Pencarian

Pahala Dan Murka 17

Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen Bagian 17


dalam perjalanan dan kini sudah memasuki wilayah negeri Watze.
Musim dingin sudah lalu dan berganti musim semi. Salju mulai
mencair, lereng pegunungan sudah mulai tampak menghijau.
Hari ini mereka melintasi padang tandus di kaki gunung yang
belasan li jauhnya tanpa terlihat seorang penduduk pun. Di atas
gunung beberapa ekor elang terbang rendah sedang mencari
mangsa. Di tanah tanjakan gunung sana hanya beberapa batang
pohon yang tumbuh jarang-jarang mulai bersemi.
"Tak tersangka tanah Mongol setandus iui, jangankan daerah
kangtam, di Peking sekarang bunga pun mulai mekar," ucap
Ciamtai Keng-beng dengan gegetun.Pahala dan Murka - 26 39
Seorang pengiringnya yang pernah datang ke Mongol
menanggapinya dengan tertawa, "Tempat ini belum terhitung
tandus, setiba di daerah lebih utara, di sana hanya tanah salju dan
langit es belaka, di situlah baru benar-benar sunyi dau tandus.
Konon dahulu Soh Bu dipaltsa mengangon domba di laut utara,
jangankan penduduk, sampai burung pua tidak terlihat. Kalau haus
terpaksa minum air salju, bila lapar makanan melulu daging domba
panggang belaka."
Mendengar orang menyebut kisah Soh Bu mengangon domba, In
Tiong jadi teringat kepada sang kakek, karena pedih dan marah, ia
diam saja tanpa bicara.
Keng-beng memandangnya sekejap dengan lembut, katanya
dengan tertawa, "Di sini masih ada sedikit tetumbuhan dan sungai
kecil, kuda dapat mengaso di sini. Tampaknya malam ini kita pun
terpaksa berkemah saja di sini."
"BetuI," kata In Tiong. "Toh hari ini kita tidak dapat melintasi
padang tandus ini, biarlah kita lanjutkan perjalanan esok pagi.
Engkau baru datang ke Mongol sini, tentu belum terbiasa, silakan
mengaso agak dini."
"Ah, tak apa-apa, hanya kaki dan tangan lensa kaku beku
sehingga gerak-gerik kurang leluasa, lama-lama kukira juga akan
terbiasa," ujar Keng-beng.
Padahal dia sangat tidak biasa dengan hawa di negeri dingin
seperti Mongol ini, sebaliknya terhadap perangai In Tiong ia justru
mulai terbiasa. In Tiong adalah lelaki yang polos dan lurus, meski
tidak secakap dan ganteng seperti Thio Tan-hong, tapi terhadap
Ciamtai Keng-beng ia dapat meladeni dengan ramah-tamah, setiap
urusan dia memberi perhatian tanpa tedeng aling-aling.Pahala dan Murka - 26 40
In Tiong memilih suatu tanah dekukan yang membelakangi
angin, di situlah ia suruh memasang kemah, lalu menyalakan api
unggun. Selesai makan malam, In Tiong masuk ke kemah Keng-
beng untuk mengajak ngobrol.
Tiba-tiba Keng-beng berkata, "Bila Thio Tan-hong dan adikmu
mengetahui kedatangan kita, entah betapa girangnya mereka. Ciu
San-bin telah mendahului ke sana untuk memberi kabar, kukira
sekarang mereka sudah bertemu. Setiba di Watze, kukira perlu
berselang beberapa hari kemudian baru engkau akan menyerahkan
surat kepercayaan. Apakah kau perlu datang dulu ke rumah
keluarga Thio untuk mencari mereka?"
"Memangnya mencari siapa ke rumah keluarga Thio?" jengek In
Tiong. "Mungkin Thio Tan-hong akan menunggumu di rumahnya,
tapi kalau In Lui juga tinggal di sana, maka dia bukan lagi adikku."
Keng-beng tertawa, "Ai, watakmu yang keras ini bilakah baru
dapat berubah? Masa begitu hebat rasa dendammu sehingga
engkau selalu benci padanya. Sekali ini kalau tidak dibantu oleh
Thio Tan-hong, tidak nanti Ih Kiam mengetahui keadaan kerajaan
Watze sekarang, dan di antara kedua negara juga takkan
merundingkan perdamaian secepat ini. Justru berkat usahanya
sehingga muncul duta perdamaian seperti dirimu."
Ucapan Keng-beng ini membuat In Tiong menunduk, teringat
olehnya Thio Tan-hong memang pemuda yang berjiwa patriot,
betapapun ia tidak dapat membantahnya. Namun di dalam hati ia
tetap berharap adik perempuan sendiri tidak berada di rumah
keluarga Thio.
Didengarnya Keng-beng berkata pula, "Setiba di Watze nanti,
sebenarnya engkau mesti menemui Thio Tan-hong dahulu untuk
mengucapkan terima kasih padanya."Pahala dan Murka - 26 41
"Ih-taijin mengirim surat padanya, dengan sendirinya harus
kutemui dia." jawab In Tiong. "Cuma permusuhan antara keluarga
kami terlampau mendalam, biar hal ini tidak kupersoalkan lagi
mengingat jasanya terhadap negara dan bangsa. Tapi bila aku
disuruh dari lawan berubah menjadi kawan, hal ini sekali-kali tidak
mungkin terjadi."
Keng-beng tertawa pula, ia towel pelahan jidat In Tiong dan
berkata, "Ai, seorang lelaki sejati masakah berjiwa sempit begini?
Mendingan kaum wanita seperti diriku ini. Keluarga kami juga
bermusuhan dengan keluarga Cu yang menjadi rajamu sekarang,
sudah turun temurun kami menjaga harta, pusaka itu, akhirnya
kami persembahan kepada kerajaanmu. Bila Thio Tan-hong tetap
memikirkan permusuhan leluhur, tidak nanti ia berdaya dan
mencari akal serta minta Ih-taijin menerima kembali si raja tua
yang tertawan musuh."
Watak Ciamtai Ciamjai Keng-beng polos dan suka terus terang,
ia bicara tanpa tedeng aling-aling. Tergetar hati In Tiong,
pikirannya tambah bergolak, ia pikir apakah aku memang tidak
dapat membandingi Thio Tan-hong.
Dalam sekejap itu, bayangan gelap surat berdarah sang kakek
kembali meliputi beriaknya, pikirannya menjadi kusut dan sedih, ia
menunduk dan merobek daging kambing panggang dan dimakan.
Selagi Keng-beng hendak bicara pula, mendadak In Tiong
bertiarap dan mendengarkan dengan cermat, air muka pun
berubah.
"Ada apa?" tanya Keng-beng dengan heran.
In Tiong melompat bangun dan berkata, "Ada pasukan berkuda
menuju ke sini!"Pahala dan Murka - 26 42
Belum habis ucapannya terdengarlah suara tiupan tanduk yang
ramai, menyusul terdengar juga desing anak panah memecah
angkasa sunyi dan berseliweran di atas kemah.
Segera ada juga pengawal masuk melapor, "Pengintai melihat
sepasukan berkuda telah memencar mengitari perkeraahan kita.
Dalam kegelapan sukar diketahui jumlah musuh, tidak diketahui
juga dari galongan apa pasukan ini, mohon In-taijin memberi
petunjuk cara menghadapi mereka?"
"Di padang tandus dan pegunungan sunyi ini, penyatron ini pasti
kawanan bandit, kalian 18 orang boleh tinggalkan kemah, bentuk
regu masing-masing dua orang dan mengambil tempat berlindung,
bila melihat bayangan musuh segera serang dengan panah," pesan
In Tiong.
Jago pengawal itu mengiakan dan berlari pergi. "Engkau sendiri
bagaimana?" tanya Keng-beng. "Hendaknya kalian berkumpul saja
di kemahku ini " jawab In Tiong.
"Engkau tidak keluar?"
"Aku adalah utusan resmi dan membawa mandat raja serta
hadiah yang disampaikan ke pada raja Watze, mana boleh
sembarangan kutinggalkan tempat ini," kata In Tiong. "Beberapa
teman perempuan yang kau bawa itu juga tidak leluasa menghadapi
musuh dalam kegelapan, maka boleh berkumpul di sini untuk
menjaga kemahku ini. Kukira kawanan penyatron ini tidak sulit
dibereskan."
Diam-diam Keng-beng berterima kasih, ia tahu alasan In Tiong
ingin menjaga kehormatan sebagai duta dan hadiah kerajaan yang
dibawanya memang juga benar, tapi ada alasan lain yang tidak
dikatakannya terus terang, yaitu sebenarnya ingin melindungi
Keng-beng dan pengawalnya.Pahala dan Murka - 26 43
Maklumlah, bila beberapa pengawal perempuan itu sampai
terpencar dalam kegelapan dan ditawan musuh, nasibnya tentu
sukar dibayangkan. Selain itu Keng-beng juga kurang sehat dan
kedinginan, kaki tangan terasa nyeri, gerak-gerik kaku, maka In
Tiong menyuruh dia tingggal saja di dalam kemah.
(Bersambung Jilid ke 27)Pahala dan Murka - 27 0Pahala dan Murka - 27 1
PAHALA DAN MURKA
Oleh : gan k.l.
Jilid ke 27
ARU selesai mengatur, musuh serentak menyerang
secara besar-besaran, terdengar suara desing panah yang
ramai, menyusul adalah suara teriakan penyerbuan, di
mana-mana bergema suara benturan senjata. Lalu berjangkit suara
orang lari dan bentakan.
"Kawanan bandit mulai merasakan kelihaian kita," kata In Tiong
dengan tertawa.
Kepandaian In Tiong mendengarkan dengan mendekam di tanah
sangat mahir, dari suara itu dapat diketahuinya musuh telah
kecundang.
Selagi In Tiong bicara dengan beberapa prajurit perempuan,
tiba-tiba terdengar suara "crit", segera api berkobar di luar kemah.
"Celaka!" teriak In Tiong, cepat mereka lari keluar untuk
memadamkan api.
Tapi begitu kemah tersingkap, segera angin kencang menyambar
tiba, sekaligus empat-Jima orang berkedok menerjang ke dalam
kemah.
Kiranya beberapa orang ini menyergap tiba di bawah lindungan
hujan panah bersuara tadi sehingga tidak didengar oleh In Tiong,
ginkang mereka sungguh luar biasa.
Gerak-gerik beberapa orang ini tampak gesit dan tangkas, begitu
menerjang masuk segera mereka melancarkan serangan maut
terhadap In Tiong.Pahala dan Murka - 27 2
Dengan murka In Tiong membentak, sebelah tangan
menghantam, kontan seorang berkedok terpental keluar kemah.
Menyusul In Tiong memukul lagi ke kanan dan ke kiri, namun
lawan sempat mengelak, mendadak seorang berkedok menerjang
dari depan, kesepuluh jarinya serupa cakar elang langsung
mencengkeramnya. Yang digunakan ternyata Tai-lik-eng-jiau-kang,
ilmu cengkeram elang bertenaga raksasa.
Cepat In Tiong menyurut mundur, tangan kiri membalik terus
memotong. Orang itu bersuara heran, tangan ditarik terus
menyodok, di bawah cahaya lilin terlihat telapak tangan orang ini
bersemu lembayung.
In Tiong terkejut, cepat ia menggeser ke samping, ia menendang
sehingga seorang musuh kontan terjungkal.
Sementara itu Ciamtai Keng-beng juga sudah melolos pedang
dan bertempur melawan beberapa orang berkedok.
"Hati-hati terhadap cakar mereka, cakar anjing mereka berbisa!"
seru In Tiong.
Orang berkedok yang lerhadapan dengin In Tiong itu seperti
orang tua, ia tertawa dingin, bersama seorang kawannya yang
bersenjata golok bergigi mereka mengembut In Tiong.
Sembari bertempur In Tiong mengikuti juga keadaan di
sekitarnya, ia lihat Ciamtai Keng-beng juga sedang menempur
sengit dia orang berkedok, satu di antaranya rasanya sudah
dikenalnya, orang ini menggunakan Eng-jiau-kaug, ilmu pukulan
cakar elang bercampur dengan Jik-soa ciang, pukulan pasir merah.
Gerak pukulannya sangat aneh, tampaknya terlebih ganas daripada
si kakek.Pahala dan Murka - 27 3
Ciamtai Keng-beng telah memainkan ilmu pedang andalan
keluarganya, pertahanannya cukup mantap, cuma gerak-geriknya
kurang leluasa, pada waktu berlompatan kelihatan rada lamban.
Agaknya kedua orang lawannya dapat melihat titik lemahnya,
pukulan mereka dan tabasan golok mereka selalu mengincar bagian
bawah.
Suatu waktu orang berkedok itu mendadak melancarkan
serangan aneh, telapak tangannya menghantam muka Keng-beng.
Waktu nona itu menangkis dengan pedang, mendadak lawan
menjatuhkan diri, berbareng kedua kaki Keng-beng hendak
dipegangnya.
Cepat Keng-beng menendang, tungkak kaki kiri yang terpegang
musuh mendadak mendepak ke depan sehingga tubuhnya ikut
mengapung ke atas.
Dalam pada itu, lawan satunya yang bergolok sempat
mengeluarkan tali laso terus dilemparkan, segera ia memburu maju
hendak menawan Keng-beng.
Tentu saja In Tiong terkejut, ia mengertak dan sekuatnya
menghantam ke depan, ia siap mengadu kekuatan dengan pukulan
berbisa si kakek. Pukulan maha dahsyat ini bila beradu, paling
banter In Tiong akan keracunan, sebaliknya lengan si kakek pasti
akan patah.
Rupanya si kakek tidak berani keras lawan keras, cepat ia
menyurut mundur sambil menghindar. Musuh lain yang bergolok
baru saja me nubruk maju, tapi sekali raih In Tiong sempat
mencengkeram tangkai goloknya dan diseret maju, tangan lain
terus menghantam sehingga batok kepala orang itu hancur dan otak
berantakan.Pahala dan Murka - 27 4
Kedua gerakan In Tiong itu dilakukan secepat kilat, selagi
kesempatan itu hendak digunakan In Tiong untuk memburu ke
sana, tiba-tiba terdengar jeritan, kiranya luka beku Keng-beng
kambuh lagi, ruas tulang terasa sakit, ginkang terpengaruh, karena
tungkak kakinya terpegang dan terlempar ke atas tadi, begitu
menabrak atap kemah segera ia berjumpalitan di udara, lalu
menukik ke bawah sambil menusuk.
Tusukan ini sungguh sangat lihai, keji lagi jitu, orang berkedok
yang bergolok itu kontan tertembus lehernya, tali laso yang sempat
dilemparkan tadi pun tepat menjirat tubuhnya.
Orang berkedok yang menyergap tadi baru saja berdiri dan
pukulan In Tiong pun sudah menyambar tiba bagai gugur gunung
dahsyatnya. Keruan orang itu tidak berani menangkis, ia melompat
mundur dengan muka pucat.
Cepat si kakek menyerang dari belakang, pukulannya membawa
angin berbau anyir, segera ia cengkeram pundak In Tiong.
Ketika In Tiong merasa pukulannya akan merobohkan musuh,
tiba-tiba pundak terasa sakit, cepat ia mendak ke bawah sehingga
pukulannya agak menceng, namun tetap mengenai lawan, hanya
tenaganya agak berkurang. Walaupun begitu orang itu pun hampir
tidak mampu bangun lagi.
In Tiong lantas melompat ke samping, ia tidak sempat menyusuli
serangan kepada orang berkedok yang kena pukulannya itu, lebih
dulu ia memeriksa keadaan Keng-beng.
Si kakek mendengus, segera ia pun menyeret kawannya yang
terluka itu dan menerjang keluar kemah.
Keng-beng sendiri sudah melepaskan diri dari jiratan tali, ia
sudah berdiri dengan tertawa, katanya, "Sungguh sangat
berbahaya!"Pahala dan Murka - 27 5
"Tidak apa-apa bukan?" tanya ln Tiong.
"Ya, tidak apa-apa," jawab Keng-beng.
"Coba tanggalkan sepatumu dan buka juga kaos kaki, biar
kuperiksa telapak kakimu," kata ln Tiong.
"Buat apa?" tanya Keng-beng dengan muka merah.
"Dahulu aku pernah terluka oleh pukulan berbisa Ang-hoat-yau-
liong, waktu itu engkau yang merawatku, maka sekarang giliranku
yang akan merawatmu."


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Masa kakiku terpegang dari luar sepatu juga bisa terluka?"
tanya Keng-beng dengan sangsi. Ia coba membuka sepatu dan kaos
kaki, ternyata benar di bagian telapak kaki ada toh merah sebesar
gobang.
"Sungguh amat lihai, untung teraling oleh sepatu," ucap In
Tiong.
Ia lantas menggunakan pedang Keng-beng dan menggores satu
lingkaran di sekeliling toh merah itu, darah berbisa dipencet keluar,
lalu diberi obat luka, katanya, "Hendaknya kamu mengaso dulu,
coba bagaimana lukanya sampai besok nanti kuobati lagi."
Cara bicara In Tiong seperti urusan biasa saja, padahal dalam
hati ia sangat kuatir. Soalnya obat luka yang diberinya bukan obat
yang mujarab melainkan obat luka yang biasa di gunakan prajurit
di medan perang, ia kuatir kalau terlambat diobati, bukan mustahil
luka Keng-beng itu akan meradang dan akhirnya membuat kaki
cacat selamanya.
Namun Keng-beng sendiri seperti tak acuh saja, ia justru merasa
terhibur dan gembira, ia sangat terharu atas perawatan In Tiong
yang penuh perhatian itu.Pahala dan Murka - 27 6
Tanpa terasa timbul pikirannya, "Dibandingkan Thio Tan-hong,
meski dia ini agak lebih kasar, tapi ketulusan hatinya kepadaku jelas
tidak kurang daripada perhatian Thio Tan-hong terhadap In Lui."
Dengan tertawa ia lantas berkata kepada In Tiong, "Sudahlah,
jangan cuma memperhatikan diriku saja, engkau sendiri kan juga
tercengkeram sekali oleh tua bangka itu?"
"Aku memakai jaket pelindung dan tidak beralangan," kata In
Tiong, lalu ia membuka jaket yang dimaksud, ternyata jaket itu
terobek sebagian, untung kulit daging tidak terluka.
Keng-beng menjulur lidah, katanya, "Lihai amat orang ini, jelas
dia terlebih hebat daripada musuh yang menyergapku itu."
Tengah bicara beberapa prajurit perempuan sudah berhasil
memadamkan api yang menjilat kemah. Selang sebentar lagi suara
pertempuran pun mereda, hanya denging panah di udara masih
berseliweran di sana-sini.
"Lapor In-taijin, akhirnya musuh dapat dihalau," demikian
masuk seorang jago pengawal memberi laporan.
"Apakah musuh sudah mundur semua?" tanya In Tiong.
"Agaknya mereka masih berjaga di tempat ketinggian di sekitar
sini dan terkadang menghujani anak panah kepada kita, tapi tidak
berani menyerbu lagi," tutur jago pengawal itu.
"Serbuan mereka gagal, mungkin sekarang me reka bermaksud
mengepung kita agar mati kelaparan dan kehausan," kata In Tiong.
"Maka kalian harus berjaga dengan lebih hati-hati, jangan lengah
sedikit pun. Adakah kawan kita yang terluka?"
"Hanya dua orang terluka panah," tutur pengawal itu. "Seorang
lagi terluka golok, semuanya tidak parah."Pahala dan Murka - 27 7
"Bawa mereka ke dalam kemah sini, biar prajurit perempuan di
sini membalut luka mereka," ujar In Tiong, Ke-13 jago pengawal
yang dibawa In Tiong itu adalah jago istana kelas tinggi, semuanya
gagah perkasa dan satu sanggup melawan seratus, sebab itulah
kerugian yang dialami mereka boleh dikatakan sangat minim.
Begitulah kawanan prajurit perempuan itu sibuk bekerja, bara
saja beberapa orang luka dibalut, terdengar pengawal datang
melapor lagi, "Musuh menyalakan api unggun di atas bukit dengan
asap tebal menjulang ke langit, entah apa sebabnya?"
Belum lenyap suaranya, kembali terdengar suara tiupan tanduk
yang ramai bergema di angkasa.
Meski ramai bunyi suara trompet, namun tidak ada musuh yang
menyerbu.
"Celaka!" seru ln Tiong. "Mereka menyalakan api unggun dan
meniup trompet, tentu mereka sedang mengumpulkan bala
bantuan, mungkin sebelum fajar tiba akan terjadi pertempuran
sengit lagi."
Segera ia mengatur siasat dan menyuruh anak buahnya
menempati pos masing-masing seperti semula, dua orang satu regu
dan tersebar di sekeliling kemah.
Setelah bergema sekian lama, suara trompet musuh lalu
berhenti, hanya asap yang menebar tertiup angin, suasana sunyi
senyap di luar.
In Tiong coba memeriksa keadaan Ciamtai Keng-heng, tanyanya,
"Apakah agak baik?"
"Jauh lebih baik," jawab Keng-beng, tiba-tiba ia menambahkan,
"Tampaknya kawanan bandit itu bukan penjahat biasa."
"Adakah sesuatu yang kaulihat?" tanya In Tiong.Pahala dan Murka - 27 8
"Jika mereka adalah kaum bandit biasa yang bertujuan
membegal, tentu mereka tidak perlu pakai kedok segala," kata
Keng-beng.
"Apakah kau kira mereka orang Mongol?" tanya In Tiong.
"Jangankan Yasian tidak berani sembarangan bertindak begitu,
ketiga orang yang kita binasakan itu pun sudah kusuruh periksa,
semuanya orang Han."
"Jika begitu, untuk apa mereka mesti pakai kedok? Di wilayah
Mongol ini mengapa terdapat kawanan bandit bangsa Han?"
Bekernyit juga kening In Tiong, katanya tiba-tiba, "Mungkin
mereka kuatir dikenali kita. Orang yang melukaimu itu rasanya
sudah pernah kulihat, cuma aku tidak ingat lagi di mana dan siapa
dia?"
"Coba ingat-ingat lagi," pinta Keng-beng.
Setelah berpikir sejenak, mendadak In Tiong berseru, "Aha,
ingatlah sekarang. Agaknya pernah kulihat waktu bertanding
berebut Conggoan di kotaraja dahulu. Cuma waktu itu orang yang
ikut bertanding sangat banyak, aku pun tidak pernah bertarung
dengan dia, maka tidak ingat siapa dia sebenarnya?"
Setelah berhenti sejenak, dengan menyesal In Tiong
menambahkan lagi, "Sayang tadi tidak kita tawan dia."
Baru sampai di sini, sekonyong-konyong atap kemah seperti
ditindih oleh sesuatu benda berat dan runtuh ke bawah.
Keruan In Tiong terkejut dan melompat ke samping, dilihatnya
atap kemah telah berlubang besar, sesosok tubuh terlempar ke
bawah, siapa lagi dia kalau bukan orang berkedok yang melukai
Ciamtai Keng-beng yang baru saja dibicarakan itu.Pahala dan Murka - 27 9
"Orang kosen dari mana yang bergurau denganku?" teriak In
Tiong.
Dari lubang kemah itu tiba-tiba melompat masuk lagi seorang
sambil tertawa, "Haha, sengaja kutangkap bangsat itu bagimu,
masa kau bilang aku bergurau denganmu?"
Sungguh girang Keng-beng tak terkatakan, ternyata pendatang
ini adalah Thio Tan-hong.
Mata In Tiong terbelalak dan tidak dapat bersuara lagi. Diam-
diam ia harus mengakui kelihaian Thio Tan-hong yang datang-pergi
tanpa terduga serupa hantu saja.
"Boleh kau tarik kedoknya dan coba lihat siapa dia," kata Tan-
hong kemudian.
Orang berkedok itu seperti hiat-to tertutuk oleh Tan-hong
sehingga terbanting di situ tanpa bisa berkutik.
Waktu In Tiong menarik kedoknya, kiranya Soa Bu-ki adanya.
Ia masih ingat waktu bertanding berebut Cong-goan dulu, Soa
Bu-ki ini dikalahkan oleh murid kemenakan Thi-pi-kim-wan yang
bernama Liok Tian-peng. Waktu itu ia mengira orang cuma seorang
calon biasa saja, siapa tahu dia adalah bandit besar yang malang
melintang di tapal batas.
Dengan gusar In Tiong lautas berkata, "Thio-heng, silakan kau
buka hiat-tonya, akan kuperiksa dia."
"Bala l antuan mereka sudah datang, juga ada bantuan jago kelas
tinggi dan segera akan melancarkan serangan, mana ada waktu
luang untuk kau periksa dia?" ucap Tan-hong dengan tertawa.
Keng-beng tahu Tan-houg banyak tipu akalnya, Soa Bu-ki juga
dia yang menawannya, tentu anak muda itu banyak mengetahui
seluk-beluk musuh, ia coba tanya, "Thio-toako, jumlah kita sangatPahala dan Murka - 27 10
sedikit, mungkin sukar melawan jumlah musuh yang jauh lebih
besar, untuk itu mohon engkau suka mengatur cara yang paling
baik."
"In-heng," kata Tan-hong, "terpaksa kulamar dan bekerja
bagimu."
Sekarang mau-tak-mau In Tiong juga sangat kagum terhadap
Tan-hong, jawabnya segera, "Silakan mengatur dan memberi
perintah seperlunya."
"Kita harus mundur segera," kata Tan-hong.
"Di tengah kegelapan malam, kekuatan musuh juga belum
diketahui dengan jelas, kita ada juga kawan perempuan, kalau
mundur apakah tidak tambah berbahaya?" tanya lu Tiong.
"Jangan kuatir," sela Keng-beng dengan tersenyum. "Thio-toako
pasti mempunyai pandangan yang sempurna."
In Tiong diam saja.
Segera Tan-hong mengatur, '"'Hendaknya kau taruh barang
yang akan kau berikan kepada raja Watze di atas seekor kuda, lalu
suruh anak buahmu meninggalkan kuda yang lain dan ikut
menerjang keluar bersamaku, kujamin pasti takkan mengalami
sesuatu apa pun dan bahkan segera akan berjaya besar."
Tentu saja In Tiong setengah percaya dan setengah sangsi, ia
pandang Keng-beng sekejap.
"Jangan kuatir bagiku, aku masih sanggup berjalan," kata si nona
sambil melompat bangun.
"Ah, kiranya adik Keng-beng terluka? Jika dapat berjalan boleh
berjalan saja, Nanti akan kuobati lukamu," kata Tan-hong.Pahala dan Murka - 27 11
Ia suruh seorang prajurit perempuan memilih seekor kuda
terbaik, telapak kaki kuda dibalut dengan kain tebal, lalu semua
barang bawaan mereka dimuat di atas kuda.
In Tiong juga memerintahkan pengawal meneruskan
perintahnya satu demi satu, tidak lama kemudian ke-18 jago
pengawal itu sudah berkumpul, kemah dilipat, kawan yang luka
dipanggul, diam-diam mereka mundur ikut Thio Tan-hong.
Sebelum berangkat, Tan-hong menyuruh mereka sama
menikam pantat kuda yang ditinggalkan itu. Karena kesakitan,
kawanan kuda itu meringkik dan lari serabutan menuju ke garis
persembunyian musuh dengan suara gemuruh mengejutkan.
Di tengah malam gelap musuh mengira pihak In Tiong
melancarkan serangan balasan, dengan gugup mereka siap
menghadapi musuh.
Pada waktu keadaan kacau itulah rombongan Tan-hong sudah
menerjang keluar melalui sebuah jalan kecil di sudut barat, mereka
berbaris satu-satu dan berjalan dengan hati-hati.
Setiap orang itu berkepandaian cukup tinggi, kaki kuda dibalut
kain tebal pula sehingga waktu berjalan tidak menimbulkan suara.
Pula suasana kacau, jejak mereka tidak ketahuan musuh.
Setelah berjalan sekian lama, In Tiong berkata dengan heran,
"Mengapa jurusan sini tidak dijaga musuh?"
"Jalan ini tidak ada jalan tembus, sebuah jalan buntu yang
berbahaya," tutur Tan-hong dengan tertawa. "Semula di sini dijaga
belasan orang, tapi semuanya sudah kubereskan. Awas, jalan di
bawah semakin curam."
Batu padas di kedua tepi jalan semakin tajam dan penuh
tetumbuhan berduri, dengan menggunakan pedang Tan-hong
membuka jalan di depan sambil menuntun kuda dengan muatan itu.Pahala dan Murka - 27 12
Rombongan mereka semuanya tangkas kuat, hanya sebentar saja
sudah berada di garis luar persembunyian musuh.
Malam gelap dan angin kencang, hanya beberapa titik bintang
berkelip jarang di tengah cakrawala, di tengah kegelapan sukar
melihat keadaan di depan, hanya dirasakan di situ adalah padang
rumput yang luas, seperti terletak di selat antara dua gunung.
In Tiong mengembus napas lega, katanya, "Kita sudah dapat
menerjang keluar, tapi cara kita ini hanya dapat mengelabui musuh
untuk sementara taja, di depan terulang pula gunung tinggi, dalam
Kegelapan apakah kita dapat melintasinya? Akhirnya kan tetap akan
ketahuan musuh?"
"Justru ingin kupancing mereka ke sini," ucap Tan-hong dengan
tertawa.
Segera ia memimpin rombongan bersembunyi di tempat
ketinggian. Selang tak lama, tertampak cahaya obor berderet
laksana ular naga, benar juga kaburnya mereka sudah diketahui
musuh sehingga melakukan pengejaran.
Tan-hong membiarkan musuh sampai di pa-dang rumput,
mendadak ia bergelak tertawa, keras sekali suaranya hingga
menggema angkasa lembah pegunungan.
Di tengah kegelapan malam musuh tidak tahu rombongan Tan-
hong bersembunyi di mana, mereka menubruk kian kemari tanpa
menemukan sesuatu. Sekonyong-konyong terdengar suara jeritan
ngeri dan lolong kesakitan berjangkit di sana-sini. Kiranya Tan-
hong telah memberi perintah melemparkan batu untuk
menghantam musuh.
Di utas gunung dengan sendirinya banyak batu besar yang sukar
didorong orang biasa, tapi anak buah In Tiong kebanyakanPahala dan Murka - 27 13
bertenaga kuat, begitu mendapat perintah serentak mereka
menggelindingkan batu padas besar itu ke bawah.
Di bawah api obor terlihat kawanan bandit sama
bergelimpangan di padang rumput, ada yang terluka parah dan
tidak sanggup bangun lagi. Ada yang ambles ke bawah dan
meronta-ronta entah apa yang terjadi.
Waktu In Tiong mengawasi dengan cermat, tertampak di padang
rumput sana ada tanah lumpur yang bergolak serupa air mendidih.
Kiranya di bawah sana adalah sebuah rawa-rawa yang tertutup oleh
kapu-kapu sehingga dipandang dalam kegelapan malam serupa
sebidang padang rumput yang luas.
Begitu ambles ke dalam rawa-rawa kawanan bandit itu tidak
sanggup merangkak keluar lagi, malahan mereka terus diterjang
oleh batu padas yang bertebaran dan atas, seketika banyak yang
kepala pecah dan tangan patah dan akhirnya tenggelam ke dalam
rawa.
In Tiong terkejut, kiranya rombongan mereka tadi menyusuri
tepi rawa itu, apabila tidak dipimpin Tan-hong yang kenal keadaan
setempat, dalam kegelapan mereka pasti akan kejeblos ke dalam
rawa dan mengalami nasib serupa musuh.
"Sudahlah, ampuni mereka saja!" kata Keng-beng.
Tan-hong lantas memberi perintah berhenti menghamburkan
batu, katanya terhadap In Tiong dengan tertawa, "Meski anak buah
boleh diampuni, gembongnya harus diberi hukuman setimpal. Mari
lali kita pergi menangkap satu-dua orang mereka. Adik Keng-beng
boleh tunggu sebentar di sini."
Segera Tan-hong membawa In Tiong berputar ke lereng gunung
sana.Pahala dan Murka - 27 14
Sementara itu kawanan bandit yang berhasil merangkak keluar
dari benaman rawa sudah kocar-kacir tidak keruan dan lari
serabutan.
Diam-diam Tan-hong dan In Tiong merunduk ke sana, terlihat si
kakek berkedok dan se orang kawannya mengawal di belakang
sembari membentak-bentak agar kawanan bandit lekas berkumpul
lagi.
Serentak Tan-hong berdua melompat keluar, langsung pedang
Tan-hong menusuk ti kakek berkedok. Namun kakek itu sempat
mengelak, cepat pula ia balas menghantam.


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siapa tahu gerakan Tan-hong terlebih cepat dan seperti sudah
dapat menduga cara bagaimana lawan akan menghindar. Ujung
pedangnya bergeser dan tepat menusuk pundak lawan.
Dengan sendirinya pukulan si kakek mengenai tempat kosong
dan tahu-tahu pundak kesakitan, ia kehilangan imbangun badan
dan jatuh terjungkal.
Sekali raih Tan-hong mencengkeram leher baju orang dan
diangkat serupa elang mencengkeram anak ayam.
Sementara itu In 'liong juga menubruk ke arah orang berkedok
yang lain, sekali hantam tepat mengenai sasarannya, tapi rasanya
serupa me ngenai kulit kering, orang itu cuma bergeliat dan tidak
jatuh.
Kiranya orang itu memakai baju kulit badak pelindung badan,
pukulan In Tiong hanya menggetar robek baju kulit saja, namun
pukulan In Tiong yang lain lantas menyusul.
Orang itu mendengus, kedua jarinya balas menyodok pinggang
In Tiong, berbareng tangan yang lain menangkis pukulan In Tiong.Pahala dan Murka - 27 15
Serangan balasan ini sangat cepat lagi lihai, terpaksa In Tiong
melompat mundur, kesempatan ini segera digunakan orang itu
untuk kabur.
Setelah berhasil menawan si kakek dan membalik ke belakang,
kebetulan Tan-hong berhadapau dengan pelari ini. Mendadak orang
itu menghantam, tapi Tan-hong menyodorkan tubuh si kakek untuk
menangkis sambil menggeser ke samping.
Maka terdengarlah jeritan si kakek serupa babi disembelih dan
terse'ing puh suara teriakan melengking si orang berkedok yang
kabur itu.
Tan-hong terbahak-bahak, waktu ia periksa si kakek, ternyata
dia jatuh semaput terpukul kawannya sendiri.
Sambil menuding bayangan orang yang kabur tadi In Tiong
berkata, "Ilmu silat orang itu sangat tinggi, mungkin dia yang paling
lihai di antara semua orang yang menyerbu malam ini, kenapa Thio-
heng membiarkan dia kabur?"
"Yang pantas ditangkap harus ditangkap, yang perlu dilepas biar
dilepas," kata Tan-hong. "Tentang orang ini, kukira biarkan dia
kabur saja lebih baik."
In Tiong merasa kurang senang karena Tan-hong sengaja main
teka-teki, tapi juga sangsi ada kemungkinan orang mempunyai
rencana tertentu, maka ia tidak tanya lebih lanjut.
Segera mereka kembali ke tempat tadi. Melihat pergi-datang
mereka begitu cepat, Keng-beng memuji, "Sungguh cepat amat!"
"Nah, malam ini pasti aman dan biarkan mereka tidur nyenyak,"
kata Tan-hong. "Adapun kita masih ada sedikit urusan yang perlu
diselenggarakan. In-heng, sekarang boleh kau buka kantor dan
memeriksa perkara."Pahala dan Murka - 27 16
Segera ia suruh orang memasang tenda, lalu masing-masing
boleh pergi mengaso, ia sendiri bersama In Tiong dan Keng-beng
membawa si kakek berkedok ke dalam kemah, mukanya disembur
air dingin supaya siuman.
Tan-hong sudah menduga siapa kakek itu, maka begitu
kedoknya ditarik, benar juga, dia memang benar ayah Soa Bu-ki,
yaitu Soa Tiu.
"Hm, jadi kau memang khianat dan menjual negara, seratus kali
mati pun tak dapat menebus dosamu," jengek Tan-hong. "Kejadian
malam ini memang sudah kuduga sebelumnya, kalau tidak,
bukankah di antara kedua negara akan perang lagi akibat
perbuatanmu ini?"
In Tiong juga lantas membentak, "Ada permusuhan apa antara
utusan kerajaan Beng dengan kalian, mengapa kalian hendak
membunuh kami? Ayo lekas mengaku saja terus terang jika tidak
ingin merasakan siksaan."
"Sama sekali aku tidak bermaksud membunuh kalian, juga tidak
berniat menjangkitkan peperangan di antara negara," teriak Soa
Tiu. "Jika begitu mengapa kamu membawa pasukan dan menyergap
kami? tanya In Tiong.
"Ini . . . ini ..." Soa Tiu gelagapan.
"Hm, kau mau mengaku atau tidak?" jengek Tan-hong.
Dengan dua jari ia tutuk pelahan di bawah iga Soa Tiu, kontan
Soa Tiu merasa seakan-akan sekujur badan ditusuk beribu jarum,
sakitnya tidak kepalang, terpaksa ia meratap, "Ampun, baiklah akan
kukatakan."Pahala dan Murka - 27 17
Tan-hong menepuk pelahan hiat-to pelepas sehingga rasa sakit
Soa Tiu lenyap, ia mengancamnya, "Harus bicara sebenarnya,
bohong sedikit saja boleh kau rasakan lagi kelihaianku,"
"Apa yarg kulakukan ini semuanya atas perintah Yasian." kata
Soa Tiu.
In Tiong terkejut, "Apa katamu? Yasian yang menyuruhmu
berbuat demikian? Ah, omong kosong belaka!"
"Maksud, Yasian minta kami menculikmu, kemudian ia pura-
pura mengirim pasukannya untuk membebaskanmu, dengan
demikian engkau akan merasa utang budi padanya dan terjeblos
dalam cengkaramannya," tutur Soa Tiu.
Seketika In Tiong tidak dapat mengerti maksud tujuan Yasian
itu. Dengan tertawa Tan-hong berkata, "Sungguh keji tipu
muslihatnya, boleh dikatakan sekali timpuk tiga burung. Pertama,
lebih dulu wibawamu sebagai duta kerajaan Beng diruntuhkan dulu,
supaya engkau kehilangan muka."
"Ya, lalu dia yang menyelamatkanmu, bila engkau berada dalam
cengkeramannya berarti engkau adalah tawanan, maka apa yang
kau katakan tentu kurang berbobot lagi," tukas Keng-beng.
"Dengan begitu, pada waktu perundingan perdamaian tentu dia
akan menduduki posisi yang lebih menguntungkan," sambung Tan-
hong. "Dan kalau dia mengemukakan syarat yang menghina, karena
engkau berada dalam cengkeramannya, tentu tidak mampu bicara
keras lagi."
Setelah direnungkan, In Tiong merasa apa yang diuraikan
mereka itu memang masuk di akal, diam-diam ia menyesali otak
sendiri yang bebal dan tidak secerdas Tan-hong dan Keng-beng.Pahala dan Murka - 27 18
Lalu Tan-hong tanya Soa Tiu lagi, "Pasukan yang dikirim Yasian
berjanji akan bertemu dengan kalian di mana?"
"Di lembah gunung depan sana," jawab S0a Tiu.
Tan-hong tersenyum, katanya, "Ya, pengakuanmu memang
tidak dusta. Baiklah, kematianmu kuampuni."
Ia tepuk dua kali di tubuh orang, tulang pundak Soa Tiu
dihancurkannya sehingga selama hidup Soa Tiu tidak mampu
menggunakan kungfunya lagi, biarpun menguasai ilmu pukulan
berbisa juga tak dapat mengganas lagi.
Kemudian ia angkat Soa Bu-ki dan ditindaknya dengan cara yang
sama, lalu kedua orang digusur keluar kemah dan membiarkan
mereka kabur mencari selamat.
"Dan cara bagaimana harus kita hadapi pasukan Watze besok?"
tanya In Tiong.
"Boleh kautidur saja yang nyenyak," Kata Tan-hong dengan
tertawa. "Kumpulkan saja tenagamu untuk menghadapi musuh
besok. Pendek kata pasti takkan membuat malu padamu."
"Perhitungan Thio-toako sungguh sangat tepat, sungguh sukar
ditandingi siapa pun," ujar Keng-beng. "Mengapa segala urusan
seakan-akan sudah kau ketahui sebelumnya, memangnya engkau
dapat meramal segala hal yang belum terjadi?"
In Tiong sendiri juga banyak tanda tanya yang ingin minta
penjelasan kepada Thio Tan-hong.
"Sudahlah, rahasia silam tidak boleh kubeberkan," ucap Tan-
hong dengan tertawa. "Sekarang pergilah kalian mengaso, esok pagi
segalanya akan kuberitahu kepada kalian."Pahala dan Murka - 27 19
Dengan kesal selagi In Tiong hendak pergi tidur, tiba-tiba Tan-
hong berkata pula kepadanya, "Eh, hampir saja kulupakan sesuatu,
silakan tunggu sebentar. Bagaimana kakimu, adik Keng-beng?"
Nona itu coba berjalan beberapa langkah, katanya, "Rasanya
masih belum kuat."
Lalu ia menggulung kaki celana.
"Wah, bengkak," seru In Tiong terkejut. "Tan-hong, bukankah
kau bilang dapat menyembuhkan dia?"
"Betul, cuma harus dilaksanakan olehmu," jawab Tan-hong
sambil mengeluarkan sebatang jarum dan menambahkan, "Boleh
kautusuk Yong-coan-hiat pada tungkak kakinya, lalu menusuk lagi
dua kali pada Hong-bwe-hiat di betisnya, esok pagi bengkaknya
pasti lenyap. Engkau tidak perlu cemas, biar kuajarkan pula cara
pengobatan dengan tusuk jarum. Kemudian ia memberi contoh
praktis dengan keterangan seperlunya, katanya pula, "Hawa di
negeri ini kurang cocok buat kita, banyak orang sakit encok. Cara
tusuk jarumku ini selain dapat menyembuhkan salah urat dan
kelumpuhan, untuk menyembuhkan kaki pincang juga sangat
mujarab, kuharap In-heng suka mempelajarinya dengan seksama."
Diam-diam In Tiong tidak mengerti, kan Keng-beng tidak
pincang, buat apa banyak cerita? ia merasa kesal karena Tan-hong
banyak omong, dengan tak acuh ia menjawab, "Biarlah kupelajari
lain hari saja."
"Tapi harus kau pelajari!" pesan Tan-hong pula. "Ah, kutahu
engkau merasa repot bukan? Baik, biar kuberikan resep rahasianya
secara lengkap. Adik Keng-beng, harus kau awasi dia supaya belajar
tekun."Pahala dan Murka - 27 20
Lalu ia mengeluarkan sejilid buku dan merobek bab yang berisi
pelajaran kaki pincang dan sebagainya, secara paksa ia serahkan
kepada In Tiong. Hal ini membuat In Tiong tidak mengerti.
Keng-beng cukup cerdik, melihat Tan-hong berkeras
memberikan kitab pengobatan itu kepada In Tiong, ia menduga
pasti dibalik urusan ini ada alasannya.
"Jika Thio-toako bermaksud baik, boleh kau-terima saja,"
katanya dengan tertawa.
In Tiong paling menurut kepada perkataan Ciamtai Keng-beng,
maka diterimanya buku pemberian Tan-hong itu dengan tetap
merasa heran.
"Baiklah, boleh kau sembuhkan kaki adik Keng-beng, aku tidak
mengganggu kalian lagi." kata Tan-hong dengan tertawa sambil
melangkah pergi.
Esoknya pagi-pagi Tan-hong sudah membangunkan In Tiong
dan bertanya, "Bagaimana keadaan luka adik Keng-beng?"
"Ilmu tusuk jarum ajaranmu itu sungguh sangat manjur," tutur
In Tiong dengan tertawa "Hanya setengah jam saja setelah tusuk
jarum kulakukan segera dia dapat berjalan seperti biasa."
"Jika begitu, marilah sekarang juga kita berangkat," kata Tan-
hong. "Malahan masih banyak permainan menarik yang akan
terjadi lagi nanti."
Tentu saja In Tiong tidak habis mengerti apa pula yang telah
diatur Tan-hong, terpaksa ia menurut saja.
Di antara ke-18 jago pengawal yang datang bersama In Tiong,
tiga di antaranya terluka ringan dalam pertempuran semalam,
maka semuanva masih dapat menunggang kuda.Pahala dan Murka - 27 21
Kawanan bandit anak buah Soa Tiu ada sebagian terbenam di
rawa-rawa dan sudah binasa tenggelam, banyak kudu berkeliaran.
In Tiong menyuruh anak buahnya memilih belasan ekor kuda itu,
barisan mereka lantas meninggalkan lembah pegunungan itu."
Baru saja mereka keluar dari lembah lantas terdengar di
kejauhan ada lari barisan kuda, sayup-sayup terdengar pula suara
teriakan ramai.
In Tiong merasa heran, "Aneh, serupa pasukan yang lari karena
kalah perang."
Tan-kong tertawa, katanya, "Memang permainan menarik
segera akan naik pentas, boleh kau-tunggu dan lihat saja."
Setelah membelok ke kaki gunung sana, tiba-tiba debu mengepul
tinggi di depan, sepasukan tentara Mongol tampak muncul,
jumlahnya cuma 20-30 orang, semuanya kedodoran, barisan pun
kacau, jelas habis mengalami kekalahan di medan perang.
In Tiong merasa heran, dilihatnya seorang perwira Mongol di
bagian depan memberi hormat kepadanya dan menyapa, "In-susin
(penduka duta In) berkunjung ke negeri kami, maaf jika kami tidak
mengadakan penyambutan selayaknya."
"Siapa kalian ini?" tanya In Tiong.
"Kami ditugaskan oleh Thaysu agar menyongsong kedatangan
In-susin ke kotaraja," tutur perwira itu. "Aha, kiranya Thio-kongcu
juga hadir di sini, sungguh sangat bagus!"
Perwira ini tak-lain-tak-bukan adalah jago nomor satu di bawah
Yasian, yaitu Ogito. Melihat Tan-hong berada di sini, mau-tak-mau
sikapnya kelihatan kikuk.
Tan-hong tersenyum, katanya. "Penyambutan Thaysu kalian
sungguh sangat baik!"Pahala dan Murka - 27 22
Mendedah ia larikan kuda ke depan, sekali meraih, seorang
perwira di samping Ogito telah dicengkeramnya dan diangkat.
Perwira itu pun sangat lihai, meski dicengkeram tanpa terduga
dan badan terapung, kedua kakinya masih sempat menendang,
namun sebelum mengenai sasaran hiat-to kelumpuhannya sudah
tertutuk hingga tidak mampu berkutik lagi.
Kejadian ini sama sekali di luar dugaan. Segera Ogito
membentak, "Thio-kongcu, masa engkau bertindak tidak sopan
begini?"
Tan-hong tak peduli, ia terus merobek baju perwira itu, dibelejeti
lagi baju dalam orang bagian punggung hingga kelihatan kulit
badannya, tertampak di punggung orang itu terdapat huruf "cat"
atau bandit, huruf bekas pukulan sehingga tidak rajin, namun cukup
jelas terbaca.
"Hehe, siapa yang tidak sopan?" tanya Tan-hong dengan terlawa.
"Tentu kaupun kenal huruf Han ini. Hah, untung kuberi tanda
dulu."
Lalu ia lemparkan perwira itu ke samping dan cepat ditangkap
oleh jago pengawal pengiring In Tiong.
"In-susin," ucap Tan-hong pula. "Keparat inilah bangsat
berkedok yang lolos semalam namanya Mohikhan, dia juga jago
andalan Yasian. Boleh kau jaga dia dan serahkan kepada Yasian
nanti." Ogito mengerang murka, ia lolos golok terus membacok.
Cepat Tan-hong menangkis dengan pedang. Setelah bergebrak
beberapa jurus, mendadak Tan-hong terbahak dan berkata, "Haha.
apakah belum cukup membuatmu kapok pengalaman semalam?
Kamu ingin jatuh di tangan musuh Thaysu kalian atau jatuh di
tanganku?"Pahala dan Murka - 27 23
Ogito melengak, ucapnya, "Kiranya kejadian semalam adalah
gara-gara permainanmu."
Dengan gemas golok lantas membacok, nyata ia menjadi nekat
dan ingin mengadu jiwa.
Diam-diam Tan-hong mengerahkan tenaga dalam, pedang terus
balas mennbas sambil menangkis, "creng". begitu kedua senjata
beradu, golok Ogito yang tebal itu kutung menjadi dua.
Cepat Ogito putar kuda dan aagkat langkah seribu.
"Hm, masakah kau mau kabur begitu saja?" ejek Tan-hong
dengan tertawa dingin. "Boleh kau lihat, siapa itu yang datang?!"
Terdengar kuda meringkik di depan sana disertai derap lari kuda
yang cepat, dipandang dari jauh tampak segulung bayangan putih
seakan-akan melayang tiba, hanya sekejap saja sudah mendekat.
"Aha! Koko!" segera Keng-beng berteriak girang.


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kiranya pendatang ini adalah Ciamtai Biat-beng, kuda
tunggangannya adalah Ciau-ya-sai-cu-ma milik Thio Tan-hong.
Keruan Ogito ketakutan setengah mati, baru saja ia sempat
berteriak, "Ciamtai-ciangkun . . . . " tahu-tahu ia sudah kena dijotos
oleh Ciamtai Biat-beng dan kontan terjungkal ke bawah kuda.
Pada waktu pasukan Yasian mengepung tempat kediaman Thio
Cong-ciu, cukup banyak Ciamtai Biat-beng dibuat gemas oleh lagak
Ogito. Sekarang dia sudah melepaskan kedudukannya sebagai
perwira Watze, ia tidak perlu lagi tunduk di bawah perintah Ogito,
maka sekaranglah saatnya ia melampiaskan gemasnya.
Sisa pasukan Ogito masih ada likuran orang, semuanya kenal
Ciamtai Biat-beng adalah jago nomor satu di negeri Watze, sekali
digertak Biat-beng, beberapa orang jatuh terperosot dari kudanya
saking takutnya, sisanya lekas kabur.Pahala dan Murka - 27 24
Ciamtai Biat-beng meringkus Ogito dengan erat, selagi Keng-
beng hendak mengajak bicara padanya, tiba-tiba tertampak debu
mengepul tinggi lagi di depan.
In Tiong menjadi kuatir, "Wah, masa Yasian begitu nekat, berani
mengirim pasukan besar ke sini?"
"Ini bukan pasukan Yasian," ujar Ciamtai Biat-beng dengan
tertawa.
Sejenak kemudian pasukan itu sudah mendekat, setelah
diperkenalkan Ciamtai Biat-beng, kiranya pasukan ini terdiri dari
salah satu kelompok suku bangsa Watze yang dipimpin seorang
kepala suku.
Kepala suku tua kelompok ini telah dibunuh oleh Yasian dan
kepala suku yang sekarang dipaksa memihak Yasian. Sampai akhir-
akhir ini Yasian berebut kuasa dengan Aji, dengan sendirinya
kelompok suku ini berontak dan memihak Aji.
Anak buah yang dibawa Ogito sebenarnya berjumlah 500 orang,
semalam mereka disergap oleh kelompok suku ini dan hampir
tersapu bersih. Dua-tiga puluh orang yang lolos tadi sekarang juga
telah ditawan oleh mereka.
Begitulah setelah berbicara barulah In Tiong tahu duduknya
perkara.
Rupanya ketika Thio Tan-hong dan Ciamtai Biat-beng menuju ke
selatan untuk menyongsong kedatangan misi perdamaian yang
dipimpin In Tiong, di tengah jalan mereka pergoki gerakan pasukan
yang dipimpin Ogito ini.
Malamnya Tan-hong coba menyelidiki perkemahan musuh dan
diketahui Ogito sedang berunding dengan Soa Tiu, Ogito
menyampaikan perintah rahasia Yasian dan menyuruh Soa TiuPahala dan Murka - 27 25
menculik utusan Tiongkok, lalu Ogito akan muncul untuk
menolongnya.
Waktu itu Tan-hong sedang sedih tidak mampu menghadapi
musuh yang berjumlah banyak, ia berunding dengan Ciamtai Biat-
beng, dan diketahui kelompok suku yang tinggal berdekatan adalah
musuh Yasian, segera ia mengatur tipu akal, Tan-hong sengaja
memancing pasukan Soa Tiu dan dijebloskan ke rawa-rawa, sedang
Ciamtai Biat-beng mendatangi kepala suku itu dan membujuknya
mengirim pasukan untuk membantu. Dengan kerja sama begitu
ternyata telah membawa hasil yang memuaskan.
Adapun Mohikhan memang sekomplotan dengan Ogito, dia
datang hendak membantu Ogito. ketika pertama kali Soa Tiu gagal
menyergap In Tiong. Tak terduga ia kena dipukul satu kali oleh In
Tiong sehingga meninggalkan bekas luka serupa tulisan di
punggung.
Sekarang Tan-hong menangkapnya dan membongkar rahasia
komplotan mereka, karena bukti nyata sehingga mereka tidak dapat
menyangkal.
Begitulah setelah kepala suku itu bertemu dengan In Tiong,
kedua pihak saling memberi "hata", yaitu saling tukar tanda mata
sejenis saputangan sebagai penghormatan, kedua pihak pun
sepakat, selain Ogito dan Mohikhan dibawa pergi oleh In Tiong,
tawanan lain dan senjata serta kuda boleh diambil oleh kelompok
suku itu.
Setelah menang perang, sekarang mendapat hadiah ratusan
kuda dan banyak senjata, kepala suku itu sangat senang dan
berulang mengucapkan terima kasih, lalu kedua pihak berpisah.
Rombongan ln Tiong meneruskan perjalanan.Pahala dan Murka - 27 26
Sementara itu sudah dekat lohor, cahaya matahari gilang
gemilang, hawa dingin lenyap sama sekali, semangat In Tiong
menyala, katanya kepada Tan-hong, "Semalam berkat bantuanmu.
Yasian bermaksud memberi pukulan dulu padaku, siapa tahu ia
sendiri kecundang dan kelemahannya dapat kita pegang."
Tan-hong hanya tersenyum tanpa menjawab.
"In-toako," kata Keng-beng, "semalam engkau memimpin
pertempuran dengan mantap sehingga kita sama terhindar dari
malapetaka, jasamu sendiri tidaklah kecil."
Lalu ia larikan kudanya berjajar dengan In Tiong.
Melihat kelakuan Keng-beng itu, diam-diam Biat-beng tertawa,
"Kiranya genduk ini telah mendapatkan pilihan buah hati."
Melihat kemesraan Keng-beng dan In Tiong dan teringat kepada
pengalaman Thio Tan-hong yang kecewa, diam-diam ia berduka
bagi sang majikan muda.
Tan-hong sendiri juga murung.
Sebaiknya In Tiong sangat bergairah, tiba-tiba ia tanya, "Eh, di
mana adik Lui? Mengapa tidak datang bersamamu, apakah dia
tertinggal sendirian di kotaraja Watze sana?"
Tan-hong termangu sejenak, sekuatnya ia menahan gejolak
perasannya, jawabnya dengan hambar, "Ya, dia tidak ikut kemari,
ia pulang menjenguk ibunya."
"Ah, apakah ibuku masih hidup baik-baik?" seru In Tiong girang.
"Kabarnya ayahmu juga sudah pulang," tukas Ciamtai Biat-beng.
"In-taijin, sekali ini segenap keluarga kalian akan berkumpul
kembali dengan baik, sungguh selamat dan bahagia."
"Apa betul?" saking kegirangan In Tiong berteriak keras.Pahala dan Murka - 27 27
?Tentu saja betul, cuma ...." tiba-tiba Biat-beng melihat Tan-hong
memberi kedipan mata padanya, seketika ia urung bicara.
"Cuma apa?" tanya In Tiong, "Cuma perjalanan amat jauh, entah
mereka sempat kemari dan bertemu denganmu atau tidak," kata
Biat-beng.
"Meski aku harus tinggal lebih lama beberapa hari di kotaraja
Watze juga ingin kutunggu dan bertemu dengan mereka," ucap In
Tiong dengan tertawa.
Ketika melihat sikap Thio Tan-hong acuh tak acuh, In Tiong rada
kurang senang, pikirnya, "Ya, antara keluarga In kami dan keluarga
Thio mereka memang musuh turun temurun, tentu saja ia tidak
senang mendengar ayahku masih hidup. Ai, jiwa orang ini ternyata
sangat sempit. Tapi juga ada baiknya, dengan demikian aku pun
takkan bertambahan beban batin, sebab adik Lui terpaksa akan
berpisah juga dengan dia."
Sebenarnya, setelah mengalami macam-macam kejadian ini,
rasa dendam dan benci In Tiong terhadap Thio Tan-hong sudah
banyak berkurang, bahkan boleh dikatakan dia tidak lagi
memandang Tan-hong sebagai musuh. Hanya saja ia belum dapat
melupakan permusuhan antar keluarga, maka masih tetap tidak
setuju In Lui berjodohkan Tan-hong.
Begitulah setelah perjalanan belasan hari tanpa terjadi sesuatu,
akhirnya rombongan mereka sampai di luar kotaraja Watze.
In Tiong menghentikan kudanya, memandangi kota itu dari jauh,
terharu sekali perasaannya. Terbayang olehnya masa kecil sendiri
pernah hidup sengsara di kotaraja itu, sekarang dia datang kembali
dalam kedudukan sebagai duta yang agung, sungguh ia tidak tahu
kedatangannya ini harus di buat bergirang atau mesti berduka.Pahala dan Murka - 27 28
Tiba-tiba terdengar dentum meriam tiga kali, pintu gerbang kota
terbentang lebar, rupanya raja Watze sudah menerima berita
tentang kedatangan duta Tiongkok, maka mengutus wakilnya
menyambut keluar kota.
Yasian juga mengirim orangnya ikut menyambut, ketika tidak
melihat Ogito ikut mengiringi In Tiong bersama pasukannya,
mereka sangat heran. Tentu saja mimpi pun tidak inereka duga
bahwa Ogito dan Mohikhan sekarang sudah menjadi tawanan dan
tersekap di kolong kereta yang sempit.
Adapun Thio Tan-hong dan Ciamtai Biat-beng segera
menyingkir pergi begitu mendengar dentum meriam, mereka
pulang ke rumah melalui pintu kota jurusan lain.
Yasian sendiri lagi tidak tentram menanti kedatangan utusan
kerajaan Beng. Ketika ia mendapat laporan tentang tibanya In Tiong
bersama rombongannya dalam keadaan baik dan tiada tanda
mengalami gangguan, sebaliknya Ogito dan pasukannya tidak
tampak bayangan seorang pun. Tentu saja Yasian terkejut dan juga
bingung.
Ia heran, kepandaian Ogito dan Mohikhan sangat tinggi,
orangnya juga cerdik, apalagi membawa anak buah 500 orang,
mustahil bisa gagal. Umpama gagal tentu juga ada satu-dua orang
dapat lolos untuk menyampaikan kabar, masa seorang pun tidak
dapat lolos pulang dan sama sekali tiada berita lanjutannya. Apakah
utusan Beng ini memang malaikat sakti yang tak terkalahkan.
Begitulah Yasian tidak habis mengerti, semalaman ia tidak dapat
tidur nyenyak. Esok paginya ia mengirim orang ke wisma tamu
agung dan mengundang duta kerajaan Beng berkunjung ke istana
perdana menteri.Pahala dan Murka - 27 29
Yasian adalah perdana menteri kerajaan Watze, juga memberi
mandat kepada diri sendiri selaku utusan berkuasa penuh dalam
perundingan perdamaian ini, menurut tatacara kenegaraan, In
Tiong harus melakukan kunjungan kehormatan kepadanya.
Maka dengan membawa empat pengiring dan sebuah kereta In
Tiong mengunjungi Yasian.
Sejak pagi Yasian sudah menunggu, sampai dekat lohor barulah
mendapat laporan bahwa utusan Beng sudah tiba bersama sebuah
kereta.
Diam-diam Yasian merasa sangsi, ia pikir apakah orang
membawa hadiah sekereta penuh, jika demikian tentu hadiah yang
dibawa ini berbentuk besar dan berbobot berat.
Ia lantas membuka ruangan tengah, pengawal berbaris di dekat
pintu, tamu agung disilakan masuk.
In Tiong memang gagah perkasa, ia melangkah tegap di tengah
kedua barisan jago pengawal perdana menteri, dengan sikap
anggun ia masuk ke ruangan pendopo itu.
Begitu berhadapan, Yasian melenggong. Ia merasa wajah orang
seperti sudah pernah dilihatnya entah di mana. Sesaat itu bayangan
seorang utusan Beng yang lain tiba-tiba terlintas dalam benaknya.
Itulah kejadian 30 tahun yang lalu mengenai In Cing, yang
pernah dibuang dan disuruh angon kuda selama 20 tahun,
bayangan orang tua yang angkuh, teguh dan pantang tekuk lutut itu
pada hakikatnyu serupa benar dengan anak muda di hadapannya
sekarang.
Sehabis beramab tamah, In Tiong mempersembahkan hadiah
yang dibawanya, yaitu tidak lain daripada batu kemala dan mutu
manikam sebagai tanda hormat.Pahala dan Murka - 27 30
Ketika Yasian tanya nama dan tahu utusan ini juga she In, ia
terkejut, serunya dengan tertawa, "Haha, sungguh sangat
kebetulan, duta pada 30 tahun yang lalu itu pun she In."
"Malahan ada lagi yang terlebih kebetulan," kata In Tiong dengan
tertawa. "Duta 30 tahun yang lalu itu adalah si kakek, 30 tahun
kemudian yang menjadi duta adalah cucunya. Mohon tanya Thaysu,
bukankah kejadian ini pun harus dijadikan cerita menarik?"
Air muka Yasian berubah hebat, ucapnya dengan kikuk, "Haha,
betul, betul, cerita menarik."
Jelas dia kelihatan gugup dan serba salah.
In Tiong sangat senang, segera ia menambahkan, "Sebelum
berangkat sebagai duta, lebih dulu aku sudah belajar cara
mengangon kuda, bilamana perlu kusiap untuk tinggal berapa
lamapun di negeri ini."
Yasian tambah kikuk, cepat ia menjawab dengan menyengir,
"Ah, In-taijin memang pandai bergurau, haha!"
Sesudah berdehem, lalu ia menyambung lagi, "Sekali ini In-taijin
diutus ke negeri ini, maafkan jika kami tidak menyambut
selayaknya. Perjalanan jauh In-taijin ini tentu sangat lelah."
Ucapan Yasian ini selain untuk membelokkan pokok
pembicaraan, maksudnya juga untuk memancing cerita In Tiong
kalau menemukan sesuatu dalam perjalanan.
In Tiong mendengus, "Ah, tidak apa-apa, cuma ketika memasuki
wilayah negeri ini, terkadang kepergok beberapa penjahat kecil
yang datang mengganggu."
Yasian terkejut, ia pikir jika benar cuma beberapa penjahat kecil
saja tentu bukan Ogito dan pasukannya. Cepat ia tanya, "Dimanakah
kalian diganggu penjahat? Wah, petugas setempat lalai padaPahala dan Murka - 27 31
tugasnya ikut menjaga keamanan utusan negara sahabat, mereka
harus dipecat dan mendapat ganjarannya."
"Ah, sudahlah, toh kami tidak mengalami sesuatu kerugian apa
pun," kata In Tiong dengan tertawa. "Justru aku pribadi membawa
sedikit oleh-oleh yang tidak berarti dan ingin kupersembahkan
kepada Thaysu."
Yasian sangat senang, jawabnya, "Ah, kenapa In-taijin pakai adat
begini."
"Mohon Thaysu mengizinkan kusuruh pengiring membawakan
oleh-oleh di atas kereta itu ke sini," kata In Tiong pula.
Diam-diam Yasian pikir muatan kereta itu ternyata benar
hadiah, tapi dapat diduga barang yang berat dan besar itu tentu
bukan barang terlalu berharga. Namun apa pun juga oleh-oleh dari
negara besar, betapapun merupakan suatu kehormatan baginya.
Sebab itulah dengan bangga dan senang ia lantas
memerintahkan anak buahnya memberi bantuan untuk membawa
hadiah yang dimaksud ke pendopo.
In Tiong tersenyum ketika empat pengiringnya menggotong dua
buah karung besar ke dalam ruangan. Yasian mengira isi karung itu
pasti hasil bumi Tiongkok yang jarang dicari, diam-diam ia
mentertawakan In Tiong yang membawa oleh-oleh sepele seperti
itu. Ketika keempat orang pengiring In Tiong itu membanting
barang angkatannya ke lantai, mendadak dari dalam karung
terdengar suara orang mengaduh. Waktu ikatan karung dibuka, dua
manusia yang teringkus erat lantas terguling keluar. Satu di
antaranya bertelanjang punggung dan terdapat bekas pukulan yang
serupa tulisan.Pahala dan Murka - 27 32
"Inilah sedikit oleh-oleh yang tidak berharga, harap Thaysu suka
menerimanya dengan senang hati," kata In Tiong kemudian.
Tidak perlu dijelaskan lagi, kedua orang itu dengan sendirinya
adalah Ogito dan Mohikkan yang tertawan itu. Mereka sudah sekian
lama tersekap di dalam karung goni, tentu saja kepala pusing dan
mata berkunang-kunang, ketika mendadak hiat-to terbuka dan
melihat cahaya, serentak mereka melompat bangun, dan orang
pertama yang mereka lihat adalah Yasian, mereka mengira orang
sendiri yang menolongnya, serentak mereka berteriak girang
"Thaysu . . . ."
Yasian sendiri juga terkejut, tapi dasar dia memang seorang licik
dan licin, segera ia tahu duduknya perkara, seketika ia menarik
muka dan membentak, "Hm, jadi kalian berdua bangsat cilik ini


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang telah mengganggu duta negara sahabat?! Ayo, lekas diringkus
dan dirangket 300 kali dan masukkan penjara untuk diperiksa lebih
lanjut."
Keruan Ogito dan Mohikhan terperanjat, mereka tidak tahu
mengapa Yasian berbalik mencaci maki kepada mereka, Terdengar
kawanan jago pengawal sama membentak, lalu menyeret mereka
masuk ke ruangan belakang.
Kembali In Tiong tersenyum, katanya, "Masih banyak urusan
penting yang harus dikerjakan Thay-su, hendaknya jangan marah
bagi kedua bangsat cilik itu. Sebab itu pula kami berani lancang
meringkus mereka ke sini."
Air muka Yasian sebentar merah dan sebentar pucat, katanya,
"Kedua bangsat kecil itu sungguh membikin malu, tentu akan
kuberi hukuman berat."
In Tiong diam saja dan memandangnya dengan dingin tanpa
menggubris apa yang diucapkan.Pahala dan Murka - 27 33
Yasian sendiri tampak gugup. Maklumlah, Ogito berdua dikenal
sebagai jago andalannya, malahan mambawa pasukan 500 orang
dibantu pula oleh Soa Tiu, tapi sekarang mereka telah dibereskan
oleh In Tiong secepat dan semudah itu, malahan tertawan hidup-
hidup, tentu saja hal ini membuatnya bingung dan takut.
Apalagi sekarang In Tiong menatapnya dengan sikap kaku
begitu, serupa seorang pesakitan berhadapan dengan hakim,
keruan Yasian kebingungan.
Setelah puas menyaksikan Yasian kehilangan muka, In Tiong
merasa sudah cukup membuat rikuh padanya, dengan tersenyum ia
lantas bicara, "Warga setiap negara memang tidak seluruhnya baik,
bilamana terdapat juga beberapa penjahat kecil kukira tidak perlu
diherankan, maka kuharap Thaysu tidak mempersoalkan lagi,
marilah kita bicara urusan pokok yang lebih penting."
Yasian merasa lega, jawabnya. "Ucapan In-taijin memang betul."
In Tiong mengeluarkan satu berkas dan disodorkan kepada
Yasian, katanya, "Inilah konsep perdamaian kami, silakan Thaysu
membacanya."
Konsep itu disusun oleh Ih Kiam, isinya sangat sederhana,
maksudnya tiada lain ingin saling hormat menghormat dan
menjaga wilayah masing-masing dan kedua pihak takkan serang
menyerang selamanya. Syarat ikutannya adalah bekas kaisar
Tiongkok yang masih ditahan di Watze supaya dipulangkan.
Yasian membaca sekedarnya lalu diam saja. Sebenarnya ia pun
sudah mempunyai konsep sendiri yaitu mencontoh syarat
perjanjian yang diputuskan antara kerajaan dinasti Song dan
kerajaan Liau dahulu, pihak Beng diharuskan mengaku lebih rendah
dan setiap tahun harus memberi upeti tiga ratus laksa tahil perakPahala dan Murka - 27 34
dan lima laksa gulung kain sutera, pokoknya ingin menarik
keuntungan dari pihak lawan.
Tak terduga olehnya rencananya yang muluk-muluk itu
sekarang berbalik dipermainkan oleh pihak lawan. Ia menjadi lesu
serupa ayam aduan yang sudah keok, konsep yang berada dalam
saku tidak berani dikeluarkannya.
Dengan serius In Tiong lantas berkata, "Tiongkok adalah negeri
yang mengutamakan persahabatan, sekarang juga ingin bersahabat
dan hidup damai berdampingan dengan negeri kalian. Mengenai
kejadian yang sudah lalu tidak perlu dipikir lagi. Syarat perdamaian
ini menguntungkan kedua pihak. Bilamana Thaysu sangsi dan
mengira Tiongkok dapat ditundukkan, jelas Thaysu salah sangka
besar."
Ucapan In Tiong yang keras dan lunak ini membuat Yasian
berpikir dua kali, diam-diam ia mengakui utusan ini jauh lebih lihai
daripada mendiang kakeknya, umpama ulur waktu lagi juga tiada
gunanya. Apalagi ia pun meuguatirkan gerakan Aji yang tambah
aktif, terpaksa ia terima konsep In Tiong itu dan berjanji akan
dirundingkan lebih lanjut setelah konsep itu dibaca dan dipelajari
raja Watze.
Perundingan berjalan lancar, tidak sampai sepuluh hari kedua
pihak sudah setuju untuk menandatangani surat perjanjian
perdamaian.
Hari kedua setelah perjanjian ditandatangani, pihak utusan Beng
lantas membawa pulang kaisar Ki-tin yang tertawan itu.
Waktu perundingan berlangsung, pernah Tan liong mengirim
berita kepada In Tiong dan mengundangnya berkunjung ke
rumahnya, namun In Tiong masih teringat kepada permusuhan
leluhur, meski ia sendiri tidak lagi dendam kepada Thio Tan-hong,Pahala dan Murka - 27 35
namun undangan tersebut tidak diterimanya, Tan-hong sendiri juga
tidak berkunjung kepadanya.
Malam sebelum utusan Beng berangkat pulang, In Tiong merasa
sangat bersemangat, ia mondar-mandir di ruagan wisma tamu dan
tidak dapat tidur.
Di suatu tempat lain juga ada dua orang sangat lergairah dan tak
dapat pulas. Mereka adalah Tan-hong dan ayahnya. Cuma perasaan
antara mereka ayah dan anak juga tidak sama.
Perasaan Thio Cong-ciu di samping bersemangat juga membawa
rasa pedih. Saat itu mereka sedang bicara di taman bunga.
Selama beberapa hari ini Thio Cong-ciu ibaratnya pohon yang
kering, meski musim semi telah tiba, namun pohon kering ini tidak
lagi bersemi, tiada daun hijau lagi. Ia menutup diri di kamar tidur,
jangankan bicara dengan putra sendiri, terhadap urusan
kedatangan utusan Beng sama sekali tidak mau tahu.
Sikap diam yang tidak biasa ini membuat orang kuatir baginya.
Mestinya Tan-hong hendak menemui In Tiong, lantaran
kemurungan sang ayah itu ia urung keluar rumah.
Malam itu tiba-tiba Thio Cong-ciu memanggil Tan-hong dan
mengajaknya bicara di taman.
Di bawah cahaya bulan purnama Thio Cong-ciu menghela napas
dan berkata, "Kabarnya perjanjian perdamaian sudah
ditandatangani dan utusan Beng besok juga akan pulang, betul
bukan?"? Untuk pertama kali milah Thio Cong-ciu bicara tentang
utusan Beng. Maka Tan-hong membenarkan pertanyaan sang ayah.
"Konon utusan Beng itu juga she In, apa benar?" tanya Cong-ciu
pula.Pahala dan Murka - 27 36
"Betul," jawab Tan-hong. Sudah terpikir beribu kali olehnya
bilamana In Tiong tidak mau berjumpa dengan ayahnya, maka ia
pun tidak berani memberitahukan seluk-beluk pribadi In Tiong
kepada sang ayah.
"Utusan ini ternyata telah memenuhi tugasnya dengan baik, jauh
lebih cekatan daripada mendiang In Cing," ucap Cong-ciu. Nyata ia
tidak tahu bahwa utusan ini justru cucu In Cing adanya.
Tan-hong mengangguk dengan tersenyum.
"Jika begitu, anak Hong, besok juga kaupun harus berangkat!"
kata Cong-ciu tiba-tiba.
Tergetar hati Tan-hong, cita-cita ini sudah terkandung dalam
hatinya selama bertahun-tahun, tapi sekarang tercetus dari mulut
sang ayah, sungguh timbul semacam perasaan yang sukar
dijelaskan.
Ia tahu dengan jelas, apabila esok dirinya juga berangkat, maka
untuk seterusnya pasti takkan berjumpa pula dengan sang ayah.
Setiap perpisahan manusia selalu membuat orang berduka, apalagi
harus berpisah dengan ayah kandung sendiri.
Ssdapatnya Tan-hong menahan perasaannya, walaupun tahu
jelas sang ayah takkan setuju, ia coba bertanya, "Dan engkau sendiri
bagaimana, ayah?"
Cong-ciu menarik muka, tapi lantas tertawa dan berkata,
"Perbekalanmu sudah kusiapkan bagimu, untuk terakhir kali inilah
aku berbuat bagimu."
Terharu sekali hati Tan-hong, serunya, "Ayah, jika engkau tidak
pergi, biarlah aku pun tinggal menemanimu di sini."Pahala dan Murka - 27 37
"Tidak, kamu harus pergi," ucap Cong-ciu dengan suara lembut.
"Kamu masih muda, Ciamtai-ciangkun akan pergi bersamamu,
sudah kukatakan padanya."
"Ciamtai-ciangkun juga akan pergi? ...." Tan-hong tidak jadi
meneruskan ucapannya, mestinya ia hendak bilang "jika begitu
bukankah ayah akan tambah kesepian?"
Selagi Cong-ciu hendak berkata lagi, sekonyong-konyong
bayangan orang berkelebat, tahu-tahu Ciamtai Biat-beng berlari
tiba.
"Aha, itu dia, baru disinggung orangnya lantas muncul," seru
Cong-ciu.
Terlihat napas Ciamtai Biat-beng menggeh-menggeh dan
berseru dengan suara gemetar, "Wah. celaka, Cukong!"
Belum pernah Thio Cong-ciu melihat Biat-beng segugup ini,
cepat ia tanya, "Ada urusan apa?"
"Istana kita telah dikepung orang," lapor Biat-beng.
Waktu Tan-hong mendengarkan dengan cermat, benar juga
terdengar suara ramai di luar.
Namun Thio Cong-ciu tetap tenang saja, katanya, "Jika begitu,
ayolah kita coba keluar melihatnya."
Tan-hong ikut Biat-beng melompat ke atas pagar tembok,
terlihat istana sudah terkepung rapat, malahan tepat menghadap
pintu gerbang terpasang sebuah meriam berkerudung kain merah.
Supaya maklum, bangsa Mongol adalah yang pertama kali
menggunakan mesiu di medan perang, berkat kekuatan mesiu
mereka (jaman Jengis Khan) pernah malang melintang dan
menjajah hingga benua Eropa. Tak tersangka sekarang mesiu juga
digunakan untuk mengancam keluarga Thio.Pahala dan Murka - 27 38
Di belakang meriam merah itu berjajar tiga penunggang kuda,
mereka adalah Ogito, Mohikhan dan suheng Jing-kok Hoatsu, yaitu
Pek-san Hoatsu.
Dengan memasang obor prajurit Mongol lantas berteriak-teriak
demi nampak munculnya Thio Tan-hong.
Sedapatnya Tan-hong bersikap tenang, serunya, "Kalian mau
apa?"
Suaranya berkumandang jauh dengan lantang sehingga suara
ribut pasukan Mongol itu teratasi.
Ogito melarikan kudanya ke depan, teriaknya dengan tertawa,
"Haha, Thio Tan-hong, ingin kulihat apa yang akan kau lakukan
sekarang? Kau minta hidup atau ingin mati?"
"Apa kehendakmu?" tanya Tan-hong.
"Jika kau ingin hidup, maka boleh kau turun tangan sendiri,
ringkuslah seluruh anggota keluargamu, hanya ayahmu saja boleh
diberi kelonggaran. Lalu buka pintu gerbang rumahmu, akan kami
bawa kalian menghadap Thaysu dan terserah keputusan beliau."
"Hmk, kalau aku menolak?" jengek Tan-hong.
"Kuberi waktu untuk berpikir bagimu," kata Ogito. "Tentu sudah
kau lihat jelas meriam besar ini. Betapapun tinggi kungfumu juga
tidak mampu menahan peluru meriam ini. Kuberi waktu sampai
jam lima pagi, apabila kalian tetap bandel dan bermaksud melawan,
maka maaf, begitu terang tanah segera meriam akan berdentum."
"Turun saja, anak Hong!" teru Cong-ciu.
Terpaksa Tan-hong dan Biat-beng melompat turun ke depan
sang ayah.
"Tampaknya keparat Yasian itu bertekad akan menawan diriku,"
kata Cong-ciu, "Maka biarlah kuikut pergi bersama mereka. KalianPahala dan Murka - 27 39
berdua berkepandaian tinggi, boleh kalian lari saja menerjang
kepungan."
"Tidak, tidak nanti kami membiarkan ayah dihina Yasian." ucap
Tan-hong tegas.
Thio Cong-ciu berpikir sejenak, mendadak ia berteriak lantang,
"Bagus, memang besar jiwamu! Kita dua tiga angkatan telah
mondok hidup dan terhina di negeri Watze, rasanya sudah cukup
kita menderita, sekarang biarlah kumati di sini bersama keluarga,
kalian boleh menerjang keluar melalui pintu belakang!"
"Tidak!" jawab Tan-hong dengan tegas.
Ciamtai Biat-beng juga menyatakan tekadnya, "Kalau mau mati,
biarlah kumati bersama Cukong."
Dengan mencucurkan air mata Cong-ciu berucap, "Kalian adalah
putraku dan anak buahku yang terbaik. Ai, cuma akulah yang
membikin susah padamu."
Selagi mereka bicara, terdengar suara Ogito berteriak di luar,
"Sudah kalian pikirkan belum? Paling lambat bila terang tanah
segera meriam kami akan menembak!"
Dalam keadaan demikian, percuma tipu akal yang banyak
mengisi benak Thio Tan-hong, se ketika ia pun tak berdaya. Melihat
kedukaan ayahnya, sungguh ia pun sangat cemas.
Pada suatu tempat lain, pada saat yang sama juga ada seorang
sedang gelisah. Orang ini adalah putri Yasian, yaitu Topua.
Dengan sendirinya nona ini pun mendengar berita tentang
ditandatanganinya perjanjian perdamaian antar ncgira. Ia tahu esok
utusan kerajaan Beng akan berangkat pulang dan ia pun menduga
Thio Tan-hong pasti akan ikut delegasi itu pulang ke negeriPahala dan Murka - 27 40
leluhurnya. Karena itulah ia berduka dan murung durja, hal ini
tentu saja dapat dilihat ayahnya.
Malam ini Yasian asyik minum arak, dengan berseri ia berkata
kepada putrinya, "Jangan berduka, anakku, kukira besok Thio Tan-
hong belum pasti akan ikut pergi, ada akalku akan kubikin dia tetap
di sini. Aku kan cuma mempunyai seorang anak, andaikan kau
minta rembulan juga akan kuambilkan. Nah, coba anakku,
bukankah ayah teramat sayang padamu?"
Topua sangat senang dan juga terkejut, ia coba tanya sang ayah
lagi, namun ayahnya asyik minum arak sendiri dan tidak mau bicara
lagi.
Malam itu Topua dirundung berbagai pikiran yang meragukan,
la tidak tahu sang ayah sedang main tcka-teld apa. Ketika tiba
tengah malam, tiba-tiba didengarnya di ruang tamu ada orang
bicara. Diam-diam ia bangun dan coba mengintip.
Di ruangan tamu ada dua orang, seorang adalah ayahnya,
seorang lagi adalah Congkoan (kepala rumah tangga) istana
perdana menteri, Hocah. Dengan menahan napas Topua coba
mendengarkan pembicaraan mereka.
Terdengar sang ayah sedang tanya, "Esok pagi utusan Beng akan
berangkat, apakah kado kita sudah disiapkan semua?"
"Sudah siap," jawab Hocah.
"Bocah she In itu sungguh sukar dilayani, syukurlah segera dia
akan pergi dan legalah hatiku." kata Yasian pula.
"Apakah Thaysu sendiri juga akan mengantar keberangkatan
mereka?" tanya Hocah.Pahala dan Murka - 27 41
"Tidak, boleh kamu saja mewakili diriku, katakan aku kurang
enak badan," ujar Yasian. "Toh Sri Baginda sendiri akan mengantar
keberangkatan mereka, kan sudah cukup terhormat bagi mereka."
Topua merasa tidak tertarik karena yang dibicarakan mereka
adalah urusan keberangkatan rombongan In Tiong besok, lelagi ia
hendak pulang ke kamar, tiba-tiba terdengar ayahnya berkata pula,
"Daya tembak meriam itu sangat hebat, kau-kira suara meriam
akan berkumandang sampai luar kota atau tidak?"
"Tempat kediaman Thio Cong-ciu berjarak lebih sepuluh li dari
pintu gerbang kota, bilamana mereka sudah berangkat keluar kota,
dari jarak sejauh itu ditambah teraling oleh tembok kota yang tebal,
andaikan terdengar suara meriam juga akan disangka bunyi
mercon, kukira mereka takkan curiga,?? kata Hocah.
Baru sekarang Topua terkejut mendengar ucapan ini, terdengar
Hocah berkata pula, "Pula kan tidak pasti harus menggunakan


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meriam, di bawah ancaman meriam, kukira mereka pasti akan
tunduk dan menyerah kepada Tliaysu."
"Thio Cong-ciu dan putranya sama-sama berwatak kepala batu,"
ujar Yasian. "Terlebih Thio Tan-hong, sungguh dia hanya makan
yang empuk dan tidak doyan kekerasan, tampaknya mati pun
mereka pantang menyerah."
Selang sejenak, setelah menghela napas ia menyambung lagi,
"Thio Tan-hong serba pandai, dia sungguh anak muda yang
berbakat. Cuma sayang dia tidak mau bekerja bagiku, malahan
selalu bermusuhan denganku. Orang seperti ini jika dilepaskan
pularg ke negeri leluhurnya, akhirnya tetap akan merupakan
bahaya bagi negeri kita. Ya, semoga seperti apa yang kau katakan
tadi, hendaknya dia mau tunduk padaku. Kalau tidak, ya, apa boleh
buat, terpaksa harus kukecewakan harapan anak Topua, akan
kubereskan dia."Pahala dan Murka - 27 42
Kiranya sesudah kejadian tempo hari, lalu Yasian menanyai
Ogito dan Mohikhan, diketahuinya orang yang mengatur tipu daya
menolong In Tiong dan menangkap Soa Tiu serta menumpas
pasukan yang dikirim Yasian itu tiada lain adalah perbuatan Thio
Tan-hong. Hal ini membuat Yasian terkejut dan juga gusar, maka
sejak itu lantas diatur muslihat pengepungan rumah Thio Cong-ciu
dengan ancaman meriam seperti hari ini.
Cuma sebelum keberangkatan delegasi Beng, tindakan mereka
terhadap Thio Cong-ciu belum dapat dilaksanakan, maka perlu
menunggu tibanya fajar bilamana utusan Beng sudah meninggalkan
kotaraja.
Mengkirik Topua mendengar keterangan itu, ia tambah cemas.
Terdengar kentongan di luar ditabuh lewat tengah malam,
terdengar ayahnya memberi pesan kepada Hocah apa yang perlu
dikerjakan, lalu tidur.
Kamar tidur Yasian terletak di depan Topua dari tempat tidur
Topua dapat melihat cahaya hmpau di kamar ayahnya belum lagi
dipadamkan, bayangan orang tampak mondar-mandir, agaknya
pikiran sang ayah diliputi ketegangan, maka belum dapat tidur
sampai jauh malam.
Topua sendiri berpuluh kali lebih tegang daripada ayahnya, ia
peras otak dan mencari akal untuk menolong Thio Tan-hong. Tapi
ayahnya belum tidur, cara bagaimana ia berani meninggalkan
kamarnya.
Akhirnya terlihat lampu di kamar ayahnya dipadamkan. Topua
menghela napas lega dan cepat melompat bangun. Tiba-tiba
teringat olehnya di luar juga ada penjaga, bila dirinya keluar, meski
penjaga tidak berani merintangi, tapi ayahnya pasti akan
dikejutkan.Pahala dan Murka - 27 43
Setelah berpikir, Topua coba membangunkan pelayan yang ikut
tidur di dalam kamar, disuruhnya pelayan itu agar membuatkan
dua poci arak hangat untuk diberikan kepada penjaga yang dinas
malam dan pura-pura bilang sebagai hadiah dari Thaysu lantaran
hawa sangat dingin. Tapi diam-diam di dalam arak ditaruhnya obat
tidur.
Begitulah dengan hati kebat-kebit Topua menunggu
perkembangannya, ia kuatir kedua penjaga di luar tidak mau masuk
perangkapnya.
Akhirnya pelayannya datang melapor bahwa kedua penjaga
tanpa sangsi telah diminum habis arak yang diberinya dan sebarang
sudah jatuh mabuk.
Cepat Topua ganti pakaian malam dan me-ngeluyur keluar, ia
lari ke taman dan melompat keluar melintasi pagar tembok.
Saat itu sudah dekat subuh. Suasana di wisma tamu agung sudah
meriah. In Tiong juga sukar pulas semalaman. Raja Watze sudah
berjanji dengan dia akan mengantar keberangkatannya esok pagi
dengan kehormatan penuh sebagai pengantar raja Ki-tin yang
dibebaskan pulang ke negeri asal itu.
Udara jernih, bintang berkelip, bulan sabit memancarkan
cahayanya yang lembut.
In Tiong memandang jauh ke luar dari balik jendela, ia pikir,
"Melihat keadaan, cuaca pagi besok pasti cerah. Musim dingan akan
lalu dan datang musim semt, entah betapa girangnya Sri Baginda
dapat pulang ke negeri asal."
Teringat kepada tugas sendiri yang beruntung dapat terlaksana
dengan baik, selain berhasil mengikat perdamaian dengan Watze,
juga dapat membawa pulang kaisar yang dulu tertawan musuh,
peristiwa demikian jarang terjadi dalam sejarah selama beribuPahala dan Murka - 27 44
tahun. Sungguh ia merasa gembira lagi Ki-tin juga merasa bahagia
bagi diri sendiri.
Tapi di tengah rasa gembira itu pun terasa berduka. Pada saat
hampir meninggalkan negeri Watze ini, dengan sendirinya In Tiong
semakin terkenang kepada ayah-bunda dan adik perempuan
sendiri. Apakah mereka belum lagi mendapat kabar kedatangannya
ini? Bukankah Ciu San-bin sudah bertemu dengan mereka?
Mengapa mereka tidak datang kemari uutuk bertemu dengan
dirinya?
Begitulah macam-macam keraguan sama timbul dalam
benaknya.
Mestinya In Tioug bermaksud tinggal lebih lama beberapa hari
agar dapat berkumpul dengan anggota keluarga, tak tersangka
tugasnya selesai selancar dan secepat itu, Ki-tin juga buru-buru
ingin pulang untuk naik tahta kembali, mana ia tahu-pikiran In
Tiong itu.
Dengan sendirinya In Tiong juga teringat kepada Tan-hong.
Sukses tugasnya ini sebagian besar berkat bantuan Tan-hong. Akan
tetapi karena permusuhan keluarga, ia tidak mau berkunjung ke
rumah Tan-hong, sebaliknya Tan-hong juga tidak mengunjunginya.
(Bersambung Jilid ke 28)Pahala dan Murka - 28 0Pahala dan Murka - 28 1
PAHALA DAN MURKA
Oleh : gan k.l.
Jilid ke 28
NTAH MENGAPA, bila In Tiong teringat kepada urusan
Thio Tan-hong, segera ia merasa masgul. Selama ini
sering juga Ciamtai Keng-beng membujuknya agar akur
kembali dengan keluarga Thio, namun bayangan gelap surat
berdarah sang kakek sukar dilupakannya, mana ia sudi menginjak
rumah musuh?
Tapi meski begitu, terhadap Thio Tan-hong yang belum lama
berselang masih dipandangnya sebagai musuh, kini timbul
semacam rasa berat untuk berpisah.
"Apakah besok Thio Tan-hong akan kemari untuk berangkat
bersamaku?" demikian timbul pikiran seperti ini, sungguh terjadi
pertentangan batin yang hebat.
Untuk pertama kali inilah selama hidup In Tiong mengalami
pertentangan batin seperti ini.
Ia termenung sendirian sampai lama, tanpa terasa kentungan
sudah dipukul lewat tengah malam.
Selagi In Tiong hendak kemhali ke kamarnya untuk tidur, tiba-
tiba terdengar di bawah ada suara ribut, pengiring datang melapor
bahwa di wisma tamu itu kedatangan seorang berkedok dan
menyatakan ingin bertemu dengan duta.
In Tiong merasa heran, setelah berpikir, akhirnya ia memberi
perintah orang itu dibawa masuk.
Tidak lama pengawal datang dengan membawa seorang pemuda
berbaju hitam, itulah dandanan Busu bangsa Mongol. NamunPahala dan Murka - 28 2
perawakan orang ini tampak ramping, sangat berbeda dengan jago
Mongol yang kekar.
"Untuk apa tengah malam buta kau temui diriku, siapa yang
menyuruhmu kemari?" tanya In Tiong dengan heran.
Pemuda itu memakai kedok kain hitam, hanya kelihatan kedua
biji matanya yang hitam dan bening. Terlihat biji matanya berputar,
lalu menjawab lirih, "Mohon In-taijin menyingkirkan anak
buahmu."
Pengawal In Tiong merasa curiga, seoraug memberi lapor agar
In Tiong berhati-hati, seorang lagi bermaksud menggeledah tubuh
pemuda berbaju hitam itu.
Akan tetapi Busu muda itu menghindari rabaan orang dengan
sikap malu dan gusar.
Tergerak hati In Tiong, cepat ia memberi perintah agar
pengawalnya menyingkir. Habis itu ia menutup pintu kamar dan
berkata, "Nah, sekarang bolehlah kau bicara."
Busu muda itu menanggalkan kedoknya dan melepas mantel,
ternyata dia seorang gadis Mongol yang molek. Kata pertama yang
diucapkannya ada-lab, "Aku anak perempuan Yasian "
Tentu saja in Tiong terkejut, bahwa dia sa-maran orang
perempuan memang sudah diduganya sejak tadi, yang mengejutkan
adalah dia ternyata putri Yasian, hal ini sama sekali tak tersangka
olehnya.
In Tiong tidak tahu sandiwara apa yang sedang dimainkan
Yasian, cepat ia menyilakan orang duduk dtn bertanya, "Ada pesan
apa dari ayahmu? Mengapa engkau diutus kemari tengah malam
buta?"Pahala dan Murka - 28 3
Topua menggeleng kepala dan menyatakan kedatangannya
bukan diutus sang ayah.
Tentu saja In Tiong tambah heran.
Topua kelihatan gugup dan berkata, "In-taijin, engkau dan Thio
Tan-hong kan sahabat karib?" "Ada apa?" tanya In Tiong.
"Sekarang sudah lewat tengah malam, bilamana subuh tiba,
segenap anggota keluarga Thio akan berubah menjadi abu
seluruhnya," tutur Topua. "Jiwanya sekarang bergantung di
tanganmu, engkau mau menolong dia atau tidak?"
In Tiong terperanjat, tanyanya cepat, "Sesungguhnya apa yang
terjadi?"
"Ayahku benci padanya karena dia membantumu, ayah juga
kuatir bila dia pulang ke Tiongkok kelak akan mendatangkan petaka
bagi Watze, maka ayah telah mengirim pasukan mengepung tempat
kediamannya, bila subuh tiba segera akan menggempurnya dengan
meriam."
"Cara bagaimana dapat kuselamatkaa dia?" tanya In Tiong.
"Segera pergilah ke rumah Tan-hong," kata Topua.
In Tiong cukup cerdik, hilang rasa kejutnya dan segera ia tahu
apa sebabnya. Dirinya adalah duta besar kerajaan Beng, sekarang
Yasian ingin berdamai dengan Tiongkok, jika dirinya mendatangi
rumah keluarga Thio, betapapun Yasian takkan berani
menggempurnya dengan meriam. Sebabnya Yasian menunggu
subuh tiba baru akan menggempur rumah Thio Tan-hong jelas
ingin menghindari hal ini diketahui olehnya.
Perasaan In Tiong bergolak dan sukar mengambil keputusan,
bahwa dia diminta berkunjung ke rumah musuh, bahkan akanPahala dan Murka - 28 4
mengacaukan jadwal perjalanan, padahal saat keberangkatannya
sudah ditentukan antara Ki-tin dengan raja Watze.
Topua memandangi In Tiong dengan cemas, air matanya tampak
berlinang, dengan suara gemetar ia mendesak, "Sesungguhnya
engkau hendak menolongnya tidak?"
Sungguh kacau pikiran In Tiong. bayangan Thio Tan-hong yang
gagah itu berkelebat dalam benaknya, teringat olehnya kemunculan
anak muda itu pada saat dirinya menghadapi bahaya dulu. Orang
semacam itu masakan dirinya tega membiarkan dia mati di bawah
gempuran meriam?
Tanpa ditanya Topua hgi, serentak In Tiong melompat bangun
dan membuka pintu kamar, teriaknya. "Kirim dua orang dan cepat
pergi ke istana raja Watze, beritahukan perwira piket agar segera
disampaikan kepada raja bahwa aku tidak jadi berangkat esok."
Tentu saja para pengiringnya terkejut dan tanya ada apa.
"Segera kalian siap ikut pergi bersamaku, hendak kutemui Thio
Cong-ciu," kata In Tiong. Kini tidak terpikir lagi olehnya sumpahnya
yang tidak mau menginjak rumah musuh itu.
Karena keributan tadi, Ciamtai Keng-beng juga sudah terjaga
bangun, kini dia berdiri di depan pintu kamar tidur In Tiong, ia
bingung ketika melihat seorang gadis Mongol dengan tersenyum
tapi berlinang air mata sedang menjabat tangan In Tiong dengan
erat.
Melihat Keng-beng, segera In Tiong berseru. "Kebetulan sekali
adik Keng-beng, boleh engkau ikut pergi sekalian."
Girang Keng-beng tak terkatakan, ia tidak sempat tanya lagi,
serunya dengan tertawa, "Bagus, memang sejak mula kita harus ke
sana!"Pahala dan Murka - 28 5
Baru sekarang ia saling tanya nama masing-masing dengan
Topua.
Wisma tamu itu berjarak tidak jauh dengan istana raja, tapi ada
enam-tujuh li jauhnya dari rumah keluarga Thio.
Rombongan In Tiong terus berangkat di tengah malam sunyi, lari
kuda mereka tentu saja menimbulkan kepanikan. Namun mereka
membawa lentera kerudung besar dengan tanda pengenal duta
besar kerajaan Beng sehingga tidak ada yang berani merintangi.
Untuk menghindari lewat di depan istana raja. In Tiong
menyuruh mengambil jalan samping yang sepi dan mengitar ke
sana. Baru saja menembus ke jalan raya sebelah sana, bila sampai
di ujung jalan dan membelok lagi, dari jauh sudah kelihatan istana
Thio Cong-ciu.
Pada saat itulah mendadak dari jalan simpang muncul seorang
penunggang kuda dan mengadang di depan.
"Di sini duta besar kerajaan Beng, siapa yang berani merintangi
jalanku?" bentak In Tiong.
Penunggang kuda itu sangat gesit, begitu menerjang sampai di
depan In Tiong, sekali ia tarik tali kendali sehingga kudanya
berjingkrak, segera ia melompat turun dan berlutut.
Setelah memberi hormat, kedua tangan orang itu terangkat
tinggi memegang sebuah Kim-pai atau pelat emas dan berteriak,
"Titah Sri Baginda Beng, harap In-taijin menerima perintah!"
In Tiong terkejut, para pengiringnya memburu maju dan
meneranginya dengan lentera kerudung.
Maka In Tiong dapat melihat jelas pemegang kim-pai ini adalah
salah seorang jago pengawal raja yang tertawan musuh waktu
bertahan di To-bok-po dulu. Waktu kaisar Ki-tin tertawan, yang ikutPahala dan Murka - 28 6
ditawan musuh ada empat-lima orang pengawalnya. Dan selama ini
mereka tetap ditugaskan melayani Ki-tin selama tinggal di tempat
tawanan.
Meski Ki-tin sekarang menjadi tawanan musuh, tapi dia masih
tetap menggunakan adat kebiasaan negeri leluhur dan
menyampaikan perintah dengan kim-pai, dengan sendirinya kim-
pai ini adalah barang pinjaman.
Agaknya Ki-tin kuatir kim-pai itu tidak dipercaya oleh In Tiong,
ia tambahi lagi secarik surat perintah yang tertulis : "Duta In Tiong
diharap masuk istana untuk bertemu."
Kim-pai ditambah surat perintah, bahkan disampaikan di tengah
malam buta, maka dapat dibayangkan tentu ada urusan penting.
In Tiong menerima surat perintah itu dan dibaca, dilihatnya
terdapat setempel pribadi Ki-tin, juga dikenali tulisan tangan kaisar
itu, jelas bukan palsu.
Tentu saja In Tiong terkejut, seketika ia menjadi bingung.
Padahal sudah dekat subuh, jika menghadap Ki-tin, bila tiba
waktunya, mungkin segenap keluarga Thio Tan-hong akan menjadi
abu digempur meriam. Kalau tidak menghadap berarti


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membangkang perintah.
Melihat In Tiong ragu sambil memegang surat, Ciamtai Keng-
beng berteriak, "Sesudah mengunjungi keluarga Thio barulah
menghadap kaisar."
"Baik," seru In Tiong.
Namun jago pengawal pembawa kim-pai itu tetap berlutut di
depan kudanya dan tidak mau berdiri.Pahala dan Murka - 28 7
"Hendaknya melaporkan kepada Sri Baginda, keberangkatanku
esok kutunda, paling lambat menjelang lohor tentu aku menghadap
beliau," kata In Tiong.
Namun jago pengawal itu tetap tidak bergerak dari tempatnya.
Tiba-tiba terdengar detak kuda lari pula, kembali seorang
penunggang kuda datang pula, begitu melompat turun orang ini
pun berlutut di depan In Tiong.
Orang ini juga jago pengawal yang menunggui Ki-tin, serupa
jago pengawal yang pertama, ia pun mengangkat sebuah Kim-pai
dan mengeluarkan sehelai surat perintah dengan tulisan, "Duta
besar In Tiong diminta segera menghadap." Kalimatnya serupa
surat perintah yang pertama, hanya yang ini ditambah kata
"segera".
In Tiong menerima surat perintah itu dengan tangan gemetar,
seketika ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
"Peduli surat perintah apa, kita tetap laksanakan keputusan
tadi!" seru Topua.
Belum lenyap suaranya, kembali seorang penunggang kuda
membedal tiba secepat terbang sambil berteriak, "In-taijin terima
titah raja!"
In Tiong kenal pendatang ini adalah Hoan Cun, saudara Hoan
Tiong vang dulu merupakan jago pengawal pribadi Ki-tin. Terlihat
Hoan Cun juga mengangkat sebuah kim-pai dan membawa surat
perintah, isi perintah sama dengan yang pertama dan kedua, hanya
kata "segera" ditambahi lagi garis bawah untuk menandaskan
betapa penting Perintah itu.
"Hoan-wisu, sesungguhnya ada urusan apa?" tanya In Tiong.Pahala dan Murka - 28 8
"Hamba sendiri tidak tahu ada urusan apa, namun perintah ini
datang dari Hongsiang pribadi," tutur Hoan Cun.
In Tiong menghela napas, ia maklum panggilan dengan kim-pai
merupakan titah raja yang tidak boleh dibantah. Dahulu panglima
terkenal Gak Hui pada dinasti Song saja tidak berani membangkang
panggilan kim-pai itu, apalagi In Tiong.
Ia pun kuatir terjadi sesuatu di tempat kediaman Ki-tin,
bilamana ditimbang antara tugas membela Ki-tin dan menolong
Thio Tan hong, jelas bobotnya berada di pihak kaisar Ki-tin.
Karena berturut menerima panggilan tiga buah Kim-pai,
terpaksa ia putar haluan, katanya kepada Ciamtai Keug-beng, "Apa
boleh buat, silakan kalian pergi dulu ke sana."
Segera ia melarikan kudanya ke istana bersama ketiga wisu (jago
pengawal) tadi.
Dari penuturan Topua kini Ciamtai Keng-beng sudah tahu apa
yang akan menimpa keluarga Thio, maka ia sangat cemas, pikirnya
dengan gemas, "Thio Tan-hong telah menyelamatkan kerajaan
Beng, sebaliknya raja Beng yang sialan ini justru membuat amblas
nyawa Thio Tan-hong."
Dengan sendirinya ia tidak dapat merintangi kepergian In Tiong,
terpaksa ia pimpin ke-18 pengiring In Tiong dan mendahului
menuju ke tempat Ki-tin.
Siapa tahu di ujung jalan raya sana, lebih dulu komandan militer
kotaraja Watze sudah siap menghadapi mereka dengan
pasukannya.
"Atas perintah In-taijin, kami hendak mengunjungi wakil
perdana menteri kalian," seru pimpinan barisan pengiring In Tiong
itu.Pahala dan Murka - 28 9
"Dan di manakah In-taijin kalian?" tanya komandan militer kota.
"In-taijin baru saja menerima titah dan segera akan menyusul
kemari," jawab pengiring itu.
"Jika begitu, boleh kalian tunggu saja di sini sampai tibanya In-
taijin kalian," kata komandan militer. "Kami ditugaskan melindungi
delegasi ke-rajaan Beng, bila duta besar sendiri tidak di sini, kami
tidak mau bertanggung jawab segala akibatnya."
Diam-diam Topua mengisiki Ciamtai Keng-beng, "Mari kita
terjang saja!"
Dilihatnya komandan militer itu sudah memberi perintah agar
pasukannya ambil posisi membentang, barisan pemanah dan tali
penyandung kuda pun sudah disiapkan untuk bertempur.
Keng-beng dan para pengiring In Tiong cukup tahu suasana,
mereka tahu bila main terjang begitu saja, urusan tentu bisa tambah
gawat, per damaian kedua negara bisa gagal, apalagi jumlah musuh
lebih banyak, uutuk menerjang ke sana juga belum tentu berhasil,
maka cepat ia mencegah tindakan Topua dan berusaha bicara
dengan baik-baik.
Namun komandan militer lawan segera mengundurkan diri ke
belakang setelah mengatur pasukannya, meski pengiring In Tiong
berteriak-teriak tetap tidak digubrisnya.
Setelah kedua pihak saling ngotot dan tidak mau mengalah, tentu
saja Ciamtai Keng-beng dan ke-18 pengiring In Tiong sangat gelisah,
namun tak bardaya, tampaknya tiada jalan lain terkecuali menanti
datangnya In Tiong.
Akan tetapi mereka dapat menunggu, bagi Thio Tan-hong tentu
tidak dapat menunggu lagi. Terdengar kentungan suduh dipukul
tanda subuh telah tiba, selang sebentar lagi fajar pun akan
menyingsing.Pahala dan Murka - 28 10
Mendadak Topua berteriak, ia terus membedal kudanya
menerjang ke depan, seketika Ciamtai Keng-beng tidak mampu
mencegahnya.
Ketika tiba-tiba melihat seorang gadis bangsa sendiri menerjang
tiba, pasukan Mongol sama me-lenggong, barisan pemanah juga
tidak berani me lepaskan panah, pemegang tali sandung kuda juga
tidak berani beraksi.
Di tengah kegelapan semula tidak terlihat jelas, tapi sesudah
sampai di depan barisan, di bawah cahaya obor sebagian besar
perwira Mongol kenal Topua adalah putri Yasian.
Pergaulan antara muda-mudi bangsa Mongol tidak seketat
bangsa Tionghoa pada jaman itu. Topua sendiri gemar naik kuda
dan belajar panah, dia kenal baik banyak perwira anak buah
ayahnya.
Maka cepat komandan militer tadi tampil ke depan dan berkata,
"Atas perintah Thaysu, orang yang tidak berkepentingan dilarang
lewat.
Alis Topua menegak, damperatma, "Memangnya aku orang
biasa? Justru aku membawa perintah ayah dan harus lewat ke
sana!"
Tanpa peduli segera ia menerjang dengan kudanya.
Meski komandan militer itu merasa heran melihat Topua
menerjang tiba dari pihak duta ke-rajaan Bcng sana, tapi ia tahu
Topua adalah putri kesayangan Thaysu, melihat nona itu menerjang
begitu saja, seketika tidak ada yang berani merintanginya. Terpaksa
mereka menyingkir memberi jalan.
Setelah Topua menerjang lewat rintangan, waktu ia berpaling,
tertampak di ufuk timur sana sudah mulai remang-remang. . . .Pahala dan Murka - 28 11
Sementara itu segenap anggota keluarga Thio sedang kelabakan
serupa semut di dalam wajan panai kereua terkepung pasukan
Yasian. Hanya Thio Cong-ciu saja yang kelihatan sangat tenang,
terhadap mati-hidup tampaknya tidak terpikir lagi olehnya.
Tan-hong juga sangat tenang, tapi bila teringat sebelum ujul
tidak dapat bertemu dengan In Lui, tanpa terasa hatinya sangat
pedih.
Sekeluarga mereka duduk di kaki tembok pagar, di luar pagar
terkadang berkumandang suara teriakan prajurit Mongol. Di dalam
pagar tembok suasana sunyi senyap.
Ketika subuh hampir tiba, malam terasa lebih panjang daripada
biasanya, bagi mereka yang berada di bawah bayang maut sungguh
dirasakan semacam siksaan batin yang tidak enak.
Sang waktu berlalu dengan pelahan, bayangan maut makin lama
makin lebar. Suara teriakan di luar pagar tembok juga tambah
ramai.
Ketika ufuk timur sudah kelihatan remang remang, Thio Tan-
hong berlutut di depan sang ayah, katarna, "Adakah sesuatu pesan
terakhir ayah?"
Perlahan Thio Cong-ciu membelai rambut anaknya, ucapnya
dengan tersenyum, "Bila kumati satu tahun yang lalu, mati pun aku
tidak rela. Tapi sekarang, sedikit banyak kamu sudah berjasa bagi
negeri leluhur, aku sendiri pun sudah memberi sedikit tenaga,
walaupun belum cukup untuk menebus dosa, tapi hatiku tidak
menyesal lagi."
Ia tersenyum dengan pedih, Tan-hong dapat melihat air muka
sang ayah yang aneh, tanpa terasa perasaannya tergerak, tapi dalam
keadaan di tempat begini, apa pula yang perlu ditanyakan? Ia cuma
merasa sebelum ajal terasa ada jalinan perasaan antara dirinyaPahala dan Murka - 28 12
dengan sang ayah, jalinan perasaan yang belum pernah ada selama
hidupnya.
Dengan tertawa Ciamtai Biat-beng lantas berkata juga, "Cukong,
hari ini terpaksa kita harus berpisah!"
Lalu ia menyembah tiga kali terhadap Thio Cong-ciu, tekadnya
sudah bulat, yaitu sebelum meriam musuh menggempur, lebih dulu
ia akan membunuh diri, ia dengar kentungan sudah berbunyi lima
kali, sebentar lagi fajar akan menyingsing.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara ribut di luar, ucap
Ciamtai Biat-beng, "Fajar belum tiba, apakah meriam mereka sudah
akan mulai berdentum?"
"Bukan, suaranya tidak mirip," kata Tan-hong.
"Tidak mirip bagaimana?" tanya Biat-beng, senjata gaitan yang
sudah disiapkan diturunkan kembali.
"Rasanya seperti suara ribut orang menerjang pasukan musuh,"
kata Tan-hong. "Eh, memang betul, pendatang itu sedang
bertempur dengan mereka!"
Segera ia melompat ke atas pagar dan memandang jauh ke sana,
tertampak satu li di kejauhan sana tiga penunggang kuda sedang
menerjang barisan musuh, pasukan Mongol yang mengepung di
sebelah sini menjadi panik juga, namun moncong meriam merah
itu tetap diarahkan ke sini.
Pasukan yang dikerahkan Ogito itu adalah jago pilihan semua,
kuat dan tangkas, sekali mendapat perintah, serentak mereka
melepaskan panah ke arah ketiga penunggang kuda itu, terdengar
suara bentakan dan ringkik kuda yang ramai, terlihat ketiga ekor
kuda sama meloncat tinggi ke atas, perut dan kepala kuda sama
tertembus pa nah, sekujur badan kuda berlumuran darah, setelah
meringkik dan berjingkrak, lalu jatuh terguling.Pahala dan Murka - 28 13
Kepandaian ketiga penunggang itu sangat tinggi, serentak
mereka melejit ke atas, berbareng itu cahaya hijau dan sinar perak
serta biru sama berputar, begitu hujan panah itu mendekat lantas
rontok.
Baru sekarang Tau-hong dapat melihat jelas, kiranya ketiga
pendatang ini adalah Hong-thian-lui Ciok Eng dan Oh-pek-mako.
Oh Mako atau si hantu hitam putar tongkat kemala yang
berwarna hijau dan Pek Mako putar tongkat kemala putih, Ciok Eng
juga putar pedangnya dengan kencang sehingga memantulkan
cahaya putih kebiruan, tiga gulung sinar itu berputar cepat dan
menerjang ke tengah pasukan musuh.
Kawanan busu Mongol berusaha mencegat. Mendadak Oh-pek-
mako meraung murka, tongkat mereka menghantam serabutan,
sehingga musuh bergelimpangan, Ciok Eng juga tidak ketmggalan,
yang jauh ditusuknya dengan pedang, yang dekat dihantamnya
dengan telapak tangan, namun kawanan busu Mongol tetap
melawan dengan gagah berani.
Terjangan ketiga orang sangat lihai, tampak nya mereka sudah
hampir mencapai tengah pasukan. Pek-san Hoatsu menjadi gusar,
ia tampil untuk mengadangnya, orang pertama yang dihadapi
adalah Ciok Eng.
Langsung Pek-san Hoatsu menghantam dengan sebelah tangan
dengan jurus "Tok-bik-hoa-san" atau tangan satu membelah
gunung, tongkatnya yang besar mengemplang kepala Ciok Eng.
Pek-san Hoatsu adalah kakak seperguruan Jing-kek Hoatsu, ilmu
silatnya lebih tinggi daripada Ogito, kemplangan tongkat ini
berbobot ribuan kati, maka begitu ditangkis oleh pedang Ciok Eng.
terpercik lelatu api.Pahala dan Murka - 28 14
"Roboh!" Pek-san Hoatsu tambahi bentakan dan mengerahkan
tenaga sekuatnya.
"Belum tentu!" sahut Ciok Eng dengan tertawa, hanya tubuhnya
sedikit bergeliat, namun pedang lantas berputar kembali untuk
menusuk pundak lawan.
Pek-san Hoatsu percaya akan tenaga sendiri yang melebihi orang
biasa, tak terduga kemplangan tongkatnya gagal merobohkan
lawan, sebaliknya kebentur pedang lawan dan tangan sendiri pun
tergetar kesakitan. Selagi terkejut, tahu-tahu bayangan pedang
berkelebat dan musuh telah menusuk dari belakang.
Ciok Eng sendiri terkenal karena tiga macam kepandaiannya,
yaitu Hui-hong-ciok atau batu belalang terbang, Keng-lui-ciang atau
pukulan geledek dan Liap-in-kiam, pedang awan mengapung.
Terutama ilmu pedangnya yang cepat dan sukar diduga sangat sulit
ditandingi.
Dua kali Pek-san Hoatsu menghindar, baru saja ia hendak
menangkis untuk ketiga kalinya, mendadak Ciok Eng membentak,
"Kena!"
Pedang membentur tongkat dan mendal balik, tapi terus
berputar ke samping dan melukai pundak Pek-san Hoatsu.
Namun Pek-san Hoatsu berlatih ilmu Thi-po-sam, semacam ilmu
kekebalan, ia tidak roboh terkena pedang melainkan cepat
melompat mundur. Selagi ia hendak menerjang maju, dilihatnya
Ciok Eng sudah menyerbu ke tengah pasukan.
Pek-san Hoatsu meraung murka.
Tiba-tiba seorang raendamperat, "Keparat, berkaok-kaok apa
serupa setan? Rasakan dulu tongkatku!"
Tahu-tahu Mako Hitam sudah menerjang tiba.Pahala dan Murka - 28 15
Memangnya Pek-san Hoatsu sedang kalap, maka kedatangan
Mako Hitam itu disambut dengan serampangan tongkatnya.
Tak terduga tenaga Mako Hitam juga tidak kalah kuatnya,
mendadak tongkat kemala hijau mencungkit, terjadilah benturan
keras, tongkat Pek-san Hoatsu mencelat ke udara.
Keruan kejut Pek-san Hoatsu tak terkatakan sementara itu
tongkat Mako Hitam sudah mengemplang lagi. Tentu saja Pek-san
tidak berani melawannya, cepat ia melompat ke samping.
Tapi kebetulan dipupuk oleh Mako Putih, segera hantu putih itu
memaki, "Bedebah! Kau cari mampus? Rasakan tongkatku!"
Berbareng tongkat menyerampang, seketika Pek-san Hoatsu
terguling, kedua kaki tersapu patah.
Dalam pada itu Ciok Eng telah menerjang ke tengah barisan
musuh sambil berteriak, "Pejabat Liong-ki-to-ut Ciok Eng dari Oh-
ciok-ceng mohon bertemu dengan Cukong!"
Kiranya leluhur Ciok Eng dahulu juga jago pengawal pribadi Thio
Su-sing dan diberi gelar pangkat Liong-ki-to-ut, kedatangan Ciok


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Eng sekarang dilaporkan selaku seorang hamba menghadap kepada
junjungannya, yaitu Thio Cong-ciu. Terharu sekali Thio Cong-ciu,
dengan dipapah Tan-hong ia naik ke atas pagar tembok, katanya
kepada Tan-hong, "Anak Hong, lekas suruh dia pergi saja!"
"Thio Tan-hong," tiba-tiba Oh-pek-mako berseru, "kenapa
engkau tidak menerjang keluar? Sahabat lama berkunjung kemari,
masa tidak kau-sambut?"
Tan-hong tersenyum getir, baru mau bicara, sekonyong-
konyong terlihat pasukan musuh yang mengepung rumahnya
terbelah ke samping dan terbuka sebuah jalan, meriam merah yang
teraling oleh pugar manusia tadi sekarang ditonjolkan.Pahala dan Murka - 28 16
Ciok Eng terkejut dan melongo.
Terdengar Ogito berteriak, "Jika kalian berani maju lagi setindak,
segera kuperintahkan tembak!"
Dari ucapan Ciok Eng dan Oh-pek-mako tadi Ogito dapat
menduga hubungan baik antara ketiga pendatang ini dengan Thio
Tan-hong dan ayahnya, ia yakin ketiga pengacau ini pasti tidak
menghendaki keluarga Thio hancur luluh di bawah gempuran
meriam, maka ia sengaja main gertak.
Padahal meriam marah itu besar lagi berat, untuk bergeser saja
sulit, dengan sendirinya sulit untuk digunakan menembak Ciok Eng
bertiga. Sedang waktu itu fajar belum lagi menyingsing, seketika
Ogito juga belum berani menembakkan meriam ke rumah keluarga
Thio, asalkan Ciok Eng dan Oh-pek-mako berani menerjang maju,
seketika kepungan terhadap rumah Thio Tan-hong itu dapat
digagalkan.
Namun Tan-hong dan rombongan Ciok Eng tidak tahu seluk-
beluk hal tersebut, terlebih Ciok Eng, melihat moncong meriam
tertuju ke rumah Thio Tan-hong, seketika ia mati kutu dan tidak
berani sembarang bergerak.
Oh-pek-mako berkaok-kaok gusar, mereka mencaci-maki dalam
bahasa Hindu, namun juga tidak berani sembarang menggeser
maju.
Ogito terbahak senang, ia menuding dengar goloknya dan
membentak, "Semuanya mundur ke sana sejauh seratus langkah,
kalau tidak segera kutembak!"
Tiada jalan lain, terpaksa Ciok Eng bertiga menurut dan mundur
sejauh yang diminta.
Segera Ogito memerintahkan anak buahnya menebarkan duri
kawat beracun di tempat yang dikosongkan itu dan menyiapkanPahala dan Murka - 28 17
seratus pemanah dengan busur terpentang untuk menghadapi
mereka.
Dalam keadaan demikian, betapa tinggi kepandaian Ciok Eng
dan Oh-pek-mako juga tidak sanggup sekaligus menghindari hujan
panah serta membersihkan duri kawat yang bertebaran di tanah itu.
Terpaksa mereka takdapat berbuat apa-apa menyaksikan musuh
mengatur posisi itu.
Bulan sudah lama menghilang, bintang pun jarang-jarang, ufuk
timur mula-mula cuma tampil selarik cahaya, tidak lama kemudian
lantas memancarkan cahaya terang dari balik kegelapan awan,
warna awan langit yang semula gelap se-berubah putih kelabu dan
segera terpancar , pula cahaya terang dari balik gumpalan awan
kelabu. Nyata fajar sudah menyingsing.
Dengan kereng Ogito berteriak ke atas pagar tembok, "Nab, apa
abamu sekarang?"
Sikap Tan-hong tenang-tenang saja, ia mendengus,
"Memangnya mau apa? Biarpun mati juga kami pantang
menyerah!"
"Thio Tan-hong," teriak Ogito, "Jika kalian tetap tidak mau sadar,
terpaksa kuperintahkan menembak!"
"Silakan menembak, tidak perlu banyak omong!" kata Tan-hong
tak acuh.
"Sekarang akan kuhitung dari satu sampai sepuluh, habis hitung
segera kutembak," kata Ogito. "Nah, boleh kaupikir lagi, semut saja
cari hidup, apalagi manusia!"
Taa-hong tersenyum ejek, ia malah melompat turun ke bawah
dan tidak menggubrisnya lagi.
Seketika di luar-dalam pagar tembok berubah sunyi senyap.Pahala dan Murka - 28 18
Ogito mulai menghitung, "Satu . . . dua . . . tiga . . . empat . . . ."
Tan-hong menggenggam tangan sang ayah dengan erat, sedang
Ciamtai Biat-beng siap mengacungkan ujung gaitan ke dada sendiri.
Dari luar berkumandang suara Ogito yang menegangkan
suasana, ". . . lima . . . enam . . . tujuh . .. delapan . . . sembilan . . . ."
Segera Ciamtai Biat-beng mulai menarik gaitannya, dalam
jabatannya sebagai seorang panglima kepercayaan, ia hanya boleh
membunuh diri dan tidak boleh dibunuh musuh. Ujung gaitan
sudah masuk kulit dagingnya, asalkan sekali tarik sekuatnya,
seketika dada akan robek dan perut pecah.
Sehabis ucapan "sembilan" tadi, keadaan di luar tambah hening.
Pada saat itulah mendadak seorang berteriak melengking. "Tidak
boleh tembak!"
"Hei, suara seorang perempuan!" ucap Ciamtai Biat-beng heran.
Segera Tan-hong melompat ke atas pagar tembok, terlihat di
samping meriam merah itu berdiri seorang gadis Mongol dan
mengancam juru tembak meriam itu dengan pisau.
"Ha Topua!" seru Tan-hong dengan suara tertahan.
Nona itu mendongak dan tersenyum kepada nya. tertampak
wajahnya kuyuh, rambut kusut, jeas dia memburu datang dalam
keadaan tergesa-gesa.
Terdengar Ogito berteriak, "Siapa itu yang bilang tidak boleh
tembak?"
"Apakah telingamu tuli?" damperat Topua.. "Akulah yang bilang
begitu?"
Ogito adalah anak buah Yasian, biasanya sangat menghormat
kepada Topna. Nona itu yakin orang akan dapat ditundukkan.Pahala dan Murka - 28 19
Siapa tahu sebelumnya Ogito sudah mendapat perintah Yasian
bahwa siapapun tidak berhak merintangi tugasnya.
Maka ia memberi hormat kepada Topua, katanya, "Mohon Tuan
Putri suka menyingkir!"
Habis berkata demikian mendadak ia memberi perintah,
"Tembak!"
Keruan tidak kepalang gusar Topua, ia pun membentak, "Siapa
yang menembak, segera kumampuskan dia! Ogito, kau berani
membangkang terhadap perintahku?"
Juru tembak meriam itu tampak ragu, gemetar tangannya yang
memegang upet penyulut itu dan tidak berani memasang obat
peledak.
Ogito tersenyum dan berkata pula, "Maaf, aku cuma tunduk
kepada perintah Thaysu."
"Ayah menyuruhku susul kemari justru untuk menyampaikan
perintah supaya jangan tembak!" kata Topua.
Ucapan ini bila begitu datang lantas dikatakan Topua mungkin
akau dapat menipu Ogito, sekarang dari suara si nona yang gemetar
itu dapat Ogito melihat kecemasannya, tentu saja ia tidak percaya.
Kembali ia memberi hormat kepada Topua dan berkata, "Mohon
lihat perintah tertulis Thaysu pribadi."
"Aku kan anak perempuannya, masakah perlu membawa
perintah tertulis segala?" damperat Topua.
"Maaf, tanpa perintah tertulis Thaysu tak dapat kuterima
Tawon Merah Bukit Hengsan 7 Dewa Arak 70 Pulau Setan Pelarian 5
^