Pencarian

Pembangkang 2

Girl Talk 04 Pembangkang Bagian 2


kilahku.Sheck mengangkat alisnya, heran. Lalu kami memasuki
halaman rumah. Sheck mendadak diam membisu. Sampai akhirnya ia
mampu bicara lagi. "Kalian tinggal di sini?" tanyanya dengan
pandangan seolah-olah tak habis pikir.
Aku mengangguk tegas.
"Ran," ujarnya perlahan, "bukannya menghina lho, jangan
marah, aku cuma pingin tahu, apa di sini kalian jadi peternak. Rumah
ini lebih mirip rumah-rumah peternakan, kalau nggak bisa disebut
kandang!"
Aku justru tertawa mendengar kata-katanya. "Jangan takut
Sheck. Aku nggak akan membangunkanmu pagi-pagi untuk memerah
susu deh. Tapi nggak janji lho...."
Sheck menatapku khawatir. "Eh?... Yangbener dong...."
Aku melompat turun seraya mengangkat koper Sheck dari kursi
belakang. Ia menyelinap keluar dari mobil perlahan.
"Kenapa Sheck? Takut ketemu sapi peliharaanku?" olokku
melihat gayanya yang hati-hati. Enak juga bisa bercanda tentang
bagaimana ?desa?-nya tempat ini. Aku senang Sheck bersamaku saat
ini. Kami bisa mempunyai penilaian yang sama.
Sheck ternyata menyukai rumah, eh maksudku, ?kandang? kami
yang tertata rapi dan ?nyeni?. Aku sudah bisa menduga. Dia memang
suka yang aneh-aneh.
"Wah!" serunya, "jadi ingat waktu di Soho, tempat kakakku
menikah dulu. Masih ingat nggak Ran?"
Bagaimana mungkin aku melupakannya? Waktu itu Sheck dan
aku sedang tergila-gila pada soal film. Kami berdua memutuskan
merekam jalannya acara perkawinan kakak Sheck, Zoe. Diamengancam akan membunuh kami jika rekaman kami gagal, sebab ia
tidak menyewa orang lain untuk merekam hari perkawinannya ke
dalam video kaset. Aku ingat, bagaimana kami berdua mati-matian
mencari sudut bidik yang pas, sampai pakai acara merangkak di
kolong meja segala.
M mengajak Sheck berkeliling melihat-lihat rumah kami. Sheck
terpesona pada lukisan-lukisan M. "Lukisan-lukisan yang fantastik,
Olivia! Kata Randy kau juga mau pameran. Bener nggak?"
M kelihatan senang bahwa aku menceritakan soal pameran itu
pada Sheck. "Yup, betul sekali! Sekarang orang-orang mulai tahu
kalau aku ini pelukis. Lukisanku akan dipamerkan bersama pelukis-
pelukis muda berbakat lainnya Februari mendatang di Minneapolis.
Kalau sukses, bulan Juni mendatang aku diberi kesempatan pameran
tunggal."
"Juni depan? Jadi kalian berdua mau ke sini lagi Juni depan?"
tanya Sheck.
M menoleh ke arahku. Aku mengangguk. Aku belum
menceritakan apa pun pada Sheck tentang pertentangan batinku
memilih New York atau Acorn Falls.
"Tentang itu aku belum menyusun rencana," ujar M ragu.
"Lagipula belum tentu pameran itu sukses, kan?"
Sheck menatapku. Minta tanggapan, mungkin. Tapi aku hanya
mengangkat bahu menjawab tatapannya.
"Eh...bagaimana kalau kalian nonton televisi, ada film-film
bagus, tuh. Aku harus menulis surat buat pusat seni. Randy, jangan
lupa selimut buat Sheck. Oya,...di kulkas banyak makanan...."Beberapa menit kemudian, ketika aku dan Sheck beranjak ke
dapur untuk mengambil makanan, kudengar M memutar Simon &
Garfunkel lagi di kamarnya. Sheck mulai membuka lemari satu
persatu.
"Makanan apaan sih ini?" tanyanya sambil menunjuk bubur
gandum, burger jagung dan kacang-kacangan. "Enggak ada makanan
yang serius ya?"
Aku cuma tertawa. "Sejak pindah ke sini, M selalu makan
makanan yang alami. Entah kenapa. Yang jelas tiap malam aku selalu
mimpi tentang kentang goreng dengan saus, dan milkshake strawberry
yang kental. Benda-benda macam itu sekarang nggak pernah mampir
di dapur kami." Kuakui keadaan kami di sini sangat sederhana. ?Apa
adanya?.
"Oh ya? Neptunes?" tanya Sheck. Neptunes adalah tempat
makan malam favorit kami di New York. Milkshake di sana terkenal
sangat lezat. "Liburan natal nanti, begitu turun di bandara, langsung
deh kau kuajak ke Neptunes. Janji!"
Langsung?
Tak dapat kubayangkan, dengan begitu banyak koper aku
nongkrong sekedar minum milkshake di Neptunes. Aku jadi ngakak
membayangkannya. Sheck betul-betul membantuku untuk sejenak
melupakan problemku. Aku gembira dengan sikapnya itu.
"Kalian akan kembali ke New York bulan Juni mendatang, ya?"
tanyanya seraya membuka kulkas.
"Aku yang kembali," sahutku. Sheck mengeluarkan sebungkus
tahu putih dari kulkas."Demi Tuhan, apaan sih ini?" tanyanya. "Tidak...tidak...kau
nggak perlu memberi tahu. Aku juga nggak akan mau makan makanan
seperti ini. Teruskan saja pembicaraan kita. Kau yang kembali, lantas
bagaimana dengan Olivia?"
"Mungkin ia tetap di sini," ujarku seraya mengeluarkan mesin
pembuat pop-corn.
"Apa?" seru Sheck terkejut. "Yang pasti kau harus dan akan
kembali ke New York kan? Kau nggak akan tinggal selamanya di sini
kan? Rasanya sepi tanpa kamu di New York, Ran."
"Ssttt...," aku tak mau M ikut mendengar percakapan kami.
"Kan aku sudah bilang, aku akan kembali. Cuma, aku belum bilang
M. Dia berharap aku tetap di sini bersamanya." Aku senang
mendengar pengakuan Sheck, bahwa hari-harinya di New York terasa
sepi tanpa aku.
"Bagus!" Ia kembali mengacak-acak kulkas. "Apa kalian nggak
punya minuman lain selain sari buah dan air mineral?"
"Ada. Teh!" Aku tertawa melihat wajah Sheck makin menderita
mendengarnya. Sheck tak bisa hidup tanpa soda. Bahkan ia minum
soda untuk sarapan. Benar-benar aneh.
"Aku minum air putih matang saja, deh. Kapan pop corn-nya
jadi?"
"Sebentar lagi," sahutku. M selalu menjuluki Sheck ?Si Tong
Sampah?. Soalnya Sheck bisa makan makanan apa saja dan kapan
saja. Anehnya, meskipun makannya seperti mesin giling, badannya
tidak tambun. Dia tetap atletis, dari dulu. "Gimana kalau kau bereskan
barang-barangmu dulu?" saranku."Beres-beres?" Sheck balik bertanya sambil nyengir. "Sejak
kapan kamu jadi suka kerapian? Aku jadi ingat lukisannya Norman
Rockwell."
"Brengsek!" Kubelalakkan mataku, pura-pura marah. "Kayak
pernah lihat lukisannya saja!"
"Eh, pernah! Bersih, rapi, persis ucapanmu! Jangan-jangan gaya
pakaianmu sebentar lagi ketularan dia,...rapi, necis, kayak orang
kantoran."
Kulemparkan botol plastik berisi air mineral ke arahnya. Ia lari
menghindar ke ruang duduk. "Tolong bawakan makanan dan
minumannya kalau sudah selesai ya!" teriaknya bandel.
Aku tertawa. Belum pernah kulakukan itu. Membawakan
makanan atau minuman untuknya? Silakan mimpi!
Tapi akhirnya ? entah kenapa ? aku toh melakukannya juga.
Kusiapkan semangkuk besar pop corn dan dua gelas air putih ke ruang
duduk. Sheck sudah melepas sepatunya dan selonjoran di atas sofa.
"Duduk di kakiku Ran, sekalian mijit, kan kau bisa menatap dan
mengagumi wajahku...," godanya.
Ia tak bisa menghindari pop corn yang kulemparkan ke arahnya.
Tapi akhirnya aku duduk juga di sofa itu, hanya saja di ujung yang
lain sambil menyalakan televisi lewat remote control. "Nonton teve
saja, ya? Barangkali ada film yang oke."
"Apa? Di sini juga ada siaran swasta?" tanya Sheck terkejut
sambil bangun dari posisi tidurannya. "Siaran dari New York juga
bisa ditangkap di sini?"
Kedengarannya menghina sekali ya? Tapi aku diam saja. Acorn
Falls kan nggak seprimitif bayangan Sheck. Tentu saja kami punyasiaran televisi swasta yang disiarkan dari kota Minneapolis.
Memangnya ini hutan rimba?
Alien, salah satu film kesukaanku dan M, muncul di layar
televisi. Sheck juga penggemar film horor. Bahkan dulu kami
membuat sebuah daftar tentang apa-apa yang seharusnya tidak
dilakukan dalam situasi ?menyeramkan?. Menurut kami, korban-
korban dalam film horor selalu bersikap bodoh, sehingga mudah
menjadi mangsa.
Sheck ternyata juga sedang memikirkan hal yamg sama. "Hei
Ran, masih ingat nggak urutan pertama daftar yang kita buat dulu?
Jangan berpisah dengan teman, jangan sendirian" ujarnya.
"Ya, aku ingat. Nomer dua, jangan sok menyelidiki tempat-
tempat yang misterius" sahutku. Kadang-kadang aku gemas melihat
para korban di film horor yang suka sekali menyelidiki tempat-tempat
yang sudah jelas berbau ?misterius?. Ngapain sih? Sok detektif. Kan
lebih baik lari dan menjauh. Tapi namanya juga film horor ya?
"Nomer tiga, Jangan lari ke atas," tambah Sheck seraya tertawa.
Ya, tentu saja kalian seharusnya jangan lari menaiki tangga. Kalau
anak tangganya habis, bagaimana? Lompat keluar dari jendela? Kan
sebaiknya kalian lari menuruni tangga atau lari ke luar rumah. Tapi
lagi-lagi, namanya juga film horor ya? Kalau kita yang atur, di mana
horornya?
Sheck bangkit berdiri lalu berlari-lari kecil mengitari ruangan.
"Ceritanya, aku seorang pahlawan yang lugu, pemeran utama yang
sedang dikejar-kejar pembunuh maniak yang baru keluar dari rumah
sakit jiwa," ujarnya konyol. Ia meraih selimut dan mengenakannya
sebagai jubah. "Aku memakai gaun malam yang tipis, tanpa sepatu.Lantas aku memilih tempat-tempat gelap penuh pepohonan padahal
ada jalan raya yang terang benderang...."
Sheck lalu melangkah di antara barang-barang dengan gaya
menyelinap. "Kemudian aku memilih jalan yang paling sulit dilalui,
penuh daun-daun kering yang menimbulkan suara berisik, sehingga si
pembunuh bisa dengan mudah mengikuti jejakku." Sheck pura-pura
tersandung dan jatuh tersungkur, lalu menoleh ke belakang, "Dan
bagian terpenting adalah terjatuh! Kalau sudah jatuh harus menoleh ke
belakang agar sempat melihat tampang si pembunuh sebelum
pembunuh itu memotong lehernya dengan kampak."
Aku tertawa ngakak melihat sandiwara tunggal Sheck barusan.
Memang adegan macam itulah yang kerap disajikan film-film horor
murahan. Sheck benar-benar gila-gilaan dan sudah lama juga aku tak
punya teman untuk gila-gilaan macam ini. Maksudku, Al, Sabs dan
Katie sih cukup asyik sebagai sahabat. Tapi beda dengan Sheck.
Aku ikut bangun dari kursi. "Dan bagaimana kalau aku jadi
korban yang berhasil selamat lantas punya kesempatan mengalahkan
si pembunuh?" tanyaku seraya meraih bantalan kursi dan memukul
kepala Sheck dengan bantalan itu. "Nah, aku sudah membunuh si
pembunuh dengan bantalan besi ini," kulemparkan bantal ke samping
Sheck, kemudian aku duduk membelakanginya sambil menutup
wajahku. "Tapi setelah itu aku butuh waktu untuk duduk,
menenangkan diri dan merasakan kelegaan karena si pembunuh telah
tewas. Aku harus duduk cukup dekat sehingga si pembunuh yang
sebenarnya belum benar-benar tewas itu bisa dengan mudah
meraihku...."Sheck lantas pura-pura mencekikku dari belakang. "Hei Ran...,"
ujarnya perlahan seraya membantuku kembali duduk di sofa setelah
kami menyelesaikan adegan horor konyol itu. "Aku sungguh-sungguh
senang bisa bertemu denganmu lagi. Tahu nggak, aku kangen beraaat
sama kamu. Serius deh."
Ia melemparkan selimut ke arahku dan meraup pop corn dari
mangkuk. "Aku senang sekali mendengar kau mau kembali lagi ke
New York. Pasti kau juga senang bisa kembali ke New York, kan?
Maksudku, apa sih yang bisa kau peroleh di sini? Nonton film sambil
makan es krim? Nonton pertandingan bola tiap hari Jurn?at? Apa
enaknya?"
"Ya. Memang itulah yang kulakukan di sini," sahutku perlahan
seraya menatap layar televisi. Diam-diam aku merasa bersalah.
Pendapat Sheck memang ada benarnya. Acorn Falls memang benar-
benar ?sunyi dan sepi?. Tapi toh aku menikmatinya juga. Sheck tak
sepenuhnya benar. Aku tidak membenci tempat ini. Apa yang
kulakukan dan kudapatkan di tempat ini pun tak seburuk gambaran
Sheck. "Tapi keadaanku di sini nggak seburuk itu kok Sheck," ralatku
akhirnya.
Sheck menatapku terkejut. "Apa kau bilang?" tanyanya.
"Tempat ini begitu terpencil, Ran."
"Masa sih? Menurutku bukannya terpencil, tapi memang
berbeda dengan New York," bantahku.
"Ah...ayolah Randy," Sheck seolah tak mempercayai ucapanku.
"Aku ingat sebuah surat dari sahabatku September lalu. Mh...dia
menulis dalam suratnya...," Sheck berhenti sebentar mengingat-ingat."Udah deh Sheck..." kucoba menghentikannya ocehannya. Tapi
terlambat....
"Dear Sheck...tempat ini begitu menyedihkan," Sheck
mendeklamasikan isi suratku yang kukirimkan padanya dulu. "Di sini
hampir semua orang berpakaian rapi. Malah sangat rapi. Bayangkan,
polo t-shirt yang dikenakan serba chick seperti baru keluar dari binatu!
Sebaliknya, orang-orang menatapku seperti melihat mahluk dari
planet Mars. Mungkin karena gaya berpakaianku yang nggak ?oke? di
mata mereka. Tapi kalau ngikutin gaya mereka, bisa ?mati kejang?
aku. Iya nggak?" ia berhenti sebentar. "Boleh kulanjutkan?"
Aku tak percaya! Sheck masih mengingat isi suratku dengan
lengkap! Pasti ia membacanya berulang-ulang sampai bisa menghafal
kalimat demi kalimat.
"Sheck!" protesku. "Surat itu kutulis waktu aku baru masuk
sekolah! Sejak aku berteman dengan Sabs, Katie dan Al, semua
berjalan lebih lancar dan tidak terlalu menyedihkan kok."
Sheck membuat ekspresi tidak percaya. "Terserah kaulah,"
sahutnya. Lantas ia kembali meraup pop corn dan melahap segenggam
besar sekaligus. "Hei...ini bagian yang paling kusukai. Mahluk luar
angkasa itu benar-benar mengerikan...!" teriaknya mengganti arah
pembicaraan tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar te-ve.
Setelah film selesai, kusiapkan sofa menjadi tempat tidur Sheck.
Aku yakin ia bisa tidur nyenyak malam ini, soalnya begitu selesai
menggosok gigi, kudengar ia sudah mendengkur.
Aku terus memikirkan kata-kata Sheck ketika menaiki tangga
ke atas kamarku. Menurutku Acorn Falls memang kota yang lambandan tidak sedinamis New York. Tapi rasanya aku kok agak tak terima
kalau kota kecil ini dilecehkan begitu saja.
Maksudku, Sheck kan tidak pernah tinggal di sini, tentu saja ia
tidak bisa membayangkan keadaan yang sebenarnya. Semudah itukah
dia ?memvonis? Acorn Falls sebagai kota yang buruk? Memang sih,
Acorn falls jauh berbeda dibandingkan New York. Kalah segala-
galanya. Tapi 'berbeda? kan tidak berarti buruk!BAGIAN TUJUH
Sebelum berangkat sekolah keesokan harinya, aku
menyempatkan diri melongok Sheck. Dia masih tidur nyenyak.
Selimutnya sudah acak-acakan dan dengkurnya itu, minta ampun
kerasnya! Untung kami tidak tinggal di apartemen. Kalau tidak, para
tetangga pasti jengkel merasa terganggu. Sheck juga tidak suka
bangun pagi, sama seperti aku. Di New York dulu, hampir tiap kali
Sheck datang terlambat. Biasanya setelah jam pelajaran pertama usai,
baru dia muncul. Kalau aku sih paling-paling cuma telat beberapa
menit. Hehehe....
Kutinggalkan pesan untuknya di meja makan. Kuminta ia
datang ke Fitzie?s setelah sekolahku usai. Kugambarkan juga peta
menuju Fitzie?s, meskipun sebenarnya tidak perlu. Sheck adalah tipe
petualang. Dia pasti bisa menemukan tempat yang kumaksud setelah
berkeliling-keliling dengan skateboard-nya. Dalam hal ini ia mirip


Girl Talk 04 Pembangkang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sabrina. Rasa ingin tahunya sangat besar.
Pagi ini aku merasa gembira. Sejak M memberitahukan
rencananya untuk menetap di Acorn Falls, hari-hariku selalu dibebani
masalah itu.Tapi sekarang aku sudah memutuskan untuk kembali ke New
York akhir tahun ajaran ini. Aku lega dengan keputusanku ini dan
rasanya sekarang semua kembali normal seperti biasanya.
Pada jam pelajaran pertama aku sekelas dengan Sabs. Dia
kelihatan sibuk menyelesaikan pe-er-nya sehingga kami tak sempat
menyapa. Kira-kira Allison sudah menceritakan keputusanku belum
ya? Sebaiknya aku menunggu saat kami berempat berkumpul di kelas
yang sama untuk membicarakannya.
Tepat di depan pintu kelas bahasa Inggris, kulihat Allison, Katie
dan Sabs berdiri mengelilingi mejaku. Mereka kelihatan serius
membicarakan sesuatu. Pasti ada yang aneh-aneh nih, batinku
meskipun aku tak punya bakat meramal seperti Allison.
"Randy...," sapa Sabs saat melihatku. Ia kelihatan cemas.
Digigitnya bibir seolah-olah ada sesuatu yang sulit untuk
diungkapkan. Aneh. Biasanya Sabs selalu cerewet. Ada apa nih?
"Kata Allison, kau...mh...sudah memutuskan untuk kembali ke
New York akhir tahun ajaran ini. Kita semua memang sejak awal
sudah tahu rencana itu, tapi kita semua berharap... tetap menjadi
sahabatmu, apa pun keputusanmu," lanjutnya agak terbata-bata.
Buatku sih usul ini agak menggelikan. Omongannya lucu, gitu.
Kayak salam perpisahan ?orang-orang gede? saja.
Walaupun aku merasa agak geli, tapi mengapa tenggorokanku
terasa tersumbat? Meskipun sulit mengakuinya, aku merasa terharu
mendengar kalimat Sabs. Juga sedikit lega. Aku khawatir, mereka
langsung menjauhiku setelah tahu bahwa aku akan meninggalkan
mereka.Kutatap Allison. Aku yakin dialah yang menceritakan
semuanya pada Katie dan Sabs, serta mengingatkan mereka untuk
tidak berusaha mencegah atau membujukku untuk membatalkan
keputusan. Suatu hari nanti, aku akan bertanya pada Allison, kok dia
seperti bisa membaca jalan pikiran dan kemauanku sih?
"Hei, sepulang sekolah nanti kita jadi ke Fitzie?s kan?" tanyaku
sekaligus mengubah jalan pembicaraan. "Aku sudah pesan pada Sheck
supaya dia ke sana juga nanti. Kita kan perlu memamerkan kelezatan
es krim strawberry-nya."
"Oh...ya! Aku hampir lupa soal Sheck! Di mana dia sekarang?
Seperti apa sih tampangnya?" tanya Sabrina seraya bersandar di
mejaku dengan tampang penasaran seperti biasanya.
"Sheck pasti datang ke Fitzie?s nanti dan...kau bisa lihat sendiri
kayak apa tampangnya."
Tak lama berselang bel berbunyi. Semua anak masuk ke kelas
serta menempati kursinya masing-masing. Bu Staats mulai mengajar.
Aku benar-benar tak sabar untuk segera bertemu Sheck, jadi
tentu saja waktu berjalan lambat sekali rasanya. Saat yang paling
menyenangkan cuma waktu makan siang. Setelah makan siang, aku
mengerjakan kuis di kelas IPA. Untung IPA adalah mata pelajaran
favoritku, jadi aku tak mendapat kesulitan yang berarti.
Kalau pelajaran IPS sih lain. Biasanya si ?Karpet? melirikku
sinis saat melihatku masuk. Tapi begitu kubalas tatapannya, ia
langsung mengalihkan pandangan sinisnya itu ke arah lain dan tidak
mengacuhkanku sepanjang jam pelajaran. Bagus kan?
Akhirnya jam terakhir, jam pelajaran ke delapan terlampaui
juga. Aku ingin segera bertemu Sheck. Kami berempat berkumpul dilokerku dan segera menghambur dari sekolah menuju Fitzie?s. Waktu
sampai di sana, Si Hebat Stacy dan teman-temannya kelihatan duduk
di meja dekat kotak musik sambil cekikikan seperti biasanya.
Kami duduk di sudut yang berlawanan dan memesan makanan.
Kupastikan bahwa kami bisa melihat ke arah pintu masuk dari tempat
duduk ini, agar aku bisa segera melihat Sheck bila ia datang. Sabs
asyik bercerita tentang saudara sepupu kesayangannya, Kristin, yang
katanya baru berkencan dengan cowok misterius. ?Kencan buta?
namanya. Yaitu, kita kencan dengan seseorang yang sama sekali
belum kita kenal bahkan belum pernah saling melihat wajah. Lalu
kulihat Sheck masuk sambil mengepit skateboard-nya.
Suasana di Fitzie?s begitu ramai dan riuh sehingga Sheck tidak
bisa langsung melihatku.
Saat ia berhasil menemukanku, ia melambai dan langsung
menyeruak di antara keramaian menuju tempat dudukku.
"Randy! Kok kamu nggak cerita kalau dia keren banget!" seru
Sabrina dengan tatapan mengkhayal. Seolah-olah ia sedang jatuh cinta
pada Sheck!
"Sudah pernah periksa mata belum Sabs? Dia biasa-biasa saja
ah. Nggak segagah bayanganmu. Dia cuma... Sheck!" seruku kesal
melihat Sabrina terus termangu-mangu seolah tak mendengar
ocehanku. Sabrina terkejut mendengar seruanku. Aku kembali
memandang ke arah Sheck.
Harus kuakui penampilan Sheck hari ini memang ?oke? banget.
Ia mengenakan jeans belel, kaos berleher tinggi warna hitam dan jaket
kulit hitam. Aku ingat, akulah yang memilihkan jaket waktu di New
York dulu.Ternyata bukan cuma Sabrina saja yang terpesona pada Sheck.
Saat ia melangkah menuju meja kami, beberapa gadis-gadis yang lagi
asyik ngobrol terpaksa menghentikan pembicaraan mereka sesaat
untuk menatap kagum ke arah Sheck. Bahkan si Hebat Stacy juga
berhenti cekikikan dan mengalihkan pandangannya dari teman
ngobrolnya, Jason Mc Kee yang cukup keren. Stacy langsung
menyapa Sheck dengan senyum manis serta kedipan mata genitnya.
Kukatupkan rahangku kuat-kuat agar tidak muntah melihat reaksi
Stacy.
Celakanya Sheck justru membalas senyum itu! Malah
melangkah menghampiri Stacy. Dan gaya jalannya itu...aneh banget!
Persis gaya Sam, kakak Sabs, bila ingin menarik perhatian cewek-
cewek. Dibuat-buat gitu. Tak dapat kupercaya, Sheck menaruh
perhatian pada si otak udang Stacy! Aku terpana ketika melihat
mereka ngobrol dan Stacy mengenalkan teman-temannya. Mereka
semua lalu bercakap-cakap sambil terus-terusan senyum seperti
sekumpulan orang idiot.
Seharusnya kan Sheck datang menemuiku! Kenapa dia mampir
ke meja Stacy segala? Buang-buang waktu saja! Aku jadi jengkel.
Rasanya sampai keluar asap dari telingaku.
Aku agak terkejut karena tiba-tiba kurasakan tanganku disentuh
seseorang. Ternyata Allison. "Jangan khawatir, Randy," ujarnya
perlahan. "Sebentar lagi juga Sheck tahu, cewek macam apa Stacy."
"Khawatir apanya?" kilahku.
"Maksudku, kamu nggak usah cemburu," lanjut Alison."Aku? Cemburu? Yang bener aja. Aku dan Sheck kan cuma
sahabat. Aku bukan pacarnya!" tanpa kusadari nada suaraku
meninggi. Entah kenapa.
"Hei Zak," sapa Sheck sambil duduk di satu kursi kosong di
meja kami setelah selesai ngobrol dengan Stacy. Kulirik sedikit, lalu
kembali menikmati banana splitku tanpa mengucapkan apa-apa. Sheck
mengangkat alis heran sebelum menyapa teman-temanku.
"Halo, saya Sheck."
"Halo Sheck. Saya Sabrina. Ini Katie dan itu Allison. Randy
cerita banyak tentang kamu," ujar Sabs dengan cepat, seperti biasanya,
menandakan ia sedang bersemangat melakukan sesuatu.
Sheck menatapku sambil menghela nafas. "Ya... Randy juga
banyak bercerita tentang kalian padaku."
Kutatap Sheck. Ngomong apa sih dia?
Ngawur!
Aku hampir tak pernah menceritakan tentang teman-temanku di
Acorn Falls ini padanya. Alis mata Sheck terangkat sedikit, seolah-
olah ia mengetahui sesuatu yang kurahasiakan.
"Apa pendapatmu tentang Acorn Falls?" tanya Katie.
Sheck melirikku lagi. "Sangat berbeda dengan New York. Dan
sangat...tenang," ujarnya.
Kenapa sih dia nggak terus terang!? Aku tahu, baginya suasana
Acorn Falls akan terasa membosankan buat orang bertipe nggak bisa
diem seperti dia. Biasanya Sheck selalu berterus terang.
"Ya, tinggal di New York pasti asyik. Sejak dulu aku ingin
tinggal di sana," Sabrina menghela nafas, matanya menerawang.
"Mh...mungkin lebih enak lagi di Los Angeles ya? Atau New York?Ah...nggak tahu deh," Sabs cekikikan sendiri dengan kebingungannya
yang tak beralasan itu.
Tapi Sheck sudah tidak memperhatikan Sabrina lagi. Ia
mengalihkan pandangan ke tengah keramaian dan aku kehilangan
kata-kata untuk bahan obrolan. Tiba-tiba si Hebat Stacy menghampiri
meja kami.
"Sheck," sapa Stacy dengan suara kelewat sangat centil, "aku
sama teman-temanku pulang duluan ya." Benar-benar keterlaluan dia.
Seolah-olah Sheck sedang sendirian dan kami berempat hanya
dianggap angin. Katie membuang pandangannya, Sabs pura-pura mau
muntah dan Allison menatap ke arah jendela, menatapi salju-salju
yang mulai turun. Tatapanku terpaku pada Sheck.
"Jangan lupa, datang ya ke pestaku hari Jum?at nanti," lanjut
Stacy seraya mengedip-ngedipkan mata dengan gaya yang ?
menurutku ? memuakkan dan murahan.
"Oke," sahut Sheck sambil nyengir. "Tentu aku ingin datang ke
pestamu. Tapi aku kan sedang jadi tamunya Randy, jadi terserah dia
dong." TEENLITLAWAS.BLOGSPOT.COM
Lantas Sheck menatapku lekat-lekat. Aku membelalak dan
langsung berpikir untuk segera mengatakan bahwa aku tak mungkin
menghadiri pesta murahannya itu, tapi tiba-tiba Sabrina menyela
pembicaraan kami.
"Rasanya hari Jum?at Randy nggak ada acara tuh Sheck.
Rasanya kita semua juga belum punya acara. Jadi kami pasti senang
deh nganterin Sheck ke pestamu, Stacy," lanjut Sabs tanpa
mengindahkan tatapan heran kami ke arahnya. "Semua orangmembicarakan pesta meriahmu. Kan nggak lucu kalau Sheck kembali
ke New York tanpa sempat ikut pesta terbesar di Acorn Falls...."
Aku, Katie dan Al menatap Sabrina dengan kening berkerut.
Anak ini meracau atau mengigau? Dengan begitu, berarti kita harus
datang ke pesta Stacy? Mana mungkin Stacy menolaknya di depan
Sheck. Aku benar-benar tak percaya Sabrina punya ide semacam ini!
"Luar biasa!" seru Sheck sambil tersenyum lebih lebar lagi.
"Kita bawa beberapa piringan hitam ya Zak. Pasti pestanya tambah
seru!"
"Yah, ini kan pesta yang tak mungkin dilewatkan begitu saja,"
tukas Sabs. "Jam berapa pestanya mulai Stacy?"
Stacy sangat terkejut. Dia tahu bahwa dia terperangkap.
Wajahnya pucat dan pipinya memerah lantaran malu. Dia tak bisa
mundur lagi! "J...jam..tuj..tujuh," sahutnya tergagap. Lalu secepat
kilat bergegas kembali kembali ke mejanya.
"Sampai ketemu ya!" lambai Sabrina sok akrab. Lantas kami
berempat tertawa terbahak-bahak. Katie terpingkal geli tak
tertahankan sampai menekukkan badan ke meja. Bahkan Allison yang
pendiam itu pun ikut cekikikan kali ini.
"Hebat kau Sabs!" seru Katie sambil berusaha menghentikan
tawanya dan menghapus air mata yang keluar lantaran geli. "Coba tadi
aku bawa kamera ya. Kalau saja tadi sempat kuabadikan ekspresi
wajahnya...ha..ha..ha " Katie kembali terkekeh.
"Ya. Tunggu saja sampai ia melihat kita berempat datang ke
pestanya," jawab Sabrina. Aku pun tertawa geli membayangkan apa
yang akan terjadi. Bayangkan, bagaimana rupa Stacy menyambutkedatangan kami nanti? Para tamu yang tak diharapkannya, tapi
terpaksa diundangnya sekarang?
"Eh, Randy," ujar Sheck agak heran melihat kami berempat
tertawa terbahak-bahak tanpa alasan. Aku baru sadar bahwa Sheck
tidak tahu duduk persoalannya. Sabs baru saja menghancurkan pesta
Stacy! Ha..ha..
"Aku janji pulang cepat pada M. Kelihatannya sebentar lagi
salju turun. Kalau telat pulang, bisa-bisa skateboard kita mampet kena
salju. Kita pulang sekarang yuk?"
Kubuang pandang keluar melalui jendela. Terlihat tumpukan
salju di jalan sudah mulai tebal. Segera kuraih tas dan jaketku seraya
melambai pada Katie, Al dan Sabrina, lantas segera meluncur pulang
bersama Sheck.
"Waahh...," seru Sheck begitu kami keluar dari Fitzie?s. "Di sini
musim salju datang lebih awal rupanya. Lebih lebat lagi! Kalau kita
terlambat sedikit saja, pasti kita akan terkurung di Fitzie?s sampai hari
Thanksgiving nanti! Es Krim Strawberrynya lumayan, tapi kok aku
nggak gitu suka tempatnya ya?"
"Ya, mungkin dekornya agak kuno," ujarku perlahan. Tapi
dalam hati aku ingin membantahnya. Memang tempatnya tidak
semewah kafetaria di hotel-hotel. Tapi antara tempat dengan rasa
makanan nggak ada hubungannya kan?
"Agak kuno?" tanya Sheck kaget. "Menurutku sih amat kuno!
Kurasa kau telah terlalu lama meninggalkan New York Randy,
sehingga jalan pikiranmu pun mulai berubah. Kita harus segera
kembali ke dunia nyata!""Tapi kelihatannya kamu seneng ketemu Stacy Hansen tadi,"
cibirku.
"Siapa? Oh..ya...gadis berambut pirang yang mau bikin pesta
Jum?at depan," Sheck menyisir rambutnya dengan jari-jarinya seolah
ingin mengenyahkan bayangan Stacy dari kepalanya. "Kupikir, kita
semua harus datang ke pestanya. Soalnya temanmu, Sabrina, sudah
menjanjikan hal itu pada Stacy." Ia tertawa kecil. "Entah kenapa,
teman-temanmu kelihatan semangat betul barusan."
Aku diam saja. Entah mengapa aku mulai merasa tersinggung
mendengar segala penilaian Sheck tentang teman-temanku, Fitzie?s
dan Acorn Falls. Lalu kubayangkan saat aku belajar main ski es
bersama Katie. Juga saat kulewati malam panjang ketika menginap di
rumah Sabrina sambil melakukan tipuan-tipuan kecil untuk menggoda
kakak kembarnya, Sam. Aku ingat Allison, komplit dengan
kepandaiannya membaca jalan pikiranku.
Di New York, tak ada teman-teman seperti mereka. Dan itu
makin membuatku jengkel bila Sheck berpendapat New York adalah
tempat yang menjamin segalanya. New York dengan Acorn Falls
memang jauh berbeda, tapi setiap tempat punya keistimewaan masing-
masing. Iya kan?
"Eh tahu nggak. Tadi kan aku keliling-keliling. Tiba-tiba aku
dapat ide untuk bikin film horor ala pedesaan," seru Sheck tiba-tiba.
"Kita beri judul, Serangan Monster yang Kesepian. Bagus kan? Aku
dan kamu bisa jadi pemeran utamanya." Sheck mengemukakan
gagasan cerita filmnya dengan asyik sehingga tidak menyadari
perubahan ekspresiku. "Kita nggak perlu repot-repot bikin dekorasilatar belakang, Ran. Alam Acorn falls ini sudah cukup menampilkan
suasana pedesaan yang terpencil dan terbelakang."
Aku mulai marah. Sheck baru dua puluh empat jam tinggal di
kota ini, dan dia sudah berani membuat kesimpulan bahwa Acorn
Falls adalah desa yang terpencil dan terbelakang? Brengsek! Dia sama
sekali belum mengenal Acorn Falls. Bagaimana mungkin ia bisa
mencemooh macam itu?
Sheck menggerak-gerakkan tangannya lagi di rambutnya.
"Kalau kau mau, kita bisa ajak temanmu, Sabrina, untuk main dalam
film itu. Sabrina jadi korban pertama si monster. Soalnya gadis
berambut merah kan selalu menarik perhatian. Katie... juga harus
segera jadi korban. Penonton pasti suka melihat tipe gadis asli
Amerika macam Katie. Eng...terus...siapa temanmu yang satu lagi?
Alice? Peran apa ya buat dia? Sebagai gadis Indian, atau apa?"
Kukatupkan gigiku menahan ledakan amarah. "Namanya
Allison Cloud, dia gadis Indian asli, keturunan suku Chippewa."
"Bagus! Aku harus membuat jalan cerita sedemikian rupa agar
bisa memanfaatkan si Indian ini," lanjut Sheck cuek.
"Berani taruhan, pasti si cowok pemeran utamanya akan jatuh
cinta dan berusaha menyelamatkan Stacy Hansen," sindirku sambil


Girl Talk 04 Pembangkang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menendang gundukan salju yang menghalangi langkahku untuk
melampiaskan perasaan jengkel.
"Ya ya ya, kita juga bisa ajak si pirang yang mau bikin pesta
hari Jum?at itu," kata Sheck. "Mungkin si pahlawan berhasil
menyelamatkan si pirang pada detik-detik terakhir.""Udah deh Sheck...," teriakku. "Idemu itu benar- benar gagasan
paling jelek yang pernah kudengar! Acorn Falls bukan tempat yang
cocok untuk film horor!"
"Ya, kau benar. Aku kasihan padamu. Kau harus tetap tinggal
di tempat macam ini sampai tahun ajaran berakhir."
Kuhentikan langkahku dan menatapnya tajam. "Bukan itu
maksudku! Allison, Katie dan Sabrina adalah sahabatku! Kami
menikmati hari-hari yang manis bersama-sama, jadi...."
"Hei...Randy! tenang dong...," tukas Sheck cepat. "Aku
mengerti, kau berusaha menutupi perasaanmu yang sebenarnya,
supaya tetap mampu bertahan di tempat ini. Tapi aku yakin,
Minnesotta, Acorn Falls, bukan tempatmu. Kamu ini cewek New
York asli! Kau berasal dari kota besar! Seminggu setelah kau kembali
bersama kami, kau pasti bisa melupakan mimpi burukmu di kota ini.
Sekarang, kita cepat-cepat pulang yuk,...aku lapar."
Sheck mempercepat langkah menuju rumahku, sambil sesekali
memecahkan gundukan salju yang makin lama makin tinggi dan tebal.
Aku juga mempercepat langkahku mengikutinya dari belakang sambil
terus memikirkan apa yang baru saja dikatakan Sheck.
Memang aku ingin kembali ke New York. Tapi bukan berarti
aku ingin melupakan Acorn Falls! Aku memiliki hari-hari yang
menyenangkan dan patut dikenang bersama sahabat-sahabatku. Lalu
aku teringat rencana-rencana yang telah kami susun berempat untuk
tahun ini. Aku yakin, tak mudah bagiku untuk meninggalkan mereka
begitu saja. Tak pernah kubayangkan sebelumnya. Bila aku pindah ke
New York, aku pasti kangen berat pada Acorn Falls! Pada Allison,Katie, Sabrina.... Juga saljunya, es krim-nya, suasana tenangnya,..
semuanya!BAGIAN DELAPAN
Hari ini hari Thanksgiving, hari libur nasional.
Aku bangun lebih pagi dari biasanya. Kulihat di luar es sudah
menjadi salju. Bertumpuk- tumpuk bagai gunung-gunungan mungil
yang putih bersih. Baguuus sekali...! Belum pernah kulihat gundukan
salju sebanyak dan seindah ini. Di New York tak ada salju selebat itu.
Udara di dalam kamarku saja sudah dingin, apalagi di luar.
Rasanya malas beranjak dari tempat tidur. Aku masih ingin lebih lama
menikmati kehangatan selimutku yang tebal sambil memandangi
butiran salju yang turun satu per satu lewat jendela. Matahari nampak
bersinar lembut. Cahayanya menyelinap di antara tirai jendela dan ini
membuatku semakin malas lagi. Aku merasakan kedamaian yang
menenteramkan.
Aku tak habis pikir, mengapa Sheck sama sekali tidak bisa bisa
menghargai hal-hal menyenangkan semacam ini di Acorn Falls. Apa
naluri kecintaannya pada suasana alam yang asri kurang kuat? Ah,
masa sih....
Kudengar suara-suara di dapur. Suara panci-panci, piring dan
sendok. Pasti M. Tadinya kupikir M cuma berkelakar waktu berjanji
membuat masakanan istimewa untuk Thanksgiving Day. Tapisekarang aku dapat mencium aroma lezat kalkun panggang dari
bawah.
Semangatku jadi bangkit. Bergegas aku bangkit dari tempat
tidur. Mana mungkin aku seharian bergelung di tempat tidur di hari
istimewa ini. Malah seharusnya tak kulewatkan begitu saja, kan? Tak
pernah kubayangkan suasana di Acorn Falls akan seindah ini.
Kalau di New York, aku harus puas main skateboard seharian
penuh. Di Acorn Falls rupanya lain. Pada umumnya penduduk di
Acorn Fals menikmati cuaca indah musim salju dengan es skating,
mendaki gunung, berseluncur, mainan boneka salju, melihat binatang-
binatang unik yang hanya muncul pada musim salju, dan banyak lagi.
Hari ini, aku dan Sheck merencanakan bermain kereta luncur
es, Toboggani, bersama Sabs, Katie dan Al. Aku belum pernah main
Toboggani. Tapi kelihatannya meluncur di bukit dekat Central Park
asyik juga. Kata Sabs, kami akan menaiki Toboggani ukuran besar
yang cukup memuat kami berlima sekaligus.
Setelah beberapa hari terkurung di rumah lantaran hujan salju,
aku begitu bersemangat pergi keluar rumah. Tapi seandainya hujan
salju turun berkepanjangan, acara di dalam rumah juga tidak jelek-
jelek banget kok. Soalnya M sudah menyediakan cukup banyak film
horor plus macam- macam cemil-cemilan. Buatku itu sudah cukup
sebagai pengisi waktu luang di rumah.
Kukenakan sweater dan jeans, kaus kaki dan jaket panjangku
sebelum turun ke bawah.
"Baunya lezat amat, M. Masak apa sih?" sapaku seraya
mengecup pipinya. Beliau menengok kaget."Wah, ada angin apa kau pakai cium-cium segala?" tanyanya.
Tangan M dipenuhi adonan tepung dan buah labu. M bilang ia juga
akan memasakkan kue tart labu sebagai hidangan penutup. Hanya tak
pernah kuduga beliau akan memakai labu sungguhan. Biasanya M
selalu memilih cara praktis, labu kalengan!
"Lagi seneng aja. Emangnya salah?" tanyaku seraya membuka
pintu oven untuk mengintip kalkun yang sedang dipanggang.
"Tentu saja nggak salah. Tapi belakangan ini kan kamu jarang
sekali gembira. Muruuung terus," sahut M.
Kucoba untuk mengabaikan perkataan M, sebab aku tak ingin
kegembiraanku dirusak oleh pembicaraan mengenai soal itu.
"Aku mau ngebangunin Sheck dulu," ujarku seraya mengambil
air jeruk dari kulkas. "Kalau nggak dibangunin, anak itu pasti tidur
seumur hidup." Kutuang air jeruk dalam gelas lalu beranjak ke ruang
duduk yang sudah disulap jadi tempat tidur Sheck.
Sheck nampak pulas tidur di sofa. Sekelebat akal jahil muncul
di benakku, membuat aku tersenyum sendiri. Akan kubuat kejutan
yang menyenangkan. Menyenangkan untukku dan menyebalkan
untuknya, tentu!
Tanpa suara aku berjingkat menuju pesawat te-ve yang masih
menyala, lantas kuputar volume suara semaksimal mungkin sampai
bunyinya menyentak, memekakkan telinga.
Sheck melompat, terbangun dari tidurnya dan langsung melotot
lantaran kaget. Secara reflek ia mencari-cari sumber suara itu dengan
pandangan linglung. Kocak banget deh. Hi..hi..hi...Raut waj ahnya langsung berubah menjadi kesal ketika
pandangannya bertemu denganku yang sedang berdiri
memandanginya dengan tatapan tanpa dosa.
"Ngapain sih kamu Zak? Tengah malam begini bikin ribut!"
teriaknya. "Enggak bisa ngelihat orang tidur enak ya? ... Pergi sana!"
Aku tertawa keras lalu duduk di sofa sambil mendorong
kakinya. "Selamat hari Thanksgiving" tukasku sambil menggelitiki
kakinya. "Ayo...bangun dong! Sudah pagi. Sebentar lagi pawai
Thanksgiving dimulai, dan aku nggak mau ketinggalan."
Kukecilkan lagi volume suara televisi kemudian kucari saluran
yang akan menyiarkan pawai hari Thanksgiving secara langsung dari
New York. Setahun sekali di New York selalu diadakan atraksi The
Macy?s Thanksgiving Day Parade. Aku selalu tertarik untuk
menyaksikannya.
Tahun ini untuk pertama kalinya aku tak bisa berada di tengah
keramaian pawai itu. Tahun-tahun sebelumnya Daddy-ku selalu
mengajakku menyaksikan pawai, duduk di tepi trotoar sambil makan
pop corn. Walaupun demikian di sini toh aku masih bisa
menyaksikannya lewat pesawat televisi. Tadinya aku khawatir,
jangan-jangan televisi Minnessotta tidak menyiarkannya secara
langsung. Kalau siaran ulangan kan nggak asyik, ya?
Kadang-kadang sulit juga bagiku menghadapi berbagai kejadian
yang membuatku teringat pada masa laluku. Misalnya, pawai ini. Aku
lantas mulai mengenang kembali semua yang kutinggalkan di New
York. Kebersamaanku dengan Sheck dan hari-hari menyenangkan
yang kami lewati bersama, nonton pawai, bikin film, main skate-board di jalan sampai puas,...ah...semua membuatku kangen. Kenapa
sih M nggak pingin pulang?
"Hei!" tiba-tiba Sheck merebut gelasku. "Bau apa sih?" Ia
mendengus-denguskan hidungnya.
Aku tertawa. "M spesial masak buat kita," ujarku. "Percaya
nggak sih? M masak! Ha., ha..ha.."
"Oh...tidak. Sebaiknya jangan deh. Aku jadi ingat
pengalamanku waktu ngicipi salad buatannya dulu," canda Sheck.
"Tapi sekarang sih baunya aja udah enak." Sheck mendengus lagi.
"Kurasa M benar-benar sudah berubah sejak pindah ke sini. Ia kini
menjadi seorang ibu rumah tangga pedesaan yang trampil
memasak...."
"Sembarangan! Enak aja, nyebut tempat ini desa! Aku jadi
heran deh Sheck, kok kamu seneng banget sih menjelek-jelekkan
Acorn Falls?" bantahku. Tapi kemudian aku terkejut sendiri. Kok aku
jadi membela Acorn Falls ya? Bagiku, tidak sepantasnya Sheck
memberi penilaian buruk tentang Acorn Falls. Sheck kan nggak
tinggal di sini, mana mungkin dia tahu segalanya?
Sheck mengangkat alisnya heran lalu mengangkat bahu.
"Terserah kamu deh...."
Aneh juga, nonton liputan pawai di televisi rasanya kok jauh
lebih enak daripada hadir langsung di sana. Dulu aku harus puas
menyaksikan punggung para penari, karena mereka terpaksa
membelakangi penonton agar bisa menghadap kamera. Tapi di layar
televisi, aku justru dapat melihat atraksi secara utuh, dari arah depan.
"Jangan lupa, nanti kita akan jalan-jalan lho," aku
mengingatkan Sheck."Oh ya," sahutnya. "Kita akan main Toboggani kan? Kurasa
cuma itu satu-satunya kegiatan yang boleh dibilang lumayan di desa
ini, kan?"
Kulemparkan bantal ke arahnya. "Sheck! Kenapa sih kau terus-
terusan menghina tempat ini? Tempat ini memang berbeda dengan
New York, tapi bukan berarti nggak asyik!"
Aku tak percaya, akhirnya kata-kata itu meluncur juga dari
mulutku. Kata-kata itu juga yang diutarakan M untuk meyakinkan aku
bahwa Acorn Falls bukanlah tempat yang membosankan. M ingin aku
menilai Acorn Falls secara bijaksana, bukan membandingkannya
dengan New York. Mungkin ramalan di kue cina-ku ada benarnya
juga. Mungkin benar, perubahan-perubahan dalam kehidupan justru
membuat hidup lebih dinamis dan bermakna. Aku harus
mempertimbangkan hal itu.
Sesaat Sheck terpaku menatapku lantas ia minta maaf, "Sori ya,
mungkin aku terlalu merendahkan Acorn Falls. Tapi sungguh deh,
dibandingkan New York, Acorn Falls terasa sangat membosankan.
Aku sedih melihatmu terpaksa hidup di sini. Bukan maksudku
menghina permainan Toboggani. Kurasa pasti asyik main Toboggani
sekarang," ujarnya seraya tersenyum. "Kok namanya Toboggani sih?"
Aku jadi tertawa lagi. Aku memang tidak pernah bisa marah
terlalu lama pada Sheck. Dia selalu berhasil membuatku tertawa,
entah dengan ulahnya, gaya bicaranya, caranya minta maaf....
Kami menyaksikan liputan acara pawai sampai habis, lalu M
datang, ikut nonton Sinterklas melintasi jalan ke-34 di New York.
Usai acara itu Sheck dan aku membantu menyiapkan meja makan,
dan...acara makan besar pun dimulai....Begitu banyak makanan yang dihidangkan M. Porsinya
memang kecil-kecil ? cuma buat bertiga sih ? tapi menunya
bervariasi banget. Kue tart labu buatannya juga enaaak sekali.
"Aku kekenyangan, Olivia. Enggak sanggup berkutik lagi deh,"
Sheck merentangkan tubuhnya di sandaran kursi lantaran mulai sukar
bernafas. "Makanannya lezat sekali. Tapi rasanya aku nggak kuat
lagi..."
"Aku juga nggak mau makan lagi.... Kenyang banget!" erangku.
"Sumpah deh. Sebentar lagi perutku meledak."
"Ya., kalau begitu mungkin kalian berdua harus segera
meninggalkan rumah sebelum muntah mengotori karpet," goda M.
"Aku nggak mau lho membersihkan muntah kalian...."
"Kurasa Olivia benar, Ran," ujar Sheck setuju. "Setidaknya kita
jangan menambah pekerjaannya. Olivia kan sudah cukup sibuk masak
buat kita, terus mencuci piring dan gelas. Kasihan kan kalau harus
membersihkan muntah kita..."
Aku tertawa. "Sheck, ayo kita berangkat. Aku sudah janji mau
datang ke rumah Sabs jam dua."
M menatap hampa ke arah piring-piring kotor di atas meja, lalu
beralih menatap kami. "Jangan khawatir, aku yang akan membereskan
ini semua..." ujarnya kocak. "Kurasa aku harus refreshing dulu
sesudah masak-masak hari ini. Kupikir ke rumah Maybeth cukup
menyenangkan untuk minum teh...."
Maybeth adalah ibu dari Spike, temanku. Dia anak kelas kelas
sembilan dan anggota group band Broken Arrow. Keluarganya tinggal
di dekat rumah kami dan kami telah berteman sejak aku dan M mulaipindah ke sini. Entah bagaimana caranya, M dan ibunya juga
berkawan baik.
"Sekembalinya dari rumah Maybeth, akan kubersihkan semua,"
lanjut M. "Kalian harus mengenakan pakaian yang lebih tebal dan
cepat-cepat berangkat kalau tidak mau terlambat."
Aku dan Sheck segera bersiap-siap. "Randy, pakaian apa yang
harus kupakai untuk main Toboggani?" teriak Sheck dari bawah.
Aku tak menjawab pertanyaan tolol itu. Tentu saja kami harus
memakai pakaian yang tebal karena udaranya pasti dingin sekali.
Tetapi waktu kami bersiap-siap pergi, aku terbelalak melihat Sheck. Ia
berpakaian lengkap dan rapi sekali. Celana jeans, sepatu boot, kaos
berkerah tinggi dan sweater buatan Swiss milik M. Aku tak mampu
menahan tawa.
"Kenapa?" tanyanya sok heran. "Ada yang aneh?"
Aku jadi makin terpingkal-pingkal melihat gayanya. "Coba kau
berpakaian macam ini di New York...pasti semua akan..."
"Diam kau Zak!" ia pura-pura menggertak tapi lantas ikut
tertawa. "Aku tahu, kau iri padaku. Kau juga ingin memakai sweater
M ini kan?"
"Ya," sahutku. Aku seperti biasanya mengenakan pakaian serba
hitam. Jeans hitam, kaos tebal warna hitam, dan sepatu boot kulit
hitam. Bahkan aku mengenakan topi yang juga berwarna hitam.
"Yuk berangkat..."
Saat tiba di rumah Sabs, ternyata Sabs juga belum siap. Jadi aku
dan Sheck terpaksa menunggu beberapa saat di dapurnya. Kakak Sabs
beberapa kali bolak-balik di depan kami. Ibu Sabrina, Bu Wells,
menawarkan kue pada kami. Tentu saja aku menolaknya lantaranmasih kenyang. Tapi Sheck, si perut ?tong sampah? itu, langsung
mengambil dua potong kue dam semangkuk es krim. Gila! Perutnya
terbuat dari karet mungkin! Kita kan baru saja makan?
Akhirnya Sabs selesai juga. Ia mengenakan jeans belel, topi
besar warna putih, penutup kepala warna putih dan sweater warna biru
muda dengan gambar orang sedang bermain es skating. Dia kelihatan
manis dan imut-imut sekali.
Waktu menunggu Sabrina mengeluarkan kereta Toboggani dari
gudangnya, Sheck menyenggol lenganku. "Si Sabs boleh juga ya...
Manis," komentarnya. "Sayang dia bukan tipe gadis idamanku. Tapi
kue buatan ibunya enak banget lho!"
"Kita menjemput Katie dan Allison dulu kan?" tanya Sabs
bergegas keluar dari gudang sambil menarik Toboggani.
Kereta yang bernama Toboggani itu diikat dengan tali tambang
yang cukup panjang di bagian depannya. Agaknya tidak terlalu sulit
untuk menyeretnya ke Bunn Hill karena tumpukan salju belum terlalu
tebal.
Sheck menyuruh aku dan Sabs naik ke atas Toboggani,
sementara ia menarik dari depan. Tapi ketika tiba di jalanan yang
menurun curam Toboggani melaju lebih cepat dari lari Sheck.
Toboggani menabrak kaki Sheck, sehingga ia terjungkal jatuh
menimpa kami berdua.
Kecepatan Toboggani terus bertambah dan kami meluncur
dengan kecepatan tinggi menuju Bun Hill. Kurasa, kami tidak akan


Girl Talk 04 Pembangkang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencapai Bun Hill dengan selamat. Untunglah akhirnya Toboggani
terhadang oleh gundukan salju yang cukup besar sehingga terhenti,
tapi kami semua terjungkal karena kereta itu berhenti tiba-tiba.Seluruh wajah kami dibaluri salju. Sheck dan Sabrina kelihatan lucu
dengan alis putih terbalut percikan salju.
Aku dari dulu tak pernah bisa membayangkan apa yang dapat
dilihat di Bun Hill. Tapi nyatanya pemandangan di sini begitu indah.
Begitu banyak orang berkumpul di sini. Aku bersyukur kami segera
bisa menemukan Katie dan Allison di tengah keramaian.
Kami berlima lantas menarik Toboggani ke puncak bukit Bunn
Hill, kira-kira menghabiskan waktu lima belas menit mendaki.
"Harusnya mereka memasang sarana pengangkutan di sini,
supaya kita nggak perlu mendaki seperti ini," protes Sheck saat kami
mendaki. "Ada taksi nggak?"
Akhirnya kita tiba di puncak, lantas mencari jalur untuk
meluncur ke bawah.
"Kita pakai luncuran biasa atau dengan lompatan?" tanya Sabs
sebelum tiba giliran kami untuk meluncur.
Meluncur dengan lompatan?
Gaya apa itu?
Kupikir kami hanya akan melakukan luncuran biasa saja.
Meluncur adalah salah satu kegiatan yang mengasyikkan dan cukup
diminati di Acorn Falls, seperti halnya ski es. Aku diam saja, tapi
dalam hati aku berharap agar kita memulainya dengan luncuran biasa-
biasa saja. Kupikir, meluncur di Central Park lebih aman daripada di
Bunn Hill ini. Kulihat Sheck juga agak gugup.
"Kita coba luncuran dengan lompatan saja," seru Allison
membuatku ternganga. Allison? Gadis pendiam dan pemalu itu mau
melakukan luncuran berbahaya? Allison hanya tersenyum menatapku.
"Aku senang sekali main Toboggani."Sabs duduk paling depan, disusul Allison. Sheck dan aku
masing-masing di urutan ke tiga serta ke empat dan terakhir Katie.
Katie mendorong sedikit sebelum ikut meloncat ke dalam Toboggani.
"Sabrina yang mengendalikan Toboggani ini...? Auuuw...!"
teriakku panik. Belum selesai teriakanku, Toboggani sudah meluncur
dengan kecepatan tinggi. Dapat kurasakan angin dingin menerpa
wajahku dengan deras, jadi kucoba untuk menyembunyikan wajahku
pada punggung Allison seperti yang diaj arkan Sabs sebelumnya.
Tiba-tiba kami melintasi belokan tajam dan selanjutnya kami
melayang-layang sejenak di udara. Menegangkan sekali! Sheck
berteriak keras sekali sampai akhirnya kami jatuh berdebum ke
bawah. Lumayan sakit juga hentakannya.
Ketika berusaha mencari keseimbanganku kembali, kulihat
Sabs dan Allison nampak tengah berusaha menghentikan laju
Toboggani. Tapi nampaknya mereka gagal, soalnya kami menabrak
gundukan es sebelum akhirnya terjungkal.
"Wah...gila-gilaan!" pekikku kagum. Aku bangkit dari
tumpukan salju tempat kami mendarat. "Asyik banget!" Aku tak sabar
untuk melakukannya lagi.
"Boleh nyoba sekali lagi nggak?" tanya Sheck seraya
membersihkan salju dari sweatemya. "Tegang tapi asyik nih!"
Sabs dan Katie cuma tersenyum. Al malah sudah menarik
Toboggani kembali mendaki bukit. Kami semua mengejarnya dan
melompat ke dalam Toboggani. Tentu saja Al tak kuat menarik kami
sekaligus. "Untuk menarik kalian berempat, kita perlu kuda!"
candanya pura-pura marah."Kuda? Untuk apa?" Sheck melompat keluar dan mengambil
alih menarik Toboggani. "Yang kalian perlukan cuma seorang lelaki
sejati yang perkasa."
Aku mencibir dan lainnya tertawa. Allison melompat ke dalam
kereta dan kami melihat Sheck berusaha mati-matian menarik kereta.
Tapi akhirnya ia menyerah dan tiba-tiba ia menghentikan tarikannya
sehingga Toboggani kembali meluncur ke bawah, membuat kami
berempat terjungkal lagi. Saat berhasil berdiri, kulihat Sheck tergelak-
gelak melihat kami berhamburan dari Toboggani. Langsung saja kami
menimpuki Sheck dengan bola-bola salju. Sedikit sakit mungkin, tapi
ia pantas menerima ganjaran itu atas perbuatannya yang semena-mena
terhadap kami. Sheck berusaha menghindar tapi juga melancarkan
serangan balik.
"Eh, cowok perkasa apaan," sindirku. "Kena bola salju saja
nggak kuat!"
Sheck menggendongku dan melontarkan aku ke atas tumpukan
salju. Aku jatuh terbaring sejenak sambil berusaha mengatur nafasku
yang terengah-engah. Sheck mengulurkan tangannya, menarikku
bangkit.
Cahaya matahari membersit di antara kami. Sheck berdiri
sambil menatapku lurus, sementara Sabs, Katie dan Al menarik
Toboggani ke puncak, perlahan-lahan Sheck menepiskan butiran salju
yang mengotori rambutku serta menyapu pipiku lembut dengan
jemarinya yang dibungkus sarung tangan. Ada yang aneh pada
perasaanku. Hatiku merasa agak janggal....Setelah itu Sheck segera membalikkan tubuhnya, membuat
bola-bola salju dan mengejar teman-temanku untuk pembalasan. Aku
masih terpaku di atas gundukan salju sambil tersenyum.
Entah mengapa aku merasa senang menerima perlakuan Sheck
barusan. Tiba-tiba saja aku merasa begitu...begitu bahagia! Apakah itu
artinya aku jatuh hati pada Sheck? Pikiran itu membuat senyumku
makin lebar. Tak mungkin. Rasanya aku perlu tukar pikiran dengan
Sabs. Mungkin dia pernah membaca dalam salah satu artikel majalah
remaja, tentang persahabatan yang berkembang menjadi hubungan
cinta.... Hihihi....
Kami berlima bermain Toboggani sampai petang. Sampai
lapangan sepi dan para pemain Toboggani lain pun meninggalkan
arena. Dalam udara senja ini, suasana terasa begitu tentram.
Bentangan salju kelihatan begitu indah. Aku tak ingat lagi, kapan
terakhir kali aku merasa segembira ini. Kami terus saja tertawa-tawa,
bahkan pada kejadian yang tidak lucu sekalipun. Meskipun udara
begitu dingin dan jari-jariku terasa beku, aku tetap menikmatinya.
Kami semua kembali ke rumah Sabs. Bu Wells menyediakan
begitu banyak cemilan untuk kami. Ada susu coklat panas dan kue-
kue kering. Aku sedang mengunyah kue ke empat saat kudengar
Sheck berkomentar, "Katanya kamu nggak mau makan lagi?"
"Oh ya? Aku mengubah pikiranku," kilahku seraya mengambil
kue kelima.
"Ya, itu salah satu hak prerogratif cewek," timpal Sabs. Ia pasti
mendapat kalimat itu dari salah satu majalah yang dibacanya.Katie tertawa mendengarnya. "Darimana kau tahu itu Sabs?"
ujarnya. "Dari pengalamanmu sendiri kan? Yang gampang berubah
pendirian kan cuma kamu...."
"Enak saja," bantah Sabs. "Menurutku, kita nggak bisa
meramalkan kapan kita akan mengubah pendapat kita. Sifatnya
misterius. Munculnya spontan. Ya nggak, ya nggak?"
"Ya, kau benar," sambung Al. Diteguknya susu coklat dari
cangkir sebelum melanjutkan bicara, "apalagi orang kayak kamu,
Sabrina,...sulit ditebak sifatnya."
"Uh...jari kakiku kayak beku deh," keluhku. Sheck meremas
jemari kakiku dengan tangannya yang hangat sambil menggosok-
gosok supaya tambah hangat.
"Lebih hangat kan sekarang?" tanyanya.
Aku tak tahu harus menjawab apa. Sedikit salah tingkah rasanya
menerima sikap manis Sheck ini. Untunglah tak lama kemudian Sam,
kakak kembar Sabs dan sahabat-sahabatnya, Nick dan Jason, masuk
ke dapur.
"Jangan dihabisin sendiri dong kuenya, Sabs...," tegur Sam
seraya melepas jaket dan syalnya. Nick dan Jason juga melakukan hal
yang sama.
"Tenang sajalah. Ibu bikinnya banyak, kok..." jawab Sabs.
"Ya. Tapi bukan berarti boleh kau habiskan semuanya, kan?"
"Sam!" protes Sabs sambil melemparkan handuk ke arah Sam.
Tapi Sam berhasil mengelak dengan menundukkan tubuhnya sehingga
handuk itu nyasar ke kepala Nick. Wajah Sabs kontan bersemu merah.
Sementara Sam dan Jason tertawa geli melihat kejadian itu."Ups...maaf Nick...," gumam Sabs tanpa berani memandang
Nick. Sejak lama Nick dan Sabs saling menyukai. Tapi kelihatannya
dua-duanya masih malu-malu mengungkapkannya, walaupun hampir
tiap hari mereka bertemu. Nick adalah sahabat Sam, jadi wajar saja
kalau ia sering bertamu ke rumah Sabs.
Sam, Nick, dan Jason ikut bergabung bersama kami, menikmati
susu coklat panas dan kue-kue. Dengan Sheck mereka asyik ngobrol
soal sepak bola, sehingga kami yang cewek-cewek ngobrol masalah
lain. "Ini urusan laki-laki," kata Sheck pongah.
Huh, sok tahu! Mereka mengira kami, cewek- cewek, tidak
mengerti soal sepak bola. Padahal sesungguhnya, akulah yang
mengajarkan tata cara main sepak bola pada Sheck waktu kami masih
kelas empat dulu.
Kami ngobrol terus, rasanya seperti lupa waktu sampai Bu
Wells datang mengingatkan, "Hayo anak-anak, sudah jam delapan
malam lho. Apa kalian tidak dicari nanti?"
Yah, waktu berjalan begitu saja tanpa terasa. Tapi aku senang,
Sheck dapat menikmati hari ini bersama teman-temanku, kelihatannya
pun Sheck sebetulnya juga belum ingin pulang dan masih ingin tetap
ngobrol.
Sepanjang perjalanan pulang, aku terus memikirkan, betapa
hebatnya Katie, Sabrina dan Allison. Selain Sheck, mereka bertiga
adalah teman-teman terbaik yang pernah kumiliki. Aneh, rasanya aku
mulai merasa lebih kerasan tinggal dalam suasana akrab dan
kekeluargaan di Acorn Falls ini. Rasanya gaya hidupku pun mulai
berubah. Gaya hidup kota besar New York tidak lagi mengganggupikiranku. Dalam ingatanku aku sibuk mengulang-ulang kejadian seru
yang kualami seharian ini.BAGIAN SEMBILAN
Jum?at malam. Beberapa saat lagi pesta Stacy akan dimulai.
Liburan hari Thanksgiving juga akan berlalu dan Sheck harus kembali
ke New York dua hari lagi. Ia ingin aku ikut bersamanya saat ia
berangkat nanti. Tapi tentu saja itu mustahil. Apa pun yang terjadi,
aku toh harus tetap sekolah sampai tahun ajaran berakhir.
"Raaan, apa yang harus kupakai supaya kelihatan pantes untuk
pesta di Acorn Falls?" teriak Sheck dari bawah.
"Mana aku tahu?" aku balas berteriak.
"Kau kan tinggal di sini," ujar Sheck. "Memangnya ini pesta
pertamamu di Acorn Falls? Masa nggak tahu harus pakai baju macam
apa sih."
Aku tertawa. "Tentu saja ini bukan pesta pertamaku di Acorn
Falls!" sahutku seraya menuruni tangga. "Pakai saja apa yang kau
mau."
Sheck menatapku dengan heran lalu kembali mengaduk-aduk
kopernya mencari pakaian yang pas.
"Kamu mandi dulu aja deh," tukasku. "Nanti kita telat lho!
Pakaiannya dipilih belakangan aja.""Iya Bu...," sahut Sheck sambil memberi hormat ala tentara.
Lantas ia beranjak ke kamar mandi. Yang aneh...kopernya dibawanya
juga.
"Ke kamar mandi kok bawa koper segala sih?" tanyaku, heran.
"Randy," sahutnya sebelum menutup pintu kamar mandi,
"jangan lupa, memilih pakaian yang oke buat orang yang oke dengan
selera yang juga oke, membutuhkan konsentrasi tinggi. Enggak bisa
dipaksa-paksa dan butuh ketelitian tinggi...."
Aku tertawa mendengar guyonannya itu. Candanya memang
suka ?aneh-aneh?, tapi aku selalu senang menerimanya. Malah selama
menetap di Acorn Falls aku merasa kehilangan ?ceriwis?-nya itu.
Lantas aku melangkah ke studio lukis M.
Sejak kedatangan Sheck, aku hampir tak punya waktu untuk
ngobrol dengan M. Minggu lalu aku begitu sibuk dengan pikiran-
pikiranku sendiri, Jum?at siangnya, di saat pikiran-pikiran itu mulai
dapat kuatasi, aku malah sibuk berbelanja bersama Katie, Sabs, Al,
dan ? tentu saja ? Sheck, di pertokoan.
Jika pada hari Senin atau Selasa lalu M menanyakan apa
keputusanku, barangkali aku akan menjawab bahwa aku tidak akan
tinggal di Acorn Falls selamanya. Tapi setelah hari-hari
menyenangkan yang kualami kemarin, rasanya aku tak ingin
meninggalkan tempat ini.
Sheck?
Tentu saja dia akan tetap jadi sahabatku. Tapi bukan berarti
persahabatanku dengan Al, Sabs dan Katie tak punya arti apa-apa.
Antara mereka jelas ada perbedaan. Mungkin karena mereka cewekdan aku tak pernah merasakan betapa menyenangkannya punya
sahabat cewek.
Lalu aku berpikir tentang M-ku. Aku tahu bahwa beliau ingin
tetap tinggal di Acorn Falls karena di sinilah untuk pertama kalinya M
berhasil meraih sukses untuk dirinya sendiri tanpa pertolongan Daddy.
Kurasa perasaan ?mandiri? amat berarti bagi beliau. Tak adil jika aku
memaksanya untuk meninggalkan dan mengorbankan apa yang sudah
dan akan diraihnya.
M tengah mencampur cat ketika aku mengambil kursi dan
duduk di dekatnya. "M, ada waktu untuk bicara sebentar?" tanyaku.
"Ada apa Ran?" M meletakkan kuasnya. Wajahnya kelihatan
tegang, seolah-olah sudah tahu apa yang hendak kubicarakan.
"Mh...," Aku mencoba menyusun kata-kata sambil
mempermainkan kuas-kuas yang ada di hadapanku. "Aku hanya
pingin ngomong, engh ... kalau... M pingin tinggal di Acorn Falls
lebih lama, nggak jadi masalah lagi kok, buatku."
M tersenyum. Senyum teramat manis yang pernah kulihat.
"Kamu sungguh-sungguh, Nak?" tanyanya tak percaya. Matanya tiba-
tiba berkaca-kaca, tapi sinarnya begitu berbinar-binar senang.
Aku hanya mengangguk. Entah mengapa, tiba-tiba saja wajahku
terasa merah, tenggorokanku terasa tersumbat, dan tanpa kusadari
pipiku basah.
Aku menangis!
Aku sudah tak ingat kapan terakhir kali aku meneteskan air
mata. Yang jelas aku senang keputusanku membuat M kelihatan amat
bahagia. Beliau menarikku dalam pelukannya dan mendekapku erat-
erat."Aku senang sekali mendengarnya," tukasnya haru. "Sejak kita
membicarakan soal itu hari Jum?at lalu, aku yakin kau telah
memutuskan untuk meninggalkanku dan Acorn Falls. Aku tahu, kau
lebih suka New York. Terima kasih untuk keputusanmu. Bersamamu
di sini, aku yakin kita bisa hidup bahagia. Tinggal di tempat yang
tenang dan jauh dari New York menyenangkan juga, kan?"
Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk. Mungkin dia benar. Aku
telah dibesarkan di kota besar New York. Sedikit perubahan suasana
mungkin baik juga untukku.
"Randyyy, aku udah kelar mandi nih!!!" terdengar teriakan
Sheck. Aku melirik ke arah M.
"Tahu nggak M," ujarku serius, "Sheck kayaknya nggak tahu
batas suara yang normal untuk telinga dan mana suara yang pantas
buat di hutan. Kalau ada perlu selalu teriak-teriak begitu."
"Yaaah,...aku tahu," M mengangkat bahu seraya tersenyum.
"Tapi menurutku sih, kau nggak keberatan kan mendengar teriakan-
teriakannya seperti tadi?"
Aku terkejut. Apa maksud M dengan perkataannya barusan?
Tapi lagi-lagi beliau hanya tersenyum penuh arti. "Nah, sekarang kau
yang mandi. Nanti kalian terlambat lho!"
Sekali lagi aku memeluk M, lalu lari menemui Sheck.
Setengah jam kemudian, kami berdua sudah bersiap-siap pergi.
Sheck akhirnya memutuskan memakai T-shirt putih, blazer ukuran
besar, celana kotak-kotak hitam-putih dan tentu saja sepatu hitamnya
tak ketinggalan. Harus kuakui, ia kelihatan gagah dan keren sekali.Aku sendiri mengenakan gaun panjang tanpa lengan dengan
kerah tinggi. Aku meminjam jaket gantung warna krem milik M dan
sepatu hitam berujung lancip tanpa hak tinggi.
Kurasa, penampilanku lumayan oke, meskipun nggak istimewa
banget, jadi aku agak heran mendengar Sheck bersiul begitu melihatku


Girl Talk 04 Pembangkang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

turun. M keluar dari studio lukisnya untuk melihat kami berdua.
Katanya aku kelihatan manis dengan pakaian macam ini. Kemudian
bel berdering. Ternyata Sabrina yang muncul.
"Hei!" sapanya begitu pintu kubuka. "Kalian berdua keren amat
sih?" Matanya membelalak melihat aku dan Sheck berdiri di
hadapannya. "Randy, gaunmu bagus banget. Oke punyalah..."
"Terima kasih atas pujianmu..." aku tersenyum.
"Halo Bu Zak, eh...maksudku Olivia," sapa Sabs pada M.
"Kami berangkat sekarang ya. Luke suka nggak sabaran kalau harus
nunggu jadi supir. Katie dan Al juga sudah menunggu di mobil."
Luke adalah salah satu kakak Sabrina. Musim panas ini ia baru
saja mendapat SIM, jadi sekarang dialah yang bertugas sebagai ?supir?
kalau adik-adiknya membutuhkan diantar mobil. Luke selalu pura-
pura malas jika harus mengantar kami, tapi aku yakin sebetulnya ia
menyukainya.
Aku dan Sheck mengecup pipi M sebelum berangkat. Setelah
mengenakan jaket masing-masing, kami berjalan ke luar mengikuti
Sabrina.
"Kalau perlu jemputan, telepon saja ya!" teriak M ketika
melepas kami di pintu.
Luke mengendarai station wagon yang dapat menampung
banyak orang. Kelihatannya sudah penuh. Sabs dan Allison duduk didepan, di sebelah Luke. Sam, Katie, Nick dan Jason duduk di kursi
tengah. Nampaknya tak ada lagi tempat untukku dan Sheck.
Untunglah Jason dan Sam meloncat ke bagasi sehingga kami berdua
dapat menyelinap di antara Katie dan Nick.
Sepanjang jalan kami ribut sekali sehingga Luke beberapa kali
terpaksa memperingatkan kami supaya tenang. Luke punya aturan
sendiri. Katanya, tak ada yang boleh bicara selama ia mengemudi,
kecuali bila dia yang bertanya. Katanya sih demi kenyamanan
pengemudi, sehingga nyupirnya bisa aman. Menjengkelkan sekali kan
aturannya itu. Jadi, mana ada yang mau patuh....
"Oke anak-anak...," seru Luke setelah tiba di tempat tujuan.
Lagaknya kayak orang tua saja, masa kita dipanggil ?anak-anak?. "Jam
sepuluh nanti kalian kujemput. Selamat bersenang-senanglah." Lalu ia
langsung tancap gas meninggalkan halaman rumah Stacy.
Stacy menyambut di pintu. "Halo Sheck, Sam, Nick, Jason...."
Hihihi...ia hanya menyapa anak anak cowok saja rupanya. Malam itu
Stacy mengenakan gaun warna hijau dan putih serta topi hijau. Kurasa
Stacy memiliki topi warna apa saja. Stacy langsung menggandeng
Sheck dan mengajaknya ke dalam, sementara Sam, Nick dan Jason
mengikuti dari belakang.
Aku, Al, Sabs dan Katie ditinggal begitu saja di serambi. Kami
saling bertukar pandang sambil mencibir melihat kelakuan Stacy yang
menjengkelkan barusan, lalu tertawa bersama.
"Ah sudah, cuek saja. Ayo kita nikmati pesta ini...," ujar Katie.
Kugandeng Allison dan kami melangkah masuk. Katie dan Sabs
mengikuti langkah kami. Begitu masuk ke dalam, Stacy dan cowok-
cowok sudah tidak kelihatan lagi, lenyap di antara keramaian."Tuan rumah yang nggak tahu aturan!" protes Katie.
"Kita kan sudah tahu, Stacy pasti begitu kalau sama kita.
Seperti biasanya...," timpal Sabs. "Yang penting, kita sekarang sudah
berada di pestanya. Aku yakin Stacy nggak senang melihat kehadiran
kita."
Pintu di sebelah kanan kami terbuka. Pak Hansen, Kepsek kami,
keluar dari dalam dan menghampiri kami. Aku tak tahu apa maunya,
yang jelas saat ini aku tidak berharap bertemu beliau.
"Halo...," sapanya ramah. Tumben. Kalau di sekolah nadanya
ketus. "Jaketnya disimpan di sini saja. Semua anak juga
menitipkannya di sini," ia menunjuk ruang tempat ia keluar tadi.
"Pestanya di ruang bawah sana. Kalian turun tangga, terus belok kiri
sedikit."
Kami menggantungkan jaket kami lalu menuju tempat yang
beliau tunjuk tadi. Rasanya aneh sekali sikap Pak Hansen. Beliau
tampaknya tak keberatan rumahnya dijadikan areal pesta remaja yang
pasti riuh rendah oleh canda dan musik hingar bingar. Maklum,
selama ini Pak Kepsek kami ini dikenal berdisiplin tinggi dan
galaknya itu...wah...wah!
Ruang bawah nampak sudah penuh dengan anak-anak. Berapa
banyak anak yang diundang Stacy? Mungkin seluruh anak di Acorn
Falls! Tapi aku tidak berhasil menemukan Sheck.
Lantai ruang bawah rumah keluarga Hansen didekor dengan
kayu dan karpet warna keemasan. Makanan kecil, minuman ringan,
pizza, aneka kue, dan taart ukuran raksasa disajikan di meja panjang
yang diletakkan di tengah ruangan. Pasti cukup untuk persediaanmakan seminggu! Kalau tak bisa menahan diri, pasti berat badanku
akan naik beberapa kilo sepulangnya dari pesta ini.
"Hei, itu Angela!" Sabs menunjuk teman baiknya di kelas
musik. "Sebentar ya." Sebelum kusadari, Sabrina sudah menembus
keramaian menghampiri Angela.
Scottie Silver datang mengendap-endap dari belakang Katie dan
menutup mata Katie dari belakang. Katie tergeragap sejenak namun
kemudian dapat menenangkan diri setelah tahu bahwa tindakan usil
itu dilakukan oleh Scottie. Cowok ini adalah anak kelas delapan. Ia
dan Katie sama-sama tergabung dalam tim hoki es sekolah kami.
Awalnya, ia kelihatan begitu memusuhi Katie, namun nyatanya ia
beberapa kali mengajak Katie kencan.
"Halo Katie! Apa khabar? Kok nggak bilang-bilang kalau kamu
juga diundang sih? Kan kita bisa datang bareng," ujarnya. Katie
tersenyum. "Yuk kita ngobrol di sana, ada Flip dan teman- teman
lain," Scottie menarik Katie mendekati kumpulan teman-temannya di
dekat meja makan. Katie menatap kami dengan pandangan tak
berdaya dan terpaksa mengikuti ajakan Scottie.
Aku dan Al hanya saling bertukar pandang lalu tersenyum
maklum. Katie dan Sabrina memang punya banyak teman. Kalau aku
sih, mungkin dalam sebuah pesta aku hanya akan ngobrol dengan satu
orang saja. Demikian juga Al. Allison yang pemalu itu akan lebih
canggung lagi bila berada di tengah keramaian macam ini.
"Hei Al, bajumu bagus sekali...," kulontarkan pujian sambil
memperhatikannya. Sejak ikut dalam pemotretan untuk majalah Belle
beberapa waktu lalu, penampilan Al cukup lumayan. Banyak
perubahan. Penampilannya sebelum jadi foto model sebetulnya sihtidak buruk, hanya saja sekarang dia lebih memperhatikan mode.
Malam ini ia memakai celana ketat warna hitam, sepatu tanpa tumit
juga berwarna hitam dan kemeja putih yang dipenuhi kancing sampai
ke leher. Hanya ada satu kata untuk menjelaskan penampilannya:
cantik!
"Terima kasih Randy," sahut Allison."Pakaianmu juga bagus.
Kau dan Sheck adalah pasangan serasi malam ini."
Aku menatap Allison sambil membelalakkan mata. "Apa
katamu?" tanyaku kaget.
"Kalian berdua kelihatan seperti pasangan ideal," ulangnya.
"Jangan khawatir Ran, Sheck nggak akan menyukai Stacy. Kurasa kau
pun tahu bahwa ia hanya menyukaimu."
Aku tertawa, ah tepatnya memaksakan diri untuk tertawa. "Al,
Sheck kan sahabatku. Tentu saja ia menyukai aku," kilahku.
"Ah Randy. Kau tentu tahu apa maksudku. Tentu saja bukan
sekedar menyukai sebagai teman. Kelihatan kok...," bantah Al lembut.
Aku segera membelokkan arah pembicaraan.
Membicarakan soal Sheck membuatku malu sendiri. "Eh, kita
ambil minuman yuk," ajakku seraya beranjak ke meja. Kuambil
segelas soda untukku dan segelas lagi untuk Al. Lalu kami berdua
melangkah ke dekat perangkat musik dan duduk di kursi yang kosong.
"Aku udah cerita belum, kalau aku memutuskan untuk tinggal
di Acorn Falls?" tanyaku santai sambil meneguk soda dari gelasku.
"APA???" teriak Allison. "Apa katamu?" Allison kelihatan
sangat terkejut dan gembira, seolah-olah ingin memelukku. Tapi ia
berusaha menahan luapan emosinya, seperti biasa sambil berujar
dengan tenang. "Aku senang sekali mendengarnya. Aku yakin, Sabsdan Katie punya pendapat yang sama...." Ditariknya bahuku ke
pelukannya dengan lembut.
Aku membalas pelukannya. "Aku juga senang."
"Aku tak sabar untuk segera memberi tahu pada Sabs dan
Katie," ujar Allison. "Mereka pasti akan senang sekali
mendengarnya." TEENLITLAWAS.BLOGSPOT.COM
Stacy datang ke arah kami untuk mengecilkan suara musik.
"Oke...perhatian teman-teman...!" teriaknya lantang. "Sekarang
waktunya untuk jojing!!" Lalu ia mengganti lagu dengan irama lebih
menghentak dengan volume suara lebih keras lagi Aku melirik Allison
yang tiba-tiba cekikikan. Lantas ia menyelinap ke tengah keramaian,
meninggalkan aku sendiri. Aku bengong melihat sikapnya yang aneh
itu sampai kusadari bahwa Sheck ternyata sedang memperhatikanku
dari seberang meja. Ia melangkah ke arahku. Beberapa kali ia
mendorong anak-anak yang menghalangi langkahnya. Matanya terus
saja terarah ke tempat dudukku. Stacy masih berdiri di sebelahku. Si
Hebat ini juga terus menatapnya sambil tersenyum. Mungkin ia
mengira Sheck akan mengajaknya berdansa.
Nyatanya, Sheck langsung menggamit lenganku. "Berkenan
dansa dengan saya, Tuan Putri?" ajaknya seraya menyodorkan gelas
kosongnya pada Stacy. Dapat kudengar suara Allison masih cekikikan
entah dari arah mana. Sheck langsung merangkulku dan menarikku ke
tengah arena dansa. Padahal belum ada yang berdansa. Kamilah
pasangan pertama yang turun ke tengah arena. Tapi Sheck kelihatan
tak peduli. Dia memang pintar dansa dan waktu di New York dia
sering jadi pusat perhatian di lantai dansa. Segera setelah itu pasangan
lainnya menyusul."Hei Sheck...mau nggak melakukan sesuatu untukku?" teriakku
di tengah hentakan irama lagu yang berisik.
"Boleh! Apa pun!" sahut Sheck sambil tersenyum. "Bahkan aku
akan memberikannya sebelum kau minta."
"Ajak Allison dansa, ya?" pintaku seraya menatap ke arah
Allison yang tengah duduk dan ngobrol dengan Naomi Wolfe, teman
sekelasnya di kelas IPS. Pasti mereka sedang membicarakan pelajaran
deh. "Aku tak mau melepaskanmu," sahut Sheck seiring lagu slow
untuk dansa.
Aku tertawa tapi tidak mau bergerak mengikuti irama. "Ayolah
Sheck, aku serius..."
"Oke...oke...," kata Sheck. "Aku sih nggak keberatan sama
sekali. Sebenarnya dari tadi aku juga memperhatikan dia. Allison
cantik sekali malam ini. Mungkin kau bisa jadi mak comblang untuk
kami berdua ya?" kelakarnya. Kutinju bahunya perlahan dan ia
menangkap tanganku lalu meremasnya sedikit. Entah apa maksudnya.
Lantas kami menghampiri Allison.
Dekat tempat duduk Allison kulihat pintu kaca yang
memisahkan ruangan ini dengan taman luas di belakang. Agaknya aku
perlu udara segar setelah agak lama tersekap dalam ruangan sesak dan
hingar bingar ini. Aku menyelinap keluar.
Udara ternyata tidak terlalu dingin. Kudekap tangan ke tubuhku
sambil menengadahkan kepala menatap bintang-bintang di langit.
Sejujurnya kuakui, aku menyukai Acorn Falls. Aku senang bahwa
akhirnya aku memutuskan untuk menetap di sini.Entah berapa lama aku melamun di serambi belakang, tapi tiba-
tiba kudengar pintu di belakangku dibuka, tapi aku tidak segera
mengalihkan pandanganku dari langit.
"Randy, aku pasti merindukanmu...," ternyata Sheck yang
langsung berdiri di sebelahku. "Kata Allison, kau sudah memutuskan
untuk tinggal di sini."
Aku mengangguk. Apa yang harus kukatakan padanya? Aku
pun pasti akan merindukannya nanti.
"Tapi kau masih mau datang menjengukku di New York kan?"
tanyanya perlahan.
Kubalikkan tubuhku untuk menatapnya. Dan untuk pertama kali
aku begitu terpesona pada bola matanya yang kelihatan begitu jernih
dan hijau.
"Tentu saja...," sahutku lembut.
Ia menyentuh pipiku lembut dengan jemarinya. "Dari kecil dulu
kita selalu bersama-sama. Selalu bareng. Tanpa kamu, pasti ada yang
kurang dalam kehidupanku," ujarnya. Perlahan ia merengkuh bahuku
dan dengan lembut ia mengecup pipiku.
Aku sangat terkejut! Tidak menduga, sampai tak dapat berkata
apa- apa.
Mungkin Allison benar, Sheck menyukaiku lebih dari sahabat.
Aku sendiri? Ah...entahlah. Aku tak bisa mengatakan
perasaanku padanya. Yang pasti aku senang ia mau mengerti
keputusanku. Aku juga bahagia karena sifat manisnya barusan.
Tiba-tiba Sheck berbisik. "Entah bagaimana harus kulalui hari-
hariku tanpa kamu Randy. Aku membutuhkanmu...," ia tersenyumpenuh arti padaku. Dirangkulnya bahuku untuk kembali masuk ke
ruangan pesta.
"Yuk, kita masuk lagi," ajaknya.
"Kamu duluan deh. Nanti aku nyusul. Sekarang aku masih
pingin cari angin," jawabku.
Sheck mengangkat bahunya sambil berkata, "Oke. Tapi janji ya,
nanti kau akan berdansa dua puluh lagu bersamaku!"
Aku tertawa lagi dan mengangguk. Dansa dua ratus lagu pun,
asal dengan dia, aku pasti bersedia!
Begitu aku masuk ke dalam, Sabs, Katie dan Allison datang
menyambutku. Dari raut wajah mereka, aku yakin Al telah
menyampaikan keputusanku pada mereka. Sungguh menyenangkan
bagiku melihat keceriaan di wajah mereka. Rupanya keputusanku
amat berarti bagi mereka.
"Ayo dong...ngomong...," ujar Allison melihat Katie dan Sabs
hanya bengong saja.
"Aku tahu, kau tak akan tega meninggalkan kami," ujar Sabs
seraya tersenyum.
"Randy," timpal Katie. "Aku gembira, kita tetap bisa bersama-
sama...."
Allison hanya ikut mengangguk dengan mata coklatnya yang
berbinar-binar.
"Kalian adalah sahabat-sahabatku yang terbaik...," teriakku
sambil merentangkan tangan untuk memeluk mereka. "Dan...Acorn
Falls adalah tempat yang istimewa juga untukku...."END
Sepasang Rajah Naga 9 Dewa Arak 45 Misteri Raja Racun Pertarungan Dua Datuk 2
^