Pencarian

Pahala Dan Murka 18

Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen Bagian 18


perintah Tuan Putri, harap menyingkir!" kata Ogito sambil
memberi hormat pula. Lalu ia berteriak, "Tembak! Kalau tidak
segera tembak bisa kubinasakanmu!"Pahala dan Murka - 28 20
Dengan gugup si juru tembak menyalakan upet penyulut dan
membakar sumbu.
Pada, saat itulah bayangan orang berkelebat dan menubruk tiba
sambil membentak, "Kau kira tidak berani kubinasakanmu?!"
Sekali tabas, belum lagi juru tembak itu sempat bersuara, tahu-
tahu kepalanya sudah dipenggal oleh golok Topua.
Sekaligus Topua memadamkan api sumbu meriam, lalu
menahan tubuhnya di moncong meriam, teriaknya dengan gusar,
"Barangsiapa berani maju lagi segera kubinasakan dia!" Sama sekali
Ogito tidak menduga Topua berani bertindak demikian, seketika ia
tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Meski ilmu silatnya jauh
lebih tinggi daripada nona itu, tapi apa pun juga Topua adalah putri
junjungannya, mana ia berani melabraknya?
Selagi keadaan saling ngotot, tiba-tiba seorang penunggang kuda
membedal tiba secepat terbang sambil membentak, "Kenapa belum
lagi meriam ditembakkan?"
Orang ini adalah Kojat. kepala rumah tangga istana Thaysu.
"Dilarang Tuan Putri," lapor Ogito.
Kojat tampak beringas dan berteriak, "Atas perintah Thaysu
pribadi, barangsiapa berani merintangi tugasmu, boleh kau bunuh
dia tanpa perkara, ini perintah tertulisnya!"
Karena mendapat perintan tegas, Ogito menjadi tabah, segera ia
berteriak, "Mohikhan, coba singkirkan Kuncu (tuan putri) dari
moncong meriam!"
Tapi Topua lantas berteriak, "Siapa berani maju kemari?!"
Ia angkat goloknya dengan sikap beringas serupa orang kalap.Pahala dan Murka - 28 21
Terpaksa Kojat tampil sendiri, katanya, "Kuncu hendaknya
dengar yang jelas, ini perintah Thayiu sendiri, lekas kaupergi dari
sini dan jangan ngotot, ayolah pulang saja!"
Mendadak Topua menangis sungguh dia sangat berduka, bukan
karena berduka bagi Thio Tan-hong saja melainkan untuk pertama
kalinya ia merasa tidak disayang lagi oleh sang ayah.
Sebagai putri tunggal, biasanya Yasian sangat sayang dan
memanjakan dia, ibaratnya bila Topua minta rembulan pun akan
diambil untuknya. Siapa taliu pada saat kritis demikian sang ayah
bisa memerintahkan anak buahnya bertindak tegas padanya di
depan umum.
"Tiada gunanya menangis," kata Kojat. "Jika tidak menyingkir,
terpaksa kami bertindak. Ayolah ikut pulang saja."
Saking berduka Topua tidak jadi menangis malah, ia mengusap
air mata, tubuh tetap menyumbat moneong meriam, sikapnya
beringas menakutkan.
"Tarik dia ke pinggir, Mohikhan," kata Ogito.
Karena tubuhnya pernah dicoreng-moreng oleh Thio Tan-hong,
Mohikhan sangat benci kepada anak muda itu, kalau bisa ia ingin
segera menghancurleburkan segenap anggota keluarganya. Maka
tanpa sungkan ia lantas mendekati Topua dan bermaksud
menariknya.
Tak terduga mendadak lengan baju Topua mengebut, berbareng
ia meludahinya.
Mohikhan terkesiap, tapi segera ia pegang tangan Topua dan
ditelikung ke belakang. Ilmu silat Mohikhan jauh lebih kuat
daripada nona itu, tentu saja Topua tidak bisa berkutik.Pahala dan Murka - 28 22
Tapi Topua menjadi nekat, ia meronta sekuatnya, malahan
lengan orang sempat digigit sekerasnya.
Karena tidak terduga, Mohikhan berteriak kesakitan, betapapun
kedudukannya adalah bawahan terhadap tuan putri, seketika
Mohikhan rada kelabakan dan melepaskan pegangannya.
"Jangan lepaskan dia, robohkan dia saja!" hentak Kojat.
Segera Mohikhan hendak menubruk maju, tapi lantas terdengar
"crit-crit" dua kali, dari baju Topua menyambar keluar dua anak
panah kecil. Tangan Topua terpegang dan tidak sempat melepaskah
panah. Panah kecil ini biasanya digunakan waktu berburu, sekarang
jaraknya sangat dekat, dalam keadaan tidak terduga hulu hati
Mohikhan tepat terpanah, seketika ia jatuh binasa. Tapi sebelum
roboh sebelah tangannya masih sempat menghantam sehingga
Topua juga terpukul jatuh.
Kojat terkejut, cepat ia memburu maju, dilihatnya Topua telah
melompat bangun sambil berteriak, "Thio-koko, aku tidak dapat
menyelamatkanmu, aku sudah berusaha sekuat tenaga!"
Mendadak ia putar balik goloknya terus menikam hulu hati
sendiri, waktu ambruk, sekuatnya ia rangkul moncong meriam.
Thio Tan-hong melongo menyaksikan kejadian itu di tempat
ketinggian, bahwa Topua ternyata mati baginya, sesaat itulah rasa
jemunya terhadap si nona lenyap sama sekali, tanpa terasa ia
berteriak menangis, "Oo, adik Topua, kuterima budi kebaikanmu."
Namun Topua sudah mati, panggilan "adik" untuk pertama
kalinya yang penuh perasaan itu tidak dapat didengar lagi oleh si
nona.
Mohikhan binasa, Topua bunuh diri, semua ini terjadi di luar
dugaan, kawanan busu Mongol yang hadir di situ sama melenggong
dan tidak bersuara.Pahala dan Murka - 28 23
"Seret pergi dia, lekas tembak!" teriak Kojat.
Sekuatnya Ogito melepaskan rangkulan Topua pada moncong
meriam, dilihatnya mulut meriam sudah berlumuran darah, darah
merembes masuk ke dalam lop meriam.
Ogito tidak berani memandang wajah Topua yang menakutkan,
ia lemparkan mayat nona itu ke samping, lalu menyulut sumbu
meriam dan cepat menyingkir.
Tan-hong juga tidak berani melihat lagi, ia melompat turun dan
menarik sang ayah dan Ciam-tai Biat-beng mundur ke sana,
katanya dengan pedih, "Ayah, Ciamtai-ciangkun, hari ini biarlah
kita mangkat bersama!"
Ciamtai Biat-beng tidak ikut melihat keadaan di luar, tapi dapat
didengarnya Ogito sendiri hen-duk menembakkan meriam, maka ia
tidak berpikir akan hidup lagi, ia angkat gaetan terus menikam hulu
hati sendiri....
ooOoo
Kembali mengenai In Tiong yang dipanggil menghadap Ki-tin
dengan tiga buah kim-pai.
Ki-tin tinggal di ruang samping istana raja Watze, In Tiong ikut
ketiga jago pengawal itu menuju ke sana.
Setiba di ruang samping, penjaga masuk melapor, selang sekian
lama baru penjaga itu keluar dan memberitaku agar In Tiong
menunggu dulu.
Tentu saja In Tiong sangat gelisah, katanya. "Hongsiang
memanggil dengan kim-pai, kenapa sekarang aku disuruh
menunggu malah?"
"Hongsiang sedang sarapan pagi, belum sempat menemui In-
taijin," kata penjaga.Pahala dan Murka - 28 24
Gelisah dan mendongkol In Tiong, ia tidak mengerti
sesungguhnya apa kehendak Ki-tin.
Sampai sekian lama baru datang perintah Ki-tin agar In Tiong
masuk menemuinya. Cepat In Tiong melangkah ke dalam,
dilihatnya Ki-tin duduk di kursi malas empat dayang cilik sedang
memijatnya, Ki-tin sendiri kelihatan santai, sedikit pun tidak ada
tanda ada sesuatu urusan penting.
Dengan mendongkol ln Tiong beriulut dan menyembah.
"Bangun dan duduklah," kata Ki-tin tak acuh.
ln Tiong merangkak bangun, tapi tidak duduk melainkan terus
tanya, "Hongsiang memanggil hamba, entah ada urusan penting
apa?"
"Ya, memang ada urusan penting," kata Ki-tin setelah berdehem.
"Tiba-tiba teringat olehku kita besok harus berangkat pulang ke
tanah air. Jelek-jelek kita sudah mendapat pelayanan mereka di sini,
kupikir mereka adalah tuan rumah dan aku adalah tamu, jika
mereka menghormati kita, menurut sopan santun selayaknya kita
juga menghormati mereka, apalagi k dau raja mereka mengantar
sendiri kebcrangk.itan kita terasa agak tidak enak hati. Milca biarlah
kita berangkat keluar kota, jika raja Watze hendak mengantar boleh
dilakukan di luar kota, dengan demikian barulah sesuai peraturan
yang saling menghormat."
Kiranya urusan penting yang dimaksud cuma hal sepele ini,
keruan tidak kepalang gemas ln Tiong.
Sekilas pandang In Tiong melihat keempat dayang cilik itu
sedang tersenyum-senyum, tergerak hati In Tiong, ia coba tanya,
"Apakah hal ini benar-benar maksud Hongsiang?"
"Kenapa kau berani tanya demikian, kalau bukan maksudku
memangnya maksud siapa?" damperat Ki-tin.Pahala dan Murka - 28 25
Padahal hal ini bermula Yasian mengetahui minggatnya Topua
dan diduganya anak perempuannya pasti akan pergi mengundang
In Tiong, maka di samping mengirim orang merintangi, juga Ogito
diperintahkan bertindak, berbareng mengirim orang mengancam
Ki-tin agar berbuat sesuai kehendaknya, jadi sekaligus tiga jalur
dilaksanakan, tujuannya hanya ingin mencegah agar In Tiong tidak
dapat menyelamatkan keluarga Thio.
Karena istana memang sudah berada di bawah kekuasaan
Yasian, dengan sendirinya ia dapat bertindak sesuka hati. Ki-tin juga
kuatir dirinya takkan dibebaskan pulang ke negeri leluhur, maka ia
mau mengerjakan apa yang diminta Yasian.
Benar juga, In Tiong berhasil dipanggilnya menghadap, maka
setelah in mengomeli In Tiong segera ia berkata lagi, "Tapi
mengingat kamu telah berjasa dalam misi perdamaian ini, aku
takkan menjatuhkan hukuman padamu. Kau tunggu saja di sini,
begitu terang tanah segera kita berangkat."
"Hongsiang tidak perlu bebenah lagi, sudah hamba beritahukan
kepada raja Watze bahwa ke-berangkatan kita esok ini kutunda,"
mendadak In Tiong berseru dengan nada membangkang.
"Apa . . . apa katamu? Kau berani mengambil keputusan
sendiri?" damperat Ki-tin dengan bengis dan juga kejut.
"Soalnya hamba harus menemui Thio Tan-hong dahulu," tutur
In-Tiong.
Ki Tin tambah terkejut, ia berteriak, "Apa katamu? Kau mau
menemui Thio Tan-hong? Kau-tahu mereka adalah keturunan
pengkhianat Thio Su-sing? Jika tidak kuringkus dia pulang ke tanah
air dan menghukum mati dia, hal ini sudah suatu kelonggaran besar
baginya, tapi kamu malah hendak menemui dia, sungguh terlalu?"Pahala dan Murka - 28 26
Sikap In Tiong tetap tenang saja, katanya, "Hongsiang tentu juga
tahu, perdamaian kedua negara yang dicapai ini selain atas gagasan
Ih-taijin juga atas usaha Thio Tan-hong. Jika tidak ada laporan Thio
Tan-hong tentang keadaan dalam kerajaan Watze, rasanya Ih-taijin
tidak berani bertindak sekeras ini terhadap Yasian."
"Hm, jika menurut ucapanmu, jadi Thio Tan-hong berbakti
kepadaku malah?" jengek Ki-tm dengan muka pucat.
"Betul, dia memang setia dan berbakti kepada negara dan
bangsa," kata In Tiong.
"Kau bela pengkhianat, memangnya manfaat apa yang kau
dapatkan dari dia?" tanya Ki-tin dengan marah.
Sungguh gemas sekali In Tioug dan hampir tidak sanggup bicara.
Tiba-tiba terdengar kentungan berbunyi menandakan subuh
sudah tiba, ia tambah gelisah, tanpa tertahan lagi ia berseru, "Yasian
bermaksud menggempur keluarga Thio dengan meriam, meski
permusuhan hamba dengan keluarga Thio sedalam lautan, tapi
hamba rela menerima ganjarannya dan tetap ingin menyelamatkan
keluarga Thio. Tentang manfaat yang kita terima dari dia. mungkin
Sri Baginda sendiri tidak tahu, sebabnya Ih-taijin mampu
menghimpun kekuatan dan mengalahkan pasukan Yasian, sebagian
besar perbekalan itu justru atas sumbangan Thio Tan-hong."
Ki-tin mendelik, katanya dengan marah, "Macam apa
perkataanmu ini? Kamu adalah musuhnya, tapi malah membela dia
dan berani membangkang perintahku."
Air mata In Tiong bercucuran, sekilas terlihat cuaca sudah mulai
remang-remang, ia menjadi nekat, ucapnya pula, "Hamba tahu
pembangkangan dapat dihukum mati, biarlah setiba di rumah Thio
Tan-hong nanti akan kubunuh diri untuk membalas budi kebaikanPahala dan Murka - 28 27
Hongsiang, kemudian silakan Hong -siang minta Ih-taijin mengirim
utusan lagi untuk memapak Hongsiang pulang ke tanah air."
Ucapan ini membuat Ki-tin terkesiap. Bahwa siang dan malam ia
berharap dapat pulang ke tanah air untuk naik tahta lagi, bila
sekarang In Tiong meninggalkan dia, cara bagaimana dia dapat
berusaha datangnya duta kedua?
Teringat pada untung-ruginya. seketika Ki-tin berkeringat
dingin, cepat ia berkata dengan suara halus, "Ah, ada apa bicaralah
secara baik-baik."
"Hendaknya Hongsiang tahu, Yasian berhati jahat, tidak
bermaksud baik terhadap Hongsiang. Sekarang dia cuma terpaksa
mengadakan perdamaian dengan kita. Daripada Hongsiang percaya
kepada Yasian, akan lebih baik percaya saja kepada Thio Tan-hong.
Sekarang hamba mohon diri dulu."
"Nanti dulu," seru Ki-tin. "Biar kupergi bersamamu."
Rupanya Ki-tin kuatir tinggal sendirian akan dicelakai oleh
Yasian, dalam keadaan bimbang ia merasa lebih aman kalau ikut
pergi bersama In Tiong saja.
Permintaan ini di luar dugaan In Tiong, dilihatnya Ki-tin serupa
kelinci yang takut kepada pemburu, keadaannya sekarang sama
sekali berbeda daripada sikap garangnya tadi, tanpa terasa timbul
rasa kasihan In Tiong. Ia merasa raja yang biasanya berada di atas
setiap orang ini sesungguhnya sangat keci! dan rendah.
Sementara itu remang subuh tambah terang, hawa dingin
merasuk tulang, Ki-tin kedinginan, katanya, "Biar kuambil mantel
dulu."
Bergegas ia masuk ke kamar. Didengarnya In Tiong sedang
mendesahnya di luar, buru-buru ia sambar sebuah mantel yang
terlihat dan di-semampirkan di atas tubuh. Ternyata mantel buluPahala dan Murka - 28 28
ini adalah mantel pembrian Thio Tan-hong waktu ia ditahan Yasian
di pigoda kuno dulu.
Pengiring In Tiong yang ditahan di tengah jalan tadi, ketika In
Tiong dan Ki-tin datang barulah mereka diperbolehkan lewat oleh
komandan militer tadi. Sementara itu hari sudah terang.
In Tiong melarikan kuda secepatnya meninggalkan Ki-tin jauh di
belakang, bayangan Thio Tan-hong yang tersenyum simpul seakan-
akan sedang melambaikan tangan padanya. Seketika segala urusan
surat berdarah dan dendam keluarga sudah terusir oleh bayangan
Thio Tan-hong itu. Yang terpikir oleh In Tiong sekarang adalah
selekasnya memburu ke rumah anak muda itu dan menyelamatkan
Tan-hong dari renggutan elmaut.
"Subuh sudah tiba, apakah tidak terlambat?!" In Tiong tambah
cemas dan membedal kudanya secepat terbang. Untunglah sejauh
itu tidak terdengar suara meriam, tapi hal ini semakin menambah
tegang perasaannya.
Begitulah sekaligus ia melarikan kudanya sampai di depan
rumah keluarga Thio, terlihat prajurit Mongol sama berjongkok,
sebuah meriam merah dengan moncong terarah ke rumah Thio
Tan-hong, mulut moncong meriam mengepulkan asap.
In Tiong berteriak sekerasnya, cambuknya menggeletar sehingga
kudanya berjingkrak terus kabur ke arah meriam. Ke-18 pengiring


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

In Tiong serentak juga berteriak menyatakan duta besar kerajaan
Beng tiba.
Saat itu Thio Tan-hong sedang menanti ajal, ketika tiba-tiba
mendengar suara ribut di luar, sungguh girangnya tak terkatakan,
serentak ia melompat bangun, sekilas dilihatnya Ciamtai Biat-beng
telah angkat gaitannya hendak merobek dada sendiri, cepat iaPahala dan Murka - 28 29
merampas senjata orang sambil berseru, "Dengarkan, In Tiong
datang!"
Segera ia melompat ke atas pagar tembok.
"Siapa yang datang?" tanya Thio Cong-ciu sambil pelahan
membuka mata.
"Rupanya jiwa kita belum ditakdirkan tamat, itulah duta
kerajaan Beng datang mengunjungi Cukong," tutur Biat-beng.
Bahwa duta kerajaan Hong mau mengunjungi tempatnya, hal ini
sangat di luar dugaan Thio Cong-ciu, tersembul senyuman sekilas
pada wajahnya, tapi segera ia menunduk murung lagi.
Di atas pagar tembok Tan-hong melihat In Tiong sedang
melarikan kudanya ke rumahnya, terlihat pula moncong meriam
yang mengeluarkan asap itu. Seketika pandangan Tau-hong
menjadi gelap, harapan yang baru timbul dan segera menghadapi
putus asa membuatnya hampir tak tahan.
Ciamtai Biat-beng melihat Tan-hong bergeliat hendak jatuh,
cepat ia berteriak, "Hei, engkau kenapa?"
Sebisanya Tan-hong menenangkan perasaannya, serunya, "In-
heng, lekas menyingkir dan jangan kemari!"
Hanya pada saat menghadapi bahaya baru dapat terlihat
persahabatan yang murni.
Kini In Tiong dan Thio Tan-hong sama tidak menghiraukan
mati-hidup sendiri, yang satu tetap melarikan kudanya secepat
terbang menuju ke depan, yang lain berteriak kuatir menyuruhnya
pergi.
Pada detik itulah tiba-tiba terdengar suara dentuman "dungg"
disertai asap tebal, peluru meriam telah ditembakkan.Pahala dan Murka - 28 30
In Tiong menjerit kaget dan kuatir, hatinya tenggelam serupa
ditindih oleh gunung besar, putuslah harapannya, lenyaplah
segalanya.
Tapi segera terdengar olehnya suara tembakan meriam itu
terasa tidak begitu keras, tidak nyaring, bahkan boleh dikatakan
mejen, sama sekali berbeda daripada dentum meriam di medan
perang.
Waktu ia memperhatikan lebih jauh, terlihat peluru meriam
yang membawa asap itu hanya terlempar beberapa tombak jauhnya
dari moncong meriam, lalu jatuh di tanah dan menggelinding ke
dalam parit, peluru itu ternyata tidak meletus.
Kiranya meriam merah itu memang terganggu, tadi Topua
merangkul erat pada moncong meriam-darahnya mengalir masuk
ke dalam laras meriam dan membasahi rongga pelurunya.
Meriam jaman moderen sekarang saja dalam beberapa ratus
atau ribu kali tembakan juga bisa mengalami sekali-dua kali peluru
tidak meledak, apalagi meriam jaman kuno, jelas senjata api jaman
dulu tidak sebagus jaman sekarang, bila obat pasang basah, tentu
saja mejen, peluru yang ditembakkan juga takkan meledak.
Begitulah In Tiong kegirangan serupa orang gila, cepat ia
melompat turun dari kudanya dan menggedor pintu sekerasnya,
ketika pintu dibuka, ke-18 pengiringnya beramai ikut masuk.
Dalam keadaan demikian, betapapun Ogito tidak berani lagi
sembarangan menembakkan meriamnya.
Thio Tan-hong melompat turun dan memapak kedatangan In
Tiong dan rombongan, begitu berhadapan keduanya lantas saling
rangkul, keduanya sama mencucurkan air mata dan saling pandang
sampai sekian lamanya tanpa bicara.
Mendadak Thio Tan-hong berseru, "Ayah. . . ."Pahala dan Murka - 28 31
Waktu In Tiong menoleh, dilihatnya Thio Cong-ciu sedang
menuju ke arah mereka dengan langkah berat.
Hati In Tiong tertekan, baru sekarang dikenalnya, kiranya orang
inilah ayah Thio Tan-hong.
Inilah musuh bebuyutannya sejak ia dapat berpikir, inilah musuh
yang senantiasa teringat olehnya dan ingin dibunuhnya.
Sekarang musuh ini sedang memandang padanya, bibirnya
bergerak, seperti banyak yang hendak dibicarakannya, akan tetapi
sukar diucapkan. Wajah orang tua yang penuh keriput itu tampak
bercahaya, membawa semacam sikap yang aneh, seperti sesuatu
yang telah sekian lama ditunggunya, serupa juga seorang ayah yang
menyambut putranya yang telah lama baru pulang. Sikap yang
takkan dilupakan selama hidup In Tiong.
Pelahan In Tiong berkeluh, orang tua yang berwajah pucat kurus
dan beruban ini mana bisa mirip pengkhianat yang licik dan keji
sebagaimana pernah dibayangkannya? Apakah dirinya tega
menubleskan pisau ke dada orang tua yang tinggal ajal ini?
Selangkah demi selangkah Thio Cong-ciu semakin mendekat, In
Tiong meraba surat berdarah yang tertulis di kulit domba dan
selama puluhan tahun selalu tersimpan dalam bajunya itu, dengan
benci ia tatap orang tua itu sekejap. Mendadak ia melengos ke arah
lain dan mengipatkan tangan Thio Tan-hong yang merangkulnya
itu. Pedih sekali hati Thio Cong-ciu seperti disayat, terasa olehnya
sorot mata In Tiong yang penuh rasa benci dan dendam itu tiada
bedanya dengan sinar mata In Cing pada 30 tahun yang lalu.
Segala apa sekarang sudah jelas bagi Thio Cong-ciu, ia jatuh
terduduk dengan lemas lunglai.Pahala dan Murka - 28 32
Tiba-tiba In Tiong berputar ke sana dan berteriak dengan suara
gemetar. "Urusan sudah selesai, ayolah kita pergi!"
Tan-hong berdiri kaku serupa patung, ia pandang ayahnya dan
pandang pula In Tiong tanpa bicara.
Ciamtai Keng-beng asyik bicara dengan kakaknya, Biat-beng,
mendengar In Tiong mengajak pergi, ia mendekatinya dan
bertanya, "Ada apa, baru datang masa segera mau berangkat lagi?"
Biasanya In Tiong suka menuruti setiap kehendak Keng-beng,
tapi sekarang ia serupa orang linglung, pertanyaan si nona seperti
tidak didengarnya dan masih terus melangkah ke arah pintu.
Tiba-tiba terdengar detak lari kuda di luar, dan berhenti di depan
pintu, lalu beberapa orang berteriak, "Kaisar Beng Raya berkunjung
kemari!"
Kiranya baru sekarang Ki-tin dan rombongannya menyusul tiba.
Meski dia belum terlepas dari kedudukan sebagai tawanan, namun
tidak lupa berlagak sebagai raja.
Meski dia sudah masuk ke halaman, namun tidak ada yang
menghiraukannya. Thio Cong-ciu duduk di atas batu tanpa
bergerak, Ciamtai Biat-beng mendelik padanya, lalu melengos ke
arah lain dan bicara lagi dengan Keng-beng, hanya pengiring In
Tiong saja yang memberi hormat padanya.
Tentu saja Ki-tin serba kikuk, bentaknya, "Yang mana Thio
Cong-ciu, kenapa tidak menyambut kedatangan Sri Baginda?"
Namun Thio Cong-ciu mendongak dengan angkuhnya,
kedatangan Ki-tin seperti tidak terpandang olehnya.
Meski tidak kenal Thio Cong-ciu, tapi Ki-tiu kenal Tan-hong,
segera ia membentak anak muda itu "Mana ayahmu? Kalian adalahPahala dan Murka - 28 33
keluarga pemberontak, sekarang kuberi ampun, kenapa tidak
menyambut kedatanganku?"
Tan-hong hanya mendengus saja, tiba-tiba in mengeluarkan
sebungkus barang dan dilemparkan ke tanah, katanya, "Kedua
macam benda itu boleh kau simpan dengan baik, jangan hilang
lagi."
Segera ada pengawal memungut bungkusan itu, kiranya dua
macam barang. Yang sebuah adalah setempel pribadi raja, sebuah
lagi adalah tusuk kundai milik permaisuri yang diberikan kepada
Ki-tin.
Kedua macam barang ini dirampas oleh Tai-Kwe-congkoan Kang
Ciau-hai waktu Ki-tin terkurung di To-bok-po dulu, Tan-hong
merebut kembali dari tangan Kang Ciau-hai dan baru sekarang
sempat dikembalikan kepada Ki-tin.
Malu dan gusar Ki-tin, gengsi seorang raja sungguh terinjak-
injak, namun ia pun merasa jeri dan tidak berani mengumbar
perasaannya.
Selagi ia hendak melampiaskan dongkolnya terhadap In Tiong,
tiba-tiba terlihat tiga orang aneh berlari masuk secepat terbang, dua
orang yang di depan berwajah sama, yang seorang hitam dan yang
lain putih, mereka berkaok-kaok tanpa menghiraukan orang lain.
Ketiga orang ini adalah Ciok Eng dan Oh-pek-mako, setelah
pasukan Mongol ditarik mundur, mereka lantas menyapu bersih
duri kawat pengalang dan menyusul kemari.
"Siapa itu berani membikin kaget Sri Baginda?" bentak dua jago
pengawal dan bermaksud merintangi mereka.
Ciok Eng melirik Ki-tin sekejap, mendadak ia cengkeram kedua
jago pengawal lain dan dilemparkan.Pahala dan Murka - 28 34
Oh-pek-mako terbahak, tongkat mereka bekerja, dua jago
pengawal lalu diserampang jatuh terjungkal.
Keruan Ki-tin terkejut dan cepat menyurut mundur. Dilihatnya
Oh-pek-mako berjabat tangan dengan Tan-hong, dan bersorak
gembira, sedang Ciok Eng berlutut di depan Thio Cong-ciu.
Thio Cong-ciu membangunkan Ciok Eng, ia sendiri terhuyung-
huyung sehingga akhirnya duduk kembali, "Ciok-ciangkun, bikin
susah padamu saja selama berpuluh tahun ini."
Leluhur Ciok Eng adalah panglima perang Thio Su-sing, maka
Thio Cong-ciu tetap menyebut Ciok Eng sebagai "ciangkun" atau
panglima.
"Pusaka negara (maksudnya peta pusaka itu) sudah diperoleh
kembali oleh majikan muda, cuma sayang negeri ini telap bukan
milik Ciu raya kita," kata Ciok Eng.
Thio Cong-ciu tersenyum getir, ucapnya pelahan, "Ya, kutahu
semua, tidak perlu kau katakan lagi. Manusia hidup asalkan meraba
perasaan sendiri tidak malu terhadap sesamanya, untuk apalagi
berebut tahta dan ingin menjadi raja segala."
Ki-tin terkesiap, ia merasa tidak enak mendengar orang
menyinggung soal tahta segala, serunya kepada In Tiong, "Tidak
perlu tinggal lama di sini, In-conggoan, lekas berangkat pulang!"
In Tiong kelihatan masih linglung dan tidak bersuara.
Ki-tin menjadi gusar, "Apakah kalian sudah gila?"
Namun In Tiong tetap diam saja, waktu ia berpaling keluar,
mendadak air mukanya berubah pucat pasi.
Terlihat seorang gadis jelita memapah seorang kakek berwajah
kurus pucat dan berambut ubanan melangkah masuk. Pada muka si
kakek ada bekas luka bersilang, sebelah kaki pincang, jalannyaPahala dan Murka - 28 35
terincang-incuk dipayang oleh gadis jelita itu, air mukanya yang
seram itu membuat orang merinding.
Terdengar In Tiong berseru mendadak, "Ayah!"
Segera ia memburu maju dan merangkul kakek itu. Orang tua ini
memang In Ting adanya.
In Ting tidak menghiraukan In Tiong, ia dorong anaknya ke
samping dan menatap Thio Cong-ciu tanpa berkedip sambil
mendekatinya selangkah demi selangkah. Sikapnya yang
menakutkan ini membuat Ciok Eng terkesiap dan menyingkir ke
samping.
Waktu Ciok Eng memandang ke sana, dilihatnya di belakang In
Ting dan In Lui yang memapahnya terdapat pula putri dan menantu
sendiri, yaitu Ciok Cui-hong dan Ciu San-bin.
Cepat Ciok Eng meninggalkan Thio Cong-ciu untuk
menyongsong Cui-hong. Tertampak San-bin dan Cui-hong juga
tidak berani bersuara, keduanya kelihatan prihatin.
Kiranya In Ting tidak bebas bergerak karena pincang sebelah
kakinya, maka baru hari ini sampai di kotaraja Watze, waktu ia
tanya ke wisma tamu, diketahuinya In Tiong pergi ke rumah
keluarga Thio, keruan gusar In Ting tak terkatakan, segera ia paksa
In Lui membawanya ke sini. Sekarang rasa gembiranya dapat
bertemu kembali deengan putranya telah terbenam oleh rasa
bencinya berhadapan dengan musuh.
Sesaat Tan-hong seperti terpukul geledek, mukanya juga
berubah pucat lesi. Di depan mata nya sekarang berdiri "adik cilik"
yang dirindukannya siang dan malam, namnn sekejap saja In Lui
tidak memandangnya. Hanya sorot mata In Ting setajam sembilu
sedang menyayat perasaannya. Dalam keadaan demikian, pemudaPahala dan Murka - 28 36
yang biasanya tidak kenal apa artinya takut tidak urung mengkirik
juga menghadapi suasana begini.
Sikap In Ting jauh lebih menakutkan daripada waktu memaksa
In Lui meninggalkan dia tempo hari, pelahan ia mendekati Thio
Cong-ciu. Melihat gelagatnya, segala apa pun dapat dilakukannya.
Waktu Thio Cong-ciu mengangkat kepalanya, dilihatnya In Ting
berdiri di depannya dan sedang menatapnya dengan sorot mata
dingin.
In Tiong dan Tan-hong menjerit bersama dan lari maju. Tanpa
berpaling tangan In Ting lantas menggampar, In Tiong
ditempelengnya sekali.
"Ayah, tinggalkan tempat ini saja," ratap In Tiong sambil
berlutut.
Tan-hong juga memegang pundak sang ayah, katauya, "Ayah,
masuklah dan istirahat dulu"
Thio Cong-ciu menyingkirkan tangan putranya pelahan dan
tetap saling tatap dengan In Ting, keduanya sama diam saja.
In Lui tidak tahan, ia menangis sambil mendekap muka sembari
memanggil ayahnya.
In Ting tetap menganggap tidak mendengar, seakan-akan di
dunia ini tinggal dia dan Thio Cong-ciu saja. Ia pandang Thio Cong-
ciu dengan penuh rasa benci, sinar matanya seolah-olah
mengandung segenap rasa dendam benci orang hidup ini.
Tiba-tiba Thio Cong-ciu tersenyum hambar, ucapnya, "Memang
sudah kuduga akan tiba hari seperti ini, sekarang juga akan kususul
ayahmu In-taijin untuk minta maaf padanya. Dengan demikian
semoga permusuhan antara keluarga kita dapatlah dihapus!"Pahala dan Murka - 28 37
Suaranya semakin lemah dan lirih, sampai akhirnya mendadak
ia jatuh terkulai, hidung, mata dan telinga berdarah lalu tidak
bergerak lagi, nyata sudah mati.
Kiranya sebelumnya Thio Cong-ciu sudah bertekad akan
membunuh diri. Waktu melihat In Tiong, diam-diam ia sudah
menelan racun yang sudah disiapkannya.
Bahwa mendadak Thio Cong-ciu mati membunuh diri, hal ini
tidak terduga oleh siapa pun. Muka Tan-hong sepucat mayat, ingin
menangis pun sukar bersuara.
In Lui menjerit dan terkulai ke lantai, In Ting juga serupa balon
gembos dan duduk di lemas lesu.
Berbareng Ciamtai Biat-beng dan Ciok Eng berteriak "cukong"
dan memburu maju.
In Tiong juga mendekat dan bermaksud memegang tangan Tan-
hong, tapi mendadak Thio Tan-hong mendekap mukanya dan
berlari keluar terus mencemplak ke atas kuda putih yang sedang
makan rumput di bawah pohon, sekali meringkik Ciau-ya-sai-cu-
ma itu lantas membedal secepat terbang keluar dan dalam sekejap
saja lantas menghilang.
Suasana di halaman sunyi senyap serupa kuburan, hanya
terdengar isak tangis In Lui yang pelahan ....
Dua bulan kemudian, permulaan musim panas di daerah


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kanglam, suasana sejuk dan pemandangan indah.
Di luar kota Sohciu ada seorang pemuda ganteng menunggang
seekor kuda putih menempuh perjalanan sendirian, itulah dia Thio
Tan-hong.
Masa dua bulan tidaklah lama, namun situasi telah mengalami
perubahan pula.Pahala dan Murka - 28 38
Setelah In Tiong membawa pulang Ki-tin, adik Ki-tin, yaitu
kaisar yang bertahta sekarang, Ki-giok, tidak mau menyerahkan
tahtanya, begitu pulang Ki-tin lantas "diistirahatkan" di suatu istana
terpencil. Resminya disebut "maha raja", tapi sebenarnya adalah
tahanan rumah.
Impian kaisar Ki-tin buyar, impian muluk Ih Kiam akan
tatanegara baru pun gagal, sebab sekarang Ki-giok tidak
memerlukan dukungan Ih Kiam lagi. Kekuasaan Ih Kiam dirampas,
hanya diberi pangkat "menteri militer" tanpa kuasa dan dilarang
menentukan kebijaksanaan politik pemerintah.
Ong Cin dan kawanan pembesar yang berkuasa sebelumnya
sudah jatuh, tapi dengan cepat bangkit serombongan penguasa baru
yang ikut mabuk kemenangan dan lupa daratan, tidak teringat lagi
pada perang "To-bok-po", pada waktu itu negara hampir runtun
dicaplok musuh.
Thia Tan-hong sendiri mengalami dua macam pukulan batin,
gagal di medan cinta, tertimpa pula musibah keluarga, ketambahan
lagi berduka atas perubahan situasi negara, ia hanya tinggal
beberapa hari saja di Pakkhia secara diam-diam, sampai Ih Kiam
juga tidak ditemuinya, lalu sendiriau pulang ke daerah kanglam.
Keindahan pemandangan daerah kanglam tnernyata tidak dapat
menghapus rasa pedih dan dukanya, ia melarikan kudanya dengan
pelahan, sampai di luar kota, tanpa terasa ia bersenandung
membawakan syair pujangga yang menyesalkan tanah air yang
banyak mengalami musibah dan petaka.
Ia mengeluarkan secarik kertas yang penuh bekas air mata,
tulisan dalam surat itu entah sudah berapa puluh kali dibacanya,
rasanya tanpa melihat saja ia sanggup mengapalnya di luar kepala.Pahala dan Murka - 28 39
Surat itu ditaruh dalam sakunya. secara diam-diam oleh ayahnya
semalam sebelum membunuh diri. Surat itu tertulis:
Hanya karena salah pikir seketika, dahulu aku kesasar mencari
dukungan ke negeri Watze sehingga menimbulkan dendam
keluarga In. Meski aku tidak membunuh In Cing, tapi dia mati
lantaran tindakanku. Maka adalah pantas bila keturunan In
Cing menaruh dendam kesumat padaku.
Sekarang aku bertekad mati untuk menebus kesalahanku,
bukan cuma lantaran keluarga In saja tapi juga karena malu
untuk pulang ke tanah air.
Manusia lahir dan akhirnya pasti mati. Usiaku sudah lanjut
kini dan masih sempat melihat duta bangsa disegani di negeri
asing, biarpun mati aku tidak menyesal lagi.
Pengetahuan dan kepandaianmu jauh di atasku, mempunyai
anak seperti dirimu, mati pun aku tidak perlu kuatir lagi.
Sesudah aku mati hendaknya segera kau-pulang ke negeri
leluhur dan berdamai dengan keluarga In untuk menebus
dosaku. Hubungan asmaramu dengan cucu perempuan In Cing
sudah kudengar dari laporan Ciamtai-ciangkun. Jika
perjodohan ini terlaksana, tentu tiada sesuatu lagi yang
kusesalkan.
Bayangan wajah sang ayah terkilas dalam benak Tan-hong. Ia
tahu ayahnya pernah berbuat salah, tapi juga banyak berbuat
kebaikan. Ayahnya membantu Watze sehingga kuat, tapi juga
membantu negeri leluhur mengalahkan Yasian.
Tindakan sang ayah yang sukar dimengerti Tan-hong waktu
kecil dahulu sekarang dapat dipahami seluruhnya.
Begitulah Tan-hong mengulang baca sekali lagi surat wasiat sang
ayah, segera bayangan seorang lain timbul pula dalam benaknya.Pahala dan Murka - 28 40
Itulah bayangan In Lui, dengan gadis itu ayahnya berharap
jodohnya dapat terikat dengan baik.
Akan tetapi setelah mengalami peristiwa menyedihkan itu,
selama hidup ini mungkin sukar lagi berjumpa dengan In Lui,
apalagi mau bicara tentang perjodohan segala.
Selama dua bulan ini sungguh Tan-hong dirundung rasa sedih
yang luar biasa sehingga membuatnya hampir gila.
Kepulangannya ke daerah kanglam sekali ini mestinya ingin
libur, melepas kesal dan mencari ketenangan. Siapa tahu,
mendingan dia tidak datang ke kanglam, begitu tiba di daerah ini,
tanpa terasa lantas terkenang olehnya akan In Lui.
Teringat olehnya dahulu mereka datang bersama ke wilayah ini
pada musim yang sama seperti sekarang ini, pada waktu bunga
sedang mekar, sepanjang jalan pernah banyak menimbulkan
suasana gembira dan bekas air mata. Tapi sekarang suasana telah
berubah sama sekali, tiada kata, tiada tawa dan juga tiada air mata.
Bayangan In Lui masa lampau dengan tersenyum manis seakan-
akan timbul kembali di depan mata, tanpa terasa Tan-hong
menghela napas dan bergumam, "O, adik cilik, segalanya sudah
terlambat!"
Tiba-tiba terdengar suara sertawa merdu, di tepi telinga Tan-
hong seakan-akan mendengar suara In Lui sedang berkata, "Siapa
bilang terlambat? Kenapa engkau tidak menungguku?"
Waktu Tan-hong berpaling, dilihatnya seekor kuda merah
sedang mendatang, penunggangnya jelas adalah !n Lui dengan
senyumnya yang manis serupa dulu.
Ini dalam mimpi atau memang nyata?Pahala dan Murka - 28 41
Kejut dan girang sekali Tan-hong, dilihatnya lari kuda merah ln
Lui itu semakin dekat, nona itu melambaikan tangan dan menyapa
dengan tertawa. "He, kenapa engkau cuma memandangi diriku?
apakah engkau tidak kenal lagi padaku?"
Girang Tan-hong tak terkatakan, ini ternyata bukan mimpi,
teriaknya, "Adik cilik, engkau benar-benar datang? Sungguhkah
belum terlambat?"
"Terlambat apa?" tanya In Lui. "Bukankah engkau pernah bilang
betapa jauhnya suatu perjalanan akhirnya akan tiba juga di tempat
tujuan. Lihatlah, bukankah aku sudah tiba, malahan mereka pun
sudah datang!"
Waktu Tan-hong memandang ke sana, tertampak ayah In Lui,
yaitu In Ting, sedang mendekati mereka dengan kudanya, meski
wajahnya tetap ada bekas luka, namun tidak terlihat beringas lagi
seperti dulu melainkan penuh welas asih, sedikit pun tidak ada rasa
benci dan dendam.
Orang tua itu menghentikan lari kudanya dan melompat turun
dengan tangkas, ternyata kaki In Ting yang pincang itu kini telah
sembuh, yaitu disembuhkan oleh In Tiong berdasarkan ilmu
pengobatan ajaran Thio Tan-hong itu.
Setelah mengalami peristiwa kematian Thio Cong-ciu yang
membunuh diri dulu, rasa dendamnya sekarang sudah lenyap, pula
dari cerita anak perempuannya telah diketahui betapa usaha Thio
Tan-hong membantu pihak kerajaan Beng memupuk dana dan
betapa susah payah mengatur rencana pertentangan di dalam
kerajaan Watze sendiri sehingga Yasian terpaksa mengadakan
perjanjian damai dengan kerajaan Beng.Pahala dan Murka - 28 42
Disertakan pula, penyakit pincang sang ayah dapat disembuhkan
juga berkat jasa baik Thio Tan-bong yang sengaja diatur
sebelumnya dengan melalui tangan In Tiong.
Setelah direnungkan oleh In Ting, urusan leluhur sudah berakhir
dengan berbagai suka-dukanya. apa yang dapat dikatakannya pula.
Di belakang In Ting ternyata menyusul tiba lagi beberapa
penunggang kuda, mereka adalah In Tiong dan ibunya serta Ciamtai
Biat-beng dan adik perempuannya, Keng-beng.
Sesudah dekat, mereka sama tersenyum bahagia memandangi In
Lui dan Thio Tan-hong.
Ciamtai Keng-beng menggeser kudanya menjajari In Tiong,
katanya sambil melarikan kudanya bersama In Tiong, "Tan-hong,
suasana Koai-hoat-jim kini sudah berubah, semuanya telah
diperbaharui dan tambah indah, apakah engkau tidak ingin masuk
ke kota?"
Tan-hong seperti baru sadar dari mimpi, ia pandang In Lui dan
berbisik, "Adik cilik, maukah engkau ikut masuk ke kota?"
In Lui tersenyum manis, segala suka-duka, benci dan dendam,
semuanya sudah terlebur oleh senyumannya itu.
T A M A T
Max Havelar 6 Suro Bodong 04 Iblis Hutan Tengkorak Kemelut Tahta Naga 1
^