Pencarian

Liang Maut Di Bukit Kalingga 1

Joko Sableng 22 Liang Maut Di Bukit Kalingga Bagian 1


SATU Lasmini tegak dengan sosok bergetar keras. Mulut-
nya menganga tak lanjutkan ucapan. Sepasang ma-
tanya berkilat mendelik angker. Dadanya langsung di-buncah kemarahan luar biasa.
Di matanya kembali
terkenang peristiwa yang terjadi di depan Istana Hantu pada beberapa waktu
silam. Seperti dituturkan dalam episode: "Rahasia Kam-
pung Setan", atas saran Kiai Lidah Wetan yang ternya-ta adalah kekasih Lasmini
di masa muda, Lasmini
mendatangi Jurang Tlatah Perak tempat kediaman
Pendeta Sinting. Ternyata Lasmini tidak berjumpa
dengan Pendeta Sinting. Justru dia berjumpa dengan
Setan Liang Makam yang punya tujuan sama.
Saat Lasmini dan Setan Liang Makam keluar dari
Jurang Tlatah Perak, mereka berdua jumpa dengan
Datuk Wahing. Setan Liang Makam marah tatkala
mendapati Lasmini tidak mengenali Datuk Wahing,
dan menyadari siapa adanya Datuk Wahing. Padahal
beberapa saat yang lalu Lasmini mengatakan banyak
mengenal beberapa tokoh rimba persilatan. Setan
Liang Makam akhirnya memerintahkan pada Lasmini
untuk pisahkan diri.
Dengan perasaan kecewa, Lasmini meninggalkan
Setan Liang Makam. Dia sempat jumpa dengan Datuk
Wahing. Tapi Datuk Wahing tetap bungkam tak mau
sebutkan siapa dirinya. Akhirnya Lasmini tinggalkan Datuk Wahing. Saat itulah
dia berjumpa dengan Kiai
Laras. Pada akhirnya Kiai Laras mau menunjukkan di
mana Pendeta Sinting berada. Dan saat sampai pada
tempat yang ditunjukkan Kiai Laras, mendadak di ha-
dapannya muncul seorang pemuda yang dikenal betul
oleh Lasmini, karena pemuda itulah yang pernah
menggagalkan usahanya dalam merebut Kitab Sundrik
Cakra di depan Istana Hantu. Si pemuda di hadapan-
nya bukan lain adalah Pendekar 131 Joko Sableng.
"Kalau bangsat kecil ini ada di sini, berarti si keparat gurunya juga berada di
sini!" desis Lasmini dalam hati. "Hari ini besar sekali rezeki ku. Yang kucari
satu, yang kudapat dua! Tapi.... Aku harus berhati-hati pada bajingan ini!
Bagaimanapun juga pasti dia sudah
mempelajari kitab di tangannya! Kemampuannya telah
terbukti dari berita kegegeran di Kedung Ombo belum lama berselang...."
Sementara itu pemuda yang tegak di seberang se-
nyum-senyum. Seolah tidak pedulikan kemarahan
orang, Joko angkat bicara.
"Kalau tidak salah, bukankah yang tegak di hada-
panku saat ini adalah...."
Ucapan Joko belum selesai, Lasmini sudah menu-
kas dengan suara keras.
"Syukur matamu masih mengenaliku!" Lasmini
alihkan pandangan. "Kau hari ini masih beruntung,
Jahanam! Karena aku tak mau tanganku kotor dengan
simbahan darahmu! Tapi bukan berarti nyawamu akan
tetap di tubuhmu!"
Joko kerutkan dahi. "Apa maksud ucapanmu"!"
"Aku ingin kau sendiri yang memutus nyawamu!"
Pendekar 131 tertawa pendek. "Itu soal mudah! Tapi
sebelumnya aku tanya. Apakah kedatanganmu hanya
ingin menyaksikan nyawaku putus dengan tanganku
sendiri"!"
"Aku tahu, si keparat gurumu berada di sini! Un-
tuknya tanganku sendiri yang akan cabut nyawanya!"
"Ah.... Bagaimana kau bisa membeda-bedakan begi-
tu"! Apakah harga nyawaku dan nyawa guruku berbe-
da"!"
"Itu urusanku! Kau tak usah banyak mulut!"
Joko gelengkan kepala. "Aku tak akan lakukan
permintaanmu sebelum kau jelaskan perbedaan ini!"
Lasmini sentakkan kepala menghadap Joko. Dia
sengaja memerintahkan si pemuda untuk cabut nya-
wanya sendiri karena dia sadar, bahwa kepandaian si pemuda pasti sudah jauh
meningkat dibanding beberapa saat yang lalu. Lasmini tak mau bertindak ayal
untuk hamburkan tenaga, karena dia berpikir masih
harus berhadapan dengan Pendeta Sinting.
"Kau tak akan mendengar keterangan apa-apa dari
mulutku, Keparat! Dan kalau kau tak mau lakukan
ucapanku, apa kau kira nyawamu bisa selamat"!"
"Aku tidak bisa pastikan! Yang jelas aku yakin ma-
sih bisa hidup lebih lama!"
"Hem.... Begitu"!" ujar Lasmini. Belum sampai sua-
ranya usai, sosok perempuan ini telah melesat ke depan. Kedua tangannya yang
telah dialiri tenaga dalam segera dikelebatkan melepas satu pukulan ke arah da-
da. Joko tidak tinggal diam. Dua jengkal lagi tangan Lasmini menghantam dadanya,
kedua tangannya diangkat melintang di depan.
Bukk! Bukkk! Benturan tak bisa dihindari. Sosok Lasmini mundur
satu tindak. Di hadapannya, Joko surut satu langkah.
Tangan masing-masing orang yang baru saja beradu
tampak bergetar.
Lasmini makin berang namun perempuan ini sedikit
bisa merasa lega, karena dari benturan tadi telah cukup membuatnya maklum jika
tenaga dalamnya tidak
berada di bawah lawan. Hingga keragu-raguan seketi-
ka sirna dari dadanya.
"Sepertinya tak ada perubahan pada manusia ini!"
gumam Lasmini. Saat itu juga dia telah lipat gandakan tenaga dalamnya, dan
serta-merta merangsek ke de-
pan. Kali ini dengan bertumpu pada kaki kirinya, tubuhnya berputar. Saat yang
sama kaki kanannya
membuat gerakan menendang.
Melihat orang lakukan tendangan, Joko mundur
dua langkah. Kaki kanannya diangkat menghadang
tendangan yang datang.
Desss! Lasmini tersentak. Kaki kanannya mental balik. Ka-
ki kirinya yang dibuat tumpuan tubuh tampak mene-
kuk dan bergerak memutar mengikuti mentalan kaki
kanannya. Sadar akan apa yang terjadi jika lawan susuli hadangan kakinya dengan
pukulan, Lasmini men-
dahului. Kedua tangannya segera disentakkan ke de-
pan. Wuutt! Wuutt! Dua gelombang dahsyat melesat deras ke arah Jo-
ko. Di depan, si pemuda yang masih coba kuasai diri cepat jejakkan kaki kiri
yang tadi juga dipakai tumpuan. Saat itu juga sosoknya mengudara. Gelombang
pukulan Lasmini lewat satu jengkal di bawah kakinya menghantam udara kosong!
Lasmini menggeram. Dia teruskan putaran tubuh.
Begitu menghadap kembali ke depan, serta-merta ke-
dua tangannya dihantamkan kembali. Lasmini sengaja
arahkan pukulan ke atas dan ke bawah. Dengan begi-
tu lawan tak mungkin menghindar.
Di atas udara, Joko tarik kedua tangannya ke bela-
kang. Saat berikutnya disentakkan. Karena gelombang yang datang menyongsong dari
arah atas dan bawah,
Joko arahkan kedua tangannya ke bawah dan ke atas.
Bummm! Bummm! Terdengar dua kali ledakan keras di udara. Sosok
tubuh Joko tampak terdorong di atas udara. Di bawah sana, Lasmini terhuyung-
huyung. Tapi perempuan ini
cepat bisa kuasai diri. Sebelum Joko sempat jejakkan
kaki, Lasmini telah hantamkan kembali kedua tangan-
nya. Entah karena apa, meski dua gelombang yang siap
menyapu telah mencuat dari kedua tangan Lasmini,
Joko tidak membuat gerakan untuk hadang pukulan
orang. Sebaliknya dia berpaling ke arah timur.
Lasmini tersenyum dingin melihat pukulannya tidak
dihadang lawan. Dia sudah dapat menduga apa yang
akan terjadi kalau pukulannya benar-benar telak
menghantam! Mendadak senyum Lasmini putus. Dari arah mana
kepala Joko berpaling mendadak melesat dua gelom-
bang menghadang pukulan Lasmini.
Bummm! Lamping Bukit Kalingga kembali dicercah dentuman
keras. Sosok Lasmini tersurut dua langkah dengan da-da bergetar keras. Di depan
sana, Joko turun ke atas tanah dengan bibir sunggingkan senyum.
Lasmini berpaling. Memandang ke depan, sepasang
matanya langsung membeliak besar. Wajahnya beru-
bah antara geram dan terkejut. Mulutnya membentak.
"Saraswati! Apa yang kau lakukan"!"
Dari arah mana tadi kepala Joko berpaling, tampak
tegak seorang pemuda berwajah tampan berkumis tipis mengenakan pakaian hitam-
hitam. Pemuda ini bukan
lain adalah Saraswati, anak perempuan Lasmini yang
masih kenakan samaran sebagai seorang pemuda.
Yang ditanya tidak menjawab. Malah arahkan pan-
dangannya ke jurusan lain. Mulutnya bergerak mem-
buka. Namun tidak terdengar suaranya!
"Saraswati...." Joko buka suara lalu seraya melirik pada Lasmini dia melangkah
mendekat. "Tetap di tempatmu, Jahanam!" hardik Lasmini.
Saat yang sama perempuan ini membuat gerakan satu
kali. Sosoknya melesat dan tahu-tahu telah tegak di
samping Saraswati. Sesaat matanya memperhatikan
sikap anaknya. "Saraswati! Cepat tinggalkan tempat ini!"
Saraswati gerakkan kepala lalu memandang pada
Lasmini. Kepalanya menggeleng perlahan. "Ibu...."
Hanya itu suara yang terdengar dari mulut Saraswati.
Gadis yang menyamar sebagai seorang pemuda ini tak
kuasa lanjutkan ucapannya.
"Saraswati! Kau dengar ucapanku"! Tinggalkan
tempat ini! Cepat!"
Saraswati kembali gelengkan kepala. "Maaf, Ibu....
Bukan aku tidak mau turuti ucapanmu, tapi...."
"Kau jangan ikut campur urusan ini! Dan perlu kau
dengar, meski kau anakku, bukan berarti kau bisa selamatkan nyawanya!"
Habis berkata begitu, Lasmini menoleh pada Joko
yang masih tegak dengan mata memandang pada Sa-
raswati. Dada Lasmini makin bergolak panas. Dia ce-
pat angkat kedua tangannya. Namun sebelum kedua
tangannya bergerak, Saraswati telah melompat dan tegak di hadapan Lasmini,
hingga mau tidak mau Las-
mini urungkan niat.
"Ibu.... Urusan yang lalu tidak usah diperpanjang
lagi! Anggap semuanya sudah berakhir!"
"Saraswati! Keputusan sudah kuambil! Nyawa anj-
ing keparat itu harus putus di tanganku! Tidak seo-
rang pun bisa menghalangi meski kau!" Lasmini ge-
rakkan tangan menarik lengan Saraswati untuk me-
nyingkir dari hadapannya. Saat lain keduanya telah
berkelebat sambil Lasmini lepaskan pukulan ke arah
Joko. Saraswati tidak berdiam diri. Dia cepat melompat ke depan. Kedua tangannya
mendorong gerakan kedua
tangan Lasmini. Hingga meski dari kedua tangan Las-
mini melesat dua gelombang angin luar biasa dahsyat,
tapi arahnya sudah jauh melenceng dari sasaran!
Kalau tadi hanya menggertak, kali ini rupanya Las-
mini sudah tidak bisa lagi menahan kemarahan meli-
hat tindakan Saraswati. Tampangnya berubah menge-
tam. Sepasang matanya mendelik angker. Kedua tan-
gannya yang baru saja lepaskan pukulan ke arah Joko cepat ditarik pulang dan
diangkat tinggi-tinggi ke atas.
"Kau telah berlaku bodoh, Saraswati!" Kedua tangan
Lasmini sudah bergerak.
Di hadapannya, Saraswati tegak dengan kancingkan
mulut dan memandang tajam pada gerakan kedua
tangan ibunya. Gadis ini tidak membuat gerakan apa-
apa. Baru setengah jalan, mendadak Lasmini sentakkan
kedua tangannya kembali ke belakang. Sepasang ma-
tanya memandang ke jurusan lain dengan dada berge-
rak turun naik tak teratur dengan keras.
"Saraswati!" kata Lasmini dengan suara bergetar
dan parau. "Kau harus tahu.... Siapa manusia jaha-
nam itu, siapa dirimu, lebih-lebih siapa aku!" Lasmini hadapkan wajah pada
Saraswati. "Kau jangan tertipu
dengan perasaan! Perasaan hanya akan membawamu
tenggelam dalam ketololan! Tak tahu mana benar, ma-
na salah! Tak bisa membedakan mana yang harus kau
lakukan dan mana yang tidak harus kau laksanakan!"
Saraswati menentang pandangan ibunya. Namun
sejauh ini dia belum buka mulut menyahut. Sementara di seberang sana, Joko
memandang kedua ibu dan
anak itu dengan senyum.
"Saraswati! Kuharap kau mengerti dan turuti per-
mintaan ibumu!"
"Ibu.... Menurutku, antara Ibu dengan pemuda itu
tidak ada urusan! Kalaupun ada, bisa diselesaikan
tanpa harus mengadu jiwa!"
Lasmini tertawa perlahan mendengar ucapan anak-
nya. "Itu bukti bahwa kau belum tahu siapa dirimu,
siapa pemuda bangsat itu serta siapa aku!"
"Kalau boleh tahu, apakah ada silang sengketa lain
antara Ibu dengan pemuda itu selain urusan yang terjadi di Istana Hantu beberapa
waktu silam"!" tanya Saraswati.
"Hem.... Jadi urusan di Istana Hantu itu kau ang-
gap persoalan sepele yang bisa diselesaikan dengan
ucapan, begitu"!"
"Kalau diselesaikan dengan kekerasan, apa Ibu kira
bisa tuntas"!" Saraswati balik bertanya. Lalu kepala gadis yang menyamar sebagai
seorang pemuda ini
menggeleng. "Tidak, Ibu.... Justru kalau urusan ini diselesaikan dengan cara
Ibu, akan timbul urusan ba-ru...."
"Kau tak tahu, Saraswati! Dalam dunia persilatan,
semua ujung persoalan baru tuntas jika salah seorang sudah tewas! Kalaupun
nantinya timbul urusan baru,


Joko Sableng 22 Liang Maut Di Bukit Kalingga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu urusan lain. Inilah sebuah risiko yang harus di-tanggung manusia yang terjun
dalam kancah persila-
tan!" "Ibu.... Anggaplah itu satu yang lazim dalam dunia
persilatan! Tapi sebagai manusia biasa, bukankah kita bisa ambil jalan yang
terbaik"! Kalau urusan bisa diselesaikan dengan baik-baik, untuk apa harus
melaku- kan pembunuhan"!"
"Kau belum bisa melihat dalamnya urusan, Anak-
ku!" ujar Lasmini pelan dengan menarik napas dalam.
"Baiklah.... Kali ini aku turut saran mu. Kau mengatakan persoalan bisa diatasi
dengan baik-baik! Sekarang coba kau minta kitab yang ada di tangannya! Kalau dia
memberikan apa yang kau minta, berarti ucapanmu
benar dan urusan selesai!"
Saraswati pandangi ibunya dengan paras bimbang.
Untuk beberapa saat gadis ini diam. Lasmini tertawa.
Lalu berkata. "Mengapa kau diam, Anakku"! Bukankah kau bi-
lang urusan ini bisa tuntas dengan ucapan" Tanpa harus saling bunuh"!"
"Ibu.... Kitab itu sudah menjadi haknya! Tak mung-
kin...." Belum selesai Saraswati berucap, Lasmini telah
menyahut. "Sebuah kitab diciptakan bukan untuk di-
haki seseorang! Dan urusan ini adalah urusan kitab
itu!" Lasmini sunggingkan senyum. "Sekarang aku
tanya padamu, kalau kau bimbang, apa kau masih
berpikir urusan ini bisa diselesaikan dengan baik-
baik"!"
Mungkin untuk buktikan ucapannya, atau karena
khawatir terjadi lagi saling baku hantam antara ibunya dengan Joko, pemuda yang
secara diam-diam telah
merebut hatinya, Saraswati berpaling pada Joko. Na-
mun sebelum Saraswati berucap, dari seberang sana
Joko telah angkat bicara.
"Sebuah kitab diciptakan memang bukan untuk
dimiliki seseorang! Namun siapa pun manusianya yang telah mendapatkan sebuah
kitab sakti, maka adalah
tindakan bodoh jika begitu saja diberikan pada orang yang meminta! Dan siapa pun
manusianya akan lebih
baik mampus daripada harus menyerahkan kitab di
tangannya!"
Lasmini tertawa. "Anakku.... Kau dengar ucapan-
nya"! Dengar, Saraswati! Dalam urusan dunia persilatan, kalau kita memakai
perasaan maka kita tidak
akan mendapatkan apa-apa! Malah apa yang sudah ki-
ta dapat bisa saja lepas ke tangan orang lain!"
Lasmini sorongkan kepalanya mendekat ke arah
kepala Saraswati lalu berbisik.
"Dan kau harus tahu, Anakku! Pemuda macam dia
tidak patut diberi perasaan! Kalau dia punya perasaan
padamu dan memandangku, pasti dengan suka rela
apa yang kau minta akan diberikan! Apa kau masih
menaruh perasaan pada jahanam macam itu"! Aku te-
lah merasakan betapa pahitnya dikecewakan, Anak-
ku...." Saraswati makin bimbang. Dia tidak tahu harus
berbuat apa. Dia tidak mau terjadi saling bunuh anta-ra ibunya dengan Joko.
Namun dari ucapan ibunya
serta kata-kata Joko, sepertinya baku hantam tak bisa dihindarkan lagi.
"Anakku.... Aku tahu bagaimana perasaanmu pada
jahanam keparat itu! Kau tidak usah membohongi Ibu!
Kau jatuh cinta padanya kan"! Tapi apakah kau tahu
perasaannya" Apakah kau tahu dia juga tertarik pa-
damu"! Melihat peristiwa di Istana Hantu, rasanya aku menyangsikan keparat itu!
Kalaupun saat itu dia mengatakan tertarik padamu, mungkin dia punya maksud
tertentu, karena kau adalah anak dari penguasa Istana Hantu di mana tersimpan
kitab sakti! Kau jangan ter-bawa pada ucapan laki-laki, Anakku! Setiap laki-laki
yang punya maksud tersembunyi, dia akan bermuka
manis dan berkata muluk-muluk! Tapi begitu mak-
sudnya tercapai, akan kelihatan siapa dia sebenarnya!"
Paras wajah Saraswati tampak berubah memerah.
Gadis ini tidak berani berpaling pada ibunya. Lasmini melirik pada Joko, lalu
lanjutkan ucapannya.
"Saraswati.... Kau masih ingin hidup bersamaku,
bukan"!"
Saraswati gerakkan kepala menoleh tanpa buka su-
ara. Lasmini arahkan pandang matanya ke jurusan
lain seraya berkata. "Kalau ya, kuharap kau tinggalkan tempat ini dan menungguku
di tempat yang telah kau
sebutkan! Kalau tidak, aku tanya apa maumu seka-
rang!" Saraswati sungguh tidak menduga kalau diha-
dapkan dengan pilihan yang amat sulit. Di satu pihak, dia memang ingin hidup
berdampingan dengan ibunya
yang telah lama terpisah. Di lain pihak, bagaimanapun juga dia tidak mau Joko
terbunuh! Karena Saraswati tidak juga menjawab, Lasmini
angkat bicara lagi.
"Kau harus dapat memberi ku ketegasan, Saraswa-
ti!" Karena masih dalam keadaan bingung, Saraswati
menggeleng. Sementara sepasang matanya melirik pa-
da Joko. Lasmini mulai jengkel melihat sikap Saraswati. Da-
danya sesak. Ini menambah kegeramannya pada Joko.
Hingga tak lama kemudian dia berkata.
"Baik! Aku telah memberimu kesempatan untuk
memberi ketegasan, tapi kau tidak mau! Sekarang ku-
harap kau tidak ikut campur urusanku! Ini urusan
persilatan! Bukan urusan antara ibu dan anak!"
Habis berkata begitu, Lasmini melompat ke depan.
Saraswati masih tampak diam karena dilanda kebim-
bangan. Sementara di seberang sana, Joko sudah ang-
kat kedua tangannya. Lasmini yang sudah tidak saba-
ran segera pula angkat kedua tangannya.
"Tahan!" Tiba-tiba Saraswati berteriak. Lalu berke-
lebat dan tegak di hadapan Lasmini.
*** DUA Saraswati hanya tegak tanpa berkata apa-apa. Saat
lain gadis ini balikkan tubuh membelakangi Lasmini
menghadap Joko. Untuk beberapa saat Saraswati me-
mandang dengan dada berdebar. Setelah kuatkan hati,
akhirnya mulutnya membuka perdengarkan suara.
"Pendekar 131! Demi kebaikan bersama, kuharap
kau segera tinggalkan tempat ini!"
"Gila!" teriak Lasmini setengah menjerit. Sosoknya
melesat ke depan menjajari Saraswati. Dengan mata
berkilat dia menghardik. "Saraswati! Kuperintahkan
kau sekali lagi untuk tinggalkan tempat ini dan tidak turut campur! Kalau kau
membangkang, jangan kira
aku tidak tega menggebuk mu!"
Saraswati tidak hiraukan ucapan ibunya. Kembali
gadis ini berteriak pada Joko tanpa berpaling pada
Lasmini. "Pendekar 131! Cepat tinggalkan tempat ini!"
Di depan sana, Joko tampak tersenyum seraya ge-
lengkan kepala. "Aku tegak di sini bukan sekadar untuk diri sendiri! Di dalam
sana ada eyang guruku yang terbaring sakit! Apakah aku akan enak begitu saja
tinggalkan tempat ini sementara nyawa eyang guruku
terancam tangan maut"!"
Dalam keadaan kebingungan, tanpa pikir panjang
lagi Saraswati berkata.
"Keselamatan eyang gurumu serahkan padaku! Kau
tak usah khawatir!"
"Tutup mulutmu, Saraswati!" bentak Lasmini. "Kau
benar-benar sudah gila hendak selamatkan dan lin-
dungi manusia-manusia yang seharusnya kau bunuh!"
Saraswati putar tubuh setengah lingkaran mengha-
dap Lasmini. "Ibu! Harap maafkan aku! Bukankah Ibu
tadi sudah bilang, ini urusan dunia persilatan! Bukan urusan antara ibu dan
anak!" "Aku menyesal sekali. Saraswati! Selama ini aku se-
lalu membayangkan bisa sependapat denganmu dalam
segala hal! Tak tahunya, bukannya kau menolongku,
tapi justru hendak membantu musuhku! Tapi apa bo-
leh buat! Kau telah dewasa. Lagi pula kau menganggap urusan ini bukan ada
hubungannya antara seorang
ibu dan anak!"
Saraswati menarik napas panjang. Lasmini alihkan
pandangan dengan menyeringai. Lalu berkata. "Saras-
wati! Melangkahlah ke jahanam itu! Kita butakan mata kita masing-masing! Dan
anggap di antara kita tidak ada kaitan apa-apa!"
"Ibu.... Kau tega..."!"
"Ini bukan urusan tega atau tidak! Bukankah kalau
kau membantu musuhku, berarti kau juga tega hen-
dak membunuhku"!"
"Ibu! Maksudku bukan...."
Belum selesai teruskan ucapan, Lasmini telah me-
nukas. "Aku tidak punya waktu untuk berlama-lama
bicara! Dan kau perlu dengar keputusanku sekali lagi!
Nyawa anjing jahanam itu harus ku cabut! Dan siapa
pun yang berani menghalangi, maka dia akan berha-
dapan denganku! Tidak peduli siapa saja termasuk
kau sendiri!"
Habis berkata begitu, perlahan saja Lasmini me-
langkah menjauh dari Saraswati. Saat lain tiba-tiba kedua tangannya telah
berkelebat lepaskan satu pukulan jarak jauh ke arah Joko.
Saraswati tidak tinggal diam. Dia segera melompat
ke arah Lasmini untuk mencegah tindakan ibunya.
Namun baru saja tangannya bergerak hendak mendo-
rong, kaki kiri Lasmini bergerak lepaskan tendangan ke samping.
Bukkk! Saraswati terjengkang duduk di atas tanah. Lasmini
teruskan kelebatan kedua tangannya, hingga saat itu juga dua gelombang luar
biasa dahsyat menggebrak
deras ke arah Joko!
Joko cepat pula sentakkan kedua tangannya ke de-
pan untuk menghadang serangan. Malah begitu kedua
tangannya bergerak, sosoknya ikut melesat ke depan.
Bummm! Dua pukulan bertenaga dalam tinggi bertemu. Le-
dakan dahsyat terdengar. Sosok Lasmini tampak ter-
sapu sampai lima langkah. Wajahnya seketika beru-
bah. Di sampingnya Saraswati tampak terdorong den-
gan duduk. Di seberang depan, tubuh Joko mental,
namun belum sampai tiga langkah, tangan kanannya
bergerak menyelinap ke balik pakaiannya. Saat lain ti-ba-tiba tangan kanannya
berkelebat ke depan.
Wuutt! Lasmini tersentak. Dari arah depan mencuat tiga
sinar berwarna merah, hitam, dan putih.
Rasa kejut Lasmini membuat perempuan ini berge-
rak lamban. Hingga baru saja tangannya bergerak
hendak mendorong lepaskan pukulan, tiga sinar yang
berkiblat telah datang menggebrak!
Saraswati berseru. Kedua tangannya cepat menyen-
tak. Sementara meski terlambat, Lasmini masih han-
tamkan kedua tangannya!
Bummm! Bummm! Untuk kesekian kalinya kembali Bukit Kalingga di-
rencah dentuman keras. Namun baik Lasmini maupun
Saraswati terhenyak. Sinar tiga warna yang berkiblat ternyata hanya mental ke
belakang beberapa saat. Di lain kejap tiga sinar berwarna merah, hitam, dan
putih itu melaju deras ke arah Lasmini!
Terlambat bagi Saraswati untuk menghadang kibla-
tan tiga sinar, karena bersamaan dengan terdengarnya ledakan, sosoknya mencelat
menghantam satu batang
pohon. Hingga tatkala dia hendak angkat kedua tan-
gannya, terhalang oleh batangan pohon.
Di lain pihak, Lasmini masih sedikit beruntung. Ka-
rena begitu pukulannya menghadang tiga sinar dan
terdengar ledakan, sosoknya tersapu. Hal ini menye-
lamatkan dirinya dari tiga sinar yang kini berkiblat
kembali, juga memberi kesempatan pada Lasmini un-
tuk menghadang kiblatan sinar meski dengan tubuh
laksana disentak-sentak dan mulut megap-megap!
Wuutt! Wuutt! Busss! Tiga sinar yang menerjang ke arah Lasmini terpen-
car kena hadangan pukulannya. Satu ke samping ka-
nan, satunya ke samping kiri. Namun satunya lagi justru lurus ke arah sosok
Lasmini! Tak ada kesempatan lagi bagi Lasmini untuk mem-
buat gerakan sentakkan kedua tangannya. Hingga sa-
tu-satunya jalan adalah menghindar. Perempuan ini
cepat gulingkan tubuh. Walau gerakannya laksana ki-
lat, namun salah satu sinar itu masih mampu me-
nyambar bahunya!
Lasmini menjerit. Sosoknya terbanting dan bergu-
lingan di atas tanah dengan pakaian di bagian bahu
langsung terbakar hangus!
Belum sampai Lasmini bergerak bangkit, Joko telah
melesat dan tahu-tahu sosoknya telah tegak tiga langkah di samping sosok Lasmini
dengan kedua tangan
terangkat. Bibirnya sunggingkan senyum.
"Jahanam! Ilmu apa yang dilepas pemuda keparat
ini tadi"! Sekilas tadi aku melihat sinar tiga warna di tangan kanannya. Tapi
sekarang tangannya tidak ber-sinar lagi! Apakah ini kehebatan kitab yang pernah
hampir kudapatkan dahulu"!" Lasmini diam-diam
membatin dengan mata melirik ke atas. Kedua tangan
Joko memang tidak lagi menggenggam Kembang Darah
Setan yang sejenak tadi sempat digunakan dan buru-
buru dimasukkan kembali ke balik pakaiannya begitu
melihat Lasmini roboh terbanting. Lasmini memang tidak sempat melihat apa yang
tergenggam di tangan
Joko. Yang dia tahu, saat itu tiba-tiba melesat tiga sinar berwarna merah,
hitam, dan putih.
Kalau Lasmini tidak sempat melihat apa yang ter-
genggam di tangan kanan Joko, tidak demikian halnya dengan Saraswati. Saat gadis
ini tadi tidak berdaya untuk selamatkan ibunya, dia berpaling pada Joko dan
hendak berteriak agar Joko urungkan niat. Saraswati menduga, Joko akan susuli


Joko Sableng 22 Liang Maut Di Bukit Kalingga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pukulannya. Namun mulut Saraswati tidak kuasa untuk bersuara. Saat itulah dia
melihat tangan kanan Joko menggenggam setang-kai kembang berdaun tiga warna!
Merah, hitam, dan
putih. "Setangkai kembang berwarna tiga! Aku tidak per-
nah mendengar cerita tentang senjata hebat berbentuk kembang...," gumam
Saraswati. Gadis ini tidak lanjutkan gumamannya. Dia segera bergerak bangkit.
Be- gitu dia melihat Joko telah tegak dengan kedua tangan terangkat di samping
ibunya, Saraswati cepat berkelebat seraya berteriak.
"Harap tidak bertindak lebih jauh!"
Walau Joko tidak berpaling, namun kedua tangan-
nya terhenti di atas udara. Lasmini tidak sia-siakan kesempatan. Begitu dia
dapat bergerak duduk, tiba-tiba kedua tangannya bergerak melepas pukulan sam-
bil mendorong tubuhnya ke depan.
Karena jaraknya terlalu dekat, tak ada kesempatan
bagi Joko untuk selamatkan diri selain menghadang
dengan pukulan pula. Hingga seraya membentak ga-
rang, sosoknya melompat setengah tombak ke udara.
Dengan membuat gerakan berputar, kedua kakinya
bergerak menghadang kedua tangan Lasmini.
Bukkk! Kedua tangan Lasmini langsung mental. Sementara
tubuh Joko memutar balik. Karena bahu Lasmini telah cedera, maka benturan dengan
kaki Joko membuat perempuan ini menjerit. Dia rasakan bahunya laksana
hendak tanggal. Namun maklum kalau bahaya belum
lenyap, Lasmini coba kerahkan tenaga dalam seraya
melirik pada Saraswati.
Sementara itu hanya kira-kira sejarak lima langkah
di hadapan Lasmini, Joko tegak dengan bibir sung-
gingkan senyum dingin. Sejurus dia pandangi Lasmini lalu beralih pada Saraswati.
Saraswati coba tersenyum. Namun Joko menangga-
pi dengan dingin. Malah cepat-cepat alihkan pandan-
gan. "Aku tahu.... Dia pasti kecewa dengan tindakanku
ini! Tapi apa boleh buat.... Aku tak mau kehilangan salah satu dari mereka!"
kata Saraswati dalam hati. Lalu arahkan pandangannya pada Lasmini. "Seharusnya
Ibu tidak menggunakan kesempatan tadi untuk me-
mukul!" Saraswati perlahan melangkah ke arah ibunya.
"Ibu.... Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini!"
Lasmini tersenyum sinis. "Kau kira aku bisa terbu-
nuh di tangannya"!" kata Lasmini seraya bangkit. Saat itulah mendadak Joko
membuat satu gerakan. Sosoknya berkelebat ke depan. Tangan kanannya bergerak.
Saraswati terkesiap. Dia merasakan sambaran an-
gin melesat ke arah lambungnya. Belum tahu apa yang hendak dilakukan Joko, dan
belum sempat dia bergerak, satu totokan dahsyat telah bersarang di lambungnya
hingga tubuhnya melorot jatuh dalam keadaan te-
gang kaku! Lasmini tersentak. Keterkejutannya membuat di-
rinya lengah. Hingga saat Joko berkelebat dengan tangan kiri lepas pukulan, dia
hanya bisa menghadang
tangan kanan Joko. Hingga tak ampun lagi tangan kiri Joko telak menghantam dada
kanannya! Lasmini terpekik. Sosoknya terhuyung tiga tindak.
Saat bersamaan lututnya menekuk. Di lain kejap sosok Lasmini jatuh terjengkang
dengan mulut keluarkan
darah! Joko tak menunggu. Dengan satu kali lompatan,
sosoknya telah tepat berada di samping Lasmini. Lasmini coba bergerak hendak
bangkit. Namun gerakan-
nya tertahan tatkala tiba-tiba kaki kanan Joko sudah membuat gerakan menyapu.
Meski Lasmini sudah gerakkan tangan, namun karena sudah terluka, maka
sapuan kaki Joko tidak bisa dihindarkan lagi.
Bukkk! Sosok Lasmini yang hendak bangkit terbanting ke
atas tanah. Darah muncrat dari mulutnya yang menje-
rit. "Aku tak mau dia mampus begitu saja! Dia juga harus merasakan bagaimana
nikmatnya tewas perlahan-
lahan!" desis Joko lalu maju mendekat.
"Pendekar 131! Cukup! Jangan sentuh lagi ibuku!"
teriak Saraswati. Gadis ini hanya bisa berteriak tanpa dapat bergerak.
Joko hanya berpaling sejurus. Lalu menghadap lagi
pada Lasmini. Tanpa berkata apa-apa lagi tangan kanannya bergerak. Tubuhnya
sedikit dibungkukkan.
Lasmini sadar apa yang hendak dilakukan orang. Den-
gan segenap kemampuannya, dia gerakkan tangannya
untuk menghadang gerakan tangan kanan Joko.
Namun Lasmini tertipu. Begitu tangan mereka
hampir saja bentrok, Joko cepat tarik pulang tangan kanannya. Saat bersamaan
justru tangan kirinya yang bergerak.
Lasmini berteriak. Namun tangan kiri Joko sudah
berkelebat lakukan totokan ke arah bahunya!
"Pendekar 131! Kau dengar ucapanku! Jangan sen-
tuh ibuku!" Saraswati kembali berteriak.
Joko seolah tidak dengar teriakan orang. Enak saja
tangan kanannya bergerak menjambak rambut Lasmi-
ni. Saat lain dia melangkah dengan tangan tetap men-
jambak rambut Lasmini.
Lasmini berteriak memaki panjang pendek. Semen-
tara Saraswati ikut berteriak. Namun Joko tak peduli.
Dia terus melangkah ke arah goa.
Joko hentikan langkah empat tindak dari kayu pe-
rapian di sebelah sudut ruangan goa. Tangan kanan-
nya bergerak sentakkan rambut Lasmini hingga kepala perempuan ini menghantam
lantai ruangan goa.
Dengan menahan rasa sakit, Lasmini coba meman-
dang berkeliling. Dia tidak melihat Pendeta Sinting.
Hatinya mulai ragu.
"Hem.... Jangan-jangan tua bangka yang menun-
jukkan tempat itu sudah bersekongkol dengan pemuda
keparat ini!" kata Lasmini dalam hati seraya melirik pada Joko yang saat itu
telah tegak di dekat perapian.
Lasmini tidak tahu apa yang dilakukan Joko. Yang terlihat, kaki kanan Joko
tampak menekan sesuatu di
kayu perapian. "Apa yang hendak dilakukan jahanam itu"!"
Baru saja Lasmini membatin begitu, tiba-tiba telin-
ganya mendengar suara berderit. Sepasang mata Las-
mini membeliak. Pada bagian pojok ruangan goa, tiba-tiba dindingnya bergerak.
Lalu tampaklah sebuah
tangga batu. "Apa yang akan dilakukan jahanam ini"! Itu pasti
tempat rahasia!" Lasmini membatin seraya terus mem-
perhatikan ke arah tangga di balik dinding yang terbuka. Joko balikkan tubuh
lalu melangkah tiga tindak
mendekati Lasmini. Untuk beberapa lama dia pandangi Lasmini tanpa berkata apa-
apa. "Lepaskan totokan celaka ini kalau kau manusia
jantan!" teriak Lasmini demi melihat Joko hanya me-
mandang tanpa berkata atau membuat gerakan apa-
apa. "Permintaanmu akan segera terkabul! Tapi bukan
berarti kau bisa lolos dari kematian! Kau tadi mengatakan tanganmu tak mau kotor
oleh simbahan darah-
ku! Sekarang aku pun tak mau bersusah payah men-
cabut nyawamu! Aku ingin melihat kau mampus seca-
ra perlahan-lahan tanpa mengotori tanganku!"
"Apa yang hendak kau lakukan"!"
Joko tersenyum. "Jangan terlalu gusar! Kau akan
menikmati perjalanan maut dengan perlahan-lahan!
Ha.... Ha.... Ha...!"
Tengkuk Lasmini menjadi dingin. Belum sampai dia
bisa menebak apa yang hendak dilakukan orang, tiba-
tiba Joko telah bungkukkan tubuh. Sekali kedua tan-
gannya bergerak, sosok Lasmini telah terangkat.
"Jahanam! Lepaskan diriku!"
Joko tidak pedulikan makian dan teriakan Lasmini.
Dia melangkah seraya mengangkat tubuh Lasmini. Be-
gitu sampai di ambang dinding yang terbuka, tangan
kiri Joko bergerak.
Lasmini merasa sedikit lega, karena totokannya
buyar. Namun kelegaan Lasmini hanya sekejap. Ber-
samaan dengan buyarnya totokan pada tubuhnya, ti-
ba-tiba kedua tangan Joko bergerak.
Wuuutt! Wuuutt!
Sosok Lasmini melayang melewati tangga di balik
dinding yang terbuka. Lasmini coba kuasai diri. Na-
mun perempuan ini tak bisa berbuat banyak. Karena
begitu tubuhnya melewati tangga, di sana dia disam-
but dengan lobang besar yang menganga!
Karena belum tahu tempat apa, dan merasa sosok-
nya melayang ke bawah, Lasmini pejamkan sepasang
matanya. Bukkk! Lasmini merasakan tubuhnya menghantam lantai.
Dengan mengerang, perlahan-lahan dia buka kelopak
matanya. Yang pertama-tama dirasakan perempuan ini
adalah hawa dingin. Lalu matanya menangkap cahaya
obor. Dia coba kerahkan tenaga dalam.
"Jangan teruskan kalau kau tak ingin mati dengan
cepat!" Tiba-tiba satu suara terdengar.
Laksana disentak setan, Lasmini cepat berpaling.
"Aku belum pernah melihat perempuan ini! Tapi men-
gapa dia berada di sini"! Apa dia juga mengalami nasib seperti diriku"!" Lasmini
membatin seraya memandang tak berkesip pada satu sosok tubuh yang duduk bersila
di dinding ruangan di mana dia berada.
Dia adalah seorang perempuan berusia lanjut,
meski wajahnya masih membayangkan kecantikan.
Rambutnya putih disanggul. Pada sanggulan rambut-
nya tampak menyelinap satu tusuk konde besar ber-
warna hitam. Nenek ini bukan lain adalah Ni Luh
Padmi. Seperti halnya Lasmini, Ni Luh Padmi termakan oleh ucapan dusta Kiai
Laras. Dan pada akhirnya dia terjerumus masuk ke ruangan di balik dinding goa.
(Lebih jelasnya baca serial Joko Sableng dalam episode
: "Geger Topeng Sang Pendekar").
"Siapa kau"!" Lasmini bertanya.
Ni Luh Padmi katupkan sepasang matanya. "Bukan
sekarang saatnya untuk bertanya jawab! Kau harus
pulihkan tenagamu dahulu tanpa harus kerahkan te-
naga dalam! Ruangan ini beracun! Setiap kau kerah-
kan tenaga dalam, racun di ruangan ini akan masuk
aliran darahmu! Dan itu akan mempercepat kema-
tianmu!" Meski merasa sedikit jengkel, namun sekali men-
cium, Lasmini sudah maklum kalau ucapan orang ada
benarnya. Dia perlahan-lahan menyeret tubuhnya lalu duduk bersandar. Dia
memperhatikan berkeliling. Dia hendak buka mulut bertanya pada Ni Luh Padmi.
Namun mengingat ucapan orang, dia urungkan niat. Lalu
perlahan-lahan dipejamkan sepasang matanya. Tak je-
las apa yang dilakukan perempuan ini. Mungkin ten-
gah pulihkan tenaga tanpa harus kerahkan tenaga da-
lam, mungkin juga sedang tenggelam meratapi nasib-
nya yang buruk karena tertipu orang!
Di lain pihak, begitu sosok Lasmini amblas masuk
ke dalam lobang di balik dinding, Joko putar tubuh, menekan sesuatu di bawah
tumpukan kayu perapian.
Dia menunggu sejenak. Begitu terdengar suara berde-
rit, pemuda ini sunggingkan senyum lalu sekali mem-
buat gerakan, sosoknya melesat keluar goa.
*** TIGA Saraswati pentang matanya besar-besar tatkala me-
lihat Joko muncul dari dalam goa. Saraswati bisa maklum akan perasaan Joko.
Namun tindakannya terha-
dap Lasmini di depan mata Saraswati sudah keterla-
luan! Hingga dada gadis ini mulai didera dengan rasa geram.
"Pendekar 131! Apa yang kau lakukan pada ibu-
ku"!" teriak Saraswati.
Joko hentikan langkah empat tindak di hadapan
Saraswati. Untuk beberapa lama, dia memandang tan-
pa berkata apa-apa. Namun sesaat kemudian dia buka
mulut. Bukan jawab pertanyaan Saraswati melainkan
tertawa bergelak-gelak!
"Pendekar 131! Harap suka bebaskan aku!"
Joko putuskan gelakan tawanya. "Aku akan turuti
permintaanmu! Tapi dengan satu syarat!"
Saraswati pandangi si pemuda dengan dada dipe-
nuhi berbagai perasaan. "Apa yang kau inginkan"!"
"Kau harus angkat kaki dari tempat ini!"
"Pendekar 131! Apa maumu sebenarnya"!"
Joko tersenyum. "Kau tak usah khawatirkan kese-
lamatan ibumu! Dia hanya perlu mendapat sedikit pe-
lajaran! Kelak kalian akan bertemu begitu pelajaran selesai!"
"Aku tak akan pergi dari sini tanpa ibuku!"
"Itu kemauanmu"!"
Saraswati menghela napas panjang. "Pendekar 131!
Aku tahu.... Ibuku memang melakukan tindakan sa-
lah! Tapi kuharap kau mengerti mengapa dia sampai
berbuat begitu!"
Joko maju dua tindak. "Aku tahu dan mengerti!
Maka dari itu aku memberinya pelajaran agar nanti tidak melakukan tindakan yang
sama untuk kedua ka-
linya!" "Pendekar 131! Ku mohon.... Bebaskan dia! Kalau-
pun kau ingin memberi pelajaran, biarlah aku yang
menggantikannya!"
Joko gelengkan kepala. "Tidak pantas menghukum
orang yang tidak melakukan kesalahan!" Joko te-
ruskan langkah mendekat. Begitu tepat di hadapan
Saraswati, dia berujar perlahan. "Bagaimana"! Kau terima syarat ku"!"
"Pendekar 131! Untuk kali ini ku mohon agar kau
biarkan aku pergi bersama ibuku! Percayalah.... Peristiwa ini tidak akan
terulang lagi! Ibu pasti sudah sadar akan tindakannya!"
"Saraswati! Kadangkala ada manusia yang harus
digebuk dahulu sebelum diajak bicara baik-baik! Dan ibumu termasuk manusia ini!
Aku menunggu jawa-banmu, Saraswati! Kau tahu.... Aku harus segera me-
rawat eyang guruku! Waktuku tidak banyak!"
"Baiklah.... Tapi beri aku kepastian kapan Ibu kau
bebaskan!"


Joko Sableng 22 Liang Maut Di Bukit Kalingga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tak bisa memberi kepastian saatnya!"
"Berarti kau tidak hanya...."
"Saraswati!" tukas Joko. "Kau telah dengar ucapan-
ku. Aku tidak punya waktu banyak! Atau kau ingin
berkumpul dengan ibumu, hah"!" bentak Joko dengan
suara garang. Saraswati sempat terlengak melihat sikap si pemu-
da. "Mengapa dia begitu berubah"! Apakah ini gara-
gara kejengkelannya pada tindakan Ibu"! Atau ada hal lain"!"
Setelah berpikir agak lama, akhirnya Saraswati ber-
kata. "Aku terima syaratmu! Tapi aku akan kembali
dalam waktu tiga hari di depan! Kalau sampai ibuku
mengalami hal yang tidak-tidak, jangan kau kira aku akan diam saja meski aku
tahu kau telah jadi seorang berilmu tinggi!"
Joko sunggingkan senyum. Kepalanya bergerak
menggeleng. "Kalau kau akan muncul pada tiga hari di depan, berarti kau belum
terima syarat ku! Ku ingin kau menunggu sampai ibumu menemuimu!"
"Hem.... Ada yang tak beres dengan ucapannya! Dia
menghalangiku datang lagi ke tempat ini! Namun dia
tak memberi batasan waktu kapan Ibu dibebaskan!
Berarti keselamatan Ibu terancam!" Diam-diam Saras-
wati membatin. Lalu berkata.
"Baik! Aku akan menunggu sampai ibuku datang
menemuiku!"
Ucapan Saraswati belum selesai, Joko telah gerak-
kan tubuh sedikit membungkuk. Tangan kanannya
bergerak. Saat itu juga Saraswati rasakan aliran darahnya mengalir kembali. Dan
perlahan-lahan anggota tubuhnya bisa digerakkan.
Saraswati coba kerahkan tenaga dalam. Sekonyong-
konyong tanpa bergerak bangkit terlebih dahulu, gadis ini gerakkan kedua
tangannya menghantam ke arah
Joko. Dari tadi tampaknya Joko sudah dapat membaca
apa yang ada dalam benak Saraswati. Hingga dia tidak merasa terkejut tatkala
tiba-tiba Saraswati lepaskan pukulan ke arahnya. Hingga bukan saja dia bisa
hindarkan diri, namun saat itu juga kedua kakinya mem-
buat gerakan menendang ke arah tangan kiri kanan
Saraswati! Bukkk! Bukkk! Saraswati terpekik. Sosoknya mental sampai lima
langkah terkapar di atas tanah. Belum sampai dia
membuat gerakan bangkit, Joko telah bergerak dan tegak hanya berjarak dua
langkah di hadapannya den-
gan mata mendelik angker.
"Jangan mimpi bisa menipuku, Saraswati!" Tangan
kanan kiri Joko bergerak ke depan. Saraswati tidak
tinggal diam. Dia gulingkan tubuh lalu dengan kedua kakinya dia menghadang kedua
tangan Joko. Joko tertawa bergelak panjang. Kedua tangannya
cepat ditarik pulang sedikit. Saat lain dikelebatkan lagi ke depan dengan jari-
jari terbuka. Tapp! Kaki kiri Saraswati menghantam tempat kosong.
Namun kaki kanannya yang bergerak menyusuli tiba-
tiba tertahan di udara. Gadis ini berteriak, karena ternyata kakinya telah
tertangkap kedua tangan Joko!
Joko angkat kedua tangannya yang telah memegang
kaki Saraswati hingga mau tak mau celana yang dike-
nakan Saraswati turun ke bawah membuat pahanya
terlihat jelas! Bukan sampai di situ saja, begitu celana Saraswati turun, tangan
kanan Joko bergerak ke bawah hendak mengelus paha si gadis.
Saraswati mendengus. Dadanya jadi panas. Dengan
didahului bentakan keras, kaki kirinya diangkat lalu disapukan ke arah Joko.
Joko tarik pulang tangan kanannya lalu digerakkan
ke kanan. Bukan untuk menghadang tendangan Sa-
raswati melainkan untuk menangkap kaki kiri si gadis.
Saraswati terpekik.
Joko angkat kedua tangannya yang telah memegang
kedua kaki Saraswati. Lalu kedua tangannya menyen-
tak ke bawah. Karena sentakan itu bukan sentakan
biasa, melainkan telah dialiri tenaga dalam, maka saat itu juga kedua kaki
Saraswati menghujam deras
menghantam tanah. Begitu derasnya hujaman itu.
hingga tubuh bagian atasnya terangkat!
Untuk kesekian kalinya dari mulut Saraswati ter-
dengar pekikan. Suara pekikannya belum sirna, kedua tangan Joko sudah bergerak
lagi. Brett! Brett! Pakaian Saraswati robek menganga pada bagian
dadanya hingga payudaranya terlihat sebagian! Saraswati menjerit tinggi. Gadis
ini sudah tidak bisa menahan perasaan geram. Dia lipat gandakan tenaga da-
lamnya. Saat itu juga kedua tangannya disentakkan ke arah perut Joko yang masih
tegak di hadapannya.
Wuutt! Wuutt! Joko sunggingkan senyum. Kedua tangannya segera
menyambut dua pukulan Saraswati.
Bukk! Bukkk! Saraswati buka mulut perdengarkan keluhan tinggi.
Sosoknya yang masih terduduk langsung terbanting ke atas tanah. Darah mengalir
dari mulutnya. Wajahnya
pucat pasi. Sementara Joko tidak bergeming dari ha-
dapannya, malah kini tertawa tergelak.
"Saraswati! Aku telah berbaik hati memberimu ke-
sempatan! Dan kesempatan itu masih berlaku untuk-
mu sekarang juga! Tapi kalau kau keras kepala, bukan aku tidak tega mengantarmu
ke alam baka!"
Seraya berkata, sepasang mata Joko mendelik ke
arah dada Saraswati. Yang dipandang baru sadar, dan buru-buru angkat kedua
tangannya untuk menutup
dadanya. "Jahanam! Ternyata kau bukan seperti manusia
yang kubayangkan!" desis Saraswati dengan mata ber-
kilat-kilat. Kalau saja tidak maklum dengan keadaan dirinya, tentu dia sudah
bergerak lepaskan pukulan.
Dengan tubuh bergetar menahan geram dan kece-
wa, Saraswati perlahan-lahan bangkit. Sepasang ma-
tanya memandang tajam pada bola mata Joko. Gadis
ini merasa masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dilakukan si pemuda
pada dirinya. "Aku salah menilai orang.... Tapi.... Aku rasanya tidak bisa untuk.... Ah,
mungkinkah aku masih meng-
harapkan manusia macam dia"!"
"Pendekar 131! Hari ini kau menang!" kata Saras-
wati setelah agak lama terdiam. "Tapi bukan untuk se-lamanya! Aku tetap akan
datang ke tempat ini! Dan ingat, kalau kau berbuat yang macam-macam pada ibu-
ku.... Apa pun akan kulakukan untuk membunuhmu!"
"Aku akan buktikan kebenaran ucapanmu, Saras-
wati! Kapan kau akan datang"!"
Saraswati tidak menyahut. Dia balikkan tubuh lalu
berkelebat tinggalkan tempat itu. Sepasang matanya
basah. Dadanya panas dan sesak. Rasa geram dan ke-
cewa membuncah jadi satu. Dia tidak tahu pasti apa
yang harus dilakukannya.
Joko pandangi kepergian Saraswati dengan bibir
tersenyum. Begitu sosok Saraswati lenyap, dia balikkan tubuh lalu berkelebat ke
balik salah satu pohon besar. Beberapa saat kemudian, dari balik pohon di
mana tadi Joko menyelinap, perlahan-lahan muncul
satu sosok tubuh. Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya putih
panjang. Dia bukan lain adalah Kiai Laras!
Kiai Laras arahkan pandangannya berkeliling. Kepa-
lanya bergerak mengangguk. Saat lain dia berkelebat tinggalkan tempat itu.
*** Saraswati terus berkelebat. Namun sekonyong-
konyong satu suara terdengar.
"Aku menyesal mengatakannya, Saraswati! Tapi
ibumu memaksaku...."
Saraswati tersentak. Dia hentikan larinya lalu ber-
paling. Karena tidak melihat siapa-siapa, akhirnya Saraswati berteriak dengan
tangan menangkup tutupi
dadanya. "Siapa kau"! Mengapa tidak tunjukkan diri"!"
Satu sosok tubuh tampak melayang dari atas se-
buah pohon. Dan tegak tujuh langkah di hadapan Sa-
raswati. Saraswati memperhatikan sejenak. Diam-diam gadis ini kerahkan tenaga
dalam pada kedua tangannya yang berada di depan dadanya. Lalu berkata.
"Orang tua! Katakan siapa dirimu!"
Orang yang tegak di depan Saraswati ternyata ada-
lah Kiai Laras. Orang ini angkat bahu seraya menghela napas panjang sebelum
akhirnya berkata.
"Kau tentunya sudah dengar dari percakapan ku
dengan ibumu! Jadi kurasa tidak ada gunanya aku
menerangkan lagi...."
"Hem.... Jadi sebenarnya dia telah mengetahui ke-
hadiranku saat dia bercakap-cakap dengan Ibu.... Aku harus mendapat kepastian
darinya. Rupanya dia tahu
banyak tentang Pendekar 131 dan gurunya! Dan bu-
kan tertutup kemungkinan kalau dia adalah teman se-
kongkol murid dan guru itu!"
Berpikir begitu, Saraswati berkata, "Orang tua! Apa benar Pendeta Sinting berada
dalam goa itu"!"
"Aku tidak pernah berkata dusta! Malah bukan cu-
ma Pendeta Sinting yang berada di dalam goa! Tapi ju-ga ada seorang perempuan
bekas kekasihnya!"
"Hem.... Kau rupanya tahu banyak tentang mereka!
Siapa kau sebenarnya"!"
"Aku bukan siapa-siapa! Aku...."
"Kalau kau bukan temannya mereka, tidak mung-
kin kau tahu begitu banyak!" Saraswati sudah memo-
tong ucapan Kiai Laras.
"Saraswati.... Semua orang adalah temanku! Dan
itu pun sudah pernah kukatakan pada ibumu! Hanya
saja.... Ibumu tidak mau turuti saran ku! Bahkan dia memaksaku dan mengancam
keselamatanku.... Jadi
terpaksa aku mengatakan apa adanya! Dengan kea-
daanmu yang begitu rupa, aku sedikit banyak bisa
menduga apa yang telah terjadi! Sayang sekali, aku ta-di tidak melihat
kemunculanmu di sekitar tempat ini!
Jika aku mengetahuinya, tentu aku akan menghalan-
gimu...." Saraswati makin rapatkan kedua tangannya yang
menutup dadanya. Malah sesekali matanya melirik ke
bawah khawatir kalau-kalau sekitar dadanya masih
ada yang terbuka.
Melihat sikap Saraswati, Kiai Laras tersenyum lalu
berujar. "Saraswati.... Aku tak bisa menduga apa yang di-
alami ibumu. Hanya kalau kau mau kusarankan, lebih
baik kau tak usah datang lagi ke Bukit Kalingga! Tempat itu masih terlalu berat
untuk dihadapi selama
Pendekar 131 dan gurunya masih berada di situ!"
"Orang tua! Bukannya aku tak mau turuti saran
mu, tapi demi selamatkan nyawa ibuku, apa pun akan
kulakukan!"
"Aku hanya sekadar memperingatkan.... Tapi kalau
kau sudah memutuskan, terserah padamu.... Dan ada
satu hal yang perlu kuberitahukan padamu! Ini sema-
ta-mata karena aku juga punya seorang anak gadis se-baya denganmu...."
Saraswati kerutkan kening. Kiai Laras melirik se-
bentar lalu berkata. "Ucapan ibumu tentang pemuda
bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng
benar adanya! Dia bukan pemuda yang patut diberi
perasaan! Bagi pemuda macam dia, mampus adalah
satu hal yang tepat! Aku tahu benar siapa dia sebe-
narnya, Saraswati.... Kalau selama ini dunia persilatan dan banyak gadis cantik
mengaguminya, itu karena
mereka tidak tahu! Kalau tidak salah pandang, aku
menduga kau juga tertarik pada pemuda itu! Benar"!"
"Orang tua! Harap kau tidak sangkut pautkan uru-
san ini dengan urusan pribadiku!"
Kiai Laras menggeleng. "Tidak bisa begitu, Saraswa-
ti! Bagaimanapun juga nantinya urusan pribadimu
akan ikut terlibat! Malah mungkin urusan pribadimu
inilah yang akan menjadi pangkal sebab urusan men-
jadi besar dan berlarut-larut! Maka dari itu, kusarankan padamu untuk melupakan
pemuda itu!"
Habis berkata begitu, Kiai Laras balikkan tubuh.
Sebelum dia bergerak pergi, orang tua ini masih buka mulut. "Kalau kau memang
hendak lakukan apa saja,
kuharap kau berhati-hati! Jangan percaya pada uca-
pannya! Bukan tidak mungkin satu saat nanti dia
akan mungkir bila jumpa denganmu! Aku bisa berkata
begini, karena aku telah lihat buktinya!"
"Orang tua! Tunggu!" seru Saraswati tatkala melihat Kiai Laras berkelebat pergi.
Namun Kiai Laras tidak pedulikan teriakan Saraswati. Dia terus berkelebat dan
lenyap di depan sana.
"Tanpa saran orang tua itu pun aku sudah tahu
siapa Pendekar 131 sebenarnya! Dan sekarang aku
pun tahu apa yang harus kulakukan!"
Saraswati menghela napas sejenak dengan mata di-
pejamkan. Gadis ini tersentak sendiri. Karena tiba-tiba muncul bayangan Pendekar
131! Saraswati buru-buru
buka kelopak matanya. Lalu teruskan kelebatan tu-
buhnya. *** EMPAT Empat bayangan itu berlari laksana dikomando.
Mereka berlari dengan sebelah tangan luruh ke bawah, sementara tangan satunya ke
atas. Keempatnya berlari dengan dua orang berada di depan, sedang dua lainnya
berjajar di belakang. Tepat di tengah antara dua orang yang berjajar di depan
dan di belakang, tampak kain merah mengapung berkibar-kibar di udara.
Pada satu tempat, mendadak orang di sebelah de-
pan yang berada di sisi kanan angkat tangan kirinya.
Serempak keempatnya hentikan larinya masing-
masing. Saat bersamaan, kepala masing-masing orang
bergerak tengadah. Lamat-lamat telinga masing-
masing mendengar senandung nyanyian tidak jelas.
Keempat orang ini tidak menunggu lama. Beberapa
saat kemudian, dari arah depan tampak satu sosok
tubuh sedang melangkah perlahan-lahan seraya ber-
jingkat. Keempat orang serempak gerakkan kepala


Joko Sableng 22 Liang Maut Di Bukit Kalingga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masing-masing lurus ke depan dengan mata sama
membeliak tak berkesip.
Orang di depan sana, tiba-tiba putus nyanyiannya
seraya berhenti. Kepalanya terangkat. Sepasang ma-
tanya memandang ke depan. Orang ini ternyata seo-
rang pemuda berparas tampan mengenakan pakaian
putih-putih. Rambutnya agak panjang, sedikit acak-
acakan diikat dengan ikat kepala warna putih. Tangan kirinya terangkat sejajar
kepala dengan jari kelingking masuk ke dalam lobang telinganya.
Si pemuda sesaat pandangi keempat orang yang te-
gak di seberang depan. Namun seolah tidak melihat
apa-apa, pemuda ini tengadahkan kepala. Saat yang
sama kedua kakinya bergerak teruskan langkah den-
gan jari ditusuk-tusukkan ke lobang telinganya, hingga saat dia melangkah,
terlihat wajahnya meringis dan
kakinya berjingkat-jingkat seolah geli keenakan!
Keempat orang yang berada di seberang si pemuda
tampak saling gerakkan kepala saling pandang satu
sama lain. Empat orang ini ternyata adalah empat
orang laki-laki bertubuh tinggi besar. Raut wajah masing-masing orang hampir
mirip satu dengan lainnya.
Keempat orang ini bermuka lonjong ke bawah hingga
mulut mereka laksana tidak membelah ke samping,
melainkan ke bawah! Mata masing-masing orang pun
tidak membentuk ke samping melainkan membujur ke
bawah. Kepala mereka gundul. Keangkeran tampang
orang-orang ini makin terlihat karena mereka bertelanjang dada dan hanya
mengenakan celana kolor!
Lelaki di sebelah depan bagian kanan mengenakan
celana kolor warna merah. Sementara yang di sebelah depan bagian kiri memakai
celana kolor warna hitam.
Di sebelah belakang bagian kanan mengenakan celana
kolor warna kuning, sedang yang di sebelah kiri me-
makai celana kolor berwarna hijau.
Tangan masing-masing orang yang terangkat ke
atas ternyata memegangi sebatang bambu besar yang
dilintangkan pada pundak masing-masing membujur
dari depan ke belakang. Di tengah dua batangan bam-
bu besar, tampak sebuah tandu tertutup kain berwar-
na merah. Dalam rimba persilatan, keempat laki-laki pemanggul tandu ini dikenal
dengan Tokoh-tokoh
Penghela Tandu.
Ketika si pemuda telah berada sejarak lima langkah
di depan Tokoh-tokoh Penghela Tandu, empat orang ini sama gerakkan kepala
memandang ke depan. Heran-nya, si pemuda seolah acuh saja. Dia teruskan langkah
sambil berjingkat-jingkat kegelian! Malah dia tidak memandang pada Tokoh-tokoh
Penghela Tandu meski
saat melintas lewat di samping Tokoh-tokoh Penghela Tandu!
Masing-masing dari Tokoh-tokoh Penghela Tandu
sama gerakkan mulut hendak angkat bicara. Namun
laki-laki bercelana kolor merah yang berada di depan bagian kanan yang tampaknya
menjadi pemimpin angkat tangan kirinya kembali memberi isyarat hingga
masing-masing orang urungkan niat untuk buka sua-
ra. Begitu laki-laki bercelana kolor warna merah angkat tangan kirinya, orang
ini langsung perdengarkan suara. "Pemuda tak dikenal! Hentikan langkahmu!"
Si pemuda yang tidak lain adalah Pendekar Pedang
Tumpul 131 Joko Sableng putar tubuh setengah ling-
karan seraya hentikan langkah. Namun begitu, kepala masih tengadah dengan mata
memandang ke langit.
Paras wajahnya meringis! Karena jadi kelingkingnya
masih masuk ke lobang telinganya!
"Katakan siapa kau dan sebut apa gelarmu!" Laki-
laki bercelana kolor warna merah kembali perdengar-
kan suara membentak.
Pendekar 131 tarik pulang tangan kirinya dari telin-ga. Kepala lurus menghadap
keempat orang di hada-
pannya. Bibirnya tersenyum sebelum akhirnya buka
suara. "Kalau tidak salah lihat, bukankah orang-orang
yang di hadapanku ini adalah orang-orang hebat yang
dikenal dengan gelar Tokoh-tokoh Penghela Tandu"!"
Laki-laki bercelana kolor warna merah melirik pada
ketiga orang di samping dan belakangnya. Lalu berka-ta. "Kau telah mengenali
kami! Sekarang tiba giliranmu jawab pertanyaanku!"
"Kau bertanya. Pasti akan kujawab! Tapi katakan
dahulu mengapa kau tanya siapa diriku"! Apakah hal
itu ada perlunya bagi kalian"!"
Keempat orang di hadapan Joko sama putar diri
hingga keempatnya menghadap tepat ke arah murid
Pendeta Sinting.
"Kau tak usah banyak bicara! Jawab saja perta-
nyaanku!" Laki-laki bercelana kolor merah kembali telah menyahut dengan suara
makin keras. Joko gelengkan kepala. "Setiap sesuatu ada sebab-
nya. Kalau kalian tak ada yang mau sebut apa sebab-
nya kalian bertanya, akibatnya kalian tak akan men-
dapat jawaban pertanyaan!" Murid Pendeta Sinting
kembali gerakkan kepala tengadah.
"Melihat tampang dan cirinya, jangan-jangan dia
orangnya!" gumam si celana kolor warna merah. Dia
melirik ke samping. Ketiga orang di depan dan di sebelahnya sama berpaling dan
anggukkan kepala masing-
masing. Karena agak lama tidak ada yang buka suara, mu-
rid Pendeta Sinting angkat tangan kirinya. Jari ke-
lingking dimasukkan ke lobang telinga. Saat bersa-
maan tubuhnya berputar. Lalu enak saja dia bergerak hendak melangkah.
Laki-laki bercelana kolor warna merah sudah buka
mulutnya yang membujur ke bawah. Tapi sebelum su-
aranya terdengar, terdengar ketukan tiga kali dari dalam tandu yang tertutup
tirai kain warna merah.
Laki-laki bercelana kolor warna merah kancingkan
mulut kembali. Saat yang sama keempat orang ini ge-
rakkan bahu masing-masing. Tangan mereka yang
memegangi bambu di pundak perlahan mendorong ke
atas. Dua lintangan bambu besar yang di tengahnya ter-
dapat tandu tiba-tiba terangkat ke udara. Tokoh-tokoh Penghela Tandu serempak
membuat gerakan. Dan ta-hu-tahu mereka telah tegak berjajar sejarak empat
langkah dari tempat tadi mereka berada.
Dua lintangan bambu yang membawa tandu perla-
han-lahan melayang turun ke bawah. Bersamaan den-
gan sampainya lintangan bambu di atas tanah, tirai
tandu terbuka. Satu sosok tubuh melesat keluar dan
tegak di hadapan murid Pendeta Sinting dengan tata-
pan berkacak pinggang.Siapa pun adanya kau, harap sebutkan diri sebe-?"lum tinggalkan tempat ini!" Orang yang baru melesat keluar dari dalam tandu
sudah perdengarkan suara.
Pendekar 131 hentikan langkah. Kepalanya lurus.
Mendadak sepasang matanya bergerak membesar ke
atas ke bawah menelusuri sekujur tubuh orang yang
kini tengah tegak di hadapannya.
"Luar biasa...," gumam murid Pendeta Sinting.
Orang yang dipandang sesaat terkesiap. Wajahnya
serentak berubah. Tapi kejap lain sepasang matanya
mendelik angker menatap balik pada Joko. Dia adalah seorang gadis berparas luar
biasa cantik mengenakan pakaian warna merah tipis dan ketat. Rambutnya panjang
diikat dengan pita yang juga berwarna merah.
"Melihat kecantikannya, tak salah kalau dunia per-
silatan menggelarinya Putri Kayangan...." Entah sadar atau tidak, Pendekar 131
bergumam dengan kepala di-gelengkan seakan kagumi orang. Malah mulutnya
sempat berdecak!
Gadis berparas luar biasa cantik yang selalu berada
di dalam tandu dan dipanggul Tokoh-tokoh Penghela
Tandu memang sudah tidak asing lagi dalam rimba
persilatan. Gadis ini digelari orang Putri Kayangan.
"Dia mengenaliku meski belum sempat berjumpa!
Dia juga mengenali Tokoh-tokoh Penghela Tandu! Itu
satu bukti kalau dia salah seorang dari kalangan persilatan!" Diam-diam Putri
Kayangan membatin seraya
perhatikan sosok pemuda di hadapannya.
Tiba-tiba Putri Kayangan kerutkan dahi. "Apakah
dia.... Hem, orang kadangkala punya ciri dan tampang sama! Aku harus dapat
mengetahui siapa dia!" kata
Putri Kayangan dalam hati, lalu berkata.
"Pemuda asing! Sekali lagi kuminta kau sebutkan
siapa kau sebenarnya!"
Pendekar 131 kerdipkan sepasang matanya. Mulut-
nya membuka hendak jawab pertanyaan si gadis. Tapi
sebelum suaranya terdengar, mendadak satu suara
lain terdengar.
"Ada sesuatu yang lebih penting daripada sekadar
tahu siapa adanya pemuda itu!"
Suara yang tiba-tiba terdengar belum sirna, satu
sosok bayangan telah berkelebat lalu tegak di seberang Pendekar 131.
Pendekar 131, Putri Kayangan serta Tokoh-tokoh
Penghela Tandu sama gerakkan kepala masing-
masing. Mereka melihat seorang perempuan berusia
lanjut berwajah cekung dengan kulit mengeriput. Ne-
nek ini berambut putih lebat dengan mata jereng be-
sar. Dia mengenakan pakaian kain panjang berwarna
biru bersaku dua. Pada saku sebelah kanan terlihat
sebuah sapu tangan besar berwarna merah.
Pendekar 131 perhatikan dengan seksama nenek
yang baru muncul. "Menurut keterangan Saraswati
waktu di depan Istana Hantu, nenek ini bukan lain
adalah Ratu Pewaris Iblis! Kemunculannya di sini pasti
hendak lanjutkan urusannya dengan Putri Kayan-
gan...." Seperti diketahui, beberapa waktu yang lalu, Joko
sempat jumpa dengan Saraswati yang waktu itu masih
menyamar dan perkenalkan diri sebagai Raka Pradesa.
Saat itu Joko sedang menyelidik Istana Hantu. Raka
Pradesa alias Saraswati memberi keterangan siapa
adanya keempat orang penghela tandu juga siapa gadis berparas cantik yang berada
Bende Mataram 39 Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Pendekar Latah 3
^