25 10
Kasihan ibu In Lui, lantaran terlalu sering menangis karena
mendadak kehilangan suami dan anak dahulu, air matanya seakan-
akan sudah kering sehingga mengganggu kesehatan matanya,
meski tidak buta, tapi pandangan mulai kabur, lebih jauh dari tiga-
empat kaki sudah tak terlihat jelas lagi.
Hati Tan-hong juga sangat sedih, ia pikir sebabnya mak tua yang
baik ini sampai sengsara seperti ini semuanya karena dosa keluarga
kami.
Sepanjang jalan ia sudah merancang berbagai kata-kata indah
untuk menghibur mereka ibu dan anak, tapi sekarang satu patah
saja sukar diucapkannya.
Ia mendekat ke sana dengan bimbang, In Lui dan ibunya sedang
saling rangkul dan menangis sehingga seperti lupa akan kehadiran
Tan-hong.
Dalam sekejap itu Tan-hong merasa terlebih pedih daripada In
Lui. Tiba-tiba terdengar mak tua itu berteriak, "Paknya A Lui, lekas
kemari! Masa engkau tidak mendengar siapa ini yang datang?!"
Pada saat itulah dari dalam rumah keluar pula satu orang, waktu
In Lui menoleh, seketika ia melenggong.
Dilihatnya wajah orang ini terdapat beberapa jalur bekas luka,
jalannya pincang sebelah, rambutnya sudah ubanan dan jarang-
jararng, bajunya juga compang-camping, namun masih kelihatan
perawakannya yang kekar dan gagah.
Dalam sekejap itu In Lui hampir tidak kenal lagi siapa dia, tapi
mengingat ibu menyebutnya "Paknya A Lui", hatinya berdetak,
samar-samar dari wajah yang buruk itu barulah dapat dikenali raut
wajah sang ayah masa lampau.Pahala dan Murka - 25 11
Kiranya orang ini memang betul ayah In Lui, In Ting adanya.
Waktu In Ting ikut mengawal In Ceng ke Tiongkok, diperbukitan
di luar Gan-bun-koan-mereka tersusul oleh pasukan Mongol.
Dengan mati-matian ia bertahan dan membiarkan rombongan
ayahnya lari terlebih cepat.
Akibatnya In Ting terluka parah dan terjerumus ke dalam jurang.
Di tengah malam gelap Tiau-im Hwesio dan lain-lain mendengar
suara jeritan dan melihat In Ting jatuh ke jurang, mereka mengira
In Ting pasti binasa, biarpun In Tiong dan In Lui juga tidak
menyangka ayah mereka masih hidup di dunia ini.
Ternyata In Ting tidak mati terjerumus ke dalam jurang, waktu
ia terjerumus ke bawah, tubuhnya tertahan oleh batang pohon yang
tumbuh di dinding tebing, meski sebelah kakinya patah dan cacat,
wajahnya juga tergores penuh luka oleh batu, namun jiwanya
selamat.
Cuma, meski dia tidak mati, hidupnya, ternyata lebih sengsara
daripada mati.
Dengan luka parah, di tengah jurang sepi itu tiada penolong,
terpaksa ia makan rangsum yang ditemukan pada beberapa mayat
prajurit Mongol yang juga terjatuh ke jurang dalam pertempuran.
Bila haus ia minum air salju.
Setelah, terawat beberapa hari, lambat-laun pulih.juga
tenaganya, ia merangkak keluar lembah gunung itu dan terhintang-
lantung di luar Gan-bun-koan dengan mengemis untuk menyaml
ung hidup, Tidak lama kemudian ia mendapat berita tentang
gugurnya In Ceng di luar Gan-bun-koan, keruan ia putus asa, ia
merasa dunia seluas ini terasa tiada tempat berpijak baginya.Pahala dan Murka - 25 12
Meski terhindar dari kematian, namun wajahnya rusak dan
kakinya pincang, kungfunya punah, hampir saja ia menjadi orang
cacat total.
Ia hidup gelandangan di luar Goan-bun-koan, pula mengingat In
Ceng dihukum mati sebagai pengkhianat, hal ini berarti dia juga
tidak terlepas dari tuduhan sehingga tidak memungkinkan dia
pulang ke Tiongkok, dalam keadaan merana, bilamana dia tidak
mempunyai dua putra-putri yang memberatkan pikirannya,
mungkin sejak dulu dia sudah membunuh diri.
Lebih setahun ia terlunta-lunta, setelah dipikir lagi, terpaksa ia
kembali ke Watze.
Begitulah ia pulang lagi ke utara, untuk menyambung hidup,
sepanjang jalan ia bekerja apa saja, kalau tidak ada pekerjaan,
terpaksa ia mengemis, dengan susah payah akhirnya ia pulang ke
lembah Tangra, ke tengah kelompok suku istrinya.
Waktu itu ibu in Lui sudah bekerja di tempat kepala suku, dengan
susah payah pula In Ting menyampaikan berita kepulangannya
kepada sang isrri. Pertemuan kembali suami-lstri terasa seperti
jelmaan hidup di dunia lain.
Ibu In Lui lantas minta berhenti bekerja dan pulang ke rumah
lama untuk tinggal bersama-In Ting. Ia sudah kehilangan daya
pandang sehingga tidak sanggup menggembala domba lagi. Untung
meski kungfu In Ting sudah punah, tapi tenaga seorang lelaki tentu
masih sanggup bekerja kasar, dengan begitu dapatlah dia tahan
hidup sekian tahun.
Pada siang hari In Ting bekerja, malam hari ia berlatih kembali
kungfunya. Semula dia masih berharap akan dapat bertemu
kembali dengan kedua putra-putrinya, namun lambat laun harapan
itu pun lenyap serupa sinar harapan yang padam, ia pikir selamaPahala dan Murka - 25 13
hidupnya pasti akan berakhir di negeri asing dan tamatlah
riwayatnya. Siapa tahu bisa datang seperti hari ini, dapat bertemu
kembali dengan anak perempuannya.
Kemunculan In Ting yang mendadak itu sungguh mimpi pun tak
terpikir oleh In Lui, ia pandang sang ayah dengan tercengang,
memandangi wajahnya yang buruk dan kaki yang pincang itu.
Dari fisik sang ayah, dapatlah In Lui membayangkan betapa
nelangsa sang ayah selama sepuluh tahun berpisah ini. Ia berteriak
dan menubruk ke tubuh sang ayah, keduanya saling dekap dan
menangis.
Betapapun perkasa Tan-hong, menghadapi adegan yang
mengharukan ini ia pun tidak sanggup berucap lagi.
Ayah dan anak itu saling dekap dan menangis lekian lama, waktu
tangis mereka agak reda barulah diketahui In Ting di samping situ
masih berdiri seorang pemuda yang datang bersama putrinya tadi.
"A Lui, siapa dia?!" tanya In Ting melihat kegagahan Tan-hong
dengan dandanan yang mentereng itu.
Pertanyaan ini membuat In Lui serupa baru sadar dari impian
buruk dan segera mendengar lagi bunyi geledek. Meski ucapan sang
ayah itu sangat lirih, tapi setiap katanya serupa geledek yang
memukul hatinya.
Sudah sejak lama ia menyiapkan berbagai kata-kata untuk
memberi penjelasan kepada sang ibu, tapi sekarang ibu sudah
ditemuinya, di luar dugaan bertemu juga dengan ayah, maka kata-
kata yang sudah tersedia itu menjadi sukar lagi diucapkan.
Lamat-lamat ibu In Lui juga dapat melihat bayangan tubuh Tan-
hong, dengan menggenang air mata ia tanya, "Apakah kau datang
bersama anak muda itu? Katakan padaku, siapa dia?"Pahala dan Murka - 25 14
Lembut ucapannya, suatu tanda ia sambut kawan pria anak
perempuannya dengan gembira.
Tak terduga olehnya ucapan yang lembut serupa jarum yang
tajam menusuk pada hati putrinya, mendadak In Lui melepaskan
rangkulan sang ayah, sambil mendekap mukanya ia berkata deagan
suara tertahan, "Dia . . . dia she Thio."
"Apa katamu? Dia she Thio?" In Ting menegas tanpa terasa.
Selama berpuluh tahun ini bencinya terhadap Tbio Cong-ciu


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merasuk tulang, asalkan mendengar kata ?Thio" sudah membuat
perasaan bergolak dan tidak kepalang dendamnya.
Tn Lui menjerit dan mendekap lagi di atas tubuh sang ayah,
dilihatnya orang tua itu berdiri serupa patung dan pelahan
menyurut mundur.
Tan-hong tidak tahan lagi, katanya tegas, "Betul, aku she Thio,
aku putra Thio Cong-ciu, sekarang kudatang untuk menebus dosa
terhadap Lopek (paman)."
Dalam sekejap itu kulit muka In Ting tampak berkerut-kerut
sehingga codetnya juga bergerak dan menambah keburukan
mukanya, ia tidak bersuara, mendadak serupa gunung api yang
meledak, dengan mengertak gigi ia angkat sebelah tangannya dan
mendorong In Lui sekuatnya, lalu hendak memburu ke depan Tan-
hong.
Tanpa terasa In Lui menjerit lagi dan memegang tangan
ayahnya.
Tentu saja In Ting merasa tangan kesakitan dan tidak mampu
bergeser. Dalam sekejap itu ia pun paham segalanya, nyata anak
muda ini adalah putra musuhnya yang paling dibenci itu, tapi juga
orang yang paling disukai putri sendiri.Pahala dan Murka - 25 15
Mendadak In Lui menyadari pegangan sendiri mungkin teramat
keras, cepat ia lepas tangan dan menarik ujung baju sang ayah.
Tapi sekuatnya In Ting mengipatkan tangannya sehingga
bajunya yang rombeng itu robek sebagian. Sambil melototi putrinya
itu, mendadak In Ting menarik sekali bajunya yang memang
rombeng itu dan dibuang ke muka In Lui sambil menjengek, "Hm,
pergilah, rumah bobrok dan keluarga rudin ini tidak berani
menerima Siauya dan Siocia seperti kalian!"
Sesaat itu In Lui serupa kena aliran listrik, tubuhnya gemetar,
cinta, benci, dendam dan budi, malu dan sesal, semuanya
berkecamuk dalam benaknya. Ia berdiri tegak dengan bingung,
dipandangnya ayah-bunda dan dipandang pula Thio Tan-hong,
benaknya serasa kosong plong, seluruh sarafnya seperti beku dan
kehilangan perasaan.
Muka Tan-hong tampak pucat dan sedang menatapnya dengan
tajam, pelahan terlihat In Lui menjulurkan tangannya, baju sutera
warna lembayung yang dipakainya itu mendadak ditarik sekuatnya
hingga terlepas, lalu dibuang ke tanah.
Dengan jelas Tan-hong ingat baju sutera itu dipakai In Lui pada
waktu pertama kalinya nona itu berdandan kembali pada jenisnya
yang asli, teringat olehnya waktu di dalam kuburan kuno itu, di
bawah cahaya lilin yang terang ia malah memuji betapa cantik
molek si nona ketika mengenakan baju sutera lembayung ini. Baju
ini mempunyai tempat tersendiri di dalam lubuk hati mereka dan
mempunyai kenangan yang indah.
Akan tetapi baju ini sekarang telah dirobek sendiri oleh In Lui,
segala kenangan indah seakan-akan terobek juga sekaligus dengan
robeknya baju itu, semuanya telah lenyap terbawa angin lalu dan
tidak pernah kembali lagi.Pahala dan Murka - 25 16
Tan-hong memanggil sekali, dilihatnya In Lui diam saja tanpa
menoleh, dengan tangan kiri memegang ayah dan tangan kanan
menarik ibu terus masuk ke dalam rumah, "blang", pintu ditutup
dengan rapat.
Pintu itu telah memisahkan mereka, seperti memisahkan
mereka di dua dunia yang berbeda.
Sungguh kecewa dan putus harapan Tan-hong, pada waktu
masuk ke sana dan menutup pintu, sama sekali In Lui tidak menoleh
untuk memandangnya barang sekejap pun.
Begitu In Lui masuk ke dalam rumah, seketika ia lemas lunglai,
meski jarak luar pintu dengan dalam rumah cuma satu-dua langkah
saja, namun satu-dua langkah itu dirasakan seperti beribu li
jauhnya, hampir memerlukan segenap tenaga In Lui barulah dapat
mencapai satu-dua langkah itu. Dan begitu masuk seketika ia jatuh
terkulai di tauah.
Terdengar ringkik kuda di luar, suara kuda pun memilukan.
Itulah suara kuda mestika milik In Lui. Dari suaranya agaknya
binatang itu pun merasa berat berpisah dengan kawannya, dari
daerah Tionggoan hingga wilayah Mongol, kedua ekor kuda itu
berpacu sejauh ribuan li dan telah bergaul dengan sangat akrab.
Kuda In Lui meringkik pilu di sini, kuda Tan-hong juga sedang
meringkik sedih di kejauhan sana, serupa dua sahabat yang lagi
bertanya jawab pada perpisahan terakhir.
Tanpa terasa In Lui menjerit dan jatuh pingsan. Sayup-sayup
cuma didengarnya keluhan sang ibu pada putrinya yang malang dan
kasihan ini.
Namun masih ada lagi yang lebih kasihan daripada In Lui, yaitu
Thio Tan-hong.Pahala dan Murka - 25 17
Jika saat ini In Lui masih didampingi oleh ayah-bunda yang dapat
menghiburnya, namun Tan-hong justru tiada didampingi seorang
pun yang dapat menampung keluhannya. Sungguh ia putus asa, ia
berdiri linglung, dunia seluas ini seperti tinggal dia sendiri dan
entah harus menuju ke mana?
Ia cemplak ke atas kudanya dan membiarkan binatang itu
melangkah sebebasnya, dilihatnya puncak pegunungan Tangra
yang menjulang, tinggi, lamat-lamat teringat olehnya sang guru
pernah berjanji dengan dia untuk bertemu di puncak utara sana,
sang guru seperti hendak menemui gembong iblis apa.
Sebenarnya Tan-hong adalah anak muda yang pintar dan cerdas,
daya ingatnya luar biasa, namun karena pukulan batin yang hebat
membuat pikirannya kabur serupa orang sinting, kecuali urusannya
dengan In Lui, urusan lain hampir tak teringat lagi olehnya, sampai
siapa gembong iblis yang akan dijumpai gurunya pun terlupa.
Untung dia masih ingat pada gurunya, rasa kesalnya perlu
ditumpahkan kepada seseorang, maka ia menyusuri lereng gunung
Tangra selama dua hari, akhirnya ia lepaskan kuda di kaki gunung
supaya mencari makan sendiri, ia lantas mendaki gunung.
Gunung tinggi menembus awan, suasana sunyi tiada tampak
bayangan seorang pun, makin jauh makin terasa kesepian, makin
kesepian makin ter kenang pada kemesraan waktu dalam
perjalanan bersama la Lui ketika menjelajahi daerah Kang-lam dan
kembali lagi ke gurun luas di utara.
Terkenang kepada adegan yang menyenangkan itu, beberapa
kali ia merasa In Lui seperti masih berada di sampingnya sehingga
tanpa terasa ia berseru, "Adik cilik, adik cilik!"
Akan tetapi di pegunungan sunyi, yang terdengar hanya suara
kumandang sendiri, "adik cilik" tak terlihat lagi.Pahala dan Murka - 25 18
Begitulah Thio Tan-hong terus mendaki pegunungan Tangra
serupa orang linglung, hari pertama ia masih rada sadar dan masih
ingat maksud kedatangannya adalah hendak mencari gurunya.
Rahasia Iblis Cantik 3 Pendekar Kembar Iblis Pemburu Wanita Si Cakar Rajawali 1
^